Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila meninjau perjalanan perkembangan hukum di Indonesia, tergambar bahwa upaya untuk
melakukan pembaharuan hukum nasional telah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Hal ini
dikarenakan penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang diundangkan sehari setelah
Proklamasi Kemerdekaan sebagai landasan kehidupan bemegara bangsa Indonesia merupakan usaha
pembaharuan hukum yang sangat mendasar. Berkaitan dengan itu maka semua peraturan dan
lembaga hukum yang berlaku dalam hal ini hukum peninggalan Belanda dan yang akan dibentuk
kemudian harus mengacu pada norma-norma yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Sehubungan dengan itu peraturan hukum peninggalan Belanda tidak dapat begitu saja diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia untuk dijadikan Hukum positif Indonesia. Terhadap peraturan-peraturan
asing tersebul masih diperlukan pengkajian yang mendalam serta penyesuaianpenyesuaian dengan
Pancasila dan asas-asas hukum dalam UUD 1945 yang kita anut sebagai pedoman hidup berbangsa
dan bernegara.(Hartono,1993:32)
Bangsa Indonesia yang bersifat komunal, tentunya model hukumnya tidak bisa disamakan
dengan model hukum bangsa Belanda (Eropa) yang bersifat individual. Namun demikian akibat
bekas daerah jajahan kondisi sistem hukum nasional kita sampai saat ini masih banyak berorientasi
kepada sistem hukum Belanda yang berclrikan antara lain kodifikatif dan unifikatif. Menelaah secara
kritis terhadap kehidupan hukum nasional saat ini mendapat gambaran bahwa masih banyak
peraturan perundang-undangan (hukum positif) di Indonesia yang belum mencerminkan nilai-nilai
moral dan nilai-nilai hukum sebagaimana yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Moral
berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat dan berasal dari
bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti.(Muchsin,2002:10) Menurut W.J.S.
Poerwadarminta (Noor,1985:7), moral berarti “ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.”
Dalam Islam moral dikenal dengan istilah “akhlak”, berasal dari kata “khuluqun”, artinya budi
pekerti, perangai, tingkah laku, tabiat.
Raghib Al-Isfahani, seorang filsuf muslim klasik Islam memaknai akhlak sebagai upaya manusia
untuk melahirkan perbuatan yang bajik dan baik. Alasannya, kata akhlak merupakan plural dari
khuluq yang berasal dari kata khalaqa. Menurutnya, ini ditujukan kepada ciptaan Tuhan yang
brmuatan daya yang dapat disempurnakan oleh upaya manusia.(Amril,2002:83) Menurut Ibnu
Maskawih dalam bukunya Tahdzibul akhlaq wa that-hirul-a’raq, seperti dikutip oleh Rahmat
Djatnika, menyebut akhlaq sebagai perangai, yang maksudnya adalah keadaan gerak jiwa yang
mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Menurut al-Ghazali:
“akhlak merupakan tabiat jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan dengan
perwatakan tertentu secara serta merta tanpa pemikiran dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut
melahirkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan agama, tabiat tersebut dinamakan akhlak
yang baik. Apabila melahirkan perbuatan-perbuatan yang jelek, maka tabiat tersebut dinamakan
akhlak yang jelek.”( Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad,1994:86)
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi mudah tanpa memerlukan pikiran lagi. Ukuran
perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan persepsi seseorang,
perbedaan masa, dan perubahan keadaan dan tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat
dalam suatu masa ada ukuran umum, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau sebagian besar
dari anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu masyarakat dengan
masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pokok tertentu yang ada persamannya antara semua manusia
dalam menilai baik dan buruk.(Hazairin,1974:80-81)
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat tulisan dalam bentuk makalah
dengan judul “Analisa Hubungan Moral dan Hukum di Indonesia”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hubungan antara moral dengan hukum?
2. Bagaimanakah potret nilai moral dan hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Moral Dengan Hukum


Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk
menciptakan ketertiban dan mengarahkan arah tingkah laku masyarakat, dan menegakkan
kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang
supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma
kesusilaan itu bersandar pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan
perbuatan mana yang jahat serta akan menentukan apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan.
(Kansil,1992:56) Akan tetapi pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi
mencukupi. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah kebebasan pribadi. Untuk
mengatur segalanya diperlukan antara lain yang tidak disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga
mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut
dengan hukum.(Rahardjo,1991:27-28)
Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam
kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan
atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meskipun coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang
dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada
kesusilaan.
Pembahasan tentang hubungan antara hukum dengan moral adalah salah satu topik penting dalam
kajian filsafat hukum. Dalam kajian hukum Barat, antara hukum dan moral memang mempunyai
kaitan erat, tetapi hukum tidak sama dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga
negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu.(Ka’bah,2004:142) Dikatakan dalam
teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah suatu hal dan moralitas adalah hal
lain, atau dengan kata lain: “hukum dan moralitas tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama”. Ini
tidak berarti bahwa hakim atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak
memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang
baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula. .(Ka’bah,2004:143-144) Sehingga
secara garis besarnya hubungan moral dan hukum adalah sebagai berikut:
1. Moral Sebagai Landasan Tujuan Hukum
Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa tujuan hukum atau cita hukum tidak lain daripada
keadilan. Gustav Radbruch, di antaranya menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan.
(Wilk,1950:73) Selanjutnya ia menyatakan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit
justitia quam jus”, yang diterjemahkan: “Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari
kandungan ibunya, oleh karena itu keadilan telah ada sebelum adanya hukum.” Menurut Ulpianus,
Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi, yang diterjemahkan secara bebas,
keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa
yang menjadi haknya.
Esensi keadilan berpangkal pada moral manusia yang diwujudkan dalam rasa cinta kasih dan
sikap kebersamaan.(Marzuki,2009:44) Yang pertama kali mengemukakan moral sebagai dasar aturan
adalah Thomas Aquinas.(Marzuki,2009:139) Thomas Aquinas menyatakan manusia tidak dapat
mengingkari keberadaan tubuhnya. Tubuh inilah yang memicu adanya tindakan, keinginan dan hawa
nafsu.
Menurut Thomas Aquinas, manusia melalui kekuatan kemauan dan pikiran yang dimilikinya
dapat melepaskan diri dari kendali-kendali tersebut. Daya intelektual manusia dapat memberikan
peringkat terhadap makna mengenai apa yang dimiliki manusia. Kekayaan, kesenangan, kekuasaan,
dan pengetahuan merupakan objek keinginan yang dapat dimiliki oleh manusia. Akan tetapi semua itu
tidak dapat menghasilkan kebahagian manusia yang terdalam. Hal-hal itu tidak memiliki karakter
kebaikan yang bersifat universal yang dicari oleh manusia. Aquianas percaya bahwa kebaikan yang
universal itu tidak dapat diketemukan pada ciptaan, melainkan pada Allah Sang Pencipta.
(Morrison,1998:67)

2
Menurut Thomas Aquianas, hukum terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh
nalar. Hukum meliputi kekuasaan, dan kekuasaan inilah yang memberikan kewajiban. Akan tetapi di
belakang kekuasaan inilah berdiri nalar. Penguasa melalui hukum positif dapat memberi perintah yang
bukan-bukan atau memaksa orang melakukan perbuatan yang tidak benar, tetapi hukum positif
tersebut bekerja tidak sesuai dengan hakikat alamiah hukum. Hukum alam ditentukan oleh nalar
manusia. Mengingat Allah menciptakan segala sesuatu, hakikat alamiah manusia dan hukum alam
paling tepat dipahami sebagai produk kebijaksanaan atau pikiran Allah.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas adalah pandangan Lon L. Fuller.
Oleh Fuller dikatakan bahwa masalah moralitas merupakan bagian dari hukum alam.(Fuller,1975:67)
Hanya saja aturan-aturan itu tetap membumi. Memang kata moral sering dikaitkan dengan keadaan
batin seseorang, seperti budi pekerta luhur, keramahtamahan, atau ketaatan dalam menjalankan
kewajiban agama dan semu sikap yang mempunyai kemaslahatan semua orang dan diri sendiri. Tidak
berzina, tidak suka memfitnah, tidak berkata-kata dusta, suka memberi, bermurah hati dan suka
menolong dalam kesesakan adalah tindakan-tindakan moral. Akan tetapi sikap semacam itu adalah
ideal. Hukum tidak mampu menjangkau hal-hal semacam itu. Hukum bukan suatu lembaga untuk
membuat seseorang menjadi bersifat malaikat. Namun hukum dapat menjaga kehidupan masyarakat
dari gangguan tindakan manusia yang berhati setan.(Marzuki,2009:44) Hukum diciptakan untuk
menjaga fungsi eksistensial kehidupan bermasyarakat dari tindakan manusia atau sekelompok
manusia lain yang berusaha merusak eksistensi itu. Oleh karena itulah moral dalam hal ini merupakan
sesuatu yang bersifat operasional.
2. Hukum Bersatu Dengan Moral
Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral
adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-
kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat
mendirikan kesusilaan.(Noor,1985:31) Lebih lanjut Dr. Muslehuddin menerangkan bahwa hukum
tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak
memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental.
(Muslehuddin,1980:270) Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan,
karena moral adalah pokok dari hukum.(Rasjidi,1972:18) Menurut Kant, hukum moral adalah hukum
dalam arti sebenarnya. Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum
dari moralitas. Oleh karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum. .
(Muslehuddin,1980:270)
Berdasarkan uraian diatas, maka pada umumnya, perbedaan dan hubungan antara hukum dan
moral dapat dijelaskan sebagai berikut: (Rhity,2011:271)
1. Hukum membutuhkan moral. Quid leges sine moribus? (Apa artinya UU tanpa moralitas?).
Kualitas hukum juga diukur dari mutu moralnya. Sebaliknya, moral juga membutuhkan
hukum (Bertens,2000:41), agar “semakin terwujud secara lebih pasti dalam perilaku konkret”.
Menghormati hak milik orang lain misalnya, adalah sebuah prinsip moral. Prinsip ini
diperkuat dalam hukum yang melindungi hak milik.
2. Hukum itu lebih dikodifikasikan dan dengan demikian lebih pasti dan objektif daripada
moralitas yang tidak tertulis
3. Hukum mengatur perbuatan lahiriah (legalitas), sementara moral lebih menyangkut sikap
batin manusia
4. Moralitas adalah “isi minimum dari hukum”. Hukum dan moralitas hanya berbeda dari sisi
formal, tetapi tidak ada perbedaan mendasar dari segi substansi. Baik norma hukum maupun
norma moral, kedua sama-sama mengatur perilaku manusia.(Ujan,2009:153)
5. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman.
Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar,
sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas
hanya hati yang tidak tenang.
6. Tujuan hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral
mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.

3
7. Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum termasuk dalam tatanan normatif lahiriah
manusia, di luar motivasi batin. Moralitas hanya berkaitan dengan suara hati atau sikap batin
manusia. Hukum mengikat secara moral kalau diyakini dalam hati.
Uraian Kant ini dapat dilengkapi dengan uraian A. Reinach (1883-1917) sebagai berikut:
(Huijbers,1982:231-234)
1. Norma moral mengenai suara hati pribadi manusia, norma yuridis berlaku atas dasar suatu
perjanjian.
2. Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah kepada orang lain, sedangkan hak
yuridis dapat hilang dan berpindah (sesuai dengan perjanjian).
3. Norma moral mengatur baik batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya
mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non iudicat).
B. Potret Nilai Moral Dan Hukum Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia
Dasar filsafat negara Indonesia telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan adanya
keyakinan bangsa Indonesia bahwa nilai-nilai Pancasila adalah yang paling benar, sehingga bangsa
Indonesia tidak ragu-ragu lagi untuk menjadikan nilainilai Pancasila sebagai landasan, alasan dan
motivasi dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bermasyarakal, berbangsa, dan bemegara. Bagi
bangsa Indonesia nilai-nilai dalam Pancasila merupakan jali dirinya, oleh karena itu tidak aneh bila
para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan filsafat hidup/pandangan hidup
bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum berdasarkan Ketetapan MPR RI No.
111/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, merupakan
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan
dan watak bangsa Indonesia yaitu cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita moral tentang
kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani manusia. Dalam
kaitan ini menurut Kansil (1983:15) bahwa pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta
cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia itu pada tanggal
18Agustus 1945, telah dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
alas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia, dengan rumusan: Ketuhanan
Yang Maha Esa; Kemanusian yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan/ Perwakilan; Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Sedangkan menurut A. Hamid S. Attamimi (1991:70) bahwa menurut
UUD 1945 dalam tata hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, Pancasila berada dalam dua
kedudukan yaitu sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) maka Pancasila berada dalam tata hukum
Indonesia namun terletak di luar sistem norma hukum; dan dalam kedudukan yang demikian itu
Pancasila berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam
sistem norma hukum. Selanjutnya sebagai norma yang tertinggi dalam sistem norma hukum Indonesia
yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila
merupakan Norma Dasar (Grundnorm) menciptakan semua normanorma yang lebih rendah dalam
sistem norma hukum tersebut, serta menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma dimaksud.
Mengingat di dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara
norma hukum yang rendah dan norma hukum yang lebih tinggi, maka penentuan Pancasila sebagai
norma hukum yang menggariskan pokok-pokok pikiran pembukaan hukum dasar merupakan jaminan
tentang adanya keserasian dan tidak adanya pertentangan antara Pancasila dengan norma hukum
dalam peraturan perundang-undangan. Ketidakserasian dan pertentangan antara suatu norma dan
norma hukum yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya ketidakkonstitusionalan (unconstitutionality)
dan ketidaklegalan (illegality) norma tersebut dan karena itu tidak berlaku. (Attamimi 1991:70)
Perwujudan Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional akan tencipta hukum nasional yang
berkarakteristik sebagai berikut: ( 1) bemuansa nilai nilai moral religius yang beradab, bukan hanya
berdasarkan hukum agama dari suatu agama tertentu; (2) menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;
(3) mengakomodasi rasa keadilan seluruh rakyat Indonesia; (4) adanya partisifasi dan seluruh rakyat
Indonesia dalam penyusunannya; (5) konsep keadilan yang digunakan bukan hanya berlingkup
indivtdu, melainkan juga keadilan sosial untuk kesejahteraan bersama.

4
Salah satu pilar Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional adalah prinsip bahwa hukum
mengabdi pada kepentingan bangsa untuk memajukan negara dan menjadi pilar demokrasi dan
tercapainya kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu produk hukum yang dihasilkan adalah hukum yang
konsisten dengan falsafah Negara, mengalir dan landasan konstitusi UUD 1945 dan secara sosiologis
menjadi sarana untuk tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat.
Perkembangan dan perubahan sosial yang demikian pesat sebagai akibat dari perkembangan
teknologi dan industri, rnenghendaki hadirnya suatu tatanan hukum yang mampu mewujudkan tujuan
tujuan yang dikehendaki masyarakat. 0leh karena itu agar fungsi cita hukum dapat mengakomodasi
semua dinamika masyarakat yang kompleks seperti Indonesia maka dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebagai alat
untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian cita hukum yang berisi patokan nilai harus
mewarnai setiap produk peraturan perundang-undangan sehingga terwujud tatanan hukum yang
demokratis. Tanpa cita hukum maka produk hukum yang dihasilkan akan kehilangan maknanya.
(Warassih,2005:43)
Berdasarkan Buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Menurut Sistem Engelbrecht edisi
2006 yang diterbitkan oleh PT. lchtiar Baru Van Hoeve bahwa jumlah peraturan perundang-undangan
peninggalan kolonial berbahasa Belanda yang masih berlaku (hukum positif di Indonesia) sebanyak
58 buah. Agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat berfungsi dan dapat mewujudkan tujuan
hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat Indonesia, maka peraturan
perundangundangan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai moral dan hukum bangsa Indonesia.
Indonesia yang memiliki cita hukum Pancasila dan sekaligus sebagai Norma Fundamental Negara,
maka setiap produk peraturan perundang-undangan harus diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila. Kedudukan Pancasila sebagai "Margin of Appreciation" ini baik
dalam pengembangan teoriteori hukum maupun dalam praktik penegakan hukum yang berlaku
meliputi proses-proses: ( 1) Law Making; (2) Law Enforcement; (3) Law Awareness.
Di Indonesia sejak jaman Orde Baru, fungsi hukum bukan lagi untuk mengatur tingkah laku dan
mempertahankan pola-pola yang sudah ada dalam masyarakat tetapi hukum telah dijadikan sarana
untuk merealisasikan kebijaksanaan negara dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan
pertahanan keamanan. Kondisi ini rentan untuk menjadikan hukum sebagai alat atau sarana untuk
melindungi kepentingan kelompok atau individu yang seolah-olah merupakan kepentingan
masyarakat (pembentukan hukum secara konflik). Sebagai contoh banyak peraturan perundang-
undangan khususnya Keputusan Presiden (Keppres) yang bernuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Pada hakikatnya semua Keppres yang menyimpang terkait dengan abuse of power atau
penyelenggaraan negara secara umum”. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa sistem hukum
nasional Indonesia saat ini belum seluruhnya mengandung nilai-nilai moral dan nilai-nilai hukum
sebagaimana yang dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945.
Kondisi hukum ini juga tidak jauh berbeda dengan model hukum di era Orde Baru yang
berkarakteristik represif sebagaimana yang dikemukakan oleh Phillippe Nonet dan Philip Selznick
yaitu hukum merupakan perintah dari penguasa yang berdaulat yang pada asasnya memiliki diskresi
tidak terbatas, dimana hukum dan negara tidak dapat dipisahkan.
Jika dilihat dari aspek formal/bentuknya peraturan perundang-undangan yang bermasalah masih
dapat disebut hukum karena dibuat oleh lembaga yang berwenang, namun apabila dilihat dari aspek
materiel tidak dapat dikatakan sebagai hukum karena substansinya bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Dalam kaitan ini menurut Soehardjo S.S. (1993:11) bahwa bagi
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, asas hukum konstitutif yaitu asas yang dijadikan sumber
hukum adalah Pancasila, sedangkan asas hukum regulatif yaitu asas penjabaran agar tidak
menyimpang dari asas konstitutif. Asas hukum regulatif adalah ketentuanketentuan yang terdapat
dalam UUD 1945. Peraturan hukum yang bertenlangan dengan asas konstitutif hilang sifatnya sebagai
hukum (bukan hukum), sedangkan peraturan hukum yang bertentangan dengan asas regulatif masih
bisa disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang tidak benar (unrichtiges rech).

BAB III
KESIMPULAN

5
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara garis besarnya hubungan moral dan hukum adalah yang pertama Moral Sebagai
Landasan Tujuan Hukum sedangkan yang kedua Hukum Bersatu Dengan Moral
2. Sistem hukum nasional Indonesia saat ini belum seluruhnya mengandung nilai-nilai moral
dan nilai-nilai hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945. Jika
dilihat dari aspek formal/bentuknya peraturan perundang-undangan yang bermasalah masih
dapat disebut hukum karena dibuat oleh lembaga yang berwenang, namun apabila dilihat dari
aspek materiel tidak dapat dikatakan sebagai hukum karena substansinya bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia. Dalam
Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara, BP7 Pusat, 1991
Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, Dirjen Bimbaga Islam
Depag RI, Jakarta,1985
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Vol. III, Dar al Hadith,
Kairo,1994
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Kanisius,Jakarta, 2009
C. F G. Sunaryab Hartooo, Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Dalam Pembangunan Jangka
Panjang Tahap II. Dalam Pro Justisia majalah Hukum Unpar Bandung,1993
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta,1992
Sekelumit Tentang Ketetapan MPR 1960-1983. Dalam FH UKI (ed) Membangun dan
Menegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancaslla dan UUD 1945,
Erlangga,Jakarta,1983
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, PT. Suryandaru Utama, Semarang,2005
H.M Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1972
Harun Alrasid, Himpunan Peraturan Perundang undangan RI Menurut Sistem Engelbrecht, PT.
lchtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,2006
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Tintamas, Jakarta,1974
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik Ke Posmodernisme), Universitas Atma
Jaya Yogyakarta,Yogyakarta, 2011
K. Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta,2000
Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch,and Dabin, Harvard University,
Cambridge,1950
Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven,1975
M. Amril , Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar dan
LSFK2P,Yogyakarta , 2002
M. Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists,Islamic Publication Ltd,
Lahore,1980
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,2009
Rifyal Ka’bah, Menegakkan Syariat Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta,2004
Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1991
Soehardjo SS, 1993, Konsep Tentang Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Proses Pertumbuhan
Masyarakat, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, Makalah Seminar Nasional Hak-
Hak Asasi Manusia. Undip, 25 Januan 1993
Wayne Morrison, Jurisprudence: From The Greeks to Post-Modernisme, Cavendish, London,1998

Anda mungkin juga menyukai