Skripsi
Oleh :
RAMLAH
J1A1 15 102
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
LEMBAR KEASLIAN
iv
KATA PENGANTAR
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Faktor yang Berhubungan
banyak hambatan dan tantangan yang didapatkan. Namun atas bantuan dan
bimbingan serta motivasi yang tiada henti-hentinya disertai harapan yang optimis
Jika dalam skripsi ini terdapat adanya kekurangan, baik dalam hal
penulis, hal itu tidak terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa.
Teristimewa saya menyampaikan rasa hormat yang tulus dan terima kasih
yang tak terhingga kepada ibunda saya tercinta, Wa Ridi yang selalu sabar, ikhlas,
menempuh pendidikan saya, kasih sayang, doa yang selalu dipanjatkan untuk
mengiringi setiap langkah saya, serta terus memberikan semangat agar saya dapat
v
Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan
terima kasih kepada Bapak Drs. H. Junaid, M.Kes. sebagai Pembimbing I dan Ibu
sana.
Rahmun yang telah memberikan motivasi, kasih sayang, serta doa seluruh
Halu Oleo dan Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S mantan Rektor
Oleo Kendari.
vi
banyak memberikan dukungan dan bimbingan selama mengikuti
pendidikan.
8. Ibu Dra. Hj. Sartiah Yusran, M.Sc. Ed., Ph.D M.Kes, ibu Lisnawaty,
S.KM., M.Kes dan ibu Dhuha Itsnanisa Adi, S.Gz., M.Kes yang telah
digantikan oleh ibu Renni Meliahsari, S.Gz., M.Kes selaku penguji yang
11. Terimakasih untuk saudari Neno Ambarwati dan Uly yang telah
penulis butuhkan.
Mega, Mimin, Neli, Uyun, Oca, Ida, Nina, Mey, Rina, Masda, terima
kenangannya.
13. Seluruh teman-teman seperjuangan kelas Gizi yang tidak dapat penulis
vii
Fitri, Anita, Utaran, Fatimah, Ningsih terimakasih untuk semuanya.
15. Teman-teman KKN Reguler 2018 Desa Baku-baku Kec. Wawonii Selatan
telah memberikan banyak cerita dan pengalaman yang luar biasa selama
16. Teman-teman SMAN 2 Raha, SMPN 5 Raha, dan SDN 14 Katobu Mini,
Ririn, Ramna, Emba, Lina, Nining, Nani, Ayan, Natija, dan yang lain
banyak cerita serta kenangannya yang indah. Susah, senang, tawa, sedih,
18. Serta terimakasih kepada kakak Ahmad Fahrozi yang sudah memberikan
semangat, motivasi kepada saya, sehingga saya bisa sampai ketitik ini.
melimpahkan rahmatnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dan
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ix
3.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ........................................35
3.7 Jenis Data Penelitian.........................................................................38
3.8 Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data..........................................39
x
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
xi
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
xii
balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun
2018....................................................................................... 53
14 Hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018............................................... 54
15 Hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018............................................... 55
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR SINGKATAN
xv
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI
SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI PUSKESMAS MABODO KABUPATEN MUNA
TAHUN 2018
Ramlah
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Halu Oleo
ABSTRAK
xvi
FACTORS ASSOCIATED TO ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI)
INCIDENCE IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS IN MABODO
HEALTH CENTER MUNA DISTRICT 2018
Ramlah
Public Health Science Study Program Faculty Of Public Health
Halu Oleo University
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) is an infectious disease that is the leading cause
of death in children aged <5 years in the world. Every year, almost 7 million
children die because of ARI. In Indonesia, ARI was still a major health problem
and was a major cause of patient visited in Puskesmas (40% -60%) and hospitals
(15% -30%). This study aimed to determine the factors associated with the
incidence of acute respiratory infections (ARI) in chidren under five years in
Mabodo Health Center, Muna Regency in 2018.The type of study was quantitative
study with cross sectional study approach. The population in this study were all
chidren under five years in Mabodo Health Center, Muna Regency, registered in
October - December 2018 and the samples were taken by purposive sampling as
many as 53 chidren under five years. Data were analyzed by Chi-square with
95%. The results showed that there was no relationship between nutritional status
(p value = 0.418) or immunization status (p value = 0.391) with the incidence of
ARI in children under five years, but there was a relationship between the
presence of smoking family members (p value = 0.003), biomass fuel use (p value
= 0.036) with the incidence of ARI in children under five in Mabodo District
Muna Health Center in 2018. It was recommended that health workers
(Puskesmas) should provide counseling to mothers who have children under five
years at the Mabodo Community Health Center who have ARI to reduce the rate
of ARI disease.
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian
yang menjadi penyebab utama kematian pada anak usia < 5 tahun di dunia.
Hampir 7 juta anak meninggal akibat ISPA setiap tahun. Kasus terbanyak terjadi
di Bahamas (33%), Romania (27%), Timor Leste (21%), Afganistan (20%), Lao
(19%), Madagascar (18%), Indonesia (16%), dan India (13%) (WHO, 2015).
rumah sakit (15%-30%) (Kemenkes RI, 2012). Angka cakupan penemuan ISPA
pada balita di Indonesia tahun 2014 tidak mengalami perkembangan berarti yaitu
berkisar antara 20%-30%. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan menjadi 63,45%
dan menjadi 65,27% pada tahun 2016. Adanya peningkatan cakupan pada tahun
2015 karena perubahan angka perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%, selain itu
ada peningkatan dalam kelengkapan pelaporan dari 83,08% pada tahun 2014
menjadi 91,91% pada tahun 2015 dan 94,12% pada tahun 2016 (Kemenkes RI,
2016).
Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling sering berada dalam
1
2
Tahun 2013 di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat (6,67%) penderita ISPA dan
pada tahun 2014 di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat (4,49%) penderita ISPA
dan pada tahun 2015 terdapat (2,22%) penderita ISPA (Profil kesehatan Provinsi
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Muna pada tahun 2012 jumlah
penderita ISPA pada balita sebanyak 2.525 orang, tahun 2013 sebanyak 1.912
orang, tahun 2014 sebanyak 1.805, dan pada tahun 2015 sebanyak 1.700 orang.
Sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 522 kasus dan tahun 2015 penderita ISPA
Pneumonia pada balita tercatat sebanyak 328 kasus. Berdasarkan Profil salah satu
Puskesmas yang ada di Kabupaten Muna yaitu Puskesmas Mabodo tahun 2017
sepuluh penyakit terbesar setiap tiga tahunnya yaitu tahun 2015 sebanyak 2902
kasus, tahun 2016 sebanyak 2488 kasus dan tahun 2017 sebanyak 2348 kasus.
Tingginya angka kejadian ISPA pada balita secara umum dipengaruhi oleh
faktor individu (umur, status gizi, imunisasi yang tidak lengkap, ASI eksklusif)
hunian, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis lantai, jenis dinding) faktor sosial
hubungan antara status gizi dan ISPA karena status gizi mempengaruhi daya tahan
tubuh, dimana semakin rendah status gizi seorang balita maka semakin rendah
pula daya tahan tubuh balita tersebut, maka balita semakin rentan untuk terinfeksi
3
(Almira, 2017). Hasil ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa salah satu
faktor risiko yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit ISPA pada anak
adalah faktor status gizi. Anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok
umur yang rawan dengan gangguan gizi dan rawan terhadap penyakit serta telah
lama diketahui adanya interaksi senergis antara malnutrisi dan infeksi (Hadiana,
2013).
yang meningkatkan mortalitas ISPA. Bayi dan balita yang mempunyai status
menjadi lebih berat. Karena sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA
yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
antibody aktif anak tidak terbentuk dan akan mudah terserang penyakit ISPA.
pada balita salah satunya terdapat anggota keluarga yang merokok di dalam
rumah. Paparan Asap rokok bukan hanya menjadi penyebab langsung kejadian
ISPA pada balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat
maka adanya anggota keluarga yang merokok terbukti merupakan faktor risiko
4
(Wahyuningsih, 2017).
dibahas adalah faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kejadian infeksi
berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
1) Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
tahun 2018.
2018.
penyakit ISPA.
Kabupaten Muna tahun 2018. Ruang lingkup penelitian hanya terbatas untuk
6
akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna tahun 2018.
1.6 Organisasi
Muna Tahun 2018 yang dibimbing oleh pembimbing I Bapak Drs. H. Junaid M.
Kes dan pembimbing II Ibu Fithria, S.KM., M.H.S serta tim penguji oleh Penguji
TINJAUAN PUSTAKA
diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI)
(Depkes RI, 2000). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi
akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran
pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur, bakteri.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akan menyerang host apabila ketahanan
tubuh (immunologi) menurun. Balita dibawah lima tahun adalah kelompok yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit
batuk disertai pilek, sesak napas, atau tanpa demam. Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua yaitu: saluran pernapasan bagian atas seperti
Istilah ISPA meliputi tiga unsure yaitu infeksi, saluran pernapasan dan
7
8
b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
saluran pernapasan.
oleh virus, bakteri, mycoplasma, atau aspirasi substansia asing yang melibatkan
suatu atau semua bagian saluran pernapasan. ISPA bagian atas umumnya
disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah umumnya disebabkan oleh
virus, bakteri dan mycoplasma. Virus penyebab ISPA antara lain golongan
Miksovirus (termasuk virus influenza, virus campak, dan virus para influenza),
2009).
Kuman ini akan melekat pada sel epitel hidung dengan mengikuti proses
pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk kedalam
sebagainya (Marni,2014)
berikut:
berikut:
(a) Pneumonia berat, bila batuk disertai dengan napas cepat (fast
adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat
(b) Non pneumonia, bila tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan
(a) Pneumonia sangat berat, bila batuk dan mengalami kesulitan saat
bernapas yang disertai sianosis sentral, adanya tarikan dinding dada, dan
kejang.
(b) Pneumonia berat, bila batuk dan mengalami kesulitan bernapas serta
(c) Pneumonia, bila batuk dan terjadi kesukaran bernapas yang disertai
dengan napas cepat, yaitu >50 kali/menit untuk umur 2-12 bulan, dan >40
(d) Non pneumonia, bila mengalami batuk pilek saja, tidak ada tarikan
dinding dada, tidak ada napas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali/menit
pada anak umur 2-12 bulan dan kurang dari 40 kali/menit untuk umur 12
gejala ISPA digolongkan kedalam ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat.
1. Batuk
2. Serak, yaitu apabila anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
4. Panas atau demam, yaitu suhu badan lebih dari 37℃ atau apabila dahi anak
1. Pada anak usia kurang dari 2 bulan frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali
permenit, sedangkan untuk anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun
keluhan-keluhan dan gejala yang ringan. Gejala infeksi saluran pernapasan atas
biasanya muncul kurang lebih 3 hari setelah seseorang terkena infeksi dan mereda
secara komplit sekitar 1 sampai 2 minggu. Gejala yang paling umum adalah
batuk. Meski begitu pada umumnya gejala penyakit infeksi saluran pernapasan
12
atas ini juga memiliki gejala bervariasi tergantung dari penyebabnya (Krishna,
2015).
saluran pernapasan atas bisa terjadi apabila seseorang mengalami kekebalan tubuh
lemah dan risiko mengalami infeksi yang juga dapat disebabkan dari buruknya
sanitasi lingkungan seperti; asap hasil pembakaran untuk bahan bakar untuk
memasak.
berikut:
a) Umur
Faktor risiko tertinggi kejadian ISPA terjadi pada bayi dan balita. Balita (bayi
dibawah umur lima tahun) merupakan anak yang berusia 0-59 bulan. Oleh sebab
itu kejadian ISPA pada bayi dan balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran
klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan
menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi
13
dan usia dini anak-anak dan menurun dengan bertambahnya usia. Insiden ISPA
mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan di bawah normal
disebut dengan BBLR (berat badan bayi < 2500 gram). Bayi BBLR mudah
terserang ISPA, karena bayi dengan BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh
yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah
cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi
termasuk penyakit ISPA. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan
zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Imelda, 2017).
c) Pemberian ASI
ASI merupakan makanan pertama dan utama bagi bayi. ASI mengandung
polyunsaturated fatty acid (asam lemak tak jenuh ganda). Protein utamanya jenis
lactalbumin yang mudah dicerna. ASI banyak mengandung vitamin dan mineral.
ASI juga mengandung zat anti infeksi (Sidi, 2004). Kolostrum merupakan cairan
yang pertama disekresi oleh kelenjar payudara dari hari ke-1 sampai hari ke-3.
mengandung kadar protein yang tinggi terutama globulin dan zat antibodi
14
sehingga dapat memberikan perlindungan pada bayi terhadap infeksi sampai usia
komposisi dan volume ASI cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan sampai
dengan usia 6 bulan. ASI mudah dicerna karena mengandung zat-zat gizi yang
tinggi yang diperlukan oleh bayi usia 0 – 6 bulan. Pemberian ASI menjadi sarana
menjalin hubungan kasih sayang ibu dengan anak. Pemberian ASI eksklusif akan
meningkatkan daya tahan tubuh sehingga bayi tidak mudah terserang penyakit.
Bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan
dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI, 2001).
d) Status Gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau
makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak minum air putih, olah raga yang
teratur serta istirahat yang cukup (Kartiningrum, 2016). Keadaan gizi yang buruk
muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa
penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan
infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.
Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan
infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap
infeksi. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
15
makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita
lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Yuliastuti,
2014).
e) Status Imunisasi
Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
lengkap pada anak balita. Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan
imunisasi yang penting. Sebelum berusia di atas dua tahun kelengkapan imunisasi
telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.
Status imunisasi ini juga merupakan faktor risiko ISPA. Pemberian imunisasi
(Kartiningrum, 2016).
Kalnins bahwa bayi yang di berikan MP-ASI dini sering mengalami ISPA di
bandingkan dengan bayi yang tidak di berikan MP-ASI dini. Hal ini di sebabkan
karena sistem imun pada bayi yang kurang dari 6 bulan sempurna, sehingga
jenis kuman penyakit, apalagi jika makanan di sajikan secara tidak higienis. Jenis
dengan ASI ekslusif, adapun jenis MP-ASI yang di berikan adalah air putih, susu
formula, dan makanan dos berupa Sun ada juga memberikan makanana trdisional
16
berupa papeda (bahannya dari pohon sagu atau pun dari sari ubi kayu). Jenis MP-
ASI yang paling banyak diberikan adalah susu formulah dan sering di berikan 1-3
kali sehari.
a) Kepadatan Hunian
yang tidak memenuhi syarat akan menghalangi proses pertukaran udara bersih
sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan akibatnya dapat menjadi
penyebab terjadinya penyakit ISPA. Hal ini diperberat apabila salah satu anggota
keluarga yang tidur di dalam ruangan yang sama dengan balita sedang menderita
penyakit ISPA, sehingga akan menularkan virus atau bakteri penyebab ISPA
kepada balita melalui udara yang dihirup oleh balita pada saat tidur (Nindya,
2005).
b) Ventilasi Rumah
masuk dan keluar. Ventilasi yang dibutuhkan untuk penghawaan didalam rumah
yakni ventilasi yang memiliki luas minimal 10% dari luas lantai rumah. Ventilasi
rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar
aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga,
menjadi racun. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap
17
dalam kelembaban yang optimum. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara
segar dapat dengan mudah masuk kedalam rumah sehingga kejadian ISPA akan
c) Jenis Lantai
Lantai rumah dari semen atau ubin, kermik adalah baik, namun tidak
cocok untuk kondisi ekonom pedesaan. Untuk lantai rumah di pedesaan cukup
tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada
musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai yang basah dan
kesehatan harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai rumah yang tidak kedap
air dan sulit dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan pertumbuhan
ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak. Saat ini
Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi / anak balitanya di
dapur yang penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar
kendaraan bermotor, bahan bakar minyak biasanya minyak tanah dan cairan
18
ammonium pada saat lahir . Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang
satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal
yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-
paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga
penyakit infeksi saluran pernafasan pada anak yang terdiri atas upaya pencegahan
sekarang sudah tersedia vaksin Hib dan vaksin pneumokokus konjugat untuk
bayi setiap hari karena ASI mengandung zat pelindung (kekebalan) yang
tubuh seperti antibodi. Semakin baik zat gizi yang dikonsumsi semakin
baik pula status gizi hingga kekebalan tubuhnya. Sistem kekebalan tubuh
Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling
hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5 tahun. Masa ini
pertumbuhan intelektual (Mitayani, 2010). Balita adalah anak yang berumur 0-59
bulan, pada masa ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita)
dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh
kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan
yang dimakan sehari-hari. Kebutuhan gizi balita dipengaruhi oleh umur, jenis
pemilihan makanan yang baik untuk mencapai hidup yang sehat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain ekonomi, sosial, budaya, kondisi kesehatan, dan lain
hidup anak di kemudian hari. Rendahnya daya tahan tubuh anak dan status gizi
yang tidak baik merupakan penyebab utama seringnya anak menderita suatu
21
lingkungan yang tidak sehat, sosial ekonomi, serta pola hidup yang salah
(Mulyani, 2013).
Kejadian malnutrisi akan menurunkan imuntas selular, kelenjar timus dan tonsil
menjadi atrofik dan jumlah T-limfosit berkurang, sehingga tubuh akan menjadi
lebih rentan terhadap terjadinya penyakit atau infeksi. Selain itu, kejadian
penyakit. Saluran napas yang normal secara fisiologis dapat menghalau agen
batuk dan meningkatnya jumlah cairan mukosa, namun pada anak yang
mengalami malnutrisi/status gizi kurang baik proses fisiologis itu tidak dapat
berjalan dengan baik, sehingga agen penyakit yang masuk tidak dapat dihalau
keluar dan akan terakumulasi dalam saluran napas dan di paru-paru (Febrianto,
2015).
Status gizi yang baik pada balita sangat diperlukan karena dapat terhindar
dari penyakit penyakit seperti ISPA. Status gizi baik dapat dicapai jika asupan gizi
penelitian yang dilakukan oleh Febrianto Wahyu (2015) frekuensi kejadian ISPA
22
pada balita dengan status gizi kurang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang
memiliki status gizi baik. Hal ini disebabkan balita yang mempunyai status gizi
baik akan mempunyai daya tahan (antibodi) yang lebih, sehingga dapat mencegah
penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu.
Semakin lengkap imunisasi akan semakin bertambah daya tahan tubuhnya. Secara
dengan cara imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan memberi kekebalan yang
lebih lama. Imunisasi pasif diberikan hanya dalam keadaan yang sangat
mendesak, yaitu bila diduga tubuh anak belum mempunyai kekebalan ketika
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Hartati (2003) yang menyebutkan
bahwa imunisasi yang diberikan pada bayi secara langsung akan menjadi daya
kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit termasuk salah satunya adalah ISPA.
imunisasi yang diberikan secara lengkap akan bekerja lebih optimal dalam
yang tidak lengkap cenderung hanya memproteksi bayi dari penyakit tertentu saja
(Imelda, 2017).
23
karena menurut badan kesehatan dunia (WHO) rokok merupakan zat adiktif yang
memiliki kandungan kurang lebih 4000 elemen, dimana 200 elemen di dalamnya
berbahaya bagi kesehatan tubuh menambahkan bahwa racun yang utama dan
berbahaya pada rokok antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida. Racun
disekitarnya atau perokok pasif. Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk
asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika
perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh
perokok disebut asap utama, dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang
terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini
utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin
3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai
dibanding dengan kadar asap utama (Umami, 2010 dalam Milo, et al., 2015).
perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya
7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di
24
dalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi
Salah satu bahan bakar yang sebagian besar digunakan oleh masyarakat
pedesaan adalah bahan bakar biomass atau kayu bakar. Mengingat bahwa daerah
bahan bakar, selain daripada itu bahan bakar ini sangat murah dan mudah.
Tingginya ISPA di sini salah satu penyebabnya karena dapur yang letaknya di
dalam rumah, dimana paparan asap dapur yang menggunakan biomass sangat
seperti kanker paru-paru, asma, tuberkulosis, katarak, jantung, bayi lahir dengan
anak. Menurut Smith, bahwa bukan kayu sebagai penyebab utama masalah
dampak yang sama seperti rokok bahkan lebih berbahaya lagi karena asap ini
jumlahnya sangat banyak. Senyawa yang dihasilkan dari kayu bakar ini sama
balita.
Heru Hubungan Hasil analisis bivariat Fokus 1.Lokasi
Padmon Faktor- menunjukkan bahwa ada penelitian, penelitian,
obo, Faktor korelasi antara kejadian yaitu ada yaitu
Onny Lingkungan pneumonia pada anak di bawah satu fokus dilakukan di
Setiani, Fisik lima tahun dengan jenis dinding, penelitian Kabupaten
Tri Joko Rumah jenis lantai, pencahayaan alami, yang sama Brebes
dengan kepadatan perumahan, luas yaitu
Kejadian ventilasi, insulasi dapur, ruang mencari
Pneumonia kelembaban dan suhu kamar hubungan
pada Balita balita. Dengan Odds Ratio (OR) kepadatan
di Wilayah dalam urutan: 3,034 (p = 0,003); perumahan
Kerja 2.635: 2.202: 2.234: 2.218: dengan
Puskesmas 2.517: 2.872 dan 3.390. Hasil uji kejadian
Jatibarang regresi logistik menunjukkan Pneumonia/
Kabupaten bahwa ada hubungan yang ISPA pada
Brebes signifikan antara kejadian Balita.
pneumonia pada bayi dengan
suhu ruangan, jenis dinding,
kamar yang luas dengan
ventilasi dan kelembaban secara
berurutan ATAU 4,380; 2,753;
2.734, dan 2.671.
28
Ada tiga faktor resiko yang mempengaruhi penyakit ISPA yaitu faktor
penanganan. Untuk faktor lingkungan dibagi menjadi empat yaitu ventilasi <10%
dari luas lantai rumah, asap rokok, kepadatan hunian, dan bahan bakar masak.
Dari keempat faktor ini akan membuat kelembaban udara meningkat sehingga
meningkat ini akan menyerang anak yang rentan terhadap infeksi, sehingga
menyebabkan anak tersebut terkena penyakit ISPA. Untuk faktor individu anak
dibagi menjadi empat yaitu usia dibawah lima tahun (bayi, balita/anak
prasekolah), status gizi yang buruk, status imunisasi tidak lengkap, dan berat
badan lahir rendah. Dari keempat faktor ini akan membuat anak rentan terhadap
infeksi sehingga anak tersebut mudah terkena penyakit ISPA. Sementara untuk
faktor perilaku pencegahan dan penanganan maksudnya yaitu jika tidak ada
bentuk pencegahan dan penanganan yang baik, tepat dan cepat, baik untuk faktor
lingkungan maupun faktor individu anak maka kemungkinan besar akan membuat
Ventilasi
<10% dari
luas lantai
rumah
Berat badan
lahir rendah
ISPA
Status Gizi
Status Imunisasi
Kejadian ISPA
Keberadaan Anggota pada Balita
Keluarga Yang Merokok
Keterangan:
: Variabel Bebas
: Variabel Terikat
adalah:
1. H0 : tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian infeksi saluran
Tahun 2018.
Tahun 2018.
31
Tahun 2018.
METODE PENELITIAN
cross sectional study yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran
variabel dependen dan variabel independen dinilai pada satu saat menurut keadaan
pada waktu observasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang
berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/ subjek yang
Kabupaten Muna yang terdaftar pada bulan oktober – bulan desember 2018
32
33
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian subyek yang diambil dari populasi untuk diteliti
yang dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah
balita usia 12-59 bulan yang terdaftar di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna.
a. Besar Sampel
Besar sampel untuk studi cross sectional dalam penelitian ini dihitung
N Z 𝑃. 𝑞
𝑛=
d2 N − 1 + Z2 P . q
35,21
𝑛=
0,48 + 0,182
35,21
𝑛=
0,662
Keterangan :
q = 1 – P (0,95)
peneliti.
a. Kriteria Inklusi
b. Kriteria Eksklusi
Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik
variabel yang lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah status gizi, status
35
bakar biomass.
Variabel terikat adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh
variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada
3) Timbangan.
4) Alat tulis dan komputer, yaitu alat yang digunakan untuk mengolah yang
5) Dokumentasi.
1. Anak balita
Adalah anak balita yang berusia 12 bulan – 59 bulan pada saat dilakukan
penelitian.
a. Definisi Operasional
dengan adanya batuk, pilek, serak, demam, baik disertai nafas cepat
36
adanya diagnosa dari dokter atau medical record balita yang dipilih dari
petugas kesehatan.
b. Kriteria Objektif
seperti KMS.
- Tidak menderita : bila tidak ditandai dengan adanya batuk, pilek, serak,
sesak.
3. Status gizi
a. Definisi operasional
b. Kriteria objektif
4. Status imunisasi
a. Definisi operasional
b. Kriteria objektif
Campak, Hepatitis B)
- Tidak lengkap : jika tidak diberikan vaksin secara lengkap (BCG, DPT,
a. Definisi operasional
b. Kriteria objektif
a. Definisi operasional
yang berasal dari tumbuhan (kayu, sekam, jerami) yang bila digunakan
rumah.
b. Kriteria objektif
1. Data primer
kuesioner dan alat ukur untuk mendapatkan data mengenai kejadian ISPA,
2. Data Sekunder
Kabupaten Muna serta data lain yang ada hubungannya dengan penelitian
ini.
39
a. Pengolahan Data
komputer dan kalkulator, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan
b. Analisis Data
1) Analisis Univariat
2) Analisis Bivariat
dengan pengujian statistik yaitu dengan uji chi square pada taraf
Dimana :
𝑘 (𝑓𝑜− 𝑓
𝑋2 =
𝑖=1 𝑓
2
𝑋 = 𝐶𝑖 𝑘𝑢𝑎𝑑𝑟𝑎𝑡 𝑓𝑜
𝑓𝑜 = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖
0,05
b) H0 ditolak jika 𝑋 2 hitung ≥ X² tabel atau nilai signifikasi (P) < 0,05
1) Bila pada tabel kontigency 2x2 dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5,
2) Bila pada tabel kontigency 2x2 tidak dijumpai nilai e (harapan) kurang
3) Bila pada tabel kontigency yang lebih dari 2x2 misalnya 3x2, 3x3 dan
4) Bila pada tabel kontigency 3x2 ada sel dengan nilai frekuensi harapan
(e) kurang dari 5, maka akan dilakukan merger sehingga menjadi tabel
c. Penyajian Data
Penyajian data pada penelitian ini yaitu dilakukan dalam bentuk tabel
Kabupaten Muna yang terdiri dari 5 desa yang meliputi desa Bungi, desa Mabodo,
desa Kontunaga, desa Liabalano dan desa Masalili. Secara geografis Kecamatan
Kontunaga terletak di bagian selatan pada garis lintang 3 02° sampai 4 10°
Lintang selatan dan 22° Bujur Timur sampai dengan 40 12° Bujur Timur. Dari
berikut:
pelayanan kesehatan kepada masyarakat sejak tahun 1993, dengan alamat Jalan
Nomor 085313895513.
Adapun jumlah penduduk Kecamatan Kontunaga Tahun 2017 sebesar 7.551 jiwa,
dan Tersebar di 5 Desa yakni Desa Bungi 1796 orang, Desa Mabodo 1.337 orang,
42
43
Desa Kontunaga 1.211 orang, Desa Liabalano 2.057 orang dan Desa Masalili
1.313 orang. Jarak puskesmas dari kota kabupaten ± 10 km2, dengan waktu
tempuh 20 menit, sedangkan waktu tempuh terdekat adalah dari Desa Bungi
dengan waktu tempuh 15 menit dan yang terjauh yaitu dari Desa Liabalano
beberapa buah rumah dinas, Posyandu bayi dan balita, Posyandu lansia serta
1. Desa Bungi terdiri dari: 1 polindes, 2 posyandu bayi dan balita, dan 1
posyandu lansia.
2. Desa Mabodo terdiri dari: 1 perumahan dokter, 3 posyandu bayi dan balita, 1
posyandu lansia.
3. Desa Kontunaga terdiri dari: 1 pustu, 2 posyandu bayi dan balita, 1 posyandu
lansia.
5. Desa Masalili terdiri dari: 2 posyandu bayi dan balita, 1 posyandu lansia
2. Dua buah motor dinas, yang masing-masing di miliki oleh petugas malaria
a. Umur
b. Pendidikan
pada tabel 2:
c. Pekerjaan
tabel 3:
a. Umur Balita
4:
bulan.
47
b. Jenis Kelamin
5:
(43,4%).
c. Berat Badan
6:
kg.
gambaran mengenai distribusi responden dari variabel yang diteliti yaitu status
b. Status Gizi
status gizi baik yaitu sebanyak 41 responden (77,4%) dan sebagian kecil
c. Status Imunisasi
tabel 9:
responden (11,3%).
50
1 Ada 39 73,6
2 Tidak Ada 14 26,4
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019
status gizi, status imunisasi, keberadaan anggota keluarga yang merokok, dan
penggunaan bahan bakar biomass serta dependent variabel yaitu kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018 sesuai dengan
Hasil analisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018 dapat dilihat pada tabel 12:
Tabel 12. Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
Kejadian ISPA
Menderita Tidak Total
No Status ISPA menderita Pvalue
Gizi ISPA
n (%) n (%) n (%)
1 Gizi Baik 29 54,7 12 22,6 41 77,4
sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 5 responden (9,4%), sebaliknya dari
41 responden yang status gizinya baik, sebagian besar menderita ISPA yaitu 29
responden (22,6%).
Hasi Uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukan nilai
p value = 0,418 (p value > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara status gizi
Tahun 2018.
53
balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018 dapat dilihat pada
tabel 13:
Tabel 13. Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita
di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
Kejadian ISPA
Menderita Tidak Total
No Status ISPA menderita Pvalue
Imunisasi ISPA
n (%) n (%) n (%)
1 Lengkap 31 58,5 16 30,2 47 88,7
(9,4%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 1 responden (1,9%),
nilai p value = 0,391 (p value > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara
(58,5%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 8 responden (15,1%),
sebagian besar tidak menderita ISPA yaitu 9 responden (17%) dan sebagian
nilai p value = 0,003 (p value < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
(60,4%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 11 responden (20,8%),
sebagian besar tidak menderita ISPA yaitu 6 responden (11,3%) dan sebagian
nilai p value = 0,036 (p value < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
56
4.3 Pembahasan
4.3.1 Hubungan Status Gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
Gizi merupakan faktor yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari
serangan penyakit. Keadaan gizi merupakan refleksi persediaan gizi dalam tubuh.
persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
Dari hasil penelitian ini untuk melihat status gizi balita digunakan indeks
antropometri berat badan menurut umur (BB/U) sehingga diperoleh hasil yang
menunjukkan bahwa balita yang status gizinya baik lebih banyak dibandingkan
dengan balita yang status gizinya kurang. Berdasarkan kenyataan dilapangan hal
terdiri dari 3 anggota keluarga yaitu ayah, ibu, dan anak sehingga besar
keluarga terutama untuk balita akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang
gizinya akan lebih maksimal. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Nengsi (2017) yaitu besarnya keluarga juga termasuk salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi status gizi balita, dimana jumlah pangan yang tersedia untuk suatu
keluarga besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari
57
keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga
mudah didapatkan dipasar tradisional yang lokasinya tidak terlalu jauh dari
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor lain
yang dapat memperbesar resiko terjadinya ISPA yaitu balita sering terpapar asap
dari hasil pembakaran pada saat memasak dan terpapar asap rokok, ada anggota
keluarga yang lain mengalami ISPA, serta kondisi fisik rumah yang tidak
(2015) yang mengatakan bahwa penyebab ISPA bukan hanya dari status gizi saja,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti terpapar atau tidaknya dengan
polusi. Balita dengan status gizi yang baik tetap bisa mengalami ISPA karena
(Pb), Besi (Fe), Mangan (Mn), Arsen (Ar), Cadmium (Cd) yang dapat
dalam tubuh akan menyebabkan sel epitel dan silianya mudah rusak sehingga
benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan tidak dapat dikeluarkan.
Dengan demikian, saluran pernapasan akan mengerut yang disebabkan oleh saraf-
diberikan tubuh bila mengalami keadaan tersebut adalah mengeluarkan sekret atau
Menurut Wang., et al (2009), seorang yang bukan perokok tetapi menghisap asap
rokok paling tidak 15 menit dalam satu hari selama satu minggu dikategorikan
sebagai perokok pasif. Asap rokok lebih berbahaya bagi perokok pasif dari pada
perokok aktif. Semakin lama balita terpapar asap rokok setiap hari maka semakin
tinggi risiko balita terkena ISPA karena asap rokok mengganggu sistem
pertahanan respirasi. Hal ini didukung oleh Corwin (2009) yang mengatakan
Depkes RI (2008) juga menambahkan akibat asap rokok seseorang bisa mengidap
rokok. Selain itu, bahaya asap rokok pada perokok pasif 3 kali lebih besar dari
kondisi rumah terlalu lembab, kondisi konstruksi dinding tidak kuat atau lapuk
pandang, terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca, rata dan dilengkapi
dengan ventilasi untuk sirkulasi udara. Dinding rumah yang baik menggunakan
tembok, rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat
al (2015), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,061 yang berarti
bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
penelitian yang dilakukan oleh Kartiningrum (2016), dengan hasil uji Chi-Square
diperoleh nilai p = 0.743 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara status gizi
dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Kembang Sari Kecamatan Jatibanteng
kekebalan seseorang secara aktif terhadap penyakit, sehingga bila suatu saat
terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
Dari hasil penelitian ini untuk melihat status imunisasi balita yaitu
dengan melihat buku catatan KMS (kartu menuju sehat) balita yang masih
disimpan oleh ibu balita dan juga melihat catatan imunisasi balita di puskesmas
jika ibu balita lupa dimana mereka terakhir tempatkan KMS atau buku catatan
tersebut telah rusak atau hilang. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
balita yang status imunisasinya lengkap lebih banyak dibandingkan dengan balita
yang status imunisasinya tidak lengkap, hal ini disebabkan karena sebagian besar
badan balitanya cukup tinggi dan juga karena dorongan keluarga dan tetangga
antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena masih tingginya
diakibatkan karena belum ada vaksin yang dapat mencegah ISPA secara langsung.
Hal ini sejalan dengan teori Taisir (2005) yang mengatakan bahwa hubungan
61
status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita tidak secara langsung.
merupakan faktor risiko ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi
terhadap ISPA secara langsung melainkan hanya untuk mencegah faktor yang
Penyebab ISPA tidak dari faktor kekebalan tubuh atau imunitas saja,
masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya ISPA. Faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya ISPA antara lain usia, jenis kelamin, dan yang
paling penting lingkungan (Wantania, et al., 2012). Dari beberapa faktor ini akan
saling berpengaruh satu sama lain, sehingga ISPA dapat terjadi terus menerus
minimal 3 kali dalam 1 tahun. Selain itu, salah satu agen infeksius penyebab ISPA
dalam hal ini virus, juga berperan dalam terjadinya ISPA yang tidak dapat
dihindari dalam 1 tahun. Antigen virus yang merupakan sasaran dari antibodi
berjumlah sangat besar yang terdiri atas galur yang berbeda genetiknya. Variasi
antigen virus tersebut, menjadikan virus dapat resisten terhadap respon imun yang
vaksinasi spesifik terhadap virus tersebut. Sehingga kita tidak dapat menghindari
lengkap balita masih beresiko mengalami ISPA karena terdapat juga beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA yaitu paparan dari virus, dan
62
bakteri. Menurut Hasan (2012), faktor lingkungan tempat tinggal anak dapat
berpengaruh pada kejadian ISPA, dibutuhkan kualitas rumah tinggal yang baik
serta memenuhi syarat kesehatan untuk menjaga lingkungan tetap sehat. Kualitas
rumah tinggal yang baik ditentukan oleh jenis bahan bangunan yang digunakan,
Pada penelitian ini, ada satu balita yang status imunisasinya tidak
lengkap tetapi tidak menderita ISPA. Hal ini disebabkan karena kondisi fisik
rumah balita yang nyaman, tidak ada polusi asap didalam rumah karena dapur
dan juga tidak ada anggota keluarga yang merokok. Hal ini sesuai dengan teori
fisik rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
kesehatan akan rendah demikian sebaliknya. Oleh karena itu kondisi lingkungan
(2016), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,472 yang berarti bahwa
tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak balita
yang dilakukan oleh Tatawi (2013), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p
= 0,526 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan
balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta
akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang
timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan paru-paru pada saat
mengetahui ada tidaknya anggota keluarga balita yang merokok, dan jika ada
apakah anggota keluarga balita tersebut merokok disekitar balita atau tidak. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa balita yang ada anggota keluarganya yang
merokok lebih banyak dibandingkan dengan balita yang tidak ada anggota
keluarganya yang merokok. Berdasarkan pernyataaan ibu balita hal ini disebabkan
karena anggota keluarga yang merokok tersebut yang hampir semua adalah ayah
dari balita mengatakan bahwa dengan merokok dapat menghilangkan rasa lelah
saat habis bekerja yang kebanyakan dari mereka bekerja diperkebunan dan juga
sudah kebiasaan dari dulu yang susah untuk dihilangkan. Selain itu kurangnya
merokok bagi dirinya maupun orang disekitarnya terutama bagi balitanya, hal ini
dapat dilihat dari kebiasaan anggota keluarga yang merokok didalam rumah pada
keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena
tingginya penderita ISPA pada balita yang ada anggota keluarganya yang
merokok dibandingkan balita yang tidak ada anggota keluarganya yang merokok.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan kenyataan dilapangan, hal ini
disebabkan karena balita terpapar asap rokok dikarenakan anggota keluarga balita
yang merokok tersebut merokok didalam rumah dan kondisi ventilasi dalam
rumah balita tersebut tidak mendukung untuk masuk keluarnya udara di dalam
ruangan sehingga memperbesar paparan asap rokok didalam rumah. Hal ini sesuai
merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai perokok pasif yang
selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan
dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah.
menjadi perokok pasif (Wahyu, 2008). Udara yang tercemar oleh perokok akan
perokok atau lebih yang merokok di dalam rumah akan memperbesar resiko
65
resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita (Epa Development,
2009).
Bahan kimia yang berasal dari asap rokok merangsang permukaan sel
dengan rangsangan debu, virus atau bakteri pada saat flu. Bedanya adalah bahwa
dahak yang ditimbulkan karena virus flu akan di dorong keluar oleh debu getar
yang disebabkan oleh pengaruh asap rokok yang lama tertahan di saluran
pernapasan karena tidak dapat menstimulasi reflek batuk dapat menjadi tempat
termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang memiliki daya tahan
tubuh lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka balita lebih cepat terganggu
(2015), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,002 yang berarti bahwa
ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Sario Kota Manado. Demikian pula sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Putri dan Irdawati (2017), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p
= 0,018 yang berarti terdapat hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang
merokok denngan kejadian pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Wilayah Kerja
berpengaruh terhadap faktor risiko kejadian ISPA yang dimana bahan bakarnya
banyak mengeluarkan asap dan konstruksi rumah yang tidak memiliki ventilasi di
dapur yang menyebabkan asap lama tinggal di dapur maupun perilaku ibu
membawa anak ke dapur sehingga anak yang berada bersama ibu di dapur, anak
tersebut sering terpapar asap yang juga mengakibatkan gangguan pernapasan pada
mengetahui bahan bakar apa yang digunakan untuk memasak, letak dapur, ada
tidaknya ventilasi didapur, dan apakah pada saat memasak ibu balita membawa
balitanya kedapur atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah
responden yang masih menggunakan bahan bakar biomass untuk memasak lebih
biomass untuk memasak, hal ini disebabkan karena banyak dari warga disana
yang lebih memilih kayu sebagai bakar untuk memasak, karena bahan bakar kayu
menggunakan kompor gas atau kompor minyak tanah. Bahan bakar kayu dilokasi
penelitian ini mudah didapat karena kawasannya masih banyak terdapat hutan
mengering untuk dijadikan bahan bakar memasak yang lokasi untuk mengambil
ranting pohon tersebut tidak terlalu jauh dari rumah warga. Selain itu warga juga
67
memperoleh bahan bakar kayu dengan membeli dan memesannya secara langsung
pada penjual kayu bakar yang harganya tidak terlalu mahal dibandingkan dengan
membeli minyak tanah atau gas. Biasanya hal ini terjadi pada saat musim
penghujan yang pada saat musim ini kayu bakar yang kering susah didapat.
penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena tingginya
penderita ISPA pada balita yang masih menggunakan bahan bakar biomass
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan bahan bakar biomass. Hal ini
sesuai dengan teori Sukar (1996) yaitu kejadian ISPA lebih banyak diderita oleh
balita pada rumah tangga yang menggunakan bahan bakar dengan emisi asap yang
banyak (kayu api dan minyak tanah) dibandingkan rumah yang menggunakan
bahan bakar yang sedikit asapnya (LPG). Hal ini dikarenakan asap merupakan
salah satu agen atau penyebab terjadinya ISPA pada balita. Asap dari penggunaan
bahan bakar di rumah merupakan sumber utama polusi di udara. Sumber polusi
risiko kejadian ISPA pada balita dalam rumah tersebut. hal ini terlihat dari jumlah
penderita ISPA yang lebih banyak diderita oleh balita pada rumah tangga yang
lebih banyak penggunaan bahan bakarnya. Semakin banyak bahan bakar yang
digunakan, maka semakin tinggi pula jumlah polutan dalam rumah yang akan
mengganggu sistem pernapasan balita. Asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
68
biomass untuk memasak letak dapur berada didalam rumah dan ibu balita sering
tersebut terkena penyakit ISPA karena sering terpapar asap dari hasil pembakaran
bahan bakar biomass. Hal ini sesuai dengan teori Singga dan Maran (2013) yaitu
kejadian ISPA erat kaitanya dengan faktor resiko yaitu kondisi lingkungan rumah
dan perilaku. Yang dimaksud dengan kondisi rumah adalah letak dapur dengan
ruang keluarga dekat, terdapat asap di dalam rumah saat memasak, ruang dapur
dengan ruang makan di gabung dan tidak ada lubang ventilasi di dapur.
Sedangkan faktor perilaku adalah kebiasaan ibu membawa anak ke dapur saat
bakar dalam rumah tangga penderita ISPA. Contohnya kebiasaan ibu membawa
anak ke dapur, akan meningkatkan risiko kejadian ISPA pada balita tersebut
sebagai akibat dari seringnya balita terpapar polutan dari hasil pembakaran
didapur. Demikian juga dengan kondisi rumah yang dapurnya dekat dengan ruang
keluarga, ruang makan dan dapur digabung serta tidak adanya ventilasi akan
meningkatkan risiko kejadian ISPA pada balita dirumah tangga tersebut. Pada
bakar dalam rumah akan lebih tinggi. Tingginya polusi dalam rumah dengan
ISPA. Teori yang dikemukakan oleh Hugo (2014) menambahkan bahwa balita
yang terpajan oleh pencemaran dari hasil pemakaian kayu bakar untuk memasak
dan kebiasaan membawa balita kedapur dapat menyebabkan balita terkena resiko
2,3 kali lebih besar mengalami penyakit ISPA dibandingkan balita yang tidak
selalu dibawa kedapur menerima resiko 1,5 kali dibandingkan dengan yang tidak
terkena pajanan asap dari kegiatan memasak didapur. Polusi udara dalam ruangan
yang disebabkan paparan asap dari kegiatan memasak dengan pemakaian bahan
yang berarti terdapat hubungan antara penggunakan jenis bahan bakar biomass
denngan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Desa Kore Kecamatan
Sanggar Kabupaten Bima Tahun 2014. Demikian pula sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rosana (2016), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p
= 0,003 yang berarti terdapat hubungan antara penggunakan jenis bahan bakar
biomass denngan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Blado 1.
variabel lainnya yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita yang
tidak diteliti.
agar memperbanyak jumlah sampel sehingga variabel status gizi dan status
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
2. Tidak ada hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di
4. Ada hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian ISPA pada
5.2 Saran
bergizi dan cukup energi untuk anaknya, aktif dalam mengikuti kegiatan
anak balita dan lebih aktif dalam mencari informasi tentang gizi balita melalui
71
72
informasi lainnya.
anak untuk mendapatkan imunisasi dasar, dan keluarga khususnya suami ikut
3. Diharapkan anggota keluarga yang merokok tidak berada di dekat balita dan
bagi yang menggunakan kayu bakar, gunakanlah kayu bakar yang benar-
benar kering dan pastikan kayu tersebut terbakar secara sempurna, agar tidak
Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Almira. 2017. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Siantan Hilir.
Jurnal ProNers. Vol. 2. No. 2. Hal. 1-10.
73
Hariani. 2014. Hubungan status imunisasi, status gizi, dan asap rokok dengan
kejadian ISPA pada anak di puskesmas Segeri Pangkep.
Hasan, N.R. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita Di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur,
Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah.
Hersoni, S. 2018. Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif Terhadap
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Rab Rsu Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan
Bakti Tunas Husada. Vol. 18. No. 1. Hal. 79-87.
Hidayatullah, L.M., Y. Helmi, dan H. Aulia. 2016. Hubungan Antara
Kelengkapan Imunisasi Dasar dan Frekuensi Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita yang Datang Berkunjung ke
Puskesmas Sekip Palembang 2014. Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan. Vol. 3. No. 3. Hal. 182-193.
Hugo, M. 2014. Pajanan Asap Dalam Rumah Terhadap Kejadian Ispa
Nonpneumonia Pada Anak Balita Di Kabupaten Kapuas. Jurnal
Kesehatan Reproduksi. Vol. 1. No. 1. Hal. 80-89.
Imelda. 2017. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh Besar.
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol. 5. No. 2. Hal. 90-96.
74
Luange, B., A.Y. Ismanto, dan M.Y. Karundeng. 2016. Hubungan Pemberian
Makanan Pendamping ASI (Mp-ASI) Dini dengan Kejadian Ispa Pada
Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas Moti Kota Ternate. e-journal
Keperawatan. Vol. 4. No. 1. Hal. 1-7.
Milo, S., A.Y. Ismanto, dan V.D. Kallo. 2015. Hubungan Kebiasaan Merokok Di
Dalam Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di
Puskesmas Sario Kota Manado. ejournal Keperawatan. Vol. 3. No. 2.
Hal. 1-7.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Mitayani. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta: CV Trans Info Media.
Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Nindya, T.S. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian ISPA. Surabaya:
FKM UNAIR.
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
2010. Metedeologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
2011. Kesehatan Masyarakat (Ilmu & Seni). Jakarta: Rineka Cipta.
Poetra, R.P. 2018. Hubungan Kamarisasi Dan Bahan Bakar Biomassa Terhadap
Kejadian Infeksi Pernafasan Akut Pada Anak Balita. JMK Yayasan RS
Dr Soetomo. Vol. 4. No. 2. Hal. 163-169.
Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
Profil Kesehatan Kabupaten Muna Tahun 2017.
Putra, A.S. 2014. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Status Imunisasi
Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Pariaman Kelurahan
Pauh Barat Di Kota Pariaman Tahun 2014. LPPM Stikes Yarsi. Vol. 3.
No. 2. Hal. 1-9.
Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta.
Rahmayatul, F. 2013. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada
Balita. Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
75
Setiasih, E. 2011. Analisis Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Gizi Anak Usia (1 – 5 Tahun) Di Posyandu Cempaka Desa Ngrembel
Kelurahan Gunungpati Kota Semarang. Jurnal Keperawatan. Vol. 4.
No. 2. Hal. 147-170.
Syarif, S.W. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut Pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tarakan Kota Makassar Tahun 2009. FKM Unhas.
Singga, S. dan A.A. Maran. 2013. Penggunaan Bahan Bakar Dan Faktor Risiko
Kejadian Ispa Pada Balita Di Kelurahan Sikumana. Jurnal Info
Kesehatan. Vol. 11. No. 1. Hal. 348-355.
Sofia. 2017. Faktor Risiko Lingkungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Aceh
Nutrition Journal. Vol. 1. No. 2. Hal. 43-50.
South, S. 2016. Hubungan Status Gizi Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Ratatotok. E-Jurnal Sariputra. Vol. 3. No. 2. Hal. 48-55.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukar. 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA
Pnemonia. Bandung: Buletin Penelitian Kesehatan.
Sumarmi. 2014. Analisis Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian TB
Paru BTA Positif Di Puskesmas Kotabumi II, Bukit Kemuning dan
Ulak Rengas Kab. Lampung Utara Tahun 2012. Jurnal Kedokteran
Yarsi. Vol. 2. No. 22. Hal. 082-101.
Sutomo, B., dan Anggraini, D. W. 2010. Menu Sehat Alami Untuk Batita dan
Balita. Jakarta: PT Agro Media Pustaka.
Taisir. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapaktuan Aceh
Selatan Tahun 2005. Medan : FKM USU.
Trisnawati, Y. dan Juwarni. 2012. Hubungann Perilaku Merokok Orang Tua
Dengan kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Rembang Kabupaten Purbalingga. Akademi Kebidanan YLPP
Purwokerto. Vol. 6. No. 1. Hal. 35-42.
Utami, S. 2013. Studi Deskriptif Pemetaan Faktor Resiko ISPA Pada Balita
Usia 0-5 Tahun Yang Tinggal Di Rumah Hunian Akibat Bencana Lahar
Dingin Merapi Di Kecamatan Salam Kabupaten Magelang. Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang.
76
Wahyu. 2008. Stroke Hanya Menyerang Orang Tua. Jakarta: Seri Kesehatan
Populer.
Wahyuningsih, S. 2017. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di
Wilayah Pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima.
Higiene. Vol. 3. No. 2. Hal. 97-105.
Wang C. P., Ma S. J., Xu X. F., et al., 2009. The prevalence of household second-
hand smoke exposure and its correlated factors in six countries of
China. http://www.pubmedcentral.nih.gov.
Wantania JM, Naning R, Wahani A. 2012. Infeksi respiratori akut. Dalam: Buku
ajar respirologi anak IDAI. Jakarta: EGC.
WHO. 2015. Acute Respiratory Infection. www.who.int. Diakses tanggal 15
Desember 2018.
Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta: EGC.
Yuliastuti, E. 2014. Hubungan Status Gizi Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian
Ispa Pada Balita. Dinamika Kesehatan. Vol. 5. No. 2. Hal. 87-97.
77
LAMPIRAN
LAMPIRAN
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN
A. Data Demografi
Kode Responden :
Petunjuk Pengisian :
responden.
Nama :
Umur :
SMP SMA
D1-D3/Perguruan Tinggi
Wiraswasta Buruh/Petani/Nelayan
1. Nama :
Perempuan
3. Umur : Tahun
4. Berat Badan : kg
1. Apakah dalam 3 bulan terakhir balita anda pernah batuk, pilek, serak,
a. Ya (lanjut no.2,3,4)
a. Ya b. Tidak
4. Apakah selama batuk, pilek balita anda memiliki gangguan seperti demam,
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
9 bulan Campak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Kayu
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
1. Karakteristik Responden
Statistics
Jenis_Kelami
Umur_Ibu Umur_Balita n Berat_Badan Pendidikan Pekerjaan
N Valid 53 53 53 53 53 53
Missing 0 0 0 0 0 0
Umur_Ibu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Umur_Balita
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Jenis_Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Statistics
Keberadaan_A
nggota_Keluar Penggunaan_B
Status_Imunisa ga_Yang_Mero ahan_Bakar_Bi
Kejadian_ISPA Status_Gizi si kok omass
N Valid 53 53 53 53 53
Missing 0 0 0 0 0
Kejadian_ISPA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Status_Gizi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Status_Imunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Penggunaan_Bahan_Bakar_Biomass
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cases
Status_Gizi *
53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA
Status_Imunisasi *
53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA
Keberadaan_Anggota_Kel
uarga_Yang_Merokok * 53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA
Penggunaan_Bahan_Baka
r_Biomass * 53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA
Status_Gizi * Kejadian_ISPA
Crosstab
Count
Kejadian_ISPA
Status_Gizi Baik 29 12 41
Kurang 7 5 12
Total 36 17 53
Chi-Square Tests
a
Pearson Chi-Square .655 1 .418
b
Continuity Correction .210 1 .647
Linear-by-Linear
.643 1 .423
Association
b
N of Valid Cases 53
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,85.
Status_Imunisasi * Kejadian_ISPA
Crosstab
Count
Kejadian_ISPA
Status_Imunisasi Lengkap 31 16 47
Tidak Lengkap 5 1 6
Total 36 17 53
Chi-Square Tests
a
Pearson Chi-Square .737 1 .391
b
Continuity Correction .155 1 .693
Linear-by-Linear
.723 1 .395
Association
b
N of Valid Cases 53
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,92.
Keberadaan_Anggota_Keluarga_Yang_Merokok * Kejadian_ISPA
Crosstab
Count
Kejadian_ISPA
Keberadaan_Anggota_Keluar Ada 31 8 39
ga_Yang_Merokok
Tidak Ada 5 9 14
Total 36 17 53
Chi-Square Tests
a
Pearson Chi-Square 9.060 1 .003
b
Continuity Correction 7.162 1 .007
Linear-by-Linear
8.889 1 .003
Association
b
N of Valid Cases 53
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,49.
Penggunaan_Bahan_Bakar_Biomass * Kejadian_ISPA
Crosstab
Count
Kejadian_ISPA
Penggunaan_Bahan_Baka Menggunakan 32 11 43
r_Biomass
Tidak Menggunakan 4 6 10
Total 36 17 53
Chi-Square Tests
a
Pearson Chi-Square 4.411 1 .036
b
Continuity Correction 2.973 1 .085
Linear-by-Linear
4.328 1 .037
Association
b
N of Valid Cases 53
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,21.
DOKUMENTASI