Anda di halaman 1dari 119

HALAMAN JUDUL

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI


SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI PUSKESMAS MABODO KABUPATEN MUNA
TAHUN 2018

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana


Kesehatan Masyarakat

Oleh :

RAMLAH

J1A1 15 102

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGAJUAN

ii
HALAMAN PENGESAHAN

iii
LEMBAR KEASLIAN

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu„alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan memanjatkan puji syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah

Subhanawata‟ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018” sebagai syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Halu Oleo Kendari.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini

banyak hambatan dan tantangan yang didapatkan. Namun atas bantuan dan

bimbingan serta motivasi yang tiada henti-hentinya disertai harapan yang optimis

dan kuat sehingga dapat mengatasi semua itu.

Jika dalam skripsi ini terdapat adanya kekurangan, baik dalam hal

sistematika, pola penyampaian, bahasa maupun materi yang diluar kemampuan

penulis, hal itu tidak terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa.

Sehingga saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi

kesempurnaan skripsi ini.

Teristimewa saya menyampaikan rasa hormat yang tulus dan terima kasih

yang tak terhingga kepada ibunda saya tercinta, Wa Ridi yang selalu sabar, ikhlas,

penuh pengorbanan, memberikan motivasi dan dukungan materi dalam

menempuh pendidikan saya, kasih sayang, doa yang selalu dipanjatkan untuk

mengiringi setiap langkah saya, serta terus memberikan semangat agar saya dapat

menyelesaikan kuliah tepat waktu.

v
Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan

terima kasih kepada Bapak Drs. H. Junaid, M.Kes. sebagai Pembimbing I dan Ibu

Fithria,S.KM.,M.H.S sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu

dan pikirannya dalam mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Almarhum ayah saya tercinta, Hamid Abdullah yang telah membimbing,

mendidik, memberikan kesempatan dan do‟anya kepada saya di surga

sana.

2. Semua saudara-saudariku tersayang Rasni, Limin, Rahman, Dewi, Diana,

Rahmun yang telah memberikan motivasi, kasih sayang, serta doa seluruh

keluarga besar yang memberikan dukungan dan semangat kepada penulis

selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Halu Oleo.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Sc Rektor Universitas

Halu Oleo dan Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S mantan Rektor

Univeristas Halu Oleo.

4. Bapak Dr. Yusuf Sabilu., M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Halu Oleo.

5. Para Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu

Oleo Kendari.

6. Ibu Dr. Asnia Zainuddin, M. Kes selaku Ketua Jurusan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo.

7. Dosen Pengajar dan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah

vi
banyak memberikan dukungan dan bimbingan selama mengikuti

pendidikan.

8. Ibu Dra. Hj. Sartiah Yusran, M.Sc. Ed., Ph.D M.Kes, ibu Lisnawaty,

S.KM., M.Kes dan ibu Dhuha Itsnanisa Adi, S.Gz., M.Kes yang telah

digantikan oleh ibu Renni Meliahsari, S.Gz., M.Kes selaku penguji yang

telah memberikan masukan dan saran yang membangun demi

penyempurnaan isi tugas akhir penelitian ini.

9. Kepala Puskesmas La Ode Mpoleka, S.Kep beserta Jajarannya dan seluruh

Responden yang telah memberikan izin dan membatu penelitian penulis.

10. Teman-Teman seperjuangan bersama mengejar gelar S.KM Delima, Neka,

Masniati terimakasih atas motivasi, dorongan, bantuan, dan kenangan

yang telah kita lalui.

11. Terimakasih untuk saudari Neno Ambarwati dan Uly yang telah

memberikan motivasi, ide, pemikiran, gagasan, dan bantuan setiap kali

penulis butuhkan.

12. Teman-teman seperjuangan kelas B Neno, Purnama, Yani, Mayar, Ika,

Mega, Mimin, Neli, Uyun, Oca, Ida, Nina, Mey, Rina, Masda, terima

kasih untuk semangat serta motivasi, dukungan moril, kekompakan dan

kenangannya.

13. Seluruh teman-teman seperjuangan kelas Gizi yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu terima kasih untuk semangat serta motivasi,

dukungan moril, kekompakan dan kenangannya.

14. Teman-teman PBL Kelurahan Lembo Candra, Rendi, Nenowaty, Ul ul,

vii
Fitri, Anita, Utaran, Fatimah, Ningsih terimakasih untuk semuanya.

15. Teman-teman KKN Reguler 2018 Desa Baku-baku Kec. Wawonii Selatan

Ka Sakti, Ka Anas, Ka Iksan, Ka Basri, Ka Hilda, Ka Ezy, dan Jani yang

telah memberikan banyak cerita dan pengalaman yang luar biasa selama

31 hari serta kenangannya , terimakasih untuk semuanya.

16. Teman-teman SMAN 2 Raha, SMPN 5 Raha, dan SDN 14 Katobu Mini,

Ririn, Ramna, Emba, Lina, Nining, Nani, Ayan, Natija, dan yang lain

terimakasih sudah memberikan semangat dan motivasi selama ini.

17. Seluruh teman-teman Asrama Assariah, terimakasih sudah memberikan

banyak cerita serta kenangannya yang indah. Susah, senang, tawa, sedih,

horror, kita lalui bersama, terimakasih untuk semuanya.

18. Serta terimakasih kepada kakak Ahmad Fahrozi yang sudah memberikan

semangat, motivasi kepada saya, sehingga saya bisa sampai ketitik ini.

Akhirnya penulis berdoa semoga Allah, SWT., selalu melindungi dan

melimpahkan rahmatnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dan

semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Aamiin.

Wassalamu „Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kendari, 10 April 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i


HALAMAN PENGAJUAN ...............................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................iii
LEMBAR KEASLIAN ......................................................................................iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................v
DAFTAR ISI .....................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................xv
ABSTRAK............................................................................................................xvi
ABSTRACT.........................................................................................................xvii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian .........................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ........................................................4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................5
1.4.1 Manfaat Praktis ........................................................................5
1.4.2 Manfaat Ilmiah ........................................................................5
1.4.3 Manfaat bagi Peneliti ...............................................................5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................5
1.6 Organisasi ........................................................................................6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7


2.1 Tinjauan Umum Tentang ISPA .........................................................7
2.2 Tinjauan Umum Tentang Balita .......................................................20
2.3 Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian ...................................21
2.4 Tinjauan Penelitian Sebelumnya .......................................................25
2.5 Kerangka Teori .................................................................................28
2.6 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................30
2.7 Hipotesis Penelitian ..........................................................................30

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................... 32


3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................32
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................32
3.3 Populasi dan Sampel.........................................................................32
3.3.1 Populasi ..................................................................................32
3.3.2 Sampel ....................................................................................33
3.3.3 Kriteria Restriksi......................................................................34
3.4 Variabel Penelitian ...........................................................................34
3.5 Instrumen Penelitian .........................................................................35

ix
3.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ........................................35
3.7 Jenis Data Penelitian.........................................................................38
3.8 Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data..........................................39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 42


4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................42
4.2 Hasil Penelitian ................................................................................44
4.3 Pembahasan......................................................................................56
4.4 Keterbatasan Penelitian ....................................................................69

BAB V. PENUTUP .............................................................................................. 71


5.1 Simpulan ..........................................................................................71
5.2 Saran ...............................................................................................71

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 73


LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Kerangka Teori................................................................. 29

2.2 Kerangka Konsep............................................................... 30

xi
DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Distribusi Responden Menurut Umur di Puskesmas


Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018................................. 44
2 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.............. 45
3 Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.............. 45
4 Distribusi Responden Menurut Umur Balita di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018................................. 46
5 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.............. 47
6 Distribusi Responden Menurut Berat Badan (BB) di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.............. 47
7 Distribusi Responden Menurut Kejadian ISPA Pada Balita
di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.......... 48
8 Distribusi Responden Menurut Status Gizi di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018................................. 49
9 Distribusi Responden Menurut Status Imunisasi di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.............. 49
10 Distribusi Responden Menurut Keberadaan Anggota
Keluarga yang Merokok di Puskesmas Mabodo Kabupaten
Muna Tahun 2018.................................................................. 50
11 Distribusi Responden Menurut Penggunaan Bahan Bakar
Biomass di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun
2018....................................................................................... 51
12 Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.............. 52
13 Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada

xii
balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun
2018....................................................................................... 53
14 Hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018............................................... 54
15 Hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018............................................... 55

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ................................................................ Terlampir

2 Master Tabel Penelitian............................................................ Terlampir

3 Output Master Tabel Hasil Penelitian....................................... Terlampir

4 Surat Izin Penelitian Fakultas................................................... Terlampir

5 Surat Izin Penelitian Litbang.................................................... Terlampir

6 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian......................... Terlampir

7 Dokumentasi ............................................................................ Terlampir

xiv
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti dan Keterangan

ASI Air Susu Ibu

Baduta Bayi dibawah dua tahun

BBLR Berat Badan Lahir Rendah

Depkes Departemen Kesehatan

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Kemenkes Kementerian Kesehatan

KMS Kartu Menuju Sehat

MP-ASI Makanan Pendamping ASI

Posyandu Pos Pelayanan Terpadu

PPI Program Pengembangan Imunisasi

Riskesdas Riset Kesehatan Dasar

WHO World Health Organisation

xv
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI
SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI PUSKESMAS MABODO KABUPATEN MUNA
TAHUN 2018

Ramlah
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Halu Oleo

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit menular


yang menjadi penyebab utama kematian pada anak usia < 5 tahun di dunia.
Hampir 7 juta anak meninggal akibat ISPA setiap tahun. Di Indonesia, ISPA
masih menjadi masalah kesehatan utama dan merupakan penyebab utama
kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan
kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna tahun 2018. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dengan menggunakan pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna yang terdaftar
pada bulan oktober – bulan desember 2018 dan sampelnya diambil secara
purposive sampling sebanyak 53 balita. Data dianalisis dengan Chi-square dengan
95%. Hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara status gizi (p value
= 0,418), status imunisasi (p value = 0,391) dan ada hubungan antara keberadaan
anggota keluarga yang merokok (p value = 0,003), penggunaan bahan bakar
biomass (p value = 0,036) dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018. Disarankan bagi tenaga kesehatan
(Puskesmas) hendaknya memberikan konseling kepada Ibu yang memiliki balita
di Puskesmas Mabodo yang mengalami penyakit ISPA untuk dapat mengurangi
tingkat terjadinya penyakit ISPA tersebut.

Kata kunci: ISPA, Balita, Faktor kejadian ISPA

xvi
FACTORS ASSOCIATED TO ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI)
INCIDENCE IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS IN MABODO
HEALTH CENTER MUNA DISTRICT 2018

Ramlah
Public Health Science Study Program Faculty Of Public Health
Halu Oleo University

ABSTRACT

Acute Respiratory Infection (ARI) is an infectious disease that is the leading cause
of death in children aged <5 years in the world. Every year, almost 7 million
children die because of ARI. In Indonesia, ARI was still a major health problem
and was a major cause of patient visited in Puskesmas (40% -60%) and hospitals
(15% -30%). This study aimed to determine the factors associated with the
incidence of acute respiratory infections (ARI) in chidren under five years in
Mabodo Health Center, Muna Regency in 2018.The type of study was quantitative
study with cross sectional study approach. The population in this study were all
chidren under five years in Mabodo Health Center, Muna Regency, registered in
October - December 2018 and the samples were taken by purposive sampling as
many as 53 chidren under five years. Data were analyzed by Chi-square with
95%. The results showed that there was no relationship between nutritional status
(p value = 0.418) or immunization status (p value = 0.391) with the incidence of
ARI in children under five years, but there was a relationship between the
presence of smoking family members (p value = 0.003), biomass fuel use (p value
= 0.036) with the incidence of ARI in children under five in Mabodo District
Muna Health Center in 2018. It was recommended that health workers
(Puskesmas) should provide counseling to mothers who have children under five
years at the Mabodo Community Health Center who have ARI to reduce the rate
of ARI disease.

Keywords: ARI, children under five years, ARI incidence factors

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian

bawah. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit menular

yang menjadi penyebab utama kematian pada anak usia < 5 tahun di dunia.

Hampir 7 juta anak meninggal akibat ISPA setiap tahun. Kasus terbanyak terjadi

di Bahamas (33%), Romania (27%), Timor Leste (21%), Afganistan (20%), Lao

(19%), Madagascar (18%), Indonesia (16%), dan India (13%) (WHO, 2015).

Di Indonesia, ISPA masih menjadi masalah kesehatan utama dan

merupakan penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan

rumah sakit (15%-30%) (Kemenkes RI, 2012). Angka cakupan penemuan ISPA

pada balita di Indonesia tahun 2014 tidak mengalami perkembangan berarti yaitu

berkisar antara 20%-30%. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan menjadi 63,45%

dan menjadi 65,27% pada tahun 2016. Adanya peningkatan cakupan pada tahun

2015 karena perubahan angka perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%, selain itu

ada peningkatan dalam kelengkapan pelaporan dari 83,08% pada tahun 2014

menjadi 91,91% pada tahun 2015 dan 94,12% pada tahun 2016 (Kemenkes RI,

2016).

Menurut data profil kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling sering berada dalam

daftar 10 (sepuluh) penyakit terbanyak di puskesmas maupun di rumah sakit.

1
2

Tahun 2013 di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat (6,67%) penderita ISPA dan

pada tahun 2014 di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat (4,49%) penderita ISPA

dan pada tahun 2015 terdapat (2,22%) penderita ISPA (Profil kesehatan Provinsi

Sulawesi Tenggara Tahun 2015).

Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Muna pada tahun 2012 jumlah

penderita ISPA pada balita sebanyak 2.525 orang, tahun 2013 sebanyak 1.912

orang, tahun 2014 sebanyak 1.805, dan pada tahun 2015 sebanyak 1.700 orang.

Sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 522 kasus dan tahun 2015 penderita ISPA

Pneumonia pada balita tercatat sebanyak 328 kasus. Berdasarkan Profil salah satu

Puskesmas yang ada di Kabupaten Muna yaitu Puskesmas Mabodo tahun 2017

angka kejadian ISPA di Puskesmas tersebut berada di urutan pertama pada

sepuluh penyakit terbesar setiap tiga tahunnya yaitu tahun 2015 sebanyak 2902

kasus, tahun 2016 sebanyak 2488 kasus dan tahun 2017 sebanyak 2348 kasus.

Tingginya angka kejadian ISPA pada balita secara umum dipengaruhi oleh

faktor individu (umur, status gizi, imunisasi yang tidak lengkap, ASI eksklusif)

faktor perilaku (kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat

nyamuk). Faktor terjadinya ISPA terkait lingkungan fisik rumah (kepadatan

hunian, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis lantai, jenis dinding) faktor sosial

ekonomi (pendidikan orang tua, penghasilan orang tua) (Kartiningrum, 2016).

Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara status gizi dan ISPA karena status gizi mempengaruhi daya tahan

tubuh, dimana semakin rendah status gizi seorang balita maka semakin rendah

pula daya tahan tubuh balita tersebut, maka balita semakin rentan untuk terinfeksi
3

(Almira, 2017). Hasil ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa salah satu

faktor risiko yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit ISPA pada anak

adalah faktor status gizi. Anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok

umur yang rawan dengan gangguan gizi dan rawan terhadap penyakit serta telah

lama diketahui adanya interaksi senergis antara malnutrisi dan infeksi (Hadiana,

2013).

Berdasarkan penelitian Putra (2014) status imunisasi merupakan faktor

yang meningkatkan mortalitas ISPA. Bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi lengkap bila menderita ISPA perkembangan penyakitnya tidak akan

menjadi lebih berat. Karena sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA

yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti

difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan

besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Ketidaklengkapan imunisasi membuat

antibody aktif anak tidak terbentuk dan akan mudah terserang penyakit ISPA.

Faktor perilaku juga dapat memperbesar risiko terjadinya penyakit ISPA

pada balita salah satunya terdapat anggota keluarga yang merokok di dalam

rumah. Paparan Asap rokok bukan hanya menjadi penyebab langsung kejadian

ISPA pada balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat

melemahhkan daya tahan tubuh balita. Asap rokok dapat menurunkan

kemampuan makrofag membunuh bakteri. Asap rokok juga diketahui dapat

merusak ketahanan lokal paru, seperti kemampuan pembersihan mukosiliaris,

maka adanya anggota keluarga yang merokok terbukti merupakan faktor risiko
4

yang dapat menimbulkan gejala gangguan pernafasan pada anak balita

(Wahyuningsih, 2017).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA

di Puskesmas Mabodo khususnya pada balita.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka permasalahan yang akan

dibahas adalah faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten

Muna tahun 2018.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita

di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna tahun 2018.

2) Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada

balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna tahun 2018.


5

3) Untuk mengetahui hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok

dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna

tahun 2018.

4) Untuk mengetahui hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan

kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna tahun

2018.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dan

masukan bagi instansi terkait dalam melaksanakan untuk mengatasi kejadian

penyakit ISPA.

1.4.2 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk

pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan informasi untuk penelitian-

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA.

1.4.3 Manfaat bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian terkait dengan

kejadian penyakit ISPA.

1.5 Ruang lingkup Penelitian

Ruang lingkup lokasi penelitian hanya terbatas di Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna tahun 2018. Ruang lingkup penelitian hanya terbatas untuk
6

mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna tahun 2018.

1.6 Organisasi

Penelitian ini berjudul faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten

Muna Tahun 2018 yang dibimbing oleh pembimbing I Bapak Drs. H. Junaid M.

Kes dan pembimbing II Ibu Fithria, S.KM., M.H.S serta tim penguji oleh Penguji

I, Penguji II, dan Penguji III.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang ISPA

2.1.1 Defenisi ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi saluran pernapasan akut yang

diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI)

(Depkes RI, 2000). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi

akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran

pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur, bakteri.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akan menyerang host apabila ketahanan

tubuh (immunologi) menurun. Balita dibawah lima tahun adalah kelompok yang

memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit

(Kartiningrum, 2016). Menurut Depkes RI (2007) Infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan akut akibat masuknya

kuman/mikroorganisme kedalam tubuh yang berlangsung 14 hari dengan keluhan

batuk disertai pilek, sesak napas, atau tanpa demam. Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua yaitu: saluran pernapasan bagian atas seperti

(rhinitis,fharingitis dan otitis) serta saluran pernapasan bawah seperti

(laryngitis,bronchiolitis dan pneumonia).

Istilah ISPA meliputi tiga unsure yaitu infeksi, saluran pernapasan dan

akut dengan pengertian sebagai berikut:

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

7
8

b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA

secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran

pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa

saluran pernapasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

2.1.2 Etiologi ISPA

Menurut Wong (2008), ISPA adalah proses inflamasi yang disebabkan

oleh virus, bakteri, mycoplasma, atau aspirasi substansia asing yang melibatkan

suatu atau semua bagian saluran pernapasan. ISPA bagian atas umumnya

disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah umumnya disebabkan oleh

virus, bakteri dan mycoplasma. Virus penyebab ISPA antara lain golongan

Miksovirus (termasuk virus influenza, virus campak, dan virus para influenza),

Adenovirus, Pikornavirus, Koronavirus, Herpesvirus, dan Mycoplasma. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Pneumococcus,

Hemophilus, Staphylococcus, Corynebacterium dan Bordetella (Depkes RI,

2009).

2.1.3 Patofisiologi ISPA

Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya beberapa bakteri dari

genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofillus, bordetella dan

korinebakterium dan virus dari golongan mikrovirus (termasuk didalamnya virus

para influenza dan virus campak), adenoveirus, koronavirus, pikornavirus,

herpesvirus kedalam tubuh manusia melalui partikel udara (droplet infection).


9

Kuman ini akan melekat pada sel epitel hidung dengan mengikuti proses

pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk kedalam

pernapasan, yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala dan

sebagainya (Marni,2014)

2.1.4 Klasifikasi ISPA

a) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi menurut Depkes RI (2009), sebagai

berikut:

1. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut : Infeksi yang menyerang bagian

hidung sampai faring seperti pilek, faringitis, dan otitis media.

2. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut : Infeksi yang menyerang mulai

dari bagian laring sampai alveoli seperti epiglotitis, bronkitis, bronkiolitis,

laringitis, laringotrakeitis, dan pneumonia.

b) Klasifikasi penyakit berdasarkan umur menurut Kemenkes RI (2012), sebagai

berikut:

1. Kelompok umur < 2 bulan, dibagi atas :

(a) Pneumonia berat, bila batuk disertai dengan napas cepat (fast

breathing), dimana frekuensi pernapasan 60 kali/menit atau lebih, atau

adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat

(severe chest indrawing).

(b) Non pneumonia, bila tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan

frekuensi pernapasan normal.


10

2. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun, dibagi atas :

(a) Pneumonia sangat berat, bila batuk dan mengalami kesulitan saat

bernapas yang disertai sianosis sentral, adanya tarikan dinding dada, dan

kejang.

(b) Pneumonia berat, bila batuk dan mengalami kesulitan bernapas serta

ada tarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral.

(c) Pneumonia, bila batuk dan terjadi kesukaran bernapas yang disertai

dengan napas cepat, yaitu >50 kali/menit untuk umur 2-12 bulan, dan >40

kali/menit untuk umur 12 bulan sampai 5 tahun.

(d) Non pneumonia, bila mengalami batuk pilek saja, tidak ada tarikan

dinding dada, tidak ada napas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali/menit

pada anak umur 2-12 bulan dan kurang dari 40 kali/menit untuk umur 12

bulan sampai 5 tahun.

2.1.5 Tanda – Gejala ISPA

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) di dalam Mulyana, tanda dan

gejala ISPA digolongkan kedalam ISPA ringan, ISPA sedang dan ISPA berat.

Adapun gejala dari masing-masing klasifikasi tersebut adalah :

a) Gejala ISPA Ringan (Bukan Pneumonia)

1. Batuk

2. Serak, yaitu apabila anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

misalnya pada saat berbicara atau menangis.

3. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.


11

4. Panas atau demam, yaitu suhu badan lebih dari 37℃ atau apabila dahi anak

diraba dengan punggung tangan terasa panas.

b) Gejala ISPA sedang (Pneumonia)

1. Pada anak usia kurang dari 2 bulan frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali

permenit, sedangkan untuk anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun

frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali permenit.

2. Suhu tubuh lebih dari 39℃

3. Tenggorokan berwarna merah

4. Timbul bercak-bercak pada kulit yang menyerupai bercak campak

5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

6. Pernafasan berbunyi seperti mendengkur

7. Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

c) Gejala ISPA berat (Pneumonia Berat)

1. Bibir atau kulit membiru (sianosis)

2. Adanya pernafasan cuping hidung

3. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

4. Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan atas dimulai dari

keluhan-keluhan dan gejala yang ringan. Gejala infeksi saluran pernapasan atas

biasanya muncul kurang lebih 3 hari setelah seseorang terkena infeksi dan mereda

secara komplit sekitar 1 sampai 2 minggu. Gejala yang paling umum adalah

batuk. Meski begitu pada umumnya gejala penyakit infeksi saluran pernapasan
12

atas ini juga memiliki gejala bervariasi tergantung dari penyebabnya (Krishna,

2015).

2.1.6 Faktor Penyebab Terjadinya ISPA

Menurut Edza (2009) dalam Kartiningrum (2016), pada umumnya infeksi

saluran pernapasan atas bisa terjadi apabila seseorang mengalami kekebalan tubuh

lemah dan risiko mengalami infeksi yang juga dapat disebabkan dari buruknya

sanitasi lingkungan seperti; asap hasil pembakaran untuk bahan bakar untuk

memasak.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA, sebagai

berikut:

1) Faktor intrinsik (individu anak)

a) Umur

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA.

Faktor risiko tertinggi kejadian ISPA terjadi pada bayi dan balita. Balita (bayi

dibawah umur lima tahun) merupakan anak yang berusia 0-59 bulan. Oleh sebab

itu kejadian ISPA pada bayi dan balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan

orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran

klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan

anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum

terbentuknya secara optimal proses kekebalan tubuh secara alamiah dan

dipengaruhi oleh faktor usia anak (Kartiningrum, 2016). Sejumlah studi

menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi
13

dan usia dini anak-anak dan menurun dengan bertambahnya usia. Insiden ISPA

tertinggi pada umur 6-12 bulan (Yuliastuti, 2014).

b) Berat Badan Lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan

mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan di bawah normal

disebut dengan BBLR (berat badan bayi < 2500 gram). Bayi BBLR mudah

terserang ISPA, karena bayi dengan BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh

yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah

cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi

termasuk penyakit ISPA. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan

lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan

zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit

infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Imelda, 2017).

c) Pemberian ASI

ASI merupakan makanan pertama dan utama bagi bayi. ASI mengandung

karbohidrat yang berupa laktosa. Lemak ASI banyak mengandung

polyunsaturated fatty acid (asam lemak tak jenuh ganda). Protein utamanya jenis

lactalbumin yang mudah dicerna. ASI banyak mengandung vitamin dan mineral.

ASI juga mengandung zat anti infeksi (Sidi, 2004). Kolostrum merupakan cairan

yang pertama disekresi oleh kelenjar payudara dari hari ke-1 sampai hari ke-3.

Kolostrum berwarna kekuning-kuningan, kental dan agak lengket. Kolustrum

mengandung kadar protein yang tinggi terutama globulin dan zat antibodi
14

sehingga dapat memberikan perlindungan pada bayi terhadap infeksi sampai usia

6 bulan (Kristiyansari, 2009).

Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi bayi sangat banyak diantaranya

komposisi dan volume ASI cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan sampai

dengan usia 6 bulan. ASI mudah dicerna karena mengandung zat-zat gizi yang

tinggi yang diperlukan oleh bayi usia 0 – 6 bulan. Pemberian ASI menjadi sarana

menjalin hubungan kasih sayang ibu dengan anak. Pemberian ASI eksklusif akan

meningkatkan daya tahan tubuh sehingga bayi tidak mudah terserang penyakit.

Bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan

dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI, 2001).

d) Status Gizi

Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau

terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi

makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak minum air putih, olah raga yang

teratur serta istirahat yang cukup (Kartiningrum, 2016). Keadaan gizi yang buruk

muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa

penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan

infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.

Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan

infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap

infeksi. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang

kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
15

makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita

lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Yuliastuti,

2014).

e) Status Imunisasi

Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Dalam penurunan angka kejadian ISPA dengan memberikan imunisasi

lengkap pada anak balita. Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan

imunisasi yang penting. Sebelum berusia di atas dua tahun kelengkapan imunisasi

dasar harus dipenuhi.Anak balita dikatakan status imunisasinya lengkap apabila

telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.

Status imunisasi ini juga merupakan faktor risiko ISPA. Pemberian imunisasi

menunjukkan konsistensi dalam memberi pengaruh terhadap kejadian ISPA

(Kartiningrum, 2016).

f) Pemberian Makanan Tambahan

Menurut Wulandari (2010) dalam Luange et al (2016), pada teori dari

Kalnins bahwa bayi yang di berikan MP-ASI dini sering mengalami ISPA di

bandingkan dengan bayi yang tidak di berikan MP-ASI dini. Hal ini di sebabkan

karena sistem imun pada bayi yang kurang dari 6 bulan sempurna, sehingga

pemberian MP-ASI dini sama saja dengan mempermudah masuknya berbagai

jenis kuman penyakit, apalagi jika makanan di sajikan secara tidak higienis. Jenis

makanan pada bayi yang ditemukan yang terbanyak MP-ASI dibandingkan

dengan ASI ekslusif, adapun jenis MP-ASI yang di berikan adalah air putih, susu

formula, dan makanan dos berupa Sun ada juga memberikan makanana trdisional
16

berupa papeda (bahannya dari pohon sagu atau pun dari sari ubi kayu). Jenis MP-

ASI yang paling banyak diberikan adalah susu formulah dan sering di berikan 1-3

kali sehari.

2) Faktor ekstrinsik (lingkungan)

a) Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian di dalam rumah mempunyai peranan dalam penyebaran

mikroorganisme di dalam lingkungan rumah. Kepadatan hunian kamar tidur balita

yang tidak memenuhi syarat akan menghalangi proses pertukaran udara bersih

sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan akibatnya dapat menjadi

penyebab terjadinya penyakit ISPA. Hal ini diperberat apabila salah satu anggota

keluarga yang tidur di dalam ruangan yang sama dengan balita sedang menderita

penyakit ISPA, sehingga akan menularkan virus atau bakteri penyebab ISPA

kepada balita melalui udara yang dihirup oleh balita pada saat tidur (Nindya,

2005).

b) Ventilasi Rumah

Ventilasi merupakan tempat daur ulang udara yaitu tempatnya udara

masuk dan keluar. Ventilasi yang dibutuhkan untuk penghawaan didalam rumah

yakni ventilasi yang memiliki luas minimal 10% dari luas lantai rumah. Ventilasi

rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar

aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga,

karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2

menjadi racun. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap
17

dalam kelembaban yang optimum. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara

segar dapat dengan mudah masuk kedalam rumah sehingga kejadian ISPA akan

semakin berkurang (Kartiningrum, 2016).

c) Jenis Lantai

Lantai rumah dari semen atau ubin, kermik adalah baik, namun tidak

cocok untuk kondisi ekonom pedesaan. Untuk lantai rumah di pedesaan cukup

tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada

musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai yang basah dan

berdebu merupakan sarang penyakit (Notoatmodjo, 2011).

Menurut Kemenkes RI (2011), jenis lantai yang memenuhi syarat

kesehatan harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai rumah yang tidak kedap

air dan sulit dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan pertumbuhan

mikroorganisme di dalam rumah.

d) Penggunaan Kayu Bakar sebagai Bahan Bakar dalam Rumah Tangga

Salah satu penyebab ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam

ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak. Saat ini

sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu yang membawa bayi / anak balitanya di

dapur yang penuh asap sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar

untuk terkena ISPA (Kartiningrum, 2016).

e) Perilaku Merokok Anggota Keluarga dalam Rumah

ISPA dapat disebabkan karena sering menghirup asap rokok, asap

kendaraan bermotor, bahan bakar minyak biasanya minyak tanah dan cairan
18

ammonium pada saat lahir . Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang

satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal

yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-

anak. Paparan yang terus menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan

terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan

paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga

semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila

merokok dilakukan oleh ibu bayi (Trisnawati dan Juwarni, 2012).

2.1.7 Pencegahan ISPA

Upaya pencegahan merupakan komponen strategis dalam pemberantasan

penyakit infeksi saluran pernafasan pada anak yang terdiri atas upaya pencegahan

melalui imunisasi dan upaya pencegahan non-imunisasi.

a) Upaya pencegahan melalui imunisasi yaitu pemberian imunisasi DPT dan

Campak yang telah dilaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI)

Pemerintah untuk menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia.

Dikarenakan campak, pertusis dan difteri bisa juga menyebabkan pneumonia

atau merupakan penyakit penyerta pada pneumonia balita. Disamping itu,

sekarang sudah tersedia vaksin Hib dan vaksin pneumokokus konjugat untuk

pencegahan infeksi bakteri penyebab pneumonia. Namun vaksin ini belum

masuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Pemerintah.


19

b) Upaya pencegahan melalui non-imunisasi yaitu :

1. Pemberian ASI Eksklusif

Komposisi ASI sangat ideal serta mampu memenuhi kebutuhan

bayi setiap hari karena ASI mengandung zat pelindung (kekebalan) yang

berfungsi menghindarkan dari berbagai jenis penyakit infeksi.

2. Pemberian nutrisi yang baik

Zat gizi sangat dibutuhkan untuk pembentukan zat-zat kekebalan

tubuh seperti antibodi. Semakin baik zat gizi yang dikonsumsi semakin

baik pula status gizi hingga kekebalan tubuhnya. Sistem kekebalan tubuh

yang baik membuat tubuh kebal terhadap penyakit.

3. Menghindari pajanan asap rokok dan asap dapur

Keterpaparan asap dapur dan asap rokok pada bayi akibat

kebiasaan anggota keluarga merokok dirumah dan menggunakan kayu

bakar untuk memasak dapat menyebabkan terjadinya gangguan

pernapasan pada anak. Nikotin yang terkandung didalam rokok dan

bahan beracun lainnya masuk ke saluran pernafasan bayi dan dapat

menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan.

4. Perbaikan lingkungan hidup dan sikap hidup sehat

Penyakit ISPA dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang buruk.

Faktor lingkungan yang buruk yaitu seperti pencemaran udara, ventilasi

rumah, kepadatan penghuni, dan penerangan dalam rumah yang tidak

memadai (Misnadiarly, 2008).


20

2.2 Tinjauan Umum Tentang Balita

Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling

hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5 tahun. Masa ini

merupakan masa yang penting terhadap perkembangan kepandaian dan

pertumbuhan intelektual (Mitayani, 2010). Balita adalah anak yang berumur 0-59

bulan, pada masa ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan

yang sangat pesat. Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita)

dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh

kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan

makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun

kemampuan lain masih terbatas. (Sutomo, 2010).

Balita/bayi dalam proses tumbuh kembangnya ditentukan oleh makanan

yang dimakan sehari-hari. Kebutuhan gizi balita dipengaruhi oleh umur, jenis

kelamin, kegiatan balita dan suhu lingkungan. Pengetahuan masyarakat tentang

pemilihan makanan yang baik untuk mencapai hidup yang sehat dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain ekonomi, sosial, budaya, kondisi kesehatan, dan lain

sebagainya (Kemenkes RI, 2010).

Masa balita merupakan tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang

sangat penting bagi anak. Banyak permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi

terutama permasalahan kesehatan. Kondisi ini berpengaruh terhadap gangguan

pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga berdampak terhadap kualitas

hidup anak di kemudian hari. Rendahnya daya tahan tubuh anak dan status gizi

yang tidak baik merupakan penyebab utama seringnya anak menderita suatu
21

penyakit infeksi, walaupun banyak faktor-faktor yang juga berperan seperti

lingkungan yang tidak sehat, sosial ekonomi, serta pola hidup yang salah

(Mulyani, 2013).

2.3 Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian

2.3.1 Status Gizi

Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia.

Kejadian malnutrisi akan menurunkan imuntas selular, kelenjar timus dan tonsil

menjadi atrofik dan jumlah T-limfosit berkurang, sehingga tubuh akan menjadi

lebih rentan terhadap terjadinya penyakit atau infeksi. Selain itu, kejadian

malnutrisi akan mempengaruhi saluran pernapasan dalam melindungi dari agen

penyakit. Saluran napas yang normal secara fisiologis dapat menghalau agen

penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai mekanisme, misalnya

batuk dan meningkatnya jumlah cairan mukosa, namun pada anak yang

mengalami malnutrisi/status gizi kurang baik proses fisiologis itu tidak dapat

berjalan dengan baik, sehingga agen penyakit yang masuk tidak dapat dihalau

keluar dan akan terakumulasi dalam saluran napas dan di paru-paru (Febrianto,

2015).

Status gizi yang baik pada balita sangat diperlukan karena dapat terhindar

dari penyakit penyakit seperti ISPA. Status gizi baik dapat dicapai jika asupan gizi

balita sesuai dengan kebutuhannya. Status gizi baik terbukti mempengaruhi

pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan intelektual, meningkatkan

produktivitas, serta menurunkan angka kesakitan dan kematian. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Febrianto Wahyu (2015) frekuensi kejadian ISPA
22

pada balita dengan status gizi kurang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang

memiliki status gizi baik. Hal ini disebabkan balita yang mempunyai status gizi

baik akan mempunyai daya tahan (antibodi) yang lebih, sehingga dapat mencegah

atau terhindar dari penyakit seperti ISPA (Febrianto, 2015).

2.3.2 Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap

penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu.

Status imunisasi mempengaruhi terhadap daya tahan atau imunitas seseorang.

Semakin lengkap imunisasi akan semakin bertambah daya tahan tubuhnya. Secara

teoritis dijelaskan bahwa pemberian imunisasi pada anak biasanya dilakukan

dengan cara imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan memberi kekebalan yang

lebih lama. Imunisasi pasif diberikan hanya dalam keadaan yang sangat

mendesak, yaitu bila diduga tubuh anak belum mempunyai kekebalan ketika

terinfeksi oleh kuman penyakit yang ganas (Imelda, 2017).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Hartati (2003) yang menyebutkan

bahwa imunisasi yang diberikan pada bayi secara langsung akan menjadi daya

kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit termasuk salah satunya adalah ISPA.

Menurut asumsi peneliti imunisasi sangat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi,

imunisasi yang diberikan secara lengkap akan bekerja lebih optimal dalam

melindungi bayi terhadap berbagai jenis penyakit. Namun sebaliknya imunisasi

yang tidak lengkap cenderung hanya memproteksi bayi dari penyakit tertentu saja

(Imelda, 2017).
23

2.3.3 Keberadaan Anggota Keluarga Yang Merokok

Merokok merupakan kegiatan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh

karena menurut badan kesehatan dunia (WHO) rokok merupakan zat adiktif yang

memiliki kandungan kurang lebih 4000 elemen, dimana 200 elemen di dalamnya

berbahaya bagi kesehatan tubuh menambahkan bahwa racun yang utama dan

berbahaya pada rokok antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida. Racun

itulah yang kemudian akan membahayakan kesehatan si perokok (Jaya, 2009).

Dampak rokok tidak hanya mengancam siperokok tetapi juga orang

disekitarnya atau perokok pasif. Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk

asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika

perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh

perokok disebut asap utama, dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang

terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini

terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap

utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin

3 kali lipat, ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai

penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar asap sampingan

dibanding dengan kadar asap utama (Umami, 2010 dalam Milo, et al., 2015).

Kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai

perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya

mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar

7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di
24

dalam rumah. Sementara itu jumlah perokok dalam suatu keluarga cukup tinggi

(Rahmayatul, 2013 dalam Milo, et al., 2015).

2.3.4 Penggunaan bahan bakar biomass

Salah satu bahan bakar yang sebagian besar digunakan oleh masyarakat

pedesaan adalah bahan bakar biomass atau kayu bakar. Mengingat bahwa daerah

pedesaan masih banyak hutan dan menghasilkan kayu sehingga masyarakat

cenderung untuk menggunakan kayu atau sejenisnya untuk dijadikan sebagai

bahan bakar, selain daripada itu bahan bakar ini sangat murah dan mudah.

Tingginya ISPA di sini salah satu penyebabnya karena dapur yang letaknya di

dalam rumah, dimana paparan asap dapur yang menggunakan biomass sangat

berbahaya apabila terhirup oleh balita (Poetra, 2018).

Asap pembakaran kayu mempunyai efek yang merugikan bagi kesehatan

seperti kanker paru-paru, asma, tuberkulosis, katarak, jantung, bayi lahir dengan

berat badan rendah, kebutaan, bahkan berpengaruh terhadap kemampuan otak

anak. Menurut Smith, bahwa bukan kayu sebagai penyebab utama masalah

kesehatan, melainkan pembakarannya yang tidak sempurna. Biasanya ibu juga

mengajak anaknya kedapur, asap pembakaran tidak sempurna ini mempunyai

dampak yang sama seperti rokok bahkan lebih berbahaya lagi karena asap ini

jumlahnya sangat banyak. Senyawa yang dihasilkan dari kayu bakar ini sama

seperti membakar seribu rokok setiap jamnya (Sofia, 2017).


25

2.4 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Peneliti Judul Hasil Persamaan Perbedaan


Penelitian
Imelda Hubungan - Hasil penelitian menunjukkan Fokus Lokasi
Berat Badan diketahui bahwa dari responden penelitian, penelitian,
Lahir yang tidak menderita ISPA, yaitu ada yaitu
Rendah dan terdapat 12 orang (80%) yang satu fokus dilakukan di
Status memiliki status imunisasi tidak penelitian Kabupaten
Imunisasi lengkap, sedangkan pada yang sama Aceh Besar,
dengan responden yang tidak menderita yaitu Aceh.
Kejadian ISPA, terdapat 6 orang (40%) mencari
Infeksi responden yang status hubungan
Saluran imunisasinya tidak lengkap. status
Pernafasan Hasil analisis uji chi square test imunisasi
Akut pada menunjukkan bahwa ada dengan
Balita di hubungan status imunisasi kejadian
Aceh Besar dengan kejadian ISPA pada ISPA pada
balita (p=0,001) dan balita yang Balita.
tidak lengkap imunisasi
mempunyai peluang 8,6 kali
menderita ISPA dibandingkan
balita yang memperoleh
imunisasi lengkap.
- Hasil penelitian menunjukkan
bahwa diketahui bahwa
responden yang menderita ISPA
terdapat 8 orang (53,3%) yang
BBLR dan pada responden yang
tidak menderita ISPA terdapat
13 orang (86,7%) yang lahir
dengan berat badan normal.Hasil
analisis uji chi square test
menunjukkan bahwa ada
hubungan BBLR dengan
kejadian ISPA pada balita
(p=0,000) dan balita yang BBLR
mempunyai peluang 1,1 kali
menderita ISPA dibandingkan
balita yang lahir dengan berat
badan normal.

Eko Hubungan Hasil analisa univariat diketahui Fokus 1.Lokasi


Heryanto Status sebanyak penelitian, penelitian,
Imunisasi, 35,4% balita menderita ISPA, yaitu ada yaitu
Status Gizi, sebanyak 65,9% balita dengan dua fokus dilakukan di
26

dan Asi imunisasi lengkap, penelitian Kabupaten


Eksklusif sebanyak 78% balita dengan yang sama Ogan
dengan status gizi baik, dan sebanyak yaitu Komering
Kejadian 61% balita dengan mencari Ulu (OKU)
Ispa pada ASI eksklusif. Analisis bivariat hubungan Sumatera
Anak Balita
menunjukkan ada hubungan status Selatan.
Di Balai yang bermakna status imunisasi,
Pengobatanimunisasi dengan kejadian ISPA status gizi
Uptd pada balita dengan nilai p 0,001, dengan
Puskesmas ada hubungan kejadian
Sekar Jayayang bermakna status gizi ISPA pada
Kabupaten dengan kejadian ISPA pada Balita.
Ogan balita dengan nilai p 0,000,
Komering ada hubungan yang bermakna
Ulu pemberian ASI Eksklusif dengan
Tahun 2016kejadian ISPA
pada balita dengan nilai p
0,000.Semua variabel dalam
penelitian ini ada
hubungan yang bermakna.
Artinya Status imunisasi
lengkap, pemberian ASI
secara Eksklusif dan status gizi
balita yang baik terbukti dapat
mengurangi faktor
resiko ISPA pada balita.
Salma Hubungan Hasil penelitian uji statistik Fokus 1.Lokasi
Milo, Kebiasaan menggunakan uji chi-square penelitian, penelitian,
A. Yudi Merokok Di pada tingkat kemaknaan 95% (α yaitu ada yaitu
Ismanto, Dalam ≤ 0,05), maka didapatkan nilai fokus dilakukan
Vandri Rumah p= 0,002. Ini berarti bahwa nilai penelitian Kota
D. Kallo Dengan p< α (0,05). Kesimpulan dalam yang sama Manado
Kejadian penelitian ini ada hubungan berupa
Ispa Pada antara kebiasaan merokok hubungan
Anak Umur dengan kejadian ISPA pada kebiasaan
1-5 Tahun anak. merokok
Di didalam
Puskesmas rumah
Sario Kota /keberadaan
Manado anggota
keluarga
yang
merokok
dengan
kejadian
ISPA pada
27

balita.
Heru Hubungan Hasil analisis bivariat Fokus 1.Lokasi
Padmon Faktor- menunjukkan bahwa ada penelitian, penelitian,
obo, Faktor korelasi antara kejadian yaitu ada yaitu
Onny Lingkungan pneumonia pada anak di bawah satu fokus dilakukan di
Setiani, Fisik lima tahun dengan jenis dinding, penelitian Kabupaten
Tri Joko Rumah jenis lantai, pencahayaan alami, yang sama Brebes
dengan kepadatan perumahan, luas yaitu
Kejadian ventilasi, insulasi dapur, ruang mencari
Pneumonia kelembaban dan suhu kamar hubungan
pada Balita balita. Dengan Odds Ratio (OR) kepadatan
di Wilayah dalam urutan: 3,034 (p = 0,003); perumahan
Kerja 2.635: 2.202: 2.234: 2.218: dengan
Puskesmas 2.517: 2.872 dan 3.390. Hasil uji kejadian
Jatibarang regresi logistik menunjukkan Pneumonia/
Kabupaten bahwa ada hubungan yang ISPA pada
Brebes signifikan antara kejadian Balita.
pneumonia pada bayi dengan
suhu ruangan, jenis dinding,
kamar yang luas dengan
ventilasi dan kelembaban secara
berurutan ATAU 4,380; 2,753;
2.734, dan 2.671.
28

2.5 Kerangka Teori

Ada tiga faktor resiko yang mempengaruhi penyakit ISPA yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku pencegahan dan

penanganan. Untuk faktor lingkungan dibagi menjadi empat yaitu ventilasi <10%

dari luas lantai rumah, asap rokok, kepadatan hunian, dan bahan bakar masak.

Dari keempat faktor ini akan membuat kelembaban udara meningkat sehingga

menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme penyebab ISPA yaitu virus, bakteri,

riketsia atau protozoa meningkat. Mikroorganisme penyebab ISPA yang

meningkat ini akan menyerang anak yang rentan terhadap infeksi, sehingga

menyebabkan anak tersebut terkena penyakit ISPA. Untuk faktor individu anak

dibagi menjadi empat yaitu usia dibawah lima tahun (bayi, balita/anak

prasekolah), status gizi yang buruk, status imunisasi tidak lengkap, dan berat

badan lahir rendah. Dari keempat faktor ini akan membuat anak rentan terhadap

infeksi sehingga anak tersebut mudah terkena penyakit ISPA. Sementara untuk

faktor perilaku pencegahan dan penanganan maksudnya yaitu jika tidak ada

bentuk pencegahan dan penanganan yang baik, tepat dan cepat, baik untuk faktor

lingkungan maupun faktor individu anak maka kemungkinan besar akan membuat

anak mudah terkena penyakit ISPA.


29

Dari penjelasan tersebut maka terbentuklah kerangka teori sebagai berikut:

Ventilasi
<10% dari
luas lantai
rumah

Lingkungan Asap rokok


Kelembaban
udara
Kepadatan meningkat
hunian
Perilaku
Pencegahan Bahan
Faktor & bakar Pertumbuhan
Resiko Penanganan masak mikroorganisme
penyebab ISPA
(virus,bakteri,rikets
Usia dibawah
5 tahun (bayi, ia atau protozoa)
balita/ Anak meningkat
Individu prasekolah)
anak
Status gizi
yang buruk
Anak rentan
terhadap
Status
infeksi
imunisasi yang
tidak lengkap

Berat badan
lahir rendah
ISPA

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Depkes RI (2004), WHO (2007), Kemenkes RI (2012).


30

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Status Gizi

Status Imunisasi

Kejadian ISPA
Keberadaan Anggota pada Balita
Keluarga Yang Merokok

Penggunaan bahan bakar


biomass

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel Bebas

: Variabel Terikat

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis dari penelitian ini

adalah:

1. H0 : tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna

Tahun 2018.

Ha : ada hubungan antara status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna

Tahun 2018.
31

2. H0 : tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten

Muna Tahun 2018.

Ha : ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna

Tahun 2018.

3. H0 : tidak ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok

dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

Ha : ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas

Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

4. H0 : tidak ada hubungan antara penggunaan bahan bakar biomass dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas

Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

Ha : ada hubungan antara penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna Tahun 2018.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan pendekatan

cross sectional study yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran

variabel dependen dan variabel independen dinilai pada satu saat menurut keadaan

pada waktu observasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita

di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna pada

tanggal 30 Januari sampai dengan 15 Februari 2019.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/ subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penelitian

untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita di Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna yang terdaftar pada bulan oktober – bulan desember 2018

sebanyak 193 balita.

32
33

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian subyek yang diambil dari populasi untuk diteliti

yang dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah

balita usia 12-59 bulan yang terdaftar di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna.

a. Besar Sampel

Besar sampel untuk studi cross sectional dalam penelitian ini dihitung

menggunakan rumus menurut (Notoadmojo, 2010) sebagai berikut:

N Z 𝑃. 𝑞
𝑛=
d2 N − 1 + Z2 P . q

193(1,96)2 x 0,05 𝑥 0,95


𝑛=
(0,052 ) 193 − 1 + (1,962 ) . 0,05 x 0,95

193x 3,8416 x 0,0475


𝑛=
0,0025 x 192 + 3,8416 x 0,0475

35,21
𝑛=
0,48 + 0,182

35,21
𝑛=
0,662

𝑛 = 53,18 dibulatkan 53 orang

Jadi, besarnya sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 53 balita.

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang ada

N = Besar populasi = 193

Z = Nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)

d = Tingkat keselahan yang dipilih (0,05)


34

P = Proporsi variabel yang diteliti

q = 1 – P (0,95)

b. Teknik Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel yaitu dengan cara purposive sampling yaitu

pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh

peneliti.

3.3.3 Kriteria Restriksi

a. Kriteria Inklusi

1) Balita yang terdaftar di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna.

2) Ibu dan balita yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas

Mabodo Kabupaten Muna.

3) Ibu balita yang bersedia menjadi responden.

b. Kriteria Eksklusi

1) Balita yang tidak terdaftar di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna.

2) Balita dengan ISPA dan penyakit lainnya, misalnya disertai diare.

3) Ibu balita yang tidak bersedia menjadi responden.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik

perhatian suatu penelitian ( Arikunto, 2010).

a. Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas adalah tipe variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi

variabel yang lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah status gizi, status
35

imunisasi, keberadaan anggota keluarga yang merokok dan penggunaan bahan

bakar biomass.

b. Variabel Terikat (Dependent)

Variabel terikat adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh

variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada

balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1) Data sekunder dari puskesmas.

2) Kuesioner yang berisi semua item pertanyaan.

3) Timbangan.

4) Alat tulis dan komputer, yaitu alat yang digunakan untuk mengolah yang

diperoleh serta yang digunakan dalam penyusunan laporan penelitian yang

dilengkapi dengan software spss.

5) Dokumentasi.

3.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Anak balita

Adalah anak balita yang berusia 12 bulan – 59 bulan pada saat dilakukan

penelitian.

2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

a. Definisi Operasional

ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernafasan yang bersifat akut

dengan adanya batuk, pilek, serak, demam, baik disertai nafas cepat
36

maupun sesak yang berlangsung sampai 14 hari dibuktikan dengan

adanya diagnosa dari dokter atau medical record balita yang dipilih dari

petugas kesehatan.

b. Kriteria Objektif

- Menderita : bila ditandai dengan adanya batuk, pilek, serak, demam,

baik yang disertai napas cepat ataupun sesak, berdasarkan

diagnose Dokter/medical record dari pelaksana kesehatan,

tenaga kesehatan kompeten atau memiliki data pemeriksaan

seperti KMS.

- Tidak menderita : bila tidak ditandai dengan adanya batuk, pilek, serak,

demam, baik yang disertai napas cepat ataupun

sesak.

Cara ukur : wawancara dan melihat rekam medik.

3. Status gizi

a. Definisi operasional

Status gizi adalah hasil penimbangan BB/U anak.

b. Kriteria objektif

- Gizi buruk : <-3 SD

- Gizi kurang : -3 SD s/d <-2 SD

- Gizi baik : -2 SD s/d + 2 SD

- Gizi Lebih : >+ 2 SD (Oktaviani, et al., 2014).

Cara ukur : pengukuran berat badan


37

4. Status imunisasi

a. Definisi operasional

Status imunisasi adalah kelengkapan imunisasi wajib yang

diberikan sesuai dengan usia.

b. Kriteria objektif

- Lengkap : jika diberikan vaksin secara lengkap (BCG, DPT, Polio,

Campak, Hepatitis B)

- Tidak lengkap : jika tidak diberikan vaksin secara lengkap (BCG, DPT,

Polio, Campak, Hepatitis B)

Cara ukur : wawancara

5. Keberadaan anggota keluarga yang merokok

a. Definisi operasional

Keberadaan anggota keluarga yang merokok adalah terdapat

seorang atau lebih anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan

merokok dalam rumah.

b. Kriteria objektif

- Ada : Bila terdapat anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan

merokok dalam rumah.

- Tidak ada : Bila tidak terdapat anggota keluarga yang mempunyai

kebiasaan merokok dalam rumah.

Cara ukur : wawancara


38

6. Penggunaan bahan bakar biomass

a. Definisi operasional

Penggunaan bahan bakar biomass adalah suatu jenis bahan bakar

yang berasal dari tumbuhan (kayu, sekam, jerami) yang bila digunakan

sebagai bahan bakar masak akan dapat menimbulkan polusi dalam

rumah.

b. Kriteria objektif

- Menggunakan : bila dalam kegiatan memasak menggunakan bahan

bakar biomass (kayu, sekam, jerami).

- Tidak menggunakan : bila dalam kegiatan memasak tidak menggunakan

bahan bakar biomass (kayu, sekam, jerami).

Cara ukur : wawancara

3.7 Jenis Data Penelitian

1. Data primer

Diperoleh dari survei dengan wawancara dan pengukuran menggunakan

kuesioner dan alat ukur untuk mendapatkan data mengenai kejadian ISPA,

status gizi, status imunisasi balita, keberadaan anggota keluarga yang

merokok, penggunaan bahan bakar biomass, dengan responden ibu balita.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna serta data lain yang ada hubungannya dengan penelitian

ini.
39

3.8 Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data

a. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan fasilitas

komputer dan kalkulator, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan

diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Edditing yaitu untuk meneliti apakah kuesioner sudah lengkap atau

belum sehingga jika ada kekurangan dapat segera dilengkapi.

Edditing dapat dilakukan ditempat pengumpulan data.

2) Coding yaitu suatu usaha memberikan kode atau menandai jawaban

responden atas pentanyaan yang ada pada kuesioner.

3) Entry Data merupakan proses selanjutnya setelah semua diberi kode

maka data tersebut dimasukan kedalam komputer dengan

menggunakan program entry data yang sesuai dengan jenis penelitian.

4) Cleaning merupakan proses mengecek data yang masih salah

kemudian mengedit data yang salah tersebut dan dianalisis

b. Analisis Data

Analisis data penelitian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1) Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan tiap variabel dari

hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel ( Notoadmodjo, 2010 ).


40

2) Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara

variabel dependent dan independent. Dalam analisis ini dilakukan

dengan pengujian statistik yaitu dengan uji chi square pada taraf

kepercayaan 95%. Adapun rumus dari chi-square yaitu :

Dimana :

𝑘 (𝑓𝑜− 𝑓𝑕
𝑋2 =
𝑖=1 𝑓𝑕
2
𝑋 = 𝐶𝑕𝑖 𝑘𝑢𝑎𝑑𝑟𝑎𝑡 𝑓𝑜
𝑓𝑜 = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖

𝑓𝑕 = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑕𝑎𝑟𝑎𝑝𝑘𝑎𝑛

Karena rancangan penelitian ini adalah cross sectional, maka uji

statistic yang digunakan pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Dasar

pengambilan keputusan suatu penelitian hipotesis (Budiarto, 2002) :

a) H0 diterima jika 𝑋 2 hitung ≤ X² table atau nilai signifikasi (P) >

0,05

b) H0 ditolak jika 𝑋 2 hitung ≥ X² tabel atau nilai signifikasi (P) < 0,05

Pengambilan keputusan Ha diterima atau ditolak dengan melihat

taraf signifikansi. Pada penelitian ini menggunakan taraf signifikansi 5%

(α = 0,05) dengan kriteria pengujian ditetapkan Ho diterima apabila p ≥

0,05, Ho ditolak apabila p ≤ 0,05 (Sugiyono, 2009 dalam Nonsi, 2015).

Aturan yang berlaku untuk uji Chi-Square untuk program

komputerisasi seperti SPSS adalah sabagai berikut :


41

1) Bila pada tabel kontigency 2x2 dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5,

maka hasil yang digunakan adalah Fisher Exact Test.

2) Bila pada tabel kontigency 2x2 tidak dijumpai nilai e (harapan) kurang

dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Continuity Correction.

3) Bila pada tabel kontigency yang lebih dari 2x2 misalnya 3x2, 3x3 dan

lain-lain, maka hasil yang digunakan adala Person Chi-Square.

4) Bila pada tabel kontigency 3x2 ada sel dengan nilai frekuensi harapan

(e) kurang dari 5, maka akan dilakukan merger sehingga menjadi tabel

kontigency 2x2 (Budiarto, 2002).

c. Penyajian Data

Penyajian data pada penelitian ini yaitu dilakukan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi dan narasi disertai dengan asumsi penjelasan.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak Geografis

Kecamatan Kontunaga merupakan daratan yang terletak di jazirah

Kabupaten Muna yang terdiri dari 5 desa yang meliputi desa Bungi, desa Mabodo,

desa Kontunaga, desa Liabalano dan desa Masalili. Secara geografis Kecamatan

Kontunaga terletak di bagian selatan pada garis lintang 3 02° sampai 4 10°

Lintang selatan dan 22° Bujur Timur sampai dengan 40 12° Bujur Timur. Dari

aspek geografis, kecamatam Kontunaga mempunyai batas – batas wilayah sebagai

berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Katobu

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Duruka

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sawerigading

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Watopute

Puskesmas Mabodo berdiri dan mulai aktif melaksanakan kegiatan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat sejak tahun 1993, dengan alamat Jalan

Poros Raha - Wakuru Km.10 Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna. Telp.

Nomor 085313895513.

4.1.2 Keadaan Demografi

Luas wilayah kerja Puskesmas Mabodo keseluruhan adalah 40 x 20 km 2.

Adapun jumlah penduduk Kecamatan Kontunaga Tahun 2017 sebesar 7.551 jiwa,

dan Tersebar di 5 Desa yakni Desa Bungi 1796 orang, Desa Mabodo 1.337 orang,

42
43

Desa Kontunaga 1.211 orang, Desa Liabalano 2.057 orang dan Desa Masalili

1.313 orang. Jarak puskesmas dari kota kabupaten ± 10 km2, dengan waktu

tempuh 20 menit, sedangkan waktu tempuh terdekat adalah dari Desa Bungi

dengan waktu tempuh 15 menit dan yang terjauh yaitu dari Desa Liabalano

dengan waktu tempuh 30 menit.

4.1.3 Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang di miliki oleh Puskesmas Mabodo terdiri dari

beberapa buah rumah dinas, Posyandu bayi dan balita, Posyandu lansia serta

kendaraan dinas. Adapun rumah dinas tersebut tersebar di beberapa Desa di

wilayah kerja Puskesmas yakni:

1. Desa Bungi terdiri dari: 1 polindes, 2 posyandu bayi dan balita, dan 1

posyandu lansia.

2. Desa Mabodo terdiri dari: 1 perumahan dokter, 3 posyandu bayi dan balita, 1

posyandu lansia.

3. Desa Kontunaga terdiri dari: 1 pustu, 2 posyandu bayi dan balita, 1 posyandu

lansia.

4. Desa Liabalano terdiri dari: 1 bakesra, 1 poskesdes, 2 posyandu bayi dan

balita, 1 posyandu lansia

5. Desa Masalili terdiri dari: 2 posyandu bayi dan balita, 1 posyandu lansia

Sedangkan kendaraan dinas yang di miliki sebagai berikut:

1. Satu unit mobil ambulance keliling dengan plat nomor DT 7252

2. Dua buah motor dinas, yang masing-masing di miliki oleh petugas malaria

dan juru imunisasi Puskesmas Mabodo.


44

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Karakteristik Responden (Ibu Balita)

a. Umur

Distribusi responden menurut umur akan disajikan pada tabel 1:

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Umur di Puskesmas


Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Umur Jumlah
n (%)
1 22-26 Tahun 7 13,2
2 27-30 Tahun 23 43,4
3 31-35 Tahun 16 30,2
4 36-40 Tahun 5 9,4
5 > 40 Tahun 2 3,8
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

berumur antara 27-30 tahun yaitu sebanyak 23 responden (43,4%),

sedangkan 16 responden (30,2%) berumur 31-35 tahun, 7 responden

(13,2%) berumur 22-26 tahun, 5 responden (9,4%) berumur 36-40 tahun

dan 2 responden (3,8%) berumur lebih dari 40 tahun.


45

b. Pendidikan

Distribusi responden menurut tingkat pendidikan akan disajikan

pada tabel 2:

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di


Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Pendidikan Jumlah
n (%)
1 SD 14 26.4
2 SMP 8 15.1
3 SMA 26 49.1
4 D1-D3/Perguruan Tinggi 5 9.4
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

berpendidikan SMA yaitu sebanyak 26 responden (49,1%), sedangkan 14

responden (26,4%) berpendidikan SD, 8 responden (15,1%) berpendidikan

SMP, dan 5 responden (9,4%) berpendidikan D1-D3/Perguruan Tinggi.

c. Pekerjaan

Distribusi responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada

tabel 3:

Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan di


Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Pekerjaan Jumlah
n (%)
1 Pegawai 4 7,5
2 Wiraswasta 2 3,8
3 Petani 11 20,8
4 Ibu Rumah Tangga 36 67,9
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

jenis pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 36


46

responden (67,9%), bekerja sebagai Petani sebanyak 11 responden

(20,8%), bekerja sebagai Pegawai sebanyak 4 responden (7,5%), dan

bekerja sebagai Wiraswasta sebanyak 2 responden (3,8%).

4.2.2 Karakteristik Balita

a. Umur Balita

Distribusi responden menurut umur balita dapat dilihat pada tabel

4:

Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Umur Balita di Puskesmas


Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Umur (Bulan) Jumlah
n (%)
1 12-24 Bulan 29 54,7
2 25-36 Bulan 10 18,9
3 37-48 Bulan 12 22,6
4 49-59 Bulan 2 3,8
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

berumur antara 12-24 bulan yaitu sebanyak 29 responden (54,7%),

sedangkan 12 responden (22,6%) berumur 37-48 bulan, 10 responden

(18,9%) berumur 25-36 bulan dan 2 responden (3,8%) berumur 49-59

bulan.
47

b. Jenis Kelamin

Distribusi responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

5:

Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin di


Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Jenis Kelamin Jumlah
n (%)
1 Laki-laki 30 56,6
2 Perempuan 23 43,4
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 30 responden (56,6%), dan

sebagian kecil berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 23 responden

(43,4%).

c. Berat Badan

Distribusi responden menurut Berat Badan dapat dilihat pada tabel

6:

Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Berat Badan di


Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Berat Badan Jumlah
n (%)
1 6-9 Kg 19 35,8
2 10-12 Kg 21 39,6
3 13-15 Kg 12 22,6
4 > 15 Kg 1 1,9
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

berat badannya 10-12 kg sebanyak 21 responden (39,6%), sedangkan 19


48

responden (35,8%) berat badannya 6-9 kg, 12 responden (22,6%) berat

badannya 13-15 kg dan 1 responden (1,9%) berat badannya lebih dari 15

kg.

4.2.3 Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan penyajian tahap pertama yang memberikan

gambaran mengenai distribusi responden dari variabel yang diteliti yaitu status

gizi, status imunisasi, keberadaan anggota keluarga yang merokok, dan

penggunaan bahan bakar biomass.

a. Kejadian ISPA Pada Balita

Distribusi responden menurut kejadian ISPA pada balita dapat

dilihat pada tabel 7:

Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Kejadian ISPA Pada Balita


di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Kejadian ISPA n (%)
1 Menderita 36 67,9
2 Tidak menderita 17 32,1
Total 53 100
Sumber : Data Sekunder, Februari 2019

Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

menderita ISPA yaitu sebanyak 36 responden (67,9%) dan sebagian kecil

tidak menderita ISPA yaitu sebanyak 17 responden (32,1%).


49

b. Status Gizi

Distribusi responden menurut status gizi dapat dilihat pada tabel 8:

Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Status Gizi di Puskesmas


Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Status Gizi n (%)
1 Gizi Baik 41 77,4
2 Gizi Kurang 12 22,6
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

status gizi baik yaitu sebanyak 41 responden (77,4%) dan sebagian kecil

status gizi kurang yaitu sebanyak 12 responden (22,6%).

c. Status Imunisasi

Distribusi responden menurut status imunisasi dapat dilihat pada

tabel 9:

Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Status Imunisasi di


Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
No Status Imunisasi n (%)
1 Lengkap 47 88,7
2 Tidak Lengkap 6 11,3
Total 53 100
Sumber : Data Sekunder, Februari 2019

Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

status imunisasinya lengkap yaitu sebanyak 47 responden (88,7%) dan

sebagian kecil status imunisasinya tidak lengkap yaitu sebanyak 6

responden (11,3%).
50

d. Keberadaan Anggota Keluarga yang Merokok

Distribusi responden menurut keberadaan anggota keluarga yang

merokok dapat dilihat pada tabel 10:

Tabel 10. Distribusi Responden Menurut Keberadaan Anggota


Keluarga yang Merokok di Puskesmas Mabodo Kabupaten
Muna Tahun 2018
No Keberadaan Anggota
Keluarga yang Merokok n (%)

1 Ada 39 73,6
2 Tidak Ada 14 26,4
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 53 responden, sebagian besar

anggota keluarga responden yang merokok yaitu sebanyak 39 responden

(73,6%) dan sebagian kecil anggota keluarga responden yang tidak

merokok yaitu sebanyak 14 responden (26,4%).


51

e. Penggunaan Bahan Bakar Biomass

Distribusi responden menurut penggunaan bahan bakar biomass

dapat dilihat pada tabel 11:

Tabel 11. Distribusi Responden Menurut Penggunaan Bahan Bakar


Biomass di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun
2018
No Penggunaan Bahan Bakar
n (%)
Biomass
1 Menggunakan 43 81,1
2 Tidak Menggunakan 10 18,9
Total 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 53 responden sebagian besar

menggunakan bahan bakar biomass yaitu sebanyak 43 responden (81,1%)

dan sebagian kecil tidak menggunakan bahan bakar biomass yaitu

sebanyak 10 responden (18,9%).

4.2.4 Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

dependent dan variabel independent, dimana variabel penelitian dianalisis

menggunakan uji Chi Square. Untuk membandingkan independent variabel yakni

status gizi, status imunisasi, keberadaan anggota keluarga yang merokok, dan

penggunaan bahan bakar biomass serta dependent variabel yaitu kejadian ISPA

pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018 sesuai dengan

tujuan penelitian. Hasil komparatif akan disajikan pada tabel berikut:


52

1. Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas

Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Hasil analisis hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018 dapat dilihat pada tabel 12:

Tabel 12. Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
Kejadian ISPA
Menderita Tidak Total
No Status ISPA menderita Pvalue
Gizi ISPA
n (%) n (%) n (%)
1 Gizi Baik 29 54,7 12 22,6 41 77,4

2 Gizi 7 13,2 5 9,4 12 22,6


Kurang 0,418
Total 36 67,9 17 32,1 53 100

Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 12 menunjukkan bahwa dari 12 responden yang status gizinya

kurang, sebagian besar menderita ISPA yaitu 7 responden (13,2%) dan

sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 5 responden (9,4%), sebaliknya dari

41 responden yang status gizinya baik, sebagian besar menderita ISPA yaitu 29

responden (54,7%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 12

responden (22,6%).

Hasi Uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukan nilai

p value = 0,418 (p value > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara status gizi

dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna

Tahun 2018.
53

2. Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Hasil analisis hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada

balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018 dapat dilihat pada

tabel 13:

Tabel 13. Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita
di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018
Kejadian ISPA
Menderita Tidak Total
No Status ISPA menderita Pvalue
Imunisasi ISPA
n (%) n (%) n (%)
1 Lengkap 31 58,5 16 30,2 47 88,7

2 Tidak 5 9,4 1 1,9 6 11,3 0,391


Lengkap
Total 36 67,9 17 32,1 53 100
Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 6 responden yang status

imunisasinya tidak lengkap, sebagian besar menderita ISPA yaitu 5 responden

(9,4%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 1 responden (1,9%),

sebaliknya dari 47 responden yang status imunisasinya lengkap, sebagian besar

menderita ISPA yaitu 31 responden (58,5%) dan sebagian kecil tidak

menderita ISPA yaitu 16 responden (30,2%).

Hasi Uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

nilai p value = 0,391 (p value > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara

status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna Tahun 2018.


54

3. Hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian

ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Hasil analisis hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok

dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna

Tahun 2018 dapat dilihat pada tabel 14:

Tabel 14. Hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok


dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo
Kabupaten Muna Tahun 2018
Kejadian ISPA
Menderita Tidak Total
No Anggota ISPA menderita Pvalue
Keluarga ISPA
Merokok n (%) n (%) n (%)
1 Ada 31 58,5 8 15,1 39 73,6

2 Tidak Ada 5 9,4 9 17 14 26.4


0,003
Total 36 67,9 17 32,1 53 100

Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 39 responden yang ada anggota

keluarganya merokok sebagian besar menderita ISPA yaitu 31 responden

(58,5%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 8 responden (15,1%),

sebaliknya dari 14 responden yang tidak ada anggota keluarganya merokok,

sebagian besar tidak menderita ISPA yaitu 9 responden (17%) dan sebagian

kecil menderita ISPA yaitu 5 responden (9,4%).

Hasi Uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

nilai p value = 0,003 (p value < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara


55

keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita

di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

4. Hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian ISPA

pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Hasil analisis hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan

kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

dapat dilihat pada tabel 15:

Tabel 15. Hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian


ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna
Tahun 2018
Kejadian ISPA
Menderita Tidak Total
No Penggunaan ISPA menderita Pvalue
Bahan Bakar ISPA
Biomass n (%) n (%) n (%)
1 Menggunakan 32 60,4 11 20,8 43 81,1

2 Tidak 4 7,5 6 11,3 10 18,9


Menggunakan 0,036

Total 36 67,9 17 32,1 53 100

Sumber : Data Primer, Februari 2019

Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 43 responden yang menggunakan

bahan bakar biomass sebagian besar menderita ISPA yaitu 32 responden

(60,4%) dan sebagian kecil tidak menderita ISPA yaitu 11 responden (20,8%),

sebaliknya dari 10 responden yang tidak menggunakan bahan bakar biomass,

sebagian besar tidak menderita ISPA yaitu 6 responden (11,3%) dan sebagian

kecil menderita ISPA yaitu 4 responden (7,5%).

Hasi Uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan

nilai p value = 0,036 (p value < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan
56

bahwa H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara

penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Hubungan Status Gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas
Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Gizi merupakan faktor yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari

serangan penyakit. Keadaan gizi merupakan refleksi persediaan gizi dalam tubuh.

Tingkat pertumbuhan fisik dan imunologik seseorang dipengaruhi oleh adanya

persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan

kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit (Hugo, 2014).

Dari hasil penelitian ini untuk melihat status gizi balita digunakan indeks

antropometri berat badan menurut umur (BB/U) sehingga diperoleh hasil yang

menunjukkan bahwa balita yang status gizinya baik lebih banyak dibandingkan

dengan balita yang status gizinya kurang. Berdasarkan kenyataan dilapangan hal

ini disebabkan karena jumlah anggota keluarga responden kebanyakan hanya

terdiri dari 3 anggota keluarga yaitu ayah, ibu, dan anak sehingga besar

kemungkinan biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota

keluarga terutama untuk balita akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang

jumlah anggota keluarganya lebih banyak, sehingga pemenuhan kebutuhan

gizinya akan lebih maksimal. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Nengsi (2017) yaitu besarnya keluarga juga termasuk salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi status gizi balita, dimana jumlah pangan yang tersedia untuk suatu

keluarga besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari
57

keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga

besar tersebut. Selain itu, persediaan bahan-bahan pokok masyarakat disana

mudah didapatkan dipasar tradisional yang lokasinya tidak terlalu jauh dari

pemukiman warga dan kebanyakan dari mereka memanfaatkan pekarangan rumah

sebagai tempat untuk berkebun seperti tempat menanam jagung, umbi-umbian,

sayur-sayuran, dan sebagainya.

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor lain

yang dapat memperbesar resiko terjadinya ISPA yaitu balita sering terpapar asap

dari hasil pembakaran pada saat memasak dan terpapar asap rokok, ada anggota

keluarga yang lain mengalami ISPA, serta kondisi fisik rumah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Febrianto., et al

(2015) yang mengatakan bahwa penyebab ISPA bukan hanya dari status gizi saja,

tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti terpapar atau tidaknya dengan

polusi. Balita dengan status gizi yang baik tetap bisa mengalami ISPA karena

faktor lingkungan, misalnya anggota keluarga yang lain mengalami ISPA,

sehingga tertular atau mungkin dipengaruhi faktor yang lain.

Asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi

tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan

timbulnya ISPA. Asap pembakaran mengandung berbagai partikel, seperti Timbal

(Pb), Besi (Fe), Mangan (Mn), Arsen (Ar), Cadmium (Cd) yang dapat

menyebabkan iritasi pada mukosa saluran napas sehingga saluran pernapasan


58

mudah mengalami infeksi (Syarif, 2009). Partikel-partikel tersebut bila masuk ke

dalam tubuh akan menyebabkan sel epitel dan silianya mudah rusak sehingga

benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan tidak dapat dikeluarkan.

Dengan demikian, saluran pernapasan akan mengerut yang disebabkan oleh saraf-

saraf yang terdapat di dalam saluran pernapasan terganggu. Respon yang

diberikan tubuh bila mengalami keadaan tersebut adalah mengeluarkan sekret atau

benda asing secara aktif melalui batuk (Kassamsi, 2008).

Selain itu juga keterpaparan asap rokok dapat merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA (Rahajoe, 2008)

Menurut Wang., et al (2009), seorang yang bukan perokok tetapi menghisap asap

rokok paling tidak 15 menit dalam satu hari selama satu minggu dikategorikan

sebagai perokok pasif. Asap rokok lebih berbahaya bagi perokok pasif dari pada

perokok aktif. Semakin lama balita terpapar asap rokok setiap hari maka semakin

tinggi risiko balita terkena ISPA karena asap rokok mengganggu sistem

pertahanan respirasi. Hal ini didukung oleh Corwin (2009) yang mengatakan

bahwa merokok mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan

respirasi. Produk-produk asap rokok merangsang pembentukan mukus dan

menurunkan pergerakan silia. Dengan demikian terjadi penimbunan mukus dan

peningkatan risiko pertumbuhan bakteri sehingga mempermudah timbulnya ISPA.

Depkes RI (2008) juga menambahkan akibat asap rokok seseorang bisa mengidap

gangguan pernapasan bila secara terus-menerus terkontaminasi dengan asap

rokok. Selain itu, bahaya asap rokok pada perokok pasif 3 kali lebih besar dari

pada perokok aktif.


59

Selain itu sesuai pengamatan dilapangan, kondisi fisik rumah responden

yang tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan suasana di dalam rumah

tidak nyaman dan merugikan kesehatan khususnya saluran pernapasan, seperti

kondisi rumah terlalu lembab, kondisi konstruksi dinding tidak kuat atau lapuk

pencahayaan yang kurang, kurangnya ventilasi, dan pencemaran udara dalam

rumah. Buruknya kondisi lingkungan pemukiman dapat memudahkan

berkembangnya mikroorganisme dan virus. Hal ini sesuai dengan Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan rumah tinggal menyebutkan bahwa jenis dinding tidak tembus

pandang, terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca, rata dan dilengkapi

dengan ventilasi untuk sirkulasi udara. Dinding rumah yang baik menggunakan

tembok, rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat

menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin

malam yang langsung masuk kedalam rumah.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, et

al (2015), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,061 yang berarti

bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Plered Kabupaten Purwakarta. Demikian pula sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Kartiningrum (2016), dengan hasil uji Chi-Square

diperoleh nilai p = 0.743 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara status gizi

dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Kembang Sari Kecamatan Jatibanteng

Kabupaten Situbondo Tahun 2016.


60

4.3.2 Hubungan Status Imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di


Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Imunisasi merupakan upaya untuk meningkatkan atau menimbulkan

kekebalan seseorang secara aktif terhadap penyakit, sehingga bila suatu saat

terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit

ringan (Hidayatullah, et al., 2016).

Dari hasil penelitian ini untuk melihat status imunisasi balita yaitu

dengan melihat buku catatan KMS (kartu menuju sehat) balita yang masih

disimpan oleh ibu balita dan juga melihat catatan imunisasi balita di puskesmas

jika ibu balita lupa dimana mereka terakhir tempatkan KMS atau buku catatan

tersebut telah rusak atau hilang. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

balita yang status imunisasinya lengkap lebih banyak dibandingkan dengan balita

yang status imunisasinya tidak lengkap, hal ini disebabkan karena sebagian besar

responden mengetahui bahwa imunisasi sangat penting bagi balita untuk

mencegah terjadinya penyakit. Selain itu antusiasme warga untuk datang ke

posyandu untuk mengimunisasi ataupun sekedar melihat perkembangan berat

badan balitanya cukup tinggi dan juga karena dorongan keluarga dan tetangga

atau masyarakat setempat.

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo

Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena masih tingginya

penderita ISPA pada balita walaupun telah menerima imunisasi lengkap

diakibatkan karena belum ada vaksin yang dapat mencegah ISPA secara langsung.

Hal ini sejalan dengan teori Taisir (2005) yang mengatakan bahwa hubungan
61

status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita tidak secara langsung.

Kebanyakan kasus ISPA terjadi dengan disertai komplikasi campak yang

merupakan faktor risiko ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi

imunisasi campak yang diberikan bukan untuk memberikan kekebalan tubuh

terhadap ISPA secara langsung melainkan hanya untuk mencegah faktor yang

dapat memacu terjadinya ISPA.

Penyebab ISPA tidak dari faktor kekebalan tubuh atau imunitas saja,

masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya ISPA. Faktor yang

dapat menyebabkan terjadinya ISPA antara lain usia, jenis kelamin, dan yang

paling penting lingkungan (Wantania, et al., 2012). Dari beberapa faktor ini akan

saling berpengaruh satu sama lain, sehingga ISPA dapat terjadi terus menerus

minimal 3 kali dalam 1 tahun. Selain itu, salah satu agen infeksius penyebab ISPA

dalam hal ini virus, juga berperan dalam terjadinya ISPA yang tidak dapat

dihindari dalam 1 tahun. Antigen virus yang merupakan sasaran dari antibodi

berjumlah sangat besar yang terdiri atas galur yang berbeda genetiknya. Variasi

antigen virus tersebut, menjadikan virus dapat resisten terhadap respon imun yang

ditimbulkan oleh infeksi terdahulu, misal pandemi influenza. Juga ditemukan

sejumlah besar epitop virus sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan

vaksinasi spesifik terhadap virus tersebut. Sehingga kita tidak dapat menghindari

terjadinya ISPA dalam 1 tahun (Bratawidjaja, 2006).

Menurut Utami (2013) walaupun balita telah menerima imunisasi dasar

lengkap balita masih beresiko mengalami ISPA karena terdapat juga beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA yaitu paparan dari virus, dan
62

bakteri. Menurut Hasan (2012), faktor lingkungan tempat tinggal anak dapat

berpengaruh pada kejadian ISPA, dibutuhkan kualitas rumah tinggal yang baik

serta memenuhi syarat kesehatan untuk menjaga lingkungan tetap sehat. Kualitas

rumah tinggal yang baik ditentukan oleh jenis bahan bangunan yang digunakan,

dan cukup luas untuk satu keluarga.

Pada penelitian ini, ada satu balita yang status imunisasinya tidak

lengkap tetapi tidak menderita ISPA. Hal ini disebabkan karena kondisi fisik

rumah balita yang nyaman, tidak ada polusi asap didalam rumah karena dapur

untuk memasak menggunakan kayu bakar ditempatkan berpisah dengan rumah

dan juga tidak ada anggota keluarga yang merokok. Hal ini sesuai dengan teori

Sumarmi (2014) yang mengatakan bahwa lingkungan rumah tepatnya kondisi

fisik rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar

terhadap status kesehatan penghuninya. Bila kondisi lingkungan buruk, derajat

kesehatan akan rendah demikian sebaliknya. Oleh karena itu kondisi lingkungan

pemukiman harus mampu mendukung tingkat kesehatan penghuninya.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh South

(2016), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,472 yang berarti bahwa

tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Ratatotok. Demikian pula sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Tatawi (2013), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p

= 0,526 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status

imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Tuminting Kota Manado.


63

4.3.3 Hubungan Keberadaan Anggota Keluarga Yang Merokok dengan


kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna
Tahun 2018

Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan

balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta

akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang

terus menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat

timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan paru-paru pada saat

dewasa (Milo, et al., 2015).

Dari hasil penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner untuk

mengetahui ada tidaknya anggota keluarga balita yang merokok, dan jika ada

apakah anggota keluarga balita tersebut merokok disekitar balita atau tidak. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa balita yang ada anggota keluarganya yang

merokok lebih banyak dibandingkan dengan balita yang tidak ada anggota

keluarganya yang merokok. Berdasarkan pernyataaan ibu balita hal ini disebabkan

karena anggota keluarga yang merokok tersebut yang hampir semua adalah ayah

dari balita mengatakan bahwa dengan merokok dapat menghilangkan rasa lelah

saat habis bekerja yang kebanyakan dari mereka bekerja diperkebunan dan juga

sudah kebiasaan dari dulu yang susah untuk dihilangkan. Selain itu kurangnya

kesadaran akan bahaya masalah kesehatan yang ditimbulkan dari kebiasaan

merokok bagi dirinya maupun orang disekitarnya terutama bagi balitanya, hal ini

dapat dilihat dari kebiasaan anggota keluarga yang merokok didalam rumah pada

saat bersantai bersama, misalnya sambil nonton TV atau bercengkerama dengan


64

anggota keluarga lainnya maupun dengan kerabat atau tetangga, tanpa

memikirkan dampak yang ditimbulkan dari asap rokok tersebut.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan antara

keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena

tingginya penderita ISPA pada balita yang ada anggota keluarganya yang

merokok dibandingkan balita yang tidak ada anggota keluarganya yang merokok.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan kenyataan dilapangan, hal ini

disebabkan karena balita terpapar asap rokok dikarenakan anggota keluarga balita

yang merokok tersebut merokok didalam rumah dan kondisi ventilasi dalam

rumah balita tersebut tidak mendukung untuk masuk keluarnya udara di dalam

ruangan sehingga memperbesar paparan asap rokok didalam rumah. Hal ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Rahmayatul (2013), yaitu kebiasaan

merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita sebagai perokok pasif yang

selalu terpapar asap rokok. Rumah yang orang tuanya mempunyai kebiasaan

merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan

dengan rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah.

Kebiasaan merokok di rumah akan merugikan anak-anak dan istri karena

menjadi perokok pasif (Wahyu, 2008). Udara yang tercemar oleh perokok akan

mencemari orang yang tidak merokok disekitarnya. Beberapa penyelidikan

menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya merokok akan mudah

menderita penyakit gangguan pernapasan (Bustan, 2007). Terdapat seorang

perokok atau lebih yang merokok di dalam rumah akan memperbesar resiko
65

anggota keluarga menderita gangguan pernapasan serta dapat meningkatkan

resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita (Epa Development,

2009).

Bahan kimia yang berasal dari asap rokok merangsang permukaan sel

saluran pernapasan sehingga mengakibatkan keluarnya lendir atau dahak. Mirip

dengan rangsangan debu, virus atau bakteri pada saat flu. Bedanya adalah bahwa

dahak yang ditimbulkan karena virus flu akan di dorong keluar oleh debu getar

sepanjang saluran napas dengan menstimulasi reflek batuk. Sedangkan lendir

yang disebabkan oleh pengaruh asap rokok yang lama tertahan di saluran

pernapasan karena tidak dapat menstimulasi reflek batuk dapat menjadi tempat

berkembangnya bakteri yang akan meningkatkan penyakit infeksi pernapasan

termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang memiliki daya tahan

tubuh lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka balita lebih cepat terganggu

sistem pernapasannya seperti ISPA (Trisnawati dan Juwarni, 2012).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Milo, et al

(2015), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,002 yang berarti bahwa

ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Sario Kota Manado. Demikian pula sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Putri dan Irdawati (2017), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p

= 0,018 yang berarti terdapat hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang

merokok denngan kejadian pneumonia pada anak usia 1-4 tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Tawangsari Sukoharjo.


66

4.3.4 Hubungan Penggunaan Bahan Bakar Biomass dengan kejadian ISPA


pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018

Penggunaan bahan bakar untuk memasak di rumah tangga sangat

berpengaruh terhadap faktor risiko kejadian ISPA yang dimana bahan bakarnya

banyak mengeluarkan asap dan konstruksi rumah yang tidak memiliki ventilasi di

dapur yang menyebabkan asap lama tinggal di dapur maupun perilaku ibu

membawa anak ke dapur sehingga anak yang berada bersama ibu di dapur, anak

tersebut sering terpapar asap yang juga mengakibatkan gangguan pernapasan pada

balita (Singga dan Maran, 2013).

Dari hasil penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner untuk

mengetahui bahan bakar apa yang digunakan untuk memasak, letak dapur, ada

tidaknya ventilasi didapur, dan apakah pada saat memasak ibu balita membawa

balitanya kedapur atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah

responden yang masih menggunakan bahan bakar biomass untuk memasak lebih

banyak dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan bahan bakar

biomass untuk memasak, hal ini disebabkan karena banyak dari warga disana

yang lebih memilih kayu sebagai bakar untuk memasak, karena bahan bakar kayu

mudah didapat, lebih ekonomis, masakan yang dimasak menggunakan bahan

bakar kayu rasanya lebih nikmat dibandingkan dengan masakan yang

menggunakan kompor gas atau kompor minyak tanah. Bahan bakar kayu dilokasi

penelitian ini mudah didapat karena kawasannya masih banyak terdapat hutan

sehingga mempermudah warga mengumpulkan ranting-ranting pohon yang sudah

mengering untuk dijadikan bahan bakar memasak yang lokasi untuk mengambil

ranting pohon tersebut tidak terlalu jauh dari rumah warga. Selain itu warga juga
67

memperoleh bahan bakar kayu dengan membeli dan memesannya secara langsung

pada penjual kayu bakar yang harganya tidak terlalu mahal dibandingkan dengan

membeli minyak tanah atau gas. Biasanya hal ini terjadi pada saat musim

penghujan yang pada saat musim ini kayu bakar yang kering susah didapat.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara

penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas

Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018. Hal ini disebabkan karena tingginya

penderita ISPA pada balita yang masih menggunakan bahan bakar biomass

dibandingkan dengan yang tidak menggunakan bahan bakar biomass. Hal ini

sesuai dengan teori Sukar (1996) yaitu kejadian ISPA lebih banyak diderita oleh

balita pada rumah tangga yang menggunakan bahan bakar dengan emisi asap yang

banyak (kayu api dan minyak tanah) dibandingkan rumah yang menggunakan

bahan bakar yang sedikit asapnya (LPG). Hal ini dikarenakan asap merupakan

salah satu agen atau penyebab terjadinya ISPA pada balita. Asap dari penggunaan

bahan bakar di rumah merupakan sumber utama polusi di udara. Sumber polusi

ini bisa dihasilkan dari kegiatan-kegiatan dalam ruangan seperti memasak.

Semakin banyak jumlah polutan dalam rumah tangga akan meningkatkan

risiko kejadian ISPA pada balita dalam rumah tersebut. hal ini terlihat dari jumlah

penderita ISPA yang lebih banyak diderita oleh balita pada rumah tangga yang

lebih banyak penggunaan bahan bakarnya. Semakin banyak bahan bakar yang

digunakan, maka semakin tinggi pula jumlah polutan dalam rumah yang akan

mengganggu sistem pernapasan balita. Asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
68

memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan

parusehingga akan memudahkan timbulnya ISPA (Depkes 2002).

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan kenyataan

dilapangan, kebanyakan dari responden yang masih menggunakan bahan bakar

biomass untuk memasak letak dapur berada didalam rumah dan ibu balita sering

membawa balita didapur pada saat memasak sehingga menyebabkan balita

tersebut terkena penyakit ISPA karena sering terpapar asap dari hasil pembakaran

bahan bakar biomass. Hal ini sesuai dengan teori Singga dan Maran (2013) yaitu

kejadian ISPA erat kaitanya dengan faktor resiko yaitu kondisi lingkungan rumah

dan perilaku. Yang dimaksud dengan kondisi rumah adalah letak dapur dengan

ruang keluarga dekat, terdapat asap di dalam rumah saat memasak, ruang dapur

dengan ruang makan di gabung dan tidak ada lubang ventilasi di dapur.

Sedangkan faktor perilaku adalah kebiasaan ibu membawa anak ke dapur saat

memasak. Faktor-faktor risiko tersebut erat kaitannya dengan penggunaan bahan

bakar dalam rumah tangga penderita ISPA. Contohnya kebiasaan ibu membawa

anak ke dapur, akan meningkatkan risiko kejadian ISPA pada balita tersebut

sebagai akibat dari seringnya balita terpapar polutan dari hasil pembakaran

didapur. Demikian juga dengan kondisi rumah yang dapurnya dekat dengan ruang

keluarga, ruang makan dan dapur digabung serta tidak adanya ventilasi akan

meningkatkan risiko kejadian ISPA pada balita dirumah tangga tersebut. Pada

rumah-rumah dengan kodisi tersebut, tingkat polusi akibat penggunaan bahan

bakar dalam rumah akan lebih tinggi. Tingginya polusi dalam rumah dengan

sendirinya menyebabkan balita dalam rumah tersebut rentan terhadap kejadian


69

ISPA. Teori yang dikemukakan oleh Hugo (2014) menambahkan bahwa balita

yang terpajan oleh pencemaran dari hasil pemakaian kayu bakar untuk memasak

dan kebiasaan membawa balita kedapur dapat menyebabkan balita terkena resiko

2,3 kali lebih besar mengalami penyakit ISPA dibandingkan balita yang tidak

selalu dibawa kedapur menerima resiko 1,5 kali dibandingkan dengan yang tidak

terkena pajanan asap dari kegiatan memasak didapur. Polusi udara dalam ruangan

yang disebabkan paparan asap dari kegiatan memasak dengan pemakaian bahan

bakar biomass (kayu, kotoran hewan, jerami) mempunyai hubungan yang

signifikan dengan prevalensi ISPA pada balita.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wahyuningsih, et al (2017), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,001

yang berarti terdapat hubungan antara penggunakan jenis bahan bakar biomass

denngan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Desa Kore Kecamatan

Sanggar Kabupaten Bima Tahun 2014. Demikian pula sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Rosana (2016), dengan hasil uji Chi-Square diperoleh nilai p

= 0,003 yang berarti terdapat hubungan antara penggunakan jenis bahan bakar

biomass denngan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Blado 1.

4.4 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional sehingga tidak

dapat melihat hubungan kausal karena pengambilan data dependent dan

independent dilakukan dalam waktu yang sama.


70

2. Keterbatasan dalam jenis variabel yang diteliti, masih terdapat beberapa

variabel lainnya yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita yang

tidak diteliti.

3. Kurangnya jumlah sampel menyebabkan variabel status gizi dan status

imunisasi tidak berhubungan dengan kejadian ISPA, sehingga diharapkan

untuk peneliti selanjutnya yang penelitiannya sama dengan penelitian ini

agar memperbanyak jumlah sampel sehingga variabel status gizi dan status

imunisasi dapat berhubungan dengan kejadian ISPA.


BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor yang

berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten

Muna Tahun 2018. Maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

2. Tidak ada hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

3. Ada hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian

ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

4. Ada hubungan penggunaan bahan bakar biomass dengan kejadian ISPA pada

balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten Muna Tahun 2018.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor yang

berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Mabodo Kabupaten

Muna Tahun 2018. Maka dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Diharapkan kepada ibu balita hendaknya lebih memberikan makanan yang

bergizi dan cukup energi untuk anaknya, aktif dalam mengikuti kegiatan

posyandu setiap bulannya untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan

anak balita dan lebih aktif dalam mencari informasi tentang gizi balita melalui

71
72

penyuluhan oleh tenaga kesehatan, konseling gizi dan melalui sumber

informasi lainnya.

2. Diharapkan kader bisa menghimbau ibu-ibu baduta untuk selalu membawa

anak untuk mendapatkan imunisasi dasar, dan keluarga khususnya suami ikut

mengingatkan dan jika perlu menemani ibunya untuk membawa anaknya

mendapatkan imunisasi dasar.

3. Diharapkan anggota keluarga yang merokok tidak berada di dekat balita dan

bagi yang menggunakan kayu bakar, gunakanlah kayu bakar yang benar-

benar kering dan pastikan kayu tersebut terbakar secara sempurna, agar tidak

banyak mengeluarkan asap, serta diusahakan tidak membawa balita kedapur

ketika memasak, sehingga memperkecil resiko balita terkena penyakit ISPA.

4. Diharapkan bagi tenaga kesehatan (Puskesmas) hendaknya memberikan

konseling kepada Ibu yang memiliki balita di Puskesmas Mabodo yang

mengalami penyakit ISPA untuk dapat mengurangi tingkat terjadinya

penyakit ISPA tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Almira. 2017. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Siantan Hilir.
Jurnal ProNers. Vol. 2. No. 2. Hal. 1-10.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.
Baratawidjaja, K.G. 2014 Imunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Budiarto, E. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC.
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: ECG.
Danusantoso, H. 2012. Ilmu Pnyakit Paru Edisi 2. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman program pemberantasan penyakit
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) untuk penanggulangan
pneumonia pada balita. Jakarta : Depkes RI.
Depkes RI. 2000. Angka Kunjungan Penderita ISPA. Jakarta.
2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Saluran Pernapasan
Akut. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2007. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Dirjen PP & PL.
Jakarta.
2009. Pedoman pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut, Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Febrianto W., Mahfoedz I. dan Mulyanti. 2015. Status Gizi Berhubungan Dengan
Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I
Kabupaten Gunungkidul 2014. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia, Vol.
3. No. 2. Hal. 113–118.
Hadiana, S.Y.M. (2013). Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (Ispa) pada Balita di Puskesmas Pajang
Surakarta. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan UMS.

73
Hariani. 2014. Hubungan status imunisasi, status gizi, dan asap rokok dengan
kejadian ISPA pada anak di puskesmas Segeri Pangkep.
Hasan, N.R. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita Di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur,
Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah.
Hersoni, S. 2018. Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif Terhadap
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Rab Rsu Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan
Bakti Tunas Husada. Vol. 18. No. 1. Hal. 79-87.
Hidayatullah, L.M., Y. Helmi, dan H. Aulia. 2016. Hubungan Antara
Kelengkapan Imunisasi Dasar dan Frekuensi Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita yang Datang Berkunjung ke
Puskesmas Sekip Palembang 2014. Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan. Vol. 3. No. 3. Hal. 182-193.
Hugo, M. 2014. Pajanan Asap Dalam Rumah Terhadap Kejadian Ispa
Nonpneumonia Pada Anak Balita Di Kabupaten Kapuas. Jurnal
Kesehatan Reproduksi. Vol. 1. No. 1. Hal. 80-89.
Imelda. 2017. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dan Status Imunisasi dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Aceh Besar.
Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol. 5. No. 2. Hal. 90-96.

Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok. Yogyakarta: Riz‟ma.


Kartiningrum, E. D. 2016. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ispa Pada Balita
Di Desa Kembang Sari Kec. Jatibanteng Kab.Situbondo. Hospital
Majapahit. Vol. 8, No. 2, Hal. 29-41.
Kassamsi. 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Rembon Tahun
2008. FKM Unhas.
Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI 2012.
2016. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI 2016.
Krishna, A. 2015. Mengenali Keluhan Anda (informasi kesehatan umum untuk
pasien). Informasi Medika.
Kristiyansari, Weni. 2009. ASI Menyusui dan Sadari. Yogyakarta: Nuha Medika.

74
Luange, B., A.Y. Ismanto, dan M.Y. Karundeng. 2016. Hubungan Pemberian
Makanan Pendamping ASI (Mp-ASI) Dini dengan Kejadian Ispa Pada
Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas Moti Kota Ternate. e-journal
Keperawatan. Vol. 4. No. 1. Hal. 1-7.
Milo, S., A.Y. Ismanto, dan V.D. Kallo. 2015. Hubungan Kebiasaan Merokok Di
Dalam Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di
Puskesmas Sario Kota Manado. ejournal Keperawatan. Vol. 3. No. 2.
Hal. 1-7.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Mitayani. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta: CV Trans Info Media.
Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Nindya, T.S. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian ISPA. Surabaya:
FKM UNAIR.
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
2010. Metedeologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
2011. Kesehatan Masyarakat (Ilmu & Seni). Jakarta: Rineka Cipta.
Poetra, R.P. 2018. Hubungan Kamarisasi Dan Bahan Bakar Biomassa Terhadap
Kejadian Infeksi Pernafasan Akut Pada Anak Balita. JMK Yayasan RS
Dr Soetomo. Vol. 4. No. 2. Hal. 163-169.
Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015.
Profil Kesehatan Kabupaten Muna Tahun 2017.
Putra, A.S. 2014. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Status Imunisasi
Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Pariaman Kelurahan
Pauh Barat Di Kota Pariaman Tahun 2014. LPPM Stikes Yarsi. Vol. 3.
No. 2. Hal. 1-9.
Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta.
Rahmayatul, F. 2013. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada
Balita. Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

75
Setiasih, E. 2011. Analisis Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Gizi Anak Usia (1 – 5 Tahun) Di Posyandu Cempaka Desa Ngrembel
Kelurahan Gunungpati Kota Semarang. Jurnal Keperawatan. Vol. 4.
No. 2. Hal. 147-170.
Syarif, S.W. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut Pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tarakan Kota Makassar Tahun 2009. FKM Unhas.
Singga, S. dan A.A. Maran. 2013. Penggunaan Bahan Bakar Dan Faktor Risiko
Kejadian Ispa Pada Balita Di Kelurahan Sikumana. Jurnal Info
Kesehatan. Vol. 11. No. 1. Hal. 348-355.
Sofia. 2017. Faktor Risiko Lingkungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Aceh
Nutrition Journal. Vol. 1. No. 2. Hal. 43-50.
South, S. 2016. Hubungan Status Gizi Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Ratatotok. E-Jurnal Sariputra. Vol. 3. No. 2. Hal. 48-55.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukar. 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA
Pnemonia. Bandung: Buletin Penelitian Kesehatan.
Sumarmi. 2014. Analisis Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian TB
Paru BTA Positif Di Puskesmas Kotabumi II, Bukit Kemuning dan
Ulak Rengas Kab. Lampung Utara Tahun 2012. Jurnal Kedokteran
Yarsi. Vol. 2. No. 22. Hal. 082-101.
Sutomo, B., dan Anggraini, D. W. 2010. Menu Sehat Alami Untuk Batita dan
Balita. Jakarta: PT Agro Media Pustaka.
Taisir. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapaktuan Aceh
Selatan Tahun 2005. Medan : FKM USU.
Trisnawati, Y. dan Juwarni. 2012. Hubungann Perilaku Merokok Orang Tua
Dengan kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Rembang Kabupaten Purbalingga. Akademi Kebidanan YLPP
Purwokerto. Vol. 6. No. 1. Hal. 35-42.
Utami, S. 2013. Studi Deskriptif Pemetaan Faktor Resiko ISPA Pada Balita
Usia 0-5 Tahun Yang Tinggal Di Rumah Hunian Akibat Bencana Lahar
Dingin Merapi Di Kecamatan Salam Kabupaten Magelang. Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang.

76
Wahyu. 2008. Stroke Hanya Menyerang Orang Tua. Jakarta: Seri Kesehatan
Populer.
Wahyuningsih, S. 2017. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di
Wilayah Pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima.
Higiene. Vol. 3. No. 2. Hal. 97-105.
Wang C. P., Ma S. J., Xu X. F., et al., 2009. The prevalence of household second-
hand smoke exposure and its correlated factors in six countries of
China. http://www.pubmedcentral.nih.gov.
Wantania JM, Naning R, Wahani A. 2012. Infeksi respiratori akut. Dalam: Buku
ajar respirologi anak IDAI. Jakarta: EGC.
WHO. 2015. Acute Respiratory Infection. www.who.int. Diakses tanggal 15
Desember 2018.
Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta: EGC.
Yuliastuti, E. 2014. Hubungan Status Gizi Dan Status Imunisasi Dengan Kejadian
Ispa Pada Balita. Dinamika Kesehatan. Vol. 5. No. 2. Hal. 87-97.

77
LAMPIRAN

LAMPIRAN
Lampiran 1

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI


SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI PUSKESMAS MABODO KABUPATEN MUNA
TAHUN 2018

A. Data Demografi

Kode Responden :

Petunjuk Pengisian :

1. Semua pertanyaan harus diberi jawaban

2. Beri tanda centang ( √ ) pada kotak yang disediakan

3. Setiap pertanyaan dijawab hanya dengan 1 jawaban yang sesuai menurut

responden.

4. Bila ada yang kurang dimengerti dapat ditanyakan kepada peneliti.

Identitas Responden (Ibu Balita)

Nama :

Umur :

Pendidikan : Tidak sekolah SD

SMP SMA

D1-D3/Perguruan Tinggi

Pekerjaan Ibu : Tidak bekerja Pegawai

Wiraswasta Buruh/Petani/Nelayan

Ibu Rumah Tangga

Lain-lain …………… (Sebutkan)


Identitas Anak

1. Nama :

2. Jenis Kelamin : Laki-laki

Perempuan

3. Umur : Tahun

4. Berat Badan : kg

B. Kuesioner Kejadian ISPA Pada Balita

1. Apakah dalam 3 bulan terakhir balita anda pernah batuk, pilek, serak,

demam baik disertai nafas cepat ataupun sesak nafas?

a. Ya (lanjut no.2,3,4)

b. Tidak (lanjut no.8)

2. Jika ya, berapa lama?

a. <14 hari b. >14 hari

3. Apakah batuk pilek balita anda disertai lendir ?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah selama batuk, pilek balita anda memiliki gangguan seperti demam,

nyeri dan sukar menelan ?

a. Ya b. Tidak

5. Jika tidak, kapan terakhir kali balita anda mengalaminya ?

a. 5 – 8 bulan yang lalu

b. Setahun yang lalu

c. Lebih dari setahun yang lalu

(Modifikasi Vovi Noviyanti, 2012).


Gejala-gejala lain yang diderita oleh balita :

No Tanda/Gejala Ada Tidak Ada


Wheezing (mengi) / Pernapasan
6 berbunyi seperti mencuit-cuit
Sakit atau keluar cairan dari telinga
7
Bercak kemerahan (campak)
8
Kesadaran menurun
9
Bibir/kulit pucat kebiruan
10

(Modifikasi Desni J Sitohang, 2009).

C. Kuesioner Status Imunisasi

1. Apakah bayi ibu mendapatkan imunisasi dasar sebelum berusia 1 tahun?

a. Ya b. Tidak

2. Pertanyaan dibawah ini dilihat melalui catatan imunisasi dasar dengan

melihat Kartu Menuju Sehat (KMS) anak meliputi:

0 bulan Hepatitis B-0

1 bulan BCG, Polio 1

2 bulan DPT-HB 1, Polio 2

3 bulan DPT-HB 2, Polio 3

4 bulan DPT-HB 3, Polio 4

9 bulan Campak

(Modifikasi Riri Novia Sumanti, 2017)


D. Kuesioner Keberadaan Anggota Keluarga Yang Merokok

1. Apakah terdapat anggota keluarga yang merokok?

a. Ya b. Tidak

2. Jika ada yang merokok, apakah dilakukan disekitar balita?

a. Ya b. Tidak

(Modifikasi Muhammad Akbar Fakhrurrozi, 2017)

E. Kuesioner Penggunaan Bahan Bakar Biomass

1. Jenis bahan bakar apa yang biasa digunakan saat memasak.

a. Kayu

b. Kompor (minyak tanah/gas)

2. Apakah pada saat memasak, ibu membawa balita ke dapur ?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah lokasi dapur anda terpisah dengan rumah ?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah terdapat jarak antara dapur dengan rumah anda ?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah dapur memiliki jendela (ventilasi) ?

a. Ya b. Tidak

(Modifikasi Epi Magdalena Limbong, 2016).


Lampiran 2

MASTER TABEL PENELITIAN

NO Umur Umur Jenis Berat Pendidikan Pekerjaan K. SG SI KAKYM PBBB


Ibu Balita Kelamin Badan ISPA
1 33 18 1 8.9 5 5 1 1 1 1 1
2 30 50 1 13.1 2 5 2 1 2 2 1
3 40 50 1 13.0 3 5 2 1 1 2 1
4 25 17 2 8.5 4 5 1 1 1 2 1
5 31 17 2 7.8 2 5 1 2 1 1 2
6 22 27 2 10.0 4 5 1 1 1 2 1
7 31 32 2 10.1 4 5 2 2 1 2 1
8 29 24 1 10.0 4 5 1 1 1 1 1
9 30 17 1 11.6 5 2 1 1 1 1 1
10 35 29 1 15.0 2 3 2 1 1 2 1
11 24 15 2 9.3 4 5 1 1 1 2 1
12 40 48 2 12.0 3 4 1 2 1 1 1
13 34 16 1 8.3 2 5 1 2 1 1 1
14 30 15 1 8.7 2 5 1 1 2 1 1
15 35 17 1 10.0 4 5 1 1 1 1 1
16 36 47 2 14.0 2 5 1 1 1 1 1
17 28 13 1 9.0 4 5 1 1 2 1 1
18 41 30 2 12.0 3 4 2 1 1 1 1
19 32 24 1 9.5 2 5 2 2 1 1 2
20 28 13 2 9.0 4 3 2 1 1 1 1
21 30 40 1 14.0 2 5 1 1 1 1 1
22 36 48 1 15.0 4 4 1 1 1 1 1
23 31 48 1 15.0 5 2 1 1 1 1 2
24 29 48 2 11.0 4 5 1 2 1 1 1
25 35 45 1 17.0 4 5 2 1 1 1 2
26 28 24 1 12.0 4 5 2 1 1 2 2
27 33 24 2 10.0 3 4 2 1 1 2 1
28 32 24 1 10.0 4 5 1 1 1 1 1
29 29 24 1 10.0 4 4 2 1 1 1 1
30 38 48 2 13.0 3 5 1 1 2 1 1
31 30 12 2 6.4 4 5 1 2 1 1 2
32 35 29 2 13.0 4 5 1 1 1 1 1
33 30 48 1 12.0 2 4 2 2 1 1 1
34 27 13 1 7.8 4 5 2 2 1 1 1
35 25 15 1 8.1 4 5 2 2 1 2 2
36 32 48 1 15.0 3 4 2 1 1 2 2
37 27 31 2 12.0 4 5 1 1 1 1 1
38 41 48 2 14.0 4 5 1 1 1 1 1
39 29 24 1 10.2 5 2 1 1 1 1 1
40 30 26 1 11.0 2 5 1 1 1 2 1
41 25 13 1 9.1 4 5 2 1 1 1 2
42 27 29 2 12.0 4 4 2 1 1 2 1
43 32 36 2 10.0 3 5 1 2 2 1 1
44 26 12 2 8.1 4 5 1 1 1 1 1
45 30 24 1 10.0 2 5 1 1 1 1 1
46 25 14 2 9.5 3 4 1 1 1 1 1
47 28 14 1 10.7 4 4 1 1 1 2 1
48 30 13 2 9.4 2 5 1 1 1 1 2
48 27 13 2 9.3 4 4 1 1 1 1 1
50 30 36 1 10.5 2 5 1 2 1 1 1
51 31 16 1 9.0 4 5 1 1 2 1 1
52 29 13 2 8.6 5 2 1 1 1 1 1
53 35 41 1 14.0 2 5 1 1 1 1 1
Lampiran 3

Output Master Tabel Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Statistics

Jenis_Kelami
Umur_Ibu Umur_Balita n Berat_Badan Pendidikan Pekerjaan

N Valid 53 53 53 53 53 53

Missing 0 0 0 0 0 0

Umur_Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 22 1 1.9 1.9 1.9

24 1 1.9 1.9 3.8

25 4 7.5 7.5 11.3

26 1 1.9 1.9 13.2

27 4 7.5 7.5 20.8

28 4 7.5 7.5 28.3

29 5 9.4 9.4 37.7

30 10 18.9 18.9 56.6

31 4 7.5 7.5 64.2


32 4 7.5 7.5 71.7

33 2 3.8 3.8 75.5

34 1 1.9 1.9 77.4

35 5 9.4 9.4 86.8

36 2 3.8 3.8 90.6

38 1 1.9 1.9 92.5

40 2 3.8 3.8 96.2

41 2 3.8 3.8 100.0

Total 53 100.0 100.0

Umur_Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 12 2 3.8 3.8 3.8

13 7 13.2 13.2 17.0

14 2 3.8 3.8 20.8

15 3 5.7 5.7 26.4

16 2 3.8 3.8 30.2

17 4 7.5 7.5 37.7

18 1 1.9 1.9 39.6

24 8 15.1 15.1 54.7


26 1 1.9 1.9 56.6

27 1 1.9 1.9 58.5

29 3 5.7 5.7 64.2

30 1 1.9 1.9 66.0

31 1 1.9 1.9 67.9

32 1 1.9 1.9 69.8

36 2 3.8 3.8 73.6

40 1 1.9 1.9 75.5

41 1 1.9 1.9 77.4

45 1 1.9 1.9 79.2

47 1 1.9 1.9 81.1

48 8 15.1 15.1 96.2

50 2 3.8 3.8 100.0

Total 53 100.0 100.0

Jenis_Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-laki 30 56.6 56.6 56.6

Perempuan 23 43.4 43.4 100.0

Total 53 100.0 100.0


Berat_Badan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 6.4 1 1.9 1.9 1.9

7.8 2 3.8 3.8 5.7

8.1 2 3.8 3.8 9.4

8.3 1 1.9 1.9 11.3

8.5 1 1.9 1.9 13.2

8.6 1 1.9 1.9 15.1

8.7 1 1.9 1.9 17.0

8.9 1 1.9 1.9 18.9

9 3 5.7 5.7 24.5

9.1 1 1.9 1.9 26.4

9.3 2 3.8 3.8 30.2

9.4 1 1.9 1.9 32.1

9.5 2 3.8 3.8 35.8

10 8 15.1 15.1 50.9

10.1 1 1.9 1.9 52.8

10.2 1 1.9 1.9 54.7

10.5 1 1.9 1.9 56.6

10.7 1 1.9 1.9 58.5


11 2 3.8 3.8 62.3

11.6 1 1.9 1.9 64.2

12 6 11.3 11.3 75.5

13 3 5.7 5.7 81.1

13.1 1 1.9 1.9 83.0

14 4 7.5 7.5 90.6

15 4 7.5 7.5 98.1

17 1 1.9 1.9 100.0

Total 53 100.0 100.0

Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid SD 14 26.4 26.4 26.4

SMP 8 15.1 15.1 41.5

SMA 26 49.1 49.1 90.6

D1-D3/Perguruan Tinggi 5 9.4 9.4 100.0

Total 53 100.0 100.0


Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Pegawai 4 7.5 7.5 7.5

Wiraswasta 2 3.8 3.8 11.3

Buruh/Petani/Nelayan 11 20.8 20.8 32.1

Ibu Rumah Tangga 36 67.9 67.9 100.0

Total 53 100.0 100.0

2. Output Analisis Univariat

Statistics

Keberadaan_A
nggota_Keluar Penggunaan_B
Status_Imunisa ga_Yang_Mero ahan_Bakar_Bi
Kejadian_ISPA Status_Gizi si kok omass

N Valid 53 53 53 53 53

Missing 0 0 0 0 0
Kejadian_ISPA

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Menderita 36 67.9 67.9 67.9

Tidak Menderita 17 32.1 32.1 100.0

Total 53 100.0 100.0

Status_Gizi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Baik 41 77.4 77.4 77.4

Kurang 12 22.6 22.6 100.0

Total 53 100.0 100.0

Status_Imunisasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Lengkap 47 88.7 88.7 88.7

Tidak Lengkap 6 11.3 11.3 100.0

Total 53 100.0 100.0


Keberadaan_Anggota_Keluarga_Yang_Merokok

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ada 39 73.6 73.6 73.6

Tidak Ada 14 26.4 26.4 100.0

Total 53 100.0 100.0

Penggunaan_Bahan_Bakar_Biomass

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Menggunakan 43 81.1 81.1 81.1

Tidak Menggunakan 10 18.9 18.9 100.0

Total 53 100.0 100.0


3. Output Analisis Bivariat

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi *
53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA

Status_Imunisasi *
53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA

Keberadaan_Anggota_Kel
uarga_Yang_Merokok * 53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA

Penggunaan_Bahan_Baka
r_Biomass * 53 100.0% 0 .0% 53 100.0%
Kejadian_ISPA

Status_Gizi * Kejadian_ISPA
Crosstab

Count

Kejadian_ISPA

Menderita Tidak Menderita Total

Status_Gizi Baik 29 12 41

Kurang 7 5 12

Total 36 17 53
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square .655 1 .418

b
Continuity Correction .210 1 .647

Likelihood Ratio .636 1 .425

Fisher's Exact Test .490 .318

Linear-by-Linear
.643 1 .423
Association

b
N of Valid Cases 53

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,85.

b. Computed only for a 2x2 table

Status_Imunisasi * Kejadian_ISPA
Crosstab

Count

Kejadian_ISPA

Menderita Tidak Menderita Total

Status_Imunisasi Lengkap 31 16 47

Tidak Lengkap 5 1 6

Total 36 17 53
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square .737 1 .391

b
Continuity Correction .155 1 .693

Likelihood Ratio .818 1 .366

Fisher's Exact Test .651 .364

Linear-by-Linear
.723 1 .395
Association

b
N of Valid Cases 53

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,92.

b. Computed only for a 2x2 table

Keberadaan_Anggota_Keluarga_Yang_Merokok * Kejadian_ISPA

Crosstab

Count

Kejadian_ISPA

Menderita Tidak Menderita Total

Keberadaan_Anggota_Keluar Ada 31 8 39
ga_Yang_Merokok
Tidak Ada 5 9 14

Total 36 17 53
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 9.060 1 .003

b
Continuity Correction 7.162 1 .007

Likelihood Ratio 8.680 1 .003

Fisher's Exact Test .006 .004

Linear-by-Linear
8.889 1 .003
Association

b
N of Valid Cases 53

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,49.

b. Computed only for a 2x2 table

Penggunaan_Bahan_Bakar_Biomass * Kejadian_ISPA

Crosstab

Count

Kejadian_ISPA

Menderita Tidak Menderita Total

Penggunaan_Bahan_Baka Menggunakan 32 11 43
r_Biomass
Tidak Menggunakan 4 6 10

Total 36 17 53
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

a
Pearson Chi-Square 4.411 1 .036

b
Continuity Correction 2.973 1 .085

Likelihood Ratio 4.146 1 .042

Fisher's Exact Test .058 .045

Linear-by-Linear
4.328 1 .037
Association

b
N of Valid Cases 53

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,21.

b. Computed only for a 2x2 table


Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7

DOKUMENTASI

Pengisian Kuesioner dan Penimbangan Berat Badan Balita

Kondisi Dapur Responden

Anda mungkin juga menyukai