Gender Dapat Juga disebut dengan Kelamin manusia (Laki-laki atau Perempuan).
Kesetaraan Gender adalah Kesetaraan Antara Laki-laki dan Perempuan, Baik dalam
Segala Hal maupun bidang. Ketidakadilan Gender yaitu Sifat yang menganggap Satu
Gender lebih baik dari Gender lain.
Gender adalah karakteristik pria dan wanita yang terbentuk dalam masyarakat.
Sementara itu, seks atau jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara pria dan
wanita. ... Sementara itu, gender bisa dipertukarkan. Misalnya, perempuan bisa bersifat
maskulin dan laki-laki ada yang bersifat feminim.
Dalam praktiknya, tujuan dari kesetaraan gender adalah agar tiap orang memperoleh
perlakuan yang sama dan adil dalam masyarakat, tidak hanya dalam bidang politik, di
tempat kerja, atau bidang yang terkait dengan kebijakan tertentu.
Gender terbentuk dengan alami, dapat dilihat sejak seorang individu lahir. Sedangkan
gender dibentuk oleh sosial dan budaya. Seks cenderung tidak bisa dipertukarkan,
bahwa penis adalah milik laki-laki dan vagina milik perempuan.
Kesetaraan gender, dikenal juga sebagai keadilan gender, adalah pandangan bahwa
semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi
berdasarkan identitas gender mereka, yang bersifat kodrati.
IPG merupakan kepanjangan dari Indeks Pembangunan Gender, yang berarti
ukuran/indikator yang mencerminkan terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender
(KKG) yang ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki
dalam memperoleh akses, kesempatan, partisipasi dan kontrol atas pembangunan
IDG menunjukkan apakah wanita dapat secara aktif berperan serta dalam kehidupan
ekonomi dan politik. IDG menitikberatkan pada partisipasi, dengan cara mengukur
ketimpangan gender di bidang ekonomi, partisipasi politik, dan pengambilan keputusan.
KOMPONEN IDG :
Indeks Pembangunan Gender (IPG) adalah ukuran yang di gunakan untuk mengetahui
pembangunan manusia.
Kesenjangan gender dapat dilihat dari selisih antara IPM dan IPG. Semakin kecil selisih
antara IPM dan IPG maka dapat diartikan bahwa kesenjangan pembangunan antara
laki-laki dan perempuan juga semakin kecil
PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER Keterkaitan antara IPM, IPG, dan
IDG mengukur pemberdayaan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan.
Terdapat tiga komponen yang digunakan dalam penghitungan IDG, yaitu
Dengan menggunakan IDG nasional dan IPM nasional pada tahun 2006, 2009, dan
2012 sebagai tolok ukur, provinsi di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam empat
kelompok kuadran sebagai berikut.
1. Kuadran I : IPM tinggi dan IDG tinggi Tingginya capaian pembangunan manusia
pada kelompok ini ternyata berjalan seiring dengan tingginya pemberdayaan
gendernya. Artinya, peluang bagi perempuan untuk mengambil peran di bidang
politik, ekonomi dan sosial dalam kegiatan pembangunan juga relatif tinggi.
2. Kuadran II : IPM tinggi dan IDG rendah Provinsi yang masuk dalam kelompok ini
merupakan provinsi dengan capaian IPM yang tinggi tetapi belum disertai dengan
pemberdayaan gender yang tinggi. Artinya, peran perempuan dalam kegiatan
politik, ekonomi dan sosial di masing-masing provinsi yang termasuk ke dalam
kelompok ini masih relatif rendah dibandingkan dengan peranan perempuan di
tingkat nasional. Pada tahun 2006,
3. Kuadran III : IPM rendah dan IDG rendah Capaian pembangunan manusia pada
kelompok ini tergolong rendah dibandingkan dengan capaian pada tingkat nasional,
begitu juga dengan peranan perempuan dalam pembangunan juga tergolong
rendah. Dengan demikian permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh
masing-masing provinsi menjadi lebih berat dibandingkan dengan provinsi dari
kelompok lain. Selain harus meningkatkan pembangunan manusia secara umum,
masing-masing provinsi tersebut dituntut pula untuk bekerja keras dalam
meningkatkan peranan perempuan dalam kegiatan politik, ekonomi dan sosial.
4. Kuadran IV : IPM rendah dan IDG tinggi Capaian pembangunan manusia pada
kelompok ini relatif rendah dibandingkan dengan capaian secara nasional, tetapi
peranan perempuan dalam kegiatan pembangunan pada kelompok ini ternyata
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional.
PEREKONOMIAN PEREMPUAN
TPAK Provinsi Jambi tahun 2018 sebesar 68,46 yang berarti terdapat
sekitar 68-69 orang di antara 100 penduduk usia kerja yang
berpartisipasi aktif di pasar kerja. Ditinjau dari jenis kelamin, secara
signifikan partisipasi angkatan kerja perempuan masih jauh lebih rendah
dibandingkan laki-laki, dengan TPAK perempuan sebesar 51,95
sementara TPAK laki-laki sebesar 84,26 (hampir 2 x lipat). Meskipun
peningkatan taraf pendidikan saat ini hampir dapat diperoleh secara merata,
pada kenyataannya belum dapat membantu meningkatkan partisipasi
perempuan dalam angkatan kerja. Beberapa penyebab rendahnya angka
partisipasi perempuan dalam pasar kerja antara lain:
1) persepsi terkait peran domestik perempuan;
2) sifat musiman, paruh waktu, dan informal dari kebanyakan pekerjaan
perempuan. Dari data Sakernas 2018, diperoleh informasi bahwa
penggunaan waktu terbanyak bagi perempuan adalah untuk mengurus
rumah tangga.
Ketenagakerjaan merupakan tantangan utama pembangunan gender.
Pemerintah terus berupaya bagaimana meningkatkan partisipasi angkatan
dengan kerja perempuan. Jumlah penduduk perempuan yang hampir sama
jumlah penduduk laki-laki seharusnya dapat memberikan kontribusi nyata
dengan berpartisipasi aktif dalam perekonomian. Penduduk perempuan
produktif yang tidak aktif secara ekonomi akan menjadi beban tanggungan
bagi rumah tangganya, atau dengan kata lain meningkatkan angka beban
ketergantungan.
Indikator lain yang tak kalah penting untuk melihat kondisi gender
penduduk bekerja yaitu EPR. EPR mengukur rasio kesempatan kerja
terhadap penduduk usia kerja. ketimpangan EPR yang cukup signifikan
antara laki-laki dan perempuan, dimana penduduk laki-laki yang bekerja
jauh lebih tinggi dibandingkan penduduk perempuan. Ketimpangan EPR
yang signifikan merupakan suatu bukti nyata jika ketidaksetaraan kesempatan
kerja antara penduduk laki-laki yang bekerja dengan penduduk perempuan
masih tinggi.
TKK perempuan tidak jauh berbeda dengan TKK laki-laki, namun EPR
perempuan jauh lebih rendah dibandingkan EPR laki-laki. Tngkat
Kesempatan Kerja (TKK) antara laki-laki dan perempuan hanya selisih 1
persen Namun Rasio penduduk bekerja terhadap jumlah penduduk
(EPR) untuk perempuan adalah ½ dari laki-laki.
Gambaran ini mencerminkan bahwa masih banyak perempuan usia kerja yang
sebenarnya berpotensi secara ekonomi, namun belum menjadi bagian dari
angkatan kerja.
Stereotip budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat mengenai
peran laki- laki sebagai pencari nafkah utama masih menjadi faktor
dominan yang membatasi perempuan untuk bekerja. Kemajuan pendidikan
perempuan seharusnya dapat membantu peningkatan partisipasi perempuan
dalam pasar tenaga kerja. Perempuan diharapkan mampu berperan di
semua sektor namun tetap tidak melupakan perannya dalam rumah tangga.
Seorang pekerja perempuan atau wanita karir memiliki dua peran utama yang
harus berjalan seimbang, yaitu bekerja dan mengurus rumah tangga. Namun
terkadang, peran pekerja perempuan dianggap sebagai penyebab
keretakan rumah tangga atau ketidakberhasilan anak-anaknya karena
kurang meluangkan waktu di rumah. Persepsi seperti inilah yang perlu
mendapat perhatian dan diluruskan di masyarakat.
Sementara dari angkatan kerja yang tidak tamat SD, persentase perempuan
yang bekerja lebih tinggi daripada persentase laki-laki. Selanjutnya untuk
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, persentase pekerja perempuan lebih
rendah dibandingkan pekerja laki-laki.
Persentase pekerja perempuan dengan jumlah jam kerja kurang dari 15 jam
seminggu lebih dari dua kali lipat dibandingkan pekerja laki-laki. Kondisi ini
menggambarkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan bekerja dengan
jam kerja yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Hal ini seiring dengan kodrat
reproduksi perempuan yang memerlukan waktu untuk cuti melahirkan, cuti haid,
dan sebagainya. Oleh sebab itu, banyak perusahaan yang memilih untuk tidak
menggunakan tenaga kerja perempuan atau menggunakan tenaga kerja
perempuan untuk pekerjaan tertentu.
Stereotip yang menyatakan bahwa perempuan lebih bersifat irrasional dan
emosional menjadikan perempuan sering dianggap tidak pantas diangkat
sebagai pemimpin dan memiliki posisi kurang penting.
Perempuan Indonesia banyak yang tidak boleh bekerja dan hanya berperan
dalam mengurus rumah tangga dan atau menjadi pekerja keluarga. Hal ini yang
mengakibatkan adanya batasan peran perempuan didalam perekonomian. Pekerja
rentan merupakan pekerja yang bekerja dengan berusaha sendiri, berusaha
dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, menjadi pekerja bebas, atau menjadi
pekerja keluarga tanpa upah.
1. Perempuan cenderung bekerja dengan upah yang tidak memadai, produktivitas
rendah dan kondisi kerja yang buruk dibandingkan laki-laki. Besarnya pekerja
rentan perempuan ini diperkirakan karena alasan kewajiban dan tanggung
jawab terhadap keluarganya.
2. Peran dan partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih rendah. Disamping
itu, para perempuan yang telah bekerja pun mengalami tantangan diskriminasi
dalam dunia kerja. Akibatnya, sebagian besar perempuan lebih
mendominasi pada pekerjaan sekunder, yaitu pekerjaan yang tidak menjanjikan
jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, dan tanpa prospek untuk
berkembang di masa depan.
3. Sebagian besar pekerja bebas adalah laki-laki dengan jumlah dua kali lipat
dibandingkan perempuan. dimana baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan
pekerja bebas ini banyak yang mengisi lapangan pekerjaan di sektor pertanian
daripada di sektor non pertanian.
Dari dua belas kelompok jurusan bidang studi diatas, dapat dilihat bahwa
perempuan hanya mendominasi di beberapa jurusan saja, seperti jurusan ilmu
Keguruan dan Pendidikan, Kedokteran, Humaniora, Ilmu Alam dan Kesehatan
Masyarakat. Besarnya perempuan tamatan perguruan tinggi yang bekerja pada
kedua bidang ini mengindikasikan bahwa perempuan banyak diperlukan
masyarakat sebagai tenaga pendidik dan tenaga kesehatan. Sebagian
besar perempuan yang menganggur berasal dari tamatan perguruan tinggi
jurusan ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, dan ilmu keguruan dan pendidikan. Hal
ini dikarenakan sedikitnya lowongan pekerjaan yang tersedia dibandingkan
dengan jumlah lulusan tiap tahunnya.
Isu gender dalam kondisi pasar tenaga kerja tidak pernah lepas dari
perhatian. Diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja masih
terlihat dalam beberapa aspek. Semangat wanita untuk masuk ke dalam
pasar tenaga kerja tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan mereka jika
kebanyakan dari mereka adalah pekerja informal dan pekerja rentan. Namun,
kenyataan tersebut yang harus diterima pekerja perempuan. Pekerja
perempuan cenderung menjadi pekerja informal dan pekerja rentan yang
identik dengan upah rendah dan tidak mendapatkan perlindungan sosial.
Oleh karena itu, para pemangku kebijakan seperti pemerintah dan para
pengusaha harus berkoordinasi untuk menghilangkan isu ketidaksetaraan
gender dalam pasar tenaga kerja. Kesetaraan gender di lingkungan pekerjaan
diwujudkan dalam empat hal, yakni akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat.
Keempat faktor tersebut harus terpenuhi untuk mencapai kesetaraan gender
yang ideal. Pemerintah dapat terus menyusun strategi untuk meminimalisir
atau bahkan sampai menghilangkan praktik diskriminasi gender di dunia kerja
dengan membuat kebijakan dan perundang-undangan yang melindungi
perempuan. Selain itu, pemerintah juga terus mendukung berbagai konvensi
internasional yang menghapuskan bias gender dalam pasar tenaga kerja.
Kemudian, bagi para pengusaha harus memberikan kesempatan yang sama
bagi
Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terdapat nilai plus dan minus.
Nilai plus antara lain :
a. pendidikan tinggi,