Anda di halaman 1dari 3

Diare merupakan gejala utama yaitu peningkatan feses/cairan feses.

Diare dapat disebabkan oleh


penyakit/gangguan pada usus. Penyakit diare telah lama diketahui, namun masih banyak kasus diare
yang dapat dicegah, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. Ada 2 miliar kasus diare di
seluruh dunia setiap tahun. Diare merupakan pembunuh terbanyak kedua pada balita, membunuh 2.195
anak setiap hari dan 1,7 miliar kasus diare setiap tahun (WHO, 2013).

Menurut Nur (2014), upaya penurunan angka kejadian diare dilakukan dengan memanfaatkan sumber
daya terutama unsur manusia, termasuk upaya penemuan dan pengobatan dini salah satunya
pendidikan kesehatan. Salah satu faktor penyebab diare pada anak adalah kurangnya pengetahuan anak
dan ibu tentang pencegahan diare. Pada umumnya masyarakat meremehkan penyakit ini, sehingga
penanganan pasien sering tertunda dan berakibat fatal, hal ini disebabkan penerapan prinsip rehidrasi
sedini mungkin belum diterapkan oleh masyarakat dalam penanganan awal penyakit. diare yang
berdampak buruk lagi. Rendahnya tingkat pengetahuan berdampak pada ketidakmampuan ibu dalam
mencegah dan mengobati anak diare. Pengetahuan ibu memberikan kontribusi yang paling kuat
dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare akut pada
balita. Sedangkan tingkat pengetahuan yang baik pada anak berdampak membantu pencegahan diare
tentang cara mengkonsumsi jajanan yang sehat, cara mencuci tangan yang benar, dan cara membuang
sampah pada tempatnya.

Di Indonesia, angka kematian anak dan balita masih tinggi akibat diare. Status kesehatan Indonesia
menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 1.637.708 penderita diare balita, balita, dan balita yang
bertugas di fasilitas kesehatan, atau 40,90% dari perkiraan diare di institusi kesehatan. Sedangkan
jumlah penderita diare segala usia yang terlayani di fasilitas kesehatan pada tahun 2017 sebanyak
4.274.790, meningkat pada tahun 2018 sebanyak 4.504.524 pasien atau menyumbang 62,93% dari
perkiraan jumlah penderita diare di institusi kesehatan (Kemenkes RI, 2019).

Menurut Ernawati (2012) masih banyak yang belum mengetahui apa itu diare, cara pengobatan dan
pencegahannya. Karena pengetahuan tentang diare juga sangat mempengaruhi kejadian diare pada
anak. Sehingga diperlukan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan anak tentang diare. Meena
siwach melaporkan bahwa pendidikan kesehatan pada anak sekolah secara signifikan dapat
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Ada beberapa program pendidikan kesehatan berupa
penyuluhan, diskusi, dan simulasi. Ada beberapa metode penyuluhan yaitu menggunakan media cetak
seperti leaflet, flip chart, dan poster. Bisa juga menggunakan media elektronik seperti video dan slide.

Perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang muncul dari luar dan dari dalam. Untuk
membentuk atau mengubah perilaku sehat diperlukan proses melalui pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan dengan pola mengajak masyarakat untuk mengubah perilaku tidak sehat menjadi sehat,
menjaga kesehatan melalui pembinaan yang kemudian berkembang menjadi perilaku sehat (Machfoedz,
dkk, 2012).

Cara utama bakteri masuk ke dalam tubuh adalah melalui tangan. Pasalnya, tangan merupakan bagian
tubuh yang paling sering bersentuhan langsung dengan mulut dan hidung. Penelitian menunjukkan
bahwa penyebab kematian terbesar pada anak dan balita Indonesia adalah diare. Ketika kita menyentuh
bagian tubuh, tubuh orang lain, hewan atau permukaan lain yang terkontaminasi, tangan kita terpapar
bakteri (WHO, 2011).

Upaya untuk meningkatkan atau menjaga kesehatan diri sendiri adalah dengan melakukan tindakan
sederhana yaitu mencuci tangan. Yang dimaksud dengan cuci tangan adalah membersihkan tangan dari
kotoran, mulai dari ujung jari sampai siku dan lengan atas dengan cara tertentu sesuai kebutuhan,
mencuci tangan untuk mencegah infeksi silang melalui tangan dan menjaga kebersihan individu. Variasi
cuci tangan yaitu dengan cara cuci tangan bersih dan cuci tangan steril (Kusyati, 2016).

Kurangnya kesadaran cuci tangan pada anak usia sekolah dasar menjadi penyebab terjadinya masalah
kesehatan salah satunya diare. Kesehatan mengenai pentingnya cuci tangan pada anak menggunakan
sabun dengan baik dan benar telah terbukti secara ilmiah efektif mencegah penyebaran penyakit
(Harisismanto J, 2019).

Menurut Rohana (2016), upaya penurunan angka kejadian diare dilakukan dengan memanfaatkan
sumber daya terutama unsur manusia, antara lain upaya penemuan dan pengobatan dini salah satunya
pendidikan kesehatan. Salah satu penyebab diare pada anak adalah kurangnya pengetahuan anak dan
ibu tentang pencegahan diare. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan di sekolah dasar harus
diprioritaskan, karena jenjang pendidikan dasar merupakan landasan yang menentukan perkembangan
karir seseorang di masa depan. Dalam rangka membangun fondasi kebiasaan hidup aktif dan positif,
pendidikan kesehatan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya pada jenjang pendidikan dasar (Lutan
Rusli, dkk, 2018).

Menurut Gurning (2019), masih banyak yang belum mengetahui apa itu diare, cara mengobati dan
mencegahnya. Karena pengetahuan tentang diare juga sangat mempengaruhi kejadian diare pada anak.
Sehingga diperlukan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan anak tentang diare.

Banyak kegiatan yang termasuk dalam program PHBS untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, salah satunya adalah cuci tangan pakai sabun. Mencuci tangan pakai sabun merupakan cara
yang sangat murah dan efektif untuk mencegah berbagai macam penyakit menular. Di Indonesia,
kampanye Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) perlu lebih ditingkatkan. Fokus cuci tangan pada anak, karena
anak merupakan komponen penting sebagai pembawa perubahan. Ada 6 langkah cuci tangan yang baik
dan benar, dengan durasi prosedur 20-30 detik, WHO (2016).

Melalui cuci tangan pakai sabun (CTPS) dan penerapan pola hidup sehat, masalah diare di negara
berkembang khususnya Indonesia dapat dikurangi. Namun, di masyarakat khususnya pada anak usia
sekolah, masih kurangnya perhatian dan kesadaran akan pentingnya cuci tangan pakai sabun (CTPS)
(WHO, 2011).

Anda mungkin juga menyukai