Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, kisah ini diriwayatkan dari
Abdullah bin Muhammad, ia mengatakan,
"Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir.
Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya
adalah orang yang sangat miskin. Lalu aku pun mendatangi kemah yang berada di
padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-laki
ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya bunting, telinganya sulit mendengar,
matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara.
“Ya Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”
Kesabaran yang Luar Biasa
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab “Ats-Tsiqat” kisah ini. Dia adalah imam
besar, Abu Qilabah Al-Jurmy Abdullah bin Yazid dan termasuk dari perawi-perawi
yang meriwayatkan dari Anas bin malik. Dan yang meriwayatkan kisah ini adalah
Abdullah bin Muhammad. Berikut kisahnya :
Saya keluar untuk menjaga perbatasan di Uraisy Mesir. Ketika aku berjalan, aku
melewati sebuah perkemahan dan aku mendengar seseorang berdoa,
“Ya Allah, anugerahkan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah
engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku
mengerjakan kebajikan yang Engkau ridloi. Dan masukkanlah aku dalam
rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.” (QS. An-Naml: 19).
Aku melihat orang yang berdoa tersebut, ternyata ia sedang tertimpa musibah.
Dia telah kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya, matanya buta dan
kurang pendengarannya. Beliau kehilangan anaknya, yang biasa membantunya
berwudhu dan memberi makan…
Lalu aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, sungguh
aku telah mendengar doamu tadi, ada apa gerangan?”
Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai hamba Allah. Demi Allah, seandainya
Allah mengirim gunung-gunung dan membinasakanku dan laut-laut
menenggelamkanku, tidak ada yang melebihi nikmat Tuhanku daripada lisan
yang berdzikir ini.” Kemudian dia berkata, “Sungguh, sudah tiga hari ini aku
kehilangan anakku. Apakah engkau bersedia mencarinya untukku? (Anaknya
inilah yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan)
Maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah, tidaklah ada yang lebih utama bagi
seseorang yang berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, kecuali memenuhi
kebutuhanmu.” Kemudian, aku meninggalkannya untuk mencari anaknya. Tidak
jauh setelah berjalan, aku melihat tulang-tulang berserakan di antara bukit pasir.
Dan ternyata anaknya telah dimangsa binatang buas. Lalu aku berhenti dan
berkata dalam hati, “Bagaimana caraku kembali kepada temanku, dan apa yang
akan aku katakan padanya dengan kejadian ini? Aku mulai berpikir. Maka, aku
teringat kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam.
Setelah aku kembali, aku memberi salam kepadanya.
Dia berkata, “Bukankah engkau temanku?”
Aku katakan, “Benar.”
Dia bertanya lagi, “Apa yang selama ini dikerjakan anakku?”
Aku berkata, “Apakah engkau ingat kisah Nabi Ayyub?”
Dia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Apa yang Allah perbuat dengannya?”
Dia berkata, “Allah menguji dirinya dan hartanya.”
Aku katakan, ”Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Ayyub bersabar.”
Aku katakan, “Apakah Allah mengujinya cukup dengan itu?”
Dia menjawab, “Bahkan kerabat yang dekat dan yang jauh menolak dan
meninggalkannya.”
Lalu aku berkata, “Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Dia tetap sabar. Wahai hamba Allah, sebenarnya apa yang engkau
inginkan?”
Lalu aku berkata, “Anakmu telah meninggal, aku mendapatkannya telah
dimangsa binatang buas di antara bukit pasir.”
Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dariku keturunan
yang dapat menjerumuskan ke neraka.”
Lalu dia menarik nafas sekali dan ruhnya keluar.
Aku duduk dalam keadaan bingung apa yang kulakukan, jika aku tinggalkan, dia
akan dimangsa binatang buas. Jika aku tetap berada disampingnya, aku tidak
dapat berbuat apa-apa. Ketika dalam keadaan tersebut, tiba-tiba ada
segerombolan perampok mendatangiku.
Para perampok itu berkata, “Apa yang terjadi?” Maka aku ceritakan apa yang
telah terjadi. Mereka berkata, “Bukakan wajahnya kepada kami!” Maka aku
membuka wajahnya, lalu mereka memiringkannya dan mendekatinya seraya
berkata, “Demi Allah, Ayahku sebagai tebusannya, aku menahan mataku dari
yang diharamkan Allah dan demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, tubuh orang
ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sabar dalam menghadapi
musibah.”
Lalu kami memandikannya, mengafaninya dan menguburnya. Kemudian, aku
kembali ke perbatasan. Lalu, aku tidur dan aku melihatnya dalam mimpi, beliau
kondisinya sehat. Aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau sahabatku?” Dia
berkata,” Benar.” Aku berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia
berkata, “Allah telah memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku,
‘Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.’” (QS. Ar-Ra’d: 24). “Ingatlah, hanya
dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Kaum Muslimin yang berbahagia, Sabar adalah adat kebiasaan para nabi dan rasul. Sabar
adalah permata yang menghiasi kehidupan para wali. Sabar adalah mutiara bagi orang-
orang shalih. Sabar adalah cahaya penerang bagi siapa pun yang menapaki jalan menuju
kebahagiaan abadi di akhirat. ADVERTISEMENT Menurut Imam al-Ghazali, kata
sabar dan berbagai kata turunannya disebutkan di lebih dari tujuh puluh tempat dalam Al-
Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala: صبَرُوا َأجْ َرهُ ْم بَِأحْ َس ِن َما َكانُوْ ا
َ ََولَنَجْ ِزيَ َّن الَّ ِذين
)٩٦ : يَ ْع َملُونَ (النحل ADVERTISEMENT Maknanya: “... Dan Kami pasti akan memberi
balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan” (QS an-Nahl: 96). Juga firman Allah ta’ala: صبَرْ تُ ْم فَنِ ْع َم َ َسلَ ٰـ ٌم َعلَ ْي ُكم بِ َما
ِ ُع ْقبَ ٰى ال َّد Maknanya: “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu. Maka
)٢٤ :ار (الرعد
alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu” (QS ar-Ra’d: 24). Hadirin rahimakumullah,
Seseorang yang memiliki sifat sabar bukan berarti ia pengecut, putus asa dan lemah
dalam berucap, bertindak, dan mengambil keputusan. Sabar hakikatnya adalah menahan
diri dan memaksanya untuk menanggung sesuatu yang tidak disukainya, dan berpisah
dengan sesuatu yang disenanginya. Sabar yang merupakan salah satu kewajiban hati ada
tiga macam, yaitu: Pertama, sabar dalam menjalankan ketaatan yang Allah wajibkan.
Pada pagi hari yang suhu udarannya sangat dingin, misalkan, kita harus sabar dalam
melaksanakan perintah Allah. Kita paksa diri kita untuk menahan dinginnya udara guna
mengambil air wudhu. Pada pagi hari juga, saat tidur adalah sesuatu yang disenangi nafsu
kita, kita tahan keinginan nafsu itu, dan kita paksa diri kita untuk menjalankan ibadah
shalat Shubuh. Kita lakukan itu semua semata-mata mengharap ridha Allah ta’ala. Inilah
yang disebut dengan sabar dalam menjalankan ketaatan yang diwajibkan oleh Allah
ta’ala. Kedua, sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan segala yang Allah
haramkan. Nafsu manusia pada umumnya menyenangi hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Barangsiapa yang menjauhkan dirinya dari kemaksiatan dengan niat memenuhi perintah
Allah, maka pahalanya sangat agung. Para ulama mengatakan bahwa meninggalkan satu
kemaksiatan lebih utama daripada melakukan seribu kesunnahan. Karena meninggalkan
kemaksiatan hukumnya wajib. Sedangkan melakukan kesunnahan hukumnya sunnah.
Tentu yang wajib lebih utama daripada yang sunnah. Bahkan sebagian ulama mengatakan
bahwa barangsiapa yang menjaga pandangan matanya dari aurat-aurat perempuan yang
tidak halal baginya, maka pahalanya lebih besar daripada melakukan seribu rakaat shalat
sunnah. Hal itu dikarenakan sabar dalam meninggalkan perkara haram menuntut
perjuangan yang luar biasa berat. Yaitu perjuangan melawan setan yang selalu menghiasi
kemaksiatan seakan-akan ia adalah sesuatu yang sangat indah dan mempesona. Dan
perjuangan melawan hawa nafsu yang seringkali mengajak manusia tenggelam dalam
dosa dan keburukan. Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah yang menimpa.
Musibah jika dihadapi dengan sabar akan meninggikan derajat atau menghapus dosa.
Musibah banyak macamnya. Perlakukan buruk orang lain pada kita adalah musibah.
Begitu juga penyakit yang kita derita, kemiskinan, kecelakaan, kemalingan, kehilangan
harta benda, kebakaran, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ِإاَّل َكفَّ َر،زَن َواَل َأ ًذى َواَل َغ ٍّم َحتَّى ال َّشوْ َكة يُ َشا ُكهَا
ٍ ب َواَل هَ ٍّم َواَل َح ٍ صَ ب َواَل َو َ َُصيْبُ ْال ُم ْسلِ َم ِم ْن ن
ٍ ص ِ َما ي
) ُّاري َُخ ْ َ َخ ْ
ِ هللاُ بِهَا ِمن طايَاهُ ( َر َواهُ الب Maknanya: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa keletihan dan
penyakit, kekhawatiran dan kesedihan, gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang
melukainya, melainkan dengan sebab itu semua Allah akan menghapus dosa-dosanya.”
(HR al-Bukhari). Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ َصبْ ِم ْنهُ ( َر َواهُ ْالبُخ
) ُّاري ِ ُ َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه خَ ْيرًا ي Maknanya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki
kebaikan pada dirinya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya” (HR al-
Bukhari). Jadi orang yang dikehendaki baik oleh Allah, ia akan ditimpa musibah dan
diberi kekuatan oleh Allah untuk bersikap sabar dalam menanggung dan menghadapi
musibah yang menimpanya. Sabar dalam menghadapi musibah artinya musibah yang
menimpa tidak menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang dilarang dan diharamkan
oleh Allah. Seseorang yang ditimpa kemiskinan, misalkan, jika kemiskinan yang
menimpanya tidak menyebabkannya mencari harta dengan jalan mencuri, merampok,
korupsi dan perbuatan-perbuatan lain yang diharamkan oleh Allah, maka artinya ia telah
bersikap sabar dalam menghadapi musibah kemiskinan yang menimpanya. Musibah
yang menimpa, terkadang tidak hanya menyebabkan seseorang melakukan perbuatan
haram. Bahkan lebih dari itu, terkadang menjadikannya melakukan atau mengucapkan
perkataan yang menjerumuskannya pada kekufuran. Seperti orang yang ketika anggota
keluarganya meninggal dunia, ia mengatakan bahwa Allah zalim, Allah tidak adil, Allah
bukan tuhan yang berhak disembah, dan perkataan lain yang membatalkan keislaman dan
keimanannya. Na’udzu billah min dzalik. Hal yang demikian wajib kita hindari.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Seseorang yang memahami ilmu agama dengan
baik dan memegang teguh ajaran Islam sebagaimana mestinya, maka musibah yang
menimpanya tidak akan menambahkan kepadanya kecuali sikap sabar dan peningkatan
ibadah kepada Allah. Bahkan para wali Allah, kegembiraan mereka atas bala’ dan
musibah yang menimpa mereka lebih besar daripada kegembiraan mereka atas
kelapangan hidup dan keluasan rezeki yang dianugerahkan kepada mereka. Oleh karena
itu, sebagian kaum sufi mengatakan: َت َأ ْعيَا ُد ْال ُم ِر ْي ِد ْين ِ ُورُوْ ُد ْالفَاقَا “Datangnya berbagai
musibah adalah hari raya bagi para pencari kebahagiaan di akhirat.” Mereka
menganggap bahwa musibah yang menimpa adalah hari raya bagi mereka. Dengan itu,
musibah akan meningkatkan ketaatan dan ibadah mereka kepada Allah ta’ala. Hadirin
rahimakumullah, Suatu ketika, datang seorang perempuan ke hadapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan agar beliau berkenan memperistri putrinya.
Perempuan itu memuji putrinya di hadapan beliau dengan mengatakan bahwa putrinya
sangat cantik jelita dan memiliki kesehatan yang sempurna. Bahkan sakit kepala pun
tidak pernah ia rasakan. Rasulullah lantas menjawab: اجةَ لِي ِف ْيهَا َ اَل َح “Saya tidak
membutuhkannya, saya tidak mau menikahinya.” Kenapa Rasulullah menolak tawaran
itu? Karena beliau mengetahui bahwa seseorang yang berlimpah kesenangan di dunia dan
tidak pernah ditimpa musibah, maka ia adalah orang yang sedikit kebaikannya di akhirat.
Seseorang yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan menimpakan
pada dirinya berbagai musibah di dunia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ُب ِد ْينِ ِه ( َر َواه ِ يُ ْبتَلَى ال َّر ُج ُل َعلَى َح َس،ُاس بَاَل ًء اَأل ْنبِيَا ُء ثُ َّم اَأْل ْمثَ ُل فَاَأْل ْمثَل
ِ ََّأ َش ُّد الن
) التِّرْ ِم ِذيُّ َوَأحْ َم ُد َو َغ ْي ُرهُ َما Maknanya: “Manusia yang paling berat ujian dan musibahnya
adalah para nabi, kemudian orang-orang yang di bawah derajat mereka, kemudian orang-
orang yang di bawah derajat mereka. Seseorang diuji berdasarkan sekuat apa ia
pegangteguh agamanya” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan lainnya) Diceritakan bahwa ada
seorang yang shalih, kedua tangannya terpotong, kedua kakinya terpotong dan kedua
matanya buta. Ia juga terjangkit suatu penyakit yang menggerogoti beberapa anggota
tubuhnya. Anggota-anggota tubuhnya yang terkena penyakit itu menjadi menghitam lalu
berjatuhan dan berguguran. Tidak ada satu pun yang mau merawatnya. Ia dibuang di
jalanan. Banyak serangga yang mengerubungi kepalanya dan menggigitnya. Namun apa
daya. Ia tidak punya tangan untuk menjauhkan dirinya dari serangga-serangga itu. Ia juga
tidak punya kaki untuk bergerak dan berpindah dari tempat duduknya. Suatu ketika,
beberapa orang melewatinya. Ketika melihat orang shalih tersebut, mereka mengatakan:
Subhanallah, alangkah tabah dan sabarnya laki-laki ini. Mendengar perkataan mereka,
orang shalih itu kemudian mengatakan: اشعًا َولِ َسانِي َذا ِكرًا َوبَ َدنِي َعلَى ِ اَ ْل َح ْم ُد هللِ الَّ ِذي َج َع َل قَ ْلبِ ْي َخ
ت فِ ْيكَ ِإاَّل ُحبًّا ْ َما،صبًّا
ُ از َد ْد َ ي ْالبَاَل ِء َّ َصبَبْتَ َعل َ ْالبَاَل ِء “Segala puji bagi Allah yang telah
َ ْ ِإلَ ِهي لَو،صابِرًا
menjadikan hatiku khusyu’, lisanku berdzikir, dan badanku bersabar atas musibah. Ya
Tuhanku, seandainya Engkau menimpakan kepadaku musibah seberat apa pun, tidaklah
aku bertambah kepada-Mu kecuali rasa cinta.” Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga
bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin. ،َأقُوْ ُل قَوْ لِ ْي ٰه َذا َوَأ ْستَ ْغفِ ُر هللاَ لِ ْي َولَ ُك ْم
ِإنَّهُ هُ َو ْال َغفُوْ ُر ال َّر ِح ْي ُم،ُفَا ْستَ ْغفِرُوْ ه.
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah
meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari
perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap
marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu
terbagi menjadi tiga macam:
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua
perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa
mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini
sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan
dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam
menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa
meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk
surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] :
24).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai
kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah
firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para
pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau
bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir
Lathifil Mannaan, hal. 375)
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu
itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”,
sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang
harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi
orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut
ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan
anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak
kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang
mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia
mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah
dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai
kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan
dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya
kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada
saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah
dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang
muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati
umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh
dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh
da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan
tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam
menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia
bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi
dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka
juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini,
baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta,
kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh
lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama
pembela dakwah tauhid di masa silam.
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya
dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula
yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara
yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah
ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk
fisiknya (dikutuk).”
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada
Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh
didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat
mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan
turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran
adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah.
Janganlah mendekatinya.
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa
musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah
merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan
bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar
termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun
bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri
orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah.
Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar
adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan.
Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam
rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga
wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan
shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia
berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan
atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam
pengertian syar’i.
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah
satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi
takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana
kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan
penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga
memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah
satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi
dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran
maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
1. Sabar saat Kena Musibah }ة اُألولَىnِ ص ْب ُر عِ ْندَ الص َّْد َم
َّ {ال: َقا َل ال َّن ِبيُّ عليه الصالة والسالم. Nabi Shollallohu alaihi
wasallam bersabda : "Sabar itu pada awal musibah". (HR. Bukhari Muslim) [No. 1302 Fathul Bari ]
Shahih.
Allah SWT akan memberikan ganjaran surga bagi hamba-Nya yang sabar
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Allah SWT berfirman: Tidak
ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut
nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali
surga.’” (HR. Bukhari)
Baca Juga:Kisah Sahabat Rasulullah SAW, Abu Thalhah dan Sedekah Harta yang
Paling Dicintai