Anda di halaman 1dari 5

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR: 248/KMK.04/1995

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN


KERJASAMA
DALAM BENTUK PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH
("BUILT OPERATE AND TRANSFER")

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun
a. 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1994, Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang
norma penghitungankhusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib
Pajak tertentu;
bahwa untuk keperluan pemungutan Pajak Penghasilan terhadap pihak-
b. pihak yang melakukan perjanjian kerjasama dalam bentuk bangun guna
serah ("built operate and transfer") dipandang perlu diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
Mengingat: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
1. (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93,
(Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 60,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1994 tentang
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994 nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);
Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
3. (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12
tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara 2171)
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan
Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PIHAK-
PIHAK YANG MELAKUKAN KERJASAMA DALAM BENTUK
PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH ("BUILT OPERATE AND
TRANSFER").

Pasal I

Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama
yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan
tersebut kepada pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna serah berakhir.

Pasal 2

Biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan
(1) nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan
bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor
diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa Perjanjian bangun
guna serah.
(2) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada tahun bangunan tersebut
mulai digunakan atau diusahakan oleh investor.
(3) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi,
diamortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun guna serah
yang lebih pendek tersebut.
(4) Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan
tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau
imbalan tersebut.
(5) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya
penambahan bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum
diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna serah
yang lebih panjang tersebut.

Pasal 3

(1) Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa
perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemegang
hak atas tanah berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.
(2) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 dan harus
dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa guna serah
berakhir.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi orang pribadi
bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan adalah merupakan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(4) Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar nilai pasar atau NJOP yang merupakan
dasar pengenaan Pajak Penghasilan.

Pasal 4
Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh pemegang hak atas tanah selama
masa bangun guna serah merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.BR
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6
Keputusan ini mulai berlaku atas perjanjian bangun guna serah yang berakhir
setelah tahun pajak 1994.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : JAKARTA
pada tanggal : 2 Juni 1995
MENTERI KEUANGAN,

MAR'IE MUHAMMAD
BOT SEBAGAI STRATEGI PEMBIAYAAN
INVESTOR SWASTA DALAM PROYEK
PEMBANGUNAN PEMERINTAH

Oleh Agus Riyanto (Juni2018)

Simbiosis mutualisme (interaksi antara dua organisme yang hidup berdampingan dan
bertujuansaling menguntungkan) tidak hanya berlaku di dunia hewan dan tanaman, tetapi
juga berlaku di dunia bisnis yang tidak mungkin dapat berjalan sendiri dalam menjalani
usahanya. Salah satu bentuk atau pola kerjasama saling menguntungkan adalah perjanjian
Build Operate Transfer (BOT). Apakah BOT itu sesungguhnya ?  Clifford W. Garstang
berpendapat: BOT adalah: “a variety of type of project financing known as contractor provided
financing. In the standard contract provided financing a project entity may request proposal for the
construction of project pursuant to which the contractor will not only provided the materials and services
needed to complete the project but will also provide or at least arrange the necessary financing. The
contractors will also need to operate the project and use its cash flows to repay the debt it has incurred” .
Berdasarkan definisi di atas, BOT dapat dijelaskan sebagai salah satu pilihan pembiayaan
proyek pembangunan dengan mana investor harus menyediakan sendiri modal atau
pendanaan untuk proyek, termasuk menanggung pengadaan material, peralatan dan jasa
lainnya yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Untuk itu, investor memiliki hak untuk
mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonomi pembangunan proyek tersebut
(manajemen dan operasional) sebagai penggantian dari seluruh biaya yang telah dikeluarkan
dengan jangka waktu tertentu (umumnya 25 tahun atau lebih). Dengan ini investor dapat
mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan dengan konsep
BOT ini. Setelah lewat waktu, maka seluruh bangunan dan kepemilikannya, sesuai dengan
perjanjian BOT akan beralih menjadi milik yang menyediakan tanah.
Dengan kerangka dasar kerjasama BOT tersebut di atas, maka tergambarlah bahwa dasar dari
BOT adalah adanya ketergantungan di antara pelaku. Hampir dapat dikatakan tidak semua
pelaku usaha, dalam praktiknya, memiliki dana dan sekaligus memiliki hak atas tanah sebagai
bagian modal kekayaan untuk menjalankan usaha. Kondisi demikian memaksa untuk
melakukan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan prinsip saling menguntungkan, yaitu
BOT. Dengan ikatan kerjasama demikian tidak ada pihak yang akan dirugikan atas
kesepakatan perjanjian BOT dan dapat dikatakan saling menutupi kelemahan dan kekurangan
yang ada di masing-masing pihak. Pihak yang kelebihan dana dapat digunakan untuk tujuan
produktif dan berhasil guna dan sementara pihak yang memiliki tanah dengan lokasi premium
dapat menjadikan asset tersebut lebih berdaya dan bermaksimal penggunaannya
dibandingkan dengan dibiarkan terlantar tanpa ada manfaat ekonomi kepada pemiliknya.
Konsep BOT tidak ada salah untuk dilakukan sepanjang kerjasama yang dibuat diikat dengan
perjanjian dengan jelas (dalam mengatur hak dan kewajiban para pihak) sebagai mitra usaha
yang sepadan kedudukannya, dan dilandasi semangat untuk menjalankannya dengan pacta
sunt servanda.
Perjanjian BOT umumnya dilakukan untuk membangun proyek seperti perkantoran,
apartemen, pusat-pusat perbelanjaan, real estate, rumah toko, hotel atau bangunan lainnya.
Namun dalam praktik, perjanjian BOT digunakan juga pemerintah dalam rangka
kerjasamanya dengan pihak swasta (nasional maupun asing). Oleh sebab itu, perjanjian BOT
tidak saja dimanfatkan kepentingan personal perusahaan swasta saja, tetapi dapat juga
dipergunakan membangun infrastruktur seperti : sarana dan peningkatan keperluan umum,
transportasi, telekomunikasi, listrik dan lain-lain. Dengan dilibatkannya pihak swasta dalam
proyek-proyek pemerintah dasar utamanya adalah pemenuhan kebutuhan untuk pemenuhan
rencana pembangunan nasional, namun dana yang milik pemerintah terbatas, maka jalan
keluarnya adalah melibatkan pihak swasta dengan perjanjian BOT. Dibukanya kerjasama
dengan swasta, karena pembangunan nasional dengan segala akibatnya tidak dapat lagi
dilakukan dengan pembiayaan dari pemerintah sendiri.
BOT di dalam kerangka proyek infrastruktur tidak lain adalah sebuah perjanjian dimana
pemilik proyek (dalam hal ini pemerintah) memberikan haknya kepada operator atau
pelaksana (pihak swasta) untuk membangunan sarana dan prasarana umum dan
mengoperasikannya dalam jangka waktu tertentu, serta mengambil keuntungan dalam
pengoperasiannya. Kemudian pada masa akhir kontrak swasta harus mengembalikannya
proyek yang dikelolanya kepada pemerintah, sesuai dengan perjanjian BOT. Artinya, dalam
konsep BOT tidak ada pihak yang akan dirugikan, tetapi akan terbuka menguntungkan
pemerintah karena: pertama, BOT tidak membenani neraca pembayaran pemerintah. Kedua,
dengan BOT akan mengurangi jumlah pinjaman pemerintah. Ketiga, BOT akan menjadi
bagian tambahan sumber pembiayaan proyek-proyek yang diprioritaskan. Keempat,
terbukanya tambahan fasilitas baru dengan proyek tersebut. Kelima, mengalihan risiko
terhadap konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sektor swasta. Keenam,
mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan swasta atau masuknya tekhnologi asing. 
Ketujuh, mendorong alih teknologi dari negara maju kepada negara-negara berkembang
dengan BOT. Terakhir, ke delapan diperolehnya fasilitas lengkap dan operasional setelah
jangka waktu akhir konsensi BOT terpenuhi.

Dengan berpegang kepada ke delapan poin penting di atas maka BOT adalah bagian dari
strategi pembiayaan pembangunan yang dapat dijadikan rujukan pelaku usaha (termasuk
pemerintah sebagai pelaku usaha). Bagi investor swasta semakin terbuka peluang bidang
usaha hanya ditangani pemerintah dengan BUMN atau BUMD, maka dengan BOT akan ada
kesempatan ekspansi usaha yang berprospek menguntungkan dan memanfaatkan lahan usaha
strategis yang dkuasai pemerintah selama ini. Untuk itulah, maka investor swasta dituntut
inovasi kreatif dalam pembiayaan proyek yang berbeda dengan proyek biasa, meningkatkan
profesionalisme, dan juga meningkatkan daya saing perbankan di dalam negeri. Namun
demikian, tidak berarti bahwa pemerintah melepaskan dan menyerahkan seluruh proyek
infrastruktur kepada swasta. Dengan BOT yang dimaksud pemerintah hanya melepaskan
salah satu sumber pendapatannya. Pemerintah tetap berperan penting dalam perjanjian BOT,
misalnya pembebasan tanah, pemindahan lokasi warga yang akan terkena proyek BOT dan
lain sebagainnya. Untuk itu, maka investor swasta membutuhkan perhitungan yang cermat
dan teliti, karena pada umumnya proyek BOT berisiko tinggi. Perlu juga diperhatikan
kesulitan pendanaan sebab perbankan menggangap BOT tidak bankable untuk dibiayai dalam
hal pemerintah tidak berkehendak menanggung resiko selama dan pada waktu proyek dan
selama masa konsensi BOT. Dibutuhkanlah pendekatan kombinasi aspek ekonomi dan
hukum  untuk menjembatani kemungkinan negatif dan gagal proyek BOT dengan
mengendepankan prinsip saling menguntungkan yang dituangkan di dalam klausula-klasusla
BOT, sebagai pelindungnya, yang akan ditandatangani bersama pemerintah dan investor
swasta.

LITERATUR :

Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model BOT,
Yogyakarta, Genta Press, 2008

Anda mungkin juga menyukai