Anda di halaman 1dari 136

PEDOMAN PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HARAPAN DAN DOA KOTA


BENGKULU

1
DAFTAR ISI
PEDOMAN DAN PELAYANAN ASUHAN PASIEN.....................................................!
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG.........................................................................................3
B. TUJUAN PEDOMAN.........................................................................................4
1. TUJUAN UMUM................................................................................................4
2. TUJUAN KHUSUS............................................................................................4
C. RUANG LINGKUP PELAYANAN.....................................................................5
D. BATASAN OPERASIONAL.............................................................................5
BAB II
PELAYANAN KESEHATAN RSHD...................................................................6-11
BAB III
PELAYANAN SERAGAM DAN TERINETGRAS............................................12-17
BAB IV
PELAYANAN PASIEN RESIKO TINGGI
DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RESIKO TINGGI....................................18-109
BAB V
PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI NUTRISI.....................................110-116
BAB VI
PENGELOLAAN NYERI.............................................................................117-127
BAB VII
PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT/ TAHAP TERMINAL...........128-137

2
LAMPIRAN : PERATURAN DIREKTUR
RSUD HARAPAN DAN
DOA KOTA BENGKULU
TENTANG PENETAPAN
PEDOMAN PELAYANAN
DAN ASUHAN PASIEN
NOMOR : 41 TAHUN 2022

TENTANG : PEDOMAN PELAYANAN


DAN ASUHAN PASIEN

PEDOMAN PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA HARAPAN DAN DO’A BENGKULU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan
kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada
masyarakat. Tanggung jawab rumah sakit dan staf yang terpenting adalah
memberikan asuhan dan pelayanan pasien yang efektif dan aman. Hal ini
membutuhkan komunikasi yg efektif, kolaborasi, dan standardisasi proses untuk
memastikan bahwa rencana, koordinasi, dan implementasi asuhan mendukung
serta merespons setiap kebutuhan unik pasien dan target.
Asuhan yang diberikan berupa upaya pencegahan, paliatif, kuratif, atau
rehabilitatif termasuk anestesia, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif, atau
kombinasinya, yang berdasar atas asesmen dan asesmen ulang pasien. Area
asuhan risiko tinggi (termasuk resusitasi, transfusi, dyalisis dan radioterapy) dan
asuhan untuk risiko tinggi atau kebutuhan populasi khusus yang membutuhkan
perhatian tambahan. Asuhan pasien dilakukan oleh profesional pemberi asuhan
(PPA) dengan banyak disiplin dan staf klinis lain.
Pelayanan dan asuhan pasien dapat diberikan oleh Profesional pemberi
asuhan (PPA) adalah staf klinis profesional yang langsung memberikan asuhan
kepada pasien, yang termasuk PPA yaitu dokter spesialis sebagai dokter
penanggung Jawab Pasien (DPJP), dokter umum, perawat/bidan, nutrisionis dan
apoteker. Semua staf yg terlibat dalam asuhan pasien harus memiliki peran yg
jelas, ditentukan oleh kompetensi dan kewenangan, kredensial, sertifikasi, hukum
dan regulasi, keterampilan individu, pengetahuan, pengalaman, dan kebijakan
rumah sakit ,atau uraian tugas wewenang (UTW).

3
Asuhan yang diberikan dapat dilakukan oleh pasien/keluarganya atau
pemberi asuhan terlatih (care giver). Pelaksanaan asuhan dan pelayanan harus
dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh semua profesional pemberi asuhan
(PPA) dapat dibantu oleh staf klinis lainnya. Alat bantu PPA dalam memberikan
pelayanan dan asuhan pasien antara lain dengan Panduan Praktik Klinis (PPK),
Panduan Asuhan PPA lainnya, Alur klinis/clinical pathway terintegrasi, Algoritma,
protokol, prosedur dan Catatan Perkembangan Pasien terintegrasi (CPPT).
Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit tujuan rumah sakit adalah mempermudah akses masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan terhadap
keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya
manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu dan mempertahankan standar
pelayanan rumah sakit dan memberikan kepastian hukum kepada pasien,
masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit.
Standar pelayanan dan asuhan pasien meliputi pemberi pelayanan asuhan
terintegrasi, pemberi pelayanan untuk semua pasien, pelayanan pasien resiko
tinggi dan penyediaan pelayanan resiko tinggi, pemberi makanan dan terapi
nutrisi, pengelolaan nyeri dan pelayanan menjelang akhir hayat.

B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan Umum
Pedoman pelayanan dan asuhan pasien (PAP) ini bertujuan agar Profesional
Pemberi Asuhan (PPA) dalam memberikan pelayanan pada pasien secara
terintergrasi dan seragam sehingga menghasilkan proses asuhan yang
efesien.
2. Tujuan Khusus
a. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) memberikan asuhan yang sama
untuk semua pasien di rumah sakit
b. Proses pelayanan dan asuhan yang diberikan melibatkan berbagai unit
pelayanan dan bersifat dinamis
c. Terlaksananya asuhan yang terintegrasi
d. Menekan pengurangan mitigasi resiko
e. Mengenali deteksi kegawatdaruratan dan penanganannya

C. Ruang Lingkup Pelayanan

4
Ruang lingkup pedoman pelayanan dan asuhan pasien ini untuk pelayanan
Rawat inap dan Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa kota
Bengkulu.
D. Batasan Operasional
Pelayanan dan asuhan pasien yang diberikan oleh PPA mencakup ruang lingkup
berikut ini :
1. Pemberi pelayanan seragam untuk semua pasien
2. Pelayanan terintegrasi antar unit pelayanan
3. Pelayanan pasien resiko tinggi dan penyediaan pelayanan resiko tinggi
4. Deteksi perubahan kondisi pasien
5. Pelayanan resusitasi
6. Pelayanan darah
7. Pelayanan pasien penyakit menular dan penurunan daya tahan tubuh
(Immuno-compromised and suppressed)
8. Pelayanan pasien Populasi khusus
9. Pemberian makanan dan terapi nutrisi
10. Pengelolaan nyeri
11. Pelayanan menjelang akhir hayat.

BAB II

5
PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
HARAPAN DAN DOA KOTA BENGKULU

A. Pelayanan Instalasi :
1. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Intensif,
Laboratorium dan Radiologi dilaksanakan dalam 24 jam. Pelayanan Rawat
Jalan sesuai dengan jadwal praktik dokter.
2. Pelayanan Kamar Operasi dilaksanakan dalam jam kerja, dan dilanjutkan
dengan sistem on call.
3. Pelayanan harus selalu berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien.
4. Seluruh staf Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa Kota Bengkulu
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, pedoman/panduan dan standar
prosedur operasional yang berlaku, serta sesuai dengan etika profesi, etika
Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa Kota Bengkulu dan peraturan
perundangan yang berlaku.
5. Seluruh staf Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa Kota Bengkulu
dalam melaksanakan pekerjaannya wajib selalu sesuai dengan ketentuan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3), termasuk dalam
penggunaan alat pelindung diri (APD).
B. Skrining dan triase :
1. Skrining dilakukan pada kontak pertama untuk menetapkan apakah pasien
dapat dilayani oleh Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa Kota
Bengkulu
2. Skrining dilaksanakan melalui kriteria triase, visual atau pengamatan,
pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau diagnostik imajing
sebelumnya.
3. Kebutuhan darurat, mendesak, atau segera diidentifikasi dengan proses
triase berbasis bukti untuk memprioritaskan pasien dengan kebutuhan
emergency.

C. Identifikasi :
1. Setiap pasien yang masuk rawat inap harus dipasangkan gelang identitas
pasien.
2. Pasien selalu diidentifikasi sebelum pemberian obat, sebelum transfusi
darah atau produk darah lainnya, sebelum pengambilan darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan laboratorium klinis, sebelum pemeriksaan
radiologi, serta sebelum dilakukan tindakan.

D. Transfer/ perpindahan di dalam rumah sakit :

6
1. Transfer dilaksanakan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2. Pasien yang ditransfer harus dilakukan stabilisasi terlebih dahulu sebelum
dipindahkan.
E. Transfer keluar rumah sakit / rujukan :
1. Stabilisasi terlebih dahulu sebelum dirujuk.
2. Rujukan ke rumah sakit atau sarana kesehatan ditujukan kepada unit
atau individu secara spesifik.
3. Merujuk berdasarkan atas kondisi kesehatan dan kebutuhan akan
pelayanan berkelanjutan.
4. Rujukan menunjuk siapa yang bertanggung jawab selama proses
rujukan serta perbekalan dan peralatan apa yang dibutuhkan selama
transportasi.
5. Kerjasama yang resmi atau tidak resmi dibuat dengan rumah sakit penerima.
6. Proses rujukan didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.
F. Penundaan pelayanan :
1. Memperhatikan kebutuhan klinis pasien pada waktu menunggu atau
penundaan untuk pelayanan diagnostik dan pengobatan
2. Memberikan informasi apabila akan terjadi penundaan pelayanan atau
pengobatanMemberi informasi alasan penundaan atau menunggu dan
memberikan informasi tentang alternatif yang tersedia sesuai dengan
keperluan klinis mereka.
G. Pemulangan pasien :
1. DPJP yang bertanggung jawab atas pelayanan pasien tersebut, harus
menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan.
2. Keluarga pasien dilibatkan dalam perencanaan proses pemulangan yang
terbaik atau sesuai kebutuhan pasien.
3. Rencana pemulangan pasien meliputi kebutuhan pelayanan penunjang dan
kelanjutan pelayanan medis.
4. Identifikasi organisasi dan individu penyedia pelayanan kesehatan di
lingkungannya yang sangat berhubungan dengan pelayanan yang ada di
rumah sakit serta populasi pasien.
5. Resume pasien pulang dibuat oleh DPJP sebelum pasien pulang.
6. Resume berisi pula instruksi untuk tindak lanjut.
7. Salinan resume pasien pulang didokumentasikan dalam rekam medis.
8. Salinan resume pasien pulang diberikan kepada praktisi kesehatan yang
dirujuk.

H. Transportasi :

7
1. Transportasi milik rumah sakit, harus sesuai dengan hukum dan peraturan
yang berlaku berkenaan dengan pengoperasian, kondisi dan pemeliharaan
2. Transportasi disediakan atau diatur sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
pasien
3. Semua kendaraan yang dipergunakan untuk transportasi, baik kontrak
maupun milik rumah sakit, dilengkapi dengan peralatan yang memadai,
perbekalan dan medikamentosa sesuai dengan kebutuhan pasien yang
dibawa
I. Hak pasien dan keluarga :
1. Menghormati kebutuhan privasi pasien.
2. Melindungi barang milik pasien dari pencurian atau kehilangan.
3. Melindungi pasien dari kekerasan fisik.
4. Anak-anak, individu yang cacat, lanjut usia dan lainnya yang berisiko,
mendapatkan perlindungan yang layak.
5. Membantu mencari second opinion dan kompromi dalam pelayanan didalam
maupun diluar rumah sakit.
6. Pernyataan persetujuan (lnformed Consent) dari pasien didapat melalui
suatu proses yang ditetapkan rumah sakit dan dilaksanakan oleh staf yang
terlatih, dalam bahasa yang dipahami pasien.
7. Informed consent diperoleh sebelum operasi, anestesi, sedasi, penggunaan
darah atau produk darah dan tindakan serta pengobatan lain yang berisiko
tinggi.
J. Penolakan pelayanan dan pengobatan :
1. Memberitahukan hak pasien dan keluarga untuk menolak atau tidak
melanjutkan pengobatan.
2. Memberitahukan tentang konsekuensi, tanggung jawab berkaitan dengan
keputusan tersebut dan tersedianya alternatif pelayanan dan pengobatan.
3. Memberitahukan pasien dan keluarganya tentang Menghormati keinginan
dan pilihan pasien untuk menolak pelayanan resusitasi atau
memberhentikan pengobatan bantuan hidup dasar ( Do Not Resuscitate )
4. Rumah sakit telah menetapkan posisinya pada saat pasien menolak
pelayanan resusitasi dan membatalkan atau mundur dari pengobatan
bantuan hidup dasar.
5. Posisi rumah sakit sesuai dengan norma agama dan budaya masyarakat,
serta persyaratan hukum dan peraturan.

K. Pelayanan pasien tahap terminal :

8
1. Mendukung hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang penuh hormat
dan kasih sayang pada akhir kehidupannya
2. Perhatian terhadap kenyamanan dan martabat pasien mengarahkan
semua aspek pelayanan pada tahap akhir kehidupan
3. Semua staf harus menyadari kebutuhan unik pasien pada akhir
kehidupannya yaitu meliputi pengobatan terhadap gejala primer dan
sekunder, manajemen nyeri, respon terhadap aspek psikologis, sosial,
emosional, agama dan budaya pasien dan keluarganya serta
keterlibatannya dalam keputusan pelayanan.

L. Asesmen pasien :
1. Semua pasien yang dilayani rumah sakit harus diidentifikasi kebutuhan
pelayanannya melalui suatu proses asesmen yang baku.
2. Asesmen awal setiap pasien meliputi evaluasi faktor fisik, psikologis, sosial
dan ekonomi, termasuk pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan
3. Hanya mereka yang kompeten sesuai perizinan, undang-undang dan
peraturan yang berlaku dan sertifikasi dapat melakukan asesmen
4. Asesmen awal medis dilaksanakan dalam 24 jam pertama sejak rawat inap
atau lebih dini/cepat sesuai kondisi pasien atau kebijakan rumah sakit.
5. Asesmen awal keperawatan dilaksanakan dalam 24 jam pertama sejak
rawat inap atau lebih cepat sesuai kondisi pasien atau kebijakan rumah
sakit.
6. Asesmen awal medis yang dilakukan sebelum pasien di rawat inap, atau
sebelum tindakan pada rawat jalan di rumah sakit, tidak boleh lebih dari 30
hari, atau riwayat medis telah diperbaharui dan pemeriksaan fisik telah
diulangi.
7. Untuk asesmen yang berumur kurang dari 30 hari, apabila ada perubahan
kondisi pasien yang signifikan, maka perubahan dicatat dalam rekam
medis pasien pada saat masuk rawat inap
8. Asesmen awal termasuk menentukan kebutuhan rencana pemulangan
pasien (discharge planning)
9. Semua pasien dilakukan asesmen ulang pada interval tertentu atas dasar
kondisi dan pengobatan untuk menetapkan respons terhadap pengobatan
dan untuk merencanakan pengobatan atau untuk pemulangan pasien.
10. Data dan informasi asesmen pasien dianalisis dan diintegrasikan.

M. Manajemen obat :

9
1. Elektrolit konsentrat tidak boleh berada di unit pelayanan pasien kecuali
jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah
pemberian yang tidak sengaja di area tersebut, bila diperkenankan dengan
kebijakan khusus.
2. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien diberi label
yang jelas dan disimpan dengan cara yang membatasi akses (restricted
access).

N. Manajemen nutrisi :
1. Pasien di skrining untuk status gizi.
2. Respon pasien terhadap terapi gizi dimonitor.
3. Makanan disiapkan dan disimpan dengan cara mengurangi risiko
kontaminasi dan pembusukan.
4. Produk nutrisi enteral disimpan sesuai rekomendasi pabrik.
5. Distribusi makanan secara tepat waktu, dan memenuhi permintaan khusus.
O. Manajemen nyeri:
1. Semua pasien rawat inap dan rawat jalan di skrining untuk rasa sakit dan
dilakukan asesmen apabila ada rasa nyerinya.
2. Pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif.
3. Menyediakan pengelolaan nyeri sesuai pedoman dan protokol.
4. Komunikasi dengan dan mendidik pasien dan keluarga tentang
pengelolaan nyeri dan gejala dalam konteks pribadi, budaya dan
kepercayaan agama masing- masing.
P. Surgical Safety Checklist :
1. Digunakan suatu tanda yang segera dikenali untuk identifikasi lokasi
operasi dan melibatkan pasien dalam proses penandaan / pemberian
tanda.
2. Menggunakan suatu checklist untuk melakukan verifikasi praoperasi tepat-
lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien dan semua dokumen serta
peralatan yang diperlukan tersedia, tepat/benar, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat
/mendokumentasikan prosedur “sebelum insisi / time-out” tepat sebelum
dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan
Q. Hand hygiene :
1. Mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang baru-baru ini
diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Menerapkan program hand hygiene yang efektif.

R. Risiko jatuh :

10
1. Penerapan asesmen awal risiko pasien jatuh dan melakukan asesmen
ulang terhadap pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka
yang pada hasil asesmen dianggap berisiko.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik tentang keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh maupun dampak yang berkaitan secara
tidak disengaja.
S. Komunikasi efektif :
1. Perintah lisan dan yang melalui telepon ataupun hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan
tersebut.
2. Perintah lisan dan melalui telpon atau hasil pemeriksaan secara lengkap
dibacakan kembali oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan
tersebut.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh individu yang memberi
perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.
T. Manajemen di Instalasi :
1. Semua petugas instalasi wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Penyediaan tenaga harus mengacu kepada pola ketenagaan.
3. Melaksanakan koordinasi dan evaluasi wajib dilaksanakan rapat rutin
bulanan minimal satu bulan sekali.
4. Setiap bulan Instalasi wajib membuat laporan.

U. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan RS :


1. Peralatan di instalasi harus selalu dilakukan pemeliharaan dan kaliberasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk menjamin semua peralatan
tetap dalam kondisi yang baik.
2. Perbaikan peralatan dilaksanakan dengan memperhatikan kontinuitas
pelayanan RS terutama pada pelayanan yang menyangkut emergency dan
bantuan hidup.
3. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib mematuhi ketentuan
dalam K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB III

11
Pelayanan yang seragam dan terintegrasi

A. Latar belakang
Pelayanan pasien seragam dan terintegrasi merupakan proses kegiatan
pemberian asuhan yang diberikan kepada pasien dilakukan oleh Profesi Pemberi
Asuhan, setiap pemberi asuhan kepada pasien memperlakukan semua
pasiennya sama dan seragam tidak membeda-bedakan atas dasar identitas
sosial, budaya, agama, ras, dan sebagainya. Pelayanan pasien yang seragam
berlaku pada semua Instalasi dan Unit pemberi pelayanan kepada pasien yang
membedakan hanya fasilitas yang ada diruangan berdasarka kelas perawatan.
Pelayanan adalah asuhan yang menghormati dan responsif terhadap
pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi pasien, serta memastikan bahwa nilai-
nilai pasien menjadi panduan bagi semua keputusan klinis yang memadai, tidak
bergantung atas kemampuan pasien untuk membayar atau sumber pembiayan.
Rumah sakit unit organisasi yang berkiprah dalam bidang jasa pelayanan
kesehatan perorangan. Dalam penyelenggaraan upaya pelayanan pada pasien
rumah sakit didukung oleh banyak jenis keterampilan SDM baik yang berbentuk
profesi maupun non profesi. Dalam menjalankan kegiatannya rumah sakit
menyadari bahwa pelayanan yang diberikan kepada pasien dalam bentuk
bermacam macam asuhan yang merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan
yang terintegrasi dengan para profesional di bidang pelayanan kesehatan.
Pedoman ini diharapkan rumah sakit dapat menerapkan model pelayanan
yang akan membangun suatu kontinuitas pelayanan, menyelaraskan kebutuhan
asuhan pasien dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit,
mengkoordinasikan pelayanan, kemudian merencanakan pemulangan dan
tindakan selanjutnya. Hasilnya adalah meningkatnya mutu asuhan pasien dan
efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.
Rumah Sakit Umum daerah Harapan dan doa Kota Bengkulu adalah rumah
sakit yang memberikan pelayanan melalui penyelenggaraan pelayanan secara
paripurna pada unit unit gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, ruang tindakan
dan ruang perawatan khusus. Penyelenggaraan pelayanan dilaksanakan oleh
berbagai kelompok profesi. Para profesional utama yang memberikan asuhan
kepada pasien di rumah sakit adalah staf medis baik dokter maupun dokter
spesialis, staf klinis keperawatan (perawat dan bidan), nutrisionis dan farmasis
yang rutin dan pasti selalu berkontak dengan pasien, akan tetapi tidak kalah
pentingnya profesional lain yang berfungsi melakukan asuhan penunjang berupa
analis laboratorium, penata rontgen, fisioterapis.
Penyediaan pelayanan yang paling sesuai di suatu rumah sakit untuk
mendukung dan merespon setiap kebutuhan pasien yang unik, memerlukan

12
perencanaan dan koordinasi tingkat tinggi. Ada beberapa aktivitas tertentu yang
bersifat dasar bagi pelayanan pasien.
Untuk semua disiplin yang memberikan pelayanan pasien, aktivitas ini
termasuk :
1. Perencanaan dan pemberian asuhan kepada setiap/masing-masing pasien
2. Pemantauan pasien untuk mengetahui hasil asuhan pasien
3. Modifikasi asuhan pasien bila perlu
4. Penuntasan asuhan pasien
5. Perencanaan tindak lanjut.
Banyak praktisi kesehatan yaitu dokter, perawat, apoteker, nutrisionis, terapis
rehabilitasi dan praktisi pelayanan kesehatan lain melaksanakan aktivitas
tersebut. Masing-masing praktisi pelayanan kesehatan mempunyai peran yang
jelas dalam asuhan pasien. Peran tersebut ditentukan oleh lisensi, kredensial,
sertifikat, undang- undang dan peraturan, ketrampilan (skill) khusus individu,
pengetahuan, pengalaman, juga kebijakan rumah sakit atau uraian tugas.
Sebagian pelayanan bisa dilaksanakan oleh pasien, keluarganya, atau pembantu
pelaksana asuhan lainnya yang terlatih.

B. Konsep Dasar Pelayanan Asuhan Seragam


1. Konsep pelayanan berfokus pada pasien yang dilaksanakan setiap harinya
dengan beberapa elemen antara lain :
2. keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga dalam asuhan
bersama PPA harus memastikan :
a. rencana asuhan diberikan kepada tiap pasien
b. respons pasien terhadap asuhan dimonitor
c. rencana asuhan dimodifikasi bila perlu berdasar atas respons
3. DPJP sebagai Ketua tim PPA (Clinical Leader)
Dalam semua fase pelayanan, ada staf yang kompeten sebagai orang
yang bertanggung jawab terhadap pelayanan pasien, dan staf yang
kompeten inilah yang disebut Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
(DPJP), yang bertanggung jawab menyiapkan dokumentasi rencana
pelayanan pasien. Rencana asuhan untuk tiap pasien direview dan di
verifikasi oleh DPJP dengan mencatat kemajuannya.
4. DPJP mengatur pelayanan pasien selama seluruh waktu rawat inap,
dalam rangka meningkatkan kontinuitas pelayanan, pengintegrasian
asuhan dari para PPA, serta menjamin kualitas pelayanan dan hasil yang
diharapkan. Ada kebijakan rumah sakit yang mengatur proses transfer
tanggung jawab pasien dari satu ke orang lain, pada masa libur, hari besar
dan lain-lain. Dalam kebijakan ditetapkan dokter konsulen, dokter on call,

13
atau dokter pengganti yang bertanggung jawab.(lihat Panduan
Pelaksanaan DPJP)
5. PPA bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional,
antara lain memakai Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan PPA
lainnya disertai Alur Klinis terintegrasi/Clinical Pathway, dan Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi/CPPT
6. Perencanaan Pemulangan Pasien/Discharge Planning terintegrasi
Asesmen awal termasuk menentukan kebutuhan rencana
pemulangan pasien(discharge) Kontinuitas pelayanan mempersyaratkan
persiapan dan pertimbangan khusus untuk beberapa pasien tertentu
seperti rencana pemulangan pasien. Rumah sakit mengembangkan
mekanisme seperti daftar kriteria untuk mengidentifikasi pasien, yang
rencana pemulangannya kritis, antara lain karena umur, kesulitan mobilitas
/gerak, kebutuhan pelayanan medis dan keperawatan berkelanjutan atau
bantuan dalam aktivitas hidup sehari- hari. Karena perencanaan proses
pemulangan pasien dapat membutuhkan waktu agak lama, maka proses
asesmen dan perencanaan dapat dimulai segera setelah pasien diterima
sebagai pasien rawat inap.
7. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi/CPPT
Adalah lembar pada berkas rekam medis pasien dimana semua
kondisi dan perkembangan penyakit pasien serta tindakan yang dialami
pasien dicatat. Rumah sakit menetapkan bahwa mereka yang diizinkan
memberikan perintah / order menuliskan perintah ini dalam rekam medis
pasien di lokasi yang seragam, dan lokasi itu adalah pada lembar Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT).Aktivitas asuhan pasien
termasuk pemberian perintah, (misalnya, untuk pemeriksaan
laboratorium, pemberian obat, pelayanan keperawatan dan terapi nutrisi).
Prosedur diagnostik, operasi dan prosedur lain diperintahkan oleh mereka
yang kompeten untuk hal tersebut.
Perintah ini harus mudah diakses untuk dapat dilaksanakan tepat
waktu. Penempatan perintah pada suatu lembar umum atau lokasi yang
seragam di rekam medis pasien membantu terlaksananya perintah.
Perintah tertulis membantu staf untuk mengerti kekhususan perintah,
kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan. Perintah
dapat ditulis pada suatu lembar perintah yang kemudian dimasukkan ke
rekam medis pasien secara periodik atau pada waktu pemulangan pasien

Setiap rumah sakit memutuskan :


a) Perintah mana yang harus tertulis daripada lisan;

14
b) Permintaan pemeriksaan diagnostik imajing dan pemeriksaan
laboratorium klinik termasuk indikasi klinis/ rasional;
c) Tiap pengecualian di pelayanan khusus seperti IGD dan Unit
Pelayanan Intesif;
d) Siapa yang diizinkan menuliskan perintah;
e) Dilokasi mana perintah tersebut dicatat dalam rekam medis pasien.
Semua para PPA (dokter,perawat,nutrisionis, farmasis, fisioterapis dll)
akan mencatatkan semua perkembangan pasien yang dievaluasinya
pada lembar yang sama yaitu CPPT, dengan ciri penulisan dan
identitas masing masing.
8. Cara penulisan data di CPPT harus sesuai dengan format problem
oriented dan di kenal dengan metode SOAP, yaitu:
Subjective :Informasi berupa ungkapan yang di terima dari klien
setelah diberikan tindakan.
Objective : Informasi yang di dapat dalam bentuk hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang diberi oleh perawat setelah
tindakan.
Assessment : Membandingkan antara informasi subjective dan
objective dengan tujuan & kriteria hasil. Kemudian,
terbentuk kesimpulan jika masalah teratasi, atau teratasi
sebagian, atau tidak.
Plan : Rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa
Metode SOAP ini juga dapat digunakan sebagai pedoman pengisian
CPPT dan mempunyai prinsip yang berdasarkan Fakta, Akurat,
Kelengkapan, Ketepatan Waktu, Terorganisasi, Kerahasiaan. (Potter &
Perry, 2017).
Pembuatan CPPT dapat dibuat oleh tenaga kesehatan, seperti dokter,
perawat, dietisen, apoteker, dan fisioterapis. Pengisian CPPT di buat saat
bertemu dengan pasien, berisi tentang informasi yang di dapat oleh
pasien. Seperti kondisi, jam & tgl harus sesuai dan akurat, tanda vital,
assessment, nama pasien dan tulisan harus jelas, ada paraf, dan diberi
instruksi. Jika ada kesalahan penulisan tidak boleh dihapus, cukup
dengan mencoret yang salah dan diberi paraf

9. Kolaborasi Edukasi Pasien


Peraturan mengharuskan bahwa pasien dan keluarga diberi tahu

15
tentang hasil asuhan termasuk kejadian tidak diharapkan. Serta rumah
sakit menyediakan pendidikan/edukasi untuk menunjang partisipasi
pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan dan proses
pelayanan.
Asuhan dan proses pengobatan merupakan siklus berkelanjutan
dari asesmen dan asesmen ulang, perencanaan dan pemberian asuhan,
dan asesmen hasil. Pasien dan keluarga diberitahukan tentang hasil dari
proses asesmen, tentang perencanaan asuhan dan pengobatan dan
diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Jadi untuk melengkapi
siklus informasi dengan pasien, mereka perlu diberitahu tentang hasil
asuhan dan pengobatan, termasuk informasi tentang hasil asuhan yang
tidak diharapkan.Rumah sakit mendidik pasien dan keluarganya,
sehingga mereka mendapat pengetahuan dan ketrampilan untuk
berpartisipasi dalam proses dan pengambilan keputusan asuhan pasien.
Setiap rumah sakit mengembangkan/memasukkan pendidikan ke
dalam proses asuhan berbasis misi, jenis pelayanan yang diberikan dan
populasi pasien. Pendidikan direncanakan untuk menjamin bahwa setiap
pasien diberikan pendidikan sesuai kebutuhannya. Rumah sakit
menetapkan bagaimana mengorganisasikan sumber daya pendidikan
secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, rumah sakit perlu menetapkan
koordinator pendidikan atau komite pendidikan, menciptakan pelayanan
pendidikan, mengatur penugasan seluruh staf yang memberikan
pendidikan secara terkoordinasi. Semua kegiatan pemberian informasi
dan edukasi kepada pasien dan keluarganya, haruslah tercatat dalam
berkas medis pasien. Oleh karenanya rumah sakit akan menyediakn
lembar khusus dalam berkas rekam medis untuk mencatat kegiatan ini.
10. Alur klinis Terintegrasi
a. Merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan
standar pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu
tertentu selama pasien berada di rumah sakit.
b. Manajer Pelayanan Pasien/Case

c. Manajer Pelayanan Pasien (case manager) adalah profesional dalam


RS yang bekerja secara kolaboratif dengan PPA, memastikan bahwa

16
pasien dirawat serta ditransisikan ke tingkat asuhan yang tepat, dalam
perencanaan asuhan yang efektif dan menerima pengobatan yang
ditentukan, serta didukung pelayanan dan perencanaan yang
dibutuhkan selama maupun sesudah perawatan RS.
d. Untuk mempertahankan kontinuitas pelayanan selama pasien tinggal
di rumah sakit, staf yang bertanggung jawab secara umum terhadap
koordinasi dan kesinambungan pelayanan pasien atau pada fase
pelayanan tertentu teridentifikasi dengan jelas. Staf yang dimaksud
adalah Manajer Pelayanan Pasien (case manager) yang dapat
seorang dokter atau tenaga keperawatan yang kompeten.
e. Nama staf (manajer pelayanan pasien) ini tercantum didalam rekam
medis pasien atau dengan cara lain dikenalkan kepada semua staf
rumah sakit., serta sangat diperlukan apalagi bagi pasien-pasien
tertentu yang kompleks dan pasien lain yang ditentukan rumah sakit.
Manajer Pelayanan Pasien perlu bekerjasama dan berkomunikasi
dengan pemberi pelayanan kesehatan yang lain. Fungsi Manajer
Pelayanan Pasien diuraikan secara rinci dalam Panduan Pelaksanaan
Manajer Pelayanan Pasien (MPP)

C. Pemberian asuhan seragam dan terinetrgrasi


1. Asuhan pasien yang seragam terefleksikan sebagai berikut :
11. Akses untuk asuhan dan pengobatan yang memadai dan diberikan oleh
PPA yang kompeten tidak bergantung pada hari setiap minggu atau
waktunya setiap hari (“3-24-7”)
12. Penggunaan alokasi sumber daya yang sama, antara lain staf klinis dan
pemeriksaan diagnostik untuk memenuhi kebutuhan pasien pada
populasi yang sama
13. Pemberian asuhan yang diberikan kepada pasien, contoh pelayanan
anestesi sama di semua unit pelayanan di rumah sakit
14. Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama menerima
asuhan keperawatan yang setara di seluruh rumah sakit
15. Penerapan serta penggunaan regulasi dan form dalam bidang klinis
antara lain metode asesmen IAR (Informasi, Analisis, Rencana), form
asesmen awal- asesmen ulang, PPK, alur klinis terintegrasi/clinical
pathway, pedoman manajemen nyeri, dan regulasi untuk berbagai
tindakan antara lain water sealed drainage, pemberian transfusi darah,
biopsi ginjal, pungsi lumbal dan sebagainya.
BAB IV
PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RISIKO

17
TINGGI
A. Latar Belakang
Rumah sakit memberi pelayanan bagi berbagai variasi pasien dengan
berbagai variasi kebutuhan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien yang
digolongkan risiko-tinggi karena umur, kondisi, atau kebutuhan yang bersifat
kritis. Anak dan lanjut usia umumnya dimasukkan dalam kelompok ini karena
mereka sering tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses
asuhan dan tidak dapat ikut memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian
pula, pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu memahami
proses asuhan bila asuhan harus diberikan secara cepat dan efisien.
Rumah sakit juga menyediakan berbagai variasi pelayanan, sebagian
termasuk yang berisiko tinggi karena memerlukan peralatan yang kompleks,
yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa (pasien
dialisis), sifat pengobatan (penggunaan darah atau produk darah), potensi yang
membahayakan pasien atau efek toksik dari obat berisiko tinggi (misalnya
kemoterapi).
Kebijakan dan prosedur merupakan alat yang sangat penting bagi staf
untuk memahami pasien tersebut dan pelayanannya dan memberi respon yang
cermat, kompeten dan dengan cara yang seragam. Pimpinan bertanggung
jawab untuk :
1. Mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang dianggap berisiko tinggi di
rumah sakit;
2. Menggunakan proses kerjasama (kolaborasi) untuk mengembangkan
kebijakan dan prosedur yang sesuai;
3. Melaksanakan pelatihan staf dalam mengimplementasikan kebijakan dan
prosedur.
Pasien dan pelayanan yang diidentifikasikan sebagai kelompok pasien
risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi, apabila ada di dalam rumah sakit
maka dimasukkan dalam daftar prosedur.
Rumah sakit dapat pula melakukan identifikasi risiko sampingan
sebagai akibat dari suatu prosedur atau rencana asuhan (contoh, perlunya
pencegahan trombosis vena dalam, ulkus dekubitus dan jatuh). Bila ada
risiko tersebut, maka dapat dicegah dengan cara melakukan pelatihan staf
dan mengembangkan kebijakan dan prosedur yang sesuai.

B. Ruang Lingkup Pelayanan Resiko Tinggi


1. Pasien resiko tinggi meliputi :

18
a. pasien emergensi/ Resusitasi
b. pasien koma
c. pasien dengan alat bantuan hidup
d. pasien resiko tinggi lainnya yaitu pasien dengan jantung stroke hpertensi
dan diabetes
e. pasien dengan risiko bunuh diri
2. Pelayanan risiko tinggi meliputi :
a. pelayanan pasien dengan penyakit menular dan penyakit yang berpotensi
dan menyebabkan penyakit luar biasa
b. pelayanan pasien yang menerima dialisis
c. pelayanan pasien restrain
d. pelayanan pasien paliatif
e. pelayanan pasien yang menerima radioterapi
f. pelayanan pasien pada populasi pasien rentanpasieen lansia(geriatri)
misal nya anak-anak pasien tidak resiko di telantarkan atau gangguan
jiwa.
g. Pelayanan pasien yang menerima kemoterapi dan pelayanan pasien
resiko tinggi lainnya seperti hiperbarik
3. Resiko tinggi tambahan
a. Trombosis vena dalam
b. Luka decubitus
c. Infeksi pada penggunaan ventilator padaa pasien
d. Cedera neurologis dan pembuluh daraah (PD) pada pasien restrain
e. Infeksi PD pada pasien dyalisis
f. Pasien jatuh
g. Lain-lain
a. Pelayanan Resusitasi
1. Pengertian
Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana
fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Resusitasi
jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang
yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. Resusitasi jantung
paru terdiri dari 2 (dua) yaitu bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjutan
yang masing-masing keduanya bagian yang tidak terpisahkan.
Tindakan resusitasi jantung paru baik berupa bantuan hidup dasar
maupun bantuan hidup lanjutan diberikan pada semua pasien yang

19
mengalami kegawatdaruratan berupa henti jantung dan henti nafas baik pasien
yang di rawat jalan maupun rawat inap dilingkungan Rumah Sakit Umum
Daerah Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
Resusitasi dilakukan oleh semua petugas RSUD Harapan dan Doa
yang telah mendapatkan pelatihan Bantuan Hidup dasar (BHD) sedangkan
bantuan Hidup Lanjut lainnya hanya boleh dilakukan oleh dokter dan perawat.
Rumah sakit harus memliki team code blue untuk penanganan resusitasi
jantung paru, yang akan bertugas 3 (tiga) shif jaga selama 24 jam.
Resusitasi Jantung Paru bertujuan untuk mencegah berhentinya
sirkulasi atau berhentinya respirasi (nafas), memberikan bantuan eksternal
terhadap sirkukasi (fungsi jantung) dan ventilasi (fungsi pernafasan/paru) pada
pasien/korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Cardio
Pulmonary Resuciation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP).
2. Diagnosis Henti Jantung
1. Tanda-tanda henti jantung
1) Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung).
2) Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakialis pada bayi)
3) Henti nafas atau megap-megap (gasping
4) Terlihat seperti mati (death like appearance)
5) Warna kulit pucat sampai kelabu
6) Pupil dilatasi (setelah 45 detik)
2. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai
ketidaksadaran dan tak teraba denyut arteri besar
1) Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut
nadi yang dapat diraba
2) Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun
tidak ada kontraksi mekanis, terutama pada asfiksia
3) Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap
4) Bila ragu-ragu, mulai saja resusitasi jantung paru.
3. Kapan Resusitasi Dilakukan/Tidak Dilakukan
a. Resusitasi harus dilakukan pada :
b. Infark jantung “kecil”, yang mengakibatkan “kematian listrik”
c. Serangan Adams-Stokes
d. Hipoksia Akut
e. Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
f. Sengatan listrik
g. Reflesks vagal

20
h. Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang
untuk hidup.
4. Resusitasi tidak dilakukan pada :
a. Kematian normal seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik
yang berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pertama
kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara
keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak
mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi di sini tidak
bertujuan dan tidak berarti.
b. Stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi.
c. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu
sesudah ½ - 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa
resusitasi jantung paru
5. Tata Laksana
a. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)
Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah
selama beberapa menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah akan
terus beredar ke otak dan organ vital lainnya. penanganan dini pada
korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah
henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2
yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti
hantung dapat disertai oleh fenomena listrik berikut : fibrilasi venttrikular
takikardia ventrikularm asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan resusitasi
jantung paru ( RJP ) 2010. Fokus utama resusitasi jantung paru 2010
adalah kualitas kompresi dada perbedaan yang lain adalah :
1) Bukan ABC lagi tetapi CAB
Saat ini kompresi dada didahulukan, baru setelah itu kita bisa fokus
pada airway dan breathing. Pengecualian satu – satunya adalah hanya
untuk bayi baru lahir. Namun untuk RJP bayi, RJP anak atau dewasa
harus menerima kompresi dada sebelum kita berfikir bantuan jalan
nafas. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa teknik kompresi dada
lebih diperlukan untuk mensirkulasi sesegera mungkin oksigen
keseluruh tubuh terutama organ vital seperti otak, paru, jantung dan
lain-lain
2) Tidak ada lagi look, listen, feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah
dengan bertindak cepat. Tindakan look, listen, feel pada korban dengan
korban henti jantung dinilai menghabiskan waktu.

21
3) Kompresi dada lebih dalam lagi
Kedalaman kompresi panduan sebelumnya 1 1/2 – 2 inchi ( 4-5cm),
panduan terbaru AHA merekomendasikan untuk dewasa kompresi
setidaknya 2 inchi ( 5 cm), anak 1/3 AP ( ±5 cm) dan bayi 1/3 AP (4cm).
4) Kompresi dada lebih cepat
AHA merekomendasikan untuk menekan dada minimal 100 kompresi
per menit. Pada kecepatan ini 30 kompresi membutuhkan waktu 18
x/menit.
5) Hands only CPR
American Herat Asociation merekomendasikan agar penolong yang
tidak terlatih melakukan hands only CPR ( kompresi dada saja ) sampai
petugas kesehatan hadir.
b. Rangkaian Bantuan Hidup dasar
Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya
tidak ada langkah yang terlewatkan untuk hasil yang optimal :
1) Respon
Pastikan situasi dan keadaan pasien dengan memanggil nama/ sebutan
yang umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan
bahu dengan mantap. Hal ini untuk membangunkan atau merangsang
seseorang untuk bereaksi. Jika pasien tidak berespon, segera meminta
bantuan dengan berteriak “ tolong “ untuk mengaktifkan emergency
medical service
2) Atur Posisi pasien : Sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras
dan rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan
pasien dengan teknik “ log rol “ secara bersamaan kepala leher dan
punggung digulingkan.
Atur Posisi Penolong : Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara
efektif dapat memberikan resusitasi jantung paru
3) Cek Nadi Karotis
a) AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis
Jika dalam “ 10 detik “ nadi karotis sulit dideteksi kompresi dada
harus dimulai.
b) Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
4) Circulation ( Sirkulasi )
a) Mulai lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi
b) Lutut berada di sisi bahu korban
c) Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua
tangan

22
d) Letakkan salah satu tumit telapak tangan 2 jari diatas Prosesus
xipoideus ( PX ), diantara 2 puting susu dan telapak tangan lainnya
di atas tangan pertama dengan jari saling bertaut atau dua jari pada
bayi di tengah dada
e) Tekan dada lurus kebawah dengan kecepatan setidaknya 100x/
menit
AHA Guideline 2010 merekomendasikan :
a) Kompresi dada dilakukancepat dan dalam ( push and hard )
b) Kecepatan adekuat setidaknya 100 x/menit
c) Kedalaman adekuat
a) Dewasa : 2 inchi ( 5 cm) rasio 30 : 2 ( 1atau 2 penolong)
b) Anak : 1/3 AP ( ± 5 cm) rasio 30 : 2 ( 1 atau 2 penolong )
c) Bayi : 1/3 AP (± 4 cm ) rasio 30 : 2 ( 1 atau 2 penolong )
d) Setelah pemberian ventilasi 2 hembusan, penolong segera
melanjutkan kompresi dan ventilasi 30 : 2 hingga 5 siklus.

Gambar 1. Kompresi Dada

5) Airway (Jalan Nafas)


Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring
adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada korban tidak
sadar yang terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan
tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Pada metode ekstensi kepada dan angkat leher,
penolong mengekstensikan kepala korban dengan satu tangan
sementara tangan yang lain menyangga bagian atas leher korban. Pada
metode ekstensi kepala angkat dagu, kepala diekstensikan dan dagu
diangkat ke atas (lihat gambar 2). Pada metode ekstensi kepala dan
dorong mandibula, kepala diekstensikan dan mandibula didorong maju
dengan memegang sudut mandibula korban pada kedua sisi dan
mendorongnya ke depan. Metode angkat dagu dan dorong mandibula
23
lebih efektif dalam membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.
Akan tetapi penolong mungkin harus menarik bibir bawah korban
dengan ibu jari. Pendorongan mandibula saja tanpa wkstensi kepala
juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas
agar tetap terbuka, pada korban dengan dugaan patah tulang leher.
Korban yang tidak sadar dan bernafas spontan dengan ventilasi
adekuat sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah
aspirasi (gambar 4). Bila ventilasi adekuat, tetapi nafas tidak adekuat
(ada sianosis), pasien perlu diberi O2 lewat kateter nasal atau sungkup
muka.

Gambar 2. Membuka jalan nafas Gambar 3. Menentukan tidak ada nafas

Gambar 4. Posisi sisi mantap


Bila diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher, korban hanya
digerakkan/dipindahkan bila memang mutlak perlu, karena gerak yang
tidak betul dapat mengakibatkan paralisis pada korban dengan cedera
leher. Disini, teknik dorong mandibula (jaw thrust) tanpa ekstensi
kepala merupakan cara paling aman untuk membuka jalan nafas.
6) Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolonghendaknya segera menilai
apakah pasien dapat bernafas spontan. Ini dapat dilakukan dengan
mendengarkan bunyi nafas dari hidung dan mulut korban dan
memperhatiakan gerak nafas pada dada korban. Bila pernafasan
spontan tidak timbul kembali, diperlukan ventilasi buatan. Untuk
melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya
mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang
24
telah disebutkan di atas dan memencet hidung korban dengan dua jari
atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi penolong (lihat gambar
5).
Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam (1 kali nafas=1.5 – 2
detik). Tanda-tanda bahwa ventilasi buatan adekuat adalah dada
korban yang terlihat naik turun, dengan amplitudo yang cukup dan ada
udara keluar melalui hidung dan mulut korban selama ekspirasi,
sebagai tambahan, selama pemberian ventilasi pada korban, penolong
dapat merasakan tahanan dan kekembangan (compliance) paru korban
ketika diisi.
Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung (lihat gambar
7) mungkin lebih efektif daripada ventilasi mulut ke mulut. Ventilasi
mulut ke stoma hendaknya dilakukan pada pasien dengan trakeostomi
(lihat gambar 8). Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak
berhasil baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban
harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing.
Pada tindakan jari menyapu, korban hendaknya digulingkan pada salah
satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan
satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan
jari telunjuk dan jari tengan tangan yang lain ke dalam satu sisi mulut
korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain mulut
korban dalam satu gerakan menyapu.
Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing,
hendaknya dikerjakan hentakan abdomen (abdominal thrust, gerakan
Heimlich) (lihat gambar 9 dan 10) atau hentakan dada (chest thrust).
Hentakan dada dilakukan pada korban terlentang, teknik ini sama
dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah :
a) Berikan 6-10 kali hentakan abdominal
b) Buka mulut dan lakukan sapuan jari
c) Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan
Urutan ini hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi
buatas dapat dilakukan dengan sukses.

25
Gambar 5. Ventilasi mulut ke mulut Gambar 7. Ventilasi mulut ke hidung

Gambar 8. Ventilasi mulut ke stoma Gambar 9. Hentakan abdominal


(geralan heimlich) pada korban sadar

Gambar 10. Hentakan abdominal (gerakan heimlich) pada korban tidak sadar

7) Bantuan Hidup dasar Bayi dan Anak-Anak


Prinsip BHD pada bayi dan anak adalah sama dengan pada orang
dewasa dengan C-A-B ( circulation-Airway-Breathing). Akan tetapi
karena ketidaksamaan kurang, diperlukan modifikasi teknik yang
disebutkan di atas:

26
a) Karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam rongga loraks pada
pasien-pasien muda, kompresi dada luar hendaknya diberikan
dengan 2 jari pada 1 jari di bawah titik potong garis putting susu
dengan sternum pada bayi dan pada tengah pertengahan bawah
sternum pada anak (lihat gambar 11). Penekanan sternum (± 4 cm)
efektif untuk bayi, tetapi pada anak diperlukan penekanan(± 5 cm).
pada anak yang lebih besar, hendaknya digunakan pangkal telapak
tangan untuk kompresi dada luar (lihat gambar 12).

Gambar 11. Kompresi dada pada bayiGambar 12. Kompresi dada pada anak

b) Selama henti jantung, pemberian kompresi dada luar kecepatan


100 kali per menit pada bayi dan anak-anak. Perbandingan kompresi
terhadap ventilasi satu penolong 30 : 2 dan untuk 2 penolong 15 :
2.
c) Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan
jalan nafas pada bayi dan anak kecil. Kepala hendaknya dijaga
dalam posisi netral selama diusahakan membuka jalan nafas pada
kelompok ini.
d) Pada bayi dan anak kecil ventilasi mulut ke mulut dan hidung lebih
sesuai daripada ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pemberian ventilasi harus lebih kecil volumenya dan frekuensi
ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 ventilasi tiap 3 detik untuk bayi
dan 4 detik untuk anak-anak (lihat gambar 13)

Gambar 13. Ventilasi mulut ke mulut dan hidung pada bayi

e) Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada


bayi di antara 2 skapula dengan korban terlungkup dan
mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan
27
dengan bayi terlentang, kepala terletak di bawah melintang pada
paha penolong (lihat gambar 14). Pukulan punggung pada anak
yang lebih besar dapat diberikan dengan korban terlungkup
melintang di atas paha penolong dengan kepala lebih rendah dari
badan, dan hentakan dada dapat diberikan dengan anak terlentang
di atas lantai.

Gambar 14. Pukulan punggung pada bayi

8) Penilaian Hasil Bantuan Hidup Dasar ( dewasa dan anak )


Penilaian ulang RJP dilakukan setelah 5 siklus kompresi dan ventilasi (
± 2 menit ) pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi
beberapa kemungkinan hasil :
a) Jika terdapat teraba nadi, maka dilanjutkan untuk untuk kompresi
dan ventilasi 30 : 2 sebanyak 5 siklus.
b) Jika ada nadi, nafas belum ada.penolong memberikan bantuan
nafas 10 – 12 x/ menit dan di monitor tiap 2 menit.
c) Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan
RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi
tidak betul pelaksanaannya.
Bila henti jantung telah berlangsung lebih dari 10 menit pada orang
dewasa, normotermia, pertolongan resusitasui tanpa resusitasi otak
biasanya tidak dapat memulihkan fungsi susunan saraf pusat (SSP).
Dalam keadaan darurat ini, korban dapat dinyatakan mati bila setelah
dimulai resusitasi korban tetap tidak sadar, tidak timbul nafas, spontan
dan refleks muntah (gag reflex), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30
menit atau lebih, kecuali jika korban hipotermik atau di bawah pengaruh
barbiturat atau anestesia umum.

28
9) Bantuan Hidup Dasar pada Neonatus
Panduan resusitasi jantung paru ( RJP ) dan Perawatan Kegawat
daruratan Kardiovascular American Heart Association AHA 2010
merekomendasikan untuk orang dewasa, anak dan bayi resusitasi
jantung paru (C- A – B ). Akan tetapi karena etiologi gangguan keadaan
bayi baru lahir hampir selalu disebabkan oleh masalah pernafasan,
fokus pertama resusitasi neonatus harus pada pembebasan jalan nafas
dan ventilasi. Sehingga A- B – C akan selalu menjadi acuan yang
direkomendasikan.
a) Blok Penilaian Awal.
Pada saat bayi lahir dilakukan penilaian:
(1) Apakah bayi cukup bulan
(2) Apakah bayi bernafas atau menangis
(3) Apakah bayi memiliki tonus otot baik
Jika jawaban pertanyaan tersebut “ya” bayi tersebut dirawat
bersama ibunya sambil melanjutkan stabilisasi dan penilaian. Jika
ada jawaban “ tidak “ maka lanjutkan ke langkah awal resusitasi
b) Blok A ( Airway )
Langkah awal untuk membebaskan jalan nafas dan memulai
resusitasi bayi baru lahir :
(1) Hangatkan bayi dengan menyelimutinya dengan handuk dan
menempelkan bayi ke kulit ibunya ( kontak kulit – ke – kulit )
atau tempatkan bayi di bawah alat pemancar panas di meja
resusitasi.
(2) Bersihkan jalan nafas bila perlu
(3) Keringkan kulit, rangsang bayi untuk bernafas dan
reposisikan kepala untuk mempertahankan jalan nafas tetap
terbuka
(4) Evaluasi keberhasilan Blok A ( Airway ). Evaluasi bayi selama
dan segera setelah intervensi pertama yang biasanya
memerlukan waktu sekitar 30 detik. Lakukan penilaian
pernafasan dan frekuensi jantung secara simultan. Apabila
bayi tidak bernafas ( apnu atau megap – megap) atau
memiliki frekuensi jantung dibawah 100 denyut per menit (
dpm) segera beranjak Blok B( sisi kiri ), jika bayi bisa
bernafas tetapi ada kesulitan atau tampak sianotik terus
menerus segera beanjak ke Blok B ( sisi kanan )

29
c) Blok B (Breathing )
Bila bayi mengalami apnu atau frekuensoi jantung dibawah 100 dpm
(1) Segera mulai membantu pernafasan bayi dengan
memberikan VTP ( ventilasi tekanan positif )
(2) Memasang oksimeter untuk menentukan kebutuhan oksigen
tambahan
(3) Evaluasi keberhasilan Blok B. Setelah VTP, CPAP dan atau
pemberian oksigen tambahan secara efektif selama 30
detik.lakukan penilaian kembali untuk memastikan
ventilasinya telah adekuat. Apabila frekuensi jantung tetap
dibawah 60 dpm lanjutkan ke Blok C.
d) Blok C (Circulation)
Memberikan bantuan sirkulasi dengan memulai kompresi dada
dengan teknik :
(1) Teknik ibu jari : kedua iu jari digunakan untuk menekan
tulang dada ( sternum) 1/3 bawah tulang dada sementara
kedua tangan melingkar dada dan jari – jari tangan
menopang tulang belakang
(2) Teknik dua jari : ujung jari tengah dan jari telunjuk atau jari
manis dari satu tangan digunakan untuk menekan1/3 bawah
tulang dada sementara tangan yang lain digunakan untuk
menopang punggung bayi
(3) Kedalaman penekanan sedalam ± 1/3 diameter antero –
posterior dada
(4) Frekuensi 3 kompresi : 1 ventilasi
(5) Selama kompresi dada, kecepatan ventilasi 30 x/menit,
sedangkan kecepatan kompresi 90 x / menit. Satu siklus
terdiri 3 kompresi dan 1 ventilasi dilakukan dalam 2 detik
Evaluasi keberhasilan Blok C. Setelah kompresi dada dan
VTP dilakukan. Lakukan penilaian bayi kembali, bila frekuensi
jantung masih di bawah 60 dpm walaupun sudah dilakukan
ventilasi dan kompresi dada, anda harus beranjak ke Blok D
e) Blok D ( Drug )
(1) Berikan epinefrin sambil melanjutkan VTP dan kompresi dada
(2) Evaluasi Keberhasilan Blok D ( drug) apabila frekuensi
jantung masih dibawah 60 dpm semua tindakan yang
dilakukan di block C dan D dilanjutkan dan diulang lagi.
(3) Bantuan Hidup Lanjut(Advanced Life Support)

30
Yang dimaksud dengan resusitasi jantung paru (RJP) lanjut yaitu fase
Resusitasi Jantung Paru Otak. RJP Lanjut atau Bantuan Hidup Lanjut
(BHL) terdiri dari upaya-upaya untuk mengembalikan sirkulasi spontan
yang adekuat.
Setelah dimulai Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau fase I RJPO
(langkah eksternal hanya menghasilkan aliran darah yang sangat minimal
untuk kebutuhan, yang mungkin tidak adekuati untuk mempertahankan
otak dan jantung tetap hidup lebih lama dari beberapa menit. Biasanya
untuk BHL diperlukan memberikan intravena (IV) obat-obatan fanb cairan
(langkah D), diagnosis elektrokardiografik (langkah E) dan penanganan
defibrilasi (langkah F), dalam urutan-urutan yang bervariasi bergantung
pada keadaan. BHL juga mencangkup RJP dada terbuka untuk indikasi
spesifik, pintasan jantung paru darurat yang penggunaannya masih
eksperimental dan bantuan hidup trauma lanjut (BHTL).
Defribilasi sedini mungkin dengan restorasi sirkulasi spontan
merupakan kunci optimasi petualang untuk mendapatkan hasil serebral
dan hasil keseluruhan yang baik. Jadi pada fibrilasi vertikular yang terjadi
ketika EKG pasien sedang dipantau, syok listrik (langkah F) hendaknya
jangan sampai terhambat oleh langkah D dan E dan mendahului langkah-
langkah C-A-B mungkin juga tidak satupun langkah D E F yang diperlukan
jika nadi spontan kembalis egera sesudah dimulai ventilasi buatan dan
kompresi dada, seperti sering terjadi pada henti jantung (cardiac arrest)
sekunder terhadap asfiksia. Tidak perlu dikatakan, selama upaya
mengembalikan sirkulasi spontan, transport oksigen oleh RJP langkah C-
A-B harus dipertahankan dengan interupsi sedikit mungkin.
RJP eksternal langkah C-A-B (BHD) dimaksudkan semata-mata
sebagai tindakan sementara mempertahankan viabilitas otak ke jantung,
namun sekarang ini merupakan tindakan darurat satu-satunya yang ada
untuk henti jantung di luar rumah sakit. Pukulan prekordial telah dianjurkan
kembali, namun hanya untk henti jantung yang disaksikan atau dipantau,
sejalan dengan bukti-bukti keampuhannya pada takikardia ventrikular atau
fibrilasi ventrikular yang baru saja timbu. Memang ada risiko bahwa aritmia
ventrikular akan kambuh lagi, tetapi kerugiannya hanya sedikit bila henti
jantung tersebut disaksikan. Lagi pula efek proaritmia mungkin saja timbul
dengan semua intervensi yang sukses dan hanya diperlukan waktu
sebentar saja untuk melaksanakan manuver tersebut.

31
Dengan adanya defribilator eksternal semiautomatik dan automatik
maka terjadilah perbaikan dramatik dalam hasil RJP, sebab defribilasi
fapat dilakukan dini oleh tenaga darurat yang relatif tidak terampil.
Teknologi terbukti handal dalam praktek dan sekarang ini tidak ada lagi
alasan mengapa setiap perawat jaga di ruangan dan setiap petugas
ambulans yang menangani panggilan darurat tidak dapat melakukan
defibrilasi sebelum kedatangan staf medis.
Defibrilator automatik telah terbukti manfaatnya ketika digunakan oleh
famili pasien beresiko dan oleh petugas pesawat terbang dan kereta api.
Penggunaannya dapat diperluas ke pimpinan gelanggang olah raga dan
kompleks pertokoan dan sebagainya. Rute transesofageal untuk defibrilasi
telah dipakai pada pasien di unit perawatan koroner. Problem ditinggal di
esofagus dan defibrilasi dapat dikerjakan dengan cepat pada pasien yang
dipantau (monitor) dengan memakai energi listrik yang jauh lebih kecil.
Defibrilator/pemacu jantung yang ditanam bermanfaat pada pasien
beresiko tinggi namun biaya mungkin merupakan barier relatif pada
banyak negara. Tidak ada modifikasi pada pedoman yang dianjurkan
untuk defibrilasi, kecuali bahwa tingkat energi sesuai dengan standard
yang ada sekarang untuk kalibrasi defribilator modern dalam energi yang
dikalkulasikan.
Prosedur BHL berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk
memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pafa diagnosis serta
terapi gangguan irama utama selama henti jantung. BHL memerlukan
peralatan khsusu dan penggunaan obat-obatab. Harus ditekankan bahwa
BHD harus egera dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas
dibuat dan harus diteruskan sampai BHL diberikan. Bila setelah dilakukan
ABC RJP dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi
diteruskan dengan :
1) Drugs and Fluid (obat-obatan dan cairan)
Tanpa menunggu hasil EKG dapat langsung diberikan :
a) Adrenalin : 1,0 mg (dosis untuk orang dewasa), dan 10 mcg/kg pada
anak-anak (menurut AHA)
(1) Intra Vena (IV), intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin
1 ‰. Diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl)
atau bila keduanya tidak mungkin, maka intrakardiak (hanya
oleh tenaga yang sudah terlatih). Diulangi setiap 3-5 menit
dengan dosis sama sampai timbul denyut jantung spontan
atau mati jantung. Pemberian adrenalin sebaiknya lewat IV

32
(2) Henti jantung pediatrik, diberikan dosis standard awal 0.01
mg/kg adrenalin, seterusnya dalam 3-5 menit diberi ladi dosis
0,1-0,2 mg/kg. (akan tetapi pemberian dosis tinggi adrenalin
ini tidak dianjurkan pada neonatus, karena risiko perdarahan
intrakranial). Dosis selanjutnya sebesar 0,1-0,2 mg/kg
hendaknya diulangi 3-5 menit jik aperlu. Dieprtegas lagi
kelebihan mandat dosis standard adrenalin daripada atropin
pada bradikardia dan bahwa natrium bikarbonat bukanlah
obat lini pertama pada resusitasi pediatrik, kendati dapat
digunakan bersama dengan adrenalin pada pasien yang
gagal berespons terhadap ventilasi, oksigenasi dan
kompresi. Sangat dianjurkan pemakaian rute IV, termasuk
intraoseus. Rute endotrakeal kurang bagus penyerapannya.
Bila hanya ada rute endotrakeal, dosis adrenalin hendak
ditinggikan sampai 0,1 mg/kg untuk mencapai kadar darah
yang adekuat.
(3) Tidak ada data menyakinkan tentang dosis atropin dan
lignokain lewat endotrakeal. Juga dianjurkan tidak dipakai
isoproterenol untuk henti jantung.
(4) Dianjurkan pula pemberian 20 ml bolus cairan nonglukose
isotonik pada penanganan henti jantung pediatrik untuk
mengatasi syokm terutama pada kasus trauma bila upaya
lainnya gagal.
b) Natrium bikarbonat
(1) Dosis awal 1 mEq/kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit)
kemudian dapat diulangi setiap 10 menit dengan dosis 0,5
mEq/kg sampai timbul denyut jantung spontan atau mati
jantung. Cara pemberian hanya IV. Pasang infus intravena
sesuai dengan indikasi.
(2) Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali
pada resusitasi yang lama. Namun dianjurkan hanya pada
korban yang diberi ventilasi buatan yang efisien, sebab jika
tidak asidosis intraselular justru bertambah tidak berkurang.
Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal baru . CO2 yang
dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera menyeberangi
membran sel jika CO2tidak diangkut oleh respirasi. Di lain
pihak, alkalin lebih dominan berada di ekstraselular.
2) EKG

33
Fibrilasi ventrikular? Asistol ventrikular? Kompleks aneh? (diasosiasi
elektromekanis).
3) Fibrillator treatment (terapi fibrilasi)
Elektroda dipasang di sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan
sternum atas.
Defribilasi liar arus searah :
a) 200 - 300 W sec (joule) (pada dewasa)
b) 100 - 200 W sec (pada anak)
c) 50 - 100 W sec (pada bayi)
Ulangi syok balik (countershock) bila perlu
Bila berhasil beri lignokain (lidokain) 1-2 mg/kg IV, jika perlu diteruskan
dengan tetesan infus (1-4 mg/menit). Ulangi syok. Bila belum berhasil
peri prokainamid 1-2 mg/kg. IV. Syok lagi. Bila belum berhasil bila
bretilium 5mg/kg IV, syok lagi. Bila belumberhasil dosis bretilium dapat
ditinggikan 10 mg/kg sampai dosis total 30 mg.kg. bretilium ini
merupakan obat terakhir yang tersedia saat ini, bila ini juga tidak
berhasil maka dapat ditegakkan diagnosis kematian jantung, bila
memenuhi kriteriannya.
4) Perlengkapan
Di rumah sakit perlengkapan dan obat-obatan untuk BHL
biasanya di disimpan pada kereta yang dapat didorong dan diletakkan
pada daerah yang strategis termasuk kamar operasi dan ruang pulih.
Perlengkapan pada kereta ini hendaknya mencakup tabung oksigen,
pipa jalan nafas orofaringeal, sungkup, alat balon dan katup untuk
ventilasi paru, perlengkapan pengisapan faring, perlengkapan
intravena, monitor EKG, defribilator arus searah. Segera setelah kereta
ini tiba, orofaring korban harus diebrsihkan dari sekret-sekret dengan
cara diisap, pipa jalan nafas orofaringeal dimasukkan dan diberikan
ventilasi dengan oksigen murni dengan menggunakan alat balon dan
katub. Sebagai tambahan sebuah papan tempat tidur diletakkan
dibawah korban. Ventilasi dan kompresi dada harus diteruskan dengan
laju yang telah disebutkan pada BHD kecuali dihentikan sebentar pada
saat defibrilasi.
Segera setelah keadaan lebih baik, trakeal korban hendaknya
diintubasi dengan pipa trakeal yang mempunyai balon, yang akan
mencegah jalan nafas tidak terkontaminasi dengan isi lambung dan
menyingkirkan risiko inflasi lambung, juga infus intravena dan monitor
EKG hendaknya dipasang sedini mungkin.

34
Harus dicatat bahwa semua alat tambahan BHL dapat segera
diperoleh atau sudah terpasang pada pasien dalam kamar operasi.
Karena itu, resusitasi pada keadaan ini dapat dimulai sebagai BHL.
Pemberian semua obat anestetik harus dihentikan, oksigen 100 %
harus diberikan melalui alat anestesia, ventilasi dikendalikan secara
manual, tidak mekanis, sehingga dapat dikoordinasikan dengan
kompres dada. Malfungsi perlengkapan anestesia selalu merupakan
penyebab potensial henti jantung dalan kamar operasi. Ini harus
disingkirkan sesegera mungkin.

c. Obat-obatan untuk RJP


Semua obat hendaknya diberikan secara IV dalam sirkulasi sentral bila
mungkin. Jangan diberikan intamuskular atau subkutis. Berbagai obat dan
cara laintersedia untuk memberikan lingkungan fisiologik yang optimal bagi
miokard dan tekanan perfusi dan mengatasi aritmia.
1) Untuk memberikan lingkungan disiologik optimal bagi miokard
a) Oksigen. Berikan oksigen 100 % dengan sungkup tekanan positif
atau pipa trakeal
b) Natrium bikarbonat
(1) Untuk asidosis metabolik, dianggap ada pada permulaan RJP
(2) Dosis: 1,0 mEq per kg dosis awal, kemudian 0,5 mEq per kg
setiap 10-15 menit tidak tersedia pengukuran pH. Jika masa henti
ini singkat (yaitu 1-2 menit) maka mungkin tidak diperlukan
bikarbonat. Dosis bikarbonat dapat dihitung dari kelebihan basa
(negatif) dari gas darah arteri sebagai berikut :
(a) BE x 0,25 x berat badan (kg)
(b) BE : Base Excess
(3) Kelebihan natrium dengan hipernatremia dapat timbul pada
pemberian bikarbonat yang terlalu giat. Hipokalemia setelah
resusitasi bisa juga ditemukan.
(4) Hiperventilasi dapat digunakan utnuk meningkatkan pH
sistematik dan susunan saraf pusat (SSP) secara akut dan
reversibel
2) Untuk meningkatkan kontaktilitas dan tekanan perfusi miokard
a) Epinefrin (adrenalin)
(1) Untuk asistol, fibrilasi vertikular yang halus dan diisolasi
elektromekanis

35
(2) Dosis : 0,1 mg setiap 3-5 menit atau mula-mula dengan infus
0,05 mcg/kkBB/menit, dititrasi sampai timbul efek yang
diinginkan
b) Kalsium klorida
(1) Untuk kontraktilitas miokard yang buruk, asistol, disosiasi
elektromekanis, hipokalsemia
(2) Dosis : 2-20 mcg/kg/menit, dititrasi sampai tercapai tekanan
arteri yang diinginkan
c) Norepinefrin (Levophed)
(1) Untuk tahanan vaskular sistemaik yang rendah dengan
hipotensi refrakter.
(2) Dosis : mula-mula infus 0,04 mcg/kgBB/menit, dititrasi sampai
tercapai tekanan arteri yang diinginkan
d) Dopamin (Intropin)
(1) Untuk hipotensi disfungsi ventrikular atau keduanya. Efek
dopaminergik beta yang bergantung pada dosis timbul pada
dosis lebih rendah (kurang dari 5 mcg/kgBB/menit) dan efek alfa
pada dosis lebih tinggi.
(2) Dosis : 2-20 mcg/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai tekanan
arteri yang diinginkan
(3) Kadang-kadang dopamin merupakan pengganti adrenalin yang
(4) bermanfaat karena aktivitas alfa yang terlihat bila diberikan dalam
dosis lebih tinggi.
e) Dobutamin (dobutrex)
(1) Untuk disfungsi ventrikular, terutama dengan tahanan vaskular
sistemik yang tinggi
(2) Dosis : 2,5 – 10,00 mcg/kgBB/menit, dititrasi sampai tercapai
tekanan darah (atau curah jantung) yang diinginkan
Dobutamin mungkin tidak begitu bermanfaat seperti dopamin atau
adrenalin dalam fase awal henti jantung.

b. Deteksi Perubahan Kondisi Pasien (EWS)


1. Pengertian
Early Warning Scoring System adalah sebuah sistem skoring fisiologis
yang umumnya digunakan di unit medikal bedah sebelum pasien mengalami
kondisi kegawatan. Skoring EWSS disertai dengan algoritme tindakan
berdasarkan hasil skoring dari pengkajian pasien.

36
Early Warning System (EWS) adalah sistem peringatan dini yang dapat
diartikan sebagai rangkaian sistem komunikasi informasi yang dimulai dari
deteksi awal, dan pengambilan keputusan selanjutnya. Deteksi dini
merupakan gambaran dan isyarat terjadinya gangguan fungsi tubuh yang
buruk atau ketidakstabilitas fisik pasien sehingga dapat menjadi kode dan
atau mempersiapkan kejadian buruk dan meminimalkan dampaknya,
penilaian untuk mengukur peringatan dini ini menggunakan Early Warning
Score.
2. Sistem skoring EWS
Menggunakan pengkajian yang menggunakan 7 (tujuh) parameter
fisiologis yaitu:
a. Frekuensi pernapasan/respiratory rate
b. saturasi oksigen,
c. kebutuhan alat bantu O2
d. tekanan darah sistolik,
e. frekuensi nadi,
f. suhu tubuh, dan
g. tingkat kesadaran
untuk mendeteksi terjadinya perburukan/ kegawatan kondisi pasien
yang tujuannya adalah mencegah hilangya nyawa seseorang dan
mengurangi dampak yang lebih parah dari sebelumnya.
3. Pediatric Early Warning System (PEWS) adalah penggunaan skor
peringatan dini dan penerapan perubahan kompleks yang diperlukan untuk
pengenalan dini terhadap pasien anak di rumah sakit.
4. Sistem skoring PEWS
Menggunakan pengkajian yang menggunakan 10 (sepuluh) parameter
fisiologis, yaitu:
a. respirasi,
b. saturasi oksigen,
c. kebutuhan alat bantu O2
d. tekanan darah sistolik,
e. frekuensi nadi,
f. suhu tubuh, dan
g. tingkat kesadaran
h. warna kulit
i. nyeri
j. urine

37
5. Syarat EWS
EWS sistem menggunakan pendekatan sederhana berdasarkan
dua persyaratan utama yaitu:
a. Metode yang sistematis untuk mengukur parameter fisiologis
sederhana pada semua pasien untuk memungkinkan identifikasi awal
pasien yang mengalami penyakit akut atau kondisi perburukan.
b. Definisi yang jelas tentang ketepatan urgensi dan skala respon klinis
yang diperlukan, disesuaikan dengan beratnya penyakit.
6. Komponen EWS
a. Deteksi dini
b. Ketepatan waktu respon
c. Kompetensi
7. Manfaat EWS
a. Standarisasi teknik deteksi perburukan kondisi pasien
b. Standarisasi tingkat perburukan kondisi pasien
c. Membantu pengambilan keputusan klinis dengan cepat dan tepat
8. Instrumen EWS
a. MEWS (Modified Early Warning System)
b. NEWS (National Early Warning Score)
c. PEWS (Pediatric Early Warning Signs)
9. Kapan EWS dilakukan?
EWS dilakukan terhadap semua pasien pada asesmen awal dengan kondisi
penyakit akut dan pemantauan secara berkala pada semua pasien yang
mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi sakit kritis selama berada di
rumah sakit. Pasien-pasien tersebut adalah:
a. Pasien yang keadaan umumnya dinilai tidak nyaman (uneasy feeling),
b. Pasien yang datang ke instalasi gawat darurat,
c. Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil,
d. Pasien yang baru dipindahkan dari ruang rawat intensif ke bangsal
rawat inap.
e. Pasien yang akan dipindahkan dari ruang rawat ke ruang rawat
lainnya,
f. Pasien paska operasi dalam 24 jam pertama sesuai dengan ketentuan
penatalaksanaan pasien paska operasi.
g. Pasien dengan penyakit kronis,
h. Pasien yang perkembangan penyakitnya tidak menunjukkan perbaikan.
i. Pemantauan rutin pada semua pasien, minimal 1 kali dalam satu shift
dinas perawat.

38
j. Pada pasien di Unit Hemodialisa dan rawat jalan lainnya yang akan
dirawat inap untuk menentukan ruang perawatan.
k. Pasien yang akan dipindahkan dari RSUD Harapan dan Do‟a Kota
Bengkulu ke rumah sakit lainnya.

10. Tatalaksana
Seluruh Staf klinis RSUD HD Kota Bengkulu dilatih menggunakan early
warning system (EWS). Sehingga dengan kemampuannya untuk
melaksanakan early warning system (EWS), maka membuat staf mampu
mengidentifikasi keadaan pasien memburuk sedini-dininya dan bila perlu
mencari bantuan staf yang kompeten. Dengan demikian, hasil asuhan akan
lebih baik. Early Warning System (EWS) dijalankan dengan tahapan
sebagai berikut:
a. Cek kesadaran dan tanda tanda vital pasien
b. Setiap parameter kemudian di berikan skor sesuai EWS
c. Jumlahkan semua skor kemudian tentukan kategori EWS
d. Lakukan tatalaksana pasien sesuai Algoritme EWS
Ada beberapa metode EWS yang digunakan, yaitu:
National Early Warning System
1) NEWS digunakan pada pasien dewasa (berusia 16 tahun atau lebih)
2) NEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen penyakit akut,
mendeteksi penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis yang
tepat waktu dan sesuai.
3) NEWS tidak digunakan pada:
a) Pasien berusia kurang dari 16 tahun
b) Pasien hamil
c) Pasien dengan PPOK
4) NEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesmen prehospital
pada kondisi akut oleh first responder seperti pelayanan ambulans,
pelayanan kesehatan primer, Puskesmas untuk mengoptimalkan
komunikasi kondisi pasien sebelum diterima rumah sakit tujuan.

39
Parameter 3 2 1 0 1 2 3 Nilai

Pernapasan ≤8 8-9 10-11 12-20 21-30 31-40 ≥ 40


Saturasi O2 ≤ 90 91-92 93-94 95-100
Penggunaan
alat bantu Ya Tidak
O2
35.0- 37.1- 38.1-
Suhu ≤ 35 36.-37 ≥40.0
36.0 38.0 39.0
Tekanan
91- 101- 110- 121- 131-
darah ≤ 90 ≥ 220
100 110 120 130 140
sistolik
Denyut 101- 121-
≤ 40 40-49 50-59 60-100 ≥ 140
jantung 120 140
Tingkat V, P,
A
kesadaran atau U
Total
Keterangan:
1 – 4 : rendah
5 – 6 : sedang
˃7 : tinggi
1. Lakukan tatalaksana pasien sesuai Algoritme EWS
Skor NEWS Frek Monitoring Respon Klinis
Lanjutkan pemantauan NEWS rutin
0 Min 12 jam
dengan setiap rangkaian pengamatan
‒ Informasi siapa perawat terlatih
yang harus menilai pasien.
‒ Perawat terlatih akan memutuskan
Total 1 – 4 Min 4 – 6 jam apakah dilakukan peningkatan
frekuensi pemantauan dan / atau
diperlukan eskalasi perawatan
klinis
‒ Perawat terlatih segera meng-
Total: informasikan tim medis untuk
5-6 Frekuensi merawat pasien.
Atau meningkat minimal ‒ Penilaian cepat oleh klinisi dengan
3 dalam 1 1 jam kompetensi inti untuk menilai
parameter pasien akut.
‒ Perawatan klinis di lingkungan

40
dengan fasilitas pemantauan.
‒ Perawat terlatih segera menginfor-
masikan tim medis untuk merawat
pasien ini setidaknya harus di
tingkat spesialis yang terlatih.
‒ Penilaian darurat oleh tim klinis
Pemantauan terus dengan kompetensi perawatan
menerus tanda kritis, yang juga mencakup
Total:
vital (TTV). seorang praktisi dengan
7 atau lebih
Bedside monitor keterampilan jalan napas yang
terpasang. canggih.
‒ Pertimbangkan pengalihan
perawa-tan klinis ke fasilitas
perawatan tingkat 2 atau 3, yaitu
ketergantu-ngan yang lebih tinggi
atau ITU

Pediatric Early Warning System (PEWS)


• PEWS digunakan pada pasien anak/pediatrik (berusia saat lahir-16 tahun)
• PEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen penyakit akut, mendeteksi
penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis yang tepat waktu dan sesuai.
• PEWS tidak digunakan pada:
a. Pasien dewasa lebih dari 16 tahun
b. Pasien anak dengan TOF (Tetralogi of Fallot), sindrom VACTERL
• PEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesmen prehospital pada kondisi
akut oleh first responder seperti pelayanan ambulans, pelayanan kesehatan
primer, Puskesmas untuk mengoptimalkan komunikasi kondisi pasien sebelum
diterima rumah sakit tujuan.
• Tatalaksana:
1. Seluruh hasil pemeriksaan pasien sesuai dengan parameter PEWS
diberikan skor EWS. Berikut table skor PEWS yang dimaksud.

41
Kelompok Umur Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
0 – 30 hari ≤ 60
1 bulan – < 1 tahun ≤ 70
≥ 1 tahun – < 10 ≤ 70 + 2x (usia di tahun itu)
tahun
≥ 10 tahun < 90

Parameter 3 2 1 0 1 2 3 Nilai

Pernapa
Pernapasan Pe
san
Umur: rnapa
Umur:
˂ 1 tahun 11-19 20-29 30-40 41-50 51-60 ≥60
≤ 10
1-15 tahun 11-15 16-19 20-30 31-50 51-60 ≥60
˂ 10
16 tahun 9-10 11 12-20 21-30 31-40 ≥40
˂8

Saturasi O2 ≤ 85 86-89 90-93 ˃ 94


Pucat
/
Warna kulit pink
berbin
tik
35- 37.1-
Suhu ≤34 34-34.9 36-37 38-39 ≥40
35.9 37.9
Tekanan
darah ≤ 80 80-89 90-119 120-129 130-139 ˃ 140
sistolik
Nadi N
Umur: adi
42
˂ 1 tahun ≤90 ≤99 ≤100 110-160 161-170 171-190 ˃190
1-15 tahun ≤70 ≤79 ≤99 100-140 141-160 161-170 ˃170
16 tahun ≤40 40-49 50-59 60-100 111-120 12-140 ˃140

Tingkat
A V P/U
kesadaran
Total

Keterangan :
0-2 : skor normal (putih), penilaian setiap 4 jam.
3 : skor rendah (hijau), penilaian setiap 1-2 jam
4 : skor menengah (kuning), penilaian setiap 1 jam
≥5 : skor tinggi (merah), penilaian setiap 30 menit.

2. Setelah itu jumlahkan semua skor kemudian tentukan kategori EWS.


Berikut adalah kategori EWS.

3. Lakukan tatalaksana pasien sesuai Algoritme EWS

National Early Warning Score (NEWS)


2. Seluruh hasil pemeriksaan kesadaran dan tanda tanda vital pasien
diberikan skor EWS sesuai dengan NEWS. Berikut table skor NEWS yang
dimaksud.

43
3. Setelah itu jumlahkan semua skor kemudian tentukan kategori EWS.
Berikut adalah kategori EWS.

C. PELAYANAN PASIEN DYALISIS/HD


1. Pengertian
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Smeltzer dan Bare, 2002). Hemodialisis
dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan
membran penyaring semi permiabel (ginjal buatan) yang memindahkan
produk-produk limbah yang terakumulasi dari darah ke dalam mesin dialisis.
2. Metode Hemodialisa
Metode terapi dialisa mencakup hemodialisis, hemofiltrasi, dan
peritoneal dialisis. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat
racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau
menyebabkan kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan
yang berlebihan. Sedangkan, peritoneal dialisis mengeluarkan cairan lebih
lambat daripada bentuk-bentuk dialisis yang lain (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Indikasi Hemodialisis
Hemodialisis diindikasikan pada gagal ginjal akut dan kronis, intoksikasi
obat dan zat kimia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat dan sindrom
hepatoreanal (Faisal, 2007). Di samping itu, terdengarnya suara gesekan
perikardium (pericardial friction rub) melalui auskultasi merupakan indikasi
44
yang mendesak untuk dilakukan dialisis untuk pasien gagal ginjal kronis
(Smeltzer dan Bare, 2002).
4. Prinsip-prinsip Kerja Hemodialisis
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis menurut Smeltzer dan
Bare (2002), yaitu:
a. Difusi adalah pengeluaran toksin dan zat limbah dalam darah dengan
bergerak dari darah yang berkonsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah.
b. Osmosis adalah bergeraknya air dari daerah bertekanan lebih tinggi
(tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat), sehingga
air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh.
c. Ultrafiltrasi adalah penambahan tekanan negatif.
5. Komplikasi Hemodialisis
Komplikasi terapi dialisis mencakup hal-hal berikut :
a. Hipervolemia, ditandai dengan peningkatan tekanan darah, nadi, frekuensi
pernapasan, tekanan vena sentral, dispnea, rales basah, batuk, edema,
dan peningkatan berat badan yang berlebihan sejak dialisis terakhir.
b. Ultrafiltrasi yang berlebihan, ditandai dengan gejala-gejala: hipotensi,
mual, muntah, berkeringat, pusing, dan pingsan.
c. Hipovolemia, ditandai dengan penurunan tekanan darah, peningkatan
frekuensi nadi dan pernapasan, turgor kulit buruk, mulut kering, tekanan
vena sentral menurun, dan penurunan haluaran urine.
d. Hipotensi, pada awal dialisis dapat terjadi pada pasien dengan volume
darah sedikit, seperti anak-anak dan orang dewasa yang kecil. Sedangkan
hipotensi lanjut pada dialisis biasanya karena ultrafiltrasi berlebihan atau
terlalu cepat.
e. Hipertensi, penyebab yang paling sering adalah kelebihan cairan, sindrom
disequilibrium, respons renin terhadap ultrafiltrasi, dan ansietas.
f. Sindrom disequilibrium dialisis, dimanifestasikan oleh sekelompok gejala-
gejala yang diduga disfungsi serebral. Rentang beratnya gejala-gejala dari
mual ringan, muntah, sakit kepala, dan hipertensi sampai agitasi, kedutan,
kekacauan mental, dan kejang.
g. Infeksi, yang diperkirakan karena penurunan respons imunologik pada
pesien uremik yang mengalami penurunan resisten terhadap infeksi.
6. Tatalaksana
a. Persiapan sebelum hemodialysis

45
1) Persiapan Pasien :
a) Surat dari dokter nefrologi / penyakit dalam untuk tindakan
hemodialisis ( intruksi dokter).
b) Identitas pasien dan surat persetujuan tindakan hemodialisis.
c) Riwayat penyakit yang pernah diderita ( penyakit lain dan alergi ).
d) Keadaan umum pasien.
e) Keadaan psikososial.
f) Keadaaan fisik ( ukur tanda-tanda vital, berat badan, warna kulit,
mata, ekstremitas ederna +/-).
g) Data laboratorium : hb, ureum, kreatin, HbSAg.
h) Pastikan bahwa pasien telah benar-benar siap dilakukan
hemodialisi
2) Persiapan Mesin :
a) Listrik.
b) Air yang sudah diubah dengan cara
(1) Filtrasi.
(2) Softening.
(3) Deionisasi.
(4) Reverse osmosis.
3) Sistem sirkulasi dialisat :
a) Sistem proporsioning.
b) Asetat / bikarbonat.
4) Sirkulasi darah :
a) dialyzer / hollow fiber.
b) Priming.
5) Persiapan alat :
a) Dialyzer.
b) AV blood line.
c) AV fistula.
d) NaCl 0,9 %.
e) Infus set.
f) Spuit.
g) Heparin.
h) Lidocain.
i) Kassa steril.
j) Duk.
k) Sarung tangan.

46
l) Mangkok kecil.
m) Desinfektan (alkohol/betadine).
n) Klem.
o) Matcan.
p) Timbangan.
q) Tensimeter.
r) Termometer.
s) Plester.
t) Perlak kecil.
b. Langkah-langkah :
1) Memulai Mesin Gambro Ak 98 :
a) Pastikan listrik sudah tersambung ke stop kontak , tombol power di
belakang dalam keadaan ON dengan lampu indikator power di
bawah tombol power berwarna hijau
a) Selang RO (belakang mesin) tersambung ke mesin dan kran air
RO.
b) Selang pembuangan (belakang mesin) tersambung ke mesin dan
sudah dimasukan ke aliran pembuangan.
c) Selang desinfektan (belakang mesin) dimasukan kedalam botol
berisi larutan desinfektan CITRIC – ACID 20%
d) Tekan tombol ON sampai muncul tampilan layar utama dengan
tulisan dilayar ”Functional ceck”
e) Lakukan heat desinfection sebelum digunakan ke pasien (heat rinse
dilakukan setiap pagi sebelum tindakan ke pasien dengan cara
menekan tombol disinfection dilayar
f) Heat desinfection akan berjalan secara automatic setelah selesai
layar akan kembali ke posisi standby
2) Memulai Self Test Mesin Gambro Ak 98:
a) Nyalakan tombol power
b) Setelah tampilan display muncul maka mesin akan melakukan
functional ceck secara automatic
c) Masukan konektor merah ke konsentrat Part A (Acid konsentrat)
d) Buka holder BiCart yang berada disamping kiri mesin dengan cara
perlahan menarik dan membuka tutup atas dan bawah holder BiCart
cartridge.
e) Masukan BiCart Cartridge ke tempat BiCart
f) Mesin secara automatis akan mengintruksikan tahapan selanjutnya
di display layar.

47
g) Mesin siap ditandai dengan indikator dialysat warn hijau di sertain
dengan tombol bypass yang berkedip (menandakan soaking siap
dilakukan).
Catatan: Selalu lihat tahapan instruksi selanjutnya di mesin sebelum
melakukan sesuatu.
3) Perlengkapan Priming :
a) Siapkan dializer sesuai kebutuhan pasien.
b) 500 ml normal saline 0,9 % ( SINGLE USE ) , 2 liter normal saline
0,9% ( REUSE ).
c) Set Infus dan Blood Lines .
d) Syringe 1 cc insulin dan syringe 20 cc.
e) Anti coagulant dan swab alkohol.
f) Siapkan APD (kaca mata, Masker, Apron dan Sarung tangan )
g) Gelas ukur 2 liter ; 1 pcs
h) Box kecil (tempat menyimpan tutup )
catatan: untuk dializer reuse jika diperlukan siapkan :
(1) Tes trip potency peracetic acid ( memastikan dializer masih
berisi sterilisasi)
(2) Tes trip residual peracetic acid ( memastikan dializer sudah
bebas sterilisasi ).
4) Memulai Priming :
a) Letakan normal saline 0,9 %, @ 500 ml / 1000 ml di tiang mesin
dialysis.
b) Sambungkan normal saline dengan set infus / blood set.
c) Letakan dializer di holder mesin dialysis, sambungkan arterial lines
ke dializer pada posisi biru diatas
Note untuk dializer reuse:
(1) Pastikan dializer reuse milik pasien tersebut
(2) Pastikan dializer reuse masih berisi sterilisasi
d) Ujung arterial lines gantungkan ke tiang mesin dialysis atau
sambungkan langsung ke set infus/blood set..
e) Dializer di balik, sambungkan venous lines ke dializer, ujung venous
lines masukan ke gelas ukur.
f) Mulai primming jika tulisan dilayar mesin sudah mengintruksikan
untuk melakukan primming
g) Tekan mode primming di layar
(1) Tekan mode manual primming lalu confirm jika primming
dilakukan manual

48
(2) Tekan mode assisted primming lalau confirm jika primming
dilakukan secara automatis oleh mesin
h) Secara automatis akan terlihat tampilan/setting jumlah primming
dan waktu selesai primming secara automatic
i) Assisted primming : secara automatis primming dializer akan
dilakukan oleh mesin, namun user tetap harus secara cermat
membebaskan udara yang berada di kompartement dializer
j) Manual primming :
(1) Hidupkan blood pump mulai kecepatan 100 Rpm bertahap s.d
200Rpm.
(2) Normal saline akan mengisi seluruh sirkuit blood lines dan
dializer.
(3) Saat normal saline mengisi arterial lines, buble trap arterial
dibalik.
(4) Lakukan priming 1000 cc -1500cc normal saline (untuk dialiser
re use) Untuk dialiser Single use cukup 500 - 1000 cc NaCl,
secara automatis setting cairan primming akan terlihat di
display layar
(5) Bublle trap venous isi ¾ bagian dengan cara memutar knob
bublle trap vena ke arah positif
k) Setelah primming selesai akan muncul intruksi mode dilayar mesin :
(1) Continue primming : Jika melanjutkan atau ekstra primming
(2) New primming : Jika melakukan primming lagi dari awal
(3) Connect patient : Jika pasien sudah datangb dan siap untuk
melakukan HD
(4) Recirculation : Jika perlu resirkulasi dan primming dializer
reuse
l) Lihat indikator dialisat sudah siap untuk digunakan soaking atau
belum, jika conductivity stabil dan indikator bypass berkedip lakukan
soaking dengan memasanag dialysis fluid tube (coupling dializer) ,
coupling merah ke bagian dializer merah dan coupling biru ke
bagian dializer biru.
m) Setelah selesai di layar akan muncul intruksi selanjutnya :
konsentrat stand by mode, jika sudah sesuai tekan confirm
n) Selalu lihat intruksi dilayar mesin, jika sudah sesuai tekan confirm
o) Pasang syringe heparin
5) Memprogram Mesin

49
a) Sebelum memulai ke pasien lakukan setting UF volume,klik di
indikator waktu : isi treatment time dan uf volume sesuai resep
dokter.
b) Setting kebutuhan heparin disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dengan menekan mode blood menu : Heparin flowrate, dan stop time
heparin.
c) Setting BPM Blood presure monitor ; mengacu ke SOP BPM dan
DIASCAN
d) Setting DIASCAN : K.T/V : mengacu ke SOP BPM dan DIASCAN
e) Jika pasien menggunakan mode profilling, Atur Mode profilling dan
iso UF di fluid menu setelah semuanya sesuai jangan lupa tekan
confirm.
f) Tekan menu conect patient, secara automatis QB akan turun dan
berhenti
g) Set blood pump, kecilkanQb 100 Rpm, stop Qb.
h) Kleminfus, klem arterial dan venous lines.
i) Sambungkan ujung arterial dan venous lines dengan fistula.
j) Pastikan udara tidak masuk kedalam pembuluh darah pasien.
k) Hidupkan Qb mulai kecepatan 100 Rpm, selanjutnya sesuaikan
dengan kebutuhan pasien.
l) Tekan indikator limit arteridan vena setelah Qb dinaikan perlahan
m) Siapkan spuit 20 cc, isi dengan Na Cl 0.9% dan heparin sesuai dosis
pasien.
n) Tentukan Program Heparin (Sebaiknya program heparin sebelum
program Dialisis mulai), jalankan program heparin dengan menekan
tombol Start di blood menu.
o) Lanjutkan program HD dengan menaikan QB sampai maksimal
p) Ceck kembali keseluruhan program
q) Pastikan indikator lampu berwarna biru (Operation)
r) Semua program berjalan sesuai resep HD jika pada status BAR
bawah layar tercantum dengan lengkap.
catatan : Bloodline venous dan arteri masukan kedalam klem
detector
6) Mengisi status harian pasien
Observasi Selama Proses Hemodialisis Berlangsung
a) Observasi Mesin
(1) Observasi sirkulasi extracorporeal
(2) Pengawasan kecepatan aliran darah (QB)
(3) Warna darah pada Dilaizer dan Blood Lines

50
(4) Tekanan arteri dan tekanan vena
(5) Buble Trap Arteri dan Buble Trap Vena
(6) Pengawasan Heparin Pump
(7) Observasi mesin :
(8) Kebocoran dializer (blood leak)
(9) Low / high temperature
(10) Low / high conductivity
(11) Trans membrane pressure
(12) UF Target
b) Observasi Pasien
(1) Keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi
setiap jam atau setiap ada keluhan sesuai kebutuhan
(2) Pengawasan dan penanganan komplikasi selama
hemodialisis, misalnya kram otot, hipotensi, mual, dsb
7) Mengakhiri Hemodialisis
a) Perawat memakai APD (Sarung tangan, Kacamata, Apron, Masker).
b) Dekatkan trolley tindakan dan tempat pembuangan jarum.
c) Proses dialysis selesai, dilayar indikator waktu 00 : 00
d) Tekan tombol rinse back lalu confirm
e) Blood pump secara automatis akan mati
f) Untuk arah akses yang berlawanan
(1) Cabut AV-fistula arterial, tekan punksi cimino. Alirkan darah
sampai ke ujung fistula,
(2) stop Qb dan lepaskan AV-Fsitula.
(3) Sambungkan ujung infus ke ujung arterial lines, buka klem
infus dan hidupkan Qb 100 Rpm.
(4) Alirkan normal saline ke arterial-venous lines dan dializer
(Sirkulasi Ekstra korporeal) sampai
g) Untuk akses yang searah , lakukan ending secara tertutup
Buka klem pada infus nacl dan alirkan nacl secara gravitasi. Setelah
warna selang inlet ( arteri ) merah jambu, klem fistula inlet ( arteri )
dan Bloodline inlet lalu tekan tombol start , maka pump akan
berputar dan nacl akan mengalir ke dializer ( sirkulasi ekstra
korporeal ) sampai bersih.
h) Setelah treatment selesai lihat intruksi dilayar mesin, intruksi untuk
melepaskan blood lines ,intruksi untuk memasangkan coupling
dializer ke mesin,Intruksi untuk Drain BiCart lalu lepas dan tutup
kembali dengan perlahan.
i) Masukan konektor acid konsentrat ke mesin

51
j) Lakukan disinfection tekan mode desinfection mengacu ke : SOP
desinfection.
Jika desinfection selesai matikan mesin dengan menekan tombol
power.
Catatan : Siapkan Heparin dalam spuit 20 cc, isi dengan normal
saline dan heparin sesuai kebutuhan pasien.
(1) Jika Dializer baru, setelah priming selesai , lakukan sirkulasi
tertutup dengan menekan mode recirkulasi
(2) Berikan kecepatan Qb sampai 400 Rpm untuk membuang sisa
udara di dializer
D. PELAYANAN DARAH
Transfusi darah merupakan salah satu komponen terapi yang sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien.Perlu dipertimbangkan bahwa transfusi darah bukan
sebagai terapi pilihan pertama, kedua maupun ketiga dalam penanganan pasien.
Transfusi darah merupakan terapi pilihan terakhir yang harus dilakukan jika terapi lain
tidak mampu meyelamatkan penderita. Pemberian transfusi darah harus berpegang
pada pernyataan bahwa manfaat yang akan diterima oleh pasien lebih besar
dibandingkan risiko yang akan ditanggung. Pemberian transfusi darah baru akan
bermanfaat jika dilakukan dengan tepat indikasi, tepat jenis darah, tepat dosis, tepat
waktu, tepat cara pemberian dan selalu waspada akan efek samping. Transfusi darah
yang dilakukan tanpa indikasi merupakan sebuah kontra indikasi.Prinsip pemberian
transfusi darah adalah mendapatkan komponen darah yang tepat kemudian
memberikan pada pasien yang tepat, dalam waktu yang tepat dan tempat yang tepat.
Hal tersebut mengandung makna apabila transfusi dilakukan dengan tepat maka
akan menyelamatkan jiwa dan memperbaiki kesehatan. Apabila tidak dilakukan
dengan tepat maka akan memberikan efek samping pada pasien. Efek samping yang
muncul dapat bersifat akut maupun lambat.Efek samping yang segera, bisa mulai
dari yang ringan sampai berat bahkan dapat berakhir dengan kematian.Efek samping
lambat dapat muncul berapa hari maupun beberapa bulan pasca transfusi.Salah satu
efek samping jangka panjang yang sangat menghawatirkan adalah tertularnya
berbagai penyakit infeksi lewat transfusi darah seperti sifilis, malaria, hepatitis B,
hepatitis C dan HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Untuk dapat tercapainya prinsip pemberian transfusi darah perlu disusun sebuah
pedoman penggunaan produk darah yang rasional.

52
1. Keputusan Untuk Memberikan Transfusi Darah
Sama dengan terapi obat yang lain, pemberian transfusi darah harus selalu
mempertimbangkan besarnya manfaat dan risiko yang harus ditanggung oleh
masing-masing pasien. Keputusan untuk memberikan transfusi darah harus selalu
berdasarkan evaluasi klinis dan indikasi laboratorium bahwa transfusi darah sangat
dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan signifikan menurunkan morbiditas.
Transfusi darah hanya merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
pasien. Sebelum meresepkan darah atau produk darah, ada beberapa pertanyaan
yang perlu dijawab dan digunakan sebagai check list oleh dokter, antara lain:
a. Apakah pemberian transfusi darah mampu memperbaiki kondisi pasien?
b. Dapatkah saya meminimalisir kehilangan darah dan mengurangi kebutuhan
pasien akan transfusi?
c. Apakah ada terapi lain yang seharusnya bisa diberikan sebelum membuat
keputusan untuk memberikan transfusi, misalnya penggantian cairan
intravena atau oksigen?
d. Adakah indikasi klinis dan laboratorium yang spesifik untuk memberikan
transfusi pada pasien?
e. Apakah terdapat risiko penularan infeksi Human Immunodefisiensi Virus
(HIV), hepatitis, sifilis atau infeksi lain yang bisa ditularkan melalui produk
darah yang disiapkan untuk pasien?
f. Apakah manfaat yang akan diterima lebih besar dibandingkan risiko yang
harus ditanggung oleh pasien?
g. Adakah terapi lain yang bisa diberikan apabila tidak ada darah yang
tersedia untuk pasien tersebut?
h. Apakah transfusi akan dimonitor oleh tenaga yang sudah dilatih dan
mampu memberikan respon yang cepat apabila terjadi reaksi transfusi
akut?
i. Apakah keputusan dan alasan memberikan transfusi pada pasien sudah
tercatat secara lengkap pada catatan medik pasien dan formulir permintaan
darah?
2. Prinsip Pemberian Transfusi Darah Dalam Praktek Klinik
Beberapa prinsip yang harus dipegang dalam pemberian transfusi darah
antara lain:
a. Transfusi darah hanya merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan pasien.
b. Pemberian transfusi harus berdasarkan pedoman penggunaan klinis
darah dan jumlah komponen darah yang akan ditransfusikan harus
benar-benar diperhitungkan.

53
c. Meminimalkan kehilangan darah sehingga mengurangi kebutuhan
pasien akan transfusi.
d. Pasien dengan perdarahan akut harus mendapatkan resusitasi yang
efektif (penggantian cairan intravena, oksigen dan sebagainya) sampai
kebutuhan transfusi ditentukan.
e. Kadar hemoglobin pasien, meskipun penting, bukan merupakan hal yang
menentukan untuk memulai transfusi. Keputusan tersebut harus
ditunjang oleh tanda dan gejala klinis dan signifikan mencegah kesakitan
dan kematian pasien.
f. Klinisi seharusnya memahami bahwa pemberian transfusi berisiko
menularkan penyakit infeksi pada pasien.
g. Transfusi hanya diberikan apabila manfaat yang didapatkan oleh pasien
lebih besar dibanding risiko yang harus ditanggung.
h. Klinisi harus menjelaskan dan mencatat alasan transfusi dengan jelas.
i. Petugas yang melakukan tindakan transfusi harus terlatih dan mampu
melakukan monitoring dan tindakan segera apabila terjadi efek samping
atau reaksi transfuse
ASPEK TEKNIS TRANSFUSI DARAH
a. Informed consent pada pasien
Informasi dan penjelasan tentang rencana tindakan transfusi penting dijelaskan
pada pasien atau keluarga pasien.Pasien harus diberi informasi yang jelas
mengenai risiko yang potensial dan keuntungan pemberian terapi komponen
darah pada kondisi pasien.Pelaksanaan informed consent menjadi tanggung
jawab dokter. Informed consent diberikan sebelum tindakan transfusi dilakukan.
b. Pengisian formulir permintaan darah
Formulir permintaan darah harus diisi secara lengkap, akurat dan jelas termasuk
tanda tangan dokter dan petugas pengambil sampel darah pasien.Jika transfusi
darah dibutuhkan dalam keadaan emergency, bank darah sebaiknya juga
dihubungi melalui telepon.
c. Sampel darah untuk pemeriksaan pre transfusi
Ketepatan mengambil dan melabel sampel pasien untuk pemeriksaan pre
transfusi merupakan hal yang sangat penting.Kesalahan pada tahap ini dapat
menjadi penyebab utama transfusi darah yang inkompatibel. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada saat mengambil sampel darah untuk pemeriksaan pre
transfusi, antara lain :
1. Jika pasien dalam kondisi sadar saat sampel darah diambil, tanyakan
langsung identitas pasien seperti nama lengkap, tanggal lahir dan
informasi lainnya.
2. Periksa sekali lagi dan cocokan dengan gelang identitas pasien.

54
3. Jika pasien dalam kondisi tidak sadar, tanya keluarga pasien untuk
memastikan identitas pasien.
4. Ambil sampel darah dan tampung dalam tabung tanpa
antikoagulan/darah EDTA, minimal 1 ml untuk pasien bayi dan
neonatus dan 3 ml untuk pasien dewasa.
5. Label tabung dengan jelas dan benar, pelabelan dilakukan disamping
pasien dan tidak melakukan pekerjaan lain sebelum melabel sampel.
Hal-hal yang perlu dicantumkan dalam label sampel adalah
- Nama lengkap pasien
- Tanggal lahir pasien
- Nomor catatan medik
- Ruang perawatan
- Tanggal pengambilan sampel
Cek kembali semua data yang dicatat sudah benar.Jangan melabel tabung sebelum
memasukkan sampel karena ada risiko sampel tertukar.
6. Jika pasien membutuhkan transfusi lebih lanjut, kirim sampel baru untuk
uji pretransfusi.
d. Pemeriksaan laboratorium pre transfusi
Uji pre transfusi terhadap semua produk darah merupakan hal yang
sangat penting untuk meyakinkan bahwa sel darah merah donor kompatibel
dengan antibodi yang ada pada serum pasien.Uji pre transfusi juga bertujuan
untuk mencegah terbentuknya antibodi baru pada tubuh pasien, seperti anti-
RhD.
Semua prosedur uji pretransfusi seharusnya memberikan informasi berikut :
1. Golongan darah sistem ABO
2. Golongan darah Rhesus
Pemeriksaan pre transfusi yang rutin dilakukan adalah
1. Pemeriksaan golongan darah ABO dan rhesus
2. Uji cocok serasi (crossmatch)

e. Distribusi dan transportasi produk darah


Distribusi dan transportasi produk darah dilakukan menggunakan coolbox.
Distribusi dan transportasi produk darah diatur batas waktu maksimum
pengembalian darah ditentukan dalam waktu 1 jam setelah darah dikeluarkan
dari Unit Pelayanan Tranfusi Darah (UPTD).
f. Identifikasi Pasien dan Komponen Darah yang akan ditransfusikan
Sebelum transfusi dimulai, identifikasi pasien dan ketepatan jenis komponen
darah harus selalu dicek. Pengecekan dilakukan oleh dua orang petugas. Hal-
hal yang harus dicek antara lain:

55
i. Tampilan produk darah.
Produk darah harus dikembalikan ke bank darah apabila mengalami
perubahan warna, berbusa, bergelembung, terdapat bekuan dan kantong
darah mengalami kerusakan atau bocor.
ii. Identitas pasien dan kesesuaian produk darah.
Nama pasien dan nomor catatan medik harus sesuai antara pasien dan produk
darah. Demikian juga dengan jenis komponen darah yang dibutuhkan oleh pasien
harus cocok dengan jenis komponen yang akan ditransfusikan.
iii. Golongan darah.
Golongan darah pasien harus kompatible dengan produk darah yang akan diberikan.
iv. Masa kedaluwarsa produk darah.
Meskipun dari bank darah sudah dilakukan pengecekan batas kedalu warsa produk
darah, pengecekan diruang perawatan sebelum darah ditransfusikan tetap harus
dilakukan. Apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan poin-poin diatas,
transfusi harus ditunda.
g. Penundaan Transfusi
Jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dan pemberian transfusi harus
ditunda, maka komponen darah harus dikembalikan ke UPTD untuk disimpan
kembali ditempat penyimpanan standar.Batasan waktu yang digunakan untuk
menjaga kualitas darah tetap baik adalah 1 jam.

Jadi dalam waktu 1 jam setelah keluar dari bank darah, komponen darah harus
sudah kembali ke bank darah apabila transfusi ditunda.
h. Infusion Sets
Komponen darah ditransfusikankan dengan infus set khusus sesuai dengan jenis
produkdarah. Untuk transfusi PRC dan plasma, infus set yang digunakan dilengkapi
dengan filter yang didesain khusus untuk mencegah bekuan darah dan partikel yang
berbahaya. Standar filter yang digunakan adalah 170-260 mikron. Infus set hanya
boleh dipriming dengan larutan NaCl 0,9 % atau komponen darah yang akan
ditransfusikan. Jalur intravena sebaiknya di rancang agar bisa melakukan pemberian
NaCL 0,9 % dengan cepat apabila terjadi reaksi transfusi. Dianjurkan untuk
menggunakan“Y” port atau three-way stop-clock untuk menutup jalur transfusi saat
mengifuskan NaCl 0,9%.
i. Compatible IV Solution
Obat-obatan dan cairan yang lain kecuali NaCl 0,9 % tidak boleh
dimasukkan dalam infus set yang sama dengan infus set untuk produk darah. Larutan
yang mengandung Dextrose dapat menyebabkan sel-sel darah merah bengkak dan
lisis.Larutan ringer laktat mengandung kalsium yang tinggi sehingga dapat
menyebabkan munculnya bekuan pada komponen darah.

56
j. Penggunaan Blood Warmer
Penggunaan blood warmer tidak rutin dilakukan dalam transfusi
darah.Blood warmer hanya digunakan pada situasi khusus seperti transfusi massif,
transfusi pada neonatus dan pasien-pasien dengan autoimmune hemolytic anemia
tipe dingin. Blood warmer harus di kalibrasi dan dimaintenace secara rutin serta
dilengkapi dengan pengaturan suhu dan sistem alarm apabila alat tidak berfungsi
dengan baik.Hal tersebut bertujuan untuk mencegah hemolisis atau kerusakan pada
o
komponen darah.Penghangatan komponen darah lebih dari suhu 40 C dapat
menyebabkan hemolisis.Produk darah tidak boleh dihangatkan dengan microwave,
air panas dan alat pengahangat lainnya yang tidak standar.
k. Penggunaan Infusion System
Penggunaan infusion pumps bertujuan untuk mengontrol kecepatan dan
volume transfusi. Infusion pumps yang digunakan harus terkalibrasi, dimanintenance
secara rutin dan dilengkapi sistem alarm apabila infusion pumps tidak berfungsi
dengan baik. Komponen darah yang dilewatkan pada infusion pumps potensial terjadi
kerusakan dan hemolisis. Kecuali pada pasien neonatus dan anak-anak, penggunaan
infusion pumps pada pasien dewasa dihindari dan rekomendasikan untuk
menggunakan metode simple gravity administration.
l. Pemberian Obat-obatan Propilaksis sebelum transfusi
Jika ada obat-obatan yang perlu di berikan sebelum pemberian transfusi darah, obat-
obat tersebut harusnya diberikan terlebih dahulu sebelum transfusi
dilakukan.Penggunaan antipiretik yang umum dilakukan untuk mengurangi reaksi
transfusi febrile nonhemolytic masih kontroversial.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa pemberian propilaksis dapat menyebabkan


masking effect apabila terjadi peningkatan suhu akibat reaksi transfusi.Antihistamin
(diphenhydramine atau H2 blocker) dapat disiapkan sebagian premedikasi pada
individu yang pernah mengalami alergi ringan atau reaksi urtikaria pada transfusi
sebelumnya.Meperidin atau kortikosteroid sering disiapkan untuk pasien-pasien
dengan riwayat rigor selama awal transfusi.Jika premedikasi diberikan per oral,
transfusi dilakukan 30-60 setelah pemberian obat.Apabila premedikasi diberikan
secara intravena, transfusi dilakukan 10 menit setelah pemberian obat.Pemberian
obat-obatan profilaksis secara rutin sebelum transfusi tidak dianjurkan.
m. Tersedianya peralatan dalam keadaan emergency
Transfusionist perlu mengetahui bagaimana cara menangani reaksi transfusi
dalam keadaan darurat. Hal-hal yang perlu disiapkan dan harus ada dalam keadaan
dadurat, antara lain :
1. Larutan NaCl 0,9 % intravena dan akses untuk memasukkan infus
NaCL 0,9 % tetap terbuka.

57
2. Obat-obatan untuk mengatasi reaksi transfusi. Tersedia prosedur untuk
mendapatkan obat-obatan emergency untuk mengatasi reaksi alergi,
shock, gagal ginjal, hipotensi, rigor dan circulatory overload.
3. Ada prosedur untuk mengaktifkan emergency resuscitation. Ventilator
dan oksigen harus tersedia pada kasus-kasus transfusion-related acute
lung injury atau reaksi alergi berat.
n. Pencatatan transfusi
Sebelum memberikan produk darah, penting untuk menuliskan alasan
transfusi pada rekam medik pasien.Catatan yang dibuat pada rekam medik pasien
adalah perlindungan terbaik jika ada tuntutan mediko-legal. Informasi yang harus
dicatat dalam rekam medik pasien antara lain:
1. Kepada siapa informed consent telah diberikan
2. Alasan transfusi
3. Bukti permintaan darah dan tanda tangan dokter yang meminta
4. Pengecekan sebelum transfusi
- Identitas pasien
- Kantong darah
- Label kompatibilitas
- Tanda tangan petugas yang mengecek (double checker)
5. Pelaksanaan transfusi
- Jenis dan volume tiap produk yang ditransfusikan
- Nomor donasi khusus dari tiap unit yang ditransfusikan
- Golongan darah dari tiap unit yang ditransfusikan
- Waktu mulai dan selesai pemberian dari tiap unit
- Tanda tangan petugas yang memberikan
- Monitoring pasien (sebelum, selama dan setelah transfusi)

6. Setiap terjadi reaksi transfusi dilakukan pencatatan dan pelaporan.


Pertama kali jika terindikasikan pasien mengalami reaksi tranfusi,
perawat/residen melaporkan langsung ke Dokter Penanggung Jawab
Pasien (DPJP) kemudian DPJP menginstruksikan kepada
perawat/residen untuk dilakukan tindakan medis pada pasien.
Perawat/residen melaporkan kejadian reaksi tranfusi, mengirimkan
sampel pasien dan sisa produk darah ke UPTD. Perawat/residen juga
menginformasikan tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien ke
UPTD.
Unit Pelayanan Tranfusi Darah kemudian melakukan evaluasi terhadap kejadian
tranfusi tersebut dan hasil evaluasi akan segera disampaikan ke dokter yang
merawat/kepala ruangan.

58
PEDOMAN PEMBERIAN TRANSFUSI
Hal yang sangat penting dalam pemberian tranfusi darah adalah identifikasi
pasien. Identifikasi pasien saat pemberian darah/produk darah atau tranfusi darah
adalah tata cara untuk mengenali identitas pasien yang akan dilakukan pelayanan di
atas. Identifikasi yang dimaksud minimal meliputi nama, tanggal lahir, alamat rumah
dan dicocokkan dengan nomor rekam medis pada berkas rekam medis pasien.
Identifikasi yang melengkapi tindakan tranfusi darah meliputi RM, form tranfusi,
kantong darah, kartu label, checklist pemberian tranfusi darah dan checklist
monitoring tranfusi darah.
Tujuan identifikasi pasien :
1. Mengidentifikasi dengan benar pasien yang akan dilakukan pemberian
darah/produk darah atau tranfusi darah guna mencegah terjadinya salah
pasien, salah darah dan salah prosedur.
2. Mencocokkan darah/produk darah dengan individu/pasien tersebut.
3. Untuk menjamin keselamatan pasien dalam rangka memberikan pelayanan
prima.
Prosedur identifikasi pasien :
1. Perawat/dokter mencuci tangan dengan cara 6 langkah secara benar.
2. Perawat/dokter/petugas memberi salam dan memperkenalkan diri pada pasien
dan keluarga.
3. Perawat/dokter/petugas memberikan informasi tentang prosedur pemberian
darah/produk darah kepada pasien/keluarga dan kemungkinan komplikasi
yang mungkin terjadi.
4. Perawat/dokter/petugas melakukan verifikasi kesesuaian identitas pasien
dengan produk darah:
a. Rekam medis : Instruksi dokter di RM yang meliputi : jenis darah, jumlah
darah dan golongan darah.
b. Form Permintaan Tranfusi Darah meliputi nama lengkap pasien, no RM,
ruang rawat, golongan darah, jenis darah, jumlah darah.

c. Kartu labelmeliputi : golongan darah, nama lengkap pasien, kartu RM,


ruang rawat, crossmatching, nomor kantong, volume darah, jenis darah,
tanggal dan dan pengambilan darah dari UPTD, tanggal dan jam
kadaluarsa.
d. Kantong darahmeliputi : Golongan darah, jenis darah, volume darah,
tanggal pengambilan darah pendonor, tanggal kadaluarsa, nomor kantong.
5. Dokter/petugas lain yang kompeten sebelum memberikan tranfusi darah atau
produk darah, melakukan identifikasi pasien dengan menanyakan nama
lengkap, tanggal lahir kepada pasien atau keluarga, jika pasien tidak dapat

59
menyebutkan tanggal lahir bisa dengan menyebutkan alamat rumah dan
mencocokkan dengan gelang identitas pasien.
6. Perawat/dokter/petugas mencocokkan kantong darah atau produk darah dan
kartu label dengan identitas pasien pada barcode di gelang identitas pasien.
7. Perawat/dokter/petugas jika memungkinkan melibatkan pasien dan keluarga
dalam mengkonfirmasi identitas dan golongan darah pasien.
8. Perawat/dokter/petugas memastikan darah/produk darah sesuai dengan
pasien yang dimaksud.
9. Perawat/dokter/petugas melaukan monitoring terhadap pasien selama
pemberian tranfusi darah/produk darah.
10. Perawat/dokter/petugas mendokumentasikan tanggal dan jam saat darah akan
diberikan.
Pemberian transfusi Darah
Tranfusi darah adalah suatu tindakan memasukkan atau memindahkan darah yang
berasal dari donor ke dalam tubuh pasien melalui pembuluh darah Vena.
Tujuan
1. Memenuhi kebutuhan pasien akan darah sesuai dengan program pengobatan
2. Untuk menjamin keselamatan pasien dalam rangka memberikan pelayanan
prima.
Prosedur pemberian tranfusi darah
1. Petugas kesehatan menyiapkan persetujuan tindakan tranfusi.
2. Dokter/perawat memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan atau
keluarga.
3. Perawat mencuci tangan 6 langkah dengan benar.
4. Perawat menyampaikan salam kepada pasien dan keluarga.
5. Perawat melakukan identifikasi dengan benar dengan menanyakan nama
lengkap dan tanggal lahir, apabila pasien tidak dapat menyebutkan tanggal
lahir bias dengan menyebutkan alamat rumah dan dicocokkan dengan nomor
rekam medis pada berkas rekam medis pasien.
6. Perwat menyampaikan maksud dan tujuan tranfusi.
7. Perawat mengobservasi tanda-tanda vital pasien.
8. Perawat memasang infus pre tranfusi sesuai dengan instruksi dokter.
9. Perawat mengontrol darah yang sudah disiapkan dengan menggunakan
checklist verifikasi tranfusi darah.
10. Perawat memindahkan selang tranfusi darah setelah cairan infus masuk
selama 15 menit.
11. Perawat mengatur tetesan darah.
12. Perawat mengucapkan salam setelah selesai tindakan.
13. Perawat mencuci tangan 6 langkah dengan benar.

60
14. Perawat melakukan monitoring terhadap reaksi tranfusi dan tanda tanda vital
secara periodic selama pasien menjalani tranfusi.
15. Perawat melakukan dokumentasi pelaksanaan tranfusi pada formulir
monitoring tranfusi darah dan rekam medis.
TRANFUSI PRODUK DARAH
a. Komponen Pack Red Cells (PRC)
Transfusi sel darah merah bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan
oksigen ke jaringan. Sel darah merah bisa ditranfusikan dalam bentuk darah utuh
atau whole blood (WB) dan dalam bentuk sel darah merah pekat atau packed red
blood cells (PRC). Satu unit WB memiliki volume sekitar 350 ml dengan kandungan
hematokrit 45 sampai 50 %.Saat ini penggunaan WB sangat jarang, selain
menimbulkan risiko overload juga mempercepat munculnya alloantibody. Satu unit
PRC dari satu unit WB memiliki volume 200-250 ml dengan kadar hematokrit 60-
80%. Masing-masing unit PRC mengandung kadar hemoglobin sekitar 60 g dan
kadar besi sekitar 250 mg. Baik WB maupun PRC mengandung sejumlah kecil
antikoagulan dan larutan additive sehingga memiliki daya simpan sampai puluhan
hari.Antikoagulan yang umum digunakan saat ini adalah Citrate Phosphate Dextrose
Adenine-1 (CPDA-1) dan dapat disimpan sampai 35 hari.Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa penyimpanan komponen PRC sebaiknya ≤ 14 hari karena
memiliki efektivitas yang lebih baik dan mengurangi risiko reaksi transfusi. Untuk di
RSUP sanglah, PRC rata-rata disimpan sampai satu minggu.
PRC yang diberikan harus memiliki sistem ABO antibodi yang kompatibel dengan
serum pasien dan harus dilakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan
Rhesus serta pemeriksaan crossmatch untuk mengkonfirmasi kompatibilitas. Kecuali
dalam kondisi perdarahan atau hemolisis, kadar hemoglobin pasca transfusi dapat
diprediksi secara akurat. Satu unit PRC umumnya mampu meningkatkan kadar
hemoglobin 0,5 -1 g/dL.
Penyimpanan komponen PRC sebelum ditransfusikan
Untuk menjaga agar komponen PRC tidak rusak, PRC segera ditransfusikan dalam
waktu 30 menit setelah keluar dari refrigerator.Jika transfusi tidak segera dimulai,
PRC harus disimpan pada suhu 2-6 oC. Temperatur pada refrigerator yang digunakan
untuk menyimpan PRC harus dimonitoring dan dicatat setiap hari untuk meyakinkan
bahwa suhu berkisar 2-6 oC. Batas atas 6 oC penting untuk mencegah terjadinya
pertumbuhan bakteri yang mengkontaminasi produk darah.Batas bawah 2 oC penting
untuk mencegah terjadinya hemolisis pada produk darah.Jika ruang perawatan atau
ruang operasi tidak memiliki refrigerator untuk penyimpanan sementara, PRC
seharusnya tidak dikeluarkan dari bank darah sampai transfusi segera dimulai.
Pada saat mentransportasikan PRC ke ruang perawatan, harus menggunakan cold
box untuk menjaga temperature sesuai suhu penyimpanan.

61
Indikasi transfusi PRC
Secara umum transfusi PRC diindikasikan untuk pasien-pasien dengan penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen atau hipoksia.PRC sebaiknya tidak digunakan untuk
menterapi anemia dalam jangka panjang yang dapat diterapi dengan obat-obatan
seperti zat besi.PRC tidak digunakan untuk meningkatkan volume darah, tidak untuk
meningkatkan tekanan onkotik, tidak untuk menterapi defisiensi faktor pembekuan
darah atau penurunan trombosit.
Keputusan untuk memberikan transfusi PRC tidak semata-mata hanya berdasarkan
kadar hemoglobin saja.Faktor kondisi klinis pasien, gejala dan keluhan pasien, ada
tidaknya perdarahan, kemungkinan risiko yang muncul jika transfusi tidak dilakukan
atau efek samping yang muncul dari transfusi harus benar-benar dipertimbangkan.
Berdasarkan kadar hemoglobin, indikasi pemberian transfusi PRC adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Indikasi transfusi PRC berdasarkan kadar hemoglobin (Hb)
Kadar Pertimbangan transfusi PRC
Hb
< 7 g/dL Batas Hb terendah yang masih mampu dikompensasi oleh pasien.
Transfusi sebaiknya dilakukan meskipun gejala atau keluhan tidak
ada dan terapi spesifik untuk mengatasi anemia juga tidak ada.
7-10 g/dL Transfusi dilakukan jika selama pembedahan terjadi perdarahan
mayor atau jika terdapat tanda dan gejala gangguan transportasi
oksigen, untuk mengontrol gejala-gejala anemia pada pasien yang
mendapat transfusi kronis atau selama pemberian terapi yang
>10 g/dL Transfusi tidak dilakukan
bersifat mensupresi sumsum kecuali
tulang ada indikasi spesifik yaitu
penyakit-penyakit yang membutuhkan kapasitas transportasi
oksigen yang tinggi.
Beberapa faktor spesifik yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian transfusi
PRC, antara lain:
1. Pasien dengan kelainan cardiopulmonary. Jika fungsi paru tidak
normal, transfusi perlu dipertimbangkan pada kadar Hb yang lebih
tinggi.
2. Volume darah yang hilang. Evaluasi klinis dapat dipergunakan untuk
memperkirakan jumlah perdarahan sebelum, selama dan setelah
pembedahan untuk memastikan bahwa volume darah terjaga dalam
jumlah yang aman.
3. Konsumsi oksigen. Kebutuhan oksigen sangat tergantung dari ada
tidaknya febris, menggigil, pemberian obat-obat anestesi. Jika
kebutuhan oksigen meningkat, kebutuhan transfusi PRC tentu akan
meningkat juga.

62
4. Penyakit aterosklerosis. Adanya stenosis arteri terutama pada organ
mayor seperti jantung, merupakan salah satu indikasi pemberian
transfusi PRC pada kadar Hb yang lebih tinggi
Dosis transfusi PRC
Pada pasien dewasa, transfusi PRCdiberikan 1-2 unit tiap episode transfusi. Pada
kondisi tidak ada perdarahan maupun hemolisis, transfusi 1 unit PRC mampu
meningkatkan kadar Hb sekitar 0,5-1 g/dL atau meningkatkan hematokrit sekitar 3%.
Prosedur pemberian transfusi PRC
1. Gunakan apron, cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
2. Tranfusikan darah dengan infus set darah steril.
3. Infus set darah sebaiknya menggunakan double chamber dan harus
mengandung filter 170-200 mikron.
4. Priming infus set darah dengan larutan NaCl 0,9 %.
5. Pasang infus set darah pada akses vena, jika menggunakan volumetric IV
infusion pump,letakkan infus set darah pada infusion pump sesuai dengan
pedoman penggunaan dari pabrik.
6. Set kecepatan dan volume infus. Transfusi dimulai dengan kecepatan
lambat sekitar 2 ml permenit pada 15 menit pertama sambil diobservasi.
Reaksi transfusi berat dapat terjadi pada 10 ml transfusi dan reaksi yang
mengancam jiwa dapat terjadi pada 10-15 menit pertama transfusi dimulai.
Jika pada 15 menit pertama tidak terjadi tanda dan gelaja reaksi transfusi,
kecepatan dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.
7. Pengecekan terhadap ketepatan identitas pasien dengan komponen darah
yang akan ditransfusikan seharusnya dilakukan oleh dua orang petugas.
Catatan :
1. Dalam keadaan darurat hanya larutan NaCl 0,9% yang boleh dilewatkan
pada infus set darah sebelum ataupun setelah transfusi darah.
2. Electronic infusion pumps dapat digunakan untuk transfusi PRC, tetapi
harus terbukti aman dan digunakan sesuai petunjuk penggunaan dari
perusahaan
3. Penggunaan blood warmer hanya untuk kasus-kasus tertentu seperti
transfusi massif dan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) tipe dingin.
4. Tidak boleh menambahkan obat atau memasukkan obat melalui infus set
darah.
5. Komponen PRC segera ditransfusikan setelah keluar dari bank darah
(maksimal dalam 30 menit) dan sudah komplit ditransfusikan dalam waktu
4 jam untuk mencegah terjadinya kontaminasi dan pertumbuhan bakteri.
Jika dalam waktu 30menit transfusi tidak dilakukan maka komponen PRC
harus segera dikembalikan ke tempat penyimpanan (bank darah)

63
6. Pada kasus-kasus transfusi multipel, infus set darah seharusnya tidak
digunakan lebih dari 12 jam untuk mencegah terjadinya pertumbuhan
bakteri. Pada cuaca yang panas, infus set dapat diganti lebih cepat,
transfusi tiap 4 unit darah.
7. Pada transfusi dengan jenis komponen yang berbeda atau transfusi
dengan golongan darah ABO yang berbeda infus set seharusnya diganti.
b. Komponen Thrombocyte Concentrate (TC)
Trombosit merupakan komponen darah tersering nomor dua yang digunakan
untuk transfusi. Meskipun komponen ini sudah lama dikenal dan sudah sering
digunakan namun masih menyisakan banyak masalah dan kontroversi.Dibandingkan
dengan komponen darah yang lain, trombosit paling sering terkontaminasi sejumlah
mikroorganisme. Tiga per empat infeksi pacsa transfusi disebabkan oleh transfusi
trombosit. TC merupakan komponen darah dengan masa simpan yang pendek yaitu
hanya 5 hari.
Secara garis besar komponen trombosit yang tersedia untuk kepentingan
transfusi ada dua yaitu trombosit yang diperoleh dari donasi whole blood dan
apheresis platelets.Komponen trombosit yang diperoleh dari whole blood paling
sedikit mengandung 5,5 x 1010 trombosit yang tersuspensi dalam 50 ml plasma.
Kandungan trombosit yang diperoleh melalui tehnik aferesis paling sedikit
mengandung 3 x 1011 pada 75% produk yang dihasilkan. Rata-rata kandungan
trombosit 3,5-4 x 1011 . Volume trombosit aferesis biasanya 200-300 ml, setara
dengan 5-6 unit trombosit yang dihasilkan dari whole blood.Dalam keadaan yang
standar satu unit TC dari donasi whole blood mampu meningkatkan jumlah trombosit
sekitar 5 x 103/µL dan satu unit TC dari donor apheresis mampu meningkatkan
jumlah trombosit sekitar 30 x 103/µL.
Penyimpanan komponen TC sebelum ditransfusikan
Penyimpanan komponen TC dilakukan pada alat platelet agitator.Pada saat keluar
o
dari bank darah, suhu tetap harus dijaga antara 20-24 C. Penyimpanan dan
pengangkutan TC pada suhu yang lebih rendah akan menyebabkan hilangnya fungsi
trombosit untuk proses pembekuan darah sehingga TC tidak pernah disimpan pada
suhu refrigerator. Trombosit harus segera ditransfusikan setelah keluar dari tempat
penyimpanan.
Indikasi transfusi TC
Indikasi transfusi TC dibedakan menjadi dua, yaitu untuk tujuan profilaksis dan
terapeutik.Transfusi TC Profilaksis ditujukan untuk mencegah terjadinya perdarahan
pada pasien-pasien yang mengalami trombositopenia.Pada sebagian besar pasien,
jumlah trombosit yang dipakai batasan standar untuk transfusi TC profilaksis adalah ≤
10.000/µL. Pada pasien-pasien dengan kondisi klinis stabil dan perdarahan belum
terjadi batas pemberian transfusi TC profilaksis adalah jumlah trombosit ≤ 5.000/µL.

64
Untuk pasien-pasien dengan tindakan lumbal pungsi, indwellingcatheter insertion,
thoracentesis, liver biopsy atau transbronchial biopsybatasan jumlah trombosit adalah
> 50.000/µL. Pada tindakan dengan lokasi kritis seperti pembedahan otak, mata dan
mayor surgery jumlah trombosit sebaiknya > 100.000/µL.
Keputusan untuk melakukan transfusi trombosit terapiutik sangat tergantung pada
kondisi klinis pasien, penyebab perdarahan, jumlah dan fungsi trombosit dalam
sirkulasi.Perdarahan yang terjadi baik oleh karena penurunan jumlah trombosit
maupun penurunan fungsi trombosit merupakan salah satu indikasi pemberian
transfusi trombosit terapeutik.
Transfusi TC seharusnya dipertimbangkan apabila pasien mengalami perdarahan
aktif atau disfungsi trombosit dengan jumlah trombosit < 50.000/µL. Pada pasien
dengan cedera otak atau pembedahan mayor transfusi trombosit dapat
dipertimbangkan pada jumlah trombosit < 100.000/µL.
Tabel 2. Indikasi transfusi trombosit profilaksis
Indikasi Pertimbangan transfusi TC
Jumlah trombosit < 10.000/µL tanpa ada tanda
Kegagalan sumsum
perdarahan.
tulang

Pertahankan trombosit > 50.000/µL. Untuk pembedahan


Pembedahan/prosedur
dengan risiko perdarahan yang tinggi (seperti Ocular atau
invasive
neurosurgery), pertahankan trombosit > 100.000/µL.
Dapat disebabkan oleh gangguan herediter atau dapatan.
Gangguan fungsi Pada kondisi tersebut jumlah trombosit bukan merupakan
trombosit indikator terpercaya. Pemberian trombosit sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien.

Tabel 3. Indikasi transfusi trombosit terapeutik


Indikasi Pertimbangan transfusi TC
Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien-pasien
Perdarahan dengan trombositopenia sebagai penyebab utama
perdarahan.
Transfusi trombosit dapat dipertimbangkan pada
pasien trombositopenia atau kelainan fungsi trombosit
Perdarahan masif
yang signifikan menyebabkan perdarahan. Jika jumlah
atau transfusi masif
trombosit < 50 x 109/L (<100 x 109/L disertai
perdarahan mikrovaskuler yang difus).

Transfusi masif didefinisikan sebagai penggantian kehilangan darah sesuai atau lebih
besar dari total volume darah pasien dalam waktu 24 jam atau diatas 50% dari
volume darah dalam 4 jam (volume darah orang dewasa adalah sekitar 70 mL / kg).
65
Sedang pada anak-anak didefinisikan sebagai transfusi > 40 mL / kg (volume darah
pada bayi dan anak-anak adalah 80-90 mL / kg).
Kontraindikasi transfusi trombosit
Transfusi trombosit umumnya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut:
- Immune-mediated platelet destruction
- Thrombotic thrombocytopenic purpura
- Haemolytic uraemic syndrome
- Drug-induced atau cardiac bypass thrombocytopenia wthout
haemorrhage.

Dosis transfusi trombosit


Dosis trombosit yang akan ditransfusikan dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Dose = PI x BV x F-1

PI : Platelet Increament
BV : Blood volume( diperkirakan dari berat badan pasien, 70 mL/kg
BB)
F : 0,67
Dose : Dosis trombosit dalam 109/L

Respon transfusi trombosit dapat dievaluasi dengan mengukur peningkatan jumlah


trombosit pasca transfusi.Beberapa rumus yang dapat digunakan untuk mengkoreksi
variasi peningkatan jumlah trombosit, tergantung dari luas permukaan tubuh dan
jumlah trombosit yang ditransfusikan. Rumus tersebut antara lain:
1. CCI (corrected count increament)

2. Platelet recovery (R)

PI : Platelet Increment
BV : Blood volume( diperkirakan dari berat badan pasien, 70 mL/kg
BB)
BSA : Body surface area
PD : Platelet dose(109/L)
Transfusi trombosit dikatakan berhasil apabila,
1 jam pasca transfusi : R > 30% atau CCI > 7,5 x 109/L
20-24 pasca transfusi : R >20 % atau CCI >4,5 x 109/L

66
Meskipun penggunaan formula tersebut cukup penting untuk mengukur keberhasilan
transfusi, namun aplikasi dalam praktek sangat sulit karena kandungan trombosit
pada masing-masing komponen trombosit tidak tersedia.
Prosedur pemberian transfusi TC
Prosedur transfusi TC hampir sama dengan transfusi PRC, beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada saat memberikan transfusi TC adalah sebagai berikut:
1. Setelah keluar dari bank darah, transfusi TC dilakukan sesegera
mungkin.
2. Satu unit komponen TC harus komplit ditransfusikan dalam periode
waktu tidak lebih dari 20 menit
3. Komponen trombosit sebaiknya ditransfusikan dengan
menggunakan infus set khusus trombosit dan tidak boleh
ditransfusikan menggunakan bekas infus set darah.
4. Transfusi trombosit tidak boleh diberikan melalui pump karena
dapatmenimbulkan kerusakan pada komponen trombosit.
c. Komponen Plasma
Komponen ini merupakan komponen nonseluler yang didapat melalui
proses pemisahan whole blood atau tehnik aparesis. Volume tiap unit Fresh Frozen
Plasma (FFP) sekitar 100-250 ml atau dapat bervariasi.FFP mengandung 1 IU faktor
pembekuan per mL.FFP dibekukan pada suhu -18 oC atau lebih rendah dalam waktu
6-8 jam setelah pengumpulan dan mengandung semua faktor koagulasi
fungsional.Komponen ini memiliki masa simpan yang cukup panjang, stabilitas
sampai 1 tahun dalam keadaan beku.
Penyimpanan komponen plasma sebelum di transfusikan
Fresh Frozen Plasma (FFP) disimpan dibank darah dalam keadaan beku yaitu pada
o
suhu -25 C atau lebih rendah sampai dilakukan pencairan (thawed) sebelum
ditransfusikan. Sebagian besar faktor-faktor koagulasi stabil pada suhu refrigerator
kecuali faktor V dan faktor VIII. Jika plasma tidak disimpan pada suhu -25 oC atau
lebih rendah, maka faktor VIII akan menurun dengan cepat dalam waktu 24 jam.
Plasma dengan penurunan faktor VIII tidak baik digunakan untuk pasien-pasien
hemophilia.Untuk faktor V, penurunan biasanya lebih lambat.Komponen plasma yang
sudah dicairkan harus segera ditransfuskan dalam waktu 30 menit setelah
pencairan.Jika tidak segera ditransfusikan, komponen plasma dapat disimpan pada
suhu 2-6 oC dan stabil sampai 24 jam.
Indikasi pemberian komponen plasma
Transfusi plasma umumnya dilakukan untuk mencegah perdarahan atau menterapi
perdarahan pada pasien-pasien kelainan koagulasi kongenital maupun
dapatan.Adanya kelainan koagulasi rutin ditentukan dengan pemeriksaan
Prothrombin Time (PT) atau International Normalized Ratio (INR) dan Partial

67
Thromboplastin Time (PTT). Nilai koagulasi abnormal didefinisikan sebagai
peningkatan lebih dari 1,5 nilai kontrol. Sebagian besar klinisi mempertimbangkan
transfusi plasma jika INR ≥2,0 tergantung ada tidaknya perdarahan atau risiko
perdarahan.
Tabel 4. Indikasi transfusi FFP
Indikasi Pertimbangan transfusi FFP
Jika tersedia sebaiknya menggunakan faktor
Single factor deficiency
pembekuan yang spesifik.
Transfusi FFP dapat dipertimbangkan pada kasus
dengan perdarahan yang mengancam jiwa dan
Efek warfarin pemberian Vitamin K sebagai antidot warfarin
merupakan pilihan utama untuk mengatasi
perdarahan.
Transfusi FFP dapat dipertimbangkan pada kasus DIC
Acute DIC dengan perdarahan setelah proses thrombosis
teratasi
TTP Transfusi FFP dapat diberikan
Transfusi FFP dapat diberikan pada pasien dengan
Coagulation inhibitor Coagulation inhibitor yang menjalani tindakan dengan
risiko tinggi perdarahan
Transfusi FFP dapat diberikan pada Transfusi
Transfusi massive atau
massive atau cardiac bypass yang disertai perdarahan
cardiac bypass
dan faal koagulasi yang abnormal
Transfusi FFP dapat diberikan pada kelainan hati
Penyakit hati dengan yang disertai perdarahan dan faal koagulasi yang
koagulopati abnormal.

Kontraindikasi transfusiFFP
Transfusi FFP tidak umum dilakukan pada kasus-kasus berikut:
- Hipovolemia
- Luka bakar
- Penyembuhan luka
- Prosedur plasma exchange
- Terapi immunodeficiency state

68
Dosis transfusi FFP
Dosis atau jumlah FFP yang ditransfusikan tergantung dari jenis dan beratnya
gangguan koagulasi. Pada pasien yang mengalami perdarahan massif, jumlah FFP
yang ditransfusikan ditentukan oleh keadaan klinis penderita, jumlah komponen sel
darah merah (PRC) yang digunakan untuk proses resusitasi pasien (berhubungan
dengan faktor pengenceran) dan hasil pemeriksaan koagulasi seperti: prothrombin
time (PT), partial thromboplastin time (PTT), dan kadar fibrinogen. Jika FFP
digunakan untuk terapi pada nilai PT dan PTT > 1,5 – 2 kali nilai normal paling
sedikit enam unit FFP harus diberikan untuk mencapai nilai faktor koagulasi >30 %.
Pada dosis 10-20 mL/kg aktivitas faktor pembekuan akan meningkat sekitar 30 %
apabila proses konsumsi cepat tidak ada.
Prosedur pemberian transfusi plasma
Prosedur pemberian transfusi plasma sama dengan transfusi PRC
hanya saja batas waktu maksimal transfusi 1 unit komponen plasma adalah 20 menit.
Dalam waktu 20 menit 1 unit komponen plasma harus sudah ditransfusikan secara
komplit.Komponen plasma yang sudah keluar dari bank darah harus ditransfusikan
sesegera mungkin.
Komponen cryoprecipitate
Cryoprecipitate dibuat dari FFP yang dicairkan pada suhu 1-6o C dan mengandung
beberapa faktor pembekuan penting seperti fibrinogen, fibronectin, faktor VII, faktor
VIII, von Willenbrand Factor (VwF) dan faktor XIII.
Penyimpanan komponen cryopresipitatesebelum di transfusikan
Dalam keadaan beku (suku -18o C) cryopresipitate dapat disimpan selama 1 tahun.
Apabila sudah dicairkan maka masa simpan menjadi sangat pendek yaitu hanya 4
jam apabila disiapkan dengan sistem terbuka. Cryo yang sudah dicaitkan disimpan
pada suhu kamar yaitu 20-24o C.
Indikasi pemberian cryoprecipitate
Awalnya cryoprecipitate digunakan sebagai pengganti faktor VIII pada pasien-pasien
hemophilia A. Saat ini penggunaan cryo mulai ditinggalkan dengan tersedianya
produk rekombinan sehingga penggunaan cryo sebagai terapi hemophilia A di
beberapa negara merupakan sebuah kontraindikasi. Demikian juga untuk kasus-
kasus von Willenbrand disease, penggunaan cryo sudah ditinggalkan dan saat ini
indikasi utama pemberian cryo adalah untuk mengganti kekurangan fibrinogen dan
sebagai lem fibrin.
Table 5. Indikasi transfusi cryoprecipitate
Indikasi Pertimbangan transfusi cryoprecipitate
Transfusi cryo dilakukan pada kasus-kasus defisiensi
Defisiensi
fibrinogen dengan klinis perdarahan, prosedur invasif,
fibrinogen
trauma atau DIC.

69
Defisiensi fibrinogen umumnya dijumpai pada DIC. Pada
kadar fibrinogen < 1,0 g/L disertai tanda perdarahan,
DIC transfusi cryo dilakukan untuk mempertahankan kadar
fibrinogen tidak kurang dari 1,0 g/L. Transfusi cryo
sebaiknya dilakukan setelah proses thrombosis berhenti
Indikasi sekunder transfusi cryopresipitate
Saat ini tranfusi cryopresipitatemulai ditinggalkan pada kasus-kasus berikut :
- Haemophilia
- Von Willebrand’s disease
- Defisiensi faktor XIII atau fibrinocetin
Dosis transfusi cryoprecipitate
Satu unit cryo akan meningkatkan kadar fibrinogen sekitar 50 mg/dL per 10 kg berat
badan. Jumlah cryoprecipiate yang akan ditransfusikan sangat tergantung dari
kondisi klinis dan beratnya perdarahan. Jumlah cryoprecipiate yang diperlukan untuk
meningkatkan kadar fibrinogen dapat dihitung dengan rumus berikut :
Jumlah fibrinogen yang dibutuhkan (mg) =Jumlah fibrinogen yang
diinginkan(mg/dL)– fibrinogen pasien(mg/dL )X volume plasma (mL)/100 mL/dL.
Jumlah unit cryo yang dibutuhkan = Jumlah fibrinogen yang dibutuhkan / 150 mg
per unit cryoprecipitate
Jumlah volume plasma (ml) = Jumlah volume darah (mL)X (1,0 – Hematokrit)
Jumlah volume darah (ml) = Berat badan (kg) X 70 mL/kg
Prosedur pemberian transfusi plasma
Prosedur transfusi cryoprecipitatesama dengan transfusi PRC. Transfusi 1 unit cryo
sudah komplit dalam 20 menit dan transfusi dilakukan sesegera mungkin setelah cryo
dikeluarkan dari bank darah.

Tabel 6. Kecepatan transfusi komponen darah pada keadaan Nonemergency

Kecepatan transfusi yang dianjurkan


Jenis
(pasien dewasa)
komponen Pertimbangan khusus
Setelah 15 menit
15 menit pertama
pertama
Transfusi 1 unit tidak lebih
Kecepatan sesuai
PRC dari 4 jam.
1-2 mL/menit, toleransi pasien,
Pada pasien risiko over
(60-120 mL/jam) 4 mL/menit (240
load, kecepatan diatur 1
mL/jam)
mL/Kg/jam

70
300 mL/jam atau
TC 2-5 mL/menit,
sesuai toleransi
(120-300 mL/jam
pasien
300 mL/jam atau
Plasma 1-5 mL/menit, (120-
sesuai toleransi
300 mL/jam)
pasien
Cryopresipitate Kecepatan sesuai Segera ditransfusikan
toleransi pasien setelah dicairkan

MONITORING TRANSFUSI DARAH


Monitoring sebelum, selama dan setelah transfusi merupakan hal yang sangat
penting.Monitoring sebelum transfusi penting untuk mengetahui data dasar kondisi
pasien sehingga perubahan yang terjadi selama dan setelah transfusi bisa digunakan
sebagai acuan untuk mendeteksi ada tidaknya reaksi transfusi.Perubahan tersebut
penting untuk melakukan sebuah tindakan guna menyelamatkan pasien dari efek
samping pemberian transfusi darah.
Selain peranan petugas (transfusionist), dalam monitoring sebaiknya juga melibatkan
pasien.Sebelum transfusi dimulai, pasien diberikan motivasi agar segera
memberitahu perawat atau dokter jika mengalami reaksi seperti menggigil, nyeri
pinggang, sesak nafas, muka kemerahan atau mulai merasa gelisah.Selain itu
pastikan pasien berada pada posisi yang mudah diamati secara langsung.
Monitoring dilakukan untuk tiap-tiap unit darah yang ditransfusikan. Waktu yang ideal
melakukan monitoring adalah sebagai berikut:
a. Sebelum transfusi dimulai
b. Segera setelah transfusi dimulai
c. 15 menit setelah transfusi dimulai
d. Setiap jam selama transfusi berlangsung
e. Saat transfusi selesai
f. 4 jam setelah transfusi selesai.

Waktu monitoring bisa disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi tenaga yang ada
dimasing-masing institusi.Reaksi transfusi berat umumnya terjadi pada15 menit
pertama transfusi berlangsung.Semua pasien tanpa perkecualian termasuk pasien
tidak sadar harus dimonitoring pada 15 menit pertama transfusi
berlangsung.Monitoring dilakukan untuk masing-masing unit darah yang
ditransfusikan. Pada tiap-tiap waktu monitoring, informasi yang perlu dicatat antara
lain:

71
a. Keadaan umum pasien
b. Temperature
c. Denyut nadi
d. Tekanan darah
e. Respiratory rate
f. Keseimbangan cairan (intake cairan oral dan intravena serta produksi urine)
REAKSI TRANSFUSI DAN PENANGANANNYA
a. Reaksi transfusi akut dan penangannya
Jika terjadi reaksi transfusi akut, segera lakukan pengecekan label darah dan
identitas pasien.Apabila terdapat ketidaksesuaian, transfusi harus segera distop dan
konsultasikan ke bank darah.Untuk pasien yang tidak sadar atau berada dalam
pengaruh obat anestesi, hipotensi dan adanya perdarahan yang tidak terkontrol
merupakan tanda akurat adanya inkompatibilitas transfusi. Pada pasien-pasien yang
masih sadar dan mengalami reaksi transfusi hemolitik, tanda dan gejalaakan muncul
dalam waktu singkat. Hanya beberapa menit setelah 5-10 ml darah diifuskan.
Reaksi transfusi akut terjadi selama atau segera setelah (dalam 24 jam)
transfusi. Reaksi transfusi akut dibedakan menjadi tiga katagori, yaitu:
1. Katagori 1: reaksi ringan
a. Tanda : reaksi kulit terlokalisir (urtikaria, kemerahan)
b. Gejala : gatal
c. Kemungkinan penyebab : hipersensitivitas ringan
d. Penanganan :
- Perlambat kecepatan transfusi
- Berikan antihistamin intramuscular (IM) (misal: chlorpheniramin 0,1
mg/kg) dan pastikan tekanan darah stabil
- Jika klinis tidak ada perubahan dalam 30 menit, atau tanda dan
gejala memburuk, tangani sebagai katagori sedang-berat
2. Katagori 2: reaksi sedang-berat
a. Tanda : muka kemerahan, urtikaria, demam, kekakuan, gelisah,
takikardia
b. Gejala : cemas, menggigil, gatal-gatal, palpitasi, sesak ringan, sakit
kepala
c. Kemungkinan penyebab :
- Hipersensitivitas sedang-berat
- Reaksi transfusi demam non-hemolitik (antibody terhadap
leukosit, trombosit, antobodi terhadap protein termasuk IgA)
- Kontaminasi pirogen atau bakteri

72
d. Penanganan :
- Stop transfusi. Ganti infus set dan jaga IV line terbuka dengan NaCl
0,9 %.
- Beritahu dokter penanggung jawab pasien .
- Berikan antihistamin intramuskular (IM) (misal: chlorpheniramin 0,1
mg/kg) dan pastikan tekanan darah stabil.
- Berikan kortikosteroid IV dan bronkodilator jika ada gejala anafilaktik
(misal: bronkospasme, stridor)
- Bila ada demam, berikan parasetamol oral atau rektal (10 mg/KgBB
atau 500 mg-1000 mg pada dewasa). Hindari pemberian aspirin
pada pasien trombositopenia.
- Informasikan segera ke bank darah bahwa terjadi reaksi transfusi
- Kirim kantong darah dan infus set serta sampel darah baru dari
vena disisi lain infus dengan formulir reaksi transfusi ke bank darah
untuk pemeriksaan laboratorium.
- Kumpulkan urine 24 jam ke depan sebagai bukti hemolysis dan
kirim ke laboratorium
- Jika tidak ada perbaikan klinis dalam 15 menit atau jika gejala dan
tanda memburuk tangani sebagai katagori 3.
- Jika klinis mengalami perbaikan, transfusi dapat dimulai perlahan
dengan kantong darah baru dan lakukan monitoring dengan cermat
3. Katagori 3: reaksi berat
a. Tanda : sesak nafas, demam, menggigil, kaku, gelisah, hipotensi
(turun >20% dari tekanan darah awal), takikardia (meningkat > 20%
dari denyut nadi awal), hemoglobinuria (urine merah kehitaman),
perdarahan yang tidak dapat di jelaskan (DIC)
b. Gejala : cemas, nyeri dada, nyeri dekat tempai infus, nafas pendek,
nyeri pinggang, sakit kepala, sesak nafas.
c. Kemungkinan penyebab : kontaminasi bakteri dan syok septik,
hemolysis intravaskuler akut, kelebihan cairan, anapilaksis,
Transfusion Associated Acute Lung Injury (TRALI)
d. Penanganan :
- Stop transfusi. Ganti infus set dan pertahankn IV line tetap terbuka
dengan NaCl 0,9 %.
- Naikkan atau elevasi 45o tungkai pasien lebih tinggi dari jantung.
- Infus NaCl 0,9 % 20-30 ml/KgBB untuk menjaga tekanan darah
sistol. Jika hipotensi, beri dopamine dosis awal 3-5mcg/KgBB/menit.
- Pertahankan jalan nafas terbuka dan beri oksigen aliran tinggi
melalui masker.

73
- Beri adrenalin (1 ampul = 1 ml = 1 mg) sebanyak 0,01 mg/KgBB IM
perlahan.
- Beri kortikosteroid IV dan bronkodilator jika ada tanda-tanda
anapilaktik (misal: bronkospasme, stridor).
- Beri diuretik, misal : Furosemid 1 mg/KgBB IV
- Beri tahu segera dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien
dan bank darah.
- Kirim kantung darah dan infus set, ambil sampel darah baru dari
vena disisi lain infus dengan form reaksi transfusi ke bank darah
untuk pemeriksaan laboratorium.
- Cek spesimen urine segara secara visual untuk tanda
hemoglobinuria.
- Mulai pengumpulan urine 24 jam dan grafik keseimbangan cairan
dan catat semua intake dan output. Jaga keseimbangan cairan.
- Nilai perdarahan dari tempat tusukan atau luka. Jika ada bukti klinis
atau laboratorium DIC beri trombosit ( 5-6 unit) dan cryoprecipitate
(12 unit) dan FFP (3 unit)
- Lakukan evaluasi ulang. jika masih terjadi hipotensi, berikan infus
cairan normal salin 20-30 ml/kg lebih dari 5 menit dan
pertimbangkan pemberian inotrope jika tersedia.
- Jika terjadi oligouria atau hasil laboratorium membuktikan terjadi
gagal ginjal akut (peningkatan kalium, urea dan kreatinin), lakukan
jhal-hal berikut :
1. Pertahankan keseimbangan cairan secara adekuat
2. Berikan furosemide 1 mg/kg, di ulang tiap 30 menit dosis lipat dua
sampai total 1000 mg.
3. Pertimbangkan infus dopamine
4. Pasien mungkin membutuhkan hemodialisis.
- Jika curiga ada bakterimia (rigors, demam, collapse, tidak ada
tanda-tanda reaksi hemolitik) berikan antibiotic broad-spectrum IV.
b. Reaksi transfusi lambat dan penangannya
1. Delayed hemolytic transfusion reaction
a. Kejadian : 5-10 hari pasca transfusi
b. Tanda : Demam, anemia, jaundice
c. Penanganan :
- Jika terjadi hipotensi dan oliguria, tangani sebagai hemolisis
intravaskuler akut

74
d. Pemeriksaan
- Periksa ulang golongan darah pasien
- Direct coomb‟s test umumnya positif
- Peningkatan bilirubin indirek
2. Post-transfusion purpura
a. Kejadian : 5-10 hari pasca transfusi, sebagian besar terjadi pada
pasien wanita. Insidennya jarang tetapi potensial menyebabkan
komplikasi yang fatal
b. Tanda : peningkatan tedensi perdarahan, trombositopenia (<
100.000/µL)
c. Penanganan : sangat penting apabila jumlah trombosit <
50.000/µL dan bahaya perdarahan tersamar pada trombosit <
20.000/µL
- Pemberian steroid dosis tinggi
- Pemberian immunoglobulin intravena dosis tinggi (2 g/kg atau
0,4 g/kg selama 5 hari)
- Plasma exchange
- Monitor kadar trombosit pasien
- Jika transfusi trombosit diperlukan, berikan trombosit golongan
ABO yang sesuai dengan pasien
3. Graft-vs-host disease
a. Kejadian : 10-12 hari pasca transfusi
b. Tanda : demam, skin rash dan desquamasi, diare, hepatitis,
pansitopenia
c. Penanganan :
- Supportive care
- Tidak ada terapi spesifik
- Umumnya bersifat fatal
4. Iron overload, terjadinya gagal jantung dan hati pada pasien-pasien
ketergantungan transfusi. Dapat dicegah dengan memberikan
preparat pengikat besi, seperti desferrioxamine dan menjaga kadar
serum ferritin < 2000 mg/L

75
5. Penularan penyakit infeksi lewat transfusi darah
Beberapa penyakit infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi
darah, antara lain:
a. HIV-1 dan HIV-2
b. HLTV-1 dan HLTV-2
c. Hepatitis B dan C
d. Syphilis (Treponema palidum)
e. Chagas disease (Trypanosoma cruzi)
f. Malaria
g. Cytomegalovirus (CMV)
h. Beberapa infeksi lain yang jarang, seperti : human parvovirus
B19, Brucellosis, Epstein-Barr virus, toxoplasmosis, infectious
mononucleosis dan Lymes‟disease.

LAMPIRAN 1: ALUR PEMENUHAN KEBUTUHAN DARAH


Pelayanan Permintaan Darah
Data Distribusi
Surat Permintaan Front Office
1. Nomor SPKD
Komponen Darah
2. Tanggal SPKD
(SPKD)
3. ID pasien
dari dokter
4. Nomor kantong
5. Tanggal cross
6. Hasil cross
Keleng Tidak Ditolak 7. Tanggal keluar
kapan
SPKD
Lengkap

Diproses Bagian
Distribusi

Kosong
Stok
Mencari Donor
Kompon
en

Ada

Ambil
darah dari
Stok

Bagian
Serologi Komponen
Tidak Darah Tidak
Uji Silang Cocok untuk
Serasi (cross Pasien
match

Ya

Komponen
Darah Cocok Darah Komponen Darah disimpan di Blood
Tidak
untuk Pasien segera 76 Bank
dipaka
i?
Front Office
Seleksi Donor Data Calon Donor
1. Nama
2. Tempat tanggal lahir
Tidak 3. Alamat
Calon Seleksi
Admin Ditolak 4. HP
Donor
istrasi 5. Golongan darah
6. Riwayat donasi

Bagian Pemeriksaan Calon


Lolos
Donor

Tidak Data Seleksi Fisik


Seleks 1. Data Anamnesis
Ditolak
i Fisik 2. BB
3. Vital sign
4. Golongan darah
Lolos
5. Kadar Hb

Aftap Aftap

Data Aftap
Bagian Aftap 1. Identitas Donor
Tidak 2. Nomor kantong
Aftap Kantong darah 3. Jenis kantong
Mislek
Berhasi dimusnahkan 4. Golongan darah
l

Ya
Darah Lengkap Siap Skrining dapat disimpan terlebih dahulu di
Darah Lengkap Siap Rak Darah Karantina Blood Bank apabila belum dijadwalkan untuk
Skrining
skrining; FIFO rule applied
Bagian IMLTD
Skrining IMLTD Tidak
Skrining Darah Tidak Lolos Kantong darah
IMLTD Skrining dimusnahkan
Lolos
Data IMLTD
1. Nomor kantong
Bagian 2. Hasil HBV
Darah Lengkap Distribusi 3. Hasil HCV
Telah Skrining 4. Hasil HIV
(WB) 5. Hasil Sifilis

Darah Lengkap Telah Skrining dapat disimpan terlebih dahulu di


Blood Bank apabila belum akan digunakan; FIFO rule applied

77
Pembuatan Komponen Data Komponen
Darah Lengkap 1. Nomor kantong
Telah Skrining 2. Tanggal Pembuatan
(WB) 3. Tanggal Kadaluarsa

Bagian
Komponen
Pembuatan
Komponen

Plasma Packed Red Thrombocyte Anti Hemophilic


Cell (PRC) Concentrate Factor (AHF)
(TC)

Fresh Washed
Frozen Red Cell
Plasma (WRC)
(FFP)

Komponen Darah dapat disimpan terlebih dahulu


apabila belum akan digunakan; FIFO rule applied;
expired date applied
Stok
Komponen Bagian
Darah Distribusi

Perjalanan Darah ke Pasien


Komponen
Darah
diserahkan ke
petugas

Komponen Darah Bangsal/IRD


dibawa ke Lokasi /IRJ/OK
Perawatan Pasien

Tidak
Cek Troubleshoot
Identita
s

Sesuai

Transfusi

Tidak

Reaksi Laporan Transfusi


Transfu
si 78
Ya

Stop Transfusi
Hubungi UPTD

LAMPIRAN 2: ALUR PELAPORAN DAN PENGELOLAAN REAKSI TRANSFUSI

Residen/perawat mendeteksi
adanya tanda & gejala reaksi
transfusi

Melaporkan ke
DPJP

DPJP menginstruksikan residen/perawat untuk


melakukan tindakan medik pada pasien

Residen/perawat melaporkan kejadian reaksi


transfusi, mengirim sampel darah pasien & sisa
produk darah, dan menginformasikan tindakan
medik yang dilakukan pada pasien kepada UPTD

UPTD melakukan evaluasi klerikal & teknis


pre transfusi dan pasca transfusi, serta non
teknis

UPTD segera melaporkan hasil evaluasi


langsung ke DPJP atau melalui
residen/perawat

Dilakukan tindakan koreksi

79
LAMPIRAN 3: ALUR PENYIMPANAN KOMPONEN DARAH
Penyimpanan Komponen Darah
Komponen Suhu
Daya tahan Keterangan
Darah penyimpanan
Whole
blood(Fresh 24 jam 20–24 ºC
Unrefrigerated)
Eritrosit
Leucocyte 42 hari dengan
Depleted bahan pengawet 1–6 ºC
yanf sesuai
Paediatric 35 days
Leucocyte 1–6 ºC
Depleted
Washed 28 hari jika
Leucocyte diresuspensi
1–6 ºC
Depleted dalamadditive
solution
Fresh frozen .
plasma
–18 ºC atau
Cryodepleted 12 bulan
lebih rendah
plasma
Cryoprecipitate
Komponen trombosit harus
Trombosit 5 hari 20–24 ºC
disimpan menggunakan agitator

E. PELAYAN PASIEN DENGAN ALAT PENGIKAT (RESTRAINT)


Restraint adalah suatu metode/cara pembatasan/restriksi yang disengaja
terhadap gerakan/perilaku seseorang. Dalam hal ini, „perilaku„ yang dimaksudkan
adalah tindakan yang direncanakan, bukan suatu tindakan yang tidak
disadari/tidak disengaja/sebagai suatu refleks.
a. Ruang Lingkup
Pelayanan pasien dengan alat pengikat (Restraint) dilakukan oleh staf
medis kepada seluruh pasien Rawat Inap RSUD HD Kota Bengkulu mulai dari
Instalasi Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap, hingga Unit Perawatan Intensif.
b. Tata Laksana
Restraint terdiri dari berbagai jenis, antara lain :
1. Pembatasan Fisik
80
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien, menggerakkan
pasien, atau mencegah pergerakan pasien.
b. Pemegangan fisik : biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan untuk
melakukan suatu pemeriksaan fisik/tes rutin. Namun, pasien berhak
menolak prosedur ini. Apabila terpaksa memberikan obat tanpa
persetujuan pasien, dipilih metode yang paling kurang bersifat
reaktif/sedikit mungkin menggunakan pemaksaan. Pada beberapa
keadaan, dimana pasien setuju untuk menjalani prosedur/ medikasi tetapi
tidak dapat berdiam diri/tenang untuk disuntik/menjalani prosedur, staf
boleh memegangi pasien dengan tujuan prosedur/ pemberian medikasi
berjalan dengan lancar dan aman. Hal ini bukan merupakan restraint.
2. Pembatasan Mekanis
Yaitu melibatkan penggunaan suatu alat, misalnya penggunaan pembatas di
sisi kiri dan kanan tempat tidur (bedrails) untuk mencegah pasien jatuh/turun
dari tempat tidur. Namun perlu diperhatikan bahwa penggunaan bedrails
dianggap berisiko terjebak di antara kasur dan bedrails dengan kemungkinan
mengalami cedera yang lebih berat dibandingkan tanpa penggunaan bedrails.
Jadi, penggunaan bedrails harus mempunyai keuntungan yang melebihi
resikonya. Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu turun dari tempat
tidur, penggunaan side rails bukan merupakan restraint karena penggunaan
side rails tidak berdampak pada kebebasan bergerak pasien.
3. Pembatasan Kimia
Yaitu melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien. Obat-
obatan dianggap sebagai suatu restraint hanya jika penggunaan obat-obatan
tersebut tidak sesuai dengan standar terapi pasien dan penggunaan obat-
obatan ini hanya ditujukan untuk mengontrol perilaku pasien/membatasi
kebebasan bergerak pasien. Kriteria untuk menentukan suatu penggunaan
obat dan kombinasinya tidak tergolong restraint adalah :
a. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah
disetujui oleh Food and Drug Administraion (FDA) dan sesuai indikasinya.
b. Penggunaan obat mengikuti/sesuai dengan standar praktik kedokteran
yang berlaku.
c. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien
didasarkan pada gejala pasien, keadaan umum pasien, dan pengetahuan
klinis/dokter yang merawat pasien.
d. Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien mencapai
kondisi fungsionalnya secara efektif dan efisien.

81
e. Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan kemampuan
pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya secara efektif,
maka obat tersebut tidak digunakan sebagai terapi standar untuk pasien.
f. Tidak diperbolehkan menggunakan „pembatasan kimia‟ (obat sebagai
restraint) untuk tujuan kenyamanan staf, untuk mendisiplinkan pasien, atau
sebagai metode untuk pembalasan dendam.
Dalam observasi restraint, perlu diperhatikan efek samping penggunaan obat
dipantau secara rutin dan ketat. Adapun indikasi pasien yang membutuhkan
tindakan restraint, yaitu :
1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri
dan atau orang lain.
2. Tahanan pemerintah (yang legal/sah secara hukum) yang dirawat di rumah
sakit.
3. Pasien yang membutuhkan tata laksana emergensi (segera) yang
berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien.
4. Restraint digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak
berhasil/tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari
ancaman bahaya.
Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuaikan
dengan setiap perilaku individu dimana terdapat pertimbangan mengenai
perlunya menggunakan restraint atau tidak. Keputusan penggunaan restraint ini
tidak didasarkan pada diagnosis, tetapi melalui asesmen pada setiap individu
secara komprehensif. Asesmen ini digunakan untuk menentukan apakah
penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki resiko yang lebih besar
daripada resiko akibat penggunaan restraint. Asesmen komprehensif ini harus
meliputi pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi masalah medis yang dapat
menyebabkan timbulnya perubahan perilaku pasien. Misalnya : peningkatan suhu
tubuh, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, interaksi obat, dan
efek samping obat dapat dapat menimbulkan kondisi delirium, agitasi, dan
perilaku yang agresif. Penanganan masalah medis ini dapat mengeleminasi atau
meminimalisasi kebutuhan akan restraint.
Dalam banyak kasus, restraint dapat dihindari dengan melakukan perubahan
yang positif terhadap pemberian/penyediaan pelayanan kesehatan dan
menyediakan dukungan pada pasien baik secara fisik maupun psikologis. Perlu
dicatat bahwa pasien yang berkapasitas mental baik dapat meminta sesuatu,
seperti penggunaan sabuk/ikat pengaman atau bedrails untuk meningkatkan rasa
aman mereka. Meskipun hal ini mungkin tidak sejalan dengan rekomendasi
perawat, pilihan pasien haruslah dihormati dan diikutsertakan dalam
penyusunan/pembuatan rencana keperawatan pasien dan asesmen risiko.

82
Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan (consent), perawat
seyogianya selalu menjelaskan tindakan yang akan dilakukan, berikut membantu
pasien untuk memahami dan menyetujui tindakan tersebut. Suatu studi
menyarankan bahwa penggunaan restraint pasien yang delirium sekalipun,
pasien tersebut akan sangat menghargai dan mengingat penjelasan perawat
mengenai kondisi pasien dan alasan pasien dilakukan restraint, terutama untuk
meyakinkan bahwa tindakan tersebut ditujukan untuk keselamatan pasien.
Salah satu cara untuk membantu tenaga kesehatan menghindari penggunaan
restraint adalah dengan menyediakan lingkungan perawatan yang
berkesan positif. Berikut adalah beberapa cara untuk menyediakan lingkungan
yang positif :
1. Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang mempunyai kebutuhan
dukungan psikologis.
2. Tingkat kebebasan dan risiko perawatan dirumah.
3. Pencegahan kekerasan dan agresi.
4. Pencegahan ide/tindakan bunuh diri dan melukai diri sendiri.
5. Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (ICU).
6. Pemenuhan kebutuhan pasien dimensia di ruang rawat RS.
7. Pencegahan dan penanganan delirium.
8. Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuhan keperawatan.
9. Pencegahan risiko jatuh.
Namun perlu diperhatikan beberapa dampak negatif daripada penggunaan
restraint, antara lain :
1. Dampak fisik
a. Atrofi otot
b. Hilangnya/berkurangnya densitas tulang
c. Ulkus decubitus
d. Infeksi nosokomial
e. Strangulasi
f. Penurunan fungsional tubuh
g. Stress kardiak
2. Dampak Psikologi
a. Depresi
b. Penurunan fungsi kognitif
c. Isolasi emosional
d. Kebingungan ( confusion ) dan agitasi
Apabila pasien telah ditentukan membutuhkan tindakan restraint maka diperlukan
persetujuan (Informed Consent). Persetujuan merupakan salah satu alat hukum
yang legal dimana seseorang memberikan kekuasaan yang sah terhadap tata

83
laksana atau keperawatan. Dasar persetujuan yang sah identik dengan
persyaratan profesional bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum
melakukan suatu tindakan/prosedur.
Perlu diingat bahwa restraint tidak boleh digunakan semata-mata untuk
mengurangi beban kerja. Pemilik/pemegang kekuasaan tidak boleh
menempatkan perawat dalam posisi dimana mereka terpaksa melakukan
restraint karena kurangnya staf yang bertugas atau kurangnya sumber daya
untuk menyediakan perawatan yang aman dan berkualitas.
Unsur „kenyamanan„ bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melakukan
restrain terhadap pasien.
1. Restraint tidak boleh dianggap sebagai pengganti pemantauan pasien.
2. Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan restraint, diperlukan
skrining pada individu secara komprehensif untuk menentukan kebutuhan
akan restraint berikut jenis yang dipilih. Apabila skrining menyatakan bahwa
diperlukan restraint maka dilanjutkan dengan asesmen restrain.
3. Jika dalam asesmen terdapat suatu kondisi medis yang mengindikasikan
perlunya intervensi untuk melindungi pasien dari ancaman bahaya, sebaiknya
menggunakan metode yang paling tidak restriktif tetapi efektif.
4. Dalam menggunakan restraint, harus mempertimbangkan antara resiko yang
dapat timbul akibat penggunaan restraint dengan resiko yang dapat timbul
akibat perilaku pasien.
5. Permintaan keluarga/pasien untuk menggunakan restraint (yang dianggap
menguntungkan) bukanlah suatu hal yang dapat mendasari diaplikasikannya
restraint. Permintaan ini haruslah mempertimbangkan kondisi pasien dan
asesmen pasien.
6. Jika telah diputuskan bahwa restraint diperlukan, dokter harus menentukan
jenis restraint apa yang dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan
resiko yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk pasien.
7. Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan penggunaan
restraint dan jenisnya. Dituliskan juga bahwa restraint yang digunakan
merupakan intervensi yang paling tidak restriktif namun efektif untuk
melindungi pasien dan penggunaan restraint diputuskan berdasarkan
asesmen per-individu.
8. Selama penggunaan restraint, pasien harus dipastikan memperoleh asesmen,
pemantauan, tata laksana, dan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
9. Prosedur yang harus diobservasi sebelum dan setelah aplikasi restraint :
a. Inspeksi tempat tidur, tempat duduk, restraint, dan peralatan lainnya yang
akan digunakan selama proses restraint mengenai keamanan
penggunaannya.

84
b. Jelaskan kepada pasien mengenai alasan penggunaan restraint.
c. Semua obyek/benda yang berpotensi membahayakan (seperti sepatu,
perhiasan, selendang, ikat pinggang, tali sepatu, korek api) harus
disingkirkan sebelum restraint diaplikasikan.
d. Setelah aplikasi restraint, pasien diobservasi oleh staf
e. Kebutuhan pasien, seperti makan, minum, mandi, dan penggunaan toilet
akan tetap dipenuhi.
f. Secara berkala, perawat akan menilai tanda vital pasien, posisi tubuh
pasien, keamanan restraint, dan kenyamanan pasien.
g. Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan mengenai
perilaku pasien.
10. Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf yang
mengaplikasikan restraint, staf yang bertugas memantau, menilai, atau
memberikan pelayanan kepada pasien) memiliki pengetahuan dan
memperoleh pelatihan mengenai :

a. Teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat


mempengaruhi, kejadian-kejadian yang membutuhkan restraint.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif tapi
efektif, berdasarkan pada asesmen kondisi medis/perilaku pasien.
c. Cara mengaplikasikan restraint dengan aman.
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan
bahwa restraint/isolasi tidak lagi diperlukan.
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami
restraint/isolasi, termasuk status respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan
tanda vital.
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru.
Perlu dilakukan evaluasi atas tindakan restraint untuk melihat apakah setidaknya
hal-hal di bawah ini terlaksana dengan baik :
1. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restraint/isolasi.
2. Kondisi-kondisi dimana restraint/isolasi harus dihentikan.
Cara mengevaluasi pengenai Pelayanan Pasien dengan Restraint adalah :
1. Mengumpulkan data mengenai penggunaan restraint dalam kurun waktu yang
spesifik (misalnya 3 bulan) untuk melihat pola penggunaan restraint di unit-unit
tertentu, setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya.
2. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan restraint meningkat
di akhir pekan, saat hari libur, saat malam hari, saat jam pergantian jaga
tertentu memiliki kecenderungan di satu unit tertentu daripada unit lainnya.
a. Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan
restraint yang tidak sesuai dengan kepentingan/kebutuhan pasien, tetapi
85
lebih kepada aspek kenyamanan, kurangnya staf, atau kurangnya staf
yang berpengalaman/terlatih.
b. Jadwal piket perawat diperlukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh
meningkatnya penggunaan restraint di tingkat staf.
3. Melakukan wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani restraint.
Apakah alasan digunakannya restraint ini dijelaskan kepada pasien dengan
kata-kata yang dapat dimengerti?
Adapun Standar Prosedur Operasional untuk melakukan tindakan restrain pada
pasien :
1. Perawat berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk menghentikan
perilakunya.
2. Perawat mengulangi penjelasan jika tidak menghentikan perilakunya akan
dilakukan pengikatan dengan bahasan yang sopan.
3. Staf yang akan melakukan pengikatan harus sudah berada di tempat.
4. Perawat mengobservasi tanda-tanda vital tiap 60 menit setelah dilakukan
restraint.
5. Perawat menempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat staf.
6. Perawat mendokumentasikan observasi ke dalam formulir Rekam Medis
Observasi Pasien Restraint.
7. Pengikatan fisik dapat dilakukan tanpa instruksi dokter, namun sesegera
mungkin (<1 jam) perawat melaporkan kepada dokter untuk legalitas.
8. Fiksasi kimia dilakukan segera setelah fiksasi fisik, disesuaikan dengan kondisi
pasien. Pilihan fiksasi kimia dikonsulkan ke dokter penanggung jawab pasien
atau dokter anestesi.

Skema Implementasi Restraint

86
Panduan Intervensi Restraint dan Alternatifnya

87
F. PELAYANAN PASIEN DENGAN ALAT BANTU HIDUP
(VENTILASI MEKANIK )
1. PENGERTIAN

Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif


yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu
yang lama.( Brunner dan Suddarth, 1996).

2. TUJUAN PEMASANGAN VENTILATOR


Ada beberapa hal yang menjadikan tujuan dan manfaat penggunaan
ventilasi mekanik ini dan juga beberapa kriteria pasien yang perlu untuk
segera dipasang ventilator.
Tujuan Ventilator antara lain adalah sebagai berikut :

88
 Mengurangi kerja pernapasan.
 Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.

 Pemberian MV yang akurat.


 Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
 Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat

3. RUANG LINGKUP
Asuhan Pasien dengan alat bantu hidup terutama dapat terjadi pada pasien
yang dirawat di ICU/ICCU
4. TATA LAKSANA

1. Indikasi Klinik
a. Kegagalan Ventilasi
1) Neuromuscular Disease
2) Central Nervous System disease
3) Depresi system saraf pusat
4) Musculosceletal disease
5) Ketidakmampuan thoraks untuk ventilasi
b. Kegagalan pertukaran gas
1) Gagal nafas akut
2) Gagal nafas kronik
3) Gagal jantung kiri
4) Penyakit paru-gangguan difusi
5) Penyakit paru-ventilasi / perfusi mismatch
2. Klasifikasi
Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung
ventilasi,dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan
positif.
a. Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru sehingga memenuhi
volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik
yang berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis,
distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis.
Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang
kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi sering.
b. Ventilator Tekanan Positif

89
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian
mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator
jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini
secara luas digunakan pada klien dengan penyakit paru primer.
Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan bersiklus, waktu
bersiklus dan volume bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus adalah
ventilator tekanan positif yang mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset
telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator hidup mengantarkan aliran
udara sampai tekanan tertentu yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai,
dan kemudian siklus mati. Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan hanya
untuk jangka waktu pendek di ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus
adalah ventilator mengakhiri atau pengendalikan inspirasi setelah waktu
ditentukan. Volume udara yang diterima klien diatur oleh kepanjangan
inspirasi dan frekuensi aliran udara Ventilator ini digunakan pada neonatus
dan bayi. Ventilator volume bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan
volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume
preset telah dikirimkan pada klien , siklus ventilator mati dan ekshalasi
terjadi secara pasif. Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator
tekanan positif yang paling banyak digunakan.
Gambaran ventilasi mekanik yang ideal adalah :
1) Sederhana, mudah dan murah
2) Dapat memberikan volume tidak kurang 1500cc dengan frekuensi nafas
hingga 60X/menit dan dapat diatur ratio I/E.
3) Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang
pernafasan yang lain.
4) Dapat dirangkai dengan PEEP
5) Dapat memonitor tekanan, volume inhalasi, volume ekshalasi, volume
tidal, frekuensi nafas, dan konsentrasi oksigen inhalasi
6) Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat
didalamnya
7) Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Support
8) Mudah membersihkan dan mensterilkannya.
3. Asuhan Keperawatan
Pada pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan teknik dan keterampilan
interpersonal yang unik, antara lain :
a. Meningkatkan pertukaran gas
Tujuan menyeluruh ventilasi mekanik adalah untuk mengoptimalkan
pertukaran gas dengan mempertahankan ventilasi alveolar dan pengiriman

90
oksigen. Perubahan dalam pertukaran gas dapat dikarenakan penyakit
yang mendasari atau factor mekanis yang berhubungan dengan
penyesuaian dari mesin dengan pasien. Tim perawatan kesehatan,
termasuk perawat , dokter, dan ahli terapi pernafasan , secara kontinu
mengkaji pasien terhadap pertukaran gas yang adekuat , tanda dan gejala
hipoksia, dan respon terhadap tindakan .
Pertukaran gas yang tidak adekuat dapat berhubungan dengan faktor-
faktor yang sangat beragam; tingkat kesadaran, atelektasis, kelebihan
cairan, nyeri insisi, atau penyakit primer seperti pneumonia. Pengisapan
jalan nafas bawah disertai fisioterapi dada ( perkusi,fibrasi ) adalah strategi
lain untuk membersihkan jalan nafas dari kelebihan sekresi karena cukup
bukti tentang kerusakan intima pohon Trakeobronkial. Intervensi
keperawatan yang penting pada klien yang mendapat ventilasi mekanik
yaitu auskultasi paru dan interpretasi gas darah arteri. Perawat sering
menjadi orang pertama yang mengetahui perubahan dalam temuan
pengkajian fisik atau kecenderungan signifikan dalam gas darah yang
menandakan terjadinya masalah ( pneumotoraks, perubahan letak selang,
emboli pulmonal ).
b. Penatalaksanaan jalan nafas
Ventilasi tekanan positif kontinu meningkatkan pembentukan sekresi
apapun kondisi pasien yang mendasari. Perawat harus mengidentifikasi
adanya sekresi dengan auskultasi paru sedikitnya 2-4 jam. Tindakan
membersihakan jalan nafas termasuk pengisapan, fisioterapi dada,
perubahan posisi yang sering, dan peningkatan mobilitas secepat mungkin.
Humidifikasi dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu
pengenceran sekresi sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan.
Bronkodilator baik intravena maupun inhalasi, diberikan sesuai dengan
resep untuk mendilatasi bronkiolus.
c. Mencegah trauma dan infeksi
Penatalaksanaan jalan nafas harus mencakup pemeliharaan selang
endotrakea atau trakeostomi. Selang ventilator diposisikan sedemikian
rupa sehingga hanya sedikit kemungkinan tertarik atau penyimpangan
selang dalam trakea. Perawatan trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8
jam jika diindikasikan karena peningkatan resiko infeksi. Higiene oral sering
dilakukan karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi
paruparu pada pasien yang diintubasi pada pasien lemah. Adanya selang
nasogastrik dan penggunaan antasida pada pasien dengan ventilasi
mekanik juga telah mempredisposisikan pasien pada pneumonia
nosokomial akibat aspirasi. Pasien juga diposisikan dengan kepala

91
dinaikkan lebih tinggi dari perut sedapat mungkin untuk mengurangi
potensial aspirasi isi lambung.
d. Peningkatan mobilitas optimal
Mobilitas pasien terbatas karena dihubungkan dengan ventilator. Mobilitas
dan aktivitas otot sangat bermanfaat karena menstimuli pernafasan dan
memperbaiki mental. Latihan rentang gerak pasif/aktif dilakukan tiap 8 jam
untuk mencegah atrofi otot, kontraktur dan statis vena
e. Meningkatkan komunikasi optimal
Metode komunikasi alternatif harus dikembangkan untuk pasien dengan
ventilasi mekanik. Bila keterbatasan pasien diketahui, perawat
menggunakan pendekatan komunikasi; membaca gerak bibir,
menggunakan kertas dan pensil,bahasa gerak tubuh, papan komunikasi,
papan pengumuman. Ahli terapi bahasa dapat membantu dalam
menentukan metode yang paling sesuai untuk pasien.
f. Meningkatkan kemampuan koping.
Dengan memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaan
mengenai ventilator, kondisi pasien dan lingkungan secara umum sangat
bermanfaat. Memberikan penjelasan prosedur setiap kali dilakukan untuk
mengurangi ansietas dan membiasakan klien dengan rutinitas rumah sakit.
Klien mungkin menjadi menarik diri atau depresi selama ventilasi mekanik
terutama jika berkepanjangan akibatnya perawat harus menginformasikan
tentang kemajuannya pada klien, bila memungkinkan pengalihan perhatian
seperti menonton TV, bermain musik atau berjalan-jalan jika sesuai dan
memungkinkan dilakukan. Teknik penurunan stress (pijatan punggung,
tindakan relaksasi) membantu melepaskan ketegangan dan memampukan
ien untuk menghadapi ansietas dan ketakutan akan kondisi dan
ketergantungan pada ventilator.
4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan antara lain :
a. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri
pulmonal dan tanda-tanda vital yang adekuat.
b. Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang
minimal.
c. Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan
jumlah sel darah putih.
d. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan.
e. Berkomunikasi secara efektif melalui pesan tertulis, gerak tubuh atau alat
komunikasi lainnya.
f. Dapat mengatasi masalah secara efektif.

92
5. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik yang perlu dilakukan pada klien dengan ventilasi
mekanik yaitu:
a. Pemeriksaan fungsi paru
b. Analisa gas darah arteri
c. Kapasitas vital paru
d. Kapasitas vital kuat
e. Volume tidal
f. Ventilasi semenit
g. Tekanan inspirasi
h. Volume ekspirasi kuat
i. Aliran-volume
j. X ray dada
k. Status nutrisi / elektrolit.
6. Penyapihan dari ventilasi mekanik
Kriteria dari penyapihan ventilasi mekanik :
a. Tes penyapihan
1) Kapasitas vital 10-15 cc / kg
2) Volume tidal 4-5 cc / kg
3) Ventilasi menit 6-10 l
4) Frekuensi permenit < 20 permenit
b. Pengaturan ventilator
1) FiO < 50%
2) Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) : 0
c. Gas darah arteri
1) PaCO2 normal
2) PaO2 60-70 mmHg
3) PH normal dengan semua keseimbangan elektrolit diperbaiki
d. Selang Endotrakeal
1) Posisi diatas karina pada foto Rontgen
2) Ukuran : diameter 8.5 mm
e. Nutrisi
1) Kalori perhari 2000-2500 kal
2) Waktu : 1 jam sebelum makan
f. Jalan nafas
1) Sekresi: antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan
(suctioning)
2) Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid
3) Posisi : duduk, semi fowler

93
g. Obat-obatan
1) Agen sedative : dihentikan lebih dari 24 jam
2) Agen paralise : dihentikan lebih dari 24 jam
h. Emosi
Persiapan psikologis terhadap penyapihan
i. Fisik
Stabil, istirahat terpenuhi
A. Pelayanan Pasien Penyakit Menular Dan Penurunan Daya Tahan Tubuh
(Immuno-Compromised And Supressed)

1. Pasien Penyakit Menular


a. Pengertian
Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit infeksi tertentu yang
dapat berpindah dari satu orang ke orang lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Penyakit Infeksi adalah merupakan suatu
keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi ( organisme ) yang
disertai adanya respon
b. Ruang Lingkup
1) Kewaspadaan Standart
2) Kewaspadaan Transmisi
(a) Transmisi Droplet
(b) Transmisi Airbone
(c) Transmisi Kontak
3) Kewaspadaan Universal dengan sarana terbatas
c. Tatalaksana
 Kewaspadaan Standar
a. Kebersihan Tangan
(1) Hindari menyentuh permukaan disekitar pasien agar tangan terhindar
dari kontaminasi patogen dari dan ke permukaan.
(2) Bila tangan tampak kotor, mengandung bahan berprotein, cairan tubuh,
cuci tangan dengan sabun antiseptik dan dengan air mengalir.
(3) Cuci tangan sesuai indikasi cuci tangan :
(4) Sebelum & setelah kontak pasien.
(5) Diantara prosedur berbeda pada pasien yang sama.
(6) Setelah kontak dengan cairan tubuh,darah dengan atau tanpa
menggunakan sarung tangan.
(7) Setelah menangani peralatan/ benda/ lingkungan yang terkontaminasi.
(8) Segera cuci tangan setelah melepas APD.
(9) Jika tangan terlihat bersih dekontaminasi dengan “alcohol based hand
rub/gel”.
94
(10) Edukasi kepada pasien, keluarga dan pengunjung pasien
(11) Pastikan fasililitas tersedia.
(12) Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
a) APD terdiri dari : Sarung tangan,apron/gowns, Pelindung mata, hidung,
mulut, pelindung kaki.
b) Petugas Kesehatan harus dapat mengkaji penggunaan APD pada saat
melakukan prosedur tindakan :Prosedur biasa, Resiko terpapar
darah/cairan tubuh, Resiko terkontaminasi.
c) Pakai bila mungkin terkontaminasi darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi
dan bahan terkontaminasi, mukus membran dan kulit yang tidak utuh,
kulit utuh yang potensial terkontaminasi.
d) Gunakan sarung tangan sesuai ukuran tangan dan jenis tindakan. Pakai
sarung tangan sekali pakai untuk merawat pasien. Lepaskan sarung
tangan segera setelah selesai, sebelum menyentuh benda dan
permukaan yang tidak terkontaminasi, sebelum beralih ke pasien lain.
e) Jangan memakai sarung tangan 1 pasang untuk merawat pasien yang
berbeda. Gantilah sarung tangan bila tangan berpindah dari area tubuh
terkontaminasi ke area bersih.
f) Cuci tangan setelah melepas sarung tangan.
g) Masker bedah dapat digunakan secara umum untuk petugas rumah sakit
untuk mencegah transmisi melalui partikel besar dari droplet saat kontak
erat (<3 meter) dari pasien saat batuk / bersin.
h) Gunakan masker selama tindakan yang menimbulkan aerosol walaupun
pada pasien tidak diduga infeksi.
i) Kenakan gaun pelindung (bersih, tidak steril) untuk melindungi kulit,
mencegah baju menjadi kotor, kulit terkontaminasi selama prosedur /
merawat pasien yang memungkinkan terjadinya percikan cairan tubuh
pasien.
j) Pilihlah gaun pelindung yang sesuai antara bahan gaun dan tindakan
yang akan dilakukan.
k) Lepaskan gaun segera dan cucilah tangan untuk mencegah transmisi
mikroba ke pasien lain atau ke lingkungan.
l) Kenakan saat merawat pasien infeksi yang secara epidemiologik penting,
lepaskan saat akan keluar ruang pasien.
m) Jangan menggunakan gaun pakai ulang walaupun untuk pasien yang
sama.
1) Peralatan Perawatan Pasien

95
a) Buat aturan atau prosedur untuk menampung, transportasi
peralatan yang mungkin terkontaminasi darah atau cairan
tubuh.
b) Lepaskan bahan organic dari peralatan kritikal, semi kritikal
dengan bahan pembersih sesuai dengan sebelum di sterilisasi.
c) Tangani peralatan pasien yang terkena darah , cairan tubuh,
sekresi, ekskresi dengan benar sehingga kulit dan mucus
membrane terlindungi, cegah baju terkontaminasi, cegah
transfer mikroba ke pasien lain dan lingkungan.
d) Pastikan peralatan yang telah dipakai untuk pasien infeksius
telah dibersihkan dan tidak di pakai untuk pasien lain.
e) Pastikan peralatan sekali pakai dibuang dan dihancurkan
melalui cara yang benar dan peralatan pakai ulang dip roses
dengan benar.
f) Peralatan nonkritikal terkontaminasi didisinfektan setelah
dipakai. Peralatan semikritikal dan kritikal didisinfektan dan
disterilisasi.
g) Peralatan makan pasien dibersihkan dengan air panas dan
detergen.
h) Bila tidak tampak kotor , lap permukaan peralatan yang besar
(USG, X-ray) setelah keluar ruangan isolasi.
i) Bersihkan dan disinfeksi yang benar peralatan terapi
pernafasan terutama setelah dipakai pasien infeksi saluran
pernafasan
2) Pengendalian Lingkungan
a) Pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya merupakan salah satu aspek dalam upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit atau
fasilitas kesehatan lainnya.
b) Untuk mencegah terjadinya infeksi akibat lingkungan dapat
diminimalkan dengan melakukan pembersihan lingkungan,
disinfeksi permukaan yang terkontaminasi dengan darah atau
cairan tubuh pasien, melakukan pemeliharaan peralatan medik
dengan tepat, mempertahankan mutu air bersih,
mempertahankan ventilasi udara yang baik.
c) Tujuan pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya adalah untuk menciptakan
lingkungan yang bersih aman dan nyaman sehingga dapat
meminumalkan atau mencegah terjadinya transmisi

96
mikroorganisme dari lingkungan kepada pasien, petugas,
pengunjung, dan masyarakat di sekitar rumah sakit dan
fasilitas kesehatan sehingga infeksi nosokomial dan
kecelakaan kerja dapat dicegah.
3) Pemrosesan Peralatan Pasien dan Penatalaksanaan Linen
a) Pengelolaan alat – alat bertujuan untuk mencegah penyebaran
infeksi melalui alat kesehatan, atau menjamin alat tersebut
dalam kondisi steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan
obat yang akan dimasukkan ke dalam jaringan dibawah kulit
harus dalam keadaaan steril.
b) Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahap
yaitu :
(1) Dekontaminasi
(2) Pencucian
(3) Sterilisasi atau DTT
(4) Penyimpanan.
Menangani linen yang sudah digunakan harus dengan hati –
hati dan menggunakan APD yang sesuai serta membersihkan
tangan secara teratur.
c) Prinsip umum :
(1) Semua linen yang sudah digunakan harus dimasukkan ke dalam
kantong atau wadah yang tidak rusak saat diangkut
(2) Pengantongan ganda tidak diperlukan untuk linen yang sudah
digunakan
d) Linen :
(1) Semua bahan padat pada linen yang kotor harus dihilangkan dan
dibilas dengan air. Linen kotor tersebut kemudian langsung
dimasukkan ke dalam kantong linen di kamar pasien.
(2) Hilangkan bahan padat ( feses ) dari linen yang sangat kotor (
menggunakan APD yang sesuai ) dan buang limbah padat tersebut ke
dalam toilet sebelum linen dimasukkan ke kantong cucian.
(3) Linen yang sudah digunakan harus dibawa dengan hati – hati untuk
mencegah kontaminasi permukaan lingkungan atau orang – orang
disekitarnya.
(4) Jangan memilah linen ditempat peraawatan pasien. Masukkan linen
yang terkontaminasi langsung ke kantong cucian di ruang isolasi
dengan memanipulasi minimal atau mengibas – ibaskan untuk
menghindari kontaminasi udara dan orang.

97
(5) Linen yang sudah digunakan kemudian harus dicuci sesuai prosedur
pencucian biasa.
(6) Cuci dan keringkan linen sesaui dengan standart dan prosedur tetap
fasilitas pelayanan kesehatan.
(7) Angkut linen dengan hati – hati.
(8) Angkut linen kotor dalam wadah / kantong tertutup.
(9) Transportasi / trolley linen bersih dan linen kotor harus dibedakan, bila
perlu diberi warna yang berbeda.
2. Tata Laksana Penurunan Daya Tahan Tubuh (Immuno-Compromised And
Supressed)
a. Pengertian
Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi
pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid.
Dengan adanya penurunn jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-
penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal
tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan
produksi. Jadi, sangatlah penting untuk mengenali dan mengetahui
imunosupresi.
b. Indikasi
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi
organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada
neonatus.
1) Transplantasi organ
Penggunaannya Immunosupresan banyak digunakan untuk mencegah
reaksi penolakan pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk
antibodies terhadap sel-sel asing yang diterimanya. Guna mencegah
penolakan transplantat selalu diberikan :
a) Kortikisteroida
b) Azatriopin, siklofosfanida, atau mycofenolat
c) Siklosporin-A dan tacrolimus
d) Limfositimunoglobulin (Limfoglobulin
2) Penyakit autoimun
a) Guna menekan aktivitas penyakit auto imun sering digunakan zat-
zat imunosupresif. Misalnya, pada rematik dan penyakit radang
usus (colitis ulcerosa, M. Crohn) diberikan sulfasalazin dan
sitostatika (MTX, azatioprin).
b) Pencegahan hemolisis rhesus pada neonatus

98
c. Tatalaksana
Imunosupresan yang biasa diberikan adalah kortikosteroid, azatioprin, dan
siklosporin A. Kortikosteroid Mekanisme kortikosteroid sebagai
imunosupresan adalah melalui aktivitas anti peradangan, menghambat
metabolisme asam arakidonat, menurunkan populasi leukosit,
menimbulkan limfopenia terutama sel Th, dan dalam dosis tinggi menekan
pengeluaran sitokin dari sel T.
1) Azathioprine dan siklosporin A Azatioprin adalah inhibitor mitosis,
bekerja pada fase S, menghambat sintesis asam inosinat, prekursor
purin, asam adenilat dan guanilat. Baik sel T maupun sel B akan
terhambat proliferasinya oleh azatioprin. Azatioprin menghambat
sintesis purin sel dan mengakibatkan hambatan penggandaan sel.
Azatioprin berperan menekan fungsi sistem imun selular yaitu
menurunkan jumlah monosit dan fungsi sel K. Pada dosis 1-5
mg/kgBB tidak berpengaruh pada sistem imun humoral. Dengan
menurunkan fungsi sistem selular ini maka penerimaan transplan
dipermudah dan timbul anergi. Kerugiannya adalah meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi dan kecenderungan timbul keganasan.
Siklosporin menghambat aktifasi sel T dengan menghambat transkripsi
gen yang menyandi IL-2 dan IL-2R. Siklosporin A adalah suatu heksa-
dekapeptida berasal dari jamur yang mempunyai khasiat menghambat
proliferasi dan transformasi sel Th, menghambat sitotoksisitas sel Th,
menghambat produksi limfokin sel Th, dan meningkatkan aktivitas sel
Ts. Pada transplantasi organ, obat ini meningkatkan masa hidup
transplan. Kerugiannya adalah meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi dan kejadian penyakit limfoproliferatif.
2) Globulin antilimfosit Globulin antilimfosit merupakan antibodi terhadap
limfosit yang mempunyai aktivitas menghambat sel T dan sel B, serta
menimbulkan limfositopenia.
3) Radiasi Radiasi sinar X terutama digunakan karena sifatnya sebagai
sitosida pada sel neoplasma tertentu.
4) Lactoferrin Lactoferrin adalah kandungan air susu ibu, dapat
menghambat komplemen dan produksi granulosit dan makrofag
melalui pengendalian GM-CSA. Lysozyme, menghambat kemotaksis
neutrofil dan pengeluaran oksigen radikal.
5) 1,25-dihydroxy-vitamin D3 Zat ini adalah suatu analog vitamin D yang
bersifat sinergis dengan deksametason dalam menghambat Th-1
dalam produksi IFN-g. Hidrolisat kasein dengan Lactobacillus
menghambat proliferasi limfosit in vitro.

99
6) Linomide Pada percobaan binatang menghambat ekspresi gen sitokin
Th-1 yaitu IFN-g, IL-2 dan TNF-b.
7) Rekombinan CD58 (rCD58) Rekombinan CD58 menghambat aktivasi
dan adhesi sel T, serta menghambat sitotoksisitas sel NK.
g. PELAYANAN PASIEN LANJUT USIA
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 79 tahun 2014
yang dimaksud dengan:
1. Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas.
2. Geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan
dan kedokteran pada warga Lanjut Usia termasuk pelayanan kesehatan kepada
Lanjut Usia dengan mengkaji semua aspek kesehatan berupa promosi, pencegahan,
diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi.
3. Pasien Geriatri adalah pasien Lnjut Usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan
akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan Multidisiplin
yang bekerja secara Interdisiplin.
4. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
5. Rehabilitasi Medik adalah pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi
yang diakibatkan oleh keadaan/kondisi sakit, penyakit ataupun cedera melalui
intervensi medic, keterapian fisik, rehabilitative, bio-psiko sosial dan edukasional
untuk mencapai kemampuan fungsional yang optimal.
6. Status Fungsional adalah kemampuan untuk mempertahankan kemandirian
dan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari
7. Multidisiplin adalah berbagai disiplin atau bidang ilmu yang secara bersama-sama
menangani penderita dengan berorientasi pada ilmunya masing-masing.
8. Interdisiplin adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh berbagai
disiplin/bidang ilmu yang saling terkait dan bekerja sama dalam penanganan pasien
yang berorientasi pada kepentingan pasien.
9. Tim Terpadu Geriatri adalah suatu tim Multidisiplin yang bekerja secara Interdisiplin
untuk menangani masalah kesehatan Lanjut Usia dengan prinsip tata kelola
pelayanan terpadu dan paripurna dengan mendekatkan pelayanan kepada pasien
Lanjut Usia.
10. Asesmen Geriatri adalah suatu proses pendekatan multidisiplin untuk menilai
aspek medik, fungsional, psikososial, dan ekonomi penderita usia lanjut dalam
rangka menyusun program pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang
rasional.

100
Konsep/pengertian secara bertingkat dari mundurnya kemandirian lansia yaitu :
a. Hambatan (impairment) adalah setiap kehilangan atau kelainan,baik psikologik,fis
iologik,maupun struktur atau fungsi anatomik.
b. Disabilitas adalah semua restriksi atau kekurangan dalam kemampuan untuk
melakukan kegiatan yang dianggap dapat dilakukan oleh orang normal.
c. Handicap dalah ketidakmampuan seseorang sebagai akibat impairment/disabilitas
sehingga membatasinya untuk melaksanakan peranan hidup secara normal
(berhubungan erat dengan usia,jenis kelamin, dan faktor-faktor sosial budaya
RUANG LINGKUP PELAYANAN
Berdasarkan Permenkes RI no 79 thn 2014 pada Pasal 3 disebutkan :
1. Pelayanan Geriatri diberikan kepada pasien Lanjut Usia dengan kriteria :
a) Memiliki lebih dari satu penyakit fisik dan/atau psikis;
b) Memilik satu penyakit dan mengalami gangguan akibat penurunan fungsi organ,
psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.
2. Selain pasien Lanjut Usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelayanan geriatri
juga diberikan kepada pasien dengan usia 70 tahun keatas yang memiliki satu
penyakit fisik dan/atau psikis.
3. Pelayanan Geriatri sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2)
dilaksanakan secara terpadu dengan pendekatan Multidisiplin yang bekerja
secara Interdisiplin.
Berdasarkan kemampuan pelayanan, pelayanan Geriatri dibagi menjadi :
1. Tingkat Sederhana
Jenis pelayanan Geriatri tingkat sederhana paling sedikit terdiri atas rawat jalan dan
kunjungan rumah (home care).
2. Tingkat Lengkap
Jenis pelayanan Geriatri tingkat lengkap paling sedikit terdiri atas rawat jalan, rawat
inap akut, dan kunjungan rumah (home care).
3. Tingkat Sempurna
Jenis pelayananGeriatri tingkat sempurna paling sedikit terdiri atas rawat jalan, rawat
inap akut, kunjungan rumah (home care), dan Klinik Asuhan Siang.

4. Tingkat Paripurna
Jenis pelayanan Geriatri tingkat paripurna terdiri atas rawat jalan, Klinik Asuhan
Siang, rawat inap akut, rawat inap kronik, rawat inap Psikogeriatri, penitipan Pasien
Geriatri (respite care), kunjungan rumah (home care), dan Hospice.
5. Tingkatan sebagaimana dimaksud tersebut ditetapkan berdasarkan :
1. Jenis pelayanan
2. Sarana dan prasarana
3. Peralatan
101
4. Ketenagaan.
Jenis pelayanan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bengkulu
berdasarkan tersedianya fasilitas sarana dan prasana, peralatan dan ketenagaan
adalah pelayanan tingkat sederhana.

STANDAR FASILITAS
A. DENAH RUANG

Wastafe Lemari
l Loker bufet
Meja Dokter
besi

Ranjang
Pemeriksaan

Meja ADM Meja Perawat

b. PERSYARATAN BANGUNAN
Pelayanan Geriatri dilakukan secara mandiri, terpisah dengan pelayanan
lainnya di Rumah Sakit. Lokasi pelayanan Geriatri berdekatan dengan ruang
perawatan dan ruang Rehabilitasi Medik serta berdekatan dengan akses masuk
Rumah Sakit. Selain memenuhi persyaratan tersebut bangunan pelayanan
Geriatri juga harus memenuhi konstruksi bangunan yang sesuai dengan standar
keamanan, keselamatan, dan kesehatan pasien Geriatri.
1. Konstruksi Bangunan
a. Jalan
Jalan menuju ke pelayanan geriatri harus cukup kuat, rata, tidak licin serta
disediakan jalur khusus untuk pasien/pengunjung dengan kursi roda
b. Pintu
Pintu harus cukup lebar untuk memudahkan pasien/pengunjung lewat dengan
kursi roda atau tempat tidur. Lebar pintu sebaiknya 120 cm terdiri dari pintu 90 cm
dan pintu 30 cm.
c. Listrik

102
Daya listrik harus cukup dengan cadangan daya bila suatu saat
memerlukan tambahan penerangan sehingga diperlukan stabilisator untuk menjamin
stabilitas tegangan, dilengkapi dengan generator listrik.
d. Penerangan
Penerangan lorong dan ruang harus terang namun tidak menyilaukan. Setiap lampu
penerangan di atas tempat tidur harus diberi penutup, agar tidak menyilaukan.
e. Lantai
Lantai harus rata, mudah dibersihkan tetapi tidak licin, bila ada undakan atau tangga
harus jelas terlihat dengan warna ubin yang berbeda untuk mencegah jatuh.
f. Langit-langit
Langit-langit harus kuat dan mudah dibersihkan.
g. Dinding
Dinding harus permanen dan kuat dan sebaiknya di cat berwarna terang. Agar
memberi semangat dan di sepanjang dinding, terdapat pegangan yang kuat
sebaiknya terbuat dari kayu (hand rail)
h. Ventilasi
Semua ruangan harus diberi cukup ventilasi. Ruangan yang menggunakan
pendingin/air condition harus dilengkapi cadangan ventilasi untuk mengantisipasi
apabila sewaktu-waktu terjadi kematian arus listrik.
i. Kamar mandi dan WC
Kamar mandi menggunakan kloset duduk dengan pegangan di sebelah kanan dan
kirinya. Shower dilengkapi dengan tempat duduk dan pegangan. Gagang
shower harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau oleh pasien dalam posisi
duduk. Demikian pula tempat sabun harus diletakkan sedemikian agar mudah
dijangkau pasien. Tersedia bel untuk meminta bantuan dan pintu membuka kelua
j. Air
Penyediaan air untuk kamar mandi, WC, cuci tangan harus cukup dan memenuhi
persyaratan. Semua fasilitas gedung dan lingkungan harus mengacu kepada
pedoman Pekerjaan Umum tentang standar teknis eksesibilitas gedung dan
lingkungan.
k. Pada dinding-dinding tertentu harus diberi pengaman dan kayu atau alumunium
(leuning) yang berfungsi sebagai pegangan bagi pasien pada saat berjalan serta
untuk melindungi dinding dari benturan kursi roda. Agar dihindari sudut-sudut yang
tajam pada dinding atau bagian tertentu untuk menghindari kemungkinan terjadinya
bahaya/trauma
l. Disediakan wastafel pada setiap ruangan pemeriksaan, pengobatan dan
ruangan yang lain.

103
2. Kebutuhan Ruangan
Ruang pelayanan Geriatri tingkat sederhana paling sedikit terdiri atas :
1. Ruang pendaftaran/administrasi
Ruang pendaftaran/administrasi sebagaimana dimaksud dapat bergabung dengan
ruang pendaftaran/administrasi lain di Rumah Sakit. Ruang pendaftaran administrasi
ini harus cukup luas untuk penempatan meja tulis, lemari arsip untuk penyimpanan
dokumen medik pasien. Letaknya dekat dengan ruang tunggu, sehingga mudah
dilihat oleh pasien yang baru datang.
2. Ruang tunggu
Ruang tunggu harus bersih dan cukup luas, aman dan nyaman, baik untuk pasien
dari luar ataupun dari bangsal yang menggunakan kursi roda atau tempat tidur.
3. Ruang periksa
Ruangan ini dekat dengan ruang pendaftaran serta dilengkapi dengan fasilitas dan
alat-alat pemeriksaan.
Ruangan terdiri dari:
a. Ruang periksa perawat geriatri dan sosial medik untuk melakukan anamnesis;
b. Ruang periksa dokter/tim geriatri;
c. WC dan kamar mandi
d. Ruangan diskusi tim geriatri atau pertemuan dengan keluarga pasien (family
meeting).
4. Ruang Tim Terpadu Geriatri
Ruang tim terdiri dari:
a. Ruang ketua tim
b. Ruang anggota
c. 1 (satu) ruang pertemuan untuk tim
d. Ruang istirahat karyawan dan pantry
e. Kamar kecil untuk karyawa
TATA LAKSANA PELAYANAN
Semua pasien lanjut usia yang datang ke poliklinik/UGD akan dilakukan triase
apakah tergolong ke dalam pasien geriatri. Untuk pasien lanjut usia biasa akan
diteruskan ke dokter spesialis yang sesuai dengan penyakitnya. Apabila tergolong
pasien geriatri (misalnya memiliki: penurunan status fungsional,
ada sindrom geriatri, gangguan kognitif demensia, jatuh osteoporosis dan inkontinens
ia) akan dilakukan asesmen geriatri komprehensif oleh Tim Terpadu Geriatri.

104
Model Alur Pelayanan di Rumah Sakit dengan Pelayanan Geriatri Tingkat
Sederhana

Pasien Lanjut Usia 1. Rawat Jalan (Poliklinik) :


2. – Assesmen dan Konsultasi
3. – kuratif

Triase di setiap Poliklinik 4. – intervensi Psikososial


5. - Rehabilitas
Departemen/IGD
6.

Assesmen Geriatri
komprehensif oleh tim
.
terpadu poli geriatri

Masalah Geriatri :
- Kondisi Medis Umum
- Status Fungsioanal
- Psikiatris status Rencana Tata Laksana
mental fungsi Komperhensif oleh tim Home Care
Kongnitif terpadu poli geriatric

105
106

Rumah sakit dengan pelayanan geriatri sederhana boleh melakukan perawatan


inap namun karena belum terdapat ruang rawat khusus yakni ruang rawat akut
geriatri maka dapat dirawat di ruang rawat biasa.

I. Pelayanan Pasien Rentan, Lanjut Usia, Anak-Anak Dengan Ketergantungan


Bantuan Dan Risiko Kekerasan
1. Pengertian
Kekerasan fisik adalah setiap tindakan yang disengaja atau penganiayaan
secara langsung merusak integritas fisik maupun psikologis korban, ini
mencakup antara lain memukul, menendang, menampar, mendorong,
menggigit, mencubit, pelecehan seksual, dan lain-lain yang dilakukan baik
oleh pasien, staf, maupun oleh pengunjung. Kekerasan psikologis termasuk
ancaman fisik terhadap individu atau kelompok yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada fisik, mental, spiritual, moral atau sosial termasuk pelecehan
secara verbal.
2. Ruang Lingkup
a. Bayi baru lahir (Neonatus) dan Anak - Anak
b. Kekerasan terhadap bayi meliputi semua bentuk tindakan / perlakuan
menyakitkan secara fisik, pelayanan medis yang tidak standar seperti
inkubator yang tidak layak pakai, penculikan, bayi tertukar dan
penelantaran bayi. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Kasus
penculikan bayi menujukkan peningkatan dari 72 kasus di tahun 2011
menjadi 102 di tahun 2012, diantaranya 25% terjadi di rumah sakit,
rumah bersalin, dan puskesmas.
c. Kekerasan pada anak (child abuse)
d. Keklerasan pada anak (child abuse) di rumah sakit adalah perlakuan
kasar yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan,
penganiayaan fisik, seksual, penelantara (ditinggal oleh orangtuanya di
rumah sakit), maupun emosional, yang diperoleh dari orang dewasa yang
ada di lingkungan rumah sakit. Hal tersebut mungkin dilakukan oleh
orang tuanya sendiri, pasien lain atau pengunjung atau oleh staf rumah
sakit. Terjadinya kekerasan fisik adalah dengan penggunaan kekuasaan
atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya
diberikan perlindungan.
e. Lansia
f. Dalam kehidupan sosial, kita mengenal adanya kelompok rentan, yaitu
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku
umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.
106
107

Salah satu contoh kelompok rentan tersebut adalah orang-orang lanjut


usia (lansia). Ternyata, walau sudah memiliki keterbatasan, lansia juga
rentan terhadap kekerasan. Menurut statistik, lebih dari dua juta lansia
mengalami kekerasan setiap tahunnya. Kekerasan pada lansia adalah
suatu kondisi ketika seorang lansia mengalami kekerasan oleh orang lain.
Dalam banyak kasus, kekerasan fisik dating dari orang-orang yang
mereka percayai. Karenanya, mencegah kekerasan pada lansia dan
meningkatkan kesadaran akan hal ini, menjadi suatu tugas yang sulit.
Statistik dari Dinas Pelayanan di New Zealand menunjukkan bahwa
kebanyakan, orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap lansia,
merupakan anggota keluarga atau orang yang berada pada posisi yang
mereka percayai, seperti: pasangan hidup, anak, menantu, saudara,
cucu, ataupun perawat. Kekerasan fisik pada lansia di rumah sakit, yaitu
bisa berupa perkosaan, pemukulan, dipermalukan/ diancam seperti anak
kecil, diabaikan / diterlantarkan, atau mendapatkan perawatan yang tidak
standar.
g. Kekerasan pada Perempuan
h. Kekerasan di rumah sakit dapat berupa perkosaan, yaitu hubungan
seksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan
korbannya. Namun perkosaan tidak semata-mata sebuah serangan
seksual akibat pelampiasan dari rasa marah, bisa juga disebabkan
karena godaan yang timbul sesaat seperti melihat bagian tubuh pasien
wanita yang tidak ditutupi pakaian atau selimut, mengintip pasien pada
saat mandi dan sebagainya.
i. Orang dengan gangguan jiwa
j. Pasien dengan gangguan jiwa terkadang tidak bisa mengendalikan
perilakunya, sehingga pasien tersebut perlu dilakukan tindakan
pembatasan gerak (restraint) atau menempatkan pasien di kamar isolasi.
Tindakan ini bertujuan agar pasien dibatasi pergerakannya karena dapat
mencederai orang lain atau dicederai orang lain, bila tindakan isolasi
tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya, berpotensi
melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan
melakukan pengekangan/pengikatan fisik (restraint). Kekerasan fisik
pada pasien jiwa yang dilakukan restrain di rumah sakit, bisa disebabkan
oleh tindakan restrain yang tidak sesuai prosedur, atau menggunakan
pengikat yang tidak standar. Selain itu, pasien jiwa yang dilakukan
restrain mudah menerima kekerasan fisik, baik dari pengunjung lain,
sesama pasien jiwa, maupun oleh tenaga medis. Hal ini disebabkan oleh

107
108

karena kondisi pasien yang terikat sehingga mudah mendapatkan


serangan.
k. Pasien koma
Kekerasan fisik bagi pasien yang koma di rumah sakit, bisa disebabkan
oleh pemberian asuhan medis yang tidak standar, penelantaran oleh
perawat, diperlakukan secara kasar oleh tenaga kesehatan yang
bertugas sampai pada menghentikan bantuan hidup dasar pada pasien
tanpa persetujuan keluarga / wali.

3. Tata Laksana
a. Tata laksana perlindungan terhadap pasien usia lanjut dan gangguan
kesadaran
1) Pasien Rawat Jalan
a) Pendampingan oleh petugas penerimaan pasien dan
mengantarkan sampai tempat periksa yang dituju dengan
memakai alat bantu bila diperlukan.
b) Perawat poli umum, spesialis dan gigi wajib mendampingi pasien
untuk dilakukan pemeriksaan sampai selesai.
2) Pasien Rawat Inap
a) Penempatan pasien di kamar rawat inap sedekat mungkin dengan
kamar perawat.
b) Perawat memastikan dan memasang pengaman tempat tidur.
c) Perawat memastikan bel pasien mudah dijangkau oleh pasien dan
dapat digunakan.
d) Meminta keluarga untuk menjaga pasien baik oleh keluarga atau
pihak yang ditunjukdan dipercaya.
b. Tata Laksana perlindungan terhadap penderita cacat
1) Petugas penerima pasien melakukan proses penerimaan pasien
penderita cacat baik rawat jalan maupun rawat inap dan wajib
membantu serta menolong sesuai dengan kecacatan yang disandang
sampai proses selesai dilakukan.
2) Bila diperlukan, perawat meminta pihak keluarga untuk menjaga
pasien atau pihak lain yang ditunjuk sesuai dengan kecacatan yang
disandang.
3) Memastikan bel pasien mudah dijangkau oleh pasien dan
memastikan pasien dapat menggunakan bel tersebut.
4) Perawat memasang dan memastikan pengaman tempat tidup pasien.

108
109

c. Tata laksana perlindungan terhadap anak-anak


1) Ruang perinatologi harus dijaga minimal satu orang perawat atau
bidan, ruangan tidak boleh ditinggalkan tanpa ada perawat atau bidan
yang menjaga.
2) Perawat meminta surat pernyataan secara tertulis kepada orang tua
apabila akan dilakukan tindakan yang memerlukan pemaksaan.
3) Perawat memasang pengamanan tempat tidur pasien.
4) Pemasangan CCTV di ruang perinatologi hanya kepada ibu kandung
bayi bukan kepada keluarga yang lain.
d. Tata Laksana perlindungan terhadap pasien yang berisiko disakiti (risiko
penyiksaan, napi,korban dan tersangka tindak pidana, korban kekerasan
dalam rumah tangga)
1) Pasien ditempatkan di kamar perawatan sedekat mungkin dengan
kantor perawat.
2) Pengunjung maupun penjaga pasien wajib lapor dan mencatat
identitas di kantor perawat, berikut dengan penjaga maupun
pengunjung pasien lain yang satu kamar perawatan dengan pasien
beresiko.
3) Perawat berkoordinasi dengan satuan pengamanan untuk memantau
lokasi perawatan pasien, penjaga maupun pengunjung pasien.
4) Koordinasi dengan pihak berwajib bila diperlukan.

j. Pelayanan pasien keomtherapy dan pelayanan resiko tinggi lainnya


Kemoteraphy adalah penggunaaan zat kimia untuk menghambat atau
menghentikan sel tumbuh kanker.
Pemberian obt kemotherapy dapat melalui pembuluh darah, kemotherapy
oral, intervperitoneal daan intracavitas. Pelayanan diberikan oleh tenaga
medis 7yang berpengalaman serta perawat yang terlatih, dilengkapi
dengan ruang pencampuran obt kemoteraphy menggunakan bio safety
kabinet dan dilakukan oleh apoteker terlatih.
Pelayanan kemoteraphy di Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa
Kota Bengkulu tidak dilakukan pelayanan kemoterapy karena belum ada
sarana dan prasarana berupa Alat Maupun SDM.
Begitupun untuk pelaayanan resiko tinggi lainnya seperti terapi hiperbalik
tidak dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Harapan dan Doa Kota
Bengkulu.

109
110

BAB V
PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI NUTRSI

A. Latar Belakang
Kesehatan dan Gizi merupakan faktor penting karena secara langsung
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia di suatu negara. Upaya
perbaikan gizi di perlukan untuk meningkatkan status gizi masyarakat baik
melalui upaya perbaikan gizi keluarga maupun upaya pelayanan gizi pada
individu yang karena kondisi kesehatannya harus dirawat di rumah sakit
Masalah gizi di Rumah Sakit dinilai sesuai kondisi perorangan yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses penyembuhan.
Pelayanan gizi yang bermutu berguna untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi yang optimal dan mempercepat penyembuhan.
Risiko kurang gizi dapat timbul pada keadaan sakit, terutama pada pasien
dengan anoreksia, kondisi mulut dan gigi-geligi yang buruk, gangguan menelan,
penyakit saluran cerna disertai mual, muntah, dan diare, infeksi berat, lansia
dengan penurunan kesadaran dalam waktu lama, dan yang menjalani
kemoterapi. Asupan energi yang tidak adekuat, lama hari rawat, penyakit non
infeksi, dan diet khusus merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya
malnutrisi di Rumah Sakit. (Kusumayanti, et all, JICN 2004). Pengalaman di
negara maju telah membuktikan bahwa hospital malnutrition (malnutrisi di RS)
merupakan masalah yang kompleks dan dinamik. Malnutrisi pada pasien di RS,
khususnya pasien rawat inap, berdampak buruk terhadap proses penyembuhan
penyakit dan penyembuhan pasca bedah. Selain itu, pasien yang mengalami
penurunan status gizi akan mempunyai risiko kekambuhan yang signifikan
dalam waktu singkat. Semua keadaan ini dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas serta menurunkan kualitas hidup. Untuk mengatasi masalah tersebut,
diperlukan pelayanan gizi yang efektif dan efisien melalui Proses Asuhan Gizi
Terstandar (PAGT) dan bila dibutuhkan pendekatan multidisiplin maka dapat
dilakukan dalam Tim Asuhan Gizi (TAG)/Nutrition Suport Tim (NST)/Tim Terapi
Gizi (TTG)/Panitia Asuhan Gizi (PAG). Pelaksanaan pelayanan gizi di rumah
sakit memerlukan sebuah pedoman sebagai acuan untuk pelayanan bermutu
yang dapat mempercepat proses penyembuhan pasien, memperpendek lama
hari rawat, dan menghemat biaya perawatan.
Instalasi gizi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harapan dan Doa kota
Bengkulu sebagai pemberi layanan gizi juga memerlukan pedoman pelayanan
yang dapat menjadi acuan bagi petugas di Instalasi dalam melaksanakan
kegiatan pelayanan gizi yang berkualitas.

110
111

B. Tujuan
1. Tujuan umum :
Terciptanya standar yang dapat menjadi acuan dalam pelayanan gizi
yang bermutu dan paripurna sebagai bagian dari pelayanan kesehatan di
rumah sakit
2. Tujuan Khusus :
a) Menjadi standar acuan dalam menyelenggarakan Asuhan Gizi
terstandar pada pelayanan gizi rawat jalan dan rawat inap;
b) Menjadi standar acuan dalam menyelenggarakan makanan yang sesuai
kebutuhan gizi dan aman dikonsumsi;
c) Menjadi standar acuan dalam menyelenggarakan penyuluhan dan
konseling gizi pada pasien/klien dan keluarganya;
d) Menjadi standar acuan dalam menyelenggarakan penelitian di bidang
gizi dan dietetik sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e) Menjadi standar acuan bagi manajemen dalam melakukan monitoring
dan evaluasi pelayanan gizi guna peningkatan mutu pelayanan gizi
rumah sakit.
C. Ruang Lingkup Pelayanan
Ruang lingkup kegiatan pokok pelayanan gizi yaitu :
1. Pelayanan gizi rawat jalan;
2. Pelaanan gizi rawat inap;
3. Penyelenggaraan makanan ;
4. Penelitian dan pengembangan gizi.
D. Batasan Operasional
Batasan operasional ini merupakan batasan istilah, sesuai
dengankerangka konsep pelayanan gizi di rumah sakit yang tertuang
didalampedoman pelayanan gizi.
a. Pelayanan Gizi suatu upaya memperbaiki, meningkatkan gizi, makanan,
dietetik masyarakat, kelompok, individu atau klien yang merupakan suatu
rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis,
simpulan, anjuran, implementasi dan evaluasi gizi, makanan dan dietetik
dalam rangka mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat
atau sakit;
b. Terapi Gizi adalah pelayanan gizi yang diberikan kepada klien
berdasarkan pengkajian gizi, yang meliputi terapi diet, konseling gizi dan
atau pemberian makanan khusus dalam rangka penyembuhan penyakit
pasien;

111
112

c. Asuhan Gizi adalah serangkaian kegiatan yang terorganisir/terstruktur


yang memungkinkan untuk identifikasi kebutuhan gizi dan penyediaan
asuhan untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
d. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah Pendekatan sistematik
dalam memberikan pelayanan asuhan gizi yang berkualitas, melalui
serangkaian aktivitas yang terorganisir meliputi identifikasi kebutuhan gizi
sampai pemberian pelayanannya untuk memenuhi kebutuhan gizi;
e. Dietetik adalah integrasi, aplikasi dan komunikasi dari prinsip prinsip
keilmuan makanan, gizi, sosial, bisnis dan keilmuan dasar untuk mencapai
dan mempertahankan status gizi yang optimal secara individual, melalui
pengembangan, penyediaan dan pengelolaan pelayanan gizi dan
makanan di berbagai area/ lingkungan /latar belakang praktek pelayanan;
f. Gizi Klinik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara
makanan dan kesehatan tubuh manusia termasuk mempelajari zat-zat gizi
dan bagaimana dicerna, diserap, digunakan, dimetabolisme, disimpan dan
dikeluarkan dari tubuh;
g. Konseling Gizi adalah serangkaian kegiatan sebagai proses komunikasi
dua arah yang dilaksanakan oleh Ahli Gizi/Dietisien untuk menanamkan
dan meningkatkan pengertian, sikap, dan perilaku pasien dalam mengenali
dan mengatasi masalah gizi sehingga pasien dapat memutuskan apa yang
akan dilakukannya;
h. Penyuluhan Gizi adalah serangkaian kegiatan penyampaian pesanpesan
gizi dan kesehatan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk
menanamkan dan meningkatkan pengertian, sikap serta perilaku positif
pasien/klien dan lingkungannya terhadap upaya peningkatan status gizi
dan kesehatan.Penyuluhan gizi ditujukan untuk kelompok atau golongan
masyarakat massal, dan target yang diharapkan adalah pemahaman
perilaku aspek kesehatan dalam kehidupan sehari-hari;
i. Rujukan Gizi adalah sistem dalam pelayanan gizi rumah sakit yang
memberikan pelimpahan wewenang yang timbal balik atas pasien dengan
masalah gizi, baik secara vertikal maupun horizontal;
j. Profesi Gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan
berdasarkan suatu keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi
yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan
bersifat melayani masyarakat;
k. Standar Profesi tenaga Gizi adalah batasan kemampuan minimal yang
harus dimiliki/dikuasai oleh tenaga gizi untuk dapat melaksanakan
pekerjaan dan praktik pelayanan gizi secara profesional yang diatur oleh
organisasi profesi;
112
113

l. Tenaga Gizi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan di bidang gizi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
m. Sarjana Gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
minimal pendidikan formal sarjana gizi (S1) yang diakui pemerintah
Republik Indonesia;
n. Nutrisionis adalah seseorang yang diberi tugas , tanggung jawab dan
wewenang secara penuh oleh pejabat berwenang untuk melakukan
kegiatan teknis fungsional di bidang pelayanan gizi, makanan dan dietetik,
baik di masyarakat maupun rumah sakit dan unit pelaksana kesehatan
lain;
o. Nutrisionis Registered adalah tenaga gizi Sarjana Terapan Gizi dan
Sarjana Gizi yang telah lulus uji kompetensi dan teregistrasi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
p. Registered Dietisien yang disingkat RD adalah tenaga gizi sarjana terapan
gizi atau sarjana gizi yang telah mengikuti pendidikan profesi (internship)
dan telah lulus uji kompetensi serta teregistrasi sesuai ketentuan peraturan
peraturan perundang-undangan berhak mengurus ijin memberikan
pelayanan gizi, makanan dan dietetik dan menyelenggarakan praktik gizi
mandiri;
q. Teknikal Registered Dietisien yang disingkat TRD adalah seorang yang
telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Diploma Tiga Gizi sesuai
aturan yang berlaku atau Ahli Madya Gizi yang telah lulus uji kompetensi
dan teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
r. Tim Asuhan Gizi/Nutrisionis Suport Tim(NST)/Tim Terapi Gizi(TTG)/Panitia
Asuhan Nutrisi adalah sekelompok tenaga profesi di rumah sakit yang
terkait dengan pelayanan gizi pasien berisiko tinggi malnutrisi, terdiri dari
dokter/dokter spesialis, ahli gizi/dietisien, perawat, dan farmasis dari setiap
unit pelayanan, bertugas bersama memberikan pelayanan paripurna yang
bermutu;
s. Masyarakat Rumah Sakit adalah sekelompok orang yang berada dalam
lingkungan RS dan terkait dengan aktifitas RS, terdiri dari pegawai atau
karyawan, pasien rawat inap, dan pengunjung poliklinik;
t. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria kemanan
pangan, kandungan gizi dan standar terhadap bahan makanan dan
minuman;
u. Sanitasi Pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan
tumbuh dan berkembangnya jasad renik pembusuk dan patogen dalam
makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan
dan membahayakan manusia.
113
114

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Tenaga gizi dalam pelayanan gizi rumah sakit adalah profesi gizi yang terdiri
dari Registered Dietisien (RD)dan Teknikal Registered Dietisien (TRD)
Registered dietisien bertanggung jawab terhadap pelayanan asuhan gizi dan
pelayanan makanan dan dietetik, sementara TRD bertanggung jawab
membantu RD dalam melakukan asuhan gizi dan pelayanan makanan serta
dietetik serta melaksanakan kewenangan sesuai dengan kompetensi.

Penjenjangan dan penilaian RD dan TRD disesuaikan dengan jenjang dalam


jabatan fungsional gizi yang ada sebagai berikut :
1. Registered Dietisien ( RD)
a. RD Kompeten adalah nutrisionis atau nutrisionis ahli pertama pada
jabatan fungsional yang telah mengikuti pendidikan profesi dan uji
kompetensi serta teregistrasi, memiliki pengalaman praktek dietetik
umum (general) kurang atau sama dengan 4 tahun;
b. RD Spesialis adalah RD kompeten atau RD dengan jabatan fungsional
nutrisionis ahli muda, memiliki pengalaman praktek dietetik pada satu
peminatan (misalnya ginjal/diabetes mellitus/anak/ geriatri/ onkologi atau
manajemen makanan dan dietetik) lebih atau sama dengan dari 5 tahun
dan telah mengikuti pendidikan/pelatihan yang intensif sesuai dengan
peminatannya atau setara magister gizi;
c. RD Advanced adalah RD spesialis atau RD dengan jabatan fungsional
nutrisionis ahli madya yang memiliki pengalaman praktek dietetik pada
peminatan tambahan selama 5 tahun atau lebih, berpendidikan magister,
mengikuti pelatihan profesi secara intensif atau melakukan penelitian gizi
atau mendapat pengakuan sebagai konsultan atau pakar bidang
peminatan tersebut dari profesi;
d. RD Expert adalah RD advanced, berpendidikan magister atau
pendidikan Doktor (S3) gizi, yang memiliki pengalaman praktek dietetik
selama 5 tahun atau lebih, sebagai peneliti, penulis dan konsultan
bidang gizi dan dietetic;
2. Teknikal Registered Dietisien (TRD)
a. TRD Kompeten adalah TRD atau nutrisionis terampil pelaksanapada
jabatan fungsional, memiliki pengalaman praktek dietetic umum(general)
kurang atau sama dengan 4 tahun termasukmenangani masalah gizi dan
dietetik yang sederhana/ tidak kompleks;
b. TRD Spesialis adalah TRD kompetensi atau nutrisionis terampillanjutan
yang memiliki pengalaman praktek dietetik pada satupeminatan
(misalnya ginjal /diabetes mellitus/ anak/ geriatri ataumanajemen
114
115

makanan dan dietetik) lebih atau sama dengan dari 5 tahun dan telah
mengikuti pendidikan/pelatihan yang intensif sesui dengan
peminatannya;
c. TRD Advanced adalah TRD spesialis atau nutrisionis terampil penyelia
yang memiliki pengalaman praktek dietetik dengan peminatan tambahan
selama 5 tahun atau lebih, mengikuti pelatihan profesi secara intensif
atau membantu penelitian gizi, mendapat pengakuan sebagai penyelia
dalam manajemen makanan dan dietetic. Pada rumah sakit yang belum
memiliki tenaga RD namun memilikitenaga nutrisionis yang teregistrasi
(NR) , maka tenaga ini dapat diberikewenangan sebagai RD dan diberi
kesempatan untuk memenuhikualifikasi sebagai RD.

B. Distribusi Ketenagaan
Standar tenaga gizi di rumah sakit
1. Pimpinan Pelayanan Gizi
Dalam memenuhi standar akreditasi dan terlaksananya pelayanan gizi
rumah sakit, dibutuhkan pimpinan pelayanan gizi yang memiliki kompetensi
dan pengalaman di bidang gizi /dietetik, yaitu seorang Registered Dietisien
(RD) dan diutamakan yang telah memperoleh pendidikan manajemen.
2. Kebutuhan Tenaga Gizi
Berdasarkan penelitian Badan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia
kesehatan tahun 2012 mengenai kebutuhan tenaga gizi dengan metode
perhitungan Analisis Beban Kerja atau WISN (Work Load Indicator Staf
Need), diperoleh jumlah optimal tenaga RD dan TRD menurut kelas rumah
sakit agar dapat melaksanakan pelayanan gizi yang baik dan berkualitas
untuk menjamin keamanan pasien. Kebutuhan RD dan TRD digambarkan
pada tabel berikut.

Kebutuhan Tenaga Gizi Berdasarkan Kelas Rumah Sakit


NO Rumah Registered Teknikal Kebutuhan
Sakit Dietisien RegisteredDietisi Tenaga
(RD) en(TRD) Gizi
1 A 56 16 72
2 B 22 15 37
3 C 18 12 30
4 D 9 14 23

115
116

Pada Rumah Sakit yang belum memiliki tenaga gizi sesuai klasifikasi
sebagai mana tersebut, dapat memanfaatkan tenaga gizi yang dimiliki
dengan secara bertahap melakukan peningkatan kemampuan dan
pembinaan tenaga tersebut agar memenuhi kualifikasi termaksud.

Berdasarkan perhitungan pola ketenagaan Instalasi Rumah Sakit Harapan


dan Doa tahun 2021 di ketahui :
JENIS KETENAGAAN KEBUTUHAN
Nutritionis 5,74 orang
Pengolah 16,35

C. Pengaturan Jaga
a. Pengaturan jadwal dinas karyawan gizi dibuat dan dipertanggung jawabkan
oleh kepala Instalasi Gizi;
b. Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan langsung
direalisasikan ke karyawan gizi setiap satu bulan sekali;
c. Untuk karyawan gizi yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu,
maka karyawan tersebut dapat mengajukan permintaan dinas. Dan apabila
tenaga cukup dan berimbang serta tidak mengganggu pelayanan, maka
permintaan akan disetujui dan disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang
ada;
d. Jadwal dinas terbagi atas : dinas pagi, dinas siang, dinas malam, libur dan
cuti.

116
117

BAB VI
PENGELOLAAN NYERI

A. Latar Belakang

Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum kita temukan atau
dapatkan ketika kita sedang melakukan tugas kita sebagai bagian dari tim
kesehatan, baik itu di tataran pelayanan rawat jalan maupun rawat inap karena
seringnya keluhan itu kita temukan kadang kala kita sering menganggap hal itu
sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup
memberikan hasil yang memuaskan di mata pasien.
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi,
tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi
dan perilaku, sehingga dalam penangananyapun memerlukan perhatian yang
serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu
pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah menjadi keharusan bagi
setiap tenaga kesehatan, terutama perawat yang dalam rentang waktu 24 jam
sehari berinteraksi dengan pasien.

B. Pengertian
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang
berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan dari definisi tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari
apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka
(injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya.
Pada tahun 1999, the Veteran‟s Health Administration mengeluarkan
kebijakan untuk memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak
hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus
mengkaji tentang nyeri. mengatakan nyeri sebagai “konsep yang abstrak” yang
merujuk kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang
menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk
melindungi organisme dari bahaya. mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi
tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri “ apapun yang dikatakan
tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada “.

117
118

C. Sifat Nyeri
Antara lain sebagai berikut;
Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi
1. Nyeri bersifat subyektif dan individual
2. Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah
3. Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya
4. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis
5. Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan
6. Nyeri mengawali ketidakmampuan
7. Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak
optimal

D. Tipe Nyeri
Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on
Pain mengkategorisasikan nyeri menjadi tiga tipe yaitu Nyeri akut merupakan hasil
dari injuri akut, penyakit atau pembedahan, Nyeri kronik non keganasan dihubungkan
dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan
Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses
penyakit lain yang progresif.

E. Klasifikasi Nyeri
1. Menurut Tempat
a. Periferal Pain
1) Superfisial Pain (Nyeri Permukaan)
2) Deep Pain (Nyeri Dalam)
3) Reffered Pain (Nyeri Alihan) nyeri yang dirasakan pada area yang
bukan merupakan sumber nyerinya.
b. Central Pain
Terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord,
batang otak dll.
c. Psychogenic Pain
Nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat dari trauma
psikologis.
d. Phantom Pain
Phantom Pain merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak
ada lagi, contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul akibat dari
stimulasi dendrit yang berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor
biasanya. Oleh karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area
yang telah diangkat.
118
119

e. Radiating Pain
Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan sekitar.
2. Menurut Sifat
a. Insidentil : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang
b. Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama
c. Paroxysmal : nyeri dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan
biasanya menetap 10 – 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul
kembali.
d. Intractable Pain : nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi.
Contoh pada arthritis, pemberian analgetik narkotik merupakan
kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat mengakibatkan
kecanduan.
3. Menurut Berat Ringannya
a. Nyeri ringan : dalam intensitas rendah
b. Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis
c. Nyeri Berat : dalam intensitas tinggi
4. Berdasarkan lama / durasi
a. Akut : kurang dari 1 bulan
b. Sub akut : 1-2 bulan
c. Kronis : lebih dari 2-3 bulan

F. Proses Terjadinya Nyeri / Mekanisme Nyeri


Ada empat tahapan terjadinya nyeri;
1. Transduksi
Merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) dirubah
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini
dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
Terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-mediator nyeri
mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri
meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai
ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut di
atas dan penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena
rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan.
Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu
hipereksitabilitas neuron pada spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis dan
perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama.

119
120

2. Transmisi
Merupakan proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer
melewati kornu dorsalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi
sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari
neuron presinaps ke pasca sinaps melewati neurotransmitter.
3. Modulas
Adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan
atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui sistem
analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotansmiter antara
lain endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis. Impuls ini
bermula dari area periaquaductuagrey (PAG) dan menghambat transmisi
impuls pre maupun pasca sinaps di tingkat spinalis. Modulasi nyeri dapat
timbul di nosiseptor perifer medula spinalis atau supraspinalis.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri
yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris,
informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus
dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.

G. Respon Terhadap Nyeri


Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku.Untuk
nyeri akut repon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal),
peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat
dingin, respon perilakunya adalah gelisah, ketidakmampuan berkonsentrasi,
ketakutan dan disstress. Sedangkan pada nyeri kronis respon fisiologisnya adalah
tekanan darah normal, denyut nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit
kering, dan respon perilakunya berupa imobilisasi atau ketidak aktifan fisik,
menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan gejala dan tanda yang
mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim kesehatan, perawat khususnya
menjadi tidak mudah untuk dapat mengidentifikasinya.
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada
lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut
kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

120
121

2. Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri,
justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh
nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri)
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri. (ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka
tidak mengeluh jika ada nyeri).
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided
imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.
I. Manajemen Pengurangan Nyeri
1. Manajemen nyeri non farmakologik.
Pendekatan non farmakologik biasanya menggunakan terapi perilaku
(hipnotis, biofeedback), pelemas otot/relaksasi,akupuntur, terapi kognitif
(distraksi), restrukturisasi kognisi, imajinasi dan terapi fisik.

121
122

Nyeri bukan hanya unik karena sangat berbeda satu dengan yang lainnya
mengingat sifatnya yang individual, termasuk dalam penanganannya pun kita
seringkali menemukan keunikan tersebut, baik itu yang memang dapat kita
terima dengan kajian logika maupun yang sama sekali tidak bisa kita nalar
walaupun kita telah berusaha memaksakan untuk menalarkannya.berikut ini
adalah faktor-faktor yang mungkin dapat menerangkan mengapa nyeri tidak
mendapatkan medikasi sama sekali:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan staf medis
Petugas kesehatan (dokter, perawat, dsb) seringkali cenderung berpikiran
bahwa pasien seharusnya dapat menahan terlebih dahulu nyerinya selama
yang mereka bisa, sebelum meminta obat atau penangannya, hal ini
mungkin dapat dibenarkan ketika kita telah mengetahui dengan pasti
bahwa nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi secara
komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri sedang atau bahkan
nyeri yang berat, apakah kondisi seperti ini dapat terus dibiarkan tanpa
penanganan? Apakah ketakutan untuk terjadinya adiksi apabila
mendapatkan analgetik dapat menyelesaikan masalah ?
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
Pasien adalah manusia yang mempunyai kemampuan adaptif, yang
dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Ketika pasien masuk ke dunia rumah sakit sebenarnya ia telah “siap” untuk
menerima aturan dan konsekuensi di dunia tersebut, sehingga kadang-
kadang, karena “takut” dianggap tidak menyenangkan oleh “petugas” atau
biar dapat menyenangkan dimata “petugas” maka ia akan “menahan”
informasi yang menyatakan bahwa ia sekarang sedang mengalami nyeri,
atau karena kondisi fisiknya yang menyebabkan ia tidak mampu untuk
mengatakan bahwa ia nyeri, pada kondisi CKB misalnya. Pada beberapa
kasus seringkali nyeri ini juga merupakan suatu cara agar ia mendapatkan
perhatian yang lebih dari petugas kesehatan, apalagi apabila ia merasa
sudah melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang
pasien, pada kondisi ini mungkin ada perbedaan yang mencolok antara
pasien kelas III dengan pasien yang di rawat di VIP pada kondisi jenis nyeri
yang sama.
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan system
Sebagian pasien di rumah sakit adalah pasien dengan asuransi, yang telah
mempunyai standart tertentu di dalam paket pelayanan mereka, terkadang
pasien membutuhkan obat yang tidak termasuk dalam paket yang telah
ditentukan, sehingga ia harus mengeluarkan dana ekstra untuk itu,

122
123

ceritanya menjadi lain ketika ia tidak mempunyai dana ekstra yang


dibutuhkan.
2. Manajemen nyeri dengan pendekatan farmakologik
Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk menangani rasa nyeri :
a. Analgetika golongan non narkotika
b. Analgetika golongan narkotika
c. Adjuvan
3. Prosedur invasive
Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan memasukan opioid
ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid melalui intraspinal, cara ini dapat
memberikan efek analgesik yang kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur
invasif yang lain adalah blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan
(rhizotomy,cordotomy) teknik stimulasi, stimulasi columna dorsalis.

J. Pengukuran Skala Nyeri


Persepsi nyeri mencakup proses sensasi ketika stimulus nyeri terjadi dan
berhubungan dengan interpretasi nyeri oleh seseorang. Ambang nyeri adalah
intensitas terendah dari stimulus nyeri yang dapat menyebabkan seseorang
mengenal nyeri. Sebenarnya ambang nyeri itu jika tanpa adaptasi, sama pada
setiap orang, akan tetapi proses adaptasi setiap orang tidaklah sama sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan ambang nyeri pada setiap orang karena
adanya perubahan sesuai dengan adaptasi yang dialami setiap orang. Nyeri pada
dasarnya adalah “personal experience” / pengalaman seseorang individu. Jadi
dengan demikian persepsi nyeri itu sangat individual dan unik pada setiap orang.
Durasi, Berat/Intensitas, Kualitas, Periode dari Nyeri.

Nyeri itu suatu perasaan campuran dan terjadi pada berbagai tingkatan.
Skala nyeri, pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program
pengobatan nyeri setelah pembedahan. Derajat nyeri dapat diukur dengan
macam- macam cara, misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar, skala
analog visual. Secara sederhana nyeri setelah pembedahan pada pasien sadar
dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikatagorikan
sebagai: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate),
nyeri berat (severe) dan sangat nyeri (very severe, intolerable).

123
124

Numeric Rating Scale


Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)3

Wong Baker FACES Pain Scale


Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen
Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling
sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
0 – 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2– 3 = sedikit nyeri
4 – 5 = cukup nyeri
8– 7 = lumayan nyeri
8 – 9 = sangat nyeri
10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)
Metoda pengobatan nyeri, sesuai dengan step ledder dari WHO maka
untuk mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid, untuk
mengatasi nyeri sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi
dengan golongan opioid lemah dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat
124
125

anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat. Selain
pengobatan diatas kadang dibutuhkan juga pengobatan tambahan diantaranya
obat sedatif bila nyeri disertai stress, pengobatan akupunktur untuk mengatasi
nyeri kronik, sampai blok anestesi. Untuk masyarakat umun bila mengalami nyeri
disarankan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan
sesuai dengan masalah nyeri yang dialami.
Metoda pengobatan nyeri dapat dengan cara sistemik (oral, rectal,
transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara
yang sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid. Metoda
regional misalnya dengan epidural opioid atau intraspinal opioid. Kadang- kadang
digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan selesai
misalnya pada sirkumsisi atau pada luka operasi usus buntu (apendektomi).
Begitu pentingnya pengetahuan nyeri, maka saat ini nyeri merupakan tanda vital
kelima, setelah tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh.

K. Hambatan Dalam memberikan Manajemen Nyeri Yang Tepat


Menurut Blumenfield (2003), secara garis besar ada 2 hambatan dalam
manajemen nyeri yaitu :
1. Ketakutan akan timbulnya adiksi
Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai
asumsi akan terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang
mengalami nyeri, adiksi sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi
dan ketergantungan fisik. Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus
zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara
mendadak. Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat
psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu
perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat
psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan.
Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan
riwayat penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya, mereka biasanya
takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan analgetik
apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai hal itu,
sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan perawat
semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut diatas.

125
126

2. Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri


Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan
alasan yang paling umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak
memadai tersebut, untuk itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan
sehingga tercipta tenaga kesehatan yang handal, salah satu terobosan yang
sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam
pendidikan keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi percepatan dalam
pendidikan profesi keperawatan menuju kepada perawat yang profesional.
Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang
menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus
harus dilakukan baik pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat
setelah intervensi, mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik,
sehingga perlu dinilai secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Ada
beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai nyeri yaitu Simple
Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain Relief Visual
Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale ,
diantara kelima metode tersebut diatas 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale
yang paling sering digunakan, dimana pasien diminta untuk “merating” rasa
nyeri tersebut berdasarkan skala penilaian numerik mulai angka 0 yang berarti
tidak da nyeri sampai angka 10 yang berarti puncak dari rasa nyeri, sedangkan
5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf sedang.

L. Kesimpulan
Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh,
hal ini karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh
karena itu kita tidak boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi
juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu kepada
aspek kehidupan manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan
non farmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila
digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam
rangka mengatasi/ penanganan nyeri pasien.
Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berrespon secara berbeda
terhadap nyeri, sehingga penangananyapun tidak bisa disamakan antar individu
yang satu dengan yang lainnya.
Pengkajian yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya
untuk mencari solusi yang tepat untuk menanganinya, untuk itu pengkajian harus
selalu dilakukan secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran
yang terbaru dari nyeri yang dirasakan oleh pasien.

126
127

M. Implikasi keperawatan
1. Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya
untuk memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang
dirasakan oleh pasien, untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai
nyeri dan penangannya dimana hal ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan
maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan secara terpadu.
2. Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada
pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang
khusus yang menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap.
3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan
nyeri dan penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
4. Pengetahuan dan keterampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan
non farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak
diperlukan dan dikuasai oleh perawat.

127
128

BAB V
PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT / TAHAP TERMINAL

A. Latar Belakang
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson,
gagal jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/
AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh
kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama
pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan
tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan
keluarganya. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya
mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/
pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, sosial dan spiritual dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang
dikenal sebagai perawatan paliatif.
Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam
kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan
paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar
masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik Perawatan
paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan
melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak
mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.

B. Masalah Pada Pasien Terminal


1. Masalah Fisik
a. Nyeri
b. Perubahan kulit
c. Distensi
d. Konstipasi
e. Alopesia
f. Kelemahan otot

128
129

2. Masalah Psikologi
a. Ketergantungan tinggi
b. Kehilangan control
c. Kehilangan produktifitas
d. Hambatan dalam berkomunikasi
3. Masalah Spiritual
a. Kehilangan harapan
b. Perencanaan saat ajal tiba
C. Tahapan Respon Klien terhadap Dying Process/ Proses Sekarat
1. Denial – penolakan
Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi/
sedang terjadi. Yang bersangkutan tidak siap terhadap kondisi yang dihadapi
dan dampaknya. Denial berfungsi sebagai buffersetelah mendengar sesuatu
yang tidak diharapkan.Ini memungkinkan bagi pasien untuk membenahi diri.
2. Anger – marah
Fase marah terjadi saat fase denial tidak lagi bisa dipertahankan.Rasa
kemarahan ini sering sulit dipahami oleh keluarga/orang terdekat oleh karena
dapat terpicu oleh hal-hal yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan.
Rasa marah ini sering terjadi karena rasa tidak berdaya ,bisa terjadi kapan
saja dan kepada siapa saja tetapi umumnya terarah kepada orang-orang yang
secara emosional punya kedekatan hubungan.
3. Bargaining – tawar menawar
Klien mencoba untuk melakukan tawar menawar dengan Tuhan agar terhindar
dari kehilangan yang akan terjadi, ini bisa dilakukan dalam diam atau
dinyatakan secara terbuka.Secara psikologis tawar menawar dilakukan untuk
memperbaiki kesalahan atau dosa masa lalu
4. Depression – kesedihan mendalam
Rasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat kehilangan (past loss &
impending loss), ekspresi kesedihan ini – verbal/non verbal merupakan
persiapan terhadap kehilangan/perpisahan abadi dengan apapun dan
siapapun.
5. Acceptance – menerima
Pada tahap menerima ini, klien memahami dan menerima keadaannya, yang
bersangkutan mulai kehilangan interest dengan lingkungannya, dapat
menemukan kedamaian dengan kondisinya, dan beristirahat untuk
menyiapkan dan memulai perjalanan panjang.
D. Tingkat Kesadaran (State of awareness)

129
130

Tingkat kesadaran terhadap kondisi terminal, baik dari sisi pasien atau keluarga
harus dikaji untuk menentukan bagaimana perawat harus berkomunikasi dengan
pasien dan keluarga .Tingkat kesadaran ini meliputi:
1. Closed Awareness ( Kesadaran Tertutup )
Dalam hal ini klien dan keluarga tidak menyadari datangnya kematian, tidak
tahu mengapa sakit dan percaya akan sembuh
2. Mutual Pretense
Dalam hal ini klien,keluarga,team kesehatan tahu bahwa kondisinya terminal
tetapi merasa tidak nyaman untuk dan menghindari membicarakan kondisi
yang dihadapi klien. Ini berat bagi klien karena tdk dapat mengekspresikan
ketakutannya.
3. Open Awareness( Kesadaran Terbuka )
Pada kondisi ini klien dan orang disekitarnya tahu bahwa ia berada diambang
kematian sehingga tidak ada kesulitan untuk membicarakannya.
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan nyeri
a. Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi
Melibatkan penggunaan opiat (narkotik), nonopiat/ obat AINS (anti
inflamasi nonsteroid), obat-obat adjuvans atau koanalgesik. Analgesik
opiat mencakup derivat opium, seperti morfin dan kodein. Narkotik
meredakan nyeri dan memberikan perasaan euforia. Semua opiat
menimbulkan sedikit rasa kantuk pada awalnya ketika pertama kali
diberikan, tetapi dengan pemberian yang teratur, efek samping ini
cenderung menurun. Opiat juga menimbulkan mual, muntah, konstipasi,
dan depresi pernapasan serta harus digunakan secara hati-hati pada klien
yang mengalami gangguan pernapasan.
Non opiat (analgesik non-narkotik) termasuk obat AINS seperti
aspirin dan ibuprofen. Nonopiat mengurangi nyeri dengan cara bekerja di
ujung saraf perifer pada daerah luka dan menurunkan tingkat mediator
inflamasi yang dihasilkan di daerah luka. Analgesik adjuvans adalah obat
yang dikembangkan untuk tujuan selain penghilang nyeri tetapi obat ini
dapat mengurangi nyeri kronis tipe tertentu selain melakukan kerja
primernya. Sedatif ringan atau obat penenang, sebagai contoh, dapat
membantu mengurangi spasme otot yang menyakitkan, kecemasan, stres,
dan ketegangan sehingga klien dapat tidur nyenyak. Antidepresan
digunakan untuk mengatasi depresi dan gangguan alam perasaan yang
mendasarinya, tetapi dapat juga menguatkan strategi nyeri lainnya.

130
131

b. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi


a) Stimulasi dan masase kutaneus.
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik
menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian yang sama seperti
reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol
desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena
menyebabkan relaksasi otot .
b) Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera
dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai
keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan
dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
Baik terapi es maupun terapi panas harus digunakan dengan hati-hati
dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
c) Trancutaneus electric nerve stimulation
Trancutaneus electric nerve stimulation (TENS) menggunakan unit
yangdijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit
untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung
pada area nyeri. TENS dapat digunakan baik untuk nyeri akut maupun
nyeri kronis.
d) Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain pada nyeri dapat menjadi strategi yang berhasil dan mungkin
merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik
kognitif efektif lainnya. Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri
atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri akan sedikit terganggu
oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat
menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol
desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak (Smeltzer dan Bare, 2002).
e) Teknik relaksas
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Hampir semua
orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode relaksasi.
Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan
keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan
yang meningkatkan nyeri.
131
132

2. Penatalaksanaan keluhan fisik


Melakukan assesmen terhadap keluhan yang dirasakan pasien, memenuhi
kebutuhan pasien dan mengatasi masalah yang terjadi berdasarkan keluhan
fisik
F. Asuhan Keperawatan Dalam Pendampingan Klien Diambang Kematian
(Care Of The Dying)
1. Secara umum tujuan perawatan klien dengan kondisi terminal adalah :
a. Menghilangkan/ mengurangi rasa kesendirian, takut dan depresi
b. Mempertahankan rasa aman, harkat dan rasa berguna
c. Membantu klien menerima rasa kehilangan
d. Membantu kenyamanan fisik “ Mempertahankan harapan” (faith and hope).
2. Intervensi Keperawatan
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada klien yang sedang dalam
keadaan terminal, perawat harus memperhatikan hak-hak pasien berikut ini:
a. Hak diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup sampai ajal tiba,
b. Hak mempertahankan harapannya, tidak peduli apapun perubahan yang
terjadi
c. Hak mendapatkan perawatan yang dapat mempertahankan harapannya,
apapun yang terjadi
d. Hak mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan
kematian yang sedang dihadapinya
e. Hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
perawatan
f. Hak memperoleh perhatian dalam{ pengobatan dan perawatan secara
berkesinambungan, walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah
menjadi tujuan memberikan rasa nyaman
g. Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian
h. Hak untuk bebas dari rasa sakit
i. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur
j. Hak untuk memperoleh bantuan dari perawat atau medis untuk keluarga
yang ditinggalkan agar dapat menerima kematiannya
k. Hak untuk meninggal dalam damai dan bermartabat
l. Hak untuk tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil
keputusan yang bertentangan dengan kepercayaan yang dianut
m. Hak untuk memperdalam dan meningkatkan kepercayaannya, apapun
artinya bagi orang lain
n. Hak untuk mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati
setelah yang bersangkutan meninggal
132
133

o. Hak untuk mendapatkan perawatan dari orang yang profesional, yang


dapat mengerti kebutuhan dan kepuasan dalam menghadapi kematian.
3. Meredakan Nyeri Orang Yang Menjelang Ajal
Pada pasien yang berada pada tahap akhir penyakit, penting untuk mengingat
bahwa salah satu tujuan utama keperawatan adalah menghilangkan atau
meredakan penderitaan. Pedoman berikut akan membantu:
a. Selalu percaya apa yang pasien katakan tentang nyeri mereka. Jangan
pernah membuat keputusan anda sendiri tentang seberapa nyeri yang
mereka rasakan.
b. Banyak pasien takut bahwa mereka akan meninggal dalam pederitaan
yang dalam. Bersikap baik ketika orang mengekspresikan atau
menunjukkan rasa takut. Tenangkan mereka dan beritahu mereka bahwa
anda dapat merawat nyeri tersebut dan bahwa mereka tidak perlu merasa
takut.
c. Berikan dosis medikasi nyeri yang memberikan pengendalian nyeri paling
besar dengan efek samping paling kecil.
d. Berikan pereda obat nyeri sepanjang siang dan malam hari ( dua puluh
empat jam ) untuk meyakinkan bahwa pasien mendapatkan peredaan
nyeri yang cukup.
e. Obat nyeri paling baik untuk pasien menjelang ajal adalah morfin. Dosis
morfin dapat ditingkatkan sesuai dengan meningkatnya toleransi pasien
dan menurunnya efektivitas obat.
f. Memberikan beberapa obat secara bersamaan (dalam kombinasi) akan
meningkatkan efektifitas obat. misalnya obat anti-inflamasi non-steroid
meningkatkan keefektifan opioid seperti morfin.
g. Gunakan rute paling sederhana untuk memberikan obat, berikan peroral
selama pasien dapat menelan, bolus opioid berulang dapat diberikan di
bawah kulit (rute subkutan).
h. Gunakan cara lain untuk mengendalikan nyeri, termsauk masase, musik,
dan memposisikan pasien dengan nyaman. Kadang bantalan panas atau
botl air panas berguna untuk mengatasi nyeri.
i. Prediksi terhadap medikasi tidak pernah menjadi masalah yang penting
untuk pasien menjelang ajal.
j. Penurunan pernapasan (depresi pernapasan) tidak penting untuk pasien
menjelang ajal.
4. Pertahankan Kenyamanan Pasien
a. Pasien mungkin menderita ketidaknyamanan lain, sebagian karena
medikasi nyeri.

133
134

b. Bila pasien konstipasi, Laksatif mungkin membantu. Juga dorong pasien


untuk meminum jus buah.
c. Sebanyak mungkin, beri pasien diet tinggi kalori dan tinggi vitamin. Jangan
paksa pasien untuk makan. Pasien harus makan hanya makanan yang dia
ingin makan
d. Dorong pasien untuk minum cairan.
e. Pertahankan pasien bersih; mandikan dengan sering, beri perawatan
mulut bila mulut kering, dan bersihkan kelopak mata bila ada sekresi.
f. Bantu pasien turun dari tempat tidur dan duduk di kursi bila Ia mampu. Jika
tidak, ganti posisi setiap dua jam dan coba untuk mempertahankan pasien
dalam posisi apapun yang paling nyaman.
g. Jika pasien mengalami kesulitan bernapas, Bantu ia duduk.
h. Jika jalan napas tersumbat, Anda mungkin perlu melakukan penghisapan
pada tenggoroka pasien.
i. Jika pasien merasakan napas pendek atau kekurangan udara, berikan
oksigen.
j. Bahkan ketika pasien hampir meninggal, mereka dapat mendengar,
sehingga jangan berbicara dengan berbisik, tapi bicaralah dengan jelas.
Pasien juga masih merasakan sentuhan petugas.
5. Membantu Pasien Meninggal Dengan Damai
a. Bila pasien tinggal di rumah sakit, cobalah sebanyak mungkin untuk
melakukan apa yang diinginkan pasien dan keluarga. Penting untuk
memberikan kenyamanan fisik. Juga penting untuk membuat pasien
merasa aman sampai tenang terhadap rasa takut, dan memberi pasien
harapan.
b. Buat pasien merasa aman dan terlindungi dengan menunjukkan bahwa ia
akan dirawat, dan tidak akan ditinggalkan sendiri.
c. Tenangkan rasa takut dengan meyakinkan pasien bahwa ia akan dirawat,
dan tidak akan ditinggalkan sendiri.
d. Berikan harapan, jangan memberikan keyakinan palsu. Berikan target
yang lebih kecil. Bicara tentang kebaikan di masa yang akan datang, atau
mengingatkan bahwa anak-anaknya akan segera berkunjung.
e. Bila pasien memiliki urusan yang belum selesai, berikan bantuan apa yang
ia lakukan. Pasien mungkin perlu bantuan dalam mengatur anak-anak atau
rumahnya.
f. Berikan perawatan spiritual bila pasien menginginkan, atau berbicara
kepada keluarga untuk memanggil rohaniawan berkunjung.

134
135

g. Lebih dari semua itu, hargai keputusan pasien. Terima perasan pasien,
bila ia tidak ingin makan, atau turun dari tempat tidur, atau membalikkan
badan di tempat tidur, terima hal ini. Dengarkan dan biarkan pasien bicara
tentang bagaimana perasaannya. Bila pasien atau keluarga marah, coba
untuk menerimanya.
h. Permudah bagi keluarga untuk tinggal dengan pasien sebanyak mungkin
yang mereka inginkan. Tunjukkan pada mereka bagaimana merawat
pasien dan mempertahankan pasien tetap nyaman dan bersih.
i. Pertahankan keluarga untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana
perasaan pasien. Ketika kematian mendekat, biarkan mereka mengetahui,
sehingga mereka dapat bersama pasien pada saat kematian bila mereka
menginginkan
6. Pencegahan Kesepian dan Isolasi.
Untuk mencegah kesepian dan penyimpangan sensori, perawat
mengintervensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Klien menjelang ajal
tidak harus secara rutin ditempatkan dalam ruang tersendiri di lokasi yang
sangat jauh. Klien merasakan keterlibatan ketika dirawat bersama dan
memperhatikan aktivitas perawat. Klien menjelang ajal dapat merasa sangat
kesepian terutama pada malam hari dan mungkin merasa lebih aman jika
seseorang tetap menemaninya di smping tempat tidur.
Perawat harus mengetahui cara menghubungi kondisi anggota keluarga
jika kunjungan diperlukan atau kondisi klien memburuk. Klien harus ditemani
oleh seseorang ketika terjadi kematian. Perawat tidak boleh merasa bersalah
jika tidak dapat selalu memberikan dukungan ini. Perawat harus mencoba
untuk berada bersama klien menjelang kematian ketika diperlukan dan
memperlihatkan perhatian dan keharua.
7. Dukungan Psikologis Dan Sosial
Memberikan dukungan psikologis terhadap pasien terminal untuk
membangkitkan semangat pasien Dukungan sangat diperlukan dan sangat
dibutukan oleh pasien yang mengidap penyakit terminal, siapa saja yang
terlibat harus mendukung disini yaitu orang tua, teman- teman , orang tua yang
lainnya (kakek,nenek, tante,paman), dan grife suport group.
8. Dukungan Kultural Dan Spiritual
Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari sekedar
kunjungan rohaniawan. Perawat dapat memberi dukungan kepada klien dalam
mengekspresikan filosofi kehidupan. Ketika kematian mendekat, klien sering
mencari ketenangan dengan menganalisis nilai dan keyakinan yang
berhubungan dengan hidup dan mati.

135
136

136

Anda mungkin juga menyukai