Anda di halaman 1dari 7

Review Film Zack Snyder's Justice

League: Serupa Tapi Jauh Berbeda


Konten Media Partner

Play Stop Rewatch

19 Maret 2021 10:27

Perbesar

Film Justice League versi Zack Snyder akan dirilis pada 18 Maret mendatang. Foto: Dok. HBO Asia
Play Stop Rewatch, Jakarta - Zack Snyder's Justice League aka Snydercut
adalah sebuah penebusan dosa. Kembali disutradarai oleh Zack Snyder, film
berdurasi 242 menit ini memperbaiki apa saja yang salah dari versi
teatrikalnya. Hasilnya adalah sebuah film yang tidak hanya lebih baik, tetapi
juga lebih megah, kaya, dan koheren.
ADVERTISEMENT

Perlu digarisbawahi bahwa film ini memperbaiki, bukan mengubah. Garis


besar cerita Snydercut tidak jauh berbeda dengan versi teatrikalnya yang
sebagian disutradarai Joss Whedon. Jika kalian mencoba menjelaskan garis
besar kisah Snydercut ke penonton baru, besar kemungkinan akan terdengar
seperti Justice League rilis 2017 lalu. Premisnya memang tidak banyak
berubah.
Justice League versi Snydercut masih berfokus pada misi Bruce Wayne aka
Batman (Ben Affleck) mengumpulkan manusia-manusia super. Hal itu dipicu
pertanda yang ia terima di tengah tidurnya bahwa bumi akan kiamat dihajar
invasi New Gods pimpinan Darkseid (Ryan Porter). Dalam visi tersebut, tak
hanya bumi menjadi gersang dan dipimpin secara tiran, tetapi Superman
(Henry Cavill) juga menjadi abdi dari Darkseid.
Bruce menyakini pertanda itu akan menjadi kenyataan cepat atau lambat.
Oleh karenanya, ia mulai mengumpulkan para manusia super sebagai langkah
antisipasi. Total ada empat orang yang diincar Bruce, mereka adalah Barry
Allen aka The Flash (Ezra Miller), Diana Prince aka Wonder Woman (Gal
Gadot), Arthur Curry aka Aquaman (Jason Momoa), dan Victor Stone aka
Cyborg (Ray Fisher).
ADVERTISEMENT

Di luar dugaan Bruce, invasi terjadi lebih awal. Ketika tim belum terbentuk,
Panglima Perang Apokolips bernama Steppenwolf (Ciaran Hinds) datang ke
bumi bersama pasukannya. Ia mengendus keberadaan Mother Boxes, sebuah
"change machine" yang tidak hanya bisa memanipulasi objek, tetapi juga
mengubahnya. Steppenwolf berniat menggunakannya untuk mengubah bumi
sebagai hadiah penyambutan kepada Darkseid.
Meski garis besar kisahnya relatif sama, berbagai faktor membuat Snydercut
terasa jauh berbeda dibanding versi teatrikalnya. Hal itu mulai dari
bagaimana cerita disampaikan, karakter dikembangkan, action ditampilkan,
hingga scoring. Alhasil, bagi mereka yang pernah menonton versi
teatrikalnya, Snydercut tetap terasa segar.
Hal yang paling banyak berperan dalam membuat Snydercut terasa berbeda
adalah presentasi ceritanya. Memanfaatkan durasi 4 jam yang dimilikinya,
Snydercut memiliki ruang lega untuk mengambangkan plot-plot yang ada dan
memastikan laju dari satu bagian ke bagian yang lain terasa mulus. Hasilnya
adalah film yang lebih koheren dan tidak terburu-buru untuk bergeser dari
satu plot ke plot yang lain.
ADVERTISEMENT

Versi teatrikalnya tidak memiliki kemewahan durasi tersebut. Dibatasi durasi


2 jam, sutradara Joss Whedon memangkas banyak materi yang telah di-shoot
oleh Snyder. Selain itu, ia masih harus men-shoot bagian-bagian baru untuk
memastikan flow-nya tetap enak. Ia gagal dan hasilnya Justice League versi
teatrikal terasa seperti Frakenstein, produk tambal sulam.

Perbesar

Justice League Snyder Cut. Foto: Warner Bros/HBO Max


Namun, perlu penulis akui, ada beberapa hal dari versi teatrikal yang penulis
lebih lebih suka dibanding Snydercut. Salah satunya soal kehadiran penduduk
pada pertarungan terakhir di Rusia. Pada versi Snydercut, penduduk tidak
hadir sama sekali di pertarungan terakhir yang membuat Justice League bisa
membabi buta dalam menghajar Steppenwolf dan pasukan Parademonnya.
Di versi teatrikal, Justice League tidak hanya harus mengalahkan pasukan
Steppenwolf, tetapi juga melindungi warga yang berada di sekitarnya. Hal
tersebut membuat pertaruhan di bagian terakhir terasa kian nyata. Di sisi lain,
juga memberi penegasan bahwa Justice League bukan hanya sekedar
kelompok serang, tetapi juga pelindung peradaban. Unsur itu hilang di
Snydercut yang sepertinya masih dipengaruhi kritik soal pertarungan akhir di
Man of Steel.
ADVERTISEMENT

Selain soal kehadiran penduduk, penulis juga menyukai bagaimana unsur


Hope lebih tegas di versi teatrikal. Pada versi Snydercut, hal tersebut lebih
subtle karena penekanannya pada Threat, bukan dampak dari tewasnya
Superman. Alhasil, bagaimana dunia kehilangan Superman dan
mengharapkan ia kembali terasa lebih tegas di versi teatrikal dibanding versi
Snydercut.
Pemilihan itu kembali ke visi sutradara. Dalam kasus Snydercut, jelas Zack
Snyder ingin menghadirkan sebuah kisah yang Terminator-ish di mana
Bruce, yang telah melihat masa depan, mencari berbagai cara untuk
mencegah masa depan itu terjadi.
Pengembangan Karakter yang Compelling

Perbesar

Justice League Snyder Cut. Foto: Warner Bros/HBO Max


Ruang yang lebih lega dalam bercerita secara langsung berdampak pada
pengembangan karakternya. Banyak karakter dalam Snydercut mendapat
detil-detil baru yang membuat kehadiran mereka lebih bermakna dan
perjalanannya lebih jelas. Mereka yang banyak terbantu adalah karakter-
karakter baru seperti Barry Allen, Arthur Curry, dan Victor Stone.
ADVERTISEMENT
Soal Victor, misalnya, versi teatrikalnya memangkas banyak originnya
sehingga eksitensinya terasa datar. Motivasi ia bergabung ke kelompok Bruce
pun lebih sederhana, hanya karena mendapati ayahnya diculik oleh pasukan
Steppenwolf. Snydercut mengembalikan bagian-bagian yang dipangkas
tersebut dan hasilnya adalah kisah yang lebih compelling.
Victor dikisahkan memiliki hubungan yang kompleks dengan ayahnya, Silas.
Selain kerap diabaikan olehnya, Silas juga secara sepihak mengubah Victor
menjadi Cyborg dengan teknologi Mother Box. Hal itu membuat hubungan
keduanya kian renggang dan Victor jadi membenci dirinya sendiri.
Bagaimana Victor menghadapi masalah keluarga dan body horror yang ia
alami memberi bobot pada perjalanan ia menjadi superhero yang kita kenal.
Hal senada berlaku untuk Barry Allen aka The Flash. Meski ia tetap dominan
berperan sebagai comic relief, ia adalah tokoh integral di Snydercut. Dalam
banyak hal, ia adalah penentu menang atau tidaknya Justice League terhadap
invasi Steppenwolf. Khusus di chapter terakhir, Snydercut memberi
gambaran soal seberapa kuat seorang Flash yang nantinya akan dieksplor
lebih jauh di film solonya.
ADVERTISEMENT

Villain seperti Steppenwolf tidak luput dari perbaikan. Di Snydercut,


karakternya tidak terasa se-one dimensional versi teatrikalnya. Ia adalah
sosok tragis, diasingkan oleh anggota keluarganya sendiri (Darkseid) karena
tuduhan pengkhianatan. Namun, di balik pengasingan itu, Steppenwolf masih
memiliki rasa hormat kepada Darkseid dan berharap suatu hari ia akan
dimaafkan. Pencarian Mother Boxes sendiri, sejatinya, adalah upaya
Steppenwolf untuk rujuk dengan Darkseid. Invasi ke bumi menjadi terasa
personal.

Perbesar

Justice League Snyder Cut. Foto: Warner Bros/HBO Max


Tidak semua karakter mendapatkan detil esktra atau perbaikan yang
diharapkan. Karakter Wonder Woman, misalnya, relatif sama dengan versi
teatrikalnya. Ia lebih banyak berperan sebagai ensiklopedia berjalan yang
bisa dimaklumi mengingat usianya yang jauh lebih tua.
Karakter Bruce Wayne pun begitu. Walau penokohannya lebih baik
dibanding versi teatrikalnya yang komikal, penggambarannya sebagai
Batman masih terasa tidak pas. Batman di Snydercut relatif jauh dari persona
man with a plan yang dikenal fansnya. Dalam banyak hal, ia cenderung
gegabah dan bertindak tanpa rencana. Lucunya, karakter Alfred (Jeremy
Irons) bahkan menyinggung hal tersebut yang diakui Bruce bahwa ini
pertama kalinya ia bertindak berdasarkan keyakinan.
Batman yang penulis kenal akan memiliki rencana berlapis untuk segala aksi
yang ia lakukan. Ia akan memiliki plan A, B, dan C dalam menghadapi
Steppenwolf misalkan salah satu rencana gagal. Tidak tertutup kemungkinan
juga ia bakal menyiapkan krypton untuk mengantisipasi Superman
mengamuk usai dibangkitkan. Detil-detil seperti itu akan membuat
karakternya lebih setia ke comic counterpart-nya, Batman yang oleh
Superman sendiri diakui sebagai sosok paling berbahaya di bumi.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan pada character development, semua
karakter mendapat kesempatan bersinar untuk urusan laga. Di bawah direksi
Snyder, plus scoring yang menggebu-gebu dari Junkie XL, adegan laga
dalam Snydercut terasa lebih berenergi, visceral, dan menghentak. Setiap
anggota Justice League mendapat panggung untuk menunjukkan
kemampuannya. Minusnya, di bagian inilah CGI-CGI Snydercut bisa terasa
setengah matang.
Pedang Bermata Dua Bernama Durasi

Perbesar

Justice League Snyder Cut. Foto: Warner Bros/HBO Max


Nyaris semua kelebihan yang dimiliki Zack Snyder's Justice League berakar
pada durasinya yang panjang. Dengan durasi 4 jam, sutradara manapun akan
memiliki lebih banyak ruang untuk menampilkan hal yang ingin ia tampilkan.
Untungnya, Snyder bisa memaksimalkan durasi tersebut yang hasilnya adalah
salah satu film superhero terbaik buatan Snyder. Namun, apakah durasi itu
bisa dijustifikasi sepenuhnya? Tidak juga.
Dengan Snydercut membutuhkan 4 jam untuk bisa menyampaikan kisah dan
karakternya secara compelling, hal itu kembali menggarisbawahi kelemahan
Snyder selama ini. Ia masih lemah soal beradaptasi dengan durasi. Snyder
tampaknya masih belum tahu bagaimana menyampaikan sebuah cerita secara
ringkas, padat, dan minim plothole agar bisa tayang di sinema.
Hal tersebut tidak terjadi sekali. Versi teatrikal Watchmen terasa inferior
ketika dibandingkan dengan versi Director's Cut atau Ultimate Cut yang
lebih komprehensif dengan durasi nyaris 4 jam.
Snydercut jelas memperlihatkan bahwa film tersebut memang didesain
Snyder untuk berpanjang lebar. Jika sudah begitu, sutradara siapapun
termasuk Zack Snyder sendiri bakal kesulitan jika studio meminta durasinya
dipangkas separuhnya. Snyder seperti menaruh beban ke dirinya sendiri
ketika ia memilih berpanjang lebar.
Durasi Snydercut sesungguh bisa dipangkas paling tidak seperempatnya
untuk memiliki pace yang lebih bagus. Salah satunya dengan mengurangi
slow mo atau memangkas momen-momen yang bertujuan untuk fanservice
saja. Scene anak-anak Islandia menyanyi ketika Arthur kembali menyelam ke
lautan adalah contoh yang bisa dihapus. Adegan itu tidak memiliki
signifikansi apapun.
Menimbang segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, Snydercut
tetaplah film yang berhasil menjawab ekpsteasi fans. Di balik garis besar
ceritanya yang relatif sama, Snydercut menghadirkan pengembangan karakter
dan cerita yang jauh lebih solid, kaya, dan menghibur. It's bigger, longer,
richer, but similar in some way.
Memang ada beberapa hal yang lebih baik di versi teatrikalnya menurut
penulis, namun tetap Snydercut adalah versi yang superior. Jika penulis ada
di kursi sutradara, mungkin penulis akan mengambil beberapa bagian dari
versi teatrikal untuk dimasukkan ke Snydercut. Somehow, kombinasi
witticism Whedon dan gaya dramatis Snyder itu terasa possible usai
menonton Synedercut. Dalam banyak hal, Snydercut lebih jenaka dibanding
film-film Snyder sebelumnya, bahkan bisa terasa sangat Marvel.
Kualitas Snyder sebagai sutradara juga ditegaskan di sini. Ia sesungguhnya
adalah storyteller yang bagus dengan sentuhan visual yang sulit untuk
diperdebatkan. Namun, ia masih terjebak dalam problem gaya berceritanya.
Tak berlebihan mengatakan Snydercut adalah karya Zack Snyder dalam
wujud terbaik dan terburuknya.
Rating:
R (Violence|Some Language)
Genre: Action, Adventure, Fantasy
Original Language: English
Director: Zack Snyder
Producer: Deborah Snyder, Charles Roven
Writer: Chris Terrio
Release Date (Streaming): Mar 18, 2021
Runtime: 4h 2m
Sound Mix: Dolby Atmos, Dolby Digital
Aspect Ratio: Academy (1.33:1)
View the collection: DC Extended Universe

Henry Cavill (Superman)


Ben Affleck (Batman)
Gal Gadot (Wonder Woman)
My Adams (Lois Lane)
Ray Fisher (Cyborg)
Jason Momoa (Aquaman)
Ezra Miller (The Flash)
Willem Dafoe (Vulko)
Jesse Eisenberg (Lex Luthor)
Jeremy Irons (Alfred)
Diana Lane (Martha Kent)
Connie Nielsen (Queen Hippolyta)
Ciaran Hinds (Steppenwolf Voice)
Ryan Zheng (Ryan Choi)
Amber Heard (Mera)
Joe Morton (Silas Stone)
Lisa Loven (Menalippe) (3)

Judul : Zack Snyder's Justice League

Gendre : Action

Sutradara : Zack Snyder

Produksi : Warner Bros. Pictures, DC Films, Atlas Entertainment dan The Stone Quarry

Anda mungkin juga menyukai