Anda di halaman 1dari 13

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Buletin Kajian Ekonomi Indonesia

ISSN: 0007-4918 (Cetak) 1472-7234 (Online) Halaman muka jurnal: https://www.tandfonline.com/loi/cbie20

Dua Puluh Tahun Ketimpangan Pengeluaran di


Indonesia, 1993–2013

Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner & Irlan Adiyatma Rumi

Untuk mengutip artikel ini: Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner & Irlan Adiyatma Rum (2014) Dua Puluh
Tahun Ketimpangan Pengeluaran di Indonesia, 1993–2013, Buletin Kajian Ekonomi Indonesia, 50:2,
243-254, DOI: 10.1080/00074918.2014.939937

Untuk menautkan ke artikel ini: https://doi.org/10.1080/00074918.2014.939937

Diterbitkan online: 30 Juli 2014.

Kirimkan artikel Anda ke jurnal ini

Tampilan artikel: 2033

Lihat artikel terkait

Lihat data Tanda silang

Mengutip artikel: 20 Lihat artikel yang mengutip

Syarat & Ketentuan lengkap akses dan penggunaan dapat ditemukan di


https://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=cbie20
Buletin Kajian Ekonomi Indonesia, Jil. 50, No. 2, 2014: 243–54

DUA PULUH TAHUN KETIMPANGAN PENGELUARAN DI


INDONESIA, 1993–2013

Arief Anshory Yusuf Andy Sumner


Universitas Padjadjaran King's College London

Irlan Adiyatma Rumi

Universitas Padjadjaran

Dalam artikel ini, kami mempertimbangkan peningkatan ketimpangan baru-baru


ini di Indonesia. Kami membuat perkiraan baru yang konsisten tentang
ketimpangan pengeluaran untuk 1993–2013, menggunakan beberapa ukuran
yang mengacu pada data pengeluaran rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) untuk 1993–2013. Dalam melakukannya, kami mencatat bahwa
badan pusat statistik, Badan Pusat Statistik (BPS), menggunakan data
berkelompok untuk memperkirakan ketimpangan hingga 2009 dan data ini
meremehkan ketimpangan hingga saat itu. Dengan demikian, kenaikan
ketimpangan yang dilaporkan sejak 2009 sebenarnya memiliki sejarah yang lebih
panjang. Kami berpendapat bahwa Indonesia mengalami divergensi dan
konvergensi pada saat yang bersamaan: besaran kenaikan ketimpangan signifikan
(divergensi), tetapi kenaikan terbesar terjadi di provinsi atau kabupaten dengan
tingkat ketimpangan awal (konvergensi) yang rendah.

Kata kunci: ketidaksamaan, Gini, Theila, distribusi

JEL kode: D63

PENGANTAR
Ketimpangan di Indonesia baru-baru ini menjadi lebih terlihat dalam perdebatan kebijakan
publik karena koefisien Gini telah meningkat ke titik tertinggi yang pernah dilaporkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), badan pusat statistik. Sehubungan dengan hal ini, kami
mempertimbangkan serangkaian indikator ketimpangan pengeluaran antara tahun 1993 dan
2013, untuk menilai signifikansi kenaikan ini di berbagai ukuran.
Seperti diketahui, data survei pengeluaran, seperti yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), mengecilkan ketimpangan pendapatan (dan aset) karena mengabaikan
tabungan, misalnya, sementara pendapatan teratas sebagian besar menghindari survei (lihat,
untuk detailnya, Leigh dan Van der Eng 2010). Ini adalah kekurangan yang melekat pada
semua survei tersebut, tidak hanya di Indonesia, dan Cornwell dan Anas (2013) mencatat upaya
yang sedang dilakukan oleh BPS untuk mengatasinya. Pengeluaran yang tidak terukur juga
menjadi perhatian serius dalam Susenas dan survei serupa; Nugraha dan Lewis (2013)
menemukan bahwa ketimpangan lebih rendah setelah pendapatan non-pasar
dipertimbangkan. (Sebaliknya, konsumsi non-pasar sudah termasuk dalam Susenas.)

ISSN 0007-4918 cetak/ISSN 1472-7234 online/14/000243-12 © 2014 Proyek Indonesia ANU


http://dx.doi.org/10.1080/00074918.2014.939937
244 Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner, dan Irlan Adiyatma Rumi

Jika kita meninjau studi tentang ketimpangan yang ada di Indonesia, ada dua poin
yang perlu diperhatikan: Pertama, beberapa studi berpendapat bahwa ketimpangan
pengeluaran relatif rendah sebelum krisis keuangan Asia 1997–98 dan tidak meningkat
secara signifikan sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi—singkatnya. , pertumbuhan
secara distribusi netral (Akita, Kurniawan, dan Miyata 2011; Hill 2008; Hill, Resosudarmo,
dan Vidyattama 2008; Van der Eng 2009). Namun, yang lain berpendapat bahwa
ketimpangan relatif tinggi atau meningkat bahkan sebelum krisis (Frankema dan Marks
2009; Leigh dan Van der Eng 2010; Van Leeuwen dan Foldvari 2012). Kedua, sejumlah
penelitian menyatakan bahwa ketimpangan intrakelompok, perkotaan-ke-pedesaan, dan
ketimpangan antarwilayah telah meningkat sejak krisis (Akita 2002; Akita dan Miyata
2008; Sakamoto 2007; Skoufias 2001; Suryadarma dkk. 2005, 2006).

ESTIMASI BARU KETIMPANGAN PENGELUARAN, 1993–2013


Pendekatan Metodologis
Kami membuat perkiraan baru tentang evolusi ketimpangan pengeluaran di Indonesia untuk
1993–2013, menggunakan data dari Susenas.1 Untuk membentuk pola dalam data, kami
memperkirakan indikator ketidaksetaraan berikut: koefisien Gini (menggunakan data individu);
rasio penyebaran desil dari konsumsi rata-rata 10% penduduk terkaya terhadap konsumsi rata-
rata 10% penduduk termiskin; dan disparitas antarwilayah menurut indeks Theil ketimpangan
antarprovinsi dan ketimpangan antarkabupaten. Kami menguraikan ketidaksetaraan
berdasarkan subkelompok populasi dan wilayah yang berbeda, menggunakan teknik
dekomposisi Haughton dan Khandker (2009). Hal ini memungkinkan untuk memperkirakan
kontribusi ketimpangan perkotaan dan pedesaan serta disparitas antarprovinsi terhadap
ketimpangan total.

Kurva Lorenz dan Koefisien Gini


Perkiraan kami menunjukkan bahwa koefisien Gini Indonesia, dengan menggunakan data
individu, naik dari 0,36 menjadi 0,41 antara 1993 dan 2013 (gambar 1). Jika kita menggunakan
data yang dikelompokkan (10 desil konsumsi), seperti yang dilakukan BPS sebelum 2009, kita
akan menemukan bahwa perkiraan ini akan lebih rendah. BPS belum mempublikasikan
pendekatan yang tepat untuk memperkirakan ketimpangan, sejauh yang kami tahu. Jika kita
mengelompokkan data menjadi 10 desil, kita akan menghasilkan pengamatan yang mendekati
tetapi tidak sama dengan yang diterbitkan oleh BPS. Mengingat bahwa pengelompokan data
menurunkan perkiraan, kami lebih suka menggunakan data individu. Gambar 2 menunjukkan
pergeseran kurva Lorenz dari 1993 ke 2003 ke 2013; seperti yang diperlihatkan kurva,
ketimpangan turun antara 1993 dan 2003 dan kemudian meningkat antara 2003 hingga 2013
(lebih banyak daripada yang turun pada dekade sebelumnya)—singkatnya,

Kami menemukan bahwa koefisien Gini stabil, jika tidak sedikit menurun, sebelum
krisis 1997–98. Namun, setelah krisis, koefisien Gini menunjukkan yang kuat

1. Susenas adalah serangkaian survei sosial-ekonomi multi-tujuan skala besar yang dimulai pada tahun
1963–64. Sejak tahun 1993, survei Susenas telah mencakup sampel perwakilan nasional sekitar 200.000
rumah tangga. Setiap survei berisi kuesioner inti (yang terdiri dari daftar rumah tangga yang menanyakan
jenis kelamin, usia, status perkawinan, dan pencapaian pendidikan anggota rumah tangga), dilengkapi
dengan modul yang mencakup sekitar 60.000 rumah tangga, digilir dari waktu ke waktu, dan
mengumpulkan informasi tambahan tentang, untuk misalnya pelayanan kesehatan dan gizi, pendapatan
dan pengeluaran, dan kegiatan angkatan kerja (Surbakti 1995).
GAMBAR 1 Koefisien Gini di Indonesia dan Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, 1993–2013

0,45

0,40

perkotaan

0.35

Indonesia
0,30 Indonesia (dikelompokkan)
Indonesia (BPS)

0,25 Pedesaan

0,20
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

GAMBAR 2 Kurva Lorenz untuk 1993, 2003, dan 2013


1.0

0.8

0.6

0.4

garis 45°
0.2
1993
2003
2013
0,0
0 20 40 60 80 100
Persentil

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
GAMBAR 3 Koefisien Gini di Jawa dan Non-Jawa,
1993–2013

0,45 Jawa
0,40 Semua
perkotaan

0.35
0,30
0,25 Pedesaan

0,20

0,45 Non-Jawa
perkotaan

0,40
Semua

0.35
0,30
Pedesaan

0,25
0,20
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

GAMBAR 4 Konvergensi Ketimpangan di Seluruh Indonesia


Provinsi (2003–13) dan Kabupaten (2002–12)
(perubahan tahunan; %)
6.5
5.5
Provinsi
4,5
3.5
2.5
1.5
0,22 0.24 0,26 0,28 0,30 0.32 0.34 0.36
Koefisien Gini pada tahun 2003
20
15 Distrik
10
5
0
-5
0,20 0,22 0.24 0,26 0,28 0,30 0.32 0.34 0.36 0.38 0,40
Koefisien Gini pada tahun 2002

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).Catatan: Data 2003–13

digunakan untuk provinsi dan data 2002–2012 digunakan untuk kabupaten, karena jumlah sampel pada 2013.
Dua Puluh Tahun Ketimpangan Pengeluaran di Indonesia, 1993–2013 247

GAMBAR 5 Rasio Pengeluaran Rata-Rata 10% Rumah Tangga Terkaya terhadap 10% Rumah Tangga Termiskin,

1993–2013

14 Daerah perkotaan dan pedesaan

12 perkotaan

Indonesia
10
8
Pedesaan
6
4

14 Jawa dan non-Jawa


Jawa
12
Indonesia
10 Non-Jawa

8
6
4
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

tren peningkatan baik di perkotaan maupun perdesaan, serta di seluruh wilayah di Indonesia, seperti
di Jawa dan di pulau-pulau non-Jawa (gambar 3). Gini Indonesia naik sebesar 32%, dari 0,32 pada
tahun 2003 menjadi 0,43 pada tahun 2013. Di daerah pedesaan meningkat sebesar 30%, dari 0,25
pada tahun 2003 menjadi 0,32 pada tahun 2013. Tren ini sedikit lebih kuat di daerah pedesaan di luar
Jawa dibandingkan di Jawa. Analisis kami di tingkat provinsi dan kabupaten menangkap pola
konvergensi (lihat gambar 4): tingkat kenaikan koefisien Gini cenderung lebih cepat di provinsi
dengan ketimpangan yang awalnya rendah, dan sebaliknya.2

Pendapatan Tertinggi dan Rasio Dispersi Desil


Rasio penyebaran desil adalah rasio pengeluaran rata-rata 10% rumah tangga terkaya
(seperti yang terekam dalam Susenas) dengan 10% rumah tangga termiskin.3Gambar 5
menunjukkan perkembangan rasio sebaran desil dari tahun 1993 hingga 2013 untuk
wilayah Indonesia, perkotaan, perdesaan, Jawa, dan non-Jawa. Antara tahun 1993 dan
2013, rasio dispersi desil menurun secara moderat sebelum krisis 1997-98, turun lebih
jauh selama krisis, dan meningkat pesat setelah krisis hingga 2013.
Tren rasio dispersi desil selama dekade terakhir menunjukkan bahwa ketimpangan
meningkat lebih menonjol daripada yang terlihat oleh koefisien Gini (gambar 5 versus
gambar 3). Dari tahun 2003 hingga 2013, misalnya, rasio desil untuk Indonesia naik 63%,
atau 0,46 poin, setiap tahun, tiga kali lipat dari kenaikan 0,13 poin per tahun dari 1990
hingga 1997. Rasio dispersi desil yang meningkat lebih menonjol di daerah perkotaan
dan di Jawa: di daerah perkotaan kesenjangan antara 10% terkaya dan

2. Regresi perubahan koefisien Gini sebagai fungsi tingkat awal menegaskan konvergensi
baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Koefisien nilai awal negatif dan signifikan
secara statistik pada tingkat 1%.
3. Untuk analisis pendapatan atas lihat khususnya studi Leigh dan Van der Eng (2010).
248 Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner, dan Irlan Adiyatma Rumi

GAMBAR 6 Indeks Ketimpangan Antar Daerah, 1993–2013

0,08

Daerah
0,07

0,06

0,05

Propinsi
0,04

0,03

0,02
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

10% termiskin melebar sekitar 69% antara tahun 2003 dan 2013. Di daerah pedesaan
kesenjangan antara kelompok pendapatan atas dan bawah juga tumbuh secara signifikan,
meskipun lebih lambat.

Ketimpangan Antar Daerah


Dimensi terakhir dari disparitas pendapatan di Indonesia yang kami pertimbangkan adalah
ketimpangan antardaerah, di mana indeks Theil adalah salah satu ukuran yang paling umum. Kami
menghitungnya di sini untuk ketimpangan antarprovinsi dan ketimpangan antarkabupaten. Hasilnya
ditunjukkan pada Gambar 6. Perkiraan menunjukkan bahwa, untuk setiap tahun, ketimpangan
antardaerah selalu lebih tinggi antarkabupaten daripada antarprovinsi. Namun data menunjukkan
bahwa disparitas antardaerah tidak meningkat selama 20 tahun terakhir jika kita mengambil periode
secara keseluruhan. Namun, penurunan pada tahun 1990-an dan peningkatan pada tahun 2000-an
terutama terlihat di tingkat kabupaten. (gambar 6).4

Kontribusi Antara dan Dalam Kelompok terhadap Ketimpangan


Pembahasan sejauh ini, mengenai berbagai indikator ketimpangan, menunjukkan
bahwa ketimpangan di Indonesia meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, setelah
agak stabil, bahkan sedikit menurun, sebelum krisis 1997–98. Ada juga beberapa
ukuran ketidaksetaraan, seperti indeks entropi umum, yang dapat

4. Kami juga menghitung rasio rata-rata pengeluaran per kapita antara Jawa dan non-Jawa, dan
antara wilayah non-timur dan timur Indonesia. Rasio wilayah non-timur dan timur selalu lebih
tinggi dibandingkan Jawa dan non-Jawa, karena wilayah timur Indonesia masih tertinggal
dalam pembangunan ekonomi. Kesenjangan sedikit berubah di paruh pertama periode, tetapi
menyempit selama periode terakhir. Ini kurang lebih konsisten dengan perkembangan indeks
Theil, tetapi ada konvergensi yang lebih besar dalam rasio menjelang akhir periode.
Singkatnya, jelas bahwa kesenjangan antara daerah yang lebih dan kurang berkembang di
Indonesia telah menyempit secara bertahap selama 10 tahun terakhir.
Dua Puluh Tahun Ketimpangan Pengeluaran di Indonesia, 1993–2013 249

GAMBAR 7 Bagian Ketimpangan (Entropi Umum) Dijelaskan oleh


Ketimpangan Dalam Wilayah, 1993–2013
(%)
100

98

96
Di dalam wilayah perkotaan/pedesaan

94

92

90

88
Dalam provinsi

86
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

didekomposisi menjadi ketimpangan rumah tangga individu dalam satu kelompok tertentu dan
ketimpangan dalam kelompok-kelompok tertentu. Sebagai contoh, dengan melihat Gambar 7, kita
dapat mengatakan bahwa ketimpangan di Indonesia pada tahun 2013 terutama didorong (93,7%)
oleh ketimpangan dalam provinsi. Ketimpangan antarprovinsi hanya menyumbang 6,3% terhadap
ketimpangan secara keseluruhan. Pola serupa terlihat antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan hanya menyumbang sebagian kecil (5,8%) terhadap
ketimpangan di Indonesia. Kontribusi terbesar datang dari ketimpangandi dalam daerah perkotaan
dan pedesaan.
Melihat tren pangsa ketimpangan antarprovinsi dan antara perkotaan dan perdesaan,
kami menemukan bahwa data menunjukkan bahwa kontribusi ketimpangan
antarprovinsi dan antara perkotaan dan perdesaan terus menurun sejak 1993.
Sebaliknya, kontribusi ketimpangan rumah tangga individu di dalam provinsi dan di
dalam wilayah perkotaan dan perdesaan meningkat secara konsisten (Gambar 7).
Penjelasan untuk kecenderungan ini, yang mengacu pada diskusi sebelumnya, adalah
bahwa peningkatan ketimpangan di Indonesia sejak tahun 2003 merupakan hal yang
umum atau seragam di seluruh lokasi geografis, sedangkan kesenjangan antar daerah
konsisten atau sedikit menurun dalam beberapa tahun terakhir.

PENDORONG PERUBAHAN KETIMPANGAN DI INDONESIA Pola


Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu penyebab langsung meningkatnya ketimpangan di Indonesia adalah pola pertumbuhan
ekonomi. Tabel 1 menunjukkan tingkat pertumbuhan pengeluaran per kapita riil selama empat
periode: periode terakhir, 2003–13, menunjukkan pascakrisis danreformasizaman. Kami menghitung
tingkat pertumbuhan dalam pengeluaran riil tahunan per kapita untuk garis kemiskinan dan persentil
konsumsi yang berbeda (untuk menghindari determinisme): rata-rata populasi, median seluruh
populasi, orang miskin seperti yang didefinisikan oleh
250 Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner, dan Irlan Adiyatma Rumi

TABEL 1 Tingkat Pertumbuhan Pro-miskin Indonesia, 1990–2013


(tahunan, rata-rata; %)

1993–2013 1990–96 1993–2003 2003–13

Pertumbuhan pengeluaran per kapitaLaju


pertumbuhan rata-rata penduduk 3.69 1.00 3.50 1.00 2.01 1.00 5.40 1.00
Laju pertumbuhan pada median populasi 3,23 1.14 2.59 1.35 2.72 0,74 3.74 1.44Tingkat
pertumbuhan rata-rata populasi 3,39 1.09 2.82 1.24 2.60 0,77 4.32 1.25

Pertumbuhan pro-miskin menurut berbagai garis kemiskinan dan persentil


Garis kemiskinan nasional 3.02 1.22 1.98 1.77 3.50 0,57 2.61 2.07
Garis kemiskinan $2/hari 3.20 1.15 2.56 1.37 2.91 0,69 2.74 1.97
persentil ke-10 3.22 1.15 1.94 1.80 3.72 0,54 2.71 1.99
persentil ke-15 3.17 1.16 1.99 1.76 3.67 0,55 2.68 2.01
persentil ke-20 3.14 1.18 2.04 1.72 3.61 0,56 2.68 2.01
persentil ke-25 3.12 1.18 2.08 1.68 3.55 0,57 2.69 2.01
persentil ke-30 3.11 1.19 2.12 1.65 3.49 0,58 2.72 1.99

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Catatan: Angka yang dicetak miring adalah rasio laju pertumbuhan populasi rata-rata terhadap masing-masing
kelompok populasi. Metodologi berdasarkan Ravallion dan Chen (2003).

garis kemiskinan nasional, orang miskin sebagaimana didefinisikan oleh garis kemiskinan
internasional moderat $2 per hari (dolar PPP 2005), dan beberapa persentil konsumsi.5
Melihat pertumbuhan selama 1993–2013, kita melihat bahwa sementara tingkat
pertumbuhan pengeluaran per orang dari rata-rata populasi adalah 3,7% per tahun, tingkat
pertumbuhan orang miskin garis kemiskinan nasional dan orang miskin $2 per hari adalah
3,0% dan 3,2%, masing-masing. Dengan kata lain, menurut garis kemiskinan nasional,
pengeluaran per kapita penduduk rata-rata tumbuh 22% lebih cepat daripada orang miskin,
dan tumbuh 15% lebih cepat pada garis kemiskinan internasional moderat $2 per hari.
Pertumbuhan 'pro-kemiskinan' telah memburuk sejak awal reformasi
zaman. Dengan garis kemiskinan nasional, selama 1990-1996, di pra-reformasi era,
pertumbuhan penduduk rata-rata 77% lebih cepat dari pertumbuhan penduduk miskin;
selama tahun 2003–13 pertumbuhan pengeluaran per kapita penduduk rata-rata (rata-
rata) lebih dari dua kali (2,1 kali) tingkat pertumbuhan penduduk miskin (5,4% berbanding
2,6%). Untuk periode 1990-96, tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan pengeluaran per orang (secara
riil) adalah 3,5% per tahun—atau 37% lebih cepat daripada mereka yang hidup dengan kurang dari $2
per hari, dengan 2,6% per tahun. Dalamreformasi Namun, tingkat pertumbuhan pengeluaran rata-
rata tahunan per orang dalam populasi rata-rata adalah 97% lebih cepat daripada mereka yang hidup
dengan kurang dari $2 per hari. Singkatnya, ada perbedaan besar antara kedua periode tersebut.

Potensi Pendorong Ketimpangan di Indonesia


Literatur global telah mengidentifikasi serangkaian faktor yang mendorong ketimpangan pengeluaran (lihat
UNDP 2014 untuk tinjauan substansial baru-baru ini tentang literatur konseptual dan empiris). Salah satu
cara untuk mengelompokkan faktor-faktor tersebut adalah menjadi eksogen dan endogen

5. Tentang garis kemiskinan internasional, lihat studi Sumner dan Edward (2014), dalam edisi ini.
Dua Puluh Tahun Ketimpangan Pengeluaran di Indonesia, 1993–2013 251

driver. Yang pertama berhubungan dengan pergeseran pola perdagangan dan keuangan global dan
perubahan teknis; yang terakhir untuk kebijakan ekonomi makro, kebijakan pasar tenaga kerja,
ketidaksetaraan kekayaan, kebijakan fiskal (perpajakan dan transfer), dan pengeluaran pemerintah untuk
barang publik.6
Penyebab perubahan ketimpangan baru-baru ini di Indonesia sangat kompleks, tetapi adalah
mungkin untuk mengidentifikasi serangkaian faktor spesifik, dengan bukti empiris yang cukup, yang
layak untuk dieksplorasi di masa depan. Di Indonesia, contoh eksogen dari faktor-faktor ini berkaitan
dengan perdagangan. Sebagai contoh, Indonesia mengalami ledakan komoditas batubara dan
minyak sawit selama tahun 2000-an, khususnya, yang mungkin telah meningkatkan ketidaksetaraan.
Produksi batubara meningkat lebih dari tiga kali lipat dan produksi minyak sawit meningkat empat
kali lipat selama tahun 2000–11 (Burke dan Resosudarmo 2012, 318). Yusuf dkk. (2013) menggunakan
model ekuilibrium umum yang dapat dihitung untuk menunjukkan bahwa ledakan komoditas
meningkatkan ketimpangan, tetapi perubahan ketimpangan tersebut disebabkan oleh harga dunia
komoditas pertambangan daripada harga tanaman perkebunan.7 Suryahadi, Hadiwidjaja, dan
Sumarto (2012) mencatat bahwa perubahan kontribusi sektoral terhadap pertumbuhan dikaitkan
dengan perlambatan pengentasan kemiskinan, dan dengan demikian berpotensi dengan perubahan
ketimpangan. Hipotesis ledakan komoditas dapat diajukan untuk menjelaskan kesenjangan yang
semakin lebar antara kelompok miskin dan kaya di daerah pedesaan.
Selama periode yang kurang lebih sama (seperti yang dibahas di atas), telah terjadi
kenaikan harga komoditas—khususnya komoditas ekspor tradisional Indonesia, seperti
tanaman perkebunan. Tanaman perkebunan ini ditanam terutama di daerah pedesaan dan
dimiliki oleh pemilik tanah pedesaan. Rumah tangga pedesaan yang lebih kaya akan
diuntungkan secara tidak proporsional dari ledakan ini. Tanda-tanda mekanisme ini bekerja
dengan membandingkan ketimpangan di daerah pedesaan di Jawa dan non-Jawa, karena
sebagian besar perkebunan berada di luar Jawa. Faktor eksogen kedua yang terkait dengan
perdagangan adalah harga beras, yang naik 20% selama 2003–5 setelah stabil untuk waktu
yang lama. Ketimpangan juga melonjak selama 2003–5, dan meskipun ada beberapa
kemungkinan penyebab lonjakan ini, kenaikan harga beras dalam negeri mungkin telah
mengurangi pengeluaran riil masyarakat miskin.
Pemicu endogen ketimpangan pengeluaran di Indonesia termasuk perubahan di pasar
tenaga kerja dan kebijakan fiskal. Yusuf dkk. (2013) berpendapat bahwa perubahan di pasar
tenaga kerja formal, termasuk perubahan yang saling terkait dalam peraturan pasar tenaga
kerja—peningkatan pesangon, penguatan serikat pekerja, kenaikan upah minimum,
penurunan permintaan tenaga kerja tidak terampil, dan informalitas yang lebih besar dalam
pekerjaan berupah rendah —meningkatkan ketimpangan. Pertumbuhan lapangan kerja formal
agak stagnan dalam dekade terakhir, karena pertumbuhan yang lambat di sektor manufaktur.
Sebelum krisis 1997–98, sektor manufaktur merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Selama 1990-1996, misalnya, pertumbuhan PDB sektor ini adalah 11,2% (sementara
pertumbuhan ekonomi rata-rata adalah

6. Hal ini sejalan dengan Piketty (2014), dan argumen bahwa ketidaksetaraan kepemilikan aset dan
kekayaanlah yang telah mendorong peningkatan ketidaksetaraan pendapatan dan pengeluaran
dalam negeri di seluruh dunia. Hal ini mungkin juga terjadi di Indonesia. Leigh dan Van der Eng
(2009, 197–98) membahas secara singkat distribusi kekayaan di Indonesia. Davies dkk. (2009)
menawarkan satu-satunya perkiraan distribusi kekayaan di Indonesia (berdasarkan Survei Kehidupan
Keluarga Indonesia 1997).
7. Perubahan harga tanaman perkebunan masih berdampak positif bagi rumah tangga berpenghasilan rendah
karena banyak dari rumah tangga tersebut termasuk anggota yang bekerja sebagai buruh perkebunan.
252 Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner, dan Irlan Adiyatma Rumi

7,9%) dan pertumbuhan lapangan kerja sebesar 6,0% (sementara rata-rata


pertumbuhan lapangan kerja nasional hanya 2,3%). Hampir satu dekade setelah
krisis, pertumbuhan lapangan kerja di sektor manufaktur tampaknya terhenti.
Sementara pertumbuhannya selama periode 2000–2008 hampir sama dengan rata-
rata nasional (4,7%), pertumbuhan penyerapan tenaga kerjanya hanya 0,9%. Sektor
manufaktur formal secara historis menjadi surga bagi orang-orang di daerah
pedesaan yang mencari pekerjaan dengan gaji lebih baik. Ketika kesempatan seperti
itu terbatas, ada kelebihan tenaga kerja tidak terampil di daerah pedesaan (sebelum
titik balik Lewis). Karena pasar tenaga kerja pedesaan lebih fleksibel, upah riil
pedesaan secara keseluruhan akan ditekan, meningkatkan ketidaksetaraan di
daerah pedesaan. Data resmi dari BPS menunjukkan bahwa upah riil pekerja
pertanian telah menurun selama beberapa tahun terakhir,
Transfer besar, terutama subsidi beras dan bahan bakar, merupakan pendorong endogen
lain yang layak untuk dieksplorasi. Sejak krisis 1997–98, subsidi bahan bakar yang semakin
besar telah membatasi ruang fiskal untuk tambahan belanja sosial pemerintah. Sejak tahun
2000, mereka telah menjadi 10% hingga 25% dari pengeluaran pemerintah pusat (Howes dan
Davies 2014, gambar 4). Telah diketahui dengan baik bahwa dampak subsidi bahan bakar
terhadap pendapatan sangat regresif; mereka menguntungkan orang kaya secara tidak
proporsional lebih banyak daripada orang miskin (Agustina, Fengler, dan Schulze 2012).
Pemerintah menaikkan harga bahan bakar eceran beberapa kali, pada tahun 2005, 2008 dan
2013, tetapi seiring waktu inflasi mengikis kenaikan harga (Howes dan Davies 2014, gambar 5).
Untuk memitigasi dampak kenaikan harga, pemerintah menyalurkan bantuan tunai kepada
masyarakat miskin dan hampir miskin. Sebagai contoh, paket kebijakan 2005 kemungkinan
besar berkontribusi pada penurunan koefisien Gini dari 2005 ke 2006 (Yusuf dan Resosudarmo
2008). Namun, sebagian karena kenaikan harga minyak internasional, subsidi bahan bakar
tetap sangat besar dan kemungkinan efek regresifnya telah berlanjut dan meningkatkan
ketimpangan sejak tahun 2003. Tentu saja ada faktor lain yang dapat dicatat yang mungkin
berperan dalam perubahan ketidaksetaraan (paling tidak desentralisasi fiskal dan/atau
pembentukan lebih banyak kabupaten), tetapi kami hanya memasukkan hal-hal yang saat ini
memiliki dasar empiris.

KESIMPULAN
Kami telah menganalisis evolusi ketimpangan pengeluaran di Indonesia antara tahun
1993 dan 2013 untuk membahas signifikansi peningkatan ketimpangan pengeluaran
baru-baru ini. Lebih khusus lagi, kami telah menanyakan apakah ketimpangan di
Indonesia meningkat selama periode di berbagai ukuran ketimpangan—dan, jika
memang demikian, seberapa cepat—dan sejauh mana perbedaan regional, provinsi, dan
perkotaan dan pedesaan membentuk pola keseluruhan dan sejauh mana komponen ini
mendorong tren keseluruhan.
Perkiraan kami yang konsisten menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia telah
meningkat secara signifikan. Namun, peningkatan ketimpangan terutama terlihat pada
periode setelah krisis 1997–98, ataureformasi era reformasi politik dan demokratisasi.
Sebelum krisis, ketimpangan relatif stabil dan moderat (jika tidak sedikit menurun).
Besarnya peningkatan ketimpangan baru-baru ini sangat mengejutkan. Lebih jauh lagi,
peningkatan ketimpangan kurang lebih umum terjadi di seluruh dimensi regional,
wilayah perkotaan dan pedesaan, serta wilayah Jawa dan non-Jawa.
Menurut kami, perkiraan BPS tentang ketimpangan sebelum tahun 2009 meremehkan ketimpangan,
karena penggunaan data yang dikelompokkan; peningkatan ketidaksetaraan dilaporkan sejak
Dua Puluh Tahun Ketimpangan Pengeluaran di Indonesia, 1993–2013 253

2009 karena itu memiliki sejarah yang lebih panjang. Indonesia mengalami
divergensi dan konvergensi secara bersamaan; besaran kenaikan ketimpangan
cukup signifikan namun perubahan ketimpangan paling besar terjadi di provinsi
atau kabupaten dengan tingkat ketimpangan awal yang rendah. Kami
mengusulkan serangkaian hipotesis, tidak harus saling eksklusif, yang mungkin
memainkan peran penting dalam menjelaskan meningkatnya ketimpangan di
Indonesia. Kami menyajikan hipotesis ini, berdasarkan pekerjaan empiris awal,
untuk eksplorasi masa depan. Ledakan komoditas baru-baru ini dapat
mempengaruhi ketidaksetaraan perkotaan dan pedesaan, tetapi ini tidak jelas.
Kekakuan di pasar tenaga kerja formal mungkin signifikan, dan buktinya lebih
jelas.

REFERENSI
Akita, Takahiro. 2002. 'Ketimpangan Pendapatan Daerah di Indonesia dan Dampak Awal dari
Krisis Ekonomi'. Buletin Kajian Ekonomi Indonesia 38 (2): 201–22.
Akita, Takahiro, dan Sachiko Miyata. 2008. 'Urbanisasi, Ekspansi Pendidikan, dan
Ketimpangan Pengeluaran di Indonesia pada tahun 1996, 1999, dan 2002'. Jurnal Ekonomi Asia
Pasifik 13(2): 147–67.
Akita, Takahiro, Puji Agus Kurniawan, dan Sachiko Miyata. 2011. 'Perubahan Struktural dan
Ketimpangan Pendapatan Daerah di Indonesia: Analisis Dekomposisi Bidimensional'.
Jurnal Ekonomi Asia 25 (1): 55–77.
Agustina, Cut Dian RD, Wolfgang Fengler, dan Günther G. Schulze. 2012. 'Regional'
Pengaruh Kebijakan Migas Indonesia: Pilihan untuk Reformasi'. Buletin Kajian
Ekonomi Indonesia 48 (3): 369–97.
Burke, Paul J., dan Budy P. Resosudarmo. 2014. 'Survei Perkembangan Terakhir'.Buletin
Ilmu Ekonomi Indonesia 48 (3): 299–324.
Cornwell, Katy, dan Titik Anas. 2013. 'Survei Perkembangan Terakhir'.Buletin Indonesia-
Studi Ekonomi sian 49 (1): 7–33.
Davies, James B., Susanna Sandstrom, Anthony Shorrocks, dan Edward Wolff. 2009. 'The
Pola Global Kekayaan Rumah Tangga'. Jurnal Pembangunan Internasional 21: 1111–24. Frankema,
Ewout, dan Daan Marks. 2009. 'Apakah Itu Benar-benar “Pertumbuhan dengan Ekuitas” di bawah
Soeharto? Analisis Theil tentang Ketimpangan Pendapatan Indonesia, 1961–2002'.Ekonomi dan
Keuangan di Indonesia 57 (1): 47–76.
Haughton, Jonathan, dan Shahidur R. Khandker. 2009.Buku Pegangan Kemiskinan dan Ketimpangan.
Washington, DC: Bank Dunia.
Bukit, Hal. 2008. 'Globalisasi, Ketimpangan, dan Dinamika Tingkat Lokal: Indonesia dan
Filipina. Tinjauan Kebijakan Ekonomi Asia 3 (1): 42–61.
Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama. 2008. 'Eko-
Geografi ekonomi'. Buletin Kajian Ekonomi Indonesia 44 (3): 407–35. Howes, Stephen,
dan Robin Davies. 2014. 'Survei Perkembangan Terakhir'.Buletin dari
Studi Ekonomi Indonesia 50 (2): 157–83.
Leigh, Andrew, dan Pierre van der Eng. 2009. 'Ketimpangan di Indonesia: Apa yang Dapat Kita Pelajari
dari Penghasilan Teratas?'. Jurnal Ekonomi Publik 93 (1–2): 209–12.
Manning, Chris, dan Devanto S. Pratomo. 2013. 'Apakah Migran Terjebak dalam Informal
Sektor? Temuan Survei Rumah Tangga di Empat Kota di Indonesia'.Buletin Kajian
Ekonomi Indonesia 49 (2): 167–92.
Nugraha, Kunta, dan Phil Lewis. 2013. 'Menuju Ukuran Ketimpangan Pendapatan yang Lebih Baik di
Indonesia'. Buletin Kajian Ekonomi Indonesia 49 (1): 103–12.
254 Arief Anshory Yusuf, Andy Sumner, dan Irlan Adiyatma Rumi

Piketty, Thomas. 2014.Ibukota di Abad Kedua Puluh Satu, diterjemahkan oleh Arthur
Goldhammer. Cambridge, MA: Pers Universitas Harvard.
Ravallion, Martin, dan Shaohua Chen. 2003. 'Mengukur Pertumbuhan Pro-miskin'. Di dalamEkonomi
Surat 78 (1): 93–99.
Sakamoto, Hiroshi. 2007. 'Dinamika Distribusi Pendapatan Antar Provinsi di Indonesia
nesia'. Kertas Kerja ICSEAD 2007-25. Kitakyushu: Pusat Internasional untuk Studi
Pembangunan Asia Timur.
Skoufias, Emmanuel. 2001. 'Perubahan Ketimpangan Regional dan Kesejahteraan Sosial di Indonesia-
sia dari tahun 1996 hingga 1999'. Jurnal Pembangunan Internasional 13 (1): 73–91.
Sumner, Andy, dan Peter Edward. 2014. 'Menilai Tren Kemiskinan di Indonesia Berdasarkan Inter-
Garis Kemiskinan nasional'. Buletin Kajian Ekonomi Indonesia 50 (2): 207–25 Suryadarma,
Daniel, Rima Prama Artha, Asep Suryahadi, dan Sudarno Sumarto. 2005. 'A
Kajian Ulang Ketimpangan dan Perannya dalam Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia'.
Kertas Kerja Lembaga Penelitian SMERU. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
Suryadarma, Daniel, Wenefrida Widyanti, Asep Suryahadi, dan Sudarno Sumarto. 2006.
'Dari Akses ke Pendapatan: Ketimpangan Regional dan Etnis di Indonesia'. Kertas Kerja Lembaga
Penelitian SMERU. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
Suryahadi, Asep, Gracia Hadiwidjaja, dan Sudarno Sumarto. 2012. 'Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia sebelum dan sesudah Krisis Keuangan Asia'. Buletin
Kajian Ekonomi Indonesia 48 (2): 209–27.
UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa). 2014.Kemanusiaan Terbagi: Menghadapi
Ketimpangan di Negara Berkembang. New York: UNDP.
Van der Eng, Pierre. 2009. 'Pertumbuhan dan Ketimpangan: Kasus Indonesia, 1960–1997'.
MPRA Paper 12725. Munich: Munich Personal RePEc Archive.
Van Leeuwen, Bas, dan Peter Foldvari. 2012. 'Perkembangan Ketimpangan dan Kemiskinan
di Indonesia, 1932-1999. Kertas Kerja CGEH 26. Utrecht: Pusat Sejarah Ekonomi
Global, Universitas Utrecht.
Yusuf, Arief A., Ahmad Komarulzaman, M. Purnagunawan dan Budy P. Resosudarmo.
2013. 'Pertumbuhan, Kemiskinan, dan Kekakuan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia:
Penyelidikan Keseimbangan Umum'. Kertas Kerja Studi Ekonomi dan Pembangunan
201304. Bandung: Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran.
Yusuf, Arief Anshory, dan Budy P. Resosudarmo. 2008. 'Mengurangi Dampak Distribusi'
Reformasi Harga Bahan Bakar: Pengalaman Indonesia. Buletin Ekonomi ASEAN 25 (1): 32–
47.

Anda mungkin juga menyukai