Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH KELOMPOK

PENELITIAN KUALITATIF

Disusun oleh :

Agnes Julianra Syaputri (208110142)


Putri Vietra Windira (208110145)
Rivan Dwi Arianto (208110166)
Saskia Nazla Khairunnisa (208110068)

PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

T.A 2022
1. Membedah konstruksi Bab 1.?

pada bab 1 yang dibahas adalah Maraknya kasus perundungan atau bullying di sekolah yang terjadi
di berbagai negara menjadikan perundungan sebagai permasalahan internasional (Carney & Marrel,
2001).
Jumlah kejadian perundungan dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang
memprihatinkan. Data survei yang dilakukan organisasi di Amerika Serikat pada tahun 2001
mendapatkan hampir 75% anak pra remaja yang diwawancarai mengungkapkan bahwa
perundungan adalah peristiwa yang biasa terjadi di sekolah dan semakin menyebar ketika memasuki
SMA (Coloroso, 2007).
Dan disini juga dibahas bahawa Anak laki-laki lebih mungkin menjadi korban secara fisik dan
verbal, sedangkan anak perempuan lebih rentan menjadi korban relasional. Dan korban dan
pelakunay kebanyakan remaja ,dan Di Indonesia sendiri, kasus perundungan merupakan peringkat
teratas yang dilaporkan masyarakat ke Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),bahkan kasus
bullying ini mengalakan tawuran pelajar .
Bahkan ada kasus terbaru mengenai perilaku perundungan terjadi pada anak SD di salah
satu SD di Bandung, anak tersebut telah menjadi korban perundungan secara fisik dan verbal sejak
kelas 4 SD hingga kini kelas 6 SD (Ispranoto, 2018).
Disini juga dibahas bahwa ternyata perlilaku bully telah terjadi sejak pendidikan dasar dan
Pelaku mengaku melakukan perbuatan itu karena mendapatkan keuntungan dan tidak dilakukannya
sendiri,mereka membully dengan mengejek warna kulit dan memintai uang jajan.
Menurut Graham (2011) terdapat enam asumsi yang mengaburkan pemahaman dan
pencegahan perundungan di sekolah secara efektif.
1. Asumsi pertama, pelaku memiliki harga diri yang rendah dan ditolak oleh rekan-rekan
mereka. Pandangan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa pelaku memiliki konsep diri
yang negatif.
2. Asumsi kedua, diintimidasi adalah bagian alami dari tumbuh dewasa. Satu kesalahpahaman
tentang korban adalah bahwa perundungan adalah bagian normal masa kanak-kanak dan
bahwa pengalaman perundungan dapat membangun karakter.
3. Asumsi ketiga, orang yang pernah menjadi korban akan selamanya menjadi korban. Dalam
penelitiannya, Graham (2011) menyatakan hanya sekitar sepertiga dari siswa yang memiliki
pengalaman sebagai korban di kelas 6 tetap menjadi korban itu pada akhir tahun sekolah
dan pada akhir kelas 8, jumlah korban turun menjadi kurang dari 10%. Terdapat karakteristik
pribadi seperti rasa malu (minder),
4. Asumsi keempat, pada anak laki-laki perundungan yang diterima bersifat fisik, sedang pada
perempuan bersifat relasional seperti pengucilan.
5. Asumsi kelima, kebijakan yang keras atau tegas dapat mengurangi perundungan.
Pendekatan yang keras tanpa memberi toleransi, seperti melakukan skorsing atau
mengeluarkan pelaku dari sekolah, kadang-kadang diambil untuk memberi pesan pada siswa
bahwa perundungan tidak akan ditoleransi
6. Asumsi keenam, perundungan hanya melibatkan pelaku dan korban. Banyak orang tua, guru,
dan siswa percaya bahwa perundungan terbatas pada pengganggu dan korban.

Disini juga dijelaskan bahwa perundungan tidak hanya terjadi di sekolah umum, namun juga
terjadi di sekolah asrama (Pfeiffer & Pinquart, 2014; Cross, Lester & Mandel, 2015; Edling & Francia,
2017). Perundungan yang terjadi di sekolah berasrama sebagian besar ada di lingkup pesantren
(Desiree, 2013). Kondisi ini membawa keprihatinan mengingat pesantren selama ini diasosiasikan
sebagai tempat yang cenderung lebih aman dari perilaku negatif termasuk di dalamnya
perundungan.

1
Penelitian yang dilakukan Desiree (2013) mencatat berbagai bentuk perilaku perundungan
yang terjadi di pesantren, seperti perundungan dalam bentuk fisik (memukul, menendang),
perundungan dalam bentuk verbal (kata-kata kasar, ejekan) dan pengucilan. Pada sebuah kasus
ditemukan terdapat seorang santri yang kabur dari pesantren dikarenakan tidak sanggup
mendapatkan perundungan yang dilakukan oleh santri lain kepada dirinya (Ilham, 2016). Pada kasus
yang berbeda, ditemukan pula praktik perundungan justru dilakukan oleh anak kyai di pesantren
tersebut (Fahmi, 2021).
Dalam pandangan teori belajar sosial, seorang melakukan perundungan disebabkan karena
melakukan pengamatan dan mendapat penguatan untuk melakukan hal tersebut.Unsur yang juga
sangat penting adalah adanya penilaian terhadap situasi, apakah menguntungkan atau merugikan
bagi pelaku (Bandura, 1978).
Sedangkan didalam pendekatan ekologis (Brofenbrenner) perundungan adalah fenomena
ekologis yang dibentuk dan diabadikan seiring waktu sebagai hasil dari interaksi kompleks antara
variabel inter dan intra-individu (Swearer & Doll, 2001). Dan dalam pendekatan perubahan perilaku
yang bersifat proses, Rogers (1983) mengemukakan 5 tahapan terbentuknya perilaku seseorang
sampai perilaku itu cenderung menetap.
Ketiga teori yang telah dijelaskan mampu menjelaskan adanya interaksi antara lingkungan
sosial, dorongan individu, dan perilaku perundungan itu sendiri (interaksi triadik) sebagai salah satu
landasan terbentuknya dinamika psikologis pelaku perundungan. Dinamika psikologis dalam
perubahan seseorang dari korban menjadi pelaku merupakan faktor yang penting untuk diketahui.
Jawabannya tentu tidak dapat digunakan teori-teori perubahan perilaku atau sikap yang telah ada.

2. Mana yang menjadi pernyataan pernyataan teoritik dan peneliti.?

Teoritik dan penelitian BAB 1


Data survei yang dilakukan organisasi di Amerika Serikat pada tahun 2001 mendapatkan
hampir 75% anak pra remaja yang diwawancarai mengungkapkan bahwa perundungan adalah
peristiwa yang biasa terjadi di sekolah dan semakin menyebar ketika memasuki SMA
(Coloroso, 2007). Pada tahun 2016 di Inggris, data survei menunjukkan bahwa 50% remaja
telah menjadi korban perundungan, 57% adalah remaja perempuan dan 44% remaja laki-laki,
dan sebanyak 145,800 (19%) menjadi korban perundungan setiap harinya (The Annual
Bullying Survey, 2016). Penelitian Barzilay dkk. (2017) pada siswa dari 168 sekolah di 10
Negara Eropa menunjukkan bahwa perundungan terjadi meliputi seluruh tipe perundungan
yaitu 9,4% fisik, 36,1% verbal, dan 33,0% relasional.
Sejak tahun 2000, perundungan di sekolah telah menarik kesadaran nasional di banyak
negara di seluruh dunia. Maraknya fenomena ini telah menyebabkan berbagai media
menyorotnya, dan penelitian serta berbagai intervensi sekolah diupayakan untuk mengurangi
perundungan (Smith, 2000).
Penelitian menunjukkan hal ini tidak berkaitan dengan gender, artinya dapat terjadi pada laki
laki maupun perempuan (Munro, 2002).
Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan ini sering tidak berfungsi sebagaimana
seharusnya dan kadang-kadang dapat menjadi bumerang yang menyebabkan peningkatan
perilaku antisosial (Cornell & Limber, 2015).
Insiden perundungan sering merupakan peristiwa publik yang memiliki saksi (Mizuta et al,
2017).

2
Adanya kesamaan trait pada tiap kelompok mengindikasikan bahwa korban perundungan
memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku perundungan. Sejalan dengan hal ini,
penelitian Widiharto, Suminar, dan Hendriani (2020) menjelaskan bahwa korban
perundungan juga membalasperbuatan perundungan yang diterimanya.
Studi longitudinal yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington & Losel (2012) menunjukkan bahwa
pelaku perundungan dapat menjadi prediktor untuk melakukan kekerasan di masa depan.
Kecerdasan emosi yang buruk juga ditemukan berhubungan dengan perilaku cyberbullying
yang dilakukan oleh remaja (Sari dan Suryanto, 2016).
Dalam annual bullying report (Olweus, 2013) perhatian peneliti terhadap kejadian
perundungan telah meningkat secara drastis dalam 15 tahun terakhir. Maraknya kasus
perundungan atau sering disebut bullying di sekolah yang terjadi di berbagai negara
menjadikan perundungan sebagai permasalahan internasional (Carney & Marrel, 2001).
Kekerasan atau perilaku perundungan dialami ribuan anak dalam setiap harinya (Holt, 2004;
Hoover, Hazler, & Oliver, 1992).
Sejak tahun 2000, perundungan di sekolah telah menarik kesadaran nasional di banyak
negara di seluruh dunia. Maraknya fenomena ini telah menyebabkan berbagai media
menyorotnya, dan penelitian serta berbagai intervensi sekolah diupayakan untuk mengurangi
perundungan (Smith, 2000).
Dalam annual bullying report (Olweus, 2013) perhatian peneliti terhadap kejadian
perundungan telah meningkat secara drastis dalam 15 tahun terakhir.
Menurut Graham (2011) terdapat enam asumsi yang mengaburkan pemahaman dan
pencegahan perundungan di sekolah secara efektif.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku memiliki status tinggi di kelas, memiliki banyak
teman, populer dan mengaku memiliki harga diri yang relatif tinggi (Björkqvist, Österman, &
Kaukiainen, 2000; Vaillancourt et al., 2003; Farmer et al., 2010).
Graham (2011) menyatakan bahwa pengucilan adalah jenis kekerasan teman sebaya yang berbahaya
karena menyebabkan rasa sakit psikologis dan seringkali sulit untuk dideteksi orang lain. Hal ini
bertujuan untuk merusak reputasi korban. Penelitian menunjukkan hal ini tidak berkaitan dengan
gender, artinya dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan (Munro, 2002). Penelitian
menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan ini sering tidak berfungsi sebagaimana seharusnya dan
kadang-kadang dapat menjadi bumerang yang menyebabkan peningkatan perilaku antisosial
(Cornell & Limber, 2015).
Kajian yang dilakukan oleh U.S. Secret Service pada tahun 2000 menyatakan bahwa lebih dari dua
per tiga insiden penembakan di 37 sekolah sejak 1974 dilakukan oleh anak-anak korban
perundungan (Coloroso, 2007).
Mayoritas responden menuturkan bahwa pelaku perundungan di sekolah adalah mereka yang juga
pernah menjadi korban, yang rata-rata mereka bukannya memiliki harga diri dan kepercayaan diri
yang tinggi namun justru mengalami perasaan depresi, tertekan, dan masalah emosional lainnya
(Bloom, 2008).
Kecerdasan emosi yang buruk juga ditemukan berhubungan dengan perilaku cyberbullying yang
dilakukan oleh remaja (Sari dan Suryanto, 2016).
Dalam konteks Indonesia, perundungan yang terjadi di sekolah berasrama sebagian besar ada di
lingkup pesantren (Desiree, 2013).
Kerentanan untuk melakukan perundungan (Evans, 2012) dan anak-anak rata-rata menyaksikan itu
setiap harinya, artinya setiap hari anak belajar melakukan perundungan (Dolby, 2010).

3
Pribadi yang memiliki pandangan atau penilaian yang negatif terhadap perilaku perundungan tidak
akan melakukan perilaku perundungan meskipun mereka melihat atau mengalami kejadian tersebut
(Williams & Guerra, 2007).
Cyberbullying juga ditemukan terjadi di kalangan anak SMA di Pekanbaru (Isni & Nugroho, 2018)
bahkan ditemukan juga tindakan perundungan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus
(Mayasari & Nugroho, 2018).
Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun teori dinamika psikologis perubahan dari
korban yang menjadi pelaku perundungan di pesantren.

Anda mungkin juga menyukai