DETERMINAN FRAUD BELANJA BANTUAN SOSIAL
Dwi Ratmono
Adriana Pradopowati
Universitas Diponegoro Semarang, JL. Prof. Soedharto SH, Tembalang
Surel: dwi_ratmono@yahoo.com
Ittp:/ /dx.doi.org/DOI: 10.18202/jamal.2016.12.7024
Abstrak: Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Dae-
rah, Penelitian ini bertajuan untuk menganalisis determinan tingkat
penyimpangan (fraud) belanja bantuan sosial Pemerintah Daerah. Pene-
lian ini menggunakan alat analisis Structural Equation Modeling (SEM)
dengan metode Partial Least Square (PLS). Sampel penelitian ini adalah
seluruh pemerintah kabupaten/kota seluruh Jawa Tengah. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan Hasil Pemeriicsaan (LHP)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2009-2013. Hasil penelitian
menunjukitan bahwa determinan tingkat penyimpangan belanja ban-
tuan sosial adalah kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidale-
patuhan lerhadap peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
kedua faktor tersebut perlu menjadi perhatian Pemda, regulator, dan
auditor dalam mencegah terjadinya fraud penyaluran belanja bantuan
sosial di masa mendatang,
“Tarat kantana atiparadima
Abstract: Determinans of Fraud of Social Assistance Expenditure
in Local Government, This study aims to analyze the determinants of
fraud of social assistance expenditures in Local Government. This study
use Partial Least Square (PLS) as method while Streutural Equation Mod.
eling (SEM) used as analytical tool. The sample is all local governement
in Central Java The data used in this study are Auditor Report of BPK.
‘The results show that the determinant of the fraud of social assistance ex-
penditure is internal control system weaknesses and non-compliance with
laws and regulations. Therefore, these two factor need attention from lacal
government, regulator and auditor in order to prevent social assistance ex:
enditure in future period,
Tanggal Revist.
30 September 2016
Tanggal Diora:
Kata kunci:
Fraud belanja bantuan sosial, Opini audit, Si
dalian intern, Fungsi pengawasan DPRD
tem pengen-
Belanja bantuan sosial (bansos) pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Dae-
rah (APBD) ditujukan untuk penyelamatan
darurat bagi mereka yang terancam oleh
krisis sosial, ekonomi, politik, bencana alam.
agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
Meskipun demikian penulis,
menemukan adanya perbedaan antara kon-
sep dengan realitas tujuan penggunaannya,
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemu-
kan berbagai permasalahan pencairan dana
bansos, dimulai dari proses penganggaran,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Per-
masalahan belanja bansos seperti diungkap-
kan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
BPK tersebut mempunyai nilai yang signifi-
kan sebesar Rp16,75 triliun. Permasalahan
bansos berkutat pada ketidakjelasan pene-
rima baksos, kekurangan volume, pendapat-
an denda keterlambatan belum. diterima,
seleksi dan penyaluran tidak memadai, be-
lum dimanfaatkannya bansos, bukti SPJ
tidak lengkap, dan belum dipertanggung-
jawabkannya bansos. Proporsi masalah ter-
besar terletak pada belum dimanfaatkannya
bansos sebesar Rp239,25 miliar (Majalah
Akuntan Indonesia Edisi Juni 2014).
Penelitian tentang fraud telah banyak
dilakukan di sektor swasta namun masih
terbatas pada sektor pemerintahan. Padahal,
penyimpangan belanja bansos menjadi isu
penting untuk diteliti karena perlunya bukti
empiris tentang penyebab (determinan) ter-
Jadinya fraud dan upaya mencegah terjadin-
322323 Jurnal Ahuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 3, Desember 2016, Hm 328-340,
ya lagi penyimpangan. Penelitian yang di-
lakukan oleh Darmastuti dan Setyaningrum
(2012) menemukan bahwa__ lingkungan
eksternal mempengaruhi pengungkapan be-
lanja bantuan sosial. Selain penelitian terse-
but, Samsudin et al. (2014) menemukan
bahwa kinerja pegawai, kompetensi, sarana
dan prasarana, dan pengawasan berpenga-
ruh tethadap variabel efektivitas penyaluran
bantuan sosial. Rochmatullah dan Probo-
hudono (2014) menguji beberapa faktor
yang memengaruhi keputusan pemerintah
kabupaten/kota dalam penetapan anggaran
belanja bantuan sosial. Hasil penelitian Ro-
chmatullah dan Probohudono (2014) mene-
mukan bahwa opini audit tahun sebelumnya
memengaruhi besaran dana yang dialoka-
sikan dalam belanja bantuan sosial tahun
selanjutnya. Meskipun penulis menemukan
telah ada penelitian sebelumnya yang men-
ganalisis masalah belanja bansos, belum ada
yang menguji faktor-faktor penyebab (de-
terminan) penyimpangan belanja bantuan
sosial. Determinan penyimpangan belanja
bantuan sosial menjadi masalah penelitian
yang penting karena dengan menganalisis
topik tersebut, regulator dapat merancang
upaya-upaya untuk mencegah terjadinya
penyimpangan di masa mendatang.
dalam rangka menjelaskan fenomena
fraud, Zimbelman dan Albrect (2012) me-
nyarankan pentingnya peneliti merujuk
pada ilmu kriminologi tentang mengapa ter-
jadi kecurangan dalam organisasi termasuk
dalam pengelolaan anggaran_pemerintah,
dalam ranah ilmu kriminologi, terdapat
teori GONE dan fraud triangle yang dapat
menjelaskan dan memprediksi fenomena
fraud. Teori GONE menjelaskan bahwa ter-
dapat 4 (empat) faktor yang mendorong se-
seorang melakukan perbuatan menyimpang
yaitu (a) greed, adanya perilaku serakah
yang secara potensial ada dalam individu;
(b) opportunity atau kesempatan, keadaan
organisasi yang sedemikian rupa sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang un-
tuk melakukan kecurangan; (c) needs atau
kebutuhan, berkaitan dengan kebutuhan
individu untuk menunjang hidupnya yang
menurutnya wajar; dan (d) exposure atau
pengungkapan, berupa dampak atau kon-
sekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku
kecurangan apabila pelaku ditemukan
melakukan kecurangan. Sementara itu, teori
segitiga kecurangan berargumentasi bahwa
seseorang berperilaku menyimpang karena
terdapat tekanan, oportunitas terhadap pen-
gendalian internal, dan rasionalisasi.
Belanja bantuan sosial didefinisikan
oleh Buletin Teknis (Bultek) Standar Akun-
tansi Pemerintahan (SAP) Nomor 10 seba-
gai pengiriman uang atau barang yang di-
lakukan oleh pemerintah daerah kepada
masyarakat untuk mengentisipasi adanya
risiko sosial. Belanja bantuan sosial harus
diberikan secara langsung kepada anggota
dan/atau lembaga masyarakat. Selain itu,
belanja bantuan sosial digunakan untuk
mendanai berbagai kegiatan sosial dan
bersifat sementara.
Penyimpangan dalam belanja bantuan
sosial harus diwaspadai karena termasuk
dalam kerugian daerah. Penyimpangan
tersebut dapat disebabkan oleh lemahnya
pengelolaan SPI (Sistem Pengendalian In-
ternal). Jika hal ini dibiarkan, maka potensi
kerugian dan berkurangnya kekayaan nega-
ra semakin besar.
Penelitian yang berfokus pada belan-
ja bantuan sosial sejauh ini terbatas pada
penelitian tentang efektivitas penyaluran
bansos, determinan alokasi bansos dan
pengungkapannya pada laporan keuangan.
Berdasarkan temuan Carvalho et al. (2007)
serta Falkman dan Tagesson (2008) ten-
tang determinan tingkat kepatuhan Pem-
da pada peraturan perundang-undangan
yang terkait keuangan negara, penelitian
ini mengembangkan model determinan pe-
nyimpangan belanja bansos. Penelitian ini
berkontribusi dalam beberapa hal. Pertama,
penelitian terdahulu tentang belanja ban-
sos terbatas pada topik tentang efektivitas
penyaluran bansos, determinan alokasi
bansos, dan pengungkapan belanja bansos
pada laporan keuangan pemerintah daerah.
Penelitian yang menguji determinan penyim-
pangan belanja bansos masih terbatas pada-
hal sangat diperlukan untuk upaya pence-
gahan penyimpangan di masa mendatang
Dengan demikian, penetitian berkontribusi
pada literatur akuntansi sektor publik den-
gan memberikan bukti empiris determinan
penyimpangan belanja bansos. Selain itu,
penelitian ini juga berkontribusi pada kebi-
jakan institusi regulator dan auditor seperti
Kementerian dalam Negeri, Kementerian
Keuangan dan BPK dalam upaya mencegah
penyimpangan belanja bansos.
METODE
Populasi penelitian ini adalah seluruh
Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Te-
ngah pada tahun 2009-2013. Pemerintah,
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dipilih se-Ratmono, Pradopowati, Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial 324
bagai objek penclitian karena sebagaimana
temuan BPK, Jawa Tengah merupakan salah
satu provinsi yang cukup banyak terjadi pe-
nyimpangan belanja bansos. Metode sensus
digunakan untuk memperoleh gambaran
lengkap determinan fraud belanja bansos.
Periode tahun 2009-2013 diambil dikarena-
kan rentang waktu tersebut dianggap tahun
yang mewakili fenomena penelitian di mana
pada tahun 2014 disclenggarakan pemilih-
an umum di pusat dan daerah yang rawan
terjadinya penyimpangan belanja_bansos.
Faikman dan Tagesson (2008) menyatakan
bahwa fenomena penyimpangan anggaran
pemerintah banyak terjadi menjelang di-
selenggarakannya pemilihan umum. Sen-
sus dalam penelitian ini menggunakan data
dalam LHP BPK yang terdiri dari 6 peme-
rintah kota dan 29 pemerintah kabupaten.
Dengan demikian terdapat 175 observasi (35
Pemda x 5 tahun) yang digunakan sebagai
sampel.
Berdasarkan teori fraud triangle dan
teori GONE sebagai grand theory serta hasil
penelitian terdahulu, penelitian ini mengem-
bangkan model determinan tingkat penyim-
pangan belanja bantuan sosial seperti Gam-
bar 1. Penjelasan atas model pada Gambar
1 adalah sebagai berikut. Hasil pemerik-
saan BPK mengandung konsekuensi bahwa
Pemda harus melakukan tindak lanjut atas
temuan yang tertuang dalam laporan terse-
but. Semakin banyak jumlah penyimpangan
atau ketidaksesuaian dengan kriteria pemer-
iksaan yang telah ditentukan, maka opini
yang diberikan BPK akan semakin buruk.
Jika Pemda mendapatkan opini audit tahun
sebelumnya yang kurang baik, seperti tidak
Opini Audit
‘Tahun Sebelumya
Temuan
Ketidakpatuhan
terhadap Peraturan
Perundangan
wajar atau tidak memberikan pendapat, ma-
ka diduga pada periode selanjutnya terdapat
perubahan yang lebih baik yang dilakukan
untuk mengurangi temuan audit schingga
dapat menekan tingkat penyimpangan yang
terjadi pada periode berikutnya.
Opini audit yang kurang baik akan
menjadi perhatian manajemen dalam me-
nentukan sebuah kebijakan pada masa yang
akan datang agar tidak terjadi kesalahan
yang berulang. Opini audit akan menstimu-
asi perubahan perilaku dalam pelaksanaan
anggaran pemerintah. Dengan demikian, ji-
ka Pemda mendapatkan opini dari BPK yang
termasuk dalam kategori kurang baik (tidak
wajar atau tidak memberikan pendapat}
maka pada tahun berikutnya, Pemda akan
berupaya mencegah dan mengurangi tingsat
penyimpangan belanja bansos dalam rangka
memperoleh opini yang lebih baik.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Ta-
hun 2008 mendefinisikan sistem pengendal-
ian internal sebagai suatu proses integral
yang digunakan untuk memberikan keya-
kinan terhadap pencapaian tujuan instansi
melalui berbagai kebijakan dan ketaatan
tethadap peraturan. Hal ini dapat tercapai
melalui berbagai melalui kegiatan dan keta-
atan terhadap peraturan. Jika SPI memiliki
keandalan yang lemah, maka tingkat akun-
tabilitas suatu organisasi sangat rendah.
‘SPI yang handal diyakini memberikan
kontribusi dalam usaha mereduksi prak-
tik korupsi termasuk penyimpangan dalam
penyaluran belanja_bansos (Widjajabrata
dan Zacchea 2004). Sebaliknya, banyaknya
kelemahan SPI akan mendorong terjadinya
fraud. Semakin banyak temuan kelemahan
Pengawasan DPRD
‘Tingkeat
Penyimpangan
Belanja Bansos
Gambar 1. Model Penelitian325 Jurnal Ahuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 3, Desember 2016, Him 328-340
SPI dalam laporan pemeriksaan BPK, maka
semakin besar kemungkinan terjadinya
fraud termasuk penyimpangan belanja ban-
tuan sosial.
Pemberian opini oleh BPK harus di-
lakukan melalui penilaian atas kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan.
Penjelasan pasal 16 Undang-Undang No.15,
Tahun 2004 menyatakan bahwa wajar atau
tidaknya informasi laporan keuangan harus
memenuhi kriteria yang telah dientukan
(BPK 2014). Rendahnya opini audit diharap-
kan dapat memacu pemerintah daerah un-
tuk meningkatkan pengawasan terhadap
SPI. Selain itu, rendahnya opini audit ha-
rus berbanding lurus dengan temuan atas
kelemahan SPI
Penelitian yang dilakukan oleh Tobirin
(2008) menemukan bahwa kepatuhan yang
tinggi diperiukan untuk mencegah kecurang-
an pemberian bantuan sosial. Meskipun
hal tersebut membatasi kinerja pemerintah
daerah dalam beberapa praktik, hal terse-
but sangat diperlukan dalam melakukan
pengawasan. Hal ini juga dilatarbelakangi
oleh suatu pernyataan bahwa kepatuhan
yang baik mengurangi penyimpangan be-
lanja APBD (Victorian Auditor General Office
2008)
Ketidakpatuhan terhadap_peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat
mengakibatkan terjadinya kerugian nega-
ra, potensi kerugian negara, kekurangan
penerimaan, penyimpangan administrasi,
ketidakkhematan, ketidakefisienan dan keti-
dakefektifan (BPK RI 2014). Ketidakpatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan
bertentangan dengan prinsip-prinsip peng-
anggaran di sektor publik seperti efektif,
efisien dan ekonomis. Ketidakpatuhan ter-
hadap peraturan —perundang-undangan
merupakan salah satu bentuk penyimpang-
an yang dapat memengaruhi opini BPK.
Pemberian opini audit yang rendah terhadap
kualitas laporan keuangan suatu pemerin-
tah dacrah pada periode sebelumnya, di-
harapkan dapat menstimulasi pemerintah
daerah tersebut untuk meningkatkan kuali-
tas laporan keuangannya melalui kesesuaian
dengan standar akuntansi pemerintahan,
kecukupan pengungkapan, kepatuhan ter-
hadap peraturan perundang-undangan dan
efektivitas sistem pengendalian internal. Se-
baliknya, jika opini yang diberikan baik ma-
ka pemerintah daerah terindikasi telah me-
nyajikan laporan keuangan sesuai standar
akuntansi pemerintahan, kecukupan peng-
ungkapan, kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan dan efektivitas sistem
pengendalian internal.
‘Adzani dan Martani (2014) menemukan
bahwa temuan audit terkait ketidakpatuhan
terhadap peraturan_ perundang-undangan
merupakan salah satu faktor yang dapat
mengindikasikan tingkat penyimpangan
dalam alokasi belanja bansos. Zaelani (2010)
melakukan penelitian dan menemukan ba-
nyaknya kelemahan temuan audit atas
sistem pengendalian intern pemerintah.
Temuan audit tersebut merupakan kasus-
kasus penyimpangan yang dilakukan suatu
pemda terhadap ketentuan pengendalian
intern maupun terhadap temuan ketidak-
patuhan terhadap peraturan perundang-
undangan. Kelemahan dalam pengenda-
lian internal menjadi penyebab terjadinya
ketidakpatuhan terhadap peraturan perun-
dangan dan selanjutnya menjadi penyebab
korupsi penggunaan belanja APBD terma-
suk penyimpangan dalam alokasi belanja
bansos. Zirman dan Rozi (2010) memberikan
bukti empiris hubungan yang kuat antara
kepatuhan kinerja Pemda dan rendahnya
penyimpangan penggunaan belanja APBD.
Semakin banyak temuan menunjukkan ren-
dahnya akuntabilitas pengelolaan keuangan
termasuk dalam penyaluran belanja bansos.
Demikian pula, semakin banyak kelemahan
sistem pengendalian intern dan ketidak-
patuhan terhadap peraturan perundang-un-
dangan menunjukkan informasi keuangan
yang disajikan dalam laporan keuangan ti-
dak dapat diandalkan, sehingga BPK mem-
berikan opini yang buruk. Dengan adanya
pemberian opini yang buruk pada tahun
sebelumnya oleh BPK, pemda diharapkan
agar melakukan perbaikan pada tahun beri-
kutnya dalam sistem pengendalian internal
sehingga menimbulkan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang ber-
laku yang pada akhirnya berimplikasi pada
semakin menurunnya tingkat penyimpang-
an di dalam pengelolaan keuangan daerah.
Pengawasan menurut Keputusan Pre-
siden No. 74 tahun 2001 (Tentang Tata Cara
Pengawasan Penyelengaraan Pemerintah
Daerah) Pasal 16 menyebutkan bahwa peng-
awasan pemerintah dacrah adalah proses
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
agar pemerintah daerah berjalan sesuai
dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Fungsi
DPRD yang kuat mendorong pengawasanRatmono, Pradopowati Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial 326
yang lebih ketat atas pengelolaan keuangan
dacrah sehingga pemerintah daerah semakin
berkomitmen untuk menindaklanjuti reko-
mendasi hasil pemeriksaan, yang kemudian
berdampak pada semakin’ berkurangnya
temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada
periode selanjutnya. Fungsi pengawasan
DPRD tidak memiliki pengaruh langsung
pada temuan audit, namun bisa menjadi
variabel yang memoderasi hubungan antara
temuan audit dengan tingkat penyimpangan
yang ada di pemerintah daerah.
DPRD berperan penting dalam me-
ngontrol kebijakan keuangan daerah secara
ekonomis dan akuntabel. Hal ini diperkuat
oleh penelitian Syafitri (2012) dan Yulia-
ningtyas (2011) yang menemukan bahwa
fungsi pengawasan oleh lembaga tersebut
sangat penting untuk memperkuat kepatuh-
an dan risiko kecurangan belanja APBD. Hal
ini memiliki konsekuensi bahwa pemerin-
tah daerah harus berkomitmen terhadap
kepatuhan peraturan perundang-undangan,
Berdasarkan argumen-argumen terse-
but maka temuan audit BPK tahun sebe-
Tumnya dan kelemahan SPI diajukan seba-
gai variabel independen yang memengaruhi
tingkat fraud belanja bansos. Sementara,
temuan ketidakpatuhan peraturan perun-
dangan sebagai variabel pemediasi hubung-
an antara kedua variabel independen terse-
but dengan tingkat fraud belanja bansos.
Pengawasan DPR sebagai faktor ekster-
nal diduga menjadi variabel pemoderasi
hubungan antara temuan ketidakpatuhan
terhadap peraturan perundangan dengan
tingkat fraud belanja bansos.
Definisi. dan pengukuran vari
bel. Tingkat penyimpangan belanja ban-
tuan sosial didefinisikan sebagai derajat
penyimpangan terhadap peraturan yang
terkait_belanja bantuan sosial. Variabel ini
diukur dengan rasio antara jumlah nomi-
nal penyimpangan bansos terhadap total
anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD). Variabel opini audit laporan keuang-
an pemerintah daerah (BPK RI) diukur de-
ngan skala ordinal sesuai peringkat opini
audit yang diberikan oleh BPK RI (Nilai 1 =
Opini TMP; Nilai 2 = Opini TW; Nilai 3 = Opi-
ni WDP; Nilai 4 = Opini WTP/WTP dengan
paragraf penjelas). Temuan SPI merupaken
hasil pemeriksaan BPK yang mengungkap-
kan adanya kelemahan sistem pengendalian
internal. Variabel ini diukur dengan jum-
lah kasus temuan kelemahan sistem pe-
ngendalian intern pada Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD). Variabel temuan
ketidakpatuhan terhadap peraturan perun-
dang-undangan didefinisikan sebagai hasil
pemeriksaan BPK terhadap laporan keuang-
an pemerintah daerah yang mengungkap-
kan adanya ketidakpatuhan pada peraturan
perundang-undangan. Variabel ini diukur
dengan jumlah kasus temuan kelemahan
ketidakpatuhan pada peraturan perundang-
undangan pada LKPD. Fungsi Pengawasan
DPRD merupakan fungsi untuk memastikan
pelaksanaan Kegiatan Pemda telah sesuai
dengan perencanaan dan kebijakan serta
monitoring pencapaian kinerja eksekutif,
Variabel ini diproksikan dengan jumlah
anggota DPRD masing-masing Kabupaten/
Kota. Penelitian ini menelaah 35 Pemerin-
tah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah untuk
periode 2009-2013.
Penelitian ini menggunakan alat anali-
sis Structural Equation Modeling (SEM)
dengan metode Partial Least Square (PLS).
Pemilihan metode PLS didasarkan pada
pertimbangan bahwa dalam penelitian ini
secara keseluruhan menggunakan variabel
laten yang dibentuk dengan indikator for-
matif dan bukan reficktif. dalam penelitian
ini, baik variabel dependen (DEV), variabel
independen (Opini Audit dan SPI), variabel
intervening/mediasi (COMPL) dan variabel
moderating/moderasi (FDPRD), semuanya
diukur dengan indikator formatif,
Indikator formatif mempunyai karak-
teristik bahwa perubahan dalam indikator
tersebut akan menyebabkan perubahan
dalam konstruk atau variabel laten. Indika-
tor-indikator dalam hal ini menjadi penye-
bab atau membentuk (to form) konstruk atau
variabel laten (Hair et al. 2013)
Selain karena seluruh variabel diukur
dengan indikator formatif, PLS dipilih seba-
gai alat analisis juga karena model pene-
litian yang relatif kompleks dengan adanya
variabel independen, mediasi, moderasi, dan
dependen, Penggunaan metode PLS juga
karena metode SEM berbasis kovarian ti-
dak mampu melakukan analisis atas varia~
bel laten dengan indikator formatif (Hair et
al. 2013). Program yang digunakan adalah
Warp PLS 5.0 dengan pertimbangan bahwa
program mampu menguji variabel moderasi
secara simultan dengan variabel-variabel
lainnya,327 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temuan yang disajikan pada Tabel
1 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat
penyimpangan belanja bansos di Jawa Te-
ngah relatif cukup kecil yaitu hanya seki-
tar 0,032%. Tingkat penyimpangan belanja
bansos yang paling besar (maksimal) adalah
sebesar 8,20% untuk Kabupaten Rem-
bang pada tahun 2009 dengan ditemukan-
nya 2 (dua) kasus ketidakpatuhan terha-
dap peraturan perundang-undangan yaitu
pelaksanaan bansos tidak dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan (atau senilai Rp
10.510.631.400) dan penerima bansos be-
lum menyampaikan laporan_pertanggung-
jawaban (Rp 38.978.422.000}. Total penyim-
pangan belanja bansos secara keseluruhan
mencapai Rp 49.489.053.400.
Jumlah temuan kelemahan sistem
pengendalian intern terbesar mencapai 2
(dua) kasus yaitu penyaluran bansos ti-
dak langsung kepada penerima bansos
(Rp 50.000.000) dan penggunaan bansos
yang belum dipertanggungjawabkan (Rp
2.579.632.000). Kabupaten Sukoharjo ter-
indikasi menjadi kabupaten yang memiliki
tingkat penyimpangan belanja bansos ter-
tinggi sebesar Rp 2.629.632.000.
‘Temuan penelitian menunjukkan ke-
beradaan ketidakpatuhan terhadap per-
aturan perundang-undangan yang terjadi
pada pemda di Jawa Tengah selama kurun
waktu 5 tahun yaitu (2009-2013). Jumlah
terendah (minimal) ketidakpatuhan bertu-
rut-turut selama 5 tahun berada di peme-
rintah kota Pekalongan sebanyak 0 kasus,
sedangkan jumlah tertinggi {maksimal) se-
banyak 2 kasus yang terjadi di empat peme-
rintah Kabupaten yaitu Rembang, Demak,
Kebumen, dan Temanggung
‘Tabel 1. Statistik Deskriptif
3, Desember 2016, Him 328-340
Variabel opini audit tahun sebelum-
nya diukur dengan skala ordinal. Gambar
2 menunjukkan terdapat peningkatan jum-
lah Pemda yang memperolch opini WTP. Hal
ini menunjukkan adanya perbaikan dalam
kualitas pelaporan keuangan schingga ter-
dapat kesesuaian LKPD dengan SAP.
Model penelitian diuji dengan alat
analisis Partial Least Square (PLS). Hasil
goodness of fit disajikan pada Tabel 2, yang
menunjukkan bahwa kriteria ketiga indi-
kator model sudah fit dan telah memenuhi
syarat.
Uji model (goodness fit) berupa Ave-
rage Path Coefficient (APC) dan Average
R-Squared (ARS) serta Average Adjusted R-
Squared (AARS) menunjukkan nilai masing-
masing sebesar 0,205, 0,158, 0,144, dan
signifikan pada 5%. Ini berarti bahwa model
didukung oleh data. Average Full Colinearity
Variance Inflation Factor (AFVIF) diperoleh
sebesar 1,150 (AFVIF<5) mengindikasikan
bahwa model penetitian tidak mengandung
multikolinearitas schingga telah memenuhi
prasyarat analisis PLS.
Hasil pengujian pada Gambar 3
menunjukkan bahwa variabel opini tahun
sebelumnya (OPINI) tidak berpengaruh ter-
hadap temuan ketidakpatuhan (COMPL)
dan tingkat penyimpangan belanja bantuan
sosial (DEV) dengan koefisien sebesar -0,16
dan -0,07 dan tidak signifikan pada alpha
5%, Hal ini bisa diartikan bahwa opini au-
dit tahun sebelumnya (OPINI) belum dapat
mengurangi ketidakpatuhan terhadap per-
aturan perundang-undangan (COMPL) dan
tingkat penyimpangan belanja bantuan so-
sial (DEV) pada tahun berikutnya.
Variabel N Minimal Maksimal Ratasrata Stendar
“ingkat penvimpangan belanja 175 0,000 0,082 0,003 0,009
bantuan sosial (DEV)
‘Temuan Kelemahan Sistem Pen- 175 0,000 2,000 0,280 0,468
gendalian Intern (SP)
Temuian Kelidakpatuhan Te 175—0,000-—«2,000- 0,320 0.815
hadap Peraturan Perandang-
undangan(COMPL)
Fungs! Pengawasan DPRD (FD- 175 25,000 50,000 44,714 7,388
PRD)Ratmono, Pradopowati, Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial 328
2008 2009 «2010-2011
$60.
90 <= wrP/wrP DPP
20 | we
Ww
10 -}—_———__————____—-_—
= —— TMP
0 ————, KK
2012
2013
Gambar 2. Grafik dis
ribusi frekuensi opini audit pemerintah daerah di Jawa Tengah
periode tahun 2008-2013
Penelitian ini juga menemukan bahwa
variabel kelemahan SPI berpengaruh negatif
terhadap ketidakpatuhan (COMPL) dengan
koefisien -0,33 dan positif terhadap tingkat
penyimpangan belanja bansos (DEV) de
ngan koefisien 0,24. Hal ini memiliki makna
bahwa kelemahan SPI tidak searah dengan
ketidakpatuhan (COMPL} Karena memiliki
koefisien yang negatif. Hasil ini juga menun-
jukkan semakin banyaknya kelemahan SPI
menyebabkan peningkatan tingkat penyim-
pangan bansos (DEV)
Variabel ketidakpatuhan ditemukan
berpengaruh positif terhadap tingkat pe-
nyimpangan belanja bansos (DEV) dengan
koefisien 0,42 dan signifikan pada 5%. Hal
ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan (COMPL)
akan menaikkan tingkat penyimpangan be-
lanja bansos (DEV) karena memiliki koefisien
yang positif,
Hasil pengujian atas fungsi penga-
wasan DPRD (FDPRD) sebagai variabel mo-
derasi mempunyai koefisien sebesar 0,01
dan tidak signifikan. Hal ini bisa diartikan
bahwa fungsi pengawasan DPRD bukan se-
bagai variabel moderasi hubungan antara
ketidakpatuhan terhadap peraturan perun-
dang-undangan (COMPL) terhadap tingkat
penyimpangan belanja bantuan sosial (DEV)
Tabel 2. Hasil Goodness of Fit
Pengujian mediasi digunakan untuk
menelaah ketidakpatuhan pada peraturan
perundang-undangan memediasi hubu-
ngan antara opini audit tahun sebelumnya
dan tingkat penyimpangan belanja bantuan
sosial. Prosedur pengujian argumen peme-
diasi dilakukan dengan dua langkah yaitu,
pertama, melakukan estimasi direct effect
opini audit tahun sebelumnya (OPINI) terha-
dap tingkat penyimpangan belanja bantuan
sosial (DEV). Hasil estimasi menunjukkan
bahwa direct effect opini audit tahun sebe-
lumnya (OPINI) terhadap tingkat_penyim-
pangan belanja bantuan sosial (DEV) tidak
signifikan (Gambar 4). Hasil pengujian tidak
mendukung argumen yang diajukan bahwa
opini audit tahun sebelumnya berpengaruh
positif terhadap tingkat penyimpangan be-
lanja bantuan sosial. Penjelasan tidak ber-
pengaruhnya opini pada penyimpangan bisa
jadi dikarenakan pemerintah daerah belum
melakukan tindak lanjut atas rekomendasi
hasil temuan BPK schingga kasus yang sama
masih belum tuntas pada tahun berikutnya.
Penjelasan mengenai hasil penelitian
ini yang menunjukkan bahwa opini au-
dit tahun sebelumnya tidak berpengaruh
positif terhadap temuan ketidakpatuhan,
memperkuat argumen bahwa temuan audit
ketidakpatuhan terhadap peraturan per-
undang-undangan merupakan salah satu
Model fit and quality indices
APC. 0,205
ARS 0,158
AVIF 1,060
P <0,001
P 0,010
acceptable if <=5, ideally<=3,3329 Jurnat Ahuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 3, Desemiber 2016, Hm 328-340
COBPRD
Gambar 3. Hasil Pengujian
kunci penentu pemberian opini audit (Ad-
zani dan Martani 2014). Hasil penelitian ini
bisa dikaitkan dengan temuan Arifianti et al
(2013), yaitu ketidakpatuhan berpengaruh
negatif signifikan terhadap kinerja Pemda.
Semakin banyak temuan audit, maka pe-
ngelolaan keuangan juga kurang baik, yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
buruknya kinerja sehingga menyebabkan
rawan terjadinya penyimpangan. Dengan
kata lain, semakin banyak temuan peme-
riksaan merupakan indikasi semakin ren-
dahnya kinerja Pemda (Mustikarini dan
Debby 2012).
Tahapan kedua uji mediasi adalah
melakukan estimasi indirect effect secara
simultan dengan triangle PLS SEM. Hasil
pengujian Gambar 5 menunjukkan bahwa
temuan ketidakpatuhan pada peraturan
perundang-undangan bukan _pemediasi
hubungan antara opini audit tahun sebe-
tumnya dan tingkat penyimpangan belanja
bantuan sosial karena direct effect tidak sig-
nifikan dan pengaruh OPINI ke COMPL tidak
signifikan pada alpha 5% dan arah koefisien
bertentangan dengan yang diargumenkan.
Prosedur tersebut juga digunakan un-
tuk menguji variabel temuan ketidakpatuh-
an dalam memediasi hubungan antara
temuan kelemahan SPI dan tingkat penyim-
pangan belanja bantuan sosial. Hasil pengu-
Jian juga memberikan bukti empiris temuan
ketidakpatuhan pada peraturan perundang-
undangan bukan pemediasi hubungan an-
tara temuan kelemahan SPI dan tingkat pe-
nyimpangan belanja bantuan sosial karena
hasil direct effect tidak signifikan.
Hasil pengujian mendukung argumen
yang diajukan bahwa kelemahan sistem pe-
ngendalian intern memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap tingkat penyimpang-
an belanja bantuan sosial. Hal ini diperkuat
dengan rata-rata (mean) temuan kelemahan
sistem pengendalian intern terkait masalah
belanja bansos pada pemda di Jawa Tengah
yaitu sebanyak 28 kasus dalam kurun waktu
5 tahun (2009-2013) dengan standar deviasi
46,30%. Jumlah temuan kasus kelemahan
sistem pengendalian intern sebanyak 2 ka-
sus yaitu penyaluran bansos tidak langsung
kepada penerima bansos (Rp 50.000.000,00)
dan penggunaan bansos yang belum diper-
tanggungjawabkan (Rp 2.579.632.000,00)
Gambar 4. Hasil Pengujian Mediasi I Model Direct EffectRatmono, Pradopowati Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial 330
08
Gambar 5. Hasil Pengujian Mediasi I Model Indirect Effect
berada di Kabupaten Sukoharjo pada tahun
2012 dengan total tingkat penyimpangan be-
lanja bansos sebesar Rp 2.629.632.000,00)
dan yang terendah yaitu 0 kasus di bebe-
rapa kabupaten/kota di Jawa Tengah (lihat
lampiran tabel sebaran temuan kelemahan
SPI), Temuan ini merupakan bukti empiris
yang mendukung teori fraud triangle bahwa
kurangnya kesempatan (dengan adanya
SPI yang kuat) akan mengurangi terjadinya
fraud pada organisasi.
Kasus-kasus lemahnya SPI umumnya
terjadi karena pejabat yang bertanggung-
jawab lalai dan kurang memadai dalam me-
nyajikan laporan keuangan, belum optimal
dalam pelaksanaan tugas pokok fungsinya.
Peneliti juga meyakini bahwa mereka be-
lum sepenuhnya memahami peraturan yang
berlaku, lemah dalam melakukan monitor-
ing kegiatan, kurangnya koordinasi dengan
pihak-pihak terkait, serta belum memadai-
nya sistem aplikasi pengelolaan keuangan
daerah yang digunakan. Selain itu kasus
kelemahan sistem pengendalian intern ter-
jadi karena pejabat yang berwenang belum
menyusun kebijakan dan prosedur, kurang
cermat merencanakan dan melaksanakan
kegiatan, serta belum optimal untuk menye-
lesaikan tidnak lanjut rekomendasi BPK RI
atas LHP sebelumnya (BPK RI 2014).
Hasil pengujian tidak mendukung ar-
gumen yang diajukan bahwa kelemahan
SPI intern memiliki pengaruh positif terha-
dap ketidakpatuhan. Hal ini menunjukkan
Kehandadalan dalam SPI belum dapat me-
ningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan. Upaya sosialisasi,
pelatihan, dan pengawasan juga mempunyai
peran dalam meningkatkan kepatuhan ter-
hadap peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya, hasil pengujian mendu-
kung argumen yang diajukan bahwa keti-
dakpatuhan pada peraturan perundang-
undangan memiliki pengaruh positif terha-
dap tingkat penyimpangen belanja bantuan
sosial. Temuan ini memperkuat Ikhtisar
LHP BPK yang mengindikasikan kurangnya
pemahaman dan lemahnya pengawasan
dalam kepatuhan peraturan perundang-
undangan di bidang keuangan negara me-
nyebabkan banyaknya kasus penyimpangan
belanja bansos. Temuan ketidakpatuhan
menyebabkan kerugian negara sebagian be-
sar terjadi karena pejabat yang bertanggung
jawab kurang cermat daiam menaati per-
aturan, belum optimal dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya, serta lemah dalam
monitoring program dan kegiatan (BPK RI
2014). Temuan ini tidak konsisten dengan
penelitian Heriningsih (2014) yang menemu-
kan hasil penelitian bahwa temuan ketidak-
patuhan terhadap peraturan perundang-un-
dangan dalam LHP BPK secara statistik tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan yang diperoleh
Mustikarini dan Fitriasari (2012) yang mene-
mukan bahwa jumlah temuan berpengaruh
negatif terhadap kinerja Pemda. Semakin
rendahnya kinerja keuangan pemerintah di-
mungkinkan terjadinya banyaknya penyim-
pangan yang terjadi,
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
temuan ketidakpatuhan pada peraturan
perundang-undangan bukan pemediasi pe-
ngaruh hubungan antara opini audit tahun
sebelumnya dan tingkat penyimpangan be-
lanja bantuan sosial. Artinya, semakin buruk
opini audit tahun sebelumnya belum tentu
akan menambah temuan ketidakpatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan
pada tahun betikutnya yang mengindika-
sikan pula tingkat penyimpangan belanja
bantuan sosial cenderung naik pada tahun
berikutnya pula, Namun hasil analisis jalur
juga menunjukkan bahwa opini audit tahun
sebelumnya tidak dapat berpengaruh secara331 Jurnat Ahuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 3, Desemiber 2016, Hm 328-340
langsung terhadap tingkat penyimpangan
belanja bantuan sosial. Hal ini mengindika-
sikan bahwa opini audit bukan sebagai pre-
diktor dalam menentukan tingkat penyim-
pangan belanja bantuan sosial, namun
ada variabel lainnya yang mungkin dapat
menentukan tingkat penyimpangan belanja
bantuan sosial
Penelitian ini juga semakin mem-
perkuat risct terhadulu yang menemukan
bahwa ketidakpatuhan terhadap peraturan
tidak dapat memediasi pengaruh antara
kelemahan sistem pengendalian internal
dengan tingkat penyimpangan belanja ban-
tuan sosial. Meskipun demikian, hasil anali-
sis jalur menemukan bahwa’kelemahan
sistem pengendalian internal dapat dipen-
garuhi secara langsung oleh tingkat penyim-
Pangan belanja bantuan sosial.
Hasil pengujian tidak mendukung ar-
gumen yang diajukan bahwa fungsi penga-
wasan DPRD memoderasi pengaruh temuan
ketidakpatuhan pada peraturan perundang-
undangan terhadap tingkat penyimpangan
belanja bantuan sosial. Hasil penclitian
menunjukkan bahwa fungsi pengawasan
DPRD belum memberikan dampak yang
signifikan terhadap efektivitas kinerja Pem-
da. Pengawasan DPRD belum memberikan
dampak positif dalam upaya pencegahan
penyimpangan ataupun menindaklanjuti
rekomendasi koreksi perbaikan terhadap
temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang disarankan oleh
BPK. Temuan ini mendukung penelitian Ari-
fianti et al. (2013) yang menemukan bahwa
pengawasan belum memberikan dampak
yang signifikan terhadap peningkatan ki-
nerja Pemda, Hasil ini sesuai dengan peneli-
tian Nafchuka (2003), Kahar (2005), Mahuse
(2010), dan Santoso (2011).
Fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh angggota DPRD menjadi tidak optimal
disebabkan oleh sistem partai terpusat. Hal
ini membuat anggota DPRD menjadi lebih
memperjuangkan kepentingan _partainya
dibandingkan masyarakat. dalam beberapa
kasus belanja bansos, anggota DPRD justru
merupakan pihak yang diduga terlibat se-
bagai pelaku fraud. Faktor lain yang mung-
kin menjadi adalah pengawasan legislatif
yang efektif kurang tepat diukur dengan
proksi jumlah anggota DPRD.
Penelitian ini menunjukkan pentingnya
perhatian Pemerintah Daerah atas ketentu-
an penggunaan belanja bansos sebagaimana
diatur dalam Buletin Teknis (Bultek) Stan-
dar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Nomor
10 Tentang Akuntansi Belanja Bantuan
Sosial. Penyimpangan yang terjadi adalah
belum diperhatikannya ketentuan bansos,
yaitu belanja bansos bersifat sementara
atau tidak berkelanjutan. Pemberian bansos
harus ditujukan untuk mendanai kegiatan
rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, ja-
minan sosial, pemberdayaan sosial, penang-
gulangan kemiskinan, dan penanggulangan
bencana. Belanja bantuan sosial juga harus
memiliki tujuan memberikan kesejahteraan
secara berkelanjutan dengan memperha-
tikan aspek risikonya. Pemerintah Daerah
juga harus memperhatikan ketentuan bah-
wa belanja bansos diberikan dalam bentuk
bantuan langsung, penyediaan eksesibilitas,
dan/atau penguatan kelembagaan.
Dalam rangka memitigasi risiko pe-
nyimpangan belanja bansos, Pemerintah,
Daerah perlu melakukan penguatan Sistem
Pengendalian Intern (SPI). Hasil penelitian
ini menunjukkan SPI dapat mengurangi
tingkat fraud belanja bansos. Hal ini sesuai
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK. Laporan
tersebut mengungkapkan bahwa kelemahan
SPI pemerintah daerah dibagi dalam tiga ka-
tegori. Pertama, kelemahan sistem pengen-
dalian dalam sudut pandang akuntansi dan
pelaporan. Kelemahan ini meliputi sistem
pengendalian yang terkait kegiatan pen-
catatan akuntansi dan pelaporan keuangan.
Kedua, kelemahan dalam sudut pandang
sistem pengendalian pelaksanaan anggar-
an pendapatan dan belanja. Kelemahan ini
terkait dengan pemungutan dan penyetor-
an penerimaan negara/daerah/perusahaan
milik negara/daerah serta pelaksanaan pro-
gram/ kegiatan pada entitas yang diperiksa.
Ketiga, kelemahan struktur pengendalian
internal. Kelemahan ini terkait dengan ke-
beradaan dan keefektifan struktur pengen-
dalian internal,
Secara keseluruhan, hasil penelitian
ini menunjukkan dukungan terhadap grand
theory yaitu teori fraud triangle dan teori
GONE. Kedua teori tersebut menyatakan
bahwa opportunity merupakan salah satu
determinan utama terjadinya fraud. Opportu-
nity, berupa lemahnya sistem pengendalian
intern (SPI) menjadikan pelaku mempunyai
kesempatan yang luas untuk melakukan
fraud. Meskipun SPI untuk Pemda, telah
diatur sedemikian rupa dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP), namun pada praktiknya masih ter-Ratmono, Pradopowati, Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial 332
dapat kelemahan implementasi pada banyak
Pemda. Inspektorat Pemda dalam hal ini per-
lu melakukan evaluasi dan penguatan SPI
Kehususnya yang terkait dengan mekanisme
penyaluran belanja bansos,
Determinan lain yang menentukan
fraud belanja bansos adalah kepatuhan
terhadap peraturan_perundang-undangan.
Temuan ini juga mendukung teori fraud
triangle dan teori GONE yang menyatakan
bahwa kepatuhan terhadap regulasi meru-
pakan faktor ex ante untuk dapat mem-
batasi opportunity bagi anggota organisasi
Dengan demikian, Pemerintah Daerah perlu
meningkat kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan terkait bansos untuk
memitigasi risiko fraud. Kepatuhan terha-
dap peraturan perundang-undangan terkait
keuangan negara merupakan determinan
penting yang perlu diperhatikan oleh Inspek-
torat sebagai auditor internal Pemda. Hal ini
terjadi karena variabel kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan merupakan,
variabel yang langsung dapat memengaruhi
tingkat fraud belanja bansos. Hasil penelitian
ini menunjukxan bahwa semakin banyak
temuan terkait ketidakpatuhan peraturan
perundang-undangan maka semakin ban-
yak fraud belanja bansos di Pemda. Dengan
kata lain, semakin patuh Pemda terhadap
peraturan keuangan negara maka semakin
kecil jumlah fraud belanja bansos yang ter-
jadi, Selain itu, kepatuhan dapat menjadi pe-
mediasi pengaruh jumlah temuan BPK ten-
tang SPI terhadap tingkat fraud belanja ban-
sos. Hasil penelitian ini memberikan bukti
empiris bahwa lemahnya SPI (diindikasikan
dengan banyaknya temuan BPK tentang SPI)
menyebabkan tingkat ketidakpatuhan ter-
hadap peraturan perundangan-undangan
yang semakin tinggi. Selanjutnya, ketidak-
patuhan terhadap peraturan perundangan-
undangan yang semakin tinggi ini menye-
babkan tingkat fraud belanja bansos yang
semakin tinggi
Penelitian ini memiliki suatu implikasi.
Implikasi pertama adalah masih banyak
ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang
berlaku namun tidak terdapat potensi keru-
gian negara atau unsur pidana. Implikasi
kedua adalah pengelolaan APBD, yang se-
cara umum, masih terdapat pemborosan.
Pengelolaan APBD juga masih sering dite
mukan ketidakefisienan berorientasi pada
proses, yaitu rasio antara input dan output
yang lebih tinggi dibandingkan standar atau
rata-rata atau kegiatan serupa. Implikasi ke-
tiga adalah adanya temuan ketidakefektifan
organisasi yang mempengaruhi berorientasi
pencapaian hasil kegiatan yang tidak mem-
berikan manfaat, Faktor-faktor ini perha
menjadi perhatian untak dapat meminimal-
kan tingkat fraud belanja bansos Pemerin-
tah Daerah.
SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kelemahan SPI merupakan salah
satu penyebab fraud belanja bansos. Anali-
sis terhadap data hasil pemeriksaaan BPK
menunjukkan bahwa semakin banyak
kelemahan SPI, maka semakin tinggi tingkat
penyimpangan belanja bansos. Upaya me-
ningkatkan kehandalan SPI seperti amanat
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008
merupakan faktor penting untuk mencegah
dan mengurangi belanja bansos. Selain itu,
kurangnya kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan juga menjadi determi-
nan tingkat penyimpangan belanja bansos.
Faktor penting dalam mencegah kecurangan
adalah peningkatan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan. Hal ini
dapat dilakukan melalui peningkatan peran
Inspektorat Daerah dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pene-
litian ini secara empiris juga menunjukkan
belum berjalannya peran DPRD dalam me-
ngurangi fraud belanja bansos.
Penelitian ini mempunyai kontribusi
dalam memberikan bukti empiris determi-
nan fraud belanja bansos sehingga dapat
menjadi bahan pertimbangan faktor yang
harus dikuatkan dalam upaya pencegahan di
masa mendatang. Kompleksnya faktor yang
kemungkinan memengaruhi fraud belanja
bansos pada pemerintah dacrah membutuh-
kan perhatian berkesinambungan, terutama
dengan menggunakan berbagai pilihan mo-
del dan metode penelian. Topik fraud belan-
ja bansos perlu terus dilakukan mengingat
bahwa fraud belanja bansos merupakan
salah satu bentuk penyimpangan keuangan
negara yang sering terjadi
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, S. 2004. “Perilaku Oportunistik
Legislatif dalam Penganggaran Daerah:
Pendckatan Principal-Agency Theory”.
Paper dipresentasikan pada Seminar
Antarbangsa, Universitas Bengkulu, 4 -
5 Oktober 2004
Abdullah, S. dan JA. Asmara. 2007.
“Perilaku Oportunistik Legislatif dalam,333 Jurnal Ahuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 3, Desemiber 2016, Hm 328-340,
Penganggaran Daerah: Bukti Empiris
Atas Aplikasi Agency di Sektor Publik”,
Jurnal Riset Akuntansi, Vol. 10, No, 1,
him 20-42
Albrecht, W.S. 2003. Fraud Examination.
Ohio: South Western
Arifianti, H., Payamta dan Sutaryo.
2013. “Pengaruh Pemeriksaan dan
Pengawasan Keuangan Daerah
Terhadap Kinerja__Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Studi Empiris
Pada Pemerintah Kabupaten/Kota
Di Indonesia”. Simposium Nasional
Akuntansi XVI
BPKP. 2007. “Pencegahan dan Pendeteksian
Fraud’, dalam Modul Diklat Audit
Forensik 3. Bogor: Pusdiklatwas BPKP
BPP. 2007, “Perilaku Menyimpang (Fraud)”,
dalam Modul 2 Audit Forensik. Bogor:
Pusdiklatwas BPKP
Carvalho, BuJ., S.M. Jorge dan MJ.
Fernandes. 2007. “Conformity and
Diversity of Accounting and Financial
Reporting Practices in Portuguese Local
Government”. Canadian Joumal of
Administrative Sciences, Vol. 24, him
214
Darmastuti, D. dan D. Setyaningrum. 2012.
“Faktor-faktor yang —Memengaruhi
Pengungkapan Belanja Bantuan Sosial
Pada Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah Pada Tahun 2009". Jurnal
‘Simposium Nasional Akuntansi XV
Heriningsih, S. 2014. “Kajian Empiris Tingkat
Akuntabilitas Pemerintah Daerah dan
Kinerja_Penyelenggara_Pemerintah
Daerah Terhadap Tingkat Korupsi Pada
Kabupaten/Kota Di Indonesia”. Jurnal
Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan
Paradigma, Vol. 18, No. 2, him 29-36.
Kahar, Y. 2005. “Fungsi DPRD dalam
Pengawasan Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Di
Kota Padang Panjang”. Tesis tidak
dipublikasikan. Universitas Diponegoro.
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.
2011. Buletin Teknis Nomor 04 Tentang
Penyajian dan Pengungkapan Belanja
Pemerintah, Jakarta
Mustikarini, W.A. dan F. Debby. 2012
“Pengaruh Karakteristik Pemerintah
Daerah dan Teman Audit BPK
Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota Di Indonesia Tahun
Anggaran 2007". Simposium Nasional
Akuntansi Vol.15
Nafchuka, A.G. 2003. “Pembangunan
Komunikasi Politik Antara Lembaga
Eksekutif dan Legislatif dalam
Perspektif Ketahanan Nasional (Studi
Kasus Di Kabupaten Sidoarjo)”. Tesis
Tidak Dipublikasikan, Universitas
Indonesia,
Rochmatullah, M.R. dan A.N. Probohudono.
2014, “Praktik Belanja Bantuan Sosial
Pemerintah Daerah Di Indonesia”. Sim-
posium Nasional Akuntansi XVII Mata
rar, him 1-22.
Samsudin, M. AR. Kusuma dan S.
Djaya. 2014. “Faktor-Faktor Yang
Berpengaruh Terhadap —_Efektivitas,
Penyaluran Bantuan Sosial di Bagian
Sosial Sekretariat Daerah Kabupaten
Kutai Timur", Journal Administrative
Reform, Vol. 1, No. 2, him 783 -794.
Santoso, M.A. 2011. “Peran Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam
Menjalankan Fungsi Pengawasan’.
Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 15, him 604-
620.
Setyaningrum, D. dan F. Syafitri. 2012
“Analisis Pengaruh — Karakteristik
Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat
Pengungkapan Laporan Keuangan’.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indo-
nesia, Vol. 9, No. 2, hlm 154-170.
‘Tobirin. 2008. “Penerapan Etika Moralitas
dan Budaya Malu dalam Mewujudkan
Kinerja Pegawai Negeri Sipil Yang
Profesional”. Jurnal Kebijakan dan
Manajemen PNS, Vol 2, hm 16-21
Victorian Auditor General Office. 2008.
“Compliance Does _It_ Restrict
Performance?” Australasian Police Audit
Conference. Auditor General Victoria
Widjajabrata, S. dan N.M, Zacchea, 2004.
“International Corruption: The
Republic of Indonesia Is Strengthening
The Ability Of Its Auditors To Battle
Corruption”. The Journal of Government
Financial Management, Vol. 5, No. 3,
him
Zaclani, F. 2010. “Pengaruh Ukuran,
Pertumbuhan, dan Kompleksitas
‘Tethadap —-Pengendalian — Intern
Pemerintah Daerah —_ Kabupaten/
Kota Tahun 2008". Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Universitas Indonesia.
Zimbelman, M dan C. Albrecht. 2012.
“Forensic Accounting”. New York:
South Western Cengage Learning.Ratmono, Pradopowati, Determinan Fraud Belanja Bantuan Sosial 334
Zirman, B.D.,dan R.M. Rozi. 2010. “Pengaruh
Kompetensi Aparatur Pemerintah
Daerah, Penerapan Akuntabilitas
Keuangan, Motivasi_ Kerja, dan
Ketaatan Pada Peraturan Perundangan
terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah”. Jurnal Ekonomi, Vol 18,
No. 1, him 1-12.