Anda di halaman 1dari 9

1.

Perbedaan

Hukum Pidana Luar Hukum Pidana


Dalam KUHP Diluar KUHP
tindak pidana ekonomi diatur 1. Tindak Pidana Ekonomi dalam UU
dalam Undang-Undang Darurat No. 7 No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan,
Tahun 1955 Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana;
2. Tindak Pidana Korupsi;
3. Tindak Pidana Pencucian Uang dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010;
4. Tindak Pidana Terorisme;
5. Tindak Pidana Psikotropika dalam UU
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
6. Tindak Pidana Narkotika dalam UU No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
7. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi
Elektronik.

2. Isi Konvensi Milan 1985


Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus dipertimbangkan dalam konteks
pembangunan ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosial dan budaya dan perubahan sosial,
serta dalam konteks internasional baru tatanan ekonomi. Sistem peradilan pidana harus
sepenuhnya responsif terhadap keragaman sistem politik, ekonomi, dan sosial dan untuk
kondisi masyarakat yang terus berubah.
Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana tidak boleh diperlakukan sebagai terisolasi
masalah yang harus ditangani dengan sederhana, metode fragmentaris, melainkan sebagai
kegiatan yang kompleks dan luas yang membutuhkan strategi sistematis dan dibedakan
sehubungan dengan:
a. Konteks dan keadaan sosial-ekonomi, politik dan budaya masyarakat di mana mereka
diterapkan
b. Tahap perkembangan, dengan penekanan khusus pada perubahan terjadi dan
kemungkinan akan terjadi serta persyaratan terkait.
c. Tradisi dan adat masing-masing, menjadikan maksimal dan penggunaan yang efektif
dari pilihan-pilihan adat manusia.

Sistem peradilan pidana, selain sebagai instrumen untuk melakukan kontrol dan
pencegahan, juga harus berkontribusi pada tujuan memelihara perdamaian dan ketertiban
untuk pembangunan sosial dan ekonomi yang adil, memperbaiki ketidaksetaraan dan
melindungi hak asasi manusia. Untuk berhubungan pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana dengan sasaran pembangunan nasional, upaya harus dilakukan untuk
mengamankan manusia dan material yang diperlukan sumber daya, termasuk alokasi
pendanaan yang memadai, dan untuk semaksimal mungkin semua lembaga dan sumber
daya masyarakat yang relevan, dengan demikian memastikan keterlibatan yang tepat dari
masyarakat.

3. Jelaskan:
a. White Collar Crime (WCC)
Sejarah: Seorang sosiolog Amerika, Edwin Sutherland pertama kali memperkenalkan
konsep "kejahatan kerah putih" atau white-collar crime(WCC) pada konferensi
American Sociological Association pada tahun1939, yaitu istilah yang secara singkat
mulai dikenal sebagai perbuatankejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki
status tinggi sertaberhubungan dengan pekerjaannya. Pada kemunculannya, white-
collarcrime dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, berpakaianrapi (dengan
jas dan kemeja berkerah putih), sehingga “kerah putih”disimbolkan sebagai jabatan
yang melekat pada orang tersebut.
Sutherland mengklaim bahwa banyak kriminolog yang tidakmemahami apa itu
kejahatan, karena mereka gagal untuk mengenali bahwapelanggaran rahasia
kepercayaan publik dan perusahaan oleh mereka yangberada di posisi otoritas adalah
sama kriminalnya dengan tindakanpredator yang dilakukan oleh orang-orang dari
status sosial yang lebihrendah. Sutherland juga mengemukakan bahwa penjahat kerah
putihjauhlebih kecil kemungkinannya untuk diselidiki, ditangkap, atau dituntut
daripada jenis pelanggar lainnya. Di zaman Sutherland, ketika merekadihukum,
pelanggar kerah putih jauh lebih kecil kemungkinannya untukmenerima hukuman
penjara aktif daripada "penjahat biasa." Penghormatanyang ditujukan kepada penjahat
kerah putih, kata Sutherland, terutamakarena status sosial mereka. Banyak penjahat
kerah putih telah dihormati di komunitas mereka, dan banyak yang telah mengambil
bagian dalamurusan nasional.
Herbert Edelhertz mendefinisikan white-collar crime sebagai “tindakanilegal atau
serangkaian tindakan ilegal yang dilakukan dengancara nonfisik dan dengan
penyembunyian atau tipu muslihat, untukmendapatkan uang atau properti, untuk
menghindari pembayaranataukehilangan uang atau properti, atau untuk memperoleh
bisnis ataukeuntungan pribadi.
Dictionary of Criminal Justice Data Terminology mendefinisikanwhite-collar crime
sebagai non-violent crime dengan tujuan untukmendapatkan keuntungan finansial
yang dilakukan dengan menipu, olehorang yang memiliki status pekerjaan sebagai
pengusaha, profesional atausemi profesional dan menggunakan kemampuan teknis
serta kesempatanatas dasar pekerjaannya. Di Indonesia sendiri, white-collar crime
telahdiatur secara yuridis di dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
walautidakdisebutkan secara eksplisit bahwa tindakan tersebut merupakan white-
collar crime. Pasal ini berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuanmenguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanyakarena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20(duapuluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluhjuta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”Setidaknya satu kriminolog terkemuka telah menyebut konsepkejahatan
kerah putih sebagai "perkembangan paling signifikan dalamkriminologi, terutama
sejak Perang Dunia II." Akar konsepnya kembali ketahun 1939, ketika Edwin
Sutherland pertama kali menciptakan istilahkejahatan kerah putih dalam pidato
kepresidenannya di AmericanSociological Association. Pidatonya ditutup dengan
lima poin berikut:
1) Kriminalitas kerah putih adalah kriminalitas yang nyata, karenadalam semua
kasus melanggar hukum pidana.
2) Pada prinsipnya, kriminalitas kerah putih berbeda dengankriminalitas kelas bawah
dalam pelaksanaan hukumpidana, yang secara administratif memisahkan pelaku
kejahatan kerah putihdengan pelaku lainnya.
3) Teori kriminolog bahwa kejahatan disebabkan oleh kemiskinanatau kondisi
psikopat dan sosiopat yang secara statistik terkait dengan kemiskinan tidak valid
karena, pertama, mereka berasal dari sampel yang sangat bias sehubungan dengan
status sosial ekonomi; kedua, mereka tidak berlaku untuk penjahat kerah putih;
dan ketiga, mereka bahkan tidak menjelaskan kriminalitas kelasbawah, karena
faktor-faktor tersebut tidak terkait dengankarakteristik proses umum dari semua
kriminalitas.
4) Diperlukan teori perilaku kriminal yang akan menjelaskankriminalitas kerah putih
dan kriminalitas kelas bawah.
5) Hipotesis seperti ini disarankan dalam kaitannya dengan asosiasi diferensial dan
disorganisasi sosial.
Ciri-ciri: penggunaan jabatan dan konsep klasik dari white-collar crime selalu tertuju
pada pemerintahan
Pelopor: Edwin Sutherland
b. Kaitan WCC dengan Organized Crime dan Transnational Organized Crime dalam
economic Crimes
Kaitan white-collar crime dengan organized crime, yakni suatukejahatan yang lahir
dan berkembang ketika seseorang atau lebih memiliki kepentingan dan motivasi yang
sama, yang ditandai dengan perlakuanuntuk menghalalkan segala macam cara demi
tercapainya tujuandari kepentingannya tersebut. Masalah kejahatan terorganisir ini
pun telahmenjadi isu sentral, dimana kejahatan terorganisir tidak lagi menjadi
masalah suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah berskala internasional, yakni
kejahatan terorganisir transnasional atau transnational organizedcrime.
Sedangkan kaitannya dengan Kejahatan terorganisir transnasional merupakan
kejahatan mengacupada kegiatan melanggar hukum yang dilakukan dan
didukungolehkelompok kriminal terorganisir yang beroperasi melintasi batas-batas
negara, muncul sebagai salah satu tantangan paling mendesak di awal abadkedua
puluh satu.
4. Pencucian uang
a. Sejarah muncul pemikiran internasional tentang pencucian uang (melalui konvensi
apa)?
Masalah pencucian uang atau money laundering sebenarnya telah lama dikenal, yaitu
semenjak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan
laundry (pencucian pakaian). Perusahaan ini dibeli oleh para mafia dan kriminal di
Amerika Serikat dengan dana yang mereka peroleh dari kejahatannya. Selanjutnya
perusahaan laundry ini mereka pergunakan untuk menyembunyikan uang yang
mereka hasilkan dari hasil kejahatan dan transaksi ilegal sehingga tampak seolah-olah
berasal dari sumber yang halal.
Al Capone, Penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha
kejahatannya dengan memakai si genius Mayer Lansky, Orang Polandia. Lansky,
seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (Laundry).
Demikian asal muasal muncul nama money laundering.
Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di
Amerika Serikat, yaitu ketika Mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai
salah satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencuci pakaian atau
disebut Laundromat yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat.Usaha pencucian
pakaian ini berkembang maju, dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti
dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti
uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian, dan hasil usaha pelacuran.32 Pada
tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang, dengan berkembangnya
bisnis haram seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran
rupiah sehingga kemudian muncul istilah narco dollar, yang berasal dari uang haram
hasil perdagangan narkotika.
Rezim anti-pencucian uang secara internasional terbentuk atas inisiasi komunitas
internasional dan negara-negara yang secara penuh sadar akan ancaman dari
bahwanya pencucian uang (money laundering). Entitas asional juga seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (kemudian dibaca PBB) turut menjadi fasilitator
pembangunan rezim. Muncul beberapa konvensi, regulasi, dan standar internasional
yang diharapkan mampu mencegah dan memberantas pencucian uang. Misalnya PBB
dengan membentuk: a) the United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 (Vienna Convention); b) the
International Convention Against Transnational Organized Crimes (Palermo
Convention); dan c) Global Programme Against Money laundering (GPML oleh
UNODC).
b. Latar belakang kriminalitas pencucian uang di Indonesia
Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and Territories
sesuai dengan rekomendasi (NCCT’s) dari Financial Actions Task Force on Money
Laundering. Bahwa setiap transaksi dengan perorangan maupun badan hukum yang
berasal dari negara NCCT‟s harus dilakukan dengan penelitian seksama. Berbagai
upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan mengesahkan UU No. 25 Tahun
2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, mendirikan PPATK, mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan
mengadakan kerja sama internasional, akhirnya membuahkan hasil. Februari 2006
Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s setelah dilakukan formal monitoring
selama satu tahun.16 Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2010, DPR
bersama Presiden menyepakati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya Undang-
Undang ini, bertujuan agar tindak pidana pencucian uang dapat dicegah dan
diberantas.
c. maksud predicate offence dan follow up crimes dan kaitannya dengan prinsip no
money laundering without predicate offence
Tindak pidana asal (predicate crime) merupakan tindak pidana yang menghasilkan
uang/ harta kekayaan yang kemudian dilakukan proses pencucian.
Tindak pidana lanjutan (follow up crime) yang merupakan kelanjutan dari tindak
pidana asal (predicate crime), sebagai sebuah upaya untuk menyembunyikan, atau
menghilangkan jejak, sedemikian rupa sehingga tidak dapat diketahui bahwa harta
kekay- aan tersebut berasal dari tindak pidana.
Mahkamah Konstitusi bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang adalah tindak pidana
lanjutan (follow up crime) yang merupakan kelanjutan dari tindak pidana asal
(predicate crime), sebagai sebuah upaya untuk menyembunyikan, atau menghilangkan
jejak, sedemikian rupa sehingga tidak dapat diketahui bahwa harta kekayaan tersebut
berasal dari tindak pidana. Sedangkan tindak pidana asal (predicate crime) merupakan
tindak pidana yang menghasilkan uang/harta kekayaan yang kemudian dilakukan
proses pencucian. Oleh karena itu tidaklah mungkin ada TPPU tanpa adanya tindak
pidana asalnya terlebih dahulu.15 Oleh sebab itu, dalam sudut pandang Follow up
crime, dimunculkan sebuah aksioma bahwa no money laundering without predicate
offences (tidak ada pencucian uang tanpa tindak pidana yang dilakukan).
Bahwa perspektif tindak pidana pencucian uang sebagai sebuah follow up crime,
mencuplik kedudukan Tindak Pidana Pencucian Uang dari sudut pandang terjadinya
delik secara faktual. Sehingga sudut pandang ini akan melihat bahwa dalam hal
terjadinya tindak pidana pencucian uang, maka pasti harus ada hasil tindak pidana
(proceed of crime) yang terhadapnya dilakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan
tersembunyikan atau tersamarkannya hasil kejahatan tersebut. Adapun hasil tindak
pidana tersebut pasti berasal dari tindak pidana, sebagaimana pameo yang telah
disampaikan sebelumnya bahwa no money laundering without predicate offences.
Pameo tersebut secara faktual adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Akan
tetapi, jika pameo tersebut dijadikan pegangan yang bersifat mutlak dari sudut
pandang pembuktian, akan sangat dimungkinkan tidak efektifnya perampasan dan
pemulihan aset terhadap tindak pidana pencucian uang. Padahal orientasi utama
dalam pembentukan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
TPPU adalah memaksimalkan perampasan dan pemulihan aset, baik untuk
dikembalikan kepada negara (dalam hal tindak pidana yang korbannya adalah negara
atau tindak pidana tanpa korban langsung, seperti perjudian dan narkotika), maupun
dikembalikan kepada yang berhak (dalam hal tindak pidana yang terdapat korban
langsung, seperti pencurian, penggelapan, penipuan, dst).
d. Kerahasiaan Bank
Ketentuan Pengecualian mengenai rahasia bank juga diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali ada izin membuka rahasia
bank dari Gubemur Bank Indonesia atau ada persetujuan . dari nasabah penyimpan.
Untuk memudahkan pelacakan terhadap pelaku kejahatan, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa peraturan perundangan yang mengatur beberapa terobosan
mengenai ketentuan membuka rahasia bank. Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk
meningkatkan pemberantasan terhadap kejahatan pencucian uang (money laundering),
terorisme, dan korupsi.
Dalam Pasal 33 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, ditentukan bahwa
untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang,
penyidik (kapolri/kapolda), penuntut umum (jaksa agung/kepala kejaksaan tinggi)
atau hakim ketua majelis yang memeriksa perkara berwenang meminta keterangan
dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah
dilaporkan oleh pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) sebagai
tersangka atau terdakwa. Untuk permintaan keterangan ini tidak berlaku ketentuan
rahasia bank. Mengenai pembukaan rahasia bank yang terkait dengan tindak pidana
terorisme telah diatur secara khusus dalam Pasal 30 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketentuan tersebut intinya menetapkan
bahwa untuk kepentingan pemeriksaan tindak pidana terorisme, penyidik (kapolda
atau pejabat tinggi pada tingkat pusat), penuntut umum (kepala kejaksaan tinggi) atau
hakim ketua majelis juga berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan
lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau
patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.
Untuk ini juga tidak berlaku ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi
keuangan lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi berwenang untuk meminta keterangan kepada bank tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang diperiksa tanpa perlu izin dari
pimpinan Bank Indonesia. Ketentuan ini telah dikuatkan oleh fatwa Mahkamah
Agung kepada Bank Indonesia tertanggal 3 Desember 2004. Dengan adanya
ketentuan pengecualian terhadap pembukaan rahasia bank yang telah diberikan oleh
beberapa undang-undang tersebut, perlu dikaji rebih lanjut apakah ketentuan rahasia
bank yang ada saat ini sudah responsif terhadap kebutuhan pemberantasan kejahatan.
Sulitnya mengungkapkan kejahatan pencucian uang berkaitan dengan kerahasiaan
bank adalah karena adanya nondisclosure terhadap orang dan informasi tentang
transaksi. Di dalam kerahasiaan bank sering kali terdapat rekening anonim, atau
rekening dengan nomor dan nama palsu. Pemilik rekening menandatangani perjanjian
dengan orang yang mewakili bank dan menyetujui kondisi dan syarat-syarat yang
ditetapkan dalam hubungan mereka, kemudian mendapat nomor atau nama samaran.
e. Konsep Pembalikan Beban Pembuktian
Menurut Undang-Undang PP TPPU, pembuktian terbalik menjadi kewajiban
terdakwa, terdakwa diwajibkan membuktikan harta kekayaannya bukan hasil tindak
pidana, namun jaksa penuntut umum tetap diberikan beban untuk membuktikan unsur
kesalahan terdakwa. Pada Pasal 77 disebutkan, untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 77, lebih lanjut dan
pada Pasal 78 Undang-Undang PP TPPU bahwa terdakwa membuktikan bahwa harta
kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti
yang cukup.
Dalam hukum positif Indonesia pembalikan beban pembuktian atau lebih dikenal
dengan istilah pembuktian terbalik diadopsi dalam dua peraturan perundang-undangan
yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU Pemberantasan
Tipikor) dan Undang-Undang PP TPPU. Sesuai dengan ide awal pemerintah maka
pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang dalam UU Pemberantasan Tipikor
hanya dapat diterapkan dalam 2 (dua) objek pembuktian yaitu:
1) Pada “korupsi suap menerima gratifikasi” yang nilainya Rp. 10.000.000.00.-
(Sepuluh juta rupiah) atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a Jo Pasal 37); dan
2) Pada “harta benda terdakwa” yang terbagi dalam 2 (dua) jenis yakni:
a. Harta benda yang didakwakan dan yang ada hubungannya dengan pembuktian
tindak pidana korupsi dalam perkara pokok (Pasal 37A).
b. Harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B Jo Pasal 37).

Sedangkan dalam Undang-Undang PP TPPU pembuktian terbalik diterapkan dalam 2 (dua)


jenis tindak pidana pencucian uang:

1) Tindak pidana pencucian uang aktif (Pasal 3 dan Pasal 4). Tindak pidana pencucian
uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, mempergunakan frasa “menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata
uang, atau surat berharga atau perbuatan lain yang merupakan kalimat aktif dalam
perumusan Pasal 3, maka dapat diketahui bahwa tindak pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dalam kepustakaan tindak pidana pencucian uang termasuk
atau disebut tindak pidana pencucian uang aktif. Tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, mempergunakan frasa “menyembunyikan” dan
“menyamarkan” yang merupakan kalimat aktif dalam perumusan Pasal 4, maka dapat
diketahui tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam
kepustakaan tindak pidana pencucian uang adalah termasuk atau disebut tindak pidana
pencucian uang aktif.
2) Tindak pidana pencucian uang pasif (Pasal 5). Tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mempergunakan frasa “menerima” dan
“menguasai” yang merupakan kalimat pasif dalam perumusan Pasal 5, dalam
kepustakaan tindak pidana pencucian uang adalah termasuk atau disebut tindak pidana
pencucian uang pasif.

Anda mungkin juga menyukai