Menghadapi tindakan sewenang-wenang dan penindasan itu menjadikan rakyat Indonesia memberikan
perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Sebelum VOC berkuasa, Portugis telah menanamkan kekuasaan di kawasan Malaka dan Maluku. Pada
tahun 1511 Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerqee berhasil menguasai Malaka.
Dari Malaka Portugis kemudian meluaskan pengaruh dan perdagangannya ke berbagai wilayah di
Indonesia. Mula-mula Alfonso d’Albuquerqee mengirim pasukannya ke Aceh kemudian ke Maluku.
Selain itu, Sultan Agung menganggap kedudukan VOC di Batavia sebagai ancaman karena kerap
menghalangi kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka. Saat hubungan Mataram dan VOC
semakin buruk, kontak-kontak senjata di antara keduanya pun tidak terhindarkan. Sultan Agung tercatat
dua kali mengirim pasukan Mataram ke Batavia untuk mengusir Belanda dari Jawa. Akan tetapi, dua
serangan yang masing-masing dilakukan pada 1628 dan 1629 selalu menemui kegagalan.
Meski strategi ini berhasil membuat pihak VOC terjangkit wabah kolera, tetapi dominasi Belanda belum
bisa dipatahkan. Pada akhirnya, pasukan Mataram memilih mundur dan kembali ke kerajaannya.
Mundurnya perlawanan Mataram terhadap Belanda di Batavia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
kalah persenjataan, stamina pasukan terkuras, dan kekurangan bahan makanan.
Penyebab utama kegagalan serangan Mataram terhadap VOC tahun 1629 adalah dibakarnya lumbung
padi pasukan Mataram oleh Belanda. Akibatnya, pasukan Mataram kekurangan bahan makanan dan
kelelahan, sehingga memilih untuk mundur.
Mataram pasca kekalahan dari VOC
Dengan kegagalan pasukan Mataram, VOC semakin ingin untuk terus memaksakan monopoli
dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun, VOC selalu khawatir dengan
kekuatan tentara Mataram yang semakin lama semakin kuat. Tentara VOC juga selalu berjaga-
jaga untuk mengawasi tingkah laku pasukan Mataram. Pasukan Sultan Agung tidak pernah
menyerah dan selalu berusaha untuk bisa menggagalkan rencana VOC untuk memperluas
kekuasaan dan monopoli perdagangannya.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645
digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.
Sebagaimana dikisahkan dari buku "Babad Tanah Jawi" tulisan WL Olthof, saat itu
Sultan Agung memiliki dua orang putra yang tertua bernama Adipati Arya
Mataram, yang sudah menikah dengan putri Pangeran Pekik di Surabaya. Putra
kedua bernama Raden Mas Alit atau Pangeran Danu Paya.
Hal ini menimbulkan kejutan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak
dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang luar biasa antara
Amangkurat I dan para ulama bahkan di langit pada penangkapan, sehingga
banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram mati yang besar .
Mendapat tugas, Trunojoyo segera melakukan aksinya, yang pertama dia lakukan
dengan penculikan kepada Cakraningrat II yang diasingkan ke Lodoyo Blitar.
Tahun 1674, Trunojoyo merebut kekuasaan Madura dan memproklamirkan
sebagai raja merdeka di Madura Barat.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, juga menjalin kerja sama dengan Karaeng
Galesong, pemimpin pelarian asal Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang
telah terbukti VOC.