Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang pluralistik dan memiliki
dua modalitas penting yang membentuk karakternya yang multikultural, yaitu demokrasi dan
kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai yang dipercaya dan dipahami dapat menjaga
kerukunan umat beragama.
Dalam keragaman bangsa Indonesia, secara historis dan sosiologis agama Islam
dianut mayoritas bangsa Indonesia, namun jika dilihat tingkat provinsi atau daerah, misalnya
kabupaten/ kota maka terdapat agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu yang
menjadi mayoritas di lingkungan tersebut
Keragaman suku, ras, agama, perbedaan bahasa dan nilai-nilai hidup yang terjadi di
Indonesia sering berbuntut berbagai konflik. Konflik di masyarakat yang bersumber pada
kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di berbagai kawasan di Indonesia
menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa
Indonesia, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling
pengertian antar kelompok.
Konflik dan kekerasan sudah masuk dalam berbagai lingkungan masyarakat. Faktor
pemicu tindak-tindak kekerasan yang selama ini terjadi seringkali merupakan muara
terjadinya konflik yang tertangani secara keliru. Konflik merupakan penyebab bagi
kekerasan, karena dibalik setiap bentuk kekerasan terdapat konflik yang belumterselesaikan.
Konflik telah mencapai titik kekerasan dapat dipastikan karena konflik telah tertangani secara
keliru atau konflik telah diabaikan (Sutanto, 2005).
Budaya kekerasan berfokus pada anggapan bahwa konflik sebagai perusak atau
penghancur. Konflik dipandang sebagai pergulatan yang baik dan jahat, hitam dan putih,
kemenangan dan kekalahan, keuntungan dan kerugian. Konflik dapat dianggap sebagai
penyebab niscaya bagi kekerasan, jika keberadaannya dipersepsikan negatif dan diselesaikan
dengan cara kompetitif. Oleh karena itu perlu diusahakan agar konflik ditangani lebih serius
untuk menciptakan ke damaian di masyarakat
Secara lebih rinci dan Muhammad Iqbal Ahnaf (2011) menggambarkan kontruksi
operasinal perdamaian dalam tabel berikut:
Kedua, bagian kedua dari teka-teki perdamaian adalah mekanisme arbitrase yang
berfungsi dengan baik. Peradilan memiliki peran penting dalam menciptakan perdamaian
komunal, baik di arena resmi maupun non-formal. Keamanan dan stabilitas dapat dicapai
dengan menggunakan sistem hukum yang telah mapan dalam masyarakat. Hak individu
sebagai anggota masyarakat akan dilindungi oleh sistem hukum yang berfungsi dengan baik,
dan mereka tidak perlu khawatir tentang kekuatan yang menindas atau mengendalikan.
Dalam masyarakat yang dibangun di atas kepastian hukum, memiliki sistem arbitrase yang
kompeten memudahkan untuk melihat di mana garis antara kebenaran dan ketidakbenaran
ditarik.
Ketiga, iklim integratif adalah hal terakhir yang harus diperhatikan (bridging social
capital). Seperti komponen-komponen pembangunan perdamaian sebelumnya (saluran
komunikasi yang baik dan sistem hukum yang berfungsi), aspek ini tidak dapat dianggap
terpisah. Sistem komunikasi yang efisien dan sistem hukum yang efektif kemungkinan besar
menjadi penyebab komponen ketiga ini. Untuk mempromosikan perdamaian, saluran
komunikasi yang efisien harus dibangun. Lingkungan yang damai dapat tercipta dalam
masyarakat dengan iklim yang terintegrasi. Institusi nonformal yang diwujudkan dalam
tradisi komunal seringkali menjadi penanda suasana integratif suatu masyarakat.
Referensi:
Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama RI. 2019. Mozaik Moderasi
Beragama dalam Perspektif Kristen. Jakarta: Gunung Mulia.
Reychler, Luc. 2006. “Challenges of Peace Research”. International Journal of Peace Studies,
Volume 11, number 1, Spring/Sumer, 2006.
Shihab, M. Quraish. 2019. Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama.
Jakarta: Lentera Hati.