Anda di halaman 1dari 3

Essay :

Pengaruh Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965


tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria

Oleh : Muslim, S.H


NIM : 22120002
(Mahasiswa Magister Hukum Universitas Janabadra)

Para pakar hukum Indonesia telah merumuskan berbagai pendapat terkait dengan politik
hukum. Prof. Mahfud MD (Politik Hukum di Indonesia;2017) berpendapat bahwa politik
hukum adalah Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara. Sementara pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono, adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk. Lebih
jelasnya, Padmo Wahjono menerangkan bahwa politik hukum merupakan kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk membentuk suatu yang
mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.

Dari dua pendapat pakar hukum diatas, setidaknya kita dapat mengambill kesimpulan
bahwa politik hukum sangat erat kaitannya dengan kebijakan penyelenggara negara dalam
merumuskan, membentuk, dan menerapkan serta menegakkan suatu produk hukum dalam
rangka mencapai tujuan negara. Seringkali, penerjemahan tujuan negara yang ingin dicapai
sangat berpengaruh pada kebijakan yang sedang dilaksanakan oleh masa pemerintahan tertentu.
Oleh karena itu, pembentukan suatu produk hukum tertentu juga sangat erat kaitannya dengan
situasi dan kondisi pada masa dimana produk hukum tersebut dibuat.

Pengaruh Politik Hukum dalam UU 18 Tahun 1965 Tentang Pemda dan UUPA

Pengaruh politik hukum dapat kita lihat setidaknya dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Lahirnya UU No. 18 Tahun 1965
sangat erat kaitannya dengan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang dimaksudkan untuk
menyempurnakan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan isi dan jiwa
UUD 1945, tetapi justru menggerogoti prinsip-prinsip otonomi. Aroma paradigma sentralisasi
daerah oleh pemerintah pusat dalam otonomi daerah menguat dengan diterbitkannya UU
18/1965 sebagai pengganti UU 1/1957. UU ini terlahir sebagai respon atas kondisi sosial-politik
negara paska diterapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian melahirkan era
Demokrasi Terpimpin. Implikasinya kemudian adalah pusat semakin menguasai pemerintahan
daerah termasuk rekrutmen kepala daerah selaku lembaga eksekutif dan DPRD selaku lembaga
legislatif.
Wasisto Raharjo Jati (Jurnal Konstitusi Volume 9, Nomor 4, Desember 2012)
menyebutkan bahwa paradigma otonomi daerah dalam UU ini adalah pengaruh Nasakomisasi
yang begitu kuat dimana masing-masing pimpinan daerah baik itu legislatif dan eksekutif harus
memenuhi syarat keterwakilan Nasakom tersebut. Terkhusus untuk pejabat eksekutif diangkat
dan diberhentikan oleh pusat yang mengemban amanah menyebarkan Nasakom sebagai ajaran
yang harus diterima dan diresapi oleh masyarakat selain ajaran gotong-royong maupun
revolusionerisme Indonesia. Semangat penyeragaman begitu kuat dalam otonomi daerah periode
ini dimana semua daerah kemudian diuniformalkan sebagai pemerintah yang struktur
pemerintahannya sama baik itu Jawa maupun luar Jawa.

Posisi daerah istimewa yang selama ini eksis sebagai daerah


swapraja/zelfbestuurlandschappen sendiri kemudian ditiadakan dan dijadikan sebagai provinsi,
bukan lagi daerah setingkat provinsi yang selama ini digunakan untuk menjelankan struktur
pemerintahan daerah swapraja. Kesatuan sangatlah ditonjolkan dalam pelaksanaan otonomi
daerah dalam UU 18/1965 dengan meniadakan desentralisasi kepada daerah. Pusat menilai
bahwa dengan adanya desentralisasi, hal itu justru melemahkan integrasi nasional yang digagas
oleh pusat. Oleh karena itulah, sentralisasi kemudian menjadi pilihan utama saat itu yang lebih
mengedepankan kepentingan nasional daripada daerah

Kemudian, UU No. 18 Tahun 1965 hanya mengatur mengenai pemerintahan daerah


berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan dan sebagaimana
halnya dengan istilah Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja merupakan istilah teknis, yang
dipergunakan untuk menyebut jenis daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi dan sebagainya itu bukan nama Daerah Administratif.
Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan, tetapi
dipandang dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara
kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan GBHN.

Selain itu, politik hukum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Pokok Agraria (UUPA) dibuat lebih responsif. Hal ini tidak terlepas dari
jaminan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang
menegaskan: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang". Kemudian dalam Pasal 281 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa: "ldentitas budaya
dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban".

Prof. Moh. Mahfud MD (Politik Hukum Di Indonesia;1998) juga menegaskan : UUPA


juga memberikan tempat yang proporsional bagi hukum adat, seperti yang tersebut dalam Pasal
5 bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat
yang sudah disaneer dan tidak bertendensi menantang asas unifikasi. Ini menandakan UUPA
berkarakter responsif. sebab hukum yang memiliki hukum adat dapat dilihat sebagai hukum
yang responsive”.

Jadi, karakter responsif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria tercermin pada norma yang terkandung dalam Pasal 5
bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Sehingga dengan adanya
jaminan sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria nasional
didasarkan pada hukum adat. Ini berarti bahwa kekuatan hukum hak-hak atas tanah bagi
masyarakat hukum adat sangat dijamin dalam hukum positif Indonesia.

Kesimpulan

Suatu produk hukum tidak terlepas dari pengaruh politik hukum itu sendiri, sesuai
dengan pendapat para pakar hukum diatas bahwa politik hukum adalah legal policy resmi yang
akan dilakukan mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum untuk mencapai
tujuan negara. Pengaruh politik hukum dalam UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah dikatakan lebih represif disebabkan bahwa kebijakan pemerintah pada saat
itu memandang bahwa kebijakan desentralisasi dapat menyebabkan lemahnya integrasi nasional
yang digagas oleh pusat, sehingga konfigurasi politik yang diciptakan pada periode ini adalah
otoriter birokratis karena obsesi menciptakan stabilitas sebagai syarat utama pembangunan
ekonomi dan integrasi nasional. Sehingga, produk hukum pemerintahan daerah bukan dengan
penerapan otonomi seluas-luasnya. Daerah tidak diberikan hak otonomi, melainkan kewajiban
untuk ikut melancarkan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah pusat, hal inilah
menyebabkan UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah dianggap represif.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Hukum Agraria dikatakan lebih responsif karena sangat mengormati dan menjamin hak –
hak masyarakat adat yang sesuai dengan perkembangan zaman adanya jaminan yang tercantum
dalam pasal 5 UUPA yang menyebutkan bahwa hukum agraria nasional didasarkan pada hukum
adat, hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 281 ayat (3) UUD 1945 yang
menjamin bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia selaras dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai