Pemilu dan pilkada secara langsung dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk
nyata pelaksanaan otonomi daerah, di mana rakyat dapat langsung memilih para
pemimpin yang dikehendaki secara langsung. Pemerintah dan DPR telah
menyepakati pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar
serentak pada 2024.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hari rabu, tanggal 14 februari 2024
menjadi hari dilaksanakannya pemungutan suara serentak tahun 2024. Pemilu serentak
dimaksud adalah untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD,
DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk Pilkada yaitu pemilihan
Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota
serentak akan dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 24 November 2024.
Kebijakan yang diambil pemerintah dalam konteks pemilu dan pilkada serentak
yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 tentunya perlu kita analisis bersama karena
pembuat kebijakan memainkan peran penting dalam menjalankan negara karena mereka
menetapkan kebijakan yang mengatur bagaimana masyarakat harus dijalankan dan
dengan cara apa ia akan berfungsi. Kebijakan-kebijakan inilah yang menjadi dasar
kebijakan publik dan implementasinya.
Dalam 2 jenis kebijalan publik salah satunya dikenal sebagai teori ekonomi dan
yang lainnya dikenal sebagai teori ilmu sosial. Dalam teori ekonomi, kebijakan publik
dianalisis berdasarkan efek yang ditimbulkannya terhadap perekonomian secara
keseluruhan.
Anggaran pemilihan umum atau pemilu 2024 yang berkisar Rp86-110 triliun
mencapai lebih dari dua kali lipat total anggaran pelaksanaan pemilu pada kurun 2004-
2019, namun meskipun terjadi peningkatan anggaran, tapi Pemilu serentak yang akan
dilakukan pada 2024, pada dasarnya menghemat ongkos penyelenggaraan Pemilu, yang
bisa jadi lebih besar jika dilakukan secara terpisah-pisah. Namun, hal tersebut juga
membuka potensi yang besar dilakukannnya tindak pidana korupsi bagi beberapa oknum
yang tidak bertanggung jawab.
Sedangkan, dalam analisis ilmu sosial, para analis lebih fokus pada masyarakat
secara totalitas dan mencoba menganalisis kebijakan publik dari sudut pandang makro.
Dampak yang timbul jika pemilihan kepala daerah ( pilkada) digabungkan dengan
pemilu nasional pada 2024. Dampak pertama yakni kompleksitas masalah pada Pemilu
2019 akan terulang kembali. Pada 2019 lalu, pemilu tingkat eksekutif dan legislatif
dilakukan serentak. Salah satu persoalan yang muncul terkait jumlah petugas
penyelenggara pemilu yang meninggal dunia. Berdasarkan data Komisi Pemilihan
Umum (KPU), ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami
sakit. Selain itu, potensi konflik sosial membayangi setiap penyelenggaraan pesta
demokrasi politik. Pilkada secara langsung diperkirakan juga akan menyerap energi
politik masyarakat daerah, termasuk kelompok-kelompok kepentingan (interest groups)
dan kelompok-kelompok politik (political groups) di daerah. Tetapi juga pemilu
nasional serentak potensial dapat juga meminimalkan konflik antar partai atau
pendukung partai. Konflik tak lagi berkepanjangan sepanjang tahun, sehingga dari sisi
manajemen konflik jadi lebih mudah untuk ditangani. Energi pendukung partai dapat
diarahkan untuk kegiatan positif lain yang mengarah pada pelembagaan partai politik.