Se 18 PJ31 Tahun 1992 Penegasan Pengalihan Harta
Se 18 PJ31 Tahun 1992 Penegasan Pengalihan Harta
TENTANG
Agar terdapat kepastian dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta baik antar perseorangan,
antara perseorangan dengan badan usaha maupun antar badan usaha, dengan ini disampaikan penegasan
sebagai berikut :
2. Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (selanjutnya
disebut UU PPh 1984) yaitu dalam :
- Pasal 4 ayat (1) huruf d,
- Pasal 4 ayat (3) huruf a, b, e dan f,
- Pasal 6 ayat (1) huruf d,
- Pasal 9 ayat (1) huruf f,
- Pasal 10 ayat (1),
- Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8),
serta dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.
Oleh karena itu Surat Edaran ini merupakan penegasan dan penjelasan atas ketentuan-ketentuan
dalam pasal-pasal tersebut di atas.
3.2. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 diatur bahwa keuntungan karena penjualan atau
karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan
dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta
karena likwidasi, adalah obyek Pajak Penghasilan.
3.3. Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984 diatur bahwa keuntungan karena pengalihan
harta dari orang pribadi, anggota firma, anggota perseroan komanditer atau kongsi kepada
perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya tidak termasuk sebagai
obyek PPh sepanjang memenuhi syarat :
3.3.1. pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama
memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
3.3.2. pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3.3.3. pengenaan pajak di kemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.
Ketiga persyaratan tersebut bersifat kumulatif, dan penilaian harta yang
dipindahtangankan itu harus mengikuti ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a
UU PPh 1984 (lihat contoh 8).
3.4. Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh 1984 diatur, bahwa harta yang diterima oleh
perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal tidak termasuk obyek PPh, dengan syarat dasar penilaiannya harus
memenuhi ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU PPh 1984.
Bagi penerimanya, sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984, dasar penilaian
harta yang diperoleh dari hibah, bantuan atau warisan adalah sama dengan dasar penilaian
bagi yang menyerahkan.
4. Kerugian karena pemindahtanganan harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
merupakan biaya.
4.1. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 diatur bahwa kerugian yang diderita karena
penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan besarnya penghasilan kena
pajak. Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa tidak semua kerugian karena pemindahtanganan
harta boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak,
melainkan hanya terbatas pada kerugian dari pemindahtanganan harta yang dimiliki dan
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan saja.
4.2. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh 1984 ditentukan bahwa harta yang dihibahkan,
diberikan sebagai bantuan/sumbangan dan diwariskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh 1984, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.
5.2. Dengan adanya pemindahtanganan harta, maka terjadi perubahan besarnya dasar
penyusutan setiap golongan harta sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) UU PPh 1984.
Ketentuan yang berkaitan dengan perlakuan PPh atas keuntungan/kerugian
pemindahtanganan harta ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU PPh 1984 kalimat ke dua,
yang berbunyi:
"Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b."
5.3. Pasal 11 ayat (7) UU PPh 1984 hanya mengatur perlakuan PPh mengenai penarikan harta dari
pemakaian atas harta yang dapat disusutkan dengan metode menurun secara berimbang.
Dalam pasal tersebut tidak diatur perlakuan PPh atas keuntungan atau kerugian dari
pemindahtanganan harta tidak berwujud dan pemindahtanganan harta yang disusutkan
dengan metode garis lurus (golongan bangunan). Penyusutan/amortisasi karena penarikan
harta Golongan Bangunan dan harta tidak berwujud diatur dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5)
dan ayat (6) PP Nomor 42 Tahun 1985.
5.4. Dalam Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8) UU PPh 1984 diatur bahwa penarikan harta dari
pemakaian dibedakan dalam 2 (dua) sebab, yaitu :
5.4.1. Karena sebab luar biasa :
a. karena bencana;
b. karena perusahaan menghentikan sebagian besar usahanya karena sebab-
sebab di luar kekuasaan perusahaan (lihat juga penjelasan Pasal 11 ayat (7)
UU PPh 1984), misalnya karena peraturan pemerintah.
5.4.2. Karena sebab biasa, yaitu sebab-sebab selain sebab luar biasa, misalnya karena
dijual atau ditukar dengan harta lain.
5.6. Mengenai pemindahtanganan harta Golongan Bangunan, perlakuan pajaknya diatur dalam
Pasal 3 ayat (5) PP Nomor 42 Tahun 1985, yaitu bahwa apabila terjadi penarikan harta
Golongan Bangunan dari pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena sebab luar
biasa, maka untuk memperoleh dasar penyusutan, harga perolehan dikurangkan dari jumlah
awal Golongan Bangunan. Jumlah sebesar harga sisa bukunya dibebankan sebagai biaya
pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut, dan jumlah sebesar nilai jual atau harga jual
atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan (lihat contoh 7).
5.7. Mengenai pemindahtanganan harta tak berwujud, perlakuan pajaknya diatur dalam Pasal 3
ayat (6) PP Nomor 42 Tahun 1985. Apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari
pemakaian, baik karena sebab biasa maupun karena sebab luar biasa, maka untuk
memperoleh dasar amortisasi, jumlah sebesar harga sisa buku dari harta tak berwujud
dikurangkan dari jumlah awal dan jumlah yang dikurangkan tersebut dibebankan sebagai
biaya dalam tahun terjadinya penarikan. Jumlah sebesar nilai penggantian atau harga
penggantian atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan.
5.8. Dalam Pasal 3 ayat (4) PP Nomor 42 Tahun 1985 diatur bahwa apabila terjadi penarikan
harta berwujud dari pemakaian karena dihibahkan, disumbangkan, atau diwariskan kepada
pihak lain, maka dasar penyusutan dihitung sebagai berikut :
5.8.1. Untuk harta golongan bukan bangunan, jumlah sebesar harga sisa buku dari harta
yang dihibahkan, disumbangkan atau diwariskan tersebut, dikurangkan dari jumlah
awal masing-masing golongan harta yang bersangkutan. Jumlah sebesar harga sisa
buku tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya;
5.8.2. Untuk harta Golongan Bangunan, jumlah sebesar harga perolehan dari bangunan
yang dihibahkan, disumbangkan atau diwariskan tersebut dikurangkan dari jumlah
awal Golongan Bangunan. Jumlah sebesar harga sisa bukunya tidak boleh
dikurangkan sebagai biaya.
6.2. Dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh
1984 (lihat butir 3.3.), dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima oleh
pihak yang mengalihkan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut
pembukuan pihak yang mengalihkan tersebut. Perlu ditambahkan, apabila dikemudian hari
saham atau bukti penyertaan lainnya tersebut dijual atau dialihkan, maka keuntungannya
adalah obyek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984.
6.3. Dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh
1984, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari
harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan. Perlu ditambahkan bahwa
apabila di kemudian hari harta tersebut dijual atau dialihkan, maka keuntungan karena
6.4. Yang dimaksud dengan nilai menurut pembukuan sebagaimana dikemukakan diatas adalah
harga sisa buku sesuai dengan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.
6.5. Penilaian harta yang diterima karena hibah, sumbangan atau warisan, bagi penerimanya
diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 yang berbunyi : "dalam hal penyerahan
harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang
digunakan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan."
Dalam memori penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 antara lain dijelaskan bahwa
dalam hal harta tersebut adalah harta yang boleh disusutkan maka nilai perolehan bagi yang
menerima hibah, sumbangan, atau warisan adalah harga sisa buku harta tersebut pada saat
dialihkan. Sedangkan bila harta tersebut adalah harta yang tidak boleh disusutkan (misalnya
tanah, saham), maka nilai yang dimaksud adalah nilai perolehan dari pihak yang memberi
hibah, sumbangan, atau warisan. Nilai perolehan bagi penerima dimaksud merupakan jumlah
awal dasar penyusutan apabila harta tersebut dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan.
7. Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta oleh Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan.
7.1. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU PPh 1984 Wajib Pajak yang peredaran brutonya
tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan
Norma Penghitungan, dan mereka tidak wajib menyelenggarakan pembukuan melainkan
hanya wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya
saja.
7.2. Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, tidak perlu melakukan
pencatatan mengenai penyusutan atas harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam usaha.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984, maka keuntungan penjualan/
pengalihan harta adalah sebesar selisih lebih antara harga jual/nilai pengalihan dikurangi
dengan harga sisa buku dari harta tersebut pada saat penjualan. Harga sisa buku dihitung
dari harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutannya sesuai dengan penggolongan harta
sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU PPh 1984.
9. Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan oleh Wajib Pajak Perseorangan. Dalam hal pemindahtanganan harta yang
dimiliki oleh Wajib Pajak Perseorangan dan harta tersebut tidak dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, maka pengenaan pajak atas keuntungan, yaitu selisih antara
harga pengalihan dengan harga perolehan, dilakukan dengan menerapkan tarif efektif rata-rata (TER)
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.
Untuk menentukan harga perolehan pada saat penjualan, maka harga perolehan pada tahun
pembelian dikalikan dengan faktor penyesuaian yang setiap tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sesuai dengan Pasal 7 PP Nomor 42 Tahun 1985.
11. Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta dalam hal terdapat hubungan istimewa.
Contoh 1 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana.
PT. X mempunyai harta Golongan 2, yang jumlah awalnya pada tahun 1984 adalah Rp.800 juta.
Dalam tahun 1984 terjadi penambahan harta, yaitu pembelian bus AA dengan harga perolehan
Rp. 200 juta yang diasuransikan sebesar Rp. 175 juta. Pada pertengahan tahun 1985 bus AA tersebut
terbakar.
Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :
1) Penyusutan :
Jumlah awal 1-1-1984 Rp. 800 juta
Pembelian bus AA tahun 1984 Rp. 200 juta
----------------
Dasar penyusutan tahun 1984 Rp. 1.000 juta
Penyusutan tahun 1984 (25%) Rp. 250 juta
----------------
Jumlah awal 1-1-1985 Rp. 750 juta
Pengurangan : sebesar harga sisa
buku bus AA yang terbakar
pertengahan tahun 1985 Rp. 150 juta
----------------
Dasar penyusutan tahun 1985 Rp. 600 juta
Contoh 2 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa di luar contoh 1 di atas. PT. X memiliki
mesin dan beberapa harta lain dalam golongan yang sama, dengan nilai sisa buku pada tanggal
1 Januari 1991 adalah Rp. 680 juta. Nilai sisa buku mesin tersebut adalah Rp. 660 juta. Mesin tersebut
kemudian dijual kepada PT. Y (karena berdasarkan Peraturan Pemerintah lokasinya dilarang sebagai
lokasi industri) dengan harga Rp. 800 juta. Setelah penjualan mesin tersebut PT. X tidak lagi
melakukan usaha walaupun secara formal tidak dibubarkan (dilikuidasi). Penjualan mesin tersebut
merupakan penarikan harta dari pemakaian karena sebab luar biasa, yang perlakuan pajaknya
tunduk pada Pasal 11 ayat (7) huruf a UU PPh 1984.
Perlakuan PPh nya bagi PT. X atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut :
1) Penyusutan :
Jumlah awal (1-1-1991) Rp. 680 juta
Penambahan selama tahun 1991 Rp. -
--------------
Rp. 680 juta
Pengurangan : harga sisa buku mesin yang
dijual ke PT. Y pada 1-1-1992 sebesar Rp. 660 juta
--------------
Dasar penyusutan 1-1-1991 Rp. 20 juta
Penyusutan tahun 1991 (25%) Rp. 5 juta
--------------
Jumlah awal (1-1-1992) Rp. 15 juta
Contoh 3 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan keuntungan.
PT. X mempunyai beberapa jenis harta golongan 2 bukan bangunan yang salah satunya mempunyai
nilai buku Rp. 100 juta. Harta tersebut dijual kepada PT. Y dengan harga Rp.200 juta.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, setelah terjadi penjualan harta, PT. X hanya
dapat menyusutkan hartanya atas dasar nilai sebesar Rp. 800 juta, sehingga biaya penyusutan akan
lebih kecil dari pada sebelum terjadi penjualan tersebut.
Perlakuan PPh bagi PT. Y :
Bagi PT. Y dasar penyusutan atas harta yang dibeli dari PT. X adalah Rp. 200 juta, yaitu sebesar
harga perolehannya sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.
Contoh 4 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan kerugian.
Seandainya harta PT. X dijual dengan nilai Rp. 50 juta sedangkan nilai sisa bukunya adalah Rp. 100
juta, maka perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :
Jumlah awal Rp. 1.000 juta
Pengurangan : penerimaan netto penjualan
salah satu jenis harta kepada PT. Y Rp. 50 juta
-----------------
Dasar penyusutan Rp. 950 juta
Bila dibandingkan dengan contoh 3, maka dalam hal diderita kerugian, dasar penyusutannya lebih
besar dari pada seandainya diperoleh keuntungan. Dengan demikian jumlah penyusutannya menjadi
lebih besar yang berarti bahwa kerugian yang diderita tidak dibebankan sekaligus tetapi bertahap
melalui metode penyusutan.
Contoh 5 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan harta bukan
saham.
PT. X mempunyai harta yang terdiri dari beberapa jenis mesin, yang nilai bukunya adalah sebagai
berikut :
Mesin 1 Rp. 500 juta
Mesin 2 Rp. 300 juta
Mesin 3 Rp. 1.000 juta
----------------
Dasar penyusutan Rp. 1.800 juta
Mesin 2, yang harga pasarnya adalah Rp. 500 juta, ditukar dengan Mesin B milik PT. Y yang nilai
bukunya adalah Rp. 400 juta tetapi harga pasarnya adalah Rp. 500 juta.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, perlakuan pajaknya melalui metode penyusutan
adalah sebagai berikut :
Bagi PT. X :
Perhitungan dasar penyusutannya adalah :
Jumlah awal Rp. 1.800 juta
Pengurangan :
Harga pasar Mesin 2 yang dialihkan ke PT. Y Rp. 500 juta
----------------
Rp. 1.300 juta
Penambahan :
Sebesar harga pasar Mesin B yang diterima dari PT. Y Rp 500 juta
----------------
Dasar penyusutan Rp. 1.800 juta
Bagi PT. Y :
Perhitungan dasar penyusutannya adalah :
Mesin A Rp. 600 juta
Mesin B Rp. 400 juta
----------------
Jumlah awal Rp. 1.000 juta
Pengurangan :
Sebesar harga pasar Mesin B yang dialihkan kepada PT.X Rp. 500 juta
----------------
Rp. 500 juta
Contoh 6 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan saham.
PT. X PT. Y
Aktiva Aktiva
Harta 1.000 Harta 4.000
Saham dalam portepel 1.000
------- -------
1.000 5.000
Pasiva Pasiva
Hutang 400 Modal saham 5.000
Modal saham 600
------- -------
1.000 5.000
Contoh 7 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta Golongan Bangunan dari pemakaian.
PT. A mempunyai harta Golongan Bangunan dengan perincian sebagai berikut :
Harga perolehan (tidak termasuk harga tanah)
Tahun 1992 Bangunan X dijual seharga Rp. 2.000 juta (tidak termasuk harga tanah), sehingga
perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :
1) Jumlah awal 1-1-1992 Rp. 12.000 juta
Bangunan X dijual, harga perolehannya Rp. 2.000 juta
------------------
Dasar penyusutan 1992 Rp. 10.000 juta
2) Harga sisa buku Bangunan X sebesar Rp. 1.600 juta dibebankan sebagai biaya untuk tahun
1992.
3) Hasil penjualan sebesar Rp. 2.000 juta merupakan penghasilan tahun 1992.
Contoh 8 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 1984.
Tuan A memperoleh saham PT. X sebesar Rp. 200 juta sedangkan Tuan B memperoleh saham PT.
X sebesar Rp. 20 juta. Dalam pembukuannya PT. X harus mencatat sebagai berikut :
PT. X
Aktiva Pasiva
Harta 220 Modal Tn A 200
Modal Tn B 20
---- -----
220 220
Setelah pengalihan, Tuan A dan Tuan B secara bersama-sama memiliki 100% dari modal yang
disetor di PT. X.
Tuan A dan Tuan B masing-masing akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila mereka dikemudian
hari menjual saham-sahamnya dengan nilai yang melebihi nilai perolehannya. Demikian pula apabila
harta tersebut kemudian oleh PT. X dijual, maka keuntungannya merupakan Obyek Pajak. Perlakuan
pajak tersebut juga berlaku dalam hal harta yang dialihkan adalah tanah, yaitu badan usaha yang
menerima pengalihan harus membukukannya dengan harga perolehan pihak yang mengalihkan (Tuan
A dan Tuan B).
Contoh 9 :
Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
Tuan X adalah pemegang saham PT. A, yang jumlah penyetorannya adalah Rp. 250 juta. Saham
Tuan X pada PT. A tersebut ditukar dengan saham pada PT. B yang dimiliki oleh Tuan Y.
Sebelum terjadi pertukaran :
PT A PT. B
Aktiva Aktiva
Harta Rp. 500 juta Harta Rp. 1.000 juta
-------------- -----------------
Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta
Pasiva Pasiva
Kewajiban Rp. 200 juta Kewajiban Rp. 150 juta
Modal saham Modal saham
(Tn X) Rp. 250 juta (Tn Y) Rp. 750 juta
Laba ditahan Rp. 50 juta Laba ditahan Rp. 100 juta
-------------- ----------------
Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta
Seluruh saham Tn X pada PT A ditukar dengan saham Tn Y pada PT B, dengan nilai Rp.300 juta.
Pasiva Pasiva
Kewajiban Rp. 200 juta Kewajiban Rp. 150 juta
Modal saham Modal saham
(Tn Y) Rp. 300 juta (TN Y) Rp. 450 juta
(Tn X) Rp. 300 juta
Laba ditahan Rp. 100 juta
-------------- ----------------
Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta
ttd