Anda di halaman 1dari 29

Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.

31/1992

SURAT EDARAN SE

10 September 1992

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 18/PJ.31/1992

TENTANG

PENEGASAN PERLAKUAN PPh ATAS PEMINDAHTANGANAN HARTA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Agar terdapat kepastian dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta baik antar perseorangan, antara
perseorangan dengan badan usaha maupun antar badan usaha, dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut :

1. Pemindahtanganan harta dapat dilakukan dalam bentuk :


- penjualan,
- pengalihan/tukar menukar,
- hibah,
- warisan dan
- penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau in-kind perticipation).
2.
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (selanjutnya disebut UU PPh 1984) yaitu
dalam :
- Pasal 4 ayat (1) huruf d,
- Pasal 4 ayat (3) huruf a, b, e dan f,
- Pasal 6 ayat (1) huruf d,
- Pasal 9 ayat (1) huruf f,
- Pasal 10 ayat (1),
- Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8),
serta dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.
Oleh karena itu Surat Edaran ini merupakan penegasan dan penjelasan atas ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut di atas.

3.
Keuntungan karena pemindahtanganan harta termasuk obyek PPh.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
3.1Dalam Pasal 4
ayat (1) UU PPh
1984 diatur
bahwa yang
menjadi obyek
Pajak
Penghasilan
adalah
penghasilan, yaitu
setiap tambahan
kemampuan
ekonomis yang
diterima atau
diperoleh Wajib
Pajak yang dapat
dipakai untuk
konsumsi atau
untuk menambah
kekayaan Wajib
Pajak, dengan
nama dan dalam
bentuk apapun,
baik yang berasal
dari Indonesia
maupun luar
Indonesia (broad
income concept
dan world-wide
income concept).
Walaupun
demikian, dalam
Pasal 4 ayat (3)
UU PPh 1984
diatur jenis-jenis
penghasilan yang
tidak termasuk
sebagai obyek
Pajak
Penghasilan.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
3.2
Dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d
UU PPh 1984
diatur bahwa
keuntungan
karena penjualan
atau karena
pengalihan harta,
termasuk
keuntungan yang
diperoleh oleh
perseroan,
persekutuan dan
badan lainnya
karena pengalihan
harta kepada
pemegang saham,
sekutu, anggota,
serta karena
likwidasi, adalah
obyek Pajak
Penghasilan.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
3.3
Dalam Pasal 4
ayat (3) huruf e
UU PPh 1984
diatur bahwa
keuntungan
karena pengalihan
harta dari orang
pribadi, anggota
firma, anggota
perseroan
komanditer atau
kongsi kepada
perseroan terbatas
di dalam negeri
sebagai pengganti
sahamnya tidak
termasuk sebagai
obyek PPh
sepanjang
memenuhi syarat :

3.3.1pihak yang
mengalihkan
atau pihak-
pihak yang
mengalihkan
secara
bersama-
sama
memiliki
paling
sedikit 90%
(sembilan
puluh
persen) dari
jumlah
modal yang
disetor;
3.3.2pengalihan
tersebut
diberitahukan
kepada
Direktur
Jenderal
Pajak;
3.3.3pengenaan
pajak di
kemudian
hari atas
keuntungan
tersebut
dijamin.
Ketiga
persyaratan
tersebut bersifat
kumulatif, dan
penilaian harta
yang
dipindahtangankan
itu harus
mengikuti
ketentuan dalam
Dokumen ini ayat
Pasal 10 diketik
(1) ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
3.4
Dalam Pasal 4
ayat (3) huruf f
UU PPh 1984
diatur, bahwa
harta yang
diterima oleh
perseroan,
persekutuan atau
badan lainnya
sebagai pengganti
saham atau
sebagai pengganti
penyertaan modal
tidak termasuk
obyek PPh,
dengan syarat
dasar
penilaiannya
harus memenuhi
ketentuan dalam
Pasal 10 ayat (1)
huruf b UU PPh
1984.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
3.5
Dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a
dan huruf b UU
PPh 1984 diatur
bahwa
pemindahtanganan
harta karena
hibah atau
bantuan yang
tidak ada
hubungan dengan
usaha atau
pekerjaan dari
pihak yang
bersangkutan, dan
warisan, tidak
termasuk obyek
PPh bagi
penerimanya, dan
bagi pemberinya
(sesuai ketentuan
Pasal 9 ayat (1)
huruf f UU PPh
1984) harta yang
dihibahkan,
bantuan dan
warisan dimaksud
tidak boleh
dikurangkan dari
penghasilan bruto
untuk
menentukan
besarnya
penghasilan kena
pajak.
Bagi
penerimanya,
sesuai ketentuan
Pasal 10 ayat (1)
huruf c UU PPh
1984, dasar
penilaian harta
yang diperoleh
dari hibah,
bantuan atau
warisan adalah
sama dengan
dasar penilaian
bagi yang
menyerahkan.

4.
Kerugian karena pemindahtanganan harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan merupakan biaya.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
4.1Dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf d UU
PPh 1984 diatur
bahwa kerugian
yang diderita
karena penjualan
atau pengalihan
barang dan/atau
hak yang dimiliki
dan dipergunakan
dalam perusahaan
atau yang dimiliki
untuk
mendapatkan,
menagih dan
memelihara
penghasilan dapat
dikurangkan dari
penghasilan bruto
dalam
penghitungan
besarnya
penghasilan kena
pajak. Dalam
ketentuan tersebut
jelas bahwa tidak
semua kerugian
karena
pemindahtanganan
harta boleh
dikurangkan dari
penghasilan bruto
dalam
penghitungan
penghasilan kena
pajak, melainkan
hanya terbatas
pada kerugian dari
pemindahtanganan
harta yang dimiliki
dan dipergunakan
untuk
mendapatkan,
menagih dan
memelihara
penghasilan saja.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
4.2
Dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf f UU PPh
1984 ditentukan
bahwa harta yang
dihibahkan,
diberikan sebagai
bantuan/sumbangan
dan diwariskan
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3)
huruf a dan huruf b
UU PPh 1984,
tidak boleh
dikurangkan dari
penghasilan bruto
untuk menentukan
besarnya
penghasilan kena
pajak.

5.
Penyusutan/amortisasi sebagai akibat pemindahtanganan harta.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.1Dalam Pasal 11 UU PPh
1984 diatur mengenai
penyusutan dan
amortisasi.
UU PPh 1984 menganut
dua metode penyusutan,
yaitu :
metode menurun
secara berimbang
(declining
balance) untuk
harta Golongan 1,
Golongan 2 dan
Golongan 3; dan
metode garis lurus
(straight line)
untuk golongan
bangunan.
Sedangkan
mengenai
amortisasi dianut
dua metode, yaitu :
metode menurun
secara berimbang
dengan tarif
sesuai dengan
tarif penyusutan
harta Golongan 1,
atau Golongan 2
atau Golongan 3,
sesuai dengan
masa manfaat
harta tak
berwujud yang
bersangkutan; dan
metode satuan
produksi, terbatas
atas biaya untuk
memperoleh hak
penambangan dan
hak pengusahaan
hutan.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.2
Dengan adanya
pemindahtanganan harta,
maka terjadi perubahan
besarnya dasar
penyusutan setiap
golongan harta
sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (4)
UU PPh 1984. Ketentuan
yang berkaitan dengan
perlakuan PPh atas
keuntungan/kerugian
pemindahtanganan harta
ditegaskan dalam Pasal
11 ayat (1) UU PPh 1984
kalimat ke dua, yang
berbunyi:

"Keuntungan atau
kerugian dari pengalihan
harta yang dapat
disusutkan harus
dihitung dengan cara
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7) huruf b."

5.3
Pasal 11 ayat (7) UU PPh
1984 hanya mengatur
perlakuan PPh mengenai
penarikan harta dari
pemakaian atas harta
yang dapat disusutkan
dengan metode menurun
secara berimbang. Dalam
pasal tersebut tidak
diatur perlakuan PPh atas
keuntungan atau
kerugian dari
pemindahtanganan harta
tidak berwujud dan
pemindahtanganan harta
yang disusutkan dengan
metode garis lurus
(golongan bangunan).
Penyusutan/amortisasi
karena penarikan harta
Golongan Bangunan dan
harta tidak berwujud
diatur dalam Pasal 3 ayat
(4), ayat (5) dan ayat (6)
Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 1985.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.4Dalam Pasal 11 ayat (7)
dan ayat (8) UU PPh
1984 diatur bahwa
penarikan harta dari
pemakaian dibedakan
dalam 2 (dua) sebab,
yaitu :
5.4.1Karena sebab luar
biasa :
a. karena
bencana;
b. karena
perusahaan
menghentikan
sebagian
besar
usahanya
karena sebab-
sebab di luar
kekuasaan
perusahaan
(lihat juga
penjelasan
Pasal 11 ayat
(7) UU PPh
1984),
misalnya
karena
peraturan
pemerintah.
5.4.2Karena sebab biasa,
yaitu sebab-sebab
selain sebab luar
biasa, misalnya
karena dijual atau
ditukar dengan harta
lain.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.5
Penghitungan
keuntungan atau
kerugian karena
pemindahtanganan harta
diatur menjadi satu
dengan metode
penyusutannya, sebagai
berikut :

5.5.1Karena sebab luar


biasa :
Apabila terjadi
penarikan harta dari
pemakaian karena
sebab luar biasa,
maka untuk
memperoleh dasar
penyusutan, suatu
jumlah sebesar
harga sisa buku
dikurangkan dari
jumlah awal, dan
jumlah sebesar
harga sisa buku itu
merupakan kerugian
dalam tahun pajak
yang bersangkutan,
sedangkan hasil
penjualan atau
penggantian
asuransinya
merupakan
penghasilan (Pasal
11 ayat (7) huruf a
UU PPh 1984).
Selanjutnya lihat
contoh 1 dan 2.
5.5.2Karena sebab biasa :
Apabila terjadi
penarikan harta dari
pemakaian karena
sebab biasa, maka
untuk memperoleh
dasar penyusutan,
penerimaan netto
dari
(pemindahtanganan)
harta yang
bersangkutan
dikurangkan dari
jumlah awal (Pasal
11 ayat (7) huruf b
UU PPh 1984). Jika
pengurangan
dimaksud dalam
suatu tahun pajak
menghasilkan dasar
penyusutan di
bawah nol, maka
dasar penyusutan
itu harus dinaikkan
menjadi nol, dan
Dokumenjumlah
ini diketik
yang ulang
samadan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.6
Mengenai
pemindahtanganan harta
Golongan Bangunan,
perlakuan pajaknya
diatur dalam Pasal 3 ayat
(5) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 1985,
yaitu bahwa apabila
terjadi penarikan harta
Golongan Bangunan dari
pemakaian, baik karena
sebab biasa maupun
karena sebab luar biasa,
maka untuk memperoleh
dasar penyusutan, harga
perolehan dikurangkan
dari jumlah awal
Golongan Bangunan.
Jumlah sebesar harga
sisa bukunya dibebankan
sebagai biaya pada tahun
terjadinya penarikan
harta tersebut, dan
jumlah sebesar nilai jual
atau harga jual atau
penggantian asuransinya
merupakan penghasilan
(lihat contoh 7).

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.7
Mengenai
pemindahtanganan harta
tak berwujud, perlakuan
pajaknya diatur dalam
Pasal 3 ayat (6)
Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 1985.
Apabila terjadi penarikan
harta tak berwujud dari
pemakaian, baik karena
sebab biasa maupun
karena sebab luar biasa,
maka untuk memperoleh
dasar amortisasi, jumlah
sebesar harga sisa buku
dari harta tak berwujud
dikurangkan dari jumlah
awal dan jumlah yang
dikurangkan tersebut
dibebankan sebagai
biaya dalam tahun
terjadinya penarikan.
Jumlah sebesar nilai
penggantian atau harga
penggantian atau
penggantian asuransinya
merupakan penghasilan.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
5.8Dalam Pasal 3 ayat (4)
Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 1985
diatur bahwa apabila
terjadi penarikan harta
berwujud dari pemakaian
karena dihibahkan,
disumbangkan, atau
diwariskan kepada pihak
lain, maka dasar
penyusutan dihitung
sebagai berikut :
5.8.1 Untuk harta
golongan bukan
bangunan, jumlah
sebesar harga sisa
buku dari harta
yang dihibahkan,
disumbangkan
atau diwariskan
tersebut,
dikurangkan dari
jumlah awal
masing-masing
golongan harta
yang
bersangkutan.
Jumlah sebesar
harga sisa buku
tersebut tidak
boleh dikurangkan
sebagai biaya;
5.8.2 Untuk harta
Golongan
Bangunan, jumlah
sebesar harga
perolehan dari
bangunan yang
dihibahkan,
disumbangkan
atau diwariskan
tersebut
dikurangkan dari
jumlah awal
Golongan
Bangunan. Jumlah
sebesar harga sisa
bukunya tidak
boleh dikurangkan
sebagai biaya.

6.
Dasar penilaian harta.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
6.1Perlakuan PPh
atas
pemindahtanganan
harta tidak dapat
dipisahkan dari
ketentuan
mengenai
penilaian,
sebagaimana
diatur dalam
Pasal 10 ayat (1)
UU PPh 1984.
Ketentuan
umumnya adalah
bahwa dalam
melakukan
penyusutan atau
amortisasi
terhadap harta
dan penghitungan
keuntungan atau
kerugian dalam
hal penjualan
yang tidak
dipengaruhi oleh
hubungan
istimewa, maka
harga
perolehannya
adalah jumlah
yang
sesungguhnya
dikeluarkan,
sedangkan dalam
hal pengalihan
harta nilai
perolehannya
adalah jumlah
yang seharusnya
dikeluarkan.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
6.2
Dalam hal
pengalihan harta
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3)
huruf e UU PPh
1984 (lihat butir
3.3.), dasar
penilaian saham
atau penyertaan
lainnya yang
diterima oleh
pihak yang
mengalihkan
adalah sama
dengan nilai dari
harta yang
dialihkan
menurut
pembukuan pihak
yang
mengalihkan
tersebut. Perlu
ditambahkan,
apabila
dikemudian hari
saham atau bukti
penyertaan
lainnya tersebut
dijual atau
dialihkan, maka
keuntungannya
adalah obyek PPh
sesuai Pasal 4
ayat (1) huruf d
UU PPh 1984.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
6.3
Dalam hal
pengalihan harta
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3)
huruf f UU PPh
1984, dasar
penilaian harta
bagi yang
menerima
pengalihan adalah
sama dengan nilai
dari harta yang
dialihkan
menurut
pembukuan pihak
yang
mengalihkan.
Perlu
ditambahkan
bahwa apabila di
kemudian hari
harta tersebut
dijual atau
dialihkan, maka
keuntungan
karena penjualan
atau pengalihan
harta tersebut
oleh perseroan,
persekutuan atau
badan lainnya
adalah obyek PPh
sesuai ketentuan
dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d
UU PPh 1984.

6.4
Yang dimaksud
dengan nilai
menurut
pembukuan
sebagaimana
dikemukakan
diatas adalah
harga sisa buku
sesuai dengan
penjelasan Pasal
10 ayat (1) UU
PPh 1984.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
6.5
Penilaian harta
yang diterima
karena hibah,
sumbangan atau
warisan, bagi
penerimanya
diatur dalam
Pasal 10 ayat (1)
huruf c UU PPh
1984 yang
berbunyi : "dalam
hal penyerahan
harta hibahan,
pemberian
bantuan yang
bebas pajak, dan
warisan, dasar
penilaian yang
digunakan adalah
sama dengan
dasar penilaian
bagi yang
melakukan
penyerahan."
Dalam memori
penjelasan Pasal
10 ayat (1) huruf
c UU PPh 1984
antara lain
dijelaskan bahwa
dalam hal harta
tersebut adalah
harta yang boleh
disusutkan maka
nilai perolehan
bagi yang
menerima hibah,
sumbangan, atau
warisan adalah
harga sisa buku
harta tersebut
pada saat
dialihkan.
Sedangkan bila
harta tersebut
adalah harta yang
tidak boleh
disusutkan
(misalnya tanah,
saham), maka
nilai yang
dimaksud adalah
nilai perolehan
dari pihak yang
memberi hibah,
sumbangan, atau
warisan.
Nilai perolehan
bagi penerima
dimaksud
merupakan
jumlah awal dasar
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
penyusutan
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
7.
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta oleh Wajib Pajak yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan.

7.1Sesuai dengan
ketentuan dalam
Pasal 14 UU PPh
1984 Wajib Pajak
yang peredaran
brutonya tidak
melebihi jumlah
tertentu dapat
menghitung
penghasilan
nettonya dengan
menggunakan
Norma
Penghitungan, dan
mereka tidak wajib
menyelenggarakan
pembukuan
melainkan hanya
wajib
menyelenggarakan
pencatatan tentang
peredaran atau
penerimaan
brutonya saja.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
7.2
Wajib Pajak yang
tidak wajib
menyelenggarakan
pembukuan, tidak
perlu melakukan
pencatatan
mengenai
penyusutan atas
harta yang dimiliki
dan dipergunakan
dalam usaha.
Sesuai dengan
penjelasan Pasal 4
ayat (1) huruf d UU
PPh 1984, maka
keuntungan
penjualan/pengalihan
harta adalah sebesar
selisih lebih antara
harga jual/nilai
pengalihan
dikurangi dengan
harga sisa buku dari
harta tersebut pada
saat penjualan.
Harga sisa buku
dihitung dari harga
perolehan dikurangi
akumulasi
penyusutannya
sesuai dengan
penggolongan harta
sebagaimana
dimaksud Pasal 11
UU PPh 1984.

8.
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak boleh disusutkan.
Harta yang tidak boleh disusutkan adalah tanah, saham dan harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan.
Pasal 11 ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa tanah tidak dapat disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut
dipergunakan dalam perusahaan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh
penghasilan (misalnya tanah yang dipergunakan sebagai bahan untuk membuat semen, genteng, batu bata).
Dengan demikian dalam hal terjadi pemindahtanganan harta yang tidak boleh disusutkan, keuntungan yang diterima
atau diperoleh adalah selisih antara harga pengalihan dengan harga perolehan.
Ketentuan ini berlaku terhadap Wajib Pajak, baik yang wajib melakukan pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, maupun yang penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU PPh 1984.

9.
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan oleh Wajib Pajak Perseorangan.
Dalam hal pemindahtanganan harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak Perseorangan dan harta tersebut tidak dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, maka pengenaan pajak atas keuntungan, yaitu selisih antara
harga pengalihan dengan harga perolehan, dilakukan dengan menerapkan tarif efektif rata-rata (TER) sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42Tahun 1985.
Untuk menentukan harga perolehan pada saat penjualan, maka harga perolehan pada tahun pembelian dikalikan dengan

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
faktor penyesuaian yang setiap tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 1985.

10.
Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
Pertukaran saham dengan saham dapat dilakukan antara perseroan biasa (unlisted company) dengan perseroan publik
(listed company), atau antar perseroan biasa, atau antar perseroan publik.
Dalam hal terjadi pertukaran saham dengan saham, nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan perlakuan
pajaknya adalah nilai pasar. Apabila nilai pasar dari saham yang dipertukarkan tidak diketahui karena tidak
diperdagangkan di bursa, maka nilai yang dipakai adalah nilai yang dihitung berdasar kekayaan bersih (net-worth) dari
perseroan yang bersangkutan, yaitu selisih antara seluruh harta dikurangi dengan seluruh kewajiban pada saat terjadinya
transaksi (lihat contoh 9).

11.
Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta dalam hal terdapat hubungan istimewa.
Dalam hal ada hubungan istimewa antara pihak yang menjual atau yang mengalihkan dengan pihak pembeli atau yang
menerima pengalihan, yang mengakibatkan nilai/harga yang menjadi dasar pemindahtanganan tidak wajar maka sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh 1984 Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau pengurangan. Dengan kata lain Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali harga
jual atau harga/nilai pengalihan harta yang dijual atau dialihkan itu. Jika Saudara menemukan kasus-kasus seperti ini
supaya diajukan langsung ke Kantor Pusat untuk memperoleh keputusan.

12.
Untuk memudahkan penerapan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, dibawah ini diberikan contoh-
contoh penerapannya.

Contoh 1 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana.
PT. X mempunyai harta Golongan 2, yang jumlah awalnya pada tahun 1984 adalah Rp.800 juta.Dalam tahun 1984
terjadi penambahan harta, yaitu pembelian bus AA dengan harga perolehan Rp. 200 juta yang diasuransikan sebesar Rp.
175 juta. Pada pertengahan tahun 1985 bus AA tersebut terbakar.
Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :

Penyusutan
1)
:
Jumlah
awal 1-1- Rp. 800 juta
1984
Pembelian
Rp. 200 juta
bus AA
-------------------
tahun 1984
Dasar
penyusutan Rp. 1.000 juta
tahun 1984
Penyusutan
tahun Rp. 250 juta
1984 --------------------
(25%)
Jumlah
awal 1-1- Rp. 750 juta
1985
Pengurangan : sebesar harga sisa Rp. 150 juta
buku bus AA yang terbakar -------------------
pertengahan tahun 1985
Dasar
penyusutan Rp. 600 juta
tahun 1985

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
2)Penghasilan penggantian asuransi :
Harga sisa buku bus AA sebesar Rp. 150 juta merupakan kerugian, sedangkan
penggantian asuransi sebesar Rp. 175 juta merupakan penghasilan pada tahun pajak saat
klaim asuransi tersebut diakui.

Contoh 2 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta karena sebab luar biasa di luar contoh 1 di atas.
PT. X memiliki mesin dan beberapa harta lain dalam golongan yang sama, dengan nilai sisa buku pada tanggal 1
Januari 1991 adalah Rp. 680 juta. Nilai sisa buku mesin tersebut adalah Rp. 660 juta. Mesin tersebut kemudian dijual
kepada PT. Y (karena berdasarkan Peraturan Pemerintah lokasinya dilarang sebagai lokasi industri) dengan harga Rp.
800 juta. Setelah penjualan mesin tersebut PT. X tidak lagi melakukan usaha walaupun secara formal tidak dibubarkan
(dilikuidasi). Penjualan mesin tersebut merupakan penarikan harta dari pemakaian karena sebab luar biasa, yang
perlakuan pajaknya tunduk pada Pasal 11 ayat (7) huruf a UU PPh 1984.

Perlakuan PPh nya bagi PT. X atas transaksi tersebut adalah sebagai berikut :

1)Penyusutan :
Jumlah
awal (1-1- Rp. 680 juta
1991)
Penambahan
Rp. -
selama
-----------------
tahun 1991
Rp. 680 juta
Pengurangan
: harga sisa
buku mesin
yang dijual
ke PT. Y
pada 1-1- Rp. 660 juta
1992 sebesar ------------------
Dasar
penyusutan Rp. 20 juta
1-1-1991
Penyusutan
Rp. 5 juta
tahun 1991
-----------------
(25%)
Jumlah
awal (1-1- Rp. 15 juta
1992)
2)
Penghasilan penjualan mesin.
Harga sisa buku sebesar Rp. 660 juta harus dibukukan sebagai kerugian tahun 1991
sedangkan harga penjualan sebesar Rp. 800 juta merupakan penghasilan pada tahun yang bersangkutan.

Contoh 3 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan keuntungan.
PT. X mempunyai beberapa jenis harta golongan 2 bukan bangunan yang salah satunya mempunyai nilai buku Rp. 100
juta. Harta tersebut dijual kepada PT. Y dengan harga Rp.200 juta. Perlakuan PPh bagi PT. X :
Bagi PT. X perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :

Jumlah awal Rp. 1.000 juta

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992

Pengurangan :
penerimaan netto penjualan harta kepada PT. Y Rp. 200 juta

-------------------

Jumlah awal untuk tahun pajak berikutnya Rp. 800 juta

Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, setelah terjadi penjualan harta, PT. X hanya dapat menyusutkan
hartanya atas dasar nilai sebesar Rp. 800 juta, sehingga biaya penyusutan akan lebih kecil dari pada sebelum terjadi
penjualan tersebut.

Perlakuan PPh bagi PT. Y :


Bagi PT. Y dasar penyusutan atas harta yang dibeli dari PT. X adalah Rp. 200 juta, yaitu sebesar harga perolehannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU PPh 1984.

Contoh 4 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena penjualan yang menimbulkan kerugian.

Seandainya harta PT. X dijual dengan nilai Rp. 50 juta sedangkan nilai sisa bukunya adalah Rp. 100 juta, maka
perhitungan dasar penyusutannya adalah sebagai berikut :

Jumlah awal Rp. 1.000 juta

Pengurangan : penerimaan netto penjualan


salah satu jenis harta kepada PT. Y Rp. 50 juta

Dasar penyusutan Rp. 950 juta

Bila dibandingkan dengan contoh 3, maka dalam hal diderita kerugian, dasar penyusutannya lebih besar dari pada
seandainya diperoleh keuntungan. Dengan demikian jumlah penyusutannya menjadi lebih besar yang berarti bahwa
kerugian yang diderita tidak dibebankan sekaligus tetapi bertahap melalui metode penyusutan.

Contoh 5 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan harta bukan saham.
PT. X mempunyai harta yang terdiri dari beberapa jenis mesin, yang nilai bukunya adalah sebagai berikut :

Mesin 1 Rp. 500 juta

Mesin 2 Rp. 300 juta

Mesin 3 Rp. 1.000 juta

--------------------

Dasar penyusutan Rp. 1.800 juta

Mesin 2, yang harga pasarnya adalah Rp. 500 juta, ditukar dengan Mesin B milik PT. Y yang nilai bukunya adalah Rp.
400 juta tetapi harga pasarnya adalah Rp. 500 juta. Berdasarkan Pasal 11 ayat (7) huruf b UU PPh 1984, perlakuan

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
pajaknya melalui metode penyusutan adalah sebagai berikut :

Bagi PT. X :
Perhitungan dasar penyusutannya adalah :

Jumlah awal Rp. 1.800 juta


Pengurangan
:
Harga pasar
Mesin 2
yang
dialihkan ke Rp. 500 juta
PT. Y ---------------------
Rp. 1.300 juta
Penambahan
:
Sebesar
harga pasar
Mesin B
yang
diterima Rp 500 juta
dari PT. Y --------------------

Dasar
penyusutan
Rp. 1.800 juta

Bagi PT. Y :
Perhitungan dasar penyusutannya adalah :

Mesin
Rp. 600 juta
A
Mesin
Rp. 400 juta
B

Jumlah---------------------
awal Rp. 1.000 juta

Pengurangan :

Sebesar harga pasar Mesin B yang dialihkan kepada PT.X Rp. 500 juta
--------------------
Rp. 500 juta
Penambahan :
Sebesar harga pasar Mesin 2 yang diterima dari PT. X Rp. 500 juta
--------------------
Dasar penyusutan
Rp. 1.000 juta

Contoh 6 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pertukaran harta dengan saham.

PT. X PT. Y
Aktiva Aktiva
Harta 1.000 Harta 4.000
Saham dalam portepel 1.000
--------- ---------
1.000 5.000

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
Pasiva Pasiva
Hutang 400 Modal saham 5.000
Modal saham 600
--------- ---------
1.000 5.000

Setelah terjadi pengalihan, pembukuan fiskalnya adalah :

PT. X PT. Y
Aktiva Aktiva
Harta 900 Harta 4.000
Saham PT. Y 100 Saham dalam portepel 900
Harta PT. X 100
--------- ---------
1.000 5.000
Pasiva Pasiva
Hutang 400 Modal saham 5.000
Modal saham 600
--------- ---------
1.000 5.000

Contoh 7 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta Golongan Bangunan dari pemakaian.
PT. A mempunyai harta Golongan Bangunan dengan perincian sebagai berikut :
Harga perolehan (tidak termasuk harga tanah)

Bangunan X : Rp. 2.000 juta


Bangunan Y : Rp. 10.000 juta
----------------------
Rp. 12.000 juta

Akumulasi penyusutan

Bangunan X : Rp. 400 juta


Bangunan Y : Rp. 1.600 juta
----------------------
Rp. 2.000 juta

Nilai buku 1-1-1992 :

Bangunan X : Rp. 1.600 juta


Bangunan Y : Rp. 8.400 juta
-------------------
Rp. 10.000 juta

Tahun 1992 Bangunan X dijual seharga Rp. 2.000 juta (tidak termasuk harga tanah), sehingga
perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :

1) Jumlah awal 1-1-1992 Rp. 12.000 juta


Bangunan X dijual, harga perolehannya Rp. 2.000 juta
-------------------
Dasar penyusutan 1992
Rp. 10.000 juta
2) Harga sisa buku Bangunan X sebesar Rp. 1.600 juta dibebankan sebagai biaya untuk
tahun
1992.
3) Hasil penjualan sebesar Rp. 2.000 juta merupakan penghasilan tahun 1992.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
Contoh 8 :
Perlakuan PPh atas penarikan harta dari pemakaian karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf e UU PPh 1984. Tuan A dan Tuan B adalah Wajib Pajak Perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan,
bersama- sama menyertakan hartanya kepada PT. X, oleh karena itu Tuan A dan Tuan B memperoleh saham PT. X.
Nilai buku harta Tuan A adalah Rp. 200 juta, sedangkan nilai pasarnya adalah Rp. 250 juta. Nilai buku harta Tuan B
Rp. 20 juta dan nilai pasarnya adalah Rp. 30 juta. Tuan A memperoleh saham PT. X sebesar Rp. 200 juta sedangkan
Tuan B memperoleh saham PT. X sebesar Rp. 20 juta. Dalam pembukuannya PT. X harus mencatat sebagai berikut :

PT. X

Aktiva Pasiva

Harta 220 Modal Tn A 200

Modal Tn B 20

------- ------
220 220

Setelah pengalihan, Tuan A dan Tuan B secara bersama-sama memiliki 100% dari modal yang disetor di PT. X. Tuan A
dan Tuan B masing-masing akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila mereka dikemudian hari menjual saham-
sahamnya dengan nilai yang melebihi nilai perolehannya. Demikian pula apabila harta tersebut kemudian oleh PT. X
dijual, maka keuntungannya merupakan Obyek Pajak. Perlakuan pajak tersebut juga berlaku dalam hal harta yang
dialihkan adalah tanah, yaitu badan usaha yang menerima pengalihan harus membukukannya dengan harga perolehan
pihak yang mengalihkan (Tuan A dan Tuan B).

Contoh 9 :
Perlakuan PPh atas pertukaran saham dengan saham.
Tuan X adalah pemegang saham PT. A yang jumlah penyetorannya adalah Rp. 250 juta. Saham Tuan X pada PT. A
tersebut ditukar dengan saham pada PT. B yang dimiliki oleh Tuan Y.
Sebelum terjadi pertukaran :

PT A PT. B

Aktiva Aktiva

Harta Rp. 500 juta Harta Rp. 1.000 juta

-------------------- -----------------
Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta

Pasiva Pasiva

Kewajiban Rp. 200 juta Kewajiban Rp. 150 juta

Modal saham Modal saham


(Tn X) Rp. 250 juta (Tn Y) Rp. 750 juta

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992

Laba ditahan Rp. 50 juta Laba ditahan Rp. 100 juta

------------------ --------------------

Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta

Seluruh saham Tn X pada PT A ditukar dengan saham Tn Y pada PT B, dengan nilai Rp.300 juta.

Setelah terjadi pertukaran, neraca fiskal kedua PT adalah sebagai berikut :

PT. A PT. B

Aktiva Rp. 500 juta Aktiva

Harta Harta Rp. 1.000 juta

-------------------- -----------------
Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta

Pasiva Pasiva

Kewajiban Rp. 200 juta Kewajiban Rp. 150 juta

Modal saham Modal saham


(Tn Y) Rp. 300 juta (TN Y) Rp. 450 juta

(Tn X) Rp. 300 juta

Laba ditahan Rp. 100 juta

-------------------- ------------------

Rp. 500 juta Rp. 1.000 juta

Perlakuan PPh nya adalah sebagai berikut :


Bagi Tuan X selisih antara nilai saham PT. B (Rp. 300 juta) dengan modal yang disetornya pada PT. A (Rp. 250 juta)
merupakan keuntungan karena pengalihan saham (Rp. 50 juta) yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984
adalah obyek PPh.
Perlu ditegaskan bahwa contoh-contoh pembukuan yang diberikan dalam Surat Edaran ini adalah tata cara pembukuan
yang diselenggarakan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.

13.
Berdasarkan penegasan di atas, sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, kepada Saudara diinstruksikan untuk melakukan penelitian material atas
SPT Tahunan PPh untuk 5 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan data/informasi yang ada telah
melakukan transaksi pemindahtanganan harta, dan melakukan tindak lanjut yang diperlukan.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE - 18/PJ.31/1992
Demikian untuk dilaksanakan.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd
Drs. MAR'IE MUHAMMAD

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2023

Anda mungkin juga menyukai