Anda di halaman 1dari 107

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pewarisan merupakan peristiwa hukum yang terjadi pada saat seseorang

meninggal dunia. Pewarisan adalah proses peralihan harta warisan dari

pewaris yang sudah meninggal dunia kepada ahli waris yang mempunyai

hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris. Dalam

perkembangannya penyelesaian hak dan kewajiban dari seorang yang telah

meninggal diatur dengan hukum waris yang merupakan suatu rangkaian

ketentuan hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan

harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia dan mengatur peralihan

harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal serta

akibat-akibatnya bagi para ahli waris.1

Ketika seseorang meninggal dunia, hal ini menimbulkan sebuah akibat

hukum yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan

kewajiban sebagai akibatnya adanya peristiwa hukum karena meninggalnya

seseorang diatur oleh Hukum waris.2 Secara garis besar pengertian hukum

waris adalah hukum yang mengatur mengenai peralihan hak berupa harta baik

berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak yang diberikan kepada

ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan.3

1
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan menurut
Undang-undang, Kencana, Jakarta, 2006, hlm.11
2
Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan Menurut
Hukum Waris Islam di Indonesia, Citapustaka Media, Medan, 2014, hlm.7
3
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.43

1
Unsur yang harus terpenuhi dalam pewarisan adanya seseorang yang

meninggal dunia, adanya seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang

memperoleh hak waris, adanya harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Terkait siapa yang berhak atas harta warisan dari pewaris diatur oleh hukum

waris yang berlaku bagi si pewaris.

Peralihan hak atas tanah yang disebabkan oleh peristiwa kematian

mengakibatkan terbukanya warisan dan sebagai konsekwensinya seluruh

kekayaan yang tadinya dimiliki oleh seorang pewaris beralih dengan

sendirinya kepada segenap ahli waris secara bersama-sama. 4 sehingga dalam

peralihan hak atas tanah dilakukan dengan cara balik nama sertipikat atas

nama pewaris menjadi atas nama para ahli waris.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanahpada Pasal 42 dijelaskan bahwa ahli waris

memiliki kewajiban untuk melakukan pendaftaran peralihan hak karena

pewarisan. Oleh karena itu dalam memberikan peralihan hak atas pewarisan

dilakukan untuk menjamin kepastian pemegang hak.

Harta yang diperoleh dari penerimaan warisan merupakan salah satu

bentuk tambahan kemampuan ekonomis yang dapat diterima oleh

seseorang.Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-

undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan untuk selanjutnya

disebut UU PPh, warisan diatur dalam 2 pasal yang berbeda, yaitu pada Pasal
4
Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2011, hlm.5

2
2 ayat (1) huruf a angka 2 yaitu yang menjadi subjek pajak adalah warisan

yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak dan

pada Pasal 4 ayat (3) huruf b bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah

warisan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas apabila dilihat dari ruang lingkup

pajak maka harta warisan yang diterima oleh ahli waris merupakan suatu

tambahan penghasilan. Oleh sebab itu maka dalam pengurusannya ahli waris

harus memastikan bahwa tambahan penghasilan dari warisan tersebut masih

terhutang pajak atau tidak. Mengingat adanya prinsip pengenaan pajak atas

penghasilan dalam pengertian luas yang menyatakan bahwa pajak akan

dikenakan atas penghasilan dalam pengertian luas yang menyatakan bahwa

pajak yang akan dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang

diterima atau diperoleh wajib pajak, maka tambahan penghasilan yang

diterima ahli waris sebagaimana tersebut pada diatas selain dikenakan

BPHTB seharusnya juga dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Namun

demikian berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf b UU PPh telah

dinyatakan bahwa yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan adalah

warisan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka meskipun warisan merupakan

tambahan penghasilan bagi ahli waris namun hal tersebut dikecualikan

sebagai objek Pajak Penghasilan5.

Pengecualian warisan sebagai objek dari PPh juga diatur dalam ketentuan

Pasal 6 huruf d Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan

5
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, Andi Offset, Yogyakarta, 2006, hlm.8

3
Bangunan beserta Perubahannya yang mengatur bahwa pengalihan hak atas

tanah dan atau bangunan sehubungan dengan pewarisan dikecualikan dari

kewajiban pembayaran PPh. Sesuai dengan ketentuan tersebut maka dalam

pengurusanpewarisan hak atas tanah dan bangunan ahli waris tidak dikenakan

pembayaran atau pemungutan PPh.

Apabila seseorang yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang belum terbagi,

maka warisan yang belum terbagi tersebut dalam kedudukannya sebagaii

Subjek Pajak menggunakan NPWP dari Wajib Pajak yang meninggal dunia.

Ahli warisnya wajib melaporkan penghasilan dan pajak penghasilan terkait

yang berasal dari warisan tersebut dalam SPT PPh Tahunan Orang Pribadi.

Ahli waris tidak hanya mendapatkan hak atas tanah dari warisan tersebut

namun ia juga berkewajiban untuk memenuhi Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan yang diperoleh dari pewarisan. Pada pelaksanaan pewarisan

hak atas tanah dan bangunan apabila ada ahli waris telah memenuhi

kewajiban pembayaran BPHTB, maka ahli waris dapat memohonkan Surat

Keterangan Bebas Pajak untuk pembayaran pajak penghasilan waris, (Untuk

selanjutnya disebut SKB PPh Waris) pada Pajak Pratama pun kalau

permohonan surat ketetapan bebas pajak ditolak, ahli waris harus membayar

pajak penghasilan untuk turun waris dan setelahnya bukti pajak penghasilan

tersebut di validasi di Kantor Pajak Pratama

Setelah surat-surat dari Pajak Pratama selesai, maka ahli waris harus

mendaftarkan peralihan haknya di Kantor Agraria dan Tata Ruang Badan

Pertanahan Nasional (untuk selanjutnya disingkat Kantor ATR/BPN), yang

4
wilayah kerjanya meliputi dimana letak tanah dan Bangunan berada. Syarat-

syarat turun waris salah satunya adanya SKB PPh Waris, kalau tidak ada,

dapat berupa hasil validasi dari Kantor Pajak Pratama yang artinya pajak

penghasilan untuk turun waris sudah dibayar.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-20/PJ/2015, tentang Pemberian Surat

Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak

Atas Tanah dan Atau Bangunan Karena Warisan yang mengatur bahwa

adanya Pengalihan Hak karena warisan dapat diberikan SKB waris pajak

penghasilan dengan mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak PER-30/PJ/2009

tentang Tata cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran atau

Pemungutan Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/Atau

Bangunan. SKB PPh Waris yang telah dikeluarkan oleh Kantor Pajak ini bisa

digunakan sebagai salah satu syarat untuk balik nama sertipikat hak atas tanah

dan/atau bangunan atas nama ahli waris di Kantor ATR/BPN.

Warisan adalah termasuk penghasilan yang dikecualikan sebagaii objek

pajak. Hal ini sesuai Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan.Selanjutnya dalam Pasal 6 huruf d di Peraturan

Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas

Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan dan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah beserta perubahannya disebutkan

bahwa dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak

Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena

warisan karena pada prinsipnya yang dikenai Pajak Penghasilan adalah pihak

yang melakukan pengalihan. Dalam hal waris, pihak yang melakukan

5
pengalihan (pewaris) sudah meninggal dunia, sehingga dikecualikan dari

pengenaan Pajak Penghasilan. Pengecualian ini diberikan karena kewajiban

untuk membayar pajak oleh pewaris sudah berakhir sejak pewaris meninggal

dunia.

Penetapan Peraturan Dirjen Pajak PER-20/PJ/2015 dimaksudkan untuk

memberikan acuan dalam rangka pemberian SKB Pajak Penghasilan waris.

Penetapan Surat Edaran ini juga bertujuan agar pemberian SKB PPh atas

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan

dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam

pelaksanaannya.6Tapi pada saat diajukan permohonan SKB PPh Waris pada

pajak Pratama oleh ahli waris, surat permohonan SKB PPh Waris tersebut

berujung penolakan dan diharuskan untuk membayar pajak Pajak penghasilan

untuk turun waris. Seperti kasus yang terjadi pada klien yang datang Kantor

Notaris & PPAT Haji YAN VINANDA yang meminta turun waris atas

sertipikatnya dan minta dimohonkan untuk supaya tidak bisa dikenakan SKB

PPh Waris pajak. Tapi permohonan SKB PPh Waris ditolak meskipun syarat

untuk SKB PPh Waris telah dipenuhi. Hal tersebut banyak dikeluhkan oleh

klien yang memohonkan turun waris.

Berdasarkan kenyataan seperti inilah, dianggap perlu untuk ditelaah demi

mendapatkan kesesuaian antara peraturan yang ada dan telah diberlakukan

dengan praktek yang terjadi sebenarnya dilapangan. Dalam hal ini menarik

kiranya untuk diangkat suatu permasalahan mengenai SKB PPh Waris

tersebut ke dalam suatu bentuk penelitian dengan judul: KEDUDUKAN


6
https//www.ortax,or/ortag/?mod—info&page, diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020 pukul
19.00 WIB

6
SURAT KETERANGAN BEBAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK

TURUN WARIS ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN DI KOTA

PADANG

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah yang

ingin penulis teliti yaitu meliputi :

1. Apa saja yang menjadi dasar terbitnya SKB PPh waris oleh Kantor Pajak

Pratama Kota Padang

2. Bagaimana proses pengurusan SKB PPh Waris terhadap pembebasan

Pajak Penghasilan bagi ahli waris di Kantor Pajak Pratama Kota Padang

3. Bagaimanakah kedudukan ahli waris dalam pemungutan pajak peralihan

hak atas tanah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak penulis capai dalam penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui yang menjadi dasar terbitnya SKB PPh waris oleh

Kantor Pajak Pratama Kota Padang

2. Untuk mengetahui proses pengurusan SKB PPh Waris terhadap

pembebasan Pajak Penghasilan bagi ahli waris di Kantor Pajak Pratama

Kota Padang

3. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris dalam pemungutan pajak

peralihan hak atas tanah?

D. Manfaat Penelitian

7
Setelah menguraikan tujuan dari penulisan ini, penulis menemukan beberapa

manfaat dalam pembahasan proposal ini, yaitu :

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah bahan bacaan

khususnya tentang penerapan SKB PPh waris pada sistim perpajakan

yang berlaku.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah bahan bacaan

khususnya mengetahui proses pembebanan pajak-pajak yang terkait

dengan ahli waris pada proses turun waris hak atas tanah.

c. Melatih kemampuan penulis untuk melakukan penelitian ilmiah

sekaligus menuangkan hasilnya dalam bentuk tulisan.

d. Agar dapat menerapkan ilmu yang secara teoritis diperoleh dibangku

perkuliahan dan menghubungkannya dengan kenyataan yang ada dalam

masyarakat

e. Untuk menjawab keingintahuan penulis tentang bagaimana cara

mendapatkan SKB PPh waris

f. Dapat menambah perbendaharaan literatur yang ada mengenai

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan

mengenai SKB Waris dan peralihan hak terutama waris.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait agar tahu

bagaimana cara mendapatkan SKB PPh waris.

E. Keaslian Penelitian

8
Berdasarkan informasi serta penelusuran diperpustakaan yang telah

dilakukan khususnya di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas

dan Perpustakaan lainnya, diketahui ada beberapa tesis yang hampir sama dan

terkait dengan judul penelitian ini ataupun yang bersinggungan langsung

dengan KEDUDUKAN SURAT KETERANGAN BEBAS PAJAK

PENGHASILAN UNTUK TURUN WARIS ATAS TANAH DAN ATAU

BANGUNAN DI KOTA PADANG, dalam hal ini penulis tidak menyangkal

tentang adanya kesamaan sebagian dari penelitian ini, yang mana terletak

pada rumusan permasalahan yang berhubungan dengan Sistim perpajakan

ahli waris tapi berbeda pembahasan dan rumusan masalah yang akan penulis

teliti. Penelitian ini difokuskan pada penerapan surat Keterangan Bebas pajak

pada peralihan hak waris. Jika ada tulisan yang hampir sama dengan yang

ditulis oleh penulis diharapkan tulisan ini sebagai pelengkap dari tulisan yang

telah ada sebelumnya.

Adapun tulisan yang relatif sama dengan yang ingin diteliti oleh penulis,

berdasarkan sejumlah literatur yang ditemui di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Andalas menyebutkan ada penulisan tesis tentang pengenaan

pajak, seperti :

1. Tesis yang di tulis oleh Benny Oktario pada Universitas Andalas tahun

2019 dengan judul “Pengenaan Pajak Penghasilan atas Waris dan Hibah

dalam Pengalihan Hak atas tanah dan atau bangunan di Kota Padang

dengan rumusan masalah :

a. Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas waris dan hibah dalam

pengalihan hak atas tanah dan bangunan di Kota Padang?

9
b. Adakah kendala dalam pengenaan pajak penghasilan atas waris dan

hibah dalam pengalihan hak atas tanah dan bangunan di Kota Padang?

2. Tesis yang ditulis oleh Annisa Mutiara Andina pada Universitas Andalas

tahun 2019 dengan judul Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas

Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan di Kota Padang, dengan rumusan

masalah:

a. Bagaimana pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas jual beli

tanah dan/atau bangunan di Kota Padang?

b. Bagaimana peran Notaris/PPAT dalam pelaksanaan pemungutan Pajak

penghasilan atas jual beli tanah dan atau bangunan di Kota Padang

c. Apa saja kendala-kendala hukum yang timbul dalam pelaksanaan

pemungutan Pajak Penghasilan atas jual beli tanah dan/atau bangunan?

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Untuk melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan dan

konsep yang mendasar terhadap suatu permasalahan yang akan diteliti,

salah satunya landasan teoritis, sebagaimana yang dikemukan oleh M.

Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, asas, maupun konsep yang relevan digunakan

untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan. Untuk meneliti suatu

permasalahan mengenai hukum, maka pembahasan yang sangat relevan

mengenai hukum tersebut adalah mengkajinya dengan menggunakan teori-

teori tentang hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum tersebut.

10
Setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan

Undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut

berdasarkan peraturan lain yang lebih rendah daripada Undang-undang7

Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam penulisan ini dihubungan

dengan beberapa teori yaitu:

a. Teori Kepastian Hukum

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menjamin Kepastian hukum bagi setiap warga negara.

Kepastian hukum adalah keadaan dimana suatu perbuatan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau keraguan dan logis

dalam artian menjadi suatu sistim norma dengan norma lain sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma8 .

Kepastian Hukum menunjuk kepada pemberlakuan yang jelas, tetap

dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh

keadaan-keadaan yang sifat subjektif.Indikator adanya kepastian hukum

di suatu negara itu sendiri adalah adanya peraturan perundang-

undangan yang jelas dan perundang-undangan tersebut diterapkan

dengan baik oleh hakim maupun petugas hukum lainnya9.

Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum

menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat,


7
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Refika Aditama, Bandung, 1998, hlm.1
8
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008,
hlm.158
9
Abdul Rahmat Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005 hlm.22

11
baik dalam hubungannya dengan sesama individu maupun dalam

hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan

bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap

individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut

menimbulkan kepastian hukum.

Jaminan kepastian hukum Wajib Pajak dalam mendapatkan

kepastian SKB PPh waris dengan terbitnya Surat Edaran Pajak

20/PJ/2015 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 30/PJ/2009

menambah ketidakpastian apakah nantinya Wajib pajak bisa

mendapatkan SKB PPh waris ataukah harus membayar pajak waris.

Hukum itu secara hakikatnya haruslah pasti serta adil. Pasti dalam

hal tindakan dan adil dalam artian sesuai kewajaran, maka dengan

bersifat adil dan dilakukan dengan pasti hukum bisa dijalankan sesuai

fungsinya kepastian hukum dijawab secara normatif tidak sosiologis.

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma dimana norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus

dilakukan.

Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum

menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat,

baik dalam hubungannya dengan sesama individu maupun dalam

hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu masyarakat dalam

membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan

itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.

12
Menurut Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum yang sesungguhnya

memang lebih berdimensi yurudis. Jan Michiel Otto mendefinisikan

kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

a. Tersedia aturan-aturan yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh,

diterbitkan oleh dan diakui negara.

b. Instansi-instansi pemerintah menerapakan aturan-aturan hukum

tersebut secara konsisten dan juga taat kepadanya.

c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-

aturan hukum tersebut.

d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga

tunduk sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan

e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan10

Keterkaitan teori kepastian hukum dalam permasalahan yang dikaji

oleh penulis adalah harus adanya aturan yang jelas yang mengatur

apakah Surat Keterangan Pajak Waris dapat diberikan atau tidak.

b. Teori Kemanfaatan

Dalam teori ini tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan

sebanyak-banyaknya pada orang (Utilitarianisme Theory) yang

diprakarsai Jeremy Bentham11, yang merupakan penganut paham

10
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Pt. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.5
11
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) , PT. Toko Gunung
Agung, Jakarta, 20002, hlm.267

13
utilitis)12 . Menurut Jeremy Bentham menganggap bahwa tujuan hukum

semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang

sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Setiap

warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah

satu alatnya.

Negara dalam memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan kepada

warga negara menggunakan pajak sebagai salah satu alat untuk

mendapatkan uang ke kas negara, yang digunakan untuk sebesarnya-

besarnya kemakmuran rakyat. Pajak adalah kontribusi wajib kepada

negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Kemanfaatan di sini diartikan

sebagai kebahagiaan (happines), sehingga penilaian terhadap baik-

buruk atau adil-tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah

hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.

Dengan demikian berarti bahwa setiap penyusunan produk hukum

(peraturan perundang-undangan) seharusnya senantiasa memperhatikan

tujuan hukum yaitu untuk memberikan kebahagiaan/kesenangam

sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.

Kaitan antara teori kemanfaatan ini dengan permasalahan yang ada

adalah tidak adanya manfaat yang didapat/diperoleh oleh masyarakat

12
Ajaran utilitis menganggap bahwa pada asasnya hukum adalah semata-mata untuk menciptakan
kemanfaatan atau kebahagiaan warga, bagi mayoritas masyarakat. Bagi aliran ini kehadiran hukum
adalah untuk memberikan manfaat dan kesenangan kepada manusia sebanyak-banyaknya.

14
yang mengajukan SKB PPh waris, karena ujung-ujungnya hanya

penolakan yang dilakukan oleh Kantor Pajak Pratama tempat SKB PPh

waris dimohonkan.

c. Teori perpajakan

Pajak menurut menurut pendapat P.J.A Adriani yang mengatakan

bahwa13

Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)


yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan umum (Undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Adam Smith melancarkan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak

yang dinamainya “The Four Maxims” dengan uraiannya sebagaii

berikut:14

1. Pembagian tekanan pajak di antara subyek pajak masing-masing

hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu

seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing,

dibawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas

kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu

negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak.

Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak

yang sama pula.

13
Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Edisi ke 2 Bandung, Enresco, 1988,hlm.15
14
Adam Smith An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of Nations, (terkenal dengan
nama Wealth of Nations), dalam Erly Suandi, Op Cit hlm.27-29.

15
2. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan

tidak mengenal kompromis (not arbitary). Dalam asas “certainty”

ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai

subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu

pembayarannya.

3. “Every taxt ought to be levied at the time, or ini the manner, in which

it is most likely to be convenient for the contributor to pay it.”

Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut

“convenience of payment, menetapkan bahwa pajak hendaknya

dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat

sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang

bersangkutan.

4. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep

out of the pockets of the people as little as possible over and above

what itbrings into the public of treasury of the State.” Asas efisiensii

ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan

sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi

pemasukan pajaknya.

Tugas negara pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk

menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu cara untuk

mencapai kesejahteraan dengan melakukan penarikan atau

pemungutan pajak.15 Oleh karena itu, Negara berhak memungut

pajak tanpa mengabaikan teori-teori perpajakan yang ada, tapi

15
Bohari, Pengantar Hukum Pajak” Raja Grafindo Persada, 2001, Jakarta hlm.35

16
dengan permohonan SKB PPh waris ini dimungkinkan ahli waris

tidak membayar pajak turun waris apabila permohonan SKB PPh

waris diterima oleh Kantor Pajak Pratama.

2. Kerangka Konseptual

Ada beberapa konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Waris

Pewarisan adalah proses peralihan harta warisan dari pewaris yang

sudah meninggal dunia kepada ahli waris yang mempunyai hubungan

darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris.Sesuai dengan Pasal 42

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

menyatakan bahwa :

Ayat 1 : Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai

bidang tanah yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan

rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh

yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan

rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan pada Kantor

Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian

orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan

surat tanda bukti sebagai ahli waris.

Ayat 2: Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib

diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b

17
Ayat 3: Jika penerima warisan terdiri dari satu orang, pendaftaran

peralihan hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut

berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

Ayat 4: jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan

hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris

yang memuat keteterangan bahwa hak atas tanah ataun hak

milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada seorang

penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah

atau hak milik atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada

penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda

bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut.

Ayat 5 : Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah

susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama

antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum

ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada

para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka

berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta

pembagian waris tersebut.

Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) sistem pewarisan, yaitu hukum waris

adat, hukum waris perdata, dan hukum waris Islam. Ketiganya memiliki

beberapa perbedaan mengenai unsur-unsur pewarisan, salah satunya

yaitu mengenai ahli waris.

18
Ahli waris merupakan orang yang menerima harta warisan.

Ketentuan mengenai ahli waris dalam hukum waris adat, hukum waris

perdata, dan hukum waris Islam memiliki konsep yang berbeda. Tulisan

kali ini terlebih dahulu akan khusus membahas mengenai konsep ahli

waris menurut hukum waris perdata.

Ahli waris menurut hukum waris perdata tidak dibedakan menurut

jenis kelamin layaknya dalam hukum waris adat.Seseorang menjadi ahli

waris menurut hukum waris perdata disebabkan oleh perkawinan dan

hubungan darah, baik secara sah maupun tidak.Orang yang memiliki

hubungan darah terdekatlah yang berhak untuk mewarisi.

b.Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi

atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu

tahun pajak. Penghasilan adalah setiap setiap tambahan kemampuan

ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun luar Indonesia yang

dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan

nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, penghasilan itu dapat

berupa keuntungan usaha, gaji honorarium, hadiah dan lain sebagainya.16

Pada Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh, yang menjadi objek pajak adalah

penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari

luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah

16
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.51

19
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk

apapun.

c. Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB PPh waris)

SKB adalah Surat Wajib Pajak penerima penghasilan agar tidak

dipotong atau dipungut pajak.SKB diterbitkan oleh Kantor Pelayanan

Pajak Pratama Direktorat Jenderal Pajak. Secara tidak langsung, SKB

memberitahukan kepada pemotongatau pemungut pajak bahwa untuk

Wajib Pajak ini tidak perlu lagi dipotong atau dipungut lagi.

Jika warisan berupa tanah dan/atau bangunan, maka ada proses

pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pengalihan

hak dari almarhum pemilik lama kepada ahli waris sebagai pemilik

baru.Ketentuan tentang pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

mewajibkan mengisyaratkan pajak-pajak atas tanah tersebut sudah

lunas. Seperti PBB, BPHTB, dan PPh pengalihan atas tanah dan/atau

bangunan.Karena transaksinya berasal dari warisan, maka sebenarnya

tidak ada PPh pengalihan atas tanah dan/atau bangunan.

Untuk membuktikan bahwa tidak ada PPh yang terutang, pihak

Badan Pertanahan mensyaratkan adanya SKB (surat keterangan bebas)

dari kantor pajak. Ketentuan terbaru tentang SKB PPh atas waris

diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Peraturan Dirjen

Pajak PER-30/PJ/2009 tentang Tata cara Pemberian Pengecualian Dari

Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan Dari

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/Atau Bangunan Peraturan Dirjen Pajak

PER-20/PJ/2015, tentang Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak

20
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Atau

Bangunan Karena Warisan17

G.Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan

gabungan, yakni pendekatan Yuridis Normatif yang didukung oleh yuridis

Empiris. Penelitian dengan Pendekatan Yuridis Normatif dilakukan

terhadap aturan-aturan mengenai adanya SKB PPh Waris, sedangkan

pendekatan Yuridis Empiris mengenai adanya pelaksanaan permohonan

SKB PPh waris dan hasil permohonan SKB PPh Waris itu ditolak atau

tidak.

Metode penelitian tesis ini adalah sebuah metode pendekatan hukum

empiris yaitu penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji

bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Bekerjanya hukum dalam

masyarakat dapat dikaji dari tingkat efektifitasnya hukum, kepatuhan

terhadap hukum, peranan lembaga atau institusi hukum dalam penegakan

hukum, implementasi aturan hukum, pengaruh aturan hukum terhadap

masalah sosial tertentu atau sebaliknya, pengaruh sosial ekonomi terhadap

aturan hukum18. Melakukan pendekatan dengan penelitian lapangan dan

penelitian kepustakaan sehingga dapat menjawab rumusan masalah. Dalam

penelitian penulis melakukan wawancara dengan pihak yang ada di subjek

orang yang memohonkan SKB PPh Waris, Kantor ATR/BPN Agraria Kota
17
Pajaktaxes,blogspot.com. catatan perpajakan,Diakses pada hari Selasa, 1 Nopember 2020, pukul
21.10 WIB.
18
Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah Metodologi Penulisan Kualitatif, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2010, hlm.5

21
Padang, Kantor Pajak Pratama 1 dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah

di Kota Padang.

2. Spesifikasi atau sifat penelitian

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif

dimaksudkan untuk mengambarkan suatu kondisi atau keadaan yang

terjadi atau berlangsung dengan tujuannya agar dapat memberikan data

seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-

hal yang ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum dan peraturan

perundangan yang berlaku. Dalam penelitian ini penulis ingin

menggambarkan hasil mengenai SKB PPh waris.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Penelitian lapangan yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data

primer dengan wawancara dan observasi, dilakukan secara langsung

kepada responden dan informan dengan mempergunakan daftar

pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar mendapatkan informasi

yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti. Penelitian di lapangan

dilaksanakan pada subjek orang yang memohonkan SKB PPh Waris,

Pejabat pada kantor Pajak Pratama 1 Padang dan pada Kantor

ATR/BPN Kota Padang. Untuk di kantor Pajak Pratama 2 Padang,

penelitian penulis ditolak dengan alasan tidak ada bahan yang

diminta.

b. Penelitian Kepustakaan, penelitian kepustakaan dilakukan untuk

memperoleh bahan hukum yang dapat diklasifikasikan ke dalam 3

(tiga) jenis sebagai berikut:

22
1) Bahan Hukum Primer,berupa UUD 1945, peraturan perundang-

undangan dan peraturan pelaksanaannya dan Surat Keputusan

Dirjen Pajak yang berhubungan dengan Surat Ketetapan Bebas

Pajak.

2) Bahan Hukum Sekunder, berupa bahan-bahan hukum yang dapat

memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti :

literatur, hasil penelitian, makalah dalam seminar dan artikel.

Dalam hal ini yang berkaitan fokus penelitian yaitu jual beli hak

atas tanah di bawah tangan.

3) Bahan hukum tertier berupa bahan hukum yang dapat memberikan

petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder, antara lain berupa : kamus, ensiklopedia

dan sebagainya.19 Dalam penelitian berkaitan fokus penelitian yaitu

mengenai pemberian SKB PPh waris.

Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara membaca,

mempelajari, dan menganalisa literatur/buku-buku,peraturan

perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

Penelitian Kepustakaan ini dilakukan di Perpustakaan Fakultas

Hukum/Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Andalas, dan

Perpustakaan lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

Jenis data yang dikumpulkan adalah :

a. Data primer
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo, 2006,
hlm.13

23
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan

dibahas.20. Data primer merupakan data yang langsung dari

responden atau informan melalui penelitian lapangan21. Data primer

adalah hasil wawancara, baik dengan informan seperti : Pejabat

Pembuat Akta tanah, Pegawai Pajak Pratama, maupun dengan

responden yaitu : para pemohon untuk SKB PPh waris dan

Aparatur ATR/BPN Kota Padang

b. Data sekunder

Bahan Hukum yang digunakan dalam mengambil Data Sekunder

pada penelitian ini, terdiri dari : Bahan Hukum Primer, Bahan

Hukum Tersier yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan dan surat

permohonan untuk SKB PPh Waris. Data sekunder adalah data-data

yang diperoleh dari buku-buku sebagai data pelengkap sumber data

primer. Sumber data sekunder penelitian ini adalah data-data yang

diperoleh dengan melakukan kajian pustaka seperti buku-buku

ilmiah, hasil penelitian dan sebagainya.22Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, literature,

artikel-artikel, tulisan ilmiah dan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, meliputi :

1. Bahan hukum primer,

20
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006,.hlm.,
30.
21
Tim penyusun, Pedoman Penelitian Tesis, Program Magister Kenotariatan, Program
Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2012, hlm.7
22
Marzuki, Metodologi Riset, Yogyakarta, Hanindita Offset, 1983, hlm. 56.

24
Menurut Maria SW. Soemardjono, bahwa Bahan Hukum Primer

merupakan “bahan bahan hukum yang mengikat23yang terdiri dari

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

c) Undang-Undang Pokok Agraria

d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan

Ke tiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.

e) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan

Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan

f) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD),

g) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Perubahan

Undang-undang no.21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah.

h) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang PPh

atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau

Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah

beserta perubahannya

i) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebagai

pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,

tentang Pendaftaran Tanah


23
Maria SW. Soemardjono, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Iniversitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 2007, hlm.13-14

25
j) Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2008, Tentang

Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah No.48 Tahun1994

Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari Pengalihan

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

k) Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 tentang Pajak

Penghasilan atas dan Usaha yang diterima atau diperoleh

wajib pajak yang memilih peredaran bruto tertentu.

l) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:

261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran,

Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan

atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah

Dan/atau Bangunan beserta Perubahannya,

m)Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 30/PJ/2009, tentang tata

cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran

atau Pemugutan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak

Atas Tanah dan atau Bangunan

n) Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 20/PJ/2015, tentang

Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas

Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau

Bangunan karena warisan.

2. Bahan hukum sekunder

26
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.24 Bahan hukum

sekunder ini erat kaitannya dengan bahan hukum yang dapat

membantu menganalisis, memahami, menjelaskan bahan

hukum primer, antara lain hasil-hasil penelitian, karya tulis

dari ahli hukum, serta teori dari para sarjana yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti.

3. Bahan hukum tertier

Yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan

mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum

sekunder.Bahan hukum tersier berupa yang berasal dari kamus,

ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

H. Metode Pengumpulan Data

Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Dokumen

Studi dokumen meliputi pengambilan data-data atau dokumen-dokumen

yang terdapat dilapangan baik berupa berkas kasus maupun dokumen

hukum lainnya pada Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, Badan

Pertanahan Nasional Kota Padang yang relevan dengan objek penelitian.

b. Wawancara

Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka, ketika

seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

24
ibid, hlm. 114.

27
dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian kepada responden.25. Metode ini dilakukan kepada pihak-pihak

yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis. Peneliti

melakukan wawancara dengan ahli waris yang mengajukan SKB PPh

Waris, maupun pada Kantor Pajak Pratama, yang bertujuan untuk

memperoleh titik terang dalam mengatasi masalah yang berkaitan

denganpenerapan SKB PPh waris pada sistim perpajakan yang berlaku

c.Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah Analisis data kualitatif yaitu

upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, dan memilah-milahnya menjadi satuan yang

dapat dikelola, mensistensikannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan

apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.26

Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya

diperiksa kembali bahan dan data yang telah diperoleh,maka selanjutnya

diperiksa kembali bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data

tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan perundang-

undangan yang berkaitan dengan Sistim Perpajakan terhadap Ahli waris

25
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persadam,
2006,.hlm,82
26
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, ( Ed. Rev, Jakarta : , 2010 ), hlm. 248

28
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris

29
Hukum Waris merupakan satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang

dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan

terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah

bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

seseorang yang meninggal dunia tersebut27.

Untuk pengertian hukum waris sampai saat ini baik para ahli hukum

Indonesia maupun di dalam kepustakaan Ilmu hukum Indonesia, belum

terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih

beraneka ragam. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah hukum

warisan.28Soepomo menyebutnya dengan istilah hukum waris.29 Beliau

menerangkan bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang

mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda

dan barang-barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia

kepada keturunannya. Oleh karena itu, istilah hukum waris mengandung

pengertian yang meliputi kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur proses

beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban seseorang

yang meninggal dunia

27
M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Syafi i dan Wasiat Wajib di Mesir,
tentangPembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan
No.2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta : FHUI, 1982, hlm.154
28
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van Hoeve,s
Gravenhage, hlm. 8
29
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Penerbitan Universitas, 1996, hlm.72

30
Untuk memahami waris, dapat dijumpai pengertian dari hukum waris.

Beberapa istilah beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini:

1. Waris

Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan)

orang yang telah meninggal

2. Warisan

Berarti harta peninggalan, pusaka dan surat wasiat.

3. Pewaris

Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia

dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat

wasiat.

4. Ahli waris

Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang

berhak menerima harta peninggalan pewaris.

5. Mewarisi

Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah

mewarisi harta peninggalan pewarisnya.30

6. Proses pewarisan

Istilah proses pewarisan mempunyai dua peengertian atau dua makna,

yaitu:

1) Berarti penerusan atau penunjukkan para ahli waris ketika pewaris

masih hidup.

2) Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.


30
W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,:Depdikbud, Pusat Pembinaan
Bahasa Indonesia, 1982, hlm. 1148

31
Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut diatas, Hilman

Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa warisan

menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang

kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau pun

masih dalam kedaan tidak terbagi-bagi. 31

Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba

memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun

dalam bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upaya

memahami pengertian hukum waris secara utuh, beberapa definisi di

antaranya penulis sajikan sebagai berikut :

1. Wirjono Prodjodikoro32

Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak

dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu

ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yan masih hidup.

2. Soepomo33

Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

barang-barang yang tidak berwujud benda (immertial goederen)

dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses

ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup.

3. R. Santoso Pudjosubroto34

31
Hilman Hadikusumah, Hukum waris Adat, Bandung : Alumni, 1980, hlm.23
32
Wirjono Prodjodikro, Op.cit, hlm.8
33
Soepomo, Op.cit
34
R.Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, I Ioo Sing, 1964, hlm.8

32
Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang

mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-

kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal

dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

4. B. Ter Haar Bzn35 (yang dialihbahasakan oleh K.Ng.Soebakti

Poesponoto)

Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara

kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke

generasi

5. Pitlo36

Hukum Waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum

mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai

pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat

dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik

dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam

hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

2. Macam-macam Hukum waris :

a. Hukum waris Adat

Hukum Waris Adat adalah serangkaian peraturan yang mengatur

penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari

suatu generasi ke generasi yang lain, baik yang berkaitan dengan hak-
35
K,Ng.Soebakti Poesponoto, Azas-azas dan susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, 1960,
hlm.197
36
Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Terjemahan
Isa.Arief, Jakarta:intermasa,1979,hlm.1

33
37
hak kebendaan (materi dan non materi) .Hukum waris adat berlaku

bagi golongan penduduk Indonesia asli. Hukum waris adat terdapat tiga

macam sistim yaitu :

1). Sistim kolektif

Apabila para ahli waris mendapat harta peninggalan yang

diterima, mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak

terbagi-bagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian itu

disebut kewarisan kolektif. Menurut kewarisan ini para ahli waris

tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan

diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengelola dan

menikmati hasilnya. Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini

terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut harta pusaka, berupa

sebidang tanah (pertanian) dan atau barang-barang pusaka38.

Contohnya masyarakat matrilineal di Minangkabau.

2). Sistem Mayorat

Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya

dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengelola dan

memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan

hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang

pria dan wanita sampai mereka berdiri sendiri, maka disebut sistem

kewarisan mayorat39. Contohnya di Bali terdapat hak mayorat anak

37
Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris diIndonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.81
38
Meita Djohan , Kedudukan dan Kekuatan Hukum Warisan Tunggu Tubang Menurut Adat
Semende, Jurnal Keadilan Progresif, Vol. 9 No.1, Maret 2018, Universitas Bandar Lampung,
Bandar Lampung, hlm. 98
39
Marie Djohan OE, Op.Cit, hlm.98

34
laki-laki yang tertua dari di tanah semendo di Sumatera Selatan

yang terdapat hak mayorat anak perempuan tertua40

3). Sistem Individual

Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara

perseorangan dengan Hak Milik yang berarti setiap waris berhak

memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga

mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka

kewarisan yang demikian itu tersebut kewarisan individual. Sistem

kewarisan ini yang banyak berlaku dikalangan masyarakat parental

dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur

dalam KUHPerdata dan Hukum Waris Islam41

b. Hukum Waris KUH Perdata

Hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas yaitu apabila

seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan

kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya42.Hak-hak dan

kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk

ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat

dinilai dengan uang43. Hukum waris KUHPerdata berlaku golongan

Timur Asing, Cina dan Eropa.

Dalam hukum waris menurut KUH Perdata untuk mendapatkan harta

warisan dengan dua cara yaitu sebagai ahli waris menurut ketentuan

undang-undang (ab intestato) dan berdasarkan surat wasiat


40
Yulies Tiena Masriani, Loc.Cit
41
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti , Bandung, hlm.8
42
Yulies Tiena Masriani,Loc.Cit
43
Zainuddin Ali, Loc.Cit

35
(testementair). Ahli waris menurut ketentuan undang-undang terdiri dari

empat golongan, yaitu:

a. Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah,

meliputi anak-anak beserta keturunannya serta suami dan atau/isteri

yang ditinggalkan/yang hidup paling lama.

b. Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi

orang tua dan saudara baik laki-laki maupun perempuan, serta

keturunannya.

c. Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek, dan

leluhur.

d. Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis

ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam,

Selanjutnya, ahli waris mendapatkan warisan berdasarkan wasiat

(testamen). Wasiat merupakan suatu pernyataan dari seseorang tentang apa

yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Pemberian seseorang calon

pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan

hal untuk mewaris secara ab intestato.

Proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya,

yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena

itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai

berikut 44

1) Ada orang yang meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 830 KUHPerdata. Matinya pewaris dapat dibedakan menjadi 45.:


44
Loc.Cit
45

36
a. Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki)

yaitu dapat dibuktikan dengan panca indera bahwa ia telah benar-

benar mati.

b. Mati demi hukum, dinyatakan oleh pengadilan, yaitu tidak diketahui

secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan

bahwa ia sudah mati..

2) Ada orang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh

warisan pada saat pewaris meninggal dunia.

3) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.

c. Hukum waris islam

Hukum kewarisan islam adalah hukum yang mengatur segala

sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas

harta kekayaan sseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli

warisnya.46Bidang kewarisan Islam, tidak saja laki-laki dewasa yang

mendapat warisan seperti pada zaman sebelum islam, tetapi juga anak

perempuan, besar atau kecil, termasuk bayi dalam kandungan. Bahkan

semua saudara yang terkait secara kekerabatan geneakologis dengan

almarhum yang mewariskan harta. Saudara jauh bisa tertutup atau baru

mendapat warisan kalau saudara dekat tidak ada.

Dari penjelasan ini tampak bahwa hubungan vertikal (menegak) dan

horizontal (mendatar) seperti dalam soal perkawinan juga ada dalam

pewarisan ini. Tetapi kalau dibandingkan ayat-ayat larangan kawin dalam

hubungannya dengan penetapan garis kekerabatan, akan terlihat bahwa

46

37
lingkungan kerabat menurut ayat-ayat kewarisan lebih sempit dari ayat-

ayat larangan perkawinan.47 Perbedaannya terlihat bahwa yang tidak boleh

dikawini hanya didasarkan kepada sehubungan darah dan sesusuan,

sedangkan dalam kewarisan, disamping sehubungan darah juga

beradasarkan hubungan tanggung jawab. Dengan demikian yang termasuk

kerabat atas dasar pelarangan kawin tetap tidak boleh menerima warisan48.

3. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Atas Bangunan karena warisan

Perolehan hak milik atas tanah dapat terjadi karena pewarisan dari

pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 Undang-undang Pokok

Agraria. Pewarisan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang maupun

karena wasiat dari orang yang mewasiatkan, jadi pewarisan dapat diartikan

adalah tindakan pemindahan hak milik atas benda dari seseorang yang

meninggal dunia kepada orang lain yang ditunjuknya dan /atau ditunjuk

pengadilan sebagai ahli waris.

Menurut Pasal 1023 KUH Perdata, para ahli waris menerima hak

terdahulu untuk pendaftaran boedel ataupun menolak warisan tersebut.

Dengan jatuhnya tanah kepada para ahli waris, terjadilah pemilikan

bersama tanah hak milik jika tanah tersebut hanya satu-satunya. Akan

tetapi, jika pewaris memiliki tanah tersebut sesuai dengan jumlah ahli

waris dan telah dibuatkan surat wasiat, maka tanah dimaksud telah

menjadi milik masing-masing ahli waris. Untuk memperoleh kekuatan

pembuktian tanah dari hasil pewarisan, maka surat keterangan waris sangat
47
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau
(Jakarta : Gunung Agung, 1984 hlm.37
48
Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau.Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2011, hlm.182

38
diperlukan disamping sebagai dasar untuk pendaftaran tanahnya. Namun

sampai saat ini, untuk: memperoleh surat keterangan waris, hukum yang

berlaku bagi Warga Negara Indonesia masih berbeda-beda.

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah, dan sesuai dengan Pasal 25, surat keterangan

Warisan itu merupakan suatu keharusan. Hanya saja, pejabat yang

berwenang untuk membuat surat keterangan warisan itu belum ditentukan.

Untuk menyeragamkan masalah surat keterangan waris, dengan

memperhatikan penggolongan warga negara, maka:

a) Golongan keturunan Eropa, surat keterangan waris dibuatkan oleh

Notaris.

b) Golongan penduduk asli/pribumi, surat keterangan waris oleh para ahli

waris, disaksikan oleh lurah diketahui oleh camat.

c) Golongan keturunan Tionghoa oleh Notaris.

d) Golongan keturunan Timur asing lainnya (seperti India dan Arab) surat

keterangan waris dibuat oleh Balai Harta Peninggalan

Menurut A.P. Parlindungan, untuk keempat golongan tersebut dapat

juga diganti dengan Keputusan Pengadilan Negeri dan bagi golongan

Bumi putra Islam dengan surat Keputusan Pengadilan Agama atau

Mahkamah Syariah.49 Bagi golongan Timur asing termasuk juga mereka

yang sudah menjadi Warga Negara Indonesia maupun yang masih Warga

Negara Asing surat keterangan kewarisannya dibuat oleh Notaris.50


49
AP Partindungan, Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang
PokokAgraria), cetakan III, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm 24
50

39
Dalam PP No. 10 Tahun 1961 yaitu Pasal 20, menyatakan bahwa jika

orang yang mempunyai hak atas tanah meninggal dunia, maka yang

menerima tanah itu sebagai warisan wajib meminta pendaftaran peralihan

hak tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya orang itu.

Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997, maka keterangan mengenai

kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan

diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 yaitu Pasal 36. Dalam PP No. 24

Tahun 1997 Pasal 36 dinyatakan bahwa:

a) Pemeliharaan data Pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi

perubahan pada data fisik atau yuridis obyek pendaftaran tanah yang

telah terdaftar.

b) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan

sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) kepada Kantor Pertanahan.

Pendaftaran peralihan hak diwajibkan dalam rangka memberi

perlindungan hukum kepada ahli waris dan sebagai keterangan di tata

usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan yang disajikan

selalu menunjukkan keadaan yang sesungguhnya. Undang Undang Pokok

Agrariadan PP No. 24 Tahun 1997 menegaskan 2 (dua) kewajiban pokok,

yaitu:

a) Kewajiban bagi Pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah

(Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Pokok Agraria) yang meliputi:

1. Pengukuran, Pemetaan dan pembukuan.

2. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya.

40
3. Pembuatan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

b) Kewajiban bagi pemegang hak alas tanah untuk mendaftarkan hak

atas tanahnya, demikian pula peralihan hak atas tanah yang wajib

didaftarkan tersebut adalah Hak Milik (Pasal 23 Undang Undang

Pokok Agraria), Hak Guna Usaha (Pasal 32 Undang Undang Pokok

Agraria), Hak Guna Bangunan (Pasal 38 Undang Undang Pokok

Agraria).

Dalam perkembangannya peralihan hak karena pewarisan telah

mendapat penegasan pada BAB V, Paragraf 3 tentang peralihan hak

karena pewarisan sebagaimanatersebut dalam PP Nomor 24 Tahun 1997

Pasal 42, yakni sebagai berikut:

a) Untuk peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang

sudah terdaftar, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah

sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat yang

bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai

pemegang haknya dengan surat tanda bukti sebagai ahli waris.

Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat yang

bersangkutan meninggal dunia, maksudnya disini bahwa sejak itu para

ahli waris menjadi pemegang hak yang baru. Mengenai siapa yang

menjadi ahli waris diatur dalam hukum perdata yang

berlaku.Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan juga diwajibkan

dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para ahli waris

dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah. Surat tanda bukti

41
sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan hak Mewaris, atau

Surat Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris.51

b) Jika bidang tanah yang merupakan warisan yang belum didaftar, wajib

diserahkan dokumen-dokumen surat keterangan Kepala

Desa/Kelurahan yang menyatakan yang bersangkutan menguasai tanah,

dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah tersebut

belum bersertipikat dari kantor Pertanahan, atau surat keterangan

Kepala Desa/Lurah jika lokasi tanahnya jauh dari kedudukan kantor

Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan. Dokumenyang

membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan

karena pendaftaran peralihan hak ini baru dapat dilakukan setelah

pendaftaran untuk pertama kali atas nama pewaris.52

c). Jika penerima waris terdiri dari satu orang, pendaftaran peralihan hak

tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda

bukti sebagai ahli waris seperti tersebut pada angka 1 diatas.

d) Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak

tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang

memuat keterangan bahwa hak atas tanah jatuh kepada seorang

penerima warisan tertentu, pendaftaran hak milik atas tanah dilakukan

kepada penerima warisan yangbersangkutan berdasarkan suatu tanda

bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut. Dalam

hal akta pembagian waris yang dibuat sesuai ketentuan yang berlaku,

51
Penjelasan Pasal 42 Ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997.
52
Penjelasan Pasal42 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

42
dan harta waris jatuh pada seorang penerima warisan tertentu,

pendaftaran peralihan haknya dapat langsung dilakukan tanpa alat

bukti peralihan hak lain, misalnya akta PPAT.53

e) Warisan berupa hak atas tanah yang menurut akta pembagian waris

harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu

didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan

haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama

mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta

pembagian waris tersebut.

B. Pajak Penghasilan

1. Pajak

a. Peraturan Umum Perpajakan

Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, SH dalam bukunya Dasar-

dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, menyatakan:54

“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang

(yang tidak dapat dipisahkan) dengan tidak mendapat jasa timbal

(kontraprestasi), yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum”.

Adriani, mengatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang

dapat dipaksakan), yang terutang oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi

kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk


53
Penjelasan Pasal 42 Ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
54
Ibid, hlm. 5

43
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas

Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.55 Selain itu, menurut

Soeparman Soemahamidjaja mengemukakan bahwa pajak adalah iuran

wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa

berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan

umum.56

Seiring dengan perkembangan perekonomian Indonesia telah

diikuti pula dengan kebijakan-kebijakan di bidang pajak. Karena itulah

pajak selalu berkembang di masyarakat, sebagai salah satu alat

pendukung yang menunjang agar tercapai keberhasilan ekonomi dalam

meraih peluang hukum. Salah satu bagian yang paling disoroti adalah

hukum pajak. Hukum Pajak merupakan keseluruhan dari peraturan-

peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk memungut

pajak.

Kewenangan pemungutan pajak berada pada pemerintah.

Keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan

pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan

kembali kepada masyarakat melalui kas negara termasuk dalam ruang

lingkup pengertian hukum pajak.57

55
Fidel, Cara Mudah &Praktis Memahami Masalah-masalah Perpajakan, Murai Kencana, Jakarta,
20 l 0, hlm. 4
56
M. Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2011, hlm. 28
57
Waluyo & Wirawan B. IJyas, Perpajakan Indonesia. Salemba Empat, Jakarta, 2003, hlm 3.

44
Pemungutan pajak di Indonesia diatur pada Amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada Pasal 23 A, bahwa pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dengan Undang-Undang. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang

nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang

nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP menyatakan bahwa: Pajak adalah

kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ciri-ciri pajak yang dapat disimpulkan dari berbagai definisi

secara umum adalah sebagai berikut:

1) Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.

2) Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan Undang-Undang

serta aturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan.

3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh

pemerintah.

4) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah.

5) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah

6) Masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public

investment.

45
7) Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu

dari pemerintah.

8) Pajak dapat dipungut baik secara langsung atau tidak langsung.

Menurut Pasal 1 Angka l Undang-Undang KUP menyatakan

bahwa: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

a. Asas-asas Pemungutan Pajak

Menurut Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiri

into the Natural and causes of wealth of Nations, Pemungutan

Pajak seharusnya didasarkan atas :

1. Asas Equality

Harus terdapat persamaan hak dan kewajiban diantara wajib

pajak dalam suatu negara.Tidak boleh ada diskriminasi di antar

wajib pajak. Akan tetapi pemugutan pajak hendaknya

memperhatikan kemampuan wajib pajak untuk membayar

pajak dan sesuai dengan manfaat yang diminta wajib pajak

dari pemerintah.

2. Asas Certainty

Penetapan pajak harus jelas, tidak dilakukan secara sewenang-

wenang.Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti

besarnya pajak terutang, kapan harus dibayar dan batas waktu

46
pembayarannya. Pemungutan Pajak yang jelas akan memberikan

kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban wajib pajak,

sehingga akan meningkatkan kesadaran wajib pajak

3. Asas Convenience

Pajak harus dibayar oleh wajib pajak pada saat-saat yang tidak

menyulitkan wajib pajak, yaitu pada saat memperoleh

penghasilan (pay as you earn). Hal ini dimaksudkan untuk

mencegah kemungkinan wajib pajak berupaya secara ilegal

menghindari kewajiban membayar pajak.

4. Asas Economy

Biaya untuk pemungutan pajak harus seminim mingkin, dengan

biaya pemungutan yang minimal diharapkan dapat menghasilkan

penerimaan pajak yang sebesar-besarnya58

b. Wajib Pajak

Istilah wajib pajak (disingkat WP) dalam perpajakan Indonesia

merupakan istilah yang sangat populer secara umum bisa diartikan

sebagai orang atau badan yang dikenakan kewajiban pajak. Wajib

pajak juga didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan yang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk

pemungut pajak atau pemotong pajak. Dari definisi ini dapat dipahami

bahwa wajib pajak ini terdiri dari dua jenis yaitu wajib pajak pribadi

dan wajib pajak badan.


58
Suparman dan Theresia Worodamayanti, Perpajakan Indonesia dan Perhitungan, Andi Offset,
Yogyakarta, 2005, hlm.5

47
Dalam beberapa jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan dan

BPHTB, subjek pajak identik dengan wajib pajak (berada pada diri

orang yang sama) atau dengan kata lain subjek pajak secara otomatis

ditetapkan menjadi wajib pajak. Sesuai ketentuan pasal 1 Pajak

Penghasilan, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 1 tersebut disebutkan bahwa

subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam

Undang-undang perpajakan disebut wajib pajak. Disini jelas bahwa

Undang-Undang menempatkan subjekpajak dan wajib pajak berada

pada diri orang yang sama, yaitu orang atau badan yang memperoleh

penghasilan.59

d. Fungsi Pajak

Fungsi Pajak dapat berupa :

1.Fungsi Anggaran (budgeter)

Fungsi Pajak adalah untuk mengumpulkan dan yang diperlukan

pemerintah untuk membiayai pengeluaran belanja Negara guna

kepentingan dan keperluan masyarakat. Pemungutan pajak tersebu

tditujukan untuk mengumpulkan penerimaan yang memadai atau

yang cukup untuk membiayai belanja negara. Fungsi pajak sebagai

alat instrument yang digunakan untuk memasukkan dana yang

sebesar-besarnya kekas Negara. Dalam hal ini fungsi pajak lebih

diarahkan sebagai instrument untuk menarik dana dari masyarakat


59
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Material, Objek, Subjek, Dasar Pengenaan pajak, Tarif
Pajak dan cara Perhitungan Pajak,Graha Ilmu, Yogyakarta, 20 l 0, hlm. 59

48
untuk dimasukkan dalam kas negara. Dana dari pajak itulah yang

kemudian digunakan sebagai penopang bagi penyelenggaraan dana

aktivitas pemerintahan.60

2. Fungsi mengatur (Reguleren)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan

pemerintah dalam bidang social dan ekonomi. Pajak digunakan

sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi,

sosial maupun politik dengan tujuan tertentu.

Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang bersifat khusus ini

dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

a) Bersifat positif, dimana apabila suatu kegiatan yang dilakukan oleh

masyarakat itu oleh pemerintah dipandang sebagai suatu yang

positif, maka kegiatan itu tentu akan mendapat dukungan dari

pemerintah. Tak terkecuali melalui kebijakan di bidang pajak.

b) Bersifat negatif, merupakan cara mengatur dengan maksud untuk

mencegah atau menghalangi perkembangan atau menjuruskan

kehidupan masyarakat ke arah tujuan tertentu. Ini merupakan

suatu keinginan dari pemerintah atau pembuat undang-undang

dengan cara mengadakan berbagai peraturan di bidang pajak yang

menghambat dan memberatkan masyarakat yang menyebabkan

tumbuh dan berkembangnya suatu kegiatan yang justru ingin

ditiadakan atau diberantas oleh pemerintah . Dengan demikian

60
Fidel, Cara Mudah dan Praktis Memahami Masalah-masalah perpajakan mulai dari konsep
sampai aplikasi, Murai Kencana, Jakarta, 2010, hlm.6

49
pajak yang digunakan untuk menghalangi atau mengerem

terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat selaku Wajib pajak.

2. Pajak Penghasilan

a. Pengertian Pajak Penghasilan

Menurut Pasal 4 ayat 1 huruf d UU PPh, yang menjadi objek pajak

adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang

diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia

maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau

untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan

nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,

honorarium,komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan

dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang

ini;

b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan

c) laba usaha

d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya sebagai saham atau penyertaan modal.

2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

sekutu, atau yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan

lainnya.

50
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,pemekaran,

pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama

dan dalam bentuk apapun.

4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau

sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam

garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan

sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang

menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih

lanjut, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan diantara pihak-

pihak yang bersangkutan

5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh

hak penambahan,tanda turut serta dalam pembiayaan, atau

permodalan dalam perusahaan pertambangan.

Dari pengertian penghasilan tersebut, yang dimaksud pajak

penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada

masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang

diterima/diperoleh dalam tahun pajak untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran negara.61

Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan

usaha, gaji, honorium, hadiah, dan lain sebagainya. Pajak penghasilan

(PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan

61
Supramono dan Theresia Woro Damayanti, “Perpajakan Indonesia Mekanisme dan
Perhitungan”, Jakarta, 2010, hlm. 37

51
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun

pajak.62

Jadi pengertian penghasilan tidak terikat pada ada atau tidak

adanya sumber penghasilan dilihat dari mengalirnya tambahan

kemampuan ekonomis kepada wajib pajak yang secara umum dapat

dikelompokkan menjadi:

1) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan

bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan,

(ahli matematika, asuransi jiwa), pengacara dan sebagainya.

2) Penghasilan dari kegiatan usaha yaitu melalui sarana perusahaan.

3) Penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta

gerak, seperti bunga, deviden, royalty maupun penghasilan dari

modal berupa harta tak bergerak, sewa rumah, dan sebagainya,

juga termasuk dalam kelompok penghasilan dari harta yang

dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari

sebidang tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak

dipakai dalam melakukan kegiatan usaha.

4) Penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan butang,

dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk kelompok lain.

Dalam Undang-Undang KUP diuraikan contoh-contoh

penghasilan yang termasuk dalam definisi penghasilan tanpa

meninggalkan pengertian “dengan nama apapun dan dalam bentuk

apapun”. Dengan demikian berarti pengertian penghasilan yang

62
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2011, hlm. 51.

52
dimaksud dalam pajak penghasilan tidak terbatas dari apa yang

disebutkan diatas, tetapi juga meliputi semua macam penghasilan

dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Pajak Penghasilan (PPh) sebelum perubahan Perundang-

undangan Perpajakan tahun 1983 diatur dalam perundang-

undangan/ordonansi seperti yang dikenal dengan pajak pendapatan

orang pribadi yang dipungut berdasarkan ordonansi pajak pendapatan

tahun 1984 dan pajak perseroan yang diatur dalam ordonansi pajak

perseroan tahun 1925 serta pajak atas bunga, dividen dan royalty yang

diatur dalam Undang-Undang Pajak atas bunga, deviden, dan royalty

tahun 1970.

Dalam setiap transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan

dikenal adanya 2 (dua) macam pajak, yaitu Pajak Penghasilan (PPh)

yang harus dibayar atas nama pihak yang mengalihkan hak atas tanah

dan bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan bangunan

(BPHTB) yang harus dibayar atas nama penerima/yang memperoleh

hak atas tanah. Kedua macam pajak ini sudah harus disetor ke kas

negara (melalui bank atau lembaga lain yang ditunjuk oleh

pemerintah) sebelum dilaksanakannya penandatanganan suatu akta

peralihan hak.

Pajak Penghasilan dikategorikan sebagai Pajak Pusat yaitu pajak

yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk rnembiayai

rumah tangga negara, sedang ditinjau dari sifatnya dikategorikan

sebagai jenis pajak-pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat

53
pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut

dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya.

a. Subjek dan Objek Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan

1) Subjek Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan

Bangunan

a) Orang Pribadi

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal

atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

b) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,

menggantikan yang berhak

Warisan yang belum terbagi merupakan subjek pajak

pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.

Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban

perpajakannya beralih kepada ahli waris.

c) Badan.

Pengertian badan mengacu pada Undang-undang RI

Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pasal 2 ayat (1)

huruf b, bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal

yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun

yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas,

perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik

Negara atau Daerah dengan nama clan bentuk apapun, firma,

kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,

54
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau

organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan badan

lainnya.

d) Bentuk Usaha Tetap.

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang

dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal

di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih 183 hari

dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, Untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Bentuk usaha tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri

terpisah dari badan. Perlakuan perpajakannya sama dengan

subjek pajak badan.

Dan yang tidak termasuk subjek pajak penghasilan adalah :

(1) Badan Perwakilan Negara Asing.

(2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau

pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang

yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan

bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat

bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak

menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan

atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan

memberikan perlakuan timbal batik.

55
(3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh

menteri keuangan dengan syarat Indonesia menjadi anggota

organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan

dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada

pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

(4) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan

Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh

penghasilan dari Indonesia.

Bagi orang pribadi atau badan yang menerima atau

memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan

yang terutang sebelum akta, keputusan,perjanjian, kesepakatan

atau risalah lelang atau pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. Dan

bagi pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta,

keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila

kepadanya diperlihatkan bukti telah dilakukannya pembayaran

dengan menyerahkan fotocopy surat setoran pajak yang

bersangkutan dan menunjukkan aslinya. Pejabat yang

dimaksudkan disini adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta

56
Tanah, Camat, pejabat lelang atau pejabat lain yang diberi

wewenang untuk itu. Bagi orang pribadi atau badan yang

menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan yang memerlukan persyaratan

khusus pajaknya dipungut oleh bendahara atau pejabat yang

melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-

menukar sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi

atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-

menukar dilaksanakan. Penyetoran Pajak Penghasilan itu

menggunakan Surat setoran pajak atas nama orang pribadi atau

badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-

menukar.

2. Objek Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Atas Tanah

dan/atau Bangunan

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2008,

objek Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan

atau bangunan adalah pengalihan dari pengalihan hak atas

tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi

atau badan dengan cara:

a. Penjualan, tukar-menukar, termasuk ruislag, perjanjian

pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang,

hibah atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah

pihak yang bukan pemerintah.

57
b. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, pelepasan hak,

penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan

pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk

pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak

memerlukan persyaratan khusus misalnya penjualan atau

pelepasan hak atas tanah kepada pemerintah untuk proyek

rumah sakit umum atau untuk proyek kampus universitas.

c. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, pelepasan hak,

penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang

memerlukan persyaratan khusus, pembahasan tanah oleh

pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran

pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan

pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar

udara, fasilitas keselamatan umum seperti

penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya.

C. Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan

Surat Keterangan Bebas Pajak merupakan salah satu surat yang dapat

membebaskan wajib pajak penerima penghasilan dari potongan pajak. Saat

menyertakan SKB pajak, pihak pemotong dan pemungut PPh, PPN atau

jenis pajak lain tidak lagi melakukan kewajiban memotong pajak. Dengan

kata lain, Surat Keterangan Bebas Pajak adalah sebuah dokumen yang dapat

membebaskan wajib pajak penerima penghasilan dari potongan pajak.  

58
Fasilitas SKB pajak dari pemerintah ini didapatkan wajib pajak saat

kebijakan tax amnesty berlangsung. Berdasarkan PER-32/PJ/2013 wajib

pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenakan PPh Final

dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan PPh yang

tidak bersifat final kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Untuk bisa mendapatkan fasilitas ini wajib pajak diwajibkan untuk

mengajukan permohonan dengan melampirkan beberapa dokumen yang

dibutuhkan seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang

Lelang dari Instansi Pemerintah atau dokumen pendukung sejenis lainnya,

Serta memenuhi syarat yang telah ditetapkan di antaranya:

a. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelum Tahun

Pajak diajukannya permohonan. Berlaku bagi wajib pajak yang telah

terdaftar pada tahun pajak sebelum diajukannya SKB.

b. Menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani WP atau kuasa WP

yang menyatakan peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh

termasuk dalam kriteria untuk dikenai PPh final yang disertai lampiran

jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum

diajukannya SKP, untuk WP yang terdaftar pada tahun pajak yang sama

dengan tahun pajak saat diajukannya SKB.

c. Ditandatangani oleh WP pemohon. Jika permohonan ditandatangani oleh

bukan WP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus. 

Ada dua kemungkinan yang akan didapatkan wajib pajak setelah

permohonan sudah selesai diproses, yaitu:

1. Surat Keterangan Bebas Pajak

59
2. Surat Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak.

Jika dalam jangka waktu lima hari pihak KPP belum memberi keputusan,

permohonan wajib pajak dianggap diterima. Ketika permohonan wajib

pajak dianggap diterima, kepala KPP wajib menerbitkan SKB dalam

waktu 2 hari kerja setelah jangka waktu 5 hari yang sudah terlewati. SKB

tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang

bersangkutan. 

Adapun yang jenis pajak yang dapat dikenakan SKB adalah :

1. PPh final atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertipikat

Bank Indonesia.

2. PPh final atas penghasilan wajib pajak yang memiliki peredaran bruto

tertentu.

3. PPh final pengalihan hak atas tanah dan bangunan.

4. PPN kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta

pejabatnya.

5. PPN buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama.

6. PPnBM atas kendaraan bermotor.

7. BKP dan JKP Tertentu yang dibebaskan PPN.

8. Wajib pajak yang masih mengalami kerugian fiskal.

Didalam Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009

ini ada beberapa jenis pengalihan yang dikecualikan sehingga tidak dikenakan

PPh final ini, yaitu pengalihan yang dilakukan oleh:

1. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan tidak

kena pajak (PTKP) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau

60
bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp. 60.000.000,

dan bukan jumlah yang dipecah-pecah.

2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan

dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan

persyaratan khusus;

3. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan

dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk

yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan

kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri

Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha,

pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang

bersangkutan;

4. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara

hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk

yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan

kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri

Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,

pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang

bersangkutan;atau

5. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

Untuk memperoleh SKB PPh Waris permohonan diajukan secara tertulis

oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah

61
dan/atau bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat orang pribadi

atau badan yang bersangkutan terdaftar atau bertempat tinggal sesuai

dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2009 dimana

permohonan diajukan oleh ahli warisnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak

Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan bahwa

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan

dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan yang

timbul dari perjanjian pengikatan jual beli beserta perubahannya, baik

dalam kegiatan usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak

Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi dan pengenaan Pajak

Penghasilan tersebut bersifat final.

Dari penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi,

pengenaan pajaknya dibedakan menjadi:

1. Penghasilan yang merupakan objek pajak, artinya jenis penghasilan

ini pada saat diterima atau diperoleh wajib dikenakan PPh.

Pengenaan PPh untuk penghasilan yang merupakan objek pajak

dibedakan:

a. Penghasilan yang dikenakan PPh Final.

Pengenaan PPh Final ini merupakan system pengenaan pajak yang

bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi dan

kesederhanaan sehingga pengenaan PPh dengan sistem ini

dilakukan dengan cara tarif dikalikan jumlah penghasilan bruto.

b. Penghasilan yang dikenakan PPh non final

62
Penghasilan yang dikenakan PPh non final adalah semua

penghasilan yang bersumber dari usaha, pekerjaan, penghasilan

dalam negeri setelah dikurangi dengan penghasilan yang dikenakan

PPh final dan dikurangi penghasilan yang bukan merupakan objek

pajak.

2. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, artinya penghasilan

yang masuk kelompok ini pada saat diterima atau diperoleh tidak

akan dikenakan PPh.

Pengertian penghasilan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah

setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh. Dari

pengertian tersebut bahwa tambahan kemampuan ekonomis mengandung

makna yang sangat luas. Apabila dengan harta yang diperoleh dari

pembagian warisan, maka penerimaan warisan oleh ahli waris merupakan

tambahan kemampuan ekonomis, namun karena tambahan ini bersumber

dari 1 keluarga yang masih dalam satu kesatuan ekonomis, maka pada UU

PPh dinyatakan bahwa harta warisan ini merupakan penghasilan yang

bukan objek pajak atau tidak dikenakan PPh.

Berdasarkan Undang-undang PPh, Warisan bukan objek Pajak

dimana pada Pasal 4 Ayat (3) huruf b bahwa warisan dikecualikan sebagai

objek pajak. Artinya, bagi penerima warisan itu merupakan penghasilan

tetapi tidak dikenakan Pajak Penghasilan, apapun jenis harta warisan

tersebut.

Jika warisan berupa tanah dan/atau bangunan, maka ada proses

pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan tersebut Pengalihan

63
hak dari almarhum pemilik lama kepada ahli waris sebagai pemilik baru.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan mewajibkan pajak-pajak atas

tanah tersebut sudah lunas. Seperti PBB, BPHTB, dan PPh pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan.

Setiap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan menimbulkan

kewajiban untuk pembayaran Pajak-Pajak atas tanah dan/atau bangunan

tersebut, yaitu PPh dan BPHTB. Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh)

dan BPHTB merupakan syarat pendaftaran peralihan hak atas tanah

tersebut, bahwa dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah wajib

menyampaikan akta dan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam proses

pendaftaran peralihan haknya ke Kantor Pertanahan setempat. Dokumen

yang dimaksud diantaranya adalah bukti pelunasan pembayaran Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan bukti pelunasan

pembayaran PPh Final atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Mengenai kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan (BPHTB) diatur pada ketentuan Pasal 96 ayat (2)

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (UU PDRD), yang mengatur bahwa setiap Wajib Pajak

membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan Pajak atau

dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-

undangan perpajakan.

Kewajiban pembayaran PPh atas pengalihan tanah dan bangunan

diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:

261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan

64
Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, Dan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/atau Bangunan beserta

Perubahannya, dalam ketentuan pada Pasal 3 Ayat (l) diatur bahwa Pajak

Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke

Kas Negara.

Dalam hal pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan (BPHTB) karena waris diatur dalam Pasal 5 Peraturan

Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BeaPerolehan Hak

Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, apabila pajak yang terutang, yaitu Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena waris tidak dibayar,

maka peralihan hak atas tanah yang didapat dari waris tidak bisa

didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Dalam setiap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

menimbulkan kewajiban untuk pembayaran pajak-pajak atas tanah

dan/atau bangunan tersebut yaitu BPHTB dan PPh, BPHTB dan PPH

dapat dibayarkan di Bank dan PPh bisa dibayar di Pos.

BPHTB atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

dikenakan terhadap orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah

dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan ataus

bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunyai

nilai lebih atas tambahan atau perolehan hak tersebut, dimana tidak semua

65
orang mempunyai kemampuan lebih untuk mendapatkan tanah dan atau

bangunan.

Adapun mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau

BPHTB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 dan telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya

disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah Bea yang

dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara atau

masyarakat diwajibkan membayar BPHTB. Dalam masyarakat BPHTB

juga dikenal sebagai Bea Pembeli, jika perolehan berdasarkan proses jual

beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam

perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan

dikenakan BPHTB.

Dalam Pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB

adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Adapun perolehan hak

atas tanah dan atau bangunan meliputi:

a. Jual beli;

b. Tukar-menukar;

c. Hibah;

d. Hibah wasiat;

e. Waris;

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;

g. Pemisahan bak yang mengakibatkan peralihan;

h. Penunjukkan pembeli dalam lelang;

66
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

j. Penggabungan Usaha;

k. Pemekaran Usaha; dan

l. Hadiah.

Namun dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering

terjadi dalam masyarakat adalah:

a. Jual beli;

b. Tukar-menukar;

c. Hibah (perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi

hibah, namun pemberi hibah masih hidup);

d. Hibah Wasiat (perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada

penerima hibah namun berlaku setelah pemberi hibah Wasiat

meninggal dunia); dan waris.

BPHTB perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena jual beli,

perhitungan BPHTB-nya berdasarkan Nilai Perolehan. Objek Pajak

(NPOP) atau harga transaksi, sedangkan perolehan BPHTB karena

warisan dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang

dianggap sebagai NPOP.

Prinsip perhitungan sama dengan jual beli yaitu 5%x (NPOP-

NPOPTKP). NPOPTKP warisan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak

Tidak Kena Pajak yang besarnya berbeda untuk masing-masing daerah.

Besarnya NPOPTKP untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan peraturan

daerah masing-masing karena sekarang ini pemungutan BPHTB dilakukan

oleh Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA).untuk kota Padang besaran

67
NPOPTKP nya adalah sebesar Rp. 300.000.000 untuk tanah dan bangunan

yang didapatkan dari harta pencaharian bersama dan Rp. 60.000.000 untuk

tanah adat kaum baik pusaka tinggi maupun pusaka rendah.

Adanya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan tidak semuanya

dikenakan pemungutan pajak: penghasilan hal ini sebagaimana diatur di

dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

30/PJ/2009 dimana disebutkan:

a. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak

Penghasilan atas penghasilan hak atas tanah dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) adalah;

1) Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan

tidak kena pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari

Rp. 60.000.000, (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan

jumlah yang dipecah-pecah;

2) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;

3) Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanahdan/atau

bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,

badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang

menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih

68
lanjut dengan Peraturan menteri Keuangan, sepanjang hibah

tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang

bersangkutan;

4) Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan

dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan,

badan social termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang

menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah

tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang

bersangkutan; atau

5) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

Dalam proses pengalihan hak atas tanah clan atau bangunan di

kota Padang setelah dilakukan pemenuhan kewajiban Pembayaran

BPHTB atas waris atau hibah maka proses selanjutnya dalam

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini dilakukan

pemungutan pajak penghasilan atau PPh yang dikenakan kepada Pihak

Ahli waris yang disetorkan kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Kota Padang dimana wilayah kerjanya dibagi dua wilayah,yaitu:

1) Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Padang Satu yang

beralamat di Jalan Bagindo Azis ChanNomor 26 Padang, yang

wilayah kerjanya meliputi:

a) Kabupaten Padang Pariaman

69
b) Kota Pariaman

c) Kecamatan Koto Tangah

d) Kecamatan Kuranji

e) Kecamatan Nanggalo

f) Kecamatan Padang Barat

g) Kecamatan Padang Utara

2) Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Padang dua, beralamat di

Jalan Pemuda nomor 49, yang wilayah kerjanya, meliputi:

a) Kabupaten Kepulauan Mentawai

b) Kabupaten Pesisir Selatan

c) Kecamatan Bungus Teluk Kabung

d) Kecamatan Lubuk Begalung

e) Kecamatan Lubuk Kilangan

f) Kecamatan Padang Selatan

g) Kecamatan Padang Timur

h) Kecamatan Pauh

Dengan adanya pembagian ini, wajib pajak diharuskan untuk

melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan di KPP Pratama sesuai

dengan tempat kedudukan/alamat Wajib Pajak seperti yang tertera

diatas.

70
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Dasar terbitnya SKB PPh waris oleh Kantor Pajak Pratama Kota Padang

Pengalihan hak berdasarkan waris dapat dikecualikan dari kewajiban

pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan dengan mengajukan

permohonan bebas Pajak penghasilan dengan penerbitan Surat Keterangan

Bebas Pajak Penghasilan atau SKB PPh waris yang berasal dari Peraturan

Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009 tentang Tata cara Pemberian

Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran Atau Pemungutan Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau

Bangunan. Persyaratan terkait pengajuan permohonan SKB atas penghasilan

dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan mengacu

pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2009 tersebut.

71
Karena banyak yang merasa masih bertanya-tanya mengenai pemberian

Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB PPh) atas penghasilan dari

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan, perlu untuk

diberikan penegasan terhadap permasalahan tersebut dengan keluarnya Surat

Edaran nomor SE-20/PJ/2015 tentang Pemberian Surat Keterangan Bebas

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah

Dan/Atau Bangunan karena Warisan. Penetapan surat edaran ini dimaksudkan

untuk memberikan acuan dalam rangka pemberian SKB PPh atas penghasilan

dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan dan

keseragaman dalam pelaksanaan pemberian SKB PPh Waris.

Dalam hukum waris ada proses peralihan hak berupa turun waris. Turun

waris merupakan proses turun waris dari pewaris kepada ahli waris yaitu

orang-orang yang berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh orang pewaris

baik berupa barang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Untuk turun waris barang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan, para

pihak dikenakan pajak waris yaitu Pajak BPHTB dan Pajak Penghasilan. Untuk

pajak BPHTB dibayar oleh ahli waris sedangkan untuk Pajak Penghasilan,

pewaris, untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, warisan yang belum

terbagi, kewajiban pewaris digantikan oleh ahli waris yang berhak.

Maksudnya, penghasilan yang didapatkan harus tetap disetor dan dilaporkan

oleh ahli waris yang berhak dengan menggunakan NPWP milik pewaris.

Namun jika warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih

kepada ahli waris. Maksudnya setelah warisan dibagi, NPWP milik pewaris

72
akan dihapuskan, sehingga pemenuhan perpajakan dipindahkan kepada ahli

waris.

Untuk membuktikan bahwa tidak ada PPh yang terutang, pihak Badan

Pertanahan Kota Padang mensyaratkan adanya SKB PPh waris dari kantor

pajak. Ketentuan terbaru tentang SKB PPh waris diterbitkan oleh Direktur

Jenderal Pajak dalam bentuk Surat Edaran nomor SE-20/PJ/2015 tentang

Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari

Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan karena Warisan.

Dalam hal permohonan SKB PPh waris atas penghasilan dari pengalihan

hak atas tanah dan/atau bangunan waris diterima, Kepala Kantor Pelayanan

Pajak harus menerbitkan SKB PPh waris dengan format sesuai dengan

Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009. Namun

demikian, jika permohonan SKB PPh waris ditolak, Kepala Kantor Pelayanan

Pajak harus menyampaikan pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak

dengan format sesuai dengan Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor 30/PJ/2009.

Pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009 Pasal 3 ayat

(1) disebutkan bahwa Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau

pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a,

huruf c, huruf d, dan huruf e, diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan

Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan.

73
Syarat suatu tanah dan/atau bangunan dapat dikatakan sebagai warisan

yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan PER-30/PJ/2009 tentang Tata

Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan

PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

adalah:

1. Pewaris dan ahli waris harus ada hubungan keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat.

2. Harta bergerak maupun harta tidak bergerak yang diwariskan tersebut telah

dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pewaris dan pajak

terutang (jika ada) harus dilunasi terlebih dahulu.

Sistem Perpajakan yang dianut oleh Indonesia dan telah diundangkan

adalah Self Assesment System, artinya suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung,

memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini berarti penentuan besarnya

pajak yang terutang tergantung pada wajib pajak sendiri, sedangkan fiskus atau

petugas pajak bertugas sebagai pengendalian, pembinaan, penelitian,

pengawasan, dan penetapan sanksi.63

Warisan yang berupa harta tanah dan atau bangunan, jika ahli waris akan

melakukan proses pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dalam

ketentuan perpajakan yaitu PP nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga

atas PP nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan dari

63
Gede Djamaluddin, Hukum Pajak,Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia , 2002.
hlm. 34.

74
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, ditegaskan bahwa dikecualikan

dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak penghasilan salah satunya

adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

Pokok permasalahannya adalah untuk membuktikan bahwa atas

pengalihan tersebut tidak terutang sebagaimana dijelaskan di atas maka ahli

waris harus menunjukan Surat Keterangan Bebas (SKB PPH waris) dari Kantor

Pajak sebagai bukti. Ketentuan tentang Surat Keterangan Bebas Pajak tertulis

pada Surat Edaran nomor SE-20/PJ/2015 tentang Pemberian Surat Keterangan

Bebas Pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan.atau bangunan karena warisan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak

pada 18 Maret 2015.

Walaupun Surat Edaran ini bukan merupakan suatu aturan hukum yang

dapat dipergunakan secara luas menurut hukum, dan harusnya surat edaran ini

hanya berlaku untuk urusan internal Direktur Jendral Pajak, tetapi pada

prakteknya Surat Edaran ini sangat penting bagi masyarakat. Surat Edaran ini

bersifat mengikat dan menjadi suatu aturan yang menjadi landasan fiskus

dalam memeriksa wajib pajak untuk masalah yang sama tertulis dalam Surat

Edaran.

Pengecualian pembayaran PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/

bangunan, sebagaimana diatur dalam PER-30/PJ/2009 tentang Tata Cara

Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan PPh

atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,

dijelaskan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi

atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar

75
pajak penghasilan. Pajak penghasilan wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi

atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan, atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat

yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar

dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan kepada

pemerintah.

SKB PPh waris memiliki hal-hal penting terkait pemberian SKB PPh atas

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan,

yaitu:

1. Pengajuan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan karena warisan. Ketika pewaris telah meninggal dunia maka

pengajuan permohonan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas

tanah dan/atau bangunan diajukan oleh ahli waris ke KPP tempat pewaris,

sebagai pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan, terdaftar

atau bertempat tinggal.

2. SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

hanya diberikan apabila tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek

pewarisan telah dilaporkan dalam SPT tahunan pajak penghasilan PPh

pewaris, kecuali pewaris memiliki penghasilan dibawah Penghasilan Tidak

Kena Pajak (PTKP).

SKB diperlukan untuk membuktikan bahwa atas pengalihan tersebut

tidak terutang, maka dengan ditetapkannya SE-20/PJ/2015 tentang pemberian

Surat Keterangan bebas (SKB) atas Pajak Penghasilan (PPh) hak atas tanah dan

bangunan karena warisan diharapkan mudah dipahami oleh masyarakat wajib

76
pajak, walaupun terdapat permasalahan terkait syarat bahwa objek warisan

sebelumnya telah dilaporkan dalam SPT tahunan pajak penghasilan PPh

pewaris (kecuali pewaris memiliki penghasilan dibawah PTKP)

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 huruf A, jika dilihat dalam

permasalahan diatas, untuk memberikan kepastian hukum dalam pemungutan

pajak dinegara kita telah dijamin dalam ketentuan konstitusional. Pemerintah

tidak dibenarkan membuat suatu ketentuan untuk mengadakan/memungut

pajak dari rakyatnya dengan peraturan yang lebih rendah daripada undang-

undang

Dalam pelaksanaannya sendiri petugas pajak juga masih belum ada

kejelasan mengenai pajak yang didapat atas warisan. Dalam Undang-Undang

Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan Pasal 4 ayat 3 huruf b

dikatakan bahwa warisan bukan merupakan objek dan diatur juga dalam

pelaksanaannya dalam surat edaran nomor SE-20/PJ/2015 bahwa setiap harta

warisan yang berupa tanah dan/atau bangunan yang diberikan kepada ahli

waris apabila belum pernah didaftarkan di SPT pewaris maka dikenakan akan

tetap dikenakan pajak.

Dalam asas hukum lex superior derogat legi inferiori berarti hukum yang

berkedudukan lebih tinggi akan mengalahkan hukum yang berkedudukan lebih

rendah, tetapi dalam pelaksanaan pajak atas warisan ini sangat bertentangan

dengan asas ini, karena di dalam UU KUP tidak ada persyaratan ataupun

pengecualian sedangkan di aturan yang lebih rendah terdapat pengecualian (PP

Nomor 48 Tahun 1994 dan PER-30/PJ/2009). Selain itu Dirjen Pajak juga

mengeluarkan Surat Edaran, hal ini dirasa tidak sesuai dengan norma hukum,

77
karena di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan, surat edaran tidak termasuk dalam sumber

hukum di Indonesia. Namun Surat Edaran ini berlaku bagi semua masyarakat

Indonesia yang mendapat warisan berupa tanah dan/atau bangunan.

Surat Edaran harusnya tidak dapat dipakai sebagai landasan dalam

pelaksanaan pajak atas warisan karena sudah diatur dalam undang-undang,

sedangkan dalam UUD 1945 Pasal 23 Adengan jelas tertulis bahwa tidak

dibenarkan membuat suatu ketentuan untuk mengadakan/memungut pajak dari

rakyatnya dengan peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang.

Pada pajak atas warisan ini salah satu tujuan hukum sebagai kepastian

tidak terpenuhi karena antara aturan yang satu dengan yang lain saling

bertentangan, bahkan pelaksanaannya sangat meresahkan masyarakat.

Banyaknya persepsi di masyarakat menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak

yang membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum

berkurang, karena tidak adanya kepastian hukum.

-Faktor yangmenyebabkan ditolak atau tidak dikabulkannya SKB PPh Waris:

a. Wajib Pajak melakukan pengalihan hak atas tanah, tetapi Wajib Pajak

memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

b. Persayaratan formal tidak lengkap, seperti Waarmeking dari notaris.

c. Perbedaan data dalam surat-surat pendukung terutama menyangkut luas

tanah yang ada dalam sertipikat, nomor objek pajak, alamat, ataupun data

yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk dan Surat Pemberitahuan Pajak

Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan.

78
Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah,

tetapi Wajib Pajak memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena

Pajak (PTKP) dinilai bahwa wajib pajak mempunyai kemampuan untuk

membayar pajak untuk turun waris, hal ini juga menjadi perdebatan bahwa

objek waris pada saat turun waris belum memberi kemanfaatan bagi penerima

waris karena masih diberikan kepada turunannya, dalam artian belum

menerima keuntungan atau belum menikmati hasil dari objek waris dalam

segi keuangan, kenapa harus membayar pajak juga.Banyak ahli waris merasa

dirugikan. Mungkin bagi ahli waris yang nilai NJOP SPPT PBB rendah

merasa tidak keberatan, tapi bagi ahli waris yang nilai NJOP SPPT PBB nya

tinggi yang dimana berarti Pajak penghasilan yang harus disetor ke negara

juga banyak semuanya merasa keberatan sebab sebagian besar objek pajak

tersebut tidak akan dijual. Turun waris itu hanya dilakukan untuk memenuhi

kelengkapan administrasi untuk sertipikat yang akan diturunwariskan.

Dalam hal permohonan SKB Pph waris ditolak atau tidak dikabulkan

oleh kantor Pelayanan Pajak Pratama, maka ahli waris akan diberikan Surat

Penolakan Permohonan SKB (Lampiran VI dari Peraturan Direktur Jenderal

Pajak nomor 30/PJ/2009, terlampir), dimana dalam surat penolakan SKB

Pajak Penghasilan waris itu akan disebutkan dasar dari permohonan tidak

dapat disetujui atau tidak dikabulkannya permohonan SKB atas waris, yaitu

karena pemohon tidak melaporkan objek Waris pada SPT tahunan Pajak

Penghasilan Pewaris atau dokumen resmi yang menunjukkan bahwa pewaris

memiliki penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak.

79
Apabila yang didapat adalah surat penolakan SKB PPh Waris, maka ahli

waris harus membayar pajak waris, hasil pembayaran pajak waris itu pun

harus divalidasi ke pajak Pratama tempat tinggal pewaris. Hasil validasi itulah

nantinya yang akan dibawa ke BPN/ATR untuk membaliknamakan /turun

waris sertipikat.

Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa pada proses permohonan

SKB PPh Waris diatas, banyaknya aturan yang bertentangan antara Pasal 4

ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor30/PJ/2009 dan Edaran Dirjen Pajak

Nomor 20/PJ/2015, pelaksanaannya dapat menimbulkan keresahan dalam

masyarakat. Banyaknya persepsi di masyarakat menurunkan tingkat

kepatuhan wajib pajak yang membuat tingkat kepercayaan masyarakat

terhadap penegakan hukum berkurang, karena tidak adanya kepastian hukum.

Sebagai suatu negara hukum, Semua bidang kehidupan masyarakat

diaturdengan aturan-aturan hukum termasuk bidang perpajakan dan dalamhal

ini Direktorat Pajak selaku institusi yang diberikan tanggung jawab

perpajakan harus bisa memberikan sosialisasi yang jelas mengenai perpajakan

ini kepada masyarakatdan membuat keputusan yang jelas yang dapat

memberikan kepastian kepada masyarakat selaku wajib pajak.

Pengenaan pajak atas warisan memiliki manfaat yang sama dengan pajak

lainnya yaitu untuk kepentingan negara yang berguna bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Namun pengenaan pajak penghasilan atas waris tidak

memberikan kemanfaatan bagi ahli waris, bahkan justru menjadi beban bagi

ahli waris. Dengan diterbitkan SKB PPh waris ini dapat memberi manfaat dan

80
kebahagiaan bagi wajib pajak bahwa ahli waris/wajib pajak tidak membayar

pajak.

2. Proses yang harus dilalui pengurusan Surat Keterangan Bebas (SKB)

Pajak terhadap pembebasan Pajak Penghasilan bagi ahli waris di Kota

Padang.

SKB Pajak Penghasilan atas waris diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak

Pratama dengan memenuhi kelengkapan Permohonan dari wajib pajak, yaitu:

1) Permohonan SKB dengan format sesuai dengan Lampiran 1

yang tidak terpisahkan dariPeraturan Jenderal Pajak.

2) Fotocopy Identitas Pemohon dan Kuasanyajika dikuasakan

3) Sertifikat Hak Atas Tanah

4) Surat Pernyataan Pembagian Waris (sesuai dengan Lampiran N

Peraturan Jenderal Pajak nomor 30/PJ/2009).

5) Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) dan surat Keterangan

Kematian.

6) Fotocopy SPPT PBB Tahun Berjalan

7) Bukti Pelunasan SSB BPHTB

8) Bukti verifikasi BPHTB dari Bapenda

Dalam Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

30/PJ/2009 dapat dimohonkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan secara tertulis

oleh ahli waris, namun banyak juga permohonan SKB oleh wajib pajak untuk

pelaporannya sebagian besar dikuasakan kepada Notaris/PPAT yang telah

ditunjuk dalam proses waris. Permohonan SKB akan di proses di Kantor

81
Pelayanan Pajak (KPP) dan kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan

keputusan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal

surat permohonan SKB diterima secara lengkap sesuai Pasal 5 Peraturan

DirekturJenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009.

Kalau permohonan SKB Pajak Penghasilan diterima, Kepala Kantor

Pelayanan akan menerbitkan SKB Pajak Penghasilan dengan Format sesuai

dengan Lampiran V sesuai dengan pasal 5 ayat 3 Peraturan DirekturJenderal

Pajak Nomor 30/PJ/2009. Dan dalam hal permohonan SKB Pajak Penghasilan

ditolak, kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan

penolakan kepada Wajib Pajak dengan Format sesuai dengan Lampiran VI

(Pasal 5 ayat 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009).

Dari penelitian yang penulis lakukan di Kantor Notaris/PPAT di Kota

Padang, permohonan SKB Pajak Penghasilan Waris dilakukan berdasarkan

permintaan dari ahli waris agardapat dikecualikan dari pembayaran Pajak

Penghasilan halini karena warisbanyak terjadi dari keluarga sedarah dalam satu

garis lurus. Untuk turun waris kaum tanah pusaka tinggi dan waris untuk

Perdata sangat jarang terjadi.

Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak tidak semuanya diterima oleh

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Kantor Pelayanan Pajak (KPP) hanya

akan menerima danmenerbitkan SKB Pajak Penghasilan jika proses waris yang

diajukan memenuhi ketentuan dalam pasal 4 UU PPh dan akan menolak

permohonan SKB jika tidak memenuhi ketentuan yang ada dalam pasal 4 UU

PPh ini.

82
Dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, disebutkan bahwa yang

dikecualikan dari objek pajak adalah:

a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan

amil zakat atau lembaga yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan

keagamaan yang sifatnya wajib pemeluk agama yang diakui di Indonesia,

yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah dan diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang

ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan

lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial

termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha

mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur denganatau berdasarkan

Peraturan Menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan

usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak

yang bersangkutan;

Yang menjadi syarat kelengkapan dari pengecualian kewajiban

pembayaran Pajak Penghasilan adalah :

1) Jika pewaris memiliki NPWP harus disertai dalam permohonan

SKB Pajak Penghasilan tersebut NPWP pewaris tersebut dan SPT

Tahunan pewaris yang menunjukkan bahwa objek Pajak telah

dilaporkan di SPT Tahunan.

2) Jika Pewaris tidak memiliki NPWP, maka permohonan SKB

Pajak Penghasilan harus disertai;

83
a) Surat Pernyataan berpenghasilan di bawah penghasilan tidak

kena pajak kurang dari Rp. 60.000.000, dengan format sesuai

dengan Lampiran II dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,

dengan diketahui oleh Lurah setempat.

b) Fotocopy Surat Keterangan Waris atau dokumen pendukung

lainnya yang dapat memberikan informasi yang cukup

terkait dasar perolehan harta tanah dan/atau bangunan yang

menjadi objek waris jika nilai Pengalihan harta yang

diwariskan melebihi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena

Pajak (NPOPTKP).

Penulis juga mewawancarai LAMSUHUR, salah satu dari pemohon SKB

PPh waris atas nama Mamak Kepala Waris yaitu DARMAWI (MKW)

(almarhum) bahwa permohonan SKB PPh waris yang diajukan ke Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) Padang satu pada tanggal 29 Juni 2020 tidak diterima

karena ahli waris tidak melampirkan ranji menurut Adat Minangkabau sesuai

ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-20/PJ/015 dan Surat

Edaran Dirjen Pajak nomor PER-30/PJ/2009 (SKB terlampir). 64 . Ahli waris

pun protes karena artinya secara pikiran awam, ahli waris harus membayar dua

pajak yaitu pajak BPHTB dan pajak PPH waris sedangkan prosesnya hanya

turun waris ke atas nama ahli waris dan ahli warispun belum mendapat manfaat

dari objek waris.

64
Hasil Wawancara dengan H.Yan Vinanda SH, Notaris/PPAT Kota Padangpada tanggal 13
Agustus 2020

84
Haji YAN VINANDA SH65salah seorang Notaris & PPAT senior di Kota

Padang menerangkan tidak semua permohonan SKB Pajak Penghasilan atas

waris yang diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), apalagi sejak tahun

2018. Dari rentang tahun 2018 sampai akhir 2020 ini tidak ada satupun SKB

PPh waris yang diterima. Padahal biasanya KPP Padang dua paling sering

mengeluarkan SKB Pajak Penghasilan dari KPP Padang satu. Penulis

mendapat pernyataan ini dari Haji YAN VINANDA SH66 salah seorang

Notaris & PPAT, meskipun permohonan penelitian penulis ditolak oleh KPP

Padang Dua dengan alasan bahan yang penulis cari tidak tersedia

Pada saat permohonan SKB Pajak Penghasilan waris dikabulkan oleh

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kota Padang, maka ahli waris akan menerima

Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atau SKB (Surat SKB lampiran

V dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No 30/PJ/2009, terlampir), yang

berarti proses Waris dibebaskan dari Pembayaran Pajak Penghasilan atas

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Setelah

diterimanya SKB dari kantor Pelayanan Pajak (KPP) berarti proses Verifikasi

BPHTB dan Validasi PPh dari pajak atas peralihan hak atas tanah dan

bangunan berdasarkan Waris dapat dilanjutkan ke Kantor ATR/BPN Kota

Padang untuk proses Balik nama sertipikat ke atas nama ahli waris, yang mana

proses peralihan hak waris syarat salah satunya yaitu harus ada bukti pajak PPh

65
Hasil Wawancara dengan H.Yan Vinanda SH, Notaris/PPAT Kota Padangpada tanggal 12
Agustus 2020
66
Hasil Wawancara dengan H.Yan Vinanda SH, Notaris/PPAT Kota Padangpada tanggal 13
Agustus 2020

85
yang telah tervalidasi atau pun bukti SKB PP Waris sesuai dengan bunyi

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 767yang berbunyi :

Kementerian Agraria dan Tata Ruan/Badan Pertanahan Nasional hanya


mengeluarkan surat keputusan pemberian hak, pengakuan hak dan peralian
hak atas tana, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak
atau hasil cetak sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat
Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5)dan Pasal 4 ayat
(3), kecuali permohonan sehubungan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 6.

Dalam SPT tahunan Pajak Penghasilan tentu saja masyarakat atau wajib

pajak harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP yang juga

merupakan bentuk ketaatan masyarakat atau wajib pajak dalam membayar

Pajak. NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak untuk

mempermudah administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda

pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan

kewajiban perpajakan.

Permasalahan yang ditemui oleh penulis dalam permohonan SKB pajak

Penghasilan waris adalah:

-Untuk laporan SPT tahunan Pajak Penghasilan, maka masyarakat atau wajib

pajak harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP. NPWP adalah

nomor yang diberikan kepada wajib pajak untuk mempermudahadministrasi

perpajakan yang dipergunakan untuk identitas wajib pajak dalam

melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan tapi tidak semua warga Negara

yang menjadi wajib pajak memiliki NPWP. Wajib pajak yang memiliki

NPWP pun sebagian besar tidak melaksanakan kewajibannya untuk

pelaporan SPT Tahunannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Sehingga


67
Wawancara dengan Ibuk Elsi Fitrianingsih tanggal 10 September 2020, pukul.13.00 WIB, kasi
Peralihan Hak Kantor ATR/BPN Kota Padang

86
jumlah penghasilan dan jumlah harta yang sebenarnya dimiliki oleh wajib

pajak tidak terdaftar dalam SPT Tahunannya. Direktorat Jenderal Pajak

memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melakukan pembetulan

SPT Tahunannya yaitu memasukkan objek pajak waris kedalam kolom harta

sehingga terdaftar sebagai harta pewarisyang berarti objek pajak nya dapat

tidak dikenakan Pajak Penghasilan.

Pada Kantor Pajak Pratama Padang Satu, Surat Keterangan

Berpenghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dibuat oleh Lurah dan

diketahui oleh Camat selaku Pemerintah Daerah dimana pewaris bertempat

tinggal. Dalam Wawancara dengan salah satu sumber.68 Penulis menemui

bahwa Surat keterangan Penghasilan dibawah penghasilan tidak kena pajak ini

banyak ditolak karena pihak Kelurahan. Lurah tidak bersedia memberikan

Surat Keterangan bahwa pewaris berpenghasilan dibawah penghasilan tidak

kena pajak dengan alasan Pihak Kelurahan atau Lurah tidak mengetahui berapa

penghasilan sebenarnya dari pewaris tersebut.

Karena dalam masa Pandemi Covid 19, Penulis dalam melakukan

penelitian hanya bisa mengirimkan Questioner ke Kanwil DJP Sumatera Barat

dan Jambi tanpa bisa tatap muka dengan pihak yang bersangkutan. Isi

questioner itu menanyakan apa yang sebenarnya yang dibutuhkan dalam untuk

mendapat SKB PPh waris dan dijawab secara lisan saja bahwa mereka tetap

berunjuk pada dalam Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-20/PJ/015, Direktur

Jenderal Pajak nomor SE-30/PJ/2009 dan keputusan masing-masing dari

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Pihak Kanwil DJP tidak bisa untuk
68
Wawancara dengan Yudi Asril, Lurah Kelurahan Lubuk Lintah, Kecamatan Kuranji, Kota
Padang

87
ikut campur apabila ada KPP mengeluarkan SKB PPH waris ataupun menolak

SKB PPh waris. Kalaupun ada Wajib Pajak/ahli waris yang merasa dirugikan

dapat menggugat ke PTUN.

Pada proses permohonan SKB PPh Waris diatas, banyak aturan yang

bertentangan kesulitan pajak pelaksanaannya dapat menimbulkan keresahan

dalam masyarakat. Banyaknya aturan yang bertentangan membuat pemohon

SKB PPh waris merasa tidak ada guna (manfaat) kalau pun dimohonkan SKB.

3. Kedudukan Ahli waris dalam Pemungutan Pajak Peralihan Hak Atas

Tanah dan Bangunan.

Apabila terjadi suatu turun waris atas suatu sertipikat berupa tanah dan

atau bangunan, maka Pajak Penghasilan yang ditagih berupa utang pajak dari

dari pewaris akan menjadi tanggung jawab ahli waris baik secara pribadi

maupun renteng sesuai Pasal 32 ayat 1 huruf (e) UU KUP, yaitu :

Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan dengan

ketentuan perpajakan, Wajib Pajak Diwakili dalam hal suatu warisan yang

belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau

yang atau yang mengurus harta peninggalannya atau…

Lebih lanjut, Pasal 32 ayat (2) dan Penjelasannya UU KUP menyebutkan

wakil tersebut bertanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran

pajak yang terutang. Kecuali atas pertimbangan Direktur Jenderal Pajak apabila

wakil wajib pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam

kedudukannya, tidak mungkin dibebani tanggung jawab atas utang pajak dari

wajib pajak pewaris.

88
Pada dasarnya warisan yang belum terbagi merupakan satu kesatuan

menggantikan ahli waris yang berhak sebagai subjek pajak pengganti, dengan

tujuan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap

dapat dilaksanakan.

Untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, warisan yang belum terbagi

menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Maksudnya, penghasilan

yang didapatkan harus tetap disetor dan dilaporkan oleh ahli waris yang berhak

dengan menggunakan NPWP milik pewaris. Namun jika warisan tersebut telah

dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Maksudnya setelah

warisan dibagi, NPWP milik pewaris akan dihapuskan, sehingga pemenuhan

perpajakan dipindahkan kepada ahli waris.

Jadi kewajiban subjek pajak warisan yang belum terbagi dimulai sejak saat

meninggalnya pewaris dimana kewajiban perpajakannya melekat pada warisan

itu dan berakhir pada saat warisan selesai dibagi.

Hukum waris di Indonesia, mengacu pada Pasal 4 ayat (3) huruf b UU

KUP,  dikatakan bahwa: yang dikecualikan dari objek pajak adalah warisan.

Yang berarti meskipun warisan merupakan tambahan kemampuan ekonomis

bagi ahli waris, namun dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan. Namun,

untuk harta warisan berupa tanah atau bangunan yang diterima, ahli waris perlu

minta fasilitas Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB PPh) atas

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.

Adapun aturan tersebut tertuang dalam UU PPh… pada pasal 4 ayat 3

yang menjelaskan bahwa harta warisan merupakan bukan objek pajak.

Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Waris yang sah

89
terbitan Notaris dan dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya.

Walaupun warisan tersebut merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi

ahli waris, namun tidak merupakan objek pajak. Warisan yang dimaksud ini

adalah meliputi semua jenis harta baik itu harta yang bergerak maupun harta

yang tidak bergerak.

Walaupun warisan dikategorikan ke dalam bukan objek pajak, tetap harus

diperhatikan, apakah warisan tersebut sudah dibagikan ataukah belum.

1. Warisan (Belum Dibagikan)

Artinya : warisan ini masih atas nama pewarisnya, apabila pewaris

memiliki NPWP maka si pewaris masih berkewajiban untuk membayarkan

pajak dan melaporkan hartanya di SPT Tahunan, dimana dalam hal ini

harus diwakilkan oleh ahli waris.

2. Warisan (Sudah Dibagikan)

Jika warisan tersebut sudah dibagikan, maka warisan tersebut bukan

merupakan objek pajak lagi dan ahli waris tersebut terbebas dari

pembayaran pajak atas harta warisan tersebut.

Syarat suatu harta bergerak maupun harta tidak bergerak dapat dikatakan

sebagai warisan yang bukan merupakan objek pajak adalah :

a. Pewaris dan ahli waris harus ada hubungan keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat.

b. Harta bergerak maupun tidak bergerak yang diwariskan tersebut telah

dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pewaris dan

pajak terhutang (jika ada) harus dilunasi terlebih dahulu.

90
Jika kedua syarat diatas tidak dapat dipenuhi oleh pewaris, maka warisan

tersebut ketika diwariskan tidak lagi merupakan bukan objek pajak melainkan

menjadi objek pajak. Warisan yang diwariskan belum dilaporkan kedalam

SPT sebelumnya oleh pewaris, warisan tersebut tetap menjadi yang

merupakan objek pajak. Namun, harus dengan syarat bahwa penghasilan si

pewaris dibawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak).

Wajib pajak yang memiliki penghasilan dibawah PTKP tidaklah

memiliki kewajiban untuk dipungut atau menyetorkan pajak penghasilan.

Dengan kata lain, ketika ahli waris yang penghasilannya dibawah PTKP

mendapat warisan, maka warisan tersebut merupakan bukan objek pajak.

Harta waris berupa rekening tidak wajib dilaporkan selama ahli waris sudah

melaporkan bukti pemberitahuan resmi bahwa sang pemilik telah meninggal.

Rekening yang dimiliki oleh seseorang yang telah meninggal tidak wajib

dilaporkan., sepanjang lembaga keuangan telah menerima akta Kematian atau

surat wasiat dari sang pemilik.”

Apabila dilihat dari UU KUP terlihat bahwa ahli waris dalam perpajakan

di Indonesia adalah sebagai ahli waris pengganti yang dimana diberi

kewajiban untuk meyelesaikan masalah yang terjadi pada pewaris yaitu harta

belum diwariskan tidak pernah dilaporkan ke pajak bahkan wajib pajak yang

memberikan waris tidak terdaftar di kantor pajak. Maka ahli waris harus

membayar terlebih dahulu hutang pajak atas harta yang belum pernah

dilaporkan sebelumnya.

Dalam turun waris pun ahli waris dikenakan pajak untuk pajak

BPHTB.Jadi secara tidak langsung ahli waris dikenakan 2 pajak yaitu pajak

91
BPHTB waris dan Pajak PPh waris apabila SKB PPH waris tidak dikabulkan.

Apabila dilihat dari teori gaya pikul yang ada pada teori perpajakan, dilihat 2

pajak yang harus dibayar oleh ahli waris, hal ini jelas banyak ahli waris tidak

mampu membayar 2 Pajak.Untuk itulah mereka mengharapkan SKB PPH

waris ini bisa diterima. Teori gaya pikul, ada teori ini pajak yang dibebankan

kepada masing –masing orang berdasarkan pada gaya pikul seseorang atau

kemampuan seseorang. Ukuran objektif gaya pikul adalah berdasarkan

penghasilan. Makin besar penghasilan berarti makin mampu memikul beban

pajak

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis, wawancara dan pembahasan di atas, dapat diambil

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Yang menjadi dasar terbitnya SKB PPh waris oleh Kantor Pajak Pratama

Kota Padang yaitu:

a. Peraturan Dirjen Pajak PER-30/PJ/2009 tentang Tata cara Pemberian

Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak

Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/Atau Bangunan.

92
b. Surat Edaran SE-20/PJ/2015, tentang Pemberian Surat Keterangan

Bebas Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas

Tanah dan Atau Bangunan Karena Warisan

Kedua aturan ini sebenarnya hanya menjadi pedoman saja. Tapi biarpun

tetap dilengkapi syarat yang ada pada kedua peraturan tersebut, ujungnya

hanya penolakan permohonan SKB PPh waris.

2. Dalam pengalihan hak karena waris di Kota Padang, proses untuk

mendapatkan pengecualian dari Pajak Penghasilan sebagaimana diatur

dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009, yaitu dengan:

Mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan

Waris (SKB PPh waris) ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama tempat

orang pribadi atau badan yang bersangkutan terdaftar atau bertempat

tinggal. SKB PPh waris ini disyaratkan dalam balik nama waris di Kantor

ATR/BPN Kota Padang. Dalam SKB PPh waris ada persyaratan yang

harus dipenuhi oleh wajib pajak yaitu:

a. Pewaris sudah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

b. Objek waris yang akan diwariskan terdaftar dalam SPT harta pewaris

yang dilaporkan ke Pajak Pratama, kecuali pewaris memiliki

penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak

c. Dan hubungan antara pewaris dan ahli waris dalam hubungan satu garis

lurus

3. Bahwa ahli waris dalam sistim perpajakan di Indonesia adalah sebagai

wajib pajak pengganti yang dimana diberi kewajiban untuk meyelesaikan

93
masalah yang terjadi pada pewaris sesuai Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU

KUP

B.Saran

1. Bahwa aturan untuk mendapatkan SKB PPh waris ini dapat dipertegas,

sehingga tidak ada multi tafsir oleh ahli waris.

2. KPP Pratama dapat mensosialisasikan hal-hal apa saja yang berkaitan

dengan syarat untuk mendapatkan SKB PPh waris sehingga warga negara

ataupun ahli waris tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan SKB

PPh waris.

3. Sebaiknya SKB PPh Waris ini dikeluarkan berdasarkan Surat Pernyataan

langsung oleh ahli waris di atas materai sebagaimana yang diminta oleh

KPP Padang karena sangat mempermudah dan meringankan bagi wajib

pajak untuk diterima atau dikabulkannya SKB PPh waris

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdul Rahmat Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang,

2005.

Adrian Sutedi, Hukum Pajak, SinarGrafika Offset, Jakarta, 2011

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada,2006

94
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan

Adat Minangkabau (Jakarta : Gunung Agung, 1984.

AP Parlindungan, Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undang-

Undang PokokAgraria), cetakan III, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Barda Nawawi Arif, Kapita selekta Hukum Pidana, cetak ketiga, Bandung:Citra

Aditya,2013

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012

Edy Suprianto, Hukum Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yoyakarta, 2014.

Fidel, Cara Mudah &Praktis Memahami Masalah-masalah Perpajakan, Murai Kencana,

Jakarta, 2010

Gede Djamaluddin, Hukum Pajak, Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Indonesia , 2002

Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian

Warisan Menurut Hukum Waris Islam di Indonesia, Citapustaka Media,

Medan, 2014

Herlien Boediono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,

PT Citra Aditya Bakti, Bandung,2013.

Hilman Hadikusumah, Hukum waris Adat, Bandung : Alumni, 1980

K,Ng.Soebakti Poesponoto, Azas-azas dan susunan Hukum Adat, Pradnya

Paramita, 1960

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, ( Ed. Rev, Jakarta

:RemajaRosdakarya, 2010

Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, Andi Offset, Yogyakarta, 2006

95
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Material, Objek, Subjek, Dasar

Pengenaan pajak, Tarif Pajak dan cara Perhitungan Pajak,Graha Ilmu,

Yogyakarta, 20 l 0

Maria SW. Soemardjono, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Iniversitas Gajah

Mada, Yogyakarta, 2007

Marzuki, Metodologi Riset, Yogyakarta, Hanindita Offset, 1983

M.Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo,

2010, Jakarta

M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Syafi i dan Wasiat Wajib

di Mesir, tentangPembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut Islam,

Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta :

FHUI, 1982,

Meita Djohan, Kedudukan dan Kekuatan Hukum Warisan Tunggu Tubang

Menurut Adat Semende, Jurnal Keadilan Progresif, Vol. 9 No.1, Maret

2018, Universitas Bandar Lampung, Bandar Lampung

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media

Group, Jakarta, 2008

Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum PerdataBelanda,

Terjemahan Isa.Arief, Jakarta:intermasa,1979

R.Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, I Ioo Sing 1964

Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Refika Aditama, Bandung,

1998,

Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah Metodologi Penulisan Kualitatif, Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hlm.5

96
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan

menurut Undang-undang, Kencana, Jakarta, 2006

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja

Grafindo, 2006

Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan),

Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011,

Tim penyusun, Pedoman Penelitian Tesis, Program Magister Kenotariatan,

Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2012

W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,:Depdikbud,

Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, 1982

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van

Hoeve,s Gravenhage

Waluyo & Wirawan B. IJyas, Perpajakan Indonesia. Salemba Empat, Jakarta,

2003.

Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat

Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau.Jakarta PT Rajagrafindo

Persada, 2011,

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2010, .

B. Undang-Undang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Pokok Agraria

97
-Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah (UU PDRD),

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Perubahan Undang-undang no.21

tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang PPh atas Penghasilan dari

Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan

Jual Beli atas tanah beserta perubahannya

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebagai pengganti Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2008, Tentang Perubahan Ketiga Peraturan

Pemerintah No.48 Tahun1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari

Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas dan

Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memilih peredaran bruto

tertentu.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 261/PMK.03/2016

tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak

Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/atau

Bangunan beserta Perubahannya,

98
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 20/PJ/2015, tentang Pemberian Surat

Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak

Atas Tanah dan atau Bangunan karena warisan.

Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 30/PJ/2009, tentang tata cara Pemberian

Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran atau Pemugutan Pajak Penghasilan

dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan

Internet:

https//www.ortax,or/ortag/?mod—info&page,

Pajaktaxes,blogspot.com. catatan perpajakan,

Jurnal

Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198 Vol. 04., No. 02. Juli-Desember 2019

pISSN: 2549-3809 Benny & Neneng 122 Pengenaan Pajak Penghasilan….

http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index perekonomian

masyarakat

99
ABSTRAK Analisis Yuridis Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Terhadap Pajak

Penghasilan (PPh) Final Atas Waris Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan dalam pasal 4 ayat (2) diantaranya menyebutkan pengalihan harta berupa

tanah dan bangunan adalah objek PPh Final. Kemudian dalam pasal 4 ayat (3) huruf b

disebutkan yang dikecualikan dari objek pajak salah satunya adalah warisan. Peralihan

hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang

bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti, bahwa sejak saat itu para ahli waris menjadi

pemegang haknya yang baru. Dalam praktek walaupun ketentuan hukum dengan tegas

menyatakan bahwa peralihan hak terjadi pada saat pewarisan, peralihan tersebut bukan

kehendak pewaris tapi terjadi karena peristiwa hukum. Namun, berdasarkan Peraturan

Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2009 mengatur keharusan penerbitan Surat

Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan. Ketentuan ini memberikan peluang untuk dikabulkan atau

ditolaknya pengajuan SKB tersebut yang mengakibatkan warisan bukan objek pajak yang

dikecualikan berdasarkan undang-undang. Metode pendekatan yang digunakan adalah

100
pendekatan yuridis empiris dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Jenis data

yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yaitu

data primer dilakukan melalui wawancara dan data sekunder melalui bahan pustaka.

Data dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan penelitian, maka diperoleh hasil bahwa

pengajuan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (PPh) Final atas waris berdasarkan

Peraturan Direktur Jeneral Pajak Nomor 30/PJ/2009 bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang-Undang Pajak Penghasilan

dalam hal ini terjadi pertentangan asas antara peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam Teori

Stufenbau (hierarki peraturan perundang-undangan), maka yang digunakan adalah asas

lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi

mengesampingkan yang rendah. Karena pajak harus diatur dengan undang-undang.

Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan warisan merupakan objek yang

dikecualikan, sedangkan permohonan surat keterangan bebas yang berupa penolakan

didasarkan atas persyaratan formal mengakibatkan terutang pajak. Oleh karenanya

pengaturan SKB tersebut batal demi hukum, maka dalam pengaturan SKB hendaknya

pemerintah mengaturnya dalam undang-undang formil (Ketentuan Umum Dan Tata

Cara Perpajakan) karena berimbas pada kewajiban pembayaran pajak masyarakat. Kata

Kunci : Surat Keterangan Bebas (SKB), Pajak Penghasilan (PPh) Final, waris

101
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Teori Perlindungan
Hukum Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto
Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini
bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran
ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno
(pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan
bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal
dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.
Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral
adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari
kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.1
Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu
lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu
hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi
hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas
tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu
diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan
yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan
segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang
pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk
mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat

102
dan antara perseorangan 1Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti,2000, hal 53 UNIVERSITAS MEDAN AREA
2 dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat.22.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum Dengan
hadirnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berguna untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-
kepentingan yang biasa bertentangan antara satu sama lain. Maka
dari itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya
sehinggabenturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan
seminimal mungkin. Pengertian terminologi hukum dalam
Bahasa Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang
secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa
ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah
tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan
yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis3.
Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang
dinyatakan oleh Dr. O. Notohamidjojo, SH Hukum ialah
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
biasanya beersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam
masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada dua
asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam
masyrakat.4 Menurut Prof. Mahadi, SH pengertian hukum
seperangkat norma yang mengatur laku manusia dalam
masyarakat. Menurut Soedjono Dirdjosisworo bahwa pengertian
hukum dapat dilihat dari delapan arti, yaitu hukum dalam arti
penguasa, hukum dalam arti para 2 Ibid hal 54 3 Tim penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi kedua, cet. 1,(Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Hal 5954
Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia, Medan:Medan area
University Press,2012,Hal 5-6.UNIVERSITAS MEDAN AREA
3 petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum dalam arti
sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti
tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti
disiplin hukum. Berbagai definisi yang telah di kemukakan dan di
tulis oleh para ahli hukum, yang pada dasarnya memberikan suatu
batasan yang hampir bersamaan, yaitu bahwa hukum itu memuat
peraturan tingkah laku manusia5. Dalam kamus besar Bahasa

103
Indonesia Perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki
arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.
Sedangkan Perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan,
penjagaan, asilun, dan bunker. Secara umum, perlindungan
berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu
itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.
Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman
yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah.
Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan
Perlidungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan
pranata dan sarana hukum. Namun dalam hukum Pengertian
perlindungan hukum adalah Segala daya upaya yang di lakukan
secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah,
swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan
dan pemenuhan kesehjahteraan hidup sesuai dengan hak-hak
asasi yang ada sebagaimana di atur dalam Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.6 Dengan kata
lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu
keadilan, ketertiban, 5Ibid6http://tesishukum.com/pengertian-
perlindungan-hukum/ di akses pada tanggal 18 desember 2016
UNIVERSITAS MEDAN AREA
4 kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Adapun pendapat yang
dikutip dari beberapa ahli mengenai perlindungan hukum sebagai
berikut: 1. Menurut Satjito Rahardjo perlindungan hukum adalah
adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. 2.
Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya
untuk Melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang
oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk
mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmat martabatnya sebagai
manusia. 3. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah
kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan
hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam
sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam

104
pergaulan hidup antara sesama manusia. 4. Menurut Philipus M.
Hadjon Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan
kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi
rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang
memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi,
permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si
lemah (ekonomi) UNIVERSITAS MEDAN AREA
5 terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja
terhadap pengusaha.7Pada dasarnya perlindungan hukum tidak
membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Indonesia
sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya
karena itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah
negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
demi mencapai kesejahteraan bersama. 2.1.2 Bentuk & Sarana
Perlindungan Hukum Menurut R. La Porta dalam Jurnal of
Financial Economics, bentuk perlindungan hukum yang
diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat
pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).8
Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata adalah adanya
institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan,
kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non-litigasi) lainnya. Perlindungan yang di maksud
dengan bersifat pencegahan (prohibited) yaitu membuat peraturan
, Sedangkan Perlindungan yang di maksud bersifat hukuman
(sanction) yaitu menegakkan peraturan. Adapun tujuan serta cara
pelaksanananya antara lain sebagai berikut : 1. Membuat
peraturan ,yang bertujuan untuk : a. Memberikan hak dan
kewajiban 7Asri Wijayanti, Op.cit., hal 108 R. La Porta “ Investor Protection
and Corporate governance” Jurnal Of financial Economics 58 (1 January)
2000UNIVERSITAS MEDAN AREA
6 b. Menjamin hak-hak pra subyek hukum 2. Menegakkan
peraturan Melalui : a. Hukum administrasi negara yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dengan

105
perizinan dan pengawasan. b. Hukum pidana yang berfungsi
untuk menanggulangi setiap pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum
berupa sansksi pidana dan hukuman. c. Hukum perdata yang
berfungsi untuk memulihkan hak dengan membayar kompensasi
atau ganti kerugian.9 Pada perlindungan hukum di butuhkan suatu
wadah atau tempat dalam pelaksanaanya yang sering di sebut
dengan sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum
di bagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut: 1. Sarana
Perlindungan Hukum Preventif, Pada perlindungan hukum
preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya
adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum
preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang
didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk
bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan
pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus
mengenai perlindungan hukum preventif.9Wahyu Sasongko,
Ketentuan-ketentuan pokok hukum perlindungan konsumen, Bandar
lampung:Universitas lampung, 2007, hal 31UNIVERSITAS MEDAN
AREA
7 2. Sarana Perlindungan Hukum Represif, Perlindungan hukum
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-
konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan
peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua
yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

106
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.102.

107

Anda mungkin juga menyukai