Anda di halaman 1dari 5

Naskah Drama Malin Kundang

[PROLOG: dulu, hiduplah seorang wanita tua dengan anaknya yang bernama Malin. Mereka hidup
menderita dan bergantung pada hasil hutan.]

Ibu: "Malin, datang ke sini anak, membantu saya untuk membawa kayu bakar ini. "

Malin: "Ya ibu, tunggu sebentar." (Malin membantu ibunya)

Malin: "Ibu, berapa lama kita akan bertahan dengan kondisi ini? Saya ingin ada perubahan dalam
hidup kita."

Ibu: "Entahlah, Ibu tidak tahu Malin, kita harus bersabar dan jangan berhenti berdoa kepada Allah. "

Malin: "Ibu, aku punya ide, biarkan aku pergi untuk mengubah keberuntungan saya? Siapa tahu aku
akan menjadi orang kaya."

Ibu: ...

[Malin dan ibunya kembali ke rumah, tapi ibunya hanya diam tentang ide. Setelah mereka tiba di
rumah.]

Malin: "Bu, bagaimana dengan ide saya?"

Ibu: "Saya pikir itu bukan ide yang baik anakku. Karena, jika kamu pergi, siapa yang akan menjagaku
di sini."

Malin: "Tapi Ibu, jika saya tidak mengubah peruntungan, bagaimana kita bisa bertahan? Saya berjanji
Ibu, jika bisa menjadi orang kaya, saya akan kembali. Tenang saja Ibu, saya akan berbicara dengan
Dayat, supaya menengok Ibu setiap hari hingga saya kembali ke rumah."

[Ibu Malin tidak bisa melarang apa Malin inginkan. Akhirnya, dia setuju dengan ide Malin.]

Ibu: "Baiklah, jika itu memang keinginanmu, Malin! Tapi, kamu harus pegang janjimu untuk kembali
ke kampung ini."

[Malin pergi ke rumah Dayat untuk memintanya menjaga ibunya, hingga ia kembali dari perantauan
membawa uang yang banyak. Dayat merupakan sahabat Malin, yang selalu ke mana-mana suka
maupun duka.]

Dayat: "Kamu mau ke mana, Malin?"

Malin: "Besok, aku akan merantau untuk mengubah nasib."

Dayat: "Apa? Jika kamu pergi merantau, siapa yang akan menjaga Ibumu di sini?"

Malin: "Karena itu, aku mendatangimu. Aku ingin menjaga Ibuku—tengoklah ia setiap hari itu sudah
cukup baginya—hingga aku kembali.”
Dayat: "Oh, baiklah kalau begitu. Ingat pesanku untukmu, jangan lupakan kita yang ada di sini,
Malin."

[Keesokan harinya, Ibu Malin mengantarkan anaknya ke pelabuhan.]

Ibu: "Jaga dirimu baik-baik, Nak. Cepatlah pulang, setelah kamu sukses di rantau.”

Malin: "Ya Ibu, doakan saya supaya saya cepat mendapat rezeki yang banyak.”

Malin: “Dayat, tolong kamu jaga Ibu saya baik-baik. Terima kasih sebelumnya. Selamat tinggal.”

Dayat: "Jangan khawatirkan soal itu, Malin. Saya berjanji akan merawat ibumu sepenuh jiwa raga
saya. Jaga dirimu baik-baik. "

Ibu: "Selamat jalan, Anakku."

Dayat: "Selamat jalan, Malin."

[Akhirnya, Malin memulai peruntungannya di perantauan. Ia pergi berlayar dengan saudagar kaya.
Di kapal, Kapten memberinya pekerjaan sebagai kru. Kapten memiliki putri semata wayang, yang
telah menjadi seorang anak gadis cantik. Nama anak gadis Kapten adalah Ningrum. Ketika Malin
melihatnya, ia jatuh hati. Hal ini memberikan semangat kepada Malin untuk bekerja lebih giat lagi.]

Malin: (Berkata di dalam hati, saat melihat Ningrum mendatanginya) "Ningrum sangat cantik. Aku
menyukainya, dan harus menikahinya. Dengan begitu, jika sesuatu terjadi pada ayahnya, warisannya
akan jatuh ke tanganku, sehingga aku akan menjadi orang kaya.”

Ningrum: "Apakah kamu melihat ayahku?”

Malin: "Hmm, saya tidak melihatnya. Mungkin ia pergi ke dapur. Cobalah ke sana untuk melihatnya."

Ningrum: "Oh, baiklah. Saya akan ke sana menemuinya."

Malin: [Tersenyum] "Ya, silakan Nona. Apakah perlu kuantar?”

Ningrum: [Hanya tersenyum, sambil berjalan meninggalkan Malin.]

[Sementara itu, di kampung halaman Malin, Ibu Malin sangat gelisah. Ia resah bagaimana Malin
menjalani kehidupannya di perantauan. Apakah Malin sehat? Apakah Malin bisa menjaga dirinya
baik-baik? Semua pertanyaan-pertanyaan khas orang tua yang khawatir akan anaknya menggelayut
menjadi beban pikiran Ibu Malin. Sementara itu, ia juga khawatir Malin tidak pulang kembali ke
kampung halamannya, dan melupakan dirinya.]

Ibu: "Dayat, saya rindu sekali dengan Malin. Kira-kira, kapankah ia kembali? Apakah ia baik-baik saja
saat ini?

Dayat: "Jangan takut, Ibu. Malin akan pulang. Ia telah berjanji. Sementara itu, biarkan saya menjaga
Ibu.”

Ibu: "Ya, terima kasih, Dayat. Entah, apa jadinya saya tanpa bantuanmu."
Dayat: “Jangan terlalu dipikirkan, Ibu.”

[Suatu hari, kapten memanggil Malin, karena ia akan menaikkan jabatan Malin atas prestasi kerjanya
selama ini. Dengan jabatan ini, dalam beberapa tahun, membuat Malin menjadi orang kaya.]

Malin: "Sekarang, saya kaya raya. Saya dapat membeli semuanya dengan uang saya. Karena itu,
Ningrum harus menikah dengan saya.”

[Semakin hari, Ibu Malin semakin merindukan anaknya. Ketuaannya membuat ia lelah menunggu
Malin. Namun, Dayat selalu memberikan dukungan untuk Ibu Malin, bahwa Malin yang akan datang
kembali dan orang kaya.]

Dayat: "Jangan sedih, Ibu."

Ibu: "Saya lelah, Dayat. Saya lelah menunggu Malin. Kita tidak pernah mendapatkan berita dari Malin
sedikit pun.”

Dayat: "Saya percaya Ibu, bahwa Malin akan datang kembali dan menjadi orang kaya.”

Ibu: "Apakah kamu yakin, Dayat?"

Dayat: "Ya, Ibu. Jangan sedih lagi ibu."

[Setelah Malin telah menjadi orang kaya, Malin menikahi Ningrum. Mereka hidup bahagia dan
menjadi pasangan yang romantis.]

Malin: “Sayang, apa yang sedang kamu pikirkan?”

Ningrum: “Malin suamiku, kita kan sudah menikah. Bagaimana kalau kita berbulan madu?”

Malin: “Sepertinya, itu ide bagus, bagaimana kalau kita Pulau Dua Angsa?”

Ningrum: “Wah, pulau itu sangat bagus. Saya setuju.”

Malin: “Oke! Kalau begitu, kita ke sana besok.”

[Keesokan harinya, Malin serta istrinya berlayar ke Pulau Dua Angsa. Dalam perjalanannya, mereka
singgah ke kampung halaman Malin, untuk mengisi berbagai perbekalan. Tapi, Malin tidak menemui
Ibunya seperti yang telah dijanjikan. Ia hanya berjalan-jalan di sekitar dermaga saja. Ketika itu, Dayat
– sahabat Malin – melihatnya.]

Dayat: "Malin? Apakah dia Malin? Ya, seperti dia adalah Malin. Saya harus mengatakan itu kepada
Ibunya."

[Dayat pergi ke rumah Ibu Malin untuk mengabarkan kedatangan Malin. Ia sangat senang
mengetahui Malin datang ke kampung halamannya. Jika, Ibu Malin mengetahui berita ini, tentu
hatinya bahagia.]

Dayat: "Ibu... Ibu ..."


Ibu: "Ya, saya di sini, Dayat."

Dayat: "Ibu, Malin pulang. Ia ada di pelabuhan sekarang. Tampaknya, ia telah menjadi orang kaya
sekarang!"

Ibu: "Apa kamu yakin kalau yang kamu lihat adalah Malin?"

Dayat: "Ya, saya yakin Bu. Saya tidak mungkin bisa melupakan wajahnya. Saya masih ingat wajah
Malin."

Ibu: "Jika apa yang kamu lihat benar, ayo temani saya pergi ke sana."

[Dayat mendampingi Ibu Malin untuk menemui anaknya. Sesampainya di pelabuhan, Ibu Malin
memang melihat anaknya. Saking harunya, air mata keluar dari matanya. Ia memanggil Malin dari
kejauhan untuk kemudian mendekatinya.]

Ibu: "Malin, Malin, anakku! Malin …"

Ningrum: "Siapa itu wanita tua, Suamiku?"

[Malin tidak menjawab pertanyaan Ningrum, karena tenggorokannya tercekat tidak bisa menjawab
pertanyaannya dari istrinya.]

Ningrum: "Siapa dia, Suamiku?"

Ibu: “Malin, siapa ia? Apakah ia Istrimu? Ia sungguh wanita yang sangat cantik.“ [Ibu Malin membuka
tangannya untuk memeluk menantunya.]

Ningrum: [Tapi, Ningrum menepis pelukan itu.] "Issh, jangan sentuh aku!"

Malin: "Jangan kamu menyentuhnya! Dasar wanita kotor! Kulitmu bisa mengotori kulitnya!"

Ningrum: "Siapa wanita tua ini, Malin? Benarkah ia Ibumu? Uh, ia benar-benar sangat kotor."

Malin: "Saya tidak tahu. Saya tidak mengenal wanita ini. "

Ibu: "Malin, anakku. Kenapa kamu ini, Nak? Apa salah Ibu? Aku ini Ibumu. Ibumu. Kamu telah
berjanji untuk kembali ke kampung ini untuk menemuiku, jika kamu sudah kaya. Sekarang kamu
sudah kaya, dan bukankah kedatanganmu ke sini untuk menemuiku?”

Malin: "Cih, Ibuku? Mengaku-ngaku saja kamu sebagai Ibu? Saya tidak mengenal kamu. Jika saya
kaya, tentu Ibu saya juga kaya. Tidak sepertimu, kotor dan bau!”

Ibu: "MALIN!!!” [Ibu Malin berkata keras.]

Ibu: “Saya Ibumu—ibu yang telah melahirkanmu! Saya bisa mengatakan fakta tentang dirimu."

Ningrum: "Pergi saja kamu, wanita tua."

Ibu: "Malin ... Malin ..."


Malin: "Pergi. Pergilah sekarang, kamu!"

Dayat: "MALIN! Lupakah kamu terhadap Ibumu? Lupakah kamu terhadap saya—sahabat baikmu? Ini
Ibumu, Malin. Ibumu."

Malin: "Tidak, saya tidak lupa. Saya benar-benar tidak mengenal kamu dan wanita tua itu. Seingat
saya, saya tidak pernah memiliki sahabat sepertimu."

Dayat: "Jahat, kamu! Celakalah kamu, Malin."

Ibu: "Ingat saya, Nak? Saya adalah ibumu."

Dayat: "Tolong, ingat ibumu, Malin. Ia selalu menunggumu kembali ke kampung halamanmu.
Ingatlah janjimu, Malin."

[Malin tidak peduli. Ia menyeret Ibunya dengan kasar, hingga wanita tua itu jatuh tersungkur.]

Malin: Jangan panggil aku sebagai anakmu, wanita kotor! Ayo, Ningrum, kita harus pergi secepatnya
dari tempat ini sebelum wanita ini mengotori wajah kita."

Ningrum: "Ya, Suamiku."

[Setelah mendorong paksa Ibunya pergi, Malin kembali ke kapalnya. Sementara Ibunya, masih
berteriak memanggil-manggil namanya.]

Ibu: “Malin ... Malin ... Jangan biarkan Ibumu Malin!!!“

[Hilang sudah kesabaran Ibu Malin melihat tingkah anaknya. Lalu, dengan kesal ia mengucap asal
kalimat “jadilah batu!”. Kata-kata seorang Ibu yang sedang marah menjadi doa yang didengar oleh
Tuhan.]

Ibu: “Ya Tuhan, kenapa anakku seperti itu? Apa salahku? Apa dosaku? Ia sama sekali melupakanku.
Saya tidak terima perlakuan itu darinya. Sekarang hilang sudah kesabaranku. Aku mengutuknya:
Jadilah batu!!!”

[Setelah itu, tiba-tiba datanglah badai menghancurkan Kapal Malin, petir menyambar tubuhnya. Dan
...]

Malin: “Apa yang terjadi? Tubuh saya tidak bisa digerakkan! Maafkan saya, Ibu. Maafkan saya ...!”

Ningrum: “Apa yang terjadi? Apa yang terjadimu, Malin? Kamu kenapa?”

[EPILOG: Malin pun berubah menjadi batu, ketika ia meminta ampun kepada Ibunya. Kapal, kru serta
istrinya tenggelam ke dasar laut. Itulah hasil jika kita memberontak kepada orang tua kami terutama
untuk ibu kita.]

Anda mungkin juga menyukai