Anda di halaman 1dari 18

Naskah Drama [MALIN KUNDANG] [9 Pemeran]

[ADEGAN 1 – Rumah Ibu Malin]

Narator: Di suatu desa hiduplah anak laki-laki bersama dengan ibunya. Hidupnya sengsara dan
miskin. Anak itu bernama Malin. Malin sangat disayang ibunya karna sejak kecil, Malin sudah di
tinggal mati oleh ayahnya. Ketika Malin sudah tumbuh dewasa, ia mulai berpikir untuk merubah
kehidupan ekonomi keluarganya.

Ibu: Malin, datang ke sini nak. Bantu ibu membawa kayu bakar ini.

Malin: Ya ibu, tunggu sebentar (Malin membantu ibunya). Ibu, berapa lama kita akan bertahan
dengan kondisi seperti ini? Aku ingin merubah kehidupan ekonomi kita ini, Bu.

Ibu: Entahlah, ibu tidak tau Malin, kita harus bersabar dan jangan berhenti berdoa kepada Tuhan.

Malin: Ibu, aku punya ide. Biarkan aku pergi untuk mengubah nasib keluarga kita.

Ibu: Hah?! (terkejut). Pergi kemana Nak?

Malin: Tadi, ketika aku sedang dipasar, ada seorang saudagar kaya yang menawariku pekerjaan.
Dia berkata bahwa dia sudah memperhatikanku sejak lama dan hatinya tergerak melihat diriku
yang rajin bekerja. Ia pun mengajakku untuk menjadi salah satu pekerjanya dan ikut bersamanya
ke pulau seberang.

Ibu: Apakah kau menerima tawaran itu Nak?

Malin : Iya bu, aku langsung menyetujuinya.

Ibu : Ibu pikir itu bukan ide yang baik anakku. Jika kamu pergi, siapa yang akan menjagaku
disini?

Malin : Sebenarnya, Malin juga tidak tega meninggalkan ibu sendiri. Tapi, Malin tidak tahan
dengan kondisi seperti ini. Malin berjanji akan kembali dan menjadi orang yang sukses. Ibu
tenang saja, aku akan berbicara dengan Putri, supaya menengok Ibu setiap hari hingga aku
kembali ke rumah.

Narator : Ibu Malin tidak bisa melarang apa yang di inginkan Malin karena Malin sudah
bertekad. Akhirnya, sang ibu setuju dengan ide Malin.

Ibu : Baiklah, jika itu memang keinginanmu. Tapi, kamu harus pegang janjimu untuk kembali ke
sini. (Malin mengangguk)

***
[ADEGAN 2 – Rumah Putri]

Narator : Malin pun pergi kerumah Putri untuk meminta bantuan Putri agar menjaga ibunya
selama dia merantau. Putri merupakan sahabat Malin yang selalu bersamanya dalam suka
maupun duka.

Putri : Mau kemana kamu, Malin?

Malin : Besok, aku akan pergi merantau.

Putri : Apa? (terkejut). Jika kamu pergi merantau, siapa yang akan menjaga ibumu disini?

Malin : Karena itu, aku mendatangimu. Aku mau minta tolong kepadamu untuk menjaga ibuku,
tengoklah ia setiap hari hingga aku kembali.

Putri : Oh, baiklah kalau begitu. Ingatlah pesanku jangan lupakan kita yang ada di sini, Malin.

Malin : Iya.

***

[ADEGAN 3 – Pelabuhan]

Narator : Keesokan harinya, sesuai janjinya, Ibu Malin mengantarkan anaknya ke pelabuhan.

Ibu : Jaga dirimu baik-baik, Nak. Cepatlah pulang,

Malin : Ya bu, doakan Malin supaya Malin mendapat rejeki yang banyak.

Ibu : Iya, hati-hati di jalan.

***

[ADEGAN 4 – Kapal]

Narator : Malinpun memulai perantauannya. Ia pergi berlayar bersama saudagar kaya. Saudagar
itu memberikan Malin pekerjaan sebagai karyawan. Saudagar tersebut mempunyai putri semata
wayang yang bernama Risa. Ketika Malin melihatnya, ia langsung jatuh hati. Risalah yang
membuat Malin untuk lebih semangat bekerja.

***

[ADEGAN 5 – Rumah Ibu Malin]

Narator : Di kampung halaman Malin, Ibu Malin sangat gelisah dan khawatir dengan anaknya.
Beliau takut jika Malin tidak pulang kembali ke kampung halamannya dan melupakan sosok ibu
yang melahirkannya.
Ibu : Putri.. aku rindu dengan Malin. Kira-kira kapankah Malin kembali? Apa Malin baik-baik
saja saat ini? Aku takut...

Putri : Jangan takut, Bu.. Malin pasti pulang, ia telah berjanji. Sementara itu, biarkan aku yang
menjaga Ibu.

Ibu : Ya, terima kasih Putri. Entah, apa jadinya aku tanpamu.

Putri : Jangan terlalu di pikirkan Bu..

***

[ADEGAN 6 – Kapal]

Narator : Semakin hari, semakin gigih semangat Malin untuk bekerja lebih giat. Sehingga pada
suatu hari, Saudagar memanggil Malin.

Teman Malin : Lin, kamu di cari sama Kapten di ruangannya.

Malin : Benarkah? Baiklah, terima kasih. (meninggalkan temannya)

***

[ADEGAN 7 – Ruangan Saudagar Kaya]

Malin : (mengetuk pintu ruangan saudagar kaya)

Saudagar : Masuk..

Malin : Apakah anda memanggil saya?

Saudagar : Ya.. selamat Malin! Jabatanmu baru saja ku naikkan! (tersenyum). Semoga kamu
senang dengan jabatan barumu. Kamu bisa melihat ruangan barumu.

Malin : terima kasih, ( nunduk kepala, meninggalkan ruangan saudagar)

***

[ADEGAN 8 – Ruangan Malin]

(Malin masuk keruangan barunya, lalu duduk di kursi barunya dengan kaki terlipat di atas-
tangannya dilipat di depan dada, lalu tersenyum sinis)

Malin : Sekarang aku kaya raya. Aku dapat membeli semuanya dengan uangku. Karena itu, Risa
pasti mau menikah denganku.

***
[ADEGAN 9 – Rumah Ibu Malin]

Narator : Semakin hari ibu Malin semakin merindukan anaknya, membuatnya semakin lelah di
usia tuanya. Namun, Putri selalu memberikan dukungan untuk Ibu Malin, bahwa Malin baik-baik
saja dan akan kembali ke kampung halamannya.

Putri : Jangan sedih Bu...

Ibu : Aku lelah Putri.. Kita telah menunggu Malin selama berbulan-bulan, tetapi tidak pernah
mendapatkan kabar sedikitpun dari Malin.

Putri : Percayalah bu, Malin pasti kembali dan menjadi orang yang sukses.

Ibu : Terima kasih Putri, jika tidak ada kamu, aku pasti kesepian.

Putri : (mengangguk, tersenyum)

***

[ADEGAN 10 – Rumah Malin]

Narator : Karena kerja keras, Malin berhasil menjadi orang kaya. Sesuai dengan keinginannya,
Malin menikahi Risa. Mereka hidup bahagia, dan menjadi pasangan yang romantis.

(Risa masuk keruangan Malin-tanpa mengetuk pintu. Berjalan menuju meja kerja Malin, lalu
duduk di atas meja kerja Malin. Malin duduk di kursi-berhadapan dengan Risa, Malin sedang
sibuk dengan map yang dipegang dan dibukanya)

Malin : (megang map, melihat-lihat isi map-sambil melirik Risa.) Ada apa dengan muka mu?
Hm?

Risa : Malin...

Malin : hm? (melihat Risa)

Risa : Aku bosan... Bagaimana kalau kita pergi berlibur?

Malin : Sepertinya itu ide bagus. Bagaimana kalau pergi ke Pulau Dua Bebek?

Risa : Wah, pulau itu sangat bagus, Aku setuju..

Malin : Baiklah, besok kita akan berangkat.

***
[ADEGAN 11 – Kampung halaman Malin]

Narator : Seperti janji Malin, Malin dan Risa berlayar ke Pulau Dua Bebek. Dalam perjalanannya
mereka singgah ke kampung halaman Malin, untuk mengisi berbagai perbekalan. Tapi, Malin
tidak menemui Ibunya, ia hanya berjalan-jalan di sekitar dermaga saja. Ketika itu, Putri –
sahabatnya, melihat Malin dan Istrinya – Risa.

Putri : Malin? Apakah dia benar Malin? Ya, pasti itu Malin. Aku harus mengatakan itu pada Ibu!
(berlari menuju rumah Ibu Malin).

***

[ADEGAN 12 – Rumah Ibu Malin]

Narator: Putri berlari menuju rumah Ibu Malin. Mengatakan bahwa Malin sudah kembali dan
menjadi orang kaya.

Putri : Bu~ Ibuu...

Ibu : Yaa~ ada apa Putri?

Putri : Ibu, Malin telah kembali. Ia ada di pelabuhan sekarang, dan menjadi orang kaya!

Ibu : Hah? Benarkah? Apakah benar yang kamu lihat itu Malin?

Putri : (mengangguk) Ya, aku yakin Bu. Itu pasti Malin.

Ibu : Ayo, kita ke pelabuhan sekarang!

***

[ADEGAN 13 – Dermaga]

(Putri mendampingi Ibu Malin untuk menemui Malin. Sesampainya di pelabuhan, Ibu Malin
melihat Malin, dan memanggil nama Malin dari kejauhan, kemudian mendekati Malin)

Ibu : Malin... Malin anakku!

Risa : Siapa wanita tua itu, Malin? (kepalanya terangkat, menunjukkan ‘wanita tua’ yang di
maksud)

Malin : (Tak menjawab pertanyaan Risa, menatap Ibunya dengan sinis)

Risa : Jawab aku Malin! Siapa wanita tua itu? (menatap Ibu Malin dengan tatapan jijik)

Ibu : Siapa wanita ini Malin? Apakah ia istrimu? Sungguh wanita yang cantik... (membuka
tangan untuk memeluk Risa)
Risa: (menepis tangan Ibu Malin) Jangan sentuh aku!

Malin : Jangan menyentuhnya! Dasar wanita kotor! Kulitmnu bisa mengotori kulitnya!
(memegang dan menjauhkan tangan Ibunya secara kasar)

Risa : Siapa wanita tua ini Malin? Ia sungguh sangat kotor!

Malin : Aku tidak tau! Aku tidak mengenal wanita ini.

Ibu : Malin anakku.. ada apa denganmu, Nak? Apa salah Ibu? Aku ini Ibumu. Ibu yang
melahirkanmu. Kamu telah berjanji untuk kembai ke kampung ini untuk menemuiku! Apa kau
lupa dengan janjimu sendiri?

Malin : Ibu? Janji? Mengaku-ngaku saja kau! Aku tidak pernah mengatakan janji apapun dan
tidak pernah mengenalmu, wanita tua!

Ibu : MALIN!!! Aku ibumu! Ibu yang melahirkanmu!

Risa : Dengar yang di katakan Malin kan? Dia tidak mengenalmu, jadi pergi saja kau wanita tua!

Ibu : Malin... Malin anakku!!

Putri : MALIN! Lupakah kamu dengan Ibumu? Lupakah kamu dengan janjimu untuk kembali?
Celakalah kau, Malin!

Malin : Aku tidak pernah membuat janji kepada kalian. Kalian hanya menghabiskan waktuku
saja. Pengawal, bawa dua wanita ini pergi dari sini!

Pengawal : Baik Tuan.(Pengawal mendorong Putri dan Ibu Malin hingga jatuh.)

Ibu : Malinn... Anakku!

Malin : Jangan panggil aku anakmu! Aku tidak mempunyai ibu kotor sepertimu. Berhentilah
membual! Ayo, kita pergi dari sini Risa!

Risa : Baiklah, ayo!

(Malin dan Risa pergi ke kapalnya.)

Ibu : Malin... Malin...

Ibu : Jika kau tidak menganggap ibumu, aku tidak akan segan-segan mengutukmu Malin! Anak
DURHAKA!

Malin: (Berbalik, menghadap ibunya) Silahkan saja, aku tidak merasa kau ibuku!

Ibu : benar-benar anak durhaka! Kamu berani menantangku? Jangan sampai kau menyesal sudah
berbuat itu padaku!
Malin : Buktikan saja!

Ibu : MALIN. TERKUTUKLAH KAU MENJADI BATU!

Suara gaib : Oh Malin, anak durhaka. Permohonan Ibumu kukabulkan. Tubuhmu akan mati rasa,
dan berubah menjadi batu.

Narator : Di tengah siang yang panas, tiba-tiba muncullah suara petir menggelegar, dan langit
menjadi gelap

(Suara petir muncul)

Malin : aarrrggg!! (berbubah menjadi batu)

Narator : Malin pun berubah menjadi batu. Itulah akibat dari anak yang tidak menghormati, tidak
menuruti, dan tidak berbakti kepada orang tuanya. Nah teman-teman, janganlah kita menjadi
seperti Malin. Hormatilah orang tua kalian selagi masih ada....

Semua pemain : Terimaaa kasihh~~~


Si Lancang
Tokoh:

Lancang

Emak

Ustadzah

Siti

Istri 1

Istri 2

ABK 1

ABK 2

Konon pade zaman dahulu hiduplah seorang wanite miskin dengan anak laki – lakinye yang
bername si Lancang. Mereke berdue tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bername
Kampar. Ayah si Lancang telah lame meninggal dunie. Emak Lancang bekeje menggarap ladang
orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetanggenye.

Pade suatu hari, si Lancang betul – betul mengalami puncak kejenuhan. Die sudah bosan hidup
miskin. Die ingin merantau dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaye.

Lancang : Emak, Lancang sudah tak tahan lagi hidup miskin macam ni. Lancang nak pegi
merantau Mak!

Emak : Ape? Nak merantau? Aduh, macam mane ye Nak…?

Lancang : Ayolah Mak…! Izinkan Lancang merantau ye Mak…?

Emak : Baiklah Lancang… Kau boleh merantau, tetapi… Jangan lupakan emak kau ni!
Jike nanti kau sudah menjadi orang kaye, segeralah balik!

Lancang : Benarkah Emak mengizinkan?

Emak : Iye…
Lancang : Wah terime kaseh Mak! Terime kaseh! Nanti saye pasti nak menjadi kaye raye!
Dan saye tak nak gi bekeje sebagai pengembale yang membosankan tu!

Emak : Hhh…

Lancang : Janganlah bersedih Mak… Lancang tak nak melupakan Emak di sini… Jike nanti
sudah kaye, Lancang pasti balik Mak!

Emak : Baiklah Nak. Besok pagi – pagi sangat kau boleh berangkat! Nanti malam Mak nak
membuatkan lumping dodak tuk kau makan di perjalanan nanti.

Lancang : Terime kaseh ye Mak…

Keesokan harinye…

Lancang : Mak, Lancang pamit… Do’akan Lancang ye mak…

Emak : Iye Lancang, Emak pasti nak mendoakan kau selalu! Ni lumping dodak tuk bekal
kau di jalan!

Lancang : Terime kaseh Mak… Lancang pegi… Assalamualaikum!

Emak : Waalaikumsalam! Hati – hati nak!

Bertahun – tahun sudah Lancang di rantauan. Akhirnye die pun menjadi seorang pedagang kaye.
Die memiliki puluhan kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri – istrinye pun cantik – cantik
dan berasal dari keluarge kaye pule. Sementare Emak si Lancang hidup miskin seorang diri di
kampungnye.

Suatu hari Lancang nak mengajak istri – istrinye tuk pegi berlayar ke Andalas.

Lancang : Wahai istri – istriku! Saye nak mengajak kalian tuk berlayar ke Andalas!

Istri 1dan2 : Hah? Benarkah Kakande?

Lancang : Iye.

Istri 1 : Wah! Ni pasti nak menyenangkan! Kakande, bolehkah kami membawa perbekalan
yang banyak?

Istri 2 : Iye Kakande, kami nak berpeste pore di atas kapal.

Lancang : Tentu! Bawalah perbekalan sebanyak yang kalian mau!

Istri 1dan2 : Terime kaseh Kakande!

Istri – istri Lancang membawe begitu banyak perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik
tuk berpeste. Mereke juge membawe kain sutre dan perhiasan yang banyak.
Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpeste pore. Mereke
bermain musik dan bernyanyi sepanjang pelayaran. Hingga akhirnye kapal si Lancang merapat
di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang.

ABK 1 : Hoi…! Kite sudah sampai!

Ustadzah : Wah! Si Lancang rupenye! Die sudah jadi orang kaye!

Siti : Megah betul kapalnye! Syukurlah jike die masih ingat kampung halamannye ni!

Ustadzah : Sebaiknye kite beritahukan kedatangan Lancang ni kepade Emaknye! Beliau sudah
begitu lame menunggu kedatangan si Lancang.

Siti : Betul Ustadzah! Mari kite beritahukan!

Di rumah si Lancang…

Ustdzh,Siti : Assalamualaikum!

Emak : Waalaikumsalam! Oh, Ustadzah dan nak Siti! Mari, silakan masuk!

Ustadzah : Tak usah Mak, terime kaseh. Kami kemari cume nak memberitahukan perihal
kepulangan si Lancang!

Siti : Iye Mak! Lancang sudah balik, dan die sudah menjadi orang kaye!

Emak : Betul tu? Alhamdulillah…! Akhirnye balik juge si Lancang! Terime kaseh atas
kabarnye ye! Saye nak menemui Lancang dulu!

Ustadzah : Mari kami antar Mak!

Emak : Ye, terime kaseh banyak.

Sesampainye di kapal…

Emak : Subhanallah! Megah betul kapal ni! Saye nak naik dan menemui Lancang!

ABK 1 : Hai wanite buruk! Janganlah kau naik ke kapal ni! Pegi dari sini!

Emak : Tapi… Aku adalah Emak si Lancang…

ABK 2 : Hah?! Mustahil Tuan Lancang punye emak macam kau! Pegi kau!

Lancang : Ape perkare ni?! Ribut betul lah kalian!

ABK1dan2 : Ampun Tuanku…


ABK 2 : Begini Tuan… Wanite tue ni nak naik ke kapal dan die juge mengaku – ngaku
sebagai ibu dari Tuanku.

Istri 1 : Hah?! Benarkah wanite tue ni adalah ibu Kakande?

Istri 2 : Mengape selame ni Kakande tak pernah menceritakan tentangnye?

Lancang : Bohong! Die bukan ibuku! Usir die dari kapalku!

Emak : Oh, Lancang anakku! Aku adalah emakmu!

Lancang : Manelah mugkin aku punye emak tue dan miskin macam kau!

Siti : Apelah cakap kau ni Lancang! Beliau ni adelah emak kau! Tak sepantasnye kau
cakap macam tu pade emak kau!

Ustadzah : Istighfar Lancang! Istighfar!

Lancang : Diam kalian! Jangan ikut campur urusanku! Dasar orang – orang kampung! Kelasi!
Cepat usir mereke semue tu dari kapalku!

ABK1dan2 : Pegi! Pegi kalian dari sini!

Emak : Astaghfirullah!

Sesampainye di rumah Lancang…

Siti : Masya’Allah! Kami tak menyangke Lancang nak menjadi macam tu!

Ustadzah : Iye… Mak, yang sabar ye… Kami permisi dulu ye Mak.

Ustdzh,Siti : Assalamualaikum!

Emak : Waalaikumsalam! Terime kaseh ye…

Emak lalu mengambil lesung dan nyiru pusake sambil berdo’a…

Emak : Ya Allah… Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan… Namun setelah kaye…
Die tak mau mengakuiku sebagai emaknye… Ya Allah, tunjukkan padenye kekuasaan-Mu…!

Dalam sekejap tibe – tibe angin topan berhembus dengan kencang. Petir menggelegar
menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga
hancur berkeping – keping. Semue orang di atas kapal tu berteriak kebingungan, sementare
penduduk berlarian menjauhi sungai.

ABK 2 : Akh! Ade ape dengan kapal ni?!


ABK 1 : Aaaakh…!

Istri 1 : Ya Allah! Ade ape ni?!

Istri 2 : Astaghfirullah!

Lancang : Emaaak…! Si Lancang anakmu pulang! Maafkan aku Mak…! Maafkan aku…!

Barang-barang yang ade di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang
dibawe si Lancang dalam kapalnye melayang - layang. Kain tu lalu berlipat dan bertumpuk
menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar dan jatuh di
dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah
tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknye berdekatan dengan Danau si
Lancang. Di danau itulah tiang bendere kapal si Lancang tegak tersise. Bile sekali waktu tiang
bendera kapal si Lancang tu tibe - tibe muncul ke permukaan danau, make pertande akan terjadi
banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mate si Lancang yang menyesali perbuatannye kerana
durhake kepada Emaknye.

Selesai
NASKAH DRAMA BATANG TUAKA
1. Tuaka
2. Ibu
3. Istri
4. Saudagar
5. Anak Kapal
6. Narator
7. 2 ekor Ular yang sedang berkelahi

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang
janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk
yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak
punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling
menyayangi. Untuk hidup sehari-hari, Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api
dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia,
dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya,
Tuaka.
Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari
kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup
banyak, mereka berdua akhirnya pulang.
Ibu : (membacakan syair ibarat)
Tuaka : “Alangkah merdunya suara emak. Kalau ananda boleh tau, apa
gerangan judul dari syair itu, Mak?”
Ibu : “Itu Syair Ibarat Khabar Kiamat dari daerah kita ni, Indragiri. Syair
tu adalah buah karya dari KH Abdurrahman Siddiq.”
Tuaka : “Suatu saat, ajari ananda tentang syair tersebut ya, Mak.”
Ibu : “Bagus jika kamu punya niatan untuk mempelajari budaya kita
tu. Nanti Mak bantu.”
Tuaka : “Iyelah, Mak. Kalau bukan saya, salah satu pemuda daerah ni,
siapa lagi yang akan menumbuhkembangkan budaya kita ni, Mak.”
Ibu : “Iyelah tu. Dah siap mengmpulkan kayu ni?”
Tuaka : “Sudah, Mak.”
Ibu : “Kalau sudah, sekarang kita kembali ke rumah.”
Tuaka : “Iya, Mak.”

Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan
yang cukup keras. Ternyata, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor
ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda.
Tuaka : “Mak! Suara apa itu?”
Ibu : “Nampaknya suara ular berdesis.”
Ibu : “Tuaka, sembunyilah. Ternyata disana ada ular besar yang sedang
berkelahi,”
Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar.
Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling
bergumul dan belit-membelit.
Tuaka : “Apa yang mereka perebutkan, Mak?”
Ibu : “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui
keberadaan kita,”

Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan
emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati
salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit
sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah.
Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya.
Tuaka : “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,”
Ibu : “Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah,”
Tuaka : “Iya, Mak.”

Tuaka memasukkan ular itu ke dalam karung yang dibawa emaknya, lalu
membawanya pulang.
Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat,
menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuaka
membersihkan luka dan menjaga keadaan ular tersebut.
Ibu : “Ini Mak sudah menumbuk daun-daunan untuk mengobati ular
ini,”
Tuaka : “Biar Tuaka yang membubuhkan obat untuk ular ini mak,”
Ibu : “Semoga saja ular ini cepat pulih,”
Tuaka : “Iya, Mak.”

Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari
keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di
dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran.
Tuaka : “Mak.. Mak..” (memamnggil-manggil Emak)
Ibu : “Iyaa, Tuaka. Ada apa?”
Tuaka : “Mak, kemana pergi ular kemarin tu?”
Ibu : “Apa dikeranjangnya tidak ada?”
Tuaka : “Tak ada, Mak. Tampaknya dia sudah sembuh dan pergi. Tapi,
mengapa dia tinggalkan permata indahnya ini ya, Mak?”

Ibu : “Ah, iya. Permatanya tidak dibawa.”


Ibu : “Barangkali dia ingin berterimakasih kepada kita karena kita
sudah menolongnya. “

Tuaka : “Jadi, bagaimana dengan permata ini, Mak?”


Ibu : “Sebaiknya permata ini kita jual kepada saudagar. Agar uangnya bisa kita
gunakan untuk berjualan, dan kita tidak akan hidup miskin lagi.”
Tuaka : “Baiklah kalau begitu, Mak. Besok pagi, Tuaka akan pergi ke
Bandar untuk menawarkan permata indah ini kepada saudagar
disana.”

Keesokan harinya, pergilah Tuaka ke Bandar. Sesampai disana, Tuaka berkeliling


kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang
tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani
membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang permata itu kepada
emaknya.

Tuaka : “Kemana lagi aku harus menawarkan permata ini. Tidak ada
satupun saudagar yang berani membeli permata ini dengan harga
tinggi.”

Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang
sepertinya belum ia tawarkan.

Tuaka : “Permisi, Makcik.”


Saudagar : “Ya, ada apa gerangan?”
Tuaka : “Saya datang kesini, hendak menawarkan sebuah permata indah
Kepada Makcik. Barangkali Tuan berminat, silahkan dilihat
Permata saya ini.”
Saudagar : “Elok sekali permata ini. Aku sangat ingin memilikinya.”
Tuaka : “Kalau begitu, apalagi yang Nyonya tunggu? Nyonya hanya tinggal
membayarnya,”

Saudagar : “Tapi, apa permata ini asli?”


Tuaka : “Tentu saja, Makcik. Silahkan Makcik periksa sendiri.”
Saudagar : “Iyelah ni. Tapi uang yang aku bawa sekarang tidak cukup, Nak! Jika
kamu mau, kamu boleh ikut saya ke Temasik untuk mengambil kekurangannya.”

Tuaka : (Termenung sejenak)


Saudagar : “Jangan terlalu lama berfikir. Bagaimana, Nak?”
Tuaka : “Baiklah, Nyonya. Saya akan ikut Nyonya untuk pergi ke Temasik.”
Saudagar : “Baiklah. Kalau begitu sekarang ananda ikut saya untuk mempersiapkan
pelayaran ke Temasik.”

Setelah persiapan selesai, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah


ini pada emaknya.

Tuaka : “Begitulah ceritanya, Mak. Bagaimana menurut Emak?”


Ibu : “Apa kamu yakin akan berlayar ke negeri orang tu?”
Tuaka : “Tuaka yakin sekali, Mak. Mak setuju kan?”
Ibu : “Mak takpapa, Nak. Ini pasti yang terbaik untuk kehidupan kita
selanjutnya,”
Tuaka : “Terima kasih banyak, Mak. Mohon doa restu dalam perjalanan Tuaka ini,
Mak.”

Ibu : “Sudah pasti, Ananda. Doa dan restu Mak selalu mendampingimu.”
Akhirnya, Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang
perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan
diperolehnya nanti.
Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada
Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada Emak dan kampung
halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar
kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah,
kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli
emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak.

Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di sebuah
daerah yang ternyata adalah kampung halaman Tuaka. Dan sebenarnya, Tuaka masih ingat
dengan kampung halamannya itu.
Istri : “Indah nian pemandangan laut ni ya Kakanda,”
Tuaka : “Ya, benar sekali Adinda. Kita sangat membutuhkan liburan
seperti ini. Menyegarkan pikiran dari kesibukan di Temasik yang
sangat memusingkan kepalaku,”
Istri : “Wahai Nakhoda. Dimanakah gerangan kapal ini akan
berlabuh?”
Nakhoda : “Sebentar lagi kita akan berlabuh disebuah kampong disekitar
sini, Makcik.”
Istri : “Apa gerangan nama daerah tu, Nakhoda?”
Nakhoda : “Disinilah kita sudah Makcik. Saya ucapkan selamat datang di Indragiri.
Kampong dengan alam yang belimpah.”

Istri : “Belimpah? Memangnya apa yang menjadi potensi terbesar daerah ni,
Nakhoda?”

Nakhoda : “Daerah ni punya kebon kelapa yang sangat luas membentang. Inilah yang
menjadi penghasilan masyarakat dikampong ni, Makcik.”

Tuaka : “Sudah, sudahlah tu. Nakhoda, cepat labuhkan kapal ni.”


Nakhoda : “Baik, Tuanku.”
Tapi ternyata, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di
kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak
mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta
dan miskin.
Tuaka : (Termenung)
Istri : “Wahai Kakanda. Mengapa gerangan engkau termenung diatas
lautan seperti ini?”
Tuaka : “Tidak ada apa-apa wahai Adinda.”
Istri : “Ceritakan saja padaku, Kakanda.”
Tuaka : “Tidak ada apa-apa Adinda, jangan mengkhawatirkanku.”

Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya
bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar
beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, emak Tuaka pun
berlari mendekati kapal megah Tuaka.
Ibu : “Tuaka! Tuaka! Wahai ananda, Ibu sangat merindukanmu!”
Istri : “Wahai Tuaka! Siapa gerangan wanita tua itu? Mengapa dia
menyebut Kakanda sebagai anaknya?”
Ibu : (berteriak-teriak memanggil Tuaka)
Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya berteriak memanggilnya. Dia
tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi
mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya.
Tuaka : “Aku tidak mengenalnya!”
Istri : “Tapi mengapa dia..” (terputus)
Tuaka : “Sudah ku katakan aku tidak mengenalnya!”
Istri : “Tapi kakanda..”
Tuaka : “Sudah, jangan percaya padanya! Dia hanya seperti orang miskin lainnya
yang memelas meminta dikasihani!”

Istri : “Apa itu benar?”


Tuaka : “Tentu saja. Percaya padaku!”
Tuaka : “Pergi kau wahai wanita miskin!”
Ibu : (menangis sesenggukan memanggil Tuaka)
Istri : “Kalau begitu, hei kau orang tua! Jauhi kapal kami! Kami tidak sudi
tubuhmu itu mengotori kapal ini!”
Tuaka : “Pergi!”

Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia meratapi anaknya yang durhaka.
Ibu : “Ya Allah. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka
kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya!”
Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka
terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia
berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat
anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai
seorang ibu ia sangat mencintai anaknya.
Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara
sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang
semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian
oleh masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam bahasa Melayu menjadi
“batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi “Batang Tuaka”. Sejak itu pula,
daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan
Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau,
Indonesia.
Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini
legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai
Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara Sungai Tuaka,
masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang
menjerit memohon ampun kepada emaknya.

Anda mungkin juga menyukai