Anda di halaman 1dari 5

PUSTAKA

Gus Dur dan Pembebasan Manusiawi


Rabu, 9 November 2016 | 22:00 WIB

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengritik kapitalisme, karena ia membaca Marxisme.


Tetapi mengritik Marxisme karena membaca Gramsci. Mengamini Gramsci, Gus Dur
melihat Marxisme terjebak pada ‘ekonomisme kasar’ sehingga tak melihat budaya sebagai
potensi perubahan.

ADVERTISEMENT
×

Dari sini Grasmcipun dikritik, karena Gus Dur membaca teologi pembebasan. Kesilapan
Gramsci yang tak melihat agama sebagai potensi perubahan, membuat Gus Dur tertarik
pada gerakan teologi Katolik Amerika Latin, yang mengawinkan agama dengan analisa
kritis Marxian. Hanya saja, di titik inilah Gus Dur kemudian mengritik teologi
pembebasan, karena ia terjebak dalam ideologi. Sifat ideologis ini yang membuat para
teolog pembebasan tidak bebas lagi, karena terjebak dalam ekslusivisme gerakan. Maka tak
ayal, Gus Durpun akhirnya menambatkan model gerakannya pada gerakan keagamaan
berwawasan struktural, non-revolusioner.

Pada poin inilah, perbincangan seputar konsepsi pembebasan (berbasis keagamaan) dalam
pemikiran Gus Dur menemukan relevansinya. Satu hal yang digali oleh Syaiful Arif, dalam
buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif ini. Barangkali ide-ide kiri banyak
mempengaruhi dan menginspirasi sejumlah tendensi pemikiran dan langkah politik Gus
Dur. Namun faktanya, pembaca Das Kapital pada usia 14 tahun ini tidak sungkan
melemparkan kritik terhadap beberapa titik lemah dari sebuah aksi pembebasan serta
sinisme atas ‘impotensi’ unsur kebudayaan tertentu, tak terkecuali predikasi miring Marx
kepada agama sebagai ‘the opium of the people’. Bagi Marxisme, gerakan bisa dikatakan
revolusioner, ketika ia meniadakan agama di dalam dirinya.

Tak sebatas kritik, Gus Dur pun menggariskan bahwa model pembebasan yang hakiki
adalah pembebasan yang senantiasa berakar dan terarah pada penghargaan setinggi-
tingginya terhadap kehidupan sosial manusiawi (human social life) (hal. 254). Garis ide
ini tidak hanya menyadari akan pentingnya sebuah gerakan pembebasan dari jerat
hegemoni penindasan demi kemanusiaan, tapi juga memberi jaminan perlakuan manusiawi
tetap berlangsung dalam rangkaian prosesi maupun ‘capaian final’ gerak pembebasan itu
sendiri.

Tak heran, Gus Dur akhirnya memilih aksi pembebasan yang ia sebut sebagai perubahan
struktural ‘tanpa Marx’, atau transformasi struktural non-revolusioner. Poin non-
×revolusioner menjadi penting, karena bagi Gus Dur, revolusionerisme memiliki ‘sisi gelap’,
yakni memosisikan unsur kultural tidak sebagai kebudayaan yang berdiri sendiri dan
berhak hidup, tapi hanya sebagai aparat ideologis bagi tercapainya revolusi (hal. 89).
Dengan demikian keragaman dikorbankan demi suksesnya revolusi, yang kemudian
melahirkan penyeragaman dan kelembagaan. Dari penyeragaman ini terjadi apa yang
disebut Gus Dur sebagai revolusi yang tercuri (the stolen revolution) untuk menjaga dan
mengonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi, seperti yang
terjadi pada Revolusi Iran 1979 atau ‘pencurian’ Joseph Stalin atas Revolusi Bolsjewik
1917 yang menciptakan diktator komunisme (hal.70).

Kecenderungan ideologisasi dari gerakan inilah yang dihindarkan oleh Gus Dur pada
Islam, yang hanya akan menciptakan eksklusivisme dan ekstrimisme, meskipun berangkat
dari ‘paradigma pembebasan’. Baginya, agama memang menyimpan kekuatan pembebasan,
namun dunia memiliki mekanisme perubahan tersendiri, sehingga bahaya ketika agama
diturunkan ke level ‘teknis’ (penentu), sebab ia bisa menjelma kekuasaan yang menindas
atas nama ‘otoritas surga’. Ini sejalan dengan hakikat pembebasan yang ia gariskan sebagai
“pembebasan tanpa dasar dan landasan apapun, kecuali manusia itu sendiri. Jadi sangat
eksistensialis (hal. 87).”

Di sinilah pentingnya meletakkan Islam sebagai etika sosial. Orientasi (pembebasan) etis
yang dipegang Gus Dur merujuk pada satu tujuan politik yang tidak mengandaikan adanya
struktur politik tandingan dari tatanan yang ingin diubah. Sehingga, sebuah gerakan akan
terselamatkan dari watak ideologis. Penekanan pada watak etis ini merupakan sinambung
dari pilihan strategi pembebasan Gus Dur yang tidak bersifat sosio-politis namun lebih
kepada sosio-kultural (hal. 95). Keyakinan ini pernah dipraktikkan Gus Dur ketika
berhadapan dengan hegemoni pembangunanisme Orde Baru, melalui usaha
membangkitkan fungsi transformatif Islam sebagai kritik atas praktik penindasan, sembari
melakukan kerja-kerja praksis yang terkait langsung dengan kebutuhan riil masyarakat.

Dalam kaitan inilah ide pribumisasi Islam tak melulu bersifat budaya. Bagi Gus Dur,
pribumisasi Islam adalah conditio sine qua non bagi tergeraknya fungsi etis sosial dari
Islam. Karena Islam sudah melerai ketegangan dengan kebudayaan -melalui pribumisasi
budaya- maka Islam tak lagi terjebak dalam perjuangan simbolis, selayak formalisasi
syari’at. Islam yang telah membumikan lambaran kulturnya, akhirnya bisa naik pada
tataran nilai utama (Welstanschauung) dari Islam sendiri, yang tertuju pada keadilan
(al-’adalah), persamaan (al-musawah), dan demokrasi (syura). Pentingnya tiga nilai ini
menjadi cita utama Islam, karena Gus Dur melihat watak universal dari Islam yang
melakukan perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat al-khams) berupa,
perlindungan terhadap hak hidup, berpikir, berkeyakinan, hak milik pribadi, dan kesucian
keluarga. Hak dasar inilah yang menjadi tujuan utama mashlahat (ghayatul mashlahat) dan
×menjadi tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Jadi, nilai keadilan, persamaan (di
muka hukum), dan demokrasi adalah kondisi struktural yang harus diwujudkan demi
tergeraknya perlindungan terhadap hak dasar kemanusiaan tadi.

Terma transformatif dalam buku ini menjadi epistemologi kunci bagi kelahiran ide-ide
‘segar’ dan sejumlah aksi perjuangan Gus Dur baik yang menyentuh wacana keagamaan,
kebudayaan, maupun ilmu sosial. Ada kesan, penulis berusaha melampaui mainstream
tipologisasi atas corak intelektualisme Gus Dur. Banyak kritik disasarkan pada sejumlah
‘bias paradigmatis’ para peneliti saat mengotakkan pemikiran Gus Dur pada isme-isme
tertentu. Kendati demikian, kritik tersebut sejatinya tidak sampai menganulir secara
radikal, sebab yang berbeda dari ‘temuan baru’ ini dengan  beberapa paham yang
dialamatkan pada Gus Dur sebelumnya, semacam liberalisme, sekularisme, neo-
modernisme, pluralisme, atau pribumisasi Islam, terletak pada cita utama  dan arah
gerakan pemikiran Gus Dur. Kalau yang lain memahami watak pemikirannya sebagai
kesadaran pembaruan atas ‘keloyoan’ tradisi, maka watak transformatif mengandaikan
pembaruan tersebut tak ubahnya ‘jembatan’ yang terhubung dengan cita pembebasan dari
struktur politik otoriter yang tidak memihak.

Buku ini menawarkan prespektif baru atas gagasan Gus Dur. Lewat buku ini kita akan
menemukan sosok Gus Dur sebagai intelektual organik yang mampu menyiapkan basis
teoritis bagi gerakan (Islam) pembebasan. Sebuah gerak yang dipraksiskannya selama
memimpin NU vis a vis Orde Baru. Tak ayal, Gus Dur bukan an sich politisi kawakan
yang selalu kalah dalam ring politik praktis, tetapi satu pioneer bagi gerakan teologi
pembebasan di Indonesia, yang secara diskursif melakukan kritik atas perselingkungan
pengetahuan dalam pembangunanisme. Seperti dijelaskan oleh pengantar Prof. Taufik
Abdullah dalam buku ini, Gus Dur adalah penggerak ilmu sosial sebagai wacana kritis
(critical discourse), yang secara cantik menggunakan pemikiran Islam sebagai counter
discourse atas bangunan negara-sentrisme ilmu sosial. Sebuah buku yang menarik, yang
memetakan ulang ideologi dan kekuasaan di Indonesia, serta bagaimana masyarakat sipil—
terepresentasi oleh Gus Dur dan NU—menghadapinya berdasarkan kekayaan Islam di
Indonesia.

Data Buku

Judul buku: Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif, Sebuah Biografi Intelektual

Penulis: Syaiful Arif

Penerbit: Koekoesan, Depok

Terbit: Juli 2009, cetakan I

Halaman: xiv+330, 14 x 21 cm

Peresensi: Mahbib Khoiron, santri Pesantren Ciganjur

×
* Resensi ini pernah dimuat di Harian Seputar-Indonesia, 8 Agustus 2009

Download segera! NU Online Super App, aplikasi


keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan
informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

TAGS:

PUSTAKA LAINNYA

Al-Manahij Al-Shafiyyah: Syarah Alfiyah Ibnu


Malik Karya Ulama Nusantara
Pustaka

Sumbangsih Keagamaan dan Kebangsaan GP


Ansor di Indonesia
Pustaka

Membaca Ghayatul Ihsan: Kitab Praktis Seputar


Zakat Fitrah dan Ramadhan
Pustaka

Membaca Sejarah Dinasti Umayyah Secara Lebih


Objektif
Pustaka

Membangun Logika Langit dalam Berbisnis


Pustaka

Etika Kehidupan Berbangsa dalam Islam


Pustaka

Anda mungkin juga menyukai