Anda di halaman 1dari 14

Gus Dur adalah Kebudayaan sebuah filsafat politik Syaiful Arif

Dalam Negara dan Kebudayaan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, jarang dan hampir tidak pernah terjadi suatu kebudayaan dikatakan sebagai kebudayaan negara. Karena negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan. Oleh karenanya, kebudayaan harus dipisahkan dari negara, karena negara terjelma oleh hasrat menguasai, sementara kebudayaan merupa kebebasan kultural manusiawi.

Pemahaman ini tergerak, karena Gus Dur memaknai kebudayaan sebagai human social life: kehidupan sosial manusiawi. Logikanya; jika makan adalah kebutuhan alami, maka segenap sistem ekonomi yang menunjang pemenuhan kebutuhan itu, adalah kebudayaan. Jadi, ketika ekosistem rusak dan kebutuhan ekonomi tersendat; maka perbaikan lingkungan hidup secara sah menjadi persoalan kebudayaan. Jika pengetahuan adalah kebutuhan insani, maka segenap sistem pendidikan adalah kebudayaan. Sehingga, ketika pendidikan ternyata menjauhkan manusia dari kesadaran diri, maka krisis pendidikan, secara sah menjelma krisis kebudayaan (Wahid, 2001:12).

Inilah kebudayaan itu yang menjadikan pemanusiaan manusia sebagai pijak dan orientasi utama. Ia menjelmakan otosentrisitas (authocentricity), di mana kebudayaan merupa super-sektor; melampaui, melingkupi, melandasi, dan memberikan arah normatif bagi sub-sektor kehidupan. Di sini, gerak ekonomi-politik haruslah menguntungkan kebudayaan, karena ia menjadikan nilai sebagai kriteria evaluatif, atas nama kualitas hidup manusiawi. Kebudayaan bukan conditioning, tempat manusia beradaptasi dengan lingkungan. Kebudayaan lebih merupa arah ideasional, di mana manusia mempertaruhkan nilai kemanusiaan dalam mengolah kehidupan. Dari sini Gus Dur kemudian mengritik kapitalisme, karena telah meratakan kemiskinan yang secara fitrah bukan kondisi alamiah kemanusiaan.

Pada titik ini, konsepsi kebudayaan Gus Dur mengacu pada filsafat kebudayaan. Ya, terma human social life searah dengan hakikat kebudayaan yang merujuk pada usaha manusia memanusiakan dirinya melalui pemanusiaan kehidupan (man humanizes himself in humanizing the world around him).[1] Di sini, terma tersebut telah berada di dua titik-tegang antara aras normatif dan fungsional dari kebudayaan. Pada satu sisi, human social life meniscayakan suatu

penerimaan atas ontologi manusia. Jika kebudayaan adalah kehidupan sosial manusaiwi, maka mesti ada yang lebih manusia daripada kondisi kemanusiaan secara umum.

Inilah yang oleh Marx disebut sebagai potensialitas humanitas; satu potensi yang hanya dimiliki manusia. Manusia memiliki pembeda spesifik (diferentia specifica) dari makhluk lain, justru ketika ia berjuang untuk menjadi manusia. Hal ini terjadi sebab manusia bukan hewan tak berbudi. Manusia adalah animal symbolicum (hewan simbolik), pinjam istilah Ernst Cassirer. Sebagai hewan simbolik, ia tidak bisa lepas dari perhitungan normatif yang disediakan oleh jaringan makna, yang terdapat dalam selaksa simbol kreatif (Cassirer, 1990:36). Simbol inilah penampakan empirik dari kebudayaan, baik berupa bahasa, pengetahuan, agama, seni, tradisi, dan segenap produk budi. Jadi, pada titik ini kebudayaan telah menjelma fakta objektif, yang membuatnya bisa dimiliki bersama (common denominator). Kenapa? Karena kebudayaan yang merupa objektivasi mental, telah tersimpan di dalam struktur simbolik, sehingga nilai dari satu generasi bisa diwariskan kepada generasi mendatang.

Menariknya, Gus Dur menampik definisi kebudayaan sebagai warisan (haritage) yang diwariskan (heirloom).[2] Maka, Gus Dur tidak gegabah untuk mendefinisikan kebudayaan hanya sebagai bangunan candi unik, keris keramat, atau lukisan monumental. Tentu kita bisa memahaminya, dalam konteks ketidakmauan Gus Dur untuk terjebak ke dalam produk (artefak) kebudayaan, karena keterjebakan tersebut telah menempatkan kebudayaan sebagai materi, bukan nilai yang sejatinya ada di dalam materi tersebut. Dengan paradigma non-produk ini, Gus Dur kemudian concern terhadap nilai asasi kebudayaan, yang beliau tahbiskan pada gerak pemanusiaan kehidupan sosial.

Tepat di jantung soal inilah, ontologi manusia tergerak dalam aspek fungsionalnya. Yakni dalam gerak realisasi dari budi, sehingga kehidupan sosial searah dengan budi. Inilah kebudayaan itu, yang tak semata berurusan dengan filsafat manusia, tetapi terlebih filsafat sosial. Kebudayaan bukan an sich budi, tetapi pendayaan budi. Ini yang membuat Gus Dur menahbiskan kebudayaan sebagai human social life, karena manusia tidak manusiawi, selama kehidupan tidak dimanusiawikan. Hanya melalui pemanusiaan hidup, manusia bisa manusiawi.

Dalam domain inilah, konsepsi kebudayaan Gus Dur bersifat kritis. Ini terjadi karena ia melakukan kritik atas perspektif adaptif dari kebudayaan, yang akhirnya menggerakkan politisasi kebudayaan. Seperti diketahui, perspektif adaptif adalah cara-pandang yang menempatkan kebudayaan sebagai usaha manusia beradaptasi dengan alam. Perspektif ini berangkat dari determinisme, yang menempatkan manusia, terkungkung oleh tekanan alam. Hidup oleh karenanya, merupa usaha manusia untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut, melalui penakhlukan alam. Maka, terdedahlah pragmatisme yang menahbiskan ilmu pengetahuan

sebagai penguasaan alam, yang akhirnya melahirkan ekonomisme; hasrat pengerukan kekayaan alam demi sebesar keuntungan material. Dari sini segenap nilai bukan menjadi rem moral yang mengontrol proses pengerukan alam. Tetapi bahkan pengerukan tersebut telah menjadi nilai utama bagi kebudayaan adaptif, yang dengan cemerlang dicontohkan oleh modernisme.

Secara tersirat Gus Dur mengritik hal ini, karena arah kebudayaannya bersifat ideasional; bertanya akan bagaimana sesuatu seharusnya bersifat, bukan sebatas apa sifat sesuatu? Watak kritis dari konsepsi kebudayaan Gus Dur terletak pada kehendaknya untuk menciptakan kehidupan sosial manusiawi. Ini yang menggerakkan otosentrisitas, di mana kebudayaan menjelma das Umgreifende, pinjam istilah Karl Jaspers. Dalam maqom ini, kebudayaan adalah lingkaran besar (supra-sektor), di mana segenap praktik sosio-eko-politik menjadi lingkaran kecil (sub-sektor) yang berada di dalam lingkaran besar tersebut, dan patuh padanya. Kebudayaan dipatuhi karena ia membawa standar kehidupan sosial manusiawi. Jadi, jika praktik politik tak memanusiakan manusia, maka politik telah keluar dari lingkaran besar kebudayaan, dan oleh karenanya tercerabut dari tugas kodratinya, yakni penghargaan kemanusiaan. Aras filosofis selalu tergerak dalam tiga poin ini, yakni kebudayaan, kemanusiaan, dan praktik kehidupan. Segenap praktik hidup harus mengarah pada kemanusiaan, karena melaluinya, manusia baru boleh disebut berbudaya. Dengan berbudaya inilah, kehidupan manusia layak disebut manusiawi.

Pasca-budaya

Dalam praksisnya, gerak Gus Dur memang tergulat dalam suatu politisasi kebudayaan, terkhusus oleh negara. Ia mendedahkan negara-sentrisme ilmu sosial, di mana kebudayaan bahkan bersifat anti-kebudayaan. Inilah developmentalisme itu, yang menjadikan anti-ideologi dan anti-konflik sebagai self-organizing bagi stabilitas sistemnya. Gus Dur menghadapi hal ini, di mana kebudayaan tergelut dalam fungsionalisme struktural. Kebudayaan kemudian terposisi sebagai latent pattern maintenance; sebuah pola pemeliharaan laten, untuk memperkuat integrasi sosial, dan mendukung capaian tujuan (goal attainment) yang merujuk pada ekonomisme (Litte, 1991:120).

Hal ini yang pada satu sisi menjerujikan agama dalam domain integrasi. Satu hal yang dikritik Gus Dur, karena agama ternyata memiliki aspek transformatif bagi perubahan sosial. Gus Dur menyebutnya sebagai gerakan keagamaan berwawasan struktural yang ia adopsi dari teologi pembebasan Amerika Latin. Sejarah membuktikan bahwa gerak ini telah ia tembakkan pada negara. NU kemudian melancarkan perang posisi (war of position) guna mengimbangi hegemoni negara, salah satunya melalui perebutan monolitisisme Pancasila. Ya, penerimaan NU atas

Pancasila pada 1984, merupa strategi simbolis ternyata. Ia menggerakkan perebutan tafsir ideologi negara a la gerakan sipil. Perebutan ini penting, karena bagi Gus Dur, konstitusi harus direbut, dari psisinya sebagai penguat negara, menjadi senjata pembebasan rakyat dari penindasan negara. Arah ini digerakkan Gus Dur pada Rapat Akbar NU (1991), yang menjelma theatricum symbolicum bagi penolakan pencalonan kembali Soeharto, sebagai presiden pada Pemilu 1992. Penolakan ini merupa wujud kesetian NU pada ideologi negara, bukan pada penguasa.

Gerak transformatif agama ini, Gus Dur gerakkan pada setiap lini. Pada aras struktural, ia menjelma kritik atas pemiskinan yang dilahirkan pembangunan. Pada level horisontal, ia menahbiskan Islam sebagai etika sosial, dan pada level kultural membentuk sub-kultur sebagai pembangun kemandirian masyarakat. Inilah yang meniscayakan pribumisasi Islam itu. Kenapa? Karena selama ketegangan antara agama dan budaya belum telerai, maka Islam akan terjebak dalam perjuangan simbolis. Hal ini yang disebut Gus Dur sebagai pendekatan budaya bagi perjuangan Islam. Di karenakan simbolisme agama telah membumi dalam kultur masyarakat, maka Islam mampu keluar dari dirinya, menuju cita utama (Welstanchauung) yang ia rujukkan pada; demokrasi (syura), keadilan(adalah), dan persamaan (musawah) (Wahid, 2001:7). Ini terjadi karena pada level peradaban, watak kosmopolitan Islam telah mampu berdialog dengan rasionalisme modern. Kosmopolitanisme ini yang kemudian teraplikasi berdasar universalisme Islam, di mana agama melindungi hak hidup, berpikir, beragama, kepemilikan pribadi, dan kesucian keluarga (Wahid, 1988:3-5). Inilah gerak kebudayaan itu, yang Gus Dur tahbiskan pada perubahan sosial tiada henti, dengan tetap berpijak pada akar kesejarahan masyarakat (Wahid, 1987:4).

Konsepsi kebudayaan ini tentu lebih menekankan pada gerak daripada debat esensialis. Gus Dur memang melampaui itu, dengan menyudahi dikotomi modernitas-tradisi, untuk menggerakkan kritik kebudayaan pada ranah diskursif (ortodhoxa). Ini terjadi karena bagi Gus Dur, problem utama kebudayaan adalah birokratisasi. Sebuah praktik governmentality[3] yang digerakkan negara untuk melucuti kuasa kritis kebudayaan, melalui penanganan technically, di mana kebudayaan tiba saja menjelma political gimmick Departemen P&K. Praktik berbudaya seperti ini tentu a-kultural, karena ia tak mencerahkan masyarakat, tetapi mencipta stultifikasi massa, di mana manusia Indonesia tercetak menjadi robot-robot tak berkultur (Wahid, 2001:8). Konsistensi ini tetap tergerak, terkhusus dalam domain birokratisasi agama. Perlawanan terhadap Majelis Ulama Indonesia merupa bukti bahwa bagi Gus Dur, ruang agama ada dalam kultur, bukan otoritas politik yang menjadikan palu hukum sebagai pembenar truth claim.

Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan Gus Dur pasca Orde Baru, terkhusus setelah ia menjelma politik? Apakah dengan berhenti sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur juga berhenti memperjuangkan kebudayaan? Tanya ini penting, sebab Gus Dur era presiden dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah Gus Dur yang tak memiliki modal kultural selayak ia

Ketua NU. Dalam situasi ini, Gus Dur tidak leluasa menggerakkan kebudayaan, karena basis material gerakannya yang bersifat politis.

Hanya saja, sejak awal Gus Dur memang bukan budayawan. Ia lebih tepat tersebut sebagai penggerak politik berbasis budaya. Di sini kebudayaan memiliki fungsi ganda; sebagai modal simbolik vis a vis negara, serta menjadi orientasi utama gerak politik, di mana pembangunan mesti digerakkan menuju totalitas kebudayaan. Sayangnya, ketika Gus Dur memilih kebudayaan sebagai anti-tesa sekaligus penyempurna praktik negara, basis pemikiran di kedua ranah tersebut tak sempurna. Ini terjadi, bahkan ketika sebagai presiden, mantan Ketua Pokja Forum Demokrasi ini hendak mengecilkan tubuh negara, melalui pembubaran Depsos, Deppen, dan demiliterisasi. Gus Dur ketika menjelma negara, ternyata mendekonstruksi negara. Satu gerak yang akhirnya membuat ia ditendang oleh negara, melalui kudeta konstitusional pada Juli 2001.

Setelah itu, selaik nasib masyarakat sipil pasca-hegemoni, Gus Dur terjebak dalam pluralisme politik, yang melihat negara sebatas ruang bebas; ia menjelma alat bebas nilai, tempat perjuangan politik menemu tuju. Ini terjadi karena sejak awal, ontologi kenegaraan Gus Dur belum mencapai anarkisme filosofis, yang melihat negara sebagai kejahatan imanen pemberangus kemanusiaan. Hukum besi oligarki tidak terlihat, sehingga Gus Dur tetap menjadikan partai sebagai kendaraan pseudo-sipil. Ini yang patut disayangkan, karena kebudayaan bisa digerakkan Gus Dur, ketika ia berdiri menaungi kultur; NU, pesantren, dan intelektualisme. Jadi, ketika Gus Dur kehilangan (PB) NU sebagai basis kultural, dan NU kehilangan Gus Dur sebagai supraintelektual, akan hanya ada partai, di mana negara tidak menjelma musuh bersama, tetapi ruang bebas untuk berebut bersama.

Satu hal yang sebenarnya paradoks dengan cita kebudayaan, yang beliau rujuk pada katarsis politik. Katarsis di sini termaknai sebagai pencerahan yang tercipta oleh gerak pembebasan tanpa nama, tanpa landas apapun, kecuali manusia itu sendiri. Tentu pembebasan di sini tak lagi tergulat atas nama ideologi, agama, dan politik. Satu pembebasan yang berhasil Gus Dur gerakkan, ketika negara mengangkangi kebudayaan, tetapi tersendat ketika negara-sentrisme itu runtuh, dan masyarakat sipil menuai kebebasan.

Konstitusionalisme

Hanya saja, mengharapkan Gus Dur tidak berpolitik, tentu saja menjauhkan Gus Dur dari kebudayaannya. Artinya, kebudayaan Gus Dur memanglah kebudayaan politik. Satu tata dan praktik nilai, yang menselaraskan politik dengan tujuan kebudayaan. Apa itu? Yakni pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan. Dari sini kita akan menemukan bahwa konsepsi kebudayaan Gus Dur, memang bermuatan politik, atau lebih tepatnya filsafat politik.

Menariknya, filsafat ini Gus Dur gerakkan dalam suatu tegangan filosofis antara anarkisme dan konstitusionalisme. Satu tegangan yang berangkat dari kehendak Gus Dur untuk mengembalikan konstitusi pada ruang kebudayaannya, yakni ruang rakyat itu sendiri. Dalam makalah, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban misalnya, Gus Dur mengemukakan perlunya penafsiran kerakyatan atas konstitusi. Penafsiran ini ditujukan untuk mengritik penindasan negara yang sering berlabel konstitusional. Inilah yang menjadi cetak-biru filsafat politiknya, yang mengacu pada suatu anarkisme konstitusional.[4]

Dalam makalah pertanggungjawaban sebagai Pokja Fordem tersebut, Gus Dur melakukan kritik atas praktik demokrasi, yang saat itu terjebak dalam institusionalisme. Inilah yang membuahkan terma demokrasi seolah-olah; seolah-olah demokrasi karena ada segenap institusi demokrasi (trias politica), tetapi sesungguhnya tidak demokratis. Suasana Orde Baru memang meniscayakan hal itu, karena bahkan konsep demokrasi itu sendiri, haruslah searah dengan definisi demokrasi ala pemerintah.

Dari sini Gus Dur kemudian menahbiskan perlunya tafsir people oriented atas konstitusi, untuk mengimbangi tafsir konstitusi yang state centered. Kenapa? Karena sebagai landasan normatif, selain dimiliki negara, konstitusi juga milik rakyat (Wahid, 1992:1-2). Konstitusi meminjam bahasa Habermas, adalah engsel yang menjembatani jurang-pisah antara sistem dan alamkehidupan (Lebenswelt). Karena ia menjadi cita-cita normatif pembentukan tata politik, maka rakyat bisa menjadikannya payung perjuangan, untuk melawan negara yang sering mendedahkan penindasan konstitusional.[5] Pada tahun itu, Gus Dur sudah meniscayakan perlunya Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memerankan hal ini. Yakni suatu peradilan banding konstitusi yang menjadi pembela rakyat, dari kesewenangan konstitusional negara.

Tentu, sebagai warga nahdliyin, pemikiran Gus Dur memang bercorak konstitusional. Hal ini lahir dari suatu paradigma hukum. Bagi Gus Dur, Islam adalah agama hukum (religion of law). Segenap keabsahan sesuatu, mestilah dikembalikan pada landasan hukum. Kesadaran akan hukum ini beliau rujukkan bukan pada formalisme kebenaran, tetapi pada penghargaan terhadap kemanusiaan. Ya, Gus Dur adalah penggerak maqashid al-syariah (tujuan utama syariah) yang merujuk pada tujuan utama kemashlahatan (ghayatul mashlahat), berupa perlindungan terhadap hak hidup, hak berpikir, hak keyakinan, kesucian keluarga, dan hak kepemilikan. Inilah yang menurut beliau menjadi nilai universal dalam Islam.

Dari paradigma hukum ini, Gus Dur (NU) menerima Pancasila pada 1984. Pancasila sah dimata fiqh, karena ia merupa azas bernegara, bukan suatu ideologi yang hendak menggantikan akidah Islam. Pancasila kata Gus Dur, adalah bangunan rumah, sementara Islam adalah rumah tangga. Telah tercatat bahwa langkah ini memiliki dua dampak strategis. Pertama, kebutuhan penerapan hukum Islam. Dalam teori Sunni, syariat hanya bisa dilaksanakan dalam naungan pemerintahan yang sah. Hal ini telah ditahbiskan sejak lama, kala ulama NU mendaulat pemerintahan kita (sejak era Soekarno) sebagai waliyyul amri al-dlaruri bi al-syaukah. Dengan status ini, maka Indonesia telah bersifat syari, sehingga hukum Islam; waris, nikah, wakaf,, zakat, dan haji bisa diterapkan. Pendaulatan ini juga mengeliminir gelora islamisasi konstitusi, karena dengan status tersebut, Negara RI bahkan telah bersifat Islami, sehingga pengislaman konstitusi seperti yang diperjuangan kaum Islamis, merupakan tindak ngoyo-woro, sebab hal itu telah terjadi. Hanya saja, pengislaman NU bersifat terbatas dengan tetap menempatkan (hukum) Islam di bawah naungan sistem negara-bangsa. Bukan islamisasi total, melalui penggantian konstitusi modern dengan konstitusi Islam.

Kedua, perebutan tafsir konstitusi. Dengan menerima Pancasila, NU sebagai masyarakat sipil berhak atas Pancasila. Hal ini memiliki dampak strategis, karena NU kemudian mampu merebut tafsir Pancasila, di tengah monolitisisme politik negara. Maka, terjelmalah theatricum symbolicum pada Rapat Akbar NU 1991 seperti termaktub diatas, ketika Gus Dur menyatakan kesetiaan NU hanya kepada konstitusi, bukan penguasa. Resikonya, NU menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden pada Pemilu 1992, karena kesetiaan NU hanya kepada Pancasila.

Inilah anarkisme konstitusional itu, karena satu sisi Gus Dur kritis terhadap potensi kesewenangan negara. Namun sisi lain, Gus Dur menggunakan unsur normatif dari negara (konstitusi) untuk menjinakkan Sang Leviathan ini, agar tidak menciderai tugas kemanusiaan. Inilah yang menjadi landas filosofis bagi pembubaran Deppen dan Depsos. Gus Dur anarkis, karena hendak memisahkan negara dari kebudayaan. Kebebasan pers dan pengelolaan modal sosial, adalah hak ruang kebudayaan, bukan negara. Hal sama pada penempatan militer di bawah

otoritas sipil. Hal ini lahir dari kesadaran beliau akan pentingnya supremasi sipil di atas aparat represif negara, karena bagaimanapun negara hanya alat (washilah), bukan tujuan (ghayah) di dalam dirinya sendiri.

Adalah Kebudayaan

Berangkat dari gelaran di atas, maka terpahamilah bahwa Gus Dur adalah kebudayaan. Terma adalah di sini menjadi penghubung (copula) yang mempertemukan antara Gus Dur (subjek) dengan kebudayaan (predikat). Jadi dalam pandangan penulis, Gus Dur bukan semata budayawan, dan tulisan ini tak an sich pemikiran Gus Dur tentang kebudayaan. Akan tetapi melampaui itu, Gus Dur adalah kebudayaan.

Terma ini logis karena beberapa hal. Pertama, segenap pemikiran dan praktik gerakan Gus Dur mengarah pada aras filosofis dari kebudayaan, yakni pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan. Hal ini terlihat dari usahanya untuk membebaskan diri dari ideologisasi pembebasan, demi murninya perjuangan kemanusiaan. Artinya, Gus Dur kritis bahkan terhadap ideologi pembebasan, selayak Marxisme, teologi pembebasan, atau milleniarisme Islam, yang tidak membebaskan lagi, karena telah terkungkung oleh watak ideologis (Wahid, 1979:4). Usaha deideologisasi bahkan terhadap ideologi pembebasan ini Gus Dur tujukan sebagai usaha untuk menjaga pembebasan kemanusiaan secara murni, tidak ditumpangi oleh kepentingan ideologis tertentu. Gus Dur melakukan ini, sehingga bagi pengagum Ghandi ini, pembebasan yang sejati adalah pembebasan yang tanpa landasan apapun, kecuali manusia itu sendiri (Wahid, 1982: 3).

Tentu, jika terhadap ideologi pembebasanpun Gus Dur kritis, apalagi terhadap ideologi sektarian yang tidak mengacu pada gerak pembebasan. Hal ini dilakukan pada kritiknya atas Islamisme. Bagi Gus Dur, Islamisme telah terjebak dalam perjuangan semu, karena capaian-tujuan yang bersifat simbolis; jilbabisasi, formalisasi shalat jamaah, etika pakaian Arabis, syariatisasi bank, al-Quranisasi konstitusi, dan segenap jihad re-islamisasi kultural. Kenapa disebut simbolis, karena aspek yang diperjuangkan bukan unsur substantif dalam ajaran Islam. Lalu apa yang substantif? Tentu tujuan utama syariat yang merujuk pada penghormatan terhadap hak dasariah kemanusiaan (Wahid, 2001:7-9). Jadi, lagi-lagi Gus Dur menjadikan kemanusiaan, sebagai pijak dan tujuan dari pemikiran serta gerakan Islamnya. Satu hal yang untuk kesekian kali menandaskan aras filosofis dari kebudayaan.

Kedua, segenap lekuk pemikiran Gus Dur telah membentuk jalinan struktural yang mengarah pada totalitas kebudayaan dalam artian filosofis di atas. Ini terlihat dari struktur pemikirannya;

pribumisasi Islam merupakan syarat kultural bagi tergeraknya Islam sebagai etika sosial, dan Islam berwawasan struktural. Jadi, gagasan pribumisasi Islam tidaklah berdiri sendiri. Ia berjalin dengan dua gagasan di atas. Kenapa? Karena tanpa pembumian Islam pada ranah kultur, agama ini akan tetap tergelut dalam ketegangan simbolis, antara hukum Islam dengan realitas budaya. Inilah yang membuahkan jihad syariatisasi budaya. Oleh karena Islam telah membumi dalam kultur lokal, maka ia bisa keluar dari dirinya untuk melakukan kritik-etik atas ketimpangan sosial, yang secara struktural diciptakan oleh ketidakadilan politik. Struktur ini bisa dilihat dalam bagan berikut:

NU

Islam berwawasan struktural

Deideologisasi Islam

Maqashid al-syariah: Kemanusiaan

Negara-bangsa: Konstitusionalisme-kritis

Islam sebagai etika sosial

Demokratisasi

Pesantren

Pribumisasi Islam

Bagan: Jalinan struktural pemikiran transformatif Gus Dur

Dari bagan ini terlihat bahwa segenap pemikiran Gus Dur saling terjalin dalam kesatuan struktural yang mengarah pada satu-tuju: transformasi. Di sini transformasi diartikan sebagai perubahan struktural, yang bermanfaat bagi suatu pembebasan kemanusiaan. Titik sentral (otosentrisitas) dalam jalinan ini adalah kemanusiaan, yang mendapatkan legitimasi dan rasionalitasnya dari tradisi (hukum) Islam, yakni maqashid al-syariah. Tentu, seperti termaktub di atas, titik sentral kemanusiaan ini tidak akan bisa terpatri, tanpa adanya pengondisian kultural yang dilakukan oleh pribumisasi Islam. Jadi, gagasan pribumisasi ini menjadi pangkalan kultural bagi tergeraknya fungsi etik pada ranah sosial, dan kritik struktural pada level supra-politik. Di sini penulis menggunakan terma Islam berwawasan struktural, yang penulis adopsi dari istilah Gus Dur; gerakan keagamaan berwawasan struktural. Yakni gerakan keagamaan yang kritis terhadap ketimpangan struktural, dan hendak memerankan fungsi komplementer (penyempurna) bagi kelemahan dan lubang hitam pembangunan.

Pribumisasi Islam juga menjelmakan pesantren, melalui suatu perwujudan kultural Islam. Gus Dur menggunakan istilah ini untuk menggambarkan wujud antropologis dari keberislaman, hasil dari pribumisasi Islam. Wujud antropologis inilah yang melembaga dalam pesantren (sebagai sub-kultur), dan terorganisasi dalam NU. Karena wataknya yang kultural, maka NU-pun menggerakkan deideologisasi Islam, yang pada ranah konstitusional berjasa bagi pembentukan negara-bangsa modern. Hanya saja karena watak ontologis dari keislaman NU adalah maqashid al-syariah, maka rasionalitas politik NU ala Gus Dur adalah konstitusionalisme kritis. Yakni konstitusionalisme yang menggunakan konstitusi untuk mengritik penindasan konstitusional negara. Pada level sosial, paradigma kritis ini kemudian menggerakkan demokratisasi yang terlambari oleh paradigma etis dari pemikiran Islam transformatif. Jadi, watak kritis dari konstitusionalisme Gus Dur, dan watak etik sosial dari pemikiran Islamnya, meniscayakan perlunya demokratisasi, baik sebagai perealisir kemanusiaan, maupun sebagai conditio sine qua non bagi kemanusiaan.[6]

Dari segenap lekuk pemikiran di atas, maka tertemulah bahwa Gus Dur memang menggerakkan apa yang penulis sebut sebagai kritik kebudayaan. Jadi, arah pemikiran dan gerakannya yang mengacu pada aras filosofis kebudayaan, telah menjelma kritik kebudayaan. Ini terjadi karena pemijakan filsafat kebudayaan, senantiasa meniscayakan suatu refilosofi kebudayaan. Melalui gerak mengembalikan kebudayaan pada aras filosofis inilah, kritik kebudayaan menjadi satu metode yang tak bisa ditawar. Kritik yang bertujuan membangun kembali kebudayaan, sehingga searah dengan akar filosofisnya. Pada titik inilah Gus Dur adalah kebudayaan, karena arah dan bangunan pemikirannya, sepijak dan segerak dengan filsafat kebudayaan. Gus Dur menjelma aras filosofis dari kebudayaan, karena ia menjadikan pemanusiaan manusia sebagai lambaran dasar perjuangannya.

Memang, akan selalu ada jurang antara pemikiran dan praktik. Dan Gus Dur seperti kita tahu, agak kurang berhasil menjembataninya, terkhusus dalam politik praktis via PKB. Inilah kelemahan dari gerakannya, yang terjadi akibat pergantian medan politik dari otoritarianisme Orde Baru, kepada pluralisme politik pasca-reformasi. Ketika menghadapi negara, Gus Dur bisa memerankan peran kebudayaan secara sempurna. Ketika menjadi negara, presiden dekonstruktif inipun berani melakukan eksperimentasi pengecilan tubuh negara. Satu hal yang berangkat dari kepeduliannya untuk mencipta hubungan proporsional antara negara dan kebudayaan. Hanya ketika berebut negara inilah, Gus Dur tidak selalu searah dengan logika dan gerak kebudayaan. Kenapa? Karena basis material gerakannya yang bersifat politis. Ini terlihat dari concern pemikirannya yang lebih bersifat supra-struktural; mengarahkan kembali arah pembangunan nasional. Satu keprihatinan besar yang mengalpakan pada gerakangerakan kecil, seperti kepesantrenan, kerja teoritis, hingga modernisasi kelembagaan NU. Gus Dur tidak kemudian istiqamah menjadi Semar yang mengayomi segenap kader (politik)-nya, tetapi ikut menjelma Werkudara yang berperang di medan sendiri.

Kini, sang visioner itu telah kembali ke bumi kekosongan. Selayak hikmah al-Hikam kesukaan beliau; pendamlah dirimu dalam bumi kekosongan (idfin wujudaka fil ardlil khumuli). Maka, Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 kemarin, tetaplah mewariskan monumen kebudayaan yang belum paripurna. Sebuah monumen yang menginsyafkan kita, bahwa di balik segala hal, apakah pemikiran Islam, NU, dan praktik politik, kemanusiaanlah yang menjadi tujuan utama.

Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Kajian Kebudayaan dan Demokrasi, Pesantren Ciganjur, tema Weltanschuung Gus Dur, Edisi VI/Th 6/2010. Digelar kembali untuk Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, Jakarta 16-18 November 2011.

Penulis adalah santri Pesantren Ciganjur. Penulis buku, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif, Sebuah Biografi Intelektual (Koekoesan, 2009), Deradikalisasi Islam (Koekoesan, 2010), dan Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran Pascastruktural (Arruz Media, 2010). Kini sedang kuliah Pascasarjana STF Driyarkara, dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia.

[1] Definisi ini penulis ambil dari Romo Bakker. Menurutnya, filsafat kebudayaan berurusan dengan landasan normatif dan metafisik dari kebudayaan. Hal ini bisa didapatkan melalui pendefinisian etimologis; daya-budhi (Abyudhaya). Di sini budhi diartikan sebagai aktivasi akal yang telah tercerahi Atma (ruh). Maka, daya, gerak, atau realisasi budhi adalah gerak hidup

manusia yang berlandaskan budhi. Inilah yang membuat kebudayaan bersifat distingtif. Artinya, tidak semua perilaku dan produk pemikiran manusia disebut kebudayaan. Ia berbudaya, selama melandaskan diri pada budhi. Maka, kebudayaan tidak selalu merujuk pada segenap perilaku manusia, tetapi lebih mengacu pada segenap usaha manusia memanusiakan dirinya melalui pemanusiaan kehidupan. Di sini akal-budi menjadi causa formalis, dan alam-kehidupan menjadi causa materialis. Budi yang masih potensial merupa kebudayaan subjektif. Ia butuh teraktivasi melalui kerja pemanusiaan alam, guna menjelmakan kebudayaan objektif. Inilah yang mencipta transformasi dari kebudayaan (culture) yang berupa sisi dalam kemanusiaan, kepada peradaban (civilization) yang merupa materialisasi sisi dalam tersebut, menjelma teknologi, sistem ekonomi, negara, sains, dan segenap aspek keras kehidupan. Pada titik ini, kemanusiaan yang ada dalam filsafat kebudayaan, juga terdapat dalam antropologi budaya. Yakni pada aspek ideasional dari perilaku manusia, yang memperjuangkan makna kemanusiaan di dalam lekuk hidupnya. Aspek ideasional ini yang meniscayakan pendekatan interpretif dalam studi kebudayaan, karena tanpa memahami (Verstehen), nilai ideal yang ada di balik wujud material, tak akan terogoh maknanya. Jadi filsafat kebudayaan pada level ontologis dan epistemologis, akhirnya berdampak pada kritik metodologis dari perspektif ilmu budaya, atas cara-pandang ilmu alam, yang tidak menempatkan budaya sebagai idea, tetapi materi. Lihat J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 1984, h., 20, dan Leslie A. White, The Science of Culture, A Study of Man and Civilization, New York: Grove Press Inc. 1949, h., 122-366

[2] Tentu penolakan Gus Dur terhadap kebudayaan produk ini, tidak dalam konteks penerimaan beliau terhadap tradisi. Artinya, warisan yang ditolak Gus Dur adalah warisan yang memproduk, beku, dan tak (mau) diketahui lagi maknanya. Yang dikritik Gus Dur bukan produk kebudayaan itu sendiri, tetapi pemahaman kebudayaan yang hanya memahami kebudayaan sebagai produk. Hal ini perlu dijelaskan, sebab Gus Dur sangat menghargai tradisi, karena melalui tradisilah, nilai suatu masyarakat, diwariskan dan dijaga. Penghargaan ini niscaya, sebab beliau adalah anak emas dari tradisionalisme Islam. Satu hal yang terlembaga dalam NU, pesantren, dan apa yang ia sebut sebagai perwujudan kultural Islam. Jika Gus Dur tak menghargai tradisi, maka ia tak akan melontarkan gagasan pribumisasi Islam. Gagasan ini seperti kita tahu, lahir dari kesadaran kultural-historis, bahwa Islam telah membumi ke dalam tradisi kenusantaraan. Lihat Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Agama, Negara, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 132

[3] Governmentality adalah konsepsi Foucault mengenai sistem kekuasaan kontemporer yang tidak lagi berdiri di atas kedaulatan, baik konstitusi maupun teritori, tetapi pada relasi kuasa antara pengetahuan, otoritas, teknologi, dan negara. Konsep ini berangkat dari konsen Foucault atas praktik material dari pengetahuan, yang akhirnya melahirkan kekuasaan berbasis pengetahuan. Semisal otoritas kesehatan jiwa yang dibentuk oleh beberapa pihak; psikolog, rumah sakit jiwa, dan ilmu psikologi. Di sini psikologi tidak murni sebagai pengetahuan karena ia telah menjelma otoritas kebenaran, yang berhak menentukan sehat atau sakit jiwa seseorang. Governmentality adalah penggunaan negara atas politik pengetahuan tersebut. Jadi saat ini,

kekuasaan negara tidak hanya digerakkan oleh aparat represif, tetapi terlebih aparat diskursif sejak di lembaga pendidikan, kejaksaan, media massa, lembaga keagamaan, dan segenap mesin modernitas yang bermanfaat bagi hegemoni kekuasaan. Pada era Orde Baru, governmentality tergerak melalui birokratisasi kehidupan, baik dalam pendidikan, agama, sosial, hingga pembonsaian berpikir. Inilah yang diresahkan oleh Gus Dur, sehingga ia menggerakkan gagasan pemisahan antara negara dan kebudayaan. Untuk governmentality, lihat Michel Foucault, Governmentality, dalam Graham Burchell (ed), The Foucault Effect Studies in Governmentality, The University of Chicago Press, 1991, h., 91

[4] Anarkisme konstitusional memang bersifat tegang dalam dirinya sendiri. Kenapa, karena ontologi dari kedua terma itu berbeda. Anarkisme (filosofis) adalah filsafat politik yang lahir dari kehendak kebebasan kreatif Nietzchean, sekaligus pencipta sosialitas Marxian. Anarkisme lahir dari sini, karena baginya, tak ada yang lebih penting selain esensi kreatif manusia. Esensi ini yang membutuhkan kebebasan manusiawi, yang tidak diberikan oleh otoritas politik. Ya, anarkisme akhirnya anti-otoritas, bukan kepada otoritas itu sendiri, tetapi watak otoritariannya, yang memberangus hak dasariah manusia. Memang sekilas ia berangkat dari individualisme yang memberikan ruang penuh bagi individu untuk menggali potensinya. Tak ada yang paling tahu tentang (apa yang terbaik bagi) seseorang, selain individu itu sendiri. Namun individualisme dalam anarkisme, lebih bersifat Nietzchean yang merujuk pada Ubermansch. Manusia disebut manusia super, ketika ia mampu tidak terjebak dalam definisi akhir kebenaran. Ia terus mencari kebenaran, dan ketika menemukannya, ia harus menghancurkannya, demi pencarian kebenaran tiada akhir. Inilah nihilisme itu, yang merupakan esensi kreatif manusia. Dari individualisme ini, anarkisme kemudian mendedahkan sosialisme. Jadi, ketika ia hendak membubarkan otoritas, maka kebebasan kreatif manusia dalam sistem komunitarianlah, yang hendak diwujudkan. Hal ini berbeda dengan konstitusionalisme yang bahkan membutuhkan otoritas, baik sebagai penjaga nilai maupun perealisir nilai. Konstitusi adalah jembatan yang menghubungkan antara filsafat politik dengan realitas politik, dalam suatu mekanisme rasional masyarakat modern. Maka, konstitusionalisme bahkan melihat otoritas sebagai yang sakral, karena tanpa otoritas, nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi tidak mendapatkan legitimasi yuridis, dan oleh karenanya tidak bisa dipatuhi oleh warga politik modern. Hanya saja, anarkisme konstitusional yang penulis sematkan pada filsafat politik Gus Dur, lahir dari adanya kesamaan antara anarkisme dan konstitusionalisme. Yakni pada aras perjuangan hak dasariah manusia. Ini terjadi karena cita anarkisme (kebebasan kreatif manusia) dan konstitusionalisme (hak asasi manusia) bisa bertemu dalam satu gerak politik. Artinya, Gus Dur adalah seorang konstitusionalis yang menjadikan konstitusi sebagai pembongkar otoritarianisme negara, ketika negara tersebut anti terhadap kebebasan kreatif manusia. Tentu kebebasan di sini tak semata kebebasan ala liberalisme. Ia lebih merupa kebebasan republikanisme, yang menahbiskan kebebasan sebagai pra-syarat utama maksimalisasi potensi kreatif manusia. Jadi kebebasan Marxian; kebebasan yang lahir dari teori alienasi. Untuk studi anarkisme, lihat Daniel Guerin, Anarchism, From Theory to Practice, New York: Monthly Review Press, 1970, h., 39-42

[5] Konstitusi bisa menjadi jembatan antara sistem dan alam-kehidupan (life-world). Ini terjadi karena konstitusi merupakan landasan filosofis yang lahir dari life-world, sementara sistem dibentuk justru untuk menjaga landasan tersebut agar bisa fungsional dalam politik modern. Ini adalah tesis Habermas yang berpijak dari kegelisahan akan suatu kolonisasi sistem atas kehidupan. Artinya, sistem yang didirikan manusia untuk menjadi pelayan bagi manusia, malah balik menempatkan manusia sebagai pelayan, dengan posisi sistem sebagai tujuan. Nilai-nilai yang ada dan tergerak dalam tataran kebudayaan, akhirnya dijajah oleh hegemoni sistem yang menggurita. Dominasi negara atas masyarakat sipil merupakan satu bukti atas fenomena ini. Negara yang sebenarnya merupakan pelayan sistemik bagi hak filosofis (demokrasi) telah berbalik menindas masyarakat, justru karena ia memiliki hak atas hak filosofis tersebut. Maka, untuk mengembalikan negara ke tugas hakikinya, masyarakat bisa memanfaatkan konstitusi, karena ia merupa landasan awal berdirinya negara. Jadi, negara ditundukan melalui dirinya sendiri. Lihat F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia PascaSoeharto, Majalah Basis, No. 11-12, Tahun Ke-53, 2004, h., 16-18

[6] Untuk gelaran pemikiran transformatif Gus Dur, lihat Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif, Sebuah Biografi Intelektual, Jakarta: Koekoesan, 2009

Anda mungkin juga menyukai