PENDAHULUAN
Kurikulum dapat diartikan dengan beragam variasi. Ada yang memandangnya secara
sempit, yaitu kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada yang
mengartikannya secara luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa karena
pengarahan, bimbingan dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga diartikan sebagai
dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan, dan juga sebagai pelaksanaan
dari rencana yang sudah direncanakan. Tidak semua yang ada dalam kurikulum tertulis,
kemungkinan dilaksanakan dikelas.
Kurikulum dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu sebagai program
pengajaran pada suatu jenjang pendidikan, dan dapat pula menyangkut lingkup yang sempit,
seperti program pengajaran suatu mata pelajaran untuk beberapa macam mata pelajaran.
Apakah dalam lingkup yang luas atau sempit, kurikulum membentuk desain yang
menggambarkan pola organisasi dari komponen-komponen kurikulum dengan perlengkapan
penunjangnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian kurikulum PAI?
2. Apa saja komponen kurikulum PAI?
3. Apa saja fungsi dan kedudukan kurikulum PAI ?
C. PEMBAHASAN
1. Definisi Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curare yang
berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman
Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh
oleh pelari dari garis start sampai garis finish.1
Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan
arti sejumlah mata pelajaran dalam suatu peguruan. Dalam kamus Webster tahun 1856
kurikulum diartikan dua macam, yaitu :
a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa disekolah atau
perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
b. Sejumlah mata elajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pndidikan atau jurusan.2
1 Ramayulis. 2012. Ilmu Pendidikan Islam.( Jakarta: Kalam Mulia), hlm. 230
2 Ahmad Tafsir. 2012. Ilmu Pendidikan Islami. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya), hlm 80
Kurikulum (manhaj/curriculum) adalah seperangkat perencanaan dan media untuk
mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. 3
Kosakata Kurikulum telah masuk kedalam kosakata bahasa Indonesia, dengan arti susunan
rencana pengajaran.4 Sekian banyak pengertian kosakata tentang kurikulum dari segi bahasa
ini dapat diartikan, bahwa kurikulum ialah rencana atau bahasan pengajaran, sehingga arah
kegiatan pendidikan menjadi jelas dan terang. Pengertian ini terkait dengan hal yang paling
menonjol dari isi kurikulum, yaitu susunan bahan atau mata pelajaran yang akan digunakan
sebagai acuan dalam kegiatan pendidikan.
Pada masa islam klasik, pakar pendidikan islam menggunakan kata al-maddah untuk
pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian
mata pelajaran yang harus diberikan pada murid pada tingkat tertentu. Sejalan dengan
perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu
mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.Kurikulum dalam pengertian yang
modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi.5
Selanjutnya dijumpai pula pengertian kurikulum yang dikemukakan para ahli
pendidikan, di antaranya ialah kurikulum menurut Ali Muhammad Al Khawli adalah
seperangakat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Sedangkan menurut Muhammad Omar
Muhammad al Thoumy al Syaibany, kurikulum pendidikan Islam dikenal dengan istilah
manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk
mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. 6
Pengertian kurikulum pendidikan agama Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kurikulum secara umum, perbedaan hanya terletak pada sumber pelajarannya saja.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Majid dalam bukunya Pembelajaran Agama islam
Berbasis Kompetensi, mengatakan bahwa kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah
rumusan tentang tujuan, materi, metode dan evaluasi pendidikan dan evaluasi pendidikan
yang bersumber pada ajaran agama Islam.7
3 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media),
hlm.122
4 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam.hlm.122
5 Abuddin Nata. 2010. Ilmu Pendidikan Islam.( Jakarta: Kencana Prenada Media Group) hml. 121
6Abuddin Nata. 2012. Sejarah Pendidikan islam: Pada periode Klasik dan Pertengahan.
(Jakarta:Rajawali Pers), hlm 115
7Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2006), hlm. 74.
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mcengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran Islam,
dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya
dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Menurut Zakiyah Daradjat pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan
mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. 8
Pengertian kurikulum dalam pandangan modern merupakan program pendidikan
yang disediakan oleh sekolah yang tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajarnya
saja, akan tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan
pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat
meningkatkan mutu kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di
luar sekolah.
2. Komponen Kurikulum
Komponen adalah bagian yang integral dan fungsional yang tidak terpisahkan dari
suatu sistem kurikulum karena komponen itu sendiri mempunyai peranan dalam
pembentukan sistem kurikulum. Sebagai sebuah sistem, kurikulum mempunyai komponen-
komponen. Seperti halnya dalam sistem manapun, kurikulum harus mempunyai komponen
lengkap dan fungsional baru bisa dikatakan baik. Sebaliknya kurikulum tidak dikatakan baik
apabila didalamnya terdapat komponen yang tidak lengkap sekarang dipandang kurikulum
yang tidak sempurna.9
Suatu kurikum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi
dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi dan
perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu
sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan. Demikian juga evaluasi sesuai
dengan proses, isi dan tujuan kurikulum.10
Kurikulum sebagai suatu sistem memiliki komponen-komponen yang saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yakni tujuan, materi, metode, media, evaluasi.
Komponen-komponen tersebut baik secara sendiri maupun bersama menjadi dasar utama
dalam upaya mengembangkan sistem pembelajaran. Ada beberapa pendapat yang
menegaskan mengenai komponen kurikulum. Ralph W. Tyler menyatakan ada empat
komponen kurikulum yaitu tujuan, materi, organisasi dan evaluasi. Senada dengan pendapat
8 Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. hlm.130
9 Lias Hasibun, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan,( Jakarta: Gaung Persada, 2010) hlm. 37
10 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik.( Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2010). hlm. 102
tersebut adalah Hilda Taba menulis bahwa komponen-komponen kurikulum itu antara lain
tujuan, materi pelajaran, metode dan organisasi serta evaluasi. Komponen-komponen
kurikulum saling berhubungan. Setiap komponen bertalian erat dengan komponen lainnya.
Tujuan menetukan bahan apa yang dipelajari, bagaiamana proses belajarnya dan apa yang
harus dinilai. Demikian pula penilaian dapat mempengaruhi komponen lainnya.11
14 Hamid Syarif. Pengembanagan Kurikulum, (Pasuruan: Garoeda Buana Indah, 2009), hlm. 108
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari
kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam
suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif
menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya,
sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi
dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya
proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual,
langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti :
pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan
strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti
dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi
peserta didik untuk belajar secara individual.
Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap
muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran
guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang
berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan
belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas,
ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi
pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
d. Komponen Evaluasi
Komponen evaluasi adalah komponen kurikulum yang dapat diperbandingkan seperti
halnya penjaga gawang dalam permainan sepak bola, memfungsikan evaluasi berarti
melakukan seleksi terhadap siapa yang berhak untuk diluluskan dan siapa yang belum
berhak diluluskan, karena itu siswa yang dapat mencapai targetlah yang berhak untuk
diluluskan,sedangkan siswa yang tidak mencapai target (prilaku yang diharapkan) tidak
berhak untuk diluluskan. Dilihat dari fungsi dan urgeni evaluasi yang demikian, Dari
sudut komponen evaluasi misalnya, berapa banyak guru yang mengerjakan suatu mata
pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan guru dan ditunjang pula oleh
media dan sarana belajar yang memedai serta murid yang normal.15
Komponen evaluasi sangat penting artinya bagi pelaksanaan kurikulum. Hasil evaluasi
dapat memberi petunjuk, apakah sasaran yang ingin dituju dapat dicapai atau tidak. Di
samping itu, evaluasi juga berguna untuk menilai, apakah proses kurikulum berjalan
secara optimal atau tidak. Dengan demikian, dapat diperoleh petunjuk tentang
pelaksanaan kurikulum tersebut. Berdasarkan petunjuk yang diperoleh dapat dilakukan
perbaikan-perbaikan. Evaluasi kurikulum sepatutnya dilakukan secara terus menerus.
Untuk itu perlu terlebih dahulu ditetapkan secara jelas apa yang akan dievaluasi, dengan
menggunakan acuan dan tolok ukur yang jelas pula. Sehubungan dengan rancang bangun
kurikulum ini, evaluasi dilakukan untuk mencapai dua sasaran utama, yaitu; pertama,
evaluasi terhadap hasil atau produk kurikulum; kedua, evaluasi terhadap proses
kurikulum.16
Evaluasi kurikulum dimaksudkan menilai suatu kurikulum sebagai program
pendidikan untuk menentukan efisiensi, efektivitas, relevansi, dan produktivitas program
dalam mencapai tujuan pendidikan. Efisiensi berkenaan dengan penggunaan waktu,
tenaga, sarana dan sumber-sumber lainnya secara optimal. Efektivitas berkenaan dengan
pemilihan atau penggunaan cara atau jalan utama yang paling tepat dalam mencapai suatu
tujuan. Relevansi berkenaan dengan kesesuaian suatu program dan pelaksanaannya
dengan tuntutan dan kebutuhan baik dari kepentingan masyarakat maupun peserta didik.
Produktivitas berkenaan dengan optimalnya hasil yang dicapai dari suatu program.17
3. Fungsi dan kedudukan kurikulum PAI
a. Fungsi kurikulum PAI
Kurikulum PAI berbeda dengan kurikulum yang lain, yang memiliki fungsi atau
peranan yang memiliki kurikulum PAI, bahkan kemungkinan ada kurikulum yang
tidak memiliki fungsi seperti kurikulum PAI. Karena itu, sudah sepatutnya guru guru
agama sangat memperhatikan dan mengaplikasikan fungsi fungsi kurikulum PAI ini
kedalam pemebelajaran PAI. Fungsi tersebut sebagai berikut :
1) Fungsi pengembangan
18 Hamdan, pengembangan dan pembinaan kurikulum (teori dan praktek kurikulum PAI,
Banjarmasin: 2009), hlm.42-43
19 Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991), hlm. 11
Di dalam UUSPN No. 21/1989 pasal 39 ayat 2 ditegaskan bahwa isi
kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain
Pendidikan Agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Pendidikan Agama
merupakan usaha untuk memperkuat Iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan
dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan
nasional. Selain itu masih Posisi Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas 2003, yaitu:
3) Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah: Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.
4) Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional adalah: Pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dalam hal ini
agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki kekuatan
spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.
5) Pasal 4 ayat (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.
6) Pasal 12 ayat (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. b. Peserta didik
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya
masingmasing dan diajarkan oleh guru/pendidik yang seagama. c. Tiap
sekolah wajib memberikan ruang bagi siswa yang mempunyai agama
yang berbedabeda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.
7) Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan 1. Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. 3. Pendidikan keagamaan
dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal. 4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah
dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang didirikan
oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat
juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik formal (pesantren,
madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), majlis
taklim) maupun informal (madrasah diniyah).
8) Pasal 36 ayat (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak
mulia; dan seterusnya.
9) Pasal 37 (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama b. pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya…
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b.
pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa.
10) Pasal 55 ayat (1) mengenai Pendidikan Berbasis Masyarakat Masyarakat
berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal
ini, masyarakat boleh mendirikan lembaga pendidikan berbasis
masyarakat sesuai dengan kekhasan agama masing-masing, seperti
madrasah diniyah muhammadiyah (MDM), alMa’arif, dan lain-lain.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan
membetuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi
pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi
spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan,
serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif
kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada
optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama
Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia
dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan
berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil,
berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik
personal maupun sosial. visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi
sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri: 1)
Lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaaan
materi. 2) Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan
yang tersedia. 3) Memberiklan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di
lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran seauai dengan
kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu
berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun
peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban
bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi
tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik
dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Pendidik diharapkan dapat
mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat
dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan
masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan
Pendidikan Agama Islam.
Menurut Qodri Azizy, selama ini telah terjadi anggapan negatif terhadap
pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di lembaga pendidikan. Anggapan yang
kurang menyenangkan itu antara lain: a) Islam diajarkan lebih pada hafalan yang
harus dipraktekkan; b) pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas
antara hamba dan Tuhannya; c) penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat
penekanan; d) penalaran dan argumentasi berpikir untuk masalah-masalah keagamaan
kurang mendapatkan perhatian; e) dan lain-lain.
Implikasi dari itu semua penanaman kepribadian kurang berhasil, kalau tidak
dikatakan gagal. Tetapi yang hampir dapat dipastikan bahwa salah satu sebab utama
hancurnya sistem pendidikan nasional adalah dominannya peran “pusat” (sentralisasi)
dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan. Menyikapi hal
seperti di atas, maka ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: 1.
Pendidikan agama hendaknya mampu mengajarkan akidah anak didik sebagai
landasan keberagamaannya. 2. Pendidikan agama mengajarkan kepada anak didik
pengetahuan tentang ajaran agama Islam. 3. Pendidikan agama harus mampu
mengajarkan agama sebagai landasan atau dasar bagi semua mata pelajaran yang
diajarkan di lembaga formal. 4. Pendidikan agama yang diberikan kepada anak didik
harus menjadi landasan moral kehidupan sehari-hari. 5. Jam pendidikan agama di
lembaga pendidikan formal, seharusnya dijadikan waktu tatap muka formal dalam
menyampaikan ajaran agama atau diskusi masalah keagamaan. Sementara dari segi
prakteknya harus lebih dari sekedar jam pelajaran tersebut.20
D. PENUTUP
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curare yang
berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman
Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh
oleh pelari dari garis start sampai garis finish.
Komponen adalah bagian yang integral dan fungsional yang tidak terpisahkan dari
suatu sistem kurikulum karena komponen itu sendiri mempunyai peranan dalam
pembentukan sistem kurikulum. Sebagai sebuah sistem, kurikulum mempunyai komponen-
komponen. Seperti halnya dalam sistem manapun, kurikulum harus mempunyai komponen
lengkap dan fungsional baru bisa dikatakan baik. Sebaliknya kurikulum tidak dikatakan baik
apabila didalamnya terdapat komponen yang tidak lengkap sekarang dipandang kurikulum
yang tidak sempurna.
Fungsi kurikulum PAI sebagai berikut :Fungsi pengembangan, Fungsi penyaluran,
Fungsi perbaikan, Fungsi pencegahan, Fungsi penyesuaian dan Sumber nilai, sedangkan
kedudukan kurikulum PAI.
Sistem pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, mendeklarasikan bahwa pendidikan formal
termasuk pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan khusus, pendidikan magang,
pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
20 Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa
Depan: Pandai dan Bermanfaat, cet. 1, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hal. 73-79
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, dan Dian Andayani, 2006, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Bandung: Remaja Rosda Karya,
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media
Abuddin Nata. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Abuddin Nata. 2012. Sejarah Pendidikan islam: Pada periode Klasik dan Pertengahan.
Jakarta:Rajawali Pers.
Ahmad Tafsir. 2012. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Hamdan, 2009, pengembangan dan pembinaan kurikulum, Banjarmasin: teori dan praktek
kurikulum PAI.
Hamid Syarif. 2009, Pengembanagan Kurikulum, Pasuruan: Garoeda Buana Indah.
Lias Hasibun, 2010, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada.
Muhammad Ali, 2008, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Muhammad Zaini, 2009, Pengembangan Kurikulum; Konsep Implementasi, Evaluasi dan
Inovasi. Yogyakarta: Teras.
Muslih Usa, ed., 1991, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta,Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Nana Sudjana, 2005, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Nana Syaodih Sukmadinata, 2010, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Oemar amalik, 2008, Kurikulum Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
Qodri Azizy, 2002, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak
Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, cet. 1, Semarang: Aneka Ilmu.
Ramayulis. 2012. Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia