Anda di halaman 1dari 4

MENCARI JALAN - BUKAN

UANG
Prof. Rhenal Khasali

[DATE]
DODO JAYA R.A
Self Employee
Mereka Cari Jalan, Bukan Cari Uang
Prof. Rhenald Kasali @Rhenald_Kasali

Duduk di depan saya dua perempuan muda. Sarjana Hukum lulusan UI. Wajah dan penampilan
kelas menengah, yang kalau dilihat dari luar punya kesempatan untuk “cepat kaya”. Asal saja mereka
mau bekerja di firma hukum papan atas yang sedang makmur, seperti impian sebagian kelas menengah
yang memanjakan anak-anaknya.

Tapi keduanya memilih bergabung dalam satgas pemberantasan illegal fishing yang dipimpin
aktivis senior: Mas Achmad Santosa. Dari foto-foto yang ditayangkan Najwa Shihab, tampak mereka
tengah menumpang sekoci kecil mendatangi kapal-kapal pencuri ikan. Dari Ambon, mereka menuju ke
Tual, Benjina, dan pusat-pusat penangkapan ikan lainnya di Arafura.

Itu baru permulaan. Sebab, pencurian besar-besaran baru akan terjadi dua-tiga bulan ke depan.
Dan mereka, para pencuri itu, datang dengan kapal yang lebih besar. Bahkan mungkin dengan “tukang
pukul” yang siap mendorong mereka ke laut menjadi mangsa ikan-ikan ganas.

Uang atau Meaning?


Di luar sana, anak-anak muda lainnya setengah mati cari kerja. Ikut seleksi menjadi calon PNS, pegawai
bank, konsultan IT, guru, dosen dan seterusnya.

Seperti kebanyakan kaum muda lainnya, mereka semua didesak keluarga agar cepat mendapat
pekerjaan, membantu keuangan keluarga, dan menikah pada waktunya. Cepat lulus, dan dapat
pekerjaan yang penghasilannya bagus.

Tak sedikit di antara mereka yang beruntung bertemu orang-orang hebat, dari perusahaan terkemuka,
mendapatkan pelatihan di luar negeri, atau penempatan di kota-kota besar dunia.

Tetapi semua itu akan berubah. Sebab atasan yang menyenangkan tak selamanya duduk di sana. Kursi
Anda bisa berpindah ke tangan orang lain. Kaum muda akan terus berdatangan dan ilmu-ilmu baru terus
berkembang. Bulan madu karier pun akan berakhir. Mereka akan tampak tua di mata kaum muda yang
belakangan hadir.

Sebagian dari mereka juga ada yang menjadi wirausaha. Tidak sedikit yang tersihir oleh kode-kode yang
dikirim sejumlah orang tentang jurus-jurus cara cepat menjadi kaya raya. Bisa saja mereka berhasil
meraih banyak hal begitu cepat. Tetapi benarkah mereka berhasil selama-lamanya?

Pengalaman saya menemukan, orang-orang yang dulu begitu getol mencari uang kini justru tak
mendapatkan uang. Di usia menjelang pensiun, semakin banyak orang yang datang mengunjungi teman-
teman lama sekedar untuk mendapatkan pinjaman. Sebagian lagi hanya bisa sharing senandung duka.

Kontrak rumah dan uang kuliah anak yang belum dibayar, pasangan yang pergi meninggalkan keluarga
dan serangan penyakit bertubi-tubi. Padahal dulu mereka begitu getol mengejar gaji besar, berpindah-
pindah kerja demi kenaikan pendapatan.

Saya ingin membeitahu anda nasehat yang pernah disampaikan oleh Co-Founder Apple: Guy Kawasaki
kepada kaum muda ia pernah mengatakan begini:
“Kejarlah meaning. Jangan kejar karier demi uang. Sebab kalau kalian kejar uang,
kalian tidak dapat ‘meaning’, dan akhirnya tak dapat uang juga. Kalau kalian kejar
‘meaning’ maka kalian akan mendapatkan position, dan tentu saja uang.”

Lantas apa itu meaning?


Meaning itulah yang sedang dikerjakan anak-anak perempuan tadi yang saya temui dalam tapping
program televisi Mata Najwa edisi hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei beberapa hari ke depan.
Menjadi relawan dalam team pemberantas illegal fishing.

Dan itu pulalah yang dulu dilakukan oleh para mahasiswa kedokteran di STOVIA yang mendirikan Boedi
Oetomo yang menandakan Kebangkitan Nasional Indonesia. Bahkan itu pula yang dijalankan oleh
seorang insinyur lulusan ITB yang merintis kemerdekaan Indonesia, Ir. Soerkarno. Itu pula yang
dilakukan para CEO terkemuka saat mereka muda.

Di seluruh dunia, para pemimpin itu lahir dari kegigihannya membangun meaning, bukan mencari kerja
biasa. Dalam kehidupan modern, itu pulalah jalan yang ditempuh para miliarder dunia. Mereka bukanlah
pengejar uang, melainkan pengejar mimpi-mimpi indah. Seperti yang diceritakan oleh banyak eksekutif
Jerman yang dulu menghabidkan waktu berbulan-bulan kerja sosial di Afrika. "Tidak saya duga, apa yang
saya lakukan 20 tahun lalu itulah yang diperhatikan pemegang saham," ujar mereka.

Saya jadi ingat dengan beberapa orang yang mencari kerja di tempat saya, baik di UI maupun di berbagai
aktivitas saya. Ada yang benar-benar realistis, datang dengan gagasan untuk membangun meaning dan
ada yang sudah tak sabaran mendapatkan gaji besar.

Kelompok yang pertama, sekarang bisa saya sebutkan mereka berada di mana saja. Sebagian sudah
menjadi CEO, pemimpin pada berbagai organisasi dan tentu saja wirausaha yang hebat atau Ph.D
lulusan universitas terkemuka.

Namun kelompok yang kedua, datang dengan tawaran yang tinggi. Ya, mereka menilai diri jauh lebih
tinggi dari kemampuan mereka. Dan tak jarang ada yang diminta berhenti oleh keluarganya hanya
beberapa bulan setelah bekerja, demi mencari pekerjaan yang gajinya lebih besar. Amatilah mereka
yang baru menikah. Kalau bukan pasangannya, bisa jadi orangtua atau mertua ikut mengubah arah
hidup dan merekapun masuk dalam pusaran itu.

Padahal, semua orang tahu orang yang mengejar meaning itu menjalankan sesuatu yang mereka cintai
dan menimbulkan kebahagiaan. Dan bahagia itu benih untuk meraih keberhasilan. Orang yang
mengejar gaji berpikir sebaliknya, kaya dulu, baru bahagia. Dan ini tumbuh subur kala orang dituntut
lingkungannya untuk mengkonsumsi jauh lebih besar dari pendapatan.

Sebaliknya, mereka yang membangun meaning, tahu persis, musuh utama mereka adalah konsumsi
yang melebihi pendapatan.

Potret Diri
Kalau saya merefleksikan ke belakang tentang hal-hal yang saya jalani dalam hidup saya, maka dapat
saya katakan saya telah menjalani semua yang saya sebutkan di atas. Sementara teman-teman yang 30
tahun lalu memamerkan kartu kreditnya (saat itu adalah hal baru bagi bangsa ini), pekerjaan dengan gaji
besar, jabatan dan seterusnya, kini justru tengah mengalami masa-masa yang pahit.
Seorang pengusaha besar mengatakan begini: “Uang itu memang tak punya mata, tetapi mempunyai
penciuman. Ia tak bisa dikejar, tapi datang tiada henti pada mereka yang meaning-nya kuat.”

Di dinding perpustakaan kampus Harvard saya suka tertegun membaca esay-esay singkat yang ditulis
oleh para aplikan yang lolos seleksi. Dan tahukah Anda, mereka semua menceritakan perjalanan
membangun meaning. Maka saya tak heran saat Madame Sofia Blake, istri duta besar Amerika Serikat di
sini berkunjung ke Rumah Perubahan minggu lalu, ia pun membahas hal yang sama untuk membantu 25
putra-putri terbaik Indonesia agar bisa tembus diterima di kampus utama dunia.

Meaning itu adalah cerita yang melekat pada diri seseorang, yang menciptakan kepercayaan, reputasi,
yang akhirnya itulah yang anda sebut sebagai branding. Anda bisa mendapatkannya bukan melalui jalan
pintas atau lewat jalur cara cepat kaya.

Meaning itu dibangun dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh pekerja biasa. Dari terobosan-
terobosan baru. Dan kadang, dari bimbingan orang-orang besar yang memberikan contoh dan mainan
baru. Ya, contoh dan mainan itulah yang perlu kita cari, dan terobosan-terobosan yang kita lakukan
kelak memberikan jalan terbuka.

Selamat mencoba. Selamat hari Kebangkitan Nasional. Jangan lupa pemuda yang
dulu membangkitkan kesadaran berbangsa di negri ini adalah juga para pembangun
meaning.

----------

Prof. Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria
bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin
transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia
mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi
dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis
berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.

Anda mungkin juga menyukai