Anda di halaman 1dari 4

12/10/2021 Silahkan Keluar

dari Zona Nyaman


Memahami Artikel dari Prof Rhenald Kasali

Dodo Jaya R
SELF EMPLOYEE
Keluar dari Zona Nyaman
Prof Rhenald Kasali @Rhenald_Kasali

Mungkin inilah yang tidak banyak dimiliki SDM kita: kemampuan untuk keluar dari zona nyaman.
Tanpa keterampilan itu, perusahaan-perusahaan Indonesia akan “stuck in the middle,” birokrasi kita
sulit “diajak berdansa” menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin
pembaharuan.

Tidak hanya itu, orang-orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar tabah menghadapi
kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang cukup atau kehidupan yang nyaman tak berarti
mereka menjadi manusia yang terlatih menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S2 kalau penakut,
jaringannya terbatas, “lembek”, cepat menyerah dan gemar menyangkal.

Tetapi maaf, ketidakmampuan keluar dari zona nyaman ini bukanlah monopoli kaum muda.
Orang-orang tua yang hidupnya mapan dan merasa sudah pandai pun terperangkap di sana. Seperti
apakah gejala-gejalanya?

“Saya Pikir…”
“Saya pikir hidup yang nyaman, terlindungi, tercukupi adalah hidup yang aman”, begitu pemikiran
banyak orang.

Kita berpikir, apa-apa yang kita kerjakan dan membuat kita mahir sehari-hari sudah final.
Dengan cara seperti itu maka kita akan melakukan hal yang sama berulang-ulang sepanjang hari,
melewati jalan atau cara-cara yang sama sepanjang tahun.

Padahal segala sesuatu selalu berubah. Ilmu pengetahuan baru selalu bermunculan dan saling
menghancurkan. Teknologi baru berdatangan menuntut ketrampilan baru. Demikian juga peraturan dan
undang-undang. Pemimpin dan generasi baru juga mengubah kebiasaan dan cara pandang. Ketika satu
elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, pola, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut
berubah. Ilmu, keterampilan dan kebiasaan kita pun menjadi cepat usang.

Jalan-jalan yang nyaman kita lewati juga cepat berubah menjadi amat crowded dan macet,
sementara selalu saja ada jalan-jalan baru.

Orang-orang yang terperangkap dalam zona nyaman biasanya takut mencari jalan, tersasar atau
tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya mudah sekali: putar arah saja, bedakan a dead end dengan
detour.

Kalau bisa dikoreksi, mengapa konsep yang bagus dan sudah besar sunk cost-nya harus
diberangus dan dikutuk habis-habisan? Bukankah kita bisa mengoreksi bagian-bagian yang salah? Orang-
orang yang tak terbiasa keluar-masuk dari zona nyaman punya kecenderungan mengutuk jalan buntu
karena ia merasa tersesat di sana. Ilmuwan saja, kalau kurang up to date sering melakukan hal itu,
padahal orang biasa yang terlatih keluar dari zona nyaman bisa melihat jalan keluar.
Ada rangkaian sirkuit dalam otak kita yang membentuk jalur tetap, sehingga program diri
dikuasa autopilot. Akibatnya, tanpa berpikir pun kita akan sampai di tempat tujuan yang sama dengan
yang kemarin kita tempuh. Dan ketika kita keluar dari jalur itu, ada semacam inersia yang menarik kita
kembali pada jalur yang sudah kita kenal.

Kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tak pernah keluar dari "selimut rasa
nyamannya." Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a
danger zone). Zona berbahaya ini seringkali juga dinamakan sebagai zona kepanikan (panic zone). Tetapi
untuk menghindari kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu
zona belajar (learning zone atau challenge zone).

Karena itulah, belajar tak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal bisa menyesatkan
kalau beranggapan selesai begitu gelar dan ijazah didapat. Apalagi bila kemudian memunculkan sikap
arogansi "saya sudah tahu" atau "mahatahu" tentang sesuatu hal.

Saya sering membaca tulisan para ilmuwan yang memberikan tekanan pada ijazahnya (yang
memberi gelar) saat menggugat sebuah pendapat atau konsep. Tentang hal ini saya hanya bergumam,
mereka kurang terbuka, kurang mampu melihat perspektif, tak kurang mau belajar lagi. Learning itu
gabungan dari relearn dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman kesulitan untuk belajar
lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten dan keras kepala.

Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan, bahkan kadang
menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang
tidur.

Kadang kita menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang
menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran.

Jadi bagaimana gejala orang yang kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman? Saya kira Anda sudah
bisa melakukan introspeksi.

Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan
crowded dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangankan melewati jalan raya, karier kita pun akan
menjadi usang kalau tak berubah haluan memperbaharui diri. Perusahaan lebih senang mendapatkan
kaum muda yang masih bisa dibentuk ketimbang kita yang lebih tua tapi sudah tak mau belajar lagi,
keras kepala pula.

Kalau kita berani melewati jalan tak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau
sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi. Seorang climber, kata Paul Stoltz terus
mencari tantangan baru. Ia bukanlah a quiter atau a camper.

Siapa yang tak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih kenyamanan
dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman tak
ada kenyamanan, tak ada mukjizat selain mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya.
Bagaimana Melatihnya?
Saya ingin mengatakan pada Anda, jangan terburu-buru mengatakan bahwa manusia dewasa
tak bisa berubah. Pengalaman saya menemukan banyak orang dewasa yang bisa berubah. Yang tidak
bisa berubah itu adalah manusia yang sudah final.

Manusia yang sudah final itu biasanya pikirannya kaku seperti orang mati dan merasa paling
tahu. Tentang manusia yang arogan ini bukanlah tugas manusia untuk mengubahnya, biarkan saja Tuhan
yang memberikan solusinya. Hanya lewat ujian beratlah mukjizat itu baru terjadi pada mereka.

Di Rumah Perubahan, kami biasa mendampingi dan memberikan pelatihan untuk keluar dari
zona nyaman ini. Biasanya setelah dilatih mereka malah justru menjadi pembaharu yang progresif.
Bahkan mereka menjadi teman para CEO yang sedang memimpin transformasi untuk menghadapi para
pemimpin pemberontakan yang resisten terhadap perubahan, atau orang-orang arogan dan miskin
perspektif, termasuk para senior yang sudah final karena gelarnya sudah panjang.

Lain kali saya akan jelaskan apa yang


harus dilakukan orangtua dan guru
untuk melatih anak-anaknya keluar
dari zona nyaman.
--------

Prof. Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD
dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya
menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang
menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari
entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers
Menjadi Drivers

Anda mungkin juga menyukai