Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH PERPUSTAKAAN DI DUNIA

A. Sumeria dan Babylonia

Perpustakaan sudah dikenal sejak 300 tahun yang lalu. Penggalian dibekas kerajaan
Sumeria menunjukkan bahwa bangsa Sumeria sekitar 3000 tahun SM telah menyalin
rekening, jadwal kegiatan, pengetahuan yang mereka peroleh dalam bentuk lempeng tanah
liat (clay tablets). Tulisan yang digunakan masih berupa gambar (pictograph), kemudian
dikembangkan menjadi tanda fonetik. dengan berkembangnya tulisan, maka pujangga
Sumeria mampu menuangkan pikiran dan gagasan mereka ke dalam aksara Sumeria. Tulisan
tersebut dilakukan pada lempengan, prisma dan tanah liat. Jadinya caranya dengan menulis
pada lempengan tanah liat yang masih empuk karena diberi air yang kemudian di keringkan
dengan bantuan sinar matahari. Hasil tulisan ini disimpan di perpustakaan kuil, pemerintahan
dan pribadi. ini berarti sekitar tahun 2700 SM orang orang Sumeria telah mengenal
perpustakaan sebagai penyimpan kebudayaan mereka. Gagasan itu kemudian ditiru oleh
tenagga Sumeria ialah kerajaan Babylonia. Berkat kegigihan mereka, maka bahasa Babylonia
yang ditulis dalam tulisan Cuneiform menjadi bahasa diplomatic di kawasan Timur Tengah.
Kebudayaan Sumeria termasuk kepercayaan, praktik keagamaan dan tulisan Sumeria
kemudian diubah menjadi tulisan paku (cunciform) karena mirip paku.
Cuneiform yaitu sistem tulisan yang digunakan oleh berbagai peradaban di Timur
Tengah. Cuneiform berasal dari tulisan yang dikembangkan oleh orang orang Phoeinicia
yang menetap di pesisir Syiria Kuno. Semasa pemerintahan Raja Ashurbanipal dari Assyria
(sekitar tahun 668-626 SM) mendirikan perpustakaan kerajaan di ibukota Nineveh, berisi
puluhan ribu lempeng tanah liat yang dikumpulkan dari segala penjuru kerajaan (Sulistyo
Basuki: 1991). masing masing dari barang yang disimpan itu diberi tanda sebagai tanda
identifikasi dan disusun menurut subyek. dapat juga disusun dalam ruang ruang kecil.
keterangan ini masing masing ruang dipahat dipintu masuk. pahatan atau tulisan di depan
ruang kecil ini berfungsi sebagai katalog (daftar koleksi sebuah himpunan). Untuk mencatat
koleksi, digunakan sistem subjek serta tanda pengenal pada tempat penyimpanan. Banyak
dugaan bahwa perpustakaan ini terbuka bagi kawula kerajaan.
B. Mesir

Pada masa yang hampir bersamaan, peradaban Mesir Kuno pun mengalami
perkembangan misalnya perpustakaan Khufu, raja dari Dinasti keempat dan perpustakaan
Khafre, pembangunan pyramid yang kedua. koleksi perpustakaan mesir dihitung dalam
hitungan gulungan papyrus. Teks tertulis paling awal yang ada di perpustakaan Mesir berasal
dari sekitar tahun 4000 SM, namun gaya tulisanya berbeda dengan gaya tulisan Sumeria.
Orang Mesir menggunakan tulisan yang disebut hieroglyph. Tujuan hieroglyph ialah
memahatkan pesan terakhir di monumen untuk mengagungkan raja. Sementara tulisan yang
ada ditembok dan monumen dimaksudkan untuk memberikan kesan kepada dunia.
Perpustakaan di Mesir bertambah maju berkat penemuan penggunaan rumput papyrus sekita
tahun 1200 SM. Untuk membuat lembar papirus, isi batang papirus dipotong menjadi
lembaran tipis, kemudian dibentangkan satu demi satu dan tumpuk demi tumpuk. Kedua
lapisan kemudian dilekatkan dengan lem, ditekan, diratakan, dan dipukul sehingga
permukaannya rata. Dengan demikian, permukaan lembaran papirus dapat digunakan sebagai
bahan tulis. Sedangkan alat tulisnya berupa pena sapu dan tinta. Umumnya
tulisan hieroglyph  hanya dipahami oleh pendeta, karena itu papirus banyak ditemukan di
kuil-kuil berisi pengumuman resmi, tulisan keagamaan, filsafat, sejarah, dan ilmu
pengetahuan. Perkembangan perpustakaan Mesir terjadi semasa raja Khufu, Khafre, dan
Ramses II sekitar tahun 1250 SM. Perpustakaan raja Ramses II memiliki koleksi  sekitar
20.000 buku (Sulistyo Basuki:1991).

C. Yunani

Peradaban Yunani mengenal jenis tulisan yang disebut mycena  sekitar tahun 1500 SM.
Tapi kemudian, tulisan itu lenyap tergantikan oleh 22 aksara temuan orang Phoenicia, yang
dikembangkan menjadi 26 aksara seperti yang kita kenal dewasa ini. Yunani mulai mengenal
perpustakaan milik Peistratus (dari Athena) dan Polyerratus (dari Samos) sekitar abad ke-6
dan ke-7 dan Pericies sekitar abad ke-5 SM. Pada saat itu, merupakan pengisi waktu
senggang dan merupakan awal dimulainya perdagangan buku. Filsuf Aristoteles dianggap
sebagai orang yang pertama kali mengumpulkan, menyimpan, dan memanfaatkan budaya
masa lalu. Koleksi Aristoteles kelak dibawa ke Roma.
Perkembangan perpustakaan zaman Yunani Kuno mencapai puncaknya semasa abad
Hellenisme, yang ditandai dengan penyebaran ajaran dan kebudayaan Yunani. Ini terjadi
berkat penaklukan Alexander Agung beserta penggantinya. Pembentukan kota baru Yunani
dan pengembangan pemerintahan monarki. Perpustakaan utama terletak di kota Alexandria
Mesir, dan kota Pergamum di Asia Kecil. Di kota Alexandria berdiri sebuah museum, yang
salah satu bagianya ialah perpustakaan dengan tujuan mengumpulkan teks Yunani dan
manuskrip segala bahasa dari semua penjuru. Berkat usaha Demertrius dari Phalerum,
perpustakaan Alexandria berkembang pesat dengan koleksi pertamanya 200.000 gulung
papirus hingga nantinya mencapai 700.000 gulungan pada abad pertama SM.
Perpustakaan kedua disebut Serapeum. Disini koleksi yang dimiliki sejumlah 42.800
gulungan terpilih, kelak berkembang mencapai 100.000 gulung. Semua gulungan papirus ini
disunting, disusun menurut bentuknya, dan diberi catatan untuk disusun menjadi sebuah
bibliografi sastra Yunani. Semua pustakawan perpustakaan Alexandria ini merupakan
ilmuwan ulung, termasuk pujangga Callimachus yang menyusun 120 jilid bibliografi sastra
Yunani.
Seperti halnya Alexandria, kota Pergamum di Asia Kecil menjadi pusat belajar dan
kegiatan sastra. Pada abad ke-2 SM, Eumenes II mendirikan sebuah perpustakaan dan mulai
mengumpulkan semua manuskrip, bahkan bila perlu membuat salinan manuskrip lain. Untuk
penyalinan tersebut digunakan sejumlah besar papirus yang diimpor dari Mesir. Karena
khawatir persediaan papirus di Mesir habis dan rasa iri akan pesaingnya, raja Mesir
menghentikan ekspor papirus ke Pergagum. Akibatnya perpustakaan Pergagum harus
mencari bahan tulis lain selain papirus, maka dikembangkanlah bahan tulis baru yang
disebut parchment atau kulit binatang, terutama biri-biri atau anak lembu.
Sebenarnya, bahan tulis ini sudah lama dikenal Yunani, namun karena harganya lebih
mahal daripada papirus, maka banyak orang yang lebih memilih papirus. Parchment
dikembangkan dan akhirnya menggantikan bahan tulis papirus hingga ditemukannya mesin
cetak pada abad pertengahan. Koleksi perpustakaan Pergagum mencapai 100.000 gulungan
(Sulistyo Basuki: 1991). Dalam perkembangannya, koleksi perpustakaan Pergagum nantinya
diserahkan ke perpustakaan Alexandria sehingga perpustakaan Alexandria menjadi
perpustakaan terbesar pada zamannya.

D. Roma

Yunani memengaruhi kehidupan budaya dan intelektual Roma. Terbukti banyak orang
Roma mempelajari sastra, filsaat, dan ilmu pengetahuan Yunani, bahkan juga bertutur bahasa
Yunani. Perpustakaan pribadi mulai tumbuh karena perwira tinggi banyak yang membawa
rampasan perang termasuk buku. Julius Caesar bahkan memerintah agar perpustakaan dibuka
untuk umum dan beberapa menjadi koleksi pribadi yang selanjutnya koleksi pribadi ini
dikembangkan menjadi perpustkaan pribadi, misalnya Lucullus 109 SM namun pada
akhirnya perpustaakaan ini dibuka untuk umum. Perpustakaan kemudian tersebar ke seluruh
bagian kerajaan Roma. Julius Caesar mendirikan perpustakaan Yunani dan Latin.
Perpustakaan yang didirikan oleh Julius Caesar dikelolah oleh Marcus Terenitius Varo,
dilanjutkan oleh Asinius Pollio semasa pemerintahan kaisar Augustus. Kaisar ini mendirikan
Perpustakaan Palatina di Kuil Apollo berisi manuskrip Yunani dan Latin, dia juga mendirikan
perpustakaan kedua yang disebut Octavian disebuah kuil yang dipersembahkan khusus untuk
dewa Juno dan Jupiter.
Periode tahun 96 hingga 180 sering disebut zenith atau titik puncak peradaban purba.
berkat kemakmuran dan keamanan tumbuhlah dengan subur minat pada kesenian, sastra,
filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada abad kedua saja di kota Romawi terdapat lebih dari 25
Perpustakan umum. Kaisar Trajanus mendirikan perpustakaan Ulpian di kota Romawi.
Perpustakaan tersebut menduduki tempat penting yang kedua sesudah perpustakaan
Iskandaria dan Pergamum. Kaisar Hadrianus (memerintah tahun 117-138) mendirikan
perpustakaan di kuil Olympeium.
Pada masa ini, muncul bentuk buku baru, sebagai bentuk pengembangan dari gulungan
papirus yang sedikit menyulitkan untuk dibaca, ditulisi, dan dibuka secara cepat. Gulungan
papirus ini diganti dengan codex, yang merupakan kumpulan parchmen, diikat dan dijilid
menjadi satu seperti buku yang kita kenal dewasa ini. Codex mulai digunakan secara besar-
besaran sekitar abad ke-4 (Sulistyo Basuki: 1991).
Perpustakaan mulai mengalami kemunduran tatkala kerajaan Roma mulai mundur.
Hingga akhirnya yang tinggal hanyalah perpustakaan biara, yang lainnya lenyap akibat
serangan orang orang barbar.

E.  Byzantium

Kaisar Konstantin Agung menjadi raja Roma Barat dan Timur pada tahun 324. Ia
memilih ibukota di Byzamtium, kemudian diubah menjadi Konstantinopel. Ia mendirikan
perpustakaan kerajaan dan menekankan karya Latin, karena bahasa Latin merupakan bahasa
resmi hingga abad ke-6. Koleksi ini kemudian ditambah dengan koleksi Kristen dan non-
Kristen, baik dalam bahasa Yunani maupun Latn. Koleksinya tercatat hingga 120.000 buku.
Waktu itu gereja merupakan pranata kerajaan yang paling penting. Karena adanya ketentuan
bahwa seorang uskup harus memiliki sebuah perpustakaan, maka perpustakaan gereja
berkembang. Kerajaan Byzantium kaya, berpenduduk padat, secara kultural, intelektual, dan
politiknya cukup matang, yang diperkaya oleh ajarn Yunani dan Timur serta dipengaruhi
tradisi Roma dalam pemerintahan.  Kerajaan ini bertahan hingga abad ke-15. Pada
pertengahan abad ke-7 hingg abad ke-9, terjadi kontroversi mengenai ikonoklasme yaitu
penggambaran yesus dan oarng kudus lainnya pada benda. Akibat larangan ini, banyak biara
ditutup dan hartanya disita, dan kemudian biarawan Yunani mengungsi ke Italia. Selama
periode ini, hiasan manuskrip dengan menggunakan huruf hias, gulungan maupun miniatur
tidak digunakan dalam karya keagamaan maupun Bibel. Setelah kontroversi berakhir, minat
terhadap karya Yunani Kuno berkembang lagi. Selama 300 tahun karya Yunani disalin,
ditulis kembali, diberi komentar, dibuatkan ringkasan sastra Yunani bahkan juga
dikembangkan ensiklopedia dan leksikon mengenai Yunani (Sulistyo Basuki: 1991).

F.  Arab
Agama Islam muncul pada abad ke-7, dan mulai menyebar ke sekitar daerah Arab.
Dengan cepat pasukan Islam menguasai Syria, Babilonia, Mesopotamia, Persia, Mesir,
seluruh bagian utara Afrika, dan menyebrang ke Spanyol. Orang Arab berhasil dalam bidang
perpustakaan dan berjasa besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan matematika di
Eropa.
Pada abad ke-8 dan ke-9, ketika Konstantinopel mengalami kemandegan dalam hal karya
sekuler, Bagdad berkembang dan menjadi pusat kajian karya Yunani. Ilmuwan muslim mulai
memahami pikiran Aristoteles. Ilmuwan muslim mengkaji dan menerjemahkan karya filsafat,
pengetahuan, dan kedokteran Yunani ke dalam bahasa arab, kadang kadang dari versi bahasa
syriac ataupun aramaic. Puncak keemasanpun terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah Al-
Makmun, yang mendirikan “rumah kebijakan”, yaitu sebuah lembaga studi yang
menggabungkan unsur perpustakaan, akademi, dan biro terjemahan, pada tahun 810. Selama
Abad ke-8, ilmu  alam, matematika, dan kedokteran benar-benar dipelajari. Karya Plato,
Aristoteles, Hippocrates, dan Galen juga diterjemahkan ke dalam bahasa arab, ternasuk pula
penelitian asli dala bidang astrologi, alkemi, dan magis. Dalam penaklukan ke timur, orang
Arab berhasil mengetahui cara pembuatan kertas dari orang Cina, pada abad ke-8 di Bagdad
trlah berdiri pabrik kertas. Teknik pembuatan kertas selama hampir lima abad dikuasai orang
Arab. Karena harganya murah, dan mudah ditulis, maka produksi buku melonjak dan
perpustakaanpun berkembang. Begitupun perpustakaan mesjid dan lembaga pendidikan.
Perpustakaan kota Shiraz memiliki katalog, disusun menurut tempat dan dikelola oleh staff 
perpustakaan. Pada abad ke-11, perpustakaan Kairo memiliki sekitar 150.000 buku.
            Di Spanyol, orang Arab mendirikan perpustakaan Cordoba yang memiliki 400.000
buku. Di perpustakaan Cordoba, Toledo, dan Seville, karya klasik diterjemahkan ke dalam
bahasa arab dari bahasa syriac. Ketika Spanyol direbut tentara kristen, ribuan karya klasik ini
diketemukan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan disebarkan keseluruh Eropa
(Sulistyo Basuki: 1991)

Anda mungkin juga menyukai