Anda di halaman 1dari 4

Menanti Kematian

”Budiman! Ada kabar gembira! Lamaran kamu diterima! Bulan depan kamu bisa mulai kerja! Dengan
gaji pokok per bulan lima-belas juta! Berarti tidak lama lagi kamu bakalan terbebas dari utang-utang
kamu. Terbebas dari teror para penagih utang yang selama berbulan-bulan mengejar ke mana pun
kamu pergi.”

Memang aku diterima kerja di mana?”

”Perusahaan minyak, Bud! Di Dubai, Timur-Tengah!”

Budiman seketika terdiam. Temannya yang bekerja di agen tenaga kerja itu dibiarkannya terus
bicara di telepon dengan penuh semangat. Tentang gambaran masa depan yang sangat cerah.
Tentang jaminan kesejahteraan yang sudah jelas membayang di depan mata. Tentang sekian tahun
lagi pulang ke Indonesia sebagai orang kaya….

Tetapi, Budiman tak lagi menyimaknya. Perhatiannya lebih terarah ke sosok pria renta yang
berbaring lemah di hadapannya. Dengan selang oksigen menempel di hidung. Dengan cairan infus
mengalir lewat jarum yang menancap di pergelangan tangan. Dengan mata mengatup rapat. Dan
kulit wajah yang pucat.

”Budiman? Halo? Tolong secepatnya saja kamu bikin paspor. Aku bisa bantu bikin surat pengantar
buat mengurus visa…. Halo?”

”Ya, ya. Aku pikir-pikir dulu.”

”Pikir-pikir??? Setelah bertahun-tahun kerja serabutan dengan pendapatan enggak nyampe sejuta
sebulan kamu masih pikir-pikir juga untuk menerima pekerjaan yang jelas-jelas cocok buat kamu
sebagai sarjana perminyakan?”

”Memang kapan aku harus berangkat?”

”Paling lambat sebulan dari hari ini.”

Sebulan…. Berarti ia masih punya waktu tiga puluh hari untuk bisa menemani bapaknya. Setelah
itu? Tak terbayang bagaimana bapaknya yang berumur delapan puluh delapan tahun ini tergolek
sendirian di rumah sakit tanpa seorang pun sanak-saudara menemaninya.

Ya. Tak seorang pun. Karena hanya dia sendiri yang bisa merawat bapaknya selama tiga tahun
terakhir ini. Ketiga saudara kandungnya bertempat tinggal jauh dari Jakarta. Kakak sulung bekerja di
perkebunan kelapa sawit di Malaysia, yang hanya bisa sekali setahun pulang ke Indonesia. Kakak
nomor dua bekerja di kapal pesiar yang menjalani rute Amerika-Eropa, tak pernah berkesempatan
pulang kampung sampai kelak masa kontraknya habis. Dan adik perempuannya kawin dengan
orang Filipina setelah dua tahun bekerja di sebuah restoran di Manila dan kemudian tinggal di sana.
Sedangkan saudara-saudara sepupu yang tinggal di Jakarta hanya kadang saja berkunjung pada
waktu lebaran.
Dulu, waktu masih bekerja di perusahaan ekspedisi di Tanjung Priok, dan istrinya masih tinggal
serumah dengannya, ia bisa menggaji seorang perawat delapan ratus ribu per bulan untuk merawat
bapaknya.

Tetapi, serangkaian musibah telah mengacaukan segalanya.

Tak lama setelah ia meminjam uang perusahaan seratus juta lebih untuk membayar uang muka
pembelian rumah, perusahaan itu bangkrut. Mantan bosnya memaksakan pengembalian semua
piutang paling lama enam bulan. Tak ayal, dalam kondisi menganggur Budiman pontang-panting
membayar sekaligus utang ke mantan bosnya dan cicilan kredit pemilikan rumah. Istrinya tak tahan
diteror para preman penagih utang, lalu memilih pulang kampung bersama anak- anak dan
melupakan begitu saja mertuanya yang tak berdaya. Sekian bulan kemudian ia terpaksa
menyerahkan rumahnya ke bank lalu pindah ke sebuah kontrakan kecil. Sejak itu ia tinggal berdua
dengan bapaknya, bertahan hidup dari penghasilan kerja serabutan ditambah kiriman uang dari
kedua kakaknya yang datangnya tak menentu dan nilainya tak seberapa.

Budiman bisa mempertahankan kondisi ini sampai setahun, dua tahun, tiga tahun…. Sampai
sebulan dua puluh tujuh hari yang lalu.

Menjelang tengah malam Budiman pulang kerja, menjumpai bapaknya terkapar di lantai kamar
mandi dengan sebagian kaki tersandar di dudukan kloset. Banyak yang menduga ayah Budiman
terpeleset saat hendak berdiri seusai buang air besar. Dokter menyatakan ayah Budiman
mengalami stroke.

Bapak mau pulang….”

”Tapi, Bapak belum sembuh.”

”Penuhi saja keinginan bapakmu, Bud.”

Lagi-lagi Budiman terperanjat. Sarkawi seperti tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya, lalu berbisik,
”Ini yang namanya tanda-tanda, Bud. Kakekku dulu juga begitu. Masuk rumah sakit, lama dirawat
tapi enggak sembuh-sembuh, terus minta pulang, enggak lama kemudian meninggal dunia di rumah
sendiri.”

”Jangan sembarangan ngomong!”

”Sssst…. Memang kamu enggak merasa semua ini seperti sudah diatur sama yang di atas? Kalau
bapakmu pulang ke rumah terus meninggal, memang begitu kan yang kamu harapkan? Supaya
kamu bisa lega berangkat ke luar negeri?”

Budiman hendak berteriak marah, tetapi keburu terdengar bapaknya berbisik lagi. ”Pulang, Bud….
Pulang….”
Segera setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak sadarkan diri. Budiman panik dan hendak
segera membawanya kembali ke rumah-sakit, tetapi Sarkawi sigap mencegahnya.

”Memang apa yang kamu harapkan dengan membawa bapakmu kembali ke rumah sakit? Supaya
sadar lagi? Supaya sembuh? Terus kamu bingung lagi gimana harus berangkat ke luar negeri?”

Kali ini Budiman benar-benar marah dan mendorong tubuh Sarkawi. ”Kamu ini memang sama-sekali
enggak punya perasaan!!!”

”Kamu yang enggak punya perasaan! Jelas-jelas bapakmu bilang mau pulang, kamu tetap ngotot
juga mau mengembalikan ke rumah-sakit.”

”Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Bapak!”

”Yang kamu maksud ’kita’ itu siapa? Kamu? Dokter-dokter di rumah-sakit? Kalau orang rumah-sakit
sih seneng-seneng saja bapakmu terus dirawat. Makin lama dirawat makin banyak duit masuk.
Kalau makin parah, mereka tinggal bilang: masuk ICU! Makin banyak lagi duit masuk. Tapi, setelah
itu apa sudah pasti bapakmu bakalan sembuh? Enggak, kan? Umpama bapakmu sembuh, apa
bukan gantian kamu yang sekarat karena stres harus cari duit buat bayar rumah sakit? Umpama
bapakmu meninggal apa rumah-sakit terus mau ngasih diskon? Enggak juga, kan? Paling-paling
kita dikasih omongan pelipur-lara: kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi ternyata yang
di atas berkehendak lain…”

”Diaaaam!!!”

Nyatanya Budiman mengikuti saran Sarkawi: membiarkan bapaknya tinggal di rumah. Sehari… dua
hari… empat hari… seminggu…. Belum ada yang berubah atas diri bapak Budiman. Dadanya masih
bergerak naik-turun meski sangat tipis. Dari hidungnya masih terembus tiupan napas meski sangat
lemah….

”Jangan lupa, Bud. Lima hari lagi kamu berangkat ke Dubai!”

Rombongan anggota pengajian berdatangan ke rumah Budiman. Siang malam mereka berdoa,
memohon agar ayah Budiman diringankan penderitaannya dan segera dipilihkan jalan terbaik
untuknya. ”Kalau Engkau masih ingin memberinya kesembuhan, segera berilah kesembuhan, ya
Allah. Kalau Engkau ingin memanggilnya, panggilah dia dalam keadaan bersih jasmani dan rohani.”

Tetapi, ayah Budiman tetap saja bergeming. Sampai hari keenam belas… hari ketujuh belas… hari
kedelapan belas….

”Tiket pesawat sudah di-booking, Bud. Besok lusa kamu tinggal berangkat ke bandara!”

Sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung melesat kencang dan kemudian berhenti di depan
rumah Budiman. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas menjelang tengah malam.
”Budiman! Kok enggak diangkat? Sudah tidur? Besok pagi kita ketemu di bandara, ya. Jangan
sampai telat

Ketua RT berikut belasan warga tergopoh-gopoh menyambut para petugas medis dan
mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Seorang dokter segera mengambil stetoskop dan
melakukan pemeriksaan jantung dan lainnya.

”Sudah meninggal,” ucap dokter pelan.

Para hadirin serentak bergumam, ”Innalillahi…..”

Ketua RT menghampiri ayah Budiman, mendekatkan mulutnya ke telinga pria tua ini, tetapi begitu
sulit untuk memulai bicara. ”Budiman, Pak….”

Ayah Budiman perlahan membuka matanya.

”Mana Budiman…? Kenapa dia?”

Anda mungkin juga menyukai