Anda di halaman 1dari 305

Fa Ashlihu Presiden

Junit sedang melamun-lamunkan Iqra`, tiba-tiba Brakodin bercerita bahwa Mbah Dzan akhir
bulan kemarin dihubungi oleh salah seorang koordinator Menteri untuk bertemu bertiga
dengan Presiden.
“Waduh”, kata Junit spontan.
“Kok waduh…. Kenapa?”, Brakodin bertanya.
“Ya jangan sampai lah, Pakde”, jawab Junit.
“Kenapa? Siapa tahu diajak fa ashlihu” [1] (Al-Hujurat: 9).
“Saya tidak tega nanti fitnahnya luar biasa banyak. Indonesia sedang gaduh dengan
permusuhan. Sedang riuh rendah oleh kebencian. Dan Pemerintah merupakan salah satu di
antara yang membenci dan bermusuhan. Kalau Mbah Dzan ketemu Presiden, nanti
memunculkan kesimpulan umum bahwa Mbah Dzan mendukung salah satu pihak. Tidak
terutama akan di-bully habis di media sosial sampai di warung-warung. Tapi itu menyakiti hati
pihak lain yang berseberangan dengan Pemerintah. Juga jangan lupa, Pakde, saya bisa
bertengkar dengan Jitul, Toling, atau Seger. Perpecahan akan tambah kepingan-kepingannya…”
“Diajak ketemu di Gedung Agung, atau mungkin di tempat lain di mana Presiden berkunjung”,
Brakodin menambahkan.
“Lebih celaka lagi”, sahut Junit.
“Lha di mana supaya aman?”
“Di tempat netral pun belum tentu manfaat. Bahkan seandainya Presiden berkunjung ke
Patangpuluhan pun harus seribu kali dipertimbangkan untuk diterima atau tidak. Pakde
Brakodin jangan guyon ah…. Gimana sebenarnya ini?”
“Mbah Dzan-mu sudah dijadwal oleh Tuhan hari itu dia harus berkunjung ke markas Mujahidin
Fisabilillah”, jawab Brakodin.
Iqra` Fisabilillah
“Mujahidin Fisabilillah, Pakde?”, Junit agak waswas.
“Ya. Para pejuang kehidupan di jalan Allah”
“Semua jalan itu ya jalan Allah, Pakde”
“Kan ada jalan setan. Jalan Iblis. Iqra` harus lengkap”

1
“Jalannya tetap milik Allah, cuma arah dan tujuannya, kalau tidak menuju Allah, disebut jalan
Setan atau Iblis”
“Para Mujahidin itu sangat sadar dan tekun berjalan menuju Allah. Mereka menyeberang laut,
bekerja di Negeri yang sangat jauh, karena di Negerinya sendiri bukan hanya susah mencari
pekerjaan, tapi andai sudah bekerja pun banyak gangguan, ancaman, dan penggerogotan.
“Beriman, berhijrah, dan berjihad, ya Pakde” [1] (Al-Baqarah: 218).
“Mereka berjuang demi penghidupan keluarga. Kerja keras. Sangat keras. Tapi juga sangat
tekun dan susah payah mempertahankan ibadahnya kepada Allah. Bahkan menabung biaya
untuk mendirikan Masjid di Negara yang tidak mengenal Masjid”
“Siapa mereka itu, Pakde?”
“Anak-anak muda seumur kalian. Mereka belajar tidak terutama kepada teks, kepada kata,
kalimat atau buku-buku. Kelas mereka adalah bekerja, menjadi buruh di pabrik-pabrik, kantor-
kantor, dan tempat-tempat lain. Mereka pekerja kelas satu di Negeri itu. Mereka sangat disukai
oleh Majikan-majikan mereka, karena terampil, prigel dan mrantasi: mampu dan ikhlas
menyelesaikan pekerjaan yang meskipun bukan tugas mereka. Mereka sangat disayang dan
dibela meskipun fisabilillah….”
“Meskipun fisabilillah maksudnya bagaimana, Pakde?”
“Tidak punya visa atau izin tinggal, karena suatu sebab, sehingga disebut fisabilillah”.
Ancaman Untuk Sesat
Jitul, Seger, dan Toling nimbrung. Tak bisa dielakkan. “Jadi maksudnya fisabilillah itu tinggal di
Negara orang tanpa visa izin tinggal. Penduduk gelap atau tidak legal di Negeri orang? Apakah
itu tidak berarti mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang batil, Pakde?”
Jitul tertawa. “Akhir-akhir ini Junit agak rajin buka-buka Al-Qur`an, Pakde”, katanya, “dia
khawatir disalahkan Tuhan kalau mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan….”.
Brakodin tersenyum. “Wah, hati-hati kalau baca Al-Qur`an, Nit. Baca hurufnya pakai mata, tapi
baca kata-katanya kan pakai otak, untuk memahami maknanya harus pakai akal. Nanti jadi
terjebak untuk menafsirkan. Padahal kamu kan bukan Ahli Tafsir”
“Siapa di antara kita yang Ahli Tafsir, Pakde?”, tanya Junit.
“Tidak ada”, jawab Brakodin.
“Mbah Dzan?”

2
“Dia Ahli Taksir….”
“Jadi gimana kalau begitu?”
“Ya ndak gimana-gimana. Firman Tuhan ‘Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak
dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu
mengetahui’ [1] (Al-Baqarah: 42) itu kalau kita yang mencoba memahaminya pakai akal
kemungkinan artinya bisa sangat luas, dinamis, dan relatif….”
“Serta mudah terpeleset ke jurang kesesatan”, Toling nimbrung.
“Waduh. Baca Qur`an itu malah terancam untuk tersesat ya…”, sahut Jitul. Padahal Iqra` saja
pun baru meraba-raba.
“Kalau begitu di setiap kampung atau jamaah harus ada Ahli Tafsir. Jumlah Ahli Tafsir harus
berjuta-juta dan merata keberadaannya”.
Wewenang Ahli Tafsir
“Kalau tidak salah Mbah Dzan punya saudara yang anggota Majelis Umana’ yang tugasnya
menjaga Bahasa Arab di dunia”, tiba-tiba terdengar suara Paklik Sundusin.
“Majelis Umana’?”, Seger bertanya.
“Itu semacam Dewan Bahasa Arab Dunia”, jawab Sundusin, “anggotanya Sembilan orang. Enam
dari Negara-Negara Timur Tengah yang bahasa nasionalnya Bahasa Arab. Satu dari Afrika, satu
dari Eropa, dan satu lagi dari Asia, ya kakaknya Mbah kalian Mbah Dzan itu”
“Hebat ya…”, Toling menyahut, “berarti beliau sangat menguasai Bahasa Arab. Mestinya Mbah
Dzan ya kecipratan….”
“Nanti dulu”, jawab Ndusin, “Menguasai Bahasa Arab tidak berarti memenuhi syarat untuk
menjadi Ahli Tafsir Al-Qur`an. Ada banyak syarat untuk menafsirkan Qur`an. Tidak hanya
menguasai Bahasa Arab”
“Tapi Mbah Dzan kan juga sering mengemukakan ayat-ayat Qur`an”
“Itu tidak berarti Mbah Dzan adalah Mufassirul-Qur`an. ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’. [1] (An-Nisa: 58). Iqra` jangan
sembrono”.
“Begini”, Tarmihim memotong, “sebaiknya kita jangan terjebak untuk mendiskusikan tafsir
Qur`an dan Ahli Tafsir. Kita semua tidak memenuhi syarat untuk itu. Yang berhak menafsirkan

3
Al-Qur`an adalah Mufassir. Dan yang berwenang menilai Ahli Tafsir adalah para Ahli Tafsir itu
sendiri. Dan kita sama sekali bukan beliau-beliau”.
“Tapi yang jelas anak-anak muda para pekerja yang Mujahidin itu”, kata Brakodin, “memilih
fisabilillah bukan tidak ada alasannya. Semua pilihan ada sebab akibatnya. Mereka tidak punya
niat mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan”.
Bainal Hisab wal Hisap
“Begitu mereka bekerja di Negeri orang itu, Paspor mereka dipegang oleh Lembaga Tenaga
Kerja yang mengurusi proses sehingga mereka bekerja di situ. Gaji mereka sepenuhnya diambil
oleh Lembaga itu sampai jangka waktu yang menurut para Mujahidin ini terlalu rakus,
mengandung pemerasan dan penghisapan”, Brakodin bercerita.
“Setiap pekerjaan kan memang dilaksanakan dengan transaksi, setiap transaksi ada aturan
hisab atau hitungannya”, kata Junit.
“Tetapi hisab jangan sampai menjadi hisap….”, celetuk Jitul, “huruf ‘b’ dengan ‘p’
beda Iqra`nya”
“Kaum muda Mujahidin itu mendapat rizki yang sangat lumayan di Negeri orang, bisa lima
sampai sepuluh kali lipat dibanding pendapatan jika mereka mengerjakan hal yang sama di
Negara mereka sendiri”
“Itulah sebabnya mereka disebut Pahlawan Devisa”, sahut Sundusin.
“Itulah sebabnya juga mereka diperas, dihisap, diporoti, dilintahi, baik di Penampungan,
maupun setiap mereka pulang ke tanah air. Baik oleh sejumlah petugas di Bandara, terkadang
juga di kampungnya sendiri”
“Maaf ya Pakde”, Junit memotong, “Kalau hal itu membuat saya jadi ingat firman Tuhan ‘dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil…” [1] (Al-Baqarah: 188), apakah saya menyalahi aturan dan prinsip Tafsir?”
Tarmihim tertawa. “Pakdemu Brakodin itu baca Turutan saja ndak bisa-bisa sampai setua itu.
Jangan ditanya soal Tafsir”
“Yang jelas anak-anak muda Mujahidin itu memilih tinggal di Negeri orang dalam posisi
fisabilillah, karena kalau mereka pulang, sangat sulit prosesnya untuk kembali lagi bekerja di
sana. Apalagi meski pekerja gelap, mereka dibutuhkan dan dilindungi oleh perusahaan-
perusahaannya”.

4
Dilindungi Majikan Kafir
“Kok bisa mereka dibutuhkan dan dilindungi oleh Perusahaannya?”
“Ada beberapa sebab yang sangat mendasar”, jawab Brakodin, “Pertama, mereka sangat cepat
belajar mengerjakan sesuatu yang diperlukan, meskipun mereka tidak punya latar belakang
pendidikan yang sesuai dengan tugas pekerjaannya. Secara alamiah dan otodidak mereka
adalah putra dari bangsa yang memang terampil dan punya pengalaman peradaban yang
panjang dan tua”.
Semua mendengarkan dengan seksama. Jitul nyeletuk, “Para buruh Muslim dilindungi oleh
Majikan-majikan Kafir ya Pakde….”
“Jangan usil dulu”, kata Brakodin, “Kedua, karena etos kerja mereka berbeda dengan para
pekerja dari Negara-negara lain. Mereka tidak hanya sangat rajin bekerja, tapi juga dalam
keadaan darurat, mereka mau dan ikhlas mengerjakan pekerjaan lain yang sebenarnya bukan
bagiannya, tanpa meDzantut imbalan. Perusahaan mana yang tidak riang gembira oleh karakter
seperti itu?”
“Ketiga, sebagai manusia, mereka jauh lebih ramah, banyak tersenyum, pandai bergurau,
dibanding para pekerja dari Negara-negara lain. Mereka adalah pekerja favorit di Negeri itu.
Sesudah mereka baru anak-anak Vietnam, Filipina, India, Bangladesh, Dagestan, Azerbaijan, dan
lain-lain. Kalau 50 ribu Mujahidin itu pergi dari Negeri itu, akan terjadi guncangan serius pada
perekonomian mereka”.
“Mereka seolah-olah diajari langsung oleh Tuhan”, Tarmihim menyambung, “seolah-olah
mereka mengalami langsung ‘allamal insana ma lam ya’lam….”. [1] (Al-’Alaq  5).
Jitul memotong, “Lho kok Pakde Tarmihim ikut-ikut menafsirkan. Seperti sudah
khatam Iqra` saja. Nanti sesat lho Pakde….”.
Andaikan Jadi Teroris
Brakodin melanjutkan ceritanya.
“Tidak semua dari 50 ribuan pekerja kita di Negeri itu memiliki watak dan tujuan hidup seperti
sebagian yang Mbah Dzan berjumpa dengan mereka. Junit pasti berkesimpulan seolah-olah ada
di antara mereka yang tidak tergolong dari informasi Tuhan: ”Bagi manusia ada malaikat-
malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah”. [1] (Ar-Ro’d: 11).

5
“Saya belum pernah tahu ayat itu, Pakde”, Junit mengelak.
“Tapi semua mereka Mujahidin tho Pakde?”, Seger bertanya, “kan mereka semua kerja keras,
berkorban meninggalkan kampung halaman, menyeberang sekian lautan, demi menghidupi
keluarga mereka di tanah air. Saya tidak tega menyebut mereka bukan Mujahidin”
“Jangan memancing-mancing Iqra` Pakde Brakodin untuk menafsir-nafsirkan arti Mujahidin….”,
potong Toling.
Brakodin tersenyum dan meneruskan. “Banyak di antara mereka yang hatinya dipenuhi
dendam kepada Indonesia. Tentu bukan kepada Indonesia sebagai tanah air dan Negara.
Mereka marah, geram, dan tampak benci kepada yang mengelola Negara. Karena kacaunya
pengelolaan itulah mereka terlempar jauh ke Negeri orang demi mencari sesuap nasi”
“Kok Mbah Dzan bisa berkesimpulan begitu?”
“Katanya suasana batin itu sangat terpancar di sorot mata dan penampilan wajah mereka.
Kalau ada orang dari Indonesia datang dengan pakaian agak bagus atau necis, apalagi bergaya
seperti pejabat, mereka langsung buang muka dan sama sekali tidak mau berkenalan. Kata
Mbah Dzan, andaikan mereka menjadi teroris, tidaklah mengagetkan”.
Lebih Teraniaya
“Berarti Mbah Dzan merdeka dari dendam itu”, kata Seger, “kan Mbah Dzan bukan pejabat dan
pakaiannya ampun-ampun: sangat orang bawahan, wong cilik, meskipun tidak sampai kumal
atau kumuh”
Brakodin membantah. “Mbah Dzan juga dipelototi oleh mereka dengan pandangan penuh
kebencian. Mereka sama-sama sedang makan di sebuah Warung Indonesia. Biasanya kapan
orang Indonesia bertemu, selalu saling menyapa satu sama lain. Tapi kepada Mbah Dzan
mereka buang muka, bahkan menghindar ke sudut yang jauh. Sesekali mereka melirik ke Mbah
Dzan dengan sorot mata api….”
“Terus Mbah Dzan gimana?”, Toling penasaran.
“Mbah Dzan tidak bereaksi apa-apa meskipun agak heran. Sesudah mungkin
melakukan Iqra` dan berpikir beberapa lama, Mbah Dzan berdiri dan berjalan menemui
mereka. Menyalami mereka satu persatu. Reaksi mereka sangat dingin dan terpaksa. Mbah
Dzan duduk di dekat mereka. Kemudian mencari peluang untuk omong kepada mereka”
“Omong gimana, Pakde?”

6
“Untung Mbah Dzan ingat pernyataan Allah: ”Allah tidak menyukai ucapan buruk, yang
diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [1] (An-Nisa: 148), “Maaf saya sengaja datang untuk
berkenalan dengan kalian”, begitu kata Mbah Dzan, diceritakan oleh Brakodin, “Saya ini sudah
tua dan penakut. Saya cemas dan sedih jangan-jangan kalian membenci saya. Kalian marah dan
memusuhi saya. Mungkin kalian merasa teraniaya di tanah air, dan menyangka bahwa saya
adalah bagian dari yang menganiaya kalian. Bagaimana kalau saya laporkan kepada kalian
bahwa saya juga teraniaya? Bahkan lebih teraniaya dibanding kalian?”.
Meranjau Diri Sendiri
“Negara kalian semakin rusak oleh kelakuan pengurusnya sendiri”, Mbah Dzan melaporkan
kepada anak-anak muda yang hatinya merasa terbuang itu, sebagaimana dikisahkan Brakodin,
meng-Iqra` situasi Negerinya, “Mereka terjebak di dalam jebakan yang mereka ciptakan sendiri.
Mereka terjerumus ke dalam ranjau yang mereka gali sendiri. Kaki mereka terserimpet oleh tali-
tali yang mereka rajut sendiri. Mereka kebingungan oleh pukat ambisi mereka sendiri”.
“Pemimpin tertingginya sedang suntuk bekerja, berstrategi, dan mengatur-atur bagaimana
melindungi seorang bawahannya. Yang posisinya sangat penting dibanding ribuan bawahannya
yang lain. Yang juga merupakan kunci keselamatannya sendiri, serta kunci sukses atau gagalnya
pelaksanaan berbagai perjanjian antara pimpinan tertinggi itu dengan sekumpulan orang kaya
yang membiayai dan merekayasanya untuk menjadi pimpinan tertinggi”
“Dilindungi bagaimana? Dilindungi agar menang dalam dua perkara. Pertama, peradilan yang
bisa menyeretnya masuk penjara. Kedua, pemilihan kepala daerah yang wajib dimenangkan
oleh anak buahnya itu, apapun caranya, kalau perlu dengan mengubah neraka menjadi surga
dan sebaliknya.”
“Saya butuh waktu tujuh hari tujuh malam untuk menguraikan semua itu”, kata Mbah Dzan,
diceritakan Brakodin, “tapi cobalah salah seorang dari kalian membuka Al-Qur`an. Carilah
firman Tuhan: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan
Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu sebenarnya tidak
menelan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada
hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih”. [1] (Al-
Baqarah 174).

7
Sembilan Lelaki Perusak
“Kalau tipu daya nasional yang sedang diselenggarakan dan dipacu dengan menghalalkan segala
cara ini gagal”, kata Mbah Dzan, dikisahkan Brakodin, “maka sejumlah raksasa akan jatuh
bergelimpangan. Pertama Partai Raksasa yang mengangkut pemimpin tertinggi dan anak
buahnya itu akan kehilangan legitimasi dan akan seperti aki mobil mendadak lenyap
stroomnya….”
Anak-anak muda yang dendam kepada keadaan Negaranya yang membuat mereka terbuang
sangat jauh ke seberang laut, semakin lama semakin terserap oleh penjelasan-penjelasan Mbah
Dzan.
“Raksasa-raksasa Pengembang yang sudah terlanjur menanamkan ratusan trilyun rupiah akan
tersungkur di tengah jalan. Dan itu memperlambat proyek penguasaan para Raksasa itu atas
Indonesia di bidang kekuasaan politik, militer, kebudayaan, bahkan ideologi dan Agama. Sebab
selama berpuluh-puluh tahun mereka hanya diizinkan bergerak di bidang perniagaan saja”
“Maka si anak buah itu harus menang di pengadilan hukum maupun di pemilihan
kepenguasaan politik di wilayahnya, yang merupakan pusat Negeri dan tempat penggumpalan
mayoritas uang, serta tempat bertumpuknya semua perangkat kekuasaan ekonomi dan politik”
“Kalau sempat dan pas menganggur di tempat indekos kalian, coba ada yang baca ayat Tuhan:
‘Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan
mereka tidak berbuat kebaikan’. [1] (An-Naml 48). Kemudian saya yakin kalian juga percaya
kepada Maha Penguasa Yang Sesungguhnya atas kehidupan ini, yang berjanji: ‘Dan mereka
merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang
mereka tidak menyadari’.” [2] (An-Naml 50).
Membersihkan Tanpa Ikut Mengotori
Mbah Dzan, demikian Brakodin menceritakan, sebenarnya sudah sangat kelelahan untuk
menjelaskan kerusakan-kerusakan Negerinya sendiri yang sangat menyedihkan hatinya dan
amat menguras tenaga batinnya. Satu Iqra` saja sudah tak ada habisnya. Tapi rupanya masih
sempat sekilas dua kilas menyampaikan sejumlah inti permasalahannya.
“Kalian tidak harus mencari dan membaca informasi Tuhan ini: ‘Maka bagaimanakah halnya
apabila mereka orang-orang munafik itu ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: ‘Demi Allah,

8
kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang
sempurna’.’ [1] (An-Nisa: 62). Kalian sangat berhak meremehkan saya, karena saya orang tua
renta ini memang bukan faktor apa-apa di Negeri kalian. Tapi kalau beberapa waktu yang dekat
di depan kita ini nanti kalian mendengar apa yang Tuhan bilang ‘kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah’ – kalian tidak perlu heran, karena sekarang saya sudah
menyampaikan kepada kalian”
“Sejak puluhan tahun silam pekerjaan saya adalah memperbaiki truk yang rusak, meskipun saya
tidak ikut merusaknya. Membersihkan rumah yang kotor penuh tinja, padahal saya tidak ikut
buang air besar. Memperbaiki bangunan rumah yang tiangnya patah, atapnya bocor,
temboknya retak, atau hama tikusnya merajalela. Mendamaikan penghuni rumah itu yang tak
habis-habisnya bertengkar. Baik bertengkar di antara mereka sendiri maupun berantem dengan
tetangga-tetangganya. Alhasil pekerjaan saya adalah mendirikan kembali bangunan yang roboh,
tanpa saya pernah merobohkannya. Menata hati dan pikiran maling yang akan dipenjara,
padahal ketika akan mencuri tidak bilang saya…”.
Gagah dan Ikhlas Berhijrah
“Mbah Dzan kemudian mengobrol panjang dengan anak-anak muda yang gagah perkasa itu,
dan sesudahnya mereka berteman sangat akrab. Bahkan mereka hadir di beberapa tempat di
mana Mbah Dzan mengobrol dengan cucu-cucunya Mujahidin. Dua kalangan ini menjadi
tersambung dan bersahabat, padahal bertahun-tahun sebelumnya mereka dipisahkan jauh oleh
kondisi batin di antara mereka”
Kata Brakodin, ketika menceritakan itu Mbah Dzan menyebut dua ayat yang menyangkut anak-
anak muda tiang-tiang masa depan Negara itu. Yang pertama, “Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak
ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [1] (Ar-
Ro’d: 11). Kedua, ”Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya,
pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya
pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” [2] (An-Nahl: 41).
Gaya Iqra`nya Mbah Dzan seperti Ustadz.

9
Mbah Dzan, kata Brakodin, sangat bangga kepada Kaum Muda Mujahidin itu seluruhnya. Sebab
mereka sudah membuktikan secara nyata dan penuh keberanian untuk mengubah nasib
mereka. Mbah Dzan mendoakan semoga Allah tidak menghendaki keburukan apapun atas
hidup mereka yang penuh pengorbanan itu.
Bahkan dalam banyak segi, Mbah Dzan menemukan dan membuktikan dengan mata, telinga,
hati, dan akalnya sendiri bahwa berkat keikhlasan hijrah mereka, sejauh ini Allah benar-benar
memberikan “tempat yang bagus” kepada mereka.
Sombong, Kejam, dan Menyakiti
Tetapi menurut Brakodin, di samping kebanggaan bertemu dengan anak-anak muda Mujahidin,
para pekerja keras dan para penekun ibadah kepada Allah di Negeri yang secara tradisi tidak
mengenal Allah – Mbah Dzan juga bercerita tentang kesedihan yang membuatnya berduka.
“Di antara para Mujahidin yang sangat mengharukan dan membesarkan dada itu”, demikian
kata Mbah Dzan, dikisahkan oleh Brakodin, “ada sekelompok anak-anak muda yang sangat
merepotkan kehidupan di dunia dan menyusahkan orang Islam”
Junit, Jitul, Tuling, dan Seger penasaran apa maksudnya ini.
“Mereka ini menyebut Negara di mana mereka bekerja sebagai Negara Kafir, tetapi mereka
makan nasi dan menerima gaji dari Bos-bos Kafir Perusahaan-perusahaan Kafir. Mereka
mengabdi kepada majikan-majikan sambil mengafirkan mereka di belakang punggung”
“Sementara mereka selalu bersikap sangat sombong, bermulut kejam, dan tiap hari menyakiti
hati sesama Muslim. Sejak dulu Kiai dan Ulama pengabdi Tuhan dan penyayang manusia
berjuang menambah jumlah orang yang mengislamkan dirinya. Sementara jenis Kiai yang ini
setiap hari ribut mengafirkan saudara-saudaranya sendiri sesama Muslim, serta sibuk
mengurangi jumlah Kaum Muslimin, hanya karena berbeda pandangan dengan mereka.
Mungkin metode Iqra` tingkat tertinggi dari para Masyayikhul-Ulama yang mereka pakai”.
Junit menyahut: “Mereka seperti tidak mendapat rahmat dari Allah. ’Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka’ [1] (Ali Imron: 159). Yang ini bilang
asal orang bersyahadatain ia menjadi Islam, yang di sana sudah menjalankan Rukun Islam masih
dikafir-kafirkan”.
Tak Mungkin Nabi Cekikikan

10
Uraian Brakodin dan respon lainnya mendadak terhenti karena suara tertawa Tarmihim.
Terpingkal-pingkal tapi ditahan. Kedua tangannya menutupi mulutnya. Tapi desakan tawanya
sedemikian kuat sehingga semua tahu.
“Ada apa, Him?”, Brakodin bertanya. Agak kaget campur sedikit terganggu, bahkan ada unsur
tersinggung.
“Maaf, maaf….”, Tarmihim menjawab sambil mencoba menghentikan tawanya, “saya ini sedang
sangat bergembira, tapi campur geli, karena lucu, benar-benar lucu”
“Kok geli? Lucu? Apa yang bikin geli? Apa yang lucu?”
“Ya semua ini”, Tarmihim agak reda tertawanya, “tetapi yang utama tetap gembira dan
bersyukur”
Jitul nyeletuk nakal: “Saya sedang banyak mempelajari perilaku Kanjeng Nabi Muhammad, dan
yang saya banyak temukan adalah beliau sangat murah senyum, tapi hemat tertawa. Tidak ada
kabar bahwa pernah tertawa keras, terbahak-bahak, atau terpingkal-pingkal, terkekeh-kekeh,
apalagi cekikikan seperti Pakde Tarmihim”
“Benar sekali, Tul”, Seger menimpali, “akhir-akhir ini saya sering mendengar ceramah yang
melarang kita melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, contohnya yang tertawa
cekikikan seperti Pakde Tarmihim itu. Tidak mungkinlah seorang Nabi tertawa cekikikan, dan
kita kan wajib ittiba’ Rasul”
Junit mengutip firman: “Itulah karunia Allah, menggembirakan hamba-hamba-Nya yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. [1] (As-Syuro: 23). Junit memang sedang rajin Iqra`.
Tetapi mendadak Tarmihim tertawanya meledak.
Tergetar dan Tertawa
“Kok malah menjadi-jadi tertawamu, Him?”, Brakodin agak tegang mendengar Tarmihim malah
tertawa sesudah Junit membaca ayat.
“Saya tertawa karena gembira”, jawab Tarmihim, “saya bukan menertawakan. Saya kagum dan
bersyukur”
“Tapi kalau ada orang lain yang mendengar, kamu dianggap menertawakan ayat Tuhan. Hati-
hati Iqra`mu”
“Lho kan ayat itu tentang Allah memberi karunia dengan menggembirakan hamba-hambaNya
yang beramal saleh. Sejak awal pembicaraan kita yang berasal dari cerita tentang Mbah Dzan

11
kan penuh ayat-ayat Qur`an. Kan tidak biasanya begitu. Ini kan kurang lazim dalam lingkaran
kita. Tetapi ini semua menggembirakan. Ini anugerah Tuhan kepada kita yang awam Islam dan
setengahnya buta huruf Qur`an. Bagaimana saya mampu tidak bersyukur dan bergembira
mendengar ayat-ayat Allah mengalir dari bibir anak-anak kita. Dan bagaimana cara yang paling
mudah dan spontan untuk bergembira selain tertawa…”
“Tapi tadi kamu bilang geli”, Brakodin mengejar.
“Kalau gembira kita tertawa. Kalau lebih bergembira kita malah menangis. Dan kalau tangis
kegembiraan sudah lewat, bisa malah merasa geli. Apalagi kalau dilihat sejarah kita ini kan
bukan seperti sejarah para ‘Alimuddin dan Shalihul’amal’. Kita bukan lingkaran orang yang
mengerti Agama dan berperilaku penuh amal saleh. Jadi wajar kalau aliran ayat-ayat dalam
perbincangan kali ini membuat saya tergetar. Tapi rasa tergetar itu tidak membuat saya
menangis. Sudah sangat lama saya tidak menangis….”
Junit mengutip ayat lagi: “Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka” [1] (Al-Hajj: 35).
Dan tertawa Tarmihim meletus lagi.
Tertawa Itu Makhluk
Setelah bisa menguasai perasaannya dan menghentikan tertawanya, Tarmihim menerangkan:
“Tertawa itu sebuah gagasan. Ia bagian dari fenomena ekspresi manusia. Di seluruh dunia
manusia melakukan tertawa, dan tertawa mereka sama. Tidak ada jenis tertawa yang
berdasarkan kebangsaan atau kesukuan. Mungkin ada semacam ciri-ciri kecil atau tonjolan-
tonjolan suara tertentu yang berbeda-beda dalam suara tertawa, tetapi secara mendasar dan
menyeluruh tertawa semua manusia di dunia ini sama”
“Jadi, tertawa itu makhluk ciptaan Tuhan”, Tarmihim memberi kesimpulan, seolah-olah itu hasil
ber-Iqra`, “Tertawa itu bagian dari ide Allah dalam menciptakan kelengkapan manusia. Tertawa
bukan hasil karya manusia, bukan kreativitas budaya manusia. Junit yang akhir-akhir ini getol
membaca Al Qur`an, tentu bisa menemukan ayat yang berkaitan dengan apa yang saya
kemukakan ini….”
“Ada, Pakde”, jawab Junit, “Tapi Pakde tuntaskan dulu penjelasan Pakde”
“Sudah. Sudah tuntas penjelasan Pakde”
“Belum, Pakde”, Junit membantah.

12
“Kalau begitu kamu yang meDzantaskan penjelasan Pakde, karena bagi Pakde rasanya sudah
tuntas”
“Kalau hati manusia tergetar kan biasanya terus terenyuh atau terharu, dan ungkapannya
biasanya lantas mengucapkan Kalimah Thayibah, atau menangis, atau sekurang-kurangnya
meneteskan airmata. Itulah tanda bahwa kita ini manusia, bukan batu, pohon atau hewan. “dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan”. [1] (Al-Isra`: 70).
Tak disangka-sangka Tarmihim tertawa lagi.
Tertawa Itu Sungguh-sungguh
“Maaf, maaf…”, Tarmihim hampir terbatuk-batuk menghentikan tertawanya dengan setengah
paksa, “Mudah-mudahan saya tertawa ini semata-mata karena jenis adonan perasaan atau
formula kejiwaan saya berbeda dengan kalian semua”. Ia meng-Iqra` dirinya.
Tertawanya nongol lagi. “Maaf saya sedang merasa geli kepada diri saya sendiri. Kalau tidak
salah ada ayat Allah, saya lupa surat dan ayat berapa, tapi intinya ”dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain”. [1] (An-Nisa: 32). Bagaimana mungkin saya tidak mentertawakan diri saya sendiri?
Atas dasar sejarah keilmuan dan pengalaman yang mana saya kok menyebut ayat Al-Qur`an….”
Setelah agak lama diam, Brakodin terdengar suaranya: “Tapi maaf saya tidak ikut tertawa. Jenis
perasaan dan nasab kejiwaan saya berbeda”
“Asal tidak melarang yang lain tertawa”
“Saya tidak pernah melarang. Hanya kaget dan belum paham”
“Saya tertawa ini sungguh-sungguh”, Tarmihim membela diri, “Tertawa itu suci, ia keluar apa
adanya dari perasaan melalui mulut. Tertawa itu bukan bermain-main. Tidak semua tertawa itu
bergurau. Tertawa itu murni sebagai akibat dari suatu sebab. Hubungan antara sebab dengan
akibat yang berbentuk tertawa itu serius dan nyata. Bukan permainan. Bukan cengengesan.
Bukan senda gurau”
“Saya juga tidak menuduh kamu main-main dan senda gurau”
“Meskipun Tuhan berfirman bahwa “tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan
senda gurau”, tetapi hidup saya sangat sungguh-sungguh. [2] (Al-An’am: 32). Entah siapa yang
main-main dan senda gurau. Tapi saya tidak. Saya hanya tertawa karena bersyukur”.

13
Jangan Dekat-dekat Islam
Rupanya Junit memang sedang tekun ber-Iqra`membaca Al-Qur`an. Entah apa jadinya nanti. Ia
memang cukup terpelajar, tetapi tidak punya pengalaman santri. Tidak pernah secara khusus
mengalami pembelajaran segala sesuatu yang membuatnya pantas membaca Qur`an.
“Pakde Tarmihim”, katanya, “terus terang saya memang sedang mengalami semacam rasa
bercinta dengan Al-Qur`an. Tidak tahu apakah hal seperti itu wajar dilakukan, berhubung saya
tidak memiliki perangkat pengetahuan dan ilmu yang cukup. Ada kesan umum bahwa Al-Qur`an
itu seperti milik para Ulama, Kiai atau Ustadz. Siapa tahu memang Allah mewahyukan firman-
firman itu untuk beliau-beliau, dan bukan untuk saya. Tetapi saya tidak bisa menahan diri untuk
menikmati Qur`an, padahal katanya sangat berbahaya kalau tidak punya bekal untuk itu. Ketika
Pakde menyebut ayat tentang hidup di dunia hanya main-main dan senda gurau, saya jadi
ketakutan jangan-jangan kita termasuk orang yang menjadikan Agama sebagai permainan dan
senda gurau. Hati saya jadi kecil dan minder membaca ‘orang-orang yang menjadikan agama
mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka’ [1] (Al-
A’raf: 51). Jangan-jangan saya, juga Pakde Tarmihim, sedang berada di wilayah ancaman Tuhan
itu.…”
Kali ini Tarmihim ternyata tidak tertawa. Wajahnya sangat serius, bahkan malah seperti menuju
situasi menangis.
“Junit”, katanya, “sudah puluhan tahun saya mengalami kengerian seperti yang kamu alami.
Pakdemu ini selalu merasa diri Pakde ini kotor, bodoh, dan tidak punya kelayakan untuk
berdekatan dengan Al-Qur`an. Terkadang muncul pikiran ‘Ah, saya jangan dekat-dekat Islam.
Islam itu sangat suci, sedangkan saya sangat kotor.…”.
Cerminan Wajah Kotor
Giliran Brakodin yang sekarang tertawa. “Pakdemu Tarmihim ini melankolik, agak cengeng dan
lebay. Ternyata sampai setua ini tidak kunjung sembuh”, katanya. Tarmihim jadi
korban Iqra`nya Brakodin.
“Belum mengerti maksudnya, Pakde”, Seger bertanya.
“Dia bilang tidak mau dekat-dekat pada Islam dan Al-Qur`an. Alasannya bagus, seolah-olah ia
tidak mau mengotori Islam, dan diam-diam ia merasa menjadi orang yang baik karena tidak

14
mau mengotori Islam. Padahal sebenarnya itu strategi Pakdemu untuk menutupi dan
memaafkan keawamannya yang abadi tentang Islam dan Al-Qur`an”
“Belum lengkap pemahaman saya, Pakde”, Jitul mengejar.
“Lho gimana sih. Islam itu suci, dan kesuciannya kekal abadi. Islam tidak bisa dikotori oleh
manusia. Yang kotor adalah manusianya itu sendiri. Pakdemu tidak bisa mengotori Islam,
karena yang ia kotori adalah dirinya sendiri. Islam dengan Al-Qur`an adalah alat pembersih
manusia, penyelamat manusia di hadapan Maha Penciptanya. Lha Pakdemu itu malas
membersihkan diri, terus alasannya tidak mau mengotori Islam”
Tarmihim kembali tertawa. “Sebenarnya yang dikatakan oleh Pakdemu Brakodin itu adalah
dirinya sendiri. Sejak dulu, setiap kali mau berangkat Jumatan, dia selalu gelisah. Karena kawatir
akan dimarah-marahi oleh Khotibnya. Khotib shalat Jumat pasti orang bersih, sehingga mungkin
karena itu dia sering marah-marah karena dirasakannya banyak jamaah Jumat yang kotor
hidupnya. Terutama Pakdemu Brakodin. Lantas ia cari-cari alasan dengan mengutip ayat
‘Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu”. [1] (Ali ‘Imron: 159). Padahal dia sendiri yang menjauh, takut melihat wajahnya
yang kotor di cerminan kata-kata Khotib yang suci….”.
Latihan Lemah Lembut
Brakodin tertawa. “Aslinya ada keinginan besar diam-diam di dalam hati saya untuk sesekali
menjadi Khatib shalat Jumat.…”
“Waduh”, Tarmihim tertawa sangat keras.
“Tentu itu andaikan saya punya ilmu, kefasihan, dan ilmu untuk berkhotbah”, Brakodin
melanjutkan, “bukan karena saya ingin menasehati orang, dengan anggapan bahwa saya punya
kedudukan keIslaman yang selayaknya punya hak menasehati. Apalagi menganggap para
jamaah adalah orang yang saya anggap belum begitu Islam, sementara saya sudah sangat Islam
sehingga layak berkhotbah”
“Lantas untuk apa berkhotbah, Pakde?”, Toling bertanya.
“Untuk semacam latihan. Serta saya ingin menguji diri saya berapa persen mampu melakukan
anjuran Allah”
“Anjuran apa, Pakde?”

15
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya. [1] (Ali ‘Imron: 159).
Brakodin mengulangi Iqra` ayat yang disebut Tarmihim tadi secara lengkap. Dan Tarmihim
menyambutnya dengan tertawa lagi.
“Pakdemu ini melafalkan beda antara dho’ dengan dlot dan dzal saja selalu kebingungan atau
terbalik-balik”, katanya, “lidahnya terlipat-lipat kalau mengucapkan tho`, tsa`, sin shod, syin….
baru mulai kalimat-kalimat awal khotbah, pasti Jamaah berdiri minta Khatibnya diganti”.
Ditimpa dan Musibah
Ndusin yang sejak tadi seperti tertidur di pojok ruang, tiba-tiba bersuara. “Ini omong apa saja.
Tema berpindah-pindah, berganti-ganti, kesana kemari tak ada remnya. Ayat lagi, Iqra` lagi.…”
Padahal ternyata kemudian Ndusin ber-Iqra` juga.
“Pantas kita tidak pernah mencapai apa-apa dalam kehidupan kita”, Ndusin meneruskan, “kalau
membicarakan sesuatu tidak pernah tuntas. Satu soal belum selesai, pindah ke lainnya. Selalu
setengah matang. Tidak pernah memuncak, karena tidak jelas pijakannya. Tidak pernah ke
ujung, karena tidak jelas pangkalnya. Mbok kalau sudah ‘inna lillahi’ dituntaskan sampai ‘ilaihi
roji’un’….”
Tarmihim tertawa cekakakan. “Ini gara-gara Junit sejak tadi mengutip-ngutip ayat Qur`an, terus
kita semua terpengaruh dan terseret. Sekarang Pakde kalian Ndusin tidak mau kalah. Tapi dia
tahunya yang Arab-Arab cuma inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. [1] (Al-Baqarah: 156).
Sundusin tak mau diremehkan. “Lho inna lillahi wa inna ilaihi roji’un kan merupakan pedoman
utama kehidupan manusia. Route dan skema perjalanan hidup kan lillahi kemudian ilaihi.
Prinsip itu ringkas padat dan jelas. Kalau satu kalimat pendek itu saja dipegang teguh dalam
kesadaran, maka kaki pasti melangkah di jalan lurus dari Tuhan menuju Tuhan”
“Pakdemu Sundusin ini hidupnya penuh musibah. Maka ia sangat peka terhadap ayat itu.
“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi
roji’un”.

16
“Anak-anak coba buka jendela lebih lebar”, Sundusin merespon, “musibah adalah sesuatu yang
menimpa. Tidak harus sesuatu yang mencelakakan. Begitu kita lahir, kita ditimpa oleh
kelahiran. Sepanjang hidup ini, setiap detik, kita ditimpa dan terus ditimpa….”.
Mati Menganiaya Diri
“Saya serius tentang pembicaraan kita yang tidak pernah tuntas. Dialog kita ini kabur kanginan.
Diterbangkan oleh naluri dan selera ke angkasa yang tak menentu”, Ndusin mengulangi
protesnya, “Pakde kalian Brakodin belum selesai bicara soal Presiden, pindah ke tenaga kerja di
luar negeri. Padahal dua bulan terakhir ini, sampai hari ini, Mbah kalian Mbah Dzan terus
menerus dikejar untuk ditemui ini itu”
Semua seperti sepakat untuk membiarkan Sundusin mengomel. Biarkan ia Iqra` semaunya.
“Negara sedang rusak oleh kelakuan pengurusnya sendiri. Mereka terjebak di dalam jebakan
yang mereka ciptakan sendiri. Mereka terjerumus ke dalam ranjau yang mereka gali sendiri.
Kaki mereka terserimpet oleh tali-tali yang mereka rajut sendiri. Mereka kebingungan oleh
pukat ambisi mereka sendiri….Salah-salah kita semua ini akan menjadi orang yang oleh para
Malaikat dibiarkan mati dalam keadaan menganiaya diri.…”. [1] (An-Nisa: 97).
Tapi Brakodin ternyata memotongnya. “Sin, sabarlah. Kita semua kebingungan. Bahkan Cak
Dzan juga semakin kebingungan, ditabrak oleh buangan masalah-masalah. Tetapi jangan kita
rayakan kebingungan ini di depan anak-anak kita yang pasti lebih kebingungan lagi….”
“Lha Sampeyan lompat-lompat”, Ndusin membantah, “belum selesai cerita tentang Menteri-
Menteri, Presiden dan para penggede merapat, yang sebenarnya masih panjang ceritanya
sampai hari ini. Lantas pindah ke TKI. Belum selesai TKI, belum dijaringkan dengan pahlawan-
pahlawan kita yang bekerja di sejumlah Negara lain, yang sangat berbeda-beda karakter dan
pengalamannya. Apalagi dengan pelajar dan mahasiswa kita di sana-sini, dan itu sebuah
pemandangan keIndonesiaan yang tidak kalah mengasyikkan. Lantas pembicaraan melebar ke
pamer ayat-ayat.…”.

Firman di Ujung Lidah


“Lho bukan pamer ayat”, jawab Brakodin, “biarkan anak-anak membiasakan diri menemukan
peran Tuhan di dalam detil-detil kehidupan. Saya angon irama mereka. Kita ini orang tua. Tidak

17
akan memaksa anak-anak muda untuk menjadi bebek-bebek yang harus memaklumi dan
mematuhi penyakit-penyakit jiwa kita.…”
Brakodin melihat mungkin Ndusin sendiri lupa dan tak sengaja banyak muatan pikirannya yang
bersumber dari firman-firman. Dia lupa bahwa yang barusan ia khawatirkan, yakni “dibiarkan
oleh Malaikat mati menganiaya diri” adalah fenomena yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri.
Apa Ndusin pikir itu ide eksploratif pikirannya sendiri.
Akhirnya Sundusin tersenyum. “Gini lho Cak Din”, katanya, “saya sudah terlanjur menikmati
cerita Sampeyan tentang Cak Dzan mulai dijawil-jawil seperti jaman mau Reformasi dulu.
Jawilan dari sisi-sisi jala sampai akhirnya mulai pusat jala. Bagaimanapun saya senang dong
kalau Cak Dzan bisa ikut menyelesaikan masalah bangsa ini”
Brakodin tertawa. “Tidak bisa”, katanya tegas, “Cak Dzan tidak akan pernah bisa menyelesaikan
masalah bangsa. Orang-orang munafik itu memanggil orang-orang mukmin seraya berkata:
“Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu? Mereka menjawab: Benar, tetapi kamu
mencelakakan dirimu sendiri dan meDzanggu kehancuran, dan kamu ragu-ragu serta ditipu
oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap
Allah oleh syaitan yang amat penipu…..”. [1] (Al-Hadid: 14).
“Itu firman tho, Cak Din? Ayat Allah to?”
“Lho mana ada kebaikan yang muncul dari ujung lidah manusia kecuali bersumber dari Allah?”.
Himpunan Kebaikan dan Cinta
Brakodin menyatakan bahwa Mbah Dzan bukan kaliber manusia yang bisa mengatasi masalah-
masalah yang begitu besar. Dia tidak punya modal apa-apa untuk tugas mustahil itu. Kalau
boleh terus terang, masalah pribadi dan dalam rumahnya sendiri saja Cak Dzan seperti retak-
retak kepalanya. Jangankan Cak Dzan sendiri, 100 atau 1000 Mbah Dzan berhimpun jadi satu
pun tak akan punya kemampuan untuk menyelesaikan masalah bangsa dan Negara.
“Saya bukan sedang berpendapat bahwa Cak Dzan mampu menyelesaikan masalah, Cak Din”,
kata Ndusin, “Cak Dzan sendiri sejak dahulu kala sudah menjelaskan proporsinya. Yakni bahwa
manusia bekerja dan berjuang tidak untuk mencapai sesuatu, melainkan agar menjadi bagian
dan himpunan kebaikan dan energi cinta, yang membuat Tuhan bermurah hati membuat
sesuatu tercapai pada kehidupan orang yang berjuang dan berbuat baik”

18
“Ya”, Brakodin menanggapi, “tetapi para penggede yang merapat ke Cak Dzan sebenarnya
hanya mengincar dan mengupayakan agar Cak Dzan menjadi bagian dari kebenaran subjektif
mereka. Agar Cak Dzan mendukung apa yang mereka lakukan. Mereka hanya mencari stempel
untuk melegitimasi kebenaran mereka sendiri. Mereka butuh backup batiniyah dan kerakyatan
dari anggukan kepala Cak Dzan. Itu bukan penyelesaian masalah. Justru itu adalah penguatan
atas kepentingan sepihak dari kelompok yang berkuasa.…”
“Cak Dzan pasti sembunyi”, Sundusin tertawa.
Brakodin menjawab: “Dan orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku
khawatir kamu akan ditimpa bencana seperti peristiwa kehancuran golongan yang
bersekutu”. [1] (Al-Mu`min: 30).
Perang Malam Hari
Tiba-tiba Sundusin menoleh kepada Junit, Toling, Jitul, dan Seger.
“Anak-anak, tolong katakan kepada Pakde kalian Tarmihim bahwa riuh rendah pertengkaran di
Negeri ini dirumuskan oleh Allah secara sangat gamblang: “Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga
yang murah, mereka itu sebenarnya tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah
tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi
mereka siksa yang amat pedih”. [1] (Al-Baqarah: 174)
“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah
disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil
bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan
perdamaian yang sempurna”. [2] (An-Nisa: 62).
Ya kan. Ndusin ternyata malah lebih getol Iqra` nya.
Brakodin tidak mau kalah. “Anak-anak, tolong sampaikan kepada Paklik kalian Sundusin bahwa
Mbah dzan dihubungi oleh seorang Kiai, yang mengemukakan bahwa dalam shalat
istikharahnya Rasulullah berkenan untuk menerima keinginannya untuk berjumpa. Kiai itu
meminta fatwa tentang Negeri dan Bangsanya, dan Rasulullah katanya menjawab: ‘Harbul-
lailah’. Perang malam hari. Kiai menjawab ‘Siap, Kanjeng Nabi’, dan bertanya “menang atau
kalah?’, Rasulullah tegas menjawab ‘menang’…. “

19
Semuanya, Junit, Jitul, Toling, Seger, bahkan Sundusin sendiri terperangah. Mereka
berpandangan muka satu sama lain. “Perang? Perang malam hari?”. Mereka termangu-mangu
beberapa lama.
Allah Yang Melempar
Dengan kecerdasannya masing-masing, simulasi pikiran dan imajinasi kreatif, anak-anak muda
itu mencari “perang malam hari”.
“Perang dalam keadaan gelap”, kata Toling, “tidak kelihatan ada peluru akan datang, apalagi
senapan dan penembaknya”
“Tidak bisa diukur jauh atau dekat kecuali dengan kepekaan telinga dan rasa”, sambung Jitul,
“skala medan perang hanya bisa diperkirakan berdasarkan informasi sebelum gelap”
“Kalau diserang belum tentu bisa diidentifikasi penyerangnya”, Junit meneruskan, “kalau
menyerang juga tidak boleh ketahuan asal usulnya”
“Pertempuran tanpa jejak”, suara Seger, “tidak ada sesumbar, tidak ada teriakan, tidak ada
takbir atau pekikan, tidak ada tanda-tanda lewat suara atau media informasi lainnya apapun”
“Kegelapan tidak hanya karena medan dan cuaca”, kata Jitul, “tapi juga karena jenis atau
formula atau teknik serangannya. Bisa peluru timah, pisau besi, atau lontaran lain yang
menembus batas sistem jasad”
“Perang malam hari diperlukan oleh pasukan yang jumlah maupun mesiu dan perangkat-
perangkat perangnya kalah dari lawan”, Toling juga meneruskan, “maka pelajaran utama
adalah menahan diri, membungkam mulut dari sesumbar dan meneriakkan amarah-amarah….”
Ndusin menyela. “Mudah-mudahan yang terjadi adalah — maka sebenarnya bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian
untuk membinasakan merek) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin,
dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. [1] (Al-Anfal: 17).

Pertengkaran Cèkèrèmès

20
“Kenapa harus perang malam hari? Bukankah jumlah kita mayoritas di Negeri ini?”, Toling
bertanya. Kemudian secara spontan anak-anak muda itu mengungkapkan pandangan-
pandangannya.
“Satu orang yang pegang senapan, yang di sakunya ada sejumlah granat, dan di saku lainnya
tersimpan kunci gudang-gudang makanan, bisa mengendalikan seratus orang di hadapannya”
“Mayoritas tidak terutama ditentukan oleh jumlah orangnya, melainkan oleh penguasaan
terhadap perangkat-perangkat kekuasaan dan logistik serta fasilitas-fasilitas lainnya”
“Ada mayoritas kuantitatif, ada mayoritas kualitatif. Kita diperdaya dan dibikin percaya kepada
yang pertama. Kita merasa besar dan bisa menang karena jumlah kita banyak. Padahal kunci
kekuatan dan kekuasaan tidak di genggaman tangan kita”
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar“. [1] (Al-Baqarah: 249). Rupanya
Junit tidak bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkan firman itu.
“Itu sudah lama terjadi”, Seger merespon, “di mana kita jumlahnya sangat banyak dikalahkan
oleh segelintir orang. Karena kita terlena secara kolektif. Merasa berkuasa di kampung sendiri.
Kita sibuk bertengkar di antara kita dengan tema-tema cèkèrèmès yang sangat tidak primer dan
tidak urgen. Sebagai hamba Allah kita tidak menghimpun hasil ijtihad untuk mengekspresikan
rahmatan lil ‘alamin dalam politik, perekonomian, dan kebudayaan. Untuk ummat kita sendiri
sajapun Agama yang dahsyat ini belum bisa kita wujudkan sebagai rahmat dan berkah. Kita
dikasih Nur, tapi berperilaku Dhulumat….”.
Gelap Gulita Mbah Dzan
Pakde Sundusin menyela dengan menjelaskan kenapa Mbah Dzan selama ini banyak
menghilang. Karena sejak puluhan tahun silam dia selalu mengalami kerepotan oleh anggapan
banyak orang bahwa “ Mbah Dzan adalah teman semua orang”, “ Mbah Dzan adalah milik
semua golongan”. Padahal dia tahu peta keadaan sosial masyarakat dan Negara tidak datar dan
sederhana seperti itu.
Mbah Dzan tidak berani menerjang pagar Tuhan: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa

21
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. [1] (Al-
Mumtahanah: 9).
Dan tahun-tahun terakhir ini komplikasi keadaan itu semakin memuncak: “Dan sesungguhnya
benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di Negerimu untuk mengusirmu daripadanya,
dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar
saja. [2] (Al-Isra`: 76).
Mbah Dzan tidak terlalu mengkhawatirkan keterancaman massal yang dirasakan oleh
penduduk Negerinya. Tetapi ia sangat sukar meletakkan dirinya. Maka sejak dahulu ia punya
kecenderungan untuk menggelapkan siapa dirinya. Ia tenggelamkan semua perannya di lubuk
kegelapan. Siapa ia, apa identitasnya, seberapa ragam dan luas dan mendalam peran-perannya,
ia pelihara di keremangan.
Bahkan kehidupan pribadi dan keluarga Mbah Dzan sangat gelap gulita. Kebahagiaan dan
kesengsaraan hidupnya pun tersembunyi di balik dinding kegelapan. Mbah Dzan selalu hanya
sosok yang remang-remang.
Kilabunnar
Pakde Brakodin menambahkan bahwa terakhir kemarin Mbah Dzan mengeluh
tentang Kilabunnar.
Kilabunnar adalah manusia yang rajin beribadah dengan tujuan agar lebih banyak memperoleh
keuntungan dunia. Manusia yang tekun shalat, hobi Umroh, naik Haji berkali-kali, juga sangat
memperhatikan kemudian melakukan shalat-shalat sunnah, yang menurut kabar
memperbanyak rejeki dunia, atau melipatgandakan keuntungan materiil.
Kilabunnar adalah manusia yang tidak keberatan bekerjasama dengan Setan, Iblis, Jin, para
pengingkar (Kafir) Allah, asalkan mendapatkan jaminan kemakmuran dunia. Bahkan rela
menjadi bawahan atau anak buah para pemimpin yang mengkufuri atau memusyriki Allah,
asalkan dengan itu ia memperoleh kekayaan dan kenikmatan dunia.
Kilabunnar adalah manusia yang menganggap dunia adalah segala-galanya. Yang berpendapat
bahwa keberhasilan hidup di dunia dan untuk dunia adalah tujuan satu-satunya. Yang meyakini
bahwa kemajuan, sukses, kejayaan, keberuntungan, dan kebesaran adalah duduk di singgasana
kekayaan, kemasyhuran, dan kekuasaan dunia.

22
Kilabunnar, anjing-anjing neraka, adalah orang yang bodoh dunia dan dungu akhirat. ”Dan
kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar
mereka berfikir”. [1]
Struktur Kehinaan
“Jadi di neraka ada anjing to?”, Jitul bertanya sambil tertawa.
“Itu pertanyaan materialistik”, kata Junit, “saya kira Mbah dzan sekedar menggambar semacam
peta dan struktur kehinaan di neraka. Tidak ada manfaatnya kita mencari kebenaran obyektif
tentang isi neraka dan bagaimana mekanismenya. Semua penjelasan Allah di firman-firmanNya
tentang neraka juga hanya kunci penggambaran atau pintu imajinasi. Andaikan ada banyak
penggambaran yang lain tentang neraka dan surga, tidak perlu dijadikan madzhab”
“Mbah Dzan kalian juga menyebut Waqudunnar dan Asadunnar”, Brakodin memotong, “kayu
bakar dan macan neraka. Jangan pula naif bertanya apa ada macan di neraka. Mbah Dzan
hanya coba menggambar dengan batas literasi ilmu manusia, betapa dahsyatnya kerjasama
antara ketiganya itu menciptakan fitnah-fitnah besar di dunia, membangun kehancuran dengan
kejahatan dan kebodohan.…”
Diam-diam Junit mencorat-coret: [1] (Ali ‘Imron: 10), [3] (Al-Jinn: 15), [3] (Al-Baqarah: 24), 
dan [4] (At-Tahrim: 6).
“Kalau Asadunnar, penjelasannya gimana Pakde?”, Seger bertanya.
“Mbah Dzan membayangkan ada penghuni neraka yang gagah seperti macan dan derajatnya
mungkin tinggi dibanding penghuni lainnya”, jawab Brakodin, “yakni manusia yang kufur
kepada Allah dengan terang-terangan, tidak menutup-nutupinya, tidak bersikap munafik, pura-
pura Muslim padahal tujuannya adalah kepentingan dunia, sebagaimana yang tergambar dari
kategori Kilabunnar. Fitnah-fitnah kekuasaan dunia disebar oleh Asadunnar, dimakan dengan
lahap oleh kebodohan Waqudunnar, dan dijilat-jilat secara sangat menjijikkan oleh tidak sedikit
Kaum Muslimin sendiri yang sebenarnya adalah Kilabunnar”.
Ilmu “Kayaknya“

23
Secara khusus mereka merencanakan rembug mendalam dan tuntas tentang “perang malam
hari”. Tetapi hari itu Tarmihim mencairkannya dengan mengingatkan anak-anak itu bahwa di
antara orang-orang tua itu, justru Sundusin yang sedikit punya latar belakang pembelajaran
Islam dan Al-Qur`an. Memang bukan santri beneran, tapi sekurang-kurangnya di kampungnya
dulu ia bagian dari komunitas Langgar alias Surau, atau yang sekarang disebut Musholla. Jam
terbang Iqra`nya lumayan.
Di Negeri ini, tempat Ibadah yang besar disebut Masjid, yang kecil disebut Musholla. Padahal,
pertama, fungsinya sama. Kedua, kalau diisengi lewat arti harfiahnya: Masjid itu tempat
bersujud, sedangkan Musholla itu tempat shalat. Kalau berpikir denotatif, lebih lengkap shalat
dibanding hanya sujud. Artinya, Musholla lebih sempurna dibanding Masjid.
Untunglah sejak awal tempat ibadah itu disebut Masjid. Dan lagi masyarakat Negeri ini dalam
banyak hal memang lebih nyaman hidup dalam konotasi daripada denotasi. Dalam kebudayaan
informasi dan media, pembuat berita maupun pembacanya terbiasa menggunakan kata
“sepertinya”, “kayaknya”, “terkesan”: konotatif semua.
Kalau memasuki ranah pemahaman yang lebih serius: banyak Ummat Islam yang secara tak
sengaja atau setengah sadar menyamakan antara tafsir atas ayat Qur`an dengan ayat itu
sendiri. Banyak tokoh atau aktivis yang sangat yakin dengan kalimat “Ini kita harus kembali ke
Al-Qur`an”. Padahal yang ia maksud Al-Qur`an di situ adalah penafsirannya. Mereka tidak bisa
menemukan jarak nilai antara ayat Al-Qur`an dengan lapisan pemahaman atas ayat itu di
memori otak mereka.
Beribu-ribu orang memaknai “Alif Lam Mim” [1] (Al-Baqarah: 1), dan menyangka Alif-Lam-Mim
adalah pemahamannya itu.
Menyamar sebagai Rasulullah
Sebenarnya anak-anak muda itu, terutama Seger, selalu mencari peluang agar pembicaraan
mereka tidak menghindari “perang malam hari”. Pakde Brakodin, Sundusin maupun Tarmihim
kelihatannya agak menghindar. Sementara Junit lebih tertarik pada pertanyaan lain: “Apa yang
harus kita miliki untuk memahami dan meyakini bahwa Kiai itu benar-benar bertemu dengan
Rasulullah?”
Tarmihim cenderung menanggapi sisi yang ini, dan tertawa: “Itu pertanyaan yang sama dengan
kejadian Sultan Yogya: bagaimana rakyat Yogya meyakini bahwa beliau bikin Sabda Raja adalah

24
berdasarkan wahyu dari Tuhan? Terserah apakah wahyu itu disebut wangsit, ndaru,
pulung, atau apapun”.
“Kalau kita tidak percaya Sultan memperoleh wahyu dari Tuhan, sedangkan lebah-lebahpun
diwahyui”, Sundusin menambahkan, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia’” [1] (An-Nahl: 68), “tetapi kalau percaya, susah juga mencari landasannya, meskipun
sejarah Raja-Raja di masa silam memang selalu mengandung indikator wahyu”
“Tidak ada makhluk apapun yang bisa menyamar menjadi Rasulullah”, kata Ndusin, “jadi kalau
seseorang ditemui oleh beliau, berarti itu ya memang beliau”
“Bagaimana Kiai itu tahu bahwa yang ia berjumpa adalah Rasulullah?”, Junit penasaran.
“Kan semua orang sudah pernah membaca atau mendengar ciri-ciri beliau secara jasad, gerak-
gerik beliau, yang terasa dari pancaran wajah beliau, termasuk tutur kata beliau”.
Bagian Paling Kasar
“Apakah Mbah Dzan pernah berjumpa dengan Kanjeng Nabi, entah sesudah shalat, ketika
bertapa, menyepi. ‘uzlah, atau saat-saat lain?”, Toling ikut penasaran.
“Pakdemu Sundusin yang kami sepakati untuk menjawab pertanyaan semacam itu”, Tarmihim
menjawab dengan tersenyum, “kalau Pakdemu Brakodin spesialis hantu atau Jin….”
“Pakdemu Tarmihim sering mengalami perjumpaan-perjumpaan spiritual seperti itu”, Brakodin
menanggapi, “cuma ketemunya dengan Abu Jahal, tentara-tentaranya Fir’aun atau yang sering
ketemu Demit….”
Sundusin akhirnya merespon: “Jangankan kalian menanyakan hal itu kepada saya. Sedangkan
Rasulullah sendiri saja diperintahkan oleh Allah agar menyatakan: ‘Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.
Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-
banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’” [1] (Al-A’raf: 188).
“Apakah pertemuan dengan Kanjeng Nabi itu pertemuan objektif ataukah subjektif?”, Seger
mengejar.
“Pertemuan jasad atau ruh?”, Jitul tak mau kalah.

25
“Mbah Dzan kalian pernah mengatakan dulu sekali bahwa kita terjebak berpikir
mendikotomikan antara jasmani dengan rohani, sehingga memilah juga antara dunia dengan
akherat”
“Mestinya bagaimana, Pakde?”, Junit mengejar juga.
“Kata Mbah Dzan, jasad adalah bagian yang paling kasar, dangkal, dan sederhana dari ruh….”.
Hakekat Ilmu Itu Meliputi
“Sebagaimana dunia adalah bagian yang paling hina dari akhirat”, lanjut Sundusin, “bumi
adalah bagian yang paling pragmatis dari langit atau semesta. Kesementaraan dunia adalah
bagian yang paling awam dan rendah kualitasnya dibanding keabadian akhirat”
“Kenapa semua Ulama, semua khazanah ilmu, bahkan firman-firman Tuhan, termasuk dalam
kalimat-kalimat yang diajarkan untuk kita lantunkan sebagai doa-doa, menyebut dunia dan
akhirat seakan-akan itu adalah dua hal?”, Seger berburu pengetahuan.
“Yang bisa kita jangkau dengan penalaran akal: mungkin jawabannya adalah, karena Tuhan
menciptakan manusia dengan keterbatasan dan kekurangan, sehingga komunikasi dan
informasi dari Tuhan pun dituturkan sebatas atau disesuaikan dengan kekurangan bahasa
manusia juga”
“Jadi”, Jitul mengejar, “salah kalau saya menanyakan pertemuan dengan Rasulullah itu
jasadiyah ataukah ruhaniyah?”
Ndusin menjawab dengan tersenyum, “Pakde tidak mungkin bisa menyalahkan, karena tidak
berada pada posisi untuk mampu membenarkan. Pertemuan dengan Rasulullah mestinya bisa
beribu macam bentuknya, sistemnya, formulanya. Bisa seperti pertemuan kita sekarang ini, bisa
ada rasa mengalami ketemu, ada seperti mimpi, atau bisa tiba-tiba saja sudah ada hal-hal yang
bisa kita ungkapkan seakan-akan sebelumnya terjadi perjumpaan. Mana saya tahu.
Sesungguhnya hakekat ilmu itu ‘meliputi’, tetapi dalam hal ini kita sangat ‘diliputi’. “Dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” [1] (At-Thalaq: 12)
“Sesungguhnya ilmu Tuhanmu meliputi segala manusia” [2] (Al-Isra`: 60). Jadi, jangan
mengharapkan kebenaran dari Pakde”.
Kesucian dan Sajadah Cinta
Brakodin mengisahkan ada seorang Syekh, seorang Imam, cucu seorang Imam besar, di Kota
Suci, yang kalau mengalami sesuatu yang penting sehingga beliau memerlukan nasehat

26
Rasulullah saw, beliau minta tolong kepada Kiai yang menghubungi Mbah Dzan itu untuk
beristikharah, memohon petunjuk Allah, melalui kekasih-Nya.
Kalau Syekh beristikharah, sangat jarang dikabulkan untuk berjumpa dengan Rasulullah. Entah
bagaimana menjelaskannya, kalau ia minta tolong kepada Kiai ini, maka hajat untuk
mendapatkan nasehat itu dikabulkan. Sepertinya begitu mudahnya Kiai ini bertamu kepada
Rasulullah, disambut dan dijawab pertanyaannya.
Tentu kita semua berpikir itu soal tingkat kekhusyukan dan kadar kesucian. Semua parameter
rohaniah berhimpun di dalam peristiwa terkuaknya hijab antara seseorang dengan Kanjeng
Nabi: kehalalan hidup, kesucian hati, kekhusyukan ibadah, kezuhudan, totalitas tauhid,
keikhlasan untuk tiada, butiran terdalam dan paling inti dari hakiki tauhid.
Tidak ada zarrah yang tak halal di setiap butir darah Kiai. Tidak ada sedebu riba yang mengotori
daging tulang darah syaraf otot Kiai. Tidak ada langkah kaki dan gerak tangan Kiai yang bukan
ibadah kepada Allah. Tidak ada desiran hati dan pergerakan pikiran yang tidak merupakan
getaran cinta dan kerinduan kepada Allah dan Rasul kekasih-Nya.
Sajadah cinta itu telah digelar: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu,
yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya”. [1] (Al-Kahfi: 110).
Remote Tangis dan Tawa
Brakodin menyaksikan paradoks pada ekspresi Mbah Dzan. Tak sengaja lewat tengah malam ia
lewat dan menyaksikan bagaimana Mbah Dzan menangis mengguguk-guguk sesudah shalat.
Duduk iftirasy, mengangkat kedua tangannya, sambil menangis. Kemudian bersujud dan tetap
menangis. Sesudah itu hampir ia tertelungkup dan terus menangis.
Tentu saja Brakodin menjaga diri untuk tidak mengganggunya. Nanti kalau mereka duduk
berdua, pasti Brakodin berlagak tidak pernah menyaksikan orang tua menangis cengeng itu.
Dan ternyata setelah beberapa lama Mbah Dzan benar-benar muncul kepadanya, ketika ia
melamun di pojok ruang – Brakodin kaget karena dilihatnya wajah Mbah Dzan sangat cerah.
Bahkan tersenyum-senyum. Kemudian duduk di depan Brakodin. Menatap wajahnya. Dan tiba-
tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, lantas tertawa. Tertawa terpingkal-pingkal

27
dan berkepanjangan. Brakodin tidak mengerti apa yang terjadi pada Mbah Dzan, meskipun ia
sudah sangat terbiasa dengan keanehan-keanehannya.
Di tengah tertawanya yang kelihatannya sangat menyeretnya sehingga susah berhenti, Mbah
Dzan berkata: “Dan Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis…” [1] (An-Najm:
43). “Benar-benar Tuhan tidak main-main dengan setiap kata yang difirmankan-Nya. Sudah
setua ini saya baru mengalami secara tunai kebenaran ayat-Nya itu….”
“Ada apa ini, Cak?”, Brakodin bertanya.
“Ada tertawa, ada menangis”, jawab Mbah Dzan, “Tuhan me-remote saya sehingga menangis
dan tertawa, bukannya saya mau menangis dan tertawa”
“Kan tadi Sampeyan nangis sesudah shalat….”. Eh, kecolongan.
Semut-semut Romantik
Brakodin kecolongan mengatakan apa yang sebenarnya sangat ia sadari untuk tidak diucapkan.
“Sayapun tidak pernah menjadi benar-benar dewasa dan matang untuk senantiasa waspada.
…”, celetuk Mbah Dzan.
“Maksud Sampeyan apa Cak?”, Brakodin agak kaget.
“Kamu tadi kan lewat ketika saya shalat. Dan kamu pasti sadar dan cukup matang untuk
berusaha pura-pura tidak tahu. Tapi kecolongan juga bicara bahwa saya tadi menangis….”
Brakodin salah tingkah. “Benar, Cak. Tapi kesadaran itu muncul sebelum Sampeyan datang dan
tertawa terpingkal-pingkal, yang membuat saya terpecah konsentrasi”
“Nggak apa-apa. Memang saya menangis kemudian tertawa. Kamu tidak dosa, saya juga
mestinya tidak salah”
“Tapi tidak mungkin saya tidak penasaran menyaksikan kenapa Sampeyan menangis sampai
mengerikan seperti itu kemudian tertawa sampai tingkat agak memalukan.…”, kata Brakodin.
Mbah Dzan menirukan firman Tuhan. “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut
berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu
tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” [1](An-Naml:
18).
Kemudian: “maka dia tersenyum dengan tertawa karena mendengar perkataan semut itu”. [2]
(An-Naml: 19).

28
“Adegan Nabi Sulaiman dengan para semut itu sangat romantik, dan Baginda Sulaiman
tersenyum. Tak ada tangis. Sedang tadi diri-sejatiku lewat, aku ngeri melihat diriku yang ini,
sehingga menangis. Tapi kemudian kutertawakan sendiri diriku yang konyol dan najis ini….”.
Najis Komprehensif
“Kok najis?”, tanya Brakodin.
“Tidak hanya najis”, jawab Mbah Dzan, “mungkin bisa disebut najis komprehensif, meskipun
mudah-mudahan bukan najis total”, Mbah Dzan menjawab.
Mbah Dzan bercerita bahwa Kiai yang menelponnya, yang Syekh dari Mekkah kalah suci
darinya di pandangan Rasulullah, adalah orang yang hampir tidak pernah putus wudlu. Kapan
saja ia berhadats, selalu langsung bersuci lagi. Demikian juga seluruh unsur dalam hidupnya,
makanan minumannya, asal usul keuangannya, pakaian dan silaturahminya, ucapan dan kehati-
hatian pendengarannya, selalu diupayakan untuk suci, setidaknya menjauh dari hadats, dari
najis, dan segala macam kotoran.
Bukan hanya kotoran jasad dan ruhani. Juga kotoran sosial, kotoran politik, kotoran
kebudayaan dan peradaban, kotoran setiap petak ruang dan jengkal waktu.
Kotoran jahr maupun sirr. Kotoran apapun yang menurut Allah adalah kotoran.
“Lha saya?”, Mbah Dzan melanjutkan, tapi kemudian tertawa habis-habisan sampai hendak
keluar tenggorokan dari lehernya.
“Saya tidak pernah heran kenapa para makhluk suci, utamanya Kanjeng Nabi, hampir mustahil
mau berdekatan denganku. Tetapi aku menangis karena tidak ada alasan bahwa saya tidak
tergolong di dalam yang Allah maksudkan dalam firman-Nya ini: “Barangsiapa yang Allah
menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun
yang datang dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan
hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. [1] (Al-Maidah: 41)
Nikmat dalam Kekufuran
“Saya menuding diri saya sendiri. Bukan masyarakat. Kalau ingat lagi bab Kilabunnar, saya
sebenarnya juga terus mencari saya ini tergolong macan, kayu bakar ataukah anjingnya neraka”
“Kita semua juga mencari itu, Cak”, respon Brakodin, “sepertinya baik juga kalau semua
manusia melakukan hal yang sama”

29
“Yang pasti saya bukan api neraka”, kata Mbah Dzan.
“Maksudnya bagaimana Cak?”
“Saya bagian yang dibakar, bukan yang membakar”
Kepada anak-anak itu Brakodin menjelaskan, bahwa apapun, beragam pandangan, saling-silang
tematik dan semua yang dikemukakan oleh Mbah Dzan itu bukan ajaran Agama, ataupun
bagian dari syariat Islam. “Jangan tanya benar salahnya atau ada tidak adanya. Mbah Dzan itu
hanya berupaya untuk memaksimalkan kengeriannya sendiri kepada neraka. Itu bagian yang
tajam dari Iqra` panjangnya.”
“Untuk apa memaksimalkan kengerian kepada neraka, Pakde?”, Jitul bertanya.
Sundusin yang menjawab: “Karena Allah Maha Sabar, meDzanda balasan-balasanNya kepada
orang-orang dhalim. Dan karena para pembuat kejahatan di Negeri ini seperti tak mendapat
resiko apa-apa dari Tuhan, maka banyak orang menjadi merasa nikmat dalam kekufuran”
Siapa yang mau menjadi “…orang yang menjadi lapang dadanya karena kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [1] (An-Nahl: 106). “Yang
demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari
akhirat”. [2] (An-Nahl: 107). Mbah Dzan ngeri.
Modal Rasa Bersalah
Brakodin menceritakan betapa Mbah Dzan selalu merasa gagal dengan hidupnya. Sebagai
dirinya sendiri, maupun apalagi sebagai bagian dari kehidupan orang banyak.
Mbah Dzan selalu sangat mantap mengemukakan bahwa bekal utama hidupnya adalah “rasa
bersalah”. Tentu saja kepada Tuhan maksudnya. Merasa dirinya tak pernah becus menjalani
apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Tuhan mendatangkannya ke bumi.
Sampai-sampai Brakodin mengasumsikan Mbah Dzan itu mungkin termasuk yang dimaksud
oleh firman: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, kepada mereka malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ini”. Para malaikat
berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-
orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. [1] (An-Nisa: 97).
Tega juga Pakde Brakodin.

30
“Ah, ya nggak segitunya, Pakde.…”, celetuk Junit.
Brakodin menjawab. “Puluhan tahun Pakdemu ini menyaksikan dan mengalami bahwa Mbah
Dzan kalian itu terlalu getol menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa telah banyak berbuat
sesuatu, tetapi hasilnya tidak layak disebut sebagai suatu perbuatan.…”
“Kan katanya yang penting bukan berhasil tidaknya, melainkan ketulusan dan daya juangnya
yang sungguh-sungguh?”, sambung Seger.
“Mbah Dzan selalu merasa belum melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan, dan selalu
melakukan sesuatu yang semestinya tidak ia lakukan”.
Apa Guruh Punya Mulut
Menurut Brakodin, Mbah Dzan itu terlalu serius berdakwah, padahal ia bukan Da’i. Terlalu
sungguh-sungguh ber-tabligh padahal ia bukan Muballigh. Terlalu menghabiskan waktu selama
hidupnya untuk berusaha mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat, padahal tak ada
yang memintanya untuk menjadi agen perubahan. Serasa pecah kepala Mbah Dzan dalam
usahanya mengantarkan suatu pemahaman kepada manusia.
“Misalnya bagaimana, Pakde?”, Toling mengejar.
Brakodin menceritakan bahwa Mbah Dzan pernah mengemukakan: Ketika membaca Allah
memfirmankan “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi”. [1] (At-Taghabun: 1). “Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah”. [2] (Ar-Ra’d: 13).
“Malaikat-malaikat yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya”. [3] (Al-Mu`min: 7) – ada yang bertanya: Apakah benda-benda langit dan
bumi itu semua makhluk hidup seperti manusia, sehingga bisa bertasbih? Apakah guruh punya
mulut sehingga memuji Allah? Apakah para Malaikat masing-masing memegang tasbih sehingga
tasbihan terus kepada Allah? Demikianlah “materi” di pikiran manusia mencoba memahami
“ruh” ciptaan Allah.
“Saya bisa sedikit merasa, Pakde”, Jitul menyahut, “kebanyakan masyarakat memang sudah
akut penyakit materialismenya. Cara melihat apa saja selalu materialistik. Pola pikirnya meteriil.
Pangkal dan ujung pencariannya materi. Mereka tidak sadar menyimpulkan bahwa kehidupan
adalah materi. Tidak ada wilayah lain kecuali yang mereka tahu dan pahami sebagai dan secara
materi. Manusia semakin menyembah materi, sangat bekti kepada materi, Tuhannya Sang
Maha Materi. Mereka penyembah berhala, bahkan mereka sendiri adalah patung berhala”.

31
Serasa Kafir
Tuhan selalu merahmati dan membahagiakan komunitas anak-anak muda itu beserta keluarga
dan Pakde Paklik mereka. Mudah-mudahan keasyikan mereka ber-Iqra` bukan merupakan
pelarian dari suasana gaduh Negara dan masyarakat, yang memang sangat mengganggu.
Perusakan zaman, sikap para penguasa yang sudah sampai tingkat “menantang kekuasaan
Tuhan”, penggerogotan Negara dan situasi-situasi yang sangat menekan manusia, sering
membuat mereka hampir berputus asa. Betapa kecewanya Tuhan kepada mereka. “Dan jangan
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir“. [1] (Yusuf: 87).
Mereka adalah warga dari Negeri Gaduh itu. Tetapi mereka tidak punya hak maupun kewajiban
atas kegaduhan itu. Mereka hanya bagian yang ditimpa, yang dianiaya, pada batas dan takaran
tertentu.
Maka pada suatu batas yang mereka tak bisa lagi mengatasi, mereka lantas membuat semacam
kurungan untuk berlindung. Ibarat perang Khandaq-nya Rasulullah Muhammad Saw, mereka
menggali parit mengelilingi kurungan itu, sehingga para penggaduh mengecil peluangnya untuk
bisa menyentuh. Sawah ladang yang puluhan tahun digarap untuk penghidupan Pakde Paklik
itu, mereka tinggalkan. Sehingga sejak itu pasokan makanan dan minuman mereka hanya dari
langit.
Negeri itu dipenuhi oleh sangat banyak masalah. Sedemikian banyaknya masalah yang
bertumpuk dan kait berkait, mereka tidak mampu jangankan menyelesaikanya: menghitung
dan merumuskannya sajapun tak sanggup. Sebagian orang menyalahkan mereka karena itu.
Mereka disalahkan di bumi. Sementara di langit, setiap kali merasa putus asa, setiap mereka
ber-Iqra`: serasa kafir diri mereka.
Kebaikannya Belum Cukup Bagi-Nya
Terutama Mbah dzan. Kalau masyarakat terpecah-pecah, semakin hari semakin terkeping-
keping, saling membenci dan bermusuhan satu sama lain —Mbah Dzan disalahkan oleh orang-
orang di sekitarnya, karena tidak mampu mempersatukan mereka kembali.
Mbah Dzan hanya omong saja bahwa masyarakat semakin hari semakin ditimpa penyakit
pikiran, penyakit hati, penyakit mental, dan penyakit spiritual. Mbah Dzan disalahkan karena
tak sanggup menyembuhkan mereka dari penyakit-penyakit itu.

32
Mereka tidak pernah marah kepada yang menyebarkan penyakit-penyakit itu, karena ternyata
yang salah adalah yang tidak bisa menyembuhkannya. Tak kurang-kurang Mbah Dzan berdoa
dan memohon bantuan Tuhan untuk kemungkinan-kemungkinan penyembuhan. Tetapi
mungkin saja Mbah Dzan belum mencukupi kualitasnya untuk bisa diandalkan oleh Tuhan agar
mengabulkan doanya. Kebaikan hidup Mbah Dzan tak mencukupi untuk mengongkosi “qabul”
dari Tuhan atas doanya. Itu membuat Mbah Dzan semakin kecil hati untuk Iqra` atas dirinya
sendiri.
Mbah Dzan meng-Iqra` dirinya dan merasa berada di tempat yang amat jauh dari Tuhan, dan
itu sering membuatnya terpeleset menjadi seorang fasiq. Kefasikan adalah keadaan di mana ia
seakan “kehilangan Tuhan”, sehingga seolah melupakan-Nya, yang akibatnya adalah ia lupa
kepada dirinya sendiri. “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu
Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang
fasiq”. [1] (Al-Hasyr: 19).
Mbah Dzan tiap hari harus memulai bayinya kembali. Karena faktanya ia merasa tak kunjung
mampu mencapai apa-apa untuk masyarakat dan Negaranya.
Siapakah Selain Engkau
Hidup di dalam kurung beberapa puluh tahun ternyata tidak lantas membuat Mbah Dzan
menjadi tenang. Suara-suara gaduh dari luar parit tak henti melemparkan tuduhan-tuduhan
yang menyalahkannya. Segala yang ia upayakan seakan selalu gagal berlangsung, atau
sekurang-kurangnya selalu berlangsung tidak sebagaimana yang ia pikirkan.
Ia merasa tidak pernah mencapai kedewasaan dan kematangan hidup. Serta tak pernah
sembuh dari merasa selalu sengsara dan menyalahkan dirinya sendiri. “Manusia tidak jemu
memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus
harapan”. [1] (Fushshilat: 49). Keputus-asaan tidak berkurang meskipun secara naluriah ia sudah
mencoba ber-Iqra` membela dirinya sendiri:
“Tingkat putus asamu atas Negeri Kegaduhan itu mencerminkan mendalamnya cintamu kepada
Negerimu, serta meDzanjukkan kejernihan pikiran dan pandanganmu terhadap permasalahan-
permasalahannya. Barang siapa tidak mengalami putus asa di tengah kegaduhan dan penyakit
Negeri Kegaduhan ini, berarti ia tidak sungguh-sungguh mencintai dan memikirkannya”.

33
Dengan cengeng Mbah Dzan berucap kepada-Nya: “Wahai Allah sesembahanku, tidaklah
kepada rahmat-Mu putus asaku. Amat sangat melimpah kemurahan-Mu membahagiakan kami
semua di dalam kurungan Khandaq kami. Putus asaku adalah putus asa atas
ketidakberdayaanku terhadap kehidupan manusia. Siapakah selain Engkau yang mampu
menyembuhkan penyakit yang memenuhi Negeri Kegaduhan ini.  Seluruh ilmu runtuh, semua
pengetahuanku luluh. Aku kehilangan keseimbangan. Sungguh setiap kali kumasuki detak-detik
mengalirnya waktu-Mu: aku memohon hidayah-Mu”.
Berebut Hiasan Dunia
Mbah Dzan berasal dari keluarga yang terbiasa menikmati hidup jelata karena dirahmati
kemiskinan oleh Allah. Tatkala berangkat remaja, perhatiannya sangat peka terhadap hiasan-
hiasan. Ia sangat termagnet oleh pemandangan di sana-sini di mana hampir semua orang
berhias dunia. Dari baju kain halus dan seterikaan, sepeda yang dimotori sehingga mampu
mencapai kecepatan tinggi, rumah dengan desain dan rupa penuh warna, hingga teknologi
tinggi: internet, hotel berbintang, pesawat jet, atau sikat gigi yang bergerak sendiri menyapu
gigi-gigi.
Tetapi semua itu tak terjangkau oleh keuangan keluarganya. Sehingga ia terdidik oleh kebiasaan
hidup yang pada akhirnya mencapai suatu kondisi budaya di mana kesederhanaan adalah justru
kemewahan baginya. Ia lewati tahun-tahun ingin berhias, tetapi karena tak sanggup membeli,
akhirnya tidak berhias adalah hiasan yang senikmat-nikmatnya. Itu, kata Mbah Dzan,
bergantung pada bagaimana Iqra` atas lipatan-lipatan nilai dalam kehidupan.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. [1] (Al-Kahfi: 7).
Ketika dewasa ia menyaksikan Negara membangun, dan semakin banyak yang mencuri biaya
pembangunan. Perang di sana sini, perebutan harta benda dunia. Mbah Dzan kebingungan:
kibaran bendera kapitalisme global liberal, freemason dan illuminati,  proxy war, perang
asimeteris, perlombaan penyempitan hidup.
Mbah Dzan nyeletuk: “Oo, orang sedang berebut hiasan dunia”. Mbah Dzan benar-benar gagal
memahami perilaku penduduk bumi.  “Mungkin karena aku bukan bagian dari mereka”,
katanya.

34
Menatap Dari Angkasa Jauh
Jasadnya di bumi, tetapi hatinya, pikiran, dan pandangannya melintas-lintas langit. Kehidupan
di bumi terlalu sempit ruangnya dan terlalu sejenak waktunya. Tak apa jasadnya, beserta
sejumlah keperluannya, tetap mensetiai bumi. Tetapi jiwanya melompat ke tepian keabadian,
duduk meDzanggu momentum transformasi yang sudah dijadwalkan oleh Allah. Ia berjalan lalu-
lalang di depan pintu gerbang keabadian.
Kalau seluruh keutuhan dirinya ada di bumi, maka tak berjarak ia dengan bumi, dan itu bisa
membuatnya ditenggelamkan oleh hiasan-hiasan dunia di bumi. Kalau ia menatap bumi dan
kehidupan dunia dari angkasa jauh, ia punya ruang dan kelonggaran waktu untuk meraba-raba
pengandaian dan simulasi terhadap alur kesementaraan di dalam tak terhingganya keabadian.
Ia harus menghindar sejauh-jauhnya dari potensi untuk ingkar kepada apa dan bagaimana
sebenarnya kehidupan yang didesain oleh Allah atas manusia. “Mengapa kamu kafir kepada
Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan
dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” [1] (Al-Baqarah:
28).
Dari langit dan angkasa, Iqra` mestinya bisa lebih kaya dan penuh nuansa. Karena perspektif
ruang dan spektrum nilainya pasti tidak sesempit kalau ia sibuk di bumi. Apalagi siang malam
dikepung oleh hiasan-hiasan dan fatamorgana dunia. Sesekali ia bisa sadar bahwa hiasan itu
adalah berhala, tetapi pasti tidak setiap saat ia sanggup memelihara konsentrasi kesadaran itu.
Kalaupun hiasan dunia itu tak kulihat, ia tetap terlihat. Kalaupun ia lari, dunia tetap
memergokinya di tempat ia bersembunyi.
Bola Mata Meloncat Keluar
Nabi Musa As ditanya oleh salah seorang dari ummatnya: “Wahai Nabiyyallah, adakah hamba
Allah yang lebih tinggi maqamnya di sisi Allah?”. Beliau menjawab, “Aku kira tidak ada yang
lebih tinggi maqam dan kedekatannya kepada Allah dari aku”.
Tapi beliau bersegera bertanya kepada Allah tentang kesimpulan yang dikandung oleh
jawabannya itu. Allah menjawab, “Aku akan mengirim Malaikat-Ku agar mengantarkanmu
kepada hamba yang paling tinggi kedudukan dan kedekatannya kepada-Ku”.
Malaikat mengantarkan Nabi Musa menemui seorang tua renta yang duduk tak berdaya karena
penyakit parah yang membuat kedua bola matanya seperti hendak meloncat keluar. Beliau

35
menyapa orang tua ini dan berkata, “Aku akan berdoa kepada Allah memohon kesembuhanmu
dan terangkatnya seluruh deritamu”.
Orang tua ini menjawab, “Jangan wahai Nabiyyullah. Biarlah aku seperti ini, karena pilihan Allah
pasti lebih baik dari pilihanku sendiri. Aku ridla dan nyaman atas apa yang terjadi padaku. Baru
saja Allah mengambil penglihatanku, dan pastilah itu yang terbaik bagiku”.
Maha Suci Allah. Jiwaku tidak terutama menangis, melainkan merasa malu. Sebab seluruh yang
pernah kugagas, kuucapkan, dan kutuliskan, sesungguhnya mengandung banyak penolakan dan
potensi ketidak-ridlaan terhadap ketentuan Allah. Aku bagaikan tak berwajah di hadapan-Nya.
Aku tak boleh berhenti belajar Iqra`.
Padahal ilmu tertinggi yang Allah anugerahkan adalah: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. [1] (Al-Baqarah: 216).
Mengancam Diri Sendiri
Mbah Dzan tak habis-habis cengeng kepada dirinya sendiri. “Aku dimarahi oleh sebagian dari
jutaan anak-anak dan cucu-cucuku. Kalau mereka minta didoakan, lantas tidak atau belum
terkabul, aku yang disalahkan dan dinilai bahwa doaku tidak maqbul, bahwa kedudukanku di
hadapan Allah tidak mencukupi untuk dikabulkan”
“Kalau Negara dan rusak karena para pengelolanya jahat atau tidak setia kepada rakyat, anak-
anak cucu-cucuku tidak marah kepada yang merusak, melainkan aku yang disalahkan, karena
tidak mampu bertindak untuk menghentikan kerusakan itu. Kalau penjajahan atas kedaulatan
rakyat dan martabat bangsa merajalela. Kalau situasi tidak bisa dipilah dan diurai untuk
menemukan siapa yang tidak korupsi, atau tidak bisa membayangkan bahwa ada yang tidak
korupsi – maka mereka mengecam kenapa aku tidak memberantas kebobrokan itu dan
mengakhirinya”
“Sebagian anak-cucuku terus menerus memintaku untuk berkeliling, berjumpa dengan ribuan
orang, membesarkan hati mereka, memberi bekal ilmu dan pengetahuan agar hidup mereka
tetap semangat, optimis, tenteram dan kreatif. Tetapi anak-cucuku yang lain naik pitam,
melarang aku bicara, menilai semua kata-kataku sia-sia. Karena yang ia butuhkan adalah beras
untuk makan. Kalau aku tak bisa mengirimkan makanan atau uang, atau mencarikannya
pekerjaan, ia akan bunuh diri”

36
“Aku mohon maaf kepada semua anak-cucuku. Sebab siapakah yang mempertemukan kita?
“Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-
Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan”. [1] (An-Nisa: 14). Betapa tidak mudahnya Iqra`.  Mbah Dzan
mengancam dirinya sendiri.
Riba, Mabuk, dan Gila
“Aku ingin sowan sujud kepada Allah dan sungkem ngapurancang di hadapan Rasulullah, untuk
mengaku salah, melaporkan kegagalan hidupku, serta menyerahkan nasib sepenuh jiwaku”,
rintih Mbah Dzan.
“Enam puluh tahun lebih aku diutus hidup di dunia, hasilnya adalah gagal Iqra`. Semakin lama
keberadaanku, semakin rusak kehidupan manusia. Semakin tua umurku, semakin lama jam
terbang kekhalifahanku, kehidupan di bumi seperti kapal yang semakin goyang dan para
penumpangnya semakin dirasuki penyakit gila”
“Kehidupan manusia dipenuhi dan dikendalikan oleh riba. Sampai hal-hal yang prinsippun
dilebihkan atau dikurangi. Tidak hanya makanan, tapi juga terapan kata dan makna, pun
kalimat, pengetahuan dan ilmu. Nilai-nilai yang berlakupun di-riba-kan. Kemauan manusia
berposisi riba, menjauh dari presisi sunnah penciptaannya”
“Sistem, tatanan, institusi, manajemen, pengelolaan kebersamaan hidup, pertukaran kehendak,
pergaulan dan interaksi di bidang apapun, dari kampung, pasar hingga urusan Negara, dipenuhi
oleh kesengajaan inisiatif-inisiatif pengurangan dan pelebihan, yang merusak kebenaran nilai
Allah untuk kehidupan manusia”
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran penyakit gila”. [1] (Al-Baqarah: 275). Dan “dan kamu lihat manusia
dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu
sangat kerasnya”. [2] (Al-Hajj: 2).
“Penguasa di antara manusia makin mabuk, yang dianiaya makin kalap, pem-bias-an dari garis
nilai Allah sampai ke derajat gila. Sungguh tak berguna kesertaan hidupku di antara ummat
manusia di dunia”.

37
Dunia Melupakan Nasibnya
Mbah Dzan merajuk, “Sudah kutuliskan berjuta kata, kuterbitkan berpuluh-puluh buku. Sudah
kugali ilmu dari lubuk bumi hingga kupetik dari langit. Kemudian kusebar ke hamparan-
hamparan tempat manusia berjuang. Ke padang-padang persaingan dan perebutan. Tetapi tak
ada tanda-tanda bahwa itu semua ada manfaatnya untuk perbaikan kehidupan manusia.”
“Sudah kutemani jutaan manusia. Kubesarkan hatinya. Kudoakan kesembuhannya.
Kumohonkan rezeki dan berkah. Kuupayakan penyelesaian masalah-masalahnya. Kuusap
airmatanya. Kukipasi gerahnya. Kuwadahi kesedihan hatinya. Kutemani derita dari masalah-
masalahnya. Kupersatukan dari pecahan-pecahannya. Kuhangatkan kesunyiannya. Kukuakkan
jalan di depan kebuntuannya.”
“Tetapi mungkin aku salah Iqra` atas semua yang aku melayaninya. Sehingga tak ada gejala
bahwa atas semua itu kehadiranku berguna.”
“Telah kupuasai hampir semua kenikmatan dunia yang hampir semua orang mempesta-
porainya. Telah kuinfakkan waktu, tenaga, titipan ilmu dari Allah. Telah kusedekahkan sejauh
usiaku dengan tidak mengejar kemewahan dunia yang hampir semua orang berebut untuk
meraihnya. Telah kuikhlaskan karir, sukses, kedudukan, harta benda, dan berbagai hal yang
kebanyakan orang memburunya melebihi cintanya kepada Tuhan. Tetapi siapa tahu sebenarnya
aku salah Iqra`.”
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan di
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia”. [1] (Al-Qashsah: 77).
“Aku telah melanggar perintah atau rekomendasi-Nya. Sampai jauh melampaui setengah abad
aku melupakan nasibku sendiri di dunia, sehingga dunia dan para penghuninya pun
melupakanku”.
Engkau dan Ibumu
Mbah Dzan mengeluh amat mendalam sampai cengeng, “Andaikan aku berilmu, apa yang bisa
dibanggakan dari ilmu itu kalau kebanyakan penduduk dunia menuhankan yang bukan Tuhan.
Mayoritas ummat manusia di bumi memiliki dan memakai suatu jenis akal dan formula logika
bahwa yang disebut Tuhan itu bisa dilihat, digambar, dipatungkan, bahkan patung itu bisa
diproduksi secara massal”

38
“Apa gunanya semua ilmu yang andaikan sudah terhimpun dalam memori otakku? Apa manfaat
segala pengetahuanku, hingga yang mendekat-dekat ke angkasa kegaiban, yang membuatku
sedikit bisa meraba perbedaan hakiki antara Tuhan yang sejati dengan sesuatu yang selain Ia
yang dituhan-tuhankan?”
“Andaikan aku dulu bersekolah, apa yang dilakukan oleh Sekolah dan Universitas itu selain
mengantarkanku kepada penggunaan akal yang entah ciptaan siapa? Akal yang bisa menerima
bahwa Tuhan dilahirkan, Tuhan muncul ke dunia secara fisik sebagai bayi, kemudian dibesarkan
oleh alam, cuaca, dan Ibunya. Kemudian Tuhan mengajar secara kasat mata di sebuah ruangan.
Dan pada akhirnya Tuhan bisa ditangkap oleh tentara Kerajaan, kemudian diseret, diikat di atas
kayu, disiksa dan dibunuh?”
“Kalau yang dituhankan itu sesungguhnya adalah penjelmaan atau perwujudan Tuhan yang
sebenarnya, adalah manifestasi biologis, adalah Gusti Ngejowantah – maka apakah ada setitik
debu, sebutir udara, daun alang-alang, sepercik air dan apapun saja dalam kehidupan ini yang
bukan Gusti Ngejowantah? Siapa selain Tuhan yang sungguh-sungguh ada, selain Ia sendiri,
yang tan keno kiniro tan kinoyo ngopo?”.
“Apakah engkau mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan Ibuku Tuhan selain
Allah?”. [1] (Al-Maidah: 116).
Tuhan di Bilik Terpencil
Mbah Dzan sangat takjub kepada akal dan logika Nabi Isa:
“Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah
mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak
mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara
yang ghaib” [1] (Al-Maidah: 116).
Tetapi ummat manusia di seantero permukaan bumi, sanggup menafikan perbincangan antara
Tuhan dengan hamba-Nya yang Ia Nabi-kan itu. Kesanggupan untuk menggunakan akal yang
aneh itu justru ketika ummat manusia merasa dirinya berada pada era Peradaban paling
rasional dibanding era-era lain dalam sejarah ummat manusia sejak Bapak Adam.
Penduduk bumi meyakini bahwa kurun hingga abad 21 ini adalah rentang panjang kemajuan
manusia, yang melebihi pencapaian kemajuan era manapun dalam sejarah. Sampai ke
kemewahan nilai dan sistem yang misalnya disebut Demokrasi. Sedemikian majunya penduduk

39
bumi saat ini sehingga kedudukan Demokrasi mengatasi kedudukan Tuhan pada sistem nilai di
alam pikiran mereka. Sampai-sampai mereka memproklamasikan apa yang disebut
Sekulerisme, yang secara sangat tegas dan keras memilah urusan manusia dengan urusan
Tuhan. Memisahkan bumi dari langit. Memagari wilayah Agama dan Ketuhanan dengan urusan
Negara dan Kebudayaan.
Dan itu diikuti oleh hampir semua penyembah Tuhan dan pemeluk Agama. Penduduk bumi
menyembunyikan Tuhan di bilik-bilik terpencil, di pojokan konteks, di relung hati kecil. Kalau
kata Tuhan muncul di mulut mereka, yang dimaksud adalah Tuhan dalam konsep Sekularisme.
Diplopia Sesembahan
“Siapa yang menjaga manusia dari bahaya diplopia penyembahan itu?”, tanya Mbah Dzan.
“Tidak ada”. Dijawabnya sendiri.
Nabi Yunus diperintah Allah untuk menyatakan: “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang
kepadamu kebenaran dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka
sesungguhnya petunjuk itu untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka
sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang
penjaga terhadap dirimu” [1] (Yunus: 108)
“Andaikanpun aku pernah sukses di dunia”, kata Mbah Dzan, ”tidak batalkah arti kesuksesan itu
kalau mayoritas penghuni bumi ini meyembah makhluk karena meyakini ia sebagai Tuhannya.
Andaikan aku berprestasi, tidak omong kosongkah prestasi itu kalau jumlah terbanyak manusia
di dunia ini menuhankan manusia”
“Alangkah memalukan hidupku yang tak mampu berbuat apapun kepada masyarakat yang
sangat cerdas terhadap materi dan keduniaan, namun buntu logikanya dalam hal sesembahan.
Alangkah sia-sia semua yang telah kulakukan di depan penduduk suatu planet yang sangat
diistimewakan oleh Tuhan, namun kebanyakan penghuninya mengalami diplopia atau
pengaburan penglihatan sehingga Tuhan tampak tidak tunggal oleh rohaninya”
“Masyarakat dunia yang menemukan Tuhan di suatu tempat dan tidak menyadari Tuhan di
tempat yang lain. Yang rajin bertamu kepada Tuhan di Rumah Ibadah kemudian Tuhan abstain
dari dirinya dalam urusan-urusan lain di luarnya. Yang menomersatukan Tuhan dalam skala
prioritas perbadatan, namun menomerduakan, menomertigakan, bahkan meniadakan Tuhan di
hampir setiap urusan keduniaan”.

40
Bakteri-bakteri Ketidakberdayaan
Panjang Brakodin mengungkapkan kembali apa yang didengarnya dari Mbah Dzan, “Setiap kali
kegembiraanku dipadamkan oleh keadaan dunia, kuingat-ingat kembali yang kutulis: Inikah
yang membuat di kesempurnaan Kitab-Mu Engkau mewahyukan Iqra`? Wahai Loro-loroning
Atunggil. Wahai dua yang menyatu dalam kalbuku. Wahai Cahaya yang memancarkan cahaya,
yang seberapa luas dan agung pun sebaran cahaya dan cahaya itu, namun tetap maDzanggal di
dalam jiwaku.”
“Wahai Allah. Wahai Cahaya Terpuji Nur Muhammad, wahai awal mula pancaran cahaya cinta
maupun kehadiranmu sebagai putra Ibu Aminah dan Bapak Abdullah, sang pemandu peradaban
ummat manusia sepanjang sejarah. Wahai aku dikepung oleh manusia yang menimbunku di
bawah tumpukan beribu-ribu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh kedermawanan-Mu dan
syafaat kekasih-Mu. Wahai aku dilempari oleh perkara-perkara, persoalan-persoalan dan
kesulitan-kesulitan yang hanya Engkau dan kekasih-Mu yang punya kemampuan untuk
mengatasinya.”
“Wahai aku diserbu oleh berjuta-juta bakteri ketidakberdayaan, penyakit kejumudan, endemi
kebodohan, epidemi global kelaliman, ketidakadilan dan tipu daya, dari wajah-wajah kumuh
hamba-hambaMu yang menyangka aku punya kekuatan dan cara untuk mengatasinya.”
“Wahai aku dipenjara, ditindas, dan dianiaya oleh prasangka berjuta-juta orang kepadaku. Aku
disiksa oleh rasa putus harapan jutaan manusia yang membuat mereka menyangka aku
mewakili-Mu untuk hadir di depan pintu rumah kesengsaraan mereka dan membawa
penawarnya. Wahai aku mencicipi kepahitan Nabinda Yunus yang “minggat” dalam keadaan
marah dan ditelan oleh ikan-Mu: “Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang dhalim”. [1] (Al-Anbiya: 87).
Tak Kunjung Lulus Iqra`
Apakah manusia memang selalu “salah baca”? Sejak Bapak Adam Ibu Hawa sampai hari ini
selalu dan terus saja salah baca? Sehingga Engkau titipkan kunci Iqra` itu melalui kekasih-Mu,
kepada kami semua yang tersisa?
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [1] (Al-Maidah: 3). Telah Ia
sempurnakan segala ilmu, cara, dan pelaksanaan untuk mewujudkan “ketundukan” kepada-

41
Nya. Yakni dengan cara Islam, suatu program penyelamatan, visi misi, garis haluan dan petunjuk
pelaksanaan untuk menyelamatkan sesama manusia dan alam semesta. Untuk “rahmatan
lil’alamin” sepenuh-penuhnya.
“Dan Ia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya” [2] (Al-Baqarah:
31). Dipaparkan kepada Adam berbagai fenomena, pola, dan probabilitas yang akan terjadi
pada kehidupan manusia. Kemudian mungkin ternyata beratus-ratus abad anak cucu Adam
belum pernah sungguh-sungguh lulus ber-Iqra`.
Hingga di era-era peradaban modern ummat manusia mendirikan Sekolah-Sekolah dan
Universitas-Universitas demi menjawab “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu”.
Kenalilah, kelolalah fenomena-fenomena itu. Dan sampai hari ini ternyata kita tidak lulus
memasuki kategori “jika kamu memang benar orang-orang yang benar“.
Kecurangan, ketidakadilan, kebencian, permusuhan, peperangan dengan korban milyaran
nyawa sesama manusia dan pengurasan serta perusakan habis-habisan atas bumi dan alam –
menjadi ciri utama hampir semua sejarah ummat manusia – membuktikan betapa suci ilmu
Allah di balik kalimat-Nya “jika kamu memang benar orang-orang yang benar“.
Padahal Iqra` seakan hanya satu kata sederhana.
Hewan Pemimpin Manusia
Peradaban manusia sejauh ini menambah bukti kebenaran hipotesis para Malaikat: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan
berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”. [1] (Al-Baqarah: 30).
Peradaban manusia sepanjang zaman dipenuhi oleh ketinggian dan kecanggihan Iqra` dalam
hal-hal yang menyangkut perusakan hidup dan penumpahan darah. Satuan-satuan Kerajaan
maupun Negara dibangun pada akhirnya berujung pada perampokan atas kekayaan bumi dan
penguasaan atas sesama manusia.
Pengetahuan diteliti, ilmu digali, ideologi disusun, teknologi ditata, strategi dibangun,
komunikasi dijaringkan, informasi direkayasa, dengan tujuan untuk mengambil alih hak Allah,
memonopoli hasil-hasil rampokan untuk egoisme dan egosentrisme suatu kelompok di antara

42
manusia. Segala kemungkinan tipudaya, makar atas nilai hakiki kemanusiaan, jebakan-jebakan
politik, secara amat canggih diIqra`i oleh binatang-binatang pemuka kehidupan manusia, yang
bahkan Allah menyebut mereka lebih hina dari binatang.
“Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan lebih hina lagi” [2] (Al-A’raf: 179). Disebut binatang
karena sebagai manusia mereka tidak menggunakan akal dan kalbunya selain untuk kedhaliman
kepada sesamanya. Disebut lebih hina karena pada hakikinya manusia diciptakan lebih mulia
dari benda, tetumbuhan, dan hewan. Benarkah Iqra`ku ini?
Inilah Manusia Cahaya Itu
“Setiap kali keceriaan hariku diganggu oleh dunia di luar jendelaku, kubuka kembali lembaran-
lembaran ini: Andaikan beliau Muhammad Saw ada Mekkah atau Madinah atau di sisi bumi
manapun sekarang ini, aku akan jual apa saja milikku, untuk membeli tiket berkendaraan
menuju rumah beliau. “Wahai Nabi, ajari aku Iqra`”.
“Kata-kata itulah yang kuidamkan untuk kusampaikan. Kalau harus menempuhnya dengan
berjalan kaki atau berenang, aku siap. Kalau sesampainya di depan rumah beliau aku harus
berdiri antri 40 hari 40 malam lamanya, tak kan bergeser pijakan kakiku dari garis antrian itu.”
“Kalau pada akhirnya Allah mengabulkan kerinduanku untuk berada di depan beliau, maka
takkan kulewatkan satu detik waktu untuk bersegera ambruk di hadapannya, kuambil telapak
kaki beliau untuk kuciumi. Tetapi kutahan hatiku untuk tidak melompat dan mendekap tubuh
beliau. Betapa hina hidupku, betapa kotor diriku, betapa busuk bau badanku. Serta yang utama
betapa tidak layaknya keseluruhan diriku ini menyentuh kemuliaan cahayanya dan ketinggian
derajatnya.”
“Aku akan mengeluhkan kepada beliau penderitaan manusia di sekitarku, kesengsaraan rakyat
di Negeriku, dan kebingungan bangsaku atas yang mereka alami serta kegelapan yang bagaikan
menyongsong anak cucu mereka. Tetapi nanti dulu. Perjumpaan dengan Baginda Muhammad
dan memandang wajah beliau tidaklah bisa dibandingkan dengan kemewahan dan kekayaan
apapun di dalam kehidupan dunia.”
“Betapa dahsyat dan mempesona. Inilah orangnya yang “Sesungguhnya Allah dan malaikat-
malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu
untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. [1] (Al-Ahzab: 56).

43
Apa Andalanku KepadaMu
“Yang hendak kusampaikan dan kukeluhkan bukan hanya penderitaan hidup ummat manusia
di sekitarku. Juga tak hanya kesengsaraan batin para sahabat dan anak cucu di sekitarku. Yang
juga akan kukeluhkan kepada Rasulullah adalah Iqra` derita batinku sendiri.”
“Kalau tak kepada beliau, lantas kepada siapa? Apakah ada makhluk atau siapapun saja selain
Allah dan Rasulullah yang memiliki ruang untuk kutuangi keluhan-keluhan hatiku? Manusia
yang berkuasa, tak tahu bahwa aku ada. Manusia yang memiliku kekuatan, tidak melihat bahwa
aku penuh kelemahan. Sedangkan manusia yang lemah, yang jumlahnya tak terhitung di
sekitarku, menguburku di bawah timbunan batu dan tanah penderitaan yang aku tak mampu
menolong. Menenggelamkanku di dasar laut air mata mereka yang aku tak sanggup
mengusapnya.”
“Kalau aku langsung hendak mengeluh kepada Allah, aku terlalu jauh dari-Nya, tanpa aku
pernah benar-benar tahu apakah Ia dekat padaku. Andaikanpun Ia sungguh-sungguh dekat
padaku, aku selalu merasa bahwa tak pantas bagiku untuk berada dekat dengan-Nya.”
“Memang dengan penuh intimitas kalbu dan kemesraan perasaan Allah membisikkan: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [1] (Qaf: 16).
“Tapi aku tidak pernah percaya kepada diriku sendiri. Aku hanya percaya kepada Allah dan
Rasulullah. Sudah habis energi kepercayaanku untuk Beliau berdua, tanpa tersisa untuk diriku
sendiri. Apa gerangan yang bisa kuandalkan pada hinanya diriku ini untuk berdekatan dengan-
Nya? Meskipun begitu Maha Pemurahnya Ia dengan “Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya”, tetapi aku wajib tahu diri”.
Korting Cinta
Telah diyakinkan oleh Allah sendiri: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”. [1] (Al-Baqarah: 186).
Tetapi kalau seberapa dekat Ia kepada hamba-Nya berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan
kepada perintah-Nya, dengan kadar keimanan kepada-Nya, serta ketepatan dan konsistensi

44
untuk selalu berada di dalam kebenaran – bagaimana mungkin aku mampu menilai bahwa
diriku mencukupi untuk persyaratan itu.
Kemudian Allah menganugerahkan keringanan dan melunakkan persyaratannya dari level
tinggi-rendahnya iman, benar-bathilnya akhlak kehidupan, serta ukuran patuh-ingkar – digeser
menjadi tema kemurahan hati, rasa tidak tega dan semacam kedermawanan sikap: “Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. [2] (At-Taubah: 128).
“Korting cinta” ini membuatku tak bisa menahan diri untuk sowan kepada Kanjeng Nabi, di
manapun, bagaimanapun, dengan ongkos seberapapun, sesudah dan sesulit apapun. Allah
bermurah hati kepada siapapun yang “gondhelan klambi”nya Rasulullah Muhammad kekasih-
Nya. Allah seakan-akan menawarkan keringanan hukum kepada siapa saja yang hidup dengan
“berpegangan” bagian belakang gamisnya Rasulullah Muhammad Saw.  “Wahai Nabi, ajari
aku Iqra`”.
Tujuh Keberuntungan
Setiap kali keadaan dunia menyeretku untuk berputus asa, kuingat Abu Amamah Al-Bahill yang
menyampaikan kabar dari Baginda Muhammad yang membesarkan hati ummatnya:
“Beruntunglah orang yang pernah melihatku dan ia beriman kepadaku, dan beruntunglah,
beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, bagi
orang yang tidak pernah melihatku, namun ia beriman kepadaku.” [1] (HR Ahmad dan Bukhari).
Tujuh kali lipat keberuntungan. Terhampar tujuh Iqra`. Bagi kita yang hidup tidak bersama dan
di masa beliau. Sedangkan bagi para Sahabat yang penuh kemuliaan dan Kaum Muslimin yang
berkomunitas dengan beliau di Mekkah dan Madinah, hanya satu keberuntungan.
Itu bisa semacam retorika komunikasi, diplomasi psikologis, tapi bisa juga logika sejarah dan
dialektika sosial kebudayaan. Tidak bisa dibantah bahwa masyarakat yang paling berbahagia
dalam sejarah ummat manusia adalah yang ditakdirkan Allah hidup di masa Muhammad dan
berinteraksi langsung dengan beliau sehari-hari. Semua Kaum Muslimin mendambakan nuansa
kehidupan di mana mereka bisa merasakan langsung perilaku lemah lembut beliau, tutur kata
santun, kerendahan hati, kejelataan dan kesederhanaan sikap, kematangan dan kemuliaan
setiap pengambilan keputusan beliau untuk masyarakat.

45
Tetapi masyarakat yang hidup di lingkungan yang subur durian, pada akhirnya tidak memiliki
kebutuhan, penghormatan, dan kerinduan terhadap nikmatnya durian. Berbeda dengan
masyarakat yang jauh dari durian, mereka selalu mengalami rasa ingin durian, rasa butuh
durian, menjunjung kenikmatan durian, dan meletakkan harga durian di tingkat yang tinggi.
“Sawang sinawang”, demikian Iqra` orang Jawa.
Memohon Akhirat Kecil
Sundusin juga punya cerita tentang salah satu dialognya dengan Mbah Dzan. Pada suatu malam
ia menabrak orang tua itu: “Andaikan Cak Dzan diperkenankan untuk bertemu, berhadapan dan
bertatap wajah dengan Kanjeng Nabi, apa yang Cak Dzan kemukakan kepada beliau?”
Mungkin setiap orang akan memiliki jawaban berbeda-beda atas pertanyaan pengandaian
semacam itu. Cak Dzan sendiri ditanya malam ini mungkin berbeda jawabannya besok malam
atau waktu-waktu berikutnya. Tetapi malam itu dia menjawab: “Saya memohon agar Rasulullah
saw memohonkan Al-Akhirah As-Shughro kepada Allah.…”
“Apa Al-Akhirah As-Shughro itu Cak?”
“Akhirat kecil”, jawab Mbah Dzan.
“Kok ada akhirat kecil. Selama ini istilah yang dikenal adalah Kiamat Kecil. Al-Qiyamah As-
Shughro”
“Saya menghindari istilah itu karena kiamat terlanjur diartikan oleh kebanyakan orang sebagai
akhir dari segala-galanya. Bahkan dibayangkan sebagai bencana paling mutlak atas kehidupan
manusia.…”
“Memang makin lama manusia makin aneh”, Seger nyeletuk di tengah cerita Sundusin, “kiamat
kok dikonotasikan secara negatif, sehingga semua pada ketakutan”
“Kiamat disamakan dengan tamat.…”, Jitul menyambung.
“Dipandang sebagai berakhirnya kehidupan”, juga Toling.
“Kiamat itu tutup buku. Lembar terakhir segala urusan”, Junit tidak ketinggalan, “manusia cinta
benar kepada dunia. ‘Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah
dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari
Kiamat itu akan datang’”. [1] (Fushshilat: 50).

46
Kiamat Sebagai Awal Urusan
“Padahal Qiyamah adalah kebangkitan”, Pakde Sundusin menjelaskan, “kiamat adalah awal
dari urusan yang sebenarnya, kiamat adalah lembaran kedua yang sangat nyata sesudah lembar
pertama yang berisi keputusan-keputusan kita selama hidup di dunia”.
Pakde Sundusin bercerita betapa Mbah Dzan sering merasa putus asa menjelaskan kepada
siapapun yang datang kepadanya, bahwa kiamat itu bukan kelak, tetapi bisa nanti lima menit
lagi, atau bahkan satu menit lagi. Kiamat Besar hanya Allah yang tahu, tetapi bagi setiap
manusia, konteks kiamat dimulai begitu ia diakhiri jatahnya di dunia.
Setiap orang diikat oleh otoritas absolut Allah untuk diambil nyawanya sewaktu-waktu.
Kemudian ditransformasikan menuju formula lanjutan dari kehidupannya. Dan ketika yang
disebut mati itu tiba, maka dimulailah urusan yang sebenarnya.
Dimulailah posisi yang sesungguhnya dari manusia. Konteks dan hakiki kiamat telah dimulai
padanya. Diawalilah kasunyatan sejati: bahwa “Apabila seorang manusia meninggal, maka
terputuslah amalnya, kecuali tiga, yakni sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya,
atau anak saleh yang mendoakannya”. [1] (HR Muslim).
Manusia di muka bumi yang hidupnya, tradisi kebudayaan dan program peradabannya sangat
dikuasai oleh pertimbangan pancaindera, diam-diam selalu berpendapat bahwa kematian
adalah akhir dari kehidupan. Padahal maut adalah awal urusan.
“Terutama manusia abad sekarang ini”, kata Mbah Dzan, “mereka pikir kenyataan hidup adalah
sebatas yang mereka ketahui. Mereka piker yang mereka ketahui lebih banyak dan luas
dibanding yang mereka tidak ketahui. Agama tidak berguna sebagai informasi bagi mereka”.
Di-jothak oleh Allah
Banyak sekali keadaan-keadaan dunia yang mengerikan bagi Mbah Dzan kalau diproyeksikan ke
konteks kiamat. Misalnya ketika nanti nyawanya diambil, ia mendengarkan suara:
”Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah
orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan kehilangan keluarga mereka pada hari
kiamat.’” [1] (Asy-Syuro: 45).
Ya ampun: kehilangan diri sendiri…. Kasus terbanyak pada kehidupan manusia di dunia adalah
kehilangan dirinya sendiri, terseret amat jauh dari fitrah dirinya. Tapi selama masih hidup di

47
dunia, masih ada peluang untuk berupaya memperbaiki keadaan itu, menemukan diri kembali.
Tetapi begitu kiamat-diri tiba, kesempatan pun sirna.
Atau, “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpah
mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian pahala di akhirat, dan
Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih”. [2] (Ali ‘Imron:
77).
“Bisakah kalian bayangkan, kalian rasakan, kalian dalami dan selami”, kata Mbah Dzan,
“kematian adalah the point of no return, titik di mana tak ada jalan kembali. Kita tercampak ke
dalamnya, tulang belulang kita terserak di lubang kuburan, kemudian jiwa kita melayang-layang
tanpa arah untuk menuju atau kembali – karena Allah tidak sudi berjumpa dengan kita, tidak
mau menatap wajah kita, tidak mengucapkan barang satu kata pun kepada kita…. Kita di-
jothak, bahasa Jawa Tengahnya, kita gak di-wawuh oleh Allah bahasa Jawa Timurnya.… apakah
pernah engkau temukan penderitaan batin yang melebihi di-cuekin oleh Allah?”.
Kiamat Sebagai Take-off Nasib
Point of no return adalah istilah yang dipakai dalam dunia penerbangan pesawat. Kalau pesawat
sudah tancap gas sampai tingkat percepatan tinggi di mana panjangnya jalur runway tidak akan
mencukupi untuk digunakan apabila kemudian gas dikurangi menuju berhenti.
Mau tak mau pesawat harus terbang naik. Nasib kita yang sebenarnya sedang take-off. Sampai
nanti “pesawat kehidupan” setiap manusia itu mendarat di landasan di tengah lapangan amat
luas di mana Allah menantikan kita semua, dengan rindu atau murka, dengan cinta atau dengan
pembalasan, dengan kasih sayang atau dengan hukuman.
“Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan;
sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: “Alangkah
besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!”, sambil mereka
memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul
itu”. [1] (Al-An’am: 31).
Kita semua yang menyisihkan Allah dari fokus perhatian kita karena tak tersisa energi jiwa ini
untuk mengambisi-i surga, akan salah tingkah karena pesawat nasib kita ternyata tidak

48
mendarat di surga: kita harus menjalani tahap prosedural untuk berurusan dengan para aparat
Allah, tanpa tahu apakah Allah sendiri akan langsung menemui kita atau tidak.
Kita yang selama bertugas di bumi sibuk membangun dunia dan diri keduniaan kita sendiri di
dalamnya, tidak mendarat sendirian. Melainkan, di punggung, kita memanggul kebodohan,
kesembronoan, kelalaian, dan ketakacuhan yang melahirkan kejahatan dan dosa-dosa. Ada
keranjang kekufuran, kemunafikan, batu-batu keangkuhan sekularisme, egosentrisme,
materialisme, kapitalisme, hedonisme: ghuluwwun….
Jarak Dari Hubban Jamma
Puluhan tahun Brakodin mengamati kehidupan Mbah Dzan. Terkadang ia berada pada suatu
jarak sosial budaya yang membuat di pandangannya Mbah Dzan tampak sebagai “orang yang
hidupnya serba kekurangan”. Di saat lain Brakodin menemukan jarak di mana Mbah Dzan
adalah “orang yang hidup dengan sangat sederhana”.
Bahkan ada juga jarak yang potret Mbah Dzan adalah “orang yang selalu menyiksa dirinya”,
atau “orang yang sangat berpuasa dari kesenangan dunia”. Terkadang ada sisi “ Mbah Dzan
adalah orang yang tidak pernah berbahagia”, namun tiba-tiba terasa “ Mbah Dzan adalah orang
yang tidak pernah menderita”. Atau ada sudut pandang “ Mbah Dzan orang yang tidak pernah
punya apa-apa”, kemudian sebaliknya: “ Mbah Dzan berperilaku seperti orang yang punya apa
saja”.
Tatkala pada suatu malam Brakodin berhasil memancing Mbah Dzan tentang berbagai
pandangan itu, ia berkata “sebenarnya yang terjadi pada diri saya adalah ketakutan yang terus
menerus kalau-kalau saya ini hidup secara berlebih-lebihan”.
Brakodin mensimulasikan istilah “mengalami ketakutan” itu bisa juga berarti “waspada”, “hati-
hati”, “tidak mau semberono”, “sangat menjaga diri”. Atau, jangan lupa, itu juga bisa berarti
Mbah Dzan “sedang menutupi ketidak-punyaan duniawinya”. Atau “pelarian dari gagal
perjuangannya untuk membangun hidupnya”. Bahkan “ Mbah Dzan bukan orang yang sedang
menempuh jalan zuhud atau tasawuf, karena memang dia tidak punya kekayaan dan
kemewahan apa-apa”.
Ngakunya sih Mbah Dzan tak ingin mencelakakan dirinya di hadapan Tuhan karena
mengabaikan peringatan-Nya: “dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan”. [1] (Al-Fajr: 20).

49
Kewajaran Yang Berlebihan
Brakodin pernah dibisiki oleh Mbah Dzan: “Kalau kamu berdiri di suatu titik yang jauh di
seberang hubban jamma, kemungkinan besar kamu akan merasakan seperti yang aku rasakan,
melihat segala sesuatu sebagaimana yang aku lihat, serta tidak menemukan kebanyakan hal-hal
yang semua orang lain melihatnya, bahkan mengejarnya, memperebutkannya, dengan segala
kebencian dan permusuhan”
“Tapi selama ini aku sebenarnya selalu berusaha menghindarkan kalian semua agar tidak
bergeser ke titik itu. Berdiri dan bertempat tinggal di alamat bagian semesta yang itu sangatlah
sepi. Sangat sendiri. Sangat nglangut. Kalau kalian ada di wilayah itu, aku kawatir kalian akan
mengutukku dan menyesali pernah berkenalan denganku, karena mungkin tidak selalu bisa
bersabar dalam kesunyian”.
Padahal itu warga Patangpuluhan sendiri, yang sangat terlatih untuk sepi dan selalu hidup di
pinggiran sejarah. Maka tidak bisa dibayangkan para penghuni dan pelaku mainstream
peradaban abad 20-21 yang sangat menikmati dan membanggakan pencapaian-pencapaian
teknologi dan kebudayaan yang mereka yakini sebagai kemajuan.
“Ambil satu sarjana yang tertinggi derajat keilmuannya”, kata Mbah Dzan, “mohon kepadanya
untuk meneliti, merangkum, menyusun, menggambar senyata dan sedetail mungkin relevansi
ayat “….dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”. [1] (Al-An’am: 141) ini di berbagai bidang kegiatan hidup manusia, dalam
skala kecil maupun besar, mikro ataupun makro. Kalau mereka tidak berpijak di alamat
kesunyian itu, mereka hanya akan menemukan kewajaran-kewajaran menurut koordinat
pandang mereka. Takkan ditemukan kewajaran yang sebenarnya berlebihan”.
Jarak antara Awal dengan Akhir
Menurut Mbah Dzan, seberapa besar tingkat berlebihannya kehidupan manusia, berbanding
lurus dengan jarak antara kehidupan yang ditempuhnya dengan batas fithrah yang ditentukan
oleh Tuhan mereka. Manusia, bahkan kaum cendekiawan di antara mereka, sudah kehilangan
kemampuan untuk mengukur jarak itu. Sebab sepanjang mereka mencari ilmu: mereka tidak
mempelajari rentang jarak antara awal dengan akhir, serta tidak belajar kepada Yang Maha
Awal dan Yang Maha Akhir.

50
Tidak ada kelas Sekolah atau Fakultas di Universitas yang benar-benar mempelajari hal itu dan
sungguh-sungguh belajar kepada-Nya: Al-Awwalu wal-Akhiru. “Dialah Yang Awal dan Yang
Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” [1] (Al-Hadid: 3).
Tidak ada budaya dan institusi pembelajaran tentang itu dalam Peradaban Modern sampai hari
ini, membuat ummat manusia tidak pernah memegang regulasi kepastian tentang fithrahnya,
termasuk Ummat Islam yang setiap tahun gaduh beridul fithri.  Dan tanpa pengetahuan tentang
fithrah dirinya, ummat manusia juga tidak memiliki dasar ukuran untuk menentukan batas atas
kewajarannya dengan keberlebihannya.
Manusia tidak punya parameter untuk mengukur apa yang berlebihan pada pembangunan
Negaranya, pada kemewahan teknologinya, pada eksplorasi dan manifestasi kebudayaannya,
serta pada batas antara kebutuhan dan keinginan di peradabannya.
“Antara keinginan dengan nafsu saja manusia semakin tidak mengerti bedanya”, kata Mbah
Dzan, “apalagi antara keinginan dengan kebutuhan. Maka segala yang berlebihan secara
fithrah, terasa wajar-wajar saja bagi mereka. Bahkan sesuatu yang sangat berlebihan mereka
bilang itu alamiah dan manusiawi”.
Napak Tilas Ilmu Sejati
Kalau tidak karena sudah terlanjur berpuluh tahun merasakan kenikmatan sejati dalam semesta
Mbah Dzan, ada saat-saat Brakodin, Sundusin, Tarmihim, dan semua diam-diam merasa
menyesal. Yakni ketika mereka berpijak di dunia dan menatap dunia. Ketika tinggal di dunia dan
bernafsu membangun dunia. Ketika tidak mempedulikan titik bentangan cakrawala antara Al-
Awwalu dengan Al-Akhiru.
“Salah kalian sendiri kenapa melangkah memasuki kehidupanku”, kata Mbah Dzan menggoda
mereka pada suatu malam, “Aku ini sedang napak tilas Ilmu Sejati.…”
“Kalau napak tilas berarti melangkah balik ke masa silam”, Sundusin mempertanyakan.
“Tergantung pola pandangmu”, jawab Mbah Dzan, “kamu boleh mengalami hidup ini sebagai
bulatan dan kamu berjalan melingkar, dari Al-Awwal menuju Al-Akhir, di mana pada hakikatnya
Awwal adalah Akhir dan Akhir semata-mata adalah juga Awwal”
“Itu yang kami pahami selama ini”, kata Brakodin.
“Tapi melangkah balik juga bisa saja. Begitu kita dilahirkan di bumi, sesungguhnya keperluan
kita hanyalah napak tilas, melangkah balik menuju Al-Akhir atau kembali ke Al-Awwal, yang

51
sebenarnya sama saja. Awwal dan Akhir itu satu titik. Titik Fithri. Kalau ruhmu beralamat di titik
itu, betapa menggelikan menyaksikan manusia di dunia yang menghabiskan tenaga dan waktu
untuk menumpuk segala sesuatu yang tidak fithri, yang akan musnah karena tidak fithri. Bagi
ruh-mu, tidak penting arah ke depan atau ke belakang. Bukan soal Barat atau Timur. Yang
penting madhep mantep “hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada dien Allah.…” [1] (Ar-
Rum: 30).
Fithri Seribu Tahun Lagi
Tarmihim pernah memancing definisi, “Cak Dzan, sebenarnya bagaimana menjelaskan fithri
agar kita utuh memahami dan mengerti?”
Tidak mudah MatkeDzan dipancing. Tapi kali itu ia menjawab, “Jangan pilih satu huruf kalau
kamu tidak bisa menemukan dirimu sepuluh tahun lagi di huruf itu. Jangan ambil satu kata,
kalau di dalam kata itu tak ada lagi dirimu seratus tahun lagi. Dan jangan ucapkan satu kalimat
kalau seribu tahun lagi di dalam ruh dan substansi kalimat itu tak kau temukan lagi dirimu”
Mbah Dzan mengulang lagi firman Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah, teguhkan pijakanmu pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. [1] (Ar-Rum: 30).
Mbah Dzan menambahkan, “Agama tidak harus terutama pada institusinya atau posisinya
sebagai identitas sosial”
Kemudian Mbah Dzan berbisik seperti kepada dirinya sendiri, atau mungkin kepada entah siapa
yang berada bersamanya dalam sunyi dan rahasianya:
“Andaikan Allah bermurah hati, aku sungguh ingin menjadi pelaku dari yang dikisahkan oleh
Allah ini: “Orang-orang munafik itu memanggil orang-orang mukmin seraya berkata: ‘Bukankah
kami dahulu bersama-sama dengan kamu?’ Kaum Mukminin itu menjawab: ‘Benar, tetapi kamu
mencelakakan dirimu sendiri dan meDzanggu kehancuran kami, dan kamu ragu-ragu serta
ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu
terhadap Allah oleh syaitan yang amat penipu’” [2] (Al-Hadid: 14).
Kaki Qithmir Kaum Mbah Dzan
Mungkin tetap ditujukan kepada entah siapa yang bersamanya, yang tak tampak oleh
Tarmihim, Brakodin, dan Sundusin, Mbah Dzan terus berbisik:

52
“Aku sudah berbicara kepada manusia, yang kalau ditulis sudah menjadi lebih dari seratus
buku. Saatnya kini aku berbicara kepada anjing”
Tarmihim Brakodin Sundusin diam-diam berdoa semoga Mbah Dzan tidak kebablasan. Mereka
mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali melirik pandang satu sama lain.
Mbah Dzan menyebut-nyebut ayat. “Kaum yang manakah di antara manusia yang pernah
menghuni dunia yang tidak mendustakan Tuhan? Kaum Nuh mendustakan-Nya [1] (As-Syu’ara:
105). Kaum ‘Aad mendustakan-Nya [2] (As-Syu’ara: 123). Kaum Tsamud mendustakan-
Nya [3] (As-Syu’ara: 141). Kaum Luth mendustakan-Nya [4] (As-Syu’ara: 160). Kaum Fir’aun
mendustakan-Nya [5] (Qaf: 13). Kaum Hudd an Shaleh mendustakan-Nya [6] (Hud: 89). Kaum
Aikah mendustakan-Nya [7] (Qaf: 14). Penduduk kota Al-Hijr mendustakan-Nya [8] (Al-Hijr: 80).”
Tarmihim berbisik sangat lirih ke telinga Sundusin: “Kita tunggu apakah Kaum Mbah Dzan akan
disebut: Kaum Mbah Dzan yang mencintai anjing, sehingga kini hanya berkata kepadanya”
“Karena anjing tidak pernah berubah dari fithrahnya”, Mbah Dzan meneruskan, “Kedua kaki
Qithmir yang menjulur di pintu Kahfi melindungi penghuninya 309 tahun. Anjing dikorbankan
menjadi contoh terburuk dari manusia yang profesi utamanya adalah menjulur-julurkan
lidahnya dalam keadaan senang maupun sedih. Anjing menjadi kata kutukan terburuk pada
kehidupan manusia abad sekarang yang menampilkan diri seolah-olah tidak mengkufuri Tuhan,
namun habis-habisan memunafiki-Nya”.
Allah Menidurkan Mereka
Ternyata Mbah Dzan sangat serius dengan pembicaraan anjingnya. Suatu malam ia berkata
kepada Brakodin, Sundusin, Tarmihim, dan sejumlah warga Patangpuluhan lain yang kebetulan
hadir:
“Kalian adalah kaki depan anjing Qithmir yang menjulur keluar pintu Gua Kahfi. Selama tiga
abad lebih siapa saja yang melewati Gua itu, juga demikian pengetahuan masyarakat luas:
berkesimpulan bahwa Gua itu adalah sarang anjing. Anggapan atau bahkan tuduhan sejarah
bahwa wilayah itu adalah sarang anjing, sesungguhnya sekaligus merupakan perlindungan bagi
para penghuni Gua Kahfi yang ditidurkan oleh Allah”
“Aku turut menitipkan kepada kalian para kaki anjing agar menjadi alat yang lestari, setia, dan
istiqamah untuk menjadi alat perlindungan bagi rakyat yang teraniaya sehingga disembunyikan
oleh Allah di dalam keremangan Gua sejarah itu. Rakyat di dalam Gua itu adalah Kakek Nenek

53
Bapak Ibu dan saudara-saudara kalian sendiri. Mata uang sejarah mereka tidak laku, sebab
rakyat tidak lagi berposisi sebagai pengambil keputusan. Mereka dikelabuhi, diperdaya,
dimanfaatkan, dan hanya boleh hidup sepanjang patuh kepada eksploitasi dan manipulasi atas
mereka. Mereka tiba-tiba menjadi warga dari Negara yang mereka tidak paham. Sesudah
gerakan besar di seberang benua yang bernama Re-Birth, Renaissance, rakyat kalian ditidurkan
oleh Allah di Gua ketidakberdayaan, kegelapan, ketidakmengertian, dan kebodohan”
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur” [1] (Al-Kahfi: 18).
”Allah yang menidurkan mereka. Tiga abad lebih. Allah menyayangi mereka dan merencanakan
sesuatu di masa depan. Aku turut menitipkan kepada kalian. Bukan karena aku berhak
menitipkan…”
Balik Kanan Balik Kiri
“Aku ini bukan siapa-siapa, yang berposisi dan berhak untuk menitipkan apapun kepada
siapapun, apalagi menyangkut nasib rakyat sebuah Negara besar. Tetapi kalian memang harus
menjaga mereka, sambil mempersiapkan diri, sampai saat Allah akan membangunkan mereka
kembali di Hari Kebangkitan”
”Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan
kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan
berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi oleh
ketakutan terhadap mereka”. [1] (Al-Kahfi: 18).
“Allah menidurkan mereka karena sebagai rakyat mereka tidak memiliki kesanggupan
intelektual untuk menampung beban penipuan yang ditimpakan. Mereka sangat berada di
dalam hikmah secara spiritual, serta memiliki ketangguhan mental untuk berada pada posisi
dianiaya berabad-abad lamanya. Tetapi sebagai masyarakat mereka belum sanggup mengurai
dan menata kembali proporsi Neraka yang diinformasikan sebagai Surga kepada mereka, serta
sebaliknya. Mereka diombang-ambingkan dan ditiup seperti daun kering dan asap di antara
Bumi dengan Langit. Allah menidurkan mereka karena tipu daya globalisasi itu terlalu dahsyat
bagi mereka”
“Jasad sejarah mereka, kebudayaan dan kemanusiaan mereka, diombang-ambingkan oleh
pertarungan Ideologi-ideologi, Institusi-institusi Politik dan lalu lintas keuangan, yang membalik-
balikkan posisi sejarah mereka ke kanan dan kiri. Maka demi mendalamnya cintaku sebagai

54
orang tua kepada mereka, aku numpang ikut menitipkan keterlindungan mereka di dalam Gua
itu dengan kaki anjing kalian”.
Haudhuna wa Kautsaruna
Tarmihim iseng bertanya kepada Mbah Dzan: “Lha Sampeyan mau ke mana kok titip-titip ke
kami”
Mbah Dzan tersenyum. “Inna a’thoinakal kautsar…” [1] (Al-Kautsar: 1).
“Belum tentu tepat pemahaman kami atas titipan itu”, Sundusin menyambung, “apa yang
dititipkan, bagaimana cara menjalankan titipan itu, sampai kapan penitipan itu berlaku…”
Mbah Dzan menjawab ringan seolah-olah ini masalah penitipan sepeda. “Hari-hari Kelahiran
Kembali di seberang Benua sana berlangsung antara abad 14 hingga 17. Imigrasi nilai-nilainya
ke Nusantara katakanlah memerlukan satu abad untuk hampir sempurna. Maka Tuhan
menidurkan bangsa kita antara abad 18 hingga 21. Tepatnya 309 tahun. Mungkin itu semacam
satuan Daur Sejarah dalam program Tuhan, wallahu a’lam. Juga untuk sampai 309 tahun itu
persisnya kapan tolong dicari dan dihitung”
Brakodin menambah pertanyaan, “Kok kami yang harus mencari dan menghitung. Kami kan
cuma dititipi”
“Aku kan hanya menitipkan, kalian yang dititipi, maka kalian yang memperhatikan dan merawat
titipan itu”, jawab Mbah Dzan.
“Lha Sampeyan mau ke mana…”
“Aku sudah tua renta. Aku perlu pergi mengembara. Siapa tahu Allah mengizinkan dan
membimbing ke suatu wilayah di mana aku diperkenankan menatap dari jauh Haudhuna wa
Kautsaruna. Haudh adalah telaganya Kanjeng Nabi. Luasnya sejauh orang menempuh
perjalanan sebulan. Cawan-cawan penciduk air sucinya sebanyak bintang-bintang di langit.
Allah juga menjanjikan Kautsar. Aku ingin melihat bagaimana para pembenci Allah terputus
kekuasaannya. Inna syani-aka huwal abtar” [2] (Al-Kautsar: 3).
Memohon Percepatan Balasan
Tentu Brakodin sulit menceritakan itu. Untung Junit tiba-tiba bertanya, menegaskan tema
semula, “Jadi bagaimana penjelasan Mbah Dzan tentang Akhirat Kecil”
“Itu ungkapan ketidaktegaan hati Mbah Dzan melihat kehidupan orang kecil, rakyat jelata, yang
selalu dibodohi, diakali, ditipu, diperdaya, dan dibikin kecelik berabad-abad lamanya”, jawab

55
Sundusin, “demikianlah yang selalu terjadi sejak zaman komunalitas, Kerajaan, Negara, dan
Globalisasi. Tetapi Allah tetap menyembunyikan rahasia yaroh…”
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun akan melihat balasannya. Dan barang
siapa melakukan keburukan seberat zarrahpun akan melihat balasannya” [1] (Al-Zalzalah: 7-8).
Kata Mbah Dzan, dalam firmanNya Allah memberi jaminan mutlak bahwa setiap hamba-Nya
akan menerima balasan baik atau buruk sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Yang
menjadi masalah adalah manusia, yang jiwanya dididik oleh kebudayaan menjadi sangat
sederhana, dangkal, sempit, dan terikat oleh tradisi kasat-mata – sangat membutuhkan
percepatan balasan Allah yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, serta bisa dirasakan
oleh indera.
Sangat banyak orang biasa, manusia awam atau rakyat kecil yang sering tak bisa menahan
kesedihannya karena melihat para penguasa yang lalim dan kejam tidak kunjung dibalas oleh
Allah. Mbah Dzan merasakan sesungguhnya hati kebanyakan orang sudah hancur luluh lantak
oleh merajalelanya kejahatan yang seolah-olah dibiarkan saja oleh Allah.
Kebanyakan dari mereka hidupnya menjadi kecil hati. Sebagian menjadi tidak percaya diri.
Bahkan tidak sedikit yang kehilangan iman kepada kasih sayang Allah.
Betapa Bahagia dan Frustrasi
Brakodin mengisahkan betapa Mbah Dzan sangat bergembira oleh banyak janji-janji Allah
untuk membalas perbuatan para penguasa dunia yang dhalim. Tetapi kegembiraan itu pada
akhirnya membuatnya menangis.
“Dan janganlah sekali-kali kamu Muhammad mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang
diperbuat oleh orang-orang yang dhalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada
mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak” [1] (Ibrahim: 42).
Bagaimana mungkin tidak bergembira oleh pernyataan bahwa Allah takkan lalai terhadap
kedhaliman manusia. Tapi bagaimana tidak menangis tatkala takkan pernah diketahuinya
seberapa lama Allah memberi tangguh untuk membalas mereka.
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. [2] (An-Nahl: 126).

56
Seorang perwira tinggi militer menawarkan kepada Mbah Dzan dua hal: berbagai jenis bom
untuk diledakkan, serta dua prajurit pilihan untuk melakukan peledakan itu kapan saja Mbah
Dzan menghendaki. Mbah Dzan heran terhadap tawaran itu, Sang Perwira menjawab: “Apapun
yang Cak Mbah Dzan lakukan, kami percaya sepenuhnya, karena kami yakin pasti dengan niat
dan tujuan yang baik”.
Tetapi Mbah Dzan menangis lagi: bagaimana mungkin ia menolak tawaran Allah untuk memilih
yang lebih baik? Tuhan menyatakan keadilan bahwa manusia berhak membalas kejahatan
sepadan dengan yang ditimpakan kepadanya. Tetapi jika ia bersabar, Tuhan akan menaikkan
derajatnya ke maqam kemuliaan. Betapa bahagia dan betapa frustrasi.
Tidakkah Neraka Memuaskanmu
Betapa banyak Allah memaparkan kisah tentang kedhaliman dan tipu daya manusia, kemudian
pernyataan pasti membalasnya. Bagaimana mungkin Mbah Dzan tidak menjadi tenang dan
bergembira karena itu. Akan tetapi kebobrokan dan kehancuran yang berlangsung di
sekitarnya, di era sejarah yang ia sedang mengalaminya, membuat Mbah Dzan hampir selalu
gagal untuk bersabar.
Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti
orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian
belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat besar”. [1] (Nuh: 21-22).
Mbah Dzan menertawakan dirinya sendiri: Wahai Mbah Dzan, memangnya siapa yang
mendurhakaimu? Para penindas di Negerimu itu mendurhakai Allah, bukan mendurhakaimu.
Kenapa yang rewel kamu?
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan
kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka
kerjakan”. [2] (Ali ‘Imron: 120).
Wahai Mbah Dzan, apakah selama puluhan tahun hidupmu ada penguasa yang berani
menyentuhmu? Apakah engkau ditimpa oleh penindasan dan tipu daya mereka? Apakah
kemerdekaan dan ketidak-tersentuhan hidupmu oleh tangan penguasa, tidak cukup bagimu
sebagai bukti dari kepedulian dan perlindungan Tuhan kepadamu?
Tuhan sangat tegas menjanjikan neraka bagi para penindas di bumi, apakah itu tidak cukup
bagimu? Apakah dahsyatnya neraka masih kurang memuaskan nafsu balas dendammu?

57
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. [3] (Yasin: 21).
Mbah Dzan Belajar Ngaji
Sejak itu Mbah Dzan melahirkan dirinya kembali, entah untuk yang keberapa kalinya. Dan ia
berkata, “Sangat kecil kemungkinanku untuk haq, sementara sangat besar kepastianku
untuk bathil. Aku debu dan kepandiran, diterbangkan oleh angin dan diombang-ambingkan di
angkasa, melayang-layang di kekosongan”.
Ah, sebenarnya ini agak didramatisir. Aslinya Mbah Dzan itu belajar ngaji kembali. Ia
mengulang seperti zaman di Langgar dahulu kala.
“Kuawali kembali ini tanpa kuasa atas awal, dan akan kuakhiri tanpa pengetahuan tentang
akhir. Tiba-tiba kutuliskan ini tanpa kuasa atas tulisan, tanpa mengerti asal usul huruf, serta
tanpa kesanggupan untuk bertanggungjawab atas kata, kalimat serta susunannya. Di manakah
pintu gerbang Iqra`? Aku merebahkan seluruh hidupku. Aku menyerahkan semua benar
salahku, baik burukku dan indah jorokku. Aku merangkak kepada Allah dengan dua kaki
ketakberdayaan dan dua tangan kerinduan, untuk mengemis ampunan dari Tuhan. Aku terpana
karena takjub oleh keagungan-Nya. Jiwaku melantunkan nyanyian syukur, atas kebijaksanaan-
Nya memenjarakanku di dalam ujian kekerdilan, cobaan kelemahan, jebakan keterbatasan serta
pesona kesombongan.”
“Aku sirna dalam kesadaran tentang kegelapanku. Aku musnah dalam pengetahuan tentang
ketiadaanku. Aku luluh lantak di hadapan cahaya kesucian-Mu. Mushaf Al-Qur`an di hadapanku.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu”. [1] (Fusshilat: 53). Mohon ajari hamba Iqra`.
Mewajah ke Langit
Mushaf Al-Qur`an di atas telapak tanganku yang mewajah ke langit. Qur`an Kehidupan
menghampar di keluasan yang mengelilingiku, yang bergetar-getar di ruang yang
mengepungku, yang keluasannya berbatas ketakterhinggaan. Aku terayun-ayun di jagat
raya Iqra`.

58
Kedua mataku menatap deretan huruf-hurufnya, perkusi harakat-harakatnya, irama alunannya,
nada penekanan-penekanannya, aransemen kata dan kalimat serta kandungan rahasia
maknanya. Penglihatanku merenangi huruf-huruf Al-Qur`an, batinku mengembarai alam, hutan
belantara, gunung-gunung, lautan yang mentakjubkan dan gelombangnya yang penuh
kesetiaan, sungai-sungai, pepohonan, jutaan ragam hewan, serangga, hingga ke langit yang
terletak jauh di luar pembayanganku.
Aku terlempar dan terjerembab di dataran terjal hidupku sendiri. Aku tergeletak di tanah
berbatuan diriku sendiri. “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya
kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”. [1] (Ar-
Rum: 8).
Tidak. Kallaa. Sama sekali tidak. Kedunguanku takkan kubiarkan menafsirkan atau apalagi
menafsir-nafsirkan Al-Qur`an, yang cahayanya terang benderang, namun kelam di pandangan
kebodohanku, serta remang-remang di penglihatan kedunguanku. Aku pandir, dan takkan
kulepas untuk memahami dan memaknainya. Aku hanya membacanya, mengucapkannya,
kemudian sesekali menirukan kutipan ayat-ayatnya.
Syukur atas anugerah ilmu dari-Mu ya Allah untuk melayani dunia. Tetapi yang kubawa kepada-
Mu hanya kerinduan untuk bertemu.
Cahaya Mencahayai Dirinya
Maha Suci Allah dari segala kebatilan yang dikandung oleh perkataanku. Maha Agung Ia dari
segala kotoran yang termuat oleh ucapanku.
Allah, satu-satunya yang ada. Satu-satunya yang sejati ada. Yang Maha Sejati Ada. Yang
Sungguh-sungguh Maha Sejati Ada. Sedangkan aku, siapapun dan apapun selain Ia, hanyalah di-
ada-kan olehNya. Posisinya seakan-akan ada. Hanya diselenggarakan, diciptakan,
dipertunjukkan, diperjalankan olehNya. Hanya diambil dari Maha Diri-Nya Sendiri. Hanya
dicipratkan, dicuil, diulur, dilemparkan, untuk kemudian ditarik kembali, diserap dan
dipersatukan kembali dengan-Nya.
Segala yang selain Ia, hanyalah keniscayaan yang tidak niscaya. Allah mengungkapkan cinta
dengan memancarkan cahaya. Cahaya yang Ia cintai dan Ia puji. Segala yang diciptakan

59
hanyalah bagian dan kelanjutan dari yang menciptakan. Dan segala yang diciptakan oleh Allah
hanyalah bagian dari Maha Diri-Nya sendiri, serta merupakan wujud ungkapan dari kemauan-
Nya sendiri untuk menciptakan dan menyelenggarakan.
Allah sendiri menyatakan dengan kalimat terang benderang bahwa Ia Sendiri adalah Maha
Cahaya. Maha Cahaya yang menyinari langit dan bumi, yang Ia sendiri pula yang
menciptakannya. [1] (An-Nur: 35). Yang disinari oleh beliau Sang Maha Cahaya adalah cipratan
cahaya-Nya sendiri. Adalah “sedekah penciptaan”-Nya sendiri, yakni cahaya yang memadat dan
mewujud menjadi empat tingkat wujud jasad.
Yakni benda. Kemudian benda yang berketumbuhan. Lantas benda yang berketumbuhan,
berdarah daging dan bernafsu. Serta benda yang berketumbuhan, berdarah daging, bernafsu
dan berakal. Dalam pemetaan kemakhlukan itu manusia mencari dirinya dengan menggunakan
kecerdasan akal dan ketajaman rohaninya. Wahai Iqra` menyerapku.
Setetes Tinta Kekerdilanku
Yang benda saja pun, yang jasad dan kasat mata belaka pun, aku tak sanggup menjangkau biar
hanya seserpih. Iqra`ku terbuntu.
Tak kunjung usai perdebatan tentang bumi ini bulat atau datar. Tentang kandungan yang
sebenarnya ruang terdalam dari tanah yang kupijak. Tak terhitung jumlah debu dan zarrah tiada
terhingga. Tak tersentuh bilangan terkecil dan tak terbayangkan angka yang terbesar, tertinggi
atau terbanyak. Iqra`ku terbengkalai.
Manusia menyepakati satuan-satuan, namun ilmu dan pengetahuannya tak kan pernah
menjangkau ujung ruang dan waktu yang manusia merekrut pemahamannya melalui satuan-
satuan. Manusia dikurung di dalam penjara yang bernama cakrawala, angkasa, tak terhingga.
Manusia berusaha meneropong jagat raya, yang terdekat dari keberadaan dirinya. Manusia
memprasangkai tata surya, galaksi, satu ruang misteri alam semesta, kemudian diganggu oleh
probabilitas bahwa jumlah alam semesta – yang satu sajapun tak terjangkau — itupun mustahil
kalau hanya satu. Bagaimana jika ternyata tak terhingga pula. Demikianlah pencerapan akal dan
ketakjuban jiwa serta rasa syukur kalbu.
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)” [1] (Al-Kahfi: 109). “Dan seandainya pohon-pohon di bumi

60
menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya. dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [2] (Luqman: 27).
Betapa kerdilnya aku. Setiap Iqra` mencerminkan kekerdilanku.
Satu Titik Sejati
Perwujudan yang lain dari cahaya kehendak-Nya adalah para Malaikat, Jin, dan manusia. Serta
mungkin saja ada ribuan makhluk lain yang mata ilmuku tak kan pernah sanggup
mengetahuinya. Sebagaimana aku tak bisa menjawab keraguan bahwa manusia, dimulai oleh
Bapak Adam, adalah penghuni pertama di bumi.
Allah menginformasikan bahwa ia menciptakan Khalifah di bumi. [1] (Shad: 26), [2] (An-Naml:
62), [3] (Al-A’raf: 129), [4] (Al-Baqarah: 30), [5] (Fathir: 39). Itu tidak sama dengan “menciptakan
manusia di bumi”. Lebih jauh tidak juga “menciptakan manusia pertama di bumi”. Lebih jauh
lagi bukan “Adam adalah manusia yang pertama kali diciptakan di jagat raya”.
Tetapi di antara beragam perwujudan cahaya yang tak terhingga itu terdapat cahaya inti yang
dijasadkan menjadi Muhammad bin Abdullah, yang Ia sangat mengasihinya. Allah meng’insan-
kamil’kan Muhammad sehingga Ia percaya untuk dipegangi dan dititipi wahyu keindahannya
yang Ia beri nama Al-Qur`an. Betapa benderang cahaya di seberang Iqra`.
Namanya dipakai menamai bayi-bayi, terbanyak di antara nama-nama lainnya. Dinyanyikan
dengan jumlah lagu yang terbanyak ragam notasi dan aransemennya sepanjang sejarah. Ia
pemegang rekor dalam hal mencintai dan dicintai manusia. Ia juga menanggung fitnah paling
keji, kesalahpahaman paling mengerikan, serta tingkat kebencian yang tak pernah menimpa
siapapun manusia dan makhluk apapun di manapun lainnya.
Akan tetapi, betapa mentakjubkannya Iqra`:  semakin banyak ia dikutuk, dihardik dan dihina,
semakin banyak banyak penduduk bumi yang mencintainya. Serta mengikuti jejaknya,
menempuh perjalanan sejati menuju Allah, yakni Satu Titik Sejati awal sekaligus akhirnya.
Dosa dan Cinta
Siapapun yang mencintainya, tak kan pernah tahan untuk tak menyatakan cinta kepadanya.
Apalagi Allah sendiri yang mempeloporinya. Allah dan para Malaikat, melakukan “shalat”
kepadanya. [1] (Al-Ahzab: 56).

61
Cara cucu mencintai Kakeknya berbeda dengan cara Kakek mencintai cucunya. Bentuk laku
penghormatan buruh kepada majikannya, berbeda dengan cara majikan menghormati
buruhnya. Cara shalat hamba kepada Tuhannya berbeda dengan cara Tuhan melakukan shalat
kepada hambanya. Cara mencintai suami kepada istrinya, melahirkan perilaku yang berbeda
dengan perilaku istri dalam mencintai suaminya.
Maka diperlukan transformasi penerjemahan, agar melahirkan pemaknaan yang lebih aman,
dengan “Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi”. Betapa Iqra` bisa sangat
berbahaya di dunia.
Landasan para hamba ber-ittiba’ kepada Rasulullah Muhammad saw adalah cinta. Karena cinta,
untuk cinta. Bermula dari cinta, berakhir pada cinta. Aku bersyahadat, melakukan shalat, puasa,
zakat dan haji, sangkan-parannya adalah cinta. Aku beriman kepada Allah, para Malaikatnya,
Kitab-Nya, Rasulnya, hari akhir, serta Qadla dan Qadar, sangat mengakar rasa dalam jiwa,
sangat tegak pemahaman di pikiran, serta sangat nyaman dalam lelaku – karena berhulu dan
berhilir cinta.
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [2] (Ali ‘Imran:
31).
Allah memastikan bahwa pengampunan dosa secara sangat mendasar berkaitan dengan
“Segitiga Cinta”: mata air dan muara cinta, antara Ia dengan hamba-hambaNya, serta dengan
Muhammad kekasih utamaNya. Sekali lagi: betapa Iqra` bisa sangat berbahaya di dunia.
Maulidun Nuzul
Sedangkan Nabi Isa, sangat menyentuh hati Maryam Ibundanya, tatkala bayi dituntun oleh
Allah untuk berkata-kata, menyatakan siapa dirinya, serta mengucapkan selamat atas
kelahirannya, atas kematian serta atas dibangkitkan kembali. Di Negeriku orang ribut hal Iqra`
kelahiran Isa ini.
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku
meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” [1] (Maryam: 33). Bahkan Allah
sendiri merayakan kelahiran Isa, kematian dan kebangkitannya kembali. “Kesejahteraan atas
dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup
kembali”. [2] (Maryam: 15).

62
Bagaimana mungkin para pengikut Muhammad, yang mengikuti Muhammad dengan asal usul
karena mencintai Allah, bisa tahan hatinya untuk tidak juga merayakan kelahiran Muhammad?
Mencintai dan mengikuti Muhammad pastilah berada di dalam spektrum cinta yang lebih besar
kepada Allah. Sehingga kalau Allah merayakan Isa yang dicintainya, tidakkah merayakan
Muhammad adalah bagian dari dialektika iman dan kepatuhan kepada Allah serta cinta kepada
Isa dan Muhammad?
Maka para pecinta Muhammad merayakan “Maulid Nabi” setiap 17 Ramadlan, hari tatkala
wahyu pertama diturunkan kepada Muhammad, yang menandai momentum diangkatnya
Muhammad sebagai Nabi. Betapa gegap gempitanya perayaan cinta “Maulidun Nuzul” di bulan
Ramadlan itu. Turunnya Iqra` adalah detik awal kenabian Muhammad.
Kemudian juga merayakan “Maulid Muhammad” setiap 12 Rabi’ul Awwal. Allah dan Nabi
Muhammad tidak pernah memerintahkannya, dan juga tidak pernah melarangnya. Wajib
melakukan apa yang diperintahkan, dan boleh melakukan apa yang tidak dilarang. Iqra`,
wahai, Iqra`.
Al-Qur`an Melekat Batin
Di malam Maulid Nabi sekaligus Nuzulul Qur`an itu, bolehkah aku meng-Iqra` Al-Qur`an? Atau
kapan saja, bolehkah aku membacanya? Lebih jauh lagi: memahaminya, memaknainya,
menafsirkannya?
Tapi aku hanya setitik debu. Tak berarti apa-apa di hadapan-Nya, dan bukan siapa-siapa di
dunia. Padahal “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [1] (Al-Waqi’ah: 79).
Apakah Al-Qur`an adalah kesucian muatan wahyu-Nya, ataukah lembaran dan tulisan
Mushafnya?
Andaikanpun tidak ada kesepakatan para Ulama untuk melarang aku menyentuh Mushaf Al-
Qur`an dalam keadaan berhadats, aku juga tak kan menyentuhnya. Ibu Bapak mengajariku
sopan santun. Kotornya diriku tak kan kubiarkan menyentuh Al-Qur`an. Aku sangat mencintai
dan menjunjung Al-Qur`an, termasuk Mushafnya, sehingga takkan kukotori.
Tetapi sudah terlanjur ada huruf, kata dan kalimat wahyu Allah yang menempel di dinding
batinku, menjadi bagian dari jiwaku, menjadi sesuatu yang mengalir di dalam pikiranku. Kalau
“tidak menyentuhnya kecuali orang yang disucikan”, sedangkan pikiranku, batinku, hati dan
jiwaku tidak pernah benar-benar suci: bagaimana Iqra` dilaksanakan? Bagaimana cara

63
memisahkan dan mengurai kata-kata wahyu itu, melepas atau memisahkannya dari jiwa
kotorku, agar aku tak berdosa?
Kalau memori pikiranku sudah menghapal sejumlah kalimat Al-Qur`an, itu berarti aku bukan
hanya menyentuhnya, tapi sudah selalu menempel, melekat, dan menyatu dengannya. Jadi
betapa aku selalu berdosa. Meskipun aku selalu menjaga wudlu, tetapi batin dan jiwaku tak
pernah benar-benar suci, padahal sejumlah wahyu sudah tak mungkin lagi kupisahkan dan
kubuang dari diriku. Ayat-ayat Al-Qur`an berdetak di jantungku, mengalir di darahku, bergetar
dalam cintaku.
Berdetak dan Mengalir
Kalau jasadku sedang berhadats dan belum bersuci kembali dengan wudlu, bolehkah terucap
dari mulutku “Subhanallah”, “Alhamdulillah” atau “Bismillahirrahmanirrahim”? Bolehkah aku
membaca Al-Qur`an tanpa menyentuh Mushafnya? Bolehkah kata Iqra` melintas di benakku?
Apakah mengucapkannya tidak berarti menyentuhnya? Lebih dari itu: bukankah kata-kata Al-
Qur`an itu sudah menjadi bagian dari batinku, dan batinku menjadi bagian dari dirinya? Bahkan
andaikanpun tidak kuucapkan dengan bibirku, tidak kubaca dari Mushaf, tidak ada pengucapan
dariku dhahir maupun batinku: tidakkah kalimat-kalimat wahyu itu tetap terletak dan berada di
dalam batinku, pikiran dan jiwaku, yang belum pernah benar-benar suci itu?
Pernah ada yang menuduh bahwa yang diaku oleh Muhammad sebagai wahyu sebenarnya
berita dari Syaithan, sehingga Allah menjawab: “Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah bacaan
yang mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Al-Mahfudh). Tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Yang Maha Pengasuh. Maka apakah kamu
anggap remeh Al-Qur`an ini?” [1] (Al-Waqi’ah: 77-81).
Apakah “la yamassuhu” itu konteksnya boleh atau tak boleh, halal atau haram, harus atau
jangan, bisa atau tak bisa, mampu atau tak mampu, sampai atau tak sampai, mungkin atau
mustahil, diperkenankan atau tak diperkenankan? Wahai ajarkanlah Iqra` kepadaku.
Atau yang dimaksud adalah, misalnya: kecuali jiwamu, pikiran, hati, jiwa, dan hidupmu
disucikan oleh Allah, maka engkau mustahil diperkenankan untuk mampu bersentuhan dengan
kebenaran informasi Al-Qur`an, maknanya, hidayah dan berkahnya?
Allah Maha Tahu, Iqra`, dan aku amat sangat tidak tahu.
Menyentuh dan Disentuh

64
Apakah begini maksudnya: kalau engkau tidak dalam keadaan “muthahhar”, maka tiada Iqra`,
takkan terjangkau olehmu kabar ilmu dan pengetahuan dari Al-Qur`an, apalagi makna dan
hikmahnya, terlebih lagi fungsinya sebagai hidayah Allah. Engkau tidak akan menyentuhnya,
atau ia tidak akan menyentuhmu.
“Muthahhar”. Tersucikan atau disucikan. Oleh Allah, karena kemurahan-Nya, cinta dan
kedermawanan-Nya. Berarti tindakan pensucian itu harus juga dilakukan oleh diriku dan dirimu
sendiri, sehingga ada semacam kerjasama perubahan antara engkau dengan Allah. Sebab “Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan diri mereka
sendiri”. [1] (Ar-Ra’d: 11).
Tentu aku dan mestinya siapapun senantiasa harus mengupayakan proses dan tindakan
pensucian diri secara keseluruhan dan terus menerus semampu-mampunya. Pensucian secara
keseluruhan, dari badan, hati, pikiran, jiwa, perilaku dan bagian apapun saja dari diri. Tak akan
kutawar jasad saja ataukah jasad dan batin, tak perduli bagaimana gradasi dan pembatasan
hukumnya. Asalkan perkara kesucian, kuambil saja keseluruhan dan keutuhan. Iqra` setuntas-
tuntasnya.
Allah berhak menanamkan ilham atau hidayah kepada seseorang yang berada dalam keadaan
tidak suci jasad, bahkan tidak suci rohani. Bukankah hidayah adalah justru perkenan Allah
kepada manusia kotor untuk disucikan? Allah memegang hak absolut atas apa saja, dan Ia
Maha Suci dari bantahan manusia. “Ia menciptakan apapun yang dikehendakiNya. Ia berkuasa
atas segala sesuatu”. [2] (Al-Maidah: 17).
“La yamassuhu illal muthohharun” mungkin ternyata efektivitas makna dan manfaatnya adalah
soal kita menyucikan diri atau tidak.
Membayangkan Wajahnya
Iqra`. Aku, setitik debu, di antara tak terhingga jumlah debu yang menghampar di permukaan
bumi. Maha Suci Ia dan amatlah kotor aku.
Aku tak sungguh-sungguh tahu diriku. Tak pula pernah benar-benar aku ketahui berapa kali
Allah menciptakan manusia, dan aku ini jenis yang keberapa. Tak bisa kupastikan apakah ada
sekian tahap kuantitas jasad dan kualitas ruh manusia. Apakah Adam adalah manusia pertama,
ataukah manusia yang pertama disempurnakan sebagai manusia. Semacam finishing dari
proses panjang evolusi dan revisi-revisi.

65
Apakah Allah tidak Maha Suci dan Maha Segala-galanya sehingga memerlukan revisi? Apakah
Allah tidak Maha Suci dari kelemahan dan ketidaktahuan, sehingga tatkala mengambil
keputusan untuk menciptakan Adam, para Malaikat menawarnya. “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” [1] (Al-Baqarah: 30)
Aku tidak akan memperdebatkan apakah kalimat Malaikat itu berdasarkan pengalamannya
ataukah pengetahuannya tentang masa depan. Empirisme ataukah futurologi. Aku hanya setitik
debu. Batas tindakanku hanyalah bersujud menyembah Allah, mencintai dan mengikuti jejak
Muhammad kekasih-Nya. Aku hanya belajar Iqra`.
Tetapi karena aku tidak dihidupkan oleh Allah pada waktu yang aku bisa langsung menyapa
Muhammad dan menyatakan cinta kepadanya, maka Al-Qur`an adalah perangkat utama untuk
merasa bersentuhan dengannya. Setiap memandang Mushaf Qur`an aku membayangkan
wajahnya. Setiap aku menatap dan membaca huruf-hurufnya aku berkhayal seakan-akan
sedang mendengarkan suaranya.
Al-Qur`an Sembarang Orang
Aku mengangan-angankan wajah Muhammad. Aku membayangkan gerak-gerik dan suaranya.
Tetapi yang ada di depan pandangan mataku adalah huruf-huruf yang berderet-deret
berangkai-rangkai di lembaran-lembaran Mushaf Al-Qur`an.
Sesering mungkin dan semampu-mampuku kubaca Al-Qur`an dengan menikmati kerinduanku
kepada Muhammad. Bibirku bergerak membaca kalimat-kalimat Al-Qur`an, tapi bersamaan
dengan itu sangat sering terdengar dari ruang dalam diriku sendiri lelaguan “Shallallahu ‘ala
Muhammad, shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Allah memberitahukan dan kurasakan sendiri bahwa Ia meletakkan hati dan akal pada diriku.
Bolehkah hati dan akal pikiranku bertemu dan bersilaturahmi langsung dengan ayat-ayat Al-
Qur`an? Bolehkah aku bergaul secara otentik dengan Al-Qur`an? Karena Al-Qur`an bukan hanya
kata, tapi juga makna, maka adakah kemungkinan aku memperoleh langsung maknanya?
Karena untuk memperoleh makna aku harus berupaya memahami, maka bolehkah aku
berusaha memahami Al-Qur`an? Dan karena untuk memahaminya seringkali aku perlu
menafsirkan, berhakkah aku menafsirkannya?

66
Dikabarkan bahwa menafsirkan Al-Qur`an tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Tidak
semua orang berhak menafsirkannya. Sedangkan aku ini sembarang orang, aku hanya bagian
dari semua orang, bukan orang khusus yang bukan sembarang orang. Aku bukan Ulama.
Padahal “Al-Qur`an ini tak ada keraguan padanya: petunjuk bagi yang bertakwa”. [1] (Al-
Baqarah: 2). Bagaimana ini. Aku tidak bersekolah, apalagi kuliah tafsir. Mungkinkah aku
memperoleh petunjuk? Bagaimana aku tahu memperoleh petunjuk atau tidak, kecuali dengan
rasa hati dan kesadaran akal?
Larangan Berpendapat
“Barang siapa menafsirkan Al-Qur`an dengan menggunakan pendapatnya sendiri, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka”. [1] (HR At-Tirmidzy
dan Ibnu Abi Syaibah)
Wahai Rasulullah Saw, Muhammad Bagindaku, ajarilah bagaimana memahami peringatanmu
itu, jika memang itu adalah peringatan darimu. “Man fassaral Qur`ana biro`yihi, falyatabawwa`
maq’aduhu minannar”. Andaikan aku mencoba memahami ayat Allah dengan menafsirkannya,
maka pelakunya pastilah aku sendiri. Bagaimana maksud Baginda bahwa aku tidak boleh
“menggunakan pendapatku sendiri”?
Apakah tatkala membaca Al-Qur`an harus kujaga jangan sampai aku berpikir, karena dengan
berpikir maka muncullah pendapatku? Ataukah aku harus mengosongkan pikiranku, sehingga
yang masuk ke dalam diriku hanya ayat-ayat Allah? Bukankah kalau demikian berarti tidak
diperlukan Tafsir, karena Tafsir Al-Qur`an bukanlah Al-Qur`an? Ataukah maksud Baginda, Imam
Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki dan semua Ulama tidak boleh menggunakan
pendapatnya?
Aku curiga dan menertawai diriku sendiri, serta merasa geli oleh pertanyaanku apakah para
Ulama tidak boleh menggunakan pendapatnya. Tentu ada nalarnya, ada konteksnya, ada alur
metodologisnya, ada aturan ilmiah dan akademiknya.
Aku hanya cemas kalau Allah melihatku tidak berada di antara “Orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. [2] (Ali ‘Imran:
191).

67
Tafsir Bebas Nafsu
Para Ulama mengatakan bahwa yang menafsirkan Al-Qur`an harus sehat aqidahnya. Bagaimana
aku tahu sehat tidaknya aqidahku? Siapa yang kupercaya untuk menilai sehat tidaknya
aqidahku selain Allah sendiri dan Baginda Rasulullah? Menafsirkan Al-Qur`an harus terbebas
dari hawa nafsu. Kalau aku menilai dan meyakini bahwa diriku bebas dari nafsu tatkala
menafsirkan, apakah ada yang mempercayaiku?
Tetapi kepada orang-orang yang bukan aku, meskipun Ulama — tetapi mereka bukan Allah dan
bukan Baginda Rasulullah, yang menilai aku bebas atau tidak dari nafsu — apa landasan yang
kupakai untuk mempercayai mereka?
“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui segala isi hati”. [1] (Fathir: 38). Apakah ada Tuhan-tuhan yang selain Allah,
misalnya manusia yang pandai dan terpelajar, yang khalayak mungkin menyebutnya Ulama
atau Cendekiawan – yang mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi, termasuk yang
tersembunyi dalam batinku?
Andaikanpun pada perilaku seseorang terdapat gejala yang mencerminkan nafsu di dalam
dirinya, siapakah selain Allah yang bisa memastikan kebenarannya? Apakah keterpelajaran dan
kesarjanaan seseorang membuatnya “mengetahui yang tersembunyi di langit dan bumi”? 
Sehingga bisa dipercaya sebagaimana Allah?
Pecintamu yang awam ini ya Rasulullah, sangat takut akan mungkin terpeleset menjadi
orang fasiq, sebagaimana wanti-wanti Allah: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang
lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang fasik”. [2] (Al-Hasyr: 19).
Al-Qur`an Hak Para Ulama
Mungkin Al-Qur`an yang diturunkan melalui Kanjeng Nabi itu diperuntukkan khusus untuk para
Ulama. Mungkin para Ulamalah yang punya hak atas Al-Qur`an. Maka tolong rahasiakan bahwa
aku membaca Al-Qur`an, bahkan juga berusaha memahaminya. Dan jika aku mencoba
memahaminya, berarti tak bisa mengelak untuk menafsirkannya, seberapapun kadar tafsirnya.
Mungkin memang di antara aku, hamba-hamba Allah, dan Kaum Muslimin seluruhnya, dengan
Al-Qur`an: harus ada Ulama Tafsir. Untuk memahami Al-Qur`an, harus diantarkan dan dipandu
oleh Ulama dengan Tafsirnya. Jadi hitunglah sendiri berapa Ulama yang dibutuhkan bagi sekian

68
ratus juta Kaum Muslimin, betapa sibuk para beliau, betapa tak terbayangkan mekanisme dan
waktu yang diperlukan, agar Kaum Muslimin bersambung dengan Al-Qur`an. Betapa jauh jarak
antara Al-Qur`an dengan Ummat Islam.
Mungkin untuk memperoleh pengalaman intelektual dan spiritual dengan Al-Qur`an, setiap
Muslim harus membaca buku-buku Tafsir. Yang jumlahnya sangat banyak, dan boleh ditulis lagi
oleh Ulama-Ulama yang baru tanpa ada batasnya. Yang salah satu kemungkin hasilnya adalah
kebingungan memilih di antara sangat banyak pendapat-pendapat dalam peta penafsiran.
Mbah Dzan mengumumkan kepada warga Patangpuluhan, “Hendaknya kalian mengetahui dan
memastikan pengetahuan kalian, bahwa aku, juga semua di Patangpuluhan, sampai kapanpun
berada di tempat yang jauh dari kebenaran Al-Qur`an. Sebab kita semua bukan Ulama. Sekali
lagi: aku dan kalian semua bukan Ulama. Terdapat pemahaman umum bahwa untuk mendekati
kebenaran Allah haruslah bergerak mendekat ke para Ulama, bukan mendekat ke Al-Qur`an”
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama”. [1] (Fathir: 28). Meskipun kita takut setengah mati kepada Allah, jangan lupa bahwa kita
bukan Ulama. Begitulah logika yang berlaku.
La Ya’riful ‘Ulama illal ‘Ulama
Firman Allah itu jangan diartikan dengan logika yang merelativisir posisi Kaum Ulama. Misalnya
“kalau engkau takut kepada Allah, maka engkau Ulama”. Meskipun tanda-tanda seseorang itu
Ulama menurut Allah adalah takut kepada-Nya, sebaiknya jangan serta-merta diartikan bahwa
siapa saja yang takut kepada Allah berarti dia Ulama. Hampir semua makhluk takut kepada
Allah, tapi tidak berarti mereka semua adalah Ulama.
“Sepanjang hidup aku sangat menghindari kesenangan dunia, karena takut kepada Allah”, kata
Mbah Dzan, “tetapi ketakutan seumur hidup itu belum tentu merupakan indikator bahwa aku
adalah Ulama”.
“Jadi siapa yang Ulama?”, bertanya Tarmihim.
“Yang Ulama adalah yang bukan aku, karena aku bukan Ulama”, jawab Mbah Dzan.
“Jadi apa kriteria Ulama?”, Sundusin ikut mengejar.
“Kalau di wilayah rohaniah ada pameo la ya’riful Waly illal Waly, maka mungkin berlaku juga la
ya’riful ‘Ulama illal ‘Ulama. Jadi kalau mau tahu apa kriteria Ulama, tanyakan kepada Ulama.
“Apakah Ulama adalah yang menguasai Bahasa Arab?”

69
“Penduduk Arab Saudi rata-rata menguasai Bahasa Arab, tapi sangat sedikit di antara mereka
yang Ulama”
“Yang menguasai segala aspek yang berkaitan dengan Al-Qur`an?”
“Belum tentu juga mereka adalah Ulama”
“Yang menguasai makna Al-Qur`an?”
“Tidaklah engkau diberi pengetahuan oleh Allah kecuali sedikit [1] (Al-Isra`: 85). Itu pasti berlaku
untuk aku dan kalian semua. Tapi ada kemungkinan tidak berlaku bagi para Ulama. Tidak
mungkin Ulama ilmunya sedikit. Ilmu mereka banyak, sehingga menguasai Al-Qur`an”.
Ulama Cermin Dosaku
Tatkala membaca uraian-uraian para Ulama, Kiai, Ustadz, pengalim-pengalim Agama, yang
kutemukan adalah kesalahan-kesalahanku. Ulama adalah cermin dosa-dosaku, pemantul
kebodohanku atas Al-Qur`an. Kalau menyaksikan Ulama, Kiai, Ustadz berbicara di mimbar, aku
bergumam: “Tidak ada tanda apapun bahwa mereka pernah berbuat salah atau dosa…”
Semakin banyak penjelasan para beliau itu kubaca, semakin nyata betapa mengertinya beliau-
beliau dan betapa tidak mengertinya aku. Semakin terasa betapa beliau-beliau itulah yang
memenuhi syarat untuk bersilaturahmi ilmu dengan Al-Qur`an, dan betapa jelatanya
pemahamanku. Semakin terkesan beliau-beliaulah yang berhak untuk benar di hadapan Allah,
dan betapa bathilnya posisiku dalam urusan itu.
Jangankan untuk berdakwah, bertabligh, berdiri di podium atau mimbar sebagai Da’i atau
Muballigh di depan dan untuk banyak orang. Sedangkan mentablighkan Al-Qur`an kepada
diriku sendiri rasanya tak pernah aku sungguh-sungguh memiliki kemampuan. Ya Allah
ampunilah hamba, ya Rasulallah terimalah keluhan dan rasa kotor dan bodohku.
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-
ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur`an) dan yang lain mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata,
“Kami beriman kepadanya (Al-Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. [1] (Ali ‘Imran: 7).
Aku mohon perlindungan di rimbaraya pikiranku sendiri.

70
Al-Qur`an untuk Kuli Pasar
Aku mendengarkan dari corong Masjid sebelah: “Di akhir zaman ini banyak aliran-aliran sesat
akibat menafsirkan Al-Qur`an tanpa ilmu yang memadai. Oleh karena itu berhati-hatilah
dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al-Qur`an melalui terjemahan. Carilah pengajian
yang menggunakan Kitab-Kitab Tafsir yang diakui, seperti Tafqir Qurtuby, Thobary, Ibnu Katsir,
Jalalain. Pengajian Tafsir itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf,
Balaghah, Ma’ani, Badi’, Ushulul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para Sahabat dan Ulama”.
Informasi dan peringatan itu sangat bermanfaat untuk menjagaku agar tidak berpendapat
apapun tentang Al-Qur`an. Tetapi ada yang bertanya: kalau aku tidak boleh berpendapat
tentang Al-Qur`an, bolehkah aku berpendapat tentang Tafsirnya? Bolehkah aku berpendapat
tentang pengajian dan pengisinya? Bolehkah aku memastikan pendapatku apakah pengajian
yang akan kuhadiri nanti diisi oleh pengajar yang hanya mengungkapkan terjemahan Al-Qur`an
ataukah Al-Qur`annya langsung?
Bagaimana cara orang Islam rata-rata seperti aku ini mampu menilai apakah isi pengajian itu
memenuhi syarat Tafsir atau tidak? Bagaimana mungkin aku mampu berpendapat apakah
uraiannya benar atau salah? Sedangkan untuk itu aku sendiri harus mengukurnya berdasarkan
pendapatku sendiri langsung terhadap Al-Qur`an, padahal kapasitasku tidak memenuhi syarat
untuk berpendapat tentang isi Al-Qur`an?
Wahai Kanjeng Nabi, kenapa Allah menitipkan Al-Qur`an kepadamu hanya untuk para Ulama,
Muslim ilmuwan, Sarjana, Ulul-Albab, Ulul-Abshar, Ulun-Nuha dan kaum terpelajar lainnya dan
tidak untuk keawamanku, untuk saudara-saudaraku tukang becak, penjual sayur di pasar,
karyawan hotel, pelayan restoran, pemulung, penarik ojek, kuli pelabuhan, buruh tani,
penderes kelapa, dan saudara-saudaraku kaum awam lainnya?
Tafsir Identitas
Apalagi di pengajian lain aku mendengar bahwa penafsir Al-Qur`an harus seorang yang punya
pemahaman yang mendalam, logika yang kuat, berwawasan luas, punya pengalaman belajar
yang mencukupi, serta berkapasitas seorang Ilmuwan.
Betapa benarnya persyaratan itu. Jauh sebelum aku mendengar itu, sudah sejak kanak-kanak
aku tahu bahwa jangankan Mufasir: sedangkan seorang koki di dapurpun perlu memahami
pekerjaannya sedalam mungkin. Karyawan keuangan atau manajer warung harus memakai

71
logika. Seorang Guru Taman Kanak-kanak perlu berwawasan seluas mungkin. Seorang sopir Bus
harus punya pengalaman belajar mengendalikan berbagai jenis kendaraan di berbagai ragam
jalanan. Bahkan seorang mandor pengerjaan rel kereta perlu kadar keilmuan yang mencukupi
kebutuhan tanggung jawab pekerjaannya.
Adapun seberapa dalam pemahaman mereka, seberapa kuat logika mereka, seberapa luas
wawasan mereka, seberapa panjang pengalaman mereka, seberapa memadai keilmuan dan
keilmuwanan mereka – ditentukan oleh dua faktor. Pertama, Allah menentukan fadhilah atau
kelebihan yang berbeda-beda kepada hamba-hambaNya. “Janganlah engkau iri hati terhadap
apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian yang lebih banyak dari sebagian yang
lain”. [1] (An-Nisa: 32). Kedua, berbagai faktor dalam proses kehidupan setiap orang, di dalam
dirinya maupun hal-hal di luar dirinya.
Bagaimana hal ini ditentukan? Seseorang dilebihi fadhilah sehingga menjadi Ulama, ataukah
seseorang adalah Ulama maka diberi kelebihan? Apakah seseorang dilihat dulu identitasnya:
beliau Ulama, Kiai atau Ustadz, sehingga disimpulkan pasti memenuhi syarat-syarat untuk
menafsirkan. Ataukah setiap orang dipersilakan menafsirkan, dan dari hasilnya nanti akan bisa
dinilai dan diketahui bahwa pelakunya memiliki latar belakang dan kapasitas yang memenuhi
syarat untuk menafsirkan atau tidak. Bimbinglah Iqra` hamba.
Tafsir Logika Semata
Aku sungguh ketakutan, wahai Baginda Muhammad. Beliau Ibnu Katsir, yang amat kuhormati,
“Begawan” Para Mufassir, dengan sangat tegas menyatakan bahwa “Menafsirkan Al-Qur`an
dengan menggunakan logika semata, hukumnya haram”. Aku sangat takut kehilangan Al-
Qur`an, karena siapa tahu ia menghilang dari ruang cinta di kalbuku, gara-gara aku tergolong di
dalam peringatan itu.
Aku mohon petunjuk dari Allah dan panduan dari Baginda Rasulullah agar memahami apa yang
beliau maksud “logika semata”. Apakah maksudnya adalah menafsirkan Al-Qur`an harus
dengan penguasaan Bahasa Arab serta berbagai ilmu, wacana, kepustakaan dan bahan-bahan
yang terkait dengan keberadaan Al-Qur`an, tidak boleh hanya dengan menggunakan logika
semata?

72
Kalau Allah menjanjikan “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, akau
melihat balasannya” [1] (Al-Zalzalah: 7). Juga sebaliknya. Bahan dan kepustakaan apa yang
diperlukan untuk memahaminya?
Bagaimana cara dan formula pelaksanaan logika yang “semata”? Mungkinkah logika bisa
“berdiri sendiri” atau “berlaku sendiri”? Kalau menafsirkan Al-Qur`an tanpa perangkat-
perangkat seperti yang dipersyaratkan, apakah itu logis? Dan apakah itu bisa dilaksanakan serta
menghasilkan suatu pemaknaan yang diseyogyakan? Bukankah justru logika yang
mengantarkan Penafsir untuk menggunakan syarat-syaratnya? Bukankah logika, yang
merupakan tulang punggung dari akal, justru merupakan persyaratan dasar dari kegiatan
menafsirkan?
Apakah kalimat beliau Ibnu Katsir itu logis untuk diartikan sebagai penolakan terhadap fungsi
logika dalam penafsiran terhadap Al-Qur`an? Dan itu melahirkan pembiasaan budaya pada
Ummat Islam untuk takut menggunakan logika. Sehingga dalam perjalanan menuju pemaknaan
Al-Qur`an, salah satu “jembatan ilmu”nya justru dihancurkan.
Tafsir Kursi di Neraka
Aku bertanya kepada Allah dan Baginda Rasulullah, tidak kepada yang bukan Allah dan Baginda
Rasulullah. Sangat mungkin aku tidak punya kepantasan dan derajat untuk itu, juga tidak tahu
bagaimana cara dan bentuk kuterimanya jawaban itu, andaikan Allah dan Baginda Rasulullah
berkenan menjawab.
“Man fassaral Qur`ana biro`yihi, falyatabawwa` maq’aduhu minannar”. “Barang siapa
menafsirkan Al-Qur`an dengan menggunakan pendapatnya sendiri, maka hendaknya ia
menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka”. At-Tirmidzy menyatakan bahwa
hadits ini hasan dan sahih, meskipun Al-Hafidh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
lemah atau dlo’if. Beliau yang mana yang kupercaya dan kuambil pendapatnya?
Itulah sebabnya aku bertanya kepada Allah dan Baginda Rasulullah. Sebab ini urusan tempat
duduk yang terbuat dari api neraka. Itu simbolisme yang membingungkan: kalau tempat
dudukku terbuat dari api neraka, bagaimana mungkin aku jenak duduk di atasnya. Dan kalau
diketahui bahwa orang tidak bisa duduk di atas api, maka kenapa formula hukumannya adalah
tempat duduk?

73
Meskipun hatiku menjadi waswas untuk menggunakan logika, tetapi tak bisa kuelakkan
pikiranku yang mengatakan bahwa tidaklah logis kalau aku tidak takut pada kursi api neraka.
Sebagaimana tidak logis juga kalau karena para Ulama banyak bertentangan pandangan satu
sama lain, lantas aku tidak berlari untuk langsung memohon jawaban kepada Allah dan Baginda
Rasulullah.
Andaikan kepercayaan mutlakku hanya terhadap jawaban Allah dan Baginda Rasulullah adalah
keputusan yang lemah, karena merupakan hasil dari logika, sungguh aku tidak punya
kemungkinan lain kecuali menolak pemutlakan kecuali terhadap Allah dan Baginda Rasulullah.
Aku mengharamkan diriku menyama-derajatkan ucapan para Ulama dengan maqamat firman
Allah dan sabda Baginda Rasulullah.
Tafsir Logika Kehati-hatian
Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al-Fadhoil dengan sanad yang sahih, bahwa Baginda
Rasulullah bersabda: “Ittaqut tafsira, fa innama huwar-riwayah ‘anillah”. “Berhati-hatilah
menafsirkan Al-Qur`an, karena ia adalah riwayah dari Allah”.
Sungguh tidak logis bagi dan pada siapapun kalau atau untuk tidak berhati-hati ketika mencoba
memahami dan memaknai Al-Qur`an. Sungguh yang tidak berhati-hati itu tidak logis untuk
disebut sebagai makhluk manusia, karena fadhilah utama manusia adalah anugerah akal dari
Allah. Atau, makhluk semacam itu, sekurang-kurangnya ia adalah manusia yang kurang berlaku
sebagai manusia.
Kehati-hatian adalah kewaspadaan. Kewaspadaan adalah mengetahui batas di antara kurang
dengan lebih. Kehati-hatian adalah regulasi, kemampuan untuk menakar dan mengindentifikasi
ketepatan antara keluasan dengan kesempitan, antara kemerdekaan dengan keterbatasan.
Salah satu alat kehati-hatian adalah regulasi yang dikerjakan oleh logika. Logika merupakan
tulang punggung dari fungsi akal. Kalau syarat penafsiran yang juga merupakan hasil anjuran
dari logika, lantas justru mencurigai dan menegasikan logika, maka itulah pertanyaan dan
keluhan utamaku kepada Allah dan Baginda Rasulullah.
“La’allakum tatafakkarun” [1] (Al-Baqarah: 219, 266). “Afala tatafakkarun” [2] (Al-An’am: 50).
“Afala ta’qilun” [3] (Al-Baqarah: 44, 76. Ali ‘Imron: 65. Al-An’am: 32). “La’allakum
ta’qilun” [4] (Al-Baqarah: 73, 242. Al-An’am: 151). “In kuntum ta’qilun” [5] (Ali ‘Imron: 118). Dan
banyak lagi Allah menekan-nekankan penggunaan akal dan logika berpikir. Jangankan

74
menafsirkan Al-Qur`an, menyeberang jembatan sebatang bambu saja tidak logis kalau tidak
hati-hati. Jadi jangan terburu menyalahkan orang yang bertanya: kenapa kehati-hatian tafsir
harus memberikan ancaman terhadap logika?
Logika Mencenderungi Kesucian
Betapa sangat logis beliau Ibnu Katsir merumuskan bahwa cara menafsirkan Al-Qur`an yang
benar adalah, pertama, menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Jika ada ayat
yang mujmal atau global, maka bisa ditemukan tafsirannya pada ayat yang lain. Jika itu tidak
didapati, alur logisnya: maka Al-Qur`an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits. Dan jika itupun
tak didapatkan, maka tahap logika berikutnya adalah: ditafsirkan dengan perkataan Sahabat
Nabi. Karena beliau-beliau hidup bersama Nabi, sehingga lebih tahu maksud ayat, terutama
para Sahabat Sepuh seperti Khulafaur Rasyidin, termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibu ‘Umar.
“…Orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan yang melampaui batas terhadap
Allah”. [1] (Al-Jinn: 4). Demikianlah betapa penggunaan logika manghasilkan keluasan
pertimbangan, kematangan pendalaman, dan keindahan ungkapan. Logikalah yang meDzantun
perumusan atas persyaratan-persyaratan tafsir. Logika adalah “mesin” utama yang
memungkinkan sekian persyaratan tafsir itu ditemukan. Ia pula perangkat primer, di samping
faktor-faktor rohaniah misalnya rasa syukur kepada Allah, ta’dhim kepada Baginda Rasulullah,
dan cinta kepada Al-Qur`an, yang mengolah kemungkinan-kemungkinan kreatif sehingga
penafsiran menghasilkan pemuaian pemahaman dan perluasan ilmu bagi Ummat Islam.
Jika logika diberlakukan, maka ia sendiri yang justru mengantarkan penafsir menuju
persyaratan-persyaratan tafsir. Logika itu sendiri yang meDzantut pertanggungjawaban setiap
hasil tafsir di hadapan Allah, Rasulullah dan Ummat Islam, serta kepada kebenaran ilmu itu
sendiri. Logika itu pula yang justru menghalangi tindakan menafsirkan “dengan logika semata”.
Sebab jika logika membiarkannya, logika mengingkari diri logika sendiri. Logika menjadi bukan
logika. Logika itu jujur dan sangat mencenderungi kesucian. Sebab kalau tidak demikian, ia
bukan logika.
Menakut-nakuti Tafsir
Bahkan berita dari ucapan Ibrahim An-Nakho’i, “Para Sahabat begitu takut ketika menafsirkan
suatu ayat. Kami ditakut-takuti ketika menafsirkan” (diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al-

75
Fadhoil, Ibnu Syaibah dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Imam yang sanadnya dikabarkan sahih),
memuat kata yang terdengar negatif, yakni “menakut-nakuti”.
Eksplorasi logika bisa sampai pada penjelasan bahwa “menakut-nakuti” tidak pasti merupakan
tindakan negatif. Terdapat wilayah dan momentum pada psikologi manusia dan peristiwa
interaksi ilmu, di mana sesuatu hal perlu ditekan-tekankan sampai tingkat atau kadar
sedemikian rupa, demi lebih memastikan kehati-hatian dan meminimalisasikan kesembronoan.
Al-Qur`an adalah semacam “pusaka” atau warisan suci kepada dan untuk ummat manusia.
Pusaka itu dibuahkan langsung dari kesucian Allah. “Maha Suci Allah yang menurunkan Al-
Fruqan kepada hamba-Nya” [1] (Al-Furqan: 1). Pusaka itu sesuatu yang dipercaya dan disyukuri
kesuciannya, kegunaannya, asal usulnya, serta diletakkan di tempat yang sangat istimewa di
dalam kalbu. Ia bagian dari Rukun Iman setiap Muslim, kedudukannya sangat tinggi di samping
Allah sendiri, Baginda Rasulullah, para Malaikat, Hari Akhirat, Qadla dan Qadar. Bagi setiap
Muslim, Al-Qur`an itu rasanya lebih penting dan lebih utama dibanding dirinya sendiri.
Sebab Al-Qur`an merdeka dari kekotoran, kesalahan, dan kebathilan. Sedangkan manusia
berpijak di antara kesucian dengan kekotoran, kebenaran dengan kesalahan, kebaikan dengan
keburukan, keindahan dengan kejorokan. Manusia hidup dalam getaran yang dinamis. Manusia
bergolak dalam peperangan melawan dirinya sendiri di antara kemungkinan sorga dan neraka.
Maka setiap Muslim “menakut-nakuti” dirinya masing-masing untuk tidak mensemberonoi Al-
Qur`an.
Mendekat Menjauh Mendekat
Mbah Dzan pernah bercerita tentang seorang temannya jauh di luar negeri. Tidak ada yang
hebat atau mewah dari temannya itu maupun ceritanya. Orang desa. Orang Jawa. Keturunan
kuli-kuli Tebu yang dulu diangkut oleh penjajah Belanda ke Negeri Suriname. Teman Mbah
Dzan itu mungkin cucu-cucu generasi keenam atau ketujuh atau lebih.
Ketemunya pun di Negeri Belanda. Teman Mbah Dzan itu lahir di Suriname. Tidak pernah tahu
Pulau Jawa. Tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka berkomunikasi dengan Bahasa Jawa agak
terpotong-potong, karena temannya itu tidak terlibat dengan keadaan sosial budaya pada era-
era ketika kebudayaan Jawa bergaul dengan kebudayaan modern yang disebut Indonesia.
Tetapi karena mereka sama-sama orang Jawa, maka pertemuan singkat mereka bernilai dan
berkedalaman batin seolah-olah mereka adalah sahabat berpuluh-puluh tahun.

76
Tentu panjang cerita keindahan pertemuan mereka. Juga pasti banyak dimensi nilai di
dalamnya. Tetapi yang dikisahkan oleh Mbah Dzan adalah entah bagaimana asal usulnya
sehingga mereka berbicara tentang Agama, di mana teman itu mengatakan bahwa ia bukan
Muslim. Dan ia berkata terus terang: “Jangan. Saya jangan masuk Islam. Islam itu baik, tinggi
dan mulia. Sedangkan saya ini kotor, masih suka mabuk…”
Dengan terlebih dulu mengganggu dengan mengutip firman Tuhan: “Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalan kepada-Nya
dengan rasa takut akan tidak diterima, serta harapan akan dikabulkan. Sesungguhnya rahmat
Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. [1] (Al-A’raf: 56), Mbah Dzan
bertanya: “Dengan pernyataannya, teman saya itu itu berbuat baik ataukah berbuat buruk? Ia
sedang merusak atau menjaga kehidupan dari kerusakan? Ia mendekat kepada Allah ataukah
menjauh?”.
Pojokan Gelap
Perhatikan pertanyaan Mbah Dzan: “Apakah teman itu berbuat baik ataukah berbuat buruk?”.
Orang yang menyatakan “Saya jangan dekat-dekat pada Islam. Sebab Islam itu tinggi, suci, dan
mulia. Sedangkan saya kotor, rendah, dan penuh maksiat…” – apakah ia sedang mengatakan
sesuatu yang buruk ataukah baik?
Tentu ada bermacam-macam respons atasnya. Misalnya, “Islam memang suci dan tinggi, maka
orang yang kotor sebaiknya mendekatkan diri pada Islam agar ia mulai membersihkan diri”.
Atau, “Pernyataan dan sikap seperti itu lebih mulia dibanding orang yang sudah dekat bahkan
berada dalam Islam, tetapi masih melakukan perbuatan yang kotor”.
Siapakah yang lebih dihormati oleh masyarakat? Orang yang sudah Muslim tapi melakukan
kekotoran dan dosa, ataukah orang yang menjauh dari Islam karena sadar dirinya masih kotor?
Kalau kehidupan adalah suatu dialektika antar manusia, bebrayan sosial, yang satuan-satuan
perkumpulannya ditentukan oleh budayanya, penampilannya, kostumnya, atau kesamaan
simbol-simbol budayanya — maka kumpulan Kaum Muslimin terdiri atas orang-orang yang
memiliki ekspresi dan kebiasaan pergaulan yang sama, yang muncul dari respons-respons
budaya atas Agamanya. Orang yang merasa masih kotor hidupnya dengan sendirinya akan tidak
berada di lingkaran itu.

77
Jadi bagaimana sebenarnya menentukan, yang mana lingkaran kebenaran, lingkaran maksiat,
lingkaran Muslimin dan lingkaran bukan Muslimin? Sejarah bisa terjebak oleh proses identifikasi
di mana kebenaran Islam lebih disambungkan dengan simbol-simbol ekspresi budayanya, bukan
oleh berbagai kemungkinan kandungan substansial nilai-nilainya. Temannya Mbah Dzan itu
adalah sebuah tikungan, sebuah pojokan gelap, yang membuat kebanyakan orang salah
menyimpulkan. “Kebaikan bukanlah menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat…”, Mbah
Dzan mengutip pernyataan Allah. [1] (Al-Baqarah: 177).
Allah di Zarrah
Apa hubungannya? Apa kaitan antara yang diceritakan oleh Mbah Dzan itu dengan ayat yang
dikutipnya? Bukankah itu petunjuk Allah tentang kiblat arah menghadapnya shalat, sesudah
perubahan dari Masjidil Aqsha ke Ka’bah Mekkah?
Coba kutip selengkapnya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan meDzanaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” [1] (Al-Baqarah: 177).
Kenapa orang selalu kehilangan kecenderungan untuk menemukan ruang dalam titik, sehingga
selalu berpikir materiil bahwa hanya ada titik di dalam ruang. Kenapa orang tidak berkembang
penglihatannya untuk menemukan keseluruhan pada setiap bagian, sehingga selalu
beranggapan bagian-bagian selalu harus merupakan unsur dari ruang? Kenapa manusia tidak
rajin belajar untuk menemukan semesta tatkala berdiri di depan pintunya. Menemukan besar
dalam kecil, menemukan akhir di awal, menemukan kehadiran Allah di zarrah?
Apa yang tak terkandung dalam firman yang dikutip Mbah Dzan itu? Rentang atau gradasi
antara kuantitas dengan kualitas, antara materi dengan ruh, antara sangkan dengan paran,
antara segala sesuatu yang mengalami perubahan-perubahan amat sangat lembut di dalam
proses evolusi dan pemuaian. Baik pemuaian yang mencembung maupun yang mencekung?

78
Bagaimana mungkin manusia ahsanu taqwim menyangka ayat itu hanya urusan menghadapkan
wajah ke suatu arah?
Materialisme Kiblat
Kenapa kau pikir “menghadapkan wajahmu” adalah kata-kata datar dan linier sebagaimana
engkau pada suatu pagi membuka daun jendela dan menghadapkan wajahmu ke pesawahan di
samping rumahmu, kemudian naik ke gunung dan akhirnya meluas “menghadapkan wajah” ke
cakrawala, dan naik “menghadapkan wajah” ke angkasa dan langit. Langit yang yang tak pernah
kau ketahui batasnya, ujungnya, dan ketidakterbatasannya. Langit yang sesungguhnya kau
tampung dalam khayalan dan kau kelola sebagai mitologi.
Kenapa kau batasi “wajah” adalah bagian depan dari kepalamu yang ada hidung mata pipi dan
kedua bibirmu padanya. Ada apa dengan proses pembelajaran ummat manusia yang sekolah
dan kuliahnya sudah mendaki sangat tinggi. Sesungguhnya pernahkah engkau ber-“wajah”,
sementara tak pernah kau tempuh pembelajaran tentang wajah. Wahai hamba berhala. Wahai
budak materialisme.
Wahai narapidana materialisme yang menyangka materialisme adalah sebatas kekayaan dunia,
gedung-gedung tinggi, uang yang bertumpuk, kendaraan-kendaraan mewah, teknologi-
teknologi penghancur ketangguhan kemanusiaan. Wahai budak-budak berhala yang
menyangka berhala ada di luar dirimu dan kalian membungkuk bersujud di hadapan telapak
kakinya.
Wahai betapa membeku berhala-berhala di dalam dirimu. Berhala-berhala kanker di susunan
pikiranmu. Berhala-berhala merajalela di mesin rusak pemahaman batinmu. Wahai engkau
sendiri adalah berhala demi dirimu sendiri, dalam dirimu sendiri, yang kau mengusir dan
mengasingkannya dari dirimu sendiri, padahal yang diusir dan yang mengusir adalah dirimu
sendiri.
Ini baru “wajah”. Belum “menghadapkan”. Belum “iman”, “memberikan harta”, “kerabat,
anak-anak yatim, hamba sahaya”, “zakat”, “menepati janji”, “sabar dalam kesempitan”,
“penderitaan dan peperangan” dan wahai: bagian dari sejarah peradaban ummat manusia
bagian mana yang tidak terangkum oleh satu ayat itu? [1] (Al-Baqarah: 177) – bagaimana
mungkin kau berpikir firman Allah sebatas Meterialisme Kiblat?

79
Harta Benda Sorga
“Wajah orang-orang beriman hari itu berseri-seri. Ke wajah Allah-lah mereka menatap. Wajah
para pembangkang hari ini sangat masam”. [1] (Al-Qiyamah: 22-24). Mbah Dzan mengutip ayat
iming-iming cinta itu, karena salah satu kenyataan manusia di dunia yang tak pernah benar-
benar dipahami oleh Mbah Dzan adalah “nafsu” menggebu-gebu Kaum Muslimin untuk kelak
masuk dan berada di Sorga.
Pernah ada teman Mbah Dzan membantah, “Ah ya wajar setiap manusia mencita-citakan
masuk sorga. Karena pilihan lain adalah neraka”
“Atas dorongan semangat apa keinginan masuk sorga itu?”, Mbah Dzan bertanya.
“Mestinya ya kehidupan yang nikmat, yang mereka rata-rata merasa tidak mendapatkannya
ketika hidup di dunia”
“Kenikmatan cinta, ataukah kenikmatan batiniah yang mungkin lebih luas dari itu, ataukah
kenikmatan materialisme? Bahwa hidup di sorga kita bisa bermewah-mewah, harta benda
melimpah, bebas berfoya-foya, berpesta pora tanpa berdosa”
“Maksudnya kenikmatan cinta itu apa?”
“Ya berjumpa dengan Kekasih. Ber-muwajjahah. Bertatapan wajah. Bukankah Allah membuka
pintu kerinduan itu: ‘Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang saleh, dan tidak mempersekutukan siapapun dalam beribadat
kepada-Nya…’ [2] (Al-Kahfi: 110). Allah tidak mau dibikin cemburu. Allah saja terang-terangan
menyatakan tidak mau dibikin cemburu. Itu lebih nikmat dan tinggi keindahannya dibanding
harta benda dan kemewahan sorga”
“Itu terlalu mewah juga untuk orang kebanyakan”, respon kawan Mbah Dzan, “juga pada
dasarnya manusia itu rendah diri, mana mungkin berani membayangkan adegan perjumpaan
dengan Tuhan”.
Rupa Arupa
Mbah Dzan menemukan manusia melorot secara pasti derajat dan maqam kehidupannya. Dari
tingkat Keindahan yang ditawarkan oleh Allah untuk melakukan perjalanan menuju perjumpaan
dengan-Nya, mereka turun ke dimensi Kebaikan, yang mereka simpulkan sebagai kelulusan
hidup di dunia sehingga masuk Sorga.

80
Kemudian turun lagi ke dimensi Kebenaran, yang mereka banggakan dengan “minadhdhulumati
ilannur”, dari kegelapan ke cahaya [1] (Al-Baqarah: 257). Skala ini juga utama dan manusia tidak
punya kemungkinan kecuali memasukinya. Tetapi ternyata kemudian manusia melorot lagi ke
lapisan yang terendah: yang disebut cahaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan mata.
Yang kasat-mata. Ilmu Katon. Itulah yang kemudian membengkak jadi satu-satunya ideologi
atau “Agama” dianut secara hampir menyeluruh oleh semua penghuni Bumi.
Materialisme yang melahirkan Kapitalisme dan Sosialisme. Pandangan “kanan” dan “kiri” yang
dahsyat ini sama-sama menyembah “dialektika materialisme”. Kemudian lahir modernisme
dengan Demokrasi yang indah, namun tetap juga ia hanya alat dan sarana untuk pencapaian
materialisme. Bahkan dalam skala kecil orang melihat pohon dengan ambisi menikmati
buahnya. Orang memakan mangga tanpa kesadaran tentang “pelok”nya. Orang melihat
kemewahan bangunan tanpa mengingat fondasi dan cor tulang belulangnya. Peradaban
Materialisme mendidik orang untuk meyakini yang ada adalah “rupa”, sedangkan yang “arupa”
bukan hanya tidak tampak, tapi juga diam-diam disimpulkan sebagai tidak ada.
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (dan tidak percaya akan) pertemuan
dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan
kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami” [2] (Yunus: 7). Mbah
Dzan wanti-wanti kepada teman-temannya agar tidak terlibat terlalu mendalam di kehidupan
dunia. Dengan sejumlah alasan.
Keder Terhadap Harta Benda
Sangat memalukan bahwa manusia selama 14 abad lebih disindir oleh Allah “merasa puas
dengan kehidupan dunia, serta merasa tenteram dengan kehidupan itu” [1] (Yunus: 7), tidak
merasa tersentuh perasaannya dan tidak merasa terpukul akal pikirannya. Era peradaban yang
berlangsung sekarang ini justru merupakan puncak maniak dari materialisme yang disebut
terang-terangan oleh Allah itu.
Semua kumpulan ummat manusia di Negara manapun tidak ada yang absen berlaku bebal dan
dungu terhadap sindiran Allah. Bahkan mereka bangga dan sangat merasa benar dengan
ideologi pembangunan dan “agama” kemajuannya, yang semua makhluk langit
menertawakannya. Bahkan Iblis dan Setan merasa sangat geli melihat manusia, sementara
masyarakat Jin merasa sangat iba.

81
“Mereka hanya tahu yang dhohir dari kehidupan dunia, dan tentang kehidupan akherat mereka
sangat lalai” [2] (Ar-Rum: 7). Selama komunitas Patangpuluhan mengenal Mbah Dzan, wajah
beliau adalah wajah iba di dalam dirinya, tetapi yang dipancarkan oleh cahaya wajahnya adalah
upaya untuk menggembirakan siapa saja. Mungkin justru karena rasa iba yang memberat di
dalam batinnya kepada teman-temannya dan kepada kebanyakan manusia.
Tahu yang “dhohir”. Yang kasat mata. Orang-orang tua sejak zaman dahulu hidup dengan
kesimpulan “Kalau Ilmu Katon itu gampang. Itu cukup dilayani dengan ujung jari dan kedipan
mata. Tidak perlu mengerahkan akal dan roso”. Tapi justru itulah yang dibanggakan oleh
Peradaban Abad 20-21 ummat manusia di muka bumi. Alangkah sial nasib manusia sekarang
ini: bersekolah belasan tahun dengan biaya sangat mahal, hanya untuk keder terhadap harta
benda. Hanya untuk kagum kepada teknologi. Hanya untuk minder terhadap kekayaan, merasa
sangat ngeri terhadap kemiskinan. Hanya untuk takjub kepada yang sekedar mata telanjang
pun bisa melihat dan mengaksesnya. Alangkah remeh manusia.
Ewuh Pekewuh kepada-Nya
Rupanya suasana kehidupan dan nuansa kemanusiaan seperti itu yang Kanjeng Nabi tidak tega
dan berat hati kepada ummatnya. “Niscaya telah dihadirkan Duta yang berasal dari kalangan
kalian sendiri, yang berat hatinya atas derita kalian, yang amat sangat menginginkan
kedalaman keimanan kalian, serta jiwanya penuh kasih sayang kepada orang-orang yang
beriman”. [1] (At-Taubah: 128).
Mbah Dzan pernah bercerita bahwa karena ketidak-tegaan itu Kanjeng Nabi sering merasa tidak
tahan hatinya untuk mengungkapkan sejumlah rahasia yang dalam pikiran beliau sangat
dibutuhkan oleh ummat. Baik rahasia yang menyangkut tentang sejatinya Muhammad, Rasul
dan Nabi. Atau rahasia tentang asal usul atau sangkan-paran seluruh inisiatif penciptaan oleh
Allah. Kanjeng Nabi sangat khawatir ummatnya akan melangkah ke jalan yang tidak seharusnya,
alias tersesat, atau terpeleset.
Kanjeng Nabi merasa sangat perlu menguraikan kepada ummatnya melalui para Sahabatnya
banyak hal mendasar dan hakiki. Misalnya pemetaan tentang Shirath, Thariq, Syari’, dan Sabil.
Sebab di tengah perjuangannya kelak, ummat sangat berurusan, berkepentingan, bahkan
sangat bergantung pada ketepatannya memahami As-Shirathal-
Mustaqim, Thariqat, Syariat dalam perjalanan Fi Sabilillah.

82
Tetapi Kanjeng Nabi adalah Duta Allah. Otoritas untuk menyampaikan apa, tidak boleh
mengemukakan apa, tidak terletak padanya, melainkan di genggaman kuasa Allah. Ada saat-
saat beliau terlanjur menguakkan dan mencipratkan beberapa serpih rahasia, dan ternyata
Allah memaklumi dan memaafkannya, karena saking cintanya Allah kepada beliau.
Tetapi Kanjeng Nabi tidak mengizinkan dirinya memanfaatkan permakluman dan permaafan itu
untuk membukakan semakin banyak rahasia. Itu antara lain yang membuat beliau hampir tak
pernah melewatkan malam tanpa bersujud dan menangis. Untuk menyampaikan rasa bersalah,
serta mengeluhkan ketidak-tegaan hatinya kepada ummatnya yang sangat terancam oleh
ketidaktahuan atas sejumlah rahasia kehidupan.
Jalan-jalan Di Langit
Teman-teman di Patangpuluhan dulu, termasuk Saimon yang muncul hanya sesekali, atau di era
Sapron, hingga para akselerator gelandangan seperti Sundusin, Tarmihim, dan Brakodin, sering
berbisik-bisik di antara mereka tentang kekhawatiran kalau sampai masyarakat luas di kampung
tahu bahwa Mbah Dzan sering mengungkap-ungkap ayat-ayat, hadist-hadits, atau khazanah-
khazanah Islam lainnya.
Kalau para Ulama, Kiai, Asatidz, dan Habaib mendengar itu, bisa-bisa komunitas Patangpuluhan
akan dirasakan orang sebagai semacam Sekte atau aliran sesat. Sebab cetho welo-welo  Mbah
Dzan bukan seorang Ulama. Ustadz pun bukan. Bersekolah Madrasah pun tidak pernah. Lha kok
malah berlagak seolah-olah ia seorang Mufassir. Bahkan ada sejumlah teman wartawan
nyeletuk di antara mereka: “ Mbah Dzan itu sekarang agak jelas profesinya”. “Apa?”, tanya
lainnya. “Musafir”.
Maksudnya adalah Mufassir. Orang yang menafsirkan Al-Qur`an. Kosakata Mufassir kurang
dikenal oleh umum, termasuk oleh kaum jurnalis yang lebih banyak menyerap kosakata-
kosakata yang berasal dari Bahasa Barat. Sehingga Mbah Dzan yang banyak mengungkap ayat-
ayat Qur`an disebut Musafir. “Kita jaga jangan sampai orang banyak mendengar”, kata
Tarmihim, “nanti Cak Dzan dan kita semua akan tampak di mata orang kampung sebagai
golongan Kemislam-islam, atau kami-Islamen alias sok Islam, kalau Bahasa Jawa Timur koyok
Islam-Islamo… atau ponakane Islam…”
Apalagi kemudian Mbah Dzan mencoba menguraikan pemetaan dan simulasi berbagai jalan
yang dipakai oleh Allah dan sehari-hari disebut-sebut rutin oleh setiap

83
Muslim: Sabil, Syari’, Thariq, dan Shirath. “Kita harus rajin latihan caranya berjalan,
mengembangkan wawasan tentang berbagai macam jalan, serta membiasakan cara berjalan
yang benar”, kata Mbah Dzan, “sebab nanti di Langit banyak sekali jalanan, sampai-sampai
Allah bersumpah dengan itu”. [1] (Adz-Dzariyat: 7).
Agama Pembalasan
Terhadap kritik “koyok Islam-islamo”, Mbah Dzan tertawa agak pahit. “Masyarakat kita ini
sudah dilanda penyakit identitas, papan nama, simbol dan indikator”, katanya, “kalau
mendengar ayam berkokok, nomor satu nikmatilah keindahan bunyi kokok itu, merdekakan
dirimu bahwa yang berkokok adalah ayam, lupakan dulu identitas gendernya bahwa ia ayam
jantan, kemudian bebaskan diri dari persangkaan bahwa kokok itu dipekikkan atas dasar
ideologi, agenda politik, pencitraan sosial, atau apapun. Langkah pertama, nikmati dan syukuri
keindahan ide Tuhan bahwa ada formula bunyi atau fenomena musikal yang kita kenal sebagai
kokok ayam”.
Cak Dzan bilang ini bukan soal Islam atau apapun papan nama yang biasa disematkan orang
yang mengurung diri dalam kotak identitas itu. Ini soal pembelajaran dan latihan cara berjalan,
meneliti ketepatan jalan. Kita pastikan arah perjalanan hidup kita adalah Fi Sabilillah. Kemudian
kita utamakan meletakkan kendaraan jasad kita di Syariatul-Ilah. Lantas pastikan menemukan
getaran Thariqatu-Hubbillah. Dan akhirnya waspada terhadap presisi as-Shirat al-Mustaqim
ilallah. Sampai tua renta sekarang ini aku masih gemetar-gemetar, mata sering kabur terhadap
presisi itu. Aku tidak pernah menyalah-nyalahkan orang yang mungkin kutemukan tidak
mengurusi presisi as-Shirat al-Mustaqim, sehingga sangat rasional dan faktual untuk disebut
sesat. Aku seperti tidak cukup waktu untuk memastikan presisi arah hidupku sendiri”
Setelah terdiam sejenak, Cak Dzan bergeremang seperti untuk didengarnya sendiri. “Aku ngeri
ditimpa pembalasan oleh Allah. Agama menurut Allah adalah Pembalasan. Dan demi Langit
yang ada padanya jalan-jalan. Kalian sungguh sedang dirunding perbedaan pendapat.
Dipalingkan darimu Rasul dan AlQur`an. Terkutuklah para pendusta. Yakni orang-orang yang
terbenam dalam kebodohan dan kelalaian. Mereka bertanya: Kapan Hari Pembalasan
itu?” [1] (Adz-Dzariyat: 7-12).

84
Eksplorasi Manfaat
Ternyata Mbah Dzan menjadi berkecil hati juga. Sejak itu ia agak banyak diam dan menulis
catatan-catatan.
“Wahai Baginda Muhammad, karena aku ini orang kebanyakan, dan tergolong bukan orang
khusus, bukan Ulama, melainkan sembarang orang – maka aku jadi merasa bersalah dan kotor
untuk berdekatan dengan Al-Qur`an. Tolonglah aku, wahai Rasulullah, sebab hatiku tak kan
tahan untuk berjauhan dengan Al-Qur`an. Sebab tanpa Al-Qur`an, tak ada di depanku jembatan
cinta kepada Allah dan kepadamu.”
“Hatiku tak tahan. Mentalku rapuh. Dan jiwaku kosong jika tak ada Al-Qur`an padaku, pada
setiap langkah, di siang dan malamku, di senang dan sedihku, di gembira dan deritaku.
Bolehkah aku tetap berada sedekat mungkin dengan Al-Qur`an, untuk memelihara cintaku
kepadanya serta takjubku kepada Maha Penciptanya.”
“Kalau memang syaratnya adalah pikiranku tidak boleh bekerja sembarangan, agar aku tidak
tergelincir-gelincir untuk menafsirkan Al-Qur`an dengan pendapatku sendiri, baiklah kucoba
untuk meredam kerja akalku. Asalkan aku boleh menyayangi Al-Qur`an, membaca-bacanya,
melagukannya, mendendangkannya, merengeng-rengengkannya untuk memperkuat jiwaku
dalam menjalani perjuangan hidup.”
“Tapi mana mungkin seseorang hanya membaca Al-Qur`an dengan bibirnya, tanpa hati dan
pikirannya ikut terlibat. Sengaja atau tak sengaja, meniati atau tidak, hati langsung bergetar dan
akal langsung bekerja. Umpamanya terbaca “Alif Lam Mim” [1] (Al-Baqarah, Luqman, As-
Sajdah), mungkinkah yang terjadi hanya telingaku mendengar suara mulutku? Tanpa perasaan
dan pikiran tersentuh dan tergerak olehnya? Kalau atas setiap titik makna Al-Qur`an semua
Ulama mengatakan “hanya Allah yang maha mengetahui arti dan maksudnya”: bolehkah aku
mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan manfaat baiknya untuk hidupku? Meskipun takkan
pernah kutahu apa makna tiga huruf itu sesungguhnya?
Tuhan dalam Undang-undang
“Masyarakat menyebut-Mu dalam sujudnya, bahkan mencantumkan-Mu dalam filosofi dan
undang-undangnya, namun meyakini bahwa tidaklah relevan dan proporsional untuk
meletakkan-Nya sebagai faktor primer dalam rapat-rapatnya, dalam musyawarah
pembangunan Negaranya. Aku berlindung kepada-Mu dari kelalaian yang memalukan hakikat

85
kemakhlukan manusia itu, terlebih lagi tingkat ahsanu-taqwimnya. Wahai Maha PeDzantun,
letakkan aku di bagian dari jalanan-jalanan menuju-Mu yang memungkinkan aku ditimpa
kelalaian ber-Iqra`”
“Dengan segala ketidakberdayaan hakikat dan wujudku, berilah aku tanda-tanda bahwa aku
tidak berada di dalam golongan orang yang Engkau sesatkan. “Demikianlah Allah membiarkan
sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan
Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia”. [1] (Al-Mudatstsir: 31)
“Tiap saat aku berpapasan dan berada dalam kerumunan sejuta wajah, yang aku tidak pernah
benar-benar tahu yang mana wajah para Malaikat-Mu dan mana wajah Iblis dan Setan yang
begitu canggih menjalani perjanjian dengan-Mu untuk menggelincirkan langkahku. Aku tak
pernah matang penglihatan dalam mengamati mana prajurit-prajurit Malaikat-Mu dan mana
anggota-anggota pasukan Iblis-Mu, yang sangat tekun dan teliti mencari dan menemukan bukti
kebenaran hipotesisnya bahwa manusia adalah makhluk perusak bumi dan penumpah darah
sesamanya”
“Demi penantian rindu-Mu kepada para pecinta-Mu, aku memohon kepercayaan-Mu bahwa
tak pernah aku memisahkan-Mu dari alam, dunia, Negara, dan apapun saja. Tak pernah aku tak
menemukan-Mu di setiap sapuan angin yang menerbangkan debu. Aku tak hanya menerapkan-
Mu dalam undang-undang kehidupanku: aku bahkan selalu bersetia berada di dalam Undang-
undang-Mu”.
Paduka Agen Al-Qur`an
“Mungkinkah kita menjadi Muslim sejati atau kaffah, tanpa menjadi Ulama? Mungkinkan Allah
menerima seorang hamba dengan ridha-Nya tanpa ia mencapai kualitas ilmu dan kesalehan
setingkat Ulama? Mungkinkah manusia yang Allah meDzanggunya dengan kerinduan di Sorga,
akan sanggup memenuhi kerinduan itu, tanpa mutu rohani sebagaimana para Ulama yang
hampir sempurna jam-terbang-Qur`annya, penguasaan nilainya, pendalaman penghayatannya,
perluasaan pemaknaannya?”
“Sangat mudah diterima oleh akal sehat bahwa untuk menjadi Muslim yang saleh diperlukan
persentuhan, pemahaman dan pendalaman atas keseluruhan Al-Qur`an, sebagaimana para
Ulama, Kiai, Habaib, dan Asatidz berada di maqam itu. Setiap orang tak mungkin tidak

86
menyepakati bahwa tidaklah baik untuk memahami Al-Qur`an secara sepotong-sepotong,
sebagaimana yang terjadi padaku dan mungkin sangat banyak orang lainnya. Jadi bagaimana
nasibku beserta siapapun lainnya yang berada jauh dari memahami Al-Qur`an secara
menyeluruh dan dalam keseluruhan?”
“Al-Qur`an itu, ‘Tiada keraguan padanya berasal dari Tuhan alam semesta’ [1] (As-Sajdah: 2):
mungkinkah kasus ‘berasal dari’ itu langsung sampai pada hamba awam bodoh seperti aku,
ataukah harus melalui ‘agen’, transformator, penerjemah atau penafsir, yakni para Ulama,
Mursyid, Syekh, Maulana, atau siapapun yang maqamnya sangat dekat dengan Allah, tidak
seperti kita yang jauh jarak dari-Nya?”
“Atau Al-Qur`an itu ‘petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa’ [2] (Al-Baqarah: 2). Pada siapa
hak verifikasi untuk menentukan yang mana yang bertaqwa? Di tangan siapa hak dan ekspertasi
untuk mengidentifikasi taqwa? Tidak ada jalan lain kecuali mempercayakan kepada beliau-
beliau Paduka Agen Al-Qur`an sebagaimana yang tersebut di atas. Tapi bagaimana keawaman
kita mengerti mana Ulama mana bukan, mana Syekh mana bukan, mana Ustadz mana bukan?”.
Tabi’it Tabi’in Pangkat Seribu
“Sangat mudah dipahami bahwa tataran kebodohan dan keawamanku membuat tak siapapun
mempercayai apapun yang kuimpresikan dari Al-Qur`an. Ayat-ayat Al-Qur`an saling
menjelaskan satu sama lain. Saling menjadi rujukan tafsir satu sama lain. Padahal hanya berapa
biji ayat yang pernah kusentuh?”
“Belum lagi sangat bisa diterima akal bahwa Al-Qur`an seyogyanya ditempuh pengertiannya
melalui pedoman-pedoman dari Hadits dan Sunnah, rujukan para Sahabat
Nabi, Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in. Terlebih lagi rasanya tak mungkin terjangkau berapa jauh dan
panjang kata dan batas kualitas Tabi’ itu: Tabi’it Tabi’it Tabi’it Tabi’it Tabi’it Tabi’in? Bagaimana
kalau kata itu seratus atau seribu kali lipat? Sehingga sampai pada seorang kuli pasar atau
tukang becak? Jangankan lagi klausul bahwa untuk bersilaturahmi dengan Al-Qur`an kita harus
menguasai Bahasa Arab serta berbagai Ilmu yang berkaitan dengan Tafsir, Asbabun-nuzul, Ilmu
Naskh-Mansukh, Al-’Aaam wal-Khash, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan…”
“Wahai Kanjeng Nabi, betapa mungkin Al-Qur`an terjangkau oleh keawamanku. Alangkah
jauhnya Islam dari kebodohanku. Belum lagi aku disiksa oleh kenyataan berapa jarak antara
memahami, memaknai, dengan menafsirkan. Kalau di pelosok dusun sekelompok Muslimin

87
berjamaah shalat di Mushalla, apakah Imam maupun jamaahnya harus memahami seluk beluk
Surah-surah yang dibacakannya? Kalau seorang tukang becak merasa berat mengayuh
becaknya dan mengeluh “la haula wa quwwata illa billah” : apakah ia harus asbabun-nuzul-
nya?”
“Sangat bisa dipahami bahwa Para Ulama menyatakan Al-Qur`an harus dipahami secara
menyeluruh, tidak sepotong-potong. Tatkala Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman adalah mereka yang apabila disebut Allah kepadanya, tergetar hatinya, dan jika
dilantunkan ayat-ayatNya maka bertambahlah imannya” [1] (Al-Anfal: 2). Mungkin satu ayat-
Nya saja, bisa menambah iman seseorang? Tak harus keseluruhan ayat-ayat Qur`an?”.
Tak Sehuruf pun Kebenaran
Pada suatu malam, di sebuah dusun sangat pelosok, di pebukitan agak tinggi, jauh dari kota,
Mbah Dzan berada di antara beberapa puluh orang yang duduk melingkar. Itu semacam
pengajian kecil. Kiainya lokal. Menjelaskan Islam dengan nuansa utama kelembutan bebrayan,
yang kebanyakan orang menyebutnya “hablun minannas”, kesantunan kepada alam, dan
kemesraan dengan “Gusti”.
Sesekali Kiai menyebut “Allah” juga tapi lidah Jawa dusunnya membuat makhraj “ll”nya kurang
fasih secara Hijaiyah. Mungkin karena itu ia memilih lebih banyak mengucapkan kata “Gusti”. Ia
juga mengajak jamaah kecil itu melakukan sejumlah wiridan pendek yang mudah dihafal. Ada
semacam Tahlilan juga tapi sekedarnya, bukan dengan teks Tahlil lengkap sebagaimana yang
terpapar dalam literasi orisinalnya.
Secara keseluruhan, pengucapan mereka, “makhraj” dari lidahnya, notasi nada-nadanya, sama
sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut “fasih” dan “terpejalar”. Mbah Dzan berguman-
gumam sendiri dalam hatinya. “Orang-orang kota menyangka kefasihan terletak di lidah, bibir,
dan ucapan. Orang-orang dusun ini sangat fasih hidupnya, perilakunya, ekspresi kelembutan
hati di ruang sosialnya.”
Kiai lokal itu juga bukan seorang Ulama yang pandai sebagaimana dipersyaratkan oleh
masyarakat terpelajar di kota. Mbah Dzan menggerundal lagi kepada dirinya sendiri:
“Masyarakat modern terpelajar berprasangka bahwa kelak menghadap Allah sangunya adalah
kepandaian, kecanggihan, kesarjanaan, kehebatan, dan keunggulan. Iblis puas sekali melihat
prasangka itu…”

88
Di peradaban “Islam modern”, untuk masuk surga harus menguasai Al-Qur`an secara
menyeluruh, Islamnya harus “kaffah”. Padahal atas “Kaf Ha Ya ‘Ain Shod” [1] (Maryam:
1) mereka tidak bisa memastikan apa-apa biar sehuruf pun… Kita adalah orang yang tidak
mengerti dan tidak mengerti bahwa kita tidak mengerti.
Islam Dzan Jauh di Sana
Mbah Dzan merasakan kenikmatan batin yang luar biasa di tengah jamaah sederhana di dusun
itu. Ia bahkan merasa menemukan dirinya kembali ketika mereka melantunkan kalimat-kalimat
dari Al-Qur`an tapi dengan lagu dusun itu, yang kalau itu diperdengarkan di panggung modern
di kota metropolitian, akan disebut “lagu Jawa kuno”.
Kemudian akan ada yang mengecamnya karena menurut telinga mereka lagu itu “berbau
Hindu”. Lantas mereka dikafirkan karena “tasyabbaha biqoumin”, berlagu menyerupai suatu
kaum yang “bukan Muslimin”. Lantas ada yang membela mereka, menyatakan pengakuan
bahwa itulah “Islam lokal yang membumi”. Kemudian dikasih label “Islam Nusantara”,
diumumkan di koran-koran dan teve-teve, dituliskan di proposal-proposal untuk menyerap
dana sebanyak-banyaknya.
Mbah Dzan tidak menyebut apa-apa atau bagaimana-bagaimana. Tidak melabeli dengan idiom
apapun. Tidak membikinkan papan nama dan identitas. Yang Mbah Dzan rasakan adalah
ketulusan hati mereka kepada Tuhan dan sesama manusia di antara mereka. Bahkan Mbah
Dzan juga tidak pernah mempedulikan identitas: itu itu lagu Arab, Qiro`ah Sab’ah, itu genre
Jazz, itu Rap. Begitulah Kutilang berbunyi, begitulah Bebek bersuara, begitulah Ayam berkokok,
begitulah Sapi melenguh [1] (Al-Hujurat: 13). Allah sendiri yang menciptakan keragaman
ekspresi itu, dan yang Allah lihat serta nantikan adalah apakah lenguh kokok kicau itu
diperuntukkan dan kembali kepada Maha Penciptanya atau tidak.
Di dalam tradisi Islam Perkotaan, para Ulama, terutama Ustadz-Ustadz, menebarkan pandangan
yang salah satu hasilnya adalah kebanyakan Kaum Muslimin merasa semakin jauh dari Islam,
merasa sangat belum memenuhi syarat untuk disebut Muslim, merasa tidak punya hak atas Al-
Qur`an, merasa Allah dan Rasulullah berada Dzan jauh di cakrawala yang tak tergapai. Islam itu
Dzan jauh di sana.

89
Dakwah Pelit
Mbah Dzan jadi merasakan betapa Kanjeng Nabi dulu berdakwah bukan mengutamakan
pengetahuan tentang Surga dan Neraka yang titik beratnya adalah ancaman. Muhammad
memudahkan proses Islamisasi ummatnya, meskipun dengan simulasi pagar “jangan dimudah-
mudahkan”. Ada sejumlah kesulitan dalam memperjuangan Islam di dalam diri dan masyarakat,
tapi “jangan dipersulit”.
Kanjeng Muhammad adalah Nabi yang sempurna ilmunya sejauh ukuran perkenan Allah, tapi ia
adalah manusia yang sangat murah hati. Sementara kita adalah penyampai Islam yang sok
pinter, dan sangat pelit. Kita menyampaikan Islam dengan sikap mental yang sangat bakhil.
Betapa waskita-nya nenek moyang dulu, yang mewariskan rumus dinamika sikap hidup “ngono
yo ngono ning ojo ngono”. Itu sangat dinamis, sangat bersifat “hijrah” dalam berpikir,
mereDzang, memuhasabahi dan mensimulasi setiap zarrah pengetahuan, yang tidak hanya
dipikirkan, tapi juga dirasakan.
Hari ini Kaum Muslimin dikejar hantu dari dalam tubuh Kaum Muslimin sendiri: “Awas, jangan
sembarangan mengutup ayat-ayat Qur`an. Awas jangan menyerupai perilaku kaum Kafirin.
Awas itu bid’ah. Awas kafir. Awas sesat. Awas musyrik. Awas awas awas. Menjadi Muslim
bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Menjalani Islam seperti mencari akik yang sudah
digosok di tengan padang pasir”.
Sementara Kanjeng Nabi Muhammad meneteskan air: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya
satu ayat”. Coba kita buka: mutiara itu didengar, diingat dan disampaikan oleh salah seorang
dari Al-’Abadillah, para sahabat Nabi Muhammad yang bernama Abdullah, yakni Abdullah bin
Amar (bin Al-Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy) bahwa beliau
manusia hampir sempurna itu berpesan kepada semua ummatnya: “Sampaikanlah dariku
meskipun satu ayat”. [1] (HR. Bukhari)
Hobi Tausiyah
Menjadi segar kembali ingatan Mbah Dzan. “Aku mendengar itu tatkala belum genap lima
tahun usiaku, pada sebuah pengajian Maulid Nabi di dusunku. Kata-kata itu langsung masuk ke
ruang dalam batinku, seakan-akan bisikan Kakek atau Ayahku sendiri. Kelak aku menemukan
bahwa hal itu amat menakjubkan dan menumbuhkan cinta yang khusus di dalam hidupku.

90
Aku seorang yang diwajibkan Tuhan lahir di Tanah Jawa, menjadi orang Jawa, sehingga jiwaku
disirami dan disuburkan oleh rasa Jawa, jenis hati Jawa, pola berpikir dan budaya Jawa. Ke-
Jawa-anku adalah keputusan Allah sehingga wajib hukumnya. Dan aku menerima kata-kata itu
dengan wadah atau ruang batin Jawa.
Aku mencoba mengingat-ingat suara batinku tatkala mendengar “ballighu ‘anni walau ayah”.
Pak Muhammad itu pasti orang yang sangat murah hati, suka mengalah, tidak mau
menyulitkan, dan amat menampung kemungkinan kelemahan dan keterbatasan orang lain.
Ketika ada seorang pencuri bertamu kepada Kanjeng Nabi menyatakan tertarik pada ajaran
beliau dan bermaksud memeluk Islam, Muhammad saw tidak serta merta “menikmati
keburukan” si Maling. Tidak mengutuk dan menasehatinya: “Bagaimana sih kamu ini, kok
mencuri. Mencuri itu dilarang oleh Allah. Andaikan Allah tidak menyatakan larangan mencuri
pun kita kan bisa memikirkan dan merasakan bahwa mencuri itu tidak baik. Mencuri itu
merugikan orang lain, dan pada akhirnya merugikan diri kita sendiri”.
Kanjeng Nabi tidak hobi tausiyah. Yang dilakukan Nabi adalah merangkulnya, mengekspresikan
rasa sayang kemanusiaannya, melindungi hatinya, menerimanya dalam Islam, sambil
membisikkan satu syarat yang diungkapkannya dengan penuh kelembutan: “Asal kalau ketemu
aku, jangan bohong ya…”
Itu setetes ilmu dari lautan firman Allah. [1] (An-Nahl: 125).
Madzhab Tanpa Pengikut
”Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk” [1] (An-Nahl: 125).
“Kita sudah mendengar ayat ini beribu-ribu kali”, kata Mbah Dzan pada suatu malam kepada
teman-temannya yang kebetulan berkumpul, “tetapi kita sendiri belum pernah mereDzanginya
sebagai Subjek. Kita selalu hanya menjadi Objek atau pelengkap penderita yang ditimpa oleh
ayat itu di setiap forum”
“Maksud Cak Dzan kita harus bagaimana?”, Sundusin bertanya.

91
“Kita memenuhi kepala kita dengan tafsir atau pandangan para pemberi pengajian tentang ayat
itu, tanpa kita sendiri pernah mensubjeki ayat itu menurut refleksi pengetahuan dan
pengalaman kita sendiri”
“Maksud Sampeyan kita bikin Majlis Tafsir?”, Tarmihim mengejar.
“Mungkin bisa menjadi semacam itu”, jawab Mbah Dzan, “tetapi hasil tafsir kita tidak boleh
kita anggap sebagai kebenaran final, dan tidak boleh dipaksakan kepada siapapun. Semua yang
dari kita bukan kebenaran Al-Qur`an, melainkan sebatas kebenaran subjektif kita sendiri atas
firman. Kalau kita resmikan tafsir kita menjadi kebenaran objektif, apalagi kemudian distatiskan,
dibakukan, diaplikasikan menjadi kelompok, aliran, atau apalagi Organisasi – maka hasilnya
yang paling besar adalah memperluas perbedaan dan memperbanyak perpecahan di antara
masyarakat”
Brakodin tertawa. “Juga tak akan ada orang yang percaya kepada Madzhab Mbah Dzaniyah.
Saya jamin tidak akan ada pengikutnya…”
“Lha kalian?”, Mbah Dzan menggoda.
“Lho saya, atau Tarmihim, Sapron dulu, bahkan Saimon, atau Sundusin, serta siapapun, bukan
pengikut Mbah Dzan. Sama sekali bukan…”.
Bekal Kesesatan
“Menurut kalian, dari Al-Qur`an itu, yang paling utama muatan yang mana?”, tanya Mbah
Dzan.
“Apa ada yang tidak utama dalam Al-Qur`an?”, ternyata Brakodin tidak berhenti ketus.
“Maksud saya bagi kalian masing-masing, meskipun tidak harus disimpulkan sebagai pilihan
bersama. Titik berat bagi seseorang, tidak bagi yang lain. Tapi masing-masing perlu menentukan
titik berat pemahaman dan sikapnya, sesuai dengan tahap keilmuannya, pengalaman sosialnya
serta momentum peristiwa yang ia maksudkan”
“Maksud Cak Dzan gini lho”, Tarmihim mencoba menjelaskan, “ada orang yang memilih titik
berat ayat itu pada bil-hikmah, ada yang mauidloh hasanah, ada yang jadilhum billati hiya
ahsan atau lainnya”
Mbah Dzan membenarkan. “Dalam berkomunikasi kita harus mengenali menu-menu psikologis
yang terdapat pada setiap komunitas dan responden. Kita perlu desain, strategi, siyasah,
balaghah”

92
Tarmihim mengutip ayat lain: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [1] (Ali Imron: 159).
“Bagi yang memilih titik berat mauidloh hasanah, mungkin itu alasan dasarnya”, katanya.
Sundusin nyeletuk: “Saya beda. Titik berat yang menurut saya lebih mendasar adalah
‘Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya’. Itu bekal awal sebelum bil-hikmah.”
Madzhab Nul Puthul
Sebenarnya Mbah Dzan tertawa sendiri mendengarkan pendapat teman-temannya. Antara
bangga tapi juga malu mengalami dialog di antara mereka tentang ayat-ayat Al-Qur`an. Dialog,
diskusi, berdebat, melengkapi, mengkritik, dan segala kemungkinan dalam proses meraba-raba
kebenaran. Al-Qur`an-lah kebenaran, sedang mereka hanya meraba-raba. [1] (Al-Baqarah: 91).
Mbah Dzan dan teman-temannya di Patangpuluhan itu sudah memiliki pekerjaan masing-
masing di berbagai bidang. Mereka orang kecil, pekerja biasa. Tidak pernah berpikir bahwa
pekerjaannya adalah profesinya. Bekerja adalah kewajaran manusia hidup, sebagaimana
burung harus terbang dan ikan harus berenang karena mereka hidup.
Kalau pas berkumpul dan muncul perbincangan yang seolah-olah merupakan halaqah
keagamaan, mereka tidak melabelinya sebagai Majlis Tafsir, apalagi ditambah Al-Qur`an. Hasil
dari workshop olah akal pikiran itu juga bukan buku-buku tafsir atau kegagahan ilmu tafsir.
Masing-masing mereka mengambil inti ilmu, presisi hikmat dan akurasi manfaat, yang mereka
terapkan di dalam kehidupan mereka, pekerjaan mereka, keluarga dan bebrayan sosial mereka.
Kalau dilihat dari luar, memang ada, bahkan banyak hasil-hasil pemikiran yang sangat bisa
disebut deretan atau tumpukan penafsiran atas Al-Qur`an dan kehidupan. Kalau dihimpun, bisa
juga tampak seperti Aliran, kemudian bisa terpeselet menjadi Madzhab. “Kalau sampai ada
orang menyangka kami adalah sekelompok penganut Aliran Islam tertentu, pengikut madzhab
tertentu, maka saya menyebut madzhab kami adalah Madzhab Nul Puthul…”, kata Mbah Dzan
dalam hati, “sebab kami memang nol, tidak berilmu, apalagi ilmuwan”.

93
Dakwah Kera
Ndusin menangkap pemahaman bahwa titik berat anjuran atau perintah Allah di An-Nahl
125 itu justru terletak pada kalimat terakhir yang tidak termasuk di dalam rentang anjurannya,
bahkan seolah-olah sekedar pelengkap penderita: “Allah yang lebih mengetahui siapa yang
tersesat”.
“Itu justru landasan utama untuk mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum
melaksanakan panggilan ke jalan Allah kepada orang lain”, katanya, “terutama agar pemanggil
atau juru dakwah tepat meletakkan dirinya dan meletakkan orang-orang yang dihadapinya. Kita
harus menghindari persangkaan bahwa kita pasti sudah berada di jalan yang benar, sambil
menuduh bahwa orang-orang lain masih berada di jalan sesat”
“Kenapa demikian, Sin?”, Mbah Dzan bertanya.
“Salah satu kemungkinan yang ditimbulkan oleh prasangka semacam itu adalah kita merasa
lebih baik dari orang, merasa lebih mengerti Agama dibanding kebanyakan orang, merasa lebih
saleh, lebih dekat kepada Allah dibanding masyarakat. Itu membuat kita berkata dengan dada
tengadah, kepala mendongak, nada suara yang terlalu mantap. Artinya, kita menyebarkan
anjuran Agama dengan bekal kesombongan di dalam diri kita”
“Ndusin benar”, Tarmihim menyela, “kalau di antara publik ada orang yang mengerti psikologi
komunikasi, mengerti teater dan hal-hal yang berkaitan dengan ekspresi narasi dan ilmu pidato
– akan sangat terasa seorang penyampai kebenaran Allah itu tampil dengan kerendah-hatian
atau dengan kesombongan”
“Mungkin tidak ada larangan eksplisit untuk tidak menjadi penganjur yang seperti itu”, Ndusin
melanjutkan, “tapi kalau kita berlaku demikian, Allah menyebut kita adalah kera atau
monyet” [1] (Al-A’raf: 166).
Rumus Kehinaan
“Jangan semberono, Sin”, Mbah Dzan memperingatkan, “setahu saya asal usul dan konteks
ayat yang kamu maksud bukan seperti itu”
“Pasti tidak”, jawab Sundusin, “Al-Qur`an diturunkan tidak untuk robot-robot, yang setiap
gerakannya sekecil apapun harus diprogram secara terperinci. Allah berfirman kepada manusia,
yang terlebih dahulu dibekali akal untuk berpikir, berasosiasi, memproses kontekstualisasi,
menemukan sambungan-sambungan dari segala sesuatu. Manusia jangan mencari ayat Allah

94
yang menjelaskan apa beda antara menanam jagung dengan kedelai, bagaimana cara bebek
berenang atau bagaimana teknik terbangnya burung”
Mbah Dzan tertawa. “Itu juga bisa terpeleset menjadi kesemberonoan lho, Sin”, ia menegur,
“Allah menyatakan bahwa Al-Qur`an adalah Kitab yang disusun dengan rapi dan menjelaskan
secara rinci”. [1] (Hud: 1).
“Nyuwun sewu Cak Dzan”, Sundusin mencoba mempertahankan diri, “Itu pasti benar. Tetapi
tidak berarti Al-Qur`an memuat rincian-rincian teknis tentang segala sesuatu. Kitab Allah itu
bukan Buku Manual yang disertakan di kotak telpon genggam, kompor gas, atau komputer.
Terperinci yang dimaksud adalah dalam dinamika kerjasama informasi ayat-ayat itu dengan
daya olah akal pikiran manusia, dengan imajinasi dan kesanggupan elaborasinya”
“Kalau dikaitkan dengan kera yang kamu sebut tadi?”
99 Pintu, 99 Tangan
Mbah Dzan sebenarnya diam-diam merasa bangga setiap kali mendengarkan teman-temannya
berbicara. Terus terang, meskipun mungkin kadarnya rendah dan tipis, tapi terasa ada “bau”
Ulul Albab, Ulul Abshar atau Ulun-Nuha pada ekspresi mereka. [1] (An-Nur: 44). Mereka itu
intelektual sekaligus manusia yang punya kehalusan budi dan kepekaan rasa. Mereka menjalani
siang dan malam dengan rasa syukur, menikmati penghayatan atas nilai-nilai yang berseliweran
di dalam dan di antara cahaya dan kegelapan.
Teman-teman Mbah Dzan tidak pernah menjadi siapa-siapa di masyarakat, sebagaimana
Mbah Dzan sendiri juga bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Mereka hanya seseorang di
tengah sejumlah seseorang di sekitarnya.
Bagi yang menemukan bahwa yang utama dari An-Nahl 125 adalah “ud’u” atau
“panggillah”nya, tentu ada alasannya. Bagi yang melihat keutamaan itu pada “sabili Rabbika”,
arah menuju Sang Maha Pengasuh, tentu ada argumentasinya. Bahkan bisa dikembarai padang-
padang kemungkinan kenapa yang Allah pilih sebagai titik tuju panggilan atau dakwah itu bukan
konteks “Ilah”, bukan karakter atau sifat-sifat lainnya, bahkan bukan Allah itu sendiri sehingga
kalimatnya menjadi “Ud’u ila sabilillah”.
Brakodin nimbrung: “Menurut kesepakatan Ulama, Allah punya 99 nama atau sifat. Saya
membayangkan di rumah Allah ada 99 pintu. Atau mungkin Allah menggunakan 99 tangan
khusus untuk manusia. [2] (Al-Hasyr: 24). Ada pintu Maha Pengasih. Pintu Maha Penyayang.

95
Maha Dermawan. Maha Menyesatkan. Maha Pemurah. Maha. Maha. Maha…99 pintu, 99
tangan, atau bisa 99 apa saja sesuai dengan konteks, sisi keterhubungan, konteks pertalian atau
dimensi cinta antara Allah dengan hamba-hambaNya. Khusus untuk panggilan cinta itu,
bukan Sabilillah tapi Sabili Rabbika”.
Jumlah Pasir di Sahara
Bagi yang memilih aksentuasi “bil-hikmah” saja atau rangkaiannya dengan “wal mau’idhotil
hasanah”, tentu terdapat lautan yang sangat dalam, dengan lubuk-lubuk ilmu di sana sini tanpa
batas.
“Hikmah” itu sendiri sebuah buku besar. “Mau’idhoh” adalah keperluan peradaban yang bisa
menghasilkan seribu disertasi Doktor. Apalagi dengan jangkauan sekaligus batas “hasanah”,
tentunya bisa melahirkan banyak Alim Ulama yang jangkauan ilmu, cakrawala pengetahuan dan
semesta kearifannya jauh lebih luas dibanding Fiqh dan lebih tinggi dibanding Ushulul-Fiqh.
Belum lagi “jadilhum”. Terlebih lagi luasnya probabilitas “billati hiya ahsan” dalam beribu
macam pola dialektika sosial dan kebudayaan manusia yang berbagai-bagai dan penuh warna-
warni di hamparan bumi. Di suatu larut malam, mereka yang kebetulan berkumpul di
Patangpuluhan mendengarkan Mbah Dzan berbicara sangat pelan-pelan dan lirih:
“Apakah di muka bumi ada manusia yang di dalam dadanya terdapat batu besar, yang
menggumpal memenuhi hatinya dan menyumpal kesadarannya sehingga sesak jiwanya. Yakni
batu besar yang berupa rasa pintar, sikap mantap bahwa dirinya adalah makhluk yang bukan
hanya pandai, tetapi bahkan lebih pandai dari orang-orang lain. Padahal ia tidak akan pernah
mengetahui satu huruf di Al-Qur`an terdiri dari berapa trilyun titik. Jangankan lagi mengenali
nama trilyunan titik itu satu demi satu. Di antara makhluk-makhluk dungu yang dicampakkan ke
bumi untuk menjalani ujian, ada yang menyangka mengerti Al-Qur`an, bahkan ada merasa
menguasainya. Aku ini sudah sangat tua. Aku sudah berkelana menghitung jumlah pasir di
sahara dan jumlah butir air di samudera, tetapi aku lumpuh di hadapan lanafidzal bahru, aku
tenggelam di walau ji`na bimistlihi madada…”.  [1] (Al-Kahfi: 109).
Bukan Ilmu, Tapi Rindu
“Kita ini seperti rombongan semut yang berenang mengarungi tujuh samudera. Dan andaikan
tuntas akhirnya kita arungi tujuh samudera itu, yang kita peroleh bukanlah terutama ilmu dan
pengetahuan, melainkan ketakjuban kepada Allah, yang membuat kita ndlosor di hadapan-Nya.

96
Islam tak lagi bermakna pasrah, melainkan menyerah. Di ujung pengalaman tujuh samudera itu
kita temukan awal pemahaman kenapa kedua orangtua kita sejak bayi mempopulerkan kata
‘Lillahi Ta’ala’…” , Mbah Dzan melanjutkan.
“Jangan bicara tentang tujuh langit. Pun sesungguhnya tak ada pengalaman tujuh samudera.
Sedangkan atas setetes air yang menempel di bibir tatkala kita merenangi laut, tak kan pernah
benar-benar bisa kita ilmu-i. Pengetahuan manusia tentang air dan udara, yang disimpulkan
merupakan nyawa utama kehidupan manusia, sesungguhnya sangat menggelikan di mata para
penduduk langit. Sedahsyat-dahsyat ilmu dan pengetahuan manusia, macet di tengah
perjalanan jauh sebelum cakrawala. Yang bergerak mendekat kepada Allah dalam perjalanan
kita bukan ilmu dan kehebatan lain yang dibangga-banggakan oleh manusia. Yang membuat
kita mendekat kepada-Nya adalah ketakjuban dan rasa syukur. Yang membuat Allah mendekat
kepada kita adalah cinta dan kerinduan. Itulah asal-usul inisiatif-Nya menyelenggarakan
kehidupan, memancarkan Nur Muhammad, dan menciptakan alam semesta dan ummat
manusia”
Tapi peradaban manusia mandeg. Menghentikan langkahnya di area kabanggaan kosong. Dan
apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,”
mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. [1] (Al-
Baqarah: 91). Tuhan manusia sebatas warisan instan Bapak Ibunya.
Agama Bluluk
Kemandekan itu, menurut Allah, membuat “mereka mengingkari Al-Qur`an yang diturunkan
sesudahnya, sedang Al-Qur`an itu haqq, yang membenarkan apa yang ada pada mereka.
Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang
yang beriman?”. [1] (Al-Baqarah: 91).
Salah satu keputusan Allah dalam mengaransir kehidupan manusia adalah penyelenggaraan
evolusi. Ia menciptakan alam semesta dalam enam hari. Kita sekarang berada entah di hari
keberapa. Demikian juga akselerasi informasi, hidayah dan tuntunannya kepada ummat
manusia, agar perjalanannya bisa tiba kembali di keharibaan-Nya. Semua bersifat evolusioner.
Mbah Dzan sering mengambil buah kelapa untuk melakukan simbolisasi evolusi alam dan
perjalanan manusia. Di era Mbah Adam ditanam benih kelapa. Ratusan ribu tahu kemudian

97
berlangsung untuk persemaian, penyiraman, pemeliharaan dan pengembangan tanaman
kelapa. Sampai akhirnya berbuah, dan tahap awalnya adalah “bluluk”.
Katakanlah Kitab Taurat adalah kelapa pada tahap “bluluk”. Kemudian menjadi “cengkir” pada
Zabur. Berikutnya menjadi “degan” yang dikenal sebagai Kitab Injil. Dan pada akhirnya
disempurnakan menjadi buah kelapa yang matang: Al-Qur`an. Di abad 21 sekarang ini terjadi
kelucuan besar-besaran di mana manusia membagi-bagi dirinya menjadi golongan-golongan –
yang mereka sebut Agama.
Ada pemeluk Agama Bluluk, golongan lain memeluk Agama Cengkir, lainnya lagi memeluk
Agama Degan. Dan ketiga golongan itu beramai-ramai atau diam-diam memusuhi ummat
penikmat Kelapa. Mainstream berpikir internasional di muka berpikir bahwa itu adalah empat,
bukan satu.
Ketidakrelaan Terhadap Kelapa
Mbah Dzan tidak pernah membangga-banggakan kelengkapan nilai dan fungsi kelapa. Kelapa
dijadikan kelapa oleh Penciptanya tidak untuk menyombongi Degan, Cengkir, dan Bluluk.
Manusia diciptakan lebih sempurna dibanding makhluk lain, sehingga memiliki kelengkapan alat
untuk lambat atau cepat menemukan kebenaran yang sungguh-sungguh benar.
Kalau ada kelapa yang mengunggul-unggulkan dirinya di hadapan degan, cengkir, dan bluluk, itu
adalah jenis kelapa yang tidak percaya diri. Kelapa yang tidak maksimal menggunakan akalnya
dan bermental lemah, sehingga merasa perlu memamer-mamerkan dirinya kepada degan,
cengkir, dan bluluk –- yang pada hakekatnya adalah bagian dari kelapa itu sendiri secara waktu
dan proses.
Kalau bluluk, cengkir, dan degan punya naluri untuk selalu memusuhi kelapa, itu
kecenderungan alamiah biasa. Mereka bertiga tahu tidak genap, terbelakang di tempat yang
agak jauh dari kelengkapan dan kesempurnaan. Mereka bertiga sebenarnya diam-diam juga
sangat merindukan agar menjadi kelapa. Tetapi hal itu mereka halangi sendiri, karena faktor-
faktor yang mengganggu dari dalam dirinya sendiri, misalnya nafsu egosentrisme, kedengkian,
kecemburuan, rasa rendah hati. Ditambah faktor-faktor di luar diri mereka: kesalahan konsep
tentang harga diri sosial, misalnya.
Bluluk, Cengkir, dan Degan takkan pernah rela kepada kelapa sebelum kelapa melemahkan dan
mengkerdilkan dirinya menjadi setaraf bluluk, cengkir, dan degan. [1] (Al-Baqarah: 120). Maka

98
peradaban dunia, sejak abad 13 hingga abad 21, ditimpa arus besar yang berlaku di seluruh
Bumi, di mana Kelapa harus dicitrakan sebagai buah terkutuk, rendah, kumuh, bodoh, tidak
berguna dan selalu merusak bumi dengan radikalitasnya.
Produksi Tuhan dan Nabi-Nabi
“Yang menyedihkan dan menggelikan di zaman sekarang ini”, kata Mbah Dzan lebih lanjut,
“karena gelombang besar globalisasi, supremasi teknologi supra-modern, dominasi kebudayaan
Degan yang dihiasi dengan romantisme Cengkir dan Bluluk, membuat masyarakat penikmat
kelapa bergeser pandangan dan seleranya”.
“Pelan-pelan tapi pasti, para pemeluk Agama Kelapa diseret oleh pembiasaan untuk menikmati
keyakinan bahwa yang lebih sempurna dan nyaman untuk dinikmati bukanlah kelapa,
melainkan degan. Masyarakat Kelapa terpesona oleh hasil-hasil budaya Degan yang sangat
memenuhi selera keduniawian, penuh kemewahan, warna-warni dan kenyamanan raga.
Sedemikian kuatnya pengaruh peradaban keduniawian itu merasuki jiwa Masyarakat Kelapa,
sampai-sampai hampir berubah juga hakiki benih dan akar Kelapa. Tidak sedikit di antara
Masyarakat Kelapa yang semakin meyakini bahwa Surga adalah Kebun Degan, Cengkir dan
Bluluk…”
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka, setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. [1] (Al-Baqarah:
120).
“Masyarakat Kelapa beramai-ramai turut menuhankan yang bukan Tuhan. Mudah terjebak
untuk menabikan yang bukan Nabi. Memalaikatkan yang bukan Malaikat. Mendewakan yang
bukan Dewa. Baik di bidang budaya, politik, kepemimpinan, atau juga di dalam urusan Kelapa
mereka sendiri. Ummat Kelapa memproduksi Tuhan-tuhan dan Nabi-nabi mereka sendiri yang
bukan Tuhan dan Nabi. Mereka masuk Sekolah dan Universitas untuk diajari menganggap dan
mempercayai bahwa Bluluk, Cengkir, dan Degan sesungguhnya secara ilmiah dan akademik
adalah Kelapa”.
Berpikir Genap untuk Hidup Ganjil
Maka ketika Tarmihim, Sundusin, dan Brakodin memiliki pilihan titik berat masing-masing
dalam memahami firman di An-Nahl 125, berbeda primer-sekundernya, tidak sama manajemen

99
konteksnya, tidak persis strategi aplikasinya, Mbah Dzan tidak menggelisahkannya, melainkan
justru mensyukurinya dan bergembira.
“Al-Qur`an bukan buku pelajaran Sekolah, bukan kepustakaan akademik di Universitas, juga
bukan buku modern kaum cendekiawan turunan pola filosofi dan manajemen ilmu Yunani
Kuno”, kata Mbah Dzan, “Teman-teman di sekitar saya dan anak cucu sampai generasi kelak di
kejauhan waktu, akan terus mengalami kehidupan yang ganjil, sehingga pelatihan utama
mereka adalah berpikir genap…”
“Belum pernah mendengar yang ini saya, Cak”, kata Tarmihim.
“Hidup ini penuh keganjilan, maka harus dilayani dengan kebiasaan berpikir yang genap…”
“Hidup ini ganjil bagaimana…”, Sundusin menyusul bertanya.
“Dengan kegenapan pikiran dan ilmu saja tidak mudah mengurusi ganjilnya kehidupan, apalagi
kalau pikiran kita sendiri ganjil. Seluruh pengetahuan dan ilmu kita hanya ganjil, sedangkan
yang tidak ketahui, yang volumenya jauh lebih besar, adalah kegaiban yang menggenapinya”
“Agak retak kepala saya…”, sahut Brakodin.
“Karena Pencipta semua ini sendiri adalah Sang Maha Ganjil. Satu. Tunggal. Ahad. Tetapi
ganjilnya Ahad adalah segenap-genapnya kegenapan. Allah itu Maha Ganjil karena Maha
Genap. Allah itu Maha Genap maka terasa ganjil pada terbatasnya penglihatan dan
penghayatan manusia. Sudahlah, pokoknya selalu teguhkan ‘Qul Huwallahu Ahad…” [1] (Al-
Ikhlas: 1).
Yakin Karena Tak Mengerti
Terkadang penjelasan Mbah Dzan terdengar seperti dibikin-bikin, artifisial, atau bahkan bisa
dituduh “othak athik gathuk”. Segala sesuatu disambung-sambung, disentuh-sentuhkan,
dipertemukan, dibikinkan simpul-simpul sehingga tampak menjadi satu. Padahal belum tentu
benar demikian.
Tapi teman-temannya terbuntu setiap kali mencoba membantah atau mempertanyakannya.
Mbah Dzan selalu pakai tameng: “Jangan menagih saya hal kebenaran, karena kebenaran milik
Allah, hanya ada di sisi-Nya atau di genggaman-Nya. Kita dan saya hanya diciprati sangat sedikit.
Kewajiban saya dan kita hanyalah setia berproses mencarinya, bukan harus mencapainya”.
Dulu Sapron pernah bertanya tentang pernyataan Allah: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” [1] (Al-Baqarah: 147).

100
“Bagaimana itu”, kata Sapron, “di satu pihak kita tidak boleh ragu pada kebenaran Allah, di lain
pihak kita tidak pernah benar-benar mengerti atas kebenaran itu. Bagaimana kita tidak ragu
terhadap sesuatu yang kita tidak sungguh-sungguh mengerti?”
Mbah Dzan tertawa mendengar kata-kata Sapron itu. “Justru karena kita tidak pernah benar-
benar mengerti maka kita butuh meyakini. Dan untuk meyakini itu kita hanya perlu satu
langkah, tidak perlu proses panjang, karena sesuatu yang perlu kita yakini berasal dan berada di
tangan Allah. Kalau pada yang bukan Allah, mungkin kita tak akan pernah bisa meyakini”
Sapron membantah. “Kenapa terhadap yang kita tidak mengerti kita harus meyakini?”
“Justru karena tidak mengerti, solusi satu-satunya adalah mempercayai atau meyakini. Kalau
kita mengerti, tak perlu meyakini, cukup mengerti”, jawab Mbah Dzan, “itulah sebabnya faktor
utama dalam Agama adalah iman, sebab terlalu banyak yang tidak kita mengerti dari kehidupan
yang kita jalani ini”.
Tauhid, Wahid, Ahad
“Memang terasa ganjil: kita meyakini karena tidak mengerti. Kita beriman karena Allah jauh di
luar jangkauan”, Mbah Dzan melanjutkan penjelasannya kepada Sapron dan semuanya,
“mungkin rumus gampangnya adalah: kalau tentang Allah, tinggal dibalik saja logikanya,
meskipun bisa tidak selalu demikian”.
“Dibalik bagaimana, Cak?”, Brakodin mengejar.
“Misalnya soal ganjil dan genap tadi. Genapnya Allah justru karena Ia Maha Ganjil. Ganjilnya
Allah itulah genapnya atau sempurnanya. Kalau selain Allah, supaya genap perlu memecah diri
menuju genap. Dari satu ke dua. Kemudian melewati tiga lagi, genap ganjil genap ganjil lagi.
Padahal kelak di ujung paran perjalanan manusia dan kehidupan, genapnya menyatu menjadi
atau dalam ganjil”
“Kita ini bergenap-genap, bermilyar-milyar manusia hidup bersama, berjuang untuk menyatu
dengan Maha Sangkan Kehidupan. Ketika penyatuan itu terjadi, yang berlangsung bukan
bersama lagi, bahkan bukan menyatu lagi, melainkan Satu. Kalau bersama harus tidak satu.
Kalau menyatu berarti belum satu. Tapi kalau Satu, sudah sirna kebersamaan, sudah tiada
kegenapan, tinggal Ahad”.
Mbah Dzan mengurai perjalanan dan perjuangan Tauhid, bisa ber-Tauhid bisa men-Tauhid,
tergantung konteks dan posisinya. Dalam Bahasa Negara Indonesia itu disebut Penyatuan.

101
Sampai tercapai Wahid, yakni Persatuan. Akhirnya akan Ahad, kita meng-Ahad. Tinggal Satu
Subjek Tunggal. Yang selain Allah sirna menjadi Ahad.
“Katakanlah Ia adalah Allah yang Ahad. Ia tempat bergantung” [1] (Al-Ikhlas: 1-2). Baiklah
semua orang mengasosiasikan bergantung kepada Allah hal nafkah penghidupan, rezeki, dan
karier. Tak apa. Tapi ada hakiki wujud dinamis yang lebih inti: Ahad menciptakan gantungan
Wahid, para makhluk menelusuri dan mengarungi Tauhid di rentang Wahid, menuju Ahad.
Sangkannya Ahad, parannya Ahad, pusat gantungannya Ahad”.
Qorunumania
Sebenarnya, itulah “kesalahan” utama Mbah Dzan dan komunitas Patangpuluhan. Dulu, dan
sampai sekarang, di manapun sebaran atau metamorfosisnya.
Mereka ini segolongan manusia yang mungkin saja salah tempat atau salah zaman. Entah
karena takdir Allah atau karena proses alamiah kecenderungan mereka sendiri, yang terlalu
serius memikirkan nilai-nilai, terutama yang berasal dari Tuhan.
Padahal mereka hidup di tengah masyarakat yang fokus kebudayaannya adalah berhala.
Masyarakat yang tujuan pembangunannya adalah kemewahan harta benda. Masyarakat yang
merasa bahwa sukses peradabannya adalah keberhasilan keduniawian yang berbinar-binar dan
gegap gempita.
“Mereka bergembira ria dengan kehidupan dunia, padahal dibanding kehidupan akherat,
kehidupan dunia hanyalah secuil kesenangan belaka”. [1] (Ar-Ro’d: 26). Tak kurang Allah
mengulang-ulang menegaskan: “Apakah kamu puas dengan kehidupan dunia ini sebagai ganti
dari kehidupan akhirat? Padahal kehidupan dunia amat sepele dibanding kehidupan
akhirat” [2] (At-Taubah: 38).
Mbah Dzan tertawa. “Kalau digali sampai ke lubuk hati kebanyakan orang, sesungguhnya idola
mereka adalah Qorun. Idaman utama hidup mereka adalah harta Qorun”. Mbah Dzan
menertawakan kenyataan itu, meskipun ia dan teman-temannya juga sadar bahwa justru
mereka yang ditertawakan oleh kebanyakan masyarakat.
“Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang
besar’” [3] (Al-Qashash: 79). Itulah “hawa” di rumah keluarga-keluarga, di kantor-kantor usaha,

102
di gedung-gedung industri, di bangunan-bangunan pemerintahan nasional regional lokal, di
dalam Sidang Kabinet, rapat Menteri, bahkan bisa juga di balik halaqah para Ulama.
Fokus: Berhala
Tarmihim menyimpan banyak lembaran catatan-catatan Mbah Dzan. Apakah ada rencana akan
dibubukan? Hahahaha. Siapa yang tak punya pekerjaan sehingga tersesat membaca buku
Mbah Dzan? Siapa penduduk bumi ini yang tak ada kesibukan, sehingga mencari-cari perkara
dengan membaca tulisan Mbah Dzan?
Mbah Dzan dan masyarakatnya hidup di Negeri yang fokus kehidupannya adalah menyembah
berhala, meskipun mereka tidak memiliki pemahaman bahwa mereka sedang menyembah
berhala. Pada saat yang sama, siang malam mereka dipenuhi oleh sangat banyak masalah yang
bersumber dari berhala-berhala yang mereka sembah.
Mbah Dzan dan teman-temannya adalah warga dari sebuah Negara yang rakyatnya terpecah-
pecah karena perebutan tak henti-hentinya untuk memiliki dan menyembah berhala. Bangsa
yang semakin hari semakin terkeping-keping, berkat tak pernah usai memperebutkan berhala.
Baik berhala yang berupa harta benda, kemewahan-kemewahan kasat mata, sampai berhala-
berhala sesama manusia yang mereka angkat menjadi pemimpin secara membabi-buta.
“Berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun,
sedangkan berhala-berhala itu sendiri dibuat oleh manusia” [1] (An-Nahl: 20). “Berhala-berhala
itu tidak dapat menolong mereka, padahal berhala-berhala itu mereka siapkan untuk menjadi
tentara yang menjaga mereka”. [2] (Yasin: 75). Bahkan ketika dipertanyakan, “Mereka
menjawab: ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun
menyembahnya’” [3] (As-Syu’ara: 71).
Pemimpin-pemimpin mereka menipu ummatnya dengan mempersempit pengertian berhala
hanya pada patung, batu yang diukir menjadi bentuk menyerupai manusia. Manusia abad 21
memahami berhala dengan pikiran abad ke-6 atau bahkan jauh sebelumnya.
Di Sorga Melimpah Kekayaan Dunia
Karena takdir hakiki manusia bukan untuk menyembah berhala, maka kebiasaan menyembah
berhala membuat apa saja menjadi penyakit. Kebenaran membuat bertengkar. Kebaikan
melahirkan kesombongan. Keindahan tidak terbimbing untuk mencapai puncak kelembutannya.

103
Agama pun mereka peluk erat dan dijalankan syariatnya. Hanya saja itu dilakukan dengan
pengharapan akan memperoleh keuntungan pribadi, mendapatkan laba dalam pengertian
dunia dan materi. Sorga pun dirindukan karena diyakini ia adalah tempat “kekayaan dunia”
yang melimpah ruah.
Penyakit pikiran, penyakit hati, penyakit mental, dan penyakit spiritual, dengan berbagai
cabang dan variasinya menjadi muatan utama dari peradaban. Peradaban para penyembah
berhala sangat mewah, gemerlap, dan gegap gempita. Para pelakunya meyakini itulah yang
disebut kemajuan, pembangunan, dan keberhasilan. Tetapi pada saat yang sama muatan hati
dan pikiran mereka justru adalah keluh kesah tentang dunia.
Bahkan di dalam rentang sejarah yang panjang sejak zaman awal-awal Kenabian sesudah Adam:
sukses peradaban duniawi itu bukan hanya dibarengi dengan keluhan-keluhan dan perebutan
harta benda dan kekuasaan — tetapi juga pasti berakhir dengan kehancuran. Hampir tak ada
peradaban yang meDzanggu akhirat dulu baru mengalami kehancuran.
Padahal sebenarnya Allah membuka pintu lebar-lebar: “Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. [1] (Hud: 15).
Tetapi, selalu, peradaban keduniawian yang dibangun oleh manusia tidak mampu
mempertahankan ketidak-hancurannya, padahal Allah belum menghancurkannya.
Tak Perlu Adzab untuk Hancur
“Negeri kalian ini adalah contoh yang sangat terang benderang tentang manusia yang
menganiaya diri sendiri”, Mbah Dzan berkata pada suatu malam, “kalau manusia menganiaya
sesama manusia, entah dalam lingkup pergaulan atau dalam struktur pemerintahan, konteks
penganiayaan manusia kepada manusia lainnya hanya berlaku horizontal. Tetapi kalau kita
memandangnya dari titik silang horizontal-vertikal, apalagi dalam bulatan dan putaran
mekanisme alam, di mana Allah adalah simpul utama logika setiap kejadian – maka yang
berlangsung sesungguhnya adalah manusia menganiaya dirinya sendiri”.
Sangat banyak Allah menginformasikan pengertian tentang itu. “Dan tidaklah Kami menganiaya
mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri“. [1] (Az-Zukhruf: 76). Itu sekedar
contoh dari berpuluh-puluh informasi yang senada dan sekonteks, meskipun lingkungan
dimensinya bisa bermacam-macam.

104
Andaikan ada adzab yang menimpa suatu kaum, masyarakat, bangsa atau ummat manusia,
yang secara pemahaman itu berasal dari Allah, sesungguhnya itu sekedar output dari logika
sunnah yang sejak awal kehidupan sudah ditetapkan oleh Allah. Semua orang islam tahu firman
di Az-Zalzalah 7-8. Penganiayaan atas orang lain adalah awal dari penganiayaan atas dirinya
sendiri. Pemerintahan yang menipu rakyatnya adalah pangkal dari tertipunya para pelakunya
oleh apa yang diraihnya dengan cara menipu dan menindas rakyatnya.
“Itulah siksaan atas kalian yang ditimbulkan oleh tangan kalian sendiri. Dan Allah bukanlah
pihak yang menganiaya mereka”. [2] (Al-Anfal: 51). Sejumlah penafsir atau penterjemah Al-
Qur`an cenderung memaksakan logika bahwa kedhaliman manusia akan dibalas oleh adzab
Allah. Ada terjemahan atas ayat di atas yang berpanjang-panjang dengan berbagai keterangan
untuk menekankan hal itu. Seolah-olah Allah meDzanggu dosa manusia dulu baru berpikir
memberi balasan.
Perayaan Adzab
Cucu-cucu generasi Mbah Dzan sangat mengasyiki cerita-cerita Pakde mereka, Tarmihim,
Sundusin maupun Brakodin tentang apa yang Mbah dzan pernah kemukakan. Kadang-kadang
bagian dari kisah itu bikin pecah kepala, saat lain terasa lucu, mengagetkan atau mengagumkan,
membuat berdecak, belum pernah ada sebelumnya, serta banyak kemungkinan lainnya.
Misalnya, diceritakan oleh Tarmihim, Mbah Dzan pernah mengemukakan: “Kita perlu waspada.
Kalau kita belajar, lantas sedikit menjadi pandai, yang muncul di hati kita ada perasaan
meremehkan orang yang kita tinggalkan dalam kebodohan. Padahal belum tentu kita benar-
benar telah pergi dari kebodohan. Mungkin yang kita alami sesungguhnya hanyalah berhijrah
dari satu kebodohan ke kebodohan berikutnya. Jadi kalau kita meremehkan orang yang kita
sangka bodoh, sebenarnya yang kita remehkan adalah diri kita sendiri”.
“Tidak hanya soal kebodohan dan kepandaian”, Sundusin menambahkan hal yang dari Mbah
Dzan, “Mbah kalian itu selalu lengkap kalau menyebut sesuatu, meskipun mungkin bertahap
pengemukaannya. Tidak hanya soal ilmu, tapi juga kebaikan, kesalehan, kemuliaan dan sisi-sisi
kemungkinan lain pada manusia. Kata Mbah Dzan, orang kalau sedikit saja berbuat baik,
muncul penyakit dalam hatinya: berupa tuduhan bahwa orang lain belum berbuat baik. Kalau ia
melihat jalan ke sorga, ia menyangka orang lain ada di depan pintu neraka. Kalau ia merasa
mendapat pahala, di dalam hatinya ada rasa mensyukuri orang lain yang ia sangka mendapat

105
adzab dari Allah. Kalau kita melihat orang berbuat jahat, sehingga berpeluang diadzab oleh
Allah, diam-diam kita menjadi bergembira. Diam-diam kita merayakan adzab Allah atas orang
lain. Setan membuat kita melihat perbuatan buruk adalah keindahan. Maka kalau kalau adzab
Allah ditimpakan kepada orang, kita merayakannya”. [1] (An-Nahl: 63).
Tuhan Yang Maha Pasif
Generasi Toling Junit dan teman-temannya merasa memperoleh keunikan berpikir tatkala
mendengar dari para Pakde pernyataan Mbah Dzan:
“Potensi rakus dan dendam mungkin sama besarnya di dalam jiwa setiap orang. Kerakusan dan
dendam itu sendiri mungkin sebenarnya berasal atau berakar pada satu potensialitas negatif
dalam psikologi manusia”
Kalau teksnya hanya sampai di situ, benar-benar tidak mudah untuk memahaminya.
Seintelektual apapun seseorang tidak segera mampu menempatkan konteks itu dalam peta
kejiwaan manusia. Tapi untung kemudian Pakde Tarmihim melanjutkan dengan informasi yang
akan lebih empirik.
“Kalau berada di ruang kebaikan, manusia langsung bangkit kerakusannya terhadap pahala,
yang berpuncak di surga. Kalau manusia melihat keburukan, yang bangkit adalah dendamnya
kepada keburukan itu, serta kepada yang berbuat buruk. Kerakusan dan dendam itu membuat
manusia tergesa-gesa mentalnya, tidak bisa tenang dalam keheningan ruang dan mengikuti
irama waktu”.
“Artinya ia kehilangan kejernihan ilmu, kehilangan kesabaran terhadap kebenaran Allah. Karena
dipenjara oleh nafsu kerakusan terhadap perolehan pahala, serta dibakar dendam yang
membuatnya ingin Tuhan menyegerakan adzab. Bahkan diam-diam ia berasumsi bahwa adzab
itu tak akan pernah terjadi kalau ia tidak memohonnya kepada Tuhan”
“Seolah-olah Allah adalah Tuhan Yang Maha Pasif, sehingga harus didorong-dorong,
dirangsang-rangsang, bahkan terkadang seperti diperintah oleh kemauan manusia. Padahal
Allah itu ‘Maha Penguasa Hari Pembalasan’ [1] (Al-Fatihah: 4). Mereka terus mendesak: ‘Kapan
Hari Pembalasan itu tiba?’ [2] (Adz-Dzariyat: 12). Lantas karena berputus asa atas irama Tuhan,
manusia terjebak untuk menyangka bahkan meyakini bahwa Hari Pembalasan adalah Hari
Kiamat”.
Auto-Adzab

106
Mbah dzan itu seperti bakteri kecil yang menelusup-nelusup ke ruang-ruang sangat kecil dan
sangat mustahil di dalam jiwa manusia. Seperti virus yang amat sangat mikro, yang merasuk ke
dalam yang terlembut dari kehidupan internal maupun eksternal manusia dan masyarakat. Di
dalam kesempitan yang amat sempit itu bahkan Mbah dzan bisa merenggangkannya untuk
menciptakan ruang, dan ruang itu ia pakai untuk mengambil jarak, sehingga segala sesuatu di
dalam kesempitan itu bisa di-ilmu-inya.
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut terhadap apa yang Ia kehendaki. Sesungguhnya Dialah
yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” [1] (Yusuf: 100). Kata ‘lembut’ atau ‘kelembutan’
biasanya selalu diasosiasikan hanya pada peta silaturahmi manusia, perhubungan sosial dan
tata budaya. Sangat jarang diproyeksikan ke konteks makro mikro, besar kecil, gunung raksasa
dan batu kerikil kecil serta pasir yang lembut. Kemudian imajinasi menuju yang terlembut dari
pasir, sampai ke tingkat lembut yang teknologi manusia mampu mencapainya.
Artinya, lembut dan kelembutan hanya dibayangkan sebagai urusan etika dan akhlak antar
manusia dan makhluk. Kurang ditemukan keterkaitannya dengan ilmu, fakta fisika, dan
kekayaan ciptaan Allah. Maka kebiasaan pikiran dan perasaan manusia untuk lebih terlatih
berurusan dengan kasar dan keras, membuat mereka bernafsu terhadap pahala dan ambisius
terhadap adzab. Sementara Mbah Dzan karena melatih kelembutan dalam segala spektrum dan
komprehensi konteks-konteks: menemukan bahwa soal adzab itu sudah sejak awal
dipersiapkan oleh Allah.
Auto-adzab. Autopiloting. Kausalitas baik buruk, sebab akibat balasan dan pahala, surga dan
neraka, justru merupakan rumus dasar, primer dan default-nya konsep penciptaan Allah atas
kehidupan. Adzab itu dengan sendirinya berlangsung, meskipun seandainya Allah, sekali lagi:
seandainya – Allah tidur atau lupa.
Ilmu Kelembutan, Kelembutan Ilmu
Firman Allah di Surat Yusuf 100 itu dipungkasi dengan watak Allah Yang Maha Mengetahui dan
Maha Bijaksana. Apa hubungannya dengan kelembutan, kalau yang dimaksud hanya sikap
lemah-lembut, sopan dan santun?
Allah Maha Mengetahui: berarti itu tema ilmu. Ilmu terhadap apa? Terhadap yang terlembut
dari kenyataan hidup. Kalau seorang manusia berekspresi dengan wajahnya atau bersikap
dengan perilakunya, itu adalah gambar besar. Gambar makro. Adapun mikronya, lelembutnya,

107
berada di balik gambar besar itu. Pernik-pernik terkacil dari semesta dalam jiwa manusia. Tidak
kelihatan oleh manusia, namun Allah Maha Mengetahuinya.
Dan karena Maha Mengetahui sampai yang terlembut dari fakta itulah maka Allah menawarkan
sikap Maha Bijaksana. Agar manusia menghitung secara menyeluruh, dari yang besar hingga
yang terkecil. Dari yang makro sampai yang mikro. Atensi dan empati terhadap keseluruhan
faktor sampai yang terlembut itulah perangkat dan jalan yang membawa manusia ke titik
keadilan.
Kelembutan jauh lebih agung dari sekedar peristiwa di mana manusia bersikap lembut kepada
manusia lainnya. Bersopan santun sedemikian rupa, sampai ke resiko sosial bahwa itu bisa
merupakan tipudaya, jebakan atau kosmetik kultural yang membuat orang lain salah sangka
dan keliru kesimpulan.
Oleh karena itu, pelajaran dari Allah: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. [1] (Ali ‘Imran: 159).  Itu bisa bermakna tidak hanya
bersikap lemah lembut dalam bernegosiasi atau berdiplomasi. Melainkan juga berarti
mengapresiasi orang lain, termasuk kepada musuh, dengan kejernihan dan objektivitas. Bisa
dimanifestasikan menjadi sikap adil dan proporsional.
Sikap Lembut Terhadap Al-Qur`an
“Maka hendaklah kita semua membiasakan diri bersikap lembut terhadap Al-Qur`an”, kata Cak
Dzan pada suatu malam kepada Tarmihim dan sejumlah temannya, beberapa lama sesudah Cak
Dzan menemui Saimon entah siapa itu di ruang dalam Patangpuluhan.
Tentu saja mereka belum mengerti persis apa maksud Mbah Dzan. Tapi beberapa lama tak ada
yang bertanya. Mereka semua meDzanggu, karena yakin penjelasan Cak Dzan akan ada
lanjutannya. Ternyata Cak Dzan tidak meneruskan.
“Lembut bagaimana, Cak?”, akhirnya Sapron yang ketika itu tak sabar.
“Misalnya ambil saja tiga kemungkinan sikap”, jawab Cak Dzan, “pertama, membuat ruang di
dalam ruang pemahaman kita bahwa Al-Qur`an, dengan setiap suratnya, ayatnya, kalimatnya,
bahkan kata dan hurufnya, bukanlah padatan-padatan. Kalau dalam komunikasi budaya kita
kenal kata ‘batu’, maka jika Qur`an menyebut suatu kata: tidaklah ia mengandung pengertian
padat dan baku sebagaimana pengertian budaya kita tentang batu”

108
Sapron merespon lagi, “Tapi kan ada kemungkinan bahwa terdapat kata yang memang baku di
Al-Qur`an yang pengertiannya tidak jauh dari pemahaman baku dalam budaya manusia.
Misalnya ‘syaithan’, ‘bumi’, atau ‘langit’, meskipun dalam tiga kata itu bisa juga terdapat
kemungkinan konotasi dan pemaknaan lain yang sangat luas…”
“Memandang kemungkinan pemaknaan lain yang sangat luas itulah yang saya maksud dengan
sikap lembut kepada Al-Qur`an”, jawab Cak Dzan, “kalau Allah berfirman “Sesungguhnya Kami
meDzandukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan
pagi” [1] (Shad: 18), kita tidak boleh bersikap kaku dan padat dengan mambayangkan
bertasbihnya gunung-gunung itu sama dengan cara dan perilaku tasbih manusia”.
Al-Qur`an Bukan Hurufnya Itu
“Maksud Cak Dzan”, Sundusin mencoba ikut menjelaskan, “dalam membaca dan memahami
Al-Qur`an kita jangan berhenti pada pencerapan harafiah. Ayat-ayat itu memang disampaikan
kepada kita melalui kumpulan huruf-huruf, tetapi pada hakikatnya Al-Qur`an bukanlah huruf-
huruf itu, meskipun huruf-huruf dalam kehidupan memang adalah bagian dari Al-Qur`an atau
bagian dari keseluruhan firman agung Allah”
“Kemungkinan berikutnya apa, Cak?”, Brakodin mengejar.
“Kemungkinan kelembutan yang kedua, misalnya, bahwa setiap ayat Allah bisa ditemukan
konteks pengertiannya pada satuan ruang dan waktu tertentu pada kehidupan manusia. Tetapi
jangan berkesimpulan bahwa firman Allah itu bagian dari ruang dan waktu. Terbalik. Ruang dan
waktulah yang merupakan bagian dari firman Allah. Sebab ruang dan waktu diciptakan sesudah
firman pertama Allah”
“Apa itu bukan membolak-balik logika saja, Cak?”, Tarmihim ikut mengejar.
“Logika tak usah dibolak-balik, karena ia memang berlipat-lipat tanpa batas”, jawab Cak Dzan,
“Logika memuai sesuai dengan spektrumnya. Logika olahraga bisa berlaku pada spektrum
budaya. Logika psikologi bisa ditemukan pemuaiannya pada spektrum peradaban besar…”
Setelah diam sejanak, Cak Dzan meneruskan: “Logika itu sendiri ditimpa oleh hukum logika.
Sedemikian rupa dialektika antara berbagai spektrum logika, sampai akhirnya kelak mudah-
mudahan Allah berkenan menginformasikan kepada kita Akar Asal Usulnya, Ibunya. Alur dan
sulur-sulur serta lipatan-lipatan logika sesungguhnya adalah semacam jaring-jaring raksasa,
semacam tumpukan rumah laba-laba, di mana kita memanjatnya, berlompatan padanya,

109
sampai berjumpa dengan Maha Logika. Maka seluruh keangkuhan intelektual dan
kesombongan rasional peradaban manusia cukup dicegat oleh Allah dengan Alif Lam Mim,
Shad, Dzan, Qaf…”.
Betapa Jelasnya Alif Lam Mim
Kalau di berbagai Surah Al-Qur`an engkau menjumpai Alif Lam Mim, Alif Lam Mim Shad, Alif
Lam Ra`, huruf-huruf muqatha’ah di awalnya. Juga Shad, Dzan, Kaf Ha Ya ‘Ain Shad. Padang
Sabana yang berujung cakrawala. Panjatlah ketinggian hingga ke biru langit. Area kemerdekaan
cinta yang tak ada batasnya untuk mengembarai cinta dan kerinduan setiap hamba kepada
Maha Kekasihnya.
“Al-Qur`an diturunkan dengan Bahasa Arab yang jelas” [1] (As-Syu’ara: 195). Maka huruf-huruf
itu pun amat sangat jelas. Kalau ada yang menjalani sepenggalan logika sehingga bertanya:
kenapa ada ayat yang hanya terdiri dari huruf-huruf, yang tidak jelas maknanya? Katakan
kepadanya: sejak kapan ia menggenggam penguasaan atas kejelasan dan ketidakjelasan
sesuatu hal dalam kehidupan yang sangat-sangat jelas ketidakjelasannya baginya?
Kalau seekor semut tidak sanggup mengarungi satu lautan, hendaklah ia tidak menyimpulkan
bahwa lautan itu tidak jelas. Lautan itu sangat jelas. Meskipun engkau tidak mampu
menjangkaunya, ia justru sangat jelas.
“Bagaimana kita-kita para semut ini menentukan kejelasan Alif Lam Mim umpamanya?”,
Sundusin mengejar.
“Kebanyakan penerjemah dan penafsir Qur`an menuliskan: hanya Allah yang Maha Mengetahui
maknanya”, Brakodin menyahut.
“Berarti sangat jelas Allah Maha Mengetahui maknanya”, celetuk Cak Dzan.
“Tapi bagaimana dengan kita yang tidak mengerti kejelasannya?”, Sundusin mengejar lagi.
Cak Dzan tertawa. “Ambil keputusan sendiri apa dan bagaimana kejelasan Alif Lam Mim. Benar
salahnya Allah yang mengerti, tetapi bagimu yang penting keputusanmu itu membuatmu lebih
dekat kepada Allah dan lebih santun kepada sesama manusia”.
Allah dan Muhammad
Sapron bercerita: “Ada Kiai yang menafsirkan bahwa Alif adalah posisi orang shalat ketika
berdiri. Lam ketika ruku’. Dan Mim tatkala bersujud”

110
“Tidak salah”, kata Cak Dzan, “kalau itu adalah jalan taqarrub ilallah. Tapi ia juga belum tentu
benar kalau tema kita adalah denotasi sesuatu hal”
“Jadi salah atau benar?”, Sapron bertanya.
“Kesalahan denotasinya tidak membatalkan kebenaran taqarrub-nya”, jawab Cak Dzan, “toh itu
merupakan bukti pengakuan bahwa ia patuh kepada parameter manusia Muttaqin, orang-
orang yang bertaqwa: “Kitab ini, tak ada keraguan padanya, merupakan petunjuk bagi orang-
orang yang bertaqwa, yang percaya kepada yang gaib…” [1] (Al-Baqarah: 2-3).
Tiba-tiba terdengar Tarmihim tertawa. “Sekarang saya lebih mengerti tentang yang Cak Dzan
kemukakan bahwa kejelasan sesuatu dari Tuhan tidak bisa serta merta kita ukur iya tidaknya
atau jelas tidaknya dengan parameter budaya kita. Selama ini kita semua kalau mendengar kata
gaib asosiasi kita selalu pada dunia Jin, hantu, keremangan dan kegelapan”
“Padahal jauh lebih banyak yang gaib dibanding yang seolah-olah nyata dalam kehidupan
manusia”, Brakodin menambahkan, “cinta itu gaib. Hati setiap orang sebenarnya gaib bagi
orang lainnya. Bahkan hati kita sendiri sering gaib bagi kita sendiri. Sekurang-kurangnya sering
terdapat ruang-ruang gaib di dalam hati dan pikiran kita sebagai manusia…”
Tiba-tiba Sapron memotong. “Kalau bagi saya, Alif Lam Mim itu jelas maksudnya adalah Allah
dan Muhammad. Terus siapa lagi kalau bukan Allah dan Muhammad. Mim-nya jelas
Muhammad. Allah-nya kan tidak cukup diinisialkan dengan Alif saja atau Lam saja. Jadi harus
Alif Lam dan Mim. Saya tidak mau makna yang lain lagi. Pokoknya hidup ini ya Allah dan
Muhammad. Yang selain beliau berdua hanya sekunder dan tersier”.
Bukan Ulama Adalah tapi Adalah Ulama
Kemungkinan ketiga kelembutan menurut Cak Dzan adalah bagaimana mengarungi samudera
Al-Qur`an seperti kekasih mengembarai cinta. Ada unsur pembelajaran seperti murid Sekolah di
dalam membaca Al-Qur`an, tetapi ia tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanya salah satu mekanisme.
Harus ada harmoni dan kemenyatuan antara fungsi-fungsi seluruh anasir kejiwaan kita. Ada
memahami, ada merasakan, ada memandang, ada mendalami, ada melihat, ada tergetar, ada
mendengar, ada penasaran. Dan bermacam-macam kemungkinan kejiwaan pada kita sebagai
manusia.
“Al-Qur`an bukan milik kaum terpelajar sehingga mereka merasa berhak mengklaim dan
memonopoli”, kata Cak Dzan, “Al-Qur`an untuk semua hamba Allah, dan parameternya adalah

111
kadar ketaqwaan. Dan kadar ketaqwaan hanya diketahui secara Maha Lembut oleh Allah
sendiri. Jangan ada manusia yang menggantikan posisi Allah”
Dan di ujung pembicaraan tentang huruf-huruf muqatha’ah itu Cak Dzan dengan nada agak
khusus dan pelan-pelan mengemukakan contoh: “Tema ini jangan terlalu keras diomongkan.
Dan kalau bisa tak usah dibawa-bawa keluar dari rumah Patangpuluhan. Biarkan ini menjadi
bahan tahu sama tahu di antara kita saja”
Semua bertanya-tanya apa yang dimaksudkan oleh Cak Dzan.
“Misalnya, Allah berfirman “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. [1] (Fathir:
28). Apakah itu berarti sudah ada kesepakatan masyarakat bahwa Ulama adalah yang ini yang
itu, kemudian Allah menuding mereka sebagai golongan yang takut kepada Allah. Ataukah
setiap orang digiring untuk takut kepada Allah untuk memungkinkan kita adalah Ulama?”.
Kok ‘Hanyalah’ Ulama
Cak Dzan dan apalagi warga Patangpuluhan lainnya yang lebih awam dari Mbah Dzan, merasa
sadar diri bahwa pengetahuan mereka tentang Bahasa Arab sangatlah rendah. Apalagi tatkala
Bahasa Arab dipilih dan digunakan oleh Allah dalam menuturkan Al-Qur`an.
Misalnya firman yang menyebut Ulama itu: “Innama yakhsyallaha min ‘ibadihil
Ulama” [1] (Fathir: 28). Kenapa terjemahannya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. Sungguh bodoh Cak Dzan tidak mampu
memahami itu. Kenapa pakai kata ‘hanya’? Apakah itu terjemahan dari kata ‘innama’? Apakah
gramatika keseluruhan kalimatnya memberi nuansa yang kesimpulannya adalah ‘hanya
Ulama’?
Makanya sekolah, Cak Dzan. Nyantri di Pesantren. Atau tekon otodidak nderes ngaji belajar
memahami arti Qur`an barang sedikit-lah. Rata-rata masyarakat meyakini: bagaimana mungkin
orang bisa pintar ilmu dan ngaji kalau tidak sekolah atau nyantri. “Terjemahan ayat itu tekanan
maknanya yang mana”, kata Mbah Dzan, “Yang takut kepada Allah hanyalah Ulama, selain
Ulama tidak takut kepada Allah. Ataukah siapapun saja yang takut kepada Allah adalah Ulama,
dan belum tentu yang sudah terlanjur disebut Ulama itu takut kepada Allah?”
Sundusin tersenyum dan menghela nafas. “Iya ya. Titik berat itu terletak pada peristiwa
takutnya atau identitas Ulamanya? Apakah Ulama itu identitas, ataukah kondisi kejiwaan

112
manusia?”, “Rasanya tidak patut juga kalau seorang tukang tambal ban yang meskipun rajin
ibadah dan selalu takut kepada Allah — lantas kita sebut Ulama. Tetapi lebih tidak pantas dan
memalukan lagi kalau ada orang sudah disebut Ulama oleh ummat tapi rakus harta dan penjilat
penguasa…”.
“Mungkin pembicaraan tentang itu perlu repetisi, diulang-ulang. Itupun belum tentu membuat
kita nyanthol dan ingat…”, kata Mbah Dzan.
Balita di Dunia
Wajah Cak Dzan tiba-tiba tersenyum. Tak sengaja mereka memperhatikannya. Apakah senyum
itu terbit dari “sudah disebut Ulama oleh ummat tapi rakus harta dan penjilat penguasa”?
Ternyata tidak. “Coba kalian perhatikan”, katanya, “kata Guru Ngaji saya zaman dulu, kata
‘inna’ berarti ‘sesungguhnya’. Kalau ‘innama’ memaksudkan penekanan terhadap yang
ditunjuk. Pertanyaannya: apakah sudah ada yang disebut Ulama dulu, dengan kriteria yang
entah benar entah salah di kalangan ummatnya, kemudian firman itu meDzanjuk Ulama yang
sudah ada itu. Ataukah Allah memberi definisi tentang Ulama, dan Kaum Muslimin terus
menerus mengamati dan mengidentifikasi siapa saja yang pantas disebut Ulama. Bukan
berdasarkan pakai surban peci gamis sarung, tapi berdasarkan cuaca kepribadiannya yang
diamati oleh masyarakat: apakah ia ‘yakhsyallah’ atau tidak”
Tarmihim mencoba mencari ketegasan: “Innama itu penegasan yang menitikberatkan ke
identitas Ulamanya atau kualitas yakhsyallah–nya?”. Sundusin merespons: “Salah satu ciri kita
semua ini adalah pemalas. Hampir tidak ada upaya sejarah untuk menemukan inti kebenaran”
“Kita suka makan buah, bahkan rakus”, lanjut Brakodin, “tapi tidak punya kebiasaan untuk
mengenali pohonnya, apalagi akarnya. Kalau makan mangga, peloknya juga pasti dibuang”. Dan
Tarmihim menyahut lagi, “Membuang pelok adalah kedhaliman ganda. Pertama tidak
mempedulikan masa silam. Kedua, tidak menghargai masa depan. Tidak investatif dari belakang
maupun ke depan”
Mbah Dzan tertawa. “Wajar kalau bangsa atau kaum lain menjajah kita dan mempermainkan
kita. Mereka berpikir 300 tahun ke belakang dan ke depan, sedangkan kita berpikir kepastian
makan hari ini dan mengejar laba eceran besok pagi. Bangsa dan Ummat kita ini bagaikan Balita
di tengah masyarakat Dunia”.
Ulama Alam Semesta

113
Cak Dzan kemudian menggeser dialog tentang penekanan ‘Ulama’ atau ‘yakhsyallah’ itu ke
lingkungan tematik ayatnya.
“Dahsyat Allah itu”, katanya, “Coba perhatikan: firman tentang takut kepada Allah dan Ulama
itu oleh Allah diletakkan di dalam lingkungan tema dan pemandangan yang seakan-akan sama
sekali tidak ada hubungannya dengan konteks Ulama. Saya bilang: seakan-akan. Mana mungkin
firman Allah seakan-akan…”
Sapron yang ketika langsung berdiri loncat dan mengambil Al-Qur`an. Segera ia cari surat Fathir
itu, kemudian membacanya:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam
pekat. Dan demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warna dan jenisnya…” [1] (Fathir: 27-28).
“Joooss to”, kata Cak Dzan, “Allah menorehkan langit dan hujan, berjenis-jenis bebuahan,
meletakkan gunung-gunung yang teguh, lantas menggoreskan garis-garis putih dan merah, juga
warna-warna lainnya termasuk hitam pekat. Kemudian Allah membawa kita melebarkan
pandangan ke binatang-binatang melata, hewan-hewan ternak. Tiba-tiba muncul sesudah
koma, satu anak kalimat yang isinya parameter tentang manusia dengan kualitas keilmuan,
keluasan pengetahuan dan komitmen terhadap alam, dengan memberi rumus tentang siapa
yang layak disebut Ulama…”
“Apakah itu bisa berarti begini”, Tarmihim bertanya, “bahwa yang disebut Ulama adalah para
pembelajar, apresiator, pecinta dan penghayat alam, langit, hujan, gunung, hewan,
tetumbuhan. Jadi Ulama awalnya belum keahlian di urusan Fiqih dulu, melainkan
penghayatannya terhadap alam semesta ciptaan-Nya?”
Gua Kahfi Abad 16
Sebenarnya sejak era awal-awal di Patangpuluhan, sengaja atau tak sengaja Mbah Dzan sudah
selalu menjelenterehkan tentang logika bahwa Majlis Ulama mestinya terdiri dari banyak Ahli
atau Pakar, selengkap mungkin. Ada Ulama Fisika, Ulama Biologi, Ulama Kesehatan, Ulama
Astronomi, Ulama Teknologi, Ulama Tata Sosial, Ulama Kenegaraan dan macam-macam lagi.

114
Juga sesungguhnya setiap era di dalam perjalanan sejarah Kaum Muslimin selalu sudah terjadi
dengan sendirinya suatu formasi sosial, proses identifikasi, pemilahan status dan pembagian
fungsi: ini adalah petani, yang sana pedagang pasar, yang itu adalah Ulama. Setiap generasi
baru lahir dan berkembang dewasa kemudian sudah ada ‘keputusan’ di lingkungan
masyarakatnya bahwa itu “adalah Ulama”. Hanya saja sejak abad 16 Masehi, tatkala Kaum
Muslimin mulai terdesak hidupnya dari kekuatan dan kekuasaan Kerajaan dan Kesultanan, yang
dikooptasi oleh kekuatan Kolonial dari Eropa — Kaum Muslimin mulai berwatak defensif.
“Kalau dicari semacam padanannya, mungkin Kaum Muslimin bangsa kita sejak awal abad 16
itu berposisi seperti Ashabul Kahfi”, kata Cak Dzan, “menghindar dari kekuatan yang mereka
belum sanggup melawan. Mereka memasuki Gua Sejarah. Ruang remang-remang yang
eksklusif. Terlindung tapi juga terputus dialektikanya dengan dinamika dunia”
“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan
mereka…” [1] (Al-Kahfi: 11-12).
“Tentu saja penarikan garis konteks ini tidak bisa ditemukan pembenaran tafsiriah historisnya.
Paling jauh ini adalah semacam tadabbur kontekstual. Apalagi beberapa tahun atau ‘siniina’
diasosiasikan menjadi beberapa abad. Urusannya bukan kebenaran fakta sejarah, melainkan
melahirkan manfaat ilmu dan hikmah atau tidak pagi penggunanya”, Cak Dzan menjelaskan.
Ilmu dan Cinta, Ruang dan Waktu
“Orang-orang yang hidup dalam Gua”, Cak Dzan menguraikan, “secara naluriah terdidik oleh
kebiasaan hidup dalam kesempitan. Semesta alamnya adalah selingkup Gua itu. Rasa sosialnya
dibatasi oleh dinding-dinding Gua. Keseharian pandangan mereka, pola berpikir mereka,
konsep ruang mereka, bahkan rasa kemasyarakatan mereka, adalah kesempitan Gua. Lebih
lengkap lagi kalau kesempitan itu ditemani oleh kegelapan atau keremangan, kesumpekan,
aroma dan bebauan yang itu-itu juga. Cakrawalanya adalah tembok Gua. Begitulah. Silahkan
meneruskan…”
“Langit adalah khayalan mereka”, Sapron bersuara.
“Masyarakat dan dunia seisinya adalah sesuatu di sana, bukan di sini…”, Brakodin menambahi.
“Perhitungan sehari-hari mereka hanya seputar Gua. Muhasabah mereka sebatas spektrum
Gua”, juga Sundusin.

115
Dan Brakodin melengkapi, “Mereka menjadi manusia lokal. Bahkan sangat lokal. Pertimbangan-
pertimbangannya lokal…”
“Tapi jangan lantas meremehkan”, Cak Dzan memotong, “Baca informasi berikutnya dari
Allah: ‘Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah
kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada
dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah.
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan
barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun
yang dapat memberi petunjuk kepadanya’. [1] (Al-Kahfi: 17).
Cak Dzan mengingatkan, kita bisa membangun keluasan intelektual dan spiritual dalam
kesempitan teritorial. Jasad bukan ukuran utama. Jasad bukan “wadah-nya roh”. Ilmu dan cinta
tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu”.
Tak Seorang Pemimpinpun
Ketika Pakde Brakodin mengingat kembali dan menuturkan: “Mbah kalian Mbah Dzan
menjelaskan bahwa alam semesta beserta seluruh isinya, yang seolah-olah tak terbatas besar
dan luasnya, kalah oleh setetes hidayah Allah…” — tiba-tiba terengar suara Seger.
“Maaf Pakde saya memotong”, katanya. Ia memang sangat tekun bukan hanya mendengarkan,
tapi juga mencatati semua yang sempat ia catat.
“Silahkan Seger”, sahut Brakodin.
“Dari ayat yang dibacakan oleh Pakde Sapron yang kemudian sebagian direfleksikan oleh Mbah
dzan maupun Pakde-Pakde yang lain, saya malah terpaku pada bagian akhir”
“Yang mana?”
“Bahwa kalau Allah menyesatkan suatu masyarakat, ummat atau Bangsa, maka mereka tidak
akan pernah mendapatkan Wali maupun Mursyid…”
Jitul menyela, “Tapi sebenarnya belum selesai penuturan muatan-muatan yang luar biasa luas,
khazanah-khazanah tematik yang ternyata tidak terbatas, bahkan rahasia-rahasia makna yang
hanya bisa ditembus kalau kita merdeka dalam berminajinasi, yang terkandung oleh deretan
kata-kata sebelumnya di hanya satu ayat Allah itu saja…”
“Pasti, Tul”, jawab Seger, “cuma saya terseret dan terjerat oleh informasi bagian akhir dari Allah
di bagian akhir ayat itu”

116
Yang Seger maksud adalah “…dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan
mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya…”. [1] (Al-Kahfi:
17).
“Sekarang makin ketahuan kenapa kita terjebak dalam lingkaran Pakde Paklik ini”, Seger
melanjutkan, “saya yakin kita sedang diselamatkan Allah…”.
Generasi Kintir
“Kita yang sangat minoritas, yang jumlahnya sangat tidak berarti dibanding puluhan juta anak-
anak muda segenerasi, tidak bisa saya simpulkan kecuali bahwa Allah sedang menyelamatkan
kita. Mohon ampun kepada Allah dan maaf kepada siapa saja kalau kesimpulan saya ini salah”,
kata Seger.
“Saya tidak mengatakan bahwa kita yang punya peluang untuk diterima Allah dan dimasukkan
ke dalam sorga-Nya”, Seger melanjutkan, “tetapi kita memang sudah lama tidak krasan berada
di tengah kebanyakan anak-anak muda yang hidupnya seperti buih dan larahan. Generasi
pelengkap penderita. Generasi objek. Generasi robot. Generasi beku. Generasi tanpa
kegelisahan. Generasi tanpa pertanyaan dan tanpa jawaban. Generasi yang tidak punya
dinamika pikiran untuk mencari siapa mereka, dari mana asal usulnya, ke mana tujuannya,
kenapa ia hidup, kenapa ia berjalan menjalani kehidupan. Generasi yang bukan hanya tidak
punya kepribadian, tapi juga tidak memperjelas dirinya. Generasi yang sebutannya hebat:
Generasi Millenial, dan memang sebutan itu hanya mencerminkan satuan waktu, tetapi tidak
mengandung substansi nilai apapun kecuali keterseretan. Generasi Kintir. Generasi kabur
kanginan. Generasi tanpa obor…”
“Wah kok kethus banget kamu, Ger”, Junit mengomentari.
“Kethus atau tidak itu hanya nada”, jawab Seger, “nada hanya bersetia kepada yang dinadainya.
Tidak ada maksud saya mengecam, mengkritik atau apalagi mengutuk dan membenci mereka.
Saya ini sedih dan prihatin, bukan kethus…”
Toling yang terpaku diam selama penuturan Pakde Brakodin, sekarang terdengar suaranya.
“Seger itu peneliti yang tekun. Bukannya ia berprofesi sebagai Peneliti, tapi naluri dan
tradisinya adalah meneliti. Di pojok-pojok catatannya banyak ia tulis: “Sesungguhnya makhluk
yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak
mengerti apa-apapun”. [1] (Al-Anfal: 22).

117
Syarrod-Dawab
“Tidak”, suara Seger lagi, “Saya sama sekali tidak punya kelengkapan ilmu untuk mengatakan
bahwa Generasi Millennial, apalagi generasi-generasi sebelumnya, adalah Syarrod-Dawab,
seburuk-buruk makhluk di hadapan Allah. Yang saya maksudkan hanyalah rasa syukur kepada
Allah bahwa Jitul, Junit, Toling dan saya dicampakkan Allah ke dalam Gua Mbah Dzan…”
Junit tertawa. “Mbah Dzan bilang bahwa alam semesta beserta seluruh isinya, yang seolah-olah
tak terbatas besar dan luasnya, kalah oleh setetes hidayah Allah. Sementara Seger mengatakan
bahwa kita ini dicampakkan oleh Allah ke dalam Gua Mbah Dzan. Lucu juga kalau dicampakkan
ternyata artinya adalah diberi petunjuk”
“Itu problem kata”, Jitul merespon, “tidak ada satu kata yang pernah benar-benar sanggup
mewakili sesuatu yang diungkapkan dengan kata itu. Apalagi kalau sesuatu itu makna. Apalagi
kalau makna itu tidak tunggal, tidak linier, tidak datar, tidak berdiri sendiri, tapi berangkai-
rangkai. Masalahnya Generasi Millenial ini mengenali kehidupan terutama melalui kata. Kita
semua menuhankan kata, menabikan Buku, mendewakan media, mengagamakan Medsos dan
Medmas”
Terdengar suara Pakde Sundusin membacakan [1] (Al-Ahzab: 45): “Hai Nabi, sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”
Seger menyahut: “Itu ayat yang juga sering saya tulis di pojok-pojok halaman catatan-catatan
saya. Karena kita dibesarkan dan dididik oleh cuaca budaya informasi yang bukannya
menggembirakan dan memberi peringatan. Yang kita baca sehari-hari adalah berita-berita
tentang keburukan dan kedhaliman, yang sifatnya memprovokasi dan menyorong pembacanya
ke dalam kesesatan”
“A bad news is a good news”, Toling menegaskan, “itulah ideologi primer yang kita anut
beramai-ramai di abad ini”.
Membeli Selimut Api
“Berita buruk adalah berita baik. Berita yang baik adalah tentang yang buruk”, lanjut Toling.
Jitul menambahkan: “Berita tentang keburukan, yang diberitakan dengan nafsu untuk
menegaskan dan menyempurnakan keburukan, itulah kebaikan”
“Bukankah memang demikian naluri alamiah manusia?”, Pakde Tarmihim menggoda dengan
pertanyaan.

118
“Maksudnya, Pakde?”, Seger bertanya.
“Kalau ada orang membangun rumah, tak ada yang nonton, paling pol hanya menoleh secara
agak khusus. Tetapi kalau ada rumah kebakaran, semua orang berduyun-duyun datang nonton”
“Tidak salah Pakde”, Jitul mencoba menjawab, “tetapi di samping orang nonton beramai-ramai,
ada tim pemadam kebakaran yang datang mengatasi kebakaran. Bahkan di antara penduduk
yang berkerumun, banyak juga yang berupaya ikut memadamkan api”
“Sementara media-media informasi bukan hanya tidak ikut memadamkan api, malah dalam
banyak hal mereka yang menjadi api sumber kebakaran”. Toling menambahkan.
Pakde Sundusin tersenyum. “Mungkin mereka latihan untuk canggih di masa depan. Kata Mbah
Dzan dulu, ada orang di dunia yang hidup untuk berlatih menjadi penghuni sorga. Ada juga yang
latihan menjadi penduduk neraka. Mereka mensimulasi kampungnya di neraka, rumahnya,
perangkat-perangkatnya sampai tempat tidur dan selimutnya. Juga cara hidup di rumah neraka
itu. Allah Maha Mengerti atas semua itu. “Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di
atas mereka ada selimut api neraka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang zalim” [1] (Al-A’raf: 41).
Mensyukuri Kerusakan
“Berita buruk adalah berita baik. Berita yang baik adalah tentang yang buruk”, Toling terus
memperdalam hal tentang berita buruk, “semakin buruk keadaan atau kejadian, semakin
merupakan berita baik”
Jitul menambahkan, “Pada dasarnya pelaku media selalu bersyukur setiap kali ada sesuatu yang
buruk terjadi di masyarakat. Perpolitikan kacau mereka bersyukur. Masyarakat rusak mereka
bersyukur. Ada bencana mereka bersyukur. Sebab itu semua merupakan berita yang baik.
Berita yang baik artinya berita yang laku di pasaran. Berita yang laku di pasaran maknanya
adalah mereka memperoleh keuntungan uang dan keduniaan. Ya itu tadi, mereka tidak bisa
menemukan hubungan antara sebutir nasi dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan”
“Jadi setiap butir nasi yang dimakan oleh keluarga mereka adalah buah rezeki dari keburukan
keadaan. Lauk pauk mereka adalah kehancuran Negara. Sambalnya adalah kerusakan moral
dan kebudayaan. Kerupuk mereka adalah bencana”, Toling tak mau kalah.
“Maka setiap kali terpaksa membaca atau mendengar berita dari media, saya ucapkan Amin Ya
Mujibassailin…”, sahut Junit.

119
“Maksudnya?”, Pakde Tarmihim belum paham.
“Banyak pelaku media yang mencita-citakan keburukan, mengharapkan kerusakan dan
mendambakan bencana. Itu makanan nikmat bagi mereka, sehingga saya mohonkan kepada
Allah agar mengabulkan doa mereka itu”
“Ah ya jangan gitu…”, kata Pakde Sundusin.
Junit meDzanjukkan ayat Allah: “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia
berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada
sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang
pedih”. [1] (Luqman: 7).
Pengelolaan Keburukan
“Saya merasa sedang menjalani bagian akhir dari ayat itu, Pakde”, kata Junit, “mengamini
dengan Amin Ya Mujibassailin saya maknai sebagai merayakan kabar gembira tentang adzab.
Allah sendiri memberi formula dan logika fabasysyirhu, kabar-gembirakanlah atau sampaikan
kabar gembira. Tentang ‘adzabun alim. Tentang siksa yang pedih. Ini suatu lipatan logika. Kabar
gembira tapi adzab, adzab tapi kabar gembira”
“Tapi kamu tidak bergembira karena di antara manusia ada yang diadzab oleh Allah kan? Kamu
tidak bersukaria oleh kesengsaraan manusia kan?”
“Itu tergantung sisi pandangnya, Pakde”
“Coba baca yang ini”, tiba-tiba Pakde Tarmihim menyela, “Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya
azab yang besar”. [1] (An-Nur: 11).
Pakde Tarmihim menjelaskan bahwa bagi manusia yang sudah beristiqamah di jalan kebenaran
Allah, semua keburukan di dunia bisa dikelolanya menjadi kebaikan bagi dirinya. Muslim yang
sudah mantap dan stabil menempuh jalan menuju Allah, tidak ditimpa keburukan oleh
keburukan yang menimpanya, tetapi memperoleh tambahan kebaikan oleh kebaikan yang
datang kepadanya.

120
Sebagaimana hal ilmu, engkau bisa belajar kepada orang yang berilmu, tetapi juga bisa malah
lebih mendapat pelajaran dari orang yang tidak berilmu. Untuk belajar tidak mencuri, tidak kau
pelajari kehidupan orang yang tidak pernah mencuri, tapi banyak kandungan ilmu hikmah yang
bisa kau dapatkan dari maling-maling yang biasa mencuri.
Melihat Neraka dengan Jelas
Seger mengungkap catatannya: “Ada penganut a bad news is a good news yang berangkatnya
dagang biasa, takut tidak makan karena tidak tahu Allah menjamin rezeki hamba-Nya. Ada yang
karena serakah mengeruk keuntungan dari jualan keburukan dan bangkai-bangkai sosial. Ada
juga yang karena kepentingan yang lebih besar dan makro, merancang penguasaan global,
maka bikin dan menguasai media untuk provokasi, brainwash, menjebak, menipu,
memanipulasi ilmu, provokasi, hoax dan macam-macam lagi…”
“Sebentar, Seger”, Pakde Brakodin memotong, “Kalau bisa kita jangan terjebak balik-balik lagi
ke tema-tema besar dan global yang posisi kita di tengah-tengahnya hanya mengeluh,
berprihatin, menutuk, atau paling jauh ngrasani…”
“Lho saya dan kami anak-anak muda ini melengkapi pembelajaran ilmu dan pengetahuan”,
Seger mempertahankan diri, “kami bukan mengeluh, tidak mengutuk, juga bukan ngrasani,
meskipun pasti selalu berprihatin”
“Bagaimana kalau sekali-sekali kita khususkan waktu secara berkala untuk menelusuri lapangan
masyarakat. Kita melihat tekstur nyata di tempat yang berbeda-beda. Pasti akan ketemu tema
dan konteks masalah yang berbeda-beda pula. Jadi kalian tidak hanya berputar balik dari teks
ke teks, dari kata ke kata, dari wacana ke wacana. Melainkan merasakan bau-nya kenyataan…”
Junit tertawa. “Pakde kita ini berdialog kan hanya 5-10% dari waktu yang kita jalani. Yang 90%
setiap hari kita kan sudah berada di lapangan, menghirup bau-nya keadaan, menginderai
tusukan-tusukan hawanya. Setiap siang dan malam kita sudah selalu berenang-renang di lendut
realitas dan parit-parit comberan kehidupan. Seakan-akan ini yang difirmankan: “dan
diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat”. [1] (An-Nazi’at: 36).
Tak Perlu Dzanggu di Kuburan
“Kami tidak senang menangisi keadaan dunia”, Seger meneruskan penjelasan Junit, “kami anak-
anak muda ini belajar mencari asal usul suatu keadaan, supaya tahu ujung anak panah luncuran

121
keadaan itu. Kami belajar mencari Ibu kejadian, kunci permasalahan. Kami tidak meratapi
keadaan manusia di dunia, meskipun kami juga belajar untuk tidak terseret olehnya”
Seger melengkapkan informasinya. “Urutan pernyataan Allah itu sangat jelas: ‘Pada hari ketika
manusia teringat akan apa yang dikerjakannya, diperlihatkan neraka kepada yang melihatnya.
Adapun orang yang melampaui batas, yang lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya’. [1] (An-Nazi’at: 35-39).
“Al-Qur`an sangat banyak memberi kunci informasi tentang Sorga dan Neraka”, katanya, “Maka
kami anak-anak muda tidak melihat kedua kebijakan Allah itu sebagai objek atau pelengkap
penderita. Kami tidak berani meDzanggu mati dan dikubur dulu untuk sedikit memastikan
pengetahuan tentang neraka. Bahkan kami tidak perlu meDzanggu berusia tua untuk
membereskan kejelasan hal tentang Sorga dan Neraka…”
Seger menegaskan, “Kalau dengan rute informasi ayat itu, kami tidak perlu berada di kuburan
dulu untuk mengingat apa yang kami perbuat, baru kemudian menyesalinya karena ngeri
kepada neraka. Setiap hari, bahkan setiap saat, kami harus selalu ingat apa yang telah kami
kerjakan. Supaya Allah memperlihatkan Neraka dengan jelas ketika kami melihatnya. Sebab
makhluk tidak mampu melihat Neraka atau Sorga, tanpa Allah berkenan memperlihatkannya.
Akal adalah perangkat utama kemakhlukan manusia, tapi itu tidak berarti cukup dengan akal
untuk mengakses pengetahuan tentang Sorga dan Neraka. Perangkat utama manusia
sesungguhnya adalah perkenan Allah”.
Tak Seorang Penolongpun
Pakde Brakodin yang tadi mengusulkan agar anak-anak muda itu tidak hanya berdiskusi tapi
juga terjun ke lapangan, mencoba menjelaskan maksudnya: “Tidak berarti pengalaman hidup
kalian sehari-hari tidak cukup untuk dipakai menemukan dialektika maknanya dengan Al-
Qur`an. Tapi mungkin beda kalau melihat hal yang sama namun dengan pandangan yang sudah
berkembang”
“Paham, Pakde”, jawab Seger, “itu selalu kami sadari. Tiap hari kami sering menemui dan
mengalami hal yang sama di tengah masyarakat, namun hasilnya berbeda pengetahuan dan
cara pandang kami sudah tidak seperti sebelumnya”
“Mungkin juga ada hal lain”, Pakde Brakodin meneruskan, “di dalam realitas masyarakat dan
Negara, kenyataan ummat dan Agama, mungkin ada banyak dimensi yang kalian belum bisa

122
melihat atau mengalaminya karena usia kalian. Kalau kalian rajin melakukan penelitian di
lapangan, mungkin kalian bisa menembus pemahaman itu tanpa meDzanggu kalian menjadi
dewasa seperti kakak-kakak dan Bapak Mbah kalian seperti kami-kami ini”
Toling menyahut. “Justru kami menemukan pengalaman orang-orang tua sehingga berpikir
lebih jauh ke depan. Misalnya lembaga ‘Adalah Ulama’ yang sudah kita bicarakan, umumnya
tidak bisa ditawar. Ada era di mana ‘adalah Ulama’ adalah tokoh-tokoh yang teruji integritas
moral dan peran sosialnya: Alim, saleh, akhlaqnya karimah, santun dan pengayom masyarakat.
Kemudian muncul era di mana ‘adalah Ulama’ tidak lagi didasarkan pada parameter kualitatif.
Cukup tanda-tanda luar saja: pokoknya kata orang banyak dia Ulama, ya sudah kita ikut
mengakui dia Ulama. Lihat saja pakaiannya, toh jelas biasa kasih tausiyah. Lantas saya ketemu
ayat ini: “Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan;
maka siapakah yang akan meDzanjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi
mereka seorang penolongpun” [1] (Ar-Rum: 29).
Anugerah Keluasan dalam Kesempitan
“Kami bisa mengembara ke lapangan-lapangan nyata masyarakat, sampai ke pojok-pojok
realitas, ke relung-relung kerusakan, ke tikungan-tikungan tipu daya dunia. Tapi kalau bekal
pandangan ilmu kami berasal justru dari sekolah-sekolah kerusakan itu, maka yang kami
dapatkan pasti hanya comberan pengetahuan dan debu-debu pengetahuan yang tak berguna”,
Seger lagi memberi catatan.
Junit membenarkan. “Coba kita perhatikan ulang informasi Allah: “…Dan kamu akan melihat
matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam
menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu.
Itu adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah” [1] (Al-Kahfi: 17). Meskipun kita berada
hanya di ruang dalam rumah Pakde Brakodin yang pengap dan kurang saluran udara ini, asalkan
memenuhi syarat untuk disebut “berada di tempat yang luas di dalam gua itu” – maka yang
kita peroleh bisa lebih luas dan mendalam dibanding kalau kita blakra`an kesana kemari”.
“Apa yang kamu maksud dengan ayat itu?”
“Dulu Mbah Dzan kata Pakde mengemukakan bahwa kita bisa membangun keluasan intelektual
dan spiritual dalam kesempitan teritorial. Jasad bukan ukuran utama. Jasad bukan ‘wadah-nya
roh’. Ilmu dan cinta tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Tetapi di ayat itu keluasan

123
terbentang tidak karena usaha rohani manusia, melainkan Allah sendiri yang
menganugerahkannya. Para Ashabul Kahfi dikatakan berada dalam ruang yang luas di dalam
Gua. Artinya di dalam Gua yang sempit itu Allah menciptakan keluasan ruangan bagi
penghuninya”
“Maksudmu kita ini Ashabul Kahfi dan gubuk Pakde Brakodin ini Gua Kahfinya?”, Pakde
Tarmihim tertawa, “Kita jangan GR.”
“Bukan GR Pakde. Ini husnudhdhan. Terus untuk apa Allah mengisahkan Ashabul Kahfi, kalau
tidak berlaku juga untuk kita?”.
Sekolah Nafsu Orangtua
Seger dan teman-temannya senada dan seirama dalam menolak usulan Pakde Brakodin untuk
mengkhususkan waktu pergi ke lapangan-lapangan masyarakat. Meneliti, mengamati,
menghayati langsung, merasakan dan mendalami.
“Sejak bayi, manusia menjalani waktu dan kehidupannya, tak lain untuk meleniti, Pakde”,
katanya, “meneliti ke dalam maupun ke luar. Ke diri sendiri maupun ke masyarakat dan
keadaan apapun di luar”, katanya. Dan “Keluarga, Masjid dan Sekolah seharusnya berisi
panduan dan tuntunan dari kaum tua agar anak-anak semakin pandai meneliti. Tuntunan itu
bukan nafsu orang-orang tua atas masa depan anak-anaknya, melainkan pemahaman dan
perumusan tentang apa saja yang sebenarnya diperlukan oleh anak-anak itu untuk mengenali
diri dan dunianya di mana mereka terlibat”, Jitul menambahkan.
Toling tak kalah. “Anak-anak bukan kendaraan yang dinaiki oleh ambisi orang-orang tua. Anak-
anak bukan alat yang dieksploitasi oleh nafsu para pemimpin untuk menerapkan pendapatnya.
Anak-anak bukan kuda tunggangan bagi para pejabat pendidikan untuk menjadi barang jualan
bagi pamrih memperoleh keuntungan”
“Berada di tengah masyarakat ada senengnya, tapi juga ada sedih dan bosannya”, Seger
menguraikan catatannya, “Biasanya di dalam pengajian atau forum-forum, berkatalah seorang
yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu,
hendaklah kamu bertasbih kepada Tuhanmu?” Maka mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan
kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim“. [1] (Al-Qalam: 28-29).
“Ketika terjadi benturan kepentingan atas dunia, “…sebahagian mereka menghadapi
sebahagian yang lain seraya cela mencela”, tetapi belum pernah saya dengar ada yang berkata:

124
“Mereka berkata: Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang
melampaui batas”. [2] (Al-Qalam: 30-31).
Ijtihad adalah Ancaman
“Sungguh kami bersyukur kepada Allah dan merasa beruntung bisa terjebak ketemu Pakde
Paklik dan komunitas Mbah Dzan, meskipun hanya sebagian kecil yang kami kenal”, kata Junit,
“tetapi terus terang ongkosnya tidak ringan dan tidak murah juga”
“Apa maksudmu, Nit?”, Pakde Tarmihim bertanya.
“Kami menjadi makhluk asing di tengah teman-teman sesama kaum muda. Kami menjadi
makhluk aneh di tengah masyarakat, bahkan kadang seperti orang gila di tengah keluarga
sendiri”
Jitul tertawa. “Pikiran kami tidak nyambung dengan kebanyakan orang. Kami susah untuk bisa
terlibat ngobrol dengan mereka. Bukannya kami merasa pintar dan lebih tahu kehidupan, tapi
tema-tema yang kami pikirkan benar-benar di luar kotak masyarakat”
“Bukan hanya soal tema”, Toling menambahi, “cara kita memandang dan memahami apa saja,
berbeda dengan yang umumnya berlaku di masyarakat. Kalau kita merespons berbeda sedikit,
dibilang sok filosofis, atau berpikir ruwet, atau sok pintar. Kalau kita mengungkapkan cara
pandang yang tidak sama dengan mereka, kita dituduh ekstrem atau radikal. Minimal dianggap
mempersulit diri sendiri”
Junit melengkapi. “Kecerdasan dianggap keanehan. Kreativitas ditanggapi sebagai ancaman.
Hasil ijtihad bisa dituduh makar atau kafir. Penemuan baru diperlakukan sebagai menyalahi
kebiasaan. Kami sebenarnya mafhum kepada semua itu, dan selalu bersikap lembut, pelan-
pelan, dan hati-hati. ‘Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya’. [1] (Ali ‘Imron: 159). Bagi kami ayat ini tidak hanya
berlaku antara orang yang berbeda Agama”.
Al-Qur`an adalah Metodologi Agung
“Saya bisa paham”, kata Pakde Sundusin, “aslinya tema dan asal-usul firman itu berkaitan
dengan hubungan antara Kaum Muslimin dengan pemeluk kepercayaan lain. Tetapi perbedaan

125
pandangan, dari soal makanan hingga prinsip politik dan akidah, bisa juga berlangsung antar
kelompok-kelompok yang bermacam-macam dalam kehidupan masyatakat…”
“Bisa antar generasi”, Pakde Tarmihim melanjutkan, “bisa antar golongan etnik, bisa antara
senior dengan junior, bisa antara siapapun saja, bahkan bisa antara orangtua dengan anak-
anaknya”
“Kami belajar bersikap lembut kepada Pakde Paklik”, Seger menanggapi, “kami belajar akurasi
pengambilan jarak sosial dalam interaksi dengan masyarakat. Bersama komunitas Mbah dzan
ini kami tidak merasa seperti santri-santri Pesantren, tetapi kami menjadi sangat menikmati Al-
Qur`an. Firman-firman Allah ternyata adalah mripat berjuta-juta, bahkan tak terbatas, yang bisa
kami pakai untuk melihat keluasan dan detail kehidupan. Ayat-ayat Allah ternyata bukan hanya
informasi yang kami tak mungkin memperolehnya hanya dengan akal, rasionalitas,
intelektualitas, tidak juga bisa kami peroleh dengan penelitian dengan metodologi apapun yang
pernah ada di muka bumi. Al-Qur`an adalah Metodologi Agung”
“Kami sangat menghormati usulan Pakde Brakodin”, Junit menyetujui Seger, “dan kami pasti
akan selalu menjalaninya. Tetapi untuk tahap sekarang perkenankan kami untuk menikmati
firman-firman Allah. Justru di dalam setiap huruf Al-Qur`an kami melihat dengan lebih terang
benderang keadaan masyarakat”
“Meskipun demikian”, Jitul menambahkan sambil tertawa, “kelas kami baru sampai pada “Kitab
Al-Qur`an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” [1] (Al-
Baqarah: 2). Bukannya kami sudah bertaqwa. Kami sedang berada di awal perjuangan untuk
sedikit bisa meraba apa gerangan taqwa”.
Hijrah dari Madinah ke Mekah
Pakde Brakodin punya pandangan aneh tentang anak-anak muda Junit dan teman-temannya.
“Kalian ini Muhajirin Fi Sabilillah. Tetapi bukan dari Mekah ke Madinah, melainkan dari
Madinah ke Mekah”
Semua tertawa. “Asyik juga itu, Pakde”, kata Toling.
“Bagaimana penjelasannya, Din?”, Pakde Tarmihim bertanya.
“Mereka ini tinggal di kampung dan pasar Madinah. Mereka dibesarkan oleh arus deras
globalisasi. Di dalamnya ada Pasar Yahudi. Ada kapitalisme liberal. Ada ketoprak ideologi-
ideologi. Ada demokrasi dan lawakan Pilpres Pilgub Pilbup Pileg. Ada ilmu-ilmu sosial di mana

126
manusia adalah segala-gala dan Tuhan adalah pelengkap penderita. Ada perang asimetris. Ada
Illuminati. Ada Freemason. Ada move on. Ada Revolusi Mental. Ada bermacam-macam kepulan
asap dan halusinasi. Bahkan ada perusahaan Negara dan talbis pejabat. Ahli-ahli neraka yang
merasa sebagai ahli-ahli sorga. Ada keangkuhan, kesombongan, takabur, riya`, GR, syarrud-
dawab di sana-sini. Penuh makhluk-makhluk yang tidak mengerti apa-apa dan tidak mengerti
bahwa mereka tidak mengerti. Dan Kaum Mu`minin adalah penduduk minoritas, sebagaimana
di Kota Madinah. Musliminnya mayoritas, tapi Mu`mininnya minoritas. Jumlahnya mayoritas
tapi kualitasnya minoritas…”
“Aduh kok mengerikan begitu, Din”, kata Pakde Tarmihim lagi.
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang
diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya
atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia
diniatkan.” [1] (HR. Bukhari).
“Memang mengerikan”, jawab Pakde Brakodin, “Dan untung anak-anak ini dihidayahi Allah
untuk berhijrah dari Madinah ke Mekah”.
Jagat Raya Kalbu Kanjeng Nabi
“Jadi maksudmu kita Mbah Dzan dan masyarakatnya ini penduduk Mekah?”, Tarmihim
mengejar.
“Niat hijrahnya begitu”, jawab Pakde Brakodin, “meskipun mungkin kita belum benar-benar
masuk teritorial Mekah. Kita baru amping-amping di luar garis perbatasannya. Tapi hati dan
pikiran kita kan sudah mengarah masuk Mekah dan mendekat ke arah Ka’bah”
“Andaikan sekarang masih ada Kanjeng Nabi Muhammad kira-kira kita akan diterima atau tidak
ya?”, Pakde Sundusin nyeletuk.
“Pasti”, jawab Brakodin, “di alam semesta ini dan di sepanjang sejarah ummat manusia, tidak
ada ruang penerimaan seluas jagat raya kalbunya Kanjeng Nabi”
“Kok kamu tahu?”, Tarmihim menggoda.
“Itu bukan pengetahuan”, jawab Brakodin, “keluasan kalbu Muhammad yang saya omongkan
itu tidak cukup dikembarai dengan pengetahuan. Jadi pertanyaan ‘kok kamu tahu’ adalah
pertanyaan sesempit-sempitnya pertanyaan”

127
“Kok ngamuk…”, Tarmihim terus usil.
“Jangankan firman-firman Allah, menggambarkan kemuliaan hidup Rasulullah saja tak cukup
tinta tujuh samudera”
“Lho kan Kanjeng Nabi itu kan masterpiece-nya firman Allah. Ia puncak kualitas dari segala yang
Allah ciptakan. Beliau ahsanu ahsanu ahsanu taqwim. Ahsanu-nya berjumlah tak terbatas”
“Itu karena beliau satu-satunya yang diperkenankan berjumpa dengan Baginda Jibril secara
otentik dan dengan wujud asli dan nyata. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril
itu dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain”. [1] (An-Najm: 13).
“Lho apa hubungannya dengan Malaikat Jibril?”.
Ghaib dan Ghaib Tidaklah Sama
Pakde Tarmihim terus mendesak: “Kita semua ini bagian dari kebudayaan yang manusianya
amat getol menyembah berhala. Baik berhala yang dibikin dari teknologi dan hedonisme, dari
politik demokrasi yang cacat. Atau dari tradisi budaya yang menuhankan benda dan keduniaan,
maupun dari pola pemahaman dan pemelukan secara berhala terhadap apa yang mereka sebut
Agama. Maka pada hakikinya kita tidak punya habitat, tradisi, pelatihan ilmu atau kuasa
pengetahuan apapun untuk punya asumi-asumsi terhadap Malaikat Jibril…”
“Kok jadi serius dan melankolik kamu ini, Him”, Pakde Brakodin tertawa.
“Lho tidak ada hubungannya dengan kondisi mental, Din”, Pakde Tarmihim menjawab, “Bab
Malaikat saja sudah tidak mungkin terjangkau oleh kita. Apalagi Malaikat Jibril, senior semua
Malaikat. Terlebih lagi wajah beliau…”
“Lho yang bilang rupa asli Jibril dilihat oleh Kanjeng Nabi itu Allah sendiri kok”, Pakde Brakodin
membela diri, “memang semua itu di luar jangkauan kita. Tapi untuk apa ayat itu difirmakan
kalau tidak untuk bersentuhan dengan batin kita dan semua ummat manusia? Untuk siapa
firman itu dilimpahkan kalau tidak untuk kita semua? Kanjeng Nabi kan cuma dititipi wahyu.
Dan itu untuk kita semua hamba-hamba Allah. Saya menduga Rasulullah sendiri sebenarnya
tidak memerlukannya…”
Malah Seger yang menengahi. “Sebenarnya memang membingungkan, meskipun karena iman,
kita tidak akan bingung. Allah menyatakan “Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang ghaib,
maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”. [1] (Al-Jin: 26).
Jadi, mutlak hanya Allah yang mengerti ghaib dan absolut tidak memperlihatkan kepada

128
siapapun. Tetapi Allah juga memfirmankan: “Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil
untuk menerangkan yang ghaib”. [2] (At-Takwir: 25).
“Berarti ghaib dengan ghaib tidaklah selalu sama”, celetuk Pakde Tarmihim.
Mata Kuliah Keghaiban
“Berarti sekarang kita masuk ke kelas mata kuliah keghaiban”, Toling berbinar-binar, “dosennya
Proesor Doktor Tarmihim bihijarotin min sijjil…”
Pakde Tarmihim tersenyum. “Aslinya saya misuh ini, cuma tidak saya keluarkan lewat mulut.
Kan tidak mungkin misuh di depan Surah Al-Fiil…”
Toling tertawa. “Lha ya nama kok Tarmihim. Mengerikan. Soalnya yang dilemparkan adalah
tanah panas atau batu yang menyala. Sehingga yang terkena lemparan itu menjadi seperti
daun-daun yang dimakan ulat. [1] (Al-Fiil: 4-5). Horor itu. Sangat menggambarkan nasib kita
semua…”
“Kok nasib kita semua?”, Jitul bertanya.
“Lha semua yang terjadi selama ini, kekuasaan politik, dominasi ekonomi kelas atas, kekacauan
budaya, silang sengkarut isi pikiran dan panasnya hati masyarakat – itu semua apa kalau
bukan tarmihim bihijarotin min sijjil. Dan kita ini tergolong ka’ashfin ma`kul”, Toling
menjelaskan.
“Ini jadi kuliah keghaiban apa tidak?”, Seger memotong.
Pakde Tarmihim juga langsung membawa pembicaraan ke “Sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, supaya mereka mempergunakan besi itu dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa”. [2] (Al-Hadid: 25).
“Mana ghaibnnya di ayat itu, Pakde?”, Junit bertanya.
“Justru saya ambil yang paling berseberangan dengan keghaiban, yakni besi. Allah berfirman
tentang besi, seolah-olah itu benda sederhana dan elementer…”.

129
Padahal Allah Tidak Dilihatnya
“Coba kalian lihat sekeliling, tapi juga imajinasikan yang terjauh”, Pakde Tarmihim meneruskan.
“Maksudnya Pakde?”, Toling mengejar.
“Yang di sekitar kita: pisau, palu, panci, jeruji jendela, rangka pintu, berbagai komponen rumah
ini… apa lagi…”
“Motor dengan banyak unsurnya, juga mobil, apalagi pesawat, bahkan handphone yang kecil
ini, barang kecil-kecil ruwet di dalamnya…”, sambung Jitul.
“Harddisk, flashdisk, hutan rimba CPU, bahkan emban cincinmu, gigi emasmu, timangan
sabukmu, semua dari yang sangat mikro sampai jembatan raksasa… semua logam-logam: Allah
tidak bikin Al-Qur`an seperti buku pelajaran Sekolah, maka cukup disebut dengan satu kata:
besi…”, Pakde Tarmihim meneruskan.
“Ya Pakde”, Seger menyahut, “orang sekarang bisa berkomunikasi langsung antar benua, dari
sebalik benua dan dunia, menyebarkan tayangan-tayangan silaturahmi atau video teror dan
informasi hoax, dan apapun saja, dimungkinkan oleh besi itu”
Pakde Tarmihim melengkapkan perumusannya. “Allah menyatakan dengan Bahasa esei yang
sangat sederhana: “Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, supaya mereka mempergunakan besi itu dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya”, itu
sudah cukup, seluruh karya dan penemuan teknologi sampai yang tercanggih tidak ada yang
tidak terangkum oleh kalimat itu. Sesungguhnya, jarak antara informasi sederhana dengan
pilihan kata besi dengan betapa canggihnya pencapaian teknologi ummat manusia di abad ini,
adalah suatu rentang keghaiban — kalau kita bisa menghayati dan mensimulasi rentang itu,
secara ilmu maupun waktu”.
Ghaib Itu Perkasa dan Bijaksana
Sebenarnya sejak awal-awal dulu anak-anak muda terlibat dalam komunitas lanjutan
Patangpuluhan, sekali dua kali sudah mendengar sejumlah pemahaman dan rumusan tentang
keghaiban, berasal dari yang mereka dapat dari Mbah dzan entah melalui tangan ke berapa.
Misalnya, satu menit di depan setiap manusia adalah keghaiban. Penjelasan sederhana yang
lain, umpamanya, keghaiban adalah segala sesuatu yang seseorang belum tahu. Boleh soal
pesawat angkasa ke Bulan, soal isi perut telepon genggam atau perut Ibu. Bisa juga narik taksi

130
akan dapat berapa penumpang dan jualan makanan akan didatangi berapa pembeli. Sejak bayi,
sekolah Kanak-kanak, hingga Sarjana Utama, pekerjaan utama manusia adalah menembus
wilayah keghaiban, agar kemudian tidak menjadi ghaib lagi.
Dan ternyata di puncak pembelajaran ditemukan bahwa puncak pengetahuan adalah
ketidaktahuan. Puncak penglihatan adalah kebutaan. Puncak pencapaian adalah kekosongan.
Kemudian disadari bahwa jarak antara “besi” dengan “probabilitas” adalah infinitas. Bahkan
manusia yang menggunakan akalnya akan pasti tercampak di tanah terjal dan sepi dari lembah
remang kehidupan, di mana ia termangu-mangu menatap hatinya sendiri yang ternyata adalah
keghaiban.
Akan tetapi semua itu bukanlah atau belumlah sampai pada dimensi yang dimaksudkan oleh
Allah sebagai keghaiban. “Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. [1] (At-Taghobun: 18). Hanya Allah yang benar-benar bisa membedakan
antara yang ghaib dengan yang nyata. Dan ternyata lingkup tema keghaiban itu bukanlah ilmu
dan pengetahuan, melainkan keperkasaan dan kebijaksanaan. Betapa “tidak akademis-
Ilmiah”nya spektrum logika yang dihamparkan oleh Tuhan.
“Itu juga area ghaib yang sangat menggiurkan”, kata Pakde Tarmihim.
Hubungan Antara Ghaib dengan Kasih Sayang
Kata Mbah Dzan dulu, keghaiban yang menjadi perbincangan sehari-hari sepanjang zaman pada
kehidupan manusia, hanyalah dialektika kecil-kecil dalam proses pencarian manusia. Manusia
yang tidak mencari adalah makhluk yang pada hakikatnya belum manusia: ia hanya hewan yang
bergerak makan minum didorong oleh insting dan naluri, atau ‘larahan’ yang kintir di aliran
sungai atau daun kering yang diterbangkan oleh angin.
Karena pada kenyataannya mayoritas manusia belum benar-benar beranjak dari tahap itu,
maka imajinasi mereka tentang keghaiban hanya dikaitkan dengan pancaindera, terutama
penglihatan dan pendengaran. Maka ufuk ghaib bagi kebanyakan manusia adalah hantu, Jin,
setan, tempat-tempat angker, dan yang termewah adalah Malaikat dan Dewa-Dewa khayalan.
Memang manusia memperkembangkan ilmu dengan akalnya sampai ke tahap-tahap yang
menggiurkan dan mengagumkan mereka sendiri. Tetapi sesungguhnya manusia keliru skala
prioritas. Manusia tidak mencari yang secara hakiki seharusnya ia cari, sementara ia sangat
menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk mencari dan mengejar sesuatu yang semestinya

131
tidak perlu mereka cari atau temukan. Demikianlah yang lazim disebut Peradaban
Materialisme.
Bahkan para pecinta Al-Qur`an pun pada umumnya tidak bisa menarik garis antara keghaiban,
keperkasaan, dan kebijaksanaan. Manusia tidak punya tradisi pembelajaran, apalagi Sekolah
dan Universitas, yang memungkinkan mereka menarik garis di antara tiga hal itu. Maka tidak
terpikir apa-apa juga ketika Allah menyatakan: “Yang demikian itu ialah Tuhan Yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”. [1] (As-
Sajdah: 6).
Setelah keperkasaan dan kebijaksanaan, berikutnya ada alur yang lain: keperkasaan dan kasih
sayang. Pantas Mbah Dzan sering tertawa terpingkal-pingkal.
Bersegera Mengayomi
Padahal, kata Mbah Dzan, tidak perlu proses pemikiran yang pelik, tidak perlu pengerahan kerja
akal sampai memaksa dahi berkerenyit. Tinggal bersyukur dan menerima kerangka konteks dari
Allah itu.
Kalau Allah menyatakan hanya Ia Yang Maha Mengetahui segala yang Ghaib, yang mampu
membedakan antara yang ghaib dengan yang nyata, kemudian mewadahinya dengan
kehadiran-Nya sebagai Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, atau di area lain Yang Maha
Perkasa dan Maha Penyayang — tinggal ditarik garis antara yang nyata, yang gaib, dengan
keadaan perkasa dan bijaksana. Disimulasikan keberlangsungannya dengan cara mengenali
subjek-objeknya.
Siapa lagi. Model, acuan atau panutan subjeknya pastilah Sang Maha Subjek, yakni Allah itu
sendiri. Kepada siapa? Tentu kepada makhluk-Nya. Misalnya Malaikat, mereka adalah
representasi utuh dari keperkasaan dan kebijaksanaan. Alam adalah keindahan yang mewadahi
dan menghiasinya. Binatang adalah tahap awal pembelajaran atau cermin agar manusia bisa
mengangsur penyadaran atas dirinya. Sampai di ujung prosesnya manusia mencoba mencapai
formula harmonisasi antara keperkasaan dengan kebijaksanaan.
Tuhan tidak menampilkan kemaha-perkasaan-Nya tanpa bersegera mengayomi manusia
dengan kemaha-bijaksanaan-Nya. Keperkasaan tidak boleh dikerjakan atau diterapkan, kalau
tidak lantas melahirkan kebijaksanaan. Hitunglah di Al-Qur`an berapa banyak komposisi
aransemen Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

132
Sementara manusia malas belajar. Merasa perkasa di antara alam dan hewan. Sehingga
meremehkan kalimat Maha Tuan Besarnya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri”.  [1] (Luqman: 18).
Bijaksana Dulu, Baru Pandai
“Jadi kami ini dilahirkan, dibesarkan, dan dididik oleh tradisi budaya dan bangunan peradaban
di mana anugerah besi yang menyimpan kekuatan yang hebat dari Allah itu terang benderang
dipakai manusia untuk menyombongkan diri dan menyombongi sesama manusia. Demikianlah
tema tradisional dan konvensional hampir di semua kurun sejarah ummat manusia. Terutama
era modernisme beberapa abad terakhir ini”, Seger mencatat.
“Sebentar”, Pakde Tarmihim memotong, “Setelah aransemen Perkasa dan Bijaksana, ada rakaat
akhlaq berikutnya: “Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan
benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-
Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang
nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. [1] (Al-An’am: 73).
Pakde Tarmihim mengulangi penjelasan Mbah dzan dulu bahwa manusia dipandu oleh Allah
untuk berjalan melalui jalur keselamatan. Yakni perkasa, kemudian bijaksana, kemudian ‘alim,
atau pandai atau mengerti. Keperkasaan bukan untuk diterapkan. Keperkasaan bukan
bangunan sosial. Keperkasaan adalah modal untuk penerapan kebijaksanaan. Perjuangan untuk
mencapai keperkasaan ilmu, teknologi, militer, politik dan teknokrasi sosial, hanyalah modal
untuk supaya kokoh dalam menerapkan kebijaksanaan kemanusiaan.
Kalau sudah dicapai kematangan di mana produk keperkasaan adalah kebijaksanaan, barulah
manusia punya kemungkinan untuk pandai. Sementara rute manusia terbalik dan penuh
tikungan yang silang sengkarut. Manusia membangun kepandaian demi memperoleh
keperkasaan. Tidak ada kepandaian yang menghasilkan keperkasaan. Yang menghasilkan
keperkasaan pasti kebodohan. Kepandaian baru tercapai sesudah keperkasaan mengakses ke
kebijaksanaan.
Menyayangi dalam Kelumpuhan

133
“Kasih sayangnya mana, Pakde?”, Seger bertanya, “Kenapa rutenya hanya keperkasaan,
kebijaksanaan, dan ke-alim-an. Kasih sayangnya di mana?”
Pakde Tarmihim agak kaget juga oleh pertanyaan itu. Mungkin ia kurang utuh mentransfer
pikiran Mbah Dzan. Tetapi karena bertahun-tahun ia terbiasa bergelut dengan cara berpikir dan
cara hidup Mbah Dzan, spontan Pakde Tarmihim bisa saja menjawab, seolah-olah sudah
dikonsep sebelumnya. Seolah-olah memang demikian kerangka keilmuan dan pengertiannya.
“Seluruhnya itu berada di dalam bulatan kasih sayang”, jawabnya, “Kasih sayang memerlukan
perangkat-perangkat itu semua: keperkasaan, kebijaksanaan, dan ke-alim-an, dalam suatu
pengelolaan yang tertata dengan tepat. Siapapun yang menyayangi, pertama-tama ia harus
menggendong, atau memanggul. Untuk itu diperlukan keperkasaan. Memang bisa menyayangi
dalam kelumpuhan. Tapi itu cacat sosial. Itulah keadaan Kaum Muslimin di abad-abad mutakhir
sekarang ini. Rahmatan lil’alamin tapi lumpuh, tanpa keperkasaan. Produknya bukan
kebijaksanaan, tetapi keterjajahan dan keterbudakan”
“Kami pernah merumuskan itu, Pakde”, Seger menyela, “Kita Ummatnya Kanjeng Nabi sekarang
ini merasa moderat, padahal maksudnya kompromis. Kita yakin kita adalah ummatan
wasathan, padahal faktanya adalah kemunafikan. Kita selalu mengalah, karena memang selalu
kalah…”
“Kami orang-orang tua sudah lelah mengatakan kalimat-kalimat seperti itu”, Pakde Tarmihim
merespon, “mendengar saja capek. Apalagi memikirkan kondisi itu seperti zaman masih muda
dulu. Bahkan mengingatnya saja sudah kehabisan energi. Diam-diam kami ini kafir. Kami ini tai
asu… ”Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [1] (Yusuf: 87).
Taiasu dan Kafir
Pakde Tarmihim meneruskan.
“Kemudian cara menggendong dan memanggulnya harus bijaksana. Dan yang disebut pandai
atau berilmu adalah kalau antara keperkasaan menggendong dengan kebijaksanaan cara
mengayomi, sudah menjadi satu keutuhan harmoni…”
Seger tersenyum. “Soal kasih sayang itu kata Mbah Dzan apa karangan spontan Pakde
Tarmihim?”

134
Pakde Tarmihim tertawa. “Kedua-duanya. Yang mengarang spontan. Tapi mata airnya tetap
dari pengalaman hidup dengan Mbah Dzan…”
“Mbah Dzan gayungnya, kalau mata airnya ya Bismillahir Rahmanir Rahim, Pakde…”, Toling
nyeletuk.
“Lho kamu lihat saja bangunan niat dan konsep utama kehadiran Allah sehingga menciptakan
kita semua adalah kasih sayang. Lihat betapa banyaknya penampilan Allah Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Itu adalah wajah bakunya Allah. Main icon-nya Allah. Di surat As-
Syu’ara saja ada banyak komposisi Maha Perkasa dan Maha Penyayang. Ayat 9, 68, 104, 122,
140, 159, 175, 191, 217. Di surat-surat lain juga banyak. Belum lagi komposisi lain seperti Maha
Pemurah dan Maha Penyayang, Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Maha Penerima
Taubat dan Maha Penyayang. Dari niat Allah menciptakan makhluk-Nya, hembusan ‘Kun’-Nya,
hamparan jagat raya, rentang dan bulatan waktu, dataran dan gelembung ruang, segala sesuatu
yang bergerak di dalamnya, apa saja, seluruhnya, adalah pesta besar Kasih Sayang… Sementara
manusia ini aneh-aneh. Diajak bercinta bermesraan malah sibuk sombong dan menjajah. Tidak
bisa berpikir seimbang. Tidak mampu bersikap jernih. Tidak sanggup bertindak adil…”
“Lho katanya sudah tidak kuat mengucapkan kata-kata seperti itu, Pakde”, kata Jitul tertawa,
“katanya lelah, kehabisan energi, taiasu, kafir…”.
Allah Kok Ditolong
Junit juga tertawa. Dan rupanya agak serius dengan yang sedang mengalir dalam pikirannya.
Sehingga berkepanjangan tertawanya.
“Kenapa, Nit?”, tanya Pakde Sundusin.
Junit tidak segera menjawab. Setelah berusaha menghentikan tawanya, ia omong tapi tidak
seperti sedang menjawab pertanyaan.
“Besi. Besi. Hanya besi. Sekedar satu kata: besi…”, katanya.
Semua mengarahkan matanya ke Junit.
“Besi. Keperkasaan. Kebijaksanaan. Kasih sayang. Ke-alim-an. Perang Dunia yang mengerikan,
juga perang-perang sporadis yang diselenggarakan di sejumlah region pusat harta benda dunia,
alat utamanya adalah besi. Gedung-gedung pencakar langit, satelit-satelit, tapi juga ring
jantung.Tapi yang paling menarik adalah kalimat “padahal Allah tidak dilihatnya”.

135
Seger tidak sependapat. “Saya lebih tertarik pada kalimat “supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong-Nya dan Rasul-rasul-Nya”
“Saya ingin mendengar alasan kalian masing-masing”, kata Pakde Sundusin.
Seger yang duluan menjawab. “Allah menghamparkan kekayaan di alam semesta, menyebar
emas permata yang disembunyikan di sela sel-sel bebatuan. Menumbuhkan berlaut-laut
pepohonan. Menggelar tikar keindahan berupa tanah yang subur di muka bumi. Allah
menumpahkan rahmat, rezeki, barokah dan hidayah. Yang agung, yang besar, yang kecil, yang
lembut, yang debu, yang sedemikian lembutnya sehingga tidak kasat mata. Kemudian
memberikan password: besi. Ternyata urusannya adalah “agar Allah mengetahui apakah
mereka menolong-Nya dan Rasul-Rasul-Nya”. Meskipun yang dimaksud adalah menolong
Agama-Nya, sebenarnya tetaplah pekewuh dan malu mendengar kalimat di mana manusia
menolong Allah. Manusia kok menolong Allah. Allah kok ditolong…”.
Betapa Sopannya Allah
Junit belum puas mengalir di sungai pikirannya. “Besi. Benda. Materi. Hardware. Perangkat
keras. Padat. Tampak mata. Bisa disentuh dengan jari-jari. Bisa digenggam di tangan. Ternyata
di balik benda itu ghaib tiada tara. Kok Allah seolah-olah butuh pertolongan manusia ini
sebenarnya peristiwa apa…”
Menurut Jitul, “Menolong itu ya peristiwa akhlaq”
“Peristiwa cinta”, ternyata Toling tajam.
Seger berpendapat, “Ya. Itu dialektika kasih sayang. Kemesraan hubungan batin. Keindahan
dialog antara pihak yang saling mencintai. Sesungguhnya Allah dengan semacam bahasa
susastra sedang menawarkan pertolongan kepada manusia, dengan sikap yang penuh sopan
santun. “Niscaya Allah menolong siapapun yang menolong-Nya”. [1] (Al-Hajj: 40).
“Ada semacam tawaran untuk saling mengikatkan diri pada perjanjian cinta”, kata Toling lagi.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu” [2] (Muhammad: 7), Pakde Brakodin mengingatkan firman Allah
tentang itu.
“Kenapa hai orang-orang Mukmin, Pakde, kenapa bukan hai orang-orang Muslim?”, Seger
bertanya.

136
“Yang saya tahu, pasti berbeda antara Mukmin dengan Muslim”, jawab Pakde Brakodin, “dan
mungkin perbedaan antara keduanya bisa lebih mendasar dan lebih serius dibanding yang kita
sangka selama ini”
Pakde Tarmihim menjelaskan, “Menurut Mbah Dzan dulu Mukmin lebih pro-aktif dibanding
Muslim. Kaum Muslimin itu keputusan berpasrah diri kepada kehendak Allah. Mukminin itu
berjuang untuk mengamankan secara horisontal, di bidang apapun dalam kehidupan, dengan
parameter vertikal”.
Kecuali Aku Memberimu Makan
“Maksudnya pedoman vertikal, Pakde?”, Seger mengejar.
“Mbah Dzan dulu tak pernah berhenti, bahkan kadang sangat membosankan untuk
mengingatkan kami semua bahwa yang namanya berhasil, sukses, aman dan selamat — semua
itu pedomannya bukan bagaimana kemauan kita, melainkan keharibaan Allah sebagai acuan
utamanya”, Pakde Tarmihim menjawab, “Sukses di depan Allah, berhasil menurut Allah, aman
bagi Allah dan selamat dalam pandangan ridla Allah. Kita makhluk-makhluk ini tidak tahu apa-
apa secara sungguh-sungguh. Kita ini tidak mengerti arah, kecuali Allah meDzanjukkannya…
apalagi?”
“Kita ini kegelapan kecuali Allah mencahayainya”, Toling menyambung.
“Kita ini beku kecuali Allah menggerakkannya”, Jitul juga.
“Kita ini celaka kecuali Allah menyelamatkannya”, Seger menyusul.
“Kita ini tidak ada kecuali Allah mengadakannya”, Junit berikutnya.
Pakde Sundusin merespon bahwa dulu Mbah dzan sangat menyukai dan merasakan
kenikmatan tiada tara setiap kali mengingat Hadits Qudsi [1] (HR Muslim): “…Wahai hamba-Ku,
masing-masing dari kamu itu lapar kecuali Aku beri makan: mintalah makan kepada-Ku, maka
Aku memberi makan kepadamu”.
“Wahai hamba-Ku, masing-masing dari kamu itu telanjang, kecuali Aku beri pakaian: mintalah
pakaian kepada-Ku maka Aku memberi pakaian”.
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu bersalah siang dan malam, sedang Aku mengampuni
seluruh dosa: mintalah ampun kepada-Ku, maka Aku mengampunimu.”

137
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu tidak akan terhindar dari kemadharatan-Ku, maka
berlindunglah dari kemadharatan-Ku dan kamu tidak akan memperoleh kemanfaatan-Ku: maka
mohonlah kemanfaatan kepada-Ku…”
“Itulah sebabnya Mbah Dzan kalian itu tidak sukses di mata dunia”.
Manusia Mbok ‘Mengalah’
“Maksudnya tidak sukses di mata dunia gimana itu Pakde?”, Toling bertanya.
“Karena sukses bagi Mbah Dzan bukan ilusi, hologram, dan khayal keduniaan yang
berlangsungnya sangat sekejap. Mbah Dzan berpikir jangka panjang sampai ke kehidupan abadi
yang Allah sudah memberitahukannya berulang-ulang. Sedangkan ummat manusia di bumi ini
kalau omong panjang, rentangnya ya hanya kehidupan di dunia, yang sebenar-benar hanya
sekejapan mata. Kalamhin bil-bashar. Mbah sangat suntuk dan khusyu dalam kenikmatan di
biliknya sempit dan sunyi, namun di dalamnya terhadap ruangan yang luasnya melebihi jagat
raya dan cahayanya beribu kali sinar matahari”, jelas Pakde Sundusin.
Junit tiba-tiba menyela. “Itu yang saya maksud tadi, Pakde. Dalam hal pelimpahan besi, dengan
tema siapa yang menolong Allah, kemudian ada kalimat “padahal Allah tidak dilihatnya”. Tapi
sebenarnya normal juga kalau umumnya manusia hanya mengacu pada apa yang tampak.
Sebab sejak bayi hingga tua, melihat yang kasat mata adalah kegiatan utama mereka. Tidak ada
pembelajaran di keluarga maupun sekolah tentang beribu-ribu mripat, gradasi-gradasi
penglihatan, makrifat benda hingga makrifat ruh. Maka Allah memancing: apakah dalam posisi
tidak melihat Allah, manusia tetap menolong-Nya”
Maklumlah. Allah sendiri berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi
kamu tidak melihat”. [1] (Al-Waqi’ah: 85). Apalagi: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui”. [2] (Al-An’am: 103). Sekurang-kurangnya manusia sedikit “mengalah” untuk sadar:
“Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala
perbuatannya?”. [3] (Al-’Alaq: 14). Tapi profesi utama manusia memang adalah lalai. Padahal
“Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan”. [4] (Ali ‘Imron: 99).
Siapa Sebenarnya Mbah Dzan
Malam itu tiba-tiba Seger mengemukakan kepada para Pakde Paklik bahwa ia akan
menanyakan sesuatu yang tidak biasa.

138
“Maaf ya Pakde”, katanya, “Sebenarnya kami semua sudah lama menyimpan pertanyaan-
pertanyaan itu”
Akhir-akhir ini memang diam-diam anak-anak muda itu mengamati Pakde Paklik mereka
bergiliran menemui tamu-tamu entah siapa di ruangan sebelah depan kiri. Terkadang biasa-
biasa saja tidak terdengar suara yang aneh. Tapi sesekali ada yang seperti tidak wajar. Ada
semacam teriakan. Di saat lain ada tangis. Bahkan beberapa kali seperti suara ribut orang
sedang bertengkar.
Anak-anak muda hanya saling melirik satu sama lain. Tetapi mereka sepakat bahwa memang
ada sesuatu yang harus mereka tanyakan kepada orang-orang tua aneh itu. Ada suatu rentang
sejarah, ada dimensi-dimensi informasi, atau kejadian-kejadian di masa lalu, yang rasanya perlu
mereka lacak. Agar mereka lebih bisa memahami siapa sebenarnya yang mereka hadapi.
Mereka merasa seperti dikurung di gua yang remang-remang. Mereka mengalami
perkembangan pesat di dalam soal keluasan berpikir, wawasan sosial, pengetahuan sejarah,
maupun strategi hidup. Itu semua mereka peroleh dengan sangat efisien dan efektif. Tidak
memerlukan waktu yang panjang atau kelas-kelas sebagaimana di Sekolah atau forum-forum
diskusi, atau kelompok Tarikat. Tapi semua Pakde Paklik ini adalah Guru-Guru Besar.
Dan yang ingin Seger serta semua tanyakah kepada Pakde Paklik tak lain adalah “Siapa
sebenarnya Mbah Dzan”. “Karena”, kata Seger, “Saya tertarik pada ayat ini: ‘Dia
menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan menjadikan matahari dan
bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.’“[1] (Al-An’am: 96).
Mbah Dzan Siang Mbah Dzan Malam
Para Pakde ternyata belum paham. “Apa kaitan ayat itu dengan Mbah kalian Mbah Dzan?”,
tanya Pakde Tarmihim.
“Ayat itu kan tentang alam dan pergantian siang dan malam”, tambah Pakde Brakodin.
Seger menjawab. “Kan paginya disingsingkan. Malam ada istirahatnya. Matahari dan bulan ada
urusan perhitungan”
“Ya lantas?”, Pakde Sundusin yang mengejar.
“Mbah Dzan itu pagi jenis apa, malam model yang mana. Dan kapan. Mbah Dzan itu pagi yang
keberapa, meskipun semua pagi seakan-akan sama. Matahari dan bulan apa manfaatnya kalau

139
hanya untuk menghitung hari, bulan, dan tahun. Apa muatan yang terkandung dalam
perhitungan mengalirnya zaman ke zaman berikutnya. Pada qadla dan qadar Allah atas alur dan
mungkin putaran bergantinya siang dan malam itu, Mbah Dzan letaknya di mana, Allah
menugasinya untuk apa, dan sekarang ini berada pada tahap apa…”
Sundusin, Tarmihim dan Brakodin berpandangan satu sama lain. Generasi muda di hadapan
mereka ini luar biasa pengembaraan detail berpikirnya. Mereka menembus mozaik, lipatan,
labirin, tikungan dan sela-sela yang tak kelihatan. Orang-orang tua itu tiba-tiba menjadi sangat
bergembira. Mungkin belum rasional benar, tetapi kalau anak muda sudah meDzanjukkan
bahwa ia memasuki relung-relung yang semua generasi sebelumnya relatif belum pernah
memasukinya, maka masa depan ummat manusia ini agar ada semburat cahaya rasanya.
Apalagi Junit menambahkan. “Bahkan siang tidak sendirian dan malam tidak pun berdiri sendiri.
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke
dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam”. [1] (Luqman: 29). Itu mestinya bukan
sekedar fade-in fade-out teknis…”.
‘Ainul Hurri
“Tampaknya kali ini kita kaum tua yang harus duduk manis mendengarkan anak-anak muda
yang selama ini kita merasa bahwa mereka yang belajar kepada kita”, kata Pakde Sundusin
sesudah menghela nafas panjang.
Tarmihim dan Brakodin mendengarkan dengan seksama.
“Mohon maaf lho Pakde”, kata Seger, “tetap posisi kami adalah anak-anak muda yang mencari
ilmu hidup kepada para Panjenengan. Cuma kali ini tahap-tahap dan metodenya bergantung
pada kelemahan-kelemahan kami untuk memahami apa yang sudah lama ingin kami pahami”
“Pokoknya silakan saja”, kata Pakde Tarmihim.
“Jadi siapa Mbah dzan itu sebenarnya?”
“Kok sebenarnya”, jawab Brakodin, “selama ini beliau adalah sebenar-benarnya beliau. Kalian
memang hanya sekali dua kali berjumpa dengan beliau, tetapi Mbah kalian itu sebenarnya ya
Mbah kalian”
“Saya cuma tahu satu hal”, sambung Pakde Sundusin, “Mbah dzan itu punya kakek atau buyut
atau canggah atau entah posisi yang manapun, yang bernama ‘Ainul Hurri…”
Junit Jitul Toling Seger setengah mendongakkan wajahnya.

140
“Mata Kemerdekaan…”, celetuk Seger.
“Mata untuk menatap kemerdekaan”, tambah Jitul.
“Kemampuan untuk menemukan kemerdekaan”
“Kesanggupan untuk menembus semesta hingga ke ufuk”
Pakde Sundusin tertawa. “Ya ndak usah diteaterkan. Itu hanya nama”
Junit tidak perduli. “Beliau mungkin berada di terusannya garis di mana Rasulullah diajari oleh
Malaikat Jibril yang sangat kuat. Yang datang menghampiri beliau dengan wujud
aslinya…” [1] (An-Najm: 5-6).
Tak Seperti di Bumi
“Yang Allah bersumpah demi bintang yang terbenam”, Junit meneruskan, “Jibril yang berada di
ufuk yang sangat tinggi dan jauh. Mendekat ke Rasulullah dan lebih mendekat lagi…”
“Maka jadilah dia dekat pada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.
Lalu ia menyampaikan kepada Muhammad hamba-Nya apa yang Allah wahyukan”. [1] (An-
Najm: 8-10).
“Pertanyaan kami, Pakde”, Junit meneruskan lagi, “Siapakah di zaman yang silam dan siapakah
di zaman ini, yang Allah letakkan di jalur yang ditempuh oleh Rasulullah yang memiliki ‘ainul
hurri, mata pandang kecerdasan yang luar biasa ke sejatinya kemerdekaan…”
“Belum paham benar apa yang Junit tanyakan…”, sahut Pakde Tarmihim.
Seger yang melanjutkan. “Maaf ya Pakde. Ini husnudhdhan. Bukan GR. Bukan merasa hebat.
Tapi kalau kami mengamati, merasakan dan mendalami apa yang kami alami dan peroleh dari
Pakde Paklik di lingkungan Mbah dzan – maka kami tidak punya referensi lain kecuali tentang
jalur yang dikemukakan oleh Junit itu”
Para Pakde dan Paklik bertatapan satu sama lain.
Tiba-tiba terdengar tertawa Jitul. “Gini lho Pakde”, katanya, “Kami ini seperti orang mabuk.
Kami seperti tidak hidup di bumi. Sebab hanya bersama Pakde Paklik kami bisa merasakan dan
mengalami sesuatu yang di luar sana kami tak mungkin mendapatkannya”
“Maksudnya?”
“Al-Qur`an itu kan hamparan informasi dari Allah. Tapi bukan sekedar informasi dan referensi.
Ia mengandung ilmu, dan berfungsi hidayah. Kami anak-anak muda ini tidak sengaja

141
membiasakan diri untuk mencari diri kami di dalam firman-firman itu. Pasti Allah kasih Al-
Qur`an itu termasuk untuk kami juga…”.
Jalur Cinta Sejati
Jitul melengkapkan. “Kalau ada kisah di Al-Qur`an, kami secara naluriah mencoba
mengidentifikasi dan mencari sambungannya dengan hidup kami sendiri. Apalagi jelas kita
harus berjalan di alur Kanjeng Nabi, maka kami bertanya: Pada qadla dan qadar Allah atas alur
dan mungkin putaran bergantinya siang dan malam itu, Mbah Dzan letaknya di mana, Allah
menugasinya untuk apa, dan sekarang ini berada pada tahap apa. Supaya hati kami lebih
mantap….”
Jitul menambahkan. “Dengan begitu maka kami tahu tempat Pakde Paklik dan kami-kami
sendiri ini di mana”
“Ini bukan soal alim atau hebat. Ini bukan soal level-levelan, maqam-maqaman, Pakde”, Toling
menyambung, “Ini bukan barang mewah. Ini kewajaran orang hidup, karena kita wajib
mematuhi panduan Yang Maha Menciptakan kita. Tawaran dan transaksinya jelas: “Katakanlah
wahai Muhammad: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. [1] (Ali ‘Imron: 31).
Seger lagi. “Maka wajar sekali kalau kemudian kami bertanya: Siapakah di zaman yang silam
dan siapakan di zaman ini, yang Allah letakkan di jalur yang ditempuh oleh Rasulullah?”
Para Pakde dan Paklik semakin lega hatinya.
“Saya sendiri sampai setua ini belum pernah mendapatkan kemantapan seperti yang kalian
ungkapkan”, Pakde Tarmihim merespon, “kami berterima kasih atas penjelasan kalian semua”
“Tapi mohon ini semua disimpan dalam hati kita masing-masing, atau paling jauh di lingkaran
kita saja”, Pakde Brakodin berpesan”, “Jangan pernah bilang kepada siapapun bahwa kita
sedang menempuh jalur kehidupan yang dulu ditempuh oleh Rasulullah. Kita berada di jalur
cinta sejati yang sama dengan beliau….”
Mencari Iblis
Toling tertawa lagi. “Pakde Paklik ini lucu dan pintar sekali membesarkan hati anak-anak muda
yang masih kering kerontang jiwanya”

142
“Membesarkan hati gimana”, respon Pakde Tarmihim, “memang sungguh-sungguh kami
menjadi mantap karena kalian”
Toling sambil masih tertawa meneruskan. “Terus terang kami sering merasa GR. Kalau
membaca Al-Qur`an yang kami cari adalah diri dan posisi kami sendiri. Termasuk perkenalan
dan proses kami dengan lingkungan Mbah Dzan bersama Pakde Paklik ini juga tidak sengaja
kami mengincar siapa tahu apa simbolisme, perumpamaan atau padanannya di kisah Al-Qur`an
— meskipun tentu saja itu sekedar konteksnya, temanya, bukan kalibernya, kadarnya atau
skalanya”
“Contohnya apa”, Pakde Sundusin bertanya.
“Allah berfirman: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan. [1] (Al-Isra`: 70). Dahsyatnya begini limpahan rahmat Allah kepada manusia, kok
selama kami melihat masyarakat, Negara, globalisasi dan semua keadaan dunia ini — isinya
mengeluuuuuh terus tentang kemiskinan, kesulitan ekonomi, ketimpangan pembagian rejeki,
pertengkaran, permusuhan, persaingan, perebutan…”
Jitul ikut tertawa. “Maka pekerjaan kami tiap hari adalah mencari Iblis”, katanya, “Mengamati
Iblis itu yang mana di antara manusia. Tentu saja yang kami curigai pertama adalah diri kami
sendiri. “Maka Kami berkata: Hai Adam, sesungguhnya ini iblis adalah musuh bagimu dan bagi
isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang
menyebabkan kamu menjadi celaka”. [2] (Thoha: 117).
Banjir Tanpa Perahu
“Kalau melihat limpahan rahmat Allah kepada manusia, kan jelas itu berkecenderungan Sorga”,
Jitul meneruskan, “Tapi kalau menyaksikan keadaan manusia yang selalu bingung, cemas, panik,
takut miskin, rakus kepada dunia, suka yang panas-panas, sehingga yang keluar dari mulut
maupun tindakan mereka cenderung yang panas-panas – maka apa hipotesisnya kalau bukan
seperti yang Allah firmankan: “maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu
berdua dari surga”. Artinya bukan sekedar Bapak Adam Ibu Hawa sudah diturun-derajatkan dari
Sorga ke Dunia, tapi kehidupan semua manusia anak turunnya ini juga sudah berpindah dari
iklim Sorga ke iklim Neraka”

143
Seger meneruskan. “Kami ketemu ayat yang mana saja, muncul sensitivitas seperti yang
diomongkan Jitul itu, Pakde. Kalau membaca Nabi Yunus, kami merasa jangan-jangan Bangsa
kita ini memang sedang berada di dalam perut ikan yang sempit dan pengap. Dan kami sudah
selalu mewiridkan ini, tapi tidak ada sehelai rumput yang mengering, atau sehelai daun kering
yang menjadi hijau: “…maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada
Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang
zalim”. [1] (Al-Anbiya: 87).
“Bangsa Indonesia adalah”, Toling tak mau kalah, “Yusuf yang dicemplungkan ke dalam sumur
oleh saudara-saudara kami sendiri, tanpa kunjung Allah menganugerahkan mimpi seperti:
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat
sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”. [2] (Yusuf: 4). Bangsa
Indonesia adalah Ismail yang disembelih Ibrahim tanpa diganti oleh kambing. Rakyat Indonesia
adalah ummat Nabi Nuh yang ditimpa banjir besar tapi bikin perahu tidak kunjung jadi, karena
digerogoti dan dikorupsi”.
Sepupu Nabi Khidlir
Asyik anak-anak muda itu bertamasya mencari dirinya, bangsa dan Negaranya di Qur`an secara
substansial dan simbolik.
“Kita ini sudah lama beragama tapi kondisi sosial politik dan kenegaraannya seperti kaum yang
tidak beragama”, Seger terus mengeluarkan catatannya, “Artinya Agama tidak bisa kita kelola
untuk menjadi landasan kekuatan sejarah kita. Allah, Kanjeng Nabi, Al-Qur`an dan Hadits tidak
bisa kita daya gunakan untuk membangun kekuatan kebudayaan dan peradaban. Sehingga
berabad-abad hidup kita sangat rapuh. Sejak lama, apalagi saat ini, bangsa kita disiksa dan
diteror terus oleh kekuatan Ya’juj dan Ma’juj, tetapi kita tidak melakukan transaksi
penyelamatan masa depan dengan Pendekar Dua Tanduk…”
“Hebat sebutan itu”, celetuk Pakde Sundusin.
“Baginda Dzulqarnain. Hidup dua abad sehingga dijuluki memiliki dua tanduk. Sepupunya Nabi
Khidlir, yang juga supervisor spiritualnya. Ada yang bilang nama asli beliau adalah Abu Bakar Al-
Himyari atau Abu Bakar Ifraiqisy. Lainnya bilang nama beliau adalah Abdullah bin Ad-Dhahhak.
Juga Mush’ab bin Abdullah. Tak apa. Tidak mungkin kita mengetahui data personalnya,

144
sehingga tak ada manfaatnya untuk memperdebatkannya. Yang jelas beliau bukan Alexander
The Great, karena eranya 2000 tahun sebelum itu, yakni di masa Nabi Ibrahim”
“Yang penting”, ia meneruskan, “Mestinya sekarang ini bangsa kita melakukan transaksi sejarah
agar beliau bersedia melakukan sesuatu untuk melindungi kita dari kekejaman Ya’juj dan
Ma’juj. Karena hanya beliau yang difadhilahi Allah untuk mampu melakukannya: “Hai
Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di
muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu
membuat dinding antara kami dan mereka?” [1] (Al-Kahfi: 94).
Dua Tembok Besi Setinggi Gunung
“Bangsa kita siap mengapresiasi dan mempersembahkan balasan baik bagi jasa beliau.
Seharusnya bangsa kita mengajukan tawaran atau minta tolong. Seharusnya kita semua berpikir
untuk mencari dan menemukan siapa dan apa saja yang bisa menyelamatkan kita dari keadaan
yang kita tak bisa mengatasi. Tetapi yang kita lakukan justru sebaliknya…”
“Sebaliknya?”, Pakde Brakodin bertanya.
“Pendekar Dua Tanduk berkata: “Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi itu
telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah api itu”.
Hingga apabila besi itu sudah menjadi merah seperti api, diapun berkata: “Berilah
aku tembaga yang mendidih agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu”. [1] (Al-Kahfi: 96).
Entah bagaimana asal usulnya, juga entah bagaimana penjelasannya, tapi apa yang kami
simpulkan tentang bangsa kita tidaklah sama, bahkan mungkin bertentangan, dengan apa yang
bangsa kami simpulkan tentang diri mereka. Bangsa kami tidak merasa sedang berada dalam
cengkeraman Ya’juj Ma’juj. Bangsa kami…”
“Bangsa kami atau bangsa kita?”, Pakde Sundusin menyela. Anak-anak muda itu menjawab
sambung bersambung.
“Ya. Bangsa kita… Bangsa kita merasa dirinya baik-baik saja. Kalaupun mereka kecewa, temanya
sederhana: bahwa seharusnya mereka kaya tapi masih miskin. Bahwa seharusnya mereka
makmur, tapi terlalu banyak yang mencuri harta mereka. Hampir tidak ada tema yang lebih
mendalam, kualitatif atau yang bersifat nilai. Yang ada hanya merasa terjadi ketidakadilan
materi”

145
“Jadi tidak perlu ada yang menolong mereka mendirikan benteng raksasa sejajar puncak dua
gunung. Pelajaran atau pemaknaan tentang tembok besi, dua gunung, dan tembaga panas itu
terlalu jauh dan dianggap mencari-cari…”.
Tak Sezarrah Penganiayaan
“Mereka malah bekerjasama dengan Ya’juj Ma’juj. Mereka berkoalisi dengan kekuatan-
kekuatan dari luar yang merampok mereka”
“Sejak awal-awal kami sering berinteraksi dengan Pakde Paklik serta mengenal cara pandang
Mbah dzan, kami tidak sengaja di tengah masyarakat selalu menantikan aka nada tokoh atau
pemimpin yang mengatakan sebagaimana Allah menggambarkan tentang penganiayaan
terhadap diri mereka sendiri”
“Dan sesungguhnya, jika mereka ditimpa sedikit saja dari azab Tuhan-mu, pastilah mereka
berkata: ‘Aduhai, celakalah kami, bahwasanya kami adalah orang yang menganiaya diri
sendiri’“. [1] (Al-Anbiya: 46).
“Padahal Allah begitu amat pemurah kepada manusia.“Tiadalah Allah berkehendak
untuk menganiaya hamba-hamba-Nya”. [2] (Ali ‘Imron: 108). “Sesungguhnya Allah
tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah”. [3] (An-Nisa: 40). Jadi rupanya kami
sendiri saja yang sok sibuk mencari nasib bangsa ini pada kisah Nabi Nuh, Nabi Ismail, atau Nabi
Yunus dan Nabi Yusuf. Kami GR-GR sendiri. Sebenarnya kami pahit dengan itu. Sangat berbeda
bahkan hampir sama sekali bertentangan antara pengetahuan yang kami peroleh di luar
dengan yang kami dapatkan dari Pakde Paklik”
“Allah banyak sekali memperingatkan manusia: “Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. [4] (Hud: 101). Tapi tak ada pemimpin Bangsa
atau pemuka Agama yang pernah mengemukakan tema semacam itu. Batas urusan Negara
hanya makan minum, rumah, listrik, dan kendaraan. Batas urusan Agama hanya shalat lima
waktu, membangun Masjid dan pengumpulan zakat serta sedekah. Warga negara dan Ummat
Beragama ribut tentang hal-hal besar yang sebenarnya kabur di pandangan mereka: Pancasila
dan Khilafah, Bhinneka Tunggal Ika dan Radikalisme…”.
Menegakkan Pagar Masa Depan
“Padahal begitu lebar Allah membuka pintu pengampunan demi keselamatan manusia. “Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun

146
kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1] (An-
Nisa: 110). Tapi kalau ada yang menyarankan Gerakan Taubat Nasional misalnya, akan diejek di
sana sini…”
“Karena mereka tidak merasa salah. Tidak ada sesuatu yang perlu dicemaskan kecuali soal
kenaikan pajak, kesulitan usaha ekonomi, tawur antar kampung dan kampus, kurikulum
Sekolah berubah-ubah, listrik mati atau sepakbola nasional kalah. Adapun hubungan mereka
dengan Allah baik-baik saja. Pak Ustadz mengumpulkan sedekah se-Nusantara sampai
berjumlah trilyunan dengan tujuan agar Allah memenuhi janji-Nya akan melipatgandakan harta
benda dan uang mereka”
Kali ini Seger tertawa. “Terus terang kami kadang merasa seperti Nabi Musa yang berguru
kepada Nabi Khidlir. Tidak lulus tidak apa-apa, asal sempat bersilaturahmi dengan manusia
istimewa yang misterius itu, sekurang-kurangnya ya bau-baunya atau cipratan air sejuknya dari
jauh. Kami diajak membocorkan kapal, dikejutkan dengan anak kecil dibunuh. Kemudian kami
diajak mendirikan pagar yang roboh, demi mempersiapkan masa depan…”
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,
maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. [2] (Al-Kahfi: 82). Yang kami pelajari dari
Mbah Dzan dan Pakde Paklik ibarat membangun pagar yang di bawahnya tersimpan modal
masa depan…”.
Mata Uang Zaman Yang Lain
Para Pakde Paklik sudah mendengarkan dengan serius dan seksama berturut-turut
pengemukaan Junit, Jitul, Toling, dan Seger. Dengan penasaran, kegembiraan, tapi juga
kegelisahan. Berbagai perasaan berkecamuk campur aduk di dalam perasaan mereka.
Pakde Brakodin, yang tertua di antara mereka, memulai menanggapi. “Anak-anakku semua”,
katanya, dengan suara yang sangat dipelankan, “Betapa bahagianya kami orang-orang tua
mendengar dan menyaksikan keindahan ungkapan-ungkapan kalian. Akan tetapi kami
memohon kesepakatan, bolehlah seluruhnya itu cukup menjadi muatan silaturahmi di antara

147
kita saja. Di luar rumah ini, masyarakat sudah menjalani hidup baik-baik, sehingga tidak perlu
diganggu oleh pikiran-pikiran kita. Biarlah masyarakat hidup tenang dengan pikiran mereka
sendiri, dengan cara pandang mereka sendiri…”
Pakde Tarmihim tertawa lirih, agak mengubah suasana.
“Sebenarnya menurut saya ini bukan soal masyarakat, tapi soal kita”, katanya, “Kita ini mungkin
hidup di zaman yang salah. Mungkin terlambat dilahirkan, meskipun mungkin juga terlalu
cepat…”
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”. [1] (Al-Kahfi: 19). Mata uang kita
ini tidak laku di luar sana. Jenis dan wilayah pikiran kita tidak memiliki persesuaian dengan alam
kesadaran di luar sana…”
Pakde Brakodin menyahut. “Maksudku juga bukan tentang masyarakat, melainkan tentang kita.
Kita ini bukan siapa-siapa. Kita orang kecil yang tak punya kekuatan apa-apa. Kita jangan
membahayakan diri kita di luar sana”.
Ashabul Mbah Dzan
Anak-anak muda itu, Junit Toling Jitul Seger, tersadar bahwa awalnya tadi yang mereka coba
gali dari para Pakde Paklik adalah “Siapa Mbah dzan”. Latar belakang nasabnya, remang-
remang masa silamnya, persisnya posisi sosial yang dijalaninya, termasuk kehidupan
pribadinya, sejarah masa kecilnya, termasuk kehidupan pribadinya. Apa saja, yang
memungkinkan anak-anak itu memiliki landasan dan perspektif untuk lebih memahami, dan
dengan demikian lebih tepat pula mengambil pelajaran darinya.
Tetapi baru sampai satu pertanyaan awal tentang Mbah Dzan, penelitian mereka berkembang
ke berbagai ranah dan wilayah. Dianggap melenceng juga bisa. Dianggap seharusnya dialog itu
memang begitu, masuk akal juga. Dan yang pasti belok ke manapun, melebar ke seluas tema
apapun, terbukti tidak ada yang mereka biarkan tidak bermanfaat. Kepastian yang juga mereka
alami adalah fakta dialog bahwa setiap langkah pikiran hati mereka selalu secara naluriah
maupun karena keperluan rasional: terbimbing untuk menemukan Al-Qur`an padanya.

148
“Kita sudah berniat dan menata langkah kepada Pakde Paklik untuk menguak cakrawala
pengetahuan tentang Mbah Dzan”, kata Seger, “tetapi rasanya kita malah terperosok masuk ke
dalam Gua…”
“Kita jadi Ashabul Mbah Dzan…”, Toling tertawa.
“Membuka keluasan, terkurung ke dalam kesempitan”, Jitul menambahkan.
“Tapi di dalam kesempitan itu malah terbentang keluasan yang tidak terdapat di luar Gua yang
sekan-akan sangat luas”, Junit melengkapi, “…sedang mereka berada dalam tempat yang luas
dalam gua itu”. [1] (Al-Kahfi: 17).
Toling tertawa lagi. “Menurut saya nggak apa-apa kita GR saja seolah-olah ayat itu untuk dan
tentang kita. Sebab kalau kita hidup ini tidak untuk menemukan diri kita di kebun ilmu Al-
Qur`an, lantas disuruh mencari diri kita di mana?”.
Tarekat Kahfiyah
“Ainul Hurri justru seakan-akan disembunyikan oleh Tuhan dalam kesempitan Gua. Di luar Gua
yang sangat luas, justru terbit kesempitan-kesempitan dan kedangkalan-kedangkalan. Di dalam
Gua yang sempit dan remang, justru disediakan oleh Allah keluasan, dan para penghuni Gua
dianugerahi Mata Kemerdekaan”, Junit menyimpulkan.
Pakde Brakodin tiba-tiba menanggapi. “Pasti saya tidak ikut GR terhadap istilah Ashabul Mbah
Dzan serta berbagai subjektivitas pandangan kita terhadap Gua Kahfi dan Surat Al-Kahfi. Tetapi
saya bisa kemukakan fakta bahwa Surat Al-Kahfi memang adalah salah satu favorit Mbah kalian
Mbah Dzan…”
“Apakah ada Surat atau ayat di Al-Qur`an yang lebih penting atau lebih hebat dibanding lainnya
sehingga Mbah Dzan punya favorit Surat tertentu?”, Seger bertanya.
“Sejauh yang saya pernah dengar dari Mbah Dzan”, jawab Pakde Brakodin, “semua sama
pentingnya dan sama bermaknanya. Bahwa ada suatu titik atau wilayah di tengah-tengah Al-
Qur`an yang seseorang merasakan secara khusus, itu dinamika proses pada setiap penghayat
yang berbeda-beda. Setiap orang memiliki pertemuan gelombangnya masing-masing dengan
firman Allah yang mana, bersesuaian dengan tahap-tahap psikologis, pencarian ilmu dan
pengalaman hidupnya. Itu wajar, sebab Al-Qur`an begitu agungnya, sedang kita begini
kerdilnya…”
“Sarujuk, Pakde”, Seger menjawab.

149
“Ketika Mbah Dzan mendengar ada sejumlah orang yang bertanya apa aliran Tarekat Mbah
Dzan, terkadang Mbah Dzan entah serius entah guyon menjawab sambil tertawa kecil: Tarekat
Kahfiyah. Kemudian dengan masih tertawa Mbah Dzan mengutip: ‘Kemudian Kami bangunkan
mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam
menghitung berapa lama mereka tinggal dalam gua itu’.” [1] (Al-Kahfi: 12).
Seolah Allah Tak Tahu
“Maksudnya bagaimana kok Mbah Dzan mengutip firman sambil tertawa?”, Toling penasaran.
“Kalau orang tertawa mestinya ya karena bergembira atau bersyukur”, jawab Pakde Brakodin,
“kalau menertawakan, itu baru masalah…”
“Kenapa Mbah Dzan tertawa?”
“Saya menyimpan sejumlah catatan lepas Mbah Dzan. Semacam coretan-coretan saja, tapi
terkadang seakan-akan itu puisi. Mbah Dzan seperti tidak sengaja melatih kami berpikir silang
dan lipatan: melihat suara, mendengarkan batu, kosong penuh warna, kelemahan menyimpan
kekuatan, kegelapan dalam cahaya, sinar memancar dari kegelapan…macam-macam seperti
itu. Untuk mencicipi betapa kaya dan agung sesungguhnya ciptaan Allah”
Pakde Brakodin bercerita tentang ayat yang dikutip Mbah Dzan sambil tertawa itu, yakni
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah…” [1] (Al-Kahfi: 12),
mungkin membuat kita terlena. Ada pernyataan ‘agar Kami mengetahui’, kita bisa terjebak
menyimpulkan ada sesuatu yang Allah tidak mengetahui sehingga Ia berkata ‘agar Kami
mengetahui’. Seakan-akan Allah memerlukan penelitian kepada perilaku manusia dan proses
sejarahnya. Kalau kita berpikir linier, lurus-lurus, tidak peka terhadap lipatan dan tikungan, kita
akan mudah terjebak oleh suatu formula informasi. Cobalah hitung di Al-Qur`an berapa banyak
pernyataan Allah Maha Mengetahui sebagai kepastian absolut. Bahkan Maha Mengetahui itu
merupakan salah satu simpul primer dari karakter-Nya, di mana berbagai tali-tali sifat lainnya
terikat oleh patok Maha Mengetahui. Misalnya Maha Pencipta dan Maha Mengetahui [2] (Al-
Hijr: 86), Maha Halus dan Maha Mengetahui [3] (Al-Mulk: 14), Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui [4] (Fushshilat: 36) dan di banyak Surat lainnya”.

150
Allah Memelopori Tauhid
“Kata Mbah Dzan, betapa Allah senantiasa nyawiji kepada hamba-hambaNya”, kata Pakde
Brakodin, “Ia Maha Suci dan Maha Mandiri sehingga tak perlu nama, tapi Ia memperkenalkan
diri-Nya dengan nama Allah untuk memudahkan komunikasi kita”.
“Ia Maha Sabar untuk ‘mengalah’ terhadap batas ilmu dan pengetahuan hamba-hambaNya.
Dzatnya sangat jauh dan tak terjangkau oleh kemampuan jasadiyah maupun rohaniyah
manusia, tetapi Ia mendekatkan Diri-Nya dan menggambarkan kedekatannya itu secara luar
biasa”
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. [1] (Qaf: 16). Bagaimana
memahami ungkapan ‘lebih dekat dari urat leher sendiri’? Dekat dari mana? Dekat dari titik-0
yang mana? Dekat diukur dari koordinat apa? Di mana sebenarnya titik pusat kemanusiaan
pada manusia? Hatinya? Akalnya? Perutnya? Kelaminnya? Nafsunya?”
“Betapa nyawijinya sikap Allah kepada kita. Betapa Allah sendiri memelopori Tauhid. Memulai
terlebih dulu pergerakan untuk menyatu. Mendekat sampai menjadi satu. Pada saat yang sama
Allah bermurah hati tidak meDzantut manusia untuk mendekat kepada-Nya pada konteks urat
leher atau fisik apapun padanya. Allah tidak menagih ilmu manusia, pengetahuan manusia,
kehebatan teknologi peradabannya, kemajuan sejarahnya, gilang-gemilang pembangunan
dunia. Sebab itu semua sama sekali tidak sanggup menjadi jembatan yang mengantarkan
manusia untuk mendekati Tuhannya”
“Yang Allah nantikan adalah cinta hamba-Nya. Kesungguhannya menempuh perjalanan rindu
jumpa dengan-Nya. Ketekunannya untuk merawat rasa dan kesadaran bahwa Ia ada dalam
hidup manusia. Kekhusyukannya, kesetiaannya, komitmennya, consern-nya, kepatuhannya
kepada sapaan cinta-Nya”.
Allah Sangat Berterus Terang
Kata Mbah Dzan, meskipun Allah dan Rasulullah bukan hanya menganjurkan, melainkan bahkan
mewajibkan manusia mencari ilmu, tetapi jangan kita terjebak dengan menyangka bahwa ilmu
adalah jalan yang membuat kita sampai kepada Allah. Apalagi tingkat dan jenis ilmu yang hanya
diwujudkan menjadi teknologi keduniaan, kemajuan materialistik, dan keberhasilan semua di
atas bumi.

151
Ilmu, pengetahuan, kehebatan, kekayaan dunia, keperkasaan, kekuatan, kekuasaan, dan
apapun yang dibangga-banggakan dalam peradaban manusia, bukanlah bekal atau potensialitas
yang berguna untuk mencapai Tuhan.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya”. [1] (Al-Kahfi: 110). Kenapa ingin jumpa? Kenapa butuh ketemu? Karena rindu.
Kenapa rindu? Karena cinta.
Karena cinta. Itulah satu-satunya urusan manusia dengan Allah. Sementara ummat manusia
sedunia di zaman akhir ini, berabad-abad yang mereka sebut abad-abad kecerahan dan
kemajuan – yang mereka bangun adalah segala sesuatu yang tidak laku di hadapan Tuhan.
Mata uang peradaban mereka tidak ada harganya di loket Sorga.
Sudah jelas urusannya adalah perjumpaan dengan Tuhan, efektivitas manajemen Negara,
Bangsa, dan Masyarakat tidak memfokuskan pada tema itu sebagai haluan program dan
regulasinya. Sudah sangat berterus terang Allah mengungkapkan kesungguhan cinta-Nya
dengan menyebut kecemburuannya “jangan mempersekutukan-Ku dengan siapapun” dan
apapun dalam bercinta dan bersetia. Akan tetapi secara terang-terangan dan mantap rata-rata
ideologi dan konsep pembangunan Abad 20-21 manusia malah mengejek dan melecehkan
kesungguhan cinta-Nya, komitmen dan kesetiaan-Nya.
Kesembronoan Ilmu
Salah satu yang paling dominan dalam kehidupan ummat manusia, menurut Mbah Dzan,
termasuk pada Kaum Muslimin, adalah kesembronoan ilmu.
Seperti yang tadi diungkapkan oleh Pakde Brakodin. Ketika Allah berfirman “agar Kami
mengetahui”, orang menyangka Allah punya kemungkinan untuk pernah tidak tahu. Tidak ada
ingatan dan kesadaran tentang dialektika lipatan subjek-objek sebagaimana retorika seorang
Bapak kepada tetangganya membahasakan anaknya dengan meletakkan diri pada posisi
anaknya. Atau Guru kepada muridnya. Juga Tuhan kepada hamba-Nya.
Ketika Allah menyebut diri-Nya “Kami”, orang sembrono dan merasa lega menemukan Tuhan
ternyata tidak Tunggal, tidak Satu, tidak Ahad, buktinya bilang “Kami”. Mereka menyuruh
Tuhan bekerja sendiri, mengurusi hujan dan angin sendiri, menumbuhkan tanaman sendiri,

152
mencabut nyawa sendiri, menggelombangkan lautan sendiri, mendetakkan jantung manusia
sendiri, meletuskan gunung sendiri, dan menggoyangkan gempa bumi sendiri.
Manusia melarang Tuhan untuk menciptakan staf-staf-Nya, para pembantu-Nya, Malaikat-
Malaikat-Nya. Kemudian tatkala Allah menginformasikan “Kepada Tuhannyalah mereka
melihat”. [1] (Al-Qiyamah: 23), mereka berpikir bahwa akan bisa melihat Allah dengan matanya
yang di dunia ini mereka pakai berlebihan untuk melihat lembaran uang, gemerlap gedung-
gedung, warna-warni teknologi, wajah perempuan yang mereka simpulkan itu adalah
kecantikan.
Kesembronoan ilmu manusia membuat mereka merasa yakin sedang melihat cahaya, melihat
api, melihat ombak dan gelombang, serta melihat sangat banyak hal yang pada hakikatnya
bukan yang mereka rumuskan itu yang mereka lihat. Padahal ilmu Fisika, Biologi, Matematika,
bahkan kegagahan IT mereka serasa telah tiba di puncak peradaban. Mungkin itu muatan
tertawa Mbah Dzan.
Serangan dan Tadahan
Perbincangan anak-anak muda itu tiba-tiba terpotong oleh bunyi suara-suara di ruang depan.
Pertama ada mobil berhenti, sebentar kemudian ada teriakan-teriakan seperti beberapa orang
sedang bertengkar. Semua berpandangan satu sama lain. Pakde Brakodin melompat berdiri dan
berlari keluar.
“Tolong Pakde…”, terdengar salah satu suara di depan itu, “Kami berdua akan bergabung
menyerang pemuda ini, tolong Pakde yang menadahinya…”
“Pakde yang nampani”, suara satunya lagi, “Pakde lindungi dia, kami harus mengusir energi
bergumpal-gumpal yang merasuki anak ini”
Pakde Brakodin agak terbengong. Tentu tidak mudah langsung memahami kalimat dua lelaki
itu. Tapi tak sempat bertanya, kedua lelaki itu menggerakkan badannya sedemikian rupa, kedua
kaki mereka memasang patrap kuda-kuda seragam. Kedua tangan mereka bergerak-gerak di
depan badan. Sedikit putaran-putaran dilakukan oleh kedua tangannya. Kemudian tangan
kanan keduanya ditarik ke belakang, sambil masing-masing menarik nafas panjang seolah-olah
sedang menyerat langit dan bulatan semesta.
Lantas bersama-sama mereka meluncurkan tangan kanan ke depan, tepat mengarah ke dada
pemuda di depan mereka. Hembusan nafas mereka bagaikan badai, suatu teriakan khas

153
meluncur dari tenggorokan keduanya. Dan pemuda itu terlempar tepat ke depan Pakde
Brakodin. Tidak jelas apakah arah lemparan itu yang menuju Pakde Brakodin, ataukah Pakde
Brakodin yang secara naluriah menggeser tubuhnya agar tepat pada titik lemparan itu, sehingga
Pakde menadahinya.
“Dan apabila laut diluapkan, dan ruh-ruh dipertemukan dalam jasad”. [1] (At-Takwir: 6-7). Seger
tiba-tiba ingat firman Allah itu. Tidak hanya ‘nafs’ tapi ‘nufus’, ruh dan ruh atau dan ruh dan ruh
dan ruh tanpa jelas batas jumlahnya. Dipertemukan di dalam jasad manusia. Anak-anak muda
itu melihat si pemuda pingsan lunglai di dekapan Pakde Brakodin…”.
Kuliah Roh
Meskipun sudah sering mendengar hal-hal tidak biasa pada komunitas Patangpuluhan, sejak
Mbah Dzan hingga para Pakde Paklik ini, tetapi Junit Jitul Toling Seger agak terpana juga
menyaksikannya. Juga tidak mudah memahami, ini peristiwa apa, temanya apa, kejadian
tentang apa. Kok ada serangan, tadahan, kemudian lunglai, pingsan.
Pakde Brakodin mengangkat pemuda itu dibawa masuk ke kamar belakang. Pakde Tarmihim
yang menjawab ketika Junit bertanya setengah berbisik-bisik. “Dua lelaki yang di luar
berpendapat bahwa pemuda itu dirasuki oleh semacam ruh liar, entah apa. Mereka mungkin
anggota semacam perguruan entah apa juga. Bermaksud mengusir ruh liar itu dari dalam tubuh
dan jiwa di pemuda…”
“Apa hubungannya dengan Pakde Brakodin?”, Seger mendesak.
“Banyak orang menganggap Pakde Brakodin punya ilmu atau kemampuan soal-soal begitu.
Saya tidak tahu entah benar entah salah. Tapi dua lelaki itu butuh Pakde Brakodin untuk
menadahi akibat dari lemparan kekuatan mereka yang berusaha mengusir ruh itu”
“Ruh apa, Pakde?”, Toling bertanya.
“Mana saya tahu. Saya tidak pernah sekolah atau kuliah fakultas ruh…”
Seger mengutip ayat Qur`an: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
“Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. [1] (Al-Isra: 85).
Junit merespon. “Manusia tidak tahu apa-apa tentang ruh”
“Tahu dong, meskipun hanya sedikit”, Seger membantah berdasarkan ayat yang dikutipnya,
“bahkan kalau Tuhan bilang sedikit, mungkin saja sudah sangat banyak bagi manusia…

154
Kabarnya satu hari yang dimaksud Tuhan sama dengan 500 ribu tahun bagi konsep waktunya
manusia…”.
Membentak Roh
Jitul mungkin tidak sempat bertanya, karena ia lebih banyak memperhatikan dan memikirkan
apa yang sebenarnya sedang berlangsung. Pakde Brakodin membawa pemuda itu masuk ke
kamar belakang, sementara dua lelaki di beranda depan ditemui oleh Pakde Sundusin.
Anak-anak muda itu tidak berani dan tidak mencampuri urusan aneh itu. Mereka hanya diam-
diam mengamati. Jitul memperhatikan lelaki pingsan yang diangkut masuk kamar belakang itu
tampaknya sudah siuman. Pakde Brakodin bicara serius kepadanya, tetapi hanya terdengar alur
suara saja, bukan kata. Kemudian Pakde Brakodin keluar kamar, menutup pintu, dan
sebelumnya masih mengemukakan satu dua kalimat kepada si pemuda.
Aneh juga kenapa pemuda itu dimasukkan ke dalam kamar, kemudian malah pintu kamar itu
ditutup dan Pakde Brakodin meninggalkannya keluar. Setelah cukup lama, Pakde Brakodin ke
dapur, mengambil segelas air, sebentar kemudian masuk lagi ke dalam kamar. Entah apa yang
dilakukan. Tapi tatkala kemudian pemuda itu keluar kamar dituntun oleh Pakde Brakodin,
diantarkan ke depan menemui dua lelaki yang datang bersamanya, sepertinya itu semua akan
segera berakhir.
Pakde Brakodin akhirnya bergabung kembali ke lingkaran anak-anak muda itu. “Kerasukan,
Pakde?”, Toling memberanikan diri bertanya, “Roh gaib? Jin?”
Pakde Brakodin tertawa. “Roh apa. Roh dia sendiri yang mesinnya tidak seimbang, hatinya tidak
utuh, pikirannya retak. Mbah Dzan dulu sering didatangi tamu-tamu macam itu dan saya
memperhatikan caranya menangani. Pemuda itu cuma saya bentak-bentak: Kamu jangan
berlagak seram-seram. Tidak usah main teater di depan orang-orang tua. Tidak usah pura-pura
gila. Saya hanya tiup tengkuknya sambil menirukan doa Rasulullah ‘Ya Muqallibal qulub, tsabbit
qalbii ‘ala diniK…’”. [1] (HR. At-Tirmidzi).
Lari Dari Diri
“Dia hanya bingung dengan hidupnya”, Pakde Brakodin melanjutkan, “tidak bisa mengatasi.
Soal pertentangan dengan orangtuanya, kuliahnya terbengkalai, belum bekerja. Lantas
melarikan diri. Lari dari dirinya sendiri. Kemudian menemukan panggung yang nikmat dalam

155
situasi psikologis yang serasa tidak berada di alam normal. Dengan pura-pura gila ia merasa
merdeka dari tanggung jawab hidupnya…”
“Jadi bukan kerasukan Jin atau apa gitu, Pakde?”, Toling masih penasaran.
“Kerasukan masalah-masalah yang menekan dan membelitnya, memburamkan hatinya dan
membuntu pikirannya”
“Itu selesai dengan Pakde kasih minum serta didoakan?”
“Tidak ada air yang bisa mengobati”, jawab Pakde Brakodin, “tidak ada doa yang bisa mengatasi
masalah”
“Lho kok gitu Pakde?”, kejar Toling.
“Yang sanggup menyembuhkan dan mengatasi masalah adalah perkenan Allah melalui air itu,
serta kedermawanan Allah untuk mengabulkan doa hamba-Nya”
Junit tertawa. “Dulu cukup lama lho kami berkesimpulan bahwa Mbah Dzan beserta Pakde
Paklik ini orang-orang sakti”
Pakde Tarmihim yang menanggapi dengan tertawa. “Ternyata bukan hanya sama sekali tidak
sakti. Di pandangan para tetangga dan kebanyakan orang Pakde Paklik kalian hanyalah orang-
orang tua yang naif, tidak jelas tujuan hidupnya, tidak jelas tempatnya, tidak pernah mengalami
keberhasilan apa-apa…”
“Itu bukan hanya di pandangan masyarakat”, Pakde Sundusin lebih keras lagi tertawanya, “Bagi
kami sendiri memang juga demikian. Ini bukan soal beda pandangan hidup, tapi fakta. Kalau
ada orang datang minta tolong, kami kelabakan. Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah
berpegangan pada Allah dan Rasulullah: misalnya melalui ayat-ayat Al-Qur`an, “yang
mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai
‘Arsy”. [1] (At-Takwir: 20).
Peradaban Teks
Sekarang Junit Jitul Toling dan Seger seperti mengingat kembali dan menyadari bahwa selama
ini sebenarnya banyak macam-macam tamu yang datang. Kadang yang menemui Pakde
Brakodin, saat lain Pakde Tarmihim atau Sundisin. Ada yang mereka bertiga menemui dan
mungkin menangani masalahnya.

156
Anak-anak itu terlambat menyadari bahwa peristiwa-peristiwa dengan tamu-tamu itu ternyata
merupakan pembelajaran yang kalaupun tidak lebih penting, tapi lebih lengkap dimensinya,
lebih empiris, lebih penuh nuansa, dibanding diskusi-diskusi mereka.
“Kita selama ini terpaku pada persangkaan bahwa ilmu itu terdapat pada kalimat, kata dan
huruf, jadi kita berdiskusi melulu kalau ketemu Pakde Paklik”, kata Toling.
“Ternyata kita masih masuk angin oleh Peradaban Sekolah”, tambah Jitul, “Peradaban Kelas,
Peradaban Buku, Peradaban Teks. Diam-diam kita meyakini bahwa hanya di situ letak ilmu, dan
mantap bahwa ilmu teks itu segala-galanya”
Junit tertawa. “Tetapi kesadaran kita ini agak subjektif juga”, katanya.
“Subjektif bagaimana?”, Toling bertanya.
“Kita mantap dengan kesadaran baru ini demi menghibur diri dari inferioritas bahwa kita bukan
anak-anak muda yang sukses dalam bersekolah…”
“Saya tidak inferior”, Seger membantah, “Saya tidak minder. Saya tidak merasa gagal. Saya
tidak merasa lebih bodoh dari teman-teman yang sukses bersekolah, meskipun saya juga tidak
merasa lebih pandai”
“Nggak usah ngamuk, Ger”, Junit masih tertawa.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri…”. [1] (Fushshilat: 53). Seger merespon dengan meDzanjukkan firman Allah
itu. “Tuhan sendiri bilang begitu, kok”, katanya.
Ufuk Semesta dan Lubuk Diri
Tentu maksud Seger adalah: andaikanpun tidak ada teks Al-Qur`an, ia dan setiap manusia tetap
menemukan esensi, butiran nilai, pintu makna dan hikmah, bahkan wujud dan aplikasi Al-Qu`an
di dalam dirinya dan di hamparan alam semesta.
Allah bukan menuturkan teks Al-Qur`an dulu baru menciptakan jagat raya dan makhluk-
makhluk yang menghuninya, sebagai pentas drama diawali dengan penulisan skrip skenario.
Yang kemudian dituliskan di teks Al-Qur`an itu sebagian kecil atau besar sudah dihadirkan
melalui wujud alam dan makhluk-makhluk lainnya. Organisme jagat, metabolism ruang dan
waktu. Apapun namanya.

157
“…hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu adalah benar”. [1] (Fushshilat: 53). Seger
menjelaskan bahwa dasar berpikir mereka adalah “Qur`an menurut Allah”, bukan “Allah
menurut Al-Qur`an”, meskipun, atau justru, karena dari Allah-lah Al-Qur`an bersumber.
“Kebenaran hidup ini menurut Allah, yakni kebenaran Allah itu sendiri, baru lengkap
kebenarannya jika eksplorasi pembelajaran kita mencakup teks Al-Qur`an dan teks-teks lain,
kemudian penelitian atas alam dan penghayatan manusia atas diri manusia sendiri”, kata Seger
menambahkan.
Toling menambahkan seakan-akan ia pernah menulis puisi: “Manusia mengarungi Al-Qur`an di
ufuk semesta dan di lubuk diri. Sekaligus manusia menelusuri ufuk semesta dan lubuk diri di
bentangan Al-Qur`an yang berdinding cakrawala…”
Pakde Sundusin tertawa dan menyela: “Ungkapan-ungkapan seperti itu yang dulu paling
merupakan favorit Mbah kalian Mbah Dzan”
Jitul menanggapi: “Pasti Mbah dzan menikmati paradoks: dinding kok cakrawala, cakrawala kok
dinding”
Junit tertawa juga: “Musuh utamanya cakrawala itu ya dinding”.
Hari dan Hari Lantas Hari Terus Hari
“Jelasnya bagaimana, Pakde?”, Jitul mengejar.
“Bagaimana hal apa?”
“Yang favoritnya Mbah Dzan”
“Ah, kalian sudah tahu dulu-dulu. Nanti kita mengulang-ulang”
“Lho namanya ngaji ya justru harus mengulang-ulang”, Seger ikut mengejar.
“Ya Pakde”, Junit menegaskan, “Seluruh hidup ini ya mengulang-ulang. Hari kemudian hari
kemudian hari. Bulan kemudian bulan kemudian bulan. Siang kemudian malam kemudian siang
kemudian malam. Berjalan kaki saja yang mengulang-ulang: kaki kanan terus kaki kiri terus kaki
kanan terus kaki kiri..”
“Aduh pinternya generasi millenial ini…”, Pakde Sundusin mengeluh.
“Ayo terus Pakde”, Toling mendesak.
“Sederhananya: menemukan Al-Qur`an di alam dan manusia, menemukan manusia di Al-Qur`an
dan alam, menemukan alam di Al-Qur`an dan manusia”, Pakde Sundusin tidak bisa mengelak.
Mengulang apa yang entah kapan sudah menjadi pengetahuan bersama.

158
“Masyarakat diperkenalkan kepada alam dan manusia tidak sebagai bagian dari firman Tuhan.
Akhirnya ada ahli pertanian, ahli fisika, ahli biologi, sarjana ilmu sosial dan lain-lainnya, tetapi
buntu hubungannya dengan Al-Qur`an. Sementara Al-Qur`an diperkenalkan tanpa
meDzanjukkan keterkaitannya dengan gunung, daun, angin, laut, ombak, cacing, macan, pasar,
psikologi dan kebudayaan, mentalitas, olahraga, mendaki gunung, memancing ikan, sepeda
gembira, pandu pramuka, rumus tali temali… pokoknya Agama dan Islam itu wilayahnya adalah
bangunan Masjid, shalat jamaah, rajin tahajud dan dluha, mengumpulkan zakat nasional agar
tidak ada lagi pengemis-pengemis di daerah. Maka atas nikmat Tuhan yang mana yang kamu
dustakan?. [1] (Ar-Rahman: 13)
Satu pada Semua dan Semua di Satu
“Kok berhenti Pakde?”, Seger yang mengejar.
Pakde Sundusin meneruskan. “Islam hanya dilokalisir di bilik Ibadah Mahdloh. Rukun Islam
formal. Spektrum dan skala kebenaran Islam hanya di situ. Ulama adalah yang menguasai fiqih
peribadatan resmi. Majlis Ulama tidak punya anggota Ahli Fisika, Pakar Lingkungan Hidup,
Sarjana Astronomi, Mujtahidin Ilmu dan Tekonologi…”
Junit memotong: “Itu sudah berkali-kali menjadi bagian dari pembelajaran kami, Pakde. Baik
sebagai fokus atau hanya sebagai ilustrasi. Memang salah satu problem utama Kaum Muslimin
terletak di situ. Seharus satu pada semua dan semua pada satu. Mungkin itu sebenarnya yang
disebut Kaffah”
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui” [1] (Saba: 28).
“Setahu saya Seger sudah lama mencatati itu semua secara bertahap, berdasarkan penelitian,
pencerapan dan diskusi yang kami lakukan”, Jitul menambahkan, “Misalnya Tuhan meletakkan
manusia sebagai pembawa berita gembira. Kabar tentang apa? Apakah hanya tentang sorga?
Ataukah juga tentang nikmatnya buah-buahan, kesuburan tanah, pergantian musim, serta apa
saja yang menjadi lingkungan kehidupan manusia di bumi?”
“Juga memberi peringatan tentang apa?, langsung Seger sendiri menambahkan, “batas
konteksnya adalah seluas kehidupan ini sendiri. Peringatan tentang zat-zat, kandungan benda,
kapasitas logam, pengaruh suhu dan apa saja. Agama merangkum seluruh hal. Agama berkaitan

159
dengan seluruh bidang yang dipelajari di Sekolah dan Universitas, yang dihadapi dan dialami
oleh setiap manusia sehari-hari. Sampai kemudian muncul zaman di mana Ummat Islam
terdesak, tersingkir, minggir dan tidak terlibat dalam pengelolaan Negara atau Kerajaan.”
Berhijrah dan Tak Kembali
“Para tokoh Islam menyepi ke pinggiran, menjadi semacam pertapa sosial, membangun
Pesantren atau Padepokan. Dan sejak itu tidak sengaja generasi demi generasi Santri dan
Cantrik menyimpulkan bahwa Agama bukan Negara, Agama bukan pembangunan ekonomi,
Agama bukan kebudayaan, agama bukan kesenian, agama bukan pasar. Agama adalah sesuatu
yang khusus di luar kesibukan dunia. Agama hanya salah satu bidang di antara bidang-bidang
lain…”
Toling tertawa. “Dan karena kehidupan beragama tetap merupakan kenyataan di kalangan
penduduk, akhirnya Negara bikin Departemen atau Kementerian Agama, berdampingan dengan
Departemen-departemen lainnya. Yang di luar urusan Kementerian Agama, disimpulkan
sebagai bukan urusan Agama”
“Ada era di mana Kaum Muslimin menjauh dari kehidupan politik”, Seger melanjutkan,
“mengambil jarak dari kesibukan dunia, tidak melibatkan diri di lalulintas pasar, tidak peduli
pada apapun saja kesibukan pembangunan dan kemajuan dunia. Mereka seakan berhijrah
untuk menemukan lorong yang langsung sampai ke sorga. Padahal mereka hidup di bumi.
Mereka tetap butuh sandang pangan papan. Akhirnya Kaum Muslimin menjadi buruh-buruh
Negara dan Pengusaha selama belum ke sorga, karena mereka butuh makan dan jumlahnya
semakin banyak”
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak”. [1] (An-Nisa: 100).
“Kata Allah, bumi adalah tempat hijrah yang luas dengan rezeki yang melimpah, tetapi hati dan
pikiran mereka berhijrah dari bumi dan tak kembali. Memang dunia bukan tempat tujuan.
Memang sorgalah sejatinya kampung halaman. Tetapi selama masih dipersemayamkan oleh
Allah di bumi, setiap dan semua manusia wajib mengelolanya, dengan dinamika dan kreativitas
hijrah”.

160
Tiga Bencana Besar
Seger pernah mendengar dari Paklik Sapron, bukan dari tiga Pakde yang dewasa ini intensif
berinteraksi dengannya dan teman-temannya, tentang Mbah dzan menggambarkan ada suatu
era dalam sejarah di mana Kaum Muslimin berhijrah dari pusat pengelolaan atau kekuasaan
Tanah Jawa, dan belum kembali sampai hari ini.
Pakde Sundusin, Brakodin, dan Tarmihim agak kaget juga ternyata anak-anak muda ini lebih
serius dan rajin dibanding yang diketahuinya.
“Di sekitar pertengahan millennium yang lalu, terdapat seorang tokoh besar, harus melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar, di tengah tiga bencana besar yang melindas Pulau Jawa bagian
timur dan tengah”, demikian Seger menirukan apa yang didengarnya dari Paklik Sapron dulu,
tentang yang didengarnya dari Mbah dzan.
“Yang disebut pekerjaan besar oleh tokoh besar yang juga seorang Wali besar itu adalah
menyelamatkan manusia dari bergulirnya guncangan-guncangan sejarah yang sama sekali tidak
mudah untuk diatasi. Bencana pertama sesungguhnya disebut bencana hanya karena
bertentangan dengan kemapanan hidup manusia, dalam hal ini sebuah Kerajaan besar yang
berdiri megah dan memangku wilayah amat luas hingga ke utara dan barat Nusantara.
Semburan lumpur besar-besaran dari perut bumi meluluh-lantakkan lahan-lahan penghidupan
rakyat. Terguncang pulalah perekonomian Kerajaan besar itu”
Ketika itu sang tokoh besar belum genap berusia tiga puluh tahun. Ia juga terguncang dan
terhimpit antara keprihatinannya oleh bencana itu, tapi sekaligus oleh pergolakan jiwa
mudanya yang tergetar jika datang tantangan kepadanya. Ia membuka Kitab Suci dan
mendapatkan: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu supaya mentaati Allah tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. [1] (Al-Isra: 16).
Delta Sejarah
Pemuda yang masih sangat muda namun akan menjadi tokoh besar itu berhitung-hitung segala
sesuatu yang dilihatnya dan dialaminya. Pertama semburan lumpur itu terjadi di desa-desa
sekitar sebuah Delta di mana sebuah sungai besar membelah bercabang dua.

161
Di zaman itu manusia dengan alam masih bersatu seperti tubuh dengan darahnya sendiri.
Terkadang manusia merasa ia bagian dari alam yang luas, di saat lain ia menemukan alam ada
bagian dari jagat dirinya. Terhadap sungai bercabang dua itu naluri pemuda itu langsung
merangkai semacam mistifikasi. Tentu ia bukan kelas manusia klenik yang mengarang-ngarang,
mengkhayal-khayalkan untuk mempertemukan sesuatu yang sebenarnya tidak ketemu.
Pemuda itu punya potensi sebagai Ulul Abshar dan Ulul Albab. Seorang intelektual yang berdiri
di atas kesadaran bumi, berteduh di bawah kesadaran langit, bersandar di kesadaran pohon,
serta berbaring di kesadaran rumput. Ia tidak menduga-duga sesuatu, meskipun sangat
mencarinya. Ia hanya mencatat ada sesuatu yang akan terbelah menjadi dua. Ada satu arus ke
suatu arah yang kemudian mengalami sesuatu sehingga berikutnya memunculkan dua arah.
Semacam Delta Sejarah. Ia mengingat-ingatnya saja. Belum memaknainya. Ia berpikir: ketika
menggambarkan sorga, Allah selalu menyebut sungai. Maka begitu pentingnya sungai sebagai
informasi dan ilmu. “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa
ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; senantiasa berbuah dan
teduh”. [1] (Ar-Ra’d: 35)
Apakah Kerajaan besar ini akan terbelah menjadi dua? Apakah akan ada peristiwa sejarah yang
besar yang akan membuat ratusan ribu manusia mengalami perpindahan ke dua arah? Di
tepian lebaran lumpur, ia menatap kejauhan di mana Kerajaan besar itu berdiri. Dadanya
bergelora. Ternyata hatinya sangat dekat dan sudah tertanam rasa cinta kepada mereka yang
menghuni Kerajaan itu.
Perintah Kepada yang Hidup Mewah
Pemuda itu ingat firman Allah yang dibacanya: “maka Kami perintahkan kepada orang-orang
yang hidup mewah di negeri itu supaya mentaati Allah”. Tiba-tiba meloncat pikirannya, ingat
pada firman di bagian lain: “Hingga apabila Kami timpakan azab, kepada orang-orang yang
hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong” [1] (Al-
Mu`minun: 64).
Sebenarnya sudah hampir sepuluh tahun belakangan, di usia remajanya menjelang dewasa, ia
sudah ulang-alik keluar masuk Kerajaan itu. Karena kegemarannya terhadap hampir semua hal
yang berkaitan dengan kebudayaan dan ilmu. Ia seorang pesilat, sebagaimana kebanyakan

162
kaum muda. Tapi ia juga sangat menikmati kesusastraan, dunia rohani yang muncul di balik
karya-karya budaya. Misalnya keris atau berbagai jenis persenjataan lain.
Minatnya itu membuatnya sangat dekat dengan para Empu yang bekerja di Kerajaan. Sebagian
waktunya secara rutin ia pakai untuk belajar kerohanian dan Agama kepada para Auliya dan
Masyayikh. Sebagian lain untuk mengasyiki berbagai kesibukan di Kerajaan, termasuk
berinteraksi dengan semua lingkungan persilatan, kanuragan maupun kebatinan. Bahkan ia
pernah menolong pihak Kerajaan untuk mengambil kembali keris pusaka utama yang dicuri
oleh Raja penjahat dari ujung timur. Tidak hanya karena kesaktian kanuragannya, tapi juga
karena ilmu strategi politik dan kebudayaannya.
Selebihnya ia adalah pemuda yang berjiwa pengembara. Petualang. Melakukan hal-hal yang
sejuta satu untuk dilakukan oleh orang lainnya. Sebagian masyarakat mengenalnya sebagai
penjahat, pembegal, perampok, karena bias dari petualangannya yang merambah dari kota
Kerajaan hingga desa-desa dan pelosok-pelosok rimba. Ketika ia ingat firman tentang perintah
Allah kepada orang-orang yang hidupnya mewah, tiba-tiba saja hal itu menggerakkannya untuk
datang lebih sering ke pusat Kerajaan.
Sungai Terbelah Dua
Ia bergaul dengan para Punggawa, berdiskusi dengan anggota-anggota pertimbangan Kerajaan,
bersilaturahmi dengan banyak keluarga Kerajaan, dari yang sepuh, dewasa hingga yang kanak-
kanak. Semua kalangan di Kerajaan menyukainya karena di samping berilmu, punya banyak
kesaktian, juga ia sangat jenaka dalam bergaul.
Kanak-kanak dan remaja di Kerajaan mengenalnya sebagai semacam pesulap yang handal tapi
lucu. Kaum dewasa agak-agak mulai memitoskannya sebagai anak muda mumpuni yang bahkan
bisa menghilang, bisa mengubah kerikil menjadi beras, mengubah beras menjadi emas, atau
sebaliknya.
Sebenarnya yang ia khawatirkan adalah kalau warga Kerajaan inilah yang dikategorikan oleh
Allah sebagai orang-orang yang hidupnya mewah. Maka secara naluriah ia menjalani apa yang
Allah firmankan “Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu supaya
mentaati Allah”. Bahasa jelasnya, ia berdakwah di Kerajaan itu.
“Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih

163
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. [1] (An-Nahl: 125).
Tentu saja dengan harapan mereka menerima ajakan dakwahnya, sehingga Allah tidak
mengadzabnya. Sebab pemuda ini sudah sangat akrab dan menyayangi mereka semua,
meskipun kepercayaan mereka berbeda darinya.
Sesungguhnya sudah sejak bertahun-tahun silam pemuda ini melakukan semacam dakwah.
Bukan karena niat berdakwah, melainkan menjalankan apa yang seyogyanya dijalankan oleh
manusia kepada sesama manusia. Hanya saja sesudah ia menatap lautan lumpur, delta sungai,
warna remang-remang bahkan gelap di cakrawala jauh — ia memacu apa yang dilakukannya itu
di Kerajaan.
Tiba-tiba ia tersadar: “Ya! Delta! Sungai terbelah dua…”.
Pemuda Waliyullah Al-Kubro
Apa yang mengherankan dari Delta? Apa yang tak terbagi dua. Pohon mencabang dahan. Dahan
mencabang ranting. Delapan penjuru angin. Ada tidak karena dan ada ya. Kutub utara tak bisa
sendirian tanpa kutub selatan
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di
bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air
hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam”. [1] (Thaha: 53).
Di antara keluarga Kerajaan, para anggota dewan pertimbangan Kerajaan, para pengolah
senjata, para pendekar, Punggawa, dan siapapun: ada yang menerima ajakan tokoh besar ini,
dan ada yang menolak. Ada yang langsung memeluk kepercayaan yang menakjubkan yang
pemuda itu tawarkan, ada yang berproses lama, ada yang seolah-olah mentak-acuhkannya, ada
yang menghindarinya, ada yang menjauh karenanya, ada yang mencampakkannya, bahkan ada
yang membenci dan memusuhinya.
Apa yang mengherankan dari cabangan bahkan pertentangan arah Delta Sungai Kehidupan.
Ada yang turut naik Bahtera Nabi Nuh, ada yang mantap ditenggelamkan oleh banjir. Pemuda
Waliyollah Al-Kubro sekadar menjalankan perintah Allah untuk menyampaikan kabar dan
anjuran, informasi dan rekomendasi, kepada kemungkinan masa depan setiap manusia yang ia
jumpai di Kerajaan maupun di mana saja.

164
Tidak semata-mata karena kabar tuntunan Allah itu sendiri. Tetapi berkaitan dengan skenario
Allah yang membersamainya: tiga takdir besar yang telah dimulai dengan yang petama, yakni
banjir lumpur yang cepat atau lambat akan melumpuhkan kekuatan Kerajaan Besar. Maka
pemuda itu memahamkan kepada seluruh warga Kerajaan semua komprehensi dan hari esok
yang akan saling terkait: lumpur, kelumpuhan ekonomi, lantas beberapa guncangan  lagi….***
Belahan-belahan Kefasikan
Yang kemudian dilakukan oleh Pemuda Waliyullah Al-Kubro adalah mengajak warga Kerajaan
besar itu untuk menatap ke depan dengan ilmu dan kebijaksanaan. Ilmu adalah alat untuk
waspada, dan kebijaksanaan adalah jalan keselamatan.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada
mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. [1] (Al-Hasyr: 18-19).
Kalau tanah tak bisa lagi menumbuhkan tanaman, harus dibersihkan segala kotoran dan anasir
ketidaksehatan tanah itu. Kalau daya upaya tak mencukupi untuk proses pembersihan dan
penyehatan, maka dicari kemungkinan untuk menemukan tanah yang lain.
Kerajaan Besar itu diajak oleh sang Pemuda Wali untuk mewaspadai masa depan penghidupan
Kerajaan itu dengan seluruh rakyatnya. Setelah berhitung segala aspeknya, sang Pemuda Wali
menguakkan pintu masa depan, di mana satu-satunya kemungkinan adalah melakukan hijrah.
Tak ada jalan keselamatan bagi anak cucu kecuali melakukan perpindahan besar-besaran ke
wilayah bumi Allah yang lain.
Sebagian warga Kerajaan memahaminya dengan nalar. Sebagian lain mencurigainya sebagai
penghancuran kepercayaan. Mereka menolak terang-terangan ajakan hijrah itu dan menuduh
Sang Pemuda Wali sebagai tokoh pemusnah tradisi untuk membangun sebuah tradisi baru.
Sang Pemuda Wali berbicara tentang penyelamatan masa depan anak cucu. Para penuduhnya
menggeser masalahnya ke Agama yang dipeluk Pemuda Sang Wali. Terjadilah belahan-belahan
kefasikan, dengan satu “delta” besar.

165
Imperialisme Ketidak-relaan
Alhasil Pemuda Wali Kubro itu “nulung tapi dipenthung”. Menolong tapi dipersalahkan,
dituduh, dan difitnah. Sampai tujuh abad kemudian, fitnah itu tidak reda. Selalu kebobrokan
manusia disebabkan oleh perkawinan penyakit yang berada di dalam diri manusia, dengan
penyakit dari luar dirinya yang memanfaatkan penyakit manusia itu.
Kehancuran Kerajaan Besar itu, kemudian diteruskan oleh kehancuran demi kehancuran yang
berlangsung di tanah dan hamparan pulau-pulau yang sama, disebabkan oleh perkawinan yang
sama. Penyakit dari dalam itulah bencana kedua: pertentangan kepentingan di dalam lingkar
keluarga Kerajaan. Ketidakmampuan untuk mengelola perbedaan dan versi-versi kebenaran.
Bencana ketiga adalah kekuatan dari luar jauh di Barat yang memang sejak tujuh abad silam
melakukan ekspansi besar-besaran untuk mem-Barat-kan Timur dan seluruh isi bumi. Mereka
memang “tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu”. [1] (Al-Baqarah: 120).
Sepanjang hidupnya Pemuda Wali itu hingga jauh melewati satu abad, ia abdikan untuk menata
daya tahan, mendistribusikan kekuatan-kekuatan agar tercipta formasi pertahanan bagi
bangsanya, terhadap ekspansi, serbuan, timpaan, kolonisasi, imperialisasi yang berasal dari
“ketidakrelaan” dari Barat itu.
Sejak abad 14 hingga 21 sekarang ini seluruh perjalanan sejarah ummat manusia, terutama di
belahan timur bumi, dikendalikan oleh himpunan strategi, rekayasa, mobilisasi dan kolonisasi,
dan imperialisasi yang berangkat dari ketidakrelaan Barat kepada Timur.***
Zaman Pencerahan alias Kefasikan
Apa dan siapa yang tidak akan pernah direlakan oleh para penyebar bau busuk dari Barat itu?
Pertama, Islam: yakni anugerah jalan keselamatan dari Allah kepada manusia. Yang
diperjanjikan secara akhlaq sebagai amanah, dan diperikatkan secara hukum sebagai perintah.
Kedua, kekayaan laut dan darat Nusantara, tanah dan air rangkaian kepulauan yang kelak
bernama Indonesia. Tidak direlakan untuk tidak dimiliki, dengan merampoknya terlebih dulu,
melalui cara, bentuk, peralatan dan strategi yang terus berkembang makin canggih sejak abad
14 itu hingga hari ini.

166
Ketiga, peradaban bangsa yang menempati Pulau Jawa. Filosofinya. Penemuan-penemuan
nilainya. Ketangguhan kepribadiannya. Kekesatriaan dan keperwiraan mentalnya. Keluasan
pengetahuan dan kedalaman ilmunya. Keunikan budayanya. Sikap hidup dan strategi psikologi
yang bagai tak ada matinya.
Pemuda tokoh besar dan Waliyullah Al-Kubro telah mencium bau busuk dari arah barat itu
sejak sebelum berdatangan kapal-kapal perompak di lautan Nusantara. Tiga bencana besar
yang ia rasakan di lingkar dalam Kerajaan maupun yang datang dari benua jauh, yang disebut
‘Zaman Pencerahan’ — sudah ia rasakan sejak dini.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu”. [1] (Al-Hujurat: 6).
Pemuda Wali Kubro itu merasakan dengan hati yang berat betapa bangsanya sedang
mengalami apa yang difirmankan Allah tentang “jika datang kepadamu orang fasik”. Ternyata
ini sangat panjang. Tidak hanya urusan kapal perompak, senjata meriam, dan rempah-rempah.
Ternyata “membawa suatu berita” itu berisi taburan dan sebaran mesiu-mesiu racun yang
menggerogoti sejarah Nusantara.
Revolusi Materialisme
Zaman Pencerahan atau Abad Kecerahan yang dimaksud adalah kebangkitan berpikir. Terbitnya
matahari pemikiran, pencarian, eksplorasi, penemuan, dan kreativitas di bidang ilmu
pengetahuan.
Secara bertahap, dimulai pada abad 14 di Italia kemudian melebar ke seluruh Eropa, memuncak
pada abad 17, kemudian dibawa menyebar mewarnai dunia hingga abad 21 ini, mewujud jadi
prestasi dan produk-produk teknologi yang membuat kehidupan manusia semakin mobil, maju,
berkembang, dan bercahaya secara keduniaan.
Rintisan para penemu Muslim di berbagai bidang keperluan hidup, diambil alih
pertumbuhannya oleh bangsa-bangsa yang mengalahkan kekuatan Kaum Muslimin. Ibarat
kebun, para Sarjana Muslim menemukan benih-benih, kemudian mereka mengalami
kehancuran. Sehingga musuhnya yang kemudian menanamnya menjadi perkebunan peradaban
keduniawian.

167
Bahasa jelasnya, yang disebut Abad-abad Kecerahan adalah Revolusi Materialisme. Islam sejak
awal sangat menganjurkan dan memacu perkembangan fungsi akal, mendorong kemajuan
berpikir – tetapi tidak dengan kehebatan materialisme sebagai goal-nya. Tentu saja revolusi
materialisme adalah kecerahan bagi suatu pandangan yang menganggap dunia adalah satu-
satunya kehidupan. Tetapi dengan konsep Dunia-Akhirat, itu jebakan yang luar biasa.
“Adapun orang yang melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya”. [1] (An-Nazi’at: 37-39).
“Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak
memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat di akhirat”. [2] (Al-Insan: 27).
Pemuda Wali Kubro sangat mencemaskan bencana kedua itu.
Hilang Keasyikan, Sirna Kemesraan
Pemuda Wali Kubro dengan sejumlah sesepuhnya selama hampir seabad sangat sukses
mengajak masyarakat di Pulau Jawa dan Kepulauan Nusantara untuk memperjelas dengan
siapa-siapa di langit yang mereka berhubungan.
Sudah sejak satu millenium sebelumnya masyarakat itu memelihara keseimbangan kesadaran
antara bumi dengan langit, meskipun pengetahuan mereka tentang langit masih sangat
spekulatif. Sebab memang para penduduk bumi hanya bisa merasakan, menembus langit
dengan hati dan batinnya. Namun untuk mengetahui lebih persis dengan apa dan siapa saja
sebenarnya para penghuni langit yang mereka selama ini berhubungan – harus pihak langit itu
sendiri yang menginformasikan kepada mereka.
Setinggi-tinggi ilmu manusia, takkan sampai pada ‘ainul yaqin terhadap langit. Seluas-luas
pengetahuan manusia, takkan sanggup meneliti peta dan subjek-subjek langit. Dengan kata
lain, mereka memerlukan pemberitahuan dari Tuhan langsung untuk mengetahui, memahami,
dan mengerti segala hal tentang langit. Dan itulah yang sebenarnya disampaikan kepada
mereka oleh Pemuda Wali Kubro, yang dirintis sebelumnya oleh sejumlah Gurunya.
“Dialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu”. [1] (Al-Jin: 26).
Bahkan “tak seorangpun di langit dan bumi mengetahui perkara yang ghaib kecuali
Allah”. [2] (An-Naml: 65).  “Mereka hanya menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat yang
jauh”. [3] (Saba: 53).

168
Pemuda Wali Kubro merasakan dan seakan-akan sudah melihat ke depan: betapa keasyikan
masyarakatnya yang kini menjadi lebih terang benderang menyaksikan dan mengalami
keindahan di antara langit dan bumi – nanti pelan-pelan akan kehilangan keasyikan itu oleh
Revolusi Materialisme.
Mengkafiri Langit
Revolusi Materialisme berasal dari belahan dunia luar Nusantara di mana langit dikafiri. Tidak
sekedar matahari digerhanai oleh Bumi sehingga rembulan kehilangan fungsi. Apa maksudnya?
Hakikat dan fungsi langit ditutupi oleh supremasi bumi. Suatu pandangan hidup di mana bumi
adalah pangkal dan ujung kehidupan. Bumi adalah tempat kelahiran dan kematian. Bumi adalah
terminal awal dan tujuan akhir. Bayi lahir di permukaan bumi, kelak jenazahnya dikubur pula di
bumi: dan kehidupan selesai. Bukannya tidak dikenal sorga dan neraka, tetapi konsepnya tidak
jelas. Sorga dan neraka hanya batas cakrawala dari pengetahuan manusia, sehingga tidak
pernah menjadi substansi primer dari kehidupannya.
Bumi adalah wahana gebyar materialisme, jika puncak kenikmatan adalah sistem nilai materi.
Kemewahan di bumi tidak ada sekuku hitam dibanding kemewahan dan gemerlap kenikmatan
sorga, dengan syarat manusia meningkatkan kualitas rohaniahnya, software kejiwaannya. Atau
dengan kata lain, dengan syarat manusia menelusuri wujud sejati bahwa materialisme hanyalah
kulit luar dari semesta cahaya rohani yang kelak dihamparkan oleh sistem wujud sorga.
Tetapi konsep tentang sorga dan langit dipenggal. Ditutupi. Dan aplikasi pengkafiran langit itu
merambah hingga ke ranah apapun saja dari kehidupan manusia yang dipimpin oleh benua
kefasikan itu.
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arasy, dan meDzandukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar
hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan makhluk-Nya, menjelaskan tanda-tanda
kebesaran-Nya, supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”. [1] (Ar-Ro’d: 2).
Informasi semacam ini dibendung dari pengetahuan ummat manusia.
Memenggal Info Tuhan
Bumi sebagai pusat peradaban jagat raya hasil Abad Pencerahan alias Abad Penggelapan itu
menata pendidikan Sekolah, kebudayaan masyarakat dan peradaban secara keseluruhan,

169
terutama mesin politik globalnya – dengan meletakkan Tuhan dan langit hanya sebagai faktor
tersier yang berfungsi mitologis.
Di dalam jenjang-jenjang kependidikan, ditempuh disiplin dan metodologi yang tidak
memungkinkan Tuhan dan langit dibuktikan secara ilmiah dan akademis. Maka sesungguhnya
Tuhan dan langit tidak diakui eksistensinya secara ilmu, kecuali sebatas cakrawala dan mitos.
Dengan Bahasa lain, yang ditempuh oleh ummat manusia sejak abad 14 hingga 21 sekarang ini
adalah ilmu yang atheistik. Tuhan dan langit memang disebut-sebut, tetapi hanya menjadi
sertaan yang ilustratif dan parsial dari bangunan psikologi manusia. Tuhan tidak dipahami dan
diperlakukan sebagai Tuhan sendiri menginformasikan diri-Nya dan memerintahkan apa yang
seharusnya ditempuh oleh para makhluk-Nya.
Semua kepustakaan Kitab-Kitab suci diamputasi informasi mendasarnya. Mereka mengangkat
dan melantik sendiri tuhan-tuhanan, dan dipeluk sampai hari ini, dengan menghindari konsep
ketuhanan yang diinformasikan oleh Tuhan. Kitab-Kitab yang terdahulu dikubur, direvisi,
dipotong, diganti, sampai ribuan kali. Kitab terakhirnya Allah, Al-Qur`an, diupayakan sedemikian
rupa untuk ditidakkan dalam mekanisme apapun dalam kekuasaan global.
Pendidikan bayi dan kanak-kanak tidak dimulai dari “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang
menciptakan”. [1] (Al-’Alaq: 1). Padahal pelajaran paling dini kepada setiap anak adalah
membaca dan menulis. Sejak hari pertama kelas Sekolah, anak-anak digiring untuk menjauh
dari hidayah Allah. Membaca tidak dalam lingkup langit Tuhan, yang bumi hanya menjadi
bagian sangat kecil darinya.
Detauhidisasi
Itulah yang disebut bencana kedua oleh Pemuda Wali Kubro. Pertama kehancuran Kerajaan
besar oleh metabolisme alam. Kedua datangnya para perompak dari benua lain, yang tujuannya
tidak sekadar menjambret harta benda kekayaan alam Nusantara. Tetapi juga menjajah
manusianya, menguasai politiknya, mengebiri keperwiraan prajuritnya, mengikis harga diri
kebangsaannya. Sehingga tersedia segala persyaratan untuk memutus hubungan langit-bumi
yang sudah berabad-abad menjadi karakter utama peradaban Nusantara.
Semua proses kolonisasi dan imperialisasi yang dirintis sejak abad 14 itu adalah mobilisasi de-
Tauhid-isasi. Maka yang harus dipenggal dari sejarah dunia tidak hanya Kitab-kitab Suci dan
Agama yang dibawa, dijunjung dan disebarkan ke seantero Nusantara oleh Pemuda Wali Kubro

170
sejak para Sesepuh yang ia berguru kepada mereka. Seluruh sistem kepercayaan ummat
manusia di belahan bumi timur sejak jauh sebelum masehi, dilunturkan, digerogoti, dikikis,
dikubur dan dilenyapkan.
Pemuda Wali Kubro menyadari sejak dini bahwa masyarakat yang diasuhnya menanggung tiga
macam beban, menghadapi tiga macam tantangan penghancuran. Ialah masyarakatnya sebagai
penempuh Tauhid, masyarakatnya sebagai warga Nusantara yang kaya raya, serta
masyarakatnya sebagai manusia Jawa. Sejarah global dunia menyembunyikan kebesaran
peradaban Nusantara dan kemesraan bumi-langit manusia Jawa. Mereka tidak diakui oleh
dunia, dan kelak, atau sekarang ini: bahkan terseret untuk juga tidak mengakui dan tidak
mempercayai dirinya sendiri.
Pemuda Wali Kubro gemetar badannya. Jangan-jangan telah tiba yang Allah firmankan bagi
bangsanya: “Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada
baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan”. [1] (Al-Hijr: 4). Rasanya ia membutuhkan hidup
sepuluh kali lipat dari rangsum usianya untuk menahan laju penghancuran itu. Tetapi itu
membuatnya lebih bergolak jiwanya.
Seratus Orang Sekian Generasi
Bagi Pemuda Wali Kubro, “Sirno Ilang Kertaning Bhumi” bukan sekedar menandai waktu atau
tahun 1400. Juga bukan sekedar kehancuran Kerajaan Besar yang ia pandu bertransformasi ke
arah barat utara sebagai perwujudan hijrah Negara dan peradaban. Pemuda Wali itu diam-diam
merasa ngeri kalimat itu sebenarnya menggambarkan kehancuran Nusantara secara
keseluruhan.
Ia telah mencoba menyusun program-program Bedhol Negoro, tranformasi sosial, hijrah
teritorial dengan kesadaran penyelamatan kepercayaan dan pembangunan nilai-nilai ke masa
depan. Ia telah menyembunyikan sejarah “dua tahun kosong” untuk menyelamatkan berbagai
kekayaan Nusantara, khususnya Kerajaan Besar itu, hardware maupun software-nya.
Ia telah menyusun jejak-jejak rahasia. Kode-kode untuk para pelacak sejarah di abad-abad yang
akan datang. Ia telah mencoba mengatur peralihan dan pembagian tanggungjawab
pemerintahan dari tahap ke tahap. Ia menyelamatkan semuanya yang keputusannya berbeda
bahkan bertentangan. Semua diakomodasi dan difasilitasi sesuai dengan cabang-cabang Delta
Sejarah yang terjadi.

171
Dengan kerja ekstra keras Pemuda Wali itu dengan semua sahabat dan lingkaran pejuang di
sekitarnya, atas bimbingan para Sesepuh, telah dengan sungguh-sungguh, siang malam,
pontang-panting ke sana kemari, berloncatan dari wilayah menyeberang wilayah lain – demi
melaksanakan anjuran Allah:
“Dan sesungguhnya Tuhanmu pelindung bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita
cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-
benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [1] (An-Nahl: 110).
Untuk ukuran manusia biasa yang bukan Nabi, dan ia sendiri tidak melihat dirinya adalah Wali
— meskipun apa yang dilakukan oleh Pemuda itu, mungkin hanya bisa dibandingkan dengan
perjuangan seratus orang dalam beberapa generasi.
Disembunyikan, Disamarkan, Di-Jahr-kan
Andaikan tak terjadi bencana pertama yang menghancurkan perekonomian Kerajaan Besar,
tetap saja sangat nyata ancaman dari bencana kedua dan ketiga. Bencana kedua merupakan
semacam wabah yang mungkin tak bisa disembuhkan oleh satu millenium berlangsungnya
sejarah. Tetapi andaikan bencana ketiga bisa ditekan, mungkin tidak separah itu keadaan
bangsa Nusantara.
Maka ia melakukan berbagai macam modus hijrah. Menutup informasi dua tahun penuh.
Selama vacuum itu ia menata segala sesuatunya: ada yang harus disembunyikan, ada yang
harus disamarkan, ada yang tetap di-jahr-kan namun dengan kamuflase kode-kode. Belum
tujuh abad lagi para pekerja sejarah dan ahli-ahli masa silam bisa membaca rahasia-rahasia itu.
Tanah Jawa masih luas. Tanah Nusantara bisa dikatakan semacam janda yang masih subur, yang
tetap bisa ditanami dan berbuah. Maka Pemuda Wali melakukan penyebaran Ksatria ke sangat
banyak wilayah-wilayah. Kader-kader yang tersisa dari Kerajaan Besar ia sebar, dengan harapan
akan menjadi perawat nilai, penjaga kemanusiaan, peramu kemasyarakatan. Agar lebih
memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana ketiga.
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya sebelum
sampai ke tempat yang dituju, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [1] (An-Nisa: 100).

172
Pemuda Wali Kubro mengerti bahwa ia punya tak cukup waktu dalam hidupnya, meskipun
kelak orang tahu usianya jauh melebihi panjangnya hidup rata-rata manusia. Tetapi itu tetap
tak cukup, meskipun tak henti ia menanam benih.
Peristiwa Kahfi kah atau Bukan
Hanya sejauh itu yang Seger dan teman-temannya sempat dan pernah mendengar dari Mbah
Dzan melalui Pakde dan Paklik mereka. Masih sangat banyak sisi dan detail yang mereka
bayangkan, tetapi tidak mereka peroleh kejelasannya. Mungkin ada sejumlah hal lain yang
tercecer-cecer atau terpenggal-penggal.
Seger memang bagian mendata, mencatat, dan mendokumentasi semua yang mereka serap
dari keluarga atau komunitas aneh itu. Mereka lebih banyak menyerap dari Pakde Paklik
dibanding memberikan informasi tentang diri mereka. Itupun yang mereka serap sebatas hal-
hal yang menyangkut dasar pengetahuan yang mereka pilih, dengan ilmu atau cara pandang
yang pelan-pelan mereka rumuskan dari murid-murid Mbah Dzan.
Tiga bencana besar itu, yakni ketidaksiapan terhadap rute kejadian alam dalam skala besar,
kemudian datangnya “bau busuk” dari Barat, serta pertengkaran dan perebutan kekuasaan
yang tak henti-hentinya di lingkaran-lingkaran keluarga pemimpin di Tanah Jawa — dicatat oleh
Seger sebagai fakta utama sejarah yang puncaknya justru berlangsung sekarang ini.
Dimulai sejak tujuh abad yang lalu, sampai di puncaknya tujuh abad kemudian. Kehancuran itu
berupa tidak berdaulatnya lagi manusia Tanah Jawa atas kekayaan alam tanahnya, bahkan se-
Nusantara. Terkikisnya harga diri dan martabat kebangsaan mereka, hancurnya kepercayaan
diri, berubahnya karakter dan kebudayaan mereka. Khusus tentang Islam, para pemeluknya,
yang jumlahnya sesungguhnya tetap mayoritas: membawa Islam memasuki Gua Sejarah.
Dan mereka memperdebatkan apakah yang dialami oleh penduduk Tanah Jawa dan Nusantara
itu pertiswa semacam Ashabul Kahfi di Guanya atau bukan. Kalau melihat “Maka Kami tutup
telinga mereka bertahun-tahun dalam gua itu”. [1] (Al-Kahfi: 11), masyarakat kita ini memang
tuli”, kata Jitul.
Ahlul Gua Sirna
Tetapi kalau menurut Allah “Kami kisahkan kepadamu Muhammad cerita ini dengan benar.
Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami
tambah pula untuk mereka petunjuk”. [1] (Al-Kahfi: 13), Jitul tidak bisa menjamin

173
pengetahuannya bahwa Kaum Muslimin sekarang ini adalah sebagaimana yang Allah kisahkan
kepada Baginda Nabi.
Yakni beriman kepada Allah dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Tentu saja fakta batin
demikian tidak bisa diobjektivisasikan di antara manusia. Berbeda dengan kalau Tuhan sendiri
menyatakannya langsung di firman-Nya. Kasus seperti ini kembali kepada masing-masing
manusia. Kecuali ada kerendah-hatian kolektif untuk mempersepsikan keadaan umum di
kalangan Kaum Muslimin, kemudian menyepakati semacam pengakuan bersama bahwa rata-
rata kita ini belum memenuhi syarat untuk disebut Kaum Beriman.
Beriman atau tak beriman, mendapat hidayah atau tidak, manusia hanya bisa bersentuhan
dengan indikator-indikator eksplisitnya, itupun masih sangat bisa diperdebatkan, karena
kemungkinannya tak terbatas dan berlipat-lipat. Manusia tidak mungkin menyimpulkannya di
antara mereka, sejauh-jauhnya hanya masing-masing orang membaca kedalaman batin masing-
masing, dicerminkan pada apa yang ia alami secara individu, sosial dan budaya.
“Akan tetapi menurut saya jelas”, kata Jitul.
“Apanya yang jelas…”, Junit bertanya.
Jitul tersenyum. “Ndak apa-apa ini saya omongkan pandangan saya?”
“Lho, semua yang saya catat beberapa tahun ini kan memang parade pandangan-pandangan.
Kok masih tanya…”
“Ya Ger. Tapi catat saja. Jangan sampai didengar oleh para penghuni Gua yang sudah tujuh
abad tidak keluar-keluar. Sejak dua tahun kosong menjelang abad 14, Sirna Ilang Kertaning
Bhumi, para Ahlul Gua Sirna itu tak bangun-bangun…”.
Apa Malaikat Tahu
Belum ditafsirkan kenapa Ashabul Kahfi dibangunkan kembali oleh para Malaikat atas perintah
Allah sesudah 309 tahun.
“Andaikan saya tahu Malaikat siapa yang ditugasi Allah membangunkan mereka”, kata Toling,
“Saya akan memberanikan diri bertanya, kenapa 309 tahun, kenapa tidak 310, 307 atau 300
tahun saja, atau sekalian 350 tahun”
“Apakah kita yakin para Malaikat tahu apa konsep Allah tentang 309 tahun?”
“Makanya saya pengin tanya”, jawab Toling, “kalau beliau-beliau tidak tahu kan kita jadi tahu
bahwa beliau tidak tahu”

174
“Atau mungkin tahu tapi Allah melarangnya untuk memberitahumu”, Junit menyahut.
Seger tertawa. “Seperti Kitab Lauhul Mahfudh, apakah semua Malaikat sudah khatam
membacanya? Apakah Allah memperkenankan mereka untuk membacanya? Kalau melihat
kasus Malaikat menawarkan kepada Nabi Ibrahim tatkala dibakar oleh Firaun: akan meluapkan
air laut, alias bikin tsunami. Atau Malaikat menawarkan kepada Rasulullah di Perang Uhud
untuk mengangkat gunung dan menimpakannya ke pasukan kafir. Logikanya para Malaikat
belum membaca Lauhul Mahfudh…”
“Belum tentu”, Seger menyela, “Bisa saja Malaikat sudah tahu teks skenario di bab tertentu
Lauhul Mahfudh yang scene Perang Uhud: beliau menawari mengangkat gunung, justru untuk
menjalankan skrip yang sudah ditulis, meskipun beliau tahu Baginda Muhammad akan
menolaknya”
“Ya”, kata Junit, “Allah tidak menginformasikan apa saja yang para Malaikat tahu dan tidak
tahu. Al-Qur`an memang buat manusia, bukan untuk Malaikat:
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya…” [1] (Al-A’raf: 188).
Bukan Ditidurkan oleh Allah
Jitul berpendapat melalui pertanyaan: “Apakah kita semua Kaum Muslimin Nusantara, alias
para Ahlul Gua Sirna sekalian, yang kalau shalat Jumat berjamaah selalu disebut oleh Khotibnya
sebagai Kaum Muslimin yang berbahagia dan dirahmati Allah ini – sejak abad 14 dibikin ngantuk
oleh Allah, kemudian secara bertahap menjadi tertidur pada abad-abad berikutnya, lantas
mengigau pada 1945 sampai sekarang – ataukah itu ngantuk-ngantuk kita sendiri, kelalaian kita
sendiri, ketidakwaspadaan kita sendiri, ketidak-berpijakan sejarah kita sendiri?”
“Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Tuhan
kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia,
sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari
kebenaran“. [1] (Al-Kahfi: 14).
Jitul tertawa. “Betapa jauh bedanya”, katanya, “Ashabul Kahfi diteguhkan hatinya oleh Allah,
Ashabul Gua Sirna roboh ambruk hatinya oleh badai sejarah, terutama. Yang satu ‘Tuhan kami
adalah Tuhan seluruh langit dan bumi. Lainnya ‘Tuhan kami adalah Tuhannya orang Islam,

175
Tuhannya Madzhab, Tuhannya aliran dan Ormas. Yang satu Islamnya adalah syariat seluruh
sistem jagat raya. Lainnya Islamnya adalah jumlah Rukun Iman dan Rukun Islam…”
“Waduh Jitul dapat makanan empuk…”, celetuk Junit.
Jitul terus nyerocos dengan senyum-senyum. “Yang satu tidak menyeru Tuhan selain Allah.
Lainnya menyeru tuhan uang, tuhan Pemerintah, tuhan Presiden, tuhan Kapitalisme,
Globalisasi, hedonisme, harta benda, jabatan dan pangkat sosial…”
“Bahkan bukan sekadar menyeru”, Toling memotong, “tapi juga melet-melet, menjulur-julurkan
lidah, ndusel-ndusel ke penguasa, mengemis, merajuk-rajuk…”
“Aduh kasar kamu Ling”, kata Junit.
“Mending kasar tapi nyata, dari pada pengemis berpakaian priyayi, preman berpakaian
Ulama…”, Toling menjawab.
Berpeganglah Pada Ikat Pinggang Qorun
Sebenarnya anak-anak muda itu semua sepakat bahwa Ashabul Kahfi menyembunyikan diri di
Gua karena tidak mau terlibat di dalam sistem kekufuran dan kedhaliman. Sementara
masyarakat Ahlul Gua Sirna justru berlomba mendekati penguasa politik dan pemilik modal
mayoritas.
Semua golongan di dalam Ummat Ahlul Gua Sirna berkompetisi untuk semoga diikutkan
berkuasa, sehingga mudah-mudahan ikut kecipratan uang dan harta benda. Suatu golongan
bahkan tega membunuh eksistensi golongan sesama Ahlul Gua Sirna demi memastikan
perolehan kekuasaan, proyek-proyek, program-program dengan dana besar. Dana kecil pun oke
asal dapat.
Calon penguasa yang baik adalah yang memberi uang kepada mereka. Tingkat kebaikan pejabat
di mata Ahlul Gua Sirna berbanding sama dengan banyaknya uang yang diberikan kepada
mereka. Terdapat banyak bangunan-bangunan dalam lingkup Ahlul Gua Sirna, bagian atasnya
sangat sibuk menawarkan kompromi dan kolaborasi dengan penguasa dan gudang-gudang
uang. Bagian bawahnya tidak mengerti apa-apa, hanya dipakai pijakan pundak dan kepalanya
oleh pimpinan-pimpinan mereka.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu di masa Jahiliyah dulu bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang

176
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk”. [1] (Ali ‘Imran: 103).
Jitul tertawa lagi. “Berpeganglah pada ikat pinggang Qorun, tak apa bercerai-berai di antara
kalian. Ingatlah nikmat pasokan dana untuk program-program yang berpakaian Islam.
Bermusuh-musuhanlah dan jangan bersaudara. Berduyun-duyunlah mendekat ke jurang
neraka…”.
Kebudayaan Yalid Peradaban Yulad
Toling mengusulkan: “Yang sebaiknya menjadi fokus kita sekarang menurut saya bukan
memahami dan menggambar dunia dan kehidupan dunia, melainkan menabung dan
memaksimalkan silaturahmi kita dengan Al-Qur`an saja. Untuk persiapan pertanggungjawaban
kita kepada Allah, juga syukur-syukur bermanfaat bagi anak-anak dan cucu-cucu kita kelak serta
siapapun saja sekarang yang segelombang di sekitar kita…”
Seger menanggapi: “Seingat saya itu memang niat dan motivasi kita sejak awal kita sowan
kepada Pakde Paklik”
“Tetapi di tengah proses kita selalu menemukan landasan-landasan baru kenapa pilihan itu kita
ambil”, kata Jitul.
“Mungkin Toling punya landasan yang lebih baru lagi untuk itu”, Junit menyahut, “Silakan Ling”
Toling tertawa. “Sebenarnya tidak ada yang baru”, katanya, “tetapi mungkin cara saya
merasakannya yang tidak seperti dulu. Atau saya mendapatkan rasa baru dari sesuatu yang
tidak baru, yang sudah sejak dulu-dulu menjadi fakta utama dari kehidupan ummat manusia di
dunia. Minimal sudah sekitar dua milenium selama ini manusia berada dalam keadaan yang
memang tidak bisa diandalkan…”
“Belum jelas, Ling”, Seger menyela.
“Maksud saya, kebanyakan manusia di bumi ini sejak berabad-abad silam sampai sekarang
memegang suatu jenis pemahaman ilmu yang lucu. Itu membuat iman mereka juga lucu,
kepercayaan mereka juga lucu, kemudian seluruh aplikasi cara hidupnya, kebudayaannya,
kehidupan bernegaranya dan apa saja juga lucu”

177
Toling merujuk ke firman: “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu,
begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut
mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” [1] (Al-Kahfi: 5)
Kemudian disebutnya juga Surat Al-Ikhlas: “Lam yalid wa lam yulad“.
“Apa yang bisa kita harapkan dari miliaran manusia di muka bumi yang bisa meyakini bahwa
Tuhan itu bisa dilihat, bisa digambar, dipatungkan, bisa dibunuh, bisa mengalami apapun saja
yang dialami oleh makhluk-makhluk”, Toling menjelaskan lebih lanjut, “apa manfaatnya kita
menghabiskan waktu dan energi hidup untuk berdialektika dengan alam pikiran masyarakat
manusia yang tidak memiliki ketetapan paham dan pengertian tentang beda antara makhluk
dengan Khaliq. Kalau salah penempatan diri di tengah Kebudayaan Yalid dan Peradaban Yulad
— masa depan kita mungkin adalah mati lucu dan ngenes…”.
Tajdid Bèbèk
“Jadi apa sebenarnya maksudmu dan maumu, Toling?”, tiba-tiba Pakde Brakodin terdengar
suaranya.
Beliau-beliau para orang tua mendengarkan dengan seksama semua ungkapan para
keponakannya. Wajah mereka terkadang tampak bangga. Di saat lain seperti cemas. Atau
bertanya-tanya.
“Saya belum mengerti maksud pertanyaan Pakde…”, kata Toling.
“Mungkin maksud Toling begini, Pakde”, Seger mencoba membantu temannya, “Seluruh
kehidupan di muka bumi ini yang kita kenal, sepanjang kita hidup, dari kecil hingga tua seperti
Pakde Paklik ini, sepanjang wacana sejarah tentang pemikiran manusia yang pernah ada: isi
utamanya adalah meniru. Membebek. Mengikuti apa yang sudah terlanjur ada tanpa
pertahanan akal dan kemandirian sikap. Sampai peradaban yang katanya pasca-modern inipun
sebenarnya mayoritas manusia adalah Muqallidin. Anut grubyug. Ubyang-ubyung. Banyak
sesumbar tentang orisinalitas, otentisitas, kreativitas, inovasi, tajdid, pembaruan dan macam-
macam lagi. Tapi fakta mainstream-nya para penghuni bumi peradaban modern ini juga
hanyalah pembebek-pembebek…”
“Kami rajin datang ke rumah Pakde dan bertemu dengan para Sesepuh semua, karena kami
tidak ingin menjadi edisi berikut dari sejarah Muqallidin dari zaman ke zaman, dari era ke era”,
Jitul menambahkan.

178
Kemudian Junit mengutip mengutip kisah dari firman Allah: “Mereka berkata: ‘Apakah kamu
datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami
mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak
akan mempercayai kamu berdua’. [1] (Yunus: 78). Di era modern ini semua merasa bukan
pembebek nenek moyang. Tetapi faktanya sampai sekarang sebenarnya hanyalah perpindahan
dari bebek lama ke bebek yang baru. Tetap bebek juga dari zaman ke zaman. Tajdid Bebek”.
Terpeleset di Jalan Allah
“Memang begitulah aslinya sikap pikiran dan pilihan hidup hampir semua komunitas manusia.
Ayat itu menggambarkan seolah-olah merupakan penolakan terhadap perubahan dan
pembaruan. Lantas orang yang membaca firman itu merasa dirinya adalah pembaru, berjiwa
luas dan berpikiran terbuka. Tetapi fakta di setiap kurun sejarah adalah sebagaimana yang
diungkapkan oleh ayat itu”, Seger memberi garis bawah pada pernyataan Toling maupun Junit.
Jitul pun menambahkan, dengan agak tertawa: “Sejak kecil saya dididik di Surau dan Sekolah
untuk tidak menjadi manusia penyembah Latta dan Uzza. Tapi semakin lama semakin saya
rasakan ada dua gejala yang samar tapi semakin nyata dan terang bagi saya…”
“Apa itu”, Pakde Sundusin nimbrung.
Jitul menjawab. “Pertama, ketika Pak Ustadz atau Pak Guru menyampaikan larangan untuk
menyembah berhala, ternyata sadar atau tak sadar dia membawa kepada saya Latta dan Uzza
yang baru. Jangan sembah yang itu, sembah yang ini saja. Tapi kalau didalami, kedua-duanya
bukan Allah. Dan kedua, sebenarnya Pak Ustadz dan Pak Guru itu tanpa sadar menghadirkan
dirinya sebagai Latta dan Uzza”
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat
dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki
kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-
Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan”. [1] (Al-‘Ankabut: 17).
Jitul masih terus bicara dengan setengah tertawa. “Sebenarnya sudah lumayan orang
menjalankan Agama, bertauhid, beribadah. Cuma banyak yang terpeleset di jalan Allah itu.
Maksudnya menyembah Allah, terpeleset menyembah Agama, menyembah Islam, menyembah
Al-Qur`an, menyembah shalat, menyembah pemahaman mereka sendiri. Itu semua berhala
yang malah lebih berbahaya”.

179
Permakluman Kepada Muqallidin
Pakde Sundusin menyambung tertawa Jitul dengan nada yang lebih tinggi dan lebih panjang.
Anak-anak itu agak kaget juga.
“Kalian pasti tidak berpikir bahwa kami orang-orang tua ini tidak mengetahui dan belum pernah
menyadari apa yang tadi kalian jlentereh–kan panjang lebar…”
“Bukan begitu maksud kami, Pakde”, Junit segera membenahi kesan itu.
Pakde Brakodin memotong, karena merasakan sesuatu yang bisa tidak enak kelanjutannya.
“Justru itu yang tadi Pakde tanyakan kepada Toling. Kita semua sama-sama sudah mengetahui
itu semua, lantas mau apa…”
“Mau apa bagaimana, Pakde?”, Toling balik bertanya.
“Apa sikap dan keputusan kalian sesudah menyadari tradisi taqlid masyarakat dunia dari zaman
ke zaman itu. Apakah kalian akan pindah ke Planet Mars atau tempat lain di jagat raya yang
amat luas ini?”
Junit yang menjawab dengan tenang. “Yang jelas teman-teman ini, juga saya, merasa tidak
mungkin menjalani hidup ini sampai tua nanti hanya untuk tiap hari memberikan permakluman
terus menerus kepada Muqallidin, kepada rutinitas pembebekan para pembebek…”
“Contohnya Indonesia, dan hampir semua Negara di dunia”, Toling memotong, karena merasa
dia yang awal mula menjadi sumber topik ini. Ia mengutip firman “Dan apabila dikatakan
kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah’. Mereka menjawab: “Tidak, tapi kami
hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah
mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam
siksa api yang menyala-nyala neraka”. [1] (Luqman: 21).
“Bahkan Indonesia lebih parah”, lanjut Toling, “Indonesia mengingkari nenek moyang mereka
sendiri, kemudian mengambil Bapak Angkat dari luar Negeri, entah Barat entah Utara, untuk
dijadikan Latta dan Uzza, dan mereka membebek…”
Bersemayam di Negeri Al-Qur`an
“Lha ya”, Pakde Brakodin mengejar, “apakah karena itu maka kalian akan pergi meninggalkan
Indonesia, bahkan pergi dari dunia, mencari tempat tinggal lain di angkasa luar?”

180
Junit mencoba tetap tenang. “Kami belum sampai ke tahap itu, Pakde. Kami hanya
mengungkapkan bahwa kami mungkin tidak sanggup meneruskan budaya permakluman tanpa
batas dan tanpa henti terhadap budaya taqlid bebek anut grubyug itu…”
Seger menambahkan dengan mengutip firman: “Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada
diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [1] (Al-
Anfal: 53). Kami takut kehilangan kenikmatan, Pakde”
“Kehilangan kenikmatan bagaimana?”, tanya Pakde Brakodin.
Toling yang menjawab. “Kami ini jumlahnya hanya beberapa biji. Tidak punya daya apapun
untuk melakukan perubahan di lingkungan kami. Jangankan Indonesia yang terlalu besar dan
terlalu luas serta terlalu ruwet ini. Maka sebagai kaum yang kecil dan sangat minimal
jumlahnya, sekurang-kurangnya kami sendiri jangan sampai kehilangan nikmat dari Allah. Maka
sebisa mungkin kamu melakukan perubahan-perubahan atas diri kami sendiri…”
“Perubahan bagaimana, ke mana dan dengan cara apa?”
Junit menarik napas panjang. Kemudian menjawab pelan. “Kami bekerja keras tiap hari mencari
nafkah semampu-mampu kami. Sekedar supaya tidak kelaparan dan mengupayakan punya
tempat berteduh. Wala tansa nashibaka minad-dunya. Sekedar supaya tidak mati kelaparan di
dunia. Tetapi hati, pikiran dan jiwa kami kalau bisa bertempat tinggal di Negeri Al-Qur`an…”.
Apa Qur`an Punya Mbahmu
“Anak-anakku sekalian, mana yang lebih utama bagi kalian: mempelajari Al-Qur`an ataukah
mempelajari tafsir-tafsir Al-Qur`an?”, Pakde Tarmihim bertanya kepada Junit, Jitul, Toling, dan
Seger. Itu merupakan tanggapan beliau terhadap ide Junit tentang bersemayam di Negeri Al-
Qur`an.
Pakde Tarmihim membombardir mereka: “Kalau memfokuskan diri pada penikmatan atas Al-
Qur`an, apakah kalian akan atau ingin menjadi Mufasir? Apakah kalian sudah siap kalau orang-
orang atau teman-temanmu sendiri menanggapi dengan sinis dan meremehkan: ‘Lho memang
siapa kalian? Punya bekal apa kok mau menafsirkan Al-Qur`an? Apa kalian punya latar belakang
pendidikan untuk memenuhi syarat menafsirkan Qur`an?”

181
Pakde Sundusin bahkan menambahkan: “Nanti mereka bilang kepada kalian: Memangnya
Qur`an itu punya Mbahmu!”
Toling malah tertawa. “Saya akan jawab, Pakde: Memang Qur`an bukan milik Mbahku, tapi itu
mending daripada Mbahmu tidak punya Qur`an”
Kemudian Junit menjawab serius: “Jangankan menjadi Mufasir, Pakde, kami bahkan tidak ingin
menjadi apapun dalam hidup. Kami belajar dari Pakde Paklik bukan bagaimana menjadi apa
atau siapa, melainkan sekedar memastikan berbuat yang Tuhan setuju”
“Seandainya pun Bersemayam di Negeri Al-Qur`an itu maksudnya adalah tiap hari membaca,
menelaah, mendalami dan menikmati Al-Qur`an, tidak berarti yang kami lakukan adalah
sebagaimana orang-orang pandai melakukan. Tidak berarti yang kali lakukan adalah analisis
intelektual atas Al-Qur`an. Yang kami lakukan bukan pekerjaan ilmiah…”
Seger menegaskan: “Ini soal kecerahan hati saja, Pakde. ‘Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?’. [1] (Muhammad: 24). Kami harus
memastikan hidup tidak dengan hati terkunci.
Bahan Baru untuk Bertengkar
“Tetapi kalau yang lebih primer bagi kalian adalah terlebih dulu mengetahui peta tafsir atas Al-
Qur`an, apakah kalian cukup lapang dan bijaksana untuk menyaksikan bagaimana peta budaya
dan mental Ummat Islam yang dibangun dan diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan tafsir?”,
kejar Pakde Tarmihim.
Beliau mengutip: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi
keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu”. [1] (Yunus: 19).
Kalau yang dilakukan adalah Tafsir atas Al-Qur`an, yang maksudnya adalah “memahami Kitab
Allah, menerangkan maknanya, menyingkap hukum dan hikmahnya”, atau “menyingkap
maksud yang diinginkan Allah”—meskipun sejak awal secara sangat sadar dibatasi dengan
pernyataan “sebatas kemampuan manusia”—maka produknya bisa sangat mengkhawatirkan,
karena sangat potensial untuk menjauhkan Kaum Muslimin dari hakiki dihadirkannya Islam oleh
Allah.
Umpamanya, dari Kitab yang diawali “Iqra`”, satu kata itu saja—lahirlah pemahaman-
pemahaman yang bermacam-macam, berbeda-beda, bahkan tidak mustahil bertentangan satu

182
sama lain. Seribu Mufassir berhak memunculkan seribu pemahaman. Tatkala setiap
pemahaman itu dipercaya, dianut, dan diikuti oleh sejumlah Kaum Muslimin, maka mereka
akan terpilah menjadi kumpulan-kumpulan sebanyak jumlah Mufassir.
“Sekarang ini bahkan ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu, seperti yang disebut di firman
itu, malah justru menjadi sumber baru untuk saling menegaskan perbedaan, merayakan
ketidaksamaan, bahkan menikmati permusuhan. Dulu orang bertengkar karena belum ada
rujukan baku dari Tuhan. Sesudah Tuhan memberi firman-firman untuk rujukan, bukan
membuat manusia bersatu dan tenang. Melainkan malah menemukan alat baru untuk
membangun pertengkaran”.
Ancaman Batuk dan Wahing
Seger menjelaskan: “Apa yang kami pelajari, semua yang saya catat dari proses kami di sini, tak
seorangpun tahu. Kami bukan hanya tahu bahwa kehadiran kami di manapun jangan sampai
menimbulkan masalah”
“Kami bukan hanya mengerti bahwa kami jangan sampai melakukan apapun yang bisa
membuat kemudaratan sosial. Bahkan kebaikan dan kebenaran pun kami siap menyimpannya
di hati dan pikiran, kalau memang itu diperlukan untuk memelihara kemashlahatan dengan
lingkungan manusia di mana kami berada”, Jitul ikut berusaha meyakinkan Pakde Tarmihim.
Toling tak mau kalah. “Andaikan berdehem, batuk atau wahing kami bisa menyebabkan
ancaman bagi lingkungan, menyebabkan destruksi sosial, merusak situasi pergaulan
masyarakat, maka kami siap untuk menahan diri tidak berdehem, tidak batuk, apalagi
wahing…”
“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat”. [1] (Adz-Dzariyat: 8).
“Kami belajar kepada Pakde Paklik karena kami mengalami bahwa perbedaan pendapat dalam
masyarakat dan kehidupan manusia adalah bagian yang hakiki dari keterciptaan manusia oleh
Tuhan”, Junit menambahkan, “Andaikan ada kepemimpinan di kalangan masyarakat yang
mendidikkan kedewasaan dalam perbedaan serta kebijaksanaan dalam ketidaksamaan, tentu
kami tidak terseret untuk belajar kepada para Sesepuh di sini”
Juga Seger. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu
dan tidak senantiasa berselisih pendapat”. [2] (Hud: 118). “Yang kami bisa lakukan mungkin
bukan berjuang mempersatukan manusia, melainkan mengupayakan perilaku dan sikap kami

183
semua menuju kemungkinan di mana Allah berkenan menjadikan kita semua ummat yang satu.
Kalaupun itu tidak berhasil, kami diperkenankan menjadi bagian dari “Kecuali orang-orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu”. [3] (Hud: 119). ***
Komplikasi Ekstrem “Ashlihu”
Seger meDzanjukkan dan menerangkan catatan-catatan diskusi di antara anak-anak muda itu.
Ketika akhirnya golongan-golongan itu menandai dirinya sebagai identitas, madzhab atau aliran,
kemudian memberinya nama yang berbeda-beda, menjadikannya institusi, dengan pelaksanaan
ibadat dan perilaku keIslaman yang juga berbeda-beda–maka kenyataan hasil tafsir ini bisa
menjadi kontra-produktif terhadap pernyataan Allah bahwa Ummat Islam adalah “ummatan
wahidatan”.
Kemudian pada saat beda-beda tafsir itu mau tidak mau harus diaplikasikan ke berbagai
lapangan sosial, kebudayaan, bahkan politik, dengan mau tak mau harus menyertakan
risiko maintenance, keuangan, gedung, organisasi, keberpihakan terhadap satuan-satuan yang
lebih luas misalnya pada urusan-urusan Kerajaan atau Negara–maka tidak bisa dihindarkan
kemungkinan permusuhan di antara golongan-golongan itu.
Misalnya kita terapkan firman Allah: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil”. [1] (Al-Hujurat: 9).
Ketidakbersatuan Kaum Muslimin saat ini mungkin ribuan kali ruwet dan komplikasinya. Ragam
tema pertentangannya sudah membuat siapapun kewalahan untuk mengindentifikasinya,
mendata dan merumuskannya. Tingkatnya, kadarnya, jenisnya, labirin tematiknya, dari yang
besar dan berskala dunia, hingga yang sangat kecil, remeh dan memalukan. Metoda “ashlihu”
berhadapan dengan komplikasi ekstrem, sehingga tak terbayangkan aplikasinya.
Mismanagement Dunia-Akhirat
Tidak bisa dibendung kenyataan persaingan, keperluan untuk saling membenci dan menidakkan
lainnya, sampai tingkat khilafiyah kecil dan lokal, maupun pertengkaran dan peperangan besar.

184
Contoh-contohnya sangat banyak, berlimpah-limpah, bahkan berlebihan, dan tidak perlu
dituturkan bagi setiap manusia dan Muslim yang memiliki ilmu pengetahuan dan kejujuran hati.
Multipolar pertentangan antar kalangan-kalangan Kaum Muslimin sendiri tidak semata-mata
berangkat dari ragam tafsir. Tetapi terdapat tambahan dimensi dari luar kasus tafsir itu sendiri.
Ada kepentingan politik dan ekonomi, koalisi-koalisi kepentingan dalam skop global yang tidak
lagi memakai garis demarkasi antara Ummat Islam dan Ummat non-Islam. Melainkan
bercampur aduk, silang sengkarut dan terdapat belahan-belahan yang sering di luar konteks
tafsir itu sendiri.
Perbedaan madzhab bisa gugur demi kesamaan kepentingan geopolitik. Pertentangan aliran
bisa batal demi kesamaan kepentingan geoekonomi. Dan perselisihan tafsir bisa
dikompromikan demi kepentingan keduniawian yang rendah derajatnya. Sesungguhnya,
sesudah berabad-abad sejarah Tafsir yang cemerlang, kurun-kurun ilmu Islam yang dicapai oleh
para Sarjana, Ulama dan pelaku-pelaku Islam yang dahsyat – produk mainstream-nya hari ini
adalah mismanagement dalam mengalkulasikan keuntungan dunia dan keuntungan akhirat.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. [1] (Asy-
Syura: 20).
Mungkin karena tindakan Tafsir terjebak pada kecenderungan untuk menghasilkan kehebatan
ilmu dan kepandaian hidup. Berbeda dengan Tadabbur yang mengikat pelakunya pada
“kesudahan urusannya”, atau “apa dan bagaimana yang keluar dari duburnya” yang
berefektivitas akhirat.
Oligarki Keagamaan
Allah menggambarkan Tadabbur tidak dilakukan oleh orang yang “terkunci hatinya”. Berarti,
sementara Tafsir hanya berkutat pada pemahaman pemaknaan, Tadabbur adalah proses yang
sangat berdimensi moral dan spiritual, lebih dari sekedar intelektual. Tadabbur
mempersyaratkan bahwa kesudahannya adalah lebih berkecenderungan terhadap Allah.
Misalnya menjadi lebih dekat, lebih beriman, meningkat akhlaqul-karimahnya, lebih baik
hidupnya, lebih saleh perilakunya.

185
Sebab kalau tidak demikian maka “ála qulubin aqfaluha”: hatinya terkunci, jiwanya tertutup,
imannya tersembunyi dalam kegelapan, akhlaknya tidak terbimbing, akal dan ilmunya tanpa
kompas tauhid.
Siapapun yang mengetahui betapa berat persyaratan Tafsir, akan muncul logika bahwa jika
demikian maka Al-Qur`an hanya diperuntukkan bagi Ulama, Kaum Cendekiawan dan Ilmuwan.
Maka karena Al-Qur`an dianugerahkan oleh Allah kepada semua manusia, maka jalur hubungan
yang lebih logis di antara semua manusia dengan Al-Qur`an bukanlah Tafsir, melainkan
Tadabbur.
Sekali lagi, tidak perlu dipaparkan contoh di sini kenyataan-kenyataan bahwa karena tradisi
Tafsir, maka Al-Qur`an menjadi hanya “milik”, “hak”, dan “monopoli” para “Ulama”. Monopoli
para Ulama dan kaum cerdik pandai terhadap Al-Qur`an dan di dalam budaya Kaum Muslimin
ibarat kekuasaan Oligarki Keagamaan. Padahal Islam bukan hanya untuk semua manusia, tetapi
“rahmatan lil’alamin” seluruhnya.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. [1] (Al-Anbiya: 107).
“Sungguh saya ingin mencatat bagaimana para penafsir menghamparkan betapa Rasulullah
Muhammad, Islam dan Al-Qur`an adalah rahmat bagi jagung, burung puyuh, desa Jin, udara,
lahar gunung, bahkan bagi Iblis itu sendiri, yang juga makhluk Allah dan berposisi sangat
khusus”, kata Seger, “rahmat bagi masing-masing maupun bagi keseluruhannya”.
Taqwa Itu Ghaib
Sangat bisa dipahami bahwa tidak semua orang memiliki kadar kemampuan yang sama untuk
mengakses Al-Qur`an dan nilai-nilai Islam. Maka diperlukan kepemimpinan nilai di tengah
masyarakat Muslimin.
Ini sama sekali bukan perkara mudah. Bukan sekadar diperlukan sejumlah orang yang “lebih
pandai” dibanding lainnya. Tetapi ada kelengkapan persyaratan yang mau tak mau memang
tidak ringan: kesucian hati, kondisi jiwa zuhud, kejujuran, keteguhan untuk bertahan terhadap
godaan dunia, dan banyak lagi.
Katakanlah ada seseorang diakui oleh ummatnya sebagai Ulama, karena berhasil membuktikan
seluruh persyaratan itu, terutama aqidah dan akhlaqnya. Tetapi begitu ia terseret oleh lalu
lintas kebudayaan dan politik yang pusarnya adalah kepentingan duniawi, apakah ummat

186
memiliki kemampuan untuk “membatalkan” keulamaannya? Minimal di dalam dirinya sendiri?
Meskipun dalam tatanan sosial ia tetap dianggap Ulama?
Junit mengatakan: “Kriteria dari Allah seolah-olah sanngat sederhana:
“Kitab Al-Qur`an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. [1] (Al-Baqarah: 2-3). “Allah tidak
menyatakan: Al-Qur`an ini tidak ada keraguan padanya, merupakan petunjuk kepada para
Ulama, untuk disampaikan kepada ummatnya”.
“Allah menggunakan kata dan kalimat yang sangat kualitatif: orang yang bertaqwa. Bukan
kuantitatif: untuk Ulama. Dan kualitas taqwa manusia, kadarnya, intensitasnya, ketinggian atau
keteguhannya —mungkin sedikit bisa tampak indikator-indikatornya dalam kehidupan sosial—
tetapi tidak bisa diobjektivisasikan secara ilmu manusia. Hanya Allah yang sungguh-sungguh
mengetahui”
“Bahkan taqwa sangat mudah disepakati merupakan bagian dari keghaiban itu sendiri”, tambah
Jitul.
Kecemasan Terhadap Identitas
Kalau manusia melakukan simplifikasi dengan mengidentikkan orang bertaqwa adalah sama
dengan Ulama, Kiai, Ustadz, Mursyid, maka yang terjadi sebenarnya adalah ketidakpercayaan
kepada yang ghaib. Risikonya Al-Qur`an bukan untuknya, atau tidak aksesabel baginya.
Kalau ada seseorang, terutama kalau dalam peta identitas masyarakat disebut sebagai Ulama,
merasa dirinya lebih bertaqwa dibanding kuli pasar, penambal ban atau siapapun, maka ia telah
me-materi-kan roh taqwa. Bahkan kalau disepakati bahwa taqwa dalah ghaib, maka setiap
orang yang merasa dirinya lebih bertaqwa dari orang lain: pada hakekatnya ia telah
menuhankan dirinya.
Sebab hanya Allah yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Adapun manusia berjarak sangat
jauh dari keghaiban, meskipun pada saat yang sama dirinya sendiri mengandung keghaiban bagi
pengetahuannya.
“Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga
tentang yang ghaib dari tempat yang jauh”. [1] (Saba: 53).

187
Budaya ilmu dan psikologi di kalangan Kaum Muslimin tidak terlalu waspada terhadap seriusnya
perbedaan atau jarak antara yang nyata dengan yang ghaib. Sedemikian rupa sehingga terdapat
kesemberonoan positioning di kalangan mereka.
“Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu tunggu sajalah olehmu,
sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang maDzanggu”. [2] (Yunus: 20).
Manusia yang di-ulama-kan oleh ummatnya, bisa menjadi tinggi derajatnya, tetapi juga
memanggul keterancaman oleh kemungkinan gejala penuhanan diri. Manusia yang
mengulamakan dirinya, sesungguhnya sedang memasuki jurang bahaya yang bisa
menghancurkannya. Manusia yang tidak gelisah oleh gelar, identitas, pakaian dan pujian yang
disematkan oleh masyarakatnya, adalah manusia yang kurang serius kepercayaannya terhadap
keghaiban.
Kehati-hatian Terhadap Pakaian Sosial
Sedangkan manusia-manusia yang terpilih menjadi Nabi, sehingga sejak awal penciptakan
memang didesain kualitas-kuantitasnya untuk peran itu, sangat berhati-hati dengan pakaian
sosialnya.
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan
tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah:
“Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak
memikirkannya?”. [1] (Al-An’am: 50).
Kalau Rasulullah Muhammad Saw berperang bahkan beberapa kali menjadi panglimanya,
apakah berarti beliau seorang militer? Atau, kalau pakai kebodohan cara berpikir modern:
karier beliau adalah militer? Kalau beliau berdagang sampai ke luar negeri, apakah berarti
profesi beliau adalah pengusaha, atau eksportir importir? Kalau beliau menjadi keranjang
sampah tempat semua orang bertanya dan mengeluh, apakah beliau adalah seorang
konsultan?
Dengan bahan-bahan Sirah Rasul dan riwayat beliau, cara berpikir modern bisa meletakkan
beliau di posisi karier dan profesi apapun yang baik-baik: budayawan, intelektual,
filosof, trainer memanah dan naik kuda, rohaniawan, guru Agama, Kiai, Ustadz, Mursyid, dan
banyak lagi.

188
Sementara Kaum Muslimin 14 abad sesudahnya menyematkan ibadah Haji sebagai identitas
sosial. Para cerdik pandai di kalangan Ummat Islam menstatiskan kehidupan yang dinamis,
dengan menetapkan secara permanen dan berlaku seumur hidup bahwa orang itu Ulama,
lainnya Kiai, lainnya lagi Ustadz.
Padahal Islam, Al-Qur`an, taqwa, aqidah, tauhid, akhlaq, shiddiq, amanah, tabligh, fathonah dan
semua itu adalah aliran perilaku, dinamika fluktuatif dari proses hidup manusia. Bukan papan
nama, merk, branding.
Muhammad Tak Berwajah
Bahkan Baginda Muhammad Saw tidak memperkenankan orang menggambar wajahnya.
Terdapat sangat banyak sekali manfaat dari ketetapan beliau ini.
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu
pasti masuk ke dalamnya”. [1] (Al-Anbiya: 98).
Baginda Nabi sangat memahami kecenderungan psikologi manusia yang penuh kelemahan dan
sangat mudah terbiaskan oleh banyak hal yang menimpanya. Kalau beliau perkenankan wajah
beliau digambar, kemudian akan menjadi “viral” sepanjang zaman, coba simulasikanlah apa saja
akibat-akibatnya.
Bagi yang mencintai beliau, gambar itu akan diaplikasikannya menjadi berbagai macam
keperluan. Dipasang di rumahnya. Disebar ke segala tempat. Menjadi gambar utama setiap
buku. Menjadi foto di status medsosnya. Diselipkan di dompetnya. Dijadikan jimat dengan
berbagai cara.
Bagi yang membencinya, gambar itu menjadi bahan dan alat untuk segala macam eksploitasi
untuk menghina beliau. Diedit dengan foto-foto lelaki yang sedang bermain seks dengan wanita
telanjang. Digambar di poster, baliho, spanduk dan media apapun dengan kalimat-kalimat yang
mengutuk dan menghina beliau.
Akan terjadi pengkultusan dengan bentuk dan cara yang mudah karena tersedia bahannya.
Ummat Islam bisa terpeleset menuhankannya. Akan muncul kemudahan-kemudahan untuk
berlaku syirik. Dan singkat kata, bayangkanlah dengan teknologi internet, kemudahan rekayasa
audiovisual, liarnya media sosial: gambar-gambar beliau akan menjadi sumber peperangan di
seluruh muka bumi.

189
Gambar itu kemudian menjadi foto. Dan fotografi meningkat menjadi video. Ketahuilah beliau
tidak berkenan digambar wajahnya, sebagai pesan serius bahwa teknologi fortografi, video,
televisi, internet, dan berbagai ragam variasinya itu adalah lidah Iblis yang sangat efektif dan
revolusioner menghancurkan kehidupan manusia. Maka cintailah beliau selama di dunia, tanpa
wajahnya.
Iqra` bi’ainilLah
Manusia modern melihat Al-Qur`an di luar dirinya, manusia tradisi menemukan Al-Qur`an di
dalam dirinya. Manusia global masa kini mencari Qur`an di luar dirinya, manusia masa silam
menikmati Al-Qur`an di dalam dirinya. Manusia Barat mengeksplorasi Al-Qur`an di luar diri
manusia, manusia Timur, khususnya Jawa, berdialektika dengan Qur`an di dalam dirinya.
Keduanya memiliki pencapaiannya masing-masing. Mengandung kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Juga tentu saja tidak salah mencari Al-Qur`an di luar diri manusia, yakni di alam
semesta dan di lembaran-lembaran Mushaf. Akan tetapi yang lolos dari metodologi “Al-Qur`an
di luar diri” adalah kebiasaan untuk meletakkan diri manusia sebagai subjek, sementara semua
yang di luar dirinya adalah objek.
Al-Qur`an, kenyataan alam, Nabi, Malaikat, Jin, Setan dan Tuhan: diletakkan dan diperlakukan
sebagai objek yang berjarak jauh atau dekat dengan diri manusia. Salah satu akibatnya,
manusia memperlakukan semua yang “di luar dirinya” itu itu sebagai alat, perangkat, sampai
kemudian menjadi komoditas.
Sebaliknya orang yang menemukan Al-Qur`an di dalam dirinya, yang merasakan bahwa Al-
Qur`an adalah bagian alamiah dari dirinya, atau dirinya adalah bagian substansial dari Al-
Qur`an, menjadi tidak terlalu bisa menikmati apapun yang di luar dirinya. Mereka melihat
dengan mripat Allah, iqra` bi’ainillah. Mendengar dengan telinga Allah. Bekerja dengan tangan
Allah. Membaca dan memperlakukan segala sesuatu bi-ismi Robbika. [1] (Al-‘Alaq: 1-3).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”. Kenapa dengan Ia? Karena Ia “yang menciptakan”. Ingat:
menciptakan “dengan segumpal darah”. Supaya kau tahu bahwa spektrumnya adalah “Ia Yang
Maha Pemurah”. Pintu untuk memasuki dan mendapatkan kemurahan-Nya adalah membaca,
mengenali, dan mengeksplorasi kemurahan Allah dengan “perangkat”-Nya, bukan
perangkatmu.

190
Tidak Percaya Diri Terhadap Al-Qur`an
Kebanyakan Kaum Muslimin hari ini, entah karena atmosfer pendidikan keIslaman yang
bagaimana: semakin tidak “merasa memiliki” Al-Qur`an secara langsung dan otentik pada
dirinya masing-masing maupun bersama-sama sebagai Ummat. Mereka tidak berada dalam
hubungan primer dengan Kitab Suci yang mereka yakini.
Hak mereka atas Al-Qur`an diwakili atau diwakilkan oleh dan kepada sebagian sangat kecil
orang-orang di antara mereka, yang disebut Ulama. Mereka bisa langsung bersentuhan dan
menikmati Al-Qur`an, tetapi sebatas untuk membacanya, bukan untuk memaknainya. Mereka
seperti tidak punya tugas untuk memaknai. Bagian mereka adalah membacanya. Puncak
prestasi Ummat Islam adalah menghafalkan Al-Qur`an.
Kata pertama “Iqra`” mandek. Berlangsung stagnasi pemaknaan atas kata itu. Karena
pendidikan yang melatih mereka di Sekolah maupun pengajian adalah “membaca” berdasarkan
wacana dari sekolah-sekolah itu. Banyak di antara mereka menyatakan keheranannya kenapa
ketika diwahyui “Iqra`” Muhammad hanya menjawab “ma ana biqari`” [1] (HR.Bukhari —
Jawaban Nabi Muhammad tiga kali atas perintah Iqra`dari Allah yang disampaikan oleh
Jibril). Aku bukan orang yang bisa membaca. Bahkan diartikan secara lebih wantah kepada
mereka: “Aku buta huruf”.
Sampai tiga kali beliau Baginda Muhammad merespon Malaikat Jibril dengan menyatakan “ma
ana biqari`”. Terjemahan harafiah menjadi “aku buta huruf” menjadi tembok kemandekan atau
pembuntu ghirrah ijtihad. Paling jauh dieksplorasi dengan pemaknaan “yang dimaksud
membaca bukan hanya atas huruf, kata, kalimat, teks, buku, wacana-wacana. Tetapi
maksudnya membaca kehidupan secara keseluruhan.
Padahal beliau sangat berpengalaman hidupnya. Sangat tinggi jam terbang interaksi sosialnya,
sehingga dilatih oleh masyarakat sebagai Sarjana Al-Amin. Di hadapan Jibril, sehingga konteks
dan proporsinya adalah juga di hadapan Allah: seluruh pengalaman Muhammad Al-Amin itu
“masih segumpal darah”.
Lahir Kembali sebagai Muhammad Baru
Tak ada kisah tentang dialog yang lebih lanjut, misalnya Muhammad bertanya: “Andaikan aku
bisa membaca, maksudnya Allah buku apa yang mesti kubaca?”.

191
Juga tidak diriwayatkan ada pertanyaan: “Perintah membaca ini untukku, ataukah untuk
ummatku, ataukah untuk seluruh ummat manusia dan masyarakat Jin?”. Anak-anak kecil
bahkan mungkin membayangkan Malaikat Jibril menyampaikan “Iqra`” sambil menyodorkan
sebuah buku kepada Muhammad.
Yang diinformasikan oleh Allah melalui Malaikat Jibril dengan menggunakan kata Iqra` itu
adalah bahwa seluruh pengalaman 40 tahun Muhammad itu belum “bismi Rabbika”. Belum
dengan dialektika dan teritori intelektual “alladzi kholaq”. Selama 40 tahun Muhammad
membangun kepribadian dan moral sosial masih hanya dengan kepolosan kemanusiaannya.
Belum dengan legitimasi Maha Pengasuhnya. Rob-nya, alladzi kholaq. Yang
menciptakannya min ‘alaq.
Al-‘Alaq: 1-3 [1] adalah firman induk dari Allah, pembelajaran akar, Ibu ilmu, pengetahuan, sikap
dan tindakan hidup, yang merupakan legitimasi dan momentum kelahiran beliau sebagai
Muhammad baru. Dengan cara pandang baru. Lingkungan pandang baru. Metodologi baru.
Perspektif ilmu baru. Integritas kemanusiaan yang baru, yang berlingkup bumi dan langit.
Momentum Iqra` adalah juga saat awal dimulainya semacam kerjasama yang sadar antara
manusia dengan Allah di dalam mengelola diri dan kehidupan. Kalau Allah mau, Ia tidak perlu
menyuruh Muhammad Iqra`, melainkan langsung membuat Muhammad memiliki mekanisme
intelektual dan kejiwaan sedemikian rupa sehingga Muhammad mulai saat kontemplasi Gua
Hira itu langsung menjadi Manusia Iqra`, tetapi subjeknya adalah Allah sendiri.
Tetapi Allah menciptakan manusia, bukan membikin robot. Robot tidak tahu apa-apa, hanya
digerakkan dan dikendalikan. Muhammad dijadikan perintis untuk mengawali kebijakan baru
bahwa manusia adalah juga subjek kehidupan.
Kerjasama Allah dengan Manusia
Nabi Muhammad saw bercerita tentang suatu kejadian di masa kanak-kanak beliau, “Ketika aku
sedang berada di belakang rumah bersama saudaraku angkatku, menggembalakan anak
kambing, tiba-tiba aku didatangi dua orang lelaki-mereka mengenakan baju putih, dengan
membawa baskom yang terbuat dari emas penuh dengan es. Kedua orang itu menangkapku,
lalu membedah perutku. Keduanya mengeluarkan hatiku dan membedahnya, lalu mereka
mengeluarkan gumpalan hitam darinya dan membuangnya. Kemudian keduanya

192
membersihkan dan menyucikan hatiku dengan air itu sampai bersih” [1] (HR. Muslim, riwayat
Anas bin Malik).
Ini tahap ketika manusia masih belum pro-aktif dengan perangkat intelektual, kesadaran dan
kondisi kejiwaannya. Manusia masih “dibersihkan”. Tetapi mulai Iqra`, manusia dituntun oleh
Allah untuk “membersihkan”. Momentum firman Iqra` adalah embrio peradaban kesadaran di
mana manusia dibukakan pintu oleh Allah untuk bekerjasama dengan-Nya mengelola rahmatan
lil’alamin.
Ada tahap-tahap zaman di mana manusia mencobanya, Kaum Muslimin bersungguh-sungguh
menerapkannya. Tetapi secara keseluruhan sampai 14 abad sesudah Iqra` diwahyukan,
peradaban ummat manusia di dunia tidak melaksanakan kerjasama itu. Kaum Muslimin sendiri
sampai hari ini mengalami semacam malpraktek dalam menjalani Islam. Mungkin tidak pada
konteks individu, tetapi relatif sangat gagal dalam urusan kebersamaan, komunalitas,
keummatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Allah sudah disebut-sebut, ditulis-tulis, diucap-ucapkan, bahkan diteriak-teriakkan. Tetapi yang
dimaksud adalah di langit, Allah di dalam tafsir mereka, Allah dalam prasangka mereka, Allah
dalam khayalan mereka, Allah alat kepentingan mereka, Allah pengatasnamaan untuk
pencapaian pamrih, nafsu dan ambisi mereka. Bukan Allah Robbuka, Allah alladzi kholaq,
dan kholaqol insana min ‘alaq.
Islam Pethitha-pethithi
Kegagalan membangun peradaban kerjasama manusia dengan Allah itu dalam rentang abad-
abad waktu yang panjang, menghasilkan akibat-akibat internal dan eksternal. Di dalam diri
Kaum Muslimin tidak maksimal tumbuhnya kepercayaan dirinya tentang Al-Qur`an dan Islam.
Bahkan sebaliknya yang diam-diam diidap adalah ketidakpercayaan diri. Percaya kepada Al-
Qur`an tapi tidak percaya diri di hadapan Al-Qur`an. Sangat meyakini Islam yang dipeluknya,
tetapi tidak percaya keIslamannya sendiri di hadapan Islam.
Rasa tidak percaya diri atas keIslamannya sendiri itu disebabkan oleh beberapa faktor. Oleh
pengetahuannya yang hampir tidak pernah benar-benar berkembang tentang Islam. Ketika
sebagian mereka mulai merasa punya pengetahuan tentang Islam, mereka menjadi takabur dan
diam-diam memiliki sikap sombong kepada kebanyakan Ummat Islam yang ia anggap tidak
berpengetahuan Islam seperti mereka.

193
Mereka berlaku seperti pemuda remaja yang berada pada fase pubertas dan mulai mengenali
kehidupan. Karena masih miskin pengetahuan, maka sangat sedikit pengetahuannya itu
dirasakan sebagai kekayaan melimpah, sehingga membuatnya angkuh kepada sesamanya.
Tidak perlu contoh untuk menyadari dan mengalami bahwa Muslim-muslim Puber ini sangat
membuat gaduh silaturahmi antar Ummat Islam. Muncul dari perkotaan, memandang rendah
yang di pedesaan. Muncul dari kelas sekolah dan menganggap bodoh yang disangkanya tidak
berpendidikan.
Interaksi antar orang Islam terjebak dalam kompetisi kehebatan, unggul mengungguli, etosnya
prestasi, mempertandingkan jumlah ibadah mahdloh dan perolehan pahala. Islamnya
puber. Pethitha-pethithi. Kalau kasih pengajian, setting up-nya adalah pemberi pengajian selalu
lebih alim, lebih soleh, lebih pandai, lebih hebat, lebih masuk sorga.
Padahal rumusnya jelas: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa”. [1] (Al-Hujurat: 13).
Menyembah Madzhab
Menjalani kehidupan yang paling efektif dan akurat bagi setiap manusia sebenarnya adalah
fokus mencari Allah. Bukan menemukan-Nya. Mencari-Nya saja. Atau cukup tidak melupakan-
Nya.
Para pembelajar ilmu batin selalu membawa-bawa jargon “Barang siapa mengerti dirinya maka
ia mengerti Allah-nya”.  Kebanyakan yang terjadi adalah kecenderungan psikologis untuk
“mandek” pada kata “mengerti”. Atau terserah “mengerti” itu yang dimaksud pada tahap
mana: “tahu”, “paham”, “weruh” atau apapun.
Tetapi jarang diperhitungkan atau diteliti mana yang lebih efektif antara “mengerti diri”
ataukah “mengerti Tuhan”. Kalau orang memproses perjalanan ke dalam jiwanya untuk
mencari dirinya, ia butuh mengalami pengembaraan panjang agar pada akhirnya mengerti
Tuhan, sesudah itu mengurai-urai dan memilah-milah sampai mengerti dirinya.
Kata Mbah Dzan dulu: “Tak usah bertele-tele mencari dirimu, langsung mencari Allah saja,
supaya justru lebih langsung menemukan dirimu”
“Dan janganlah engkau menjadi seperti orang yang melupakan Tuhannya sehingga melupakan
dirinya…” [1] (Al-Hasyr: 19). Metode dan urutannya menurut Allah adalah lupa Tuhan lantas lupa
diri, bukan lupa diri lantas lupa Tuhan.

194
“Jadi, cari Allah saja”, sambung Mbah Dzan, “diri kita adalah bagian dari Allah. Kalau sibuk
mencari diri, nanti malah Tuhan kelupaan. Yang benar-benar ada itu Allah, kita sekadar seolah-
olah diadakan dan diselenggarakan. Maka salah satu aplikasinya: jangan ribut memohon-
mohon ridla Allah. Fokuskan untuk selalu ridla kepada Allah. Maka dengan sendirinya
memperoleh balasan ridla-Nya”.
Karena traumatik dan paranoid meminta ridla Allah, manusia malah bisa terpeleset sibuk
dengan ibadah mahdloh sampai akhirnya menyembah ibadah. Gaduh dengan syariat sampai
akhirnya menyembah Syariat. Bertengkar tentang Madzhab sampai akhirnya menyembah
Madzhab. Bersaing antar golongan akhirnya menuhankan golongan.
Subjek Pengharaman
Dalam catatan dan ingatan semua sahabat-sahabat Mbah Dzan, yang didengar oleh Junit dan
teman-temannya — tekanan utama wanti-wanti Mbah Dzan adalah bahwa manusia sebaiknya
sejauh mungkin menghindar dari kesombongan untuk mempasti-pastikan sesuatu yang belum
tentu pasti. Memutlakkan sesuatu yang relatif.
Sejarah pemelukan Islam yang penuh oleh perseteruan antar madzhab, aliran, golongan, dan
perbedaan antar pemahaman — sesungguhnya merupakan konstelasi peperangan pemikiran
antara orang-orang atau golongan-golongan yang di tangannya membawa kepastian-kepastian.
Satu aliran mengharamkan sesuatu, lainnya menghalalkannya. Satu golongan memakruhkan
sesuatu, lainnya memubahkannya. Satu kecenderungan membid’ahkan sesuatu, lainnya
melepaskannya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Padahal, menurut Mbah Dzan, posisi
masing-masing dan semuanya adalah “mudah-mudahan”, “semoga”. Mudah-mudahan
pendapatnya benar, semoga pendapat yang lain tidak salah.
Bahkan dengan bekal kerendahan hati di antara sesamanya, serta tawadlu’ di hadapan Allah,
suatu golongan bisa memosisikan diri pada kecenderungan untuk lebih menyalahkan dirinya
dibanding menyalahkan yang lain. Jadi: semoga pendapatku yang salah, dan pendapat yang lain
yang benar. Itulah semangat mencari kebenaran, bukan fanatisme dan kekerdilan
mempertahankan pembenaran atas dirinya sendiri.
“Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu. Kamu
mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang” [1] (At-
Tahrim: 1). Bahkan Nabi ditegur langsung oleh Allah jika menggampangkan pengharaman atas

195
sesuatu hal. Apalagi para sumber primer, yakni para Ulama yang pada generasi berikutnya
dimadzhabkan oleh para pengikutnya, sangat meDzanjukkan kerendahan dan toleransi satu
sama lain. Para Ulama itu sama sekali tidak pernah bermaksud membikin madzhab. Kebenaran
yang diyakini oleh seorang Ulama, tidak serta merta merupakan klaim bahwa pendapat Ulama
lain itu salah.
Dongeng Setan
Tidak ada apapun dalam kehidupan ini yang tidak berada dalam lingkup Wajib, Sunnah, Mubah,
Makruh, dan Haram. Dari urusan sebutir beras hingga memilih pemimpin Negara. Dari setetes
oli motor hingga tambang emas. Dari pagi-pagi potong kuku kaki hingga Undang-undang Dasar
sebuah Negara.
Maka dengan perintah Allah yang awal “Iqra`” sesungguhnya telah dibukakan seluruh pintu
pengetahuan jagat raya sampai makrifat langit yang entah berada di mana sebenarnya menurut
14 abad Iqra` Kaum Muslimin selama ini. Sampai hari ini aplikasi dan eksplorasi Iqra` di kalangan
Ummat Islam tentu menghasilkan banyak kenikmatan, keberkahan, kemudahan dan
kenyamanan hidup.
“Tetapi jangan lupa”, kata Mbah Dzan menurut cerita Pakda Brakodin, yang dicatat oleh Seger,
“produk yang tak kalah besar dan menimbulkan keributan di antara Kaum Muslimin sendiri
adalah lahirnya perbedaan faham yang tak bisa dikelola dalam silaturahmi sosial. Aliran-aliran
pemikiran. Madzhab-madzhab. Golongan-golongan. Aku-aku bersebarangan dengan kau-kau
dan dia-dia. Kami-kami yang tidak mau shalat berjamaah dengan mereka-mereka”
Jitul memotong: “Dan kita Kaum Muslimin hari ini tidak menjadi lebih dewasa. Tidak
berkembang rasa syukur untuk menikmati ragam-ragam pandangan. Tidak menjadi bergembira
oleh variasi dan mozaik”
“Allah menciptakan berbagai-bagai makhluk”, Junit menambahkan, “masing-masing golongan
di antara Kaum Muslimin mau sebaliknya. Penghuni bumi ini diusahakan satu jenis saja, yakni
yang seperti suatu golongan”.
Dulu Mbah Dzan mengingatkan sesuatu yang tampaknya sangat bersajaha. Yakni sebuah
firman: “Apabila kamu membaca Al-Qur`an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada
Allah dari syaitan yang terkutuk”. [1] (An-Nahl: 98). “Sampai lebih dari sepuluh abad kita ber-

196
Iqra`”, kata Mbah Dzan, “diam-diam sebenarnya kita masih beranggapan bahwa Setan adalah
dongeng di luar diri kita”.
Memberhalakan Tuhan
Toling bertanya dan mempersoalkan proporsi pemahaman tentang Tuhan dan Berhala. Selama
ini yang dikenal hanya Tuhan dan Berhala hanya sebagai “kata benda”. Orang disuruh memilih
Allah atau Latta dan Uzza atau berbagai berhala yang lain yang bervariasi-variasi di setiap
zaman
Kalau memilih Allah, berarti bertauhid. Kalau memilih Berhala, berarti kafir atau musyrik. Yang
mungkin tidak pernah dielaborasi adalah Tuhan dan Berhala dalam pengertian “kata kerja”:
Menuhankan mestinya beda dengan memberhalakan. Meskipun orang memilih Allah, tetapi
kalau penyikapan dan pola hubungannya adalah “memberhalakan”, tampaknya kurang memiliki
presisi Tauhid.
Memberhalakan adalah memitoskan. Mitologisasi. Wilayahnya khayal dan imaginasi atau
halusinasi. Sedangkan menuhankan adalah suatu pola hubungan yang riil, ada fakta intelektual,
spiritual dan kulturalnya. Ada dialektika antara hamba dengan Allah. Ada tawar-menawar. Ada
memberi dan menerima. Ada hubungan riil dengan kehidupan si hamba: sampai ke tingkat
rezeki dan nasibnya.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: “Sesungguhnya kami
telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menhendaki niscaya kami dapat
membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-
orang purbakala“. [1] (Al-Anfal: 31).
Individu-individu Kaum Muslimin tidak cukup membiasakan diri untuk berhubungan langsung
dengan Allah. Jarak antara manusia Muslim dengan Allah diisi oleh kaum pintar, Ulama, Kiai,
Ustadz. Kaum Muslimin berada pada “secondhand relationship” dengan Allah.
Ulama dan kaum pintar lainnya dianggap lebih dekat ke Allah, lebih mengenal Allah, lebih
langsung berhubungan dengan Allah. Maka Ummat Islam rajin datang ke pengajian, untuk
mendapatkan proses “makelar” kepada Tuhan. Akhirnya berlangsung feodalisasi, bahkan
kapitalisasi Tuhan.

197
Memotong-motong Agama
Kegagalan “Iqra” berabad-abad lamanya membuat Kaum Muslimin tidak hanya terpecah belah,
saling membenci dan bermusuhan satu sama lain sampai pada skala dunia. Tapi juga membuat
mereka belum pernah sungguh-sungguh berhasil merepresentasikan Al-Qur`an dan Islam
kepada masyarakat bumi, dari urusan akhlaq, budaya, teknologi, perekonomian, maupun politik
dan kenegaraan.
Di mata dunia, Islam yang tampak adalah perpecahannya, beda-beda alirannya, madzhab dan
golongannya. Andaikan itu terjadi hanya pada koridor ibadah mahdloh, mungkin tidak terlalu
mencolok. Tetapi ada dua yang memprihatinkan. Pertama, perbedaan golongan itu teraplikasi
sampai ke penyikapan politik, pertentangan kebudayaan, bahkan sampai ke terorisme.
Kedua, suatu golongan dalam Islam tidak memerdekakan golongan lain untuk menerapkan
pandangannya. Di antara mereka sangat besar kecenderungan untuk menuduh sesat,
menerakakan, mengafirkan, serta berbagai macam ketidakdewasaan kemanusiaan lainnya.
“Coba lihat solusi dari Allah”, kata Mbah Dzan dulu, dikutip oleh Pakde Brakodin.
Mbah Dzan menguraikan. Pertama ketetapan hakiki bagi semua manusia di dunia dari Allah,
bahwa “Sesungguhnya agama Tauhid ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. [1] (Al-Anbiya: 92).
Kemudian Allah memaparkan: “Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka
di antara mereka. Kepada Kami-lah masing-masing golongan itu akan kembali”. [2] (Al-Anbiya:
93). Maka bagimu masing-masing, solusinya sederhana: “Maka barang siapa yang mengerjakan
amal saleh, sedang ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan
sesungguhnya Kami menuliskan amalannya itu untuknya”. [3] (Al-Anbiya: 94).
Ejek Mengejek di Dunia
Bahkan Ummat Islam menjadi bahan tertawaan, bahan ejekan, sasaran kebencian dan
penghinaan sampai kadar yang sangat melampaui batas tradisi kebencian di antara manusia di
sepanjang sejarahnya.
Tidak pernah ada suatu ajaran dari langit yang membuat sejumlah penduduk bumi
mengusulkan agar dilarang dan dihapus, selain Islam. Tidak pernah terjadi ada Kitab Suci yang
semua Kaum Muslimin meyakini bahwa itu adalah wahyu Allah, yang diusulkan untuk dibakar,

198
disingkirkan, diusir, diundang-undangkan untuk dilarang, sampai kalau perlu dimusnahkan dari
perikehidupan ummat manusia di bumi – selain Al-Qur`an.
Apabila usulan pelarangan dan penghapusan itu diyakini oleh Ummat Islam sebagai
penghinaan, dan apabila kemarahan memang diperlukan dan diperbolehkan untuk itu – maka
tentunya sasaran kemarahan Ummat Islam itu pertama-tama dan terutama adalah Ummat
Islam itu sendiri.
Harus bisa diukur mana kadar tertinggi dari sebab musababnya: masyarakat dunia gagal paham
kepada Islam, ataukah Ummat Islam gagal memahamkan masyarakat dunia tentang Islam.
Toling tiba-tiba tertawa. “Sebenarnya asyik kalau di muka bumi ini manusia saling ejek
mengejek, antar ummat atau golongan. Asalkan dalam konteks kematangan budaya,
kedewasaan mental, di mana masing-masing sudah istiqamah dengan kepercayaannya, tidak
cengeng dan paranoid oleh lainnya”.
“Maksudmu, Ling?”, Pakde Tarmihim bertanya. Toling mencontohkan Nabi Nuh. “Dan mulailah
Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka
mengejeknya. Berkatalah Nuh: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kamipun
mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami”. [1] (Hud: 38). ***
Persaingan ‘Agama-Agama’
“Nanti dulu”, Junit menyela, “Saya bisa memahami Toling. Tapi keperluan kita lebih luas dari
itu”
Para Pakde Paklik dan teman-temannya mendengarkan dengan seksama. Junit meneruskan:
“Kita perlu menghitung lebih berat mana bobot kecurangan, kebencian dan kelaliman dunia
terhadap Al-Qur`an dan Islam, ataukah bobot kegagalan Ummat Islam sendiri dalam
mengislamkan dirinya”.
“Benar Nit”, Jitul menyambung, “Lebih besar mana volume “rahmatan lil’alamin” pada ekspresi
Ummat Islam, ataukah volume amarah dan kebrutalan mereka. Lebih menonjol mana “shiddiq
amanah tabligh fathonah” Ummat Islam terhadap masyarakat dunia, dibanding sifat fasiq dan
ahmaq mereka. Lebih dominan mana “makarimal akhlaq” Kaum Muslimin ataukah “su`ul
khuluq” mereka”
“Kekalahan global Ummat Islam dalam peradaban yang kini sedang berlangsung di bidang
politik, perekonomian, teknologi, militer, bahkan kebudayaan, tidaklah sampai mutlak

199
memalukan jika tidak disempurnakan oleh kekalahan akhlaq juga”, sambil mencatat, Seger
sendiri menambahkan.
“Sebentar, sebentar”, Jitul menotong, “Apakah hidup di dunia ini merupakan ajang persaingan
untuk menang atau kalah antara Islam, Yahudi, Nasrani dan lain-lain? Kalau ya, apa kriteria
kemenangannya? Apakah jumlah pemeluknya? Prosentase penguasaan peradabannya?
Kebudayaannya? Politiknya? Ekonominya?”
Pakde Sundusin tertawa dan mengingatkan mereka pada firman: “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang telah Kami beri Kitab Taurat dan Injil mengenal Muhammad seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”. [1] (Al-Baqarah: 146).
Diam-diam Mensyahadati Islam
“Sebenarnya seluruh penduduk dunia ini tahu Islam itu benar. Islam itu puncak proses
kebenaran. Islam itu tahap pamungkas dari kesempurnaan kebenaran dari Allah yang
dikhususkan untuk manusia anak turun Adam”, kata Pakde Sundusin melanjutkan.
“Jadi masalahnya bukan kompetisi antara mana yang benar dengan mana yang salah”, Pakde
Brakodin menguatkan, “mereka mensyahadati Islam di dalam hati, bahkan di dalam pikiran
mereka. Tetapi terbentur pada gengsi kelompok. Harga diri korps. Semacam primordialisme.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar”. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. [1] (Al-Baqarah: 120).
Junit dan anak-anak muda itu bukan belum pernah berhitung atas semua itu.
“Maka”, kata Junit, “golongan-golongan yang memimpin peradaban dunia selama ini memang
menciptakan sistem dan atmosfer yang mendorong Ummat Islam semakin terpuruk, atau
sekurang-kurangnya tidak punya banyak peluang untuk tidak menjadi suatu kaum yang dunia
mengejeknya sebagai kurang berperadaban”.
Seger sudah juga sejak lama mencatat: “Tetapi tidak bisa disembunyikan juga bahwa sangat
banyak faktor dari kehidupan internal Kaum Muslimin sendiri yang menjadi sebab
kekurangberadaban Ummat Islam – meskipun hal itu bisa direlativisir bahwa parameter

200
keberadaban yang berlaku di dunia tidaklah persis sama dengan ukuran-ukuran dalam Al-
Qur`an dan Islam, yang berasal dari ketentuan Allah”.
Jitul menambahkan: “Mungkin  Kaum Muslimin secara individu maupun sebagai masyarakat
perlu berpikir untuk melakukan semacam “hard reset”.
Rekonfirmasi Huruf-huruf
Toling tertawa, “Makanya kami merapat ke Pakde dan komunitas Mbah Dzan, untuk
merekonfirmasikan setiap huruf dari beribu kriteria itu”
Seger menambahkan, “Kami sendiri yang melakukan hard-reset. Kami tidak getol
menyimpulkan bahwa Kaum Muslimin yang memerlukan hard-reset”.
“Atau siapapun sajalah yang melakukan”, sambung Junit, “yang penting secara keseluruhan kita
semua ini tidak bisa terus-menerus membiarkan diri mandek dan jumud. Kita semua sunggung-
sungguh butuh menyelenggarakan semacam “turun mesin” atau bahkan “ganti mesin”.
Mereka mengungkapkan pikiran sambung bersambung, termasuk Seger yang sambil mencatati
semuanya, “Meniati untuk memulai kembali, sekurang-kurangnya dari kesungguhan terhadap
“Iqra`”. Kesungguhan akal intelektual, kesungguhan rohani spiritual, kesungguhan mental dan
pada apapun faktor-faktor ruh jiwa diri manusia Muslim dan Ummat Islam”.
“Iqra`” dan seluruh muatan Al-Qur`an diprasmanankan, dibuka selebar-lebarnya dan langsung
kepada setiap Muslim dan semua Ummat Islam. Berhenti memperlakukan “Iqra`” dan Al-Qur`an
sebagai lingkaran kecil kenduri khusus untuk para Ulama dan elite ilmu. Perlu revolusi internal.
Kecil-kecil, hingga besar…”
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang
dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan
itu”. [1] (Al-Maidah: 64)
Toling tertawa lagi. “Allah berjanji membelenggu tangan Kaum Yahudi dan tidak pernah
menyatakan bahwa Ia membelenggu tangan kita. Maka kita Kaum Muslimin yang sibuk
membelenggu tangannya sendiri. Banyak pemimpin yang membelenggu akal ummatnya,
mengkerdilkan pikiran jamaahnya”.
Memelihara Kekerdilan
“Tidaklah demikian, tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana
Dia kehendaki. Dan Al-Qur`an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh

201
akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami
telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap
mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan
dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. [1] (Al-Maidah:
64)
Mestinya yang bertambah-tambah di dunia adalah kedurhakaan dan kekafiran kebanyakan
mereka yang di luar Islam. Tetapi prakteknya tak kalah pula hal itu terjadi di kalangan Kaum
Muslimin sendiri, dalam berbagai konteks.
Ummat seakan-akan dibiarkan dan dipelihara minimalnya pengetahuan Islamnya, sehingga
kebutuhan mereka terhadap ceramah Agama, pencerahan, tausiyah atau apapun namanya,
menjadi pasar komoditas sangat tinggi.
Kemudian mental Islam puber itu mempelesetkan pelakunya pada klaim-klaim hukum atau
fiqih. Kebanyakan mereka lalai bahwa hak mutlak pewajiban, penghalalan dan pengafiran
adalah berada di tangan Allah belaka – sementara mereka dan semua yang selain Allah, hanya
menyetujui atau turut berpendapat bahwa ini wajib, itu halal dan yang sana haram.
Bukan mereka subjek utama hukum halal haram, melainkan Allah. Bahkan para Rasul dan Nabi
pun tidak memiliki saham absolut atas kehidupan alam semesta dan manusia, yang membuat
mereka logis untuk punya otoritas mewajibkan atau mengharamkan sesuatu atas manusia.
Semua Kaum Muslimin mengalami betapa arus budaya dan perilaku Takfiry, kebiasaan
mengafirkan sesamanya, itu telah menciptakan retakan-retakan yang luar biasa destruktif
dalam kehidupan Kaum Muslimin yang seharusnya merupakan “ummat yang satu”.
Jiwa Mujtahidin, Semangat Oposisional
Awalnya ketika pertama kali merapat ke lingkungan Mbah dzan, yang dibawa oleh Junit, Jitul,
Toling, Seger dan teman-temannya adalah semangat revolusioner. Semangat untuk mengubah
dunia. Energi besar dan meluap-luap untuk meladeni tantangan kedhaliman dan kebobrokan
yang terjadi di Negerinya maupun di dunia pada umumnya.
Mereka adalah anak-anak muda dengan jiwa kejuangan yang luar biasa. Hatinya sangat
mendalam membela manusia dan rakyat. Kekhusyukan jiwanya sangat serius memprihatini
berbagai proses perusakan terhadap kemanusiaan, moral dan kebudayaan. Apalagi dengan

202
pengetahuan mereka yang semakin luas, ilmu dan pemahaman mereka yang semakin
mendalam dan komprehensif terhadap berbagai jenis penjajahan baru atas ummat manusia.
Tidak hanya jenisnya, tapi juga perluasan wilayahnya, peralatan yang berkembang yang
dipergunakan untuk semakin mengkerdilkan dan menguasai manusia. Hingga strategi-strategi
peperangan baru yang diterapkan dengan sangat pesatnya peradaban teknologi, terutama yang
terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia dan masyarakat.
Seger mencatat update dan advance dari teknologi penjajahan yang semakin canggih, yang
kebanyakan manusia tidak merasa sedang semakin dijajah dan dikuasai. Melainkan malah
bergembira dan merasa ikut kemajuan zaman. Junit dan teman-temannya itu yakin bahwa
harus ada generasi muda yang berhimpun dan membuat perhitungan masa depan. Mereka
yakin bahwa harus ada yang mengambil alih keadaan zaman. Dengan cara apapun.
Pakde Tarmihim tersenyum: “Zaman Edan, rezim bobrok, bangsa hilang martabat dan macam-
macam lagi itu kan pendapat kalian”, katanya, “Bagi Negeri kalian semua baik-baik saja.
Kemajuan sangat gencar sedang diselenggarakan di bawah pimpinan Satrio Piningit,
membangun Negeri gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Dalam tiga tahun
semua sukses itu bisa dilihat dengan mata”
Seger mencoba meyakinkan Pakde Paklik mereka: “Kami mempelajari dengan pendataan
lengkap dan komprehensif rute perjalanan bangsa dan Negara kita. Kami datang ke lingkungan
Mbah dzan ini karena desakan Tuhan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. [1] (Ar-Ro’d: 11)
Anak-anak muda itu kemudian tak sengaja berdebat tentang muatan firman itu: siapa
sebenarnya pelaku primer perubahan, manusia ataukah Tuhan? Jitul berpendapat bahwa
manusialah pelaku utama perubahan. Sementara Junit bilang “manusia cuma menanam benih,
tapi Tuhan yang menumbuhkan tanaman sampai berbuah”.
Pakde Brakodin tiba-tiba merespons dengan senyuman seperti juga Pakde Tarmihim: “Negara
kalian bekerja merangkap fungsi manusia dan Tuhan sekaligus. Kami tahu kalian berbeda
pandangan dengan Indonesia yang sedang berlangsung. Bahkan mungkin bertentangan paham
terutama tentang nilai-nilai yang mendasar: pembangunan, kemajuan, sukses sebuah Negara,
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika serta apapun. Kemarin seorang pejabat tinggi Negara

203
menyatakan bahwa Pemerintahlah yang memiliki otoritas tunggal untuk melakukan interpretasi
atas sesuatu hal yang menyangkut tanggung jawabnya. Terus kalian mau apa?”
Dialog mereka terpotong oleh Toling yang memenggalnya dengan pertanyaan aneh: “Pakde
Sundusin?”
“Ya?”
“Saya mau konfirmasi. Saya mendengar Mbah dzan sekarang sedang pergi mencari Hudais,
Mansud, Ahwal, Setan Kabiri dan Sapuregel. Untuk memastikan 37 titik wilayah Reklamasi di
seluruh Indonesia yang sedang digarap oleh Pemerintah. Apa itu benar?”
Terdengar suara tertawa Pakde Sundusin terkekeh-kekeh, mendengar nama-nama itu disebut.
Menyuntik Mangga Busuk
Bagaimana Pakde Sundusin tidak tertawa. Bagaimana dan untuk apa anak-anak muda ini
memasuki wacana tentang Jin, Iblis, dan Setan. Hudais adalah kelompok Jin yang berafiliasi ke
Iblis yang tugasnya menyesatkan kaum Ulama agar mengutamakan hawa nafsu keduniaannya.
Sehingga mereka mudah dijebak dan diseret oleh penguasa. Asyik dengan keterlibatan politik,
kolusi, kolaborasi, kerjasama-kerjasama dengan Pemerintah. Mereka sangka itu adalah
partisipasi nasional, padahal itu kooptasi dan rekrutmen untuk kemapanan kekuasaan.
Memang anak-anak ini pasti pernah memperoleh bahan dari sanad entah Tarmihim, Sapron,
Saimon, atau Brakodin, tentang penguasaan dunia Barat atas dunia Timur sejak abad 14.
Dengan segala riuh rendahnya, penguasaan-penguasaan tersamarnya, terutama melalui
wacana-wacana berpikir tentang Negara, development, kemenangan dan sukses, yang
terutama disosialisasikan melalui media, pendidikan hingga subversi undang-undang. Sampai
juga tentang upaya Pemuda Wali untuk melakukan sejumlah strategi penyelamatan zaman dan
masa depan.
Salah satu paket strategi penguasaannya dikerjasamakan dengan komunitas Jin pimpinan
Mansud. Yakni adu domba, memecah belah bangsa, rakyat dan ummat, dengan menanamkan
virus isu-isu untuk dipertentangkan secara permanen dan akut. Rakyat Negeri ini dan ummat
mayoritas terbesar sedunia adalah bidang garap primer untuk dipecah belah, supaya eksekusi
neo-neokolonialisme mudah dilakukan.

204
Jin Ahwal dan pasukan khususnya bertugas mempersubur mental korupsi di kalangan para
pejabat Negara. Tugas mereka ini sukses besar dan berlipat-lipat pada tahun-tahun terakhir.
Para politisi dan pejabat Santri bahkan tidak kalah prestasi korupsinya dibanding yang Abangan.
Seger, sebagai juru catat yang sangat rajin, menuliskan betapa tujuh abad yang berlangsung
hingga masa hidup mereka, berlangsung tahap-tahap penjajahan yang semakin lama semakin
canggih. Dari yang samar hingga yang terang-terangan. Semua itu sangat memacu adrenalin
pemberontakan anak-anak muda itu. Namun ternyata sesudah interaksi sekian lama dengan
komunitas Mbah Dzan, mereka tak menyangka akan mengalami perkembangan-perkembangan
pemikiran, analisis dan sikap terhadap zaman yang tidak persis seperti mereka niatkan ketika
awal mula mereka merapat.
“Kemarin kita pandai, sekarang kita bijaksana”, kata Junit, yang paling senior di antara mereka.
“Ilmu itu mendata perbedaan, kebijaksanaan itu mengupayakan kesamaan dan penyatuan”.
Tapi dibantah oleh Jitul. “Ada level masalah yang kita harus bertahan pada ilmu, karena
kebathilan mutlak harus dilawan oleh kebenaran. Sedangkan kebijaksanaan, sebenarnya adalah
topeng yang menutupi ketidakberdayaan, adalah keindahan menyamarkan keputusasaan…”
Sementara Toling asyik dengan pikirannya sendiri. “Pakde”, katanya, “Batalion Jin Sapuregel
yang ronda di wilayah Betawi berpihak kepada siapa? Kan dari 17 pulau, ada 6 yang tak layak
Reklamasi karena akibat ekologisnya. Kan pasukan Zaknabur makin rajin provokasi di pasar:
publik diseret menoleh ke keributan Reklamasi Jakarta, supaya wilayah-wilayah Reklamasi
lainnya berjalan lancar tanpa ada yang memperhatikan. Yang di Banten saja tidak pernah dilirik.
Kalau Setan Kabiri Cirebon bagaimana, Pakde? Kan Wirasuli Waringin yang jauh di timur sudah
meDzanjukkan sikapnya di Gunung Agung…”
“Toling!”, teriakan Junit memotong kalimat Toling, “Apakah itu urusanmu?”
Kemudian Junit menoleh kepada Pakde Sundusin: “Pakde, mangga busuk tidak bisa dibikin tidak
busuk dengan menyuntikkan cairan yang kita beli juga dari pedagang mangga busuk. Cara
menolak penjajahan tidak bisa dengan mengambil dari ilmu para penjajah. Saya sedang belajar
menyapa dan mengaktivasi Malaikat-malaikat pribadi saya sendiri. “Bagi manusia ada malaikat-
malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah”. [1] (Ar-Ro’d: 11).

205
Kami Ini Lebih Pribumi
Cucu-cucu Mbah Dzan ini merasa semakin “la yafqohuna qoulan” [1] (Al-Kahfi: 93) sekaligus
“yaqulu laghwan wa kidzdzaban” [2] (An-Naba: 35) Tapi kali ini mereka terpesona. Gemetar rasa
badan, tapi unik dan mengasikkan. Anak-anak muda itu dimarahi habis oleh suara yang terbang
mengitari kepala mereka dan menampar-nampar wajah mereka.
Semula Toling diam-diam menganggap bahwa nama-nama Sapuregel, Zaknabur atau Wirasuli
Waringin itu sekadar karangan Mbah dzan. Tapi suara yang berputar-putar itu itu menyebut
lebih banyak nama lagi, dan berdasarkan tata logika kalimatnya, mereka tidak bisa
menyimpulkan bahwa itu fiksi.
Memang sih aslinya Junit dan teman-temannya pernah juga berpikir bahwa Tuhan, Malaikat,
Akhirat, Sorga dan Neraka itu sekedar dongeng. Anak-anak muda itu memang terpengaruh etos
modernitas, bahwa kalau ia tidak tahu, tidak bisa melihat dan tidak bisa membuktikan – itu
berarti tidak ada.
Pantas Pakde Tarmihim pernah mengatakan: “Kenyataan hidup ini tidak terbatas pada yang
kalian ketahui, karena jauh lebih banyak dalam kehidupan hal yang tidak kalian ketahui. Kenapa
kita sering kaget? Karena kita terlambat tahu bahwa ada fakta yang tidak kita ketahui…”
Tapi sudahlah. Suara itu bergulung-gulung mengepung ruangan:
“Apa kalian pikir kami punya tugas atau kewajiban untuk mengurusi Indonesia? Kenapa soal
Reklamasi dikait-kaitkan dengan kami masyarakat Jin? Kalau yang di Serang, Makassar, Ternate,
Bali, Balikpapan, Palu dan semua itu berjalan tanpa gangguan – itu kan urusan kalian sendiri.
Apakah sudah atau belum disiapkan bagaimana mengeruk sedimen di antara pulau-pulau
Reklamasi, bukanlah tanggung jawab Lowar, Barandhang, Talengkung, Bancuri Bancuring, dan
siapapun staf saya di daratan maupun lautan”
“Keputusan untuk tidak bersedia menyediakan area nelayan di pulau-pulau Reklamasi, bukan
kewajiban Jalilung, Kala Ngadang atau Telohbraja untuk menolaknya. Perkara para pengembang
tidak mau mengurangi luasan pulau-pulau Reklamasi, karena memang dikhususkan untuk
hunian mewah dan industri,  bukanlah tugas Gendir Diyu, Dirgabu, Dulit, atau Mahesa Kuda dan
Nini Gelu untuk mengantisipasinya”
“Bahwa andaikan Anies-Sandi menghentikan Reklamasi yang di Jakarta, toh yang di tempat-
tempat lain jalan terus. Masalahnya, kenapa itu kalian bebankan kepada Klabang Curing,

206
Bedreg, Siganadha atau Dodol Kawit. Kenapa kalian kambing hitamkan kami kaum Jin? Semua
Muspides, Muspika, Muspida jajaran birokrasi Jin saya bersih dari semua itu dan sama sekali
tidak terlibat. Jin juga ada yang serakah, tapi tak ada yang seserakah manusia”
Putaran asap itu mengencang. Suara yang menggema darinya mengeras.
“Bahkan kami ini dimarginalkan, disingkirkan, diusir dari perkampungan-perkampungan kami
sejak 17 Agustus 1945. Kami ini lebih pribumi dari kalian. Sejak berabad-abad silam kami tinggal
di tanah yang sekarang kalian sebut Indonesia. Manusia memonopoli bumi, daratan dan lautan.
Manusia egois, merasa hanya mereka yang berhak atas bumi”. Sebaiknya kalian masuki 2018
dengan mulai belajar bertaqwa. Taqwa itu artinya: waspada.
Menyangka Akan Selamat
Junit, Jitul, Seger, dan Toling tak pernah menyangka akan mengalami dengan mata kepala
sendiri apa yang pernah para Pakde ceritakan tentang sebagian pengalaman lintas
silaturahminya Mbah dzan. Kalau sampai tetangga atau temannya mendengar, mereka pasti
berkomentar: “Ah. Kalian tidak bisa menyelesaikan masalah dengan rasio, lantas lari ke mistik”.
“Halusinasi itu, Bro!”. Kalau karakter Junit, senyum saja. Tapi Toling mana bisa: “Lho, siapa yang
bermasalah? Kamu atau Indonesia? Kok saya yang harus menyelesaikannya?”
Suara itu bergema di ruangan dalam rumah Pakde Brakodin di mana mereka berkumpul.
Muncul tidak dari sebuah sosok, melainkan dari gumpalan-gumpalan asap yang berputar-putar,
bergeser-geser ke berbagai sudut. Terkadang dari asap putih kelabu itu terbayang semacam
wajah, yang bagian mulut dan matanya hitam pekat, namun sesekali muncul semacam
tembakan cahaya dari bola mata kegelapan itu. Wajah dengan jidat sangat lebar, telinga
sebelah memanjang ke bawah, ruas jari-jarinya bisa memutar jari-jari itu ke berbagai arah.
“Saimon”, kata Toling.
“Simon”, sambung Seger.
“Saimun”, suara Junit.
“Shoimun…”, Junit menegaskan.
Dari Pakde Brakodin mereka pernah mendengar tentang sahabat Mbah dzan ini. Mbah
Shoimun itu pemimpin masyarakat Jin yang berpuasa sejak meninggalnya Kanjeng Nabi
Sulaiman. Mereka dulu adalah pegawai Kerajaan dengan ekspertasi dan skill bermacam-
macam: arsitek, ahli logam, penakluk ruang, penggembala angin. Kota metropolitan Sulaiman

207
lebih canggih dibanding Iroma Dzatil ‘Imad Nabi Hud. Bahkan lebih eksploratif dan jauh lebih
kreatif dibanding Negeri Atlantis.
Kaum Jin itu teknolog luar biasa, dan memang Allah sendiri yang mempekerjakan mereka untuk
Baginda Sulaiman. Mereka yang membuat piring terbang, kendaraan angkasa lintas galaksi,
membangun kota agung bawah laut. Memang untuk memindahkan Istana Ratu Bulqis mereka
kalah speed dari rohaniawan Asif bin Barkhiyah dari golongan manusia. Tapi selalu unggul
dalam speed competition karena bekerjasama dengan hasil penelitian timnya Hudhud. Sejak
Baginda Sulaiman wafat tanpa penerus, karena putra beliau cacat, Simon menjadi Mbah
Shoimun, berpuasa sampai Hari Kebangkitan tiba. Tiap hari shalat berjamaah, wiridan dan
shalawatan Maulidun-Nur bareng, menangis massal menyaksikan kehidupan manusia.
Pakde Sundusin pernah bercerita mendengar tangis massal mereka. Sekaligus juga tertawa
kolosal para Jin lain yang dengki dan memusuhi masyarakat Mbah Shoimun.
“Sungguh manusia semakin tak tahu malu”, kata Pakde Tarmihim, “Baginda Sulaiman yang
teologinya benar, budayanya kreatif, akhlaknya indah, bahkan ranking 1 dalam sejarah
kekuasaan dan high-tech —pun oleh Allah dibikin lunglai tak berdaya di singgasananya. “Dan
sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan dia tergeletak di atas kursinya
sebagai tubuh yang lemah karena sakit, kemudian ia bertaubat”. [1] (Shaad: 34)
“Sedangkan hari ini manusia “hanyalah seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat jalannya
dari binatang itu”. [2] (Al-Furqan: 44) Manusia menyangka mereka akan selalu selamat-selamat
saja”.
Batalyon Zalitun
Muhadlarah Mbah Shoimun ternyata berkepanjangan dan njelimet. Pintu dan jendela ditutup
oleh Pakde Brakodin. Jangan sampai ada tetangga tahu. Nanti disangka nobar youtube tausiyah
Ustadz. Terus pada sinis “ah, cuma omongan”. Kalau dikasih tulisan, “ah, cuma tulisan”. Bukan
fakta. La qoulan wala kalaman, lewat saja menguap jadi asap. Tuhan dan Neraka pun sekarang
sudah dianggap halusinasi. Malaikat, Iblis, Jin, dikira dongeng.
Kalau Sorga, masih bisa diterima, karena siapa tahu ada. Kan bisa pesta dan foya-foya. Manusia
hidup pada posisi gèk-gèk. Who knows. Siapa tahu jadi Menteri, Dirjen, Dirut, Komisaris, Duta
Dialog, minimal ditimbali makan siang di Istana. Ulama bukan hanya tidak marah atau malu
dipanggil oleh Umara: tapi malah bangga.

208
“Tarmihim!”, Mbah Shoimun mengeras suaranya, “kasih tahu anak-anak itu tentang sukses
turunan Iblis yang bernama Zalitun dengan batalyonnya yang merasuki jiwa para pelaku
transaksi, yang receh-receh maupun yang kaliber Naga dan Raksasa”. Tim peneliti Zalitun
sangat detail menyiapkan paket provokasinya ke hati manusia. Secara bertahap diajari
mendesain transaksi-transaksi futurologis, minimal seperti ini:
“Jika saya punya konsesi wilayah kerja panas bumi dengan potensi 110 MW. Itu sama dengan
produksi listrik 110.000 kilowatt (kW). Jika listrik itu dibeli PLN katakanlah dengan aturan main
sekarang dibeli dengan harga 85% dari biaya pokok produksi (BPP) listrik, di Jawa di kisaran Rp
850/kWh atau Rp 1200/kWh untuk di luar Jawa. Jadi tiap kWh saya akan mendapatkan 0,85 x
Rp 850 = Rp 722,5 dari setiap kWh yang saya produksi. Karena saya punya pembangkit yang
kapasitasnya 110 MW atau 110.000 kilowatt tadi, artinya setiap jam akan mengalir uang
110.000 kW x Rp 722,5/kWh = Rp 79,5 juta. Atau dalam sehari Rp 1,9 Miliar, atau sebulan Rp
57,2 Miliar, dan setahun akan menjadi Rp 686,7 Miliar. Jika konsesi itu selama 40 tahun,
akumulasinya menjadi Rp 27,5 Triliun. Belum lagi kalo konsesinya diperpanjang seperti Freeport
kemarin”
“Kalau pun saya harus investasi USD 440 juta atau Rp 5,9 Triliun. Artinya, dalam tempo 8,6 atau
katakanlah 9 tahun uang sudah kembali. Sisanya masih ada sisa waktu 31 tahun! Dengan
pendapatan Rp 686,7 Miliar per tahun. Dana USD 440 juta, toh tidak harus semua keluar dari
kantong sendiri. Karena normatifnya investasi itu hanya 30% yang equity (modal sendiri) sisanya
dicarikan dana dari bank atau jual obligasi. Artinya cukup menyediakan dana USD 440 juta x 0.3
= USD 132 juta. Wah, besar juga. Tapi jika aku ajak 3 partner dari luar sehingga dana awal bisa
ditanggung 4 pihak, aku cukup menyediakan dana USD 132 juta : 4 = USD 33 juta atau Rp 445,5
Miliar”
“Bagaimana menarik minat bank untuk mendanai, ya ini toh bisa diserahkan konsultan yang ahli
dalam hal Financial Engineering untuk membuatkan laporan sehingga usulan proyek tampak
sangat prospek. Karena itu menurut Kwik Kian Gie yang pernah membocorkan perilaku
konglomerat di Indonesia equity-nya di proyek-proyek rata-rata malah cuma 10%! Yang 90 % itu
dana dari bank yang artinya dana masyarakat atau suntikan dari dana asing. Dana investasi USD
440 juta untuk beli konsesi 110 MW katakanlah USD 40 juta. (Sarulla yang tadinya milik PLN
dibeli dari Pemerintah dengan harga USD 102 juta, lantas dijual ke konsorsium yang dipimpin

209
perusahaan lokal yang menggandeng asing dengan harga USD 110 juta, tapi ini konsesi dengan
potensi 330 MW)”
Tanah Air Telanjang Bulat
Semua berpikir Mbah Shoimun sudah sampai pada akhir takallum-nya tatkala mengemukakan
ini: “Simulasi futurologis, teknologi keserakahan jangka jauh ke masa depan itu, dilaksanakan
harus dengan mengkongkalikongi substansi Negara, merobohkan pagar undang-undang
perlindungan atas kepemilikan demokratis rakyat atas kekayaan tanah airnya. Dengan
mencanangkan dusta bendera Pancasila dan mentalbisi Bhinneka Tunggal Ika. Zalitun kerja
keras dibantu oleh A’wan yang membutakan mata dan hati para pejabat. Juga Walhan yang
mengacaukan hakikat ibadah para Ulama, Kiai dan Ustadz…”
Ternyata masih terus. Gila. Jin kok Ustadz. Malah mengutip firman Allah: “Dan pada sisi Allah-
lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam database atau main
resources Lauh Mahfudz“. [1] (Al-An’am: 59)
“Tarmihim, kasih tahu anak-anakmu ini”, kata Mbah Shoimun terus mendesak Pakde Tarmihim,
“Jangan dipikir sehelai daun yang menguning tidak ada kaitannya dengan lalu lintas peradaban
manusia. Jangan disangka tutup botol hanyalah tutup botol, dan tak ada hubungannya dengan
tahun-tahun keributan yang akan kalian hadapi”
“Saya pernah suruh Macan Guguh Grobogan, Lancur Blora dan Kala Prahara Lasem untuk
mengantar Mbah kalian Mbah Dzan ke kubangan bawah tanah yang menyimpan kekayaan
Indonesia yang luar biasa, utamanya sumber energi fosil. Kandungan minyak, gas, batubara dan
lainnya. Supaya melihat sendiri hasil orogenesa, erosi dan karya gunung-gunung berapi. Juga
pertigaan himpitan tiga lempengan besar bumi, yang menimbulkan cekungan-cekungan yang
membentuk pegunungan Kapur Utara dan Kendeng. Di hamparan sekitar Grobogan, Blora,
Bojonegoro, Tuban, bahkan hingga Kabuh Jombang, menyimpan kekayaan masa depan anak
cucu kalian yang sekarang terjerembab di kubangan utang raksasa. Itu semua temanya bukan
hanya peta harta karun, tapi juga konstelasi waktu dari nasib manusia dan bangsa di hari-hari
esok”

210
“ Mbah Dzan diajak jalan-jalan melihat Formasi Kerek, Kalibeng, Pucangan, Kabuh, Notopuro,
dan Bengawan Solo. Sebenarnya petugas-petugas saya di sana, dalam koordinasi Bathili di
Tuban, Ajidipo di Kendeng, dibantu oleh Caru Bawor Lamongan, Durgo Neluh Maospati dan
Korep Ponorogo – pernah berikhtiar menutupi simpanan kekayaan itu seperti Nabi Khidlir
menegakkan pagar bersama Nabi Musa. Tetapi terlambat, terlanjur ketahuan oleh Satelit-satelit
bikinan manusia. Sebenarnya yang bisa bikin buta Satelit adalah high-tech Hud-hud Baginda
Sulaiman, tetapi toh manusia tidak peduli kepada peradaban Sulaiman. Segalanya sudah
terlambat… Sekarang Negeri kalian sudah makin ditelanjangi. Tanah air kalian sudah telanjang
bulat. “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang ia
ingini…”. [2] (Ali ‘Imran: 14) Dan manusia malah kenduri. Mereka justru merakusinya. Yang
mereka maksud Pancasila sesungguhnya adalah pelampiasan keserakahan…”
Tarmihim berbisik ke telinga Brakodin: “Cak Dzan pernah cerita itu, dan responsnya: Emangnya
saya pengurus Indonesia, kok diajak sidak… Lastu ahadan wala syai`an”.
Orasi Gentholing
Mungkin karena agak shock, tergeletak dengan tubuh berkeringat dingin, setelah dikepung oleh
teror asap Mbah Shoimun, Toling menoleh kepada Seger.
“Ger, tolong catat”
“Apa, Ling? Pasti Indonesia lagi. Apa. Masuk tahun politik ya…”
“Masih ngganjel dikit ini. Mudah-mudahan ini cukup. Gini lho. Mungkin bangsa kita ini adalah
Rahwana yang sedang dihimpit di antara dua gunung…”
“Baik”, kata Seger, “mati dong kalau dihimpit dua gunung?”
“O tidak. Rahwana dipelihara hidupnya. Dikasih makan minum. Tapi tangan dan kakinya
diborgol. Isi sakunya diambil. Pakaiannya diganti sehingga seperti bukan Rahwana lagi. Secara
bertahap dan terencana dengan matang, harta benda di rumahnya dirampas. Tanah dan
kebunnya dikuasai oleh Mbahureksa dua gunung itu”
Jelas itu ngelindur. Toling mengigau. Apa dong kalau bukan. Namanya saja Toling. Julukan
diambil dari sesuatu yang sangat dikagumi atau justru sangat dibenci. To-ling itu dari Gentho
Maling. Orang pinter, bahkan alim, tapi kelakuannya Gentho. Rakyatnya sendiri dipremani,
dipalak, diporoti. Juga para Gentho ini maling tak kira-kira banyaknya… Lho, kok tulisan ini
numpang ngelindur.com…

211
Gentho Maling disingkat Gentholing. Di Jombang, Jaran Kèpang ditabuhi, dimusiki dengan
“blanggentak gentholing…gentholing…gentholing”. Dipadatkan lagi menjadi Toling. Suku kata
“tho” dibaca seperti teman Bali atau Aceh mengucapkan “t”. Di Jawa ada “to” ada “tho”.
Misalnya “cotho” artinya sial, kalau “coto” itu Dzanonya orang Makasar.
Tapi Bahasa Indonesia tidak peduli. Ya sudah akhirnya Toling komprominya. Aslinya Tholing.
“Ling” nya pun dibaca “é” seperti pada Bulè atau Indonesia yang dibaca Éndonesia.
“Maaf, maaf, bukan Rahwana”, igauan Toling diralat, “mungkin bangsa kita adalah Kaum
Anshor di Madinah yang bernyanyi menyongsong kedatangan investor dan tenaga kerja
Muhajirin dengan nyanyian “thola’al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’i“: telah terbit
rembulan atas kita, muncul dari sela antara dua gunung. Kita wajib bersyukur, karena telah
mendapat panggilan untuk jadi pilihan utama. Maka Anshor berbagi harta benda dengan
Muhajirin. Berbagi tanah, uang, aset, bahkan ada yang menghibahkan istrinya.
“Ah, tapi bukan…“, ngelindur direvisi lagi, “kalau bicara dua gunung, bangsa dan masyarakat
adalah yang dijumpai oleh Nabi Dzulkarnain dalam perjalanannya ke Timur”
“Bagaimana penjelasannya?”, tanya Seger.
“Ceritanya serba dua”, jawab Toling, “masyarakat itu hidupnya diancam oleh dua juga: Ya’juj
dan Ma’juj. Cari sendiri bahan tentang warna kulit dan jenis wajah Ya’juj Ma’juj. Mereka minta
tolong kepada Dzulkarnain: “Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah orang-
orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu
pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dengan mereka?“. [1] (Al-
Kahfi: 94)
“Dzulkarnain menyanggupi. Mereka diajak bikin palang besi raksasa di antara dua gunung,
kemudian dicor dengan tembaga panas. Menjadi semacam pagar raksasa yang membuat Ya’juj
Ma’juj tidak bisa masuk [2] (Al-Kahfi: 95). Padahal masyarakat ini “la yafqohuna qoulan”, tidak
mengerti pembicaraan apapun, tidak bisa diajak dialog. [3] (Al-Kahfi: 93). Omong apa saja bias.
Bukan karena bodoh atau tidak berpendidikan. Tetapi karena pusat sarafnya memfokuskan
pikirannya pada keuntungan dunia dan Keuangan Yang Maha Kuasa…”
“Ah, tapi mending”, Seger nyeletuk, “mereka masih tahu kalau terancam dan masih sadar untuk
minta tolong kepada Dzulkarnain. Ada kisah tentang bangsa lain yang malah thala’al
badru kepada Ya’juj Ma’juj”.

212
Kalau Memang Harus Mokèl
“Sebenarnya”, Pakde Sundusin menggeremang, “yang memprihatinkan bukan manusia, dunia
dan Indonesia. Puncak kesedihan saya adalah bahwa hidup kita tidak berguna. Bahwa kita tidak
mampu melakukan apa-apa untuk Negeri, bangsa dan masyarakat kita…”.
Pakde Tarmihim merespons: “Kalau kita segera memasuki tahun-tahun yang membuat
perasaanmu ngeri, hatimu sedih dan pikiranmu terkuras, ada dua firman yang mungkin
membantu detoksifikasi jiwa kita”
“Pertama: Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-
orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan baik buruknya
hal ihwalmu. [1] (Muhammad: 31) Kedua: Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat  menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia” [2] (Ar-Ra’d: 11)
Ketiga Pakde bersama anak-anak muda itu “jagongan” kelelahan pasca asap Mbah Shoimun.
Minum kopi pahit, merokok dedaunan yang bukan tembakau tapi tetap dicampuri cengkeh,
diolesi cairan yang diseduh dari akar pohon entah apa. Semua bahan itu mereka ambil dari
tengah hutan tempat mereka “kuliah”.
“Kayaknya kita memang keracunan oleh Shoimun”, kata Tarmihim, “kita ingin pensiun dari
memikirkan Negeri kita karena Mbah Shoimun ngakunya juga pensiun sejak wafatnya Nabi
Sulaiman itu?”, sahut Pakde Tarmihim.
Brakodin tertawa. “Segera kita akan resmi jadi anak buah Iblis. Kabarnya Iblis, Kaisar Kejahatan,
juga berpikir untuk mogok massal dan stop dari tugasnya begitu manusia memasuki
Abad Renaissance. Iblis merasa tidak efektif lagi, karena target godaan yang mereka konsep
sudah jauh dikalahkan oleh tingkat keserakahan manusia sendiri”
Tiba-tiba Toling menyela: “Bukannya Jin memang umumnya jahat-jahat, Pakde?”
“Memang sih”, Brakodin merespons, “banyak kalangan Jin yang stress dan depressed karena
keputusan mutasi atau pensiun dini, gara-gara manusia ternyata begitu hebat prestasinya.
Akhirnya banyak Jin yang ngawur: jadi hantu, merasuki jiwa manusia, orang pada kesurupan.
Pokoknya dendam kepada manusia. Akhirnya semua Jin hancur citranya. Semua Jin dianggap
buruk dan jahat. Kemudian gejala ini dijadikan komoditas oleh sejumlah orang pintar. Jin-jin

213
stres diusir, dibacakan “ainama takunu” atau “lau anzalna” atau “afahasibtum” atau yang
umum ya Ayat Kursi…”
“Iya lho”, Pakde Sundusin menambahkan, “Kasihan Jin. Dibentak-bentak. Kalau Cak Mbah Dzan
dulu Jin-nya dielus-elus melalui tengkuk dan jidat orang yang dirasukinya. Cak Dzan dengan
lembut berkata “Kamu ikut saya saja ya, nanti kita ngobrol yang tenang… Orang ini banyak
kesulitan hidupnya, jangan tambahi repotnya ya…”. Akhirnya si Jin pergi dengan lego-lilo karena
merasa diayomi”
“Memang makin aneh manusia zaman sekarang”, kata Jitul, “untuk benar, selalu harus dengan
menyalahkan yang lain. Berbuat baik nolong orang dari Jin, harus dengan menganiaya Jin. Mbah
dzan tidak sanggup menolong Jin. Apalagi manusia”
“Makanya kun madhluman wala takun dholiman”, kata Junit, “Jadilah orang yang dianiaya,
kalau pilihan lainnya hanya menjadi orang yang menganiaya”
“Nggak lah”, Toling tidak setuju, “kalau ada yang menganiaya saya, ya carok…”
“Iya sih”, Seger sepakat, “kalau kita puasa menahan diri habis-habisan, lantas dijahati orang,
ya mokèl lah, puasa batal nggak apa-apa meskipun belum Maghrib”.
Membubarkan Musyawarah
“Jangan terlalu mudah bicara carok, duel, berantem, Ling”, Pakde Sundusin menegur Toling
sambil tertawa, “Pakde kalian Tarmihim ini dulu punya pengalaman carok dalam arti yang
sebenarnya, dalam fakta pedang, clurit dan medan tawur. Memangnya tanganmu pernah
memegang pedang, kelewang, rotikalung, tombak?”
“Ya tapi kalian memang masih muda belia di dalam usia maupun pengalaman sejarah”, Pakde
Brakodin menambahkan, “masih hobi bikin pasukan, serba-serbu, sweepang-sweeping…”
Pakde Tarmihim karena rasa sayangnya kepada anak-anak muda dan mengharapkan mereka
kelak menjadi penduduk bumi yang lebih baik dibanding sekarang yang suka banget tantang-
menantang, pukul-memukul, jegal-menjegal, celaka-mencelakakan, mati-mematikan —
mengingatkan tentang firman Tuhan yang sering dikutip oleh Mbah dzan. “Bahwasanya bumi
ini dipusakakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh” [1] (Al-Anbiya: 105). Dan manusia yang
paling lembut dan selalu bersikap bijaksana, sehingga dijadikan Allah sebagai Rasul pamungkas-
Nya, dipasangnya dalam posisi “tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam” [2] (Al-Anbiya: 107)

214
Pakde Tarmihim bercerita tentang salah satu pengalaman kecil Mbah Dzan:
“1.500-an keluarga terusir dari kampungnya, karena carok antar kelompok pekerja di
perusahaan Inti Plasma. Terdapat polarisasi kepentingan antara dua kelompok sesama Plasma
yang jumlahnya sekitar 5.500 keluarga. Ada pertentangan pandangan dan sikap para Plasma ini
terhadap kebijakan atau peraturan perusahaan Inti. Yang satu cenderung taat, lainnya
cenderung memberontak. Tapi itu belum tentu inti masalah yang sebenarnya.”
“Pertengkaran yang berkepanjangan itu membuat Inti rusak fasilitasnya, terbengkalai
pabriknya, keruh suasana budayanya. Inti Plasma ini produsen suatu packaging produk kuliner
terbesar kedua sedunia. Tetapi bentrok massal yang mengakibatkan kematian sejumlah orang
dan beberapa lainnya masuk penjara, itu membuat produksi terhenti hampir dua tahun.
Keluarga kedua belah pihak menjadi tidak berpenghasilan. Keprihatinan dan kesengsaraan
sosial merambah”.
“Lokasi mereka di pelosok jauh sebuah provinsi. Tidak masuk akal dan tidak relevan bahwa
Mbah Dzan diminta untuk merukunkan dan mempersatukan mereka kembali. Bukan karena
punya kemampuan, melainkan semata-mata karena tidak tegaan hati: Mbah Dzan penuhi
permintaan itu. Mbah Dzan datang. Menemui masing-masing pihak satu persatu. Ketika
bertemu, masing-masing para pemimpin kelompok berpelukan dengan Mbah Dzan sambil
mengucapkan “Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad”
“Kedua kelompok itu berasal dari suatu golongan besar “sepersusuan” (Ummat) nilai dan
budaya. Beda konteks dan skala dengan Rakyat (Ra’iyat, kedaulatan) dan Masyarakat
(Musyarokah, orang-orang yang berserikat). Mereka sama-sama pentradisi Shalawat, Tahlilan,
Istighotsah, Hadlrah dan Rodat. Mereka sama-sama imigran dari Pulau Jawa. Sama-sama “wong
cilik”, rakyat biasa yang lembut. Jadi kenapa mereka perang? Kenapa mereka menggunakan
kekejaman (violence) untuk mengatasi masalah? Kenapa tidak “fatabayyanu an tushibu
qouman bijahalah”? [3] (Al-Hujurat: 6). “Wain thoifatani minal mu`mininaqtatalu fa-ashlihu
bainahuma” [4] (Al-Hujurat: 9) – sebagaimana Al-Qur`an memandunya dengan begitu eksplisit
teknis? Atau kenapa tidak pakai Pancasila, melainkan malah membubarkan musyawarah dan
mufakat? Lantas bagaimana?”.

215
Membubarkan Kepentingan
Pakde Tarmihim meneruskan ceritanya tentang Mbah dzan:
“Tiga kali Mbah dzan menemui 5.500 masyarakat Plasma itu secara bertahap. Untuk
mempelajari kenapa mereka berperang, menyerbu dan diserbu. Seorang “filosof” Terminal Bus
Tirtonadi mengatakan: Kakek-nenek masyarakat Jawa dulu mewanti-wanti bahwa sebelum
bertengkar dengan orang pertanyakan dulu “opo perkarane, sopo musuhmu, oleh-olehane
musuhan opo”. Apa perkaranya, siapa musuhmu dan apa perolehan dari permusuhan itu.
Dalam mengidentifikasi apa perkaranya, bisa terdapat jurang perbedaan antara yang dipahami
oleh massa dengan yang sebenarnya dimaksudkan oleh para pemimpinnya. Atau bahkan massa
tidak mengerti motivasi, pamrih atau kepentingan para pemimpinnya.”
“Di jarak antara pemimpin dengan yang dipimpin bisa terdapat disinformasi, manipulasi,
kebohongan, atau kepentingan tersembunyi para pemimpin yang sengaja disembunyikan dari
pengetahuan massanya, namun memobilisasikan mereka dengan mengatasnamakan
kepentingan massa itu. Ketika permusuhan sudah menggejala, apalagi mewujud atau
menemukan bentuknya: yang muncul kemudian bukan hanya “perkara”-nya, tapi juga harga
diri kelompoknya, “lingsem” dan “mundur isin” alias “malu kalau mundur” dan terus terjang
meskipun sampai ke liang lahat.”
“Siapa musuhmu?” Sesama pensyahadat, sesama pensholat lima waktu, sesama pemuasa
Ramadlan, sesama pemenuh kewajiban zakat, sesama pencita-cita Haji, tetapi tidak se-
kepentingan dunawi. Meskipun sesama penshalawat dan sesama “penerbang” Jawi atau
Martapuran, tetapi menghalangi keuntungan materiilku. “Apa perolehan dari permusuhan itu?”
Kesengsaraan bersama. Kebersamaan memasuki jurang kemiskinan. Serta kekompakan
menghancurnya diri sendiri.”
”Sangat jelas Rasulullah menginformasikan: ‘Jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi
kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada
hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian Wahn’. Apa itu Wahn? ‘Cinta dunia
dan takut mati’.” [1] (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Mereka tidak percaya kepada tanggung jawab Allah dan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya.
Lantas takut mati, takut tidak kaya, takut tidak makan. Sehingga berebut, mencuri,
memonopoli, mentang-mentang.

216
“Mereka adalah bagian dari bangsa yang semakin jinak dan mudah untuk ditipu oleh dunia.
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. [2] (Al-Hadid: 20).
Manusia makhluk Ahsanu Taqwim yang diistimewakan oleh Penciptanya ini dibikin pandir dan
dungu oleh kesenangan dunia, sehingga menjadi Asfala Safilin. [3] (At-Tin: 4-5).
Mbah Dzan mengajak sejumlah pemimpin mereka duduk bersama di tepi hutan. Entah apa saja
yang dikemukakan Mbah Dzan, tetapi itu Allah dan para Malaikatnya tidak tega, sehingga
menolong mereka untuk akhirnya menyatu kembali. Pada pertemuan ketiga berkumpul semua
kelompok dengan massanya. Mereka menangis berpelukan. Kemudian mesin Inti berputar
kembali dan pelan-pelan mencapai ranking ekspor dunia kembali.”
“Ukhuwah itu tercapai dengan cara membubarkan kepentingan segelintir orang,
menggantikannya dengan pemahaman dan optimisme bersama bahwa kebersamaan dan
kesatuan adalah wadah dari perlindungan Allah dan kemurahan rezeki-Nya. Wilayah itu
sekarang menjadi Indonesia Kecil yang tenteram sumringah. Sangat berbeda dengan Indonesia
Besar yang dipenuhi dendam dan amarah.”
Membubarkan Tawuran
Kalau disebut nama Geng seperti “Cobra”, “Murka”, “Kapak Maut”, “Ronggo”, “Tulani”, Anker”,
“Pertapa”, “Bledex”, “Alcatraz” dan “Death” — itu bukan nama-nama fiktif yang dikarang untuk
sebuah tulisan. Itu beneran. Kumpulan anak-anak muda dengan gejolak hati dan muatan otak
tertentu yang mewujud pada aspirasi nama-nama itu. Yang ditulis di semacam papan-papan,
ikat kepala, jaket atau kaos, serta ekspresi-ekspresi lainnya, di mana seluruh kostum yang
mereka pakai bersesuaian dengan muatan-muatan itu.
Jumlah anggota semua Geng yang dihadapi oleh Mbah Dzan di Stadion Titiwangsa Kuala
Lumpur itu sekitar 350 orang. Mereka menguasai area pas depan panggung. Sesungguhnya
mereka minoritas di tengah sekitar 8 ribu orang yang memenuhi bangku-bangku stadion. Mbah
Dzan sedang mengawal grup musik asuhannya pentas di stadion itu. Puluhan ribu pekerja dari
tanah air di Negeri itu memiliki hubungan diam-diam yang aneh dengan Mbah Dzan.
Pimpinan Geng-geng itu sebenarnya sudah berkumpul dan omong-omong dengan Mbah Dzan.
Menyepakati sejumlah hal. Tetapi pada hari-H, ternyata anak-anak buah mereka tetap tak bisa
dikendalikan. Begitu musik berbunyi, 350-an anak-anak muda itu langsung “ndadi”,
semacam in-trance, berjoget-joget dan berteriak-teriak hampir mengalahkan bunyi musik.

217
Minimal mengacaukannya. Jenis musik apapun saja yang dibawakan — rock, dangdut, kasidah,
jathilan, bahkan pun shalawat-shalawat yang halus dan pelan: tetap direspons oleh warga
Geng-Geng itu dengan lonjakan, teriakan dan semacam suara amuk.
Pada nomer musik ketiga, muncul gesekan di antara mereka. Kemudian dengan tempo
mendadak tinggi, berlangsung tawur. Semula seseorang dari satu Geng berbenturan dengan
satu orang lain dari Geng lain. Berikutnya membengkak dan akhirnya menjadi tawur sungguhan
yang semakin massal. Dan ternyata tidak sedikit di antara mereka yang membawa alat-alat
keras, yang semula mereka sembunyikan di balik pakaian mereka. Pisau, tongkat besi, palu,
kayu, rantai, bahkan kelewang dan bermacam senjata lagi.
Tatkala suasana semakin tak terkendali, tiba-tiba Mbah dzan terjun dari panggung dan langsung
membelah-belah area pertempuran. Semua anggota grup musik terjun juga mengikuti Mbah
Dzan. Mereka mencoba melerai. Tidak mudah sama sekali. Dan membutuhkan waktu cukup
lama. Tetapi semua situasi sampyuh itu mendadak berakhir ketika terdengar satu teriakan yang
sangat keras.
Suasana mendadak senyap. Ratusan anak-anak muda terpana, wajahnya menatap ke kiri kanan
dengan sorot mata yang kosong dan misterius. Banyak di antara mereka yang menggeletak.
Terluka atau kelelahan. Kemudian dengan gerakan tangan Mbah Dzan menggiring mereka
bergeser dari area depan panggung ke suatu ruangan. Satu persatu pelan-pelan mereka semua
berjalan ke ruangan itu. Sementara Mbah Dzan dengan kode juga meminta kepada grup musik
itu untuk naik panggung, minta maaf kepada mayoritas hadirin, mengulang sapa kepada
mereka kemudian memainkan kembali nomor-nomor musik, sebagaimana seharusnya.
Pakde Tarmihim mengisahkan itu dengan mimik muka yang jauh lebih serius dibanding
sebelumnya. Ia menuturkan, teriakan keras dan menggema yang menghentikan tawur itu pasti
bukan “shoihatan wahidatan” seperti yang dimaksudkan oleh Allah di firman-Nya. ”Tidak
adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan
kepada Kami”. [1] (Yasin: 53)
Tapi kemudian Tarmihim senyum sendiri dan nyeletuk: “Tapi ya nggak lah. Yang dimaksud
Allah satu teriakan keras itu adalah hari kiamat. Mungkin itu suara terompet Malaikat Isrofil.
Tetapi siapa tahu, mungkin di dalam sejarah manusia akan terjadi momentum teriakan zaman
semacam itu, yang mengubah keadaan secara radikal”.

218
Sementara itu, di ruangan di mana para anggota Geng itu dikumpulkan, Mbah Dzan pidato
keras: “Kami datang ke sini ini untuk melakukan beberapa pertemuan untuk membenahi etika
dan profesionalitas kerjasama ketenagakerjaan antara Negara kita dengan Negara tempat
kalian bekerja. Tapi kalian melukai hati saya dan merusak segala sesuatu yang sedang
diperbaiki. Kalian mempermalukan bangsa kita. Kalian juga durhaka kepada Tuhan karena
tidak bersyukur bahwa kalian mendapatkan pekerjaan dan gaji yang sangat lumayan, di tengah
semakin meningkatnya kesulitan berkerja di tanah air kalian. Kalian ini benar-benar anak-anak
bangsa yang pekerjaan utamanya adalah menghancurkan diri sendiri”.
“Untung pasukan Polisi Malaysia bisa kita atur untuk tidak masuk ke dalam stadion, bahkan
mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sebab kalau mereka sampai tahu,
media massa dan media sosial Negara dan bangsa yang sombong kepada bangsa kita akan
memviralkan apa yang kalian lakukan yang sangat memalukan tadi…”
Ganti-Berganti Membubarkan
“Kebenaran hanya wajah, bukan jiwa. Kebenaran hanya kostum, bukan muatan dalamnya.
Kebenaran hanya brand, bukan zat yang diwakilinya. Pancasila hanya wajah. Bhinneka Tunggal
Ika hanya papan nama. Tidak mustahil Khilafah dan Syariat Islam juga hanya merek”.
“Pada suatu bangsa dan Negara yang mengizinkan kemunafikan tingkat tinggi menguasainya,
bahkan memang dinikmatinya, Iblis pun dituhankan, asalkan menyumbang uang dan
menjanjikan keuntungan. Dajjal, hantu, Jin, domba atau monyet pun dipuja-puja, dikasih serban
dan peci, dikostumi dengan ornamen bulatan atau kotak-kotak, disembah, dicium tangannya,
diberi podium dan mikrofon – asalkan menguntungkan secara keduniaan”.
“Kebenaran adalah nama dari suatu kepentingan yang digenggam oleh tangan kekuasaan. Kalau
penguasa berganti, yang digenggamnya adalah kebenaran juga, tetapi bertentangan dengan
kebenaran di tangan penguasa sebelumnya”.
Kebenaran yang dimaksudkan oleh Indonesia berbeda dari “Kebenaran berasal dari Tuhanmu,
maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu”. [1] (Ali ‘Imran: 60)
“Kalau penguasa berkuasa mutlak dengan kebenaran subjektif di tangannya, maka pastilah itu
tuhan. Tuhan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dinomorsatukan. Negara yang
kebenarannya adalah kepentingan kekuasaan, tuhannya berganti-ganti. Tuhan satu
memberangus tuhan yang lain secara kompetitif dan terus-menerus berebut satu sama lain.

219
Bangsa yang kepada dirinya sendiri pun tak percaya, setiap kali siap menyembah tuhan yang
baru, yang bukan tuhan sebelumnya, serta kemungkinan besar bukan tuhan yang berikutnya”.
“Bangsa yang berkendaraan kemunafikan, kaum cendekiawan yang aplikasi utama pengelolaan
kariernya adalah kemunafikan, dan siapapun saja di ranah, level dan segmen apapun, yang sisa
harapan hidupnya adalah bergabung ke dalam nasionalisasi kemunafikan – membela mati-
matian tuhan yang menjadi sumber nafkah keluarganya, membenci tuhan yang tidak berkuasa,
sambil mempelajari kira-kira yang mana tuhan yang akan berkuasa untuk didekati dan
disembah”.
Tarmihim bercerita teman-teman pernah mendesak Mbah Dzan bahwa keadaan masyarakat
dan Negara yang semacam itu meDzantut kita semua untuk berjuang dua tiga kali lipat
kadarnya. Berpikir lebih keras dan melakukan perlawanan lebih nyata. Mbah Dzan menjawab:
“Sangat bagus. Segera lakukanlah asalkan matang seluruh perhitungan dan pertimbangannya.
Saya juga berpikir bahwa memang demikian kebenaran yang harus kita perjuangkan. Tetapi
kebenaran itu saya simpan di dalam hati saya. Begitu saya harus menyentuh keadaan dan
semua pelaku perusakan, jari-jari saya bukanlah kebenaran, melainkan hikmah.
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. [2] (An-Nahl: 125)
“Terjunlah langsung ke aroma kehidupan, pahami komplikasi pemetaannya. Kau akan temukan
ada yang jelas hitam-putih, ada juga yang warna-warni. Ada warna di dalam hitam maupun
putih, ada putih dan hitam di kandungan warna-warna, bahkan ada putih dalam hitam dan ada
hitam di dalam putih. Maka sentuh mereka bil-hikmah, bukan bil-haq”, kata Mbah Dzan,
“hitam dan putih bubar-membubarkan silih berganti, warna-warni terombang-ambing. Siapkan
kasih sayang dan kebijaksanaan, bukan palu dan pedang”.
Membubarkan Penyiksaan
Di era 2000-an transportasi ideal dan mewah adalah Bus Malam. Yogya-Malang PP idolanya
adalah Bus Agung Anugerah. Kalau lintas provinsi Jatim-Jateng viralnya adalah Bus Mila.
Profesional, lajunya cepat tapi terukur, sopirnya canggih, duduk di kursinya
serasa Bismillahirrohmanirrohim.

220
Tapi untuk memenuhi acara Minggu Pagi di Masjid Raya Batu Malang, Mbah Dzan kehabisan
tiket Agung Anugerah. Terpaksa naik Bus umum dari Yogya sedapatnya. Subuh tiba di terminal
Malang, shalat, numpang antre mandi, sarapan pecel, kemudian naik angkot Malang-Batu.
Semua serba manual. Belum ada Grab atau Go-Jek.
Kehidupan di zaman Mbah Dzan belum tua waktu itu belum move on, masih jadul, go-
blog dan go-mbal. Ke mana-mana wajah masih go-song, mental go-cik, tidak gagah perkasa,
tangguh berani dan sakti mandraguna seperti generasi sekarang. Dulu “old” sekarang “now”.
Dulu “go” sekarang “guw”.
Paling lambat 15 menit sebelum acara, Mbah Dzan harus sampai di dekat lokasi. Al-barnamiju
‘ala waqtiha. Program dilaksanakan tepat pada waktunya. Mbah Dzan sembunyi di warung
kecil. Ngopi sambil melihat Masjid dari kejauhan. Tapi jam 09.00, jam acara Mbah Dzan
diundang, belum tampak ada aktivitas apa-apa di Masjid. Mbah Dzan tunggu sampai 30 menit,
satu jam, kompromi sampai 1,5 jam. Akhirnya karena tidak ada tanda-tanda akan ada acara,
Mbah Dzan pun berjalan mencari angkot untuk balik ke Malang, kemudian Yogya.
Ternyata ketahuan oleh beberapa Panitia, yang entah sembunyi di mana. Mbah Dzan dipindah
ke kendaraan mereka, diajak ke Warung Jawa Timur, dan dikasih tahu bahwa “demi menjaga
hubungan baik dengan Pemerintah, acara pengajian dibatalkan, karena Polres dan Kodim
melarangnya”. Mbah Dzan sempat merespons: “Awakmu bukan menjaga hubungan baik, Rèk,
tapi bekerjasama melestarikan hubungan buruk”. Tapi Mbah Dzan tidak marah. Bahkan
bersyukur.
Tidak ada kenikmatan melebihi posisi Mbah Dzan pagi itu. Sudah mendapat pahala karena
memenuhi janji acara, sudah berjihad naik Bus semalaman sampai mandi di terminal, sudah
beramal saleh mendekat ke Masjid dan siap acara — dan mendadak merdeka dan tak harus
repot-repot bicara di podium Masjid, tapi sudah mendapatkan pahala dari niat dan bukti
tanggung jawabnya. Malah tambah makan enak di warung maknyus, laba pereDzangan dengan
pemuda-pemuda harapan bangsa.
Pakde Tarmihim dulu awalnya tidak benar-benar memahami cara berpikir Mbah Dzan.
Normalnya orang yang diundang jauh-jauh dan sudah memenuhinya dengan naik Bus
semalaman, datang sendiri ke tempat acara tanpa jemputan, lantas ternyata acaranya batal

221
tanpa pemberitahuan sebelumnya: marah besar dong. Bahkan kalau di dunia profesional, ia
berhak mendapatkan ganti rugi.
Hal seperti itu dialami Mbah Dzan tidak hanya sepuluh dua puluh kali. Ditambah lagi Mbah
Dzan ternyata belum tentu mendapatkan apa-apa, penghargaan, uang transport, oleh-oleh
ketela atau pisang, sesudah memenuhi janjinya. Pantas Mbah Dzan tidak pernah meningkat
hidupnya. Kariernya tidak berkembang. Juga tetap miskin, tidak terkenal, tidak jadi apa-apa.
Tetapi Mbah Dzan seperti tidak mengalami apa-apa. Senyum-senyum saja. Malahan bersyukur.
Anak-anak muda yang mengecewakannya itu tetap disayanginya, tidak berubah sedikit pun dari
sebelumnya. Ketika Tarmihim mencoba bertanya, Mbah Dzan menjawab: “Mengapa Allah
akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi
Maha Mengetahui”. [1] (An-Nisa: 147)
O, jadi maksud Mbah Dzan, kalau bersyukur, bubarlah kemungkinan penyiksaan dari Allah.
Alhamdulillah Dibubarkan
Pahala-pahala gratis seperti itu Mbah Dzan peroleh ratusan kali di banyak tempat. Acara
ceramah di sebuah Universitas di Mandar mendadak dibatalkan oleh pihak yang berwajib,
membuat kami memindahkannya menjadi acara silaturahmi di rumah asli tokoh akhlaqul
karimah Baharudin Lopa di Pambusuhan, daerah Waliyullah Muhammad Thahir Imam Lapeo,
yang juga santrinya Syaikhona Kholil Bangkalan sebagaimana Mbah Yai Hasyim Asy’ari.
Pembubaran yang sama atas acara di sebuah Universitas Lampung, membuat Mbah Dzan
sempat menengok anak sulung Mbah Dzan yang bersekolah di SMP Katolik Metro Lampung
Tengah. Pembatalan pentas teater “Pak Kanjeng” di Yogya dan Surabaya yang temanya adalah
penggusuran desa-desa Kedungombo, melahirkan pengalaman batin dan politik yang luar biasa.
Menambah jumlah saudara dan sahabat. Pak Permadi dan Gendheng Pamungkas datang ke
rumah menyatakan keprihatinan atas pembubaran acara, yang sebenarnya Mbah Dzan syukuri,
karena membuat Mbah Dzan jadi dekat dengan dua tokoh aneh itu.
Bahkan penganiayaan politik itu membangkitkan dan mengkreatifkan ikhtiar pembelaan Mbah
Dzan dan teman-teman kepada penduduk desa Kedung Pring dan Mlangi, yang naik mengungsi
ke bukit-bukit, menolak penggusuran, sehingga Pak Harto pidato marah di Solo dan menyebut
mereka “hambegugug ngutho waton”. Semacam kepala batu. Tanpa Pak Harto, Gubernur
Jateng Pak Ismail dan putranya, serta Pemerintah Provinsi menyadari bahwa “hambegugug

222
ngutho waton” itu diapresiasi dan dipuji oleh Tuhan, asal dilakukan kepada penguasa yang
“adigang adigung adiguna”. Alias mentang-mentang.
“At-takabburu lil-mutakabbiri shodaqotun”. Bersikap sombong kepada pihak yang
menyombongi itu bernilai sedekah. Sampai-sampai ketika Mbah Dzan dan teman-teman
membawa truk berisi beras bertumpuk di bak-nya, Pak Jenggot pemimpin Kedung Pring dan
Mlangi menolaknya. Padahal susah truk mencapai tempat di perbukitan itu. Tapi nekat Mbah
Dzan dan teman-teman mengangkut beras itu dari truk ke depan rumah-rumah darurat
mereka. Pak Jenggot menyatakan: “Kami ini tidak miskin. Tidak minta-minta beras atau apapun.
Kami kaya. Desa kami makmur. Tapi direndam oleh Pemerintah. Sampai Masjid dan Kuburan
juga tenggelam”.
Penduduk Kedungombo itu seolah-olah seperti yang digambarkan di Kitab Suci: “Dan Kami
naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah
dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu”. Tiba-tiba kemudian datang
penguasa dholim mengusir dari desa-desa mereka, serta menganiaya kehidupan mereka. Dan
Tuhan sangat jelas menyatakan tentang para penganiaya itu: “tidaklah mereka menganiaya
Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. [1] (Al-Baqarah: 57)
Dengan terbata-bata tapi setengah marah Mbah Dzan merespons: “Kalau soal tertindas, saya
juga tertindas, Pak Jenggot. Beras dan apa saja yang kami bawa ke sini tidak merupakan
pemberian atau sedekah. Ini bukan wujud rasa kasihan. Ini saya membayar hutangnya
Pemerintah kepada rakyatnya. Mereka tidak mengerti bahwa mereka berhutang. Mereka
merasa memiliki Negara dan kekayaan tanah air ini dan merasa bahwa mereka berhak
menentukan segala sesuatu, karena kepintaran dan kekuasaannya”
Akhirnya Pak Jenggot dan semua pengungsi menerima. Mereka manusia luar biasa. Mereka
tahu bagaimana Mbah Dzan sangat sering menemani mereka, menyeberang danau dengan
perahu kecil, tidur di krakal sawah-sawah. Berkejaran dengan Polisi dan Tentara. Almarhum
sahabat Franky Sahilatua ikut bersimpati dan datang ke Kedungombo untuk membuat video
klip album “Perahu Retak”. Teman-teman Mbah Dzan di Padhangmbulan Jombang rutin
mengumpulkan dana untuk men-support saudara-saudara mereka pengungsi Kedungombo.

223
Pak Jenggot itu tokoh utama dalam reportoar teater kami “Pak Kanjeng”. Pak Kanjeng adalah
Pak Jenggot itu. Pentas drama itu diperkuat dengan suara musik. Dan gamelan yang dipakai
untuk menghiasi drama Pak Kanjeng itu kemudian dikasih nama: Gamelan KiaiKanjeng.
Yang Maha Gembira
“Ketika Tuhan tersenyum, terciptalah Pasundan”. Begitu seorang komponis keindahan memilih
bentuk ungkapan rasa syukurnya. Gembira atas anugerah tanah Pasundan nan indah dan kaya
raya. Bangga dijadikan manusia Sunda dengan kehalusan jiwanya.
Orang Madura boleh tak mau kalah. “Ketika Tuhan tertawa ceria, terciptalah Madura”. Manusia
Madura sangat percaya diri. Jiwanya bebas. Pikirannya liar. Logikanya unik. Keberaniannya
membelah kehidupan dan ketangguhannya melawan tantangan, tak tertandingi.
Tetapi harus dijaga ungkapan itu jangan sampai keluar dari ranah puisi, amsal dan simbolisme-
romantik susastra. Jangan lompat masuk ke fakultas ilmu, kecuali berbekal rentang dinamis
antara fisika dengan metafisika. Cara pandang ilmu itu kategoristik dan lurus-lurus. Ilmu
bertanya: Tuhan kok tersenyum. Apalagi tertawa ceria.
Hati-hati terpeleset di jalan licin Mujassimah: menjisim-jisimkan Tuhan. Menjasad-jasadkan
Malaikat. Meskipun Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, jangan bayangkan Ia punya
mata dan telinga seperti kita. Meskipun Ia menginformasikan: “Wahai Tuhan Yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut
kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [1] (Ali ‘Imran: 26) – jangan lantas
membayangkan Tuhan punya tangan, lengan, jari jemari, kuku dan helai-helai bulu seperti
makhluk.
Si Mbah Dzan itu kadang nyerempet-nyerempet Mujassimah. Pernah sambil senyum-senyum
nggak enak ia bercerita bahwa dulu sejumlah Malaikat disuruh Tuhan mengambil tanah liat di
Bumi untuk bahan bikin Adam, tapi dihalangi oleh Iblis, yang sejak 1000 tahun sebelumnya
sudah punya Kerajaan di Bumi. Yang akhirnya berhasil ambil tanah “lempung” adalah taktik
Malaikat Izroil. Beliau meladeni duel melawan Iblis yang menghalangi tugasnya. Nah, ketika
perkelahian terjadi, Malaikat Salim yang diam-diam diajaknya serta turun dari langit ke Bumi:
mengambil segenggam besar tanah liat.

224
Iblis merasa terjebak oleh siasat Izroil, naik pitam, berlari mengejar Izroil dan Salim dari bumi
hingga langit. Ketika Izroil terbang dan melompat ke Sorga, sejumlah tanah sorga terlempar
oleh kaki beliau. Petilan tanah Sorga itu terjatuh ke Bumi, dan menjadi Indonesia.
Kalau narasi Mujassimah  Mbah Dzan itu dosa, Allah yang menghukum Mbah Dzan. Tapi
semoga Allah mengampuninya. Sebab maunya dia itu bersyukur atas karunia Allah yang berupa
Indonesia. Segala-galanya tentang Indonesia adalah rahmat dan barokah. Sekadar terbersit saja
kata Indonesia dalam ingatan, merekahlah kegembiraan. Benih-benih kegembiraan di tanah
Indonesia, menumbuhkan pohon-pohon kebahagiaan bagi siapapun saja yang tinggal di
atasnya, dari zaman ke zaman.
Putra ragil Pak Kuswoyo, yakni Kusyoko, alias Yok, mengabadikannya: “Orang bilang tanah kita
tanah Sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Keluarga Kuswoyo adalah manusia-manusia
pensyukur, dan hidup di dunia khusus untuk menyebarkan kegembiraan sejak era 1960-an
hingga kini. Maka karya terakhir Yok Kuswoyo yang saya tahu adalah lagu lembut mendalam
dengan lirik terjemahan Al-Fatihah.
Tanah air Indonesia Raya adalah salah satu karya unggul Allah swt dari kandungan
kegembiraan-Nya. Maka ummat manusia yang tinggal di Indonesia selalu bermurah hati kepada
seluruh penduduk dunia, menggembirakan para tetangga dan tamu-tamunya.
Kegembiraan Bersedekah
Sebab bergembira dan dengan kegembiraan, seseorang menggembirakan 13.250 keluarga
dengan menyedekahkan tak kurang dari 7 (tujuh) triliun rupiah untuk membangun rumah-
rumah mereka. Sekitar 50.000-an jiwa atau anggota keluarga itu rumah-rumahnya tenggelam
oleh luapan air kental keruh dari perut bumi. Orang itu memberikan 5X (lima kali) lipat harga
tanah dan rumah mereka.
Mbah Dzan ketemu orang itu dan bertanya: “Dulu Bapak Anda dimakamkan di mana?”. Orang
itu menjawab: “Wah iya, kalau mereka tidak punya rumah, Bapak saya bisa bangkit dari kubur
dan memurkai saya”. Mbah Dzan menyahut: “Jadi gimana?”. Orang itu menjawab: “Asal Cak
Dzan menemani, saya akan kasih mereka biaya berlipat untuk membangun rumah”. Dialog tak
sampai 4 (empat) menit itu menerbitkan kegembiraan bersedekah.
Yang dulu rumahnya sederhana, kini agak mewah. Yang dulu naik sepeda kini naik motor. Yang
dulu naik motor kini naik beberapa motor. Yang dulu punya beberapa motor kini punya mobil.

225
Yang dulu punya satu mobil kini beli mobil lagi. Yang dulu istri satu kini ambil istri lagi. Yang dulu
buruh kini punya badan usaha. Yang dulu karyawan kantor kini bikin kantor sendiri.
Yang dulu alim kini punya ide maksiat. Yang dulu makan sekadarnya kini makan agak mewah.
Mereka berombongan pergi umroh dengan jargon “Alhamdulillah perut bumi dibocorkan oleh
Allah”. Mirip dengan kalimat Ibunya orang yang menyedekahkan 7 triliun itu yang
memerintahkan kepada putranya: “Bikinlah mereka kelak berkata: Untung ada luapan air kental
keruh”.
Kegembiraan orang itu bahkan dibiarkan melebar-lebar dan menciprat-ciprat ke sekeliling.
Misalnya untuk pihak-pihak yang menodongnya dengan kekuasaan untuk membayar ini itu.
Orang-orang yang sudah dikasih rumah kemudian melakukan demonstrasi sehingga dikasih
rumah lagi. Orang-orang yang mengumumkan perjuangan dan pembelaannya kepada rakyat
dengan maksud agar dikasih rumah. Serta berbagai macam modus kemuliaan dan kesucian
untuk mendapatkan harta benda.
Ketika awal dijumpai oleh perwakilan belasan ribu keluarga itu, Mbah Dzan menjawab: “Dan
Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat
pedih’”. [1] (Ibrahim: 7). Maka diwujudkan oleh Allah kedua klausul itu. Yang pertama, mereka
memperoleh lima kali lipat dari yang mereka kehilangan. Bahkan sebagian memperoleh 6X
(enam kali) lipat, berdasarkan kadar kesetiaannya kepada prinsip yang sejak awal dipegang
bersama.
Yang kedua, mereka yang culas dan tidak bersyukur, didaftari oleh Mbah Dzan. Ada yang
pabriknya terbakar. Ada yang bangkrut usahanya. Ada yang bubar rumah tangganya. Ada yang
berhijrah dari pimpinan perusahaan menjadi karyawan pom bensin. Ada yang masuk penjara
karena terpeleset kerakusan. Ada yang dipanggil langsung oleh Allah. Berbagai macam “inna
‘adzabi lasyadid” diterapkan oleh Allah. Ada yang langsung. Ada yang sebulan dua bulan atau
setahun dua tahun kemudian. Ada yang dititipkan ke Malaikat Malik di Neraka.
Orang yang bersedekah 7 triliun itu disempurnakan kegembiraaannya: Tuhan membungkam
mulut publik, media, koran, teve, medsos, institusi dan tokoh-tokoh agar jangan ada yang
memujinya. Boleh memberitakan, asal yang merugikan dan menghancurkan nama si
penyedekah itu. Sebab “a bad news is a good news” (Amin ya Robbal ‘alamin). Kalau ada 2.500

226
orang kumpul syukuran punya rumah baru, di sampingnya ada 15 orang demo teriak-teriak
pura-pura belum punya rumah, atau pokoknya nodong lebih banyak – maka yang dimuat di
media adalah yang 15 orang.
Bahkan pandangan mainstream mengutuk dan memfitnahnya sampai hari ini. “Dia mendengar
ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan
dia tidak mendengarnya. Maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih”. [2] (Al-
Jatsiyah: 8). Allah pun memaklumkan agar kita memberi kabar gembira.
Mbah Dzan sok-sok ikut memaklumkan: “Luapan air keruh kental ini ujian bagi nurani, akal
sehat dan akhlak kita semua. Lulus tidaknya kita, akan membenih ke selamat atau tidak
selamatnya nasib hari depan seluruh bangsa kita”. Hahahaha. EGP. Emangnya elo Tuhan, Dzan.
Ango`an Potèh Tolang, Setnov
Andaikan Mbah Dzan dikenal oleh Setya Novanto dan ditanya tentang keadaannya hari-hari ini,
mestinya Mbah Dzan menjawab begini: “Etembang potèh mata, ango`an potèh tolang,
ta`iye!“. Daripada mata tinggal putihnya karena malu dan terhina, lebih baik mati badan
tercabik-cabik tinggal tulang putih”.
“Apa yang kau mau pertahankan lagi? Kau banting sendiri martabat dan harga dirimu, dan kini
semua orang sekampung menginjak-injakmu? Kau menelanjangi dirimu sendiri bulat-bulat
di spotlight panggung nasional dan dunia. Kau hancurkan sendiri eksistensi dan reputasimu, dan
burung-burung pemakan bangkai mencabik-cabik nasibmu, mencucupi dan mereguk darahmu.
Kepalang, Setnov. Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah…”
Memang Setnov sedang berhadapan dengan tiga kekuatan. Pertama, Tuhan yang menciptakan
dan menghidupkannya. Kedua, KPK dan sistem hukum Negara. Ketiga, suara-suara dari
kegelapan yang melemparinya ancaman-ancaman terhadap keselamatan nyawanya, nyawa
anak istri dan keluarganya. Pastilah yang terakhir itu yang paling mengerikan baginya.
***
Kalau ada yang ditangkap oleh petugas hukum karena korupsi, atau pelanggaran hukum
apapun, yang kebetulan kenal dan punya nomor HP-nya —kirimlah ucapan selamat melalui
SMS atau WA atau BBM: “Selamat ya, Anda sedang berjuang menegakkan kebenaran. Semoga
berkah Allah menaburi Anda sekeluarga”.

227
Tapi mustahil Mbah Dzan orang bawah kenal dengan KH (HC) Setya Novanto yang levelnya
Dzan di atas. Tapi mungkin Anda mengenalnya, dan mungkin berkenan memberi ucapan
selamat kepadanya. Lantas mungkin ada yang bertanya “Kok kasih ucapan selamat kepada
orang yang ditangkap dan akan mau masuk bui?”. Atau ada yang menambahkan “maling kok
disebut sedang berjuang menegakkan kebenaran?”.
Maling kan posisi manusia ketika mencuri. Pulang ke rumah ia Bapak dan Suami yang sayang
anak-anak dan istri. Sesudah itu ia pergi ke manapun memanggul utang kepada kehidupan, atas
dasar pencuriannya. Selama ia belum membayar utang, ia masih berposisi salah dan minus.
Begitu ditangkap, diproses hukum kemudian dipenjarakan: ia menjalani kebenaran menuju titik
Nol.
Salah + dihukum = benar. Salah + tidak dihukum = salah kuadrat. Orang yang tinggal di penjara
adalah para pejuang dan peDzantas kebenaran. Ia benar-benar harus berjuang dengan
ketahanan dan kesabaran, sebab posisinya minus (-). Nanti begitu masa hukumannya habis,
posisinya Nol kembali.
Manusia itu 0, seolah-olah ada. Hanya Allah yang 1, yang sejati ada. Baqa`. Allah Ahad. Tunggal.
Ketuhanan Yang Maha Tunggal. Sedangkan manusia itu Fana, sejatinya tiada. Kemesraan cinta
antara Allah dengan manusia adalah aransemen 01010101 Dunia Maya sampai tak terhingga:
semua penghuni Bumi kini sedang menikmati kemesraan itu melalui gelembung IT, cumbu rayu
animasi dan persilangan hologram antara ada dan tiada.
***
Akan tetapi Setnov kini “sangat ada” karena wajahnya sangat muncul di titik minus-sekian.
Kalau yang dihadapinya sekadar KPK dan hukum Negara, tidak pelik: “Songsonglah badai.
Terjun masuk ke kawah api. Dengan dada terbuka dan wajah tegak, tampillah duduk gagah di
kursi pengadilan. Buka blak-blakan semua yang selama ini disembunyikan, sebut semua nama-
nama itu, yang seharusnya menemanimu di sel-sel penjara”.
“Engkau tidak sendirian berkubang kedhaliman. Kau hanya bagian menonjol dari orkestra-
orkestra besar maupun kecil, dan engkau bukan pemetik gitar tunggal. Korupsi di Negerimu
adalah sebuah sistem besar, habitat yang akut, budaya yang mendalam hingga ke cara berpikir
serta naluri perilaku. Mungkin juga mafia besar yang sistemik-strategis. Bahkan mungkin sudah
mulai bisa disebut peradaban…”

228
KPK mestinya tahu persis berapa jumlah Setnov di tumpukan map-mapnya. Juga tidak mungkin
tidak tahu berapa jumlah dan siapa saja anggota Orkestra Setnov. Ia berposisi strategis untuk
mungkin menjadi “pahlawan”, dengan perjuangan mendorong pengembangan dari “Pengadilan
gitar tunggal” menjadi “Pengadilan Orkestra”. Tetapi sebagaimana sejumlah terhukum korupsi
sebelumnya, Setnov mungkin tak punya daya untuk melewati jembatan “Jer basuki mowo beo”:
perjuangan meminta ongkos pengorbanan. Mahalnya “mowo beo” yang ditimpakan mungkin
takkan tertanggungkan olehnya. Sampai-sampai tiang listrik, suntik infus kanak-kanak serta jidat
dan bakpao ia libatkan. Semua orang sedang nobar untuk tahu apakah Setnov adalah Superman
ataukah Supermie.
Padahal kalau urusannya “hanya” dengan Allah, jalan dilapangkan oleh-Nya juga: “Orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan
surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. [1] (Ali ‘Imran: 135-136)
Kalau “mowo beo” itu dieksekusikan, keluarganya dinantikan oleh Malaikat Ridlwan dan para
Mujahidin serta Syahidin di sorga, dan ia sendiri punya kemungkinan yang sama. Karena berani
menguakkan kebenaran dalam kehidupan di dunia. Qulil haqqa walau kana murran. Ungkapkan
kebenaran, meskipun pahit. Atau bahkan jauh lebih dari sekadar pahit.
Indah dan Menggembirakan
Belum sempat menyentuh makanan pesanannya di area warung lesehan terkenal, Mbah Dzan
tiba-tiba mendengar suara gedebug-gedebug. Ketika ia spontan menoleh ke arah itu, dilihatnya
seseorang memukul wajah seseorang lainnya sehingga jatuh terkapar. Mbah Dzan langsung
melompat dan menjatuhkan diri telungkup di atas lelaki yang terkapar itu. Darah meleleh dari
pangkal hidungnya sebelah kiri di bawah jidat dan alisnya.
Kalau melihat letak titik lukanya dan merangkaikan dengan jenis gerakan dan posisi
pemukulannya, tampaknya yang membikin luka adalah “sikut” jari tengah atau minimal jari
telunjuk, yang dipukulkan dengan posisi sangga genggaman yang tidak seperti genggaman
tangan biasanya. Itu pola pukulan dari suatu jenis bela diri tertentu.

229
Sambil tangannya memeluk lelaki itu, Mbah Dzan menoleh ke atas, ke arah lelaki yang
memukulnya. Tidak omong apa-apa, tapi sorot mata dan sedikit gerak tangannya
menyampaikan agar jangan diteruskan, dan mohon tunggu sebentar. Lelaki pemukul itu
mundur beberapa langkah. Mbah Dzan pelan-pelan mendudukkan si terkapar itu, kemudian
diangkat berdiri, dituntun ke arah dapur warung untuk mencari air dan kain.
Tengah-tengah berjalan Mbah Dzan baru melihat bahwa pakaiannya belepotan darah, yang
rupanya cukup deras mengalir, terutama ketika Mbah Dzan menjatuhkan diri
menelungkupinya. Sesampai di dapur Mbah Dzan membasuh luka lelaki itu dan membersihkan
sekitar wajah dan baju atasnya sampai bersih. Beberapa saat kemudian baru si lelaki luka itu
tiba-tiba setengah berteriak: “Ya Allah Pak Mbah Dzan… Allahumma sholli ‘ala Sayyidina
Muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad…”
Mbah Dzan meDzantunnya duduk di kursi. Minta kepada salah seorang pekerja warung itu
untuk mengambilkan segelas air. Ibu pemilik warung itu dengan wajah setengah cemas
setengah gembira berkata kepada Mbah Dzan: “Titip ya Pak, memang anak ini kurang baik
perangainya…”. Mbah Dzan tentu saja belum paham apa maksud Ibu itu. Tapi ia harus segera
beranjak mendatangi lelaki yang memukulnya tadi. Semua yang sedang makan di area luas
warung itu melihatnya.
***
Sebenarnya keputusan Mbah Dzan untuk meloncat menelungkupi lelaki yang dipukul itu tadi
merupakan keputusan yang bodoh dan membahayakan dirinya sendiri. Ia bisa terkena pukulan
berikut dari lelaki si pemukul. Opsi lain adalah Mbah Dzan berdiri pasang badan menghadap
lelaki pemukul. Ia secara frontal menyatakan pembelaannya kepada yang dipukul.
Kemungkinan berikutnya adalah lelaki pemukul berkelahi melawan Mbah Dzan. Karena Mbah
Dzan bisa meletakkan diri membela yang tertindas dan melawan penindas.
Tetapi itu tidak terjadi, karena Mbah Dzan lompat menelungkupi lelaki yang jatuh tertelentang
karena dipukul. Tidak terjadi perlawanan terhadap si pemukul. Sangat bisa dimaklumi karena
tiga sebab. Pertama, Mbah Dzan bukan seorang pemberani, tidak punya jiwa perlawanan
terhadap kedhaliman. Kedua, Mbah Dzan tidak punya keahlian untuk berkelahi. Ketiga, Mbah
Dzan belum tahu apa latar belakang pemukulan itu, bagaimana peta masalahnya.

230
Maka yang kemudian dilakukan oleh Mbah Dzan adalah memproses pemahaman atas masalah
yang sebenarnya terjadi. Mbah Dzan mendatangi si pemukul untuk mulai penjajakan. Lelaki
pemukul itu memanggil beberapa orang pelayan warung besar itu. Dan ketiganya datang tanpa
membantah, dengan wajah yang sama dengan wajah Ibu pemilik warung. Lelaki pemukul itu
adalah anggota keamanan “swasta” di wilayah itu. Lelaki yang dipukulnya adalah Manajer yang
membawahi para pekerja atau pelayan di warung itu. Dan si pemukul  bertindak kepada
Manajer itu demi menjawab keluhan para anak buah itu.
Manajer itu berlaku seperti Boss besar. Tidak bekerjasama dengan para pekerja dalam tata
kelola yang baik. Ia sangat otoriter, kalimat-kalimatnya selalu kasar dan menyakitkan hati para
pekerja. Situasi itu berakumulasi secara waktu sampai mereka tak bisa menahan diri lagi tetapi
takut berbuat sesuatu kepada atasannya. Tak sengaja mereka mengeluh kepada si Preman ini,
dan ternyata ditanggapi dengan tindakan tegas.
Mbah Dzan kemudian membawa lelaki pemukul itu serta beberapa pelayan menuju tempat si
Manajer duduk, di dekat Ibu pemilik warung. “Rapat kilat” dilangsungkan, dan masing-masing
berjanji untuk tidak melakukan apa-apa yang tidak seharusnya dilakukan. Serta bersumpah
untuk melakukan hal-hal yang memang sewajibnya dilakukan. Semua bersepakat untuk
memegang perjanjian itu di dalam tata manajemen dan etika pengelolaan warung, serta
komunikasi antara semua pihak.
Mereka berangkulan dalam lingkaran dan berdoa bersama. Kemudian situasi normal kembali.
Mbah Dzan kembali ke tikarnya dan menikmati makanan pesanannya meskipun sudah tidak
hangat lagi. Makanan itu tidak terasa tak enak, karena ada yang lebih tak enak di dalam pikiran
hatinya.
***
“Bagaimana hidup ini”, ia menggerundal kepada dirinya sendiri, “yang otoriter dan bersikap
kejam fasih mengucapkan Shalawat ketika saya peluk. Sementara pahlawan kebenarannya
adalah kelas dan golongan yang orang-orang mengategorikannya sebagai Preman, Gali,
Korak…”
Mbah Dzan tertawa cekikikan di dalam dirinya. Jauh-jauh hari Allah sudah wanti-wanti agar
manusia waspada menilai siapa yang benar siapa yang salah. Pada konteks sejarah dan posisi
masalah tertentu, “diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu

231
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui”. [1] (Al-Baqarah: 216)
Informasi dari Allah tentang hakikat hidup di firman itu sangat gamblang, sehingga akal setiap
manusia tidak memerlukan panduan, tafsir atau tadabbur untuk memahaminya. Sedangkan
tampaknya kebanyakan perilaku hidup dan keputusan peradaban kita membantah kalimat
Tuhan itu, meskipun kebanyakan pelaku sejarah tidak memiliki tata logika untuk tahu bahwa
mereka membantah Tuhan.
Tetapi wajar juga karena di ujungnya Allah kasih tahu: “Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”. Mbah Dzan tertawa cekikikan. “Sungguh indah dan menggembirakan”, bisiknya
kepada dirinya sendiri.
Pesta Kambing Gembira
Apa ini? Kisah-kisah kepahlawanan kelas kacang? Aslinya Toling sudah sangat tidak tahan
mendengar cerita-cerita Pakde Tarmihim. Tapi ia coba tetap bertahan.
Siang hari bolong Mbah Dzan mendadak mendapat tamu aneh. Seorang Boss toko komputer
besar, dengan beberapa stafnya, yang sebelumnya belum pernah datang ke situ. Wajahnya
pucat, para pengawalnya juga tertekan air mukanya, diam, bibir tertutup dan meDzanduk.
Rupanya ada kejadian yang bisa berkembang ke anarkisme dan kriminalitas di toko besarnya.
Sekitar tiga puluh orang sangar-sangar masuk. Menyebar ke berbagai titik di ruang tokonya.
Masing-masing naik ke meja, memegang komputer, mengangkatnya tinggi-tinggi. Kemudian
salah seorang dari mereka berkata keras:
“Siapa tadi yang bilang bahwa Pak Mbah Dzan dikasih mobil oleh Harmoko?”
“Dikasih rumah oleh Moerdiono”, sambung yang lain.
“Juga dibilang Pak Mbah Dzan sangat ingin diundang ke Istana Pak Harto”
“Siapa?”, kata suara yang pertama, “Ayo ngaku. Semua tuduhan itu menghina harga diri kami
dan merendahkan martabat kami. Pak Harto datang menyalami saja Pak Mbah Dzan
menghindar. Minta ketemu saja Pak Mbah Dzan menghindar karena ndak tega sama orang
banyak…Srengengeo, mbulano, gèpèngo koyok ilir…”
Tidak butuh waktu lama, dua orang mengaku. Memang beberapa di antara 30 orang itu tadi
masuk ke toko komputer itu untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba tak sengaja dua orang itu

232
omong-omong mengejek Pak Mbah Dzan. Ngrasani ini-itu begini-begitu, sebagaimana
kebiasaan banyak orang yang rakus melahap ghibah dan qila wa qala.
Tetua dari 30 orang itu berkata keras lagi: “Saya kasih kalian satu di antara dua pilihan, supaya
komputer dan semua barang-barang di sini tidak kami banting dan hancurkan, atau kalau perlu
seluruh toko ini kami bakar”
Gusti Pengeran. Masyaallah. Preman bener ini. Gentho wal Korak.
“Pertama, kasih kami fakta-fakta yang menjadi bukti tentang apa yang kalian katakan tentang
Pak Mbah Dzan. Kapan, di mana, siapa yang ngasih, atau fakta apapun yang bisa kuat
membuktikan. Pilihan kedua, kalau kalian hanya punya daftar katanya katanya katanya,
sekarang juga kalian harus membuktikan kepada kami bahwa kalian sudah dimaafkan oleh Pak
Mbah Dzan…”
Pada momentum inilah pemilik toko itu diam-diam mengambil mobil untuk bersegera pergi ke
tempat tinggal Mbah Dzan.
Beberapa waktu yang lalu di tepian Malioboro bagian dekat Stasiun Tugu malam hari, Mbah
Dzan tiba-tiba melompat ke seseorang dan mencengkeram lehernya serta mengangkat
tubuhnya. Ia berteriak: “Heeee semua para Dauri, Tikyan, Butokempung, Butomati! Ini lelaki
bilang bahwa saya dikasih rumah dan mobil oleh Menterinya Pak Harto. Kalian kumpul sini
semua! Tanya dan gali data-datanya tentang apa yang dikatakan oleh lelaki ini…”
Kemudian tiba-tiba Mbah Dzan berbisik lirih kepada lelaki yang dicengkeramnya. “Kamu pilih,
saya pindah gigi-gigimu ke tong sampah, atau sekarang juga kamu berlari pergi secepat-
cepatnya…ayo cepat lari!”, sambil Mbah Dzan melepaskan cengkeramannya.
Adapun yang toko komputer, Mbah Dzan menyuruh beberapa temannya untuk membeli
beberapa ekor kambing. Pilih salah satu Pesantren kecil di pinggiran barat kota. Si Boss dan
anak buahnya yang bersalah beserta para karyawan, besok siang diundang ke Pesantren itu
untuk bersama Pak Kiai dan santri-santri berpesta makan kambing gembira.
Yang diterapkan oleh Mbah Dzan adalah panduan sederhana dari Tuhan: “Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [1] (Al-
Hujurat: 6)

233
Siang itu mereka kenduri daging kambing bersama. Bercengkerama. Bercanda.
Mempersaudarakan diri satu sama lain. Sebab tali sambungan silaturahmi dan persaudaraan
antar manusia, oleh Allah dipenuhi titik-titik mata air rezeki.
Ada Setan datang dari barongan pring di sebelah Pesantren, membisiki telinga kiri Mbah Dzan:
“Mestinya kamu todong Boss komputer itu duit banyak-banyak, untuk kamu bagi-bagi ke anak-
anak buahmu terutama para Tikyan, Butokempung dan Butomati, yang rata-rata ekonomi
keluarganya lemah…”
Mbah Dzan tersenyum sambil memaki: “Your eyes!”. Maksudnya: “Matamu!”.
Qur`an Sepertiga dan Perang Sampyuh
Ratusan ribu kaum pendatang diburu dan dibunuh. Sama sekali tidak sulit untuk menemukan
yang diburu. Tidak perlu diperiksa kartu identitasnya, tak perlu membuka buku sensus atau
menyandera Kepala Desa untuk mendata siapa-siapa kaum pendatang yang menginjak-injak
harga diri para penduduk asli itu. Cukup dengan penciuman atau sekelebatan mata
memandang jenis wajah mereka.
Pemberangusan atas kaum pendatang itu berlangsung amat cepat. Ratusan ribu orang
terkubur, atau kepala-kepala mereka ditancapkan di tonggak-tonggak pagar. Hukum tidak
berdaya. Jangankan bertindak: sekadar mengidentifikasi data-data pemusnahan saja tidak
mencukupi perangkat dan energinya. Sebab di belakangnya terdapat komplikasi sosial, konslet
ekonomi dan akumulasi persaingan hidup yang panjang.
Mbah Dzan dengan sejumlah temannya menemukan area Pesantren yang luluh lantak rata
tanah karena dibakar. Pak Kiai dan para santri mati. Tinggal Bu Nyai dan anak kecilnya. Sebuah
Mushaf Al-Qur`an terbakar, tinggal sepertiganya, tergeletak di tanah. Mbah Dzan
membawanya, menyimpannya dan menjadikannya cermin sejarah, untuk belajar kembali
tentang manusia, dunia dan Negara. Mbah Dzan diminta untuk menyisir empat Kabupaten di
sebelah barat sebuah Pulau Besar, untuk mengantisipasi jangan sampai pemberangusan
melebar ke wilayah-wilayah itu.
Mungkin para pemberangus yang merasa digerogoti hartanya dan dicoreng martabatnya oleh
kesombongan di pelabuhan itu, meskipun bukan pematuh Kitab Suci ini, tetapi secara naluriah
melaksanakan perkenan dari Tuhan ini: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang

234
memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [1] (Al-Baqarah: 190)
***
Gentholing tampak semakin gelisah mendengar kisah berlanjut-lanjut bagai tak ada ujungnya
ini. Pakde Tarmihim kemudian mengemukakan sesuatu seakan-akan ia mendengar apa yang
bergejolak dalam hati Toling.
“Sekarang ini sekam dan simpanan bara api di Negerimu berpuluh-puluh kali lipat lebih besar
dibanding yang terjadi di Pulau Besar itu. Di hari-hari mendatang generasi kalian tidak boleh
terkejut apabila sewaktu-waktu terjadi ledakan sejarah. Bahkan komplikasi masalahnya jauh
lebih ruwet. Komplikasi konfliknya jauh lebih sukar untuk dipetakan. Kalau generasi muda tidak
segera menata diri, menjernihkan pikirannya dan melonggarkan hatinya, kalian akan benar-
benar kebingungan meletakkan diri di tengah Perang Sampyuh yang sewaktu-waktu bisa
terjadi”.
Toling tertunduk diam dalam kegelisahannya.
“Rasulullah saw beberapa waktu yang lalu menitipkan pesan agar kalian meningkatkan luasnya
kesabaran dan detailnya kewaspadaan. Sebab kata Rasulullah beliau sendiri tidak mengalami
komplikasi konflik seperti yang kalian alami. Di zaman beliau hanya ada satu Abu Jahal atau Abu
Lahab. Sekarang ini Abu Jahal beribu-ribu jumlahnya. Abu Lahab merasuki jiwa ratusan juta
penduduk Negeri kalian. Yang sebenarnya kalian alami bukan pertentangan antara Koalisi-A
melawan Koalisi-B, Faksi-X melawan Faksi-Y, bukan Golongan-Ini melawan Golongan-Itu, bukan
Ideologi-Dadap melawan Ideologi-Waru, apalagi Islam melawan Pancasila. Peta pertentangan
yang berlangsung adalah Kaum Penindas di bagian atas dan menengah serta saluran-salurannya
sampai ke bawah. Menimpa Rakyat tertindas di berbagai lapisan dan bagian”.
“Kaum Penindas terkadang tampak bertentangan satu sama lain, sehingga rakyat memilih
jagoannya di antara mereka. Padahal mereka melakukan Talbis, mengkostumi ke-Iblis-an
mereka dengan pakaian Malaikat…”
***
Di sebuah lapangan di wilayah paling utara barat Pulau Besar itu, Mbah Dzan mengumpulkan
dua golongan masyarakat yang di area-area timur daerah mereka sedang diberangus. Tentu
saja Mbah Dzan bukan seorang pemberani. Salah seorang temannya sudah jatuh sakit dan

235
tergeletak begitu tiba di daerah itu. Mbah Dzan menemui satu-persatu pimpinan dua golongan
masyarakat itu, dengan hati gemetar dan badan menggigil yang ia sembunyikan.
Kepada pemuka masyarakat yang sedang dalam proses diberangus, tidak terlalu rumit
komunikasinya, sebab beliau merasa sedang didatangi oleh orang yang menemani beliau dan
turut menjaga keamanan masyarakatnya. Tetapi berjumpa dan “berdiplomasi” dengan tetua
masyarakat yang sangat kuat dan sedang melakukan pemberangusan massal, sebenarnya
hampir pecah kepala Mbah Dzan.
Bertamu ke sebuah rumah di tepian hutan, Mbah Dzan berjalan amat sopan, setengah
membungkuk dan langsung menghampiri tuan rumah, serta langsung memeluknya. Mbah
Dzan berbisik ke telinga beliau: “Bapak, saya dan teman-teman datang dengan cinta,
persaudaraan dan keikhlasan untuk meminta maaf dan memintakan maaf. Kami perlu
mengetahui posisi kami di sini: apakah bagi Bapak, kami ini musuh ataukah saudara… Kalau
saudara, kami bersyukur melebihi dalamnya lautan. Kalau kami ini musuh, kami akan siap-siap,
meskipun pasti kami tidak berdaya dan kalah…”
Tuan rumah membalas pelukan Mbah Dzan lebih erat: “Saudara, Cak, Sampeyan saudara kami
semua di sini…”
Mbah Dzan menarik napas lega. Dasar penakut. Tetapi berarti amanlah kumpulan massa dua
masyarakat di lapangan nanti sore. Juga puji Tuhan, aman hari-hari sesudah itu di empat
wilayah yang digemetari oleh Mbah Dzan dan teman-temannya.
“Wa in ta’fu wa tashfahu”, jika engkau berlapang dada dan memaafkan, maka Allah pun
“Ghofurun Rohim”, Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Bahkan Allah tidak memakai
konteks “Ghaffarun Rahman”, karena begitu mendalam permaafan-Nya. [2] (At-Taghabun:
14) Pun Beliau tegaskan: “orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diutamakan”. [3] (Asy-Syura: 43)
Di tengah dialog orang selapangan bola itu, hampir terjadi gesekan pembicaraan yang bisa
menyulut api bentrokan. Mbah Dzan langsung terjun ke tengah massa, menghampiri salah
seorang Ibu yang sedang memangku putra kecilnya. Mbah Dzan minta izin menggendong anak
itu, membawanya ke podium dan meneruskan pembicaraannya. Alhamdulillah suasana menjadi
reda dan sejuk kembali.

236
Meskipun Kulempar Matahari
Kasihan Gentoling dan teman-temannya. Usia masih muda belia tetapi Pakde-Pakde mereka
mempengaruhkan sesuatu yang tidak produktif untuk hidup mereka. Generasi muda harapan
bangsa yang sedang giat-giatnya membangunkan jiwanya dipenuhi oleh hal-hal yang
menyangkut ke-Tuhan-an, nilai-nilai rohani, monomor-satukan Akhirat dan monomor-duakan
dunia. Gimana tak macet perjalanan mereka ke masa depan.
Mestinya anak-anak Zaman Now dipacu adrenalin materialismenya. Dicambuk kariernya untuk
sukses. Menjadi penguasa besar, pejabat tinggi, kaya raya. Memanjat waktu sampai setinggi
langit. Mengarungi ruang sampai berkuasa mengeruk seluruh kekayaan cakrawala. Anak-anak
muda harus ambisius, menggunakan hak-hak hidupnya untuk menjadi manusia besar,
pemimpin pembangunan dan pengendali sejarah.
Lha para Pakde ini mewakili Mbah dzan malah menenggelamkan mereka ke dalam kosmos
spiritual, filosofi, sangkan paraning dumadi, prinsip “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. Jadinya
hidup kaum Zaman Now ini terlalu diganggu oleh hal-hal mengenai Tuhan, Malaikat, Kitab Suci,
Nabi dan Rasul. Semua yang dikisahkan tentang Mbah Dzan adalah semesta nilai-nilai seperti
itu. Tak ada gunanya di tengah kompetisi mencapai sukses di dunia. Anak-anak muda itu akan
berposisi marjinal sepanjang hidupnya.
Tetapi Pakde Tarmihim punya alasan lain. “Supaya kelak kalau kalian meninggal, generasi
sesudah kalian tidak mengarang-ngarang tentang riwayat hidup kalian. Berapa banyak tokoh-
tokoh sejarah dimanipulasi fakta-fakta hidupnya sesudah mereka meninggal. Dipalsukan baik
untuk kebaikan atau kejahatan. Untuk berlindung atau meDzanggangi. Untuk menghikmahi
maupun untuk pijakan politik eksploitasi”
“Sejarah bisa merupakan gelombang besar kebohongan dan pembalikan fakta. Tokoh penjajah
bisa diangkat jadi pahlawan. Yang di sana-sini bikin perkara dan perpecahan, bisa dicatat
sebagai tokoh pendamai. Pemimpin yang praktik tindakannya sangat primordial dan egosentris
pada kepentingan golongannya sendiri, bisa dimonumenkan sebagai Bapak Pluralisme”
Demikian jawaban Pakde Tarmihim atas gugatan Toling: “Untuk apa sih harus diceritakan hal-
hal seperti itu tentang Mbah Dzan? Apa itu bukan riya`. Pamer jasa dan kepahlawanan. Apalagi
levelnya ècèk-ècèk…”

237
Sebenarnya agak menyakitkan juga pilihan kata Toling bagi Pakde Brakodin maupun Sundusin.
Tapi Gentholing ini memang lebih liar dibanding teman-temannya. Dan yang diperlukan dari
karakternya adalah kecerdasan kritisnya.
Toling meneruskan. “Pakde yang saya hormati. Sekarang ini orang menyangka Fir’aun itu
adanya dulu di zaman Mesir Kuno, dan Abu Jahal itu eksis di era Nabi Muhammad. Sekarang
kalau ada Hitler beragama Islam, akan diangkat menjadi Khalifah Kaum Muslimin sedunia.
Andaikan Mbah dzan melempar pasir ke sebuah gedung sehingga terbakar, petugas hukum
belum tentu merasa perlu melacaknya, sebab soal terorisme sudah ada skenario bakunya
sendiri. Andaikan Pakde Tarmihin mengejar dan menghentikan rombongan 400-an orang yang
akan menyerbu kota sebelah kemudian menggiringnya masuk Masjid, lantas mengatasinya
dengan Mara`dia – orang tidak akan mencari tahu asal usulnya. Karena yang dianggap
penangkap penjambret adalah siapa saja yang duluan berfoto memegang tangan penjambret
itu”
“Bahkan andaikan Asif bin Barkhiyah bersama Jin Ifrith memindahkan Gedung Putih ke samping
Istana Negara di Jakarta, pedulikah orang selain kepada bendanya? Andaikan tim arsiteknya
Nabi Sulaiman datang membuat saluran-saluran raksasa sehingga air meluap ke darat dan
seluruh Ibukota menjadi danau besar. Andaikan kelompok utusan Nabi Hud meratakan bagian
tengah Pulau Jawa dari ujung barat ke ujung timur untuk runway pesawat-pesawat diplomatik
dan dagangnya. Andaikan Habibullah Muhammad saw turun di puncak Gunung Merapi,
mengangkat kedua tangannya ke atas sehingga terbelahlah rembulan. Apakah itu semua akan
mengejutkan bagi masyarakat Peradaban Setnov?”
“Andaikan Muhammad meneguhkan sumpahnya: “Lau wadla’as syamsa fi yamini wal qamara fi
yasari, lan atruka hadzal amra”: Andaikan matahari digenggamkan di tangan kananku dan
rembulan di tangan kiriku, tak kan kutinggalkan urusan ini. Coba saja Kanjeng Nabi datang ke
sini dan viralkan tekad itu — kurang dari sepuluh menit insyaallah akan segera menjadi umpan
lambung untuk di-bully”.
“Bukannya mereka meremehkan Nabi Muhammad, tapi tak akan percaya bahwa itu Nabi
Muhammad. Mereka hanya percaya kepada Nabi Muhammad yang sudah tidak ada, dan takkan
percaya kepada Nabi Muhammad yang ada sampai hari ini di tengah jutaan pecintanya yang
menshalawatinya di sana sini. Nabi, Rasul, Wali, orang mulia, hanya mereka percaya kalau tidak

238
di depan mata mereka. Kemungkinan besar segera akan ada berita dari pihak keamanan bahwa
ada orang datang mengaku Nabi Muhammad, padahal ia adalah salah satu anak buah jaringan
teroris Bahrun Naim”.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik
bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran
berita bohong itu baginya azab yang besar.” [1] (An-Nuur: 11)
“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan
umat yang lain sebagai penggantimu. Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian”. [2] (An-
Nisa: 133) Sedangkan manusia hidup punya tradisi memusnahkan orang yang sudah mati.
Menghancurkan karakternya, membalik profilnya, memanipulasi posisinya.
“Ketika hidup seseorang mengkhianati Bapaknya sendiri. Sesudah Bapaknya mati, ia
mengumumkan ke seantero kampung bahwa pertengkaran dengan Bapak dulu hanyalah
‘acting’ yang didesain Bapak untuk keperluan tertentu. Si anak kemudian mengumumkan
bahwa ia sebenarnya sangat setia kepada almarhum. Dengan demikian semua produk jasa
sejarah almarhum Bapaknya kini menjadi aset anaknya”.
“Bahkan manusia yang religius, tokoh di jalur Agama, lahir di persekolahan nilai-nilai luhur —
bisa berbuat sesuatu seolah-olah Tuhan tidak ada, sehingga tak akan ada tindakan atau balasan
apapun yang akan menimpanya. Jangan dikira dalam kehidupan yang sedang kita alami ini
cukup banyak manusia yang benar-benar percaya kepada eksistensi Tuhan dengan pernyataan-
pernyataan firman-Nya”, kata Toling, “apalagi cerita abal-abal Mbah dzan yang Pakde sibuk
mengisahkannya”.
Beri Daku Pancasila
“Saya ingin di masa yang akan datang ada Negeri yang ber-Pancasila, dan saya akan riang
gembira menjadi rakyatnya. Saya ingin menjadi warga suatu Negara di mana Pancasila menjadi
keutamaan pandangan hidupnya, prinsip mendasar perjuangannya dan panduan primer
perjuangan sejarahnya. Kalau tidak mungkin, ya Provinsi Pancasila, atau Kabupaten, Kecamatan,
Desa Pancasila. Kalau tetap mustahil yang keluargaku harus Keluarga Pancasila”.

239
Gentholing menjawab tegas pertanyaan Pakde Sundusin yang penasaran terhadap bantahan-
bantahan anak ‘kecil’ itu: “Jadi maumu sebenarnya apa to, Ling?”
Tiga Pakde itu memberi peluang selapang-lapangnya kepada ide segar Toling yang mencita-
citakan Pancasila di masa depan kehidupannya. Sementara Junit dan Jitul memperhatikan
sambil Seger tak pernah melepas catatannya.
“Saya Khalifah Allah di bumi. Allah meletakkan Khilafah di tangan saya. Pancasila adalah hasil
ijtihad atas prinsip Khilafah itu oleh, pada dan bagi formula manusia Nusantara dan bangsa
Indonesia sampai sejauh ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau mau menanam
pohon Khilafah yang lebih otentik sejak awal, kita harus menjadi putra Nabi Adam dan memulai
Negeri Khilafah sesudah pembunuhan Mas Habil oleh Kak Qabil…”
Maka terjadilah dialog antara tiga Pakde itu dengan Gentholing.
“Sila keberapa yang kamu paling tertarik?”
“Tentu saja yang pertama”
“Kalau kedua?”
“Tidak istimewa. Sila-sila berikutnya adalah kembang dan buah sila pertama. Kalau memang
kita ini manusia ya pasti ciri utamanya adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab. Kalau
tidak beradab, bukan manusia. Kalau tidak adil, berarti lebih rendah dari hewan. Semua hewan
berlaku adil, karena 100 persen di-remote oleh Penciptanya”
“Sila ketiga?”
“Logika biasa. Kalau tidak bersatu, bagaimana ber-Negara”
“Keempat?”
“Nggak perlu dirumuskan. Kalau ada rakyat, berarti urusannya Negara dan buruh yang namanya
Pemerintah. Kalau masyarakat atau ummat, tidak pakai Negara tidak masalah. Kelemahan sila
keempat ada pada penggunaan kata yang berlebihan. Hikmat kebijaksanaan. Hikmat itu
hikmah. Hikmah itu ya kebijaksanaan. Itu tetesan inti dari kebenaran dan kebaikan. Subjeknya
disebut Hakim. Hakim adalah orang yang mata pandangnya adalah kebijaksanaan. Sebagian
bahannya bernama pasal hukum, tapi tidak semua pasal hukum itu bijaksana. Maka manusia
selalu saling mewakilkan, saling mempercayai dan mempercayakan untuk bermusyawarah.
Semut saja bermusyawarah di dalam tata kelola komunitasnya. Kalau manusia tidak

240
bermusyawarah, maka ternyata mereka adalah serangga yang paling rendah budinya dan culas
mentalnya”
“Kalau keadilan sosial bagi seluruh rakyat?”
“Gimana tho. Kalau tidak bagi seluruh rakyat, bukan keadilan namanya. Kalau tidak menyangkut
semuanya, bukan sosial namanya. Sila Kelima sebenarnya cukup satu kata: Keadilan. Tapi
memang semakin pandai, manusia semakin tidak efisien, tidak akurat, tidak meng-inti, tidak
meng-esensi”
“Lha kalau Sila Pertama yang kamu paling tertarik?”
“Faktor Tuhan itu yang bikin penasaran. Orang-orang pandai selalu riuh rendah mencanangkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari siapa mereka tahu Tuhan? Apa bahannya? Para pejabat dikasih
tahu Profesor Doktor tentang Tuhan. Profesor Doktor mengutip Ulama. Ulama nerusin
omongan Nabi. Nabi tahu lewat wahyu yang menjadi Kitab. Kitab Suci itu 100 persen copyright-
nya Tuhan sendiri”.
“Bagaimana mungkin manusia tahu Tuhan, kalau bukan Tuhan sendiri yang menginformasikan
tentang Diri-Nya Sendiri? Yang terdengar di sana-sini selama ini, yang tertera di buku, undang-
undang, jurnal dan media: adalah Tuhan-tuhanan. Tuhan hasil karangan manusia sendiri. Tuhan
produk khayalan. Bahkan eksistensi dzat, sifat, af’al serta tajalli Tuhan dipangkas berdasarkan
kepentingan manusia sendiri…”
“Bisa aja kamu, Ling”
“Yang diumumkan selama ini adalah Tuhan ciptaan manusia. Tuhan hasil prasangka dan pamrih
manusia. Tuhan yang ditentukan, ditetapkan dan diregulasi oleh manusia. Bahkan Tuhan yang
disandera di dalam kurungan egosentrisme manusia, yang diwajibkan untuk patuh kepada
keperluan manusia. Padahal Tuhan memberi info tentang manusia ciptaan-Nya dan tentang
Diri-Nya Sendiri secara sangat mengasyikkan: “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-
Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” [1] (Al-Baqarah: 28) Menurut
Mbah Dzan dulu berdasarkan ayat itu berapa kali manusia hidup mati hidup mati hidup mati?”.
Figur Pro-Iblis
Sangat sering Mbah Dzan mengungkapkan pemikiran, melontarkan hal-hal yang tidak lazim,
atau mengajak diskusi teman-temannya tentang hal-hal yang tidak populer

241
bagi mainstream dan khalayak ramai. Mbah Dzan tidak pernah terdidik untuk menjadi manusia
yang berguna bagi Bangsa, Negara dan Agama sebagaimana umumnya orang Indonesia.
Mungkin ia contoh dari manusia mubadzir.
Padahal ungkapan-ungkapannya terkadang menabrak pagar orang, nyerempet kendaraan
politik yang sedang melaju. Akibatnya ia dituduh anti ini dan pro itu. Padahal di tema seperti itu
Mbah Dzan biasanya hanya urusan dengan Procold atau Antimo kalau mau naik bus ekonomi
antar provinsi.
Misalnya, tiba-tiba ia bilang ke teman-temannya: “Saya takut menanyakan kepada siapa saja
apakah ia percaya bahwa kita semua ini hidup abadi. Bahkan kekal dan abadi: seolah-olah dua
rentang keabadian. Kerdilnya akal dan imajinasi kita tidak bisa mengukur keabadian kecuali
dibatasi oleh bayangan bahwa keabadian itu tak ada batasnya. Yang bisa kita pastikan: tak ada
satu makhluk pun, termasuk para Malaikat dan Nabi-Nabi, yang mengerti keabadian, kecuali
Tuhan sendiri.”
“Tetapi Tuhan menginformasikan berkali-kali bahwa manusia ini hidupnya abadi. Kholidina fiha
abada”. Ketika itu yang mendengarkan adalah Sapron, Tarmihim, Sundusin, Brakodin, bahkan
ada juga Saimon alias Mbah Shoimun, “Kita semua hidup kekal, abadi, selamanya, di Sorga, atau
Neraka. Dunia ini tempat kita magang dan uji skill, latihan ikhlas serta training kesabaran, di
depan pintu gerbang antara Sorga dan Neraka. Itulah sebabnya seluruh duka derita atau
gembira bahagia hidup di dunia ini tidak pernah kita masukkan ke kedalaman hati…”
Saimon yang menyahut: “Dzan, apakah di dunia manusia, hal-hal seperti itu penting? Apa
manfaat tema-tema seperti itu bagi hidupnya manusia?”
Mbah Dzan hanya tersenyum, dan Saimon menjawab sendiri pertanyaannya: “Bukankah bagi
manusia yang penting bukan manfaat, melainkan uang dan harta benda? Bukankah bagi
manusia yang penting bukan kegunaan hidup, melainkan kekuasaan dan citra?”
Kemudian terjadilah omong-omong kecil dan grenak-grenik di antara mereka.
Peradaban manusia Jawa, sebenarnya, sudah menemukan ketepatan kawruh atau pengetahuan
hidup ketika mereka bikin rumusan “urip ming mampir ngombe”. Hidup ini sekadar lewat dan
mampir minum. Sebagian kaum muda Jawa Zaman Now mengkonotasikannya: “Kalau
mampir ngombe itu berarti minum bir, wiski atau arak. Kalau minumnya teh, kopi, sekoteng
atau Es Teler, itu namanya mampir wedangan…”

242
Kalau boleh disebut kekurangan, maka filosofi Jawa itu mestinya dilengkapi bahwa yang
dimaksud mampir ngombe adalah “urip ning ndonya”, hidup di dunia. Kemudian manusia
melewati tahap yang bernama “mati”, padahal faktanya bukan kematian. Itu Semester kedua,
masuk kelas dengan Dosen Penguji yang bernama Malaikat Munkar dan Nakir, dengan saksi
Roqib dan Atid. Ini di luar urusan universiter dengan Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil. Belum
lagi urusan administrasi, birokrasi dan regulasi dengan para pejabat tinggi Kerajaan Langit
Malaikat Zabaniyah, Hamalatil ‘Arsy, Harut, Marut, Dar’adil, Kiroman Katibin, Mu’aqqibat,
Arham, Jundalah, ad-Dam’u, An-Nuqmah, Ahlul Adli, serta sangat banyak tak terbatas menurut
awamnya hitungan akal manusia.
Menurut Mbah Dzan, terdapat kecenderungan yang sangat kuat dan merupakan arus utama di
seluruh muka bumi, bahwa manusia sangat meremehkan masa depannya. Sangat tidak
berhitung pada segala sesuatu yang akan dihadapinya.
Kalau Tuhan kasih tahu “Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi
tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan kembali?” [1] (As-Shaaffaat: 16),
manusia nyeletuk dalam batinnya: “Ah, yang enggak-enggak aja isi Kitab Suci itu”. Kemudian
ada firman lainnya: “Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali
tulang belulangnya?” [2] (Al-Qiyamah: 3), melintas di benak manusia: “Horor dong. Masa` iya.
Nggak begitu kaliii”. Dan ketika Tuhan kasih detail:  “Sebenarnya Kami kuasa
menyusun kembali jari-jemarinya dengan sempurna” [3] (Al-Qiyamah: 4), manusia tertawa
dalam hati: “Emang animasi film kartun…”
Manusia mengira ada Bumi ada Langit, padahal Bumi hanya seserpih bagian dari Langit.
Manusia menyangka ada Dunia ada Akhirat, padahal keduanya berada di rentang atau bulatan
waktu yang sama dan satu saja. Dunia hanya intro orkestra musik keabadian. Manusia berpikir
bahwa ia bisa “membolos” dari kewajiban untuk diangkut oleh kekekalan dan keabadian.
Manusia bahkan meyakini ia bisa “pensiun dini”, setelah mabuk, rakus dan kalap di dunia,
lantas berakhir begitu saja begitu jasadnya dikubur.
Manusia berebut harta jabatan pangkat kekayaan kemewahan, padahal semua itu hanya
hartanya, jabatannya, pangkatnya, kekayaan dan kemewahannya – tetapi bukan dirinya.
Bahkan kepala badan jantung otak dan otot sarafnya itu hanya kepalanya, badannya,
jantungnya, otak dan otot sarafnya – dan sama sekali bukan dirinya. Manusia sudah punya

243
pendahulu sejak miliaran tahun yang lalu, dan sudah memproses pembelajaran lebih 800.000
tahun sejak Bapa Adam, tetapi tetap belum bisa membedakan antara Rumah dengan Tuan
Rumah. Antara Jasadnya dengan Diri-nya.
Sangat sukar menginformasikan kepada manusia bahwa badannya adalah rumah kecilnya.
Rumah kecil itu berada dalam rumahnya yang lebih besar: keluarga, kelompok, masyarakat,
dunia, alam semesta, kemudian rumah terbesar mereka adalah kampung halaman asli mereka
tempat Mudik Sejati: yakni Sorga.
Oleh karena itu manusia berbuat seenaknya, omong sekenanya, bikin pernyataan semaunya,
bertindak sepamrih udelnya, ambil keputusan ngawur – sehingga melegitimasi kekhawatiran
Iblis ketika Tuhan berencana menciptakan manusia: “Untuk apa Engkau ciptakan manusia? Toh
kerjanya cuma merusak Bumi dan menumpahkan darah?”. [4] (Al-Baqarah: 30)
Sapron, Tarmihim dan semua, termasuk Junit Jitul dan lain-lain yang mendengarkan penuturan
tentang omongan Mbah Dzan itu, tertawa terbahak-bahak. Karena, sejak Mbah Dzan sering
bicara soal bantahan Iblis kepada Tuhan itu, banyak orang menyebut Mbah Dzan sebagai figur
pro-Iblis.
Pulau-Pulau Ternak
Ada zaman di mana suatu kumpulan manusia tidak mengerti bahwa ada ayam sedang
berkokok, kalau si ayam tidak mengatakan kepada mereka bahwa ia sedang berkokok. Kalau di
pagi hari matahari terbit, ia harus pasang iklan di radio, televisi, koran atau medsos yang
mengumumkan bahwa ia sudah terbit. Kalau hujan turun dari angkasa, ia harus pasang baliho
atau poster di jalan-jalan yang memaklumkan bahwa ia sedang mengguyur.
Di antara kumpulan manusia itu komunikasi dilaksanakan dengan transparansi tingkat puncak.
Orang tidak bisa menangkap cinta orang lainnya kecuali si pecinta menyatakan secara terang-
terangan bahwa ia mencintai orang dicintai. Pernyataannya minimal dengan kata-kata, bunyi
dari mulutnya, atau tertulis di kertas, atau dengan memberikan uang, mobil dan rumah.
Kalau ada orang sedang bersedih, temannya baru mengerti sesudah orang itu memberi
pernyataan: “Saya sedang bersedih, lho”. Kalau ada Setan mendatanginya, orang tidak paham
bahwa itu Setan. Ketika si Setan menyatakan “Saya ini Malaikat lho”, maka orang itu meyakini
bahwa ia telah didatangi oleh Malaikat. Demikian juga ketika yang lain-lain datang kepadanya
dengan menyatakan “Saya merakyat lho”, “Saya Anti Korupsi lho”, “Saya Move on lho”, “Saya

244
menyuarakan hati nurani rakyat lho” dan macam-macam lagi. Orang-orang itu menjadi tahu,
percaya, kemudian mendoakannya sesudah setiap shalatnya.
Kalau ada orang Indonesia datang dan mengajak berteriak “NKRI Harga Mati”, merekapun
meneriakkan kata yang sama. “Negara kita ini…”, mereka yakin ini adalah Negara. “Hidup
Pancasila”, mereka pun memekikkan kata-kata itu, karena khawatir Pancasila mati. “Apa ada
yang lebih baik dari sistem Demokrasi?”, mereka pun tidak berani berpikir kecuali Demokrasi
adalah yang terbaik. Mereka tidak punya bahan dan alat berpikir untuk mengetahui apa NKRI,
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Demokrasi itu makna sesungguhnya. Itulah
kumpulan Muqallidin, anut grubyug, rubuh-rubuh gedang.
Bahkan kumpulan manusia itu tidak mampu menemukan makna ketika saling memandang
wajah di antara mereka. Apalagi merasakan raut muka. Terlebih lagi menyelami yang
terkandung di balik ekspresi wajah itu. Meskipun penduduk sekampung menyaksikan ada
tetangga yang menerobos api untuk menolong anak tetangganya yang rumahnya kebakaran,
kalau kemudian si penolong itu menyatakan “saya takut kepada api”, maka semua orang di
kampung itu menyimpulkan bahwa ia seorang penakut. Pada hidup mereka, fakta kalah
oleh statement.
Untuk hal-hal yang tidak terkait langsung dengan keuntungan materiil pribadinya, atau dengan
bidang ekspertasinya, dengan karier dan profesinya — kumpulan manusia itu hanya bisa
berpikir sangat sejengkal, sangat datar dan sangat dangkal. Tidak ada logika lipatan, tikungan,
dialektik, komprehensi, siklikal, zig-zag, jazzy. Tak bisa membedakan sudut pandang, sisi
pandang, jarak pandang, pamrih pandang, kepentingan pandang. Apalagi “min haitsu la
yahtasib”. Terlalu khayal untuk mengharapkan ada simulasi, tajribah, tafahhum, tadarrus,
ta’arruf, tafaqquh, tashadduq, tahaqquq, apalagi ta`addub dan ta`dib.
Meskipun dua orang hampir tiap hari ke Masjid bersama, shalat berjamaah bersama, kalau
kemudian salah seorang membisikkan ke telinga seorang lainnya “saya tidak sudi taat kepada
Tuhan”, maka sahabatnya menyimpulkan bahwa temannya itu Kafir. Meskipun seseorang
memegang beberapa biji tahi kambing, kalau Pak Lurah bilang itu adalah kue klepon hitam,
maka tahi kambing itu dimakan oleh orang itu.
Kumpulan manusia itu, meskipun tampaknya dungu dan mudah ditipu, tetapi mereka memiliki
daya hidup dan ketahanan mental yang luar biasa. Ketika ia memakan tahi kambing, ia berpikir

245
“Oo begini rasanya klepon hitam”. Kemudian ia menyesuaikan saraf lidahnya terhadap keadaan
itu, sehingga kalimat selanjutnya adalah “Oo begini yang namanya enak”. Kemudian Tuhan
malah tidak tega kepada mereka, sehingga Ia membikin tahi kambing itu benar-benar terasa
enak di mulut pemakannya. Bahkan Tuhan melarang zat-zat di dalam tahi kambing itu merusak
kesehatan pemakannya.
“Itulah sebabnya Pakde kalian Tarmihim bersikeras menceritakan banyak hal tentang Mbah
dzan kepada kalian”, kata Sundusin kepada Toling dan lainnya, “minimal untuk melatih
stamina, training kesabaran, kewaspadaan dalam keluasan dan akurasi di tengah kompleksitas.
Supaya kalian tidak ikut berbaris menjadi binatang ternak, menghabiskan makanan dan
merepotkan zaman”
Kemudian Sundusin mengingatkan kalimat Allah: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
Neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami kode-kode dari Allah. Mereka mempunyai mata tetapi tidak
dipergunakannya untuk melihat pertanda-pertanda kekuasaan Allah. Dan mereka mempunyai
telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar amsal-amsal Allah. Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. [1] (Al-
A’raf: 179)
Tetapi kemudian Seger sambil tertawa membantah Sundusin, menandinginya dengan firman
yang lain: “Sesungguhnya Tuhanmu mengampuni orang-orang yang mengerjakan kesalahan
karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya.
Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. [2] (An-Nahl: 119)
Yang Lebih Mencintai
Rupanya hal 2018-2019 itu yang membuat Mbah Dzan pergi menghilang kali ini bersama Mbah
Shoimun. Anak-anak muda itu mendengar dari Pakde Sundusin. Pernyataan Mbah Dzan sangat
melankolik dan Zaman Old banget:
“Demi cinta saya kepada rakyat, bangsa dan Negara, mulai sekarang hingga dua tahun ke depan
atau lebih, saya akan berpuasa lebih total dibanding puasa-puasa saya selama ini”, berkata
Mbah Dzan kepada teman-temannya.
“Puasa bagaimana?”

246
“Saya tidak akan mengatakan lebih banyak lagi hal-hal yang sebenarnya saya berhak
mengatakannya. Bahkan demi kepentingan umum sesungguhnya saya setengah wajib
mengatakannya. Saya akan mulai sangat menahan diri, mengunci mulut lebih erat, dan
menyimpan lebih banyak hal-hal untuk disimpan dalam rahasia”
“Hal-hal apa itu maksudnya?”
“Hal-hal tentang Indonesia, Pemerintah, Islam, kekuasaan, ormas dll”
Itulah salah satu contoh, di antara banyak contoh-contoh lain, di mana Mbah Dzan menjadi
bahan tertawaan teman-temannya sendiri, karena mengambil keputusan yang sama sekali tidak
jelas dasar pemikirannya dan tanpa memiliki kelengkapan perangkat yang diperlukan untuk
keputusan itu.
Mbah Dzan memang usil. Tahun 1969 tiba-tiba ia nongol. Beredar ke sana kemari
meDzanjukkan cintanya yang gegap gempita kepada Indonesia, rakyatnya, ummatnya, bangsa
dan negaranya. Beberapa temannya mengatakan bahwa Mbah Dzan melakukan sejumlah hal
besar pada sejumlah momentum sejarah. Tetapi kebanyakan orang menertawakannya,
menganggapnya sebagai kabar burung dan khayalan.
Kepada Pakde Sundusin ia berbisik: “Posisi kita sekarang ini seperti tersiksa menyaksikan
seorang suami yang selingkuh sana-sini, tetapi kita tidak punya kemungkinan untuk
memberitahukan hal itu kepada istrinya. Kalau saya tidak meningkatkan puasa saya dan
mendemokratisasikan mulut saya: bisa bubar rumah tangga mereka. Apalagi kalau saya
memacu nahi munkar, penegakan kebenaran, meskipun kita bermaksud baik…”
Dalam suatu pertemuan di mana Mbah Dzan menyampaikan hal puasa itu, Mbah Shoimun
yang duluan tertawa. Teman-temannya yang lain tersenyum sambil berpandangan satu sama
lain. Sebenarnya kasihan Mbah Dzan, karena sesungguhnya teman-temannya itu adalah
muridnya. Apalagi Mbah Shoimun. Siapa dia ini. Mana berhak dia menertawakan Mbah Dzan.
Apalagi responsnya sangat menyakitkan:
“Memangnya apa yang berubah kalau kamu mengatakan sesuatu atau merahasiakan sesuatu?
Apalagi tentang hal-hal besar seperti Indonesia, yang kamu tidak dikenal olehnya dan tidak
pernah punya peran apa-apa…”

247
Mbah Shoimun bilang yang dicemaskan oleh Mbah Dzan itu baik-baik saja, sementara Mbah
Dzan sendiri yang bunuh diri: “Apakah engkau akan membunuh dirimu sendiri karena bersedih
oleh mereka semua berpaling dari kebenaran…”. [1] (Al-Kahfi: 6)
Mbah Dzan sudah terbiasa diremehkan oleh Simon Saimon Shoimun sahabat anehnya itu.
Maka ia bersabar dan menjawabnya: “Kita sedang berada di suatu Negeri yang penduduknya
tidak benar-benar mengerti apa yang mereka lakukan, tidak mengetahui akan sampai ke mana
perjalanan mereka, serta tidak menyadari apa yang akan menimpa mereka. Siang malam
penduduk Negeri itu melihat dan mendengar kabar yang isinya penuh penganiayaan. Padahal
“Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka
sendiri”. [2] (An-Nahl: 33)
Mbah Dzan bercerita kepada teman-temannya tentang Allah yang merasakan betapa
mendalam cinta kekasih-Nya Muhammad saw kepada ummat manusia. Sampai-sampai Allah
menawarkan: “Karena sedemikian mendalam cintamu kepada mereka, bagaimana kalau Aku
serahkan seluruh urusan mereka kepadamu?”. Di mana Allah sendiri menuruti apa saja
kebijaksanaan kekasih-Nya itu kepada ummatnya.
Rasulullah menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku, karena Engkau lebih mencintai mereka daripada
aku. Cintamu kepada mereka lebih mendalam dibanding cintaku”.
“Saya bukan perenang yang baik di gelombang cintanya Kanjeng Nabi”, kata Mbah Dzan,
“tetapi saya berenang. Maka sebagaimana beliau, saya pun tak akan bertindak sendiri atas
apapun, melainkan menantikan perkenan dan dhawuh-Nya”.
Politik Talbis Para Radikalis-Intoleran
Pesan tentang mengintensifkan laku-puasa dan “suami selingkuh” dari Mbah Dzan itu
membuat Jitul dan teman-temannya meminta para Pakde mengadakan pertemuan khusus
dengan mereka, terutama untuk mewanti-wanti Gentholing.
Soalnya Toling sudah keterlaluan kalap pikirannya. Terakhir ia bilang kepada Junit, Jitul dan
Seger: “Kita sekarang sedang dikuasai oleh kaum radikalis-intoleran, yang menuduh siapa saja
yang tidak sejalan dengan mereka sebagai kaum radikalis-intoleran. Sedang berlangsung politik
talbis besar-besaran, dan akan disempurnakan dua tahun lagi. Mereka mentalbiskan kejahatan
sebagai kebaikan, kedhaliman sebagai kesantunan, perusakan sebagai pembangunan,
kehancuran sebagai kejayaan…”

248
Sangat berbahaya arah arus pikiran Toling. Teman-temannya tidak sedikit pun mendapatkan
peluang untuk mereaksinya, karena akhir-akhir ini Toling kalau omong sangat gencar seperti
mitraliur seribu peluru. Toling terus bicara.
“Para istri, anak-anak dan semua keluarga sebenarnya adalah manusia-manusia yang dahsyat,
benih-benih yang multipotensi untuk mrantasi masalah-masalah, bahkan
sanggup Dzangkul dunia. Tapi mereka diselingkuhi oleh Bapaknya. Dibohongi. Diperdaya.
Dikasih makan enak. Bapak dirayu menjadi bagian dari Korporasi Perselingkuhan Besar.
Keluarganya dikasih minuman lezat. Tetapi di dalamnya telah ditetesi bakteri-bakteri Talbis. Di
dalam darahnya sudah mengalir khomr, tuak, arak, yang membuat mereka semakin mabuk,
padahal dalam keadaan tidak mabuk…”
Dan gara-gara Mbah Dzan berpesan “Sekarang konsentrasi ‘Asyiki Qur`an, Kebunmu
Suburkan’, Toling sekarang tidak bicara apapun kecuali membuatnya ingat kepada firman
Tuhan. Dan kali ini ia membuka ayat ini: “Ingatlah pada hari ketika kamu melihat kegoncangan
itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah
kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal
sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya”. [1] (Al-Hajj: 2)
Jitul tidak bisa membiarkan lebih jauh arus Toling. Ia coba memotong: “Ling, apa keabsahannya
bahwa kamu menisbahkan ayat-ayat itu kepada orang-orang yang kamu tuduh? Yang dimaksud
oleh ayat itu kan Hari Kiamat…”
“Lho”, Toling membantah, “Katanya ada Qiyamah Kubro ada Qiyamah Shughro. Kiamat besar
dan kiamat kecil”
“Siapa Marja`, figur, tokoh, Mufti, Mursyid, Majlis atau lembaga rujukan untuk memastikan
bahwa sekarang ini Kiamat?”
“Ya nggak ada. Maka setiap orang perlu punya kemandirian akal dan rasa untuk menemukan
keyakinan atas rujukannya sendiri asalkan ia jujur memprosesnya”
“Bagaimana kalau orang membantahmu: Keadaan sedang jaya-jayanya, sedang sukses-
suksesnya, sedang move-on ke puncak kemegahannya, kok kamu bilang Kiamat?”
“Lho, saya sendiri sewaktu-waktu mengalami Kiamat kecil. Bisa tiap hari saya mati, untuk lahir
kembali. Setiap hari kesadaran kita berhijrah dari kematian menuju kelahiran yang baru.
Kenapa orang bersangka buruk kepada Kiamat, yang artinya adalah kebangkitan?”

249
“Tetapi ayat yang kamu kutip kan tentang goncangan dan kehancuran. Berarti kamu yang
radikal dan intoleran, tapi kamu lemparkan klaim itu ke luar dirimu…”.
Qithmir War-Roqim Wal-Anjing
Gentholing semakin sulit dihentikan. Berkepanjangan ia mengutip ayat demi ayat:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.
Dan bagi mereka siksa yang amat berat”. [1] (Al-Baqarah: 7)
“Bagaimana kalau yang dimaksud Allah itu adalah kita, bukan mereka”, akhirnya Jitul dan
lainnya sepakat tanpa berunding terlebih dulu, untuk menggoda Toling.
“Ya”, Junit menambah, “kitalah yang oleh Allah dikunci pendengarannya dan ditutup
penglihatannya”
Seger tak mau kalah: “Yang kamu tuduh itu adalah orang-orang yang hidupnya penuh Al-
Qur`an, hadits, shalawat, Kitab-Kitab, nasab orang-orang suci, sanad ilmu yang diakui oleh
sejarah. Sedangkan kamu, Ling, hanya korak…”
Toling tidak peduli. Ia meneruskan ayat:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”,
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. [2] (Al-Baqarah: 8)
“Kalau itu jelas, dan saya setuju”, kata Seger.
“Maksudmu?”, Toling bertanya.
“Kita-lah itu”
“Persis”, Junit tertawa, “Kita ini tukang ngasak yang GR. Kita merasa sudah beriman. Kita
mengais sisa-sisa padi di sawah, lantas merasa sedang panèn. Padahal orang-orang yang kamu
tuduh itulah yang panèn, yang punya sawah, yang menguasai tanah, benih, serta pegang
kendali mekanisme dari sawah hingga ke pasar”.
Tapi Gentholing terus kalap:
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu
dirinya sendiri, tetapi mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah
penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. [3] (Al-Baqarah:
9-10)

250
Seger tertawa. “Siapa yang tersiksa, Ling, kalau bukan kamu sendiri? Mereka yang kamu sebut-
sebut itu bukan hanya tidak tersiksa. Mereka sangat nyaman hidupnya. Mereka bahagia,
berkuasa dan semakin kaya”.
Jitul tertawa agak keras: “Merekalah yang lebih layak dipercaya oleh Tuhan. Mereka yang lebih
rajin memohon syafaat Nabi. Dan Agama Islam pastilah lebih memilih mereka untuk
memeluknya dibanding kamu, Ling. Mereka jelas calon penghuni Sorga. Kompatibilitas iconic-
nya jelas untuk itu. Sedangkan kalau kamu yang coba-coba kutip ayat, tak akan ada manusia
yang percaya. Malah Setan pada tertawa…”
“Maaf, saya tidak sedang bermain-main”, kata Toling, “Saya serius”.
“Lho siapa yang main-main?”, kali ini Junit yang menjawab, “Setiap ayat Tuhan bisa melahirkan
beribu-ribu tafsir. Bahkan tafsir terhadap satu ayat jumlahnya bisa melebihi jumlah semua
manusia. Karena setiap orang bisa berkembang pemikirannya dan bisa berubah tafsirnya. Dan
di antara hutan belantara tafsir itu saya sengaja memakai tafsir yang menentang tafsirmu…”,
Junit meledak tertawanya.
“Qithmir kamu!”, Gentholing memaki.
“Lho memang saya Ar-Roqim”, kata Jitul.
“Kalau saya air liur anjing saja sudah bersyukur. Syukur jadi lidah Ar-Roqim. Lebih-lebih lagi
kalau boleh jadi kaki Qithmir. Pasti tidak masuk neraka, bahkan bisa dipakai melangkah
memasuki Sorga”, kata Junit.
Gentholing Terombang-Ambing
Para Pakde tidak tega melihat Gentholing terombang-ambing dalam arus besar pertentangan
antara kebenaran yang dipelajarinya selama ini dengan keadaan di sekelilingnya. Secara
bertahap ia bersama teman-temannya belajar memahami zaman, melalui berbagai metode dan
terminologi yang berasal dari berbagai macam sumber. Dari wacana-wacana tradisional hingga
yang paling modern dan advanced. Dari filosofi sehari-hari hingga filsafat-filsafat besar dunia.
Dari yang paling remang-remang di rimba kebatinan hingga informasi dan hidayah firman.
Pengetahuan itu menjadi ilmu. Ilmu menjadi kesadaran. Kesadaran menjadi kritisisme yang
mendorong gerak ekDzanerik ijtihad. Dan sebagian hasil ijtihad menjadi keyakinan. Tapi
sekaligus semakin mengalami benturan-benturan dengan fakta-fakta sejarah terutama yang
kasat mata. Berlakunya peradaban ummat manusia di seluruh dunia, yang penduduk Negerinya

251
sedang setengah mati mengejarnya, adalah dalam lingkup Ilmu Katon. Semua yang tidak Kasat
Mata yang bersifat remang-remang dan penuh kabut: menjadi wilayah pemalsuan, klaim
subjektif, iman yang tertekuk atau bahkan terbalik, manipulasi, pencitraan, kriminalitas nilai
dan berbagai formula kemunafikan yang semakin hari semakin canggih.
Dan Gentholing terombang-ambing, terhempas-hempas ke tengah arus yang tak bisa
dikendalikannya. Atau terdampar di pantai dengan bebatuan terjal yang menyakitinya dan
mendorongnya untuk menyerah. Tetapi Toling tidak pernah menyerah, bahkan ia menolak
Pakde-Pakdenya menyebut dia sedang terombang-ambing.
“Saya tidak terombang-ambing, Pakde”, bantahnya, “setiap yang saya ketahui, selalu jelas
faktanya, masalahnya, metodologi dan analisisnya. Saya tidak terombang-ambing: saya sedang
menyaksikan keadaan di mana sangat banyak orang sedang terombang-ambing. Sangat terang
benderang saya menemukan maksud Allah pada keadaan yang sedang berlangsung…”
Ia mengutip: ”Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan,
tetapi mereka tidak sadar”. [1] (Al-Baqarah: 11-12)
Junit merespons: “Mereka yang kamu maksud itu justru meyakini yang sebaliknya. Mereka
yakin sedang membangun, sedang menyelenggarakan kebaikan. Dan justru muatan-muatan
pikiranmu itu yang mereka anggap sebagai potensi perusakan”.
“Tidak”, Toling bersikeras, “Saya menghimpun sangat banyak bukti bahwa mereka itu
otoritarian, Machiavelis, egosentris, menghalalkan apa saja asal mereka yang melakukan. Halal
adalah sesuatu yang perlu mereka lakukan untuk mempertahankan dan memperpanjang
kekuasaan. Haram adalah hal yang sama dengan yang mereka lakukan itu, namun dilakukan
oleh pihak-pihak lain yang merupakan penghalang bagi kekuasaan mereka…”
Jitul menggoda Toling: “Jadi apa yang seharusnya kamu lakukan terhadap penguasa yang lalim
namun berlagak Malaikat itu?”
“Mereka mengolok-olok Allah, meremehkan isi firman-firman, mempermainkan Agama dan
menghina para peyakinnya”, jawab Toling, “tetapi ‘Allah akan membalas olok-olokan mereka
dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka’”. [2] (Al-Baqarah: 15)

252
Jitul tersenyum: “O, jadi kamu Dzanggu Allah yang membalas mereka? Kenapa kamu tidak pilih
perintah Allah “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas”. [3] (Al-Baqarah: 190)
Tiba-tiba Pakde Brakodin memotong: “Proses Toling ini sangat mahal. Biarkan dia
meneruskannya, sepanjang ia jernih, objektif dan berniat suci. Biarkan ia omong apa saja
kepada kita. Asalkan kita jaga jangan katakan yang begitu-begitu kepada para tetangga. Kepada
orang lain, Toling harus belajar bijaksana dan pandai mengukur kadar muatan yang
diungkapkannya, serta menahan diri untuk tidak menyatakan kebenaran-kebenaran yang ia
yakini, yang hasilnya justru bisa sebaliknya, karena ruang dan waktunya belum tepat…”.
Kupijiti Kaki-Mu
“Bagaimana kalau kita rekreasi sejenak. Sekarang kita santai omong tentang kambing saja,
anak-anak”, akhirnya Pakde Brakodin ambil inisiatif. Semua menoleh kepadanya dan tentu saja
belum paham.
“Omong tentang kambing bagaimana maksudnya, Pakde…”, tanya Seger.
“Ya tentang kambing. Kembali ke yang ringan-ringan saja, yang sesuai dengan level ilmu kita”,
jawab Pakde Brakodin.
“Maksud Pakde, kalau ngomongin keadaan manusia, masyarakat, ummat, Negara, Pemerintah,
kebudayaan, peradaban dan yang begitu-begitu itu bukan level kita?”
“Menurut kamu apa tidak demikian? Kita sering berbincang tentang itu semua hanya karena
cinta, bukan ilmu. Kalau secara ilmu, kita semua ini hampir 100 persen tidak memenuhi syarat.
Kami orang-orang tua ini rata-rata mogol Sekolah, nyantri juga setengah-setengah. Kalau kalian
mungkin agak lebih pantas karena dibesarkan di era modern. Sedangkan Pakde-Pakde ini
pengalaman utamanya hanya menggembalakan kambing…”
Seger akan membantah lagi, tapi pundaknya digamit oleh Junit, yang kemudian merespons
Pakde Brakodin.
“Baiklah Pakde, kita ngobrol tentang kambing”, katanya, “tapi kenapa kambing? Ada apa
dengan kambing?”
“Kita ibaratkan saja ummat manusia ini kambing”, jawab Pakde Brakodin, “rata-rata para Nabi
dulu oleh Tuhan disuruh menggembalakan kambing. Kasus penyembelihan Ismail oleh Ibrahim

253
berujung di kambing. Makanan kesukaan Nabi Muhammad juga kaki kambing bagian kanan
depan. Nabi Musa pernah ditegur oleh Malaikat Jibril gara-gara bersikap sok pintar kepada
seorang anak penggembala kambing…”
Seger memotong: “Sejarah diturunkannya Agama ternyata diperangkati tidak hanya dengan
firman dan uswatun hasanah perilaku para Nabi, tapi juga oleh kambing…”
“Ada anak kecil menggembalakan kambing di pebukitan. Ia duduk setengah berbaring di atas
sebuah batu. Kemudian ia bergumam-gumam sendiri: “Wahai Tuhan, terimalah aku menjadi
jongos-Mu. Kalau Engkau lelah, kupijiti kaki-Mu. Kalau Engkau haus, kumasakkan air. Kalau
engkau tidur, kujaga dari nyamuk-nyamuk…”
Nabi Musa yang pas lewat dan mendengar itu, langsung menegur anak itu: “He, jangan lebay.
Menjadi hamba Allah itu peran terbaik dalam kehidupan. Tetapi tidak lantas menganggap
Tuhan bisa kecapekan kakinya, merasa haus dan perlu tidur nyenyak”
Belum selesai kalimat Nabi Musa, mendadak datang Malaikat Jibril dan mengkritiknya dengan
keras: “Musa, biarkan setiap hamba Allah memproses pendekatannya kepada Allah dengan
cara, kadar dan tahapnya masing-masing”
Andaikan Jibril adalah manusia, mungkin tegurannya lebih vulgar: “Jangan mentang-mentang
kamu Nabi, lantas merasa lebih dekat kepada Allah dibanding penggembala kambing. Jangan
sok alim. Jangan GR merasa paling move-on ilallah…”
Tiba-tiba terdengar Jitul tertawa agak panjang. “Apakah itu berarti Pakde bertiga barusan
ditegur oleh Malaikat Jibril?”, katanya.
“Maksudmu, Tul?”
“Toling adalah anak kecil penggembala kambing, menikmati kedekatannya dengan Tuhan,
lantas para Pakde menegur, dan malah ditegur balik oleh Malaikat Jibril”
Pakde Brakodin ikut tertawa. “Terbalik”, katanya, “Justru Toling mewakili Malaikat Jibril.
Seharusnya ketika itu Nabi Musa menjalankan perintah Allah: ‘Idzhab ila Fir’auna innahu
thagha’. [1] (Thaha: 24) Pergi datangilah Fir’aun, sesungguhnya ia melampaui batas. Lha kok
Nabi Musa malah jalan-jalan ke gunung…”.
Kambing Zaman Now
“Kambing bertebaran di hamparan firman-firman. Tentu ada kode, maksud tersurat atau
tersirat di balik itu”, Pakde Brakodin meneruskan bab kambing, “Seakan-akan Tuhan

254
memaparkan tentang fenomena-fenomena psikologi, watak, budaya, mungkin strategi politik
manusia, melalui kisah Bani Israel dengan kambing betina”
Di rumah-rumah ibadat tertentu para pemimpinnya menyebut diri Penggembala, sementara
jemaatnya adalah domba-domba. Ketika Allah menggambarkan orang-orang yang mempunyai
hati tapi tak dipergunakan untuk memahami, mempunyai mata dan telinga tapi menjalani
karier hidup dengan buta dan tuli atas sesamanya, dengan “mereka seperti binatang ternak,
bahkan lebih hina” [1] (Al-A’raf: 179) mestinya yang paling populer dan ranking 1 binatang
ternak adalah kambing. Meskipun orang juga berternak lembu, kerbau, bebek, ayam, lele.
Bahkan ada yang berternak rakyat – yakni memperlakukan rakyat dengan tata kelola
peternakan.
Pun Nabi Daud yang perkasa, Bapaknya Nabi Sulaiman yang agung, ada urusan dengan
kambing. Tuhan berkata kepadanya: “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia
meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”. [2] (Shaad: 24)
“Coba Jitul”, kata Pakde Brakodin, “apa yang kamu ingat tentang kambing”.
“Dalam sejarah alam di mana manusia hadir, kambing selalu diternakkan”, jawab Jitul,
“bermacam-macam cara menternakkannya, tapi diternakkan, tidak dibiarkan liar. Ada yang
dihimpun dalam kandang, pada siang hari digiring mencari rerumputan. Ada yang diikat
lehernya dengan tali, dan tali itu diikatkan pada sebuah patokan”
“Junit?”, Brakodin berpindah tanya kepada Junit.
“Panjangnya tali ke leher kambing diukur berdasarkan jaminan keamanan bahwa kambing tidak
memakan rumput yang bukan milik penggembalanya. Jangan sampai kambing menerobos
masuk ke kebun yang bukan haknya”
“Seger?”
“Patokan kambing bisa sebuah batu, atau kayu yang ditancapkan. Atau kalau penggembalanya
punya waktu luang, pangkal tali itu ia sendiri yang memegangnya. Seorang penggembala,
karena ia manusia, bisa berdisiplin dengan tidak membawa kambingnya makan rumput yang

255
haram baginya. Tapi bisa juga nakal, demi kepentingan kesuburan kambingnya, ia justru
membawa kambingnya ke kebun-kebun yang bukan miliknya”
“Toling?”
“Kambing Zaman Now tidak mau ditali lehernya dan tidak ada patokan yang disiapkan untuk
mengendalikannya”, jawab Toling, “kambing Zaman Now semakin banyak yang berpendidikan
dan beradab. Mereka sangat sadar Hak Asasi Kambing. Mereka tidak mau ditali dan diikat oleh
patokan. Mereka mandiri, memiliki pemikiran sendiri yang orisinal. Kambing-kambing Zaman
Now hidup di kebun-kebun Demokrasi. Mereka merdeka. Mereka melakukan apa saja yang
mereka ingin lakukan. Kambing Zaman Now memenuhi kota-kota, pantai-pantai, bentangan
tanah-tanah seluas-luasnya, memakan semua rerumputan dan dedaunan serta apa saja dan di
mana saja yang mereka mau…”.
Ngajak Berantem Allah
Salah satu prestasi tingkat tinggi demokrasi dan freedom of speech yang dicapai oleh
Indonesia era Now adalah kemerdekaan manusia untuk melecehkan Tuhan, menghina Nabi,
menginjak-injak Islam dan mencanangkan bahwa biang dari segala bencana sejarah adalah Al-
Qur`an dan Sunnah. Prestasi itu mencapai puncaknya ketika tak ada risiko apapun dari manusia,
masyarakat dan ummat, juga dari Negara, sesudah melakukan penghinaan-penghinaan itu.
Bahkan puncak prestasi itu menjadi sempurna karena dilakukan di Negara yang sangat getol
mencanangkan Pancasila sebagai dasar filosofi dan ideologinya. Semakin hari semakin kentara
bahwa yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa di Sila Pertama itu bukanlah Allah swt. Sampai hari
ini saya belum memperoleh bahan tentang siapa Tuhan Yang Maha Esa itu sebenarnya.
Sementara saya hanya tahu ia bukan Allahu Ahad, [1] (Al-Ikhlas: 1) melainkan Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga ada dua-nya, tiga-nya dan seterusnya.
Allah swt sendiri mempersilakan, membuka pintu lebar-lebar. “Dan katakanlah: “Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman, berimanlah. Dan barangsiapa
yang ingin ingkar, maka ingkarlah“. [2] (Al-Kahfi: 29) Mungkin Tuhan Yang Maha Esa adalah roh,
dzat, entitas atau eksistensi yang lain. Mungkin juga ia adalah materi, semacam benda, energi,
atau frekuensi. Pun bisa arus, gelombang, nyala, api, sesuatu yang membuat sesuatu menjadi
bergolak. Atau mematangkan. Atau membakar, menghanguskan dan memusnahkan.

256
Saya butuh bertemu dengan pakar yang saya mintai tolong untuk menjelaskan itu. Apalagi di
Sila Pertama itu yang disebut bukan subjek, melainkan sifat. Padahal benderanya sangat tegas:
Merah, bukan kemerahan. Dan Putih, bukan keputihan.
Tetapi di luar muatannya yang tidak jelas bagi bangsanya, saya tetap pegang Pancasila sebagai
paket perjanjian kebangsaan di mana saya berada di dalamnya. Sebagaimana Merah Putih.
Pokoknya bukan warna lain, jingga atau hitam. Perkara makna Merah itu apa dan arti Putih itu
apa, itu ranah diskusi.
Maka Seger mencatat: Siapapun jangan pernah ragu-ragu untuk menegakkan demokrasi hidup
dan kemerdekaan berpikir. Silahkan mem-bully Allah swt, menghina Nabi-Nya, serta mengubah,
memalsukan, mengurangi, menambahi atau memanipulasi firman-firman-Nya. Adalah hak asasi
setiap manusia untuk melakukan apa saja yang ia maui.
Mungkin ada yang omong-omong begini:
“Beriman silakan, kufur juga monggo, sebagaimana Allah swt mempersilakan —dengan risiko
masing-masing”.
“Lho, jadi kafir itu boleh?”
“Boleh. Kan itu keputusanmu sendiri. Cuma yang kamu kufuri kan Allah swt, bukan saya. Jadi
urusanmu sama Allah swt. Terserah Dia akan bersikap bagaimana. Kalau kamu berani berantem
sama Dia, ya silakan”
“Ah mosok berantem lawan Allah…”
“Kan memang makin banyak orang, terutama para pemimpin tokoh-tokoh yang ngajak
berantem Allah. Kalau saya ndak mau terlibat konflik dengan Dia. Beriman atau kafir itu bukan
soal kemauan, tapi keniscayaan. Dia yang bikin saya, ya sudah saya ngikut saja sama Dia. Kecuali
kalau saya yang bikin Dia, maka Dia jangan macem-macem sama saya, nanti saya bikin kaku
lidahnya, atau saya cabut sehelai sarafnya, atau saya remote otaknya sampai gila, jalan
telanjang di Thamrin dan Sudirman, atau pas pidato saya bikin gatal seluruh tubuhnya…”
“Tetapi bukankah ada yang jelas sudah masuk penjara karena dianggap atau diklaim sebagai
menistakan Agama?”
“Setahu saya itu kasus tafsir, bukan nash. Ranahnya konotasi, bukan denotasi. Kalau yang
denotasi, malah belum ada risiko. Menghukum atas kasus tafsir itu pun karena terdesak atau
terpaksa. Institusi yang memasukkannya ke dalam penjara sudah mengupayakan secara

257
maksimal untuk tidak memasukkannya ke dalam penjara. Dan sesudah terpaksa masuk penjara,
juga tidak ada pengakuan intelektual bahwa ia bersalah. Juga tidak ada kerelaan kultural dan
politik bahwa ia masuk penjara”.
Do
“Kalian harus mundur beberapa langkah. Kalian sedang terseret memasuki alam gaib yang luar
biasa berkabut. Kalian perlu menarik seribu nafas panjang. Keluar hawa dengan kesadaran La
Ilaha dan masuk udara dengan kekhusyukan Illallah. Kalian sangat mencintai Negeri di mana
kalian lahir dan dibesarkan, tetapi kalian tidak semakin paham kepada Negara yang sedang
kalian alami…”
Mbah Shoimun nongol menyampaikan pesan Mbah dzan terutama kepada anak-anak muda di
lingkaran para Pakde Paklik, yakni sahabat-sahabat Mbah Dzan sendiri.
“Negara kalian didirikan oleh anak-anak didik para penjajahnya”, Mbah Saimon meneruskan,
“Maka muatan-muatan pemikiran, filosofi, landasan dan spektrum nilai-nilainya juga ditransfer
dari pandangan hidup para kolonial yang mereka warisi. Bangunan sejarah yang kini sedang
kalian alami adalah hasil dari pandangan hidup semacam itu. Kalian banyak dibikin bingung oleh
itu semua, sehingga seringkali kalian terlempar ke wilayah-wilayah yang disebut radikal, dan itu
membuat pendapat dan ekspresi kalian dikategorikan sebagai intoleran…”
Terus terang anak-anak itu karena kental berada di alam pikiran para Pakde Paklik, tidak heran
atau kaget oleh jenis dan wilayah aspirasi Mbah dzan. Tetapi tidak berarti apa yang
disampaikan oleh Saimon itu bisa serta merta dipercaya sebagai pesan otentik Mbah Dzan.
Terutama pesan tentang “Negara kalian didirikan oleh anak-anak didik para penjajahnya”,
secara ide itu tidak terlalu radikal, tetapi apakah budaya santun Mbah Dzan memungkinkan ia
mengeluarkan kesimpulan sekeras itu.
Akan tetapi bahkan ada pesan Mbah Dzan yang lebih keras: “Kalau kalian naik ke angkasa,
melihat bumi dari suatu ketinggian: tampak ada suatu area di tanah air kalian yang bisa
dikatakan semacam small black hole, lubang hitam kecil. Bukan black hole di pusat jagat raya
yang menyerap apa saja ke lubuk kegelapannya. Ini lubang hitam kecil yang terletak di antara
dua Kutub bumi, dekat garis Khatulistiwa, di wilayah Nusantara. Area itu merupakan
Laboratorium Perusakan. Semacam Mesin Penghancur. Siapa saja dan apa saja yang
memasukinya, berubah menjadi potensi penggelapan, perusakan dan penghancuran…”

258
Anak-anak semakin ragu apakah benar Mbah Dzan berpesan demikian.
“Tetapi kalau kalian melihatnya dari koordinat yang lain, kalian mungkin akan melihat garis atau
sambungan guratan-guratan di alur waktu. Rentangan dari Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, juga alur
Ismail, Ilyasa`, Zulkifli. Yang pertama deretan orang-orang yang ditokohkan oleh Allah untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Alur kedua urutan orang-
orang yang terbaik sehingga menjadi pilihan-pilihan yang terbaik pula”. [1]  (Shad: 45-48)
“Saya tidak punya hak apapun untuk turut menentukan keputusan-keputusan dalam hidup
kalian”, demikian bagian akhir pesan Mbah Dzan, “tetapi saya melihat ada dua pilihan di depan
kalian. Pertama, menjauhlah dari Tarmihim, Brakodin, Sundusin dan semua handai tolannya,
keluarlah ke medan kehidupan nyata. Bergabunglah di barisan Ibrahim melalui jalur Ya’qub
atau jalur Ismail. Nikmatilah kemajuan zaman, kejayaan hidup dan kemegahan peradaban yang
sedang gencar-gencarnya dibangun”.
“Atau, pilihan kedua, kalau kalian tidak sanggup memahami bahwa gelombang zaman yang
sedang bergulung-gulung ini yang disebut kemajuan dan kejayaan — maka kosongkan diri
kalian dari nafsu untuk membenarkan atau menyalahkan. Menyingkirlah dari arus besar yang
sudah sangat mantap dengan apa yang dilakukannya. Gelombang pembangunan yang sudah
khatam ilmunya. Sudah sempurna keputusan langkahnya ke masa depan, sehingga tidak tersisa
apapun yang perlu dipertanyakan, dihitung ulang atau dimuhasabahi kembali. Menyingkirlah
kalian ke wilayah kesunyian, bercocok tanam dan belajarlah kembali mulai dari Do. Kalau kalian
tidak lulus mata pelajaran Do, maka kalian tushibu qouman bijahalah. Menimpakan kebodohan
kepada bangsamu sendiri. Kemudian fatushbihu ‘ala ma fa’altum nadimin. Kalian besok akan
menyesali perbuatan dan keputusan-keputusan kalian…”. [2] (Al-Hujurat: 6)
“Do?”, anak-anak itu berpandangan satu sama lain.
Dismanajemen Do
“Allah menciptakan mozaik bunyi, peta nada dan struktur irama. Manusia, yang dijadikan
sebagian dari pelakunya, juga dianugerahi sumber dan pengolah suara. Kemudian manusia
mengalaminya, menikmatinya dan secara sengaja atau tak sengaja merumuskannya”.
“Komposisi dan aransemen dari seluruh kemungkinan bunyi itu, tidak bisa dibatalkan atau
diharamkan oleh siapapun termasuk manusia. Bahkan manusia mensyukurinya, mencoba
memahaminya, memetakannya dan menyebutnya sebagai musik. Manusia menghayati musik

259
alam, menirunya, kemudian mengkreatifinya, sehingga muncullah musik kebudayaan, yang
sebagian darinya disebut musik kesenian atau seni musik.”
“Setiap anak balita belajar berjalan menapaki tangga nada, mendaki, menuruni, berbalik,
meloncat, melompat, mengulang. Nanti di Taman Kanak-kanak mulai diperkenalkan bahwa
bunyi yang mereka alami dirumuskan dengan rumus do-re-mi-fa-sol-la-si. Setelah menapaki SD,
SMP atau SMA, sebagian mereka mengetahui bahwa 5`5`5` 4`3`2` 3`2`1`adalah notasi akhir lagu
kebangsaan kita: Hiduplah Indonesia Raya”.
***
“Akan tetapi untuk kelak menjadi Sarjana, Sarjana Utama, Profesor Doktor, tidak ada
persyaratan untuk harus tahu apa itu Do dan di mana letaknya di dalam mapping nilai
kehidupan manusia. Untuk menjadi Intelektual atau Alim Ulama pada umumnya, menjadi
tokoh-tokoh berbagai bidang, bahkan untuk menjadi Pejabat Negara sampai ke yang paling
puncak — tidak ada syarat rukun ilmu dan pengetahuan tentang Do yang harus dipenuhi”.
“Untuk menjadi Doktor, diakui sebagai Profesor atau dijunjung sebagai Mursyid suatu
Kelompok Thariqat, Maula dan Syekh suatu jamaah Salikin, menjadi pemimpin masyarakat atau
pejabat Negara — tidak menjadi masalah meskipun mereka tidak tahu, tidak mengalami,
menikmati atau apalagi menguraikan secara ilmu dunia do-re-mi-fa-sol-la-si-do, semesta ji-ro-
pat-mo-nem-pi, apalagi planet-planet keindahan Bayati, Shoba, Nahawan, Hijaz, Rost, Sika dan
Jiharkah, beserta detail anak-anak tangganya — yang bisa membuat pendengarnya serasa
berada di dalam kuburan atau di hamparan langit”.
***
Mungkin karena gatal perasaannya selama mencatat itu semua, Seger menginterupsi: “Apa
pasalnya kok Mbah Dzan menyuruh kita belajar kembali dari Do?”
Tarmihim yang menjawab: “Mungkin karena kita ini menjadi Adam saja tak bisa-bisa, apalagi
menjadi Khalifah. Kita ini menjadi manusia yang memanusiakan manusia saja belum bisa,
bagaimana mungkin meningkat ke posisi hamba Tuhan? Kita ini membangun tata kemanusiaan
saja belum mampu, apalagi peradaban penyembah Tuhan. Terlebih lagi betapa mungkin
mendesain dan menerapkan Khilafah?”

260
Sundusin menambahkan: “Mbah Dzan kan pernah menguraikan evolusi kreatif dan fungsional
makhluk Tuhan dari level Insan atau Nas (manusia) menuju Abdullah (hamba Tuhan) sampai ke
Khalifatullah (pemanggul Khilafah amanah Allah)”.
Dan Brakodin menyempurnakan: “Kalau para pemimpin dan kaum cerdik pandai masih
terserimpet dismanagemen Do dalam pemahaman tentang manusia dan ilmu kehidupan,
sehingga masih mempertentangkan Khilafah dengan Pancasila, Islam dengan
Demokrasi, Baldah dengan Republik — maka wajar kalau rekomendasi Mbah Dzan adalah
belajar kembali dari Do”.
Nada Mayor untuk Meminorkan
Seger tertawa dan bernyanyi “do re mi fa sol la si do”, nadanya naik, kemudian turun: “do re mi
fa sol la si do…”
Junit menyahut: “a b c d e f g…v w x y z… sekarang aku tahu bagaimana a b c…”
Jitul tak mau kalah: “Ahad Itsnain Tsulatsa Arbi’a Khamis Jum’ah Sabta…”, ia tertawa, “hari
keenam disebut Jumat, tidak meneruskan angka Arbi’a dan Khamis, karena sesudah lima hari
kerja, dianjurkan rekap dan rembug kolektif (jum’ah), lantas kontemplasi dan tafakur di hari
Sabat (Sabtu), terus kerja lagi di hari pertama: Ahad. Lha kok pada hari Ahad malah libur…”
Tentu saja Toling tidak bisa menahan diri. Ia berjoget-joget: “Alif difathah a alif dikasroh i alif
didhommah u… hono coroko, doto sowolo, podho joyonyo, monggo bothongo bali podho
joyonyo monggo bothongo…pahing pon wage, kliwon legi, iku dino pasaran tumrap wong
Jowo…”
Seger bicara serius: “Pasti kita menghormati semua ijtihad atau kreativitas pemahaman waktu
yang dilakukan oleh berbagai bangsa. Tetapi kenapa pembelajaran kita harus dimulai dari Do?
Kenapa tidak Ho, misalnya, atau Alif atau Ji? Apakah karena Do lebih bergengsi dibanding Ji?
Sebagaimana Alif Allah dirasa lebih kuno dibanding A=Apple? ”
Tarmihim lagi yang menjawab: “Mungkin Mbah Dzan tidak tega kita menjadi bangsa Pahing
terus. Beliau berharap kita mulai belajar agar kelak menjadi bangsa yang Legi…”
“Tidak terlalu nyambung, Pakde, meskipun bisa paralel”, sahut Junit.
“Apakah pada tahapnya nanti pembelajaran Do tidak hanya sampai ke Si, tetapi mengaplikasi
menjadi Do Bahasa Inggris?”, Seger mengejar.

261
Tarmihim hanya tersenyum. “Yang penting lelaku Do dulu lah…”, katanya, “Kata Mbah Dzan, Do
ini hanya salah satu gerbang metode. Bisa cari dan pakai gerbang lainnya yang berposisi Ibu
Ilmu. Coba sambil menghayati Do, cari bahan-bahan bagaimana para Ulama menguraikan
kenapa Al-Fatihah disebut sebagai Ibu Qur`an. Ummul Kitab. Induk pengetahuan. Coba urut
kata dan kalimatnya, kenapa Bi-ismi adalah induk, kenapa Rahman dan Rahim adalah pangkal,
kenapa pengulangan dua karakter utama itu adalah titik pijak, dan urut sampai tartil”. [1] (Al-
Fatihah 1-7)
“Nanti pasti mampir di Babul ‘Ilmi untuk memasuki Madinatul ‘Ilmi ya Pakde”, Junit menyahut.
“Harus”, kata Brakodin, “orang beramai-ramai, berkerumun dan berlari kesana kemari di kota
raya ilmu pengetahuan, tapi salah memasuki pintunya. Sehingga mereka tidak punya ukuran
apa beda antara kota raya ilmu dengan rimba raya pengetahuan…”
“Saya ingat Mbah Dzan bilang bahwa sangat aneh manusia-manusia yang merasa paling
beradab sekarang ini selalu mengutuk hukum rimba”, Sundusin menambahkan, “padahal
hukum rimba adalah habitat, organisme dan metabolisme alamiah yang terbaik, karena
diciptakan oleh Tuhan. Selalu berlangsung dalam keseimbangan dan ekosistemik. Sementara
peradaban manusia meniru-nirunya tanpa pernah benar-benar berhasil. Manusia berpikir
bahwa mereka paling pandai dan paling berkuasa, padahal prestasi manusia di setiap kurun
peradaban adalah menciptakan ketimpangan dan ketidakseimbangan. Sehingga tidak pernah
tidak hancur pada akhirnya…”
“Sudahlah”, kata Tarmihim lagi, “lakukan saja belajar Do. Supaya kalian tidak ikut-ikut meleset
ilmu ketika bicara tentang pribumi, asing-aseng, pluralisme, liberal, radikal, intoleran, makar.
Hahaha…dari mana mereka pinjam kosa kata ‘makar’ itu? Yang lantas di-DO-DO-kan dengan
nada mayor tapi untuk meminorkan?
Do = Cinta = Benci
Seorang tokoh yang pernah mengenal dunia musik mungkin menjawab: “Do adalah nada
pertama dalam susunan Solmisasi”. Lainnya agak detail: “Do adalah nada sebelum Ré sebelum
Si dalam susunan baku nada musik Barat”. Sejumlah praktisi musik menjawab lebih aplikatif:
“Do pada C-mayor beda dengan Do = E-minor”.
Do tidak bisa ada, menjadi Do atau disebut Do karena diri Do itu sendiri. Do tidak bisa meng-
ada atau berbunyi sebagai Do tanpa ada unsur-unsur lain yang bukan Do yang hadir sebagai

262
satu kebersamaan. Do bukan terutama eksistensi, melainkan posisi. Do bukan ekspresi otentik
dan mandiri, melainkan bagian dari suatu susunan fungsi.
Do disebut Do semata-mata karena berkaitan dengan Ré atau Si dan titik-titik nada lainnya
dalam suatu interval atau jarak ketinggian atau kerendahan nada. Do eksis sebagai Do
sepanjang ia berada dalam suatu silaturahmi dengan nada-nada lainnya. Tanpa interval-interval
silaturahmi itu Do hanyalah setitik bunyi, yang tidak bisa disebut atau menjadi Do.
Do juga bukan suatu eksistensi tertentu yang permanen, yang terletak di suatu koordinat ruang
dan waktu tertentu. Titik atau koordinat manapun bisa menjadi Do, juga bisa menjadi Ré atau
Mi bergantung pada pola perhubungan intervalnya di antara koordinat-koordinat itu.
Maka kalau diandaikan Do adalah kebencian, tidak bisa disimpulkan Do = kebencian. Sebab ia
kebencian atau bukan tidak ditentukan oleh bunyi Do, melainkan dilihat dari peta intervalnya
dengan titik-titik nada yang lain. Demikian juga Mi atau Sol terkadang bisa berfungsi
mengekspresikan cinta, bisa juga mengungkapkan benci. Bergantung pada peta interval dan
keseluruhan aransemennya.
Ketika berada di tangan manusia, Do berhadapan dengan risiko sifat-sifat dan kepentingan
manusia. Mungkin kasih sayang, mungkin egosentrisme. Mungkin kebersamaan, mungkin
monopoli. Mungkin kenikmatan persaudaraan, mungkin Machiavelisme. Mungkin keikhlasan
dan kejujuran, mungkin kedengkian dan kecurangan.
Kalau berada di genggaman tangan manusia yang kerdil jiwanya karena sangat menyembah
dunia, maka kapan saja Do bisa diangkut sebagai bukti materiil Ujaran Kebencian, untuk
menghajar atau memusnahkan siapapun yang dibencinya. Undang-undang tentang Ujaran
Kebencian dirancang oleh kumpulan manusia yang penuh kebencian kepada siapa saja yang
dianggapnya merupakan penghalang bagi nafsu kekuasaan dan api keserakahannya.
Jika kumpulan manusia semacam itu berkuasa di suatu Negara, maka ciri utama perilaku
kekuasaan mereka itulah yang membuat Allah mewanti-wanti ummat manusia: “Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berbuat tidak adil…“. [1] (Al-Maidah: 8)
IN DO NESIA
Karena setiap titik bisa menjadi Do. Karena setiap koordinat bisa berposisi Do. Karena setiap
ungkapan bunyi bisa berperan Do. Juga setiap kata bisa beraktualisasi Do. Dan itu tergantung

263
pada keterkaitan interval-intervalnya. Tergantung pada konteksnya, spektrum tematiknya.
Setiap dan semua bisa menjadi Do, Re, Mi, Fa, Sol, La maupun Si.
Maka “Allahu Akbar” pun bisa berposisi Do, Re, Mi, Fa, Sol, La ataupun Si. Teriakan Allahu Akbar
bisa bernuansa ketakjuban dan rasa syukur. Bisa juga tampil sebagai ancaman yang
mengerikan. Pun tidak mustahil ia aktualisasi rutin orang sedang melakukan shalat, takbiran
Idul Fitri atau Idul Adlha.
Paralel dengan itu “Pancasila” bisa menaikkan adrenalin nasionalisme. Tapi bisa juga
memancarkan kegeraman atau amarah kepada siapa saja yang dimaksudkan diam-diam di balik
teriakan Pancasila. Demikian pula Merah Putih bisa menjadi lambang pengayoman bagi Hijau
Coklat Kuning dan warna-warna lain. Atau justru merupakan peringatan keras kepada siapa saja
yang dituduh tidak Merah Putih.
Bagi suatu bangsa dan kepemimpinan atau pemerintahan yang tidak mengajak rakyatnya
membangun pemahaman proporsional atas hakikat dan manajemen Do, kata apapun yang
diucapkan oleh yang sedang berkuasa — radikalis, intoleran, makar, anti Pancasila, anti
Bhinneka Tunggal Ika — akan tidak memancarkan dan menghasilkan kelegaan, rasa aman dan
kegembiraan bersama. Melainkan bisa sebaliknya: rasa tidak dikehendaki, rasa dimusuhi, rasa
dibuang.
Kalau teriakan “Intoleran, Radikalis, anti-Pancasila” muncul dari wajah-wajah yang melotot,
bersamaan dengan wajah-wajah lain yang juga tidak tersenyum yang memekikkan “Allahu
Akbar, Pribumi, Asing Aseng” — maka seluruh bangsa ini akan terjungkal-jungkal dan
terperosok ramai-ramai memasuki jurang dan lingkaran setan. Indonesia menjadi tidak lagi satu
kata, melainkan tercerai berai menjadi In, Do dan Nesia. Berikutnya setiap huruf yang semula
menyusun persatuan kesatuan Indonesia, menjadi terpecah
belah I dan n dan d dan o dan n dan e dan s dan i dan a.
Huruf-huruf itu tetap pura-pura bisa ditulis di papan-papan nama atau di kertas undang-undang
sebagai Indonesia. “Tetapi permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira
mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti”. [1] (Al-Hasyr: 14) Antar kelompok
diam-diam ingin saling memusnahkan. Antar Parpol bergembira oleh kehancuran lainnya. Antar

264
golongan mensyukuri kehinaan golongan lainnya. Siapa dan yang mana saja terpuruk, akan
ditambahi kutukan dan hinaan.
Anak-anak muda itu bertanya: “Andaikan generasi kami tekun memahami dan menghayati
hakikat Do, apa artinya untuk Indonesia yang begini luas? Kami bukan siapa-siapa bagi Negara
Besar dan Bangsa dahsyat ini. Jumlah kami pun hanya 0,000001 persen”.
Tarmihim menjawab: “Mbah kalian Mbah Dzan melihat bahwa sampai hari ini yang sebaiknya
kita lakukan adalah: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. [2] (An-Nahl: 125)
“Bil-hikmah, bukan bil-haq”, tambahnya, “dengan kebijaksanaan, bukan dengan kebenaran.
Sebab Do saja kita belum mampu mengelola, apalagi kebenaran yang sangat-sangat luas, di
antara yang relatif dengan yang absolut”.
Kemudian Brakodin menegaskan: “Nanti akan datang hari di mana “yang benar telah datang
dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap”. [3] (Al-Isra`: 81)
“Kapan itu kira-kira, Pakde?”, tanya Gentholing, yang paling kurang sabar di antara anak-anak
muda itu.
Sundusin yang menjawab: “Amhilhum ruwaida”, [4] (At-Thariq: 17) sambil tertawa.
Do = Raja Kambing
“Rasa-rasanya kok urusan Do ini malah bikin njelimet keadaan”, kata Jitul tiba-tiba.
“Lho saya hanya menyampaikan pesan Mbah Dzan kepada kalian”, jawab Pakde Tarmihim.
Terdengar suara tertawa Sundusin. “Saya sudah hapal gayanya Mbah Dzan”, katanya, “dulu
banyak orang minta tolong untuk menyelesaikan masalah. Tapi maunya Mbah Dzan disuruh
atau diharapkan menjawab sesuai dengan solusi yang orang itu maksudkan, bukannya
membuka diri untuk model penyelesaian dari Mbah Dzan. Jadi orang itu sebenarnya hanya
tidak berani mengambil keputusan dengan dirinya sendiri. Maka datang ke Mbah Dzan dengan
tujuan agar nasehat Mbah Dzan sesuai dengan keinginannya dalam menyelesaikan masalah.
Akhirnya Mbah Dzan malah kasih orang itu model penyelesaian yang sesuai dengan kemauan
pemintanya itu, tetapi di-sangat-kan, di-bengkak-kan…”

265
Seger ikut tertawa. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan
bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” [1] (Al-Baqarah: 10), kata Seger.
“Jadi maksudmu Mbah dzan menyuruh kita agar keadaan yang njelimet ini dibikin
lebih njelimet lagi?”
Pakde Brakodin yang kemudian mungkasi: “Sebenarnya semua yang kita pelajari ini tidak ada
hubungannya dengan keadaan di luar. Kita tidak sedang mengurusi Indonesia. Kita tidak sedang
menilai atau bersikap. Kita hanya belajar bersama memahami kehidupan, sample-nya adalah
Indonesia”
Pada dasarnya sejak awal kumpulan orang-orang tua dan anak-anak muda itu memang tidak
sedang mendiskusikan Indonesia, apalagi menilai atau mengurusinya. Mereka mempelajari
manusia dan nilai-nilai: Indonesia hanya gerbang keberangkatannya. Mereka sangat sadar
bahwa bukan level mereka untuk mampu melakukan apa-apa kepada Indonesia. Bangsa
Indonesia yang besar, Negara Indonesia yang dahsyat, dan Pemerintah Indonesia yang ghoib,
tidak memerlukan satu kata pun dari gelandangan-gelandangan tua muda yang tak jelas
kerjaannya itu.
Indonesia sudah berderap maju ke masa depan. Madhep mantep. Istiqomah muthmainnah.
Ever onward, no retreat. Indonesia tak kurang suatu apa. Indonesia tidak punya masalah
sebagaimana yang di-njelimet-kan oleh kerumunan para penganggur itu.
Indonesia sudah teguh imannya kepada Tuhan, bahkan menjalankan kemesraan religius sejak
dari filosofinya, konstitusinya, mekanisme birokrasinya, hingga tradisi budaya rakyatnya.
Indonesia sudah fix. Sudah harga mati. Sudah benar pandangan hidupnya. Sudah kukuh
ideologinya. Sudah tegak keyakinan masa depannya. Sudah sangat bercahaya kemajuan dan
pembangunannya. Indonesia adalah mercusuar dunia.
Selama setahun ini kerumunan gelandangan itu sudah mendiskusikan, merenangi dan
menyelami 309 tema, ditambah 122 topik, plus 296 yang sudah diresume oleh Seger. Dan
sekarang sedang bergulir 5 judul lagi, tetapi yang 9 sisanya: tampaknya ditunda sampai waktu
yang mereka rasa cukup untuk mengendapkan semua tema yang sebelumnya.
Anak-anak muda itu banyak mengkonfirmasikan hal-hal dalam muatan pemikiran mereka untuk
membangun “Indonesia Kecil” di dalam kalbu mereka, di ruang pikiran mereka, dalam perilaku
sehari-hari mereka sejauh yang mereka bisa jangkau.

266
Pernah ada yang bertanya: “Sebenarnya sibuk apa to kalian anak-anak muda dengan Pakde
Paklik yang hidupnya tak jelas itu?”.
Seger menjawab: “Kami adalah kumpulan kambing-kambing yang belajar menentukan patokan
hidup. Kami melakukan semacam eksperimentasi, simulasi atau ijtihad untuk mengambil
keputusan seberapa panjang tali yang mengikat leher kami yang diulur dari patokan ini.
Manusia perlu memperoleh ketepatan pandang atas dirinya sendiri. Jangan terlalu tinggi
mengukur diri, juga jangan terlalu rendah. Hidup adalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah
presisi pandang, objektivitas terhadap diri sendiri. Jernih, jujur, tidak melebih-lebihkan, juga
tidak mengurangi.”
“Sebab di tempat-tempat lain di luar kerumunan para Pakde Paklik itu hampir kami tidak bisa
menemukan patok dan panjangnya tali. Rata-rata kambing-kambing di luar tidak mau diikat
oleh patokan dan tidak mau diikat oleh tali. Tidak ada pendidikan atau proses sosial yang
mendidik itu. Hampir semua kambing ingin menjadi Raja Kambing. Sekurang-kurangnya
menjadi bagian dari kekuasaan Raja Kambing. Itu membuat setiap ucapan, pendapat dan
tindakannya disesuaikan atau diarahkan agar siapa tahu bisa menjadi Menteri Kambing atau
Duta Peradaban Kambing atau apapun, pokoknya ikut kekuasaan Raja Kambing. Tidak penting
apakah pantas atau tidak, ekspert atau tidak, menguntungkan rakyat atau menghancurkannya.”
PSEU-DO-HAM
Anak-anak muda itu ditertawakan oleh Sundusin. “Sebenarnya”, katanya, “orang tidak mengerti
Do sama sekali juga tidak masalah. Asalkan hidup dan perilakunya berada tepat pada Do ketika
memang seharusnya Do. Dan berada di La Si atau koordinat apapun tatkala semestinya
memang demikian”
Kalau alam, hewan dan Malaikat selalu pada kewajaran Do sebagaimana Tuhan mengonsepnya
langsung. Hanya manusia, yang karena diberi ruang demokrasi dan kemandirian untuk
mengambil keputusan, maka ia bisa melakukan berbagai penyelewengan: seharusnya Do si
manusia malah Sol, misalnya. Manusia diberi ruang untuk berdusta, memanipulasi, berpura-
pura, menjebak sesamanya, memalsukan atau membikin topeng Do padahal yang di baliknya
adalah La.
Sesungguhnya, masalah utama pada manusia bukan ilmu. Mungkin akhlaq, atau aqidah,
meskipun antara ketiganya bisa saling berdialektika dan sebab-mengakibatkan satu sama lain.

267
Anjing tidak mungkin memiliki alat untuk memahami Do, tapi ia tidak pernah berada di selain
Do kalau “qadla dan qadar”-nya memang Do. Beruang atau Bajing tidak pernah mengambil,
mengonsumsi atau melahapi suatu konsumsi lebih dari yang dibutuhkannya. Bahkan Kadal dan
Tokek, lebih setia kepada Do dan selalu meletakkan diri pada presisi gelombang hidupnya.
Berbeda dengan manusia yang sangat berbakat untuk hina karena kecurangannya.
Berkecenderungan untuk rendah derajat karena ditawan oleh kepentingan, nafsu dan
ambisinya. Manusia, bersama Jin, adalah dua makhluk yang dianugerahi kebebasan beserta
perangkat-perangkat untuk bebas.
Dan karena manusia sangat hobi untuk memenjarakan dirinya di dalam kesempitan dan
kedangkalan, sangat suka mengkonsumsi hal-hal yang rendah dan hina, maka manusia sangat
kreatif untuk mencitrakan La Si Sol sebagai seolah-olah Do. Dan itulah modal utama manusia di
dalam perebutan kekuasaan politik, pemalsuan eksistensi sosial budaya, serta di wilayah-
wilayah manapun tempat ia menipu dan menganiaya dirinya sendiri.
Manusia adalah lukisan yang tidak patuh kepada pelukisnya. Manusia adalah lukisan yang
mengambil keputusan sendiri apa warna yang disukainya, garis, guratan, cuatan dan tekstur
yang dinafsuinya. Manusia adalah burung yang nekat menggonggong karena dengan
menggonggong lah ia memperoleh keuntungan pribadi. Manusia adalah anjing yang pasang
baliho dan poster-poster di mana ia mengumukan kicauan dan kokoknya, padahal ia bukan
burung maupun ayam.
Landasan nilai dan substansi berpikir seluruh peradaban modern ummat manusia di muka
bumi, yang dirintis pada abad 14 dan memuncak pada abad 20-21 saat ini, ada dua. Pertama,
manusia yang menciptakan alam semesta dan dirinya sendiri. Kedua, maka desain manajemen
hidup dan pembangunan peradabannya adalah manusia merasa memiliki Hak Asasi, sehingga
atas kemauan dan ukuran-ukuran manusia pula segala sesuatu diselenggarakan. Nanti satu
persatu manusia akan tiba pada hari di mana mereka terpojok untuk mengakui bahwa yang ada
padanya hanyalah Pseudo Hak Asasi Manusia.
Para pegawai Allah menemui mereka untuk menyampaikan pertanyaan dan pernyataan-Nya:
“Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [1] (Al-Waqi’ah:
59). “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” [2] (Al-Qamar:

268
49) “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku
telah menciptakannya sendirian”. [3] (Al-Muddatstsir: 11)
Khilafah Para Titah
Di antara manusia-manusia selama beratus-ratus bangunan sejarah peradaban, ummat
manusia di Zaman Now inilah yang paling tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka
serius mengurusi manusia. Kemajuan harta bendanya canggih, pembangunan peralatan fisiknya
dahsyat, tetapi sukar menemukan gejala bahwa mereka peduli kepada manusia.
Tidak peduli, atau memang tidak mengerti dan tidak merasa punya keperluan untuk mengerti
manusia dalam konteks infinitas ruang dan keabadian waktunya. Yang mereka maksud dengan
manusia dan peradaban hanyalah animasi kartun instan dan sesaat. Mereka berderap beramai-
ramai penuh riang gembira menuju jurang. Mereka sangat sibuk menggagas kehancuran.
Kemudian muncul generasi berikutnya belajar, bersekolah dan merancang kehancuran
berikutnya.
Manusia-manusia yang paling terpelajar, bekerjasama dengan yang paling punya uang, sangat
sibuk berjuang agar bisa memanjat naik panggung yang disorot oleh spotlight sejarah,
kemudian berebut mikrofon. Per lima tahun. Begitu menapakkan kakinya di panggung, mereka
bergerak-gerak mengarang koreografi artifisial, membusungkan dada, membengkakkan kepala,
dan merasa sedang menikmati sukses. Kemudian berebut mikrofon untuk meneriakkan
halusinasi dan memekikkan khayalan-khayalan.
Mungkin karena itu maka Mbah dzan berpesan kepada anak cucunya agar belajar menjadi
“janin” dan menapaki hidup dari Do. Janin yang tidak punya kemampuan untuk membiakkan
sel-selnya sendiri, memperkembangkan dan mengevolusikan fisiknya hingga ke
penggelembungan ruang-ruang kesadaran intelektual, sebagai bagian yang paling kasar dari
kosmos spiritual.
Janin yang kemudian menjadi bayi. Bayi keluar dari Rahim Ibunya dan belum mengetahui siapa
sebenarnya yang berinisiatif dan mendorongnya keluar melewati lubang sakral itu ke hamparan
dunia yang penuh khayal dan kebodohan. Sang Ibu juga hanya merespons. Ibu hanya mengejan
untuk membantu si bayi keluar. Juga tanpa kesadaran bahwa pelaku keluarnya bayi itu
bukanlah si bayi itu sendiri.

269
Tarmihim tertawa sendiri. Andaikan Mbah Dzan ditanya: “Kalau memang kita tercampak dan
hidup di semesta khayalan, digerak-gerakkan atau sedikit menggerak-gerakkan diri sebagai
gumpalan hologram, menuruti qadla qadar sistem animasi dan dinamika ijtihad simulasi-
simulasi takdir, nasib dan ajal – bisakah kita menjadi bukan makhluk animasi ka-annani ka-
annaka ka-annahu ka-annahum ka-annana?”
Mbah Dzan sudah bisa diduga jawabannya: “Sangat segera kita akan bergerak menuju tahap
kedua dari rentang keabadian. Kita tidak bisa membawa 99% barang-barang dan sukses-sukses
yang secara sangat dungu kita himpun selama di babak pertama, diongkosi dengan
pertengkaran, perebutan, saling menghancurkan, saling menghina dan memusnahkan di antara
kita.”
“Memasuki semester berikutnya yang kita bawa hanya presisi makrifat kita atas diri kita sendiri.
Sekarang kita menjadi bagian dari peradaban Zaman Now yang tidak mengerti perbedaan
substansial antara Basyar, ‘Alamin, Nas, Insan, Abdullah atau Ibadullah, serta
dengan Titah atau Khalifah. Bahkan sebelum berita para Nabi tiba, manusia di Pulau Jawa sudah
merumuskan dirinya adalah Titah, yang di pundaknya terpanggul Khilafah. Tetapi semakin
Zaman Now semakin tidak ada manajemen ilmu tentang itu. Sehingga tidak berlangsung pula
ketepatan kemanusiaan dalam membangun Negara, Bangsa, kebudayaan dan peradaban”.
“Di puncak kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini mungkinkah ada satu
saja manusia dewasa yang tidak tahu pernyataan Tuhan ini: “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di
muka bumi. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan Khalifah di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’“. [1] (Al-Baqarah: 30)
“Mungkinkah ada kaum terpelajar yang tidak mengerti bahwa Khalifah adalah pelaku atau
subjek Khilafah?”
Tarmihim tertawa lagi. “Cak Dzan, kayaknya kita perlu memohon Abu Nawas untuk datang ke
Negeri ini…”, katanya.
Mbah Dzan tersenyum. “Ini pasti soal radikalisme pisau dan alat kelamin…”, katanya.
Wahai Do

270
Manusia pura-pura tidak mengerti perbedaan antara Do pada “Ya ayyuhannas” [1] (An-Nisa:
170) dengan Do pada “Ya ayyuhalladzina amanu” [2] (As-Shaf: 2), apalagi “Ya ayyuhal
kafirun” [3] (Al-Kafirun: 1). Manusia memanipulasi asal-usulnya. Manusia menyembunyikan
Penciptanya. Manusia mengumumkan kepada dirinya sendiri dan semua makhluk suatu
bangunan peradaban di mana ia seolah-olah sanggup menciptakan sehelai bulu di sekitar
kelaminnya, atau menciptakan setetes keringat dari ketiaknya.
“Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada
Tuhannya” [4] (Al-Insyiqaaq: 14). “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan Yang
mempunyai ‘Arsy yang mulia. Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah,
padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di
sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang ingkar fakta itu tiada beruntung”. [5] (Al-
Mu`miDzan: 115-117)
“Memang”, kata Seger, “kalau melihat atmosfer kehidupan banyak manusia, mereka berpikir
begitu masuk ke kuburan, berakhirlah kehidupan”
“Mereka bermain-main saja untuk mempercayai atau tidak mempercayai bahwa tidaklah main-
main Tuhan menciptakan manusia”, tambah Jitul.
“Apakah pada akhirnya manusia akan dikembalikan ke Penciptanya? Rasanya tidak banyak
tanda perilaku bahwa manusia meyakini informasi itu”, Junit menambahkan juga.
Gentholing tertawa. “Makanya sering saya berpikir mudah-mudahan sesudah dikuburkan kelak
saya diperbolehkan menjadi hantu”, katanya, “Saya ingin datang ke kamar-kamar pribadi
sejumlah orang. Minimal saya subversi di dalam mimpi-mimpi mereka berulang-ulang”.
“Terus kamu apakan?”, Junit bertanya.
“Belum saya tentukan secara pasti”, jawab Toling, “masih banyak ide-ide berseliweran…”
“Contohnya…”, Jitul nyeletuk.
“Salah satunya saya akan kumpulkan serbuk Rawé. Saya taburkan di Kasur dan bantalnya. Dia
akan sakit gatal seluruh badan. Pas pidato kenegaraan dia akan garuk-garuk tanpa henti”
“Kalau yang kamu maksud itu pejabat tinggi”, kata Seger ikut nimbrung, “pasti sudah siap
dengan dokter-dokter pribadi, termasuk dokter spesialis gatal”

271
“Menjelang sembuh, saya kasih Rawé lagi. Kalau perlu di mulut sepatu dan kaos kakinya, di
kaos dan celana dalamnya, di jas maupun dasinya. Saya orangnya tidak tegaan. Sebenarnya
banyak ide-ide yang cemerlang, gaib dan kejam. Tapi saya tetap sayang kepada manusia.
Misalnya pas dia pidato, saya akan muncul di depannya sebagai Bapak aslinya, berjalan pulang
balik di depan podiumnya…”
“Terlalu horor itu, Ling”, Tarmihim ikut berpartisipasi pada khayalan Gentholing.
“Atau di tembok kamar pribadinya saya tulisi dengan arang: Kamu masih mantap untuk tidak
percaya kepada Akhirat? Sudah finalkah persangkaanmu bahwa sesudah mati dikubur hidupmu
selesai tanpa ada semesteran berikutnya? Kamu kan modern, mosok nggak tahu artinya The
Judgment Day? Kenapa kamu menjalani hidup dan membangun Negara dengan anggapan
bahwa Akhirat tidak ada? Bahwa kamu bisa membolos dari skenario Qadla dan Qadar? Pernah
kamu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Munkar Nakir Raqib Atid dan terutama
Malaikat Malik, sesudah sepanjang hidupmu di dunia kamu mengganggap mereka tidak ada?”
Tarmihim tertawa ngakak. “Manusia Zaman Now menjawab: EGP…”
“Khayalan Toling itu terang benderang hanya bisa muncul dari orang yang tidak pernah
mengalami keberhasilan dalam hidupnya, serta berada di puncak keputusasaan bahwa ia akan
pernah sesekali mencapai sukses…”, tambah Jitul tertawa.
Duduk di Balkon Zaman
Kalau Mbah Dzan dibantah, “Apa manfaat semua yang Mbah Dzan omongkan selama ini? Apa
manusia yang hidup di dunia ini perlu memahami apa yang Mbah uraikan itu?”
Mbah Dzan menjawab: “Apa ada sesuatu hal yang manusia sungguh-sungguh berusaha
memahaminya? Kecuali hal-hal yang ia, pribadi atau golongannya, berkepentingan? Dan
kepentingannya adalah kerendahan materialisme dunia?”
“Maksud Cak Dzan?”
“Misalnya kalau orang bertengkar seolah-olah temanya SARA. Coba kalian teliti kembali apa
yang sebenarnya dimaksud. Ukur kembali semua komponennya, dengan kejernihan nalar,
disiplin logika, pemetaan sosial dengan landasan ilmu yang sejujur-jujurnya dan setepat-
tepatnya. Apa parameter Suku, temukan gradasi, distorsi dan berbagai relativitas faktualnya.
Ras? Wa ma adroka ma Ras? Agama? Apa definisi Agama? Orang mempertengkarkan satu kata
yang pemahaman mereka atas satu kata itu saling berbeda, bahkan saling bertentangan.

272
Apalagi Antar-Golongan: Haihata! Anwa’ wa asykal! Klithih? Geng Motor? Korak? Gali?
Gentho? Dauri? Butokempung? Tikyan? Bonek?”
“Pelan-pelan, Cak Dzan…”
“Belum lagi Islam, Jihad, Khilafah, Bid’ah, Kafir, Liberal, Radikalis, Intoleran, Tasammuh,
Tawashshut, Rahmatan Lil’alamin, Makar, Thoghut, Hijrah… What are you actually going to say?
Mutiara-mutiara, berlian-berlian, emas permata, menjadi sampah dan bongkahan batu-batu
tajam begitu muncul dari mulut manusia…”
“Kalau memang semua itu ruwet seperti benang kusut, kenapa Cak Dzan menambah keruwetan
itu dengan ratusan analisis, ribuan kalimat dan jutaan kata? Yang sebegitu njelimet, panjang
lebar, tak habis-habis, nyerocos tiada henti….”
“Keruwetan apa yang aku mampu menambahkan pada keadaan? Apakah aku ada di tengah
mereka? Apakah aku ada di antara mereka? Apakah aku ada bagi mereka? Kapan aku pernah
berkata apapun kepada mereka?”
“704 bab yang kita gemeremangkan di bilik kecil ini selama setahun terakhir, tak satu kata pun
yang kita maksudkan untuk ummat manusia atau bangsa Indonesia. Semua yang kita lakukan ini
sekadar meneliti dan mencari kunci rahasia, yang mereka semua tak memerlukannya”.
“Apa maksudnya wa ma adroka?”
“Tanya kepada ribuan Ustadz yang bertaburan seperti hujan badai”
“Haihata?”
“Ustadz yang Wahabi Takfiry maupun yang Kitab Kuning semua tahu itu”
“Anwa’ wa Asykal?”
“Itu halaman kedua Muthola’ah Madrasah Ibtidaiyah”
“Dauri?”
“Banyak Sosiolog mengerti itu”
“Tikyan? Butokempung?”
“Kalau mau cespleng tanya Ke Menko Bidang Koordinasi Kebudayaan”
Kemudian Mbah Dzan membengkakkan keruwetannya: “Syaitan telah menjadikan mereka
memandang indah perbuatan-perbuatan mereka yang menghalangi mereka dari jalan Allah,
sehingga mereka tidak dapat petunjuk” [1] (An-Naml: 24). Informasi Tuhan ini, kata Mbah Dzan,
sejauh yang saya alami hampir 70 tahun bergaul dengan An-Nas yang tidak meng-Insan tetapi

273
malah mem-Basyar: kalaupun tidak ditertawakan, manusia Zaman Now tidak benar-benar
mereka percaya.”
“Tengok kiri kanan”, kata Mbah Dzan, “pandang gedung-gedung tinggi kemajuan manusia,
rasakan lalulintas riuh rendah pasar besar di balik pasar-pasar kasat mata, hirup bau dari hawa
nafsu kaum politisi pedagang: yang paling tercium adalah kenyataan terus-menerus betapa
Tuhan diremehkan. Kita tidak punya persoalan dengan itu semua. Itu masalah mereka dengan
Tuhan. Kita siap siaga dengan segala peralatan, tetapi kita duduk di balkon zaman menatap alur
waktu hingga 2019, 2024 dan seterusnya”.
Salah Terkam
“Tulisan ini adalah Halaqah ke 300. Di luar yang 309 dan 122.  Mulai besok kita akan ambil nafas
panjang dulu sebelum memasuki yang 9 satu persatu. Apakah Allah memperjalankan kita.
Dengan ratusan Halaqah itu. Dengan berjuta kemesraan di ribuan titik-titik itu. Untuk
merenangi Ma’lamah saja, atau mengarungi Ma’rafah, kemudian membukakan pintu untuk
menghamparkan Ma`dabah: kita belum akan tahu. 2018-2019 mungkin lebih medebarkan
dibanding yang kita duga, meskipun kita tidak pernah bermaksud berada di dalamnya”.
Mbah Dzan bilang kita semua ini “salah terkam”. Tapi jangan terlalu percaya. Jangan berpikir
lurus, linier, flat dan lugu. Kandungan maksudnya pasti tidak di dua kata itu. Perlu pola pikir
lipatan dengan tikungan-tikungannya. Supaya besok kita tidak terlalu terkejut.
“Ibarat harimau”, pesan Mbah Dzan kepada sahabat-sahabat dan anak cucunya, “kita ini salah
terkam. Umpama Garuda, kita salah sambar. Sebagai ikan, kita salah kolam. Bak angin, kita
salah badai. Atau kita adalah api yang salah sulut.”
“Kita besar kepala merasa sedang menapaki tahap “Yakadu zaituha yudli’u walau lam tamsashu
naar”. [1] (An-Nur: 35) Kita merasa akan berenang terbang di semesta “Nurun ‘ala Nur, Nur ‘ala
Nur, Nur ‘ala Nur…” [2] (An-Nur: 35). Ternyata kita tergeletak di tepi jalan, terkapar-kapar,
terlapar-lapar, tanpa seorang pun menoleh ke arah kita…”
“Sebagaimana sampai beberapa detik sebelum maut, belum akan kita tatap presisi
ujung Shirathal Mustaqim, meskipun arah Sabil sudah kita tempuh, koridor Syari’ah sudah kita
disiplini, dan Ijtihad Thariqah sudah kita geluti dan kreatifi. Apa itu semua gerangan?”
“Sangat banyak kalimat yang tidak kita jelaskan, terangkan atau uraikan. Karena kita rendah diri
apakah ada seseorang, kecuali para sahabat dan anak cucuku, yang hidupnya memerlukan

274
kejelasan dan uraian itu. Sangat banyak idiom, istilah dan kata yang tidak kita terjemahkan.
Karena kita tidak besar hati untuk menganggap bahwa ada manusia di Negeri ini yang
membutuhkannya”
“Sangat banyak rangkaian mata rantai pengertian yang kita penggal atau tidak kita teruskan
ketersambungannya. Karena kita sangat mafhum tidak ada huruf yang kita tuliskan yang
menjadi bagian dari skala prioritas manusia-manusia di sekitar kita. Kita semua ini minggir dari
rasa GR, tapi tetap juga terdesak ke petak GR yang lain: “Bada’al-Islamu ghariban wa saya’udu
kama bada`a ghariban, fa thuba lil-ghuroba…” [3] (HR. Muslim). Siapa bilang kita sudah ber-
Islam? Siapa percaya kita sudah meng-Islam? Siapa setuju kita adalah Muslim?”
“Kita memasuki wilayah nilai-nilai yang bukan minat kebanyakan orang. Kita mengembarai
semesta makna-makna yang jauh berada di luar keperluan mainstream. Kita mendalami
samudera arti dan hikmah yang tidak hanya berbeda, tapi juga bertentangan dengan
pandangan hidup masyarakat dan kebanyakan ummat manusia. Kita adalah orang-orang bodoh
yang menyingkir dari orang-orang pandai”
“Kita adalah kerumunan manusia dungu yang terserak di luar kalangan masyarakat mulia. Kita
adalah gelandangan-gelandangan miskin di tengah bangsa-bangsa yang kaya raya. Kita adalah
makhluk asing yang tidak mampu menikmati apa yang kebanyakan penduduk bumi merakusi
dan menserakahinya”
“Tetapi dalam posisi seperti itu pun kita masih menghibur mereka dan bersikap bijaksana:
dengan informasi ‘salah terkam’……Tetapi siapapun jangan coba-coba menerkam atau merayu.
Bacalah ‘Aku’ Chairil Anwar. Dengarkan putra mahkota Bani Hasyim berkata: Lau
wadla’asysyamsa fi yamini wal-qomaro fi yasari, lan atruka hadzal amr…”
“Kita sudah sangat teliti mengamati dan mengalami garak-garik (istilah Silat Minangkabau)
perilaku peradaban sejak 700 tahun silam. Kita sudah hapal peta, strategi dan
arah nafi atau nofi, serta sudah menemukan isbat atau sibatnya untuk kita antisipasi atau
runtuhkan. Tetapi kita takut kepada kemudlaratan massal dan terikat oleh amrullah. Kita sudah
lama menyimpulkan banyak katiko di tengah peta kekuasaan dan kesombongan manusia,
banyak katiko untuk merespons konstelasi politik palsu. Bahkan sibat dan katiko itu kita
peroleh dari titik-titik air hujan hidayah untuk wilayah kenegarawanan, kebudayaan,
kemanusiaan sampai tartil, zarrah, tepung dan glepung”

275
“Tapi sampai hari ini, hingga detik ini, Allah asro bi’abdihi lailan. [4] (Al-Isra: 1) Allah meletakkan
kita di sudut kegelapan, di lorong keremangan, di jalan sunyi…”.
Rahasia Derita
Pernah Seger menyempatkan diri untuk minta waktu khusus kepada Pakde Brakodin.
Memancing dari pengalaman dan pengetahuan beliau tentang kehidupan Mbah dzan.
Terutama yang terkait dengan Jalan Sunyi: istilah atau semacam titik pemahaman yang sangat
mendalam berada di hati dan pikiran komunitas Mbah Dzan. Apa sebenarnya yang dimaksud
dengan Jalan Sunyi.
“Apakah karena pandangan hidup Mbah Dzan berbeda, bahkan banyak bertentangan dengan
kebanyakan orang?”
“Iya”, jawab Pakde Brakodin, “sebagai unsur. Tapi bukan yang utama dari yang dimaksud Jalan
Sunyi”
“Pilihan hidup Mbah Dzan yang aneh dan asing bagi masyarakat umum?”. “Bukan yang
terpenting”
“Marginalized?”. “Tidak membuat beliau menderita”
“Teralienasi?”. “Sering malah beliau nikmati”
“Keterasingan kultural?”. “Tidak merupakan tekanan bagi beliau”
“Beda prinsip, ilmu, orientasi dan sikap hidup dengan mainstream?”. “Malah hal yang
melegakan”
“Out of the Box?”. “Gembira karena digiring ke situ oleh qadla dan qadar”
“Tidak nyambung dengan kesibukan berpikir khalayak?”. “Itu seperti berpuasa dengan hari raya
istimewa”
“Punya perkebunan luas dan subur tapi tak memetik buahnya?”. “Itu kenikmatan rahasia yang
sangat dalam maknanya”
“Tidak duduk di kursi apapun dan manapun?”. “Beliau sukanya berdiri, berjalan, berlari, atau
bersimpuh”
“Punya kursi besar tapi tak diduduki?”. “Hidupnya itu sendiri adalah kursi besar yang banyak
orang numpang duduk”
“Punya energi dan potensi sangat besar untuk menang tapi tidak bertanding?”. “Kemenangan
belum tentu berkah”

276
“Kaya raya tapi hidup miskin?”. “Itu kekayaan yang sejati”
“Sangat ada tapi ditiadakan?”. “Yang ijtihadiyah adalah ada yang tiada”
“Ya’udu ghariban wa ya’udu ghariban miraran?”. “Iya juga, tapi bukan intinya”
“Apakah karena baik tapi disangka buruk?”. “Malah bisa jadi sebaliknya”
Tidak ada yang tepat yang ditanyakan oleh Seger. Akhirnya ia menderet berbagai pertanyaan:
“Apakah ada sejarah kelam di masa silam, yang membuat beliau ekstrem mencari cahaya? Apa
inti Jalan Sunyi? Apakah disebut Jalan Sunyi karena kegagalan beliau menjelaskan diri? Ada
rahasia besar dalam kehidupan pribadi beliau? Apakah ada sekian rahasia besar di dalam
kehidupan beliau, yang kalau itu semua diungkapkan maka seluruh eksistensi Mbah Dzan
menjadi batal? Aslinya, Mbah Dzan tidak boleh mengungkapkan ataukah tidak mampu
merumuskan?”
Pakde Brakodin tertawa terbahak-bahak. “Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka
sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. [1] (Taa-Haa: 7).
“Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui rahasia langit, maka kami mendapatinya
penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api”, [1] (Al-Jinn: 8).
Seger tetap gagal menguakkannya. Ia membuat catatan pribadi bahwa Jalan Sunyi Mbah Dzan
sesungguhnya terletak pada rahasia penderitaan hidupnya.
Mengislami Rahasia
Seger tidak putus asa. Ia mencuri peluang lain untuk menggali. Dapatnya Pakde Sundusin.
“Pakde, hidupnya Mbah dzan itu menurut Pakde bahagia atau menderita?”
Sundusin tertawa lebar. “Haha. Pertanyaanmu itu hitam putih, hidup atau mati, ya atau tidak,
seperti milisi berangkat perang. Hidup setiap orang itu ya dinamis antara ya dengan tidak,
bergerak-gerak antara hidup dan mati, timbul tenggelam antara hitam dengan putih. Tidak ada
yang Kafir Mutlak atau Muslim Absolut”
Seger tidak mau mundur. “Pakde tahu saya tidak mungkin bertanya tentang keadaan makhluk
dengan tujuan absolut. Yang saya ingin capai adalah titik berat keadaan hidup Mbah Dzan.
Kecenderungan utamanya. Prosentasenya atau primer-sekunder-tersiernya. Wajah utama
kehidupan Mbah Dzan itu kebahagiaan ataukah penderitaan?”
Sundusin tertawanya menurun, tapi tetap tertawa. “Kebahagiaan Mbah dzan adalah
penderitaan, dan penderitaan Mbah dzan adalah kebahagiaan”, jawabnya.

277
“Kurang ajar orang-orang tua ini”, kata Seger setengah menggerundal, “Kalau kami anak-anak
muda ini tenggelam dalam keasyikan olah nilai hidup seperti para Pakde, naga-naganya kami
kelak juga tidak akan pernah mencapai apa-apa secara keduniaan…”
Sekarang tertawa Sundusin mengeras. “Memangnya seberapa luas dan hebat dunia ini sehingga
mampu mengakomodasi pencapaian makhluk sempurna yang bernama manusia. Hidup di
dunia ini dolanan PAUD, kelas Taman Kanak-kanak. Sejauh-jauh yang bisa dicapai di dunia
hanyalah kemewahan temporer, hedonisme yang sebenarnya hanya khayal-khayal pendek,
tipuan-tipuan kejiwaan. Yang semuanya memperlambat pencapaian sejati pada diri yang juga
sejati. Yakni yang diperjanjikan dengan Allah sebelum lahir. Bukan diri yang dipalsukan di dunia”
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu”. [1] (Al-A’raf: 189)
“Jangan lari terlalu jauh, Pakde”, Seger memprotes, “Yang saya tanyakan adalah kehidupan
pribadi Mbah Dzan”.
“Yang mana kehidupan pribadi Mbah Dzan itu?”, jawab Sundusin dengan bertanya balik, “kalau
semua makhluk berasal dari Diri Yang Satu dan bergerak ke Diri Yang Satu, inna lillahi wa inna
ilaihi roji’un, maka diri Mbah Dzan bergerak meluntur, menyamar, men-sirna, karena diri
Mbah Dzan tidak bisa duduk sejajar dengan Diri Yang Satu. Semua diri musnah menjadi bagian
dan akhirnya menyatu dengan Diri Yang Satu”
Seger kembali ke sasaran. “Mbah Dzan itu berwajah tenang dan bahagia di hadapan dunia,
tetapi ia menyimpan kesengsaraan batin yang harus ia rahasiakan. Sebab kalau ia
mengungkapkannya, akan memunculkan retakan-retakan dan tabrakan-tabrakan di dunia.
Mbah Dzan sering menghilang karena ia sering tidak kuat menahan rahasia itu di tengah
khalayak ramai. Benar nggak itu Pakde?”
Sundusin tertawa lebih keras, tapi tampak ia menyembunyikan sesuatu.
“Yang sebenarnya saya ingin tahu adalah”, Seger melanjutkan, “rahasia yang dirahasiakan itu
menyangkut keadaan dunia, ummat manusia, bangsa-bangsa, ummat dan golongan-golongan,
ataukah tentang diri Mbah dzan sendiri?”
Sundusin akhirnya berhenti tertawanya. Ia terdiam beberapa saat. Kemudian menjawab pelan.
“Seger, qadla dan qadar Allah, konsep dan formula sistem yang Allah terapkan pada hidup
manusia itu paling banyak seper-sejuta persen yang kita bisa meraba. Dan di dalam yang seper-

278
sejuta itu terkandung miliaran rahasia lain yang manusia hanya bisa menerimanya sebagai
rahasia. Mari kita islami rahasia itu…”.
Mr. No
Kepada Pakde Tarmihim, Seger coba membuka pintu yang lain.
“Apakah Mbah dzan itu sok misterius seperti Baginda Khidlir? Ataukah Bambang Ekalaya
Palgunadi yang nasibnya sial di dunia dan bahkan nyawanya dilindas oleh
ketentuan qadla dan qadar, oleh skenario nasib, atau yang diklaim sebagai SOP langit, yang
tampak kejam di mata kepolosan manusia dan di pandangan kebodohan materialisme?
Ataukah Mbah Dzan itu semacam Wisanggeni yang diwajibkan memborgol tangan kesaktiannya
sendiri? Ataukah beliau itu seperti Abu Thalib paman Nabi yang membiarkan dirinya
diperdebatkan apakah beliau Muslim atau bukan?”
“Wah, muluk-muluk banget pertanyaanmu, Seger”, sahut Pakde Tarmihim.
“Soalnya saya dan kami semua melihat beberapa hal yang pasti pada Mbah Dzan. Maka kami
mengejar yang belum jelas pada beliau”
“Apa itu yang pasti pada Mbah Dzan?”
“Beliau bukan pewaris Nabi, karena bukan Ulama, Kiai atau Ustadz. Apalagi Mursyid, Syeikh
atau Maula”
Tarmihim tersenyum. “Itu terang benderang seperti terbitnya matahari”
“Mbah Dzan juga bukan tokoh di dunia. Tidak duduk di kursi besar yang bisa tampak di
pandangan orang seantero Negeri. Beliau bukan ilmuwan, karena Kaum Ilmuwan adalah suku
bangsa tersendiri yang jelas pagar batasnya. Beliau juga bukan siapa-siapa pun lainnya:
budayawan, seniman, filosof, Sufi, Zahid, negarawan, apalagi politisi, sarjana, pengusaha dan
penguasa. Sebab saya sudah buka semua lembar informasi resmi dan nama beliau tidak
tercantum di lembar kategori manapun. Mbah Dzan adalah Mr. No”
“Kenapa kamu mengasosiasikan ke Nabi Khidlir?”
“Karena tidak jelas. Karena serba No. Satu-satunya informasi adalah kisahnya dengan Nabi
Musa. Nah kalau terkait dengan Nabi resmi, tidak mungkin tidak dicatat. Tapi legalitas
informatifnya berasal dari kesepakatan para Ulama, perkiraan terhadap maksud Allah, sebab
firman-Nya tidak eksplisit menyebut Khidlir. Sedangkan Mbah Dzan tidak terkait dengan
siapapun selain dengan para Pakde yang juga tak kalah tak jelasnya…”

279
“Kalau Ekalaya Palgunadi?”
“Pertama, tidak sekolah resmi seperi Janaka Arjuna. Hanya belajar kepada patung Kumbayana
Durna. Tapi menjadi lebih sakti, menang duel lawan Arjuna Sarjana Utama. Tapi Arjuna
dihidupkan kembali, malah Ekalaya yang dibunuh. Betapa sengsaranya. Apalagi perlawanannya
terhadap Sarjana Utama itu karena Arjuna menyelingkuhi istrinya. Ekalaya dihancurkan
eksistensinya, keluarganya, kesaktiannya, harga dirinya, martabat kelelakian dan
kemanusiaannya. Betapa ghaibnya ketentuan Allah”
“Wisanggeni?”
“Diperintahkan untuk ‘tidak’, padahal ia yang paling dibekali untuk ‘ya’ melebihi siapapun
lainnya…”
“Dan mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepada Muhammad suatu mukjizat dari
Tuhannya?” Maka katakanlah: “Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu
tunggu sajalah olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang
meDzanggu”.  [1] (Yunus: 20)
Tarmihim tertawa terbahak-bahak. Dan berkepanjangan: “Kamu datang menggali informasi
kepada saya. Yang terjadi adalah saya yang mewawancaraimu…”, katanya kepada Seger.
Kemudian tertawa lagi.
Kepala Besar Dunia
Sementara itu Mbah Dzan pergi menyepi. Tapi, ah, jangan-jangan orang yang menyepi adalah
orang yang gagal dalam ramai. Ia duduk bersila di awang-uwung. Didatangi oleh makhluk
sangat besar yang hanya terdiri atas kepala, dengan wajahnya sangat remang-remang.
Terkesiap urat saraf seluruh jiwanya. Mbah Dzan keder.
Disebut awang-uwung karena ia bukan wilayah sebagaimana manusia mengenalnya sebagai
wilayah. Bukan tempat sebagaimana semua pemahaman tentang tempat. Mungkin masih
berada di ruang dan mengalirnya waktu. Tidak benar-benar mengalir, karena terasa tenang dan
diam. Andaikan ada arloji atau jam dinding di sini, mungkin akan membeku, atau meleleh,
karena tidak mampu menahan misteri iramanya.
Mbah Dzan menutup hampir semua alat untuk berkomunikasi dengannya. Itu si Mbah Dzan
tua renta yang malang, sudahlah hidup di Jalan Sunyi: masih pula menyingkir, men-sunyi ke
yang paling sunyi dari sunyi. Mungkin karena Mbah Dzan lahir dari suatu peradaban

280
pengalaman yang terbiasa hidup dengan ungkapan “ambakke segaramu”. Perluaslah samudera.
Samudera sudah sangat luas, masih disuruh memperluas. Mbah Dzan sudah sunyi, masih terus
bergerak men-sunyi ke yang lebih sunyi.
Tetapi Mbah Dzan tidak merumuskan kepada dirinya sendiri bahwa ia sedang berada di
manapun kecuali di dalam rasa-jiwanya sendiri. Mbah Dzan tidak sedang melakukan apapun
yang masyarakatnya di bumi menyebutnya “bertapa”, “nenepi”, “bersemadi”, “ngraga sukma”
atau apapun. Juga Mbah Dzan tidak berbesar kepala menyebut dirinya sedang “berkhalwat”,
“uzlah”, “mati dalam hidup” atau apapun.
Mbah Dzan tidak pernah hidup di dalam lembaga-lembaga makna atau makna-makna yang
dilembagakan. Ia tidak meladeni “nomenklatur”, institusionalisasi nilai, atau pemahaman-
pemahaman yang dibekukan sehingga menjadi beku. Tidak menjalani rumusan-rumusan nilai
yang didramatisir sehingga kehilangan diri-nilainya.
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan
tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah:
“Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak
memikirkannya?” [1] (Al-An’am: 50)
Andaikan ada di antara rumusan-rumusan baku dari tradisi spiritual masyarakat, ternyata
sebenarnya yang dilakukan Mbah Dzan mungkin adalah menempuh “taubatan nashuha”.
Menjalani prosesi pertobatan total. Mengambil jarak dari dunia, berupaya mendekat kepada Al-
Awwal wal-Akhir, Sang Hyang Sangkan Paran. Sebutir debu dosa menimbun dan
menenggelamkan seluruh kehidupan Mbah Dzan. Seberapa besar pun kebaikan dan kemuliaan
yang pernah Mbah Dzan lakukan, sebertumpuk apapun sedekah Mbah Dzan di bumi,
semuanya tenggelam di dalam sedebu dosanya.
“Allah yang Mahatinggi berfirman, “Wahai anak Adam, selagi kamu minta dan berharap
kepadaKu, maka Aku akan mengampuni bagimu segala yang telah berlalu dari dosamu dan Aku
tidak peduli. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, kemudian kamu
meminta ampun kepadaKu, niscaya Aku ampuni kamu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak
Adam, jika kamu datang kepadaKu dengan kesalahan (dosa) sepenuh bumi, kemudian kamu

281
mendatangiKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang
kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” [2] (Al-Hadits Al-Qudsy)
Tetapi yang mendatangi Mbah Dzan adalah kepala besar Dunia.
Dunia Jijik Kepadamu
Meskipun tampak hanya remang-remang, tapi Mbah Dzan melihat wajah dunia merah padam,
kedua mripatnya memancarkan api yang seakan menyerbu, menjilat-jilat dan hendak
menelannya.
“Para penduduk bumi menyembahku, kenapa amarahmu tidak kepada mereka yang
menyembahku, tapi kepadaku?”, Dunia marah kepada Mbah Dzan.
“Miliaran manusia-manusia menuhankanku, kenapa aku yang kau rendahkan, dan bukan
mereka yang menuhankanku?”
“Kebanyakan makhluk ahsanu taqwim itu meletakkanku sebagai sesuatu yang lebih mereka
kejar dibanding Tuhan kita, sehingga mereka terjerumus derajatnya menjadi asfala safilin. Tapi
kenapa aku yang kau hina, dan bukan mereka yang memperhinakan Tuhan?”
“Hamba-hamba ciptaan Tuhan yang memenuhi bumi itu merasa maju dan modern dengan cara
menomorduakan Tuhan dan menomorsatukanku. Kenapa engkau malah pergi
meninggalkanku?”
“Aku korban dari kebodohan manusia. Aku dipenjarakan oleh buta tuli jiwa manusia. Aku
menderita karena mereka mensujud-sujudkan kehidupannya di hadapanku. Kenapa engkau
malah meremehkanku dan membengkakkan deritaku?”
“Aku dunia. Aku bumi. Aku gunung. Aku kekayaan bumi. Aku pepohonan. Aku udara. Aku cairan
dan gas. Aku hutan belantara. Aku kandungan-kandungan harta benda Tuhan. Ummat manusia
mengubahku menjadi alat-alat kemewahan, sehingga mereka memuji-mujiku, menjunjung-
junjungku, menjadikan sebagai yang paling utama bagi kehidupan mereka. Sedangkan aku
bertasbih kepada Allah”.
“Aku bersujud kepada Allah. Aku Dunia, aku alam semesta, aku siang dan malam, aku ruang dan
waktu, kami semua bersujud kepada Allah. Kenapa kau mengutukku? Kenapa kau bersikap sinis
kepada Dunia? Kenapa kau berperilaku merendahkan kami semua?”

282
“Bahkan kamu pergi meninggalkanku. Kau banggakan kalimat Guru Ali ‘Wahai dunia, jangan
coba-coba merayuku, karena aku sudah tetapkan talak tiga atasmu’. Kenapa engkau
menceraikanku? Apa salahku?”
“Bukankah Tuhan mengadakanku dan menghadirkanmu untuk bekerja sama? Dan kapan aku
merayumu? Kapan aku meminta-minta kalian manusia untuk berpihak kepadaku? Aku sendiri
berpihak kepada Allah, kenapa manusia berpihak kepadaku? Lantas yang kau hardik adalah
justru aku?”
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat”. [1] (Asy-
Syuraa: 20)
“Aku bersyukur engkau dan anak-anak cucu-cucumu tidak memilih untuk mengutamakanku,
karena seluruh ada-ku semata-mata mengutamakan Allah. Tapi kenapa pilihan kalian yang
sudah tepat itu dikotori oleh kandungan kebencian kepadaku, kepada dunia, yang terletak jauh
di lubuk jiwa kalian?
“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. [2] (Al-Hasyr: 1)
“Kenapa engkau, wahai Mbah Dzan dan masyarakat hamparan keluargamu, kenapa kalian
merasa jijik kepadaku. Tidakkah kalian rasakan bahwa kami, dunia dan seluruh alam semesta
ini, sesungguhnya lebih-lebih jijik lagi kepada kalian manusia?”.
Telaga Maiyah
Kalau dibilang mimpi, kok bareng sekian orang dan isi mimpinya sama persis. Kalau dibilang
khayal atau halusinasi, kok juga sama yang dialami oleh sekian orang. Jadi apa sebenarnya yang
terjadi pada para Pakde dan anak-anak itu?
Rumah Pakde Sundusin kosong, meskipun pintu-pintunya tetap terbuka. Hanya ada anak-anak
kecil dolanan kalau sore, dan bakda Maghrib ada yang mengajari anak-anak mengaji
dan nderes di ruang depan rumah. Bagian tengah sampai dapur terbuka, hanya bilik pribadi
Pakde Sundusin yang terkunci rapat. Mereka sepakat melacak Mbah Dzan.

283
Tiga orang tua dan empat anak-anak muda itu melakukan perjalanan aneh. Mungkin semacam
eskapisme, membuntuti Mbah Dzan yang juga melarikan diri. Karena tidak sanggup menjawab
berbagai pertanyaan tentang keadaan lingkungan dan zamannya.
Mereka memasuki hutan, menembus rimba, menyibak gerumbul-gerumbul, menguak dinding-
dinding alam, melompat ke seberang. Di suatu “tempat”, mereka duduk bersila. Melingkar.
Mata mereka terpejam, kecuali Toling yang matanya kadang terbuka, mengintip ke kiri kanan.
Wajah mereka menghadap lurus ke depan. Anak-anak muda itu mengikuti saja. Tetapi bengong
tatkala tiga orang tua itu umik-umik entah mengucapkan apa. Kemudian tiga orang tua itu
menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, lantas merebak bebauan yang aneh. Empat anak
muda itu mencium aroma yang ada unsur wanginya tapi campur bau busuk. Mereka hanya
merasa asing, tapi belum bisa menyimpulkan apa-apa.
Anak-anak muda itu, meskipun tak pernah memperbincangkan itu di antara mereka: tahu apa
yang dilakukan oleh para Pakde. Tidak sukar diduga. Mereka mencari Mbah Dzan. Mereka
memperkirakan, memperhitungkan, kemudian berspekulasi melacaknya. Dan juga tidak sukar
ditemukan kenapa mereka mencari Mbah Dzan.
Angin menyapu wajah mereka. Lama-lama hembusan angin mengeras. Kemudian mendera
dengan sangat deras. Angin berputar-putar. Membungkus mereka semua. Dan beberapa saat
kemudian mereka diterbangkan pergi dari tempat mereka semula. Mereka berpindah ke bagian
lain dari ruang dan waktu. Ketiga orang tua itu napasnya tersengal-sengal. Junit, Jitul dan Seger
seperti mabuk. Dan Toling pingsan. Pakde Tarmihim segera memijiti tengkuknya, Pakde
Sundusin menekan-nekan telapak kakinya.
“Allahu Akbar”, hampir bersamaan mereka berteriak, tapi lirih. Allahu Akbar. Ada semacam
telaga besar yang isi dan permukaannya bukan air, melainkan semacam kaca mengkilat. Tiga
orang tua dan empat anak muda itu belum bisa tahu apa yang ada di bawah kaca bening itu.
Apa itu semacam lantai marmer kelas tinggi di halaman Istana Kerajaan Baginda Sulaiman, yang
Ratu Balqis tertipu dan terpesona.
Toling yang kesadarannya mulai pulih, melayang di angkasa khayalannya. Ia merasa sedang
menjadi pengawal Baginda Putri Balqis, Sang Ratu Saba, meskipun tidak terkait bahwa sebagian
leluhurnya berasal dari daerah antara Banyumas dan Wanasaba.
Seger diam-diam mencatat.

284
“Dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam istana’. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu,
dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya.
Berkatalah Sulaiman: ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca’. Berkatalah Balqis:
‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”. [1] (An-Naml: 44)
Karena kebingungan kasih judul, spontan saja Seger menulis: Telaga Maiyah.
Ayat “Sulthan“
Adapun Toling, karena kesadarannya semakin pulih, malah menjadi takut dan mencurigai
khayalannya. Ia berpikir mana mungkin cecunguk seperti dia akan pernah bisa mengalami
peristiwa sedahsyat itu. Toling hanyalah anak bawang, apalagi di antara teman-temannya
sesama Muslim. Mencicipi jadi Santri pun ia belum pernah. Hanya sedikit terlibat dalam
komunitas Mbah Dzan pada lingkar entah ke berapa.
Berputar-putar pikiran Toling. Ia jadi ingat ayat “sulthan”. Memang ayat ini terbuka
kemungkinannya bagi setiap Jin dan Manusia, tanpa disebut pagar atau batas kriterianya: “Hai
masyarakat jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthan” [1] (Ar-Rahman: 33). Tetapi
rasanya mustahillah kalau dia punya peluang untuk menembus-nembus, melintas-lintas di
antara bumi dan langit, di antara dimensi-dimensi, fisika-metafisika, awang-uwung, wilayah tak
kasat mata, atau apapun yang Toling tak paham.
Memang sangat jelas dan tegas pernyataan Allah bahwa “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dengan formula yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke
kepribadian yang serendah-rendahnya” [2] (At-Tin: 4-5). Belum mengerti persis juga kenapa
“Ahsanu Taqwim” di banyak terjemahan Al-Qur`an diterjemahkan menjadi “bentuk yang
sebaik-baiknya”. Tapi memang ummat manusia sudah terbiasa dihadiri makhluk Jin ke dalam
hidup mereka. Entah dalam urusan orang kerasukan Jin dan Ustadz mengusir Jin, Dukun
kerjasama dengan Jin, dan macam-macam lagi. Kenapa manusianya sendiri yang justru heran
dan sinis kalau ada kasus Manusia masuk dunia Jin?
Kalau budaya manusia mengenal “Manusia kerasukan Jin”, kenapa heran pada fenomena yang
sama, misalnya “Jin kerasukan Mbah Dzan”? Kenapa juga Kaum Muslimin senang dengan
kecenderungan untuk membenci, mengutuk dan merendahkan Jin? Menurut Toling, Jin dan

285
Manusia kan bersaudara. Bahkan Jin adalah saudara tua manusia. Kenapa orang-orang pintar di
kalangan Kaum Muslimin merasa nikmat mengusir Jin? Apakah alam semesta, bumi, ruang dan
waktu adalah hak monopoli manusia?
Pada saat yang sama kenapa pula manusia hobi banget meremehkan dirinya sendiri. Kenapa
manusia cenderung sangat malas melihat dinamika dirinya sendiri. Kenapa “Asfala Safilin”
dikontekstualisasikan kepada ketika manusia menghuni Neraka. Kenapa tidak dilihat ada
peluang dan kemungkinan dinamis bahwa ketika masih di dunia pun manusia sudah naik turun
dan timbul tenggelam kualitas kemanusiaannya.
Kenapa “Asfala Safilin” tidak mungkin ditarik garis konteksnya ke misalnya kegagalan dunia
pendidikan, Sekolah dan Universitas. Atau perikehewanan dalam peradaban manusia. Atau
dehumanisasi dalam politik. Bahkan kegagalan paham atas nilai-nilai Islam bukan tidak mungkin
melahirkan manusia-manusia Asfala Safilin. Kenapa “baku” berpikirnya: bahwa Ahsanu Taqwim
adalah manusia di dunia, dan Asfala Safilin adalah manusia di Neraka.
Meskipun demikian Toling tidak berani lagi merasa bahwa ia berada dalam atmosfer firman
yang analoginya ini: “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari
gedung-gedung yang tinggi, patung-patung dan piring-piring yang besarnya seperti kolam dan
periuk yang tetap berada di atas tungku” [3] (Saba`: 13).
Omong kosonglah. Memang Toling keturunan Nabi Sulaiman? Ia malah curiga ada Setan
yang “ngerjain” dia: “Dan Kami telah tundukkan untuk Sulaiman segolongan setan-setan yang
menyelam ke dalam laut untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah
Kami memelihara mereka itu” [4] (Al-Anbiya`: 82).
Lingkar Organisme Kemanusiaan
Maka ini mungkin bagian paling berat bagi Seger untuk merumuskan dan mencatat. Sambil
menajamkan pikiran untuk mulai mencatati Telaga Maiyah, ia membuka lembaran-lembaran
sebelumnya:
“Yang untuk Negerimu nanti sebentar. Sesudah tuntas untuk anak cucu di tahap memasuki
tahun-tahun penuh ranjau-ranjau api ini, baru mungkin ada pesan buat Negara, Pemerintah,
rakyat dan ummat—terlepas dari bangsamu memerlukannya atau tidak”, demikian Seger
mencatat pesan Mbah dzan.

286
“Memang semua pesan buat anak cucu ini terdapat kandungan keadaan Negerimu, dengan
segala romantika dan dinamikanya—karena kita semua adalah penduduk, warga resmi dan
tinggal di sini. Tetapi semua catatan ini hanyalah setoran pribadi kepada Tuhan”.
Seger menambahkan catatan pribadi: “Tak ada maksud saya untuk membuat pernyataan atau
mengemukakan pendapat tentang Indonesia. Saya hanya mencatat hal-hal dari Mbah dzan
untuk anak cucunya”
“Fa idza faraghta fanshab, Seger, begitu pesan Mbah Dzan”, kata Pakde Tarmihim, “asalkan wa
ila Robbika farghab lho…”. [1] (As-Syarh: 7-8)
Seger sendiri belum paham kenapa Mbah Dzan sangat menekankan bahwa semua himpunan
pesan itu bukanlah tentang, kepada dan untuk Negerimu atau dunia. Juga tidak
mempersoalkan, membenarkan atau menyalahkan Negerimu atau dunia. Tidak merupakan
dukungan atau perlawanan apapun dan siapapun. Bukan pro atau kontra siapapun atau pihak
apapun. Kalau ada yang meletakkannya di tempat, konteks, nilai atau komunikasi yang tidak
sebagaimana dimaksudkan, tanggung jawabnya terletak pada yang meletakkan.
“Semua ini dari sisi Allah. Kenapakah orang-orang Munafik itu hampir tak memahami
pembicaraan sedikit pun?”. [2] (An-Nisa: 78).
Mbah Dzan pernah berpesan bahwa keadaan Negerimu bisa menjadi medan pendadaran untuk
menjadi manusia tangguh, canggih berpikir, dengan lipatan-lipatan ilmu dan gelembung-
gelembung pengetahuan yang tidak bisa kau dapatkan di luar Negerimu. Tetapi pada saat yang
sama keadaan Negerimu juga bisa dengan sangat mudah menghancurkan kepribadianmu,
mengikis kemanusiaanmu dan mencampakkanmu dari “Ahsanu Taqwim” menjadi “Asfala
Safilin”.
Jumlah Asfala Safilin meningkat pesat. Manusia turun derajat menjadi hewan, tetumbuhan atau
bahkan menjadi benda-benda. Menjadi robot, boneka, onderdil, menjadi obeng, tang, mur dan
baut. Lainnya menjadi singa kanibal, menjadi heyna, musang atau anjing hutan. Wujudnya tetap
manusia, bahkan bersolek hampir seperti Malaikat dan bidadari. Tetapi perilakunya,
budayanya, politiknya, adalah hewan. “Bal hum adholl”, bahkan lebih hina dari binatang.
Maka jangan berkata apapun, jangan bantah dan jangan melakukan perlawanan terhadap
hewan dan spare part industri. Kalian belajar dulu. Sambil memastikan bahwa di setiap jengkal
pengalaman kalian tetap mempertahankan kemanusiaan, kalian Sinau Bareng dulu rajin-rajin.

287
Mbah Dzan mendorong anak-anak itu untuk berhijrah. Bergerak mendekat ke mereka yang
berhimpun dalam lingkaran “anak-anak asuh Mbah Dzan” lainnya, yang menyebutnya Maiyah.
Lingkaran Cincin Persaudaraan yang membuka pintu sangat terbuka bagi siapa saja. Masukilah
lingkar organisme kemanusiaan yang belum pernah ada sebelumnya. Alamilah, nikmatilah,
belajarlah, bergembiralah, serta berbahagialah dalam keseimbangan.
Yang Maha Menciptakan Maiyah
Meskipun melihat Telaga itu dari tempat agak jauh, Toling berpikir: apakah ini mimpi? Yang
dimaksud adalah pemandangan Telaga ini. Tapi ia bantah sendiri: Ah, apakah mimpi bukan
salah satu jenis realitas?
Terserahlah. Toling tidak tahu, tapi Allah Maha Tahu. “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah”. [1] (Al-Hajj: 70). Apa saja tidak mustahil. “Dan yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. [2] (An-Nisa: 169).
Toling, Seger dan semua tidak terlalu terikat pada benar atau salah pandangannya. Apapun
yang mereka alami, harus membuat mereka lebih beriman kepada-Nya.
Mbah dzan entah berapa ratus kali berpesan bahwa yang disebut kebenaran hanyalah yang
berasal dari Allah. Dan manusia bisa menangkap kebenaran itu mungkin di bawah 1 persen.
Ummat yang paling bodoh dalam peradaban sejarah adalah yang mempertengkarkan
kebenaran. Menurut Mbah Dzan, tidak mungkin manusia memproses perabaannya atas
kebenaran sampai ke garis absolut. Maka hanya makhluk dungu yang mempertentangkan
kebenaran, sampai bikin Perang Dunia yang bersimbah mayat.
Di lingkaran organisme kemanusiaan Maiyah yang dianjurkan oleh Mbah Dzan agar anak-anak
bergabung itu, yang dilakukan adalah bersikap rendah hati terhadap relavititas jangkauan
manusia terhadap kebenaran. Tujuan manusia bergaul dengan kebenaran bukanlah untuk
memilikinya dan memfanatikkannya. Melainkan apakah ia menjadi manusia yang lebih baik
atau tidak–meskipun yang dicapainya hanya separuh kebenaran atau apapun yang pada setiap
manusia berposisi belum tentu benar.

288
Itu namanya prinsip Tadabbur. Kalau harus melakukan Tafsir, baik-baik saja, asalkan
mengikatkan diri pada prinsip Tadabbur: yakni, sesudah menafsirkan, seseorang menjadi
manusia yang lebih baik dan bermanfaat, seberapapun jangkauannya terhadap kebenaran.
Jangankan di Telaga yang bagaikan mimpi itu: di dalam pengalaman Maiyah di Bumi sendiri
sangat banyak keanehan, keajaiban dan fenomena-fenomena yang belum pernah terjadi
sebelumnya di zaman dan kurun sejarah apapun. Meskipun, mereka yang berada di dalamnya
dan mengalami berbagai keajaiban itu belum tentu mampu merumuskannya.
Maiyah bukan bikinan Mbah dzan. Bukan sesuatu yang dicita-citakan, dirancang, dikonsep atau
diprogram oleh Mbah Dzan. Sebab mustahil Mbah Dzan punya kemampuan untuk
“menciptakan” Maiyah. Mustahil manusia menghasilkan karya Maiyah.
Berbagai keanehan, kedahsyatan dan keajaiban peristiwa Maiyah itu bahkan juga mustahil
dicatat oleh Seger. Bahan-bahannya saja hampir tidak mungkin dihimpun, jangankan lagi
merumuskannya. Sebab lingkaran energi Maiyah hanya bisa dilihat sebagiannya belaka, hanya
yang padatan, yang kasat mata, yang ukuran-ukuran materiilnya, metodologi ilmu dan pola
pandang budayanya bisa dicari. Di luar itu tidak mungkin dicatat oleh ilmu, kata, metode, serta
rumusan-rumusan dengan cara bagaimanapun–meskipun sebagai pengalaman sangat nyata,
sangat menancap dan mengalir.
Pernah Seger memancing tiga Pakde untuk melengkapi catatannya: “Dengan banyak keanehan
dan keajaiban itu, kira-kira apa yang akhirnya nanti dicapai oleh Maiyah? Apa yang akan terjadi
bersama Maiyah di lingkungan masyarakat, ummat dan bangsanya?”
“Bertanyalah kepada Yang Maha Menciptakan Maiyah”, jawab Tarmihim, “Mbah dzan bukan
yang bikin, dan memang tak mungkin mampu bikin Maiyah”.
Wirid Salah Tajwid
Seger berhenti membuka lembaran-lembaran catatannya, karena ada yang menakjubkan di
Telaga Maiyah itu. Ternyata rupa dan wujud mereka para makhluk yang melingkar mengelilingi
tepian telaga itu, sangat menarik dan aneh. Ada pula seorang yang berbicara kepada lingkaran
itu sambil berjalan-jalan ke sana kemari di atas kaca.
Berjalan-jalan di atas kaca itulah yang membuat Para Pakde dan Junit serta lainnya
menyimpulkan bahwa itu bukan air. Mana mungkin berjalan-jalan di atas air.

289
Seger teringat kisah yang turun-temurun dikisahkan oleh Mbah dzan tentang seorang Kiai yang
mengantarkan rombongan Santri-santri naik kapal untuk berangkat naik haji. Pak Kiai
mengantarkan santri-santrinya sampai masuk kapal. Di sebuah pojok Pak Kiai menjumpai
seorang Ibu atau Mbok-mbok yang duduk menjahit kain sambil rengeng-rengeng membunyikan
semacam wirid atau shalawat.
Tentu saja Pak Kiai adalah pakarnya soal wirid, dzikir dan apapun yang gitu-gitu. Sehingga beliau
menghampiri Ibu itu untuk mengingatkan bahwa wiridan Ibu itu banyak
salah tajwid dan makhraj-nya. Si Ibu terdiam. Meneruskan menjahit. Pak Kiai berlalu. Sampai
kemudian beliau turun dari kapal. Akhirnya kapal berangkat. Bergerak beberapa ratus meter.
Pak Kiai melambai-lambaikan tangannya kepada para Santri sambil berdoa.
Tiba-tiba dari atas kapal ada orang yang melompat turun ke laut. Ia berlari menuju pantai,
mengarah ke tempat Pak Kiai berdiri. Ternyata si Ibu yang tadi diingatkan kesalahan wiridnya.
Sambil berlari di atas air, si Ibu berteriak kepada Pak Kiai: “Pak Kiai! Mohon saya diajari
bagaimana wiridan yang benar! Tadi kan belum Kiai ajari…”
Pak Kiai pingsan. Entah bagaimana penjelasannya. Mungkin ia merasa shock dan malu yang
memukul jiwanya, karena Ibu-Ibu yang dikritik wiridannya tadi ternyata mengejarnya dengan
berlari di atas air. Emangnya kenapa? “Hari di mana Kami perjalankan gunung-gunung, dan
kamu melihat bumi ini datar, dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan
seorang pun dari mereka” [1] (Al-Kahfi: 47). Gunung saja dibikin jalan-jalan, apalagi Ibu-Ibu yang
manusia.
Pak Kiai ditolong oleh Santri-santri yang mengawalnya. Tapi ketika para santri itu melihat ke
laut, si Ibu itu sudah tidak ada. Mereka mencarinya di berbagai kerumunan manusia di
pelabuhan, juga tidak ketemu.
Toling malah seperti bermimpi melihat makhluk-makhluk aneh dan pemandangan yang luar
biasa menakjubkan. Tapi siapakah mereka yang duduk melingkari telaga kaca itu? Pasti bukan
manusia. Tetapi mungkin maqam mereka seperti Ibu-Ibu yang berlari di atas air itu. Kalau
manusia tidaklah seperti itu. Besar badannya bermacam-macam. Wujud mereka beraneka
ragam, tidak ada standarisasi seperti wujud manusia. Ada yang kepalanya memanjang. Ada
yang telinga lancip dan lebar hampir sampai ke tanah. Ada yang kedua matanya hampir
memenuhi wajahnya.

290
Ada yang kedua tangannya bersedekap tapi dilingkarkan berlapis-lapis di badannya. Ada yang
kecil sekali. Ada yang besar sekali. Ada yang jasadnya berunsur seperti manusia. Ada yang lain
sama sekali. Dan jika mereka semua berada di tengah-tengah masyarakat manusia, pasti akan
menjadi bahan ejekan anak-anak kecil. Atau membuat orang sekampung lari tunggang
langgang. Atau pasukan tentara akan mengepung mereka dan Densus 88 segera meringkus
mereka.
Tapi ditahan di mana? Kayaknya mereka bisa menembus dinding di dunia manusia. Mereka bisa
berlalu-lalang di antara ada tiada dalam pandangan jasad rendah manusia.
Nabi Ahmad di Bakkah
Seolah-olah lingkaran makhluk itu adalah anggota Klub Thariqat. Satu yang berkeliling-keliling
itu mungkin semacam Mursyid mereka. Semua bersama-sama membaca firman Allah dalam
bahasa aslinya.
“Dan ingatlah ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan
datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad” [1] (Ash-Shaff:
6). Kemudian: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia” [2] (Ali ‘Imron: 96).
Sang Mursyid berteriak: “Shollu ‘ala Ahmad bi-Bakkata”. Semua yang melingkar merespons:
“Allahumma sholli wa sallim ‘alaih”.
“As-sholatu was-salamu ‘alaika ya Ahmad. Assalamu ‘alaika ya Shohiba Baiti Baitillah.
Assalamu ‘alaika ya Aba Bakkata hudan lil’ alamin…”. Kemudian bersama mereka
melantunkan: “Thala’al Badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’, wajabasy-syukru ‘alaina, ma da’a
lillahi Da’. Ayyuhal Mab’utsu fina, ji`ta bil amril mutho’…”
Kemudian semua yang duduk bersila melingkar, serentak berdiri. Bersambungan satu sama lain.
Membikin gerakan-gerakan berjamaah sambil serempak melantunkan shalawat-shalawat.
Gerakan-gerakan kolektif mereka sangat unik, indah dan tidak mungkin dilakukan oleh fisik dan
tata ruang manusia. Suatu karya koreografi yang sangat boleh dipertandingkan di Festival Gerak
Antar Makhluk. Kebudayaan manusia tak mungkin menandingi mereka. Kalau para koreografer

291
terbaik se-bumi dari manusia dikumpulkan untuk berkarya, paling jauh mereka akan mencapai
Juara Harapan III.
Jamaah Shalawat di tepian telaga kaca itu kemudian malah menghambur ke dalam lingkaran
telaga. Mereka merangkai bentuk-bentuk dan gerak-gerak sedemikian rupa sehingga pada
suatu momentum tercipta susunan huruf “Allah”, pada momentum lain tersusun huruf
“Muhammad”. Betapa indahnya.
Pasti yang demikian ini bukan seluruh masyarakat Jin yang ada. Mungkin hanya sebagian. Malah
mungkin hanya minoritas dari seluruh Jin. Banyak golongan, suku, marga, segmen atau apapun
yang berbeda-beda di antara Kaum Jin. Termasuk berbeda atau bertentangan kepercayaan dan
sikapnya kepada Tuhan. Mungkin yang banyak berseliweran ke dunia manusia adalah milisi-
milisi Jin yang disoriented, kehilangan pegangan hidup, atau terkena narkoba. Layak kalau para
Kiai dan Ustadz bersikap radikalis kepada golongan Jin yang semacam ini.
Para Pakde dan empat pemuda itu juga merasakan semacam kepolosan pada makhluk-makhluk
di telaga kaca itu. Mereka lugu. Tidak menyebut Muhammad, melainkan Ahmad, sebagaimana
informasi di firman. Mereka sangat tekstual. Kata atau nama Muhammad dalam Al-Qur`an
dituturkan di terjemahannya, sesudah melalui elaborasi Asbabun-Nuzul dan penafsiran kaum
Ulama. Sedangkan sebutan harfiahnya adalah Ahmad. Demikian juga Bakkah. Muhammad dan
Mekah atau Makkah dituliskan di antara kurung buka dan kurung tutup.
Rasanya berbeda dibanding manusia. Kaum Jin, minimal yang di telaga kaca itu, tidak suka
berhias-hias secara budaya. Tidak meruwet-ruwetkan ilmu pengetahuan. Tidak mencanggih-
canggihkan kehidupan. Tidak menseram-seramkan laku peribadatan kepada Tuhan. Masyaallah.
“Shollu ‘ala Ahmad bi-Bakkata”.
Kitab Sijjin
Kepolosan makhluk-makhluk itu terekspresikan sampai ke penampilan jasad dan perilaku
budaya mereka. Pakaian mereka sangat seadanya. Bukan hanya kain atau apapun bahan
penutupnya tidak mewah. Tapi juga hanya sebatas di atas pusar sampai di bawah lutut bagi
yang lelaki. Sangat bersahaja. Hampir tidak ada nuansa hedonisme.
Sayangnya para Pakde dan anak-anak muda itu tak bisa melihat yang wanita kecuali hamparan
warna putih, yang hanya bisa mereka lihat tanpa kejelasan mereka itu berada di tempat yang

292
dekat ataukah jauh. Ini bukan dunia materi-nya manusia. Bukan jasad dengan rumus fisika dan
matematika seperti yang diajarkan di Sekolah Manusia.
Junit yang duluan kaget melihat bangunan tepian telaga itu sangat mengkilat. Terdiri dari
logam-logam mulia, emas permata, bahkan di sana sini berhiaskan berlian. Tetapi tidak ada satu
makhluk pun yang memakai logam mulia itu di badannya sebagai hiasan. Kostum dan
penampilan mereka sangat dusun, cenderung kumuh, tidak canggih. Kalau masyarakat manusia
melihatnya, akan tampak mereka ini adalah komunitas makhluk yang kebudayaannya
terbelakang dan tidak punya kecanggihan.
Asyik juga ternyata Kitabnya kaum Jin adalah Al-Qur`an, dan Nabi kepercayaan serta
kesayangan mereka adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Mungkin di kampung-kampung
masyarakat Jin ada juga TPQ. Pesantren Tahfidhul Qur`an. Ngaji Kitab Kuning hasil karya Ulama
manusia. Siapa tahu ada juga Islamic Boarding School khusus Jin.
Walhasil sangat masuk akal bahwa kaum Jin juga sangat menikmati Al-Qur`an, sangat
bergembira berkerubung di Masjidil Haram dan semangat berthawaf. Seger baru sadar bahwa
di ayat aslinya “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia” [1] (Ali ‘Imron: 96), adalah “Hudan lil’alamin”, tetapi di Qur`annya manusia
diterjemahkan dengan dipersempit menjadi “petunjuk bagi manusia”. Kok gitu ya manusia.
Jelas untuk seluruh penghuni alam semesta, kok dimonopoli menjadi “untuk manusia”.
Kok manusia hobi amat berbuat curang. Bahkan sejak awal berpikir juga sudah mulai curang.
Jumlah dicurangi. Presisi dicurangi. Nada dicurangi. Irama tidak ditepati. Apalagi politik, Negara,
jabatan, kedudukan, birokrasi. Yang paling mengalami kecurangan manusia mungkin adalah
kepemimpinan, baik dalam konteks Ra`is, Imam, Khalifah, Malik, Presiden, Gubernur hingga
Lurah dan berbagai jabatan lainnya. Bukan konsepnya yang curang, tapi perlakuan manusia atas
kepemimpinan.
Seger mencatat, jauh-jauh hari Allah sudah wanti-wanti: “Celakalah orang-orang yang curang.
Kalau dari lainnya meDzantut kejujuran takaran. Kalau untuk orang lain, mereka kurangi” [2] (Al-
Muthaffifin: 1-3). Tapi manusia memang begitu sih. Susah banget percaya bahwa urusan
dengan Tuhan tidak begitu saja berlalu dan selesai. “Tidakkah mereka percaya bahwa mereka

293
akan dibangkitkan, pada Hari Agung, di mana mereka berdiri menghadap Tuhan” [3] (Al-
Muthaffifin: 4-6).
Junit dan Jitul bahkan berprasangka jangan-jangan para pendahulu masyarakat Jin, yang lebih
tua eksistensinya dibanding manusia—sudah ada yang membaca Kitab Sijjin.
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam
sijjin. Tahukah kalian apa itu Sijjin? Ialah Kitab yang tertulis” [4] (Al-Muthaffifin: 7-9). Sehingga
banyak Jin yang tidak berani berbuat securang banyak manusia. Dasar manusia. Qur`an saja
tidak dijadikan kepustakaan utama. Apalagi Sijjin.
Nabi Kok Jin, Jin Kok Nabi
Pastilah Allah Maha Tahu dan Maha Perancang Agung atas segala sesuatu sampai detail. Empat
anak muda itu pernah bergurau kepada Para Pakdenya: “Bayangkan kalau ummat manusia yang
menurut Tuhan ‘kebanyakan mereka tidak menggunakan akal’ ini dikasih Nabi dari kalangan
Kaum Jin”.
Tidak bisa dibayangkan betapa alotnya manusia untuk bergerak menuju iman. Betapa
banyaknya manusia yang kufur kepada Tuhan. Semua Nabi dan Rasul ditentukan oleh Allah dari
kalangan manusia sendiri saja ummat manusia rewelnya bukan main. Manusia Muhammad
yang begitu lembut dan bijaksana saja diejek-ejek, dihina, di-bully, dikarikatur-karikaturkan
dengan penuh gambaran buruk.
Maka Maha Agung Allah yang mengambil keputusan bahwa makhluk Jin dan manusia dipimpin
oleh Nabi dari golongan manusia. Dan syukur kepada-Nya bahwa masyarakat Jin “mengalah”
dengan keputusan itu. Maksudnya, Jin tidak lantas cemburu, dengki, mengamuk, melakukan
demonstrasi meDzantut keadilan Allah dst.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata” [1] (Al-An’am: 59).
Maka kalau masyarakat Jin, sekurang-kurangnya sebagian dari mereka sangat menikmati
menabikan Muhammad Saw dan memedomani Al-Qur`an—sebagaimana yang mereka saksikan

294
di telaga kaca itu—tidaklah mengherankan dan memang jelas hulu-hilirnya. “Tidaklah
Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” [2] (Adz-Dzariyat: 56).
Akan tetapi kalau para jamaah di telaga kaca itu meriah melantunkan “Thala’al Badru ‘alaina,
min tsaniyyatil wada’, wajabasy-syukru ‘alaina, ma da’a lillahi Da’. Ayyuhal Mab’utsu fina, ji`ta
bil amril mutho’…”—bagaimana asal usulnya? Itu kan lagu gembira penduduk kota Madinah
menyambut kedatangan Rasulullah saw yang berhijrah dari Mekah dan mereka siap menjadi
Kaum Anshor di Madinah.
Seger, meskipun sedang berada di suatu dimensi alam dan mengalami sesuatu yang ia belum
paham, pikirannya tetap berputar. Seger, sebagaimana juga Junit, Jitul dan Toling, mungkin
karena interaksinya dengan para Pakde: tradisi berpikirnya menjadi “kurang normal”. Boleh
disebut nakal, liar, aneh, atau kreatif dan kritis. Terserah saja. Tergantung sangka baik atau
sangka buruk orang lain kepada mereka.
Seger berpikir: yang disambut dengan kegembiraan dan penuh syukur itu Muhammad sebagai
Nabi dan Rasul, ataukah Muhammad sebagai Sesepuh, Pengayom atau tokoh masyarakat dalam
arti umum, tanpa terkait dengan keimanan dan tauhid? Tanpa berhubungan dengan apa yang
sekarang kita sebut ‘Agama Islam’? Apakah mereka yang mengelu-elukan beliau itu Kaum
Muslimin semua? Ataukah, yang menyambut beliau itu bukan hanya Kaum Muslimin,
melainkan ada juga yang Yahudi, Nasrani, Animis, Abangan? Seger tak bisa menjawabnya. Ia
hanya mencatatnya.
“Ayyuhal mab’utsu fina”, yang diutus kepada kami—itu kami Ummat Islam, atau kami
masyarakat heterogen kota Yatsrib? “Ji`ta bil amril mutho’”, engkau datang dengan urusan yang
ditaati: itu nilai-nilai Islam ataukah soal-soal penataan sosial, ekonomi dan kebudayaan dalam
arti universal?.
“Negara Islam” Madinah
Yang pasti hijrahnya beliau Nabi Muhammad Saw dari Mekah tidak bisa kita identifikasikan atau
kategorikan dengan kerangka berpikir lucu seperti zaman sekarang: bahwa beliau akan
“mendirikan Negara Islam” di Madinah. Beliau bukan akan “menegakkan Khilafah” dan menjadi
Khalifah di Madinah—kalau pakai pola pikir “padatan” seperti manusia abad 21.
Datang ke Madinah tidak untuk melakukan “kudeta”, memobilisasikan “revolusi” atau
menguasai “Parlemen” agar bisa mengubah konstitusi Madinah. Sepanjang beliau hidup di

295
Madinah juga tidak pernah “nyapres”, tidak menjabat sebagai Khalifah sebagaimana para
penerus di generasi berikutnya.
Peradaban yang beliau bangun di masyarakat Madinah bukanlah politik dongok, libido
kekuasaan, nafsu menjadi pejabat, rendah diri kepemimpinan, apalagi penyamaran
kepemimpinan yang tujuan tersembunyinya adalah penumpukan harta dan megalomania
eksistensi. Nabi Muhammad manusia rendah hati, bukan rendah diri seperti kebanyakan tokoh
di kurun yang berlagak modern. Nabi Muhammad tinggi budi, bukan tinggi hati sebagaimana
atmosfer ketokohan di banyak Negeri 14 abad sesudahnya.
Hijrah beliau ke Madinah adalah hijrah “mamayu hayuning bawana”. Mengajak semua
penduduk yang heterogen untuk memperjanjikan perilaku di antara mereka menuju “gemah
ripah loh jinawi” dengan acuan “Gusti legolilo” kepada mereka. Mempersaudarakan Kaum
Anshor dengan Kaum Muhajirin. Memperkeluargakan tuan rumah dengan pendatangnya. Tidak
ada kekuasaan manusia atas manusia. Bahkan tidak ada otoritas bikinan Golongan Pandai yang
mengikat rakyat banyak sebagaimana semua Konstitusi di abad modern.
Semua penduduk, dari kalangan apapun, dari golongan, latar belakang, Suku, Agama atau jenis
kepercayaan apapun, diajak menanamkan Hikmah atau Kebijaksanaan di dalam kesadaran
pikiran dan nurani mereka. Bukan Hikmat Kebijaksanaan, tidak perlu berlebihan: cukup Hikmah,
atau Kebijaksanaan: presisi terhadap manfaat bersama dan kemashlahatan kolektif. Maka
rakyat Madinah sendiri yang berinteraksi langsung, berdialektika, berdiskusi, berdebat,
menemukan keseimbangan di antara keperluan-keperluan.
Rakyat langsung yang menyusun 47 Pasal Perjanjian di antara mereka. Piagam Madinah. Yang
berlaku konstitusional di antara mereka. Bukan hukum kaum Cendekiawan mengikat rakyat.
Melainkan rakyat sendiri yang mengikat diri mereka sendiri. Mereka taat tidak kepada Negara
atau Khilafah, apalagi Kerajaan. Mereka taat kepada kesepakatan mereka sendiri. Tidak ada
atasan yang besar kepala dan tidak ada bawahan yang hatinya kecil dan merasa berada di
tataran terbawah.
“Dan bagi orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” [1] (Asy-Syura: 38). Kata “mereka” itu oleh
perpolitikan dunia dari zaman ke zaman dipersempit menjadi hanya monopoli Kaum Cerdik

296
Pandai. Memang mereka ini juga “mereka”, tapi bukan “mereka rakyat”. Hanya di Negara
Madinah “mereka” itu bermakna seluruh rakyat langsung.
Di dalam sistem Demokrasi yang mewah di Negeri manapun, tidak berlangsung “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan” serta “Kemanusiaan yang
adil dan beradab” sebagaimana di Negara Madinah yang diasuh dan diayomi, bukan dikuasai,
oleh Muhammad saw. Itulah sesungguh-sungguhnya Negara. Itulah sesungguh-sungguhnya
Khilafah. Dan itulah sesungguh-sungguhnya Islam.
Berhijrah ke Luar Bumi
Tentu di suasana indah seputar telaga kaca itu ketiga orang tua dan empat anak muda itu
melihat ke sana kemari untuk mencari di mana Mbah Dzan. Tidak ada di antara mereka yang
tahu persis bahwa Mbah Dzan ada di situ. Bahkan tidak ada juga di antara para Pakde itu yang
merasa mengajak lainnya untuk datang ke dimensi itu. Mereka hanya rindu, karena sangat
mencintai Mbah Dzan, dan bersungguh-sungguh menginginkan pertemuan dengannya.
Tiba-tiba mereka sampai di situ. Kalau nanti atau besok mereka balik ke kampungnya, tidak ada
yang berani menjamin bahwa akan punya acara untuk bisa sampai ke telaga kaca itu lagi.
Mereka hanya daun kering yang dibawa angin. Mereka hanya debu yang beterbangan. Mereka
hanya melayang-layang diserap oleh kerinduan.
Mereka juga tidak merasa bahwa mereka sedang mengalami apa yang difirmankan oleh Allah
swt: “dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu” [1] (An-Naba: 19). Pakde
Tarmihim, Sundusin dan Brakodin bukan manusia saleh, bukan Kiai, Ustadz, Kasyiful-hijab atau
apapun. Terlebih lagi Junit, Jitul, Seger dan Toling. Rasanya memang mereka disorong, diseret
atau diserap oleh semacam ruang hampa di balik salah satu pintu itu, tetapi mana mungkin itu
adalah pintu yang Allah maksudkan.
Mereka memang ingin ada kalimat-kalimat “pamungkas” dari Mbah Dzan tentang apa yang
sebaiknya mereka lakukan atas keadaan masyarakat dan Negaranya yang semakin ruwet dan
semrawut. Tetapi sebenarnya rasa rindulah yang lebih kuat mendorong inisiatif mereka untuk
mendaki sampai ke leher gunung, khusyuk melakukan penyelaman batin, dengan memohon
ampun dan perkenan kepada Allah Maha Penguasa Jagat Raya. Lantas tiba-tiba mereka
tercampak ke wilayah yang ada telaga kaca. Mereka tidak bisa merumuskan. Mereka tidak

297
terikat untuk mempertanggungjawabkan apapun yang mereka alami itu, kepada siapapun.
Mereka hanya mencintai dan rindu.
“Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam” [2] (Al-
Jatsiyah: 36). Junit nyeletuk: “Kalau dalam memuji Allah kita dituntun untuk menyebut-Nya
sebagai Tuhan Langit, Tuhan Bumi dan Tuhan Alam Semesta, mestinya itu berarti Allah
membukakan dan menjamin hak para pemuji-Nya tidak hanya atas Bumi, tapi juga atas Langit
dan Alam Semesta”
“Tapi bukan hak untuk memiliki, dong”, Jitul merespon.
“Hak untuk menikmati, lantas kewajiban untuk mensyukuri”, Seger menambahkan.
Tiba-tiba terdengar Pakde Sundusin tertawa. “Dari awal tadi saya membayangkan apakah Mbah
kalian Mbah Dzan ke sini ini sedang melakukan hijrah”, katanya, dan tertawanya semakin
keras, “dia putus asa hidup puluhan tahun di kampungnya dalam keadaan yang makin rusak.
Lantas berhijrah. Tapi lha kok hijrahnya ke sini?”
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezeki yang banyak” [3] (An-Nisa: 100).
“Maaf Pakde”, kata Toling, “di sini ini termasuk Bumi atau sudah di luar Bumi?”
“Saya hanya bilang ke sini, bukan ke luar Bumi”, jawab Pakde Sundusin.
Pakde Tarmihim menyahut, “Hal dimensi yang ada telaga kaca di sini ini, tergantung mau
jawaban fisika atau metafisika? Pakai konsep pemahaman natural atau supranatural?”
“Kalau pakai fisika materi”, Pakde Brakodin menambahkan, “bumi dan langit hanya sebutan.
Keduanya berada dalam satu kesatuan alam semesta atau jagat raya. Disebut Bumi bagi yang
memijaknya, disebut langit karena Dzan jauh di sana kalau dilihat dari tempat pijakan. Kalau
kita berpijaknya di sana, maka Bumi adalah bagian dari Langit”.
Ujung Jalan Sunyi
Pakde Tarmihim memotong suasana, “Tolong sekarang kita berkonsentrasi mencari apa benar
perasaan kita bahwa Mbah dzan kalian ada di sini. Dan kalau ternyata ada, masing-masing kita
harus siap menyatakan atau menanyakan sesuatu kepada beliau”.
“Kalian anak-anak muda mestinya masih punya waktu cukup banyak”, Pakde Sundusin
menambahi, “tetapi kami orang-orang tua rasanya sudah terlalu sempit waktunya untuk terus-
menerus tidak tahu”

298
Pakde Brakodin menegaskan: “Selama ini hampir tidak ada sisi, sudut, bagian atau keseluruhan
keadaan yang belum dijelaskan oleh Mbah Dzan. Di samping kita akan minta pertanda tentang
apa yang seterusnya kita lakukan di tengah Jalan Sunyi ini, kita perlu mengejar sebanyak
mungkin pemahaman dan pengertian”
“Saya yang paling mentah di antara kita bertujuh”, sahut Toling, “benar-benar butuh
pengetahuan untuk saya yakini: apakah Manusia, Dunia dan Negeri yang gagal paham terhadap
kita, ataukah kita yang sebenarnya gagal paham kepada mereka”
“Saya juga minta ketegasan dengan eksplisit pesan Mbah Dzan yang menganjurkan kita,
terutama kaum muda, untuk berhijrah ke Negeri Maiyah”, berurutan mereka mengajukan
maksud dan usulan, “Memang Maiyah itu apa hasilnya? Apa perannya untuk perbaikan
keadaan dan perubahan zaman?”
“Coba cari kata ‘hasil’ di Al-Qur`an, terutama tentang tuntutan Allah atas hasil perjuangan
manusia. Ada nggak? Paling-paling yang ada kata ‘akibat’, dan bagaimana kalau ternyata kita
tergolong di kategori ini: ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan itu’” [1] (Al-An’am: 11).
“Sependengaran saya Mbah Dzan pernah bilang: Apa yang bisa diandalkan dari ummat manusia
di zaman ini. Kebanyakan mereka beramai-ramai terperosok menuhankan yang sama sekali
tidak memenuhi syarat untuk disebut Tuhan. Perpolitikan dunia dan peradaban ilmu mereka
tidak memiliki resistensi terhadap gelombang Iblis. Jangankan membedakan mana Iblis mana
Malaikat”
“Saya juga akan menanyakan banyak detail tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan Asyiki Qur`an Maiyah Suburkan”
“Saya mendengar bahwa masyarakat Maiyah sangat menahan diri untuk tidak menjadikan
Maiyah sebagai Madzhab, Golongan, Aliran, Institusi, serta padatan-padatan lain, karena titik
berat prosesnya adalah “liutammima makarimal akhlaq”. Apa pandangan dan penjelasan Mbah
Dzan tentang itu”
“Setelah kami semua disandera di Jalan Sunyi, di Ruangan Asing, sehingga semakin lama
semakin kehilangan persambungan dengan lingkungan hidup normalnya manusia—lantas ke
mana? Lantas apa? Lantas disorong untuk berbuat apa lagi? Ke mana tujuannya? Di manakah
ujung Jalan Sunyi ini nanti? Apa hasilnya? Apa yang kami peroleh di ujung jalan itu? Mbah dzan

299
melatihkan keseimbangan dan kesehatan hidup, sehingga kami pun menjadi mengerti betapa
tidak seimbangnya kehidupan ummat manusia sekarang ini. Tetapi apakah Jalan Sunyi ini
jawabannya? Di mana dan apa ujung Jalan Sunyi ini?”
Sampai di sini Pakde Tarmihim terdengar suara tertawanya: “Apakah Jalan Sunyi ada ujungnya?
Apakah perjuangan ada akhirnya?”. Kemudian, “Nanti begitu kita dipindahkan oleh Baginda
Izroil ke alam berikutnya”, Pakda Brakodin menyambung, “salah satu yang kita sesali adalah
pernah menghentikan perjuangan tatkala bertugas di dunia…”.
Tanah Liat Tiga Gunung
Perbincangan mereka terpotong juga oleh perkembangan di telaga kaca.
Semua yang melingkar itu mengakhiri lantunan-lantunannya, kemudian diam, senyap. Tiga
orang berdiri. Satu di tengah, dia agak di belakangnya, sebelah kanan dan kiri. Mereka berjalan
ke tengah telaga kaca. Berhenti tepat di tengah-tengahnya. Mereka bertiga menghadapkan
wajahnya ke atas, dengan tangan yang juga diangkat naik. Kemudian yang di tengah bersuara.
Ternyata mengaji. Dengan cara atau bentuk, yang kalau di dunia manusia: merupakan
campuran antara Qiro`ah, Murottal dan Deklamasi. Haha, semacam Deklangaji.
Tarmihim, Sundusin dan Brakodin seperti runtuh dadanya. Subhanallah walhamdulillah wa
lailaha illallahu Allahu Akbar: yang mengaji itu adalah Mbah Dzan. Badan mereka bertiga
seperti demam tinggi dan berat. Jiwa mereka seperti disapu oleh badai.
“Menurut kamu, ia atau bukan?”, Sundusin berbisik ke Brakodin.
“Ia atau bukan apanya…”, Brakodin tidak paham.
“Coba dengarkan baik-baik”, Tarmihim menyahut, “yang mengaji itu suaranya Cak Dzan atau
bukan…”
Sundusin tersenyum. “Cak Dzan tidak dikenal oleh siapapun sebagai Qari` atau pelantun Al-
Qur`an”, katanya, “tapi selama di Patangpuluhan saya diam-diam sering sengaja mendengarkan
Cak Dzan pas nderes mengaji di kamarnya. Tidak keras, hanya rengeng-rengeng, tapi jelas saya
bisa mendengarkannya”
Sesuatu bergolak di dada Tarmihim. Sejak lama diam-diam ia mempelajari peta ke mana kira-
kira Mbah Dzan menghilang. Dengan mengaji itu seakan-akan muncul cicilan jawaban atas
pertanyaannya.

300
Dan kalau saatnya tiba dan dirasakan tepat, ia akan mengajak rekan-rekannya untuk menyusuri
dan menggerebek Mbah Dzan di hutan persembunyiannya. Tak apa kalau para Junit, Jitul,
Seger, Toling dan siapapun ikut bersama mereka. Baguslah kalau cucu-cucu itu bisa berjumpa
wajah, berwawancara dan bercengkerama dengan Mbah mereka.
Mungkin karena persambungan batin, Seger dihinggapi perasaan yang sama. “Mohon izin”,
katanya suatu saat, “apapun yang Pakde rencanakan saya diperkenankan untuk ikut
mengalaminya. Saya mencatat semua yang kita alami dan bicarakan. Tidak saya lewatkan setiap
tahap, sisi, sudut, dan detail apapun. Saya tidak tahu apakah kerajinan saya mencatat ini ada
gunanya di dunia dan ada manfaatnya di akhirat. Yang penting saya tidak boleh tidak mencatat.
Saya selalu merasa kurang bersyukur kepada Tuhan kalau tidak mencatat. Ilmu dan
pengetahuan berseliweran, hikmah dan rezeki pikiran serta rohani bertaburan dianugerahkan
oleh Tuhan”
“Bagus, Seger”, Pakde Tarmihim merespons.
“Kesanggupan saya pasti amat kecil untuk melaksanakannya dalam kehidupan saya, tetapi saya
sudah mencatat untuk mensyukurinya. Mbah dzan adalah mata air ilmu dan saya akan bikin
Kendi untuk menadahinya, meskipun untuk  itu diperlukan tanah liat tiga gunung”
Pakde Sundusin meresponsnya juga. “Luqman berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada
suatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkan balasan atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui” [1] (Luqman: 16).
Melingkarkan Cincin
Seger tidak menyangka, dan sedikit merasa cemburu, karena di luar lingkaran dengan para
Pakde beserta teman-temannya, Mbah Dzan ternyata berkeliling ke berbagai wilayah dan
karena itu tercipta jaringan dan lingkaran-lingkaran yang disebut Maiyah.
Yang Seger catat hanya sedikit literasi, deretan kata dari Mbah Dzan. Dan ini deretan kata
sesudah 300 tulisan Daur-II, kelanjutan dari 309 Daur-I serta 123 tulisan lainnya, untuk
pembelajaran bersama atau Sinau Bareng.
Semua itu, yang ditulis pada kurang lebih dua tahun belakangan ini, tentu saja tidak termasuk
ribuan tulisan lain yang dikerjakan sejak tahun 1969. Juga di luar Wedang Uwuh serta berbagai

301
tulisan lain yang dimintakan untuk menyertai terbitnya Buku-buku atau keperluan-keperluan
lain yang memerlukannya.
Di depan Pakde-Pakde dan Junit Jitul Toling serta ia sendiri, Mbah Dzan sangat jarang
menyebut-nyebut kata Maiyah. Pada saat-saat akhir saja, karena semakin banyak warga Sinau
Bareng Mbah Dzan itu, Seger secara alamiah tak sengaja terseret untuk memakai kode Maiyah.
Untuk memudahkan persambungan silaturahmi mereka.
Ratusan tulisan itu diperuntukkan bagi warga dan anak cucu Maiyah tidak karena pertimbangan
eksklusivitas, melainkan karena jelas manfaatnya. Beberapa tahun belakangan Maiyah Sinau
Bareng atau Belajar Bersama itu berlangsung semakin marak pada puluhan Simpul Maiyah,
ratusan kerumunan Maiyah, ribuan lingkaran pembelajaran Maiyah atau tak terhitung jumlah
individu-individu pentafakkur, melalui berbagai media dan jalur.
Itu dilaksanakan tanpa batas usia, kelamin, segmen dan strata sosial, budaya dan kependidikan.
Tanpa persyaratan identitas, Agama, etnik, golongan, atau apapun saja. Juga tanpa sponsor
perusahaan atau institusi, tanpa backup lembaga kekuasaan, bukan program politik atau proyek
dagang.
Semua berlangsung karena semangat mencari kesejatian hidup, karena tali-tali kokoh pengikat
persaudaraan, organisme gotong-royong yang luar biasa indahnya. Hampir seluruh prinsip
nilainya, dasar filosofinya, metodologi berpikir, pola interaksi intelektual, kultural dan
spiritualnya, dinamika komunikasi dan keseimbangan personal maupun kolektifnya—
berlangsung tidak sebagaimana yang berlaku pada kehidupan mainstream, umum, dan di
tingkat manapun.
Para leluhur masa silam menitipkan “Pisang” dan “Kitab”. Para pewaris zaman tidak mampu
memahami kemerdekaan untuk mengolah Pisang agar menjadi berkah bersama. Para pelaku
peradaban juga kehilangan kejujuran hati dan kesungguhan berpikir sehingga Kitab-kitab
akhirnya menjadi sumber pertentangan. Pisang adalah dunia jasad, materialism, konsumsi dan
kenyamanan keduniaan. Pisang mengalahkan rohani, nilai, energi dan cahaya keTuhanan.
Bahkan Kitab di-Pisang-kan.
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung
perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk” [1] (Al-Baqarah: 16). Para pewaris
tidak mampu bercermin untuk melihat wajahnya sendiri. “Dan bila dikatakan kepada mereka:

302
‫‪‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami‬‬
‫‪orang-orang yang mengadakan perbaikan” [2] (Al-Baqarah: 11).‬‬
‫‪Seger mulai sedikit memahami kenapa Mbah Dzan sering menghilang. Ternyata sama sekali‬‬
‫‪bukan menghilang. Ia berkeliling. Menyebarkan kenikmatan Sinau Bareng. Melatih manusia‬‬
‫‪untuk menikmati kebaikan. Mbah Dzan memasuki desa-desa, merambah wilayah-wilayah,‬‬
‫‪menaburkan cinta kebersamaan, mencincini Nusantara.‬‬
‫‪Telaga Cahaya‬‬
‫‪Setiap kali Mbah Dzan selesai melantunkan satu ayat, muncul sejumlah anak panah dari‬‬
‫‪seluruh arah, menancap ke badannya. Mbah Dzan ambruk. Tak bisa mempertahankan diri.‬‬
‫‪Terkadang telentang, saat lain tengkurap, terjungkal, terjerembab, meringkuk.‬‬
‫‪Tapi selalu juga ia menggeliat dan berusaha bangun kembali. Ia membaca lagi, ditaburi panah-‬‬
‫‪panah lagi, terjatuh lagi, bangun lagi, membaca lagi, terjengkang lagi, bangkit lagi, membaca‬‬
‫…‪lagi‬‬

‫اس م َِن ْال ِج َّن ِة َوال َّن ِ‬


‫اس‬ ‫ان الّ َر ِجي ِْم الَّذِيْ ي َُوسْ ِوسُ فِيْ ُ‬
‫ص ُد ْو ِرال َّن ِ‬ ‫ْط ِ‬ ‫َأع ُْو ُذ ِباهلّٰل ِ م َِن ال َّشي َ‬

‫ِين َخلَ ْوا مِن َق ْبلِ ُكم ۖ‪َّ  ‬م َّس ْت ُه ُم ْال َبْأ َسا ُء َوالضَّرَّ ا ُء َو ُز ْل ِزلُوا َح َّت ٰى َيقُ‪1‬و َل الرَّ ُس‪1‬و ُل َوالَّذ َ‬
‫ِين آ َم ُن‪11‬وا‬ ‫َأ ْم َحسِ ْب ُت ْم َأن َت ْد ُخلُوا ْال َج َّن َة َولَمَّا َيْأ ِت ُكم َّم َث ُل الَّذ َ‬
‫َم َع ُه َم َت ٰى َنصْ ُر هَّللا ِ ۗ‪َ  ‬أاَل ِإنَّ َنصْ َر هَّللا ِ َق ِريبٌ‬
‫ٰ‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
‫ض َجمِيعً ا مَّا‬ ‫ت َما فِي اَأْلرْ ِ‬ ‫لَو َأن َف ْق َ‬ ‫‪1‬وب ِه ْم ۚ‪ْ  ‬‬ ‫ِين َوَألَّ َ‬
‫ف َبي َْن قُلُ‪ِ 1‬‬ ‫ص‪ِ 1‬ر ِه َو ِب‪ْ 1‬‬
‫‪1‬المُْؤ ِمن َ‬ ‫ك هَّللا ُ ۚ‪ُ  ‬ه‪1َ 1‬و الَّذِي َأ َّي َد َ‬
‫ك ِب َن ْ‬ ‫َوِإن ي ُِري ُدوا َأن َي ْخ َدع َ‬
‫ُوك َفِإنَّ َح ْس‪َ 1‬ب َ‬
‫وب ِه ْم َو ٰلَكِنَّ هَّللا َ َألَّ َ‬
‫ف َب ْي َن ُه ْم ۚ‪ِ  ‬إ َّن ُه َع ِزي ٌز َحكِي ٌم‬ ‫ت َبي َْن قُلُ ِ‬‫َألَّ ْف َ‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬ ‫ٰ‬
‫قَو ٌم اَّل‬ ‫ص‪َ 1‬ن ٍة َأ ْو مِن َو َرا ِء جُ‪ُ 1‬د ٍر ۚ‪َ  ‬بْأ ُس‪1‬هُم َب ْي َن ُه ْم َش‪1‬دِي ٌ‪1‬د ۚ‪َ  ‬تحْ َس‪ُ 1‬ب ُه ْم َجمِيعً ا َوقُلُ‪1‬و ُب ُه ْم َش‪َّ 1‬ت ٰى ۚ‪َ ٰ  ‬ذلِ‪َ 1‬‬
‫ك ِب‪َ1‬أ َّن ُه ْم ْ‬ ‫اَل ُي َقاتِلُو َن ُك ْم َجمِيعً ا ِإاَّل فِي قُ‪1‬رً ى م َُّح َّ‬
‫َيعْ قِلُ َ‬
‫ون‬
‫ٰ‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
‫ُون َظاهِرً ا م َِّن ْال َح َيا ِة ال ُّد ْن َيا َو ُه ْم َع ِن اآْل خ َِر ِة ُه ْم َغافِلُ َ‬
‫ون‬ ‫َيعْ لَم َ‬
‫ٰ‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
‫ِين ا َّت َق ْوا َف ْو َق ُه ْم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة ۗ‪َ  ‬وهَّللا ُ َيرْ ُز ُق َمن َي َشا ُء ِب َغي ِْر ح َِسا ٍ‬
‫ب‬ ‫ِين آ َم ُنوا ۘ‪َ  ‬والَّذ َ‬ ‫ِين َك َفرُوا ْال َح َياةُ ال ُّد ْن َيا َو َيسْ َخر َ‬
‫ُون م َِن الَّذ َ‬ ‫ُزي َِّن لِلَّذ َ‬
‫ٰ‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
‫ار ِه ْم غِ َش‪َ 1‬اوةٌ ۖ‪َ  ‬ولَ ُه ْم‬ ‫‪1‬وب ِه ْم َو َعلَ ٰى َس‪1‬مْ ع ِِه ْم ۖ‪َ  ‬و َعلَ ٰى َأب َ‬
‫ْص‪ِ 1‬‬ ‫ِين َك َفرُوا َس َوا ٌء َعلَي ِْه ْم َأَأ َنذرْ َت ُه ْم َأ ْم لَ ْم ُتنذِرْ ُه ْم اَل يُْؤ ِم ُن‪َ 1‬‬
‫‪1‬ون‪َ .‬خ َت َم هَّللا ُ َعلَ ٰى قُلُ‪ِ 1‬‬ ‫ِإنَّ الَّذ َ‬
‫‪َ .‬ع َذابٌ َعظِ ي ٌم‬
‫ٰ‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬

‫‪303‬‬
َ ‫ ُعر‬1‫ ُه ْم َو َما َي ْش‬1‫ُون ِإاَّل َأنفُ َس‬
.‫ُون‬ َ ‫ َدع‬1‫وا َو َما َي ْخ‬11‫ِين آ َم ُن‬ َ ‫ُون هَّللا َ َوالَّذ‬ َ ‫اس َمن َيقُو ُل آ َم َّنا ِباهَّلل ِ َو ِب ْال َي ْو ِم اآْل خ ِِر َو َما هُم ِبمُْؤ ِمن‬
َ ‫ ُيخَ ا ِدع‬.‫ِين‬ ِ ‫َوم َِن ال َّن‬
َ ‫ َو َل ُه ْم َع َذابٌ َألِي ٌم ِب َما َكا ُنوا َي ْك ِذب‬ ۖ ‫ضا‬
‫ُون‬ ً ‫وب ِهم م ََّرضٌ َف َزا َد ُه ُم هَّللا ُ َم َر‬
ِ ُ‫فِي قُل‬
ٰ
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
ُ ‫ ُّد ُه ْم فِي‬1‫ َتهْزُئ ِب ِه ْم َو َي ُم‬1‫ هَّللا ُ َي ْس‬.‫ون‬
‫ط ْغيَان ِِه ْم‬ َ ‫ َته ِْزُئ‬1‫ِين آ َم ُنوا َقالُوا آ َم َّنا َوِإ َذا َخلَ ْوا ِإلَ ٰى َشيَاطِ ين ِِه ْم َقالُوا ِإ َّنا َم َع ُك ْم ِإ َّن َما َنحْ نُ م ُْس‬
َ ‫َوِإ َذا لَقُوا الَّذ‬
ِ
َ ‫ضاَل لَ َة ِب ْالهُدَ ٰى َف َما َر ِب َحت ِّت َج‬
َ ‫ار ُت ُه ْم َو َما َكا ُنوا ُم ْه َتد‬
‫ِين‬ َّ ‫ِين ا ْش َت َروُ ا ال‬ َ ‫ك الَّذ‬ َ ‫ ُأو ٰلَِئ‬.‫ُون‬َ ‫َيعْ َمه‬
ٰ
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
َ ‫ص ٌّم ب ُْك ٌم ُع ْم ٌي َف ُه ْم اَل َيرْ ِجع‬
‫ُون‬ ُ
ٰ
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
َ ‫َوِإ َذا َس ِمعُوا اللَّ ْغ َو َأعْ َرضُوا َع ْن ُه َو َقالُوا لَ َنا َأعْ َمالُ َنا َولَ ُك ْم َأعْ َمالُ ُك ْم َساَل ٌم َعلَ ْي ُك ْم اَل َن ْب َتغِي ْال َجا ِهل‬
‫ِين‬
ٰ
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬
‫ون‬ َ ‫ َّز ٍة َعلَى ْالكَاف ِِر‬1ِ‫ِين َأع‬
َ ‫ ُد‬1‫ين ي َُجا ِه‬ َ ‫ْؤ ِمن‬11‫ف َيْأتِي هَّللا ُ ِب َق ْو ٍم ُي ِح ُّب ُه ْم َو ُي ِحبُّو َن ُه َأ ِذلَّ ٍة َعلَى ْال ُم‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا َمن َيرْ َت َّد مِن ُك ْم َعن دِي ِن ِه َف َس ْو‬
‫ َوهَّللا ُ َواسِ ٌع َعلِي ٌم‬ ۚ ‫ك َفضْ ُل هَّللا ِ يُْؤ تِي ِه َمن َي َشا ُء‬ َ ِ‫ ٰ َذل‬ ۚ ‫ون لَ ْو َم َة اَل ٍِئم‬
َ ُ‫يل هَّللا ِ َواَل َي َخاف‬ ِ ‫فِي َس ِب‬
‫الال َه اِالهللا َوهللاُ اَكبر‬ ٰ

‫رً ا فَِإ َذا‬1‫ ِر ي ُْس‬1‫مَع ْالع ُْس‬


َ َّ‫رً ا ِإن‬1‫ ِر ي ُْس‬1‫ك َفِإنَّ َم َع ْالع ُْس‬
َ ‫ك ِذ ْك َر‬
َ َ‫ك َو َر َفعْ َنا ل‬ َ ‫ الَّذِي َأن َق‬ ‫ك‬
َ ‫ض َظه َْر‬ َ ‫نك ِو ْز َر‬
َ ‫ضعْ َنا َع‬ َ ‫ص ْد َر‬
َ ‫ك َو َو‬ َ َ‫َألَ ْم َن ْش َرحْ ل‬
َ ‫ك‬
‫ِّك َفارْ َغب‬ َ ‫ َوِإ َل ٰى َرب‬  ْ‫صب‬َ ‫ت َفان‬ َ ‫َف َر ْغ‬
Mbah Dzan mengucapkan “Shadaqallahul’adhim” dalam posisi bersujud, lemah dan tak
berdaya. Dengan ribuan anak panah yang menancap, menutupi dan menenggelamkan seluruh
keberadaannya. Kemudian bersama dua orang di kanan kirinya, pelan-pelan semakin sirna lagi
karena dilingkupi oleh semacam gulungan-gulungan asap putih. Maha Suci Allah, ternyata itu
bukan telaga kaca, bukan pula air, melainkan cahaya.
Mereka bertujuh terloncat mendekat ke arah telaga. Tak sengaja tampak di bawah permukaan
air telaga itu seperti gambar kedalaman Bumi, dengan lempengan-lempengan yang bergerak,
berdesakan, saling menekan, saling mematahkan dan, saling meremuk.
Pakde Tarmihim berdesis: “Ya Allah ampunilah hamba, sudah setua ini, menyentuh satu huruf
dari Iqra`pun belum…”.
Kemudian kepada anak-anak muda itu ia berkata: “Anak-anakku, sudah cukup lama kita selalu
belajar bersama. Tampaknya dari Sinau Bareng itu terdapat hal-hal yang masing-masing kita
perlu mempelajarinya sendiri-sendiri”.
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi
Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian pada diri

304
mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya” [1] (Ali-‘Imran: 19).
“Ayo kita mulai kembali mengislami hidup kita”, sambung Pakde Tarmihim.
Ketika akhirnya mereka kembali dan tiba di rumah Sundusin, terdengar suara orang mengorok
sangat keras. Ternyata Mbah Dzan sedang tidur sangat pulas.

305

Anda mungkin juga menyukai