Anda di halaman 1dari 153

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329973424

The Making of Plantation Economy in Jember (East Java) Indonesia

Book · November 2018

CITATIONS READS

0 665

1 author:

Nawiyanto Nawiyanto
Universitas Jember
39 PUBLICATIONS   30 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Wasino Wasino View project

Modifying River for Life: Japan-funded Irrigation Infrastructure and its Impacts on the agricultural economy and the environmental conditions in East Java View project

All content following this page was uploaded by Nawiyanto Nawiyanto on 28 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN
DI KAWASAN JEMBER
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, sebagaimana yang diatur dan diubah dari Undang-undang Nomor 19 Tahun
2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Peng­guna­
an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Peng­
guna­an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000. 000,00 (satu miliar
rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
TERBENTUKNYA
EKONOMI PERKEBUNAN
DI KAWASAN JEMBER

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN
DI KAWASAN JEMBER

Penulis : Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.

Sampul & Layout : Bang Joedin


Cetakan I : November 2018
Kode Produksi : LBP: 11.18.00204
xiv + 138 hlm. 16 x 23 cm.

Penerbit : LaksBang PRESSindo, Yogyakarta


(Member of LaksBang Group)
http://laksbangpressindo.com
E-mail: laksbangyk@yahoo.com

Anggota IKAPI

ISBN: 978-602-5452-25-3

Hak cipta © dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis dan penerbit.
PRAKATA

B
uku ini berasal dari laporan penelitian berbahasa
Inggris yang didanai oleh Komite Kursus Musim Panas
dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Kursus
diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan
Universitas Leiden di UGM Yogyakarta pada tanggal 3-29 Juli 1995.
Secara subtantif tidak ada perubahan dalam versi Indonesia yang tersaji
dalam buku ini, untuk mengindikasikan perkembangan intelektual
penulis dalam rentang waktu lebih dua puluh tahun.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Jember yang telah mendanai penulisan dan penerbitan buku ini melalui
Alokasi Dana Kegiatan Pengembangan Mutu ProgramStudi di Ling­
kungan Universitas Jember Tahun Anggaran 2018 untuk Pro­gram Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya yang dituangkan dalam Keputusan
Rektor Universitas Jember Nomor: 7513/UN25/PR/2018.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Komite yang
telah memberikan saya hibah penelitian untuk menyelidiki sejarah
perkebunan di Jember. Ucapan terima kasih saya ditujukan kepada
sejumlah individu: Dr. J. Thomas Lindblad dari Universitas Leiden,
Belanda yang membantu saya dalam banyak hal, termasuk keterampilan
penelitian dan meningkatkan bahasa Inggris saya. Vincent J.H. Hauben,
saat itu juga dari Universitas Leiden, mengajar dan memberi saya
bahan-bahan berharga selama kursus.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. v


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Saya juga menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada


Prof. Dr. Bambang Purwanto dari Universitas Gadjah Mada atas kesem­
patan untuk mengikuti kursus dan memberi saya dukungan finansial
yang murah hati untuk melakukan penelitian dan menerjemahkan buku
teks sejarah ekonomi Indonesia. Terima kasih juga kepada Dr. David
Henley dari KITLV (Leiden) yang telah membantu saya banyak selama
penelitian saya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta
dan untuk komentarnya pada draft laporan. Saya juga berterima kasih
kepada Dr. Thee Kian Wie, atas komentarnya yang berharga selama
presentasi seminar dari laporan penelitian.
Saya berterima kasih kepada senior saya di Prodi Ilmu Sejarah:
Drs. M.H. Sundoro, Dekan Fakultas Sastra, Universitas Jember mem­
beri saya dukungan kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
akademik. Terima kasih juga kepada Drs. Dison Mulyadi, M.Si.,
mantan sekretaris Departemen Sejarah, Drs. Sudiro, S.U., mantan
kepala Departemen Sejarah. Di sini saya juga berterima kasih kepada
Drs. Edy Burhan Arifin S.U., memungkinkan saya untuk berkonsultasi
dengan koleksi arsip pribadinya. Saya juga berterima kasih kepada
Drs. Bambang Samsu Badriyanto, M.Si. untuk bantuannya. Saya juga
didukung oleh Drs. IG. Krisnadi, M.Hum. Dra. Dewi Salindri, dan Dra.
Siti Sumardiati, M.Hum. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada staf Arsip Nasional Republik Indonesia dan Hick Collection,
LIPI di Jakarta. Saya ingin mendedikasikan buku ini untuk istri saya,
Weny Pudyastuti dan anak perempuan saya, Nina Mutiara Calvaryni.
Pepatah mengatakan: “Tiada Gading Yang Tak Retak”. Setiap ke­
salahan dan kekurangan dalam buku ini adalah tanggung jawab saya sen­
diri. Saya berharap buku ini dapat memberikan kontribusi yang berharga
bagi pemahaman sejarah ekonomi perkebunan wilayah Jember.

Jember, Oktober 2018


Penulis

vi Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


GLOSARIUM

ABTM : Amsterdam Besoeki Tabak Maatschappij


Acre : Ukuran luas. 1 acre = 0,4047 hektare = 0,57 bau
ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta
Besoekish Imigratie Bureau, Biro Imigrasi Besuki
BIB :
BTM : Besoeki Tabak Maatchappij
Wilayah administratif pada masa Hindia Belanda
Afdeeling :
se­tingkat dengan Kabupaten (regentscap) yang di­
kepalai seorang asisten residen. Afdeling merupakan
bagian dari suatu. Di bidang perkebunan, afdeeling
ada­lah pembagian administratif dari suatu kebun.
Bau : Ukuran luas. 1 bau setara dengan 0,7096 hektare
Controleur Kontrolir atau pejabat Belanda yang memimpin wi­
la­yah administratif onderafdeling (setingkat kawe­
danan).
Kontrolir wilayah perkebunan controleur berarti
pengawas
Erfpacht : Hak sewa tanah jangka panjang (biasanya 75 tahun)
yang diberikan kepada pengusaha untuk menjalankan
usaha perkebunan
Gulden : Guilder atau florin (f). Mata uang Hindia Belanda
(Indonesia kolonial). 1 guilder atau florin = 100 sen

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. vii


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

mata uang Hindia Belanda = US $ 0,40 emas


Handels Vereeniging Amsterdam
HVA :
Lb Singkatan dari pound, yakni satuan massa atau berat di
sejumlah sistem yang berbeda, termasuk satuan pada
Bahasa Inggris, satuan Imperial, dan satuan Amerika
Serikat. Definisi pound internasional disepakati oleh
Amerika Serikat dan negara-negara Commonwealth
of Nations pada tahun 1958. Di Inggris, penggunaan
pound internasional diimplementasikan ada Weigths
and Measures Act mulai tahun 1963. 1 pound =
0,45359237 kilogram.
NV LMOD : Naamlooze Vennotschap Landbouw Maatschappij
Oud-Djember. Sebeuah perusahaan perkebunan
Eropa di Residensi Besuki
Na-oogst Tembakau yang dibudidayakan di lahan sawah pada
bulan Agustus dan September setelah penanaman
padi
Oosthoek : Wilayah ujung timur Jawa. Biasanya mengacu ka­
wasan Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Jember,
Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi, dan
bagian timur Pasuruan.
Pal : Ukuran jarak. 1 pal ( Jawa) = 1506,943 meter
Pikul : Ukuran berat yang biasa dipakai di kalangan masya­
rakat tradisional. Pada awalnya 1 pikul = 62,5 kg,
namun pada tahun 1831 pemerintah Hindia Belanda
menetapkan 1 pikul = 60 kg, 1 pikul = 100 kati
pound : F atau poundsterling, mata uang Inggris
PNRI : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

viii Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


Rayoneering stelsel : Sistem pembagian wilayah
Residen : Pejabat sipil Eropa yang bertugas memimpin adminis­
trasi wilayah residensi atau keresidenan
Vereeniging van Europeesche Bezitter van tabak­sonder­
VEBTO :
ne­ming, Perkumpulan Orang orang Eropa yang me­
miliki perkebunan tembakau

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. ix


DAFTAR ISI

Prakata................................................................................................................ v
Glosarium........................................................................................................vii
Daftar Isi............................................................................................................ xi
Daftar Gambar...............................................................................................xiii
Daftar Tabel.................................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Tujuan....................................................................................... 4
1.3 Lingkup Spasial dan Temporal............................................. 6
1.4 Historiografi............................................................................. 7
1.5 Kerangka Teoretis................................................................. 10
1.6 Bahan Sumber....................................................................... 11
1.7 Sistematika............................................................................. 13

BAB 2 JEMBER SEBELUM 1859........................................... 15


2.1 Kondisi Geografis................................................................. 15
2.2 Kondisi Demografis.............................................................. 19
2.3 Kondisi Ekonomis................................................................ 25
2.4 Infrastruktur .......................................................................... 32

BAB 3 MASA PERINTISAN: PERKEBUNAN JEMBER


1859–1900................................................................... 39
3.1 Munculnya Perkebunan Tembakau................................... 39

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. xi


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

3.2 Faktor Produksi Tanah......................................................... 48


3.3 Faktor Tenaga Kerja............................................................. 52
3.4 Infrastruktur Pendukung..................................................... 56
3.5 Dampak Perkebunan............................................................ 63

BAB 4 MASA EKSPANSI DAN KEMUNDURAN:


PERKEBUNAN JEMBER 1900-1942......................... 71
4.1 Perluasan Perkebunan Tembakau...................................... 71
4.2 Perkebunan Karet................................................................. 84
4.3 Pendirian Besoekish Proefstation......................................... 91
4.4 Munculnya Perkebunan Tebu............................................ 92
4.5 Masalah Tenaga Kerja........................................................100
4.6 Peningkatan Infrastruktur.................................................103
4.7 Dampak Perkebunan Barat...............................................110

BAB 5 KESIMPULAN.......................................................... 121

SUMBER RUJUKAN.................................................................. 125

INDEKS...................................................................................... 137

xii Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Kali Bedadung (Sumber: Koleksi KITLV,


KLV001096037)...................................................................17
Gambar 2.2 Gerobak di Puger (Sumber: Koleksi KITLV,
KLV001041569)...................................................................35
Gambar 3.1 Tobacco Field in Jember (Source: C. Vermeer, Kort
Overzicht van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der
Onderneming “Oud-Djember, Deventer, 1909).................48
Gambar 3.2. Pekerja Pengeringan Tembakau (Sumber: C. Vermeer,
Kort Overzicht van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der
Onderneming “Oud-Djember, Deventer, 1909).................53
Gambat 3.3 Gerobak yang mengangkut Tembakau di Jember
(Sumber: C. Vermeer, Kort Overzicht van Oprichting,
Bestaan and Bedrijf der Onderneming “Oud-Djember,
Deventer, 1909).....................................................................60
Gambar 3.4 Jalur Kereta Api Jember-Bondowoso (Sumber: Koleksi
KITLV, KLV001073976).....................................................61
Gambar 3.5 Panarukan Seaport (Source: C. Vermeer, Kort Overzicht
van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der Onderneming
“Oud-Djember, Deventer, 1909)..........................................63
Gambar 4.1 Lahan tembakau di Jember (Sumber: Koleksi KITLV,
KLV001060348)...................................................................74
Gambar 4.2 Pabrik Gula Goenoengsari di Jember (Source: Koleksi
KITLV, KLV001035437).....................................................94
Gambar 4.3 Pekerja Perempuan Perkebunan Tembakau Jember ... 101
Gambar 4.4 Dam Kali Anyar (Sumber: Koleksi KITLV,
KLV001112831)................................................................ 105
Gambar 4.5 Jalur Kereta Api Mrawan (Sumber: Koleksi KITLV,
KLV001052712)................................................................ 108

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. xiii


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Daftar Tabel

Tabel 3.1 Produksi Tembakau NV LMOD Jember, 1859-1900........46


Tabel 4.1 Luas lahan tembakau di Jember 1930 - 1933 (dalam bau)..76
Tabel 4.2 Komposisi Produksi Tembakau Landbouw Maatschappij
Soekokerto - Adjong, 1921-1934 (dalam ½ kilogram)......77
Tabel 4.3 Produksi Tembakau Landbouw Maatschappij Soekokerto –
Adjong, 1921-1934.....................................................................79
Tabel 4.4 Produksi Tembakau Perkebunan Besuki, 1900-1938.........82
Tabel 4.5 Produksi Karet Besuki Plantation, Ltd, 1923-1936............89
Tabel 4.6 Kepadatan Penduduk Jember 1920 and 1930................... 111
Tabel 4.7 Produksi Beras Distrik di Jember 1930 1932 (dalam pikul)...112
Tabel 4.8 Masuknya Lembu via Pelabuhan Panarukan 1931 – 1937...115

xiv Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

B
eberapa sarjana sering menggambarkan abad ke-19
dan ke-20 dalam sejarah Indonesia sebagai periode
perubahan. Gambaran semacam itu diberikan misal­
nya oleh Wertheim, Soemardjan, Kuntowijoyo, dan Suhartono.1 Bah­
kan dalam karya yang berpengaruh yang dihasilkan Kartodirdjo yang
mengarahkan fokus pada tema berbeda, penggambaran serupa juga
ditemukan.2 Menurut Burger, perubahan yang terjadi di Indonesia
masa kolonial disebabkan oleh intensifikasi pengaruh Barat.3 Pengaruh

1
W.F. Wertheim.Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change
(‘s-Gravenhage: W. van Hoeeve, 1959); Soemardjan, Selo. Perubahan Sonial di Yogyakarta
(Yogyakar­ta: Gadjah Mada University Press, 1990); Kuntowijoyo, “Social Change in an
Agrarian Society: Madura 1850-1940”. PhD Thesis (New York: Columbia Univer­sity
Press, 1980); Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1930 (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991).
2
Sartono Kartodirdio, Pemberontakan Petani di Banten ( Jakarta: Pustaka Jaya,
1984), hlm. 13.
3
D.H. Burger, Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat di Jaw

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 1


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

tersebut masuk ke masyarakat Indonesia melalui pembentukan


perusahaan-perusahaan perkebunan Barat. Menurut Houben, pe­nga­
ruh berkembang tidak hanya melalui saluran formal tetapi juga saluran
informal. Saluran yang terakhir ini dipandang Houben jauh lebih
penting daripada saluran formal.4
Dapat dipahami bahwa “perubahan sosial” telah menjadi salah
satu tema yang paling menarik dalam penelitian sejarah. Perhatian
ilmiah terhadap masalah ini sangat diuntungkan dari semakin saling
mendekatnya antara sejarah dan ilmu sosial lainnya seperti sosiologi,
antropologi, politik, dan ekonomi. Proses ini telah membuka peluang
luas bagi para sejarawan untuk menerapkan konsep-konsep dan teori
yang berasal dari disiplin lain dalam analisis historis. Singkatnya,
penyempurnaan metodologi sejarah melalui apa yang disebut Sartono
Kartodirdjo sebagai “pendekatan ilmu sosial” telah terbukti sangat
berguna untuk membuat rekonstruksi sejarah menjadi lebih baik dan
memadai daya jelasnya.5
Proses perubahan juga terjadi di kawasan Jember. Hingga paruh
pertama abad kesembilan belas dapat dikatakan bahwa secara ekonomi
wilayah Jember belum memainkan peran penting dalam perekonomian
kolonial. Sebagian besar daerah ini masih tertutup oleh hutan dan
banyak tanah berawa, kecuali di bagian selatan dan utara di mana ada
pemukiman manusia.6 Wilayah Jember dihuni oleh penduduk dengan
latar belakang etnis yang berbeda. Populasi Jember terdiri dari orang
Madura yang menjadi bagian utama dari populasi, diikuti oleh orang
Jawa dan Orang Osing.7

( Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), hlm. 125.


4
V.J.H. Houben, Kraton and Kumpeni (Leiden: KITLV Press, 1994), hlm. 289, 352.
5
Sartono Kartodirdio, Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah
( Jakarta: PT Gramedia, 1992).
6
ANRI. “Algemeen Verslag van de Residentie Besoeki, 1886”.
7
Slamet Prajoedi Atmosoedirdjo, Vergelijkende Adatrechttelijke Studie van

2 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Populasi di daerah ini relatif kecil. Menurut Bleeker, pada tahun


1815 total penduduk Distrik Jember adalah 1.854 orang. Distrik ini
adalah bagian yang paling jarang penduduknya dari Residensi Besuki.
Namun sejak paruh kedua abad kesembilan belas situasi demografis
berubah secara drastis. Penduduk Jember meningkat pesat dan bahkan
melampaui bagian lain dari Residensi Besuki. Dari tahun 1880-an
dengan status baru sebagai afdeeling penduduk Jember menduduki
peringkat terbesar dibandingkan dengan bagian lain dari Residensi
Besuki, seperti Bondowoso, Panarukan, Besuki, dan Banyuwangi. Pada
1930 populasi Jember adalah sebesar 933.079 orang.8
Munculnya perusahaan perkebunan swasta, yang dipelopori
antara lain oleh George Birnie pada 1859, membuka era baru dalam
sejarah kawasan Jember. Bisnis yang dirintis Birnie berhasil dan tumbuh
menjadi besar.9 Keberhasilannya menarik pengusaha Barat lainnya untuk
menanamkan modal mereka di sektor perkebunan. Perkembangan ini
sangat diuntungkan oleh diberlakukannya Undang-Undang Agraria
tahun 1870, yang memberikan landasan kuat bagi kapitalis Barat
untuk menyewa tanah dan untuk menjalankan bisnis perkebunan.
Ekspansi yang cepat dari perusahaan perkebunan menjadi motor yang
mempercepat perkembangan ekonomi Jember dan masyarakatnya.
Pembentukan ekonomi perkebunan mengubah pola masyarakat Jember
dari yang tradisional, lokal dan berorientasi pada subsisten menjadi
masyarakat yang lebih maju dengan orientasi ekspor dan pasar dunia.
Dengan perkembangan pesat perusahaan perkebunan swasta,

Oostjavase, Madoerezen en Oesingers (Amsterdam: Studentendrukkerij Poortpers, 1952),


hlm. 11.
8
J. Tennekes, “De Bevolkingspreiding der Residentie Besoeki in 1930”,
Tijdschrift van het Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 80 (1963), hlm.
335.
9
G.C. Allen and Audrey Donnithorne. Western Enterprise in Indonesia and
Malaya (New York: The Macmillan Compa­ny, 1957), hlm. 96-97.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 3


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Jember mulai memainkan peran penting sebagai pusat per­tani­an ko­


mersial. Ada berbagai produk perkebunan dari daerah ini dan tembakau
adalah yang paling penting. Pembentukan per­tani­an komersial di
wilayah Jember berkontribusi besar terhadap per­kembangan ekonomi
daerah ini. Hal ini pulalah menjadi salah satu alasan utama untuk
meneliti tentang pertanian perkebunan Jember dan bagaimana sektor
tersebut berdampak pada perkembangan daerah. Sedikit perhatian telah
diberikan untuk mengeksplorasi tema dan menulis sejarah wilayah Jember.
Alasan utama lainnya adalah perubahan sosio-ekonomi yang ditanami
perkebunan merupakan fenomena paling menarik untuk dibicarakan
mengenai sejarah Jember. Dengan berfokus pada wilayah Jember, studi
ini menggabungkan tren yang berkembang dari sejarah lokal.10 Studi
ini diharapkan dapat memperkaya studi regional di Indonesia. Studi
semacam itu akan berguna tidak hanya untuk menunjukkan dinamika
lokal di tempat tertentu, tetapi juga bersama-sama dengan penelitian lain
dari jenisnya yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang sejarah nasional.

1.2 Tujuan

Studi ini menginvestigasi pertanian perkebunan di wilayah


Jember selama periode kolonial akhir. Hal ini dilakukan dengan
melihat pengenalan tanaman-tanaman komersial oleh kapitalis barat
dan perkembangannya selama era kebijakan kolonial liberal dan politik
etis. Perjalanan sejarah perkebunan Jember pada masa kolonial dapat
dibagi menjadi empat tahap: pertama, tahap perintisan dari 1859
hingga 1870; kedua, tahap ekspansi dari 1870 hingga 1900; ketiga,
tahap pemantapan perkebunan dari 1900 hingga 1930; keempat, tahap

10
Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1985).

4 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

kemunduran dari 1930 hingga 1942.


Operasi perkebunan membutuhkan ketersediaan faktor pro­
duksi. Dalam istilah ekonomi, dapat dibedakan empat faktor produksi,
yaitu: tanah, tenaga kerja, modal, dan manajemen.11 Dalam konteks
perkebunan Jember, faktor modal dan keterampilan diimpor dari
luar negeri. Sementara pihak pribumi menyediakan dua elemen dasar
lainnya untuk perkebunan, yakni tanah dan tenaga kerja.12 Sehubungan
dengan dua elemen terakhir, satu pertanyaan utama di sini adalah
bagaimana perkebunan mendapatkan kebutuhan tanah dan tenaga
kerja untuk mengamankan usaha perkebunan mereka. Pertanyaan ini
menarik untuk dikemukakan, mengingat fakta bahwa Jember pada
pertengahan abad ke-19 tergolong masih jarang penduduknya.
Masalah lain yang membutuhkan elaborasi adalah cara-cara di
mana upaya dilakukan untuk memperluas operasi bisnis perkebunan
untuk memperoleh banyak keuntungan. Hal ini mengarah pada
perbaikan dalam upaya dan organisasi, dan juga dalam infrastruktur
seperti sarana komunikasi dan transportasi. Isu-isu itu tidak dapat
dipisahkan dari operasi perkebunan di wilayah Jember. Munculnya
perkebunan menciptakan pembagian yang tajam dari sektor pertanian
menjadi dua bagian, yang menunjukkan satu karakteristik yang berbeda
satu sama lain. Pada bagian pertama, ada pertanian perkebunan yang
dimiliki oleh kapitalis Barat, yang dicirikan oleh bisnis skala besar,
dengan buruh yang besar dan padat modal, menggunakan teknik
produksi modern. Di bagian lain, ada pertanian skala kecil, yang dimiliki
oleh petani lokal dan menggunakan teknik produksi tradisional.
Berkaitan dengan dua sektor ekonomi, ada pertanyaan

11
Soemitro Djojohadikusumo, Ekonomi Umum I (Djakarta: PT Pembangunan,
1957), hlm. 27-36,
12
Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan (Yog­yakarta: Aditya Media,
1984), hlm. 29.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 5


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

penting tentang hubungan macam apa yang muncul antara pertanian


perkebunan dan pertanian skala kecil. Juga menarik untuk menyelidiki
dampak pertanian perkebunan pada pertanian skala kecil. Apakah
pembentukan pertanian perkebunan menjadi kekuatan yang membawa
pertanian rakyat ke dalam kemerosotan dan stagnasi? atau sebaliknya,
pengembangan pertanian perencanaan mendorong pengembangan
pertanian rakyat?

1.3 Lingkup Spasial dan Temporal

Penelitian ini menyelidiki perkembangan perkebunan di


wilayah Jember dari 1859 hingga 1942. Kajian dimulai 1859 karena
tahun ini menandai era baru sejarah perkebunan di wilayah ini.
Perkebunan swasta mulai muncul, dan secara bertahap menggantikan
perkebunan yang di bawah pengelolaan negara. Penelitian ini berakhir
tahun 1942 dengan pertimbangan yang lebih politis, yaitu berakhirnya
kekuasaan Belanda secara efektif di lndonesia, sebagai konsekuensi dari
serangan Jepang dan pendudukan Jepang atas wilayah Indonesia. Studi
ini mencakup jangka waktu yang lama karena akan membuatnya lebih
mudah untuk menunjukkan dengan jelas proses perubahan yang terjadi.
Dan juga dari sudut pandang ekonomi, selama periode ini ada dua
peristiwa penting. Peristiwa pertama adalah ekspansi besar perusahaan
perkebunan swasta terutama setelah pemberlakukan Undang-Undang
Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870). Yang kedua adalah peristiwa
buruk berupa krisis ekonomi yang melanda Indonesia kolonial. Krisis
ini terjadi, misalnya pada tahun 1884 dan 1930-an. Tentu saja, kedua
peristiwa ini mempengaruhi perkembangan perkebunan di Jember.
Ruang lingkup penelitian ini meliputi wilayah Jember yang secara
administratif sebelum tahun 1883 memiliki status distrik dan sebagai
bagian dari Afdeeling Bondowoso, Residensi Besuki. Tetapi sejak 1883

6 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Jember telah mendapat status administratif yang lebih tinggi sebagai


afdeeling mandiri yang terpisah dari Afdeeling Bondowoso. Karena
saat ini baik Jember dan Bondowoso memiliki status administratif yang
sama di mana posisi Jember tidak dikelola secara hierarkis di bawah
Afdeeling Bondowoso. Pergeseran status Jember menjadi afdeeling
otonom diatur dalam Besluit van Gouvernement No. 49, 9 Januari 1883.13
Pada 1930 wilayah Jember terdiri dari tujuh distrik, yakni: Jember,
Kalisat, Mayang, Rambipujl, Tanggul, Puger dan Wuluhan.14

1.4 Historiografi

Sedikit perhatian telah diberikan untuk penelitian daerah


Jember meskipun wilayah ini menunjukkan perkembangan sejarah
yang menarik. Dalam karya luar biasa Soetjipto tentang kehidupan
kota-kota pesisir di Selat Madura, misalnya, tidak ada deskripsi rinci
tentang kondisi sosial-ekonomi Jember dapat ditemukan.15 Penelitian
ini hanya memberikan deskripsi dan informasi yang lebih jelas tentang
kehidupan sosial dan ekonomi di Bondowoso yang terletak di utara
Jember. Tampaknya wilayah Jember memang masih kurang penting
dalam hubungan sosio-ekonomi yang menghubungkan kota-kota di
daerah ini terutama sampai paruh pertama abad ke-19.
Mungkin kurangnya informasi tentang kondisi sosial-ekonomi
Jember juga menunjukkan kurang pentingnya tempat ini dibandingkan
dengan tempat lain. Misalnya, Bondowoso, sebuah kota pedalaman di
sudut timur Jawa, terlibat lebih intensif dalam kegiatan sosio-ekonomi
dengan lingkup yang lebih besar daripada Jember, terutama sebelum

ANRI. “Algemeen Verslag van de Residentie Besoeki, 1883”.


13

Tennekes, op.cit., hlm. 322.


14

15
F.A. Soetjipto Tjiptoatmodjo, ”Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
(Abad XVII-Media Abad XIX)”. PhD Thesis ­(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
1983).

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 7


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

munculnya kawasan ini sebagai pusat pertanian perkebunan yang


menghasilkan komoditas ekspor ke pasar dunia. Namun, perkembangan
industri perkebunan sejak paruh kedua abad ke-19 berdampak secara
signifikan bagi posisi dan peran wilayah Jember di Residensi Besuki.
Studi pertama dan penting, yang menjadikan Jember sebagai
bagian dari fokusnya diproduksi oleh Broersma.16 Studi ini merupakan
kontribusi yang layak untuk memahami sejarah sudut timur Pulau
Jawa. Studi Broersma menunjukkan pertumbuhan kawasan Besuki
sebagai pusat produksi ekspor. Fitur ini terkait dengan perkembangan
perkebunan. Produk utama dari perkebunan di daerah ini adalah
tembakau, meskipun ada produk lain seperti kopi dan karet.
Studi yang lebih baru yang menyelidiki perkebunan tembakau
di Jember dilakukan oleh Edy Burhan Arifin.17 Studi ini berfokus pada
pengembangan perkebunan tembakau, cara-cara di mana kebutuhan
lahan dan tenaga kerja untuk perkebunan yang akan diperoleh, dan
dampak sosial dan ekonomi pada keluarga petani dan pengembangan
kota Jember. Edy juga menjelaskan persaingan di antara perusahaan-
perusahaan perkebunan swasta. Salah satu kesimpulannya adalah efek
positif yang disumbangkan oleh perkebunan pada ekonomi petani.
Menurut Edy, hubungan antara perusahaan perkebunan dan kaum
petani di wilayah ini membentuk hubungan mutualistik. Sayangnya,
penelitian Edy tidak menyentuh efek dari depresi besar dan kondisi
politik di bawah pendudukan Jepang dan juga tahun-tahun awal
perjuangan kemerdekaan, meskipun cakupan temporalnya 1860-1980.
Tampaknya penelitian yang dilakukan oleh Soegijanto

16
R. Broersma, Besoeki een Gewest in Opkomst (Amsterdam: Scheltema and
Holhema, 1912).
17
Edy Burhan Arifin, ”Emas Hijau- di Jember: Asal-Usul, Pertumbuhan dan
Pengaruhnya dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat 1860-1980”. Tesis S2
(Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1989).

8 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Padmo mampu mengisi sebagian dari kesenjangan dalam karya Edy.


Studi Padmo ingin membandingkan antara penanaman tembakau
Vorstenlands di Surakarta dan tembakau Besuki di Residensi Besuki
dan mencakup jangka waktu yang lama (1860-1960).18 Studi ini
menginvestigasi pengembangan perkebunan di dua wilayah secara
kronologis dan untuk menemukan cara-cara di mana perkebunan
swasta berkembang dan alasan perubahannya. Berbeda dari penelitian
Edy, Padmo mempertimbangkan lingkungan ekonomi dan politik
seperti depresi, pendudukan Jepang, dan perjuangan kemerdekaan.
Faktor-faktor ini berdampak besar pada perkebunan dan menentukan
perkembangan perusahaan perkebunan pada periode berikutnya.
Sektor perkebunan menghadapi kondisi yang rumit yang menyebabkan
kerusakan. Sejak saat itu, usaha perkebunan belum pernah mencapai
era kejayaan seperti sebelumnya. Perusahaan-perusahaan perkebunan
tidak dapat mengulangi lagi keberhasilan mereka dan kehilangan peran
besar mereka terhadap perekonomian Indonesia.
Salah satu kesimpulan menarik Soegijanto menyatakan bahwa
penanaman tembakau di Surakarta dan Besuki memiliki dampak yang
berbeda terhadap keluarga dan masyarakat petani. Di satu sisi, dampak
dari penanaman tembakau Besuki positif sebagaimana ditunjukkan
oleh penciptaan peluang ekonomi yang meningkatkan ekonomi
petani. Terlebih lagi, perkebunan tembakau menjadi faktor kunci yang
mempercepat perkembangan sosio-ekonomi wilayah Jember dan
masyarakatnya. Sementara itu, penanaman tembakau Vorstenlanden
di Surakarta menyebabkan proses stagnasi dan pemiskinan masyarakat
meskipun ia memperingatkan bahwa faktor lain harus diambil untuk
dijakdikan pertimbangan juga.

Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlands Tobacco of in Surakarta


18

Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and Its Impact on the Peasant
Economy and Society: 1860-1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994).

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 9


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Karya Thee tentang pertanian ekspor di Sumatera Timur meru­


pakan kontribusi yang penting untuk memahami sejarah perkebunan
di daerah yang berpenduduk jarang.19 Karya Thee membahas perkem­
bangan ekonomi Sumatera Timur yang motornya berbasis perkebunan,
dengan masalah tenaga kerja dan pengembangan infrastruktur yang
diperlukan untuk mendukung operasi perkebunan. Sangat menarik
bahwa penelitian ini juga menyajikan analisis pertanian rakyat dan
ekspor petani. Disimpulkan bahwa pertanian rakyat di wilayah itu
tetap terbelakang. Sampai akhir era kolonial ada kesenjangan besar dalam
teknik produksi antara pertanian rakyat dan perkebunan besar. Penelitian
Thee sangat cocok untuk menjadi model dalam meneliti per­kebunan
di Jember. Apakah kasus Jember seperti Sumatera Timur (Thee) atau
seperti Vorstenlanden (Soegijanto); atau berbeda lagi (Edy)?

1.5 Kerangka Teoretis

Dalam penelitian ini tidak hanya pendekatan kualitatif tetapi


juga pendekatan kuantitatif yang akan diterapkan. Penggunaan kedua
pendekatan tersebut akan sangat bermanfaat dalam menggarap
subjek penelitian ini. Namun, pendekatan kualitatif yang akrab bagi
sejarawan dan menjadi karakter utamanya, akan ditekankan dan men­
dapat perhatian lebih di sini. Penerapan pendekatan kualitatif ber­
kaitan terutama dengan diskusi tentang kebijakan dan cara di mana
perusahaan perkebunan di Jember diorganisasi. Data kuantitatif
akan digunakan untuk memperkuat deskripsi dan analisis agar dapat
menunjukkan adanya perubahan secara jelas. Penggunaan data
kuantitatif akan mempermudah untuk melihat dan mengukur berbagai

19
Thee Kian Wie. Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic
History of East Sumatera, 1863-1942 ( Jakarta: National Institute of Economic and Social
Research, 1977).

10 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

aspek perubahan ekonomi yang terjadi di area ini. Menurut Thee Kian
Wie, misalnya, sejak awal sejarah ekonomi memang memiliki orientasi
kuantitatif yang kuat. 20
Penelitian ini didasarkan pada kerangka teoretis yang dikem­
bangkan oleh Robert Baldwin dan diaplikasikan oleh Thee Kian
Wie untuk menganalisis perkembangan ekonomi wilayah Sumatera
Timur. 21 Menurut kerangka teoretis ini, industri ekspor yang di­
bangun di daerah yang jarang penduduknya akan menentukan pola
pem­bangunan berikutnya. Daerah-daerah ini memiliki kelebihan
kapasitas produktif tetapi penduduk asli belum dapat berkembang.
Potensi hanya bisa dikembangkan setelah ada injeksi faktor produksi
asing, terutama modal dan teknologi. Pembentukan industri ekspor
secara teoretis akan memungkinkan untuk membuka berbagai peluang
ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja baru. Industri ekspor ini
juga akan mendorong munculnya kegiatan ekonomi, meningkatnya
jumlah penduduk dan perbaikan infrastruktur. Dalam kaitan ini, me­
narik untuk mendekati perkembangan perkebunan di Jember dengan
mengamati lebih jauh hubungan yang muncul dalam konteks hubungan
ke belakang dan ke depan (backward and forward linkages). 22

1.6 Bahan Sumber

Rekonstruksi sejarah tergantung pada ketersediaan bahan


sumber yang berasal dari masa lalu. Semua peristiwa dan proses sejarah
20
Thee Kian Wie, “Sejarah Ekonomi di Indonesia”, in Anne Booth, William J.
O’Malley, Ann Weidemann (eds). Sejarah Ekonomi Indonesia ( Jakarta: Yaya­san Obor
Indonesia, 1988), hlm. xiii.
21
Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic
History of East Sumatera, 1863-1942 ( Jakarta: National Institute of Economic and Social
Research, 1977).
22
Paul Krugman, Development, Geography and Economic Theory (Cambridge:
The MIT Press, 1995), hlm. 19-23; Thee Kian Wie (1977), op.cit., hlm. 52-53.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 11


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

hanya dapat direkonstruksi berdasarkan sumber materi sejarah yang


tersedia. Tanpa bahan sumber atau catatan dari masa silam, mustahil
bagi sejarawan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di
masa lalu. Sejarawan selalu memulai karyanya dengan bahan sumber
yang tersedia. Sejarawan tidak bisa memulai perkerjaannya dengan
masa lalu itu sendiri yang tidak akan pernah terulang lagi. 23 Sebuah
adagio mengatakan, “Tidak ada dokumen, Tidak ada sejarah”. Sumber
materi sejarah adalah kunci untuk membuka dan mengungkapkan
peristiwa dan proses di masa lalu. Tanpa sumber sejarah, peristiwa masa
lalu akan tetap menjadi misteri sejarah yang tidak akan terpecahkan.
Penelitian ini didasarkan pada sumber primer dan sekunder.
24
Bahan utama sebagian besar berasal dari Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(PNRI), keduanya di Jakarta. Sumber utama termasuk laporan umum
(algemeen verslagen) dari Besuki. Laporan-laporan ini dibuat setiap
tahun dan mencakup berbagai aspek seperti kondisi geografi, agama,
kejahatan, kesehatan, perdagangan, pertanian, dll. Laporan-laporan
ini sangat rinci dan berguna untuk mengetahui kondisi Jember secara
umum dan perkembangannya terutama dari tahun 1823 sampai
dengan 1890. Juga termasuk sumber-sumber primer adalah nota tugas
administrasi (Memories van Overgave). Bahan ini dapat ditemukan
terutama dalam periode 1907 hingga 1938, terdiri dari laporan umum
yang disusun oleh residen Besuki ketika mereka akan meninggalkan
posisi mereka. Laporan-laporan ini berisi informasi berharga tentang
kondisi umum daerah ini kepada penduduk baru yang menggantikan
posisi tersebut. Mereka biasanya berisi pembagian administratif,
kondisi politik, kondisi kesehatan, potensi lokal, dan peristiwa penting

23
Ronald H. Nash, Ideas of History (New York: E.P. Dutton, 1964).
24
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah ( Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1975), hlm. 35-38.

12 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

dalam residensi selama administrasi mereka. Sumber penting yang


digunakan di sini adalah laporan perusahaan. Laporan-laporan tersebut
disusun oleh usaha perkebunan swasta, yang berisi berbagai informasi
seperti penanaman tanaman, produksi, dan laporan keuangan.
Penelitian ini juga menggunakan bahan sumber yang diterbit­
kan. Data kuantitatif dari periode kolonial telah diterbitkan sebagian,
misalnya kompilasi bahan sumber statistik yang diedit oleh Creutzberg
dan Van Laanen, berjudul Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.
Kompilasi materi statistik yang juga telah diterbitkan dalam seri
Changing Economy in Indonesia (CEI) juga akan dijadikan acuan di sini.
Sementara itu, sumber sekunder terdiri dari bahan-bahan yang telah
dipublikasikan dan tidak dipublikasikan, dikumpulkan dari tempat-
tempat terpisah di Jakarta, Yogyakarta, dan Jember.

1.7 Sistematika

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bagian Pendahuluan


telah mengikhtisarkan tujuan dan kerangka kerja dari studi ini,
sebagaimana diuraikan di atas. Bab II menjelaskan panggung pembahasan
dengan menyajikan kondisi ekologi, kondisi sosial-ekonomi daerah
Jember sebelum 1859. Diskusi ini memberikan pengetahuan latar
belakang yang penting untuk memahami perkembangan selama
periode yang dipertimbangkan. Bab III menguraikan perkebunan di
Jember dari 1959 hingga 1900. Diskusi berkaitan dengan pengenalan
dan pengembangan tanaman komersial, bagaimana pengusaha Barat
memperoleh kebutuhan tanah dan tenaga kerja. Upaya apa yang
telah dilakukan untuk mempercepat proses eksploitasi. Bab ini juga
akan membahas hubungan dan dampak dari perkebunan barat pada
pertanian skala kecil dan pembangunan daerah. Bab IV menjelaskan
pengembangan perkebunan dari 1900 hingga 1942. Ini berisi diskusi

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 13


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

lebih lanjut tentang tembakau dan pengenalan tanaman baru yang


ditanam petani barat. Pimpinan ini juga menginvestigasi perbaikan
infrastruktur dan menganalisis dampak perkebunan pada pertanian
skala kecil. Kesimpulan utama yang diambil dari dalam penelitian ini
disajikan pada Bab V.

14 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


BAB 2

JEMBER SEBELUM 1859

2.1 Kondisi Geografis

W
ilayah Jember terletak di sudut timur pulau Jawa
yang dulunya biasa disebut sebagai Oosthoek.
Perbatasannya dibentuk oleh Afdeeling Bondowoso
di utara, sementara perbatasan selatannya terbentuk oleh Samudera
Indo­nesia. Perbatasan baratnya masing-masing adalah Afdeeling
Lumajang dan Probolinggo. Sedangkan perbatasan timurnya adalah
Banyuwangi.
Wilayah ini merupakan daerah berbukit yang terletak di lereng
kompleks pegunungan. Di bagian utara, kompleks pegunungan Hyang
membentang dengan dua gunung berapi, Gunung Api Argopuro
(3,068 M) dan Gunung Api Lamongan (1.600 M), terbentuk sebagai
puncak dari kompleks ini. Sementara di bagian timur, kompleks Ijen
membentang dari utara ke selatan, di komplek pegunungan ini, dua
gunung berapi menjulang tinggi, yaitu Gunung Raung (3,332 M) dan

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 15


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Gunung Merapi (2.800 M).1 Dataran rendah Jember di sebelah barat


sampai Lumajang juga membentuk tepi kompleks gunung Tengger
di mana Gunung Berapi Bromo (2.392 M) dan Gunung Api Semeru
(3.676 M) sebagai puncaknya. Gunung Api Semeru adalah yang
tertinggi di Pulau Jawa. Namun, bagian selatan Jember disusun oleh
perbukitan kapur, yaitu bukit Watangan dan bukit Mandiku di Distrik
Puger. Ada juga daerah pantai berpasir di bagian selatan wilayah ini.2
Dataran rendah Jember adalah tanah yang umumnya subur.
Kesuburannya dibentuk oleh serangkaian erupsi gunung api di masa
lalu. Bahkan, letusan ini tidak hanya menjadi serangkaian bencana
untuk manusia dan semua ciptaan lainnya, tetapi memiliki dampak
positif juga karena kegiatan alam ini meremajakan kesuburan tanah.
Kesuburannya juga dihasilkan dari proses sedimentasi oleh aliran
sungai. Proses ini membentuk lahan aluvial yang subur. Betapapun,
bagian tenggara Jember kurang subur karena terdiri dari pegunungan
kapur dan pasir pantai.3
Iklim bagian selatan Jember relatif lebih kering dibandingkan
dengan bagian utara Jember yang menerima lebih banyak hujan di
musim hujan setiap tahun. Tetapi sebagian besar wilayah Jember
memiliki musim kemarau sekitar 2-4 bulan setiap tahun dari Juni hingga
September. Musim hujan berlangsung sekitar 8-10 bulan. Namun
beberapa bagian memiliki musim kemarau yang lebih pendek sekitar
1-2 bulan. Tingkat curah hujan di wilayah Jember tinggi dan di bagian-

1
G.F.E. Gongrijp, Geillustreerde Encyclopaedie van Neder­lanach-Indie (Leiden:
N.V. Leidsche Uitgeversmaatschahlmij, 1934), hlm. 577.
2
I Nyoman Suaryana, ”Perubahan Sosial dan Ekonomi di Besuki 1830-1850”.
MA Thesis. (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1989), hlm.
23-24.
3
J. Tennekes, “De Bevolkingspreiding der Residentie Besoeki in 1930”,
Tijdschrift van het Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 80 (1963), hlm.
319-322.

16 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

bagian tertentu bisa mencapai sekitar 2.500 mm.4 Ketinggian wilayah


Jember adalah antara 0-90 M di atas permukaan laut. Ketinggian 0-10
M meliputi dataran litoral selatan. Ketinggian 10-40 mencakup bagian
tengah dan timur Jember. Sedangkan ketinggian 40-90 terdiri dari
rentang perbukitan utara dan tenggara. Menurut Mohr, suhu rendah di
wilayah ini tidak kurang dari 20 C. Suhu rata-rata sekitar 25 C.5

Gambar 2.1 Kali Bedadung (Sumber: Koleksi KITLV, KLV001096037)

Wilayah Jember juga terbelah oleh sungai. Ada dua sungai besar
melintasi kawasan ini. Yang pertama adalah Sungai Bedadung yang mata
airnya berasal dari Pegunungan Hyang. Sungai ini melewati sebagian
besar wilayah Jember. Dari Distrik Kalisat, Sungai Bedadung melintasi
perbatasan Jember, Rambipuji dan bertemu dengan sungai kecil (kali)
lainnya dan sungai seperti Kali Bacem, Kali Bitung, Kali Jompo, Kali
Putih, Kali Pecoro, dan Kali Glundingan. Mereka membangun sungai
ke distrik Puger dan bertemu dengan sungai lain seperti Kali Besini,
4
Tennekes, Ibid., hlm. 317-319.
5
Tennekes, Ibid., hlm. 324-325.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 17


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Kali Kasian dan akhirnya mengalir ke Samudera Indonesia. Sungai


kedua adalah Sungai Sanen yang airnya berasal dari Pegunungan Ijen.
Alirannya menjadi lebih besar karena bertemu dengan beberapa aliran
seperti Kali Ajung, Kali Ambulu, Kali Mayang, Kali Mrawan, Kali
Kemirisongo. Alirannya melintasi perbukitan Mandiku dan kemudian
mengalir ke Samudra Indonesia.6
Sungai-sungai di Jember berukuran relatif kecil dan hampir
tidak berguna untuk transportasi. Kontribusi utama dari ini adalah pada
pertanian. Banyak penduduk di wilayah Jember menggunakan air dari
sungai-sungai ini untuk mengairi sawah mereka. Selain dari penggunaan
ini, sungai dan sungai sering juga menjadi bagian penting dari kegiatan
kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti memandikan diri mereka
sendiri dan ternak mereka, mencuci , pembuangan sampah, dan
beberapa lainnya air.7 Tidak perlu di sini untuk memberikan penjelasan
lebih lanjut tentang hubungan antara kondisi ekologi dan kehidupan
ekonomi. Singkatnya, mengacu pada Heaton, dapat dipastikan bahwa
kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi, jika tidak ditentukan, oleh
kondisi ekologis. Ini juga sama dengan gagasan Braudel bahwa aktivitas
manusia, dalam arti ekonomi, telah berakar pada kondisi geografis.8
Bagian selanjutnya akan membahas jumlah dan peran manusia yang
semakin tumbuh besar.

6
HLM. Bleeker, “Fragmenten eener Reis over Java: Reis door Oosteltjk Java,”
TNI, tweede deel, 11 (1849), hlm. 118; ANRI, “Statistiek van Java, Residentie Besoeki,
1820”, hlm. 9; Overzichtkaarts der Bevloeiingsgebieden in de Vlakte van Z.W. Djember-Z.O.
Loemajang, Bijlage II.
7
The phenomena can still be found now.
8
F.R. Ankersmit, Refleksi Sejarah: Pendapat-Pondapat Modern tentang Filsafat
Sejarah ( Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm. 282.

18 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

2.2 Kondisi Demografis

Sampai awal abad kesembilan belas, wilayah Jember masih jarang


penduduknya. Untuk waktu yang lama, penduduk asli dari Kerajaan
Blambangan, menghuni wilayah Jember khususnya di bagian selatan,
Puger. Wilayah Jember, seperti tempat lainnya di Residensi Besuki pada
umumnya, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Blambangan. Dalam
jangka panjang, penduduk dari etnis lain pindah ke wilayah Jember
dan kemudian sebagian dari mereka membuat keputusan untuk tinggal
di sini. Kehadiran mereka didorong oleh beberapa pertimbangan dan
melalui berbagai saluran. Menurut Sutjipto, mereka bergerak melalui
perdagangan, pengiriman, ekspedisi militer, dan mencari nafkah.9
Para migran yang masuk membuat wilayah ini lebih heterogen dalam
hal etnis. Ada kelompok orang-orang Madura, Jawa, Using, Mandar,
Bali, dan Cina.10 Fitur ini menjadi semakin mecolok pada periode
berikutnya.
Namun, sayangnya tidak ada sumber yang memberikan infor­
masi yang rinci dan dapat diandalkan mengenai populasi di wilayah ini
hingga awal abad ke-19. Sangat sulit untuk mengidentifikasi angka pasti
dan distribusinya. Selain tidak adanya tradisi tertulis yang berfokus
terutama pada tingkat akar rumput, tampaknya peperangan panjang
membuat mustahil untuk merekam berbagai aspek populasi.
Sejarah Oosthoek lama diwarnai oleh serangkaian konflik. Ada
pusat kekuatan politik yang sering terlibat dalam memperebutkan ke­
kuasaan di wilayah tersebut. Konflik era Majapahit terjadi sebagaimana

9
F.A. Soetjipto Tjiptoatmodjo,”Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
(Abad XVII-Media Abad XIX)”. PhD Thesis (­Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
1983), hlm. 302-304.
10
ANRI, “Statistiek van Java, Residentie Besoeki, 1836”; Slamet Prajoedi
Atmosoedirdjo, Vergelijkende Adatrechttelijke Studie van Oostjavase, Madoerezen en
Oesinger (Amsterdam: Studentendrukkerij Poortpers, 1952), hlm. 10-11.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 19


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

diwakili dalam kisah Damarwulan dan Minakjingga.11 Dengan


menurunnya Kerajaan Majapahit, pusat kekuasaan politik berikutnya,
Kerajaan Demak di pesisir utara Jawa Tengah dan kemudian Kerajaan
Mataram di pedalaman Jawa Tengah mencoba menaklukkan sudut
timur Pulau Jawa ini. Kedua kerajaan di Jawa Tengah ini ingin
memperluas wilayah mereka dan mengintegrasikan daerah sekitarnya
di bawah kekuasaan mereka12
Pada abad ke-16 dan 17, ujung timur Jawa ini berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Blambangan yang sangat dipengaruhi oleh
kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. Upaya yang dilakukan oleh Mataram
untuk menguasai wilayah tersebut telah menciptakan serangkaian
konflik militer melawan penguasa lokal yang didukung oleh Kerajaan
Gelgel Bali. Keduanya mencoba membangun kekuasaannya atas
wilayah Blambangan dan menempatkan kerajaan ini sebagai bawahan
mereka. Niat ini mendorong mereka untuk mengirim ekspedisi militer
dalam mencapai tujuan mereka. Perang antara kedua belah pihak
pecah. Perang berlangsung selama beberapa tahun. Meskipun Mataram
menjadi pemenang perang ini, itu memang tidak pmudah. Selama
periode tidak stabil ada upaya keras untuk melemahkan satu ke yang
lain. Itu tergantung pada kondisi internal dan kekuatan militer. Wilayah
kerajaan Blambangan dapat digambarkan sebagai daerah frontier antara
kerajaan Mataram dan Bali.13
Karena ketidakstabilan politik yang berkelanjutan, populasi
Besuki meningkat sedikit hingga akhir abad ke-18. Perang suksesi
yang panjang menghalangi pertumbuhan populasi di wilayah ini. Reid
11
H.J. de Graaf and Th. G. Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di
Jawa ( Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985), hlm. 207.
12
De Graaf and Pigeaud, Ibid., hlm. 234-236.
13
Ann Kumar, ”Historiografi Jawa mengenai Periode Kolonial: Studi kasus”,
in Anthony Reid and David Maar (eds.). Dari Raja Ali Haji hingga Hamka ( Jakarta: PT
Grafiti Pers, 1980), hlm. 77.

20 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

memperkirakan bahwa selama abad ke-17 dan ke-18 pertumbuhan


penduduk di Jawa Tengah dan Timur adalah -0,85 persen per tahun.
Besuki adalah salah satu daerah di Jawa Timur yang mengalami
pertumbuhan penduduk yang rendah, mungkin depopulasi. Kumar
memperkirakan bahwa selama periode ini penduduk Besuki menurun
tajam dari sekitar 80-100.000 menjadi hanya sekitar 5-8.000.14 Rata-
rata penurunan berkisar antara -1,25 hingga -1,38 persen per tahun,
atau lebih cepat dari Jawa Timur dan Jawa Tengah secara keseluruhan.
Beberapa faktor membantu untuk memahami proses
depopulasi. Faktor pertama adalah kematian yang disebabkan oleh
peperangan. Sumber tradisional, Babad Blambangan, dengan jelas
menunjukkan bahwa banyak orang menjadi korban selama periode
peperangan.15 Pembantaian yang memakan korban 300 orang
dilaporkan terjadi di Besuki pada tahun 1709.16 Tingkat kematian yang
tinggi tidak boleh dikaitkan hanya dengan orang-orang yang terbunuh
di medan perang sebagai konsekuensi langsung dari peperangan,
tetapi juga dengan kematian karena dampak tidak langsung dari
peperangan. Penghancuran tanaman pangan digunakan sebagai taktik
perang di semua sisi. Kekurangan tenaga kerja atau berlalunya pasukan
menyebabkan kelaparan dan kesengsaraan di seluruh Asia Tenggara.17
Kesulitan seperti itu juga menimpa Besuki. Misalnya, pada tahun 1767,
terjadi bunuh diri massal di Blambangan untuk menghindari deportasi.
Pada 1768 dan 1771 kekurangan pangan muncul di Blambangan,
Puger, Panarukan, dan Besuki karena taktik militer yang digunakan

14
A. Kumar, Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters (Surrey: Curzon,
1997), hlm. 207.
15
Arifin, op.cit., hlm. 238, 285-286, 319.
16
M.C. Ricklefs, War, Culture and Economy in Java 1677-1726 (Sydney: Allen
and Unwin, 1993), hlm. 160-161.
17
C. Hirschman, ‘Population and Society in Twentieth Century Southeast
Asia,’ Journal of Southeast Asian Studies, 25, 2 (1994), hlm. 401.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 21


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

oleh pasukan Kompeni untuk mengalahkan kerajaan lokal.18


Kedua, ketidakstabilan politik memaksa penduduk untuk me­
larikan diri ke tempat-tempat yang lebih aman seperti hutan dan gu­
nung, dan ke daerah-daerah sekitarnya yang bisa memberi perlindungan
selama kekacauan politik. Selama peperangan, misalnya, sebagian
penduduk Besuki melarikan diri ke pulau kecil Nusa Barong dan ke
Bali untuk menghindari ditangkap dan dideportasi.19 Ketiga, sebagian
penduduk ditangkap dan dideportasi ke kota istana Mataram setelah
kekalahan Blambangan.20
Singkatnya, depopulasi wilayah Besuki terutama disebabkan
oleh faktor politik. Namun di sisi lain, melalui ekspedisi militer,
penduduk Jember semakin menjadi lebih plural, meskipun jumlah
penduduknya menurun. Beberapa anggota ekspedisi militer tidak
kembali ke tempat asal mereka dan menetap di tempat ini. Ketika
Belanda mendapat Oosthoek dari Kerajaan Mataram, upaya dilaku­
kan untuk menenangkan wilayah ini.21 Pengamanan wilayah ini
mem­berikan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan pen­
duduk. Di bawah pemerintahan Belanda, migrasi ke Jember didorong.
Kebijakan ini diberlakukan untuk mendukung kepentingan Belanda
dalam mengeksploitasi kawasan.
Dalam konteks tenaga kerja eksploitasi kolonial adalah sangat
penting. Karena kurangnya tenaga kerja di wilayah ini, propaganda
diluncurkan untuk menarik imigran terutama orang Madura untuk
pindah ke Jember. Pemerintah kolonial berjanji untuk memberikan
beberapa kemudahan bagi para imigran. Pemerintah kolonial memberi

18
Kumar, op.cit., hlm. 79.
19
Kumar, Ibid., hlm. 77-83; De Graaf, op.cit., hlm. 265.
20
HLM.J. Veth, Java: Geographisch, Ethnologisch, en Historisch (Harleem: Bohn,
1912),Vol. I, hlm. 390; De Graaf, Puncak, hlm.270-271.
21
Kumar, op.cit., hlm. 78.

22 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

mereka pilihan bebas yang berkaitan dengan lokasi di mana mereka


ingin menetap dan mengembangkan pertanian. Mereka juga didukung
dengan peralatan pertanian. Selama dua tahun pertama, para pemukim
baru juga dibebaskan dari membayar pajak dan layanan kerja wajib.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial memberi
beberapa hasil positif. Sejumlah orang Madura tertarik untuk
mendapatkan insentif yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial.
Bondowoso, termasuk bagian utara Distrik Jember adalah tempat paling
disukai oleh para imigran untuk menetap. Salah satu alasannya adalah
ada hubungan tradisional antara Bondowoso dan Sumenep, sebuah
kota di Pulau Madura. Bupati Bondowoso adalah kerabat penguasa
Sumenep. Juga di Bondowoso telah ada sejumlah imigran perintis
Madura. Mereka mendorong kerabat dan tetangga mereka untuk
mengikuti mereka. Mereka berasal tidak hanya dari pulau Madura,
tetapi dari distrik pesisir utara juga. Satu perkiraan menyatakan bahwa
sekitar 800-900 orang Madura setiap tahun bermigrasi secara permanen
ke Besuki sendirian.22
Sebagai akibat dari imigrasi, penduduk di wilayah ini tumbuh.
Pada tahun 1802 penduduk Bondowoso adalah 3.900 orang. Ini
meningkat menjadi 7.000 pada 1815. Pada tahun 1825 jumlah penduduk
meningkat menjadi 28.000 orang. Pertumbuhan yang signifikan terus
terjadi. Pada tahun 1845 populasi Bondowoso adalah 67.045 orang. Di
Jember, populasi tumbuh dari 1.854 orang pada tahun 1815 menjadi
29.969 pada tahun 1845. Bosch bahkan memperkirakan bahwa pada
tahun 1847 populasi Jember adalah 48.785 orang..23 Membandingkan
kedua data tersebut, jelas bahwa populasi Jember lebih kecil dari

22
R. E. Elson, Village Java under the Cultivation System (Sydney: Allen and
Unwin, 1994), hlm. 12.
23
C.J. Bosch, “Aantekeningen over de Afdeeling Bondowoso (Residentie
Bezeoki)”, TBG, 6 (1857), hlm. 495-497.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 23


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

populasi Bondowoso. Populasi Jember juga lebih kecil daripada daerah


Besuki dan Panarukan.24 Jember belum menjadi pusat pemukiman
manusia dan pusat pengembangan Oosthoek. Alasan mengapa Jember
masih kurang penting, memang bukan karena kurangnya sumber daya
alam. Ini karena Jember memiliki tanah yang subur dan luas yang
tidak digarap. Tampaknya satu alasan utama adalah kurangnya sarana
transportasi, disamping infrastruktur yang buruk dan Jember terletak
jauh di pedalaman.25
Namun, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa
sejak paruh pertama abad ke-19 imigrasi telah menjadi elemen penting
pertumbuhan penduduk di Jember, meskipun tidak dapat diabaikan
bahwa unsur lain juga memberikan sumbangan. Pada saat ini pemerintah
kolonial berhasil meningkatkan standar kesehatan masyarakat umum
misalnya dengan pengenalan vaksinasi cacar. Ini memungkinkan untuk
mengurangi kematian termasuk di antara anak-anak dan berkontribusi
pada pertumbuhan populasi.
Terlepas dari ini, arus migrasi menciptakan masyarakat yang
unik, lebih banyak orang dengan latar belakang etnis dan karakter yang
berbeda. Perbedaan yang mencolok dapat ditarik antara kelompok
Madura dan Jawa. Penduduk Madura di Jember adalah penganut Islam
yang kuat, pekerja keras, tetapi juga memiliki reputasi sebagai orang
yang tidak sabar dan temperamental. Sementara itu, penduduk Jawa
di Jember bukanlah penganut Islam yang kuat. Mereka sangat hemat
dan sabar dan sangat teguh untuk menanggung kesulitan.26 Secara
ekologis, orang Jawa terkait erat dengan lingkungan sawah, sedangkan
orang Madura erat kaitannya dengan lingkungan tegalan. Menurut
Kuntowijoyo, ekologi tegalan menjadikan orang Madura lebih bersifat

24
Tennekes, op.cit., hlm. 339.
25
Suaryana, op.cit., hlm. 38.
26
ANRI, “Algemeen Verslag van de Residentie Besoeki, 1887”

24 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

individual, sementara orang Jawa lebih hidup komunal, karena ditempa


oleh ekologi sawah..27

2.3 Kondisi Ekonomis

Dalam kontak awal dengan masyarakat Barat, sifat agraris


sangat terkait dengan masyarakat di kepulauan Indonesia, khususnya
di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Jawa adalah petani, mereka
terlatih dengan lingkungan sawah. Pernyataan ini juga didukung oleh
studi Elson tentang Residensi Pasuruan.28 Sifat agraris itu memang juga
merupakan kondisi obyektif dari awal abad kesembilan belas Jember.
Kondisi ekonomi Kabupaten Jember masih bercirikan kehidupan
agraris. Sebagian besar penduduk menggantungkan mata pencaharian
mereka pada kegiatan pertanian baik sawah maupun pertanian
tegalan.29 Seperti disebutkan di atas, tanah di Jember umumnya subur
dan sangat cocok untuk kegiatan pertanian.30 Kecuali, di pesisir selatan
di mana sejumlah penduduk juga tergantung mata pencaharian mereka
pada kegiatan menangkap ikan.31
Pasokan utama makanan berasal dari lahan yang dibudidayakan
baik sawah maupun tegalan di sekitar desa. Persawahan biasanya
dibudidayakan oleh orang Jawa dan orang Using. Lahan basah itu
terletak di daerah dataran rendah di bagian selatan Jember dan diirigasi
dengan mengalihkan air dari sungai. Produk utama sawah adalah padi
yang umumnya ditanam di musim hujan dari Oktober hingga April. Di

Kuntowijoyo, “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940”.


27

PhD Thesis (New York: Columbia Univer­sity Press, 1980), hlm. 525-526.
28
Elson (1984), op. cit., hlm. 5 – 6.
29
Arifin, op. cit., hlm. 25 – 26.
30
Tennekes, op. cit., hlm. 319 – 320.
31
Broersma, Besuki: een Geweest in Opkomst (Amsterdam: Scheltema en
Holkemas Boekhandel, 1912), hlm. 13.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 25


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

beberapa bagian Jember di mana pasokan air tersedia sepanjang tahun,


penanaman padi sepanjang tahun sering dilakukan. Namun, di bagian
lain selama musim kemarau dari Juni hingga September pasokan air
tidak tersedia dan tidak cukup untuk menanam padi. Akibatnya, selama
musim kering di bagian-bagian seperti itu jagung, ubi kayu, dan kedelai
menjadi tanaman yang penting, dan kadang-kadang juga ditanam di
sawah sebagai tanaman kedua.32
Sementara tegalan yang pengairannya murni bergantung pada
curah hujan dikembangakan oleh orang Madura.33 Sebagian besar
tegalan terletak di bagian utara Jember. Produk utama dari tegalan adalah
jagung, singkong dan komak. Tetapi selama musim hujan ditanam
padi gaga yang tidak banyak membutuhkan air di lahan tegalan.34 Ada
dua cara budidaya padi gaga. Pertama, dikenal sebagai metode panjak.
Dalam metode ini, tanah disiapkan saat kering dan benih ditaburkan.
Kemudian, air hujan akan menumbuhkannya di lahan. Kedua, dikenal
sebagai metode tektek. Dalam metode ini benih ditabur sebelum tanah
diolah sehingga benih itu dibajak lebih dalam. Campuran metode ini
biasanya dilakukan.35
Dua bahan makanan utama adalah nasi dan jagung. Nasi sangat
digemari orang Jawa sebagai makanan pokok mereka. Kecuali, pada
periode kelangkaan beras mereka juga mengkonsumsi bahan makanan
lain seperti jagung, umbi-umbian, dan berbagai produk hutan. Jagung
dikonsumsi sebagian besar oleh orang Madura dan menjadi makanan
pokok mereka. Dalam jumlah yang lebih kecil orang Madura juga

32
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, vol. one (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1978), hlm. 121; Wertheim, op. cit., hlm. 19.
33
Mengingat kondisi ekologis Madura, tegalan menjadi tradisi dan pilihan
terbaik untuk beradaptasi dengan alam. R. E. Elson (1984), op. cit., hlm. 6.
34
Wertheim, op. cit., hlm. 25 – 26.
35
Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 49 – 50.

26 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

mengkonsumsi beras dan bahan makanan lainnya.36 Selain kegiatan


pertanian, peternakan rupanya juga memiliki posisi penting dalam
kehidupan ekonomi penduduk desa. Kepemilikan ternak merupakan
bagian integral dari kehidupan petani karena itu menunjukkan posisi
pemilik yang otonom dan mandiri.37
Kepemilikan hewan ternak melengkapi kehidupan petani dan
membantu kegiatan pertanian. Ada berbagai macam penggunaan
ternak. Ternak menjadi sumber untuk memenuhi tidak hanya
kebutuhan daging dari rumah tangga petani, tetapi juga memberikan
tenaga untuk membawa barang dan untuk mengolah tanah. Juga
penting bahwa ternak menyediakan pupuk kandang yang sangat
berguna untuk menjaga kesuburan tanah.38 Pentingnya hewan ternak
terutama untuk orang Madura juga tercermin secara sosiologis dengan
menempatkan sapi sebagai simbol prestise sosial. Laporan petugas
kolonial menunjukkan bahwa pada tahun 1837 ada 636 kuda, 475
kerbau, dan 788 sapi di Distrik Jember. Pada tahun yang sama ada
335 kuda, 468 kerbau, dan 277 sapi di Puger.39 Jumlah ternak terus

36
Manggistan, “Produksi Padi di Jawa Yang Tidak Mencukupi”, in Sajogyo dan
William L. Collier, Budidaya Padi di Jawa ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT
Gramedia, 1986), hlm. 99; see also, Bleeker, op. cit., hlm. 127; Raffles, loc. Cit.; Elson
(1994), op. cit., hlm. 7; lihat juga Wertheim, loc. cit.; J. Hageman, “ Aanteekeningen over
Nijverheid en Lanbouw in Oostelijk-Java”, in Tijdshcrift voor Nijverheid en Landbouw in
Nederlandsch-Indie, Deel IX (Nieuwe Serie deel IV), (1863), hlm. 300, 315.
37
J.H. Boeke, Prakapitalisme di Asia ( Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 68.
Budidaya kapas juga memainkan peran penting untuk mendukung posisi petani yang
mandiri. Di Kampung Besuki, penanaman kapas juga dilakukan oleh petani lokal.
Hageman, op. cit., hlm. 303.
38
Glenn Smith, “ Pentingnya Sapi Dalam Masyarakat Madura”, in Huub de Jonge
(ed.), Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-Studi Interdisipliner tentang Masyarakat
Madura ( Jakarta: PT Rajawali, 1989), hlm. 282; see also Bambang Samsu Badriyanto,
“Aduan Sapi antara Tradisi dan Judi”, in Buletin Sastra, 1/01/Juli (1989), hlm. 28 – 29.
39
ANRI, “Algemeen Verslag van de residentie Bezoeki over het Jaar 1837”,
without no. page; The amount of livestocks in Bondowoso afdeeling from 1837 up to
1847 could be seen in Bosch, op. cit., hlm. 496 – 497.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 27


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

meningkat seperti yang ditunjukkan oleh angka pada tahun 1861. Pada
tahun ini di Kabupaten Jember ada 1.198 kuda, 2.054 kerbau dan 4.153
ekor sapi. Di distrik Puger ada 757 kuda, 2.156 kerbau dan 2.495 sapi.40
Kehidupan di desa sering digambarkan dengan cara yang ideal
oleh para sarjana. Kehidupan penduduk sebagian besar didasarkan
pada ekonomi tertutup. Dalam jenis ekonomi seperti itu, produk
pertanian terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga petani untuk mempertahankan kehidupan subsisten mereka.
Umumnya di negara-negara oriental, menurut Boeke, sejak awal
pertanian tampaknya untuk memenuhi tujuan subsisten.41 Wertheim
juga menunjukkan gagasan yang sama bahwa pertanian adalah sarana
utama subsisten.42 Gagasan serupa juga diberikan oleh Burger yang
menyatakan bahwa kehidupan ekonomi desa di Jawa adalah sederhana.
Penduduk desa menghasilkan untuk kebutuhan mereka sendiri dan
mereka cukup hampir semua kebutuhan hidup rumah tangga mereka.
Menurut Burger, desa itu mewakili komunitas yang mandiri.43
Memang benar ada pertukaran barang di antara penduduk
desa. Kegiatan ini umumnya berlangsung di pasar lokal yang biasanya
diadakan pada hari tertentu atau dua kali seminggu. Secara umum
hari-hari pasar diatur oleh apa yang mereka sebut pasar hari. Jika tidak
ada tempat khusus, pasar bisa berlangsung di bawah pohon besar.44
Di tempat ini penduduk desa terutama perempuan desa memainkan
peran penting. Mereka membawa berbagai komoditas seperti bahan
makanan dan produk lain untuk ditukarkan di pasar lokal.45 Namun, lalu
lintasnya sedikit dan hanya pelengkap untuk mendukung swasembada
40
ANRI, “Statistiek der Residentie Bezoeki 1861”, without no. page.
41
J. H. Boeke, Prakapitalisme di Asia ( Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 59.
42
Wertheim, op. cit., hlm. 90.
43
Burger, op. cit., hlm. 93 – 94.
44
Raffles, op. cit., hlm. 198; see also, Elson (1994), op. cit., hlm. 14.
45
See, Elson, ibid.; Raffles, ibid.; Boeke, op. cit., hlm. 28.

28 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

rumah tangga petani.46


Menurut Wertheim, meskipun ada sejumlah pertukaran barang,
itu terjadi sebagian besar secara non-komersial.47 Sebagian besar
produk pertanian digunakan untuk kebutuhan konsumsi rumah dan
hanya sedikit surplus dibawa ke pasar lokal untuk dijual.48 Meskipun
ada skala lalu lintas dan perdagangan yang lebih besar, tetapi itu terjadi
melalui saluran formal. Kegiatan ini biasanya di tangan elite penguasa
dan itu menjadi salah satu hak istimewa mereka.49
Di bawah Sistem Tanam Paksa, sering dinyatakan bahwa tipe
ekonomi masyarakat Jawa bergeser secara signifikan dari ekonomi
tradisional dan tertutup menjadi ekonomi modern dan uang. Ada juga
pergeseran orientasi dalam produksi. Mereka menghasilkan tidak lagi
hanya untuk pemenuhan tujuan subsisten dan pasar lokal. Sebaliknya,
produksi berorientasi pada tujuan komersial dan pasar internasional.
Pulau Jawa menjadi pusat kawasan perkebunan khususnya industri
gula.50 Desa-desa di Jawa ditempatkan sebagai unit ekonomi yang
menghasilkan komoditas tertentu untuk pasar internasional. Fase ini
merupakan bagian penting dari proses sejarah jangka panjang yang
mengintegrasikan masyarakat Jawa ke dalam pasar dunia.51

46
Burger (1962), op. cit., hlm. 95.
47
Wertheim, op. cit., hlm. 90.
48
W. F. Wertheim,”The Changing Structure of Eastern Society”, in Anonim,
Eastern and Western World (The Hague, Bandung; W. van Hoeven, 1953), hlm. 40 – 41.
49
J. A. C. Mackie, Sedjarah Pembangunan Ekonomi Dalam Dunia Modern, Jilid II
(Djakarta: PT Pembangunan, 1963), hlm. 124.
50
Industri gula adalah salah satu pencapaian besar Sistem Tanam Paksa, lihat
G. R. Knight, “Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-19”, in Anne
Booth, William J. O’Malley, Ann Weidemann (eds.), Sejarah Ekonomi Indonesia ( Jakarta:
LP3ES, 1988), hlm. 75.
51
Robert van Niel, “Warisan Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi
Berikutnya”, in Anne Booth, et.al., (eds.), ibid., hlm. 135.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 29


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Namun, selama Sistem Tanam Paksa tidak ada industri gula di


wilayah Jember. Hingga 1859 di Residensi Besuki industri gula hanya
ditemukan di lima kecamatan, yaitu Besuki, Mlandingan, Panarukan,
Situbondo dan Kapongan.52 Kondisi wilayah Jember rupanya tidak
cocok untuk budidaya tebu. Selain faktor ekologis, kurangnya sumber
daya demografi adalah alasan utama yang membuat sangat sulit untuk
mengolah tebu. Kebutuhan tenaga kerja di industri gula sangat tinggi
sehingga hanya bisa dikembangkan di daerah padat penduduk.53
Persyaratan seperti itu mendorong pemerintah kolonial untuk
mencari pilihan lain yang cocok untuk mengeksploitasi sumber daya
pribumi. Berdasarkan pengalaman eksploitasi Belanda di wilayah
Priangan, pemerintah kolonial mencoba mengembangkan penanaman
kopi di Besuki seperti bagian lain dari Jawa. Upaya ini dipromosikan
setelah Johannes van den Bosch berhasil memasukkan budidaya kopi
ke dalam Sistem Tanam Paksa.54 Upaya penanaman dilakukan pada
tahun 1832. Ada lebih dari dua juta pohon kopi ditanam di Residensi
Besuki. Dilaporkan bahwa total pohon kopi meningkat dari 753.497
pada tahun 1831 menjadi 3.098.304 pada tahun 1833. Terus meningkat
pada tahun-tahun berikutnya. Total pohon kopi meningkat menjadi
6.433.601 pada tahun 1843 dan menjadi 10.832.763 pada tahun 1858.55

52
Nama perusahaan ini adalah De Maas (dimiliki oleh Hoboken dan putra-
putra), Boedoean (dimiliki oleh SF Riems), Wringin Anom (dimiliki oleh Erven van
Wijlen, Etty), Olean (dimiliki oleh Van der Zweef dan Hofland) dan Pandjie ( dimiliki
oleh AS Fransen van de Putte).
See, ANRI, “Statistiek der Residentie Bezoeki, 1861”, without no. page; see also
Hageman, op. cit., hlm. 299.
53
Mackie, op.cit., hlm. 156.
54
Elson (1994), op. cit., hlm. 63; Tentang tanaman kopi pemerintah lihat
misalnya, Anonim, “De Governments-koffiekultuur in de residentie Bezoeki”, in TNI,
nieuwe serie, tweede jrg. Tweede deel (1873), hlm. 126 – 310.
55
ANRI, “ Probolinggo, Bezoeki en Banyuwangi 1867: Eenige Opgaven
Omtrent de Residentie Bezoeki”.

30 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Penanaman kopi juga dilakukan di Kabupaten Jember dan


Puger.56 Tanaman semacam ini dianggap menarik untuk dibudidayakan
di kedua tempat untuk menghasilkan keuntungan bagi Belanda.
Kopi adalah tanaman yang dapat bertahan terhadap kekeringan dan
hanya berubah menjadi “berjamur” dalam iklim basah.57 Kebutuhan
tenaga kerja dalam budidaya kopi lebih kecil dan organisasinya tidak
serumit budidaya tebu.58 Seperti bagian lain Jawa, di wilayah Jember
dapat dibedakan tiga jenis penanaman kopi berdasarkan lokasi: kopi
perkebunan, kopi hutan dan kopi tanaman pagar tanaman.59 Dilaporkan
bahwa tiga adalah 656.940 pohon kopi pada tahun 1837 di Kabupaten
Jember. Ini terdiri dari 459,031 pohon di perkebunan, 15.750 pohon
di hutan dan 182.159 pohon di pagar tanaman. Sementara di Distrik
Puger total pohon kopi adalah 378.682. Ini terdiri dari 54.386 pohon
di perkebunan, 38.752 di hutan dan 285.544 di pagar.60
Berdasarkan uraian di atas, tidak terlalu berlebihan untuk
mengatakan bahwa budidaya kopi telah mengaitkan perekonomian
Jember dengan pasar internasional. Ini menjadi kekuatan dinamis yang
mulai menggerakkan dinamika kehidupan ekonomi masyarakat Jember.
Jenis ekonomi bergeser dari ekonomi subsisten ke ekonomi komersial
meskipun masih berjalan lambat. Namun, pergeseran ini adalah titik
awal untuk perkembangan selanjutnya yang semakin mengubah

56
In Puger district coffee trees were planted firsly by R. Tumenggung
Prawirodiningrat in 1785, see ANRI, “Probolinggo, Bezoeki en Banyuwangi 1867”.
57
Jul. Mohr, “Rainfall and Cultures in Netherlands-India”, Sluyters Monthly,
East Indian Magazine, vol. 1, May-Dec (1920), hlm. 144.
58
Mackie, op. cit., hlm. 152 – 153; Diskusi menarik untuk kopi di Cirebon, lihat
M. R. Fernando dan William J. O’ Malley, “Petani dan Pembudidayaan Kopi di Kare­
sidenan Cirebon 1800 – 1900”, dalam Anne Booth, et. al., (eds.) op. cit. hlm. 236 – 257.
59
ANRI, Algemeen Verslag van de Residentie Bezoeki over het Jaar 1837”;
Untuk penjelasan umum penanaman kopi di bawah Sistem Tanam Paksa, lihat Elson
(1994), op. cit., hlm. 63 – 72.
60
ANRI, “Algemeen Verslag van de Residentie Bezoeki over het Jaar 1837”.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 31


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

ekonomi Jember dan juga kehidupan sosialnya. Perlu juga dicatat di


sini bahwa sebagai pusat produksi kopi peran Jember masih kurang
penting dibandingkan dengan kabupaten lain di Residensi Besuki.
Pusat produksi kopi yang lebih penting adalah Distrik Bondowoso,
Sukokerto dan Penanggungan.61 Pada tahun 1859, misalnya, produksi
kopi di Jember hanya berjumlah 375 pikul. Pada tahun yang sama
Bondowoso menghasilkan kopi sebanyak 13.385 pikul. Produksi
kopi di Distrik Wonosari berjumlah 23.973 pikul. Sementara itu,
Distrik Penanggungan menghasilkan kopi 7.965 pikul dan di Distrik
Soekokerto hasil budidaya kopi sebesar 7.198 pikul.62

2.4 Infrastruktur

Kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh infrastruktur. Ini


menjadi faktor penentu yang berkontribusi terhadap pengembangan
suatu wilayah, seperti yang secara jelas ditunjukkan dalam kasus
Amerika.63 Pada bagian ini, pembahasan infrastruktur dikhususkan
terutama untuk kondisi jalan dan sarana transportasi.
Mengingat tidak adanya sungai yang dapat dilayari di wilayah
Jember, transportasi sungai umumnya memainkan peran yang tidak
penting.64 Hubungan sosial ekonomi secara dominan dilakukan melalui
transportasi darat. Transportasi jalan adalah sarana yang paling tepat
untuk membawa barang.65 Jalan-jalan yang menghubungkan sebagi­
an besar wilayah Jember masih berupa jalan setapak yang umumnya

61
ANRI, “Probolinggo, Bezoeki en Banyuwangi 1867: Eenige Opgaven
Betreffende de Koffie Kultuur over 1853 – 1864”.
62
ANRI, Statistiek der Residentie Bezoeki 1861”, without no. page.
63
Robert Fogels, Railroads and American Economic Growth, dalam Ankersmit,
op. cit., hlm. 290 – 294.
64
Suaryana, op. cit., hlm. 22; Arifin op. cit., 16.
65
Elson (1994),I op. cit., 16.

32 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

terbentuk karena orang biasa menggunakannya. Pada abad ke delap­an


belas rupanya ada jalan yang menghubungkan Puger dengan Banyu­
wangi, meskipun sulit dilalui karena rute ini melalui gunung. Pada saat
itu juga ada jalur yang menghubungkan bagian timur Jawa ke barat di
se­panjang pantai selatan. Jalur ini membentang dari Puger ke barat
me­nuju Kesultanan Yogyakarta melalui Lumajang, Malang, Lodaya
(Blitar), Ngrawa (Tulungagung), Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, dan
Wonogiri.66
Dari Jember ada jalan yang menghubungkan tempat ini dengan
Puger di bagian selatan. Jalan ini sekitar 30 pal panjangnya.67 Di Puger
jalan ini memiliki kelanjutan sekitar 27 pal ke wilayah Lumajang.
Dari tempat ini jalan terus menuju Probolinggo dan Pasuruan. Ada
juga jalan lain ke arah utara yang menghubungkan antara Jember
dan Bondowoso melalui Maesan dan Sukowono. Jaraknya sekitar 32
pal.68 Dari Bondowoso ke utara ada kelanjutan jalan melalui Wringin
ke pos tinggi di Jeruk, dekat Besuki. Di Dawuan ada cabang jalan ini
yang terhubung dengan Panarukan melalui Wonosari dan Prajegan.69
Dari Prajegan ada kelanjutan jalan melalui Panji, Besuki dan kemudian
dilanjutkan ke Probolinggo.70
Secara umum kondisi jalanan buruk terutama di musim hujan.
Pada tahun 1824 Residen Besuki melaporkan bahwa jalan-jalan
di daerah ini hanya dapat dilewati dengan berjalan kaki. Pendapat
serupa diberikan oleh Burger dalam konteks Jawa pada umumnya. Dia
menyatakan bahwa kesulitan transportasi terbesar adalah kondisi jalan
yang buruk.71 Pernyataan lain menyatakan bahwa output Java dibatasi
66
Sutjipto, op. cit., hlm. 104.
67
1 pal = 1.506 m
68
ANRI, “Algemeen Verslag van de Residentie Bezoeki 1824”, hlm. 13.
69
Sutjipto, op. cit., hlm. 99.
70
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki, 1824”, hlm. 15.
71
Burger (1962), op. cit., hlm. 109.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 33


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

oleh komunikasinya bukan oleh kesuburan tanahnya.72 Sebagian besar


jalan tidak cocok untuk lalu lintas beroda sama sekali dan sebagian
besar menjadi jalur yang tidak bisa dilewati selama musim hujan.
Masuk akal bahwa penggunaan gerobak dan gerobak belum mapan. Di
tempat ini orang membawa barang ke pasar lokal atau ke rumah mereka
bukan dengan gerobak tetapi di punggung binatang beban seperti kuda
dan lembu. Juga ada kebiasaan umum bahwa mereka membawa barang
dalam jumlah kecil di bahu pria dan wanita.73
Bagian integral dari infrastruktur jalan adalah jembatan. Ini
terkait dengan kondisi obyektif bahwa wilayah Jember dilintasi oleh
sejumlah sungai. Ada sejumlah jembatan seperti Beting, Rambi, Jember
di Kabupaten Jember. Jembatan lainnya adalah Kepal, Puger, Getam,
Besini di Distrik Puger.74 Keadaan jembatan masih sangat sederhana.
Konstruksi jembatan umumnya terbuat dari kayu atau bambu.
Perbaikan itu diperlukan secara berkala untuk menjaga jembatan dalam
kondisi yang baik karena banjir sering menyapu struktur jembatan.75
Kondisi infrastruktur yang buruk mendorong pemerintah
kolonial untuk mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk
mem­perbaiki jalan dan jembatan. Peningkatan infrastruktur ini di­
pandang sangat penting untuk mempercepat proses eksploitasi
ekonomi oleh Belanda. Dengan pertimbangan ekonomi ini, langkah-
langkah itu diterapkan dan cara-cara di mana pemerintah kolonial
telah memilih adalah penggunaan tenaga kerja wajib melalui ikatan
tradisional. Di sini penduduk desa terlibat dalam pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur. Ini biasanya diklasifikasikan sebagai desa

72
J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1939, 1967), hlm. 109.
73
Raffles, op. cit., hlm. 197; see also Elson (1994), ibid.
74
ANRI, “Statistiek der Residentie Bezoeki 1836”.
75
Elson (1994), op. cit., hlm. 16.

34 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

diensten.76 Pekerjaan dilakukan dengan menggunakan kerja paksa


yang dibebankan kepada penduduk desa yang tinggal di sekitar jalan.
Mereka melakukan beberapa pekerjaan seperti memotong rumput dan
pepohonan di pinggiran jalan.77

Gambar 2.2 Gerobak di Puger (Sumber: Koleksi KITLV,


KLV001041569)

Perbaikan infrastruktur jalan terjadi terutama pada periode


Tanam Paksa.78 Jalan-jalan yang menghubungkan Jember dengan
tempat-tempat lain seperti Puger dan Bondowoso dilebarkan dan

76
Ada layanan wajib lainnya yaitu cultuur diensten (di perkebunan), heeren
diensten (untuk para pejabat pribumi), Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan
Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 41;
bandingkan Furnivall, op. cit., hlm. 182; lihat juga, Soemarsaid Moertono, Negara dan
Usaha Binanegara di Jawa Masa Lampau ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm.
145; Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani di Banten 1888 ( Jakarta: Pustaka Jaya,
1984).
77
Suaryana, op. cit., hlm. 87.
78
J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge
University Press, 1939, 1967), hlm. 203 – 204.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 35


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

membuatnya lebih baik dan lebih layak. Penduduk Besuki melaporkan


pada tahun 1836 bahwa jalan utama yang menghubungkan Jember
dengan Puger dan Bondowoso telah dibuat dapat dilewati oleh gerobak
yang ditarik hewan..79 Perbaikan juga dilakukan terhadap jalan-jalan
yang menghubungkan tempat-tempat tersebut dengan Probolinggo
dan Pasuruan.80 Tetapi perlu dicatat bahwa faktanya pemerintah
kolonial tidak membangun infrastruktur baru apa pun. Pemerintah
kolonial hanya memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur yang
tersedia untuk menjadi lebih keras, lebih lebar, dan lebih layak untuk
kereta kuda. Bahkan juga hal ini berlaku dalam hal jalan pos dari Anyer
ke Panarukan.81
Selain itu, upaya untuk memperkenalkan sarana transportasi
yang lebih baik dan lebih efisien juga dilakukan. Pemerintah kolonial
juga menaruh perhatian besar pada pemeliharaan infrastruktur secara
berkala agar tetap baik. Alasan utama dari semua perbaikan infrastruktur
dan sarana transportasi seperti yang disebutkan di atas adalah ekonomi.
Pengoperasian Sistem Tanam Paksa menempatkan desa-desa Jawa
sebagai produsen komoditas ekspor dan membawa peningkatan
produk pertanian. Munculnya produk membutuhkan infrastruktur dan
sarana transportasi yang lebih baik,82 untuk mempercepat pengiriman
produk dari lahan ke tempat pengolahan, tetapi juga diperlukan untuk
mengangkut produk dari pedalaman ke pelabuhan laut untuk dijual di
pasar dunia.
Tidak hanya kontribusi ini, arus masuk barang-barang impor
juga diuntungkan. Selain signifikansi ekonomi, semua perbaikan

79
ANRI, “Statistiek der Residentie Bezoeki 1836”, without no. page; see also
Bleeker, op. cit., hlm. 128.
80
Suaryana, op. cit., hlm. 87 – 89.
81
Sutjipto, op. cit., hlm. 95 – 96.
82
Burger, op. cit., hlm. 187; see also Furnivall, op. cit., hlm. 128.

36 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

yang dibuat oleh pemerintah kolonial juga memiliki makna politik.


Infrastruktur dan sarana transportasi yang lebih baik memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan keamanan dan
ketertiban (rust en orde), menjadi lebih mudah bagi pemerintah
Belanda untuk mengendalikan wilayahnya. Sama pentingnya adalah
kenyataan bahwa peningkatan infrastruktur dan sarana transportasi
juga membuka peluang bagi orang untuk melakukan mobilitas
geografis. Pergerakan penduduk difasilitasi dari daerah pesisir utara
dan pulau Madura ke wilayah Jember yang terletak di pedalaman
maupun sebaliknya. Semua perbaikan infrastruktur dan sarana
transportasi sangat mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah
Belanda sejak sekitar pertengahan abad kedelapan belas. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk mendorong imigrasi dari daerah pesisir dan pulau
Madura ke pedalaman Besuki khususnya ke wilayah Jember. 83

83
Tennekes, op. cit., hlm. 30.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 37


BAB 3

MASA PERINTISAN:
PERKEBUNAN JEMBER 1859–1900

3.1 Munculnya Perkebunan Tembakau

P
ada tahun 1858 George Birnie datang ke Distrik Jember,
Afdeeling Bondowoso sebagai seorang kontrolir.1
Dia pindah ke Jember setelah bekerja di posisi yang
sama di Blitar selama beberapa tahun. Residen Besuki sebenarnya
menyarankan dia untuk menetap di Bondowoso, daripada tinggal di
Jember. Bondowoso dianggap lebih menyenangkan daripada Jember
yang terisolasi.2 Sebagian besar Jember masih ada di bawah tutupan
hutan dan memiliki lahan berawa luas (moreslanden). Wilayah itu juga

1
Anonom, “ Een Jubileum in de Tabak”, (1909), hlm. 1; C. Vermeer, kort
Overzict van Oprichting, Bestaan en Bedrijp der Onderneming “Oud-Djember” (Deventer:
Naamlooze Vennootschap Landbau Maatschappij Oud Djember, 1909), hlm. 3.
2
Anonim, “Een Jubileum in deTabak”, ibid., hlm. 3 – 4. Edy Burhan Arifin,
“Emas Hijau di Jember: Asal-usul, Pertumbuhan dan Pengaruhnya dalam Kehidupan
Sosial Ekonomi Masyarakat, Tesis (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM, 1989),
hlm. 32.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 39


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

berpenduduk jarang.3 George Birnie tidak setuju dengan saran Residen.


Birnie bermaksud mengembangkan perkebunan di wilayah Jember
dan untuk membantu masyarakat setempat meningkatkan kehidupan
mereka. Saat melakukan tugasnya sebagai pengawas perkebunan, Birnie
juga melakukan penelitian tentang iklim dan kondisi tanah di wilayah
Jember.4 Dia tinggal di antara penduduk setempat dan membangun
rumah kepang yang terbuat dari bambu dan kayu seperti orang biasa.
Birnie melakukannya agar dapat melakukan penelitiannya secara
intensif dan membuat kehadirannya diterima di antara mereka. Birnie
memiliki pandangan optimis bahwa wilayah Jember cocok untuk
penanaman tembakau. Ini didukung oleh eksperimennya.5
Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya, Birnie men­coba
mencari modal untuk memulai perkebunan tembakau. Dia mem­
butuhkan banyak uang untuk menyewa tanah, membayar pekerja,
mem­beli alat pertanian, dan membangun gudang. Pada tahun 1859
Birnie mendapat dua mitra bisnis dari Surabaya. Kedua pengusaha
itu adalah Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan A. D. van Gennep.
Matthiesen adalah pedagang produk pertanian, pemilik Anemaet and
Company dan perwakilan dari Hoboken dan Zonen Firm, Rotterdam.
Sementara itu, Van Gennep adalah seorang pengusaha yang terlibat
dalam perdagangan produk pertanian.6
Pada 1859 sebuah perkebunan tembakau didirikan di Jember
oleh Birnie bekerjasama dengan Matthiesen dan Van Gennep. Awalnya

3
Vermeer, loc. cit.
4
R. Broersma, Besuki: Een Geweest in Opkomst (Amsterdam: Scheltema &
Holkema Boekhandel, 1912), hlm. 18.
5
Broersma, Ibid., hlm. 20 – 21; Edy Burhan Arifin, op. cit., hlm. 31 – 32.
6
Soegianto Padmo, the Cultivation of Verstenlands Tobacco in Surakarta Residency
and Besuki Tobacco in Besuki Residency and its Impacts on the Peasant Economy and Society:
1860 – 1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), hlm. 38 – 39: Edi Burhan Arifin, op. cit.,
hlm. 32 – 33.

40 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

perkebunan masih relatif kecil. Total modal yang diinvestasikan di


perkebunan hanya sekitar f. 5.000. Dengan jumlah uang ini, ia hanya
bisa menanam tembakau di lahan yang disewa dari petani setempat
sekitar 15 bau dan membangun dua rumah pengeringan kecil.7 Sistem
budidaya tembakau yang dijalankan oleh Birnie adalah salinan sistem
yang diterapkan oleh perkebunan Barat di Lumajang. Birnie memberi
petani benih tembakau dan mereka akan menanam benih untuknya.
Mereka melakukan pekerjaan di bawah panduan teknis Birnie. Birnie
membayar mereka tidak kurang dari f. 20 per 1000 tanaman tembakau.8
Pengawasan penanaman tembakau dianggap penting karena bisnis ini
sangat berisiko. Tembakau membutuhkan perawatan khusus untuk
menghasilkan daun tembakau berkualitas baik. Tanaman ini juga sangat
rapuh terhadap perubahan cuaca dan menguras tanah. Oleh karena itu,
semua aspek teknis budidaya tembakau dikontrol secara ketat untuk
mengurangi risiko.9
Namun fasilitas yang terbatas menyebabkan produksi tembakau
relatif kecil. Pada tahun pertama, perkebunan hanya menghasilkan 290
pak tembakau. Satu pak berisi 100 kilogram tembakau. Produk itu bisa
dijual di Rotterdam dengan harga 77 sen per 0,5 kilogram. Tingkat
produksi pada tahun kedua dan ketiga meningkat dibandingkan
yang pertama. Pada tahun 1860 perkebunan menghasilkan 375 pak
tembakau dan pada tahun 1861 hasilnya berjumlah 425 pak tembakau.
Ini dijual di Rotterdam dengan harga 76 sen per 0,5 kilogram pada tahun
1860 dan 79 sen per 0,5 kilogram pada tahun 1861.10 Dengan angka-
angka produksi dan harga perkebunan selama tiga tahun pertama tidak

7
Anonim, “Een Jubileum in de Tabak”, (1909).
8
Broersma, op. cit., hlm. 19.
9
William J. O’Malley, “Perkebunan 1830 – 1940: Ichtisar”, in Ann Booth,
William J. O’Malley and Ann Widemann, Sejarah Ekonomi Indonesia ( Jakarta: LP3ES,
1988), hlm. 218 – 219.
10
Vermeer, op. cit., hlm. 14.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 41


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

menghasilkan laba sama sekali. Biaya produksi masih jauh lebih tinggi
daripada pendapatan dari penjualan produk. Ini membuat Mattiesen
dan Van Gennep kehilangan harapan. Mereka ragu bahwa penanaman
tembakau dapat menghasilkan keuntungan. Birnie berada dalam situasi
yang sulit setelah Matthiesen memutuskan untuk menghentikan ke­
ter­libatannya dalam bisnis setelah serangkaian kerugian keuangan.
Situasi­nya bahkan lebih buruk dengan kematian Van Gennep pada
tahun 1861.11 Namun, Birnie tetap optimis bahwa bisnis itu masih
menjanjikan.12
Untuk lebih berkonsentrasi sepenuhnya pada budidaya
tembakau, Birnie memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya di
pemerintahan. Keputusan ini dibuat karena dua alasan. Pertama, Birnie
dalam hubungan yang buruk dengan Residen. Residen ingin Birnie
untuk mengawasi lebih serius perkebunan kopi negara yang berada di
bawah pengawasannya. Perkebunan tidak lagi menguntungkan karena
pohon kopi ditebang oleh penduduk setempat dan biji kopi dicuri.13
Birnie menolak instruksi Residen. Dia berpendapat bahwa sangat sulit
baginya untuk menghilangkan ratusan pencuri di perkebunan kopi
pemerintah yang terletak di tengah hutan.14 Alasan kedua berkaitan
dengan opini dan minat Birnie. Birnie percaya bahwa perkebunan
tembakau menjanjikan dan memiliki masa depan yang cerah.15
Dengan pengunduran dirinya dari pemerintahan, Birnie men­
curahkan perhatiannya pada perkebunan tembakau. Bisnisnya mulai
berkembang tetapi masih perlahan. Hingga 1870 bisa dikatakan bahwa
bisnis tembakau Birnie masih dalam situasi yang sulit.16 Pada tahun
11
Broersma, op. cit., hlm. 24.
12
See, Edy Burhan Arifin, op. cit., 34; Soegijanto Padmo op. cit., hlm. 39.
13
Anonim, “Een Jubileum in de Tabak, (1909), hlm. 4.
14
Broersma, loc. cit.; see also Soegijanto Padmo, op. cit., hlm. 65.
15
Edy Burhan Arifin, op. cit., hlm. 35.
16
Broersma, op. cit., 24.

42 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

1863 produksi hanya 300 pak. Itu lebih rendah dari angka produksi
tahun 1860. Meskipun ada peningkatan produksi pada tahun 1866
dan 1867, harga tembakau di Rotterdam menurun dari 105 sen per
0,5 kilogram pada tahun 1862 menjadi 38 sen pada tahun 1866 dan
40 sen pada tahun 1867.17 Situasi yang tidak stabil terjadi selama tahap
perintisan hingga 1870. Bisa dikatakan bahwa tahap ini umumnya
ditandai oleh satu hal, yaitu tingkat produksi tembakau yang rendah.
Pada tahun 1870 harga tembakau naik. Tingginya harga tem­
bakau terjadi hingga tahun 1873. Harga tembakau yang tinggi diakibat­
kan oleh Perang Belanda-Prancis. Selama tahun-tahun ini permintaan
tembakau cenderung ke donkeretabak. Permintaan ini bisa dipenuhi
oleh perkebunan di Jember.18 Harga tembakau yang bagus menarik
lebih banyak penanam barat terutama dari Lumajang dan tempat
lain untuk menanamkan modal mereka dalam bisnis perkebunan di
Jember.19 Perkembangan ini difasilitasi oleh perubahan kebijakan
politik di Belanda-India. Pada tahun 1870 Sistem Budidaya secara resmi
ditinggalkan, setelah dikritik oleh kaum humanitarian dan oleh kaum
liberal dogmatis. Kelompok-kelompok ini tidak menyukai dominasi
pemerintah dalam produksi dan sektor ekonomi.
Kebijakan kolonial baru, yang disebut “Kebijakan Liberal”,
diperkenalkan untuk menggantikan kebijakan sebelumnya.20 Kebijakan
ini membuka jalan bagi pengusaha swasta untuk menanamkan mo­
dalnya dan menjalankan bisnis di Belanda-India. Pengesahan UU
Agraria tahun 1870 memberi mereka akses yang luas ke tanah dan
tenaga kerja.21 Perkembangan ini juga tidak dapat dipisahkan dari
17
Vermeer, op. cit. 14.
18
Broersma, op. cit., hlm. 24 – 25.
19
Vermeer, op. cit., hlm. 4 -5.
20
D. K. Fieldhouse, The Colonial Empires: A Comparative Survey from the Eig­
teenth Century (Houndsmills and London: Macmillan Education Ltd, 1987), hlm. 333.
21
Ibid, hlm. 330 – 331.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 43


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

selesainya Terusan Suez pada tahun 1869 yang mempercepat pening­


katan hubungan ekonomi antara Barat dan Timur.22 Munculnya
perkebunan baru membawa persaingan yang semakin ketat.23 Selain
perkebunan milik Birnie, di Jember ada perkebunan barat lainnya yang
menjalankan penanaman tembakau. Perkebunan ini dioperasikan,
misalnya, oleh De Erven Baud di Ajung, Van Rheede van Oudshoorn
di Tanggul, Kongsie Lebret-Schiff di Jelbuk dan Kongsie Fransen van
de Putte-Lorentz di Sukowono.24
Pada 1875 Gerhard David Birnie, keponakan George Birnie
datang ke Jember. Dia menggantikan George Birnie yang terlalu tua
untuk mengelola perkebunan. George Birnie kembali ke Belanda dan
operasi bisnisnya diserahkan kepada David Birnie.25 Di bawah David
Birnie bisnis tumbuh. Birnie mengajukan permintaan untuk 500 bau
erfpacht di Sukerojo. Permintaan itu diberikan oleh pemerintah pada
tahun 1879. Ini diikuti oleh permintaan lain untuk lahan erfpacht
seperti Muktisari I dan Ajung I pada tahun 1882, Muktisari II dan
Ajung II pada tahun 1883.26 Namun, dari 1879 hingga 1882 bisnis
menghasilkan sedikit keuntungan. Karena itu, sekitar tahun 1882
David Birnie bereksperimen menanam tembakau di sawah karena
produktivitas lahan kering (tegalan) terus menurun. Lahan kering
(tegalan) tidak lagi mampu menghasilkan panen yang memuaskan.
Percobaan berhasil dilakukan. Kenaikan produksi tembakau dari 975
pak pada tahun 1882 menjadi 8,500 pak pada tahun 1883 terutama
dihasilkan dari penanaman tembakau di lahan basah.27
22
J. S. Furnivall, Netherlands-India: A study of Plural Economy (Cambridge
University Press, 1939, 1967), hlm. 174.
23
Broersma, hlm. 2-4.
24
Ibid., hlm. 26.
25
Vermeer, op. cit., hlm. 4 – 5.
26
Anonim “Een Jubileum in de Tabak 1909” Brochure NV LMOD; see also
Broersma, op. cit., hlm. 25 – 26.
27
Vermeer, loc. cit.

44 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Pada tahun 1893 sebuah perusahaan perkebunan didirikan


dan nama perusahaan adalah Naamlooze Vennotschap Landbouw
Maatschappij Oud-Djember (LMOD). Kepala administrasi adalah
David Birnie dan M. Sanders. Dewan Komisaris dipimpin oleh
George Birnie sebagai presiden dan Gerhard David Birnie sebagai
wakil presiden di Belanda-India. Direktur perusahaan diduduki oleh
Mr. C. Vermeer.28 Ketika LMOD mulai beroperasi pada tahun 1893,
inventarisnya meliputi 2 model besar rumah fermentasi, 1 model
besar rumah fermentasi ganda dan 1 model kecil rumah fermentasi.
Bangunan-bangunan itu terbuat dari batu dan batu bata. Inventaris
lainnya adalah 30 rumah, 135 rumah pengeringan untuk 15 juta
pohon tembakau hijau. Perusahaan juga memiliki 800 bau sawah,
6.000 bau tegalan, 12.700 bau tanah dengan hak erfpacht, 45 bau tanah
eigendom, dan 95 bau tanah pada hak postal.29 Pembentukan LMOD
diikuti oleh perusahaan lain. Misalnya, pada tahun 1897 Besoeki
Tabak Maatschappij (BTM) didirikan dan sebagai direkturnya adalah
Leeuwen Boomkamp dan Jaeggi. Dari bisnis tembakau kecil, yang
dipelopori oleh Houwink, salah satu pekerja Birnie, BTM tumbuh
dengan cepat di bawah era Van Gorsel.30
Jenis tembakau yang dibudidayakan oleh onderneming pada
awalnya disebut kooltabak. Yang disebut kooltabak dicirikan oleh
daunnya yang kasar dan lebar. Tembakau ini telah ditanam selama
sembilan tahun dari 1859 hingga 1868 dan sejak 1869 digantikan oleh
jenis lain, yaitu djembeltabak, kadoetabak, delitabak, kanaritabak dan
flouridatabak. Kadoetabak dan delitabak dibudidayakan sejak 1870
hingga 1874. Namun pada tahun-tahun berikutnya, tembakau dibudi­
dayakan hingga 1881 adalah delitabak dan djembeltabak. Setelah 1881

28
Vermeer, op. cit., hlm. 5 – 6.
29
Ibid., hlm. 6.
30
Broersma, op. cit., hlm. 47 – 48.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 45


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

hampir semua wilayahnya ditanami oleh kadoetabak dan delitabak.31


Tembakau ini terutama diproduksi untuk pasar ekspor.32

Tabel 3.1 Produksi Tembakau NV LMOD Jember, 1859-1900

Produk dalam Harga / ½ kg


Tahun
pak/100 kg dalam sen
1859 290 77
1860 375 76
1861 425 79
1862 1145 105
1863 300 91
1864 1620 84
1865 1280 93
1866 2235 38
1867 3555 40
1868 1135 64
1869 1105 90
1870 1455 120
1871 2595 145
1872 3510 160
1873 4890 121
1874 3750 95
1875 5965 110
1876 6415 108
1877 4260 29
1878 5840 97
1879 1795 108
1880 6410 63
1881 4970 56
1882 975 78

31
Ibid., hlm. 4.
32
Ibid., hlm. 12.

46 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Produk dalam Harga / ½ kg


Tahun
pak/100 kg dalam sen
1883 8500 83
1884 9167 73
1885 11757 61
1886 8260 75
1887 12343 75
1888 13039 55
1889 11964 50
1890 15768 37
1891 11323 51
1892 7683 81
1893 17710 47
1894 13494 42
1895 16124 64
1896 16273 64
1897 27946 47
1898 20424 55
1899 23470 47
1900 23388 54
Sumber: C. Vermeer, Kort Overzicht van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der
Onderneming “Oud-Djember, Deventer, 1909, hlm. 14.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa selama empat dekade


terakhir abad kesembilan belas, produksi tembakau sedang meningkat.
Namun, penting untuk dicatat di sini bahwa dari tahun ke tahun
selalu ada fluktuasi dalam produksi tembakau. Pada 1860-an kuantitas
output tembakau tetap kecil. Meskipun harganya tinggi, bisnis itu
tidak dapat menghasilkan banyak keuntungan. Bahkan di tahun-tahun
tertentu, perusahaan mengalami kerugian keuangan. Pada dekade
kedua, harga tembakau tinggi. Bahkan, harga tembakau tertinggi pada
paruh kedua abad kesembilan belas diamati. Tetapi harga yang bagus

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 47


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

dan peningkatan output tembakau membawa banyak keuntungan


bagi usaha. Sayangnya, pada tahun 1880an harga tembakau jatuh,
meskipun output cenderung meningkat, kecuali pada tahun 1882.
Pada tahun 1890an harga tembakau masih relatif rendah dibandingkan
dengan harga tembakau pada tahun 1870-an. Untungnya, kuantitas
output tembakau meningkat secara signifikan. Ini dapat mengimbangi
harga tembakau yang rendah dan memungkinkan perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan.

Gambar 3.1 Tobacco Field in Jember (Source: C. Vermeer, Kort


Overzicht van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der Onderneming
“Oud-Djember, Deventer, 1909)

3.2 Faktor Produksi Tanah

Pada tahun-tahun perintisan, penanaman tembakau di Jember


dilakukan di lahan kering. Namun, penanaman belum dilakukan di
tanah yang disewa. Bisnis itu dijalankan di bawah semacam kerja
sama antara pekebun swasta dan petani lokal. Para pekebun memberi

48 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

mereka benih tembakau dan persyaratan lainnya. Para petani menanam


benih di tanah mereka sendiri dan menjual produk ke pekebun Barat.33
Belakangan, sistem baru dikembangkan. Untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik, para pekebun Barat mulai menanam tembakau di tanah
yang disewa dari petani. Sistem ini diterapkan untuk menggantikan
sistem awal untuk setidaknya tiga alasan utama. Pertama, penggunaan
tanah yang disewa membuka kemungkinan yang lebih besar bagi
para pekebun untuk mengawasi seluruh aspek teknis dari penanaman
tembakau. Kedua, kebutuhan lahan untuk penanaman bisa lebih
terjamin. Ketiga, munculnya pekebun baru menghasilkan persaingan
yang semakin ketat antara pekebun swasta Barat dalam memberikan
benih tembakau kepada para petani.34
Sewa tanah dari penduduk asli didasarkan pada Undang-undang
Sewa 1871.35 Kontrak sewa tanah antara pekebun dan petani biasanya
bekerja untuk jangka waktu lima tahun.36 Setelah kontrak berakhir
maka bisa diperpanjang. Namun, kenyataannya budaya tembakau tidak
dibudidayakan sepanjang tahun selama lima tahun. Lahan tersebut
digunakan untuk menanam tembakau hanya sekitar 4 bulan dalam
setahun, biasanya dari bulan Juli hingga Oktober. Tembakau ditanam
selama musim kemarau dan daun dipanen pada awal musim hujan.
Selama sisa tahun, tanah diberikan kepada para petani selama sekitar
delapan bulan untuk menanam tanaman pangan.37

33

Tennekes, “Bevolkingspreiding der Residentie Besoueki in 1930”, in Tijdschrift


van het Koninklijk Nederladsch Aardreijkkundig Genootschap (1963), hlm. 370; Broersma,
op. cit., hlm. 18.
34
Broersma, ibid., hlm. 27.
35
Furnivall, op. cit., hlm. 179.
36
Tennekes, op. cit., hlm. 371.
37
Broersma, op. cit., hlm. 18 – 19; Tennekes, ibid.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 49


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Sejak 1880, penanaman tembakau tidak hanya dilakukan di


tegalan. Para pekebun Barat mulai menyewakan sawah untuk mem­
budi­dayakan tembakau. Alasan utamanya adalah produktivitas lahan
kering terus menurun.38 Ketika lahan sawah terbukti cocok dan
mem­berikan hasil tembakau yang baik, penggunaan sawah untuk
penanaman tembakau meningkat tetapi masih kurang signifikan.
Hingga akhir abad kesembilan belas, area sawah di bawah kontrak sewa
tetap lebih kecil dari area tegalan. Ini ditunjukkan, misalnya, oleh tanah
sewaan yang dimiliki oleh NV LMOD. Pada tahun 1893 perusahaan ini
menyewakan 800 bau dan 6,000 bau tegalan.39
Munculnya sistem sewa tanah tidak menghilangkan kesulitan
dalam memperoleh lahan untuk perkebunan. Persaingan ketat antara
pekebun lama (tuwan laju) dan pekebun baru (tuwan anyer) meng­
hasilkan efek samping yang disebut dalam sumber kolonial sebagai
“demoralisasi” di kalangan petani lokal. Karena niat untuk mencari
keuntungan, sejumlah petani menyewakan area lahan ke pekebun
lain ketika tanah itu masih disewa oleh seorang penanam. Akibatnya,
ini menciptakan apa yang disebut sewa handa (dubbelhuur) dan sewa
berlebih (overhuur).40 Hal ini terjadi karena kontrak sewa lahan sering
dibuat oleh perjanjian lisan.41 Untuk mengatasi masalah itu diambil
tindakan oleh pemerintah. Pemerintah mengatur kontrak sewa tanah
oleh Contracten Ordonanntie yang diundangkan oleh Staadsblad 1884,
No: 52. Peraturan ini diikuti oleh Grondhuur Ordonanntie 1895.42
Pemerintah mengharuskan kontrak sewa tanah harus didaftarkan.
38
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1883”; see
also, Vermeer, op. cit., hlm. 4 – 5; Broersma, ibid., hlm. 29.
39
Vermeer, ibid., hlm. 6.
40
Kessler, “Verkort Repport omtrent Krossokhandel en Crediet in
Regenschappen Djember en Bondowoso”, in Uitgegeven door de Algemeene Volkscredietbank
(Batavia: Algemeene Volkscredietbank, 1933), hlm. 415.
41
Broersma, op. cit., hlm. 30.
42
Kessler, op. cit., hlm. 415 – 516.

50 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Ukuran lain adalah penunjukan pejabat khusus untuk menangani


masalah segel di Oosthoek sejak 1889.43
Selain itu, akses pekebun Barat untuk memperluas usaha per­
kebunan mereka semakin dilebarkan oleh Undang-Undang Agraria
tahun 1870. Peraturan ini menjamin pekebun Barat untuk men­dapat­
kan lahan bagi operasi bisnis di perkebunan. Ada dua cara untuk
mendapatkan tanah, yaitu dengan hak erfpacht dan hak konsesi.44 Para
pekebun Barat di Jember menggunakan peraturan ini sebagai dasar
untuk mengajukan permintaan untuk menyewa tanah dengan hak
erfpacht. Hak ini memberi akses untuk menyewakan 500 bau tanah
untuk periode hingga 75 tahun dari pemerintah.45
Permintaan lahan erfpacht dibuka secara luas di Jember karena
wilayah ini masih merupakan daerah berpenduduk jarang.46 Pada
1879 pemerintah memberikan hak erfpacht seluas 500 bau di Sukerojo
kepada Birnie. Ini diikuti dengan pemberian sejumlah lahan erfpacht
yang tersebar di beberapa tempat seperti Mumbulsari, Rambipuji,
Kaliwining, Mayang, dan Mrawan. Pada 1893 NV LMOD memiliki
total 12.700 bau tanah pada hak erfpacht.47 Penggunaan lahan atas dasar
hak erfphact tampaknya memberi peluang lebih luas untuk memperluas
perkebunan. Dalam waktu singkat, operasi perkebunan di lahan
erfpacht melebihi lahan basah dan tegalan. Itu ditunjukkan misalnya
oleh kasus LMOD. Selain itu, pemberian tanah erfpacht yang serupa
juga diberikan kepada pekebun barat lainnya seperti de Erven Baud,
Franssen van de Putte-Lorentz, Van Rheede van Oudshoorn, Lebert-

43
Broersma, loc. Cit.
44
Mubyarto, dkk. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan (Yogyakarta: Aditya
Media, 1992), hlm. 38 – 49; Fieldhouse, ibid, hlm. 330 – 331; Furnivall, hlm. 178 – 181.
45
Furnivall, ibid., hlm. 178.
46
Tennekes, loc. Cit.
47
Anonim (1909), op. cit., hlm. 15; Vermeer, op. cit., hlm. 6; Broersma, op. cit.,
hlm. 26; Edy Burhan Arifin, op. cit., hlm. 60.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 51


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Schiffwhich.48 Hal ini menjadikan Jember sebagai pusat perkebunan


penting di Residensi Besuki.

3.3 Faktor Tenaga Kerja

Salah satu faktor penting dari produksi yang diperlukan untuk


perkebunan adalah tenaga kerja.49 Mengingat fakta bahwa Jember masih
merupakan wilayah yang jarang penduduknya, bagaimana perkebunan
mendapatkan persyaratan tenaga kerja? Perkebunan Jember memiliki
kesamaan dengan perkebunan di Sumatra Timur.50 Satu kesamaan
yang jelas mudah diamati adalah bahwa dalam dua kasus perkebunan
beroperasi di daerah yang berpenduduk sedikit. Jumlah penduduk
di kedua tempat itu relatif kecil. Baik Jacobus Nienhuys, pelopor
perkebunan di Sumatra Timur dan George Birnie, pelopor perkebunan
di wilayah Jember, menghadapi masalah serupa tentang bagaimana
memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan.
Kebutuhan tenaga kerja di perkebunan tembakau tergolong
tinggi seperti dalam kasus industri gula. Para pekerja dibutuhkan
untuk berbagai pekerjaan seperti persiapan lahan, penanaman dan
perawatan tanaman, panen produk dan penyampaian produk dari hasil
panen ke pabrik. Kebutuhan tenaga kerja juga muncul dalam proses
pengeringan tembakau, fermentasi, seleksi, pengemasan tembakau dan
pengangkutan produk dari gudang ke pelabuhan laut.51

48
Anonim (1909), ibid., hlm. 17.
49
Fieldhouse, op. cit., hlm. 331.
50
Ada studi berharga yang mencurahkan perhatian pada perkebunan di
Sumatera Timur, misalnya lihat, Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Economic
Growth: An Economic History of East Sumatera 1863 – 1942 ( Jakarta: National Institute
for Economic and Social Research/LEKNAS LIPI. 1977), Karl L. Pelzer, Tooean Keboen
dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria ( Jakarta: Sinar Harapan, 1985).
51
Vermeer, op. cit., hlm. 4, 12; see also Broersma, op. cit., hlm. 19.

52 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Gambar 3.2. Pekerja Pengeringan Tembakau (Sumber: C.


Vermeer, Kort Overzicht van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der
Onderneming “Oud-Djember, Deventer, 1909)

Cara-cara yang dibutuhkan buruh untuk mengoperasikan


perkebunan tembakau di Jember relatif sederhana. Pemilik yang
tanahnya digunakan untuk perkebunan juga menjadi buruh. Dalam
hal ini buruh tidak diperlakukan sebagai kuli tapi sebagai pengusaha
di tanah mereka sendiri.52 Artinya kebutuhan tenaga kerja dipenuhi
dengan merekrut sejumlah penduduk desa dari sekitarnya. Sebagian
besar dari mereka adalah orang Madura karena perkebunan itu
dioperasikan di tegalan.
Dalam mengoperasikan perkebunan di tahun-tahun awal, para
pekerja yang direkrut tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan dan
anak-anak. Pada awalnya, baik perempuan dan anak-anak takut direkrut.
Namun, melalui pendekatan pribadi dari rumah ke rumah dan juga
didukung oleh hubungan baiknya dengan masyarakat setempat, Birnie
berhasil mendapatkan kesiapan mereka untuk bekerja di perkebunan.

52
Broersma, ibid., hlm. 18 – 19; Tennekes, loc. cit.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 53


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Pekerja wanita sangat dibutuhkan untuk berbagai pekerjaan di gudang.


Mereka dibayar setiap hari sekitar 25-30 sen. Sangat menarik untuk
dicatat di sini bahwa proses perekrutan tenaga kerja tanpa melibatkan
peran kepala desa dan bupati.53
Ada beberapa alasan mengapa Birnie menggunakan buruh
Madura dalam mengoperasikan perkebunan tembakau. Pertama, lebih
mudah merekrut orang Madura karena sudah ada proses panjang
migrasi orang Madura ke Residensi Besuki.54 Kurangnya sumber daya
alam untuk mendukung kehidupan mereka terutama tanah yang kering
dan tidak subur menjadi faktor pendorong bagi orang Madura untuk
mencari pekerjaan di luar rumah mereka.55 Kedua, pada tahun-tahun
awal tembakau ditanam di tegalan. Ini cocok dengan orang Madura
yang ditempa dan sangat akrab dengan ekotipe semacam itu.56
Perluasan perkebunan di Jember menyebabkan peningkatan
tenaga kerja. Perkembangan ini membuat mustahil untuk bergantung
pada buruh hanya dari masyarakat setempat. Tidak ada alternatif selain
mencari buruh dari tempat lain. Imigrasi ke wilayah Jember didorong
terus-menerus terutama dari pulau Madura yang padat penduduk dan
daerah pesisir utara Besuki. Kehidupan yang lebih baik ditawarkan dan
dijanjikan kepada mereka sebagai insentif untuk merangsang per­gera­
kan geografis dari rumah mereka ke tempat baru di wilayah Jember.
Saluran informal memainkan peran penting untuk pergerakan
geografis ke wilayah Jember. Para pekebun menggunakan imigran

53
Anonim, “Mededeelingen en Berigten: lets over de Vrije Tabakkultuur in
Oost-Java”, in TNI, nieuwe serie, lejrg, eerste deel (1863), hlm. 312.
54
F. A. Sutjipto, Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai
Medio Abad XIX)”, Dissertation (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada, 1983), hlm. 302 – 304.
55
Tennekes, op. cit., hlm. 339.
56
Kuntowijoyo, “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850 – 1950”,
Dissertation (New York: Columbia University, 1983), hlm. 302 – 304.

54 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

perintis sebagai perantara untuk membujuk keluarga dan tetangga


mereka agar pindah ke Jember. Para pekebun menjanjikan pendapatan
yang lebih besar dan kondisi kehidupan yang lebih baik. Semua
persyaratan kepindahan mereka dijamin oleh pekebun. Para pekebun
juga berjanji untuk menyediakan lahan dan posisi seperti menjadi
pengawas (mandor) kepada seseorang yang mampu merekrut tenaga
kerja dalam jumlah besar. Pada saat itu, posisi sebagai mandor sangat
dihargai oleh masyarakat pribumi dan merupakan prestise sosial bagi
masyarakat pribumi.57
Para imigran yang pindah ke Jember tidak hanya sebagai imigran
permanen tetapi juga sebagai imigran temporer. Para imigran permanen
biasanya bekerja di perkebunan dan menetap di dekat mereka. Tetapi
imigran temporer tidak berniat menetap di perkebunan, mereka datang
ke Jember hanya untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Mereka
meninggalkan rumah mereka setelah tidak ada pekerjaan di tegalan
atau sawah. Mereka bekerja sebagai buruh harian di perkebunan.
Mereka menerima sekitar 0,30 gulden - 0,55 gulden per hari sebagai
upah mereka. Ketika waktu panen tiba, mereka kembali ke tempat asal
dan membawa pulang semua upah mereka.58
Sekitar tahun 1880 perkebunan di Jember mulai merekrut lebih
banyak pekerja Jawa. Upaya itu sejalan dengan ekspansi tembakau ke
sawah dan meningkatnya kebutuhan pekerja untuk membuka lahan
erfpacht.59 Para pekerja Jawa dianggap cocok untuk menanam tembakau
di sawah karena mereka terbiasa bekerja di lingkungan seperti itu.60
Para pekerja berasal dari tempat-tempat seperti Bojonegoro, Tuban,

57
Edy Burhan Arifin, op. cit. hlm. 40.
58
See, ANRI, “Algemeen Verslag van den Residentie Besoeki, 1871”.
59
Vermeer, op. cit., hlm. 5.
60
Kuntowijoyo, loc. cit.; see also Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Perubahan
Ekologi di Jawa ( Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hlm. 29.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 55


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Ponorogo, Kediri, Surakarta dan Yogyakarta. Para pekebun juga


memiliki pandangan bahwa buruh Jawa umumnya lebih rajin, lunak,
dan patuh dibanding pekerja Madura. Secara umum posisi tawar buruh
selama abad ke-19 relatif kuat. Kelangkaan para pekerja membuat para
pekebun lebih bergantung pada mereka. Selain itu, ada persaingan yang
semakin ketat di antara para pekebun untuk mendapatkan kemauan
petani untuk menanam dan menjual daun tembakau kepada mereka.61

3.4 Infrastruktur Pendukung

Perkebunan yang menggabungkan sumber daya pribumi yang


tersedia baik lahan dan tenaga kerja adalah bisnis yang menjanjikan
bagi orang Barat. Namun, pengembangan perkebunan di daerah
terbelakang umumnya membutuhkan investasi besar. Salah satu dari
investasi itu terutama dalam bentuk utilitas publik.62 Utilitas publik ini,
yang juga disebut sebagai fasilitas modal sosial, melayani kebutuhan
perkebunan. Fasilitas modal sosial di atas merupakan input penting dan
pengadaannya menjadi contoh utama dari “keterkaitan ke belakang”
dari perkebunan.63 Bagian berikut akan mengamati pengembangan
fasilitas modal sosial, dengan referensi khusus untuk fasilitas irigasi,
infrastruktur dan sarana transportasi di wilayah Jember pada khususnya
dan Besuki pada umumnya. Untuk menetapkan penjelasan yang lebih
jelas, jika perlu, itu akan dibandingkan dengan tempat lain.

61
J. A. C. Mackie, “The Changing Political Economy of an Export Crop: The
Case of Jember’s Tobacco Industry”, in Bulletin Indonesian Economic Studies, Volume
XXI, No. 1 April 1985, hlm. 123; anonym, “Mededeelingen en Berigten: lets Over de Vrij
Tabakkultuur in Oost Java”, TNI, nieuwe serie 1e jrg. Eerste (1863), hlm. 312.
62
G. C. Allen and Audrey Donnithorne, Western Interprise in Indonesia and
Malaya (New York: The Macmillan Company, 1975), hlm. 256.
63
Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic
Historyof East Sumatera 1863 – 1942 ( Jakarta: National Institute of Economic and Social
Research/Leknas LIPI, 1977), hlm. 122.

56 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

3.4.1 Fasilitas Irigasi


Jelas bahwa operasi perkebunan tidak dapat dipisahkan dari
infrastruktur irigasi. Namun, dapat dikatakan bahwa pada tahun-tahun
awal tidak ada pekerjaan yang penting dilakukan oleh pekebun. Operasi
perkebunan sangat bergantung pada fasilitas irigasi yang tersedia.
Meskipun pemerintah kolonial sejak 1871 mendirikan sebuah komite
untuk mengatasinya. Faktanya komite ini belum berfungsi dengan
baik. Langkah yang lebih serius baru diambil pada tahun 1885 oleh
pembentukan Brigade Irigasi, diikuti oleh pembentukan Departemen
Irigasi pada tahun 1889.64
Di Jember peningkatan fasilitas irigasi telah dilakukan dalam
skala yang lebih besar selama tahap ekspansi perkebunan terutama sejak
1880. Pembukaan lahan erfpacht yang diberikan oleh pemerintah untuk
penanaman tanaman perkebunan membutuhkan saluran iri­gasi. Fasilitas
harus disediakan tidak hanya dengan meningkatkan salur­an irigasi yang
tersedia tetapi juga sering dengan membangun saluran irigasi baru. Ini
terjadi terutama pada lahan erfpacht yang baru di­buka dari hutan dan
lahan berawa. Lahan-lahan tersebut dapat di­guna­kan untuk menjalankan
perkebunan hanya setelah tanah dan fasili­tas irigasi disiapkan. Setelah
NV Landbouw Maatschappij Oud-Djember (LMOD) didirikan pada
tahun 1893, misalnya, perusahaan mengalokasikan total modal sebesar
500.000 gulden demi bangunan irigasi. Dengan dana ini, saluran irigasi
dibangun sehingga lahan erfpacht dari perusahaan ini dapat diairi dengan
lebih baik. Bahkan ada 2.000 bau sawah, tidak termasuk lahan erfpacht,
memperoleh air dari saluran.65
Akibatnya, ada peningkatan signifikan dalam bidang basah.
Pada tahun 1861 total lahan basah di Jember adalah 7.899 bau. Pada

64
Furnivall, op. cit., hlm. 199.
65
Vermeer, op. cit., hlm. 6.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 57


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

tahun yang sama total lahan kering adalah 5.209 bau.66 Pada awal abad
ke-20, lebih banyak sawah ditemukan di daerah tersebut. Peningkatan
itu tidak hanya dari penciptaan sawah baru tetapi juga pergeseran dari
lahan kering ke sawah setelah kebutuhan air dapat dipenuhi secara
teknis. Lahan kering juga meningkat. Ini sepenuhnya merupakan hasil
dari pembukaan lahan kering baru.67
Pada awal abad kedua puluh ada arah baru kebijakan kolonial.
Banyak kritik ditujukan kepada Kebijakan Liberal. Kebijakan tersebut
digantikan oleh Kebijakan Etis yang dirancang untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk pribumi. Di bawah kebijakan kolonial baru,
sektor irigasi menjadi salah satu dari tiga program yang digarisbawahi.68
Pengembangan fasilitas irigasi di Jember selama era Kebijakan Etis
akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya.

66
This include both Puger (1,116½ bau) and Sukokerto (4508 bau), see ANRI,
“Statistiek der Residentie Bezoeki, 1861”.
67
Menurut perkiraan Edy Burhan, pada awal abad kedua puluh luas lahan
basah (sawah) dan tegalan adalah 140.000 bau dan 40.000 bau. Edy Burhan Arifin, op.
cit., hlm. 50. Angka-angka ini dibesar-besarkan dan tidak dapat diandalkan. Meskipun
demikian, ada peningkatan lahan kering dan sawah tetapi peningkatannya tidak
mencapai angka-angka ini. Salah satu alasannya adalah bahwa pada tahun 1925 bidang
sawah hanya 114.350 bau. Anonim, Vergelijkend Onderzoek Betreffende der Achterstand
en de Verstrekking van Seizoencrediet bij de Volks Credietbanksedert April 1934 Plaatselike
kantoren der A. V. B.- te Bondowoso en Djember (Batavia: Algemeene Volkscredietbank,
1935), hlm. 475.
68
Tiga program penting adalah pendidikan, irigasi dan emigrasi. Sebagai realisasi
program pada tahun 1903 Menteri Urusan Kolonial A. W. F. Idenburg memberikan dana
30 juta gulden sebagai pembayaran di muka untuk berbagai proyek kesejahteraan, lihat
Anonim, Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda dalam Bidang Ekonomi ( Jakarta:
KITLV dan LIPI, 1978), hlm. 14. Untuk diskusi tentang proyek irigasi di Bojonegoro
lihat C. L. M. Panders, Bojonegoro 1900 – 1942: A Story of Endemic Poverty in North-East
Java-Indonesia (Singapore: Gunung Agung, 1984), hlm. 29 – 36.

58 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

3.4.2 Jalan dan Jalur Kereta Api


Keberadaan perkebunan jelas tidak dapat dipisahkan dari in­
frastruktur transportasi. Ekspansi perusahaan perkebunan menye­
babkan meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur dan sarana trans­
portasi yang memadai. Ini diperlukan tidak hanya untuk mengangkut
produk dari lahan ke pabrik tetapi juga dari pabrik ke pelabuhan. Tanpa
ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi yang memadai,
operasi perkebunan tidak berjalan dengan baik dan menjadi sulit untuk
menghasilkan banyak keuntungan.
Para pionir bisnis perkebunan pada tahun-tahun awal meng­
hadapi kurangnya infrastruktur di wilayah Jember. Kondisi jalan,
jembatan, sarana transportasi pada umumnya buruk. Meskipun upaya
perbaikan telah dilakukan di bawah era Sistem Tanam Paksa, tetapi
mereka masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan transportasi
yang semakin meningkat. Infrastruktur yang terbatas menyebabkan
kesulitan dalam mengangkut hasil bumi. Untuk mengatasi masalah
tersebut, tindakan diambil oleh pekebun. Mereka membangun
jembatan sementara yang terbuat dari kayu dan bambu. Hanya sejak
1880 pemerintah menaruh perhatian untuk membangun jembatan
yang lebih kuat.69 Untuk mendukung operasi mereka, perkebunan Barat
juga membangun jalan baru. Jalan-jalan ini dibangun khusus untuk
kepentingan mereka sendiri. Dari 1880 hingga 1890, misalnya, NV
Landbau Maatschappij Oud Djember (LMOD) membangun jalan baru
sekitar 30 - 40 kilometer panjangnya. Jalan-jalan ini menghubungkan
kantor pusat NV LMOD di kabupaten Jember dengan perkebunan
mereka di Distrik Mayang, Gambirono, Wuluhan, Puger dan Tanggul.70

69
Edy Burhan Arifin, op. cit., hlm. 51.
70
Ibid., hlm. 53.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 59


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Sarana transportasi untuk menyampaikan hasil juga ditingkat­


kan. Penggunaan gerobak yang ditarik lembu mulai diadopsi secara
luas untuk menghasilkan barang dari ladang sampai gudang. Untuk
me­ ngendalikan pabrik dan buruh, pembangunan jalan telah me­
mung­kinkan pengawas untuk menggunakan veld bendy. Sebelum
jalan dibangun, pengawas melakukan tugas mereka ke ladang dengan
berjalan kaki.71

Gambat 3.3 Gerobak yang mengangkut Tembakau di Jember


(Sumber: C. Vermeer, Kort Overzicht van Oprichting, Bestaan and
Bedrijf der Onderneming “Oud-Djember, Deventer, 1909)

Pada tahun 1897 jalur rel kereta api yang menghubungkan


Jember dengan Panarukan di pantai utara dan Klakah di barat secara
resmi dibuka. Pembangunan ini merupakan kelanjutan dari jalur
sebelumnya dari Surabaya ke Pasuruan, Probolinggo dan Klakah. Jalur
rel kereta api dari Surabaya ke Pasuruan dibuka pada tahun 1878. Jalur
ini dilanjutkan ke Probolinggo pada tahun 1884 dan ke Klakah pada

71
Broersma, op. cit., hlm. 169.

60 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

tahun 1885.72 Pemerintah bertanggung jawab atas biaya pembangunan


rel kereta api. Pada tahun fiskal 1893 anggaran yang dialokasikan oleh
pemerintah berjumlah 1.650.000 gulden. Dana ini dialokasikan hanya
untuk pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Jember
dengan Probolinggo dan Panarukan dan cabang jalur kereta api dari
Randuagung ke Pasirian.73 Pembangunan rel kereta api adalah inisiatif
pemerintah bukan perusahaan swasta. Ini karena konsesi pembangunan
kereta api yang diberikan kepada perusahaan swasta tidak berhasil.
Pekerjaan itu berjalan lambat, seperti yang terjadi pada jalur kereta api
dari Semarang ke Vorstenlanden dan dari Batavia ke Buitenzorg.74

Gambar 3.4 Jalur Kereta Api Jember-Bondowoso (Sumber: Koleksi


KITLV, KLV001073976)

Tujuan utama pembangunan kereta api adalah untuk mem­


fasilitasi pengangkutan produk dari pusat perkebunan yaitu wilayah

72
Ibid.
73
“Wet van 23 Juni 1893”, Staatsblad van Nederlandsch-India over het Jaar 1893,
No. 214 (Batavia:Landsdrukkerij, 1894).
74
Allen and Donnithorne, op. cit., hlm. 226.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 61


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Jember dan Bondowoso ke pelabuhan di Panarukan. Sebelum rel kereta


dibangun, pengiriman produk terutama tembakau menggunakan
gerobak yang ditarik binatang dari masyarakat pribumi.75 Dengan
sarana transportasi tradisional, pengiriman produk dari pedalaman
Jember dan Bondowoso ke pelabuhan laut di Kalbut memakan waktu
sekitar dua hari. Kapasitas gerobak sapi juga kecil, sekitar 7 - 8 pak.
Dengan pembangunan rel kereta api, penyampaian produk
menggunakan kereta gerbong. Penyerahan hasil dari Jember dan
Bondowoso tidak mengarah ke pelabuhan laut di Kalbut, tetapi
pelabuhan laut di Panarukan. Hanya butuh 4 hingga 5 jam. Kapasitas
setiap gerobak bisa diisi untuk 72 - 75 pak.76 Produk-produk itu
disimpan di gudang-gudang pengemasan milik Maatschappij
Panaroekan.77 Pengiriman produk dari pelabuhan laut di Panarukan
ke pasar dunia di Nederlands dilakukan oleh kapal uap. Kegiatan
pelayaran diselenggarakan oleh Stoomvaart Maatschaappij Nederlands
dan Rotterdamche Lloyd of Ocean.78
Dapat dicatat bahwa peningkatan infrastruktur atau fasilitas
modal sosial di Jember sampai akhir abad kesembilan belas terutama
didorong oleh pertimbangan ekonomi. Meskipun infrastruktur juga
dapat berkontribusi pada pembentukan kontrol politik atas wilayah
tersebut, namun pertimbangan semacam itu bukan merupakan
faktor utama di sini. Kasus ini berbeda dengan kereta api Sumatera
yang terutama dibangun di Aceh yang terutama didasarkan pada
pertimbangan politik.

75
Edy Burhan Arifin, op. cit., hlm. 54.
76
Ibid., hlm. 54 - 55
77
Vermeer, op. cit., hlm. 12.
78
Ibid., hlm. 12 – 13.

62 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Gambar 3.5 Panarukan Seaport (Source: C. Vermeer, Kort Overzicht


van Oprichting, Bestaan and Bedrijf der Onderneming “Oud-
Djember, Deventer, 1909)

3.5 Dampak Perkebunan

Menarik untuk mengamati dampak pembangunan perkebunan


di Jember. Operasi perkebunan Barat memiliki dampak besar pada
masyarakat Jember. Alasan sederhana adalah bahwa keberadaan
perkebunan melibatkan penggunaan sumber daya baik lahan dan
tenaga kerja di wilayah tersebut untuk mendukung operasi. Perkebunan
menyediakan orang-orang dengan pekerjaan, menawarkan mereka
lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan uang di luar produksi
tanaman pangan. Kesempatan itu tidak hanya ditawarkan kepada
masyarakat lokal dari perkebunan di sekitarnya tetapi juga para imigran
dari tempat yang jauh khususnya Madura dan beberapa bagian dari
Jawa Tengah dan Timur. Perkebunan menarik banyak orang yang

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 63


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

membutuhkan kesempatan kerja untuk bermigrasi ke Jember.79


Itu wajar bahwa pertama-tama pengaruh perkebunan bagi
perkembangan Jember bisa dilihat dalam hal demografi. Kegiatan
perkebunan menggeser Jember dari daerah yang berpenduduk jarang
menjadi daerah yang berpenduduk padat. Penduduk Jember tumbuh
pesat seiring dengan pertumbuhan peran Jember di sektor ekonomi.
Pada tahun 1861 penduduk Jember adalah 55.754 jiwa. Pada 1900,
populasi meningkat hampir lima kali lipat. Total populasi di wilayah
Jember mencapai 260.434 jiwa.80
Pertumbuhan Jember dalam aspek ekonomi dan demografi
menyebabkan pemberian status administrasi yang lebih tinggi. Pada
1859, Jember hanyalah distrik dari Afdeeling Bondowoso. Pada tahun
1883 Jember dipisahkan dari Bondowoso dan menjadi afdeeling
mandiri yang terdiri dari 4 distrik, yaitu Jember, Sukokerto, Tanggul,
dan Puger.81 Pada saat ini G. H. Blanken diangkat sebagai asisten residen
pertama di Afdeeling Jember.82 Pada tingkat yang lebih rendah, jumlah
desa di Jember meningkat. Peningkatan ini dihasilkan dari proses
pembagian desa. Beberapa desa dianggap terlalu besar untuk dikelola
sebagai satu unit. Untuk mengelola lebih efektif, desa-desa semacam itu
perlu dibagi. Pembagian desa terjadi, misalnya, ke Jember Kidul, yang

79
Hal ini sering dilaporkan dalam sumber kolonial tidak hanya dari Besuki
resideny tetapi juga dari Madura. Beberapa sarjana misalnya Tennekes, Broersma,
Soegijanto Padmo, Edy Burhan Arifin juga menunjukkan arus migrasi yang tinggi ke
Jember. Pernyataan serupa tentang masalah ini juga diberikan oleh Mackie, lihat J. A.
C. Mackie, “The Changing Political Economy of an Export Crop: The Case of Jember’s
Tobacco Industry” in Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XXI. No. 1 April 1985,
hlm. 114.
80
Tennekes, op. cit., hlm. 355.
81
Pemisahan diatur dalam Stb. 1883, No. 17. Anonim, Staadblad van
Nederlandsch over het Jaar 1883 (Batavia: Landsdrukkerij, 1884); see also, ANRI,
“Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1883”.
82
Anonim, Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, tweede gedelte, Kalender
en Personalia (Batavia: Landsdrukkerij, 1883), hlm. 168.

64 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

dibagi menjadi dua desa yaitu Jember Kidul dan Kranjingan.83 Proses
serupa juga terjadi di desa Jenggawah, Tegal Waru dan Sempolan.84
Kegiatan ekonomi di Jember juga lebih hidup. Pasar baru
didirikan misalnya di Gambirono, kabupaten Tanggul. Lebih banyak
orang Cina dan Arab pindah ke wilayah Jember dan terlibat aktif dalam
kegiatan ekonomi. Mereka memainkan peran penting khususnya
dalam perdagangan tekstil seperti linen, katun, pakaian halus dan juga
batik. Sebagian dari bahan-bahan ini terutama kapas yang diimpor dari
Inggris.85
Munculnya perkebunan tidak menghancurkan produksi
tanaman pangan. Selama operasi perkebunan tidak ada laporan bahwa
kelangkaan makanan terjadi di Jember. Sebaliknya, produksi makanan
bisa menghasilkan surplus. Hampir setiap tahun Jember dapat
mengekspor beras ke tempat lain seperti Madura, Surabaya. Beras ini
terutama diekspor melalui pelabuhan laut di Panarukan dan Besuki.
Produksi beras dari Jember juga dikirim ke Probolinggo, Lumajang,
Pasuruan. Perdagangan antar wilayah ini sebagian ditangani oleh
penduduk pribumi.86 Pada tahun 1891 juga dilaporkan bahwa produksi
beras dari Jember sebagian dikirim ke Bali.87
Kasus perkebunan di Jember menyanggah kesimpulan umum
oleh Djoko Suryo dan Sartono Kartodirdjo yang menegaskan bahwa
pengembangan perkebunan komersial menyebabkan kecenderungan
pengambil-alihan tanah dari masyarakat pribumi dan pergeseran

83
ANRI, ‘Algemeen Verslag van Residentie Besoeki Over het Jaar 1883”.
84
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1887”.
85
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1883”.
86
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1880; ANRI,
“Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1883”; ANRI, “Algemeen Verslag
van Residentie Besoeki over het Jaar 1887; ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie
Besoeki over het Jaar 1890.
87
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 18991”.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 65


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

dalam pertanian subsisten berbasis ekologi. Menurut Djoko Suryo dan


Sartono Kartodirdjo, pembentukan perkebunan kapitalis memiliki
pengaruh negatif pada pertanian subsisten dan membahayakan mata
pencaharian masyarakat pribumi yang tergantung pada pertanian.88
Hingga akhir abad ke-19 pertanian rakyat di Jember yang
memproduksi tanaman pangan tidak hilang. Sebaliknya, produksi
tanaman pangan mampu menghasilkan surplus untuk dikirim ke
tempat lain. Bahkan masyarakat pribumi juga menanggapi secara
positif peluang baru yang diciptakan oleh perkebunan. Mereka
memanfaatkan kemungkinan yang tersedia untuk berpartisipasi aktif
dalam memproduksi tanaman komersial untuk pasar internasional. Hal
ini ditunjukkan oleh penyebaran tembakau bebas atau apa yang disebut
oleh Mackie sebagai tembakau rakyat.89 Bahkan Mackie menyatakan
bahwa tembakau yang diproduksi pada tahun 1870an pada dasarnya
adalah tembakau petani kecil.90 Ini menunjukkan bahwa para petani
tidak hanya memusatkan kegiatan mereka pada produksi tanaman
pangan tetapi juga menanam tembakau di tanah mereka sendiri.
Bahkan mereka pun terlibat dalam proses pengeringan daun tembakau
di rumah mereka sendiri atau di bawah sinar matahari. Produk itu biasa
disebut kampung krossok.91 Kampung krossok dijual kepada pedagang
kecil (bandol) yang mengumpulkan tembakau kering dan terkadang
juga yang hijau dari petani. Pedagang kecil ini bukan hanya orang Cina
tetapi juga penduduk asli.92
Dari pedagang kecil tembakau disalurkan ke pedagang barat
(opkooper). Ini berarti bahwa bagian dari perusahaan barat memperoleh
88
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia
(Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 8 – 9.
89
Mackie, op. cit., hlm. 119.
90
Ibid., hlm. 120 – 122.
91
Tennekes, op. cit., hlm. 369.
92
Broersma, op. cit., hlm. 29.

66 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

tembakau tidak hanya dari perkebunan mereka sendiri, tetapi juga


mengumpulkan dari para petani. Bahkan ada perusahaan yang
memperoleh tembakau hanya dengan membeli dari petani. Perusahaan
semacam itu tidak mengoperasikan perkebunan sama sekali tetapi
hanya bertindak sebagai kolektor (opkooper). Ini umumnya dimainkan
oleh pendatang baru di perkebunan tembakau (tuwan anyer).93
Sayangnya, kurangnya data kuantitatif membuat mustahil untuk
mengukur total produksi tembakau petani kecil dan bagiannya dari
total ekspor. Namun, dapat diperkirakan bahwa produksi tembakau
petani kecil sangat signifikan. Ini berdasarkan pertimbangan berikut.
Pertama, budaya tembakau telah dibudidayakan secara luas untuk pasar
lokal oleh penduduk asli di daerah ini sebelum perkebunan tembakau
dijalankan oleh pekebun barat.94 Kedua, pasokan tembakau krossok
selalu melebihi jumlah yang dibutuhkan.95 Ketiga, keberadaan kolektor
juga menyiratkan ketersediaan tembakau rakyat.
Tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa hubungan
antara petani dan perkebunan di Jember adalah hubungan yang saling
menguntungkan. Hubungan semacam ini berbeda dari kasus perkebunan
tembakau di Sumatera Timur. Beberapa sarjana menyimpulkan bahwa
operasi perkebunan tembakau di Sumatera Timur menciptakan
hubungan eksploitatif.96 Bahkan Breman menyatakan bahwa dunia
perkebunan di Sumatera Timur sangat diwarnai dengan penggunaan
kekuatan sistematis.97 Memang benar bahwa ada sejumlah pembakaran

93
Mackie, op. cit.,hlm. 119.
94
Tennekes, loc. cit.
95
Ibid.
96
Ann Laura Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatera’s Belt Plantation
(New Haven and London: Yale University Press, 1985), hlm. 54; Thee Kian Wie,
Exploration in Indonesia Economic History ( Jakarta: Penerbit UI, 1994), hlm. 86;
Mubyarto dkk. Op. cit., hlm. 5.
97
Jan Breman, Koeli, Planters and Koloniale Politiek (Dordrect: Foris, 1987),
hlm. 127.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 67


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

rumah pengasapan (schuurbranden). Misalnya, dilaporkan bahwa pada


tahun 1881 ada 6 kasus schuurbranden dan 2 kasus serupa terjadi pada
tahun 1882.98 Pada tahun 1883 dilaporkan bahwa hanya satu kasus
pembakaran gudang terjadi di Jember.99 Namun, pada tahun-tahun
berikutnya frekuensinya berfluktuasi. Pada tahun 1887 dilaporkan
bahwa 4 kasus pembakaran gudang terjadi di Jember.100
Motif pembakaran gudang bervariasi. Dalam kasus-kasus
tertentu motif terkait dengan jumlah pembayaran yang diberikan
oleh mandor. Mandor terkadang memotong pembayaran tembakau
yang dikirim untuk kepentingannya sendiri.101 Dalam beberapa kasus,
pembakaran terjadi sebagai dampak negatif dari persaingan ketat
antara ondernemer baru dan ondenemer lama. Para pakar baru sering
mendorong para buruh untuk menuntut harga tembakau yang dikirim
lebih tinggi kepada para pembeli lama. Bahkan mereka mendorong para
pekerja untuk mencuri tembakau dari gudang dan menjual tembakau
curian ke pengusaha baru dengan harga yang lebih tinggi daripada yang
ditawarkan lama.102 Dalam kasus lain, pembakaran terjadi karena motif
balas dendam. Mandor kadang-kadang mengancam pekerja dengan
tidak adil. Penganiayaan semacam itu mengundang para pekerja
untuk membalas dendam terhadap tindakan mandor. Balas dendam
itu sebagian diungkapkan oleh dalam bentuk schuurbranden, tetapi
sering juga pembunuhan terutama di kalangan orang Madura. Tidak
mengherankan, kejahatan dan pembunuhan dalam frekuensi yang
lebih tinggi dilaporkan terjadi di antara mereka.
Dapat disimpulkan di sini bahwa pertanian perkebunan di

98
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1882”.
99
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1883”.
100
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1887”.
101
ANRI, “Algemeen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1887”.
102
Broersma, op. cit., hlm. 28.

68 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Jember pada umumnya memiliki dampak positif. Kasus pembakaran


gudang bukan manifestasi keresahan sosial yang disebabkan oleh
hubungan eksploitatif yang muncul di dunia perkebunan di Jember.
Perkebunan dan pertanian petani mampu berjalan komplementer.
Bahkan, perkebunan mendorong perkembangan pertanian rakyat
(tanaman pangan), ketimbang menghancurkan sektor ini. Selain itu,
perkembangan perkebunan tembakau juga mendorong pengembangan
industri lokal yang dapat dilihat sebagai keterkaitan ke belakang.
Contohnya adalah industri batu bata, industri genteng, industri batu
kapur, dan produksi welit.103 Pengembangan pertanian perkebunan
di Jember pada paruh kedua abad kesembilan belas rupanya memberi
manfaat bagi banyak kelompok sosial. Sebagian besar dari mereka
menjadi pencari keuntungan daripada pecundang. Manfaat ekonomi
yang terkait dengan perkebunan dinikmati tidak hanya oleh pekebun
barat tetapi juga orang pribumi dan orang Cina, tentu saja pada tingkat
yang berbeda. Beberapa bukti seperti disebutkan di atas mendukung
kesimpulan ini. Fitur ini berbeda dari tempat lain seperti di perkebunan
Sumatera Timur di mana penduduk pribumi khususnya buruh
mengalami tekanan sistematis.

103
Vermeer, op. cit., hlm. 8.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 69


BAB 4

MASA EKSPANSI DAN


KEMUNDURAN:
PERKEBUNAN JEMBER 1900-1942

4.1 Perluasan Perkebunan Tembakau

P
ada awal abad ke-20, perkebunan tembakau di Jember
telah menjadi bisnis yang mapan. Perkebunan meng­
integrasikan ekonomi Jember dengan pasar internasional.
Sejumlah perusahaan tembakau didirikan sehingga lebih banyak lahan
ditanami tembakau dan lebih banyak daun diproduksi. Antara lain, pada
tahun 1902 C.A. Koning, yang pada awalnya aktif dalam bisnis pelayaran
dan impor, mendirikan sebuah perusahaan tembakau, bernama
Amsterdam Besoeki Tabak Maatschappij (ABTM). Perusahaan ini
berpusat secara administratif di Kotok. Dalam menjalankan bisnisnya,
Koning menyewa ribuan bau tanah dari petani lokal. Perkebunan yang
tersebar di Rawatamtu, Jubung, Gumuksari dan Ajung Balet Baru di
Afdeeling Jember dan juga Kali Anyer, perkebunan milik ABTM di

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 71


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Afdeeling Bondowoso.1 ABTM menghasilkan tembakau antara 15.000


- 50.000 pak.2 Produk ini terdiri dari dua jenis tembakau yaitu voor-oogst
dan na-oogst. Tembakau voor-oogst dibeli dari petani lokal. Tembakau
jenis ini biasanya ditanam di lahan yang tidak berawa atau tegalan.
Penanaman dilakukan pada bulan Februari dan Maret, dipanen pada
bulan Juli dan Agustus. Tembakau na-oogst dibudidayakan di sawah
pada bulan Agustus dan September setelah penanaman padi.3
Ketika jumlah perusahaan perkebunan meningkat, persaingan
semakin ketat terutama antara pekebun lama dan pekebun baru.
Residen Besuki melaporkan bahwa situasi perkebunan tembakau di
Jember semakin rumit. Kerumitan itu diindikasikan oleh persaingan
yang tidak sehat, demoralisasi dan ketidakpastian bisnis. Situasi ini
menyebabkan berbagai kasus pembakaran gudang (schuurbranden).4
Untuk mengurangi efek samping dari kompetisi, beberapa kebijakan
dan tindakan diambil. Gudang dibangun dengan menggunakan bahan
yang tidak mudah dibakar. Gudang dipagari sebagaimana diatur
oleh Verordening op Orde Netheid, Veiligheid en Zindelikheid buiten de
hoofdplaatsen ddo. 28 Agustus 1912. Selain itu, pembicaraan diadakan
untuk mencapai kesepakatan di antara para pekebun Barat. Akhirnya,
berdasarkan Perjanjian Rotterdam tahun 1907 sebuah peraturan
diberlakukan. Menurut perjanjian ini, lisensi diperlukan untuk menjadi
pedagang tembakau, untuk membangun gudang pengasapan dan
gudang fermentasi. Peraturan ini mempersempit kemungkinan bagi
pendatang baru untuk muncul dalam bisnis tembakau.5
1
Broersma, Besoeki: een Gewest in Opkomst (Amsterdam: Scheltema en
Holkemas Boekhandel, 1912), hlm. 47.
2
Ibid., hlm. 47.
3
Ibid.
4
ANRI, “Memorie van Overgave Betreffende Residentie Besoeki 19 October
1907 (Resident E. M. van den Bergh van Heinenoord)”, hlm. 5; ANRI, “Memorie van
Overgave van den aftredenden Resident van Besoeki J. Bosman, 1913”, hlm. 24.
5
J. A. C. Mackie, “The Changing Political Economy of an Export Crop: the case

72 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Isolasi dunia bisnis tembakau dari pendatang baru diikuti


oleh peraturan lain. Dewan Lokal (Gewestelyken Raad) pada tahun
1918 memperkenalkan peraturan yang menetapkan lelang tembakau
umum. Para pekebun khawatir bahwa citra tembakau Besuki memudar
di pasar internasional karena perkembangan besar tembakau rakyat.6
Pembentukan pasar lelang dimaksudkan untuk mengendalikan secara
ketat keberadaan tembakau rakyat. Peraturan itu diikuti dengan
Tindakan lain. Pada bulan Juni 1919, otoritas kolonial menugaskan
tembakau kontrolir yang ditempatkan di bawah residen. Tugas
kontrolir tembakau adalah untuk mengawasi kegiatan yang berkaitan
dengan produksi tembakau khususnya sektor pemasaran.7 Penunjukan
kontrolir tembakau bertujuan untuk memperkuat penerapan peraturan
yang tersedia.
Tindakan lebih lanjut diambil untuk mendukung langkah-
langkah awal. Lisensi diperlukan untuk membudidayakan tembakau
dan mendirikan gudang pengasapan.8 Bahkan area tembakau rakyat
juga dibatasi. Budidaya tembakau bebas untuk seorang petani dikurangi
hingga 3,5 ha secara maksimal.9 Pembatasan itu diberlakukan pada
beberapa aspek produksi tembakau. Lisensi juga diperlukan untuk
menjual tembakau dan juga untuk membangun gudang. Penjualan
secara bebas tembakau petani dilarang. Hasil hanya diizinkan untuk

of Jember’s Tobacco Industry”, in Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XXI, No. 1
April (1985), hlm. 120; ANRI, “Memorie van Overgave van den Aftredenden Resident
van Besoeki J. Bosman, 1913”, hlm. 30.
6
ANRI, “Memorie van Overgave van den Aftredenden Resident van Besoeki F.
L. Broekveldt”, hlm. 2.
7
ANRI, “Memorie van Overgave den aftredenden Resident van Besuki J. HLM.
H. Fessevier Agustus 1922”.
8
ANRI, “Memorie van Overgave van den aftredenden Resident van Besoeki F.
L. Broekveldt”, hlm. 4 – 5.
9
Mackie, op. cit., hlm. 123.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 73


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

dijual di salah satu dari dua pasar lelang.10 Dalam periode tertentu,
pengankutan tembakau bukan untuk orang Barat dilarang.11 Penegakan
regulasi diawasi oleh polisi khusus, tabak politie yang ditunjuk khusus
untuk pekerjaan ini.12

Gambar 4.1 Lahan tembakau di Jember (Sumber: Koleksi KITLV,


KLV001060348)

Para petani harus melaporkan jumlah tanaman tembakau di


lahan mereka. Pengangkutan tembakau rakyat selalu dikontrol oleh
polisi tembakau yang dibayar oleh perusahaan perkebunan. Jumlah
tembakau yang diizinkan untuk diangkut telah ditentukan. Untuk
menegakkan ketaatan pada peraturan yang ada, pengangkutan tembakau
dilakukan pemeriksaan dan mereka harus dapat menunjukkan

10
Ibid., hlm. 123.
11
Kessler, Verkort Repport omtrent Krossokhandel en Crediet in de Regentschappen
Djember en Bondowoso (Batavia: Algemeene Volkscredietbank, 1933), hlm. 419 – 420.
12
Mackie, loc. cit.

74 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

kartu pass.13 Ketentuan tersebut dituangkan dalam peraturan baru


yang diberlakukan pada tahun 1935. Menurut peraturan ini, lisensi
diperlukan untuk penanaman baru, pedagang baru dan pembangunan
gudang baru. Pada tahun 1937 peraturan itu diikuti oleh rayoneering
stelsel yang memberi setiap perusahaan tempat beroperasi secara
eksklusif.14 Implementasi rayoneering stelsel menghilangkan keberadaan
kantong-kantong perkebunan dan membuatnya lebih mudah untuk
mengamankan area perkebunan barat dari kegiatan pencurian.15
Dengan berbagai tindakan dan peraturan, para pekebun
Barat berusaha mengendalikan operasi tembakau bebas (tembakau
rakyat) dan pedagang kecil. Hal ini menjadi semakin jelas dengan
dikeluarkannya Peraturan Tembakau Krosok (Krosokordonnantie)
yang ditetapkan dalam Staatblad 1937. No. 604.16 Para pekebun ingin
mengendalikan bisnis tembakau di Jember khususnya dan Besuki pada
umumnya. Mereka mencoba untuk menghilangkan pesaing mereka
khususnya pedagang Cina yang beroperasi di pasar pada tingkat yang
lebih rendah dan juga untuk membatasi penanaman tembakau bebas.17
Penelitian Liefrieck menyimpulkan bahwa tembakau rakyat mengalami
tekanan dari perkebunan Barat. Terlepas dari itu, tembakau rakyat
masih bisa bertahan hingga akhir pemerintahan Belanda secara efektif
di Indonesia pada tahun 1942.

13
Kessler, loc. cit.
14
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A. van
Romondt over de periode 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 30 – 34; Mackie,
op. cit., hlm. 120.
15
Kessler, op. cit., hlm. 419.
16
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A. van
Romondt over de periode 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 37.
17
Mackie, loc. cit.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 75


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Tabel 4.1. Luas lahan tembakau di Jember 1930 - 1933


(dalam bau)

Tahun Tembakau Perkebunan Tembakau Rakyat


1930 30.568 23.268
1931 32.579 28.664
1932 23.999 14.208
1933 24.225 19.027
Sumber: C. Krapels. Vergelijken Onderzoek Betreffende den Achterstand en Verstrekking
van Seizoencrediet Bijde Volkscredietbanken Sedert April 1934 Plaatselijke
Kantoren der AVB Te Bondowoso en Jember (Batavia: Algemeene Volkscrediet
Bank, 1935), p. 482.

Penanaman tembakau rakyat di Jember mempunyai posisi


penting. Ini bisa dilihat pada total luas lahan di bawah tembakau rakyat.
Crapels membedakan dua kategori tembakau antara tembakau segelan
dan tembakau bebas. Kategori-kategori ini mirip dengan tembakau
perkebunan dan tembakau rakyat seperti yang ditunjukkan pada Tabel
4.1. Seperti dapat dilihat, tembakau rakyat di Jember sangat signifikan.
Tidak ada perbedaan besar dalam hal luas lahan, antara tembakau
rakyat dan tembakau perkebunan. Tabel tersebut juga menunjukkan
bahwa pada tahun 1932, area perkebunan tembakau menurun. Hal
ini disebabkan oleh pembatasan luas di bawah tembakau sebagai
dampak dari depresi ekonomi. Pembatasan bervariasi dari 60% untuk
perkebunan besar hingga 40% untuk perkebunan kecil.18 Pembatasan
itu juga dikenakan pada tembakau rakyat. Pembatasan itu sebenarnya
berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Meskipun pada tahun
1933 terjadi peningkatan pada tembakau perkebunan tetapi kurang

18
C. Krapels, Vergelijken Onderzoek Betreffende den Achterstanden Verstrekking
van Seizoencrediet Bij de Volkscredietbanken Sedert April 1934 Plaatselijke Kantoren der
AVB Te Bondowoso en Jember (Batavia: Algemeene Volkscrediet Bank, 1935), hlm. 483.

76 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

signifikan. Peningkatan signifikan terjadi pada tembakau rakyat karena


fleksibilitasnya dan ketidaktaatan mereka terhadap pembatasan.

Tabel 4.2 Komposisi Produksi Tembakau Landbouw Maatschappij


Soekokerto - Adjong, 1921-1934 (dalam ½ kilogram)

Year Bladtabak Kampungkrosok Hangkrosok


1925/1926 465.254 853.967 1.116.846
1926/1927 610.968 939.064 465.254
1927/1928 777.853 942.762 1.065.626
1928/1929 660.526 1.354.585 1.169.309
1929/1930 258.934 1.280.306 1.442.398
1930/1931 673.464 938.397 1.153.064
1931/1932 584.930 711.125 1.469.745
1932/1933 146.200 450.800 1.179.200
1933/1934 267.272 428.784 592.228
1934/1935 227.682 641.535 1.139.724
Sumber: “Verslag Landbouw-Maatschappij “Soekokerto – Adjong over boekjaar,
1928/1927, 1932/1933, 1934/1935”.

Pada tahun 1937, pembatasan itu dicabut. Pada tahun ini luas
tembakau perkebunan dan tembakau rakyat adalah 13.000 ha dan
11.000 ha.19 Perkebunan Barat tidak segera mengolah semua lahan
yang mereka sewa. Tindakan seperti itu didukung oleh peraturan sewa
guna yang mengizinkan pekebun barat hanya mengolah sebagian tanah
yang disewa dan dalam hal ini mereka tidak memiliki kewajiban untuk
membayar seluruh beban keuangan. Mereka bisa hanya membayar
separuh kepada para pemilik tanah yang menjadi kewajiban mereka. Hal
ini jelas lebih menguntungkan pekebun Barat daripada rakyat.20 Tabel

ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A.
19

Romondt over de periode 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 29.


20
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 77


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

4.2 juga menunjukkan bahwa produksi kampungkrosok (tembakau


skala kecil) cukup besar. Pembelian kampungkrosok membukukan
ang­ka ter­tinggi pada 1928/1929, 1929/1930, dan 1932/1933. Pro­
duksi hangkrosok umumnya lebih besar daripada bladtabak. Hal ini
di­sebab­kan oleh fakta bahwa menghasilkan daun tembakau yang ber­
kualitas baik adalah hal yang sulit. Tanaman ini sangat sensitif terhadap
perubahan cuaca. Tanaman tembakau yang baik dapat dengan mudah
rusak oleh cuaca yang tidak cocok dalam waktu singkat.
Fluktuasi tembakau perkebunan dan tembakau rakyat tidak
hanya terjadi dalam hal luas lahan, tetapi dalam output juga. Mengenai
Tabel 4.2, beberapa poin dapat dikemukakan di sini. Pertama, bladtabak
adalah kualitas terbaik dari daun tembakau yang diproduksi oleh
perkebunan Barat di Jember. Tembakau semacam ini membutuhkan
perawatan khusus dan sangat sensitif terhadap iklim. Hangkrosok adalah
daun tembakau yang kurang baik yang juga diproduksi oleh perkebunan
Barat. Sebagian besar hangkrosok berasal dari bladtabak. Tembakau
ini ditanam di lahan kering. Akhirnya, kampungkrosok adalah nama
tembakau yang dibeli dari petani (tembakau rakyat). Kampungkrosok
ditumbuhkan dan dikeringkan oleh para petani. Kampungkrosok
sepenuhnya adalah tembakau rakyat.21 Tabel 4.3 menunjukkan output
dan jumlah pohon tembakau.

Romondt over de periode 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 35.


21
J. Tennekes, “Bevolkingspreiding der Residentie Besoeki in 1930”, in
Tijdschirft Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genottschap (Leiden: E. J. Brill,
1963), hlm. 369.

78 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Tabel 4.3 Produksi Tembakau Landbouw Maatschappij


Soekokerto – Adjong, 1921-1934

Tahun Produk dalam pak/100 kg Jumlah Tanaman


1921 10.641 -
1922 8.681 -
1923 12.752 -
1924 13.481 -
1925 13.220 34.513.000
1926 12.443 35.228.000
1927 13.995 35.200.000
1928 16.113 43.093.900
1929 15.165 43.098.000
1930 14.058 43.523.000
1931 14.456 43.532.000
1932 8.982 21.964.400
1933 6.657 26.499.000
1934 10.048 35.000.000
Sumber: Verslag Landbouw-Maatschappij “Soekokerto-Adjong over boekjaar, 1926-
1935.

Penting untuk dicatat bahwa angka-angka itu belum mencer­


min­kan seluruh tembakau di wilayah Jember. Ada perusahaan tem­
bakau lain yang beroperasi di Jember, tetapi kurangnya data membuat
tidak mungkin untuk menampilkan gambaran yang lengkap. Namun,
berdasarkan angka yang tersedia setidaknya bisa diperoleh kesan umum
pada fluktuasi produksi tembakau Jember. Angka-angka yang tersedia
ini adalah bagian dari realitas objektif Jember di masa lalu. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa terdapat fluktuasi yang normal dalam produksi
tem­bakau dari tahun 1921 hingga 1931. Produksi tembakau dari
tahun 1928 hingga 1931 cenderung meningkat dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Ini adalah respons terhadap tingginya harga

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 79


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

tembakau di pasar internasional. Pada tahun 1926 dan 1927 harga tem­
bakau mencapai f. 49½ dan f. 47¼ per ½ kilogram.22
Kejayaan produksi tembakau di Residensi Besuki berlangsung
tahun 1925 hingga 1931. Produksi rata-rata lebih dari 200.000 pak.
Bahkan, pada tahun 1931 produksi tembakau mencapai titik maksimum
yang belum pernah dicapai sebelumnya. Jumlah produksi tembakau
mencapai lebih dari 300.000 pak. Sayangnya, peningkatan produksi
tidak diiringi oleh kenaikan harga. Harga tembakau cenderung turun.
Pada tahun 1930 harganya adalah f. 37 ½ per ½ kilogram dan pada
tahun 1931 menurun menjadi f. 22½ per ½ kilogram.23
Produksi tembakau menurun pada tahun 1932. Pada tahun-
tahun berikutnya produksi menurun drastis. Total produksi tembakau
pada tahun 1933 kurang dari separuh produksi yang dicapai pada tahun
1928. Ini adalah hasil tembakau terendah selama lima belas tahun. Me­
nurunnya produksi tembakau tampaknya terjadi di tempat lain juga
dan menjadi kecenderungan umum di Residensi Besuki. Total produksi
tembakau di Besuki menurun drastis dari 302.861 pak pada tahun 1931
menjadi 138.139 pak pada tahun 1932.24 Setelah 1931 kuan­titas dan
harga tembakau cenderung menurun. Jumlah produksi setiap tahun
kurang dari 200.000 pak dan harga kurang dari f. 25 per ½ kilogram.25
Pasar tembakau di Amsterdam lesu. Sebagian besar tembakau
tidak bisa dijual. Kelesuan bisnis tembakau berada dalam kondisi serius.
Residen Besuki melaporkan bahwa kondisi ini sangat dirasakan oleh
semua perkebunan tembakau di Besuki. Akibatnya, pada tahun 1933
dan 1934 perkebunan tembakau Besuki menderita kerugian besar.26
22
Anonim, Sumatra en Java Tbak: Statistisch Overzicht op Handels en Financiel
Gebied (Amsterdam: Dentz and van der Breggen, 1940), hlm. 52
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 52.
26
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki 1931 – 1934”,

80 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Untuk mengatasi situasi ini, VEBTO (Vereeniging van Europeesche


Bezitter van tabaksonderneming) di Besuki memberlakukan pembatasan.
Akibatnya, ada penurunan luas di bawah tembakau. Di Jember,
misalnya, Besoeki Tabak Maatschappij (BTM) menutup perkebunan
di Rawatamtu dan Jubung. Sementara itu, Fraser Eton mengurangi
area penanaman di Ambulu. Tindakan seperti itu juga diambil oleh
perusahaan perkebunan lain termasuk LMOD dan ABTM. Akibatnya,
output tembakau di Jember menurun drastis. Pada 1933 ouput hanya
mencapai setengah dari tahun-tahun normal.27
Pembatasan itu memaksa pekebun Barat membatalkan sejumlah
kontrak sewa tanah. Upaya lebih lanjut dilakukan untuk secara ketat
mengendalikan kondisi pengiriman tembakau dari petani dan hanya
kualitas daun yang baik diterima. Tembakau yang buruk ditolak dan
para petani tidak dibayar. Meskipun langkah-langkah semacam itu
menyulitkan para petani, hal itu dilakukan untuk mengkompensasi
jatuh­nya harga tembakau. Namun, para petani rupanya sedikit dikom­
pensasi oleh permintaan internal tembakau voor-oogst untuk industri
rokok pribumi.28
Pada tahun 1937 perusahaan-perusahaan tembakau mulai
meng­­hasilkan keuntungan lagi meskipun relatif kecil. Sejak tahun ini
pr­oses
­­ pemulihan perkebunan berlangsung, ditandai dengan pen­­
ca­­butan re­gulasi pembatasan.29 Produksi tembakau meningkat. Per­
bai­kan dalam metode budidaya dan pembibitan dilakukan untuk

hlm. 15.
Ibid.
27

Dutch Tobacco Planters, World Tobacco Congress Amsterdam 1951: Report on


28

Tobacco Cultivation in Indonesia (Amsterdam: n. hlm., 1951), hlm. 60; see also, ANRI,
“Memorie van Overgave van den aftredenden Resident van Besoeki 1931 – 1934”. HLM.
15.
29
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki over de periode
30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 29.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 81


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

mendapatkan kualitas tembakau yang lebih baik dan tentu saja, juga
harga yang lebih baik. Pada tahun 1938 terjadi peningkatan harga
tembakau, yang mengkompensasi fluktuasi produksi.30 Sampai
akhir pemerintahan Belanda secara efektif di Indonesia, pemulihan
perkebunan tembakau berjalan lambat. Wilayah dan keluarannya
tidak dapat menyamai angka-angka yang tercatat sebelum tahun-tahun
depresi. Volume ekspor tembakau melalui pelabuhan laut di Panarukan
juga menunjukkan bahwa ekspor tertinggi selama lima tahun sejak
1936 hingga 1940 hanya mencapai 15.695 ton pada tahun 1938. Angka
terendah ekspor tembakau dari 1926 hingga 1932 adalah 18.220 ton.31

Tabel 4.4 Produksi Tembakau Perkebunan Besuki, 1900-1938

Tahun Produk dalam pak/100 kg Harga/½ kg dalam sen


1900 94.752 34
1901 110.583 29¼
1902 122.176 27¼
1903 114.484 33½
1904 105.573 33¼
1905 183.684 28,75
1906 155.591 36¼
1907 238.496 31
1908 186.148 32,75
1909 111.841 39½
1910 157.074 38,75
1911 211.209 34
1912 226.066 29½

30
Anonim (1940), loc. cit: see also ANRI, “Memorie van Overgave van den
Resident van Besoeki Ch. A. van Romondt over de Periode 30 Januari 1935 – 26 Februari
1938”, hlm. 30.
31
Adrian Clemens, J. Thomas Linblad and Jeroen Touwen, Changing Economy
in Indonesia: Volume 12b, Regional Patterns in Foreign Trade 1911 – 940 (Amsterdam:
Royal Tropical Institute, 1992), hlm. 62.

82 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Tahun Produk dalam pak/100 kg Harga/½ kg dalam sen


1913 199.638 27,75
1914 172.608 40
1915 202.541 67
1916 - -
1917 - -
1918 - -
1919 - -
1920 100.818 34,75
1921 146.028 34¼
1922 130.478 35
1923 159.953 46
1924 196.388 44¼
1925 219.857 32½
1926 186.983 49½
1927 212.696 47¼
1928 261.700 34½
1929 257.118 31
1930 247.513 37½
1931 302.861 22½
1932 138.139 22,75
1933 150.662 20
1934 166.954 17¼
1935 172.944 19½
1936 179.659 21,75
1937 195.171 17½
1938 119.890 28
Sumber: Sumatra- en Java Tabak, Statistisch Overzicht op Handel- en Financial Gebied
Jaargang 1940 (Amsterdam: Dentz and Van Der Breggen, 1940), hlm. 51 – 52.

Posisi Jember, bersama dengan Bondowoso, sebagai pusat


produksi tembakau sangat penting. Hal ini ditunjukkan oleh pangsa
dalam total ekspor tembakau dari Jawa. Tembakau dari Jember dan

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 83


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Bondowoso diekspor melalui pelabuhan laut di Panarukan. Ekspor


tembakau melalui Panarukan dari 1911 hingga 1915 mencapai 20%
dari ekspor tembakau dari Jawa. Bagiannya lebih besar dari Probolinggo
(8%), Surabaya (18%). Andil Panarukan melebihi bagian lain terutama
selama lima tahun sejak 1926 - 1930. Andilnya mencapai lebih dari 25%.
Ketika pengiriman menurun terutama sejak 1933, porsi Panarukan
tetap relatif tinggi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa penurunan
serupa terjadi di tempat lain. Pada tahun 1938 bagian Panarukan dari
ekspor tembakau mencapai 31,2%, sementara itu andil Semarang
hanya 19,4%.32

4.2 Perkebunan Karet

Pada tahun 1904 Du Bois dan J. J. van Gorsel membuka


perkebunan karet di Tanggul yang menjadi perkebunan karet pertama
di Residensi Besuki. Kedua perintis itu membudidayakan karet di
daerah yang disebut “Zeelandia”, yang mencakup sekitar 500 bau dan
terletak di dekat Kali Suko. Biji karet diperoleh dari Lands Platentuin
di Buitenzorg (Bogor).33 Mereka menumbuhkan sejenis karet yang
disebut karet para (hevea brasiliensis). Karet semacam ini lebih
menjanjikan karena memiliki produktivitas dan kualitas yang tinggi
dibandingkan dengan ficus elastica, pohon asli penghasil lateks untuk
Asia Tenggara. Hevea brasiliensis juga lebih baik daripada castilloa
elastica dari Amerika Tengah dan Selatan. Meskipun dua jenis terakhir
dari karet dapat tumbuh dengan mudah di wilayah ini, tetapi jauh
lebih rendah dalam hal hasil dan kualitas lateks.34 Jenis-jenis karet ini

32
Ibid., hlm. 63.
33
Broersma, op. cit., hlm. 4.
34
G.C. Allen and Audrey G. Donnithorne, Western Enterprise in Indonesia and
Malaya (New York: The macmillan Company, 1957), hlm. 117.

84 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

hanya memiliki kualitas dan produktivitas yang rendah.35 Jenis karet


ini hanya memiliki kualitas dan produktivitas yang rendah. Ficus
elastica dan castilloa elastica dianggap tidak cocok untuk dikembangkan
di perkebunan barat. Jenis karet ini kurang menjanjikan dalam hal
menghasilkan keuntungan.
Upaya Du Bois dan Van Gorsel untuk membuka perkebunan
karet didorong oleh setidaknya empat pertimbangan. Pertama, bisnis
kopi Du Bois kurang berhasil. Perkebunan kopinya di Tanggul, Sumber
Ayu, dan Sumber Bulus gagal karena serangan larva. Kedua, harga kopi
buruk pada saat itu.36 Pasokan besar kopi dari Brasil menyebabkan
harga di pasar dunia turun hingga 50 persen.37 Ketiga, dalam
lingkungan, wilayah Jember dianggap cocok untuk karet. Keempat,
masyarakat pribumi telah menanam pohon karet asli terutama ficus
elastica, dan juga ceara, castiloa elastica meskipun dalam jumlah kecil.
Ini menarik pekebun Barat untuk mengembangkan perkebunan
karet.38 Secara umum perkembangan pesat penanaman karet sangat
dipengaruhi oleh naiknya permintaan karet. Pertumbuhan industri
otomotif meningkatkan kebutuhan akan karet.39 Penanaman karet
juga membentuk pencarian bisnis alternatif setelah krisis komoditas
tertentu. Dalam konteks perkebunan karet Sumatera, itu disebabkan
oleh krisis tembakau pada tahun 1880-an dan 1890-an.40 Di Jember,

35
Broersma, op.cit., hlm. 77.
36
Broersma, op. cit., hlm. 3 – 4; hlm. 77 – 78.
37
Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth: an Economic
History of East Sumatera, 1863 – 1942 ( Jakarta: National Institute of Economic and
Social Research/Leknas LIPI. 1977), hlm. 11.
38
Broersma, loc. cit.
39
See J. A. C. Mackie, Sedjarah Pembangunan Ekonomi dalam Dunia Modern,
Djilid II (Djakarta: PT Pembangunan, 1963), hlm. 165.
40
Colin Barlow dan John Drabble, “Pemerintah dan Industri Karet yang Muncul
di Indonesia dan Malaysia 1900 – 1940”, in Ann Booth, William J. O’Malley dan Anna
Weidemann (eds.), Sejarah Ekonomi Indonesia ( Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 259.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 85


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

pengem­bangan perkebunan karet terutama terkait dengan krisis pena­


naman kopi.
Untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang karet, ber­
bagai upaya dilakukan. Pada tahun 1907, Vereeninging tot bervordering
van Landbouw en Nijverheid di Jember mengambil inisiatif untuk
menga­dakan kongres tentang budidaya karet. Kongres diadakan di
Jember dan dihadiri oleh pemilik perkebunan yang berpengalaman
di perkebunan karet. Selain itu, para pekebun dari Besuki juga sering
melakukan tour ke Selat Malaka untuk belajar banyak tentang budidaya
karet dari para pekebun yang berpengalaman.41 Pada tahun 1907 sebuah
perusahaan didirikan dan namanya adalah Rubber Maatschappij
Amsterdam. Du Bois bertindak sebagai administrator perusahaan.
Pada tahun ini perusahaan memproduksi sekitar 2.000 kilogram,
dijual ke Van Leeuwen Boomkamp Firm di Amsterdam.42 Pada tahun-
tahun berikutnya, output karet tumbuh secara signifikan. Pada tahun
1910 output karet mencapai 14.935 kilogram dan pada tahun 1911
meningkat menjadi 38.345 kilogram.43
Peningkatan produksi karet disebabkan oleh dua alasan utama.
Alasan pertama adalah bahwa jumlah pohon karet yang mencapai tahap
kematangan meningkat dan pohon mulai menghasilkan lateks. Alasan
kedua adalah perluasan areal perkebunan karet. Pada tahun 1908,
untuk contoh, Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam membeli
500 bau lahan dekat Kali Suko dari Onderneming Karanganom. Dua
tahun kemudian perusahaan mengambil alih sebagian persil Pumber
Patri dan Kali Suko.44 Setelah beberapa tahun, area karet yang meluas
mulai menghasilkan lateks. Aktivitas Rubber Cultuur Maatschappij

41
Broersma, op. cit., hlm. 78.
42
Ibid., hlm. 4.
43
Ibid., hlm. 4 -5.
44
Ibid., hlm. 4 -5.

86 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Amsterdam rupanya menarik perusahaan lain untuk mengembangkan


perkebunan karet di kawasan itu, termasuk Onderneming Suko Kulon
dengan sekitar 170.000 tanaman karet dan perkebunan karet di lereng
Pegunungan Hyang.45 Belakangan, ada juga perkebunan karet yang
tumbuh di Banyuwangi, termasuk perkebunan Glenmore, Kalirejo,
Kali Sepanjang dan Manu Mukti.46 Banyuwangi menjadi pusat produksi
karet di sudut timur Pulau Jawa.47
Munculnya perkebunan karet di Residensi Besuki, tentu saja,
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan umum
di Hindia Belanda. Ada upaya untuk mengembangkan perkebunan
karet sebagai peluang bisnis baru. Pada tahun 1911 jumlah perkebunan
karet di Hindia Belanda hampir mencapai 200 buah.48 Di Residensi
Besuki ada 831 bau tanah di bawah tanaman karet sebagai satu-satunya
tanaman yang ditanam. Sedangkan area perkebunan karet sebagai
tanaman utama yang ditanam bersama dengan tanaman lain mencapai
6.880 bau.49 Pengembangan perkebunan karet tidak dimonopoli oleh
pekebun Belanda. Implementasi kebijakan pintu terbuka menarik
masuknya modal dari berbagai negara seperti yang juga ditemukan di
wilayah tersebut. Modal Inggris memasuki wilayah ini pada tahun 1909
ketika C. A. Koning bekerja sama dengan E. F. Hammond, seorang
pengusaha dari Inggris, mendirikan sebuah perusahaan bernama The
Java United Plantations, Ltd.50
Perusahaan ini sangat memperhatikan perkebunan karet.
Total tanaman karet yang ditanam oleh perusahaan adalah sekitar
180.000 pohon di Glenmore dan 300.000 pohon di perkebunan lain
45
Ibid, hlm. 4 -5.
46
Ibid., 65 – 68.
47
Tennekes, op. cit., hlm. 416.
48
Broersma, op. cit.., hlm. 80 - 81.
49
Ibid., hlm. 80 – 81.
50
Allen and Donnithorne, op. cit., hlm. 119; Broersma, op. cit., hlm. 47.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 87


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

seperti Kali Telepu, Sumber Pandan, Garahan, Kumitir. Perusahaan


ini juga mengoperasikan perkebunan di beberapa wilayah Tanggul dan
Jember.51 Selain Java United Plantations, Ltd., perusahaan lain yang
kantor pusat utamanya di London, juga didirikan, yaitu The Besoeki
Plantations Limited. Pada tahun 1923 perusahaan ini dipimpin oleh
empat direktur dan Charles Hedley Strutt sebagai ketua.52
Pengembangan perkebunan karet di Jember berbeda dari
kasus industri karet di Sumatra Timur. Di Sumatra Timur perkebunan
karet menyebabkan perkembangan pesat karet rakyat. Para petani
berpartisipasi aktif dalam produksi lateks untuk pasar ekspor. Pangsa
karet rakyat di Sumatera Timur sangat signifikan dan dapat bersaing
dengan karet perkebunan.53 Daya saing karet rakyat dihasilkan dari
harga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan karet.
Para petani menjual karet mereka lebih murah karena mereka tidak
perlu membiayai berbagai penelitian, yang berarti bahwa karet rakyat
dapat mengurangi biaya produksi. Sementara itu, perkebunan harus
membayar biaya penelitian dan eksperimen. Mereka terpaksa menjual
karet mereka dengan harga lebih tinggi.54
Di Jember, perkembangan perkebunan karet tidak diikuti oleh
penyebaran karet rakyat. Setidaknya ada dua alasan untuk menjelaskan.
Berbeda dari Sumatera Timur dan Kalimantan, tidak ada kontak
tradisional dalam ekonomi, politik dan budaya antara Besuki dan
Malaya Inggris di mana perkebunan karet memiliki pengaruh yang
kuat. Malaya adalah salah satu pusat karet terbesar di dunia. Alasan
penting lainnya adalah bahwa bagi para petani di Jember khususnya

51
Broersma, ibid., hlm. 77 – 78.
52
Anonim, the Besoeki Plantations, Limited, Directors’ Report and Statement of
Accounts 28th July, 1924.
53
Thee, op. cit., hlm. 17 – 20.
54
Barlow and Drabble, op. cit., hlm. 261 – 262.

88 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

dan Besuki pada umumnya, budidaya tembakau lebih menarik dan


menjanjikan. Mereka lebih akrab dengan budaya ini. Memang benar
bahwa harga tembakau sangat berfluktuasi. Tampaknya karena alasan
inilah mereka selalu memiliki harapan bahwa mereka akan beruntung
dengan harga tembakau yang tinggi. Ketika harga bagus datang, mereka
bisa mendapatkan untung besar. Dapat dikatakan bahwa produksi karet
di wilayah Jember dan Besuki adalah kategori karet perkebunan.
Perkembangan produksi karet dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Sayangnya, informasi yang lebih spesifik tentang produksi karet di
Jember tidak tersedia. Namun, tabel berikut bisa memberi indikasi
tentang masalah ini.

Tabel 4.5 Produksi Karet Besuki Plantation, Ltd, 1923-1936

Tahun Produk dalam 1bs Harga/1b. dalam sen dolar


1923 426.852 1 s. 2½ d.
1924 445.524 1 s. 2½ d.
1925 592.221 2 s. 0 d.
1926 829,213 1 s. 8.29 d.
1927 737.570 1 s. 7.30 d.
1928 660.333 1 s. 0.41 d.
1929 912.619 -
1930 925.329 6.84 d.
1931 748.447 2.81 d.
1932 288.428 2 d.
1933 783.315 2.57 d.
1934 920.435 5.23 d.
1935 510.236 5.41 d.
1936 579.636 7.47 d.
Sumber: Directors Report and Statement of Accounts, The Besoeki Plantations Limited,
1923-1936.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 89


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Tabel tersebut menunjukkan bahwa tahun-tahun emas produksi


karet terjadi pada tahun 1929 dan 1930. Output karet selama dua tahun
lebih dari 900.000 lbs. Namun, pada tahun 1932 output menurun
drastis karena perawatan pohon karet. Bagian dari pohon karet tidak
disadap.55 Selain itu, sejak 1930 sistem penyadapan baru diterapkan,
yaitu sistem ABC. Sistem penyadapan ini membutuhkan sepertiga dari
wilayah produksi karet setiap tahun. Pada tahun ini sejumlah pohon
karet dipotong dan ditanam kembali.56 Pada tahun 1934, produksi
karet tumbuh kembali, tetapi pada tahun-tahun berikutnya produksi
karet menurun. Juga penting untuk dicatat bahwa produksi tidak secara
langsung mencerminkan kapasitas ekspor. Ekspansi besar perkebunan
karet menyusul kenaikan harga selama 1909 - 1912 dan peningkatan
permintaan karet dari Amerika Serikat segera menyebabkan jatuhnya
harga karet. Pada 1921 harga karet hanya 7 sen per lb. Penurunan harga
sebagian disebabkan oleh efek depresi yang menyerang negara-negara
barat. Turunnya harga sebagian disebabkan oleh melimpahnya produksi
karet karena ekspansi penanaman pohon karet mulai berproduksi. Pada
saat yang sama permintaan karet menurun.57
Menghadapi masa yang sulit upaya dilakukan untuk mengontrol
produksi karet. Budidaya karet dibatasi di bawah Skema Stevenson
yang diperkenalkan oleh pemerintah Inggris.58 Meskipun pemerintah
Belanda secara resmi menolak Skema Stevenson, nyatanya Besoeki
Plantations Limited juga mengadopsi pembatasan. Bisa dijelaskan
bahwa kantor utama perusahaan ini berpusat di London. Saham
perusahaan dominan di tangan pemegang Inggris. Berdasarkan Skema

55
Directors’ Report and Statement of Accounts The Besoeki Plantations Limited,
1932, hlm. 4.
56
Directors’ Report and Statement of Accounts The Besoeki Plantations Limited,
1930, hlm. 5.
57
Barlow and Drabble, op. cit., hlm. 264 – 266.
58
Thee, op. cit., hlm. 21.

90 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Stevenson, jumlah karet yang diizinkan untuk dipasarkan pada tahun


1923 adalah 395.770 lb. Pada 1924 meningkat menjadi 472.651 lb dan
pada tahun 1926 naik menjadi 837.004 lb. Efek dari Skema Stevenson
mulai dirasakan pada tahun 1927 dan tahun-tahun berikutnya hingga
1932. Jumlah karet yang diizinkan untuk dipasarkan adalah 60% dari
kuota tahun sebelumnya.59 Akibatnya, laba perusahaan menurun.
Keuntungan terbesar diraih pada tahun 1926, mencapai 46.000 pound,
turun menjadi 34.018 pound pada tahun 1937 dan menjadi 3.621 pound
pada tahun 1930. Dua tahun kemudian perusahaan tidak menghasilkan
keuntungan. Bahkan perusahaan menderita kerugian keuangan sekitar
7.311 pound pada tahun 1931. Sejak 1933 hingga akhir pemerintahan
Belanda perusahaan mampu menghasilkan keuntungan lagi, tetapi
kurang dari 5.000 pound, kecuali pada tahun 1934.60

4.3 Pendirian Besoekish Proefstation

Pada tahun 1911 sebuah pusat penelitian didirikan di Jember


dan namanya adalah Besoekish Proefstation.61 Tujuannya adalah untuk
meneliti berbagai masalah yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan
dan untuk meningkatkan tanaman perkebunan secara kuantitatif dan
kualitatif. Untuk mencapai tujuan Besoekish Proefstation bekerja sama
dengan lembaga swasta dan Departemen Pertanian.62 Hubungan antara
Besoekish Proefstation dan pemerintah terutama Direktur Pertanian
terjalin sangat akrab. Hal ini ditunjukkan, misalnya, dengan penunjukan
direktur dan staf lembaga yang membutuhkan rekomendasi dari
59
Directors’ Report and Statement of Accounts The Besoeki Plantations Limited,
1927, hlm. 5.
60
Directors’ Report and Statement of Accounts, The Besoeki Plantations Limited,
1923, 1924, 1925, 1926, 1927, 1928, 1929, 1930, 1931, 1932, 1933, 1934, 1935, and
1936.
61
Anonim, “Statuten van de Vereeniging Besoekish Proefstation”, Jember, 1912.
62
T. Ottolander, “Besoekish Proefstation Jaarverslag 1912”, hlm. 9 – 11.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 91


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Direktur Pertanian.63
Anggota Besoekish Proefstation terdiri dari 8 perkebunan tem­
akau dan 52 perkebunan pegunungan (bergcultuures).64 Sejumlah
ahli dari berbagai disiplin terlibat dengan institusi seperti Dr. Ulthee,
Dr. Zehnter, Dr. Cramer, Bernhard, Dr. Sprecher, Dr. Jeswiet, Dr.
Van der Wolk.65 Lembaga ini dibiayai melalui dana kontribusi dari
semua anggota. Namun, sebagian besar dana berasal dari perusahaan
perkebunan tembakau.66 Besoekish Proefstation menjalankan penelitian
tentang bibit, penyakit, tanah, iklim, dan kimia.67 Lembaga ini juga aktif
menerbitkan hasil eksperimen dan kegiatan penelitian. Penemuan ini
dilaporkan secara berkala kepada para anggota.68 Salah satu temuan
penting yang dicapai oleh Besoekish Proefstation adalah pengenalan
tembakau hibrida. Jenis tembakau baru ini menawarkan hasil yang
memuaskan secara kuantitatif dan kualitatif, serta risiko terkecil
sehubungan dengan ketidakpastian iklim.69

4.4 Munculnya Perkebunan Tebu

Munculnya industri gula di Jember lebih lambat bila diban­ding­


kan dengan bagian lain Residensi Besuki. Di wilayah Jember, industri
gula muncul pada dekade kedua abad ke-20. Menurut Bleeker, pada
tahun 1845 industri gula ditemukan di Panarukan. Bleeker melaporkan
bahwa ada dua industri gula, yaitu di Ardowilangun dan Wringin

63
Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vostenlands Tobacco in Surakarta
Residency and Besoeki Tobacco in Besuki Residency and its Impact on the Peasant Economy
and Society: 1860 – 1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), hlm. 138 – 139.
64
Ottolander, op. cit., hlm. 4 -5.
65
Ibid., hlm. 6 – 7.
66
Anonim, “Besoekisch Proefstation 1910 – 1935”.
67
Anonim, “ Jaarverslag 1936 van het Besoekisch Proefstation”, hlm. 5 – 31.
68
Ibid., hlm. 3 – 5.
69
Dutch Tobacco Growers, op. cit., hlm. 51.

92 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Anom. Pada tahun 1855 ada 5 industri gula di Residensi Besuki, yakni
2 di Besuki dan 3 di Panarukan. Luas total perkebunan gula adalah
2.200 bau, lebih khusus 800 bau di Besuki dan 1.400 bau di Panarukan.
Industri gula dimiliki oleh negara.70
Di bawah kebijakan kolonial liberal yang mulai berlaku sejak
1870, pemerintah memberi peluang bagi perusahaan swasta untuk
mendirikan industri gula di Besuki. Akibatnya, 4 industri gula swasta
didirikan pada tahun 1879. Pada tahun 1890 ada 13 industri gula, tetapi
kemudian turun menjadi 10 industri gula. Industri gula baru adalah
Pandji (Panarukan), Prajegan, Asembagus (Pantai Utara), Tenggarang
(Bondowoso), Kabat, Rogojampi, dan Sukowidi (Banyuwangi).71
Industri gula di Jember muncul pada tahun 1920 ketika
Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), pemilik industri gula Jati­roto
berusaha untuk memperluas area di bawah budidaya tebu ke wilayah
Jember. HVA mengajukan permintaan untuk menyewa tanah. Peme­
rintah mengabulkan permintaan pertama dan mengizinkan HVA
untuk menyewakan 500 bouws tanah di lima desa, yaitu Padoemasan,
Djom­bang, Keting, Kraton, dan Kencong. Ini diatur oleh Besluit
van den Directeur van Binnenlandsch Bestuur ddo. 19 Februari 1920
No. 425 A/I.72 Pada tahun berikutnya ijin diberikan untuk menyewa
1,500 bau, yang dituangkan melalui Besluit van den Directeur van
Binnenlandsch Bestuur ddo. 26 Januari 1921 No. 203 A/I.73 Pada tahun
yang sama, HVA melanjutkan upaya untuk mengajukan permohonan
70
HLM. Bleeker, “Fragmenten eener Reis over Java”, in TNI, tweede deel, 11
(1849), hlm. 128; J. Hageman Jcz, “Aanteekeningen ovewr Nijverheid en Landbouw in
Gostelijk Java”, in Tijschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch Indie, deel IX
(nieuwe serie deel IV, (1863), hlm. 299; Tennekes, op. cit., hlm. 376.
71
Tennekes, ibid., hlm. 377.
72
ANRI, “Letter van de Asistent Resident Jember to resident Besoeki, 24 Maart
1920”.
73
ANRI, “Plantconcessie van de H. V. A. in de Gebieden Bondojoedo West en
Kentjong West, 20 October 1931”.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 93


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

lain untuk menyewa 3.500 bau lahan di Kencong dan Bondoyudo.74


Upaya selanjutnya dilakukan dengan mengusulkan permintaan untuk
pendirian parbrik gula baru di Jember.75 Antara 1925 - 1928 tiga pabrik
gula baru mulai beroperasi dan menggiling tebu di wilayah Jember.76

Gambar 4.2 Pabrik Gula Goenoengsari di Jember (Source: Koleksi


KITLV, KLV001035437)

Perluasan budidaya tebu di Jember tidak berjalan tanpa


konflik. Jelas bahwa operasi perkebunan membutuhkan lahan dan ada
perkebunan barat terutama perkebunan tembakau. Kebutuhan lahan
untuk budidaya tebu menciptakan persaingan di antara perusahaan

74
ANRI, “Verzoek van de Handels Vereeniging Amsterdam ddo. 20 October
1921 tot het inhuren van 3500 bouws in de Irrigatiegebieden Kentjong Oost en
Bondojoedo Oost”; ANRI, “Verzoekschrift van de H. V. A. ddo. 20 October 1921
ter verkrijging Concessie voor rietaanplant in Bondojoedo Oost-en Kentjong Oost
Gebieden”.
75
ANRI, “Oprichting van een Suikeronderneming in de Bondojoedo Oost,
Tanggul Oost en Kentjong Oost Bevloeiingsgebieden Residentie Besoeki”.
76
Tennekes, loc. cit.

94 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

barat. Kompetisi ini sering diikuti oleh benturan kepentingan. Dalam


kasus Jember ditunjukkan oleh konflik antara Handels Vereeniging
Amsterdam (HVA) dan Landbouw Maatschappij Oud-Djember
(LMOD). Birnie dari LMOD mengajukan keberatannya tentang
budidaya tebu di Tanggul. Birnie menyatakan bahwa 1378 bau tanah
di Tanggul, yang digunakan untuk membudidayakan bibit tebu,
disediakan untuk penanaman tembakau.77
Meskipun ada konflik, area di bawah tanaman tebu di Jember
tumbuh dengan cepat. Tidak ada lahan tanaman tebu pada tahun
1920. Namun, pada tahun 1930 ada sekitar 41,9 km2 ditanami tebu.
Luas area penanaman ini lebih besar dari daerah lain di Residensi
Besuki. Bahkan daerah di bawah tanaman gula di Jember menjadi yang
terbesar. Pada tahun 1903 ada 10,4 km2 di bawah tebu di Bondowoso.
Areanya meningkat menjadi 14,9 km2. Di Panarukan ada 36,5 km2 di
bawah gula. Di tempat terakhir, area gula cenderung stagnan. Bahkan
di Banyuwangi daerah di bawah gula menurun dari 13,2 km2 pada
tahun 1903 menjadi 5,9 km2 pada tahun 1930.78 Selama 1925 - 1929
industri gula umumnya beroperasi pada kapasitas maksimum.79 Pada
1927/1928, misalnya, industri gula Pandji telah menanami semua
lahan yang diizinkan untuk budidaya tebu dengan jumlah 2.300 bau.
Penanaman tebu Pabrik Gula Boedoean juga mencapai area maksimum
900 bau. Area penanaman tebu maksimum juga dicapai oleh industri
gula Olean, Wringin Anom dan Asembagus, masing-masing 1.025 bau,
1.394 bau dan 1.597 bau. Sementara itu, industri gula lainnya seperti
77
ANRI, “Memorie van Overgave van de Privincie Oostjava over het Juli 1928 –
Maart 1931”, hlm. 6; ANRI, “Bezwaren van der Heer G. Birnie dvz tegen het inhuren ten
behoove van de Suikeronderneming Djatiroro van 3,500 bouws in het Bondojoedo – oost
en Tanggul Oostgebied, 1 Februari 1923”.
78
Tennekes, op. cit., hlm. 377 – 379.
79
Sartono Kartodirdjo, et. Al., (ed)., Memori Serah Jabatan 1921 – 1930: Jawa
Timur dan Tanah Kerajaan ( Jakarta: Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No. 10 ANRI,
1978), hlm. 174 – 175.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 95


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Tenggarang, Pradjekan dengan areal budidaya tebu 1500 bau dan 1.378
bau hampir mendekati area maksimum penggunaan lahan.80
Ketika produksi gula naik, pasar mengalami kontraksi. Produksi
gula bit di Inggris tumbuh dan juga ada peningkatan output gula di
Jepang. Akibatnya, harga gula turun drastis dari f. 17,4 per 100 kilogram
pada tahun 1926 hingga f. 12,52 pada tahun 1929. Krisis di Wall Street
menyebabkan jatuhnya segera harga gula dan hasil pertanian lainnya.81
Efek krisis juga menghantam Hindia Belanda pada tahun 1930-
an karena ekonominya telah terintegrasi erat ke pasar dunia. Tidak
mungkin menghindari pengaruh krisis ekonomi. Untuk mengatasi
jatuhnya harga, langkah pertama diambil dengan meningkatkan ekspor
hasil pertanian. Namun, terbukti tidak berhasil karena banyak negara
terutama Jepang, Cina dan India yang menjadi pembeli besar gula Jawa
mengurangi impor mereka. Akibatnya, gula dan juga hasil pertanian
lainnya tidak bisa dijual.82 Situasi semacam itu mengundang pemerintah
untuk campur tangan. Beberapa langkah diambil untuk mengurangi
dampak krisis ekonomi. Pada tahun 1931 pemerintah mengadopsi
Skema Chadbourne. Di bawah skema ini area penanaman tebu
berkurang 17 ½ persen. Skema ini juga bertujuan untuk meningkatkan
konsumsi gula di Timur sebanyak 100.000 ton per tahun. Langkah-
langkah lain juga diterapkan untuk mengatur ekspor gula. Peraturan
ekspor gula diberlakukan. Peraturan ini melarang ekspor gula tanpa izin
selama lima tahun. Kemudian diikuti dengan keputusan yang mengatur
kuota ekspor gula setiap tahun.83

80
ANRI, “Memorie van Overgave der Residentie (Afdeeling) Bondowoso
1931”, hlm. 32.
81
J. S. Furnivall, Netherlands India: A study of Plural Economy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1939, 1969), p . 428 – 429.
82
Allen and Donnithorne, op. cit., hlm. 85; Furnivall, ibid., hlm. 429.
83
Furnivall, ibid., hlm. 433 – 436.

96 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Adopsi Skema Chadbourne dan langkah-langkah ketat menye­


babkan runtuhnya industri gula di kediaman Besuki. Jumlah industri
gula yang beroperasi berkurang. Dari 12 industri gula di Besuki hanya
ada 4 industri gula yang masih beroperasi pada tahun 1934, yaitu
Semboro, Olean, Pandji dan Prajegan-Tenggarang.84 Industri gula lain­
nya seperti Wringin Anom, Boedoean, Asembagoes, Goenoengsari,
Bedadoeng menghentikan sementara operasi mereka.85 Bahkan, dua
dari 12 industri gula akhirnya ditutup, yaitu De Maas dan Sukowidi
(Banyuwangi).86
Selain itu, area di bawah tanaman tebu juga berkurang. Pada
tahun 1932 sejumlah kontrak sewa lahan yang sedang berjalan mulai
dihapuskan. Langkah itu diambil oleh Handels Vereeniging Amsterdam
(HVA) sebagai pemilik pabrik gula Semboro, Goenoengsari, dan
Bedadoeng. Namun, kontrak sewa lahan baru masih dipertahankan.87
Tindakan serupa diambil oleh pabrik-pabrik gula Wringin Anom,
Pandji, Asembagoes, dan Pradjekan. Mereka membatalkan semua
kontrak sewa lahan. Kontrak-kontrak baru juga dihapuskan di bawah
kondisi-kondisi tanpa okupasi dan pergeseran.88
Pencabutan kontrak sewa tanah menciptakan masalah terutama
dalam mendapatkan kesepakatan petani. Di bawah pengaruh anggota
Roekoen Tani Vereninging dan PBI para petani tidak memberikan
persetujuan mereka. Untuk mengatasi masalah ini, sebuah pertemuan
yang melibatkan unsur-unsur petani, staf industri gula dan pejabat
84
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki 1931 – 1934”,
hlm. 12 – 13.
85
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki 1931 – 1934”,
hlm. 13.
86
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A. van
Romondt over de Periode 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 24.
87
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki 1931 – 1934”,
hlm. 13.
88
Ibid.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 97


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

pemerintah diadakan. Dalam pertemuan itu dijelaskan kesulitan-


kesulitan yang dihadapi oleh industri gula terutama karena penerapan
Skema Chadbourne dan berbagai langkah-langkah restriktif. Akhirnya,
kesepakatan tercapai setelah industri gula menjanjikan uang kompensasi
kepada para petani.89 Alasan utama keberatan petani bukanlah karena
mereka diuntungkan oleh kontrak sewa tanah, tetapi tanpa pembayaran
tunai sebagai kompensasi, mereka kehilangan janji akan cicilan di masa
depan dari biaya sewa.90
Pembatasan area di bawah budidaya tebu dan pencabutan
kontrak sewa tanah menghasilkan pergeseran penggunaan lahan. Seperti
yang ditemukan Elson di Residensi Pasuruan, petani membudidayakan
kembali lahan dengan tanaman pangan khususnya padi. Dilaporkan
bahwa ada sekitar 12.000 bau lahan di Jember dan Bondowoso, yang
sebelumnya digunakan oleh industri gula, ditanam oleh budaya padi.91
Tetapi sejak 1935 ada tanda-tanda pemulihan industri gula di Besuki.
HVA terus membudidayakan tebu di daerah Semboro dan Bedadung.
Tebu itu digiling di Pabrik Gula Semboro yang juga mengolah tebu
dari daerah Jatiroto.92 Pada tahun 1937/1938 total luas gula di Jember
mencapai 2.548 bau dimana 141.20 bau di Bedadung. Pada tahun 1937,
para pemilik tanah yang dibayar oleh industri gula di Jember mencapai
f. 76.466,88.93
Budidaya tebu di Jember dilakukan di lahan yang disewakan
dalam kontrak jangka panjang. Kontrak sewa lahan jangka pendek
89
Ibid., hlm. 14.
90
R. E. Elson, Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry: Impact and
Change in an East Java Residency, 1830 – 1940 (Singapore: Oxford University Press,
1984), hlm. 235.
91
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki 1931 – 1934”,
hlm. 30.
92
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A. van
Romondt over de Periode 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 24.
93
Ibid., hlm. 25.

98 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

tidak lagi digunakan. Sebagian besar industri gula di Besuki mengambil


langkah serupa, kecuali Wringin Anom masih mengadopsi sewa lahan
jangka pendek. Industri gula menganggap bahwa sewa lahan jangka
pendek sangat berisiko karena harga sewa berfluktuasi secara drastis.
Penghapusan sewa lahan jangka pendek ditujukan untuk mengurangi
risiko yang ditanggung oleh industri gula.94 Namun, sampai akhir
pemerintahan Belanda pada tahun 1942, industri gula di wilayah
Jember khususnya dan Besuki pada umumnya belum dalam pemulihan
penuh. Kinerja industri gula tidak dapat mencapai tahun-tahun sebelum
krisis. Bahkan selama pendudukan Jepang industri gula rusak karena
kebijakan Jepang yang berfokus pada produksi beras untuk memenuhi
kebutuhan bahan makanan.95
Juga menarik untuk dicatat di sini bahwa pembangunan kebun
gula tidak mampu menstimulasi munculnya gula rakyat. Kasus ini
berbeda dengan kasus tembakau. Kaum tani tidak tertarik menanam
tebu dengan inisiatif mereka sendiri. Setidaknya ada dua alasan untuk
menjelaskan fenomena ini. Pertama, budidaya tebu membutuhkan
modal besar. Sulit bagi para petani untuk menyediakan persyaratan
ini. Kedua, budidaya tebu membutuhkan waktu satu setengah tahun
untuk panen. Panen budidaya tebu jauh lebih lama dibandingkan
dengan budidaya tembakau yang hanya sekitar empat bulan. Menanam
tebu dianggap oleh para petani kurang menguntungkan karena
membahayakan kebutuhan subsisten mereka. Selain itu, bagian lain
dari lahan telah digunakan bergilir dengan perkebunan tebu.

94
Ibid., hlm. 25 – 26.
95
For further discussion on this subject see Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan
Kontrol: Studi thentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945 ( Jakarta: PT
Gramedia, 1993), hlm. 3 – 53.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 99


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

4.5 Masalah Tenaga Kerja

Selama abad kesembilan belas kebutuhan tenaga kerja diarahkan


kepada penduduk setempat dan sekitarnya. Mayoritas buruh adalah
orang Madura dan sebagian lagi orang Jawa. Para pekebun menggunakan
perantara Madura dan Jawa sebagai perantara untuk membujuk
keluarga dan tetangga mereka. Kelemahan sistem itu dirasakan ketika
kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan meningkat. Para pekebun
bahkan harus saling bersaing untuk mendapatkan pekerja. Kompetisi
sering menghasilkan efek buruk di antara mereka.
Selama era politik etis, kebutuhan pekerja perkebunan
umumnya meningkat. Peningkatan ini karena perluasan perkebunan
tembakau dan munculnya perusahaan perkebunan baru seperti karet
dan gula. Untuk mengatasi masalah tenaga kerja secara lebih sistematis,
pada tahun 1910 asosiasi pekebun di Besuki mengambil inisiatif
untuk mendirikan sebuah lembaga yang disebut Besoekish Imigratie
Bureau (B. I. B).96 Tujuan utamanya adalah membantu para pekebun
memenuhi persyaratan buruh kontrak untuk perkebunan mereka.
Dengan terbentuknya BIB, diharapkan persaingan antar pekebun
dalam memperoleh tenaga kerja juga bisa dikurangi. Biro ini juga
mengatur perekrutan buruh kontrak dan mengalokasikannya di antara
berbagai perusahaan perkebunan.97
Pembentukan Biro Imigrasi Besuki menandai perkembangan
baru dalam cara para pekerja perkebunan direkrut. Sebelum BIB
didirikan, para pekerja direkrut secara informal melalui perantara
Madura atau Jawa. Mereka dipekerjakan sebagai buruh harian dan
bebas di perkebunan. Setelah pembentukan BIB, perkebunan di Besuki
mempekerjakan buruh kontrak. Pada tahun 1911, BIB merekrut 1.113

96
Broersma, op. cit., hlm. 89.
97
Ibid., hlm. 89.

100 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

pekerja kontrak, 197 anak-anak dan 51 anggota keluarga dari daerah


padat penduduk di Jawa Tengah. Harganya 14.807 gulden. Rata-rata
setiap pekerja menghabiskan biaya sekitar 12 gulden. Pada tahun
berikutnya, BIB menerima permintaan untuk merekrut 4.000 buruh
dari Madura.98 Upaya itu dianggap kurang berhasil karena lebih dari
separuh pekerja impor menghilang setelah menyelesaikan kontrak
mereka. Dari gelombang pertama buruh yang direkrut, hanya 40%
pekerja yang tetap tinggal. Akibatnya, perkebunan menderita kerugian
keuangan sekitar 8.500 gulden dalam setahun.99

Gambar 4.3 Pekerja Perempuan Perkebunan Tembakau Jember

Beberapa alasan bertanggung jawab atas kegagalan buruh


kontrak untuk tinggal lebih lama. Pertama, pergeseran cara rekrutmen
dari saluran informal ke kelembagaan menghilangkan hubungan
pribadi antara buruh dan calo.100 Kedua, kurangnya hubungan pribadi,

98
Ibid., hlm. 89.
99
Ibid.
100
Untuk pembahasan pengaruh pola rekrutmen pada kondisi pekerja, lihat
Erwiza Erman, Kesenjangan Buruh – Majikan ( Jakarta: Sinar harapan, 1995).

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 101


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

yang digantikan oleh kontrak, membuat para pekerja kurang dihargai


secara manusiawi. Ini tidak membuat mereka merasa nyaman dan
betah. Ketiga, dalam kasus-kasus tertentu, kesiapan buruh untuk men­
jadi buruh kontrak tidak dimotivasi oleh keinginan mereka sendiri
tetapi sering juga karena tekanan dari elit desa. Menghadapi kesulitan-
kesulitan ini, ketua Nederlandsch-Indisch Landbouw Syndicaat mengirim
delegasi ke pemerintah pada tahun 1912. Delegasi tersebut dimak­
sudkan untuk mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk
membuat undang-undang tenaga kerja baru yang memberi mereka
kekuat­an untuk mengontrol buruh seperti di Sumatra Timur. Tetapi pe­
me­rintah menolak dan hanya berjanji untuk membantu dalam bentuk
fasilitas, seperti transmigrasi dan perbaikan dalam kondisi kesehatan.101
Penolakan pemerintah rupanya dipengaruhi oleh kritik yang
ditujukan kepada pemerintah yang mempermasalahkan penggunaan
sanksi hukuman di perkebunan Sumatera Timur. Langkah itu dianggap
bertanggung jawab atas penganiayaan yang menyebabkan kisah tragis
para kuli. Sanksi hukuman yang memberi pekebun kekuatan besar
untuk mengendalikan para pekerja menciptakan reputasi buruk
perkebunan Sumatera di dunia internasional, sehingga mengancam
kegiatan ekspor sebagai pilar utama ekonomi kolonial.102 Kemustahilan
untuk mendapatkan dukungan yudisial karena menggunakan sanksi
pidana di Besuki mendorong para pekebun untuk mencari alternatif
lain. Tiga poin diajukan ke pemerintah. Untuk menjamin ketersediaan
tenaga kerja, pekebun menginginkan pemerintah untuk melarang
sepenuhnya pengiriman tenaga kerja dari Besuki ke tempat lain. Para
pekebun juga menuntut biaya transportasi pekerja yang lebih rendah
oleh kereta api negara untuk mengurangi biaya rekrutmen. Mereka
juga mewajibkan peraturan untuk memperbaiki kondisi kesehatan
101
Broersma, op. cit., hlm. 92.
102
Thee, op. cit., hlm. 39 – 40.

102 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

masyarakat pribumi.103
Rupanya ada kesadaran yang tumbuh di kalangan pekebun
bahwa itu tidak cukup untuk membuat buruh merasa di nyaman hanya
dengan membayar upah mereka. Para buruh juga membutuhkan layanan
kesehatan dan asuransi kebutuhan sehari-hari. Sebagai tanggapan, BIB
menyarankan asosiasi perkebunan Besuki untuk membangun rumah
sakit demi buruh perkebunan. Saran ini diberlakukan oleh pendirian
rumah sakit di Krikilan.104 Pembentukan rumah sakit bermanfaat
tidak hanya bagi para pekerja tetapi juga bagi para pekebun. Kondisi
kesehatan yang buruk dapat menghambat produktivitas tenaga kerja
dan ini adalah sesuatu yang ingin dihilangkan perusahaan perkebunan.
Peningkatan dalam kondisi kesehatan adalah salah satu langkah nyata
untuk mencegah mereka kembali pulang ke daerah asal. Pemerintah
juga memperhatikan kondisi kesehatan. Pada tahun 1931, Residen
Besoeki melaporkan bahwa dua poliklinik didirikan di Tanggul dan
Ambulu.105

4.6 Peningkatan Infrastruktur

4.6.1 Irigasi
Pada awal abad kedua puluh ada arah baru kebijakan kolonial.
Banyak kritik diarahkan pada Kebijakan Liberal. Kebijakan itu akhirnya
digantikan oleh Kebijakan Etis yang dirancang untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk pribumi.106 Di bawah kebijakan kolonial baru,

103
Broersma, op. cit., hlm. 91 – 92.
104
Edy Burhan Arifin, op. cit., hlm. 48.
105
ANRI, “Memorie van Overgave van de Provincie Oost Java over het Juli 1928
– Maret 1931”, hlm. 6.
106
C. L. M. Penders, Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism
1830 – 1942 (St. Lucia: University of Queensland Press, 1977), hlm. 61; Pembahasan
tentang kebijakan kolonial abad ke-20, lihat, Robert Cribb, “Development Policy in the

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 103


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

sektor irigasi menjadi salah satu dari tiga program yang digarisbawahi.107
Sejalan dengan kebijakan ini, ada kemajuan dalam fasilitas irigasi di
wilayah Jember. Pengelolaan irigasi di Jember berada di tangan dua
lembaga. Ada Bagian Irigasi Pekalen-Sampean. Lembaga ini mengelola
irigasi teknis yang meliputi irigasi Bedadung, Tanggul, Bondoyudo,
Mrawan, dan Mayang. Sisa dari irigasi dikelola oleh pejabat dari
Binnenlands Bestuur.108
Sistem irigasi modern mulai dibangun di kawasan itu terutama
sejak tahun 1900-an. Perbaikan dilakukan pada sungai Bedadung,
Tanggul-Bondoyudo, Mayang dan Mrawan. Dengan proyek lebih dari
79.000 bau tanah bisa diairi, khususnya 25.500 bau di daerah Bedadung,
33.500 bau di area Tanggul-Bondoyudo, 16.200 bau di daerah Mayang,
dan 4100 bau di daerah Mrawan. Selain itu, peningkatan irigasi oleh
perusahaan swasta di Kotok dapat mengairi sekitar 6.500 bau.109

Early 20th Century” in J. HLM. Dirkse, F. Husken, M. Rutten (eds.), Development and
Social Welfare: Indonesia’s Experience under the new Order(Leiden: KITLV Press, 1993),
hlm. 225 – 245.
107
Tiga program penting adalah pendidikan, irigasi dan emigrasi. Sebagai
realisasi dari program pada tahun 1903 Menteri Urusan Kolonial A. W. F. Idenburg
memberikan dana 30 juta gulden sebagai pembayaran di muka untuk berbagai proyek
kesejahteraan, lihat Anonim, Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda dalam Bidang
Ekonomi ( Jakarta: KITLV dan LIPI, 1978), hlm. 14; untuk pembahasan proyek irigasi di
Bojonegoro lihat C. L. M. Penders, Bojonegoro 1900 – 1942: A Story of Endemic Poverty in
North-East Java – Indonesia (Singapore: Gunung Agung, 1984), hlm. 29 – 36.
108
ANRI, “Memorie van Overgave Resident Besoeki 1922”, hlm. 17 – 18.
109
ANRI, “Memorie van Overgave van den atredenden Resident van Besoeki
H. A. Voet (1925)”, hlm. 29 – 30.

104 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Gambar 4.4 Dam Kali Anyar (Sumber: Koleksi KITLV, KLV001112831)

Proyek-proyek itu tampaknya melibatkan peran perusahaan


negara dan swasta. Perbaikan irigasi Tanggul-Bondoyudo, misalnya,
disumbang oleh perkebunan gula di Jatiroto yang dimiliki oleh
Handels Vereeniging Amsterdam (HVA) dan perkebunan tembakau
yang dimiliki oleh NV LMOD. Kedua perusahaan dan pemerintah
menanggung semua biaya pengembangan sistem irigasi Tanggul-
Bondoyudo. Total biaya berjumlah 2.600.000 gulden.110 NV LMOD
menyumbangkan 500.000 gulden sebagai bagiannya, sementara HVA
memberikan kontribusi sebesar 600.000 gulden. Sisa biaya disubsidi
oleh pemerintah dengan mengalokasikan 1.500.000 gulden.111 HVA
membayar lebih untuk proyek daripada NV LMOD karena perbaikan
memberi lebih banyak manfaat bagi HVA. Sebagaimana disebutkan di

110
ANRI, “Verzoek van de NV Handelsvereeniging “Amsterdam van 5 Juli 1932
No. HLM. 150 JB om restitutie van gedane uitgaven ter verbetering van de drainage
toestand ten behoove van de s.o. “Semboro”.
111
Anonim, “Brochure of N. V. Landbouw Maatschappij Oud Djember, 1909”.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 105


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

atas, HVA menggunakan irigasi untuk mengoperasikan industri gula di


barat daya Jember.
Keterlibatan kedua negara dan perusahaan swasta juga dapat
dilihat dalam kasus pengembangan irigasi di daerah Dawuhan.
Dalam proyek ini, bagian biaya yang dibebankan kepada HVA adalah
dua pertiga. Sementara itu, bagian dari biaya yang ditanggung oleh
negara adalah yang ketiga.112 Pada tahun 1925, Residen Besuki, H.
A. Voet melaporkan bahwa sejak Oktober 1922 hingga Maret 1925
pemerintah menghabiskan 280.000 gulden untuk memperbaiki irigasi
Bedadung.113 Pada periode yang sama untuk perbaikan irigasi Mayang,
pemerintah menghabiskan 300.000 gulden. Uang ini digunakan untuk
membiayai pembangunan saluran air di Wanajati, yang sangat penting
untuk mengatur saluran-saluran air dan waduk Mayang di Wanajati.
Perbaikan irigasi Mayang, Bedadung dan juga Tanggul dilakukan oleh
narapidana yang dipekerjakan di bawah dag diensten.114
Sebagai hasil dari perbaikan fasilitas irigasi, ada peningkatan
lahan irigasi di Jember. Pada 1861 total lahan basah adalah 7,899 bau.
Sementara itu lahan ladang kering berjumlah 5.029 bau.115 Pada tahun
1938, total sawah mencapai 117.257 bau Peningkatan tersebut tidak
hanya dari penciptaan sawah baru, tetapi juga dari perubahan lahan
kering menjadi sawah setelah kebutuhan air dapat dipenuhi secara teknis.
112
ANRI, “Verslag van den 24 December 1923 No. 4055 (door
tusschekomst van den Directeur van Binnenlandsch Bestuur)”.
113
ANRI, “Memorie van Overgave van den aftredenden Resident van Besoeki
H. A. Voet 1925”, hlm. 38.
114
Para tahanan ini direkrut dari penjara yang melarat di Kasihan,
Jember, dan penjara distrik. Pada tahun 1922 ada 2.750 tahanan, ANRI, “Memorie van
Overgave Resident Besoeki J. HLM. H. Fessevier, 1 Agustus 1922”, hlm. 19. Di Jember
ada beberapa penjara distrik yaitu di Karuk, Kapuran, Glundengan, Pondokwaluh,
Talang, Wuluhan. ANRI, “Memorie van Overgave van den aftredenden Resident van
Besoeki H. A. Voet 1925”, hlm. 28.
115
Ini mencakup Puger (1.116½ bouws) dan Sukokerto (4,508 bouws),ANRI,
“Statistiek der Residentie Bezoeki, 1861”.

106 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

4.6.2 Jalan dan Rel Kereta Api


Pada abad ke-20 pemerintah terus memperhatikan infrastruktur.
Jalur rel kereta api dari Kalisat ke Mrawan dibuka pada tahun 1902. Satu
tahun kemudian kelanjutan dari jalur ini dari Mrawan ke Banyuwangi
dibuka.116 Pembangunan jalur kereta api memecahkan isolasi geografis
yang telah menghambat hubungan antara Jember dan Banyuwangi
untuk waktu yang lama. Pembangunan rel kereta api meningkatkan
hubungan antara kedua tempat ini. Penyelesaian rel kereta api utama
memfasilitasi datangnya migrasi orang Jawa dari barat. Para imigran
datang terutama dari daerah padat penduduk di Jawa Timur dan Tengah
seperti Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Vorstenlanden, Kedu,
Rembang, Semarang. Mereka umumnya pindah ke bagian selatan
Jember.117 Arus migrasi tidak lagi didominasi oleh orang Madura dari
utara. Selain itu, pembangunan rel kereta api juga mendorong para
kapitalis Barat untuk mengoperasikan bisnis perkebunan di bagian
selatan Jember.118
Setelah jalur utama rel kereta dibangun, pembangunan jalur
sekunder dilakukan. Rel kereta sekunder dibangun untuk melayani
rute pendek yang menghubungkan beberapa kabupaten. Rute-rute itu
misalnya dari Rambipuji ke Puger yang dibuka pada tahun 1912 dan
cabang dari jalur ini dari Balung Lor ke Ambulu. Perusahaan swasta
mulai berpartisipasi dalam membangun jalur kereta api sekunder
untuk kepentingan mereka sendiri. Jalur-jalur swasta ini melayani
pengangkutan hasil panen terutama tebu dari hasil panen ke pabrik-
pabrik.

116
Broersma, op. cit., hlm. 170.
117
Memorie van Overgave van den aftredenden Resident van Besoeki H. A.
Voet Agustus 1922 – Mei 1925”, hlm. 9; see also Tennekes, op. cit., hlm. 343 – 345, 352;
Soegijanto Padmo, op. cit., hlm. 156.
118
Tennekes, op. cit., hlm. 394 – 395.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 107


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Gambar 4.5 Jalur Kereta Api Mrawan (Sumber: Koleksi KITLV,


KLV001052712)

Pemerintah juga membangun jalan baru di daerah Bedadung


dan memperbaiki jalan yang menghubungkan Bedadung dan Mayang.
Pembangunan jalan juga dilakukan di Tanggul dari Pondok Dalem ke
Pondok Waluh.119 Pada tahun 1925, Resident Voet melaporkan bahwa
perhatian pemerintah diberikan untuk memperbaiki jalan dari Tanggul
ke Bondoyudo dan beberapa bagian jalan seperti Songom - Pondok
Waluh, Kencong - Gantung. Tindakan yang sama juga diambil di
Distrik Mayang, di sepanjang Kanal Mayang, Kanal Wanajati, Mandiku
dan Tirtasari. Jalan dari Jenggawah ke Tempurejo juga ditingkatkan.120
Untuk mendukung koneksi antara Jember dan bagian lain dari Besuki,
pemerintah menaruh banyak perhatian untuk mengembangkan
jalan utama. Jalan-jalan yang menghubungkan Jember-Bondowoso-
Situbondo diperbaiki. Sebagian besar jalan-jalan ini dilebarkan dan

119
See ANRI, “Memorie van Overgave Resident Besoeki 1922, hlm. 20.
120
ANRI, “Memorie van Overgave van den aftredenden Resident van Besoeki
H. A. Voet 1925”, hlm. 46 – 47.

108 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

diaspal.121 Sekitar tahun 1924 jalan dari Jember dan Banyuwangi


dibuka untuk melayani lalu lintas bus. Jalan ini diperlukan terutama
untuk transportasi orang karena transportasi kereta api dianggap
kurang cocok.122
Transportasi laut di Besuki juga membaik. Peningkatan itu
ditunjukkan, misalnya, dengan frekuensi pelayaran. Sebuah perusahaan
pelayaran, Bodemeijer melakukan pelayaran pulang pergi setiap hari
dari Panarukan ke Sumenep. Layanan ini membawa migran yang
mencari pekerjaan di Besuki residensi dari Pulau Madura dan Sapudi.
Selain itu, sejumlah bus melayani pencari kerja Madura yang berniat
pergi ke Jember, Bondowoso dan Banyuwangi di mana perkebunan
mengoperasikan bisnis mereka dan menawarkan peluang kerja.123
Fasilitas pelabuhan juga dikembangkan. Pada tahun 1928 Panarukan
Maatschappij membangun gudang baru di Panarukan. Bangunan itu
digunakan untuk menyimpan gula terutama dari Jember sebelum
diekspor ke pasar dunia. Gudang baru memiliki kapasitas 100.000
pikul. Dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan respons
terutama terhadap munculnya Jember sebagai pusat baru produksi gula
di Residensi Besuki. Penting untuk dicatat bahwa produksi gula dari
tempat lain tidak diekspor melalui Pelabuhan Panarukan tetapi melalui
pelabuhan Jangkar dan Besuki.124

121
“ Memorie Residen Bondowoso (A. H. Neys) 25 Juli 1929”, in Sartono
Kartodirdjo et. Al. (1978), op. cit., hlm. 188.
122
Tennekes, op. cit., hlm. 396.
123
Memorie Residen Bondowoso (A. H. Neys) 25 Juli 1929)”. In Sartono
Kartodirdjo et. Al., (ed.), Memori Serah Jabatan 1921 – 1930 (Jawa Timur dab Tanah
Kerajaan ( Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1978), hlm. 190.
124
Ibid.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 109


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

4.7 Dampak Perkebunan Barat

Pengembangan perkebunan memiliki dampak besar


pada wilayah Jember dan masyarakat. Perkebunan tidak hanya
mempekerjakan penduduk asli sebagai sumber utama tenaga kerja
tetapi juga memanfaatkan lahan, sebagian disewa dari penduduk
setempat. Selama era kebijakan Etis, perkebunan di Jember semakin
beragam. Ada tiga perkebunan utama: tembakau, karet dan gula. Secara
umum perkebunan ini mendorong perkembangan wilayah. Bahkan,
pada akhirnya Jember menjadi wilayah terbesar dan paling penting di
Oosthoek.
Dalam segi adminsitratif, Jember juga tumbuh. Pada tahun 1928,
Jember dibentuk sebagai kabupaten terpisah berdasarkan Ordonnantie
van 9 Agustus 1928.125 R. Tumenggung Wirjodinoto diangkat sebagai
bupati Jember dan Poedjo ditetapkan sebagai patih. Jumlah distrik di
wilayah Jember uga mengalami peningkatan. Ketika Afdeeling Jember
pertama kali didirikan, wilayah ini terdiri dari 4 distrik: Jember, Puger,
Sukokerto dan Tanggul.126 Sebagai daerah yang berkembang pesat
wilayah Jember memiliki 7 distrik, termasuk Jember, Kalisat, Mayang,
Rambipuji, Tanggul, Puger dan Wuluhan.127 Peningkatan terjadi dari
pembagian distrik. Misalnya, pada tahun 1922 Distrik Puger dibagi
menjadi dua distrik, Puger dan Wuluhan.128 Sementara itu, Distrik
Jember yang sedang berkembang pesat dibagi menjadi tiga yakni:
Jember, Rambipuji dan Mayang. Wilayah Distrik Mayang sebagian

125
Anonim, Staadblads van Nederlands-Indie over het Jaar 1928. No. 323.
(Weltevreden: Landsdrukkerij, 1929).
126
ANRI, “Algeemen Verslag van Residentie Besoeki over het Jaar 1883”.
127
G. F. E. Gongrijp, Geillustreede Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (Leiden:
NV Leidsche Uitgeversmaatschappij, MCMXXXIV), hlm. 590.
128
ANRI, “Memorie van Overgave Resident Besoeki 1922”. Puger meliputi
3 onderdistrict: Puger, Gumuk Mas, Kencong dan Wuluhan meliputi 3 onderdistrict:
Wuluhan, Ambulu, Balung Lor.

110 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

diadopsi dari bagian timur Distrik Jember dan bagian selatan Distrik
Sukokerto. Distrik Sukokerto kemudian dihapus dan digantikan distrik
baru, Kalisat.129
Dampak perkebunan juga bisa dilihat dalam hal demografis.
Populasi Jember tumbuh dalam jumlah. Pada tahun 1990 penduduk
Jember adalah 260.434 orang dan pada tahun 1930 meningkat menjadi
933.079 orang.130 Populasi Jember adalah yang terbesar di Residensi
Besuki. Pada tahun 1900 penduduk Bondowoso hanya 274.686 orang
dan Banyuwangi dihuni oleh 473.365 orang. Selain itu, pada tahun yang
sama populasi Panarukan dan Besuki masing-masing 132.090 orang
dan 124.207 orang.131 Sementara itu, kepadatan penduduk distrik di
Kabupaten Jember ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Kepadatan Penduduk Jember 1920 and 1930

Distrik 1920 1930


Jember 457 497
Kalisat 292 363
Mayang 103 159
Rambipuji 292 383
Tanggul 164 252
Puger 169 348
Wuluhan - 177
Sumner: Iso Reksohadiprojo dan Soedarsono Hadisapoetro, “Perubahan Kepadatan
Penduduk dan Penghasilan Bahan Makanan (Padi) di Jawa dan Madura”,
dalam Sajogyo dan William L. Collier (eds), Budidaya Padi di Jawa ( Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 318.

129
Tennekes, op. cit., hlm.358.
130
Ibid., hlm. 335.
131
Ibid.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 111


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Perkembangan perkebunan tampaknya tidak menghancurkan


pertanian tanaman pangan. Ini diindikasikan tidak hanya oleh fakta
bahwa selama operasi perkebunan jarang dilaporkan bahwa kelangkaan
makanan terjadi di Jember. Bahkan wilayah itu mampu menghasilkan
lebih banyak beras dan mengirim surplus ke daerah lain. Selama 1878
- 1887 produksi beras rata-rata di Jember hanya 2.689.000 pikul. Dari
tahun 1914 hingga 1923 meningkat menjadi 5.971.000 pikul. Ada
peningkatan 3.282.000 pikul. Peningkatan ini merupakan salah satu
dari dua pencapaian terbesar di Jawa. Yang lainnya adalah Priangan di
mana produksi beras rata-rata naik menjadi 6.043.000 pikul. Residensi
lainnya di Jawa mengalami peningkatan kurang dari 200.000 pikul.132
Tabel berikut khusus menunjukkan produksi beras di kabupaten
Jember.

Tabel 4.7 Produksi Beras Distrik di Jember 1930 1932


(dalam pikul)

District 1930 1932


Jember 435.671 446.324
Kalisat 504.309 493.410
Mayang 209.940 219.643
Rambipuji 574.969 612.271
Tanggul 667.546 608.773
Puger 668.652 666.318
Wuluhan 591.228 622.467
Sumber: “Vergelijkend Onderzoek Betreffende den Achterstand en de Verstrekking
van Seizoencrediet Bij de VolksCrediet Banken – Sedert April 1934
Plaatselijke Kantoren Der A. V. B. – Te Bondowoso en Jember”, dalam
Uitgegeven door de Algemeene Volkscredietbank, (Batavia: 1935), hlm. 479.

132
HLM. van der Elst, “Krisis Budidaya Padi di Jawa”, in Sajogyo dan William L.
Collier (eds), Budidaya Padi di Jawa ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia,
1987), hlm. 152.

112 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Produksi beras di Jember lebih besar dari Bondowoso. Total


produksi beras Bondowoso hanya 983.468 pikul pada tahun 1930
dan 1.147.538 pikul pada tahun 1930 dan 3.669.906 pikul pada tahun
1932. Produksi padi rata-rata Jember adalah 4 pikul per orang. Itu lebih
besar dari rata-rata produksi beras Bondowoso yang hanya 3,1 pikul per
orang.133 Bahkan peningkatan terbesar di antara distrik-distrik di Jawa
datang ke kabupaten Puger. Posisi ini ditunjukkan oleh produksi rata-
rata yang mencapai 30 kuintal per hektar selama 1916 - 1920. Posisi
terbaik juga dicapai selama 1922 - 1927.134 Produksi beras yang baik juga
ditunjukkan oleh fakta bahwa wilayah Jember masih mempertahankan
kemampuannya untuk mengirim beras ke tempat lain seperti Madura,
Surabaya, Pasuruan, Probolinggo.135 Bahkan kemampuan wilayah
Jember untuk mengirim beras ke luar cenderung meningkat.
Tingginya produksi makanan di Jember disebabkan oleh bebe­
rapa alasan. Pertama, fasilitas irigasi yang diperbaiki pada kenyataannya
tidak hanya memberikan manfaat bagi perkebunan tetapi juga bagi
pertanian petani.136 Kedua, pencapaian itu juga difasilitasi oleh kegiatan
penyuluh pertanian. Pemerintah menempatkan lahan pertanian dan
menyelenggarakan kursus pertanian untuk guru sekolah desa di Jember.
Kursus pertanian juga diberikan kepada sejumlah mantri dan mandor.

133
Anonim, “Vergelijkend Onderzoek Bereffende den Achterstand en de
Verstrekking van Seizoencrediet Bij de Volkscredietbanken – Sedert April 1934
Plaatselijke Kantoren Der A. V. B – Bondowoso eb Jember”, in Uitgegeven door de
Algemeene Volkscredietbank, (Batavia: n. hlm. 1935), hlm. 479.
134
A. M. HLM. A. Scheltema, “Produksi Beras di Jawa dan Madura”, in Sajogyo
and William L. Collier, Budidaya Padi di Jawa ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT
Gramedia. 1986), hlm. 171.
135
ANRI, “Memorie van Overgave van Resident Besoeki (1922); ANRI,
“Memorie van Overgave van den Aftredenden Resident van Besoeki H. A. Voet (1925)”,
hlm. 18 – 19, 38.
136
Elst, op. cit., hlm. 153; ANRI, “Memorie van Overgave van den aftredenden
Resident van Besoeki H. A. Voet (1925), hlm. 18 – 19.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 113


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Di Jember perkembangan perkebunan berjalan secara


komplementer dengan pertanian pangan. Kasus ini berbeda dengan
kesimpulan umum oleh Djoko Suryo dan Sartono Kartodirdjo,
yang menyatakan bahwa perkebunan kapitalis akan mengarah pada
pengambil-alihan lahan masyarakat pribumi. Lebih buruk lagi, dalam
pandangan mereka pembentukan perkebunan kapitalis merugikan
pertanian pangan dan membahayakan mata pencaharian masyarakat
tergantung pada pertanian.137Apa yang terjadi di Jember memberikan
gambaran kontras dibandingkan dengan kasus perusahaan perkebunan
di wilayah Sumatera Timur. Di kemudian hari perkembangan
perkebunan merusak pertanian pangann atau tidak memberi ruang
bagi pengembangan pertanian pangan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta
bahwa daerah Sumatera Timur tidak dapat mengirim beras seperti
Jember. Produksi makanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.138
Bahkan Sumatera Timur harus mengimpor beras dari luar.139
Kasus Jember menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan
tidak menghancurkan pertanian tanaman pangan. Kapasitas mengirim
beras semakin diperkuat. Pabrik beras tumbuh jumlahnya. Pada tahun
1932 dilaporkan bahwa di Jember mengoperasikan 11 pabrik beras.140

137
ANRI, “Memorie van Overgave van den Aftredenden Residentie van Besoeki
H. A. Voet (1925)”, hlm. 18 – 19.
138
Karl. J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria ( Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 173; see also Thee, op. cit., hlm. 115.
139
Adrian Clemens, J. Thomas Linblad and Jeroen Touwen, Changing Economy
in Indonesia, Volume 12b: Regional Patterns in Foreign Trade 1911 – 1940 (Amsterdam:
Roya Tropical Institute, 1992), hlm. 80. Persentase impor beras yang masuk Sumatra
Timur: 13.7 (1911), 20.9 (1912), 19.3 (1913), 20.8 (1914), 17.5 (1915), 17.7 (1916),
19.6 (1917), 23.0 (1918), 51.4 (1919), 66.3 (1920), 16.1 (1921), 18.6 (1922), 22.3
(1923), 19.0 (1924), 6.0 (1925), 5.3 (1926), 26.9 (1927), 35.0 (1928), 32.7 (1929),
26.8 (1930), 4.2 (1931), 24.8 (1932), 18.7 (1933), 41.4 (1934), 37.2 (1935), 45.1
(1936), 49.3 (1937), 51.1 (1938), 61.1 (1939), 29.7 (1940).
140
Krapels, op. cit., hlm. 479.

114 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Pabrik-pabrik itu dimiliki oleh Cina dan Arab.141 Pengembangan


perkebunan dan pertanian petani meningkatkan permintaan akan
ternak, terutama sapi yang diperlukan untuk persiapan dan transportasi
tanah, lembu-lembu juga disembelih untuk memenuhi kebutuhan
daging. Karena itu, Jember selalu mendatangkan sapi dari tempat lain
seperti Madura, Bali, Sumba.142 Masuknya lembu disajikan dalam tabel
berikut.

Tabel 4.8 Masuknya Lembu via Pelabuhan Panarukan 1931 – 1937

Tahun Total
1931 6.714
1932 5.539
1933 7.602
1935 12.715
1936 11.264
1937 9.120
Sumber: Crapels, “Vergelijkend Onderzoek Betreffende Den Achterstand en de
Verstrekking van Seizoencrediet Bij de VolksCrediet Banken – Sedert April
1934 Plaatsselijke Kantoren Der A. V. B. – Te Bondowoso en Jember”,
in Uitgegeven door de Algemeene Volkscredietbank, (Batavia: 1935), hlm.
488; ANRI, Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A.
Romondt, 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 97.

Sebagian besar impor sapi dibawa ke Jember dan sejumlah


kecil dibawa ke Bondowoso dan Banyuwangi.143 Hal ini didukung
oleh fakta bahwa jumlah sapi di Jember adalah yang terbesar di Besuki

141
ANRI, “Memorie van Overgave van den Aftredenden Resident van Besoeki B.
Schagen van Soelen, 1918”, hlm. 5; ANRI, “Memorie van Overgave van den Aftredenden
Resident van Besoeki, Fesevier, 1922”.
142
Krapels, op. cit., hlm. 488.; ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident
Resident van Besoeki 1931 – 1934”, hlm. 34 – 35.
143
Krapels, ibid., hlm. 489.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 115


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

residensi. Pada tahun 1933 ada 222.100 ekor sapi di Jember. Sementara
di Banyuwangi, Bondowoso, dan Panarukan, jumlah lembu masing-
masing 89.340 ekor, 116.525 ekor dan 89.098 ekor.144 Ada juga impor
kuda yang masuk ke Jember dari Sumbawa, Bima dan Sumba.145
Pengembangan perkebunan memberikan kesempatan bagi para
petani untuk mendapatkan uang. Mereka menerima uang sebagai sewa
untuk tanah yang mereka sewa ke perkebunan. Dalam kasus industri
gula di Jember Handelsvereeniging Amsterdam membayar sejumlah
40 gulden per bau untuk satu tahun tanam.146 Pada tahun 1937 industri
gula di Jember membayar sewa tanah dengan jumlah total 76.466,88
gulden. Pada tahun yang sama industri gula di Bondowoso membayar
sejumlah 67.505 gulden, sementara tanah yang dibayar oleh industri
gula di Panarukan mencapai 272.689,84 gulden.147
Industri gula juga membayar penduduk pribumi dalam bentuk
upah. Upah dibayar untuk berbagai pekerjaan yang ditemukan di
perkebunan gula, seperti penanaman dan panen, pengangkutan tebu
dari ladang ke pabrik, penggilingan dan pengangkutan hasil bumi dari
pabrik ke pelabuhan laut, dan pemeliharaan peralatan. Sejumlah pekerja
mendapat manfaat dari pekerjaan-pekerjaan ini. Mereka termasuk
migran musiman dari tempat lain seperti Madura dan daerah padat
penduduk di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para migran musiman juga
datang dari kawasan sekitar seperti Lumajang dan Probolinggo. Ketika
kampanye gula datang, mereka mencari pekerjaan di perkebunan.148
Pada tahun 1930, misalnya, ada 1.800 pekerja tidak tetap yang bekerja

144
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki Ch. A
Romondt, 30 Januari 1935 – 26 Februari 1938”, hlm. 93.
145
Ibid., hlm. 97.
146
Ibid., hlm. 25.
147
Ibid., hlm. 24 – 25.
148
Ibid., hlm. 60.

116 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

di industri gula di Jember.149 Angka ini lebih besar daripada di industri


gula Besuki lainnya. Di Bondowoso, perkebunan gula mempekerjakan
500 pekerja tidak tetap, di Panarukan mereka mempekerjakan 1.500
pekerja tidak tetap. Di Banyuwangi ada 250 pekerja tidak tetap yang
bekerja di industri gula.150
Namun, dampak perkebunan tebu kepada pemilik lahan
umumnya kurang menguntungkan dibandingkan dengan perkebunan
tembakau. Dalam hal penggunaan lahan, perkebunan tebu mengambil
tanah untuk budidaya tebu sekitar 12 - 20 bulan. Ini menghabiskan
waktu lebih lama dan mengurangi peluang bagi para petani untuk
menanam tanaman pangan. Dalam kasus industri gula di Situbondo,
para pemilik lahan yang dibayar sebagai kompensasi seringkali tidak
cukup untuk mempertahankan kehidupan mereka. Untuk menopang
biaya hidup, mereka dapat menghasilkan uang dengan bekerja sebagai
kuli di perkebunan. Tetapi tekanan sosio-ekonomi sering memaksa
mereka untuk melepaskan tanah mereka kepada pemberi pinjaman
uang.151
Budidaya tebu juga menipiskan kesuburan tanah dan mening­
galkan pekerjaan berat untuk memperbaiki lahan. Selain itu, setelah
pena­naman tebu, lahan tidak selalu menghasilkan panen tanaman
pangan yang baik.152 Kasus perkebunan tebu berbeda dari kasus
perkebunan tembakau. Mengenai penggunaan lahan, penanaman
tembakau hanya memakan waktu sekitar 4 bulan dalam setahun. Ada
peluang sekitar 8 bulan bagi para petani untuk menanam tanaman

149
Tennekes, op. cit.., hlm. 380.
150
Ibid., hlm. 380.
151
Ibid., hlm. 377 – 380. Dalam kasus industri gula di Situbondo dilaporkan
bahwa selama 6 tahun 10 persen petani kehilangan lahannya. Pada saat yang sama
penguasaan lahan besar secara terselubung meningkat.
152
Ibid.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 117


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

pangan seperti beras, singkong, dan jagung.153 Penting untuk dicatat


bahwa budaya tembakau dipanen pada awal musim hujan. Meskipun
tanaman tembakau juga menguras kesuburan tanah, setidaknya tidak
banyak pekerjaan berat yang tersisa untuk memperbaiki lahan.
Masih belum ada bukti konklusif untuk menunjukkan bahwa
dampak perkebunan tebu di Jember sama buruknya dengan kasus
industri gula di Situbondo. Ada indikasi untuk mendukung pendapat
ini. Indikasi pertama adalah bahwa peningkatan fasilitas irigasi yang
terutama bertujuan untuk mendukung operasi perkebunan gula juga
memberi manfaat bagi pertanian petani. Kedua, laporan tentang kasus
pembakaran tebu jarang ditemukan hingga tahun 1938. Ketiga, sewa
tanah yang dibayarkan kepada petani lebih tinggi di Jember daripada
di tempat lain.154
Perlu dicatat di sini bahwa perkebunan Barat memainkan
peran penting dalam merangsang munculnya kegiatan ekonomi lain
di mana kelompok orang yang berbeda terlibat. Masyarakat pribumi
terlibat dalam pembukaan kios, yang menyediakan kebutuhan sehari-
hari seperti barang-barang sehari-hari dan bahan makanan. Sementara
orang Cina memainkan peran penting dalam perdagangan tekstil dan
perdagangan perantara. Selain itu, dalam bisnis pemerahan sapi, baik
orang Barat maupun Cina terlibat secara aktif. Masyarakat pribumi
juga mengambil bagian dalam bisnis ini meskipun masih kurang
signifikan. Pada tahun 1938 Residen Romondt melaporkan bahwa ada
10 pemerahan sapi di Jember, khususnya 5 milik orang barat, 4 milik
orang Cina dan hanya satu milik orang pribumi.155
153
Broersma, op. cit., hlm. 8.
154
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki 1931 – 1934”,
hlm. 14.
Pemilik pemerah sapi adalah Kwee Oen Kiam ( Jember), Tan King Tie
155

( Jember), Tan Bing Hian (Tanggul), The Ing Lian (Kraton), Franke Hoeve (Garahan),
Verhoeve (Blater), Lindeman (Kaliwates dan Rembangan). ) dan Van Dijk (Sempolan).

118 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Pembentukan perkebunan juga mendorong pengembangan


bisnis skala kecil. Contoh yang bisa disebutkan di sini adalah industri
genteng, industri batu bata, industri batu kapur dan welit. Industri
skala kecil ini terutama melayani kepentingan perkebunan. Permintaan
batu kapur meningkat secara signifikan sejak berdirinya industri
gula di Jember. Pengembangan industri-industri skala kecil ini dapat
dilihat sebagai keterkaitan kebelakang yang sekunder dari perkebunan.
Keterkaitan ke belakang utama perusahaan perkebunan di Jember
adalah tersedianya fasilitas infrastruktur khususnya rel kereta api dan
fasilitas irigasi.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 119


BAB 5

KESIMPULAN

B
ab-bab sebelumnya telah menunjukkan perkembangan
perkebunan di Jember selama periode kolonial akhir.
Beberapa kesimpulan dapat ditarik di sini. Pem­
bentukan perusahaan perkebunan swasta telah bergeser secara radikal
di wilayah Jember. Selama tiga dekade di bawah sistem Tanam Paksa
keterlibatan ekonomi Jember dengan pasar internasional masih relatif
terbatas. Jenis ekonomi kawasan itu masih bersifat subsisten sifatnya.
Meskipun mulai berubah dengan diperkenalkannya budidaya kopi
yang dikelola negara, tetapi kapasitas ekspornya masih kecil. Selain itu,
proses ini juga berjalan lambat. Laju perubahan hanya mulai dipercepat
dengan munculnya perkebunan tembakau swasta, yang kemudian
diikuti oleh perkebunan karet dan gula. Perkembangan ini mengubah
Jember dari daerah yang kurang penting dalam hal ekonomi, menjadi
pusat ekspor pertanian terkemuka di Besuki.
Operasi perkebunan membutuhkan ketersediaan tanah dan
tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan lahan, pekebun Barat me­
nyewa tanah dari petani lokal/petani. Pada awalnya tanah yang disewa
adalah tegalan (tegalan). Menurunnya produktivitas lahan kering
untuk menyewa werang. Namun, ketika ekspansi perkebunan terjadi,

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 121


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

kebutuhan lahan meningkat. Situasi ini mendorong mereka untuk men­


cari alternatif lain dalam mendapatkan lahan. Dari pemerintah mereka
diberikan sejumlah tanah yang disewakan atas dasar hak erfpacht.
Mengenai masalah tenaga kerja, kasus Jember menunjukkan
kesamaan dengan Sumatera Timur. Tenaga kerja langka di Jember
karena wilayahnya masih jarang penduduknya. Oleh karena itu,
kebutuhan tenaga kerja dipenuhi dengan merekrut buruh dari luar
terutama Madura. Sebagian pekerja juga direkrut dari daerah padat di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Upaya itu dilakukan karena dua alasan
utama. Pertama, kebutuhan buruh di perkebunan terus meningkat.
Kedua, ada juga pergeseran area perkebunan dari lahan kering ke sawah.
Perekrutan pekerja perkebunan mengubah Jember dari daerah yang
berpenduduk jarang menjadi daerah yang lebih padat penduduknya.
Akhirnya, penduduk Jember segera menjadi yang terbesar di residensi.
Perubahan juga terjadi pada komposisi penduduk Jember. Populasi
daerah terdiri dari orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda:
orang Madura, Jawa, Using, Cina, Eropa dan beberapa kelompok lain­
nya. Dengan berkembangnya perkebunan, Jember membentuk masya­
rakat etnis majemuk yang menyediakan arena subur untuk melakukan
penelitian tentang hubungan etnis.
Hubungan antara pertanian perkebunan dan pertanian rakyat
di Jember juga menghadirkan fenomena yang menarik. Pembentukan
pertanian perkebunan dengan orientasi pasar ekspor tidak merusak
produksi pangan petani. Kelangkaan makanan jarang terdengar terjadi
di wilayah Jember. Bahkan, pengembangan pertanian perkebunan
seiring dengan peningkatan produksi pangan. Wilayah itu mampu
menghasilkan surplus beras dan mengirimnya ke tempat lain. Kasus
Jember menyanggah pandangan yang dikedepankan misalnya oleh
Kartodirdjo dan Suryo bahwa perkebunan barat memiliki dampak
yang merugikan pada produksi pangan dan ekonomi petani. Penelitian

122 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


ini mendukung temuan penelitian oleh Edy dan Padmo. Operasi
perkebunan di Jember tidak diikuti oleh memburuknya pertanian
subsisten. Perkebunan tidak membahayakan petani yang mata pen­
cahariannya bergantung pada pertanian. Sebaliknya, produksi pangan
mengalami peningkatan yang terus-menerus, yang dihasilkan dari
perbaikan fasilitas irigasi. Kemajuan ini mendorong pengembangan
kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan pertanian subsisten misalnya
penggilingan padi.
Dalam kaitannya dengan keterkaitan ke belakang, pendirian
perkebunan menstimulasi sejumlah industri skala kecil, yang sebagian
besar berada di tangan masyarakat pribumi, misalnya industri batu
bata, industri genteng, dan industri batu kapur. Industri ini melayani
kepentingan perkebunan. Namun, contoh yang lebih penting dari
keterkaitan ke belakang adalah pengembangan fasilitas modal sosial
seperti irigasi, pelabuhan, jalan dan rel kereta api. Fasilitas-fasilitas ini
dibangun dan diperbaiki untuk mendukung kebutuhan perkebunan. Itu
berbeda dari keterkaitan ke belakang, pendirian perkebunan di Jember
tidak diikuti oleh contoh-contoh keterkaitan ke depan. Perkebunan di
sini hanya menghasilkan bahan mentah yang kemudian diekspor ke
pasar dunia. Tidak ada industri di Jember yang memproduksi barang-
barang tertentu dengan menggunakan tembakau, karet atau gula sebagai
bahan bakunya. Contoh yang baik dari keterkaitan ke depan adalah
industri rokok yang menggunakan tembakau sebagai bahan bakunya.
Namun, keberadaan industri ini secara signifikan tidak banyak muncul
di wilayah Jember.
Namun, jelas bahwa pendirian perkebunan membuat kegiat­
an ekonomi di wilayah Jember semakin berkembang. Sektor ini men­
ciptakan kesempatan kerja bagi penduduk asli dan imigran dari tempat
lain untuk mendapatkan uang. Pada gilirannya berikutnya, keberadaan
buruh meningkatkan permintaan kebutuhan sehari-hari seperti

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 123


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

barang-barang konsumen dan bahan makanan. Ini menciptakan iklim


yang kondusif bagi munculnya kios-kios yang menyediakan kebutuhan
sehari-hari buruh. Keterlibatan orang-orang pribumi dalam kegiatan
ini adalah signifikan, kecuali dalam bisnis pemerah susu sapi. Meskipun
penduduk pribumi juga berpartisipasi, peran utama berada di tangan
Eropa dan Cina.
Akhirnya, penting untuk dicatat di sini bahwa perkembangan
perkebunan di Jember juga mampu merangsang keterlibatan penduduk
pribumi dalam produksi ekspor lebih aktif. Ini terjadi terutama dalam
kasus tembakau, tetapi tidak dalam kasus perkebunan karet atau gula.
Selain tembakau perkebunan, tembakau rakyat, yang ditanam atas
prakarsa para petani memiliki posisi penting di Jember. Penyebaran
tembakau rakyat memberi peluang secara luas bagi operasi kolektor
yang melakukan bisnis tembakau tanpa membuka perkebunan.
Kegiatan mereka juga sering menjadi penyebab persaingan ketat dengan
pekebun. Pencurian tembakau dan pembakaran gudang bisa dilihat
sebagai efek samping dari adanya persaingan ketat, bukan semata-mata
sebagai bentuk protes sosial.

124 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


SUMBER RUJUKAN

1. Arsip
ANRI. “Algemeen Verslag van de Residentie Besoeki, 1823, 1832,
1836,1837 1861, 1870, 1882, 1883, 1886, 1887, 1888, !890.
1891”.
ANRI, “Memori van Overgave van den Resident van Besoeki E. M. Van
den Berg van fleinenoord, 1907”.
ANRI, “Memorie van Overgave ven den Resident van Besoeki, J.
Bosman, 1913.
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki F.L.
Broeveldt”.
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki, 26
Februari 1919”.
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki, J.P
Fessevier, 1922”.
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki de
Provincie Oostjava over het Jaar 1928-1931.
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki, H.A.
Voet, 1925”.
ANRI, “Memorie van Overgave der Residentle (Afdeeling) Bondowoso

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 125


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

1931”.
ANRI, “Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki, C.H.H.
Snell, 1031-1934.
ANRI, “ Memorie van Overgave van den Resident van Besoeki. A. van
Romondt, 1935-1938”.
ANRI, Oprichting van een Suikeronderneming in de Bondojoedo
oost, Tanggul oost, en Kentjong oost”.
ANRI, “Overzichtkaartr der Bevloeiingsgebieden in de Vlakte van ZW
Djember-ZO Loemajang”.
ANRI, Probolinggo, Bezoeki en Banjoewangi, 1867.
ANRI, Statistiek van Java, Residentie Besoeki, 1820, 1836, 1861.
Kartodirdjo, Sartono (ed.), Memori Serah Jabatan 1921-1930: Jawa
Timur dan Tanah Kerajaan. Jakarta: ANRI. 1978.

II. Publikasi Resmi dan Swasta


Anonim. “Statuten van de Vereeniging Besoekish Proefsta­tion”, Jember.
I912.
Anonim. “Notuten der Algeemene, Vergadering Gehouden op
Donderdag. 4 April 1912.
Direators- Report and Statement of Accounts: The Besoeki Limited
Plantations, 1923-1936.
Dutch Tobacco Planters, World Tobacco Congress Amsterdam 1951:
Report on Tobacco Cultivation in Indonesia. Amsterdam: n.p.,
1951.
Ottolander. T. “Besoekisch Proefatation Jaarverslag 1912”.
Regeeringn-Almanak voor 1883. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Regeeringn-Almanak voor 1929. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Staatblad van Nederlands-Indie over het Jaar 1884. Batavia:

126 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Landsdrukkerij, 1885.
Staatblad van Nederlands-Indie over het Jaar 1928. Batavia:
Landsdrukkerij, 1929.
Sumatera en Java Tabak: Statistisch Overzicht op Handels en Financieel
Gebied Jaargang 1940. Amster­dam: Dent en van der Breggen,
1940.
Verslag Landbouw Maatschappij “Soekokerto-Adjong over boekjaar
1926/1927-1934/1935.

III. Buku dan artikel


Abdulah, Taufik. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1985.
Allen, G.C. and Audrey Donnithorne. Western Enterprise in Indonesia
and Malaya. New York: The Macmillan Compa­ny. 1957.
Ankersmit, F.R. Refleksi Sejarah: Pendapat-Pondapat Modern tentang
Filsafat Sejarah. Jakarta: PT Gramedia, 1987.
Anonim. ”Een jubeleum over de tabak”. Brochure NV LMOD. 1909.
Anonim. “Midedelingen en Berigten” TNI, nieuwe Serie 1e jrg.(1863).
Anonim. Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda Dalam Bidang
Ekonomi. Jakarta: KITLV dan LIPI, 1978.
Arifin, Edy Burhan. ”Emas Hijau- di Jember: Asal-Usul, Pertumbuhan
dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi
Masyarakat 1860-1980”. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1989.
Atmosoedirdjo, Slamet Prajoedi. Vergelijkende Adatrechttelijke
Studie van Oostjavase, Madoerezen en Oesingers. Amsterdam:
Studentendrukkerij Poortpers, 1952.
Badriyanto, Bambang Samsu. “Aduan Sapi Antara Tradisi dan Judi”.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 127


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Buletin Sastra. I/01/Juli (1989).


Bambang Purwanfo.”Industri Pertambangan Minyak di Sumatera
Bagian Selatan pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX, Paper,
presented in Seminar Sejarah Ehonomi held in Yogyakarta.
May 25, 1996.
Barlow, Collin and John Drabble.”Femerintah dan Industri Karet Yang
Huncul di Indonesia dan Malaysia 1900- 3940”, in Anne Booth,
William J. O’Malley, Ann Weidemann (eds). Sejarah Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1980.
Bleeker, P.”Fragmenten eener Reis over Java: Reis door Oosteltjk Java,”
TNI, tweede deel, 11 (1849).
Boeke, J.H. Economics and Economic Policy of Dual Socie­ ties as
Exemplified by Indonesia. New York: Interna­tional Institute of
Pacific Relation, 1950.
Boeke, J.H. Prakapitalisme di Asia. Jakarta: Sinar Hara­pan, 1983.
Bosch, C.J.-Aantekeningen over de Afdeeling Bondowoso (Residentie
Bezeoki), TBG, 6 (1857).
Breman, Jan. Kolie, Planters on Koloniale Politiek. Dordrecht: Foris,
1957.
Breman, Jan. The Civilization of Racism”, in Jan Breman (ed. ), Imperial
Monkey Bussiness: Racial Supremacy in Dar­winist Theory and
Colonial Practice. Amsterdam: CASA, 199H.
Broersma, R. Besoeki een Gewest in Opkomst. Amsterdam: Scheltema
and Holhema, 1912.
Burger, D.H. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat di Jawa.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
Burger, D.H. Sejarah Ekonomis dan Sosiologis Indonesia. Djakarta:
Pradnjaparamita, 1962.

128 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Clemens, Adrian, J. Thomas Lindblad and Jeroen Touwen. Changing


Economy in Indonesia. Volume 12b: Regional Patterns Foreign
Trade 1911-1940. Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1992.
Creutzberg, Pieter. Dan J.T.H. van Laanen, (Penyunting). Sejarah
Statislik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yaya­san Obor Indonesia,
1987.
Cribb, Robert. Dovelopment Policy in the Early 20th Cen­tury”, in
J.P. Dirkse, Frans Huisken, M. Rutten (eds.). Development
and Social Welfare: Indonesia’s Experi­ence under the New Order.
Leiden: KITLV Press, 1993.
Darusuprapto. “Babad Blambangan: Pembahasan, Suntingan
Naskah dan Terjemahan”. Yogyakarta: Fakultas Pasca Parjana,
1984.
De Graaf, H. J. and Th. G. Th. Pigeaud.Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama
di Jawa. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985.
De Graaf, H. J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan
Agung. Jakarta: Grafitipers, 1990.
Djojohadikusumo, Soemitro. Ekonomi Umum I. Djakarta: PT
Pembangunan, 1957.
Elson, R. E. Javanese Peasant and the Colonial Sugar Indus­try: Impact
and Change in an East Java Residency 1830-1940. Singapore:
Oxford University Press, 1984.
Elson, R. E. Village Java under the Cultivation System. Sydney: Allen and
Unwin, 1994.
Erman, Erwiza. Kesenjangan Buruh dan Majikan. Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1995.
Fernando, F.R. and William J. O’Malley, “Petani dan Pembu­didayaan
Kopi di Karesidenan Cirebon 1800-1900”, in Anne Booth,

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 129


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

William J. O’Malley, Ann Weidemann (eds). Seja­rah Ekonomi


in Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Fieldhouse, D.K. The Colonial Empires: A Comparative Survey from
the Eighteenth Century. Houndmill and London: Macmillan
Education Ltd., 1987.
Furnivall,J.S. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press, 1939.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian: Perubahan Akologis di Indonesia.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977.
Gelpke. J.H.F. Sollewijn. ”Budidaya Padi di Jawa: Sumbangan Pada
Ilmu-ilmu Bahasa, Daerah, Penduduk Hindia Belan­ da”, in
Sajogyo and William L. Collier (eds. ). Budidaya Padi di Jawa.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Gongrijp,G.F.E.Geillustreerde Encyclopaedie van Neder­ lanach-Indie.
Leiden: N.V. Leidsche Uitgeversmaatschappij, 1934.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1975.
Hageman, J.”Aanteekeningen over Nijiverheid en Land­ bouw in
Oostelijk-Java”. Tijdschrift voor Niverheid en Landbouw in
Nederlandsch-Indie, deel IX (nieuwe serie deel IV), (1863).
Heaton. Herbert. ”Apakah Sejarah Ekonomi?”, Majalah Istoria. No. 4
1987.
Hirschman, C. ‘Population and Society in Twentieth Century Southeast
Asia,’ Journal of Southeast Asian Studies, 25, 2 (1994).
Houben, V. J. H. Kraton and Kumpeni. Leiden: KITLV Press, 1994.
Houben, V. J. H. “Colonial History Revisited”, Itinerario. (1993).
Houben, V. J. H. “History and Morality: East Sumateran Incidents as
Described by Jan Breman”. Itinerario, no. 12 , (1988).

130 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Kartodirdio, Sartono dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia.


Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Kartodirdio, Sartono. Pemberontakan Petani di Banten. Jakarta: Pustaka
Jaya, 1984.
Kartodirdio, Sartono. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: PT Gramedia. 1992.
Keesler. “Verkort Rapport omtrent Krossokhandel en Crediet in
Regenschappen Djember en Bondowoso”, in Uitgegeven
door Algemeene Volkscredietbank. Batavia: Algemeene
Volkscredietbank, 1933.
Knight, G.R.” Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-
19”, in Anne Booth, William J. O’Malley, Ann Weidemann (eds).
Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yaya­san Obor Indonesia,
1988.
Krapels, C. Vergelijkend Onderzoek betreffende den Achterstand en
Verstrekking van Seizoencrediet bij de Volkscreditbanken Sedert
April 1934 P1aatselijkke Kantoren der AVB te Bondowoso en
Jember. Batavia: Algemeene Volkscrediet Bank, 1930.
Krugman, Paul. Development, Geography and Economic Theory.
Cambridge: The MIT Press, 1995.
Kumar, Ann. ”Historiografi Jawa mengenai Periode Kolonial: Studi
kasus”, in Anthony Reid and David Maar (eds.). Dari Raja Ali
Haji hingga Hamka. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1980.
Kumar, Ann. Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters. Surrey:
Curzon, 1997.
Kuntowijoyo. “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-
1940”. PhD Thesis. New York: Columbia Univer­sity Press, 1980.
Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 131


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: PT Gramedia, 1993.


Lekkerkerker, C. “Balambangan”, Indische Gigs, 45. II, (1920).
Lulofs, Madelon H. Coolie. Singapore: Oxford University Press, 1955.
Mackie, J.A.C. Sedjarah Pembangunan Ekonomi Dalam Dunia Modern.
Jakarta: PT Pembangunan, 1957.
Mackie, J.A.C.”Changing Political Economy of an Export Crop: The
Case of Jember’s Tobacco Industry”, Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 21 (April 1985).
Manggistan, ”Produksi Padi di Jawa Yang Tidak Mencukupi”, in Sajogyo
dan William L. Collier (eds). Budidaya Padi di Jawa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau. Jakarta: Yayasan Ob0r Indonesia, 1985.
Mohr, J.”Rainfall and Cultures in Netherlands-India, in Sluyters’
Monthly. Fort Indian Magazine. Volume 1,May-Dec (1970).
Mubyarto. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yog­yakarta: Aditya
Media, 1984.
Nash, Ronald H. Ideas of History. New York: E.P. Dutton, 1964.
O’Malley, William J. “Perkebunan 1830-1940: Ichtisar” in Anne Booth,
William J. O’Malley, Ann Weidemann (eds). Sejarah Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Yaya­san Obor Indonesia, 1988.
Onghokham. “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak
dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah”, in S.M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds). Dua Abad
Penguasaan Tanah. Jakarta: PT Gramedia, 1984.
Padmo, Soegijanto. The Cultivation of Vorstenlands Tobacco of in
Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency
and Its Impact on the Peasant Economy and Society: 1860-1960.

132 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Yogyakarta: Aditya Media, 1994.


Paulus, J. (ed.). Encyclopaedie van Nederlandlandsch-Indie. s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1917.
Pelzer, Karl J. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Penders, C.L.M. Bojonegoro, 1900-1942: A Study of- Endemic Poverty
in North-East Java, Indonesia. Singapore: Gunung Agung, 1984.
Penders, C.L.M. Indonesia: Selected Documents on Colonial­ism and
Nationalism, 1830-1912. St. Lucia: University of Queensland
Press, 1977.
Peper, Bram. Pertumbuhan Penduduk Jawa. Jakarta: Bhratara, 1975.
Petersen, W. “A General Typology of Migration-, in Clifford J. Jansen
(ed.). Readings in the Sociology of Migra­ tion. New York:
Pergamon Press, 1966.
Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Volume I. Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1978. A.
Reid, Anthony. “Low Population Growth and Its Causes in Pre-Colonial
Southeast Asia”, in N.G. Owen (ed.), Death and Disease in
Southeast Asia: Explorations in Social, Medical and Demographic
History. Singapore: Oxford University Press, 1987.
Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, Jilid I: Tanah di
Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indone­sia, 1992.
Ricklefs, M.C. War, Culture and Economy in Java 1677-1726. Sydney:
Allen and Unwin, 1993
Reksohadiprodjo, Iso dan Soedarsono Hadisapoetro. ”Perubahan
Kepadatan Penduduk dan Penghasilan Bahan Pangan (Padi )
di Jawa dan Madura”, in Sajogyo dan William L. Collier (eds).
Budidaya Padi di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 133


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Scheltema, A.M.P.A. ”Produksi Beras di Jawa dan Madura”, in Sajogyo


dan William L. Collier (eds). Budidaya Padi di Jawa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Smith, Glen. “Pentingnya Sapi Dalam Masyarakat Madura”, in Huub
de Jonge (ed.). Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi‑studi
Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: PT Rajawali,
1989.
Soemardjan, Selo. Perubahan Sonial di Yogyakarta. Yogyakar­ta: Gadjah
Mada University Press, 1990.
Stoler, Ann Laura. Capitalism and Confrontation in Sumat­ra’s Plantation
Be1t. New Haven: Yale University Press, 1985.
Suaryana, I Nyoman. ”Perubahan Sosial dan Ekonomi di Besuki 1830-
1850”. Tesis S2. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada, 1989.
Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1930. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991.
Suhartono. Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1940.
Yogyakarta: Adiytya Media, 1994.
Tennekes, J. “De Bevolkingspreiding der Residentie Besoeki in 1930”,
Tijdschrift van het Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig
Genootschap, 80 (1963).
Thee Kian Wie. Explorations in Indonesian Economic History. Jakarta:
Fenerbit FE UI, 1994.
Thee Kian Wie. Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic
History of East Sumatera, 1863-1942. Jakarta: National Institute
of Economic and Social Research, 1977.
Thee Kian Wie, “Sejarah Ekonomi di Indonesia”, in Anne Booth,
William J. O’Malley, Ann Weidemann (eds). Sejarah Ekonomi

134 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

Indonesia. Jakarta: Yaya­san Obor Indonesia, 1988.


Tjiptoatmodjo, FA Soetjipto. ”Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
(Abad XVII-Media Abad XIX)”. PhD Thesis. ­ Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1983.
Van der Elst, P. “Krisis Budidaya Padi di Jawa”, in William L. Collier dan
Sajogyo (eds.). Budidaya Padi di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan PT Gramedia, 1986.
Van Niel, Robert. “Warisan Tanam Paksa Bagi Perkembangan
Ekonomi Berikutnya”, in Anne Booth, William J. O’Malley, Ann
Weidemann (eds). Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yaya­san
Obor Indonesia, 1988.
Vermeer, C. Kort Overzicht van Oprichting, Bestaan en Bedrijf der
Onderneming “Oud-Djember, ter geleganheid van haar 50 jarig
Jubileum Samengesteld- Deventer: N.V. LMOD, 1909.
Veth, P.J. Java: Geographisch, Ethnologisch, en Historisch, Vol. I. Harleem:
De Erven F. Bohn, 1912.
Wertheim. W.F. Indonesian Society in Transition: A Study of Social
Change. ‘s-Gravenhage: W. van Hoeeve, 1959.
Wertheim. W.F.The Changing Structure of Eastern Society”, in Eastern
and Western World. Bandung: W. van Hoeve, 1953.

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 135


INDEKS

A G
ABTM Gelgel
Amsterdam Gerobak
Argopuro
H
B
Hindu
Besoekish Proefstation HVA
Bladtabak Hyang
Bedadung
Belanda I
Beras Infrastruktur
Besuki Islam
Blambangan
BTM J
Birnie
Boedoean Jagung
Bondowoso Jalan
Bondoyudo Jatiroto
Jembatan
D Jember
Dam K
Demak
Depresi Kalisat
Du Bois Kampungkrosok
Karet
E Kediri
Kencong
Erfpacht Kereta api
Kompeni

Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D. 137


TERBENTUKNYA EKONOMI PERKEBUNAN DI KAWASAN JEMBER

kontrolir rayoneering stelsel


kopi
Krikilan S
kuda Sapi
L Sawah
Semboro
LMOD Skema Chadbourne
Lembu Skema Stevenson
Lumajang Sukokerto
Surakarta
M Surabaya
Mandiku T
Mataram
Matthiesen Tabak politie
Mayang Tanah
Merapi Tanam Paksa
Modal Tanggul
Mrawan Tebu
Tegalan
O Tembakau perkebunan
Olean Tembakau rakyat
Onderneming Tenaga kerja
Osing Transportasi
Oosthoek V
P Van Gennep
Pabrik Gula Van Gorsel
Panarukan VEBTO
Pasuruan Vorstenlanden
Pedagang Y
Pekebun
Pengusaha Yogyakarta
Penanggungan
Prajegan W
Probolinggo Wuluhan
Puger
Z
R
Zeelandia
Rambipuji
Raung

138 Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai