Anda di halaman 1dari 81

IMPLIKASI HUKUM PEMENUHAN HAK EKONOMI MASYARAKAT

NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI

KOTA TIDORE

PROPOSAL TESIS

Oleh:

SUKARNO NYO

NIM: 19202108017

UNIVERSITAS SAMRATULANGI

PASCASARJANA

MANADO

2021
RINGKASAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya

terdiri dari laut oleh karena itu Indonesia mendapat julukan sebagai negara

maritim. Untuk mewujudkan tujuan bernegara menyejahterakan rakyat, termasuk

nelayan, negara menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan secara

terencana, terarah, dan berkelanjutan. Pemerintah melalui Undang-Undang No. 7

Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan pemberdayaan nelayan telah mengatur

perlindungan dan pemberdayaan untuk nelayan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada beberapa pengaturan hukum

yang dilakukan oleh pemerintah kota Tidore untuk para nelayan diantaranya a).

mengganti alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan dengan memberikan

kapal kepada para nelayan. b). melakukan patroli terhadap nelayan yang

melakukan pelanggaran seperti melakukan pemboman ikan namun, dalam

penelitian ini peneliti menemukan masyarakat yang bekerja sebagai nelayan pada

umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dalam bidang hukum.

Dalam penelitian ini penulis menemukan implikasi kebijakan pemerintah

dalam memenuhi hak ekonomi nelayan seperti memberikan bantuan kapal dan

uang untuk modal nelayan akan tetapi untuk masalah sarana prasarana belum

maksimal. Karena dinas perikanan kota Tidore tidak memiliki kewenangan yang

lebih.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur limpah terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa, Allah SWT atas semua karuniahnya penulis dapat memperoleh rahmat,

hidayah dan kemampuan untuk menyelesaikan tesis ini.

Tesis yang berjudul “IMPLIKASI PEMENUHAN HAK EKONOMI

MASYARAKAT NELAYAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

PERIKANAN DI KOTA TIDORE” disususn penulis sebagai salah satu

persyaratan akademik guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program

Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Sam Ratulangi.

Tidak sedikit halangan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penulisan

proposal tesis ini. Tetapi berkat doa, kerja keras serta dukungan dari berbagai

pihak, proposal tesis ini dapat diselesaikan dengan baik adanya. Untuk itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Dr. Emma V.T Senewe, SH.,MH sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sam Ratulangi dan sekaligus sebagai Pembimbing 1 atas

semua waktu, arahan, nasehat, serta bantuan selama ini hingga tesis ini

dapat diselesaikan.

2. Dr. Devi K Sondak SH.,MH selaku Koordinator Ketua Program Studi

Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi Manado.

3. Dr. Caecilia J.J. Waha, SH., MH selaku pembimbing 2 atas semua waktu,

bimbingan, bantuan serta arahan yang baikmenyangkut teknis maupun

materi penulisan.

iii
4. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada papa dan mama

tercinta, untuk segala kasih saying, dorongan, serta doa yang selalu kalian

berikan kepada penulis sampai detik ini.

Untuk semua pihak juga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per

satu yang telah memberikan doa, motivasi, dorongan, waktu, bantuan baik

materi maupun non-materi, penulis sampaikan terima kasih banyak.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan,

untuk itu segala kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini akan

diterima dengan senang hati.

Manado, Juli 2023

Penulis

Sukarno Nyo

4
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

RINGKASAN………………………………………………………….. ii

KATA PENGANTAR………………………………………………….iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………...v

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………1

A. Latar Belakang …………………………………………………..1

B. Rumusan Masalah ……………………………………………….3

C. Tujuan Penulisan ………………………………………………...4

D. Manfaat Penulisan ……………………………………………….4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….6

A. Kerangka Teori…………………………………………………...6

1. Teori Negara Kesejahteraan……………………...…………...6

2. Teori HAM…………………………………………………....9

B. Kerangka Konsep………………………………………………..12

1. Konsep Pemenuhan HAM dan Hak Sosial Ekonomi …..…..12

2. Konsep dan Ruang Lingkup Nelayan dalam Peraturan

Perundang-Undangan………………………………...……....18

3. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan .…………..…………..26

4. Konsep Kebijakan Pemerintah…….…………………………33

v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………….51

A. Jenis Penelitian ………………………………………………….51

B. Sumber Data …………………………………………………….51

C. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………...52

D. Pengelolaan Data………………………………………………..52

E. Analisis Data ……………………………………………………53

BAB IV ………………………………………………..………………..54

A. Hasil Penelitian ………………………………………………....54

B. Pembahasan Hasil Penelitian…………………………………....59

BAB V ………………………………………………………………….62

A. Kesimpulan …………………………………………………….62

B. Saran …………………………………………………………....62

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………64

LAMPIRAN …………………………………………………………..68

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan Negara terkait memajukan kesejatraan rakyat dijamin dalam

pembukaan UU Dasar 1945 pada alinia ke-4 bahwa Pemerintah Negara

Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya

terdiri dari laut oleh karena itu Indonesia mendapat julukan sebagai negara

maritim.1 Untuk mewujudkan tujuan bernegara menyejahterakan rakyat,

termasuk nelayan, negara menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan

secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. Perlindungan dan pemberdayaan

nelayan itu perlu dilakukan karena nelayan sangat tergantung pada sumber

daya ikan, kondisi lingkungan, sarana dan prasarana, kepastian usaha, akses

permodalan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.2

1
Ego Hanata Renggana, Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan Nelayan,
Pembudidayaan Ikan dan Petambak Garam di Desa Tasikadu. Fakultas Hukum Universitas Islam
Malang, h. 45
2
Hikmah dan Zahri Nasution, Upaya Perlindungan Nelayan Terhadap Keberlanjutan
Usaha Perikanan Tangkap. (Jakarta: Balai Besar Riset Sosial Ekononi Kelautan dan Perikanan
2017). h. 128-129

1
2

Pemerintah melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang

Perlindungan dan pemberdayaan nelayan pembudidaya ikan, dan petambak

garam, diatur dalam Bab II, Pasal 6 bahwa : (a).Penyediaan prasarana usaha

perikanan dan usaha pergaraman, (b). Penyediaan sarana usaha perikanan dan

usaha pergaraman. (c). pengupayaan keberlanjutan usaha perikanan dan usaha

pergaraman (d). Mitigasi resiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan

pergaraman. (e). Pengupayaan keamanan dan keselamatan nelayan,

pembudidayaan ikan, dan petambak garam, dan/atau (f). Fasilitasi dan bantuan

hukum guna menjamin hak ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia 3

Secara detail Masyarakat nelayan di desa Tomalou tepatnya

dikecamatan tidore selatan sebagaian besar bergantung pada hasil tangkapan

ikan dengan menggunakan prasarana yang tradisional dan sederhana.

Prasarana yang digunakan oleh nelayan masih jauh tertinggal dan belum

memadai. Perlindungan dari pemerintah terutama pemenuhan hak ekonomi

nelayan di desa Tomalou belum terasa, sebagian besar masyarakat nelayan di

daerah pesisir masih minim pengetahuan tentang hak didalam pengelolaan

sumber daya laut dan perikanan. Oleh karenanya masyarakat nelayan sangat

bergantung dengan kegiatan penangkapan, karena dengan pola penangkapan

tersebut nelayan dapat menghasilkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

3
Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.3/PERMEN-KP/2019
Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pelindungan dan Pemberdayaan Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. h. 6
3

Dalam perkembangan usaha perikanan di Tomalou mengalami

permasalahan pada tempat pembongkaran/pelelangan ikan yang

mengakibatkan ekonomi masyarakat nelayan kurang serta penegakan dan

jaminan hukum bagi masyarakat nelayan belum terasa dikalangan masyarakat

nelayan pesisir.

Adapun fakta lapangan meliputi : kebijakan pemerintah daerah tidore

terkait pengelolaan sumber daya laut oleh nelayan dan tidak adanya sarana

prasarana untuk penampungan ikan yang akan dijual sehingga berdampak

pada pendapatan ekonomi masyarakat nelayan.

Berdasarkan paparan di atas penulis hedak mempelajari, mengkaji,

dan meneliti secara mendalam yang hasilnya dituangkan dalam bentuk tesis

dengan judul “implikasi hukum pemenuhan hak ekonomi masyarakat nelayan

dalam pengelolaan sumber daya perikanan di kota tidore”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka penulis

dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana substansi pengaturan hukum terhadap pemenuhan hak

ekonomi nelayan di tidore?

2. Bagaimana implikasi kebijakan pemerintah kota tidore dalam memenuhi

hak ekonomi masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumber daya

perikanan ?
4

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penilisan karya ilmiah yang berbentuk tesis ini adalah

sebagai berikut.

1. Untuk mengemukakan substansi pengaturan hukum terhadap pemenuhan

hak ekonomi di tidore.

2. Untuk menguraikan analisa dan evaluasi Untuk menguraikan analisa

dan evaluasi kebijakan pemerintah dalam pemenuhan hak ekonomi

masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumber daya perikanan di

tidore.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan karya ilmiah yang berbentuk tesis ini adalah sebagai

berikut.

1. Secara teoritis

Karya tulis ilmiah (tesis) ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran dan kontribusi ilmu pengetahuan secara teoritis, konkret dan

jelas kepada para akademisi untuk mempelajari dengan mengkaji

pemenuhan hak ekonomi masyarakat nelayan penangkap ikan oleh

pemerintah daerah

2. Secara praktis

Karya tulis ilmiah (tesis) ini diharapkan dapat berguna bagi praktisi

hukum, aparatur pemerintah, pihak stakeholder pengambil keputusan di


5

bidang hukum perikanan dan HAM serta masyarakat penangkap ikan pada

umumnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

1. Teori Negara Kesejahteraan

Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum.4 Artinya negara

dalam segala aktifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Dalam

perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dengan dua

kelompok negara hukum, yaitu negara hukum formal dan negara hukum

materil. Negara hukum materil ini dikenal juga dalam istilah Welfare State

atau negara kesejahteraan.

Menurut Bessant, Watts, Daltonn dan Smith, ide dasar negara

kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832)

mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk

menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their

citizenz. Bentham menggunakan istilah “utility” atau kegunaan untuk

menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip

ultilirarianisme yang ia kembangkan, Bebtham berpendapat bahwa sesuatu

yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuau yang baik, dan

sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-

4
Soemardi, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Deskriptif;Empirik (Bee Media Indonesia : Bandung 2010), h. 225
6
7

aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan

sebanyak mungkin orang.

Dari pandangan Esping Anderson bahwa negara kesejahteraan bukanlah

satu konsep dengan pendekatan baku. Negara kesejahteraan lebih sering

ditengarai dari atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial yang

disediakan oleh negara (pemerintah) kepada warganya, seperti pelayanan

npendidikan, transfer pendapatan, pengurangan kemiskinan, sehingga

keduanya (Negara Kesejahteraan dan Kebijakan Sosial) sering diidentikan.

Dari sejumlah definisi yang ada, inti dari istilah welfare state adalah

tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Seperti dalam

Encycloopedia Britannica, welfare state diartikan sebagai konsep

pemerintahan dimana negara memainkan peran kunci dalam menjaga dan

memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. 5

Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan

kesejahteraan rakyat oleh negara. Dalam garis besar, negara kesejahteraan

menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang yang difokuskan pada

peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada

negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif

kepada warganya. Karena negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu

kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita

5
Alfitri, Ideologi welfare state dalam daar negara Indonesia: Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional.(Jurnal Konstitusi), Vol.9, No.3. September
2012.
8

untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintah

yang berdaulat.6

Dengan demikian, dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat

digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang

mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar

tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai

motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa

mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam

kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam

konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara

wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam

tahapan sebagai negara kesejahteraan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara

Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para

Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang

akan didirikan adalah “Negara Kesejahteraan” (welfare state) bukan “Negara

Penjaga Malam” (nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara

kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara

Pengurus”.7 Prinsip welfare state dalam UUD 1945 dapat ditemukan

6
Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Renaka Cipta :
Jakarta), h. 64
7
M. Yamin, Naskah persiapan UUD 1945: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI, Sekertariat
Negara RI, Jakarta, 1959, h.299. dikutip dari Tinjauan umum tentang Negara Kesejahteraan
(welfarestate), Pengawasan Pemerintah Daerah dalam Perizinan Pembangunan Perumahan, h. 29
9

rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial

ekonomi.

Di dalam UUd 1945, kesejahteraan social menjadi judul khusus Bab XIV

yang didalamnya memuat pasal 33 tentang system perekonomian dan pasal 34

tentang kepedulian negara terhadap kelompom lemah (fakir miskin dan anak

terlantar) serta system jaminan social. Ini berarti, kesejahteraan sosial

sebenarnya merupakan flatfrom sistem perekonomian dan system sosial di

Indonesia. Sehingga sejatihnya Indonesia adalah negara yang menganut faham

“Negara Kesejahteraan” (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan

Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan social

dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare sate Pluralism.

Model ini meneankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam

penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial

security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.

Sedangkan menurut Mubyarto, kedua pasal tersebut merupakan suatu

hubungan kualitas yang menjadi dasar disahkanya UUD 1945 oleh para

pendiri negara, karena baik buruknya Perekonomian Nasional akan ikut

menentukan tinggi rendahnya Kesejahteraan Sosial.

2. Teori HAM

Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas

sesuatu. Hak asasi menunjukan bahwa kekuasaan atau wewenang yang

dimiliki seseorang tersebut bersifat mendasar, pemenuhanya bersifat imperatif


10

(perintah yang harus dilakukan). Artinya hak-hak wajib dipenuhi karena hak-

hak ini menunjukan nilai subjek hak.

Menurut Undang-undaang No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia

pasal 1 “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh negara hokum, pemerintahan, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Menurut definis yang lain HAM adalah hak-hak dasar yang dibawa

manusia sejak lahir yang melekat pada esinsinya sebagai anugerah Allah

SWT. Dan hak asasi manusia merupakan suatu perangkat asas-asas yang

timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur

perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia.

Adapun teori pemikirannya sebagai berikut

1. Teori Hukum Alam. Atau hak alami (natural rights)

HAM adallah hak yang dimiliki oleh setiap manusia pada segala waktu

dan tempat, berdasarkan takdirnya sebagai manusia.

2. Doktrin Marxsit

Menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas suatu

masyarakat adalah sumber gallian seluruh hak. Tidak ada hak

individual yang ada hak illegal yang diberikan oleh negara untuk

menjamin eksistensi manusia sebagai makhluk social.


11

3. Teori Positivis

Hak baru dituangkan kedalam hokum yang rill, maka dipandang

sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi

4. Teori Realitas Kultural

Teori ini menganggap hak itu bersifat universal yaitu pelanggaran satu

dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain (imperialism

cultural) manusia merupakan interaksi social dan kultural, yang

memiliki perbedaan dalam tradisi, budaya, dan peradaban dalam

memandang soal kemanusiaan.

Adapun ciri-ciri pokok HAM yaitu: hak asasi itu tidak

diberikan/diwariskan melainkan melekat pada martabat kita sebagai manusia,

hak asasi itu berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin,

asal-usul, ras, agama, etik, dan pandangan politik. Serta hak asasi itu tidak

boleh dilanggar. Tidak seorangpun mempunya hak orang lain. Orang tetap

memiliki HAM meskipun sebuah negara membuat hokum yang tidak

melindungi bahkakn melanggar hak asasi manusia.8

Seperti yang diketahuai, hak selalu beriringan dengan kewajiban-

kewajiban. Kewajiban ialah suatu keharusan peranan terhadap sesuatu tertentu

yang disyaratkan hokum atau undang-undang, seperti contoh sebagaimana

pasal 30 ayat 1 UUD 1945, yakni hak dan kewajiban warga negara untuk ikut

serta dalam pembelaan negara. Sebagaimana pasal 1 angka 2 UU No. 39

Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa: “kewajiban dasar manusia

8
https://repository.unikom.ac.id. Diakses pada 09 November 2021, pukul: 21.48 WITA
12

adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak

memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Untuk melindungi hak-hak manusia negara harus dibangun di atas prinsip

negara hokum agar ada instrument yang mengawasi dan mengadili jika terjadi

pelangggaran HAM dan untuk meletakan rakyat sebagai penentu dalam

kehidupan bernegara.9

B. KERANGKA KONSEP

1. Konsep Pemenuhan Ham dan Hak Sosial Ekonomi

a. Konsep HAM

Konsep HAM mencankup tiga elemen utama sebagai Eksistensi manusia

baik secara individu dan makhluk sosial, yaitu integritas manusia

(humanintegrity), kebebasan (Freedom), dan kesamaan (equality). Ketiga

elemen tersebut dikonseptualisasikan kedalam pengertian-pengertian dan

pemahaman tentang apa itu HAM. Dengan demikian nilai-nilai HAM bersifat

universal dengan adanya pengakuan, perlindungan dan pemajuan terhadap

integritas, kebebasan dan kesamaan manusia dalam instrumen pokok HAM

internasional.

Gerakan HAM internasional didasarkan pada konsep bahwa setiap negara

mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi warga negaranya, dan

bahwa negara-negara lain dan masyarakat internasional mempunyai hak dan

9
Yumns Sabila, Kamaruzaman Bustamam, Badri, Landasan Teori Hak Asasi Manusia dan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia, tulisan ilmiyah (PDF) diakses pada 09 November 2021, pukul:
22.03 WITA, h.206
13

tanggung jawab untuk memprotes jika kewajiban tersebut tidak

dilaksanakan sesuai dengan harapan semula.

Dalam sistem hukum Indonesia, hak asasi manusia adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebegai mahkluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap

orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 amandemen mengabsorbsi

ketentuan dalam instrumen hak asasi manusia internasional seperti dalam

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvenan Hak-Hak Sipil

dan Politik serta dalam Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dengan

pembatasan dan perluasan materi pengaturan. Hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya adalah jenis hak asasi manusia yang terkait dengan kesejahteraan

material, sosial dan budaya. Hak ekosob merupakan bagian yang esensial

dalam hukum hak asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak

sipil dan politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights.

Sebagai bagian dari the international bill of human rights, kedudukan hak

ekosob dengan demikian sangat penting dalam hukum hak asasi manusia

internasional ia menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi,

sosial dan budaya.

Paling tidak ada tiga alasan kenapa hak ekonomi, sosial dan budaya

mempunyai arti yang sangat penting:


14

1. Hak ekosob mencangkup berbagai masalah paling utama yang dialami

manusia sehari-hari: makanan yang cukup, pelayanan kesejahteraan dan

perumahan yang layak adalah diantara kebutuhan pokok (basic

necessities) bagi seluruh umat manusia.

2. Hak ekosob tidak bisa dipisahkan dengan hak asasi manusia yang lainnya:

interdependensi hak asasi manusia adalah realitas yang tidak bisa dihindari

saat ini. Misalnya saja, hak untuk memilih dan kebebasan mengeluarkan

pendapat akan tidak banyak artinya bagi mereka yang berpendidikan

rendah karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membiayai sekolah.

3. Hak ekosob mengubah kebutuhan menjadi hak, seperti yang sudah diulas

diatas, atas dasar keadilan dan martabat manusia, hak ekonomi sosial

budaya memungkinkan masyarakat menjadikan kebutuhan pokok mereka

sebagai sebuah hak yang harus diklaim (rights to claim) dan bukannya

sumbangan yang didapat (charity to receive).

Prinsip-prinsip Maastricht (Maastricht principles) yang dirumuskan oleh

ahli-ahli hukum international tentang tanggung jawab negara berdasarkan

ICESCR juga menolak permisahan tanggung jawab negara dalam apa yang

disebut obligation of conduct di satu sisi dan obligation of result disisi lain.

Prinsip-prinsip limburg (Limburg principles) memberikan pedoman umum

tentang bagaimana persisnya kewajiban tersebut dilanggar oleh suatu negara

(violation of covenan obligations), yaitu:

1. Negara gagal mengambil langkah-langkah yang wajib dilakukannya.


15

2. Negara gagal menghilangkan rintangan secara cepat dimana negara

tersebut berkewajiban untuk menghilangkannya.

3. Negara gagal melaksanakan tanpa menunda lagi suatu hak yang

diwajibkan pemenuhannya segera.

4. Negara dengan sengaja gagal memenuhi suatu standar pencapaian yang

umum diterima secara internasional.

5. Negara menerapkan pembatasan terhadap suatu hak yang diakui dalam

kovenan.

6. Negara dengan sengaja menunda atau menghentikan pemenuhan secara

bertahap dari suatu hak, dan.

7. Negara gagal mengajukan laporan yang diwajibkan oleh kovenan.

Dalam konteks hukum internasional, Limburg principles tersebut

merupakan bentuk hukum internasional yang berbentuk soft law, yang non

legally binding bagi negara-negara untuk melaksanakannya. Namun demikian,

instrument hukum tersebut tetap memberikan pedoman yang dapat dipakai

oleh negara-negara dalam melaksanakan kewajibannya terhadap kovenan hak-

hak ekonomi, social dan budaya.10

10
Steven Toar Sambouw. Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap Hak
Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe Sulawesi
Utara, : Lex Administratum, Vol. III/No.5/Juli/2015.
16

b. Konsep Pemenuhan Hak Sosial Ekonomi

Pemenuhan hak sosial ekonomi adalah suatu kesatuan proses yang

memberikan dan menyediakan kebebasan dan kemandirian bagi pemegang

hak, maka secara berkelanjutan standar menjadi kesempatan untuk

memperbaiki kualitas kehidupan. Contoh standar kumulatif tentang prinsip

hidup layak warga negara dapat dikatakan telah terpenuhi jika tersedia dan

terpenuhinya akses kesehatan; tersedia dan terpenuhinya aspek ekonomi

rakyat; tersedia dan terpenuhinya akses kesehatan rakyat. Ketiga poin tersebut

wajib dipenuhi untuk mencapai kehidupan layak yang ideal. Kedudukan

standar dalam kondisi demikian tidak cukup untuk dapat memberikan

kepastian pelaksanaan prinsip dalam lapangan kenyataan masyarakat.

Sebagai contoh hak sosial ekonomi adalah bertujuan mencapai hidup

yang layak, tanggung jawab negara, pengakuan perlindungan, relasi antar

manusia. Sedangkan hak sosial ekonomi terdiri atas hak pendidikan, hak atas

pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial.11

Sementara dalam kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan berbagai

kajian menunjukan bahwa kondisi kesejahteraan nelayan bertarung dalam

mempertahankan untuk hidup, mereka bersama keluarga hidup dalam keadaan

tidak layak. Menurut Haeruman masyarakat pantai termasuk yang memiliki

nilai ekonomi kecil (o,33% dari total kegiatan sumberdaya laut dan daerah

pantai). Karenanya masyarakat ini merupakan salah satu kelompok termiskin.

11
James Reinaldo Rumpia, Hukum dan Bahasa: Refleksi dan Transformasi Pemenuhan
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, h.250-251 (Lentera Hukum) Vol.5, 2018.
17

Sedangkan Soemitro H. Maskun mengemukakan bahwa kebanyakan desa

pantai keadaanyan sangat memprihatinkan dalam segala aspek kehidupan

karena adanya hambatan seperti sikap mental, tradisi yang kurang mendukung

pembaharuan, perkembangan yang lamban dan terisolasi. Meskipun beberapa

upaya telah dilakukan tetapi dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan

terutama nelayan kecil, tidak banyak mengalami perubahan.12

Dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Revisi Undang-

Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 23 mengenai

pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di

sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan

dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal

perikanan bersandar, berlabu dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi

dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.13

Yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat nelayan akan tetapi sampai

saat ini didesa Tomalau tidak ada tempat pembongkaran ikan yang dimaksud

sehingga nelayan kesulitan untuk menjual ikan yang mengakibatkan ekonomi

terbilang rendah.

Maka dari itu masyarakat nelayan selalu diidentikan memiliki tingkat

kesejahteraan paling rendah. Penghasilan yang tidak stabil dan cenderung

menggantungkan hidup dari hasil laut membuat rumah tangga nelayan selalu

12
Akmal, Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Bagi Masyarakat Nelayan dikota
Padang, h.106 (Demokrasi) Vol X No.2 2011
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Tas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Diakses pada tanggal 7 Maret 2023
pukul. 21.54 WITA
18

hidup dalam bayangan kemiskinan. Ditambah lagi banyaknya sumber daya

manusia (SDM) yang masih memiliki status pendidikan rendah dan

terbatasnya keahlian, tentunya membuat kesulitan para nelayan untuk bisa

memperbaiki taraf hidup keluarganya. Menurut Kusnaidi, yang menjadi

persoalan sosial dikalangan masyarakat nelayan diantaranya yaitu: semakin

meningkatnya kelangkaan sumber daya perikanan, kerusakan ekosistem

pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan kapasitas teknologi

penangkapan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, ketimpangan akses

terhadap sumber daya perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan

dukungan fasilitas pembangunan untuk masyarakat nelayan.14

2. Konsep Dan Ruang Lingkup Nelayan Dalam Peraturan Perundang-

Undangan

Nelayan merupakan kelompok yang mata pencahariannya sebagian besar

bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut

lainnya.15 Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat

dipengaruhi kondosi alam terutama angin, gelombang dan arus laut, sehingga

aktivitas penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang tahun.

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Revisi

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 10

14
Fatonah, Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan dan Pemenuhan Hak Anak, h.2
Diakses pada tanggal 2 Februari 2023 pukul.22:25 WITA.
15
Muhammad Karim. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Berkelanjutan, Yogyakarta:
Spektrum Nusantara, 2017, h. 108
19

mendefinisikan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan

penangkapan ikan.16

Adapun konsep masyarakat nelayan menurut para ahli adalah :

1. Menurut Imron nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang

kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara

melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka umumnya tinggal

di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan

lokasi kegiatannya.

2. Menurut Kusnaidi masnyarakat nelayan adalah masyarakat yang

hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan peisir, yakni suatu

kawasan transisi antara wilayah darat dan laut.

3. Menurut Sastrawidjaya nelayan adalah orang yang hidup dari mata

pencaharian hasil laut. Di Indonesia para nelayan biasanya bermukim

di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas nelayan adalah

kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal

didesa-desa atau pesisir.17

Dari definisi nelayan diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa nelayan

adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan dilaut,

termasuk juga ahli mesin, ahli lampu dan juru masak yang bekerja di atas

16
Chandra Argawansyah. Perlindungan Hukum Terhadap Nelayan Pemilik dan Nelayan
Penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Perikanan. Medan: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (Skripsi PDF). h. 16 Diakses pada tanggal 26-05-2021 pukul.
22:40 WITA
17
Ishak S. Husein, Dinamika Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Dalam Meningkatkan
Taraf Hidup di Kelurahan Mafutu Kota Tidore Kepulauan,Tulisan Ilmiah. h. 5 diakses pada tanggal
15 september 2021 . pukul 20.37 WITA.
20

kapal penangkapan ikan serta mereka yang secara tidak langsung ikut

melakukan kegiatan operasi penangkapan seperti nelayan pemilik.

Istilah-istilah untuk nelayan yang sering digunakan oleh nelayan adalah

sebagai berikut:18

a. Nelayan pemilik merupakan orang atau badan hukum yang dengan hak

apapun berkuasa atas suatu kapal/perahu yang digunakan dalam usaha

penangkapan ikan.

b. Nelayan penggarap adalah semua orang yang sebagai kesatuan

menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan.

c. Nelayan tetap adalah orang yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya

dengan profesi kerja sebagai nelayan dan tidak memiliki pekerjaan atau

keahlian lain.

d. Nelayan sambilan adalah orang yang pekerjaan utama sebagai nelayan dan

memiliki pekerjaan lainnya untuk tambahan penghasilan.

e. Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap ikan

sendiri, dalam pengoprasiannya tidak melibatkan orang lain.

f. Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan teknologi

penangkapan sederhana, umumnya peralatan penangkapan ikan

dioperasikan secara manual dengan tenaga manusia. Kemampuan jelajah

operasional terbatas pada perairan pantai.

18
Mukhtar. Istilah definisi dan klasifikasi nelayan.
http://mukhtar-api.blogspot.com/2014/09/istilah-definisi-dan-klasifikasi-nelayan.html , diakses
Rabu26 Mei 2021, pukul 22:49 WITA
21

g. Nelayan semi modern adalah nelayan yang telah menggunakan teknologi

penangkap ikan yang lebih maju seperti motor temple atau kapal motor.

Penguasaan sarana perahu motor semakin membuka peluang nelayan

untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan

memperoleh surplus dari hasil tangkapan tersebut karena mempunyai daya

tangkap yang lebih besar, pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar.

h. Nelayan modern adalah nelayan yang menggunakan teknologi

penangkapan modern dan efektif dilengkapi dengan mesin bantu.

Menggunakan motor laut (marine engine) yang memiliki kemampuan

jelajah hingga perairan Zona Ekonomi Eksklusif dan laut lepas,

kemampuan lama operasional dilaut hingga berbulan-bulan. Menggunakan

alat penangkap ikan dengan tingkat ekspoitasi produktif. Tempat

penyimpanan ikan dilengkapi dengan mesin pendingin.

i. Nelayan berkapal/perahu adalah nelayan yang operasi penangkapannya

menggunakan sarana apung berupa kapal/perahu.

j. Nelayan rakit adalah nelayan yang operasi penangkapannya menggunakan

sarana apung berupa rakit.

k. Nelayan mikro adalah nelayan yang menangkap ikan dengan kapal/perahu

berukuran 0 (nol) GT sampai dengan 10 (sepuluh) GT.

l. Nelayan kecil adalah nelayan yang menangkap ikan dengan kapal/perahu

berukuran mulai 11 (sebelas) GT sampai dengan 60 ( enam puluh) GT.


m. Nelayan menengah adalah nelayan yang menangkap ikan dengan

kapal/perahu berukuran mulai 61 (enam puluh satu) GT sampai dengan

134 (seratus tiga puluh empat) GT.

n. Nelayan besar adalah nelayan yang menangkap ikan dengan kapal/perahu

berukuran mulai 135 (seratus tiga puluh lima) GT keatas.

Masyarakat yang tinggal didaerah pesisir pantai pada umumnya

bergantung dari sumber daya laut atau pantai, sehingga sebagian besar

penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai nelayan. Selain sebagai

nelayan, sebagian penduduknya juga membudidayakan lahan mereka sebagai

tambak ikan. Hal ini menunjukan bahwa sumber daya laut mempunyai peran

penting bagi kehidupan masyarakat pantai.

Nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam memajukan

kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling

berpengaruh terhadap perubahan lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka

dibandingkan kelompok masyarakat yang hidup dipedalaman, menjadi

stimulor untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern. Dalam

konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang identitas

nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka dinilai

lebih berpendidikan, wawasan tentang kehidupan jauh lebih luas, lebih tahan

terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.19

19
Chandra Argawansyah. Perlindungan Hukum Terhadap Nelayan Pemilik dan Nelayan
Penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Perikanan. Medan: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (Skripsi PDF). h. 19-21 Diakses pada tanggal 26-05-2021 pukul.
23:29 WITA
23

Kategorisasi terhadap nelayan dan pembudidaya ikan yang tepat

diperlukan agar tidak terjadi kesalahan identifikasi kebutuhan dan masalah,

dan ketetapan dalam pemberian bantuan sehingga tidak terlalu membebani

keuangan negara. Kategori nelayan banyak dikemukakan oleh pakar, seperti

Panayotu, Berkes, Satria, Ostrom dan Schlager, serta Kusnadi. Menurut

Kusnadi penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dalam

tiga sudut pandang yaitu:

1. Dari segi penguasaan alat-alat produksi dan alat tangkap (perahu,

Jaring, dan perlengkapan lain), struktur masyarakat nelayan terbagi

dalam masyarakat pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh.

Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan

produksi unut perahu, nelayan buruh hanya menggunakan jasa

tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Dalam

masyarakat pertanian, nelayan buruh identik dengan buruh tani. Secara

kuantitatif, nelayan buruh lebih besar dibandingkan dengan nelayan

pemilik.

2. Dari skala investasi modal usaha, struktur masyarakat nelayan terbagi

ke dalam nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar

karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan

relatif lebih banyak, sedangkan nelayan kecil justru sebaliknya.

3. Dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat

nelayan terbagi dalam nelayan modern dan tradisional. Nelayan-


24

4. nelayan modern menggunakan teknolagi yang lebih canggih

dibandingkan dengan nelayan tradisional. Jumlah nelayan modern jauh

lebih kecil dibanding dengan nelayan tradisional.20

Tabel.2.1. penggolongan nelayan menurut beberapa ahli

No Pendapat Kriteria Penggolongan Nelayan

Penggolongan

1 Kusnadi Penguasaan alat-alat - Nelayan pemilik

(2002) produksi dan alat - Nelalyan Buruh

tangkap

Investasi modal - Nelayan Besar

usaha - Nelayan Kecil

Tingkat teknologi - Nelayan Modern

peralatan tangkap - Nelayan Kecil

2 Pollnac Respons untuk - Nelayan kecil

(1988) mengantisipasi - Nelayan besar

tingginya risiko dan

keidak pastian

3 Widodo Daya jangkau - Nelayan Pantai

(2008) armada perikanan


20
Kusnaidi, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan Perebuutan Sumber Daya Perikanan,
(Jakarta: PT LkiS Pelangi Aksara 2002), h.190
24

dan lokasi - Nelayan Lepas

penangkapan - Pantai

- Nelayan

Samudera
25

Selain hal tersebut di atas, beberapa pakar juga menyebut mengenai

nelayan tradisional juga sebagai orang yang menangkap ikan dengan alat-alat

yang merpakan warisan tradisi leluhurnya. Umumnya alat-alat tersebut

murah, mudah, dan ramah lingkungan. Mudah karena biasanya merupakan

keterampilan turun menurun, murah karena berasal dari bahan-bahan

disekitar tempat tinggalnya, ramah lingkungan karena tidak merusak dan

hanya untuk keperluan hidup secukupnya. Menjadi nelayan tradisional tidak

semata-mata merupakan kegiatan ekonomi dan kebudayaan sekaligus. Secara

ekonomi merupakan kegiatan survival, secara kebuyaan merupakan ekspresi

dari hubungan manusia dengan lingkungan sosial serta lingkungan hidup

sekitarnya. Bagi nelayan tradisional, relasi manusia dan laut adalah relasi

ekonomi dan kebudayaan secara bersamaan.

Dalam statistik perikanan disebutkan bahwa nelayan adalah orang yang

secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang

air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti

membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam perahu/kapal,

tidak dimasukan kedalam nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang

bekerja diatas kapal penangkap ikan dimasukan sebagai nelayan, walaupun

mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan. Statistik Perikanan

Tangkap Indonesia mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang

digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikannya, yaitu:


26

1. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan

untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air

lainnya/tannaman air.

2. Nelayan sambilan utama. Yaitu nelayan yang sebagian besar waktu

kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penagkapan

ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Di samping melakukan

pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai

pekerjaan lain.

3. Nelayan sambilan tabahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu

kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan paneangkapan ikan.

Dalam regulasi di Indonesia masih belum didefinisikan lebih rinci berapa

lama waktu yang digunakan oleh nelayan sehingga dapat dikelompokan

menjadi nelayn penuh, nelayan sambilan utama atau nelayan sambilan

tambahan.21

3. Pengelolaan sumber daya perikanan

Dewasa ini, wilayah pesisir adalah primadona.wilayah pesisir memberi

peluang kesejahteraan ekonomi, sosial, dan psikologis. Orang mulai beralih

kelaut karena laut kaya dengan segala keanekaragaman hayati dan

21
Lukman Adam, Telaah Kebijakan Perlindungan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan di
Indonesia, Kajian Vol. 20 No. 2, Juni 2015. h.151
27

ekosistemnya yang apabila dimanfaatkan dan dikelola secara baik dan

professional dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat.22

Beberapa hasil perumusan undang-undang tentang definisi perikanan di

Indonesia telah mengalami beberapa kali revisi. Pengertian perikanan sesuai

UU Nomor 45 Tahun 2009, perikanan adalah semua kegiatan yang berkaitan

dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya

mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai dengan proses

pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan. Dari

pengertian perikanan yang diungkapkan di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan atau berkaitan

dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut untuk kegiatan

produksi. Bisa juga di definisikan bahwa perikanan adalah kegiatan manusia

yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati

perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada

umumnya mencangkup ikan, amfibi dan berbagai avertebrata penghuni

perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia

menurut UU RI no.9/1985 dan UU RI no 31/2004, kegiatan yang termasuk

dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan.

Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.

Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan

22
Maria Yanti Akoit, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan di Kabupaten
Timur Tengah Utara Berbasis Pendekatan Bioekonomi,(Jurnal Agribisnis Indonesia Vol 6. No 2,
2018) h.85
28

bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi

(pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau

mengambil minyak ikan. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan

atau badan hukum untuk menagkap atau membudidayakan (usaha pemetasan,

pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan,

pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk mmenciptakan nilai

tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis)

Sumberdaya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya

dan pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar

sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus

menerus serta pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan

ikan dan/atau pembudidaya ikan sesuai dengan UU RI no.9/1985.23

Pengelolaan sumber daya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai

dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan

keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin

kelangsungan produktifitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. Menurut

Widodo dan Nurhakim secara umum tujuan utama pengelolaan sumber daya

ikan adalah untuk:

a. Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta

tindakan perbaikan (enhancement)

b. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan serta

23
Andi Agus, Pengelolaan dan Penggunaan Sumberdaya Kelautan/Perikanan (Study
Kasus Kota Ternate, Maluku Utara) Ternate : Jurnal Torani: JFMarSci Vol 1. 2018, h.94-95
29

c. Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.24

Dalam pelaksanaannya di Indonesia, pemerintah mempunyai peran yang

sangat penting untuk mengelolah sumber daya ikan, sebagai mana di

amanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-

Undang Tahun 2009 tentang Perikan (pasal 1 ayat 7) pengelolaan perikanan

adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan

informasi, analisis, perencanaan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi

serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang

perikanan, yang dilakukan oleh pemerintahatau otoritas lain yang diarahkan

untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan

tujuan yang telah disepakati.25

Kemudian pada pasal 7 ketentuannya dijelaskan sebagai berikut:

3. Dalam rangka mendukung kebijakan pengolaan sumber daya ikan,

Mentri menetapkan:

a. Rencana pengelolaan perikanan;

b. Potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia;

c. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia;

24
I Nyoman Suyaya, Pengelolaan Sumber Daya Ikan Indonesia, Makalah Falsafah Sains,
Program Pascasarjana S3 Institut Pertanian Bogor. Diakses 02 November 2021. Pkl: 23.57 WITA
25
UNDAN-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG
PERIKANAN, H.3
30

d. Potensi dan alokasi lahan pembudi dayaan ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia;

e. Potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;

f. Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

g. Jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;

h. Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan;

i. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;

j. Pelabuhan perikanan;

k. System pemantauan kapal perikanan;

l. Jenis ikan baru yang akan dibudi dayakan;

m. Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan

berbasis budi daya;

n. Pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

o. Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta

lingkungannya;

p. Rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;

q. Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

r. Kawasan konservasi perairan;

s. Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

t. Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukan dan

dikeluarkan ked an dari wilayah Negara Republik Indonesia;

u. Jenis ikan yang dilindungi.


31

4. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan

perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mengenai:

a. Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

b. Jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;

c. Daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

d. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;

e. System pemantauan kapal perikanan;

f. Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

g. Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan

berbasis budi daya;

h. Pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

i. Pencegahan, pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta

lingkungannya;

j. Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

k. Kawasan konservasi perairan;

l. Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

m. Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukan, dan

dikeluarkan ked an dari wilayah Negara Republik Indonesia dan;

n. Jenis ikan dilindungi.26

26
Lihat di UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.45 TAHUN 2009 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN, h.5-7
31

Sementara dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan oleh

daerah memang terdapat keuntungan, tetapi juga sekaligus menjadi beban dan
32

tanggung jawab daerah dalam pengendalian dan pengelolaan perikanan

berdasarkan pada dua aspek, yaitu aspek biologi dan aspek ekonomi.

Sumber daya alam pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan

kebutuhan manusia, dalam perkembangannya, pemerintah menetapkan

wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melalui peraturan

mentri kelautan dan perikanan no 1 tahun 2009 yang telah diubah melalui

peraturan mentri kelautan dan perikanan no 18 tahun 2014 dimana dalam hal

ini pengelolaan perairan laut Indonesia diagi menjadi beberapa satuan wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indinesia (WPPNRI), WPPNRI

dibagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan salah satunya WPP 718.

Dimana WPP 718 mencangkup wilayah laut Aru, laut Arafuru, dan laut

Timur. Pada potensi sumber daya ikan terdapat 5 kelompok utama yaitu ikan

pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang dan udang. 27 Di

tomalou ikan yang paling banyak ditangkap adalah ikan tongkol atau sering

disebut dengan ikan pelagis besar dimana ikan tersebut menjadi sumber

pencaharian nelayan untuk bertahan hidup.

27
Potensi Sumberdaya Perikanan di WPP-NRI 718 dan Status Pengelolaan dengan
Indikatir EAFM, http://kkp.go.id/djprl/lpsplsorong/artikel/33971-potensi-sumberdaya-perikanan-
di-wpp-nri-718-dan-status-pengelolaan-dengan-indikatoor-eafm. Diakses pada tanggal 2 Februari
2023 pukul.22:25 WITA
33

4. Konsep Kebijakan Pemerintah

Dunia Hak Asasi Manusia di Indonesia memulai babak baru ketika Dewan

Perwakilan Rakyat meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya.1976 ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Pengesahan konvenan ini membawa harapan baru bagi upaya penegakan dan

pemajuan HAM di Indonesia.

Implementasi pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, tidaklah sama

dengan hak sipil dan politik. Dalam hak Ekosob, intervensi negara

(pemerintah) haruslah positif, artinya negara harus jadi regulator guna

memenuhi hak warga Negara.28Dan pelaksanaan pemenuhan tanggung jawab

tersebut dilakukan secara bertahap (progressif realization). Dengan kata lain

tanggung jawab progresif ini merupakan kewajiban untuk secepatnya

mengambil langkah-langkah maju kearah realisasi sepenuhnya hak yang

dijamin dalam kovenan dengan semua sarana atau sumberdaya yang memadai.

Sekalipun di dalam kovenan sendiri menuntut adanya perumusan standar

minimum untuk pemenuhan hak-hak tersebut. Disamping itu, hak Ekosob

dirancang untuk menjamin perlindungan individu maupun secara kolektif-

komunal dengan sepenuhnya berdasarkan pandangan bahwa setiap orang

berhak menikmati hak atas kebebasan dan keadilan sosial secara bersamaan.

Batasan mengenai klasifikasi hak ekonomi, sosial, dan budaya terbagi

kedalam beberapa jenis hak antara lain: a) Hak atas pekerjaan dan kondisi

28
Arif Setiawan, Hak Asasi Manusia Dalam Bingkai ACFTA, (Jakarta: Jurnal
HAM,Komnas HAM RI, Vol. VI, 2010) h.149
34

kerja yang adil dan menguntungkan; b) Hak atas kebebasan berserikat; c)

Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial; d) Hak untuk berkeluarga dan

perlindungan bagi anak, remaja dan perempuan; e) Hak atas standar hidup

yang layak (pangan, sandang, papan); f) Hak atas standar tertinggi kesehatan

(pemerataan kesempatan mendapat pengobatan dan jaminan minimum pada

saat sakit; g) Hak atas pendidikan; dan h) Hak atas budaya danmendapat

manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi.29

Berdasarkan klasifikasi jenis di atas, maka kepada negara (pemerintah)

selaku pemangku kewajiban (duty holders) dalam sistem HAM,

bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak tersebut melalui 3 bentuk

kewajiban. Pertama, kewajiban untuk menghormati ( to respect) yaitu

kewajiban berdasarkan tindakan dimana tanggungjawab pemerintah untuk

mengambil tindakan atau langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi

hak. Contoh: menyiapkan system sarana dan prasarana yang cukup bagi

nelayan. Kedua, kewajiban untuk melindungi (to protect) yaitu kewajiban

berdasarkan hasil dimana tanggungjawab pemerintah dalam mencapai hasil

terkait dengan tindakan yang dilakukan. Contoh: tanggungjawab bahwa

penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi nelayan berhasil guna,

yakni meningkatnya jumlah hasil tangkap. Ketiga, kewajiban untuk memenuhi

(to fulfill) yaitu kewajiban segera dimana pemerintah mampu memastikan hak

penghidupan subsistensi minimal untuk bisa bertahan hidup (survive) bagi

semua orang, terlepas dari tingkat ketersediaan sumberdaya dan tingkat

ekonomi negara. Conto: pemerintah menjami tidak ada warganya yang

29
Muhammad Heikal Daudy, Perwujudan Kedaulatan Laut di Aceh Berbasis Hak
Ekonomi, Sosialdan Budaya menurut Perspektif Hukum Laut Internasional, (Jurnal Hukum:
Samudra Keadilan, Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015), h.64
35

berprofesi sebagai nelayan harus meninggal karena kelaparan, dan ini

merupakan syarat minimum hak atas pangan.

Dalam rangka perlindungan nelayan, berbagai kebijakan telah dikeluarkan

pemerintah baik dalam muatan undang-undang perikanan, intruksi presiden,

keputusan mentri, dan Undang-Undang Perlindungan Nelayan. Muatan dalam

UU No.31 Tahun 2004. UU No.45 Tahun 2009 tentang perikanan dalam Bab

X, Pasal 60 sampai Pasal 64 membahas mengenai pemberdayaan nelayan kecil

dan pembudidaya ikan kecil, memberikan perlindungan dan pemberdayaan

kepada seluruh nelayan/pembudidaya ikan. Pada tahun 2011 Presiden juga

mengeluaarkan Instruksi Presiden No. 15 tentang Perlindungan Nelayan, yang

menginstruksikan kepada 3 mentri koordinator, 5 mentri Negara, Panglima

TNI, Kapolri, 2 Kepala Badan, Gubernur dan Bupati/Walikota agar

melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memberikan jaminan

kesejahteraan, kepastian dan perlindungan hokum bagi nelayan yang

mengoprasikan kapal perikanan sampai 60 GT. Bahkan kepada Mentri

Kelautan dan Perikanan diinstruksikan untuk menyiapkan kapal perikanan

sampai 60 GT dalam rangka restrukturisasi armada.

Dalam lingkup pengaturan yang lebih rendah, Mentri Kelautan dan

Perikanan mengeluarkan peraturan mentri kelautan dan perikanan No. 12

Tahun 2014 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak

Garam. Rakyat yang Terkena Bencana Alam. Dalam aturan tersebut terlihat

bahwa hanya nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam terkena

bencana alam yang mendapatkan bantuan berupa tanggap darurat dan bantuan

rehabilitasi, antara lain berupa sarana dan prasarana untuk kegiatan usaha.
36

Selanjutnya pada tahun 2016 terbit Undang-Undang Nomor 7 tentang

Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Klausul

dalam UU No7 ini mewajibkan pemerintah pusat dan daerah merencanakan

ruang kehidupan baik sarana dan prasarana, aksesibilitas, kepastian usaha,

jaminan resiko usaha, jaminan keamanan dan perlindungan hukum bagi

nelayan kecil, tradisional, pembudidaya ikan dan petambak garam kecil.30

Kehadiran undang-undang No.7 Tahun 2016 tidak bisa dilepaskan dari

adanya tanggung jawab negara terhadap nelayan. Salah satu filosofis dasar

pembangunan ialah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib

sesuai dengan kemampuannya ikut serta dalam pengembangan usaha untuk

meningkatkan kesejahteraan.

Atas dasar itulah, pembuat undang-undang pada dasarnya ingin

menghadirkan negara bagi upaya perlindungan dan pemberdayaan nelayan,

pembudi daya ikan, dan petambak garam.

Disamping itu, salah satu filosofis dasar pembangunan bangsa ialah

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secar filosofis,

konsep keadilan bisa saja berbeda-beda. Namun kondisi keadilan khususnya

untuk nelayan tidak boleh berubah. Oleh karena itu setiap warga negara

Indonesia berhak dan wajib sesuai dengan kemampuannya ikut serta dalam

pengembangan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan.

30
Hikmah dan Zahri Nasution, Upaya Perlindungan Nelayan Terhadap Keberlanjutan
Usaha Perikanan Tangkap (Jakarta: Balai Besar Riset Sosial Ekononi Kelautan dan Perikanan
2017). Hlm. 130-131
37

Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan pembangunan Perikanan

dan Kelautan diarahkan, antara lain untuk meningkatkan sebesar-besarnya

kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam. 31Selama ini

nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam tersebut telah memberikan

kontribusi yang nyata dalam pembangunan perikanan dan kelautan serta

pembangunan ekonomi masyarakat pesisir dan pedesaan. Kontribusi tersebut

pada dasarnya tidak hanya dalam sektor ekonomi, lebih jauh, ia juga nyatanya

secara politik dan sosial.

Semua masalah di atas, pada dasarnya ingin menghadirkan negara dengan

perlindungannya. Setidaknya berangkat dari satu isu penting yang ingin

diselesaikan yakni posisi pesisir, perikanan dan kelautan yang masih kurang

memberikan jaminan kepastian hukum serta keadilan.

Posisi Undang-Undang tersebut dibahas satu persatu, mulai dari siapa

sesungguhnya yang disebut dengan nelayan, pembudi daya ikan, dan

petambak garam.

Berangkat dari pasal 5 ayat (1), nelayan dibagi kedalam empat kategori,

yakni: (a) nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan

untuk memenuhi kebutuhnan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan

kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan

berukuran paling besar 10 gros ton (GT); (b) nelayan tradisional adalah

nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak

31
Adwani, Perlindungan Sumber Daya Perikanan Laut sebagai Bentuk Tanggung Jawab
Pemerintah Daerah di Perairan Laut Privinsi Aceh, Jurnal Medina Hukum, Vol. 18 No. 2, 2011,
hlm. 190-200
38

perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai

dengan budaya dan kearifan local; (c) nelayan buruh adalah nelayan yang

menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkap ikan; (d)

nelayan pemilik yang memiliki kapal penangkap ikan, baik dalam satu unit

maupun dalam jumlah kumulatif dari 10 GT sampai dengan 60 GT yang

dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan.

Tujuan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan dan

petambak garam adalah untuk (a) menyediakan prasarana dan sarana yang

dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; (b) memberikan kepastian usaha

yang berkelanjutan; (c) meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan,

pembudi daya ikan dan petambak garam; menguatkan kelembagaan dalam

mengelolah sumber daya ikan dan sumber daya kelautan serta dalam

menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan;

dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; (d) menumbuh

kembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan

usaha; (e) melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta

pencemaran; dan (f) memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta

bantuan hokum (pasal 3).

Lingkup pengaturan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi

daya ikan, dan petambak garam meliputi: (a) perencanaan; (b)

penyelenggaraan perlindungan; (c) penyelenggaraan pemberdayaan; (d)

pendanaan dan pembiayaan; (e) pengawasan; dan (f) partisipasi masyarakat.

(pasal 4). Perencanaan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi

daya ikan dan petambak garam dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah,
39

menyeluruh, transparan dan akuntabel dengan didasarkan pada; (a)cdaya dukung

sumber daya alam dan lingkungan; (b) potensi sumber daya ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (c) potensi lahan dan air; (d)

rencana tata ruang wilayah; (e) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil, rencana tata ruang laut nasional, dan rencana zonasi kawasan laut; (f)

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (g) kebutuhan sarana dan

prasarana; (h) kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan

kelembagaan dan budaya setempat; (i) tingkat pertumbuhan ekonomi; dan (j)

jumlah nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam (Pasal 9 ayat (1), (2),

(3)).

Perencanaan yang dimaksud di atas merupakan bagian yang integral dari:

(a) rencana pembangunan nasional; (b) rencana pembangunan daerah; (c)

rencana anggaran pendapatan dan rencana belanja negara; (d) rencana

anggaran pendapatan dan belanja daerah ( Pasal 9 ayat (4)).

Perencanaan diatas paling sedikit memuat strategi dan kebijakan. Strategi

dilakukan melalui: (a) penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha

pergaraman; (b) kemudahan memperoleh sara usaha perikanan dan usaha

pergaraman; (c) jaminan kepastian usaha; (d) jaminan risiko penangkapan

ikan, pembudi dayaan ikan,dan pergaraman; (e) penghapusan praktik ekonomi

biaya tinggi; (f) pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas

pergaraman; (g) jaminan keamanan dan keselamatan; (h) fasilitasi dan bantuan

hukum. Sementara strategi pemberdayaan dilakukan melalui: (a) pendidikan

dan pelatihan; (b) penyuluhan dan pendampingan; (c) kemitraan usaha; (d)
38

kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; (e) penguatan

kelembagaan (Pasal 10-12).


40

Perencanaan itu sendiri disusun oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Provinsi, yang disusun pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Penetapan dilakukan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota untuk menghasilkan rencana baik jangka pendek, jangka

menengah, maupun jangka panjang (Pasal 13). Rencana tersebut terdiri dari

rencana nasional. Rencana provinsi, dan rencana kabupaten/kota (Pasal 14).

Rencana nasional menjadi pedoman rencana provinsi, rencana provinsi

menjadi pedoman kabupaten/kota (Pasal 15).

Dengan menginventarisir Undang-Undang No 6 Tahun 2016 terdapat

sejumlah hal yang diatur untuk dilakukan, terutama oleh Pemerintah Provinsi

dan Pemerintah Kabupaten/Kota, atau dalam bahasa Undang-Undang

disebutkan dengan istilah pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,

yakni sebagai berikut:

1. Pasal 9 ayat (3), Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban mencantumkan pekerjaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan,

dan/atau Petambak Garam di dalam pencatatan administrasi

kependudukan.

2. Pasal 11 ayat (1) berkaitan dengan penetapan kebijakan dan strategi

perlindungan dan pemberdayaan, dan ayat (2), larangan membuat

kebijakan yang bertentangan dengan upaya perlindungan dan

pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam.

3. Pasal 12 ayat (1), (2) dan (3), Penetapan Strategi Kebijakan

perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan

petambak garam.
41

4. Pasal 13 ayat (1) Penyusunan Perencanaan perlindungan dan

pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam.

5. Pasal 16 ayat (1) tanggung jawab perlindungan dan pemberdayaan

nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam.

6. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) tentang pemerintah daerah

sesuai dengan kewenangannya menyediakan prasarana usaha

perikanan dan usaha penggaraman.

7. Pasal 21, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

memberikan kemudahan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak

garam dalam memperoleh sarana usaha perikanan dan sarana usaha

penggaraman.

8. Pasal 23, pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pelaku usaha

dalam penyediaan sarana usaha perikanan dan usaha penggaraman.

9. Pasal 25 ayat (1) pemerintah daerah sesuai kewenangannya

berkewajiban memberikan kepastian usaha perikanan dan

penggaraman.

10. Pasal 25 ayat (3) untuk menjamin kepastian usaha, a) pemerintah pusat

menetapkan rencana tata ruang laut nasional, b) pemda menetapkan

rencana zonasi serta zonasi rinci wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

untuk penangkapan ikan dan pembudi dayaan ikan. c) pemerintah

pusat dan pemda menetapkan rencana tata ruang wilayah untuk

pembudi daya ikan, pengolahan dan pemasaran, serta usaha

penggaraman.

11. Pasal 27, pemerintah daerah mengembangkan sistem pemasaran

komoditas perikanan dan komoditas penggaraman.


42

12. Pasal 28 ayat (3) pemerintah daerah wajib memberikan pendampingan

kepada nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh, penggarap

lahan budi daya dalam membuata perjanjian keja atau perjanjian bagi

hasil.

13. Pasal 30 (1) pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

memberikan perlindungan kepada nelayan, pembudi daya ikan, dan

petambak garam atas resiko yang dihadapi saat penangkapan ikan,

pembudi dayaan ikan, dan usaha penggaraman.

14. Pasal 31, pemberian akses kepada nelayan meningkatkan kapasitas

usaha

15. Pasal 32, dapat menugasi BUMN/BUMD bid Asuransi untuk asuransi

perikanan dan asuransi pengamanan.

16. Pasal 33, memfasilitasi asuransi setiap nelayan.

17. Pasal 36 ayat (2), pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban membangun sistem perizinan terpadu yang efektif dan

efisien untuk menghapus praktik ekonomi biaya tinggi.

18. Pasal 39 (1) pemerintah pusat memberikan jaminan keamanan bagi

nelayan, (2) pemerintah pusat dan pemda memberikan jaminan

keamanan bagi pembudi daya ikan dan usaha pengamanan.

19. Pasal 41, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

berkewajiban melakukan fasilitas dan memberikan bantuan hokum

kepada nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, termasuk

keluarga nelayan dan pembudi daya ikan yang melakukan pengolahan

dan pemasaran yang mengalami permasalahan dalam menjalankan

usahanya.
43

20. Pasal 44, bertanggung jawab atas pemberdayaan nelayan, pembudi

daya ikan dan petambak garam.

21. Pasal 46, kewajiban penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kepada

nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam, termasuk kepada

keluarganya.

22. Pasal 47, kewajiban peningkatan keahlian dan keterampilan nelayan,

pembudidaya ikan, dan petambak garam melalui pendidikan dan

pelatihan.

23. Pasal 50, fasilitasi kemitraan usaha perikanan dan usaha penggaraman.

24. Pasal 52, kewajiban kemudahan akses iptek dan informasi.

25. Pasal 54, pembinaan dan fasilitasi kelembagaan.

26. Pasal 62, fasilitasi kebutuhan biaya usaha perikanan dan penggaraman

kepada perbankan BUMN/BUMD.

27. Pasal 65, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat

menugasi lembaga pembiayaan untuk melayani nelayan, pembudidaya

ikan, dan petambak garam dalam memperoleh pembiayaan usaha

perikanan dan usaha penggaraman, naik dengan prinsip konvensional

maupun syariah.

Pasal-pasal yang disebutkan diatas yang walaupun ada kewenangan

pemerintah daerah yang dinyatakan oleh Undang-Undang, namun dengan

menyatakan kewenangan itu sebagaimana tersebut “ Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya “, maka sesuai kewenangannya ini perlu ditelusuri

secara lebih mendalam lagi, hal ini bertujuan untuk menghindari tumpang
44

tindih kewenangan dan atau, jika tidak hati-hati apa yang akan diatur nantinya

di Pemerintah Daerah justru melampaui kewenangannya.32

Pembahasan terhadap uapaya perlindungan nelayan diatas tidak lepas

dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak bisa dilepaskan dari

hak dasar. Perlindungan pada nelayan dan pembudi daya ikan disebabkan

terjadinya ketidak setaraan sehingga nelayan dan pembudidaya ikan sebagai

pemanfaat sumber daya perikanan, pelu mendapat perlindungan lebih yang

membedakan dengan pemanfaat lainnya.

Tabel 2.2 Hak Dasar dan Bentuk Pemenuhan Hak dalam


Perlindungan Nelayan dan Pembudi daya Ikan

No Hak Dasar Bentuk Pemenuhan Hak

1 Hak untuk memperoleh Kepastian Usaha

pekerjaan yang layak

2 Hak untuk memperoleh Pemberian bantuanterhadap nelayan yang

perlindungan hokum mengalami permasalahan kegiatan

penangkapan ikan di wilayah perbatasan

negara lain

3 Hak untuk memperoleh Penghapusan praktik ekonomi biaya

rasa aman tinggi

32
Teuku Muttaqin Mansur, Muazzin, Pengaturan Hukum Perlindungan Nelayan Kecil
Kanun Jurnal Hukum, Vol.19, No, 3, Agustus, 2017 h.386-393
45

4 Hak untuk memperoleh Penyediaan prasarana dan sarana

akses atas kebutuhan produksi

hidup yang terjangkau

5 Hak untuk m Jaminan risiko usaha perikanan

emperoleh keadilan

Sumber: jurnal Lukman Adam


1. Kepastian Usaha

Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung

langsung pada hasil laut. Mereka umumnya tinggal di wilayah pesisir atau

dekat dengan perairan umum, pada sebuah lingkungan pemukiman yang dekat

dengan lokasi kegiatanyya. Nelayan sebagai suatu entitas masyarakat pantai

memiliki stuktur dan tatanan sosial yang khas, yaitu suatu komunitas yang

kelangsungan hidupnya bergantung pada perikanan sebagai dasar ekonomi

(based economic) agar tetap bertahan hidup (survival). Ketidak pastian akan

kondisi ekonomi di masa depan menyiratkan adadnya bermacam risiko.

Realisasi risiko ini punya konsekuensi negatif terhadap kualitas hidup,

bergantung parahnya tingkat goncangan yang ditimbulkan, durasinya, stigma

yang terkait dengannya, dan penanganan risiko masing-masing orang serta

implikasi ekonominya. Ketakutan akan hilangnya pekerjaan bisa berdampak

negatif bagi kualitas hidup masyarakat yang tergantung pada usaha ekonomi.33

33
Joseph E. Stiglitz, Amartya Sen, & Jean-Paul Fitoussi, Mengukur Kesejahteraan:
Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur yang tepat untuk menilai kemajuan?,
Penerjemah: Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2011), h.96
46

Keberadaan nelayan dan pembudi daya ikan selalu berkelompok dan

berada dipesisir laut atau perairan umum. Lokasi tempat tinggal

nelayan/pembudi daya ikan merupakan lokasi tempat menambatkan kapal atau

melakukan kegiatan budi daya ikan. Namun sering terjadi, pembangunan

sebuah wilayah menafikan keberadaan nelayan/pembudi daya ikan. Ruang

tempat nelayan menambatkan kapal atau pembudi daya ikan melakukan

kegiatan di atau dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 20014

tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sampai

pertengahan tahun 201434

Selain alokasi ruang, usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan dan

pembudi daya ikan sangat erat kaitannya dengan harga yang diperoleh nelayan

dan pembudi daya ikan agar mereka termotivasi untuk meningkatkan produksi

perikanan. Harga ikan cenderung berfluktuasi tergantung musim, pada kondisi

harga ikan turun kondisi nelayan akan sangat buruk karena hasil tangkapan

tidak memenuhi harapan dan tidak mampu menutup biaya variabel yang telah

dikeluarkan nelayan. Sehingga kondisi yang diharapkan olehnelayan saat

terjadi kenaikan ikan segar.

Namun, kenaikan harga ikan segar ternyata berdampak negatif terhadap

kesejahteraan nelayan dan pembudi dya ikan. Hal ini di tunjukan dengan terus

menurunya nilai tukar nelayan dan pembudi daya ikan sampai akhir desember

2009. Penurunan tersebut lebih disebabkan terus meningkatnya kebutuhan

rumah tangga dan biaya produksi perikanan yang sangat tinggi, baik di

34
Menata Wilayah Pesisir, KKP Adakan Rakornas Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-k), (Online), (http://pdpt.kp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/174/
Menata-Wilayah-Pesisir-KKP-Adakan-Rakornas-Rencana-Zonasi-Wilayah-Pesisir-dan-Pulau-
Pulau-Kecil-RZWP-3-k/?category_id=20. Diakses 30 Juni 2021 pukul: 00.03 WITA.
47

nelayan maupun di pembudi daya ikan. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan

yang komprehensif dalam menangani kesejahteraan nelayan dan pembudi

daya ikan.

2. Penghapusan Praktik Ekonomi Biaya Tinggi

Biaya yang dikeluarkan dalam konteks usaha meliputi biaya tetap dan

biaya variabel. Namun, dalam konteks usaha perikanan, seperi di atur dalam

UU Perikanan, terdapat tujuh dokumen administrasi yang harus dipenuhi

sebelum nelayan dan pembudi daya ikan melakukan usahanya. Tujuh

dokumen tersebut meliputi: Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin

Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), surat

ukur sebagai bagian dari pendaftaran kapal, surat persetujuan berlayar, surat

tanpa bukti lapor kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan, dan surat

laik operasi kapal perikanan.

Proses atau prosedur perizinan usaha perikanan tangkap, utamanya untuk

skala menengah kebawah (kapal berukuran < 30 GT), hingga kini belum

standar dan transparan prosedurnya untuk semua daerah. Apalagi di era

otonomi daerah saat ini, dimana tidak sedikit pemerintah daerah memosisikan

perizinan sebagai sumber pendapatan aslli daerah (PAD). Bagi daerah,

mengurus perizinan usaha sebagai sumber PAD sama saja dengan tindakan

mengambil pajak atas investasi. Prsedur perizinan usaha yang belum standar

dan transparan, cenderung dapat menimbulkan biaya-biaya tidak resmi atau

pungutan liar. Salah satu hambatan dalam usaha perikanan tangkap adalah

masalah pengurusan perizinan yang masih berbelit/panjang dan kompleks

dengan biaya (baik resmi maupun tidak resmi) yang relatif agak tinggi.
48

Masalah perizinan ini memang sudah bersifat klasik bagi usaha perikanan

tangkap. Padalah, semestinya yang menjadi objek pajak bukanlah modal

usaha, tetapi hasil dari usahanya. Hal ini, tentu menjadi beban tambahan biaya

produksi yang harus ditanggung oleh nelayan, yang pada akhirnya juga akan

mengurangi juga pendapatan yang diperoleh nelayan. Bila dibandingkan

dengan berbagai negara Indonesia masih termasuk salah satu negara yang

belum efisien dalam pengurusan perizinan usaha, termasuk usaha perizinan

tangkap.

3. Penyediaan Prasarana dan Sarana Produksi

Sara produksi usaha perikanan untuk nelayan adalah segala sesuatu yang

dapat dipakai sebagai alat untuk memperoleh komoditas perikanan, antara

lain, berupa kapal, alat tangkap, dan cold storage. Sedangkan untuk pembudi

daya ikan berupa bibit/benih, pakan, dan obat-obatan. Prasarana produksi

usaha perikanan untuk nelayan adalah segala sesuatu yang merupakan

penunjang utama untuk memperoleh komoditas perikanan, antara lain berupa

pelabuhan, tempat pelelangan ikan, dan jalan.

Sampai tahun 2011, pelabuhan perikanan yang dimiliki Indonesia

berjumlah 818 unit, yang terdiri dari 6 pelabuhan perikanan samudera, 14

pelabuhan perikanan nusantara, 47 pelabuhan perikanan pantai, 749 pangkalan

pendaratan ikan, dan 2 pelabuhan swasta.35Kriteria teknis untuk kelas

pelabuhan perikanan samudra antara lain adalah mampu melayani kapal

perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan Indonesia, zona

ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas, sehingga fasilitas tambat

35
Lukman Adam, Telaah Kebijakan Perlindungan Nelayan dan Pembudi Daya Ikan di
Indonesia, Kajian Vol. 20 No. 2, Juni 2015. h.156
49

labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 60 GT.

Pelabuhan perikanan yang dimiliki sudah ditunjang oleh keberadaan itu,

terbitnya Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan No. 57 Tahun 2014 jo.

Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang usaha

perikanan tangkap diwilayah pengelolaan perikanan negara Repoblik

Indonesia yang melarang pemindahan ikan hasil tangkap dari kapal

penangkapan ikan ke kapal pengangkut ikan membuat keberadaan TPI

menjadi efektif.

Namun, dalam jangka panjang perlu dilakukan revitalisasi terhadap fungsi

pelabuhan perikanan dan TPI sebagai upaya menghubungkan nelayan dan

pembudi daya ikan dengan pasar. Keberadaan TPI tidak hanya ditunjukan

kepada nelayan, tetapi juga pembudi daya ikan. Revitalisasi dimaksudkan

untuk memenuhi standar minimum pelayanan bagi kepentingan nelayan dan

pembudi daya ikan. Funfsi-fungsi pelabuhan dan TPI yang semestinya di

jalankan adalah sebagai berikut: (1) penyediaan informasi cuaca; (2)

penyediaan informasi mengenai potensi wilayah penangkapan ikan dan harga

ikan secara berkelanjutan; (3) sistem pelelangan ikan yang berkeadilan; (4)

penyedia BBM, bibit dan pakan ikan yang mudah diakses, dan (5)

tersediahnya fasilitas permodalan yang mudah diakses oleh nelayan/pembudi

daya ikan.

Nelayan kecil dan buruh nelayan, berada pada posisi yang lemah dan

marginal. Mereka kebanyakan sangat bergantung pada pemilik modal (tauke)

yang biasanya adalah pembeli ikan, untuk meminjam dana guna membiayai

operasi penangkapan ikan. Selain itu, banyak nelayan yang harus meminjam
50

uang untuk membeli peralatan melaut, seperti kapal perikanan dan alat

tangkap.36

4. Jaminan Resiko Usaha Perikanan

Permasayang dihadapi nelayan lebih kompleks dibandingkan dengan

pembudi daya ikan mulai dari masalah akan melaut, sedang melaut, dan usai

melaut. Usaha penangkapan ikan merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi,

terutama ketika melakukan opersi penangkapan ikan dilaut. Risiko yang kerap

dihadapi nelayan adalah kerusakan atau hilangnya sarana penangkapan ikan,

operasi penangkapan yang tidak optimal, ancaman keselamatan nelayandi

mana nelayan kerap mengalami kejadian di laut, seperti tenggelam, nelayan

tenggelam, hilang, dan sebagainya. Oleh karena itu, asuransi nelayan

merupakan faktor tidak langsung yang penting dalam memengaruhi tingkat

penerimaan nelayan, karena dengan asuransi nelayan, mereka menjadi lebih

terjamin dalam mengendalikan biaya pengeluaran tidak terduga yang cukup

besar bila terjadi atau mendapat suatu musibah. Berdasarkan hitungan

KIARA37, dibutuhkan biaya sebesar Rp 350 miliar untuk menyelenggarakan

asuransi kecelakaan kerja dan kematian bagi seluruh nelayan tradisional di

Indonesia.

36
Rilus A. Kinseng, Konflik Nelayan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014),
h.39
37
Arif Satria dkk. Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Nelayan Tradisional dalam
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian
Hukum dan Hak Manusia, 2012), h.105
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum empiris yang

menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dari perilaku manusia, baik

perilaku verbal yang didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang

dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris juga digunakan

untuk mengamati hasil perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik

maupun arsip.38

B. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua jenis data, yaitu:

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan

berdasarkan dari resppondendan narasumber, pengumpulan data

dilapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara.

2. Data Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu sumber yang mengutip dari sumber lain.

Misalnya adalah buku-buku, jurnal, makalah dan berbagai hasil pertemuan

ilmiah yang berkaitan erat dengan penelitian implikasi hukum pemenuhan

hak ekonomi masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumber daya

perikanan di kota tidore

38
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Emoiris dan Normatif,
(Pustaka Pelajar 2010) h.280

51
52

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris terdapat 3

(tiga) teknik yang digunakan, baik terdapat sendiri-sendiri atau terpisah

maupun digunakan secara bersama-sama sekaligus ketiga teknik tersebut

adalah wawancara, angket, atau kuisoner dan observasi.

D. Pengelolaan Data

Metode pengolahan data menjelaskan prosedur pengolahan dan analisis

data sesuai dengan pendekatan yang digunakan yang dilakukan. Karena

penelitian ini menggunakan metode hukum empiris, maka metode

pengolahan data dilakukan dengan menguraikan data dalam bentuk

kalimat teratur, runtun, logis, tidak tumpeng tindih, dan efektif sehingga

memudahkan pemahaman dan interrestasi data. Diantaranya melalui tahap

pemeriksaan data (editing), klasifikasi (classifying), verifikasi (verifying),

dan pembuatan kesimpulan (concluding).

1. Editing (Pemeriksaan data)

Editing adalah meneliti data-data yang telah diperoleh, terutama

dari kelengkapan jawaban, keterbacaan tulisan, kejelasan makna,

kesesuaian dan relevansinya dengan data yang lain.39

2. Classifying (klasifikasi)

Classifying adalah proses pengelompokan semua data baik yang

berasal dari hasil wawancara dengan subyek penelitian, pengamatan

dan pencatatan langsung di lapangan atau observasi. Seluruh data yang

39
Abu Achmadi dan Cholid Narbuko, Metode penelitian, (Jakarta: PT Bumu Aksara,
2005), h.85
53

didapat tersebut dibaca dan ditelaah secara mendalam, kemudian

digolongkan sesuai kebutuhan.40

3. Verifying (verifikai)

Verifying adalah proses memeriksa data dan informasi yang telah

didapat dari lapangan agar validitas data dapat diakui dan digunakan

dalam penelitian.

4. Concluding (kesimpulan)

Selanjutnya adalah kesimpulan, yaitu adalah langkah terakhir

dalam proses pengolahan data. Kesimpulan inilah yang nantinya akan

menjadi sebuah data terkait dengan objek penelitian peneliti. Hal ini

disebut dengan istilah concluding, yaitu kesimpulan atas proses

pengolahan data yang terdiri dari tiga proses sebelumnya.41

E. Analisis Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan analisis data penelitian

ini adalah dengan mengumpulkan hasil penelitian berupa data dan

informasi baik wawancara dengan masyarakat terkait kemudian dianalisis

secara deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode analisis data dengan cara

mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian

menurut kualitas dan kebenaranya. Kemudian data tersebut dihubungkan

dengan teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang diperoleh dari

studi dokumen, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan dalam

penelitian ini.

40
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1993), h. 104-105.
41
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. (Perpustakaan Online) di akses pada
tanggal 5 November 2022. Pukul 22.02 WITA.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan dipaparkan data dan temuan penelitian yang diperoleh

dari desa Tomalou.

1. Gambaran Umum Desa Tomalou

Tomalou merupakan salah satu kelurahan di disktrik Tidore Selatan kota

Tidore Kepulauan provinsi Maluku Utara, Indonesia.42

Tomalou juga disebut sebagai kampung nelayan dan kampung budaya di

Tidore. Kelurahan Tomalou, Kota Tidore Kepulauan, mempunyai sejarah panjang

sebagai bagian Kesultan Tidore dengan nelaya-nelayan tangguhnya yang

menjelajah pada Indonesia bagian Timur bahkan sampai Papua bahkan sampai

pasifik. Kesutanan ini berusia lebih dari 900 tahun dan setiap tanggal 12 April

dirayakan oleh pengembara Tidore yang mengebar untuk melihat nenek moyang

mereka. Mereka dating dari manapun termasuk dari Papua untuk kemballi

menjalani tali silahturahmi.

Tomalou sebagaai kampong nelayan terkenalnya dengan ketangguhanya

dalam menjalajah. Kampung ini tertata rapi, tradisi kelautan terutama nilai-nilai

42
http://p2k.unkris.ac.id/id3/2-3065-2965/Tomalou-Tidore-Selatan-
Tidore_250469_unkris_ p2k-unkris.html diakses tanggal 30 juni 2023. Pikul 23.12 WITA
55

budaya nelayan dihidupkan seiring dengan perbaikan kampong dengan dominan

swadaya.43

2. Sarana prasarana nelayan

Keberadaan sarana dan prasaaran akan mempu memberikan dukungan dalam

melaksanakan aktivitas nelayan. Dengan sarana dan prasaran yang memadai, perlu

diusahakan pemanfaatannya secara efektif dan efisien oleh para nelayan.

Kelangkapan fasilitas di desa Tomalou diharapkan mampu memberikan

kesempatan kepada nelayan untuk memanfaatkannya secara optimal.

Adapun sarana prasarana nelayan yang ada di Tomalou sebagai berikut:

Tabel 4.1 sarana prasarana

Fasilitas Jumlah Keterangan

Demaga pendaratan 1 Baik

Kapal motor 43 Baik

Perahu tanpa motor 10 Baik

Pompa minyak 0 Tidak ada

Pelelangan ikan 0 Tidak ada

Pabrik es 1 Tidak berfungsi

3. Pemilik kapal dan Nelayan

Di desa Tomalou jumlah pemilik kapal sebanyak 43 dan pekerja atau

nelayaan 81, pemilik kapal menyiapkan kapal dan uang serta bahan

43
Direktorat jendral pengelolaan ruang laut.httpps://kkp.go.id/djprl/artikel/18167-
kampung-nelayan-tomalou-kampung-budaya-di-tidore
56

kelengkapan kapal lainnya seperti minyak dan lain-lain. Sementara untuk

para pekerja atau nelayan menyiapkan umpan untuk pergi mencari ikan. Dan

hasil dari penjualan ikan akan dibagikan kepada pemilik kapal dan para

nelayan.

4. Paparan Data

Berdasarkan fokus penelitian sebagaimana bab 1, maka paparan data ini

dikelompokan menjadi dua yaitu: (1) paparan data mengenai substansi

pengaturan hukum terhadap pemenuhan hak ekonomi di Tidore. (2). implikasi

kebijakan pemerintah kota tidore dalam memenuhi hak ekonomi masyarakat

nelayan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Sesaui penelitian yang

dilakukan, penulis memperoleh data mengenai substansi pengaturan hukum

terhadap pemenuhan hak ekonomi di Tidore dan implikasi kebijakan

pemerintah kota Tidore dalam memenuhi hak ekonomi masyarakat nelayan.

seperti yang dejelaskan sebelumnya. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan metode observasi, wawancara, atau interview dan dokumentasi.

Pada bab ini disajikan data yang sesuai dengan tujuan penelitian.

a. Substansi Pengaturan Hukum Terhadap pemenuhan Hak Ekonomi

Nelayan

Pemenuhan hak sosial ekonomi adalah satu kesatuan proses yang

memberikan dan menyediakan kebebasan dan kemandirian bagi pemegang

hak maka secara berkelanjutan standar menjadi kesempatan untuk

memperbaiki kualitas kehidupan. Maka komitmen untuk menjaga

keberlangsungan tersebut diwujudkan melalui transformasi hak sosial


57

ekonomi yang menjadi legal rights. Seperti yang diungkapkan oleh

pegawai dinas perikanan kota Tidore bahwa:

“Sekarang ini perlindungan terhadap nelayan tidore untuk kegiatan


penangkapan ikan baik dari legal visi ataupun kapal-kapal illegal luar yang
melakukan penangkapan disini untuk wilayah Tidore pada umumnya itu
sudah mulai bagus. kegiatan patroli yang dilakukan oleh pengawas
maupun pol-air juga mempengaruhi kegiatan-kegiatan penangkapan yang
menggunakan bahan peledak, kita dari dinas kelautan dan perikanan
Tidore kepulauan itu sudah meminta kepada provinsi untuk membantu
mengurangi penggunaan kalase dikota tidore kepulauan, kemarin kita
sudah alihkan ke kegiatan penangkapan yang lain untuk mata pencarian
lain untuk mengurangi mereka jangan menggunakan kalase. karena mata
pencarian mereka itu dari kalase maka mereka menuntut kalau boleh
mereka pengadaan body 3gt. Dan untuk 1 kalase itu ada 25 orang dan
mereka menuntut 1 orang 1. kalau kita di dinas kelautan dan perikanan
Tidore untuk penyelenggaraan kegiatan pengadaan kapal itu terbatas karna
kita punya APBDnya kecil kita punya DAK juga tidak terlalu besar
sehingga kita sharing dengan provinsi kalau seandainya provinsi punya
dana mari sama-sama kita menuntaskna ini sehingga mengalihkan mata
pencaharian ini. salah satu solusi untuk mengurangi dampak illegal fising.
Dan Alhamdulillah itu sudah dialihkan dan ini kalase sudah tidak ada.44
Sebagai mana hasil wawancara dengan para pegawai dinas perikanan

kota tidore maka penulis dapat menyimpulkan bahwa substansi pengaturan

hukum terhadap pemenuhan hak ekonomi nelayan di tidore adalah dengan

mengganti kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan alat tidak

ramah lingkungan seperti kalase dan pengeboman ikan dengan alat

penangkapan berupa kapal 3gt untuk keperluan nelayan memenuhi

ekonomi mereka.

Adapun hasil wawancara peneliti dengan nelayan a mengatakan bahwa

“Aturan sekarang yang terkait dengan nelayan adalah tentang


administrasi pelayanan pajak yang langsung ke pusat”
Sementara hasil wawancara dari nelayan b mengatakan bahwa:

44
Hasil wawancara dengan Djabal Namsa dan Alvian Marsaoli selaku pegawai Dinas
Perikanan Kota Tidore.
58

“Sampai saat ini pemerintah tidore belum buat kebijakan dan kami
dipanggil oleh DKP provinsi membahas soal BBM dan kami di atas 30gt
tidak dapat subsidi”
Kemudian hasil wawancara dengan nelayan c mengatakan bahwa:
“Terkait dengan regulasi nasional uu cipta kerja ini yang
mempengaruhi karena aturan sebelumnya kami sudah paham dan keluar
aturan baru yang buat kami bingung dan kita sesali yaitu pencabutan
subsidi”
Berdasarkan wawancara di atas maka penulis menyimpulkan bahwa

substansi pengaturan hukum terhadap pemenuhan hak ekonomi nelayan di

tidore masih kurang memihak kepada nelayan dimana aturan yang selalu

berubah-ubah dan membuat nelayan bingung.

Dari hasil wawancara dari bagian pemerintah dan para nelayan penulis

menarik kesimpulan bahwa pemerintah berpusat pada aturan yang

memperketat nelayan-nelayan agar tidak melakukan pemboman ikan dilaut

dan tidak menggunakan kalase, sementara para nelayan terfokus dengan

aturan pemerintah mengenai harga BBM dan pembayaran pajak yang

harus dibayarkan dipusat.

b. Implikasi kebijakan pemerintah kota tidore dalam memenuhi hak

ekonomi masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumber daya

perikanan.

Implementasi pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya,

tidaklah sama dengan hak sipil dan politik. dengan dimilikinya potensi

lestari sumber daya perikanan laut yang cukup besar seharusnya

nelayan sebagai masyarakat yang sejahtera. Seperti yang di ungkapkan

oleh pegawai dinas perikanan kota Tidore bahwa:

“pemerintah kota tidore dalam hal ini dinas perikanan setiap tahun
memberdayakan nelayan dengan program pengembangan perikanan
59

tangkap yaitu armada 3gt 2gt dan 1gt tujuannya adalah memberikan
pemberdayaan fasilitas, sarana tangkap, alat tangkap, alat bantu
perikanan tangkap, gps, jaring dan lain-lain supaya tujuannya itu
memberikan pemberdayaan kepada masyarakat. Disamping itu juga,
ada kebijakan pemerintah daerah dalam 3 thun terakhir ini terkait
dengan dana insentif daerah nah itu intinya mengarah pada pemberian
bantuan modal. Di tahun ini pemkot gelontarkan dana sebesar 5m
untuk diberikan kepada 1250 nelayan untuk modal usaha untuk
meningkatkan usahanya dan setiap tahun pemkot memberikan kapal
sebanyak 40 kapal dan pembagian kapal sesuai proposal yang diajukan
dari masyarakat dan di verifikasi oleh kelurahan.

Dari hasil wawancara di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa

pemerintah sejauh ini sudah memberikan kebijakan yang baik untuk

peningkatan ekonomi nelayan dengan cara memberikan kapal dan

memberikan modal usaha untuk para nelayan.

Adapun hasil wawancara peneliti dengan para nelayan yaitu :

“pemerintah membuat kebijakan untuk memudahkan ekonomi


kami karena memberikan bantuan kapal 3gt kepada kami , akan tetapi
pemerintah belum maksimal dalam pembangunan sarana prasarana”

Dari hasil wawancara dengan para nelayan peneliti menyimpulkan

bahwa pemerintah sudah melakukan kewajikan untuk memberikan

kebijakan kepdala nelayan akan tetapi belum maksimal seperti yang

para nelayan harapkan.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang di dasarkan pada 2 permasalahan pokok

yang diangkat pada penyusunan tesis ini yang pertama substansi pengaturan

hukum terhadap pemenuhan hak ekonomi nelayan di Tidore dan Implikasi

kebijakan pemerintah kota tidore dalam memenuhi hak ekonomi masyarakat

nelayan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Adapun hasil penulis dari

kedua pokok permasalahan di atas sebagai berikut :


60

1. Substansi pengaturan hukum terhadap pemenuhan hak enonomi nelayan

di Tidore

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada beberapa pengaturan

hukum yang dilakukan oleh pemerintah kota Tidore untuk para nelayan

diantaranya a). mengganti alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan

dengan memberikan kapal kepada para nelayan. b). melakukan patroli

terhadap nelayan yang melakukan pelanggaran seperti melakukan

pemboman ikan namun, dalam penelitian ini peneliti menemukan

masyarakat yang bekerja sebagai nelayan pada umumnya memiliki tingkat

pendidikan yang rendah dalam bidang hukum. Hal ini sangat

mempengaruhi nelayan belum mendapatkan perlindungan hukum

dikarenakan dalam hal menangkap ikan dengan sesuka hati dianggap

bukanlah suatu tindak pidana tetapi hanya perbuatan biasa yang boleh

dilakukan. Tingkat pendidikan masyarakat nelayan di kota Tidore

tergolong rendah.

Keterbatasan pengetahuan nelayan terhadap adanya bantuan

hukum bagi dirinya dalam proses hukum masih ada. Sehingga dala

menghadapi persoalan hukum, nelayan menemui tokoh-tokoh masyarakat

yang dianggap bisah membantu untuk mengurus perkaranya, bahkan ada

juga yang pasrah dan menyerah pada keadaan.

Negara menjamin hak-hak konstitusional setiap orang untuk

mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagai sarana

perlindungan hak asasi manusia. Sebagaimana tujuan perlindungan dan

pemberdayaan nelayan yang dimagsud dalam pasal 3 huruf (f) UU


61

no.7/2016 adalah memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta

bantuan hukum, karena itu pemberian bantuan hukum kepada nelayan

mesti diwujudkan.45

2. Implikasi kebijakan pemerintah kota tidore dalam memenuhi hak

ekonomi masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumber daya perikanan.

Dalam penelitian ini penulis menemukan implikasi kebijakan

pemerintah dalam memenuhi hak ekonomi nelayan seperti memberikan

bantuan kapal dan uang untuk modal nelayan akan tetapi untuk masalah

sarana prasarana belum maksimal.

Dinas perikanan kota Tidore tidak memiliki kewenangan yang

lebih karena terbatas dengan kewenangan yang diberikan. maka mereka

hanya fokus pada pemberdayaan nelayan kecil.

Bantuan pemerintah baik subsidi maupun program banyak yang

tidak tepat sasaran sehingga perlu pengaturan mengenai nelayan mana

yang memperoleh subsidi. Di Tidore nelayan di atas 30gt sudah tidak

mendapat subsidi sehingga nelayan merasa sulit dengan keputusan

tersebut.

Setelah peneliti mendapatkan hasil dari beberapa data yang di

dapati dari proses observasi dan wawancara, maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa pengaturan hukum dan kebijakan pemerintah

terhadap pemenuhan hak ekonimi nelayan di Tidore terhusus di Tomalau

adalah memberikan peraturan hukum yang baik dalam perlindungan

nelayan dan kebijakan yang masih terbatas.

45
Nursyira, Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan Terhadap Nelayan Kecil di Kota
Tarakan, h.60. Di akses Tanggal 19 juli 2023, Pukul: 16.46 WITA
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Di kota Tidore belum ada peraturan daerah yang mengatur secara

khusus bagaimana perlindungan dan pemberdayaan terhadap nelayan

di kota Tidore, maka dasar atau acuan pemerintah yang diwakili oleh

dinas perikanan Tidore adalah UU no.7/2016 tentang perlindungan

pemberdayaan nelayan. untuk strategi terhadap perlindungan

setidaknya memuat, penyediaan prasarana, sarana usaha perikanan,

keamanan, dan lain-lain. Karena sampai saat ini belum ada peraturan

daerah kota Tidore yang mengatur mengenai perlindungan hukum dan

pemberdayaan bagi nelayan, maka keberadaan nelayan dalam

memanfaatkan sumber daya perikanan tidak semata-mata hanya

sebagai kegiatan ekonomi saja.

2. Pemerintah kota Tidore memberikan bantuan kepada nelayan, bantuan

yang diberikan berupa peralatan tangkap dan uang, secara rinci uang

yang diberikan untuk tahun ini senilai 4juta tiap 1 orang. Ini diberikan

dalam rangka peningkatan produktivitas nelayan.

B. Saran

Adapun beberapa saran yang penulis berikan berdasarkan

kesimpulan diatas adalah:

1. Pemerintah Kota Tidore diharapkan bisa memberikan peraturan

daerah untuk mengatur secara khusus perlindungan dan

pemberdayaan nelayan agar nelayan tidak bingung dengan

62
63

peraturan pemerintah kota Tidore. Dan di harapka agar

pemerintah kota Tidore dalam hal ini dinas perikanan dapat

mengadakan sosialisasi mengenai peraturan perlindungan dan

pemberdayaan nelayan agar masyarakat nelayan dapat

memahami secara benar perannya dalam pengaturan

perlindungan dan pemberdayaannya.

2. Pemerintah harus memperjelas dan mencari tahu sarana dan

prasarana seperti apa yang sangat dibutuhkan nelayaan saat ini,

seperti tempat pelelangan ikan yang masih dalam proses

pengadaan dan pabrik es yang sudah ada tetapi belum di

gunakan, sehingga berfungsi sebagaimana mestinya untuk

meningkatkan pendapatan nelayan.


64

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Lukman, Telaah Kebijakan Perlindungan Nelayan dan Pembudi Daya


Ikan di Indonesia, Kajian Vol. 20 No. 2, Juni 2015.

Achmadi, Abu dan Cholid Narbuko, Metode penelitian, (Jakarta: PT Bumi


Aksara, 2005)

Adwani, Perlindungan Sumber Daya Perikanan Laut sebagai Bentuk Tanggung


Jawab Pemerintah Daerah di Perairan Laut Privinsi Aceh, Jurnal Medina
Hukum, Vol. 18 No. 2, 2011.

Agus, Andi, Pengelolaan dan Penggunaan Sumberdaya Kelautan/Perikanan


(Study Kasus Kota Ternate, Maluku Utara) Ternate : Jurnal Torani:
JFMarSci Vol 1. 2018.

Akmal, Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Bagi Masyarakat Nelayan
dikota Padang. (Demokrasi) Vol X No.2 2011

Akoit, Maria Yanti, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan di


Kabupaten Timur Tengah Utara Berbasis Pendekatan Bioekonomi, Jurnal
Agribisnis Indonesia Vol 6. No 2, Desember 2018

Alfitri, Ideologi welfare state dalam daar negara Indonesia: Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional.(Jurnal
Konstitusi), Vol.9, No.3. September 2012.

Argawansyah, Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Nelayan Pemilik dan


Nelayan Penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Perikanan. Medan:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (Skripsi
PDF). Diakses pada tanggal 26-05-2021 pukul. 23:29 WITA

Daudy, Muhammad Heikal, Perwujudan Kedaulatan Laut di Aceh Berbasis Hak


Ekonomi, Sosialdan Budaya menurut Perspektif Hukum Laut
Internasional, (Jurnal Hukum: Samudra Keadilan, Vol. 10 No. 1 Januari-
Juni 2015).

Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Emoiris dan
Normatif, (Pustaka Pelajar 2010)

Fatonah, Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan dan Pemenuhan Hak Anak.
Diakses pada tanggal 2 Februari 2023 pukul.22:25 WITA.
64

https://repository.unikom.ac.id. Diakses pada 09 November 2021, pukul: 21.48


WITA
65

http://p2k.unkris.ac.id/id3/2-3065-2965/Tomalou-Tidore-Selatan-
Tidore_250469_unkris_p2k-unkris.html diakses tanggal 30 juni 2023. Pikul
23.12WITA

Hikmah dan Zahri Nasution, Upaya Perlindungan Nelayan Terhadap


Keberlanjutan Usaha Perikanan Tangkap (Jakarta: Balai Besar Riset Sosial
Ekononi Kelautan dan Perikanan 2017).

Husein, Ishak S. Dinamika Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Dalam


Meningkatkan Taraf Hidup di Kelurahan Mafutu Kota Tidore
Kepulauan,Tulisan Ilmiah. h. 5 diakses pada tanggal 15 september 2021 .
pukul 20.37 WITA

Karim. Muhammad, Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Berkelanjutan,


Yogyakarta: Spektrum Nusantara, 2017.

Kinseng, Rilus A. Konflik Nelayan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,


2014)

Kusnaidi, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan Perebuutan Sumber Daya


Perikanan, (Jakarta: PT LkiS Pelangi Aksara 2002).

Mansur, Teuku Muttaqin, Muazzin, Pengaturan Hukum Perlindungan Nelayan


Kecil Kanun Jurnal Hukum, Vol.19, No, 3, Agustus, 2017 h.386-393

MD, Moh Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Renaka


Cipta : Jakarta).

Menata Wilayah Pesisir, KKP Adakan Rakornas Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-k), (Online),
(http://pdpt.kp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/174/ Menata-Wilayah-
Pesisir-KKP-Adakan-Rakornas-Rencana-Zonasi-Wilayah-Pesisir-dan-
Pulau-Pulau-Kecil-RZWP-3-k/?category_id=20. Diakses 30 Juni 2021
pukul: 00.03 WITA.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 1993)

Mukhtar. Istilah definisi dan klasifikasi nelayan. http://mukhtar-


api.blogspot.com/2014/09/istilah-definisi-dan-klasifikasi-nelayan.html,
diakses Rabu 26 Mei 2021, pukul 22:49 WITA

Nursyira, Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan Terhadap Nelayan Kecil di


Kota Tarakan
66

Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.3/PERMEN-


KP/2019 Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Pelindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Petambak Garam.

Potensi Sumberdaya Perikanan di WPP-NRI 718 dan Status Pengelolaan dengan


Indikatir EAFM, http://kkp.go.id/djprl/lpsplsorong/artikel/33971-potensi-
sumberdaya-perikanan-di-wpp-nri-718-dan-status-pengelolaan-dengan-
indikatoor-eafm.

Renggana, Ego Hanata, Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan Nelayan,


Pembudidayaan Ikan dan Petambak Garam di Desa Tasikadu. Fakultas
Hukum Universitas Islam Malang.

Rumpia, James Reinaldo, Hukum dan Bahasa: Refleksi dan Transformasi


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. (Lentera Hukum) Vol.5,
2018.

Satria, Arif, dkk. Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Nelayan Tradisional


dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan Hak Manusia, 2012)

Sabila, Yumns. Kamaruzaman Bustamam, Badri, Landasan Teori Hak Asasi


Manusia dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, tulisan ilmiyah (PDF)
diakses pada 09 November 2021, pukul: 22.03 WITA.

Setiawan, Arif, Hak Asasi Manusia Dalam Bingkai ACFTA, (Jakarta: Jurnal
HAM,Komnas HAM RI, Vol. VI, 2010).

Sambouw. Steven Toar, Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap Hak
Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Marore Kabupaten
Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara, : Lex Administratum, Vol.
III/No.5/Juli/2015.

Soemardi, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif;Empirik (Bee Media Indonesia : Bandung
2010).

Suyaya, I Nyoman, Pengelolaan Sumber Daya Ikan Indonesia, Makalah Falsafah


Sains, Program Pascasarjana S3 Institut Pertanian Bogor. Diakses 02
November 2021. Pkl: 23.57 WITA

Stiglitz, Joseph E. Amartya Sen, & Jean-Paul Fitoussi, Mengukur Kesejahteraan:


Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur yang tepat untuk
menilai kemajuan?, Penerjemah: Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang
Timur, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2011)
67

Undang-Undang Republik Indonesia No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. (Perpustakaan Online) di akses


pada tanggal 5 November 2022. Pukul 22.02 WITA.

Yamin, M. Naskah persiapan UUD 1945: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI,


Sekertariat Negara RI, Jakarta, 1959, h.299. dikutip dari Tinjauan umum
tentang Negara Kesejahteraan (welfarestate), Pengawasan Pemerintah
Daerah dalam Perizinan Pembangunan Perumaha
68

LAMPIRAN
69
70
71

Anda mungkin juga menyukai