Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN REGULASI MADRASAH DAN PESANTREN

DI INDONESIA
Oleh. Moh Khorofi

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu sejauhmana dan


bagaimana perjalanan Regulasi Pendidikan Islam di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tehnik pengumpulan
data menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka (kajian
literatur) dan observasi online. Di dalam penelitian ini tidak hanya
membahas Pendidikan Islam sebagai sebuah mata pelajaran saja, tetapi
juga sebagai sebuah lembaga pendidikan. Penelitian ini mendapatkan hasil
mulai dari Pesantren atau Padepokan sebagai cikal bakal pendidikan islam
pada masa sebelum kemerdekaan dulu hingga Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah yang mengatur Pendidikan Islam hingga hari ini.
Meski pergerakan regulasi Pendidikan Islam di Indonesia sangat dinamis,
seiring dengan dinamika sosial dan politik di Indonesia, namun kehadiran
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren
merupakan sebuah angin segar bagi kemajuan Pendidikan Islam di
Indonesia. Selain memperkuat kedudukan Pendidikan Islam, juga memberi
ruang gerak yang sangat positif bagi Pendidikan Islam di tengah
masyarakat Indonesia. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan dan membawa manfaat untuk Pendidikan Islam di Indonesia.
Kata kunci: Regulasi, Madrasah, Pesantren

Pendahuluan
Pendidikan merupakan hak dasar dari setiap manusia di manapun berada. Tidak
hanya prosesnya yang dinamis, tantangan dan problematikanya juga silih berganti mengiringi
dinamika pendidikan yang dinamis tersebut. Pendidikan selalu mendapat perhatian khusus
oleh seluruh bangsa di dunia, temasuk Indonesia. Perhatian tersebut dipastikan dapat
ditemukan dalam konstitusi negara dan peraturan perundang- undangan yang mengikutinya
bahwa negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan setiap warga negaranya.
Pendidikan mempunyai hubungan integral dengan komponenkomponen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan
dan sebagainya. Faktor determinan membangun kehidupan yang lebih baik, termasuk
kehidupan berbangsa dalam mengelola sumber daya manusia.1

1
Harmonedi, H. (2020). Eksistensi Pendidikan Islam Dalam Bingkai Regulasi Pendidikan di Indonesia Pasca
Kemerdekaan. Jurnal Pendidikan Islam, 5(2), 309–338. https://doi.org/10.29240/belajea.v5 i2.1331
Sebagai sebuah negara, Indonesia telah melalui berbagai kondisi pemerintahan.
Sejak masa setelah kemerdekaan, orde lama, kemudian orde baru, kemudian masa reformasi.
Setelah satu decade pasca reformasi, hingga hari ini pemerintah hampir merubah seluruh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan
termasuk ketentuan mengenai pendidikan nasional dan pendidikan Islam. Sebagai panduan
dasar, Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan negara Indonesia
mengamanatkan agar pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia guna memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.2
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar setiap peserta didik dapat secara aktif mengembangkan
potensi dirinya guna memiliki kekuatasan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara, sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini tentu saja untuk menjawab dan menghadapi
perkembangan dunia pendidikan yang penuh dengan dinamika dan inovasi belakangan ini. 3
Sementara itu, pendidikan agama dalam hal ini pendidikan islam di sekolah-sekolah
dinilai belum mampu menjadi semangat yang dapat mendorong pertumbuhan harmoni dalam
kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya pendidikan agama memang bukan satusatunya faktor
pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Namun pada realitanya peran guru agama
sebagai pengembang kurikulum sangat besar terhadap pembentukan kepribadian peserta
didik. Oleh karena itu, sangat tidak adil jika munculnya kesenjangan antara realita dan
harapan yang hanya ditumpukan kepada pendidikan agama di sekolah. Hal tersebut tentunya
menjadi sebuah indikator dari pendidikan agama di sekolah menghadapi tantangan dan
problematikan yang harus segera ditangani guna tercapainya tujuan yang diharapkan.4
Secara teoritis-konseptual maupun secara realitas historis, pendidikan Islam pada
masa lalu pernah mengalami kemajuan, namun pada tataran realitas empiris kontemporer dan

2
Zulkifli, Z. (2018). Regulasi Pendidikan Islam. Rausyan Fikr : Jurnal Pemikiran Dan Pencerahan.
http://dx.doi.org/10.31000/rf.v14j02.904
3
UU No 20. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
4
Kuntoro, A. T. (2019). Manajemen Mutu Pendidikan Islam. Jurnal Kependidikan, 7(1).
https://doi.org/10.24090/jk.v7i1.29 28
ekspektasional kekiniannya mengalami kemunduran sebagaimana yang telah banyak
dinyatakan oleh para akademisi maupun praktisi pendidikan Islam itu sendiri.5
Seperti yang kita ketahui bersama, Pendidikan Islam adalah sebuah upaya terstruktur
dalam melibatkan lembaga pendidikan Islam dimana pada materinya diharapkan membangun
tatanan akhlak mulia sehingga cita-cita masyarakat Islami dapat terwujud dan berkarakter
sesuai dengan konsekuensi seorang muslim.6 Pendidikan Islam merupakan bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran Islam atau yang biasa disebut dengan memiliki
kepribadian muslim.
Menurut pemikiran Hasan Langgulung yang tertuang di dalam artikel jurnal Zulkifli
menyebutkan bahwa Pendidikan Islam itu merupakan sebuah proses penyiapan generasi
muda dalam rangka mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia serta memetik hasilnya kelak di
akhirat nanti.7 Sementara menurut Azyumardi Azra, Pendidikan Islam merupakan pendidikan
manusia seutuhnya, mencakup akal, hati, akhlak, jasmani maupun rohani, serta keterampilan.8
Oleh karena itu, Pendidikan Islam seyogyanya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam
keadaan perang maupun keadaan damai, serta mempersiakan manusia dalam menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kesejateraannya, serta manis dan pahitnya. Secara
konseptual Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang memenuhi persyaratan yang
dibutuhkan oleh masyarakat maju dengan memiliki sifat demokratis, rabbaniya, seimbang,
terbuka dan fleksibel9
Di dalam Pendidikan Islam, Alqur’an dan Hadist menjadi pedoman dan panduan
dalam rangka menciptakan akhlak manusia. “Manusia yang melaksanakan pendidikan, maka
ia akan taat pada Allah dan melaksanakan ibadah kepada-Nya (QS. An-Nahl [16]: 125)
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran pokok utama Pendidikan Islam. Ajaran-ajaran
yang bersifat universal tertuang dalam Al-Qur’an. Tentu saja ajaran tersebut harus selalu
dipahami dan digali secara terus-menerus dan mendalam dengan kecerdasan manusia agar
dapat menemukan maknanya yang luas. Namun demikian, terdapat beberapa ayat yang
bersifat global. Untuk itu perlu mendapat penjelasan lebih detail, yang mana penjelasan
5
Maya, R., Lesmana, I., Program, D., Pendidikan, S., Islam, A., Tarbiyah, J., Tinggi, S., & Hidayah Bogor, A.
(2018). Pemikiran Prof Mujamil Qomar tentang Manajemen Pendidikan Islam. I(2).
https://doi.org/10.30868/im.v1i2.28 1
6
Zulkifli, Z. Regulasi Pendidikan Islam. http://dx.doi.org/10.31000/rf.v14j02.904
7
Ibid.
8
Azra, A. Esei esei intelektual muslim pendidikan islam. (Jakarta: Logs Ilmu. 2002) hlm 65.
9
Nata, A. Pendidikan Islam Profetik Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi Asean (Mea). (Jakarta: Misykat
AlAnwar. 2016) hlm 40.
tersebut tertuang di dalam hadist. Itulah sebabnya di dalam dasar Pendidikan Islam, Hadist
merupakan sumber ajaran pokok kedua setelah Al-Qur’an. Di sisi lain, Sunnah merupakan
sebuah penjelasan keuniversalan ajaran Al-Qur’an bersamaan sebagai petunjuk bagi
kemaslahatan hidup manusia sepanjang zaman.
Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem pendidikan yang masuk di dalam kerangka
negara Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran dan sebagai lembaga pendidikan. Sebagai sebuah mata pelajaran, Pendidikan Islam
secara umum sudah masuk dalam kurikulum nasional pada seluruh sekolah, baik sekolah
umum maupun sekolah keagamaan. Hal ini sebagai bukti bahwa dalam konteks dasar,
Pendidikan Islam sudah memberi kontribusi positif dalam pendidikan nasional. Sementara itu
sebagai lembaga pendidikan Islam, Pendidikan Islam hingga hari ini sudah mampu
membentuk lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun in-formal.

Pembahasan
A. Pendidikan Islam di Indonesia
Sejak awal munculnya islam di nusantara, para ulama telah menggunakan dua
model Pendidikan dalam mengajarkan ajaran islam terhadap masyarakat islam. Yaitu
melalui model Pendidikan non formal seperti padepokan dan pondok pesantren dan in-
formal seperti penyebaan ajaran islam melaui dakwah antar rumah ke rumah. Dalam
perkembangannya, dua macam model tersebut dipandang efektif dalam menyebarkan
ajaran islam di bumi nusantara.
Dalam perkembangannya, ajaran islam yang telah berkembang di Indonesia
mulai mengalami gangguan dari budaya-budaya asing yang mulai masuk ke Indonesia
dengan masuknya para penjajah belanda pada tahun 1596 M atau sekitar abad 16
Masehi.10 Dalam menjajahannya, belanda membawa misi gold (emas), glory
(kekuasaan), dan gospel (agama), yang mana dalam hal ini seiring berkembangnnya
budaya barat di Indonesia, pola pikir dan budaya masyarakat mulai terpenetrasi oleh
budaya barat.
Sejak masa penjajahan belanda, pondok pesantren telah menjadi model
Pendidikan karakter Indonesia yang tradisional dan islami, seiring berkembangnya
pondok pesantren di Indonesia kemudian muncul madrasah yang keberadaannya hampir
sama dengan pesantren seakan keduanya merupakan saudara kembar.11

10
Meirison. (2017). Jenis Kepemilikan Dalam Sistem Ekonomi Islam. Kajian Ekonomi Islam. Hlm 20.
Seiring berjalannya waktu dan diraihnya kemerdekaan atas negara kesatuan
republic Indonesia, Pendidikan islam mulai hadir dan berkembang dengan berbagai
model dan capaiannya dalam menciptakan generasi muda yang berakhlak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila sesuai UUD 1945 pada pasal 29 dibangun berlandaskan Pancasila
yang merupakan kristalisasi dari esensi kehidupan budaya bangsa menghendaki agar
watak sosialis religius masyarakat Indonesia tetap lestari dan diperkokoh melalui
pendidikan agama termasuk pendidikan Islam.12
Pada tanggal 3 Januari 1946, Kementerian Agama yang resmi berdiri, hal ini
sangat bernilai positif bagi pengembangan Pendidikan islam di Indonesia karena secara
khusus memperjuangkan dan mengembangkan mutu Pendidikan islam. Pendirian
kementrian agama sendiri didasari oleh pernyataan badan pekerja nasioal pusat (bpknp)
pada tanggal 27 desember 1945 yang menyatakan bahwa pesantren dan madrasah pada
hakekatnya merupakan sebuah alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata
yang sudah mengakar pada masyarakat Indonesia secara umum. Untuk itu perlu
mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah Indonesia.
Oleh sebab itu, pada tahun 1950 pemerintah memberikan pengakuan terhadap
Pendidikan madrasah sebagai lembaga Pendidikan formal dengan diterbitkannya
UndangUndang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar Dasar Pendidikan dan Pengajaran di
sekolah pada pasal 10 menyatakan “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat
pengakuan Kementerian Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar”.
Sehingga dapat difaami bahwa peserta didik yang mengikuti Pendidikan madrasah tidak
perlu lagi mengikuti Pendidikan dasar.13
Selanjutnya pada tahun 1970 madrasah telah berkembang sedemikian rupa,
namun pemerintah kurang memperhatikan madrasah, hal itu dibuktikan dengan
kebijakan pemerintah yang cenderung mengisolasikan madrasah dari Pendidikan
nasional. Kebijakan yang dimasksud adalah Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34
tanggal 18 April Tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan
Latihan. Keputusan tersebut intinya mencakup tiga hal, yakni:
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas
pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.

11
Harmonedi, H. (2020). Eksistensi Pendidikan Islam Dalam Bingkai Regulasi Pendidikan di Indonesia Pasca
Kemerdekaan. Jurnal Pendidikan Islam, 5(2), 309–338. https://doi.org/10.29240/belajea.v5 i2.1331
12
Ibid.
13
Ibid.
2. Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan
keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas
pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.14
Selanjutnya sebagai respon dari kepres Nomor 34 tanggal 18 April Tahun 1972,
pada tahun 1975 pemerintah mengeluarkan surat keputusan Bersama (skb) antara
kemenag, kemendikbud, dan kemendagri Nomor 6 Tahun 1975, No. 037 /U/ 1975 dan
No. 36 Tahun 1975 tanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan
Madrasah. SKB tersebut merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden No.15 Tahun
1972 dan Instruksi Presiden No.15 Tahun 1974, sesuai pada petunjuk presiden di sidang
kabinet terbatas 26 November 1974. SKB ini pada akhirnya melahirkan kurikulum baru
tahun 1976 untuk Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah beserta jurusan-
jurusannya (Syariah, IPS, Matematika, Bahasa, dan IPA). Sementara itu kedudukan
pendidikan agama di sekolah umum tingkat dasar sampai dengan universitas negeri
(yang diperkuat dengan TAP MPR, no. IV/1973, no.IV/1978 dan TAP.no. II/1983
tentang GBHN) direalisasikan dengan kurikulum 1984 (untuk SMA). Disamping
madrasah sebagai sarana peningkatan penghayatan dan pengamalan ajaran Islam,
semakin mapan dan istiqamah.15
Setelah diberlakukannya UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sispenas) terdapat beberapa Langkah strategis yang dilakukan guna
mengembangkan madrasah. Salah satunya adalah diberlakukannya peraturan pemerintah
nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan dasar, yang mana dalam pp tersebut madrasah
ibtidaiyah disetarakan dengan sd, madrasah tsaawiyah disetarakan dengan smp, dan
madrasah Aliyah disetarakan dengan sma/ smu.
Penyama rataan antara madrasah dengan sekolah pada umumnya tentunya
dengan catatan bahwa setiap madrasah harus memuat mata pelajaran umum sesuai
dengan pasal 26 Keputusan Mendikbud No. 0487/V/1992 dan pasal 22 ayat (6) No.
0489/U 11992. Yang menyatakan bahwa “Madrasah mempunyai tugas yang sama
dengan sekolah umum, yaitu memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk
mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan

14
Nizar, S., & Hamka, 1908-1981. Memperbincangkan dinamika intelektual dan pemikiran Hamka tentang
pendidikan Islam: seabad Buya Hamka. (Jakarta: Penerbit Kencana 2008). Hlm 52.
15
Harmonedi, H., & Zalnur, M. (2020). Eksistensi Pendidikan Islam Dalam Bingkai Regulasi Pendidikan Di
Indonesia Pasca Kemerdekaan. Belajea; Jurnal Pendidikan Islam. https://doi.org/10.29240/belajea.v5 i2.1331
anggota umat manusia serta mempersiapkannya untuk mengikuti pendidikan yang lebih
tinggi. Namun dalam aspek lain Madrasah tetap mempunyai ciri khas tersendiri. Atas
dasar itu, kemudia Menteri agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 372 Tahun
1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam (yang mencakup
kurikulum Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah) dan Nomor 373 Tahun 1993
tentang Kurikulum Madrasah Aliyah.
Peleburan mata pelajaran umum pada kurikulum Pendidikan islam kemudian
diperkuat dengan dibukanya madrasah Aliyah program khusus (mapk). Pembukaan mapk
ini didasarkan pada keputusan Menteri agama nomor 374 tahun 1003, yang mana dalam
keputusan tersebut dijelaskan bahwa dalam MAPK porsi mata pelajaran umum sebanyak
30% dan mata pelajaran agama sebanyak 70%. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak
generasi ulama masa depan, sehingga dalam implementasinya mapk banyak
menggunakan system asrama dan pengembangan kemapuan dalam bahasa arab dan
inggris.16
Pendidikan islam semakit diakui sebagai subsistem Pendidikan di Indonesia
pada tahun 2003 dengan diterbitkannya uu nomor 20 tahu 2003 tenntang system
Pendidikan nasional (sisdiknas). Dalam undang-undang tesebut banyak mengatur tentang
kedudukan, fungsi, jalur, jenjang, jenis, dan bentuk madrasah sebagai lembaga
Pendidikan. Dalam undang-undang tersebut juga membahas tentang Pendidikan islam
sebagai bagian dari mata pelajaran di lembaga Pendidikan umum dan kedudukan
Pendidikan islam sebagai sub system Pendidikan nasional.
B. UU Pesantern No. 18 tahun 2019
Saat ini pesantren dengan segala kekhasan dan keistimewaannya telah
dihadapkan dengan UU Pesantern No. 18 tahun 2019. Maka untuk menganalisis hal
tersebut akan menggunakan teknik analisis SWOT yaitu kepanjangan dari “Strengths
(kekuatan), weaknesses (Kelemahan), Opportunities (peluang), Threats ( ancaman)”.
Metode ini digagas oleh Albert Humphrey, seorang pemimpin riset proyek Universitas
Stanford. Berikut ini adalah analisisnya:
1. Strengths ( Kekuatan)
Eksistensi pesantren dalam kancah pendidikan Nasional tidak diragukan lagi,
Karena kiprah pesantren dalam mencerdaskan bangsa telah melahirkan para
ilmuawan-ilmuwan yang ahli agama dan memiliki ahlakul karimah, perannya sejak

16
Harmonedi, H., & Zalnur, M. (2020). Eksistensi Pendidikan Islam Dalam Bingkai Regulasi Pendidikan Di
Indonesia Pasca Kemerdekaan. Belajea; Jurnal Pendidikan Islam. https://doi.org/10.29240/belajea.v5 i2.1331
sebelum Indonsia merdeka sangat nyata dengan ikut andil dalam memperjuangkan
kemerdekaan negara ini, dan juga dalam bidang-bidang lainnya seperti, lembaga
dakwah, pemberdayaan masyarakat juga dalam bidang Pendidikan. Sehingga dengan
disahkannya UU Pesantren maka pesantren memiliki kedudukan yang lebih kuat,
Pesantren memiliki legalitas formal berupa UU, ini adalah merupakan rekognisi
negara dan fasilitasi negara atas jasa besar pesantren terhadap bangsa ini. Mantan
Menteri Agama Lukman Hakim menyatakan: “Karenanya sejak undangundang ini
lahir, maka negara tidak hanya telah memberikan rekognisi terhadap pesantren yang
telah memberikan sumbangsih dan kontribusi sangat besar bagi kemajuan bangsa ini
tapi juga sekaligus memberikan jaminan pengakuan dan juga afirmasi sekaligus
fasilitasi terhadap pengembangan pondok pesantren”.17
Hal ini memperkuat eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
yang mempunyai peran besar terhadap kecerdasan dan kesejahteraan bangsa
Indonesia
2. Weakenesses ( Kelemahan)
Pemerintah dan DPR telah tiga tahun yang lalu mengesahkan UU Pesantren,
tapi sampai saat ini belum melahirkan aturan turunan dai undang-undang tersebut,
baik berupa “Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Persiden ( Perpres) ataupun
Peraturan Menteri ( Permenpan)”. Dalam “UU No.18 Tahun 2019 tentang pesantren”
dibutuhakan dua substansi Peraturan Persiden dan tujuh peraturan pemerintah.
Sehingga dengan belum diterbitkannya aturan turunan dari UU Pesantren tersebut
membuat UU ini terlambat untuk dilkasanakan, karena rekognisi, afirmasi dan
fasilitasi dari pemerintahpun mengalamai penundaan seperti apa yang dikatakan oleh
wakil ketua umum PPP Arwani Thomafi., padahal menurut beliau; Programprogram
ini benar-benar memiliki dampak konkret bagi peningkatan kualitas, kapasitas, dan
daya saing santri”.18
Kendati sudah satu tahun undang-undang pesantren disahkan tetapi masih
memilik kontroversi yang ini merupakan kelemahan bagi undang-undang tersebut
yaitu;
a. Pengertian pesantren
17
Lahirnya UU Pesatren Bentuk Negara beri Afirmasi pada Pesantren, dikuti dari
https://www.nu.or.id/post/read/111344/lahirnya-uu-pesantren-bentuk-negara-beri-afirmasi-pesantren diakses
pada tanggal 18 Mei 2022 pukul; 20;15.
18
Bayu Septianto, Belum Ada Aturan Turunan Undang-undang Pesantern Usai Setahun disahkan, dikutip dari
irto.id/belum-ada-aturan-turunan-uu-pesantren-usai-setahun-disahkan, di akses pada tanggal 18 Mei 2022 pukul;
20;15.
Pengertian pesantern seperti yang tercantum dalam BAB ketentuan umum
pasal 1 tentang definisi pesantren yang harus mengembangkan kurikulum yang
berbasis kitab kuning, sehingga pesantren di indentikan dengan kitab kuning. Hal
ini berarti tidak mengakomodir pesantern yang tidak mengajarkan kitab kuning,
karena di di Indonseia tidak semua pesantren menerapkan kitab kuning sebagai
kurikulumnya. Pasal ini merupakan kelemahan dari undang-undang pesantren
yang tidak merangkul lembaga pesantren yang tidak mengajarkan kitab kuning,
bisa dikatakan pasal ini adalah pasal diskriminatif, padahal undang-undang
disahkan bukan hanya untuk kepentingan sebagian golongan saja, tetapi harus
mengakomodir seluruh golongan di bawah negara Republik Indonesia yang
berasaskan Bhineka Tunggal Ika.
b. Syarat Kiai
Dalam pasal berikutnya ditentukan definsi Kiai, bahwa seorang kiai harus
memiliki latar belakang pendidikan pesantren, faktanya tidak semua kiai memiliki
pendidikan pesantren.19
c. Pendirian lembaga
Pesantren Dalam Bagian kedua pasal enam menyebutkan bahwa pendirian
pesantren harus didaftrkan pesantern harus memiliki izin dari Menteri.20 “Seperti
peraturan yang telah ditetapkan Kementerian Agama Nomor 13 Tahun 2018
bahwa badan, institusi, dan organisasi wajib mendaftar sebagai badan hukum
untuk dapat menerima dana pemerintah. Tidak terkecuali Pesantren. Pesantren
yang mengajarkan kurikulum nasional sudah terdaftar”.21 Kementerian Agama
Melalui bidang yang membawahi mengeluarkan izin pendirian dan oprasional
pesantren, hal ini memunculkan kekhawatiran bagi pondok pesantern yang tidak
memilik izin maka akan dianggap ilegal dan tidak diafirmasi dan difasilitasi oleh
pemerintah. Fakata sosiologis pesantren tumbuh dan berkembang tanpa didahului
izin dari pemerintah dan nampaknya di Indonesia kesadaran masayarakat untuk
mendaftarkan lembaga atau yayasannya masih kurang.22
d. Aturan pendanaan pesantren

19
Rahmat Hidayatullah Permana, “Kontroversi UU Pesantren: Kitab Kuning dan dana Abadi, dikutip dari
https://news.detik.com/berita/d-4719881/, diakses pada hari selasa tanggal 18 Mei 2022 pukul; 20;15
20
“UU No.18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.” BAB III pasal 6
21
Azzahra, “Dampak Undang-Undang Pesantren Terhadap Sistem Pendidikan Indonesia – Sebuah
Proyeksi.”,hlm. 17.
22
Ibid.
Dalam BAB lima tentang pendaanan pesantren menyebutkan bahwa:
“Penyelenggaran pendanaan Pesantren bersumber dari Masyarakat sedangkan
pemerintah hanya membantu penyelengaraan pendidikan pesantren”,23 hal ini
dikhawatirkan pemerintah akan memberikan porsi yang lebih kecil dalam
pendanaan dibandingkan sekolah formal pada umumnya. Karena pemerintah
hanya merupakan sumber dana kedua setelah masyarakat.
3. Opportunities ( Peluang)
Pemerintah melalui UU pesantren akan menerapkan sistem penjaminan mutu
terhadap seluruh jenis pesantren yang berkaitan dengan standar pengajaran,
pengelolaan dan kurikulim, sehingga ini memberikan peluang untuk seluruh jenis
pesantren memliki kualitas yang lebih baik bagi almuninya dan membuka peluang
bagi seluruh lulusannya untuk bisa bersaing dengan lulusan lembaga pendidikan
formal umumnya pada lapangan pekerjaan.
Dengan hadirnya UU Pesantren maka memberikan peluang bagi pesantren
untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah, menurut UU Anggaran Pendidikan
Nasilonal berjumlah 20% dari jumlah APBN, dengan adanya UU pesantren
diharapkan mampu menghapus ketimpangan dana yang diberikan kepada lembaga
kegamaan termasuk pesantren.
4. Threats (Ancaman)
Pesantren dengan kekhasan telah tumbuh dan berkembang di masyarakat
dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga
pemeberdayaan masyarakat, eksistensi pesantren secara historis tidak diragukan lagi,
Independensi yang dimiliki pesantren membuat pesantren tetap eksis hingga saat ini.
Namun dengan lahirnya UU pesantren yang mengatur tentang bebagai hal
yang berkaitan dengan pesantren, memunculkan kehawatiran bahwa pemerintah
terlalu jauh dalam mengintervensi pesantren, hal tersebut akan menjadikan pesantren
kehilangan independensinya, kekhasannysa dan indigenous nya yang dimiliki
pesantren lambat laun akan sirna, hal ini merupakan ancaman bagi dunia pesantren
yang selama ini tidak pernah bergantung pada pemrintah.
Kehawatiran menegnai ketergantungan pesantren pernah dikemukaan oleh
Kemenag melalui Kasubdit Pendidikan Diniyah dan Mahad Aly Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Islam, Aceng Abdul Aziz, mengatakan:
“Pondok-pondok pesantren yang ada sudah dikenal dengan kemandiriannya.
23
“UU No.18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.”BAB V pasal 6
Sehingga, adanya UU Pesantren seharusnya tidak menjadikan ketergantungan pada
negara”.24

PENUTUP
Pergerakan Pendidikan Islam di Indonesia sangat dinamis, seiring dengan dinamika
sosial dan politik. Kehadiran Undang-Undang No 20 tahun 2003 dan Undang-Undang No 18
tahun 2019 merupakan angin segar bagi pendidikan Islam di Indonesia karena kedua Undang-
Undang tersebut semakin memperkuat kedudukan pendidikan Islam serta memberi ruang
gerak yang sangat luas untuk kemajuan dan perkembangan pendidikan Islam, meskipun
dalam pelaksanaannya, pendidikan Islam di tengah masyarakat Indonesia masih ditemukan
beberapa kendala dan masalah yang dapat mereduksi efektifitas pencapaian tujuannya.
Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, sudah
sepantasnya pendidikan Islam berkembang dan maju. Berdasarkan realitas yang ada, maka
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk dilakukan perbaikan
demi mewujukan pendidikan yang sesuai dengan tujuan negara Indoensia yaitu (1) laporan
pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah swasta, (2) pembelajaran baca tulis al-qur’an
dan bahasa arab, (3) perbaikan administrasi pendidikan agama Islam, (4) banyak Tawuran,
dan (5) Integrasi Pendidikan Umum dan Pendidikan Agama.
Berdasarkan diskripsi diatas maka dapat disimpulkan bahwa; Pertama: Pesantren
adalah “lembaga pendidikan Islam tradisonal untuk memepelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan megamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagaman
sebagai pedoman prilaku sehari-hari”. Keberadaannya sudah ada sejak negeri ini belum
merdeka. Sedangkan unsur-unsur yang dimiliki pesantren adalah: a) Aktor yaitu pelaku; Kiai,
Ustadaz, dan penguru pesantren b) Hardware (Perangkat Keras) ; Gedung, asrama, masjid
atau musholla dll. c) software; kurikulum , metode dll. Dan hingga saat ini pesantren tetap
eksis berperan serta dalam mencerdaskan bangsa dan pembangunan nasional untuk menjawab
tantangan globalisasi.
Kedua: UU No.18 tahun 2019 memiliki 5 point utama yaitu a) Pesantren diwajibkan
mengajarkan kitab kuning. b) Pesantren adalah lembaga mandiri kerena nilai-nilai agama
berdasrkan kekhsaannya. c) Kiai harus berpendidikan pesantren. d) Proses belajar mengajar;
bahwa lulusan pesantern ijazahnya memiliki kesetraan dengan lembaga formal lainnya,
dengan penjaminan mutu. e) Pesantren akan mendapatkan dana abadi. Dengan disahkannya

24
Dikutip dari https://republika.co.id/berita/q0hde8320/kemenag-uu-pesantren-jangan-embikinem-ponpes-
bergantung-negara , diaapad tanggal 19 mei 2022.
UU pesantren, diharapkan makin memperkuat eksistensi pesantren dalam perannya
membangun negeri ini.
Ketiga UU pesantern yang telah disahkan pemerintah dan DPR, tentu saja memiliki
kelemahan dan kelebihannya dalam menganalisis undang-undang tersebut digunakan metode
SWOT yaitu Strengths (Kekuatan), weakenesses (kelemahan),Opportunties (Peluang) dan
Threats (ancaman).

DAFTAR PUSTAKA
“UU No.18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.
Azra, A. (2002). Esei esei intelektual muslim pendidikan islam. Jakarta: Logs Ilmu.
Azra, A. (2015). Genealogy of Indonesian Islamic Education: Roles in the Modernization of
Muslim Society. Heritage of Nusantara; International Journal of Religious Literature
and Heritage.
Azzahra, “Dampak Undang-Undang Pesantren Terhadap Sistem Pendidikan Indonesia –
Sebuah Proyeksi.”
Bayu Septianto, Belum Ada Aturan Turunan Undang-undang Pesantern Usai Setahun
disahkan, dikutip dari irto.id/belum-ada-aturan-turunan-uu-pesantren-usai-setahun-
disahkan, di akses pada tanggal 18 Mei 2022 pukul; 20;15.
Daradjat, Z. (1995). Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Dikutip dari https://republika.co.id/berita/q0hde8320/kemenag-uu-pesantren-jangan-
embikinem-ponpes-bergantung-negara , diaapad tanggal 19 mei 2022.
Harmonedi, H. (2020). Eksistensi Pendidikan Islam Dalam Bingkai Regulasi Pendidikan di
Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jurnal Pendidikan Islam, 5(2), 309–338.
https://doi.org/10.29240/belajea.v5 i2.1331
Harmonedi, H., & Zalnur, M. (2020). Eksistensi Pendidikan Islam Dalam Bingkai Regulasi
Pendidikan Di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Belajea; Jurnal Pendidikan Islam.
https://doi.org/10.29240/belajea.v5 i2.1331
Idi, A. (2010). Pengembangan kurikulum: teori & praktik. In Yogyakarta: ArRuzz.
Kementerian Agama, R. (2010). al-Quran dan Tafsirnya. In Jilid 4.
Kuntoro, A. T. (2019). Manajemen Mutu Pendidikan Islam. Jurnal Kependidikan, 7(1).
https://doi.org/10.24090/jk.v7i1.29 28
Lahirnya UU Pesatren Bentuk Negara beri Afirmasi pada Pesantren, dikuti dari
https://www.nu.or.id/post/read/111344/lahirnya-uu-pesantren-bentuk-negara-beri-
afirmasi-pesantren diakses pada tanggal 18 Mei 2022 pukul; 20;15.
Maya, R., Lesmana, I., Program, D., Pendidikan, S., Islam, A., Tarbiyah, J., Tinggi, S., &
Hidayah Bogor, A. (2018). Pemikiran Prof Mujamil Qomar tentang Manajemen
Pendidikan Islam. I(2). https://doi.org/10.30868/im.v1i2.28 1
Meirison. (2017). Jenis Kepemilikan Dalam Sistem Ekonomi Islam. Kajian Ekonomi Islam.
Nata, A. (2016). Pendidikan Islam Profetik Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi Asean
(Mea). Misykat AlAnwar.
Nizar, S., & Hamka, 1908-1981. (2008). Memperbincangkan dinamika intelektual dan
pemikiran Hamka tentang pendidikan Islam : seabad Buya Hamka. In Penerbit
Kencana.
Rahmat Hidayatullah Permana, “Kontroversi UU Pesantren: Kitab Kuning dan dana Abadi,
dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-4719881/, diakses pada hari selasa tanggal
18 Mei 2022 pukul; 20;15
UU No 20. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Zulkifli, Z. (2018). REGULASI PENDIDIKAN ISLAM. Rausyan Fikr : Jurnal Pemikiran
Dan Pencerahan. https://doi.org/10.31000/rf.v14i02. 904

Anda mungkin juga menyukai