Anda di halaman 1dari 15

FEMINISME DALAM SASTRA

Mata Kuliah:

Gender Dalam Sastra

Dosen Pengampu:

Muhammad Hafidz Assalam, S.S., M.A.

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Asna Sari Pardede 2192510010


Angelika Simarmata 2193210003
Grace Purba 2191210006

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
Makalah Studi Kelayakan tepat pada waktunya.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Hafidz Assalam, S.S.,
M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Gender Dalam Sastra yang merupakan mata kuliah
yang diselenggarakan di Program Studi Sastra Indonesia. Karena sifatnya membantu, maka
seyogyanya mahasiswa/i yang lain dapat melengkapi makalah ini dengan bahan bacaan
materi yang lain sehingga akan membantu dan memahami materi yang sebelumnya telah
disajikan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penyusun nantikan.
Semoga pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Medan, Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................5
1.3 Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1 Pengertian Feminisme Dalam Sastra......................................................................................6
2.2 Sejarah Lahirnya Teori Feminisme Sastra.............................................................................6
2.3 Tokoh-tokoh Feminisme dalam Sastra...................................................................................8
2.4 Fokus Kajian Feminisme dalam Sastra................................................................................10
2.5 Teori Analisis Feminisme dalam Sastra...............................................................................11
BAB III................................................................................................................................................14
PENUTUP...........................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan baik dilihat dari sisi biologis maupun
psikologis dan kultural. Sehubungan dengan hal itu, terdapat dua istilah untuk menjelaskan
perbedaan tersebut, yaitu: male dan female yang mengacu pada seks, dan masculine dan
feminine yang mengacu pada gender. Male dan female merupakan sesuatu yang kodrati, yang
secara biologis membedakan laki-laki dan perempuan secara fisik dimana laki-laki lebih kuat
dari perempuan, perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, tetapi tidak laki-laki.
Sedangkan feminine dan masculine ditentukan secara kultural dimana secara psikologis
manusia bukannya terlahir ’sebagai’ laki-laki atau perempuan tetapi ’menjadi’ laki-laki dan
perempuan. Sejak awal sekali, masyarakat telah membedakan asumsi dan anggapan terhadap
dua gender tersebut. Dalam sebagian besar masyarakat di seluruh dunia, laki-laki sering kali
dianggap sebagai kaum superior dan perempuan sebagai kaum inferior. ”Anak laki-laki, lebih
lebih dalam sistem kekeluargaan partiarkhat selalu menjadi satu satunya harapan dalam
melanjutkan keturunan.” (Ratna: 2004: 183). Laki-laki dianggap figur otoritas sedangkan
perempuan dikenal sebagai makhluk lembut, setia, dan penuh pengabdian. Perbedaan secara
kultural juga ditunjukkan oleh bahasa dimana terdapat kedudukan tertentu yang sepertinya
hanya hak laki-laki, contohnya kata tuan tanah, tetapi tidak ada nyonya tanah, chairman dan
tiak ada chairwoman. Begitu pula sapaan ’tuan’ dapat digunakan ketika menyapa laki-laki
baik yang sudah menikah atau pun lajang. Berbeda dengan panggilan ’nona’ atau ’nyonya’
kepada perempuan yang berbeda sebagai akibat ketergantungannya dengan laki-laki.
Perbedaan biologis yang kodrati seringkali dijadikan alasan untuk memandang perempuan
sebagai warga kelas dua (second sex). Dengan sendirinya perempuan dianggap sebagai
makhluk lemah yang selalu tunduk pada kekuasaan laki-laki. Padahal menurut Dagun (dalam
Ratna: 2004: 187) belum ada penelitian yang menunjukkan adanya korelasi antara kondisi
biologis dengan perbedaan perilaku. Sebaliknya, dapat dipastikan bahwa perilaku
dipengaruhi bahkan ditentukan oleh ciri ciri kebudayaan tertentu. Apabila dilihat dari sisi
kesusastraan, karya sastra kerap kali menunjukkan hegemoni laki-laki terhadap perempuan
dan bahwa perempuan adalah objek erotik laki-laki. ”Dalam sastra Jawa kuna, terutama
dalam wiracarita dan kakawin tampak jelas bahwa pencitraan perempuan cenderung sebagai
sosok pujaan. Perempuan adalah figur yang patut diperebutkan oleh laki-laki, terutama

4
karena kecantikan dan kebolehannya. Poin pentingnya: perempuan harus setia kepada laki-
laki (Endraswara: 2011: 144). Gejala kultural yang seringkali membedakan kedua gender atas
dasar kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok laki-laki, dan karya sastra yang
sering menjadikan wanita sebagai objek dan semata makhluk lemah yang berada di bawah
dominasi laki-laki, memunculkan teori feminis yang mencoba memberikan jalan tengah agar
keduanya memiliki kedudukan seimbang sesuai dengan kondisinya dalam masyarakat.
Jadi, teori feminis merupakan alat bagi kaum wanita untuk memperjuangkan hak haknya
demi memperoleh kesetaraan kedudukan dengan pria dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi. Apabila dikaitkan dengan penelitian sastra, maka feminisme sastra adalah kajian
sastra dengan pendekatan teori feminis. Dalam melakukan penelitian dengan pendekatan ini,
sudut pandang yang seharusnya digunakan peneliti adalah reading as women atau membaca
sebagai wanita, agar tumbuh kesadaran bahwa perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi
pemaknaan cipta sastra.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalama makalah ini adalah:

1. Apa pengertian feminisme dalam sastra?


2. Bagaimana sejarah lahirnya teori feminisme sastra?
3. Siapa saja tokoh-tokoh feminisme?
4. Bagaimana fokus kajian feminisme dalam sastra?
5. Bagaimana teori analisis feminisme dalam sastra?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian feminisme dalam sastra


2. Untuk mengetahui sejarah lahirnya teori feminisme sastra
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh feminisme dalam sastra
4. Untuk mengetahui fokus kajian feminisme dalam sastra
5. Untuk mengetahui teori analisis feminisme dalam sastra

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Feminisme Dalam Sastra


Feminisme yang berasal kata dari “Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal)
yang berjuang untuk memperjuangkan hak –hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas
sosial. Tujuan dari feminism ini adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan
gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan diendahkan oleh kebudayaan yang dominan. Baik
dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya. Dalam arti leksikal,
feminism adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
wanita dan ria. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki –laki dan wanita di
bidang politik, ekonomi dan sosial ; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak –
hak serta kepentingan wanita. Dalam kajian sastra, feminisme berhubungan dengan konsep
kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita.
Kritik sastra feminis bukan berarti pengeritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik
tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik memandang
sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.

2.2 Sejarah Lahirnya Teori Feminisme Sastra


Feminisme lahir pada awal abad ke 20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam
bukunya yang berjudul A Room for One’s Own (1929). Paham ini mengalami perkembangan
yang pesat pada tahun 1960an yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan kontemporer
dengan model analisis yang mencakup bidang sosial, politik, dan ekonomi. Menurut A
Teeuw gerakan feminisme di dunia Barat dipicu oleh beberapa faktor (Ratna: 2004: 183,
184), yaitu:

1. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan


diri dari kekuasaan laki-laki.
2. Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3. Lahirnya gerakan pembebasan dan ikatan ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja,
ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya.
4. Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.

6
5. Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial,
seperti Kritik Baru dan strukturalisme.
7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxis orthodoks.

Gerakan-gerakan pembebasan seperti disebutkan di atas memunculkan gerakan


feminisme yang ingin memperjuangkan hak hak kaum wanita, mendekonstruksi sistem
dominasi dan hegemoni, dan melakukan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan
kelompok yang dianggap lebih kuat. Teori teori feminis erat kaitannya dengan konflik kelas
dan ras, khususnya konflik gender. Feminisme pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi,
gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam
bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pada akhir abad ke 20, khususnya di Barat,
feminisme merupakan salah satu gejala yang sangat penting. Di Indonesia, emansipasi mulai
diperhatikan sejak repelita III, ditandai dengan pengangkatan Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita. Secara akademis ditandai dengan dibukanya Program Studi Kajian Wanita
di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Dalam sastra, sudah diperhatikan
sejak tahun 1920an, ditandai dengan hadirnya novel novel Balai Pustaka, dengan
mengemukakan masalah masalah kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode
1930an yang diawali dengan Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana dengan
tidak melupakan jasa jasa kepeloporan R.A. Kartini. Secara historis, keberadaan dan
perjuangan kaum perempuan di Indonesia ditandai dengan dilangsungkannya Kongres
Perempuan Indonesia I tahun 1928 di Yogyakarta, Kongres Perempuan Indonesia II tahun
1935 di Jakarta, dan Kongres Perempuan Indonesia III di tahun 1938 di Bandung, yang
sekaligus menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu. (Ratna: 2004: 191, 192).
Adapun masuknya teori feminis ke Indonesia dibawa oleh Ateeaw, yaitu seorang pakar sastra
dan budaya Indonesia yang berasal dari Belanda. Sesuai dengan latar belakang kelahirannya,
sebagai gerakan politik, sosial, dan ekonomis, analisis feminis dengan demikian termasuk
penelitian multi disiplin, melibatkan berbagai ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan
sastra, bidang studi yang relevan diantaranya: tradisi literer perempuan, ciri ciri khas bahasa
perempuan, tokoh tokoh perempuan, novel populer dan perempuan, dan sebagainya. Dalam
kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan
kesetaraan gender (emansipasi) dan dekonstruksi sistem penilaian karya sastra yang biasanya
hanya dilihat dari sudut pandang laki-laki.

7
2.3 Tokoh-tokoh Feminisme dalam Sastra
Feminisme muncul karena adanya tuntutan persamaan hak antara pria dan wanita.
Feminisme tidak begitu lahir begitu saja, ada beberapa tokoh-tokoh yang melatarbelakangi
munculnya teori feminisme. Maka, berikut ini akan dibicarakan beberapa tokoh penting
feminis, seperti: Luce Irigaray, Julia Kristeva, Helene Cixous dan Dona Haraway.

1. Luce Irigaray

Luce Irigaray yang lahir di Belgia 3 Mei 1930 merupakan salah satu tokoh feminis
yang terkenal dengan mengemukakan argumentasinya dengan menolak pendapat
Freud dan Lacan yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang real,
makhluk simbolik dan makhluk imajiner bagi kaum pria. Irigaray sendiri memusatkan
perhatiannya pada sizofrenia, yang dianggap sebagai bahasa pribadi atau dialek yang
difokuskan pada tatanan simbolik. Dalam rangka menolak argumentasi Freud dan
menolak dominasi laki-laki, Irigaray juga memusatkan perhatiannya pada peranan
bahasa, khususnya bahasa perempuan. Menurutnya karena laki-laki punya rumah
bahasa, maka perempuan juga harus membangun rumah bahasanya sendiri, rumah
yang membebaskannya dari penjara laki-laki, rumah yang akan dimanfaatkan sebagai
tempat untuk mengadakan perbaikan nasib secara total. Sehingga pada nantinya
perempuan tidak berbicara seperti perempuan melainkan berbicara sebagai perempuan
(Sarup dalam Ratna, 2004: 198). Irigaray juga mengemukakan bahwa untuk
menyamai phallus laki-laki, maka perempuan harus berbicara melalui bahasa. Dan
untuk membentuk citra dirinya sendiri, perempuan harus mampu tampil bagi diri
mereka sendiri, dengan sendirinya dengan cara yang berbeda dari apa yang dilakukan
oleh kaum laki-laki.

2. Julia Kristeva

Perempuan kelahiran Bulgaria pada 24 Juni 1941 ini memunculkan feminisme


melalui tampilan teks sebagai material produksi yang merupakan dekonstruksi
hegemoni budaya barat. Salah satu konsepnya yang paling terkenal yaitu semanalysis,
metode yang memusatkan perhatian bukan semata-mata pada fungsi bahasa sebagai
sarana komunikasi, melainkan juga pada material bahasa, seperti: suara, irama dan
ciri-ciri grafis. Kristeva sendiri adalah seorang ahli bahasa seperti Irigaray yang terjun

8
kedalam dunia kritik feminis. Dan ketertarikannya pada feminis juga berangkat dari
teori Freud dan Lacon yang mengganggap perempuan sebagai makhluk lemah.
Kristeva memberikan perhatian pada subjektivitas dan aspek sosial historis dunia
penandaan (semiotika). Semiotik ini disebut sebagai feminis. Menurutnya bahasa
bukan sistem yang monolitik, melainkan proses penaandaan yang kompleks,
heterogen yang ada di dalam dan di antara subjek, dari struktur homogeny kearah
bahasa sebagai proses heterogen.

3. Helene Cixous

Helen Cixous (15 Juni 1937) adalah seorang novelis, penulis drama, sekaligus kritikus
feminis. Pusat perhatiannya terhadap feminisme ada dua macam, yaitu: hegemoni
oposisi biner dalam kebudayaan Barat dan Praktik Penulisan feminine yang dikaitkan
dengan tubuh. Oposisi biner yang dimaksudkan misalnya: father/mother, sun/moon,
culture/nature, yang sering dikaitkan dengan oposisi laki-laki dan perempuan.
Untuk menolak hegemoni laki-laki, maka menurut Cixous harus dilakukan dengan
praktik menulis feminine, praktik menulis dalam kaitannya dengan tubuh dengan
salah satu cirinya adalah kedekatannya dengan suara. Perempuan harus menulis
tentang dirinya sendiri, menulis mengenai perempuan dan membawa perempuan
kedalam tulisan. Karena tulisan dianggap sebagai ruang yang istimewa untuk
mengeksplorasi diri. Lebih jauh Cixous membicarakan hubungan esensial antara
tulisan perempuan dan ibu sebagai sumber asal muasal suara yang terdengar di dalam
semua teks perempuan. Feminitas dalam tulisan merupakan hak istimewa suara,
tulisan dan suara tak bisa dipisahkan, keseluruhan pembicaraan perempuan adalah
suara perempuan. Secara fisikal, perempuan mematerialisasikan apa yang
dipikirkan,ia memaknakannya dalam tubuhnya. Perempuan, dengan kata lain secara
keseluruhan dan secara fisik hadir dalam suaranya, dan tulisannya merupakan
perluasan identitas dirinya sebagai tindak kata.

4. Donna Haraway

Donna Haraway memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai feminisme. salah
satu aspek yang dikemukakannya adalah kegairahannya dalam mendukung dan
memanfaatkan proyek teknologi modern, yaitu cyborg. meskipun berdampak

9
negative, tetapi demi tercapainya redefefinisi gender, sebagai penciptaan ulang
terhadap perempuan, maka cyborg dianggap sebagai salah satu cara untuk
memperjuangkan kesetaraan gender. Cyborg dianggap mampu untuk menerobos
hakikat biologis dan determinisme sejarah manusia yang sepanjang abad telah
didominasi oleh dunia laki-laki. Sastrra feminisme di Indonesia diperkenalkan
pertama kali oleh A. Teew yang merupakan seorang pakar sastra dan budaya
Indonesia yang berasal dari Belanda.

2.4 Fokus Kajian Feminisme dalam Sastra


Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis,
yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Kritik sastra feminis
bukan berarti pengeritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang
wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik memandang sastra dengan
kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan
budaya,sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran
membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkal,yang
sampai sekarang masih menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin
pada diri penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah yang memengaruhi situasi
sistem komunikasi sastra.

Endraswara (2003: 146) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam
kajian feminisme yang difokuskan adalah: a. kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam
sastra, b. ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk
pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan, c. memperhatikan faktor pembaca sastra,
bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Kolodny dalam
Djajanegara (2000: 20-30) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu: a.
dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh
karya sastra yang dihasilkan di abad silam; b. membantu kita memahami, menafsirkan, serta
menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan. Kuiper (Sugihastuti dan Suharto, 2002:68)
juga mengungkapkan tujuan penelitian feminis sastra sebagai berikut: 1. Untuk mengkritik
karya sastra kanon dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada
patriakhar; 2.Untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan;
3.Untuk mengokohkan gynocritic, yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan
untuk mengokohkan kanon perempuan; 4.Untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari

10
gender dan identitas. Adapun sasaran penting dalam analisis feminism sastra sedapat
mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas
citrawanita yang merasa tertekan oleh tradisi. Dominasi budaya partikal harus
terungkap secara jelas dalam analisis.
2. Mengungkap tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh
pengarang pria.
3. Mengungkapkan ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka
memandang diri sendiri dalam kehidupa nyata.
4. Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum
feminis. apakah penulis wanita akan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi
atau tidak.
5. Mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun
pengarang lebih suka terhadap hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang
dan sebagainya.

Sementara itu, Selden (Pradopo dalam Endaswara, 2011: 147) menggolongkan fokus
pengkajian feminisme sastra ke dalam lima fokus:
1. Biologi, yang sering menempatkan perempuan lebih inferior, lembut, lemah dan
rendah.
2. Pengalaman, sering kali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas,
masalah menstruasi, melahirkan, menyusui dan seterusnya.
3. Wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki
memiliki “tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini, akan menimbulkan stereotip yang
negative pada diri wanita, wanita sekedar kanca winking.
4. Proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan
otoritas laki-laki. Seksualitas wanita besifat revolusioner, subversif, beragam, dan
terbuka. Namun demikian, hal ini masih kurang disadari oleh laki-laki.
5. Pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan sosial dan ekonomi yang
berbeda dengan laki-laki.

2.5 Teori Analisis Feminisme dalam Sastra


Feminisme sebagai gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau
kebebasan menentukan dirinya sendiri. Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini

11
tidak dimiliki kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat mereka dengan laki-
laki dan umunya, yaitu persamaan derajat mereka dengan laki-laki dan otonomi untuk
menentukan apa yang baik bagi dirinya. ( Yasa, 2012: 37). Analisis dalam kajian feminisme
hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek ketindasan wanita atas diri pria. Isu feminis
selalu dikaitkan dengan isu persamaan hak dan kesetaraan gender. Namun, isu yang diangkat
oleh feminis lebih dari itu. Dalam teori kontemporer, perhatian tidak lagi dipusatkan pada
kehidupan perempuan, melainkan meluas ke arah analisis gender. Bagaimana pengaruh
gender dalam kehidupan social manusia. Jika kita mampu melihat dengan jeli, politik
internasional dan hubungan internasional hanya dipegang oleh lelaki kebanyakan. Perempuan
tidak banyak terlibat dalam mengambil keputusan dan membentuk pola politik internasional.
Berikut ini adalah asumsi dasar yang dikemukakan kaum Feminis:

 Kaum feminis tidak menganggap sifat dasar manusia sebagai sesuatu yang tidak
berubah.
 Dari perspektif seorang feminis, kita tidak bisa membuat suatu perbedaan yang
jelas antara ‘fakta’ dan suatu ‘nilai’.
 Ada suatu hubungan erat antara pengetahuan dan kekuasaan dan antara ‘teori-
teori’ kita tentang dunia dengan kebiasaan kita, bagaimana cara kita melibatkan
diri dengan lingkungan fisik dan social di sekitar kita.
 Kaum feminis postmodern itu tersendiri (para postmodernis menolak klaim
universalitas), kaum feminis memiliki suatu komitmen yang sama pad aide
kemajuan social dan kebebasan atau emansipasi kaum perempuan.

Pada kenyataan yang ada, asosiasi bela Negara atau pertahanan kepentiangan nasional
selalu dilekatkan pada peran lelaki. Sedangkan, perempuan hanya diberikan peran domestic
seperti menjadi ‘pemberi rasa aman’ seperti ibu yang baik, istri yang setia, guru, perawat, dan
pekerja social. Sehingga, muncullah pemahaman yang sangat kuat dan mengakar bahwa
politik internasional diidentikkan dengan maskulinitas seperti kekuasaan, kekuatan, otonomi,
kebebasan, dan rasionalitas. Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi
sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi olek kekuasaan laki-laki,
sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang terus-menerus ke arah kesataraan gender,
(2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah obyek fantastis
yang menarik. Wanita selalu dijadikan obyek kesenangan sepintas oleh laki-laki. Karya-karya
demikian selalu memihak, bahwa wanita sekadar orang yang berguna untuk melampiaskan

12
nafsu semata, (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga terjadi
tindak asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita
pada posisi lemah (tak berdaya). Dengan kata lain, memang ada perbedaan visi penulis laki-
laki dan wanita. Kedua kubu tersebut sering memiliki daya kontra satu sama lain yang tak ada
ujung pangkalnya. Bahkan kedua belah pihak sering mengungkapkan adanya sikap saling
menyalahkan akibat perbedaan gender. Itulah sebabnya, analisis feminisme seyogyanya
mengikuti pandangan Barret (Pradopo, 1991: 142) yakni : (1) peneliti hendaknya mampu
membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan wanita, (2) ideologi sering
mempengaruhi hasil karya penulis. Ideologi dan keyakinan laki-laki dengan wanita tentu saja
ada perbedaan yang prinsipil, (3) seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang
dihasilkan pengarang mampu melukiskan keadaan budaya mereka. Perbedaan gender sering
mempengaruhi adat dan budaya yang terungkap. Tradisi laki-laki dan perempuan dengan
sendirinya memiliki perbedaan yang harus dijelaskan dalam analisis gender.
Secara rinci, menurut Sholwater (1988) ada tiga fase tradisi penulisan sastra oleh wanita,
yaitu: :
 Para penulis wanita, seperti George Eliot sering meniru dan menghayati standar
estetika pria yang dominan, yang mengkehendaki bahwa wanita tetap memiliki
posisi terhormat. Latar utama karya mereka adalah lingkungan rumah tangga
dan kemasyarakatan.
 Penulis wanita yang telah bersikap radikal. Pada saat ini wanita berhak memilih
cara mana yang tepat untuk berekspresi. Begitupula tema-tema garap juga
semakin kompleks.
 Hasil tulisan wanita disamping mengikuti pola terdahulu, juga semakin sadar
diri. Wanita telah sadar bahwa dirinya bukanlah “bidadari rumah” melainkan
harus ada emansipasi.
Sholwater juga menegaskan bahwa dalam analisis feminisme sastra perlu menelusuri
lebih jauh tentang : (1) perbedaan hakiki antara bahasa penulis pria dan wanita, perbedaan
tersebut akan dipengaruhi oleh konteks budaya yang ditakdirkan berbeda. Apakah wanita
lebih banyak menggunakan bahasa estetis yang penuh rasa, penuh daya mistik, berbau kuno,
dan seterusnya. Sebaliknya, mungkin laki-laki lebih terbuka dalam menyoroti hal-hal yang
negatif, (2) seberapa jauh pengaruh budaya yang melekati pada wanita dan laki-laki dalam
sebuah cipta rasa. Apakah laki-laki cenderung ingin mempertahankan budaya yang
menghegemoni wanita, dan sebaliknya wanita hanya bersikap pasrah, adalah gambaran yang
sangat berarti dalam analisis feminisme.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Feminisme lahir karena perempuan sudah lelah untuk dinomorduakan dalam segala hal.
Hal ini secara tradisional disebut emansipasi wanita, dimana perempuan menuntut hak yang
setara dalam bidang politik, intelektual, kebudayaan bahkan dalam kesusastraan. Sebagai
karya sastra, feminisme dimulai sejak Balai Pustaka dilanjutkan pada periode Pujangga Baru
seperti dalam karya Sutan Takdir Alisjahbana melalui novel Layar Terkembang.
Feminisme memusatkan perhatiannya pada kaum perempuan dengan cara membangun teori
yang dianggap mampu untuk meredam dominasi laki-laki yang yang sangat kuat. Irigaray
(bahasa perempuan), Kristeva (semanalysis), Cixous (praktik menulis feminin) dan Haraway
(cyborg) dengan minat masing-masing sangat memberikan sumbangan yang berarti dalam
menopang perjuangan kaum perempuan. Analisis dalam kajian feminisme juga hendaknya
mampu mengungkap aspek-aspek ketindasan wanita atas diri pria. Isu feminis selalu
dikaitkan dengan isu persamaan hak dan kesetaraan gender. Dan melalui feminisme
perempuan mampu menunjukkan ke’aku’annya. perempuan bukan lagi sebagai makhluk
lemah dan makhluk imaginer yang selama ini ada dalam benak para lelaki. Namun
perempuan juga mampu berkarya dan produktif sama dengan laki-laki.

14
DAFTAR PUSTAKA

Gamble, Sarah. 2004. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta:


Jalasutra.

Primariantari, dkk. 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Yogyakarta: Kanisius.

Adji,S.E.Peni.2003.Karya Religius Danarto:Kajian Kritik Sastra Feminis. Dalam Jurnal


Humaniora Volume XV,No 1/2003,hal 23-28 Yogyakarta.Gajah Mada.University
Press.

Budianti, Melani.2002. Pendekatan Feminis Terhadap Wacana Sebuah


Pengantar.Yogjakarta: Kanal.

Djajanegara,Soenarjati.2000. Kritik Sastra Feminis: sebuah pengantar. Jakarta:gramedia.

Krisna Djaya Darumurti, Karakter Ilmu Hukum : Pendekatan Fungsional dalam Kaitan
dengan Pendidikan Hukum, dalam Refleksi Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol 1, No. 2
(2017)

Sugihastuti dan Suharto.2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada
Aliran Utama Pemikiran Feminis. Diterjemahkan Oleh Aquarini Priyatna
Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra.

15

Anda mungkin juga menyukai