Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PENDIDIKAN MODAL DAN KARAKTER BANGSA

DISUSUN OLEH :
YULLIA PUTRI (2223031007)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER IPS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
SOAL
Pada pertemuan ini sdr diminta untuk melakukan 1. Lakukan analisis pendidikan nilai moral
dan karakter pada jenjang pendidikan di Indonesia dari dasar sd pendidikan tinggi 2. Lakukan
perbandingan dgn mengambil contoh negara berkembang lainnya 3. Analisis tingkat nilai
moral dan karakter dgn beberapa kasus2 yg mendukung temuan sdr secara teoritis 4. Buat
analisisnya boleh dlm bentuk tabel, grafik, diagram dll 5. Lampirkan pdf atau link sumber
tulisan sdr. 6. Dikumpul besok paling lambat pkl 16.00
JAWABAN SOAL NOMOR 1
Analisis Pendidikan Karakter di Berbagai Jenjang Pendidikan
1. Implementasi Pendidikan Karakter di TK (PAUD)
Pada beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa terdapa hubungan erat antara
keberhasilan akademik serta perilaku pro-sosial anak, sehingga diperlukan suasana
lembaga PAUD yang menyenangkan dan kondusif agar proses pembelajaran
berlangsung efektif. Begitu pula pemelajaran di Taman Kanak-kanak (TK). Pendidikan
kanak-kanak (TK) merupakan salah satu bentuk PAUD yang memiliki peran penting
untuk mengembangkan keperibadian anak serta mempersiapakan peserta didik
memasuki jenjang selanjutnya. Sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini,
lembaga ini menyediakan program pendidikan dini sekurang-kurangnya 4 tahun sampai
memasuki jenjang pendidikan dasar.
Hasil studi yang dilakukan Lawrence J. Schweinhart (1994) menunjukkan
bahwa pengalaman anak-anak di masa TK dapat memberikan pengaruh positif terhadap
perkembangan anak selanjutnya. Oleh karena itu US Department of Health and
Services (2001) telah membuat sebuah pernyataan bahwa “kematangan sosial emosi
anak usia dini adalah penentu keberhasilan anak di sekolah lanjutannya”, dan juga
memberikan rekomendasi tentang kompetensi yang harus dicapai oleh anak-anak usia
TK yang mencakup: percaya diri (confidence), rasa ingin tahu (curiosity), motivasi,
kemampuan kontrol diri (self-control), kemampuan bekerja sama (cooperation,)mudah
bergaul dengan sesamanya, mampu berkonsentrasi, rasa empati, kemampuan
berkomunikasi.
2. Implementasi Pendidikan Karakter di SD (Sekolah Dasar)
Pros es belajar perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Untuk
mendukung hal tersebut, diperlukan pemahaman para guru mengenai karakteristik
siswa dan proses pembelajarannya, khususnya di SD. Dalam psikologi perkembangan,
usia peserta didik di SD berada dalam periode late childhood (akhir masa kanak-kanak).
Mereka kira-kira berada dalam rentang usia antara enam/tujuh tahun sampai sekitar tiga
belas tahun. Periode ini ditandai dengan kondisi yang sangat memengaruhi penyesuaian
pribadi dan sosial anak.
Pada saat anak masuk ke kelas satu, terjadi perubahan besar dalam kehidupan
anak. Mereka dihadapkan pada suasana lingkungan baru yang menuntut mereka dapat
menyesuaikan diri. Masuk ke kelas satu inilah merupakan peristiwa penting dalam
kehidupan anak sehingga dapat mengakibatkan perubahan sikap, nilai, dan perilaku.
Hal yang sama juga terjadi pada setahun atau dua tahun terakhir pada masa kanak-kanak
(late childh ood). Pada masa ini terjadi perubahan fisik yang menonjol, yang dapat
mengakibatkan perubahan sikap, nilai, dan perilaku. Disebabkan menjelang
berakhirnya periode ini, anak mempersiapkan diri secara fisik dan psikologis untuk
memasuki masa remaja. Pada masa-masa akhir kanak-kanak lah seluruh potensi yang
dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.
Pendidikan di SD dilaksanakan berdasarkan rencana pembelajaran yang telah
dikembangkan oleh guru. Proses pembelajaran harus dirancang guru sehingga
kemampuan siswa, bahan ajar, proses belajar, dan sistem penilaian sesuai dengan
tahapan perkembangan siswa.
Berikut terdapat nilai-nilai berbasis pendidikan karakter yang dapat diterapkan di SD.
1. Keteladanan
2. Pembiasaan Spontan
3. Pembiasaan Rutin
4. Pengkondisian

2. Implementasi Pendidikan Karakter di SMP (Sekolah Menengah Pertama)


Remaja adalah masa anak mencari jati dirinya, siklus perubahan yang di alami
setelah melewati masa anak-anak. Waktu dimana anak mengenali kehidupan dan
lingkungan barunya. Anak harus lebih di didik karena bila tidak hal-hal negatif akan
masuk ke dalam kehidupannya. Pendidikan karakter disini sangat dibutuhkan guna
menunjang moral anak ke arah yang benar. Pendidikan karakter bisa diajarkan melalui
apa saja dan dimana saja, contoh yang formal yaitu sekolah. Di sekolah tentunya telah
diajarkan nilai-nilai yang berkaitan pendidikan berkarakter yang di dalamnya
berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika
akademik, dan prinsip-prinsip HAM. Hal itu terangkum dalam butir-butir nilai yang
dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan
lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud
dan diskripsi ringkasnya :
a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
b. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a) Jujur
b) Bertanggung jawab
c) Bergaya hidup sehat
d) Disiplin
e) Kerja keras
f) Percaya diri
g) Berjiwa wirausaha
h) Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i) Mandiri
c. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b) Patuh pada aturan-aturan social
c) Menghargai karya dan prestasi orang lain
d) Santun
d. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan dan kebangsaan
a) Peduli sosial dan lingkungan
b) Nilai kebangsaan
c) Nasionalis
d) Menghargai keberagaman
3. Implementasi Pendidikan Karakter di SMA (Sekolah Menengah Atas)
Usia-usia semasa SMA berada pada tingkatan remaja yang menuju pada
kedewasaan. Mereka sudah dapat menempatkan dirinya sebagai bagian dari anggota
masyarakat dan siap terjun ke masyarakat luas. Sebenarnya, pembentukan pendidikan
karakter di jenjang SMA ini sama halnya dengan jenjang sebelumnya. Namun, masih
terdapat perbedaan pada sikap dan perlakuan guru. Di SMA, guru tidak lagi menuntun
penuh para peserta didiknya karena usia 16-18 tahun dianggap sudah mandiri dan
mampu berpikir logis. Tetapi, bukan berarti peran guru itu hilang. Peran guru di SMA
tetap ada yakni sebagai pendidik, pengajar, pembina, pendamping, dan lain sebagainya.
Nilai karakter diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran terwujud
dalam interaksi siswa dengan guru, interaksi siswa dengan siswa, serta penugasan dan
manajemen kelas. Interaksi siswa dengan guru pada kegiatan awal menerapkan nilai
karakter religius pada kegiatan guru mengucapkan salam dan membiasakan siswa
berdoa bersama. Pada kegiatan inti, ditemukan karakter disiplin, mandiri, kerjasama,
tanggung jawab, dan komunikatif ketika guru memberikan materi pembelajaran lalu
memberikan tugas beserta prosedur penugasan pada siswa baik secara individu maupun
kelompok. Pada kegiatan penutup, ditemukan karakter religius ketika guru memberikan
salam dan membiasakan siswa berdoa bersama ketika akhir pembelajaran.
Nilai karakter diimplementasikan dalam evaluasi pembelajaran terwujud dalam
penilaian proses melalui kegiatan mengerjakan tugas dan dapat melalui pengamatan
siswa di dalam kelas. Penilaian hasil didapatkan dari tugas yang telah dikerjakan siswa.
Guru menunjukkan kekurangan dan memberikan bimbingan pada siswa yang belum
dapat mencapai kompetensi dengan baik. Kegiatan tersebut merupakan usaha guru
untuk menerapkan karakter percaya diri dan semangat pada siswa.
4. Implementasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu dirancang secara
komprehensif dengan mencakup penyiptaan budaya dan lingkungan kerja. Dalam hal
ini diperlukan peran serta aktif dari seluruh pemangku kepentingan internal – dosen,
mahasiswa, karyawan, pimpinan, dan pemangku kepentingan eksternal, khususnya
pengguna lulusan dan alumni. Kesempatan berperan aktif ini diharapkan akan
menumbuhkan rasa ikut memiliki, yang pada gilirannya akan menjadi pendorong kuat
untuk mendukung implementasinya. Dalam pengembangan pendidikan karakter di
perguruan tinggi perlu dibangun budaya dan lingkungan kerja. Karena pengembangan
karakter yang diinginkan memerlukan dukungan budaya dan lingkungan kerja yang
tepat, yang dapat diciptakan berdasarkan nilai-nilai yang diinginkan. Terkait dengan hal
ini, perlu juga dianalisis jenis lingkungan fisik yang diperlukan untuk mendukung
penanaman nilai-nilai karakter yang diinginkan. Penciptaan budaya kerja dan penataan
lingkungan ini hendaknya diwarnai nilai keragaman budaya yang ada di Indonesia
untuk membuat para mahasiswa menghayati hakikat keragaman dalam kehidupan
berbangsa Indonesia, yang antara lain tercermin dalam keragaman jenis musik, mode
pakaian, rancangan ornamen, dan jenis makanan.
Sementara itu, perangkat aturan juga perlu disusun dengan sanksi yang edukatif
(mendukung penanaman/penguatan nilai-nilai yang diinginkan), yang ditegakkan
secara adil (berlaku untuk siapapun), dan tetap menekankan aspek pembinaan. Dalam
hal ini, harus dipilih orang yang tepat untuk menyampaikan sanksi terkait. Dengan
demikian, sanksi apapun akan dirasakan ada hikmahnya oleh yang bersangkutan.
Dengan proses seperti ini, diharapkan warga kampus benar-benar belajar mengubah diri
dengan kesadaran tinggi dan keikhlasan mendalam.
Implementasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi
1. Dalam Program Pendidikan dan Pengajaran
A. Perencanaan
B. Pelaksanaan
C. Penilaian
2. Dalam Program Penelitian dan Pengembangan
Program penelitian dan pengembangan hendaknya mencakup ranah penanaman
nilai-nilai karakter. Penelitian dalam pendidikan karakter merentang dalam
penelitian kuantitatif pada salah satu ujung dan penelitian kualitatif pada ujung
lainnya. Di dalamnya termasuk penelitian tindakan yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas proses pembelajaran menuju hasil yang diinginkan, yang
sangat cocok untuk pendidikan karakter karena mencakup kegiatan refleksi, yang
melibatkan semua pihak dalam kesejajaran. Kemudian perlu juga dilakukan
penelitian pengembangan media pembelajaran karakter, mulai dari nilai-nilai
karakter umum, nilai-nilai karakter khas bidang keilmuan, dan nilai-nilai khas
bidang studi.
3. Dalam Program Pengabdian pada Masyarakat
Pengabdian pada masyarakat dilakukan dengan menfokuskan pada penularan
praktik pendidikan karakter. Hasil penelitian pendidikan karakter hendaknya
dibukukan dalam bahasa yang populer dan disebarkan ke semua pemangku
kepentingan yang berada di masyarakat luas. Mengingat tingkat kemajuan
masyarakat berbeda, cara penyebaran juga perlu disesuaikan, mulai dari yang
tercanggih sampai ke lembaran-lembaran cetakan.
JAWABAN SOAL NOMOR 2
Lakukan perbandingan dgn mengambil contoh negara berkembang lainnya!

Indonesia
 Di Indonesia menggunakan tiga struktur sebagai wahana, jalur, dan medium untuk
menerapkan pendidikan karakter bangsa, yaitu: pertama, Struktur Program, antara
lain jenjang dan kelas, ekosistem sekolah, penguatan kapasitas guru; Kedua, Struktur
Kurikulum, antara lain kegiatan pembentukan karakter yang terintegrasi dalam
pembelajaran(intrakurikuler), kokurikuler, dan ekstrakurikuler; Ketiga, Struktur
Kegiatan, antara lain berbagai program dan kegiatan yang mampu mensinergikan
empat dimensi pengolahan karakter dari Ki Hadjar Dewantara (olah raga, olah pikir,
olah rasa, dan olah hati).
 Struktur program meliputi jenjang dan kelas (SD kelas I-VI; SMP kelas VII-IX).
Pelaksanaan pendidikan karakter pada tiap jenjang melibatkan dan memanfaatkan
ekosistem pendidikan yang ada di lingkungan sekolah.
 Berbagai pemangku kepentingan yang ada pada ekosistem pendidikan tersebut ikut
serta dan bersama-sama bertanggungjawab dan bersinergi untuk memperkuat
pembentukan karakter.
 Pelaku kunci dalam penerapan pendidikan adalah kepala sekolah, pendidik, tenaga
kependidikan, komite sekolah, dan pemangku kepentingan lain. Masing-masing pihak
perlu memahami tugas dan fungsinya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan
pendidikan karakter. Lebih dari itu, kehadiran orang dewasa di lingkungan pendidikan
adalah sebagai guru, yaitu mereka yang digugu (diikuti) dan ditiru (diteladani) oleh
para siswa. Ini berlaku bagi siapapun yang terlibat dalam kegiatan pendidikan.
 Penerapan pendidikan karakter tidak mengubah kurikulum yang sudah ada, melainkan
optimalisasi kurikulum pada satuan pendidikan. Penerapan pendidikan karakter perlu
dilaksanakan di satuan pendidikan melalui berbagai cara sesuai dengan kerangka
kurikulum yaitu alokasi waktu minimal yang ditetapkan dalam Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum, dan kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola oleh satuan pendidikan
sesuai dengan peminatan dan karakteristik peserta didik, kearifan lokal, daya dukung,
dan kebijaksanaan satuan pendidikan masing-masing.
 Pelaksanaan pendidikan karakter disesuaikan dengan kurikulum pada satuan
pendidikan masing-masing dan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Mengintegrasikan pada mata pelajaran yang ada di dalam struktur kurikulum dan
mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) melalui kegiatan intrakurikuler dan
kokurikuler.
b. Mengimplementasikan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler yang
ditetapkan oleh satuan pendidikan.
c. Kegiatan pembiasaan melalui budaya sekolah dibentuk dalam proses rutin,
spontan, pengkondisian, dan keteladanan warga sekolah.
 Selain struktur dalam kurikulum, penerapan pendidikan karakter juga memiliki struktur
pendukung lain seperti; ekosistem dan budaya sekolah; pendidikan keluarga dan
masyarakat
 Struktur kegiatan penerapan pendidikan karakter menyeimbangkan keempat dimensi
pengolahan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, yaitu olah raga, olah pikir, olah
rasa dan olah hati. Sekolah bisa memilih struktur kegiatan yang akan mendorong
terbentuknya keunikan, kekhasan, dan keunggulan sekolah (school branding).
Kegiatan-kegiatan yang mendukung terbentuknya branding sekolah antara lain:
kegiatan akademik, non-akademik seperti olahraga, kegiatan ekstrakurikuler,
pemanfaatan perpustakaan (mengatur jadwal berkunjung, mengikuti lomba
perpustakaan, dan pemberian penghargaan kepada siswa dan guru yang secara rutin
hadir di perpustakaan), dan pemanfaatan potensi lingkungan, seperti sanggar seni dan
museum.
Taiwan
 Pendidikan moral dan karakter di Taiwan tidak hanya sekedar refleksi moralitas
tradisional atau terbatas pada pengajaran pendidikan karakter langsung. Para pendidik
memberikan pendidikan moral dan karakter modern melalui berbagai kurikulum,
seperti kurikulum inti dan kegiatan sekolah
 Program yang disusun pada akhir 2004 dan diubah pada tahun 2006 ini, menawarkan
pedoman dan panduan untuk rencana kurikulum bersama implementasi pendidikan
moral dan karakter di sekolah dasar dan menengah, serta pendidikan sekolah menengah
atas dan dilaksanakan pada bulan Agustus 2004
 Tujuan utama program (Ministry of Education, Taiwan, 2006) adalah untuk
memfasilitasi pengembangan pemikiran moral siswa dan kemampuan mereka untuk
memilih, merenungkan, menghargai dan mengidentifikasi nilai-nilai etika inti dan kode
etik; untuk mengembangkan budaya moral berbasis karakter di sekolah-sekolah.
 Melibatkan guru, siswa, administrator, orang tua dan pemimpin masyarakat;
 Memperkuat peran orang tua dan tokoh masyarakat dalam pendidikan moral dan
karakter sekolah;
 Memberikan kesempatan organisasi non-politik, yayasan budaya dan pendidikan, serta
media massa untuk terlibat dalam mendukung pembentukan moral dan karakter siswa
di sekolah.
Fokus Penerapan Pendidikan Karakter di Indonesia dan Taiwan
SOAL NOMOR 3
Analisis tingkat nilai moral dan karakter dgn beberapa kasus2 yg mendukung temuan sdr
secara teoritis!

KEKERASAN YANG TERJADI PADA DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA


Kekerasan yang juga dinilai sebagai suatu tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi
Manusia) dan tindakan yang dikategorikan telah melanggar HAM inipun sudah banyak
mewarnai di hampir setiap aspek kehidupan baik sosial, budaya bahkan pendidikan. Dunia
pendidikan yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah apapun tanpa kekerasan pun
masih jauh dari harapan. Saat ini bahkan banyak kasus kekerasan terutam adalam pendidikan
yang sering kita jumpai diberbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Mulai dari
kasus pengeroyokan, perkelahian, tawuran, bullying bahkan kekerasan seksual. Hal ini sangat
menampar dan mencoreng dunia pendidikan.

Banyak kasus yang menujukkan semakin meningkatnya tindakan kekerasan yang terjadi
pada pendidikan di sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh CPMH (Center for Public
Mental Health) Fakultas Biologi UGM, menunjukkan bahwa kasus kekerasan meningkat.
(Martono Nanang : 2012: 2). Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari
kepala sekolah, guru, pembina sekolah, karyawan sampai antar siswa. Kekerasan pada siswa
belakangan ini terjadi dengan dalih mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan
alasan sebagai bentuk kekerasan terhadap siswa bersangkutan. Bentuk-bentuk kekerasan yang
dilakukan kepala sekolah, guru, pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan
tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar,
mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan.

Kekerasan di sekolah tidak semata-mata kekerasan fisik saja tetapi juga kekerasan psikis,
seperti diskriminasi terhadap murid yang mengakibatkan murid mengalami kerugian, baik
secara moril maupun materil. Diskriminasi yang dimaksud dapat berupa diskriminasi terhadap
suku, agama, kepercayaan, golongan, ras ataupun status sosial murid. Kekerasan antar siswa
juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan menekan dari
seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah, di mana seorang siswa atau
lebih secara terus-menerus melakukan tindakan yang menyebabkan siswa lain menderita.
Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menjambak
dan lain-lain. Selain bullying, kekerasan antar siswa yang sering terjadi adalah tawuran.
Tawuran mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang mengakibatkan norma-norma
menjadi terabaikan dan mengakibatkan perubahan aspek hubungan sosial dalam masyarakat.

Selain kekerasan psikis juga terjadi kekerasan verbal seperti mengejek, menghina atau
mengucapkan kata-kata yang menyinggung atau membuat cerita bohong yang menyebabkan
siswa yang menjadi sasaran menjadi terkucilkan atau menjadi bahan olok-olok sehingga siswa
yang bersangkutan menjadi rendah diri, takut dan sebagainya. Melihat dari kasus-kasus
tersebut diperlukan pencegahan dan penanganan lebih lanjut mengenai kekerasan anak di
sekolah yang dikhawatirkan keberadaannya semakin sering terjadi di lingkungan sekolah.

Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama, kategori ringan,
langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan susulan atau aksi balas dendam
oleh si korban. Untuk kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah
kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak
selesai dan diekspos oleh media massa. Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh
pihak sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang terjadi di luar sekolah
dan mengarah pada tindak kriminal serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan.
Umumnya kasus perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah,
masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah.

Sumber dan Faktor Penyebab Kekerasan dalam Pendidikan

Sumber dan faktor penyebab adanya kekerasan yang terjadi pada dunia pendidikan
dimungkinkan karena adanya berbagai faktor diantaranya yaitu :

- Sebagai alasan untuk menegakkan kedisiplinan disekolah, contoh seorang anak yang
terlambat datang kesekolah hari disuruh lari keliling lapangan sebanyak yang di
inginkan oleh yang dihukum.
- Anak yang mempunyai latar belakang pendidikan keras dirumah (di didik dengan
kekerasan seperti apabila melakukan kesalahan dipukul oleh oreng tuanya) apabila
merasa tidak terima dilampiaskan kepada temannya saat di sekolah.
- Motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemunginan adanya
gangguan psikologis dalam diri siswa maupun guru. Misalnya tawuran antar pelajar
dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang “membela
teman” atau “membela sekolahnya” jadi menimbulkan kekerasan antar siswa/tawuran
antar siswa.
- Maraknya berbagai tayagan di media khususnya elektronik yang memperlihatkan
adegan kekerasan yang sangat mudah untuk diakses kemudian dicontoh ataupun ditiru
oleh anak sekolah.

Ditinjau dari segi Sosiologi Pendidikan, ada beberapa alternatif solusi penyelesaian dan
pencegahan terhadap permasalahan kekerasan dalam dunia pendidikan, yaitu :

1. Peran orang tua dan guru

Kurikulum apapun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan
pernah efektif mencapai tujuannya apabila sistem hukuman fisik masih diimplementasikan
dalam dunia pendidikan sekolah. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan. Yakni adanya
reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di
sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih
sering menggunakan hukuman fisik dalam mendidik. Selain itu juga perubahan untuk mulai
menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak. Dengan
membiarkan anak melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka
akan membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus
dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran
anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan komunikasi
yang hangat, dan bukan memberikan perintah-perintah dan larangan. Yang terpenting adalah
membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat
mereka. Dan sadarilah masa depan negeri ini ada ditangan anak-anak kita dan oleh karena itu
peran orang tua dan guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak.

2. Humanisasi Pendidikan

Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah
menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara atau proses
yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam
pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih
jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi
pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas
emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan
sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.

3. Guru, Sebagai Ujung Tombak

Selain menjadi seorang pengajar, seorang guru juga berperan sebagai pendidik dan motivator
bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut berkerja cerdas dan kreatif dalam
mentranformasikan ilmu atau materi kepada siswa. Dan berupaya sebaik mungkin dalam
menjelaskan suatu materi sehingga materi tersebut bisa diaplikasikan dalam keseharian siswa
itu sendiri.
Tugas sebagai pendidik adalah tugas yang sangat berat bagi seorang guru. Guru dituntut
mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai
dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah masing-masing. Dengan demikian,
diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai
motivator, guru harus mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih
prestasi. Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik
bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada
segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.

Rekomendasi

Untuk menumbuhkan minat, perhatian dan empati seluruh masyarakat terhadap adanya
kasus child abuse (kekerasan pada anak/peserta didik) langkah awal yang perlu dilakukan
adalah bagaimana menyadarkan masyarakat bahwa masalah ini tidak cukup hanya disikapi
dengan sekedar belas kasihan kepada anak yang menjadi korban atau mengutuk keras
pelakunya. Yang benar-benar dbutuhkan saat ini adalah kesediaan kita semua untuk mengambil
langkah konkret mencegah anak-anak yang menjadi korban tidak semakin bertambah atau
paling tidak bersedia melaoporkan kasus child abuse pada lembaga kepolisian ataupun lembaga
sosial di masyarakat yang memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan sosial kepada
anak-anak khususnya korban child abuse (kekerasan pada anak/peserta didik).
SUMBER

Achmad. (2021). Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan. Diakses dari


https://achmadirfansetiawan.wordpress.com/2011/01/20/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan/
pada Sabtu, 12 November 2022 pukul 09.30 WIB.

Arofah. (2013). Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan. Diakses dari


https://arofaheducation.wordpress.com/2013/07/03/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan/ pada
Sabtu, 12 November 2022 pukul 09.30 WIB.

Martono Nanang. (2012). Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan
Pierre Bourdieu. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Suyanto Bagong. (2017). Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana Media Group

Salahudin Hanif. (2018). https:wordpress.com/Perbandingan Komparatif Pendidikan


Indonesia dengan Taiwan. Jakarta : Kamis, 12 November 2022 pukul 09:40 WIB.

Anda mungkin juga menyukai