Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

Community Aquired Pneumonia+ Anemia


Defisiensi Besi + Stunting

Oleh :

Annisa Fujianti

NIM. 2130912320043

Pembimbing:

Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A(K)

BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Agustus, 2022
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 4

A. Pneumonia ............................................................................. 4

1. Definisi.............................................................................. 4

2. Etiologi.............................................................................. 4

3. Epidemiologi ..................................................................... 5

4. Klasifikasi ......................................................................... 5

5. Manifestasi Klinis ............................................................. 6

6. Diagnosis........................................................................... 7

7. Tatalaksana........................................................................ 9

B. Anemia Defisiensi Besi.......................................................... 12

1. Definisi............................................................................. 12

2. Etiologi............................................................................. 13

3. Klasifikasi ........................................................................ 13

4. Diagnosis........................................................................... 14

5. Tatalaksana ...................................................................... 16

ii
C. Stunting........................................................................................17

1. Definisi...................................................................................17

2. Etiologi...................................................................................17

3. Manifestasi Klinis..................................................................18

4. Tatalaksana............................................................................19

BAB III LAPORAN KASUS.........................................................................21

A. Identitas...........................................................................................21

B. Anamnesis.......................................................................................22

C. Pemeriksaan Fisik...........................................................................26

D. Status Gizi.......................................................................................31

E. Pemeriksaan Penunjang..................................................................33

F. Resume...........................................................................................35

G. Diagnosis Kerja..............................................................................37

H. Prognosis.........................................................................................37

I. Penatalaksanaan..............................................................................38

J. Usulan/saran...................................................................................38

K. Follow up........................................................................................41

BAB IV PEMBAHASAN................................................................................43

BAB V PENUTUP...........................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................49

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi respiratori akut menjadi penyebab lebih dari 4 juta kematian yang ada di

negara berkembang.1 Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan

utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan inflamasi pada paru yang

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus dan jamur.2 Namun,

penyakit pneumonia yang disebabkan karena jamur sangatlah jarang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebab

pneumonia tersering adalah Streptococcus pneumoniae (50%) dan Haemophilus

influenzae (20%).3

Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di

bawah lima tahun (balita). Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, kematian

balita di indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia.4 Indonesia

merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi keenam di seluruh dunia,

Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013 disebutkan bahwa insidens dan prevalensi

pneumonia sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Sedangkan menurut laporan UNICEF 2015

terdapat 14% dari 147.000 anak di 7 bawah usia 5 tahun meninggal karena pneumonia.5, 6

Oleh karena tingginya angka kematian akibat pneumonia akan tetapi sering tidak disadari

maka pneumonia mendapat julukan “the forgotten pandemic”.7

Terdapat faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia

pada anak balita di negara berkembang. 4 Ada dua faktor yang berhubungan dengan

kejadian pneumonia yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik

merupakan faktor yang ada pada balita meliputi umur balita, jenis kelamin, berat badan

lahir rendah, status imuniasi, pemberian ASI, pemberian vitamin A, dan status gizi. Faktor
2

ekstrinsik merupakan faktor yang tidak ada pada balita meliputi tipe rumah, ventilasi,

jenis lantai, pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban, jenis bahan bakar, penghasilan

keluarga, serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu juga pengetahuan ibu dan keberadaan

keluarga yang merokok.8

Menurut WHO, anemia merupakan keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb)

dalam darah lebih rendah dari normal sesuai dengan nilai batas ambang menurut umur

dan jenis kelamin. Anemia merupakan indikator dari kurangnya asupan zat gizi dan

buruknya kondisi kesehatan. Pada bayi, asupan nutrisi berdampak pada kesehatan bayi.

Secara nasional prevalensi anemia di Indonesia adalah sebesar 14,8%. Anemia terbanyak

pada orang dewasa dan anak-anak adalah anemia mikrositik hipokromik yaitu anemia

yang disebabkan karena kekurangan zat gizi besi dengan prevalensi 60,2%. Anemia

mikrositik hipokromik merupakan anemia yang mikrositik berarti berukuran kecil dan

hipokromik berarti kandungan hemoglobin dalam eritrosit kurang dari normal (MCV < 80

fl, MCH < 28 pg, MCHC < 32%). Anemia mikrositik hipokromik dapat disebabkan oleh

karena anemia defisiensi besi, hemoglobinopati, anemia penyakit menahun (kronis) dan

anemia sideroblastik. Pada bayi pemberian ASI eklusif diwajibkan selama 6 bulan. ASI

eklusif dapar berfungsi sebagai proteksi pada sistem gastrointestinal dan repirasi bayi,

serta dapat menurunkan alergi pada bayi. Namun akan menjadi masalah ketika bayi

kekurangan sejumlah nutrisi penting seperti halnya anemia akibat kekurangan zat besi

berkaitan dengan kurangnya asupan besi dari ASI.9,10

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang

kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi.11 Stunting disebabkan oleh berbagai faktor yaitu asupan gizi, lingkungan,

dan kejadian infeksi kronis. Anak-anak yang sakit biasanya mengalami penurunan nafsu

makan dan terbatasnya asupan makanan serta penyakit virus atau bakteri akut
3

memungkinkan anak memerlukan peningkatan cairan, protein, atau nutrisi lainnya. Maka

dari itu sangat besar peluang seorang anak yang memiliki riwayat gangguan saluran napas

mengalami stunting.12 Bayi di bawah 24 bulan sangat rentan terhadap infeksi dan

penyakit.13 Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyakit yang sering terjadi pada

bayi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi ISPA

pada baduta adalah 9,3%. Pada data tersebut didapatkan angka kesakitan pneumonia pada

bayi sebesar 2,2% dengan angka kematian sebesar 23,8%.14


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia

1. Definisi

Menurut World Health Organitation (WHO), pneumonia merupakan infeksi

saluran pernapasan akut yang mengenai paru-paru. Paru-paru yang terinfeksi

pneumonia, alveolusnya akan terisi oleh nanah dan cairan, yang dapat menyebabkan

sesak napas dan mengurangi pemasukan oksigen.16

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus

respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat

mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.17

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI), pneumonia adalah

radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk

berdahak, napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu

makan berkurang).5

2. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan

dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,

dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan

bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Pada bayi yang lebih besar dan

anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptoccus pneumoniae,

Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Secara klinis,

umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Demikian


5

juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat

menentukan etiologi.4

3. Epidemiologi

Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan menyebabkan lebih

dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Penyakit ini

juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia <5 tahun.

Insidens pneumonia pada anak berusia <5 tahun adalah 10-20 kasus/100 anak/tahun

di negara berkembang dan 2-4 kasus/anak/tahun di negara maju.18

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama

pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun . Diperkirakan hampir

seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal

setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara.

Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8%

kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama

pneumonia.4

4. Klasifikasi

Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, terdapat 3 klasifikasi

pneumonia, yaitu:18,19,20

- Berdasarkan klinis dan epidemiologis:

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).

Community-Acquired Pneumonia (CAP) adalah peradangan akut pada

parenkim paru yang didapat di masyarakat. Pneumonia ini terjadi melalui

inhalasi atau aspirasi mikroba patogen ke paru-paru. Penyebabnya 85%

disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenzae, dan


6

Moraxella catarrhalis.

b. Pneumonia nosokomial, (hospital-acquired pneumonia/nosocomial

pneumonia).

Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang muncul setelah 48 jam

dirawat di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya, dengan

tanpa pemberian intubasi tracheal. Pneumonia terjadi karena

ketidakseimbangan pertahanan host dan kemampuan kolonisasi bakteri

sehingga menginvasi saluran pernafasan bagian bawah.

c. Pneumonia aspirasi.

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.

- Berdasarkan bakteri penyebab:

a. Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa

bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya

klebsiella pada penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca

infeksi influenza. Pneumonia Atipikal disebabkan mycoplasma,

legionella, dan chalamydia.

b. Pneumonia virus.

c. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi

terutama pada penderita dengan daya tahan lemah

(immunocompromised).

- Berdasarkan predileksi infeksi:

a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus

(percabangan besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.

b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak

infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang
7

disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang

tua.

c. Pneumonia interstisial.

5. Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan

hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang

berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga

memerlukan perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak

bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai

berikut :4

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau

diare, kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,

takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

6. Diagnosis

Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan

keluhan yang dialami penderita, meliputi: demam, batuk, gelisah, rewel dan sesak

nafas. Pada bayi, gejala tidak khas, seringkali tanpa gejala demam dan batuk.

Anak besar, kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, muntah. Manifestasi

klinis yang terjadi akan berbeda-beda, tergantung pada beratnya penyakit dan usia

penderita. Pada bayi jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat pada

bayi adalah: batuk, panas, iritabel. Pada anak balita, dapat ditemukan batuk
8

produktif atau non produktif dan dipsnea. Sebaliknya, pada anak sekolah dan

remaja: gejala lain yang sering dijumpai adalah: nyeri kepala, nyeri dada, dan

lethargi.22,23,24

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sejumlah tanda fisik patologis,

terutama adanya nafas cepat (takipnea) dan kesulitan bernafas (dyspnea). Demam

dapat mencapai suhu 38,50 C sampai menggigil. 22,25 Gejala paru muncul beberapa

hari setelah proses infeksi tidak terkompensasi dengan baik. Gejala distress

pernapasan seperti takipneu, dispneu, adanya retraksi (suprasternal, interkosta,

subkosta), grunting, napas cuping hidung, apneu dan saturasi oksigen < 90% dapat

ditemukan pada pasien jika oksigenasi paru sudah berkurang. Takipneu

menunjukkan beratnya penyakit pada pasien dengan kategori usia sebagai berikut :

> 60x/ menit pada 0-2 bulan, > 50x/menit pada 2-12 bulan, > 40x/menit pada 1-5

tahun, > 20x/menit pada anak diatas 5 tahun.23,26

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada anak dengan pneumonia

meliputi pemeriksaan darah rutin, Analisa Gas Darah (AGD), C-Reaktif Protein

(CRP), uji serologis dan pemeriksaan mikrobiologik. Pada pemeriksaan darah

rutin, dapat dijumpai leukositosis, umumnya berkisar 15.000 – 30.000/ mm3

dengan predominan polimorphonuklear (PMN). Jumlah leukosit dan hitung jenis

leukosit dapat membantu menentukan pilihan pemberian antibiotik. Pada beberapa

kasus didapatkan anemia dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Pada anak

dengan distress pernapasan berat, hiperkapnia harus dievaluasi dengan

pemeriksaan AGD, karena kadar oksigen harus dipertahankan.26,27

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk melihat luasnya kelainan patologis

pada jaringan paru. Gambaran infiltrat di bagian lobar, interstisial, unilateral atau

bilateral memberikan petunjuk organ paru yang terlibat. Pada umumnya, infiltrat
9

alveolar menunjukkan gambaran kuat adanya pneumonia pada anak.26, 24, 28 Hasil

foto torak adanya infiltrat alveolar yang disertai konsolidasi lobar dengan efusi

pleura, bronkopneumonia dan air bronchogram kemungkinan besar dapat

disebabkan oleh bakteri. Peribronkhial yang menebal, infiltrat interstisial merata,

bilateral dan adanya hiperinflasi dapat terlihat pada pneumonia akibat virus.

Gambaran foto torak pneumonia akibat mikoplasma dapat bervariasi yang

terkadang dapat menyerupai pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan

bronkopneumonia di lobus bagian bawah, infiltrat intertisisial bilateral, atau

gambaran paru yang berkabut (ground-glass consolidation) serta transient

pseudoconsolidation yang disebabkan oleh infiltrat intertisial yang konfluens.

Manifestasi klinis dan laboratorium yang mengarah disertai hasil foto torak positif

merupakan standar emas penegakan diagnosis pneumonia.22,23,28

Pengukuran saturasi oksigen (SpO2) harus selalu dilakukan pada anak yang

mengalami distress pernapasan terutama anak dengan retraksi dinding dada atau

penurunan aktivitas. Pengukuran tersebut dapat mendeteksi dini terjadinya

hipoksemia pada jaringan dan juga dapat menunjukkan beratnya pneumonia pada

anak. Pembacaan saturasi anak diperoleh minimal 30 detik setelah bacaan yang

direkam sudah stabil.23,26

7. Tatalaksana

Prinsip dasar tatalaksana pneumonia anak adalah eliminasi mikroorganisme

penyebab dengan antibiotik yang sesuai disertai dengan tatalaksana supportif

lainnya. Tata laksana supportif meliputi terapi oksigen, pemberian cairan

intravena dan koreksi gangguan elektrolit pada dehidrasi serta pemberian

antipiretik untuk demam.24, 26,29


10

- Eliminasi mikroorganisme

Identifikasi mikroorganisme penyebab sebagian besar tidak dapat

dilakukan karena keterbatasan fasilitas di lapangan. Oleh karena itu, pasien

pneumonia tetap harus diberikan antibiotik secara empiris berdasarkan

kemungkinan kuman penyebab dengan mempertimbangkan usia dan

kondisi klinis pasien.24, 26 Mukolitik, ekspektoran dan antipiretik sebaiknya

tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi

reaksi antibiotik awal. Obat antipiretik diberikan hanya pada penderita

dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.

Identifikasi mikroorganisme penyebab pneumonia pada rawat jalan

umumnya tidak dilakukan, oleh karena itu terapi antibiotik ditargetkan

pada kuman penyebab pada umumnya. Infectious Diseases Society of

America (IDSA) dan Pediatric Infectious Diseases Society (PIDS) pada

tahun 2011 menerbitkan pedoman bersama yang merekomendasikan

pengobatan antibiotik berdasarkan kelompok usia. Pada bayi dan anak

yang sudah diimunisasi, amoksisilin direkomendasikan pada pneumonia

anak ringan sampai sedang dengan dugaan streptococcus pneumonia

sebagai penyebabnya selama 7-10 hari. Untuk anak yang alergi terhadap

amoksisilin, alternatif yang dapat diberikan yaitu antibiotik sefalosporin

generasi kedua-ketiga dan levofloxacin oral. Golongan makrolid diberikan

selama 5 hari jika dicurigai penyebab patogen atipikal karena mycoplasma

pneumonia. Terapi antivirus influenza diberikan segera pada anak dengan

pneumonia sedang-berat terutama yang mengalami perburukan klinis

selama pengobatan rawat jalan.24,28

Pada kasus rawat inap, neonatus dengan gangguan pernapasan harus


11

selalu diasumsikan dengan pneumonia bakteri sampai terbukti tidak.

Pemberian antibiotik ampisilin dan gentamisin dengan atau tanpa

sefotaxim harus dimulai sesegera mungkin. Azitromisin pada neonatus

direkomendasikan untuk chlamydia trachomatis, ureaplasma dan pertusis

dengan dosis 10 mg/kg/ hari selama 5 hari. 24,28 Ampisilin juga merupakan

antibiotik lini pertama yang diberikan pada anak usia > 3 bulan yang sudah

diimunisasi dengan pneumonia tanpa komplikasi. Untuk anak-anak yang

mengalami infeksi berat (mereka yang dirawat di ruang ICU), mereka yang

tidak diimunisasi,atau di daerah dengan pneumokokus tinggi , resisten

terhadap penisilin, antibiotik sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone atau

cefotaxime) harus diberikan. Apabila ada kecurigaan patogen atipikal atau

tidak membaik dengan regimen ini, maka golongan makrolida dapat

ditambahkan. Antibiotik non β laktam tidak terbukti lebih efektif daripada

sefalosporin generasi ketiga.28,29

- Tatalaksana suportif

Hipoksia pada anak harus diwaspadai, yang ditandai terjadinya

agitasi. Anak dengan saturasi oksigen ≤ 92% harus diberikan terapi

oksigen 2-4 liter/menit di Rumah Sakit dengan nasal kanul, head box atau

sungkup guna mempertahankan saturasi oksigen > 92%. Sebuah studi

menyimpulkan bahwa pemberian oksigen pada anak usia < 5 tahun dengan

gangguan pernapasan akut dengan nasal kanul dan oksigen kotak kepala

sama efektifnya untuk aliran oksigen yang diterima. Apabila hidung anak

tersumbat dengan sekret, maka dapat dilakukan penyedotan (suction) guna

membuka jalan nafas.29,30,31 Terapi cairan diperlukan karena kondisi anak

yang lemas. Hal ini terjadi karena banyaknya energi yang digunakan anak
12

sebagai bentuk kompensasi pernapasan yang terlihat dari penggunaan otot-

otot bantu pernapasan pada pneumonia sedang sampai berat. Selain itu,

pasien dengan dehidrasi dan asupan oral tidak adekuat harus dikoreksi

dengan cairan dan pemeriksaan keseimbangan elektrolit bila diperlukan.29,30

B. Anemia Defisiensi Besi

1. Definisi

Anemia merupakan keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau

hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga

tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup

ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun32

Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu gangguan pembentukan

eritrosit, perdarahan dan hemolisis. Anemia karena gangguan pembentukan

eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti mineral

(besi dan tembaga), vitamin (B12 dan asam folat), asam amino, dan gangguan

pada sumsum tulang. Anemia karena perdarahan baik akut maupun kronis

mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi. Anemia

karena hemolisis terjadi karena penghancuran eritrosit yang berlebihan10

Kadar Hb untuk mendiagnosis keparahan anemia dapat dibagi menjadi

beberapa kelompok berdasarkan usia, seperti pada tabel 1.1

Non- Anemia Anemia Anemia


Usia
anemia ringan sedang berat
13

10–10,9
Anak 6-59 bulan ≥11 g/dl 7-9,9 g/dl ≤7 g/dl
g/dl
≥11,5 11-11,4 8-10,9
Anak 5-11 tahun ≤8 g/dl
g/dl g/dl g/dl
10-11,9 8-10,9
Anak 12-14 tahun ≥12 g/dl ≤8 g/dl
g/dl g/dl
Perempuan tidak 11-11,9 8-10,9
≥12 g/dl ≤8 g/dl
hamil (≥15 tahun) g/dl g/dl
10-10,9
Perempuan hamil ≥11 g/dl 7-9,9 g/dl ≤7 g/dl
g/dl
Laki-laki ≥15 11-12,9 8-10,9
≥13 g/dl ≤8 g/dl
tahun g/dl g/dl
Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia Berdasarkan Usia Menurut WHO
2011.33

2. Etiologi

Salah satu faktor yang menyebabkan tinggi atau rendahnya kadar


hemoglobin dalam darah adalah asupan zat gizi. Proses produksi sel darah
merah berjalan dengan lancar apabila kebutuhan zat gizi yang berguna dalam
pembentukan hemoglobin terpenuhi.34 Komponen gizi yang berperan dalam
pembentukan hemoglobin adalah zat besi, sedangkan vitamin C dan protein
membantu penyerapan hemoglobin. Zat besi merupakan salah satu komponen
heme, yang dibutuhkan tubuh untuk membentuk hemoglobin. 36 Sedangkan
menurut WHO, Penyebab paling umum dari anemia termasuk kekurangan
nutrisi terutama kekurangan zat besi, meskipun kekurangan folat, vitamin B12
dan A juga merupakan penyebab penting, hemoglobinopati, dan penyakit
menular, seperti malaria, tuberkulosis, HIV dan infeksi parasit.35

3. Klasifikasi

Berdasarkan gambaran morfologi sel eritrosit, anemia diklasifikasikan menjadi


tiga macam, yaitu:10
a. Anemia mikrositik hipokromik
Mikrositik berarti berukuran kecil, hipokrom berarti kandungan
hemoglobin dalam eritrosit kurang dari normal (MCV < 80 fl, MCH < 28
pg, MCHC < 32%). Penyebab anemia jenis ini yaitu berkurangnya zat besi
(anemia defisiensi besi), berkurangnya sintensis hemoglobin (thalassemia
14

dan hemoglobinopati), dan berkurangnya sintensis heme (anemia


sideroblastik). Kekurangan ini disebabkan karena gangguan absorbsi atau
perdarahan
b. Anemia normositik normokromik
Anemia jenis ini memiliki ukuran dan bentuk sel eritrosit yang
normal serta kadar hemoglobin yang normal (MCV 80 – 100 fl, MCH 28 –
34 pg, MCHC 32 – 36%), tetapi individu mengalami anemia akibat
penurunan jumlah eritrosit. Penyebab anemia ini adalah kehilangan darah
akut, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, hemolisis, penyakit
kronis, seperti infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan
sumsum tulang, dan penyakit infiltrative metastatic pada sumsum tulang.
DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi vitamin B12 atau asam folat
(anemia megaloblastik) dan penyakit hati atau myelodisplasia (anemia
non-megaloblastik).
c. Anemia makrositik normokromik
Makrositik berarti ukuran sel eritrosit lebih besar dari normal,tetapi
normokromik terjadi karena konsentrasi hemoglobinnya normal (MCV >
80 fl, MCHC 32 – 36%). Hal ini disebabkan oleh gangguan atau
terhentinya sintensis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada
defisiensi vitamin B12 atau asam folat (anemia megaloblastik) dan
penyakit hati atau myelodisplasia (anemia non-megaloblastik).
4. Diagnosis

Anemia dapat didiagnosis berdasarkan kadar Hb yang rendah,

hematokrit rendah, hitung jumlah sel darah merah, volume korpuskular rata-

rata, jumlah retikulosit darah, analisis lapisan darah, atau elektroforesis.

Metode penilaian hematologi yang menjadi indikator paling umum untuk

menentukan anemia ialah menilai kadar Hb. Gejala klinis dari anemia yang

paling umum ialah rasa lelah, sesak napas, palpitasi, konjungtiva dan palmar

yang pucat. Gejala klinis dan riwayat medis memiliki kemampuan yang

terbatas jika digunakan untuk mendiagnosis anemia apabila data hematologi


15

tidak tersedia.36

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis

anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:

1. Pemeriksaan penyaring (sceening test)

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar

hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari ini dapat dipastikan

adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna

untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut

2. Pemeriksaan darah seri anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung

retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic

hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga

mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk

diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang

mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta

pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroidPemeriksaan

sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan

sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada

beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk

diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan

hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid

4. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,

misalnya pada:
16

a. Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity),

saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan

pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).

b. Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes

Schiling.

c. Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain-lain.

d. Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang. Juga diperlukan pemeriksaan nonhematologik

tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.

5. Tatalaksana

Terapi anemia sebaiknya dilakukan setelah didapat diagnosis pastinya


dan sesuai dengan indikasi yang jelas.38,39
 Terapi kegawatdaruratan, apabila anemia tersebut dikhawatirkan dapat

mengancam jiwa, sehingga harus ditransfusi segera dengan PRC (packed

red cells).

 Terapi khas, khusus untuk terapi terhadap anemia jenis tertentu. Seperti

anemia defisiensi besi dengan pemberian preparat besi, anemia

megaloblastik dengan memberi asam folat, dan sebagainya.

 Terapi untuk mengobati penyakit dasar, untuk mencegah berlangsungnya

anemia berkepanjangan. Misalnya karena penyakit perdarahan haid, atasi

dulu penyakit perdarahannya, atau seperti penyakit cacing tambang, atasi

dulu penyakit tersebut.

 Terapi ex juvantivus, yakni terapi yang diberikan sebelum ditegakkan

diagnosis pasti, namun dalam rangka menegakkan diagnosis tersebut.

Terapi ini harus dipantau dengan ketat, misalnya pada anemia defisiensi

besi, diberi preparat besi, lalu jika membaik berarti memang positif anemia

defisiensi besi, dan sebagainya.


17

C. Stunting

1. Definisi
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya

pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang.40 Balita pendek (stunting) dapat

diketahui bila seorang balita telah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu

dibandingkan dengan standar dan hasilnya berada di bawah normal. Stunting

didasarkan pada indeks pengukuran panjang badan dibanding umur (PB/U) atau

atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) jika berada pada ambang batas ( z-

score) kurang dari -2SD atau dibawah persentil 3, dan dikategorikan sangat

pendek (severe stunting)  jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.41

2. Etiologi

Etiologi Stunting dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, namun

diklasifikasikan menjadi 2 yaitu variasi normal dan patologis. Pada variasi

normal, stunting dikategorikan menjadi:42

• Familial short stature (perawakan pendek familial) Adalah variasi normal dari

perawakan pendek yang ditandai dengan kecepatan tumbuh normal, usia tulang

normal, tinggi badan kedua orangtua pendek, dan tinggi akhir anak dibawah

persentil 3 atau z score dibawah -2 SD.

• Constitutional delay of growth and puberty (CDGP) Merupakan salah satu

kategori dari pubertas terlambat yang paling sering ditemui dalam praktek sehari-

hari, didefinisikan sebagai tidak timbulnya tanda-tanda seks sekunder pada usia

12 tahun untuk anak perempuan dan pada usia 14 tahun untuk anak laki-laki.

Anak dengan CDPG memiliki perawakan  pendek, pubertas terlambat, usia

tulang terambat, namun tidak terdapat kelianan organik yang mendasarinya. Pada

pasien CDPG ditemukan riwayat keluarga dengan pubertas terlambat dan hal ini
18

menunjukkan bahwa faktor genetic  berperan dalam awitan pubertas.

Kelainan patologis pada stunting  dapat dibedakan menjadi proporsional

dan tidak proporsional. Stunting  dengan tubuh proporsional meliputi malnutrisi,

intrauterine growth retardation (IUGR), psychosocial dwarfism, penyakit kronik,

dan kelainan endokrin, seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid,

sindrom Cushing, resistensi hormon pertumbuhan/ growth hormone  (GH), dan

defisiensi insulin-like growth faktor 1  (IGF-1). Sedangkan stunting  dengan

badan tidak  proporsional disebabkan oleh kelainan tulang, seperti

kondrodistrofi, displasia tulang, sindrom Kallman, sindrom Marfan, dan sindrom

Klinifelter. Etiologi- etologi tersebut dapat diingat dengan menggunakan metode

mnemonic “KOKPENDK” yang terdiri dari:43

K = kelainan kronis: penyakit organik, non organik (infeksi/ non infeksi)

O = obat-obatan (glukokortikoid, radiasi)

K = kecil masa kehamilan (KMK) dan berat badan lahir rendah (BBLR)

P = psikososial

E = endokrin  

N = nutrisi dan metabolik

D = displasia tulang

K = kromosom dan sindrom

3. Manifestasi klinis

Pertumbuhan yang normal menggambarkan kesehatan anak yang baik.

Pertumbuhan tinggi badan merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Stunting

dikategorikan menjadi variasi normal dan patologis. Variasi normal dalam

stunting meliputi 2 berserta masing-masing gejala klinisnya, yaitu:43

- Familial short stature (perawakan pendek familial):


19

a.  pertumbuhan yang selalu berada dibawah persentil 3 atau -2 SD

b. kecepatan pertumbuhan normal

c. usia tulang normal

d. tinggi badan kedua atau salah satu orangtua yang pendek

e. tinggi akhir dibawah persentil 3 atau -2 SD

- Constitutional delay of growth and puberty (CDGP):

a.  perlambatan pertumbuhan linear pada 3 tahun pertama kehidupan  

b.  pertumbuhan linear normal atau hamper normal pada saat pra pubertas dan

selalu berada di bawah persenti 3 atau -2 SD

c. usia tulang terlambat

d. maturase seksual terlambat

e. tinggi akhir biasanya normal

4. Tatalaksana

Pada varian normal stunting  tidak perlu dilakukan terapi hormonal,

cukup observasi saja bahwa diagnosisnya merupakan fisiologis bukan

patologis. Akhir-akhir ini telah ada penelitian yang menyatakan bahwa

penggunaan aromatase inhibitor sebagai terapi adjuvant atau tunggal pada

Familial Short Stature dan Constitutional   Delay of Growth and

Puberty melalui mekanisme menghambat kerja estrogen pada lempeng

pertumbuhan. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

hal ini, maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin terlebih dahulu Terapi

dengan menggunakan hormon pertumbuhan memiliki tujuan memperbaiki

prognosis tinggi badan dewasa. Dari berbagai penelitian terakhir telah ddapat

dilihat bahwa hasil tinggi akhir anak yang mendapat GH jauh lebih baik

daripada prediksi tinggi badan pada awal pengobatan. Pada tahun 1995 FDA
20

telah menyetujui pemakaian hormon pertumbuhan untuk defisiensi hormon

pertumbuhan, gagal ginjal kronik, sindrom Turner, sindrom Prader Willi, anak

anak IUGR,  perawakan pendek idiopatik, orang dewasa dengan defisiensi

hormon pertumbuhan, dan orang dewasa dengan AIDS wasting.44


21

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

I. Penderita

Nama : By. M. Rizky

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal lahir : Banjarmasin, 26 Maret 2022

Umur : 4 bulan 19 hari

Alamat : : Jl. Kelayan

MRS : 14 Agustus 2022

II. Identitas Orang Tua

Nama Ayah : M. Sahbani

Pekerjaan : Pengantar meubel

Pendidikan : SMA

Nama Ibu : Ny. Fitriani

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Kelayan

Agama : Islam
22

B. Anamnesis

Kiriman dari :-

Dengan diagnosis :-

Alloanamnesis dengan : Orangtua pasien

Tanggal/jam : 15 Agustus 2022 / 15.00

WITA

1. Keluhan utama : Sesak nafas

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 10 jam SMRS disertai

dengan bunyi grok-grok. Sesak napas terjadi terus menerus tanpa dipengaruhi

waktu, aktivitas, maupun cuaca. Sesak napas disertai napas cepat seperti ngos-

ngosan, pasien menjadi rewel. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 hari SMRS.

Batuk disertai dahak yang sulit dikeluarkan, dahak berwarna kuning dan kental,

darah(-).Selain itu pasien juga demam sejak 1 hari SMRS. Demam terus menerus

namun suhunya tidak diukur oleh orang tua pasien, kejang (-), mengigil (-).

Demam turun dengan pemberian Paracetamol drop 0,5 ml, namun setelah 2-3 jam

demam menjadi naik kembali. Pasien belum diberikan obat untuk mengatasi sesak

dan batuk.

Pasien muntah tersedak saat minum susu sejak 10 jam SMRS. Muntah

berisi susu yang diminum, lendir (+), darah (-). Pasien masih haus dan masih mau

minum susu. Pasien sudah berhenti minum ASI sejak usia 1 minggu dan

digantikan dengan susu SGM ananda 120 ml sebanyak 7 kali dalam sehari.

Keluhan BAB cair disangkal. BAK masih lancar. Dalam sehari pasien 7 kali ganti

popok.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


23

Pasien tidak memiliki riwayat kelainan bawaan, riwayat kejang, riwayat

alergi, riwayat rawat inap, maupun riwayat operasi sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak pernah mempunyai keluhan yang sama. Ayah pasien

memiliki alergi terhadap udara dingin . Kakek dan kakak pasien mengalami batuk-

batuk. Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat tranfusi darah rutin. Tidak ada

anggota keluarga dengan riwayat penyakit keganasan sebelumnya.

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal :

Ibu rutin melakukan kontrol kehamilan dan melakukan pemeriksaan USG

ke dokter kandungan. Selama hamil ibu jarang meminum tablet besi. Riwayat

pendarahan dan infeksi saat kehamilan disangkal.

Riwayat natal :

Spontan/tidak spontan : spontan pervaginam, cukup bulan

Nilai APGAR : Bayi langsung menangis, kulit kemerahan, dan gerakan aktif.

Berat badan lahir : 2700 gr

Panjang badan lahir : 51 cm

Lingkar kepala : ibu lupa.

Penolong : Dokter spesialis kandungan

Tempat : Rumah Sakit Tk.II dr. Soeharsono

Riwayat neonatal : bayi langsung pulang ke rumah

Kesimpulan : Riwayat antenatal baik, riwayat natal dan

riwayatneonatal baik.
24

6. Riwayat Perkembangan

Tiarap : - bulan

Mengangkat kepala : 4 bulan

Duduk : - bulan

Merangkak : - bulan

Berdiri : - bulan

Pasien saat ini dapat mengikuti objek dengan mata, melihat wajah orang lain

dengan tersenyum, dan terkejut saat mendengar suara

Kesimpulan : Perkembangan sesuai dengan usianya

7. Riwayat Imunisasi

Tabel 2.1 Imunisasi dasar sesuai dengan imunisasi KEMENKES 2020

Dasar Ulangan
Nama
(Umur dalam hari/bulan) (umur dalam bulan )
BCG 1 -
Polio 1 - - - -
Hepatitis B - - - -
DPT - - - -
HiB - - - -
MR - -
Kesimpulan : Imunisasi anak tidak lengkap menurut rekomendasi
KEMENKES 2020

8. Riwayat Makanan

 ASI : diberikan usia 0-1 minggu. Pemberian ASI dihentikan sejak usia 1

minggu, digantikan dengan susu formula.

 Susu formula : diberikan susu formula SGM Ananda 120 ml sebanyak 7 kali

dalam sehari dengan 4 sendok takar persekali seduh.

 MPASI belum diberikan.


25

Kesimpulan : Intake nutrisi secara kuantitas baik, tetapi secara kualitas kurang baik

9. Riwayat Keluarga

Iktisar keturunan

: Laki-laki : Perempuan

: Sakit, sesak nafas : Sakit, batuk-batuk

Tabel 2.2 Susunan keluarga

Jelaskan : Sehat,
No. Nama Umur L/P
sakit

1. Tn.P 65 tahun L Sakit

Sehat
2. Tn. MB 35 tahun L

3. Ny. F 26 tahun P Sehat


Sakit
4. An. MF 2 tahun L

Sakit
5 An. MR 4 bulan 19 L
hari

Kakek dan kakak pasien mengeluhkan batuk-batuk, dan sering berkontak

dengan pasien sebelum pasien MRS.


26

Kesimpulan : Terdapat riwayat sakit batuk pada keluarga pasien.

10. Riwayat Sosial Lingkungan

• Pasien tinggal bersama orang tuanya di Kelayan. Satu rumah ada 12 orang,

yaitu pasien dengan ayah, ibu, kakaknya, paman dan bibi beserta 4 orang

anaknya, dan juga 2 orang keponakannya.

• Pasien tinggal di dekat sungai, bersebelahan dengan rumahnya, tetapi jauh

dari pabrik, tambang, ataupun pembuangan sampah.

• Setiap kamar ada ventilasi. Pasien tidur bersama ibu dan kakaknya. Kakak

sedang batuk di kamar tersebut.

• Keluarga minum menggunakan air galon isi ulang, untuk mandi dan mencuci

menggunakan air sungai.

• Pasien hanya memiliki 1 botol susu dan 1 dot. Jika selesai dipakai, dicuci

dengan air sabun dibawah air mengalir lalau disiram air panas, tidak direbus.

• Untuk membuat susu ibu menggunakan air kemasan yanng direbus dulu lalu

didinginkan

• Ayah bekerja di tempat meubel dan ibu sebagai ibu RT.

• Ayah merokok dan sering merokok disekitar pasien.


• Kakek dan kakak pasien yang batuk-batuk sering berkontak dengan menciumi
pasien.
• Terdapat riwayat penggunaan obat nyamuk bakar di rumah pasien.
• Paman pasien mempunyai kebiasan membakar kulit telur didepan rumah,
sehingga asapnya sering masuk ke rumah.

Kesimpulan: Terdapat faktor risiko infeksi

C. Pemeriksaan Fisik

Tanggal : 15 Agustus 2022 14.30 WITA


27

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Kompos mentis

3. Tanda vital

Tekanan darah : - mmHg

Nadi : 132 x/menit kuat angkat, regular

Suhu : 38 ℃

Respirasi : 68 x/menit, reguler, simetris

SpO2 : 90% RA

4. Antropometri

Berat badan : 5 kg

Panjang badan : 58 cm

Lingkar lengan atas: 13 cm

Lingkar kepala : 37 cm

5. Kulit

Warna : kuning langsat, ptekie (-), xerosis (-)

Sianosis : Tidak ada

Hemangioma : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat : Tidak ada

Lain-Lain :-

6. Kepala/leher

Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tipis, alopesia(-)

Kepala : Normosefali, UUB dan UUK terbuka

Mata : Palpebra edema tidak ada, alis dan bulu mata tipis,
28

konjungtiva tampak anemis, sklera tidak ikterik, ptosis (-/-), pupil

berdiameter 3 mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea jernih,

produksi air mata baik.

Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, terdapat pernapasan cuping

hidung, epistaksis tidak ada, sekret minimal(+), deviasi tidak ada.

Telinga : normotia, sekret(-), serumen minimal, nyeri tekan tragus(-)

Mulut : Simetris, bibir pucat(+), sianosis(-) , mukosa bibir lembab, gusi

tidak mudah berdarah, sariawan(-), lidah kotor (-), mukosa oral

basah, faring hiperemis (-), Tonsil T1/T1, pseudomembran (-)

Lidah : Normoglossus, warna merah muda, lidah kotor (-)

Leher : Pembesaran tiroid tidak ada, pembesaran KGB leher tidak ada,

kaku kuduk tidak ada

7. Toraks

a. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk simetris, terdapat retraksi subcostal dan substernal,

pernafasan simetris

Palpasi : Pengembangan dada simetris

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, terdapat rhonki (+++/+++), tidak

terdapat wheezing (---/---)

b. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Tidak teraba thrill

Perkusi : Batas jantung sulit dievaluasi

Auskultasi : S1tunggal S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)


29

8. Abdomen

Inspeksi : Tampak cembung, distensi (-), venektasi (-)

Palpasi : Tidak teraba pembesaran hati maupun limpa, nyeri tekan

tidak ada, turgor kembali cepat.

Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen.

Auskultasi : Bising usus (+) normal

9. Ekstremitas

a. Umum : Akral hangat, CRT < 2 detik, lemak subkutis minimal,

edema (-)

b. Neurologis :

Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Refleks Refleks Rooting-


Refleks Refleks moro
palmar grasp Plantar Grasp Sucking
fisiologis (+)
(+/+) (+/+) refleks (+)
Refleks Babinzki (-) Babinzki (-)
sde sde
patologis Chaddock (-) Chaddock (-)
Sensibilitas sde sde sde sde
Tanda
- - - -
meningeal
30

10. Susunan Saraf

Nervus I : sulit dievaluasi

Nervus II : refleks pupil (+/+)

Nervus III, IV, VI : gerak bola mata (+), strabismus (-)

Nervus V : refleks kornea (+)

Nervus VII : wajah simetris

(+) Nervus VIII : sulit dievaluasi

Nervus IX : sulit dievaluasi

Nervus X : sulit dievaluasi

Nervus XI : sulit dievaluasi

Nervus XII : deviasi lidah (-)

11. Genitalia : Laki-laki

12. Anus : Ada, hemoroid (-), massa (-)


31

D. Status Gizi
32

 Laki-laki, 4 Bulan 19 hari

 BB: 5 kg

 PB: 58 cm

 LK: 37 cm (Normal)

 LiLA: 13 cm (Normal)

 HA: 8 minggu

 BBI: 5,4 kg

 WA: 6,5 minggu

 BB/U: Z < -3 SD (Severly underweight)

 PB/U: -3 < Z < -2 SD (stunting)

 BB/PB: -1 < Z < 0 SD (Gizi baik)

 WA < HA < CA
33

E. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Lab 14/08/2022

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.1 12.0-16.0 g/dl
Leukosit 10.2 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.39 4.0-5.30 juta/ul
Hematokrit 34.6 37.0-47.00 vol%
Trombosit 518 150-450 ribu/ul
RDW-CV 14.3 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 78.7 75.0-96.0 fl
MCH 25.3 28.0-32.0 pg
MCHC 32.1 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil % 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil % 1.9 1.0-3.0 %
Neutrofil % 43.9 50.0-81.0 %
Limfosit % 39.5 20.0-40.0 %
Monosit % 14.5 2.0-8.0 %
Basofil # 0.02 <1.00 ribu/ul
Eosinofil # 0.19 <3.00 ribu/ul
Neutrofil # 4.47 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit # 4.03 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit # 1.48 0.30-1.00 ribu/ul
34

Kesan :
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.7 12.0-16.0 g/dl
Leukosit 15.5 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 3.84 4.0-5.30 juta/ul
Hematokrit 31.4 37.0-47.00 vol%
Trombosit 554 150-450 ribu/ul
RDW-CV 15.1 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 74.7 75.0-96.0 fl
MCH 25.3 28.0-32.0 pg
MCHC 30.9 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil % 0.1 0.0-1.0 %
Eosinofil % 0.0 1.0-3.0 %
Neutrofil % 51.4 50.0-81.0 %
Limfosit % 30.2 20.0-40.0 %
Monosit % 18.3 2.0-8.0 %
Basofil # 0.01 <1.00 ribu/ul
Eosinofil # 0.00 <3.00 ribu/ul
Neutrofil # 7.97 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit # 4.69 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit # 2.84 0.30-1.00 ribu/ul
STATUS BESI
Serum iron 54 55-175 FERENE
TIBC 420 134-415
Sat. transferin 12 15-50
Ferritin 20.0 21.81- Ng/ml
8 274.66
 Anemia mikrositik hipokromik

 Trombositosis

Hasil Pemeriksaan Lab 18/08/2022


35

Hasil pemeriksaan foto rontgen thorax AP

 Infiltrat pada lapangan atas, tengah, dan bawah kedua paru

 Tidak tampak pemadatan kedua hilus


 Cor : ukuran dalam batas normal

 Kedua sinus dan diafragma baik

 Tulang-tulang intak

Kesan : Bronkopneumonia

F. Resume

Nama : An. MR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 4 bulan 19 hari

Berat Badan : 5 kg

Panjang Badan : 60 cm

Keluhan Utama : Sesak nafas


36

Uraian

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin (14 Agustus 2022) dengan

keluhan sesak nafas sejak 10 jam SMRS. Sesak nafas mengeluarkan bunyi grok-

grok disertai napas cepat. Pasien mengeluhkan batuk 3 hari SMRS. Batuk

berdahak, kuning, sulit dikeluarkan. Demam naik turun, kejang (-), menggigil (-).

Demam turun setelah minum Paracetamol drop 0,5 ml namun kembali naik setelah

2-3 jam konsumsi obat. Pasien belum diberikan obat untuk mengatasi sesak dan

batuk. Pasien muntah tersedak saat minum susu sejak 10 jam SMRS. Muntah

berisi susu yang diminum, lendir (+), darah (-). Pasien masih haus dan masih mau

minum susu SGM ananda 120 ml sebanyak 7 kali dalam sehari. Keluhan BAB cair

disangkal. BAK masih lancar. Dalam sehari pasien 7 kali ganti popok.

Kesimpulan Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Tekanan darah : - mmHg

Nadi : 132 x/menit

Suhu : 38 ℃

Respirasi : 66 x/menit

SpO2 : 90% RA

Kulit : Kuning langsat, ptekie (-), xerosis (-), jaringan lemak

subkutis tipis.

Kepala : Normosefali. UUB dan UUK belum menutup

Rambut : Hitam, tipis, distribusi merata

Mata : Simetris, tidak cekung, konjungtiva pucat

Telinga : Simetris, sekret (-/-), serumen minimal.

Hidung : Simetris, pernapasan cuping hidung (+), sekret (+)

Mulut : Bibir pucat (+), sianosis (-), faring hiperems (-), Tonsil
37

T1/T1, pseudomembran (-)

Leher : pembesaran KGB(-), kaku kuduk (-)

Toraks/Paru : Simetris, vesikuler, retraksi (+), rhonki (+/+), wheezing(-)

Jantung : S1tunggal S2 tunggal, murmur (-)

Abdomen : Cembung, BU (+) normal, tidak teraba hepar lien, nyeri

tekan (-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

Susunan saraf : Meningeal sign (-), kaku kuduk (-), Kernig (-), Brudzinski

I (-), Brudzinsky II (-), parese n. kranialis (-), motorik

dalam batas normal, sensorik sulit dievaluasi, Refleks

palmar grasp (+/+), Refleks moro (+), Rooting refleks (+),

Sucking refleks (+), refleks patologis (-), klonus (-), spastik

(-), flaccid (-)

Genitalia : Laki-laki

Anus : Ada, hemoroid (-)

G. Diagnosis Kerja

Diagnosis banding: Bronkiolitis+Anemia Defisiensi Besi+Stunting


Community Aquired Pneumonia+ Anemia Defisiensi Besi + Stunting

H. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam


38

I. Penatalaksanaan

O2 dengan nasal canul 2 lpm

IVFD D5 ¼ Ns 200 ml/24 jam

IV Ampisilin-sulbactam 3x150 mg

IV Gentamisin 1x40 mg

IV paracetamol 4x50 mg (k/p demam)

PO. Ambroxol 2 mg

PO. Salbutamol 0,2 mg

Nebul ventolin 1 resp/8 jam

Transfusi PRC 70 ml

J. Usulan/saran

 Chest fisioterapi

 Observasi tanda vital

 Edukasi ibu dan keluarga tentang pentingnya pemberian ASI

 Edukasi ibu dan keluarga pentingnya imunisasi dan catch up imunisasi pada
anak
39

K. Follow Up

Tanggal pemeriksaan : 16/08/2022 jam 15.00 WITA

S O A P
- Sesak napas(+) - Kesadaran : CM • CAP - O2 dengan nasal
- Napas cepat(+) - TD : - • Anemia canul 2 lpm
- Suara grok grok(+) - N : 130 x/menit hipokromik
- Batuk (+) - RR : 61 x/menit mikrositik - IVFD D5 ¼ Ns
- demam (+) - T : 37,8℃ • Stunting 200 ml/24 jam
- muntah(-) - SpO2 : 90% room air
- diare(-) - K/L : Konj. Anemis (+), - IV Ampisilin-
skleraikterik (-), sekret sulbactam 3x150
hidung (-), faring hiperemis mg
(-)
-Thoraks:Simetris, retraksi - IV Gentamisin
substernal dan subcostal(+) 1x40 mg
- Paru :Vesikuler, rhonki(+ - IV paracetamol
), wheezing(-) 4x50 mg (k/p
- Jantung : S1-S2 reguler, demam)
murmur (-), gallop (-)
- Abd : Cembung, supel, - PO. Ambroxol 2
BU(+)8x/menit, mg
hepatosplenomegali (-)
- Ekstr : Akral hangat, CRT - PO. Salbutamol 0,2
< 2”, lemak subkutis mg
minimal

- Status neurologis : -Chest


Meningeal sign (-), kaku fisioterapi
kuduk (-), Brudzinski I (-), -Observasi
Brudzinski II (-), Kernig (- tanda vital
), pupil isokor 3mm/3mm, -Edukasi ibu
RC +/+, parese n. kranialis dan keluarga
(-) Refleks palmar grasp (+)
tentang
,Refleks moro (+), Rooting
refleks (+), Sucking refleks
pentingnya
(+), refleks patologis (-), pemberian ASI
klonus (-), spastik (-), -Edukasi ibu
flaccid (-) dan keluarga
pentingnya
imunisasi dan
catch up
imunisasi pada
anak
40

Tanggal pemeriksaan : 17/07/2022 jam 15.00 WITA

S O A P
-Sesak napas (+) - Kesadaran : CM • CAP -O2 2 lpm
-Napas cepat(+) - TD : - • Anemia -IVFD D5 ¼ Ns
-Suara napas - N : 118 x/menit hipokromik 200 ml/24 jam
grok-grok(-) - RR : 60 x/menit mikrositik - IV Ampisilin-
-Batuk(-) - T : 36,8℃ • Stunting
sulbactam 3x150
-Demam (-) - SpO2 : 98% 2lpm
-Muntah (-) - K/L : Konj. Anemis (-), mg
skleraikterik (-), sekret - IV Gentamisin
hidung (-), faring 1x40 mg
hiperemis (-) -PO. Ambroxol
-Thoraks: Simetris, 2 mg
retraksi (-)
-PO. Salbutamol
- Paru : Vesikuler,
rhonki(-), wheezing(-) 0,2 mg
- Jantung : S1-S2 reguler, -Nebulizer
murmur (-), gallop (-) ventolin 1 resp/
- Abd : Cembung, supel, 8 jam
BU(+)8x/menit,
hepatosplenomegali (-) -Chest
- Ekstr : Akral hangat, phisiotheraph
CRT < 2”, lemak
y
subkutis minimal
-Observasi
- Status neurologis : tanda vital
Meningeal sign (-), kaku -Edukasi ibu
kuduk (-), Brudzinski I (- dan keluarga
), Brudzinski II (-), tentang
Kernig (-), pupil isokor pentingnya
3mm/3mm, RC +/+, pemberian ASI
parese n. kranialis (-) -Edukasi ibu
Refleks palmar grasp (+)
,Refleks moro (+), dan keluarga
Rooting refleks (+), pentingnya
Sucking refleks (+)refleks imunisasi dan
patologis (-), klonus (-), catch up
spastik (-), flaccid (-)
imunisasi
pada anak
41

Tanggal pemeriksaan : 18/07/2022 jam 14.40 WITA

S O A P
- Sesak nafas(-) - Kesadaran : CM • CAP -O2 ½ lpm
- Napas cepat - TD : - • Anemia -IVFD D5 ¼ Ns
(+) - N : 120 x/menit defisiensi besi 400 ml/24 jam
- Suara napas - RR : 36 x/menit • Stunting -IV Ampisilin-
grok-grok(-) - T : 36.4℃
Sulbactam 3x15
- batuk (-) - SpO2 : 99% NK ½ lpm
- muntah (-) - K/L : Konj. Anemis (+), mg
- diare (-) skleraikterik (-), sekret - IV Gentamisin
hidung (-), faring 1x40 mg
hiperemis (-) -PO. Ambroxol
-Thoraks:Simetris, retraksi 2,5 mg (3x1
(-)
pulv)
- Paru :Vesikuler, rhonki(-
), wheezing(-) -PO. Salbutamol
- Jantung : S1-S2 reguler, 0,5 mg (3x1
murmur (-), gallop (-) pulv)
- Abd : Cembung, supel, -nebulizer
BU(+)8x/menit, ventolin 1 resp/1
hepatosplenomegali (-) jam
- Ekstr : Akral hangat,
-Transfusi PRC
CRT < 2”, lemak subkutis
minimal 70 ml

- Status neurologis : -chest


Meningeal sign (-), kaku physiotheraph
kuduk (-), Brudzinski I (-), y
Brudzinski II (-), Kernig (-
-Observasi
), pupil isokor 3mm/3mm,
RC +/+, parese n. kranialis tanda vital
(-) Refleks palmar grasp -Edukasi ibu
(+) dan keluarga
,Refleks moro (+), Rooting tentang
refleks (+), Sucking refleks pentingnya
(+)refleks patologis (-), pemberian ASI
klonus (-), spastik (-), -Edukasi ibu
flaccid (-) dan keluarga
-lab:
• Hb= 9,7 pentingnya
• Ht= 31,4 imunisasi dan
• L=15.500 catch up
• Tr=554.000
• MCV=81.8 imunisasi pada
• MCHC=25,3 anak
• MCH=30,9
• SI=79
• TIBC=274
• Sat. Transferin=29
• Ferritin=40,94
42

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dibahas seorang anak laki-laki usia 4 bulan 19 hari

dengan diagnosis pneumonia, anemia defisiensi besi, dan stunting. Pneumonia

merupakan infeksi saluran pernapasan akut pada paru-paru yang menjadi penyebab

utama morbiditas dan mortalitas pada anak berusia di bawah lima tahun. 4

Manifestasi klinis sesuai dengan kriteria WHO untuk pneumonia yaitu batuk,

demam, takipnu, peningkatan usaha napas, napas cuping hidung, dan hipoksia

didukung dengan pemeriksaan penunjang foto toraks.45 Pada infeksi yang berat

dapat dijumpai sianosis dan gagal napas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki

dan mengi.1 Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks

terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di

bawah ini:46,47

a. Batuk-batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak/purulen

c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam

d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan

ronki

e. Leukosit > 10.000 atau < 4500

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas terus menerus

sejak 10 jam SMRS yang disertai bunyi grok-grok. Selain itu, pasien juga batuk

dengan dahak berwarna kuning dan kental yang sulit untuk dikeluarkan. Pasien juga

mengeluhkan demam sejak 1 hari SMRS yang naik turun. Pada pemeriksaan fisik

biasanya didapatkan pekak perkusi, suara napas melemah, dan terdengar ronki,
43

retraksi dada, dan pernapasan cuping hidung. Pada pasien ini didapatkan retraksi

subcostal dan substernal, pernapasan cuping hidung, terdengar grok-grok atau

ronki.48 Pada pemeriksaan foto rontgen thorax didapatkan kesan pneumonia.

Pada hasil laboratorium darah lengkap pasien, ditemukan anemia mikrositik

hipokromik, penurunan hematokrit, trombositosis, dan leukositosis. Trombositosis

biasanya memandakan terjadinya infeksi. Infeksi yang sering terjadi adalah

pneumonia. Trombositosis yang disebabkan oleh infeksi biasanya akan sembuh

dengan sendirinnya.49Anemia mikrositik hipokromik biasanya disebabkan oleh

anemia defisiensi besi, hemoglobinopati, anemia penyakit menahun (kronis) dan

anemia sideroblastik. Pada hasil laboratorium pasien menunjukkan penurunan

serum iron, saturasi transferin, dan feritin serum, serta TIBC nya meningkat.Hasil

tersebut mengarah ke anemia defisensi besi. Anak-anak khususnya bayi sangat

sensitif terhadap defisiensi besi dikarenakan meningkatnya kebutuhan besi untuk

pertumbuhan. Pada bayi baru lahir memiliki cadangan besi yang cukup untuk

memenuhi pertumbuhannya. Cadangan ini akan menurun setelah usia 4-5 bulan

pada bayi cukup bulan, namun pada bayi kurang bulan cadangan tersebut hanya

bertahan sampai usia 2-3 bulan. Sumber zat besi pada bayi dibawah usia 6 bulan

berasal dari air susu ibu (ASI) atau susu sapi/ formula dan derivatnya. Komposisi

zat besi pada ASI dan susu formula sama-sama rendah (0,2-0,4 mg/L), namun

bioavailabilitas zat besi pada ASI lebih baik dibandingkan susu sapi. Dengan

demikian, bayi yang mengkonsumsi ASI jarang menderita defisiensi besi sebelum

usia 6 bulan. Namun pada pasien menjadi lebih rentan menderita anemia defisiensi

besi karena sudah berhenti mengkonsumsi ASI sejak usia 1 minggu.50

Reaksi akibat inflamasi parenkim paru menyebabkan respon tubuh untuk

melawan patogen, selain merangsang pengeluaran sitokin proinflamasi. Bagian


44

paru yang terkena akan mengalami konsolidasi karena terjadi sebukan sel PMN,

fibrin, eritrosit, cairan udem, dan dapat ditemukan kuman di alveoli. Jumlah

leukosit akan meningkat terutama sel PMN akibat inflamasi parenkim paru.

Leukositosis akan terjadi terutama pada pneumonia yang disebabkan oleh

bakteri.4,51

Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar

rumah sakit. sedangkan pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi

pada 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit. Pada pasien ini, diagnosa

pneumonia sudah muncul kurang dari 48 jam setelah di rawat di rumah sakit.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini

didiagnosis Pneumonia (Community Acquaired Pneumonia).52

Pengobatan kausal dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik karena

obat pilihan utama untuk terapi penyakit pneumonia akibat mikroorganisme.

Ampisilin merupakan antibiotik lini pertama yang diberikan pada anak usia >3

bulan yang sudah diimunisasi dengan pneumonia tanpa komplikasi.53,54 Antibiotik

golongan β laktam identik dengan adanya struktur cincin β laktam pada struktur

kimia obat. Obat-obat golongan β laktam pada umumnya bersifat bakterisida.

Selain itu, sebagian besar golongan β laktam efektif terhadap kuman Gram Positif

dan Negatif. Mekanisme kerja antibiotik golongan ini adalah mengganggu sintesis

protein dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan yaitu

heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.

Antibiotik inhibitor β laktamase melindungi antibiotik β laktam dengan cara

menginaktivasi β laktamase. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah asam

klavulanat, sulbaktam dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide


45

inhibitor yang mengikat β laktamase dari bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral

dan dengan tikarsin untuk pemberian parenteral. Sulbaktam dikombinasi dengan

ampisilin untuk penggunaan parenteral. Tazobaktam dikombinasi dengan

piperasilin untuk penggunaan parenteral.55 Pada pasien ini, antibiotik yang

diberikan adalah ampisilin sulbactam. Kombinasi betalaktam memegang peranan

paling penting untuk mempertahankan kegunaan agen betalaktam, dan salah satu

yang disarankan adalah ampisilin sulbactam. Sulbaktam sebagai penghambat

betalaktamse secara struktur mirip dengan penisilin tetapi mempunyai rantai

samping yang dimodifikasi yang memungkinkan untuk berperan sebagai

penghambat beraitan secara ireversibel dengan betalaktamse dan membuatnya

tidak aktif. Oleh karna itu pemecahan antibiotik oleh betalaktamse dapat dicegah

dan aktivitas bakterisidal dapat dipertahankan.56

Pada riwayat nutrisi, pasien hanya diberikan susu formula dan sudah tidak

diberikan ASI. Bayi yang diberikan ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih

jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif karena

di dalam ASI terdapat kolostrum yang berfungsi sebagai zat kekebalan, kolostrum

ini akan melindungi bayi dari berbagai penyakit.57 Penelitian Kasundriya

menunjukkan sebanyak 80% anak yang tidak menerima ASI eksklusif menderita

pneumonia dan anemia. Air susu ibu mempengaruhi sistem imun sistemik anak

melalui berbagai mekanisme termasuk sebagai imunomodulator, maturasional,

anti inflamasi dan anti mikroba sehingga anak yang tidak mendapatkan ASI

eksklusif lebih mudah mendapatkan infeksi saluran pernapasan dan meningkatkan

risiko kematian.58 Balita dengan nutrisi tidak baik atau kekurangan gizi menjadi

rentan terhadap infeksi. Invasi mikroorganisme menstimulasi inflamasi sebagai


46

mekanisme pertahanan sistem imun tubuh. Inflamasi membantu membersihkan

mikroorganisme yang menyerang. Respon imunitas dan proses perbaikan sel

setelah terjadi infeksi membutuhkan energi atau zat gizi sehingga kebutuhannya

menjadi besar. Kondisi ini diikuti asupan gizi tidak adekuat saat dan setelah

infeksi memungkinkan anak terkena kekurangan nutrisi dimana menjadi penyebab

stunting.59 Infeksi baik klinis maupun subklinis berkontribusi sebagai penyebab

stunting. Infeksi yang dapat terjadi diantaranya infeksi saluran cerna (diare akibat

virus, bakteri, dan parasit), infeksi akibat cacing (kecacingan), dan infeksi saluran

nafas (Infeksi Saluran Pernafasan Akut, tuberkulosis paru, dan pneumonia).60


47

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus an. MR laki-laki berusia 4 bulan 19 hari

yang di rawat di RSUD Ulin Banjarmasin dengan diagnosis pneumonia

komunitas, anemia defisiensi besi, dan stunting. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan terakhir yang diberikan adalah O2 ½ lpm, IVFD D5 ¼ Ns 200

ml/24 jam, IV Ampisilin-Sulbactam 3x150 mg, IV Gentamisin 1x40 mg, PO.

Ambroxol 2,5 mg, PO. Salbutamol 0,5 mg, nebulizer ventolin 1 resp/1 jam, dan

transfusi PCR 70 mlfan. Pasien telah di rawat di ruang anak RSUD Ulin sejak

tanggal 14 agustus 2022 dan pulang pada tanggal 20 agustus 2022.


48

DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante, Karen J, Robert M, et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 6th ed.

Indonesia: Elsevier Inc.; 2014

2. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI

3. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI

4. Said M, 2015, Buku Ajar Respirologi Anak, 1th Ed, Ikatan Dokter Anak

Indonesia, Jakarta.

5. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI

6. UNICEF. Under-five and infant mortality rates and number of deaths. 2015.

7. Arlini, Yunita. Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana

Terkini. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 2015.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Pneumonia

Balita: Jakarta: DepkesRI; 2009.

9. Riski Syahna. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Anemia ada

Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh.

Universitas Syiah Kuala. 2014

10. Hoffbrand, A., Moss, P. Kapita selekta hematologi ed 6. EGC. Jakarta. 2016

11. Eko Putro Sandjojo 2017.Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting: Jakarta

Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan transmigrasi.

12. Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL. Krause’s food and the nutrition care

process 13th ed. In: Lucas BL, Feucht SA, Ogata BN. Nutrition in Childhood.
49

United States of America: Elsevier; 2012.p.389-406

13. Millennium Challenge Account Indonesia. Stunting and the future of Indonesia

(updated 2015; cited 2018 Aug 17). Available from:

http://www.mcaindonesia.go.id/assets/upload s/media/pdf/Backgrounder-Stunting-

EN.pdf

14. Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset

kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.p.9-10,22

15. Adriani, M., & Wirjatmadi, B. Gizi dan Kesehatan Balita Peranan Micro Zinc

pada Pertumbuhan Balita. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2014.

16. World Health Organization. Pneumonia. Fact Sheet N0 331. Diakses dari:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/.

17. Dahlan Zul. Pneumonia. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V Jilid III, Jakarta : Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009. h2196

18. Callistania C, Indrawati W. Kapita Selekta Kedokteran, 4th Ed, Media

Aesculapius, Jakarta. 2014.

19. PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di

Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

20. Dipiro Joseph T, dkk. Pharmacotherapy Principel & Practice. Penerbit Mc Graw

Hill Lange. 2015.

21. Warganegara, Efrida. Pneumonia nosokomial. JK Unila. 2017.

22. Mani, C. S., & Murray, D. L. (2018). Acute Pneumonia and Its Complications. In:

Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York: 2018; 238-249

23. Opovsky, E. Y., & Florin, T. A. Community-Acquired Pneumonia in Childhood.

Reference Module in Biomedical Sciences. 2020.

24. Bradle JS, Carrie L. Byington, Samir S. Shah, et al. The Management of
50

Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Months of

Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and

the Infectious Diseases Society of America, Clinical Infectious Diseases

2011;53(7):e25–e76. https:// doi.org/10.1093/cid/cir531.

25. Word Healt Organization. Pneumonia. 2019. Diunduh tanggal: 18 agustus 2022.

Tersedia dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheet/ detail/pneumonia.

26. Jannah, M., Abdullah, A., & Melania, H. Analisis Faktor Risiko Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Wilayah Kerja UPTD

Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh Tahun 2019. JUKEMA 2019;6(1).h.

20-28

27. Sidiq, R., Ritawati, & Sitio, R. (2016). The Risk of Pneumonia among Toddlers in

Lambatee, Aceh. National Public Health 2016; 69-73.

28. Howie S, Murdoch D. Global childhood pneumonia: the good news, the bad news

and the ways ahead. Lancet Global Health. 2019;7(1):e4- 5

29. Setyanto, D. B., Suardi, A. U., Setiawati, L., Triasih, R., & Yani, F. F. Pneumonia.

Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter

Anak Indonesia 2019; 250-255.

30. Mantero, M., Tarsia, P., Gramegna, A. et al. Antibiotic Therapy, Supportive

Treatment and Management of ImmunomodulationInflammation Response in

Community Acquired Pneumonia: review of recommendations. Multidiscip Respir

Med 2017;12(26) https://doi. org/10.1186/s40248-017-0106-3

31. Stefan M.T. Vestjens, Simone M.C. Spoorenberg, Ger T. Rijkers, Jan C. Grutters,

Ewoudt M.W. van de Garde, Sabine C.A. Meijvis, Willem Jan W. Bos.

Antipyretic effect of dexamethasone in community-acquired pneumonia.

European Respiratory Journal 2015 46: 570-573


51

32. Corwin, J. Elizabeth. Handbook of Pathophysiology. Edisi 3. EGC. Jakarta. 2009

33. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of

anaemia and assessment of severity. Geneva: World Health Organization. 2011

[cited 2022 Aug 5]. Available from:

http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf

34. Almatsier, S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

2011

35. Proverawati, A. Anemia dan Anemia Kehamilan. Yogyakarta: Nua Medika. 2011

36. C haparro CM, Suchdev PS. Anemia epidemiology, pathophysiology, and etiology

in low and middle-income countries. Ann N Y Acad Sci. 2019;1450(1):15-31.

37. Pendekatan Diagnosis dan Tereapi terhadap Penderita Anemia. Bali Health

Journal. 2017

38. Soliman A, De Sanctis V, Kalra S. Anemia and growth. Indian Journal of

Endocrinology and Metabolism. 2014;18:S1–5.

39. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan Pengobatan Anemia. Surabaya:

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK

UNAIR-RSUD Dr Sutomo; 1988.

40. Kusuma KE, Nuryanto. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun

(Studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of Nutrition College. 2013; 2(4):

523-30.

41. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Balita Pendek. 2016. Tersedia di

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/situasi-balita-

pendek-2016.pdf. Diakses pada 19 Agustus 2018.

42. Batubara JRL, Susanto R, Cahyono HA. Pertumbuhan dan Gangguan

Pertumbuhan. Dalam: Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: UKK


52

Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015:29-32.

43. Tridjaja B. Short Stature (Perawakan Pendek) Diagnosis dan Tata Laksana.

Dalam: Best Practices in Pediatrics. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

Cabang DKI Jakarta; 2013:11-8

44. Pulungan AM. Pubertas dan Gangguannya. Dalam: Buku Ajar Endokrinologi

Anak. Edisi 1. Jakarta: UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015:89-94

45. Gessman LM, Rappaport DI. Approach to communityacquired pneumonia in

children. Hosp Physician 2009;1-5

46. Luttfiya MN, Henley E, Chang L. Diagnosis and treatment of community acquired

pneumonia. American Family Physician. 2010;73(3):442-50

47. Task Force on CAP. Philippine Clinical Practice Guidelines on the Diagnosis,

Empiric Management, and Prevention of Community-acquired Pneumonia (CAP)

in Immunocompetent Adults. 2010

48. Khairiyadi. Bab VI Sub Bagian Respirologi. Dalam: Ari Yunanto. Panduan

Praktik Klinis Pediatri. Cetakan 3. Banjarmasin: Oceana Press; 2017. p.155-61.

49. Dewi SW, Subana IB, Purniti PS, Ariawati K. Trombositosis pada Pneumonia.

Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. 2012.

50. Respatih, Reniarti, Susanah. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Buku ajar

Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: BP IDAI. 2005

51. Hoser GA, Skirecki T, Zlotorowicz M, Zielinska-Borkowska U, Kawiak J.

Absolute counts of peripheral blood leukocyte subpopulations in intraabdominal

sepsis and pneumonia-derived sepsis: a pilot study. Folia Histochem Cytobiol.

2012;50:420-6.

52. Gereige RS, Laufer PM. Pneumonia. Pediatrics in Review. 2013. 34(10); 438-456.

53. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen Terpadu


53

Balita Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2019

54. Suci LN. Pendekatan diagnosis dan tata laksana pneumonia pada anak. J Ked N

Med. 2020. 3(1); 30-38.

55. Kemenkes RI. 2011b. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik.

Jakarta: Kementrian Republik Indonesia. 2011.

56. Wahidah LK, Wahyuni NT, Putri DM. Evaluasi penggunaan antibiotik pneumonia

dengan metode Atc/ddd pada pasien pediatri di instalasi rawat inap RSUD. dr. A.

Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung tahun 2019. JFL. 2020. 9(2); 99-108.

57. Hidayat KA. Perbandingan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini Berdasarkan

Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil. Jurnal Media Medika Muda. 2012

58. Kasundriya SK, Dhaneria M, Mathur A, Pathak A. Incidence and risk factors for

severe pneumonia in children hospitalized with pneumonia in Ujjain, India. Int J

Environ Res Public Health. 2020 27;17(13):4637

59. Millward, D. J. Nutrition , infection and stunting : the roles of de fi ciencies of

individual nutrients and foods , and of in fl ammation , as determinants of reduced

linear growth of children Nutrition Research Reviews. (2017), 50–72.

60. UNICEF. UNICEF ’ s approach to scaling up nutrition. New York: UNICEF.

2015
54

Anda mungkin juga menyukai