Anda di halaman 1dari 25

Tugas Baca

Retinophaty of Prematurity

Oleh :

Fie Khaeriyah

NIM. 1930912320103

Pembimbing :

dr. Etty Eko Setyowati., Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
September, 2021
2

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 23
BAB I

PENDAHULUAN

Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan kelainan perkembangan

pembuluh darah retina yang terjadi pada bayi prematur. ROP menjadi penyebab

utama kebutaan yang dapat dicegah dan memiliki dampak gangguan penglihatan

yang signifikan jika tidak ditangani. Usia gestasi yang rendah dan berat badan

lahir rendah merupan faktor risiko utama terjadinya ROP. Pada hampir semua

bayi cukup bulan, retina dan pembuluh darah retina berkembang sempurna, dan

oleh karena itu, ROP tidak dapat terjadi; Namun, pada bayi prematur,

perkembangan retina, yang berlangsung secara perifer dari kepala saraf optik

selama kehamilan, tidak lengkap, dengan tingkat imaturitas retina terutama

tergantung pada tingkat prematuritas saat lahir, sehingga menciptakan

kemungkinan perkembangan abnormal.1

Kondisi ROP pertama kali dilaporkan Terry pada tahun 1942 sebagai

gambaran retrolental fibroplasia yang terjadi pada bayi-bayi yang lahir prematur.

Penemuan Terry tersebut didukung oleh teori yang disampaikan oleh Campbell

pada tahun 1952 mengenai penyebab ROP adalah penggunaan oksigen pada bayi

kurang bulan. ROP merupakan kelainan retina yang dialami oleh bayi kurang

bulan dengan berat lahir sangat rendah dan memiliki potensi untuk terjadi

kebutaan pada bayi. Angka kejadian ROP pada bayi kurang bulan sekitar 16%.

Lebih dari 50% bayi dengan berat badan <1500 gram berkembang menjadi ROP.

Menurut World Health Organization (WHO) memperkirakan ada 1,4 juta anak

1
2

buta di seluruh dunia yang dua pertiganya tinggal di negara berkembang. ROP

adalah penyebab kebutaan pada sekitar 50.000 anak-anak ini. Di Amerika Serikat,

lebih dari 2100 anak mengalami komplikasi ROP dan 500-1200 diantaranya

mengalami kebutaan dan komplikasi yang serius. Angka kejadian ROP di

Indonesia terdiri dari beberapa kota yaitu di Jakarta yaitu sebesar 30,3% dan di

daerah pekanbaru telah dilakukan evaluasi selama 3 tahun didapatkan angka

kejadian ROP sebesar 18,3%.1,2

Sebuah studi mengemukakan bahwa insidensi ROP di Neonatal Intensive

Care Unit (NICU) Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta dari tahun 2005 sampai

2015, melaporkan dalam rentang waktu 11 tahun didapatkan 311 bayi prematur

kurang dari 32 minggu dengan berat badan kurang dari 1500 gram yang dilakukan

skrining ROP. Sebesar 30% dari bayi prematur ini mengalami ROP stage 1-2 dan

sebanyak 6.1% mengalami ROP stage 3-5. Kemajuan teknologi dalam bidang

neonatologi yang meningkatkan harapan hidup bayi prematur menyebabkan

penambahan pula angka kejadian ROP. ROP adalah penyakit vasoproliferatif pada

retina yang dihubungkan dengan kelahiran prematur. Gangguan pengelihatan ini

bersifat permanen dan mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas hidup pasien,

oleh karena itu skrining saat ini sangat dianjurkan untuk menghindari komplikasi

lebih lanjut.3,4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor

yang menerima rangsangan cahaya. Fungsi retina adalah menangkap bayangan

benda. Ketika bagian mata ini rusak atau terkena penyakit, manusia tidak bisa

melihat dengan optimal. Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel

retina, melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.

Gambar 2.1 Bola Mata

Retina terdiri atas 10 lapisan sebagai berikut:

1. Epitel pigmen retina atau retinal pigment epithelium (RPE). Ia merupakan

lapisan terluar retina yang bersinggungan dengan lapisan koroid.

3
4

2. Segmen dalam atau inner segment (IS) dan segmen luar atau outer

segment (OS).

3. Membran limitans eksterna atau external limiting membane (ELM).

4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor atau outer nuclear layer (ONL).

5. Lapisan pleksiform luar atau outer pletiform layer (OPL).

6. Lapisan inti dalam atau inner nuclear layer (INL).

7. Lapisan pleksiform dalam atau inner plexiform layer (IPL).

8. Lapisan sel ganglion atau ganglion cell layer (GCL).

9. Lapisan serabut saraf atau nerve fiber layer (NFL).

10. Membran limitan interna atau inner limiting membrane (ILM).

Gambar 2.2 Lapisan Retina

Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan

iskemia dan merah pada hyperemia. Pembuluh darah di dalam retina merupakan

cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optic

yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Retinopati adalah kelainan
5

pembuluh darah yang menuju ke mata berupa perdarahan, tidak adekuatnya

pasokan darah dan penyumbatan pembuluh darah. Akibat yang serius adalah

kerusakan retina, yang kadang-kadang menetap dan menyebabkan penurunan

fungsi penglihatan bahkan kebutaan.17

B. Prematuritas

Bayi lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari pertama

menstruasi terakhir (WHO). Prematur juga sering digunakan untuk menunjukan

imaturitas. Bayi dengan BBLSR yaitu kurang dari 1000 gram disebut juga

neonatus imatur. Secara historis premature didefinisikan dengan berat badan lahir

2500 gram atau kurang, tetapi sekarang bayi yang beratnya 2500 gram atau

kurang pada saat lahir, “bayi dengan berat badan lahir rendah”, dianggap

prermatur dengan masa kehamilan pendek, menurut umur kehamilanya, mereka

mengalami retardasi pertumbuhan intraunterin. Prematuritas dan IUGR

dihubungkan dengan kenaikan morbiditas dan mortalitas neonatus. Idealnya

definisi BBLR untuk populasi individu harus didasarkan pada data yang

sehomogen mungkin, baik secara genetic maupun linkungan. Selama tahun 1991,

sebanyak 7,1% kelahiran hidup di amerika lahir dengan berat kurang dari 2,500g.

Sejak tahun 1981 frekuensi BBLR telah naik turun terutama karena adanya

kenaikan jumlah kelahiran preterm.18

C. Retinophaty of Prematurity (ROP)

1. Definisi

Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan kelainan retina yang dialami

oleh bayi kurang bulan dengan berat lahir sangat rendah dan memiliki potensi
6

untuk terjadi kebutaan pada bayi. ROP adalah suatu keadaan retinopati proliferatif

dimana terjadi perkembangan abnormal pada pembuluh darah retina pada bayi

prematur. ROP seringkali mengalami regresi atau membaik tetapi dapat

menyebabkan terjadinya gangguan visual berat atau kebutaan.5,6

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab gelombang pertama retinopati prematuritas ini adalah penggunaan

suplai oksigen dalam inkubator tertutup, yang membantu meningkatkan

kelangsungan hidup bayi prematur, tetapi juga berkontribusi pada kebutaan.

Oksigenasi optimal untuk menyeimbangkan risiko retinopati prematuritas

terhadap peningkatan kelangsungan hidup masih belum diketahui. Pemberian

oksigen saat ini terkontrol lebih baik daripada di masa lalu di negara maju, tetapi

retinopati prematuritas tetap ada, sebagian karena peningkatan kelangsungan

hidup bayi dengan usia kehamilan dan berat lahir yang sangat rendah yang

berisiko tinggi untuk penyakit tersebut. Di beberapa negara berkembang,

pengobatan tanpa pengawasan dengan oksigen 100% masih digunakan, yang

bahkan dapat menyebabkan bayi cukup bulan terkena retinopati prematuritas yang

parah. Pada saat ini risiko retinopati prematuritas tergantung berat lahir, usia

kehamilan dan lama penggunaan oksigen. Bayi yang lahir 1,5kg dan lahir kurang

dari 30 minggu perlu diperiksa untuk kelainan ini.4,7 Faktor risiko lain:

1. Pernafasan berhenti (apnea)

2. Penyakit jantung

3. Kadar CO2 tinggi dalam darah


7

4. Infeksi

5. Keasaman darah rendah

6. Kadar oksigen darah rendah

7. Gangguan pernafasan

8. Bradikardi

9. Transfusi.7

3. Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) memperkirakan ada 1,4 juta

anak buta di seluruh dunia yang dua pertiganya tinggal di negara berkembang.

ROP adalah penyebab kebutaan pada sekitar 50.000 anak-anak. Data nasional

terkini mengenai besaran masalah gangguan indera penglihatan bersumber dari

Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2014-2016. RAAB

merupakan metode survei standar untuk pengumpulan data gangguan penglihatan

dan kebutaan yang direkomendasikan oleh WHO, melalui Global Action Plan

(GAP) 2014 – 2019. Survei RAAB di Indonesia sampai saat ini telah dilakukan

di 15 provinsi pada tahun 2014-2016 yaitu 3 provinsi di Sumatra, 4 provinsi di

Jawa, 1 provinsi di Kalimantan, 2 provinsi di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua untuk dapat mewakili kondisi

Indonesia.8

Di negara maju, ROP terutama terlihat pada bayi yang lahir setelah GA

kurang dari 28 minggu dengan kisaran 16% -33%. Kelangsungan hidup bayi

prematur di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah meningkat karena


8

pengenalan neonatal pusat perawatan intensif. Tingkat ROP yang relatif tinggi

terlihat pada bayi yang selamat prematur dan bayi dengan GA yang lebih tinggi.

Indonesia adalah negara dengan perluasan pusat perawatan intensif neonatal yang

sangat cepat sekaligus menghadapi keterbatasan keuangan. Salah satu unit

perawatan intensif neonatal (NICU) pertama di Indonesia didirikan pada tahun

1986 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, dengan kapasitas 14–20 tempat tidur.

Dilakukan penelitian kejadian ROP pada periode 2005-2015 pada bayi yang

dirawat di rumah sakit ini untuk mengidentifikasi apa yang berpotensi terjadi di

Indonesia setelah pengenalan luas perawatan intensif neonatal.9

Sebuah meta-analisis dari 13 studi berbasis populasi melaporkan kejadian

tahunan 20.000 bayi buta dari ROP. Proporsi kebutaan pada anak-anak yang

disebabkan oleh ROP berkisar antara 10 hingga 37,4% di seluruh dunia. Di

Amerika Serikat, kejadian ROP di antara bayi baru lahir dengan lama tinggal di

rumah sakit (LOS) lebih dari 28 hari adalah 12,8-19,9% dalam studi yang

menggunakan database perawatan rawat inap pediatrik yang tersedia untuk umum.

Sebuah studi baru-baru ini di Taiwan melaporkan insiden ROP 36,6% di antara

bayi prematur dengan LOS lebih dari 28 hari menggunakan Database Penelitian

Asuransi Kesehatan Nasional (NHIRD). Dalam data registri nasional Swedia, ROP

ditemukan pada 31,9% bayi dengan usia kehamilan (GA) <31 minggu, sedangkan di

Inggris, kumpulan data yang berasal dari database National Health Service (NHS)

mengungkapkan bahwa 12,6% bayi dengan berat lahir (BB) kurang dari 1500 g memiliki

ROP pada tahun 201110. Dalam jaringan unit perawatan intensif neonatal Turki (NICU),

setiap tahap ROP terlihat pada 27-30% bayi dengan BW≤1500 g, GA≤32 minggu atau

dengan perjalanan klinis yang tidak stabil. Di Korea Selatan, tidak ada studi epidemiologi
9

berbasis populasi sampai survei database Jaringan Neonatal Korea (KNN), sebuah registri

nasional untuk bayi berat lahir sangat rendah (VLBWI; kurang dari 1500 g BB),

melaporkan total insiden ROP menjadi 34,1% di antara VLBWI13. Namun, kebutuhan

akan studi epidemiologi nasional ROP di Korea Selatan tetap ada karena data KNN

mencakup sekitar 70% dari keseluruhan penerimaan VLBWI yang lahir di negara tersebut

pada waktu itu.10

4. Patofisiologi

Pada kondisi normal, pembuluh darah mulai tumbuh saat usia 16 minggu

masa gestasi. Pembuluh darah berkembang dari diskus optikus menuju ora serata.

Pembuluh darah akan mencapai daerah nasal pada usia 8 bulan kehamilan dan

daerah temporal setelah bayi lahir, jadi pada bayi yang lahir prematur, pembuluh

darah retina sudah komplit. Bila bayi lahir secara prematur sebelum pertumbuhan

pembuluh darah ini mencapai tepi retina, maka pertumbuhan pembuluh darah

(yang normal akan terhenti sehingga bagian tepi retina yang tidak ditumbuhi

pembuluh darah) tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal ini

menyebabkan bagian tepi retina akan mengirimkan sinyal ke daerah retina yang

lain untuk mecukupi kebutuhan oksigen dan nutrisinya. Sebagai akibatnya maka

pembuluh darah abnormal mulai tumbuh dimana pembuluh darah

(neovaskularisasi) ini sangat lemah dan mudah pecah/berdarah serta menyebabkan

pertumbuhan jaringan parut pada retina yang dapat menyebabkan tarikan pada

retina sampai terlepasnya retina dari tempatnya/ablasio retina.

Kelainan ini biasanya bilateral, tetapi sering asimetrik. Fase aktif meliputi

perubahan-perubahan di taut retina vaskuler dan avascular, mula-mula sebagai

sebuah garis batas yang jelas (stadium 1), diikuti oleh pembentukan rigi yang jelas
10

(stadium 2), kemudian proliferasi fibrovaskular ekstraretina (stadium 3). Pada

pasien dengan stadium 3 pun, insidens terjadinya regresi spontan tetap tinggi.

Juga harus dipertimbangkan lokasi perubahan dalam hubungannya dengan jarak

dari diskus optikus, luas penyakit dalam jarum jam, serta adanya dilatasi vena dan

arteri yang berkelok-kelok di segmen posterior (penyakit plus). Fase sikatrikal

(stadium 4 dan 5) bermanifestasi sebagai ablation retina berat yang berakibat pada

gangguan pengelihatan yang bermakna sekalipun diperbaiki dengan bedah

vitroretina.6,13

5. Manifestasi Klinis

Kelainan ini jarang menimbulkan gejala yang mudah dikenali. Tanda awal

biasanya adalah adanya keterlambatan pergerakan bola mata. Biasanya terjadi

bilateral, namun sering asimetrik. Pada beberapa kasus dapat ditemukan

leukocoria dan strabismus. Kelainan ini harus secara aktif dikenali pada bayi-bayi

yang memiliki faktor resiko dengan melakukan skrining. Manifestasi klinis

berdasarkan stadium:

1. Stadium I: pertumbuhan pembuluh darah ringan yang abnormal, biasanya


menjadi baik tanpa pengobatan tanpa memberi akibat buruk jangka lama.
2. Stadium II: pertumbuhan pembuluh darah abnormal ringan. Biasanya menjadi
baik tanpa diobati dan tidak memberikan akibat dalam waktu lama.
3. Stadium III: pertumbuhan pembuluh darah abnormal berat. Pada stadium ini
diperlukan pengobatan untuk retinopati prematuritisnya dan memberikan risiko
tinggi pada pengelihatan dalam waktu lama. Diperlukan pengobatan pada stadium
ini.
4. Stadium IV: pertumbuhan pembuluh darah sangat abnormal dengan adanya
ablasi retina memerlukan pengobatan dan masalah pengelihatan hingga kebutaan
dapat terjadi.
11

5. Stadium V: dengan ablasi retina total, memerlukan pengobatan dan dapat


berjalan gangguan pengelihatan atau buta pada waktu yang lama.6

6. Diagnosis
Diagnosis dari ROP membutuhkan pemeriksaan funduskopi dengan
menggunakan instrument seperti:
• Speculum Sauer (untuk membuat mata tetap terbuka)
• Oftalmoskopi
ROP dikategorikan parah berdasarkan zona pada retina yang terkena.
Semakin rendah zona dan semakin tinggi stadium penyakit ini yang ditemukan
pada pemeriksaan funduskopi masing-masing mata, maka tingkat keparahannya
semakin tinggi pula.

Gambar 2.3
Zona pada ROP
Zona 1
 Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus
 Area ini memanjang dua kali jarak dari saraf optic ke macula dalam bentuk
lingkaran. ROP yang terletak pada zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur)
dianggap kondisi yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat
 Area ini sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat
cepat, kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan
penyakit ini bukanlah ditemukannya neovaskularisasi tetapi dengan
ditemukan adanya pembuluh darah yang mengalami peningkatan dilatasi.
12

Vaskularisasi retina tampak meningkat mungkin akibat meningkatnya


shunting arteriovena.

Zona 2
 Zona 2 adalah area melingkar yang mengelilingi zona 1 dengan nasal ora
serrata sebagai batas nasal.
 ROP pada zona 2 dapat berkembang dengan cepat namun biasanya didahului
dengan tanda bahaya (warning sign) yang memperkirakan terjadinya
perburukan dalam 1-2 minggu. Tanda bahaya tersebut antara lain:
1. tampak vaskularisasi yang meningkat pada ridge (percabangan
vaskular meningkat); biasanya merupakan tanda bahwa penyakit ini
mulai agresif.
2. Dilatasi vaskular yang meningkat.
3. tampak adanya ‘hot dog’ pada ridge; merupakan penebalan vaskular
pada ridge; hal ini biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1)
dan merupakan indikator prognosis yang buruk.
Zona 3
 Zona 3 adalah bentuk bulan sabit yang tidak dicakup zona 2 pada bagian
temporal.
 Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini
mengalami vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap
beberapa minggu.
 Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis
demarkasi dan retina yang nonvascular. Kondisi ini ditemukan pada balita
9dan dapat dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Tidak ditemukan
adanya penyakit sekuele dari zona ini.

Stadium
1) Stadium 0
13

 Bentuk yang paling ringan dari ROP. Merupakan vaskularisasi retina yang
imatur. Tidak tampak adanya demarkasi retina yang jelas antara
 retina yang tervaskularisasi dengan neovaskularisasi. Hanya dapat
ditentukan perkiraan perbatasan pada pemeriksaan.
 Pada zona 1, mungkin ditemukan vitreous yang berkabut, dengan saraf
optik sebagai satu-satunya landmark, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ulang setiap minggu
 Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu
 Pada zona 3, pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai

2) Stadium 1
 Ditemukan garis demarkasi tipis antara area vaskular dan avaskular pada
retina. Garis ini tidak memiliki ketebalan

Gambar 2.4 Stadium satu


 Pada zona 1, tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama
kali pada nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pembuluh retina
tampak halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap
minggunya.
 Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu
 Pada zona 3, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu.
14

3) Stadium 2
Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan
avaskular retina.

Gambar 2.5 Stadium dua


 Pada zona 1, apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini
merupakan tanda bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh,
penyakit dapat dipertimbangkan telah memburuk dan harus ditatalaksana
dalam 72 jam
 Pada zona 2, apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi
pembesaran ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.
 Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali
ditemukan adanya pembentukan arcade vaskular.

4) Stadium 3
Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal
(neovaskularisasi) pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior dari
rongga vitreous.
15

 Pada zona 1, apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini


merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan terapi.
 Pada zona 2, prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan penyakit
plus
 Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila
ditemukan adanya pembentukan arcade vascular

5) Stadium 4
Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge. Retina
tertarik ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular

Gambar 2.6 Stadium tiga dan empat


 Stadium 4A tidak mengenai fovea
 Stadium 4B mengenai fovea

6) Stadium 5
Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong
16

Gambar 2.7 Gambar Ablasio Retina ( total )


 Stadium 5A merupakan corong terbuka
 Stadium 5B merupakan corong tertutup

Plus disease
Tanda dari penyakit ini adalah adanya ominous sign Penyakit plus ditandai
dengan dilatasi pembuluh darah vena dan arteriol yang berkelok-kelok di retina
posterior pada sekurang-kurangnya 2 kuadran mata; dilatasi pembuluh darah iris,
pupil kaku, serta vitreus kabur. Jika kelainan pembuluh darah retina posterior
tidak memenuhi kriteria diagnosis penyakit plus, disebut sebagai penyakit pre-
plus/ pre-plus disease.21

Gambar 2.8 Plus disease


7. Tatalaksana

Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan pengelihatan. Pada

pasien tertentu perlu pengobatan segera.umumnya retinopati prematuritas


17

membaik senditi dan tidak membutuhkan pengobatan. Pada stadium 3 dan lebih

lanjut pengobatan diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah

abnormal pada retina atau mengatasi ablasi retina yang terjadi. Bentuk

pengobatan:

1. Terapi krio, memakai suhu beku untuk membekukan bagian retina yang

dipengaruhi retinopati prematuritas, yang akan menghentikan pertumbuhan

pembuluh darah tidak sehat dalam mata. Terapi krio adalah pengobatan paling

awal yang terbukti efektif dalam mencegah hasil yang tidak menguntungkan di

retinopati prematuritas. Terapi krio terdiri dari pembekuan sklera, koroid bagian

avaskular dari retina. Krioterapi memiliki kelemahan yaitu sulit dan memakan

waktu, serta membutuhkan anaethesia umum.

2. Terapi laser seperti terapi krio laser, terapi dilakukan untuk menghentikan

pertumbuhan yang berlebihan pembuluh darah tidak sehat pada retina. Laser

dipergunakan untuk membakar bagian kecil retina yang terkena retinopati

prematuritas. Terapi laser memberikan hasil yang lebih baik dibanding terapi krio.

Perawatan laser juga dapat dilakukan di dalam inkubator melalui dinding

transparannya untuk bayi prematur yang bergantung pada suhu dan oksigen yang

tidak dapat diangkut keluar dari inkubator.

3. Terapi bedah retina, dilakukan pada stadium 4 dan 5 dimana retina mulai

lepas sampai ablasio retina total. Pilihan teknik tergantung pada stadium,

jangkauan dan lokasi traksi. Modalitas pembedahan termasuk scleral buckling

atau lens-sparing vitrectomy untuk stadium 4 dan lensectomy with vitrectomy

atau open sky vitrectomy untuk stadium 5. Lens sparing vitrectomy adalah operasi
18

yang paling sering dilakukan untuk stadium 4. Dengan kemajuan teknik

vitrektomi sayatan mikro, instrumen pengukur kecil (ukuran 23, 25 atau biasanya

digunakan. Kurangnya perawatan sebelumnya seperti laser, presentasi yang

terlambat, dan insideni konfigurasi corong sempit-sempit adalah prediktor untuk

hasil bedah yang buruk.15,16

Tatalaksana saat ini mengikuti pedoman ETROP yang membagi ROP

menjadi 2 tipe. ROP tipe 1 mendapat terapi fotokoagulasi laser (dalam 48-72 jam)

untuk ablasi retina avaskuler untuk menurunkan faktor pertumbuhan angiogenik,

sedangkan pada tipe 2 dilakukan pemantauan ketat dua kali seminggu.21,22

Fotokoagulasi laser merupakan modalitas utama, tetapi merusak lapang

pandang akibat retina yang diablasi dan kelainan refraksi seperti myopia. Terapi

lain yang sedang berkembang adalah anti-VEGF intravitreal. Terapi ini unggul

dibandingkan fotokoagulasi laser karena memberi kesempatan pembuluh darah

retina untuk berkembang secara fisiologis, namun masih perlu diteliti lebih lanjut

mengenai dosis terapeutik yang tepat, durasi, efek samping, dan komplikasi.31

Bila sudah terjadi ablatio retina, dibutuhkan pembedahan seperti vitrektomi,

pemasangan sabuk sklera/ scleral buckle, atau kombinasi keduanya.23 Alternatif

terapi lain pemberian IGF-1, asam lemak ω-3, propranolol, penicillamine, serta

antioksidan diharapkan mampu mencegah dan mengatasi ROP dengan efek

samping minimal.9 Meskipun ROP sudah diterapi, penderita tetap memiliki risiko

komplikasi, antara lain miopia, astigmatisme, strabismus, kelainan visual serebral/

cerebral visual impairment (CVI), anisometropia, katarak, dan glaukoma.33 Oleh

karena itu, diperlukan pemantauan penglihatan berkala serta terapi sesuai


19

komplikasi, seperti rehabilitasi visual dan perbaikan visus dengan kacamata.

Orang tua penderita perlu diberi dukungan serta konseling.21

8. Pencegahan

1) Pencegahan primordial

Strategi untuk mengurangi kelahiran prematur dapat dimulai pada masa

prakonsepsi atau bahkan sebelum kehamilan. Ada berbagai alasan untuk kelahiran

prematur. Tidak semua, tetapi banyak faktor yang diidentifikasi sebagai faktor

risiko kelahiran prematur, misalnya, kehamilan remaja, kekurangan berat badan

atau obesitas, kondisi kesehatan kronis seperti diabetes, infeksi (misalnya HIV),

penyalahgunaan zat, interval pendek antara kelahiran, kesehatan psikologis yang

buruk, merokok berhubungan dengan kelahiran prematur. Pencegahan ini juga

harus diperhatikan dari saat konsepsi terjadi sampai setelah melahirkan bayi untuk

mengurangi risiko ROP.

2) Pencegahan primer

Banyak dari kegiatan ini dapat menjadi bagian dari praktik perawatan primer

dalam sistem pemberian kesehatan. Memastikan perawatan antenatal yang baik,

suplementasi nutrisi yang tepat akan membantu mengurangi kelahiran prematur;

bersama dengan skrining dan manajemen yang tepat dari wanita hamil yang berisiko

melahirkan prematur, mis. kehamilan ganda, diabetes, dan hipertensi. 12

Fokus utama pencegahan pada titik ini adalah untuk mengurangi angka

kelahiran prematur dengan perawatan yang baik sebelum (prakonsepsi sebagai

pencegahan primordial) dan selama kehamilan (antenatal); dan pencegahan faktor

risiko ROP pada saat kelahiran (intranatal) dan setelah melahirkan (postnatal care)

sebagai pencegahan.12
20

9. Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakuti pada ROP adalah ablasi retina atau lipatan

makula. Ada sejumlah komplikasi lain yang terkait dengan penyakit ini yang

dapat mempengaruhi perkembangan visual. Miopia adalah temuan umum pada

bayi prematur tanpa ROP. Bayi dengan ROP yang mengalami regresi juga

memiliki peningkatan insiden strabismus, ambliopia, dan anisometropia. Namun,

stadium progresif 4 atau 5 ROP dapat diobati dan mempertahankan penglihatan

dan mata.20

10. Prognosis

Prognosis penyakit umummnya ditentukan oleh stadium yang dialami bayi

tersebut. Retinopati prematuritas stadium 1 dan 2 memiliki prognosis yang baik

karena dapat mengalami regresi spontan. Sedangkan pada stadium 3 sampai 5

yang memerlukan penanganan lebih lanjut umummny memiliki prognosis yang

lebih buruk dibandingkan stadium awal. Factor yang penting adalah deteksi awal

dan penangganan yang tepat.10,11


BAB III

KESIMPULAN

Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan kelainan retina yang dialami

oleh bayi kurang bulan dengan berat lahir sangat rendah dan memiliki potensi

untuk terjadi kebutaan pada bayi. ROP adalah suatu keadaan retinopati proliferatif

dimana terjadi perkembangan abnormal pada pembuluh darah retina pada bayi

prematur. ROP seringkali mengalami regresi atau membaik tetapi dapat

menyebabkan terjadinya gangguan visual berat atau kebutaan. ROP terjadi akibat

kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen

konsentrasi tinggi mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga

memperlambat perkembangan pembuluh darah retina dan menimbulkan daerah

iskemia pada retina. Kelainan ini jarang menimbulkan gejala yang mudah dikenali

sehingga sangat disarankan untuk bayi dengan faktor risiko ROP melakukan

skrining agar dapat dideteksi sedini mungkin dan segera ditangani.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Caesarya S, Halim AL, Amiruddin PO, Irfani I, Kuntorini MW, Memed FK.
Serial kasus tatalaksana retinopathy of prematurity (ROP) pada berbagai
zona dan tingkatan. 2020;2(2):20–7.
2. Parappil H, Pai A, Mahmoud N, AlKhateeb M, Al Rifai H, El Shafei M.
Management of retinopathy of prematurity in a neonatal unit: Current
approach. J Clin Neonatol. 2019;8(4):203
3. Sen P, Wu WC, Chandra P, Vinekar A, Manchegowda PT, Bhende P.
Retinopathy of prematurity treatment: Asian perspectives. Eye (Lond).
2019. In Press.
4. Siswanto JE, Widodo NH, Sauer PJJ. Eleven years of retinopathy of
prematurity in one neonatal intensive care unit in Jakarta, Indonesia. Arch
Dis Child. 2018;103(6):619–21
5. Dewi SAPSA, Kardana IM, Sutyawan IW. Karakteristik Bayi Kurang Bulan
Dengan Skrining Retinopathy of Prematurity di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah. Medicina. 2017; 48(2): 118—122.
6. Ilyas S et al. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2012.
7. Kim SJ, Port AD, Swan R, Campbell JP, Chan RVP, Chiang MF.
Retinopathy Of Prematurity: A Review Of Risk Factors And Their Clinical
Significance. Survey Of Ophthalmology. 2018; 63(5): 618—637
8. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Situasi
Gangguan Penglihatan. 2018;11.
9. Siswanto JE, Bos AF, Dijk PH, Rohsiswatmo R, Irawan G, Sulistijono E, et
al. Multicentre survey of retinopathy of prematurity in Indonesia. BMJ
Paediatr Open. 2021;5(1).
10. Hong EH, Shin YU, Bae GH, Choi YJ, Ahn SJ. Nationwide incidence and
treatment pattern of retinopathy of prematurity in South Korea using the
2007 – 2018 national health insurance claims data. Sci Rep [Internet].

23
24

2021;1–10. Available from: https://doi.org/10.1038/s41598-021-80989-z


11. Riordan-Eva P, Witcher JP. Vaughan And Asbury Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: EGC; 2009.
12. Senjam SS, Chandra P. Retinopathy of prematurity: Addressing the
emerging burden in developing countries. J Family Med Prim Care
2020;9:2600-5.
13. Hartnett ME. Pathophysiology of ROP. In Retinopathy of Prematurity :
Current Diagnosis and Management. 1st edition. Switzerland : Springer
International Publishing. 2017.
14. Fierson WM, American Academy of Pediatric. Screening Examination of
Premature Infants for Retinopathy of Prematurity. Pediatrics. 2018; 142(6):
111.
15. National guidelines for the screening and management of retinophaty of
prematurity. 2018;
16. Dogra MR, Katoch D, Dogra M. An Update On Retinopathy Of
Prematurity. Indian J Pediatr. 2017; 84: 930—936.
17. Ilyas sidarta,2004. Retina. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Fakultas
Kedokteran Indonesia, Jakarta.
18. Alvin K Behrman. Prematuritas dan Retardasi pertumbuhan intrauterine.
Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak: bayi berisiko-tinggi. Edisi 15. Jakarta
: Penerbit EGC,2000.
19. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. October 4, 2018. Cited
August 02 , 2021. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
20. Heidar K. Retinophaty of Prematurity. American academy of opthalmopaty.
May2, 2021. Cited August 2, 2021. Available at
https://eyewiki.aao.org/Retinopathy_of_Prematurity
21. Yahya W. Retinopati Prematuritas: Diagnosis dan Tatalaksana. CDK J.
2020;47(8):676–80.

Anda mungkin juga menyukai