Anda di halaman 1dari 182

KAJIAN KAPASITAS PERANGKAT

DAERAH BERDASARKAN
PP NO. 18 TAHUN 2016
DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DAERAH

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Lembaga Administrasi Negara
2017

PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH


KAJIAN KAPASITAS PERANGKAT
DAERAH BERDASARKAN
PP NO. 18 TAHUN 2016
DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DAERAH

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Lembaga Administrasi Negara
2017
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah
Berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Diterbitkan oleh
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara

Editor: Suryanto
Tim Penulis: Riyadi, Widhi Novianto, Suryanto,
Maya Savira, Rico Hermawan, Rusman Nurjaman,
Maria Dika, Tony Murdianto Hidayat
Tim Pendukung: Nurlina, Dewi Prakarti Utami

Jalan Veteran No. 10, Gedung B Lantai 3


Jakarta Pusat 10110
Tel: 021-3455021
Faks: 021-3865102
Web: dkk.lan.go.id

Cetakan I, Desember 2017.


161 + xvii p.; 15 cm x 23 cm

ISBN: -
Sambutan Kepala LAN

Komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk Membangun


Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan menjadi modal
utama dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia. Dalam hubungan tersebut, setiap kementerian
dan lembaga yang bertugas melaksanakan dan mensukseskan
kebijakan tersebut – termasuk Lembaga Administrasi Negara –
setidaknya telah memiliki dukungan moral dari Presiden untuk
mencapai tujuan otonomi daerah. Kementerian dan lembaga
dituntut melakukan akselerasi (percepatan) melalui perumusan
dan pelaksanaan kebijakan serta program terkait Pemerintahan
Daerah.
Namun demikian, percepatan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia menghadapi kendala antara lain: masih
terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia yang baik dan
professional, masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber
pembiayaan yang memadai baik yang berasal dari kemampuan
daerah itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar
daerah (eksternal), belum tersusunnya kelembagaan yang efektif,
belum terbangunnya system dan regulasi yang jelas dan tegas,
iv

dan kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih


kritis dan rasional. Belum optimalnya proses desentralisasi dan
otonomi daerah antara lain karena belum jelasnya kewenangan
antara pemerintah pusat dan daerah yang berakibat pada
tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah, masih rendahnya
kapasitas pemerintah daerah, masih rendahnya kerjasama antar
daerah dalam penyediaan pelayanan publik, serta meningkatnya
keinginan untuk membentuk daerah otonom baru yang belum
sesuai dengan tujuannya (RPJMN 2015-201).
Identifikasi terhadap kendala-kendala desentralisasi dan
otonomi daerah tersebut merupakan potret implementasi UU
No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya, seperti PP No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota, PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah dan seterusnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah
kendala-kendala dimaksud juga muncul pada pelaksanaan UU
No. 23 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanannya saat ini.
Kajian PKDOD LAN pada tahun 2017 tentang kapasitas
perangkat daerah berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah ini merupakan
salah satu kepekaan kita dalam mencermati pembangunan
kapasitas pemerintahan daerah. Hasil ini diharapkan dapat
memberikan manfaat nyata dalam penataan dan peningkatan
kapasitas perangkat daerah. Kami selaku Kepala Lembaga
Administrasi Negara memberikan apresiasi yang setinggi-
tingginya kepada Deputi Bidang Kajian Kebijakan c.q. Pusat
Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang senantiasa
mengikuti perkembangan kebijakan pemerintahan daerah dan
Desa, beserta implementasinya.

Jakarta, Oktober 2017

Kepala LAN RI
DR. Adi Suryanto, M.Si
Sambutan Deputi Kajian
Kebijakan LAN

Studi tentang substansi dan implementasi kebijakan


desentralisasi dan otonomi daerah selama ini telah banyak
dilakukan, baik oleh lembaga litbang pemerintah, perguruan
tinggi (negeri dan swasta), maupun lembaga nonpemerintah,
termasuk beberapa lembaga swadaya masyarakat yang concern
terhadap isu ini. Alhasil, jika kita melakukan penelusuran
(searching) terkait bidang kajian desentralisasi dan otonomi
daerah mungkin akan ditemukan ratusan link atau hasil
penelitian berbagai lembaga sebagaimana tersebut di atas.
Namun demikian, Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga
Administrasi Negara, sesuai dengan tugas dan fungsinya tetap
perlu memberikan rekomendasi kebijakan sesuai dengan
bidang administrasi negara. Sehubungan dengan hal tersebut,
beberapa rekomendasi kajian Deputi Kajian Kebijakan LAN
c.q. Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah pun telah
disampaikan kepada stakeholders terkait, misalnya rekomendasi
tentang rumusan standar kompetensi pemerintah daerah dalam
menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan
hubungan pemerintah desa dengan supradesa dalam pengelolaan
dana desa (2016). Jauh sebelum itu, pada masa berlakunya UU
vi

No. 32 Tahun 2004, LAN pernah memberikan kontribusi penting


dalam perumusan PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Hal ini selaras dengan misi kedeputian kajian kebijakan
untuk memberikan sumbangsih berupa rekomendasi hasil kajian
kebijakan, advokasi kebijakan, dan perkonsultasian bidang
kebijakan yang juga senada dengan misi LAN secara keseluruhan.
Pada tahun 2017 ini melalui kajian kapasitas perangkat daerah
berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah, DKK c.q. PKDOD berharap dapat
memberikan manfaat dalam penataan perangkat daerah.
Selanjutnya, beberapa evidence based terkait aspek-aspek
yang diteliti dalam kajian ini – meliputi aspek kelembagaan,
SDM, keuangan, dan kebijakan – saya yakin dapat bermanfaat
dalam perbaikan dan penyempurnaan regulasi penataan
organisasi perangkat daerah ke depan. Kami atas nama pimpinan
di Kedeputian Kajian Kebijakan mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada seluruh tim kajian di PKDOD atas kerja
keras dan motivasi yang tinggi dalam menghasilkan rekomendasi
kajian berkualitas. Semoga hasil kajian ini dapat digunakan oleh
stakeholders terkait. Kontribusi Lembaga Administrasi Negara
melalui Deputi Kajian Kebijakan c.q. Pusat Kajian Desentralisasi
dan Otonomi Daerah dalam pengkajian bidang desentralisasi
dan otonomi daerah tersebut akan senantiasa dikenang dan
dipertahankan terus dari waktu ke waktu.

Jakarta, Oktober 2017

Deputi Bidang Kajian Kebijakan


DR. Muhammad Taufiq, DEA
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT


yang mengaruniakan kepada kita keimanan dan kesehatan
sehingga kita semua dapat melaksanakan aktivitas sesuai tugas
dan tanggung jawab masing-masing. Salah satu tugas yang
diberikan pimpinan kepada kami yaitu melaksanakan kajian
kapasitas perangkat daerah berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagi kami, tugas
ini sangat penting mengingat PP ini baru terbit pada akhir tahun
2016 dan baru efektif pada per Januari 2017. Itu artinya PP No.
18 Tahun 2016 baru pada tahap awal pelaksanaan, sehingga
akan sangat sulit memberikan rekomendasi perubahan atau
penyempurnaan walaupun kelak ditemukan permasalahan-
permasalahan.
Namun demikian, sesuai amanah yang diberikan, tim mulai
melakukan identifikasi awal dengan melakukan diskusi dengan
sejumlah narasumber di Jakarta, termasuk dari Kementerian
Dalam Negeri sebagai focal point dalam penerapan PP No. 18
Tahun 2016. Dalam diskusi tersebut narasumber bahkan sampai
menegaskan bahwa PP perangkat daerah ini diminta “jangan
viii

diubah” terlebih dahulu mengingat baru saja dilaksanakan


oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta
Kementerian/Lembaga.
Hasil identifikasi tim kajian di sembilan lokus kajian –
Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan
Provinsi Banten, Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kota
Tanjungpinang, Kabupaten Bintan, Kota Serang, dan Kabupaten
Pandeglang – hampir seluruhnya menunjukkan bahwa PP No.
18 Tahun 2016 perlu dilakukan penyempurnaan. Terbukti dari
empat aspek yang diteliti yakni aspek kelembagaan, SDM,
keuangan, dan kebijakan, kesemuanya menggambarkan
sejumlah kelemahan PP No. 18 Tahun 2016.
Berbagai temuan lapangan (findings) yang termuat dalam
laporan hasil kajian sangat menarik untuk dicemati dan
ditindaklanjuti, salah satunya terkait jumlah SOPD yang makin
membesar dibanding PP No. 41 Tahun 2007. Hal ini menjadi
ironi karena lahirnya UU No. 23 Tahun 2014 c.q. PP No. 18 Tahun
2016 dimaksudkan untuk menutupi kelemahan peraturan
perundang-undangan sebelumnya. Temuan menarik lainnya
terkait dengan aspek SDM, yang tidak dijadikan pertimbangan
dalam melakukan penataan perangkat daerah. Sebagai contoh,
persoalan pengalihan urusan pemerintahan dari kabupaten/
kota ke provinsi dan ke pemerintah pusat telah menimbulkan
kekurangan SDM di kabupaten/kota. Namun jika ditelusuri lebih
jauh, diketahui bahwa persoalan minimnya SDM sudah terjadi
sejak sebelum PP No. 18 Tahun 2016 diberlakukan.
Kami menyampaikan terima kasih kepada tim kajian dan
semua pihak yang telah mendukung terlaksananya kajian dan
tersusunnya laporan hasil kajian ini. Semoga hasil kajian ini
dapat member manfaat bagi stakeholders yang berkepentingan.
Jakarta, Oktober 2017

Kapus Kajian Desentralisasi dan Otda


Drs. Riyadi, M.Si
Ringkasan Eksekutif

Pergeseran regulasi penataan perangkat daerah silih berganti


berlalu dalam hitungan waktu yang cukup cepat. Belum tuntas
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003 dilaksanakan, sudah
digantikan dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007.
Menurut Riawan Tjandra, demikian cepatnya bongkar pasang
regulasi penataan perangkat daerah dipengaruhi oleh sekurang-
kurangnya empat faktor. Pertama, belum tuntasnya persoalan
tarik-ulur kewenangan Pusat-Daerah selama ini, kedua,
pengaruh dinamika politik lokal yang dipengaruhi oleh situasi
transisi demokrasi, ketiga, meningkatnya kesadaran kritis dan
tuntutan rakyat lokal terhadap kualitas pelayanan publik di
daerah, dan keempat, keterbatasan anggaran pemerintah untuk
mendukung sistem kelembagaan daerah. Penataan perangkat
daerah berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 ini menarik khususnya
terkait beberapa pengaturan baru dibanding PP sebelumnya.
Di antaranya mengenai penghapusan nomenklatur ‘kantor’,
munculnya nomenklatur ‘cabang dinas’ dalam nomenklatur
dinas provinsi, dan digunakannya perhitungan variabel teknis/
substantif tiap urusan pemerintahan selain variabel umum yang
x

telah dikenal sebelumnya seperti luas wilayah, jumlah penduduk,


dan jumlah APBD.
Kajian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan kapasitas
perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah dilihat dari aspek kelembagaan,
SDM, keuangan, dan Kebijakan, dan 2) Menyusun
rekomendasi kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan
pasca berlakunya Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah.
Konsep yang digunakan pada kajian ini merujuk pada konsep
pengembangan kapasitas (capacity building) yang dikembangkan
oleh para ahli dan konsep kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Republik Indonesia, khususnya berdasarkan Perpres
No. 59 Tahun 2012 Tentang Kerangka Nasional Pengembangan
Kapasitas Pemerintahan Daerah. Konsep selanjutnya adalah
konsep organisasi yang disampaikan oleh Henry Minzber,
Stephen Robbins dan Steve Leach. Selain itu, pada bagian
tinjauan konsep dan kebijakan juga disampaikan mengenai
kebijakan pembagian urusan dan kebijakan penataan perangkat
daerah sesuai PP No. 18 Tahun 2016.
Kajian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.
Kajian diawali dengan melakukan pemetaan (mapping) terhadap
struktur organisasi perangkat daerah berdasarkan PP No. 18
Tahun 2016 dan kemudian dibandingkan dengan struktur
organisasi berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang OPD. Hasil
persandingan ini dijadikan sebagai ‘bekal’ bagi tim peneliti pada
saat turun ke lapangan dalam rangka pengumpulan data, sehingga
mereka tidak datang dengan ‘gelas kosong’ tetapi tim telah
memiliki bekal untuk meng-eksplore lebih lanjut mengenai obyek
yang diteliti. Lokus kajian di tiga provinsi dan tiap provinsi dipilih
secara purphosive 1 kota dan 1 kabupaten, sehingga seluruhnya
berjumlah 9 lokus kajian, meliputi: Provinsi Kalimantan Selatan
(Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar), Provinsi Kepulauan
Riau (Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan), dan Provinsi
Banten (Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang). Pengumpulan
xi

data dilakukan melalui diskusi terbatas dengan narasumber


yang dianggap memahami tentang penataan perangkat daerah
dan implikasinya, antara lain perwakilan Biro Organisasi,
BKD Provinsi, Bappeda Provinsi, SOPD terpilih provinsi (level
provinsi), dan perwakilan Bagian Organisasi, BKD Kabupaten/
Kota, Bappeda Kabupaten/Kota, dan SOPD terpilih kabupaten/
kota (level kab/kota). Selain diskusi terbatas atau FGD, tim juga
melaksanakan wawancara dengan narasumber terpilih seperti
perwakilan dari dinas berbasis ekosistem atau dinas yang menjadi
penopang PDRB daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, tim
juga melakukan studi dokumen untuk melengkapi hasil diskusi
terbatas dan wawancara. Terakhir, tim juga memberikan daftar
pertanyaan kepada narasumber untuk menjaring opini mereka
terkait topic kajian.
Dari kajian lapangan yang dilakukan di 9 lokus, tim
menuangkannya dalam bagian “penyajian dan analisis data”
atau Bab IV. Pada bagian keempat laporan ini, tim menyajikan
gambaran umum lokasi kajian dan deskripsi aspek-aspek
kajian yang meliputi asek keembagaan, sumber daya manusia,
kauangan, dan aspek kebijakan. Khusus untuk bagian deskripsi
aspek-aspek kajian sekaligus disampaikan analisis berdasarkan
data dan fakta yang diperoleh tim kajian di 3 lokus provinsi, 3
lokus kabupaten, dan 3 lokus kota.
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, tim kajian
memberikan kesimpulan pada 4 aspek sebagai berikut: 1)
Aspek kelembagaan, masih ditandai dengan pembengkakan
struktur organisasi, penataan struktur organisasi tidak tepat
fungsi, konstruksi struktur organisasi kurang tepat, rapuhnya
tata hubungan kerja/rentang kendali/dan beban kerja, dan
pembentukan struktur organisasi berbasis nilai strategis
daerah, sebagai contoh pembentukan Dinas Kebudayaan di
Provinsi Kepri yang dipisahkan dengan pendidikan, hal ini
dimaksudkan untuk mendukung visi Kepri sebagai Bunda Tanah
Melayu, 2) Aspek SDM, fakta bahwa aspek ini belum dijadikan
pertimbangan dalam penataan perangkat daerah, jumlah dan
kualitas SDM masih sangat jauh dari memadai, penempatan
xii

SDM belum selaras dengan SE Menpan tentang Pengisian JPT,


distribusi SDM terkendala sarana prasarana, dan beban kerja
SDM yang overload baik di pemprov maupun pemkab/pemko,
3) Aspek keuangan, terjadi potensi penurunan penerimaan
dari unsure pajak dan retribusi daerah untuk kabupaten dan
kota, tetapi untuk kabupaten dan kota yang tidak tergantung
pada tambang dan kelautan tidak menjadi masalah. Sebaliknya
untuk pemprov cenderung terjadi penambahan penerimaan dari
urusan yang diterima dari pemkab/pemko. Untuk DAU relatif
tidak begitu kelihatan atau tidak terlalu terjadi perubahan, dan
4) Aspek kebijakan, terjadi mismatch penataan perangkat daerah
dengan kebijakan sektoral dan kebijakan internal pemda itu
sendiri. Disini juga terjadi intervensi politik dalam pembentukan
dan pengisian kepala perangkat daerah.
Selanjutnya, tim menyusun rekomendasi kajian sebagai
berikut: 1) perlunya review mendalam terhadap pelaksanaan
PP No. 18 Tahun 2016 agar selaras dengan kebijakan reformasi
birokrasi, perlu membentuk perangkat daerah menurut
karakteristik yang seuai (entitas ekonomi, teknis operasional,
administrative), 2) perlunya perbaikan tata hubungan kerja
vertical dan horizontal, pembentukan SKPD berbasis nilai
strategis daerah harus mendapatkan persetujuan dari seluruh
komponen, 3) perlunya perbaikan peraturan perundang-
undangan beserta imlementasinya, dan 4) perlunya dukungan
kebijakan melalui harmonisasi kebijakan antara Pusat dan
Daerah dalam menentukan nomenklatur kelembagaan daerah.
Sedangkan dukungan politik diupayakan melalui dukungan
lembaga legislative yang mengutamakan pada penguatan
kelembagaan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik..
Daftar Isi

Sambutan Kepala LAN iii


Sambutan Deputi Kajian Kebijakan LAN v
Kata Pengantar vii
Ringkasan Eksekutif ix
Daftar Isi xiii
Daftar Tabel xv
Daftar Gambar, Grafik, dan Box xvii

Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 6
C. Tujuan Kajian 6
D. Sasaran Kajian 6
E. Ruang Lingkup Kajian 7
F. Sistematika Penulisan Laporan Kajian 7
Bab II Tinjauan Konsep dan Kebijakan 9
A. Tinjauan Konsep 10
1. Konsep Kapasitas 10
2. Konsep Penataan Organisasi 15
B. Tinjauan Kebijakan 17
1. Pembagian Urusan Pemerintahan 17
2. Penataan Kelembagaan Pemda 24
xiv

3. Penggabungan dan Perumpunan 36


4. Kerangka Pikir Kajian 38
Bab III Metodologi Penelitian 41
A. Metode Kajian yang Dipilih 41
B. Sampling Lokasi Kajian 42
C. Mengumpulkan Data 43
D. Mengolah dan Menganalisis Data 45
Bab IV Kapasitas Perangkat Daerah dalam
Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Daerah 47
A. Gambaran Lokus Kajian 47
1. Provinsi Kalimantan Selatan 47
2. Provinsi Kepulauan Riau 52
3. Provinsi Banten 54
B. Deskripsi Kapasitas Perangkat Daerah 55
1. Aspek Kelembagaan Daerah 56
2. Aspek SDM Daerah 82
2. Aspek Keuangan Daerah 101
4. Aspek Kebijakan 135
Bab V Penutup 147
A. Kesimpulan 147
1. Aspek Kelembagaan 147
2. Aspek SDM 149
3. Aspek Keuangan 152
4. Aspek Kebijakan 153
B. Rekomendasi 154
1. Aspek Kelembagaan 154
2. Aspek SDM 156
3. Aspek Keuangan 157
4. Aspek Kebijakan 158

Daftar Pustaka 159


Daftar Tabel

Tabel 1. Urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan PP


No. 38 Tahun 2007 dan UU No. 23 Tahun 2014 19
Tabel 2. Kriteria Penyusunan Perangkat Daerah
Berdasarkan PP No. 18/2016 26
Tabel 3. Jumlah Pengkali Faktor Kesulitan Geografis 26
Tabel 4. Lokus Kajian 42
Tabel 5. Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalsel 48
Tabel 6. Jumlah Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan
Per Kabupaten/Kota 49
Tabel 7. Perkembangan Kontribusi Sektor/Lapangan
Usaha Dalam PDRB Kalimantan Selatan atas
Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan (Hk)
Tahun Dasar 2010 (Persen) tahun 2010-2015 50
Tabel 8. Jumlah SOPD Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sebelum dan Saat Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2016 57
Tabel 9. Perbandingan SOPD di Sejumlah Lokus Kajian 60
Tabel 10. Arah Perubahan Penataan Kelembagaan
dalam RB 67
xvi

Tabel 11. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Kabupaten Banjar Tahun 2014-2015 83
Tabel 12. Jumlah SDM Aparatur Sebelum dan Sesudah
Implementasi PP No. 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah 85
Tabel 13. Jumlah Jabatan Struktural Sebelum dan
Setelah Implementasi PP No. 18/2016 tentang
Perangkat Daerah 88
Tabel 14. Pengalihan ASN (PNS) dari Kabupaten/Kota
ke Provinsi 92
Tabel 15. Pengalihan ASN (PNS) dari Kabupaten/Kota
dan Provinsi ke Pemerintah Pusat 94
Tabel 16. Perbandingan Pendapatan dan Belanja Urusan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Banjar Tahun
2015-2017 (dalam juta rupiah) 101
Tabel 17. Alokasi Anggaran Per SKPD/SOPD Provinsi
Kepri (Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan) 105
Tabel 18. Alokasi Belanja Per SKPD/SOPD Kabupaten
Pandeglang Tahun Anggaran 2015-2017 (dalam
rupiah) 109
Tabel 19. Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan
Selatan, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten
Banjar 116
Tabel 20. Jenis Sarana Dan Prasarana Yang Dialihkan 129
Tabel 21. Jumlah Aset/Sarana Prasarana Pemkab
Pandeglang yang Dialihkan 132
Tabel 22. Nomenklatur Dinas Urusan Kelautan dan
Perikanan di 11 Kabupaten/Kota se Jawa Barat
yang Memiliki Wilayah Laut 135
Daftar Gambar, Grafik dan Box

Gambar 1. Tingkatan Pengembangan Kapasitas 13


Gambar 2. Kerangka Pikir Kajian 39

Grafik 1. Tata Hubungan Koordinasi antar Perangkat


Daerah Provinsi dengan Perangkat Daerah
Kab/Kota 74
Grafik 2. Tata Hubungan Koordinasi Horizontal
Perangkat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota 78
Grafik 3. Ketersediaan SDM PNS 86
Grafik 4. Penempatan Pejabat Struktural (JPT) 90
Grafik 5. Perbandingan APBD Provinsi Kalimatan
Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota
Banjarmasin 2015-2017 115
Grafik 6. Perbandingan APBD Provinsi Kepri,
Kabupaten Bintan dan Tanjungpinang
Tahun 2015-2017 122

Box 1. Kasus Kewenangan Pertambangan 75


Box 2. Budayawan Dukung Kepri Sebagai Bunda
Tanah Melayu 80
Bab I Pendahuluan

Pada bagian ini akan diuraikan tentang latar belakang


masalah, perumusan masalah, tujuan kajian, sasaran kajian,
dan sistematika penulisan laporan kajian. Secara detil akan
dipaparkan sebagai berikut.

A. Latar Belakang Masalah


Regulasi penataan urusan pemerintahan daerah telah
mengalami pergantian sesuai dengan perkembangan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pada awal
reformasi, pengaturan penyelenggaraan urusan pemerintahan/
kewenangan diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi
sebagai Daerah Otonom. Peraturan Pemerintah ini merupakan
penjabaran Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, pada rezim Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan
urusan pemerintahan diatur dengan Peraturan Pemerintah No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah
Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
2 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Kabupaten/Kota. Terakhir, pengaturan urusan pemerintahan


tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya pada bagian lampiran undang-
undang tersebut. Penataan urusan pemerintahan menjadi dasar
dalam penataan perangkat daerah.
Prinsip penataan perangkat daerah itu sendiri adalah bahwa
semua urusan pemerintahan tersebut harus diwadahi dalam
struktur organisasi, apakah struktur yang berdiri sendiri maupun
penggabungan beberapa urusan pemerintahan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai detail penataan perangkat daerah tersebut
tertuang pada peraturan pemerintah tentang penataan perangkat
daerah antara lain Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000,
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah
No. 41 Tahun 2007, dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016.
Menurut Thoha (2008:47), Peraturan Pemerintah No. 84
Tahun 2000 telah memberikan kekuasaan dan keluasan yang
sangat besar dalam menyusun dan menetapkan organisasi
perangkat daerah. Dalam pedoman tersebut sebenarnya
telah ditegaskan bahwa penyusunan kelembagaan perangkat
daerah harus mempertimbangkan kewenangan yang dimiliki,
karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah, kemampuan
keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur dan pola
kemitraan antardaerah serta dengan pihak ketiga.Sayangnya,
implementasi Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 ini telah
menimbulkan pembengkakan (proliferation) struktur sehingga
dianggap kurang efisien.
Selanjutnya, pada saat penerapan Peraturan Pemerintah No.
8 Tahun 2003 tentang organisasi perangkat daerah sebenarnya
mencoba menyempurnakan kelemahan Peraturan Pemerintah
No. 84 Tahun 2000. Dalam rangka mewujudkan Organisasi
perangkat daerah yang ideal, maka Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah
secara kongkret menggunakan pendekatan wajib sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Pendekatan ini digunakan dalam rangka
mengukur urgensi pembentukan organisasi perangkat daerah
Pendahuluan 3

yang diarahkan semaksimal mungkin mendekati kebutuhan


nyata secara rasional objektif.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh daerah kabupaten dan kota meliputi 11 kewenangan, antara
lain: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman
modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga
ker­ja. Mengacu pada 11 kewenangan wajib tersebut, maka dila­
kukan pembatasan jumlah maksimal dinas di kabupaten/kota
maksimal 14 dinas dengan asumsi seluruh kewenangan wajib
dilaksanakan dan 3 dinas lainnya sebagai toleransi. Hal ini untuk
mengakomodasikan fungsi-fungsi yang belum tertampung na­
mun sangat dibutuhkan, sesuai dengan karakteristik masing-
masing daerah. Adapun bagi provinsi, jumlah dinas ditetapkan
lebih sedikit yaitu maksimal 10 dinas mengingat kewenangan di
provinsi hanya kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota
dan kewenangan yang belum dapat dilakukan oleh kabupaten/
kota.
Lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diikuti pula dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi Perangkat
Daerah, yakni sebagai realisasi dari Pasal 128 ayat (1) dan
(2). Besaran struktur perangkat daerah menurut Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor ke­
uangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran
tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas
wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan
penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang
akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh
karena itu, kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi
masing-masing daerah di Indonesia tidak senantiasa sama atau
seragam.
Jika dicermati dengan seksama, pergantian regulasi
mengenai penataan perangkat daerah ini silih berganti dalam
4 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

hitungan waktu yang cukup cepat. Belum tuntas Peraturan


Pemerintah No. 8 Tahun 2003 dilaksanakan, sudah digantikan
dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007. Hal ini nyaris
mengulang pergantian (replacing) Peraturan Pemerintah No. 84
Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003,
padahal Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 belum genap
berumur tiga tahun.
Menurut Riawan Tjandra (2010), begitu cepatnya bongkar
pasang regulasi mengenai organisasi perangkat daerah dilakukan,
tampaknya dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya empat faktor.
Pertama, belum tuntasnya persoalan tarik-ulur kewenangan
Pusat- Daerah selama ini. Kedua, pengaruh dinamika politik
lokal yang dipengaruhi oleh situasi transisi demokrasi. Ketiga,
meningkatnya kesadaran kritis dan tuntutan rakyat lokal ter­
hadap kualitas pelayanan publik di daerah. Dan, keempat,
keterbatasan anggaran pemerintah untuk mendukung sistem
kelembagaan daerah.
Implementasi penataan perangkat daerah saat ini dilak­
sanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah. Berbeda dengan penataan sebelumnya,
penataan perangkat daerah menurut Peraturan Pemerintah No.
18 Tahun 2016 didasarkan atas perhitungan faktor umum dan
faktor substantive. Faktor umum terdiri atas luas daerah, jumlah
penduduk, dan besaran APBD, sedangkan faktor teknis terdiri
atas hal-hal substantive yang menunjukkan ‘core’ tugas dan
fungsi urusan pemerintahan yang bersangkutan. Kelembagaan
pemda yang dibentuk seharusnya dapat melaksanakan beban
kerja (workload) yang menjadi tanggung jawab lembaga yang
bersangkutan.
Sesuai amanat peraturan pemerintah dimaksud, pada akhir
2016 seluruh pemda telah menerbitkan peraturan daerah tentang
perangkat daerah masing-masing. Karena jika mereka tidak
memenuhi ketentuan, maka pemda yang bersangkutan akan
dikenai sanksi penundaan alokasi anggaran dari Pemerintah.
Dari beberapa pemda yang diteliti (PKDOD LAN, 2016), hampir
seluruh Pemda telah memenuhi amanat Peraturan Pemerintah
Pendahuluan 5

No. 18 Tahun 2016 dengan melakukan penyusunan perangkat


daerah sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Hasil kajian juga
menunjukkan bahwa terjadi perampingan dan penambahan
perangkat daerah di level pemerintah kabupaten/kota sebagai
akibat pengalihan urusan pemerintahan dari kabupaten dan kota
ke provinsi, meliputi urusan kelautan, kehutanan, dan ESDM.
Selain itu, penataan kelembagaan daerah menurut Per­
aturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 ini menarik terkait
penghapusan nomenklatur ‘kantor’, munculnya ‘cabang di­
nas’ dalam nomenklatur dinas provinsi, dan digunakannya
perhitungan variabel teknis/substantive yang secara langsung
menggabungkan dua atau lebih urusan pemerintahan dalam
satu kelompok (e.g. kepegawaian dan diklat). Dengan kata lain,
penataan perangkat daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 juga menimbulkan
implikasi terhadap pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan.
Sebagai contoh, urusan diklat yang digabungkan dengan urusan
kepegawaian, yang dapat berimplikasi pada ketidakefektifan
pelaksanaan salah satu urusan dimaksud. Bisa jadi, pelaksanaan
urusan kepegawaian akan lebih menonjol dibandingkan urusan
diklat, atau bahkan sebaliknya, justru urusan diklat yang akan
lebih menonjol.
Upaya menyusun organisasi pemda tidak sekedar mengubah,
menghapus, atau menghilangkan “kotak”, namun lebih dari itu
harus memperhatikan isi dan dampak yang ditimbulkannya.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap isi kebijakan penataan
perangkat daerah itu menjadi satu tahap penting yang harus
dilakukan. Setelah memahami isi kebijakannya, langkah beri­
kutnya adalah memahami dampak kebijakan. Berdasarkan
uraian tersebut, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi
Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKDOD-LAN) telah
melaksanakan Kajian tentang Kapasitas Perangkat Daerah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah dalam Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan.
6 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan
permasalahan kajian Kapasitas Perangkat Daerah Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah kapasitas perangkat daerah dalam penye­
lenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan Per­
aturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016?
2. Aspek-aspek apa saja yang dapat memengaruhi kapasitas
perangkat daerah setelah diterapkannya Peraturan Peme­
rintah No. 18 Tahun 2016?
3. Faktor-faktor atau hal-hal apa saja yang mungkin timbul
dalam penerapan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun
2016?

C. Tujuan Kajian
Tujuan kajian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan kapasitas perangkat daerah berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah dilihat dari aspek kelembagaan, SDM, keuangan,
dan Kebijakan.
2. Menyusun rekomendasi kebijakan penyelenggaraan urusan
pemerintahan pasca berlakunya Peraturan Pemerintah No.
18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

D. Sasaran Kajian
Sasaran kajian ini adalah:
1. Terdeskripsikannya kapasitas perangkat daerah berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Dae­rah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dae­
rah dilihat dari aspek kelembagaan, SDM, keuangan, dan
aspek kebijakan.
Pendahuluan 7

2. Tersusunnya rekomendasi kebijakan penyelenggaraan urusan


pemerintahan pasca berlakunya Peraturan Pemerintah No.
18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

E. Ruang Lingkup Kajian


Ruang lingkup bahasan dalam kajian ini mencakup tentang
kapasitas perangkat daerah baik di Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota terkait dengan diterapkannya Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan, sehingga
dapat diperoleh gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan
kemampuan daerah dalam menyelenggarakan urusannya
yang ditinjau dari aspek-aspek yang relevan sebagai parameter
penelitian.

F. Sistematika Penulisan Laporan Kajian


Penulisan laporan kajian kapasitas perangkat daerah
berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah disusun dalam urutan sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini akan diuraikan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan kajian, sasaran kajian,
dan sistematika penulisan laporan kajian.
2. Bab II Tinjauan Konsep dan Kebijakan
Pada bagian ini akan diuraikan tinjauan konsep dan tinjauan
kebijakan terkait kapasitas perangkat daerah. Tinjauan
konsep meliputi konsep pengembangan kapasitas da konsep
penataan organisasi. Tinjauan kebijakan meliputi pembagian
urusan pemerintahan dan penataan kelembagaan Pemda.
3, Bab III Metodologi Kajian
Pada bagian ini disajikan metode kajian yang digunakan,
penjelasan lokasi kajian, teknik pengumpulan data, dan
teknik analisisnya.
8 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

4. Bab IV Kapasitas Perangkat Daerah dalam Penyelenggaraan


Urusan Pemerintahan Daerah
Pada bagian ini memuat gambaran umum lokasi kajian
(Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan
Provinsi Banten). Selanjutnya dipaparkan dekripsi kapasitas
perangkat daerah dari 4 aspek yaitu aspek kelembagaan,
SDM, keuangan, dan kebijakan.
5. Bab V Penutup
Pada bagian ini disampaikan kesimpulan berdasarkan
uraian-uraian pada Bab sebelumnya dan rekomendasi
kebijakan terkait poin-poin kesimpulan.
Bab II Tinjauan Konsep dan Kebijakan

Pada bagian ini akan diuraikan tinjauan konsep dan tinjauan


kebijakan terkait kapasitas perangkat daerah. Tinjauan konsep
atau teori pada dasarnya menyangkut hal-hal dapat ‘memberikan
kerangka’ bagi analisis kajian, oleh karena itu tinjauan konsep
disini tidak hanya menyangkut konsep/teori kelembagaan ‘ansich’
tetapi juga konsep yang dapat mempengaruhi kapasitas seperti
iklim dan suasana desentralisasi, demokratisasi, pelayanan prima,
dan seterusnya. Konsep-konsep seperti desentralisasi (asimetris)
misalnya memberikan keniscayaan bagi pemerintah daerah
untuk menyusun perangkat daerahnya ‘berbeda’ dengan pemda
lain. Demikian pula, tumbuhnya iklim demokrasi lokal dengan
Pemilukada sebagai kebijakan ‘mercusuar-nya’, memungkinkan
pemda untuk dapat membentuk perangkat daerahnya sesuai
dengan visi dan misi kepala daerah dan wakil kepala daerah
terpilih. Ke depan, pembentukan perangkat daerah itu sendiri
dimaksudkan untuk mendukung pemberian pelayanan public
yang makin baik (prima) kepada rakyat daerah. Oleh karena
itu, pembentukan perangkat daerah bukan ‘tujuan’ tetapi lebih
merupakan ‘alat’ untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Pertanyaannya, apakah tujuan pembentukan perangkat daerah?
10 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Tinjauan kebijakan ini dimaksudkan juga untuk memberikan


deskripsi lebih detail tentang sejarah dan prospek penataan
perangkat daerah di Indonesia. Setiap undang-undang Pemda
selalu ditindaklanjuti dengan PP tentang organisasi perangkat
daerah, mulai dari PP No. 84 Tahun 2000 di masa UU No. 22
Tahun 1999, yang diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003, PP No. 41
Tahun 2007 di saat UU No. 32 Tahun 2004, dan PP No. 18 Tahun
2016 pada saat UU No. 23 Tahun 2014.

A. Tinjauan Konsep
1. Konsep Kapasitas
Pembahasan konsep tentang kapasitas dalam penelitian ini,
merujuk pada konsep pengembangan kapasitas (capacity building)
yang dikembangkan oleh para ahli dan konsep kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, khususnya
berdasarkan Perpres No. 59 Tahun 2012 Tentang Kerangka
Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah.
Dalam pembahasan para ahli, konsep kapasitas dapat
dimaknai menjadi 2 (dua) pemaknaan, yaitu: berkaitan dengan
penguatan kemampuan yang sudah ada, dan membangun
keampuan yang baru (belum ada).Oleh karena itu, ada sebagian
ilmuwan yang mendefinisikan capacity building sebagai capacity
development atau capacity strengthening, mengisyaratkan suatu
prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada
(existing capacity).Sementara beberapa ahli lain lebih merujuk
pada constructing sebagai proses kreatif membangun kapasitas
yang belum nampak (not yet exist).
Grindle (1997:6-22) mendefinisikan capacity building sebagai
upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam
strategi meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan tanggung jawab
kinerja pemerintah, yakni efisiensi dalam hal waktu (time) dan sumber
daya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome,
efektivitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang
diinginkan, dan tanggung jawab yakni bagaimana mensinkronkan
antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut.
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 11

Menurut James (1998:xv) capacity building diartikan sebagai


“attempt to enhance to ability of people of developing nations to
develop essential politics and management skills necessary to
build their nation’s human, economic, social political and cultural
structures soas to their proper place in global affairs (capacity
building adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat
pada Negara sedang berkembang untuk mengembangkan
keterampilan manajemen dan kebijakan yang esensial yang
dibutuhkan untuk membangun struktur budaya, sosial politik,
ekonomi dan SDM sehingga mereka eksis dalam percaturan
global). Morison (2001:42) melihat capacity building sebagai
suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan,
perubahan multilevel di dalam individu, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi dan system-sistem dalam rangka untuk
memperkuat kemampuan individu dan organisasi sehingga
dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada.
Selanjutnya, menurut Milen (2001:142) capacity building
berkenaan dengan tugas khusus, karena tugas khusus tersebut
berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau
system tertentu pada suatu waktu tertentu. Pengembangan
kapasitas dapat juga didefinisikan sebagai (1) sebuah proses untuk
meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok,
dan juga masyarakat untuk menganalisa lingkungan mereka,
(2) mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan,
dan kesempatan-kesempatan, (3) merumuskan strategi-strategi
untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kepentingan-
kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih kesempatan-
kesempatan yang relevan, (4) merancang sebuah rencana untuk
program-program, dan (5) memanfaatkan secara efektif sumber-
sumber dasar yang mendukung pelaksanaannya, memantau dan
mengevaluasi rencana program-program, serta (6) arus balik
untuk mempelajari pelajaran-pelajaran.
Brown (2001:25) mendefinisikan capacity building sebagai
suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang,
suatu organisasi atau suatu system untuk mencapai tujuan-
tujuan yang dicita-citakan.Sementara menurut Finn &
12 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Checksoway (1998:4), capacity building meliputi pendidikan dan


pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, dan asistensi
finansial, teknologi dan keilmuan.Lebih spesifik dari pengertian
itu, capacity building bagi penyelenggaraan pemerintahan
diartikan sebagai sampai sejauhmana staf mampu menunjukkan
kontribusi nyata terhadap pengembangan personel, organisasi
dan masyarakat).
World Bank menekankan perhatian capacity building pada:
a) pengembangan sumber daya manusia, training, rekruitmen
dan pemutusan pegawai professional, manajerial dan teknis,
b) keorganisasian yaitu pengaturan struktur, proses, sumber
daya dan gaya manajemen, c) jaringan kerja berupa koordinasi,
aktivitas organisasi, fungsi jaringan, serta interaksi formal
dan informal, d) lingkungan organisasi yaitu aturan (rule) dan
undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan public,
tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang
menjadi hambatan bagi tugas pengembangan, serta dukungan
keuangan/anggaran, e) lingkungan kegiatan lebih luas lainnya,
meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi kondisi yang
mempengaruhi kinerja.
Lebih lanjut, United Nations Development Programme
(UNDP) memfokuskan pada tiga dimensi, yaitu: a) tenaga
kerja (human resources) yaitu kualitas SDM dan cara SDM
dimanfaatkan, b) modal (dimensi fisik) menyangkut sarana
material, peralatan, bahan-bahan yang diperlukan dan ruang/
gedung, c) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi
perencanaan, penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi,
komunikasi, serta system informasi manajemen (Edralin,
1997:148). Selanjutnya, UNDP (1998) mendefinisikan kapasitas
sebagai kemampuan individu, organisasi (unit organisasi), atau
system untuk menunjukkan fungsinya secara efektif, efisien,
dan berkelanjutan.Capacity adalah kekuatan dari individu,
organisasi, dan system untuk berproduksi.
Definisi lainnya dikemukakann oleh OECD atau persatuan
Negara-negara berkembang (1998) bahwa capacity building
adalah proses dimana individu, group, institusi, dan masyarakat
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 13

meningkatkan kemampuan mereka untuk: a) melaksanakan


fungsi lini, menyelesaikan masalah, menjabarkan dan men­
capai tujuan, dan b) memahami dan mampu beradaptasi
dengan kebutuhan pembangunan dalam skala yang luas dan
berkelanjutan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat
disim­pulkan pengertian peningkatan kapasitas sebagai upaya
peningkatan kemampuan/kompetensi individu, organisasi, dan
system/kebijakan guna mencapai tujuan organisasi.

Gambar 1. Tingkatan Pengembangan Kapasitas


Sumber: H.R. Soeprapto, MS (2006).

Berdasarkan gambar di atas, menurut UNDP sebagaimana


dikutip Soeprapto (2006), pengembangan kapasitas pada
dasarnya dilaksanakan secara efektif dan  berkesinambungan
pada 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan individual, meliputi keterampilan-keterampilan
individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah
laku, pengelompokkan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari
pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.
2. Tingkatan institusional/kelembagaan, meliputi struk­
tur  organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan
di dalam  organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-
mekanisme  pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana,
hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi.
14 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

3. Tingkatan sistem, meliputi kerangka kerja yang


berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan
kondisi dasar yang mendukung  pencapaian obyektivitas
kebijakan tertentu.
Sementara itu, dalam konteks pemerintahan daerah,
pemerintah Indonesia dalam Perpres No. 59 tahun 2012 tentang
Tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas
Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa Kapasitas
Pemerintahan Daerah adalah kemampuan pemerintahan
daerah untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan,
mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan urusan peme­
rintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah
berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan secara
efektif, efisien, dan berkesinambungan (Bab I, Kententuan Umum
pasal 1 point 4).
Adapun ruang lingkup pengembangan kapasitas Daerah
berdasarkan kebijakan tersebut (pasal 1 point 5) mencakup:
a. Pengembangan Kapasitas Kebijakan;
b. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan;
c. Pengembangan Kapasitas sumber daya manusia.
Kemudian, apabila kita melihat kepada PP No. 18 tahun 2016
tentang Perangkat Daerah pasa 6 ayat (2) terkait dengan kriteria
variabel dan indikator penyusunan perangkat daerah dimana
salah satunya adalah menyangkut indikator jumlah anggaran
dan pendapatan daerah (dibahas lebih lanjut dalam tinjauan
kebijakan), maka dipandang perlu untuk membahas kapasitas
perangkat daerah dilihat dari aspek keuangannya.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, kita dapat
melihat bahwa aspek-aspek yang dapat dijadikan parameter
dalam membahas tentang kapastias perangkat daerah ini
meliputi aspek-aspek:
a. Aspek kelembagaan;
b. Aspek sumber daya manusia;
c. Aspek keuangan; dan
d. Aspek kebijakan.
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 15

2. Konsep Penataan Organisasi


Organisasi merupakan sebuah konsep yang dinamis,
dimana dalam konteks organisasi pemerintahan bentuk dari
dinamisasi organisasi itu terletak pada pola-pola perubahan
yang menyesuaikan dengan keadaan pemerintahan. Dalam
hal penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
organ­isasi perangkat daerah (OPD) telah beberapa kali
mengalami perubahan. Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah kembali membawa perubahan
fundamental dalam tata kelola perangkat daerah di Indonesia.
Jika dilihat kembali semangat dari penataan organisasi
perangkat daerah sejak masa reformasi, maka akan diketahui
bahwa semangat efisiensi menjadi tonggak utama penataan.
Lebih lagi jika dikaitkan dengan agenda reformasi birokrasi yang
digalakkan oleh pemerintah. Kebijakan penataan kelembagaan
pemerintah saat ini banyak diarahkan pada upaya rightsizing
atau penyederhanaan yang diarahkan untuk mengembangkan
organisasi yang lebih proporsional dan transparan. Sehingga,
ada kehendak terbentukanya suatu struktur perangkat peme­
rintahan yang tidak terlalu besar tetapi selaras dengan semangat
pembaharuan nilai dan konsep pemerintahan yang bersih,
akuntabel, dan transparan.
Meminjam konsep organisasi yang dikemukakan oleh Henry
Mintzberg (1979), yang menyatakan bahwa setiap organisasi
setidaknya lima bagian yang menjadi fondasi bagi pembagian
struktur organisasinya, yaitu, 1) The operating core, para pegawai
yang melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan
produksi dari produk dan jasa, 2) The strategic apex, manajer
tingkat puncak yang diberi tanggung jawab organisasi secara
keseluruhan, 3) The middle line, para manajer yang menjadi
peng­hubung antara the operating core dengan strategic apex,
4) The technostructure, para analis yang mempunyai tanggung
jawab untuk melaksanakan bentuk standardisasi tertentu dalam
organisasi, 5) The support staff, orang-orang yang mengisi unit
staf, yang memberi jasa pendukung tidak langsung kepada
organisasi.
16 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Penataan organisasi merupakan wujud perubahan organ­


isasi dengan cara menata kembali organisasi, baik sumber
daya manusianya maupun strukturnya, baik secara vertikal
maupun horizontal. Penataan organisasi vertikal diartikan
memperpanjang atau memperpendek tingkatan suatu organisasi,
sedangkan penataan organisasi horizontal dilakukan dengan
cara menambah atau mengurangi jumlah bagian atau bidangnya.
Menurut French dan Bell (1981: 472), penataan organisasi adalah
“a planned systemic process in which applied behavioral science
principle and practice are introduced into an on going organization
to ward the goals of affecting organizational improvement,
greater organizational competence and greater organizational
performance.”. Menurut French dan Bell, penataan organisasi
merupakan sebuah proses yang sistemik yang melibatkan
banyak faktor termasuk diantaranya adalah perilaku dan praktik
organisasi yang tujuannya adalah mempengaruhi terjadinya
peningkatan kompetensi organisasi yang lebih baik.
Sementara itu, Robbins (1994: 326) mengelompokkan pena­
taan organisasi ke dalam empat kategori, yaitu, (1) Penataan
struktur, yaitu mencakup perubahan dalam hubungan
wewenang, mekanisme koordinasi, rancang ulang pekerjaan
atau variabel struktural serupa; (2) Penataan teknologi, yaitu
meliputi modifikasi dalam cara kerja yang diproses dalam
metode serta peralatan yang digunakan; (3) Penataan setting
fisik yaitu perubahan organisasi yang meliputi pengaturan ulang
ruang dan tata letak tempat kerja; dan (4) Penataan orang, yaitu
berkaitan dengan perubahan sikap, keterampilan, target kinerja,
pola komunikasi, persepsi dan perilaku pegawai.
Berdasarkan hal tersebut maka penataan organisasi meru­
pakan bagian dari perubahan organisasi.Perubahan ter­
sebut dapat bersifat fundamental, baik dalam core struktur
organisasinya maupun dalam core business organisasi tersebut.
Dalam perubahan organisasi, khususnya organisasi pemerintah,
satu hal yang pasti tidak dirubah adalah tujuan utamanya yaitu
dalam rangka kepentingan publik. Unsur utama yang dikaitkan
dalam perubahan organisasi tentunya adalah peningkatan
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 17

kinerja sebagai suatu hasil proses pekerjaan. Menurut Hammer


dan Chammpy (1996: 32), penataan organisasi dalam bentuk
pemikiran ulang secara fundamental dan perancangan ulang
secara radikal atas proses-proses kerja dimaksudkan untuk
mendapatkan perbaikan kinerja.
Leach (1994:1) bahwa perubahan wewenang organisasi dan
manajemen pemerintah daerah didasarkan pada tiga hal, yaitu
: distinctive purpose, conditions, dan task yang bertitik tolak
pada hakikat keberadaan pemerintah daerah (the nature of
local government) sebagai penyedia layanan (provider service)
dan institusi politik (political institution).Distinctive purpose
merupakan kewenangan yang diamanatkan oleh peraturan
perundangan. Sementara condition adalah gambaran kondisi
sumber daya yang dimiliki daerah yang merupakan core
competency (sektor unggulan), dan task adalah tugas untuk
penyediaan layanan masyarakat (basic services).

B. Tinjauan Kebijakan
1. Pembagian Urusan Pemerintahan
Secara sederhana, urusan pemerintahan dapat diterjemahkan
sebagai apa saja yang menjadi persoalan yang harus dikelola
oleh suatu pemerintahan negara. Dalam artian, setiap negara
pasti memiliki suatu urusan yang ada akibat adanya beberapa
variabel, di antaranya yaitu penduduk dan potensi, baik potensi
alam maupun potensi SDM. Semua variabel ini memerlukan
pengelolaan-pengelolaan yang harus ditangani oleh negara.
Sementara itu, suatu negara diterjemahkan sebagai suatu
integrasi kewilayahan yang terdiri dari wilayah-wilayah atau
kecil atau daerah di dalamnya yang memperkuat posisi negara
tersebut. Secara prinsip, daerah-daerah yang ada di Indonesia
merupakan kreasi pemerintah pusat. Dalam pengelolaan urusan
pemerintahan inilah kemudian pemerintah pusat memerlukan
daerah-daerah itu untuk melaksanakan fungsi urusan peme­
rintahan tersebut. Kewenangan yang besar membuat pemerintah
pusat tidak bisa sepenuhnya mengurus urusannya sendiri.
18 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Pemerintah pusat terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus


urusan-urusan yang terlalu besar, dan terlalu besar untuk
mengurus urusan-urusan yang terlalu kecil, oleh karena itu
perlu diciptakan daerah-daerah otonom yang dasar pemberian
kewenangannya diatur oleh peraturan perundang-undangan
(Bell, 1987: 1-31). Dalam konteks negara Indonesia, wewenang
daerah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan tertentu
juga tidak sendirinya dimiliki oleh mereka, melainkan atas dasar
penyerahan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat.
Selama ini undang-undang tentang pemerintahan da­
erah tidak pernah secara spesifik mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan urusan pemerintahan. Baru di Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014, frase urusan pemerintahan dide­
finisikan dengan cukup jelas. Pada pasal 1 ayat 5 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah
“kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden
yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara
dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi,
melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat”.
Disini terdapat perbedaan dengan undang-undang sebelumnya
yaitu adanya penekanan pada kalimat “kekuasaan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden”. Secara eksplisit kalimat
ini mengindikasikan bahwa undang-undang baru ini ingin
memperjelas konsepsi desentralisasi dalam sebuah unit negara
kesatuan. Bahwa kewenangan urusan pemerintahan yang
didelegasikan kepada kementerian maupun pemerintah daerah
adalah milik Presiden selaku kepala pemerintahan. Menteri,
kepala daerah setingkat Gubernur atau Bupati/Walikota tidak
lebih sebagai bawahan Presiden yang menjalankan kewenangan
Presiden yang dilimpahan kepada mereka.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 ini juga dise­
butkan tentang klasifikasi urusan pemerintahan. Klasifikasi
urusan pemerintahan tersebut disesuaikan dengan fungsi
masing-masing antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Urusan-urusan itu diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu
urusan wajib dan urusan pilihan (lihat Tabel 1). Urusan wajib
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 19

yaitu urusan yang wajib diselenggarakan oleh seluruh daerah


yang berkaitan langsung dengan pelayanan dasar. Sedangkan
urusan pilihan adalah urusan yang wajib diselenggarakan oleh
daerah atas dasar pengembangan sektor unggulan potensial yang
tumbuh dan berkembang di daerah masing-masing. Jadi, pada
dasarnya kedua kategori urusan tersebut bersifat wajib, yang
harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Akan tetapi,
yang membedakan kemudian adalah derajat kewenangannya
untuk menyelenggarakan urusan tersebut. Selain itu, terdapat
juga unsur penunjang urusan yang secara kelembagaan memiliki
implikasi untuk pembentukannya.

Tabel 1. Urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan PP No. 38


Tahun 2007 dan UU No. 23 Tahun 2014

URUSAN URUSAN
PEMERIN­ PP No. 38 Tahun 2007 PEMERIN­ UU No. 23 Tahun 2014
TAHAN TAHAN
1. Pendidikan; 1. Pendidikan;
2. Kesehatan; 2. Kesehatan;
3. Lingkungan 3. Pekerjaan umum
Hidup; dan penataan
Urusan
4. pekerjaan umum; ruang;
Wajib yang
5. penataan ruang; 4. Perumahan rakyat
berkaitan
6. perencanaan dan kawasan
dengan
pembangunan; permukiman;
pelayanan
7. perumahan; 5. Ketenteraman dan
dasar
8. kepemudaan dan ketertiban umum
olahraga; serta perlindungan
9. penanaman masyarakat; dan
Urusan modal; 6. Sosial.
Wajib 10. koperasi dan
1. Tenaga kerja;
usaha kecil dan
2. Pemberdayaan
menengah;
perempuan dan
11. kependudukan
perlindungan anak;
dan catatan sipil; Urusan
3. Pangan;
12. ketenagakerjaan; Wajib tidak
4. Pertanahan;
13. ketahanan berkaitan
5. Lingkungan hidup;
pangan; dengan
6. Administrasi
14. pemberdayaan pelayanan
kependudukan dan
perempuan dan dasar
pencatatan sipil;
perlindungan
7. Pemberdayaan
anak;
masyarakat dan
desa;
20 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

URUSAN URUSAN
PEMERIN­ PP No. 38 Tahun 2007 PEMERIN­ UU No. 23 Tahun 2014
TAHAN TAHAN
15. keluarga
berencana 8. Pengendalian
dan keluarga penduduk
sejahtera; dan keluarga
16. perhubungan; berencana;
17. komunikasi dan 9. Perhubungan;
informatika; 10. Komunikasi dan
18. pertanahan; informatika;
19. kesatuan bangsa 11. Koperasi,
dan politik dalam usaha kecil, dan
negeri; menengah;
20. otonomi daerah, 12. Penanaman modal;
pemerintahan 13. Kepemudaan dan
umum, olah raga;
administrasi 14. Statistik;
keuangan daerah, 15. Persandian;
perangkat daerah, 16. Kebudayaan;
kepegawaian, dan 17. Perpustakaan; dan
persandian; 18. Kearsipan.
21. pemberdayaan
masyarakat dan
desa;
22. sosial;
23. kebudayaan;
24. statistik;
25. kearsipan; dan
26. perpustakaan.
1. kelautan dan 1. Kelautan dan
perikanan; perikanan;
2. pertanian; 2. Pariwisata;
3. kehutanan; 3. Pertanian;
Urusan 4. energi dan sumber Urusan 4. Kehutanan;
Pilihan daya mineral; Pilihan 5. Energi dan sumber
5. pariwisata; daya mineral;
6. industri; 6. Perdagangan;
7. perdagangan; dan 7. Perindustrian; dan
8. ketransmigrasian. 8. Transmigrasi.
-- -- 1. pembinaan
wawasan
kebangsaan dan
Urusan
ketahanan nasional
Pemerin­
da­lam rangka
tahan
memantapkan
Umum
pengamalan
Pancasila, pelak­
sanaan Undang-
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 21

URUSAN URUSAN
PEMERIN­ PP No. 38 Tahun 2007 PEMERIN­ UU No. 23 Tahun 2014
TAHAN TAHAN
Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun
1945, pelestarian
Bhinneka Tung­
gal Ika serta
pemertahanan
dan pemeli­haraan
keu­tuhan Negara
Kesatuan Republik
Indonesia;
2. pembinaan
persatuan dan
kesatuan bangsa;
3. pembinaan
kerukunan
antarsuku dan
intrasuku, umat
beragama, ras, dan
golongan lainnya
guna mewujudkan
stabilitas kemanan
lokal, regional, dan
nasional;
4. penanganan
konflik sosial
sesuai ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
5. koordinasi
pelaksanaan tugas
antar­instansi
pemerintahan
yang ada di wilayah
Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/
kota untuk
menyelesaikan
permasalahan yang
timbul dengan
memperhatikan
prinsip demokrasi,
hak asasi manusia,
pemerataan,
keadilan,
keistimewaan dan
22 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

URUSAN URUSAN
PEMERIN­ PP No. 38 Tahun 2007 PEMERIN­ UU No. 23 Tahun 2014
TAHAN TAHAN
-- -- kekhususan,
potensi serta
keaneka­ragaman
Daerah sesuai
dengan ketentuan
peraturan
perundang-
undangan;
6. pengembangan
kehidupan
demokrasi
berdasarkan
Pancasila; dan
7. pelaksanaan
semua Urusan
Pemerintahan yang
bukan merupakan
kewenangan
Daerah dan tidak
dilaksanakan oleh
Instansi Vertikal.
-- -- 1. Perencanaan;
2. Keuangan;
Unsur
3. Kepegawaian;
Penunjang
4. Pendidikan dan
Urusan
pelatihan;
Peme­
5. Penelitian dan
rintahan
pengembangan;
(Psl 24 ayat
dan
5 dan Pasal
6. Fungsi penunjang
46 ayat
lainnya sesuai
5 PP No.
dengan ketentuan
18 Tahun
peraturan
2016)
perundang-
undangan.
Sumber: PP No. 38 Tahun 2007, UU No. 23 Tahun 2014, dan PP No. 18
Tahun 2016.

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan perbedaan jenis urusan


pemerintahan pada masa UU No. 32 Tahun 2004 c.q. PP No.
38 Tahun 2007 dengan UU No. 23 Tahun 2014 c.q. PP No. 18
Tahun 2016. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38
Tahun 2007, urusan pemerintahan terdiri atas urusan wajib
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 23

dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang wajib


dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM). SPM disusun
dan ditetapkan oleh Kementerian Sektoral masing-masing sesuai
urusan pemerintahannya. Sedangkan urusan pilihan adalah
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Adapun menurut UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 Tahun
2016, urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
wajib (urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan
urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar),
urusan pemerintahan pilihan, dan urusan pemerintahan umum.
Pada pasal 24 ayat (5) dan pasal 46 ayat (5) ditambahkan unsur
penunjang urusan pemerintahan pemprov dan pemkab/
pemkot yang meliputi: Perencanaan, Keuangan, Kepegawaian,
Pendidikan dan pelatihan, Penelitian dan pengembangan, dan
Fungsi penunjang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Terkait pelaksanaan urusan pemerintahan, digunakan be­
berapaprinsippenyelenggaraan. Pasca Orde Baru, undang-undang
yang disusun oleh pemerintah memang terlihat rigid. Dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 pemerintah menggunakan
prinsip residual function (fungsi sisa) bagi kabupaten/kota.
Prinsip ini mengandaikan bahwa semua urusan pemerintahan
yang tidak secara eksplisit menjadi urusan pemerintah pusat
dan provinsi maka menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/
kota. Prinsip ini digunakan oleh pemerintah dalam menyusun
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Undang-Undang ini akhirnya menghasilkan sebuah pelaksanaan
desentralisasi yang begitu liberal, dimana kabupaten/kota
mendapatkan kewenangan yang sangat besar.
Sedangkan prinsip yang digunakan pada Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 adalah concurrent functions. Prinsip ini
mengartikan penerapan fungsi konkurensi dalam setiap urusan
24 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

pemerintahan. Maksudnya, semua urusan yang dilaksanakan


oleh pemerintah pusat juga menjadi kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota, hanya skala kewenangannya yang berbeda.
Menurut Shah dan Shah, pemberian kewenangan menangani
urusan kepada daerah merupakan konsekuensi dari model negara
demokratis dimana pemerintah daerah atau kepala daerah yang
terpilih melalui pemilihan umum menjalankan kewenangan
dari urusan-urusan yang diberikan oleh pemerintah dan fungsi
tanggung jawab kepada konstituennya. Oleh karena itu daerah
diberikan kewenangan menjalankan urusan-urusan yang bersifat
pelayanan dasar atau kesejahteraan umum (Shah dan Shah,
2006:29). Prinsip ini menjadi dasar pembagian kewenangan yang
seimbang antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/
kota. Dengan berdasarkan pada asas otonomi luas, kabupaten/
kota memperoleh kewenangan yang lebih jelas dalam konstruksi
otonomi daerah yang baru.
Stigler (1957, dalam Shah, 2006) mengidentifikasi dua desain
yurisdiksi yang menjadi prinsip mengapa pembagian urusan
kewenangan antara pusat dengan daerah, pertama, the closer a
representative government is to the people, the better it works.
Semakin dekat (wakil atau representasi) pemerintah yang artinya
dalam diri pemerintah daerah – dalam konteks Indonesia berarti
kabupaten/kota – maka semakin lebih baik pemerintahan itu
berjalan dalam menyediakan pelayanan-pelayanan dasar kepada
masyarakat. Kedua, people should have the right to vote for the
kind and amount of public service they want. Masyarakat memiliki
hak untuk berpartisipasi langsung dalam kebijakan maupun
pelayanan publik pemerintah. Kedekatan jarak antara publik
dengan pemerintahnya membuat efektivitas pemerintahan
menjadi lebih efektif. Publik dapat terlibat langsung dalam
pemerintahan, baik dalam proses kebijakan maupun pengawasan
jalannya pemerintahan.

2. Penataan Kelembagaan Pemda


Kelembagaan pemerintah daerah merupakan hasil dari
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 25

rangkaian proses penyusunan dan pembentukan struktur


organisasi perangkat daerah. Sebagaimana diketahui, penyu­
sunan dan pembentukan organisasi perangkat daerah dilakukan
melalui tahapan-tahapan tertentu sebagaimana diatur dalam
peraturan pemerintah sebagai penjabaran undang-undang
Pemda.
Pembentukan perangkat daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 ini mempertimbangkan
faktor luas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan ang­
garan (APBD), serta besaran beban tugas sesuai dengan
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah sebagai
mandat yang wajib dilaksanakan oleh setiap daerah melalui
perangkat daerah.
Adapun jenis perangkat daerah berdasarkan kebijakan
ini meliputi perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Perangkat daerah provinsi terdiri atas:
a. Sekterariat Daerah;
b. Sekretariat DPRD;
c. Inspektorat;
d. Dinas; dan
e. Badan.
Sedangkan perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Sekterariat Daerah;
b. Sekretariat DPRD;
c Inspektorat;
d. Dinas;
e. Badan; dan
f. Kecamatan.
Peraturan pemerintah ini juga menetapkan perangkat
Daerah dalam 3 (tiga) tipe, yaitu tipe A untuk perangkat daerah
yang memiliki beban kerja besar, tipe B untuk perangkat daerah
yang memiliki beban kerja sedang, dan tipe C untuk perangkat
daerah yang meiliki beban kerja kecil.
Penyusunan struktur organisasi perangkat daerah diawali
dengan pemetaan urusan pemerintahan. Pemetaan urusan
26 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

pemerintahan didasarkan pada perhitungan jumlah nilai


variabel beban kerja, baik variabel umum maupun variabel teknis
sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini.
Pada tiap-tiap variabel, baik variabel umum maupun variabel
teknis ditetapkan 5 (lima) kelas interval, dengan skala nilai dari
200 (dua ratus) sampai dengan 1.000 (seribu).

Tabel 2. Kriteria Penyusunan Perangkat Daerah


Berdasarkan PP No. 18/2016
Variabel Bobot Indikator
Umum 20% • Jumlah Penduduk
• Luas Wilayah
• Jumlah Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah
Teknis 80% • Beban Tugas Utama pada setiap
urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya;
• Fungsi Penunjang Urusan
Pemerintahan

Selanjutnya, menghitung jumlah nilai seluruh indicator


variabel umum dan variabel teknis dengan melakukan
penjumlahan nilai dari seluruh indicator tersebut. Kemudian,
melakukan perkalian jumlah nilai dari seluruh indicator variabel
umum dan teknis tersebut dengan faktor kesulitan geografis,
dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 3. Jumlah Pengkali Faktor Kesulitan Geografis

No. Wilayah Jumlah pengkali


1. Provinsi dan kabupaten di Jawa dikalikan 1 (satu)
dan Bali
2. Provinsi dan kabupaten di dikalikan 1,1 (satu
Sumatera, Kalimantan, dan koma satu)
Sulawesi serta kota di seluruh
wilayah
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 27

No. Wilayah Jumlah pengkali


3. Provinsi dan kabupaten di Nusa dikalikan 1,2 (satu
Tenggara dan Maluku koma dua)
4. Provinsi dan kabupaten di Papua dikalikan 1,4 (satu
koma empat)
5. Daerah provinsi dan kabupaten/ dikalikan 1,4 (satu
kota berciri kepulauan koma empat)
6. Kabupaten di Daerah perbatasan dikalikan 1,4 (satu
darat negara koma empat)
7. Kabupaten/kota di pulau-pulau dikalikan 1,5 (satu
terluar di Daerah perbatasan koma lima)

Sumber: PP 18 tahun 2016

Dinamika perubahan lingkungan, baik pada skala makro


maupun mikro, menuntut suatu organisasi untuk melakukan
perubahan apabila organisasi tersebut ingin mempertahankan
eksistensinya. Organisasai harus mampu menguasai cara-
carabaru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
sedang terjadi, yaitu melakukan penyesuaian pola organisasi
yang cenderung kaku menjadi lebih fleksibel.
Dalam lingkup organisasi Pemerintahan Daerah, keluarnya
PP No. 18 Tahun 2016 menuntut penyesuaian atau perubahan
pada pola penataan kelembagaannya. Oleh karenanya setiap
daerah diberikan waktu maksimal 2 bulan setelah PP tersebut
diundangkan untuk melakukan penataan kelembagaan yang
disesuaikan dengan ketentuan baru tersebut.
Penataan kelembagaan merupakan suatu proses yang
dinamis, dalam arti bahwa penataan kelembagaan dilakukan
seiring dengan perubahan yang terjadi, baik di lingkungan
makro maupun mikro. Penataan Kelembagaan sendiri meru­
pakan salah satu langkah untuk menata suatu sistem yaitu
sistempemerintahan daerah. Oleh karenanya, agar sistem
tersebut berjalan dengan harmonis dalam mencapai visi dan misi
yang diemban oleh pemerintah daerah, penataan kelembagaan
28 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

harus diimbangi dengan penataan pada elemen-elemen lain dari


sistem tersebut, seperti penataan SDM, penataan keuangan,
penataan kebutuhan sarana dan prasarana serta penataan
mekanisme hubungan kerja antara unit-unitorganisasi.
Di samping itu, dalam menata organisasi, termasuk dalam
penataan perangkat daerah, perlu mempertimbangkan kapasitas
kelembagaannya agar organisasi dapat berjalan dengan baik.
Terkait dengan kapasitas perangkat daerah ini, dalam upaya
pengembangannya perlu memperhatikan kebutuhan dan kondisi
sumber daya yang ada agar pembentukan perangkat daerah
tersebut dapat berjalan efektif dalam mendorong kemampuan
daerah dalam menjalankan urusan pemerintahannya.
Di dalam Perpres No. 59 tahun 2012 tentang Kerangka
Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah, salah
satunya adalah tentang pengembangan kapasitas kelembagaan.
Dalam pasal 6 ayat (1) tertuang bahwa pengembangan kapasitas
kelembagaan daerah mencakup:
a. Kapasitas Struktur Organisasi yang diarahkan pada
organisasi yang efektif, efisien, rasional, dan proporsional;
b. Kapasitas Tata Laksana yang mengarah pada ke­
mampuannya untuk menyelenggarakan tugas pokok
dan fungsi setiap unit kerja pemerintahan;
c. Pelembagaan budaya kerja organisasi yang produktif
dan positif berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa;
d. Peningkatan kapasitas sarana dan prasarana kerja
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan tugas; dan
e. Penerapan standar prosedur operasi (standard
operating procedure) dalam penyelenggaraan peme­
rintahan daerah dan pelayanan umum.
Dengan demikian, dalam menata kelembagaan, pada
dasarnya mencakup 2 (dua) macam sifat dari aspek-aspek yang
perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Aspek yang bersifat kualitatif
Aspek-aspek kualitatif sulit dihitung karena terkait dengan
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 29

nilai (value) yang notabene sulit untuk diukur karena aspek


ini memiliki unsur subyektivitas yang relatif besar. Namun
demikian, kekurangan ini dapat diatasi dengan melakukan
penilaian yang didasarkan atas pengalaman dan kebutuhan
di masa yang akan datang, bukan didasarkan pada kebutuhan
individual. Aspek-aspek tersebut misalnya adalah nilai
strategis daerah ataupun teknologi yang terkait dengan visi
dan misi suatudaerah.
2. Aspek yang bersifat kuantitatif
Aspek yang bersifat kuantitatif yakni aspek yang dapat
dihitung dan diukur, misalnya potensi dan kebutuhan
daerah/masyarakat, jumlah SDM Aparatur, aspek keuangan,
dan aspekkewenangan.

Aspek kualitatif dan kuantitatif inilah yang akan menentukan


beban tugas atau beban pekerjaan suatu kelembagaan Daerah.
Untuk lebih jelasnya dijelaskan berikut ini.

a. Aspek Kewenangan
Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, dengan
demikian kewenangan yang dilimpahkan kepada Daerah
dapat dilakukan oleh Sektor Publik (Pemerintahan), Sektor
Swasta dan Masyarakat Daerah. Oleh karenanya, dalam
menata kelembagaan daerah, perlu diawali terlebih dahulu
dengan melakukan analisis terhadap kewenangan daerah.
Adapun penyelenggaraan kewenangan daerah dapat dipilah
menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
1) Kewenangan yang perlu diselenggarakan sepenuhnya
atau secara mandiri oleh Pemerintah Daerah atau
kewenangan yang sepenuhnya dimonopoli oleh Peme­
rintah. Kewenangan-kewenangan yang semacam ini
lebih banyak adalah kewenangan dalam hal pembuatan
kebijakan untuk pengaturan(steering);
30 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

2) Kewenangan yang perlu diselenggarakan secara kerja


sama antara Pemerintah Daerah dan Sektor Swasta atau
Masya­rakat. Kewenangan semacam ini lebih banyak
ada­lah kewenangan dalam hal pelaksanaan kegiatan
(pembangunan dan pelayanan).
3) Kewenangan yang seyogyanya diserahkan kepada sektor
swasta atau masyarakat, pemerintah hanya membuat
pengaturan atau standar-standar untuk menjaga kualitas.
4) Kewenangan juga perlu dipilah, mana yang seyogyanya
dibiayai oleh Pemerintah walaupun pelaksanaannya
dilakukan sektor swasta atau masyarakat dan mana yang
menjadi beban atau tanggungjawab masyarakat.
5) Dengan pemilahan tersebut, penyelenggaraan kewe­
nangan tidak seharusnya dimonopoli (diatur dan dise­
lenggarakan) oleh pemerintahan, namun demikian
dalamkondisi dewasa ini dimana sektor swasta dan
masyarakat yang relatif belum berdaya maka peran
pemerintah di negara berkembang seperti di Indonesia
masih sangatdibutuhkan.
Pada lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan memiliki
implikasi terhadap kewenangan yang dimiliki setiap Daerah,
baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini penting
untuk diperhatikan mengingat pengkajian mengenai urus­
an pemerintahan selalu berkaitan dengan fungsi-fungsi
pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban dari setiap
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan dalam mengatur
dan mengurus fungsi-fungsi yang menjadi kewenangannya
tersebut. Besar kecilnya kewenangan ini selanjutnya
berimplikasi pada besar kecilnya beban urusan maupun
kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk kemudian
diakomodasi dalam kelembagaan Pemerintah Daerah
tersebut.Oleh karenanya untuk melakukan penataan kelem­
bagaan daerah, PP baru iniharus diperhatikan kaitannya
untuk memahami kewenangan yang dimiliki oleh suatu
daerah.
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 31

b. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)


Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aspek yang
sangat penting dan sangat determinan keberadaannya dalam
organisasi. SDM dengan kualifikasi baik akan mendorong
perwujudan tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien.
Didasarkan pada kenyataan tersebut maka Sumber Daya
Manusia (human resource) dalam konteks ini, didefinisikan
sebagai “the people who are ready, willing, andable to
contribute to organizational goals” (William B Werther, Jr &
Keith Davis, 1996; 596).
Dengan semakin berkembangnya kehidupan manusia
dan semakin meningkatnya tuntutan dan kebutuhan
organisasi maka kebutuhan akan SDM dalam suatu
organisasi pun akan mengalami perubahan dan pergeseran.
Sejalan dengan adanya perubahan tersebut, peran dan fungsi
SDM dalam organisasipun menjadi semakin penting dan
strategis. SDM pada masa yang akan datang akan menjadi
solusi dalam meningkatkan pembangunan, hal tersebut
telah dikemukakan antara lain oleh Foulkes (1975) yaitu:

“For many years it has been said that capital is the


bottleneck for a developing industry. I don’t think
this any longer holds true. I think it’s the work force
and the company’s inability to recruit and maintain
a good work force that does constitutethe bottleneck
for production, I think this will hold true even more
in thefuture”

Dalam perspektif keilmuan yang telah menggunakan


pendekatan manajemen strategik, SDM tidak hanya dianggap
sebagai tool of management tapi juga sebagai sumber
keunggulan kompetitif dan elemen kunci untuk mencapai
tujuan organisasi.Perspektif tersebutlah yang menjadi dasar
filosofis manajemen Sumber Daya Manusia. Manajemen
Sumber Daya Manusia (MSDM) menurut Dessler (2000)
adalah bahwa:
32 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

“Strategic Human Resource Management is the


linking of Human Resource Management with
strategic roles and objectives in order to improve
business performance and develop organizational
cultures and foster innovation and flexibility”.

Dalam lingkup yang lebih luas, Manajemen Sumber


Daya Manusia (MSDM) ini tidak hanya mencakup aspek
hubungan (relasi) antara pegawai dan organisasi saja,
tetapi juga menyangkut fungsi-fungsi yang lain seperti
perencanaan, rekrutmen, seleksi, training, pengembangan
karir dan penlilaian hasil kerja (Alwi, 2001; vi). Rekrutmen
merupakan langkah kedua atau ketiga dalam MSDM yang
sebelumnya diawali dengan Perencanaan Kepegawaian
yang didahului dengan menetapkan struktur organisasi
beserta struktur pekerjaan dan profil yang akan mengerjakan
pekerjaan tersebut. Walaupun demikian rekrutmen
merupakan aspek yang sangat kritis dan menentukan dalam
proses Manajemen Sumber Daya Manusia dalam artian
proses manajemen SDM selanjutnya sangat ditentukan
oleh kualitas dari Proses Rekrutmen ini. Proses rekrutmen
merupakan “pintu gerbang” untuk memasuki “kawasan
organisasi”. Kalau langkah awal ini sudah bejalan dengan baik,
maka selanjutnya sumber daya manusia akan lebih mudah
dikembangkan. Kelemahan atau kesalahan yang mungkin
akan timbul dalam proses pengembangan selanjutnya sudah
dapat dieliminasi sedemikian rupa.
Dalam konteks penataan kelembagaan, SDM baik secara
individual maupun Manajemen SDM yang diterapkan akan
berpengaruh terhadap kelembagaan yang dibentuk. SDM
yang berkualitas akan mengurangi besaran organisasi yang
akan diterapkan begitu halnya dengan pola manajemen
SDM yang profesional, dimulai dari proses rekrutmen,
pengembangan pegawai sampai dengan berhenti (pensiun)
akan berpegaruh terhadap organisasi yang ada.
Besar kecilnya urusan pemerintahan yang ditangani oleh
suatu daerah, selain berimplikasi pada besar kecilnya beban
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 33

kerja yang harus diemban oleh kelembagaan Pemerintah


Daerah tersebut, juga berdampak pada besar kecilnya
kebutuhan Sumber Daya Manusia dan manajemennya.
Oleh karenanya, untuk melakukan penataan kelembagaan
daerah, ketersediaan Sumber Daya Manusia dan sistem
manajemennya harus harus diperhatikan kaitannya dengan
kesiapan daerah untuk melaksanakan berbagai kewenangan
yang dimilikinya.

c. Aspek Keuangan
Selain aspek kewenangan dan aspek SDM, dalam
penataan kelembagaan perlu juga memperhatikan aspek
keuangan, maksudnya perlu untuk mempertimbangkan
kemampuan daerah dalam membiayai kelembagaan yang
dihasilkannya. Semakin besar organisasi yang dibuat semakin
besar dana yang harus dialokasikan untuk membiayai
kelembagaan/organisasi tersebut. Dalam hal ini, penataan
kelembagaan yang dilakukan diharapkan dapat melakukan
perubahan-perubahan sebagai berikut:
1) Organisasi yang dibentuk dapat mengurangi pem­
borosan dan ineffisiensi yang terjadi. Dengan mem­
pertimbangkan aspek keuangan, baik pengeluaran,
pendapatan atau manfaat yang dihasilkan oleh
kelembagaan yang terbentuk maka pemborosan dan
inefisiensi dapat dikurangi. Di sini, kelembagaan besar
belum tentu menjadikan pemborosan tetapi dapat pula
menghasilkan manfaat yang besar, tentu saja manfaat
yang dimaksudkan adalah manfaat untuk masyarakat.
Kelembagaan kecil belum tentu menghasilkan efisiensi
tapi dapat pula menimbulkan ketidakoptimalan potensi
yang dimilikinya atau terdapat pekerjaan yang tidak
dapat terlaksana padahal pekerjaan tersebut manfaatnya
sangat besar bagi masyarakat.
2) Pembentukan organisasi baik secara horizontal mau­
pun secara vertikal perlu juga mempertimbangkan
34 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

pengalokasian sumber dana secara efisien. Keterbatasan


dana yang tersedia menuntut perlunya pendistribusian
secara adil, baik keadilan secara distributif maupun
keadilan secara alokatif sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan dan ketidakharmonisan antar unit
organisasi. Unit organisasi yang memiliki beban kerja/
tugas yang besar seyogyanya mendapat alokasi dana
yang cukup untuk menjalankantugas-tugasnya.
3) Penataan kelembagaan daerah diharapkan da­pat
mendorong dan meningkatkan kreativitas, kewi­
raswastaan dan inisiatif di sektor publik. Semangat
entrepreneur dalam birokrasi perlu ditanamkan sehingga
tidak hanya mengetahui dan memahami bagaimana
membelanjakan tetapi juga mencari peluang atau
kesempatan untuk meningkatkanpendapatan.
4) Penataan Kelembagaan daerah juga diharapkan dapat
meningkatkan transparansi keuangan publik. Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat dapat memahami apakah
yang telah dibelanjakan pemerintah memberikan man­
faat atau nilai tambah bagi masyarakat atau justru
sebaliknya. Dengan adanya transparansi, Pemerintah
Daerah juga akan lebih meningkatkan kinerja dan
kualitas program-program yang dilaksanakan serta akan
meningkatkan akuntabilitasnya karena masyarakat akan
menyoroti apa yang telah, sedang dan akan dilakukannya.

d. Aspek Kebutuhan Pelayanan


Menyadari berbagai perbedaan dalam hal potensi yang
dimiliki oleh setiap daerah, penyusunan kelembagaan
daerah seharusnya disesuaikan dengan intensitas beban
urusanyang terukur dari daerah yang bersangkutan.Dalam
penataan kelembagaan pemerintah daerah, kebutuhan yang
sesuai dengan beban urusan maupun potensi yang dimiliki
harus diperhatikan pula. Untuk itu faktor-faktor tersebut
yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 35

1) Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan


Daerah;
2) Intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi Daerah;
3) Efisiensi;
4) Efektivitas;
5) Pembagian habis tugas;
6) Rentang kendali;
7) Tata kerja yang jelas; dan
8) Fleksibilitas.
Dengan memahami berbagai potensi dan kebutuhan
yang dimiliki tersebut, beban urusan dan beban pekerjaan
yang dipikul oleh suatu daerah dapat diprediksi.Karena
potensi dan kebutuhan suatu daerah bersifat unik,
maka beban pekerjaanya tidak dapat digeneralisir atau
disamaratakan. Artinya, daerah yang memilki potensi
pertanian yang besar maka kelembagaan yang mengelola
urusan pertanian merupakan suatu hal yang urgen untuk
dibentuk, lain halnya bagi kawasan perkotaan yang relatif
tidak memiliki areal pertanian maka kelembagaan yang
menangani hal pertanian tidak dibutuhkan. Kalaupun masih
dibutuhkan juga, fungsinya dapat dilekatkan pada urusan
lain yang relatif serumpun dan memiliki beban urusan
ataupun beban kerja yang kecil.

e. Aspek Nilai Strategis Daerah


Dalam rangka melakukan penataan kelembagaan daerah,
nilai strategis daerah juga harus menjadi pertimbangan.
Nilai strategis daerah ini biasanya tertuang dalam Visi dan
Misi Pemerintah Daerah. Dengan menentukan sektor-sektor
tertentu yang menjadi unggulan (core competency) maka
kelembagaan yang menanganinya pun perlu diperhatikan.
Sebagai kesimpulan, perlu dipahami bahwa penataan
kelembagan bukan suatu proses yang berdiri sendiri, artinya
kelembagaan pemerintahan daerah hanya merupakan suatu
subsistem dari suatu sistem yang lebih besar lagi yaitu
36 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

sistem pemerintahan daerah. Oleh karenanya, perubahan


dalam kelembagaan akan berpengaruh dan dipengaruhi
oleh sistem dan subsistem lainnya. Penataan kelembagaan
juga merupakan suatu proses kontinyu tidak bisa dilakukan
hanya sekali jadi tetapi harus dilakukan secara bertahap,
terus menerus dan terpadu.
Untuk itulah penataan kelembagaan pemerintah daerah
perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
faktor. Selain itu juga harus mempertimbangkan jauh ke
depan bagaimana kelembagaan hasil penataan kelembagaan
dilaksanakan di lapangan dan tentu saja perlu diiringi oleh
perubahan aspek-aspek lain atau subsistem-subsistem lain
yang eratketerkaitannya.

3. Penggabungan dan Perumpunan


Penataan perangkat daerah berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2016 terjadi dengan pergeseran
kewenangan baik pergeseran yang bersifat vertical maupun
horizontal.Pergeseran yang bersifat vertikal antara pemerintah
kabupaten/kota dengan provinsi terjadi karena pengalihan
beberapa urusan pemerintahan seperti pendidikan menengah,
kehutanan, kelautan, dan ESDM. Sementara itu, pergeseran
yang bersifat horizontal terjadi akibat pemisahan dan/atau
perumpunan urusan pemerintahan sesuai amanat peraturan
perundang-undangan.
Meskipun ada klausul PP No. 18 Tahun 2016 yang menyatakan
bahwa masing-masing urusan pemerintahan diwadahi dalam
dinas, namun pada prkateknya hal itu tidak bisa seluruhnya
disusun dalam SOPD tersendiri. Hal ini karena scoring yang
diperoleh pada saat perhitungan variabel umum dan variabel
teknis tidak mungkin mampu memenuhi kriteria pembentukan
dinas yang mandiri. Oleh karena itu, pembentukan perangkat
daerah dimungkinkan adanya penggabungan beberapa urusan
pemerintahan sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (3) tentang
penggabungan urusan pemerintahan.
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 37

Penggabungan Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu)


dinas Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pa­
da ayat (1) didasarkan pada perumpunan Urusan
Pemerintahan dengan kriteria: a) kedekatan karakteristik
Urusan Pemerintahan; dan/atau b) keterkaitan antar
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.

Kemudian pada kebijakan tersebut dinyatakan pula bahwa


Perumpunan Urusan Pemerintahan meliputi (ayat 4):
1) pendidikan, kebudayaan, kepemudaan dan olahraga,
serta pariwisata;
2) kesehatan, sosial, pemberdayaan perempuan dan per­
lindungan anak, pengendalian penduduk dan ke­
luarga berencana, administrasi kependudukan dan
pencatatansipil serta pemberdayaan masyarakat dan
Desa;
3) ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan
masyarakat, sub urusan ketenteraman dan ketertiban
umum dan sub urusan kebakaran;
4) penanaman modal, koperasi, usaha kecil dan menengah,
perindustrian, perdagangan, energi dan sumber daya
mineral, transmigrasi, dan tenaga kerja;
5) komunikasi dan informatika, statistik, dan persandian;
6) perumahan dan kawasan permukiman, pekerjaan
umum dan penataan ruang, pertanahan, perhubungan,
lingkungan hidup, kehutanan, pangan, pertanian, serta
kelautan dan perikanan; dan
7) perpustakaan dan kearsipan.

Penggabungan Urusan Pemerintahan yang dilakukan dalam


penataan kelembagaan OPD paling banyak mencakup 3 (tiga)
Urusan Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 18
tahun 2016 pasal 18 ayat (5). Tentu pembatasan ini diperlukan
untuk menjaga efektivitas organisasi dalam menjalankan
urusannya dengan beban kerja yang masih dalam taraf kewajaran.
38 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Dengan demikian maka jelaslah bahwa penggabungan urus­


an pemerintahan dalam OPD sangat dimungkinkan dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Namun
demikian, dalam praktiknya tetap juga harus memperhatikan
kebutuhan dan kondisi faktual di lapangan, mengingat sistem
perumpunan yang dirumuskan dalam kebijakan ini sifatnya
hanya memperhatikan karakter urusan dari aspek substantif,
sementara karakter tugas dan fungsi dalam operasionalisasinya
tidaksecara tegas dinyatakan. Oleh karena itu, sangat dimung­
kinkan dalam prakteknya, penggabungan tersebut kurang
membawa implikasi sebagaimana diharapkan meskipun secara
legal formal segala ketentuan sudah diikuti. Untuk itu agar
efektivitas dan efisensi OPD bisa diwujudkan, maka diperlukan
kecermatan dan kehati-hatian dalam merumuskannya dengan
memperhatikan karakteristik-karakteristik lain yang ada di
lapangan, baik yang terkait dengan karakteristik manajemennya
maupun karakteristik yang terkait dengan kebutuhan lapangan
dan kebutuhan masyarakat daerah.

4. Kerangka Pikir Kajian


Kerangka kajian kapasitas perangkat daerah berdasarkan PP
No. 18 Tahun 2016 dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan kerangkan pikir kajian tersebut terlihat bahwa
perjalanan penyusunan perangkat daerah telah mengalami
pergeseran (shifting) dari UU No. 32 Tahun 2004 c.q. PP No.
41 Tahun 2007 ke UU No. 23 Tahun 2014 c.q. PP No. 18 Tahun
2016. Di antara UU Pemda dengan PP Penataan OPD, terdapat
satu peraturan yakni PP Pembagian Urusan Pemerintahan yang
kemudian menjadi landasan dalam menyusun perangkat daerah.
Namun dikarenakan PP Pembagian Urusan Pemerintahan
(Konkuren) belum diterbitkan, maka penyusunan prangkat
daerah langsung mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 dan PP
No. 18 Tahun 2016. Ini memang dapat dikatakan merupakan
‘anomali’ karena biasanya PP Pembagian Urusan Pemerintahan
Tinjauan Konsep dan Kebijakan 39

terbit lebih dahulu dibandingkan PP Penataan Perangkat Daerah.


Dalam upaya menggambarkan kapasitas perangkat daerah,
tim kajian akan membahas dari 4 aspek: kelembagaan, SDM,
keuangan, dan kebijakan. Aspek kelembagaan antara lain
membahas besaran struktur organisasi, konstruksi kelembagaan,
beban kerja, dan sebagainya. Aspek SDM akan membahas jumlah
dan kualitas SDM, penempatan, distribusi dan beban kerjanya.
Aspek keuangan akan membahas pendapatan, belanja, dan
DAU, DAK, & DBH. Adapun aspek kebijakan akan membahas
kebijakan sektoral dan pemda, dan dukungan politik dalam
proses penataan kelembagaan.

Gambar 2. Kerangka Pikir Kajian


Bab III Metodologi Penelitian

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai metodologi kajian


yang secara garis besar membahas tentang metode, lokasi kajian,
teknik mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data, serta
melaporkan hasil kajian lapangan.

A. Metode Kajian yang Dipilih


Penelitian mengenai kapasitas perangkat daerah dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah diawali dengan
mengidentifikasi struktur organisasi perangkat daerah yang
telah dibentuk berdasarkan PP. Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah. Pelaksanaan studi ini dijalankan dalam
kerangka studi kualitatif, yang mengedepankan otentisitas
proses dan hasil.
Dalam diskursus metode penelitian sebenarnya tidak ada
metode yang dianggap terbaik, yang ada hanyalah metode
penelitian/pengkajian yang sesuai dengan permasalahan yang
akan diteliti. Oleh karena tidak ada metode yang paling baik,
maka semua metode dapat digunakan untuk ‘membedah’
permasalahan yang diteliti. Pendekatan atau metode kualitatif
42 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

maupun kuantitatif sama-sama memiliki derajat keilmiahan dan


karena itu hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan.
Penelitian diawali dengan melakukan pemetaan (mapping)
terhadap struktur organisasi perangkat daerah berdasarkan PP
No. 18 Tahun 2016 dan kemudian dibandingkan dengan struktur
organisasi berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 tentang OPD.
Hasil persandingan ini dijadikan sebagai ‘bekal’ bagi tim peneliti
pada saat turun ke lapangan dalam rangka pengumpulan data,
sehingga mereka tidak datang dengan ‘gelas kosong’ tetapi tim
telah memiliki bekal untuk meng-eksplore lebih lanjut mengenai
obyek yang diteliti.

B. Sampling Lokasi Kajian


Kegiatan pengkajian kapasitas perangkat daerah ini
dilakukan di tiga provinsi dan enam kabupaten/kota yang
mewakili karakteristik tertentu yaitu mewakili daerah daratan
dan kepulauan, Jawa dan Luar Jawa, Ketiga provinsi dan keenam
kabupaten/kota tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 4. Lokus Kajian


No. Provinsi Kabupaten/Kota
1. Provinsi Kalimantan Selatan Kota Banjarmasin
Kabupaten Banjar
2. Provinsi Kepulauan Riau Kota Tanjungpinang
Kabupaten Bintan
3. Provinsi Banten Kota Serang
Kabupaten Pandeglang

Penentuan lokus kajian atau sampel kajian dilakukan secara


purphosive sampling yakni menentukan sampel berdasarkan
tujuan dan kepentingan tertentu. Tujuan atau kepentingan
peneliti disini adalah ingin menmberikan gambaran kapasitas
perangkat daerah yang telah dibentuk pada tiga provinsi yang
memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Metodologi Penelitian 43

Provinsi Kalimantan dianggap mewakili Pulau Kalimantan


yang terdiri dari 4 provinsi besar lainnya yaitu Provinsi
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Utara. Potret mengenai kapasitas perangkat daerah,
paling tidak akan mengambarkan kapasitas perangkat-perangkat
daerah di Kalimantan, tanpa bermaksud menggeneralisasi bagi
keempat provinsi lainnya.
Provinsi Kepulauan Riau dianggap mewakili karakteristik
wilayah kepulauan, dimana pengaturan dalam UU No. 23
Tahun 2014 dinilai telah mendukung posisi kepulauan dalam
penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia. Meskipun belum bermaksud menerapkan kebijakan
desentralisasi asimetris, penerapan perhitungan yang berbeda
dengan provinsi lainnya diharapkan memberikan kontribusi
tertentu dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah kepuauan.
Adapun Provinsi Banten dianggap mewakili Pulau Jawa
dengan karakteristik dan potensi daerah yang spesifik.Kelebihan
dan kelemahan yang dimiliki provinsi dan kabupaten/kota di
tanah Jawa diharapkan dapat memberikan gambaran tertentu
yang dapat digunakan untuk membandingkan dengan perangkat
daerah di luar Pulau Jawa.

C. Mengumpulkan Data
Pengumpulan data penelitian telah dilakukan dengan
berbagai cara baik langsung maupun tidak langsung, Teknik
pengumpulan data yang digunakan meliputi wawancara, diskusi
terbatas, studi dokumen, dan angket.
1. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan key informant atau nara­
sumber terpilih baik di lingkup pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota. Para pihak yang diwawancara
ini meliputi: sekretaris daerah provinsi, sekretaris daerah
kabupaten/kota, asisten sekda bidang administrasi, kepala biro/
kepala bagian organisasi, kepala BKD provinsi dan kabupaten/
kota, kepala Bappeda provinsi dan kabupaten/kota, dan kepala
44 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

dinas/badan terkait. Wawancara dengan narasumber dilakukan


secara terstruktur dan tidak terstruktur sesuai kondisi yang
memungkinkan.
2. Diskusi Terbatas
Diskusi terbatas dilaksanakan dalam 2 tahap:
a. Diskusi Terbatas Pusat
Diskusi Terbatas dilaksanakan dalam dua tahapan di Jakarta
di di daerah sesuai lokasi kajian yang telah dipilih. DT
yang dilakukan di Jakarta dimaksudkan untuk membekali
tim kajian terkait isu-isu kapasitas perangkat daerah yang
terjadi pasca implementasi PP No. 18 Tahun 2016. Bertindak
sebagai narasumber DT adalah pihak-pihak yang sangat
berkepentingan dengan lahirnya kebijakan ini, antara lain
Kemendagri dan Kemenpan & Reformasi Birokrasi. Selain
itu, tim kajian juga mengundang kalangan akademisi untuk
memberikan ‘sentuhan’ akademik yang lebih memadai. Dari
sinilah diketahui perspektif pemerintah pusat dan akademisi
dalam melihat implikasi penataan perangkat daerah
berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016.
b. Diskusi Terbatas Daerah
Diskusi Terbatas berikutnya dilakukan di sembilan lokasi
kajian (3 pemprov, 3 pemko, dan 3 pemkab). Bertindak
sebagai narasumber pada DT Daerah di lingkup pemprov
ini meliputi: Sekda Provinsi, Asisten Administrasi, Karo
Organisasi, Bappeda Provinsi, BKD Provinsi, Dinas/Badan
terkait. DT Daerah di lingkup pemkab/pemko diikuti
oleh: Sekda kabupaten/kota, asisten administrasi, kabag
organisasi, Bappeda kabupaten/kota, Dinas/Badan terkait.
3. Studi Dokumen
Selain melalui wawancara dan diskusi terbatas, dalam
kegiatan ini pun dilakukan pengumpulan, pengolahan, dan
analisis data sekunder, meliputi: 1) hasil kajian sebelumnya
berupa laporan kajian, jurnal, majalah ilmiah dan lainnya, 2)
peraturan perundang-undangan, dan 3) dokumen lain yang
relevan seperti pemberitaan media massa, artikel/laporan/
naskah yang di-download dari internet.
Metodologi Penelitian 45

4. Kuesioner/angket
Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada
responden untuk menggali data sesuai dengan permasalahan
penelitian. Pada penelitian ini, penggunaan angket merupakan
salah satu cara peneliti untuk mengetahui pendapat umum
(opinion) dari para narasumber. Hasil kuesioner inilah yang akan
disusun tabel-tabel dan dianalisa untuk menarik kesimpulan
penelitian. Analisa bisa digunakan secara analisis statistik
dengan berbagai tahapan prosesnya, atau hanya kuantifisir
secara sederhana untuk kemudian dibandingkan dengan data/
informasi lainnya.

D. Mengolah dan Menganalisis Data


Langkah selanjutnya adalah pengolahan dan analisis data
lapangan, yaitu kegiatan mengorganisasikan data, memilah-
milah data menjadi satuan-satuan, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa
yang dipelajari, dan memutuskan apa yang akan diceritakan
kepada pihak lain (Moleong, 2007:248). Dalam kajian ini melalui
analisis kualitatif dilakukan beberapa meliputi: reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi data (Miles
& Hubermen, 2009), sebagaimana uraian sebagai berikut:
1. Tahap Reduksi Data
Data yang diperoleh peneliti di lapangan melalui
wawancara, observasi dan dokumentasi direduksi dengan
cara merangkum, memilih dan memfokuskan data pada
hal-hal yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada tahap
ini, peneliti melakukan reduksi data dengancaramemilah-
milah, mengkategorikan dan membuat abstraksi dari
catatan lapangan, wawancara dan dokumentasi. Demikian
banyaknya data yang diperoleh di lapangan menuntut
peneliti untuk memilih dan memilah data yang relevan
dengan tujuan penelitian.Beberapa data ‘terpaksa’ harus
dibuang karena tidak terlalu relevan dengan pembahasan
tujuan penelitian.
46 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

2. Tahap Penyajian Data


Penyajian data dilakukan setelah data selesai direduksi
atau dirangkum.Data yang diperoleh dari hasil wawancara
dan hasil telaah dokumen dianalisis kemudian disajikan
dalam bentuk CW (Catatan Wawancara), CL (Catatan
Lapangan) dan CD (Catatan Dokumentasi).Data yang sudah
disajikan dalam bentuk CW, CL, CD diberi kode data untuk
mengorganisasi data, sehingga penulis dapat menganalisis
dengan cepat dan mudah.Penulis membuat daftar awal kode
yang sesuai dengan pedoman wawancara, observasi dan
dokumentasi.Masing-masing data yang sudah diberi kode
dianalisis dalam bentuk refleksi dan disajikan dalam bentuk
teks.Kualitas penyajian data ditentukan oleh lengkap-
tidaknya catatan wawancara, catatan lapangan, dan catatan
dokumentasi yang diperoleh peneliti. Semakin lengkap
dan berkualitas data yang diperoleh, maka akan semakin
berkualitas pula penyajian datanya.
3. Tahap Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif model
interaktif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Berdasarkan data yang telah direduksi dan disajikan, peneliti
membuat kesimpulan yang didukung dengan bukti yang
kuat pada tahap pengumpulan data.Kesimpulan adalah
jawaban dari rumusan masalah dan pertanyaan yang telah
diungkapkan oleh penulis/peneliti sejak awal.
Bab IV Kapasitas Perangkat Daerah
dalam Penyelenggaraan Urusan
Pemerintah Daerah

Pada bagian ini akan disajikan gambaran umum lokasi


kajian dan deskripsi aspek-aspek kajian yang meliputi asek
keembagaan, aspek sumber daya aparatur, aspek kauangan, dan
aspek kebijakan. Khusus untuk bagian deskripsi aspek-aspek
kajian sekaligus akan disampaikan analisis berdasarkan data dan
fakta yang diperoleh tim kajian di Sembilan lokasi penelitian (3
provinsi, 3 kabupaten, dan 3 kota).

A. Gambaran Lokus Kajian


Kajian ini dilakukan di tiga provinsi yaitu Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten. Sebelum
menjelaskan beberapa temuan (findings) terlebih dahulu
disampaikan profil lokus penelitian sebagai berikut.

1. Provinsi Kalimantan Selatan


Provinsi Kalimantan Selatan terletak di bagian selatan pulau
Kalimantan dengan batas-batas: sebelah barat dengan Provinsi
Kalimantan Tengah, sebelah timur dengan Selat Makasar, sebelah
48 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

selatan dengan Laut Jawa dan di sebelah utara dengan Provinsi


Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Selatan secara geografis
terletak di antara 114 19” 33” Bujur Timur - 116 33’ 28 Bujur Timur
dan 1 21’ 49” Lintang Selatan 1 10” 14” Lintang Selatan, dengan
luas wilayah 37.377,53 km² atau hanya 6,98 persen dari luas
pulau Kalimantan secara keseluruhan. Sampai dengan tahun
2017 membawahi kabupaten/kota 11 kabupaten dan 2 kota, yakni
: 1) Kabupaten Balangan, 2) Kabupaten Banjar, 3) Kabupaten
Barito Kuala, 4) Kabupaten Hulu Sungai Utara, 5) Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, 6) Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 7)
Kabupaten Kotabaru, 8) Kabupaten Tabalong, 9) Kabupaten
Tanah Bumbu, 10) Kabupaten Tanah Laut, 11) Kabupaten Tapin,
12) Kota Banjarbaru, dan 13) Kota Banjarmasin. Luas wilayah
masing-masing Kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan
terlihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalsel

No Kode Kabupaten/Kota Luas (km2) %


1 63.11 Kabupaten Balangan 1,878.30 4.848%
2 63.03 Kabupaten Banjar 4,668.00 12.048%
3 63.04 Kabupaten Barito Kuala 2,996.46 7.734%
Kabupaten Hulu Sungai
4 63.08 892.70 2.304%
Utara
Kabupaten Hulu Sungai
5 63.02 1,472.00 3.799%
Tengah
Kabupaten Hulu Sungai
6 63.06 1,804.94 4.659%
Selatan
7 63.02 Kabupaten Kotabaru 9,482.73 24.475%
8 63.09 Kabupaten Tabalong 3,766.97 9.723%
Kabupaten Tanah
9 63.10 5,006.96 12.923%
Bumbu
10 63.01 Kabupaten Tanah Laut 3,631.35 9.373%
11 63.05 Kabupaten Tapin 2,700.82 6.971%
12 63.72 Kota Banjarbaru 371.00 0.957%
13 63.71 Kota Banjarmasin 72.00 0.186%
Kapasitas Perangkat Daerah 49

No Kode Kabupaten/Kota Luas (km2) %


    Total 38,744.23 100%
Sumber: informasipedia.com, diunduh pada 2 April 2017.

Dari tabel di atas, kabupaten yang memiliki wilayah paling


luas adalah Kabupaten Kotabaru seluas 9.482,73 km² atau
24,475% dari luas Provinsi Kalsel. Sedangkan Kota Banjarmasin
dengan luas 72 km² atau 0,186% merupakan wilayah dengan luas
paling kecil di antara 13 kab/kota yang ada. Sementara itu, panjang
jalan keseluruhan di wilayah administrasi Kalimantan Selatan
pada tahun 2015 adalah 12.467,43 km yang terdiri dari 866,09
km jalan negara, 851,91 km jalan provinsi, dan 10.749,43 km jalan
kabupaten/kota. Kondisi jalan di Kalimantan Selatan keadaannya
kurang baik, karena dari panjang jalan yang ada hanya 50,59
% (6.306, 65 km) yang dalam kondisi baik, sedangkan 16,37%
(2.040,54 km) kondisinya sedang, 22,63 % (2.821, 32 km) dalam
kondisi yang rusak, dan 10,42 % (1.298,92 km) kondisinya rusak
berat. Pada tahun 2017, jumlah penduduk Provinsi Kalimantan
Selatan sebanyak 4.119.794 jiwa. Dari jumlah tersebut tersebar ke
berbagai daerah berikut:

Tabel 6. Jumlah Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan Per


Kabupaten/Kota

No. Daerah Jumlah (jiwa)


1. Kabupaten Balangan 127.503
2. Kabupaten Banjar 571.573
3. Kabupaten Barito Kuala 306.195
4. Kabupaten Hulu Sungai Utara 231.594
5. Kabupaten Hulu Sungai Tengah 266.501
6. Kabupaten Hulu Sungai Selatan 232.587
7. Kabupaten Kotabaru 331.326
8. Kabupaten Tabalong 247.106
9. Kabupaten Tanah Bumbu 343.193
50 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

No. Daerah Jumlah (jiwa)


10. Kabupaten Tanah Laut 334.328
11. Kabupaten Tapin 186.672
12. Kota Banjarbaru 248.243
13. Kota Banjarmasin 692.793
Jumlah 4.119.614
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Selatan, diunduh pada 2/1/2017.

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk


terbesar berada di Kota Banjarmasin sebanyak 692.793 (16,82%).
Sedangkan jumlah penduduk terkecil di Kabupaten Balangan
yaitu sebanyak 127.503 (3,10 %). Sementara itu, struktur
perekonomian di Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh
sektor pertambangan dan penggalian (27,03%), sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan (14,32%), serta sektor industri
pengolahan (13,15%). Tingginya kontribusi sektor pertambangan
dan penggalian harus menjadi perhatian, mengingat sektor
tersebut merupakan sektor sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui sehingga perlu kebijakan riil terkait pengalihan
sektor untuk mempertahankan kinerja perekonomian daerah di
masa depan.

Tabel 7. Perkembangan Kontribusi Sektor/Lapangan Usaha Dalam


PDRB Kalimantan Selatan atas Harga Berlaku (Hb) dan Harga
Konstan (Hk) Tahun Dasar 2010 (Persen) tahun 2010-2015

Sektor 2010 2011 2012


Kate­
Lapangan/
gori Hb Hk Hb Hk Hb Hk
Usaha
A Pertanian, 16.06 16.06 15.09 15.40 14.78 14.98
kehutanan dan
perikanan
B Pertambangan 27.76 27.76 30.83 29.35 29.77 29.65
dan Peng­
galian
C Industry peng­ 13.72 13.72 13.06 13.12 13.12 13.07
olahan
Kapasitas Perangkat Daerah 51

Sektor 2010 2011 2012


Kate­
Lapangan/
gori Hb Hk Hb Hk Hb Hk
Usaha
D Pengadaan 0.08 0.08 0.07 0.08 0.06 0.08
Listrik dan Gas
E Pengadaan Air, 0.40 0.40 0.37 0.38 0.36 0.36
Peng­olahan
Sam­pah,
Limbah dan
Daur Ulang
F Konstruksi 7.13 7.13 6.75 7.03 6.83 7.05
G Perdagangan 7.53 7.53 7.40 7.47 7.80 7.60
Besar dan
Eceran,
Reparasi
Mobol dan
Sepeda Motor
H Transportasi 5.35 5.35 5.17 5.29 5.36 5.35
dan Per­
gudangan
I Penyediaan 1.71 1.71 1.69 1,71 1.72 1.74
Akomodasi
dan Makan
Minum
J Informasi dan 3.15 2.15 3.05 3.14 3.06 3.11
Komunikasi
K Jasa Keuangan 2.79 2.79 2.71 2.78 2.95 2.85
dan Asuransi
L REAL estate 2.12 2.12 2.04 2.11 2.05 2.10
M, N Jasa 0.51 0.51 0.51 0.51 0.53 0.52
Perusahaan
O Administrasi 5.12 5.12 5.04 5.16 5.28 5.15
Pemerintahan,
Perahanan
dan Jaminan
Sosial Wajib
P Jasa 3.96 3.96 3.72 3.84 3.80 3.81
Pendidikan

Sumber: RPJMD Kalsel 2016-2021, hal. 35-37.


52 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

2. Provinsi Kepulauan Riau


Secara astronomis, Provinsi Kepulauan Riau terletak antara
00029’ Lintang Selatan dan 04040’ Lintang Utara serta antara
103322’ Bujur Timur sampai dengan 10904’ Bujur Timur. Data
Biro Pemerintahan menyebutkan Kepulauan Riau terdiri dari
1.796 pulau. Berdasarkan posisi geografisnya, sebagai salah satu
provinsi yang berbatasan langsung dengan beberapa negara
ASEAN, Provinsi Kepulauan Riau juga berbatasan langsung
dengan beberapa provinsi lainnya di Indonesia. Batas-batas
wilayah tersebut meliputi: Batas utara: Vietnam dan Kamboja;
Batas Selatan: Sumatera Selatan dan Jambi, Batas Barat:
Singapura, Malaysia dan Provinsi Riau; Batas Timur: Malaysia
dan Kalimantan Barat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 Provinsi
Kepulauan Riau ditetapkan sebagai Provinsi di Indonesia dengan
4 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Karimun, Kabupaten
Bintan, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga serta Kota Batam
dan Kota Tanjungpinang. Sejak tahun 2008, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2008 terbentuk Kabupaten Kepulauan
Anambas sebagai hasil pemecahan wilayah Kabupaten Natuna.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56
Tahun 2015, luas wilayah masing-masing kabupaten/kota yaitu
: 1) Karimun (912,75 Km2), 2)Bintan (1.318,21 Km2), 3) Natuna
(2.009,40 Km2), 4) Lingga (2.266,77 Km2), 5) Kepulauan
Anambas (590,14 Km2), 6) Kota Batam (960,25 Km2), dan 7) Kota
Tanjungpinang (239,50 Km2)
Penduduk Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan proyeksi
penduduk tahun 2015 sebanyak 1.973.403 jiwa yang terdiri dari
1.007.979 penduduk laki-laki dan 965.064 penduduk perempuan.
Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2014,
penduduk Kepulauan Riau mengalami pertumbuhan sebesar
2,92 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan
penduduk laki-laki sebesar 1,76 persen dan penduduk perempuan
sebesar 2,86 persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis
kelamin tahun 2015 penduduk laki-laki terhadap penduduk
Kapasitas Perangkat Daerah 53

perempuan sebesar 104.


Kepadatan penduduk di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015
mencapai 241 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per
rumah tangga 4 orang. Kepadatan penduduk di 7 kabupaten/kota
cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak
di Kota Tanjungpinang dengan kepadatan sebanyak 1.399 jiwa/
km2 dan terendah di Kabupaten Natuna sebanyak 37 jiwa/km2.
Jumlah pencari kerja terdaftar di Provinsi Kepulauan Riau
pada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau pada tahun
2015 sebesar 47.294 pekerja. Terdiri dari 20.664 pencari kerja
laki-laki dan 26.630 pencari kerja perempuan. Porsi terbesar
pencari kerja yang mendaftar pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
berpendidikan terakhir SMA yaitu sebesar 46,38 persen (22.144
orang) dan disusul oleh pencari kerja tamatan Universitas sebesar
33,29 persen (15.764 orang).
Kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah
suatu bahan dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan
sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau barang
yang kurang nilainya menjadi barang lebih tinggi nilainya dan
sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir adalah konsep dari
industri pengolahan. Industri pengolahan merupakan salah satu
sektor dominan dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) di Provinsi Kepulauan Riau. Peranan PDRB
berdasar lapangan usaha menurut harga berlaku tahun 2015
mencapai 38,63 persen turun lebih sedikit dibanding tahun 2014
sebesar 38,83 persen.
Selama periode 2015, ekspor barang yang diukur atas free on
board (FOB) Provinsi Kepulauan Riau mencapai 11,948 miliar
dolar AS dengan distribusi tertinggi disumbang oleh komoditas
Bahan Bakar Mineral sebesar 28,15 persen. Nilai ekspor ini
menurun bila dibandingkan 2014 yang bernilai 15,707 miliar
dolar AS. Pelabuhan Belakang Padang masih menjadi pelabuhan
muat utama ekspor barang dari Kepulauan Riau. Perolehan
devisa tertinggi selama 2015 berasal dari Singapura mencapai
6,394 miliar dolar AS atau 53,51 persen pangsanya terhadap
keseluruhan ekspor.
54 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Pada tahun 2015 penerimaan APBD Provinsi Kepulauan Riau


naik dari 4,76 triliun pada tahun 2014 menjadi 5,32 triliun rupiah
pada tahun 2015. Penerimaan APBD yang tertinggi disumbang
oleh Pajak Daerah sebesar 1,08 triliun rupiah disusul dari Bagi
Hasil Bukan Pajak sebesar 879,25 miliar rupiah. Sehingga dari
kedua sumber pemasukan tersebut menyumbang 66,15 persen
dari total APBD Provinsi Kepulauan Riau.
Anggaran belanja daerah meningkat 1,21 triliun rupiah pada
tahun 2014 menjadi 1,59 triliun rupiah di tahun 2015. Tercatat
belanja tidak langsung adalah 1,59 triliun dan belanja langsung
sebesar 2,072 triliun.

3. Provinsi Banten
Pada awalnya Banten merupakanbagian dari Provinsi
Jawa Barat.Kemudian, melalui Undang-UndangNo. 23 Tahun
2000 tentangPembentukan Provinsi Banten yangdisahkan
oleh Presiden AbdurrahmanWahid pada tanggal 17 Oktober
2000, Banten menjadi sebuah provinsi yangotonom. Sebulan
setelah itu, tepatnya pada tanggal 18 November 2000 dilakukan
peresmianProvinsi Banten dan pelantikan Pejabat Gubernur
H. Hakamudin Djamal untuk menjalankan pemerintahan pro­
vinsi sementara waktu sebelum terpilihnyaGubernur Banten
definitif. Pada tahun2002, DPRD Banten memilih Dr. Ir. H.Djoko
Munandar, M.Eng dan Hj. Atut Chosiyah, SE. sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur Banten pertama.
Sejak berdirinya, Provinsi Banten telah mengalami per­
kembangan yang cukup signifikan dalam bidang pemerintahan,
dimana pada awalnya (tahun 2000) terdiri dari 6 (enam)
kabupaten/kota dan pada saat ini (tahun 2017) terdiridari 8
(delapan) kabupaten/kota yang terbagi menjadi 155 kecamatan
dan 1.551desa/ kelurahan.
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak antara 05007’50”
dan07001’01” Lintang Selatan, serta105001’11” dan 106007’12”
bujurTimur.Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi Banten
memiliki batas-batas:Utara – Laut Jawa; Selatan –Samudera
Kapasitas Perangkat Daerah 55

Hindia; Barat – SelatSunda; dan Timur – Provinsi DKI Jakartadan


Provinsi Jawa Barat.Provinsi Banten terdiri dari 8 kabupaten/
kota yakni 4 Kabupaten:Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Lebak, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Serang. Sedangkan
4 kota yaitu Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, dan Kota
Tangerang Selatan.
Pada akhir 2015, wilayah administrasi Provinsi Banten yang
terdiri dari 4 (empat) kabupaten dan 4 (empat) kota, berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 luas daratan
masing-masing kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Pandeglang
(2.746,89 km2), Kabupaten Lebak (3.426,56 km2), Kabupaten
Tangerang (1.011,86 km2), Kabupaten Serang (1.734,28 km2), Kota
Tangerang (153,93 km2), Kota Cilegon (175,50 km2), Kota Serang
(266,71 km2), serta Kota Tangerang Selatan (147,19 km2).
Penduduk Provinsi Banten pada tahun 2015 sebanyak
11.955.243 jiwa yang terdiri atas 6.097.184 jiwa penduduk laki-
laki dan 5.858.059 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan
dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2014, penduduk
Banten mengalami pertumbuhan sebesar 2,14 persen.Sementara
itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2015 penduduk laki-
laki terhadap penduduk perempuan sebesar 104,08.
Kepadatan penduduk di Provinsi Banten tahun 2015
mencapai 1.237 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk
per rumah tangga 4 orang. Sedangkan kepadatan penduduk di
8 kabupaten/kota cukup beragam dengan angka tertinggi di
Kota Tangerang, yakni sebesar 13.299 jiwa/km2 dan terendah di
Kabupaten Lebak sebesar 371 jiwa/km2.

B. Deskripsi Kapasitas Perangkat Daerah


Kapasitas perangkat daerah dimaknai sebagai daya
kemampuan kelembagaan/ struktur organisasi, sumber daya
manusia, keuangan, dan kebijakan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, yang pada gilirannya dapat memberikan pelayanan
public kepada masyarakat daerah secara lebih baik. Oleh karena
itu, pembahasan kapasitas perangkat daerah dalam kajian
56 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

ini meliputi aspek kelembagaan, SDM, keuangan, dan


kebijakan.

Sumber: Tim Kajian PKDOD LAN (2017)

1. Aspek Kelembagaan Daerah


Penataan perangkat daerah sebagaimana diatur dalam PP
No. 18 Tahun 2016 telah ditindaklanjuti oleh setiap pemerintah
daerah dengan menerbitkan Perda tentang Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah. Perda SOPD – demikian sebutannya
– selanjutnya dijabarkan dengan peraturan gubernur atau
peraturan bupati/walikota untuk pengaturan tentang struktur
organisasi atau kelembagannya.
Secara umum, menurut PP No. 18 Tahun 2016 jumlah struktur
organisasi perangkat daerah (SOPD) di pemerintah provinsi
maupun di pemerintah kabupaten/kota menunjukkan adanya
kelembagaan yang makin membesar, jika dibandingkan dengan
struktur organisasi pada saat PP No. 41 Tahun 2017. Hal ini dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 8. Jumlah SOPD Provinsi dan Kabupaten/Kota Sebelum dan Saat Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2016

PP 41/2007 PP NO. 18 TAHUN 2016


No. Level Pemda % Naik/ % Naik/ % Naik/ Ket.
Dinas Badan Total Dinas Badan Total
Turun Turun Turun
Perda
Provinsi Kalsel 16 11 27 26 62,50 7 -36,36 33 22.22
11/2016
Perda
1. Provinsi Kepri 17 8 25 22 29,41 6 -25,00 28 12
7/2016
Perda
Provinsi Banten 16 10 26 22 37,50 8 -20,00 30 15.38
8/2016
Perda
Kabupaten Banjar 16 10 26 24 50,00 4 -60,00 25 -3.85
13/2016
Perda
2. Kabupaten Bintan 14 7 21 19 35,71 4 -42,86 23 9.52
7/2016
Kabupaten Perda
16 8 24 22 37,50 6 -25,00 28 16.67
Pandeglang 16/2016
Kapasitas Perangkat Daerah
57
58

PP 41/2007 PP NO. 18 TAHUN 2016


No. Level Pemda % Naik/ % Naik/ % Naik/ Ket.
Dinas Badan Total Dinas Badan Total
Turun Turun Turun
Perda
Kota Banjarmasin 17 7 24 19 11,76 4 -42,86 23 -4.17
7/2016

3. Kota Perda
13 6 19 16 23,08 5 -16,67 21 10.53
Tanjungpinang 7/2016
Perda
Kota Serang 12 4 16 17 41,67 4 0,00 21 31.25
7/2016
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Sumber: Olah Data PKDOD, 2017.


Kapasitas Perangkat Daerah 59

Berdasarkan tabel perbandingan jumlah dinas saat PP 41/2007


dan PP NO. 18 TAHUN 2016, terlihat penambahan jumlah dinas
daerah baik di pemeritah provinsi maupun kabupaten/kota.
Penambahan jumlah dinas daerah terbanyak terlihat di Provinsi
Kalimantan Selatan yakni dari 16 dinas menjadi 26 dinas (62,5%)
dan terendah di Kota Banjarmasin, dari 17 dinas menjadi 19 dinas
(11,8%).
Perubahan kondisi perangkat daerah sebagai implikasi dari
penerapan PP No. 18 tahun 2016 ini, tampak pada peningkatan
jumlah perangkat daerah yang berbentuk Dinas, sedangkan
Badan cenderung berkurang. Sebagaimana diketahui bahwa
dinas daerah sebagai unsur pelaksana untuk penyelenggaraan
urusan wajib dan pilihan menjadi “sangat” penting bagi daerah
karena tiga hal, yaitu, pertama karena adanya klausul di dalam
kebijakan tentang perangkat daerah tersebut yang menyatakan
bahwa “masing-masing Urusan Pemerintahan ...... diwadahi
dalam bentuk dinas.....” (pasal 15 dan 37, ayat 6). Kedua, adanya
kecenderungan “ego sektoral” dari institusi pemerintahan yang
“mengharuskan” pencantuman nomenklatur sektornya dalam
nama dinas bila ingin mendapatkan “dana” bantuan dari institusi
tersebut. Sehingga dampak dari kondisi ini, maka daerah pada
akhirnya harus memunculkan nomenklatur dimaksud dalam
perangkat daerahnya (dinas) yang secara umum akhirnya
berujung pula pada penambahan jumlah perangkat daerahnya.
Dan, ketiga adalah karena adanya pengertian yang menunjukkan
bahwa urusan pilihan yang secara formal ternyata juga menjadi
urusan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Secara substantif,
urusan pilihan ini merupakan urusan yang bersifat sektoral
sehingga wadahnya yang tepat adalah dalam bentuk dinas.
Oleh karena itu, melihat kepada data penelitian di sembilan
lokus sebagaimana di atas menunjukkan pembengkakkan atau
gemuknya perangkat daerah, terutama yang berbentuk dinas.
Pada sisi lain, tim kajian melihat adanya penurunan dalam
jumlah Badan. Bahkan penurunan jumlah Badan ini cukup
signifikan, pada kisaran 16% – 60%, berbanding terbalik dengan
jumlah Dinas yang naik (bertambah) pada kisaran 12% -62,50%.
60 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Faktor utama yang menyebabkan terjadi kenaikan pada satu sisi,


dan penurunan pada sisi yang lain (Badan), ternyata hal lebih
disebabkan karena adanya pengalihan sekaligus perubahan
bentuk organisasi. Banyak urusan-urusan yang sebelumnya
dikelola oleh Badan, setelah diubah dengan kebijakan yang baru
maka urusan tersebut beralih menjadi urusan yang dikelola oleh
Dinas.

Tabel 9. Perbandingan SOPD di Sejumlah Lokus Kajian

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
PROVINSI KALSEL
DINAS
1. Dinas Pendidikan 1. Dinas Pendidikan dan Penambahan
Kebudayaan urusan
kebudayaan
2. Dinas Kesehatan 2. Dinas Kesehatan
-- 3. Dinas Kependudukan,
Pencatatan Sipil dan
KB
3. Dinas Perhubungan, 4. Dinas Komunikasi
Komunikasi, dan dan Informatika
Informatika
5. Dinas Perhubungan
4. Dinas Pekerjaan 6. Dinas Pekerjaan
Umum Umum dan Penataan
Ruang
7. Dinas Perumahan dan
Kawasan Pemukiman
-- 8. Satpol PP dan
Damkar
5. Dinas Sosial 9. Dinas Sosial
6. Dinas Tenaga Kerja, 10. Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan Transmigrasi
7. Dinas Perindustrian 11. Dinas Perdagangan
dan Perdagangan
12. Dinas Perindustrian
8. Dinas Koperasi, 13. Dinas Koperasi,
Usaha Kecil, dan Usaha Kecil dan
Menengah Menengah
Kapasitas Perangkat Daerah 61

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
9. Dinas Pemuda 14. Dinas Pemuda dan
Oahraga, Olahraga
Kebudayaan, dan
15. Dinas Pariwisata
Pariwisata
10. Dinas Kehutanan 16. Dinas Kehutanan
11. Dinas Perkebunan 17. Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
12. Dinas Peternakan 18. Dinas Perkebunan
dan Peternakan
13. Dinas Pertanian 19. Dinas Tanaman
Pangan dan Pangan dan
Hortikultura Hortikultura
14. Dinas Perikanan dan 20. Dinas Kelautan dan
Kelautan Perikanan
15. Dinas 21. Dinas Energi dan Perubahan dari
Pertambangan Sumber Daya Mineral Dinas Pertam­
bangan
16. Dinas Pendapatan 22. Badan Keuangan
Daerah Daerah
BADAN
1. Bappeda 1. Badan Perencanaan
Pembangunan
Daerah
2. BKD 2. Badan Kepegawaian
Daerah
3. Badan Pendidikan 3. Badan
dan Pelatihan Pengembangan
Daerah Sumber Daya
Manusia
4. Badan Kesatuan - Perubahan dan
bangsa, Politik, penajaman fungsi
dan Perlindungan Diklat
Masyarakat
5. Badan -
Pemberdayaan
Masyarakat dan
Pemerintahan Desa
6. Badan 4. Dinas Pemberdayaan
Pemberdayaan Perempuan dan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Perlindungan Anak
62 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
7. Badan Penelitian 5. Badan Penelitian
dan Pengem­bangan dan Pengembangan
Daerah Daerah
8. Badan Lingkungan 6. Dinas Lingkungan
Hidup Daerah Hidup
9. Badan Koordinasi 7. Dinas Penanaman
Penanaman Modal Modal dan PTSP
Daerah
10. Badan Perpustakaan 8. Dinas Perpustakaan
dan Arsip Daerah dan Kearsipan
- 9. Badan Penang­
gulangan Bencana
Daerah
11. Badan Ketahanan 10. Dinas Ketahanan Perubahan dari
Pangan Pangan Badan Ketahanan
Pangan
11. Badan
Peng­hubung
KOTA BANJARMASIN
DINAS
1. Dinas Pendidikan 1. Dinas Pendidikan
2. Dinas Kesehatan; 2. Dinas Kesehatan
3. Dinas Pertanian dan 3. Dinas Ketahanan
Perikanan; Pangan, Pertanian,
dan Perikanan
4. Dinas Bina Marga; 4. Dinas Perumahan dan
Kawasan Pemukiman
5. Dinas Sumber Daya - Dinas Sumber
Air dan Drainase; Daya Air dan
Drainase, salah
satu tugasnya
adalah mengelola
sungai dan
drainase
-- 5. Satpol PP dan
Damkar
6. Dinas Sosial Dan 6. Dinas Sosial
Tenaga Kerja;
7. Dinas Perindustrian 7. Dinas Perindustrian
dan Perdagangan; dan Perdagangan
Kapasitas Perangkat Daerah 63

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
8. Dinas 8. Dinas Kependudukan Perubahan
Kependudukan dan dan Pencatatan Sipil dari Badan KB,
Pencatatan Sipil; Pemberdayaan
Masyarakat dan
Perempuan
-- 9. Dinas Pengendalian
Penduduk, KB, dan
Pemberdayaan
Masyarakat
9. Dinas Perhubungan, 10. Dinas Komunikasi,
Komunikasi dan Informatika, dan
Informatika; Statistik

10. Dinas Pariwisata, 11. Dinas Kebudayaan


Seni dan dan Pariwisata
Kebudayaan;
11. Dinas Tata Ruang - Perubahan
dan Tata Bangunan; dari Badan KB,
Pemberdayaan
Masyarakat dan
Perempuan
12. Dinas Pendapatan 12. Badan Keuangan Dispenda hapus,
Daerah; Daerah karena dinilai
tidak memenuhi
kriteria PP NO. 18
TAHUN 2016
13. Dinas Kebersihan -
dan Pertamanan;
14. Dinas Pengelolaan 13. Dinas Perdagangan Disperindag,
Pasar; dan Perindustrian salah satu
tugasnya
mengelola pasar.
15. Dinas Koperasi, 14. Dinas Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil Usaha Mikro dan
dan Menengah. Tenaga Kerja
16. Dinas Cipta Karya 15. Dinas Pekerjaan
dan Perumahan; Umum dan Penataan
Ruang
17. Dinas Kepemudaan 16. Dinas Kepemudaan
dan Olahraga; dan Olahraga
64 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
BADAN
1. Badan Pengelola 1. Badan Keuangan
Keuangan dan Aset Daerah
Daerah
2. Badan Perencanaan 2. Badan Perencanaan, Fungsi Litbang
Pembangunan Penelitian dan dituangkan
Daerah Pengembangan dalam
Daerah nomenklatur
Bappeda (eselon
III)
3. Badan Kepegawaian 3. Badan Kepegawaian,
Daerah, Pendidikan Pendidikan dan
dan Pelatihan Pelatihan Daerah
Daerah
4. Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik
5. Badan Keluarga 4. Dinas Pemberdayaan
Berencana, Perempuan dan
Pemberdayaan Perlindungan Anak
Masyarakat, dan
Perempuan
6. Badan Lingkungan 5. Dinas Lingkungan Perubahan
Hidup Hidup dari Badan
Lingkungan
Hidup
7. Badan Pelayanan 6. Dinas Penanaman
Perijinan Terpadu Modal dan PTSP
dan Penanaman
Modal
8. Inspektorat Daerah 7. Inspektorat Daerah
9. Kantor Arsip Daerah 8. Dinas Perpustakaan
dan Arsip
KABUPATEN BANJAR
DINAS
1. Dinas Pendidikan 1. Dinas Pendidikan
2. Dinas Kesehatan 2. Dinas Kesehatan
3. Dinas Pertanian, 3. Dinas Perkebunan
Perkebunan dan dan Peternakan
Peternakan
Kapasitas Perangkat Daerah 65

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
4. Dinas Perikanan dan 4. Dinas Perikanan Terdapat potensi
Kelautan perikanan
5. Dinas Kehutanan -
5. Satpol PP
6. Dinas Perhubungan, 6. Dinas Perhubungan
Komunikasi dan
Informatika
7. Dinas Komunikasi,
Informatika, Statistik,
dan Persandian
7. Dinas Perindustrian 8. Dinas Perdagangan
dan Perdagangan dan Perindustrian
8. Dinas Koperasi dan 9. Dinas Koperasi dan
UMKM Usaha Mikro
9. Dinas Pendapatan 10. Badan Pendapatan
Daerah
10. Dinas Tenaga Kerja 11. Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan Transmigrasi
- 12. Dinas Pertanahan
11. Dinas Sosial 13. Dinas Sosial Perubahan
dari Badan
Lingkungan
Hidup
12. Dinas 14. Dinas Kependudukan
Kependudukan dan dan Pencatatan Sipil
Pencatatan Sipil
13. Dinas -
Pertambangan dan
Energi
14. Dinas Kebudayaan, 15. Dinas Pemuda dan
Pariwisata, Pemuda Olahraga
dan Olahraga
16. Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata
15. Dinas Perumahan 17. Dinas Perumahan
Dan Permukiman dan Permukiman
16. Dinas Bina Marga 18. Dinas Pekerjaan
Dan Sumber Daya Umum dan Penataan
Air Ruang
66 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
19. Dinas Ketahanan
Pangan
20. Dinas Perpustakaan
dan Kearsipan
21. Dinas Tanaman
Pangan dan
Hortikultura
BADAN
1. Badan Kepegawaian 1. Badan Kepegawaian
Daerah Daerah dan
Pengembangan SDM
2. Badan Perencanaan 2. Badan Perencanaan
Pembangunan Pembangunan,
Daerah Penelitian dan
Pengembangan
Daerah
3. Badan Kesatuan -
Bangsa dan Politik
4. Badan Lingkungan 3. Dinas Lingkungan Perubahan dari
Hidup Hidup Badan LH
5. Badan 4. Dinas Pemberdayaan Perubahan
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dari Badan
Masyarakat dan Pemberdayaan
Pemerintahan Desa Masyarakat dan
Pemerintahan
Desa
6. Badan 5. Dinas Pengendalian Perubahan
Pemberdayaan Penduduk, KB, dari Badan
Perempuan, Pemberdayaan Pemberdayaan
Perlindungan Perempuan, dan Perempuan,
Anak dan Keluarga Perlindungan Anak Perlindungan
Berencana Anak, dan KB
7. Badan Koordinasi 6. Dinas Penanaman Perubahan dari
Penanaman Modal Modal dan PTSP Badan Koordinasi
dan Pelayanan Penanaman
Perizinan Terpadu Modal dan
Pelayanan
Perizinan
Terpadu
8. Badan Pengelolaan 7. Badan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Keuangan dan Aset
Daerah Daerah
Kapasitas Perangkat Daerah 67

SKPD Menurut PP SOPD Menurut PP NO.


Keterangan
41/2007 18 TAHUN 2016
9. Badan Pelaksana -
Penyuluhan
10. Badan -
Penanggulangan
Bencana Daerah
Sumber: Olah Data PKDOD, 2017.

Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dinyatakan


bahwa implikasi pelaksanaan penataan perangkat daerah
menurut PP No. 18 Tahun 2016 ternyata tidak sejalan atau tidak
inline dengan kebijakan reformasi birokrasi, khususnya terkait
area perubahan kelembagaan yang mengarah pada terwujudnya
organisasi yang ‘tepat ukuran dan fungsi’ sebagaimana tabel
berikut.

Tabel 10. Arah Perubahan Penataan Kelembagaan dalam RB

No. Area Perubahan Arah Perubahan


1. Cultrure set and mid Birokrasi yang berintegritas dan
set berkinerja tinggi
2. Kelembagaan/ Organisasi yang tepat ukuran dan
Organisasi fungsi
3. Proses kerja Proses kerja yang jelas, efektif,
efiien, terukur yang menunjang
prinsip good governance
4. SDM Aparatur yang memiliki integritas,
netral, kompeten, capable,
professional, kinerja tinggi, dan
sejahtera
5. Regulasi Regulasi yang kondusif, tepat dan
tidak tumpang tindih
6. Pengawasan Meningkatkan pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN
7. Akuntabilitas Meningkatkan akuntabilitas kinerja
birokrasi
68 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

No. Area Perubahan Arah Perubahan


8. Pelayanan publik Memenuhi pelayanan yang excellent
Sumber: diolah dari Perpres 81 Tahun 2010.

Kebijakan Reformasi Birokrasi berdasarkan Perpres No. 81


Tahun 2010 tersebut tidak menyebutkan ‘miskin struktur kaya
fungsi’, namun disebutkan istilah ‘tepat ukuran dan fungsi’.
Ini menunjukkan bahwa kaidah penataan organisasi bukan
semata-mata mengarahkan pada struktur yang ramping –
walaupun struktur ramping/flat efisien – akan tetapi yang lebih
diprioritaskan adalah struktur yang tepat ukuran dan fungsinya.
Tugas dan fungsi organisasi merupakan unsur penting dalam
penataan organisasi. Tugas dan fungsi dapat dikatakan sebagai
relnya organisasi untuk menjalankan amanah yang dilekatkan
padanya. Tugas dan fungsi ini juga merupakan sandaran penting
bagi organisasi yang mencerminkan otoritas atau kewenangan
yang dilembagakan secara formal pada setiap organisasi sehingga
menjadi ciri yang membedakan dengan organisasi lainnya.
Tugas dan fungsi ini pulalah yang pada akhirnya akan menjadi
landasan untuk menentukan visi dan misi organisasi agar dapat
menjalankan amanahnya sesuai dengan koridor yang diberikan
kepadanya. Oleh karena itu, yang menjadi dasar penyusunan
tugas dan fungsi dalam organisasi perangkat daerah adalah
kewenangan yang dimiliki daerah yang tercermin dalam urusan
pemerintahan yang diberikan. Sehingga dengan demikian,
ketepatan substansi tugas dan fungsi yang menjadi landasan
operasional organisasi menjadi parameter penting untuk
melihat kapasitas organisasi yang dalam hal ini adalah kapasitas
kelembagaan dari perangkat daerah.
Ketika struktur organisasi dibentuk tentunya memper­
timbangkan tugas dan fungsi yang akan dilakukannya sesuai
dengan kewenangan dalam urusan pemerintahan. Dalam pro­
ses inilah diperlukan suatu kecermatan agar tugas dan fungsi
ini benar-benar akan menjadi daya dorong bagi terciptanya
organisasi yang efektif, efisien, kaya fungsi dan proporsional
Kapasitas Perangkat Daerah 69

sebagaimana diharapkan dalam PP No. 18 Tahun 2016 sebagai


dasar hukum pembentukan organisasi perangkat daerah.
Dalam praktiknya, pengejawantahan tugas dan fungsi
dalam suatu organisasi perangkat daerah bisa secara langsung
menetapkan OPD dengan satu urusan pemerintahan atau dengan
cara penggabungan dari beberapa urusan dalam satu OPD. Dalam
proses penggabungan inilah diperlukan kecermatan dan kehati-
hatian agar tugas dan fungsi yang ditetapkan sesuai dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat daerah. Dalam hubungan ini,
pemerintah telah menetapkan kriteria penggabungan urusan
dalam penataan OPD didasarkan pada perumpunan yang
mencakup dua kriteria (Pasal 18, 27, dan 40), yaitu:
1) Kedekatan Karakteristik Urusan Pemerintahan; dan/atau
2) Keterkaitan antar Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.
Implikasi penataan perangkat daerah terkait dengan ke­
bijakan PP No. 18 Tahun 2016 yang mendasarkan penyusunan
OPD kepada urusan pemerintahan semata, ternyata belum
mampu menyentuh kebutuhan masyarakat secara faktual di
daerah. Di sisi lain, urusan pemerintahan yang ada ternyata juga
belum mampu mengakomodir kebutuhan daerah di Indonesia
yang mana potensi, geografis, kultur dan demografisnya yang
beragam.
Contoh kasus yang ditemukan dalam penelitian antara lain
misalnya ketika terjadi pengalihan/perubahan dalam organisasi
pengelola sungai di Kota Banjarmasin. Ketika Sungai di wilayah
tersebut menjadi prasarana utama untuk mobilitas penduduk,
baik untuk keperluan perdagangan, moda transportasi, maupun
aktivitas lainnya dikelola oleh suatu Dinas, yakni Dinas yang
menangani sungai (Dinas Sumber Daya Air dan Drainase),
masyarakat dan pemerintah daerah sama-sama merasakan
adanya keefektifan. Lingkungan sungai cukup terpelihara, moda
transportasi berjalan dengan baik, dan aktivitas pun berjalan
dengan lancar. Hal ini antara lain disebabkan karena pemerintah
daerah melalui perangkat yang dibentuknya mampu mengelola
area sungai secara fokus, mengingat sungat di wilayahnya sangat
luas, besar dan strategis. Namun ketika pengelolaan sungai
70 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

dialihkan kepada dinas lingkungan hidup, situasi yang terjadi


menjadi berubah. Lingkungan sungai kurang terpelihara dengan
baik sehingga dampaknya memengaruhi aktivitas lainnya yang
terhambat dan tidak berjalan dengan lancar, sebagaimana
dikemukakan oleh responden penelitian yang menyatakan
bahwa“pasca penataan perangkat daerah dan pelaksanaannya,
sungai-sungai di Kota Banjarmasin justru menjadi kurang terurus
dibandingkan sebelumnya”.
Dalam kasus lainnya, ketika sub urusan pasar dari kantor
pasar yang dialihkan kepada Dinas Perindag, juga menjadi
kurang efektif. Justru muncul pertanyaan dari responden yang
cukup mengusik adalah apakah memang penggabungan urusan
pasar ke Dinas Perindag tersebut sudah mempertimbangkan sifat
dan karakteristik pekerjaan yang akan ditangani? Sebagaimana
diketahui, urusan pasar lebih berkaitan dengan pekerjaan semi
privat dan termasuk dalam entitas ekonomi, bukan entitas
administrative sehingga akan lebih tepat jika diawadahi dalam
institusi yang bersifat semi privat seperti perusahaan daerah di
Provinsi DKI Jakarta (PD Pasar Jaya).
Persoalan ini mengindikasikan bahwa penataan perangkat
daerah tidak memperhatikan hakikat tujuan pemberian otonomi
daerah yakni untuk lebih melayani dan menyejahterakan
masyarakat daerah. Masuknya urusan pasar ke dalam Dinas
Perindag menyebabkan urusan ini kurang terlaksana dengan baik.
Keberadaan pasar tradisional sebagai penggerak perekonomian
masyarakat daerah menjadi kurang memberikan ‘greget’ yang
signifikan dibandingkan saat sub urusan ini ditangani oleh
Kantor Pasar pada saat PP No. 41 Tahun 2017.
Apabila mencermati kasus-kasus yang terjadi di lapangan
sebagaimana di atas, kita dapat menemukan adanya
kekurangcermatan dalam mensikapi urusan yang ditindaklanjuti
dalam tugas dan fungsi organisasi, dimana hal itu kurang
memperhatikan kebutuhan dan kondisi lapangan secara faktual.
Secara legal formal, memang OPD tersebut tidak menyalahi, akan
tetapi secara faktual kebutuhan lapangan tidak terakomodasikan.
Meskipun kerangka dan kriteria penggabungan sudah diatur
Kapasitas Perangkat Daerah 71

dalam kebijakan yang ada, namun dalam proses pengelompokkan


perangkat daerah juga perlu memperhatikan kondisi atau faktor-
faktor lain yang relevan. Misalnya, kita dapat mengelompokkan
OPD dengan melihat output dan proses yang dilakukannya.
Dengan memperhatikan hal ini, maka akan tampak OPD
yang bercirikan entitas ekonomi, teknis-operasional, dan/atau
administratif.
OPD yang bercirikan entitas ekonomi maksudnya adalah
bahwa OPD tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya
akan berkaitan erat dengan perekonomian, baik masyarakat
maupun pemerintah daerah. Operasionalisasinya akan sangat
memengaruhi terhadap aktivitas ekonomi di wilayahnya.
Misalnya tentang sub urusan pasar. Meskipun urusan pasar
adalah urusan yang terkait dengan perdagangan, namun
karakter urusannya berbeda ketika hal ini dimasukkan ke dalam
fungsi Dinas Perindag. Urusan pengelolaan pasar merupakan
urusan yang spesifik namun kompleks dan teknis sehingga
dalam pengelolaannya semestinya dikelola oleh unit organisasi
yang bersifat teknis dan mandiri. Ketika wadah kantor tidak
diakomodir lagi dalam kebijakan yang baru, maka urusan pasar
ini sebenarnya lebih tepat dikelola oleh perusahaan daerah (PD)
atau unit pelaksana teknis daerah (UPTD). Sedangkan, ketika
digabungkan dengan dinas, dikhawatirkan akan terjebak kepada
urusan-urusan teknis administratif dan koordinatif saja. Namun
demikian, hal ini juga bukan berarti tidak tepat sama sekali.
Hal lain yang dapat dilakukan apabila Dinas Perindag tetap
menangani dan mengelola pasar, maka harus mempersiapkan
perangkatnya yang secara khusus menanganinya sampai pada
tingkatan operasionalnya, bukan hanya sekedar koordinatif dan
kebijakannya saja. Perluasan fungsi ini harus diikuti dengan
pemenuhan perangkatnya, baik yang bersifat hardware maupun
software, misalnya dengan menyediakan SDM yang secara khusus
melakukan pengendalian, pengawasan, dan operasionalisasi
manajamen pasar, menyediakan sarana dan prasaran yang
dibutuhkan, dan seterusnya.
Kemudian OPD yang bercirikan teknis-operasional adalah
72 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

merupakan OPD yang secara tugas dan fungsinya bersifat


substantif. Subsantif dalam arti bahwa OPD tersebut mengelola
urusan-urusan yang secara teknis terkait dengan operasionalisasi
pelayanan publik. Dalam konteks ini, misalnya seperti sub urusan
kebersihan, sub urusan kebakaran, dan sub urusan pelelangan.
Sedangkan OPD yang bercirikan teknis adminsitratif, dimak­
sudkan dengan OPD yang mana tugas dan fungsinya lebih
bersifat kepada pelayanan-pelayanan administratif, koordinatif,
dan kebijakan.
Secara umum setiap OPD tentu memiliki potensi bercirikan
sebagaimana di atas, namun tentunya bobot kewenangan
dan teknis operasionalisasi yang berbeda. Oleh karena itu,
dengan memperhatikan ciri-ciri sebagaimana di atas, pada
saat akan menyusun OPD, apakah akan bersifat mandiri atau
penggabungan, konsekuensi dan implikasinya pun harus
dipenuhi agar efektivitas dan efisiensi OPD dapat terwujud.
Selanjutnya, implikasi dari adanya penataan kelembagaan
daerah adalah terhadap beban kerja (workload) setiap SOPD yang
dibentuk. Implikasi ini timbul sebagai akibat dari pengalihan
urusan dan/atau penggabungan urusan pemerntahan, sehingga
dampaknya bisa bertambah beban kerja atau berkurang.
Selain masalah overlapping tugas dan fungsi, terjadi pula
masalah ketidakmerataan beban kerja. Hal ini terjadi di Badan
Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten
Bintan, dimana antara Bidang Pemerintahan dan Sosial Budaya
dengan Bidang Daya Saing dan Ekonomi Kerakyatan. Jika
pada peraturan yang lama, bidang sosial budaya tergabung
dengan bidang ekonomi, pada peraturan yang baru ini terdapat
penambahan fungsi bidang sosial budaya menjadi satu dengan
bidang pemerintahan. Penambahan fungsi ini dirasa berat
sebelah, sebagaimana dinyatakan oleh narasumber di Bintan
bahwa penggelembungan tusi di Bagian Pemerintahan dan
Sosbud karena adanya perubahan fungsi yang bertambah.
Sebelumnya sub urusan ekonomi dan sosbud, sekarang
bertambah ke pemerintahan.
Selanjutnya, responden yang ditemui di Kota Tanjungpinang
Kapasitas Perangkat Daerah 73

menambahkan pendapatnya terkait penataan beban kerja


pegawai bahwa fungsi pasar yang sebelumnya berdiri sendiri
sekarang gabung ke Disperindag sehingga dirasa cukup berat
meskipun optimis. Beban kerja Disperindag ini menjadi makin
berat dengan tipe B, karena beban kerja ditambah dengan sub
urusan metrologi dan pasar.
Besar kecilnya beban kerja sebagaimana ditemukan ber­
dasarkan pendapat responden di lapangan, secara formal masih
belum dapat dipastikan secara faktual. Hal ini disebabkan karena
memang secara formal, sebagai dampak dari proses perubahan
organisasi ini masih belum dilakukan berdasarkan analisis beban
kerja (ABK) yang secara spesifik di unit-unit kerja yang ada.
Meskipun dalam penentuan tipologi OPD ketika penyusunannya,
pada kenyataannya beban kerja belum didasarkan pada
satu dokumen yang jelas, melainkan hanya didasarkan pada
penelaahan terhadap beban kerja yang ada sebelumnya ketika
OPD masih mengacu pada kebijakan yang lama atau berdasarkan
perkiraan terhadap beban kerja yang akan ditumbulkan oleh
urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Namun meskipun demikian, secara empirik tetap sudah dapat
diperkirakan berat ringannya beban kerja yang akan dipikul
oleh suatu OPD terkait dengan urusan pemerintahan yang
diamanatkan kepadanya. Dengan kata lain, secara kualitatif hal
itu sudah dapat diperkirakan, namun secara kuantitatif tingkat
validasi dan keakuratannya belum bisa ditetapkan.
Pengalihan kewenangan dan penataan perangkat daerah
berimplikasi terhadap tata hubungan kerja. Tata hubungan
kerja perlu dibuat untuk unit-unit kerja (yang memiliki tugas-
tugas yang cenderung tumpang tindih dengan tugas-tugas unit
lain atau sungguh-sungguh memerlukan kerjasama yang perlu
diatur). Tata kerja diharapkan akan lebih memperjelas batas
tugas pekerjaan dan batas wewenang atas unit kerja.
Tata hubungan kerja mencakup tata hubungan kerja intern
dan tata hubungan kerja ekstern. Tata hubungan kerja intern
adalah pengaturan hubungan kerja yang menyangkut hanya unit-
unit kerja di dalam suatu organisasi. Tata hubungan kerja ekstern
74 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

adalah pengaturan hubungan kerja antara unit-unit kerja dalam


suatu organisasi dengan unit kerja di luar organisasi tersebut.
Penataan kelembagaan daerah berimplikasi pada tata
hubungan/koordinasi antar SOPD di daerah yang sama
(horizontal) maupun tata hubungan dengan pemerintah di
atasnya (vertical). Tata laksana adalah pengaturan hubungan
kerja antara satu unit dengan unit lainnya dalam bentuk
koordinasi fungsional, administrative operasional, dan atau
teknis operasional (Kemenpan No. 25 Tahun 1990 tentang
Pedoman Organisasi dan Tatalaksana). Koordinasi fungsional
adalah koordinasi yang dilakukan oleh seorang pejabat atau
sesuai instansi terhadap pejabat atau instansi lainnya yang
tugasnya berkaitan azas fungsionalisasi.
Dalam hal tata hubungan berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 2016 ini menimbulkan potensi permasalahan dalam
hal penggabungan beberapa urusan. Beberapa kasus yang terjadi
di Kota Banjarmasin misalnya, surat undangan dari Dinas atau
Badan di Provinsi atau Kabupaten/Kota lainnya mengenai rapat
koordinasi, dikirimkan kepada pejabat yang tidak tepat karena
adanya perbedaan nomenklatur di Pemda Lain.

Grafik 1. Tata Hubungan Koordinasi antar Perangkat Daerah


Provinsi dengan Perangkat Daerah Kab/Kota

Sebagai ilustrasi, Dinas A di Pemda A adalah penggabungan


dari Dinas C dan D sedangkan di Pemda B merupakan
Kapasitas Perangkat Daerah 75

penggabungan Dinas D dan E, hal ini dimungkinkan dalam


satu rumpun tapi sulit dalam implementasi koordinasinya jika
nomenklaturnya tidak sama dan hanya ada satu saja yang sama.
Pada umumnya tidak terdapat tata hubungan koordinasi
antara perangkat daerah provinsi dengan perangkat daerah
kabupaten/kota, meskipun untuk beberapa pemda tidak
ada permasalahan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bintan.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah banyak melakukan
fasilitasi terhadap kabupaten/kota, termasuk Kabupaten Bintan
tentang pelimpahan kewenangan pemerintahan.
Salah satu kasus yang terjadi adalah pada pengelolaan
tambang batu bara. Pengusaha tambang masih memegang izin
usaha resmi dari pemerintah kabupaten. Namun, di tengah
jalan ternyata terjadi konflik dengan masyarakat sehingga
usahanya terganggu dan berhenti sementara. Pemerintah
kabupaten sebagai pemberi izin tidak dapat mengambil upaya
penyelesaian karena tidak lagi memiliki kewenangan, sedangkan
ketika kasusnya dialihkan ke provinsi, provinsi sendiri tidak
segera memberikan respons untuk mengambil alih masalah
tersebut. Kasus tersebut memperlihatkan bagaimana pelayanan
masyarakat terganggu karena tidak adanya aturan sementara
untuk operasionalisasi kewenangan tersebut.

Box 1. Kasus Kewenangan Pertambangan

Terungkap: Pertambangan Batubara


Meracuni Air di Kalimantan Selatan dan
Melecehkan Hukum Indonesia
Siaran Pers - 3 Desember, 2014

Jakarta, 3 Desember 2014: Greenpeace hari ini meluncurkan


laporan berjudul “Terungkap: Tambang Batubara Meracuni
Air di Kalimantan Selatan”, yang menjelaskan betapa
aktivitas pertambangan batubara yang luas di Provinsi
76 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Kalimantan Selatan, Indonesia, telah merusak sumber air,


membahayakan kesehatan dan masa depan masyarakat
setempat.
Laporan yang merupakan hasil investigasi lapangan
Greenpeace selama kurang lebih enam bulan ini juga
menyajikan bukti kuat betapa perusahaan-perusahaan
tambang batubara itu telah menggelontorkan limbah
berbahaya ke dalam sungai dan sumber-sumber air
masyarakat, melanggar standar nasional untuk pembuangan
limbah di pertambangan.
“Ini masalah serius yang harus segera diatasi. Sepertiga
wilayah Kalimantan Selatan telah menjadi wilayah tambang
batubara. Badan Lingkungan Hidup setempat telah gagal
menghentikan atau mencegah pelanggaran. Karena jumlah
pertambangan batubara sangat banyak, hampir setengah
dari jumlah sungai di Kalimantan Selatan berisiko terpapar
dampak pencemaran air dari pertambangan,” tegas Arif
Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia
Tenggara.
Dalam laporan ini tercatat, duapuluh dua dari duapuluh
sembilan sample yang diambil oleh Greenpeace dari kolam
penampungan limbah dan lubang-lubang bekas tambang dari
lima konsesi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan
ditemukan memiliki derajat keasaman (pH) yang sangat
rendah, jauh di bawah standar yang ditetapkan pemerintah.
Dari seluruh sampel, 18 diantaranya memiliki derajat
keasaman (pH) di bawah 4. Seluruh sampel yang diambil juga
terdeteksi mengandung konsentrasi logam berat.

Sumber: greenpeace.or.id, diunduh pada 27/9/2017.

Senada dengan hal tersebut, kewenangan di Kabupaten Bintan


Provinsi Kepulauan Riau juga menunjukkan permasalahan, salah
satunya menyangkut energy dimana tidak ada lagi kelembagaan
daerah yang menangani bidang energi dan sumber daya mineral.
Masalah yang muncul tidak ada lagi perangkat daerah yang dapat
menjalankan program pemerintah di bidang energi, seperti
Kapasitas Perangkat Daerah 77

Program Pemerintahan Jokowi, yaitu Indonesia Terang yang di


Bintan terwujud dalam program listrik desa. Program ini menjadi
program unggulan kepala daerah dan prosesnya sudah berjalan
dengan melibatkan pemerintah daerah lain. Pemerintah kabupaten
mendapat keluhan dari warga karena program ini terhenti, tetapi
pemerintah kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan.
Menurut pengakuan narasumber di Kabupaten Bintan bahwa
ketiadaan Dinas Pertambangan dan Energi semakin menjauhkan
pelayanan kepada masyarakat Bintan. Pernyataan narasumber
tersebut di atas sekaligus menjawab persoalan sub aspek rentang
kendali (span of control) sebagai akibat penerapan PP No 18
Tahun 2016. Keberadaan lembaga yang melakukan pengawasan
dan pengendalian kegiatan pertambangan di tingkat kabupaten
dinilai perlu oleh kabupaten, dengan asumsi bahwa lokus
pertambangan berada di wilayah kabupaten.
Jika berdasarkan pada aturan lama, masih ada peran Bappeda
untuk melakukan koordinasi dan pengawasan. Namun sekarang
dengan tidak adanya kewenangan apa pun, kabupaten merasa
kurang berdaya jika menghadapi masalah atau keluhan masyarakat.
Selain itu, pencapaian target RPJM Daerah juga menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi Bappeda, bahwa Bappeda masih
membawahi pertambangan, sekarang tidak ada. Kalau ada masalah,
nyantol ke mana. Ini ada kaitan dengan capaian RPJMD juga capaian
visi-misi Bupati, jangan sampai tidak tercapai (wawancara dengan
narasumber Bappeda Kabupaten Bintan, 4 Mei 2017).
Sementara itu, terkait dengan kelembagaan Pemerintah
Kabupaten Pandeglang, secara keseluruhan mengacu kepada
kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014
beserta PP No. 18/2016. Disitu sudah disebutkan sejumlah
kewenangan yang menjadi kewenangan daerah. Berdasarkan
kewenangan tersebut, hampir semua kewenangan atau urusan
daerah di Pemda Kabupaten Pandeglang diakomodir berdasarkan
variabel dan tipologi yang sudah ditetapkan.
Sementara itu, untuk beberapa hal yang masih belum
ada di PP No. 18/2016, Pemda Kabupatem Pandeglang masih
78 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

menunggu kewenangan dari pusat terkait penyelenggaraan


pemerintahan umum dan penanggulangan bencana. Hal ini
meliputi kelembagaan rumah sakit, karena di PP No. 18/2016
sendiri dinyatakan sebagai UPT, tapi kewenangan dan urusan
ditentukan oleh peraturan lebih lanjut.
Selanjutnya, untuk tata hubungan secara horizontal pada
umumnya mendapati sejumlah kendala. Hal ini dinyatakan oleh
sebagian besar narasumber ketika ditanyakan perihal hubungan
horizontal (sesama SOPD dalam pemerintah daerah).

Grafik 2. Tata Hubungan Koordinasi Horizontal Perangkat Daerah


Provinsi/Kabupaten/Kota

Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa tata hubungan


koordinasi – khususnya koordinasi secara horizontal – tidak
sepenuhnya berlangsung secara lancar. Sebagai contoh hubungan
horizontal di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau terkendala
dengan wilayah geografis Kabupaten Bintan yang dihubungkan
dengan lautan.
Terkait rentang kendali (span of control) penataan perangkat
daerah, terlihat dari rencana pembentukan cabang dinas, unit
pelaksana teknis di semua sektor yang urusannya dilimpahkan
ke pemprov, meliputi sector kehutanan, ESDM, kelautan,
dan pendidikan menengah. Di sektor kehutanan misalnya,
pembentukan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang berada
di Kabupaten menyebabkan rentang kendali yang makin jauh
Kapasitas Perangkat Daerah 79

ke provinsi. Sebagai akibatnya, rentang kendali terkait urusan-


urusan pemerintahan yang ditarik ke pusat pun mengalami
rentang kendali yang panjang.
Terakhir, pembentukan kelembagaan daerah berdasarkan
nilai strategis daerah, berbasis visi dan misi pemerintah daerah.
Hal ini dijumpai di Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten
Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Di Provinsi Kepulauan Riau
terdapat Dinas Kebudayaan (berdiri sendiri) dan di Kabupaten
Banjar terdapat Dinas Perikanan (berdiri sendiri).
Di dalam RPJMD Provinsi Kepulauan Riau tertuang Visi
Provinsi Kepulauan Riau yaitu “Terwujudnya Kepulauan Riau
sebagai Bunda Tanah Melayu yang Sejahtera, Berakhlak Mulia,
Ramah Lingkungan dan Unggul di Bidang Maritim”. Adapun
Misinya meliputi: 1) Mengembangkan Perikehidupan Masyarakat
yang Agamis, Demokratis, Berkeadilan, Tertib, Rukun dan Aman
di Bawah Payung Budaya Melayu, 2) Meningkatkan Daya Saing
Ekonomi Melalui Pengembangan Infrastruktur Berkualitas dan
Merata Serta Meningkatkan Keterhubungan Antar Kabupaten/
Kota, 3) Meningkatkan Kualitas Pendidikan, Ketrampilan dan
Profesionalisme Sumber Daya Manusia Sehingga Memiliki Daya
Saing Tinggi, 4) Meningkatkan Derajat Kesehatan, Kesetaraan
Gender, Penanganan Kemiskinan dan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS), 5) Meneruskan Pengembangan
Ekonomi Berbasis Maritim, Pariwisata,   Pertanian Untuk
Mendukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi
Kesenjangan Antar Wilayah Serta Meningkatkan Ketahanan
Pangan, 6) Meningkatkan Iklim Ekonomi Kondusif Bagi Kegiatan
Penanaman Modal (investasi) dan Pengembangan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah, 7) Meneruskan Pengembangan Ekonomi
Berbasis Industri dan Perdagangan Dengan Memanfaatkan
Bahan Baku Lokal, 8) Meningkatkan Daya Dukung, Kualitas dan
Kelestarian Lingkungan Hidup, dan 9) Mengembangkan Tata
Kelola Pemerintahan yang Bersih, Akuntabel, Aparatur Birokrasi
yang Profesional, Disiplin Dengan Etos Kerja Tinggi Serta
Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang  Berkualitas. 
Pembentukan Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau yang
80 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

memisahkan diri dengan urusan pendidikan merupakan fenomena


yang menarik untuk dicermati. Berdasarkan wawancara dengan
nara­sumber di Dinas Kebudayaan Provinsi Kepri, pengkhususan
pembentukan Dinas Kebudayaan tidak lain adalah untuk mendukung
visi dan misi Provinsi Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu
dimaksud.

Box 2. Budayawan Dukung Kepri Sebagai Bunda


Tanah Melayu

Budayawan Serumpun Deklarasikan Lingga


Bunda Tanah Melayu
Minggu, 11 Desember 2011 20:07 WIB

Daik (ANTARA Kepri) - Budayawan dan sastrawan negara


serumpun Melayu peserta Lawatan Sejarah dan Gelar
Budaya Melayu, di Daik, mendeklarasikan Kabupaten Lingga
di Provinsi Kepulauan Riau, sebagai Bunda Tanah Melayu.
Pendeklarasian pada Sabtu malam diawali kesepakatan
untuk mendeklarasikan status Kabupaten Lingga sebagai
rujukan budaya Melayu itu disampaikan sekitar 150
budayawan, sastrawan, sejarawan dan pemerintah daerah
setempat setelah seminar tentang Lingga sebagai Bunda
Tanah Melayu.
Budayawan, sejarawan dan sastrawan yang hadir dalam
Lawatan Sejarah dan Gelar Budaya Melayu 5-11 Desember
2011 berasal dari Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau,
Kalimantan Barat, Jakarta juga perwakilan dari negara
serumpun Melayu yakni dari Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam dan Thailand.
“Pendeklarasian Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu
merupakan pengakuan yang lebih luas dan formal terhadap
kebesaran Lingga sebagai tempat rujukan budaya Melayu,”
ujar Bupati Lingga H Daria.
Ia mengharapkan daerah yang dipimpinnya dapat maju
Kapasitas Perangkat Daerah 81

seperti negeri-negeri rumpun Melayu yang telah lebih dahulu


maju dan berkembang dengan tetap berpayungkan pada
budaya Melayu.
“Sangatlah diyakini apabila daerah ini diakui lebih luas
sebagai Bunda Tanah Melayu maka gerak roda pembangunan
semakin cepat yang pada akhirnya akan mempercepat pula
meningkatnya kesejahteraan masyarakat,” ujar Daria.
Ia mengatakan, mengukuhkan Daik Lingga sebagai Bunda
Tanah Melayu sangat beralasan karena kawasan tersebut
dahulunya merupakan pusat kerajaan Melayu yang
mempunyai peranan penting dalam perjalanan sejarah,
pentadbiran dan peradaban dunia Melayu.
Dijelaskannya, Kerajaan Melayu Riau Lingga di Daik (kini
ibu kota Kabupaten Lingga) berlangsung selama 120 tahun
dengan wilayah kekuasaannya mencakup Singapura, Johor
dan Pahang. Sebagai bandar diraja kota ini dulunya sangat
terkenal dan diagungkan terutama pada abad XVIII.
“Pada masa itu Daik Lingga tidak hanya dikenal sebagai
pusat pemerintahan kerajaan Melayu tetapi juga merupakan
kerajaan Melayu yang menjadi pengembang budaya, adat
istiadat dan agama Islam,” ujar Daria.
Menurut dia, peranan Lingga di masa lalu itu mewariskan
bukti peradaban yang adiluhung seperti karya seni budaya,
situs bersejarah, bahasa dan pola hidup serba Melayu yang
terpelihara sampai kini.

Sumber: antarakepri.com, diunduh pada 27/9/2017.

Visi Provinsi Kepri sebagai Bunda Tanah Melayu bukanlah


tanpa makna. Karena sejak abad ke-17, adat dan budaya Melayu
telah berkembang dengan pesat pada masa Kerajaan Riau Lingga
(saat ini menjadi Kabupaten Lingga). Selama kurang lebih 100
tahun kerajaan ini berdiri, artinya kebudayaan Melayu berkembang
selama satu abad dan hal itu bukan merupakan sebuah kebetulan.
Untuk mengenang hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menetapkan Lingga sebagai Bunda Tanah
82 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Melayu. Selanjutnya, pembentukan Dinas Perikanan (tersendiri)


di Kabupaten Banjar didasarkan pada potensi dan karakteristik
daerah yang cukup besar di sektor perikanan (lihat Tabel 11).
Dari Ttabel 11 dapat diketahui bahwa kontribusi sektor
perikanan (bersama-sama sektor pertanian dan kehutanan)
cukup besar. Hal ini diperkuat hasil wawancara dengan
narasumber di Kabupaten Banjar yang menyatakan bahwa Banjar
memiliki potensi sumber daya alam perikanan, sehingga sektor
ini dianggap layak menjadi unggulan daerah dan karenanya
dibentuk SOPD tersendiri.

2. Aspek SDM Daerah


Dalam aspek sumber daya manusia (SDM), penerapan PP
No. 18 Tahun 2016 telah berdampak luas, antara lain terhadap
kuantitas SDM, kualitas SDM, penempatan SDM, distribusi
SDM, dan beban kerja SDM di provinsi dan kabupaten/kota
terkait pengalihan urusan pemerintahan. Yang paling menarik
dalam kaitan SDM adalah bahwa aspek ini tidak dijadikan
pertimbangan dalam penyusunan perangkat daerah. Hal
ini dapat ditelusuri pada kenyataan bahwa sebelum penataan
perangkat daerah berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016, pemerintah
daerah telah dihadapkan pada persoalan kekurangan pegawai
baik secara kuantitas maupun kualitas SDM-nya.
Terlebih setelah berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 dan PP
No. 18 Tahun 2016, persoalan jumlah dan kualitas SDM semakin
mengemuka terutama jika dikaitkan dengan pengalihan urusan
pemerintahan dari pemkab/pemko ke pemprov. Jumlah pegawai
kabupaten/kota mengalami penurunan, sebaliknya jumlah
pegawai provinsi mengalami peningkatan atau penambahan.
Bagi pemerintah kabupaten/kota, fakta pengalihan sejumlah
pegawai/SDM ke pemerintah provinsi semakin menambah rumit
manajemen kepegawaian karena pemda semakin kekurangan
pegawai. Tabel 12 menggambarkan secara lebih rinci perubahan
jumlah pegawai baik di Kabupaten/Kota maupun di Provinsi
tersebut pada masing-masing lokus.
Tabel 11. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Banjar Tahun 2014-2015

Pertumbuhan
PDRB ADB (juta rupiah) Kontribusi
No Lapangan Usaha Ekonomi (%)
2014 2015 2014 2015 2014 2015
1 Pertanian, Kehutanan, dan 2.079.886,3 2.312.822,1 18,15 18,55 2,30 2,22
Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 2.431.492,2 2.277.824,1 21,22 18,27 2,83 -0.08
3 Industri Pengolahan 773.567,9 855.532,0 6,75 6,86 4,62 3,46
4 Pengadaan Listrik dan Gas 7.789,4 11.906,5 0,07 0,10 13,33 27,12
5 Pengadaan Air, Pengelolaan 23.853,7 26.482,4 0,21 0,21 6,73 5,40
Sampah, Limbah, dan Daur
Ulang
6 Konstruksi 1.064.872,3 1.211.487,1 9,29 9,72 6,08 5,97
7 Perdagangan Besar dan 1.456.737,7 1.650.599,8 12,71 13,24 8,75 7,66
Eceran;Reparasi Mobil dan
Sepeda Motor
8 Transportasi dan Pergudangan 493.387,1 545.563,1 4,31 4,38 6,70 6,41
Kapasitas Perangkat Daerah
83
84

Pertumbuhan
PDRB ADB (juta rupiah) Kontribusi
No Lapangan Usaha Ekonomi (%)
2014 2015 2014 2015 2014 2015
9 Penyedia Akomodasi dan Makan 338.856,2 378.334,9 2,96 3,03 7,15 6,72
Minum
10 Informasi dan Komunikasi 379.920,3 424.413,4 3,32 3,40 9,41 8,49
11 Jasa Keuangan dan Asuransi 243.367,9 269.807,9 2,12 2,16 5,03 4,84
12 Real Estate 391.437,2 429.128,2 3,42 3,44 5,48 5,38
13 Jasa Perusahaan 35.902,9 40.519,6 0,31 0,32 6,89 7,22
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

14 Administrasi Pemerintahan, 782.996,7 929.611,3 6,83 7,46 5,48 8,74


Pertanahan, dan Jaminan Wajib
Sosial
15 Jasa Pendidikan 562.815,9 644.164,0 4,91 5,17 8,24 8,37
16 Jasa Kesehatan 229.842,3 272.539,8 2,01 2,19 6,77 7,33
17 Jasa Lainnya 163.667,9 188.216,4 1,43 1,51 8,20 5,84
Jumlah 11.460.393,7 12.468.952,7 100 100 5.08 4,39
Sumber: BPS Kabupaten Banjar, 2016
Kapasitas Perangkat Daerah 85

Tabel 12. Jumlah SDM Aparatur Sebelum dan Sesudah


Implementasi PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah

Jumlah
Jumlah SDM
SDM Persentase
Periode
No. Lokus Penelitian Periode Penambahan/
PP NO. 18 Pengurangan
PP 41/ TAHUN
2007 2016
1 Kalimantan
Selatan
Provinsi 6.465 12.429 +92,25
Kota Banjarmasin 1.133 1.040 -8,94
Kabupaten 7.779 6.988 -11,32
Banjar
2 Banten
Provinsi 4.015 10.375 +158,41
Kota Serang 5.206 4.600 -13,17
Kabupaten 12.333 11.318 -8,97
Pandeglang
3 Kepulauan Riau
Provinsi 2.714 7.975 +93,85
Kota Tanjung 2.426 2.020 -20,10
Pinang
Kabupaten 3.587 3.287 -9,13
Bintan
Sumber: Data Diolah PKDOD LAN, 2017.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa jumlah pegawai Pemerintah


Provinsi Kalimantan Selatan mengalami penambahan, dari 6.465
pegawai pada masa periode PP No. 41/2007 tentang Perangkat
Daerah menjadi 12.429 pegawai setelah implementasi PP No.
18/2016 tentang Perangkat Daerah atau bertambah sebesar
92,25%. Begitu pula dengan jumlah pegawai pemerintah Provinsi
Banten yang meningkat dari 4.015 pegawai menjadi 10.375 pegawai
atau bertambah sebesar 158,41%. Untuk Provinsi Kepulauan Riau
bertambah dari 2.714 menjadi 7.975 pegawai atau sebesar 93,85%.
Sebaliknya, jumlah pegawai pemerintah kabupaten/kota
86 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

masih di lokus penelitian yang sama, yaitu Kota Banjar masin


dari 1.133 pegawai menjadi 1.040 atau sebesar 8,94%, Kabupaten
Banjar dari 7.779 pegawai menjadi 6.988 pegawai atau sebesar
11,32%, Kota Serang dari 5.206 pegawai menjadi 4.600 pegawai
atau sebesar 13,17%, Kabupaten Pandeglang (Provinsi Banten)
dari 12.333 pegawai menjadi 11.318 pegawai atau berkurang
sebesar 8,97%, Kota Tanjungpinang dari 2.426 pegawai menjadi
2.020 pegawai atau berkurang sebesar 20,10%, dan Kabupaten
Bintan dari 3.587 pegawai menjadi 3.287 pegawai atau berkurang
sebesar 9,13%.
Namun demikian, jumlah SDM PNS masih belum memadai
sebagaimana pernyataan responden yang dinyatakan dalam
grafik berikut.

Grafik 3. Ketersediaan SDM PNS

Berdasarkan grafik di atas nampak jelas bahwa jumlah SDM


PNS masih jauh dari memadai. Sejumlah narasumber di BKD
pun mengakui kesulitan dalam menempatkan SDM dalam
jabatan-jabatan fungsional, baik fungsional umum maupun
tertentu. Untuk JFU atau pelaksana, beberapa jenis jabatan yang
diperlukan seperti bendahara, pengelola barang milik negara,
dan sejenisnya masih sangat kekurangan.
Dari segi jumlah jabatan struktural (lihat Tabel 13), penataan
perangkat daerah sebagai pelaksanaan dari penerapan PP No.
Kapasitas Perangkat Daerah 87

18 Tahun 2016 juga berdampak pada perubahan komposisi dan


jumlah jabatan stuktural pemerintah daerah, baik Kabupaten/
Kota maupun Provinsi. Proses penataan mensyaratkan adanya
reorganisasi (rightsizing) perangkat daerah, yang dilakukan
melalui penggabungan atau pemekaran kelembagaan perangkat
daerah dalam rangka penyesuaian struktur organisasi seiring
adanya pengalihan sejumlah urusan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tabel berikut menggambarkan secara
lebih rinci perubahan jumlah jabatan struktural pada sejumlah
lokus kajian sebelum dan sesudah dilakukan penataan perangkat
daerah.
Tabel 13 memperlihatkan bahwa terjadi pengurangan
sejumlah jabatan struktural pada pemerintah kabupaten/kota,
misalnya di Kota Banjarmasin terdapat pengurangan jabatan
eselon II atau JPT dari 36 JPT menjadi 32 JPT, eselon III atau
Jabatan Administrasi dari 159 jabatan menjadi 149 jabatan,
eselon IV dari 891 jabatan menjadi 823 jabatan, dan eselon V dari
47 jabatan menjadi 35 jabatan. Demikian pula, gambaran yang
terjadi di pemkab/pemko lain pada umumnya menunjukkan
trend penurunan. Secara keseluruhan, jumlah jabatan struktural
di Kota Banjarmasin berkurang dari 1.133 menjadi 1.040 jabatan.
Di Kabupaten Banjar, jumlah jabatan struktural berkurang dari
905 menjadi 892 jabatan. Sementara di Kabupaten Pandeglang,
jumlah jabatan struktural berkurang dari 1.312 menjadi 1.291
jabatan.
Sebaliknya, untuk jabatan struktural di pemerintah di
provinsi justru terjadi penambahan jumlah jabatan struktural.
Namun, di Kepulauan Riau ternyata menunjukkan pengecualian,
yakni terjadi penurunan jumlah jabatan structural, yaitu
berkurang dari 833 menjadi 785 jabatan. Implementasi PP No.
18/2016 di Provinsi Kepri berdampak pada turunnya jumlah
pejabat, baik yang menduduki eselon II, III maupun eselon IV.
Dalam struktur yang lama, jumlah pejabat eselon I sampai IV
berjumlah 833 orang, sedangkan dalam struktur baru jumlah
pejabatnya menjadi 785 orang.
88

Tabel 13. Jumlah Jabatan Struktural Sebelum dan Setelah Implementasi PP No. 18/2016 tentang Perangkat Daerah

Jabatan Struktural
No Lokus Penelitian PP 41 Tahun 2007 PP 18 Tahun 2016 Keterangan
I II III IV V I II III IV V
1. Kota - 36 159 891 47 - 32 149 823 35 Berkurang dari total 1.133
Banjarmasin menjadi 1.039 jabatan
2. Kabupaten - 39 191 675 - 38 202 650 - Berkurang dari 905 menjadi
Banjar 890 jabatan
3. Provinsi Banten 1 47 250 656 - 1 46 243 663 - Berkurang dari 954 menjadi
953 jabatan
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

4. Kota Serang - 28 121 738 - - 29 131 709 - Berkurang dari 887 menjadi
869 jabatan
5. Kabupaten - 33 146 535 13 - 30 164 541 - Bertambah dari 727 menjadi
Bntan 735 jabatan
Sumber: Data Diolah PKDOD LAN, 2017.
Kapasitas Perangkat Daerah 89

Selanjutnya terkait penempatan SDM, sebenarnya


Kementerian PAN dan RB telah menerbitkan Surat Edaran (SE)
Nomor B/3116/M.PANRB/09/2016 tentang Pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi (JPT) di Lingkungan Pemerintah Provinsi
(Pemprov) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)/Kota (Pemkot)
terkait dengan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Menurut SE Menpan
dan RB, pengisian JPT dapat dilakukan melalui pengukuhan, uji
kesesuaian (job fit), dan seleksi terbuka (open bidding).
Pengisian JPT melalui pengukuhan dilakukan apabila: 1)
Jabatan Pimpinan Tinggi yang memiliki nomenklatur, tugas, dan
fungsi yang masih sama atau yang nomenklaturnya berubah,
namun tugas dan fungsinya tidak mengalami perubahan yang
signifikan, maka pejabat tersebut dapat dikukuhkan untuk
dilantik kembali dalam jabatan tersebut, 2) Jabatan Pimpinan
Tinggi yang mengalami perubahan karena dipecah ke dalam
beberapa Jabatan Pemimpin Tinggi yang lain, maka pejabat
pimpinan tinggi sebelumnya yang sesuai dengan kualifikasi
dan kompetensi yang dimiliki dikukuhkan untuk diangkat dan
dilantik kembali dalam salah satu jabatan yang sesuai, dan 3)
Untuk Jabatan Pimpinan Tinggi yang digabung, maka salah satu
pejabat pimpinan tinggi yang menduduki Jabatan Pimpinan
Tinggi yang paling sesuai kualifikasi dan kompetensinya
dikukuhkan untuk diangkat dan dilantik kembali dalam salah satu
Jabatan Pimpinan Tinggi hasil penggabungan. Pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi yang dilakukan melalui pengukuhan dilakukan
melalui pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (Baperjakat) dan ditetapkan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK), yang selanjutnya dilaporkan kepada Komite
Aparatur Sipil Negara (KASN).
Lalu, pengisian JPT melalui uji kesesuaian (job fit) dilakukan
bagi pejabat pimpinan tinggi yang tidak mendapatkan jabatan
sebagai akibat adanya penggabungan, penurunan status
kelembagaan (unit kerja) atau yang status kewenangannya
beralih ke pemerintah yang lebih tinggi, pejabat tersebut akan
mengikuti job fit untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi yang
90 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

lowong.. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi melalui job fit,


dilakukan melalui evaluasi kesesuaian kualifikasi, kompetensi,
dan kinerja yang dilakukan oleh Tim Evaluasi yang berasal dari
unsur Baperjakat dan dapat pula dibantu oleh unsur lainnya yang
dibentuk oleh PPK, dan dikoordinasikan kepada PPK.
Sedangkan pengisian JPT melalui open bidding dilakukan
apabila setelah proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
melalui proses pengukuhan dan job fit masih terdapat Jabatan
Pimpinan Tinggi yang lowong, menurut SE Menteri PANRB itu,
pengisiannya dilakukan melalui seleksi terbuka dan kompetitif.
Menteri PANRB juga mengingatkan, apabila di lingkungan
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terdapat Jabatan
Pimpinan Tinggi yang lowong maka kepada para pejabat tersebut
agar diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi Jabatan
Pimpinan Tinggi melalui seleksi terbuka dan kompetitif.

Grafik 4. Penempatan Pejabat Struktural (JPT)

Kesulitan menempatkan SDM dalam jabatan struktural


lebih kompleks dibandingkan dengan menempatkan SDM
dalam jabatan fungsional, karena kualifikasinya yang lebih
tinggi. Selama ini, penempatan pejabat struktural sebagian
besar masih belum sesuai dengan kompetensinya. Ukuran yang
paling sederhana adalah dari jenis dan tingkat pendidikan yang
bersangkutan (karena memang sampai saat ini belum ditetapkan
Kapasitas Perangkat Daerah 91

standar kompetensi jabatan di daerah). Kementerian PAN dan RB


saat ini tengah menyiapkan instrument kebijakan terkait standar
kompetensi jabatan ini, yang diharapkan akan siap dalam waktu
dekat.
Pengisian JPT dan jabatan structural lain di Kabupaten Banjar
dilakukan melalui pengukuhan sebanyak 765 orang, dan seleksi
terbuka 16 orang. Sedangkan pejabat lama yang tidak terwadahi
dalam struktur baru (job fit) sebanyak 4 orang. Sebagaimana
telah disinggung di atas, penataan OPD di Kabupaten Banjar juga
berdampak pada perampingan struktur dan pengurangan jabatan
struktural menyesuaikan dengan struktur OPD yang baru, yaitu
terdapat pengurangan sebanyak 13 orang. Dalam menata jabatan
struktural, Kabupaten Banjar tidak menggunakan pola bidang
dan sub-bidang maksimal sesuai PP No. 18/2016 dikarenakan
kekurangan jumlah pegawai dan untuk penghematan pegawai.
Hal ini dilakukan tanpa mengubah tipe OPD yang bersangkutan.
Setiap OPD telah diatur dalam Peraturan Bupati dan apabila
ada penambahan bidang atau sub-bidang karena penambahan
beban kerja dari sebelumnya, Pemda Kabupaten Banjar tidak
perlu merevisi Perda yang mengatur struktur OPD, melainkan
hanya merevisi Perbup OPD terkait saja. Ini merupakan langkah
antisipasi perubahan yang disiapkan oleh Pemda, yang juga
dilakukan oleh setiap Pemda.
Kabupaten Pandeglang, pasca penataan OPD, juga meng­
alami perampingan struktur. Namun hal tersebut dianggap tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pengurangan jumlah
pejabat struktural. Jabatan struktural hanya berkurang dari yang
sebelumnya 1.312 jabatan menjadi 1.291 jabatan Hal ini karena
perampingan dalam struktur organisasi OPD di Kabupaten
Pandeglang dilakukan dengan mempertimbangkan dampak
sosialnya.
Sementara itu di Kota Banjarmasin terdapat pengurangan dari
1.133 jabatan menjadi 1.039 jabatan. Kendati struktur organisasi
perangkat daerah mengalami perampingan, namun kondisi saat
ini di lingkungan pemerintah Kota Banjarmasin dihadapkan
masalah kekurangan pegawai. Oleh karena itu, pejabat struktural
92 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

di sana, selain menjalankan tugas dan kewajibannya, juga


melakukan tugas-tugas pelaksana karena tidak ada pegawai yang
menjadi pelaksana, kecuali tenaga honorer.
Hal yang menarik dalam SE ini adalah tekait klausul
bahwa dalam hal terdapat pejabat pimpinan tinggi yang tidak
mendapatkan jabatan yang setara dengan jabatan pimpinan
tinggi sebelumnya, yang bersangkutan dapat diangkat ke dalam
jabatan administrator atau jabatan fungsional sesuai peraturan
perundang-undangan. Dari wawancara dengan sejumlah
narasumber di lapangan diperoleh kesimpulan bahwa di daerah
tidak terjadi “non job” pasca pemberlakuan PP No. 18 Tahun 2016
dan peraturan turunannya. Beberapa JPT yang tidak terwadahi
dalam jabatan setara telah memperoleh jabatan administrasi
(administrator dan pengawas) atau jabatan fungsional. Untuk
pengangkatan ke dalam jabatan fungsional, apakah semua
daerah memiliki jabatan fungsional?
Penataan OPD diikuti dengan pengalihan atau distribusi
SDM khususnya PNS. Berdasarkan temuan lapangan dari
daerah lokus kajian ini, proses perpindahan pegawai tersebut
sudah dilakukan. Secara umum, terdapat dua alur distribusi dan
redistribusi distribusi PNS. Pertama, pengalihan PNS pemerintah
kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. Kedua, pengalihan PNS
pemerintah kabupaten/kota dan provinsi ke pemerintah pusat.
Terkait pengalihan PNS dari kabupaten/kota ke provinsi, tabel
berikut memuat rincian jabatan dan jumlah PNS yang dialihkan
dari Kabupaten/Kota ke Provinsi.

Tabel 14. Pengalihan ASN (PNS) dari Kabupaten/Kota ke Provinsi

No. Lokus Jabatan Jumlah Ket.


Penelitian
1. Kota Guru dan tenaga
Banjarmasin kependidikan SMA/ 1.039
SMK Total
1.062
Pengawas 14 pegawai
Ketenagakerjaan
Pengelola Terminal 9
Kapasitas Perangkat Daerah 93

Lokus
No. Jabatan Jumlah Ket.
Penelitian
2. Kabupaten Guru SMA dan SMK 430
Banjar
Urusan Kehutanan 75
Total 531
Urusan Tenaga pegawai
4
Kerja
Urusan ESDM 22
3. Kabupaten Pengawas 2
Pandeglang Ketenagakerjaan
Guru dan Tenaga 740 Total 778
Kependidikan
pegawai
JFU Urusan 24
Kehutanan
JFU Urusan ESDM 12
4. Kota Tanjung Guru dan Tenaga
Pinang Kependidikan 470 Total 512
Menengah pegawai

Guru dan Tenaga


Kependidikan 42 -
Menengah (Tenaga
Honorer)
Sumber: Data Dioleh oleh PKDOD LAN, 2017.

Tabel di atas menunjukkan perpindahan PNS dari


kabupaten/kota ke provinsi pada lokus penelitian mencakup
PNS penyelenggara urusan pendidikan menengah, urusan
ESDM, urusan kehutanan, dan urusan kelautan dan perikanan.
Selain itu, pengalihan pegawai juga dilakukan terhadap PNS
penyelenggara urusan ketenagakerjaan, yaitu pejabat fungsional
pengawas ketenagakerjaan. Di Kabupaten Banjar terdapat
sebanyak 430 PNS guru dan pengawas pendidikan jenjang SMA/
SMK berubah statusnya menjadi PNS Provinsi Kalimantan
Selatan. Selanjutnya, pengalihan pegawai ke provinsi ini juga
ditambah PNS dengan jabatan fungsional umum (JFU) urusan
kehutanan sebanyak 75 pegawai, JFU urusan ESDM 22 orang,
dan JFU Urusan ketenagakerjaan sebanyak 4 orang, sehingga
total pegawai PNS Kabupaten Banjar yang dialihkan ke provinsi
berjumlah 531 pegawai. Dalam hal ini, pegawai Kota Banjarmasin
94 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

yang dialihkan ke Provinsi Kalimantan Selatan jumlahnya jauh


lebih banyak, yaitu 1062. Mereka terdiri dari 1039 guru dan tenaga
pendidikan menengah, 14 pegawai pengawas ketenagakerjaan,
dan 9 pegawai pengelola terminal.
Sedangkan di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Pandeglang, jumlah PNS yang dialihkan ke Provinsi Banten
adalah 778 pegawai. Dari jumlah tersebut, sebanyak 740 pegawai
di antaranya adalah guru dan tenaga kependidikan SMA/SMK,
24 pegawai JFU urusan kehutanan, dan 12 pegawai JFU urusan
ESDM, serta 2 pengawas ketenagakerjaan.
Adapun di lingkungan Pemerintah Kota Tanjungpinang,
pengalihan pegawai ke Provinsi Kepulauan Riau dilakukan
terhadap sejumlah 486 PNS dan 42 tenaga honorer di sana.
Mereka terdiri dari 470 PNS guru dan tenaga kependidikan SMA/
SMK, 42 tenaga honorer guru dan tenaga kependidikan SMA/
SMK, 3 PNS yang menangani urusan energi dan sumber daya
mineral, 9 PNS yang menangani urusan kehutanan, dan 4 PNS
pengawas ketenagakerjaan.
Berdasarkan data di atas, rata-rata pegawai kabupaten/kota
yang dialihkan ke Provinsi didominasi oleh pegawai fungsional
guru pendidikan menengah (SMA/SMK). Dalam hal ini, jumlah
guru yang dialihkan paling sedikit berasal dari Kabupaten Banjar,
terdiri dari 430 guru. Sedangkan jumlah guru yang paling banyak
dialihkan ke Provinsi berasal dari Kota Banjarmasin, yaitu 1.039
guru.
Terkait pengalihan pegawai dari pemerintah kabupaten/kota
dan provinsi ke pemerintah pusat, dari segi jumlah dan jabatan
terdapat dalam tabel berikut.

Tabel 15. Pengalihan ASN (PNS) dari Kabupaten/Kota dan


Provinsi ke Pemerintah Pusat

No. Lokus Penelitian Jabatan Jumlah


1. Kota Banjarmasin Penyuluh KB 57
Penyuluh Perikanan 3
Kapasitas Perangkat Daerah 95

No. Lokus Penelitian Jabatan Jumlah


2. Kabupaten Banjar Penyuluh Perikanan 18
Penyuluh KB 18
JFU Urusan Perhubungan 4
JFU Urusan ESDM 2
3. Kabupaten JFU Urusan Perhubungan 10
Pandeglang
4. Provinsi Kepri Urusan ESDM 4
5. Kota Tanjung Pinang Inspektur Tambang 1
JFU Urusan Perikanan 3
(penyuluh perikanan)
Penyuluh Keluarga
Berencana 18

Sumber: Data Diolah PKDOD LAN, 2017.

Tabel di atas menunjukkan bahwa implementasi PP No.


18/2016 juga berdampak pada pengalihan pegawai PNS dari
pemerintah kabupaten/kota dan provinsi ke pemerintah pusat.
Namun berbeda dengan alur distribusi/redistribusi pegawai PNS
yang pertama, pegawai yang beralih dari pemerintah kabupaten/
kota dan pemerintah provinsi ke pemerintah pusat terlihat lebih
beragam latar belakang jabatannya, namun jumlahnya lebih
sedikit. Pada Kabupaten Banjar, misalnya, terdapat setidaknya 42
PNS yang beralih statusnya menjadi PNS pemerintah pusat. Latar
belakang jabatannya terdiri dari penyuluh perikanan 18 pegawai,
penyuluh KB 18, JFU urusan perhubungan 4, dan JFU urusan
ESDM 2. Dari Kota Tanjungpinang, PNS yang beralih status
menjadi PNS pemerintah pusat sebanyak 22 pegawai. Mereka
adalah inspektur tambang 1 pegawai, JFU urusan perikanan 3,
dan penyuluh keluarga berencan 18 pegawai. Sedangkan dari
Kabupaten Pandeglang, pegawai yang beralih menjadi PNS
pemerintah pusat hanya 10 orang saja dengan jabatan sebagai
JFU urusan perhubungan. Selain itu, dari pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau juga terdapat pegawai yang beralih menjadi PNS
pemerintah pusat sebanyak 4 pegawai JFU urusan ESDM.
96 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Dalam pelaksanaannya, perpindahan pegawai ini tidak


hanya berdampak pada berkurangnya pegawai Kabupaten/
Kota di satu sisi dan bertambahnya pegawai Provinsi di sisi lain
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun lebih dari itu,
muncul sejumlah permasalahan. Pertama, adanya keengganan
dari pegawai Kabupaten/Kota yang dialihkan ke Provinsi karena
faktor kesejahteraan. Jika dipindah atau berubah status menjadi
pegawai provinsi, pegawai yang bersangkutan merasa dirugikan
mengingat besaran tunjangan kinerja daerah (TKD) Kabupaten/
Kota jauh lebih besar. Hal ini terjadi pada sejumlah Kabupaten/
Kota yang telah memiliki kapasitas fiskal yang memadai sehingga
berhasil menaikkan tunjangan pegawai.
Kedua, melemahnya rentang kendali dalam urusan
administrasi kepegawaian, terutama pada pegawai fungsional
guru sekolah menengah. Dengan dialihkannya status
kepegawaian mereka menjadi pegawai Provinsi, pengurusan
administrasinya menjadi tidak mudah karena kantor Dinas yang
berada di ibukota Provinsi sulit diakses bagi guru yang bertugas
di daerah Kabupaten/Kota mengingat jarak tempuh dan
faktor geografis lainnya. Pada sebagian kasus tertentu bahkan
berdampak pada perpindahan tempat tinggal pegawai.
Ketiga, terjadi penambahan beban kerja pada pegawai
Kabupaten/Kota. Dalam proses P3D, pengalihan SDM aparatur
ini memang relatif berjalan lancar, terutama untuk guru-guru
yang berstatus PNS. Namun, hampir semua kabupaten/kota
yang menjadi lokus kajian ini mengalami kekurangan pegawai,
terlebih setelah adanya pengalihan pegawai ke pemerintah
provinsi dan pemerintah pusat seiring penarikan urusan
pemerintahan daerah. Hal ini terjadi hampir merata di semua
lokus kabupaten/kota. Di Kalimantan Selatan, misalnya, baik
Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin, berdasarkan pemetaan
kebutuhan pegawai, mengalami kekurangan pegawai. Akibatnya,
beban kerja pegawai menjadi berlebih (overload). Penyebabnya
tidak lain karena berlakunya kebijakan moratorium (zero
growth) perekrutan pegawai baru (CPNS) sejak tahun 2015.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Pemda Kabupaten
Kapasitas Perangkat Daerah 97

Banjar merekrut Pegawai Tidak Tetap (PTT). Namun dari jumlah


pegawai yang belum memenuhi kebutuhan ideal pegawai
tersebut, masih harus dikurangi lagi karena 518 pegawai pindah
ke provinsi dan 64 pegawai pindah ke kementerian/lembaga.
Keempat, di tingkat Provinsi, pemenuhan SDM untuk
melaksanakan urusan yang diserahkan dari Kabupaten/Kota
masih belum optimal. Hampir di semua lokus kajian terjadi tarik-
menarik dalam hal penataan SDM. Sebagai contoh, di Kabupaten
Banjar, proses perpindahan pegawai bahkan sempat mengalami
permasalahan. Hal ini terjadi khususnya pada pengalihan tenaga
honorer (mayoritas guru) yang tidak bisa ikut pindah urusannya
ke provinsi. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu narasumber
di Kabupaten Banjar bahwa masalah penarikan PNS terdapat
sedikit keributan dikarenakan ada semacam pemilihan dan
ditentukan. (Dinas) Kehutanan sudah ditentukan pindah, tetapi
(Dinas) pertambangan masih memilih. Kalau Kehutanan sudah
dipastikan yang pejabat eselon III ke bawah ke provinsi. Belum lagi
yang tenaga kontrak (tenaga honor), tetapi pemerintah provinsi
tidak mau, karena hanya mau menerima PNS saja. Belum lagi
dengan SKPD yang PPL dan sebagainya yang pengurusan gajinya
harus bolak-balik. Dari kementerian/lembaga juga provinsi
sempat bermasalah.
Dalam penyelenggaraan urusan kelautan, pengalihan
jabatan penyuluh kelautan ke Provinsi tidak dilakukan. Penyuluh
kelautan tetap bertugas di Kabupaten/Kota, padahal urusannya
sudah dialihkan ke Provinsi. Begitu pula dalam penyelenggaraan
urusan perikanan. Masalah muncul manakala berlarut-larutnya
pengalihan penyuluh perikanan dari Kabupaten/kota ke Provinsi.
Hal ini terjadi misalnya daerah-daerah yang memiliki potensi
perikanan besar, seperti Kabupaten Indramayu. Di Indramayu,
pengalihan tenaga penyuluh perikanan belum selesai sampai
sekarang.
Di tingkat Kabupaten/Kota, permasalahan muncul karena
belum terpenuhinya jumlah dan kualifikasi SDM untuk
bidang-bidang yang spesifik, seperti bidang kemetrologian. Di
bidang kemetrologian, jumlah dan kualifikasi SDM Penera di
98 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Kabupaten/Kota belum memadai. Namun demikian, rata-rata


Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memang mengalami defisit
tenaga fungsional. Hal tersebut antara lain terjadi di Kabupaten
Pandeglang. Pasca penataan OPD dan adanya sejumlah pegawai
yang dialihkan ke Provinsi dan Pusat, total jumlah PNS di
lingkungan Pemda Kabupaten Pandeglang saat ini adalah 11.318
orang. Dengan jumlah tersebut, Pemda Kabupaten Pandeglang
mengakui masih kekurangan SDM yang memiliki keahlian
teknis atau pegawai dengan jabatan fungsional tertentu,
terutama untuk kualifikasi tenaga fungsional perencana, auditor,
metrologi (penera), litbang, akuntan, dokter dan perawat.
Selain itu, kesulitan lainnya adalah kurangnya minat
masyarakat untuk meniti karir sebagai PNS Pemda Kabupaten
Pandeglang karena kecilnya besaran tunjangan fungsional yang
diperoleh. Oleh karena itu, Pemda Kabupaten Pandeglang
sedang merencanakan untuk menaikkan besaran tunjangan
kinerja agar pegawai merasa nyaman bekerja di Pandeglang.
Mereka berharap bahwa kondisi pegawai di daerah tersebut
dapat menjadi perhatian Pemerintah Pusat, sebagaimana
diutarakan oleh salah seorang narasumber bahwa di lingkungan
Pemkab Pandeglang jabatan fungsional belum menjadi minat
pegawai karena tunjangan fungsionalnya kecil. Jadi lebih banyak
yang berminat ke jabatan struktural. Kecuali untuk auditor yang
tunjangannya sudah tinggi, peminatnya lumayan tinggi. Ini
harus menjadi masukan untuk pemerintah pusat.
Untuk menutupi kekurangan tenaga fungsional tersebut,
Pemda Kabupaten Pandeglang saat ini lebih memprioritaskan
apa yang menjadi kebutuhan mendesak, seperti fungsional
perencana, auditor, perawat, dan dokter. Selain itu, kini
mereka juga membutuhkan fungsional yang ahli dalam bidang
kemetrologian (metrolog). Sebelumnya yang biasa dibutuhkan
adalah tenaga fungsional guru, tenaga medis, bidan dan lain
sebagainya.
Berdasarkan kondisi tersebut, Pemda Kabupaten Pandeglang
berencana untuk fokus pada pengelolaan jabatan fungsional
tertentu di bidang-bidang yang memang kini lebih dibutuhkan
Kapasitas Perangkat Daerah 99

di daerah, terutama karena di beberapa kabupaten lain pun


jabatan fungsional tersebut jarang tersedia. Kekurangan tenaga
fungsional menjadi problem tersendiri karena banyak dinas-dinas
teknis memerlukannya, seperti Dinas PUPR yang membutuhkan
ahli di bidang teknik sipil. Atau, Dinas Kesehatan yang masih
membutuhkan banyak dokter terlebih dengan kondisi geografis
daerah yang berbeda
Adanya moratorium CPNS di satu sisi dan kurangnya pegawai
di sisi lain, memaksa Kabupaten Pandeglang untuk menutup
pintu rapat-rapat bagi pegawai yang berniat pindah ke daerah
lain. Sebaliknya, jika ada pegawai yang menginginkan untuk
mutasi ke Pemda Kabupaten Pandeglang malah pintu terbuka
lebar. Dalam satu tahun terakhir tercatat ada 4 PNS yang masuk
(mutasi) ke Pemda Kabupaten Pandeglang. Untuk menjaga
pegawai yang ada sekarang agar tetap betah di Kabupaten
Pandeglang, Pemda berencana menaikkan besaran tunjangan
kinerja.
Dalam hal ini, Kabupaten Pandeglang tidak sendirian.
Pemerintah Kota Banjarmasin juga mengeluhkan sedikitnya
jumlah jabatan fungsional di lingkungan mereka.Pada salah satu
OPD yang memiliki peran strategis seperti Bappeda, misalnya,
yang kini memiliki bidang Penelitian dan Pengembangan,
tidak hanya belum memiliki peneliti, bahkan tenaga fungsional
perencana pun masih kurang. Untuk meningkatkan jumlah
tenaga fungsional, upaya Pemda Kota Banjarmasin antara lain
mengarahkan para tenaga pelaksana menjadi analis kebijakan.
Namun, syarat yang ditetapkan untuk menjadi menduduki
jabatan fungsional analis kebijakan masih dirasa cukup berat
bagi pegawai di sana.
Proses pengisian jabatan struktural juga tidak lepas dari
kekurangan. Hal ini menunjukkan bahwa penempatan SDM
di daerah belum berjalan optimal. Penyebabnya antara lain,
pertama, kendati sejumlah daerah Kabupaten/Kota telah
melakukan seleksi atau lelang jabatan (open bidding), namun
pelaksanaanya cenderung bermasalah. Kedua, redistribusi
pegawai yang bermasalah akibat penghapusan kelembagaan dan
100 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

struktur organisasi perangkat daerah. Untuk mengatasi berbagai


kendala ini tersebut dalam proses penempatan pegawai, sudah
saatnya bagi Kabupaten/Kota untuk menyusun pola karier
yang mengacu pada Peraturan Menteri PAN dan RB No. 13/2014
tentang Pengisian JPT. Selain itu, pemetaan kompetensi pegawai
juga sangat diperlukan, sehingga dapat menjadi pedoman dalam
pengelolaan pegawai, termasuk dalam proses pengisian jabatan
struktural.
Hal yang juga perlu mendapat perhatian, terkait dampak
penataan OPD, adalah terhambatnya pengembangan SDM
aparatur daerah. Hal ini karena pecahnya konsentrasi dalam
pengelolaan SDM antara diklat dan kepegawaian. Pasca
penataan OPD, kelembagaan daerah yang menangani SDM
diwadahi dalam suatu OPD dengan nomenklatur baru, yaitu
Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(BPKSDM) yang menangani urusan pendidikan dan pelatihan
dan kepegawaian. Rata-rata Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota juga belum memiliki pola karier dan profil kompetensi
yang diperlukan dalam pengelolaan SDM aparatur di daerah.
Sehingga, ke depan baik kelembagaan yang menangani SDM dan
kebutuhan penyusunan pola karier dan profil kompetensi harus
menjadi perhatian utama guna meningkatkan kapasitas dan
kinerja perangkat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Terakhir, terdapat potensi masalah dalam koordinasi
antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, terutama
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Provinsi. Hal ini karena Cabang Dinas sebagai
perpanjangan pemerintah Provinsi di Kabupaten/Kota atau
wilayah kerja tertentu dipimpin oleh administrator atau
pengawas. Dalam melakukan koordinasi dengan Pemerintah
Kabupaten, tepatnya dari Dinas yang level jabatannya lebih
tinggi. Oleh karena itu, dikhawatirkan akan terkendala hambatan
psikologis.
Kapasitas Perangkat Daerah 101

2. Aspek Keuangan Daerah


Dilihat dari aspek keuangan, kapasitas perangkat daerah
secara umum relatif tidak bermasalah, dalam arti bahwa
pembiayaan yang menjadi beban anggaran untuk pendanaan
pada OPD, secara sistem tetap “terjamin” dengan adanya DAU,
DAK, dan dana Bagi Hasil (DBH), serta PAD itu sendiri. Namun
demikian bukan berarti tidak ada permasalahan yang dihadapi.
Permasalahan yang terjadi dalam hal kapasitas perangkat daerah
ini pada dasarnya dapat dilihat dari dua faktor, yaitu: Faktor
realokasi anggaran pasca perubahan organisasi, dan faktor
pendapatan yang terkait dengan penarikan urusan kewenangan
dari Kabupaten/Kota ke Provinsi atau Pusat.
Pertama, faktor pendapatan daerah yang terkait dengan
penarikan urusan pemerintahan dari pemerintah kabupaten/
kota ke pemerintah provinsi. Pertama-tama akan disampaikan
terlebih dahulu implikasi penarikan urusan pemerintahan
tersebut bagi pendapatan daerah pemkab/pemko. Faktanya,
perangkat daerah yang memiliki kontribusi besar bagi
kemandirian fiskal kabupaten justru ditarik urusannya ke
tingkat provinsi. Hal ini terjadi dengan dihapuskannya Dinas
Pertambangan dan Energi pemkab karena urusannya dialihkan ke
pemprov. Dinas Pertamben semula berperan sebagai pengumpul
dan pengawas pengelolaan tambang di wilayah kabupaten, tetapi
saat ini sudah tidak lagi memiliki kontribusi, padahal Kabupaten
Banjar memiliki potensi mineral logam dan batuan (Galian C).

Tabel 16. Perbandingan Pendapatan dan Belanja Urusan


Pemerintahan Daerah Kabupaten Banjar Tahun 2015-2017
(dalam juta rupiah)

APBD-P APBD-P
Urusan Pemerintahan APBD 2017
2015 2016
Pendapatan Urusan - - -
Pendidikan
Belanja Urusan 521,536,2 548,743,9 472,500,4
Pendidikan
102 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

APBD-P APBD-P
Urusan Pemerintahan APBD 2017
2015 2016
Pendapatan Urusan - - -
ESDM
Belanja Urusan ESDM 23,271,1 19,015,3 -
Pendapatan Urusan 105,9 102,3 112,8
Kelautan & Perikanan
Belanja Urusan Kelautan 12,372,9 7,447,5 8,296,9
& Perikanan
Pendapatan Urusan 20 20 -
Kehutanan
Belanja Urusan 14,685,2 14,685,2 -
Kehutanan
Pendapatan Urusan 1,450 1,185,8 825,4
Perhubungan
Belanja Urusan 14,705,9 14,777 12,266,9
Perhubungan
Pendapatan Urusan 1,500 1,100 200
Penanaman Modal
Belanja Urusan 7,886,3 7,560,6 7,858,5
Penanaman Modal
Sumber: Data Diolah PKDOD, 2017.

Tabel di atas mengilustrasikan pergerakan pendapatan dan


belanja di Kabupaten Banjar untuk urusan pemerintahan yang
dialihkan ke provinsi. Berdasarkan tabel tersebut diketahui
bahwa urusan ESDM dan urusan kehutanan sudah tidak memiliki
alokasi anggaran sesuai dengan kenyataan tidak adanya lagi OPD
yang menangani urusan tersebut. Sementara itu, urusan yang
pendapatan dan belanjanya menunjukkan penurunan jumlah
adalah Urusan Perhubungan. Hal ini sesuai dengan adanya
penarikan urusan pengelolaan terminal penumpang tipe A ke K/L.
Dari sisi belanja, urusan Pendidikan juga mengalami
penurunan seiring dengan berpindahnya kewenangan Pendidikan
menengah ke provinsi. Sedangkan dari sisi pendapatan, urusan
penanaman modal menurun drastic. Hal ini mengindikasikan
adanya pengaruh dari penarikan urusan pada target-target
investasi di Kabupaten Banjar. Secara umum, APBD Kabupaten
Kapasitas Perangkat Daerah 103

Banjar tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan penataan


perangkat daerah yang baru dilakukan karena pergeseran nilai
dalam APBD tidak drastis. Dari hasil diskusi dengan Badan
Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Kabupaten Banjar optimis
untuk tetap mencapai target pendapatan. Semula seharusnya
mampu melampaui target, tapi karena pertambangan logam
mineral dan galian C menurun, maka sasaran prediksi perolehan
pendapatan hanya akan mencapai target.
Di sisi lain, Pemprov Kalimantan Selatan belum menge­
luarkan peraturan teknis tentang harga dasar untuk
operasionalisasi urusan tersebut mengingat bahwa provinsi-
lah yang akan menjalankan kewenangan tersebut dengan
berpedoman pada harga dasar yang ditetapkan oleh provinsi.
Menurut pihak pemerintah kabupaten, tidak adanya aturan main
dari pemerintah provinsi menunjukkan bahwa pemprov belum
siap untuk melakukan pengelolaan tambang tersebut.
Di saat yang sama, hal ini menjadi dilema bagi pemerintah
kabupaten karena terdapat pertentangan antara UU No. 23
Tahun 2014 dan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dalam hal ini UU No. 28 Tahun 2009 belum
diamandemen sehingga masih memungkinkan kabupaten untuk
memungut retribusi perizinan pertambangan. Namun demikian,
pemerintah kabupaten sudah tidak memiliki kewenangan lagi
berdasarkan klausul peralihan urusan pemerintahan. Sebagai
jalan tengah yang dipilih, pemerintah kabupaten akhirnya
mengeluarkan harga dasar berdasarkan Peraturan Bupati,
walaupun secara hukum tidak dibenarkan.
Celah ini tentu memberikan keuntungan bagi para pengusaha
pertambangan. Mereka yang oportunis terus melakukan kegi­
atan penambangan dan pemerintah kabupaten tidak dapat
melakukan pengawasan dan pengendalian secara memadai
padahal secara ideal, kegiatan penambangan perlu diawasi dan
dikendalikan, khususnya terkait pengendalian penggunaan air
tanah yang berpotensi habis dan dapat merusak air bawah tanah.
Aktivitas pengendalian tersebut lebih penting daripada sekedar
pelaporan pajak.
104 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Pertama, faktor realokasi anggaran, permasalahan yang


muncul dari faktor realokasi anggaran umumnya terjadi pada
SOPD-SOPD yang mengalami penggabungan atau pengalihan
kewenangan. Menurut narasumber yang diwawancarai ternyata
bahwa penambahan urusan pada suatu OPD sebagai dampak dari
adanya penggabungan, ternyata tidak serta merta meningkatkan
jumlah anggaran yang dikelolanya. Meskipun pembiayaan untuk
penanganan suatu urusan sebagai dampak dari penggabungan/
pengalihan tersebut tetap dialokasikan, namun jumlahnya relatif
tidak bertambah atau sekalipun bertambah, kenaikannya tidak
berbanding lurus dengan bertambahnya beban kerja yang ada
(lihat Tabel 17).
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa untuk urusan kehutanan
pasca berlakunya PP No. 18 Tahun 2016 dibentuk Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada PP No. 41 Tahun 2007
urusan kehutanan diwadahi dalam Dinas Pertanian, Kehutanan,
dan Peternakan. Sementara untuk lingkungan hidup diwadahi
dalam lembaga teknis daerah (Lemtekda) Badan Lingkungan
Hidup. Hal yang menarik adalah bahwa penggabungan urusan
lingkungan hidup dan kehutanan tidak ‘menambah’ alokasi
anggaran yang signifikan, bahkan mengalami penurunan dari
Rp. 24.987.836.531,- pada 2016 menjadi Rp. 18.039.960.247,- pada
2017 atau sebesar 27,81%. Demikian pula yang terjadi pada Dinas
Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan mengalami penurunan
alokasi anggaran dari Rp. 49.816.107.395 pada tahun 2016 menjadi
Rp. 32.488.036.595 pada tahun 2017 atau turun sebesar 34,78%.
Berbeda dengan urusan pendidikan di Dinas Pendidikan
mengalami penambahan dari Rp. 249.850.970.221,- pada 2016
menjadi Rp. 584.014.835.324,- pada 2017 atau naik sebesar
57,22%. Hal yang sama terjadi pada Dinas ESDM yang mengalami
penambahan dari Rp. 10.540.401.01,- pada tahun 2016 menjadi
Rp. 27.331.199.075,- pada tahun 2017 atau naik sebesar 61,43%.
Selanjutnya, untuk melihat pergeseran pendapatan dan
belanja daerah dapat dilihat pada gambaran per SOPD yang ada
di kabupaten/kota, sebagaimana tertuang pada Tabel 18.
Tabel 17. Alokasi Anggaran Per SKPD/SOPD Provinsi Kepri (Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan)

PP No. 41/2007 PP No. 18/2016


Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Dinas Pendidikan 192.828.101.311 249.850.970.221 Dinas Pendidikan 584.014.835.324
Dinas Kesehatan 66.996.037.610 32.838.495.792 Dinas Kesehatan 267.476.655.237
Dinas Pekerjaan Umum 347.565.974.313 262.829.016.527 Dinas PU, Penataan Ruang, 199.261.175.475
dan Pertanahan
Dinas Perumahan dan 181.566.111.948
Kawasan Permukiman
Dinas Perhubungan 48.022.943.991 31.368.977.544 Dinas Perhubungan 60.383.075.758
Dinas Sosial 10.109.856.097 13.285.801.280 Dinas Sosial 21.475.073.077
Dinas Kependudukan dan 7.976.612.747 7.519.458.145 Dinas Pemberdayaan 16.653.042.651
Pencatatan Sipil Perempuan, Perlindungan
Anak, Pengendalian
Penduduk dan KB
Dinas Tenaga Kerja dan 20.250.565.296 16.329.853.647 Dinas Tenaga Kerja dan 26.055.174.340
Transmigrasi Transmigrasi
Dinas Koperasi dan UKM 14.468.670.340 16.174.607.431 Dinas Koperasi dan UKM 13.412.234.065
Kapasitas Perangkat Daerah
105
106

PP No. 41/2007 PP No. 18/2016


Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Dinas Kebudayaan 12.692.197.331 12.678.775.882 Dinas Kebudayaan 12.224.007.461
Dinas Pemuda dan Olahraga 26.162.982.843 24.141.375.308 Dinas Kepemudaan dan 42.917.831.453
Olahraga
Dinas Pendapatan 73.243.273.847 73.096.960.149 -
Dinas Komunikasi dan 8.090.980.369 8.504.525.640 Dinas Komunikasi dan 16.390.783.214
Informatika Informatika
Dinas Pertanian, Kehutanan, 25.657.772.276 49.816.107.395 Dinas Ketahanan Pangan, 32.488.036.595
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

dan Peternakan Pertanian, dan Kesehatan


Hewan
Dinas Pertambangan dan 16.974.445.087 10.540.401.017 Dinas Energi dan Sumber 27.331.199.075
Energi Daya Mineral
Dinas Pariwista 20.023.696.133 18.373.385.741 Dinas Pariwisata 20.024.896.331
Dinas Kelautan dan Perikanan 57.960.444.786 47.026.360.147 Dinas Kelautan dan Perikanan 54.146.729.212

Dinas Perindustrian dan 28.584.084.598 19.337.054.951 Dinas Perindustrian dan 22.689.656.931


Perdagangan Perdagangan
PP No. 41/2007 PP No. 18/2016
Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Badan Perencanaan 43.394.831.472 35.929.773.598 Badan Perencanaan, 41.190.118.196
Pembangunan Daerah Penelitian dan
Pengembangan
Badan Lingkungan Hidup 13.618.336.175 24.987.836.531 Dinas Lingkungan Hidup dan 18.039.960.247
Kehutanan
Badan Pemberdayaan 9.868.562.587 9.169.959.332 - -
Perempuan dan Perlindungan
Anak
Badan Penanggulangan 6.338.412.918 8.276.356.564 Badan Penanggulangan 7.760.927.754
Bencana Daerah Bencana Daerah
Badan Penanaman Modal dan 8.737.518.591 8.883.467.398 Dinas Penanaman Modal dan 14.063.247.480
PTSP PTSP
Satpol PP 12.850.397.425 22.004.921.446 Satpol PP dan 20.254.863.791
Penanggulangan Kebakaran
Badan Pengelolaan Keuangan 1.98.886.572.315 1.754.395.026.723 Badan Pengelolaan Keuangan 1.139.540.438.934
dan Kekayaan Daerah dan Aset Daerah
Badan Kepegawaian dan Diklat 15.216.541.139 22.424.380.895 Badan Kepegawaian dan 22.239.896.748
Daerah PSDM
Kapasitas Perangkat Daerah
107
108

PP No. 41/2007 PP No. 18/2016


Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Badan Pengelolaan Perbatasan 8.133.257.550 7.062.765.859 - -
Prov Kepri
Badan Ketahanan Pangan 7.564.229.568 6.423.325.210 - -
Badan Perpustakaan dan Arsip 42.406.068.777 38.711.839.838 Dinas Pepustakaan dan 18.723.541.685
Daerah Kearsipan
Badan Pemberdayaan 12.927.991.556 12.293.162.852 Dinas Pemberdayaan 20.746.758.380
Masyarakat dan Desa Masyarakat Desa,
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Kependudukan, dan Catatan


Sipil
-- -- -- Badan Kesatuan Bangsa dan 8.720.650.576
Politik
-- -- -- Badan Pengelolaan Pajak dan 81.953.624.167
Retribusi Daerah
Inspektorat Daerah 15.610.827.770 14.274.358.380 Inspektorat Daerah 24.533.422.750
Kantor Penghubung 9.421.731.522 8.519.797.577 -- --
Sumber: Data Diolah PKDOD, 2017.
Tabel 18. Alokasi Belanja Per SKPD/SOPD Kabupaten Pandeglang Tahun Anggaran 2015-2017 (dalam rupiah)

PP No. 41/2007 PP No. 18/2016


Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Dinas Pendidikan dan 1.013.085.110.004 902.603.709.699 Dinas Pendidikan dan 859.172.232.964
Kebudayaan Kebudayaan
Dinas Kesehatan (termasuk 270.020.496.832 330.897.864.512 Dinas Kesehatan (termasuk 250.176.413.304
RSUD Berkah) RSUD Berkah)
Dinas Bina Marga dan Sumber 191.694.362.218 212.708.377.891 Dinas Pekerjaan Umum dan 255.050.686.963
Daya Air Penataan Ruang
Dinas Cipta Karya, Penataan 100.732.120.619 151.783.356.787 Dinas Perumahan 132.507.573.786
Ruang, dan Kebersihan
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja 8.282.927.655 7.455.921.934 Dinas Sosial 10.560.789.272

Satpol PP 6.023.057.153 5.701.567.248 Satpol PP 6.940.193.016


Dinas Kelautan dan Perikanan 12.414.799.849 8.969.602.526 Dinas Perikanan 11.942.814.328
Dinas Perindag dan ESDM 9.776.451.000 7.397.623.500 Dinas Perindag dan ESDM 16.586.096.049
Kapasitas Perangkat Daerah
109
110

PP No. 41/2007 PP No. 18/2016


Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Dinas Perhubungan, 12.350.146.988 12.989.365.117 Badan Penanggulangan 3.764.821.196
Komunikasi, dan Informatika Bencana Daerah (BPBD)
Dinas Kependudukan dan 4.810.374.918 4.410.039.562 Dinas Tenaga Kerja dan 5.924.569.722
Pencatatan Sipil Transmigrasi
Dinas Koperasi, Perindustrian, 7.117.263.405 5.779.268.886 Dinas Ketahanan Pangan 13.381.892.061
dan Perdagangan
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Dinas Kehutanan dan 235.000.000 1.641.291.150 Dinas Lingkungan Hidup 19.880.138.497


Perkebunan
Dinas Pemuda, Pariwisata dan 1.115.000.000 2.283.495.000 Dinas Kependudukan dan 11.073.362.663
Olahraga Pencatatan Sipil
Dinas Pengelolaan Keuangan 337.581.293.198 418.697.104.590 Dinas Pemberdayaan 10.050.924.675
dan Aset Masyarakat dan
Pemerintahan Desa
Dinas Pendapatan Daerah 15.564.031.122 13.204.194.157 Dinas Pengendalian 21.467.860.109
Penduduk, KB,
Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak
PP No. 41/2007 PP No. 18/2016
Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Dinas Pertanian dan 1.165.000.000 150.000.000 Dinas Perhubungan 21.767.022.965
Peternakan
Badan Pemberdayaan 12.528.274.601 11.286.138.443 Dinas Komunikasi, Informasi, 10.157.030.304
Perempuan, Perlindungan Sandi, dan Statistik
Anak dan KB
Badan Kepegawaian Daerah 16.691.682.730 15.456.373.731 Dinas Koperasi dan UMKM 6.104.862.910
Badan Ketahanan Pangan dan 19.173.825.042 24.918.265.456 Dinas Penanaman Modal dan 6.467.310.977
Penyuluhan PTSP
Badan Penanaman Modal dan 162.870.000 188.136.350 Kantor Administrator KEK 2.843.258.704
Pelayanan Perizinan Terpadu Tanjung Lesung
Satu Pintu
Badan Pemberdayaan 8.950.752.794 6.071.414.128 Dinas Pemuda dan Olah Raga 10.919.657.078
Masyarakat dan Pemerintahan
Desa
Badan Penanggulangan 5.192.602.959 4.160.732.070 Dinas Perpustakaan dan Arsip 5.781.653.251
Bencana Daerah (BPBD)
Bappeda 10.777.987.500 10.581.671.280 Dinas Perikanan 11.942.814.328
Kapasitas Perangkat Daerah
111
112

PP No. 41/2007 PP No. 18/2016


Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Sekretariat DPRD 27.648.916.142 36.544.359.997 Dinas Pariwisata 10.946.980.937
Sekretariat Daerah 200.000.000 167.000.000 Dinas Pertanian 30.682.426.989
Inspektorat 8.896.587.378 10.053.015.729 Dinas Perindustrian, 16.586.096.049
Perdagangan dan ESDM
Kantor Lingkungan Hidup 4.806.835.454 5.011.488.489 Badan Perencanaan dan 12.833.140.000
Pembangunan Daerah
Kantor Perpustakaan, Arsip 30.000.000 14.200.000 Pejabat Pengelolaan
Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

dan Dokumentasi Keuangan Daerah (PPKD)


Kantor Administrator Kawasan 150.000.000 1.405.390.722 Badan Pengelolaan Keuangan 47.555.890.409
Ekonomi Khusus Tanjung Daerah
Lesung
Badan Pelayanan Pajak 12.697.412.592
Daerah
PP No. 41/2007 PP No. 18/2016
Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran Nomenklatur Perangkat Tahun Anggaran
Daerah Daerah
2015 2016 2017
Badan Kepegawaian dan 17.099.995.500
Diklat
Dewan Perwakilan Rakyat 13.913.555.894
Daerah
Kepala Daerah dan Wakil 777.374.366
Kepala Daerah
Sekretariat Daerah 50.780.265.731
Sekretariat DPRD 36.657.521.078
Inspektorat 13.419.006.034
Badan Kesatuan Bangsa dan 5.887.774.859
Politik
Sumber: BPKAD Kabupaten Pandeglang, 2017.
Kapasitas Perangkat Daerah
113
114 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Berdasarkan Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa untuk belanja


bidang pendidikan dan kebudayaan cenderung mengalami
penurunan sejak tahun 2016 hingga 2017. Pada tahun 2015 ke
tahun 2016 alokasi belanja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Pandeglang mengalami penurunan yakni dari Rp.
1.013.085.110.004,- menjadi Rp. 902.603.709.699,-. Sementara itu
pada tahun 2017 kembali mengalami penurunan menjadi Rp.
859.172.232.964,-.
Sementara untuk alokasi belanja Dinas Kelautan dan
Perikanan (2015 dan 2016) pun mengalami penurunan dari Rp.
12.414.799.849,- menjadi Rp. 8.969.602.256,-. Alokasi belanja
tersebut kembali mengalami peningkatan saat menjadi Dinas
Perikanan pada tahun 2017 sebesar Rp. 11.942.814.328,-
Dampak dari belum adanya kebijakan pelaksanaan mengenai
kuasa penarikan pajak dan retribusi tambang di kabupaten/
kota ini adalah aktivitas dan pengelolaan tambang tidak ada
yang mengawasi. Kalaupun ada inspektur tambang, tetapi sejak
ditarik kewenangannya ke Provinsi, sehingga inspektur tambang
pun tidak terlihat begitu berperan dalam melakukan fungsi
pengawasan kepada kab/kota yang memiliki bahan galian. Yang
diuntungkan adalah pihak swasta yang menjadi tidak terawasi
aktivitas dan juga tidak dikenakan pungutan.
APBD juga belum memperlihatkan adanya belanja modal
yang signifikan untuk pembangunan infrastruktur seperti ba­
ngunan perkantoran baru misalnya bagi kabupaten/kota yang
kewenangannya ditarik ke Provinsi atau Pusat. Secara umum
penurunan jumlah APBD-P adalah karena kebijakan optimalisasi
dari Pusat. Karena masih banyak daerah-daerah yang memiiki
ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap APBN, sehingga
berdampak dalam DAU maupun juga dana perimbangan.
Seperti yang diperlihatkan dalam grafik tentang perbandingan
APBD di Provinsi Kalimatan Selatan, Kabupaten Banjar dan
Kota Banjarmasin dalam kurun waktu 2015 sampai dengan 2017,
memperlihatkan beberapa hal, sebagai berikut.
Kapasitas Perangkat Daerah 115

Grafik 5. Perbandingan APBD Provinsi Kalimatan Selatan,


Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin 2015-2017
Sumber: BPKAD Provinsi Kalsel, Kab. Banjar dan
Kota Banjarmasin, 2017

Grafik di atas menggambarkan perbandingan APBD 2015-


2017 dari aspek dana perimbangan, PAD dan belanja pegawai
tidak langsung di Provinsi Kalimatan Selatan, Kabupaten
Banjar dan Kota Banjarmasin. Secara keseluruhan trend APBD
terlihat fluktuatif. Trend APBD Provinsi Kalimantan Selatan
secara umum adalah yang tertinggi dibandingkan Kabupaten
Banjar dan Kota Banjarmasin terutama dari aspek PAD sebesar
Rp 3,205,743,749,000.00 pada Tahun 2017. Demikian juga
dana perimbangan Provinsi Kalimatan Selatan Pada Tahun
2016 adalah yang tertinggi dibanding tahun 2015 dan 2017 dan
dibandingkan dengan Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin
pada Tahun 2015-2017. Sedangkan belanja pegawai tidak langsung
di Provinsi Kalimatan Selatan Pada Tahun 2017 adalah yang
tertinggi dibandingkan tahun dan lokus lainnya yaitu sebesar Rp
1.267.399.649.471,-.
Dalam APBD 2015-2017, terlihat bahwa jumlah PAD di
Provinsi Kalimatan Selatan adalah yang tertinggi dibandingkan
Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin meskipun trendnya
116 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

fluktuatif. Dari grafik APBD 2015-2017 terlihat bahwa Puncak


tertinggi PAD Provinsi Kalimatan Selatan adalah pada Tahun 2017
dengan jumlah sebesar Rp. 3.205.743.749.000,- dan merupakan
yang tertinggi dibandingkan Kota Banjar dan Kabupaten
Banjarmasin. Sedangkan PAD Kabupaten Banjar adalah yang
terendah yaitu pada Tahun 2015 sebesar Rp. 164.190.712.544,-
. Dana Perimbangan Provinsi Kalsel, Kota Banjarmasin, dan
Kabupaten Banjar terlihat pada tabel berikut.

Tabel 19. Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Selatan, Kota


Banjarmasin, dan Kabupaten Banjar

Dana Perimbangan (dalam milliar rupiah)


Dana Alokasi Dana Alokasi Dana Bagi Hasil/
Daerah
Umum/DAU Khusus/DAK DBH
2016 2017 2016 2017 2016 2017
Provinsi Kalsel 779,52 1.111,20 952,09 756,87 912,07 392,94
Kota 709,29 709,29 211,23 187.00 166,04 133,14
Banjarmasin
Kabupaten NA 774,39 NA 243,50 NA 243,23
Banjar

Sumber: Data diolah PKDOD LAN, 2017.

Dari tabel di atas dapat diinformasikan bahwa dana per­


imbangan merupakan sumber pendapatan utama bagi Provinsi
Kalimatan Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin.
Dana Perimbangan Provinsi Kalimatan Selatan masih yang
tertinggi dibandingkan dengan dana perimbangan Kabupaten
Banjar dan Kota Banjarmasin. Dana perimbangan tertinggi
pada Tahun 2016 di Provinsi Kalimatan Selatan sebesar Rp.
2.643.678.465.300,- sedangkan dana perimbangan terendah
terdapat di Kota Banjarmasin pada Tahun 2016 sebesar Rp.
1.086.563.485.606.-.
Trend belanja pegawai tidak langsung di Provinsi Kalimatan
Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin adalah moderat
fluktuatif artinya tidak ada kenaikan atau penurunan yang terlalu
Kapasitas Perangkat Daerah 117

drastis dari tahun ke tahun. Trend belanja pegawai tidak langsung


di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin adalah moderat.
Jumlah belanja tertinggi di Kota Banjarmasin adalah pada Tahun
2015 sebesar Rp. 836.260.192.175,-, dan Belanja pegawai tidak
langsung yang tertinggi di Kabupaten Banjar adalah di 2016 di
Rp. 809.673.516.155,-.
Sedangkan belanja pegawai yang tertinggi diantara Provinsi
Kalimantan Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin
dalam kurun waktu 2015-2017 adalah pada Tahun 2017 di Provinsi
Kalimantan Selatan yaitu sebesar Rp. 1.267.399.649.471,-.
Pengurangan belanja pegawai terjadi di Kabupaten Banjar yaitu
sebesar Rp. 71.778.669.576,- yaitu pengurangan anggaran dari
anggaran Tahun 2016 kepada anggaran 2017.
Sedangkan anggaran belanja tidak langsung di Kota
Banjarmasin dan Provinsi Kalimatan Selatan terlihat peningkatan
dari Tahun 2016 ke Tahun 2017 yaitu masing-masing sebesar Rp.
7.619.983.277,- dan Rp. 501.922.171.771,- dari yang sebelumnya
masing-masing sebesar Rp. 765.477.477.700,- dan Rp.
774.083.045.277,- pada Tahun 2016 menjadi masing-masing Rp.
766.463.062.000,- dan Rp. 1.267.399.649.471,- pada Tahun 2017.
Dari data tersebut terlihat bahwa pengalihan beberapa
urusan ke Pemerintah Provinsi, tidak serta merta anggaran semua
kabupaten dan kota menurun, karena meskipun ada penarikan
urusan ke Pemerintah Provinsi, anggaran belanja pegawai tidak
langsung di Kota Banjarmasin justru meningkat sedangkan
Kabupaten Banjar anggaran belanja pegawai tidak langsungnya
menurun pada Tahun 2017.
Berdasarkan pada data dalam grafik perbandingan APBD
Kalimatan Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin 2015-
2017 terlihat bahwa pelimpahan urusan tidak berdampak langsung
terhadap penurunan belanja tidak langsung di kabupaten dan
kota. Karena meskipun PP No. 18 Tahun 2016 sudah diterapkan
ada Kota yang justru naik belanja pegawai tidak langsungsungnya
dan ada juga kabupaten yang belanja pegawai tidak langsungnya
menurunnya. Sebaliknya, di Provinsi Kalimantan Selatan dalam
kurun waktu 2015-2017 kenaikan belanja pegawai tidak langsung
118 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

terus bertambah secara signifikan dan mencapai puncaknya pada


Tahun 2017. Menurut Bappeda Kota Banjarmasin, dengan ada
penggabungan ini, tidak begitu terpengaruh dalam pembiayaan,
karena kita juga melakukan beberapa penghematan di beberapa
pos belanja. Saat ini kami fokus pada penyelesaian rumah sakit.
Sebelum 2012, pada saat penerapan Peraturan Pemerintah No. 41
Tahun 2007 Badan Keuangan juga digabung, dengan Dispenda.
Lebih lanjut, menurut Bappeda Kota Banjarmasin bahwa
setelah ada Undang-Undang tentang PDRB dan dialihkannya
PBB menjadi pajak daerah, intensitas pelayanan pajak
menjadi meningkat. Menjadi ironi, disatu sisi Pemda diminta
meningkatkan kinerja di satu sisi kelembagaannya dipangkas.
Kami tetap mendiskusikan kepada Kemendagri untuk bisa
memisahkan dua OPD ini. Variabel umum dimasukan ke
dalam variable teknis, ini yang menjadi masalah, variable teknis
idealnya menitikberatkan pada beban kerja. Mereka berharap
agar penggabungan ini tidak berdampak pada PAD, walaupun
memang sudah terdeteksi terjadi penurunan 5% dari PAD.
Untuk kategori luas daerah mengapa dimasukan ke variable
teknis, jika demikian menjadi tidak adil bagi daerah-daerah yang
luas wilayahnya kecil tetapi beban kerjanya besar. Sedangkan
di kabupaten yang beban kerjanya lebih kecil tapi karena luas
wilayahnya besar sehingga dapat masing-masing berdiri sendiri
badan keuangan dan badan pendapatan.
Ada beberapa urusan yang ditarik yaitu terminal, yang
merupakan potensi yang hilang. Anggaran sudah disesuaikan
dengan OPD yang akan dibentuk, pada semester I 2017 baru akan
terlihat kinerja efektifitas anggaran. Kalau penerimaan memang
ada penurun sedikit dibandingkan tahun-tahun berikutnya.
Dalam perbandingan APBD Kota Banjarmasin 2015-
2017, terlihat trend penurunan pendapatan secara umum
dibandingkan dengan APBD-P 2016, pada APBD-P 2016 sebesar
Rp. 1.544.787.107.88,-, menjadi Rp. 1.481.945.786.000,-. Hasil
pajak daerah 2017 adalah Rp. 177.333.500.000 sedangkan hasil
pajak daerah 2016 adalah Rp. 169.779.718.000,-, atau diperkirakan
ada kenaikan penerimaan dairi hasil pajak daerah.
Kapasitas Perangkat Daerah 119

Data ini menjadi bertentangan dengan perhitungan yang


dilakukan Badan Keuangan Daerah Kota Banjarmasin yang pada
awal 2017 memperkirakan terjadi penurunan potensi penerimaan
dari hasil pajak dan retribusi daerah sebesar 5% dari tahun 2016.
Data yang lebih valid dari APBD akan lebih terlihat setelah adanya
APBD-P 2017 setelah adanya optimalisasi dan juga penyerapanan
serta pendapatan daerah yang lebih faktual.
Aspek keuangan pada Kabupaten Banjar terlihat dari
data pada Pendapatan Asli Daerah selama tahun 2014 hingga
2016 terus mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2017
mengalami sedikiti pengurangan, khususnya jenis pendapatan
Lain-lain Pendapatan yang Sah. Dari sisi belanja, terdapat
penurunan pada belanja pegawai. Ini merupakan konsekuensi
logis yang memang didesain oleh UU No. 23/2014, yaitu adanya
perpindahan beberapa pegawai kabupaten ke provinsi dan
K/L, baik untuk pemerataan pegawai dan rasionalisasi belanja
pegawai untuk pembangunan.
Dari pos belanja pegawai pada APBD-P 2016 dibandingkan
dengan APBD 2017 seperti yang terdapat pada Kota Banjarmasin,
terlihat perubahan (APBD-P 2016, belanja pegawai Rp.
774.093.045.277,-, sedangankan pada APBD 2017 belanja pegawai
berjumlah Rp. 766.462.062.000,-, terjadi peningkatan sejumlah
Rp. 2.369.016.7,-. Padahal telah terjadi pengalihan P2D guru-
guru sekolah menengah atas ke Pemerintah Provinsi.
Idealnya, terjadi pengurangan belanja pegawai di Kota
Banjarmasin dan bukan sebaliknya. Hal ini terjadi, karena Kota
Banjarmasin masih memberikan subsidi kepada Provinsi kepada
guru-guru non-PNS asal Kota Banjarmasin yang dipekerjakan
di Provinsi, sehingga beban anggarannya masih terdapat dalam
APBN 2017 Kota Banjarmasin. Karena Provinsi tidak bersedia
membayar honorarium guru-guru non-PNS yang dialihkan.
Selain itu ketika APBD 2017 disusun pada bulan Oktober
2016 masih menggunakan asumsi pembiayaan yang lama yaitu
APBD-P 2016 karena pada saat itu perhitungan mengenai P2D
belum selesai dilakukan, sehingga gaji guru-guru sekolah
menengah atas masih diperhitungkan dalam APBD 2017.
120 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Perubahan akan dilakukan ketika APBD-P bulan Oktober 2017


karena sudah mempunyai data P2D yang lengkap. Hasil temuan
tim kajian, hampir di semua lokus kajian, data tentang aset
yang dialihkan belum selesai proses penatausahaannya maupun
pengalihannya sampai dengan pertengahan tahun 2017. Sehingga
tidak mengejutkan jika asumsi perhitungan APBD 2017 masih
kurang lebih sama dengan APBD-P 2016.
Urusan ESDM dan urusan kehutanan sudah tidak memiliki
alokasi anggaran sesuai dengan tidak adanya lagi OPD yang
menangani urusan tersebut.Sementara itu, urusan yang
pendapatan dan belanjanya menunjukkan penurunan jumlah
adalah Urusan Perhubungan. Hal ini sesuai dengan adanya
penarikan urusan pengelolaan terminal penumpang tipe A ke K/L.
Dari sisi belanja, urusan Pendidikan juga mengalami penurunan
seiring dengan berpindahnya kewenangan Pendidikan menengah
ke provinsi. Sedangkan dari sisi pendapatan, urusan penanaman
modal menurun drastis.Hal ini mengindikasikan adanya
pengaruh dari penarikan urusan pada target-target investasi di
Kabupaten Banjar.
Secara umum, APBD Kabupaten Banjar tampaknya
tidak terlalu terpengaruh dengan penataan OPD yang baru
dilakukan karena pergeseran nilai dalam APBD tidak drastis.
Dari hasil diskusi dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah, Kabupaten Banjar optimis untuk tetap mencapai target
pendapatan. Semula seharusnya mampu melampaui target, tapi
karena pertambangan logam mineral dan galian C menurun,
maka sasaran prediksi perolehan pendapatan hanya akan
mencapai target.
Berkaitan dengan pajak, tidak adanya Dinas Pertambangan
membawa kesulitan bagi pemerintah kabupaten untuk
melakukan pengawasan dan pengendalian. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh salah satu narasumer di Kabupaten Banjar,
bahwa berkaitan dengan pajak, setiap bulan sudah ada target
yang harus di pungut. Tetapi karena tidak ada pengawasan
tidak ada, maka pemda hanya murni mendapat laporan dari
pengusaha. Yang namanya wajib pajak, mungkin semua, yang
Kapasitas Perangkat Daerah 121

namanya pajak itu kalau bisa dihindari ya dihindari.


Tidak hanya tentang pungutan pajak, potensi masalah juga
terjadi pada pembagian Bagi Hasil Pajak dari Provinsi. Hal ini
sebagaimana dinyatakan bahwa dalam rangka bagi hasil, data
teknisnya berasal dari Dinas Pertambangan, baik itu harga batu
bara atau mineral, kemudian berapa jumlah yang akan diterima.
Dengan bubarnya Dinas Pertambangan, akhirnya tidak bisa
dapat data. Ke depan provinsi akan mengadakan proses rekon.
Kalau tidak, maka pemkab tidak akan mendapatan data ini.
Perimbangan (keuangan) jadi terserah Pusat dan pemkab tidak
bisa complain.
Berdasarkan data sekunder dan penjelasan dari para
narasumber, dapat dismpulkan bahwa secara rata-rata PAD
di Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota
Banjarmasin lebih tinggi dibanding nilai Dana Perimbangannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan daerah-daerah ini
mempunyai kemampuan fiskal yang baik karena tidak
terlalu bergantung pada dana perimbangan. Sebagai contoh
perbandingan PAD dengan dana perimbangan Provinsi Kalimatan
Selatan adalah sebesar 1.42%. Meskipun kecil namun 1.42%
inilah ruang fiskal yang dapat dimanfaatkan Provinsi Kalimatan
Selatan dalam meningkatkan pelayanan publik di daerahnya.
Berdasarkan pada data tersebut, maka dapat dikatakan kapasitas
keuangan di Kalimatan Selatan, Kabupaten Banjar dan Kota
Tanjungpinang mampu menjalankan urusan-urusan yang
dimandatkan kepadanya karena masih ada ruang fiskal dari
PAD yang lebih besar daripada dana perimbangannya. Besar
PAD berbanding terbalik dengan besarnya dana perimbangan.
Sehingga ketika PAD meningkat, maka dana perimbangan akan
berkurang demikian pula sebaliknya.
Sebaliknya yang terjadi di Provinsi Kepri, Kabupaten
Bintan dan Kota Tanjungpinang, kapasitas fiskal daerah yang
menjadi ukuran dalam mengukur kemampuan keuangan daerah
adalah secara umum lebih rendah dibandingkan dengan dana
perimbangannya.
122 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Grafik 6. Perbandingan APBD Provinsi Kepri, Kabupaten Bintan


dan Tanjungpinang Tahun 2015-2017
Sumber: BPKAD Provinsi KEPRI, Kab. Bintan dan
Kota Tanjungpinang, 2017

Grafik tersebut di atas menggambarkan perbandingan


PAD, Dana Perimbangan dan Belanja Pegawai Tidak Langsung
di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Bintan dan Kota
Tanjungpinang pada Tahun 2015-2017. Berdasarkan pada grafik
tersebut terlihat, trend APBD 2015-2017 di ketiga lokus di atas
menunjukkan trend yang fluktuatif terutama untuk trend pada
Dana Perimbangan, sedangkan trend pada PAD dan belanja tidak
tetap menunjukkan trend moderat. Trend dana perimbangan
menunjuk yang trend tertinggi dibandingkan 2 trend lainnya yaitu
PAD dan belanja pegawai tidak langsung. Dana perimbangan
Provinsi Kepri merupakan yang tertinggi dan mencapai puncak
pada Tahun 2017 yaitu sebesar Rp. 2.096.085.459.062,-, sedangkan
PAD Kota Tanjung Pinang adalah yang terendah di Tahun 2016
yaitu sebesar Rp. 116.448.594.500,-.
PAD Provinsi Kepri merupakan PAD tertinggi dibandingkan
Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang. Trend PAD di
Provinsi Kepri menunjukkan trend penurunan yang sangat
kecil. PAD tertinggi adalah pada Tahun 2015 yaitu sebesar Rp.
Kapasitas Perangkat Daerah 123

1.143.360.000.000,- dan PAD terendah adalah pada Tahun 2017


sebesar Rp. 1.104.344.658.957,-. PAD terendah adalah di Kota
Tanjungpinang yaitu sebesar Rp. 116.448.594.500,- pada Tahun
2017.
Trend dana perimbangan di Provinsi Kepri, Kabupaten
Bintan dan Kota Tanjungpinang mengalami pertumbuhan
yang signifikan dan moderat dalam kurun waktu Tahun 2015-
2017. Pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada Tahun 2017 yaitu
sebesar Rp. 2.096.085.459.062,- di Provinsi Kepri dan yang
terendah adalah Kabupaten Bintan di Tahun 2015 sebesar Rp.
528.653.805.619,-.
Data dalam APBD 2015-2017 di Provinsi Kepri, Kabupaten
Bintan dan Kota Tanjungpinang dalam hal belanja tidak langsung
menunjukkan trend kenaikan yang sedikit tajam di Provinsi
Kepri dan perkembangan yang moderat di Kabupaten Bintan
dan Kota Tanjungpinang. Pertumbuhan belanja pegawai tidak
langsung yang tertinggi adalah di Provinsi Kepri pada tahun 2017
sebesar Rp. 552.919.168.745,- dan yang terendah di Provinsi Kepri
pada Tahun 2015 sejumlah Rp. 299.824.680.232,-. Trend kenaikan
belanja pegawai tidak langsung yang terus meningkat terjadi di
Provinsi Kepri sejak Tahun 2015 sampai dengan 2017 dengan nilai
sebesar masing-masing Rp. 299.824.680.323,- pada Tahun 2015,
Rp. 334.969.925.172,- pada Tahun 2016 dan Rp. 334.969.925.172
pada Tahun 2017. Pertumbuhan pertumbuhan yang moderat
terjadi di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Belanja
pegawai tidak langsung di Kabupaten Banjar di Tahun 2017 terjadi
kenaikan dibandingkan Tahun 2016 sebesar Rp. 18.572.721.150,-
. Sedangkan di Kota Tanjungpinang, belanja pegawai tidak
langsung terjadi penurunan di Tahun 2017 dibandinkan dengan
belanja pada Tahun 2016 sebesar Rp. 66.837.624.662.
Menurut narasumber di Bappeda Kota Tanjungpinang,
kapasitas keuangan Kota Tanjungpinang dengan adanya PP 18
Tahun 2016 tidak terlalu bermasalah, karena sumber pendapatan
utama dari Kota Tanjungpinang adalah perdagangan dan jasa.
Urusan tambang yang ditarik ke Provinsi, juga belum efektif
dilaksanakan, sehingga Pemerintah Kota masih bisa menarik
124 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

retribusi dan pajak mineral yang ada di Kota. Dari aspek DAU
dengan pengalihan guru-guru PNS ke PNS memang berkurang,
karena ada pengalihan pembiayaan gaji. Namun struktur APBD
secara keseluruhan memang mengalami penurunan bukan
karena penerapan PP 18 Tahun 2016 tapi karena memang
transfer dana perimbangan dari Pusat berkurang karena adanya
optimalisasi dan ini berlaku untuk pusat dan daerah.
Perbandingan APBD 2015-2017 di Kota Tanjungpinang
mengalami fluktuasi, pada Tahun 2015 jumlah pendapatan
adalah sebesar Rp. 831.675.332.351,- , sedangkan pada Tahun 2016
jumlah pendapatan adalah Rp. 1.047.234.876.955,-, dan pada
Tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 906.500.000.000,-
. Penurunan APBD 2016 ke APBD 2017 menurut BPKAD adalah
bukan karena penerapan PP NO. 18 TAHUN 2016 tetapi karena
adanya optimalisasi anggaran APBN. Kota Tanjungpinang masih
sangat mengandalkan dana perimbangan, sehingga optimalisasi
anggaran dari pusat akan mempengaruhi postur APBD pada
tahun berjalan.
Sementara itu narasumber di Bagian Ortala Kota
Tanjungpinang mengatakan DAU dan DAK juga terpengaruh
karena ada OPD yang langsung bersentuhan dengan pusat.
Namun demikan, menurut narasumber di Kota Tanjungpinang,
bahwa ego sektoral dalam meleburnya dinas pasar ke dinas
perdagangan ini akan berdampak pada anggaran. Jika tidak
ada kata perdagangannya maka tidak ada anggaran yang bisa
disalurkan ke daerah. Sebagaimana dikatakan salah seorang
narasumber di Bappeda Kota Tanjungpinang bahwa struktur
penerimaan tidak terlalu signifikan, misalnya UU pajak daerah
belum direvisi sehingga kami masih bisa mengambil retribusi
dan pajak terhadap mineral bukan logam. Pergerakan ekonomi
di Tanjungpinang bukan pada sumber daya alam tetapi kepada
perdagangan dan jasa.
Sementara itu, narasumber di BPKAD Kota Tanjungpinang
mengatakan bahwa APBD 2015-2016 terjadi defisit karena
pendapatan belum masuk tetapi kegiatan sudah dilakukan.
Akhirnya Pemda hanya bertumpu pada Dana Perimbangan.
Kapasitas Perangkat Daerah 125

Kalau melihat dari PAD, walaupun terus meningkat tetapi belum


cukup untuk membiayai kegiatan yang ada. Pendapatan Provinsi
yang diterima tidak sesuai dengan target. Masih ada hutang
dari provinsi dimana tahun 2017 hampir lunas, tetapi belum
mencukupi anggaran kegiatan. Kegiatan prioritas walikota belum
bisa jalan. Ada arahan untuk mengefisiensikan kegiatan-kegiatan
untuk menutup pembiayaan rutin. Salah seorang narasumber
di Bappeda Kota Tanjungpinang menambahkan bahwa ada
beberapa potensi yang tergambar dalam PDRB. Disperindag
salah satu yang di depan, selain juga Dinas Pariwisata sebagai
penggerak vital perekonomian Kota Tanjungpinang.
Data APBD Kota Tanjungpinang tahun 2015-2017
memperlihatkan bahwa terjadi penurunan pendapatan asli
daerah dari pos pendapatan pajak daerah dari Rp. 59.320.000.000,-
, pada tahun 2016 menjadi Rp. 56.000.000.000,- pada tahun 2017.
Meskipun terjadi penurunan penerimaan hasil pajak daerah,
Kota Tanjungpinang tidak begitu terpengaruh dengan aktivitas
pertambangan yang kewenangannya ditarik ke provinsi. Aktivitas
ekonomi utama Kota Tanjungpinang adalah pada perdagangan
dan pariwisata. Belanja pegawai juga mengalami penurunan dari
tahun ke tahun, pada tahun 2017 belanja pegawai direncanakan
sebesar Rp. 98.612.268.727,-, dibandingkan pada tahun 2016, maka
belanja pegawai terjadi penurunan, yang sebelumnya sebesar
Rp. 101.183.829.386,-. Penurunan belanja pegawai karena pada
saat penyusunan ini, telah diasumsikan pengalihan pembiayaan
guru-guru sekolah menengah ke Provinsi. Kebutuhan keuangan
daerah cukup besar dari tahun ke tahun.
Sementara itu, APBD Kabupaten Bintan tahun 2017,
kapasitas keuangan PAD-nya hanya sekitar 20%. Sisanya sebesar
70% berasal dari Dana Perimbangan dan 10% dari Pendapatan
lain-lain. Dana Perimbangan masih mendominasi pendapatan
dengan jumlahnya yang fluktuatif. Jika dilihat lebih detil,
banyaknya DAU yang ditransfer ke Kabupaten Bintan justru
meningkat. Hal yang sama juga ditemukan pada jumlah yang
dikeluarkan untuk Belanja Pegawai Tidak Langsung, yaitu terus
meningkat. Dari keterangan narasumber, jumlah APBD masih
126 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

belum cukup untuk mendukung untuk pengembangan pegawai,


terlebih lagi untuk mendukung kemandirian daerah.
Menurut narasumber di BPKAD Kota Tanjungpinang dalam
FGD tertanggal 4 Mei 2017, bahwa dengan dana perimbangan
yang 70% itu mandatory spendingnya luar biasa juga (kesehatan
10%, Pendidikan 20%, dll), hampir 50%. Dari 70% itu diskresi
pemerintah kurang. Sumber PAD yang 19%: 92% habis untuk
belanja rutin, diskresi 8%. Fiscal space sangat kecil. Ini menjadi
kendala untuk mengembangkan pegawai. Tidak bisa berbuat apa
pun sebenarnya. Kita dituntut untuk belanja sampai 1 triliun,
sedangkan kapasitas fiskal tidak mencukupi, harusnya PAD lebih
digenjot lagi. Dari sisi kebijakan kita tidak bisa meningkatkan
tarif, sehingga kurang mendorong PAD. Misalnya, harus
menukung industri kreatif. Kapasitas kuncinya di SDM juga,
tidak hanya sarpras.
Dampak penataan OPD terhadap aspek keuangan dapat
dicermati pada perubahan alokasi pendapatan dan belanja
untuk urusan-urusan yang sudah tidak menjadi kewenangan
kabupaten sebaagai berikut. Data dari APBD 2015-2017 tentang
pembiayaan urusan-urusan menunjukkan penataan OPD tidak
terlalu berpengaruh pada besaran anggaran pendapatan dan
belanja yang menjadi kewenangan kabupaten. Anggaran untuk
urusan ESDM dan Urusan Kehutanan sudah tidak ada lagi, sesuai
dengan pengaturan. Sementara untuk belanja urusan kelautan
dan perikanan cenderung fluktuatif dan justru meningkat jika
dibandingkan dengan alokasi belanja dalam APBD-P 2016.
Potensi kelautan di Bintan belum menjadi sumber pendapatan
yang signifikan. Dengan Perda No. 7 Tahun 2016, urusan kelautan
tidak lagi menjadi kewenangan kabupaten, yang ada hanya
urusan perikanan. Dengan demikian, penarikan kewenangan di
bidang kelautan tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan
pendapatan Kabupaten Bintan. Menurut narasumber di
BPKAD Bintan bahwa sektor kelautan dipertanyakan masalah
retribusinya. Selama ini perikanan dihapuskan, padahal ada
potensi. Tidak ada aturan dari provinsi dan kejelasan dana bagi
hasil dari provinsi. Bintan termasuk besar potensinya.
Kapasitas Perangkat Daerah 127

Merujuk pada data APBD Provinsi Kepri, Kabupaten Bintan


dan Kota Tanjungpinang terlihat bahwa :
1. Ketiga pemerintah daerah ini masih sangat tergantung
pada dana perimbangan dari pusat. Dana perimbangan
terus meningkat dari Tahun 2015-2017. Sebagai contoh
perbandingan PAD Provinsi Kepri Tahun 2017 dengan dana
perimbangan Provinsi Kepri Tahun 2017 adalah sebesar
1.90%;
2. Data belanja tidak langsung di Provinsi Kepri terlihat ada
peningkatan sebesar 1% atau sejumlah Rp. 217.949.243.573,-
dibandingkan 2016. Sebaliknya di Kota Tanjungpinang
pada Tahun 2017 terjadi penurun belanja pegawa tidak
langsung sebesar Rp. 66.837.624.662,- dibandingkan Tahun
2016. Sebaliknya di Kabupaten Bintan terjadi kenaikan
belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp. 18.572.721.150,-
dibandingkan 2016;
3. Besar PAD berbanding terbalik dengan besarnya dana
perimbangan. Sehingga ketika PAD meningkat, maka dana
perimbangan akan berkurang demikian pula sebaliknya;
4. Dari data di atas dapat disebutkan bahwa kapasitas keuangan
daerah di Provinsi Kepri, Kabupaten Bintan dan Kota
Tanjungpinang masih kurang karena ketergantungan yang
sangat tinggi dengan dana perimbangan.
Keterbatasan fiskal juga terjadi di Kota Serang, sebagai
daerah baru yang baru berusia kurang lebih 10 tahun, Kota
Serang memiliki banyak keterbatasan untuk mengembangkan
potensinya di Provinsi Banten. Berbeda dengan Kota Cilegon
yang berbasiskan pada industri pengolahan, potensi utama
Kota Serang terletak pada sektor perdagangan, jasa, pertanian,
dan pariwisata. Namun demikian sektor ini belum membawa
dampak berarti pada penguatan ekonominya. Hal ini bisa terlihat
dari struktur APBD Kota Serang yang masih bertumpu pada
Dana Perimbangan Pusat dan Daerah yaitu Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung
anggaran pendapatan dan belanjanya. Pasca UU No. 23 Tahun
128 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

2014, sejumlah urusan strategis (perikanan dan kelautan,


kehutanan, ESDM, dan pendidikan menengah) pemerintah
daerah kabupaten/kota ditarik ditarik ke pemerintah provinsi
dan pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi pada struktur
kelembagaan daerah kabupaten/kota
Namun demikian, Pemda Kabupaten Pandeglang meyakini
hal tersebut tidak akan berpengaruh pada Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Sebaliknya, Pemda Kabupaten Pandeglang tetap
mengupayakan terwujudnya peningkatan PAD. Hal ini dilakukan
melalui optimalisasi pendapatan dari sektor-sektor yang selama
ini menjadi tumpuan atau sektor yang sedang didorong untuk
terus bertumbuh sehingga dapat meningkatkan kontribusi
terhadap pendapatan daerah. Dalam periode 2015-2017, jumlah
kontribusi PAD Kabupaten Pandeglang memang menunjukkan
trend peningkatan terhadap postur APBD.
Sementara itu, efek dari deregulasi perijinan berdampak pada
berkurangnya pendapatan dari sektor perijinan. Namun Pemda
Kabupaten Pandeglang sedang berencana untuk menaikkan tarif
IMB, sehingga dapat menutupi hilangnya sumber pendapatan
daerah. Selain itu, Pemda Kabupaten Pandeglang juga sedang
mengupayakan efisiensi belanja birokrasi (pegawai). Pengelolaan
keuangan daerah sudah menggunakan aplikasi SIKD. Hanya
belum semua terintegrasi dengan sistem tersebut. Dalam waktu
dekat, Pemda Kabupaten Pandeglang juga sedang merencanakan
pemberian tunjangan kinerja (tukin). Pemda Kabupaten
Pandeglang kini sedang giat membangun sistem digital,
termasuk smart city, kerjasama dengan Bank Jabar Banten (BJB),
dan sedang merancang SP2D.
Selain kapasitas keuangan, dalam aspek ini juga terkait
dengan sarana dan prasarana yang dialihkan dan yang diterima.
Sarana merupakan segala sesuatu yang dipakai sebagai alat
dalam mencapai maksud atau tujuan, sedangkan prasarana
merupakan segala sesuatu yang merupakan penunjang utama
terselenggarakannya suatu proses (usaha, pembangunan,
proyek). Sarana ditujukan kepada benda-benda yang bergerak
seperti computer danmesin–mesin.
Kapasitas Perangkat Daerah 129

Sedangkan prasarana lebih ditunjukkan untuk benda-benda


yang tidak bergerak seperti gedung. Secara umum definisi sarana
dan prasarana adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses
upaya yang dilakukan di dalam pelayanan publik, jika kedua
hal tersebut tidak tersedia maka semua kegiatan yang ingin
dilakukan tidak akan tercapai. Definisi sarana prasarana menurut
Moenir (1992:119) sarana merupakan segala jenis peralatan,
perlengkapan kerja dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat
utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga dalam
rangka kepentingan yang sedang berhubungan dengan organisasi
kerja. Prasarana merupakan peralatan pembantu maupun
peralatan utama, yang keduanya berfungsi untuk mewujudkan
tujuan yang hendak dicapai.
Pengalihan urusan dalam kajian ini difokuskan pada empat
urusan yaitu pendidikan, kehutanan, kelautan dan perikanan
serta energi dan sumber daya mineral. Sarana dan prasarana
yang dialihkan karena adanya pengalihan 4 urusan tersebut
sebagaimana disampaikan pada tabel berikut.

Tabel 20. Jenis Sarana Dan Prasarana Yang Dialihkan

Urusan Yang
No. Sarana dan Prasarana
Dialihkan
1. Pendidikan • perabot, peralatan pendidikan, media
pendidikan, buku dan sumber belajar
lainnya, serta perlengkapan lainnya
• lahan, ruang kelas, ruang pimpinan,
ruang pendidik, ruang tatausaha,
perpustakaan, laboratorium, ruang
bengkel kerja, ruang unit produksi,
kantin, tempat olahraga, tempat
ibadah, tempat bermain, dan tempat
lainnya
• kantor balai pengembangan kegiatan
pendidikan
2. Kehutanan • alat pemadam kebakaran, alat
komunikasi, perlengkapan satuan
pengaman hutan, tanda batas
kawasan hutan, plang/tanda-tanda
larangan, alat mobilitas antara lain
130 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Urusan Yang
No. Sarana dan Prasarana
Dialihkan
dapat berupa kendaraan roda empat
dan roda dua serta kendaraan air.
• asrama satuan pengamanan hutan,
rumah jaga, jalan-jalan pemeriksaan,
menara pengawas, dan parit batas.
• kamera digital, alat perekam, global
positioning system (GPS), kompas,
komputer jinjing, kalkulator, soil
tester, pita meter, hagameter,
teropong, kendaraan roda dua atau
roda empat
3. ESDM • Lahan dan Kantor, perabotan,
kendaraan operasional, dll.
4. Kelautan dan • Pos Penyuluhan Perikanan,
Perikanan Laboratorium Kesehatan Ikan, Balai
Benih Ikan (BBI) dan Unit Pembenihan
Rakyat (UPR), Pabrik Pakan Miniplant
(BUMD atau UPT Dinas Teknis),
Kendaraan Roda Empat Operasional
Penyuluhan Perikanan, Kendaraan
Roda Dua Operasional Penyuluh
Perikanan, Alat-Alat Pengukur
Kualitas Air (pH meter, DO meter,
Hand Refractometer, Termometer
Raksa, Termometer Digital, Water
Test Kit, Kertas Lakmus, Botol sampel,
dll), Peralatan Media dan Materi
Penyuluhan Perikanan (Laptop,
LCD Proyek tor, Wireless Speaker,
UPS, Printer, Scanner, Modem
Internet, Handy Cam, dll), Peralatan
pendukung (Jas Hujan, Sepatu Boat,
Jaket Penyuluh, Topi Penyuluh, Kaos
Lapangan, dll), Fasilitas Pendukung
(Akses Radio, Majalah, Buletin,
Website, dll).
Sumber: Data Diolah oleh PKDOD LAN, 2017.

Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai akan


menunjang keberhasilan pelaksanaan misi suatu organisasi.
Sarana dan prasarana yang dimiliki daerah pada umumnya
masih kurang memadai, apalagi ditambah dengan adanya
Kapasitas Perangkat Daerah 131

pengalihan urusan yang menyebabkan ikut dialihkannya sarana


dan prasarana. Hal ini dijelaskan oleh salah satu informan
dari Pemerintah Kota Banjarmasin. Sarana dan prasarana yang
dirasakan Pemerintah Kota Banjarmasin kurang adalah gedung
perkantoran. Di sisi lain, sarana dan prasarana milik Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan berlebih dan banyak yang tidak
dipakai di Kota Banjarmasin. Seperti yang disampaikan oleh
Badan Keuangan Daerah Kota Banjarmasin, bahwa ketersediaan
sarana dan prasarana, terutama kantor memang masih kurang
bahkan sebelum PP NO. 18 TAHUN 2016 termasuk peralatan
kantor seperti perangkat komputer, apalagi tahun ini kami akan
mendasarkan pelayanan public berdasarkan IT.
Kondisi serupa juga terjadi di Kota Tanjungpinang.
Pemerintah Kota Tanjungpinang masih kekurangan sarana dan
prasarana. Bahkan ada beberapa SOPD yang masih menyewa
ruko untuk digunakan sebagai kantor. Di sisi lain, sebagian
SOPD Pemerintah Kabupaten Bintan masih menggunakan
gedung perkantoran yang berada di Kota Tanjungpinang.
Meskipun demikian hal tersebut tidak menyurutkan aparat
Pemerintah Kota Tanjungpinang dalam memberikan pelayanan
kepada masarakat. Seperti yang dikatakan narasumber Bappeda
Kota Tanjungpinang bahwa Kantor Pemko Tanjungpinang justru
masih banyak menyewa ruko, sedangkan kantor Pemkab Bintan
masih disini. Pemko malakukan optimalisasi apa yang ada terkait
sarana dan prasarana.
Pengalihan sarana dan prasarana di Kabupaten Bintan masih
dalam proses verifikasi oleh provinsi. Sementara, untuk aset
yang memang dimiliki oleh Kabupaten Bintan justru mengalami
penambahan pasca perpindahan pusat pemerintahan dariKijang.
Beberapa OPD masih menempati bangunan dengan status sewa
atau pinjam pakai, seperti Dinas Perumahan dan Permukinan,
Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah, Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah, dan Dinas Perpustakaan dan Arsip.
Di Kabupaten Pandeglang, terkait dengan pengalihan
urusan pendidikan menengah ke Provinsi, terdapat 29 gedung
SMA/SMK 29 yang dialihkan namun proses serah terimanya
132 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

masih berlangsung, terutama menyangkut P3D. Tabel berikut


menjelaskan jenis sarana dan prasarana yang dialihkan ke
Pemerintah Provinsi.

Tabel 21. Jumlah Aset/Sarana Prasarana Pemkab Pandeglang


yang Dialihkan

Nama Sarpras Jumlah


Gedung SMA 17
Gedung SMK 12
Kantor NA
Sumber: Bagian Organisasi dan Kelembagaan, Pemda Kabupaten
Pandeglang, 2017

Adapun terkait dengan ketersediaan sarpras OPD baru


relatif berjalan lancar karena semuanya sudah dapat menempati
gedungnya masing-masing, baik untuk OPD yang digabung
maupun yang dimekarkan.Penataan sarana dan prasarana
mengikuti skema pengalihan urusan (P3D) sebagai dampak
implikasi PP No. 18 Tahun 2016. Selama periode Oktober 2015
– Oktober 2016 telah beralih 13 sub urusan yang beralih antar
tingkatansusunan pemerintahan, yaitu 1 sub urusan dari provinsi
ke kabupaten/kota, 8 sub urusan dari kabupaten/kota ke provinsi
dan 5 sub urusan dari daerah ke pusat.
Untuk mempercepat proses peralihan P3D, Pemerintah
melalui Kemendagri telah membuat berbagai kebijakan.
Mendagri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 120/253/SJ Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan setelah
ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah tanggal 16 Januari 2015. Kemudian pada
16 Oktober 2015 Mendagri kembali mengeluarkan Surat Edaran
Nomor 120/5935/SJ Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pengalihan Urusan Pemerintahan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Permendagri mengeluarkan Surat Mendagri Nomor 120/6942/SJ
Kapasitas Perangkat Daerah 133

Tahun 2015 tentang Percepatan PelaksanaanUrusan Berdasarkan


UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 16
Desember2015. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Dirjen
Bina Bangda Kemendagripada tanggal 21 Januari 2016 dengan
nomor188/232/Bangda tentang Percepatan Pengalihan P3D
Urusan Pemerintahan sesuai UU 23 Tahun 2014. Di tanggal 11
Mei 2016 Mendagri mengeluarkan SE Mendagri Nomor 100/1743/
SJ Tahun 2016 tentang Percepatan PenyelesaianInventarisasi P3D
Sebagai Akibat Pengalihan Urusan Pemerintahan Berdasarkan
UU 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terakhir,
sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah, terbit instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 061/2911/SJ TAHUN 2016 tentang TindaklanjutPeraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Berdasarkan SE Mendagri 120/5935/SJ, inventarisasi P3D
paling lambat pada tanggal 31 Maret 2016, serah terima personel,
sarana dan prasarana serta dokumen paling lambat 2 Oktober
2016 dan serah terima pendanaan paling lambat 31 Desember
2016. Dengan demikian, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2017,
lembaga maupun instansi baik pemerintah pusat maupun daerah
(provinsi, Kabupaten/Kota) yang telah menerima pengalihan
urusan sudah dapat melakukan urusan pemerintahan yang
dialihkan. Namun demikian, berdasarkan data yang diperoleh
di lokus kajian proses penyerahan P3D belum sepenuhnya
terlaksana.
Di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan,
pengalihan sarana dan prasarana masih dalam proses verifikasi
di tingkat provinsi. Menurut informasi, Kabupaten Banjar
sendiri telah melakukan pemisahan aset (baik pertambangan,
pendidikan maupun pertanian) yang akan diserahkan. Kondisi
serupa juga terjadi di Kota Banjarmasin. Seiring pengalihan
urusan pemerintahan dari pemkab/pemko ke pemerintah
provinsi, idealnya diikuti pula dengan penyerahan sarana
prasarana atau sarprasnya. Namun berdasarkan wawancara dan
kuesioner yang telah diisi oleh narasumber, ternyata belum
seluruh sarpras tersebut dialihkan ke pemerintah provinsi
134 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Kalimantan Selatan. Pemerintah Kota Banjarmasin masih


memandang perlu melakukan verifikasi dan validasi sarana dan
prasarana yang akan diserahkan ke Pemerinta Provinsi. Di sisi
lain masih terdapat sarana dan prasarana Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota
Banjarmasin. Namun demikian di Kota Banjarmasin ini terdapat
paguyuban bendahara pengeluaran dan paguyuban pengurusan
barang berperan dalam memudahkan proses pengalihan asset.
Sementara itu, di Kabupaten Pandeglang, terkait aspek sarana
dan prasarana (sarpras), pasca penataan OPD setidaknya terdapat
sejumlah aset yang juga harus ditata kembali karena adanya
pengalihan ke Provinsi dan menyisakan masalah. Sedangkan
untuk ketersediaan sarana dan prasarana OPD Kabupaten
Pandeglang yang baru relatif berjalan lancar karena semuanya
sudah dapat menempati gedungnya masing-masing, baik untuk
OPD yang digabung maupun yang dimekarkan. Di Provinsi
Banten, menurut informasi Kabiro Organisasi, jumlah sarana dan
prasarana cukup memadai. Sedangkan proses pengalihan sarana
dan prasarana dari Kabupaten/Kota berdasarkan wawancara dan
kuesioner yang telah diisi oleh narasumber, masih memerlukan
penyelesaian.
Di Provinsi Kepri kondisi demikian juga terjadi. Seiring
pengalihan urusan pemerintahan dari pemkab/pemko ke
pemerintah provinsi, idealnya diikuti pula dengan penyerahan
sarana prasarana. Menurut informasi Kabiro Organisasi, jumlah
sarana dan prasarana yang ada dinilai telah cukup memadai.
Sedangkan berdasarkan data hasil wawancara dan kuesioner
yang telah diisi oleh narasumber, proses pengalihan sarana dan
prasarana dari Kabupaten/Kota ke pemerintah provinsi Kepri
masih belum beres atau masih memerlukan penyelesaian.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai sangat
penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas dan
fungsi sebuah lembaga. Berlarutnya proses pengalihan P3D
bisa menjadi kendala bagi OPD dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya. Terlebih bagi OPD yang memberikan pelayanan
langsung kepada masyarakat, karena hal ini akan berakibat
Kapasitas Perangkat Daerah 135

kurang optimalnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.


Adanya OPD yang masih menempati ruko sewaan tentu
akan berpengaruh bagi OPD dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Hal ini juga bisa berakibat menurunnya semangat dan
kinerja pegawai di OPD tersebut dalam menjalankan tugasnya.

4. Aspek Kebijakan
Pasca lahirnya PP No. 18/2016, terjadi perubahan dalam
kebijakan sektoral. Beberapa kebijakan yang mengalami
pegalihan kewenangan seperti kehutanan, kelautan dan
perikanan, pendidikan, dan ESDM membuat kementerian harus
mengeluarkan pedoman penyusunan nomenklatur perangkat
daerah. Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 tahun 2016
tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah dan Unit
Kerja Pada Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan di Bidang Kelautan
dan Perikanan. Namun demikian, meski Permen ini mengatur
secara jelas bahwa untuk nomenklatur dinas di kabupaten
hanya berlaku nomenklatur Dinas Perikanan, namun masih
banyak Kabupaten/Kota yang masih menyematkan nomenklatur
kelautan dalam nomenklatur barunya. Di lokus Provinsi Banten
dan Kalimantan Selatan, sebagian besar kabupaten/kota yang
memiliki laut tidak memasukkan nomenklatur kelautannya
seperti di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak. Namun di
beberapa provinsi lain, seperti Provinsi Jawa Barat, cukup banyak
kabupaten/kota yang menyematkan nomenklatur kelautan di
dalamnya.

Tabel 22. Nomenklatur Dinas Urusan Kelautan dan Perikanan di 11


Kabupaten/Kota se Jawa Barat yang Memiliki Wilayah Laut

No. Kabupaten/Kota Nomenklatur


1. Kabupaten Sukabumi Dinas Kelautan dan Perikanan
136 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

No. Kabupaten/Kota Nomenklatur


2. Kabupaten Cianjur Dinas Kelautan, Perikanan dan
Peternakan
3. Kabupaten Garut Dinas Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Dinas Ketahanan Pangan dan
4. Tasikmalaya Perikanan
5. Kabupaten Dinas Kelautan, Pertanian dan
Pangandaran Kehutanan
6. Kabupaten Cirebon Dinas Kelautan dan Perikanan
7. Kabupaten Indramayu Dinas Perikanan dan Kelautan
8. Kabupaten Subang Dinas Perikanan
9. Kabupaten Karawang Dinas Perikanan dan Kelautan
10. Kabupaten Bekasi Dinas Perikanan dan Kelautan
11. Kota Cirebon Dinas Pangan, Pertanian, Kelautan
&Perikanan
Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber1

Perbedaan yang terjadi di daerah ini dapat dibaca sebagai


tidak berjalannya koordinasi dan komunikasi yang selaras
antara pemerintah pusat dengan daerah. koordinasi di tingkat
pusat pun cukup menjadi perhatian karena antar kementerian
pun berbeda-beda dalam penetapan regulasinya. Harmonisasi
aturan antara kementerian sektoral dengan Kementerian
Dalam Negeri sebagai koordinator pemerintah daerah belum
sepenuhnya terjalin dengan baik. Sehingga yang menjadi korban
dari perbedaan ini adalah pemerintah daerah yang diwajibkan
mengacu pada regulasi yang dibuat oleh pusat. Miskonsepsi ini
terjadi pula pada aspek lainnya seperti bidang kehutanan.
Selain itu, hal menarik lainnya di bidang kelautan dan

1 Rico Hermawan, Implikasi Pengalihan Urusan Kelautan dan Perikan-


an Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Studi Kasus di Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten In-
dramayu), Tesis, Departemen Manajemen dan Kebijakan, FISIPOL UGM,
Yogyakarta.
Kapasitas Perangkat Daerah 137

perikanan yaitu terkait perbedaan definisi tentang nelayan


kecil dalam UU No. 23/2014 dengan UU No. 7/2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayanan Pembudidaya Ikan,
dan Petambak Garam. Di UU No. 7 Tahun 2016, definisi dari
nelayan tradisional ternyata berbeda dengan UU No. 23 Tahun
2014. Di UU No. 7 Tahun 2016, definisi tentang nelayan kecil adalah
nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan
kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal
penangkap ikan berukuran paling besar 10 GT. Sementara UU
No. 23/2014 tidak menyebutkan secara eksplisit pengertian dari
nelayan kecil. Disebutkan dalam UU No. 23/2014, nelayan kecil
adalah mereka yang memiliki kapal sampai dengan ukuran 5
GT. Perbedaan dari dua definisi yang berbeda ini menimbulkan
persoalan dalam proses perizinan. Ada dualisme pemahaman
disini. Karena menurut UU No. 7 Tahun 2016, definisi nelayan
kecil adalah nelayan yang memiliki kapal penangkap ikan di
bawah 10 GT. Sedangkan di UU No. 23 Tahun 2014 yaitu antara
5 sampai dengan 10 GT sudah menjadi urusannya pemerintah
provinsi.2 Perbedaan ini menibulkan kebingungan di daerah
ketika berkaitan dengan proses perizinan kapal. Menurut UU
No. 23 Tahun 2014, kapal di atas ukuran 5 GT sudah menjadi
domain kebijakan pemerintah provinsi. Sementara Kementerian
Kelautan dan Perikanan menginginkan kapal di bawah 10 GT
tidak dikenai biaya dalam perizinannya, cukup terdaftar di
kabupaten/kota. Alhasil, dapat dikatakan perbedaan pengaturan
di UU Pemerintahan Daerah dengan UU sektoral tersebut
mengambarkan problem kelembagaan. Padahal UU No. 7 Tahun
2016 notabene merupakan UU yang lahir dua tahun setelah UU
No. 23 Tahun 2014.
Pada sektor kehutanan, setelah PP No. 18 Tahun 2017 terbit,
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menerbitkan
Permen Kehutanan dan LH Nomor P.74/Menlhk/Setjen/

2 Ibid.
138 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Kum.1/8/2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah


Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan
Pemerintahan bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Permen ini cukup jelas keselarasannya dengan PP No. 18 Tahun
2016 karena secara garis besar pengalihan urusan kehutanan dan
lingkungan hidup lebih banyak berdampak pada aspek sumber
daya manusia dibanding aspek kelembagaannya. Satu hal yang
cukup menimbulkan distorsi justru mengenai pembentukan
cabang dinas yang diatur dalam PP No. 18 Tahun 2016. Pengaturan
tentang pembentukan cabang dinas di Permen tersebut terlihat
justru bertentangan dengan Permendagri No. 12 Tahun 2017
sebagai turunan dari PP No. 18 Tahun2016 yang mengatur
tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas
dan Unit Pelaksana Teknis Daerah. Dalam Permendagri tersebut,
cabang dinas didefinisikan sebagai “bagian dari perangkat
daerah penyelenggara urusan pemerintahan bidang pendidikan
menengah, kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya
mineral dan kehutanan yang dibentuk sebagai unit kerja dinas
dengan wilayah kerja tertentu. Lembaga ini memiliki tugas
membantu kepala dinas daerah provinsi melaksanakan sebagian
urusan kelautan dan perikanan. Fungsinya pada pasal 3 ayat (2)
diantaranya adalah
a. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan dan program sesuai
dengan lingkup bidang tugas dan wilayah kerjanya;
b. Koordinasi pelaksanaan evaluasi dan pelaporan program dan
kegiatan sesuai dengan lingkup bidang tugas dan wilayah
kerjanya;
c. Koordinasi dan pelaksanaan administrasi sesuai dengan
lingkup bidang tugas dan wilayah kerjanya; dan
d. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh kepala dinas
terkait dengan tugas dan fungsinya.
Dari segi aturan dalam permendagri tersebut, terlihat bahwa
fungsi utama dari cabang dinas adalah mengerjakan tugas-
tugas korodinasi, evaluasi dan pelaksanaan fungsi lain. Cabang
dinas tidak diperuntukkan untuk menjalankan fungsi-fungsi
Kapasitas Perangkat Daerah 139

keteknisan. Pola pikir ini berbeda dengan aturan cabang dinas


dalam Permen kehutanan dan lingkungan hidup. Dalam permen
tersebut, dimuat pengaturan tentang cabang dinas dimana
lembaga ini memiliki fungsi-fungsi yang terlihat cukup jelas
lebih menjalankan fungsi-fungsi keteknisan. Pada lampiran 13,
fungsi dari cabang dinas itu adalah:
a. Pelaksanaan pelayanan, pemantauan, penilaian dan
pengawasan administrasi dalam urusan bidang kehutanan
pada wilayah kerjanya guna mendukung percepatan dan
efisiensi pelayanan publik.
b. Pelaksanaan pendampingan dan pengembangan
pembangunan hutan rakyat, pengelolaan hutan kota, dan
penghijauan lingkungan di luar kawasan hutan negara di
wilayah kerjanya.
c. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pengolahan
hasil hutan, pemasaran, dan industri primer hasil hutan
kayu/bukan kayu di wilayah kerjanya.
d. Pelaksanaan pengendalian dan pengawasan tertib
administrasi pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang
tidak dilindungi/tidak masuk lampiran.
e. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pengelolaan
kawasan ekosistem esensial, daerah penyangga KSA dan
KPA yang berada di luar kawasan hutan negara di wilayah
kerjanya.
f. Pelaksanaan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di
bidang kehutanan di luar kawasan hutan negara di wilayah
kerjanya.
Terlihat dalam rumusannya, fungsi-fungsi cabang dinas
yang diinginkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan diarahkan untuk mengisi tugas fungsi keteknisan
yang memudahkan pelayanan publik di masyarakat. Artinya,
ada suatu jalan pikiran yang tidak sama antara Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Dalam
Negeri disini dalam mendefinisikan cabang dinas.
140 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

Sementara itu, di bidang Energi Sumber Daya Manusia


problem kelembagaan terlihat dalam konstruksi antara
ketentuan di UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (minerba) dengan UU Pemerintahan
Daerah. UU Minerba memag masih mengatur pembagian
urusan kewenangan bidang ESDM antara pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota seperti
disebutkan pada pasal 8 UU Minerba yang menyebutkan tentang
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Kewenangan-
kewenangan yang disebutkan pada pasal tersebut praktis tidak
berlaku kembali dan sepenuhnya kewenangan menjadi milik
provinsi. Oleh karena itu, pengalihan ini menjadi agenda
penting yang masuk dalam poin-poin perubahan UU Minerba
nantinya, agar terjadi sinkronisasi dengan UU Pemerintahan
Daerah. Meski begitu, perlu ada pengaturan yang memberikan
porsi kepada pemerintah kabupaten/kota khususnya terkait
dengan pengawasan wilayah pertambangan. Karena beberapa
kabupaten/kota menunjukkan respon kurang peduli terhadap
pengawasan wilayah pertambangan akibat mereka tidak
memiliki kewenangan lagi di urusan tersebut. Padahal hal ini
dapat berdampak pada sustainabilitas ekosistem lingkungan
hidup.
Problem kebijakan yang dihadapi oleh daerah dalam
penataan perangkat daerah sendiri cukuplah beragam.
Pertama dalam hal pembentukan perangkat daerah untuk
urusan bencana. Sebagian besar lokus penelitian menghadapi
kebingungan dalam menentukan bentuk perangkat daerah yang
menangani urusan kebencanaan. Karena pada PP No. 18 Tahun
2016, urusan kebencanaan diletakan sebagai urusan utama yang
dibentuk dalam bentuk dinas. Seperti yang dialami oleh Kota
Banjarmasin, pemerintah kota kebingungan untuk menentukan
urusan kebencanaan dibentuk dalam bentuk dinas atau badan.
Akhirnya, setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan dan Kementerian Dalam Negeri disepakati
bahwa urusan kebencanaan diwadahi dalam bentuk badan. Hal
ini mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Kapasitas Perangkat Daerah 141

Bencana khususnya di pasal 18 yang menyebutkan nomenklatur


untuk urusan kebencanaan adalah berbentuk badan yaitu Badan
Penanggulangan Bencana Daerah. Penentuan format badan ini
pada akhirnya berlaku untuk seluruh daerah di Indonesia. Hal
ini tidak terlepas dari pengaturan tentang kebencanaan yang
memang di atur sendiri oleh peraturan perundang-undangan
setingkat undang-undang. Oleh karena itu, PP No. 18 Tahun 2016
yang hanya setingkat peraturan pelaksana akhirnya harus “kalah”
dengan undang-undang. Oleh karena itu, poin perbedaan ini
penting menjadi perhatian apabila dilakukan revisi terhadap
peraturan perundangan tentang kebencanaan nantinya atau UU
Pemerintahan Daerah itu sendiri untuk menjamin terjadinya
sinkronisasi kebijakan.
Kedua, mengenai pengaturan mengenai pengali skor hasil
perhitungan perangkat daerah untuk provinsi yang wilayahnya
berbentuk kepulauan ataupun berbatasan dengan negara
tetangga. Dalam PP No. 18 Tahun 2016 disebutkan jika dalam
pembentukan perangkat daerahnya, bagi daerah provinsi,
kabupaten, dan kota yang berciri geografi khusus seperti berciri
kepulauan, berbatasan darat dengan negara lain, atau berbatasan
dengan pulau-pulau terluar di daerah perbatasan faktor
pengalinya terhitung cukup besar yaitu antara 1,4 sampai dengan
1,5. Dapat dipahami, salah satu alasan pemerintah memberikan
faktor pengali yang lebih besar adalah agar perangkat daerah yang
terbentuk lebih maksimal menangani problem kewilayahan.
Dengan sederhana sebenarnya membuat perangkat daerah yang
terbentuk struktur organisasinya lebih besar. Kasus di Provinsi
Kepulauan Riau mungkin bisa menjadi temuan menarik.
Khususnya pada kasus di Kabupaten Kepulauan Anambas.
Kepulauan ini terletak hampir 300 km di timur laut Batam.
Dari hasil perhitungan skor, dengan pengalinya mencapai 1,5,
secara matematis ini berdampak pada struktur organisasi yang
dibentuk di Kabupaten Kepulauan Anambas menjadi lebih besar.
Namun hal ini sebenarnya tidaklah sinkron jika melihat fondasi
pemerintahannya. APBD Kabupaten Kepulauan Anambas pada
tahun 2017 angkanya mencapai Rp. 759 milyar dimana setengah
142 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

anggarannya habis untuk belanja pegawai yaitu sekitar Rp. 358


Milyar (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian
Keuangan, 2017). Pada akhirnya, dengan beban biaya yang sangat
tinggi untuk membiayai sumber daya aparaturnya, pembangunan
di kabupaten kepulauan tersebut menjadi sangatlah terbatas.
Sementara pendapatan asli daerahnya (PAD) hanya sebesar Rp.
22 milyar (DJPK, Kementerian Keuangan, 2017). Dapat dikatakan
kemandirian fiskalnya sangat rendah. Sementara, faktor paling
bermasalah di kabupaten tersebut adalah faktor infrastruktur.
Oleh karena itu, nilai pengali yang besar ini dapat dikatakan
tidak menjadi faktor yang menentukan untuk memperkuat
kualitas perangkat daerah di Kabupaten Kepulauan Anambas
secara khusus.
Terlepas dari itu, dalam implementasinya di daerah,
penerapan PP No. 18 Tahun 2016 ini tidak bisa dilepaskan dari
lingkungan politik daerah. Hal ini dapat dilihat dari temuan di
lapangan yang memperlihatkan dalam melakukan penataan
perangkat daerah, demarkasi proses administrasi dan politik
terlihat begitu tipis. Dalam kasus jual beli jabatan di Klaten
seperti yang sempat tersiar ke publik beberapa waktu lalu karena
adanya modus korupsi di dalam penataannya adalah sesuatu yang
memang tidak bisa di hindari. Namun demikian tidak semuanya
motif politik itu dilatarbelakangi oleh agenda kepentingan politik
praktis dan uang semata. Namun ada juga yang didasari pada
kepentingan lain seperti efisiensi anggaran. Di Kabupaten Banjar
misalnya, bupati menolak untuk membentuk Dinas Kearsipan
meskipun dapat berdiri sendiri karena setelah divalidasi urusan
kearsipan dapat dibentuk dengan tipe A. Namun atas dasar
kepentingan efisiensi anggaran daerah, bupati memilih untuk
menurunkan tipe dan menggabungkannya dengan urusan
perpustakaan.
Di sisi lain, efisiensi yang menjadi semangat dalam UU
No. 23 Tahun 2014 ternyata tidak bisa sejalan dengan kerangka
kemandirian yang diusung UU tersebut.Seperti yang terjadi
di Kabupaten Banjar. Perangkat daerah yang justru memiliki
kontribusi besar terhadap kemandirian fiskal (PAD) justru
Kapasitas Perangkat Daerah 143

ditarik urusannya ke tingkat provinsi. Hal ini terjadi dengan


ditiadakannya Dinas Pertambangan dan Energi. Dinas ini
semula berperan sebagai pengumpul dan pengawas pengelolaan
tambang di wilayah kabupaten, tetapi dinas ini kini tidak
ada lagi. Kabupaten Banjar memiliki potensi cukup besar di
bidang mineral logam dan batuan (galian C). Sementara itu,
provinsi belum mengeluarkan peraturan tentang harga dasar
untuk operasionalisasi urusan tersebut mengingat bahwa
kabupatenlah yang akan menjalankan kewenangan tersebut
dengan berpedoman pada harga dasar yang ditetapkan oleh
provinsi. Menurut Kabupaten, ketiadaan aturan main dari
provinsi menunjukkan belum siapnya provinsi untuk melakukan
pengelolaan tambang tersebut. Provinsi juga masih menghadapi
masalah keterbatasan SDM.
Hal ini menjadi dilema bagi kabupaten karena ternyata
juga terdapat pertentangan antara UU No. 23 Tahun 2014 dan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
UU ini masih belum mengalami penyesuaian sehingga masih
memungkinkan kabupaten untuk memungut retribusi perizinan
pertambangan. Akan tetapi, di sisi lain kabupaten sudah tidak
memiliki kewenangan di bidang tersebut. Sebagai jalan tengah
yang dipilih, kabupaten akhirnya mengeluarkan harga dasar
berdasarkan Peraturan Bupati, walau tidak dibenarkan. Celah
ini tentu saja memberikan keuntungan bagi para pengusaha
pertambangan. Mereka yang oportunis terus melakukan kegiatan
penambangan dan kabupaten tidak bisa melakukan pengawasan
dan pengendalian. Kegiatan penambangan perlu diawasi dan
dikendalikan, khususnya terkait pengedalian penggunaan
air tanah yang potensinya bisa habis. Aktivitas pengendalian
tersebut lebih penting daripada pelaporan pajaknya.
Di Kota Banjarmasin, dukungan politik dalam implementasi
PP No. 18 Tahun 2016 sangat kondusif mengingat Perda terkait
penerapan PP No. 18 Tahun 2016 merupakan Perda tercepat di
Banjarmasin. Karena anggota DPRD dalam prosesnya juga terlibat
sampai ke Kemendagri. Pembahasan yang agak sulit adalah
terkait dengan pembahasan apakah bidang pemadam kebakaran
144 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

(Damkar) harus menjadi perangkat sendiri atau digabung dengan


yang lain. Pilihan kebijakan yang diambil kemudian adalah
Damkar dimasukan kedalam Dinas Satuan Pamong Praja, karena
penanganan Damkar di Banjarmasin dipandang sebagai bidang
swadaya masyarakat. Pemerintah memberikan dana pembinaan
kepada masyarakat terkait Damkar.
Sementara itu, dalam pengukuhan pejabat-pejabat yang
mengisi jabatan baru juga tidak terjadi masalah karena telah
dilakukan seleksi terbuka pada tahun sebelumnya, meskipun
dalam seleksi terbuka itu ada yang disinyalir merupakan pejabat
yang sudah disiapkan untuk posisi tertentu. Namun secara umum
telah dilakukan seleksi. Di Kabupaten Banjar, Pemda Kabupaten
Banjar melibatkan pihak DPRD selama prosesnya. Akan tetapi,
seperti juga ditemukan di daerah lainnya, intervensi politik
untuk penempatan pejabat struktural masih sangat kental.
Sementara itu di Provinsi Jawa Barat, intervensi dari DPRD
untuk mengadakan perangkat daerah tertentu agar setingkat
dinas cukup terlihat. Ini terlihat dalam penentuan perangkat
daerah bidang peternakan di Provinsi Jawa Barat yang mendapat
intervensi dari salah satu anggota DPRD yang kebetulan juga
merupakan pengusaha peternak ayam. Anggota DPRD tersebut
meinginkan agar nomenklatur peternakan dibentuk setingkat
dinas dalam rangka mengakomodasi kepentingan bisnis
peternakan di Jawa Barat. intervensi politik semacam ini jelas
merupakan hal yang perlu dipertanyakan. Boleh saja ketika hasil
penghitungan menghendaki urusan peternakan dibentuk dalam
bentuk dinas, maka hal tersebut bisa saja dibenarkan. Namun
jika penghitungan variabel menyebutkan angka yang tidak
signifikan untuk dibentuk dinas, maka hanya akan menimbulkan
inefisiensi anggaran dan politisasi birokrasi.
Lain cerita kasus di Kota Serang yang sedikit banyak lebih
ditentukan oleh faktor daerah tersebut sebagai daerah otonom
baru (DOB). Penataan organisasi terkendala oleh banyak hal
baik dari sumber daya manusia hingga keuangan dikarenakan
Pemerintah Kota Serang secara tingkat kemandiriannya belum
dapat dikatakan mandiri. Masih banyak penyesuaian yang harus
Kapasitas Perangkat Daerah 145

dilakukan oleh daerah otonomi baru tersebut. Sementara itu,


di Kabupaten Pandeglang tidak mengalami gangguan politik
yang berarti selama proses penataan OPD berlangsung. Hal ini
salah satunya dikarenakan selama proses penataan, Pemerintah
Kabupaten Pandeglang aktif merangkul DPRD sebagai legislatif
daerah dalam menetapkan perangkat-perangkat daerahnya.
Penyusunan Perda SOTK perangkat daerah yang baru dilakukan
berdasarkan hasil konsultasi yang intens dengan DPRD. Padahal
tahun 2016, Kabupaten Pandeglang tengah mengalami transisi
politik seiring adanya suksesi kepemimpinan dengan terpilihnya
Bupati baru hasil Pilkada tahun 2015.
Bab V Penutup

Pada bagian ini akan disampaikan kesimpulan-kesimpulan


dari keseluruhan pembahasan di bab sebelumnya, khususnya
terkait Bab IV yang membahas aspek per aspek kapasitas
perangkat daerah. Namun tentu saja kontribusi dari bagian
lain merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan dalam
melakukan penarikan kesimpulan (secara kualitatif) dan
merekomendasikan.

A. Kesimpulan
1. Aspek Kelembagaan
Penataan kelembagaan daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 telah ditindaklanjuti
oleh setiap pemerintah daerah dengan menerbitkan Perda
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Perda
SOTK kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan gubernur
atau peraturan bupati/Walikota sebagai bentuk pengaturan lebih
lanjut tentang struktur organisasinya. Penataan perangkat daerah
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 Tahun 2016 telah
mengakibatkan kelembagaan pemerintah daerah yang makin
148 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

membesar. Fakta ini (pembengkakan struktur) menarik, karena


tidak sejalan (tidak inline) dengan kebijakan reformasi birokrasi
yang menghendaki terwujudnya kelembagaan/organisasi yang
tepat ukuran dan fungsi. Terkait dengan tepat fungsi, penataan
perangkat daerah diupayakan menyesuaikan tugas dan fungsi
yang diembannya, karena tusi merupakan relnya organisasi.
Namun demikian, klausul bahwa setiap urusan pemerintahan
dibentuk dalam satu SKPD dan kemudian dilanjutkan dengan
pengaturan perumpunan, hal ini menjadikan beberapa fungsi
organisasi kurang dapat dimaksimalkan dalam pelaksanaannya.
Sebagai contoh, fungsi pengelolaan sungai yang sebelumnya
ditangani oleh Dinas Sumber Daya Air dan Drainase (pada
waktu PP No. 41 Tahun 2007) kemudian diubah menjadi Dinas
Lingkungan Hidup (menurut PP No. 18 Tahun 2016), demikian
pula pengelolaan pasar yang sebelumnya ditangani oleh Dinas
Pengelolaan Pasar kemudian dimasukkan ke Dinas Perindustrian
dan Perdagangan.
Penataan fungsi sungai ke Dinas LH dan fungsi pengelolaan
pasar ke Dinas Perindag menunjukkan pembentukan perangkat
daerah tidak memperhatikan konstruksi kelembagaan apakah
masuk ke dalam entitas ekonomi, teknis-operasional, ataukah
administrative. Fungsi pengelolaan sungai seharusnya ditangani
oleh lembaga/ perangkat yang secara teknis operasional
menangani sub urusan sungai, demikian pula pengelolaan
pasar nampaknya lebih tepat apabila ditangani oleh lembaga
semi-privat dalam kategori entitas ekonomi seperti Perusahaan
Daerah (PD) Pasar Jaya di DKI Jakarta.
Lalu terkait dengan pengalihan urusan pemerintahan dari
pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi – pendidikan
menengah, kehutanan, kelautan, dan ESDM – menimbulkan
persoalan-persoalan pelik terkait penataan kelembagaan daerah,
di antaranya menyangkut tata hubungan kerja antara pemkab/
pemko dengan pemprov, tata hubungan kerja antara cabang
dinas dan UPT pemprov dengan dinas di kabupaten/kota, tata
hubungan horizontal di pemprov maupun pemkab/pemko,
rentang kendali, dan beban kerja. Selanjutnya, pembentukan
Penutup 149

kelembagaan daerah berbasis nilai strategis daerah yaitu visi dan


misi pemerintah daerah, telah melahirkan perangkat daerah yang
berbeda dengan daerah lainnya. Sebagai contoh pembentukan
Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau dimaksudkan untuk
menjalankan Visi Provinsi Riau yaitu “Terwujudnya Kepulauan
Riau sebagai Bunda Tanah Melayu yang Sejahtera, Berakhlak
Mulia, Ramah Lingkungan dan Unggul di Bidang Maritim”.
Biasanya, di daerah lain pada umumnya urusan kebudayaan ini
diwadahi bersama-sama dengan urusan pendidikan sehingga
menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembentukan kelembagaan juga didasarkan pada potensi
dan karakteristik daerah masing-masing. Sebagai contoh, di
Kabupaten Banjar dan Kabupaten Pandeglang dibentuk Dinas
Perikanan karena kedua daerah memiliki potensi perikanan
yang besar. Yang terpenting bahwa pembentukan kelembagaan
tersebut sebenarnya untuk apa, apakah sekedar memenuhi unsur
administrative ataukah hendak memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

2. Aspek SDM
Salah satu point penting terkait aspek SDM adalah bahwa
aspek ini tidak dijadikan pertimbangan khusus dalam menata
kelembagaan daerah. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan
bahwa kondisi SDM tidak menjadi variabel penilaian, sehingga
persoalan SDM ini selalu terbawa kemana pun, termasuk pada
saat penataan perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Beberapa hal penting pada aspek SDM antara lain: Pertama,
berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 khususnya terkait pengalihan
urusan pemerintahan dari kabupaten/kota ke provinsi maka
telah terjadi penambahan jumlah SDM di pemerintah provinsi,
yakni di Provinsi Kalimantan Selatan dari 6.465 pegawai pada
masa periode PP No. 41 Tahun 2007 tentang Perangkat Daerah
menjadi 12.429 pegawai setelah implementasi PP No. 18 Tahun
2016 atau sebesar 92,25%, di Provinsi Banten meningkat dari
4.015 pegawai menjadi 10.375 pegawai atau bertambah sebesar
150 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

158,41%, dan di Provinsi Kepulauan Riau bertambah dari 2.714


menjadi 7.975 pegawai atau sebesar 93,85%. Sebaliknya, jumlah
SDM di pemerintah kabupaten/kota mengalami penurunan/
pengurangan dengan jumlah yang bervariasi, misalnya di
Kota Banjarmasin berkurang dari 1.133 pegawai menjadi 1.040
atau sebesar 8,94%, di Kabupaten Banjar dari 7.779 pegawai
menjadi 6.988 pegawai atau sebesar 11,32%, di Kota Serang dari
5.206 pegawai menjadi 4.600 pegawai atau sebesar 13,17%, di
Kabupaten Pandeglang (Provinsi Banten) dari 12.333 pegawai
menjadi 11.318 pegawai atau berkurang sebesar 8,97%, di Kota
Tanjungpinang dari 2.426 pegawai menjadi 2.020 pegawai atau
berkurang sebesar 20,10%, dan di Kabupaten Bintan dari 3.587
pegawai menjadi 3.287 pegawai atau berkurang sebesar 9,13%.
Pengurangan pegawai atau SDM di level pemkab/pemko ini
semakin menambah permasalahan kekurangan jumlah dan
kualitas SDM selama ini. Sementara itu, sejumlah daerah pun
belum dapat menuntaskan pengalihan penyuluh perikanan dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi sehingga prosesnya berlarut-larut.
Kedua, senada dengan jumlah SDM secara keseluruhan,
dalam hal penataan jabatan structural pun jabatan structural di
pemprov mengalami penambahan, sedangkan di
pemkab/pemko mengalami pengurangan, kecuali potret di
Kepulauan Riau yang menunjukkan penurunan jumlah jabatan
structural, yaitu berkurang dari 833 menjadi 785 jabatan. Untuk
jabatan structural di pemkab/pemko mengalami pengurangan,
misalnya di Kota Banjarmasin terdapat pengurangan jabatan
eselon II atau JPT dari 36 JPT menjadi 32 JPT, eselon III atau
Jabatan Administrasi dari 159 jabatan menjadi 149 jabatan, eselon
IV dari 891 jabatan menjadi 823 jabatan, dan eselon V dari 47
jabatan menjadi 35 jabatan. Demikian pula, gambaran yang terjadi
di pemkab/pemko lain pada umumnya menunjukkan trend
penurunan. Secara keseluruhan, jumlah jabatan struktural di
Kota Banjarmasin berkurang dari 1.133 menjadi 1.040 jabatan. Di
Kabupaten Banjar, jumlah jabatan struktural berkurang dari 905
menjadi 892 jabatan. Sementara di Kabupaten Pandeglang, jumlah
jabatan struktural berkurang dari 1.312 menjadi 1.291 jabatan.
Penutup 151

Ketiga, gambaran penempatan SDM pasca berlaku PP No. 18


Tahun 2016 menunjukkan variasi menarik. Penampatan jabatan
structural, khususnya JPT belum sepenuhnya sesuai harapan.
Khusus penempatan JPT telah diatur dalam Surat Edaran (SE)
Nomor B/3116/M.PANRB/09/2016 tentang Pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi (JPT) di Lingkungan Pemerintah Provinsi
(Pemprov) dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah. Menurut SE Menpan dan RB, pengisian JPT
dapat dilakukan melalui pengukuhan, uji kesesuaian (job fit),
dan seleksi terbuka (open bidding). Persoalan muncul manakala
pejabat (lama) tidak mendapatkan jabatan seperti semula,
menurut peraturan maka yang bersangkutan dapat diangkat
ke dalam jabatan administrator atau jabatan fungsional. Pada
praktiknya, pejabat yang bersangkutan tadi “dicarikan” posisi yang
setara dengan jenjang jabatan sebelumnya, meskipun kualifikasi
(ideal) yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan. Sebagai
contoh, seorang mantan Direktur RS (pendidikan drg.) kemudian
diangkat menjadi Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Lalu, penempatan dalam jabatan fungsional pun terjadi
persoalan yang cukup serius, karena pejabat-pejabat yang
tidak memperoleh jabatan kemudian diangkat dalam jabatan
fungsional ‘abal-abal’. Mengapa? Karena jabatan fungsional telag
diatur dalam Permenpan No. 25 Tahun 2016 tentang jenis-jenis
jabatan fungsional umum dan juga peraturan kepala instansi
pembina jabatan fungsional tertentu seperti peneliti, dosen,
analis kebijakan, dan sebagainya.
Keempat, terkait distribusi SDM yang sampai saat ini belum
tuntas. Hal ini juga terkendala oleh proses P3D yang belum
kunjung selesai di beberapa daerah. Redistribusi pegawai sebagai
akibat penghapusan kelembagaan dan struktur organisasi
perangkat daerah juga bermasalah.
Kelima, persoalan penambahan beban kerja SDM baik
bagi SDM provinsi maupun SDM kabupaten/kota. Dengan
beralihnya sejumlah kewenangan baru, SDM provinsi mengalami
penambahan beban kerja yang cukup besar. Meskipun terdapat
152 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

pengalihan SDM dari pemkab/pemko, tetapi jumlah dan kualitas


SDM yang dialihkan belum memadai untuk menangani beban
kerja yang semakin besar. Hal ini diperparah dengan belum
tersedianya dukungan sarana dan prasarana kantor sehingga
SDM pindahan dari pemkab/pemko belum sepenuhnya dapat
bekerja di instansi provinsi. Di sisi yang lain, di sebagian pemkab
dan pemko pun mengalami persoalan yang sama, overload
beban kerja. Karena memang, jumlah dan kualitas SDM sudah
bermasalah sebelum berlaku PP No. 18 Tahun 2016.

3. Aspek Keuangan
Secara spesifik, postur APBD untuk saat ini sampai dengan
dilakukannya APBD Perubahan (APBD-P) masih kurang lebih
sama dengan APBD sebelumnya baik dari aspek pendapatan
maupun belanja. Unsur yang mempengaruhi APBD keseluruhan
adalah kebijakan anggaran dari Pemerintah Pusat. Optimalisasi
yang dilakukan adalah karena adanya kebijakan Pusat. Potensi
penerimaan meskipun terdapat potensi penurunan dari sumber-
sumber pendapatan yang urusannya ditarik ke Pemerintah Pusat
maupun Provinsi, belum secara nyata terlihat. Namun demikian
di beberapa lokus telah dilakukan proyeksi pengurangan
pendapatan yang berasal dari pajak dan retribusi jika kebijakan
pelaksana sudah dibuat yang melarang pemerintah kabupaten/
kota tidak boleh lagi menarik pajak dan retribusi dari obyek pajak
yang urusannya telah diserahkan ke Pusat maupun Provinsi.
Namun bagi daerah-daerah yang tidak menggantungkan sumber
pendapatannya dari bahan galian dan kelautan, maka penarikan
kewenangan ke Provinsi tidak berdampak signifikan terhadap
potensi pendapatan daerah.
Dari aspek DAU pun tidak begitu terlihat perubahan dengan
adanya P2D guru-guru SMK dan SMA yang dialihkan ke Provinsi.
Sebaliknya, provinsi mempunyai kenaikan potensi pajak/
retribusi setelah kebijakan pajak/retribusi bahan galian, potensi
laut dan terminal dikelola oleh Provinsi. Namun demikian,
aspek kelembagaan baru hasil PP No. 18 Tahun 2016 berdampak
Penutup 153

pada DIPA SOPD. SOPD yang merupakan penggabungan


beberapa SOPD berimplikasi pada bertambahnya beban kerja
namun pengurangan DIPA anggaran dari SOPD tersebut ,yang
sebelumnya masing-masing SOPD punya anggaran sendiri
sebelum digabung.
Dari sisi ketersediaan, sarana dan prasarana yang dimiliki
daerah pada umumnya masih kurang memadai, apalagi
ditambah dengan adanya pengalihan urusan yang menyebabkan
ikut dialihkannya sarana dan prasarana. Selain itu, banyak sarana
dan prasarana yang tidak jelas kepemilikan dan pemanfaatannya.
Di beberapa daerah ada OPD yang masih menggunakan ruko
sewa sebagai kantornya. Di tempat lain ada OPD dari suatu
pemerintah daerah yang menempati kantor yang berada di
wilayah pemerintah daerah lain. Ada kantor milik pemerintah
daerah yang tidak termanfaatkan. Sedangkan dari sisi system
penataan sarpras, proses pengalihan sarana dan prasarana dari
pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi maupun
pusat sampai dengan saat ini belum tuntas. Di daerah yang
dikunjungi tim kajian, proses tersebut baru sampai dalam proses
verifikasi.

4. Aspek Kebijakan
Pasca lahirnya PP No. 18 Tahun 2016, terjadi perubahan
dalam kebijakan sektoral. Beberapa kebijakan yang mengalami
pegalihan kewenangan seperti kehutanan, kelautan dan
perikanan, pendidikan, dan ESDM membuat kementerian harus
mengeluarkan pedoman penyusunan nomenklatur perangkat
daerah. Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 Tahun 2016
tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah dan Unit
Kerja Pada Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan di Bidang Kelautan
dan Perikanan. Namun demikian, meski Permen ini mengatur
secara jelas bahwa untuk nomenklatur dinas di kabupaten
hanya berlaku nomenklatur Dinas Perikanan, namun masih
154 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

banyak Kabupaten/Kota yang masih menyematkan nomenklatur


kelautan dalam nomenklatur barunya.
Harmonisasi aturan antara kementerian sektoral dengan
Kementerian Dalam Negeri sebagai koordinator pemerintah
daerah belum sepenuhnya terjalin dengan baik. Sehingga yang
menjadi korban dari perbedaan ini adalah pemerintah daerah
yang diwajibkan mengacu pada regulasi yang dibuat oleh pusat.
Miskonsepsi ini terjadi pula pada aspek lainnya seperti bidang
kehutanan.
Sementara itu, aspek politik dalam penataan perangkat
daerah tidak dapat dilepaskan begitu saja. Di beberapa lokus,
keterlibatan politis dalam penataan perangkat daerah dan juga
sumber daya manusianya masih saja terjadi. Dalam kasus jual beli
jabatan di Klaten seperti yang sempat tersiar ke publik beberapa
waktu lalu karena adanya modus korupsi di dalam penataannya
adalah sesuatu yang memang tidak bisa di hindari. Namun
demikian tidak semuanya motif politik itu dilatarbelakangi oleh
kepentingan politik praktis dan uang semata. Namun ada juga
yang didasari pada kepentingan lain seperti efisiensi anggaran.
Di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan misalnya,
bupati menolak untuk membentuk Dinas Kearsipan meskipun
dapat berdiri sendiri. Namun atas dasar kepentingan efisiensi
anggaran, bupati memilih untuk meniadakan nomenklatur
tersebut.

B. Rekomendasi
1. Aspek Kelembagaan
Penataan kelembagaan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014
dan PP No. 18 Tahun 2016 perlu dilakukan review mendalam,
bukan pada upaya merevisi PP-nya tetapi lebih kepada
kesiapan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam
mengimplementasikan PP tersebut. Namun demikian, kiranya
perlu juga dipikirkan kembali tujuan penataan kelembagaan
daerah itu sendiri, apakah hanya dipandang sebagai kontrol
administratif Pemerintah kepada pemerintahan daerah ataukah
Penutup 155

hendak mewujudkan perangkat daerah yang benar-benar


mampu/memiliki kapasitas dalam memberikan pelayanan
publik terbaik kepada masyarakat di daerah. Rekomendasi
pertama terkait penataan perangkat daerah ini adalah perlunya
keselarasan antara kebijakan ini dengan kebijakan reformasi
birokrasi yang telah disepakati dan dijalankan terlebih dahulu.
Salah satunya adalah untuk mewujudkan kelembagaan yang
bercirikan ‘rightsizing’ yaitu kelembagaan yang tepat ukuran dan
tepat fungsi.
Kedua terkait konstruksi perangkat daerah yang dibentuk,
kiranya diarahkan untuk membentuk kelembagaan daerah
menurut karakteristik yang sesuai, apakah termasuk
kelembagaan entitas ekonomi/semi privat, teknis operasional,
ataukah administrative. Pertimbangan yang matang dalam
menata kelembagaan daerah berdasarkan 3 karakteristik
lembaga tersebut akan membantu pemerintah dan pemerintah
daerah, sehingga ke depan untuk sub urusan pengelolaan pasar
yang notabene bersifat semi privat tidak mungkin dimasukkan
ke dalam dinas perindag yang bersifat administrative. Demikian
pula, untuk sub urusan pengelolaan sungai yang bersifat teknis
operasional tidak mungkin efektif jika dimasukkan ke dalam
dinas lingkungan hidup yang juga bersifat administrative. Saran
yang diajukan, untuk urusan dan sub urusan yang bersifat semi
privat dapat dibentuk dalam BUMD, ataupun wadah lainnya yang
juga bersifat semi privat, sedangkan untuk urusan yang bersifat
teknis operasional dapat dibentuk dalam wadah UPT, adapun
yang bersifat administrative dapat dibentuk dalam dinas.
Ketiga, untuk perbaikan tata hubungan vertical (pemkab
dengan pemprov maupun pusat) dan horizontal (sesame
SKPD/SOPD) kiranya dapat dibentuk kelembagaan dengan
perumpunan yang senada (walaupun tidak sama persis, karena
hal itu mustahil).
Keempat, terkait pembentukan kelembagaan yang ber­
dasarkan nilai strategis daerah atau visi dan misi pemerintah
daerah harus memperoleh dukungan dari seluruh komponen.
Dinas Kebudayaan di Pemprov Kepri misalnya, tanpa dukungan
156 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

dari pimpinan, dinas dan badan lainnya, maka keberadaan


dinas kebudayaan tidak akan mampu mencapai tujuannya yakni
mengembalikan Bunda Tanah Melayu sebagaimana pernah jaya
pada abad ke-17 dan bertahan hingga 100 tahun.
Kelima, pembentukan perangkat daerah yang didasarkan
pada potensi dan karakteristik daerah merupakan salah satu
pilihan yang logis. Namun senada dengan pembentukan
perangkat daerah berdasarkan nilai strategis daerah, maka
argumentasi tentang potensi daerah hanya akan menjadi potensi
belaka dan tidak akan berubah menjadi kenyataan.

2. Aspek SDM
Dalam aspek SDM, ada beberapa rekomendasi yang patut
untuk disampaikan, baik bagi Pemerintah, pemprov, maupun
pemkab/pemko. Pertama, bagi Pemerintah, jumlah dan kualitas
SDM PNS harus menjadi pertimbangan utama dalam menyusun
regulasi penataan kelembagaan daerah. Memang benar bahwa
ada teori yang menyatakan “buat kotak terlebih dahulu, baru diisi
kotak yang sudah dibuat”, membuat kotak adalah membentuk
lembaga, sedangkan mengisi kotak adalah mengisi SDM PNS
nya. Ke depan kami kira harus dilihat keduanya, penataan
struktur organisasi mempertimbangkan SDM, dan sebaliknya
penataan SDM pun harus mempertimbangkan strukturnya.
Kedua, perlu perbaikan dan penataan ulang dalam proses
penempatan jabatan structural dan jabatan fungsional pasca PP
No. 18 Tahun 2014. Penempatan jabatan structural diharapkan
dapat memenuhi SE Menpan dan peraturan lain yang relevan.
Penempatan melalui pengukuhan pejabat lama ke dalam
jabatan baru, uji kesesuaian (job fit), maupun lelang jabatan
(open bidding) harus dapat dilaksanakan secara konsisten dan
bertanggung jawab. Harus ada sanksi yang dijatuhkan ketika
pengelola kepegawaian (Pejabat Pembina Kepegawaian/PPK dan
Pejabat yang Berwenang/PyB) dianggap melanggar manajemen
PNS terkait pengangkatan dalam jabatan (promosi). Perlunya
penempatan jabatan fungsional tera/penera pada pemerintah
Penutup 157

daerah guna melaksanakan sub urusan kemetrologian.


Ketiga, Pemerintah dalam hal ini Kemenpan dan RB
diharapkan segera menyelesaikan kerangka hokum dan
diseminasinya secepat mungkin karena waktunya yang sudah
sangat ‘mepet’. Di saat yang sama, pengelola pegawai (BKPSDM)
diharapkan mampu menyiapkan dan memilah-milah pegawainya
sesuai kompetensi yang dimiliki.
Keempat, mengenai beban kerja SDM pemprov maupun SDM
pemkab/pemko, ini memerlukan penyesuaian agar penilaian
kinerja yang bersangkutan mendapat nilai yang maksimal.

3. Aspek Keuangan
Pemerintah Provinsi perlu segera mengeluarkan kebijakan
pelaksana terkait penarikan pajak/retribusi yang urusannya
telah dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi untuk
menjamin kepastian hukum; SOPD-SOPD yang merupakan
hasil penggabung beberapa SOPD sebelum terbitnya PP No. 18
Tahun 2016 perlu diperhatikan besaran anggaran SOPD dengan
beban kerja, agar program dan kinerja daerah dapat tercapai;
APBD-P yang dilakukan mendatang perlu memperhitungkan
beban kerja dari SOPD hasil penggabungan beberapa SOPD;
Variabel teknis juga perlu memperhitungkan jumlah penduduk,
kondisi unik geografis suatu daerah, tidak hanya luas wilayah.
Hal ini berdampak pada tipe dan anggaran dari SOPD yang
bersangkutan.
Perlunya dilakukan pendataan semua sarana prasarana
baik yang berada di pemerintah kabupaten/kota maupun
di pemerintah provinsi untuk menghindari ketidakjelasan
kepemilikan dan pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut.
Perlu koordinasi antar pemerintahan baik kabupaten/kota,
provinsi maupun pusat untuk mempercepat proses inventarisasi
sarana dan prasarana. Perlu dilakukan tata kelola/penatausahaan
sarana dan prasarana untuk memudahkan proses pendataan
sarana dan prasarana.
158 Kajian Kapasitas Perangkat Daerah

4. Aspek Kebijakan
Untuk menjamin agar penataan perangkat daerah dapat
berlangsung lancar, perlu dukungan kebijakan. Dukungan
kebijakan antara lain melalui harmonisasi kebijakan antara Pusat
dan Daerah dalam menentukan nomenklatur kelembagaan
daerah. Sedangkan dukungan politik diupayakan melalui
dukungan lembaga legislative yang mengutamakan pada
penguatan kelembagaan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik, bukan mengutamakan
kepentingan politik jangka pendek atau golongan tertentu
saja. Selain itu, perlu juga dirumuskan suatu kebijakan yang
dapat membentengi penataan perangkat daerah tersebut dari
intervensi elite-elite politik baik di Pusat maupun di Daerah.
Daftar Pustaka

Alwi, Syafruddin. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia:


Strategi Keunggulan Kompetitif. Yogyakarta: Penerbit
BPFE.
Bell, Daniel. (1987). The World and the United States in 2013,
Daedalus, Vol. 116, No. 3 Summer, hal.1-31.
Byars, L dan, Rue, L.W., 1997. Human Resources Management,
5th Edition, Irwin, Chicago.
Brown, Lisanne, LaFond Anne, Macintyre, Katea, 2001.Measur-
ing Capacity Building, Carolina Population Centre, Uni-
versity of North Carolina, Chapel Hill.
Dessler, Gary. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi
Terjemahan. Jakarta: PT. Prenhallindo.
Edralin, J.SI, 1997.The New Local Governance and Capacity
Building: A Strategic Approach, Regional Development
Studies, Vol. 3.p.148-150.
Finn, J.L., & Barry Checksoway. (1998).Young People as Compe-
tent Community, Builders: A Challenge to Social Work,
“Social Work”, Vol. 43, p.4-6.
French, Wendell L. dan Cecil H. Bell. (1981). Dimensions of Or-
ganizational Behavior, New York: MacMillan Publishing
Co. Inc.
160 Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Hammaer, Michael and James Chammpy, 1995.RekayasaUlang


Perusahaan (Reenginering the Corporation).Terjema-
han: Djeorban Wahid, Jakarta: Gramedia.
Grindle, Merilee S., 1997. Getting Good Government: Capacity
Building in The Public Sector of Devloping Countries,
Boston.
James, Valentine Udoh, ed. (1998). Capacity Building in Develop­
ing Countries: Human and Environmental Dimensions.
Westport, Conn.: Praeger.
Leach, Steve; John Stewart, and Kieron Walsh. 1994. The Chang-
ing Organization and Management of Local Govern-
ment; London: McMillan Press Ltd.
Milen (2001).What Do We Know About Capacity Building?, An
Overview of Existing Knowledge and Good Practice. Ge-
neva: World Health Organization-Department of Health
Service Provision.
Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. (2009). Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Mintzberg, Henry. 1979. The Structuring of Organizations: A
Synthesis of The Research, New Jersey: Prentice-Hall.
Moleong, Lexy J. (2007).Metodologi Penelitian Kualitatif, Band-
ung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset.
Morison, Terrence, 2001. Actionable Learning – A Handbook for
Capacity Building Through Case Based Learning, ADB
Institute.
PKKOD LAN, 2009.Laporan Kajian Peningkatan Kapasitas Peny-
elenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: LAN.
Robbin, Stephen P. 1994.Teori Organisasi, Jakarta: Arcan.
Sugiyono. (2013).Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: PT. Afabeta.
Shah, Anwar dan Sana Shah, 2006. The New Vision of Local
Governance and the Evolving Role of Local Government
dalam Anwar Shah (ed), Local Governance in Developing
Countries (The World Bank, Washington D.C.).
Thoha, Miftah, 2008. BirokrasiPemerintah Indonesia di Era Re-
formasi, Jakarta: Kencana.
W. Riawan Tjandra, “Birokrasi Penataan Perangkat Daerah”,
http://www.unisosdem. org/ekopol_detail.php, diakses
pada tanggal 25 Juli 2017.
Daftar Pustaka 161

Undang-Undang Nomor 7 Tahun2016 tentang Perlindungan dan


Pemberdayaan Nelayanan Pembudidaya Ikan, dan Pet-
ambak Garam.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 Provinsi Kepulauan Riau.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Re-
tribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulan-
gan Bencana.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah.
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Na-
sional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refor-
masi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengisian
Jabatan Pimpinan Tinggi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas
dan Unit Pelaksana Teknis Daerah.
Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor
P.74/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Pedoman
Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupat-
en/Kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan bi-
dang Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Surat Edaran Mendagri Nomor 100/1743/SJ Tahun 2016 tentang
Percepatan Penyelesaian Inventarisasi P3D Sebagai Aki-
bat Pengalihan Urusan Pemerintahan Berdasarkan UU
23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Surat Edaran Nomor B/3116/M.PANRB/09/2016 tentang Pengi-
sian Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Kajian PKDOD LAN pada tahun 2017 tentang kapasitas perangkat daerah
berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah ini merupakan salah satu kepekaan kita dalam mencermati pembangunan
kapasitas pemerintahan daerah. Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat
nyata dalam penataan dan peningkatan kapasitas perangkat daerah. Kami selaku
Kepala Lembaga Administrasi Negara memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya
kepada Deputi Bidang Kajian Kebijakan c.q. Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi
Daerah yang senantiasa mengikuti perkembangan kebijakan pemerintahan daerah
dan Desa, beserta implementasinya.

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara
Jalan Veteran No. 10, Gedung B Lantai 3
Jakarta Pusat 10110

Tel: 021-3455021
Faks: 021-3865102
Web: dkk.lan.go.id
Email: pkdod@lan.go.id,
pkdod.lanri@gmail.com
Twitter: @PKDOD_LANRI, @DeputiKajianLAN
Facebook : @PKDODLANRI, @deputi1lanri

PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Anda mungkin juga menyukai