Anda di halaman 1dari 335

PEDOMAN KEBIJAKAN URUSAN SOSIAL

Buku Pedoman Kebijakan, Jumlah 335 hlm.


Tinta Warna & Soft Cover
Harga Buku Rp. 400.000,-
Ongkos Kirim Wilayah Pulau Jawa Rp. 50.000,-
Ongkos Kirim di luar Pulau Jawa Rp. 100.000,-
Dapat dipesan ke:
Adi Jilid, No. Hp/WA: 0878.7895.8636
PEDOMAN KEBIJAKAN URUSAN SOSIAL

Penulis :
Syauqi, SE. M.Si

ISBN : 978-623-90295-4-8

Editor :
Ahmad Sobirin,
Lucy Sandra Butar-Butar,
Nursyamsu, Roni, Dede Nurdin

Penyunting :
Hadi Januari

Desain Sampul dan Tata Letak


Andry Suwarno

Penerbit :
Biro Perencanaan Kementerian Sosial

Redaksi :
Jl. Salemba Raya No. 28 Jakarta Pusat 10430
Tel +62213103591
Fax +62213100309
Email : sokiren4@gmail.com

Distributor Tunggal :
Adi Jilid
Jl. Gading Raya Gg. Gading IV No. 29
Tel 081380448575 / 087878958636
Email : HJ.Ogepcruzer@gmail.com

Cetakan kelima, April 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Urusan pemerintahan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah diantaranya membagi urusan dalam tanggung jawab dan
kewenangan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang
pada lampiran sub bidang urusan sosial berbunyi “Pendataan dan pengelolaan data fakir
miskin” cakupan daerah provinsi dan cakupan daerah kabupaten/kota”.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
mengamanatkan bahwa Dinas Daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan unsur
pelaksana Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dengan kriteria
variabel teknis ditetapkan berdasarkan beban tugas setiap Urusan Pemerintahan.
Tipologi dan beban kerja urusan pemerintahan bidang sosial yang diatur dalam
Permensos No. 13 Tahun 2016 dan Permensos No. 14 Tahun 2016 dengan kriteria variabel
teknis jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang direhabilitasi
dalam panti baik milik pemerintah daerah maupun milik masyarakat berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum dalam jiwa dan jumlah potensi sumber kesejahteraan
sosial (PSKS) dan pengelompokan fungsi dan uraian tugas ke dalam unit kerja pada
Dinas Sosial Daerah provinsi dan kab/kota dengan jenis tipologi A beban kerja besar, tipe
B dengan beban kerja sedang dan tipe C dengan beban kerja ringan. Pengelompokan
bidang yang terdiri dari Bidang I Perlindungan dan Jaminan Sosial, Bidang II Rehabilitasi
Sosial, Bidang III Pemberdayaan Sosial, Bidang IV Penanganan Fakir Miskin.
PP No. 2 Tahun 2018 dan Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan
Standar Pelayanan Minimal, bahwa Kementerian pengampu SPM menetapkan Peraturan
Menteri tentang Standar Teknis mengatur standar jumlah dan kualitas barang dan jasa,
sumber daya manusia dan petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan standar dilakukan
dengan tahapan pengumpulan data, penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan
dasar kedalam dokumen RPJMD, RKPD dan memprioritaskan penyusunan rencana
pemenuhan pelayanan dasar berdasarkan penghitungan kebutuhan ke dalam Renstra PD
dan Renja PD sesuai dengan tugas dan fungsi.
PP No. 12 Tahun 2017 dan Permendagri No. 110 Tahun 2017 mengatur tanggung
jawab/kewenangan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah terkait aspek
keuangan daerah, SDM dan Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah mempunyai
tanggung jawab/kewenangan atas capaian Standar Pelayanan Minimal dan NSPK yang
merupakan salah satu tolok ukur kinerja Pemda.
PP No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat mengatur substansi diantaranya mengkoordinasikan pembinaan dan
pengawasan, tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota.

Jakarta, April 2019


Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Sosial

Adhy Karyono
PRAKATA

Buku ringkasan kebijakan pelayanan publik kepada Penyandang Masalah


Kesejahteraan Sosial (PMKS), Penduduk Miskin, Orang Tidak Mampu melalui penerapan
Standar Pelayanan Minimal dan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) bidang sosial
sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan
pemahaman pengambil kebijakan, akademisi dan praktisi dalam meningkatkan kualitas
kebijakan urusan pemerintahan bidang sosial di pusat, daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota.
Reformasi regulasi merupakan perubahan untuk meningkatkan kualitas regulasi, baik
secara individual maupun integral dalam suatu sistem regulasi yang komprehensif dan utuh
kaitannya pada aspek perencanaan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan tolok
ukurnya meliputi agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi
kebijakan dipaparkan oleh Dr. Diani Sadiawati, SH.LLM, Staf Ahli Menteri PPN Bidang
Hubungan Kelembagaan Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
dalam acara Knowledge Sharing Penguatan Peran Analis Kebijakan dan Utilisasi Indeks
Kualitas Kebijakan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada tanggal 6 Maret 2019.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, menyebutkan bahwa landasan filosofis, sosiologis dan yuridis diperlukan untuk
menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada
serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih pengaturan.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 Amandemen.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek. Landasan yuridis merupakan pertimbangan mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan bahwa setiap
jenjang/posisi ASN merupakan sebuah profesi. Sebagai profesi, maka setiap pegawai ASN
memiliki nilai-nilai profesi, kode etik yang menjadi pegangan dalam menjalankan perannya.
Permen PAN-RB No. 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan
(JFAK) dan Angka Kreditnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memegang mandat
sebagai instansi pembina JFAK di Indonesia. Regulasi lain terkait Jabatan Fungsional Analis
Kebijakan berdasarkan Peraturan Kepala LAN No. 31 Tahun 2014 tentang Standar
Kompetensi Jabatan Fungsional Analis Kebijakan, Peraturan Kepala LAN No. 27 Tahun 2015
tentang Pedoman Pelaksanaan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Penilaian Kualitas
Hasil Kerja Analis Kebijakan dan Peraturan Kepala LAN No. 14 Tahun 2016 tentang Petunjuk
Teknis Penilaian Kualitas Hasil Kegiatan Analis Kebijakan.
Penilaian Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) oleh LAN pada tahun 2017 terhadap kualitas
proses kebijakan pada beberapa lokus K/L/Pemda dilihat dari variabel proses perencanaan
maupun pelaksanaan kebijakan di instansi lokus, Kementerian Sosial menunjukkan hasil
tertinggi dengan nilai indeks rata-rata mencapai 96,4. Berdasarkan kebijakan memenuhi aspek
evaluasi umur kebijakan yang masih kurang dari 2 (dua) tahun.

Jakarta, April 2019


Ketua Umum
Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia

Riadi Santoso
SEKAPUR SIRIH
URUSAN PEMERINTAHAN
BIDANG SOSIAL BERDASARKAN UU NO. 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk
mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat,
dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan publik.
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Pasal 18 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimal dan pada Pasal 10
ayat (6) PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, perlu adanya standar
teknis pelayanan dasar bidang sosial, maka atas pertimbangan perlu menetapkan
Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada SPM Bidang
Sosial di daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Belanja daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 298, diprioritaskan untuk
membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 86 Tahun 2017
tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Penerapan SPM Bidang Sosial dilakukan dengan tahapan: pengumpulan data;
penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; penyusunan
rencana pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; dan pelaksanaan pemenuhan
pelayanan dasar bidang sosial.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk mengintegrasikan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018
tentang Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada SPM Bidang Sosial di daerah
Provinsi dan di daerah Kab/Kota kedalam dokumen perencanaan dan penganggaran
daerah pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) yang diinisiasi oleh Ditjen Bina Bangda
Kementerian Dalam Negeri.
Jakarta, April 2019
JFT Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial

Syauqi, SE., M.Si


BIOGRAFI PENULIS

Nama : Syauqi, SE., M.Si


Istri : Dewi Sulistiowati, SE.
Anak : Fanny Angellita.
Pendidikan : S-2 FISIP Universitas Indonesia Tahun 2002
Terakhir

Riwayat Pekerjaan
 Kasubag Analisis Dampak Kebijakan Biro Perencanaan, Kementerian Sosial Tahun
2006-2012.
 Kasubag Analisis Rencana Strategis Bidang Rehabilitasi Sosial dan Badiklit Kesos
tahun 2012-2015.
 Jabatan Fungsional Tertentu (JFT) Analis Kebijakan Madya di Biro Perencanaan
Kementerian Sosial Tahun 2015-Sekarang November 2018.

Diklat lain
 Diklat Perencancanaan oleh Biro Perencanaan Departemen Sosial Tahun 2000.
 Diklat Perancang Peraturan Perundang-undangan di Pusdiklat Kementerian Hukum
dan HAM Tahun 2005
 Diklat PIM 4 Tahun 2006 di D.I Yogyakarta.
 Diklat Fasilitator Urusan Pemerintahan Daerah Tahun 2015 oleh Balatbang
Kementerian Dalam Negeri pada Oktober 2015.
 Diklat LAN, Analis Kebijakan: Case Study Writing selama 6 bulan di LAN Tahun 2016.
 Diklat Kekhususan JFT Analis Kebijakan Tingkat Madya tahun 2017.
 Juara Pertama : Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) antar Kementerian/Lembaga/Daerah
yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada Desember 2017,
dengan Studi Kebijakan “Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di
Daerah Provinsi & Kab/Kota Tahun 2008-2017”.

Daftar Karya Tulis Ilmiah


 Analisis Kebijakan Peran Kelembagaan Sosial Dalam Penanggulangan Kemiskinan di
Daerah, oleh Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang Hubungan Antar Lembaga & Biro
Perencanaan Kemensos Tahun 2011.
 Analisis Kebijakan Migran Bermasalah di Perkotaan, Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang
Otoda & Biro Perencanaan Kemensos Tahun 2011.
 Pedoman Analisis Kebijakan Kesos, Biro Perencanaan Kemensos.
 Analisis Kebijakan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, Staf
Ahli Menteri (SAM) Bidang Otoda dan Biro Perencanaan Kemensos Tahun 2011.
 Analisis Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), Biro Perencanaan
Kemensos Tahun 2012.
 Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB), Biro
Perencanaan Kemensos Tahun 2013.
 Analisis Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.
 Analisis Kebijakan Penerapan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 6
Tahun 2014 tentang desa.
 Analisis Kebijakan mengenai Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial.
 Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT), Biro Perencanaan
Kemensos Tahun 2014.

Daftar Kegiatan di Bidang Kajian dan Analisis


A. Kegiatan Analisis Kebijakan Kesejahteraan Sosial Staf Ahli Menteri Sosial
Dalam melaksanakan Kajian Staf Ahli Menteri, kegiatan dilaksanakan melalui tim
yang dipimpin oleh Staf Ahli Menteri yang bersangkutan. Kegiatan tersebut
dilaksanakan oleh Biro Perencanaan, melalui Bagian Analisis Kebijakan, bekerjasama
dengan Tata Usaha Pimpinan, yang meliputi :
 Penyusunan Disain Kajian dan instrument Uji Petik
 Uji Petik ke Lapangan melalui Focus Group Discussin (FGD) ke beberapa Provinsi
terpilih.
 Penyusunan Laporan/ Pengolahan Data Hasil Uji Petik
 Penyusunan kajian analisis kebijakan SAM
 Seminar hasil Kajian.

Tahun 2007
1. “Peran Departemen Sosial dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)”.
SAM Bidang Hubungan Antar Lembaga
2. “Peningkatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak Balita melalui Taman
Penitipan Anak”, SAM Bidang Perlindungan Sosial
3. “Kajian Penguatan Kearifan Lokal Sebagai Strategi Memperkuat Integrasi
Sosial”, SAM Bidang Integrasi Sosial,
4. “Kajian Kebijakan Pemberdayaan Lembaga Sosial Lokal dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Era Otonomi Daerah”, SAM Bidang Otonomi Daerah

Tahun 2008
1. “Kajian Analisis Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial”, SAM BIdang Otonomi Daerah,
2. “Kajian Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Pasca Bencana”,
SAM Bidang Dampak Sosial,
3. “Kajian Analisis Kebijakan Penyuluhan Sosial dalam Meningkatkan Integrasi
Sosial”, SAM Bidang Integrasi Sosial,
4. “Kajian Analisis Kebijakan Implementasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri : Perlindungan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum”
SAM Bidang Perlindungan Sosial.

Tahun 2009
1. “Tanggung Jawab Dinas Sosial dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Menghadapi Krisis Global”, SAM Bidang Otonomi Daerah
2. “Kajian Analisis Kebijakan Dampak Program Kesejahteraan Sosial Terhadap
Indeks Pembangunan Manusia”, SAM Bidang Dampak Sosial
3. “Kajian Perlindungan Sosial Bagi Kelompok Masyarakat Lanjut Usia Rentan”
SAM Bidang Perlindungan Sosial
4. “Analisis Kebijakan Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Tata Kelola
Institusi Sosial di Daerah Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial”,
SAM Bidang Hubungan Antar Lembaga,
5. “Kajian Kebijakan Dampak Kemiskinan Terhadap Integrasi Sosial” SAM Bidang
Integrasi Sosial

Tahun 2010
1. “Kajian Kebijakan Penguatan dan Pengembangan Kesetiakawanan Sosial”,
SAM Bidang Integrasi Sosial
2. “Kajian Kebijakan Tentang Migran Bermasalah di Perkotaan” SAM Bidang
Otonomi Daerah
3. “Peran Kelembagaan Sosial Dalam Penangulangan Kemiskinan di Daerah”, SAM
Bidang Hubungan Antar Lembaga
4. “Kajian Tingkat Kepuasan Lanjut Usia pada Pelayanan Panti”, SAM Bidang
Perlindungan Sosial
5. “Dampak Sosial China Asean Free Trade Terhadap Kesatuan Bangsa”,
SAM Bidang Dampak Sosial.

Tahun 2011
1. “Kajian Kebijakan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
di Empat Provinsi”, SAM Bidang Otonomi Daerah
2. “Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam Meningkatkan
Kesetiakawanan Sosial”, SAM Bidang Integrasi Sosial
3. “Kajian Kebijakan Tentang Kemitraan Pemerintah dengan Lembaga
Kesejahteraan Sosial/Organisasi Sosial dan Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan
kesejahteraan Sosial”, SAM Bidang Otonomi Daerah
4. “Analisis Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat di Lokasi Program Bantuan
Langsung Pemberdayaan Masyarakat (BLPS)”, SAM Bidang Dampak Sosial
5. “Kelembagaan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial yang
Terintegratif dalam Penanggulangan Bencana Alam”, SAM Bidang Hubungan
Antar Lembaga

B. Analisis Kebijakan Model Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial


Analisis kebijakan model penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dilaksanakan pada
Bagian Analisis Kebijakan di Biro Perencanaan Kemensos. Kegiatan dilaksanakan sejak
tahun 2012 sampai tahun 2015, meliputi :
 Penyusunan Disain analisis kebijakan dan instrument Uji Petik
 Pelaksanaan uji petik ke Lapangan melalui Focus Group Discussin (FGD) ke beberapa
Provinsi terpilih.
 Penyusunan Laporan/Pengolahan Data Hasil Uji Petik
 Penyusunan Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Kegiatan tersebut adalah :
1. Tahun 2012 : Analisis Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
2. Tahun 2013 : Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat
(ASODKB)
3. Tahun 2014 : Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT)
4. Tahun 2015 : Analisis Kebijakan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna
Napza Melalui Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).

C. Kegiatan Bagian Analisis Kebijakan Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI Tahun


2015
PROGRAM/KEGIATAN/OUTPUT/SUBOUTPUT/
KOMPONEN/SUBKOMP/AKUN/DETIL
 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
 Rekomendasi Hasil Analisis Kajian Bidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial
 Penyusunan Perencanaan Strategis Bidang Sosial 2015-2019
 Penyempurnaan Rencana Strategis 2015 - 2019 Kementerian Sosial RI
 Perbaikan Rencana Strategis 2015 - 2019 Kementerian Sosial
 Workshop Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Identifikasi Kebutuhan Materi Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
 Penyusunan Disain dan Instrumen Analisis Kebijakan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
 Field review dan FGD Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Pengolahan dan Analisa Data Hasil Field Review Analisis Kebijakan Model
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Penulisan Rancangan Naskah Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Workshop Rancangan Naskah Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Finalisasi dan Perbaikan Dokumen Naskah Kebijakan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
 Penyiapan Lokasi FGD Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Tim Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

PEMBAHASAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DAN NORMA STANDAR


PROSEDUR KRITERIA BIDANG SOSIAL
 Tim Penyusunan Revisi SPM Bidang Sosial
 Review Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
 Penyusunan Draft Rancangan Revisi Indikator SPM Bidang Sosial
 Pembahasan Rancangan Revisi SPM Bidang Sosial
 Pembahasan Revisi Indikator SPM Bidang Sosial dengan Kementerian dalam
Negeri dan Daerah
 Pembahasan NSPK dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Pembahasan NSPK Bidang Sosial Antar Kementerian/Lembaga
 Pembahasan SPM dan NSPK Bidang Sosial dengan Daerah Provinsi dan Kabupaten
/Kota

D. Penyusunan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) Bidang Sosial :


1. Persyaratan Pengangkatan Anak, Permensos No. 110/HUK/2009.
2. Pedoman Pelaksanaan Kampung Siaga Bencana, Permensos No. 128 Tahun 2011.
3. Lembaga Kesejahteraan Sosial, Permensos No. 184 Tahun 2011
4. Taman Anak Sejahtera, Permensos No. 02 Tahun 2012.
5. Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Permensos No. 03 Tahun 2012
6. Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Permensos No. 06 Tahun 2012
7. Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial, Permensos No. 08 Tahun 2012
8. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Permensos No. 09 Tahun 2012.
9. Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Permensos No. 19 Tahun 2012.
10. Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang
Kesejahteraan Sosial, Permensos No. 25 Tahun 2012.
11. Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif Lainnya, Permensos No. 26 Tahun 2012.
12. Taruna Siaga Bencana, Permensos No. 29 Tahun 2012.
13. Bantuan Sosial Korban Bencana, Permensos No. 01 Tahun 2013.
14. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga, Permensos No. 16 Tahun 2013.
15. Pengasuhan Anak, Permensos No. 21 Tahun 2013.
16. Pemulangan Migran Bermasalah (PMB), Permensos No. 22 Tahun 2013.
17. Pemberdayaan Karang Taruna, Permensos No. 23 Tahun 2013.
18. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Permensos No. 24 Tahun 2013.
19. Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial, Permensos 22 Tahun 2014
20. Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Peraturan Menteri
Sosial Nomor 01 Tahun 2015

E. Penyusunan Memo Kebijakan Staf Ahli Menteri Sosial RI, Nota Dinas dan
Telaahan Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI :
 Memo Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah Kementerian Sosial RI,
No.07/TU-SAM/I/2011 tentang Laporan Kemajuan Pencapaian Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial.
 Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI, No.297/PER-
AK/III/2011 tanggal 22 Maret 2011, Hal: Analisis Kebijakan Rehabilitasi Sosial
Terkait Dengan Sinkronisasi Pelayanan Dasar Panti Sosial Dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri RI No. 57 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Perkotaan
(Pusat Pelayanan Sosial).
 Memo Kebijakan Staf Ahli Menteri Sosial No. 50/TU-SAM/XI/2011 tanggal 6
November 2011, Hal: Pemberitaan TV-One tentang Panti Tresna Wherda Pare-Pare
Sulawesi Selatan.
 Telaahan Pertemuan Seminar Perlindungan Sosial bagi Orang Dengan Disabilitas,
No. 1346/PER-AK/XII/2012 tanggal 20 Desember 2012.
 Memo Kebijakan Hasil Kajian Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di 4
(empat) Provinsi, No. 66/TU-SAM/XI/2011 tanggal 16 November 2011, Staf Ahli
Menteri (SAM) dan Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
 Memo Kebijakan Dana Alokkasi Khusus (DAK) Bidang Sosial Untuk Pencapaian
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, No. 67/TU-SAM/XI/2011 tanggal
18 November 2011, Staf Ahli Menteri (SAM) dan Biro Perencanaan Kementerian
Sosial RI.
 Memo Kebijakan Urgensi Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) Bidang Sosial,
No. 12/TU-SAM/11/2011 tanggal 7 Februari 2011, Staf Ahli Menteri (SAM) dan
Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
 Nota Dinas Pengintegrasian Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2013 tentang Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2014, No. 82/TU-
SAM/5/2013. tanggal 24 Mei 2013, Staf Ahli Menteri (SAM) dan Biro Perencanaan
Kementerian Sosial RI.
 Telaahan Kesepakatan Bersama Antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum
dan HAM, Kepolisian, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, mengenai
Penanganan Pecandu Narkotika, Psikotropika, dan Penggunaan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) untuk direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial Peraturan Pemerintah RI
No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
 Telaahan Penyusunan Dokumen RKPD terkait dengan Urusan Wajib Berkaitan
Pelayanan Dasar Bidang Sosial, No. 300/PER-AK/II/2012 tanggal 26 Februari 2012.
 Naskah Kebijakan Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB).
 Analisis Kebijakan Klarifikasi Kementerian Sosial Atas Kesimpulan Analisis Sektor
Mengenai Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Sektoral.
 Penyusunan Pointers Workshop Costing Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial.
 Telaahan Tugas dan Fungsi Staf Ahli Menteri (SAM) Sesuai Peraturan Perundang-
undangan, tanggal 2 April 2015.
 Telaahan Masukan Bidang Sosial Pada Rancangan Permendagri tentang Anggaran
Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2016 di Pertemuan Ditjen Keuangan
Daerah Kemendagri, tanggal 20 April 2015.

F. Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial Pada Rancangan Akhir Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Direktorat Perencanaan
Pembangunan Daerah, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri :
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Jawa Tengah.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Sumatera Utara.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Bali.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Jawa Barat.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
G. Buku Pedoman (bersama Tim)
1. Tahun 2007 : Pedoman Umum Perencanaan Program Pembangunan
Kesejahteraan Sosial,
2. Tahun 2008 : Pedoman Analisis Kebijakan
3. Tahun 2009 : Penyusunan Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial,
Peraturan Menteri Sosial RI No. 111/HUK/2009.
4. Tahun 2012 : Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
(PPRG) Bidang Sosial.
5. Tahun 2013 : Pedoman Umum Audit Gender Bidang Sosial.
6. Tahun 2013 : Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun 2014.
7. Tahun 2014 : Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun 2015.
DAFTAR ISI

Pedoman Kebijakan
1. Meningkatkan Kualitas Regulasi Di Kementerian Sosial Melalui Prosedur
Penyusunan Naskah Hukum & Indeks Kualitas Kebijakan....................................... 1
2. Analisa Situasi Penyandang Autis Di Indonesia .......................................................... 13
3. Keserasian Sosial dan Restorasi Sosial Dalam Penanganan Konflik Sosial .............. 25
4. Penyediaan Alat Bantu Bagi Penyandang Disabilitas Fisik Sebagai Hak &
Kebutuhan Dasar .............................................................................................................. 41
5. Penyusunan RKPD Urusan Sosial Sesuai Pemetaan Urusan Provinsi & Kab/Kota 59
6. Rapat Koordinasi Pengembangan SDM, Lembaga & Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial Tahun 2019 .................................................................................... 75
7. SDG’s Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Implementasi Kebijakan
Pusat & Daerah ................................................................................................................. 91
8. Keterkaitan RAN-HAM, SDG’s, Layanan & Rujukan Terpadu ................................. 103
9. Sinergi Perencanaan Dan Penganggaran Antara Pusat, Provinsi, Kab/Kota
Melalui Kesesuaian Renja, IKU Kemensos Dengan IKK Provinsi & Kab/Kota ...... 115
10. Kawasan Ramah Lanjut Usia Sebagai Potensi Sumber Dalam Rehabilitasi Sosial
Bagi Lanjut Usia Potensial ............................................................................................... 143
11. Urgensi NSPK Bidang Sosial Sebagai Dasar Perencanaan & Penganggaran
Urusan Bidang Sosial Di Daerah .................................................................................... 167
12. Kolaborasi Perencanaan & Informasi Kinerja Anggaran Urusan Pemerintahan
Bidang Sosial Di Kawasan Perbatasan........................................................................... 181
13. Bantuan Sosial Bagi Gelandangan & Pengemis Melalui Lembaga Kesejahteraan
Sosial ................................................................................................................................... 195
14. Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur, Standar Pelayanan, Standar
Pelayanan Minimal & Norma, Standar, Prosedur, Kriteria ........................................ 209
15. Background Study Renstra 2020-2024 Sinkronisasi Perencanaan Pusat & Daerah . 221
16. Review Instrumen Evaluasi Bantuan Sosial Kelompok Usaha Bersama (KUBe) .... 253
PEDOMAN KEBIJAKAN

MENINGKATKAN KUALITAS REGULASI DI KEMENTERIAN


SOSIAL MELALUI PROSEDUR PENYUSUNAN NASKAH HUKUM &
INDEKS KUALITAS KEBIJAKAN

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[1]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prosedur penyusunan naskah hukum di Kementerian Sosial yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 3 Tahun 2017 dalam rangka untuk
tertib administrasi dan standardisasi naskah hukum di lingkungan Kementerian
Sosial, perlu menyusun prosedur penyusunan naskah hukum di lingkungan
Kementerian Sosial dan Permensos No. 04 Tahun 2012 tentang Prosedur Penyusunan
Naskah Hukum di Lingkungan Kementerian Sosial belum dapat mengakomodasi
penyusunan dan standar operasional prosedur naskah hukum di lingkungan
Kementerian Sosial, sehingga perlu disempurnakan.
Kerangka regulasi dalam RPJMN 2020-2024 dan pendekatan money follow
program yang dipaparkan oleh Dr. Diani Sadiawati, SH.LLM, Staf Ahli Menteri PPN
Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian PPN/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dalam acara Knowledge Sharing Penguatan Peran Analis
Kebijakan dan Utilisasi Indeks Kualitas Kebijakan di Lembaga Administrasi Negara
(LAN) pada tanggal 6 Maret 2019.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada tahun 2017 melakukan
pengukuran evaluasi kebijakan dengan melihat pada proses implementasi kebijakan
dan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang telah diimplementasikan dengan
metode penghitungan dalam IKK menggunakan pembobotan di masing-masing
tahapan dari proses kebijakan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan.
Berdasarkan penilaian cepat terhadap kualitas proses kebijakan pada beberapa
lokus K/L/Pemda yang memiliki Analis Kebijakan, secara rata-rata, baik dilihat dari
variabel proses perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan di instansi lokus,
Kementerian Sosial menunjukkan hasil tertinggi dengan nilai indeks rata-rata
mencapai 96,4. Nilai indeks rata-rata hasil penilaian proses evaluasi kebijakan lebih
rendah dari pada variabel lain, yaitu 25,51 karena belum semua kebijakan yang dinilai
dalam penilaian cepat ini memenuhi aspek evaluasi seperti misalnya terkait umur
kebijakan yang masih kurang dari 2 (dua) tahun.
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial dan
Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 dengan perubahan pertama Peraturan
Menteri Sosial No. 14 Tahun 2017 dan perubahan kedua Peraturan Menteri Sosial
No. 22 Tahun 2018 tentang Organinasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial,
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara, maka untuk
meningkatkan kualitas kebijakan dalam analisis beban kerja, analisis jabatan dan
analisis kepegawaian perlu adanya Jabatan Fungsional Tertentu (JFT) Analis
Kebijakan di setiap Unit Kerja Eselon 1 dan 2 di lingkungan Kementerian Sosial.

[3]
B. Landasan Pedoman
Reformasi regulasi merupakan perubahan untuk meningkatkan kualitas
regulasi, baik secara individual maupun integral dalam suatu sistem regulasi yang
komprehensif dan utuh. Kebijakan yang dinilai terkait dengan perencanaan
kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan tolok ukurnya meliputi agenda setting,
formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dengan menata
fungsi dan kelembagaan sistem peraturan perundang-undangan.
Amanah dari Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku II Agenda
Bidang, dalam Rangka Menyiapkan Masyarakat Indonesia Menuju Kehidupan
Global. Salah satu agenda reformasi birokrasi adalah peningkatan kualitas kebijakan.
Rendahnya kualitas kebijakan dapat dibuktikan dengan banyaknya produk kebijakan
yang kontraproduktif dengan keinginan publik dan kemudian mendapatkan
pembatalan baik dari pemerintah pusat maupun Mahkamah Konstitusi.
Agenda setting merupakan pengukuran agenda setting kebijakan dengan
melihat proses identifikasi masalah kebijakan, analisis masalah kebijakan dan
partisipasi publik dalam masalah kebijakan. Formulasi kebijakan dengan melihat
pada proses pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan beberapa kriteria terukur
dengan melihat proses identifikasi masalah kebijakan analisis masalah kebijakan dan
partisipasi publik dalam perumusan kebijakan.
Formulasi Kebijakan, merupakan pengukuran formulasi kebijakan dengan
melihat pada proses pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan beberapa kriteria
terukur. Implementasi Kebijakan, merupakan pengukuran implementasi kebijakan
dengan berfokus pada dimensi perencanaan, kelembagaan, dan komunikasi
kebijakan.
Implementasi Kebijakan berfokus pada dimensi perencanaan, kelembagaan
dan komunikasi kebijakan. Evaluasi Kebijakan dengan melihat pada proses
implementasi kebijakan dan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang telah
diimplementasikan.
Hierarki Naskah Hukum yang berupa Peraturan Perundang-undangan yang
meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri dan naskah hukum
yang berupa bukan peraturan perundang-undangan meliputi keputusan, instruksi,
surat edaran, Keputusan Bersama Menteri, Peraturan Eselon I dan Eselon II,
Kesepakatan Bersama/ Nota Kesepahaman/Memorandum Saling Pengertian; dan
Perjanjian Kerjasama.
Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB) No. 45 Tahun 2013 tentang Jabatan
Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) dan Angka Kreditnya, Lembaga Administrasi
Negara (LAN) RI memegang mandat sebagai instansi pembina JFAK di Indonesia.
Regulasi lain terkait Jabatan Fungsional Analis Kebijakan diantaranya:
1. Peraturan Kepala LAN No. 31 Tahun 2014 tentang Standar Kompetensi Jabatan
Fungsional Analis Kebijakan;
2. Peraturan Kepala LAN No. 27 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Analis Kebijakan dan Penilaian Kualitas Hasil Kerja Analis Kebijakan;
3. Peraturan Kepala LAN No. 14 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian
Kualitas Hasil Kegiatan Analis Kebijakan;

[4]
BAB II
ANALISIS PEMBAHASAN

A. Deskripsi Masalah
1. Dampak dari reformasi di Indonesia pada tahun 1998 terjadi perubahan yang
mendasar diantaranya perubahan UUD 1945 menjadi UUD 1945 Amandemen,
diantaranya yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik.
2. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan
absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
3. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan
dengan standar pelayanan minimal dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
terkait Pelayanan Dasar.
4. Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren
dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu
masyarakat berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang
Sosial).
5. Peraturan Menteri Sosial No. 3 Tahun 2017 tentang Prosedur Penyusunan Naskah
Hukum di Kementerian Sosial menyebutkan Sumber Daya manusia dalam
penyusunan Naskah Hukum terdiri atas pejabat dari Bagian Organisasi, Hukum,
dan Hubungan Masyarakat serta Bagian Umum/Tata Usaha di lingkungan unit
kerja Eselon I, pejabat di lingkungan Biro Hukum; dan perancang Peraturan
Perundang-undangan di lingkungan Kementerian Sosial.
6. Perancang Peraturan Perundang-undangan harus dilibatkan dalam setiap
tahapan penyusunan Naskah Hukum di lingkungan Kementerian Sosial.

B. Analisis
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditujukan untuk mendorong
lebih terciptanya daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan pelayanan
publik maupun melalui peningkatan daya saing Daerah dengan pemetaan Urusan
Pemerintahan yang akan menjadi prioritas Daerah dan tercipta sinergi
kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian yang Urusan
Pemerintahannya di desentralisasikan ke Daerah.

[5]
BAB III
TUGAS & FUNGSI JFT. ANALIS KEBIJAKAN
DI KEMENTERIAN SOSIAL

UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Peraturan Presiden (Perpres)
No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Perpres No. 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara.
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara, maka untuk
meningkatkan kualitas kebijakan perlu adanya Jabatan Fungsional Tertentu (JFT)
Analis Kebijakan di setiap Unit Kerja Eselon 1 dan 2 di lingkungan Kementerian
Sosial.
Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun
2015 dengan perubahan pertama Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2017 dan
perubahan kedua Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2018 tentang Organinasi dan
Tata Kerja Kementerian Sosial.
Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi diantaranya perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin.
Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan
tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi
di lingkungan Kementerian Sosial.
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan, dan pelaksanaan kebijakan serta penyusunan Norma,
Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) di bidang perlindungan dan jaminan sosial kepada
seseorang, keluarga, dan masyarakat yang berada dalam keadaan tidak stabil atau rentan,
serta di bidang jaminan sosial kepada anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar,
penyandang disabilitas fisik, mental, dan fisik dan mental yang derajat kedisabilitasnya
tergolong berat, serta eks penderita penyakit kronis yang tergolong berat yang
mengalami ketidakmampuan sosial, ekonomi, dan penghargaan kepada pejuang, perintis
kemerdekaan, dan keluarga pahlawan.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan
perumusan, dan pelaksanaan kebijakan serta penyusunan Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK) di bidang rehabilitasi sosial kepada seseorang, keluarga, kelompok dan
masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, dan lembaga dan/atau
perseorangan sebagai potensi dan sumber daya kesejahteraan sosial, serta komunitas adat
terpencil.
Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di
perdesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal dan/atau perbatasan antar
negara.

[7]
Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan, dan pelaksanaan kebijakan serta
penyusunan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) di bidang pelatihan, dan
penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial.
Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan intern di
Kementerian Sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
menyelenggarakan fungsi penyusunan kebijakan teknis pengawasan intern di
lingkungan Kementerian Sosial dan pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan
Kementerian Sosial terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi,
pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan
perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK) di bidang rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik, mental, fisik
dan mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks penderita penyakit kronis, eks
narapidana, eks psikotik, eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika sindroma
ketergantungan, orang dengan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, korban tindak kekerasan, korban bencana, korban perdagangan orang, anak
terlantar, dan anak dengan kebutuhan khusus;
1. Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak mempunyai tugas melaksanakan perumusan,
pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK, pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi
sosial anak pada pelayanan sosial anak balita dan pengangkatan anak, rehabilitasi
sosial anak terlantar, rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum, rehabilitasi
sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus, dan pengembangan
kelembagaan.
2. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK,
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan
kebijakan di bidang rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik, mental, sensorik,
intelektual dan disabilitas ganda.
3. Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
mempunyai tugas melaksanakan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan
penyusunan NSPK, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi dan
pelaporan di bidang rehabilitasi sosial tuna sosial dan korban perdagangan orang.
4. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA mempunyai tugas
melaksanakan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK,
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi, dan pelaporan di bidang
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.
5. Direktorat Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia mempunyai tugas melaksanakan
perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK, pemberian bimbingan
teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang rehabilitasi
sosial lanjut usia.

[8]
BAB IV
PENUTUP

A. Rekomendasi
1. Prosedur penyusunan naskah hukum di Kementerian Sosial yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 3 Tahun 2017 dalam rangka
untuk tertib administrasi dan standardisasi naskah hukum di lingkungan
Kementerian Sosial, perlu menyusun prosedur penyusunan naskah hukum di
lingkungan Kementerian Sosial dan Permensos No. 04 Tahun 2012 tentang
Prosedur Penyusunan Naskah Hukum di Lingkungan Kementerian Sosial belum
dapat mengakomodasi penyusunan dan standar operasional prosedur naskah
hukum di lingkungan Kementerian Sosial, sehingga perlu disempurnakan.
2. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial dan Peraturan
Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata kerja di
Kementerian Sosial, pada setiap Unit Kerja Eselon (UKE) 1 dan 2 disebutkan
bahwa tugas dan fungsi diantaranya menyusun kebijakan rehabilitasi sosial,
pemberdayaan sosial, perlindungan dan jaminan sosial serta penanganan fakir
miskin, sehingga menjadi suatu konsekuensi logis kebutuhan akan peta jabatan
Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) di Unit Kerja Eselon 1 dan 2 di
Kementerian Sosial.
3. Aspek Kelembagaan, dengan, memperkuat kedudukan serta kapasitas
kelembagaan yang berfungsi untuk mengkoordinasikan perencanaan kebijakan
dan pelaksanaan kebijakan untuk penerapan Indeks Kualitas Kebijakan (IKK)
yang ditetapkan Lembaga Administrasi Negara (LAN).
4. Peran Analis Kebijakan dalam penyusunan kebijakan yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Sosial terkait dengan penyusunan naskah Peraturan
perundang-Undangan.
5. Penilaian kualitas proses kebijakan di lingkungan K/L/Pemda, dimana Analis
Kebijakan bekerja dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir menunjukkan
kondisi yang beragam. Beberapa instansi seperti di Kementerian Sosial, Sekjen
DPR dan Kemkominfo, menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan
instansi lokus studi yang lainnya dalam pengelolaan proses kebijakan di
instansinya.

B. Rekomendasi Khusus
Perumusan, Pelaksanaan dan Penyusunan NSPK di Unit Kerja Eselon 1 & 2
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara, maka untuk
meningkatkan kualitas kebijakan perlu adanya Jabatan Fungsional Tertentu (JFT)
Analis Kebijakan di setiap Unit Kerja Eselon 1 dan 2 di lingkungan Kementerian
Sosial.

[9]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;


2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan;
6. Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
7. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
8. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
9. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.

[11]
PEDOMAN KEBIJAKAN

ANALISA SITUASI PENYANDANG AUTIS DI INDONESIA

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

[13]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut UU Kesejahteraan Sosial No. 11 Tahun 2009, Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial adalah “upaya yang terarah, terpadu, berkesinambungan yang
dilakukan pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga
negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan
perlindungan sosial”
Berkenaan dengan Surat No. 209-5/SJ-UM/KS.02/03/2016 tanggal 1 Maret
2016, Hal: penyusunan draft Policy Brief Staf Ahli Bidang Aksesibilitas Sosial
Kementerian Sosial RI, tindaklanjut curah pendapat dan sesuai dengan Peraturan
Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa Kementerian
Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir
miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan amanat Perpres 75/2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan
Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat
meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access
information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak
masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice). Dengan
mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai tahap kegiatan RANHAM, diharapkan
masyarakat dapat berperan secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap
kebijakan Pemerintah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur,dan
mandiri.
Adapun tujuannya agar aparat pemerintah dan masyarakat memahami dan
menerapkan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bermasyarakat dengan indikator
keberhasilan diantaranya pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak
penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Tanggung jawab Kementerian Sosial dalam Perpres 75/2015 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 dengan meningkatnya
pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak penyandang disabilitas dan
kelompok rentan lainnya diantaranya melalui cara Social Model of Disability (SMD),
cara masyarakat menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled
people dalam menghadapi hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan
setara dalam masyarakat, dengan pilihan dan kendali atas kehidupan mereka.
Model sosial tentang disabilitas diperlukan untuk penyadaran masyarakat atas
perubahan sikap terhadap disabled people yang diamantkan dalam Perpres 2/2015
tentang Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2015-2019.

B. Pengertian Pedoman
Istilah penyandang cacat mempunyai arti yang bernuansa negatif sehingga
mempunyai dampak yang sangat luas pada penyandang disabilitas sendiri, terutama
dalam kaitannya dengan kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang

[15]
disablitas sebagai objek dan tidak menjadi prioritas. Istilah “penyandang cacat” dalam
perspektif bahasa Indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif sebagai
objek yang ’rusak’ dan tidak terpakai dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak
asasi manusia, yakni kesamaan harkat dan martabat semua manusia, dan sekaligus
bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Berdasarkan hal tersebut, istilah “penyandang cacat” perlu diganti
dengan istilah baru yang mengandung nilai filosofis yang lebih konstruktif dan sesuai
dengan prinsip hak asasi manusia yaitu ”penyandang disabilitas’” yang sudah mulai
digunakan secara resmi pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
disebutkan bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas
fisik, intelektual, mental, sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami
secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh
tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal
24 bahwa Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama
Pemerintah Daerah melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang
diprioritaskan oleh setiap Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Hasil
pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
dan Urusan Pemerintahan Pilihan ditetapkan dengan peraturan menteri setelah
mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dilakukan untuk menentukan intensitas
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.
Kesamaan kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang
dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan
potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi
merupakan setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau
peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Rehabilitasi sosial diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
bentuk motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan
vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan
fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan
dan asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan rujukan.
Perlindungan sosial dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui
bantuan sosial, advokasi sosial, bantuan hukum.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan
publik dari Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan
konkuren (bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman

[16]
pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Urusan rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas dalam panti dan lembaga menjadi kewenangan provinsi, luar panti dan
lembaga menjadi kewenangan kabupaten/kota.

[17]
BAB II
PEMBAHASAN

1. Belum sepenuhnya dilaksanakan Perpres No. 75 Tahun 2015 dilaksanakan oleh


daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota
2. Apakah model sosial penyandang disabilitas merupakan inklusifitas
3. Belum Sepenuhnya Permasalahan Disabilitas dilaksanakan oleh lintas Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas
4. Belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen RPJMD dan RKPD, salah satu
indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, yaitu rehabilitasi sosial
dalam Panti dan lembaga bagi penyandang disabilitas telantar
5. Belum sepenuhnya terakomodir dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah
(PPD) salah satu Indikator Kinerja Kunci (IKK) bidang sosial di daerah provinsi dan
luar Panti dan lembaga untuk Kabupaten/Kota
6. Paradigma Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based atau
pendekatan hak belum sepenuhnya dilaksanakan di pusat, provinsi dan kab/kota.

[19]
BAB III
REKOMENDASI PELAKSANAAN

A. Pelaksanaan Perpres No. 75 Tahun 2015 dilaksanakan oleh daerah provinsi


dan daerah Kabupaten/Kota
1. Penerapan model sosial penyandang disabilitas
2. Social Model of Disability (SMD), bahwa disability disebabkan oleh cara masyarakat
di organisasi, bukan oleh impairman (pelemahan) atau perbedaan seseorang. SMD
melihat cara menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled
people. Ketika hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan setara dalam
masyarakat, dengan pilihan dan kendali atas kebidupan mereka.

B. Permasalahan Disabilitas dilaksanakan oleh lintas Pemenuhan Hak


Penyandang Disabilitas
1. Upaya pemberdayaan penyandang disabilitas tidak dapat dilakukan hanya oleh
satu sektor dalam hal ini Kementerian Sosial melalui pelaksanaan tugas dan
fungsi Direktorat, tetapi harus melibatkan semua pihak terkait dan masyarakat
(inklusif). Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan. Hal ini terkait dengan
kenyataan bahwa persoalan disabilitas merupakan persoalan yang beririsan (cross
cutting issues) yang memerlukan penangan bersama secara lintas sektor dan lintas
program.
2. Pengintegrasian dalam dokumen RPJMD dan RKPD, salah satu indikator Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, yaitu rehabilitasi sosial dalam Panti dan
lembaga bagi penyandang disabilitas telantar
3. Model Sosial Penyandang Disabilitas yang menjadi salah satu Indikator Kinerja
Kunci (IKK) bidang sosial di daerah provinsi dan luar Panti dan lembaga untuk
Kabupaten/ Kota
4. Pelaksanaan Paradigma Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi
right based atau pendekatan hak.

[21]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;


2. Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
3. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4. Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
5. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019;
6. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun
2015.

[23]
PEDOMAN KEBIJAKAN

KESERASIAN SOSIAL DAN RESTORASI SOSIAL DALAM


PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

[25]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dukungan dari Kementerian Sosial dalam penanganan Konflik dengan
pendekatan kesejahteraan sosial yang merupakan serangkaian kegiatan dalam
situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik
yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan
pascakonflik.
Pendekatan kesejahteraan sosial dilakukan salah satu upaya untuk
pencegahan konflik dan penghentian konflik untuk mengakhiri kekerasan,
menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta
mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda.
Peran K/L dalam Peningkatan Penanganan Konflik Sosial dan Penguatan
Keserasian Sosial dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan melalui
koordinasi Satuan Tugas (Satgas) dari unsur K/L yaitu kementerian Polhukam,
Kesra/Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Dalam Negeri,
Pertahanan, Keuangan, Kesehatan, Sosial, Agama, Polri, TNI, Kejaksaan Agung,
BNPB, Komnas HAM.
Upaya yang telah dilakukan Kemensos dalam penanganan konflik sosial,
antara lain dengan menetapkan Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2017
tentang Restorasi Sosial dan Permensos No. 26 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penanganan Konflik Sosial.

B. Permasalahan
Hasil dari Diagnostic Reading terhadap penanganan konflik sosial diperlukan:
1. Kohesifitas antar K/L dalam penanganan konflik sosial dan penguatan keserasian
sosial dengan implementasi Nawacita terutama butir 8 dan 9 : butir 8. “Melakukan
revolusi karakter bangsa”, dan butir 9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia;
2. Saling koordinasi untuk peningkatan kesadaran masyarakat agar saling
menghargai perbedaan dan saling toleransi merupakan nilai-nilai luhur dalam
Pancasila merupakan komunikasi sosial dan merupakan revolusi karakter bangsa
dengan restorasi sosial melalui komunikasi sosial.

C. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan
Tujuan Jangka Pendek (sampai dengan akhir Pelatihan Kepemimpinan
Nasional TK.I)

[27]
a. Menyepakati pola dan sekuen kerja antar unit-unit terkait untuk integrasi;
b. Mengumpulkan persyaratan, substansi dan metodologi antar unit terkait; dan
c. Mendapatkan konsep Legal Drafting yang dapat mengintegrasikan SK Bersama
sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial tentang Penyusunan Naskah Hukum
SK Bersama.
Tujuan Jangka Menengah (satu tahun)
d. Menyepakati SK Bersama antar K/L terkait dalam penanganan konflik sosial;
e. Melakukan koordinasi untuk merumuskan dan mendapatkan kesepakatan
tentang pokok-pokok muatan substansi dalam SK Bersama.
Tujuan Jangka Panjang (Background Study Penanganan Konflik Sosial
tahun 2019)
Rancangan Instruksi Presiden untuk Desk Percepatan Akselerasi Konflik
Tertentu.

2. Manfaat
1) Internal:
a) Memudahkan dan mempercepat penanganan konflik sosial;
b) Meningkatkan kinerja pelayanan publik dalam penanganan korban konflik
sosial. .
2) Eksternal:
Menyederhanakan dan memudahkan koordinasi antar K/L dalam
Peran K/L dalam percepatan penanganan konflik sosial dan keserasian sosial
dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB).

D. Ruang Lingkup
1. Membangun kolaborasi antara Kemensos dengan K/L yang terkait
2. Menyusun dan merumuskan rancangan SKB terkait kewenangan masing-masing
K/L.
3. Menyusun Grand Design tentang SKB Penanganan Konflik Sosial.
4. Melaksanakan Pilot Project indikator kinerja.
5. Menyusun Pedoman tentang Peran K/L dalam SKB.

[28]
BAB II
GAMBARAN UMUM

Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, merupakan perseteruan


dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih
yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan
ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan
menghambat pembangunan nasional.
Penanganan Konflik merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun
sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pascakonflik.
Pencegahan Konflik merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem
peringatan dini.
Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan,
menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah
bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda.
Peran K/L dalam Peningkatan Penanganan Konflik Sosial dan Penguatan
Keserasian Sosial dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan melalui koordinasi
Satuan Tugas (Satgas) dari unsur K/L yaitu kementerian Polhukam,
Kesra/Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Dalam Negeri, Pertahanan,
Keuangan, Kesehatan, Sosial, Agama, Polri, TNI, Kejaksaan Agung, BNPB, Komnas
HAM.
Satgas dari unsur K/L untuk pencegahan konflik, penghentian konflik dan
pemulihan pascakonflik diselenggarakan secara terkoordinasi. melalui sinkronisasi,
harmonisasi, dan integrasi kebijakan serta penyusunan Rencana Aksi Terpadu di tingkat
nasional, yang mempunyai tugas :
a. Menyelesaikan Konflik sosial melalui musyawarah untuk mufakat
b. Pemberian kesempatan kepada pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta
dan penyebab terjadinya Konflik
c. Memberikan pelindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku, dan perumusan
opsi yang dapat disepakati dengan mempertimbangkan kepentingan pihak yang
berkonflik.
Upaya yang telah dilakukan Pemerintah untuk penanganan konflik sosial, antara
lain:
a. Menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor PP No. 2 Tahun 2015 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;
b. Permendagri No. 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan
Konflik Sosial;
c. Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2017 tentang Restorasi Sosial;
d. Permensos No. 26 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Konflik
Sosial.

[29]
Agenda Pertemuan antar K/L untuk SK Bersama untuk:
a. Kohesifitas antar K/L dalam penanganan konflik sosial dan penguatan keserasian
sosial dengan implementasi Nawacita terutama butir 8 dan 9 : butir 8. “Melakukan
revolusi karakter bangsa”, dan butir 9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat
restorasi sosial Indonesia;
b. Saling koordinasi untuk peningkatan kesadaran masyarakat agar saling menghargai
perbedaan dan saling toleransi merupakan nilai-nilai luhur dalam Pancasila
merupakan komunikasi sosial dan merupakan revolusi karakter bangsa dengan
restorasi sosial melalui komunikasi sosial.

[30]
BAB III
ANALISA PEMBAHASAN

Pemerintah membangun sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini meliputi


deteksi dini dan cegah dini yang meliputi:
a) penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik dan/atau daerah Konflik;
b) penyampaian data dan informasi mengenai Konflik secara cepat dan akurat;
c) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
d) peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan e.penguatan dan pemanfaatan
fungsi intelijen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil pemetaan wilayah potensi Konflik dan/atau daerah Konflik
dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri dengan kementerian/lembaga terkait. Pemerintah daerah
membangun sistem peringatan dini.
Jejaring kerja ini lintas stakeholder, Pemerintah, Dunia Usaha, Masyarakat,
individu maupun kelompok komunitas dengan masing-masing fokus perhatian. Jejaring
kerja memastikan berfungsinya sebuah gerakan menjadi gerakan sosial yang massive dan
berkelanjutan
Pemenuhan kebutuhan dasar dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal. Verifikasi dan validasi data dilakukan oleh Menteri yang menangani
urusan bidang sosial.
Pemenuhan kebutuhan dasar urusan pemerintah bidang sosial dilakukan oleh
Menteri yang menangani urusan tehnis bidang sosial berdasarkan Peraturan Menteri
Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di daerah Provinsi dan di Daerah
Kabupaten/Kota.
Pemenuhan kebutuhan dasar urusan tehnis bidang kesehatan dilakukan oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Pemenuhan
kebutuhan dasar Pendidikan dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam memberikan pemenuhan
kebutuhan dasar Korban Konflik di daerah dilakukan atas dasar permintaan dari
pemerintah daerah, melakukan verifikasi terhadap permintaan bantuan dari pemerintah
daerah dan verifikasi untuk memastikan kesesuaian antara permintaan dan kebutuhan.
Upaya terobosan melalui restorasi sosial dengan upaya yang diarahkan untuk
mengembalikan atau memulihkan kondisi sosial masyarakat yang mengalami kondisi
memudarnya/melemahnya nilai-nilai luhur jati diri/kepribadian bangsa sehingga dapat
kembali pada kondisi idealnya, (Permensos No. 22 Tahun 2017 tentang Restorasi Sosial).
Restorasi Sosial bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan nilai-nilai
luhur jati diri atau kepribadian bangsa yang memudar atau melemah sehingga dapat
kembali sesuai dengan yang dicita-citakan sebagaimana tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.

[31]
Kondisi Sosial Ideal yang dimaksud sesuai dengan ikrar komitmen nasional dalam
pernyataan pembukaan UUD 1945 yaitu Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat,
Adil dan Makmur. Segenap nafas Kementerian Sosial adalah Restorasi Sosial
(Pemberdayaan, Rehabilitasi, Jaminan Sosial, dan Penanganan Fakir Miskin),
memulihkan diawali dari perubahan mindset sasaran.
Restorasi Sosial merupakan gerakan sosial berbasis masyarakat. Ide utama nya
sangat menarik karena saat ini penanganannya masih sangat parsial dan hanya dilakukan
oleh pemerintah semata. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan pembinaan
dan pemberdayaan peran serta masyarakat dalam penanganan Konflik sesuai dengan
kewenangannya. Dalam melakukan pemetaan wilayah potensi Konflik dan/atau daerah
Konflik, pemerintah daerah berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pemetaan wilayah potensi Konflik dan/atau daerah Konflik oleh pemerintah
daerah disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan
Konflik, mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui musyawarah
untuk mufakat. Penyelesaian perselisihan secara damai dapat melibatkan peran serta
masyarakat.
Dilakukan pembinaan dan pemberdayaan dalam peran serta masyarakat.
Pembinaan meliputi:
a) sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait penanganan Konflik;
b) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penanganan Konflik;
c) pengembangan sistem informasi dan komunikasi penanganan Konflik;
d) penyebarluasan informasi penanganan Konflik; dan
e) pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Pemberdayaan meliputi:
1. fasilitasi kebijakan;
2. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
3. peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dari latar belakang agar digali lebih dalam lagi akar permasalahannya, regulasi
atau dalam aspek implementasi nya, sistim penganggarannya.
Peran serta masyarakat dalam pencegahan Konflik meliputi: pembiayaan, bantuan
teknis dan bantuan tenaga dan pikiran. Peran serta masyarakat dalam bentuk penyediaan
kebutuhan dasar minimal dapat berupa: pangan; sandang; pelayanan kesehatan;
pelayanan pendidikan; dan pelayanan psikososial.
Peran serta masyarakat dalam bentuk bantuan tenaga dan pikiran dapat berupa
bantuan:
a) penyelamatan dan evakuasi Korban;
b) mendirikan tenda darurat;
c) kegiatan dapur umum;
d) pendirian pos pelayanan kesehatan; dan
e) tenaga dan pikiran lainnya untuk penghentian Konflik.

[32]
Peran serta masyarakat dalam status keadaan Konflik dapat dilakukan atas
permintaan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. penanganan konflik sosial secara
lebih rinci dan operasional yang bertujuan untuk:
a) menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera;
b) memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan;
c) meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara;
d) memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan;
e) melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum;
f) memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; dan
g) memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana
umum.

A. Peran Serta Masyarakat


Dalam pelaksanaan tugas Tim Terpadu penanganan konflik sosial dapat
melibatkan peran serta masyarakat yang meliputi individu, kelompok masyarakat,
organisasi/lembaga kemasyarakatan, dan/atau badan usaha: Pemenuhan kebutuhan
dasar Korban Konflik meliputi bantuan penyediaan :
1. pangan;
2. sandang;
3. pelayanan kesehatan;
4. pelayanan pendidikan; dan
5. pelayanan psikososial.
Menteri, gubernur, bupati/walikota mengoordinasikan Penghentian Konflik,
dalam hal:
1. penetapan Status Keadaan Konflik;
2. tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan
3. bantuan penggunaan TNI.
Koordinasi pemulihan pascakonflik, dalam rangka:
1. rekonsiliasi;
2. rehabilitasi; dan
3. rekonstruksi.
Koordinasi pelaksanaan Penanganan Konflik Sosial disusun Rencana Aksi
Terpadu Penanganan Konflik Sosial yang dilaksanakan setiap tahun. Rencana Aksi
Terpadu Penanganan Konflik Sosial berpedoman pada Format Rencana Aksi Terpadu
Penanganan Konflik Sosial yang meliputi kegiatan:
1. pencegahan konflik;
2. penghentian konflik, kecuali untuk penanganan penghentian kekerasan fisik dan
penanganan status keadaan konflik skala nasional; dan
3. pemulihan pascakonflik.

[33]
Penanganan Konflik meliputi pencegahan Konflik, penghentian Konflik, dan
pemulihan pascakonflik. Peran serta masyarakat dapat dilaksanakan oleh:
1. tokoh agama;
2. tokoh adat;
3. tokoh masyarakat;
4. pranata adat; dan
5. pranata sosial.

B. Pemenuhan Kebutuhan Dasar:


Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik sosial berdasarkan kewenangan
dan tanggung jawab sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun
2018 tentang Penerapan Standar Pelayanan Minimal, yang meliputi:
1. Kementerian Dalam negeri:
a) Pembina umum daerah dengan mengoordinasikan peran pusat dengan daerah
dan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
b) Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 101 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan
Bencana Daerah Kabupaten/Kota.

2. Kementerian Sosial:
a) Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar
Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial di daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota. Verifikasi
dan validasi data dilakukan oleh Menteri yang menangani urusan bidang
sosial.
b) Pemenuhan kebutuhan dasar urusan pemerintah bidang sosial dilakukan oleh
Menteri yang menangani urusan tehnis bidang sosial.
3. Kementerian Kesehatan:
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 4 Tahun 2019 tentang
Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan.
a) Pemenuhan kebutuhan dasar urusan tehnis bidang kesehatan dilakukan oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan:


a) Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 32 Tahun
2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal Pendidikan.
b) Pemenuhan kebutuhan dasar Pendidikan dilakukan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan
kebudayaan.

[34]
5. Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat:
a) Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.
29/PRT/M/2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan Minimal
Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat.
b) Pemenuhan kebutuhan dasar Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat
dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat.

6. Kementerian Agama mempunyai tanggung jawab terhadap dukungan Psikososial


dengan pendekatan agama.
a) Badan Intelijen Negara (BIN) mempunyai tanggung jawab sesuai
kewenangannya dalam hal pemantapan bagi para petugas Dinas Sosial di
wilayah provinsi
b) POLRI mempunyai tanggung jawab untuk penegakan hukum sesuai
kewenangannya.
c) TNI mempunyai tanggung jawab untuk penghentian Konflik sesuai
kewenangannya.

[35]
BAB IV
PENUTUP

A. Pendekatan Pelaksanaan Proyek Perubahan


Dalam melaksanakan proyek perubahan ini diperlukan beberapa langkah
utama berupa:
1. Mendapatkan komitmen dari unit-unit terkait untuk melaksanakan proyek
perubahan;
2. Melakukan sinkronisasi pada proses kerja evaluasi dari K/L terkait sesuai
kewenangannya;
3. Melakukan sinkronisasi persyaratan, substansi dan metologi kajian yang
diberlakukan oleh unit-unit terkait;
4. Merancang Legal Drafting yang dapat mengintegrasikan SK Bersama K/L Dalam
Penanganan Konflik Sosial.

B. Potensi:
Yang akan dilakukan mungkin lebih pada Sub Sistim nya (Manusia, Potensi
pada masyarakat).
Sub-Sistim Manusia:
Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban dimaksudkan untuk:
1. meminimalisir jumlah korban
2. memberikan rasa aman;
3. menghilangkan trauma; dan
4. memberikan layanan yang dibutuhkan bagi korban.
Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban dilakukan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, meliputi
1. penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi Korban Konflik secara cepat dan tepat;
2. pemenuhan kebutuhan dasar Korban Konflik;
3. pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik
perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
4. pelindungan terhadap kelompok rentan;
5. upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik; f.penyelamatan sarana dan
prasarana vital;
6. penegakan hukum;
7. pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari dan ke daerah Konflik; dan
8. penyelamatan harta benda korban.
Penyelamatan, Evakuasi, dan Identifikasi Korban Konflik Secara Cepat dan
Tepat, dilakukan dalam bentuk:
1. pertolongan pertama kepada Korban Konflik; dan
2. pencarian Korban Konflik yang hilang.
Koordinasi pencegahan konflik, dalam rangka: a.memelihara kondisi damai
dalam masyarakat; b.mengembangkan sistem penyelesaian secara damai; c.meredam
potensi konflik; dan d.membangun sistem peringatan dini.

[37]
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal.
2. Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2017 tentang Restorasi Sosial;
3. Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan
Pelayanan Dasar SPM Bidang sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
4. Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan
Penanganan Konflik Sosial Di Bidang Sosial
5. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
6. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 Pasal 3 tentang Peraturan
Pelaksanaan
7. Permendagri No. 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan
Konflik Sosial;
8. Permensos No. 26 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan konflik
sosial.
9. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial,

[39]
PEDOMAN KEBIJAKAN

PENYEDIAAN ALAT BANTU BAGI PENYANDANG


DISABILITAS FISIK SEBAGAI HAK & KEBUTUHAN DASAR

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[41]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (PD),
bahwa PD merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi.
Konvensi internasional mengenai disability people diantaranya mengenai hak
penyandang disabilitas, tidak hanya yang tidak potensial (telantar) saja yang
mendapatkan hak pemenuhan kebutuhan dasar, penyandang disabilitas yang
potensial memiliki hak untuk hidup, menikah, kesempatan untuk bekerja dan
berekspresi dan hak-hak lainnya.
Amanah dari Kesepakatan Dunia mengenai Sustainable Development
Goals/SDGs yang disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait dengan “Hak
semua masyarakat dunia”yaitu Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung
pada tiga faktor utama, yaitu Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus
menjadi Prioritas Nasional pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan.
Hak dasar masyarakat meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi
(public right to access information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to
participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice).
Proses rehabilitasi sosial penyandang disabilitas sesuai dengan Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial cq.
Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas melakukan pemberian bantuan
sosial bagi penyandang disabilitas yang berada di dalam dan di luar Lembaga
Kesejahteraan Sosial.
Perlindungan sosial sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 95, dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melalui bantuan sosial, advokasi sosial, dan/atau bantuan
hukum. Hal mendasar dari pemberian bantuan sosial bagi Penyandang Disabilitas
yaitu adanya perubahan keberfungsian sosial yang lebih baik, dan terhindar dari
resiko sosial yang lebih parah dari kondisi sosial sebelumnya.
Pedoman umum sebagai acuan pelaksanaan pemberian bantuan sosial bagi
penyandang disabilitas yang bersumber dari dana Anggaran Pembangunan Belanja
Negara (APBN) pusat, Proses pelaksanaan bantuan sosial tersebut merujuk pada
Perarturan Menteri Keuangan Nomor 228 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan
Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga.
Pasal 3 angka (1), Anggaran Belanja Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dialokasikan pada DIPA Kementerian Negara/Lembaga yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan mempunyai tugas dan fungsi
melaksanakan program perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan pelayanan dasar, dan
penanggulangan bencana.

[43]
Upaya mewujudkan tujuan negara dilaksanakan melalui proses yang
bertahap, terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang No. 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025
menetapkan bahwa visi pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur, salah satu visinya yaitu mewujudkan
pemerataan pembangunan dan berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan
daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan
keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah;
menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis; menyediakan akses
yang sama bagi masyarakat miskin dan rentan termasuk Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
disebutkan bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas
fisik, intelektual, mental, sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami
secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh
tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Kesamaan kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang
dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan
potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi
merupakan setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau
peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Percepatan juga diperlukan untuk pengumpulan data. BPS telah
mengumpulkan data untuk indikator SDGs, yang sekarang perlu dilengkapi dengan
data dari kementerian dan lembaga sesegera mungkin. Hal ini diperlukan untuk
menetapkan data acuan dasar yang kuat yang akan mengukur kemajuan pencapaian
SDGs secara kredibel. Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai tahap
kegiatan RANHAM, diharapkan masyarakat dapat berperan secara aktif dalam
melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur,dan mandiri.
Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia
Tahun 2015, adapun tujuannya agar aparat pemerintah dan masyarakat memahami
dan menerapkan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bermasyarakat dengan indikator
keberhasilan diantaranya pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak
penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Tanggung jawab Kementerian Sosial dalam Perpres No. 75 Tahun 2015 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 dengan meningkatnya
pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak penyandang disabilitas dan
kelompok rentan lainnya diantaranya melalui cara Social Model of Disability (SMD),
cara masyarakat menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled
people dalam menghadapi hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan
setara dalam masyarakat, dengan pilihan dan kendali atas kehidupan mereka.

[44]
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Memberikan petunjuk pelaksanaan dan panduan administrasi dalam
melaksanakan pemberian dan pelaporan bantuan sosial alat bantu untuk
penyandang disabilitas fisik di Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas.
2. Tujuan
 Terwujudnya pemahaman yang sama dalam pelaksanaan pemberian bantuan
sosial alat bantu kepada penyandang disabilitas fisik.
 Tersalurkannya bantuan sosial alat bantu kepada penyandang disabilitas
fisiksesuai dengan ketentuan berlaku, tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah,
serta tepat pemanfaatan.
 Tersedianya peraturan dan mekanisme pelaksanaan dan pengendalian
penyaluran bantuan sosial alat bantu penyandang disabilitas fisik.
 Tersusunnya laporan sesuai pedoman yang berlaku (manual/ otomatisasi)
dalam pelaksanaan bantuan sosial alat bantu penyandang disabilitas fisik.
 Terciptanya tertib administrasi keuangan berkaitan dengan pelaksanaan
bantuan sosial alat bantu penyandang disabilitas fisik sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing pihak terkait.

C. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan


Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan


Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan


Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251);

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah;

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang


Disabilitas;

[45]
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar


Pelayanan Minimal;

10. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 tentang
Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga;

11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan


Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga;

12. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 184 Tahun 2011 tentang
Lembaga Kesejahteraan Sosial;

13. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang
Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang
Kesejahteraan Sosial;

14. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Penyandang Disabilitas;

15. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial
di Daerah Propinsi dan di Daerah Kabupaten dan Kota.

16. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang
Penyaluran Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial;

D. Sasaran
Sasaran Petunjuk Pelaksanaan ini adalah :
1. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI.
2. Dinas/Instansi Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota.
3. Pendamping Penyandang Disabilitas dan/atau Tenaga Kesejahteraan Sosial
Penyandang Disabilitas.
4. Lembaga Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas (LKSPD).
5. Penyandang Disabilitas dan/atau Keluarga/Wali.

E. Batasan Pengertian
Pengertian yang digunakan dalam petunjuk pelaksanaan ini adalah :
1. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat.

2. Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,


intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi

[46]
dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

3. Penyandang Disabilitas Fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain


amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke,
akibat kusta, dan orang kecil

4. Keluarga penyandang disabilitas adalah orangtua/wali yang merawat sehari-hari


penyandang disabilitas fisik yang mengalami hambatan dan kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan dasar, pengasuhan dan perawatan, pengembangan
kapasitas, serta pemenuhan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas.

5. Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial


baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

6. Alat Bantu adalah benda yang berfungsi membantu kemandirian Penyandang


Disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

7. Bantuan sosial alat bantu penyandang disabilitas fisik adalah bantuan yang
diberikan kepada penyandang disabilitas fisik untuk membantu kemandiriannya
dalam melakukan kegiatannya sehari-hari.

8. Belanja Bantuan Sosial Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas yang


selanjutnya disebut Bansos PD adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang
dan/atau jasa yang diberikan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas.

9. Pemohon bantuan sosial adalah penyandang disabilitas atau keluarga/wali atau


Lembaga Kesejahteraan Sosial yang mengajukan permohonan bantuan alat bantu
bagi penyandang disabilitas fisik.

10. Penyaluran bantuan sosial alat bantu PD Fisik adalah serangkaian kegiatan
menyalurkan bantuan sosial alat bantu PD Fisik berupa uang, barang atau jasa
kepada penyandang disabilitas fisik baik secara langsung maupun tidak langsung.

11. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang
memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan
tanggungjawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang
bersangkutan.

12. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang
diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/ atau
tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

13. Sasaran Pemberian Bantuan Alat Bantu Penyandang Disabilitas Fisik


Sasaran kegiatan Pemberian Bantuan Alat Bantu Penyandang Disabilitas Fisik
adalah Penyandang Disabilitas Fisik yang berada di dalam maupun di luar
lembaga.

[47]
Persyaratan Penerima Bantuan Alat Bantu Penyandang Disabilitas Fisik
1) Kriteria dan Syarat Penyandang Disabilitas Penerima Bantuan Sosial Alat
Bantu PD Fisik
a) Orang yang memiliki keterbatasan fisik.
b) Memiliki identitas pribadi (KTP/KK/Surat Keterangan Domisili).
c) Terdaftar atau wajib didaftarkan pada SIMPD
d) Belum pernah mendapatkan bantuan sejenis dari pemerintah/ pemerintah
daerah dan lembaga lainnya dalam tahun anggaran berjalan.
e) Telah mendapatkan rekomendasi dari Tenaga Kesejahteraan Sosial atau
Pekerja Sosial berdasarkan hasil asesment.

2) Kriteria dan Syarat Keluarga Penyandang Disabilitas Penerima Bantuan Sosial


a) Orangtua/wali yang merawat sehari-hari penyandang disabilitas fisik
b) Tidak memiliki penghasilan tetap.
c) Memiliki identitas pribadi (KTP/KK/surat keterangan domisili).

3) Kriteria dan Syarat Penerima Bantuan Sosial melalui LKSPD


a) Menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi sosial dan atau pemberdayaan
sosial dan atau perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas minimal 2
(dua) tahun.
b) Memiliki visi dan misi yang jelas yang tertuang dalam profil LKSPD.
c) Memiliki AD dan ART, Akta Notaris dan NPWP.
d) Memiliki kantor/sekretariat, struktur organisasi/lembaga, pengurus, dan
alamat domisili yang jelas.
e) Terdaftar pada dinas/instansi sosial setempat dan memiliki izin
operasional yang masih berlaku.
f) Memiliki rekening pada bank pemerintah atas nama lembaga, bukan atas
nama pimpinan/pengurus LKSPD.
g) Memiliki data penyandang disabilitas penerima manfaat by name by address
sesuai dengan aplikasi SIMPD.
h) Bertanggungjawab mutlak atas dana bantuan yang diterima.

Tujuan Pemberian Bantuan Alat Bantu Penyandang Disabilitas Fisik :


a. Menyediakan kebutuhan Alat Bantu bagi Penyandang Disabilitas Fisik
b. Membantu kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan
sehari-hari.
c. Melindungi dan meningkatkan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas.

Prinsip Pemberian Bantuan Pemenuhan Alat Bantu Penyandang Disabilitas


Fisik
Pemberian Bantuan Alat Bantu Penyandang Disabilitas Fisik dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Ketepatan artinya bantuan diberikan tepat sasaran dan tepat jumlah.
b. Kebermanfaatan yaitu bantuan harus bermanfaat dalam memelihara dan
mempertahankan taraf kesejahteraan sosial penyandang disabilitas fisik.
c. Non diskriminatif, bantuan diberikan tidak membedakan asal suku, agama,
ras, dan golongan tertentu.

[48]
d. Akuntabilitas yaitu pelaksanaan pemberian bantuan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pelaksana Pemberian Bantuan Pemenuhan Alat Bantu Penyandang Disabilitas


Fisik
Pelaksana kegiatan pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan Alat Bantu
Penyandang Disabilitas Fisik adalah Pemerintah yang menangani bidang sosial.

Peran dan Tugas pihak yang terkait dalam Pemberian Bantuan Alat Bantu
Penyandang Disabilitas Fisik
Peran dan tugas yang harus dijalankan oleh pihak terkait, sebagai berikut :
1) Kementerian Sosial RI
a) Menyiapkan pendukung kegiatan berupa pedoman pelaksanaan
b) Melaksanakan sosialisasi kegiatan
c) Melaksanakan verifikasi (pemadanan) data
d) Menetapkan penerima bantuan melalui Surat Keputusan Direktur
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas selaku Kuasa Pengguna
Anggaran
e) Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan

2) Dinas/Instansi Sosial Provinsi


a) Melaksanakan verifikasi (pemadanan) data
b) Memberikan rekomendasi terhadap usulan baik dari perorangan maupun
dari LKS-PD yang telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas/Instansi
Sosial Kabupaten/Kota
c) Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan pemanfaatan bantuan alat
bantu bagi penyandang disabilitas fisik
d) Melaporkan pelaksanaan dan pemanfaatan bantuan alat bantu bagi
penyandang disabilitas fisik kepada Kementerian Sosial cq. Direktorat
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas.

3) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota


a) Melaksanakan verifikasi (pemadanan) data.
b) Memfasilitasi asesment oleh petugas medis dan pendamping/tenaga
kesejahteraan sosial atau Pekerja sosial terhadap calon penerima bantuan
perorangan
c) Memberikan rekomendasi terhadap usulan dari perorangan dengan
melampirkan hasil asesmen dari Petugas Medis dan/atau Pendamping/
Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Pekerja Sosial
d) Memberikan rekomendasi terhadap usulan dari LKS yang telah melakukan
asesmen kepada calon penerima bantuan yang diusulkan oleh LKS
tersebut
e) Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan pemanfaatan bantuan alat
bantu bagi penyandang disabilitas fisik
f) Melaporkan pelaksanaan dan pemanfaatan bantuan alat bantu bagi
penyandang disabilitas fisik kepada Dinas Sosial Provinsi

[49]
4) LKS
a) Menyiapkan dan bertanggung jawab terhadap data calon penerima
bantuan yang akurat sesuai dengan Format SIMPD antara lain meliputi
nama, alamat dan NIK.
b) Melampirkan hasil assesment dari tenaga medis dan/atau Pendamping/
Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Pekerja Sosial
c) Melakukan perjanjian kerjasama antara LKS dengan PPK sesuai dengan
peraturan yang berlaku
d) Melakukan pengadaan Alat bantu bagi PD Fisik sesuai dengan proposal
yang diajukan
e) Menyalurkan bantuan kepada PD Fisik sebagai penerima manfaat sesuai
dengan SK PPK yang disahkan oleh KPA dan membuat berita acara serah
terima bantuan dari LKS kepada Penerima Bantuan
f) Bertanggung jawab terhadap penggunaan bantuan
g) Melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap pemanfaatan
bantuan
h) Membuat laporan secara tertulis sesuai dengan format yang telah
ditentukan, yang meliputi laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan
pertanggungjawaban keuangan dengan format terlampir, melampirkan
kuitansi dan faktur pembelian.

5) Pihak ke Tiga atau Penyedia Barang


a) Melakukan perjanjian kerjasama antara penyedia barang dengan PPK
sesuai dengan peraturan yang berlaku
b) Menyediakan dan mengirimkan barang sesuai dengan kontrak
c) Membuat laporan penyediaan dan pengiriman barang sesuai kontrak
disertai dengan bukti-bukti otentik.

6) Penerima Bantuan
a) Untuk bantuan dalam bentuk uang, uang tersebut harus dimanfaatkan
atau dibelikan alat bantu sesuai permohonan bantuan yang diajukan
b) Memanfaatkan/menggunakan bantuan alat bantu sesuai dengan
peruntukannya
c) Melakukan perawatan dan pemeliharaan terhadap alat bantu yang
diterimanya
d) Menyampaikan laporan pemanfaatan bantuan kepada Kementerian Sosial
yang ditembuskan ke Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan
format laporan yang dilampirkan.

7) Masyarakat
Masyarakat ikut berperan dalam pengawasan terhadap pemanfaatan bantuan

14. Bentuk Bantuan Pemenuhan Alat Bantu Penyandang Disabilitas


Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Alat Bantu bagi Penyandang Disabilitas Fisik
diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan usulan yang diajukan.

[50]
BAB II
MEKANISME PENGAJUAN, PENYALURAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN BANTUAN ALAT BANTU
PENYANDANG DISABILITAS FISIK

A. Prosedur Pengajuan Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Alat Bantu PD Fisik


1. Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
Permohonan bantuan alat bantu PD Fisik yang bernilai diatas limapuluh
juta rupiah pemenuhan kebutuhan dasar ditujukan oleh LKS yang usulkan
kepada Menteri Sosial Republik Indonesia. Permohonan yang bernilai dibawah
lima puluh juta rupiah ditujukan kepada Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Cq.
Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas disertai dengan proposal yang
telah mendapat rekomendasi Dinas/Instansi Sosial Kab/Kota dan Dinas/Instansi
Sosial Provinsi, dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :
a. Akta Notaris
b. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) LKS
c. Profil LKS
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
e. Fotokopi buku rekening an. LKS yang masih berlaku
f. Izin operasional dari Dinas/instansi Sosial setempat yang masih berlaku
g. Surat keterangan domisili LKS
h. Data calon penerima bantuan yang akurat sesuai dengan Format SIMPD
antara lain nama, alamat dan NIK.

2. Perorangan
Permohonan alat bantu PD Fisik dari perorangan ditujukan kepada
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Cq. Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas disertai dengan proposal yang telah mendapat rekomendasi Dinas/
Instansi Sosial Kab/Kota dan Dinas/Instansi Sosial Provinsi, dengan melampirkan
:
a. Hasil Assesment
b. Foto Diri yang menunjukkan kondisi kedisabilitasannya
c. Fotocopy KTP/KK
d. Buku Rekening atas nama pemohon
e. Terdaftar atau wajib didaftarkan pada SIMPD

B. Prosedur Penyaluran Bantuan Alat Bantu PD Fisik

1. Berdasarkan pengajuan proposal dari Perorangan :


a. Perorangan sebagai pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial
Republik Indonesia dalam bentuk proposal, dilengkapi rekomendasi dari
Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota dan Dinas/Instansi Sosial Provinsi
dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
b. Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas berdasarkan disposisi dari
Menteri Sosial menugaskan kepada penanggungjawab kegiatan pemberian

[51]
bantuan alat bantu PD Fisik untuk melakukan verifikasi data PD calon
penerima bantuan.
c. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menetapkan Penerima bantuan PD fisik
melalui Surat Keputusan yang disahkan oleh KPA berdasarkan hasil verifikasi.
d. PPK mengajukan permohonan uang bantuan ke KPPN (SPM LS), sesuai
dengan surat keputusan penetapan penerima bantuan alat bantu PD Fisik dari
PPK. Setelah disetujui, KPPN menerbitkan SP2D dan dana langsung ditransfer
ke rekening Penerima Bantuan untuk kemudian dimanfaatkan sesuai dengan
usulan yang diajukan pada proposal.

2. Berdasarkan pengajuan proposal dari LKS


a. LKS sebagai pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial
Republik Indonesia dalam bentuk proposal, dilengkapi rekomendasi dari
Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota dan Dinas/Instansi Sosial Provinsi
dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
b. Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas berdasarkan disposisi dari
Menteri Sosial menugaskan kepada penanggungjawab kegiatan pemberian
bantuan alat bantu PD Fisik untuk melakukan verifikasi LKS dan data PD
calon penerima bantuan.
c. Menetapkan LKS dan PD fisik yang menerima bantuan alat bantu PD Fisik
melalui Surat Keputusan Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
berdasarkan hasil verifikasi.
d. PPK mengajukan permohonan uang bantuan ke KPPN (SPM LS), sesuai
dengan surat keputusan penetapan penerima bantuan alat bantu PD Fisik dari
Direktur Rehabilitasi Sosial penyandang Disabilitas. Setelah disetujui, KKPN
menerbitkan SP2D dan dana langsung ditransfer ke rekening LKS untuk
kemudian disalurkan kepada penerima bantuan dalam bentuk alat bantu PD
Fisik.

3. Berdasarkan hasil penjangkauan pada situasi darurat


a. Direktur Rehabilitasi sosial Penyandang Disabilitas memerintahkan petugas
untuk melakukan penjangkauan dan assesment kepada PD yang mengalami
situasi darurat.
b. Petugas penjangkauan membuat laporan kepada Direktur Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas, yang berisi tentang hasil penjangkauan di lapangan.
c. Apabila hasil penjangkauan atau assesment menunjukkan bahwa diperlukan
penyaluran bantuan alat bantu PD Fisik, maka di dalam laporan dimaksud
berisi data akurat sesuai dengan Format SIMPD antara lain nama, alamat dan
NIK dan nomor rekening calon penerima bantuan atau pengajuan proposal
melaui LKS sebagai pengampu di lokasi kedaruratan.
d. Berdasarkan hasil penjangkauan dan assesment, PPK Menetapkan Surat
Keputusan (SK) penerima bantuan alat bantu PD Fisik yang disahkan oleh
Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas selaku Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)
e. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengajukan permohonan uang bantuan ke
KPPN (SPM LS), Setelah disetujui, KKPN menerbitkan SP2D dan dana
langsung ditransfer ke rekening LKS untuk kemudian disalurkan kepada
penerima bantuan dalam bentuk alat bantu PD Fisik.

[52]
C. Pertanggungjawaban Bantuan Alat Bantu PD Fisik
Pertanggungjawaban dilaksanakan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
dalam bentuk laporan akhir yang ditujukan kepada Direktur Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas dengan tembusan Dinas/Instansi Sosial Provinsi dan Dinas/
Instansi Sosial Kabupaten/Kota.
LKS harus menyampaikan laporan penyaluran dana bantuan kepada Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) paling lambat tanggal 15 Desember tahun berjalan, dengan
melampirkan :
1. Surat pernyataan pemberitahuan yang menyatakan bahwa LKS telah menerima
bantuan.
2. Surat perjanjian kerjasama antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan LKS
3. Berita acara serah terima bantuan (secara kolektif) dari LKS ke penerima bantuan
alat bantu PD Fisik.
4. Rincian realisasi penggunaan bantuan (jumlah dana awal, dan dana yang
dipergunakan)
5. Tanda bukti pembelian bantuan alat bantu PD Fisik disertai kwitansi dan nota/
faktur pembelian
6. Dokumentasi (Foto) pembelian barang dan saat penyerahan bantuan
7. Apabila terdapat bantuan yang tidak terealisasi dikarenakan calon penerima
bantuan meninggal atau pindah domisili dapat digantikan dengan membuat
berita acara penggantian oleh LKS yang diketahui oleh Dinas/Instansi Sosial
setempat.
8. Apabila tidak ada calon penerima pengganti, maka pihak LKS wajib
mengembalikan ke Kas negara.

[53]
BAB III
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

A. Monitoring
Merupakan rangkaian kegiatan pengamatan untuk mengetahui
perkembangan, hambatan dan dukungan yang diperoleh dari berbagai pihak dalam
pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan alat bantu PD Fisik.
1. Tujuan
Untuk mengetahui proses pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan alat bantu PD
Fisik dan kendala yang dihadapi serta upaya penanganannya.
2. Sasaran
a) LKS sebagai pelaksana kegiatan. Subtansi yang akan dimonitoring mencakup
ketepatan sasaran pemberian bantuan, prosedur pelaksanaan dan hasil yang
dicapai.
b) Penerima bantuan untuk memastikan bahwa bantuan telah diterima sesuai
dengan persyaratan yang telah di tetapkan .

3. Waktu
Monitoring dilakukan sejak proses persiapan, pelaksanaan pemberian bantuan
dan pelaporan.
4. Pelaksana
a) Kementerian Sosial RI.
b) Dinas/Instansi Sosial Provinsi.
c) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota.
d) Pendamping/TKSPD dan Pekerja Sosial.

B. Evaluasi
Merupakan rangkaian kegiatan penilaian dan pengukuran terhadap seluruh
kegiatan pemberian bantuan alat bantu PD Fisik mulai dari persiapan, pelaksanaan
sampai hasil yang dicapai.
1. Tujuan
Untuk mengetahui proses pelaksanaan, hambatan dan keberhasilan kegiatan
pemberian bantuan alat bantu PD Fisik sebagai bahan acuan dalam
penyempurnaan kegiatan.
2. Sasaran
LKS sebagai pelaksana kegiatan dan PD Fisik sebagai penerima bantuan.
3. Waktu
Dilaksanakan secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
4. Pelaksana
a) Kementerian Sosial RI.
b) Dinas/Instansi Sosial Provinsi.
c) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota.

[55]
C. Pelaporan
Merupakan serangkaian kegiatan penyusunan hasil monitoring dan evaluasi,
digunakan sebagai bahan pertanggungjawaban administrasi keuangan, dokumentasi,
dan menjadi bahan kendali. Pelaporan bertujuan untuk menyediakan informasi bagi
pimpinan untuk kebijakan selanjutnya. Pelaporan mencakup pelaksanaan kegiatan,
hambatan yang dihadapi, solusi dalam pemecahan masalah, hasil, kesimpulan dan
rekomendasi.

[56]
BAB IV
PENUTUP

Buku pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian Sosial RI, Dinas/Instansi
Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota, LKS dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan
pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar bagi lanjut usia.
Kiranya Pedoman Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar ini dapat
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
bermanfaat bagi semua pihak.
Pedoman Umum yang menjadi dasar acuan dan ditindaklanjuti dengan Petunjuk Teknis
akan sangat bermanfaat untuk menyusun implementasi dari mutu dan jenis layanan
rehabilitasi sosial Penyandang Disabilitas (PD) berdasarkan kewenangan dan tanggung
jawab antara Pemerintah Pusat yang mempunyai tanggung jawab rehabilitasi sosial
lanjutan dengan sarana dan fungsi Balai dan Loka dengan Pemerintah Daerah Provinsi
yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di dalam Panti
serta Pemda Kab/Kota kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di luar Panti.

[57]
PEDOMAN KEBIJAKAN

PENYUSUNAN RKPD URUSAN SOSIAL


SESUAI PEMETAAN URUSAN PROVINSI & KAB/KOTA

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[59]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2020 berdasarkan pada PP
No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pembangunan Nasional, untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan
dilakukan pada prioritas pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan
lokus yang jelas), pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L
dan Non K/L), transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar
instansi dan antar pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas
pembangunan agar kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi
antar program dan antar pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen
perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian
sistem yang terpadu yaitu Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA).
Sejak diluncurkan April 2017, KRISNA yang didukung oleh Knowledge Sector
Initiative (KSI) dan telah digunakan oleh 125 Kementerian/Lembaga Negara untuk
mengembangkan serta merevisi anggaran kerja di Tahun Anggaran 2018 dan 2019.
KRISNA yang merupakan sistem e-planning dengan mengintegrasikan platform
perencanaan dan anggaran yang telah ada di Bappenas ke dalam satu sistem tunggal
dan mudah digunakan. Aplikasi elektronik itu juga terkoneksi langsung ke SINKRON
yaitu Aplikasi penganggaran di Kementerian Keuangan. Aplikasi KRISNA ini
bertujuan untuk mendorong efisiensi dan akuntabilitas proses perencanaan.
Pemerintah daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja, baik
dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan
kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran
dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran.
Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), lembaga dan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 oleh Badan Pendidikan, Penelitian
Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) di Bandung tanggal
28 Januari s.d 1 Februari 2019 di The Trans Luxury Hotel, Bandung Jawa Barat dengan
tugas dan fungsi Balai Besar Diklat berdasarkan Wilayah Regional yang menangani 34
daerah provinsi dan 514 daerah kabupaten/kota.

B. Dasar Hukum
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan
PP 7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Definisi operasional pemetaan urusan pemerintahan merupakan penentuan
potensi dan beban kerja tiap daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan,
dengan menterjemahkan urusan ke dalam variabel, indikator serta pembobotan dan
penentuan skor berdasarkan pembagian kewenangan.

[61]
Inventarisasi NSPK yang dikeluarkan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait
berdasarkan kewenangan daerah di dalamnya dengan perumusan indikator dari
matriks lampiran pembagian kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota.
Hasil perumusan indikator teknis berdasarkan urusan teknis pemerintahan
ditetapkan antara bangda dengan K/L dengan metode pengumpulan data umum
melalui parameter urusan wajib pelayanan dasar (Yandas), non yandas, urusan
pilihan dan data teknis yang terkait dengan indikator teknis per sub urusan
pemerintahan teknis di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota
Tujuan Pemetaan untuk memperoleh gambaran yang utuh dari kondisi
pemerintahan yang ada saat ini dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di
daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota. Tahapan pemetaan dengan
mengidentifikasi peralihan urusan pemerintahan dari PP 38/2007 ke lampiran UU
23/2014 menjadi dasar Peraturan Pemerintah Urusan Konkuren (urusan bersama)
yang ditetapkan dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) antara
pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota berdasarkan urusan
teknis dan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Teknis.
Validasi data umum dan teknis oleh bangda dan K/L dengan menentukan
pembobotan antara faktor umum dengan faktor teknis, yang merupakan hasil
kesepakatan antara bangda dengan K/L dengan menentukan kelompok interval
tinggi, sedang dan rendah dari indikator umum dan teknis, melalui simulasi indikator
ke beberapa daerah yang dibandingkan dengan seluruh daerah sesuai klasifikasi
terhadap beban urusan berdasarkan intensitas dan potensi, melalui skoring terhadap
hasil pembobotan faktor umum dan faktor teknis.
Kriteria perumusan indikator teknis urusan pemerintah daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota dengan merupakan beban kunci yang menentukan beban
yang lain atau menggambarkan beban tertinggi dari pelaksanaan kewenangan dan
jika objek dari kewenangan tidak dapat diukur, maka yang menjadi indikator adalah
subjek dari pelayanan urusannya.
Kemudian indikator teknis itu bukan merupakan fungsi manajemen
(Turlakbinwas) dan bukan merupakan unsur manajemen (P3D) dan mencermati
indikator yang tidak sesuai dengan kewenangan sesuai lampiran matriks pembagian
urusan dan kewenangan, karena indikator harus merupakan kewenangan daerah, jika
hanya terdapat kewenangan pusat, tidak perlu dirumuskan indikator.
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2019 yang
ditetapkan dengan Permendagri No. 22 Tahun 2018 secara substansi memuat arah
kebijakan ekonomi dan keuangan daerah, rencana program, kegiatan, indikator
kinerja, pagu indikatif, kelompok sasaran, lokasi kegiatan, prakiraan maju dan
perangkat daerah penanggung jawab yang wajib dilaksanakan Pemda dalam 1 (satu)
tahun.
Penyusunan kebijakan umum APBD Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang akan diusulkan oleh Kepala
Daerah untuk disepakati bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RAPBD).
RKPD menjadi tolok ukur untuk menilai capaian kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah merealisasikan program dan kegiatan dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Penyusunan RKPD berpedoman pada arah kebijakan
pembangunan nasional, arah kebijakan pembangunan daerah, tahapan dan tata cara

[62]
penyusunan, tahapan dan tata cara penyusunan perubahan, pengendalian dan
evaluasi serta konsistensi perencanaan dan penganggaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Arah kebijakan pembangunan bidang urusan untuk menjamin sinergitas
program pembangunan nasional dan daerah, penyusunan RKPD 2019 berdasarkan
arah kebijakan pembangunan daerah dengan memperhatikan prioritas dan sasaran
pembangunan nasional. Arah kebijakan pembangunan daerah berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM.
Permendagri No. 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2019, belanja daerah
diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar
yang ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), sebagaimana diatur
dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM serta berpedoman pada standar teknis dan
harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belanja daerah harus mendukung target capaian prioritas pembangunan
nasional tahun 2019 sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah
daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan APBD harus lebih fokus
terhadap kegiatan yang berorientasi produktif dan memiliki manfaat untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pelayanan publik, pertumbuhan
ekonomi daerah.

C. Pertimbangan Pedoman
Beberapa Hal Pertimbangan Pedoman Umum Penyelenggaraan Urusan
Bidang Sosial di Daerah Provinsi & Kab / Kota
1. Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan
lampiran UU 23 Tahun 2014.

2. Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.

3. Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan


hanya untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan
daerah Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan
tugas lainnya sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan
kewenangan GWPP sesuai dengan Pasal 91 UU 23/2014).

4. Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas-


pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan
TP kepada daerah harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang

[63]
dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Peraturan
Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugaspembantuankan
kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk pelaksanaannya.

5. Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya


Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan
semangat gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia
Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial penduduk miskin dan rentan. Kementerian Sosial
melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran Strategisnya berkontribusi
menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.

6. Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah


kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif,
pengembangan penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses
pelayanan dasar, penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan
sosial.
Pertimbangan Lain Sebagai Pedoman Umum Pelaksanaan Urusan Sosial
1. Arah Kebijakan Nasional
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang
ditetapkan dengan UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan
pembangunan Indonesia didasarkan pada Pelaksanaan strategi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Tahun 2019 merupakan tahun kelima
dalam agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-3.
Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya
berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat
program kewilayahan disertai dengan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif.
PP No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional, untuk penguatan kendali program,
perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas pembangunan hingga tingkat
pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas), pengintegrasian sumber-sumber
pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L), transfer ke daerah maupun
non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar pusat daerah dengan
memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar kesiapan
pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen
anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu
(KRISNA).
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun
perencanaan yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para
pihak (Multilateral meeting) pada RKP.

[64]
D. Program Pedoman
1. Prioritas Nasional (PN), Program Prioritas (PP), Kegiatan Prioritas (KP)
Dalam RKP 2019
Program Prioritas Kementerian Sosial Tahun 2019 sebagai dasar (baseline)
tahun 2020 dengan Program Utama yang meliputi:
a. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
b. Program Penanganan Fakir Miskin
c. Program Rehabilitasi Sosial
d. Program Pemberdayaan Sosial

2. Program Dukungan yang meliputi:


a. Program Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan Sosial
b. Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kementerian
Sosial
c. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Kementerian
Sosial

3. Program Prioritas Nasional dalam RKP Tahun 2019 meliputi:


a. Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan
pelayanan dasar
b. Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui penguatan konektifitas dan
kemaritiman
c. Peningkatan nilai tambah ekonomi melalui pertanian, industri dan jasa
produktif
d. Pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumber daya air
e. Stabilitas keamanan nasional dan kesuksesan Pemilu.

4. Prioritas Nasional (PN)-1 Pembangunan melalui Pengurangan Kemiskinan dan


Peningkatan Pelayanan Dasar dalam 5 (lima) Program Prioritas (PP) dengan
masing-masing Kegiatan Prioritas (KP).

5. Program Prioritas (PP)-1 Percepatan Pengurangan Kemiskinan dengan Kegiatan


Prioritas (KP) yang meliputi: Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) Keluarga Miskin
dengan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan secara non tunai,
KUBe/UEP di Perkotaan, Perdesaan, Pesisir, PPK dan PAN.

6. Program Prioritas (PP)-2 Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Gizi Masyarakat


dengan Kegiatan Prioritas (KP) yaitu Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS.

7. Program Prioritas (PP)-3 Pemerataan Layanan Pendidikan Berkualitas dengan


Kegiatan Prioritas (KP) Penyediaan Literasi Bagi Penyandang Disablitas.

8. Program Prioritas (PP)-4 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Perumahan


dan Pemukiman layak, dengan Kegiatan Prioritas (KP) Pembangunan Rumah
Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni.

9. Program Prioritas (PP)-5 Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar dengan


Kegiatan Prioritas (KP) yang meliputi: Verifikasi dan Validasi (Verval) data,
P2K2, Sertifikasi Pekerja Sosial (PEKSOS), Akreditasi Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS), Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT), Pusat Kesejahteraan

[65]
Sosial (PUSKESOS), Rehabilitasi Sosial Anak, Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas dengan Vokasional, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).

10. Prioritas Nasional (PN)-2 Penanggulangan Bencana dengan Kegiatan Prioritas


(KP) Perlindungan Korban Bencana Alam.

11. Prioritas Nasional (PN)-5 Kantibmas dan Keamanan Siber dengan Kegiatan
Prioritas (KP) yang meliputi: Perlindungan Korban Konflik Sosial, Rehabilitasi
Sosial Korban NAPZA, Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang
mendapatkan Rehabilitasi Sosial, Penanggulangan Teroris.

E. Target Program Yang Akan Dilaksanakan


Target Prioritas Nasional Kementerian Sosial Tahun 2019, meliputi:
1. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
a. Keluarga Miskin yang mendapatkan bantuan PKH dengan target 10.000.000
Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
b. Korban Bencana Alam yang mendapatkan penanganan darurat dengan target
150.000 jiwa
c. Kesiapsiagaan dan Mitigasi Masyarakat di lokasi rawan bencana dengan target
6.000 orang
d. Korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
dengan target 120.000 orang.
e. Masyarakat yang mendapatkan penguatan dalam penanganan konflik sosial
dengan target 250 kampung
f. Masyarakat yang mendapatkan penguatan pelibatan dan pencegahan
terorisme dengan target 200 kampung
g. Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dengan
target 101.800 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
h. Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Hunni (RS-RTLH) dengan target 14.000
KPM
i. Bantuan Pangan Non Tunai dengan target 15.6 juta KPM,

2. Program Rehabilitasi Sosial


a. Penyandang Disabilitas (PD) yang mendapatkan alat bantu khusus dengan
target 3.164 orang
b. Rehabilitasi Sosial bagi PD dengan target 50.884 orang
c. Literasi khusus bagi PD dengan target 35 literasi
d. Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial dan
Perlindungan Sosial dengan target 19.000 orang
e. Orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan
Sosial dengan target 950 orang
f. Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan Rehabilitasi
Sosial dengan target 50 orang
g. Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan dengan target 750 orang
h. Anak Balita Telantar, Anak Telantar/Anak Jalanan, Anak Berhadapan Dengan
Hukum dan Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus yang mendapatkan
Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan target 101.000 Anak.
i. Lanjut usia yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan
target 50.340 orang.

[66]
j. Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Home Care dengan target 20.000
orang.

3. Program Pemberdayaan Sosial


a. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mendapatkan
pemberdayaan dengan target 7.201 orang.
b. Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT) dengan target 150 Kab/Kota.
c. Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan Pusat Kesejahteraan Sosial
(PUSKESOS) dengan target 300 desa/kelurahan.
d. Warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diberdayakan dengan target
2.099 Kepala keluarga (KK).

4. Program Pendidikan, Penelitian & Penyuluhan Sosial


a. Program Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2) bagi Pendamping Sosial PKH
dengan target 21.900 orang.
b. Diklat bagi SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang meliputi Pekerja
Sosial, Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial
dengan target 21.900 orang.
c. SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan Sertifikasi dengan
target 21.900 orang.
d. Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang telah mendapatkan Akreditasi
dengan target 3.000 LKS.
e. Verifikasi dan Validasi (Verval) Data Terpadu dengan target 107.200.000 jiwa.

[67]
BAB II
GAMBARAN UMUM PEDOMAN

A. Arah Kebijakan Urusan Pemerintahan


Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019,
bahwa sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan
Prioritas (KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

B. Deskripsi Masalah
1. Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), lembaga dan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 di Bandung tanggal 28 Januari
s.d 1 Februari 2019 yang diinisiasi oleh Badan Pendidikan, Penelitian
Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) yang bertempat
di The Trans Luxury Hotel, Bandung Jawa Barat, dengan hasil Nota Kesepakatan
yang merupakan “Amanah Peraturan Perundang-Undangan” diantaranya UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan turunan Peraturan
Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum
Daerah dan Peraturan Menteri Teknis (diantaranya Menteri Sosial) sebagai
Pembina Teknis Daerah.
2. Fungsi Balai Besar berdasarkan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Sosial,
dengan pembagian habis 34 (tiga puluh empat) Provinsi dengan wilayah daerah
Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi tersebut yang meliputi Balai Besar di
Regional Wilayah Jawa Barat, Balai Besar di Regional DI Yogyakarta, Balai Besar
di Regional Padang Sumatera Barat, Balai Besar di Regional Makasar Sulawesi
Selatan, Balai Besar di Regional Banjarmasin Kalimantan Selatan, Balai Besar di
Regional Papua.

C. SDM & Kelembagaan


UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian, Peraturan Presiden No. 46
Tahun 2005 tentang Kementerian Sosial, Permensos No. 20 Tahun 2015 tentang
Organisasi Tata Kerja di Kementerian Sosial, Permensos No. 14 Tahun 2017
(Perubahan Pertama dari Permensos No. 20 Tahun 2015 dan Perubahan Kedua
dengan Permensos No. 22 Tahun 2018, Organisasi Tata Kerja (OTK) Balai Besar
dengan Sumber Daya Manusianya diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi
dari Unit Kerja Eselon (UKE) I Badiklit Pensos dengan tugas melaksanakan
pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan kesejahteraan sosial serta
penyuluhan sosial.

D. Fungsi Balai Besar Diklat Berdasarkan Wilayah Regional


Balai Besar berdasarkan Peraturan Menteri Sosial untuk mendukung Badan
Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan sosial sesuai dengan wilayah regional dari 34

[69]
provinsi dan 514 kabupaten/kota yang berada dalam wilayah regionalnya dengan
tugas dan fungsi yang meliputi:
a) Penyusunan kebijakan teknis di bidang pendidikan dan pelatihan, dan penelitian
dan pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial;
b) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial;
c) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial;
d) Pelaksanaan penyuluhan sosial;
e) Pelaksanaan kegiatan pemrosesan sertifikasi pekerja sosial dan tenaga
kesejahteraan sosial serta akreditasi lembaga kesejahteraan sosial;
f) Pembinaan jabatan fungsional pekerja sosial dan penyuluh sosial;
g) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pendidikan dan pelatihan, dan penelitian
dan pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial;
h) Pelaksanaan administrasi Badan Pendidikan, Penelitian. dan Penyuluhan Sosial;
dan
i) Pelaksanaan fungsi lain diantaranya aspek Perencanaan dan Penganggaran.

E. Tugas Lain Balai Besar


Tugas lain Balai besar dengan mendukung tugas dan Fungsi Unit Kerja Eselon
(UKE) I Sekretariat Jenderal, diantaranya Koordinasi kegiatan Kemensos dan
Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran Kementerian Sosial,
sehingga peran Balai Besar yang menangani regional wilayah provinsi dan
kabupaten/kota dapat mendukung Aspek Pembinaan dari Amanah PP No. 12 Tahun
2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemda, PP No. 2 Tahun
2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), Permendagri No. 100 Tahun 2018
tentang Penerapan SPM dan Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis
Pelaksanaan Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah
Kabupaten/ Kota.

[70]
BAB III
ANALISIS PEDOMAN

Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan


makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan perencanaan pembangunan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pembangunan tahunan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.

Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah


UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 Pengintegrasian SPM Sosial ke dalam dokumen perencanaan daerah RPJMD, RKPD
dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial berupa rehabilitasi sosial
dasar kepada anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar,
gelandangan dan pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban
bencana, dalam rangka pemberian pelayanan dasar kepada setiap setiap warga negara
dengan berpedoman pada penerapan pencapaian Standar Pelayanan Minimal sesuai
peraturan perundang-undangan.

[71]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
6. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
7. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
8. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
9. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
10. Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
11. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Peraturan
Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah & Rencana Kerja Pemerintah Daerah;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah TA 2019.

[73]
PEDOMAN KEBIJAKAN

RAPAT KOORDINASI PENGEMBANGAN SDM, LEMBAGA


& PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
TAHUN 2019

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI.

TAHUN 2019

[75]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nota kesepakatan Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia
(SDM), lembaga dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 di Bandung
tanggal 28 Januari s.d 1 Februari 2019 yang diinisiasi oleh Badan Pendidikan,
Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) yang
bertempat di The Trans Luxury Hotel, Bandung Jawa Barat, diantaranya memuat
substansi sebagai berikut:
1. Menguatkan strategi dan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai
kewenangan pusat dan daerah berdasarkan amanat UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
2. Mewujudkan harmonisasi dan sinkronisasi Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
pusat, provinsi dan kabupaten/kota bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial
tahun 2020 dan tahun-tahun berikutnya dengan memanfaatkan teknologi
informasi terkini.
3. Harmonisasi dan sinkronisasi program mencakup aspek nomenklatur, kegiatan,
target output, lokasi dan anggaran melalui pendekatan operasional, keuangan,
hukum, pengguna, SDM, dan tata kelola yang baik.
4. Menindaklanjuti hasil Rakorbang sebagai acuan penyusunan RKP bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2020 sesuai timeline penyusunan RKP
dan penetapan anggaran.
5. Kelengkapan data dukung RKP bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial
tahun 2020 yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota sudah diterima Panitia Rakorbang paling lambat tanggal 15
Februari 2019 dengan tembusan ke Bappeda wilayah setempat untuk
ditindaklanjuti oleh Biro Perencanaan Kementerian Sosial.
6. Rakorbang Penyusunan RKP tahun-tahun berikutnya diselenggarakan berdekatan
dengan pelaksanaan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan
Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan
nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.
Pengawasan teknis meliputi: capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan
termasuk ketaatan pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
konkuren, dampak pelaksanaan urusan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah
daerah, dan akuntabilitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah.

[77]
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan
PP 7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria
fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai
dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan
hanya untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang
ditugaspembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran
UU Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP
kepada daerah harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan
oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan
Pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota
dan Petunjuk pelaksanaannya.
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi
terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan
nilai dan semangat gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia
Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial penduduk miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan
Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah
penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.

B. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan
dengan UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia
didasarkan pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional. Tahun 2019 merupakan tahun kelima dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian.

[78]
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional
bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada
RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan
disertai dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
PP No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional, untuk penguatan kendali program,
perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas pembangunan hingga tingkat
pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas), pengintegrasian sumber-sumber
pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L), transfer ke daerah maupun non
APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar pusat daerah dengan
memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar kesiapan pelaksanaan
program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar pelaku
pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun
perencanaan yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak
(Multilateral meeting) pada RKP.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019,
bahwa sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan
Prioritas (KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2020 berdasarkan pada PP
No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pembangunan Nasional, untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan
dilakukan pada prioritas pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan
lokus yang jelas), pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L
dan Non K/L), transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar
instansi dan antar pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas
pembangunan agar kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi
antar program dan antar pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen
perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian
sistem yang terpadu yaitu Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA).
Sejak diluncurkan April 2017, KRISNA yang didukung oleh Knowledge Sector
Initiative (KSI) dan telah digunakan oleh 125 Kementerian/Lembaga Negara untuk
mengembangkan serta merevisi anggaran kerja di Tahun Anggaran 2018 dan 2019.
KRISNA yang merupakan sistem e-planning dengan mengintegrasikan platform
perencanaan dan anggaran yang telah ada di Bappenas ke dalam satu sistem tunggal
dan mudah digunakan. Aplikasi elektronik itu juga terkoneksi langsung ke SINKRON
yaitu Aplikasi penganggaran di Kementerian Keuangan. Aplikasi KRISNA ini
bertujuan untuk mendorong efisiensi dan akuntabilitas proses perencanaan.

[79]
1. Prioritas Nasional (PN), Program Prioritas (PP), Kegiatan Prioritas (KP) Dalam
RKP 2019
Program Prioritas Kementerian Sosial Tahun 2019 sebagai dasar (baseline)
tahun 2020 dengan Program Utama yang meliputi:
a) Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
b) Program Penanganan Fakir Miskin
c) Program Rehabilitasi Sosial
d) Program Pemberdayaan Sosial
Program Dukungan yang meliputi:
a) Program Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan Sosial
b) Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kementerian
Sosial
c) Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Kementerian
Sosial
Program Prioritas Nasional dalam RKP Tahun 2019 meliputi:
a) Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan
pelayanan dasar
b) Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui penguatan konektifitas dan
kemaritiman
c) Peningkatan nilai tambah ekonomi melalui pertanian, industri dan jasa
produktif
d) Pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumber daya air
e) Stabilitas keamanan nasional dan kesuksesan Pemilu.
Prioritas Nasional (PN)-1 Pembangunan melalui Pengurangan Kemiskinan dan
Peningkatan Pelayanan Dasar dalam 5 (lima) Program Prioritas (PP) dengan
masing-masing Kegiatan Prioritas (KP).
Program Prioritas (PP)-1 Percepatan Pengurangan Kemiskinan dengan Kegiatan
Prioritas (KP) yang meliputi: Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) Keluarga Miskin
dengan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan secara non tunai,
KUBe/UEP di Perkotaan, Perdesaan, Pesisir, PPK dan PAN.
Program Prioritas (PP)-2 Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Gizi Masyarakat
dengan Kegiatan Prioritas (KP) yaitu Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS.
Program Prioritas (PP)-3 Pemerataan Layanan Pendidikan Berkualitas dengan
Kegiatan Prioritas (KP) Penyediaan Literasi Bagi Penyandang Disablitas.
Program Prioritas (PP)-4 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Perumahan
dan Pemukiman layak, dengan Kegiatan Prioritas (KP) Pembangunan Rumah
Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni.
Program Prioritas (PP)-5 Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar dengan
Kegiatan Prioritas (KP) yang meliputi: Verifikasi dan Validasi (Verval) data,
P2K2, Sertifikasi Pekerja Sosial (PEKSOS), Akreditasi Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS), Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT), Pusat Kesejahteraan
Sosial (PUSKESOS), Rehabilitasi Sosial Anak, Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas dengan Vokasional, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).
Prioritas Nasional (PN)-2 Penanggulangan Bencana dengan Kegiatan
Prioritas (KP) Perlindungan Korban Bencana Alam.

[80]
Prioritas Nasional (PN)-3 Kantibmas dan Keamanan Siber dengan
Kegiatan Prioritas (KP) yang meliputi: Perlindungan Korban Konflik Sosial,
Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA, Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris
yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial, Penanggulangan Teroris.

2. Target Prioritas Nasional Kementerian Sosial Tahun 2019, meliputi:


Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
a) Keluarga Miskin yang mendapatkan bantuan PKH dengan target 10.000.000
Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
b) Korban Bencana Alam yang mendapatkan penanganan darurat dengan target
150.000 jiwa
c) Kesiapsiagaan dan Mitigasi Masyarakat di lokasi rawan bencana dengan target
6.000 orang
d) Korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
dengan target 120.000 orang.
e) Masyarakat yang mendapatkan penguatan dalam penanganan konflik sosial
dengan target 250 kampung
f) Masyarakat yang mendapatkan penguatan pelibatan dan pencegahan
terorisme dengan target 200 kampung
g) Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dengan
target 101.800 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
h) Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) dengan target 14.000
KPM
i) Bantuan Pangan Non Tunai dengan target 15.6 juta KPM,
Program Rehabilitasi Sosial
a) Penyandang Disabilitas (PD) yang mendapatkan alat bantu khusus dengan
target 3.164 orang
b) Rehabilitasi Sosial bagi PD dengan target 50.884 orang
c) Literasi khusus bagi PD dengan target 35 literasi
d) Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial dan
Perlindungan Sosial dengan target 19.000 orang
e) Orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan
Sosial dengan target 950 orang
f) Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan Rehabilitasi
Sosial dengan target 50 orang
g) Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan dengan target 750 orang
h) Anak Balita Telantar, Anak Telantar/Anak Jalanan, Anak Berhadapan Dengan
Hukum dan Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus yang mendapatkan
Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan target 101.000 Anak.
i) Lanjut usia yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan
target 50.340 orang.
j) Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Home Care dengan target 20.000
orang.
Program Pemberdayaan Sosial
a) Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mendapatkan
pemberdayaan dengan target 7.201 orang.
b) Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dengan target 150 Kab/Kota.

[81]
c) Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan Pusat Kesejahteraan Sosial
(PUSKESOS) dengan target 300 desa/kelurahan.
d) Warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diberdayakan dengan target
2.099 Kepala keluarga (KK).
Program Pendidikan, Penelitian & Penyuluhan Sosial
a) Program Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2) bagi Pendamping Sosial
PKH dengan target 21.900 orang.
b) Diklat bagi SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang meliputi Pekerja
Sosial, Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial
dengan target 21.900 orang.
c) SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan Sertifikasi
dengan target 21.900 orang.
d) Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang telah mendapatkan Akreditasi
dengan target 3.000 LKS.
e) Verifikasi dan Validasi (Verval) Data Terpadu dengan target 107.200.000 jiwa.

[82]
BAB II
PERMASALAHAN

A. Deskripsi Masalah
1. Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), lembaga dan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 di Bandung tanggal 28 Januari
s.d 1 Februari 2019 yang diinisiasi oleh Badan Pendidikan, Penelitian
Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) yang bertempat
di The Trans Luxury Hotel, Bandung Jawa Barat, dengan hasil Nota Kesepakatan
yang merupakan “Amanah Peraturan Perundang-undangan” diantaranya UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan turunan Peraturan
Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum
Daerah dan Peraturan Menteri Teknis (diantaranya Menteri Sosial) sebagai
Pembina Teknis Daerah.
2. Fungsi Balai Besar berdasarkan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Sosial,
dengan pembagian habis 34 (tiga puluh empat) Provinsi dengan wilayah daerah
Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi tersebut yang meliputi Balai Besar di
Regional Wilayah Jawa Barat, Balai Besar di Regional DI Yogyakarta, Balai Besar
di Regional Padang Sumatera Barat, Balai Besar di Regional Makasar Sulawesi
Selatan, Balai Besar di Regional Banjarmasin Kalimantan Selatan, Balai Besar di
Regional Papua.
3. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian, Peraturan Presiden No. 46 Tahun
2005 tentang Kementerian Sosial, Permensos No. 20 Tahun 2015 tentang
Organisasi Tata Kerja di Kementerian Sosial, Permensos No. 14 Tahun 2017
(Perubahan Pertama dari Permensos No. 20 Tahun 2015 dan Perubahan Kedua
dengan Permensos No. 22 Tahun 2018, Organisasi Tata Kerja (OTK) Balai Besar
dengan Sumber Daya Manusianya diharapkan dapat melaksanakan tugas dan
fungsi dari Unit Kerja Eselon (UKE) I Badiklit Pensos dengan tugas melaksanakan
pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan kesejahteraan sosial
serta penyuluhan sosial.

[83]
BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN

A. Mendukung Tugas & Fungsi Badiklit Pensos:


1. Penyusunan kebijakan teknis di bidang pendidikan dan pelatihan, dan penelitian
dan pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial;
2. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial;
3. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial;
4. Pelaksanaan penyuluhan sosial;
5. Pelaksanaan kegiatan pemrosesan sertifikasi pekerja sosial dan tenaga
kesejahteraan sosial serta akreditasi lembaga kesejahteraan sosial;
6. Pembinaan jabatan fungsional pekerja sosial dan penyuluh sosial;
7. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pendidikan dan pelatihan, dan penelitian
dan pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial;
8. Pelaksanaan administrasi Badan Pendidikan, Penelitian. dan Penyuluhan Sosial;
dan
9. Pelaksanaan fungsi lain diantaranya aspek Perencanaan dan Penganggaran.

B. Tugas Lain Balai Besar


Tugas lain Balai besar dengan mendukung tugas dan Fungsi Unit Kerja eselon
(UKE) I Sekretariat Jenderal, diantaranya Koordinasi kegiatan Kemensos dan
Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran Kementerian Sosial,
sehingga peran Balai Besar yang menangani regional wilayah provinsi dan
kabupaten/kota dapat mendukung Aspek Pembinaan dari Amanah PP No. 12 Tahun
2017 tentang Pembinaan dan pengawasan Penyelenggaraan Pemda, PP No. 2 Tahun
2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), Permendagri No. 100 Tahun 2018
tentang Penerapan SPM dan Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis
Pelaksanaan Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah
Kabupaten/ Kota.

C. Analisis
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan
perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang
kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri
atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan
perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dengan menghasilkan: rencana pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan
jangka menengah; dan rencana pembangunan tahunan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan
PP 7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri
negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam

[85]
pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri
tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat
dicapai oleh Kementerian Sosial, perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan,
diantaranya:

D. Penganggaran Terpadu
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja
yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan
untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya
mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang
sama yang dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker.
Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada
tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL)
yang merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
Fungsi Balai Besar dalam Aspek Perencanaan dan Penganggaran dengan
mendukung Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dengan Daerah Provinsi
dan Daerah Kab/Kota, dengan:
 Peningkatan Kapasitas (capacity building) SDM di Balai Besar akan regulasi,
diantaranya pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).

[86]
BAB III
PENUTUP

Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah


UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 Pengintegrasian SPM Sosial ke dalam dokumen perencanaan daerah RPJMD, RKPD
dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial berupa rehabilitasi sosial
dasar kepada anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar,
gelandangan dan pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban
bencana, dalam rangka pemberian pelayanan dasar kepada setiap setiap warga negara
dengan berpedoman pada penerapan pencapaian Standar Pelayanan Minimal sesuai
peraturan Perundang-undangan.

[87]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
4. Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
5. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
6. Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
7. Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
8. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
9. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
10. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
11. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
12. Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
13. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

[89]
PEDOMAN KEBIJAKAN

SDG’s DALAM PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUSAT & DAERAH

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[91]
BAB I

PENDAHULUAN

Pemerintah telah menunjukkan komitmen yang kuat dan mengambil tindakan


awal sejak SDG’s diadopsi di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan
September 2015 dan Indonesia telah mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDG’s). termasuk menghubungkan sebagian besar target
dan indikator SDG’s ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional
(RJPMN), menindaklanjuti konvergensi yang kuat antara SDG’s, sembilan agenda
prioritas presiden “Nawa Cita” dan RJPMN.
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan yang menetapkan struktur dan mekanisme tata kelola
SDG’s nasional untuk perencanaan, penganggaran, pembiayaan, pemantauan dan
pelaporan. Dengan adanya struktur nasional, keberhasilan Indonesia dalam mencapai
SDG’s sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu Percepatan, Pembiayaan dan
Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018 dan tahun-tahun mendatang.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memimpin
upaya pemerintah untuk membawa agenda baru itu ke tingkat nasional dan daerah,
perpres tersebut juga memberi peran yang jelas bagi aktor non-pemerintah. Hal ini sangat
penting karena Indonesia adalah salah satu contoh terbaik dunia tentang masyarakat
madani, sektor swasta, filantropi dan akademisi yang secara aktif mendukung SDG’s.
Percepatan SDG’s yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan
dimandatkan dalam Perpres, diintegrasikan kedalam dokumen perencanaan tahun 2018
dan tahun berikutnya yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam arah kebijakan
nasional dengan prioritas nasional (PN), prioritas program (PP) dan kegiatan prioritas
(KP) dalam RKP 2018, 2019 dan tahun-tahun berikutnya, diperlukan untuk
mengintegrasikan sasaran, target dan indikator SDG’s ke dalam RKP.

[93]
BAB II

LANDASAN PEDOMAN

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan


dengan UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia
didasarkan pada Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
dibagi ke dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang
tiap tahap memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan
dilaksanakan oleh Pemerintah.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

[95]
BAB III

ANALISIS MASALAH

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s) yang


sebagian besar target dan indikator SDG’s sudah terintegrasi ke dalam rencana
pembangunan jangka menengah nasional (RJPMN), menindaklanjuti konvergensi yang
kuat antara SDG’s, sembilan agenda prioritas presiden “Nawa Cita” dan RJPMN.
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menetapkan
struktur dan mekanisme tata kelola SDG’s nasional juga akan termasuk bagian dari
laporan kinerja (LAKIN) di Kementerian Sosial terutama terkait dengan target dan
sasaran SDG’s yang telah masuk dalam dokumen perencanaan yaitu RKP tahun 2018,
2019 dan tahun berikutnya.
Percepatan SDG’s diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk
mengintegrasikan SDG’s ke dalam rencana pembangunan daerah. Pada bulan Juli 2018,
pemerintah daerah harus menyusun Rencana Aksi Daerah untuk SDG’s sebagaimana
dimandatkan oleh perpres. Mereka juga harus siap untuk mengintegrasikan sasaran,
target dan indikator SDG’s ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Percepatan juga diperlukan untuk pengumpulan data. BPS telah mengumpulkan
data untuk indikator SDG’s, yang sekarang perlu dilengkapi dengan data dari
kementerian dan lembaga sesegera mungkin. Hal ini diperlukan untuk menetapkan data
acuan dasar yang kuat yang akan mengukur kemajuan pencapaian SDG’s secara kredibel.
Upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut akan diimplementasikan melalui
pencapaian sasaran pembangunan di tiap tahun dengan fokus yang berbeda, sesuai
dengan tantangan dan kondisi yang ada. Fokus kegiatan tersebut diterjemahkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah di tiap-tiap tahun.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memimpin
upaya pemerintah untuk percepatan SDG’s dan yang terkait penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dan dimandatkan dalam Perpres, diintegrasikan kedalam dokumen
perencanaan tahun 2018 dan tahun berikutnya yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
dalam arah kebijakan nasional dengan prioritas nasional (PN), prioritas program (PP) dan
kegiatan prioritas (KP) dalam RKP 2018, 2019 dan tahun-tahun berikutnya, diperlukan
untuk mengintegrasikan sasaran, target dan indikator SDG’s ke dalam RKP.
Prioritas nasional yang juga terintegrasi kedalam dokumen perencanaan daerah
agar sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian
urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan.

[97]
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN. Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia
melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan
kesenjangan antar wilayah.

[98]
BAB IV

PENUTUP

Memperkuat koordinasi antar instansi dan antar pusat daerah dengan


memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar kesiapan pelaksanaan
program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar pelaku pembangunan
serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian
kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar
dengan yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi
sistem administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca
bancana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha. Kegiatan prioritas kamtibmas dan keamanan siber
dengan penanganan konflik sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan
penanggulangan terorisme.
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan
pada setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan
fungsi Makam Pahlawanan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi
tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah
Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos Kab/
Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan

[99]
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

[100]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
6. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
7. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
8. Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
9. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
10. Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
11. Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan;
12. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

[101]
PEDOMAN KEBIJAKAN

KETERKAITAN RAN-HAM, SDG’s, LAYANAN &


RUJUKAN TERPADU

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL

TAHUN 2019

[103]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu
Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018
dan tahun-tahun mendatang.
Pada tujuan-1 Mengakhiri kimiskinan dalam segala bentuk dimanapun,
dengan indikator 1.3. Menerapkan secara nasional sistem dan upaya perlindungan
sosial yang tepat bagi semua, termasuk kelompok yang paling miskin mencapai
cakupan substansial bagi kelompok miskin dan rentan, dengan indikator proporsi
penduduk diantaranya penyandang disabilitas.
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan
Peningkatan Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar
masyarakat meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access
information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak
masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice).
Model sosial penyandang disabilitas merupakan salah satu alternatif mutu
dan jenis rehabilitasi sosial lanjutan yang menjadi kewenangan Pusat (Kementerian
Sosial) diperlukan untuk penyadaran masyarakat atas perubahan sikap terhadap
disabled people.
Ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di daerah provinsi
dan di daerah kabupaten/kota, salah satu indikatornya adalah rehabilitasi sosial
(rehabsos) dasar bagi penyandang disabilitas (PD) dengan kewenangan provinsi
adalah rehabsos di dalam panti dan kewenangan Kabupaten/Kota adalah rehabsos di
luar panti.
Jenis pelayanan dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
terdiri atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan
daerah provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota.
Standar pelayanan pada SPM Bidang Sosial di daerah Kabupaten/Kota yaitu
pelayanan rehabilitasi sosial dasar di luar Panti Sosial dilakukan dalam bentuk
layanan rehabilitasi sosial dalam keluarga dan masyarakat dilakukan melalui layanan
dan rujukan terpadu dengan dukungan pelayanan/pendampingan kepada
Penyandang Disabilitas telantar, anak telantar, lanjut usia telantar, serta gelandangan
dan pengemis dalam keluarga dan masyarakat dilaksanakan oleh dinas sosial daerah
kabupaten/kota, dan Pusat Kesejahteraan Sosial yang berada di desa/kelurahan.
Pusat Kesejahteraan Sosial dalam PP No. 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, merupakan tempat yang berfungsi untuk
melakukan kegiatan pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara
kelompok masyarakat dalam komunitas yang ada di desa/kelurahan/nama lain
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

[105]
B. Identifikasi Masalah
1. Belum terintegrasi Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
2. Belum sepenuhnya Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right
based atau pendekatan hak dilaksanakan
3. Belum sepenuhnya tersedia layanan publik serta lingkungan dan sistem sosial
yang inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
4. Belum signifikan jumlah kabupaten/kota yang memiliki regulasi untuk
pengembangan akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut
usia
5. Belum sepenuhnya terbangunnya sistem dan tata kelola layanan dan rehabilitasi
sosial yang terintegrasi dan partisipatif melibatkan pemerintah daerah,
masyarakat, dan swasta.
6. Standar Pelayanan Minimal menjadi dasar dalam belanja daerah yang
diprioritaskan untuk membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang
berpedoman pada standar pelayanan minimal sesuai pasal 298 UU No. 23 Tahun
2014 yang terintegrasi ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah
untuk 5 (lima) tahun yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) setiap tahun yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan berdasarkan
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian
dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda
tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.

[106]
BAB II
GAMBARAN UMUM
Upaya mewujudkan tujuan negara dilaksanakan melalui proses yang bertahap,
terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menetapkan bahwa visi
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil
dan makmur, salah satu visinya yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan
sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat,
kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat miskin dan
rentan termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan
bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual,
mental, sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda,
atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Kesamaan Kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang dan/atau
menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam
segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi merupakan setiap
pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas
yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Percepatan juga diperlukan untuk pengumpulan data. BPS telah mengumpulkan
data untuk indikator SDG’s, yang sekarang perlu dilengkapi dengan data dari
kementerian dan lembaga sesegera mungkin. Hal ini diperlukan untuk menetapkan data
acuan dasar yang kuat yang akan mengukur kemajuan pencapaian SDG’s secara kredibel.
Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai tahap kegiatan RANHAM,
diharapkan masyarakat dapat berperan secara aktif dalam melakukan pengawasan
terhadap kebijakan Pemerintah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan mandiri.
Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun
2015, adapun tujuannya agar aparat pemerintah dan masyarakat memahami dan
menerapkan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bermasyarakat dengan indikator
keberhasilan diantaranya pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak
penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Tanggung jawab Kementerian Sosial dalam Perpres No. 75 Tahun 2015 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 dengan meningkatnya
pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak penyandang disabilitas dan
kelompok rentan lainnya diantaranya melalui cara Social Model of Disability (SMD), cara
masyarakat menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled people
dalam menghadapi hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan setara dalam
masyarakat, dengan pilihan dan kendali atas kehidupan mereka.

[107]
BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN

1. Percepatan SDG’s diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk


mengintegrasikan SDG’s ke dalam rencana pembangunan daerah. Pada bulan Juli
2018, pemerintah daerah harus menyusun Rencana Aksi Daerah untuk SDG’s
sebagaimana dimandatkan oleh perpres. Mereka juga harus siap untuk
mengintegrasikan sasaran, target dan indikator SDG’s ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
2. Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator Kinerja
Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci
(outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator
output. Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan
dapat dari beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah
provinsi dan kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.

[109]
BAB IV
KESIMPULAN

1. Terintegrasi Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas


2. Terlaksananya pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based atau
pendekatan hak dilaksanakan
3. Tersedianya layanan publik serta lingkungan dan sistem sosial yang inklusif bagi
penyandang disabilitas dan lanjut usia.
4. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang memiliki regulasi untuk pengembangan
akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia; dan
5. Terbangunnya sistem dan tata kelola layanan dan rehabilitasi sosial yang terintegrasi
dan partisipatif melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta.
6. IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
7. Perlu perhatian stakeholder di level pusat baik pembina umum daerah yaitu
Kemendagri maupun pembina teknis daerah untuk bidang sosial yaitu Kemensos,
bahwa pada setiap panti sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja
Sosial Profesional. Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi sertifikasi
Pekerja Sosial Profesional yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi pekerjaan
sosial. Untuk perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota harus menyiapkan Sumber Daya
Manusia Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) diantaranya Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
8. Memperhatikan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Kab/Kota pada sarananya
yang menggunakan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan memiliki paling
sedikit 1 (satu) orang relawan sosial, terdiri atas pekerja sosial masyarakat; karang
taruna.

[111]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;


2. Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;
3. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
4. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
6. Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
7. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019;
8. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia.
9. Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.

[113]
PEDOMAN KEBIJAKAN

SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN ANTARA


PUSAT, PROVINSI, KAB/KOTA MELALUI KESESUAIAN RENJA,
IKU KEMENSOS DENGAN IKK PROVINSI & KAB/KOTA

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI.

[115]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda dan PP No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
bahwa setiap Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui
program/kegiatan dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 53 tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata
Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis
perjanjian kinerja, pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi
pemerintah diatur mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja yang merupakan
lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi
kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan
yang disertai dengan indikator kinerja.
Melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima amanah dan
kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur tertentu
berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia. Kinerja
yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun
bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat
kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
Pembahasan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk penyusunan
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan Laporan dan
Pelaksanaan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Surat a.n
Dirjen Otoda Sesditjen No. 005/11014/OTDA tanggal 22 Desember 2017. Disposisi
Kepala Biro Perencanaan menugaskan Analis Kebijakan Madya dan Kasubag
Pemantauan dan Evaluasi Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI untuk mengikuti
dan berperan aktif dalam pembahasan di ruang rapat Direktur Evaluasi Kinerja dan
Peningkatan Kapasitas Daerah EKPD), Ditjen Otoda Kemendagri.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas pembagian
urusan pemerintah konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi,
kab/kota dengan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) dan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) serta prioritas nasional yang diamanahkan setiap tahun dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tiap tahun atau kegiatan yang diberikan wewenang
pelaksanaannya di daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

[117]
B. Pedoman Perencanaan Penganggaran
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar
Pelayanan Minimal (SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya
di daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah, contoh: Persentase Anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan
pengemis yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti (kewenangan provinsi)
dan di luar panti (kewenangan Kabupaten/Kota);
Target kinerja yang diperjanjikan juga mencakup outcome yang dihasilkan dari
kegiatan tahun-tahun sebelumnya, sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap
tahunnya. Pihak yang menyusun Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga yaitu
Pimpinan tertinggi (Menteri dan Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit kerja (eselon I). Perjanjian Kinerja di tingkat
unit kerja (Eselon I) ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan dan disetujui oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan Satuan Kerja.
Waktu penyusunan perjanjian kinerja disusun setelah suatu instansi
pemerintah telah menerima dokumen pelaksanaan anggaran, paling lambat satu
bulan setelah dokumen anggaran disahkan. Penggunaan sasaran dan Indikator pada
Perjanjian Kinerja menyajikan Indikator Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-
hasil yang utama dan kondisi yang seharusnya,tanpa mengesampingkan indikator
lain yang relevan. Perjanjian kinerja di tingkat satuan kerja ditandatangani oleh
pimpinan satuan kerja dan pimpinan unit kerja.
Untuk tingkat K/L, menggambarkan dampak dan outcome yang dihasilkan
serta menggunakan Indikator Kinerja Utama K/L/Pemda dan indikator kinerja lain
yang relevan. Untuk tingkat Eselon I, sasaran yang digunakan menggambarkan
dampak pada bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator
Kinerja Utama Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.
Untuk tingkat Eselon II, sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II.
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan
perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang
kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri
atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh
Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana pembangunan jangka
panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana pembangunan
tahunan.

[118]
C. Permasalahan
1. Apakah Pendekatan penganggaran terpadu Telah Dilaksanakan dan Disesuaikan?
2. Apakah dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan
Kerja yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin
dan pembangunan.
3. Apakah kegiatan sudah identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus
dilaksanakan untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker
sedikitnya mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada
kegiatan yang sama yang dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda
lokasi.
4. Apakah jenis belanja telah merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang
tidak menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis
belanja. Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
5. Apakah keluaran/output telah merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh
satker. Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda
(tidak ada tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran
(RKA-KL) yang merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut
diatas.

[119]
BAB II
METODE PEDOMAN

A. Pendekatan Penganggaran Terpadu


Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja
yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan
untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya
mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang
sama yang dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker.
Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada
tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL)
yang merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

B. Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019


Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari
APBN (belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi
pendanaan belanja prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang
melekat pada gaji, uang makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar
Rp. 3.596,2T yang digunakan untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas
termasuk Quickwins/ Program lanjutan serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga
3 Indikasi pendanaan belanja prioritas K/L dituangkan dalam Matriks Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/ Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan
dipertajam besaran pendanaan dan distribusi tahunannya dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dengan mempertimbangkan Kerangka ekonomi makro, tugas,
fungsi, struktur dan kewenangan Kementerian/ Lembaga, satuan harga, belanja Non
K/L dan Transfer Daerah sebagai kelengkapan, pencapaian prioritas pembangunan
dan hasil evaluasi, sasaran yang direncanakan dapat bersifat kumulatif atau tahunan.

C. Tahapan dan Mekanisme Perencanaan


Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, evaluasi pelaksanaan
rencana. Tahapan penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD meliputi
penyiapan rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana
kerja, musyawarah perencanaan pembangunan, penyusunan rancangan akhir rencana
pembangunan.

[121]
D. Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan
Menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional dan
menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP menjadi pedoman penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

[122]
BAB III
KESESUAIAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, sampai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Sosial,
perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:

A. Kesesuaian IKU K/L dengan IKK Provinsi dan Kab/Kota


Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan
PP 7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria
fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai
dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan
hanya untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP
kepada daerah harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan
oleh Mendagri (Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang
ditugas pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya).
Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM) yang didalamnya memuat 6 (enam) bidang diantaranya bidang sosial.
SPM Sosial di daerah Provinsi dengan materi muatan rehabilitasi sosial dasar di
dalam Panti bagi anak telantar, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas serta
perlindungan dan jaminan sosial bagi korban bencana alam dan sosial.
Untuk di daerah Kab/Kota rehabilitasi sosial dasar di luar panti bagi anak
telantar, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan jaminan
sosial bagi korban bencana alam dan sosial.
RPP tentang Pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda dan Permendagri No. 86
Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan
Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD, RPJMD dan
RKPD.

[123]
Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan pada Pasal
175, disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka
menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan
pagu indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan
wajib bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai dengan kondisi
nyata Daerah dan kebutuhan masyarakat, atau urusan pilihan yang menjadi tanggung
jawab Perangkat Daerah. Target kinerja disesuaikan dengan standar biaya
kebutuhan pelayanan dan kemampuan Perangkat Daerah.

B. Kesesuaian Urusan Kewenangan dan Fungsi Binwas


Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi
administratif penyelenggaraan pemerintahan daerah.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah
kabupaten/kota. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas
rehabilitasi sosial dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak
telantar lanjut usia telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di
dalam panti, sedangkan kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan
sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi
dan kab/kota.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan
salah satu penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota) terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK).
Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh
Menteri Dalam Negeri sebagai pembina umum daerah, Menteri Teknis (diantaranya
Menteri Sosial) untuk sebagai pembina teknis daerah. Kabupaten/Kota dilaksanakan
oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pembinaan umum dan teknis.
Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah, mempunyai fungsi
pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan daerah, kepegawaian pada perangkat
daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah dengan fungsi terhadap
teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi
dan dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah kabupaten/kota, teknis pelaksanaan substansi urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi dan pengawasan teknis dilakukan
terhadap teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke
daerah kab/kota.

[124]
C. Kesesuaian Target Matrik Pendanaan RPJMN dengan Hasil Evaluasi dan
Laporan Kinerja Kementerian Sosial Tahun 2015-2019
Menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Sosial Tahun 2015-2019, meliputi belanja aparatur (belanja gaji,
tunjangan yang melekat pada gaji, uang makan dan operasional perkantoran) akan
ditambahkan dalam perencanaan tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.

D. Kesesuaian RPJMN dengan RPJMD Provinsi dan Kab/Kota


Dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN) disebutkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang
memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan
keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang
disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk segera menetapkan SPM Bidang Sosial dengan Peraturan
Menteri Sosial.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan
tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.
Pengawasan teknis meliputi: capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan
termasuk ketaatan pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
konkuren, dampak pelaksanaan urusan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah
daerah, dan akuntabilitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah.
Perpres 46/2015 tentang Kementerian Sosial, pada Pasal 3 menyelenggarakan
“fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan” diantaranya bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial di daerah. Sekretariat Jenderal
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian
Sosial.

E. Kesesuaian Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan RKPD


Juga disebutkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN0, bahwa Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD)
merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka ekonomi

[125]
Daerah, prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja
Pemerintah dan program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
dan merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/ Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

F. Kesesuaian RENSTRA K/L dengan RENSTRA SKPD


Kemudian dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN juga menyebutkan
bahwa Rencana Strategis (Renstra) SKPD mengacu pada Renstra K/L yang memuat
visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai
dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman
pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif yang mengacu pada prioritas
pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta memuat kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun
yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

[126]
BAB IV
PENUTUP

1. Kesesuaian Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan urusan dan pembagian kewenangan.
2. Kesesuaian dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan dalam RPJMN dengan RPJMD
Provinsi dan Kab/kota.
3. Kesesuaian dokumen perencanaan tahunan dalam RKP dengan RKPD Provinsi dan
Kab/kota.
4. Kesesuaian Renstra K/L dengan Renstra SKPD Provinsi dan Kab/Kota.
5. Menyusun Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
6. Menyusun Perjanjian Kinerja
7. Menetapkan Target Kinerja
8. Penetapan waktu penyusunan perjanjian kinerja
9. Menetapkan Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja

[127]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional;
3. Peraturan Pemerintah RI No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
4. Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah
5. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
6. Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
7. Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial.
8. Paparan Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018
Kementerian Sosial

[129]
LAMPIRAN

Program dan Kegiatan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Dalam RPJMN 2015-2019


1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
Kementerian Sosial.
Program Pengawasan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Sasaran:
Meningkatnya kualitas pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Indikator:
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Pemberdayaan Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Rehabilitasi Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Perlindungan dan jaminan
Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Penunjang
 Jumlah pelaksanaan advisory managemen (PMPRB)
 Jumlah audit pemeriksaan dengan tujuan tertentu

2. Program Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1
Meningkatnya kualitas penyelenggara kesejahteraan sosial melalui pendidikan,
pelatihan dan penelitian
Indikator:
 Persentase (%) SDM penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meningkat
kapasitasnya sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan kompetensinya
 Persentase (%) hasil penelitian kesejahteraan sosial yang dimanfaatkan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
 Persentase (%) lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki akreditasi dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Sasaran
Termanfaatkannya Basis Data Terpadu (BDT) dalam penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
Indikator:
 Persentase (%) Kabupaten/Kota yang menggunakan Basis Data Terpadu (BDT)
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial

1.1. Program Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Regional (I-VI)


Sasaran:
Terlaksananya pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM

[131]
Indikator:
 Persentase (%) Pengembangan Kapasitas Diklat yang sesuai standar
 Persentase (%) infrastruktur/Sarana Prasarana pengembangan Kapasitas SDM
Jumlah TKSM yang mengikuti diklat yang terstandar
 Jumlah TKSP yang mengikuti diklat yang terstandar
 Jumlah Rekomendasi Kajian Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan yang
ditindaklanjuti

1.2. Pembinaan Jabatan Fungsional


Pekerja Sosial (Peksos) dan Penyuluh Sosial (Pensos)
Sasaran 1:
Terlaksananya peningkatan kualitas dan kuantitas pejabat fungsional pekerja sosial
dan penyuluh sosial
Indikator:
 Jumlah Pekerja sosial, Penyuluh sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
yang telah mendapatkan sertifikasi.
 Jumlah Pekerja Sosial, penyuluh Sosial dan TKS yang mendapatkan pembinaan.
 Jumlah Peksos, Pensos dan TKS yang mendapatkan penetapan angka kredit
Rekomendasi Kebijakan Bidang Pembinaan, Sertifikasi dan Akreditasi.

Sasaran 2:
Terlaksananya akreditasi LKS
Indikator:
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi
Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

2. Quick Wins
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem data terpadu sebagai basis dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dan pengembangan sistem layanan dan rujukan terpadu bagi
penduduk miskin dan rentan
Indikator:
 Jumlah rekomendasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang dihasilkan.

3. Pendidikan Tinggi Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya pendidikan, pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM

[132]
Indikator:
 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial (kesos) yang terdidik
melalui pendidikan tinggi kesejahteraan sosial (program D IV, dan pasca sarjana
pekerjaan sosial)
 Rekomendasi Hasil Penelitian dan Kerjasama Bidang Pendidikan Tinggi
Kesejahteraan Sosial

4. Program Rehabilitasi Sosial


Sasaran 1:
Meningkatnya akses kelurga miskin dan rentan termasuk anak, penyandang
disabilitas dan lanjut usia serta kelompok marjinal lainnya dalam pemenuhan
kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) penyandang disabilitas miskin dan rentan yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) lanjut usia miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) anak miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
Sasaran 2:
Meningkatnya akses Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dan SDM Penyelenggara
pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang sesuai dengan standar pelayanan
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang meningkat kapasitasnya
Sasaran 1:
Tersedianya regulasi terkait pengembangan akses lingkungan inklusif bagi
penyandang disabilitas, lanjut usia dan kelompok masyarakat marjinal
Indikator:
 Draft regulasi akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas, lanjut usia
dan kelompok masyarakat marjinal

4.1. Program Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA


Sasaran :
Meningkatnya penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan
NAPZA
Indikator:
 Jumlah Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
dalam panti sesuai standar pelayanan

[133]
 Jumlah Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
luar panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah korban penyalahgunaan napza yang mendapatkan bantuan sosial Jumlah
SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan NAPZA (orang) Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan NAPZA yang telah dikembangkan/dibantu

4.2. Program Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Disabilitas (Kecacatan)


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial didalam
panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar panti
(Berbasis Komunitas/Keluarga dan Masyarakat) sesuai standar pelayanan
 Jumlah Penyandang Disabilitas yang mendapat Asistensi Sosial Orang Dengan
Kecacatan Berat
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi
Sosial penyandang disabilitas
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi penyandang disabilitas yang telah
dikembangkan/dibantu
Sasaran 2:
Meningkatnya akses pemenuhan hak dasar bagi penyandang disabilitas
Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak
dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan
hak dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Sasaran 3:
Tersedianya literasi khusus bagi penyandang disabilitas netra (braile)
Indikator:
 Jumlah literatur khusus bagi penyandang disabilitas netra baik cetak maupun
elektronik (kitab suci, buku pelajaran, modul pelatihan, buku cerita)

4.3. Program Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi Tuna Sosial
Indikator:
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti

[134]
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar Panti
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Rehabilitasi Sosial
tuna sosial (orang)
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi tuna sosial yang telah dikembangkan/dibantu

4.4. Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak


Sasaran 1:
Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak balita, anak
telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak dengan disabilitas, anak
yang membutuhkan perlindungan khusus
Indikator
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum,
anak dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam panti
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum,
anak dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum,
anak dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA)
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang telah dikembangkan/dibantu

4.5. Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia


Sasaran 1:
Terlaksananya Pelayanan Sosial Bagi Lanjut Usia
Indikator:
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Sosial di dalam panti
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan pelayanan sosial diluar Panti
 Jumlah Lanjut Usia Telantar yang mendapat Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar
 Jumlah lanjut usia telantar yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Pelayanan Lanjut Usia
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial lanjut usia yang telah dikembangkan/
dibantu

[135]
5. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
Sasaran 1:
Meningkatnya akses keluarga miskin dan rentan serta pekerja sektor informal dalam
pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) korban bencana alam dan bencana sosial yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar

5.1. Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi korban bencana alam, termasuk
bagi anak, penyandang disabilitas dan lanjut usia
Indikator:
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi Kampung Siaga Bencana yang terbentuk
 Jumlah SDM yang memiliki keterampilan khusus bidang penanggulangan
bencana

5.2. Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial


Terselenggaranya Pemberian bantuan kebutuhan dasar bagi korban bencana sosial
Indikator:
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi keserasian sosial
 Jumlah sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan khusus bidang
penanggulangan bencana sosial

5.3. Quick Wins


Sasaran 1:
Terlaksananya bantuan simpanan tunai bagi keluarga miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah masyarakat yang mendapatkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera

[136]
5.4. Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran
Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi pekerja migran telantar dan
Korban Tindak Kekerasan
Indikator:
 Jumlah pekerja migran telantar yang dipulangkan ke daerah asal
 Jumlah korban tindak kekerasan yang mendapat rehabilitasi psikososial di RPTC
dan LKS
 Jumlah pekerja migran telantar yang mendapatkan asistensi sosial dalam bentuk
UEP
 Jumlah pendamping (masyarakat) yang meningkat kemampuannya dalam
penanganan KTK dan PMB

5.5. Jaminan Kesejahteraan Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat)


Sasaran 1:
Tersalurkannya bantuan tunai bersyarat bagi masyarakat miskin dan rentan
Indikator :
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang mendapatkan bantuan tunai bersyarat
PKH

5.6. Quick Wins


Sasaran:
Terlaksananya penyaluran bantuan melalui mekanisme E-payment bagi penduduk
miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang memperoleh bantuan melalui
mekanisme E-payment

5.7. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos)


Sasaran:
Terselenggaranya Pemberian bantuan iuran asuransi kesejahteraan sosial bagi
pekerja sektor informal miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah pekerja sektor informal miskin dan rentan yang mendapatkan Askesos
Jumlah LPA (Masyarakat) yang meningkat kapasitasnya dalam penyelenggaraan
Askesos

[137]
5.8. Pengumpulan dan Pengelolaan Sumber Dana Sosial
Sasaran:
Terselenggaranya dana hibah dalam negeri oleh masyarakat/lembaga yang
beresiko sosial (mendukung program kementerian terutama swadaya)
Indikator:
 Jumlah SK perizinan yang diterbitkan
 Jumlah hibah dalam negeri yang disalurkan
 Jumlah SDM daerah penyelenggara undian gratis berhadiah yang meningkat
kapasitasnya

6. Program Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan


Sasaran:
Meningkatnya akses keluarga fakir miskin dan rentan terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar dan pemberdayaan ekonomi produktif
Indikator:
 Persentase (%) warga KAT yang menerima bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan perdesaan dan perkotaan yang
menerima pemberdayaan usaha ekonomi produktif
Sasaran 2:
Meningkatnya kualitas penyelenggaraan sosial melalui kelembagaan.
Indikator:
 Persentase (%) kab/kota yang menyelenggarakan Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT).
 Persentase (%) kab/kota yang memiliki pelayanan sosial yang efektif dalam Sistem
Layanan dan Rujukan Terpadu.
Sasaran:
Persentase (%) PSKS yang menyelenggarakan pelayanan sosial sesuai Norma, Standar
Prosedur Kriteria (NSPK).

6.1. Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya penanaman dan pelestarian nilai-nilai kepahlawanan,
keperintisan dan kesetiakawanan sosial oleh masyarakat
Indikator:
 Jumlah Calon Penerima Gelar Tanda Jasa dan Tanda kehormatan yang diproses
untuk mendapatkan penghargaan
 Jumlah Warakawuri, Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan dan Janda
Perintis Kemerdekaan yang mendapatkan bantuan kesejahteraan.
 Jumlah Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Utama, TMPN, dan Makam
Pahlawan Nasional (MPN) yang Terpelihara

[138]
 Jumlah pendamping dan relawan sosial yang mengikuti kegiatan Pengenalan,
Penanaman dan Penghayatan Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan
Kesetiakawanan Sosial
 Jumlah para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan KSN

6.2. Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perdesaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah Pendamping Yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perdesaan yang Mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah sarana prasarana lingkungan keluarga miskin di perdesaan yang
dibangun/diperbaki

6.3. Quick Wins-Pendampingan Desa


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi
penerima Program Keluarga Produktif dan Sejahtera di wilayah perdesaan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) di pedesaan yang menerima kegiatan
penghidupan berkelanjutan kelompok usaha bersama (KUBe-PKH)

6.4. Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat


Sasaran 1:
Terlaksananya pemberdayaan keluarga dan Masyarakat melalui Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Indikator:
 Jumlah lembaga pelayanan keluarga (FCU dan LK3) yang dikembangkan
 Jumlah lembaga pendukung penyelenggara kesejahteraan sosial (Karang taruna,
WKSBM, Forum CSR, dan LKS/Orsos lain) yang dikembangkan
 Jumlah individu pendukung penyelenggaraan kesejahteraan sosial (PSM, TKSK)
yang dikembangkan

[139]
6.5. Quick Wins-Pendampingan Desa
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem pelayanan sosial terpadu di desa melalui Pusat
Kesejahteraan Sosial (Puskesos).
Indikator:
Jumlah desa yang telah membangun sistem pelayanan sosial terpadu (PUSKESOS)

6.6. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Sasaran:
Terbangunnya sistem layanan dan rujukan terpadu bagi penduduk miskin dan
rentan
Indikator:
Jumlah Kab/kota yang memiliki sistem layanan dan rujukan terpadu

6.7. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Terlaksananya penyelarasan dan penguatan koordinasi program kemiskinan di
tingkat pusat dan daerah
Sasaran:
 Jumlah Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang memperoleh
pelatihan.
Indikator:
 Jumlah Organisasi Sosial/Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi.
 Jumlah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang memperoleh pelatihan.
 Jumlah Karang Taruna yang memperoleh pelatihan.

6.8. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)


Sasaran 1:
Terpenuhinya Kebutuhan Dasar, Aksesibilitas dan Pelayanan Sosial Dasar Bagi
Warga KAT
Indikator:
 Jumlah warga KAT yang diberdayakan
 Jumlah warga KAT yang mendapatkan bantuan jaminan hidup
 Jumlah Pendamping KAT yang mendapatkan Peningkatan Kapasitas
Pemberdayaan KAT
 Jumlah Laporan Keuangan/Kinerja/Monitoring/Evaluasi/Publikasi/Sosialisasi
serta Kegiatan Pendukung Pelaksanaan Pemberdayaan KAT
 Jumlah Dokumen Perencanaan/Program/Anggaran/Data/Informasi/Kebijakan
Bidang Pemberdayaan KAT

[140]
Sasaran 2:
Terselenggaranya Layanan Perkantoran Bidang Pemberdayaan KAT
Indikator:
 Jumlah Rekomendasi Hasil Analisis, Kajian, Kebijakan Bidang Pemberdayaan
KAT
 Jumlah Buku Pedoman Bidang Pemberdayaan KAT
 Jumlah Sarana Pendukung Bidang Pemberdayaan KAT

6.9. Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan

Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perkotaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah pendamping yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk Rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perkotaan yang mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah kelompok masyarakat di perkotaan yang diberdayakan melalui
pembangunan/perbaikan sarana prasarana lingkungan

Catatan:
 Adanya perubahan nomenklatur pada Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial
RI sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015, meliputi pemisahan
Unit Kerja Eselon I, yang sebelumnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan, dipisah menjadi 2 (dua) menjadi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
 Perubahan tempat Unit Kerja Eselon II, Direktorat PSDS yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen pemberdayaan Sosial. Direktorat
Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTK-PM) yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen Rehabilitasi Sosial pada
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

[141]
Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 Kementerian
Sosial
A. Agenda Strategis Tahun 2017
1. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
2. Kegiatan Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial
3. Kegiatan Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan Kelembagaan Masyarakat
4. Anggaran Subsidi Rastra TA 2017
5. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA
6. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
7. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
8. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia
9. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Anak
10. Kegiatan Jaminan Sosial Keluarga
11. Rencana Pelaksanaan Bantuan PKH Non Tunai Tahun 2017
12. Kegiatan Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
13. Kegiatan Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
14. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Perdesaan
15. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Perkotaan
16. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar
Negara
17. Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
18. Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

B. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 Kementerian Sosial


1. Rencana Program Prioritas:
a) Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Peningkatan Efektifitas Penyaluran Bantuan Pangan
b) Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Peningkatan Pelayanan Jaminan Sosial
c) Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Penguatan Pelaksanaan Bantuan Tunai Bersyarat
2. Rancangan Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar
a) Peningkatan Akses Masyarakat kepada kepemilikan dokumen kependudukan
b) Tata kelola pelayanan dasar;
c) Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT);
d) Pengembagnan Pusat Kesejahteran Sosial (Puskesos) untuk memberikan
pelayanan sosial terpadu di desa/kelurahan;
e) Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Pekerja
Sosial Masyarakat (PSM);
f) Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK);
g) Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Karang
Taruna.

[142]
PEDOMAN KEBIJAKAN

KAWASAN RAMAH LANJUT USIA SEBAGAI


POTENSI SUMBER DALAM REHABILITASI SOSIAL
BAGI LANJUT USIA POTENSIAL

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[143]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan pada PP No. 39
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, perlindungan sosial
dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan
sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan
hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal dilaksanakan
melalui bantuan sosial, advokasi sosial dan bantuan hukum.
Peraturan Presiden 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara
Non Tunai Ketentuan Umum poin (4): Pemberi bantuan sosial adalah Satuan kerja
pada K/L pada Pemerintah Pusat yang tugas dan fungsinya melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan yang meliputi perlindungan sosial, jaminan sosial,
pemeberdayaan sosial, rehabilitasi sosial dan pelayanan.
Buletin Teknis Warta Keuangan Edisi 28 Tahun 2014, Surat Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) No. B-748/01-10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014:
(sumber: warta keuangan edisi 28 Tahun 2014), Atas dasar kajian KPK Tahun 2013
tentang penggunaan dana bantuan sosial (Bansos) dan dengan alasan untuk
mencegah penyalahgunaan dana Bansos untuk kepentingan lain maka KPK
mengirimkan surat kepada Presiden yang juga ditembuskan ke DPR dan Badan
Pemeriksa Keuangan.
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial
memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan,
termasuk pembangunan Data Terpadu untuk “Penanganan Fakir Miskin (perorangan
dan keluarga). Rekomendasi KPK, Bansos hanya untuk orang Miskin dengan resiko
sosial.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 254/PMK.05/2015 tentang belanja
bantuan sosial pada K/L dan PMK No. 228/PMK.05/2016, biaya penyaluran bantuan
sosial dialokasikan secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan besaran
alokasi belanja bantuan sosial, jangka waktu penyaluran, jumlah penerima bantuan
sosial.
Program Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) yang telah
dilaksanakan dari tahun 2006, telah mencakup 33 provinsi di seluruh Indonesia,
menghadapi permasalahan mendasar pada harmonisasi, validasi data/informasi,
interkoneksi program di internal dan eksternal Kemensos yang bermuara kepada
komplimentaritas program terkait dalam skema Kemitraan Strategis, menuju kepada
komprehensifitas dan keberlanjutan program.
Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
menyatakan bahwa lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebagai penghormatan dan penghargaan
kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

[145]
B. Pengertian Pedoman
Bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup
secara wajar bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk bantuan
langsung, penyediaan aksesibilitas; dan/atau penguatan kelembagaan.
Bantuan sosial yang bersifat sementara diberikan pada saat terjadi guncangan
dan kerentanan sosial secara tiba-tiba sampai keadaan stabil akibat bencana,
Penggunaan dana bantuan sosial ini ditujukan untuk kegiatan rehabilitasi sosial,
perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan
kemiskinan, serta penanggulangan bencana.
Urusan rehabilitasi sosial lanjut usia terlantar termasuk indikator SPM Bidang
Sosial dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang
Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun
2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di
Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota. Daerah Provinsi untuk rehabilitasi
sosial dasar di dalam panti milik pemerintah daerah atau milik masyarakat dan di
Daerah Kabupaten/Kota rehabilitasi sosial dasar lanjut usia terlantar di luar panti.
Peta Strategis Kementerian Sosial dengan tujuan meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial penduduk miskin dan rentan dengan Sasaran Strategis (SS) 1
adalah berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan dengan
meningkatnya keberfungsian sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) dan meningkatnya kemandirian keluarga miskin dan rentan dalam
memenuhi kebutuhan dasar.
Prioritas Nasional (PN) Penanggulangan Kemiskinan pada Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2018 dengan Program Prioritas (PP) yang meliputi: Jaminan
dan Bantuan Sosial tepat sasaran, pemenuhan kebutuhan dasar, perluasan akses
usaha mikro, kecil dan koperasi. Program Prioritas (PP) Jaminan dan bantuan sosial
tepat sasaran dengan Kegiatan Prioritas (KP) diantaranya penyaluran bantuan tunai
bersyarat bagi keluarga miskin secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga
Penerima Manfaat (KPM).
Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar dengan Kegiatan Prioritas
diantaranya pemberian rehabilitasi sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 orang.
Pemberian layanan Home Care bagi lanjut Usia Telantar dengan target 14.910 orang.
Kebijakan penyusunan penganggaran dalam RKP 2019 berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional, dengan memuat substansi yang meliputi:
perkuatan kendali program. Perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan dengan ukuran keluaran dan lokus yang
jelas. Pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat pada
Kementerian/ Lembaga (K/L) dan non K/L, transfer ke daerah maupun non APBN.
Memperkuat koordinasi antar instansi dan antar pusat dengan daerah memfokuskan
pembahasan pada prioritas pembangunan agar kesiapan pelaksanaan dibahas sejak
awal dan integrasi antar program dan antar pelaku pembangunan. Mengintegrasikan
dokumen perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah
rangkaian sistem yang terpadu dalam aplikasi Kolaborasi Perencanaan dan
Informasi Kinerja Anggaran (KRISNA).

[146]
Bentuk pendampingan dan perawatan sosial di rumah (Home Care), dengan
pendampingan dalam kegiatan pendampingan dan perawatan sosial di rumah
dilakukan dalam bentuk: 1) pertemanan; 2) perawatan sosial; 3) pelaksanaan
pendampingan dalam kegiatan sehari-hari; 4) pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia
(lansia); 5) pendampingan dan perawatan kegiatan sehari-hari (activity daily living
services); 6) perawatan medis/kesehatan bagi lansia di rumah, dengan merawat lansia
yang: menderita sakit, penyandang disabilitas, lansia yang sudah uzur (bed ridden); 7)
konseling; 8) mengenali kondisi kritis lansia dan memberikan rujukan; 9) melakukan
pembelaan terhadap hak-hak lansia; 10) pendampingan dan perawatan dalam
menyatukan (reunifikasi dan reintegrasi) lansia dengan keluarganya, melalui telepon,
informasi, pemberian makanan, menjelang kematian dan pemulasaran jenazah.
Pendamping bertanggung jawab mengenal pelaksanaan pendampingan sosial
lansia yang meliputi: penyusunan jadual kunjungan secara teratur, pelaksanaan
kunjungan, penyusunan laporan kunjungan, case conference (manajemen kasus), tindak
lanjut pelayanan dan perawatan/rujukan, administrasi pendampingan, yang
meliputi: setiap dokumen pelayanan dan perawatan wajib diadministrasikan secara
tertib melalui file secara khusus (data base).

C. Metode Pengumpulan Data


Metode analisis kebijakan yang digunakan adalah analisis kebijakan integratif,
yaitu melihat dinamika permasalahan yang ada dengan menggali data dan informasi
baik sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan. Analisis kebijakan integratif yang
dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan timbal balik baik sebelum
maupun sesudahnya. Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dengan
menggunakan teknik triangulasi data (data lapangan, kebijakan yang ada, sumber
data kunci pembuat kebijakan). Analisa ini dilakukan untuk dapat melengkapi data
dan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan naskah kebijakan.
Teknik pengumpulan data kegiatan analisis kebijakan dilakukan dengan
menggunakan teknik, sebagai berikut :
1. Wawancara mendalam (indept interview); Wawancara mendalam adalah kegiatan
untuk menggali informasi tentang pandangan, kepercayaan, pengalaman,
pengakuan informasi mengenai suatu hal secara utuh.
2. Diskusi kelompok; Diskusi kelompok adalah proses memperoleh informasi
mendalam untuk memperoleh pemahaman dari keragaman perspektif diantara
kelompok yang menjadi subyek dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Dilaksanakan pada saat field review yang dilaksanakan di 5 Provinsi (DI
Yogyakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Utara, Jawa Barat)
melalui interview dengan pihak Dinas Sosial Provinsi, diskusi kelompok
dilaksanakan di Kantor Dinas Sosial Provinsi dengan 15 orang peserta.
Observasi; dilakukan untuk memperoleh informasi terkait ASLUT secara
langsung dan tidak langsung dengan melihat gejala-gejala fisik, perilaku manusia dan
simbol-simbol lain yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan kebijakan.
1. Studi Dokumentasi; Studi dokumentasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi
terkait ASLUT dengan mempelajari data kebijakan dan dokumentasi literatur
lainnya yang berkaitan dengan kebijakan yang ASLUT.
Sumber data yang digunakan dalam analisis kebijakan ASLUT adalah :

[147]
a) Data primer; data dan/informasi yang bersumber dari para pihak terkait yang
menjadi pelaksana, penerima dan pihak yang terkena dampak dari kebijakan.
b) Data sekunder; bersumber dari dokumen informasi, literatur dan hasil monev
serta sumber-sumber tulisan lainnya yang berkaitan dengan analisis kebijakan.
c) Dokumen kebijakan terkait; data yang berkaitan langsung dengan kebijakan
yang dianalisis, terutama untuk menyikap pertanyaan-pertanyaan pokok
dalam analisis kebijakan tersebut.
Subyek/informan adalah para pihak terkait dalam program ASLUT yang
dipengaruhi oleh kebijakan dan memainkan peran yang berkaitan dengan
pengambilan dan implementasi kebijakan. Sebagaimana tergambar di skema 2
berikut ini :
Skema 1
Sumber Informasi & Teknik Pengumpulan Data
UNSUR SUMBER SUBJEK / INFORMAN TEKNIK
DATA PENGUMPULAN

Dinas/Instansi Sosial 1. Ditjen Rehabilitasi Sosial Wawancara


Provinsi (sebanyak 4 2. Kepala Dinas Sosial Provinsi
peserta) 3. Kabid. Rehsos Dinas Sosial Provinsi Wawancara
4. Koordinator ASLUT Provinsi
1. Diskusi
5. DPRD Provinsi
2. Diskusi
6. Komda Lansia Provinsi
3. Diskusi
7. Bappeda Provinsi
4. Diskusi
8. Dunia Usaha
5. Diskusi
6. Diskusi

Dinas/Instansi Sosial 1. Kabid. Rehsos Kabupaten/Kota 1. Diskusi


Kabupaten/Kota 2. Koordinator ASLUT Kabupaten/ Kota 2. Diskusi
3. DPRD Kabupaten/Kota
(sebanyak 3 peserta) 4. Skesi Kesra/Sosial Kabupaten/Kota 3. Diskusi
5. Komda Lansia Kabupaten/Kota 4. Diskusi
6. Bagian Pemberdayaan Perempuan 5. Diskusi
Kabupaten/Kota 6. Diskusi
7. Bappeda Kabupaten/Kota
7. Diskusi

Pendamping ASLUT 1. Pendamping 1 1. Diskusi


2. Pendamping 2
Wawancara

Unsur Penerima 3. Penerima ASLUT Wawancara


Program ASLUT 4. Keluarga Penerima ASLUT
Wawancara

[148]
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dirumuskan melalui beberapa pertanyaan untuk analisis
kebijakan sebagai berikut :
1. Bagaimana persoalan dan solusi terkait input program Aslut (data, regulasi,
anggaran) menurut pengelola, pendamping, LUT penerima ASLUT dan LUT Non
Penerima ASLUT.
2. Bagaimana persoalan dan solusi terkait proses program Aslut menurut pengelola,
pendamping, LUT penerima ASLUT dan LUT Non Penerima ASLUT.
3. Bagaimana manfaat program ASLUT bagi lansia terlantar dan dampak bagi
keluarga dan masyarakat sekitar? (beban sosial dan atau manfaat sosial bagi
keluarga & masyarakat sekitar akibat dari adanya ASLUT?)
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka tujuan analisis
kebijakan ASLUT adalah :
1. Mengidentifikasi input program ASLUT yang meliputi penerima ASLUT (populasi
lansia, lansia terlantar, kriteria lansia terlantar yang memperoleh ASLUT), jumlah
pendamping, dan penganggaran (APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota dan
sumber-sumber lainnya.
2. Mengetahui masalah/hambatan dalam pelaksanaan program ASLUT (penetapan,
penyaluran, pendampingan, pengendalian) serta solusi yang diharapkan.
3. Menganalisis penataan program ASLUT kedepan.
4. Mengidentifikasi manfaat program ASLUT bagi keluarga dan masyarakat.

[149]
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyusunan Program Perlindungan Dan Rehabilitasi Sosial Bagi Lanjut


Usia Tinggal Sendiri
Penyusunan program perlindungan dan rehabilitasi bagi lanjut usia tinggal
sendiri dalam rumah tangga di masa depan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT),
sangat bermanfaat untuk menyusun implementasi dari mutu dan jenis layanan
rehabilitasi sosial lanjut usia telantar berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab
antara Pemerintah Pusat yang mempunyai tanggung jawab rehabilitasi sosial lanjutan
dengan sarana dan fungsi Balai dan Loka dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di dalam Panti serta
Pemda Kab/Kota kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di luar Panti.
Kegiatan ini juga dapat sebagai contoh bagi pengampu 5 (lima) indikator
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial lainnya yaitu rehabilitasi sosial di
dalam dan di luar panti bagi lanjut usia telantar, anak telantar, tuna sosial khususnya
gelandangan dan pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban
bencana di provinsi dan kab/kota.
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu
Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018
dan tahun-tahun mendatang dengan sasaran kelompok yang paling miskin mencapai
cakupan substansial bagi kelompok miskin dan rentan diantaranya lanjut usia
telantar.
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan
Peningkatan Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar
masyarakat meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access
information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak
masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice).
BPS memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki
sekitar 63,31 juta penduduk lanjut usia (lansia) atau hamper mencapai 20 persen
populasi. Bahkan, proyeksi PP juga menyebutkan bahwa persentase lansia Indonesia
akan mencapai 25 persen pada tahun 2050 atau sekitar 74 juta lansia. Peningkatan
yang begitu pesat ini membawa konsekuensi tersendiri terhadap pembangunan
nasional (Statistik Penduduk Lanjut Usia, 2018). Populasi lansia yang sedemikian
besar membawa dampak positif apabila lansia hidup dengan mandiri, sehat, aktif,
dan produktif, namun bisa membawa dampak negatif apabila lansia hidup dalam
kondisi ketergantungan penuh pada orang lain atau keluarga, sakit dan tidak
produktif.
Sasaran strategis Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2015-2019 Kementerian
Sosial Perubahan adalah berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan
rentan dengan arah kebijakan yang meliputi: penyelenggaraan perlindungan sosial
yang komprehensif, pengembangan penghidupan berkelanjutan, perluasan dan
peningkatan akses pelayanan dasar, penguatan kelembagaan dan Sumber Daya
Manusia (SDM) penyelenggara kesejahteraan sosial.

[151]
Program Prioritas Perluasan Akses Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi
diantaranya dengan Kegiatan Prioritas Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha
Ekonomi Produktif (KUBe) dengan target 119.020 orang.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019 dengan program prioritas
diantaranya percepatan pengurangan kemiskinan, program prioritas peningkatan tata
kelola layanan dasar dan program prioritas penanggulangan bencana.
Prioritas Nasional (PN) Pembangunan Manusia melalui pengurangan
kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar dengan Program Prioritas (PP)
percepatan pengurangan kemiskinan dengan Kegiatan Prioritas (KP) 1 adalah
Penguatan pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran.
Program Prioritas Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar pada RKP 2019
yang meliputi Kegiatan Prioritas (KP) 1 Penguatan layanan dan rujukan terpadu, KP-2
Penguatan integrasi Sistem Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, KP-3
Percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Analisis Kebijakan mengenai Asistensi Lanjut usia Terlantar (ASLUT) yang
dilakukan oleh Biro perencanaan Kementerian Sosial tahun 2014, baik melalui kajian
literatur, field review, serta metodologi dan teknik pengumpulan data melalui Diskusi
kelompok Terfokus (Focuss Group Discussion/FGD), diantaranya permasalahan
perlindungan dan rehabilitasi bagi lanjut usia tinggal sendiri dalam rumah tangga
yang ditinggalkan oleh keluarga inti yaitu suami/istri, anak.
Lanjut usia telantar khususnya bed ridden dalam pemenuhan kebutuhan dasar
yang dilakukan oleh pekerja sosial masyarakat (PSM) dan tetangga terdekat di
lingkungan tempat tinggal dari lanjut usia telantar tersebut dan analisis kebijakan
tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Sub Bagian Analisis Kebijakan Rehabilitasi Sosial
Biro Perencanaan Kementerian Sosial menunjukkan bahwa permasalahan yang
dihadapi terkait program ASLUT adalah fase input yang belum valid, termasuk
didalamnya data base terkait Lanjut Usia Terlantar; kemitraan strategis yang belum
terbangun dengan baik, khususnya konteks komplimentaritas bagi capaian
kesejahteraan Lanjut usia terlantar; juga jangkauan dan sustainibilitas program yang
belum dijadikan fokus program.
Di sisi lain Kemensos memiliki potensi regulasi yang telah memadai, Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang tersedia di Pusat maupun Daerah,
pengalaman dalam penanganan lansia terlantar, serta para mitra yang bergerak di
program terkait lanjut usia.
Program ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar) merupakan salah satu
prorgam nasional yang bertujuan untuk meringankan beban lansia miskin dan
terlantar dalam memenuhi kebutuhan dasar dan pemeliharaan kesehatan serta
menikmati taraf hidup yang wajar.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan
publik dari Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan
konkuren (bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman
pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Pada tahun 2018, persentase lansia mencapai 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta
orang. Komposisi lansia Indonesia didominasi lansia muda (usia 60-69 tahun) yang
persentasenya mencapai 63,39 persen, sisanya adalah lansia madya (usia 70-79 tahun)
sebesar 27,92 persen, dan lansia tua (kelompok usia 80+) sebesar 8,69 persen. Pada

[152]
tahun 2018 setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 15 orang
penduduk lansia. Jika dilihat secara total, persentase lansia dengan Kepala Rumah
Tangga (KRT) ada sekitar 61,29 persen atau dengan kata lain enam dari sepuluh lansia
di Indonesia berperan sebagai KRT, terlepas apakah mereka produktif atau tidak.
(Statistik Penduduk Lanjut Usia, 2018).
Saat ini perhatian pemerintah kepada lanjut usia sudah semakin meningkat,
salah satunya dengan disalurkannya bantuan Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLU)
sejak tahun 2016 sampai 2017. Pada Tahun 2018 pemerintah melakukan ekspansi
program lanjut usia dengan mencanangkan Program Keluarga harapan (PKH) Lanjut
Usia yang menyasar lanjut usia di dalam rumah tangga miskin.
Asumsi APBN Tahun 2017 oleh Bappenas dengan proyeksi data penduduk
Indonesia tahun 2015 sebanyak 255.461.070.000 jumlah penduduk yang meningkat
dengan proyeksi data penduduk Indonesia tahun 2017 menjadi 271.066.040.000 dan
pada tahun 2025 diproyeksikan menjadi 284.829.000.000 penduduk. Asumsi APBN
2017, pertumbuhan ekonomi 5,1%. Kemiskinan pada bulan September 2017 mencapai
26,58 juta jiwa (10,12 persen) dengan Indeks Gini pada bulan September 2017
mencapai 0,391. Pengangguran 7,01 juta jiwa (5,33%) (Per Februari 2017, BPS). Inflasi
pada Juni 2017 asumsi APBN 2017 sebanyak 4,0%.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional
bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada
RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan
disertai dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan
penjabaran dari RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD
mengacu Renstra-KL yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan
berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan
berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang
memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun
perencanaan yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak
(Multilateral meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala
Bappenas No. 4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para
pihak untuk pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia
melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019,
bahwa sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan
Prioritas (KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi
terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan
nilai dan semangat gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia
Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial penduduk miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan

[153]
Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah
penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang profesional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.

B. Aksesibilitas Lanjut Usia


Aksesibilitas lansia juga masih rendah, dan lansia masih dianggap sebagai
beban, bukan sebagai modal, padahal seharusnya lansia harus dihargai peranannya
dalam mendukung pembangunan nasional. Kondisi ini diperparah dengan realitas
empirik yang menunjukkan bahwa lansia terlantar masih banyak yang belum
tersentuh program kesejahteraan sosial dari pemerintah.
Merespon realitas empirik yang ada, dan sebagai pelaksanaan amanat
Undang-Undang, Pemerintah melalui Kementerian Sosial RI telah memberikan
perlindungan sosial bagi lansia tidak potensial dan terlantar melalui program
“Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT)” yang pedoman pelaksanaannya
telah diatur melalui Peraturan Menteri Sosial No.12 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan
Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar.
Meningkatnya angka harapan hidup di satu sisi, tidak diikuti oleh
meningkatnya derajat kesejahteraan lansia. Berdasarkan hasil penelitian HelpAge
International dan Lembaga Demografi UI, penduduk lansia terutama yang berada di
usia 70 tahunan dan 80 tahun keatas memiliki angka kemiskinan tertinggi diantara
kelompok populasi, yaitu 13,3% dan 16% secara berurutan. Pada saat yang sama
terdapat juga sebagian populasi lansia, lebih besar daripada yang secara resmi
diklasifikasikan sebagai miskin, yang sangat rentan untuk jatuh kedalam kemiskinan.
Perlindungan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan untuk mencegah dan
menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial agar kelangsungan hidup
lanjut usia dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal yang meliputi :
1. Asistensi sosial {bentuk perlindungan sosial yang ditujukan untuk meringankan
beban hidup lanjut usia terlantar guna memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
dalam bentuk pemberian bantuan berupa uang yang disertai dengan
pendampingan sosial},
2. Kedaruratan {tindakan mendesak untuk menyelamatkan, melindungi, dan
memulihkan kesejahteraan lanjut usia dalam situasi darurat, baik dalam situasi
bencana maupun bagi yang mengalami perlakuan salah dalam bentuk layanan
pengaduan, rujukan untuk pemulihan fisik dan mental, pendampingan, serta
penempatan di tempat penanganan trauma lanjut usia};
3. Aksesibilitas {kemudahan dalam menggunakan sarana dan prasarana umum dan
memperoleh fasilitas pelayanan dalam mendukung dan memperlancar mobilitas
lanjut usia}; dan 4). pelayanan lanjut usia dalam keluarga pengganti {pelayanan
sosial kepada lanjut usia di luar keluarganya dan di luar lembaga dengan cara
tinggal di keluarga lain untuk mendapatkan pendampingan, perawatan, dan
pemenuhan kebutuhan dasar}.
Program ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar) merupakan salah satu
program nasional yang bertujuan untuk meringankan beban lansia miskin dan
terlantar dalam memenuhi kebutuhan dasar dan pemeliharaan kesehatan serta

[154]
menikmati taraf hidup yang wajar. Program ini bermula dari tahun 2006 dengan
nama JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia). Berubah nama menajdi ASLUT di tahun
2010. Berikut perkembangan ASLUT dari 2006-2012, dimana tahun 2012 menandai
ASLUT menjangkau seluruh Indonesia. Perkembangan ASLUT bisa dilihat dari skema
berikut :
Skema 2
ASLUT 2006 - 2012

Tahun Tambahan Provinsi Yang Cakupan Jumlah Pengeluaran


Dicakup Berdasarkan Kumulatif
(Juta Rupiah)
Provinsi Penerima
Manfaat

2006 Jakarta, Banten, Jawa Barat, 6 2.500 Rp. 9.000.000


Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur

2007 Nusa Tenggara Timur (NTT), 10 3.500 Rp. 12.000.000


Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan

2008 Maluku, Sulawesi Utara, 15 5.000 Rp. 18.000.000,-


Sumatera Barat, Kalimantan
Barat, Bali

2009 Aceh, Bengkulu, Jambi, Riau, 28 10.000 Rp. 36.000.000,-


Sumatera Selatan, Lampung,
Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara,
Nusa Tenggara Barat (NTB),
Maluku Utara, Papua

2010 Gorontalo 29 10.000 Rp. 36.000.000,-

2011 Kepri, Bangka Belitung, 33 13.250 Rp. 47.700.000,-


Sulawesi Barat, Papua Barat

2012 Semua Provinsi 33 26.500 Rp. 63.600.000,-

Sumber: Direktorat PSLU

Konsep lanjut usia terlantar dalam analisis kebijakan ini adalah seseorang
yang telah berusia 60 tahun keatas, mengalami keterlantaran, miskin, tidak ada yang
mengurus, tidak memiliki kemampuan baik fisik maupun ekonomi, tidak
mendapatkan pensiun, tidak memiliki asset, sehingga mereka tidak dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya secara layak (Buku Pedoman Pelaksanaan Program
ASLUT Tahun 2013).
Konsep ASLUT berdasarkan Buku Pedoman ASLUT Tahun 2013 adalah salah
satu bentuk perlindungan sosial untuk membantu lanjut usia terlantar agar mereka
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan Program ASLUT
adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perhatian dan perlindungan sosial
terhadap lanjut usia terlantar dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai untuk

[155]
memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga diharapkan mampu memelihara taraf
kesejahteraan sosialnya.
Program ASLUT bertujuan untuk membantu pemenuhan sebagian kebutuhan
dasar hidup lanjut usia terlantar sehingga dapat mempertahankan taraf kesejahteraan
sosialnya dengan cara pemberian uang tunai sebanyak Rp 200.000,- kepada lanjut usia
yang memenuhi kriteria per orang per bulan selama satu tahun melalui lembaga
penyalur yang ditunjuk oleh pemerintah. Proses pemanfaatan dana oleh lanjut usia
dikendalikan oleh petugas pendamping yang ditunjuk melaksanakan fungsi
pendampingan guna memastikan program berjalan sesuai dengan tujuan.
ASLUT dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Dit. Pelayanan Sosial Lanjut
Usia) sebagai penanggungjawab program, lembaga penyalur yang pada saat itu
belum menggunakan per-bank-kan dan menggunakan jasa dalam hal ini PT. POS
sebagai penanggungjawab penyaluran dana kepada penerima ASLUT, dinas/instansi
sosial provinsi sebagai penanggungjawab pelaksanaan program di wilayahnya,
dinas/instansi sosial kabupaten/kota sebagai penanggungjawab pelaksanaan
program di wilayahnya, serta pendamping sebagai petugas yang melakukan
pendampingan terhadap penggunaan dan kemanfaatan penerima program ASLUT.
Penentuan daerah penerima program dilakukan dengan mempertimbangkan
besarnya populasi lanjut usia terlantar (sesuai kriteria), kesiapan data dan tingkat
kemiskinan di masing-masing prov/kab/kota, kesiapan sumber daya manusia
pengelola program, sarana dan prasarana, serta faktor-faktor pendukung yang ada,
komitmen daerah dalam mendukung peningkatan kesejahteraan lanjut usia terlantar
seperti sharing budget, adanya kebijakan daerah atau PERDA yang perspektif lanjut
usia dan hasil pelaksanaan program tahun sebelumnya yang mencakup tingkat
keberhasilan program dan koordinasi dengan berbagai instansi terkait.
Model analisis kebijakan yang dilaksanakan adalah Model Retrospektif
(application oriented), yaitu kajian implementasi kebijakan ASLUT dengan pendekatan
evaluatif (menilai manfaat ASLUT) dan normatif (memberikan rekomendasi untuk
perumusan perbaikan kebijakan mendatang).

[156]
C. Informasi & Data Dukung
Beberapa informasi dan data yang patut menjadi pertimbangan serta pemikiran
terkait ASLUT diantaranya adalah :
1. PROSENTASE LANJUT USIA BERDASARKAN KATEGORI
KETELANTARAN 2009 VERSUS 2012:

Sumber: BPS RI- Susenas Modul 2009 dan 2012

Bisa dilihat dari gambar 1 diatas, dari tahun 2009 sampai 2009 terjadi
penurunan jumlah lansia terlantar sebesar 14,76-13,17= 1,5%.

2. KRITERIA KETELANTARAN
Kriteria seperti apa seorang lansia termasuk dalam kategori terlantar?
Berdasarkan Profil PMKS 2012, kriteria keterlantaran penduduk lansia adalah: a.
Tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD; b. Makan makanan pokok kurang dari
14 kali dalam seminggu; c. Makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau
hewani); nabati < 4 kali, hewani < 2 kali atau kombinasi 4,2 dalam seminggu; d.
Memiliki pakaian kurang dari 4 stel; e. Tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur;
f. Bila sakit tidak diobati; g. Bekerja > 35 jam seminggu (Profil PMKS 2012).
Kriteria yang paling banyak dialami lansia terlantar adalah tidak pernah
sekolah/tidak tamat SD yaitu hampir 9 dari sepuluh lansia terlantar tidak tamat
SD. Lebih dari setengah lansia terlantar hanya makan makanan pokok kurang dari
14 kali seminggu (55,00 %) dan memiliki pakaian kurang dari empat stel (54,45 %).
Menurut perilaku pengobatannya hanya 10,56 persen lansia terlantar menyatakan
tidak berobat ketika ia sakit. Secara rinci persentase lansia terlantar masing-masing
kriteria keterlantaran tersebut terlihat pada Gambar 2 di bawah ini :

[157]
Sumber: BPS RI- Susenas Modul 2009 dan 2012

3. TINGKAT PENDIDIKAN LANJUT USIA TELANTAR


Pada umumnya sangat rendah yaitu 91,25 persen tidak tamat sekolah dasar
atau tidak sekolah pada tahun 2009 dan menurun menjadi 88,82 persen pada tahun
2012 atau tidak mengalami perubahan yang berarti. Hal ini dapat disebabkan
terbatasnya fasilitas pendidikan pada saat mereka berada pada usia sekolah.
Pembangungan SD Inpres baru dimulai pada tahun 1970-an dan wajib belajar baru
dicanangkan pada tahun 1980-an. Tingkat pendidikan lansia terlantar tergambar
berikut ini :

a. Makan Pokok dan Makanan Berprotein Tinggi Pada Lanjut Usia Terlantar

Sumber: BPS RI- Susenas Modul 2009 dan 2012

[158]
Data BPS RI - Susenas Modul 2009 dan 2012 menunjukkan lebih dari
separuh lansia terlantar makan makanan pokok kurang dari 14 kali baik tahun
2009 maupun 2012 bahkan pada tahun 2012 ada peningkatan sebanyak 2 persen,
sebagaimana tergambar berikut ini :

Dari sisi kebutuhan protein, sebagian besar lansia terlantar masih


kekurangan protein nabati atau 64,12 persen lansia terlantar makan makanan
berprotein (nabati tinggi) kurang dari 4 kali. Gambar 5 menunjukkan bahwa
kondisi lansia terlantar 74,71 persen masih kekurangan protein hewani atau dua
kali atau kurang memakan protein hewani dalam seminggu terakhir,
sebagaimana tergambar berikut ini :

Sumber: BPS RI – Susenas Modul 2009 dan 2012

Adapun untuk makanan dari bawah hewani yang berprotein tinggi, BPS
RI Susenas Modul 2009-2012 menunjukkan fakta sebagai berikut :

[159]
b. Sandang dan Tempat Tidur Tetap Lansia Terlantar
BPS RI-Susenas Modul 2009 dan 2012 menunjukkan bahwa lebih dari
setengah atau 55,03 persen lansia terlantar memiliki pakaian kurang dari 4 stel,
sebagaimana terlihat pada gambar 7. berikut ini :

Kondisi kelayakan rumah tempat tinggal lansia terlantar dapat dilihat


pada Gambar 8 berikut :

[160]
Sumber: BPS RI-Susenas Modul 2012

Gambar 8 menunjukkan 12,56 persen lansia tidak mempunyai lokasi


khusus tidur, 17,41 persen lansia tidur tidak dengan kasur atau tidak punya
tempat tidur khusus, 17,12 persen lansia tidur dengan menggunakan
kasur/mempunyai tempat tidur bersama atau lebih dari 3 orang, dan 52, 91
persen lansia telah memiliki tempat yang tetap untuk tidur yaitu dengan
kasur/tempat tidur sendiri bersama kurang atau sama dengan 3 orang.

c. Jam Kerja, Kegiatan Lansia Terlantar, dan Kegiatan Ekonomi Lansia


Terlantar
Berkaitan dengan beban lansia yang sebagian besar menjadi tulang
punggung keluarga. Data Susenas 2012 terkait Jam kerja lansia terlantar yang
bekerja dapat dilihat pada Gambar 9 berikut :

[161]
Lebih dari separuh atau 59,95 persen lansia terlantar bekerja lebih dari 35
jam per minggu. Hal ini berarti lansia terlantar masih menanggung beban
pekerjaan melebihi kemampuan dan kondisi fisiknya yang mulai menurun.
Fakta tersebut juga didukung oleh kenyataan terkait kegiatan lansia
terlantar yang rata-rata bekerja, sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

Berdasarkan Data BPS-Susenas Modul 2012, beban pekerjaan itu


dilakukan sebagian besar untuk kegiatan ekonomi, mengurus rumah tangga
dan lainnya. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 11 berikut :

[162]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa kebijakan beserta metodologi riset sederhana
termasuk field visit, maka permasalahan program ASLUT tersebut dapat disimpulkan
kedalam 5 kategori yaitu: 1). data populasi lansia terlantar; 2). keterbatasan kuota
lansia terlantar yang mendapatkan ASLUT; 3). skema dan kriteria penargetan ASLUT;
4).koordinasi peranan pusat, daerah, dan swasta dalam mendukung anggaran
ASLUT; dan 5). manfaat program ASLUT pada konteks sustainibilitas.
Permasalahan ASLUT yang utama terletak pada pembenahan dan validitas data
serta pelaksanaan dan keberlanjutan program secara komprehensif. Pembenahan dan
penguatan sistem data sebagai perwujudan fase “input” harus dilakukan, serta kemitraan
yang dibangun sebagai opera komplimentaritas menjadi penekanan yang penting.

B. Saran
Berdasarkan kepada temuan permasalahan utama program ASLUT, maka
direkomendasikan kedepan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pembenahan dan penguatan data sebagai gambaran “input” dari program
ASLUT. Verifikasi Data terpadu terkait ASLUT bekerjasama dengan BPS dan
Pusdatin menjadi sangat penting.
2. Program ASLUT merupakan bagian dari Program layanan lanjut usia berbasis
keluarga dan masyarakat. Hal ini berangkat dari kebijakan Ditjen Rehsos dalam
penanganan PMKS dikembalikan kepada pihak keluarga atau walinya, dengan
penguatan yang juga dilakukan kepada sistem keluarga/wali tersebut, dimana
pelayanan sosial terhadap lansia dilakukan di rumah keluarga/wali lansia
tersebut.
Hal ini sesuai dengan arah kebijakan RPJMN 2015-2019 meningkatkan
sosialisasi, edukasi, dan pengarusutamaan di tingkat masyarakat diperlukan untuk
mendukung sistem sosial dan lingkungan penghidupan yang lebih ramah bagi lanjut
usia.
1. Kemitraan dalam bentuk komplimentaritas sangat disarankan untuk pencapaian
program ASLUT yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
2. Komplimentaritas ini juga diperlukan dalam penyusunan arah kebijakan antara
Pusat dan Daerah, juga antar unit kerja di Kementerian Sosial dan antar berbagai
bidang pembangunan yang terkait dengan penanganan lansia.
3. Misalnya dari sisi kesehatan, ASLUT akan terkoneksi dengan BPJS Kesehatan,
untuk kelayakan tempat tinggal akan terkoneksi dengan program RTLH dan
program di Kementerian Perumahan Rakyat, dan lain-lain.
4. Hal ini searah dengan kebijakan Arah Kebijakan dalam UU No. 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-
2025 dan RPJMN 2015-2019 bahwa peningkatan advokasi pemenuhan hak lanjut
usia melalui penyusunan peraturan, kebijakan, dan program terkait di tingkat
pusat dan daerah, termasuk diantaranya kebijakan di bidang ekonomi,
ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial.

[163]
DAFTAR PUSTAKA

DR. Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, Edisi Ketiga 2012, Pustaka Pelajar.
James Midgley, Social Welfare in Global Context, Second Edition 1999, Sage Publications
International Educational & Professional Publisher Thousand Oaks, London.
Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, Social Capital a multificated Perspective. First
Printing 1999, World bank Washington DC.
W. Lawrence-Neuman, Metode Penelitian Sosial Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif,
Edisi Ketujuh 2013, PT. Index Jakarta.
William M. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University

REFERENSI
1. Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang No.13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
5. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM);
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial
Pada Kementerian/Lembaga;;
7. PMK No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang
Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/Lembaga.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal;
9. Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota;

[165]
PEDOMAN KEBIJAKAN

URGENSI NSPK BIDANG SOSIAL SEBAGAI DASAR


PERENCANAAN & PENGANGGARAN URUSAN BIDANG
SOSIAL DI DAERAH

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[167]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prinsip Umum Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Daerah pada
Pasal 279 UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan
dengan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Daerah.
Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah dasar pembagian kewenangan urusan pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, daerah Provinsi, daerah Kabupaten/Kota yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah Urusan Konkuren (PPUK) berdasarkan NSPK
Peraturan Menteri Teknis menjadi dasar dalam :
1. Sinergi perencanaan dan penganggaran pemerintah pusat dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dengan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah) pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda menyebutkan
Perencanaan Pembangunan Daerah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional.
2. Menjadi dasar dalam menentukan tipologi dan beban kerja Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota, pada
Pasal 259 UU No. 23 Tahun 2014 bahwa Kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian, berdasarkan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi dengan Daerah untuk mencapai target
pembangunan nasional dilakukan Koordinasi Teknis (KORTEK) pembangunan
antara kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dan Daerah.
3. Menjadi dasar dari Indikator Kinerja Kunci (IKK) bidang teknis urusan
pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota untuk Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) sesuai pada Pasal 69 UU No. 23
Tahun 2014, Kepala Daerah wajib menyampaikan Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (LPPD), Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKJ),
dan Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (RLPPD).
4. Menjadi dasar Capaian Kinerja penyelenggaraan Pemda dari laporan kinerja
instansi Pemerintah Daerah dan pelaksanaan Tugas Pembantuan dalam Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD).
Gambaran umum substansi NSPK meliputi: konsideran; ketentuan umum;
maksud, tujuan, ruang lingkup; hal-hal yang akan diatur; persyaratan; tata
cara/mekanisme; kriteria; pengelolaan; kewenangan pusat, provinsi dan
kabupaten/kota; penataan dan evaluasi; pelaporan; pendanaan; pembinaan dan
pengawasan; ketentuan penutup.

B. Dasar Hukum
Prosedur penyusunan naskah hukum di Kementerian Sosial yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 3 Tahun 2017 menyebutkan NSPK

[169]
merupakan aturan atau ketentuan yang menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah
dalam melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan
Daerah kabupaten/kota yang menjadi kewenangan pemerintah pusat menetapkan
Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah Urusan Konkuren (PPUK) dan menjadi benang merah hubungan
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam
memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat.
Pembangunan daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pada Pasal 258 menyebutkan Daerah melaksanakan
pembangunan untuk peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat,
kesempatan kerja, lapangan berusaha, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
publik dan daya saing Daerah dan merupakan perwujudan dari pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang telah diserahkan ke Daerah sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018.
Koordinasi teknis pembangunan antara kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian dan Daerah dikoordinasikan oleh Menteri dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan.
Koordinasi teknis pembangunan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
dan antar-Daerah.
Kabupaten/kota lingkup Daerah provinsi dilaksanakan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat. Koordinasi teknis pembangunan dilakukan dalam tahap
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pembangunan Daerah.
RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka
ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana
Kerja Pemerintah dan program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
Perangkat Daerah pada Pasal 272 UU No. 23 Tahun 2014, menyusun rencana
strategis dengan berpedoman pada RPJMD dan Rencana strategis Perangkat Daerah
memuat tujuan, sasaran, program, dan kegiatan pembangunan dalam rangka
pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib dan/atau Urusan Pemerintahan Pilihan
sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah.
Pencapaian sasaran, program, dan kegiatan pembangunan dalam rencana
strategis Perangkat Daerah diselaraskan dengan pencapaian sasaran, program, dan
kegiatan pembangunan yang ditetapkan dalam rencana strategis kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian untuk tercapainya sasaran pembangunan
nasional.
Dampak dari reformasi di Indonesia pada tahun 1998 terjadi perubahan yang
mendasar diantaranya perubahan UUD 1945 menjadi UUD 1945 Amandemen,
diantaranya yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik.
Hubungan kerja Perangkat Daerah provinsi dengan Perangkat Daerah
kabupaten/kota pada Pasal 210 UU No. 23 Tahun 2014 bersifat koordinatif dan
fungsional. Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah dilakukan oleh

[170]
Pemerintah Pusat untuk Daerah provinsi dan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk Daerah kabupaten/kota. Nomenklatur Perangkat Daerah
dan unit kerja pada Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan
dibuat dengan memperhatikan pedoman dari kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang membidangi Urusan Pemerintahan tersebut.
Pada Pasal 68 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda bagi Kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur
dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil walikota.
Dalam hal teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
sementara selama 3 (tiga) bulan.
Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani
pemberhentian sementara tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang
bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Gubernur menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
provinsi kepada Presiden melalui Menteri yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun. Bupati/walikota menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disampaikan paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (LPPD) digunakan sebagai bahan evaluasi dan pembinaan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah oleh Pemerintah Pusat.
Laporan keterangan pertanggungjawaban memuat hasil penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kepala daerah
menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD yang
dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD dibahas oleh DPRD
untuk rekomendasi perbaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kepala daerah
menyampaikan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
masyarakat bersamaan dengan penyampaian laporan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. Kepala daerah yang tidak menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan
oleh gubernur, sebagai wakil Pemerintah Pusat, untuk bupati/walikota.
Rencana pembangunan Daerah dikoordinasikan, disinergikan, dan
diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan
pembangunan Daerah. Perencanaan pembangunan Daerah menggunakan pendekatan
teknokratik, partisipatif, politis, serta atas-bawah dan bawah-atas. Pendekatan
teknokratis menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai
tujuan dan sasaran pembangunan Daerah. Pendekatan partisipatif dilaksanakan
dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pendekatan politis dilaksanakan
dengan menerjemahkan visi dan misi kepala daerah terpilih ke dalam dokumen
perencanaan pembangunan jangka menengah yang dibahas bersama dengan DPRD.

[171]
Pendekatan atas-bawah dan bawah-atas merupakan hasil perencanaan yang
diselaraskan dalam musyawarah pembangunan yang dilaksanakan mulai dari Desa,
Kecamatan, Daerah kabupaten/kota, Daerah provinsi, hingga nasional. Rencana
pembangunan Daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif,
akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan. Rencana
pembangunan Daerah memperhatikan percepatan pembangunan Daerah tertinggal dan
dokumen perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal 263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD;
dan RKPD.
RPJPD merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok
pembangunan Daerah jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan
berpedoman pada RPJPN dan rencana tata ruang wilayah.
RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang
memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan
Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai
dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang
disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
Rencana strategis Perangkat Daerah pada Pasal 273 UU No. 23 Tahun 2014,
ditetapkan dengan Perkada setelah RPJMD ditetapkan. Rencana strategis Perangkat
Daerah dirumuskan ke dalam rancangan rencana kerja Perangkat Daerah dan digunakan
sebagai bahan penyusunan rancangan RKPD. Rencana kerja Perangkat Daerah memuat
program, kegiatan, lokasi, dan kelompok sasaran yang disertai indikator kinerja dan
pendanaan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah. Rencana kerja
Perangkat Daerah ditetapkan kepala daerah setelah RKPD ditetapkan dan pada Pasal 274
Perencanaan pembangunan Daerah didasarkan pada data dan informasi yang dikelola
dalam sistem informasi pembangunan Daerah.

[172]
BAB II
PEMBAHASAN

Rancangan Peraturan Pemerintah Urusan Konkuren (PPUK) berdasarkan


lampiran UU No. 23 Tahun 2014 belum ditetapkan menjadi kendala dalam memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat.
Dalam PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dengan substansi yang mengatur:
1. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yaitu Inspektorat jenderal
kcmenterian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat
provinsi, dan inspektorat kabupaten/ kota.
2. Pembinaan umum diantaranya: kelembagaan daerah, kepegawaian Perangkat
Daerah, keuangan daerah, Pembinaan dan Pengawasan Teknis:
3. Capaian Standar Pelayanan Minimal atas pelayanan dasar;
4. Ketaatan terhadap Peraturan per-UU-an Pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan
kriteria, (NSPK) Urusan Konkuren yang ditetapkan Pusat.
PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah menyebutkan bahwa kriteria
tipologi perangkat daerah berdasarkan urusan yang diotonomikan yang meliputi
pelaksanaan kegiatan teknis operasional Urusan Pemerintahan.
NSPK Peraturan Menteri Sosial yang telah ditetapkan berdasarkan UU Pemda
yang lama yaitu UU No. 32 Tahun 2004 terdapat 20 (Dua Puluh) Permensos NSPK Bidang
Sosial yang telah ditetapkan sampai dengan Maret 2015, meliputi:
1. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan
Anak;
2. Peraturan Menteri Sosial Nomor 128 Tahun 2011 tentang Kampung Siaga Bencana;
3. Peraturan Menteri Sosial Nomor 184 Tahun 2011 tentang Lembaga Kesejahteraan
Sosial;
4. Peraturan Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2012 tentang Taman Anak Sejahtera;
5. Peraturan Menteri Sosial Nomor 03 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya;
6. Peraturan Menteri Sosial Nomor 06 Tahun 2012 tentang Penghargaan Kesejahteraan
Sosial Lanjut Usia;
7. Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
8. Peraturan Menteri Sosial Nomor 09 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komunitas
Adat Terpencil;
9. Peraturan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial
Lanjut Usia;
10. Peraturan Menteri Sosial Nomor 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial;

[173]
11. Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya;
12. Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana;
13. Peraturan Menteri Sosial Nomor 01 Tahun 2013 tentang Bantuan Sosial Korban
Bencana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 07 Tahun
2013;
14. Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2013 tentang Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga;
15. Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak.
16. Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pemulangan Migran
Bermasalah;
17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Karang
Taruna.
18. Peraturan Menteri Sosial Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK).
19. Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial.
20. Peraturan Menteri Sosial Nomor 01 Tahun 2015 tentang Standar Lembaga
Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

[174]
BAB III
ANALISIS DAN REKOMENDASI

A. Analisis
NSPK Peraturan Menteri Sosial yang masih berdasarkan UU Pemda yang lama
yaitu UU No. 32 Tahun 2004 perlu direvieu ulang dengan UU Pemda penggantinya
yaitu UU No. 23 Tahun 2014.
Pada UU Pemda sebelumnya, urusan NAPZA merupakan urusan konkuren,
tetapi pada UU Pemda yang baru merupakan urusan pemerintah pusat yaitu
Kementerian Sosial.
Urusan Komunitas Adat Terpencil yang pada dasar UU Pemda sebelumnya
merupakan salah satu indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang sosial dan
pada UU Pemda penggantinya bukan merupakan salah satu indikator SPM Bidang
Sosial serta hanya pada urusan pemerintah kabupaten saja.
Perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang sudah tidak berdasarkan fisik dan non fisik tetapi berdasarkan urusan
pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang
RPJPD, RPJMD dan RKPD menjadi suatu keniscayaan menetapkan NSPK Peraturan
Menteri Sosial sebagai dasar pada pelayanan publik dan dasar perencanaan dan
penganggaran serta dasar dalam penyusunan Indikator Kinerja Kunci (IKK) urusan
teknis pemerintah di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota.
Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 dengan perubahan pertama
Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2017 dan perubahan kedua Peraturan
Menteri Sosial No. 22 Tahun 2018 tentang Organinasi dan Tata Kerja Kementerian
Sosial, mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir
miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara,
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian
dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang
RPJPD, RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber
pada Pasal 175, pendanaan disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka
pengeluaran jangka menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu,
kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang
berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada
NSPK sesuai dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan masyarakat, atau urusan
pilihan yang menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah. Dalam hal SPM dan NSPK
belum tersedia, maka target kinerja disesuaikan dengan standar biaya kebutuhan
pelayanan dan kemampuan Perangkat Daerah.

B. Rekomendasi
Prosedur penyusunan naskah hukum di Kementerian Sosial yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 3 Tahun 2017 menyebutkan NSPK
merupakan aturan atau ketentuan yang menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah
dalam melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

[175]
Rancangan Peraturan Menteri Sosial melalui Biro Hukum melakukan
pengkajian dan penelaahan terhadap rancangan Peraturan Menteri Sosial yang sudah
ada dan/atau yang akan diatur.
Penyusunan NSPK berkoordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan dapat melibatkan
pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota serta kementerian/lembaga
terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 dengan perubahan pertama
Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2017 dan perubahan kedua Peraturan
Menteri Sosial No. 22 Tahun 2018 tentang Organinasi dan Tata Kerja Kementerian
Sosial, mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir
miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara,
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan, dan pelaksanaan kebijakan serta penyusunan
Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) di bidang perlindungan dan jaminan
sosial kepada seseorang, keluarga, dan masyarakat yang berada dalam keadaan tidak
stabil atau rentan, serta di bidang jaminan sosial kepada anak yatim piatu terlantar,
lanjut usia terlantar, penyandang disabilitas fisik, mental, dan fisik dan mental yang
derajat kedisabilitasnya tergolong berat, serta eks penderita penyakit kronis yang
tergolong berat yang mengalami ketidakmampuan sosial, ekonomi, dan penghargaan
kepada pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan.
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan, dan pelaksanaan kebijakan serta penyusunan
Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) di bidang rehabilitasi sosial kepada
seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil
Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di
perdesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal dan/atau perbatasan
antar negara.
Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan, dan pelaksanaan kebijakan serta
penyusunan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) di bidang pelatihan, dan
penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan
perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK) di bidang rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik, mental,
fisik dan mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks penderita penyakit kronis,
eks narapidana, eks psikotik, eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika
sindroma ketergantungan, orang dengan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired
Immuno Deficiency Syndrome, korban tindak kekerasan, korban bencana, korban
perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan kebutuhan khusus.
Unit Kerja Eselon (UKE) II di Ditjen Rehabilitasi Sosial berdasarkan tugas dan
fungsi untuk menyusun NSPK Peraturan Menteri Sosial yang meliputi:
1. Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak mempunyai tugas melaksanakan
perumusan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK, pemberian bimbingan

[176]
teknis dan supervisi, serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di
bidang rehabilitasi sosial anak pada pelayanan sosial anak balita dan
pengangkatan anak, rehabilitasi sosial anak terlantar, rehabilitasi sosial anak
berhadapan dengan hukum, rehabilitasi sosial anak yang memerlukan
perlindungan khusus, dan pengembangan kelembagaan.
2. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK,
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi, dan pelaporan
pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik,
mental, sensorik, intelektual dan disabilitas ganda.
3. Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
mempunyai tugas melaksanakan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan
penyusunan NSPK, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi
dan pelaporan di bidang rehabilitasi sosial tuna sosial dan korban perdagangan
orang.
4. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA mempunyai
tugas melaksanakan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan
NSPK, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta evaluasi, dan pelaporan
di bidang rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.
5. Direktorat Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia mempunyai tugas melaksanakan
perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK, pemberian
bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di
bidang rehabilitasi sosial lanjut usia.

[177]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;


2. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan;
3. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
4. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
5. Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang
RPJPD, RPJMD dan RKPD.

[179]
PEDOMAN KEBIJAKAN
KOLABORASI PERENCANAAN & INFORMASI
KINERJA ANGGARAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG
SOSIAL DI KAWASAN PERBATASAN

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[181]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyusunan RKP merupakan upaya dalam menjaga kesinambungan
pembangunan terencana dan sistematis yang dilaksanakan oleh masing-masing
maupun seluruh komponen bangsa dengan memanfaatkan berbagai sumber daya
yang tersedia secara optimal, efisien, efektif dan akuntabel dengan tujuan akhir
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat secara berkelanjutan.
Penyusunan RKP Tahun 2019 dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial, serta kebijakan anggaran belanja
berdasarkan money follows program dengan cara memastikan hanya program yang
benar-benar bermanfaat yang dialokasikan dan bukan sekedar karena tugas fungsi
Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan. Hal ini mengisyaratkan bahwa
pencapaian prioritas pembangunan nasional memerlukan adanya koordinasi dari
seluruh pemangku kepentingan, melalui pengintegrasian
Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan
pelayanan dasar sebagai Prioritas Nasional pada RKP 2019 dan RKPD 2019
berpedoman pada Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2020 berdasarkan pada PP
No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pembangunan Nasional, untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan
dilakukan pada prioritas pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan
lokus yang jelas), pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L
dan Non K/L), transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar
instansi dan antar pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas
pembangunan agar kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi
antar program dan antar pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen
perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian
sistem yang terpadu yaitu Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA).
Sejak diluncurkan April 2017, KRISNA yang didukung oleh Knowledge Sector
Initiative (KSI) dan telah digunakan oleh 125 Kementerian/Lembaga Negara untuk
mengembangkan serta merevisi anggaran kerja di Tahun Anggaran 2018 dan 2019.
KRISNA yang merupakan sistem e-planning dengan mengintegrasikan platform
perencanaan dan anggaran yang telah ada di Bappenas ke dalam satu sistem tunggal
dan mudah digunakan. Aplikasi elektronik itu juga terkoneksi langsung ke SINKRON
yaitu Aplikasi penganggaran di Kementerian Keuangan. Aplikasi KRISNA ini
bertujuan untuk mendorong efisiensi dan akuntabilitas proses perencanaan.
Pemerintah daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja, baik
dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan
kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran
dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran.

[183]
B. Dasar Landasan
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2019 yang
ditetapkan dengan Permendagri No. 22 Tahun 2018 secara substansi memuat arah
kebijakan ekonomi dan keuangan daerah, rencana program, kegiatan, indikator
kinerja, pagu indikatif, kelompok sasaran, lokasi kegiatan, prakiraan maju dan
perangkat daerah penanggung jawab yang wajib dilaksanakan Pemda dalam 1 (satu)
tahun.
Program dan kegiatan memberikan informasi yang jelas dan terukur serta
memiliki korelasi langsung dengan keluaran yang diharapkan dari program dan
kegiatan dimaksud ditinjau dari aspek indikator, tolok ukur dan target kinerjanya.
Pemerintah daerah dalam menyusun APBD Tahun Anggaran 2019, selain
memperhatikan kebijakan dan teknis penyusunan APBD, juga memperhatikan hal-hal
khusus, antara lain Belanja Tidak Terduga yang akan digunakan untuk mendanai
tanggap darurat, penanggulangan bencana alam dan bencana sosial dan kebutuhan
mendesak lainnya, seperti penanganan konflik sosial sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, PP No. 2 Tahun 2015
tentang Peraturan Pelaksana UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial, dan Permendagri No. 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi
Penanganan Konflik Sosial, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan
daerah tahun-tahun sebelumnya.
Program Prioritas Nasional dalam RKP Tahun 2019 meliputi:
1. Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan
pelayanan dasar
2. Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui penguatan konektifitas dan
kemaritiman
3. Peningkatan nilai tambah ekonomi melalui pertanian, industri dan jasa produktif
4. Pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumber daya air
5. Stabilitas keamanan nasional dan kesuksesan Pemilu.

Prioritas Nasional (PN)-1 Pembangunan melalui Pengurangan Kemiskinan


dan Peningkatan Pelayanan Dasar dalam 5 (lima) Program Prioritas (PP) dengan
masing-masing Kegiatan Prioritas (KP).
Program Prioritas (PP)-1 Percepatan Pengurangan Kemiskinan dengan
Kegiatan Prioritas (KP) yang meliputi: Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) Keluarga
Miskin dengan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan secara non tunai,
KUBe/UEP di Perkotaan, Perdesaan, Pesisir, PPK dan PAN.
Program Prioritas (PP)-2 Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Gizi
Masyarakat dengan Kegiatan Prioritas (KP) yaitu Rehabilitasi Sosial Orang dengan
HIV/AIDS.
Program Prioritas (PP)-3 Pemerataan Layanan Pendidikan Berkualitas dengan
Kegiatan Prioritas (KP) Penyediaan Literasi Bagi Penyandang Disablitas.
Program Prioritas (PP)-4 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Perumahan
dan Pemukiman layak, dengan Kegiatan Prioritas (KP) Pembangunan Rumah
Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni.
Program Prioritas (PP)-5 Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar dengan
Kegiatan Prioritas (KP) yang meliputi: Verifikasi dan Validasi (Verval) data, P2K2,
Sertifikasi Pekerja Sosial (PEKSOS), Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS),

[184]
Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT), Pusat Kesejahteraan Sosial
(PUSKESOS), Rehabilitasi Sosial Anak, Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
dengan Vokasional, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial,
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).
Prioritas Nasional (PN)-2 Penanggulangan Bencana dengan Kegiatan Prioritas
(KP) Perlindungan Korban Bencana Alam.
Prioritas Nasional (PN)-3 Kantibmas dan Keamanan Siber dengan Kegiatan
Prioritas (KP) yang meliputi: Perlindungan Korban Konflik Sosial, Rehabilitasi Sosial
Korban NAPZA, Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan
Rehabilitasi Sosial, Penanggulangan Teroris.

C. Sasaran Pedoman Program


Target Prioritas Nasional Kementerian Sosial Tahun 2019, meliputi:
1. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
a) Keluarga Miskin yang mendapatkan bantuan PKH dengan target 10.000.000
Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
b) Korban Bencana Alam yang mendapatkan penanganan darurat dengan target
150.000 jiwa
c) Kesiapsiagaan dan Mitigasi Masyarakat di lokasi rawan bencana dengan target
6.000 orang
d) Korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
dengan target 120.000 orang.
e) Masyarakat yang mendapatkan penguatan dalam penanganan konflik sosial
dengan target 250 kampung
f) Masyarakat yang mendapatkan penguatan pelibatan dan pencegahan
terorisme dengan target 200 kampung
g) Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dengan
target 101.800 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
h) Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Hunni (RS-RTLH) dengan target 14.000
KPM
i) Bantuan Pangan Non Tunai dengan target 15.6 juta KPM,

2. Program Rehabilitasi Sosial


a) Penyandang Disabilitas (PD) yang mendapatkan alat bantu khusus dengan
target 3.164 orang
b) Rehabilitasi Sosial bagi PD dengan target 50.884 orang
c) Literasi khusus bagi PD dengan target 35 literasi
d) Korban Penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial dan
Perlindungan Sosial dengan target 19.000 orang
e) Orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan
Sosial dengan target 950 orang
f) Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan Rehabilitasi
Sosial dengan target 50 orang
g) Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan dengan target 750 orang
h) Anak Balita Telantar, Anak Telantar/Anak Jalanan, Anak Berhadapan Dengan
Hukum dan Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus yang mendapatkan
Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan target 101.000 Anak.
i) Lanjut usia yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan
target 50.340 orang.

[185]
j) Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Home Care dengan target 20.000
orang.

3. Program Pemberdayaan Sosial


a) Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mendapatkan
pemberdayaan dengan target 7.201 orang.
b) Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dengan target 150 Kab/Kota.
c) Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan Pusat Kesejahteraan Sosial
(PUSKESOS) dengan target 300 desa/kelurahan.
d) Warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diberdayakan dengan target
2.099 Kepala Keluarga (KK).

4. Program Pendidikan, Penelitian & Penyuluhan Sosial


a) Program Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2) bagi Pendamping Sosial
PKH dengan target 21.900 orang.
b) Diklat bagi SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang meliputi Pekerja
Sosial, Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial
dengan target 21.900 orang.
c) SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan Sertifikasi
dengan target 21.900 orang.
d) Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang telah mendapatkan Akreditasi
dengan target 3.000 LKS.
e) Verifikasi dan Validasi (Verval) Data Terpadu dengan target 107.200.000 jiwa.

[186]
BAB II
GAMBARAN UMUM

A. RPJPD, RPJMD & RKPD


Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah,
Tata Cara Evaluasi Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah & Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) yang ditetapkan melalui Permendagri No. 86 Tahun 2017
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan Daerah dalam rangka peningkatan dan
pemerataan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, lapangan berusaha,
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan publik dan daya saing Daerah.
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana
pembangunan Daerah dengan prinsip-prinsip diantaranya merupakan satu kesatuan
dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, dilakukan pemerintah Daerah
bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-
masing, mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan Daerah
dan dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing
Daerah, sesuai dengan dinamika perkembangan Daerah dan nasional. Perencanaan
pembangunan Daerah yang berorientasi pada proses, menggunakan pendekatan
teknokratik, partisipatif, politis dan atas-bawah dan bawah-atas.
RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah
yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan
keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang
disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD, RTRW dan RPJMN.
RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka
ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RKP dan
program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Renstra Perangkat Daerah memuat tujuan, sasaran, program, dan kegiatan
pembangunan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah, yang
disusun berpedoman kepada RPJMD dan bersifat indikatif.
Renja Perangkat Daerah memuat program, kegiatan, lokasi, dan kelompok
sasaran yang disertai indikator kinerja dan pendanaan sesuai dengan tugas dan fungsi
setiap Perangkat Daerah, yang disusun berpedoman kepada Renstra Perangkat
Daerah dan RKPD.
BAPPEDA menyusun RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Dalam rangka penyusunan
RPJPD, RPJMD, dan RKPD, BAPPEDA melakukan koordinasi, sinergi dan
harmonisasi dengan Perangkat Daerah dan pemangku kepentingan. Penyusunan
RPJPD, RPJMD, dan RKPD dilakukan berbasis pada Penerapan e-planning diatur
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.

[187]
B. Deskripsi Masalah
1. Belum optimalnya pemenuhan kompetensi pemerintahan pegawai ASN melalui
pendidikan dan pelatihan kepemimpinan pemerintahan dalam negeri yang
menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah, jabatan administrator dan jabatan
pengawas sesuai amanat Pasal 233 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan PP
No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
2. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian, Peraturan Presiden No. 46 Tahun
2005 tentang Kementerian Sosial, Permensos No. 20 Tahun 2015 tentang
Organisasi Tata Kerja di Kementerian Sosial, Permensos No. 14 Tahun 2017
(Perubahan Pertama dari Permensos No. 20 Tahun 2015 dan Perubahan Kedua
dengan Permensos No. 22 Tahun 2018, Organisasi Tata Kerja (OTK) Balai Besar
dengan Sumber Daya Manusianya diharapkan dapat melaksanakan tugas dan
fungsi dari Unit Kerja Eselon (UKE) I Badiklit Pensos dengan tugas melaksanakan
pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan kesejahteraan sosial
serta penyuluhan sosial.
3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda
dan PP 7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/ Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

[188]
BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN

A. Prioritas Nasional Dalam Rencana Kerja Pemerintah


Prioritas nasional/program prioritas/kegiatan prioritas yang dilaksanakan
dengan berbasis kewilayahan. RKP Tahun 2019 dimaksudkan sebagai pedoman bagi
Kementerian/Lembaga dalam penyusunan Rencana Kerja (Renja) Tahun 2019 dan
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2019.
RKPD digunakan sebagai pedoman dalam proses penyusunan rancangan
peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun
Anggaran 2019. Berkaitan dengan itu, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota harus mendukung tercapainya 5 (lima) prioritas pembangunan
nasional sesuai dengan potensi dan kondisi masingmasing daerah, mengingat
keberhasilan pencapaian prioritas pembangunan nasional dimaksud sangat
tergantung pada sinkronisasi kebijakan antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah dan antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah dan
pemerintah provinsi yang dituangkan dalam RKPD.
Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Daerah Dengan Kebijakan Pemerintah
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019 merupakan penjabaran tahun kelima
pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 yang memuat sasaran, arah kebijakan, dan strategi
pembangunan.

B. Sinkronisasi Perencanaan & Penganggaran APBN Dengan APBD


Provinsi & Kab / Kota Dalam KRISNA
Sinkronisasi kebijakan Pemerintah Daerah dan pemerintah dituangkan dalam
rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan rancangan Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS) yang disepakati bersama antara Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai dasar dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2019.
KUA dan PPAS pemerintah provinsi Tahun 2019 berpedoman pada RKPD
Tahun 2019 masing-masing provinsi yang telah disinkronisasikan dengan RKP Tahun
2019, sedangkan KUA dan PPAS pemerintah kabupaten/kota berpedoman pada
RKPD Tahun 2019 masing-masing kabupaten/kota yang telah disinkronisasikan
dengan RKP Tahun 2019 dan RKPD provinsi Tahun 2019.
Hasil sinkronisasi kebijakan tersebut dicantumkan pada PPAS sesuai
Permendagri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2019 didasarkan prinsip sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Belanja Daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, digunakan untuk mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah dan

[189]
pelaksanaan tugas organisasi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
Penganggaran belanja langsung dalam rangka melaksanakan program dan
kegiatan pemerintah daerah dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan, yang
manfaat capaian kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah kepada
kepentingan publik serta mendorong inovasi daerah.
Penyusunan anggaran belanja pada setiap program dan kegiatan untuk
urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar ditetapkan dengan SPM dan
berpedoman pada standar teknis dan harga satuan regional sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penyusunan anggaran belanja pada setiap program dan kegiatan untuk
urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar dan urusan
pemerintahan pilihan berpedoman pada analisis standar belanja dan standar harga
satuan regional.

[190]
BAB IV
PENUTUP

A. Rekomendasi
1. Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), lembaga dan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 oleh Badan Pendidikan,
Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) di
Bandung tanggal 28 Januari s.d 1 Februari 2019 di The Trans Luxury Hotel,
Bandung Jawa Barat dengan tugas dan fungsi Balai Besar Diklat berdasarkan
Wilayah Regional yang menangani 34 daerah provinsi dan 514 daerah
kabupaten/kota.
2. Fungsi Balai Besar Diklat sesuai wilayah regional untuk mengkoordinasikan
aspek-aspek perencanaan, penganggaran, Sumber Daya Manusia (SDM)
Penyelenggara Kesejahteraan Sosial dan Kelembagaan Sosial diantaranya
kesesuaian RKP dan RKPD 2020 pada usulan dinas sosial provinsi dan dinas sosial
kab/kota berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, PP No. 18 Tahun
2016 tentang Perangkat Daerah, PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemda, PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal serta perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan.
3. Urusan pendidikan dan latihan (Diklat) untuk Sumber Daya Manusia (SDM)
Pemberi layanan urusan wajib pelayanan dasar yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan
merupakan salah satu aspek pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintah Daerah di dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017.
Balai Besar Diklat yang menangani wilayah regional dari 34 provinsi dan
514 kab/kota menjadi keniscayaan untuk mensinergikan Perencanaan Pusat Dengan
Daerah dengan mempertimbangkan aspek-aspek siklus perencanaan APBN dan
siklus perencanaan APBD, diantaranya:
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyusunan
dokumen perencanaan yang meliputi RPJPD, RPJMD dan RKPD disusun dengan
tahapan persiapan penyusunan, penyusunan rancangan awal, penyusunan
rancangan, pelaksanaan Musrenbang, perumusan rancangan akhir dan penetapan.
2. Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata
Cara Evaluasi Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah & Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) yang ditetapkan melalui Permendagri No. 86 Tahun
2017.
3. Renstra Perangkat Daerah dan Renja Perangkat Daerah disusun dengan tahapan
persiapan penyusunan, penyusunan rancangan awal, penyusunan rancangan,
pelaksanaan forum Perangkat Daerah/lintas Perangkat Daerah, perumusan
rancangan akhir dan penetapan. Persiapan penyusunan RPJMD dengan
penyusunan rancangan keputusan Kepala Daerah tentang pembentukan tim
penyusun RPJMD, orientasi mengenai RPJMD, penyusunan agenda kerja tim
penyusun RPJMD, penyiapan data dan informasi perencanaan pembangunan
Daerah berdasarkan SIPD dan penyusunan rancangan teknokratik RPJMD.
4. RKPD menjadi tolok ukur untuk menilai capaian kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah merealisasikan program dan kegiatan dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Penyusunan RKPD berpedoman pada arah kebijakan

[191]
pembangunan nasional, arah kebijakan pembangunan daerah, tahapan dan tata
cara penyusunan, tahapan dan tata cara penyusunan perubahan, pengendalian
dan evaluasi serta konsistensi perencanaan dan penganggaran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Arah kebijakan pembangunan bidang urusan untuk menjamin sinergitas program
pembangunan nasional dan daerah, penyusunan RKPD 2019 berdasarkan arah
kebijakan pembangunan daerah dengan memperhatikan prioritas dan sasaran
pembangunan nasional. Arah kebijakan pembangunan daerah berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM.
6. Permendagri No. 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2019, belanja daerah
diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan
dasar yang ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), sebagaimana
diatur dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM serta berpedoman pada standar
teknis dan harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
7. Belanja daerah harus mendukung target capaian prioritas pembangunan nasional
tahun 2019 sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah
daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan APBD harus lebih fokus
terhadap kegiatan yang berorientasi produktif dan memiliki manfaat untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pelayanan publik, pertumbuhan
ekonomi daerah.

[192]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
6. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
7. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
8. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
9. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
10. Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
11. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Peraturan
Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah & Rencana Kerja Pemerintah Daerah;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah TA 2019.

[193]
PEDOMAN KEBIJAKAN
BANTUAN SOSIAL BAGI GELANDANGAN & PENGEMIS
MELALUI LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI.

[195]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertemuan dengan Warga Binaan Sosial (WBS) Desaku Menanti Kabupaten
Karangasem Bali dalam rangka pemberian bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
Kemandirian yang diberikan langsung oleh Direktur Rehabilitasi Sosial dan Tuna
Sosial dengan dihadiri oleh Bupati Karangasem Bali, Sekretaris Daerah dan unsur
Dinas Sosial Provinsi Bali, Dinas Sosial Kabupaten Karangasem dan Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) Pemda Kab. Karangasem pada 29 Desember 2018 dengan
bantuan stimulan dengan hasil terbangunnya rumah bagi 50 (lima puluh) keluarga
gepeng dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 16 Pemerintah Pusat dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota berwenang untuk menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam rangka penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pelayanan publik kepada masyarakat miskin dan rentan merupakan amanah
UU No. 11 Tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 melalui rehabilitasi sosial tuna
sosial gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
dengan jenis pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar pada kegiatan Asistensi Sosial
Tuna Sosial (ASTS) melalui LKS.
Dengan dasar perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan
tugas pembantuan dari fisik dan non fisik menjadi berdasarkan kewenangan urusan
pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota, pelayanan publik bagi gepeng
melalui program dan kegiatan “Desaku Menanti” tidak dapat lagi dianggarkan oleh
pemerintah pusat yang menangani urusan pemerintahan bidang sosial dan akibatnya
terjadi “Kekosongan Hukum” dalam melaksanakan kewajiban negara kepada gepeng
yang merupakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan merupakan
“Penduduk miskin dan rentan” untuk mendapatkan hak dan kebutuhan dasar.
Perlu segera menyusun NSPK Peraturan Menteri Sosial tentang bantuan sosial
bagi tuna sosial gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS) sehingga tidak terjadi kekosongan pelayanan publik bagi gepeng yang
merupakan urusan pemerintah bidang sosial dan menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Perlu perubahan alokasi anggaran bantuan sosial bagi tuna sosial gelandangan
dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dari anggaran
dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang
sosial dengan peruntukan bantuan sosial bagi gepeng melalui LKS.

B. Dasar Pedoman
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
wewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan
absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren

[197]
terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang
terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan
Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan
Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan
nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren,
dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan pemerintahan umum. Urusan
pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan
yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang
serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur
sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai kepala
pemerintahan kabupaten/kota.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan terkait
yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan
Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal
dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta
Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan
dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebut dengan urusan
pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan
bersama (konkuren) wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi
antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian
dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang
RPJPD, RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber
pendanaan pada Pasal 175, disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka
pengeluaran jangka menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu,
kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang
berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada
NSPK.
Perencanaan Pembangunan Daerah pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda, Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana
pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan

[198]
pembangunan nasional. Dokumen perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal
263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam rangka untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam
rangka memberi kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

[199]
BAB II
DESKRIPSI MASALAH

A. Dana hibah atau bansos, dilema atau anugerah?


Berdasarkan PP No.2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, adalah pemberian
dengan pengalihan hak atas suatu dari pemerintah atau pihak lain kepada Pemda
atau sebaliknya, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan
melalui perjanjian. Sedangkan Bansos. transfer uang atau barang yang diberikan
pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan
terjadinya risiko sosial (Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Pedoman Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD).
Pasal 34 UUD 1945 Amandemen, bahwa Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh Negara. Rencana pembangunan jangka panjang nasional
diwujudkan dalam visi, misi dan arah pembangunan nasional yang mencerminkan
cita-cita kolektif yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi untuk
mencapainya. Visi merupakan penjabaran cita-cita berbangsa sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu terciptanya masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas serta
berkeadilan.
Salah satu tugas negara adalah menjamin kesejahteraan masyarakatnya dan
melindungi masyarakatnya dari risiko-risiko yang mungkin timbul. Bagaimana
negara melaksanakan hal tersebut?
Tentu saja dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara
yang dialokasikan dengan tujuan spesifik. Khusus untuk penjaminan kesejahteraan
dan perlindungan terhadap risiko sosial, pemerintah memiliki satu pos yang
dinamakan Bantuan Sosial (Bansos) di dalam APBN.
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Pada Kebijakan Bantuan
Sosial Pada Kementerian/Lembaga yang ditujukan kepada Presiden Republik
Indonesia, yang pada intinya menyebutkan bahwa program bantuan sosial yang ada
saat ini memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek
kelembagaan, serta merekomendasikan untuk menghentikan pendanaan bantuan
sosial melalui Kementerian/Lembaga teknis, dan memusatkan belanja bantuan sosial
pada Kementerian Sosial, dan mendesain ulang/menetapkan Grand Design
penyelenggaraan bantuan sosial dalam jangka panjang, menengah dan pendek,
termasuk pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin
(perorangan dan keluarga)”, serta perbaikan peraturan perundangan.
Permendagri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendagri
No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, pada Pasal 6 ayat (5) Hibah
kepada badan dan lembaga diberikan kepada badan dan lembaga yang bersifat yang
telah memiliki surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh Menteri, gubernur
atau bupati/walikota atau kelompok masyarakat sesuai dengan kewenangannya.

[201]
B. Akuntansi Pengeluaran Pemerintah
Tidak ada perluasan definisi tentang belanja bantuan sosial baik yang terdapat
pada PP No. 45/2013, PMK 81/PMK.05/2012, maupun tentang Bultek 10 SAP. Tidak
ada pengaruh langsung atas penambahan frase meningkatkan kemampuan ekonomi
dan/atau kesejahteraan masyarakat pada definisi tersebut terhadap pencatatan/
akuntansi. Perlakuan akuntansi belanja bantuan sosial sudah cukup jelas, yaitu dicatat
debagai realisasi belanja, serta untuk belanja bantuan sosial yang disalurkan dalam
bentuk barang, jika sampai dengan tanggal pelaporan barang tersebut belum
disalurkan kepada penerima maka perlu dicatat sebagai persediaan. Jika terdapat
suatu kegiatan yang dianggarkan di belanja bantuan sosial namun tidak sesuai
dengan kriteria belanja bantuan sosial, yang menjadi masalah apabila sasaran belanja
bantuan sosial yang kurang sesuai dengan kriteria peruntukan belanja bantuan sosial
dapat diminimalisasi dengan Petunjuk Tata Kelola Pelaksanaan Belanja Bantuan
Sosial pada masing-masing Kementerian Negara/Lembaga yang mengacu kepada
PMK No. 81/PMK.05/2012.
Pelaksanaan akuntansi berbasis aktual pada tahun 2015, mempengaruhi
pencatatan beban bantuan sosial pada Laporan Operasional K/L. Dalam hal ini
pencatatan beban perlu disesuaikan jika memang penyaluran belanja bantuan sosial
baik dalam bentuk uang maupun barang ternyata belum diterima oleh penerima
bantuan sampai dengan tanggal pelaporan.
Klasifikasi ekonomi atas pengeluaran pemerintah di APBN juga sangat
penting, maka postur APBN dalam format klasifikasi ekonomi (e-account) menjadi
salah satu hal yang dibahas, bahkan sampai dengan menetapkan berapa seharusnya
belanja modal, belanja bantuan sosial dan sebagainya pada APBN yang dipatok atau
ditetapkan baru kemudian Program dan Kegiatan untuk mencapai output dan
outcome-nya, namun sebaliknya Program dan Kegiatan untuk mencapai output dan
outcome-nya yang ditetapkan terlebih dahulu sehingga penggunaan jenis belanja
dapat dilakukan sesuai dengan definisi dan kriteria masing-masing jenis belanja.
Pemasalahan terkait dengan belanja bantuan sosial itu ada beberapa hal :
1. Tidak konsistennya pengalokasian anggaran dan pelaksanaannya akibat tidak
terpenuhinya kriteria yang ditetapkan dalam suatu jenis belanja, seperti
pengalokasian belanja Bansos yang penerimanya tidak memenuhi kriteria risiko
sosial, atau jenis kegiatan yang relatif sama namun dibebankan pada akun yang
berbeda.
2. Keterlambatan pemanfaatan dana Bansos yang belum disalurkan oleh Lembaga
Penyalur.
3. Keterlambatan penerbitan pedoman umum dan petunjuk teknis pada masing-
masing K/L.
4. Pengadaan barang dan jasa untuk bantuan sosial yang tidak memenuhi
persyaratan. Perlu diperbaiki pengaturan dan pedoman yang bisa ditetapkan oleh
Kemenkeu.
Dalam PMK No. 228/PMK.05/2016 biaya penyaluran bantuan sosial
dialokasikan secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan besaran alokasi
belanja bantuan sosial, jangka waktu penyaluran, jumlah penerima bantuan sosial dan
sebaran wilayah penerima bantuan sosial dan PPK melakukan seleksi dan
pemutakhiran data penerima bantuan sosial atau lembaga nonpemerintah
berdasarkan kriteria/persyaratan yang telah ditetapkan di dalam petunjuk teknis
pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial.

[202]
Penggunaan dari dana bantuan sosial ini ditujukan untuk kegiatan
rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial,
penanggulangan kemiskinan, serta penanggulangan bencana.

[203]
BAB III
PENUTUP

Pelayanan publik kepada masyarakat miskin dan rentan merupakan amanah UU


No. 11 Tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 melalui rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dengan jenis
pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar pada kegiatan Asistensi Sosial Tuna Sosial
(ASTS) melalui LKS.
Dengan dasar perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dari fisik dan non fisik menjadi berdasarkan kewenangan urusan
pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota, pelayanan publik bagi gepeng
melalui program dan kegiatan “Desaku Menanti” tidak dapat lagi dianggarkan oleh
pemerintah pusat yang menangani urusan pemerintahan bidang sosial dan akibatnya
terjadi “Kekosongan Hukum” dalam melaksanakan kewajiban negara kepada gepeng
yang merupakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan merupakan
“Penduduk miskin dan rentan” untuk mendapatkan hak dan kebutuhan dasar.
Perlu segera menyusun NSPK Peraturan menteri Sosial tentang bantuan sosial
bagi tuna sosial gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
sehingga tidak terjadi kekosongan pelayanan publik bagi gepeng yang merupakan
urusan pemerintah bidang sosial dan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Perlu perubahan alokasi anggaran bantuan sosial bagi tuna sosial gelandangan
dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dari anggaran dekonsentrasi
dan tugas pembantuan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial dengan
peruntukan bantuan sosial bagi gepeng melalui LKS.
Penetapan Indikator Kinerja Kunci (IKK) dalam RPJMD bertujuan untuk memberi
gambaran tentang ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi KDH dari sisi
keberhasilan penyelenggaraan Pemda, khususnya dalam memenuhi kinerja pada aspek
kesejahteraan, layanan, dan daya saing.
IKK ditunjukan dari akumulasi pencapaian indikator outcome program
pembangunan daerah setiap tahun atau indikator capaian yang bersifat mandiri setiap
tahun sehingga kondisi kinerja yang diinginkan pada akhir periode RPJMD dapat dicapai
dan secara teknis pada dasarnya dirumuskan dengan mengambil indikator dari program
prioritas yang telah ditetapkan (outcomes) atau kompositnya (impact) dirumuskan
berdasarkan hasil analisis pengaruh dari satu atau lebih indikator capaian kinerja
program (outcome) terhadap tingkat capaian indikator kinerja daerah berkenaan yang
mencerminkan keberhasilan penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. SKPD
menggunakan indikator dalam Lamp. I Permendagri ini yang sesuai tugas dan fungsi
SKPD berkenaan.
Indikator yang telah dikembangkan SKPD secara mandiri berdasarkan hasil
analisis standar kebutuhan pelayanan sesuai tugas dan fungsi SKPD tersebut. Indikator
SDG’s ataupun indikator lain yang telah diratifikasi oleh Pemerintah yang sesuai tugas
dan fungsi SKPD berkenaan. Lebih terjaminnya penyediaan pelayanan publik yang
disediakan oleh Pemda kepada masyarakat.

[205]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;


2. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
3. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
4. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
5. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
6. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan Atas
PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/
Lembaga
7. Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas
Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

[207]
PEDOMAN KEBIJAKAN

PELAKSANAAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR,


STANDAR PELAYANAN, STANDAR PELAYANAN MINIMAL
& NORMA, STANDAR, PROSEDUR, KRITERIA

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[209]
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
PermenPAN & RB No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan,
Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan
(service delivery) dan dibakukan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
meliputi persyaratan, sistem, mekanisme, dan prosedur, jangka waktu pelayanan,
biaya/tarif, produk pelayanan, penanganan pengaduan, saran dan masukan,
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pelayanan publik pada keterkaitan dengan perjanjian kinerja pada Peraturan
Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah yang pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 53 tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata
Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis
perjanjian kinerja, pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi
pemerintah diatur mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja yang merupakan
lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi
kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan
yang disertai dengan indikator kinerja.
Pelayanan publik melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima
amanah dan kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur
tertentu berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia.
Kinerja yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan
tahun bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud
akibat kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan
pemerintahan konkuren.

B. Tujuan Pedoman
Tujuan Undang-Undang tentang pelayanan publik agar terwujudnya batasan
dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan
seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sistem
penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik.
Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

[211]
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Maklumat pelayanan merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan
rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan Sistem informasi
pelayanan publik yaitu rangkaian keglatan yang meliputi penyimpanan dan
pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara
kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam
huruf Braile, bahasa gambar, dan bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun
elektronik.
Standar Pelayanan Minimal, merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh
setiap warga negara secara minimal dan pelayanan dasar merupakan pelayanan
publik untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara dan jenis pelayanan
dasar merupakan jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan jasa
kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara serta mutu
pelayanan dasar merupakan kualitas pemenuhan barang dan jasa kebutuhan dasar
sesuai standar teknis yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara.
Perlu mempertegas definisi, pelaksanaan dan penanggung jawab dalam
pengelolaan pelayanan publik yang berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 dan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Hal-hal yang perlu dimuat dalam Maklumat Pelayanan yaitu pernyataan janji
dan kesanggupan untuk melaksanakan pelayanan sesuai dengan Standar Pelayanan,
pernyataan memberikan pelayanan sesuai dengan kewajiban dan akan melakukan
perbaikan secara terus-menerus, pernyataan kesediaan untuk menerima sanksi,
dan/atau memberikan kompensasi apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai
standar. Maklumat Pelayanan yang telah disusun wajib dipublikasikan secara luas,
jelas, dan terbuka kepada masyarakat, melalui berbagai media yang mudah diakses
oleh masyarakat.
Standar pelayanan merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai
kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang
berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan
pelayanan di internal organisasi (manufacturing) meliputi dasar hukum, sarana dan
prasarana, dan fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, jumlah
pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan,
evaluasi kinerja pelaksana.
Perencanaan Pembangunan Daerah pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda, Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana
pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional. Dokumen perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal
263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian
dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang
RPJPD, RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber
pada Pasal 175, pendanaan disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka
pengeluaran jangka menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu,
kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang

[212]
berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada
NSPK sesuai dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan masyarakat, atau urusan
pilihan yang menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah.
Dalam hal SPM dan NSPK belum tersedia, maka target kinerja disesuaikan
dengan standar biaya kebutuhan pelayanan dan kemampuan Perangkat Daerah.

[213]
BAB II
GAMBARAN UMUM

Belum terbangun sepenuhnya kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang


dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan
seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang
peningkatan pelayanan publik.
Belum sepenuhnya dilakukan upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta tenvujudnya tanggung jawab negara dan korporasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi
pengaturan secara jelas untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan
pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik
serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
pengaturan hukum yang mendukungnya.
Belum sepenuhnya penyelenggara pelayanan publik pada setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk
semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Belum sepenuhnya atasan satuan kerja penyelenggara/pimpinan satuan kerja yang
membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan
publik Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi
Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di
lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Belum sepenuhnya pelaksana pelayanan publik yang merupakan pejabat, pegawai,
petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas
melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Belum sepenuhnya penanggung jawab mengoordinasikan kelancaran
penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan
kerja, melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada
pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit
pelayanan publik.
Amanah belanja Daerah pada Pasal 298 UU 23/2014 tentang Pemda, belum
sepenuhnya diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Pelayanan publik pada keterkaitan dengan perjanjian kinerja pada Peraturan
Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
yang pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian kinerja, pelaporan kinerja
dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah diatur mengenai petunjuk
teknis perjanjian kinerja yang merupakan lembar/dokumen yang berisikan penugasan

[215]
dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah
untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.
Pelayanan publik melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima
amanah dan kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur
tertentu berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia.
Kinerja yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun
bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat
kegiatan tahun-tahun sebelumnya.

[216]
BAB III
PENUTUP

Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan kepentingan umum, kepastian


hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif,
persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu; dan kecepatan, kemudahan,
dan keterjangkauan,
Perlu mempertegas definisi, pelaksanaan dan penanggung jawab dalam
pengelolaan pelayanan publik yang berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 dan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ombudsman yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, walaupun
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik
serta pelayanan administratif yang diatur dalarn peraturan perundang-undangan
Pelayanan atas jasa publik meliputi: a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah,
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, penyediaan jasa publik oleh
suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penyediaan jasa publik
yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah
yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dan
peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik harus memenuhi skala kegiatan yang didasarkan pada ukuran
besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan
pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Ruang lingkup diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Perlu upaya
tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara.
Diperlukan tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan
oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan
berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. Pembina terdiri atas: pimpinan
lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian,
pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya,
gubernur pada tingkat provinsi, bupati pada tingkat kabupaten dan walikota pada
tingkat kota.

[217]
Pembina perlu melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap
pelaksanaan tugas dari penanggung jawab. Pembina kecuali pimpinan lembaga negara
dan pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan
undang-undang, wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pembina diwajibkan melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik
masing-masing kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan menteri. Pembina
wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan gubernur Penanggung jawab
adalah pimpinan kesekretariatan lembaga atau pejabat yang ditunjuk pembina.
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan
masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara
Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya
dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.

[218]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;


2. Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang No.13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
6. Peraturan Menteri PAN dan RB No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar
Pelayanan.

[219]
PEDOMAN KEBIJAKAN

BACKGROUND STUDY RENSTRA 2020-2024


SINKRONISASI PERENCANAAN PUSAT & DAERAH

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[221]
BAB I
PENDAHULUAN

Indikasi pendanaan belanja prioritas K/L dituangkan dalam matriks Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan
dipertajam besaran pendanaan dan distribusi tahunannya dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dengan mempertimbangkan kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi,
struktur dan kewenangan Kementerian/Lembaga, satuan harga, belanja dan transfer
daerah sebagai kelengkapan pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi.
Sasaran yang direncanakan dapat bersifat kumulatif atau tahunan dan matriks
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019
menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/
Lembaga 2015-2019. Belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji,
uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan dalam perencanaan
tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.
Matrik pendanaan yang menjadi target dan sasaran Kementerian Sosial dalam
Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, matriks pendanaan Kementerian Sosial yang
menjadi target dan sasaran selama 5 (lima) tahun yang tidak memiliki Quick Wins dan
Program Lanjutan dapat mencantumkan prioritas bidang program teknis dikaitkan
dengan prioritas bidang.
Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-2024 bertujuan
untuk mengetahui apakah kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang selama
ini dilaksanakan telah sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development goals) yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan ditetapkannya
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian
urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan.
Pengumpulan data dan informasi terkait dengan sasaran strategis, kebijakan,
program, kegiatan. Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan,
pencapaian, dan sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahap ke-1 (2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
ke-2 (2010-2014), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019)
yang ditujukan untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh, menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
Perubahan Organisasi Tata Kerja (OTK) Kementerian Sosial pada Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) yang ditetapkan dengan Permensos

[223]
13/2017 untuk memperkuat verifikasi dan validasi (Verval) data kemiskinan dalam Basis
Data Terpadu (BDT) berdasarkan amanah UU No.13 Tahun 2011 tentang
Penanggulangan Kemiskinan.
Bantuan sosial yang termasuk bentuk perlindungan sosial pada Pasal 19 UU No.11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan amanah peraturan Presiden No.2 tahun
2015 tentang RPJMN 2015/2019 untuk penanggulangan kemiskinan diantaranya adalah
akses penduduk miskin kepada perbankan pada keuangan inklusif yaitu bantuan sosial
non tunai dengan menggunakan kartu elektronik untuk membeli kebutuhan pokok
seperti beras, gula, tepung melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBe) elektronik warung
gotong royong (E-Warong).
Penyusunan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Penanganan Fakir Miskin dibutuhkan
karena amanah dari UUD 1945 Amandemen, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-
2025 dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa ada peran
Pemerintah Daerah dalam penanganan fakir miskin dengan adanya desentralisasi.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan
dengan UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia
didasarkan pada. Pelaksanaan Strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
dibagi ke dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang
tiap tahap memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan
dilaksanakan oleh Pemerintah.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun
2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Nasional, untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada
prioritas pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).

[224]
BAB II
PEMBAHASAN

Diperlukan sebagai dasar adanya dokumen hasil evaluasi program dan kegiatan
di Kementerian Sosial terhadap sembilan agenda (Nawa Cita) merupakan rangkuman
program-program yang tertuang dalam visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang
dijabarkan dalam strategi pembangunan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang terdiri atas empat bagian utama, yaitu i)
Norma Pembangunan; ii) Tiga Dimensi Pembangunan; iii) Kondisi Perlu, agar
pembangunan dapat berlangsung; dan iv) Program-Program Quick Wins. Tiga dimensi
pembangunan dan kondisi perlu dari strategi pembangunan memuat sektor-sektor yang
menjadi prioritas dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2018
berikut ini.
Dokumen sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra Kemensos dari
hasil evaluasi terhadap program dan Kegiatan di Kementerian Sosial pada dimensi
pembangunan manusia yang merupakan penjabaran agenda pembangunan nasional
yang tercantum dalam Nawa Cita, meliputi antara lain peningkatan kualitas hidup
manusia Indonesia, yang telah memperoleh manfaat untuk peningkatan kualitas hidup,
pemerataan antarkelompok pendapatan, dan pengurangan kesenjangan pembangunan
antarwilayah. Program-program dalam dimensi ini merupakan penjabaran Nawa Cita
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Hasil evaluasi terhadap Kebijakan dana transfer ke daerah berdasarkan prioritas
nasional pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun bahwa pengalokasian DAK
Fisik bertujuan untuk membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan
prasarana pelayanan dasar masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan
pencapaian sasaran prioritas nasional.
Dokumen hasil evaluasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN
terhadap Renstra Kemensos 2015-2019 pada Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9 dengan sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Dokumen hasil evaluasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN pada
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah kebijakan
penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan penghidupan
berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar, penguatan
kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Evaluasi terhadap program dan kegiatan di Kementerian Sosial pada prioritas
nasional diantaranya penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial
tepat sasaran; pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan
koperasi. Kegiatan prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan
bantuan sosial tepat sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi
keluarga miskin secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat
(KPM). Bantuan pangan melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target
15.600.000 KPM. Kesejahteraan Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak.
Verifikasi dan Validasi Data dengan target 96.700.000 Jiwa.

[225]
BAB III
ANALISIS MASALAH

Penyusunan Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-


2024 dengan memperhatikan arah kebijakan nasional yang ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, RPJMN 2015-2019 sebagai evaluasi
dari target dan sasaran yang ditetapkan setiap Kementerian/Lembaga dalam matrik
pendanaan dan ketaatan terhadap peraturan Perundang-undangan yang telah ditetapkan
dengan memperhatikan prioritas nasional. Program prioritas dan kegiatan prioritas yang
ditetapkan pada rencana kerja pemerintah dan daerah pada tahun berjalan serta tahun
berikutnya.
Menjadi dasar utama dalam penyusunan Background Study Renstra dalam aspek
perencanaan nasional dan daerah yang telah ditetapkan. UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran
dari penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM
Nasional, memuat program kewilayahan disertai dengan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah yang mengacu pada
RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi, misi, tujuan,
strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi
yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Renja-
SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja K/L
dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Dasar strategi pembangunan nasional dengan membangun tanpa meningkatkan
ketimpangan antar wilayah, memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, membangun dari pinggir dan dari desa, ekonomi harus berorientasi
dan berbasiskan pada sektor dan jenis usaha yang memasukkan nilai tambah sebesar-
besarnya dengan SDM berkualitas, inovasi, kreatifitas dan penerapan teknologi yang
tepat dan pembangunan nasional sebagian besar merupakan hasil agregasi dari
pembangunan daerah yang berkualitas.
Pendekatan alokasi pendanaan berdasarkan alokasi pada prioritas dengan
mengamankan Quick Wins dan program lanjutan, memprioritaskan besaran alokasi pada

[227]
sektor unggulan, kebutuhan dasar dan mengatasi kesenjangan dan alokasi anggaran
sejalan dengan visi-misi Presiden yang diwujudkan dalam Quick Wins dan Program
Lanjutan dengan dasar alokasi adalah baseline APBN 2015 yang diberikan selama 5 tahun,
ruang gerak Prioritas KL dari efektifitas dan efisiensi program dan penambahan alokasi
berdasarkan penugasan Quick Wins dan Program Lanjutan setelah dilakukan re-focusing
serta penambahan lebih lanjut sesuai dengan prioritas dari sektor unggulan, kebutuhan
dasar dan mengatasi kesenjangan.
Meningkatnya kemandirian keluarga miskin dan kelompok rentan dalam
mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya melalui perlindungan sosial yang
komprehensif yaitu Program Keluarga Harapan, Perlindungan Sosial Korban Bencana
Alam dan Sosial, Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, meningkatnya
kemampuan keluarga miskin dan kelompok rentan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kelompok Usaha Bersama dan Usaha Ekonomi
Produktif (KUBe/UEP).

[228]
BAB IV
PENUTUP

Dokumen hasil evalasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra


Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN
terhadap hasil evaluasi terhadap manfaat dan dampak dari alokasi APBN 2018 Nasional
adalah 2.220,7 T dengan rincian belanja Pemerintah Pusat : 1.454,5 T meliputi belanja
Kementerian/Lembanga (K/L) sebanyak 847,4 T, belanja Non K/L sebanyak 607,1 T.
Dana transfer ke daerah dan dana desa sebanyak 766,2 T. Postur anggaran Kementerian
Sosial Tahun 2018, meliputi :
 Sekretariat Jenderal dengan jumlah anggaran 332.315.654.000 (0,80%)
 Inspektorat Jenderal dengan jumlah anggaran 44.088.417.000 (0,11%).
 Ditjen Pemberdayaan Sosial dengan jumlah anggaran 433.823.251.000 (1,05%).
 Ditjen Rehabilitasi Sosial dengan jumlah anggaran 1.006.519.857.000 (2,44%).
 Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial dengan jumlah anggaran 17.671.377.420.000
(42,79).
 Ditjen Penanganan Fakir Miskin dengan jumlah anggaran 21.455.112.967.000
(51,95%).
 Badiklitpensos dengan jumlah anggaran 352.504.520.000 (0,85%).
Jumlah total anggaran Kementerian Sosial adalah 41.295.742.086.000.
Dokumen hasil evaluasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN pada
Prioritas Nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program (PP).
Prioritas Nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program (PP).
Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019 fokus
pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta, perbankan)
untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional dalam RPJMN.

[229]
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan


Nasional;
2. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
4. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
5. Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
6. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
7. Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
8. Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
9. Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
10. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
11. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
12. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
13. Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
14. Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
15. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

[231]
Artikel Kebijakan
PENGUMPULAN DATA & INFORMASI
BACKGROUND STUDY RENSTRA KEMENTERIAN SOSIAL 2020-2024
DI PROVINSI JAMBI
Tanggal 16-19 Oktober 2018
Abstrak
Upaya mewujudkan tujuan negara dilaksanakan melalui proses yang bertahap,
terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menetapkan bahwa visi
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil
dan makmur, salah satu visinya yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan
sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat,
kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat miskin dan
rentan termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-2024 bertujuan
untuk mengetahui apakah kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang selama
ini dilaksanakan telah sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development goals) yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan ditetapkannya
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
Pengumpulan data dan informasi di Provinsi Jambi dengan alat instrumen, fokus
diskusi terbatas (Focuss group discussion)/FGD) dan indeph interview. Instrumen terkait
dengan sasaran strategis/kebijakan/program/kegiatan Kementerian Sosial meliputi
peningkatan keberfungsian sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS),
Rehabilitasi sosial Penyandang Disabilitas, Anak, Lanjut Usia, Korban penyalahgunaan
NAPZA dan Tuna Sosial.
Meningkatnya kemandirian keluarga miskin dan kelompok rentan dalam
mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya melalui perlindungan sosial yang
komprehensif yaitu Program Keluarga Harapan, Perlindungan Sosial Korban Bencana
Alam dan Sosial, Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, meningkatnya
kemampuan keluarga miskin dan kelompok rentan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kelompok Usaha Bersama dan Usaha Ekonomi
Produktif (KUBe/UEP).
Bantuan Pengembangan Sarana Usaha (BPSU), RSRTLH dan Sarling,
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang partisipatif, peran aktif Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) perorangan, peran aktif Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial kelembagaan, peran aktif berbagai pihak dalam pelestarian nilai-nilai
kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan sosial dan restorasi sosial, meningkatnya
kualitas SDM dan lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial, sertifikasi SDM
penyelenggara Kesejahteraan Ssoial, akreditasi lembaga penyelenggara kesejahteraan
sosial.
Secara garis besar pertanyaan instrumen mengarah kepada manfaat/dampak
kebijakan/program/kegiatan terhadap penurunan angka kemsikinan dan peningkatan
kesejahteraan PMKS, serta penggalian aspirasi masyarakat.

[233]
Pendahuluan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam
empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat
rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah
dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai dengan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah
yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi,
misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas
dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif.
Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja
K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

RENSTRA KEMENSOS 2015-2019


Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.

[234]
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang profesional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 terkait dengan
penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran;
pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi. Kegiatan
prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat
sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi keluarga miskin
secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan
pangan melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target 15.600.000 KPM.
Kesejahteraan Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak. Verifikasi dan Validasi
Data dengan target 96.700.000 Jiwa.
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga
(P2K2) dengan target 3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun
2018, meliputi kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD)
dengan target 28.383 Orang. Literasi khusus bagi PD Netra dengan target 35 jenis.
Pemberian alat bantu bagi PD dengan target 3.000 unit. Pemberian rehabilitasi/pelayanan
sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 Orang. Pemberian layanan home care bagi
lanjut usia dengan target 14.910 Orang. Bantuan darurat korban bencana alam dengan
target 92.000 Jiwa. Penyediaan taruna siaga bencana dengan target 34.628 Orang.
Program prioritas pemenuhan kebutuhan dasar tahun 2018, meliputi kegiatan
korban bencana sosial yang mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
137.000 Jiwa. Pembangunan rumah bagi warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan
target 2.099 Keluarga. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan target
10.775 Keluarga. Pengembangan Sistem dan Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan
target 130 Kab/Kota. Sistem Pelayanan Sosial Terpadu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial
(Puskesos) dengan target 260 desa. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/Pekerja Sosial
yang telah mendapatkan sertifikasi dengan target 3.000 Orang. Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS) yang mendapatkan akreditasi dengan target 2.000 LKS.
Program prioritas perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi tahun 2018
dengan kegiatan Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (KUBe)
dengan target 119.020 Orang. Program prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit
tahun 2018 dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS dan target 821
Orang. Program prioritas kepastian hukum dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban
Tindak Kekerasan dan target 750 orang.
Alokasi APBN 2018 Nasional adalah 2.220,7 T dengan rincian belanja Pemerintah
Pusat : 1.454,5 T meliputi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebanyak 847,4 T, belanja
Non K/L sebanyak 607,1 T. Dana transfer ke daerah dan dana desa sebanyak 766,2 T.
Postur anggaran Kementerian Sosial Tahun 2018, meliputi :
 Sekretariat Jenderal dengan jumlah anggaran 332.315.654.000 (0,80%)
 Inspektorat Jenderal dengan jumlah anggaran 44.088.417.000 (0,11%).
 Ditjen Pemberdayaan Sosial dengan jumlah anggaran 433.823.251.000 (1,05%).
 Ditjen Rehabilitasi Sosial dengan jumlah anggaran 1.006.519.857.000 (2,44%).
 Ditjen Perlindungan dan Jamnan Sosial dengan jumlah anggaran 17.671.377.420.000
(42,79).
 Ditjen Penanganan Fakir Miskin dengan jumlah anggaran 21.455.112.967.000 (51,95%).
 Badiklitpensos dengan jumlah anggaran 352.504.520.000 (0,85%).
Jumlah total anggaran Kementerian Sosial adalah 41.295.742.086.000.

[235]
Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program
Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman, peningkatan nilai
tambah ekonomi melalui pertanian, industri, dan jasa produktif, pemantapan ketahanan
energi, pangan dan sumber daya air dan stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan
Pemilu.
Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
Kegiatan prioritas peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat dengan
penguatan germas pengendalian penyakit. Kegiatan prioritas Program prioritas
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Perumahan dan Permukiman Layak dengan
penyediaan akses hunian layak dan terjangkau.
Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca
bancana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha. Kegiatan prioritas kamtibmas dan keamanan siber
dengan penanganan konflik sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan
penanggulangan terorisme.
Kebijakan penganggaran dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya, melalui perencanaan, evaluasi dan analisa program prioritas nasional dalam
rangka penyesuaian antara Renstra, Krisna dan RKA-KL, Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial, kajian pengalokasian anggaran melalui Dana Alokasi Khusus
(DAK), penguatan layanan informasi kepada publik, penguatan SDM pengelola
keuangan, pendampingan pengelolaan dan pelaporan keuangan, penyesuaian SOTK,
penatausahaan aset Kementerian Sosial seluruh Indonesia, dukungan regulasi dalam
pelaksanaan program prioritas nasional di Kementerian Sosial.
Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Sosial dengan
memperkuat pengawasan pelaksanaan program-program prioritas nasional Kemensos,
penguatan kapasitas SDM Auditor, optimalisasi Sistem Manajemen Operasional (SIMOP)
Program Pengawasan.

[236]
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan
pada setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan
fungsi Makam Pahlawan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi
tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah
Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

PENYUSUNAN BACKGROUND STUDY RENSTRA KEMENSOS 2020-2024


Penyusunan dokumen Background Study yang merupakan studi pendahuluan
dalam persiapan penyusunan rancangan teknokratik Rencana Strategis Kementerian
Sosial 2020-2024, Biro Perencanaan Kementerian Sosial melakukan pengumpulan data
dan informasi di 25 provinsi dan terkait permasalahan, peluang, tantangan dan potensi
daerah dalam pelaksanaan Rencana Strategis Kementerian Sosial pada tahun 2015-2019
yang sedang berjalan.
Pengumpulan data dan informasi dilaksanakan pada bulan September-November
2018 melalui wawancara dengan pelaksana dan penerima manfaat program serta
informasi yang digali dari pertemuan Focuss Group Discussion (FGD) di Dinas Sosial
Provinsi atau Dinas Sosial Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Surat Kepala Biro Perencanaan No. 1805/1.1/PR.01.04/09/2018
tanggal 21 September 2018, Hal: Pelaksanaan Field Review dan FGD, pengumpulan dan
dan informasi penyusunan background study Rencana Strategis Kementerian Sosial 2020-
2024, diantaranya di provinsi Jambi pada tanggal 16-19 Oktober 2018 dengan
menugaskan Syauqi dan Lucy Sandra Butar-Butar, JFT Analis Kebijakan Madya Biro
Perencanaan, Kementerian Sosial dan dibantu oleh Irianto dari GIZ.
GIZ bekerja di Indonesia sejak tahun 1975 dan sejak saat itu mempunyai kantor di
Jakarta. Pemberi tugas lainnya antara lain adalah Kementerian Federal Lingkungan
Hidup Jerman, Kementerian Luar Negeri Jerman dan Uni Eropa. Indonesia adalah negara
mitra prioritas dari kerjasama internasional Jerman. Kerjasama teknis dengan Indonesia
dimulai pada tahun 1958. Berdasarkan penugasan oleh Kementerian Federal Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (BMZ),

[237]
Indonesia adalah satu negara transisi. Walaupun sejak tahun 2007 Indonesia
termasuk negara berpenghasilan menengah (middle income country), namun ada
ketimpangan antar wilayah yang sangat besar: Gambaran kota-kota besar dengan pusat
perbelanjaan yang modern sangatlah berkontras dengan daerah-daerah pedesaan yang
masih tertinggal. Indonesia merupakan anggota dari Kelompok 20 Ekonomi Utama (G20)
dari negara-negara maju dan berkembang yang memainkan peran yang terus bertambah
besar. Jakarta sebagai ibukota Indonesia merupakan tempat kedudukan dari Sekretariat
dari Persatuan Negara-Negara Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations,
ASEAN). Berdasarkan bobot regionalnya negara ini merupakan mitra pembangunan
global dari BMZ.
Pada negosiasi antar pemerintah bulan November 2013 dengan pemerintah
Indonesia disetujui untuk mengkonsentrasikan kerjasama pembangunan pada tiga titik
berat:
1. Energi dan perubahan iklim
2. Pertumbuhan inklusif yang dapat menjangkau masyarakat luas
3. Pemerintahan yang baik dan jejaring global
Mitra Indonesia yang resmi adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS). Kantor GIZ di
Jakarta selain itu juga bertugas untuk proyek-proyek regional yang diwujudkan bersama
dengan ASEAN Secretariat.
GIZ membantu Kementerian Sosial diantaranya penyusunan background study
Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-2024.
Pertanyaan instrumen terkait dengan kerangka kebijakan dan regulasi pusat dan
daerah, koordinasi dalam penyusunan regulasi bidang kesejahteraan sosial di daerah,
pemahaman Daerah terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial,
kebutuhan regulasi di daerah dalam mendukung penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
proses pembuatan kebijakan, kesesuaian Renstra Pusat dan Daerah, visi, misi, tujuan dan
arah kebijakan, mendorong pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) ke dalam kehidupan yang layak (mandiri), meningkatkan kualitas pemberdayaan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), tersedianya data PMKS secara terpadi
(By Name By Adress).
Meningkatnya jangkauan dan mutu pemberdayaan PMKS dengan memperkuat
sinergi provinsi dan kab/kota sesuai dengan PP No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan
Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, dengan fungsi Gubernur
meliputi:
 Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat mempunyai tugas mengoordinasikan pembinaan dan
pengawasan, tugas pembantuan di daerah kab/kota, melakukan monitoring, luasi,
dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kab/kota yang ada
di wilayahnya, membina dan memfasilitasi daerah kab/kota di wilayah
provinsinya.
 Melakukan peraturan evaluasi terhadap rancangan daerah kab/kota tentang
rencana jangka panjang daerah, rencana pembangunan jangka menengah daerah,
anggaran dan belanja daerah, perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah,
anggaran pendapatan belanja daerah, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi
daerah;
 Melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota; dan tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. alam melaksanakan
tugas gubernur sebagai wakil mempunyai wewenang: membatalkan peraturan

[238]
bupati/wali kota; memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota
terkait dengan penyelenggaraan daerah, dalam fungsi pemerintahan antar daerah
kab/kota daerah provinsi;
Kesesuaian Renstra Dinas Sosial Provinsi dan Kab/Kota dengan dokumen RPJMD
masing-masing, implementasi program di daerah terkait dengan data terpadu, penentuan
kriteria penerima manfaat program PKH, Rastra, BPNT adalah data dari Basis Data
Terpadu (BDT). Jika masuk dalam data BDT maka berhak untuk mendapatkan semua
program tersebut. Sedangkan untuk program rehabilitasi sosial lebih kepada data hasil
penjangkauan yang dilakukan di kab/kota. Mekanisme verivali dalam rangka updating
data penerima manfaat yang dilakukan Dinas Sosial. Musyawarah Kelurahan dan
Musyawarah Desa sudah dilaksanakan sebagai langkah awal veri-vali data penerima
manfaat. Hak ini wajib dilakukan agar semua masyarakat yang berhak mendapatkan
bantuan bisa terdata. Mekanisme pendaftaran mandiri bagi calon penerima manfaat
melalui layanan terpadu. Mekanisme pendaftaran mandiri bagi calon penerima manfaat
melalui layanan kesejahteraan sosial terpadu satu pintu. Mekanisme pendaftaran
dilakukan oleh Dinas Sosial.

Analisis
Kebijakan dana transfer ke daerah berdasarkan prioritas nasional pada Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun bahwa pengalokasian DAK Fisik bertujuan untuk
membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas
nasional.
DAK Reguler dialokasikan kepada daerah provinsi/kabupaten/kota berdasarkan
usulan daerah kepada kementerian negara/lembaga yang menjadi prioritas nasional.
Besaran alokasi DAK Reguler dihitung berdasarkan usulan daerah dan data teknis,
dengan memperhatikan prioritas nasional, dan kemampuan keuangan negara.
DAK Penugasan dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus dalam rangka
pencapaian sasaran prioritas nasional dengan menu terbatas dan lokus yang ditentukan.
Besaran alokasi DAK Penugasan untuk masing-masing daerah dihitung berdasarkan
usulan daerah dan data teknis, dengan memperhatikan prioritas nasional dan
kemampuan keuangan negara.
DAK Afirmasi dialokasikan untuk daerah kabupaten/kota yang termasuk kategori
daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal, daerah kepulauan, dan/atau
daerah transmigrasi. Kabupaten/kota daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah
kepulauan, dan daerah transmigrasi ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Besaran alokasi DAK Afirmasi masing-masing daerah dihitung berdasarkan usulan
daerah dan data teknis dengan memperhatikan karakteristik daerah dan kemampuan
keuangan negara. Penetapan pagu DAK Reguler per bidang didasarkan pada kebutuhan
daerah dan pencapaian prioritas nasional.

PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL


Kondisi yang diharapkan berdasarkan dampak dan manfaat program kesejahteraan
social. Diharapkan setelah PMKS tersebut direhabilitasi maka fungsi sosial mereka dapat
kembali lagi melalui peran serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Program Perlindungan
Jaminan Sosial yang telah dilaksanakan diharapkan adanya peningkatan terhadap akses

[239]
layanan dasar kesehatan dan pendidikan yang mampu bersinergi dengan program-
program kesejahteraan sosial lainnya. Kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi
melalui Rastra/BPNT/PKH dan pengembangan usaha ekonomi produktif, sehingga
diharapkan terjadi graduasi dan jumlah penerima manfaat menurun. Keterlibatan PSKS
(TKSK,PSM, KT, LKS) diprogram kesos dapat meningkatkan partisipasi sosial dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Program Rehabilitasi Sosial Anak, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, Napza,
Tuna Sosial dan lainnya. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial yang meliputi
bantuan sosial, penanganan bencana, dan program daerah. Program Penanganan Fakir
Miskin yang meliputi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Beras Sejahtera (Rastra),
Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Perorangan (UEP), Rehabilitasi Sosial
Tidak Layak Huni (RSTLH)/Sarana Lingkungan (Sarling), Bantuan Pengembangan
Sarana Usaha (BPSU) dan program lainnya.
Penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sudah tergraduasi. Penerima
bantuan KUBe dan UEP yang sudah mampu untuk berwirausaha dan bisa merevitalisasi
usaha tersebut. Manfaat program diantaranya program Penangan Fakir Miskin (PFM)
diantaranya kondisi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di daerah dalam
kurun waktu 2015-2018.
Faktor penyebab utama kemiskinan di Provinsi Jambi dilihat dari dimensi ekonomi,
kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya
keterampilan dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan.
Potensi daerah yang bisa didorong dalam pengentasan kemiskinan di Provinsi
Jambi dengan sumber daya alam yang dapat dikembangkan dan dimaksimalkan
pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat banyak
Program Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT), penguatan
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), perorangan, kelembagaan, penataan dan
pembinaan SDM dan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) serta program di daerah yang
terkait.
Kontribusi program kesejahteraan sosial terhadap penurunan kemiskinan di daerah
cukup terasa melalui program PKH dan Bantuan Pangan Non Tunai yang memberikan
kontribusi signifikan. Ketahanan ekonomi warga miskin menjadi kuat, dan warga miskin
mampu memenuhi dan mengelola kebutuhannya. Selain itu juga program padat karya,
jaminan kesehatan semesta sekaligus mendorong pembangunan SDM sehingga mampu
menurunkan tingkat pengangguran dan peningkatan pendapatan.
Monitoring hanya pada proses pemberian bantuan, apakah sudah sampai pada
penerima manfaat dan sesuai dengan kualitas dan jumlah yang telah ditentukan. Hasil
monitoring ditindaklanjuti langsung di lapangan melalui pendamping dan Dinas Sosial
Kab/Kota.
Mekanisme penanganan pengaduan layanan kesos melalui SLRT dan SP4N.
Pengaduan dari Puskesos yang berada di desa/kelurahan, dilanjutkan ke kecamatan
melalui tim koordinasi kecamatan. Dari tim koordinasi kecamatan kemudian ke
supervisor kabupaten untuk memeriksa pengaduan tersebut. Apabila Pengaduan tidak
bisa diselesaikan tingkat kabupaten maka dibawa ke tim teknis provinsi. Apabila tidak
bisa diselesaikan di tim teknis provinsi maka diselesaikan oleh tim pusat Kementerian.

[240]
PEMAHAMAN REGULASI
Beberapa regulasi yang menjadi dasar perencanaan pembangunan daerah, diantaranya:
 Permendagri Nomor 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah Tahun 2019.
 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
 PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
 PP Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
 PP Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah.
 PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata cara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Perkembangan PSKS Lembaga (LKS) dan PSKS Perorangan (SDM Kesejahteraan


Sosial)
Pemahaman mengenai Permensos Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional
Lembaga Kesejahteraan Sosial, dalam Permensos tersebut dijelaskan standar LKS
mencangkup Standar kelembagaan, Standar Organisasi dan Manajemen, Standar
Program, Standar Sumber Daya, Standar Kemitraan dan Standar Pelayanan.
Permensos 09/2018 tentang standar teknis pelayanan dasar pada standar pelayanan
minimal bidang sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah Daerah
mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional. Setiap Panti Sosial
harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja Sosial Profesional. Setiap Pusat
Kesejahteraan Sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Relawan Sosial
Relawan Sosial terdiri dari Pekerja Sosial Masyarakat; Karang Taruna; Tenaga
pelopor perdamaian; Taruna Siaga Bencana (TAGANA); Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK); Wanita pemimpin kesejahteraan sosial; Kader rehabilitasi berbasis
masyarakat; Kader rehabilitasi berbasis keluarga; dan/atau Penyuluh sosial masyarakat
Tantangan kedepan dan rekomendasi di daerah terkait dengan kebutuhan SDM dan
LKS Kesejahteraan Sosial dalam mendukung penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Peningkatan dan pengembangan kapasitas SDM dan LKS yang memenuhi
kriteria/standar pelayanan sosial. Monitoring dan evaluasi pelayanan sosial yang
dilakukan LKS di daerah. Peningkatan dan pengembangan kapasitas SDM dan LKS yang
memenuhi kriteria/standar pelayanan sosial. Monitoring dan evaluasi pelayanan sosial
yang dilakukan LKS di daerah.

PERUBAHAN KEBIJAKAN
Transformasi bantuan sosial (Bansos) dari beras miskin (Raskin) menjadi beras
sejahtera (Rastra) dan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dengan sasaran
Keluarga Penerima Manfaat (KPM) atau yang sebelumnya disebut Keluarga Sangat
Miskin (KSM).
Perubahan Organisasi Tata Kerja (OTK) Kementerian Sosial pada Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) yang ditetapkan dengan Permensos
13/2017 untuk memperkuat verifikasi dan validasi (Verval) data kemiskinan dalam Basis

[241]
Data Terpadu (BDT) berdasarkan amanah UU No. 13 Tahun 2011 tentang
Penanggulangan Kemiskinan.
Bantuan sosial yang termasuk bentuk perlindungan sosial pada Pasal 19 UU No.11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan amanah peraturan Presiden No. 2 tahun
2015 tentang RPJMN 2015/2019 untuk penanggulangan kemiskinan diantaranya adalah
akses penduduk miskin kepada perbankan pada keuangan inklusif yaitu bantuan sosial
non tunai dengan menggunakan kartu elektronik untuk membeli kebutuhan pokok
seperti beras, gula, tepung melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBe) elektronik warung
gotong royong (E-Warong).

KESESUAIAN IKU DENGAN IKK PENANGANAN FAKIR MISKIN


Penyusunan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Penanganan Fakir Miskin dibutuhkan
karena amanah dari UUD 1945 Amandemen, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-
2025 dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa ada peran
Pemerintah Daerah dalam penanganan fakir miskin dengan adanya desentralisasi.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan turunannya berupa
Peraturan Pemerintan (PP) mengenai Urusan Konkuren dan Evaluasi Kinerja Pemerintah
Daerah, menyebutkan bahwa adanya pembagian peran dan kewenangan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah,
Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;

Bantuan Sosial (Bansos) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT dalam Cost Benefit
Analysis (CBA) dan Regulatory Impact Assesment (RIA)

Cost Benefit Analisis (CBA)


Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai ? Unit pelayanan
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap, efektifitas tetap
diinginkann memecahkan masaah
Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan Kriteria miskin
dengan merata kepada kelompok2 yang
berbeda
Responsifitas Apakah kebijakan memuaskan kebutuhan, Konsistensi dengan verifikasi dan
preferensi, atau nilai kelompok-kelompok validasi data terpadu Penanganan
tertentu Fakir Miskin (DT-PFM).
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar- Program public harus merata dan
benar berguna atau bernilai efisien

[242]
Inventarisir permasalahan dan rekomendasi dalam program Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT) :
1. Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan kemiskinan, dan untuk
memastikan seluruh penduduk memperoleh akses terhadap sumber penghidupan
yang produktif diantaranya dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan pemerataan
pembangunan dan penurunan kemiskinan dengan mempertajam program-program
khusus untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), melalui
ketepatan sasaran penerima, fokus, dan lokus kegiatan dukungan data terkini melalui
pemutakhiran dan validasi secara berkala.
2. Penguatan peran kelembagaan sosial dengan mengintegrasikan program-program
penanggulangan kemiskinan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke dalam
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga
desa/kelurahan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksana asistensi sosial,
melalui penguatan fungsi pendampingan dan penjangkauan oleh SDM kesejahteraan
sosial serta pengembangan kapasitas pengelolaan data. Pusat rujukan dan pelayanan
ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan, penjangkauan, serta pelaporan dan
penanganan keluhan.
3. Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan
akuntabilitas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan.
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian
pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan
dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan
sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan
pemutakhiran data secara berkala.

ASSESMENT
 Pemberian layanan kepada KPM dengan memperhatikan kearifan lokal dan
berdasarkan Assesment (Pengungkapan dan Pemahaman masalah).
 Pengungkapan dan pemahaman masalah merupakan kegiatan mengumpulkan,
menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi, dan sumber yang
dapat dimanfaatkan dalam pemberian pelayanan..
 Kegiatan pengungkapan dan pemahaman masalah terdiri atas: persiapan;
pengumpulan data dan informasi; analisis; dan temu bahas permasalahan.
 Kegiatan persiapan merupakan upaya membangun hubungan antara pemberi
pelayanan dan penerima pelayanan.
 Kegiatan pengumpulan data dan informasi merupakan upaya untuk mendapatkan
data dan informasi penerima pelayanan.
 Kegiatan analisis merupakan kegiatan interpretasi data dan informasi guna
menemukan masalah dan kebutuhan penerima pelayanan.
 Kegiatan temu bahas kasus merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi masalah dan
mengetahui kebutuhan penerima pelayanan.

Indikator Partisipasi Masyarakat


Oakley (1991: 9) memberi pemahaman tentang konsep partisipasi, dengan
mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok, yaitu Partisipasi sebagai kontribusi;

[243]
Partisipasi sebagai organisasi; dan Partisipasi sebagai pemberdayaan. Dimensi Kontribusi
Masyarakat, Dimensi Pengorganisasian Masyarakat, dan Dimensi Pemberdayaan
Masyarakat.

Cost Benefit Analysis (CBA):


Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai ? Unit pelayanan
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan Biaya tetap, efektifitas tetap
memecahkan masalah
Pemerataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan Kriteria peningkatan kualitas hidup;
merata kepada masyarakat lokal ikut berperan kriteria kemiskinan; kriteria lain untuk
sesuai dengan kemampuan, misalkan membantu pengukuran.
mencetak batako, membangun akses jalan, dst.
Responsifitas Apakah kebijakan pembangunan yang dilakukan Konsistensi dengan survei warga
memberikan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal untuk Need
masyarakat lokal, misalkan adanya bantuan untuk Assesment; tehnik penelitian
akses permodalan usaha rumah makan, akses Partisipatory Rural Appraisal (PRA).
kebutuhan dasar masyarakat di sekitar proyek
pembangunan.
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar Program publik harus merata dan
berguna atau bernilai efisien. Peran dan tanggung jawab
dari masyarakat lokal sekitar proyek
pembangunan

Pertimbangan Rekomendasi
1. Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan,
mengarahkan pengarusutamaan pengurangan kemiskinan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Institusi koordinasi penanggulangan kemiskinan tersebut dipimpin
langsung oleh kepala pemerintahan (presiden, gubernur, bupati/walikota) dengan
anggota unsur pemerintahan dan perwakilan lembaga non-pemerintah;
2. Meningkatkan sosialisasi program tidak terlepas dari belum adanya petunjuk yang
mengatur kegiatan tersebut. Kegiatan sosialisasi dijalankan secara tidak terstruktur,
tanpa ada rancangan yang jelas apa saja aspek yang perlu disampaikan, kapan
sosialisasi perlu dilakukan, pada tingkatan mana saja sosialisasi perlu dilakukan,
bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, dan target
kegiatan sosialisasi. Sosialiasi program dilakukan sebagai bagian dari peluncuran
program semata dan belum ditujukan sebagai sarana edukasi intensif bagi pemangku
kepentingan program. Kegiatan sosialisasi program tersebut diharapkan mampu
memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini
kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat.
3. Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan.
4. Perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping PKH
atau hasil perekrutan baru.
5. Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program.

[244]
Masukan Kepala Dinas sosial Provinsi pada pelaksanaan BPNT, diantaranya:
 Kewenangan provinsi mesti jelas karena sesuai peraturan perundangan, fungsi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, perluasan jangkauan dari kota ke
kabupaten diperlukan peran provinsi.
 Masalah mesin EDC, agar diganti yang lebih kuat
 Ada pendamping e-warong, perlu dilatih tentang bisnis dan perlu analisa kebutuhan
masyarakat
 Perlu ada sarana komputer dan ada kemauan/kesadaran dari KPM untuk belajar
bisnis, misalkan ada 1300 jenis barang dan ada pangsa pasar perlu adanya sistim
barkot.
 E-Warong di Kota, diberi 10 juta untuk e-warong dan isinya 20 juta. Di Pesisir, 35 juta
dan perlu ada pelatihan dan punya jiwa visioner/kemajuan. Pendamping dikuatkan.

Regulatory Impact Analysis (RIA)


 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan
Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas.
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang
lebih luas terhadap layanan keuangan.
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin, banyak wilayah desa yang masuk topologi pesisir menjadi
wilayah pesisir.
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan Jumlah Keluarga
Penerima Manfaat (KPM),
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin;

[245]
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT BANTUAN SOSIAL
UU 11/2009 Pasal 14 Bantuan sosial (Bansos) sebagai bagian dari perlindungan sosial.
UU 13 / 2011 Penanganan Fakir Miskin pada ketentuan umum, definisi Fakir Miskin adalah
Definisi Umum orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
PP 63/2013 Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah;
Perpres 2/2015 tentang Tingginya tingkat ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama
RPJMN 2015-2019, pada ini. Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Sasaran (output) adalah
Arah Kebijakan meningkatnya peluang kerja dan berusaha bagi penduduk kurang mampu, akses
Penanggulangan usaha mikro dan kecil terhadap kesempatan pengembangan keterampilan,
Kemiskinan, pendampingan, modal usaha, dan memberikan dampak bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan mencukupi kebutuhan Keluarga Penerima
Manfaat (KPM) melalui akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan
melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan
pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan bank
penyalur.
PP 76/2015 pada Pasal Perubahan atas PP 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
11A ayat (3) Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Pedoman
Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu.
Pertimbangan lainnya bahwa, terjadi perluasan ruang lingkup definisi Bansos yang mencakup
diantaranya hasil Kajian rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial dan penanganan
Komisi Pemberantasan kemiskinan dalam Bultek 10 Tahun 2010 yang berbeda dengan definisi
Korupsi (KPK) Tahun 2014 bansos dalam pasal 14 pada UU No. 11 Tahun 2009 yang menggolongkan
tentang Pengelolaan Dana bantuan sosial (Bansos) sebagai bagian dari perlindungan sosial
Bantuan Sosial Tahun 2013 .
Surat Pimpinan Komisi Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial memiliki kelemahan dalam kebijakan
Pemberantasan Korupsi terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan, termasuk pembangunan Basis
(KPK) nomor B-748/01- Data Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan keluarga).
10/03/2014 tanggal 20 Rekomendasi KPK agar Bansos hanya dikelola oleh Kementerian Sosial.
maret 2014 Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh
Pemerintah kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi
masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan
ekonomi dan/atau kesejahteraaan masyarakat. Risiko sosial adalah kejadian atau
peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang
ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai
dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana
alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan
tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.

Deskripsi Masalah
 Dampak dari lampiran bidang sosial pada UU 23/2014 bahwa selain Sub-Urusan
Rehabilitasi Sosial dengan pelayanan utama rehabilitasi sosial korban Narkotika dan
Penggunaan Zat Adiktif lainnya (Napza) dan orang dengan HIV-AIDS, menjadi
urusan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Alih fungsi panti sebagai dampak UU 23/2014 tentang pemda pada lampiran bidang
sosial bahwa selain sub urusan HIV/AIDS dan korban NAPZA menjadi urusan
bersama dengan kata lain ada urusan provinsi untuk rehabilitasi sosial dalam panti
dan Kab/Kota rehabilitasi sosial diluar panti. Ada 5 (lima) panti yang dialihfungsikan
menjadi panti korban NAPZA dan panti HIV/AIDS. Alih Fungsi Panti melaksanakan
rehabilitasi sosial kepada orang dengan HIV, meliputi: Panti Kahuripan di Sukabumi

[246]
(Permensos 15/2016), Panti Margo Laras di Pati (Permensos 16/2016), Panti Bahagia di
Medan (Permensos 17/2016), Panti Satria di Baturaden (permensos 18/2016), Panti
Wasana Bahagia di Ternate (Permensos 19/2016). Berdasarkan Surat A.n Sekretaris
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 115/RS-Set.RS/KS.02/02/2017 tanggal
22 Februari 2017, hal: rapat koordinasi bidang organisasi dan ketatalaksanaan internal
terkait penyusunan draf uraian tugas 4 (empat) UPT Alih Fungsi dan 1 (satu) UPT
baru dibentuk.
 Bansos untuk perluasan jangkauan perlindungan sosial yang komprehensif dan
pelayanan dasar kepada penduduk miskin 40%kebawah dan 10% sangat miskin dari
penduduk Indonesia melalui pengintegrasian Program keluarga Harapan (PKH)
dengan Bansos pada penyandang disabilitas yaitu Asistensi Sosial Penyandang
Disabilitas Berat (ASPDB) dan lanjut usia telantar yaitu Asistensi Lanjut Usia Telantar
(ASLUT).
 Bansos non tunai dengan target tahun 2018 pada 10 juta Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) pada program BPNT dan PKH melalui KUBe PKH dan non PKH.
 Dampak dari UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda, anggaran pusat (Kemensos) ke
daerah provinsi melalui dekonsentrasi yang sebelumnya ditetapkan berdasarkan PP
No.7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (TP) akan direfisi PP-
nya berdasarkan Urusan Konkuren (Bersama) antara Pusat,Provinsi,Kab/Kota dan
berdasarkan urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM).
 Kebijakan otonomi daerah dengan perubahan regulasi dan ditetapkannya UU 23/204
dengan regulasi PP turunannya berdampak pada penyesuaian Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) dan Beban Kerja Urusan Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan
Kab/Kota yang ditindaklanjuti oleh Kementrian Teknis (Kementrian Sosial) dengan
menetapkan Permensos No.13 tahun 2016 tentang beban kerja di Dinas Sosial Provinsi
dan Kab/Kota dan Permensos No.14 Tahun 2016 tentang pedoman nomenkratur
Dinas Sosial Provinsi Kab/Kota.
 Dampak lain dari UU 23/2014 turunannya yaitu Rancangan PP tentang urusan
konkuren dan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang menyebabkan anggaran tidak boleh lagi dianggarkan oleh pusat juga
dianggarkan oleh provinsi Kab/Kota tetapi anggaran terhadap suatu urusan hanya
dilakukan oleh APBN yang urusannya menjadi kewenangan pusat dan APBD Provinsi
yang menjadi kewenangan Provinsi serta APBD Kab/Kota yang menjadi kewenangan
Kab/Kota, sehingga alternatif Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang sosial pada setiap
Sub-Urusan yang akan dilimpahkan ke daerah Provinsi dan Kab/Kota misalkan Sub-
Urusan Rehabilitasi Sosial di dalam panti yang menjadi urusan provinsi dan diluar
panti yang menjadi kewenangan Kab/Kota untuk Rehabilitasi Sosial Anak Telantar,
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, gelandangan dan pengemis.

Rekomendasi
Umum (bersifat Administrasi), meliputi :
1. Penyelarasan Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah di Kementerian Sosial.
Perlu penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi
yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

[247]
2. Menyusun Perjanjian Kinerja
3. Mempertimbangkan perubahan nomenklatur pada Organisasi Tata kerja
Kementerian Sosial RI berdasarkan Permensos 20/2015 dan Perubahan Nomenklatur
di Pusdatin Kesos dengan direvisi menjadi Permensos 14/2017.
Pada RKP dan RENJA K/L tahun 2018, proses perencanaan dan penganggaran telah
terintegrasi dalam Sistem Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA). Selain itu, telah dibangun sistem Kerangka Regulasi Nasional (KARINA)
yang telah terintegrasi dan merupakan bagian dari sistem KRISNA. Berdasarkan
rangkaian pertemuan multilateral, bilateral dan trilateral yang telah dilaksanakan,
telah teridentifikasi kebutuhan regulasi untuk mendukung prioritas nasional dalam
RKP 2018.

Pelayanan Publik (bersifat substansi), meliputi:


 Untuk penerapan SPM dan urusan Konkuren di Provinsi, perlu dipertimbangkan dan
dirumuskan bagi Provinsi yang tidak mempunyai panti untuk bekerjasama dengan
daerah lain yang juga tidak mempunyai panti dengan dasar PP tentang kerjasama
daerah .
 Dampak lain dari UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda, pada turunannya yaitu PP
No.12 tahun 2017 tentang pembinaan dan pengawasan (Binwas) terhadap Pemda,
mengamanatkan Menteri Teknis (diantaranya Menteri Sosial) sebagai Pembina teknis
daerah melakukan Binwas kepada urusan sosial di daerah provinsi dan Kab/Kota
dengan melakukan audit kinerja terhadap penerapan SPM dan konkuren.
 Dampak lain dari UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda, pada turunannya yaitu RPP
tentang pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda mengamanatkan menteri teknis sebagai
Pembina teknis daerah melakukan audit kinerja pada urusan bidang sosial dengan
melihat kesesuaian indikator kinerja daerah (IKD)/Indokator kinerja kunci (IKK) dalam
dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) yaitu RPJMD (lima tahunan), RKPD
(satu tahunan) dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (RPPD) dengan target
yang dicapai.
 Penyusunan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial dilakukan untuk setiap
indikator SPM Bidang Sosial oleh Unit Teknis di Kementerian Sosial yang tugas pokok
dan fungsinya bagian program (Perencanaan) dengan meng-exercise setiap indikator
SPM bidang sosial didalam dan diluar panti yang akan menjadi DAK dan dibahas
dengan Bappenas, Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan dan Dewan
pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD).
 Kementerian Sosial menyusun Standar Teknis dari setiap Urusan Konkuren dan SPM
Bidang Sosial yang dilakukan oleh Unit Teknis Di Kementerian Sosial yang tugas
pokoknya dibidang hukum bersama Biro Hukum Kementerian Sosial dengan
menyusun Norma, Standar, prosedur, kriteria (NSPK) dari setiap indikator urusan
konkuren dan SPM bidang sosial
 Amanah dari peraturan Perundang-undangan diantaranya UU No. 8 tahun 2016
tentang penyandang disabilitas, UU tentang sistem peradilan pidana anak (SPPA)
untuk segera disusun turunannya berupa peraturan pemerintah.
 Amanah dari Perpres 75/2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RAN-HAM) untuk penerapannya sampai dengan tahun 2019.
 Pelaksanaan Sustainable Defelopment (SDG’s) yang ditindaklanjuti oleh pemerintah
dalam bentuk Perpres 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan

[248]
Berkelanjutan, bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development
Goals, yang merupakan tujuan dan sasaran global tahun 2016 sampai tahun 2030
tujuannya diantaranya mengakhiri segala bentuk kemiskinan dimanapun, sasaran
globalnya masyarakat miskin dan rentan memiliki hak yang sama terhadap sumber
daya ekonomi, serta akses terhadap pelayanan dasar.
 Pelaksanaan dan implementasi dari Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2017 tentang
Bantuan Sosial Non Tunai.
 Sumber Daya Manusia (SDM) penyelenggara Kesejahteraan Sosial, yang perlu
dilakukan penelitian oleh Puslitbangkesos Kementerian Sosial mengenai kebutuhan
akan Pekerja Sosial ASN PNS di daerah provinsi dan Kab/Kota dalam melaksanakan
urusan bidang sosial, dilakukan juga penelitian akan sertifikasi pekerja sosial ASN
PNS di Pemda Provinsi dan Kab/Kota serta akreditasi lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS).
 Perlu segera dilakukan penelitian terhadap kompetensi ASN PNS bidang sosial di
daerah provinsi dan kab/Kota untuk jabatan Kepala Bidang rehabilitasi Sosial,
Pemberdayaan Sosial, Penanganan Fakir Miskin, Perlindungan dan jaminan sosial
serta kepala seksi rehabilitasi sosial anak telantar, lanjut usia, penyandang disabilitas,
gelandangan dan pengemis dan kasih bencana alam dan sosial, sebagai penanggung
jawab dari pelaksanaan penerapan urusan konkuren dan SPM Bidang Sosial.
 Hal lain sebagai pertimbangan dari analisis adalah beberapa perubahan penting RPP
tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan
Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada
pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
 Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas-
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP
kepada daerah harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan
oleh Mendagri (Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang
ditugaspembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya).
 Usulan untuk Indikator Kinerja Kunci (IKK) Bidang Sosial pada Sub Bidang
Penanganan Fakir Miskin (PFM), dengan adanya pembagian kewenangan adanya
peran Pemerintah Daerah dalam peanganan fakir miskin melalui bantuan sosial
(Bansos).

[249]
INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK) PENANGANAN FAKIR MISKIN
Usulan Cara Perhitungan IKK PFM, yaitu:
N= Konstanta Persentase (%) dari Jumlah Pembilang dibagi Jumlah Penyebut.
Pembilang adalah: Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) yang diverifikasi dan validasi (Verval) dalam Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin (DT-PFM) yang telah mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos) dengan Sumber Dana
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Pusat atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).
Penyebut adalah: Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) yang telah diverifikasi dan validasi dalam Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
(DT-PFM) yang Seharusnya mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos) dengan Sumber Dana
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Pusat atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).

PUSAT
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang telah mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN Pusat
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN
Pusat/APBD Provinsi/APBD Kab/Kota.

PROVINSI
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang belum terfasilitasi APBN Pusat sehingga difasilitasi mendapatkan
Bansos dengan Sumber Dana APBD Provinsi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APB
Pusat atau APBD Provinsi.

KABUPATEN/KOTA
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang belum terfasilitasi APBN Pusat/APBD Provinsi sehingga difasilitasi
mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBD Kab/Kota
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN
Pusat/APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota.

[250]
Rekomendasi
1. Sesuai dengan amanat RPJMN 2015-2019 dan mempertimbangkan tingginya tingkat
ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama ini. Program Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT), Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan
berusaha bagi penduduk kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap
kesempatan pengembangan keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan
memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kemampuan mencukupi
kebutuhan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui akses yang lebih luas
terhadap layanan keuangan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan
hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerja
sama dengan bank penyalur.
2. Mempertimbangkan Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial
Non Tunai, bahwa bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi,
efektifitas, transparansi dan akuntabilitas.
3. Menyusun dan membahas Indikator Kinerja Kunsi (IKK) Bidang Sosial
Berdasarkan Urusan Konkuren dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
4. Pengintegrasian Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai dasar dari Penyusunan
Anggaran di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sebagai dasar sinergi
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dengan Perencanaan Pembangunan
Daerah (PPD).
5. Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka penyusunan
sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar Pelayanan Minimal
(SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di daerah sesuai
dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah.
7. Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci (outcome)
dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output. Indikator
outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari beberapa
kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan kab/kota,
memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa dibandingkan antar
provinsi dan kabupaten/kota;
8. Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;
9. Merumuskan dan menyusun satuan nilai perubahan indikator outcome dapat berupa
nilai absolut atau persentase perubahan outcome setiap tahun;
10. Mempertimbangkan Peraturan yang mengatur Bansos APBN

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional;
 Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

[251]
 Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan;
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Pembagunan Daerah, Tata cara Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019;

[252]
PEDOMAN KEBIJAKAN

REVIEW INSTRUMEN EVALUASI BANTUAN SOSIAL


KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBe)

BIRO PERENCANAAN, KEMENTERIAN SOSIAL RI

TAHUN 2019

[253]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemiskinan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan perbatasan antar negara
disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya
alam yang tersedia, serta belum tersedianya infrastruktur, seperti: sarana transportasi,
listrik dan sarana lainnya. Faktor penyebab kemiskinan tersebut, mengakibatkan
ketertinggalan masyarakat dalam mengelola berbagai program usaha ekonomi.
Padahal di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil dan pesisir ini memiliki potensi
sumber daya alam yang bernilai ekonomis cukup besar seperti hutan, tambang dan
mineral, serta perikanan dan kelautan yang luas. Kemampuan sumber daya manusia
yang terbatas dalam mengelola sumber daya ekonomi dan keterbatasan ketersediaan
infrastruktur yang tersedia seperti transportasi, jalan, penerangan dan sekolah turut
berkontribusi membuat harga-harga kebutuhan pokok tidak
mampu dipenuhi oleh
masyarakat di wilayah
pesisir, pulau-pulau kecil
dan perbatasan.
Belum teratasinya
masalah kemiskinan di
wilayah pesisir, pulau-
pulau kecil dan
perbatasan antar negara
mendorong pemikiran
akan perlunya suatu
strategi baru dalam hal
penanganan kemiskinan
yang lebih menyentuh
pada akar
permasalahannya serta
memerlukan adanya
keterpaduan antara Gambar 1. Kondisi Kemiskinan di Indonesia
kebijakan dan program
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah wilayah, serta
dukungan dari sektor swasta. Kementerian Sosial melihat permasalahan kemiskinan
di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar Negara tidak hanya
bertumpu pada kebutuhan infrastruktur seperti jalan, transportasi, listrik akan tetapi
juga permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin adalah akses pada
pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, pendidikan, perumahan,
kesehatan termasuk kesempatan berusaha dan akses permodalan. Apabila tidak ada
penanganan bagi masyarakat miskin khususnya fakir miskin yang bermukim di
wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara, maka mereka sangat
rentan mengalami resiko sosial yang pada akhirnya mengalami kegagalan memenuhi
kebutuhan hidup.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin membawa perubahan dalam melihat permasalahan kemiskinan dari
perspektif wilayah dimana kelompok masyarakat miskin bermukim dan melakukan

[255]
aktivitas sosial ekonominya. Berdasarkan hal ini, Kementerian Sosial melakukan
perubahan kebijakan struktur organisasi dimana dalam organisasi itu dibuatkan satu
unit kerja yang khusus menangani kemiskinan khususnya fakir miskin yakni
Direktorat Jenderal Penangan Fakir Miskin. Dalam mengimplementasikan program
penanganan fakir miskin ini Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin
mempunyai 3 (tiga) satuan kerja teknis penanganan fakir miskin yang berbasis
karakteristik wilayah yakni (1) Penanganan Fakir Miskin Perdesaan, (2) Penanganan
Fakir Miskin Perkotaan, dan (3) Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
Dan Perbatasan Antar Negara. Dari tiga satuan kerja penanganan fakir miskin
dimaksud, Penanganan Fakir Miskin Pesisir Pulau-Pulau Kecil Dan Perbatasan Antar
Negara merupakan wilayah yang memiliki kondisi geografis dengan keterbatasan
infrastruktur dan juga ketertinggalan dari berbagai pembangunan.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011,
upaya penanganan fakir miskin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan
melalui:
1. Penyediaan sumber mata pencaharian di bidang perikanan dan sumber daya laut
2. Bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil usaha
3. Penguatan lembaga dan organisasi masyarakat pesisir dan nelayan
4. Pemeliharaan daya dukung serta mutu lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil
5. Peningkatan keamanan berusaha dan pengamanan sumber daya kelautan dan
pesisir.
Jika merujuk pada pasal 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011, bahwa
penanganan fakir miskin di wilayah perbatasan antar negara dilakukan melalui:
1. Penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan,
perikanan, dan kerajinan
2. Bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, perikanan,
dan kerajinan
3. Peningkatan pembangunan sarana dan prasarana;
4. Penguatan kelembagaan dan pemerintahan
5. Pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya
6. Menjamin keamanan wilayah perbatasan serta pengamanan sumber daya lokal
7. Peningkatan daya tahan budaya lokal
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa penanganan kemiskinan ini tidak
mungkin hanya ditangani atau dilaksanakan oleh satu atau dua
kementerian/lembaga, akan tetapi melibatkan berbagai kementerian/lembaga
termasuk pemerintah daerah sebagai pelaku utama. Kementerian Sosial dalam
penanganan fakir miskin ini mengambil peran teknis untuk memberikan akses
pemberian Bantuan Sosial untuk penguatan permodalan usaha dan juga penguatan
kelembagaan masyarakat dalam penanganan kemiskinan khususnya fakir miskin,
memfasilitasi perbaikan rumah melalui rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
serta sarana prasarana lingkungan.
Sebagai awal kelahiran Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir Pulau-Pulau
Kecil dan Perbatasan Antar Negara telah menetapkan kebijakan program-program
strategis dalam penanganan fakir miskin di wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil dan
Perbatasan Antar Negara yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian Bantuan Sosial

[256]
Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
(Rutilahu) serta Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling).
Pemberian Bantuan Sosial Usaha Ekonomi Produktif (UEP) ini dimaksudkan
untuk memberikan stimulan kepada fakir miskin dalam memulai usaha ekonomi
keluarga sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga. Disamping program
peningkatan ekonomi keluarga, program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
(Rutilahu) juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas tempat tinggal fakir
miskin menjadi layak huni baik sisi kesehatan, sosial dan kenyamanan keluarga.
Adapun pengembangan Sarana Prasarana Lingkungan bertujuan untuk
mengembalikan keberfungsian sosial dan meningkatkan kualitas tempat tinggal fakir
miskin melalui perbaikan kondisi rumah dan/atau Sarana Prasarana Lingkungan baik
secara menyeluruh maupun sebagian dengan menggunakan semangat kebersamaan,
kegotongroyongan, dan nilai kesetiakawanan sosial masyarakat.
Sejak dibentuknya Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau
Kecil dan Perbatasan Antar Negara pada tahun 2016, telah dilakukan program-
program penanganan fakir miskin melalui pendekatan Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) dengan program Bantuan Sosial UEP (Usaha Ekonomi Produktif)
dan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-Rutilahu) serta Sarana
Prasarana Lingkungan (Sarling). Program Bantuan Sosial Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) pada tahun 2016 dan 2017 telah diberikan kepada 35.000 KPM yang tersebar di
30 Provinsi, 63 Kabupaten, 132 Kecamatan, 328 Desa. Jenis usaha yang dilaksanakan
oleh penerima manfaat pada umumnya berkaitan dengan mata pencaharian pokok
masyarakat di lingkungan sekitarnya seperti pertanian, peternakan,
perdagangan/jasa, perikanan, dan lain-lain. Bantuan Sosial Usaha Ekonomi Produktif
(UEP) yang diberikan per KPM sejumlah Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) yang
peruntukkannya sesuai dengan proposal yang diajukan oleh penerima manfaat.
Sementara program Rutilahu telah diberikan kepada 1.980 KPM yang tersebar di 30
Provinsi, 63 Kabupaten. Jenis bantuan yang diberikan meliputi perbaikan atap rumah,
lantai, dinding, dan MCK. Adapun jumlah Bantuan Sosial Rutilahu yang diberikan
perkeluarga penerima manfaat sejumlah Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
yang peruntukannya sesuai dengan proposal yang diajukan oleh penerima manfaat
bantuan. Sedangkan dalam pengembangan Sarana Prasarana Lingkungan sejumlah
Rp. 50.000.000,00.
Program-program tersebut masih berkelanjutan di tahun 2018. Sehingga untuk
memperluas jangkauan pelayanan, efisiensi dan efektifitas dalam pembinaan dan
monitoring penanganan fakir miskin di Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir,
Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara, maka digunakan pendekatan
Kelompok Usaha Bersama (KUBe) sebagai kelanjutan dari Usaha Ekonomi Produktif
(UEP). Jumlah Bantuan Sosial KUBe yang diterima oleh KPM sejumlah Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk wilayah pesisir, dan Rp.
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk wilayah Pulau-pulau Kecil (PPK) dan Perbatasan
Antar Negara (PAN).
Bantuan Sosial KUBe dilaksanakan secara berkelompok dengan paling sedikit 5
(lima) kepala keluarga penerima manfaat (KPM) dan paling banyak 15 (lima belas)
kepala keluarga penerima manfaat (KPM). Kemudian per 5 s/d 15 kepala KPM
dikelompokkan menjadi Kelompok Usaha Bersama (KUBe) berdasarkan lokasi yang
berdekatan dengan memiliki jenis usaha yang sama. KUBe berfungsi menggerakkan
keswadayaan, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota, wadah pembinaan
sosial, ekonomi dan budaya.

[257]
Adapun jumlah bantuan Rutilahu sejumlah Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah) untuk wilayah pesisir, dan Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk
wilayah Pulau-pulau Kecil (PPK) dan Perbatasan Antar Negara (PAN) yang telah
dituangkan dalam rincian anggaran biaya dan dilaporkan dengan melampirkan bukti
pembelian/faktur bahan bangunan.
Sedangkan, Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling) diprioritaskan diberikan di
lokasi program Rehabilitasi Sosial Rutilahu, dan merupakan tanah yang berfungsi
sebagai fasilitas sosial dan umum/tanah bengkok/tanah hibah atau wakaf; status
tanah tidak dalam sengketa; serta belum pernah mendapat Bantuan Sosial Sarling.
Penetapan penerima manfaat dilakukan berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT)
Penanganan Fakir Miskin yang sudah diidentifikasi secara berjenjang mulai dari
Dinas Sosial Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa yang bermitra dengan TKSK atau
pendamping untuk mendapatkan bantuan sesuai dengan sasaran. BDT Penanganan
Fakir Miskin yang dikelola Kementerian Sosial RI tertuang dalam Kepmensos
No.32/HUK/2016 tentang Penetapan Data Terpadu Program Penanganan Fakir
Miskin.
Penanganan fakir miskin membutuhkan kerja sama dan jalinan kemitraan dari
berbagai pihak dimulai dari alokasi anggaran, koordinasi, kemitraan dll sehingga
dapat memberikan pola-pola penanganan yang inovatif, kreatif dan efisien. Dalam
pelaksanaan penanganan fakir miskin dengan program-program yang strategis
seperti: Bantuan Sosial KUBe, Rutilahu dan Sarling di wilayah pesisir, pulau-pulau
kecil dan perbatasan antar negara membutuhkan panduan teknis sebagai acuan
dalam pelaksanaan di daerahnya. Maka Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir,
Pulau-pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara membuat buku ini sebagai panduan
bagi semua pihak yang terlibat dalam penanganan fakir miskin, sehingga dalam
implementasinya dapat bersinergi dan berkoordinasi dengan baik.

B. Pengertian
1. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan
dirinya dan/atau keluarganya.
2. Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam
bentuk kebijakan, program dan program pemberdayaan, pendampingan, serta
fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
3. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan
warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya.
4. Penanganan Fakir Miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam
bentuk kebijakan, program, kagiatan pemberdayaan, pendampingan, serta
fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
5. Bantuan Sosial adalah upaya yang dilakukan agar seseorang, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan
sosial dapat tetap hidup secara wajar.
6. Usaha Ekonomi Produktif yang selanjutnya disingkat dengan UEP adalah
Bantuan Sosial yang diberikan kepada kelompok usaha bersama untuk
meningkatkan pendapatan keluarga.

[258]
7. Kelompok Usaha Bersama yang selanjutnya disebut KUBe adalah kelompok
keluarga miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas prakarsanya dalam
melaksanakan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan
keluarga.
8. Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disebut Rutilahu adalah tempat
tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial.
9. Rehabilitasi Sosial Rutilahu adalah proses mengembalikan keberfungsian sosial
fakir miskin melalui upaya memperbaiki kondisi Rutilahu baik sebagian maupun
seluruhnya yang dilakukan secara gotong royong agar tercipta kondisi rumah
yang layak sebagai tempat tinggal.
10. Kelompok Rutilahu adalah himpunan penerima manfaat bantuan yang terdiri
dari 5 sampai dengan 10 kepala keluarga sebagai salah satu pendekatan dalam
pelaksanaan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni agar masing-masing
anggota dapat saling membantu, berbagi sumber daya sehingga tujuan program
dapat tercapai.
11. Sarana Prasarana Lingkungan yang selanjutnya disebut Sarling adalah fasilitas
umum yang dibangun secara gotong royong untuk mendukung lingkungan
tempat tinggal atau hunian guna meningkatkan kualitas kehidupan.
12. Kemitraan usaha adalah jalinan kerjasama yang setara antar perorangan,
kelompok, organisasi yang memiliki komitmen untuk bekerjasama saling
menguntungkan sehingga Kelompok Usaha Bersama dapat mencapai tujuan
yang diharapkan.
13. Pendamping Sosial adalah seseorang yang memiliki kompetensi dibidang usaha
kesejahteraan sosial dan kewirausahaan.
14. Pendamping KUBe adalah seseorang yang ditugaskan untuk mendampingi
pelaksanaan KUBe agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
15. Koordinator Pendamping adalah orang yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan tugas para pendamping KUBe di wilayah dampingannya dan
melaksanakan pendampingan terhadap bantuan Rutilahu dan Sarling di wilayah
dampingannya.
16. Pendampingan Sosial adalah suatu proses menjalin relasi sosial antara
pendamping dengan penerima bantuan dan masyarakat sekitarnya dalam rangka
memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai
sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, serta meningkatkan
akses anggota terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas
pelayanan publik lainnya.
17. Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) adalah simpanan uang dari sebagian hasil
keuntungan Kelompok Usaha Bersama yang digunakan untuk kepentingan sosial
kelompok dalam bentuk santunan bagi anggota yang mengalami musibah.
18. Dana Hibah Dalam Negeri Dalam Bentuk Uang yang diterima langsung
Kementerian Sosial adalah Dana yang berasal dari masyarakat secara langsung
oleh Kementerian Sosial diperuntukkan bagi kepentingan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial
19. Rekening Bank Penerima manfaat bantuan adalah rekening keuangan
pencatatan transaksi yang dibuat dan diberikan kepada calon penerima manfaat
bantuan individu maupun kelompok.
20. Bantuan Sosial adalah bantuan berupa uang, barang, atau jasa kepada fakir
miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari kemungkinan
terjadinya resiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/atau
kesejahteraan masyarakat.
21. Pengelola program di Kabupaten adalah pejabat Dinas Sosial Kabupaten yang
ditunjuk oleh Kepala Dinas Sosial Kabupaten sebanyak 2 orang untuk melakukan

[259]
program penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar
negara yang dialokasikan dari dana Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir,
Pulau-Pulau Kecil Dan Perbatasan Antar Negara, Kementerian Sosial RI.

C. Tujuan
Tujuan buku Petunjuk Teknis Bantuan Sosial KUBe dan RS Rutilahu serta Sarana
Prasarana Lingkungan (Sarling) yaitu :
1. Sebagai dasar dan arah bagi semua unsur yang terlibat dalam pelaksanaan
program-program strategis penanganan fakir miskin.
2. Terciptanya kesamaan persepsi diantara Pemerintah Pusat (Kementerian/
Lembaga) maupun Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dalam
pelaksanaan program-program strategis dalam penanganan fakir miskin pesisir,
pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara.
3. Terwujudnya sinergitas antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha,
perguruan tinggi, organisasi sosial masyarakat dalam pelaksanaan program-
program strategis penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil dan
perbatasan antar negara seperti Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta Sarling.

D. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, tentang Batas Wilayah Negara;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya
Penanganan Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah;
8. Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan;
9. Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
10. Inpres Nomor 7 Tahun 2014, tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga
Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat, untuk
Membangun Keluarga Produktif;
11. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Sosial;
12. Peraturan Menteri Sosial RI NO 25 Tahun 2015 tentang Kelompok Usaha Bersama
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK/254/PMK.05/2015 tentang Belanja
Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga;

[260]
14. PMK Nomor 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan Atas PMK
No.254/PMK.05/2015, tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian
Negara/Lembaga;
15. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 146/Huk/2013 tentang Penetapan Kriteria
dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu;
16. Kepmensos No.32/HUK/2016 tentang Penetapan Data Terpadu PPFM.
17. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 150/Huk/2016 tentang Penetapan Wilayah
Kerja Direktorat Penanganan Fakir Miskin Perdesaan, Direktorat Penanganan
Fakir Miskin Perkotaan serta Direktorat penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-
Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara.

E. Sasaran
Sasaran pengguna buku Petunjuk Teknis Bantuan Sosial Kelompok Usaha Bersama
(KUBe), dan RS-Rutilahu serta Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling), ini adalah :
1. Kementerian Sosial RI
2. Dinas Sosial Provinsi
3. Dinas Sosial Kabupaten
4. Para Pendamping
5. K/L terkait

[261]
BAB II
KEBIJAKAN TEKNIS, PRINSIP DAN KEWENANGAN

A. Kebijakan Teknis
1. Peningkatan akses fakir miskin terhadap sumber daya sosial ekonomi
2. Perlindungan hak-hak dasar fakir miskin
3. Peningkatan prakarsa dan peran aktif warga masyarakat dalam penanganan fakir
miskin
4. Peningkatan kualitas manajemen penanganan fakir miskin

B. Prinsip Pelaksanaan
1. Akuntabel, yaitu semua program yang dilakukan harus sesuai dengan syarat dan
ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI dan dapat dipertanggung-
jawabkan.
2. Transparan, yaitu semua program pengelolaan pemberian bantuan bagi fakir
miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara
dilakukan secara keterbukaan dan mudah diakses.
3. Berbasis masyarakat, yaitu penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil
dan perbatasan antar negara dilakukan berdasarkan potensi dan sumber yang ada
dengan keterlibatan masyarakat setempat.
4. Obyektivitas, yaitu penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil dan
perbatasan antar negara dilakukan dengan memegang teguh prinsip keadilan,
jujur dan tidak diskriminatif.
5. Konsisten, yaitu penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil
dan perbatasan antar negara dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan
yang telah ditetapkan.
6. Parsitipatif, yaitu penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil dan
perbatasan antar negara dilakukan dengan melibatkan berbagai lapisan dan
semua komponen masyarakat.
7. Keterpaduan, yaitu penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil dan
perbatasan antar negara dilaksanakan secara sinergis dengan berbagai program
lintas sektor yang saling mendukung dan melengkapi.
8. Kemandirian, yaitu pengembangan program program diarahkan pada
peningkatan kemampuan swakelola dan swadana penanganan fakir miskin
pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara secara sinergis.
9. Kemitraan, yaitu penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil
dan perbatasan antar negara diselenggarakan dengan cara membangun hubungan
kerjasama yang saling menguntungkan baik secara internal maupun eksternal,
berkolaborasi dan koordinasi pada tingkat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
dengan pihak terkait.
10. Keberlanjutan, yaitu dalam pelaksanaan program atau program penanganan fakir
miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara harus
mampu menumbuhkan kesadaran dan semangat dalam memanfaatkan,

[263]
memelihara, melestarikan, menguatkan dan mengembangkan hasil yang dicapai
secara terus menerus.

C. Kewenangan
Pembagian tugas dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah
dalam pelaksanaan program pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta
Sarling di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara adalah
sebagai berikut:
1. Kementerian Sosial :
a. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe, dan Rutilahu
serta Sarling.
b. Mengalokasikan anggaran Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta Sarling.
c. Menyiapkan buku pedoman teknis pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe, dan
Rutilahu serta Sarling.
d. Menetapkan kabupaten yang menjadi lokasi penerima manfaat bantuan
stimulant dalam penanganan fakir miskin wilayah pesisir, pulau-pulau kecil
dan perbatasan antar negara.
e. Melakukan penjajakan lokasi, verifikasi dan pemetaan kebutuhan bersama
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten.
f. Menetapkan penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe, dan Rutilahu serta
Sarling.
g. Melakukan seleksi dan penetapan pendamping sosial.
h. Melaksanakan sosialisasi program.
i. Melaksanakan penguatan kapasitas pendamping.
j. Melaksanakan bimbingan teknis penerima manfaat bantuan.
k. Menyediakan honor atau insentif pendamping.
l. Menyalurkan dana Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta Sarling, serta
dana operasional kabupaten.
m. Melaksanakan program supervisi, monitoring dan evaluasi.
n. Menyusun Rancangan Anggaran Biaya (RAB) untuk dana operasional
kabupaten.
5. Dinas Sosial Provinsi :
a. Memberikan rekomendasi atas usulan Dinas Sosial Kabupaten tentang
pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta Sarling.
b. Mendampingi petugas pusat dalam pelaksanaan program penanganan fakir
miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara.
c. Melaporkan hasil-hasil program yang sudah dilaksanakan di daerahnya.
6. Dinas Sosial Kabupaten :
a. Melaksanakan verifikasi dan validasi data yang bersumber dari Basis Data
Terpadu (BDT) untuk calon penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe dan
Rutilahu serta Sarling.

[264]
b. Mengusulkan calon penerima manfaat bantuan yang dilengkapi dengan by
name by address, dan by needs, calon penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe
dan Rutilahu serta Sarling.
c. Bertanggung jawab terhadap kebenaran data penerima manfaat bantuan yang
telah diusulkan kepada Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-
pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan, dengan melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak.
d. Melakukan bimbingan teknis kepada penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe
dan Rutilahu serta Sarling.
e. Melakukan program monitoring, evaluasi dan pelaporan.
f. Menyampaikan laporan pertanggung-jawaban dana operasional dan
pelaksanaan program penanganan fakir miskin kepada Direktur Penanganan
Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara. Laporan
yang dikirimkan dengan melampirkan bukti-bukti pengeluaran dana
operasional program.
g. Menyampaikan laporan pelaksanaan dan pemanfaatan Bantuan Sosial KUBe
dan Rutilahu serta Sarling kepada Menteri Sosial cq. Direktorat Penanganan
Fakir Miskin Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara.

[265]
BAB III
MEKANISME PELAKSANAAN

A. Prosedur Pengusulan Bantuan Sosial


Proses pengusulan Bantuan Sosial untuk penanganan fakir miskin di wilayah
pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara dilakukan secara berjenjang
dimulai dari kabupaten.
Sebelum kabupaten melakukan usulan kepada Direktorat Penanganan Fakir
Miskin Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara terlebih dahulu
dilakukan verifikasi data calon penerima manfaat bantuan pada tingkat desa dengan
data yang bersumber dari BDT. Adapun prosedur pengusulan Bantuan Sosial KUBe
dan Rutilahu dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2: Prosedur Pengusulan Bantuan Sosial KUBE dan RUTILAHU

[267]
B. Tahapan Program
1. Persiapan Program
Persiapan dilaksanakan oleh Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten. Tahapan
persiapan program meliputi:
a. Identifikasi dan Seleksi
Identifikasi dan Seleksi adalah program untuk memastikan calon penerima
manfaat Bantuan Sosial KUBe, dan Rutilahu serta Sarling.
b. Orientasi dan Observasi
Orientasi dan Observasi adalah program berupa pengamatan secara umum
untuk mengetahui potensi dan sumber daya yang tersedia yang dapat
dimanfaatkan untuk mendukung program Bantuan Sosial KUBe, dan
Rutilahu.
c. Bimbingan Sosial Dasar
Bimbingan Sosial Dasar adalah suatu program untuk memberikan motivasi,
pengetahuan dan keterampilan kepada calon penerima manfaat bantuan, agar
memiliki kesiapan untuk memanfaatkan pengelolaan Bantuan Sosial KUBe
dan Rutilahu.

2. Pelaksanaan Program
Untuk melaksanakan program Penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil
dan perbatasan antar negara ini dilakukan berbagai tahapan program sebagai
berikut:
a. Rapat Koordinasi (Rakor) Penetapan Lokasi
Tindak lanjut dari penetapan lokasi Kabupaten untuk sasaran penanganan
fakir miskin dilakukan program rapat koordinasi penanganan fakir miskin di
wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara. Peserta dalam
Rapat Koordinasi ini adalah Kementerian Sosial RI, Dinas Sosial Provinsi, dan
Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Tujuan dari Rapat Koordinasi adalah untuk
menetapkan finalisasi lokasi program yang meliputi Kecamatan dan Desa
berdasarkan alokasi penerima manfaat bantuan yang ditetapkan, misalnya
untuk 1 (satu) Kabupaten 2 (dua) Kecamatan dan setiap Kecamatan paling
banyak 4 (empat) Desa.
b. Rapat Koordinasi (Rakor) Teknis
Tujuannya adalah menyamakan persepsi terhadap pelaksanaan program
Direktorat dalam kurun waktu 1 (satu) tahun ke depan.
c. Seleksi Pendamping
Pendamping merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan program
penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan
antar negara. Hal ini dikarenakan melalui peran mereka, keberhasilan
program penanganan fakir miskin dapat tercapai. Oleh karena itu, agar
memperoleh pendamping yang professional, kompeten dan memiliki
kemampuan serta kualitas yang memadai maka Direktorat Penanganan Fakir
Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara melakukan
seleksi pendamping. Pendamping Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu yang

[268]
lulus seleksi lebih diutamakan berasal dari wilayah setempat, karena dapat
mengetahui keadaan dan kehidupan penerima manfaat bantuan.

d. Pemantapan Pendamping
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para
pendamping, maka dilakukan pemantapan yang terkait dengan materi
diantaranya: hak dan kewajiban serta tugas-tugas pendampingan yang harus
dilaksanakan.

e. Penjajakan Lokasi
Penjajakan lokasi bertujuan untuk:
a. Memastikan data calon penerima manfaat bantuan yang telah dikirim oleh
Dinas Sosial Kabupaten kepada Direktorat Penanganan Fakir Miskin
Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara berdasarkan hasil
kesepakatan pada Rapat Koordinasi Teknis yang telah dilaksanakan yang
meliputi: kecamatan, desa dan target sasarannya.
b. Untuk mengetahui dukungan dan kesiapan Dinas Sosial Kabupaten.
c. Untuk mengetahui potensi dan sumber daya yang bisa dikembangkan.

f. Penetapan Penerima Manfaat


Setelah melaksanakan penjajakan lokasi, selanjutnya menetapkan Penerima
Manfaat Sosial berdasarkan Surat Keputusan Direktur Penanganan Fakir
Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara sesuai form
terlampir, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Sudah tersedia data penerima manfaat pada Dinas Sosial Kabupaten sesuai
dengan kriteria yang ada pada BDT (Lampiran 2)
b. Pendamping melakukan verifikasi terhadap data BDT dan melaporkan
hasilnya ke Dinas Sosial Kabupaten (Lampiran 3)
c. Dinas Sosial Kabupaten melaporkan hasil verifikasi pendamping ke
Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan 2
Perbatasan Antar Negara (Lampiran 4).
d. Tim Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan
Perbatasan Antar Negara melakukan penjajakan calon penerima manfaat
Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu.
e. Berdasarkan hasil penjajakan, selanjutnya Direktorat Penanganan Fakir
Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara
menetapkan Surat Keputusan Penerima Manfaat Bantuan Sosial KUBe dan
Rutilahu yang selanjutnya dibuatkan pengajuan Surat Perintah Membayar
atau Surat Perintah Pencairan Dana ke KPPN.

g. Forum Group Discussion (FGD) / Diskusi Fokus Terpadu


Program ini untuk membangun sinergitas dan keterpaduan di tingkat
kabupaten dalam upaya penanganan fakir miskin melalui program-program
strategis Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan

[269]
Perbatasan Antar Negara secara berkelanjutan khususnya dalam pengelolaan
Bantuan Sosial KUBe yang dilaksanakan oleh penerima manfaat secara
berkelanjutan. Dan program lainnya adalah peningkatan kualitas perbaikan
Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), serta pemberdayaan lingkungan sekitar
dengan program Sarana Prasarana Lingkungan. Program ini fasilitasi Dinas
Sosial yang menghadirkan pejabat dari SKPD seperti Bappeda, Dinas
Kesehatan, Pendidikan, Dukcapil, PMD, Peternakan, Perikanan/Kelautan, PU,
Pertanian, Camat dan Kepala Desa yang menjadi lokasi program. Berikut
keterlibatan SKPD dalam penanganan fakir miskin di daerah dapat dilihat
pada gambar 7 di bawah ini:

h. Bimbingan Teknis Penerima Manfaat


a. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penerima
manfaat bantuan maka diberikan bimbingan teknis yang berkaitan dengan
usaha yang akan dikelola.
b. Pengembangan usaha melalui bimbingan teknis ini dilaksanakan dengan
menggali sumber dan potensi yang dimiliki oleh penerima manfaat
bantuan dan juga ketersediaan sumber daya yang ada di lingkungannya.
c. Pelaksanaan bimbingan teknis difasilitasi oleh Direktorat Penanganan
Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara
selama 1 hari, dan bimbingan teknis selanjutnya dilaksanakan oleh
pendamping secara berkala sesuai dengan jumlah dampingannya.
d. Pelaksanaan bimbingan teknis ini dilakukan dengan melibatkan Dinas
terkait di kabupaten yang relevan dengan pengelolaan usaha yang dipilih
dan dikembangkan oleh penerima manfaat bantuan, seperti Dinas Sosial,
Dinas Peternakan, Dinas Perindustrian, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan
dan Kelautan.

i. Penyaluran Bantuan
a. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan
Perbatasan Antar Negara menetapkan nama-nama Penerima Manfaat
KUBe dan Rutilahu serta Sarling melalui SK Direktur selaku KPA sebagai
dasar pembukaan rekening dan penerbitan Surat Perintah Membayar
(SPM).
b. Kementerian Keuangan melalui KPPN mentransfer dana Bantuan Sosial
berdasarkan SP2D ke rekening penampungan.
c. Atas perintah Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara, Bank penyalur mentransfer dana Bantuan
Sosial ke rekening penerima manfaat sesuai dengan pagu bantuan.
Selanjutnya Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara memberitahukan Dinas Sosial Kabupaten
bahwa dana bantuan telah masuk ke rekening penerima manfaat.
d. Penerima manfaat mencairkan dan memanfaatkan dana bantuan yang
difasilitasi oleh pendamping. Setelah penerima manfaat
membelanjakan/menggunakan dana bantuan, pendamping melaporkan
secara berkala ke Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau

[270]
Kecil dan Perbatasan Antar Negara dengan dilampiri bukti-bukti
pembelanjaan.

J. Monitoring dan Evaluasi


a. Monitoring dilaksanakan oleh Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-
Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara yang difasilitasi oleh Dinas Sosial
Provinsi dan Kabupaten. Program monitoring ini ditujukan agar proses
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
b. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan dari program-program
yang sudah dilaksanakan. Evaluasi program-program Direktorat Penanganan
Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara melibatkan
Dinas Sosial Provinsi, Dinas Sosial Kabupaten, dan pendamping secara bersama-
sama, baik melalui APBN maupun APBD.

Gambar 3. Monitoring ke Penerima Bantuan di Kabupaten Lombok Barat

K. Pelaporan
a. Pelaporan dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban penerima manfaat
terhadap pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta Sarling.
b. Pelaporan dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kabupaten ke Direktorat Penanganan
Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara secara
berjenjang.

[271]
BAB IV
BANTUAN SOSIAL KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBe)

A. Tujuan
Tujuan pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe yaitu memberdayakan masyarakat
miskin, mengembangkan pelayanan sosial, meningkatkan pendapatan, kapasitas
individu, dan kemampuan berusaha anggota kelompoknya sehingga mampu
memenuhi kebutuhannya secara mandiri serta meningkatkan kesetiakawanan sosial.

B. Pembentukan KUBe
1. KUBe dibentuk dengan kriteria:
a. Mempunyai potensi, kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan
usaha bersama
b. Mempunyai jenis usaha dan tinggal di wilayah desa/kelurahan dalam
kecamatan yang sama
c. Mempunyai keterbatasan akses terhadap pasar, modal, dan usaha
2. Jumlah anggota KUBe paling sedikit 5 (lima) kepala keluarga dan paling banyak
15 (lima belas) kepala keluarga
3. KUBe memiliki struktur organisasi yang terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara,
dan anggota
4. Kepengurusan KUBe dipilih berdasarkan hasil musyawarah/keputusan anggota
kelompok
5. Termasuk dalam kriteria miskin, terpencil, dan/atau rentan sosial ekonomi.
6. Penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe harus memenuhi syarat, yaitu:
a. Fakir miskin yang terdaftar di Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin pada
Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kessos), Kementerian
Sosial RI.
b. Fakir miskin yang sudah maupun belum pernah mendapatkan bantuan lain
dari pemerintah seperti PKH, KIS, KIP, Rastra maupun KKS.
c. Sebagai Kepala Keluarga dan/atau pencari nafkah utama dalam keluarga.
d. Berdomisili tetap dan memiliki identitas diri.
e. Usia 18 sampai dengan 60 tahun dan/atau sudah menikah dan masih
produktif.
f. Memiliki keinginan berusaha, memiliki potensi dan keterampilan dalam
melaksanakan Bantuan Sosial KUBe.
g. Belum pernah mendapatkan Bantuan Sosial usaha.
h. Memiliki surat keterangan tidak mampu dari kelurahan/desa/nama lain yang
sejenis atau pemegang kartu penerima Bantuan Sosial.

[273]
7. Keanggotaan KUBe berakhir apabila:
a. Telah meninggal dunia
b. Mengundurkan diri
c. Tidak aktif secara permanen
d. Pindah ke kecamatan lain
e. Tidak menaati aturan dalam kelompok
f. Sakit permanen
g. Melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap
Proses pergantian anggota KUBe dilakukan secara musyawarah yang
dituangkan dalam berita acara dan disampaikan kepada dinas sosial daerah
kabupaten/kota melalui Pendamping KUBe.
Apabila terdapat fakir miskin yang tidak terdaftar dalam BDT tetapi termasuk
dalam kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu (Permensos Nomor 146 Tahun
2013), maka Dinas Sosial Provinsi maupun Kabupaten dapat mengusulkan data fakir
miskin ke Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kessos)
Kementerian Sosial (http://siks.kemsos.go.id) untuk selanjutnya diproses.

C. Mekanisme Pengusulan dan Penyaluran Bantuan


Permohonan Bantuan Sosial KUBe dapat diajukan oleh:
1. Masyarakat atau lembaga kesejahteraan sosial
2. Dinas sosial daerah kabupaten/kota
Adapun mekanisme pengusulan dan penyaluran Bantuan Sosial, sebagai berikut:
a. Mengusulkan proposal KUBe kepada dinas sosial daerah kabupaten/kota
b. Dinas sosial daerah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan validasi serta
seleksi calon penerima Bantuan Sosial bersumber dari BDT dengan melibatkan
Pendamping KUBe
c. Dinas sosial daerah kabupaten/kota merekomendasikan proposal kepada
Kementerian Sosial dengan tembusan dinas sosial provinsi
d. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan
Antar Negara melakukan penjajakan lokasi terhadap hasil verifikasi data BDT
yang dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota.
e. Dinas Sosial Kabupaten melegalisasi pembentukan kelompok dan nama kelompok
calon penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe.
f. Berdasarkan hasil verifikasi lapangan dan dokumen administrasi, Direktur
Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara
menerbitkan Surat Keputusan Penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe.
g. Nama penerima program bantuan yang sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan
sebagaimana dalam poin “f” di atas, tidak dapat diganti kecuali penerima manfaat
bantuan meninggal dunia dan mengundurkan diri dengan melampirkan surat
keterangan (dibuat oleh kepala Dinas Sosial Kabupaten) yang menyatakan alasan
pergantian ke Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan
Perbatasan Antar Negara.

[274]
h. Setelah penetapan penerima manfaat Bantuan Sosial, maka dilanjutkan dengan
penyaluran Bantuan Sosial KUBe melalui transfer dana tunai ke rekening
kelompok penerima manfaat bantuan.
i. Sebelum menggunakan dana Bantuan Sosial KUBe, penerima manfaat bantuan
akan mendapatkan bimbingan teknis. Bimbingan teknis bertujuan agar penerima
manfaat bantuan dapat menggunakan dana secara optimal sesuai kebutuhan
pelaksanaan usaha.

D. Hak Dan Kewajiban Penerima Manfaat


1. Hak
a. Memilih/dipilih menjadi pengurus
b. Mengemukakan pendapat dan gagasan
c. Mengelola usaha dan/atau kegiatan
d. Mendapatkan informasi dan pelayanan yang sama
e. Menerima bagian dari hasil usaha
f. Ikut merumuskan aturan kelompok
g. Menerima dana Bantuan Sosial UEP-KUBe sejumlah Rp. 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah) untuk wilayah pesisir, dan Rp. 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) untuk wilayah Pulau-pulau Kecil (PPK) dan Perbatasan Antar Negara
(PAN).
h. Mendapat bimbingan teknis tentang pengelolaan dana Bantuan Sosial KUBe
yang diterima.
i. Mendapatkan layanan pendampingan dari pendamping sosial minimal selama
periode yang ditetapkan.
2. Kewajiban
a. Mematuhi aturan kelompok yang telah disepakati bersama
b. Menghadiri dan aktif dalam rapat anggota
c. Memanfaatkan bantuan untuk kegiatan yang bersifat usaha ekonomi produktif
d. Aktif dalam proses usaha Bantuan Sosial KUBe
e. Membayar iuran kesetiakawanan sosial yang telah ditentukan oleh kelompok
f. Menyampaikan laporan kegiatan dan pertanggungjawaban keuangan
g. Menanggung bersama kerugian usaha kelompok
h. Membuat proposal pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe.
i. Memanfaatkan penghasilan untuk meningkatkan pendapatan anggota dan
keluarganya.
j. Membangun kemitraan dengan berbagai pihak.
k. Mengikuti layanan pendampingan secara sungguh-sungguh.

[275]
E. Pengelolaan Bantuan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam pengelolaan Bantuan Sosial KUBe
yang diterima, yaitu:
1. Pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe dapat dikembangkan melalui satu jenis usaha,
sesuai dengan minat, serta potensi dan sumber yang ada di lingkungannya.
2. Pemilihan jenis Bantuan Sosial KUBe yang akan dijalankan diserahkan
sepenuhnya kepada penerima manfaat bantuan dan disetujui oleh anggota
kelompok.
3. Pengelolaan Bantuan Sosial KUBe dapat dilakukan secara individu dan/atau
kelompok.
4. Dalam pengembangan jenis Bantuan Sosial KUBe, penerima manfaat bantuan
dapat bekerja sama dengan pihak lain.
5. Pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe didukung dengan bukti-bukti pembelian
bahan baku, pencatatan, dan dokumen lain.
6. Pelaksanaan dan pengelolaan Bantuan Sosial KUBe diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar secara berkelanjutan.

F. Jenis Usaha
Dana Bantuan Sosial KUBe dapat dimanfaatkan untuk usaha :
1. Perikanan (budidaya lele, budidaya nila, budidaya patin, budidaya udang,
budidaya bandeng, produksi garam, budidaya rumput laut, budidaya kerang, dll)
2. Jasa (cuci perahu, pariwisata, tambal ban, bengkel sepeda, bengkel motor, las/
karbit, tukang sol sepatu, pertukangan kayu, dll)
3. Industri rumah tangga (anyam tikar, pembuatan bakso ikan, kripik ikan,
pembuatan terasi, abon ikan, nugget ikan, sosis ikan, dll)
4. Peternakan (ternak kambing, ternak sapi, ternak ayam, ternak bebek, ternak
burung, dll)
5. Pertanian/Perkebunan (pertanian palawija, cabe, kelapa, sayur mayur, padi,
bawang batak, bawang merah, seledri, dll)
6. Perdagangan (jualan nasi, jual ikan, jual bakso, jual baju, jual minyak, dll)

G. Indikator Keberhasilan
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan Bantuan Sosial KUBe diukur berdasarkan 3
(tiga) aspek indikator:
1. Kelembagaan
2. Sosial
3. Ekonomi

H. Pemanfaatan Dana
1. Dana Bantuan Sosial KUBe hanya dapat dimanfaatkan untuk program yang
sifatnya mendukung peningkatan ekonomi keluarga.

[276]
2. Pembelian atau pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe, harus sesuai dengan
proposal dan dibuktikan dengan faktur pembelian barang atau bukti lainnya.
3. Pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe tidak boleh digunakan untuk program-
program yang tidak terkait dengan Bantuan Sosial KUBe, misalnya pembelian alat
tulis kantor, honorarium pengurus, transport, program partai politik dan lain-lain.
4. Setelah dana masuk rekening, dana Bantuan Sosial KUBe harus segera
dimanfaatkan untuk usaha.

I. Pelaporan
1. Pelaporan merupakan bentuk pertanggung-jawaban secara tertulis oleh penerima
manfaat bantuan terhadap pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe. Pendamping
Bantuan Sosial KUBe akan memfasilitasi penerima manfaat bantuan dalam
pelaporan Bantuan Sosial KUBe yang diterima. Pelaporan pemanfaatan dana
Bantuan Sosial KUBe dibuat dalam bentuk buku KAS, buku rekening dan kuitansi
pembelian atas bahan atau peralatan sesuai dengan proposal yang telah dibuat
dan laporan pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe.
2. Laporan disusun secara berkala dan berjenjang oleh pendamping yang
disampaikan kepada Kementerian Sosial RI cq. Direktorat Penanganan Fakir
Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara dengan tembusan
kepada Dinas Sosial Kabupaten dan Dinas Sosial Provinsi sesuai dengan waktu
yang ditentukan. Laporan akan dijadikan sebagai bahan evaluasi, pertanggung-
jawaban dan sebagai bahan menetapkan langkah-langkah pengambilan
keputusan.
3. Laporan keuangan disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
terhitung sejak tanggal bantuan masuk ke dalam rekening penerima bantuan.
4. Laporan pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe terdiri atas:
a. Aspek social
b. Aspek kelembagaan manajemen
c. Perkembangan usaha
5. Laporan pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe disampaikan paling lambat 6 (enam)
bulan kalender setelah bantuan masuk ke dalam rekening penerima bantuan.
6. Format pelaporan berisi aspek-aspek berikut ini:
a. Nama penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe.
b. Jenis usaha yang dikelola.
c. Alamat tempat usaha.
d. Laporan pemasukan dan pengeluaran keuangan sesuai buku kas.
e. Fotocopy transaksi buku rekening.
f. Kemajuan dan hambatan.
g. Dokumentasi
h. Lain-lain yang dianggap perlu

[277]
BAB V
BANTUAN REHABILITASI SOSIAL – RUMAH TIDAK LAYAK HUNI
(RUTILAHU)

A. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam program ini adalah:
a. Merehabilitasi atau meningkatkan kualitas rumah yang tidak layak huni menjadi
layak huni.
b. Meningkatkan kenyamanan rumah tempat tinggal penerima manfaat bantuan.
c. Menumbuhkan nilai-nilai kegotong-royongan, partisipasi, kepedulian dan
kesetiakawanan sosial diantara penerima manfaat bantuan dan warga masyarakat
setempat.
Dari uraian tujuan di atas, program Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu
merupakan upaya peningkatan kualitas tempat hunian. Peningkatan kualitas tempat
hunian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi pelaksanakan berbagai aktivitas
sosial ekonomi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
Hal yang utama dalam pelaksanaan Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu
bukan terletak pada jumlah bantuan yang diterima, melainkan bagaimana
menciptakan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Ada beberapa nilai yang dapat dikembangkan dan dilestarikan
dalam rangka pelaksanaan Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu, seperti gambar
di bawah ini:

Keberlanjutan Kemanfaatan

Kebersamaan Kepedulian

Gotong royong Keadilan

Tenggang rasa
Swadaya

Kesetiakawanan Partisipasi

Kejujuran

Gambar 4. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Bantuan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RUTILAHU)

B. Kriteria
Ada beberapa kriteria yang menjadi acuan dalam menetapkan penerima
manfaat bantuan Rutilahu. Kriteria yang dimaksud dapat dilihat dari 2 (dua) aspek

[279]
yaitu kriteria penerima manfaat Bantuan Sosial dan kriteria Rutilahu. Berikut adalah
kriteria pelaksanaan bantuan Rutilahu:
1. Kriteria Calon Penerima Manfaat Bantuan Sosial
a. Data berasal dari BDT.
b. Belum pernah mendapat Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu
c. Penerima manfaat mendapat bantuan dari KPS/KKS, KIP, KIS, Rastra, PKH.
d. Penduduk tetap di wilayah yang menjadi sasaran Bantuan Sosial Rehabilitasi
Sosial Rutilahu, dibuktikan dengan KTP/KK, Surat Keterangan Domisili.
e. Memiliki rumah di atas tanah milik sendiri yang dibuktikan dengan
sertifikat/girik atau surat keterangan kepemilikan dari camat selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
f. Kepala Keluarga tidak mempunyai sumber mata pencaharian yang tetap atau
mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
yang layak untuk sehari-hari.

2. Kriteria Rutilahu yang dapat diperbaiki meliputi:


a. Dinding dan/atau atap dalam kondisi rusak yang dapat membahayakan
keselamatan penghuni
b. Dinding dan atau atap terbuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk
c. Lantai terbuat dari tanah, papan, bambu/semen, atau keramik dalam kondisi
rusak
d. Tidak memiliki tempat mandi, cuci, dan kakus, dan/atau
e. Luas lantai kurang dari 7,2 m2/orang (tujuh koma dua meter persegi
perorang)
f. Status tanah dan bangunan milik sendiri dan tidak dalam keadaan sengketa
yang dibuktikan dengan surat kepemilikan rumah.

C. Mekanisme Pengusulan dan Penyaluran


Sebelum pelaksanaan Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu, ada beberapa
prosedur yang harus dilaksanakan:
1. Calon penerima Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu membentuk kelompok
berdasarkan kelurahan/desa/nama lain dalam 1 (satu) kecamatan.
2. Pembentukan kelompok difasilitasi oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota
3. Kelompok beranggotakan paling sedikit 5 (lima) kepala keluarga dan paling
banyak 15 (lima belas) kepala keluarga
4. Dalam kelompok yang dibentuk diupayakan terdapat anggota yang memiliki
pengalaman atau mengerti pekerjaan bangunan rumah
5. Kelompok membentuk kepengurusan yang terdiri atas:
a) Ketua
b) Sekretaris
c) Bendahara

[280]
D. Hak Dan Kewajiban
Fakir Miskin yang masuk dalam data BDT dan memenuhi kriteria penerima
manfaat bantuan akan mendapatkan Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu dari
pemerintah untuk meningkatkan kualitas rumah tinggal. Penerima manfaat Bantuan
Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu harus memenuhi kewajiban secara tertulis berupa
pertanggung-jawaban atas pembelian bahan-bahan bangunan perbaikan rumah.
Berikut hak dan kewajiban penerima manfaat bantuan :
1. Hak
a. Memperoleh dana bantuan Rutilahu sebesar Rp. 15.000.000,00 per Kepala
Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk wilayah pesisir, dan Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah) per Kepala Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk
wilayah Pulau-pulau Kecil (PPK) dan Perbatasan Antar Negara (PAN) yang
telah dituangkan dalam rincian anggaran biaya dan dilaporkan dengan
melampirkan bukti pembelian bahan bangunan.
b. Mendapatkan sosialisasi dan bimbingan teknis tentang Rutilahu.
c. Mendapatkan layanan pendampingan.
2. Kewajiban
a. Membuat proposal pemanfaatan dana Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial
Rutilahu.
b. Melakukan perbaikan rumah dengan cara gotong royong dengan masyarakat
setempat.
c. Menandatangani bukti penerimaan Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu
d. Melakukan pencatatan dan pelaporan pengelolaan dana Bantuan Sosial
Rehabilitasi Sosial Rutilahu sesuai dengan bukti-bukti pembelian bahan
bangunan.
e. Mengikuti layanan pendampingan secara sungguh-sungguh.
f. Bersedia tidak menjual atau menyewakan rumah yang telah direhabilitasi
minimal 5 tahun sejak menerima bantuan.
g. Mengikuti dan mentaati semua ketentuan yang sudah disepakati.

[281]
E. Sasaran Perbaikan Rumah
1. Sasaran perbaikan rumah pada Rutilahu
dilakukan dengan skala prioritas yang
meliputi rehabilitasi atap, lantai, dinding
(aladin) dan MCK yang tidak layak.
Perbaikannya disesuaikan dengan
kemampuan dana Bantuan Sosial yang
diterima.
2. Apabila ada dukungan dari keluarga,
tabungan sendiri atau dukungan
lingkungan sekitar dapat menambah atau
memperluas cakupan rehabilitasi rumah.

Gambar 5 : RUTILAHU dilaksanakan dengan


menggunakan kearifan lokal di wilayah setempat

F. Prosedur Penetapan Penerima Manfaat


1. Dinas Sosial Kabupaten melakukan verifikasi calon penerima manfaat bantuan
Rutilahu yang bersumber dari BDT sesuai dengan formulir verifikasi (Lampiran
5).
2. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan
Antar Negara melakukan penjajakan lokasi terhadap hasil verifikasi data BDT
yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten.
3. Dinas Sosial Kabupaten melegalisasi pembentukan kelompok dan nama kelompok
calon penerima manfaat bantuan Rutilahu.
4. Berdasarkan hasil verifikasi lapangan dan dokumen administrasi, Direktur
Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara
menerbitkan Surat Keputusan Penerima Manfaat Bantuan Rutilahu.
5. Nama penerima program bantuan yang sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan
sebagaimana dalam poin “4” di atas, tidak dapat diganti kecuali penerima
manfaat bantuan meninggal dunia dan mengundurkan diri, dengan melampirkan
surat keterangan (dibuat oleh kepala Dinas Sosial Kabupaten) ke Direktur
Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara
yang menyatakan alasan adanya pergantian penerima manfaat.
6. Setelah penetapan penerima manfaat bantuan, maka dilanjutkan dengan
penyaluran bantuan Rutilahu melalui transfer dana tunai ke rekening kelompok
penerima manfaat bantuan.
7. Sebelum menggunakan dana bantuan Rutilahu, penerima manfaat bantuan akan
mendapatkan bimbingan teknis. Bimbingan teknis bertujuan agar penerima
manfaat bantuan dapat menggunakan dana secara optimal sesuai kebutuhan
pelaksanaan usaha.

[282]
Gambar 6. Pembangunan Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial – Rumah Tidak Layak Huni
(Rutilahu)

G. Pemanfaatan Dana
a. Besarnya dana bantuan Rutilahu untuk 1 (satu) unit rumah sebesar Rp.
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per Kepala Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) untuk wilayah pesisir, dan Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per
Kepala Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk wilayah Pulau-pulau Kecil
(PPK) dan Perbatasan Antar Negara (PAN) yang digunakan untuk perbaikan atau
renovasi rumah dengan prioritas kondisi atap, lantai dan dinding (aladin), dan
sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) dalam keadaan rusak yang telah dituangkan
dalam proposal rincian anggaran biaya.
b. Dana Rutilahu yang sudah masuk dalam rekening kelompok dapat dicairkan
dengan terlebih dahulu oleh Ketua kelompok dan Bendahara dengan mengajukan
usulan pemanfaatan dana yang ditandatangani oleh Ketua Kelompok dan
Bendahara dengan persetujuan Dinas Sosial Kabupaten.
c. Setelah dana masuk ke rekening kelompok, dana tersebut harus segera
dimanfaatkan untuk perbaikan rumah menjadi layak huni.
d. Dana bantuan yang telah dicairkan dibelanjakan sesuai dengan usulan dan
peruntukannya.
e. Bukti pembelian/pembelanjaan menjadi bahan dalam penyusunan laporan
program kelompok.

H. Pelaporan
1. Pelaporan pemanfaatan dana bantuan Rutilahu dibuat berdasarkan kuitansi
pembelian atas bahan bangunan rumah sesuai dengan proposal yang telah dibuat.
Pendamping memfasilitasi anggota kelompok dalam pelaporan bantuan yang
diterima.
2. Laporan disusun secara berjenjang oleh pendamping yang disampaikan kepada
Kementerian Sosial RI cq. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-
Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara dengan diketahui Dinas Sosial
Kabupaten dan Dinas Sosial Provinsi. Laporan akan dijadikan sebagai bahan
evaluasi, pertanggungjawaban dan sebagai bahan menetapkan langkah-langkah
pengambilan keputusan.

[283]
3. Format pelaporan berisi minimal aspek-aspek berikut :
a. Daftar kelompok dan nama penerima manfaat bantuan Rutilahu.
b. Perkembangan rumah yang sudah diperbaiki menjadi layak huni dan
hambatan dalam pelaksanaannya
c. Dilampiri dengan dokumentasi (foto rumah sebelum, proses dan sesudah
rehabilitasi).
d. Daftar rincian pembelian bahan bangunan disertai dengan harga.
e. Kwitansi pembelian bahan bangunan rumah.
f. Fotocopy transaksi buku rekening.
g. Lain-lain yang dianggap perlu.

[284]
BAB VI
BANTUAN SARANA PRASARANA LINGKUNGAN (SARLING)

A. Tujuan
Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling) merupakan kebutuhan dasar
lingkungan. Digunakan untuk fasilitas sosial, umum dan didayagunakan untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, serta budaya.
Ada beberapa tujuan dari pengembangan Sarana Prasarana Lingkungan
(Sarling), yaitu mengembalikan keberfungsian sosial dan meningkatkan kualitas
tempat tinggal fakir miskin melalui perbaikan kondisi rumah dan/atau Sarana
Prasarana Lingkungan baik secara menyeluruh maupun sebagian dengan
menggunakan semangat kebersamaan, kegotongroyongan, dan nilai kesetiakawanan
sosial masyarakat.

Gambar 7. Contoh Pembangunan Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling)

B. Syarat dan Kriteria


Persyaratan lokasi Sarling meliputi:
1. Diprioritaskan di lokasi kegiatan Rehabilitasi Sosial Rutilahu
2. Merupakan tanah yang berfungsi sebagai fasilitas sosial dan umum/tanah
bengkok/tanah hibah atau wakaf
3. Status tanah tidak dalam sengketa
4. Belum pernah mendapat Bantuan Sosial Sarling
5. Kepala Dinas Sosial Daerah Kabupaten/Kota menyampaikan hasil penetapan
lokasi kepada penerima Bantuan Sosial Rehabilitasi Sosial Rutilahu.

[285]
6. Dinas Sosial Daerah Kabupaten/Kota dalam menerima Bantuan Sosial Rutilahu
harus menandatangani surat pernyataan tanggung jawab mutlak dengan materai
cukup atas kebenaran persyaratan dan kriteria penerima Bantuan Sosial
Rehabilitasi Sosial Rutilahu.
Adapun kriteria Sarling yang dapat diperbaiki atau dibangun, sebagai berikut:
1. Pembangunan Sarana Prasarana Lingkungan, seperti balai pertemuan, MCK
umum, pembangunan/perbaikan jalan kampung, pengelolaan/pembuangan
sampah, gerobak pengangkut sampah, irigasi, pembuangan air limbah rumah
tangga/parit, prasarana penyedia air bersih, dll.
2. Pembangunan sarana keamanan, seperti pembangunan poskamling dan pos
ronda
3. Pembangunan sarana olah raga, seperti lapangan volley atau lapangan sepak bola.
4. Pembangunan sarana kesehatan, seperti penyediaan air bersih
5. Berada pada satu lokasi wilayah penerima Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu.
6. Merupakan fasilitas umum yang mendukung peningkatan kualitas hidup
masyarakat setempat terutama fakir miskin. Menjadi kebutuhan dan diusulkan
oleh masyarakat setempat
7. Status tanah/lahan yang legal dan tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial.
8. Masyarakat setempat bersedia untuk mengalokasikan sumber daya yang mereka
miliki seperti: lahan, tenaga, material dll.
9. Masuk kategori kumuh sesuai hasil verifikasi petugas
10. Status lahan jelas yang dibuktikan dengan dokumen resmi dan tidak dalam
sengketa.

C. Mekanisme Pengajuan dan Pelaksanaan Program


1. Permohonan Bantuan Sosial Sarling dapat diajukan oleh:
a) Masyarakat atau lembaga kesejahteraan sosial.
Permohonan Bantuan Sosial Sarling yang diajukan oleh masyarakat atau
lembaga kesejahteraan sosial dilakukan dengan mekanisme:
1) Mengajukan permohonan Bantuan Sosial Sarling kepada lurah/kepala
desa/nama lain
2) Lurah/kepala desa/nama lain melakukan musyawarah
3) Lurah/kepala desa/nama lain mengajukan permohonan dalam bentuk
proposal kepada dinas sosial daerah kabupaten/kota
4) Dinas sosial daerah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan validasi
calon lokasi kegiatan Bantuan Sosial Sarling
5) Hasil verifikasi dan validasi disampaikan oleh dinas sosial daerah
kabupaten/kota kepada Menteri Sosial melalui Direktur Jenderal
Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar
Negara dengan tembusan disampaikan kepada dinas sosial daerah
kabupaten/kota
6) Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara melakukan verifikasi dan validasi calon
lokasi kegiatan Bantuan Sosial atas usulan proposal dinas sosial daerah
kabupaten/kota

[286]
7) Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara menetapkan lokasi dan penerima Bantuan
Sosial Sarling
8) Hasil penetapan lokasi dan penerima Bantuan Sosial Sarling disampaikan
kepada dinas sosial daerah kabupaten/kota dengan tembusan
disampaikan kepada dinas sosial daerah provinsi
9) Kepala dinas sosial daerah kabupaten/kota menyampaikan hasil
penetapan lokasi kepada penerima Bantuan Sosial Sarling
10) Dinas sosial daerah kabupaten/kota menandatangani surat penyataan
tanggung jawab mutlak dengan bermaterai cukup atas kebenaran
persyaratan dan kriteria lokasi kegiatan Bantuan Sosial Sarling

b) Dinas sosial Kabupaten/Kota


Permohonan Bantuan Sosial Sarling yang diajukan dinas sosial daerah
kabupaten/kota dilakukan dengan mekanisme:
1) Kepala dinas sosial daerah kabupaten/kota bersama aparat desa
melakukan pemetaan lokasi kumuh (melibatkan potensi dan sumber
kesejahteraan sosial) dan pendataan calon lokasi kegiatan Bantuan Sosial
Sarling
2) Kepala dinas sosial daerah kabupaten/kota mengajukan proposal
permohonan untuk mendapatkan Bantuan Sosial Sarling kepada Menteri
melalui Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau
Kecil dan Perbatasan Antar Negara dengan tembusan disampaikan kepada
dinas sosial daerah provinsi yang memuat data lokasi serta foto bangunan
dan/atau foto lingkungan yang akan diperbaiki
3) Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara melakukan verifikasi administrasi dan
lapangan serta validasi
4) Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan
Perbatasan Antar Negara menetapkan lokasi program dan penerima
Bantuan Sosial Sarling
5) Hasil penetapan lokasi program dan penerima Bantuan Sosial Sarling
disampaikan kepada dinas sosial daerah kabupaten/kota
6) Kepala dinas sosial daerah kabupaten/kota menyampaikan hasil
penetapan lokasi kegiatan kepada calon penerima Bantuan Sosial Sarling
dan membentuk tim Sarling
7) Dinas sosial daerah kabupaten/kota dalam menerima Bantuan Sosial
harus menandatangani surat keterangan tanggung jawab mutlak dengan
bermaterai cukup atas kebenaran persyaratan dan kriteria Bantuan Sosial
Sarling
Untuk lebih jelasnya mengenai mekanisme atau prosedur pengajuan
bantuan Sarling dapat dilihat pada bagan 3 di bawah ini:

[287]
Kementerian Sosial c.q.
Sk Penerima bantuan
Dit. PFM PPK - PAN dari Dit PFM PPK dan
PAN

Penjajagan &
Verifikasi
(Kemensos & Menerima tembusan
Dinsos Provinsi usulan/monitoring
Dinsos Provinsi)

Proposal/usulan kepada
Dinsos Kabupaten Kemensos tembusan ke
Dinsos Prov

Usulan

Gambar 8. Prosedur Pengajuan Bantuan Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling)

D. Hak dan Kewajiban


Ada beberapa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penerima bantuan
Sarling, sebagai berikut :
1. Hak
a. Memperoleh dana bantuan sejumlah Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
berdasarkan wilayah penerima Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu.
b. Mendapatkan sosialisasi dan bimbingan teknis tentang Sarling.
c. Mengelola dan memanfaatkan dana bantuan sarling sesuai dengan pengajuan
dalam proposal.
d. Mendapatkan layanan pendampingan.
2. Kewajiban
a. Membuat proposal pemanfaatan dana bantuan Sarling yang dilengkapi
dengan administrasi dari para pihak yang mengusulkan
b. Membuat kesepakatan tentang rencana pengembangan Sarling yang akan
dilakukan
c. Menggali sumber-sumber dan potensi yang ada dalam rangka pengembangan
Sarling.
d. Membangun kerjasama sesama anggota masyarakat dan dengan berbagai
pihak terkait.
e. Memanfaatkan dana bantuan dengan penuh tanggung jawab.
f. Menjaga dan memelihara kelestarian Sarling yang sudah dibangun.

[288]
g. Melakukan pencatatan dan pelaporan pengelolaan dana bantuan Sarling
sesuai dengan bukti-bukti pembelian bahan bangunan. Sebagai bentuk
pertanggungjawaban dalam pemanfaatan dana bantuan.
h. Mengikuti dan mentaati semua ketentuan-ketentuan yang ada yang sudah
disepakati.

E. Mekanisme Pencairan
1. Pencairan Bantuan Sosial Sarling dilakukan setelah kelompok penerima Bantuan
Sosial membuat rencana anggaran biaya penggunaan Bantuan Sosial yang
ditandatangani oleh ketua, bendahara, dan sekretaris dengan disetujui oleh kepala
dinas sosial daerah kabupaten/kota
2. Pencairan Bantuan Sosial Sarling dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja sama
antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan ketua kelompok yang telah ditetapkan
3. Pencairan Bantuan Sosial Sarling dilakukan melalui mekanisme transfer bank
kepada rekening kelompok penerima Bantuan Sosial sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

F. Penggunaan Dana
Jumlah dana bantuan untuk setiap unit Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling)
sebesar Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) yang dituangkan dalam rincian
anggaran biaya dan gambar.
Dalam pelaksanaannya, dana Bantuan Sosial Sarling tidak dapat digunakan untuk:
1. Biaya upah tukang / pekerja
2. Honor pengelola / Tim sarling
3. Untuk biaya ATK
4. Pembangunan sarana ibadah
5. Pembangunan jalan umum
6. Pembangunan sarana pemerintah
7. Pembangunan sekolah
8. Pembangunan ditanah sarana pemerintah

G. Pelaksanaan Program
Pelaksanaan Sarling di lokasi penerima Bantuan Sosial Kelompok Usaha Bersama
(KUBe) dan program Rutilahu, dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Menentukan lokasi yang akan dibangun
2. Menetapkan prioritas Sarling yang akan diperbaiki/dibangun
3. Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta besarnya biaya.
4. Melaksanakan pembelian bahan bangunan dibuktikan dengan kuitansi atau faktur
pembelian bahan bangunan

[289]
5. Pelaksanaan pembangunan Sarling telah selesai selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari kalender setelah dana masuk ke rekening kelompok.
6. Mendokumentasikan pada setiap tahapan proses Sarling, yaitu meliputi kondisi
0% (kondisi awal), proses pengerjaan, dan 100% (hasil/selesai).

H. Pelaporan Pelaksanaan
1. Laporan pelaksanaan Sarling dibuat oleh kelompok penerima Bantuan Sosial
Sarling
2. Disampaikan oleh ketua kelompok penerima Bantuan Sosial Sarling kepada
kepala dinas sosial daerah kabupaten/kota kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan
Antar Negara dengan tembusan kepada kepada kepala dinas sosial daerah
provinsi.
3. Laporan oleh ketua kelompok penerima Bantuan Sosial Sarling berupa laporan
pertanggungjawaban keuangan mengenai penerimaan dan penyaluran Bantuan
Sosial Sarling dengan melampirkan:
4. Berita acara serah terima
5. Realisasi rencana anggaran biaya
6. Kuitansi dan faktur
7. Foto copi buku tabungan
8. Foto sebelum, proses pengerjaan dan setelah hasil pelaksanaan Bantuan Sosial
Sarling.
Laporan disampaikan paling lama 130 (seratus tiga puluh) hari kalender terhitung
sejak tanggal Bantuan Sosial Sarling masuk ke dalam rekening kelompok.

I. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan bantuan Sarana Prasarana Lingkungan (Sarling) secara umum
yaitu :
1. Tersedia Sarana Prasarana Lingkungan yang sehat dan bersih.
2. Tumbuhnya pola hidup masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.
3. Terwujudnya kohesivitas masyakat dan lingkungan dalam membangun
lingkungan yang sehat dan bersih.
4. Terwujudnya kerjasama dan gotong royong serta kesetiakawanan di antara warga
masyarakat lingkungan.

[290]
BAB VII
DANA OPERASIONAL DAERAH

A. Tujuan
Dana Operasional yang dialokasikan dalam pelaksanaan program penanganan
fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara diberikan kepada
Dinas Sosial Kabupaten yang telah ditetapkan sebagai lokasi program. Tujuan dari
pemberian dana operasional ini adalah sebagai berikut:
1. Memfasilitasi Dinas Sosial Kabupaten dalam memberikan bimbingan teknis,
monitoring dan evaluasi kepada penerima manfaat bantuan.
2. Memfasilitasi Dinas Sosial Kabupaten dalam melaksanakan koordinasi dengan
dinas teknis terkait dalam rangka peningkatan kualitas pemanfaatan Bantuan
Sosial KUBe dan RUTILAHU serta Sarling.

B. Hak Dan Kewajiban


1. Menerima dana operasional dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan
program penanganan fakir miskin yang meliputi dana Bantuan Sosial KUBe dan
RUTILAHU serta Sarling.
2. Pemanfaatan dan pertanggungjawaban administrasi dan keuangan dana
operasional ini menjadi tanggungjawab sepenuhnya Kepala Dinas Sosial
Kabupaten yang menjadi lokasi penerima program.
3. Melaporkan pemanfaatan dana bantuan operasional kepada Direktur Penanganan
Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil Dan Perbatasan Antar Negara.
4. Dokumen pertanggung-jawaban keuangan dana operasional harus dikirimkan
kepada Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil Dan
Perbatasan Antar Negara untuk dilakukan verifikasi, yang meliputi SPJ, laporan
program dan dokumen lainnya.

C. Pemanfaatan Dana Operasional


1. Program bimbingan teknis kepada penerima manfaat bantuan.
2. Honorarium pengelola program di Dinas Sosial kabupaten.
3. Program monitoring pelaksanaan Bantuan Sosial.
4. Program pelaporan pertanggungjawaban pemanfaatan dana operasional.

D. Mekanisme Pencairan
1. Dana diberikan kepada Dinas Sosial Kabupaten melalui rekening atas nama
Pengelola Program Penanganan Fakir Miskin Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara.
2. Pencairan dana operasional program penanganan fakir miskin di wilayah pesisir,
pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara dilaksanakan dengan cara
pengajuan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) oleh pejabat
penandatangan SPM kepada KPPN Jakarta VII yang berdasarkan Surat Keputusan

[291]
Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil Dan Perbatasan
Antar Negara tentang penetapan penerima dana operasional penanganan fakir
miskin wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara (disepakati
dalam rakor)
3. Atas dasar SPM-LS yang sudah disetujui, KPPN Jakarta VII melakukan
pembayaran SPM-LS dan melaksanakan penyaluran dana dengan menerbitkan
SP2D ke Bank Pemerintah dan langsung ditransfer ke rekening pengelola
program.
4. Pencairan dana operasional dilaksanakan sesuai dengan RAB yang telah disetujui
oleh Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil Dan Perbatasan
Antar Negara.

E. Pelaporan
Dinas Sosial Kabupaten berkewajiban mempertanggungjawabkan
pemanfaatan dana operasional ini sesuai dengan Rincian Anggaran Biaya yang telah
ditetapkan oleh Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan
Perbatasan Antar Negara. Batas waktu penyampaian laporan pertanggung-jawaban
pemanfaatan dana operasional paling lama bulan November dalam tahun anggaran
berjalan. (Lampiran 6 terlampir)

[292]
BAB VIII
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

A. Monitoring
1. Monitoring adalah program pemantauan terhadap pelaksanaan keseluruhan
program penanganan fakir miskin yang meliputi Bantuan Sosial KUBe dan RS-
Rutilahu serta Sarling secara rutin untuk mengetahui secara dini apabila ada
permasalahan.
2. Hasil monitoring ini dipergunakan sebagai bahan pengambilan keputusan agar
program dapat berjalan sesuai rencana dan tujuan. Secara tegas, monitoring
meliputi:
a. Penilaian kondisi dan situasi tentang pelaksanaan program penanganan fakir
miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara
mulai dari rencana program sampai dengan pelaksanaan dan pengawasannya.
b. Memperkirakan permasalahan yang mungkin terjadi dalam penanganan fakir
miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara.
c. Mengupayakan solusi dalam mengatasi permasalahan program penanganan
fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara
yang dianggap belum tepat.
3. Monitoring dilakukan mulai dari tahap penyusunan instrumen, hingga tahap
pelaksanaan program di lapangan. Program monitoring berlangsung mulai dari
awal hingga selesainya program program penanganan fakir miskin di wilayah
pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara, secara terus-menerus, baik
melalui monitoring langsung ke lapangan maupun tidak langsung, yaitu dengan
menelaah laporan dari pendamping.
4. Hasil monitoring berupa data dan informasi untuk diolah, dianalisis dan diambil
kesimpulan sebagai bahan evaluasi.
5. Pelaksana Monitoring adalah:
a. Petugas pusat yang ditugaskan Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir,
Pulau-Pulau Kecil Dan Perbatasan Antar Negara Kementerian Sosial RI.
b. Petugas Dinas Sosial Provinsi.
c. Petugas Dinas Sosial Kabupaten.
d. Pendamping dan masyarakat.

B. Evaluasi
1. Evaluasi adalah rangkaian program membandingkan realisasi masukan (input),
keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan tujuan yang ingin
dicapai. Dari program ini dapat diketahui ketepatan atau penyimpangan dalam
pemanfaatan Bantuan Sosial, hambatan yang dihadapi atau perubahan yang
diperlukan untuk tercapainya kesinambungan pelaksanaan program di masa yang
akan datang.

[293]
2. Sasaran evaluasi adalah:
a. Proses penyaluran Bantuan Sosial.
b. Penerima manfaat Bantuan Sosial.
c. Pendamping sosial.
d. Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten.
3. Pelaksana program evaluasi program penanganan fakir miskin di wilayah pesisir,
pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara yaitu:
a. Petugas pusat yang ditugaskan oleh Direktur Penanganan Fakir Miskin
Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara.
b. Petugas Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten.
c. Pendamping sosial.

Gambar 9. Program Evaluasi ke Penerima Bantuan RS-Rutilahu di Kabupaten Poso

4. Tahap program pelaksanaan evaluasi program penanganan fakir miskin di


wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara yaitu :
a. Penyusunan instrumen evaluasi yang terdiri dari :
1) Instrumen evaluasi pemanfaatan dana Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu
serta Sarling.
2) Instrumen evaluasi pendampingan sosial.
3) Instrumen evaluasi keterlibatan Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten
dalam pelaksanaan program penanganan fakir miskin di wilayah pesisir,
pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara.

[294]
b. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten)
terkait dengan waktu pelaksanaan evaluasi, jadwal dan sasaran pelaksanaan
evaluasi.
c. Pelaksanaan evaluasi dengan menggunakan metode wawancara mendalam,
observasi, dan pengisian instrumen.
d. Melakukan pengolahan data instrumen.

C. Pelaporan
1. Pelaporan merupakan suatu instrumen yang sangat penting untuk mengetahui
kinerja pelaksanaan program. Laporan yang disampaikan diharapkan berada
pada kisaran waktu yang ditetapkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal
sebagai bahan monitoring dan evaluasi dan sekaligus mengambil langkah-
langkah yang diperlukan.
2. Materi laporan dari setiap jenjang penanganan fakir miskin di wilayah pesisir,
pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara minimal meliputi poin di bawah
ini:
a. Perkembangan pencairan dan pemanfaatan dana Bantuan Sosial
b. Program pendampingan
c. Permasalahan atau kendala yang dihadapi
d. Solusi penanganan masalah dan rekomendasi
e. Dokumentasi/lampiran
3. Dinas Sosial Kabupaten menyampaikan laporan pelaksanaan program
penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan
antar negara kepada Direktur Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
dan Perbatasan Antar Negara dengan tembusan Kepala Dinas Sosial Provinsi
paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah pemanfaatan Bantuan Sosial.

[295]
BAB IX
PENUTUP

Buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bantuan Sosial KUBe dan RS-Rutilahu serta
Sarling di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan antar negara memuat
penjelasan mengenai hal-hal teknis/operasional yang harus diperhatikan oleh semua
unsur yang terlibat dalam pelaksanaan program penanganan fakir miskin, agar semua
tahap dapat dilaksanakan secara optimal sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun
semua aspek telah diupayakan untuk dituangkan sebaik mungkin dalam petunjuk teknis
ini, namun yang terpenting adalah komitmen dari segenap pihak yang terlibat dan
mendukung penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan
perbatasan antar negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu komitmen yang
kuat perlu dimiliki oleh penerima manfaat Bantuan Sosial KUBe dan Rutilahu serta
Sarling, karena merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan
bantuan yang diberikan dalam mencapai hidup sejahtera secara mandiri.
Disadari bahwa penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan
perbatasan antar negara sangat dipengaruhi oleh budaya dan kearifan lokal. Keberadaan
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sangat memungkinkan adanya inovasi dan
penyesuaian dengan kondisi setempat sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan
yang telah ditetapkan. Pelaksanaan program mengikuti prinsip penatakelolaan yang baik
yaitu akuntabilitas, transparansi, ketepatan sasaran, ketepatan waktu, efektivitas dan
efisiensi perlu dijunjung tinggi oleh setiap penyelenggara program.
Untuk memperluas jangkauan penanganan fakir miskin di wilayah pesisir, pulau-
pulau kecil dan perbatasan antar negara diharapkan pemerintah daerah dapat
menindaklanjuti program-program yang berasal dari APBD maupun menggerakkan
seluruh potensi dan sumber daya daerah untuk memelihara keberlanjutan program-
program strategis dalam penanganan fakir miskin khususnya di wilayah pesisir, pulau-
pulau kecil dan perbatasan antar negara.

[297]
DINAS SOSIAL KABUPATEN/KOTA

INSTRUMEN EVALUASI
PROGRAM PENANGANAN FAKIR MISKIN WILAYAH III
TAHUN ANGGARAN 2018

PROVINSI : ……………………………………………………

KABUPATEN/KOTA : ……………………………………………………

WAKTU EVALUASI : ……………………………………………………

KEMENTERIAN SOSIAL RI

[299]
PETUNJUK EVALUASI

1. Petugas yang melaksanakan evaluasi harus membuat laporan


2. Cara pengisian instrumen evaluasi :
a. Mengisi identitas responden
b. Mengisi pertanyaan dengan cara memilih salah satu jawaban
ya atau tidak dari pertanyaan yang tertera pada instrumen
dengan memberikan tanda √
3. Pengolahan hasil :
a. Skor 1 untuk jawaban ya dan skor 0 untuk jawaban tidak.
b. Skor adalah kondisi paling baik, skor 0 adalah kondisi paling
buruk.
c. Cara penilaian dengan menjumlahkan skor aspek-aspek yang
dievaluasi pertama sampai dengan terakhir

Aspek Data + aspek persiapan program + aspek pelaksanaan program +


aspek shering APBD + aspek Pelaporan = Total Skor

d. Jumlah capaian keberhasilan dikonversikan dengan kategori


keberhasilan sebagai berikut :
- Total Skor 1-10 = kurang
- Total Skor 10-15 = cukup
- Total skor 15-20 = baik

[301]
I. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama : ……………………………………………………………..

2. NIP : ……………………………………………………………..

3. Jabatan : ……………………………………………………………..

4. Lama Jabatan : ……………………………………………………………..

5. Instansi : ……………………………………………………………..

6. Alamat Kantor : ……………………………………………………………..

7. Kontak Person : ……………………………………………………………..

JAWABAN
ASPEK PERTANYAAN
YA TIDA
K

Data KPM 1. Apakah Dinas Sosial memiliki Data BDT dari Kementerian Sosial ?

2. Apakah Dinas Sosial melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data


tersebut?
3. Apakah Dinas Sosial setiap bulan melaksanakan update data pada
SIKS-NG ?
4. Apakah semua data usulan calon penerima bantuan sosial program
penanganan fakir miskin Pesisir, Pulau-pulau Kecil, dan Perbatasan
Antar Negara telah BDT?
Persiapan 1. Apakah Dinas Sosial melaksanakan identifikasi dan seleksi calon
Program penerima bantuan sosial?
2. Apakah dilaksanakan orientasi dan obeservasi untuk mengetahui
potensi untuk mendukung pelaksanaan program bantuan sosial?
3. Apakah Dinas Sosial melaksanakan sosialisasi program penanganan
fakir miskin kepada instansi, masyarakat/calon penerima manfaat
terkait?
4. Apakah Dinas Sosial melaksanakan bimbingan sosial dasar berupa
motivasi,pengetahuan, dan ketrampilan bagi calon penerima bantuan
sosial?
Pelaksanaan 1. Apakah Dinas Sosial melakukan supervisi dalam pelaksanaan
Program program penanganan fakir miskin?
2. Apakah Dinas Sosial melakukan monitoring bantuan sosial
penanganan fakir miskin ?
3. Apakah Dinas Sosial mendampingi saat pencairan bantuan sosial
penanganan fakir miskin ?
4. Apakah Dinas Sosial memberikan arahan dan petunjuk kepada KPM

[302]
saat pembelanjaan dana bantuan sosial?
Sharing 1. Apakah anggaran program penanganan fakir miskin semuanya
APBD bersumber dari APBN?
2. Apakah Dinas Sosial mengusulkan anggaran APBD untuk program
penanganan fakir miskin?
3. Apakah ada kegiatan penanganan fakir miskin yang bersumber dari
APBD?
Pelaporan 1. Apakah Dinas Sosial telah menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan sosial program
penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil, dan perbatasan
antar negara tahun 2018?
2. Apakah laporan memuat perkembangan pencairan dan pemanfaatan
dana bantuan sosial?
3. Apakah laporan memuat laporan program pendampingan?

4. Apakah laporan memuat permasalahan atau kendala yang dihadapi?

5. Apakah Dinas Sosial telah melaksanakan evaluasi program


penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil, dan perbatasan
antar negara tahun 2018?

[303]
PENERIMA MANFAAT

INSTRUMEN EVALUASI
PROGRAM PENANGANAN FAKIR MISKIN WILAYAH III
TAHUN ANGGARAN 2018

PROVINSI : ……………………………………………………

KABUPATEN/KOTA : ……………………………………………………

WAKTU EVALUASI : ……………………………………………………

KEMENTERIAN SOSIAL RI

[305]
PETUNJUK EVALUASI

A. Petugas yang melaksanakan evaluasi harus membuat laporan


B. Cara pengisian instrumen evaluasi :
a. Mengisi identitas responden
b. Mengisi pertanyaan dengan cara memilih salah satu jawaban
ya atau tidak dari pertanyaan yang tertera pada instrumen
dengan memberikan tanda √

C. Pengolahan hasil :
a. Skor 1 untuk jawaban ya dan skor 0 untuk jawaban tidak.
b. Skor adalah kondisi paling baik, skor 0 adalah kondisi paling
buruk.
c. Cara penilaian dengan menjumlahkan skor aspek-aspek yang
dievaluasi pertama sampai dengan terakhir

Aspek Data + aspek persiapan program + aspek pelaksanaan program +


aspek shering APBD + aspek Pelaporan = Total Skor

d. Jumlah capaian keberhasilan dikonversikan dengan kategori


keberhasilan sebagai berikut :
- Total Skor 1-10 = kurang
- Total Skor 10-15 = cukup
- Total skor 15-20 = baik

[307]
II. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama : ……………………………………………………..

2. Alamat : ……………………………………………………..

3. Desa/Kecamatan : ……………………………………………………..

4. Kabupaten : ……………………………………………………..

5. Provinsi : ……………………………………………………..

6. Tahun Penerima : ……………………………………………………..


Bantuan Sosial

[308]
JAWABAN
ASPEK PERTANYAAN
YA TIDA
K

Sosial 1. Apakah dilakukan pertemuan kelompok bulanan?

2. Apakah para anggota mengikuti setiap pertemuan kelompok?

3. Apakah anggota semua aktif dalam menjalankan usaha?

4. Apakah ada penyisihan keuntungan untuk dana iuran kesejahteraan


sosial?
5. Apakah anggota aktif dalam memberikan masukan dalam
memecahkan masalah?

Administrasi 1. Apakah ada keterlibatan dari aparat desa dan kecamatan serta
Dinas Sosial Kabupaten dalam kegiatan Bantuan Sosial?

2. Apakah saudara sebelum menerima bantuan sosial anda mengikuti


Bimbingan Teknis yang diadakan oleh Kementrian Sosial?

3. Apakah Materi yang didapat dari Bimbingan Teknis dapat di


realisasikan di lapangan?

4. Apakah calon penerima membuat proposal dalam mengajukan


Bantuan Sosial?
5 Apakah pendamping membantu dalam pembuatan proposal
bantuan?
6. Apakah pendamping melakukan kunjungan setiap bulan ke lokasi
bantuan?
7. Apakah melakukan pencatatan keuangan kedalam buku KAS?

8. Apakah melakukan pencatatan dalam setiap pertemuan?

9. Apakah buku administrasi difungsikan dengan baik?

10. Apakah mengumpulkan bukti-bukti pembelian?

Ekonomi 1. Apakah bantuan tersebut bermanfaat bagi anggota kelompok?

2. Apakah ada peningkatan setelah penerima manfaat mendapat


bantuan sosial
3. Apakah ada keuntungan dalam anggota kelompok?

4. Apakah ada keuntungan yang ditabungkan dalam tabungan


kelompok?
5. Apakah keuntungan dibagikan secara merata kepada anggota
kelompok?

[309]
PENDAMPING SOSIAL

INSTRUMEN EVALUASI
PROGRAM PENANGANAN FAKIR MISKIN WILAYAH III
TAHUN ANGGARAN 2018

PROVINSI : ……………………………………………………

KABUPATEN/KOTA : ……………………………………………………

WAKTU EVALUASI : ……………………………………………………

KEMENTERIAN SOSIAL RI

[311]
PETUNJUK EVALUASI

1. Petugas yang melaksanakan evaluasi harus membuat laporan


2. Cara pengisian instrumen evaluasi :
a. Mengisi identitas responden
b. Mengisi pertanyaan dengan cara memilih salah satu jawaban
ya atau tidak dari pertanyaan yang tertera pada instrumen
dengan memberikan tanda √

3. Pengolahan hasil :
a. Skor 1 untuk jawaban ya dan skor 0 untuk jawaban tidak.
b. Skor 1 adalah kondisi paling baik, skor 0 adalah kondisi paling
buruk.
c. Cara penilaian dengan menjumlahkan skor aspek-aspek yang
dievaluasi pertama sampai dengan terakhir

d. Aspek Data + aspek administrasi + aspek operasional + aspek


koordinasi = Total Skor

e. Jumlah capaian keberhasilan dikonversikan dengan kategori


keberhasilan sebagai berikut :
- Total Skor 1-10 = kurang
- Total Skor 10-15 = cukup
- Total skor 15-20 = baik

[313]
III. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama : ………………………………………………………

2. Jenis Kelamin : ………………………………………………………

3. Alamat : ………………………………………………………

4. Kontak Person : ………………………………………………………

5. Jenis Bantuan Sosial : ………………………………………………………

6. Waktu Pendampingan : ………………………………………………………

7. Wilayah Pendampingan : …………………………………………………….

[314]
JAWABAN
ASPEK PERTANYAAN
YA TIDA
K

Data KPM 1. Apakah Saudara memiliki Data BDT dari Kementerian Sosial ?

2. Apakah Saudara melaksanakan Verifikasi terhadap data BDT


tersebut?
3. Apakah Saudara melaporkan hasil verifikasi data tersebut kepada
Dinas Sosial kab/Kota?

Administrasi 1. Apakah Saudara memiliki rencana kerja bulanan?

2. Apakah Saudara melaksanakan pencatatan aktivitas KPM (KUBe,


RTLH, SARLING)?
3. Apakah Saudara melaksanakan kunjungan dan pertemuan secara
rutin dan terjadwal ke semua KPM (KUBe, RTLH, SARLING)?
4. Apakah Saudara membuat laporan pendamping dilengkapi dengan
foto, absen, notulensi pertemuan ?
5. Apakah Saudara menyerahkan laporan pendampingan tepat waktu?

Operasional 1. Apakah Saudara memotivasi dalam pembentukan kelompok ?

2. Apakah Saudara memberikan bimbingan dalam pembuatan proposal?

3. Apakah Saudara dalam melaksanakan tugas menyampaikan materi


peningkatan kapasitas terkait aspek administrasi, sosial, dan
ekonomi?
4. Apakah Saudara memberikan solusi mengatasi masalah berkaitan
dengan bantuan sosial ?
5. Apakah Saudara mendampingi saat pencairan bantuan sosial
penanganan fakir miskin ?
6. Apakah Saudara mendampingi KPM dalam pembelanjaan bantuan
sosial?
7. Apakah Saudara membantu KPM dalam mengakses pelayanan sosial
dasar?
Koordinasi 1. Apakah Saudara melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait
dalam rangka penanganan fakir miskin?
2. Apakah Saudara melaksanakan koordinasi dengan pihak non
pemerintah dalam rangka penanganan fakir miskin?
3. Apakah Saudara melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait
dalam rangka pengembangan bantuan sosial ?
4. Apakah Saudara melaksanakan koordinasi dengan pihak non
pemerintah dalam rangka pengembangan bantuan sosial?
5. Apakah Saudara selalu mengikuti rapat yang dilaksanakan Dinas
Sosial berkaitan dengan tugas pendamping?

[315]
PFM-Wilayah-3-Catatan-Diskusi-Hasil-Rapat:
Instrumen untuk Dinsos
1. Sharing APBD untuk KUBe dan Rutilahu
2. Bimjut, FGD, kerjasama dengan pihak terkait
3. Dukungan dinas terkait terhadap hasil FGD sebelumnya
4. Penilaian dinsos terhadap pendamping sosial KUBe
5. Pemanfaatan dana desa oleh dinsos
6. Monitoring dari dinsos terhadap pelaksanaan program KUBe dan
Rutilahu
(perlu di sampaikan juga di form evaluasi thdp KPM)

Instrumen untuk KPM


1. Pemanfaatan bansos
2. Pungutan / pemotongan terhadap bantuan
3. Mekanisme pencairan (mulai dari pengajuan, musyawarah kelompok,
dst)
4. Jenis usaha yang dilakukan oleh setiap kelompok
5. Monitoring dinsos terhadap KUBe
6. Monitoring instansi lain selain dinsos
7. Perkembangan usaha yang dilakukan (rata – rata pendapatan)
8. Manfaat yang dirasakan oleh anggota KUBe
9. Peranan pendamping dalam pendampingan KUBe
10. Pelaporan bukti – bukti pembelanjaan untuk KUBe
11. Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan KUBe
12. Pemanfaatan buku administrasi yang diberikan

Rutilahu
1. Bagian dari rumah yang diperbaiki ( termasuk ketersediaan MCK)
2. Proses perbaikan rumah (gotong royong / dengan tukang)
3. Pelaporan bukti pembelanjaan material untuk perbaikan rumah
4. Peran dan dukungan dinsos, pendamping, dan instansi lainnya dalam
perbaikan rumah
5. Cross check data dengan simontok
6. Hambatan dan tantangan yang dihadapi

[316]
7. Ketersediaan dana swadaya

Sarling
1. Bentuk sarling yang dikerjakan (jalan, pos keamanan, TPA, dsb)
2. Alasan pembangunan fasilitas yg dipilih
3. Cara pengerjaan fasilitas (gotong royong atau menggunakan tukang)
4. Peran dan dukungan dinsos, pendamping, dan instansi lainnya dalam
pembangunan fasilitas
5. Ketersediaan swadaya dari kelompok atau desa
6. Manfaat yang dirasakan dari pembangunan fasilitas
7. Hambatan dan tantangan yang dihadapi
8. Bukti – bukti pembelanjaan material untuk pembangunan fasilitas

Instrumen untuk Pendamping

1. Kehadiran kelompok
2. Kordinasi dengan dinas terkait
3. Pelaporan
4. Relevansi tugas pendampingan dengan materi yang diterima di bimtap
5. Hambatan dan tantangan yang dihadapi

[317]

Anda mungkin juga menyukai