Anda di halaman 1dari 764

BUKU BUNGA RAMPAI

URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG SOSIAL


DI DAERAH PROVINSI & KABUPATEN/KOTA

Buku Bunga Rampai, Jumlah 756 hlm.


Tinta Warna & Soft Cover
Harga Buku Rp. 750.000,-
Ongkos Kirim Wilayah Pulau Jawa Rp. 50.000,-
Ongkos Kirim di luar Pulau Jawa Rp. 100.000,-
Dapat dipesan ke:
Adi Jilid, No. Hp/WA: 0878.7895.8636.
BUKU BUNGA RAMPAI
URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG SOSIAL
DI DAERAH PROVINSI & KABUPATEN/KOTA

Penulis :
Syauqi, SE., M.Si
ISBN : 978-623-90295-0-0

Editor :
Hadi Januari

Penyunting :
Hadi Januari

Desain Sampul dan Tata Letak


Syauqi, SE., M.Si

Penerbit :
Biro Perencanaan Kementerian Sosial

Redaksi :
Jl. Salemba Raya No. 28 Jakarta Pusat 10430
Tel +62213103591
Fax +62213100309
Email : sokiren4@gmail.com

Distributor Tunggal :
Adi Jilid
Jl. Gading Raya Gg. Gading IV No. 29
Tel 081380448575 / 087878958636
Email : HJ.Ogepcruzer@gmail.com

Cetakan pertama, Februari 2019


Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang ditempuh
untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi
masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan
publik.
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Pasal 18 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimal dan pada Pasal 10
ayat (6) PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, perlu adanya standar
teknis pelayanan dasar bidang sosial, maka atas pertimbangan perlu menetapkan
Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada SPM Bidang
Sosial di daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Belanja daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 298, diprioritaskan untuk
membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 86 Tahun 2017
tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Penerapan SPM Bidang Sosial dilakukan dengan tahapan: pengumpulan data;
penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; penyusunan
rencana pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; dan pelaksanaan pemenuhan
pelayanan dasar bidang sosial.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk mengintegrasikan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018
tentang Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada SPM Bidang Sosial di daerah
Provinsi dan di daerah Kab/Kota kedalam dokumen perencanaan dan penganggaran
daerah pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) yang diinisiasi oleh Ditjen Bina Bangda
Kementerian Dalam Negeri.
Jakarta, Februari 2019
Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Sosial

Adhy Karyono
SEKAPUR SIRIH
URUSAN PEMERINTAHAN
BIDANG SOSIAL BERDASARKAN UU NO. 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Urusan pemerintahan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah diantaranya membagi urusan dalam tanggung jawab dan
kewenangan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang
pada lampiran sub bidang urusan sosial berbunyi “Pendataan dan pengelolaan data fakir
miskin” cakupan daerah provinsi dan cakupan daerah kabupaten/kota”.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
mengamanatkan bahwa Dinas Daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan unsur
pelaksana Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dengan kriteria
variabel teknis ditetapkan berdasarkan beban tugas setiap Urusan Pemerintahan.
Tipologi dan beban kerja urusan pemerintahan bidang sosial yang diatur dalam
Permensos No. 13 Tahun 2016 dan Permensos No. 14 Tahun 2016 dengan kriteria variabel
teknis jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang direhabilitasi
dalam panti baik milik pemerintah daerah maupun milik masyarakat berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum dalam jiwa dan jumlah potensi sumber kesejahteraan
sosial (PSKS) dan pengelompokan fungsi dan uraian tugas ke dalam unit kerja pada
Dinas Sosial Daerah provinsi dan kab/kota dengan jenis tipologi A beban kerja besar, tipe
B dengan beban kerja sedang dan tipe C dengan beban kerja ringan. Pengelompokan
bidang yang terdiri dari Bidang I Perlindungan dan Jaminan Sosial, Bidang II Rehabilitasi
Sosial, Bidang III Pemberdayaan Sosial, Bidang IV Penanganan Fakir Miskin.
PP No. 2 Tahun 2018 dan Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan
Standar Pelayanan Minimal, bahwa Kementerian pengampu SPM menetapkan Peraturan
Menteri tentang Standar Teknis mengatur standar jumlah dan kualitas barang dan jasa,
sumber daya manusia dan petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan standar dilakukan
dengan tahapan pengumpulan data, penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan
dasar kedalam dokumen RPJMD, RKPD dan memprioritaskan penyusunan rencana
pemenuhan pelayanan dasar berdasarkan penghitungan kebutuhan ke dalam Renstra PD
dan Renja PD sesuai dengan tugas dan fungsi.
PP No. 12 Tahun 2017 dan Permendagri No. 110 Tahun 2017 mengatur tanggung
jawab/kewenangan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah terkait aspek
keuangan daerah, SDM dan Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah mempunyai
tanggung jawab/kewenangan atas capaian Standar Pelayanan Minimal dan NSPK yang
merupakan salah satu tolok ukur kinerja Pemda.
PP No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat mengatur substansi diantaranya mengkoordinasikan pembinaan dan
pengawasan, tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota.

Jakarta, Februari 2019


JFT Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial

Syauqi, SE., M.Si


BIOGRAFI PENULIS

Nama : Syauqi, SE., M.Si


Istri : Dewi Sulistiowati, SE.
Anak : Fanny Angellita.
Pendidikan : S-2 FISIP Universitas Indonesia Tahun 2002
Terakhir

Riwayat Pekerjaan
 Kasubag Analisis Dampak Kebijakan Biro Perencanaan, Kementerian Sosial Tahun
2006-2012.
 Kasubag Analisis Rencana Strategis Bidang Rehabilitasi Sosial dan Badiklit Kesos
tahun 2012-2015.
 Jabatan Fungsional Tertentu (JFT) Analis Kebijakan Madya di Biro Perencanaan
Kementerian Sosial Tahun 2015-Sekarang November 2018.

Diklat lain
 Diklat Perencancanaan oleh Biro Perencanaan Departemen Sosial Tahun 2000.
 Diklat Perancang Peraturan Perundang-undangan di Pusdiklat Kementerian Hukum
dan HAM Tahun 2005
 Diklat PIM 4 Tahun 2006 di D.I Yogyakarta.
 Diklat Fasilitator Urusan Pemerintahan Daerah Tahun 2015 oleh Balatbang
Kementerian Dalam Negeri pada Oktober 2015.
 Diklat LAN, Analis Kebijakan: Case Study Writing selama 6 bulan di LAN Tahun 2016.
 Diklat Kekhususan JFT Analis Kebijakan Tingkat Madya tahun 2017.
 Juara Pertama : Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) antar Kementerian/Lembaga/Daerah
yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada Desember 2017,
dengan Studi Kebijakan “Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di
Daerah Provinsi & Kab/Kota Tahun 2008-2017”.

Daftar Karya Tulis Ilmiah


 Analisis Kebijakan Peran Kelembagaan Sosial Dalam Penanggulangan Kemiskinan di
Daerah, oleh Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang Hubungan Antar Lembaga & Biro
Perencanaan Kemensos Tahun 2011.
 Analisis Kebijakan Migran Bermasalah di Perkotaan, Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang
Otoda & Biro Perencanaan Kemensos Tahun 2011.
 Pedoman Analisis Kebijakan Kesos, Biro Perencanaan Kemensos.
 Analisis Kebijakan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, Staf
Ahli Menteri (SAM) Bidang Otoda dan Biro Perencanaan Kemensos Tahun 2011.
 Analisis Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), Biro Perencanaan
Kemensos Tahun 2012.
 Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB), Biro
Perencanaan Kemensos Tahun 2013.
 Analisis Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.
 Analisis Kebijakan Penerapan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 6
Tahun 2014 tentang desa.
 Analisis Kebijakan mengenai Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial.
 Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT), Biro Perencanaan
Kemensos Tahun 2014.

Daftar Kegiatan di Bidang Kajian dan Analisis


A. Kegiatan Analisis Kebijakan Kesejahteraan Sosial Staf Ahli Menteri Sosial
Dalam melaksanakan Kajian Staf Ahli Menteri, kegiatan dilaksanakan melalui tim
yang dipimpin oleh Staf Ahli Menteri yang bersangkutan. Kegiatan tersebut
dilaksanakan oleh Biro Perencanaan, melalui Bagian Analisis Kebijakan, bekerjasama
dengan Tata Usaha Pimpinan, yang meliputi :
 Penyusunan Disain Kajian dan instrument Uji Petik
 Uji Petik ke Lapangan melalui Focus Group Discussin (FGD) ke beberapa Provinsi
terpilih.
 Penyusunan Laporan/ Pengolahan Data Hasil Uji Petik
 Penyusunan kajian analisis kebijakan SAM
 Seminar hasil Kajian.

Tahun 2007
1. “Peran Departemen Sosial dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)”.
SAM Bidang Hubungan Antar Lembaga
2. “Peningkatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak Balita melalui Taman
Penitipan Anak”, SAM Bidang Perlindungan Sosial
3. “Kajian Penguatan Kearifan Lokal Sebagai Strategi Memperkuat Integrasi
Sosial”, SAM Bidang Integrasi Sosial,
4. “Kajian Kebijakan Pemberdayaan Lembaga Sosial Lokal dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Era Otonomi Daerah”, SAM Bidang Otonomi Daerah

Tahun 2008
1. “Kajian Analisis Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial”, SAM BIdang Otonomi Daerah,
2. “Kajian Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Pasca Bencana”,
SAM Bidang Dampak Sosial,
3. “Kajian Analisis Kebijakan Penyuluhan Sosial dalam Meningkatkan Integrasi
Sosial”, SAM Bidang Integrasi Sosial,
4. “Kajian Analisis Kebijakan Implementasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri : Perlindungan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum”
SAM Bidang Perlindungan Sosial.

Tahun 2009
1. “Tanggung Jawab Dinas Sosial dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Menghadapi Krisis Global”, SAM Bidang Otonomi Daerah
2. “Kajian Analisis Kebijakan Dampak Program Kesejahteraan Sosial Terhadap
Indeks Pembangunan Manusia”, SAM Bidang Dampak Sosial
3. “Kajian Perlindungan Sosial Bagi Kelompok Masyarakat Lanjut Usia Rentan”
SAM Bidang Perlindungan Sosial
4. “Analisis Kebijakan Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Tata Kelola
Institusi Sosial di Daerah Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial”,
SAM Bidang Hubungan Antar Lembaga,
5. “Kajian Kebijakan Dampak Kemiskinan Terhadap Integrasi Sosial” SAM Bidang
Integrasi Sosial

Tahun 2010
1. “Kajian Kebijakan Penguatan dan Pengembangan Kesetiakawanan Sosial”,
SAM Bidang Integrasi Sosial
2. “Kajian Kebijakan Tentang Migran Bermasalah di Perkotaan” SAM Bidang
Otonomi Daerah
3. “Peran Kelembagaan Sosial Dalam Penangulangan Kemiskinan di Daerah”, SAM
Bidang Hubungan Antar Lembaga
4. “Kajian Tingkat Kepuasan Lanjut Usia pada Pelayanan Panti”, SAM Bidang
Perlindungan Sosial
5. “Dampak Sosial China Asean Free Trade Terhadap Kesatuan Bangsa”,
SAM Bidang Dampak Sosial.

Tahun 2011
1. “Kajian Kebijakan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
di Empat Provinsi”, SAM Bidang Otonomi Daerah
2. “Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam Meningkatkan
Kesetiakawanan Sosial”, SAM Bidang Integrasi Sosial
3. “Kajian Kebijakan Tentang Kemitraan Pemerintah dengan Lembaga
Kesejahteraan Sosial/Organisasi Sosial dan Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan
kesejahteraan Sosial”, SAM Bidang Otonomi Daerah
4. “Analisis Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Masyarakat di Lokasi Program Bantuan
Langsung Pemberdayaan Masyarakat (BLPS)”, SAM Bidang Dampak Sosial
5. “Kelembagaan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial yang
Terintegratif dalam Penanggulangan Bencana Alam”, SAM Bidang Hubungan
Antar Lembaga

B. Analisis Kebijakan Model Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial


Analisis kebijakan model penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dilaksanakan pada
Bagian Analisis Kebijakan di Biro Perencanaan Kemensos. Kegiatan dilaksanakan sejak
tahun 2012 sampai tahun 2015, meliputi :
 Penyusunan Disain analisis kebijakan dan instrument Uji Petik
 Pelaksanaan uji petik ke Lapangan melalui Focus Group Discussin (FGD) ke beberapa
Provinsi terpilih.
 Penyusunan Laporan/Pengolahan Data Hasil Uji Petik
 Penyusunan Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Kegiatan tersebut adalah :
1. Tahun 2012 : Analisis Kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
2. Tahun 2013 : Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat
(ASODKB)
3. Tahun 2014 : Analisis Kebijakan Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT)
4. Tahun 2015 : Analisis Kebijakan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna
Napza Melalui Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).

C. Kegiatan Bagian Analisis Kebijakan Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI Tahun


2015
PROGRAM/KEGIATAN/OUTPUT/SUBOUTPUT/
KOMPONEN/SUBKOMP/AKUN/DETIL
 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
 Rekomendasi Hasil Analisis Kajian Bidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial
 Penyusunan Perencanaan Strategis Bidang Sosial 2015-2019
 Penyempurnaan Rencana Strategis 2015 - 2019 Kementerian Sosial RI
 Perbaikan Rencana Strategis 2015 - 2019 Kementerian Sosial
 Workshop Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Identifikasi Kebutuhan Materi Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
 Penyusunan Disain dan Instrumen Analisis Kebijakan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
 Field review dan FGD Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Pengolahan dan Analisa Data Hasil Field Review Analisis Kebijakan Model
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Penulisan Rancangan Naskah Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Workshop Rancangan Naskah Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Finalisasi dan Perbaikan Dokumen Naskah Kebijakan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
 Penyiapan Lokasi FGD Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Tim Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

PEMBAHASAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DAN NORMA STANDAR


PROSEDUR KRITERIA BIDANG SOSIAL
 Tim Penyusunan Revisi SPM Bidang Sosial
 Review Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
 Penyusunan Draft Rancangan Revisi Indikator SPM Bidang Sosial
 Pembahasan Rancangan Revisi SPM Bidang Sosial
 Pembahasan Revisi Indikator SPM Bidang Sosial dengan Kementerian dalam
Negeri dan Daerah
 Pembahasan NSPK dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
 Pembahasan NSPK Bidang Sosial Antar Kementerian/Lembaga
 Pembahasan SPM dan NSPK Bidang Sosial dengan Daerah Provinsi dan Kabupaten
/Kota

D. Penyusunan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) Bidang Sosial :


1. Persyaratan Pengangkatan Anak, Permensos No. 110/HUK/2009.
2. Pedoman Pelaksanaan Kampung Siaga Bencana, Permensos No. 128 Tahun 2011.
3. Lembaga Kesejahteraan Sosial, Permensos No. 184 Tahun 2011
4. Taman Anak Sejahtera, Permensos No. 02 Tahun 2012.
5. Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Permensos No. 03 Tahun 2012
6. Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Permensos No. 06 Tahun 2012
7. Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial, Permensos No. 08 Tahun 2012
8. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Permensos No. 09 Tahun 2012.
9. Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Permensos No. 19 Tahun 2012.
10. Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang
Kesejahteraan Sosial, Permensos No. 25 Tahun 2012.
11. Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif Lainnya, Permensos No. 26 Tahun 2012.
12. Taruna Siaga Bencana, Permensos No. 29 Tahun 2012.
13. Bantuan Sosial Korban Bencana, Permensos No. 01 Tahun 2013.
14. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga, Permensos No. 16 Tahun 2013.
15. Pengasuhan Anak, Permensos No. 21 Tahun 2013.
16. Pemulangan Migran Bermasalah (PMB), Permensos No. 22 Tahun 2013.
17. Pemberdayaan Karang Taruna, Permensos No. 23 Tahun 2013.
18. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Permensos No. 24 Tahun 2013.
19. Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial, Permensos 22 Tahun 2014
20. Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Peraturan Menteri
Sosial Nomor 01 Tahun 2015

E. Penyusunan Memo Kebijakan Staf Ahli Menteri Sosial RI, Nota Dinas dan
Telaahan Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI :
 Memo Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah Kementerian Sosial RI,
No.07/TU-SAM/I/2011 tentang Laporan Kemajuan Pencapaian Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial.
 Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI, No.297/PER-
AK/III/2011 tanggal 22 Maret 2011, Hal: Analisis Kebijakan Rehabilitasi Sosial
Terkait Dengan Sinkronisasi Pelayanan Dasar Panti Sosial Dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri RI No. 57 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Perkotaan
(Pusat Pelayanan Sosial).
 Memo Kebijakan Staf Ahli Menteri Sosial No. 50/TU-SAM/XI/2011 tanggal 6
November 2011, Hal: Pemberitaan TV-One tentang Panti Tresna Wherda Pare-Pare
Sulawesi Selatan.
 Telaahan Pertemuan Seminar Perlindungan Sosial bagi Orang Dengan Disabilitas,
No. 1346/PER-AK/XII/2012 tanggal 20 Desember 2012.
 Memo Kebijakan Hasil Kajian Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di 4
(empat) Provinsi, No. 66/TU-SAM/XI/2011 tanggal 16 November 2011, Staf Ahli
Menteri (SAM) dan Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
 Memo Kebijakan Dana Alokkasi Khusus (DAK) Bidang Sosial Untuk Pencapaian
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, No. 67/TU-SAM/XI/2011 tanggal
18 November 2011, Staf Ahli Menteri (SAM) dan Biro Perencanaan Kementerian
Sosial RI.
 Memo Kebijakan Urgensi Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) Bidang Sosial,
No. 12/TU-SAM/11/2011 tanggal 7 Februari 2011, Staf Ahli Menteri (SAM) dan
Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
 Nota Dinas Pengintegrasian Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2013 tentang Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2014, No. 82/TU-
SAM/5/2013. tanggal 24 Mei 2013, Staf Ahli Menteri (SAM) dan Biro Perencanaan
Kementerian Sosial RI.
 Telaahan Kesepakatan Bersama Antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum
dan HAM, Kepolisian, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, mengenai
Penanganan Pecandu Narkotika, Psikotropika, dan Penggunaan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) untuk direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial Peraturan Pemerintah RI
No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
 Telaahan Penyusunan Dokumen RKPD terkait dengan Urusan Wajib Berkaitan
Pelayanan Dasar Bidang Sosial, No. 300/PER-AK/II/2012 tanggal 26 Februari 2012.
 Naskah Kebijakan Asistensi Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB).
 Analisis Kebijakan Klarifikasi Kementerian Sosial Atas Kesimpulan Analisis Sektor
Mengenai Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Sektoral.
 Penyusunan Pointers Workshop Costing Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial.
 Telaahan Tugas dan Fungsi Staf Ahli Menteri (SAM) Sesuai Peraturan Perundang-
undangan, tanggal 2 April 2015.
 Telaahan Masukan Bidang Sosial Pada Rancangan Permendagri tentang Anggaran
Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2016 di Pertemuan Ditjen Keuangan
Daerah Kemendagri, tanggal 20 April 2015.

F. Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial Pada Rancangan Akhir Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Direktorat Perencanaan
Pembangunan Daerah, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri :
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Jawa Tengah.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Sumatera Utara.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Bali.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Jawa Barat.
 Analisis Kebijakan Masukan Bidang Sosial pada Rancangan Akhir RPJMD Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
G. Buku Pedoman (bersama Tim)
1. Tahun 2007 : Pedoman Umum Perencanaan Program Pembangunan
Kesejahteraan Sosial,
2. Tahun 2008 : Pedoman Analisis Kebijakan
3. Tahun 2009 : Penyusunan Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial,
Peraturan Menteri Sosial RI No. 111/HUK/2009.
4. Tahun 2012 : Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
(PPRG) Bidang Sosial.
5. Tahun 2013 : Pedoman Umum Audit Gender Bidang Sosial.
6. Tahun 2013 : Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun 2014.
7. Tahun 2014 : Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun 2015.
DAFTAR ISI

Memo Kebijakan

1. Bantuan Sosial Berdasarkan Peraturan Per-UU-An..................................................... 1


2. Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah Melalui Standar Pelayanan Minimal . 3
3. Kemandirian Berdasarkan Peraturan Per-UU-An ....................................................... 5
4. Analisis Capaian Penerapan SPM Bidang Sosial Di Daerah Provinsi Dan Kab/
Kota Tahun 2017 ............................................................................................................... 7

Policy Brief

5. Perencanaan & Penganggaran Bidang Urusan Sosial Dalam RKPD Tahun 2019 ... 9
6. Urgensi Modul E-Learning Kompetensi & Beban Kerja Bidang-Bidang Pada
Dinas Sosial Provinsi & Kab/Kota ................................................................................. 19
7. Kawasan Ramah Lanjut Usia Sebagai Potensi Sumber Dalam Rehabilitasi Sosial
Bagi Lanjut Usia Potensial ............................................................................................... 47
8. Rapat Koordinasi Pengembangan SDM, Lembaga & Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial Tahun 2019 .................................................................................... 55
9. Perlindungan Dan Rehabilitasi Sosial Bagi Lanjut Usia Tinggal Sendiri Dalam
Rumah Tangga Di Masa Depan ...................................................................................... 65
10. Perbedaan Regulasi SOP, SP, SPM, NSPK .................................................................... 83
11. Background Study Renstra Kemensos 2020-2024 Kesesuaian IKK Provinsi & Kab/
Kota Dengan IKU Kemensos........................................................................................... 89
12. Usulan DAK Bidang Sosial Pada RKP 2020 .................................................................. 135
13. Bantuan Sosial Bagi Gelandangan & Pengemis Melalui Lembaga Kesejahteraan
Sosial ................................................................................................................................... 151
14. Peran & Fungsi Balai Diklat Kementerian Teknis Di Era Otonomi Daerah ............. 157
15. Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBN/APBD & Peruntukan DAK Untuk
Penerapan SPM Bidang Sosial ........................................................................................ 163
16. Dilema Pembangunan Ekonomi Dan Pembangunan Sosial ................................... 169
17. SPM & Puskesos Kebijakan Tata Kelola Layanan Dasar ........................................... 175
18. Background Study Renstra 2020-2024 Sinkronisasi Perencanaan Pusat & Daerah . 181
19. Belanja Daerah Diprioritaskan Membiayai Urusan Wajib Terkait Pelayanan
Dasar ................................................................................................................................... 187
20. Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Pembinaan Dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemda ................................................................................................. 203
21. Indek Kualitas Kebijakan Studi Kebijakan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial Di Daerah Provinsi & Kab/Kota Tahun 2008-2017 . 207
22. Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan........................................................................................................................... 221
23. APIP Dalam Binwas Penyelenggaraan Pemda ............................................................. 231
24. DAK Bidang Sosial Untuk Penerapan SPM Bidang Sosial ......................................... 235
25. Indikator Kinerja Kunci (IKK) Dalam Penyusunan, Laporan Dan Evaluasi
Penyelenggaraan Pembangunan Daerah ...................................................................... 241
26. Fungsional Perencana & Analis Kebijakan Perbedaan Fungsi, Tugas, Peran
Berdasarkan Regulasi ....................................................................................................... 249
27. Kebijakan Dekonsentrasi & Tugas Pembantuan Pada RKP 2018 & RKP 2019......... 259
28. Isu Krusial Kerjasama Daerah Dan Prioritas Nasional................................................ 269
29. Bagaimana Kompetensi Kerja ASN Daerah Bidang Sosial Di Era Otonomi
Daerah ?.............................................................................................................................. 275
30. Kesesuaian Renja, IKU Dengan IKK Provinsi & Kab/Kota ........................................ 283
31. Layanan Sosial Satu Pintu Tata Kelola Pelayanan Dasar Melalui Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM), Layanan Rujukan Terpadu Dan Pusat
Kesejahteraan Sosial ......................................................................................................... 301
32. Model Sosial Penyandang Disabilitas, Apakah Merupakan Inklusifitas? .............. 307
33. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Sinkronisasi Perencanaan
Pusat & Daerah Dalam RKP 2019 & RKPD 2019 .......................................................... 311
34. Apakah Negara Hadir Dalam Memberi Perlindungan Dan Jaminan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Berat ......................................................................................... 321
35. Kompetensi Pekerja Sosial Profesional Pemenuhan Hak & Pelayanan Publik
Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dasar Setiap Warga Negara Indonesia ................... 331
36. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Apakah Merupakan Pelayanan Publik .................... 339
37. Pilkada Dan Pelayanan Publik ........................................................................................ 345
38. Urgensi Pelaksanaan Program Dan Kegiatan Berdasarkan Penelitian Dan Kajian 349
39. PSKS Sebagai Pendamping Sosial Dalam Program Penanggulangan Kemiskinan 355
40. Puskesos Dan Rumah Singgah Dalam Penerapan SPM Bidang Sosial Di Kab/
Kota ..................................................................................................................................... 361
41. Keterkaitan RAN-HAM, SDG’s, Layanan & Rujukan Terpadu ................................. 369
42. Penyusunan Program Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Melalui UPT
Dan Dekonsentrasi Tahun 2019 ...................................................................................... 373
43. Kesesuaian Rencana Kerja Dan Anggaran 2017 Dengan IKU Kementerian Sosial . 381
44. SDG’s Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Implementasi Kebijakan
Pusat & Daerah ................................................................................................................. 397
45. Apakah Kebijakan Dan Regulasi Sudah Bersinergi Dalam RKP 2018 Dan Renja
K/L 2018 ............................................................................................................................ 401
46. Pelayanan Dasar Melalui Standar Pelayanan Minimal ............................................... 405
47. Apakah Urusan Konkuren Bidang Sosial Merupakan Pelayanan Publik ? ............. 409
48. Urgensi Payung Hukum Warga Negara Indonesia Migran Dan Korban
Perdagangan Orang.......................................................................................................... 413
49. Pelayanan Dasar Dengan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Dalam Penanganan
Stunting .............................................................................................................................. 421
50. Telaah Pengumpulan Data & Informasi Background Study Renstra
Kementerian Sosial 2020-2024 Di Provinsi Jambi Tanggal 16-19 Oktober 2018....... 431
51. Penerapan SPM Bidang Sosial Di Provinsi Sebagai Solusi Alternatif Kebutuhan
6 Jenis Panti Di Daerah Provinsi .......................................................................................... 451
52. Indikator Kinerja Kunci (IKK) Penanganan Fakir Miskin .......................................... 461
53. Apakah Mengurangi Beban Pengeluaran Fakir Miskin Diantaranya Melalui
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ? ..................................................................................... 477
54. Efektifitas Uji Coba Tahap-1 Bantuan Pangan Non Tunai.......................................... 481
55. Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai Di Provinsi Lampung .............................. 486
56. Analisis Renstra Bantuan Pangan Non Tunai Di Kota Denpasar Bali ...................... 491
57. Perjanjian Kinerja, Renstra Dan Indikator Kinerja Utama ....................................................... 497
58. Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak Dan Satuan Bakti Pekerja Sosial................... 503
59. Penyusunan Renstra STKS Kompetensi SDM Penyelenggara Kesejahteraan
Sosial ................................................................................................................................... 513
60. Perangkat Daerah Dinas Sosial Provinsi/Kab/Kota Berdasarkan Tugas Dan
Fungsi ................................................................................................................................. 523

Artikel Kebijakan

61. Perekonomian Dan Kesejahteraan Sosial Dilema Dalam Melaksanakan Amanat


Konstitusi Negara Dan Meningkatkan Daya Saing Menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) .................................................................................................... 529
62. Highlight Kebutuhan Dasar Melaksanakan Amanat Penanganan Fakir Miskin
Dalam UU 13/2011 Dan UU 23/2014 Tentang Pemda ............................................... 575
63. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah Peluang Terhadap Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial .......................... 581
64. Alih Fungsi Panti Sebagai Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Peluang Terhadap Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial ......................................................................................................... 601
65. Telaahan Naskah Akademik Draft Awal Petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial ......................................................................................... 619

Naskah Akademik/Naskah Urgensi

66. Rancangan Peraturan Menteri Sosial Tentang Pedoman Intensitas Dan Beban
Kerja Pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Panti Sosial Pemerintahan Urusan
Bidang Sosial ..................................................................................................................... 621
67. Rancangan Permensos Tentang Restorasi Sosial Dalam Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial ......................................................................................................... 659
68. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial Di Daerah
Provinsi Dan Di Daerah Kabupaten/Kota .................................................................... 691
MEMO KEBIJAKAN
BANTUAN SOSIAL BERDASARKAN PERATURAN PER-UU-AN

UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial


 Pasal 14 ayat (2), Perlindungan Sosial dilaksanakan melalui: a) bantuan sosial, b)
advokasi sosial dan/atau c) bantuan hukum.
Peraturan Presiden 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara
Non Tunai
 Ketentuan Umum poin (4): Pemberi bantuan sosial adalah Satuan kerja pada K/L
pada Pemerintah Pusat yang tugas dan fungsinya melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan yang meliputi perlindungan sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial dan pelayanan.
Buletin Teknis Warta Keuangan Edisi 28 Tahun 2014, Surat Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) No. B-748/01-10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014:
(sumber: warta keuangan edisi 28 Tahun 2014)
 Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor B-748/01-10/03/2014
tanggal 20 maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial memiliki
kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan, termasuk
pembangunan Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin (DT-PFM) untuk
“Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan keluarga).
 Rekomendasi KPK, Bansos hanya untuk orang Miskin dengan Resiko Sosial.

Belanja Bantuan Sosial


Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau
kesejahteraaan masyarakat
Risiko Sosial
Kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan
sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai
dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam
yang jika tidak diberikan Belanja Bantuan Sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat
hidup dalam kondisi wajar.

REGULASI TERKAIT BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER APBN & APBD:


 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan Atas
PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada K/L.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas
Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial
yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Belanjda Daerah (APBD).

Jakarta, 10 Oktober 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kemensos.

[1]
MEMO KEBIJAKAN
SINERGI PERENCANAAN PUSAT DENGAN DAERAH
MELALUI STANDAR PELAYANAN MINIMAL

 Pasal 298 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Belanja Daerah di
Prioritaskan membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar dengan berpedoman
pada Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
 SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar SPM
Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kab/Kota, dengan Jenis Pelayanan Dasar
pada SPM sosial Daerah Provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial dasar di dalam panti
bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia telantar, tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan Daerah Kab/Kota
untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
 Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah satu
penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
 Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang
prima bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara
yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik
yang tepat bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah
dalam pelayanan publik.
 Mutu Pelayanan Dasar untuk setiap Jenis Pelayanan Dasar ditetapkan dalam standar
teknis, yaitu standar jumlah dan kualitas barang, standar jumlah dan kualitas sumber
daya manusia kesejahteraan sosial dan petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan
standar.

[3]
[4]
MEMO KEBIJAKAN
KEMANDIRIAN BERDASARKAN PERATURAN PER-UU-AN

UUD 45 AMANDEMEN
BAB XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33, Perekonomian
nasional diselenggarakan atas asas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi.

UU No. 17 Tahun 2017 RPJPN 2005-2025


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) diwujudkan dalam visi,
misi dan arah pembangunan nasional yang mencerminkan cita-cita kolektif yang akan
dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi untuk mencapainya. Visi merupakan
penjabaran cita-cita berbangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu terciptanya masyarakat
yang terlindungi, sejahtera.

UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial


 Pasal 3, memulihkan fungsi sosial yang memerlukan pendampingan sosial dalam
rangka mencapai kemandirian, meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas dan
kelangsungan hidup, meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
rangka penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan,
merupakan salah satu tujuan dari penyelenggaraan kesejahteraan yang disebutkan
pada.
 Pasal 20 ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan dasar serta
kemampuan berusaha masyarakat miskin, mewujudkan kondisi dan lingkungan
ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat
memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan
peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.
UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
 Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Fakir Miskin adalah orang yang
sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
 Pasal 3, Fakir miskin berhak memperoleh, diantaranya memperoleh kecukupan
pangan, sandang, dan perumahan. Pasal 4, Fakir miskin bertanggung jawab: menjaga
diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak kesehatan, kehidupan sosial,
dan ekonominya; meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam
bermasyarakat;
 Memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf kesejahteraan serta
berpartisipasi dalam upaya penanganan kemiskinan.

Jakarta, 29 September 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kemensos.

[5]
MEMO KEBIJAKAN
ANALISIS CAPAIAN PENERAPAN SPM BIDANG SOSIAL
DI DAERAH PROVINSI DAN KAB/KOTA TAHUN 2017

Pertimbangan
UU No. 23/2014 tentang Pemda
 Karena Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan pelayanan dasar dan
merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara
secara minimal.
 SPM merupakan salah satu instrumen “Pelayanan Publik” sehingga tidak boleh ada
kekosongan dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
 UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 298 menyebutkan bahwa belanja daerah diprioritaskan
untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib pelayanan dasar yang ditetapkan dengan
standar pelayanan minimal (SPM).
 Evaluasi Paruh waktu RPJMN 2015-2019 yang dilakukan oleh Bappenas di Tahun
2017, terdapat beberapa catatan, diantaranya mengukur capaian pemerataan
pembangunan yang terjadi di Indonesia diantaranya tingkat ketimpangan, tingkat
kemiskinan dan perluasan jangkauan pelayanan dasar melalui penerapan SPM;
 Tugas masing-masing K/L harus jelas, sehingga setiap K/L perlu melakukan evaluasi
internal secara positif dan menetapkan target yang akan dicapai dan setiap K/L harus
memberikan laporan capaian keberhasilan K/L yang paling menarik yang dirasakan
langsung oleh rakyat.

Laporan Capaian Penerapan SPM Tahun 2017, adalah :


 Surat Plt Dirjen Bina Bangda Kemdagri A.n Menteri Dalam Negeri RI No. 610/9802/
Bangda Tanggal 20 Desember 2017
Hal: Permintaan Laporan Capaian Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Tahun 2017.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 31 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyusunan APBD Tahun 2017, pada halaman 80 berbunyi :
Pengentasan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) mempedomani
Permensos No. 129/HUK/2008 tentang SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan
Kab/Kota serta Kepmensos No. 80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan
Pembiayaan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota.
Kebijakan Pelaksanaan: Tahun 2008 s.d 2015

Jakarta, Desember 2017


Syauqi
Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[7]
POLICY BRIEF
PERENCANAAN & PENGANGGARAN BIDANG URUSAN SOSIAL DALAM
RKPD TAHUN 2019

Abstrak
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2019 yang
ditetapkan dengan Permendagri No. 22 Tahun 2018 secara substansi memuat arah
kebijakan ekonomi dan keuangan daerah, rencana program, kegiatan, indikator kinerja,
pagu indikatif, kelompok sasaran, lokasi kegiatan, prakiraan maju dan perangkat daerah
penanggung jawab yang wajib dilaksanakan Pemda dalam 1 (satu) tahun.
Penyusunan kebijakan umum APBD Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Prioritas
dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang akan diusulkan oleh Kepala Daerah untuk
disepakati bersama dengan Dewan Perwwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
RKPD menjadi tolok ukur untuk menilai capaian kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah merealisasikan program dan kegiatan dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Penyusunan RKPD berpedoman pada arah kebijakan
pembangunan nasional, arah kebijakan pembangunan daerah, tahapan dan tata cara
penyusunan, tahapan dan tata cara penyusunan perubahan, pengendalian dan evaluasi
serta konsistensi perencanaan dan penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Arah kebijakan pembangunan bidang urusan untuk menjamin sinergitas program
pembangunan nasional dan daerah, penyusunan RKPD 2019 berdasarkan arah kebijakan
pembangunan daerah dengan memperhatikan prioritas dan sasaran pembangunan
nasional. Arah kebijakan pembangunan daerah berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM.
Permendagri No. 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2019, belanja daerah diprioritaskan
untuk mendanai urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar yang ditetapkan
dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), sebagaimana diatur dalam PP No. 2 Tahun
2018 tentang SPM serta berpedoman pada standar teknis dan harga satuan regional sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belanja daerah harus mendukung target capaian prioritas pembangunan nasional
tahun 2019 sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan APBD harus lebih fokus terhadap kegiatan
yang berorientasi produktif dan memiliki manfaat untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi daerah.

PENDAHULUAN
Prioritas nasional/program prioritas/kegiatan prioritas yang dilaksanakan dengan
berbasis kewilayahan. RKP Tahun 2019 dimaksudkan sebagai pedoman bagi
Kementerian/Lembaga dalam penyusunan Rencana Kerja (Renja) Tahun 2019 dan
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Tahun 2019.

[9]
RKPD digunakan sebagai pedoman dalam proses penyusunan rancangan peraturan
daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2019.
Berkaitan dengan itu, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus
mendukung tercapainya 5 (lima) prioritas pembangunan nasional sesuai dengan potensi
dan kondisi masing-masing daerah, mengingat keberhasilan pencapaian prioritas
pembangunan nasional dimaksud sangat tergantung pada sinkronisasi kebijakan antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah dan antara pemerintah kabupaten/kota dengan
pemerintah dan pemerintah provinsi yang dituangkan dalam RKPD.
Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Daerah dengan Kebijakan Pemerintah Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019 merupakan penjabaran tahun kelima pelaksanaan
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 yang memuat sasaran, arah kebijakan, dan strategi
pembangunan.
Penyusunan RKP merupakan upaya dalam menjaga kesinambungan pembangunan
terencana dan sistematis yang dilaksanakan oleh masing-masing maupun seluruh
komponen bangsa dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia secara
optimal, efisien, efektif dan akuntabel dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hidup
manusia dan masyarakat secara berkelanjutan.
Penyusunan RKP Tahun 2019 dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial, serta kebijakan anggaran belanja berdasarkan
money follows program dengan cara memastikan hanya program yang benar-benar
bermanfaat yang dialokasikan dan bukan sekedar karena tugas fungsi Kementerian/
Lembaga yang bersangkutan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pencapaian prioritas
pembangunan nasional memerlukan adanya koordinasi dari seluruh pemangku
kepentingan, melalui pengintegrasian
5 (lima) prioritas pembangunan nasional Tahun 2019 dimaksud, diantaranya
pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan
dasar. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun RKPD
Tahun 2019 mempedomani Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019.
Pemerintah daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja, baik dalam
konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan kegiatan, yang
bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran dan memperjelas
efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran.
Program dan kegiatan memberikan informasi yang jelas dan terukur serta memiliki
korelasi langsung dengan keluaran yang diharapkan dari program dan kegiatan
dimaksud ditinjau dari aspek indikator, tolok ukur dan target kinerjanya.
Sinkronisasi kebijakan Pemerintah Daerah dan pemerintah dituangkan dalam
rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) yang disepakati bersama antara Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai dasar dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2019.
KUA dan PPAS pemerintah provinsi Tahun 2019 berpedoman pada RKPD Tahun
2019 masing-masing provinsi yang telah disinkronisasikan dengan RKP Tahun 2019,
sedangkan KUA dan PPAS pemerintah kabupaten/kota berpedoman pada RKPD Tahun
2019 masing-masing kabupaten/kota yang telah disinkronisasikan dengan RKP Tahun
2019 dan RKPD provinsi Tahun 2019.

[10]
Hasil sinkronisasi kebijakan tersebut dicantumkan pada PPAS sesuai Permendagri
No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2019 didasarkan prinsip sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Belanja Daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, digunakan untuk mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah dan
pelaksanaan tugas organisasi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
Penganggaran belanja langsung dalam rangka melaksanakan program dan kegiatan
pemerintah daerah dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan, yang manfaat
capaian kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah kepada kepentingan
publik serta mendorong inovasi daerah.
Penyusunan anggaran belanja pada setiap program dan kegiatan untuk urusan
pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar ditetapkan dengan SPM dan berpedoman
pada standar teknis dan harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyusunan anggaran belanja pada setiap program dan kegiatan untuk urusan
pemerintahan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan
pilihan berpedoman pada analisis standar belanja dan standar harga satuan regional.
Pemerintah daerah dalam menyusun APBD Tahun Anggaran 2019, selain
memperhatikan kebijakan dan teknis penyusunan APBD, juga memperhatikan hal-hal
khusus, antara lain Belanja Tidak Terduga yang akan digunakan untuk mendanai
tanggap darurat, penanggulangan bencana alam dan bencana sosial dan kebutuhan
mendesak lainnya, seperti penanganan konflik sosial sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, PP No. 2 Tahun 2015 tentang
Peraturan Pelaksana UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan
Permendagri No. 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik
Sosial, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya.

Program Prioritas Nasional dalam RKP Tahun 2019 meliputi:


 Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan
dasar
 Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui penguatan konektifitas dan
kemaritiman
 Peningkatan nilai tambah ekonomi melalui pertanian, industri dan jasa produktif
 Pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumber daya air
 Stabilitas keamanan nasional dan kesuksesan Pemilu.

Prioritas Nasional (PN)-1 Pembangunan melalui Pengurangan Kemiskinan dan


Peningkatan Pelayanan Dasar dalam 5 (lima) Program Prioritas (PP) dengan masing-
masing Kegiatan Prioritas (KP).

[11]
Program Prioritas (PP)-1 Percepatan Pengurangan Kemiskinan dengan Kegiatan Prioritas
(KP) yang meliputi: Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) Keluarga Miskin dengan
Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan secara non tunai, KUBE/UEP di
Perkotaan, Perdesaan, Pesisir, PPK dan PAN.
Program Prioritas (PP)-2 Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Gizi Masyarakat dengan
Kegiatan Prioritas (KP) yaitu Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS.
Program Prioritas (PP)-3 Pemerataan Layanan Pendidikan Berkualitas dengan Kegiatan
Prioritas (KP) Penyediaan Literasi Bagi Penyandang Disablitas.
Program Prioritas (PP)-4 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Perumahan dan
Pemukiman layak, dengan Kegiatan Prioritas (KP) Pembangunan Rumah Komunitas
Adat Terpencil (KAT) dan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni.
Program Prioritas (PP)-5 Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar dengan Kegiatan
Prioritas (KP) yang meliputi: Verifikasi dan Validasi (Verval) data, P2K2, Sertifikasi
Pekerja Sosial (PEKSOS), Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Sistem Layanan
dan Rujukan Terpadu (SLRT), Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), Rehabilitasi
Sosial Anak, Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dengan Vokasional, Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK).
Prioritas Nasional (PN)-2 Penanggulangan Bencana dengan Kegiatan Prioritas (KP)
Perlindungan Korban Bencana Alam.
Prioritas Nasional (PN)-3 Kantibmas dan Keamanan Siber dengan Kegiatan Prioritas (KP)
yang meliputi: Perlindungan Korban Konflik Sosial, Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA,
Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial,
Penanggulangan Teroris.

Target Prioritas Nasional Kementerian Sosial Tahun 2019, meliputi:


Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
 Keluarga Miskin yang mendapatkan bantuan PKH dengan target 10.000.000 Keluarga
Penerima Manfaat (KPM).
 Korban Bencana Alam yang mendapatkan penanganan darurat dengan target 150.000
jiwa
 Kesiapsiagaan dan Mitigasi Masyarakat di lokasi rawan bencana dengan target 6.000
orang
 Korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
120.000 orang.
 Masyarakat yang mendapatkan penguatan dalam penanganan konflik sosial dengan
target 250 kampung
 Masyarakat yang mendapatkan penguatan pelibatan dan pencegahan terorisme
dengan target 200 kampung
 Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dengan target
101.800 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Hunni (RS-RTLH) dengan target 14.000 KPM
 Bantuan Pangan Non Tunai dengan target 15.6 juta KPM,

[12]
Program Rehabilitasi Sosial
 Penyandang Disabilitas (PD) yang mendapatkan alat bantu khusus dengan target 3.164
orang
 Rehabilitasi Sosial bagi PD dengan target 50.884 orang
 Literasi khusus bagi PD dengan target 35 literasi
 Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial dan
Perlindungan Sosial dengan target 19.000 orang
 Orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial
dengan target 950 orang
 Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial
dengan target 50 orang
 Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan dengan target 750 orang
 Anak Balita Telantar, Anak Telantar/Anak Jalanan, Anak Berhadapan dengan Hukum
dan Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus yang mendapatkan Rehabilitasi dan
Perlindungan Sosial dengan target 101.000 Anak.
 Lanjut usia yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan target
50.340 orang.
 Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Home Care dengan target 20.000 orang.

Program Pemberdayaan Sosial


 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mendapatkan pemberdayaan
dengan target 7.201 orang.
 Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT)
dengan target 150 Kab/Kota.
 Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS)
dengan target 300 desa/kelurahan.
 Warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diberdayakan dengan target 2.099
Kepala keluarga (KK).

Program Pendidikan, Penelitian & Penyuluhan Sosial


 Program Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2) bagi Pendamping Sosial PKH
dengan target 21.900 orang.
 Diklat bagi SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang meliputi Pekerja Sosial,
Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial dengan target
21.900 orang.
 SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan Sertifikasi dengan target
21.900 orang.
 Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang telah mendapatkan Akreditasi dengan
target 3.000 LKS.
 Verifikasi dan Validasi (Verval) Data Terpadu dengan target 107.200.000 jiwa.

[13]
DESKRIPSI MASALAH
 Belum optimalnya pemenuhan kompetensi pemerintahan pegawai ASN melalui
pendidikan dan pelatihan kepemimpinan pemerintahan dalam negeri yang
menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah, jabatan administrator dan jabatan
pengawas sesuai amanat Pasal 233 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan PP No.
12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian, Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005
tentang Kementerian Sosial, Permensos No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi Tata
Kerja di Kementerian Sosial, Permensos No. 14 Tahun 2017 (Perubahan Pertama dari
Permensos No. 20 Tahun 2015 dan Perubahan Kedua dengan Permensos No. 22 Tahun
2018, Organisasi Tata Kerja (OTK) Balai Besar dengan Sumber Daya Manusianya
diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi dari Unit Kerja Eselon (UKE) I
Badiklit Pensos dengan tugas melaksanakan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
pengembangan kesejahteraan sosial serta penyuluhan sosial.
 Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
 Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
 Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan
lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai menyusun
RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang
terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
 Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
 Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak menunjukkan
duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja. Kriteria jenis
belanja berlaku untuk semua kegiatan.
 Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak ada
keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran yang merupakan unified
document.

[14]
 Peningkatan Kapasitas (capacity building) SDM di daerah untuk mendukung
pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren bidang sosial antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).

ANALISIS
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan perencanaan pembangunan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pembangunan tahunan.
Upaya Penanganan konflik sosial dengan mempedomani UU No. 7 Tahun 2012 dan
PP No. 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial serta Permendagri No 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan
Koordinasi Penanganan Konflik Sosial.
Penanganan potensi ancaman, hambatan dan gangguan di daerah melalui deteksi
dini dan cegah dini melalui pembentukan Tim Kewaspadaan Dini dan Pemberdayaan
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dengan temu cepat dan lapor cepat
permasalahan/gangguan melalui pusat komunikasi mempedomani Permendagri No. 2
Tahun 2018 tentang Kewaspadaan Dini di Daerah.
Percepatan pembangunan infrastruktur pada daerah perbatasan dengan
memprioritaskan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur berdasarkan
kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Percepatan pembangunan daerah tertinggal sesuai program kerja prioritas nasional
dalam RPJMN Tahun 2015-2019, pemerintah daerah yang termasuk kategori daerah
tertinggal untuk memfokuskan penanganan program dan kegiatan berdasarkan kriteria
perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan
keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah dengan mempedomani PP No.
78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Perpres No. 131
Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.
Percepatan pembangunan daerah tertinggal dan mengurangi kesenjangan antar
daerah pada kabupaten daerah tertinggal serta pelaksanaan Rencana Aksi Nasional-
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Nasional 2015-2019, meliputi: penyusunan
Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, penyusunan dokumen
Rencana Aksi Daerah (RAD) pemerintah kabupaten dalam percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal, pelaksanaan reviu dokumen RAD pemerintah kabupaten dalam
percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, penyusunan Laporan Monitoring dan
Evaluasi Program RAD pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dalam rangka
percepatan pembangunan daerah tertinggal, dengan mempedomani PP No. 78 Tahun
2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Peraturan Presiden Nomor
131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.
Peningkatan level maturitas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan level
kapabilitas APIP sesuai target RPJMN 2019 dalam rangka pelaksanaan PP No. 80 Tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Peningkatan kualitas

[15]
rumah/rehabilitasi rumah tidak layak huni untuk masyarakat miskin berpenghasilan
rendah dalam rangka mendukung RPJMN 2015-2019.

REKOMENDASI
Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 Pengintegrasian SPM Sosial ke dalam dokumen perencanaan daerah RPJMD, RKPD
dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial berupa rehabilitasi sosial
dasar kepada anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar,
gelandangan dan pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban
bencana, dalam rangka pemberian pelayanan dasar kepada setiap setiap warga negara
dengan berpedoman pada penerapan pencapaian Standar Pelayanan Minimal sesuai
peraturan perundang-undangan.
 Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional substantif pemerintahan dalam negeri
sesuai amanat Pasal 6 PP No. 12 Tahun 2017. Pemerintah daerah agar mengalokasikan
biaya operasional untuk melaksanakan tugas aparatur pemerintah pusat yang bekerja
pada dinas di daerah dalam bentuk program dan kegiatan pada SKPD terkait, guna
melaksanakan urusan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 119 ayat (3) PP No. 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
 Dalam rangka mendukung pembangunan Lembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Balai Pemasyarakatan,
Pemerintah Daerah menyediakan lahan untuk mendukung pembangunan tersebut
sesuai maksud Pasal 105 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA).
 Pemda mensinergikan penganggaran program dan kegiatan dalam penyusunan APBD
Tahun Anggaran 2019 dengan kebijakan nasional, antara lain pencapaian SDG’s,
seperti: penanggulangan stunting, kesetaraan gender, penanggulangan HIV/AIDS,
malaria, penanggulangan kemiskinan, dan akses Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) sesuai amanat Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Perpres No. 2 Tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019,
diantaranya upaya percepatan penanggulangan stunting dengan mempedomani
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penanggulangan Gizi Buruk.

REFERENSI
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;

[16]
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, Februari 2019


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[17]
POLICY BRIEF
URGENSI MODUL E-LEARNING KOMPETENSI & BEBAN KERJA
BIDANG-BIDANG PADA DINAS SOSIAL PROVINSI & KAB/KOTA

Abstrak
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah bahwa
pembentukan Perangkat Daerah dilakukan berdasarkan asas urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah, intensitas urusan pemerintahan dan potensi daerah,
efisiensi, efektivitas, pembagian habis tugas, rentang kendali, tata kerja yang jelas,
fleksibilitas.
Klasifikasi unit pelaksana teknis dinas daerah provinsi dan daerah kab/kota serta
pembentukan unit pelaksana teknis dinas daerah provinsi dan daerah kab/kota diatur
dengan Peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Menteri Teknis
terkait dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang aparatur
negara.
Amanah Pasal 107 PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Hasil Pemetaan Intensitas dan Beban Kerja
Urusan Pemerintahan Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
Seluruh Indonesia.
Hasil pemetaan urusan pemerintahan bidang sosial digunakan oleh Pemda untuk
menetapkan kelembagaan perangkat daerah, standardisasi kinerja, perencanaan, dan
penganggaran.
Peraturan Menteri Sosial No. 13 Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan dan Beban
Kerja Urusan Pemerintahan Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kab/Kota Seluruh
Indonesia dan Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman
Nomenklatur Dinas Sosial Daerah Provinsi dan Dinas Sosial Daerah Kab/Kota.
Penghitungan intensitas dan beban kerja dilaksanakan berdasarkan nilai variabel urusan
pemerintahan setelah dikalikan dengan faktor kesulitan geografis. Variabel urusan
pemerintahan terdiri atas kriteria variabel umum dan variabel teknis.
Kaitan Indikator Kinerja Kunci (IKK) dengan urusan pemerintahan daerah dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan APBD Kab/Kota serta
kompetensi dan beban kerja Dinas Sosial Provinsi dan Dinas Sosial Kab/Kota.
Pelaksanaan Urusan pemerintahan berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan
teknis fasilitator pembelajaran perumus Standar Kompetensi di tempat kerja bekerjasama
dengan Balatbang Kemdagri dengan metode e-learning dan sesuai dengan Undang-
Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No.23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun
2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi.

Pendahuluan
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat
berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).

[19]
Perlu adanya modul kompetensi teknis urusan pemerintahan bidang sosial.
Kompetensi teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis
fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis yang dibuktikan dengan sertifikasi.
Kompetensi manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau
manajemen, dan pengalaman kepemimpinan.
Kriteria variabel teknis di provinsi ditetapkan berdasarkan beban tugas utama pada
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi yang terdiri atas jumlah
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang direhabilitasi dalam panti milik
pemerintah daerah provinsi dan milik masyarakat baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum dihitung dalam satuan jiwa, dan jumlah Potensi Sumber Kesejahteraan
Sosial (PSKS) yang wilayah kerjanya lintaskabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Kriteria variabel teknis di kab/kota ditetapkan berdasarkan beban tugas utama
pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota yang
terdiri atas jumlah PMKS termasuk anak yang berhadapan dengan hukum yang
menerima layanan rehabilitasi sosial di luar panti, jumlah fakir miskin dalam
kabupaten/kota, jumlah jiwa dalam komunitas adat terpencil; dan jumlah PSKS di
kabupaten/kota. Penghitungan intensitas dan beban kerja dilaksanakan atas persetujuan
Menteri Sosial dan Menteri Dalam Negeri.
Setelah penghitungan intensitas dan beban kerja, Pemda harus menetapkan
standardisasi kinerja yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal di dalam wilayah provinsi dan/atau wilayah kabupaten/kota tidak
terdapat komunitas adat terpencil, bidang tugas pemberdayaan komunitas adat terpencil
dapat ditiadakan.
Kegiatan teknis operasional merupakan kegiatan teknis yang secara langsung
berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Kegiatan teknis penunjang tertentu
merupakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya. Menteri
terkait merupakan Menteri yang membidangi urusan pemerintahan yang dilaksanakan
oleh unit pelaksana teknis dinas.
Dalam hal di dalam wilayah provinsi dan/atau wilayah kabupaten/kota tidak
memiliki wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan/atau perbatasan antarnegara, bidang
tugas penanganan fakir miskin wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan perbatasan
antarnegara dapat ditiadakan.
Dalam hal hasil perhitungan nilai variabel tidak memenuhi untuk menjadi dinas,
urusan pemerintahan bidang sosial tetap dibentuk sebagai dinas mandiri tipe C.

Kelompok Bidang
Bidang I melaksanakan tugas perlindungan dan jaminan sosial dengan
menyelenggarakan fungsi:
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
perlindungan sosial korban bencana alam;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
perlindungan sosial korban bencana sosial;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
jaminan sosial keluarga;
 Pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang perlindungan dan
jaminan sosial; dan
 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh kepala dinas.

[20]
Bidang II melaksanakan tugas rehabilitasi sosial dengan menyelenggarakan fungsi:
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
rehabilitasi sosial anak di dalam panti dan/atau lembaga;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
rehabilitasi sosial penyandang disabilitas di dalam panti dan lembaga;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
rehabilitasi sosial tuna sosial dan korban perdagangan orang di dalam panti dan
lembaga;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
rehabilitasi sosial lanjut usia di dalam panti dan lembaga;
 Pengelolaan data pelaksanaan pencegahan pelayanan sosial orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) untuk dikoordinasikan dan dilaporkan kepada Kementerian
Sosial;
 Pengelolaan data pelaksanaan pencegahan pelayanan sosial korban
penyalahgunaan NAPZA untuk dikoordinasikan dan dilaporkan kepada
Kementerian Sosial;
 Pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang rehabilitasi sosial di
dalam panti dan lembaga; dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh kepala
dinas.
Bidang III melaksanakan tugas pemberdayaan sosial dengan menyelenggarakan fungsi:
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
pemberdayaan sosial perorangan, keluarga, dan kelembagaan masyarakat;
 Pengoordinasian pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta
pemantauan dan evaluasi pemberdayaan sosial komunitas adat terpencil oleh
kabupaten/kota;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
pemberdayaan sosial kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan, dan restorasi
sosial;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
pengelolaan sumber dana bantuan sosial;
 Pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan sosial;
dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh kepala dinas.
Bidang IV melaksanakan tugas penanganan fakir miskin dengan
menyelenggarakan fungsi:
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
penanganan fakir miskin pedesaan/Wilayah-1;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
penanganan fakir miskin perkotaan/Wilayah-2;
 Pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi
penanganan fakir miskin pesisir, pulau-pulau kecil, dan perbatasan
antarnegara/Wilayah-3;
 Pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penanganan fakir
miskin;
 Pelaksanaan verifikasi dan validasi fakir miskin cakupan provinsi; dan
 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh kepala dinas.

[21]
Kelompok Subbidang
Bidang I melaksanakan tugas perlindungan dan jaminan sosial, terdiri atas :
Subbidang I melaksanakan tugas perlindungan sosial korban bencana alam, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan kesiapsiagaan dan mitigasi;
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan penanganan korban bencana alam, pemulihan, dan
penguatan sosial; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan kemitraan dan pengelolaan logistik bencana.
Subbidang II melaksanakan tugas perlindungan sosial korban bencana sosial, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan pencegahan, penanganan korban bencana sosial, politik,
dan ekonomi; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan pemulihan sosial dan reintegrasi sosial.
Subbidang III melaksanakan tugas jaminan sosial keluarga, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan seleksi dan verifikasi, terminasi, dan kemitraan jaminan
sosial keluarga; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan penyaluran bantuan dan pendampingan jaminan sosial
keluarga.

Bidang II melaksanakan tugas Rehabilitasi Sosial, terdiri atas:


Subbidang I melaksanakan tugas rehabilitasi sosial anak dan lanjut usia di dalam
panti dan lembaga, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan pelayanan sosial anak balita serta pengangkatan anak antar
Warga Negara Indonesia dan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal;
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan rehabilitasi sosial anak terlantar;
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum;
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan rehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan
khusus;
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan rehabilitasi sosial lanjut usia; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan pengembangan kelembagaan rehabilitasi sosial anak dan
lanjut usia.
Subbidang II melaksanakan tugas rehabilitasi sosial penyandang disabilitas di
dalam panti dan lembaga, antara lain:

[22]
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik dan sensorik;
dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental dan
intelektual.
Sub Bidang III melaksanakan tugas rehabilitasi sosial tuna sosial dan korban
perdagangan orang, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan rehabilitasi sosial gelandangan, pengemis, bekas warga
binaan lembaga pemasyarakatan, serta korban perdagangan orang dan korban
tindak kekerasan di dalam panti dan lembaga;
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial eks tuna susila di
dalam panti dan lembaga;
 Pengelolaan data pelayanan sosial orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk
dikoordinasikan dan dilaporkan kepada Kementerian Sosial;
 Pengelolaan data pelayanan sosial korban penyalahgunaan NAPZA untuk
dikoordinasikan dan dilaporkan kepada Kementerian Sosial; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan pengembangan kelembagaan rehabilitasi sosial tuna sosial
dan korban perdagangan orang di dalam panti dan lembaga.

Bidang III melaksanakan tugas pemberdayaan sosial, terdiri atas:


Subbidang I melaksanakan tugas pemberdayaan perorangan, keluarga, dan
komunitas adat terpencil antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi pekerja sosial, pekerja sosial masyarakat, tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan, serta tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial lainnya;
 Pengoordinasian pelaksanaan kebijakan teknis, fasilitasi, koordinasi, serta
pemantauan dan evaluasi pemberdayaan sosial komunitas adat terpencil oleh
kabupaten/kota; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi lembaga konsutasi kesejahteraan keluarga dan unit peduli keluarga.
Subbidang II melaksanakan tugas pemberdayaan sosial kelembagaan masyarakat
dan penerbitan izin pengumpulan sumbangan antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat/Pusat Kesejahteraan
Sosial (PUSKESOS), karang taruna, dan lembaga kesejahteraan sosial; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi penerbitan izin pengumpulan sumbangan.
Subbidang III melaksanakan tugas kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan,
dan restorasi sosial, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi penggalian potensi nilai kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan, dan
restorasi sosial;
 Pengelolaan taman makam pahlawan nasional provinsi; dan

[23]
 Pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis, serta pemantauan dan
evaluasi tanggung jawab badan usaha terhadap penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.

Bidang IV melaksanakan tugas penanganan fakir miskin, terdiri atas:


Subbidang I melaksanakan tugas identifikasi dan penguatan kapasitas, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan identifikasi dan pemetaan;
 Pelaksanaan verifikasi dan validasi fakir miskin cakupan provinsi; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan penguatan kapasitas.
Subbidang II melaksanakan tugas pendampingan dan pemberdayaan, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan pendampingan; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan pemberdayaan.
Subbidang III melaksanakan tugas pengelolaan dan penyaluran bantuan stimulan
serta penataan lingkungan sosial, antara lain:
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan bantuan stimulan; dan
 Pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, serta supervisi, evaluasi, dan
pelaporan pelaksanaan penataan lingkungan sosial.

DESKRIPSI MASALAH
 Belum berjalannya fungsi pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Standar
Kompetensi ASN Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota
 Kaitan Indikator Kinerja Kunci (IKK) dengan urusan pemerintahan daerah dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan APBD Kab/Kota serta
kompetensi dan beban kerja Dinas Sosial Provinsi dan Dinas Sosial Kab/Kota.
 Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri RI kepada Para Sekretaris
Jenderal dan Sekretaris Utama Kementerian/Lembaga, No. 188.2/2028/SJ, tanggal 28
April 2017, Perihal Permintaan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai
pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
 Pelaksanaan Urusan pemerintahan berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan
teknis fasilitator pembelajaran perumus Standar Kompetensi di tempat kerja sesuai
dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendekatan
dan Pelatihan Berbasis Kompetensi.
 Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota
dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat berpedoman pada
NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).
 Belum adanya modul kompetensi teknis urusan pemerintahan bidang sosial.
Kompetensi teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis
fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis yang dibuktikan dengan sertifikasi.

[24]
Kompetensi manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau
manajemen, dan pengalaman kepemimpinan.
 Belum terintegrasinya dalam dokumen perencanaan daerah terkait Standar Sumber
Daya Manusia (SDM) Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur dari
Unsur Masyarakat
 Kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki
wawasan kebangsaan. Kompetensi teknis ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga
pemerintah nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri (Menteri Dalam
Negeri).
 Kompetensi pemerintahan ditetapkan oleh Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikasi.
 Sertifikasi belum sepenuhnya dilaksanakan dalam penyelenggara pemerintahan
berdasarkan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kab/kota.

ANALISIS
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
pengisian Jabatan Perangkat Daerah diisi oleh pegawai aparatur sipil negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pegawai aparatur sipil negara yang
menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, dan jabatan pengawas
pada Perangkat Daerah wajib memenuhi persyaratan kompetensi teknis, manajerial,
dan sosial kultural.
Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial, tugas
menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi,
meliputi:
- Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Sosial di daerah
- Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi
di lingkungan Kementerian Sosial.
Adapun tugas tambahan lain yang diamanatkan dalam peraturan perundang-
undangan diantaranya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/2014
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) terutama pada penerapan
urusan bidang sosial di daerah dan sinergi perencanaan pusat dengan daerah.
Pemberdayaan Sosial dengan layanan pemberdayaan potensi sumber kesejahteraan
sosial perorangan, meliputi pekerja sosial (Peksos), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM),
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), meliputi: penyediaan data Potensi
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) perorangan.
Berdasarkan Permensos No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial yang sudah diubah dengan Permensos No. 16
Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya Manusia Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial, rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan tahapan: pendekatan awal,
pengungkapan dan pemahaman masalah, penyusunan rencana pemecahan masalah,
pemecahan masalah, resosialisasi, terminasi, bimbingan lanjut.

[25]
PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, mengatur
• Aparat Pengawas Internal Pemerintah yang disingkat APIP adalah inspektorat
jenderal kcmenterian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian,
inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/ kota.
• Pembinaan umum meliputi: pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan
daerah, kepegawaian pada Perangkat Daerah, keuangan daerah, pembangunan
daerah, pelayanan publik di daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
• Pembinaan dan Pengawasan Teknis yang meliputi: Capaian standar pelayanan
minimal atas pelayanan dasar; ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
(NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren.
PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, merupakan alat kontrol
terhadap kinerja aparat penyelenggara Pemda dalam memberikan pelayanan publik
kepada setiap warga negara yang berada dalam lingkup provinsi dan kabupaten/kota
yang merupakan pelayanan dasar dan mengatur urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh semua daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar sesuai ketentuan
mengenai jenis dan mutu yang merupakan hak setiap warga negara secara minimal serta
pengaturan mengenai jenis pelayanan dasar dalam penyediaan barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara secara minimal dengan
ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa kebutuhan dasar untuk
pemenuhannya secara minimal sesuai standar teknis agar hidup secara layak.
Urusan konkuren di provinsi dan kabupaten/kota, meliputi: Rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas di dalam dan di luar panti/lembaga. Rehabilitasi sosial dan
pelayanan sosial anak, yaitu anak balita terlantar, anak terlantar, anak berhadapan
hukum, anak penyandang disabilitas, anak membutuhkan perlindungan khusus di dalam
dan di luar panti/lembaga. Pelayanan lanjut usia terlantar, rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan/pengemis di dalam dan di luar panti/lembaga.
Ditetapkannya Peraturan Menteri Sosial yang mengatur Sumber Daya Manusia
dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur/Non Pegawai Negeri Sipil
dan di dalamnya juga mengatur pembagian kewenangan Pusat, Provinsi dan Kabupaten
dan kaitannya dengan penanggung jawab dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah.

REKOMENDASI
 Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan dengan pelayanan publik yang efisien dan efektif
menjadi perhatian utama pemerintah daerah melalui Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah
daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sebagai alat
kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan publik.
 Badiklit Pensos Kementerian Sosial berdasarkan tugas dan fungsinya perlu
bekerjasama dengan Balatbang Kemendagri menyusun modul kompetensi urusan
pemerintahan bidang sosial dengan fungsi Balai Besar Diklat Kemensos yang
menangani regional wilayah pada 34 provinsi dan 514 kab/kota dengan metode e-
learning dalam bimbingan teknis fasilitator pembelajaran perumus Standar Kompetensi
di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara, Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan

[26]
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan
Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah sehingga dipandang perlu menetapkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Standar Kompetensi.
 Menyusun dan menetapkan Standar Kompetensi ASN Bidang Sosial di daerah
Provinsi dan Kab/Kota berdasarkan Indikator Kinerja Kunci (IKK), yang merupakan
pelayanan publik bidang sosial dan menjadi acuan kompetensi ASN daerah bidang
sosial.
 Belum ditetapkannya PP Urusan Konkuren yang merupakan turunan UU 23/2014
yang salah satu lampirannya Urusan Konkuren Bidang Sosial di Provinsi dan
Kabupaten/Kota, yang merupakan pelayanan publik bidang sosial dan menjadi acuan
kompetensi ASN daerah bidang sosial menjadi kendala yang utama dalam
menentukan Indikator Kinerja Kunci (IKK) setiap urusan pemerintah untuk masuk ke
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah yang menjadi penilaian
kinerja daerah dengan alat kontrol berupa monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah dan kesesuaian dokumen perencanaan dan
penganggaran dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) dari Kementerian Teknis sebagai
Pembina Teknis Daerah.
 Ditetapkannya PP Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang merupakan turunan UU
23/2014 dan menetapkan Permensos tentang Standar Teknis (Petunjuk Teknis)
Perencanaan Biaya Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di daerah provinsi
dan kabupaten/kota, yang merupakan pelayanan publik bidang sosial dan menjadi
acuan kompetensi ASN daerah bidang sosial.
 Belum adanya “Audit Kinerja” terhadap implementasi ketaatan kepada peraturan
perundang-undangan sebagai wujud dari pemerintahan yang bersih (good governance)
yang selama ini masih pada tahap “Audit Keuangan dengan Opini Badan Pemeriksa
Keuangan atas unsur kerugian Negara”.
 Ketaatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yaitu implementasi
dari regulasi yang mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yaitu PP No. 12 Tahun 2017.
 Kerjasama dan koordinasi antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)
Inspektorat Jenderal Kcmenterian, unit pengawasan lembaga pemerintah
nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.
 Pembinaan umum meliputi: pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan daerah,
kepegawaian pada Perangkat Daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah,
pelayanan publik di daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
 Pembinaan dan Pengawasan Teknis yang meliputi: Capaian standar pelayanan
minimal atas pelayanan dasar; ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
(NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren.

REFERENSI
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;

[27]
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja
Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No.16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya
Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan
Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kab/Kota.

Jakarta, Februari 2019


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[28]
MODUL
KOMPETENSI KERJA APARATUR DAERAH BIDANG SOSIAL
BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU

Permasalahan Mendasar
Tercapainya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah
Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri berbasis
kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran perumus Standar
Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pengembangan Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah sehingga dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Standar Kompetensi.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 24
bahwa Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama Pemerintah
Daerah melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh setiap
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
ditetapkan dengan peraturan menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
dilakukan untuk menentukan intensitas Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas
wilayah.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/
kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat, diatur pada pasal 16
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria
(NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan dan Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kab/Kota dalam melaksanakan urusan pemerintah (misalkan bidang sosial)
berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan
personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang diperlukan
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dengan
cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir yang kuat dan
memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, pada
Pasal 14 ayat (1) dari PP 18/2016 disebutkan bahwa dinas daerah provinsi dibedakan
dalam 3 (tiga) tipe. Tipe dinas Daerah provinsi terdiri atas: a. dinas Daerah provinsi tipe
A untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah provinsi dengan beban kerja yang
besar; b. dinas Daerah provinsi tipe B untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah

[29]
provinsi dengan beban kerja yang sedang; dan c. dinas Daerah provinsi tipe C untuk
mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah provinsi dengan beban kerja yang kecil.
Pada Pasal 15 PP 18/2016 disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan terdiri dari
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan
Wajib terdiri atas: a. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar; dan b. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar terdiri atas:
a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan
rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman dan ketertiban umum serta
perlindungan masyarakat; dan f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar terdiri
atas: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. pangan; d.
pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g.
pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga
berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan
menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olahraga; n. statistik; o. persandian;
p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan terdiri atas: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata;
c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g.
perindustrian; dan h. transmigrasi. Masing-masing Urusan Pemerintahan diwadahi
dalam bentuk dinas Daerah provinsi.
PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 18 disebutkan bahwa dalam hal
berdasarkan perhitungan nilai variabel bahwa suatu Urusan Pemerintahan tidak
memenuhi syarat untuk dibentuk dinas Daerah provinsi sendiri, Urusan Pemerintahan
tersebut digabung dengan dinas lain. Dalam hal berdasarkan hasil perhitungan nilai
variabel teknis Urusan Pemerintahan memperoleh nilai 0 (nol),
Urusan Pemerintahan tersebut tidak diwadahi dalam unit organisasi Perangkat
Daerah. Penggabungan Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) dinas Daerah provinsi
didasarkan pada perumpunan Urusan Pemerintahan dengan kriteria: a. kedekatan
karakteristik Urusan Pemerintahan; dan/atau b. keterkaitan antar penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan.
Perumpunan Urusan Pemerintahan meliputi: a. pendidikan, kebudayaan,
kepemudaan dan olahraga, serta pariwisata; b. kesehatan, sosial, pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, pengendalian penduduk dan keluarga berencana,
administrasi kependudukan dan pencatatan sipil serta pemberdayaan masyarakat dan
Desa; c. ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, sub urusan
ketenteraman dan ketertiban umum dan sub urusan kebakaran; d. penanaman modal,
koperasi, usaha kecil dan menengah, perindustrian, perdagangan, energi dan sumber
daya mineral, transmigrasi, dan tenaga kerja; e. komunikasi dan informatika, statistik,
dan persandian; f. perumahan dan kawasan permukiman, pekerjaan umum dan penataan
ruang, pertanahan, perhubungan, lingkungan hidup, kehutanan, pangan, pertanian, serta
kelautan dan perikanan; dan g. perpustakaan dan kearsipan.
Penggabungan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) Urusan Pemerintahan. Tipelogi dinas hasil
penggabungan Urusan Pemerintahan dapat dinaikkan 1 (satu) tingkat lebih tinggi atau
mendapat tambahan 1 (satu) bidang apabila mendapatkan tambahan bidang baru dari
Urusan Pemerintahan yang digabungkan. Nomenklatur dinas yang mendapatkan

[30]
tambahan bidang Urusan Pemerintahan merupakan nomenklatur dinas dari Urusan
Pemerintahan yang berdiri sendiri sebelum penggabungan.
Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel tidak terdapat Urusan
Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas, Urusan Pemerintahan tersebut dapat digabung
menjadi 1 (satu) dinas tipe C sepanjang paling sedikit memperoleh 2 (dua) bidang.
Nomenklatur dinas mencerminkan Urusan Pemerintahan yang digabung.
Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel tidak terdapat Urusan
Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun yang memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas atau
bidang, fungsi tersebut dilaksanakan oleh sekretariat Daerah dengan menambah 1 (satu)
subbagian pada unit kerja yang mengoordinasikan Urusan Pemerintahan yang terkait
dengan fungsi tersebut.
Pengisian Jabatan Perangkat Daerah Pasal 98 bahwa Perangkat Daerah diisi oleh
pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pegawai aparatur sipil negara yang menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan
administrator, dan jabatan pengawas pada Perangkat Daerah wajib memenuhi
persyaratan kompetensi: a. teknis; b. manajerial; dan c. sosial kultural.
Selain memenuhi kompetensi, pegawai aparatur sipil negara yang menduduki
jabatan Perangkat Daerah harus memenuhi kompetensi pemerintahan. Kompetensi
teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan
pengalaman bekerja secara teknis yang dibuktikan dengan sertifikasi. Kompetensi
manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan
pengalaman kepemimpinan.
Kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan
kebangsaan.
Kompetensi teknis ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga pemerintah
nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan ditetapkan oleh Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikasi. Sertifikasi dilaksanakan oleh
suatu lembaga sertifikasi yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi penyelenggara
pemerintahan dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi pemerintahan diatur dengan Peraturan
Menteri.
PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 110 disebutkan bahwa pembinaan
dan pengendalian penataan Perangkat Daerah provinsi dilakukan oleh Menteri (Menteri
Dalam Negeri). Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah kabupaten/
kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pada Pasal 111 pembinaan
dan pengendalian penataan Perangkat Daerah dilaksanakan dengan menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam penataan Perangkat Daerah.
Pemetaan Urusan Pemerintahan dan nomenklatur dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang intensitas Urusan Pemerintahan Wajib dan potensi Urusan
Pemerintahan Pilihan serta beban kerja penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.
Pemetaan Urusan Pemerintahan digunakan untuk menentukan susunan dan tipe
Perangkat Daerah.
Kriteria variabel dalam tata cara pemetaan, Pemda menyusun rencana pemetaan
Urusan Pemerintahan dengan berkonsultasi kepada Menteri dan kementerian/lembaga

[31]
pemerintah nonkementerian terkait. Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat
mengoordinasikan penyusunan rencana pemetaan Urusan Pemerintahan bagi
kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsinya. Gubernur selaku wakil Pemerintah
Pusat mengintegrasikan rencana pemetaan Urusan Pemeritahan bagi kabupaten/kota di
wilayah provinsinya dengan rencana pemetaan Urusan Pemerintahan Daerah provinsi.
Pemetaan Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan hasil perhitungan nilai
variabel Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota setelah
dikalikan dengan faktor kesulitan geografis. Kesulitan geografis ditentukan dengan
klasifikasi sebagai berikut: a. provinsi dan kabupaten di Jawa dan Bali dikalikan 1 (satu);
b. provinsi dan kabupaten di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi serta kota di seluruh
wilayah dikalikan 1,1 (satu koma satu); c. provinsi dan kabupaten di Nusa Tenggara dan
Maluku dikalikan 1,2 (satu koma dua); d. provinsi dan kabupaten di Papua dikalikan 1,4
(satu koma empat); e. Daerah provinsi dan kabupaten/kota berciri kepulauan dikalikan
1,4 (satu koma empat); f. kabupaten/kota di Daerah perbatasan darat Negara dikalikan
1,4 (satu koma empat); dan g. kabupaten/kota di pulau-pulau terluar di Daerah
perbatasan dikalikan 1,5 (satu koma lima).
Menteri Dalam Negeri RI melakukan pemantauan dan evaluasi penataan Perangkat
Daerah. Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi, Menteri berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang aparatur negara. Perlu
dicermati dengan Pasal 115 mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengendalian penataan Perangkat Daerah diatur dalam Peraturan Menteri dan
ditetapkan setelah dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan di bidang aparatur negara.

URUSAN BIDANG SOSIAL


Urusan Bidang Sosial yang telah ditetapkan menjadi Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK) yang akan disesuaikan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah Urusan
Konkuren, adalah: Persyaratan Pengangkatan Anak, Kampung Siaga Bencana, Lembaga
Kesejahteraan Sosial (LKS), Taman Anak Sejahtera, Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Penghargaan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial,
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia,
Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan
Sosial, Taruna Siaga Bencana, Bantuan Sosial Korban Bencana, Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga, Pengasuhan Anak, Pemulangan Migran Bermasalah (PMB),
Pemberdayaan Karang Taruna, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Standar
Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial, Standar Lembaga Penyelenggara
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.
Untuk Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya
(NAPZA) menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga NSPK Permensos Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya perlu segera di revisi.
Berdasarkan Surat Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI A.n
Menteri Dalam Negeri, Nomor 061/S137/83 tanggal 3 September 2015, Hal: Penyusunan
Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dengan
substansi sebagai berikut:

[32]
• Berdasarkan Pasal 410 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa diperlukan peraturan untuk mengatur
Organisasi Perangkat Daerah pengganti dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-Undang Pemda sebelumnya yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004.
• Menyusun Tim Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah dengan tugas
Pemetaan Urusan termasuk harmonisasi perencanaan dan penganggaran dengan
ketua Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI.
• Menyusun Tim Perumus Standar Kompetensi, dengan tugas merumuskan
standar kompetensi teknis urusan pemerintahan yang dikoordinasikan oleh Kepala
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Dalam Negeri RI.
• Proses perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah akan dilaksanakan
secara intensif dengan agenda utama, meliputi:
- Penyusunan indikator pengukuran dan pemetaan urusan pemerintahan.
- Penentuan beban kerja dan tipologi perangkat daerah setiap urusan
pemerintahan.
- Perumusan standar kompetensi teknis masing-masing urusan
pemerintahan.
- Simulasi tipologi perangkat daerah berdasarkan indikator pada daerah
model Organisasi Perangkat Daerah.
- Pembahasan dan harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Organisasi Perangkat Daerah.
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian Dalam Negeri melaksanakan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan
mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
Bimbingan Teknis Fasilitator Pembelajaran Perumus Standar Kompetensi di Tempat
Kerja yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Dalam Negeri dari tanggal 26 Oktober sampai dengan tanggal 31 Oktober
2015 bertempat di Badan Pengembangan SDM Kementerian Dalam Negeri RI.
Peserta dari Kementerian Sosial RI:
1. Syauqi, SE., M.Si (Fungsional Analis Kebijakan Madya, Biro Perencanaan,
Kementerian Sosial RI).
2. Adi Irwanto, SST (Fungsional Perencana Muda, Biro Perencanaan, Kementerian
Sosial RI).
3. Mohammad Fadhil Enggoa, S, Psi (Fungsional Analis Kepegawaian, Biro Organisasi
dan Kepegawaian, Kementerian Sosial RI).
4. Ariyo Erisusanto, S, Psi (Fungsional Analis Kepegawwaian, Biro Organisasi dan
Kepegawaian, Kementerian Sosial RI).
Berdasarkan Surat Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI A.n
Menteri Dalam Negeri, Nomor 061/S137/83 tanggal 3 September 2015, Hal: Penyusunan
Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dengan
substansi sebagai berikut:
• Berdasarkan Pasal 410 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa diperlukan peraturan untuk mengatur
Organisasi Perangkat Daerah pengganti dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41

[33]
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-Undang Pemda sebelumnya yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004.
• Menyusun Tim Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah dengan tugas
Pemetaan Urusan termasuk harmonisasi perencanaan dan penganggaran dengan
ketua Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI.
• Menyusun Tim Perumus Standar Kompetensi, dengan tugas merumuskan
standar kompetensi teknis urusan pemerintahan yang dikoordinasikan oleh Kepala
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Dalam Negeri RI.
• Proses perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah akan dilaksanakan
secara intensif dengan agenda utama, meliputi:
- Penyusunan indikator pengukuran dan pemetaan urusan pemerintahan.
- Penentuan beban kerja dan tipologi perangkat daerah setiap urusan
pemerintahan.
- Perumusan standar kompetensi teknis masing-masing urusan
pemerintahan.
- Simulasi tipologi perangkat daerah berdasarkan indikator pada daerah
model Organisasi Perangkat Daerah.
- Pembahasan dan harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Organisasi Perangkat Daerah.

Format Kompetensi dari Badan Pendidikan dan Latihan (BADIKLAT) Kementerian


Dalam Negeri RI.

JUDUL UNIT : Memberikan Layanan rehabilitasi sosial penyandang


disabilitas berbasis keluarga dan masyarakat
DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam memberikan
layanan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas berbasis
keluarga dan masyarakat

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


1. Melakukan Pendekatan awal 1.1 Program rehabilitasi sosial diinformasikan kepada
dengan masyarakat masyarakat
1.2 Potensi sumber dana, personil, fasilitas, keadaan
geografis sosial budaya, sosial ekonomi, dan keamanan
yang dapat digerakkan untuk mendukung upaya
rehabilitasi sosial di data
1.3 Data potensi sumber dana, personil, fasilitas, keadaan
geografis sosial budaya, sosial ekonomi, dan keamanan
yang dapat digerakkan untuk mendukung upaya
rehabilitasi sosial diolah dan diidentifikasi

2. Melakukan Penggalian dan 2.1 Informasi permasalahan sosial setempat (populasi


pemahaman masalah penyandang disabilitas, jenis penyandang disabilitas,
penyandang disabilitas yang sudah ditangani,
keberhasilan penanganan disabilitas sebelumnya jika
ada) didata
2.2 Data permasalahan sosial diolah dan diidentifikasi
untuk menentukan calon penerima layanan rehabilitasi
sosial berbasis masyarakat

[34]
3. Melaksanakan kegiatan 3.1 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan, dan
motivasi, bimbingan, dan penyuluhan di buat
penyuluhan awal dengan 3.2 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan, dan
masyarakat penyuluhan disosialisasikan kepada masyarakat
3.3 Penyuluhan lisan secara langsung (tatap muka)
maupun secara kelompok/dalam kelas diberikan
kepada masyarakat
3.4 Ceramah tentang masalah penyandang disabilitas
hususnya yang menyangkut tentang rehabilitasi
berbasis masyarakat (RBM), dan peran keluarga serta
masyarakat dalam kegiatan RBM diberikan kepada
kelompok-kelompok organisasi sosial, kelompok
remaja, kelompok ibu-ibu, tokoh-tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh agama, kelompok yang tergabung pada
PKK atau LKMD, agar mereka ikut berpartisipasi,
bahkan mampu mengambil peran utama dalam
pelayanan rehabilitasi bagi penyandang masalah
disabilitas yang ada di lingkungannya.
3.5 Kelompok-kelompok kecil pelaksana Rehabilitasi
Sosial Berbasis Masyarakat (7-10 orang), yang juga
merupakan kader Rehabilitasi Sosial Berbasiskan
Masyarakat dibentuk

4. Melaksanakan kegiatan 4.1 Data/informasi potensi masyarakat (dana, tenaga,


mobilisasi potensi masyarakat fasilitas/perlatan) yang dapat mendukung kegiatan
rehabilitasi sosial dipelajari
4.2 Sumber daya potensi masyarakat dikumpulkan dan
dikelompokkan

5. Melaksanakan kegiatan deteksi 5.1 Koordinasi dengan pihak terkait (institusi agama,
dan stimulasi dini pendidikan, kesehatan, tenaga kerja) dilakukan
5.2 Bimbingan dan penyuluhan mengenai permasalahan
sosial (disabilitas) diberikan kepada masyarakat
5.3 Pemeriksaan secara awal atau dini kepada keluarga,
para penyandang disabilitas bagi anak-anak balita atau
seseorang yang memiliki kecenderungan untuk
mengalami permasalahan sosial dilakukan
5.4 Langkah-langkah upaya penanganan masalah
terhadap masalah disabilitas (termasuk tindakan
rujukannya ke fasilitas kesehatan) disusun
5.5 Upaya memperbaiki atau meningkatkan fungsi sosial
serta memberikan bantuan sosial dilakukan

6. Melaksanakan kegiatan 6.1 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan, dan


motivasi, bimbingan, dan penyuluhan di buat
penyuluhan dengan 6.2 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan, dan
penyandang disabilitas penyuluhan disosialisasikan kepada penyandang
disabilitas
6.3 Penyuluhan lisan secara langsung (tatap muka)
maupun secara kelompok/dalam kelas diberikan
kepada penyandang disabilitas
6.4 Ceramah tentang masalah penyandang disabilitas
hususnya yang menyangkut tentang rehabilitasi
berbasis masyarakat (RBM), dan peran keluarga serta
masyarakat dalam kegiatan RBM diberikan kepada
penyandang disabilitas

[35]
7. Melaksanakan persiapan 7.1 Jadwal pelaksanaan kegiatan dibuat
kegiatan rehabilitasi sosial 7.2 Dana, peralatan, dan fasilitas pendukung (gedung/
terhadap penyandang ruang kelas) disiapkan untuk pelaksanaan kegiatan
disabilitas rehabilitasi sosial
7.3 Tenaga rehabilitasi sosial (instruktur pelatihan,
kelompok kecil masyarakat yang memiliki potensi,
tenaga administrasi, tenaga sukarela) disiapkan
7.4 Koordinasi dengan pihak terkait (organisasi desa,
institusi pendidikan, kesehatan) dilakukan

8. Melaksanakan kegiatan 8.1 Dilakukan registrasi penyandang masalah tuna sosial


rehabilitasi sosial terhadap yang akan ditangani
penyandang disabilitas 8.2 Dilakukan pemeriksaan dan konsultasi kesehatan
umum dalam rangka menentukan keadaan kesehatan
penyandang disabilitas secara umum
8.3 Dilakukan konsultasi psikologis untuk memeriksa
kemungkinan adanya gangguan psikologis
8.4 Dilakukan konsultasi sosial untuk meneliti keadaan
sosial masyarakat penyandang disabilitas beserta
keluarganya
8.5 Dilakukan pemeriksaan lebih rinci mengenai kualitas
atau berat-ringan permasalahan sosial, misalnya berat-
ringannya disabilitas seseorang dalam rangka
penentuan langkah pelayanan rehabilitasinya.
8.6 Rujukan ditentukan apabila penanganan rehabilitasi
tidak dapat dilakukan di tempat
8.7 Dilakukan pelatihan singkat keterampilan kerja
tertentu yang memungkinkan dan akan segera
bermanfaat bagi penyandang disabilitasl, agar yang
bersangkutan dapat menjadi warga yang produktif
dan dapat hidup normatif.
8.8 Alat bantu disabilitas yang akan dapat digunakan di
lingkungan kehidupannya, baik di lingkungan
keluarga maupun masyarakat sekitarnya diberikan
8.9 Bantuan sosial, yang dapat berupa bantuan uang
maupun peralatan kerja, untuk memulai bekerja dan
berproduksi diberikan
8.10 Penyaluran dan pembinaan lanjut dilakukan agar
penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan dan
atau peningkatan kemampuan kerjanya.
8.11 Dilakukan saresehan dengan kelompok-kelompok
masyarakat terutama para pramuka masyarakat, dan
petugas terkait, dalam rangka meningkatkan
kesadaran masyarakat mengenai permasalahan sosial
penyandang masalah tuna sosial, dan meningkatkan
peran sertanya untuk ikut menangani permasalahan
sosial tersebut.
8.12 Dilakukan monitoring dan evaluasi keseluruhan
kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat
dan atau, sebagai tolak ukur keberhasilan serta sebagai
bahan peningkatan pengoperasian Rehabilitasi Sosial
Berbasiskan Masyarakat selanjutnya.

[36]
BATASAN VARIABEL
1. Konteks variabel
1.1. Unit ini berlaku untuk melakukan pendekatan awal dengan masyarakat,
penggalian dan pemahaman masalah, melaksanakan kegiatan motivasi,
bimbingan, dan penyuluhan awal dengan masyarakat, melaksanakan kegiatan
mobilisasi potensi masyarakat, melaksanakan kegiatan deteksi dan stimulasi
dini, melaksanakan kegiatan motivasi, bimbingan, dan penyuluhan dengan
penyandang disabilitas, persiapan kegiatan rehabilitasi sosial terhadap
penyandang disabilitas, yang digunakan untuk layanan rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas berbasis keluarga dan masyarakat
1.2. Pendekatan awal yang dimaksud adalah kegiatan yang mengawali proses
layanan rehabilitasi sosial
1.3. Penggalian dan pemahaman masalah yang dimaksud adalah upaya untuk
menelaah atau mengungkap masalah yang dialami penyandang disabilitas.
1.4. Mobilisasi potensi masyarakat yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk
mengumpulkan potensi yang dimiliki masyarakat
1.5. Deteksi dan stimulasi dini yang dimaksud adalah upaya menemukan
permasalahan yang dimiliki penyandang disabilitas anak-anak balita dan
seseorang yang memiliki kecenderungan potensi disabilitas serta upaya
penanganan masalah tersebut beserta dengan rujukannya
1.6. Lingkungan kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dilakukan dalam
lingkungan masyarakat dan ruang kelas
1.8. Program rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam KUK 1.1. adalah program
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
1.9. Penyandang disabilitas yang dimaksud dalam KUK 2.1. adalah orang yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

JUDUL UNIT : Memberikan Layanan Rehabilitasi Sosial Penyandang


Disabilitas Berbasis Lembaga (Panti Pemda dan
Lembaga Kesejahteraan Sosial)
DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam memberikan
layanan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas berbasis
lembaga (Panti Pemda dan Lembaga Kesejahteraan Sosial)

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


 Melakukan Pendekatan awal o Program rehabilitasi sosial diinformasikan kepada calon
dengan calon penerima layanan penerima layanan
o Masalah calon penerima layanan diidentifikasi
o Minat calon penerima layanan serta dukungan orangtua
untuk mengikuti rehabilitasi sosial dimotivasi
o Calon penerima layanan rehabilitasi sosial dipilih dan

[37]
ditetapkan
o Calon penerima layanan rehabilitasi ditempatkan dalam
layanan rehabilitasi sosial

 Melakukan Penggalian dan o Hubungan antara pekerja sosial dan penerima layanan
pemahaman masalah dibangun
o Data dan informasi penerima pelayanan dikumpulkan
o Data dan informasi penerima layanan dianalisis dan
diinterpretasikan guna menemukan masalah dan
kebutuhan penerima pelayanan

 Pemecahan o Kebutuhan penerima pelayanan dibuat skala prioritas


masalah/memberikan o Jenis layanan dan rujukan ditentukan sesuai dengan
intervensi pelayanan kebutuhan penerima pelayanan
o Jadwal pelaksanaan pemecahan masalah dibuat dan
disepakati
o Permasalahan penerima layanan ditangani
o Pemenuhan kebutuhan penerima layanan
dikoordinasikan dengan pihak terkait

 Melakukan Resosialisasi dengan o Penerima pelayanan dikembalikan kepada keluarga dan


keluarga masyarakat agar dapat berintegrasi dalam kehidupan
bermasyarakat
o Pihak keluarga diberikan sosialisasi...

 Terminasi/melakukan o Keberhasilan yang telah dicapai penerima layanan dari


pemutusan kegiatan pelayanan aspek bio psikososial dan spiritual diidentifikasi
o Keluarga dan pihak terkait dengan kehidupan penerima
dikunjungi

 Bimbingan lanjut o Mengidentifikasi minat dan ketrampilan


o Penerima layanan diberikan keterampilan lanjutan untuk
mengembangkan kewirausahaan

BATASAN VARIABEL
2. Konteks variabel
2.1. Unit ini berlaku untuk pendekatan awal, pengungkapan dan pemahaman
masalah, pemecahan masalah, resosialisasi, terminasi, dan bimbingan lanjut yang
digunakan untuk layanan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas berbasis
lembaga
2.2. Pendekatan awal yang dimaksud adalah kegiatan yang mengawali proses
layanan rehabilitasi sosial
2.3. Pengungkapan dan pemahaman masalah yang dimaksud adalah kegiatan untuk
menelaah atau mengungkap masalah yang dialami penyandang disabilitas
2.4. Resosialisasi yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk mempersiapkan
Penyandang Disabilitas dan masyarakat agar dapat berintegrasi dalam
kehidupan bermasyarakat
2.5. Terminasi yang dimaksud adalah kegiatan berakhirnya pemberian rehabiiltasi
sosial penyandang disabilitas

[38]
2.6. Bimbingan lanjut yang dimaksud adalah kegiatan pemantauan dan upaya
peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas
2.7. Lingkungan kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dilakukan dalam
lingkungan masyarakat dan ruang kelas
2.8. Program rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam KUK 1.1. adalah program
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
2.9. Pekerja sosial yang dimaksud dalam KUK 2.1. adalah seseorang yang bekerja,
baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial
untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

JUDUL UNIT : Memberikan izin pengumpulan sumbangan lintas


daerah kabupaten /kota dalam 1 (satu) daerah provinsi
DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam memberikan izin
pengumpulan sumbangan lintas daerah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) daerah provinsi.

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


 Mengumpulkan permohonan o Permohonan izin pengumpulan sumbangan diidentifikasi
izin pengumpulan sumbangan o Permohonan izin pengumpulan sumbangan dikumpulkan
lintas daerah kabupaten/kota o Permohonan izin pengumpulan sumbangan didata
dalam 1 (satu) daerah provinsi
 Membuat keputusan o Kelengkapan persyaratan permohonan izin
pemberian izin pengumpulan pengumpulan sumbangan dianalisis
sumbangan lintas daerah o Permohonan izin pengumpulan sumbangan
kabupaten/kota dalam 1 (satu) dikonfirmasikan dengan pihak terkait
daerah provinsi o Keputusan pemberian / penolakan / pengembalian
permohonan izin pengumpulan sumbangan ditetapkan

JUDUL UNIT : Pelaksanaan pelayanan Sosial lanjut usia terlantar


berbasis lembaga (dalam panti)
DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam pelayanan Sosial
lanjut usia terlantar berbasis lembaga

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


1. Melakukan Pendekatan awal 1.1 Program rehabilitasi sosial diinformasikan kepada
calon penerima layanan
1.2 Calon penerima layanan diidentifikasi dan disurvei
untuk melihat kondisi
1.3 Calon penerima layanan rehabilitasi sosial dipilih dan
ditetapkan
1.4 Calon penerima layanan rehabilitasi ditempatkan
dalam layanan rehabilitasi sosial (sistem asrama)

[39]
2. Melakukan Assesment 2.1 Hubungan antara pekerja sosial dan penerima layanan
dibangun
2.2 Data dan informasi penerima pelayanan dikumpulkan
2.3 Data dan informasi penerima layanan dianalisis dan
diinterpretasikan guna menemukan masalah dan
kebutuhan penerima pelayanan

3. Pemecahan 3.1 Kebutuhan penerima pelayanan dibuat skala prioritas


masalah/memberikan 3.2 Jenis layanan dan rujukan ditentukan sesuai dengan
intervensi pelayanan kebutuhan penerima pelayanan
3.3 Jadwal pelaksanaan pemecahan masalah dibuat dan
disepakati
3.4 Permasalahan penerima layanan ditangani

4. Bimbingan lanjut 4.1 Mengidentifikasi minat dan ketrampilan


4.2 Penerima layanan diberikan bimbingan mental, sosial,
agama dan keterampilan

BATASAN VARIABEL
 Konteks variabel
o Unit ini berlaku untuk melakukan pelayanan sosial lanjut usia terlantar yang
berbasis lembaga (dalam panti).
o Lanjut Usia Telantar adalah seseorang yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau
lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik
secara jasmani, rohani maupun sosial sehingga menjadi terlantar.
o Lingkungan kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dilakukan dalam
lingkungan kantor secara umum.

JUDUL UNIT : Melaksanakan pemulangan warga negara migran korban


tindak kekerasan dari titik debarkasi untuk dipulangkan ke
Desa/kelurahan asal.
DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam melaksanakan
pemulangan warga negara migran korban tindak
kekerasan dari titik debarkasi untuk dipulangkan ke
Desa/kelurahan asal

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


 Melakukan Pendataan dan 1.1 Dilakukan verifikasi dan validasi data yang diterima
registrasi dari Pusat
1.2 Dilakukan pemilahan berdasarkan daerah asal dari
PMB dan TKIB
1.3 Dilakukan koordinasi pemulangan dengan pemerintah
dan pemerintah kota/kabupaten daerah asal PMB dan
TKIB

[40]
2. Melaksanakan Pemulangan 2.1 PMB dan TKIB diterima dan diberikan tempat
penampungan sementara
2.2 Diberikan bimbingan peningkatan kepercayaan diri
kepada PMD dan TKIB agar dapat diterima oleh
keluarga dan masyarakat serta motivasi untuk bangkit
dab nerusaha
2.3 Disediakan transportasi untuk penjemputan dan
pengantaran
2.4 Dibuat daftar nama/manifes untuk diberangkatkan ke
daerah asal
2.5 PMB dan TKIB diberangkatkan ke daerah asal
2.6 Diselenggarakan berita acara serah terima

BATASAN VARIABEL
 Konteks variabel
o Unit ini berlaku untuk melaksanakan pemulangan warga negara migran korban
tindak kekerasan dari titik debarkasi untuk dipulangkan ke Desa/kelurahan asal.
o Pekerja Migran Bermasalah yang selanjutnya disebut PMB adalah seseorang yang
bekerja di dalam maupun di luar negeri yang mengalami masalah, baik dalam
bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, pengusiran, keterlantaran, disharmoni sosial,
ketidakmampuan menyesuaikan diri sehingga mengakibatkan fungsi sosialnya
terganggu
o Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah yang selanjutnya disebut TKIB adalah TKI yang
bekerja di luar negeri tanpa memiliki izin kerja, tidak memiliki dokumen yang sah,
dan/atau yang bekerja tidak sesuai dengan izin kerja yang dimiliki, mengalami
masalah baik dalam bentuk tindak kekerasan, keterlantaran, disharmoni sosial, dan
ketidakmampuan menyesuaikan diri
o Lingkungan kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dilakukan dalam
lingkungan kantor secara umum
o Verifikasi dan validasi data yang dimaksud dalam KUK 1.1 adalah data nama,
umur, jenis kelamin, alamat lengkap, kabupaten, kecamatan dan desa tujuan
pemulangan yang diterima dari kementerian sosial dicocokkan kembali.
o Koordinasi pemulangan dengan pemerintah dan pemerintah kota/kabupaten
daerah asal PMB dan TKIB dalam KUK 1.3 untuk menyinkronkan perencanaan,
penyusunan dan pemulangan TKI sampai ke daerah asal.

[41]
JUDUL UNIT : Melaksanaan Pelayanan dan konsultasi kesejahteraan
keluarga (LK3)
DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam memberikan
Pelayanan dan konsultasi kesejahteraan keluarga (LK3)

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA


 Melakukan Pendekatan awal o Program konsultasi kesejahteraan sosial keluarga
dengan calon penerima layanan diinformasikan kepada calon penerima layanan
o Masalah calon penerima layanan diidentifikasi
o Minat calon penerima layanan untuk mengikuti
konsultasi dimotivasi
o Data dan informasi penerima pelayanan dikumpulkan
o Data dan informasi penerima layanan dianalisis dan
diinterpretasikan guna menemukan masalah dan
kebutuhan penerima pelayanan
o Calon penerima layanan dipilih dan ditetapkan
berdasarkan jenis permasalahan untuk ditetapkan dalam
jenis layanan yang akan diberikan.

 Melakukan konsultasi; 2.1 Hubungan antara pekerja sosial dan penerima layanan
dibangun untuk memperjelas dan berupaya memahami
isu-isu yang dialami keluarga
2.2 Menciptakan hubungan berdasarkan kesetaraan dan
saling percaya dengan klien/keluarga
2.3 Memahami masalah klien/keluarga secara mendalam
2.4 Memberikan dukungan emosional, meningkatkan
kesadaran diri dan motivasi
2.5 Menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah;
2.6 Merancang rencana tindak lanjut pemecahan masalah;
dan
2.7 Melaksanakan pemecahan masalah psikososial
keluarga.
2.8 Memberikan bimbingan keterampilan tentang strategi
pemecahan masalah, mengelola stres, meningkatkan
relasi sosial dan mengembangkan jejaring kerja
pemberian pelayanan

 Melakukan Advokasi 3.1 Mempengaruhi pihak terkait agar melakukan


pelayanan terbaik;
3.2 Mendesak pihak-pihak terkait agar meningkatkan hak-
hak klien untuk memperoleh pelayanan;
3.3 Melakukan perundingan dengan pihak-pihak terkait;
3.4 Memberikan kesaksian dan pendampingan;
3.5 Melakukan upaya hukum;
3.6 Membimbing klien/keluarga tentang keterampilan
advokasi untuk mengatasi masalah; dan
3.7 Membimbing klien/keluarga tentang hak-haknya.

 Melakukan Rujukan 4.1 Mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan dan alasan-


alasan rujukan dengan klien/keluarga;
4.2 Mengomunikasikan kepada sumber pelayanan yang
akan menerima rujukan tentang kebutuhan-kebutuhan
klien/keluarga;

[42]
4.3 Membuat janji dengan sumber pelayanan yang akan
menerima rujukan;
4.4 Melaksanakan prosedur rujukan dari sumber
pelayanan yang akan menerima rujukan disertai
dengan catatan riwayat sosial klien/keluarga ke
sumber pelayanan yang akan menerima rujukan; dan
4.5 Mengatur kegiatan tindak lanjut setelah dirujuk.

 Penjangkauan 5.1 Mendekatkan pelayanan kepada klien, keluarga dan


masyarakat dengan proaktif turun langsung ke sasaran
untuk memastikan klien menerima pelayanan sesuai
dengan yang dibutuhkan;
5.2 Memberikan pelayanan di lokasi sasaran sesuai dengan
prosedur dan jenis pelayanan yang tersedia

BATASAN VARIABEL
3. Konteks variabel
• Unit ini berlaku untuk melaksanakan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga
yang selanjutnya disebut LK3 adalah unit pelayanan sosial terpadu yang
melaksanakan penanganan masalah psikososial keluarga untuk mewujudkan
ketahanan keluarga
• Lembaga Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat dengan LKS adalah
organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
• Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga.
• Kesejahteraan Keluarga adalah kondisi tentang terpenuhinya kebutuhan dasar
manusia dari setiap anggota keluarga secara material, sosial, mental dan spiritual
sehingga dapat hidup layak sebagai manusia yang bermanfaat.
• Ketahanan Keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam mengelola sumber
daya yang dimiliki serta menanggulangi masalah yang dihadapi, untuk dapat
memenuhi kebutuhan fisik maupun psikososial keluarga.
• Unit Pelayanan Sosial Terpadu merupakan seperangkat pelayanan yang
komprehensif dan terkoordinasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
bermasalah psikososial.
• Psikososial adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan relasi sosial yang ada
disekelilingnya yang mencakup faktor psikologis dari pengalaman sesorang berupa
pemikiran, perasaan, dan/atau perilaku yang secara terus-menerus saling
mempengaruhi satu sama lain.
• Masalah psikososial adalah kondisi yang dialami seseorang yang disebabkan oleh
terganggunya relasi sosial, sikap dan perilaku meliputi gangguan pemikiran,
perasaan, perilaku, dan/atau relasi sosial yang secara terus-menerus saling
mempengaruhi satu sama lain.

[43]
• Konseling adalah proses untuk membantu individu atau kelompok dalam
mengatasi hambatan perkembangan pribadinya dan untuk mencapai
perkembangan kemampuan pribadi yang dimilikinya secara optimal.
• Analisis kelengkapan persyaratan LK3 dimaksud dalam KUK 2.1 adalah mengecek
kelengkapan berkas permohonan izin, mempelajari, dan mengkaji secara mendalam
informasi dalam permohonan tersebut untuk dihasilkan sebuah kesimpulan
• Pihak terkait yang dimaksud dalam KUK 2.2. adalah Pemerintah daerah dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKSK dan PSM) dan Pekerja Sosial, dimana sebagai
basis dalam pelayanan LK3 tersebut akan dilakukan

Rekomendasi Kebijakan
1. Untuk tercapainya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur
Pemerintah Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam
Negeri berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator
pembelajaran perumus Standar Kompetensi di tempat kerja.

2. Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/


kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan tujuan
untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat, diatur
pada pasal 16 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sehingga perlu menyusun
NSPK per bidang pemerintah.

3. Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan
personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang
diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai
birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

4. Pembenahan & penguatan data sebagai gambaran “input” dari Pemetaan Urusan
dan penentuan suatu Tipologi dari Dinas Sosial di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

5. Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan
personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang
diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah. Dengan cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir
yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

6. Urusan Bidang Sosial yang merupakan salah satu dari Urusan Pemerintahan Wajib
dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib terkait Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat dan untuk hubungan
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota norma,
standar, prosedur, kriteria (NSPK), melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

7. Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota berdasarkan


NSPK Bidang Sosial perlu disusun Standar agar “siapa mengerjakan apa” dan “siapa
yang bertanggung jawab secara jabatan” dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kepada penerima layanan.

[44]
8. Tipologi dinas, selain berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, intensitas urusan
yang meliputi beban kerja berdasarkan NSPK.

9. Indikator urusan bidang sosial berdasarkan template yang telah dibuat Kementerian
Dalam Negeri, di provinsi meliputi:
- Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam lembaga (Panti
dan Lembaga Kesejahteraan Sosial) dari kab/kota di wilayah provinsi tersebut,
- Jumlah Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) cakupan provinsi, sedangkan
indikator bidang sosial di Kabupaten/Kota meliputi: jumlah Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam lembaga (Panti dan Lembaga
Kesejahteraan Sosial) cakupan di Kab/Kota tersebut,
- Jumlah Fakir Miskin di wilayah Kab/Kota tersebut, jumlah Potensi Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) cakupan Kab/Kota tersebut.

10. Berdasarkan hasil dari tipologi dari template Kementerian Dalam Negeri, sangat
diperlukan data yang valid By Name By Adress (BNBA) dan diperlukan sarana
prasarana untuk validasi data Fakir Miskin (setiap orang dalam Keluarga Sangat
Miskin), Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang berdasarkan kelembagaan di daerah merupakan
tanggung jawab Dinas Sosial dan merupakan salah satu kompetensi aparatur
Sumber Daya Manusia Bidang Sosial di daerah, meskipun yang melakukan
verifikasi data lapangan dikoordinasikan oleh Tenaga kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK) yang merupakan salah satu bentuk peran masyarakat yaitu
Potensi Sumber Kesejahtaeraan Sosial (PSKS) dengan mengumpulkan data dari
PSKS lainnya seperti Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Pendamping Program dan
lainnya.

Daftar Pustaka
William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University
DR. Riant Nugroho, Public Policy – Teori, manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi,
dan Kimia Kebijakan. Edisi Keempat 2012, PT Elex Media Komputindo – Gramedia
Jakarta.
DR. Riant Nugroho, Kebijakan Publik di Negara-Negara Berkembang. Edisi Pertama
2014, Pustaka Pelajar.
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Edisi Kedua 2013, Penerbit & Percetakan
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Yogyakarta.
W. Lawrence-Neuman, Metode Penelitian Sosial Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif,
Edisi Ketujuh 2013, PT. Index Jakarta.
Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, Social Capital a multificated Perspective. First
Printing 1999, World bank Washington DC.
DR. Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, Edisi Ketiga 2012, Pustaka Pelajar.
James Midgley, Social Welfare in Global Context, Second Edition 1999, Sage Publications
International Educational & Professional Publisher Thousand Oaks, London.
Wayne Parsons, Public Policy – Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan, Edisi
Pertama 2012, Kencana Prenada Media Group.

[45]
Prof. Jogiyanto HM, Pedoman Survey Kuesioner, Edisi Kedua 2013, BPFE YK.
Prof. DR. Sofjan Assauri MBA, Strategic Management–Sustainable Competitive
Advantages, Lembaga Managemen FE UI.
Anthony Giddens, The Consultations of Society, Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
Penerbit Pedati.
Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019
Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Menteri Sosial No. 08 Tahun 2012 tentang Pendataan dan Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial.

[46]
POLICY BRIEF
KAWASAN RAMAH LANJUT USIA SEBAGAI POTENSI SUMBER
DALAM REHABILITASI SOSIAL BAGI LANJUT USIA POTENSIAL

Abstrak
Peraturan Menteri Sosial No. 7 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan
Kawasan Ramah Lanjut Usia merupakan suatu upaya terciptanya lingkungan sosial yang
mendukung keberfungsian sosial Lanjut Usia untuk meningkatkan kemampuan dalam
melaksanakan peran, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, dan aktualisasi diri.
Kesejahteraan sosial merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk
mengadakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak
asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia adalah serangkaian kegiatan
yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Pemerintah dan masyarakat untuk
memberdayakan lanjut usia agar lanjut usia tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya
dan berperan aktif secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lanjut usia merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas. Lanjut Usia Potensial merupakan lanjut usia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa.
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia ditujukan pada lanjut usia
potensial meliputi pelayanan keagamaan dan mental spiritual; pelayanan kesehatan;
pelayanan kesempatan kerja; pelayanan pendidikan dan pelatihan; pelayanan untuk
mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum;
pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; bantuan sosial. Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan masyarakat.
Pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi lanjut usia dimaksudkan untuk
mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pelayanan
keagamaan dan mental diselenggarakan melalui peningkatan kegiatan keagamaan sesuai
dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Pelayanan keagamaan dan mental
spiritual bagi lanjut usia meliputi bimbingan beragama dan pembangunan sarana ibadah
dengan penyediaan aksesibilitas bagi lanjut usia.
Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan dan kemampuan lanjut usia agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat
berfungsi secara wajar.

PENDAHULUAN
Pelayanan kesempatan kerja bagi lanjut usia potensial dimaksudkan memberi
peluang untuk mendayagunakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, keterampilan, dan
pengalaman yang dimilikinya. Pelayanan kesempatan kerja dilaksanakan pada sektor
formal dan non formal, melalui perseorangan, kelompok/organisasi, atau lembaga baik
Pemerintah maupun masyarakat.

[47]
Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia dilaksanakan dalam bentuk motivasi dan diagnosis
psikososial; perawatan dan pengasuhan; pelatihan vokasional dan pembinaan
kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan fisik; bimbingan sosial dan
konseling psikososial; pelayanan aksesibilitas; bantuan dan asistensi sosial; bimbingan
resosialisasi; bimbingan lanjut; dan rujukan.
Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia dilaksanakan dengan tahapan pendekatan awal;
pengungkapan dan pemahaman masalah atau asesmen; penyusunan rencana pemecahan
masalah; pemecahan masalah atau intervensi; resosialisasi; terminasi; dan pembinaan
lanjut .
Bantuan sosial diberikan kepada lanjut usia potensial yang tidak mampu agar
lanjut usia dapat meningkatkan taraf kesejahteraannya. Bantuan sosial bersifat tidak
tetap, berbentuk material, finansial, fasilitas pelayanan dan informasi guna mendorong
tumbuhnya kemandirian.
Pemberian bantuan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup lanjut usia
potensial yang tidak mampu, mengembangkan usaha dalam rangka meningkatkan
pendapatan dan kemandirian, mendapatkan kemudahan dalam memperoleh kesempatan
berusaha. Pemberian bantuan sosial dilakukan dengan memperhatikan keahlian,
keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan lanjut usia potensial yang tidak mampu
serta tujuan pemberian bantuan sosial.
Pemberian bantuan sosial dapat diberikan kepada lanjut usia potensial yang tidak
mampu perorangan atau kelompok untuk melakukan usaha sendiri atau kelompok usaha
bersama dalam sektor usaha non formal. Dalam memberikan bantuan sosial, Menteri
melakukan pembinaan terhadap lanjut usia potensial yang tidak mampu. Pembinaan
dilakukan melalui bimbingan, penyuluhan, pendidikan dan latihan keterampilan,
pemberian informasi.
Kelompok Usaha Bersama yang selanjutnya disebut KUBe merupakan kelompok
keluarga miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas prakarsanya dalam
melaksanakan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Usaha Ekonomi Produktif yang selanjutnya disingkat dengan UEP merupakan
bantuan sosial yang diberikan kepada kelompok usaha bersama untuk meningkatkan
pendapatan keluarga.
KUBe bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin, mengembangkan
pelayanan sosial dasar, meningkatkan pendapatan, kapasitas individu, dan kemampuan
berusaha anggota kelompoknya sehingga mampu memenuhi kebutuhannya secara
mandiri serta meningkatkan kesetiakawanan sosial.
Anggota KUBe harus memenuhi syarat kepala keluarga dan pencari nafkah utama
dalam keluarga; berdomisili tetap dan memiliki identitas diri; telah menikah dan berusia
18 (delapan belas) tahun sampai dengan 60 (enam puluh) tahun dan masih produktif;
memiliki potensi dan keterampilan; dan memiliki surat keterangan tidak mampu dari
kelurahan/desa/dan pemegang kartu penerima bantuan sosial.
Anggota KUBe mempunyai hak memilih/dipilih menjadi pengurus;
mengemukakan pendapat dan gagasan; mengelola usaha dan kegiatan; mendapatkan
informasi dan pelayanan yang sama; menerima bagian dari hasil usaha; dan ikut
merumuskan aturan kelompok.
Petugas pelaksana pendamping KUBe meliputi supervisor; koordinator; dan
pendamping desa/kelurahan/nama lain yang sejenis.

[48]
Pendamping KUBe berasal dari tenaga kesejahteraan sosial kecamatan; pekerja
sosial masyarakat; karang taruna; pengurus lembaga kesejahteraan sosial; dan tokoh
pemuda, tokoh agama, atau tokoh masyarakat. Keberhasilan KUBe diukur berdasarkan 3
(tiga) aspek indikator, yaitu kelembagaan, sosial, dan ekonomi.
Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia dimaksudkan untuk memberikan
acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, dan masyarakat dalam pembentukan lembaga dan pelaksanaan
Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia. Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia harus memperhatikan
prinsip: diutamakan tetap dalam lingkungan keluarga, panti merupakan alternatif
terakhir; nondiskriminatif dan imparsial; dan pelayanan yang holistik, komprehensif, dan
inklusif.
LKSLU harus memiliki dana mandiri dari lembaga maupun dari luar lembaga
seperti donatur, tanggung jawab dunia usaha, dan masyarakat untuk mengelola
penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial bagi Lanjut Usia. Ketersediaan dana wajib digunakan
seluruhnya untuk kepentingan penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial bagi Lanjut Usia.

Urusan Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia


Urusan rehabilitasi sosial lanjut usia terlantar termasuk indikator SPM Bidang
Sosial dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar
Teknis Pelayanan Dasar Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di
Daerah Kabupaten/Kota. Daerah Provinsi untuk rehabilitasi sosial dasar di dalam panti
milik pemerintah daerah atau milik masyarakat dan di Daerah Kabupaten/Kota
rehabilitasi sosial dasar lanjut usia terlantar di luar panti.
Peta Strategis Kementerian Sosial dengan tujuan meningkatkan taraf kesejahteraan
sosial penduduk miskin dan rentan dengan Sasaran Strategis (SS) 1 adalah berkontribusi
menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan dengan meningkatnya keberfungsian
sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan meningkatnya kemandirian
keluarga miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Prioritas Nasional (PN) Penanggulangan Kemiskinan pada Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2018 dengan Program Prioritas (PP) yang meliputi: Jaminan dan
Bantuan Sosial tepat sasaran, pemenuhan kebutuhan dasar, perluasan akses usaha mikro,
kecil dan koperasi. Program Prioritas (PP) Jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran
dengan Kegiatan Prioritas (KP) diantaranya penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi
keluarga miskin secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat
(KPM).
Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar dengan Kegiatan Prioritas
diantaranya pemberian rehabilitasi sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 orang.
Pemberian layanan Home Care bagi lanjut Usia Telantar dengan target 14.910 orang.
Kebijakan penyusunan penganggaran dalam RKP 2019 berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional, dengan memuat substansi yang meliputi:
perkuatan kendali program. Perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan dengan ukuran keluaran dan lokus yang jelas.
Pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat pada Kementerian/
Lembaga (K/L) dan non K/L, transfer ke daerah maupun non APBN. Memperkuat
koordinasi antar instansi dan antar pusat dengan daerah memfokuskan pembahasan

[49]
pada prioritas pembangunan agar kesiapan pelaksanaan dibahas sejak awal dan integrasi
antar program dan antar pelaku pembangunan. Mengintegrasikan dokumen
perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem
yang terpadu dalam aplikasi Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA).
Bentuk pendampingan dan perawatan sosial di rumah (Home Care), dengan
pendampingan dalam kegiatan pendampingan dan perawatan sosial di rumah dilakukan
dalam bentuk: 1) pertemanan; 2) perawatan sosial; 3) pelaksanaan pendampingan dalam
kegiatan sehari-hari; 4) pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia (lansia); 5)
pendampingan dan perawatan kegiatan sehari-hari (activity daily living services); 6)
perawatan medis/kesehatan bagi lansia di rumah, dengan merawat lansia yang:
menderita sakit, penyandang disabilitas, lansia yang sudah uzur (bed ridden); 7) konseling;
8) mengenali kondisi kritis lansia dan memberikan rujukan; 9) melakukan pembelaan
terhadap hak-hak lansia; 10) pendampingan dan perawatan dalam menyatukan
(reunifikasi dan reintegrasi) lansia dengan keluarganya, melalui telepon, informasi,
pemberian makanan, menjelang kematian dan pemulasaran jenazah.
Pendamping bertanggung jawab mengenal pelaksanaan pendampingan sosial
lansia yang meliputi: penyusunan jadual kunjungan secara teratur, pelaksanaan
kunjungan, penyusunan laporan kunjungan, case conference (manajemen kasus), tindak
lanjut pelayanan dan perawatan/rujukan, administrasi pendampingan, yang meliputi:
setiap dokumen pelayanan dan perawatan wajib diadministrasikan secara tertib melalui
file secara khusus (data base).

AKSESIBILITAS LANJUT USIA


Aksesibilitas lansia juga masih rendah, dan lansia masih dianggap sebagai beban,
bukan sebagai modal, padahal seharusnya lansia harus dihargai peranannya dalam
mendukung pembangunan nasional. Kondisi ini diperparah dengan realitas empirik yang
menunjukkan bahwa lansia terlantar masih banyak yang belum tersentuh program
kesejahteraan sosial dari pemerintah. Merespon realitas empirik yang ada, dan sebagai
pelaksanaan amanat Undang-Undang, Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah
memberikan pelayanan bagi lansia potensial yang merupakan rehabilitasi sosial lanjut.
Meningkatnya angka harapan hidup disatu sisi, tidak diikuti oleh meningkatnya
derajat kesejahteraan lansia. Berdasarkan hasil penelitian Help Age International dan
Lembaga Demografi UI, penduduk lansia terutama yang berada di usia 70 tahunan dan
80 tahun keatas memiliki angka kemiskinan tertinggi diantara kelompok populasi, yaitu
13,3% dan 16% secara berurutan. Pada saat yang sama terdapat juga sebagian populasi
lansia, lebih besar daripada yang secara resmi diklasifikasikan sebagai miskin, yang
sangat rentan untuk jatuh kedalam kemiskinan.
Perlindungan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan untuk mencegah dan menangani
resiko dari guncangan dan kerentanan sosial agar kelangsungan hidup lanjut usia dapat
dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal yang meliputi:
 Asistensi sosial {bentuk perlindungan sosial yang ditujukan untuk meringankan beban
hidup lanjut usia terlantar guna memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dalam bentuk
pemberian bantuan berupa uang yang disertai dengan pendampingan sosial,
 Kedaruratan {tindakan mendesak untuk menyelamatkan, melindungi, dan
memulihkan kesejahteraan lanjut usia dalam situasi darurat, baik dalam situasi
bencana maupun bagi yang mengalami perlakuan salah dalam bentuk layanan

[50]
pengaduan, rujukan untuk pemulihan fisik dan mental, pendampingan, serta
penempatan di tempat penanganan trauma lanjut usia};
 Aksesibilitas {kemudahan dalam menggunakan sarana dan prasarana umum dan
memperoleh fasilitas pelayanan dalam mendukung dan memperlancar mobilitas lanjut
usia}; dan 4). pelayanan lanjut usia dalam keluarga pengganti {pelayanan sosial
kepada lanjut usia di luar keluarganya dan di luar lembaga dengan cara tinggal di
keluarga lain untuk mendapatkan pendampingan, perawatan, dan pemenuhan
kebutuhan dasar}.

METODOLOGI
Metode analisis kebijakan yang digunakan adalah analisis kebijakan integratif, yaitu
melihat dinamika permasalahan yang ada dengan menggali data dan informasi baik
sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan. Analisis kebijakan integratif yang
dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan timbal balik baik sebelum
maupun sesudahnya. Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dengan
menggunakan teknik triangulasi data (data lapangan, kebijakan yang ada, sumber data
kunci pembuat kebijakan). Analisa ini dilakukan untuk dapat melengkapi data dan
informasi yang dibutuhkan dalam penulisan naskah kebijakan.
Teknik pengumpulan data kegiatan analisis kebijakan dilakukan dengan
menggunakan teknik, sebagai berikut:
 Wawancara mendalam (indept interview); Wawancara mendalam adalah kegiatan
untuk menggali informasi tentang pandangan, kepercayaan, pengalaman, pengakuan
informasi mengenai suatu hal secara utuh.
 Diskusi kelompok; Diskusi kelompok adalah proses memperoleh informasi mendalam
untuk memperoleh pemahaman dari keragaman perspektif diantara kelompok yang
menjadi subyek dalam pencapaian tujuan kebijakan.
 Observasi; dilakukan untuk memperoleh informasi terkait rehabsos lanjut bagi lansia
potensial secara langsung dan tidak langsung dengan melihat gejala-gejala fisik,
perilaku manusia dan simbol-simbol lain yang berkaitan dengan proses
penyelenggaraan kebijakan.

DESKRIPSI MASALAH
Rumusan masalah dirumuskan melalui beberapa pertanyaan untuk pertimbangan
kebijakan dalam dokumen perencanaan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2019 yang
menjadi dasar/base line RKP tahun 2020:
1. Bagaimana persoalan dan solusi terkait input program rehabilitasi sosial lanjut bagi
lanjut usia potensial dengan lingkungan inklusif kawasan ramah lansia (data, regulasi,
anggaran) menurut pengelola, pendamping, lansia potensial.
2. Bagaimana persoalan dan solusi terkait proses program kawasan ramah lansia sebagai
potensi sumber untuk rehabsos lansia potensial untuk mendapatkan layanan.
3. Bagaimana peran lembaga kesejahteraan sosial (LKS) lanjut usia dalam melakukan
layanan dengan potensi sumber kawasan ramah lansia.

ANALISIS
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan

[51]
Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat
meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information),
hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk
mendapatkan keadilan (public right to justice).
BPS memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki sekitar
63,31 juta penduduk lanjut usia (lansia) atau hamper mencapai 20 persen populasi.
Bahkan, proyeksi PP juga menyebutkan bahwa persentase lansia Indonesia akan
mencapai 25 persen pada tahun 2050 atau sekitar 74 juta lansia. Peningkatan yang begitu
pesat ini membawa konsekuensi tersendiri terhadap pembangunan nasional (Statistik
Penduduk Lanjut Usia, 2018). Populasi lansia yang sedemikian besar membawa dampak
positif apabila lansia hidup dengan mandiri, sehat, aktif, dan produktif, namun bisa
membawa dampak negatif apabila lansia hidup dalam kondisi ketergantungan penuh
pada orang lain atau keluarga, sakit dan tidak produktif.
Sasaran strategis Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2015-2019 Kementerian Sosial
Perubahan adalah berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan
dengan arah kebijakan yang meliputi: penyelenggaraan perlindungan sosial yang
komprehensif, pengembangan penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan
akses pelayanan dasar, penguatan kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM)
penyelenggara kesejahteraan sosial.
Program Prioritas Perluasan Akses Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi diantaranya
dengan Kegiatan Prioritas Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif
(KUBe) dengan target 119.020 orang.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019 program rehabilitasi sosial
diantaranya lanjut usia yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan
target 50.340 orang dan lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Home Care dengan
target 20.000 orang. Lanjut usia telantar khususnya bed ridden dalam pemenuhan
kebutuhan dasar yang dilakukan oleh pekerja sosial masyarakat (PSM) dan tetangga
terdekat di lingkungan tempat tinggal dari lanjut usia telantar tersebut dan analisis
kebijakan tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Sub Bagian Analisis Kebijakan Rehabilitasi
Sosial Biro Perencanaan Kementerian Sosial menunjukkan bahwa permasalahan yang
dihadapi terkait data lanjut usia adalah fase input yang belum valid, termasuk
didalamnya database terkait Lanjut Usia potensial dan non potensial serta bed ridden,
kemitraan strategis yang belum terbangun dengan baik, khususnya konteks
komplimentaritas bagi capaian kesejahteraan Lanjut usia terlantar; juga jangkauan dan
sustainibilitas program yang belum dijadikan fokus program.
Disisi lain Kemensos memiliki potensi regulasi yang telah memadai, Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang tersedia di Pusat maupun Daerah, pengalaman
dalam penanganan lansia terlantar, serta para mitra yang bergerak di program terkait
lanjut usia.
Program pelayanan lanjut usia merupakan salah satu prorgam nasional yang
bertujuan untuk meringankan beban lansia mikin dan terlantar dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan pemeliharaan kesehatan serta menikmati taraf hidup yang wajar.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan publik dari
Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan konkuren
(bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM).

[52]
Pada tahun 2018, persentase lansia mencapai 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta
orang. Komposisi lansia Indonesia didominasi lansia muda (usia 60-69 tahun) yang
persentasenya mencapai 63,39 persen, sisanya adalah lansia madya (usia 70 – 79 tahun_
sebesar 27,92 persen, dan lansia tua (kelompok usia 80+) sebesar 8,69 persen. Pada tahun
2018 setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 15 orang penduduk
lansia. Jika dilihat secara total, persentase lansia dengan Kepala Rumah Tangga (KRT) ada
sekitar 61,29 persen atau dengan kata lain enam dari sepuluh lansia di Indonesia berperan
sebagai KRT, terlepas apakah mereka produktif atau tidak. (Statistik Penduduk Lanjut
Usia, 2018).
Saat ini perhatian pemerintah kepada lanjut usia sudah semakin meningkat, salah
satunya dengan disalurkannya bantuan Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLU) sejak tahun
2016 sampai 2017. Pada Tahun 2018 pemerintah melakukan ekspansi program lanjut usia
dengan mencanangkan Program Keluarga harapan (PKH) Lanjut Usia yang menyasar
lanjut usia di dalam rumah tangga miskin.

Analisis Rehabilitasi Sosial Lanjut Bagi Lanjut Usia Potensial


 Mengidentifikasi input program bagi lansia potensial dan peran LKS dengan
memanfaatkan kawasan ramah lansia sebagai hak lansia untuk berinteraksi sesama
lansia, mendapatkan layanan lainnya.
 Mengetahui masalah/hambatan dalam pelaksanaan program lansia potensial
termasuk pengembangan usaha ekonomi (penetapan, penyaluran, pendampingan,
pengendalian) serta solusi yang diharapkan.
 Menganalisis penataan program rehabsos lanjut bagi lansia potensial kedepan.
 Mengidentifikasi manfaat program rehabsos lanjut bagi lansia potensial bagi keluarga
dan masyarakat.

REKOMENDASI
Berdasarkan kepada temuan permasalahan utama program rehabsos lanjut bagi
lansia potensial, maka direkomendasikan kedepan beberapa hal sebagai berikut:
 Pembenahan dan penguatan data sebagai gambaran “input” dari program rehabsos
lanjut bagi lansia potensial. Verifikasi Data terpadu terkait lansia potensial oleh
Pusdatin menjadi sangat penting.
 Program rehabsos lanjut bagi lansia potensial merupakan bagian dari Program layanan
lanjut usia berbasis keluarga dan masyarakat. Hal ini berangkat dari kebijakan Ditjen
Rehsos dalam penanganan PMKS dikembalikan kepada pihak keluarga atau walinya,
dengan penguatan yang juga dilakukan kepada sistem keluarga/wali tersebut, dimana
pelayanan sosial terhadap lansia dilakukan di rumah keluarga/wali lansia tersebut.

REFERENSI
 Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No.13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM);

[53]
 PMK No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang
Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/Lembaga;
 Peraturan Menteri Sosial No. 7 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan
Ramah Lanjut Usia;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota.

Jakarta, Februari 2019


Syauqi, SE., M.Si
JFT. Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial

[54]
POLICY BRIEF
RAPAT KOORDINASI PENGEMBANGAN SDM, LEMBAGA
& PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
TAHUN 2019

Abstrak
Nota kesepakatan Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM),
lembaga dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 di Bandung tanggal 28
Januari s.d 1 Februari 2019 yang diinisiasi oleh Badan Pendidikan, Penelitian
Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) yang bertempat di The
Trans Luxury Hotel, Bandung Jawa Barat, diantaranya memuat substansi sebagai berikut:
 Menguatkan strategi dan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai
kewenangan pusat dan daerah berdasarkan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
 Mewujudkan harmonisasi dan sinkronisasi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pusat,
provinsi dan kabupaten/kota bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2020
dan tahun-tahun berikutnya dengan memanfaatkan teknologi informasi terkini.
 Harmonisasi dan sinkronisasi program mencakup aspek nomenklatur, kegiatan, target
output, lokasi dan anggaran melalui pendekatan operasional, keuangan, hukum,
pengguna, SDM, dan tata kelola yang baik.
 Menindaklanjuti hasil Rakorbang sebagai acuan penyusunan RKP bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2020 sesuai timeline penyusunan RKP dan
penetapan anggaran.
 Kelengkapan data dukung RKP bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun
2020 yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
sudah diterima Panitia Rakorbang paling lambat tanggal 15 Februari 2019 dengan
tembusan ke Bappeda wilayah setempat untuk ditindaklanjuti oleh Biro Perencanaan
Kementerian Sosial.
 Rakorbang Penyusunan RKP tahun-tahun berikutnya diselenggarakan berdekatan
dengan pelaksanaan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pengawasan teknis meliputi: capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan termasuk
ketaatan pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren, dampak
pelaksanaan urusan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan akuntabilitas
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren di daerah.

[55]
PENDAHULUAN
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik,
tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU
23 Tahun 2014.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib
yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan
hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014,
bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta sesuai dengan
ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah harus membentuk
Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri
berdasarkan Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang
ditugaspembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya.
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Tahun 2019
merupakan tahun kelima dalam agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian.

[56]
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
PP No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pembangunan Nasional, untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan
dilakukan pada prioritas pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus
yang jelas), pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non
K/L), transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan
antar pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2020 berdasarkan pada PP No. 17
Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Nasional, untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada
prioritas pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu yaitu Kolaborasi
Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran (KRISNA).
Sejak diluncurkan April 2017, KRISNA yang didukung oleh Knowledge Sector
Initiative (KSI) dan telah digunakan oleh 125 Kementerian/Lembaga Negara untuk
mengembangkan serta merevisi anggaran kerja di Tahun Anggaran 2018 dan 2019.
KRISNA yang merupakan sistem e-planning dengan mengintegrasikan platform
perencanaan dan anggaran yang telah ada di Bappenas ke dalam satu sistem tunggal dan
mudah digunakan. Aplikasi elektronik itu juga terkoneksi langsung ke SINKRON yaitu
Aplikasi penganggaran di Kementerian Keuangan. Aplikasi KRISNA ini bertujuan untuk
mendorong efisiensi dan akuntabilitas proses perencanaan.
Prioritas Nasional (PN), Program Prioritas (PP), Kegiatan Prioritas (KP) Dalam RKP
2019
Program Prioritas Kementerian Sosial Tahun 2019 sebagai dasar (baseline) tahun
2020 dengan Program Utama yang meliputi:

[57]
 Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
 Program Penanganan Fakir Miskin
 Program Rehabilitasi Sosial
 Program Pemberdayaan Sosial
Program Dukungan yang meliputi:
 Program Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan Sosial
 Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Sosial
 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Kementerian Sosial
Program Prioritas Nasional dalam RKP Tahun 2019 meliputi:
 Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan
dasar
 Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui penguatan konektifitas dan
kemaritiman
 Peningkatan nilai tambah ekonomi melalui pertanian, industri dan jasa produktif
 Pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumber daya air
 Stabilitas keamanan nasional dan kesuksesan Pemilu.
Prioritas Nasional (PN)-1 Pembangunan melalui Pengurangan Kemiskinan dan
Peningkatan Pelayanan Dasar dalam 5 (lima) Program Prioritas (PP) dengan masing-
masing Kegiatan Prioritas (KP).
Program Prioritas (PP)-1 Percepatan Pengurangan Kemiskinan dengan Kegiatan Prioritas
(KP) yang meliputi: Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) Keluarga Miskin dengan
Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan secara non tunai, KUBe/UEP di
Perkotaan, Perdesaan, Pesisir, PPK dan PAN.
Program Prioritas (PP)-2 Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Gizi Masyarakat dengan
Kegiatan Prioritas (KP) yaitu Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS.
Program Prioritas (PP)-3 Pemerataan Layanan Pendidikan Berkualitas dengan Kegiatan
Prioritas (KP) Penyediaan Literasi Bagi Penyandang Disablitas.
Program Prioritas (PP)-4 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Perumahan dan
Pemukiman layak, dengan Kegiatan Prioritas (KP) Pembangunan Rumah Komunitas
Adat Terpencil (KAT) dan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni.
Program Prioritas (PP)-5 Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar dengan Kegiatan
Prioritas (KP) yang meliputi: Verifikasi dan Validasi (Verval) data, P2K2, Sertifikasi
Pekerja Sosial (PEKSOS), Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Sistem Layanan
dan Rujukan Terpadu (SLRT), Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), Rehabilitasi
Sosial Anak, Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dengan Vokasional, Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK).
Prioritas Nasional (PN)-2 Penanggulangan Bencana dengan Kegiatan Prioritas (KP)
Perlindungan Korban Bencana Alam.
Prioritas Nasional (PN)-3 Kantibmas dan Keamanan Siber dengan Kegiatan
Prioritas (KP) yang meliputi: Perlindungan Korban Konflik Sosial, Rehabilitasi Sosial
Korban NAPZA, Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan
Rehabilitasi Sosial, Penanggulangan Teroris.

[58]
Target Prioritas Nasional Kementerian Sosial Tahun 2019, meliputi:
Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
 Keluarga Miskin yang mendapatkan bantuan PKH dengan target 10.000.000 Keluarga
Penerima Manfaat (KPM).
 Korban Bencana Alam yang mendapatkan penanganan darurat dengan target 150.000
jiwa
 Kesiapsiagaan dan Mitigasi Masyarakat di lokasi rawan bencana dengan target 6.000
orang
 Korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
120.000 orang.
 Masyarakat yang mendapatkan penguatan dalam penanganan konflik sosial dengan
target 250 kampung
 Masyarakat yang mendapatkan penguatan pelibatan dan pencegahan terorisme
dengan target 200 kampung
 Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dengan target
101.800 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) dengan target 14.000 KPM
 Bantuan Pangan Non Tunai dengan target 15.6 juta KPM,
Program Rehabilitasi Sosial
 Penyandang Disabilitas (PD) yang mendapatkan alat bantu khusus dengan target 3.164
orang
 Rehabilitasi Sosial bagi PD dengan target 50.884 orang
 Literasi khusus bagi PD dengan target 35 literasi
 Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial dan
Perlindungan Sosial dengan target 19.000 orang
 Orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial
dengan target 950 orang
 Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan Teroris yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial
dengan target 50 orang
 Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan dengan target 750 orang
 Anak Balita Telantar, Anak Telantar/Anak Jalanan, Anak Berhadapan Dengan Hukum
dan Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus yang mendapatkan Rehabilitasi dan
Perlindungan Sosial dengan target 101.000 Anak.
 Lanjut usia yang mendapatkan Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial dengan target
50.340 orang.
 Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Home Care dengan target 20.000 orang.
Program Pemberdayaan Sosial
 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mendapatkan pemberdayaan
dengan target 7.201 orang.
 Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT)
dengan target 150 Kab/Kota.
 Desa/Kelurahan yang menyelenggarakan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS)
dengan target 300 desa/kelurahan.
 Warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diberdayakan dengan target 2.099
Kepala keluarga (KK).
Program Pendidikan, Penelitian & Penyuluhan Sosial

[59]
 Program Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2) bagi Pendamping Sosial PKH
dengan target 21.900 orang.
 Diklat bagi SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang meliputi Pekerja Sosial,
Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial dengan target
21.900 orang.
 SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan Sertifikasi dengan target
21.900 orang.
 Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang telah mendapatkan Akreditasi dengan
target 3.000 LKS.
 Verifikasi dan Validasi (Verval) Data Terpadu dengan target 107.200.000 jiwa.

DESKRIPSI MASALAH
 Rapat Koordinasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), lembaga dan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tahun 2019 di Bandung tanggal 28 Januari s.d 1
Februari 2019 yang diinisiasi oleh Badan Pendidikan, Penelitian Kesejahteraan Sosial
dan Penyuluhan Sosial (BADIKLIT PENSOS) yang bertempat di The Trans Luxury
Hotel, Bandung Jawa Barat, dengan hasil Nota Kesepakatan yang merupakan
“Amanah Peraturan Perundang-undangan” diantaranya UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dengan turunan Peraturan Pemerintah (PP) dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum Daerah dan Peraturan
Menteri Teknis (diantaranya Menteri Sosial) sebagai Pembina Teknis Daerah.
 Fungsi Balai Besar berdasarkan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Sosial,
dengan pembagian habis 34 (tiga puluh empat) Provinsi dengan wilayah daerah
Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi tersebut yang meliputi Balai Besar di Regional
Wilayah Jawa Barat, Balai Besar di Regional DI Yogyakarta, Balai Besar di Regional
Padang Sumatera Barat, Balai Besar di Regional Makasar Sulawesi Selatan, Balai Besar
di Regional Banjarmasin Kalimantan Selatan, Balai Besar di Regional Papua.
• UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian, Peraturan Presiden No. 46 Tahun
2005 tentang Kementerian Sosial, Permensos No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi
Tata Kerja di Kementerian Sosial, Permensos No. 14 Tahun 2017 (Perubahan Pertama
dari Permensos No. 20 Tahun 2015 dan Perubahan Kedua dengan Permensos No. 22
Tahun 2018, Organisasi Tata Kerja (OTK) Balai Besar dengan Sumber Daya
Manusianya diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi dari Unit Kerja Eselon
(UKE) I Badiklit Pensos dengan tugas melaksanakan pendidikan, pelatihan,
penelitian, dan pengembangan kesejahteraan sosial serta penyuluhan sosial.

MENDUKUNG TUGAS & FUNGSI BADIKLIT PENSOS:


 Penyusunan kebijakan teknis di bidang pendidikan dan pelatihan, dan penelitian dan
pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial;
 Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial;
 Pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial;
 Pelaksanaan penyuluhan sosial;
 Pelaksanaan kegiatan pemrosesan sertifikasi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan
sosial serta akreditasi lembaga kesejahteraan sosial;
 Pembinaan jabatan fungsional pekerja sosial dan penyuluh sosial;
 Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pendidikan dan pelatihan, dan penelitian dan
pengembangan kesejahteraan sosial, serta penyuluhan sosial;
 Pelaksanaan administrasi Badan Pendidikan, Penelitian. dan Penyuluhan Sosial; dan

[60]
 Pelaksanaan fungsi lain diantaranya aspek Perencanaan dan Penganggaran.

TUGAS LAIN BALAI BESAR


 Tugas lain Balai besar dengan mendukung tugas dan Fungsi Unit Kerja eselon (UKE) I
Sekretariat Jenderal, diantaranya Koordinasi kegiatan Kemensos dan Koordinasi dan
penyusunan rencana, program, dan anggaran Kementerian Sosial, sehingga peran
Balai Besar yang menangani regional wilayah provinsi dan kabupaten/kota dapat
mendukung Aspek Pembinaan dari Amanah PP No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan pengawasan Penyelenggaraan Pemda, PP No. 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM), Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang
Penerapan SPM dan Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan
Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/
Kota.

ANALISIS
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan perencanaan pembangunan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pembangunan tahunan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:

PENGANGGARAN TERPADU
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja. Kriteria
jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.

[61]
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak ada
keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang merupakan
unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
Fungsi Balai Besar dalam Aspek Perencanaan dan Penganggaran dengan mendukung
Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dengan Daerah Provinsi dan Daerah
Kab/Kota, dengan:
 Peningkatan Kapasitas (capacity building) SDM di Balai Besar akan regulasi,
diantaranya pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).

REKOMENDASI
Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 Pengintegrasian SPM Sosial ke dalam dokumen perencanaan daerah RPJMD, RKPD
dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial berupa rehabilitasi sosial
dasar kepada anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar,
gelandangan dan pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban
bencana, dalam rangka pemberian pelayanan dasar kepada setiap setiap warga negara
dengan berpedoman pada penerapan pencapaian Standar Pelayanan Minimal sesuai
peraturan Perundang-undangan.

REFERENSI
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;

[62]
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, Februari 2019


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[63]
POLICY BRIEF
PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL BAGI LANJUT USIA
TINGGAL SENDIRI DALAM RUMAH TANGGA DI MASA DEPAN

Abstrak
Pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan pada PP No. 39
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, perlindungan sosial
dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan
sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya
dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal dilaksanakan melalui bantuan
sosial, advokasi sosial dan bantuan hukum.
Peraturan Presiden 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non
Tunai Ketentuan Umum poin (4): Pemberi bantuan sosial adalah Satuan kerja pada K/L
pada Pemerintah Pusat yang tugas dan fungsinya melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan yang meliputi perlindungan sosial, jaminan sosial,
pemeberdayaan sosial, rehabilitasi sosial dan pelayanan.
Buletin Teknis Warta Keuangan Edisi 28 Tahun 2014, Surat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) No. B-748/01-10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014: (sumber: warta keuangan
edisi 28 Tahun 2014), Atas dasar kajian KPK Tahun 2013 tentang penggunaan dana
bantuan sosial (Bansos) dan dengan alasan untuk mencegah penyalahgunaan dana
Bansos untuk kepentingan lain maka KPK mengirimkan surat kepada Presiden yang juga
ditembuskan ke DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial
memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan,
termasuk pembangunan Data Terpadu untuk “Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan
keluarga). Rekomendasi KPK, Bansos hanya untuk orang Miskin dengan resiko sosial.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 254/PMK.05/2015 tentang belanja bantuan
sosial pada K/L dan PMK No. 228/PMK.05/2016, biaya penyaluran bantuan sosial
dialokasikan secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan besaran alokasi
belanja bantuan sosial, jangka waktu penyaluran, jumlah penerima bantuan sosial.
Program Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) yang telah dilaksanakan
dari tahun 2006, telah mencakup 33 provinsi di seluruh Indonesia, menghadapi
permasalahan mendasar pada harmonisasi, validasi data/informasi, interkoneksi
program di internal dan eksternal Kemensos yang bermuara kepada komplimentaritas
program terkait dalam skema Kemitraan Strategis, menuju kepada komprehensifitas dan
keberlanjutan program.
Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan
bahwa lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara; sebagai penghormatan dan penghargaan kepada lanjut usia
diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

[65]
PENDAHULUAN
Bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara
wajar bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk bantuan langsung,
penyediaan aksesibilitas; dan/atau penguatan kelembagaan.
Bantuan sosial yang bersifat sementara diberikan pada saat terjadi guncangan dan
kerentanan sosial secara tiba-tiba sampai keadaan stabil akibat bencana, Penggunaan
dana bantuan sosial ini ditujukan untuk kegiatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial,
pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, serta penanggulangan
bencana.
Urusan rehabilitasi sosial lanjut usia terlantar termasuk indikator SPM Bidang
Sosial dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM), Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar
Teknis Pelayanan Dasar Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di
Daerah Kabupaten/Kota. Daerah Provinsi untuk rehabilitasi sosial dasar di dalam panti
milik pemerintah daerah atau milik masyarakat dan di Daerah Kabupaten/Kota
rehabilitasi sosial dasar lanjut usia terlantar di luar panti.
Peta Strategis Kementerian Sosial dengan tujuan meningkatkan taraf kesejahteraan
sosial penduduk miskin dan rentan dengan Sasaran Strategis (SS) 1 adalah berkontribusi
menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan dengan meningkatnya keberfungsian
sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan meningkatnya kemandirian
keluarga miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Prioritas Nasional (PN) Penanggulangan Kemiskinan pada Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2018 dengan Program Prioritas (PP) yang meliputi: Jaminan dan
Bantuan Sosial tepat sasaran, pemenuhan kebutuhan dasar, perluasan akses usaha mikro,
kecil dan koperasi. Program Prioritas (PP) Jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran
dengan Kegiatan Prioritas (KP) diantaranya penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi
keluarga miskin secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat
(KPM).
Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar dengan Kegiatan Prioritas
diantaranya pemberian rehabilitasi sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 orang.
Pemberian layanan Home Care bagi lanjut Usia Telantar dengan target 14.910 orang.
Kebijakan penyusunan penganggaran dalam RKP 2019 berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional, dengan memuat substansi yang meliputi:
perkuatan kendali program. Perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan dengan ukuran keluaran dan lokus yang jelas.
Pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat pada Kementerian/
Lembaga (K/L) dan non K/L, transfer ke daerah maupun non APBN. Memperkuat
koordinasi antar instansi dan antar pusat dengan daerah memfokuskan pembahasan
pada prioritas pembangunan agar kesiapan pelaksanaan dibahas sejak awal dan integrasi
antar program dan antar pelaku pembangunan. Mengintegrasikan dokumen
perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem
yang terpadu dalam aplikasi Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA).

[66]
Bentuk pendampingan dan perawatan sosial di rumah (Home Care), dengan
pendampingan dalam kegiatan pendampingan dan perawatan sosial di rumah dilakukan
dalam bentuk: 1) pertemanan; 2) perawatan sosial; 3) pelaksanaan pendampingan dalam
kegiatan sehari-hari; 4) pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia (lansia); 5)
pendampingan dan perawatan kegiatan sehari-hari (activity daily living services); 6)
perawatan medis/kesehatan bagi lansia di rumah, dengan merawat lansia yang:
menderita sakit, penyandang disabilitas, lansia yang sudah uzur (bed ridden); 7) konseling;
8) mengenali kondisi kritis lansia dan memberikan rujukan; 9) melakukan pembelaan
terhadap hak-hak lansia; 10) pendampingan dan perawatan dalam menyatukan
(reunifikasi dan reintegrasi) lansia dengan keluarganya, melalui telepon, informasi,
pemberian makanan, menjelang kematian dan pemulasaran jenazah.
Pendamping bertanggung jawab mengenal pelaksanaan pendampingan sosial
lansia yang meliputi: penyusunan jadual kunjungan secara teratur, pelaksanaan
kunjungan, penyusunan laporan kunjungan, case conference (manajemen kasus), tindak
lanjut pelayanan dan perawatan/rujukan, administrasi pendampingan, yang meliputi:
setiap dokumen pelayanan dan perawatan wajib diadministrasikan secara tertib melalui
file secara khusus (data base).

PENYUSUNAN PROGRAM PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL


BAGI LANJUT USIA TINGGAL SENDIRI
Penyusunan program perlindungan dan rehabilitasi bagi lanjut usia tinggal sendiri
dalam rumah tangga di masa depan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT), sangat
bermanfaat untuk menyusun implementasi dari mutu dan jenis layanan rehabilitasi sosial
lanjut usia telantar berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab antara Pemerintah
Pusat yang mempunyai tanggung jawab rehabilitasi sosial lanjutan dengan sarana dan
fungsi Balai dan Loka dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di dalam Panti serta Pemda
Kab/Kota kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di luar Panti.
Kegiatan ini juga dapat sebagai contoh bagi pengampu 5 (lima) indikator Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial lainnya yaitu rehabilitasi sosial di dalam dan di
luar panti bagi lanjut usia telantar, anak telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan
pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban bencana di provinsi dan
kab/kota.
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu
Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018 dan
tahun-tahun mendatang dengan sasaran kelompok yang paling miskin mencapai
cakupan substansial bagi kelompok miskin dan rentan diantaranya lanjut usia telantar.
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan
Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat
meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information),
hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk
mendapatkan keadilan (public right to justice).
BPS memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki sekitar
63,31 juta penduduk lanjut usia (lansia) atau hamper mencapai 20 persen populasi.
Bahkan, proyeksi PP juga menyebutkan bahwa persentase lansia Indonesia akan

[67]
mencapai 25 persen pada tahun 2050 atau sekitar 74 juta lansia. Peningkatan yang begitu
pesat ini membawa konsekuensi tersendiri terhadap pembangunan nasional (Statistik
Penduduk Lanjut Usia, 2018). Populasi lansia yang sedemikian besar membawa dampak
positif apabila lansia hidup dengan mandiri, sehat, aktif, dan produktif, namun bisa
membawa dampak negatif apabila lansia hidup dalam kondisi ketergantungan penuh
pada orang lain atau keluarga, sakit dan tidak produktif.
Sasaran strategis Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2015-2019 Kementerian Sosial
Perubahan adalah berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan
dengan arah kebijakan yang meliputi: penyelenggaraan perlindungan sosial yang
komprehensif, pengembangan penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan
akses pelayanan dasar, penguatan kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM)
penyelenggara kesejahteraan sosial.
Program Prioritas Perluasan Akses Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi diantaranya
dengan Kegiatan Prioritas Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif
(KUBe) dengan target 119.020 orang.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019 dengan program prioritas diantaranya
percepatan pengurangan kemiskinan, program prioritas peningkatan tata kelola layanan
dasar dan program prioritas penanggulangan bencana.
Prioritas Nasional (PN) Pembangunan Manusia melalui pengurangan kemiskinan
dan peningkatan pelayanan dasar dengan Program Prioritas (PP) percepatan
pengurangan kemiskinan dengan Kegiatan Prioritas (KP) 1 adalah Penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran.
Program Prioritas Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar pada RKP 2019 yang
meliputi Kegiatan Prioritas (KP) 1 Penguatan layanan dan rujukan terpadu, KP-2
Penguatan integrasi Sistem Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, KP-3
Percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Analisis Kebijakan mengenai Asistensi Lanjut usia Terlantar (ASLUT) yang
dilakukan oleh Biro perencanaan Kementerian Sosial tahun 2014, baik melalui kajian
literatur, field review, serta metodologi dan teknik pengumpulan data melalui Diskusi
kelompok Terfokus (Focuss Group Discussion/FGD), diantaranya permasalahan
perlindungan dan rehabilitasi bagi lanjut usia tinggal sendiri dalam rumah tangga yang
ditinggalkan oleh keluarga inti yaitu suami/istri, anak.
Lanjut usia telantar khususnya bed ridden dalam pemenuhan kebutuhan dasar yang
dilakukan oleh pekerja sosial masyarakat (PSM) dan tetangga terdekat di lingkungan
tempat tinggal dari lanjut usia telantar tersebut dan analisis kebijakan tahun 2014 yang
dilaksanakan oleh Sub Bagian Analisis Kebijakan Rehabilitasi Sosial Biro Perencanaan
Kementerian Sosial menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi terkait program
ASLUT adalah fase input yang belum valid, termasuk didalamnya data base terkait
Lanjut Usia Terlantar; kemitraan strategis yang belum terbangun dengan baik, khususnya
konteks komplimentaritas bagi capaian kesejahteraan Lanjut usia terlantar; juga
jangkauan dan sustainibilitas program yang belum dijadikan fokus program.
Di sisi lain Kemensos memiliki potensi regulasi yang telah memadai, Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang tersedia di Pusat maupun Daerah, pengalaman
dalam penanganan lansia terlantar, serta para mitra yang bergerak di program terkait
lanjut usia.
Program ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar) merupakan salah satu
prorgam nasional yang bertujuan untuk meringankan beban lansia miskin dan terlantar

[68]
dalam memenuhi kebutuhan dasar dan pemeliharaan kesehatan serta menikmati taraf
hidup yang wajar.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan publik dari
Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan konkuren
(bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM).
Pada tahun 2018, persentase lansia mencapai 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta
orang. Komposisi lansia Indonesia didominasi lansia muda (usia 60-69 tahun) yang
persentasenya mencapai 63,39 persen, sisanya adalah lansia madya (usia 70-79 tahun)
sebesar 27,92 persen, dan lansia tua (kelompok usia 80+) sebesar 8,69 persen. Pada tahun
2018 setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 15 orang penduduk
lansia. Jika dilihat secara total, persentase lansia dengan Kepala Rumah Tangga (KRT) ada
sekitar 61,29 persen atau dengan kata lain enam dari sepuluh lansia di Indonesia berperan
sebagai KRT, terlepas apakah mereka produktif atau tidak. (Statistik Penduduk Lanjut
Usia, 2018).
Saat ini perhatian pemerintah kepada lanjut usia sudah semakin meningkat, salah
satunya dengan disalurkannya bantuan Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLU) sejak tahun
2016 sampai 2017. Pada Tahun 2018 pemerintah melakukan ekspansi program lanjut usia
dengan mencanangkan Program Keluarga harapan (PKH) Lanjut Usia yang menyasar
lanjut usia di dalam rumah tangga miskin.
Asumsi APBN Tahun 2017 oleh Bappenas dengan proyeksi data penduduk
Indonesia tahun 2015 sebanyak 255.461.070.000 jumlah penduduk yang meningkat
dengan proyeksi data penduduk Indonesia tahun 2017 menjadi 271.066.040.000 dan pada
tahun 2025 diproyeksikan menjadi 284.829.000.000 penduduk. Asumsi APBN 2017,
pertumbuhan ekonomi 5,1%. Kemiskinan pada bulan September 2017 mencapai 26,58 juta
jiwa (10,12 persen) dengan Indeks Gini pada bulan September 2017 mencapai 0,391.
Pengangguran 7,01 juta jiwa (5,33%) (Per Februari 2017, BPS). Inflasi pada Juni 2017
asumsi APBN 2017 sebanyak 4,0%.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.

[69]
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang profesional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.

AKSESIBILITAS LANJUT USIA


Aksesibilitas lansia juga masih rendah, dan lansia masih dianggap sebagai beban,
bukan sebagai modal, padahal seharusnya lansia harus dihargai peranannya dalam
mendukung pembangunan nasional. Kondisi ini diperparah dengan realitas empirik yang
menunjukkan bahwa lansia terlantar masih banyak yang belum tersentuh program
kesejahteraan sosial dari pemerintah.
Merespon realitas empirik yang ada, dan sebagai pelaksanaan amanat Undang-
Undang, Pemerintah melalui Kementerian Sosial RI telah memberikan perlindungan
sosial bagi lansia tidak potensial dan terlantar melalui program “Asistensi Sosial Lanjut
Usia Terlantar (ASLUT)” yang pedoman pelaksanaannya telah diatur melalui Peraturan
Menteri Sosial No.12 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Asistensi Sosial Lanjut Usia
Terlantar.
Meningkatnya angka harapan hidup di satu sisi, tidak diikuti oleh meningkatnya
derajat kesejahteraan lansia. Berdasarkan hasil penelitian HelpAge International dan
Lembaga Demografi UI, penduduk lansia terutama yang berada di usia 70 tahunan dan
80 tahun keatas memiliki angka kemiskinan tertinggi diantara kelompok populasi, yaitu
13,3% dan 16% secara berurutan. Pada saat yang sama terdapat juga sebagian populasi
lansia, lebih besar daripada yang secara resmi diklasifikasikan sebagai miskin, yang
sangat rentan untuk jatuh kedalam kemiskinan.
Perlindungan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan untuk mencegah dan menangani
resiko dari guncangan dan kerentanan sosial agar kelangsungan hidup lanjut usia dapat
dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal yang meliputi :
 Asistensi sosial {bentuk perlindungan sosial yang ditujukan untuk meringankan beban
hidup lanjut usia terlantar guna memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dalam bentuk
pemberian bantuan berupa uang yang disertai dengan pendampingan sosial},
 Kedaruratan {tindakan mendesak untuk menyelamatkan, melindungi, dan
memulihkan kesejahteraan lanjut usia dalam situasi darurat, baik dalam situasi
bencana maupun bagi yang mengalami perlakuan salah dalam bentuk layanan

[70]
pengaduan, rujukan untuk pemulihan fisik dan mental, pendampingan, serta
penempatan di tempat penanganan trauma lanjut usia};
 Aksesibilitas {kemudahan dalam menggunakan sarana dan prasarana umum dan
memperoleh fasilitas pelayanan dalam mendukung dan memperlancar mobilitas lanjut
usia}; dan 4). pelayanan lanjut usia dalam keluarga pengganti {pelayanan sosial
kepada lanjut usia di luar keluarganya dan di luar lembaga dengan cara tinggal di
keluarga lain untuk mendapatkan pendampingan, perawatan, dan pemenuhan
kebutuhan dasar}.
Program ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar) merupakan salah satu
program nasional yang bertujuan untuk meringankan beban lansia miskin dan terlantar
dalam memenuhi kebutuhan dasar dan pemeliharaan kesehatan serta menikmati taraf
hidup yang wajar. Program ini bermula dari tahun 2006 dengan nama JSLU (Jaminan
Sosial Lanjut Usia). Berubah nama menajdi ASLUT di tahun 2010. Berikut perkembangan
ASLUT dari 2006-2012, dimana tahun 2012 menandai ASLUT menjangkau seluruh
Indonesia. Perkembangan ASLUT bisa dilihat dari skema berikut :

Skema 1
ASLUT 2006 - 2012

Tahun Tambahan Provinsi Yang Cakupan Jumlah Pengeluaran


Dicakup Berdasarkan Kumulatif
(Juta Rupiah)
Provinsi Penerima
Manfaat
2006 Jakarta, Banten, Jawa Barat, 6 2.500 Rp. 9.000.000
Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur
2007 Nusa Tenggara Timur 10 3.500 Rp. 12.000.000
(NTT), Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan
2008 Maluku, Sulawesi Utara, 15 5.000 Rp. 18.000.000,-
Sumatera Barat,
Kalimantan Barat, Bali
2009 Aceh, Bengkulu, Jambi, 28 10.000 Rp. 36.000.000,-
Riau, Sumatera Selatan,
Lampung, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur,
Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara
Barat (NTB), Maluku Utara,
Papua
2010 Gorontalo 29 10.000 Rp. 36.000.000,-
2011 Kepri, Bangka Belitung, 33 13.250 Rp. 47.700.000,-
Sulawesi Barat, Papua
Barat
2012 Semua Provinsi 33 26.500 Rp. 63.600.000,-
Sumber: Direktorat PSLU

[71]
Konsep lanjut usia terlantar dalam analisis kebijakan ini adalah seseorang yang
telah berusia 60 tahun keatas, mengalami keterlantaran, miskin, tidak ada yang
mengurus, tidak memiliki kemampuan baik fisik maupun ekonomi, tidak mendapatkan
pensiun, tidak memiliki asset, sehingga mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya secara layak (Buku Pedoman Pelaksanaan Program ASLUT Tahun 2013).
Konsep ASLUT berdasarkan Buku Pedoman ASLUT Tahun 2013 adalah salah satu
bentuk perlindungan sosial untuk membantu lanjut usia terlantar agar mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan Program ASLUT adalah
kebijakan pemerintah untuk memberikan perhatian dan perlindungan sosial terhadap
lanjut usia terlantar dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya sehingga diharapkan mampu memelihara taraf kesejahteraan
sosialnya.
Program ASLUT bertujuan untuk membantu pemenuhan sebagian kebutuhan dasar
hidup lanjut usia terlantar sehingga dapat mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya
dengan cara pemberian uang tunai sebanyak Rp 200.000,- kepada lanjut usia yang
memenuhi kriteria per orang per bulan selama satu tahun melalui lembaga penyalur yang
ditunjuk oleh pemerintah. Proses pemanfaatan dana oleh lanjut usia dikendalikan oleh
petugas pendamping yang ditunjuk melaksanakan fungsi pendampingan guna
memastikan program berjalan sesuai dengan tujuan.
ASLUT dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Dit. Pelayanan Sosial Lanjut Usia)
sebagai penanggungjawab program, lembaga penyalur yang pada saat itu belum
menggunakan per-bank-kan dan menggunakan jasa dalam hal ini PT. POS sebagai
penanggungjawab penyaluran dana kepada penerima ASLUT, dinas/instansi sosial
provinsi sebagai penanggungjawab pelaksanaan program di wilayahnya, dinas/instansi
sosial kabupaten/kota sebagai penanggungjawab pelaksanaan program di wilayahnya,
serta pendamping sebagai petugas yang melakukan pendampingan terhadap
penggunaan dan kemanfaatan penerima program ASLUT.
Penentuan daerah penerima program dilakukan dengan mempertimbangkan
besarnya populasi lanjut usia terlantar (sesuai kriteria), kesiapan data dan tingkat
kemiskinan di masing-masing prov/kab/kota, kesiapan sumber daya manusia pengelola
program, sarana dan prasarana, serta faktor-faktor pendukung yang ada, komitmen
daerah dalam mendukung peningkatan kesejahteraan lanjut usia terlantar seperti sharing
budget, adanya kebijakan daerah atau PERDA yang perspektif lanjut usia dan hasil
pelaksanaan program tahun sebelumnya yang mencakup tingkat keberhasilan program
dan koordinasi dengan berbagai instansi terkait.
Model analisis kebijakan yang dilaksanakan adalah Model Retrospektif (application
oriented), yaitu kajian implementasi kebijakan ASLUT dengan pendekatan evaluatif
(menilai manfaat ASLUT) dan normatif (memberikan rekomendasi untuk perumusan
perbaikan kebijakan mendatang).

METODOLOGI
Metode analisis kebijakan yang digunakan adalah analisis kebijakan integratif, yaitu
melihat dinamika permasalahan yang ada dengan menggali data dan informasi baik
sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan. Analisis kebijakan integratif yang
dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan timbal balik baik sebelum
maupun sesudahnya. Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dengan
menggunakan teknik triangulasi data (data lapangan, kebijakan yang ada, sumber data

[72]
kunci pembuat kebijakan). Analisa ini dilakukan untuk dapat melengkapi data dan
informasi yang dibutuhkan dalam penulisan naskah kebijakan.
Teknik pengumpulan data kegiatan analisis kebijakan dilakukan dengan
menggunakan teknik, sebagai berikut :
 Wawancara mendalam (indept interview); Wawancara mendalam adalah kegiatan
untuk menggali informasi tentang pandangan, kepercayaan, pengalaman, pengakuan
informasi mengenai suatu hal secara utuh.
 Diskusi kelompok; Diskusi kelompok adalah proses memperoleh informasi mendalam
untuk memperoleh pemahaman dari keragaman perspektif diantara kelompok yang
menjadi subyek dalam pencapaian tujuan kebijakan. Dilaksanakan pada saat field
review yang dilaksanakan di 5 Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Kalimantan
Selatan, Bali, Sulawesi Utara, Jawa Barat) melalui interview dengan pihak Dinas Sosial
Provinsi, diskusi kelompok dilaksanakan di Kantor Dinas Sosial Provinsi dengan 15
orang peserta.
Observasi; dilakukan untuk memperoleh informasi terkait ASLUT secara langsung
dan tidak langsung dengan melihat gejala-gejala fisik, perilaku manusia dan simbol-
simbol lain yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan kebijakan.
 Studi Dokumentasi; Studi dokumentasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi
terkait ASLUT dengan mempelajari data kebijakan dan dokumentasi literatur lainnya
yang berkaitan dengan kebijakan yang ASLUT.
Sumber data yang digunakan dalam analisis kebijakan ASLUT adalah :
 Data primer; data dan/informasi yang bersumber dari para pihak terkait yang menjadi
pelaksana, penerima dan pihak yang terkena dampak dari kebijakan.
 Data sekunder; bersumber dari dokumen informasi, literatur dan hasil monev serta
sumber-sumber tulisan lainnya yang berkaitan dengan analisis kebijakan.
 Dokumen kebijakan terkait; data yang berkaitan langsung dengan kebijakan yang
dianalisis, terutama untuk menyikap pertanyaan-pertanyaan pokok dalam analisis
kebijakan tersebut.
Subyek/informan adalah para pihak terkait dalam program ASLUT yang
dipengaruhi oleh kebijakan dan memainkan peran yang berkaitan dengan pengambilan
dan implementasi kebijakan. Sebagaimana tergambar di skema 2 berikut ini :

[73]
Skema 2
Sumber Informasi & Teknik Pengumpulan Data
UNSUR SUMBER DATA SUBJEK / INFORMAN TEKNIK
PENGUMPULAN
Dinas/Instansi Sosial Provinsi 1. Ditjen Rehabilitasi Sosial Wawancara
(sebanyak 4 peserta) 2. Kepala Dinas Sosial Provinsi Wawancara
3. Kabid. Rehsos Dinas Sosial Provinsi 1. Diskusi
4. Koordinator ASLUT Provinsi 2. Diskusi
5. DPRD Provinsi 3. Diskusi
6. Komda Lansia Provinsi 4. Diskusi
7. Bappeda Provinsi 5. Diskusi
8. Dunia Usaha 6. Diskusi

Dinas/Instansi Sosial 1. Kabid. Rehsos Kabupaten/Kota 1. Diskusi


Kabupaten/Kota 2. Koordinator ASLUT Kabupaten/ 2. Diskusi
(sebanyak 3 peserta) Kota
3. DPRD Kabupaten/Kota 3. Diskusi
4. Skesi Kesra/Sosial Kabupaten/Kota 4. Diskusi
5. Komda Lansia Kabupaten/Kota 5. Diskusi
6. Bagian Pemberdayaan Perempuan 6. Diskusi
Kabupaten/Kota
7. Bappeda Kabupaten/Kota 7. Diskusi

Pendamping ASLUT 1. Pendamping 1 1. Diskusi


2. Pendamping 2 Wawancara

Unsur Penerima Program 3. Penerima ASLUT Wawancara


ASLUT 4. Keluarga Penerima ASLUT Wawancara

DESKRIPSI MASALAH
Rumusan masalah dirumuskan melalui beberapa pertanyaan untuk analisis
kebijakan sebagai berikut :
4. Bagaimana persoalan dan solusi terkait input program Aslut (data, regulasi, anggaran)
menurut pengelola, pendamping, LUT penerima ASLUT dan LUT Non Penerima
ASLUT.
5. Bagaimana persoalan dan solusi terkait proses program Aslut menurut pengelola,
pendamping, LUT penerima ASLUT dan LUT Non Penerima ASLUT.
6. Bagaimana manfaat program ASLUT bagi lansia terlantar dan dampak bagi keluarga
dan masyarakat sekitar? (beban sosial dan atau manfaat sosial bagi keluarga &
masyarakat sekitar akibat dari adanya ASLUT?)
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka tujuan analisis
kebijakan ASLUT adalah :
 Mengidentifikasi input program ASLUT yang meliputi penerima ASLUT (populasi
lansia, lansia terlantar, kriteria lansia terlantar yang memperoleh ASLUT), jumlah
pendamping, dan penganggaran (APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota dan
sumber-sumber lainnya.
 Mengetahui masalah/hambatan dalam pelaksanaan program ASLUT (penetapan,
penyaluran, pendampingan, pengendalian) serta solusi yang diharapkan.

[74]
 Menganalisis penataan program ASLUT kedepan.
 Mengidentifikasi manfaat program ASLUT bagi keluarga dan masyarakat.

INFORMASI & DATA DUKUNG


Beberapa informasi dan data yang patut menjadi pertimbangan serta pemikiran
terkait ASLUT diantaranya adalah :
 PROSENTASE LANJUT USIA BERDASARKAN KATEGORI KETELANTARAN
2009 VERSUS 2012:

Sumber: BPS RI- Susenas Modul 2009 dan 2012


Bisa dilihat dari gambar 1 diatas, dari tahun 2009 sampai 2009 terjadi penurunan
jumlah lansia terlantar sebesar 14,76-13,17= 1,5%.

 KRITERIA KETELANTARAN
Kriteria seperti apa seorang lansia termasuk dalam kategori terlantar?
Berdasarkan Profil PMKS 2012, kriteria keterlantaran penduduk lansia adalah: a. Tidak
pernah sekolah atau tidak tamat SD; b. Makan makanan pokok kurang dari 14 kali
dalam seminggu; c. Makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewani); nabati < 4
kali, hewani < 2 kali atau kombinasi 4,2 dalam seminggu; d. Memiliki pakaian kurang
dari 4 stel; e. Tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur; f. Bila sakit tidak diobati; g.
Bekerja > 35 jam seminggu (Profil PMKS 2012).
Kriteria yang paling banyak dialami lansia terlantar adalah tidak pernah
sekolah/tidak tamat SD yaitu hampir 9 dari sepuluh lansia terlantar tidak tamat SD.
Lebih dari setengah lansia terlantar hanya makan makanan pokok kurang dari 14 kali
seminggu (55,00 %) dan memiliki pakaian kurang dari empat stel (54,45 %). Menurut
perilaku pengobatannya hanya 10,56 persen lansia terlantar menyatakan tidak berobat
ketika ia sakit. Secara rinci persentase lansia terlantar masing-masing kriteria
keterlantaran tersebut terlihat pada Gambar 2 di bawah ini :

[75]
Sumber: BPS RI- Susenas Modul 2009 dan 2012

 TINGKAT PENDIDIKAN LANJUT USIA TELANTAR


Pada umumnya sangat rendah yaitu 91,25 persen tidak tamat sekolah dasar atau
tidak sekolah pada tahun 2009 dan menurun menjadi 88,82 persen pada tahun 2012
atau tidak mengalami perubahan yang berarti. Hal ini dapat disebabkan terbatasnya
fasilitas pendidikan pada saat mereka berada pada usia sekolah. Pembangungan SD
Inpres baru dimulai pada tahun 1970-an dan wajib belajar baru dicanangkan pada
tahun 1980-an. Tingkat pendidikan lansia terlantar tergambar berikut ini :

S
umber: BPS RI- Susenas Modul 2009 dan 2012

[76]
Makan Pokok dan Makanan Berprotein Tinggi Pada Lanjut Usia Terlantar
Data BPS RI - Susenas Modul 2009 dan 2012 menunjukkan lebih dari separuh lansia
terlantar makan makanan pokok kurang dari 14 kali baik tahun 2009 maupun 2012
bahkan pada tahun 2012 ada peningkatan sebanyak 2 persen, sebagaimana tergambar
berikut ini :

Dari sisi kebutuhan protein, sebagian besar lansia terlantar masih kekurangan
protein nabati atau 64,12 persen lansia terlantar makan makanan berprotein (nabati
tinggi) kurang dari 4 kali. Gambar 5 menunjukkan bahwa kondisi lansia terlantar 74,71
persen masih kekurangan protein hewani atau dua kali atau kurang memakan protein
hewani dalam seminggu terakhir, sebagaimana tergambar berikut ini :

Sumber: BPS RI – Susenas Modul 2009 dan 2012

[77]
Adapun untuk makanan dari bawah hewani yang berprotein tinggi, BPS RI Susenas
Modul 2009-2012 menunjukkan fakta sebagai berikut :

Sandang dan Tempat Tidur Tetap Lansia Terlantar


BPS RI-Susenas Modul 2009 dan 2012 menunjukkan bahwa lebih dari setengah
atau 55,03 persen lansia terlantar memiliki pakaian kurang dari 4 stel, sebagaimana
terlihat pada gambar 7. berikut ini :

Kondisi kelayakan rumah tempat tinggal lansia terlantar dapat dilihat pada Gambar
8 berikut :

[78]
Sumber: BPS RI-Susenas Modul 2012

Gambar 8 menunjukkan 12,56 persen lansia tidak mempunyai lokasi khusus tidur,
17,41 persen lansia tidur tidak dengan kasur atau tidak punya tempat tidur khusus, 17,12
persen lansia tidur dengan menggunakan kasur/mempunyai tempat tidur bersama atau
lebih dari 3 orang, dan 52, 91 persen lansia telah memiliki tempat yang tetap untuk tidur
yaitu dengan kasur/tempat tidur sendiri bersama kurang atau sama dengan 3 orang.

Jam Kerja, Kegiatan Lansia Terlantar, dan Kegiatan Ekonomi Lansia Terlantar
Berkaitan dengan beban lansia yang sebagian besar menjadi tulang punggung
keluarga. Data Susenas 2012 terkait Jam kerja lansia terlantar yang bekerja dapat dilihat
pada Gambar 9 berikut :

[79]
Lebih dari separuh atau 59,95 persen lansia terlantar bekerja lebih dari 35 jam per
minggu. Hal ini berarti lansia terlantar masih menanggung beban pekerjaan melebihi
kemampuan dan kondisi fisiknya yang mulai menurun.
Fakta tersebut juga didukung oleh kenyataan terkait kegiatan lansia terlantar yang
rata-rata bekerja, sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

Berdasarkan Data BPS-Susenas Modul 2012, beban pekerjaan itu dilakukan sebagian
besar untuk kegiatan ekonomi, mengurus rumah tangga dan lainnya. Secara rinci dapat
dilihat pada Gambar 11 berikut :

[80]
HASIL PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa kebijakan beserta metodologi riset sederhana termasuk
field visit, maka permasalahan program ASLUT tersebut dapat disimpulkan kedalam 5
kategori yaitu: 1). data populasi lansia terlantar; 2). keterbatasan kuota lansia terlantar
yang mendapatkan ASLUT; 3). skema dan kriteria penargetan ASLUT; 4).koordinasi
peranan pusat, daerah, dan swasta dalam mendukung anggaran ASLUT; dan 5). manfaat
program ASLUT pada konteks sustainibilitas.

REKOMENDASI
Berdasarkan kepada temuan permasalahan utama program ASLUT, maka
direkomendasikan kedepan beberapa hal sebagai berikut :
 Pembenahan dan penguatan data sebagai gambaran “input” dari program ASLUT.
Verifikasi Data terpadu terkait ASLUT bekerjasama dengan BPS dan Pusdatin menjadi
sangat penting.
 Program ASLUT merupakan bagian dari Program layanan lanjut usia berbasis
keluarga dan masyarakat. Hal ini berangkat dari kebijakan Ditjen Rehsos dalam
penanganan PMKS dikembalikan kepada pihak keluarga atau walinya, dengan
penguatan yang juga dilakukan kepada sistem keluarga/wali tersebut, dimana
pelayanan sosial terhadap lansia dilakukan di rumah keluarga/wali lansia tersebut.
Hal ini sesuai dengan arah kebijakan RPJMN 2015-2019 meningkatkan sosialisasi,
edukasi, dan pengarusutamaan di tingkat masyarakat diperlukan untuk mendukung
sistem sosial dan lingkungan penghidupan yang lebih ramah bagi lanjut usia.
 Kemitraan dalam bentuk komplimentaritas sangat disarankan untuk pencapaian
program ASLUT yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
 Komplimentaritas ini juga diperlukan dalam penyusunan arah kebijakan antara Pusat
dan Daerah, juga antar unit kerja di Kementerian Sosial dan antar berbagai bidang
pembangunan yang terkait dengan penanganan lansia.
 Misalnya dari sisi kesehatan, ASLUT akan terkoneksi dengan BPJS Kesehatan, untuk
kelayakan tempat tinggal akan terkoneksi dengan program RTLH dan program di
Kementerian Perumahan Rakyat, dan lain-lain.
 Hal ini searah dengan kebijakan Arah Kebijakan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 dan
RPJMN 2015-2019 bahwa peningkatan advokasi pemenuhan hak lanjut usia melalui
penyusunan peraturan, kebijakan, dan program terkait di tingkat pusat dan daerah,
termasuk diantaranya kebijakan di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, dan
perlindungan sosial.

KESIMPULAN
Permasalahan ASLUT yang utama terletak pada pembenahan dan validitas data
serta pelaksanaan dan keberlanjutan program secara komprehensif. Pembenahan dan
penguatan sistem data sebagai perwujudan fase “input” harus dilakukan, serta kemitraan
yang dibangun sebagai opera komplimentaritas menjadi penekanan yang penting.

[81]
Daftar Pustaka
DR. Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, Edisi Ketiga 2012, Pustaka Pelajar.
James Midgley, Social Welfare in Global Context, Second Edition 1999, Sage Publications
International Educational & Professional Publisher Thousand Oaks, London.
Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, Social Capital a multificated Perspective. First
Printing 1999, World bank Washington DC.
W. Lawrence-Neuman, Metode Penelitian Sosial Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif,
Edisi Ketujuh 2013, PT. Index Jakarta.
William M. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University

REFERENSI
 Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No.13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM);
 Peraturan Menteri Keuangan No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial
Pada Kementerian/Lembaga;;
 PMK No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang
Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/Lembaga.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota;

Jakarta, 18 Januari 2019

Syauqi
JFT. Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial

Kontributor:
Feri Afrianto, Kasie Reintegrasi
Direktorat Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial.

[82]
POLICY BRIEF
PERBEDAAN REGULASI SOP, SP, SPM, NSPK

Abstrak
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
PermenPAN & RB No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan,
Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan
(service delivery) dan dibakukan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang meliputi
persyaratan, sistem, mekanisme,dan prosedur, jangka waktu pelayanan, biaya/tarif,
produk pelayanan, penanganan pengaduan, saran dan masukan,
Pelayanan publik pada keterkaitan dengan perjanjian kinerja pada Peraturan
Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
yang pada Pasal 14, Pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian kinerja, pelaporan kinerja
dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah diatur mengenai petunjuk
teknis perjanjian kinerja yang merupakan lembar/dokumen yang berisikan penugasan
dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah
untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.
Pelayanan publik melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima
amanah dan kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur
tertentu berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia.
Kinerja yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun
bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat
kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang
dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan
konkuren. Urusan pemerintahan konkuren.
Standar Pelayanan Minimal, merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh
setiap warga negara secara minimal dan pelayanan dasar merupakan pelayanan publik
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara dan jenis pelayanan dasar
merupakan jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan jasa kebutuhan dasar
yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara serta mutu pelayanan dasar merupakan
kualitas pemenuhan barang dan jasa kebutuhan dasar sesuai standar teknis yang berhak
diperoleh oleh setiap warga negara.
Perlu mempertegas definisi, pelaksanaan dan penanggung jawab dalam
pengelolaan pelayanan publik yang berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 dan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

[83]
Pendahuluan
Tujuan Undang-Undang tentang pelayanan publik agar terwujudnya batasan dan
hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh
pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sistem penyelenggaraan
pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi
yang baik.
Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Maklumat pelayanan merupakan pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan
rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan sistem informasi
pelayanan publik yaitu rangkaian keglatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan
informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara kepada
masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile,
bahasa gambar, dan bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.
Hal-hal yang perlu dimuat dalam Maklumat Pelayanan yaitu pernyataan janji dan
kesanggupan untuk melaksanakan pelayanan sesuai dengan Standar Pelayanan,
pernyataan memberikan pelayanan sesuai dengan kewajiban dan akan melakukan
perbaikan secara terus-menerus, pernyataan kesediaan untuk menerima sanksi, dan/atau
memberikan kompensasi apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai standar.
Maklumat Pelayanan yang telah disusun wajib dipublikasikan secara luas, jelas, dan
terbuka kepada masyarakat, melalui berbagai media yang mudah diakses oleh
masyarakat.
Standar pelayanan merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban
dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas,
cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
Komponen Standar Pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan
di internal organisasi (manufacturing) meliputi dasar hukum, sarana dan prasarana, dan
fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan
pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, evaluasi kinerja pelaksana.
Perencanaan Pembangunan Daerah pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda, Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen
perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal 263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD dan
RKPD.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD,
RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pada Pasal 175,
pendanaan disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka
menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu
indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib
bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai dengan kondisi nyata
Daerah dan kebutuhan masyarakat, atau urusan pilihan yang menjadi tanggung jawab
Perangkat Daerah.
Dalam hal SPM dan NSPK belum tersedia, maka target kinerja disesuaikan dengan
standar biaya kebutuhan pelayanan dan kemampuan Perangkat Daerah.

[84]
Deskripsi Masalah
Belum terbangun sepenuhnya kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang
dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan
seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang
peningkatan pelayanan publik.
Belum sepenuhnya dilakukan upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi
pengaturan secara jelas untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan
pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik
serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
pengaturan hukum yang mendukungnya.

Analisis
Ombudsman yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, walaupun
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik
serta pelayanan administratif yang diatur dalarn peraturan Perundang-undangan
Pelayanan atas jasa publik meliputi: a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah,
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, penyediaan jasa publik oleh
suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penyediaan jasa publik
yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah
yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam
peraturan Perundang-undangan.
Pelayanan publik pada keterkaitan dengan perjanjian kinerja pada Peraturan
Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
yang pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian kinerja, pelaporan kinerja
dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah diatur mengenai petunjuk
teknis perjanjian kinerja yang merupakan lembar/dokumen yang berisikan penugasan
dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah
untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.
Pelayanan publik melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima
amanah dan kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur
tertentu berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia.
Kinerja yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun

[85]
bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat
kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
Pelayanan publik harus memenuhi skala kegiatan yang didasarkan pada ukuran
besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan
pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Ruang lingkup diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Perlu upaya
tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam
peraturan Perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara.
Diperlukan tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan
oleh negara dan diatur dalam peraturan Perundang-undangan serta diterapkan
berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. Pembina terdiri atas: pimpinan
lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian,
pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya,
gubernur pada tingkat provinsi, bupati pada tingkat kabupaten dan walikota pada
tingkat kota.
Pembina perlu melakukan pembinaan, pengawasan, dm evaluasi terhadap
pelaksanaan tugas dari penanggung jawab. Pembina kecuali pimpinan lembaga negara
dan pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang, wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Rekomendasi
Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan kepentingan umum, kepastian
hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif,
persaranaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu; dan kecepatan, kemudahan,
dan keterjangkauan,
Perlu mempertegas definisi, pelaksanaan dan penanggung jawab dalam
pengelolaan pelayanan publik yang berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009 dan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyelenggara pelayanan publik pada setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk
kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.
Diperlukan keseriusan dan kesungguhan dari atasan satuan kerja penyelenggara/
pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja
yang melaksanakan pelayanan publik Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang
selanjutnya disebut Organisasi Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara
pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi,
lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan
pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan
pelayanan publik.
Pelaksana pelayanan publik yang merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan setiap
orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan
tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

[86]
Penanggung jawab mengkoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan
publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja, melakukan evaluasi
penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik.
Amanah belanja Daerah pada Pasal 298 UU 23/2014 tentang Pemda, belum
sepenuhnya diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Pembina diwajibkan melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik
masing-masing kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Menteri. Pembina
wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Gubernur Penanggung Jawab
adalah pimpinan kesekretariatan lembaga atau pejabat yang ditunjuk pembina.
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan
masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara
Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya
dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.

Referensi
 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
 Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No.13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri PAN dan RB No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelayanan
Publik.

Jakarta, Januari 2019


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[87]
POLICY BRIEF
BACKGROUND STUDY RENSTRA KEMENSOS 2020-2024
KESESUAIAN IKK PROVINSI & KAB/KOTA DENGAN IKU KEMENSOS

Abstrak
Dokumen Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-
2024 yang jika dibaca masyarakat dapat menggambarkan program dan kegiatan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk 5 (lima) tahun yang dimulai pada tahun 2020
sampai tahun 2024 dan dapat digunakan untuk 2 (dua) kegunaan yaitu sebagai draf
dokumen penyelenggaraan kesejahteraan sosial/urusan pemerintahan bidang sosial pada
dokumen rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2020-2024 dan disesuaikan dengan arah kebijakan nasional yang berupa
visioner dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 dan disesuaikan dengan visi dan misi Presiden/Wakil
Presiden terpilih tahun 2019-2024.
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui
program/kegiatan dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal,
serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
Kajian background study terhadap Peraturan Perundang-undangan ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan Perundang-undangan
yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur berdasarkan landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup. Landasan
sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan
sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.

[89]
Pendahuluan
Urusan Pemerintahan Bidang Sosial yang telah ditetapkan menjadi Norma, Standar,
Prosedur, Kriteria (NSPK) yang akan disesuaikan dengan Rancangan Peraturan
Pemerintah Urusan Konkuren yang meliputi: Persyaratan Pengangkatan Anak, Kampung
Siaga Bencana, Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Taman Anak Sejahtera, Standar
Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif Lainnya, Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial, Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Pedoman Pelayanan
Sosial Lanjut Usia, Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di
Bidang Kesejahteraan Sosial, Taruna Siaga Bencana, Bantuan Sosial Korban Bencana,
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga, Pengasuhan Anak, Pemulangan Migran
Bermasalah (PMB), Pemberdayaan Karang Taruna, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK), Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial,
Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.
Untuk Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya
(NAPZA) menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga NSPK Permensos Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya perlu segera direvisi.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar
Pelayanan Minimal (SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di
daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah, contoh: Persentase Anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan pengemis
yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti (kewenangan provinsi) dan diluar
panti (kewenangan Kabupaten/Kota);
Target kinerja yang diperjanjikan juga mencakup outcome yang dihasilkan dari
kegiatan tahun-tahun sebelumnya, sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap
tahunnya. Pihak yang menyusun Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga yaitu
Pimpinan tertinggi (Menteri dan Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit kerja (Eselon I). Perjanjian Kinerja di tingkat unit
kerja (Eselon I) ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan dan disetujui oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan Satuan Kerja.
Waktu penyusunan perjanjian kinerja disusun setelah suatu instansi pemerintah
telah menerima dokumen pelaksanaan anggaran, paling lambat satu bulan setelah
dokumen anggaran disahkan. Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja
menyajikan Indikator Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-hasil yang utama dan
kondisi yang seharusnya, tanpa mengesampingkan indikator lain yang relevan.
Perjanjian kinerja di tingkat satuan kerja ditandatangani oleh pimpinan satuan
kerja dan pimpinan unit kerja untuk tingkat K/L, menggambarkan dampak dan outcome
yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja Utama K/L/Pemdadan indikator
kinerja lain yang relevan. Untuk tingkat Eselon I, sasaran yang digunakan
menggambarkan dampak pada bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta
menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.

[90]
Untuk tingkat Eselon II, sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan output
pada Eselon III dan IV pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama
Eselon II.
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan
perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dengan menghasilkan: rencana pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan
jangka menengah; dan rencana pembangunan tahunan.
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 53 tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu
atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian kinerja,
pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah diatur
mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja yang merupakan lembar/dokumen yang
berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi
yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja.
Melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima amanah dan
kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur tertentu
berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia. Kinerja yang
disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun bersangkutan,
tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat kegiatan tahun-tahun
sebelumnya.

Tahapan dan Mekanisme Perencanaan


Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, evaluasi pelaksanaan rencana.
Tahapan penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD meliputi penyiapan
rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana kerja, musyawarah
perencanaan pembangunan, penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan


Menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional dan
menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP menjadi pedoman penyusunan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembahasan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk penyusunan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan Laporan dan Pelaksanaan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Surat a.n Dirjen Otoda Sesditjen No.
005/11014/OTDA tanggal 22 Desember 2017.

[91]
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas pembagian
urusan pemerintah konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kab/kota
dengan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) dan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) serta prioritas nasional yang diamanahkan setiap tahun dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tiap tahun atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di
daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pencapaian Target dan Sasaran Agenda Strategis


Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 Kementerian
Sosial
A. Agenda Strategis Tahun 2017
1. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
2. Kegiatan Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial
3. Kegiatan Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan Kelembagaan Masyarakat
4. Anggaran Subsidi Rastra TA 2017
5. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza
6. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
7. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
8. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia
9. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Anak
10. Kegiatan Jaminan Sosial Keluarga
11. Rencana Pelaksanaan Bantuan PKH Non Tunai Tahun 2017
12. Kegiatan Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
13. Kegiatan Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
14. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Perdesaan
15. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Perkotaan
16. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar
Negara
17. Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
18. Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

B. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 Kementerian Sosial


1. Rencana Program Prioritas:
 Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Peningkatan Efektifitas Penyaluran Bantuan Pangan
 Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Peningkatan Pelayanan Jaminan Sosial

[92]
 Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Penguatan Pelaksanaan Bantuan Tunai Bersyarat

2. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar


 Peningkatan Akses Masyarakat kepada kepemilikan dokumen kependudukan
 Tata kelola pelayanan dasar;
 Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT);
 Pengembangan Pusat Kesejahteran Sosial (Puskesos) untuk memberikan
pelayanan sosial terpadu di desa/kelurahan;
 Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Pekerja
Sosial Masyarakat (PSM);
 Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK);
 Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Karang
Taruna.

Deskripsi Masalah
Apakah Pendekatan Penganggaran Terpadu Telah Dilaksanakan dan Disesuaikan
Apakah dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja
yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan. Pertanyaan berikutnya adalah :
 Apakah kegiatan sudah identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus
dilaksanakan untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap Satker
sedikitnya mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari Satker dan tidak ada
kegiatan yang sama yang dilaksanakan oleh Satker yang berbeda, kecuali berbeda
lokasi.
 Apakah jenis belanja telah merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
 Apakah keluaran/output telah merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh Satker.
Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada
tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang
merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

Apakah pendekatan penganggaran terpadu sudah berjalan?


Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap Satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari Satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh Satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.

[93]
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja. Kriteria
jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak ada
keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang tindih/
duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang merupakan unified
document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
Bagaimana mengukur Pencapaian Target dan Sasaran Kemensos 2015-2019 pada
Matrik Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari APBN
(belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi pendanaan belanja
prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji, uang
makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar Rp. 3.596,2T yang digunakan
untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas termasuk Quickwins/Program lanjutan
serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga 3 Indikasi pendanaan belanja prioritas K/L
dituangkan dalam Matriks Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/
Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan dipertajam besaran pendanaan dan distribusi
tahunannya dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan mempertimbangkan
Kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi, struktur dan kewenangan Kementerian/
Lembaga, satuan harga, belanja Non K/L dan Transfer Daerah sebagai kelengkapan,
pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi, sasaran yang direncanakan dapat
bersifat kumulatif atau tahunan.

Bagaimana tingkat Kesesuaian Target Matrik Pendanaan RPJMN dengan Hasil


Evaluasi dan Laporan Kinerja Kementerian Sosial Tahun 2015-2019
Menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Sosial Tahun 2015-2019, meliputi belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang melekat
pada gaji, uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan dalam
perencanaan tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.

Bagaimana Kesesuaian RPJMN dengan RPJMD Provinsi dan Kab/Kota?


Dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) disebutkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan,
sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta
program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka
pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan
berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk segera menetapkan SPM Bidang Sosial dengan Peraturan Menteri
Sosial.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan

[94]
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pengawasan teknis meliputi: capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan termasuk
ketaatan pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren, dampak
pelaksanaan urusan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan akuntabilitas
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren di daerah.
Perpres 46/2015 tentang Kementerian Sosial, pada Pasal 3 menyelenggarakan
“fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan” diantaranya bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial di daerah. Sekretariat Jenderal
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.

Bagaimana Kesesuaian Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan RKPD terkait Urusan
Pemerintahan Bidang Sosial?
Juga disebutkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), bahwa Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD)
merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah,
prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan untuk jangka waktu 1
(satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dan
program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Bagaimana Kesesuaian RENSTRA K/L dengan RENSTRA SKPD?
Kemudian dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN juga menyebutkan bahwa
Rencana Strategis (Renstra) SKPD mengacu pada Renstra K/L yang memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan
fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif yang mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu
indikatif, serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang
dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat.

Analisis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke
dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap
memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk

[95]
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, sampai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Sosial,
perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya :
Kesesuaian IKU K/L dengan IKK Provinsi dan Kab/Kota
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik,
tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU
23 Tahun 2014.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas-
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan
serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yg memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas-
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk pelaksanaannya).
Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang didalamnya memuat 6 (enam) bidang diantaranya bidang sosial. SPM Sosial
di daerah Provinsi dengan materi muatan rehabilitasi sosial dasar di dalam Panti bagi
anak terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan
jaminan sosial bagi korban bencana alam dan sosial.
Untuk di daerah Kab/Kota rehabilitasi sosial dasar di luar panti bagi anak terlantar,
lanjut usia terlantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan jaminan sosial bagi
korban bencana alam dan sosial.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan turunannya berupa
Peraturan Pemerintan (PP) mengenai Urusan Konkuren dan Evaluasi Kinerja Pemerintah

[96]
Daerah, menyebutkan bahwa adanya pembagian peran dan kewenangan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah,
Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;

Program dan Kegiatan dalam


Cost Benefit Analysis (CBA) dan Regresi-Korelasi.
Cost Benefit Analisis (CBA)
Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan
dicapai ?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil Biaya tetap, efektifitas tetap
yang diinginkann memecahkan
masalah
Perataan Apakah biaya manfaat Kriteria miskin
didistribusikan dengan merata
kepada kelompok-kelompok yang
berbeda
Responsifitas Apakah kebijakan memuaskan Konsistensi dengan verifikasi
kebutuhan, preferensi, atau nilai dan validasi data terpadu
kelompok-kelompok tertentu Program dan Kegiatan dalam
Data Terpadu Penanganan
Fakir Miskin (DT-PFM).
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang Program publik harus merata
diinginan benar-benar berguna atau dan efisien
bernilai

Analisis Regresi dan Korelasi


 Dilakukan Analisis Regresi untuk mencari koefisien masing-masing variabel
independen dengan memprediksi nilai (aktual dan estimasi) melalui suatu persamaan
berdasarkan data yang ada (evident based).
 Perlu juga Analisis Korelasi untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear
antara 2 (dua) variabel. Variabel dependent (terikat) diasumsikan randam yang
mempunyai distribusi probabilistik. Variabel independent (bebas) diasumsikan
memiliki nilai tetap (dalam pengambilan sampel berulang). Teknik estimasi variabel
dependent yang melandasi Analisis Regresi yang disebut Ordinary Leat Square (OLS)
dengan pangkat kuadran terkecil biasa. Model regresi linear dengan parameter
Yi=b1+b2.xxi+vi.

[97]
Pertimbangan Dependent Variabel dan Independent Variabel dalam Analisis :
 Beban biaya yang dikeluarkan
 Sasaran (output) dengan meningkatnya peluang kerja dan berusaha bagi penduduk
kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap kesempatan pengembangan
keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan pengembangan teknologi, sarana
dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi yang berkualitas;
 Penyaluran bantuan pangan non tunai diharapkan memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui
akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan.
 Bantuan Pangan Non Tunai merupakan bantuan sosial pangan yang disalurkan secara
non tunai dari pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya
melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan
pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan bank penyalur.
 Bahwa tujuan dari Bantuan Pangan Non Tunai untuk mengurang beban pengeluaran
KPM melalui pemenuhan sebagaian kebutuhan pangan, memberikan nutrisi yang
lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan ketepatan sasaran dan ketepatan waktu
penerimaan bantuan pangan bagi KPM, memberikan lebih banyak pilihan dan kendali
kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan, mendorong pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin;
 Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation merupakan suatu sistem
informasi yang terdiri dari beberapa komponen berupa pengumpulan dan pengolahan
data kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan.
 Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran,
dan tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan
dan penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.
 Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang
Tidak Mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilaksanakan dengan
tahapan: penyusunan daftar awal sasaran, bimbingan teknis, Musyawarah Desa/
Kelurahan/Nama Lain, kunjungan ke Rumah Tangga, pengolahan data, pengawasan
dan pemeriksaan dan pelaporan.
 Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang
Tidak Mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
 Pengolahan dan penyajian data merupakan kegiatan pemeriksaan data dan dokumen,
pembersihan data, pemeringkatan data, pembuatan daftar dan tabulasi data, serta
penyajian data.
 Pengolahan dan penyajian data dilaksanakan oleh Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial.

[98]
 Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengamati/mengetahui perkembangan dan
kemajuan pelaksanaan tahapan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu di daerah dan mengidentifikasi permasalahan
serta upaya pemecahannya.
 Monitoring dan evaluasi terdiri atas monitoring bimbingan teknis petugas
pelaksanaan, monitoring Musyawarah Desa/Kelurahan/Nama Lain; dan monitoring
pelaksanaan kunjungan ke Rumah Tangga.

DATA REQUIRMENTS
- Data time series jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang dilayani
- Data jumlah pendamping Bansos BPNT
- Data jumlah agen penyalur
- Data regulasi yang terkait (UU, PP, PERPRES, Permensos).
Inventarisir permasalahan dan rekomendasi dalam program Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) :
1. Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan kemiskinan, dan untuk
memastikan seluruh penduduk memperoleh akses terhadap sumber penghidupan
yang produktif diantaranya dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan pemerataan
pembangunan dan penurunan kemiskinan dengan mempertajam program-program
khusus untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), melalui
ketepatan sasaran penerima, fokus, dan lokus kegiatan dukungan data terkini melalui
pemutakhiran dan validasi secara berkala.
2. Penguatan peran kelembagaan sosial dengan mengintegrasikan program-program
penanggulangan kemiskinan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke dalam
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga desa/
kelurahan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksana asistensi sosial, melalui
penguatan fungsi pendampingan dan penjangkauan oleh SDM kesejahteraan sosial
serta pengembangan kapasitas pengelolaan data. Pusat rujukan dan pelayanan ini
berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan, penjangkauan, serta pelaporan dan
penanganan keluhan.
3. Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan
akuntabilitas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan.
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian
pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan
dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan
sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan
pemutakhiran data secara berkala.

ASSESMENT
 Pemberian layanan kepada KPM dengan memperhatikan kearifan lokal dan
berdasarkan Assesment (Pengungkapan dan Pemahaman masalah).
 Pengungkapan dan pemahaman masalah merupakan kegiatan mengumpulkan,
menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi, dan sumber yang
dapat dimanfaatkan dalam pemberian pelayanan..

[99]
 Kegiatan pengungkapan dan pemahaman masalah terdiri atas: persiapan;
pengumpulan data dan informasi; analisis; dan temu bahas permasalahan.
 Kegiatan persiapan merupakan upaya membangun hubungan antara pemberi
pelayanan dan penerima pelayanan.
 Kegiatan pengumpulan data dan informasi merupakan upaya untuk mendapatkan
data dan informasi penerima pelayanan.
 Kegiatan analisis merupakan kegiatan interpretasi data dan informasi guna
menemukan masalah dan kebutuhan penerima pelayanan.
 Kegiatan temu bahas kasus merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi masalah dan
mengetahui kebutuhan penerima pelayanan.

Indikator Partisipasi Masyarakat


Oakley (1991: 9) memberi pemahaman tentang konsep partisipasi, dengan
mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok, yaitu Partisipasi sebagai kontribusi;
Partisipasi sebagai organisasi; dan Partisipasi sebagai pemberdayaan. Dimensi Kontribusi
Masyarakat, Dimensi Pengorganisasian Masyarakat, dan Dimensi Pemberdayaan
Masyarakat.

Cost Benefit Analysis (CBA):


Tipe Pertanyaan Ilustrasi
Kriteria
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan
dicapai ?
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap, efektifitas tetap
diinginkan memecahkan masalah
Pemerataan Apakah biaya manfaat didistribusikan Kriteria peningkatan kualitas
dengan merata kepada masyarakat lokal hidup; kriteria kemiskinan;
ikut berperan sesuai dengan kemampuan, kriteria lain untuk
misalkan membantu mencetak batako, pengukuran.
membangun akses jalan, dst.
Responsifitas Apakah kebijakan pembangunan yang Konsistensi dengan survei
dilakukan memberikan peningkatan warga masyarakat lokal
kualitas hidup masyarakat lokal, untuk Need Assesment; tehnik
misalkan adanya bantuan untuk akses penelitian Partisipatory Rural
permodalan usaha rumah makan, akses Appraisal (PRA).
kebutuhan dasar masyarakat di sekitar
proyek pembangunan.
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan Program publik harus merata
benar-benar berguna atau bernilai dan efisien. Peran dan
tanggung jawab dari
masyarakat lokal sekitar
proyek pembangunan

[100]
Rekomendasi
 Analisis peraturan Perundang-undangan dengan memperhatikan kewenangan dan
tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota;
 Kesesuaian Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan urusan dan pembagian kewenangan.
 Kesesuaian dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan dalam RPJMN dengan RPJMD
Provinsi dan Kab/kota.
 Kesesuaian dokumen perencanaan tahunan dalam RKP dengan RKPD Provinsi dan
Kab/kota.
 Kesesuaian Renstra K/L dengan Renstra SKPD Provinsi dan Kab/Kota.
 Menyusun Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
 Menyusun Perjanjian Kinerja berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi dari Eselon
I,II,III,IV benang merah hubungan Simetris pada Target & Sasaran dalam RPJMN,
RKP, RENSTRA, RENJA dan Aplikasi terkait Kinerja Capaian.

Rekomendasi Urusan Kewenangan dan Fungsi Binwas


 Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi
administratif penyelenggaraan pemerintahan daerah.
 SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan
setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
 Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah satu
penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
 Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh Menteri
Dalam Negeri sebagai pembina umum daerah, Menteri Teknis (diantaranya Menteri
Sosial) untuk sebagai pembina teknis daerah. Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pembinaan umum dan teknis.
 Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah, mempunyai fungsi
pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan daerah, kepegawaian pada perangkat
daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
 Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah dengan fungsi terhadap teknis
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi dan
dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke
daerah kabupaten/kota, teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah provinsi dan pengawasan teknis dilakukan terhadap teknis
pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah kab/kota.

[101]
Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial.
 Paparan Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018
Kementerian Sosial

Jakarta, Januari 2019


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[102]
LAMPIRAN

DRAFT INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK) URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG


SOSIAL DI DAERAH PROVINSI & DI DAERAH KABUPATEN/KOTA.

BIDANG SOSIAL
Usulan Indikator Kinerja Pelaksanaan Urusan Berdasarkan Layanan Utama Sesuai
UU 23/2014 dan RPP Urusan Konkuren
Urusan : Bidang Sosial
Provinsi
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

1. Sosial Pemberdaya a. penyediaan data Jumlah potensi sumber


an Sosial Pengembangan kesejahteraan sosial
potensi sumber keluarga (LK3 di Provinsi
kesejahteraan sosial dan LK3 Berbasis
keluarga (LK3 Provinsi Masyarakat/Perguruan
dan LK3 BM dan FCU) Tinggi dan FCU) yg
b. penyediaan data klien mendapatkan layanan
LK3 Provinsi dan LK3 Pengembangan
BM
c. rekruitmen pengelola ________________ x 100 %
dan Tim Profesi LK3
Provinsi. Jumlah potensi sumber
d. Pemberian kesejahteraan sosial
rekomendasi LK3 keluarga (LK3 di Provinsi
Berbasis Masyarakat. dan LK3 Berbasis
e. pemberian Masyarakat/Perguruan
rekomendasi Tinggi dan FCU) yg
rekruitmen PSKS seharusnya mendapatkan
keluarga (keluarga layanan Pengembangan
pionir)
f. penguatan kapasitas
Sumber Daya
Manusia PSKS
keluarga (LK3
kabupaten/kota /BM
dan FCU)
g. Pemberianpenghargaa
n kepada
Pengembangan
potensi sumber
kesejahteraan sosial
Kelembagaan Tingkat
Provinsi
h. monitoring dan
evaluasi
pelaporan

a. penyediaan data PSKS Jumah potensi sumber


kelembagaan kesejahteraan sosial Daerah
masyarakat Provinsi kelembagaan masyarakat
b. menerbitkan tanda (karang taruna, Lembaga
daftar LKS Provinsi Kesejahteraan
c. penguatan kapasitas Sosial/Organisasi Sosial,
Sumber Daya Forum Coorporate Social
Manusia PSKS Responsibility, Wahana
kelembagaan Kesejahteraan Sosial
masyarakat Provinsi Berbasis Masyarakat
d. monitoring dan (WKSBM)) Provinsi yg
evaluasi mendapatkan layanan

[103]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

pelaporan Pengembangan

_________________ 100 %

Jumah potensi sumber


kesejahteraan sosial Daerah
kelembagaan masyarakat
(karang taruna, Lembaga
Kesejahteraan
Sosial/Organisasi Sosial,
Forum Coorporate Social
Responsibility, Wahana
Kesejahteraan Sosial
Berbasis Masyarakat
(WKSBM)) Provinsi yg
seharusnya mendapatkan
layanan Pengembangan

a. Sarana dan prasarana Jumlah lembaga konsultasi


pembinaan lembaga kesejahteraan keluarga (LK3)
konsultasi yang wilayah kegiatannya di
kesejahteraan Daerah Provinsi yg
keluarga (LK3) yang mendapatkan Layanan
wilayah kegiatannya Pembinaan
di Daerah Provinsi.
b. Bimbingan teknis ___________________ 100 %
petugas LK3
c. Sumber Daya Jumlah lembaga konsultasi
Manusia pelayanan kesejahteraan keluarga (LK3)
lembaga konsultasi yang wilayah kegiatannya di
kesejahteraan Daerah Provinsi yg
keluarga (LK3) yang seharusnya mendapatkan
wilayah kegiatannya Layanan Pembinaan
di Daerah Provinsi.

2. Penanganan a. Layanan rehabilitasi Jumlah Korban Perdagangan


Warga sosial KPO di RPTC Orang (KPO) dan Korban
b. Pedoman teknis Tindak Kekerasan (KTK) dari
Negara rehabilitasi sosial KPO provinsi ke kabupaten/kota
Migran dan KTK mendapatkan layanan
Korban c. Peningkatan Sumber penerimaan
Daya Manusia
Tindak pendamping __________________ x 100 %
Kekerasan d. Koordinasi lintas
instansi dan NGO Jumlah Korban Perdagangan
nasional dan Orang (KPO) dan Korban
internasional Tindak Kekerasan (KTK) dari
provinsi ke kabupaten/kota
yg seharusnya
mendapatkan layanan
penerimaan

 Rehabilitasi a. Pelatihan dan Sumber Penyandang Disabilitas


Sosial Daya Manusia 1. Jumlah Penyandang
b. Sosialisasi kepada Disabilitas terlantar fisik
pemangku dalam lingkup daerah
kepentingan Provinsi yg mendapatkan
c. Penyusunan Standar layanan rehabilitasi sosial di
Operasional dan dalam panti atau lembaga
Prosedur bagi layanan
d. Membangun sistem ___________________ x 100 %
informasi
e. Penyusunan Pedoman Jumlah Penyandang
Layanan Rehabilitasi Disabilitas fisik terlantar
Sosial Dasar dalam lingkup daerah

[104]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

f. Penyediaan Anggaran Provinsi yg seharusnya


Layanan Rehabilitasi mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial di dalam
panti atau lembaga
2. Jumlah Penyandang
Disabilitas mental terlantar
dalam
lingkup daerah Provinsi yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial dalam
panti atau lembaga

_________________ x 100 %

Jumlah Penyandang
Disabilitas mental terlantar
dalam
lingkup daerah Provinsi yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
dalam panti atau lembaga

3. Jumlah Penyandang
Disabilitas sensorik
terlantar dalam
lingkup daerah Provinsi yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial dalam
panti atau lembaga

________________ x 100 %

Jumlah Penyandang
Disabilitas sensorik
terlantar dalam
lingkup daerah Prov yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
dalam panti atau lembaga

4. Jumlah Penyandang
Disabilitas intelektual)
terlantar dalam lingkup
daerah Provinsi yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial dalam
panti atau lembaga

________________ x 100 %

Jumlah Penyandang
Disabilitas intelektual)
terlantar dalam lingkup
daerah Provinsi yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
dalam panti atau lembaga

REHABILITASI SOSIAL
DAN PELAYANAN SOSIAL
ANAK

1. Jumlah anak balita


terlantar dalam lingkup

[105]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

daerah Provinsi yg
mendapatkan layanan
dalam panti atau lembaga

________________ x 100 %

Jumlah anak balita


terlantar dalam lingkup
daerah Provinsi yg
Seharusnya mendapatkan
layanan dalam panti atau
lembaga

2. Jumlah anak terlantar


dalam lingkup daerah
Provinsi yg mendapatkan
layanan dalam panti atau
lembaga

________________ x 100 %

Jumlah anak terlantar


dalam lingkup daerah
Provinsi yg Seharusnya
mendapatkan layanan
dalam panti atau lembaga

3. Jumlah anak
berhadapan dengan hukum
dalam lingkup daerah
Provinsi yg mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
dalam panti atau lembaga

_________________ x 100 %

Jumlah anak berhadapan


dengan hukum dalam
lingkup daerah Provinsi yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
dalam panti atau lembaga

4. Jumlah anak yang


memerlukan perlindungan
khusus dalam lingkup
daerah Provinsi yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial dalam
panti atau lembaga

________________ x 100 %

Jumlah anak yang


memerlukan perlindungan
khusus dalam lingkup
daerah Provinsi yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehab. sosial dalam
panti atau lembaga

REHABILITASI/PELAYANA
N SOSIAL LANJUT USIA

[106]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

TERLANTAR

Jumlah Lanjut Usia


terlantar dalam lingkup
daerah Provinsi yg
mendapatkan
rehabilitsi/pelayanan sosial
dalam panti/lembaga

________________ x 100 %

Jumlah Lanjut Usia


terlantar dalam lingkup
daerah Provinsi yg
Seharusnya mendapatkan
rehabilitsi/pelayanan sosial
dalam panti/lembaga

REHABILITASI SOSIAL
TUNA SOSIAL
(GELANDANGAN/PENGEMI
S)

1. Jumlah tuna sosial


gelandangan dalam lingkup
Provinsi yg mendapatkan
layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar dalam panti dan atau
lembaga

_________________ x 100 %

Jumlah tuna sosial


gelandangan dalam lingkup
Provinsi yg Seharusnya
mendapatkan layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar dalam panti dan atau
lembaga

2. Jumlah tuna sosial


Pengemis dalam lingkup
Provinsi yg mendapatkan
layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar dalam panti dan atau
lembaga
_______________ x 100 %
Jumlah tuna sosial
Pengemis dalam lingkup
Provinsi yg Seharusnya
mendapatkan layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar dalam panti dan atau
lembaga

3. Perlindunga a. Asistensi sosial anak Jumlah Layanan


n dan terlantar Pemeliharaan anak-anak
Jaminan b. Day Care bagi Anak terlantar
Sosial Terlantar i.
c. Pelayanan
kedaruratan bagi
anak terlantar

[107]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

d. Home Care bagi Anak


Terlantar
e. Pelaksanaan Asistensi
Sosial bagi anak
terlantar melalui
lembaga
kesejahteraan sosial
anak
f. Pengembangan
kelembagaan
pengasuhan dan
perlindungan anak
terlantar
g. Penelurusuran
keluarga anak
terlantar
h. Rekomendasi untuk
pengangkatan anak
untuk dilanjutkan ke
TIM PIPA

Dasar Hukum Jumlah Fakir Miskin


1. UU 13/2011 ttg (Perorangan dan Keluarga)
Penanganan Fakir Miskin, berdasarkan Basis Data
Pasal 19 bahwa Terpadu (BDT) yg
Penanganan Fakir Miskin MENDAPATKAN layanan
dilakukan utk pemenuhan melalui Sistim Layanan
kebutuhan dasar Rujukan Terpadu (SLRT)
pendidikan, kesehatan, cakupan Daerah Provinsi
perumahan dan dalam Pusat Kesejahteraan
pemukiman, pekerjaan, Sosial (PUSKESOS) di setiap
air bersih dan Pelayanan Kabupaten/Kota
Sosial, dikoordinasikan
oleh Menteri yg _________________ x 100 %
menangani urusan
sosial. Jumlah Fakir Miskin
(Perorangan dan Keluarga)
2. PERPRES 166/2014 ttg berdasarkan Basis Data
Percepatan Terpadu (BDT) yg
Penanggulangan SEHARUSNYA
Kemiskinan. MENDAPATKAN layanan
melalui Sistim Layanan
3. PERMENSOS 10/2016 Rujukan Terpadu (SLRT) g.
ttg Mekanisme Basis Data cakupan Daerah Provinsi
Terpadu (BDT). dalam Pusat Kesejahteraan
Sosial (PUSKESOS) di setiap
PELAKSANAAN Kabupaten/Kota
a. Penetapan Standart
Operasional
Prosedur/ Norma,
Standart, Prosedur
dan Kriteria tentang
Pendataan dan
Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
b. Sosialisasi Peraturan
Perundang-undangan
tentang Pendataan
dan Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
c. Bimbingan Teknik

[108]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

Petugas Pendataan
dan Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota

d. Pendataan dan
Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
e. Supervise
f. Monitoring dan
Evaluasi Pelaporan

4. Penanganan 1. Layanan Penyediaan Jumlah Korban Bencana


Bencana Kebutuhan Dasar bagi yang mendapatkan Layanan
Korban Bencana Penyediaan Kebutuhan
Nasional untuk Dasar di Provinsi
Bencana Sosial
Provinsi : _________________ x 100 %
a. Sosialisasi aturan
tentang penyediaan Jumlah Korban Bencana
kebutuhan dasar bagi yang seharusnya
Korban Bencana mendapatkan Layanan
Sosial Provinsi Penyediaan Kebutuhan
b. Penerapan standar Dasar di Provinsi
operasional prosedur
pemenuhan
kebutuhan dasar bagi
Korban bencana
Provinsi
c. Penyediaan Sandang,
Pangan, dan Papan
bagi korban bencana
sosial Provinsi
d. Sarana dan Prasarana
penyimpanan
kebutuhan dasar bagi
korban Provinsi
e. Bimbingan Teknis
kepada Sumber Daya
Manusia dalam hal
penyediaan kebutuhan
dasar Provinsi

2. Layanan Penyediaan
Kebutuhan Dasar bagi
Korban Bencana
Nasional untuk
Bencana Alam
Kabupaten/Kota :
a. Sosialisasi aturan
tentang penyediaan
kebutuhan dasar bagi
korban bencana alam
Provinsi
b. Penerapan standar
operasional prosedur
pemenuhan
kebutuhan dasar bagi
Korban bencana alam
Provinsi
c. Penyediaan Sandang,
Pangan, dan Papan

[109]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

bagi korban bencana


alam Provinsi
d. Sarana dan Prasarana
terkait penyediaan
kebutuhan dasar bagi
korban bencana alam
Provinsi

e. Bimbingan Teknis
kepada Sumber Daya
Manusia dalam hal
penyediaan kebutuhan
dasar bagi korban
bencana alam Provinsi

1. Layanan Pemulihan Jumlah Korban Bencana di


Trauma bagi Korban Provinsi yg mendapatkan
Bencana Provinsi layanan pemulihan trauma
untuk Bencana
Sosial Provinsi : ______________ x 100 %
a. Sosialisasi aturan
tentang pemulihan Jumlah Korban Bencana di
sosial bagi korban Provinsi yg Seharusnya
bencana sosial mendapatkan layanan
Provinsi pemulihan trauma
b. Pemulihan sosial
bagi korban bencana
sosial Provinsi
c. Penyediaan
Sandang, Pangan
dan Papan bagi
korban bencana
sosial Provinsi
d. Sarana dan
Prasarana terkait
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban bencana
sosial Provinsi
e. Bimbingan teknis
sumber daya
manusia terkait
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban bencana
sosial Provinsi.

2. Layanan Pemulihan e.
Trauma bagi Korban
Bencana Provinsi
untuk Bencana Alam
Provinsi :
a. Sosialisasi aturan
tentang pemulihan
sosial bagi korban
bencana alam
Provinsi
b. Pemulihan sosial
bagi korban bencana
alam Provinsi
c. Sarana dan prasana
terkait pemulihan
sosial
d. Bimbingan Teknis
pada sumber daya

[110]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

manusia terkait
pemulihan sosial.

1. Layanan Jumlah warga masyarakat e.


Penyelenggaraan rawan bencana yg
Pemberdayaan mendapatkan layanan
Masyarakat terhadap pemberdayaan kesiapsiagaan
kesiap siagaan bencana di Provinsi
bencana Provinsi
untuk Bencana _____________ x 100 %
Sosial Provinsi :
a. Penerapan standar Jumlah warga masyarakat
operasional prosedur rawan bencana yg
pemenuhan mendapatkan layanan
kebutuhan dasar bagi pemberdayaan kesiapsiagaan
Korban bencana sosial bencana di Provinsi
Provinsi
b. Sosialisasi aturan
tentang pencegahan
bagi Korban Bencana
Sosial Provinsi
c. Penyiapan dan
Bimbingan teknis
sumber daya manusia
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat terhadap
kesiapsiagaan
bencana sosial
Provinsi
d. Sarana dan Prasarana
Penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat terhadap
kesiapsiagaan
bencana sosial
Provinsi

2. Layanan
Penyelenggaraan
Pemberdayaan
Masyarakat terhadap
kesiap siagaan
bencana Provinsi
untuk Bencana Alam
Provinsi :
a. Sosialisasi aturan
tentang
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam Provinsi
b. Penerapan standar
operasional prosedur
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam Provinsi
c. Penyiapan dan
bimbingan teknis
sumber daya manusia
penyelenggaraan
pemberdayaan

[111]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
menghitung
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

masyarakat terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam Provinsi
d. Sarana dan prasarana
terkait
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam Provinsi

5. Taman a. Pemeliharaan Taman Jumlah Layanan


Makam Makam Pahlawan Pemeliharaan taman makam
Nasional Provinsi pahlawan nasional di
Pahlawan b. Pengusulan
rehabilitasi Taman Provinsi
Makam Pahlawan
Nasional dan Makam ________________ x 100 %
Pahlawan Nasional
c. Sarana dan prasarana Jumlah Layanan
pemeliharaan taman Pemeliharaan taman makam
makam pahlawan pahlawan nasional di
nasional Provinsi Provinsi
d. Penerapan standard
operasional prosedur
pemeliharaan taman
makam pahlawan
nasional Provinsi.
e. supervisi
f. monitoring dan
evaluasi
g. pelaporan

6. Penanganan Fakir Miskin (perorangan, Jumlah Fakir Miskin


Fakir keluarga, kelompok) yang (Perorangan dan Keluarga)
Miskin memperoleh Bantuan yang memperoleh Bantuan
Sosial (BANSOS) yang Sosial (BANSOS) yang
bersumber dari APBD bersumber dari APBD
Provinsi dengan Provinsi dengan
Pengembangan Pengembangan Penghidupan
Penghidupan Berkelanjutan (P2B) Bantuan
Berkelanjutan (P2B) Pengembangan Sarana Usaha
Bantuan Pengembangan (BPSU) melalui Warung Gotong
Sarana Usaha (BPSU) Royong Elektronik (E-Warong);
melalui Warung Gotong
Royong Elektronik (E- _________________ x 100 %
Warong);
Jumlah Fakir Miskin
(Perorangan dan Keluarga)
yang seharusnya memperoleh
Bantuan Sosial (BANSOS)
yang bersumber dari APBD
Provinsi dengan
Pengembangan Penghidupan
Berkelanjutan (P2B) Bantuan
Pengembangan Sarana Usaha
(BPSU) melalui Warung Gotong
Royong Elektronik (E-Warong);

Jakarta, 22 November 2016


Biro Perencanaan

[112]
Kementerian Sosial RI

LAMPIRAN KABUPATEN/KOTA

BIDANG SOSIAL

Usulan Indikator Kinerja Pelaksanaan Urusan Berdasarkan Layanan Utama Sesuai


UU 23/2014 dan RPP Urusan Konkuren
Urusan : Bidang Sosial

Kabupaten
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

1 Sosial Pemberdaya a. Pendataan lokasi dan Jumlah warga Komunitas


. an Sosial warga KAT Adat Terpencil (KAT) yang
b. Pemetaan Sosial mendapatkan Layanan
Lokasi KAT Pemberdayaan Sosial
c. Penyiapan lahan Kabupaten/Kota
pemukiman lokasi
KAT ______________ X 100%
d. Pembentukan Forum
Koordinasi PKAT Jumlah warga Komunitas
Kabupaten/Kota Adat Terpencil (KAT) yang
e. Bimbingan Sosial seharusnya mendapatkan
(dasar, lanjutan dan Layanan Pemberdayaan
pengembangan Sosial Kabupaten/Kota

a. penyediaan data PSKS Jumlah potensi sumber


perorangandi kesejahteraan sosial
kabupaten/kota Perorangan (Peksos, PSM,
b. melaksanakan seleksi TKSK) di kab/kota yg
dan rekruitmen PSKS mendapatkan Layanan
perorangan (TKSK) Pengembangan
c. menetapkan TKSK di
kabupaten/kota __________________ x 100 %
d. penguatan kapasitas
Sumber Daya Manusia Jumlah potensi sumber
Pengembangan potensi kesejahteraan sosial
sumber kesejahteraan Perorangan (Peksos, PSM,
sosial perorangan TKSK) di kab/kota yg
kabupaten/kota seharusnya mendapatkan
e. Pemberian Layanan Pengembangan
penghargaan kepada
Pengembangan potensi
sumber kesejahteraan
sosial Perorangan
Tingkat
Kabupaten/Kota
f. monitoring dan
evaluasi
g. pelaporan

a. penyediaan data Jumlah potensi sumber


Pengembangan potensi kesejahteraan sosial
sumber kesejahteraan keluarga (LK3 di kab/kota
sosial keluarga (LK3 dan LK3 Berbasis
kabupaten/kota dan Masyarakat/Perguruan
LK3 BM dan FCU) Tinggi dan FCU) yg
b. penyediaan data klien mendapatkan layanan
LK3 Kab/Kota dan Pengembangan
LK3 BM
c. rekruitmen pengelola ________________ x 100 %
dan Tim Profesi LK3

[113]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

Kab / Kota. Jumlah potensi sumber


d. Pemberian kesejahteraan sosial
rekomendasi LK3 keluarga (LK3 di kab/kota
Berbasis Masyarakat. dan LK3 Berbasis
e. pemberian Masyarakat/Perguruan
rekomendasi Tinggi dan FCU) yg
rekruitmen PSKS seharusnya mendapatkan
keluarga (keluarga layanan Pengembangan
pionir)
f. penguatan kapasitas
Sumber Daya Manusia
PSKS keluarga (LK3
kabupaten/kota /BM
dan FCU)
i. Pemberianpenghargaa
n kepada
Pengembangan potensi
sumber kesejahteraan
sosial Kelembagaan
Tingkat
Kabupaten/Kota
j. monitoring dan
evaluasi
pelaporan

a. penyediaan data PSKS Jumah potensi sumber


kelembagaan kesejahteraan sosial Daerah
masyarakat kelembagaan masyarakat
kabupaten/kota (karang taruna, Lembaga
menerbitkan tanda Kesejahteraan
daftar LKS Sosial/Organisasi Sosial,
kabupaten/kota Forum Coorporate Social
b. penguatan kapasitas Responsibility, Wahana
Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial
PSKS kelembagaan Berbasis Masyarakat
masyarakat (WKSBM)) kab/kota yg
kabupaten/kota mendapatkan layanan
c. monitoring dan Pengembangan
evaluasi
pelaporan _________________ 100 %

Jumah potensi sumber


kesejahteraan sosial Daerah
kelembagaan masyarakat
(karang taruna, Lembaga
Kesejahteraan
Sosial/Organisasi Sosial,
Forum Coorporate Social
Responsibility, Wahana
Kesejahteraan Sosial
Berbasis Masyarakat
(WKSBM)) kab/kota yg
seharusnya mendapatkan
layanan Pengembangan

a. Sarana dan prasarana Jumlah lembaga konsultasi


pembinaan lembaga kesejahteraan keluarga (LK3)
konsultasi yang wilayah kegiatannya di
kesejahteraan Daerah kab/kota yg
keluarga (LK3) yang mendapatkan Layanan
wilayah kegiatannya di Pembinaan
Daerah
kabupaten/kota. __________________ 100 %
b. Bimbingan teknis
petugas LK3 Jumlah lembaga konsultasi

[114]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

c. Sumber Daya Manusia kesejahteraan keluarga (LK3)


pelayanan lembaga yang wilayah kegiatannya di
konsultasi Daerah kab/kota yg
kesejahteraan seharusnya mendapatkan
keluarga (LK3) yang Layanan Pembinaan
wilayah kegiatannya di
Daerah
kabupaten/kota.
2 Penanganan a. Layanan rehabilitasi Jumlah Korban Perdagangan
. Warga sosial KPO di RPTC Orang (KPO) dan Korban
b. Pedoman teknis Tindak Kekerasan (KTK) dari
Negara rehabilitasi sosial KPO provinsi untuk dipulangkan
Migran dan KTK ke alamat masing-masing
Korban c. Peningkatan Sumber (tempat tinggal yg
Daya Manusia mendapatkan layanan
Tindak pendamping penerimaan
Kekerasan d. Koordinasi lintas
instansi dan NGO __________________ x 100 %
nasional dan
internasional Jumlah Korban Perdagangan
Orang (KPO) dan Korban
Tindak Kekerasan (KTK) dari
provinsi untuk dipulangkan
ke alamat masing-masing
(tempat tinggal yg
seharusnya mendapatkan
layanan penerimaan

 3 Rehabilitasi b. Pelatihan dan Sumber Penyandang Disabilitas


. Sosial Daya Manusia
c. Sosialisasi kepada
pemangku 1. Jumlah Penyandang
kepentingan Disabilitas terlantar fisik
d. Penyusunan Standar dalam
Operasional dan lingkup daerah Kab/Kota yg
Prosedur bagi layanan mendapatkan layanan
e. Membangun sistem rehabilitasi sosial di luar
informasi panti atau lembaga
f. Penyusunan Pedoman
Layanan Rehabilitasi _________________ x 100 %
Sosial Dasar
g. Penyediaan Anggaran Jumlah Penyandang
Layanan Rehabilitasi Disabilitas fisik terlantar
dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial di
luar panti atau lembaga

2. Jumlah Penyandang
Disabilitas mental terlantar
dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial luar panti
atau lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah Penyandang
Disabilitas mental terlantar
dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan

[115]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

layanan rehabilitasi sosial


luar panti atau lembaga

3.Jumlah Penyandang
Disabilitas sensorik
terlantar dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial luar panti
atau lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah Penyandang
Disabilitas sensorik
terlantar dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
luar panti atau lembaga

4.Jumlah Penyandang
Disabilitas intelektual)
terlantar dalam

lingkup daerah Kab/Kota yg


mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial luar panti
atau lembaga

________________ x 100 %

Jumlah Penyandang
Disabilitas intelektual)
terlantar dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
luar panti atau lembaga

REHABILITASI SOSIAL
DAN PELAYANAN SOSIAL
ANAK

1.Jumlah anak balita


terlantar dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
mendapatkan layanan luar
panti atau lembaga

________________ x 100 %

Jumlah anak balita


terlantar dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
layanan luar panti atau
lembaga

2. Jumlah anak terlantar


dalam lingkup daerah
Kab/Kota yg mendapatkan
layanan luar panti atau

[116]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah anak terlantar


dalam lingkup daerah
Kab/Kota yg Seharusnya
mendapatkan layanan luar
panti atau lembaga

3. Jumlah anak berhadapan


dengan hukum dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial luar panti
atau lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah anak berhadapan


dengan hukum dalam
lingkup daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehabilitasi sosial
luar panti atau lembaga

4. Jumlah anak yang


memerlukan perlindungan
khusus dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
mendapatkan layanan
rehabilitasi sosial luar panti
atau lembaga

_________________ x 100 %

Jumlah anak yang


memerlukan perlindungan
khusus dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
layanan rehab. sosial luar
panti atau lembaga

REHABILITASI/PELAYANA
N SOSIAL LANJUT USIA
TERLANTAR

Jumlah Lanjut Usia


terlantar dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
mendapatkan
rehabilitsi/pelayanan sosial
luar panti/lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah Lanjut Usia


terlantar dalam lingkup
daerah Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
rehabilitsi/pelayanan sosial
luar panti/lembaga

[117]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

REHABILITASI SOSIAL
TUNA SOSIAL
(GELANDANGAN/PENGEMIS
)

1. Jumlah tuna sosial


gelandangan dalam lingkup
Kab/Kota yg mendapatkan
layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar luar panti dan atau
lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah tuna sosial


gelandangan dalam lingkup
Kab/Kota yg Seharusnya
mendapatkan layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar luar panti dan atau
lembaga

2. Jumlah tuna sosial


Pengemis dalam lingkup
Kab/Kota yg mendapatkan
layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar luar panti dan atau
lembaga

__________________ x 100 %

Jumlah tuna sosial Pengemis


dalam lingkup Kab/Kota yg
Seharusnya mendapatkan
layanan
rehabilitasi/pelayanan sosial
dasar luar panti dan atau
lembaga

4 Perlindunga a. Asistensi sosial anak Jumlah Layanan


n dan terlantar Pemeliharaan anak-anak
b. Day Care bagi Anak terlantar
Jaminan Terlantar
Sosial c. Pelayanan
kedaruratan bagi anak
terlantar
d. Home Care bagi Anak
Terlantar
e. Pelaksanaan Asistensi
Sosial bagi anak
terlantar melalui
lembaga kesejahteraan
sosial anak
f. Pengembangan
kelembagaan
pengasuhan dan
perlindungan anak
terlantar
g. Penelurusuran
keluarga anak
terlantar
h. Rekomendasi untuk

[118]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

pengangkatan anak
untuk dilanjutkan ke
TIM PIPA

Dasar Hukum Jumlah Fakir Miskin


1. UU 13/2011 ttg (Perorangan dan Keluarga)
Penanganan Fakir Miskin, berdasarkan Basis Data
Pasal 19 bahwa Terpadu (BDT) yg
Penanganan Fakir Miskin MENDAPATKAN layanan
dilakukan utk pemenuhan melalui Sistim Layanan
kebutuhan dasar Rujukan Terpadu (SLRT)
pendidikan, kesehatan, cakupan Daerah
perumahan dan kabupaten/kota dalam Pusat
pemukiman, pekerjaan, air Kesejahteraan Sosial
bersih dan Pelayanan (PUSKESOS) di setiap
Sosial, dikoordinasikan desa/kelurahan
oleh Menteri yg
menangani urusan sosial. _________________ x 100 %

2. PERPRES 166/2014 ttg Jumlah Fakir Miskin


Percepatan (Perorangan dan Keluarga)
Penanggulangan berdasarkan Basis Data
Kemiskinan. Terpadu (BDT) yg
SEHARUSNYA
3. PERMENSOS 10/2016 MENDAPATKAN layanan
ttg Mekanisme Basis Data melalui Sistim Layanan
Terpadu (BDT). Rujukan Terpadu (SLRT)
cakupan Daerah
PELAKSANAAN kabupaten/kota dalam Pusat
a. Penetapan Standart Kesejahteraan Sosial
Operasional Prosedur/ (PUSKESOS) di setiap
Norma, Standart, desa/kelurahan
Prosedur dan Kriteria
tentang Pendataan
dan Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
b. Sosialisasi Peraturan
Perundang-undangan
tentang Pendataan
dan Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
c. Bimbingan Teknik
Petugas Pendataan
dan Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
d. Pendataan dan
Pengelolaan data
fakirmiskin cakupan
Daerah
kabupaten/kota
e. Supervise
f. Monitoring dan
Evaluasi Pelaporan

[119]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

5
.
Penanganan
Bencana
1. Layanan Penyediaan
Kebutuhan Dasar bagi
1. Jumlah Layanan 6.
Penyediaan Kebutuhan
Korban Bencana Dasar bagi Korban
Nasional untuk Bencana
Bencana Sosial Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota :
a. Sosialisasi aturan
tentang
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi Korban
Bencana Sosial
Kabupaten/Kota
b. Penerapan
standar
operasional
prosedur
pemenuhan
kebutuhan dasar
bagi Korban
bencana
Kabupaten/Kota
c. Penyediaan
Sandang, Pangan,
dan Papan bagi
korban bencana
sosial
Kabupaten/kota
d. Sarana dan
Prasarana
penyimpanan
kebutuhan dasar
bagi korban
Kabupaten/Kota
e. Bimbingan Teknis
kepada Sumber
Daya Manusia
dalam hal
penyediaan
kebutuhan dasar
Kabupaten/Kota

2. Layanan Penyediaan
Kebutuhan Dasar bagi
Korban Bencana
Nasional untuk
Bencana Alam
Kabupaten/Kota :
a. Sosialisasi aturan
tentang
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban
bencana alam
kabupaten/Kota
b. Penerapan standar
operasional
prosedur
pemenuhan
kebutuhan dasar
bagi Korban
bencana alam
Kabupaten/Kota
c. Penyediaan
Sandang, Pangan,

[120]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

dan Papan bagi


korban bencana
alam
kabupaten/kota
d. Sarana dan
Prasarana terkait
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban
bencana alam
kabupaten/kota
e. Bimbingan Teknis
kepada Sumber
Daya Manusia
dalam hal
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban
bencana alam
Kabupaten/Kota

3. Layanan Pemulihan Jumlah Korban Bencana di


Trauma bagi Korban Kab/Kota yg mendapatkan
Bencana layanan pemulihan trauma
Kabupaten/Kota untuk
Bencana Sosial ____________________ x 100 %
Kabupaten/Kota :
a. Sosialisasi aturan Jumlah Korban Bencana di
tentang pemulihan Kab/Kota yg Seharusnya
sosial bagi korban mendapatkan layanan
bencana sosial pemulihan trauma
kabupaten/kota
b. Pemulihan sosial
bagi korban
bencana sosial
kabupaten/kota
c. Penyediaan
Sandang, Pangan
dan Papan bagi
korban bencana
sosial
kabupaten/kota
d. Sarana dan
Prasarana terkait
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban
bencana sosial
kabupaten/kota
e. Bimbingan teknis
sumber daya
manusia terkait
penyediaan
kebutuhan dasar
bagi korban
bencana sosial
kabupaten/kota.
4. Layanan Pemulihan
Trauma bagi Korban
Bencana
Kabupaten/Kota untuk
Bencana Alam
Kabupaten/Kota :
a. Sosialisasi aturan
tentang pemulihan

[121]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

sosial bagi korban


bencana alam
kabupaten/kota
b. Pemulihan sosial
bagi korban
bencana alam
kabupaten/kota
c. Sarana dan
prasana terkait
pemulihan sosial
d. Bimbingan Teknis
pada sumber daya
manusia terkait
pemulihan sosial.

5. Layanan
Penyelenggaraan Jumlah warga masyarakat
Pemberdayaan rawan bencana yg
Masyarakat terhadap mendapatkan layanan
kesiap siagaan pemberdayaan kesiapsiagaan
bencana bencana di Kab/Kota
Kabupaten/Kota
untuk Bencana ____________________ x 100 %
Sosial
Kabupaten/Kota : Jumlah warga masyarakat
a. Penerapan rawan bencana yg
standar mendapatkan layanan
operasional pemberdayaan kesiapsiagaan
prosedur bencana di Kab/Kota
pemenuhan
kebutuhan dasar
bagi Korban
bencana sosial
Kabupaten/Kota
b. Sosialisasi aturan
tentang
pencegahan bagi
Korban Bencana
Sosial
Kabupaten/Kota
c. Penyiapan dan
Bimbingan teknis
sumber daya
manusia
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
terhadap
kesiapsiagaan
bencana sosial
kabupaten/kota
d. Sarana dan
Prasarana
Penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
terhadap
kesiapsiagaan
bencana sosial
Kabupaten/Kota

6. Layanan
Penyelenggaraan
Pemberdayaan

[122]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

Masyarakat terhadap
kesiap siagaan
bencana
Kabupaten/Kota untuk
Bencana Alam
Kabupaten/Kota :
a. Sosialisasi aturan
tentang
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam
kabupaten/kota
b. Penerapan standar
operasional
prosedur
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam
kabupaten/kota
c. Penyiapan dan
bimbingan teknis
sumber daya
manusia
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam
kabupaten/kota
d. Sarana dan
prasarana terkait
penyelenggaraan
pemberdayaan
masyarakat
terhadap
kesiapsiagaan
bencana alam
kabupaten/kota

6 Taman a. Pemeliharaan Taman Jumlah Layanan


. Makam Makam Pahlawan Pemeliharaan taman makam
Nasional pahlawan nasional di
Pahlawan kabupaten/kota kab/kota
b. Pengusulan
rehabilitasi Taman ____________________ x 100 %
Makam Pahlawan
Nasional dan Makam Jumlah Layanan
Pahlawan Nasional Pemeliharaan taman makam
c. Sarana dan prasarana pahlawan nasional di
pemeliharaan taman kab/kota
makam pahlawan
nasional
kabupaten/kota
d. Penerapan standard
operasional prosedur
pemeliharaan taman
makam pahlawan
nasional

[123]
DEFINISI
OPERASIONAL
SUB
URUSAN LAYANAN UTAMA INDIKATOR KINERJA (Indikator
URUSAN
kinerja & cara
meenghitng
capaian kinerja)

1 2 3 3 4 5

kabupaten/kota.
e. supervisi
f. monitoring dan
evaluasi
g. pelaporan

7 Penanganan Persentase Fakir Miskin Jumlah Fakir Miskin


. Fakir Miskin (perorangan, keluarga, (Perorangan dan Keluarga)
kelompok) yang yang memperoleh Bantuan
memperoleh Bantuan Sosial (BANSOS) yang
Sosial (BANSOS) yang bersumber dari APBD
bersumber dari APBD Kabupaten/Kota dengan
Kabupaten/Kota dengan Pengembangan Penghidupan
Pengembangan Berkelanjutan (P2B) Bantuan
Penghidupan Pengembangan Sarana Usaha
Berkelanjutan (P2B) (BPSU) melalui Warung
Bantuan Pengembangan Gotong Royong Elektronik (E-
Sarana Usaha (BPSU) Warong);
melalui Warung Gotong
Royong Elektronik (E- _______________ x 100 %
Warong);
Jumlah Fakir Miskin
(Perorangan dan Keluarga)
yang seharusnya
memperoleh Bantuan Sosial
(BANSOS) yang bersumber
dari APBD Kabupaten/Kota
dengan Pengembangan
Penghidupan Berkelanjutan
(P2B) Bantuan
Pengembangan Sarana Usaha
(BPSU) melalui Warung
Gotong Royong Elektronik (E-
Warong);

Jakarta, 22 November 2016


Biro Perencanaan
Kementerian Sosial RI

[124]
LAMPIRAN
Program dan Kegiatan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Dalam RPJMN 2015-2019
1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
Kementerian Sosial.
Program Pengawasan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Sasaran:
Meningkatnya kualitas pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Indikator:
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Pemberdayaan Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Rehabilitasi Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Perlindungan dan jaminan
Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Penunjang
 Jumlah pelaksanaan advisory managemen (PMPRB)
 Jumlah audit pemeriksaan dengan tujuan terntentu

2. Program Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1
Meningkatnya kualitas penyelenggara kesejahteraan sosial melalui pendidikan,
pelatihan dan penelitian
Indikator:
 Persentase (%) SDM penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meningkat
kapasitasnya sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan kompetensinya
 Persentase (%) hasil penelitian kesejahteraan sosial yang dimanfaatkan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
 Persentase (%) lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki akreditasi dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Sasaran
Termanfaatkannya Basis Data Terpadu (BDT) dalam penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
Indikator:
 Persentase (%) Kabupaten/Kota yang menggunakan Basis Data Terpadu (BDT)
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial

2.1. Program Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Regional (I-VI)


Sasaran:
Terlaksananya pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM
Indikator:
 Persentase (%) Pengembangan Kapasitas Diklat yang sesuai standar
 Persentase (%) infrastruktur/ Sarana Prasarana pengembangan Kapasitas SDM
Jumlah TKSM yang mengikuti diklat yang terstandar
 Jumlah TKSP yang mengikuti diklat yang terstandar

[125]
 Jumlah Rekomendasi Kajian Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan yang
ditindaklanjuti

2.2. Pembinaan Jabatan Fungsional


Pekerja Sosial (Peksos) dan Penyuluh Sosial (Pensos)
Sasaran 1:
Terlaksananya peningkatan kualitas dan kuantitas pejabat fungsional pekerja sosial
dan penyuluh sosial
Indikator:
 Jumlah Pekerja sosial, Penyuluh sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
yang telah mendapatkan sertifikasi.
 Jumlah Pekerja Sosial, penyuluh Sosial dan TKS yang mendapatkan pembinaan.
 Jumlah Peksos, Pensos dan TKS yang mendapatkan penetapan angka kredit
Rekomendasi Kebijakan Bidang Pembinaan, Sertifikasi dan Akreditasi.
Sasaran 2:
Terlaksananya akreditasi LKS
Indikator:
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi
Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

3. Quick Wins
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem data terpadu sebagai basis dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dan pengembangan sistem layanan dan rujukan terpadu bagi
penduduk miskin dan rentan.
Indikator:
 Jumlah rekomendasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang dihasilkan.

4. Pendidikan Tinggi Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya pendidikan, pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM
Indikator:
 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial (kesos) yang terdidik
melalui pendidikan tinggi kesejahteraan sosial (program D IV, dan pasca sarjana
pekerjaan sosial)
 Rekomendasi Hasil Penelitian dan Kerjasama Bidang Pendidikan Tinggi
Kesejahteraan Sosial

5. Program Rehabilitasi Sosial


Sasaran 1:
Meningkatnya akses keluarga miskin dan rentan termasuk anak, penyandang
disabilitas dan lanjut usia serta kelompok marjinal lainnya dalam pemenuhan
kebutuhan dasar

[126]
Indikator:
 Persentase (%) penyandang disabilitas miskin dan rentan yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) lanjut usia miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) anak miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
Sasaran 2:
Meningkatnya akses Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dan SDM Penyelenggara
pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang sesuai dengan standar pelayanan
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang meningkat kapasitasnya
Sasaran 1:
Tersedianya regulasi terkait pengembangan akses lingkungan inklusif bagi
penyandang disabilitas, lanjut usia dan kelompok masyarakat marjinal
Indikator:
 Draft regulasi akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas, lanjut usia
dan kelompok masyarakat marjinal

5.1. Program Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA


Sasaran :
Meningkatnya penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan
Napza
Indikator:
 Jumlah Korban Penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
dalam panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah Korban Penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
luar panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah korban penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan bantuan sosial
Jumlah SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA (orang) Jumlah Lembaga Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA yang telah dikembangkan/dibantu

5.2. Program Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Disabilitas (Kecacatan)


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi peyandang disabilitas
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial didalam
panti sesuai standar pelayanan

[127]
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar panti
(Berbasis Komunitas/Keluarga dan Masyarakat) sesuai standar pelayanan
 Jumlah Penyandang Disabilitas yang mendapat Asistensi Sosial Orang Dengan
Kecacatan Berat
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi Sosial
penyandang disabilitas
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi penyandang disabilitas yang telah
dikembangkan/dibantu
Sasaran 2:
Meningkatnya akses pemenuhan hak dasar bagi penyandang disabilitas
Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak
dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan
hak dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Sasaran 3:
Tersedianya literasi khusus bagi penyandang disabilitas netra (braile)
Indikator:
 Jumlah literatur khusus bagi penyandang disabilitas netra baik cetak maupun
elektronik (kitab suci, buku pelajaran, modul pelatihan, buku cerita)

5.3. Program Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi Tuna Sosial
Indikator:
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial di dalam panti
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar Panti
 Jumlah tuna sosial yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Rehabilitasi Sosial tuna
sosial (orang)
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi tuna sosial yang telah dikembangkan/dibantu

5.4. Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak


Sasaran 1:
Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak balita, anak terlantar/
jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak dengan disabilitas, anak yang
membutuhkan perlindungan khusus.
Indikator
 Jumlah anak balita, anak terlantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam panti

[128]
 Jumlah anak balita, anak terlantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah anak balita, anak terlantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA)
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang telah dikembangkan/dibantu

5.5. Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia


Sasaran 1:
Terlaksananya Pelayanan Sosial Bagi Lanjut Usia
Indikator:
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Sosial di dalam panti
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan pelayanan sosial diluar Panti
 Jumlah Lanjut Usia Terlantar yang mendapat Asistensi Sosial Lanjut Usia
Terlantar
 Jumlah lanjut usia terlantar yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Pelayanan Lanjut Usia
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial lanjut usia yang telah dikembangkan/
dibantu

6. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial


Sasaran 1:
Meningkatnya akses keluarga miskin dan rentan serta pekerja sektor informal dalam
pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) korban bencana alam dan bencana sosial yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar

6.1. Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi korban bencana alam, termasuk
bagi anak, penyandang disabilitas dan lanjut usia
Indikator:
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi Kampung Siaga Bencana yang terbentuk
 Jumlah SDM yang memiliki keterampilan khusus bidang penanggulangan
bencana

[129]
6.2. Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
Terselenggaranya Pemberian bantuan kebutuhan dasar bagi korban bencana sosial
Indikator:
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi keserasian sosial
 Jumlah sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan khusus bidang
penanggulangan bencana sosial

6.3. Quick Wins


Sasaran 1:
Terlaksananya bantuan simpanan tunai bagi keluarga miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah masyarakat yang mendapatkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera

6.4. Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi pekerja migran terlantar dan
Korban Tindak Kekerasan
Indikator:
 Jumlah pekerja migran terlantar yang dipulangkan ke daerah asal
 Jumlah korban tindak kekerasan yang mendapat rehabilitasi psikososial di RPTC
dan LKS
 Jumlah pekerja migran terlantar yang mendapatkan asistensi sosial dalam bentuk
UEP
 Jumlah pendamping (masyarakat) yang meningkat kemampuannya dalam
penanganan KTK dan PMB

6.5. Jaminan Kesejahteraan Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat)


Sasaran 1:
Tersalurkannya bantuan tunai bersyarat bagi masyarakat miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang mendapatkan bantuan tunai bersyarat
PKH

6.6. Quick Wins


Sasaran:
Terlaksananya penyaluran bantuan melalui mekanisme E-payment bagi penduduk
miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang memperoleh bantuan melalui
mekanisme E-payment

[130]
6.7. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos)
Sasaran:
Terselenggaranya Pemberian bantuan iuran asuransi kesejahteraan sosial bagi
pekerja sektor informal miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah pekerja sektor informal miskin dan rentan yang mendapatkan Askesos
Jumlah LPA (Masyarakat) yang meningkat kapasitasnya dalam penyelenggaraan
Askesos

6.8. Pengumpulan dan Pengelolaan Sumber Dana Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya dana hibah dalam negeri oleh masyarakat/lembaga yang
beresiko sosial (mendukung program kementerian terutama swadaya)
Indikator:
 Jumlah SK perizinan yang diterbitkan
 Jumlah hibah dalam negeri yang disalurkan
 Jumlah SDM daerah penyelenggara undian garatis berhadiah yang meningkat
kapasitasnya

7. Program Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan


Sasaran:
Meningkatnya akses keluarga fakir miskin dan rentan terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar dan pemberdayaan ekonomi produktif
Indikator:
 Persentase (%) warga KAT yang menerima bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan perdesaan dan perkotaan yang
menerima pemberdayaan usaha ekonomi produktif
Sasaran 2:
Meningkatnya kualitas penyelenggaraan sosial melalui kelembagaan.
Indikator:
 Persentase (%) kab/kota yang menyelenggarakan Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT).
 Persentase (%) kab/kota yang memiliki pelayanan sosial yang efektif dalam Sistem
Layanan dan Rujukan Terpadu.
Sasaran:
Persentase (%) PSKS yang menyelenggarakan pelayanan sosial sesuai Norma, Standar
Prosedur Kriteria (NSPK).

7.1. Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya penanaman dan pelestarian nilai-nilai kepahlawanan,
keperintisan dan kesetiakawanan sosial oleh masyarakat

[131]
Indikator:
 Jumlah Calon Penerima Gelar Tanda Jasa dan Tanda kehormatan yang diproses
untuk mendapatkan penghargaan
 Jumlah Warakawuri, Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan dan Janda
Perintis Kemerdekaan yang mendapatkan bantuan kesejahteraan.
 Jumlah Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Utama, TMPN, dan Makam
Pahlawan Nasional (MPN) yang Terpelihara
 Jumlah pendamping dan relawan sosial yang mengikuti kegiatan Pengenalan,
Penanaman dan Penghayatan Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan
Kesetiakawanan Sosial
 Jumlah para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan KSN

7.2. Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perdesaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah pendamping yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perdesaan yang mendapat bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah sarana prasarana lingkungan keluarga miskin di perdesaan yang
dibangun/diperbaki

7.3. Quick Wins-Pendampingan Desa


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi
penerima Program Keluarga Produktif dan Sejahtera di wilayah perdesaan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) di perdesaan yang menerima kegiatan
penghidupan berkelanjutan kelompok usaha bersama (KUBe-PKH)

7.4. Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat


Sasaran 1:
Terlaksananya pemberdayaan keluarga dan Masyarakat melalui Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Indikator:
 Jumlah lembaga pelayanan keluarga (FCU dan LK3) yang dikembangkan

[132]
 Jumlah lembaga pendukung penyelenggara kesejahteraan sosial (Karang taruna,
WKSBM, Forum CSR, dan LKS/orsos lain) yang dikembangkan
 Jumlah individu pendukung penyelenggaraan kesejahteraan sosial (PSM, TKSK)
yang dikembangkan

7.5. Quick Wins-Pendampingan Desa


Sasaran 1:
Terbangunnya sistem pelayanan sosial terpadu di desa melalui Pusat
Kesejahteraan Sosial (Puskesos).
Indikator:
Jumlah desa yang telah membangun sistem pelayanan sosial terpadu (PUSKESOS)

7.6. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Sasaran:
Terbangunnya sistem layanan dan rujukan terpadu bagi penduduk miskin dan
rentan
Indikator:
Jumlah Kab/kota yang memiliki sistem layanan dan rujukan terpadu

7.7. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Terlaksananya penyelarasan dan penguatan koordinasi program kemiskinan di
tingkat pusat dan daerah
Sasaran:
 Jumlah Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang memperoleh
pelatihan.
Indikator:
 Jumlah Organisasi Sosial/Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi.
 Jumlah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang memperoleh pelatihan.
 Jumlah Karang Taruna yang memperoleh pelatihan.

7.8. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)


Sasaran 1:
Terpenuhinya Kebutuhan Dasar, Aksesibilitas dan Pelayanan Sosial Dasar Bagi
Warga KAT
Indikator:
 Jumlah warga KAT yang diberdayakan
 Jumlah warga KAT yang mendapatkan bantuan jaminan hidup
 Jumlah Pendamping KAT yang mendapatkan Peningkatan Kapasitas
Pemberdayaan KAT
 Jumlah Laporan Keuangan/Kinerja/Monitoring/Evaluasi/Publikasi/Sosialisasi
serta Kegiatan Pendukung Pelaksanaan Pemberdayaan KAT
 Jumlah Dokumen Perencanaan/Program/Anggaran/Data/Informasi/Kebijakan
Bidang Pemberdayaan KAT

[133]
Sasaran 2:
Terselenggaranya Layanan Perkantoran Bidang Pemberdayaan KAT
Indikator:
 Jumlah Rekomendasi Hasil Analisis, Kajian, Kebijakan Bidang Pemberdayaan
KAT
 Jumlah Buku Pedoman Bidang Pemberdayaan KAT
 Jumlah Sarana Pendukung Bidang Pemberdayaan KAT

7.9. Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perkotaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif Melalui KUBe
 Jumlah pendamping yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk Rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perkotaan yang mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah kelompok masyarakat di perkotaan yang diberdayakan melalui
pembangunan/perbaikan sarana prasarana lingkungan

Catatan :
 Adanya perubahan nomenklatur pada Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial
RI sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015, meliputi pemisahan
Unit Kerja Eselon I, yang sebelumnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan, dipisah menjadi 2 (dua) menjadi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
 Perubahan tempat Unit Kerja Eselon II, Direktorat PSDS yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen pemberdayaan Sosial. Direktorat
Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTK-PM) yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen Rehabilitasi Sosial pada
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

[134]
POLICY BRIEF
USULAN DAK BIDANG SOSIAL PADA RKP 2020

Abstrak
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah
pada Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004 Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan
untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan Perundang-undangan menjadi
urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DAK merupakan dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional yang merupakan dana bersumber dari
pendapatan APBN dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yaitu urusan wajib terkait pelayanan dasar berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang bersifat pelayanan dasar yang merupakan
pelayanan publik untuk pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara dan menjadi
urusan Pemerintahan wajib merupakan kewenangan Daerah.
Karena terjadi perubahan penting PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria
fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan maka
pada tahun 2020 Pusat dalam hal ini Kementerian Sosial tidak dapat menganggarkan
urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah daerah.
Ketika Kementerian Sosial tidak dapat menganggarkan urusan wajib terkait
pelayanan dasar yang merupakan pelayanan publik untuk pemenuhan kebutuhan dasar
yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis pelaksanaan pelayanan dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota dan pada anggaran di
daerah tidak mencukupi untuk penerapan SPM Bidang Sosial maka terjadi kefakuman
pelayanan publik bidang sosial karena pada APBN sudan tidak dianggarkan, sedangkan
pada APBD daerah yang kurang mampu tidak dapat melaksanakan urusan wajib terkait
pelayanan dasar.
Salah satu tugas negara adalah menjamin kesejahteraan masyarakatnya dan
melindungi masyarakatnya dari risiko-risiko yang mungkin timbul. Bagaimana negara
melaksanakan hal tersebut? Tentu saja dengan menggunakan anggaran pendapatan dan
belanja negara yang dialokasikan dengan tujuan spesifik. Khusus untuk penjaminan
kesejahteraan dan perlindungan terhadap risiko sosial, pemerintah memiliki satu pos
yang dinamakan bantuan sosial (Bansos) di dalam APBN. Peruntukan Dana Alokasi
Khusus antara UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, besaran DAK ditetapkan dalam APBN
ditetapkan dalam RKP tahunan.

PENDAHULUAN
Data Hasil Evaluasi Penerapan SPM Bidang Sosial Tahun 2013 yang dilakukan oleh
Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menunjukkan lemahnya penerapan

[135]
SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Kab/Kota diantaranya karena dukungan
anggaran.
Ringkasan Seminar Kajian Implementasi Standar Pelayanan Publik (SPM) untuk
Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar bagi Masyarakat Miskin dan Rentan
Pada tanggal 26 Oktober 2015, Bappenas telah melakukan seminar kajian implementasi
Standar Pelayanan Publik (SPM) untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar
bagi masyarakat miskin dan rentan. Seminar yang bertujuan memaparkan hasil
sementara dan menyempurnakan hasil analisa kajian implementasi SPM. Hasil kajian
diantaranya: kapasitas Stakeholder di daerah yang menangani SPM mengenai mutu, jenis
pelayanan dasar pemahaman bervariasi. Perlu dukungan DAK Bidang Sosial untuk
“Peningkatan Akses Pelayanan Dasar bagi 40% Penduduk Miskin dan Rentan”.
Desentralisasi merupakan penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi dan merupakan pelimpahan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau
kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan
umum.
Tugas Pembantuan merupakan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi.
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) merupakan program prioritas dan
patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada Perangkat Daerah untuk setiap
program sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja
Perangkat Daerah.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD,
RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan
pada Pasal 175, disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka
menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu
indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib
bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada NSPK.
Belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib pelayanan
dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal (SPM) dan berpedoman pada
analisis standar belanja dan standar harga satuan regional. Belanja dana alokasi khusus
(DAK) diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk
kegiatan nonfisik. Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen dana alokasi khusus
(DAK).
Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam rangka untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi
kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Usulan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial berdasarkan lampiran
Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

[136]
KOMPONEN KEGIATAN DAK BIDANG SOSIAL
PROVINSI
 Penyandang Disabilitas Telantar
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Penyandang Disabilitas Telantar di dalam panti merupakan kebutuhan dasar terdiri
atas: permakanan, sandang, asrama yang mudah diakses, alat bantu, perbekalan
kesehatan, bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial, bimbingan keterampilan
hidup sehari-hari, pembuatan nomor induk kependudukan, akses ke layanan
pendidikan dan kesehatan dasar, pelayanan penelusuran keluarga; dan/atau
pelayanan reunifikasi keluarga.
Barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Penyandang Disabilitas Telantar
di dalam panti disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan dan ragam
disabilitas berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
 Anak Telantar
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Anak Telantar di dalam panti merupakan kebutuhan dasar terdiri atas: pengasuhan,
permakanan, sandang, asrama yang mudah diakses, perbekalan kesehatan, bimbingan
fisik, mental spiritual, dan sosial, bimbingan keterampilan hidup sehari-hari,
pembuatan akta kelahiran, nomor induk kependudukan, dan kartu identitas anak,
akses ke layanan pendidikan dan kesehatan dasar, pelayanan penelusuran keluarga,
pelayanan reunifikasi keluarga; dan/atau akses layanan pengasuhan kepada keluarga
pengganti.
Kebutuhan dasar disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan
berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
 Lanjut Usia Telantar
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Lanjut Usia Telantar di dalam panti merupakan kebutuhan dasar terdiri atas:
permakanan, sandang, asrama yang mudah diakses, alat bantu, perbekalan kesehatan,
bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial, bimbingan keterampilan hidup sehari-
hari, fasilitasi pembuatan nomor induk kependudukan, akses ke layanan kesehatan
dasar, pelayanan penelusuran keluarga, pelayanan reunifikasi keluarga; dan/atau
pemulasaraan.
Kebutuhan dasar disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan
berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
 Gelandangan dan Pengemis
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Gelandangan dan Pengemis di dalam panti merupakan kebutuhan dasar terdiri atas:
permakanan, sandang, asrama/cottage yang mudah diakses, perbekalan kesehatan,
bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial, bimbingan keterampilan dasar, fasilitasi
pembuatan nomor induk kependudukan, akta kelahiran, surat nikah, dan/atau kartu
identitas anak, akses ke layanan kesehatan dasar; dan/atau pemulangan ke daerah
asal.
Kebutuhan dasar disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan
berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.

[137]
 Korban Bencana
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Korban Bencana daerah provinsi pada saat tanggap darurat bencana merupakan
kebutuhan dasar terdiri atas: permakanan, sandang, tempat penampungan pengungsi,
penanganan khusus bagi kelompok rentan; dan dukungan psikososial.
Kebutuhan dasar disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan
berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan
Sosial, dan/atau Relawan Sosial.
Penyediaan permakanan dan sandang diberikan paling sedikit dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari sejak terjadinya bencana. Penyediaan tempat penampungan
pengungsi meliputi: pembuatan barak, fasilitas sosial; dan fasilitas umum lainnya.
Penanganan khusus bagi kelompok rentan merupakan penanganan korban
bencana bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, dan Anak.
Pelayanan dukungan psikososial dilakukan melalui: bimbingan dan konsultasi,
konseling, pendampingan; dan/atau rujukan.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Korban Bencana daerah provinsi pada saat tanggap darurat bencana merupakan
kebutuhan dasar terdiri atas: penanganan khusus bagi kelompok rentan dan
pelayanan dukungan psikososial dan disesuaikan dengan kebutuhan penerima
pelayanan berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional, Tenaga
Kesejahteraan Sosial dan/atau Relawan Sosial.
 Standar Jumlah dan Kualitas
Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas: Tenaga Kesejahteraan
Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Penyuluh Sosial; dan Relawan Sosial.
Setiap panti sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja Sosial
Profesional dan Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja
Sosial Profesional dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi pekerjaan sosial.
Untuk perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana Pemerintah Daerah provinsi harus menyiapkan paling sedikit 1 (satu) orang
Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
Standar minimum sarana dan prasarana pelayanan Rehabilitasi Sosial dasar di
dalam panti sosial milik pemerintah daerah provinsi dan masyarakat dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

KABUPATEN/KOTA
Pelayanan Rehabilitasi Sosial dasar di luar panti dilakukan dalam bentuk layanan
Rehabilitasi Sosial dalam keluarga dan masyarakat dilakukan dengan memberikan
dukungan pelayanan/pendampingan kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut
Usia Telantar, Anak Telantar, serta Gelandangan dan Pengemis dalam keluarga dan
masyarakat; dan memberikan bimbingan kepada keluarga dan masyarakat dilaksanakan
oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota, lembaga yang ditetapkan oleh dinas sosial,
dan/atau Pusat Kesejahteraan Sosial. Lembaga yang ditetapkan oleh dinas sosial di
kecamatan atau daerah kabupaten/kota. Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) berada
di desa/kelurahan/nama lain.

[138]
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, Gelandangan, dan
Pengemis di luar panti berupa pelayanan: data dan pengaduan, kedaruratan; dan
pemenuhan kebutuhan dasar.
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Penyandang
Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, Gelandangan, dan Pengemis
disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan hasil asesmen dari
Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, atau Relawan Sosial.
Layanan data merupakan layanan yang diberikan kepada Penyandang Disabilitas
telantar, Anak telantar, Lanjut Usia telantar, Gelandangan, dan Pengemis untuk
diusulkan masuk dalam data terpadu penanganan fakir miskin dan orang tidak mampu.
Layanan pengaduan merupakan sarana untuk menerima dan menindaklanjuti informasi
berupa pengaduan, keluhan, dan/atau pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat
kepada dinas sosial daerah kabupaten/kota dan/atau Pusat Kesejahteraan Sosial
mengenai tidak terpenuhinya kebutuhan dasar.
Layanan data dan pengaduan dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota
dan/atau Pusat Kesejahteraan Sosial. Layanan kedaruratan merupakan tindakan
penanganan segera yang dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan/atau
Pusat Kesejahteraan Sosial kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar,
Lanjut Usia Telantar, Gelandangan, dan Pengemis yang membutuhkan pertolongan
karena terancam kehidupannya dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Layanan pemenuhan kebutuhan dasar meliputi:
 Permakanan diberikan paling lama 7 (tujuh) hari
 Sandang
 Alat bantu
 Perbekalan kesehatan
 Bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial kepada penyandang disabilitas telantar,
anak telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan pengemis
 Bimbingan sosial kepada keluarga penyandang disabilitas telantar, anak telantar,
lanjut usia telantar, gelandangan dan pengemis dan masyarakat
 Fasilitasi Pembuatan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
 Akta kelahiran, surat nikah, dan kartu identitas anak
 Akses ke layanan pendidikan dan kesehatan dasar
 Penelusuran keluarga
 Reunifikasi dan/atau reintegrasi sosial; dan
 Rujukan.
Kebutuhan dasar disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan
hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan/atau
Relawan Sosial.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah kabupaten/kota pada saat tanggap darurat bencana merupakan
kebutuhan dasar berupa: permakanan, sandang, tempat penampungan pengungsi,
penanganan khusus bagi kelompok rentan, dukungan psikososial.
Kebutuhan dasar disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan
hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan/atau
Relawan Sosial.

[139]
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah kabupaten/kota setelah tanggap darurat bencana: penanganan khusus
bagi kelompok rentan; dan pelayanan dukungan psikososial.
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan hasil asesmen
dari Tenaga Kesejahteraan Sosial dan/atau Relawan Sosial

TAHAPAN PENERAPAN SPM BIDANG SOSIAL DI PROVINSI & KAB/KOTA


Tata cara pemenuhan standar pelayanan pada SPM bidang sosial di daerah provinsi
dan kabupaten/kota dilakukan dengan tahapan :
 Pengumpulan dan pengelolaan data
 Penghitungan kebutuhan pemenuhan Pelayanan Dasar
 Penyusunan rencana pemenuhan Pelayanan Dasar; dan
 Pelaksanaan pemenuhan Pelayanan Dasar.

Pengumpulan dan Pengelolaan Data dengan ketentuan:


 Pemda kabupaten/kota melakukan pengumpulan dan pengelolaan data; dan
 Pemda provinsi melakukan pengelolaan data.

Pengumpulan dan pengelolaan data meliputi:


 Data penerima Pelayanan Dasar;
 Data sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial; dan
 Data sarana dan prasarana Pelayanan Dasar.

Pengumpulan dan pengelolaan data dinas sosial daerah kabupaten/kota dilaksanakan


dengan kegiatan :
 Persiapan pelaksanaan verifikasi dan validasi data;
 Bimbingan teknis kepada petugas pelaksana verifikasi dan validasi data;
 Pelaksanaan verifikasi dan validasi data di lapangan;
 Monitoring kualitas data hasil verifikasi dan validasi data; dan
 Pengolahan data hasil verifikasi dan validasi serta pengesahan data daerah
kabupaten/kota.

Pengelolaan data dinas sosial daerah provinsi dilaksanakan dengan kegiatan :


 Koordinasi perencanaan dan penganggaran pelaksanaan verifikasi dan validasi data;
 Mengumpulkan, merekapitulasi, mengolah data hasil verifikasi dan validasi dari
daerah kabupaten/kota serta pengesahan data; dan
 Memantau pelaksanaan verifikasi dan validasi daerah kabupaten/kota.

Pengumpulan dan pengelolaan data dilaksanakan sesuai dengan ketentuan


peraturan Perundang-undangan mengenai verifikasi dan validasi data terpadu
penanganan fakir miskin dan orang tidak mampu.
Pengumpulan dan pengelolaan data penerima Pelayanan Dasar dilakukan oleh
bagian yang bertanggung jawab terhadap verifikasi dan validasi data fakir miskin dan
orang tidak mampu di dinas sosial daerah kabupaten/kota dan dinas sosial daerah
provinsi.

[140]
Pengumpulan dan pengelolaan data ditujukan kepada Penyandang Disabilitas
Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, Gelandangan, Pengemis, dan Korban
Bencana ditetapkan dan diterapkan berdasarkan prinsip kesesuaian kewenangan,
ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, dan ketepatan sasaran.
Hasil pengumpulan dan pengelolaan data yang dilakukan oleh dinas sosial daerah
kabupaten/kota dan dinas sosial daerah provinsi dilakukan melalui sistem informasi
kesejahteraan sosial atau sistem pembangunan daerah yang berintegrasi dengan sistem
informasi kesejahteraan sosial.
Pengumpulan dan pengelolaan data sumber daya manusia penyelenggara
kesejahteraan sosial dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan daerah
provinsi sesuai dengan kewenangannya.
Pengumpulan dan pengelolaan data sarana dan prasarana Pelayanan Dasar
dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan daerah provinsi sesuai dengan
kewenangannya.
Data sarana dan prasarana Pelayanan Dasar terdiri atas: Panti Sosial dan Pusat
Kesejahteraan Sosial. Data dilakukan pemutakhiran paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.

Penghitungan Kebutuhan Pemenuhan Pelayanan Dasar


Rumus :

X = Jumlah Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lansia Telantar, Gelandangan


dan Pengemis di dalam/luar panti yang terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Y = Populasi Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lansia Telantar,


Gelandangan dan Pengemis di daerah provinsi dan kab/kota yang membutuhkan
rehabilitasi sosial dasar di dalam/luar panti.

Rumus :
X = Jumlah korban bencana alam dan sosial provinsi dan kab/kota yang terpenuhi
kebutuhan dasarnya.
Y = Populasi korban bencana alam dan sosial di daerah provinsi dan kab/kota yang
membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap
darurat bencana provinsi dan kab/kota.

Penghitungan kebutuhan Pelayanan Dasar dilakukan dengan menghitung selisih


antara jumlah barang dan/atau jasa yang dibutuhkan dengan yang tersedia, termasuk
sarana prasarana yang dibutuhkan dengan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia.
Dinas sosial daerah kabupaten/kota dan daerah provinsi melakukan penghitungan
kebutuhan Pelayanan Dasar sebagai berikut :
 Jumlah sarana dan prasarana yang dimiliki daerah sesuai dengan tiap jenis pelayanan;
 Jumlah sarana dan prasarana yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan minimal
penerima tiap jenis pelayanan;

[141]
 Jumlah penerima SPM sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam peraturan
menteri ini;
 Jumlah barang dan jasa yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah penerima SPM;
 Jumlah sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial yang dimiliki daerah
sesuai dengan tiap jenis pelayanan;
 Jumlah sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial yang dibutuhkan
daerah sesuai dengan tiap jenis pelayanan;
 Besaran biaya yang dibutuhkan atas barang dan jasa sesuai dengan jumlah penerima
SPM;
 Besaran biaya yang dibutuhkan atas sarana dan prasarana; dan
 Analisis kemampuan dan potensi fiskal daerah.

Penentuan besaran biaya yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan


Perundang-undangan mengenai standar biaya daerah. Hasil penghitungan kebutuhan
Pelayanan Dasar menjadi dasar dalam penyusunan rencana pemenuhan Pelayanan
Dasar.

Penyusunan Rencana Pemenuhan Pelayanan Dasar


Penyusunan rencana pemenuhan Pelayanan Dasar dilakukan oleh pemerintahan
daerah agar Pelayanan Dasar tersedia secara cukup dan berkesinambungan. Rencana
pemenuhan Pelayanan Dasar ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan
penganggaran pembangunan daerah sebagai prioritas belanja daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Pemerintahan daerah menyusun rencana pemenuhan Pelayanan Dasar dan
menuangkannya kedalam dokuman rencana pembangunan jangka menengah daerah dan
rencana kerja Pemerintah Daerah.
Dinas sosial daerah kabupaten/kota dan daerah provinsi menyusun rencana
pemenuhan Pelayanan Dasar dan menuangkannya kedalam dokuman Rencana Strategis
dan Rencana Kerja.
Dinas sosial daerah kabupaten/kota dan daerah provinsi melaksanakan
pemenuhan Pelayanan Dasar melalui penyelenggaraan program dan kegiatan
pemenuhan Kebutuhan Dasar dalam menyediakan barang dan/atau jasa yang
dibutuhkan dengan terlebih dahulu menyesuaikan dengan kondisi riil daerah.

Pelaksanaan Pemenuhan Pelayanan Dasar


Pelaksanaan pemenuhan Pelayanan Dasar dilakukan sesuai dengan rencana
pemenuhan Pelayanan Dasar, dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan menyediakan
barang dan/atau jasa yang dibutuhkan; dan/atau melakukan kerjasama daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Pelaporan
Bupati/walikota menyusun dan menyampaikan laporan umum tahunan kinerja
penerapan dan pencapaian SPM kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri melalui gubernur dan tembusan disampaikan
kepada Menteri.

[142]
Gubernur menyampaikan laporan umum tahunan kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang sosial daerah provinsi dan laporan penerapan dan pencapaian
SPM bidang sosial daerah kabupaten/kota dan ringkasannya kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri dan tembusan
disampaikan kepada Menteri.
Materi muatan laporan penerapan SPM terdiri atas :
 Hasil penerapan SPM bidang sosial;
 Kendala penerapan SPM bidang sosial;
 Perhitungan pembiayaan pemenuhan kebutuhan Pelayanan Dasar SPM bidang sosial
 Ketersediaan anggaran dalam penerapan SPM bidang sosial.
Selain materi muatan laporan penerapan SPM bidang sosial daerah provinsi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mencantumkan rekapitulasi penerapan
SPM daerah kabupaten/kota.
Hasil pelaporan digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk :
 Penilaian kinerja perangkat daerah;
 Pengembangan kapasitas daerah dalam peningkatan pelaksanaan pemenuhan
pelayanan dasar bidang sosial; dan
 Penyempurnaan kebijakan penerapan SPM bidang sosial dalam perencanaan dan
penganggaran pembangunan daerah.

Pembinaan dan Pengawasan


Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM bidang sosial
daerah provinsi secara teknis.
Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan SPM
Bidang Sosial daerah provinsi oleh perangkat daerah provinsi.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusatmelaksanakan pembinaan dan
pengawasan penerapan SPM bidang sosial daerah kabupaten/kota.
Bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM
bidang sosial daerah kabupaten/kota oleh perangkat daerah kabupaten/kota.
PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, dengan Substansi yang diatur diantaranya :
• Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yaitu Inspektorat jenderal kementerian,
unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat provinsi, dan
inspektorat kabupaten/ kota.
• Pembinaan umum diantaranya: kelembagaan daerah, kepegawaian Perangkat Daerah,
keuangan daerah, Pembinaan dan Pengawasan Teknis:
• Capaian Standar Pelayanan Minimal atas pelayanan dasar;
• Ketaatan terhadap Peraturan per-UU-an Pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan
kriteria, (NSPK) Urusan Konkuren yang ditetapkan Pusat.

Deskripsi Masalah
Karena terjadi perubahan penting PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria
fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan maka

[143]
pada tahun 2020 Pusat dalam hal ini Kementerian Sosial tidak dapat menganggarkan
urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah daerah.

Ketika Kementerian Sosial tidak dapat menganggarkan urusan wajib terkait


pelayanan dasar yang merupakan pelayanan publik untuk pemenuhan kebutuhan dasar
yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis pelaksanaan pelayanan dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota dan pada anggaran di
daerah tidak mencukupi untuk penerapan SPM Bidang Sosial maka terjadi kefakuman
pelayanan publik bidang sosial karena pada APBN sudan tidak dianggarkan, sedangkan
pada APBD daerah yang kurang mampu tidak dapat melaksanakan urusan wajib terkait
pelayanan dasar.

ANALISIS
Dilema Dana Hibah
Masyarakat luas mungkin masih ada yang bertanya, bagaimana sebenarnya
keberadaan Dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) yang dianggarkan dalam anggaran
pembangunan dan belanja daerah. Berdasarkan PP No.2 Tahun 2012 tentang Hibah
Daerah, adalah pemberian dengan pengalihan hak atas suatu dari pemerintah atau pihak
lain kepada Pemda atau sebaliknya, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya
dan dilakukan melalui perjanjian. Sedangkan Bansos adalah transfer uang atau barang
yang diberikan pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Perubahan Kebijakan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah dan perubahan penting PP No. 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan
dengan kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi
berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan
pemerintahan. Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren selain kegiatan pembinaan
dan pengawasan serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan
TP kepada daerah harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan
oleh Mendagri (Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk pelaksanaannya).
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU 23/2014 dan perubahan dari PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan berdasarkan urusan,
konsekuensinya anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari Pusat ke
Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke Gubernur.

[144]
Kebijakan Penganggaran Dana Alokasi Khusus (DAK)
Mekanisme Pengalokasian DAK Fisik
 Pada bulan April dilakukan penetapan bidang/subbidang/menu kegiatan dan
format/template usulan Dana Alokasi Khusus (DAK).
 Pada bulan Mei dilakukan pemberitahuan kepada Pemda dan penyusunan dan
penyampaian usulan DAK oleh Pemda
 Pada bulan Agustus sampai Desember dilakukan penentuan Pagu Per Bidang/
SubBidang/SubJenis dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara
(RAPBN).

REKOMENDASI
 Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan untuk mendukung penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pendidikan dengan Bantuan sosial melalui
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan peruntukkan untuk komponen fisik
sekolah dan non fisik untuk tenaga pendidik non Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
bantuan buku serta alat tulis sekolah untuk siswa didik miskin.
 Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan untuk mendukung penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan dengan dengan Bantuan sosial melalui
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dengan peruntukkan untuk komponen fisik
alat kesehatan (Alkes) bagi Puskesmas di Kecamatan dan Puskesmas Pembantu di
desa/kelurahan. Sedangkan non fisik untuk tenaga pelayanan kesehatan (Yankes) bagi
non Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bantuan obat-obatan bag penduduk miskin dan
rentan.
 Amanah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 298 Belanja
daerah diprioritaskan untuk membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan didukung oleh Dana
Alokasi Khusus (DAK) berupa fisik dan dapat berupa non fisik.
 Salah satu penilaian Reformasi Birokrasi adalah “Ketaatan terhadap Peraturan
Perundang-undangan. Amahan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal diantaranya adalah bidang sosial dan ditindaklanjuti dengan Permendagri
No. 100 Tahun 2018 tentang Penerpan SPM serta Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi
dan di Daerah Kabupaten/Kota.
 DAK Bidang Sosial yang akan diusulkan untuk masuk dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2020 yang merupakan amanah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda dan peruntukkannya untuk mendukung penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial dengan bantuan sosial melalui Bantuan Operasional
Kesejahteraan Sosial (BOKS) dengan peruntukkan untuk komponen DAK Fisik bagi
Panti di Provinsi dan di Kabupaten/Kota berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Layanan dan Rujukan Terpadu serta Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS)
di desa/kelurahan dan non fisik untuk Pekerja Sosial Profesional pada setiap Panti
milik Pemda Provinsi dan milik masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial non Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yaitu relawan sosial dan bantuan sosial bagi Penyandang
Disabilitas Telantar berdasarkan ragam dissabilitas sesuai UU No. 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, Gelandangan
dan Pengemis serta Perlindungan Sosial bagi Korban Bencana alam dan sosial.

[145]
 Berdasarkan laporan penerapan SPM Bidang Sosial tahun 2013 oleh Kemendagri dan
hasil kaji cepat pelaksanaan SPM di daerah oleh Otda, Bappenas tahun 2014
menyebutkan urutan permasalahan pelaksanaan SPM di daerah dengan aspek
koordinasi, pendanaan, kelembagaan, manajemen, dukungan politik, dukungan
kebijakan, dan aspek sosialisasi.
 Evaluasi SPM Bidang Sosial di 6 Provinsi tahun 2015 oleh Direktorat Perlindungan dan
Kesejahteraan Masyarakat BAPPENAS pada tanggal 17 September 2015 kurangnya
dukungan pendanaan dan evaluasi tata laksana (business process) berfokus pada
penerapan SPM Bidang Sosial mencakup kegiatan, aspek kelembagaan dan koordinasi
pusat-provinsi-kabupaten/kota.
 Penetapan indikator kinerja Kunci dalam RPJMD bertujuan untuk memberi gambaran
tentang ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi KDH, ditunjukan dari
akumulasi pencapaian indikator outcome program pembangunan daerah setiap tahun
atau indikator capaian yang bersifat mandiri setiap tahun sehingga kondisi kinerja
yang diinginkan pada akhir periode RPJMD dapat dicapai dan dirumuskan dengan
mengambil indikator dari program prioritas yang telah ditetapkan.
 Indikator yang telah dikembangkan SKPD secara mandiri berdasarkan hasil analisis
standar kebutuhan pelayanan sesuai tugas dan fungsi SKPD tersebut. Indikator SDG’s
ataupun indikator lain yang telah diratifikasi oleh Pemerintah yang sesuai tugas dan
fungsi SKPD berkenaan. Lebih terjaminnya penyediaan pelayanan publik yang
disediakan oleh Pemda kepada masyarakat.

Referensi
 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas
Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 101 Tahun 2018 tentang Standar Teknis
Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Daerah
Kabupaten/Kota.

Jakarta, Januari 2019


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[146]
LAMPIRAN

SPM BIDANG SOSIAL PERHITUNGAN PEMBIAYAAN DALAM APBD DENGAN


KOMPONEN & SUB KOMPONEN
PERMENSOS No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar
SPSM Bidang Sosial Di Daerah Provinsi & Di Daerah Kab/Kota

Sasaran dan Indikator Kinerja


Sasaran dan Indikator Kinerja Program (Outcome)
Kegiatan (Output)
Formula/ Rumus/ Formula/ Rumus/
Indikator Penerima/
Manual Indikator/ Indikator Kegiatan Manual Indikator/
Program Populasi
Penjelasan Penjelasan

Persentase (%) Populasi Jumlah Jumlah Paket layanan 1. Jumlah


penyandang Penyandang penyandang penyandang data dan layanan data dan
disabilitas disabilitas disabilitas disabilitas pengaduan dikali pengaduaan
terlantar, anak terlantar, anak terlantar, anak terlantar, anak 1 tahun yang dimiliki
terlantar, lanjut terlantar, lanjut terlantar, lanjut terlantar, lanjut Jumlah data 2. Jumlah data
usia terlantar usia terlantar, dan usia terlantar, usia terlantar dan yang diusulkan penyandang
dan gepeng yang dan gepeng gepeng yang dalam 1 tahun disabilitas
gelandangan membutuhkan yang yang yang terlantar, anak
pengemisyang layanan terpenuhi memanfaatkan terlantar, lanjut
terpenuhi rahabilitasi sosial kebutuhan layanan data dan usia terlantar dan
kebutuhan di luar panti dasarnya di luar pengaduan, gepeng yang
dasarnya di luar (Jumlah data panti selama 1 diusulkan untuk
panti (Indikator disabilitas terlantar (satu) tahun masuk dalam
SPM) hasil verifikasi + anggaran dibagi data terpadu FM
Data Tambahan populasi dikali dan OTM
hasil aduan) 100% (seratus Jumlah Paket 1. Jumlah Tim
penyandang pembentukan Reaksi Cepat
disabilitas TRC (TRC) yang
terlantar, anak dibentuk
terlantar, lanjut
usia terlantar dan
gepeng yang
yang menerima
layanan
kedaruratan
Jumlah yang 2.Jumlah
dijangkau dalam penyandang
1 tahun disabilitas
terlantar, anak
terlantar, lanjut
usia terlantar dan
gepeng yang
dijangkau
Jumlah 3. Jumlah
kendaraan kendaraan roda
layanan empat yang
kedaruratan akses khusus
layanan
kedaruratan yang
dimiliki
permakanan Jumlah 1.Jumlah
penyandang penyandang
disabilitas disabilitas
terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng yang gepeng yang
menerima menerima paket
permakanan permakanan
dikali jumlah hari sesuai standar
dikali index gizi
permakanan
perorang perhari
dalam 1 tahun
Jumlah rumah 2. Jumlah rumah
singgah/shelter/t singgah/shelter/
empat tinggal tempat tinggal
sementara sementara yang

[147]
sesuai standar dimiliki sesuai
standar
sandang Jumlah 1. Jumlah
penyandang penyandang
disabilitas disabilitas
terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng dikali gepeng yang
paket sandang menerima paket
dikali indek sandang
sandang
perorang
Alat Bantu 1.Jumlah
penyandang
disabilitas
terlantar, anak
terlantar, lanjut
paket usia terlantar dan
penyediaan alat gepeng yang
bantu memanfaatkan
alat bantu
2. Jumlah alat
bantu yang
tersedia di rumah
singgah/shelter
Perbekalan 1. Jumlah paket
kesehatan perbekalan
kesehatan yang
tersedia
2.Jumlah
penyediaan
penyandang
Paket perbekalan
disabilitas
kesehatan dikali
terlantar, anak
4 kegiatan dalam
terlantar, lanjut
1 tahun
usia terlantar dan
gepeng yang
memanfaatkan
paket perbekalan
kesehatan
Jumlah tenaga 3. Jumlah tenaga
kesehatan yang kesehatan yang
disediakan di disediakan di
rumah singgah rumah singgah
dikali indeks
dikali jumlah
kunjungan
Bimbingan 1. Jumlah 1. Jumlah
fisik,mental pekerja sosial pekerja sosial
spiritual dan sosial profesional dikali profesional
indeks honor dan/atau TKS
perbulan dan/atau relawan
2. Jumlah TKS sosial yang
dan/atau relawan disediakan
sosial dikali tali
asih per bulan
3. Jumlah
petugas dikali
jumlah kunjungan
dikali indeks
transport
Paket bimbingan 2.Jumlah
fisik, mental dan penyandang
sosial dikali disabilitas
jumlah kegiatan terlantar, anak
pertahun terlantar, lanjut
usia terlantar dan
gepeng yang
mendapatkan
bimbingan fisik,
mental dan sosial
sesuai standar di
keluarga,
masyarakat, Dinas
Sosial, Rumah
Singgah /Shelter
dan/ atau pusat

[148]
kesejahteraan
sosial
Bimbingan sosial Paket bimbingan 1. Jumlah
kepada keluaraga sosial yang bimbingan sosial
dan masyarakat dilaksanakan yang
kepada keluarga dilaksanakan
dan masyarakat kepada keluarga
dan masyarakat
Fasilitasi Jumlah 1. Jumlah
pembuatan penyandang penyandang
dokumen disabilitas disabilitas
kependudukan terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng dikali gepeng yang
paket fasilitasi difasilitasi untuk
pembuatan mendapatkan
dokumen dokumen
kependudukan kependudukan
Akses layanan Jumlah 1. Jumlah
pendidikan dan penyandang penyandang
kesehatan dasar disabilitas disabilitas
terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng dikali gepeng yang
kegiatan akses mendapatkan
layanan akses layanan
pendidikan dan pendidikan dan
kesehatan dasar kesehatan dasar
dalam 1 tahun
Layanan Jumlah 1.Jumlah
penelusuran penyandang penyandang
keluaraga disabilitas disabilitas
terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng dikali gepeng yang
kegiatan layanan mendapatkan
penelusuran layanan
keluarga dalam 1 penelusuran
tahun keluarga
Reunifikasi Jumlah 1.Jumlah
keluarga penyandang penyandang
disabilitas disabilitas
terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng dikali gepeng yang
kegiatan direunifikasi
reunifikasi dengan keluarga
keluarga dalam 1
tahun
Rujukan Jumlah 1.Jumlah
penyandang penyandang
disabilitas disabilitas
terlantar, anak terlantar, anak
terlantar, lanjut terlantar, lanjut
usia terlantar dan usia terlantar dan
gepeng dikali gepeng yang
kegiatan rujukan dirujuk
dalam 1 tahun
Bencana

Persentase Jumlah korban Permakanan Jumlah korban 1. Jumlah korban


korban bencana bencana alam bencana yang bencana yang
alam dan sosial dan sosial yang menerima mendapat
yang terpenuhi terpenuhi permakanan makanan
kebutuhan kebutuhan dikali jumlah
dasarnya pada dasarnya dalam kejadian dikali
saat dan setelah satu tahun hari dikali index
tanggap darurat anggaran dibagi permakanan
bencana daerah populasi korban perorang perhari
Kabupaten/ Kota bencana alam dalam 1 tahun

[149]
dan sosial di Sandang Jumlah korban Jumlah korban
daerah bencana yang bencana yang
Kabupaten/ Kota menerima paket menerima paket
yang sandang dikali sandang
membutuhkan jumlah kejadian
perlindungan dan dikali indek
jaminan sosial sandang
pada saat dan perorang
setelah tanggap
darurat bencana Tempat Paket Jumlah tempat
daerah penampungan penyediaan penampungan
Kabupaten/ Kota pengungsi tempat pengungsi yang
dikali 100 persen penampungan dimiliki
pengungsi sesuai
standar
Penanganan Jumlah Jumlah paket
khusus bagi kelompok rentan permakanan
kelompok rentan korban bencana khusus bagi
yang menerima kelompok rentan
paket bahan
permakanan
khusus dikali
jumlah kejadian
dikali index
permakanan
khusus perorang
dalam 1 tahun
Pelayanan Jumlah korban Jumlah korban
Dukukngan bencana yang bencana yang
Psikososial memerulkan LDP meneriman
x paket pelayanan
dukungaan dukungan
psikososial x psikososial
jumlah kejadian x
indeks
Jumlah Pekerja
Sosial Jumlah Pekerja
Profesional/ Sosial
tenaga Profesional/tenag
kesejahteraan a kesejahteraan
sosial dan/atau sosial dan/atau
relawan sosial x relawan sosial
jumlah kejadian x yang tersedia
indeks

[150]
POLICY BRIEF
BANTUAN SOSIAL BAGI GELANDANGAN & PENGEMIS
MELALUI LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Abstrak
Pertemuan dengan Warga Binaan Sosial (WBS) Desaku Menanti Kabupaten
Karangasem Bali dalam rangka pemberian bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
Kemandirian yang diberikan langsung oleh Direktur Rehabilitasi Sosial dan Tuna Sosial
dengan dihadiri oleh Bupati Karangasem Bali, Sekretaris Daerah dan unsur Dinas Sosial
Provinsi Bali, Dinas Sosial Kabupaten Karangasem dan Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) Pemda Kab. Karangasem pada 29 Desember 2018 dengan bantuan stimulan
dengan hasil terbangunnya rumah bagi 50 (lima puluh) keluarga gepeng dan Usaha
Ekonomi Produktif (UEP).
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 16 Pemerintah Pusat dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota berwenang untuk menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam rangka penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pelayanan publik kepada masyarakat miskin dan rentan merupakan amanah UU
No. 11 Tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 melalui rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dengan jenis
pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar pada kegiatan Asistensi Sosial Tuna Sosial
(ASTS) melalui LKS.
Dengan dasar perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dari fisik dan non fisik menjadi berdasarkan kewenangan urusan
pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota, pelayanan publik bagi gepeng
melalui program dan kegiatan “Desaku Menanti” tidak dapat lagi dianggarkan oleh
pemerintah pusat yang menangani urusan pemerintahan bidang sosial dan akibatnya
terjadi “Kekosongan Hukum” dalam melaksanakan kewajiban negara kepada gepeng
yang merupakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan merupakan
“Penduduk miskin dan rentan” untuk mendapatkan hak dan kebutuhan dasar.
Perlu segera menyusun NSPK Peraturan Menteri Sosial tentang bantuan sosial bagi
tuna sosial gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
sehingga tidak terjadi kekosongan pelayanan publik bagi gepeng yang merupakan
urusan pemerintah bidang sosial dan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Perlu perubahan alokasi anggaran bantuan sosial bagi tuna sosial gelandangan dan
pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dari anggaran dekonsentrasi dan
tugas pembantuan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial dengan
peruntukan bantuan sosial bagi gepeng melalui LKS.

PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi wewenangan

[151]
Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada
urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren,
dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan pemerintahan umum. Urusan
pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang
terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi
berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala
pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai kepala pemerintahan
kabupaten/kota.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal,
serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebut dengan urusan
pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan bersama
(konkuren) wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD,
RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan
pada Pasal 175, disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka
menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu
indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib
bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada NSPK.
Perencanaan Pembangunan Daerah pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda, Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen

[152]
perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal 263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD dan
RKPD.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam rangka untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi
kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Deskripsi Masalah
Dana hibah atau bansos, dilema atau anugerah?
Berdasarkan PP No.2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, adalah pemberian dengan
pengalihan hak atas suatu dari pemerintah atau pihak lain kepada Pemda atau
sebaliknya, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui
perjanjian. Sedangkan Bansos. transfer uang atau barang yang diberikan pemerintah
pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko
sosial (Permendagri No.32 Tahun 2011 tentang Pedoman Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari APBD).
Pasal 34 UUD 1945 Amandemen, bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara. Rencana pembangunan jangka panjang nasional diwujudkan
dalam visi, misi dan arah pembangunan nasional yang mencerminkan cita-cita kolektif
yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi untuk mencapainya. Visi
merupakan penjabaran cita-cita berbangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu terciptanya
masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas serta berkeadilan.
Salah satu tugas negara adalah menjamin kesejahteraan masyarakatnya dan
melindungi masyarakatnya dari risiko-risiko yang mungkin timbul. Bagaimana negara
melaksanakan hal tersebut?
Tentu saja dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
dialokasikan dengan tujuan spesifik. Khusus untuk penjaminan kesejahteraan dan
perlindungan terhadap risiko sosial, pemerintah memiliki satu pos yang dinamakan
Bantuan Sosial (Bansos) di dalam APBN.
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Pada Kebijakan Bantuan
Sosial Pada Kementerian/Lembaga yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia,
yang pada intinya menyebutkan bahwa program bantuan sosial yang ada saat ini
memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan, serta
merekomendasikan untuk menghentikan pendanaan bantuan sosial melalui
Kementerian/Lembaga teknis, dan memusatkan belanja bantuan sosial pada Kementerian
Sosial, dan mendesain ulang/menetapkan Grand Design penyelenggaraan bantuan sosial
dalam jangka panjang, menengah dan pendek, termasuk pembangunan Basis Data
Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan keluarga)”, serta
perbaikan peraturan perundangan.
Permendagri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendagri No.
32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, pada Pasal 6 ayat (5) Hibah kepada badan
dan lembaga diberikan kepada badan dan lembaga yang bersifat yang telah memiliki

[153]
surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota
atau kelompok masyarakat sesuai dengan kewenangannya.

Akuntansi Pengeluaran Pemerintah


Tidak ada perluasan definisi tentang belanja bantuan sosial baik yang terdapat pada
PP No. 45/2013, PMK 81/PMK.05/2012, maupun tentang Bultek 10 SAP. Tidak ada
pengaruh langsung atas penambahan frase meningkatkan kemampuan ekonomi dan/
atau kesejahteraan masyarakat pada definisi tersebut terhadap pencatatan/akuntansi.
Perlakuan akuntansi belanja bantuan sosial sudah cukup jelas, yaitu dicatat debagai
realisasi belanja, serta untuk belanja bantuan sosial yang disalurkan dalam bentuk
barang, jika sampai dengan tanggal pelaporan barang tersebut belum disalurkan kepada
penerima maka perlu dicatat sebagai persediaan. Jika terdapat suatu kegiatan yang
dianggarkan di belanja bantuan sosial namun tidak sesuai dengan kriteria belanja
bantuan sosial, yang menjadi masalah apabila sasaran belanja bantuan sosial yang kurang
sesuai dengan kriteria peruntukan belanja bantuan sosial dapat diminimalisasi dengan
Petunjuk Tata Kelola Pelaksanaan Belanja Bantuan Sosial pada masing-masing
Kementerian Negara/Lembaga yang mengacu kepada PMK No. 81/PMK.05/2012.
Pelaksanaan akuntansi berbasis aktual pada tahun 2015, mempengaruhi pencatatan
beban bantuan sosial pada Laporan Operasional K/L. Dalam hal ini pencatatan beban
perlu disesuaikan jika memang penyaluran belanja bantuan sosial baik dalam bentuk
uang maupun barang ternyata belum diterima oleh penerima bantuan sampai dengan
tanggal pelaporan.
Klasifikasi ekonomi atas pengeluaran pemerintah di APBN juga sangat penting,
maka postur APBN dalam format klasifikasi ekonomi (e-account) menjadi salah satu hal
yang dibahas, bahkan sampai dengan menetapkan berapa seharusnya belanja modal,
belanja bantuan sosial dan sebagainya pada APBN yang dipatok atau ditetapkan baru
kemudian Program dan Kegiatan untuk mencapai output dan outcome-nya, namun
sebaliknya Program dan Kegiatan untuk mencapai output dan outcome-nya yang
ditetapkan terlebih dahulu sehingga penggunaan jenis belanja dapat dilakukan sesuai
dengan definisi dan kriteria masing-masing jenis belanja. Pemasalahan terkait dengan
belanja bantuan sosial itu ada beberapa hal :
 Tidak konsistennya pengalokasian anggaran dan pelaksanaannya akibat tidak
terpenuhinya kriteria yang ditetapkan dalam suatu jenis belanja, seperti pengalokasian
belanja Bansos yang penerimanya tidak memenuhi kriteria risiko sosial, atau jenis
kegiatan yang relatif sama namun dibebankan pada akun yang berbeda.
 Keterlambatan pemanfaatan dana Bansos yang belum disalurkan oleh Lembaga
Penyalur.
 Keterlambatan penerbitan pedoman umum dan petunjuk teknis pada masing-masing
K/L.
 Pengadaan barang dan jasa untuk bantuan sosial yang tidak memenuhi persyaratan.
Perlu diperbaiki pengaturan dan pedoman yang bisa ditetapkan oleh Kemenkeu.
Dalam PMK No. 228/PMK.05/2016 biaya penyaluran bantuan sosial dialokasikan
secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan besaran alokasi belanja bantuan
sosial, jangka waktu penyaluran, jumlah penerima bantuan sosial dan sebaran wilayah
penerima bantuan sosial dan PPK melakukan seleksi dan pemutakhiran data penerima
bantuan sosial atau lembaga nonpemerintah berdasarkan kriteria/persyaratan yang telah

[154]
ditetapkan di dalam petunjuk teknis pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja
bantuan sosial.
Penggunaan dari dana bantuan sosial ini ditujukan untuk kegiatan rehabilitasi
sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan
kemiskinan, serta penanggulangan bencana.

REKOMENDASI
 Pelayanan publik kepada masyarakat miskin dan rentan merupakan amanah UU No.
11 Tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 melalui rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dengan jenis
pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar pada kegiatan Asistensi Sosial Tuna Sosial
(ASTS) melalui LKS.
 Dengan dasar perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dari fisik dan non fisik menjadi berdasarkan kewenangan urusan
pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota, pelayanan publik bagi gepeng
melalui program dan kegiatan “Desaku Menanti” tidak dapat lagi dianggarkan oleh
pemerintah pusat yang menangani urusan pemerintahan bidang sosial dan akibatnya
terjadi “Kekosongan Hukum” dalam melaksanakan kewajiban negara kepada gepeng
yang merupakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan merupakan
“Penduduk miskin dan rentan” untuk mendapatkan hak dan kebutuhan dasar.
 Perlu segera menyusun NSPK Peraturan menteri Sosial tentang bantuan sosial bagi
tuna sosial gelandangan dan pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
sehingga tidak terjadi kekosongan pelayanan publik bagi gepeng yang merupakan
urusan pemerintah bidang sosial dan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
 Perlu perubahan alokasi anggaran bantuan sosial bagi tuna sosial gelandangan dan
pengemis melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dari anggaran dekonsentrasi
dan tugas pembantuan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial dengan
peruntukan bantuan sosial bagi gepeng melalui LKS.
 Penetapan Indikator Kinerja Kunci (IKK) dalam RPJMD bertujuan untuk memberi
gambaran tentang ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi KDH dari sisi
keberhasilan penyelenggaraan Pemda, khususnya dalam memenuhi kinerja pada
aspek kesejahteraan, layanan, dan daya saing.
 IKK ditunjukan dari akumulasi pencapaian indikator outcome program pembangunan
daerah setiap tahun atau indikator capaian yang bersifat mandiri setiap tahun
sehingga kondisi kinerja yang diinginkan pada akhir periode RPJMD dapat dicapai
dan secara teknis pada dasarnya dirumuskan dengan mengambil indikator dari
program prioritas yang telah ditetapkan (outcomes) atau kompositnya (impact)
dirumuskan berdasarkan hasil analisis pengaruh dari satu atau lebih indikator capaian
kinerja program (outcome) terhadap tingkat capaian indikator kinerja daerah berkenaan
yang mencerminkan keberhasilan penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. SKPD
menggunakan indikator dalam Lamp. I Permendagri ini yang sesuai tugas dan fungsi
SKPD berkenaan.
 Indikator yang telah dikembangkan SKPD secara mandiri berdasarkan hasil analisis
standar kebutuhan pelayanan sesuai tugas dan fungsi SKPD tersebut. Indikator SDG’s
ataupun indikator lain yang telah diratifikasi oleh Pemerintah yang sesuai tugas dan

[155]
fungsi SKPD berkenaan. Lebih terjaminnya penyediaan pelayanan publik yang
disediakan oleh Pemda kepada masyarakat.

Referensi
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan Atas
PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/
Lembaga
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas
Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Jakarta, Desember 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[156]
POLICY BRIEF
PERAN & FUNGSI BALAI DIKLAT KEMENTERIAN TEKNIS
DI ERA OTONOMI DAERAH

Abstrak
UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian dan Peraturan Presiden No. 46 Tahun
2005 tentang Kementerian Sosial yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Sosial
No. 20 Tahun 2015 Organisasi Tata Kerja di Kementerian Sosial serta perubahan pertama
menjadi Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2017, perubahan kedua menjadi
Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2018.
Tugas dan fungsi Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial dan
Penyuluhan Sosial dengan tugas yaitu melaksanakan pendidikan, pelatihan, penelitian,
pengembangan kesejahteraan sosial serta penyuluhan sosial dan fungsi penyusunan
kebijakan teknis di bidang pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan
kesejahteraan sosial, penyuluhan sosial, pelaksanaan kegiatan pemrosesan sertifikasi
pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial serta akreditasi lembaga kesejahteraan
sosial, pembinaan jabatan fungsional pekerja sosial dan penyuluh sosial.
Dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, sasaran diantaranya peningkatan
pelayanan dasar dengan tersedianya Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang
terintegrasi terkait penyediaan paket pelayanan dasar dengan kriteria penargetan sasaran
pelayanan dasar yang disepakati kementerian/lembaga (K/L) terkait dan pemerintah
daerah, kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara sinergis yang
mendorong penyediaan dan distribusi sumber daya manusia penyedia layanan (tenaga
kesehatan, tenaga pendidikan, dan pekerja sosial) di kantong-kantong kemiskinan,
mekanisme pelayanan terpadu dari kementerian/lembaga (K/L).
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 diantaranya
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga (P2K2)
dengan target 3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun 2018,
meliputi kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD) dengan
target 28.383 Orang.

PENDAHULUAN
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah. Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial
dengan peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan

[157]
program, peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis,
pengembangan e-learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas
penelitian. Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS).
Mutu dan jenis layanan dasar yang diberikan oleh Sumber Daya Manusia
Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan pelayanan publik untuk pemenuhan
kebutuhan dasar terhadap anak berdasarkan amanah peraturan Perundang-undangan
yaitu pekerja sosial profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dan relawan sosial
yang bersertifikasi.
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA), bahwa untuk
menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus,
terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan dan Indonesia sebagai Negara
Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang
mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Pada Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA disebutkan dalam menangani
perkara anak, anak korban, dan anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik
bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pada Pasal 66 disebutkan Syarat untuk dapat
diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau
diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial.
UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib
dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia.
Pada Pasal 21 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, dalam hal anak belum berumur
12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan
untuk menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali atau mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau
LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat
maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Assesmen Pekerjaan Sosial


Assesmen secara sederhana diartikan sebagai pengungkapan dan pemahaman
masalah. Menurut Ivry dalam Compton (1999) pengertian asesmen adalah :”the collection
and processing of data to provide information for use in making decision about the nature of the
problem and what is to be done about it” (pengumpulan dan proses data untuk menyediakan
informasi yang digunakan dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
keadaan masalah dan apa yang dilakukan terhadapnya). Assesmen ini merupakan
penilaian tentang klien/penerima manfaat dan lingkungan mereka dalam rangka
memutuskan kebutuhan mereka.

[158]
Menurut Meyer (1993:27-42) dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene
(penyunting) yang diterjemahkan oleh Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (2008:98)
Proses asesmen terdiri dari lima langkah yakni: (1) exploration (menggali informasi); (2)
Inferential thinking (review data); (3) evaluation (evaluasi); (4) problem definition (perumusan
masalah); dan (5) intervention planning (perencanaan intervensi).
Mengacu pada pendapat Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (ibid: 103) secara
sederhana kebutuhan asesmen meliputi: (1) data-data demografi; (2) kontak dengan
lembaga; (3) sejarah singkat klien; (4) ringkasan situasi klien saat ini; (5) permintaan yang
disampaikan; (6) masalah yang disampaikan (presenting problem) sebagaimana dilihat
oleh klien dan pekerja sosial; (7) kontrak yang disepakati klien dan pekerja sosial; (8)
rencana intervensi; dan (9) sasaran intervensi. Mengutip pendapat Dwi Heru Sukoco
(1998:157) asesmen yang dilaksanakan terhadap klien mempunyai 2 (dua) tujuan, yakni
(1) membantu mendefinisikan masalah klien; dan (2) menunjukkan sumber-sumber yang
berhubungan dengan kesemuanya itu.

SDM Penyelenggara Kesos


Sesuai Peraturan Menteri Sosial No. 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional
Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) bahwa SDM
Kesos terdiri atas: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial, Relawan Sosial dan
Penyuluh Sosial.
Sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial mempunyai tugas untuk
melakukan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dilaksanakan dengan
mengorganisasikan dan memberikan pelayanan sosial baik langsung maupun tidak
langsung yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial serta penanganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Pekerja Sosial Profesional atau yang disebut Pekerja Sosial merupakan seseorang
yang bekerja, baik di lembaga Pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
Sedangkan relawan sosial merupakan seseorang dan/atau kelompok masyarakat,
baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan
sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial Pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
Sertifikat Kompetensi merupakan sertifikat yang diperoleh dari lembaga
pendidikan atau lembaga sertifikasi profesi Pekerja Sosial, lembaga sertifikasi profesi
Penyuluh Sosial, dan/atau lembaga sertifikasi Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan
Sosial.
Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial merupakan suatu lembaga yang berwenang
menguji, menilai, dan menentukan kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial, Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial. Pekerja Sosial meliputi: asisten Pekerja Sosial,
Pekerja Sosial generalis dan Pekerja Sosial spesialis.

[159]
Mutu dan Jenis Layanan Dasar SPM Bidang Sosial
Jenis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial terdiri
atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan daerah
provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota, dengan rehabsos
dasar bagi Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, tuna
sosial khususnya Gelandangan dan Pengemis, dan perlindungan dan jaminan sosial pada
saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi Korban Bencana di daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota.
Mutu layanan dasar untuk jenis pelayanan dasar rehabilitasi sosial dasar
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, dan Anak Telantar di dalam panti,
dengan kriteria tidak ada lagi perseorangan, keluarga, masyarakat yang mengurus,
rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya, masih memiliki keluarga, tetapi
berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima di dalam
panti merupakan kebutuhan dasar, terdiri atas pengasuhan; permakanan; sandang;
asrama yang mudah diakses; perbekalan kesehatan; bimbingan fisik, mental spiritual, dan
sosial; bimbingan keterampilan hidup sehari-hari; pembuatan akta kelahiran, nomor
induk kependudukan, dan kartu identitas anak; akses ke layanan pendidikan dan
kesehatan dasar; pelayanan penelusuran keluarga; pelayanan reunifikasi keluarga; dan
akses layanan pengasuhan kepada keluarga pengganti.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah provinsi dan kab/kota dilakukan pada saat tanggap darurat bencana
merupakan kebutuhan dasar yang terdiri atas permakanan; sandang; tempat
penampungan pengungsi; penanganan khusus bagi kelompok rentan; dan dukungan
psikososial.
Penyediaan permakanan diberikan paling sedikit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak terjadinya bencana dan penyediaan tempat penampungan pengungsi, meliputi
pembuatan barak; fasilitas sosial; dan fasilitas umum lainnya.
Penanganan khusus bagi kelompok rentan merupakan penanganan korban bencana
bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, dan Anak. Pelayanan dukungan
psikososial dilakukan melalui bimbingan dan konsultasi; konseling; pendampingan; dan
rujukan. Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas Tenaga Kesejahteraan
Sosial (TKS), pekerja sosial profesional, penyuluh sosial; dan relawan sosial.

DESKRIPSI MASALAH
Amanah-amanah dari peraturan Perundang-undangan lainnya terkait dengan SDM
Penyelenggara Kesejahteraan Sosial, meliputi :
 Pada Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA disebutkan dalam menangani
perkara anak, anak korban, dan anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, Pekerja
Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, penyidik, penuntut umum,
hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap
terpelihara. Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pada Pasal 66
disebutkan Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional berijazah
paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial
atau kesejahteraan sosial.

[160]
 UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus
sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

REKOMENDASI
 Kebutuhan akan Sumber Daya Manusia (SDM) Pemberi Layanan, diantaranya Pekerja
Sosial Profesional di 34 (tiga puluh empat) provinsi dengan kebutuhan pada setiap
Panti milik Pemerintah Daerah (Pemda) dan milik masyarakat serta kebutuhan akan
relawan sosial sebagai pemberi layanan SPM Bidang Sosial di 514 (lima ratus empat
belas) daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia menjadi pekerjaan rumah yang
besar bagi Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Penyuluhan
Sosial (BADIKLIT PENSOS) perlu bekerjasama dengan Badan Pelatihan dan
Pengembangan Kementerian Dalam negeri (BALATBANG KEMENDAGRI) melalui
pelatihan-pelatihan di Balai-Balai Diklat Kementerian Sosial bekerja sama dengan Balai
Diklat di setiap Provinsi yang kewenangannya ada pada Pembina Umum Daerah yaitu
Kementerian Dalam Negeri.
 Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 12 Tahun
2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa Pembina Umum Daerah adalah Menteri Dalam Negeri dan
Pembina Teknis Daerah adalah Menteri Teknis.
 Substansi yang diatur dalam PP No. 12 Tahun 2017 tentang Binwas Penyelenggaraan
Pemda, bahwa Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yaitu Inspektorat
Jenderal Kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian,
inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/ kota. Kewenangan Pembina Umum
diantaranya: kelembagaan daerah, Kepegawaian Perangkat Daerah, keuangan daerah,
Pembinaan dan Pengawasan Teknis, capaian Standar Pelayanan Minimal atas
pelayanan dasar dan ketaatan terhadap Peraturan per-UU-an atas pelaksanaan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, (NSPK) Urusan Konkuren yang ditetapkan Pusat.
 Melaksanakan dan memperhatikan mutu dan jenis layanan dasar yang diberikan oleh
Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan pelayanan publik
untuk pemenuhan kebutuhan dasar terhadap anak berdasarkan amanah peraturan
Perundang-undangan yaitu pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial.

REFERENSI
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak;
 Undang-Undang No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;

[161]
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Anak;
 Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.
 Studi Kebijakan Pengembangan Kegiatan Satuan Bakti Pekerja Sosial di Panti Sosial
Masyarakat Kementerian Sosial; Puslitbang Kementerian Sosial Tahun 2010.
 Kajian kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak; Bagian Analisis Kebijakan Biro
Perencanaan Kementerian Sosial Tahun 2011.

Jakarta, Desember 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[162]
POLICY BRIEF
BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI APBN/APBD &
PERUNTUKAN DAK UNTUK PENERAPAN SPM BIDANG SOSIAL

Abstrak
Salah satu tugas negara adalah menjamin kesejahteraan masyarakatnya dan
melindungi masyarakatnya dari risiko-risiko yang mungkin timbul. Bagaimana negara
melaksanakan hal tersebut?
Tentu saja dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
dialokasikan dengan tujuan spesifik. Khusus untuk penjaminan kesejahteraan dan
perlindungan terhadap risiko sosial, pemerintah memiliki satu pos yang dinamakan
Bantuan Sosial (Bansos) di dalamAPBN.
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Pada Kebijakan Bantuan
Sosial Pada Kementerian/Lembaga yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia,
yang pada intinya menyebutkan bahwa program bantuan sosial yang ada saat ini
memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan, serta
merekomendasikan untuk menghentikan pendanaan bantuan sosial melalui
Kementerian/Lembaga teknis, dan memusatkan belanja bantuan sosial pada Kementerian
Sosial, dan mendesain ulang/menetapkan Grand Design penyelenggaraan bantuan sosial
dalam jangka panjang, menengah dan pendek, termasuk pembangunan Basis Data
Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan keluarga)”, serta
perbaikan peraturan perundangan.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan
Atas PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/
Lembaga, pada Pasal 3, anggaran belanja bantuan sosial dialokasikan dalam APBN
berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penyusunan dan
penelaahan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) dan
pengesahan DIPA berdasarkan peraturan Perundang-undangan mempunyai tugas dan
fungsi melaksanakan program perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, Jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan pelayanan dasar.
Permendagri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendagri No.
32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, pada Pasal 6 ayat (5) Hibah kepada badan
dan lembaga diberikan kepada badan dan lembaga yang bersifat yang telah memiliki
surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota
atau kelompok masyarakat sesuai dengan kewenangannya.
Perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
yang sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik menjadi berdasarkan urusan
(kewenangan) pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.

Pendahuluan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebut dengan urusan
pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan bersama

[163]
(konkuren) wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD,
RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan
pada Pasal 175, disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka
menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu
indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib
bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada NSPK.
Perencanaan Pembangunan Daerah pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda, Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen
perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal 263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD dan
RKPD.
UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 298 menyebutkan bahwa belanja daerah diprioritaskan
untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib pelayanan dasar yang ditetapkan dengan
standar pelayanan minimal (SPM) dan berpedoman pada analisis standar belanja dan
standar harga satuan regional. Belanja dana alokasi khusus (DAK) diprioritaskan untuk
mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk kegiatan nonfisik. Pemerintah Pusat
dapat menggunakan instrumen dana alokasi khusus (DAK).
Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam rangka untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi
kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan
Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada SPM Bidang
Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota, mencakup SPM sosial Daerah
provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial
Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial dasar di dalam panti bagi penyandang
disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia telantar, tuna sosial khususnya gelandangan
dan pengemis di dalam panti, sedangkan kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan
dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di
provinsi dan kab/kota.

REGULASI MENGENAI BANTUAN SOSIAL BERSUMBER DARI APBN


Peraturan Menteri Keuangan RI No. 81/PMK.05/Tahun 2012 tentang Belanja
Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga dijelaskan bahwa Belanja Bantuan
Sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat/Daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial meningkatnya kemampuan ekonomi dan/atau
kesejahteraan masyarakat.
Sementara PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang belanja bantuan sosial pada K/L,
pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau
kesejahteraaan masyarakat

[164]
Resiko sosial merupakan kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi
terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok,
dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik,
fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan Belanja Bantuan Sosial akan
semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Dalam PMK No. 228/PMK.05/2016, biaya penyaluran bantuan sosial dialokasikan
secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan besaran alokasi belanja bantuan
sosial, jangka waktu penyaluran, jumlah penerima bantuan sosial dan sebaran wilayah
penerima bantuan sosial dan PPK melakukan seleksi dan pemutakhiran data penerima
bantuan sosial atau lembaga nonpemerintah berdasarkan kriteria/persyaratan yang telah
ditetapkan di dalam petunjuk teknis pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja
bantuan sosial.
Penggunaan dari dana bantuan sosial ini ditujukan untuk kegiatan rehabilitasi
sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan
kemiskinan, serta penanggulangan bencana.

Deskripsi Masalah
Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan
Perbedaan peruntukan Dana Alokasi Khusus antara UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
peruntukkan DAK untuk fisik, disebutkan besaran DAK ditetapkan dalam APBN
ditetapkan dalam RKP tahunan.
Sedangkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belanja DAK
diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk kegiatan
nonfisik.

Kebijakan Penganggaran Dana Alokasi Khusus (DAK)


Mekanisme Pengalokasian DAK Fisik
 Pada bulan April dilakukan penetapan bidang/subbidang/menu kegiatan dan
format/template usulan Dana Alokasi Khusus (DAK).
 Pada bulan Mei dilakukan pemberitahuan kepada Pemda dan penyusunan dan
penyampaian usulan DAK oleh Pemda
 Pada bulan Agustus sampai Desember dilakukan penentuan Pagu Per Bidang/
SubBidang/SubJenis dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN).

Pembahasan Hasil Penilaian Usulan Dana Alokasi Khusus (DAK)


BAPPENAS, menyusun daftar prioritas nasional per bidang/sub-bidang: Lokasi
prioritas nasional, target output kegiatan, lokasi kegiatan. Kementerian/Lembaga,
menyiapkan daftar kebutuhan teknis per bidang setiap daerah, meliputi: nama kegiatan,
target output kegiatan, satuan biaya, lokasi kegiatan. Kementerian Keuangan,
menyiapkan daftar kegiatan yang layak, satuan biaya, penyerapan, pagu, meliputi :
kinerja penyerapan, satuan biaya, ketersediaan pagu.

[165]
Ketiga Kementerian/Lembaga ini yaitu Bappenas, Kementerian Teknis dan
Kementerian Keuangan melakukan trilateral meeting, untuk: penghitungan dummy
alokasi DAK/bidang/daerah, penghitungan pagu DAK per jenis dan per bidang untuk
Rancangan APBN dan naskah kebijakan penyiapan Juknis DAK.
Belum Tersedianya Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial pada Setiap Indikator
SPM Bidang Sosial
DAK di prioritaskan untuk mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal di
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, terutama daerah yang sumber pendanaan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masih belum mampu melaksanakan
Standar Pelayanan Minimal. Sampai tahun 2017 belum ada DAK Bidang Sosial.

ANALISIS
Dilema Dana Hibah
Masyarakat luas mungkin masih ada yang bertanya, bagaimana sebenarnya
keberadaan Dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) yang dianggarkan dalam anggaran
pembangunan dan belanja daerah. Berdasarkan PP No. 2 Tahun 2012 tentang Hibah
Daerah, adalah pemberian dengan pengalihan hak atas suatu dari pemerintah atau pihak
lain kepada Pemda atau sebaliknya, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya
dan dilakukan melalui perjanjian. Sedangkan Bansos adalah transfer uang atau barang
yang diberikan pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Kajian Implementasi SPM Bidang Sosial Untuk Peningkatan Akses dan Kualitas
Pelayanan Dasar Bagi Penduduk/Masyarakat Miskin dan Rentan
Ringkasan Seminar Kajian Implementasi Standar Pelayanan Publik (SPM) untuk
Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar bagi Masyarakat Miskin dan Rentan
Pada tanggal 26 Oktober 2015, Bappenas telah melakukan seminar kajian implementasi
Standar Pelayanan Publik (SPM) untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar
bagi masyarakat miskin dan rentan. Seminar yang bertujuan memaparkan hasil
sementara dan menyempurnakan hasil analisa kajian implementasi SPM. Hasil kajian
diantaranya: kapasitas Stakeholder di daerah yang menangani SPM mengenai mutu, jenis
pelayanan dasar pemahaman bervariasi. Perlu dukungan DAK Bidang Sosial untuk
“Peningkatan Akses Pelayanan Dasar bagi 40% Penduduk Miskin dan Rentan”.

REKOMENDASI
 Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan untuk mendukung penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pendidikan dengan Bantuan sosial melalui
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan peruntukkan untuk komponen fisik
sekolah dan non fisik untuk tenaga pendidik non Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
bantuan buku serta alat tulis sekolah untuk siswa didik miskin.
 Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan untuk mendukung penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan dengan dengan Bantuan sosial melalui
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dengan peruntukkan untuk komponen fisik
alat kesehatan (Alkes) bagi Puskesmas di Kecamatan dan Puskesmas Pembantu di
desa/kelurahan. Sedangkan non fisik untuk tenaga pelayanan kesehatan (Yankes) bagi
non Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bantuan obat-obatan bagi penduduk miskin dan
rentan.

[166]
 Amanah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 298 Belanja
daerah diprioritaskan untuk membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan didukung oleh Dana
Alokasi Khusus (DAK) berupa fisik dan dapat berupa non fisik.
 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal diantaranya adalah bidang
sosial dan ditindaklanjuti dengan Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan
SPM serta Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan
Dasar SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota.
 DAK Bidang Sosial yang akan diusulkan untuk masuk dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2020 yang merupakan amanah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda dan peruntukkannya untuk mendukung penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial dengan bantuan sosial melalui Bantuan Operasional
Kesejahteraan Sosial (BOKS) dengan peruntukkan untuk komponen DAK Fisik bagi
Panti di Provinsi dan di Kabupaten/Kota berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Layanan dan Rujukan Terpadu serta Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS)
di desa/kelurahan dan non fisik untuk Pekerja Sosial Profesional pada setiap Panti
milik Pemda Provinsi dan milik masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial non Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yaitu relawan sosial dan bantuan sosial bagi Penyandang
Disabilitas Telantar berdasarkan ragam disabilitas sesuai UU No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, Gelandangan dan
Pengemis serta Perlindungan Sosial bagi Korban Bencana alam dan sosial.
 Berdasarkan laporan penerapan SPM Bidang Sosial tahun 2013 oleh Kemendagri dan
hasil kaji cepat pelaksanaan SPM di daerah oleh Otda, Bappenas tahun 2014
menyebutkan urutan permasalahan pelaksanaan SPM di daerah dengan aspek
koordinasi, pendanaan, kelembagaan, manajemen, dukungan politik, dukungan
kebijakan, dan aspek sosialisasi.
 Evaluasi SPM Bidang Sosial di 6 Provinsi tahun 2015 oleh Direktorat Perlindungan dan
Kesejahteraan Masyarakat BAPPENAS pada tanggal 17 September 2015 kurangnya
dukungan pendanaan dan evaluasi yang mencakup analisis Kesesuaian SPM Bidang
Sosial dengan peraturan perundangan analisis Indicator Leveling berfokus kepada
penelaahan indikator SPM Bidang Sosial yang telah berjalan dalam kaitannya dengan
tingkat indikator yang sesuai (output, outcome, atau impact), sehingga indikator tersebut
dapat diukur dengan objektif dan terstandard pada seluruh tingkat daerah pelaksana
dan analisis Indicator Applicability berfokus kepada penelaahan indikator, nilai, batas
waktu pencapaian, serta lembaga penanggung jawab dari SPM Bidang Sosial yang
telah berjalan dalam kaitannya dengan kemampuan implementasi dari daerah
pelaksana serta evaluasi tata laksana (business process) berfokus pada penerapan SPM
Bidang Sosial mencakup kegiatan, aspek kelembagaan dan koordinasi pusat-provinsi-
kabupaten/kota.
 Penetapan indikator kinerja daerah dalam RPJMD bertujuan untuk memberi gambaran
tentang ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi KDH dari sisi keberhasilan
penyelenggaraan pemda, khususnya dalam memenuhi kinerja pada aspek
kesejahteraan, layanan, dan daya saing.
 Indikator Kinerja Daerah ditunjukan dari akumulasi pencapaian indikator outcome
program pembangunan daerah setiap tahun atau indikator capaian yang bersifat
mandiri setiap tahun sehingga kondisi kinerja yang diinginkan pada akhir periode
RPJMD dapat dicapai.

[167]
 Indikator kinerja daerah secara teknis pada dasarnya dirumuskan dengan mengambil
indikator dari program prioritas yang telah ditetapkan (outcomes) atau kompositnya
(impact).
 Indikator kinerja daerah dapat dirumuskan berdasarkan hasil analisis pengaruh dari
satu atau lebih indikator capaian kinerja program (outcome) terhadap tingkat capaian
indikator kinerja daerah berkenaan.
 Indikator kinerja yang mencerminkan keberhasilan penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. SKPD menggunakan indikator dalam Lamp. I Permendagri ini yang
sesuai tugas dan fungsi SKPD berkenaan.
 Indikator yang telah dikembangkan SKPD secara mandiri berdasarkan hasil analisis
standar kebutuhan pelayanan sesuai tugas dan fungsi SKPD tersebut. Indikator SDG’s
ataupun indikator lain yang telah diratifikasi oleh Pemerintah yang sesuai tugas dan
fungsi SKPD berkenaan. Lebih terjaminnya penyediaan pelayanan publik yang
disediakan oleh Pemda kepada masyarakat.

Referensi
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.05/2016 tentang Perubahan Atas
PMK No. 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial Pada
Kementerian/Lembaga
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas
Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

Jakarta, Desember 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[168]
POLICY BRIEF
DILEMA PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN SOSIAL

Abstrak
Pembangunan nasional dilaksanakan sebagai wujud amanat Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Keberhasilan Pembangunan Nasional tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan di
bidang ekonomi seperti selama ini diasumsikan. Melainkan sangat tergantung oleh
keberhasilan dalam berbagai sektor pembangunan secara intergrasi. Pembangunan sosial
termasuk di dalamnya pembangunan kesejahteraan sosial, merupakan faktor yang sangat
signifikan dalam menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan ekonomi.
Dalam pandangan ekonomi mainstream, kebijakan sosial yang secara formal muncul
dalam konsep negara kesejahteraan dianggap sebauah anomaly. Inti persoalan
sebenarnya adalah kerancuan antara “barang publik” (public goods) dan barang pribadi
(private goods) (Rothstein, 1998).
Setelah memiliki konsensus bersama bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan
ruang lebih besar dalam dinamika ekonomi dan politik, persoalan berikut yang perlu
dibenahi adalah bagaimana membiayai dan mekanisme pembiayaan kebijakan sosial.
Pengalihan anggaran dari Kementerian Keuangan RI kepada Kementerian Sosial RI
yang sebelumnya anggaran RASTRA ada di kewenangan Bendahara Umum Negara
(BUN) Menteri Keuangan RI kepada Pengguna Anggaran (PA) dalam hal ini Menteri
Sosial RI sebagai wujud transformasi anggaran RASTRA menjadi Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) di Kementerian Sosial.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Selain untuk memberikan pilihan pangan yang lebih luas, penyaluran bantuan
pangan non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung
perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.

Pendahuluan
1. Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial
Kemajuan ekonomi sangat diperlukan bagi kemajuan sosial. Namun demikian
pembangunan ekonomi dan sosial tidak selalu berjalan otomatis. Pembangunan
ekonomi baru bermakna jika dapat dialokasikan dengan baik bagi kepentingan
pembangunan sosial. Berbagai studi telah cukup membuktikan bahwa secara teoritis
maupun empiris, keberhasilan negara dalam mencapai tingkat kesejahteraan sangat
ditentukan oleh strategi pembangunan di negara tersebut yang memadukan
pembangunan ekonomi dan sosial.
Menurut para ekonomi neoklasik, segala sesuatu hanya akan efisien jika
diperlakukan sebagai barang pribadi yang dapat diperdagangkan dengan
menggunakan mekanisme pasar, termasuk hal-hal terkait dengan jaminan kesehatan

[169]
(health care), asuransi sosial (social insurance) dan pendidikan. Karena itu,
penyelenggara layanan di segala bidang bisa dan harus diserahkan kepada sektor
swasta.
Namun, pandangan lain mengatakan bahwa hal-hal terkait dengan kesejahteraan
sosial sebaiknya dikelola sebagai barang publik dan tidak diserahkan begitu saja pada
mekanisme pasar. Dengan demikian, sebagai barang publik, beberapa hal terkait
dengan kesejahteraan sosial tidak termasuk dalam kategori dilema sosal (ostrom, 1998).
Persoalan pragmatis seperti defisit anggaran atau kebijakan fiskal dalam
kerangka kebijakan sosial sering ditentang bukan karena alasan teknis semata. Dalam
konteks Indonesia, ketersediaan anggaran sering dijadikan alasan untuk mencounter
setiap tuntutan yang hendak mengembangkan kebijakan sosial. Corak berfikir yang
selama ini dipakai adalah setiap pengeluaran pemerintah pasti akan menimbulkan efek
crowding-out.
Padahal, dalam kebijakan sosial dan negara kesejahteraan, pengeluaran
pemerintah seharusnya dianggap sebagai investasi yang dapat mendorong tingkat
daya beli masyarakat. Karena itu, supaya kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih
besar, hal pertama yang harus diubah adalah cara pandang yang terlalu biasa pada
prinsip dan kepentingan mekanisme pasar.
Menurut Dunn, kebijakan merupakan aktivitas intelektual dan praktis yang
ditujukan untuk menciptakan, secara kritis nilai, dan mengomunikasikan pengetahuan
tentang dan dalam proses kebijakan menggunakan berbagai metode pengkajian
dengan memperhatikan 3 aspek yang meliputi pelaku kebijakan dalam hal ini
pemerintah dengan menggunakan metode menggabungkan lima prosedur umum
yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia.
Kebijakan itu sendiri merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku
kebijakan yaitu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang hendak dicapai melalui
program dan kegiatan yang dilakukan.dan Thomas R. Dye (1995,2) mendefinisikannya
analisis kebijakan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, diantaranya
melalui suatu peraturan.
2. Tujuan Bernegara
Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3. Penyelenggaraan Kesejahteraan sosial
Definisi kesejahteraan sosial berdasarkan UU No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya terarah, terpadu dan
berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan
sosial.
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial berdasarkan PP No. 39 Tahun 2012,
ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat. diprioritaskan

[170]
kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan
memiliki kriteria masalah sosial yang meliputi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan,
keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana; dan/atau
korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

Deskripsi Masalah
1. Isu Kesenjangan dan Kemiskinan
Laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi per kapita penduduk secara nasional
tumbuh sekitar 4,87 persen antara tahun 2008-2012. Hanya 20,0 persen penduduk
teratas yang pertumbuhannya di atas rata-rata nasional, yang diperkirakan jumlahnya
sekitar 50 juta jiwa. Sementara itu, sekitar 80,0 persen penduduk lainnya mempunyai
tingkat pengeluaran konsumsi dibawah rata-rata nasional. Gambaran ini
mencerminkan bahwa Indonesia masih mengalami ketidakmerataan distribusi
pendapatan.
Ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menggambarkan
masih besarnya angka kemiskinan dan kerentanan, yang dicerminkan oleh angka
kemiskinan turun melambat dan angka penyerapan tenaga kerja yang belum dapat
mengurangi pekerja rentan secara berarti, meskipun tingkat pengangguran menurun.
2. Apakah pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan ekonomi sudah inklusif?
Pertumbuhan inklusif merupakan salah satu syarat untuk menghilangkan
kesenjangan pembangunan. Pertumbuhan harus mampu mendorong pemerataan,
dengan pola pertumbuhan yang memaksimalkan potensi ekonomi, pola pertumbuhan
yang dapat menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan ke dalam pasar tenaga kerja
yang baik (Decent Job), dan pola pertumbuhan yang ramah keluarga miskin. Standar
hidup penduduk berpenghasilan 40,0 persen terbawah harus dapat ditingkatkan dan
memastikan bahwa penduduk miskin memperoleh perlindungan sosial. Akses yang
sama juga harus tersedia untuk menunjang kegiatan ekonomi semua pelaku
pembangunan. Dukungan terhadap perekonomian inklusif harus dapat mendorong
pertumbuhan di berbagai sektor pembangunan, seperti pertanian, industri, dan jasa,
untuk menghindari pertumbuhan yang cenderung ke sektor yang padat modal dan
bukan padat tenaga kerja.
3. Apakah perlindungan sosial bagi 40% penduduk miskin terendah sudah dicapai?
Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, namun sebagian besar
penduduk lainnya masih menghadapi kerentanan terhadap berbagai risiko sepanjang
siklus hidup seperti sakit, krisis ekonomi dan bencana alam. Diperkirakan 4,5 juta dari
6 juta rumah tangga berpendapatan terendah tetap dalam kemiskinan selama 3 tahun
lebih, sedangkan 1,5 juta terancam selalu dalam kondisi miskin (Susenas, BPS).
Meskipun saat ini tercatat 86,4 juta jiwa penduduk kurang mampu menjadi
penerima bantuan iuran (PBI), masih terdapat 1,8 juta jiwa Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang belum mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk
jaminan sosial ketenagakerjaan, cakupan saat ini masih terfokus pada pekerja sektor
formal.
Perlindungan sosial bagi penduduk miskin, rentan dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan
melalui rehabilitasi aosial kepada setiap penyandang disabilitas (rungu wicara, mental
eks psikotik, mental eks penyakit kronis, netra, grahita, penyandang disabilitas tubuh,
dan penyandang disabilitas ganda) yang sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan

[171]
kebutuhan dasar yang layak, pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam
lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan sosial) dan di luar lembaga dengan berbasis
keluarga dan masyarakat.
4. Apakah Peningkatan Akses dan Penjangkauan Pelayanan Dasar Bagi 40%
Penduduk Miskin Terendah
Meningkatkan Penjangkauan Pelayanan Dasar bagi Penduduk Miskin dan
Rentan, melalui: peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak dasar dan layanan
dasar yang disediakan untuk masyarakat miskin dan rentan, peningkatan partisipasi
penduduk miskin dalam pengambilan keputusan, termasuk perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan pelayanan dasar, perluasan dan penguatan sistem
pemantauan berbasis masyarakat sebagai salah satu bagian utama dari sistem
pemantauan dan penjangkauan di tingkat penyedia layanan; dan pengembangan dan
penguatan mekanisme evaluasi dari masyarakat yaitu mekanisme pelaporan,
pengaduan, dan pencarian informasi terhadap ketersediaan dan kualitas layanan dasar
yang difasilitasi oleh sistem pusat rujukan dan pelayanan terpadu.
5. Apakah Bantuan Sosial Pangan Non Tunai mengurangi beban pengeluaran
penduduk miskin dan rentan?
BPNT disalurkan secara non tunai melalui sistem perbankan untuk kemudahan
mengontrol, memantau, dan mengurangi penyimpangan, bantuan ditransfer pada
electronic wallet Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan KPM memiliki kebebasan membeli
bahan pangan yang dibutuhkan, bukan hanya mendorong perluasan inklusi
keuangan. Rencana Penambahan Target BPNT Menjadi 10 Juta KPM di tahun 2018 dan
pergeseran alokasi subsidi beras sejahtera menjadi BPNT di 98 Kota dengan target
1.716.042 KPM pada 140 Kabupaten dengan target 8.283.958 KPM.
Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai,
bahwa bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas,
transparansi dan akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui
akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan.
Subsidi Beras Sejahtera (RASTRA) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
terdapat sejumlah tantangan diantaranya program RASTRA yang sulit diselesaikan,
khususnya pada persoalan ketepatan dari sasaran atau penerima manfaat, jumlah yang
seharusnya diterima, keterlambatan waktu, kualitas beras dan persoalan administratif
lainnya serta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak dapat memilih bahan pangan
lain kecuali beras.

ANALISIS
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai yang disusun Desember 2016,
oleh lintas Kementerian dan lembaga, yaitu Kemenko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan Kantor Staf Presiden, memuat program
bantuan pangan non tunai merupakan upaya mereformasi program subsidi Rastra tahun
2016, yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden RI untuk meningkatkan efektifitas
dan ketepatan sasaran program serta untuk mendorong inklusi keuangan
Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin, banyak wilayah desa yang masuk topolagi pesisir menjadi
wilayah pesisir. Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM), data utama yang menjadi

[172]
dasar adalah dari Musyawarah Desa/Kelurahan (Musdes/Muskel). Pedoman
Pelaksanaan (Pedlak), Pemenuhan Kebutuhan dasar yaitu beras dan telur.
Kemudian Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan
Jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Kota Denpasar sebanyak 3.114 KPM.
Pelaksanaan BPNT pada 23 Februari 2017 dari Himpunan Bank Negara (HIMBARA), BNI
di Kecamatan Denpasar Selatan dengan data sebanyak 643 KPM. BNI di Kecamatan
Denpasar Timur dengan data sebanyak 846 KPM. Bank Mandiri di Kecamatan Denpasar
Barat dengan data sebanyak 701 KPM. Bank Tabungan Negara (BTN) di Kecamatan
Denpasar Utara dengan data sebanyak 924 KPM.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Tujuan Program Bantuan Pangan Non Tunai untuk :
 Mengurang beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan,
memberikan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan ketepatan
sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan bagi KPM, memberikan
lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan,
mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDG’s).
 Penyaluran bantuan sosial dengan skema uang elektronik dan memanfaatkan agen
layanan keuangan digital sebagai tempat pencairan bantuan dan meningkatkan
integrasi program pemberdayaan bagi penduduk miskin dan rentan, melalui
peningkatan kemampuan keluarga dan inklusi keuangan, serta peningkatan akses
layanan keuangan sehingga membuka kesempatan bagi peningkatan kemampuan
pemenuhan kebutuhan.

REKOMENDASI
 Mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan yang dibutuhkan
untuk mempercepat peningkatan pemerataan pembangunan dan penurunan
kemiskinan;
 Memperbesar investasi di sektor padat pekerja sehingga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan bagi angkatan kerja khususnya yang memiliki tingkat pendidikan yang
relatif rendah;
 Memberikan perhatian khusus bagi usaha mikro dan kecil sehingga dapat memiliki
kepastian usaha untuk terus tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan;
 Menjaga risiko ancaman perubahan iklim dan degradasi daya dukung lingkungan
yang utamanya akan mempengaruhi petani dan nelayan;
 Menyempurnakan sistem perlindungan sosial yang komprehensif untuk seluruh
penduduk;
 Memperluas ekonomi perdesaan dan mengembangkan sektor pertanian yang masih
terkendala pada tertinggalnya sarana dan prasarana perekonomian dan terbatasnya
akses terhadap kredit dan jasa keuangan untuk petani di daerah perdesaan;
 Mempertajam program-program khusus untuk masyarakat miskin melalui ketepatan
sasaran penerima, fokus, dan lokus kegiatan dukungan data terkini melalui
pemutakhiran dan validasi secara berkala;
 Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan diantaranya dengan bantuan
pengembangan sarana usaha (BPSU) bagi 40%penduduk miskin terendah.

[173]
REFERENSI
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University

Jakarta, Desember 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[174]
POLICY BRIEF
SPM & PUSKESOS
KEBIJAKAN TATA KELOLA LAYANAN DASAR

Abstrak
Peningkatan Pelayanan Publik diperlukan guna perbaikan kualitas pelayanan
publik yang semakin merata agar mampu mendukung percepatan kesejahteraan
masyarakat. Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu
Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018 dan
tahun-tahun mendatang.
Permendagri No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi
Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah, Pasal 2 dalam rangka efektivitas
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan pada Perangkat Daerah yang melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang hanya diotonomikan kepada daerah provinsi. Adapun
kriteria pembentukan UPTD Provinsi diantaranya :
 Melaksanakan kegiatan teknis operasional kegiatan teknis penunjang tertentu dari
Urusan Pemerintahan yang bersifat pelaksanaan dan menjadi tanggung jawab dari
dinas instansi induknya;
 Memberikan kontribusi dan manfaat langsung dan nyata kepada masyarakat;
 memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melaksanakan Tugas Teknis
Operasional tertentu dan/atau Tugas Teknis Penunjang tertentu.
PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal dan Permensos No. 9
Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di daerah
Kabupaten/Kota yaitu pelayanan rehabilitasi sosial dasar di luar Panti Sosial dilakukan
dalam bentuk layanan rehabilitasi sosial dalam keluarga dan masyarakat dilakukan
melalui layanan dan rujukan terpadu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial yang berada di
desa/kelurahan.
Pusat Kesejahteraan Sosial dalam PP No. 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, merupakan tempat yang berfungsi untuk
melakukan kegiatan pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara
kelompok masyarakat dalam komunitas yang ada di desa/kelurahan/nama lain
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar dengan Program Prioritas
Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, Kegiatan Prioritas Penguatan Layanan dan
Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di
daerah.

[175]
Pendahuluan
Mutu Pelayanan Dasar untuk setiap Jenis Pelayanan Dasar ditetapkan dalam
standar teknis, yang sekurang-kurangnya memuat standar jumlah dan kualitas barang
dan/atau jasa, standar jumlah dan kualitas sarana dan prasarana, standar jumlah dan
kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial; dan petunjuk teknis atau tata cara
pemenuhan standar.
Kementerian Sosial RI berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 merupakan “Pembina
Teknis Daerah” perlu “Merumuskan, Menyusun dan Melaksanakan” kebijakan
penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dengan adanya perbedaan Panti di
Pusat sebagai percontohan dan rujukan nasional misalkan adanya perbedaan layanan
yang sifatnya lanjutan. Sedangkan Panti di daerah Provinsi menyediakan layanan
dasar/pertama. Kab/Kota menyediakan layanan rehabilitasi sosial di luar Panti.
RPP tentang Pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda dan Permendagri No. 86
Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan
Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan pada Pasal 175, disusun
berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta
perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan
urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan
dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan
masyarakat, atau urusan pilihan yang menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah. Target
kinerja disesuaikan dengan standar biaya kebutuhan pelayanan dan kemampuan
Perangkat Daerah.
Untuk mendorong penerapan standar pelayanan minimal bidang sosial di
kabupaten/kota dan untuk keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diantaranya diarahkan untuk
mengembangkan Layanan Sosial Terpadu dengan sarana bidang sosial di tingkat
desa/kelurahan melalui Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan fungsi sebagai
sarana sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial yaitu Tenaga
Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial, diantaranya Pekerja Sosial, Penyuluh
Sosial dan pendamping untuk memberi layanan rehabilitasi sosial di luar panti dengan
rehabilitasi sosial berbasis masyarakat dan keluarga.
Untuk mendorong pelaksanaan penanganan kemiskinan di desa dan
kelurahan, yang perlu dilakukan antara lain :
1. Penguatan peran kelembagaan sosial
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk
mengembangkan sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/
kota hingga desa/kelurahan.
Pusat rujukan dan pelayanan ini berfungsi untuk pengelolaan data,
pelayanan, penjangkauan, serta pelaporan dan penanganan keluhan. Pembentukan
lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan akuntabilitas
untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan. Sistem
pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat.

[176]
2. Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) sebagai sarana sosial di desa/
Kelurahan, disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, menyebutkan bahwa sarana dan prasarana meliputi: panti sosial, pusat
rehabilitasi sosial, pusat pendidikan dan pelatihan, pusat kesejahteraan sosial,
rumah singgah, rumah perlindungan sosial.
Pusat kesejahteraan sosial sebagai tempat yang berfungsi untuk melakukan
kegiatan pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara kelompok
masyarakat dalam komunitas yang ada di desa atau kelurahan dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
3. Layanan dan Rujukan Terpadu Terintegrasi Dengan Pelayanan Dasar Sesuai
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan
dengan UU No. 17 Tahun 2007, pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam empat tahap
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat
rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja- SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.

Deskripsi Masalah
1. Penurunan Kemiskinan Namun Jumlah Penduduk Rentan Bertambah
Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, namun sebagian besar
penduduk lainnya masih menghadapi kerentanan terhadap berbagai risiko sepanjang
siklus hidup seperti sakit, krisis ekonomi dan bencana alam. Diperkirakan 4,5 juta dari
6 juta rumah tangga berpendapatan terendah tetap dalam kemiskinan selama 3 tahun
lebih, sedangkan 1,5 juta terancam selalu dalam kondisi miskin (Susenas, BPS).

[177]
2. Ketimpangan akses dan penjangkauan pelayanan dasar
Ketidakmampuan dalam pemenuhan hak dasar atau karena adanya perbedaan
perlakuan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat juga berdampak pada pelambatan penurunan kemiskinan.

Analisis
 Perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang
sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik menjadi berdasarkan urusan
(kewenangan) pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sehingga
berdampak kepada pembahasan anggaran Kemensos dengan Ditjen Anggaran
Kementerian Keuangan, bahwa anggaran untuk kegiatan dengan menggunakan
nomenklatur panti sudah tidak dapat dialokasikan di pusat karena sudah menjadi
kewenangan daerah provinsi, sedangkan urusan pemerintah pusat pada rehabilitasi
sosial lanjutan dengan nomenklatur “Balai” sehingga perlu ada alih fungsi dari
nomenklatur panti menjadi Balai berdasarkan Keputusan Menteri PAN dan RB yang
ditetapkan dan perlu anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial pada
usulan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di awal tahun untuk tahun berikutnya dalam
mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah yang belum
mampu APBD-nya.
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan yang
holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral meeting)
pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
 Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan
Prioritas (KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

Rekomendasi
 Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan
dasar, dengan Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta
Kegiatan Prioritas (KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan
percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin serta Pasal 11A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan

[178]
Orang Tidak Mampu.

[179]
Referensi
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD
2019.
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan
Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi
dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Jakarta, 12 Desember 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[180]
POLICY BRIEF
BACKGROUND STUDY RENSTRA 2020-2024
SINKRONISASI PERENCANAAN PUSAT & DAERAH

Abstrak
Indikasi pendanaan belanja prioritas K/L dituangkan dalam matriks Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan
dipertajam besaran pendanaan dan distribusi tahunannya dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dengan mempertimbangkan kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi,
struktur dan kewenangan Kementerian/Lembaga, satuan harga, belanja dan transfer
daerah sebagai kelengkapan pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi.
Sasaran yang direncanakan dapat bersifat kumulatif atau tahunan dan matriks
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019
menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/
Lembaga 2015-2019. Belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji,
uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan dalam perencanaan
tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.
Matrik pendanaan yang menjadi target dan sasaran Kementerian Sosial dalam
Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, matriks pendanaan Kementerian Sosial yang
menjadi target dan sasaran selama 5 (lima) tahun yang tidak memiliki Quick Wins dan
Program Lanjutan dapat mencantumkan prioritas bidang program teknis dikaitkan
dengan prioritas bidang.
Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-2024 bertujuan
untuk mengetahui apakah kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang selama
ini dilaksanakan telah sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development goals) yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan ditetapkannya
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Pengumpulan data dan informasi terkait dengan sasaran strategis, kebijakan,
program, kegiatan. Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan,
pencapaian, dan sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahap ke-1 (2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
ke-2 (2010-2014), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019)
yang ditujukan untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh, menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.

[181]
Pendahuluan
Perubahan Organisasi Tata Kerja (OTK) Kementerian Sosial pada Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) yang ditetapkan dengan Permensos
13/2017 untuk memperkuat verifikasi dan validasi (Verval) data kemiskinan dalam Basis
Data Terpadu (BDT) berdasarkan amanah UU No.13 Tahun 2011 tentang
Penanggulangan Kemiskinan.
Bantuan sosial yang termasuk bentuk perlindungan sosial pada Pasal 19 UU No.11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan amanah peraturan Presiden No.2 tahun
2015 tentang RPJMN 2015/2019 untuk penanggulangan kemiskinan diantaranya adalah
akses penduduk miskin kepada perbankan pada keuangan inklusif yaitu bantuan sosial
non tunai dengan menggunakan kartu elektronik untuk membeli kebutuhan pokok
seperti beras, gula, tepung melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBe) elektronik warung
gotong royong (E-Warong).
Penyusunan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Penanganan Fakir Miskin dibutuhkan
karena amanah dari UUD 1945 Amandemen, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-
2025 dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa ada peran
Pemerintah Daerah dalam penanganan fakir miskin dengan adanya desentralisasi.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan Strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke
dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap
memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).

DESKRIPSI MASALAH
Diperlukan sebagai dasar adanya dokumen hasil evaluasi program dan kegiatan di
Kementerian Sosial terhadap sembilan agenda (Nawa Cita) merupakan rangkuman
program-program yang tertuang dalam visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang
dijabarkan dalam strategi pembangunan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang terdiri atas empat bagian utama, yaitu i)
Norma Pembangunan; ii) Tiga Dimensi Pembangunan; iii) Kondisi Perlu, agar
pembangunan dapat berlangsung; dan iv) Program-Program Quick Wins. Tiga dimensi
pembangunan dan kondisi perlu dari strategi pembangunan memuat sektor-sektor yang
menjadi prioritas dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2018
berikut ini.

[182]
Dokumen sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra Kemensos dari
hasil evaluasi terhadap program dan Kegiatan di Kementerian Sosial pada dimensi
pembangunan manusia yang merupakan penjabaran agenda pembangunan nasional
yang tercantum dalam Nawa Cita, meliputi antara lain peningkatan kualitas hidup
manusia Indonesia, yang telah memperoleh manfaat untuk peningkatan kualitas hidup,
pemerataan antarkelompok pendapatan, dan pengurangan kesenjangan pembangunan
antarwilayah. Program-program dalam dimensi ini merupakan penjabaran Nawa Cita
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Hasil evaluasi terhadap Kebijakan dana transfer ke daerah berdasarkan prioritas
nasional pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun bahwa pengalokasian DAK
Fisik bertujuan untuk membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan
prasarana pelayanan dasar masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan
pencapaian sasaran prioritas nasional.
Dokumen hasil evaluasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN
terhadap Renstra Kemensos 2015-2019 pada Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9 dengan sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Dokumen hasil evaluasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN pada
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah kebijakan
penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan penghidupan
berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar, penguatan
kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Evaluasi terhadap program dan kegiatan di Kementerian Sosial pada prioritas
nasional diantaranya penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial
tepat sasaran; pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan
koperasi. Kegiatan prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan
bantuan sosial tepat sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi
keluarga miskin secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat
(KPM). Bantuan pangan melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target
15.600.000 KPM. Kesejahteraan Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak.
Verifikasi dan Validasi Data dengan target 96.700.000 Jiwa.

Analisis Masalah
Penyusunan Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-
2024 dengan memperhatikan arah kebijakan nasional yang ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, RPJMN 2015-2019 sebagai evaluasi
dari target dan sasaran yang ditetapkan setiap Kementerian/Lembaga dalam matrik
pendanaan dan ketaatan terhadap peraturan Perundang-undangan yang telah ditetapkan
dengan memperhatikan prioritas nasional. Program prioritas dan kegiatan prioritas yang
ditetapkan pada rencana kerja pemerintah dan daerah pada tahun berjalan serta tahun
berikutnya.
Menjadi dasar utama dalam penyusunan Background Study Renstra dalam aspek
perencanaan nasional dan daerah yang telah ditetapkan. UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa RPJM Daerah merupakan penjabaran
dari penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM
Nasional, memuat program kewilayahan disertai dengan kerangka pendanaan yang

[183]
bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah yang mengacu pada
RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi, misi, tujuan,
strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi
yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Renja-
SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja K/L
dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Dasar strategi pembangunan nasional dengan membangun tanpa meningkatkan
ketimpangan antar wilayah, memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, membangun dari pinggir dan dari desa, ekonomi harus berorientasi
dan berbasiskan pada sektor dan jenis usaha yang memasukkan nilai tambah sebesar-
besarnya dengan SDM berkualitas, inovasi, kreatifitas dan penerapan teknologi yang
tepat dan pembangunan nasional sebagian besar merupakan hasil agregasi dari
pembangunan daerah yang berkualitas.
Pendekatan alokasi pendanaan berdasarkan alokasi pada prioritas dengan
mengamankan Quick Wins dan program lanjutan, memprioritaskan besaran alokasi pada
sektor unggulan, kebutuhan dasar dan mengatasi kesenjangan dan alokasi anggaran
sejalan dengan visi-misi Presiden yang diwujudkan dalam Quick Wins dan Program
Lanjutan dengan dasar alokasi adalah baseline APBN 2015 yang diberikan selama 5 tahun,
ruang gerak Prioritas KL dari efektifitas dan efisiensi program dan penambahan alokasi
berdasarkan penugasan Quick Wins dan Program Lanjutan setelah dilakukan re-focusing
serta penambahan lebih lanjut sesuai dengan prioritas dari sektor unggulan, kebutuhan
dasar dan mengatasi kesenjangan.
Meningkatnya kemandirian keluarga miskin dan kelompok rentan dalam
mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya melalui perlindungan sosial yang
komprehensif yaitu Program Keluarga Harapan, Perlindungan Sosial Korban Bencana
Alam dan Sosial, Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, meningkatnya
kemampuan keluarga miskin dan kelompok rentan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kelompok Usaha Bersama dan Usaha Ekonomi
Produktif (KUBe/UEP).

[184]
REKOMENDASI
Dokumen hasil evalasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN
terhadap hasil evaluasi terhadap manfaat dan dampak dari alokasi APBN 2018 Nasional
adalah 2.220,7 T dengan rincian belanja Pemerintah Pusat : 1.454,5 T meliputi belanja
Kementerian/Lembanga (K/L) sebanyak 847,4 T, belanja Non K/L sebanyak 607,1 T.
Dana transfer ke daerah dan dana desa sebanyak 766,2 T. Postur anggaran Kementerian
Sosial Tahun 2018, meliputi :
 Sekretariat Jenderal dengan jumlah anggaran 332.315.654.000 (0,80%)
 Inspektorat Jenderal dengan jumlah anggaran 44.088.417.000 (0,11%).
 Ditjen Pemberdayaan Sosial dengan jumlah anggaran 433.823.251.000 (1,05%).
 Ditjen Rehabilitasi Sosial dengan jumlah anggaran 1.006.519.857.000 (2,44%).
 Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial dengan jumlah anggaran 17.671.377.420.000
(42,79).
 Ditjen Penanganan Fakir Miskin dengan jumlah anggaran 21.455.112.967.000
(51,95%).
 Badiklitpensos dengan jumlah anggaran 352.504.520.000 (0,85%).
Jumlah total anggaran Kementerian Sosial adalah 41.295.742.086.000.
Dokumen hasil evaluasi sebagai dasar penyusunan Background Study Renstra
Kemensos 2020-2024 terhadap capaian target dan sasaran matrik pendanaan RPJMN pada
Prioritas Nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program (PP).
Prioritas Nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program (PP).
Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019 fokus
pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta, perbankan)
untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional dalam RPJMN.

REFERENSI
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang


Nasional Tahun 2005-2025;

 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara (APBN) Tahun 2018;

 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan


dan Penganggaran Pembangunan Nasional;

 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;

 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;

[185]
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.

 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional Tahun 2015-2019;

 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;

 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;

 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, November 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[186]
POLICY BRIEF
BELANJA DAERAH DIPRIORITASKAN MEMBIAYAI
URUSAN WAJIB TERKAIT PELAYANAN DASAR

Abstrak
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang ditempuh
untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi
masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan
publik.
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Pasal 18 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimal dan pada Pasal 10
ayat (6) PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, perlu adanya standar
teknis pelayanan dasar bidang sosial, maka atas pertimbangan perlu menetapkan
Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada SPM Bidang
Sosial di daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Belanja daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 298, diprioritaskan untuk
membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 86 Tahun 2017
tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Penerapan SPM Bidang Sosial oleh Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/
kota untuk pemenuhan Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu Pelayanan Dasar Bidang Sosial.
Penerapan SPM Bidang Sosial dilakukan dengan tahapan: pengumpulan data;
penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; penyusunan
rencana pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; dan pelaksanaan pemenuhan
pelayanan dasar bidang sosial.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk segera menetapkan SPM Bidang Sosial dengan Peraturan Menteri
Sosial.

[187]
Pendahuluan
Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah satu
penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) terhadap
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan
Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
SPM ditetapkan dan diterapkan berdasarkan prinsip kesesuaian kewenangan,
ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran, dan ketepatan sasaran.
Pelayanan Dasar ditentukan berdasarkan kriteria kebutuhan dasar. Kriteria kebutuhan
dasar ditentukan berdasarkan ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan
barang dan/atau jasa yang bersifat mutlak dan dapat distandarkan yang berhak
diperoleh oleh setiap Warga Negara. Materi muatan SPM terdiri atas jenis pelayanan
dasar, mutu pelayanan dasar dan penerima pelayanan dasar dan untuk setiap jenis
pelayanan dasar harus memiliki mutu pelayanan dasar.
SPM akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah provinsi dan kab/kota dalam
melaksanakan urusan wajib terkait pelayanan dasar, sedangkan bagi masyarakat SPM
merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.
Tanggung jawab terhadap urusan pemerintah di daerah dengan ditetapkannya PP
No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dan untuk tindaklanjut pada urusan sosial
di daerah dalam aspek kelembagaan maka ditetapkan Peraturan Menteri Sosial No. 13
Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan Intensitas dan Beban Kerja Urusan Pemerintah
Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, serta
Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Sosial
Daerah Provinsi dan Dinas Sosial Daerah Kabupaten/Kota.
Untuk mengontrol urusan pemerintah di daerah dengan ditetapkannya PP No. 12
Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dan untuk menilai apakah Pemda memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya
dengan mutu dan jenis pelayanan dasarnya, dengan regulasi PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal.
Agar penerapan SPM di daerah agar dapat optimal untuk pelayanan publik, maka
ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah.
Peraturan daerah yang mengatur perencanaan, pengendalian dan evaluasi urusan
pemerintah, maka ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017
tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Rancangan Permensos tentang Standar Teknis SPM Bidang Sosial di Daerah
Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota, meliputi :

PROVINSI
INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK)
 Rehabilitasi Sosial Dasar Penyandang Disabilitas
Telantar di Dalam Panti
IKK:

[188]
Persentase (%) Penyandang Disabilitas Telantar yang Terpenuhi Kebutuhan
Dasarnya di Dalam Panti

[189]
Cara mengukur Indikator :
Jumlah penyandang disabilitas telantar didalam panti yang terpenuhi kebutuhan
dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi penyandang disabilitas telantar di Seluruh Wilayah Provinsi

 Rehabilitasi Sosial Dasar Anak Telantar di Dalam Panti


IKK:
Persentase (%) Anak Telantar yang Terpenuhi Kebutuhan Dasarnya di Dalam Panti.
Cara mengukur Indikator :
Jumlah Anak telantar didalam panti yang terpenuhi kebutuhan dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi Anak telantar di Seluruh Wilayah Provinsi

 Rehabilitasi Sosial Dasar Lanjut Usia Telantar di


Dalam Panti
IKK:
Persentase (%) Lanjut Usia Telantar yang Terpenuhi Kebutuhan Dasarnya di Dalam
Panti.
Cara mengukur Indikator :
Jumlah Lanjut Usia telantar didalam panti yang terpenuhi kebutuhan dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi Lanjut Usia telantar di seluruh Wilayah Provinsi

 Rehabilitasi Sosial Dasar Gelandangan dan Pengemis


di Dalam Panti
IKK:
Persentase (%) Gelandangan dan Pengemis yang Terpenuhi Kebutuhan Dasarnya di
Dalam Panti.
Cara mengukur Indikator :
Jumlah Gelandangan dan Pengemis didalam panti yang terpenuhi kebutuhan
dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi Gelandangan dan Pengemis telantar di seluruh Wilayah Provinsi

 Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam dan Sosial pada saat tanggap darurat
bencana provinsi.
IKK:
Persentase (%) cakupan penanganan korban bencana skala provinsi yang
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar pada saat tanggap darurat (per jenis
bencana)
Cara mengukur Indikator :
Jumlah korban bencana skala provinsi yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan
dasar pada saat tanggap darurat

[190]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah korban bencana skala provinsi yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar
pada saat tanggap darurat.
KABUPATEN/KOTA
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
 Rehabilitasi Sosial Dasar Penyandang Disabilitas
Telantar di luar Panti
IKK:
Persentase (%) Penyandang Disabilitas Telantar yang Terpenuhi Kebutuhan
Dasarnya di luar Panti
Cara mengukur Indikator :
Jumlah penyandang disabilitas telantar di luar panti yang terpenuhi kebutuhan
dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi penyandang disabilitas telantar di seluruh Wilayah Kabupaten/Kota.

 Rehabilitasi Sosial Dasar Anak Telantar di luar Panti


IKK:
Persentase (%) Anak Telantar yang Terpenuhi Kebutuhan Dasarnya di Dalam Panti.
Cara mengukur Indikator :
Jumlah Anak telantar didalam panti yang terpenuhi kebutuhan dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi Anak telantar di seluruh Wilayah Kabupaten/Kota.

 Rehabilitasi Sosial Dasar Lanjut Usia Telantar di luar


Panti
IKK:
Persentase (%) Lanjut Usia Telantar yang Terpenuhi Kebutuhan Dasarnya di luar
Panti.
Cara mengukur Indikator :
Jumlah Lanjut Usia telantar di luar panti yang terpenuhi kebutuhan dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi Lanjut Usia telantar di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.

 Rehabilitasi Sosial Dasar Gelandangan dan Pengemis


di luar Panti
IKK:
Persentase (%) Gelandangan dan Pengemis yang Terpenuhi Kebutuhan Dasarnya di
luar Panti.
Cara mengukur Indikator :
Jumlah Gelandangan dan Pengemis di luar panti yang terpenuhi kebutuhan dasarnya
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Populasi Gelandangan dan Pengemis telantar di Seluruh Wilayah Kabupaten/Kota.

[191]
 Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam dan Sosial pada saat tanggap darurat
bencana Kabupaten/Kota.
IKK:
Persentase (%) cakupan penanganan korban bencana skala Kab/Kota yang
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar pada saat tanggap darurat (per jenis
bencana)
Cara mengukur Indikator :
Jumlah korban bencana skala Kab/Kota yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan
dasar pada saat tanggap darurat
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah korban bencana skala Kab/Kota yang memerlukan pemenuhan kebutuhan
dasar pada saat tanggap darurat.

PENGHITUNGAN PEMBIAYAAN
Penghitungan pembiayaan pemenuhan mutu pelayanan dasar di Provinsi dengan
komponen kegiatan, meliputi: penyediaan permakanan, penyediaan pakaian, penyediaan
asrama yang mudah diakses, penyediaan perlengkapan pertolongan pertama pada
kecelakaan, pemberian bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial, pemberian
bimbingan keterampilan hidup sehari-hari (ADL), fasilitasi Pembuatan Nomor Induk
Kependudukan (NIK), akses ke layanan pendidikan dan kesehatan dasar, penyediaan
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial, penyediaan Sarana prasarana panti
sosial, penyediaan Sarana prasarana panti sosial.

KOMPONEN KEGIATAN
Komponen Kegiatan dengan penyediaan permakanan dengan cara mengukur
indikator adalah target penyediaan permakanan dalam panti selama kurun waktu
tertentu berdasarkan data penerima layanan yang diperoleh setiap tahun. Komponen
biaya pembelian bahan permakanan dengan cara menghitung penerima layanan per-
tahun dikali jumlah hari dalam satu tahun 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) hari dan memenuhi
standar gizi sesuai usia
Komponen kegiatan penyediaan pakaian dengan cara mengukur indikator dari
target penyediaan pakaian selama kurun waktu tertentu berdasarkan data penerima
layanan yang diperoleh setiap tahun. Komponen biaya pembelian pakaian, dengan cara
menghitung dengan tersedianya 3 stel pakaian untuk setiap penerima layanan. Pakaian
terdiri dari pakaian seragam, pakaian harian, pakaian olahraga dan perlengkapan ibadah,
Pakaian dalam, alas kaki, serta pembalut. Komponen kegiatan dengan penyediaan
asrama yang mudah diakses dengan cara menghitung indikator target penyediaan
asrama selama kurun waktu tertentu berdasarkan data penerima layanan yang diperoleh
setiap tahun.
Komponen biaya penyediaan asrama dengan komponen kegiatan penyediaan alat
bantu bagi Penyandang Disabilitas (PD) telantar. Indikatornya denfgan jumlah PD
telantar yang mendapatkan alat bantu. Cara menghitung indikator dengan target
penyediaan alat bantu selama kurun waktu tertentu berdasarkan data penyandang
disabilitas telantar yang diperoleh setiap tahun. Komponen biaya dengan pembelian alat
bantu.

[192]
PENGUKURAN INDIKATOR
Pengukuran dengan jumlah alat bantu yang sesuai dengan jenis kebutuhan
penyandang disabilitas telantar dengan tersedianya kursi roda, alat bantu dengar, kruk,
tripod. Komponen Kegiatan dengan penyediaan perlengkapan pertolongan pertama pada
kecelakaan. Indikatornya dengan jumlah penerima layanan yang mendapatkan
pertolongan pertama pada kecelakaan.
Pengukuran indikator dengan target penyediaan perlengkapan P3K selama kurun
waktu tertentu berdasarkan data penyandang disabilitas telantar yang diperoleh setiap
tahun. Komponen biaya dengan tersedianya pembelian perlengkapan P3K. Penghitungan
dengan jumlah obat maupun alat kesehatan sesuai kebutuhan. Komponen kegiatan
dengan pemberian bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial. Indikator dengan
hitungan jumlah penyandang disabilitas telantar yang mendapatkan bimbingan fisik,
mental spiritual dan sosial.
Mengukur indikator dengan penghitungan target pemberian bimbingan fisik, sosial
dan mental spiritual selama kurun waktu tertentu berdasarkan data penerima layanan
yang diperoleh setiap tahun. Komponen biaya konsumsi/Snack dengan cara menghitung
dari jumlah penerima layanan dasar dan petugas per kegiatan per tahun
Komponen kegiatan pemberian bimbingan keterampilan hidup sehari-hari (ADL)
dengan Indikator jumlah penerima layanan penyandang disabilitas telantar yang
mendapatkan Bimbingan Aktivitas harian/Activity daily living (ADL) dengan mengukur
indikator target pemberian ADL selama kurun waktu tertentu berdasarkan data
penyandang disabilitas telantar yang diperoleh setiap tahun. Komponen biaya konsumsi
dan pembelian perlengkapan alat peraga dengan cara menghitung fasilitasi Pembuatan
Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Komponen Kegiatan dengan fasilitasi Pembuatan Nomor Induk Kependudukan
(NIK) dan penghitungan indikator dari jumlah penerima layanan yang mendapatkan
fasilitasi pembuatan NIK. Pengukuran indikator dengan jumlah fasilitasi pembuatan NIK
bagi penerima layanan di dalam panti selama kurun waktu tertentu berdasarkan data
penerima layanan yang diperoleh setiap tahun. Komponen biaya transport petugas dan
penerima layanan dasar, Penghitungan dari jumlah petugas dan penerima per
pengurusan NIK. Komponen Kegiatan: Akses ke layanan pendidikan dan kesehatan
dasar dengan indikator jumlah penerima layanan yang mendapatkan akses ke layanan
pendidikan dan kesehatan dasar.
Dengan indikator target pemberian akses ke layanan pendidikan dan kesehatan
dasar selama kurun waktu tertentu berdasarkan data penerima layanan yang diperoleh
setiap tahun. Komponen biaya: Transport petugas dan penerima layanan dasar.
Penghitungan honor transport berdasarkan Standar Biaya Umum (SBU) daerah.
Komponen Kegiatan: Penyediaan SDM Kesejahteraan Sosial dengan indikator jumlah
SDM Kessos yang melaksanakan rehabilitasi sosial dasar di dalam panti. Pengukuran
indikator jumlah SDM Kesejahteraan Sosial yang tersedia di panti lingkup provinsi.
Komponen biaya dari honor SDM Kesejahteraan Sosial. Komponen Kegiatan: penyediaan
Sarana prasarana panti sosial dengan indikator jumlah sarana dan prasarana panti yang
tersedia.
Pengukuran dari jumlah sarana dan prasarana panti sosial yaitu perkantoran,
pelayanan teknis (asrama, ruang khusus, ruang pengasuh, ruang diagnose, ruang
konseling psikososial, ruang instalasi produksi, ruang olahraga dan pembinaan fisik,
ruang bimbingan mental dan sosial, ruang khusus, sarana bimbingan keterampilan dasar,
dan ruang kesenian). Pelayanan umum (ruang makan, ruang belajar, ruang ibadah, ruang
kesehatan, aula, pos keamanan, ruang tamu, gudang, kamar mandi, tempat parkir, dan

[193]
rumah dinas/pengurus), tenaga pelayanan (tenaga administrasi, tenaga keuangan, tenaga
fungsional dan tenaga keamanan), peralatan panti sosial, alat transportasi, sandang dan
pangan.
Minmal sarana yang harus ada, meliputi: asrama; ruang khusus; sarana bimbingan
keterampilan dasar; sarana ibadah. Komponen biaya: penyediaan asrama dengan
pengukuran dari setiap asrama mempunyai komposisi luas kamar minimal 3 m2 untuk 1
orang penerima layanan di dalam panti, setiap kamar asrama memiliki sarana tempat
tidur, lemari dan memiliki ventilasi udara yang memadai, asrama memiliki Kamar Mandi
yang mudah diakses dengan rasio 1 kamar mandi bagi 5 Penerima Manfaat, terpisah
antara perempuan dan laki-laki, dan pemisahan kamar berdasarkan jenis kelamin dan
ragam disabilitas, ruangan khusus diprioritaskan bagi penerima layanan yang dalam
kondisi memerlukan perawatan khusus, sarana bimbingan keterampilan dasar.

KABUPATEN/KOTA
Komponen kegiatan, meliputi: layanan data, layanan pengaduan; layanan
kedaruratan; penyediaan permakanan; penyediaan pakaian; penyediaan alat bantu bagi
penyandang disabilitas telantar; penyediaan perlengkapan pertolongan pertama pada
kecelakaan; pemberian bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial; fasilitasi pembuatan
Nomor Induk Kependudukan (NIK), akta kelahiran, surat nikah, dan kartu identitas
anak; akses ke layanan pendidikan dan kesehatan dasar, layanan dan rujukan;
penyediaan dan pengembangan kapasitas SDM Kesejahteraan Sosial; dan penyediaan
sarana prasarana.
Sarana dan prasarana minimum rumah singgah dengan penghitungan bangunan
rumah (ruang kantor, ruang pelayanan teknis, ruang istirahat/tidur, ruang makan, ruang
kesehatan, ruang tamu, ruang ibadah dan kamar mandi), tenaga pelayanan (tenaga
administrasi dan tenaga fungsional), peralatan (instalasi air dan air bersih, peralatan
penunjang perkantoran, penerangan, peralatan komunikasi, peralatan teknis bagi
penerima layanan, kendaraan); dan pangan (makanan pokok dan makanan tambahan).

PUSAT KESEJAHTERAAN SOSIAL (PUSKESOS)


Sarana dan prasarana minimum Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) yang
tersedia di lingkup Kabupaten/Kota, meliputi: tempat yang dijadikan pusat kegiatan
bersama; tenaga pelayanan yang terdiri dari tenaga pengelola dan pelaksana; dan
peralatan yang terdiri dari peralatan penunjang perkantoran dan peralatan penunjang
pelayanan teknis.

KRITERIA PENERIMA LAYANAN


Kriteria Korban Bencana meliputi: korban terluka atau meninggal; kerugian harta
benda; dampak psikologis; dan/atau terganggu dalam melaksanakan fungsi sosial.
Kriteria Penyandang Disabilitas telantar yaitu yang berasal dari keluarga fakir miskin,
tidak terpenuhi kebutuhan kesehatan (tidak terpenuhi kebutuhan dasar); dan telantar
secara psikis dan sosial.
Kriteria Anak telantar adalah yang berasal dari keluarga fakir miskin, dilalaikan
oleh orangtua atau keluarganya; dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kriteria Lanjut
Usia telantar yaitu yang berasal dari keluarga fakir miskin, tidak terpenuhi kebutuhan
dasar seperti sandang, pangan, dan papan; dan telantar secara psikis dan sosial.

[194]
Kriteria Gelandangan yaitu yang berasal dari keluarga fakir miskin, tidak memiliki
kartu tanda penduduk, tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, tidak memiliki
penghasilan yang tetap, tidak memiliki rencana masa depan untuk keluarga dan dirinya.
Kriteria Pengemis yaitu yang berasal dari keluarga fakir miskin, mata pencahariannya
dengan cara meminta-minta; dan memperalat orang lain agar menimbulkan belas kasihan
orang lain.
Kriteria Korban Bencana yaitu yang korban terluka atau meninggal, kerugian harta
benda, dampak psikologis; dan/atau terganggu dalam melaksanakan fungsi sosial.

STANDAR JUMLAH DAN KUALITAS BARANG


Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Penyandang Disabilitas telantar di dalam panti, meliputi penyediaan permakanan,
penyediaan pakaian, penyediaan asrama yang mudah diakses, penyediaan alat bantu,
penyediaan perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan, pemberian bimbingan
fisik, mental spiritual, dan sosial, pemberian bimbingan keterampilan hidup sehari-hari,
fasilitasi pembuatan nomor induk kependudukan; dan/atau akses ke layanan pendidikan
dan kesehatan dasar.
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Penyandang
Disabilitas telantar di dalam panti disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan
berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Anak
telantar di dalam panti, meliputi: pengasuhan, penyediaan permakanan, penyediaan
pakaian, penyediaan asrama yang mudah diakses, penyediaan perlengkapan pertolongan
pertama pada kecelakaan, pemberian bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial,
pemberian bimbingan keterampilan hidup sehari-hari, fasilitasi pembuatan akta
kelahiran, nomor induk kependudukan, dan kartu identitas anak; dan/atau akses ke
layanan pendidikan dan kesehatan dasar.
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Anak telantar
di dalam panti disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan hasil
asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Lanjut
Usia telantar di dalam panti, meliputi: penyediaan permakanan; penyediaan pakaian;
penyediaan asrama yang mudah diakses; penyediaan perlengkapan pertolongan pertama
pada kecelakaan, pemberian bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial, pemberian
bimbingan keterampilan hidup sehari-hari, fasilitasi pembuatan nomor induk
kependudukan, akses ke layanan kesehatan dasar; dan/atau pemulasaraan.
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Lanjut Usia
telantar di dalam panti disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan
hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh
Gelandangan dan Pengemis di dalam panti, meliputi: penyediaan permakanan;
penyediaan pakaian; penyediaan asrama/cottage yang mudah diakses; penyediaan
perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakan; pemberian bimbingan fisik, mental
spriritual, dan sosial; pemberian bimbingan keterampilan dasar; fasilitasi pembuatan
nomor induk kependudukan, akta kelahiran, surat nikah, dan/atau kartu identitas anak;
dan/atau akses ke layanan pendidikan dan kesehatan dasar.

[195]
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Gelandangan
dan Pengemis di dalam panti disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan
berdasarkan hasil asesmen dari Pekerja Sosial Profesional.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah provinsi, meliputi: penyediaan permakanan; penyediaan pakaian;
penyediaan tempat penampungan pengungsi; penanganan khusus bagi kelompok rentan;
pelayanan dukungan psikososial;dan pelayanan advokasi sosial.
Jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana disesuaikan dengan kebutuhan penerima pelayanan berdasarkan hasil asesmen
dari Tenaga Kesejahteraan Sosial.
Penyediaan permakanan dan pakaian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan mengenai bantuan sosial untuk korban bencana.
Penyediaan permakanan diberikan paling sedikit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak
terjadinya bencana. Penyediaan tempat penampungan pengungsi meliputi: pembuatan
barak; balai desa; dan fasilitas umum lainnya. Penanganan khusus bagi kelompok rentan
merupakan penanganan korban bencana bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut
Usia, dan Anak. Pelayanan dukungan psikososial dilakukan melalui: bimbingan dan
konsultasi; konseling; terapi psikososial; pemulihan trauma; pendampingan; dan/atau
rujukan.
Pelayanan advokasi sosial untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi sosial diberikan
dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak.

SDM KESEJAHTERAAN SOSIAL


Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas: Tenaga Kesejahteraan Sosial;
Pekerja Sosial Profesional; dan Relawan Sosial. Setiap panti sosial harus memiliki paling
sedikit 1 (satu) orang Pekerja Sosial Professional. Untuk perlindungan dan jaminan sosial
pada saat dan setelah tanggap darurat bencana Pemerintah Daerah Provinsi harus
menyiapkan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Deskripsi Masalah
Proses penyusunan rancangan Peraturan Menteri Sosial mengenai Standar
Pelayanan Minimal yang dimulai dengan penyusunan draft awal tentang petunjuk teknis
penerapan SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota, ketika masa
waktu Peraturan Menteri Sosial No. 129/HUK/2008 yang berakhir tahun 2015 dan UU
Pemda terjadi perubahan dari UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 23 Tahun 2014.
Proses penyusunan draft awal SPM Bidang Sosial yang mulai disusun pada tahun
2015, sebagai pengganti Permensos yang masih mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004,
dan UU Pemda yang baru yaitu UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 18 mengamanatkan
perlunya menetapkan PP tentang SPM serta penerapan 6 (enam) SPM dengan Peraturan
Menteri.
Kemudian pada bulan awal tahun 2018 ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang
SPM yang ditetapkan dengan PP No. 2 Tahun 2018. Kementerian Sosial telah menyusun
draft rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Teknis SPM Bidang Sosial di
daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota dan berdasarkan Permensos No. 17 Tahun

[196]
2017 tentang Perencanaan Penyusunan Peraturan Per-UU-an Bidang Kesejahteraan Sosial
Tahun 2017-2019.
Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Teknis SPM Bidang Sosial di daerah
provinsi dan di daerah kabupaten/kota ini menjadi dasar dalam penerapan SPM sosial di
daerah dan sesuai siklus perencanaan daerah yang pada bulan Maret-April dilakukan
pembahasan Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD) berdasarkan Permendagri No.
86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan
Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Unit pengampu SPM di Kementerian Sosial RI yaitu Ditjen Rehabilitasi Sosial
sebagai pengampu 4 (empat) indikator dan Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial
pengampu 1 (satu) indikator SPM Bidang Sosial perlu mempertimbangkan kebijakan
perencanaan dan pengangaran pusat dengan daerah dengan perubahan kebijakan
regulasi terkait anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan perubahan PP No.
7 Tahun 2008 yang sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik yang berubah menjadi
urusan pemerintah.
Rancangan PP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagai pengganti
dari PP No. 7 Tahun 2008 dengan substansi perubahan yaitu urusan pemerintahan yang
ditugas pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren, dengan
berdasarkan RPP Urusan Konkuren sebagai turunan dari lampiran UU Nomor 23 Tahun
2014.
Bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta sesuai
dengan ketentuan penugasan. kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan
kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator
Kinerja Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja
kunci (outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator
output. Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat
dari beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi
dan kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.
IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Rekomendasi
Merumuskan dan menyusun skala perubahan kinerja dengan interval perubahan
capaian kinerja outcome yang disusun kedalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala
kinerja untuk masing-masing interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan
nilai tertinggi yang dicapai oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota dengan
menggunakan perubahan selama 5 tahun terakhir.
Unit Kerja Eselon-II yang menangani penyandang disabilitas, anak telantar, lanjut
usia telantar, tuna sosial gelandangan dan pengemis serta korban bencana alam dan sosial
dari Pengampu SPM Bidang Sosial dari masing-masing maklumat/indikator SPM Bidang
Sosial di Unit Teknik Kementerian Sosial RI, agar menetapkan penghitungan penerapan
SPM sosial pada kegiatan-kegiatan khususnya pada kewenangan kabupaten/kota untuk
rehabilitasi sosial di luar panti, Apa saja kegiatannya dan kelembagaan yang memberikan

[197]
pelayanan publik dari mulai tingkat desa/kelurahan sesuai amanah UU No. 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin bahwa Sarana dan Prasarana bidang sosial di tingkat desa atau kelurahan dengan
Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) dan tingkat kabupaten/kota dengan rumah
singgah atau nama lain sesuai peraturan Perundang-undangan.
Menetapkan Kebutuhan Biaya Per Jenis Pelayanan Dasar Bidang Sosial seperti
kebutuhan permakanan, kebutuhan sandang/pakaian, kebutuhan lainnya yang termasuk
kebutuhan dasar dengan biaya per-item dari layanan tersebut. Misalkan: “Berapa
perhitungan biaya untuk kebutuhan dasar dari penyandang disabilitas, lansia telantar,
anak telantar, gelandangan dan pengemis setiap bulan dan setiap tahunnya.
Unit teknis pengampu SPM Bidang Sosial menyusun dokumen perhitungan biaya
seperti Satuan Biaya Keluaran (SBK) yang mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan RI
setiap tahunnya yang bersumber dari APBN sebagai pembanding dan perhitungan APBD
disesuaikan dengan Standar Biaya Umum (SBU) di daerah provinsi dan kab/kota.

Referensi
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Menteri Sosial No.13 Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan Intensitas dan
Beban Kerja Urusan Pemerintah Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia;
 Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas
Sosial Daerah Provinsi dan Dinas Sosial Daerah Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan
dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi
Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.

Jakarta, April 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[198]
LAMPIRAN

KRONOLOGIS
Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
Setelah UU No. 23 Tahun 2014 ditetapkan.

Tahun 2015
 UU No. 23 Tahun 2014 ditetapkan, sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004..
 Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kemen.PPN/Bappenas,
kepada Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial, Perihal: Rapat Koordinasi
Strategis Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Pusdikren Bappenas,
tanggal 18 Agustus 2015 pukul 08.30 WIB di Ruang Rapat Proklamasi 1-2 Gedung
Pusdiklatren Bappenas, Jl. Proklamasi No. 70 Jakarta Pusat.
 Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda Kemendagri No. 005/2424/11/Bangda tanggal 8
Oktober 2015, Perihal: Penyusunan Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan Kementerian/
Lembaga pada tanggal 15-17 Oktober 2015 di Golden Boutique Hotel.
 Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda Kemendagri No. 005/2560/11/Bangda tanggal 15
Oktober 2015 dengan pertemuan di Hotel Acacia Jakarta Pusat tanggal 19-21 Oktober
2015, Perihal: Pertemuan lanjutan Penyusunan Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun
2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan
Kementerian/Lembaga.
 Surat Kepala Biro Perencanaan, Kemensos, No. 1974/PER-AK/X/2015, tanggal 7
Oktober 2015, Hal: Pembahasan Rancangan Revisi SPM Bidang Sosial Antar K/L
Dengan Daerah;
 Asistensi Teknis Renstra dan draft Revisi SPM Bidang Sosial Tahun 2015;
 Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kemen.PPN/Bappenas,
No. 7458/Dt.3.4/11/2015, tanggal 5 November 2015 Hal: Penyampaian Dokumen
Rekomendasi Revisi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial;

Tahun 2016
 Surat Plt. Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Emmy Widayanti pada tanggal 24
Maret 2016, Perihal: Penyampaian Draft Rancangan Lampiran RPP Standar Pelayanan
Minimal
 Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial, No. 2437/SJ-PER/ARS/
09/2016, tanggal 6 September 2016, Hal: Persiapan pembahasan draft Petunjuk Teknis
SPM Bidang Sosial dan pembahasan awal Indikator Kinerja Kunci (IKK) pelaksanaan
Urusan Bidang Sosial turunan dari lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda;.
 Asistensi SPM Bidang Sosial Tahun 2016 dengan substansi penyampaian draft revisi
Permensos No. 129/HUK/2008 tentang SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota;

[199]
 Surat Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial, Hal: P.
 Penyusunan dan Pelaksanaan SPM Bidang Sosial pada Rabu, 14 Desember 2016. untuk
revisi Permensos No. 129/HUK/2008 tentang SPM Bidang Sosial dan Kepemnsos No.
80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan Pembiayaan Pencapaian SPM Bidang
Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota.
 Advokasi kebijakan SPM Bidang Sosial Prov Riau pada tanggal 11 Maret 2016;
 Advokasi kebijakan SPM Bidang Sosial Prov Sulawesi Utara, pada tanggal 17-19 Mei
2016;
 Diseminasi dan Asistensi Kebijakan Renstra Kemensos dan SPM Bidang Sosial di
Provinsi Jambi pada tanggal 27 Mei 2016;
 Diseminasi dan Asistensi Kebijakan Renstra Kemensos dan SPM Bidang Sosial di
Provinsi Sulawesi Barat, pada tanggal 14-16 Juni 2016;
 Surat Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam
rangka Sosialisasi Perencanaan Program dan Anggaran serta sosialisasi draft revisi
Permensos tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, pada tanggal 12
Oktober 2016 di Hotel Santika Pangkal Pinang Bangka Belitung.

Tahun 2017
 Undangan Sosialisasi draft Rancangan Permensos tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial dari Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah No. 467.2/088
tanggal 7 Juli 2017.
 Asistensi Teknis Draft Rancangan Permensos tentang SPM Bidang Sosial.
 Evaluasi sinkronisasi antara Sistim Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS-NG) dengan
Sistim Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dan tahapan penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial dalam draft Standar Teknis SPM Bidang Sosial pada
tanggal 15 Desember 2017;

Tahun 2018
 Pembahasan dengan daerah provinsi dan kab/kota mengenai rancangan Standar
Teknis SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan di daerah Kab/Kota, di Hotel
Swissbell Kemayoran Jakarta Pusat pada 8-10 Februari 2018;
 Pembahasan Naskah Hukum Rancangan Standar Teknis SPM Bidang Sosial dengan
Biro Hukum Kementerian Sosial dan 5 (lima) Unit Teknis pengampu SPM Bidang
Sosial dan Bagian Organisasi, Hukum dan Humas Ditjen Rehabilitasi Sosial dan Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial di Hotel The Acacia pada Kamis
15 Februari 2018;
 Pembahasan Panti dalam merespon PP 2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) sebagai turunan UU 23/2014 tentang Pemda, melalui FGD persiapan
penyusunan NSPK sub bidang rehabilitasi sosial. di Swissbell Hotel Kemayoran, Jl.
Benyamin Sueb Blok D6 Kemayoran Jakarta, pada Jumat 16 Februari 2018.
 Surat Undangan Staf Ahli Menteri Bidang Aksesibilitas Sosial Kementerian Sosial, No.
500/SJ-UM/KS.02/2018 tanggal 28 Februari 2018, Hal: Pembahasan Kebijakan
Pelayanan Lanjut Usia dalam Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang

[200]
Sosial untuk masukan untuk Memo Kebijakan Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang
Aksesibilitas Sosial, Kementerian Sosial;
 Pembahasan Naskah Hukum Rancangan Permensos tentang Standar Teknis SPM
Bidang Sosial, yang diinisiasi oleh Bagian OHH Sekretariat Ditjen Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial, di Ruang Rapat Lantai 6 Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian
Sosial, pada Rabu 21 Maret 2018.
 Pembahasan Penyempurnaan Naskah Hukum Rancangan Permensos tentang Standar
Teknis SPM Bidang Sosial, yang diinisiasi oleh Bagian OHH Sekretariat Ditjen
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, pada Tanggal 23-24 Maret 2018 di Hotel Aston
Bekasi.

[201]
POLICY BRIEF
PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMDA

Abstrak
Ditetapkannya PP No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, adanya kewenangan pusat yang diberikan ke
daerah provinsi karena pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan
dibantu oleh Perangkat Daerah.
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah
tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional
maka Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Tugas, Wewenang, Kewajiban, dan Hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, Kepala Daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dan berdasarkan
hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri mengoordinasikan pengembangan kapasitas
Pemerintahan Daerah dan pembinaan dapat berupa pemberian penghargaan dan sanksi
dan mengenai laporan penyelenggaraan Pemda diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)
tentang Laporan Penyelenggaraan Pemda, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban dan
Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemda, serta Tata Cara Evaluasi Penyelenggaraan
Pemda.
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,
kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai hak protokoler dan hak keuangan
meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lain dan Kepala Daerah yang
dikenai sanksi pemberhentian sementara tidak mendapatkan hak protokoler serta
hanya diberikan hak keuangan berupa gaji pokok, tunjangan anak, dan tunjangan
istri/suami yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Protokoler dan
Hak Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pendahuluan
Urusan Pemerintahan merupakan kekuasaan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan
penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan
menyejahterakan masyarakat.
Otonomi Daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[203]
Asas Otonomi merupakan prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
berdasarkan Otonomi Daerah. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan
oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Instansi Vertikal merupakan perangkat kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi.
Tugas Pembantuan merupakan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi.
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi:
a. Kriteria dan Urusan Pemerintahan :
1. Kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi
berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian
urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Kriteria Fisik merupakan kegiatan yang bersifat fisik, seperti : pengadaan
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, dan kegiatan fisik lain
yang menghasilkan keluaran (output) dan menambah nilai aset pemerintah.
 Kriteria Non Fisik merupakan kegiatan yang bersifat non fisik, seperti :
koordinasi, perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
2. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan melalui asas dekonsentrasi dan tugas
pembantuan pusat harus merupakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat. (sebagaimana diatur dalam lampiran UU Nomor 23
Tahun 2014).
b. Dekonsentrasi:
 Dekonsentrasi dilaksanakan oleh GWPP, Instansi Vertikal di wilayah tertentu dan
Gubernur/Bupati/Walikota sebagai penanggung jawab penyelenggaraan urusan
pemerintahan umum.
 Dekonsentrasi kepada GWPP dilakukan hanya untuk melaksanakan tugas dan
kewenangannya dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah Kab./Kota dan TP yang
dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya sesuai ketentuan UU
tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai dengan Pasal 91 UU
23/2014).
 Dekonsentrasi kepada GWPP dilaksanakan oleh perangkat GWPP dan pengaturan
mengenai tugas dan kewenangan GWPP serta pembentukan perangkat GWPP
diatur lebih lanjut dalam RPP tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang dan Hak
Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

[204]
 Dekonsentrasi kepada Instansi Vertikal dilakukan hanya untuk melaksanakan tugas
dan fungsi instansi vertikal sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Kementerian/Lembaga.

Deskripsi Masalah
 Dengan ditetapkannya PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemda, PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis SPM
Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota ini menjadi dasar
dalam penerapan SPM sosial di daerah dan sesuai siklus perencanaan daerah yang
pada bulan Maret-April dilakukan pembahasan Rencana Kerja Pemerintahan Daerah
(RKPD) berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan
Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
 Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator Kinerja
Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci
(outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output.
Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari
beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan
kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.
 IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Rekomendasi
 Berdasarkan PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah merupakan usaha, tindakan, dan kegiatan yang ditujukan untuk
mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan Pcmda dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)
yang merupakan Inspektorat Jenderal Kementerian, Inspektorat Provinsi, dan
Inspektorat Kabupaten/Kota.
 Kementerian Dalam Negeri sesuai fungsinya pembina umum daerah, melaksanakan
pembinaan dan pengawasan umum yang meliputi: pembagian urusan pemerintahan,
kelembagaan daerah, kepegawaian pada Perangkat Daerah, Keuangan Daerah
(Keuda), pcmbangunan daerah, pelayanan publik di daerah, kerjasama daerah,
kebijakan daerah.
 Kementerian Teknis sesuai fungsinya sebagai pembina teknis daerah, melaksanakan
pembinaan dan pengawasan teknis terhadap teknis penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dan
Menteri Teknis menetapkan Standardisasi program penelitian dan pengembangan
pembinaan teknis sesuai dengan kewenangannya.
 Melakukan pengawasan teknis meliputi Capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM)
atas pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan
terhadap pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat, akuntabilitas pengelolaan APBN melalui dekonsentrasi dan

[205]
tugas pembantuan dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah dan
sesuai dengan kewenangan urusan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pengawasan yang menjadi tugas Gubernur sslagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP).

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat;

Jakarta, Juli 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[206]
POLICY BRIEF
INDEK KUALITAS KEBIJAKAN

STUDI KEBIJAKAN
PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL
DI DAERAH PROVINSI & KAB/KOTA TAHUN 2008-2017

Abstrak
Amanah dari Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku II Agenda Bidang,
dalam Rangka Menyiapkan Masyarakat Indonesia Menuju Kehidupan Global. Salah
satu agenda reformasi birokrasi adalah peningkatan kualitas kebijakan. Rendahnya
kualitas kebijakan dapat dibuktikan dengan banyaknya produk kebijakan yang
kontraproduktif dengan keinginan publik dan kemudian mendapatkan pembatalan baik
dari pemerintah pusat maupun Mahkamah Konstitusi.
Surat Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) kepada
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI, No. 4633/D-1/KDI-02 tanggal 10 Desember
2017, Perihal: Instrumen Penilaian Kualitas Kebijakan yang berbentuk Indeks Kualitas
Kebijakan (IKK) yang dapat diakses secara on-line dan Surat Deputi Bidang Kajian
Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) No. 1409/D.1/KPI.02 tanggal 6 April
2018, Hal: Agenda Setting Nasional.
Konsep Indek Kualitas Kebijakan (IKK) dengan menilai kualitas proses dari 2 (dua)
proses utama yaitu proses perencanaan kebijakan dan proses pelaksanaan kebijakan.
Metode penghitungan dalam komposisi penilaian IKK dengan pembobotan pada 2 (dua)
besaran, yaitu Perencanaan Kebijakan dan Pelaksanaan Kebijakan.
Evaluasi Kebijakan, merupakan pengukuran evaluasi kebijakan dengan melihat
pada proses implementasi kebijakan dan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang telah
diimplementasikan. Studi kebijakan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota, yang diisi diportal on-line IKK di www.ikk-
pusaka.lan.go.id. dengan metode penghitungan dalam IKK menggunakan pembobotan di
masing-masing tahapan dari proses kebijakan, mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan kebijakan.
Berdasarkan penilaian cepat terhadap kualitas proses kebijakan pada beberapa
lokus K/L/Pemda yang memiliki Analis Kebijakan, secara rata-rata, baik dilihat dari
variabel proses perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan di instansi lokus,
Kementerian Sosial menunjukkan hasil tertinggi dengan nilai indeks rata-rata mencapai
96,4. Nilai indeks rata-rata hasil penilaian proses evaluasi kebijakan lebih rendah dari
pada variabel lain, yaitu 25,51 karena belum semua kebijakan yang dinilai dalam
penilaian cepat ini memenuhi aspek evaluasi seperti misalnya terkait umur kebijakan
yang masih kurang dari 2 (dua) tahun.

Pendahuluan
Agenda setting kebijakan dengan melihat proses identifikasi masalah kebijakan
analisis masalah kebijakan dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan. Formulasi
Kebijakan, merupakan pengukuran formulasi kebijakan dengan melihat pada proses

[207]
pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan beberapa kriteria terukur. Implementasi
Kebijakan, merupakan pengukuran implementasi kebijakan dengan berfokus pada
dimensi perencanaan, kelembagaan, dan komunikasi kebijakan.
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan bahwa
setiap jenjang/posisi ASN merupakan sebuah profesi. Sebagai profesi, maka setiap
pegawai ASN memiliki nilai-nilai profesi, kode etik dan kode perilaku yang menjadi
pegangan dalam menjalankan perannya.
Pemahaman Analis Kebijakan tentang nilai dan kepentingan publik dapat menjadi
salah satu acuan dalam proses kebijakan publik, sebab konsekuensi dari kebijakan publik
bukan hanya tanggung jawab dan urusan pejabat politik, melainkan juga para Analis dan
semua yang terlibat dalam implementasi kebijakan publik.
Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB) No. 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis
Kebijakan (JFAK) dan Angka Kreditnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI
memegang mandat sebagai instansi pembina JFAK di Indonesia. Regulasi lain terkait
Jabatan Fungsional Analis Kebijakan diantaranya:
 Peraturan Kepala LAN No. 31 Tahun 2014 tentang Standar Kompetensi Jabatan
Fungsional Analis Kebijakan;
 Peraturan Kepala LAN No. 27 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Analis Kebijakan dan Penilaian Kualitas Hasil Kerja Analis Kebijakan;
 Peraturan Kepala LAN No. 14 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penilaian
Kualitas Hasil Kegiatan Analis Kebijakan;
Pusat Pembinaan Analis Kebijakan (PUSAKA) memiliki peran strategis
memperkuat fungsi LAN RI dalam berkiprah melaksanakan tugas sesuai dengan mandat
UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, terutama dalam mensuskseskan agenda percepatan
reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan serta berperan aktif dalam
meningkatkan kualitas kebijakan di Indonesia melalui pembinaan Analis Kebijakan.
Sebagai sebuah profesi yang baru berkembang, profesi Analis Kebijakan di
lingkungan organisasi pemerintahan di Indonesia belum cukup dikenal luas atau bahkan
masih dianggap kurang penting dibandingkan dengan jabatan fungsional yang sudah ada
selama ini. Hingga saat ini belum ada studi yang dengan jelas dan rinci mengukur
kebutuhan Analis Kebijakan di Indonesia. Sampai dengan saat ini, terdapat 128 (seratus
dua puluh delapan) JFAK yang tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga/Pemda.
Analis Kebijakan tersebut direkrut melalui impassing dan pengangkatan pertama.
Penyusunan naskah kebijakan di K/L/Pemda, ada yang beragam, seperti di
Kementerian Sosial. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
dan Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja di
Kementerian Sosial juga terdapat regulasi terkait dengan penyusunan naskah kebijakan
dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 184/HUK/2015
tentang Pedoman Penyusunan Naskah Kebijakan Staf Ahli di Lingkungan Kementerian
Sosial Republik Indonesia.
Perlu ada sebuah regulasi yang mengatur mengenai penyusunan naskah kebijakan
dari format untuk penulisan Memo Kebijakan (Policy Memo), Ringkasan Kebijakan (Policy
Brief), Kertas Kebijakan (Policy Paper), Naskah Akademik/Naskah Urgensi, sehingga para
Analis Kebijakan atau para penyusun kebijakan tidak terjadi debat kusir yang tidak
berujung mengenai penulisan kebijakan dan menjadi acuan yang ada dasar hukum dari
Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam penulisan kebijakan di K/L/Pemda.

[208]
Banyak Peraturan Daerah (Perda) yang ditolak itu karena tidak mengakomodir
kepentingan masyarakat. Sementara itu, untuk kebijakan publik berupa UU, sejak tahun
2003-2013 terdapat 807 buah yang di judicial review. Dari 807 buah UU itu, 127 buah yang
pengujiannya dikabulkan. Kualitas kebijakan publik yang sangat buruk dari tidak sesuai
dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan.
Anggaran untuk pembuatan kebijakan publik, baik di level daerah, Kabupaten/
Kota dan provinsi, maupun di Pusat, membutuhkan biaya yang sangat besar. Seperti
contoh, kasus di Kabupaten Biak Numfor Papua yang membutuhkan anggaran sebesar
300 juta untuk pengesahan 1 (satu) rancangan Peraturan Daerah (Perda).
Disamping itu, hasil survei perhimpunan pembentuk peraturan daerah Indonesia
(Perda) Indonesia, menemukan bahwa di 514 Kabupaten/Kota, dan 34 Provinsi dengan
total biaya pembuatan Perda antara 300 juta hingga 2 milyar. Jika diasumsikan rata-rata
pembuatan sebuah Perda sebesar 300 juta, maka pemborosan anggaran pada tahun 2002-
2011 adalah 1,2 trilyun. Anggaran biaya untuk pembuatan Undang-Undang meskipun
jumlahnya lebih kecil dari pada Perda, jauh lebih mahal dibandingkan dengan
pembuatan Perda.
Buruknya kualitas kebijakan publik selama ini karena Policy Maker ketika membuat
satu kebijakan tidak didukung oleh Analis Kebijakan. Padahal peran Analis Kebijakan
sangat penting dalam memberikan masukan-masukan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan sebuah kebijakan yang berkualitas.

Indek Kualitas Kebijakan


Urgensitas pengembangan penyusunan kebijakan publik di Indonesia sudah tidak
perlu dipertanyakan lagi, namun kesepahaman mengenai bagaimana menilai kualitas
kebijakan, agenda, aspek/unsur apa yang harus diperbaiki, siapa yang paling
berkontribusi pada rendahnya kualitas kebijakan masih dipertanyakan.
Dengan kata lain, di Indonesia, belum ada kesepakatan atau pemahaman yang
sama mengenai seperti apa kebijakan yang baik. Beberapa inisiatif pernah dilakukan
secara parsial oleh beberapa Kementerian dalam rangka regulatory reform seperti
penggunaan rule, opprtunity, kapacity, communication, process and ideology (roccippi,
regulatory mapping and review (regmap), Regulatory Impact Analysis (RIA), model analisis
peraturan Perundang-undangan (MAPP/LAWS and Regulation Analisical Model)

Konsep Indek Kualitas Kebijakan (IKK)


IKK berupaya menilai kualitas proses dari 2 (dua) proses utama yaitu proses
perencanaan kebijakan dan proses pelaksanaan kebijakan. Instrumen penilaian IKK
dikembangkan dengan berbasis teknologi informasi. Pengembangan ini bertujuan untuk
memudahkan partisipasi pengambil kebijakan (stakeholder) dalam mengisi survei IKK.
Berikut adalah langkah dan komposisi penghitungan skor dan IKK.
Instrumen IKK dalam jangka panjang dikembangkan untuk dapat digunakan oleh
semua pihak. Namun dalam tahap awal pengembangannya saat ini, pengguna IKK masih
terbatas untuk K/L/Pemda, khususnya yang telah mendaftarkan diri sebagai pengguna
IKK dalam portal on-line IKK di www.ikk-pusaka.lan.go.id.
Metode penghitungan dalam IKK menggunakan pembobotan di masing-masing
tahapan dari proses kebijakan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan.

[209]
Apa yang dinilai ?
Perencanaan Kebijakan dan Pelaksanaan Kebijakan.
Agenda Setting merupakan pengukuran agenda setting kebijakan dengan melihat
proses identifikasi masalah kebijakan analisis masalah kebijakan dan partisipasi publik
dalam perumusan kebijakan.
Formulasi Kebijakan, merupakan pengukuran formulasi kebijakan dengan melihat
pada proses pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan beberapa kriteria terukur.
Implementasi Kebijakan, merupakan pengukuran implementasi kebijakan dengan
berfokus pada dimensi perencanaan, kelembagaan, dan komunikasi kebijakan. Evaluasi
Kebijakan, merupakan pengukuran evaluasi kebijakan dengan melihat pada proses
implementasi kebijakan dan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang telah
diimplementasikan.

Komposisi Penilaian IKK


 Perencanaan Kebijakan, dengan tahapan :
- Agenda Setting, dengan pertanyaan kunci, yaitu: identifikasi masalah, kajian
terhadap isu-isu aktual, konsultasi publik terhadap isu dan assesment yang
dilakukan.
- Formulasi Kebijakan, dengan pertanyaan kunci, yaitu: forward looking, outward
looking, lessons learned, innovative, evident based, compliance.

 Pelaksanaan Kebijakan, dengan tahapan:


- Implementasi Kebijakan, dengan pertanyaan kunci, yaitu: dimensi perencanaan,
dimensi kelembagaan, dimensi komunikasi kebijakan.
- Evaluasi Kebijakan, dengan pertanyaan kunci, yaitu: pelaksanaan monitoring,
evaluasi kebijakan (efektivitas, efisiensi, dampak, keberlanjutan/sustainable).

Hasil Perhitungan
Dalam rapid assesment study ini dilakukan pengisian survei di 11 lokus yang terdiri
dari 8 instansi pusat dan 3 Pemda. Jumlah sampel ini baru selesai 0.01% dari jumlah
keseluruhan K/L/D di Indonesia. Sampel ini dipilih secara sengaja (Purposive sampling)
berdasarkan kriteria K/L/D yang telah memiliki Analis Kebijakan secara definitif hingga
bulan Oktober 2017. Penilaian bersifat mandiri (Self Assesment) oleh Analis Kebijakan.
Berikut adalah hasil perhitungan dari besaran Skor di masing-masing tahapan dari proses
kebijakan di K/L/D yang mengisi Survei Indeks Kualitas Kebijakan.

Hasil Perhitungan IKK di 11 Instansi Pemerintah


Dari agenda setting, formasi kebijakan, perencanaan, implementasi kebijakan,
evaluasi kebijakan, pelaksanaan, dengan total Skor, yaitu:
 Kementerian Sosial, dengan Skor 96,4;
 Pemkab Garut, dengan Skor 94;
 Setjen DPR RI, dengan Skor 85,16;
 Kemenkoinfo, dengan Skor 80.56;
 LAN, dengan Skor 77,69;
 KLHK, dengan Skor 73,6;

[210]
 Pemkot Malang, dengan Skor 72,4;
 Pemkot Yogyakarta, dengan Skor 69,94;
 Kemenkes, dengan Skor 58,42;
 ANRI, dengan Skor 48,172;
 Lemhanas, dengan Skor 43,6.

Analisis Studi Kebijakan SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Kab/Kota
Surat Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) kepada
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI, No. 4633/D-1/KDI-02 tanggal 10 Desember
2017, Perihal: Instrumen Penilaian Kualitas Kebijakan yang berbentuk Indeks Kualitas
Kebijakan (IKK) yang dapat diakses secara on-line.

Dasar Alasan Suatu Kebijakan:


 Pelaksanaan suatu kebijakan yang sifatnya Nasional di seluruh wilayah Provinsi dan
Kab/Kota;
 Studi Kebijakan; Pelaksanaan Kebijakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
 Bukti dokumen.

Dalam Bentuk Regulasi:


1. Peraturan Menteri Sosial RI No. 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
2. Keputusan Menteri Sosial RI No. 80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan
Pembiayaan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kebijakan Pelaksanaan: Tahun 2008 s.d 2015


Dasar Hukum yang menjadi Kebijakan:
1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
2. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal;
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal.

Bukti Dokumen
1) Kajian Staf Ahli Menteri Sosial RI Tahun 2011 tentang Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota;
2) Kajian Direktorat Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah (EKPD) Ditjen Otonomi Daerah
Kemendagri Tahun 2014 tentang Penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan
Kab/Kota;

[211]
3) Kajian Direktorat Perlindungan dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN /
BAPPENAS Tahun 2015 tentang Penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan
Kab/Kota;
4) Perda Provinsi dan Kab/Kota tentang Penerapan SPM Bidang Sosial;
5) Laporan Pencapaian setiap indikator SPM Bidang Sosial Seluruh Provinsi dan
Kabupaten/Kota Di Indonesia Tahun 2013;
6) Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, pada Arah
Kebijakan “Penanggulangan Kemiskinan di Strategi Perluasan Jangkauan Pelayanan
Dasar dengan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota”
7) Surat Plt Dirjen Bina Bangda Kemdagri A.n Menteri Dalam Negeri RI No.
610/9802/Bangda Tanggal 20 Desember 2017. Hal: Permintaan Laporan Capaian
Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Tahun 2017.
8) Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 31 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan
APBD Tahun 2017, pada halaman 80 berbunyi: Pengentasan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) mempedomani Permensos No. 129/HUK/2008 tentang
SPM Bidang Sosial (Permensos 128/2008 dan Kepmensos 80/2010) di daerah Provinsi
dan Kab/Kota serta Kepmensos No. 80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan
Pembiayaan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota.

[212]
REGULATORY IMPACT ASSESMENT (RIA)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT SPM
UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah, pada definisi disebutkan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) adalah Mutu dan Jenis layanan
dasar yang wajib dilaksanakan oleh Pemda.
PP No. 65 Tahun 2005 Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal;
Permendagri 6/2007 Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal;
Permendagri 79/2007 Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan
Minimal.
Permensos No. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di Daerah
129/HUK/2008 Provinsi dan Kabupaten/Kota;
Kepmensos No. Panduaan Perencanaan Pembiayaan Pencapaian Standar
80/HUK/2010 Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di Daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
PERPRES 2/2015 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019. Arah Kebijakan “Penanggulangan Kemiskinan di
Strategi Perluasan Jangkauan Pelayanan Dasar dengan penerapan
SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota”
Hasil Kajian Internal  Kajian Staf Ahli Menteri Sosial RI Tahun 2011 tentang
dan Eksternal Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
Kemensos di daerah Provinsi dan Kab/Kota;;
 Kajian Direktorat Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah
(EKPD) Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri Tahun 2014
tentang Penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi
dan Kab/Kota;
 Kajian Direktorat Perlindungan dan Penanggulangan
Kemiskinan Kementerian PPN / BAPPENAS Tahun 2015
tentang Penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi
dan Kab/Kota;
 Bukti dokumen Perda Provinsi dan Kab/Kota
 Bukti dokumen Laporan Pencapaian setiap indikator SPM
Bidang Sosial Seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota Di
Indonesia Tahun 2013.
Pertimbangan lainnya, Surat Plt Dirjen Bina Bangda Kemdagri A.n Menteri Dalam
kebijakan SPM lama Negeri RI No. 610/9802/Bangda Tanggal 20 Desember 2017
masih dipakai sebagai Hal: Permintaan Laporan Capaian Penerapan Standar
dasar “Laporan Capaian Pelayanan Minimal (SPM) Tahun 2017.
Penerapan SPM Tahun
2017” sampai dengan
ditetapkannya SPM baru
Permendagri. 31/2016. Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2017, pada halaman 80
berbunyi:
Pengentasan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
mempedomani Permensos No. 129/HUK/2008 tentang SPM
Bidang Sosial (Permensos 128/2008 dan Kepmensos 80/2010) di
daerah Provinsi dan Kab/Kota serta Kepmensos No.
80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan Pembiayaan SPM

[213]
Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota.
Analisis Terkait Penilaian
JFAK yang dirancang LAN dan mitra-mitranya untuk memperkuat kapasitas proses
dalam keseluruhan siklus kebijakan publik, baik kebijakan yang telah diimplementasikan
maupun kebijakan baru yang akan diimplementasikan. Peraturan atau regulasi
merupakan salah satu representasi dari kebijakan publik yang sebagian besar (77,3%)
dinilai melalui instrumen IKK menunjukkan hasil yang bervariasi terhadap berbagai
kebijakan di instansi lokus studi.
Dalam proses penilaian agenda setting, hampir semua lokus studi menunjukkan
hasil yang hampir sama dengan rata-rata nilai indeks mencapai 38,53 dari Skala 40.
Dalam penilaian proses formulasi kebijakan, menunjukkan nilai yang beragam dimulai
dari ANRI dengan nilai indeks 25,2 hingga Kementerian Sosial (Kemensos) dan Pemkab.
Garut yang memperoleh nilai indeks maksimal 60.
Adapun rata-rata nilai indeks pada penilaian formulasi kebijakan di instansi lokus
studi adalah 43,38. Selanjutnya dalam penilaian proses implementasi kebijakan juga
menunjukkan hasil yang bervariasi dimulai dari Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhanas) dengan indeks 12 hingga Kementerian Sosial dan Kementerian Komunikasi
dan Informatika (Kemkominfo) dengan indeks maksimal 60.
Dalam penilaian evaluasi kebijakan, menunjukkan indeks terendah pada angka 8,02
pada instansi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) hingga Sekretariat Jenderal DPR
(Sekjen DPR) yang menunjukkan nilai indeks tertinggi di antara lokus studi dengan nilai
38.
Berdasarkan penilaian cepat terhadap kualitas proses kebijakan pada beberapa
lokus K/L/Pemda yang memiliki Analis Kebijakan, secara rata-rata, baik dilihat dari
variabel proses perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan di instansi lokus
menunjukkan kualitas kebijakan berada pada kategori cukup (rentang nilai 60-75) dengan
rata-rata indeks mencapai 74,12.
Kementerian Sosial menunjukkan hasil tertinggi dengan nilai indeks rata-rata
mencapai 96,4. Nilai indeks rata-rata hasil penilaian proses evaluasi kebijakan lebih
rendah dari pada variabel lain, yaitu 25,51 karena belum semua kebijakan yang dinilai
dalam penilaian cepat ini memenuhi aspek evaluasi seperti misalnya terkait umur
kebijakan yang masih kurang dari 2 (dua) tahun.

Deskripsi Masalah
 Salah satu tantangan metodologis dalam proses studi cepat penilaian IKK adalah
belum terpenuhinya jumlah kuota sampel kebijakan di setiap instansi lokus studi.
Kuota sampel kebijakan yang diperlukan untuk penilaian di setiap instansi adalah 10%
dari setiap jenis kebijakan yang dinilai dalam IKK yang telah ditetapkan dalam 5 (lima)
tahun terakhir.
 Penilaian mandiri (Self Assesment) menurut pendapat beberapa Analis Kebijakan yang
menggunakan instrumen IKK, keterbatasan pengetahuan terhadap proses penetapan
kebijakan di setiap instansi lokus studi menjadi tantangan tersendiri bagi para Analis
Kebijakan untuk dapat menilai proses kebijakan yang ada menggunakan instrumen
IKK.

[214]
Rekomendasi
 Perlu ada sebuah regulasi yang mengatur mengenai penyusunan naskah kebijakan
dari format untuk penulisan Memo Kebijakan (Policy Memo), Ringkasan Kebijakan
(Policy Brief), Kertas Kebijakan (Policy Paper), Naskah Akademik/Naskah Urgensi,
sehingga para Analis Kebijakan atau para penyusun kebijakan tidak ragu karena takut
salah dasar penulisan kebijakan dan terjadi debat kusir yang tidak berujung mengenai
penulisan kebijakan. Serta manfaat lainnya akan menjadi acuan yang ada dasar hukum
dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam penulisan kebijakan di K/L/Pemda.
 Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial dan Peraturan
Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja di Kementerian
Sosial, pada setiap Unit Kerja Eselon (UKE) 1 dan 2 disebutkan bahwa tugas dan
fungsi diantaranya menyusun kebijakan rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial,
perlindungan dan jaminan sosial serta penanganan fakir miskin, sehingga menjadi
suatu konsekuensi logis kebutuhan akan peta jabatan Jabatan Fungsional Analis
Kebijakan (JFAK) di Unit Kerja Eselon 1 dan 2 di Kementerian Sosial.
 Aspek Kelembagaan, dengan, memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan
yang berfungsi untuk mengkoordinasikan perencanaan kebijakan dan pelaksanaan
kebijakan untuk penerapan Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) yang ditetapkan Lembaga
Administrasi Negara (LAN).
 Peran Analis Kebijakan dalam penyusunan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Sosial terkait dengan penyusunan naskah Peraturan Perundang-undangan.
 Penilaian kualitas proses kebijakan di lingkungan K/L/Pemda, dimana Analis
Kebijakan bekerja dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir menunjukkan kondisi
yang beragam. Beberapa instansi seperti di Kementerian Sosial, Sekjen DPR dan
Kemkominfo, menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan instansi lokus studi
yang lainnya dalam pengelolaan proses kebijakan di instansinya.
 Meskipun masih memerlukan studi lebih mendalam untuk menggali realitas proses
kebijakan di lapangan, penilaian cepat yang telah dilakukan oleh sebagian Analis
Kebijakan di instansi lokus studi melalui instrumen IKK ini pada satu sisi memberi
sinyal bahwa Analis Kebijakan belum secara intensif terlihat atau dilibatkan dalam
proses kebijakan di instansinya sehingga pengetahuan para Analis Kebijakan untuk
menilai sebuah kebijakan tidak secara komprehensif dapat dilakukan secara mandiri
oleh seorang Analis Kebijakan, pada sisi lain kondisi ini memberi peluang strategis
pada 2 (dua) sasaran utama.
 Analis Kebijakan di lingkungan K/L/Pemda untuk lebih aktif membangun kapasitas
diri dalam mengelola jejaring kerja agar dapat lebih intensif melakukan advokasi di
dalam proses kebijakan yang terjadi di lingkungan instansinya.
 Selaku instansi pembina JFAK, tantangan yang dihadapi Analis Kebijakan memberi
peluang sinergi berkelanjutan untuk melakukan advokasi jabatan fungsional Analis
Kebijakan di lingkungan K/L/Pemda.

Referensi
 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Tahun 2004;
 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal;

[215]
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Menteri Sosial No. 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
 Keputusan Menteri Sosial No. 80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan
Pembiayaan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja di
Kementerian Sosial RI.

Jakarta, April 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[216]
LAMPIRAN

KRONOLOGIS
Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
Setelah UU No. 23 Tahun 2014 ditetapkan.

Tahun 2015
 UU No. 23 Tahun 2014 ditetapkan, sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004..
 Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kemen.PPN/Bappenas,
kepada Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial, Perihal: Rapat Koordinasi
Strategis Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Pusdikren Bappenas,
tanggal 18 Agustus 2015 pukul 08.30 WIB di Ruang Rapat Proklamasi 1-2 Gedung
Pusdiklatren Bappenas, Jl. Proklamasi No. 70 Jakarta Pusat.
 Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda Kemendagri No. 005/2424/11/Bangda tanggal 8
Oktober 2015, Perihal: Penyusunan Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan Kementerian/
Lembaga pada tanggal 15-17 Oktober 2015 di Golden Boutique Hotel.
 Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda Kemendagri No. 005/2560/11/Bangda tanggal 15
Oktober 2015 dengan pertemuan di Hotel Acacia Jakarta Pusat tanggal 19-21 Oktober
2015, Perihal: Pertemuan lanjutan Penyusunan Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun
2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan
Kementerian/Lembaga.
 Surat Kepala Biro Perencanaan, Kemensos, No. 1974/PER-AK/X/2015, tanggal 7
Oktober 2015, Hal: Pembahasan Rancangan Revisi SPM Bidang Sosial Antar K/L
Dengan Daerah;
 Asistensi Teknis Renstra dan draft Revisi SPM Bidang Sosial Tahun 2015;
 Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kemen.PPN/Bappenas,
No. 7458/Dt.3.4/11/2015, tanggal 5 November 2015 Hal: Penyampaian Dokumen
Rekomendasi Revisi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial;

Tahun 2016
 Surat Plt. Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Emmy Widayanti pada tanggal 24
Maret 2016, Perihal: Penyampaian Draft Rancangan Lampiran RPP Standar Pelayanan
Minimal
 Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial, No. 2437/SJ-PER/ARS/09/
2016, tanggal 6 September 2016, Hal: Persiapan pembahasan draft Petunjuk Teknis
SPM Bidang Sosial dan pembahasan awal Indikator Kinerja Kunci (IKK) pelaksanaan
Urusan Bidang Sosial turunan dari lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda;.
 Asistenti SPM Bidang Sosial Tahun 2016 dengan substansi penyampaian draft revisi
Permensos No. 129/HUK/2008 tentang SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota;
 Surat Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial, Hal: P.

[217]
 Penyusunan dan Pelaksanaan SPM Bidang Sosial pada Rabu, 14 Desember 2016. untuk
revisi Permensos No.129/HUK/2008 tentang SPM Bidang Sosial dan Kepemnsos No.
80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan Pembiayaan Pencapaian SPM Bidang
Sosial di daerah Provinsi dan Kab/Kota.
 Advokasi kebijakan SPM Bidang Sosial Prov Riau pada tanggal 11 Maret 2016;
 Advokasi kebijakan SPM Bidang Sosial Prov Sulawesi Utara, pada tanggal 17-19 Mei
2016;
 Diseminasi dan Asistensi Kebijakan Renstra Kemensos dan SPM Bidang Sosial di
Provinsi Jambi pada tanggal 27 Mei 2016;
 Diseminasi dan Asistensi Kebijakan Renstra Kemensos dan SPM Bidang Sosial di
Provinsi Sulawesi Barat, pada tanggal 14-16 Juni 2016;
 Surat Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam
rangka Sosialisasi Perencanaan Program dan Anggaran serta sosialisasi draft revisi
Permensos tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, pada tanggal 12
Oktober 2016 di Hotel Santika Pangkal Pinang Bangka Belitung.

Tahun 2017
 Undangan Sosialisasi draft Rancangan permensos tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial dari Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah No. 467.2/088
tanggal 7 Juli 2017.
 Asistensi Teknis Draft Rancangan Permensos tentang SPM Bidang Sosial.
 Evaluasi sinkronisasi antara Sistim Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS-NG) dengan
Sistim Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dan tahapan penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial dalam draft Standar Teknis SPM Bidang Sosial pada
tanggal 15 Desember 2017;

Tahun 2018
 Pembahasan dengan daerah provinsi dan kab/kota mengenai rancangan Standar
Teknis SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan di daerah Kab/Kota, di Hotel
Swissbell Kemayoran Jakarta Pusat pada 8-10 Februari 2018;
 Pembahasan Naskah Hukum Rancangan Standar Teknis SPM Bidang Sosial dengan
Biro Hukum Kementerian Sosial dan 5 (lima) Unit Teknis pengampu SPM Bidang
Sosial dan Bagian Organisasi, Hukum dan Humas Ditjen Rehabilitasi Sosial dan Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial di Hotel The Acacia pada Kamis
15 Februari 2018;
 Pembahasan Panti dalam merespon PP 2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) sebagai turunan UU 23/2014 tentang Pemda, melalui FGD persiapan
penyusunan NSPK sub bidang rehabilitasi sosial. di Swissbell Hotel Kemayoran, Jl.
Benyamin Sueb Blok D6 Kemayoran Jakarta, pada Jumat 16 Februari 2018.
 Surat Undangan Staf Ahli Menteri Bidang Aksesibilitas Sosial Kementerian Sosial, No.
500/SJ-UM/KS.02/2018 tanggal 28 Februari 2018, Hal: Pembahasan Kebijakan
Pelayanan Lanjut Usia dalam Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial untuk masukan untuk Memo Kebijakan Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang
Aksesibilitas Sosial, Kementerian Sosial;

[218]
 Pembahasan Naskah Hukum Rancangan Permensos tentang Standar Teknis SPM
Bidang Sosial, yang diinisiasi oleh Bagian OHH Sekretariat Ditjen Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial, di Ruang Rapat Lantai 6 Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian
Sosial, pada Rabu 21 Maret 2018.
 Pembahasan Penyempurnaan Naskah Hukum Rancangan Permensos tentang Standar
Teknis SPM Bidang Sosial, yang diinisiasi oleh Bagian OHH Sekretariat Ditjen
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, pada Tanggal 23-24 Maret 2018 di Hotel Aston
Bekasi.

[219]
POLICY BRIEF
DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN
BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Abstrak
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda dan
PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian
urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan.
SPM Sosial pada Pasal 10 pada PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM) mencakup SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah
kabupaten/kota. Jenis pelayanan dasar pada SPM Bidang Sosial daerah provinsi terdiri
atas rehabilitasi sosial dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak
telantar lanjut usia telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam
panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana bagi korban bencana di provinsi.
Jenis dan mutu pelayanan dasar untuk SPM Bidang Sosial di Kab/kota adalah
rehabilitasi sosial dasar di luar panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar
lanjut usia telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis dan perlindungan
dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di
kab/kota.
Belanja daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 298, diprioritaskan untuk
membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 86 Tahun 2017
tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Penerapan SPM Bidang Sosial oleh Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/
kota untuk pemenuhan jenis pelayanan dasar dan mutu pelayanan dasar bidang sosial.
Penerapan SPM Bidang Sosial dilakukan dengan tahapan: pengumpulan data;
penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; penyusunan
rencana pemenuhan pelayanan dasar bidang sosial; dan pelaksanaan pemenuhan
pelayanan dasar bidang sosial.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam
rangka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda, dalam rangka memberi kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi
administratif penyelenggaraan pemerintahan daerah.

[221]
Pendahuluan
Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang
dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan
konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait
Pelayanan Dasar.
Belanja Daerah berpedoman pada standar teknis dan standar harga satuan regional
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Belanja Daerah untuk
pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah selain berpedoman
pada analisis standar belanja dan standar harga satuan regional. Belanja hibah dan
bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah
setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan.
RPJPD merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok
pembangunan Daerah jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan
berpedoman pada RPJPN dan rencana tata ruang wilayah.
RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang
memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan
Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai
dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang
disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka
ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana
Kerja Pemerintah dan program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk segera menetapkan SPM Bidang Sosial dengan Peraturan Menteri
Sosial.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pengawasan teknis meliputi: capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan termasuk
ketaatan pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren, dampak
pelaksanaan urusan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan akuntabilitas
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren di daerah.

[222]
Perpres 46/2015 tentang Kementerian Sosial, pada Pasal 3 menyelenggarakan
“fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan” diantaranya bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial di daerah. Sekretariat Jenderal
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.

Analisis Masalah
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Konsekuensi menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas
nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan
kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke
dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap
memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas

[223]
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
UU No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Tahun 2018 sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung
terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
APBN Tahun Anggaran 2018 disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2018, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan
Fiskal Tahun 2018. Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi
terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai
dan semangat gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia
yang tinggi, maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial
penduduk miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan
9. Sasaran Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 terkait dengan
penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran;
pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi. Kegiatan
prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat
sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi keluarga miskin
secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan
pangan melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target 15.600.000 KPM.
Kesejahteraan Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak. Verifikasi dan Validasi
Data dengan target 96.700.000 Jiwa.
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga
(P2K2) dengan target 3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun
2018, meliputi kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD)
dengan target 28.383 Orang. Literasi khusus bagi PD Netra dengan target 35 jenis.
Pemberian alat bantu bagi PD dengan target 3.000 unit. Pemberian rehabilitasi/pelayanan
sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 Orang. Pemberian layanan home care bagi
lanjut usia dengan target 14.910 Orang. Bantuan darurat korban bencana alam dengan
target 92.000 Jiwa. Penyediaan taruna siaga bencana dengan target 34.628 Orang.

[224]
Program prioritas pemenuhan kebutuhan dasar tahun 2018, meliputi kegiatan
korban bencana sosial yang mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
137.000 Jiwa. Pembangunan rumah bagi warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan
target 2.099 Keluarga. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan target
10.775 Keluarga. Pengembangan Sistem dan Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan
target 130 Kab/Kota. Sistem Pelayanan Sosial Terpadu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial
(Puskesos) dengan target 260 desa. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/Pekerja Sosial
yang telah mendapatkan sertifikasi dengan target 3.000 Orang. Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS) yang mendapatkan akreditasi dengan target 2.000 LKS.
Program prioritas perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi tahun 2018
dengan kegiatan Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (KUBe)
dengan target 119.020 Orang. Program prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit
tahun 2018 dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS dan target 821
Orang. Program prioritas kepastian hukum dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban
Tindak Kekerasan dan target 750 orang.

Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program


Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman, peningkatan nilai
tambah ekonomi melalui pertanian, industri, dan jasa produktif, pemantapan ketahanan
energi, pangan dan sumber daya air dan stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan
Pemilu.
Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
Kegiatan prioritas peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat dengan
penguatan germas pengendalian penyakit. Kegiatan prioritas Program prioritas
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Perumahan & Permukiman Layak dengan
penyediaan akses hunian layak dan terjangkau.
Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca

[225]
bencana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha. Kegiatan prioritas kamtibmas dan keamanan siber
dengan penanganan konflik sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan
penanggulangan terorisme.
Kebijakan penganggaran dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya, melalui perencanaan, evaluasi dan analisa program prioritas nasional dalam
rangka penyesuaian antara Renstra, Krisna dan RKA-KL, Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial, kajian pengalokasian anggaran melalui Dana Alokasi Khusus
(DAK), penguatan layanan informasi kepada publik, penguatan SDM pengelola
keuangan, pendampingan pengelolaan dan pelaporan keuangan, penyesuaian SOTK,
penatausahaan aset Kementerian Sosial seluruh Indonesia, dukungan regulasi dalam
pelaksanaan program prioritas nasional di Kementerian Sosial.
Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Sosial dengan
memperkuat pengawasan pelaksanaan program-program prioritas nasional Kemensos,
penguatan kapasitas SDM Auditor, optimalisasi Sistem Manajemen Operasional (SIMOP)
Program Pengawasan.
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan
pada setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan
fungsi Makam Pahlawan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi
tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah
Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

Analisis Masalah
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan perencanaan pembangunan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana

[226]
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pembangunan tahunan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.

Rekomendasi
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional:
 RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
 RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan
Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi, misi, tujuan, strategi,
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi
yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif.
Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada
Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).

Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah


UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.

[227]
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan
setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan di kab/kota.
 Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah satu
penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
 Beberapa perubahan penting RPP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan. Tugas Pembantuan
(TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas pembantuankan hanya untuk
urusan pemerintahan konkuren selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta
sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya).
 Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
 Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU 23/2014 dan perubahan dari PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan berdasarkan urusan,
konsekuensinya anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari Pusat
ke Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke
Gubernur.
 Kejelasan urusan wajib terkait pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Urusan Konkuren (bersama) bidang sosial.
 Urusan konkuren bidang sosial pada Sub-bidang rehabilitasi sosial dalam panti dan
lembaga untuk provinsi dan luar panti dan lembaga untuk kabupaten/kota belum ada
payung hukumnya berupa NSPK.
 Setelah Standar Pelayanan Minimal (SPM) ditetapkan dalam PP No.2/2018 dan
ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri (Menteri Sosial), kemudian penerapan
dilaksanakan, maka pada tahun berikutnya dilakukan evaluasi bagi provinsi dan
kab/kota yang kurang dukungan pendanaan APBD-nya dan SDM-nya, maka
diperlukan dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial fisik untuk
penyiapan sarana panti dan non fisik berupa rehabilitasi sosial dasar kepada anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan
pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban bencana, dalam rangka
pemberian pelayanan dasar kepada setiap setiap warga negara dengan berpedoman

[228]
pada penerapan pencapaian Standar Pelayanan Minimal sesuai peraturan Perundang-
undangan.

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, Mei 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[229]
POLICY BRIEF
APIP DALAM BINWAS PENYELENGGARAAN PEMDA

Abstrak
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi
administratif penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Permendagri No.110 Tahun 2017 tentang Kebijakan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Tahun 2018, ketentuan umum disebutkan Aparat Pengawas
Internal Pemerintah (APIP) merupakan Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawas
Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Inspektorat Daerah Provinsi dan Inspektorat
Daerah Kab/Kota. kebijakan pengawasan sebagai dasar pelaksanaan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, meliputi pengawasan umum, pengawasan
teknis; dan pengawasan kepala daerah terhadap Perangkat Daerah.
Pelaksanaan Kebijakan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai
dengan kewenangannya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri,
Inspektorat Jenderal kementerian teknis, perangkat gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat, inspektorat daerah provinsi dan inspektorat daerah kabupaten/kota.
Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian
Dalam Negeri meliputi pengawasan umum terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah provinsi dan pengawasan teknis terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
provinsi bidang ketentraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat,
administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, dan pemberdayaan masyarakat dan
desa.
Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat jenderal kementerian teknis
merupakan pengawasan teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah provinsi, meliputi capaian standar pelayanan minimal atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan
termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren,
dampak pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dan akuntabilitas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah.
Kegiatan pengawasan yang dilakukan perangkat gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat meliputi pengawasan umum terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah kab/kota dan pengawasan teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan
yang diserahkan ke daerah kab/kota.

Inspektorat daerah kab/kota melakukan pengawasan terhadap Perangkat Daerah


kab/kota dan desa. Kegiatan pengawasan dapat dilaksanakan secara terpadu antara
Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan inspektorat jenderal kementerian
teknis.

[231]
Pendahuluan
PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM pada BAB IV Pembinaan dan Pengawasan, Pasal
19 disebutkan bahwa Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
negeri melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah provinsi
secara umum. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang yang
sesuai dengan jenis SPM melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM
Daerah provinsi secara teknis.
Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan SPM
provinsi oleh perangkat Daerah provinsi. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah kabupaten/kota
secara umum dan teknis. Bupati melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan
SPM Daerah kabupaten oleh perangkat Daerah kabupaten dan wali kota melaksanakan
pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah kota oleh perangkat Daerah kota.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah
satu penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh
Menteri Dalam Negeri sebagai pembina umum daerah, Menteri Teknis (diantaranya
Menteri Sosial) untuk sebagai pembina teknis daerah. Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pembinaan umum dan teknis.
Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah, mempunyai fungsi
pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan daerah, kepegawaian pada perangkat
daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah dengan fungsi terhadap teknis
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi dan
dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke
daerah kabupaten/kota, teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah provinsi dan pengawasan teknis dilakukan terhadap teknis
pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah kab/kota.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.
Mutu Pelayanan Dasar untuk setiap Jenis Pelayanan Dasar ditetapkan dalam
standar teknis, yang sekurang-kurangnya memuat: a. standar jumlah dan kualitas barang
dan/atau jasa; b. standar jumlah dan kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial;
dan c. petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan standar.

[232]
Fungsi pembina umum dan pembina teknis juga terkait dengan ketaatan terhadap
ketentuan peraturan Perundang-undangan termasuk ketaatan pelaksanaan Norma,
Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan tugas
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh APIP
harus berdasarkan kompetensi yang dimitiki terkait dengan pelaksanaan pengawasan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai fungsi dan
kewenangannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh APIP
dilaksanakan berdasarkan prinsip: profesional, independen, objektif, tidak tumpang
tindih antar-APIP, berorientasi pada perbaikan dan peringatan dini.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh APIP
dilakukan pada tahapan kegiatan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran
daerah, pelaksanaan Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pelaksanaan
program strategis nasional di daerah, berakhirnya masa jabatan kepala daerah untuk
mengevaluasi capaian rencana pcmbangunan jangka mcnengah daerah, dan pengawasan
dalam rangka tujuan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Deskripsi Masalah
1. Salah satu prinsip dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (SAKIP) dan
sesuai dengan prinsip pembinaan dan pengawasan (Binwas) yaitu Aparatur Pengawas
Internal Pemerintah (APIP) yaitu Ketaatan pada Peraturan Perundang-undangan.
2. Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri RI kepada Para Sekretaris
Jenderal dan Sekretaris Utama Kementerian/Lembaga, No. 188.2/2028/SJ, tanggal 28
April 2017, Perihal Permintaan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai
pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belum ada
Kementerian/lembaga yang menyampaikan usulan IKK masing-masing bidang
pemerintah untuk masukan dalam Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyusunan
IKK disesuaikan dengan kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota yang
sesuai dengan indikator SPM dari 6 (enam) bidang urusan pemerintahan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan
umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e.
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. Sosial.
3. Permensos No. 17 Tahun 2017 tentang Perencanaan Penyusunan Peraturan Per-UU-an
Bidang Kesejahteraan Sosial Tahun 2017-2019 yaitu Permensos tentang Standar Teknis
SPM Bidang Sosial dan penanggung jawabnya ada di Biro Perencanaan Kemensos.

Rekomendasi
 Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam PP No. 12
Tahun 2017 dan Permendagri No.110 Tahun 2017 tentang Kebijakan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2018, ketentuan umum disebutkan
Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) merupakan Inspektorat Jenderal
Kementerian, Unit Pengawas Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Inspektorat
Daerah Provinsi dan Inspektorat Daerah Kab/Kota. kebijakan pengawasan sebagai
dasar pelaksanaan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, meliputi
pengawasan umum, pengawasan teknis; dan pengawasan kepala daerah terhadap
Perangkat Daerah.

[233]
 Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat jenderal kementerian teknis
merupakan pengawasan teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah provinsi, meliputi capaian standar pelayanan minimal atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan
termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren,
dampak pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dan akuntabilitas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah.

Referensi
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Menteri Sosial No. 13 Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan Intensitas dan
Beban Kerja Urusan Pemerintah Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia;
 Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas
Sosial Daerah Provinsi dan Dinas Sosial Daerah Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.110 Tahun 2017 tentang Kebijakan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2018;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan
dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan
Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.

Jakarta, Agustus 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[234]
POLICY BRIEF
DAK BIDANG SOSIAL UNTUK PENERAPAN SPM BIDANG SOSIAL

Abstrak
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.
Urusan pemerintahan wajib merupakan Urusan Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh semua Daerah. Pelayanan dasar merupakan pelayanan publik
untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Standar Pelayanan Minimal merupakan
ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan
Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
SPM akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah provinsi dan kab/kota dalam
melaksanakan urusan wajib terkait pelayanan dasar, sedangkan bagi masyarakat SPM
merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 298 menyebutkan bahwa belanja daerah diprioritaskan
untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib pelayanan dasar yang ditetapkan dengan
standar pelayanan minimal (SPM) dan berpedoman pada analisis standar belanja dan
standar harga satuan regional. Belanja dana alokasi khusus (DAK) diprioritaskan untuk
mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk kegiatan nonfisik. Pemerintah Pusat
dapat menggunakan instrumen dana alokasi khusus (DAK).
Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren
berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, berwenang untuk menetapkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK)
dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan, melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam rangka untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi
kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan
Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada SPM Bidang
Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota, mencakup SPM sosial Daerah
provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial
Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial dasar di dalam panti bagi penyandang
disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia telantar, tuna sosial khususnya gelandangan
dan pengemis di dalam panti, sedangkan kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan
dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di
provinsi dan kab/kota.

[235]
Pendahuluan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebut dengan urusan
pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan bersama
(konkuren) wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan wajib dibagi atas pelayanan Dasar dan tidak pelayanan dasar.
Urusan wajib pelayanan dasar terdiri dari 6 (enam) urusan bidang yang meliputi: 1)
pendidikan; 2) kesehatan; 3) pekerjaan umum dan penataan ruang; 4) perumahan rakyat
dan kawasan permukiman; 5) ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan 6) Sosial.
Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian
dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang
RPJPD, RPJMD dan RKPD. Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber
pendanaan pada Pasal 175, disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka
pengeluaran jangka menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka
pendanaan dan pagu indikatif; dan urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman
pada SPM dan wajib bukan pelayanan dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai
dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan masyarakat, atau urusan pilihan yang
menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah. Dalam hal SPM dan NSPK belum tersedia,
maka target kinerja disesuaikan dengan standar biaya kebutuhan pelayanan dan
kemampuan Perangkat Daerah.
Perencanaan Pembangunan Daerah pada Pasal 260 UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda, Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen
perencanaan pembangunan Daerah pada Pasal 263, terdiri atas: RPJPD, RPJMD dan
RKPD.
Konsekuensi Menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas
nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan
kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan.

Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas


pembantuan, meliputi:
a. Kriteria dan Urusan Pemerintahan :
1. Kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi
berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian
urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Kriteria Fisik merupakan kegiatan yang bersifat fisik, seperti : pengadaan
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, dan kegiatan fisik lain
yang menghasilkan keluaran (output) dan menambah nilai aset pemerintah.
 Kriteria Non Fisik merupakan kegiatan yang bersifat non fisik, seperti :
koordinasi, perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.

[236]
2. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan melalui asas dekonsentrasi dan tugas
pembantuan pusat harus merupakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat. (sebagaimana diatur dalam lampiran UU Nomor 23
Tahun 2014)

Deskripsi Masalah
Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan
Perbedaan peruntukan Dana Alokasi Khusus antara UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daera, peruntukan
DAK untuk fisik, disebutkan besaran DAK ditetapkan dalam APBN ditetapkan dalam
RKP tahunan.
Sedangkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belanja DAK
diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk kegiatan
nonfisik.

Data Hasil Evaluasi Penerapan SPM Bidang Sosial Tahun 2013 yang dilakukan
oleh Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Masih Menunjukkan
Lemahnya Penerapan SPM Bidang Sosial di Daerah
 Penerapan SPM Bidang Sosial di Tingkat Provinsi, terdiri dari 7 (tujuh) Indikator dari 4
(empat) Jenis Pelayanan Dasar, yang memiliki laporan SPM berjumlah 88% (delapan
puluh delapan persen) dari jumlah 33 provinsi (minus Kaltara) yang melaporkan.
Provinsi yang tidak memiliki laporan SPM berjumlah 12% (dua belas persen).
 Penerapan SPM Bidang Sosial di Tingkat Kab/Kota, terdiri dari 7 (tujuh) Indikator dari
4 (empat) Jenis Pelayanan Dasar Tingkat Kabupaten/Kota, yang memiliki laporan SPM
berjumlah 36% (tiga puluh enam persen) dari jumlah 514 (lima ratus empat belas)
kab/kota yang memiliki laporan SPM. Kab/Kota yang tidak memiliki laporan SPM
berjumlah 64% (enam puluh empat persen).

Kajian Implementasi SPM Bidang Sosial Untuk Peningkatan Akses dan


Kualitas Pelayanan Dasar Bagi Penduduk/Masyarakat Miskin dan Rentan
Ringkasan Seminar Kajian Implementasi Standar Pelayanan Publik (SPM) untuk
Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar bagi Masyarakat Miskin dan Rentan
Pada tanggal 26 Oktober 2015, Bappenas telah melakukan seminar kajian implementasi
Standar Pelayanan Publik (SPM) untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar
bagi masyarakat miskin dan rentan. Seminar yang bertujuan memaparkan hasil
sementara dan menyempurnakan hasil analisa kajian implementasi SPM. Hasil kajian
diantaranya: kapasitas Stakeholder di daerah yang menangani SPM mengenai mutu, jenis
pelayanan dasar pemahaman bervariasi. Perlu dukungan DAK Bidang Sosial untuk
“Peningkatan Akses Pelayanan Dasar bagi 40% Penduduk Miskin dan Rentan”.

Kebijakan Penganggaran Dana Alokasi Khusus (DAK)


Mekanisme Pengalokasian DAK Fisik
 Pada bulan April dilakukan penetapan bidang/subbidang/menu kegiatan dan
format/template usulan Dana Alokasi Khusus (DAK).

[237]
 Pada bulan Mei dilakukan pemberitahuan kepada Pemda dan penyusunan dan
penyampaian usulan DAK oleh Pemda
 Pada bulan Agustus sampai Desember dilakukan penentuan Pagu Per Bidang/
SubBidang/SubJenis dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara
(RAPBN).

Pembahasan Hasil Penilaian Usulan Dana Alokasi Khusus (DAK)


BAPPENAS, menyusun daftar prioritas nasional per bidang/sub-bidang: Lokasi
prioritas nasional, target output kegiatan, lokasi kegiatan. Kementerian/Lembaga,
menyiapkan daftar kebutuhan teknis per bidang setiap daerah, meliputi: nama kegiatan,
target output kegiatan, satuan biaya, lokasi kegiatan. Kementerian Keuangan,
menyiapkan daftar kegiatan yang layak, satuan biaya, penyerapan, pagu, meliputi:
kinerja penyerapan, satuan biaya, ketersediaan pagu.
Ketiga Kementerian/Lembaga ini yaitu Bappenas, Kementerian Teknis dan
Kementerian Keuangan melakukan trilateral meeting, untuk: penghitungan dummy
alokasi DAK/bidang/daerah, penghitungan pagu DAK per jenis dan per bidang untuk
Rancangan APBN dan naskah kebijakan penyiapan Juknis DAK.

Belum Tersedianya Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial pada Setiap
Indikator SPM Bidang Sosial
DAK diprioritaskan untuk mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal di
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, terutama daerah yang sumber pendanaan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masih belum mampu melaksanakan
Standar Pelayanan Minimal. Sampai tahun 2017 belum ada DAK Bidang Sosial.
Rekomendasi
 Perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang
sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik menjadi berdasarkan urusan
(kewenangan) pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sehingga
berdampak kepada pembahasan anggaran Kemensos dengan Ditjen Anggaran
Kementerian Keuangan, bahwa anggaran untuk kegiatan dengan menggunakan
nomenklatur panti sudah tidak dapat dialokasikan di pusat karena sudah menjadi
kewenangan daerah provinsi, sedangakan urusan pemerintah pusat pada rehabilitasi
sosial lanjutan dengan nomenklatur “Balai” sehingga perlu ada alih fungsi dari
nomenklatur panti menjadi Balai berdasarkan Keputusan Menteri PAN dan RB yang
ditetapkan dan perlu anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial pada
usulan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di awal tahun untuk tahun berikutnya dalam
mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah yang belum
mampu APBD-nya.
 Ditjen Rehabilitasi Sosial menyusun DAK Bidang Sosial terkait rehabilitasi sosial dasar
di dalam panti bagi kewenangan provinsi dan rehabilitasi sosial dasar di luar panti
bagi kewenangan daerah kabupaten/kota untuk menghitung kebutuhan biaya per-
jenis pelayanan dasar bidang sosial.
 Pengintegrasian Instrumen DAK ke dalam proses implementasi Penerapan SPM dan
dokumen perencanaan daerah dan perlu komitmen agar tersedia DAK Bidang Sosial
Untuk Mendukung Penerapan SPM Bidang Sosial di Daerah
 SPM Sebagai Salah Satu Strategi Mengurangi Ketimpangan dan Penanggulangan
Kemiskinan

[238]
Referensi
 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Jakarta, 9 Juli 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[239]
POLICY BRIEF
INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK) DALAM PENYUSUNAN,
LAPORAN DAN EVALUASI PENYELENGGARAAN
PEMBANGUNAN DAERAH

Abstrak
Pembahasan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk penyusunan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan Laporan dan Pelaksanaan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Surat a.n Dirjen Otoda Sesditjen No.
005/11014/OTDA tanggal 22 Desember 2017. Disposisi Kepala Biro Perencanaan
menugaskan Analis Kebijakan Madya dan Kasubag Pemantauan dan Evaluasi Biro
Perencanaan, Kementerian Sosial RI untuk mengikuti dan berperan aktif dalam
pembahasan di ruang rapat Direktur Evaluasi Kinerja dan Peningkatan Kapasitas Daerah
EKPD), Ditjen Otoda Kemendagri.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas pembagian
urusan pemerintah konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kab/kota
dengan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) dan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) serta prioritas nasional yang diamanhkan setiap tahun dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tiap tahun atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di
daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar
Pelayanan Minimal (SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di
daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah, contoh: Persentase Anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan pengemis
yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti (kewenangan provinsi) dan di luar
panti (kewenangan Kabupaten/Kota);
Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci (outcome)
dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output. Indikator
outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari beberapa
kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan kab/kota,
memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa dibandingkan antar
provinsi dan kabupaten/kota;
Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;
Merumuskan dan menyusun satuan nilai perubahan indikator outcome dapat
berupa nilai absolut atau persentase perubahan outcome setiap tahun, skala perubahan
kinerja dengan interval perubahan capaian kinerja outcome yang disusun kedalam 5 klas
interval dengan menggunakan perubahan selama 5 tahun terakhir.

[241]
Pendahuluan
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik,
tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU
23 Tahun 2014.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan
serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk pelaksanaannya).
Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang didalamnya memuat 6 (enam) bidang diantaranya bidang sosial. SPM Sosial
di daerah Provinsi dengan materi muatan rehabilitasi sosial dasar di dalam Panti bagi
anak telantar, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan jaminan
sosial bagi korban bencana alam dan sosial.
Untuk di daerah Kab/Kota rehabilitasi sosial dasar di luar panti bagi anak telantar,
lanjut usia telantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan jaminan sosial bagi
korban bencana alam dan sosial.
RPP tentang Pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda dan Permendagri No. 86
Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan
Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan pada Pasal 175, disusun
berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta
perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan
urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan
dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan
masyarakat, atau urusan pilihan yang menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah. Target
kinerja disesuaikan dengan standar biaya kebutuhan pelayanan dan kemampuan
Perangkat Daerah.
Fakta yang terjadi sampai saat ini di bulan Oktober 2017, masih banyak daerah
provinsi yang belum mempunyai panti, bahkan beberapa Provinsi belum mempunyai
satu pun jenis dan mutu layanan Panti.
NSPK Permensos RI No. 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas (PD) oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial, Pasal 5

[242]
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dimaksudkan untuk memulihkan dan
mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
dilaksanakan dalam bentuk: bimbingan motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan
dan pengasuhan, bimbingan sosial dan konseling psikososial, bimbingan mental dan
spiritual, bimbingan fisik, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan,
pelayanan aksesibilitas, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, rujukan.
Tahapan pelaksanaan pada Pasal 8 disebutkan rehabilitasi sosial PD oleh Lembaga,
meliputi pendekatan awal, penerimaan, pengungkapan dan pemahaman masalah,
penyusunan rencana pemecahan masalah, pemecahan masalah, bimbingan sosial, mental,
fisik, vokasional, dan kewirausahaan, resosialisasi, terminasi, dan bimbingan lanjut.
NSPK Bidang Sosial Terkait Indikator SPM Bidang Sosial (RPP SPM Turunan UU
23/2014 yang telah ditetapkan (Maret 2015) Sebagai Pedoman Indikator Kinerja Daerah
(IKD) / Indikator Kinerja Kunci (IKK) Bidang Sosial, meliputi:

PROVINSI
Indikator SPM Bidang Sosial, meliputi:
1. Rehabsos/Pelayanan Lanjut Usia Telantar di Dalam Panti, dasar regulasi Bisnis Proses
Pelayanan, yaitu:
 Permensos 19/2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia;
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial
2. Rehabsos Penyandang Disabilitas Telantar di dalam Panti, dasar regulasi Bisnis
Proses Pelayanan, yaitu:
 Permensos 25/2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial;
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial;
3. Rehabsos Anak Telantar di dalam Panti, dasar regulasi Bisnis Proses Pelayanan,
yaitu:
 Permensos 30/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak;
 Permensos 21/2013 tentang Pengasuhan Anak;
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial.
4. Rehabsos Gelandangan dan Pengemis di dalam Panti, dasar regulasi Bisnis Proses
Pelayanan, yaitu:
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial;
 Permensos 01/2015 tentang Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial.
5. Penanganan Korban Bencana, dasar regulasi Bisnis Proses Pelayanan, yaitu:
 Permensos 01/2013 tentang Bantuan Sosial Korban Bencana (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 102) sebagaimana telah diubah dengan
Permensos 07/2013;

[243]
KAB/KOTA
1. Rehabsos Penyandang Disabilitas di luar Panti, Bisnis Proses Pelayanan, yaitu:
 Belum ada NSPK Permensos
2. Rehabsos Anak Telantar di luar Panti, Bisnis Proses Pelayanan, yaitu:
 Belum ada NSPK Permensos
3. Rehabsos Lanjut Usia Telantar di luar Panti, Bisnis Proses Pelayanan, yaitu:
 Belum ada NSPK Permensos
4. Rehabsos Gelandang dan Pengemis di luar Panti, Bisnis Proses Pelayanan, yaitu:
 Belum ada NSPK permensos
5. Penanganan Korban Bencana di Kab/Kota, Bisnis Proses Pelayanan, yaitu:
 Belum ada NSPK Permensos

Deskripsi Masalah
 Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi kriteria dan urusan pemerintahan, yaitu kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan
lampiran UU 23 Tahun 2014.
Urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan hanya untuk urusan
pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014. Bentuk kegiatan
TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta sesuai dengan ketentuan
penugasan.
Karena Pusat diantaranya urusan sosial tidak dapat lagi dilakukan pelayanan
langsung (direct services) ke masyarakat, maka urusan sosial yang termasuk urusan
konkuren dan termasuk urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM), perlu dipastikan pelayanan publik bidang sosial
kepada masyarakat dapat terus berjalan sesuai peraturan perundangan dan sesuai
dengan “Ketaatan pada Peraturan Perundang-undangan” sebagai salah satu prinsip
dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (SAKIP) dan sesuai dengan
prinsip pembinaan dan pengawasan (binwas) yaitu Aparatur Pengawas Internal
Pemerintah (APIP).
Jangan sampai “Pelayanan Publik Bidang Sosial di daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, tidak berjalan karena tidak di anggarkan oleh Pusat (APBN) dan
tidak juga dapat dianggarkan melalui APBD karena perubahan dari kebijakan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sebelumnya ditetapkan dengan PP No. 7
Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas. Belanja Daerah pada Pasal 298 UU
23/2014 tentang Pemda, diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib
yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal
(SPM).

 Pembagian kewenangan Sub Bidang Rehabilitasi Sosial antara pusat,


provinsi dan kabupaten kota masih tumpang-tindih Pelaksanaan urusan
Masih belum sepenuhnya pembagian kewenangan diantaranya perbedaan
antara fungsi panti milik pusat, provinsi. Apakah kewenangan panti milik pusat
menangani lintas provinsi atau dari aspek tahapan pelayanan sesuai dengan Peraturan

[244]
Menteri Sosial RI No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial dengan
Pendekatan Pekerjaan Sosial.

 Rehabilitasi Sosial di luar Panti pada kewenangan Kabupaten/Kota, belum


ada Peraturannya dan Implementasi di daerah belum sepenuhnya berjalan
Rehabilitasi sosial di luar panti yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota
belum ada regulasi dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK). Jenis
pelayanan apa saja? Apakah Rehabilitasi sosial berbasis keluarga (RBK) dan
Rehabilitasi sosial berbasis masyarakat (RBM) sudah berjalan? Apakah tenaga pemberi
layanan dari unsur Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) atau dari unsur
relawan yang masuk dalam unsur Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) non aparatur
seperti Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) atau tenaga pendamping program terkait
anak, lanjut usia, penyandang disabilitas, tuna sosial, atau dari unsur Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) atau tenaga kesejahteraan sosial lainnya.

Rekomendasi
1. Menyusun dan membahas Indikator Kinerja Kunsi (IKK) Bidang Sosial
Berdasarkan Urusan Konkuren dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
2. Pengintegrasian Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai dasar dari Penyusunan
Anggaran di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sebagai dasar sinergi
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dengan Perencanaan Pembangunan
Daerah (PPD).
3. Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka penyusunan
sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar Pelayanan Minimal
(SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di daerah sesuai
dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
4. Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah, contoh: Persentase Anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan
pengemis yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti (kewenangan provinsi)
dan di luar panti (kewenangan Kabupaten/Kota);
5. Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci (outcome)
dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output. Indikator
outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari beberapa
kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan kab/kota,
memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa dibandingkan antar
provinsi dan kabupaten/kota;
6. Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;
7. Merumuskan dan menyusun satuan nilai perubahan indikator outcome dapat berupa
nilai absolut atau persentase perubahan outcome setiap tahun;
8. Merumuskan dan menyusun skala perubahan kinerja dengan interval perubahan
capaian kinerja outcome yang disusun kedalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala
kinerja untuk masing-masing interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah

[245]
dan nilai tertinggi yang dicapai oleh seluruh Pemda provinsi atau Kab/Kota dengan
menggunakan perubahan selama 5 tahun terakhir.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM);
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin
 William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.

Jakarta, 10 Januari 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[246]
[247]
POLICY BRIEF
FUNGSIONAL PERENCANA & ANALIS KEBIJAKAN
PERBEDAAN FUNGSI, TUGAS, PERAN BERDASARKAN REGULASI

Abstrak
Meningkatnya kualitas birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik pada Buku
I Agenda Prioritas Nasional di Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), untuk mendukung peningkatan
daya saing dan kinerja pembangunan nasional di berbagai bidang, yang ditandai dengan:
terwujudnya kelembagaan birokrasi yang efektif dan efisien; meningkatkan kapasitas
pengelolaan reformasi birokrasi; diimplementasikannya UU Aparatur Sipil Negara secara
konsisten pada seluruh instansi pemerintah; dan meningkatnya kualitas pelayanan
publik.
Mandat dari UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pelaksanaan
manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara
kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan
kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan
promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu
ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan
mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan
menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara
Amanah dari UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, bahwa ASN sebagai
profesi berlandaskan pada prinsip: nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, komitmen,
integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, kompetensi yang
diperlukan sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi akademik
Fungsi, tugas, dan peran pada Pasal 10 UU 5/2014, Pegawai ASN berfungsi sebagai,
pelaksana kebijakan public, pelayan publik, dan perekat dan pemersatu bangsa. Jabatan
ASN terdiri atas: jabatan administrasi, jabatan fungsional; dan jabatan Pimpinan Tinggi.
Kebijakan nasional untuk rencana pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025
dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN). Kebijakan pembangunan 5 (lima) tahun dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden dan kebijakan
prioritas pembangunan setiap tahun berjalan yang ditetapkan dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP).
Kebijakan pembangunan ini dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) untuk
5 (lima) tahun mengacu pada RPJMN dalam Rencana Strategis (Renstra) K/L yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Rencana kerja (Renja) K/L mengacu pada RKP
setiap tahun berpedoman pada prioritas nasional setiap tahun melalui proses
perencanaan berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), dengan tahapan perencanaan, yaitu: penyusunan
rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana; dan evaluasi
pelaksanaan rencana.

[249]
Pendahuluan
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pasal 18
disebutkan bahwa pejabat dalam jabatan administrator bertanggung jawab memimpin
pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan
pembangunan.
Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan
fungsional keterampilan. Jabatan fungsional keahlian terdiri atas: ahli utama, ahli madya,
ahli muda; dan ahli pertama. Jabatan fungsional keterampilan terdiri atas: penyelia,
mahir, terampil, dan pemula. Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas: jabatan pimpinan
tinggi utama, jabatan pimpinan tinggi madya; dan jabatan pimpinan tinggi pratama.
Jabatan Pimpinan Tinggi berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN
pada Instansi Pemerintah
Fungsi, Tugas, dan Peran dari Fungsional Perencana berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 16/KEP/M.PAN/3/2001 tentang
Jabatan Fungsional Perencana dan Angka Kreditnya.
Fungsi, Tugas, dan Peran dari Fungsional Analis Kebijakan berdasarkan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No. 45 Tahun 2013
tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya.
Fungsi, Tugas dan Peran Jabatan Fungsional Perencana (JFP) dan Jabatan
Fungsional Analis Kebijakan (JFAK)
1. Jabatan Fungsional Perencana (JFP)
Fungsi, Tugas, dan Peran dari Fungsional Perencana berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 16/KEP/M.PAN/3/2001 tentang
Jabatan Fungsional Perencana dan Angka Kreditnya.
Perencana merupakan pegawai negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
kegiatan perencanaan pada unit perencanaan tertentu. Perencanaan, merupakan
kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan mengenai sasaran,
dan cara-cara yang akan dilaksanakan di masa depan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, pemantauan dan penilaian atas perkembangan hasil pelaksanaan yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Rincian kegiatan dan unsur yang dinilai dalam memberikan angka kredit:
2. Fungsional Perencana:
 Perencana Pertama, diantaranya mengumpulkan data dan informasi data sekunder,
inventarisasi sumber daya yang potensial dalam rangka identifikasi masalah,
todifikasi data dalam rangka pengolahan data dan informasi dan menentukan jenis,
kriteria dari permasalahan dalam rangka perumusan permasalahan
 Perencana Muda, diantaranya mengkaji alternatif berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan dan perkiraan dan penentuan anggaran/pembiayaan yang dibutuhkan,
serta saran tindaklanjut dalam perencanaan kebijakan strategis jangka pendek/
tahunan yang disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja
(Renja) K/L, regional, perencanaan sektor unggulan.
 Perencana Madya, diantaranya menyusun landasan kerangka teoritis dan asumsi/
hipotesis model dalam rangka penyusunan model hubungan kausal/fungsional,
mengkaji hasil-hasil pengujian model dalam rangka perumusan alternatif kebijakan

[250]
dan merumuskan tujuan realistis yang dapat dicapai dan mengkaji alternatif
kebijakan dan menyusun perkiraan anggaran/pembiayaan yang diperlukan dalam
perencanaan kebijakan Strategis Jangka Menengah, perencanaan kebijakan
strategis sektoral dan multi sektoral.
 Mengkaji, memberikan saran dan laporan (Penelitian/pendalaman) Perencanaan
kebijakan strategis jangka pendek/tahunan yang disebut Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja (Renja) K/L, regional, perencanaan sektor
unggulan.
 Perencana Utama, diantaranya mengkaji alternatif kebijakan dan menyusun
perkiraan anggaran/pembiayaan yang diperlukan dalam perencanaan kebijakan
Strategis Jangka Menengah, perencanaan kebijakan strategis sektoral dan multi
sektoral.
3. Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK)
Fungsi, Tugas, dan Peran dari Fungsional Analis Kebijakan berdasarkan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No. 45 Tahun
2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya.

Deskripsi Masalah
 Fungsional Perencana (JFP), menangani “Perencanaan Kebijakan (perencanaan,
penganggaran/pembiayaan) untuk 5 (lima) tahun yang disebut RPJMN dan Rencana
Stategis (RENSTRA), rencana tahunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan
Rencana Kerja (RENJA) Kementerian/Lembaga (K/L).
 Fungsional Analis Kebijakan, belum sepenuhnya merumuskan isu-isu kebijakan
dalam rumusan masalah kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dengan
Satuan Hasil: Memo Kebijakan, Telaahan, Ringkasan Kebijakan (Policy Brief),
Kertas Kebijakan (Policy Paper).
 Isu kebijakan, belum dipahami sepenuhnya oleh para fungsional Perencana dan Analis
Kebijakan, diantaranya: Sistem Pengawasan Intern Pemerintah (SPIP), Sinergi
Perencanaan dan Penganggaran antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peningkatan
Pelayanan Publik, SAKIP, Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi, Pendekatan penganggaran terpadu disesuaikan.

Rekomendasi
 Peran Perencana (JFP) dalam Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan
Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) dengan mengkaji, memberikan saran dan
laporan (Penelitian/pendalaman) perencanaan kebijakan strategis jangka
pendek/tahunan yang disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja
(Renja) K/L, regional, perencanaan sektor unggulan, dengan mengikuti tahapan
perencanaan sesuai UU 25/2004 tentang SPPN, yaitu: a) penyusunan rencana, b)
penetapan rencana, c) pengendalian pelaksanaan rencana; dan d) evaluasi pelaksanaan
rencana.

Terkait dengan penyusunan kebijakan


1. Pengkajian meliputi kegiatan perumusan masalah (problem definition) atau penetapan
tujuan (objective setting) dan evaluasi terhadap regulasi yang berkaitan dengan

[251]
substansi kebijakan. Langkah berikutnya adalah penyelenggaraan penelitian secara
mendalam (indepth analysis) terhadap substansi kajian yang telah ditetapkan.
2. Proses penelitian harus dilakukan dengan memperhitungkan konsep analisis dampak
biaya dan manfaat (Cost and Benefit Analysis dan Cost Effectiveness Analysis) untuk
menjamin dukungan anggaran operasionalnya.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN);
 Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN);
 Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 16/KEP/M.PAN/
3/2001 tentang Jabatan Fungsional Perencana dan Angka Kreditnya;
 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No.
45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya;
 Peraturan Pemerintah RI No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019.

Jakarta, 25 Juli 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[252]
LAMPIRAN

 Tugas, Fungsi dan Peran dari Fungsional Perencana dan Analis Kebijakan:
Fungsional Perencana sesuai tugas, fungsi dan peran, mengikuti proses
“Perencanaan Kebijakan” berdasarkan UU 25/2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), diantaranya:
- Para Fungsional Perencana di K/L, ikut terlibat dalam proses penyusunan RPJM
Nasional/Daerah dan RKP dilakukan melalui urutan kegiatan: penyiapan
rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana kerja,
musyawarah perencanaan pembangunan; dan penyusunan rancangan akhir
rencana pembangunan
- Para Fungsional Perencana di K/L, ikut terlibat dalam proses penyusunan
Rancangan RPJM Nasional dan rancangan RPJM Daerah pada Pasal 16 UU 25/2004
menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah. Musrenbang Jangka Menengah
diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur
penyelenggara Negara dan mengikutsertakan masyarakat. Menteri
menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Nasional.
- Para Fungsional Perencana di K/L, ikut terlibat dalam proses menyiapkan
rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional. Menteri
mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP dengan menggunakan rancangan
Renja-KL Pasal 25 menyebutkan, RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN.
- Para Fungsional Perencana di K/L, ikut terlibat dalam proses pengendalian
pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh para pimpinan Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Pimpinan Kementerian/Lembaga
melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Kementerian/
Lembaga periode sebelumnya.
- Para Fungsional Perencana di K/L, ikut terlibat dalam proses penyusunan evaluasi
rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan Kementerian/
Lembaga dan evaluasi Satuan Kerja Perangkat Daerah Hasil evaluasi menjadi bahan
bagi penyusunan rencana pembangunan Nasional/Daerah untuk periode
berikutnya.
- Kegiatan dalam tahapan perencanaan, diantaranya: Musyawarah Pembangunan
Nasional (Musrenbangnas)/Rapat Koordinasi, Penelitian Rencana kerja Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan kegiatan penyusunan Rencana Kerja K/L.
- Fungsional Perencana dalam menyusun “perencanaan kebijakan” memperhatikan
Sinergi perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah telah
diatur dalam berbagai peraturan perundangan pada Peraturan Pemerintah (PP)
No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, yang direvisi
pada tahun 2017, dengan substansi bahwa sebagian kewenangan urusan termasuk
penganggarannya diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur Wakil
Pemerintah Pusat (GWPP), sehingga bukan berdasarkan pada “Program/Kegiatan
tetapi pada “Urusan Wajib Pelayanan Dasar (SPM) dan Urusan Konkuren
(bersama antara Pusat, Provinsi, Kab/Kota)”. Pelayanan tidak dapat langsung dari
Pemerintah Pusat tetapi wajib diserahkan kewenangan kepada Gubernur, artinya
tidak boleh lagi dari Pusat melewati Provinsi, langsung ke Kabupaten/Kota.
- Fungsional Perencana dalam menyusun “perencanaan kebijakan” memperhatikan
Sinergi perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah telah

[253]
diatur dalam berbagai peraturan perundangan Dalam UU Nomor 25 tahun 2004,
dinyatakan bahwa RPJPN menjadi acuan dalam penyusunan RPJPD, RPJMN
diperhatikan dalam penyusunan RPJMD dan RKP diserasikan melalui Musrenbang
dalam penyusunan RKPD. Bahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa RPJMN menjadi acuan dalam penyusunan
RPJMD dan RKP menjadi acuan dalam penyusunan RKPD.
- Peningkatan Pelayanan Publik, dengan implementasi pelaksanaan standar
pelayanan minimal (SPM) dan pelayanan publik masih belum optimal. Dari hasil
evaluasi yang ada menunjukkan bahwa pencapaian SPM masih rendah. Rata-rata
pencapaian SPM masih jauh dari yang ditargetkan dalam RPJMN. Pencapaian
tersebut juga belum seluruh SPM dapat dilaksanakan pada masing-masing daerah.
Hal lainnya adalah belum sepenuhnya SPM terintegrasi dalam dokumen
perencanaan dan penganggaran. Di dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru,
yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014, terjadi beberapa perubahan terkait pembagian
urusan di dalamnya dan hal tersebut berdampak pada SPM. UU tersebut
mengamanatkan 6 (enam) urusan wajib terkait pelayanan dasar, yaitu: (1)
Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Pekerjaan Umum dan Tata Ruang; (4) Perumahan
Rakyat; (5) Sosial; dan (6) Ketenteraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat.
Keenam urusan tersebut wajib disusun dan dicapai target SPM-nya.
- Fungsional Perencana Tingkat Madya, mengembangkan skema-skema pendanaan
yang berkelanjutan bagi pembangunan dan pelayanan publik yang tercermin dalam
kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework).
- Sistem Pengawasan Inten Pemerintah dilatarbelakangi oleh permasalahan belum
sinkronnya pengaturan kewenangan pada masing-masing jenjang APIP dan
belum efektifnya pelaksanaan sistem pengendalian intern di instansi. Koordinasi,
sinkronisasi dan sinergitas lembaga pengawasan internal pemerintah dengan
sasaran peningkatan independensi dan profesionalisme APIP; dan mendorong
implementasi Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).

Fungsional Analis Kebijakan, merumuskan isu-isu kebijakan dalam rumusan


masalah kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dengan Satuan Hasil:
Memo Kebijakan, Telaahan, Ringkasan Kebijakan (Policy Brief), Kertas
Kebijakan (Policy Paper).
 Terkait tugas, fungsi dan peran dari JFP dan JFAK dari regulasi yang menjadi dasar
hukum JFP dan JFAK, diantaranya merumuskan, menyusun memperkirakan
perencanaan, penganggaran/pembiayaan dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), perencanaan sektoral (rencana tahunan yang disebut
RKP) dan perencanaan Multi Sektoral seperti Program Prioritas Nasional yang
ditetapkan dalam RKP Tahun berjalan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH),
Bantuan Pengembangan Sarana Usaha (BPSU), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
 Dari dasar hukum JFP dan JFAK berdasarkan fungsi, tugas, dan peran dari Fungsional
Perencana dan Fungsional Analis Kebijakan, perbedaan mendasar diantaranya:

Fungsional Perencana, Fungsi, Tugas dan Peran, meliputi:


 Perencana, yang disebut Jabatan Fungsional perencana (JFP), fungsi, tugas, dan peran
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.
16/KEP/M.PAN/3/2001 tentang Jabatan Fungsional Perencana dan Angka Kreditnya,

[254]
adalah perencanaan kebijakan, bekerjasama dengan “Pengambil Kebijakan” mengawal
proses dan Tahapan Perencanaan dalam UU 25/2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), yaitu: a) penyusunan rencana, b) penetapan rencana,
c) pengendalian pelaksanaan rencana; dan d) evaluasi pelaksanaan rencana dengan
mempertimbangan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, diantaranya:
- Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 53 tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan
Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis
perjanjian kinerja, pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi
pemerintah diatur mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja yang merupakan
lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih
tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan
program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.
- Target kinerja yang diperjanjikan juga mencakup outcome yang dihasilkan dari
kegiatan tahun-tahun sebelumnya,sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap
tahunnya. Pihak yang menyusun Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga
yaitu Pimpinan tertinggi (Menteri dan Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit kerja (Eselon I). Perjanjian Kinerja
di tingkat unit kerja(Eselon I) ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan dan
disetujui oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan Satuan Kerja.
- Waktu penyusunan perjanjian kinerja disusun setelah suatu instansi pemerintah
telah menerima dokumen pelaksanaan anggaran, paling lambat satu bulan setelah
dokumen anggaran disahkan. Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian
Kinerja menyajikan Indikator Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-hasil yang
utama dan kondisi yang seharusnya, tanpa mengesampingkan indikator lain yang
relevan. Perjanjian kinerja ditingkat satuan kerja ditandatangani oleh pimpinan
satuan kerjadan pimpinan unit kerja.
- Untuk tingkat K/L, menggambarkan dampak dan outcome yang dihasilkan serta
menggunakan Indikator Kinerja Utama K/L/Pemda dan indikator kinerja lain yang
relevan. Untuk tingkat Eselon I, sasaran yang digunakan menggambarkan dampak
pada bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja
Utama Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.
- Untuk tingkat Eselon II, sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II.
Fungsional Perencana bekerjasama dengan Pengambil Kebijakan dalam hal ini
Pejabat Struktural di Kementerian Sosial RI berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi yang
ada dalam Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja (OTK), agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat
dicapai oleh Kementerian Sosial, sampai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian
Sosial, perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:
1. Pendekatan penganggaran terpadu
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan.

[255]
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak
ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang
merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
2. Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari APBN
(belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji,
uang makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar Rp. 3.596,2T yang
digunakan untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas termasuk Quickwins/
Program lanjutan serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga 3 Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L dituangkan dalam Matriks Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan dipertajam besaran
pendanaan dan distribusi tahunannya dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan
mempertimbangkan Kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi, struktur dan
kewenangan Kementerian/Lembaga, satuan harga, belanja Non K/L dan Transfer
Daerah sebagai kelengkapan, pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi,
sasaran yang direncanakan dapat bersifat kumulatif atau tahunan.
3. Matriks RPJMN Pada Kementerian Sosial Tahun 2015-2019
- Menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Sosial Tahun 2015-2019, meliputi belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang
melekat pada gaji, uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan
dalam perencanaan tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.
- Menyusun perkiraan anggaran/pembiayaan dalam perencanaan kebijakan Strategis
Jangka Menengah yang disebut RPJMN, perencanaan kebijakan strategis sektoral
dalam rencana tahunan yang disebut RKP dan multi sektoral yang dalam
dokumen perencanaan pembangunan nasional dalam rencana 5 (lima) tahunan,
tahunan (RKP) merupakan program prioritas nasional seperti Program Keluarga
harapan (PKH), Bantuan pengembangan Sarana Usaha (BPSU), Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), Rehabilitasi Sosial
dalam dan luar panti bagi anak telantar, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas
telantar, tuna sosial diantaranya gelandangan dan pengemis.
4. Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
5. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga

[256]
Memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun
dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif yang mengacu pada
prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta memuat kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
6. Tahapan dan Mekanisme Perencanaan
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, evaluasi pelaksanaan rencana.
Tahapan penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD meliputi penyiapan
rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana kerja,
musyawarah perencanaan pembangunan, penyusunan rancangan akhir rencana
pembangunan.
7. Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan
Menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional dan
menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP menjadi pedoman penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Fungsional Analis Kebijakan


Analis Kebijakan, yang disebut Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK), fungsi,
tugas, dan peran berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi RI No. 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan
dan Angka Kreditnya,
 Unsur: Kajian dan Analisis Kebijakan
 Sub-Unsur: Riset dan Analisis Kebijakan
 Butir Kegiatan: Merumuskan isu-isu kebijakan dalam rumusan masalah
kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dengan Satuan Hasil: Memo
Kebijakan (Angka Kredit 3), Telaahan (Angka Kredit 5), Ringkasan Kebijakan
(Policy Brief) dengan Angka Kredit 10, Kertas Kebijakan (Policy Paper) dengan
Angka Kredit 15.

[257]
POLICY BRIEF
KEBIJAKAN DEKONSENTRASI & TUGAS PEMBANTUAN
PADA RKP 2018 & RKP 2019

Abstrak
Strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Pelaksanaan strategi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam empat tahap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap-tiap tahap memuat rencana dan
strategi pembangunan untuk lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Permen PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan yang holistik,
integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral meeting) pada RKP
2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 4792/D.4/05/2018
tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk pembahasan pada
Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui pengurangan kemiskinan dan
peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata kelola layanan dasar
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
UU No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Tahun 2018 sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung
terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip

[259]
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut akan diimplementasikan melalui
pencapaian sasaran pembangunan di tiap tahun dengan fokus yang berbeda, sesuai
dengan tantangan dan kondisi yang ada. Fokus kegiatan tersebut diterjemahkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah di tiap-tiap tahun.

Pendahuluan
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
Surat Dinas Sosial, Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Jambi kepada Kepala
Biro Perencanaan Kementerian Sosial, Hal: Sosialisasi kebijakan perencanaan dan
pengangaran pusat dan daerah terkait dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pada
tanggal 27-28 April 2018 di Jambi, dengan disposisi Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Sosial kepada Syauqi, Analis Kebijakan Madya, Biro Perencanaan,
Kementerian Sosial.
APBN Tahun Anggaran 2018 disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2018, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan
Fiskal Tahun 2018 sebagaimana telah dibahas dan disepakati bersama, baik dalam
Pembicaraan Pendahuluan maupun Pembicaraan Tingkat I Pembahasan APBN Tahun
Anggaran 2018 antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Selain itu, APBN Tahun Anggaran 2018 juga mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial,
dan perkembangan internasional dan domestik dalam beberapa bulan terakhir, serta
berbagai langkah antisipatif yang telah ditempuh dalam tahun 2017, maupun rencana
kebijakan yang akan dilaksanakan di tahun 2018.
Sembilan agenda (Nawa Cita) merupakan rangkuman program-program yang
tertuang dalam visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang dijabarkan dalam strategi
pembangunan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019 yang terdiri atas empat bagian utama, yaitu i) Norma Pembangunan;
ii) Tiga Dimensi Pembangunan; iii) Kondisi Perlu, agar pembangunan dapat berlangsung;
dan iv) Program-Program Quick Wins. Tiga dimensi pembangunan dan kondisi perlu dari
strategi pembangunan memuat sektor-sektor yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang selanjutnya
dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2018 berikut ini.
Pertama, Dimensi Pembangunan Manusia merupakan penjabaran agenda
pembangunan nasional yang tercantum dalam Nawa Cita, meliputi antara lain
peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia, melakukan revolusi karakter bangsa,
memperteguh kebhinekaan, dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Prioritasnya
adalah sektor pendidikan dengan melaksanakan Program Indonesia Pintar, sektor

[260]
kesehatan dengan melaksanakan Program Indonesia Sehat, perumahan rakyat,
melaksanakan revolusi karakter bangsa, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat
restorasi sosial Indonesia, dan melaksanakan revolusi mental.
Kedua, program-program pembangunan dalam Dimensi Pembangunan Sektor
Unggulan merupakan penjabaran dari Nawa Cita yang menghadirkan kembali negara
untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga
negara meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik. Prioritas pembangunan sektor unggulan meliputi kedaulatan pangan,
kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman, pariwisata, industri, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, seluruh penduduk telah memperoleh manfaat dari pertumbuhan
pendapatan nasional yang dicerminkan oleh meningkatnya konsumsi per kapita
penduduk. Oleh karena itu, melalui Dimensi Pembangunan Pemerataan dan
Kewilayahan, untuk peningkatan kualitas hidup diupayakan melalui prioritas pada
pemerataan antarkelompok pendapatan, dan pengurangan kesenjangan pembangunan
antarwilayah. Program-program dalam dimensi ini merupakan penjabaran Nawa Cita
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dan
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
Untuk mendukung pelaksanaan tiga dimensi pembangunan tersebut, perlu ada
suatu Kondisi Perlu. Program-program pembangunan untuk menciptakan Kondisi Perlu
merupakan penjabaran Nawa Cita menghadirkan kembali negara untuk melindungi
segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara,
mengembangkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif demokratis, dan
terpercaya, serta memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Kondisi Perlu
meliputi program peningkatan kepastian dan penegakan hukum, keamanan dan
ketertiban, politik dan demokrasi, serta tata kelola dan reformasi birokrasi.
Agar prioritas sasaran pembangunan nasional dan prioritas nasional lainnya
tersebut dapat tercapai, salah satu hal yang perlu dilakukan Pemerintah adalah
mengoptimalkan Penerimaan Perpajakan dan PNBP. Peningkatan Penerimaan
Perpajakan dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Lebih lanjut, pencapaian prioritas sasaran pembangunan juga dicapai melalui
langkah-langkah efisiensi sumber pembiayaan yang diantaranya dengan mengutamakan
pembiayaan dalam negeri, pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif, serta
pemanfaatan pinjaman luar negeri secara selektif yang diutamakan untuk pembangunan
infrastruktur dan energi.
Desa tertinggal dan desa sangat tertinggal merupakan status desa yang ditetapkan
oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan
jumlah penduduk miskin tinggi merupakan desa tertinggal dan desa sangat tertinggal
yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak yang berada pada kelompok desa
desil ke 8 (delapan), 9 (sembilan), dan 10 (sepuluh).
Data jumlah desa, jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah
desa, dan tingkat kesulitan geografis desa bersumber dari kementerian yang berwenang
dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.
Dalam hal data tidak tersedia, perhitungan Dana Desa menggunakan data tahun
sebelumnya dan/atau menggunakan rata-rata data desa dalam satu kecamatan dimana
desa tersebut berada.

[261]
Kebijakan dana transfer ke daerah berdasarkan prioritas nasional pada Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun bahwa pengalokasian DAK Fisik bertujuan untuk
membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas
nasional.
DAK Reguler dialokasikan kepada daerah provinsi/kabupaten/kota berdasarkan
usulan daerah kepada kementerian negara/lembaga yang menjadi prioritas nasional.
Besaran alokasi DAK Reguler dihitung berdasarkan usulan daerah dan data teknis,
dengan memperhatikan prioritas nasional, dan kemampuan keuangan negara.
DAK Penugasan dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus dalam rangka
pencapaian sasaran prioritas nasional dengan menu terbatas dan lokus yang ditentukan.
Besaran alokasi DAK Penugasan untuk masing-masing daerah dihitung berdasarkan
usulan daerah dan data teknis, dengan memperhatikan prioritas nasional dan
kemampuan keuangan negara.
DAK Afirmasi dialokasikan untuk daerah kabupaten/kota yang termasuk kategori
daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal, daerah kepulauan, dan/atau
daerah transmigrasi. Kabupaten/kota daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah
kepulauan, dan daerah transmigrasi ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Besaran alokasi DAK Afirmasi masing-masing daerah dihitung berdasarkan usulan
daerah dan data teknis dengan memperhatikan karakteristik daerah dan kemampuan
keuangan negara. Penetapan pagu DAK Reguler per bidang didasarkan pada kebutuhan
daerah dan pencapaian prioritas nasional.
Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Kementerian Sosial TA 2019 dengan
tantangan dan masalah diantaranya jumlah penduduk (dalam ribuan) tahun 2015 adalah
255.461.70. Jumlah penduduk tahun 2020 (dalam ribuan) adalah 271066.40 dan jumlah
penduduk tahun 2025 (dalam ribuan) adalah 284829.00. Kemiskinan pada bulan
September 2017 mencapai 26.58 juta jiwa (10.12 persen). Indeks Gini pada bulan
September 2017 mencapai 0.391. Pertumbuhan ekonomi 5,01% (Kuartal I 2017) (Asumsi
APBN 2017: 5,1% ). Pengangguran 7,01 Juta Jiwa (5,33%) (Per Februari 2017, BPS). Inflasi
4,37% (Juni 2017) (Asumsi APBN 2017: 4,0%).
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang profesional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 terkait dengan
penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran;
pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi. Kegiatan
prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat
sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi keluarga miskin secara
non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan pangan
melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target 15.600.000 KPM. Kesejahteraan

[262]
Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak. Verifikasi dan Validasi Data dengan
target 96.700.000 Jiwa.
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga
(P2K2) dengan target 3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun
2018, meliputi kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD)
dengan target 28.383 Orang. Literasi khusus bagi PD Netra dengan target 35 jenis.
Pemberian alat bantu bagi PD dengan target 3.000 unit. Pemberian rehabilitasi/pelayanan
sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 Orang. Pemberian layanan home care bagi
lanjut usia dengan target 14.910 Orang. Bantuan darurat korban bencana alam dengan
target 92.000 Jiwa. Penyediaan taruna siaga bencana dengan target 34.628 Orang.
Program prioritas pemenuhan kebutuhan dasar tahun 2018, meliputi kegiatan
korban bencana sosial yang mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
137.000 Jiwa. Pembangunan rumah bagi warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan
target 2.099 Keluarga. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan target
10.775 Keluarga. Pengembangan Sistem dan Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan
target 130 Kab/Kota. Sistem Pelayanan Sosial Terpadu melalui Pusat Kesejahteraan
Sosial (Puskesos) dengan target 260 desa. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/Pekerja
Sosial yang telah mendapatkan sertifikasi dengan target 3.000 Orang. Lembaga
Kesejahteraan Sosial (LKS) yang mendapatkan akreditasi dengan target 2.000 LKS.
Program prioritas perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi tahun 2018 dengan
kegiatan Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (KUBe) dengan target
119.020 Orang. Program prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit tahun 2018 dengan
kegiatan Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS dan target 821 Orang. Program
prioritas kepastian hukum dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan dan
target 750 orang.
Alokasi APBN 2018 Nasional adalah 2.220,7 T dengan rincian belanja Pemerintah
Pusat : 1.454,5 T meliputi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebanyak 847,4 T, belanja
Non K/L sebanyak 607,1 T. Dana transfer ke daerah dan dana desa sebanyak 766,2 T.
Postur anggaran Kementerian Sosial Tahun 2018, meliputi :
 Sekretariat Jenderal dengan jumlah anggaran 332.315.654.000 (0,80%)
 Inspektorat Jenderal dengan jumlah anggaran 44.088.417.000 (0,11%).
 Ditjen Pemberdayaan Sosial dengan jumlah anggaran 433.823.251.000 (1,05%).
 Ditjen Rehabilitasi Sosial dengan jumlah anggaran 1.006.519.857.000 (2,44%).
 Ditjen Perlindungan dan Jamnan Sosial dengan jumlah anggaran 17.671.377.420.000
(42,79).
 Ditjen Penanganan Fakir Miskin dengan jumlah anggaran 21.455.112.967.000
(51,95%).
 Badiklitpensos dengan jumlah anggaran 352.504.520.000 (0,85%).
Jumlah total anggaran Kementerian Sosial adalah 41.295.742.086.000.

Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program


Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.

[263]
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman, peningkatan nilai
tambah ekonomi melalui pertanian, industri, dan jasa produktif, pemantapan ketahanan
energi, pangan dan sumber daya air dan stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan
Pemilu.
Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
Kegiatan prioritas peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat dengan
penguatan germas pengendalian penyakit. Kegiatan prioritas Program prioritas
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Perumahan dan Permukiman Layak dengan
penyediaan akses hunian layak dan terjangkau.
Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca
bancana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha.
Kegiatan prioritas kantibmas dan keamanan siber dengan penanganan konflik
sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan penanggulangan terorisme.
Kebijakan penganggaran dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya, melalui perencanaan, evaluasi dan analisa program prioritas nasional dalam
rangka penyesuaian antara Renstra, Krisna dan RKA-KL, Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial, kajian pengalokasian anggaran melalui Dana Alokasi Khusus
(DAK), penguatan layanan informasi kepada publik, penguatan SDM pengelola
keuangan, pendampingan pengelolaan dan pelaporan keuangan, penyesuaian SOTK,
penatausahaan aset Kementerian Sosial seluruh Indonesia, dukungan regulasi dalam
pelaksanaan program prioritas nasional di Kementerian Sosial.
Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Sosial dengan
memperkuat pengawasan pelaksanaan program-program prioritas nasional Kemensos,
penguatan kapasitas SDM Auditor, oprimalisasi Sistem Manajemen Operasional (SIMOP)
Program Pengawasan.
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan
pada setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan

[264]
fungsi Makam Pahlawanan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi
tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah
Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

Analisis Masalah
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan perencanaan pembangunan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pembangunan tahunan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:
1. Pendekatan penganggaran terpadu
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.

[265]
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak
ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang
merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
2. Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari APBN
(belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji,
uang makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar Rp. 3.596,2T yang
digunakan untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas termasuk Quickwins/
Program lanjutan serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga 3 Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L dituangkan dalam Matriks Rencana Pembangunan Jangka
Menengah.

Rekomendasi
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional:
 RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
 RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra
SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun
dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun
dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD
yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).

Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah


UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan

[266]
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan
setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan di kab/kota.
 Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah satu
penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
 Beberapa perubahan penting RPP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan. Tugas Pembantuan
(TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan hanya untuk
urusan pemerintahan konkuren selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta
sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya).
 Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
 Pemerintah Pusat menyerahkan sebagaian urusan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU 23/2014 dan perubahan dari PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan berdasarkan urusan,
konsekuensinya anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari Pusat
ke Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke
Gubernur.
 Kejelasan urusan wajib terkait pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Urusan Konkuren (bersama) bidang sosial.
 Urusan konkuren bidang sosial pada Sub-bidang rehabilitasi sosial dalam panti dan
lembaga untuk provinsi dan luar panti dan lembaga untuk kabupaten/kota belum ada
payung hukumnya berupa NSPK.
 Diperlukan adanya Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial Mendukung Setiap
Urusan Konkuren Bidang Sosial di Provinsi dan Kabupaten/Kota

[267]
Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, Mei 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[268]
POLICY BRIEF
ISU KRUSIAL KERJASAMA DAERAH DAN PRIORITAS NASIONAL

Abstrak
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada
pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah.
Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab
akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat
Daerah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi
yang seluas-luasnya.
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah
tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional
maka Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dengan ditetapkannya PP No. 28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah dan pada
pada Pasal 363 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerjasama yang
didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling
menguntungkan.
Kerjasama dapat dilakukan oleh daerah dengan daerah lain, pihak ketiga dan/atau
lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Kerjasama dengan Daerah lain dikategorikan menjadi kerjasama wajib dan
sukarela. Kerjasama Wajib pada Pasal 364, merupakan kerjasama antar-Daerah yang
berbatasan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang memiliki eksternalitas
lintas daerah dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama.
Berdasarkan disposisi Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI atas Surat
Undangan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang Kerjasama Daerah pada Jumat 8 September 2017 menugaskan Ahmad
Shobirin dan Syauqi, Analis Kebijakan Madya di Biro Perencanaan, Kementerian Sosial
RI, untuk menghadiri.

Pendahuluan
Kerja Sama Daerah (KSD) merupakan usaha bersama antara daerah dan daerah
lain, antara daerah dan pihak ketiga, dan/atau antara daerah dan lembaga atau

[269]
pemerintah daerah di luar negeri yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi
pelayanan publik serta saling menguntungkan.
Kerja Sama Daerah dengan Daerah lain (KSDD) merupakan usaha bersama yang
dilakukan oleh daerah dengan daerah lain dalam rangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah untuk kesejahteraan masyarakat dan
percepatan pemenuhan pelayanan publik.
Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga, merupakan usaha bersama yang
dilakukan daerah dengan pihak ketiga dalam rangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan percepatan pemenuhan pelayanan publik.
Kerja Sama Daerah dengan lembaga di luar negeri merupakan usaha bersama yang
dilakukan daerah dengan lembaga di luar negeri dalam rangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan percepatan pemenuhan pelayanan publik.
KSDD, daerah diwakili oleh Gubernur atau bupati/walikota yang bertindak untuk
dan atas nama daerah serta dapat memberikan kuasa kepada pejabat di lingkungan
perangkat daerah untuk menandatangani perjanjian kerjasama.
Kategori kerjasama ada 2 (dua) yaitu wajib dan sukarela. Kerjasama wajib
dilaksanakan oleh 2 (dua) atau lebih daerah yang berbatasan untuk penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang memiliki eksternalitas lintas daerah dan penyediaan layanan
publik yang lebih efisien jika dikelola bersama.
Kerjasama sukarela dilaksanakan oleh 2 (dua) atau lebih daerah yang berbatasan
atau tidak berbatasan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah namun dipandang lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan dengan
bekerjasama.

Deskripsi Masalah
1. Belum sepenuhnya kerja terintegrasi dalam dokumen Perencanaan Pembangunan
Daerah (PPD) 5 (lima) tahunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) dan 1 (satu) Tahunan berupa Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) Kerja Sama Daerah Dengan Daerah lain (KSDD) dilakukan dalam rangka
pelayanan publik dan untuk efisien serta efektif dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan
2. Implementasi selama ini daerah belum sepenuhnya melaksanakan KSDD yang
objeknya belum tercantum dalam perencanaan pembangunan daerah dengan
ketentuan untuk mengatasi kondisi darurat dan mendukung program prioritas
nasional serta melaksanakan penugasan berdasarkan asas tugas pembantuan.
3. Daerah melaksanakan kerjasama selama ini, belum pernah melaporkan ke pembina
teknis daerah yaitu Kementerian Teknis. Tahapan dan dokumen kerjasama dalam
penyelenggaraan KSDD melalui: persiapan, penawaran, penyusunan kesepakatan
bersama, penandatanganan kesepakatan bersama, persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), penyusunan perjanjian kerjasama, penandatanganan
perjanjian kerjasama, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
4. Kelembagaan kerjasama oleh Kepala Daerah belum ada yang membentuk Sekretariat
Kerja Sama dalam penyelenggaraan KSDD dengan dilakukan secara terus menerus,
memiliki kompleksitas tinggi dan jangka waktu kerjasama paling singkat 5 (lima)
tahun.

[270]
5. Dalam hal kerjasama wajib yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, Pemerintah
Pusat belum pernah mengambil alih pelaksanaan urusan pemerintahan yang
dikerjasamakan. Begitu pula, kerja sama wajib yang tidak dilaksanakan oleh daerah
Kabupaten/Kota, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) mengambil alih
pelaksanaan urusan pemerintahan yang dikerjasamakan.
6. Menteri/Kepala Lembaga pemerintah Non Kementerian teknis belum sepenuhnya
berkoordinasi dan bekerjasama dengan Menteri (Menteri Dalam Negeri) melakukan
pembinaan, evaluasi terhadap kendala yang menyebabkan tidak terlaksananya
kerjasama wajib tersebut.
7. Belum sepenuhnya kerjasama Dengan Pihak Ketiga (KSDPK) meliputi kerjasama
penyediaan pelayanan publik, pengelolaan aset, investasi. Objek kerjsama dalam
rangka efisiensi dan efektifitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
Dokumen kerjasama yang berupa kontrak/perjanjian kerja sama memuat: hak dan
kewajiban para pihak, jangka waktu kerjasama dan sanksi bagi pihak yang tidak
memenuhi perjanjian. Rencana kerjasama memuat: subjek kerjasama, latar belakang,
maksud tujuan dan sasaran, objek kerjasama, ruang lingkup kerjasama, sumber
pembiayaan, jangka waktu pelaksanaan.
8. Belum sepenuhnya kerjasama dengan lembaga luar negeri dalam pelaksanaan suatu
urusan, antara Menteri yang membidangi urusan luar negeri menyusun naskah kerja
sama, Pembina Umum Daerah yaitu kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Teknis sebagai pembina teknis daerah.
9. Selama ini belum sepenuhnya berjalan, kerjasama antar kementerian lembaga Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri membahas
rancangan naskah kerja sama dengan pemerintahan daerah di luar negeri.
Penyelenggaraan Kerja Sama Daerah Dengan Lembaga di Luar Negeri (KSDLL) yang
dilakukan daerah dengan organisasi internasional, lembaga non profit berbadan
hukum di luar negeri.

Analisis
 Solusi bagi Provinsi dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan Wajib terkait
pelayanan dasar bidang sosial pada Sub-Bidang Rehabilitasi Sosial di Provinsi, adalah:
Rehabilitasi sosial anak telantar, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas telantar,
gelandangan dan pengemis, berdasarkan Rancangan PP Kerja Sama, bagi daerah
provinsi yang tidak mempunyai panti, dapat bekerjasama dalam dukungan keuangan
di dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) untuk Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 5 (lima) tahun dan Rencana Kerja
Pembangunan (RKP) Tahunan untuk dialokasikan di APBD Provinsi dengan
dilakukan Kerja Sama Daerah Dengan Daerah Lain (KSDD) dapat terdiri dari 2 (dua)
atau 3 (tiga) provinsi untuk menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial dan Urusan Konkuren Bidang Sosial Sub-Bidang Rehabilitasi Sosial.
 Sebuah solusi bagi Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan
Wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Urusan Konkuren (urusan bersama) bidang sosial pada Sub-Bidang
Rehabilitasi Sosial yaitu “Rehabilitasi sosial di luar panti bagi anak telantar, lanjut usia
telantar, penyandang disabilitas telantar, gelandangan dan pengemis, berdasarkan
Rancangan PP Kerja Sama, maka Kab/Kota dapat bekerja sama dalam dukungan
keuangan di dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) untuk Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 5 (lima) tahun dan Rencana Kerja
Pembangunan (RKP) Tahunan untuk dialokasikan di APBD Kab/Kota dengan
dilakukan Kerja Sama Daerah Dengan Daerah Lain (KSDD) dapat terdiri dari 2 (dua)

[271]
atau 3 (tiga) Kab/Kota untuk menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial dan Urusan Konkuren Bidang Sosial Sub-Bidang Rehabilitasi Sosial.
 Kerja Sama yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Sosial RI dengan Provinsi
maupun Kabupaten/Kota sudah menabrak peraturan Perundang-undangan yaitu UU
No. 23 Tahun 2014 dan turunannya, baik PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah dan PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan (Binwas)
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa Menteri Dalam
Negeri sebagai Pembina Umum Daerah dan Menteri Teknis (diantaranya menteri
Sosial) sebagai Pembina Teknis daerah.
 Karena hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah (Provinsi dan
Kab/Kota) merupakan hubungan “Hierarkis Asymetris” bahwa pemberian otonomi
yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara
kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara
atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu,
seluasnya apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.
Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan
dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi,
daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat
lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara
keseluruhan.

Rekomendasi
1. Pemerintah Pusat menyerahkan sebagaian urusan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU 23/2014 dan perubahan dari PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan berdasarkan urusan,
konsekuensinya anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari Pusat
ke Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke
Gubernur.
2. Kejelasan urusan wajib terkait pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Urusan Konkuren (bersama) bidang sosial.
3. Urusan konkuren bidang sosial pada Sub-bidang rehabilitasi sosial dalam panti dan
lembaga untuk provinsi dan luar panti dan lembaga untuk kabupaten/kota belum ada
payung hukumnya berupa NSPK.
4. Konsekuensi Menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban menteri atas nama
Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/
lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi
pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri
sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap penyelenggaraan

[272]
Pemerintahan Daerah. Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian
melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut
diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
5. Sinergi Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dengan Perencanaan
Pembangunan Daerah (PPD) berdasarkan UU RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;

Jakarta, Juli 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[273]
POLICY BRIEF
BAGAIMANA KOMPETENSI KERJA ASN DAERAH BIDANG SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH ?

Abstrak
Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri RI kepada Para Sekretaris
Jenderal dan Sekretaris Utama Kementerian/Lembaga, No. 188.2/2028/SJ, tanggal 28
April 2017, Perihal Permintaan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai pelaksanaan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belum ada Kementerian/lembaga
yang menyampaikan usulan IKK masing-masing bidang pemerintah untuk masukan
dalam Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Laporan dan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyusunan IKK disesuaikan dengan
kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan konkuren dari masing-
masing bidang pemerintah.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.
Tercapainya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah
Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri berbasis
kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran perumus Standar
Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan
Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah sehingga dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri tentang Standar Kompetensi.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/
kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat berpedoman pada
NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan
personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang diperlukan
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dengan
cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir yang kuat dan
memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Pendahuluan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
pengisian Jabatan Perangkat Daerah diisi oleh pegawai aparatur sipil negara sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Pegawai aparatur sipil negara yang
menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, dan jabatan pengawas

[275]
pada Perangkat Daerah wajib memenuhi persyaratan kompetensi teknis, manajerial,
dan sosial kultural.
Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah kabupaten/kota
dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dengan menerapkan prinsip
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam penataan Perangkat Daerah.
Pemetaan Urusan Pemerintahan dan nomenklatur dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang intensitas Urusan Pemerintahan Wajib dan potensi Urusan
Pemerintahan Pilihan serta beban kerja penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.
Pemetaan Urusan Pemerintahan digunakan untuk menentukan susunan dan tipe
Perangkat Daerah.
Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial, tugas
menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi, meliputi:
- Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Sosial di daerah
- Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi
di lingkungan Kementerian Sosial.
Adapun tugas tambahan lain yang diamanatkan dalam peraturan Perundang-
undangan diantaranya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/2014
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) terutama pada penerapan
urusan bidang sosial di daerah dan sinergi perencanaan pusat dengan daerah.
Pemberdayaan Sosial dengan layanan pemberdayaan potensi sumber kesejahteraan
sosial perorangan, meliputi pekerja sosial (peksos), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM),
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), meliputi: penyediaan data Potensi
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) perorangan.
Berdasarkan Permensos No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial, rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan tahapan:
pendekatan awal, pengungkapan dan pemahaman masalah, penyusunan rencana
pemecahan masalah, pemecahan masalah, resosialisasi, terminasi, bimbingan lanjut.
Urusan konkuren di provinsi dan kabupaten/kota, meliputi: Rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas di dalam dan di luar panti/lembaga. Rehabilitasi sosial dan
pelayanan sosial anak, yaitu anak balita telantar, anak telantar, anak berhadapan hukum,
anak penyandang disabilitas, anak membutuhkan perlindungan khusus di dalam dan di
luar panti/lembaga. Pelayanan lanjut usia telantar, rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan/pengemis di dalam dan di luar panti/lembaga.

Deskripsi Masalah
Belum adanya Standar Kompetensi ASN Bidang Sosial di daerah Provinsi dan
Kab/Kota
Selain memenuhi kompetensi, pegawai aparatur sipil negara yang menduduki
jabatan Perangkat Daerah harus memenuhi kompetensi pemerintahan. Kompetensi teknis
diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan
pengalaman bekerja secara teknis yang dibuktikan dengan sertifikasi. Kompetensi

[276]
manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan
pengalaman kepemimpinan.
Kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan
kebangsaan. Kompetensi teknis ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga pemerintah
nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan ditetapkan oleh Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikasi. Sertifikasi dilaksanakan oleh
suatu lembaga sertifikasi yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi penyelenggara
pemerintahan dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi pemerintahan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pembagian kewenangan Sub Bidang Rehabilitasi Sosial antara pusat, provinsi
dan kabupaten kota masih tumpang-tindih Pelaksanaan urusan
Masih belum sepenuhnya pembagian kewenangan diantaranya perbedaan antara
fungsi panti milik pusat, provinsi. Apakah kewenangan panti milik pusat menangani
lintas provinsi atau dari aspek tahapan pelayanan sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial
RI No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial dengan Pendekatan Pekerjaan
Sosial.
Rehabilitasi Sosial di luar Panti pada kewenangan Kabupaten/Kota, belum ada
Peraturannya dan Implementasi di daerah belum sepenuhnya berjalan
Rehabilitasi sosial di luar panti yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota belum
ada regulasi dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK). Jenis pelayanan
apa saja? Apakah Rehabilitasi sosial berbasis keluarga (RBK) dan Rehabilitasi sosial
berbasis masyarakat (RBM) sudah berjalan? Apakah tenaga pemberi layanan dari unsur
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) atau dari unsur relawan yang masuk dalam
unsur Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) non aparatur seperti Pekerja Sosial Masyarakat
(PSM) atau tenaga pendamping program terkait anak, lanjut usia, penyandang disabilitas,
tuna sosial, atau dari unsur Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) atau tenaga
kesejahteraan sosial lainnya.
Penerapan Mutu dan Jenis Layanan Dasar Dalam Permensos No. 9 Tahun 2018
tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar Pelaksanaan SPM Bidang Sosial Daerah
Provinsi dan Kab/Kota yang mengatur Standar Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur dari Unsur Masyarakat
Belum sepenuhnya berjalan di daerah Urusan Wajib terkait Pelayanan Dasar yang
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal yang diatur dalam:
 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda
 PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
 PP No. 12 Tahun 2017 tentang Binwas Penyelenggaraan Pemda
 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
 PP No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat.
Ditetapkannya Peraturan Menteri Sosial yang mengatur Sumber Daya Manusia
dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur/Non Pegawai Negeri Sipil
dan di dalamnya juga mengatur pembagian kewenangan Pusat, Provinsi dan Kabupaten
dan kaitannya dengan penanggung jawab dalam hal ini Organisasi Perangkat Daerah.

[277]
PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, mengatur Daerah (Dinas Sosial)
provinsi dan Kabupaten/Kota dan kaitannya dengan beban kerja yang tentunya terkait
dengan jabatan Kepala Bidang, Kasie, Staf dan Pekerja Sosial Profesional Aparatur/
Pegawai negeri Sipil. Kriteria umum dengan bobot 20% (dua puluh persen) dan kriteria
teknis dengan bobot 80% (delapan puluh persen). Kriteria variabel umum ditetapkan
berdasarkan karakteristik Daerah yang terdiri atas indikator: jumlah penduduk, uas
wilayah; dan jumlah anggaran pendapatan dan belanja Daerah. Kriteria variabel teknis
ditetapkan berdasarkan beban tugas utama pada setiap Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota serta fungsi
penunjang Urusan Pemerintahan.
PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, mengatur
• Aparat Pengawas Internal Pemerintah yang disingkat APIP adalah inspektorat
jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian,
inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.
• Pembinaan umum meliputi: pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan
daerah, kepegawaian pada Perangkat Daerah, keuangan daerah, pembangunan
daerah, pelayanan publik di daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
• Pembinaan dan Pengawasan Teknis yang meliputi: Capaian standar pelayanan
minimal atas pelayanan dasar; ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-
undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
(NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren.
PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, merupakan alat kontrol
terhadap kinerja aparat penyelenggara Pemda dalam memberikan pelayanan publik
kepada setiap warga negara yang berada dalam lingkup provinsi dan kabupaten/kota
yang merupakan pelayanan dasar dan mengatur urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh semua daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar sesuai ketentuan
mengenai jenis dan mutu yang merupakan hak setiap warga negara secara minimal serta
pengaturan mengenai jenis pelayanan dasar dalam penyediaan barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara secara minimal dengan
ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa kebutuhan dasar untuk
pemenuhannya secara minimal sesuai standar teknis agar hidup secara layak.
6 (enam) urusan wajib terkait pelayanan dasar yang meliputi: 1) pendidikan, 2)
kesehatan, 3) pekerjaan umum dan penataan ruang, 4) perumahan rakyat dan kawasan
permukiman, 5) ketenteraman, ketertiban umum, pelindungan masyarakat, sosial.
Jenis pelayanan dasar pada SPM Sosial yang menjadi tanggung jawab Pemda
Provinsi yaitu rehabilitasi sosial dasar di dalam panti dan menjadi tanggung jawab
Pemda Kab/Kota yaitu rehabilitasi sosial di luar panti. Warga negara Penerima Manfaat
yaitu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang semuanya “Telantar”,
meliputi: Penyandang Disabilitas telantar, anak telantar, lanjut usia telantar, tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat
dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana provinsi dan Kabupaten/Kota.
Mutu dan jenis layanan dasar pada SPM Bidang Sosial di provinsi dan kab/kota
diantaranya mengatur standar jumlah dan kualitas Sumber Daya Manusia Kesejahteraan
Sosial. Pemerintah Daerah menerapkan SPM untuk pemenuhan jenis pelayanan dasar
dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal
dilakukan dengan tahapan: a. pengumpulan data, b. penghitungan kebutuhan

[278]
pemenuhan pelayanan dasar, c. penyusunan rencana pemenuhan pelayanan dasar, d.
pelaksanaan pemenuhan pelayanan dasar.
Pengumpulan data dilakukan oleh Pemda secara berkala untuk memperoleh data
tentang jumlah dan kualitas barang dan jasa kebutuhan dasar dengan jumlah dan
identitas lengkap Warga Negara yang berhak sesuai dengan jenis dan mutu
diintegrasikan dengan sistem informasi pembangunan Daerah.
Penghitungan kebutuhan pemenuhan dengan menghitung selisih antara jumlah
sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pemenuhan pelayanan dasar dengan
jumlah sarana dan prasarana yang tersedia. Hasil penghitungan kebutuhan pemenuhan
pelayanan dasar menjadi dasar dalam penyusunan rencana pemenuhan pelayanan dasar
dilakukan oleh Pemda agar pelayanan dasar tersedia secara cukup berkesinambungan
dan ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan Daerah
sebagai prioritas belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
undangan yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri melaksanakan
pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah provinsi secara umum. Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang yang sesuai dengan jenis SPM
melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah provinsi secara
teknis.
Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan SPM
provinsi oleh perangkat Daerah provinsi. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
berdasarkan PP No. 33 Tahun 2018, melaksanakan pembinaan dan pengawasan
penerapan SPM Daerah kabupaten/kota secara umum dan teknis. Bupati melaksanakan
pembinaan dan pengawasan penerapan SPM Daerah kabupaten oleh perangkat Daerah
kabupaten dan walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan penerapan SPM
Daerah kota oleh perangkat Daerah kota. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yaitu PP No. 12
Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemda.
Belum adanya evaluasi dan implementasi pelaksanaan Urusan Bidang Sosial dalam
upaya peningkatan akses dan kualitas pelayanan publik untuk pemenuhan pelayanan
dasar Bagi Penduduk/Masyarakat Miskin dan Rentan termasuk Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Dokumen evaluasi sebagai acuan dari implementasi keterkaitan urusan bidang
sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk peningkatan akses dan kualitas
pelayanan dasar bagi setiap warga/penduduk miskin dan rentan dan kaitannya dengan
penurunan kemiskinan.

REKOMENDASI
 Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan dengan pelayanan publik yang efisien dan efektif
menjadi perhatian utama pemerintah daerah melalui Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah
daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sebagai alat
kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan publik.
 Belum terwujudnya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur
Pemerintah Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri

[279]
berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran
perumus Standar Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No.23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
sehingga dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Standar Kompetensi.
 Menyusun dan menetapkan Standar Kompetensi ASN Bidang Sosial di daerah
Provinsi dan Kab/Kota berdasarkan Indikator Kinerja Kunci (IKK) , yang merupakan
pelayanan publik bidang sosial dan menjadi acuan kompetensi ASN daerah bidang
sosial.
 Belum ditetapkannya PP Urusan Konkuren yang merupakan turunan UU 23/2014
yang salah satu lampirannya Urusan Konkuren Bidang Sosial di Provinsi dan
Kabupaten/Kota, yang merupakan pelayanan publik bidang sosial dan menjadi acuan
kompetensi ASN daerah bidang sosial menjadi kendala yang utama dalam
menentukan Indikator Kinerja Kunci (IKK) setiap urusan pemerintah untuk masuk ke
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah yang menjadi penilaian
kinerja daerah dengan alat kontrol berupa monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah dan kesesuaian dokumen perencanaan dan
penganggaran dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) dari Kementerian Teknis sebagai
Pembina Teknis Daerah.
 Ditetapkannya PP Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang merupakan turunan UU
23/2014 dan menetapkan Permensos tentang Standar Teknis (Petunjuk Teknis)
Perencanaan Biaya Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di daerah provinsi
dan kabupaten/kota, yang merupakan pelayanan publik bidang sosial dan menjadi
acuan kompetensi ASN daerah bidang sosial.
 Belum adanya “Audit Kinerja” terhadap implementasi ketaatan kepada peraturan
Perundang-undangan sebagai wujud dari pemerintahan yang bersih (good governance)
yang selama ini masih pada tahap “Audit Keuangan dengan Opini Badan Pemeriksa
Keuangan atas unsur kerugian Negara”.
 Ketaatan terhadap pelaksanaan peraturan Perundang-undangan yaitu implementasi
dari regulasi yang mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yaitu PP No. 12 Tahun 2017.
 Kerjasama dan koordinasi antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)
Inspektorat Jenderal Kcmenterian, unit pengawasan lembaga pemerintah
nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.
 Pembinaan umum meliputi: pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan daerah,
kepegawaian pada Perangkat Daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah,
pelayanan publik di daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
 Pembinaan dan Pengawasan Teknis yang meliputi: Capaian standar pelayanan
minimal atas pelayanan dasar; ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-
undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
(NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren.
 Mutu dan jenis layanan dasar yang berpedoman pada Permensos No. 9 Tahun 2018
tentang Standar Teknis Pelaksanaan Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial Daerah

[280]
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota diantaranya mengatur mengenai Standar
jumlah dan kualitas Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial atau yang disebut
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) yang meliputi: Pekerja Sosial Profesional
Bersertifikat, Penyuluh Sosial, Relawan Sosial.
 Adapun Relawan Sosial yang meliputi Pekerja Sosial Masyarakat, Karang Taruna,
Tenaga pelopor perdamaian, Taruna Siaga Bencana, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK), Kader Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) dan berbasic
Keluarga dan Penyuluh Sosial Masyarakat.
Pembinaan dan pengawasan terhadap evaluasi dari ketaatan terhadap peraturan
Perundang-undangan diantaranya Peraturan Menteri Sosial yang mengatur mengenai
kompetensi SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial dan Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS).

Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah RI No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Lembaga
Kesejahteraan Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 5 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi
Sosial dengan Pendekatan Kesejahteraan Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja
Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No.16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya
Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.

[281]
POLICY BRIEF
KESESUAIAN RENJA, IKU DENGAN IKK PROVINSI & KAB/KOTA

Abstrak
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda dan
PP No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian
urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan.
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 53 tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu
atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian kinerja,
pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah diatur
mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja yang merupakan lembar/dokumen yang
berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi
yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja.
Melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima amanah dan
kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur tertentu
berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia. Kinerja yang
disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun bersangkutan,
tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat kegiatan tahun-tahun
sebelumnya.
Pembahasan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk penyusunan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan Laporan dan Pelaksanaan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Surat a.n Dirjen Otoda Sesditjen No.
005/11014/OTDA tanggal 22 Desember 2017. Disposisi Kepala Biro Perencanaan
menugaskan Analis Kebijakan Madya dan Kasubag Pemantauan dan Evaluasi Biro
Perencanaan, Kementerian Sosial RI untuk mengikuti dan berperan aktif dalam
pembahasan di ruang rapat Direktur Evaluasi Kinerja dan Peningkatan Kapasitas Daerah
EKPD), Ditjen Otoda Kemendagri.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas pembagian
urusan pemerintah konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kab/kota
dengan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) dan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) serta prioritas nasional yang diamanahkan setiap tahun dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tiap tahun atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di
daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pendahuluan
Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka
penyusunan sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar

[283]
Pelayanan Minimal (SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di
daerah sesuai dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah, contoh: Persentase Anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan pengemis
yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti (kewenangan provinsi) dan di luar
panti (kewenangan Kabupaten/Kota);
Target kinerja yang diperjanjikan juga mencakup outcome yang dihasilkan dari
kegiatan tahun-tahun sebelumnya, sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap
tahunnya. Pihak yang menyusun Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga yaitu
Pimpinan tertinggi (Menteri dan Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit kerja (eselon I). Perjanjian Kinerja di tingkat unit
kerja (Eselon I) ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan dan disetujui oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan Satuan Kerja.
Waktu penyusunan perjanjian kinerja disusun setelah suatu instansi pemerintah
telah menerima dokumen pelaksanaan anggaran, paling lambat satu bulan setelah
dokumen anggaran disahkan. Penggunaan sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja
menyajikan Indikator Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-hasil yang utama dan
kondisi yang seharusnya,tanpa mengesampingkan indikator lain yang relevan. Perjanjian
kinerja di tingkat satuan kerja ditandatangani oleh pimpinan satuan kerja dan pimpinan
unit kerja.
Untuk tingkat K/L, menggambarkan dampak dan outcome yang dihasilkan serta
menggunakan Indikator Kinerja Utama K/L/Pemda dan indikator kinerja lain yang
relevan. Untuk tingkat Eselon I, sasaran yang digunakan menggambarkan dampak pada
bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja Utama
Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.
Untuk tingkat Eselon II, sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II.
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan
perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dengan menghasilkan: rencana pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan
jangka menengah; dan rencana pembangunan tahunan.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, sampai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Sosial,
perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:
 Kesesuaian IKU K/L dengan IKK Provinsi dan Kab/Kota
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan melalui program/kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

[284]
Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik,
tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU
23 Tahun 2014.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan
serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk pelaksanaannya).
Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang didalamnya memuat 6 (enam) bidang diantaranya bidang sosial. SPM Sosial
di daerah Provinsi dengan materi muatan rehabilitasi sosial dasar di dalam Panti bagi
anak telantar, lanjut usia telantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan jaminan
sosial bagi korban bencana alam dan sosial.
Untuk di daerah Kab/Kota rehabilitasi sosial dasar di luar panti bagi anak telantar,
lanjut usia telantar, penyandang disabilitas serta perlindungan dan jaminan sosial bagi
korban bencana alam dan sosial.

RPP tentang Pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda dan Permendagri No. 86 Tahun
2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan pada Pasal 175,
disusun berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta
perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan
urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan
dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan
masyarakat, atau urusan pilihan yang menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah. Target
kinerja disesuaikan dengan standar biaya kebutuhan pelayanan dan kemampuan
Perangkat Daerah.

Kesesuaian Urusan Kewenangan dan Fungsi Binwas


Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,
dalam rangka memberi kepastian hukum tentang tata cara pengenaan sanksi
administratif penyelenggaraan pemerintahan daerah.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial

[285]
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah
satu penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh
Menteri Dalam Negeri sebagai pembina umum daerah, Menteri Teknis (diantaranya
Menteri Sosial) untuk sebagai pembina teknis daerah. Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pembinaan umum dan teknis.
Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah, mempunyai fungsi
pembagian urusan pemerintahan, kelembagaan daerah, kepegawaian pada perangkat
daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah.
Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah dengan fungsi terhadap teknis
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi dan
dilakukan terhadap teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan ke
daerah kabupaten/kota, teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah provinsi dan pengawasan teknis dilakukan terhadap teknis
pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah kab/kota.

Pendekatan penganggaran terpadu


Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja. Kriteria
jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak ada
keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang merupakan
unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019


Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari APBN
(belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi pendanaan belanja
prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji, uang
makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar Rp. 3.596,2T yang digunakan
untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas termasuk Quickwins/ Program lanjutan
serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga 3 Indikasi pendanaan belanja prioritas K/L
dituangkan dalam Matriks Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/
Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan dipertajam besaran pendanaan dan distribusi
tahunannya dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan mempertimbangkan

[286]
Kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi, struktur dan kewenangan Kementerian/
Lembaga, satuan harga, belanja Non K/L dan Transfer Daerah sebagai kelengkapan,
pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi, sasaran yang direncanakan dapat
bersifat kumulatif atau tahunan.

Kesesuaian Target Matrik Pendanaan RPJMN dengan Hasil Evaluasi dan


Laporan Kinerja Kementerian Sosial Tahun 2015-2019
Menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Sosial Tahun 2015-2019, meliputi belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang melekat
pada gaji, uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan dalam
perencanaan tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.

Kesesuaian RPJMN dengan RPJMD Provinsi dan Kab/Kota


Dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) disebutkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan,
sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta
program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka
pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan
berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
Siklus perencanaan daerah, pada bulan Maret sampai dengan April mulai
menyusun RKPD hingga penetapan pagu indikatif. Momentum ini perlu menjadi
pertimbangan untuk segera menetapkan SPM Bidang Sosial dengan Peraturan Menteri
Sosial.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pengawasan teknis meliputi: capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) atas
pelayanan dasar, ketaatan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan termasuk
ketaatan pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren, dampak
pelaksanaan urusan konkuren yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan akuntabilitas
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren di daerah.
Perpres 46/2015 tentang Kementerian Sosial, pada Pasal 3 menyelenggarakan
“fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan” diantaranya bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial di daerah. Sekretariat Jenderal
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.

Kesesuaian Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan RKPD


Juga disebutkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN0, bahwa Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD)

[287]
merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah,
prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan untuk jangka waktu 1
(satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dan
program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan merupakan
penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk
arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/
Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.

Kesesuaian RENSTRA K/L dengan RENSTRA SKPD


Kemudian dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN juga menyebutkan bahwa
Rencana Strategis (Renstra) SKPD mengacu pada Renstra K/L yang memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan
fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif yang mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu
indikatif, serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang
dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat.

Tahapan dan Mekanisme Perencanaan


Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, evaluasi pelaksanaan rencana.
Tahapan penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD meliputi penyiapan
rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana kerja, musyawarah
perencanaan pembangunan, penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan


Menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional dan
menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP menjadi pedoman penyusunan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Deskripsi Masalah
Apakah Pendekatan penganggaran terpadu Telah Dilaksanakan dan
Disesuaikan
Apakah dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja
yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan. Pertanyaan berikutnya adalah:
a. Apakah kegiatan sudah identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus
dilaksanakan untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker
sedikitnya mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada
kegiatan yang sama yang dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda
lokasi.
b. Apakah jenis belanja telah merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang
tidak menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis
belanja. Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.

[288]
c. Apakah keluaran/output telah merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh
satker. Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak
ada tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-
KL) yang merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

Rekomendasi
 Kesesuaian Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan urusan dan pembagian kewenangan.
 Kesesuaian dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan dalam RPJMN dengan RPJMD
Provinsi dan Kab/kota.
 Kesesuaian dokumen perencanaan tahunan dalam RKP dengan RKPD Provinsi dan
Kab/kota.
 Kesesuaian Renstra K/L dengan Renstra SKPD Provinsi dan Kab/Kota.
 Menyusun Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
 Menyusun Perjanjian Kinerja
 Menetapkan Target Kinerja
 Penetapan waktu penyusunan perjanjian kinerja
 Menetapkan Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional;
 Peraturan Pemerintah RI No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial.
 Paparan Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018
Kementerian Sosial

Jakarta, Mei 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[289]
LAMPIRAN

Program dan Kegiatan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Dalam RPJMN 2015-2019


1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
Kementerian Sosial.
Program Pengawasan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Sasaran:
Meningkatnya kualitas pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Indikator:
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Pemberdayaan Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Rehabilitasi Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Perlindungan dan jaminan
Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Penunjang
 Jumlah pelaksanaan advisory managemen (PMPRB)
 Jumlah audit pemeriksaan dengan tujuan tertentu

2. Program Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1
Meningkatnya kualitas penyelenggara kesejahteraan sosial melalui pendidikan,
pelatihan dan penelitian
Indikator:
 Persentase (%) SDM penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meningkat
kapasitasnya sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan kompetensinya
 Persentase (%) hasil penelitian kesejahteraan sosial yang dimanfaatkan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
 Persentase (%) lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki akreditasi dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Sasaran
Termanfaatkannya Basis Data Terpadu (BDT) dalam penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
Indikator:
 Persentase (%) Kabupaten/Kota yang menggunakan Basis Data Terpadu (BDT)
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial

2.1. Program Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Regional (I-VI)


Sasaran:
Terlaksananya pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM
Indikator:
 Persentase (%) Pengembangan Kapasitas Diklat yang sesuai standar
 Persentase (%) infrastruktur/Sarana Prasarana pengembangan Kapasitas SDM
Jumlah TKSM yang mengikuti diklat yang terstandar
 Jumlah TKSP yang mengikuti diklat yang terstandar

[290]
 Jumlah Rekomendasi Kajian Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan yang
ditindaklanjuti

2.2. Pembinaan Jabatan Fungsional


Pekerja Sosial (Peksos) dan Penyuluh Sosial (Pensos)
Sasaran 1:
Terlaksananya peningkatan kualitas dan kuantitas pejabat fungsional pekerja sosial
dan penyuluh sosial
Indikator:
 Jumlah Pekerja sosial, Penyuluh sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
yang telah mendapatkan sertifikasi.
 Jumlah Pekerja Sosial, penyuluh Sosial dan TKS yang mendapatkan pembinaan.
 Jumlah Peksos, Pensos dan TKS yang mendapatkan penetapan angka kredit
Rekomendasi Kebijakan Bidang Pembinaan, Sertifikasi dan Akreditasi.

Sasaran 2:
Terlaksananya akreditasi LKS
Indikator:
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi
Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

3. Quick Wins
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem data terpadu sebagai basis dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dan pengembangan sistem layanan dan rujukan terpadu bagi
penduduk miskin dan rentan
Indikator:
 Jumlah rekomendasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang dihasilkan.

4. Pendidikan Tinggi Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya pendidikan, pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM
Indikator:
 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial (kesos) yang terdidik
melalui pendidikan tinggi kesejahteraan sosial (program D IV, dan pasca sarjana
pekerjaan sosial)
 Rekomendasi Hasil Penelitian dan Kerjasama Bidang Pendidikan Tinggi
Kesejahteraan Sosial

5. Program Rehabilitasi Sosial


Sasaran 1:
Meningkatnya akses kelurga miskin dan rentan termasuk anak, penyandang
disabilitas dan lanjut usia serta kelompok marjinal lainnya dalam pemenuhan
kebutuhan dasar

[291]
Indikator:
 Persentase (%) penyandang disabilitas miskin dan rentan yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) lanjut usia miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) anak miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
Sasaran 2:
Meningkatnya akses Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dan SDM Penyelenggara
pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang sesuai dengan standar pelayanan
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang meningkat kapasitasnya
Sasaran 1:
Tersedianya regulasi terkait pengembangan akses lingkungan inklusif bagi
penyandang disabilitas, lanjut usia dan kelompok masyarakat marjinal
Indikator:
 Draft regulasi akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas, lanjut usia
dan kelompok masyarakat marjinal

5.1. Program Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA


Sasaran :
Meningkatnya penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan
NAPZA
Indikator:
 Jumlah Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
dalam panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah Korban Penyalahgunaan Napza yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
luar panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah korban penyalahgunaan napza yang mendapatkan bantuan sosial Jumlah
SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan NAPZA (orang) Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan NAPZA yang telah dikembangkan/dibantu

5.2. Program Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Disabilitas (Kecacatan)


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial didalam
panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar panti
(Berbasis Komunitas/Keluarga dan Masyarakat) sesuai standar pelayanan

[292]
 Jumlah Penyandang Disabilitas yang mendapat Asistensi Sosial Orang Dengan
Kecacatan Berat
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi Sosial
penyandang disabilitas
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi penyandang disabilitas yang telah
dikembangkan/dibantu
Sasaran 2:
Meningkatnya akses pemenuhan hak dasar bagi penyandang disabilitas
Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak
dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan
hak dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Sasaran 3:
Tersedianya literasi khusus bagi penyandang disabilitas netra (braile)
Indikator:
 Jumlah literatur khusus bagi penyandang disabilitas netra baik cetak maupun
elektronik (kitab suci, buku pelajaran, modul pelatihan, buku cerita)

5.3. Program Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi Tuna Sosial
Indikator:
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan rehabilitasi sosial di dalam panti
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar Panti
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Rehabilitasi Sosial tuna
sosial (orang)
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi tuna sosial yang telah dikembangkan/dibantu

5.4. Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak


Sasaran 1:
Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak balita, anak
telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak dengan disabilitas, anak
yang membutuhkan perlindungan khusus
Indikator
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam panti
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti

[293]
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA)
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang telah dikembangkan/dibantu

5.5. Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia


Sasaran 1:
Terlaksananya Pelayanan Sosial Bagi Lanjut Usia
Indikator:
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Sosial di dalam panti
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan pelayanan sosial diluar Panti
 Jumlah Lanjut Usia Telantar yang mendapat Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar
 Jumlah lanjut usia telantar yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Pelayanan Lanjut Usia
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial lanjut usia yang telah dikembangkan/
dibantu

6. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial


Sasaran 1:
Meningkatnya akses keluarga miskin dan rentan serta pekerja sektor informal dalam
pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) korban bencana alam dan bencana sosial yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar

6.1. Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi korban bencana alam, termasuk
bagi anak, penyandang disabilitas dan lanjut usia
Indikator:
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi Kampung Siaga Bencana yang terbentuk
 Jumlah SDM yang memiliki keterampilan khusus bidang penanggulangan
bencana

6.2. Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial


Terselenggaranya Pemberian bantuan kebutuhan dasar bagi korban bencana sosial
Indikator:
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pendampingan psikososial

[294]
 Jumlah lokasi keserasian sosial
 Jumlah sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan khusus bidang
penanggulangan bencana sosial

6.3. Quick Wins


Sasaran 1:
Terlaksananya bantuan simpanan tunai bagi keluarga miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah masyarakat yang mendapatkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera

6.4. Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi pekerja migran telantar dan
Korban Tindak Kekerasan
Indikator:
 Jumlah pekerja migran telantar yang dipulangkan ke daerah asal
 Jumlah korban tindak kekerasan yang mendapat rehabilitasi psikososial di RPTC
dan LKS
 Jumlah pekerja migran telantar yang mendapatkan asistensi sosial dalam bentuk
UEP
 Jumlah pendamping (masyarakat) yang meningkat kemampuannya dalam
penanganan KTK dan PMB

6.5. Jaminan Kesejahteraan Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat)


Sasaran 1:
Tersalurkannya bantuan tunai bersyarat bagi masyarakat miskin dan rentan
Indikator :
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang mendapatkan bantuan tunai bersyarat
PKH

6.6. Quick Wins


Sasaran:
Terlaksananya penyaluran bantuan melalui mekanisme E-payment bagi penduduk
miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang memperoleh bantuan melalui
mekanisme E-payment

6.7. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos)


Sasaran:
Terselenggaranya Pemberian bantuan iuran asuransi kesejahteraan sosial bagi
pekerja sektor informal miskin dan rentan

[295]
Indikator:
Jumlah pekerja sektor informal miskin dan rentan yang mendapatkan Askesos
Jumlah LPA (Masyarakat) yang meningkat kapasitasnya dalam penyelenggaraan
Askesos

6.8. Pengumpulan dan Pengelolaan Sumber Dana Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya dana hibah dalam negeri oleh masyarakat/lembaga yang
beresiko sosial (mendukung program kementerian terutama swadaya)
Indikator:
 Jumlah SK perizinan yang diterbitkan
 Jumlah hibah dalam negeri yang disalurkan
 Jumlah SDM daerah penyelenggara undian gratis berhadiah yang meningkat
kapasitasnya

7. Program Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan


Sasaran:
Meningkatnya akses keluarga fakir miskin dan rentan terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar dan pemberdayaan ekonomi produktif
Indikator:
 Persentase (%) warga KAT yang menerima bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan perdesaan dan perkotaan yang
menerima pemberdayaan usaha ekonomi produktif
Sasaran 2:
Meningkatnya kualitas penyelenggaraan sosial melalui kelembagaan.
Indikator:
 Persentase (%) kab/kota yang menyelenggarakan Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT).
 Persentase (%) kab/kota yang memiliki pelayanan sosial yang efektif dalam Sistem
Layanan dan Rujukan Terpadu.
Sasaran:
Persentase (%) PSKS yang menyelenggarakan pelayanan sosial sesuai Norma, Standar
Prosedur Kriteria (NSPK).

7.1. Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya penanaman dan pelestarian nilai-nilai kepahlawanan,
keperintisan dan kesetiakawanan sosial oleh masyarakat
Indikator:
 Jumlah Calon Penerima Gelar Tanda Jasa dan Tanda kehormatan yang diproses
untuk mendapatkan penghargaan

[296]
 Jumlah Warakawuri, Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan dan Janda
Perintis Kemerdekaan yang mendapatkan bantuan kesejahteraan.
 Jumlah Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Utama, TMPN, dan Makam
Pahlawan Nasional (MPN) yang Terpelihara
 Jumlah pendamping dan relawan sosial yang mengikuti kegiatan Pengenalan,
Penanaman dan Penghayatan Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan
Kesetiakawanan Sosial
 Jumlah para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan KSN

7.2. Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perdesaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah Pendamping Yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perdesaan yang Mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah sarana prasarana lingkungan keluarga miskin di perdesaan yang
dibangun/diperbaki

7.3. Quick Wins-Pendampingan Desa


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi
penerima Program Keluarga Produktif dan Sejahtera di wilayah perdesaan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) di pedesaan yang menerima kegiatan
penghidupan berkelanjutan kelompok usaha bersama (KUBe-PKH)

7.4. Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat


Sasaran 1:
Terlaksananya pemberdayaan keluarga dan Masyarakat melalui Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Indikator:
 Jumlah lembaga pelayanan keluarga (FCU dan LK3) yang dikembangkan
 Jumlah lembaga pendukung penyelenggara kesejahteraan sosial (Karang taruna,
WKSBM, Forum CSR, dan LKS/Orsos lain) yang dikembangkan
 Jumlah individu pendukung penyelenggaraan kesejahteraan sosial (PSM, TKSK)
yang dikembangkan

[297]
7.5. Quick Wins-Pendampingan Desa
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem pelayanan sosial terpadu di desa melalui Pusat
Kesejahteraan Sosial (Puskesos).
Indikator:
Jumlah desa yang telah membangun sistem pelayanan sosial terpadu (PUSKESOS)

7.6. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Sasaran:
Terbangunnya sistem layanan dan rujukan terpadu bagi penduduk miskin dan
rentan
Indikator:
Jumlah Kab/kota yang memiliki sistem layanan dan rujukan terpadu

7.7. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Terlaksananya penyelarasan dan penguatan koordinasi program kemiskinan di
tingkat pusat dan daerah
Sasaran:
 Jumlah Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang memperoleh
pelatihan.
Indikator:
 Jumlah Organisasi Sosial/Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi.
 Jumlah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang memperoleh pelatihan.
 Jumlah Karang Taruna yang memperoleh pelatihan.

7.8. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)


Sasaran 1:
Terpenuhinya Kebutuhan Dasar, Aksesibilitas dan Pelayanan Sosial Dasar Bagi
Warga KAT
Indikator:
 Jumlah warga KAT yang diberdayakan
 Jumlah warga KAT yang mendapatkan bantuan jaminan hidup
 Jumlah Pendamping KAT yang mendapatkan Peningkatan Kapasitas
Pemberdayaan KAT
 Jumlah Laporan Keuangan/Kinerja/Monitoring/Evaluasi/Publikasi/Sosialisasi
serta Kegiatan Pendukung Pelaksanaan Pemberdayaan KAT
 Jumlah Dokumen Perencanaan/Program/Anggaran/Data/Informasi/Kebijakan
Bidang Pemberdayaan KAT
Sasaran 2:
Terselenggaranya Layanan Perkantoran Bidang Pemberdayaan KAT
Indikator:

[298]
 Jumlah Rekomendasi Hasil Analisis, Kajian, Kebijakan Bidang Pemberdayaan
KAT
 Jumlah Buku Pedoman Bidang Pemberdayaan KAT
 Jumlah Sarana Pendukung Bidang Pemberdayaan KAT

7.9. Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan

Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perkotaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah pendamping yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk Rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perkotaan yang mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah kelompok masyarakat di perkotaan yang diberdayakan melalui
pembangunan/perbaikan sarana prasarana lingkungan

Catatan:
 Adanya perubahan nomenklatur pada Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial
RI sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015, meliputi pemisahan
Unit Kerja Eselon I, yang sebelumnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan, dipisah menjadi 2 (dua) menjadi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
 Perubahan tempat Unit Kerja Eselon II, Direktorat PSDS yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen pemberdayaan Sosial. Direktorat
Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTK-PM) yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen Rehabilitasi Sosial pada
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 Kementerian
Sosial
A. Agenda Strategis Tahun 2017
1. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
2. Kegiatan Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial
3. Kegiatan Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan Kelembagaan Masyarakat
4. Anggaran Subsidi Rastra TA 2017
5. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA
6. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
7. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
8. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia
9. Kegiatan Rehabilitasi Sosial Anak
10. Kegiatan Jaminan Sosial Keluarga

[299]
11. Rencana Pelaksanaan Bantuan PKH Non Tunai Tahun 2017
12. Kegiatan Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
13. Kegiatan Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
14. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Perdesaan
15. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Perkotaan
16. Kegiatan Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar
Negara
17. Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
18. Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

B. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018 Kementerian Sosial


1. Rencana Program Prioritas:
a) Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Peningkatan Efektifitas Penyaluran Bantuan Pangan
b) Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Peningkatan Pelayanan Jaminan Sosial
c) Program Prioritas Jaminan dan Bantuan Sosial Tepat Sasaran: Kegiatan Prioritas
Penguatan Pelaksanaan Bantuan Tunai Bersyarat
2. Rancangan Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar
a) Peningkatan Akses Masyarakat kepada kepemilikan dokumen kependudukan
b) Tata kelola pelayanan dasar;
c) Kabupaten/Kota yang mengembangkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT);
d) Pengembagnan Pusat Kesejahteran Sosial (Puskesos) untuk memberikan
pelayanan sosial terpadu di desa/kelurahan;
e) Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Pekerja
Sosial Masyarakat (PSM);
f)Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK);
g) Bimbingan pemantapan koordinasi penanggulangan kemiskinan bagi Karang
Taruna.

[300]
POLICY BRIEF
LAYANAN SOSIAL SATU PINTU
TATA KELOLA PELAYANAN DASAR
MELALUI PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM),
LAYANAN RUJUKAN TERPADU DAN PUSAT KESEJAHTERAAN SOSIAL

Abstrak
Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin, bahwa Penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri
secara terencana, terarah, terukur, terpadu. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi
pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan pada pelaksanaan strategi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dibagi ke dalam empat tahap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat rencana dan strategi
pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

[301]
Pendahuluan
Perlindungan Sosial yang Terintegrasi (Terpadu)
Untuk mendorong penerapan standar pelayanan minimal bidang sosial di
kabupaten/kota dan untuk keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diantaranya diarahkan untuk
mengembangkan Layanan Sosial Terpadu dengan sarana bidang sosial di tingkat
desa/kelurahan melalui Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan fungsi sebagai
sarana sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial yaitu Tenaga
Kesejahteraan Sosial (TKS) dan Relawan Sosial, diantaranya Pekerja Sosial, Penyuluh
Sosial dan pendamping untuk memberi layanan rehabilitasi sosial di luar panti dengan
rehabilitasi sosial berbasis masyarakat dan keluarga.

Untuk mendorong pelaksanaan penanganan kemiskinan di desa dan


kelurahan, yang perlu dilakukan antara lain:
Penguatan peran kelembagaan sosial
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk mengembangkan
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga desa/
kelurahan.
Pusat rujukan dan pelayanan ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan,
penjangkauan, serta pelaporan dan penanganan keluhan. Pembentukan lembaga ini
diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan akuntabilitas untuk
meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan. Sistem pelayanan
perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama pemerintah dengan
berbagai unsur masyarakat.

Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) sebagai sarana sosial di desa/


Kelurahan
UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,menyebutkan bahwa sarana
dan prasarana meliputi: panti sosial, pusat rehabilitasi sosial, pusat pendidikan dan
pelatihan, pusat kesejahteraan sosial, rumah singgah, rumah perlindungan sosial.
Pusat kesejahteraan sosial sebagai tempat yang berfungsi untuk melakukan
kegiatan pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara kelompok
masyarakat dalam komunitas yang ada di desa atau kelurahan dalam Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial.

Mekanisme Pelayanan Pada Layanan dan Rujukan Terpadu


Akses Layanan dan Rujukan Terpadu ada 2 jenis, yang pertama penerima manfaat
(PM) datang ke Pusat kesejahteraan Sosial (Puskesos) diterima oleh front office dilakukan
pengecekan data.
Jika belum masuk dalam data, maka dilakukan verifikasi validasi data oleh petugas
Puskesos diantaranya pekerja sosial masyarakat (PSM). Kedua, apabila penerima manfaat
sudah terdata, dicatat pengaduannya terhadap program apa, misalkan bidang
pendidikan, bidang kesehatan dan bidang pemerintah lainnya, maka diakomodir di back
office pada desk masing-masing bidang pemerintah, akan ditindaklanjuti ditempat

[302]
misalkan belum memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KKS) dan
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Kalau diadakan veri-vali agar masuk dalam daftar kemiskinan Basis Data Terpadu
(BDT). TKSK mengkoordinasikan Puskesos di kecamatan di wilayah kerjanya untuk
rujukan dan layanan terpadu di tingkat Kab/Kota dan dilaporkan kepada Manager
lembaga SLRT di Tingkat Kab/Kota.

Layanan dan Rujukan Terpadu Terintegrasi Dengan Pelayanan Dasar Sesuai


UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam empat tahap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat rencana dan strategi
pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

[303]
Deskripsi Masalah
Penurunan Kemiskinan Namun Jumlah Penduduk Rentan Bertambah
Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, namun sebagian besar
penduduk lainnya masih menghadapi kerentanan terhadap berbagai risiko sepanjang
siklus hidup seperti sakit, krisis ekonomi dan bencana alam. Diperkirakan 4,5 juta dari 6
juta rumah tangga berpendapatan terendah tetap dalam kemiskinan selama 3 tahun lebih,
sedangkan 1,5 juta terancam selalu dalam kondisi miskin (Susenas, BPS).

Ketimpangan Akses dan Penjangkauan Pelayanan Dasar


Ketidakmampuan dalam pemenuhan hak dasar atau karena adanya perbedaan
perlakuan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat juga berdampak pada pelambatan penurunan kemiskinan.
Persoalan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat ini dapat
dipandang dari tiga sisi yakni ketersediaan layanan dasar (supply side), penjangkauan oleh
masyarakat miskin (demand side), serta kelembagaan dan efisiensi sektor publik.
Ketersediaan layanan dasar (supply side), baik dari sisi kuantitas maupun kualitas belum
memadai dan menjangkau seluruh masyarakat kurang mampu.

Kurangnya Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin dan Rentan Serta


PMKS
Penyelenggaraan perlindungan sosial dengan asistensi sosial berbasis keluarga dan
siklus hidup yang komprehensif dalam mewujudkan kemandirian yang mensejahterakan.
Program asistensi sosial temporer berbasis individu, kelompok ataupun institusi yang
tertata bagi kelompok masyarakat marjinal, korban bencana alam, bencana sosial, dan
guncangan ekonomi yang mendukung produktivitas.

Rekomendasi
Layanan Sosial Satu Pintu Sebagai Wujud Tata Kelola Pelayanan Dasar Melalui
Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM, Layanan Rujukan Terpadu dan
Pusat Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

[304]
Sebagai Pelayanan Perlindungan Sosial Terpadu
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian pelayanan,
bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan dengan adanya
sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial dapat
terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan pemutakhiran data
secara berkala.

Implementasi Pelaksanaan sistem pengelolaan data terpadu dengan Sistem


Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation.
Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi
dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin serta Pasal 11A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan
Iuran Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Pedoman
Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak
Mampu
Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation adalah suatu sistem informasi
yang terdiri dari beberapa komponen berupa pengumpulan dan pengolahan data
kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang
dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
dan Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran, dan
tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan dan
penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilaksanakan dengan
tahapan: penyusunan daftar awal sasaran, bimbingan teknis, Musyawarah Desa/
Kelurahan/Nama Lain, kunjungan ke Rumah Tangga, pengolahan data, pengawasan dan
pemeriksaan dan pelaporan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pengolahan dan penyajian data merupakan kegiatan pemeriksaan data dan
dokumen, pembersihan data, pemeringkatan data, pembuatan daftar dan tabulasi data,
serta penyajian data.
Pengolahan dan penyajian data dilaksanakan oleh Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial.
Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengamati/mengetahui perkembangan
dan kemajuan pelaksanaan tahapan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu di daerah dan mengidentifikasi permasalahan
serta upaya pemecahannya.

[305]
Monitoring dan evaluasi terdiri atas monitoring bimbingan teknis petugas
pelaksanaan, monitoring Musyawarah Desa/Kelurahan/Nama Lain; dan monitoring
pelaksanaan kunjungan ke Rumah Tangga.
Referensi
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Jakarta, Mei 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[306]
POLICY BRIEF
MODEL SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS,
APAKAH MERUPAKAN INKLUSIFITAS?

Abstrak
Menurut UU Kesejahteraan Sosial No. 11 Tahun 2009, Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial adalah “upaya yang terarah, terpadu, berkesinambungan yang
dilakukan pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial”
Berkenaan dengan Surat No. 209-5/SJ-UM/KS.02/03/2016 tanggal 1 Maret 2016,
Hal: penyusunan draft Policy Brief Staf Ahli Bidang Aksesibilitas Sosial Kementerian
Sosial RI, tindaklanjut curah pendapat dan sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor
46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa Kementerian Sosial mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan amanat Perpres 75/2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan Kesadaran
Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat meliputi: hak
masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information), hak masyarakat
untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan
keadilan (public right to justice). Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai
tahap kegiatan RANHAM, diharapkan masyarakat dapat berperan secara aktif dalam
melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur,dan mandiri.
Adapun tujuannya agar aparat pemerintah dan masyarakat memahami dan
menerapkan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bermasyarakat dengan indikator
keberhasilan diantaranya pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak
penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Tanggung jawab Kementerian Sosial dalam Perpres 75/2015 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 dengan meningkatnya pemahaman
masyarakat tentang HAM termasuk hak penyandang disabilitas dan kelompok rentan
lainnya diantaranya melalui cara Social Model of Disability (SMD), cara masyarakat
menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled people dalam
menghadapi hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan setara dalam
masyarakat, dengan pilihan dan kendali atas kehidupan mereka.
Model sosial tentang disabilitas diperlukan untuk penyadaran masyarakat atas
perubahan sikap terhadap disabled people yang diamantkan dalam Perpres 2/2015 tentang
Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Pendahuluan
Istilah penyandang cacat mempunyai arti yang bernuansa negatif sehingga
mempunyai dampak yang sangat luas pada penyandang disabilitas sendiri, terutama
dalam kaitannya dengan kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang

[307]
disablitas sebagai objek dan tidak menjadi prioritas. Istilah “penyandang cacat” dalam
perspektif bahasa Indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif sebagai objek
yang ’rusak’ dan tidak terpakai dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi
manusia, yakni kesamaan harkat dan martabat semua manusia, dan sekaligus
bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Berdasarkan hal tersebut, istilah “penyandang cacat” perlu diganti
dengan istilah baru yang mengandung nilai filosofis yang lebih konstruktif dan sesuai
dengan prinsip hak asasi manusia yaitu ”penyandang disabilitas’” yang sudah mulai
digunakan secara resmi pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan
bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual,
mental, sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda,
atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 24
bahwa Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama Pemerintah
Daerah melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh setiap
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
ditetapkan dengan peraturan menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
dilakukan untuk menentukan intensitas Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas
wilayah.
Kesamaan kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang dan/atau
menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam
segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi merupakan setiap
pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas
yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Rehabilitasi sosial diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bentuk
motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan
pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan
sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial,
bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan rujukan. Perlindungan sosial dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui bantuan sosial, advokasi sosial, bantuan
hukum.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan publik dari
Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan konkuren
(bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar

[308]
Pelayanan Minimal (SPM). Urusan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dalam panti
dan lembaga menjadi kewenangan provinsi, luar panti dan lembaga menjadi kewenangan
kabupaten/kota.

Deskripsi Masalah

 Belum sepenuhnya dilaksanakan Perpres No. 75 Tahun 2015 dilaksanakan oleh


daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota
 Apakah model sosial penyandang disabilitas merupakan inklusifitas
 Belum Sepenuhnya Permasalahan Disabilitas dilaksanakan oleh lintas Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas
 Belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen RPJMD dan RKPD, salah satu
indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, yaitu rehabilitasi sosial
dalam Panti dan lembaga bagi penyandang disabilitas telantar
 Belum sepenuhnya terakomodir dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah
(PPD) salah satu Indikator Kinerja Kunci (IKK) bidang sosial di daerah provinsi dan
luar Panti dan lembaga untuk Kabupaten/Kota
 Paradigma Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based atau
pendekatan hak belum sepenuhnya dilaksanakan di pusat, provinsi dan kab/kota.

Rekomendasi
Pelaksanaan Perpres No. 75 Tahun 2015 dilaksanakan oleh daerah provinsi dan
daerah Kabupaten/Kota
 Penerapan model sosial penyandang disabilitas
 Social Model of Disability (SMD), bahwa disability disebabkan oleh cara masyarakat di
organisasi, bukan oleh impairman (pelemahan) atau perbedaan seseorang. SMD melihat
cara menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled people. Ketika
hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan setara dalam masyarakat,
dengan pilihan dan kendali atas kebidupan mereka.

Permasalahan Disabilitas dilaksanakan oleh lintas Pemenuhan Hak


Penyandang Disabilitas
 Upaya pemberdayaan penyandang disabilitas tidak dapat dilakukan hanya oleh satu
sektor dalam hal ini Kementerian Sosial melalui pelaksanaan tugas dan fungsi
Direktorat, tetapi harus melibatkan semua pihak terkait dan masyarakat (inklusif).
Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa
persoalan disabilitas merupakan persoalan yang beririsan (cross cutting issues) yang
memerlukan penangan bersama secara lintas sektor dan lintas program.
 Pengintegrasian dalam dokumen RPJMD dan RKPD, salah satu indikator Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial, yaitu rehabilitasi sosial dalam Panti dan
lembaga bagi penyandang disabilitas telantar
 Model Sosial Penyandang Disabilitas yang menjadi salah satu Indikator Kinerja Kunci
(IKK) bidang sosial di daerah provinsi dan luar Panti dan lembaga untuk Kabupaten/
Kota
 Pelaksanaan Paradigma Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right
based atau pendekatan hak.

[309]
Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019;
 Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun 2015.

Jakarta, Juni 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[310]
POLICY BRIEF
MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
SINKRONISASI PERENCANAAN PUSAT & DAERAH
DALAM RKP 2019 & RKPD 2019

Abstrak
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke
dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap
memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

[311]
Pendahuluan
UU No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Tahun 2018 sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung
terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut akan diimplementasikan melalui
pencapaian sasaran pembangunan di tiap tahun dengan fokus yang berbeda, sesuai
dengan tantangan dan kondisi yang ada. Fokus kegiatan tersebut diterjemahkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah di tiap-tiap tahun.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
Surat Dinas Sosial, Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Jambi kepada Kepala
Biro Perencanaan Kementerian Sosial, Hal: Sosialisasi kebijakan perencanaan dan
pengangaran pusat dan daerah terkait dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pada
tanggal 27-28 April 2018 di Jambi, dengan disposisi Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Sosial kepada Syauqi, Analis Kebijakan Madya, Biro Perencanaan,
Kementerian Sosial.
APBN Tahun Anggaran 2018 disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2018, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan
Fiskal Tahun 2018 sebagaimana telah dibahas dan disepakati bersama, baik dalam
Pembicaraan Pendahuluan maupun Pembicaraan Tingkat I Pembahasan APBN Tahun
Anggaran 2018 antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Selain itu, APBN Tahun Anggaran 2018 juga mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial,
dan perkembangan internasional dan domestik dalam beberapa bulan terakhir, serta
berbagai langkah antisipatif yang telah ditempuh dalam tahun 2017, maupun rencana
kebijakan yang akan dilaksanakan di tahun 2018.
Sembilan agenda (Nawa Cita) merupakan rangkuman program-program yang
tertuang dalam visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang dijabarkan dalam strategi
pembangunan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019 yang terdiri atas empat bagian utama, yaitu i) Norma Pembangunan;
ii) Tiga Dimensi Pembangunan; iii) Kondisi Perlu, agar pembangunan dapat berlangsung;
dan iv) Program-program Quick Wins. Tiga dimensi pembangunan dan kondisi perlu dari
strategi pembangunan memuat sektor-sektor yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang selanjutnya
dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2018 berikut ini.
Pertama, Dimensi Pembangunan Manusia merupakan penjabaran agenda
pembangunan nasional yang tercantum dalam Nawa Cita, meliputi antara lain
peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia, melakukan revolusi karakter bangsa,

[312]
memperteguh kebhinekaan, dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Prioritasnya
adalah sektor pendidikan dengan melaksanakan Program Indonesia Pintar, sektor
kesehatan dengan melaksanakan Program Indonesia Sehat, perumahan rakyat,
melaksanakan revolusi karakter bangsa, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat
restorasi sosial Indonesia, dan melaksanakan revolusi mental.
Kedua, program-program pembangunan dalam Dimensi Pembangunan Sektor
Unggulan merupakan penjabaran dari Nawa Cita yang menghadirkan kembali negara
untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga
negara meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik. Prioritas pembangunan sektor unggulan meliputi kedaulatan pangan,
kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman, pariwisata, industri, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, seluruh penduduk telah memperoleh manfaat dari pertumbuhan
pendapatan nasional yang dicerminkan oleh meningkatnya konsumsi per kapita
penduduk. Oleh karena itu, melalui Dimensi Pembangunan Pemerataan dan
Kewilayahan, untuk peningkatan kualitas hidup diupayakan melalui prioritas pada
pemerataan antarkelompok pendapatan, dan pengurangan kesenjangan pembangunan
antarwilayah. Program-program dalam dimensi ini merupakan penjabaran Nawa Cita
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dan
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
Kebijakan dana transfer ke daerah berdasarkan prioritas nasional pada Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun bahwa pengalokasian DAK Fisik bertujuan untuk
membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas
nasional.
DAK Reguler dialokasikan kepada daerah provinsi/kabupaten/kota berdasarkan
usulan daerah kepada kementerian negara/lembaga yang menjadi prioritas nasional.
Besaran alokasi DAK Reguler dihitung berdasarkan usulan daerah dan data teknis,
dengan memperhatikan prioritas nasional, dan kemampuan keuangan negara.
DAK Penugasan dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus dalam rangka
pencapaian sasaran prioritas nasional dengan menu terbatas dan lokus yang ditentukan.
Besaran alokasi DAK Penugasan untuk masing-masing daerah dihitung berdasarkan
usulan daerah dan data teknis, dengan memperhatikan prioritas nasional dan
kemampuan keuangan negara.
DAK Afirmasi dialokasikan untuk daerah kabupaten/kota yang termasuk kategori
daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal, daerah kepulauan, dan/atau
daerah transmigrasi. Kabupaten/kota daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah
kepulauan, dan daerah transmigrasi ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Besaran alokasi DAK Afirmasi masing-masing daerah dihitung berdasarkan usulan
daerah dan data teknis dengan memperhatikan karakteristik daerah dan kemampuan
keuangan negara. Penetapan pagu DAK Reguler per bidang didasarkan pada kebutuhan
daerah dan pencapaian prioritas nasional.
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,

[313]
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang profesional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 terkait dengan
penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran;
pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi. Kegiatan
prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat
sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi keluarga miskin
secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan
pangan melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target 15.600.000 KPM.
Kesejahteraan Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak. Verifikasi dan Validasi
Data dengan target 96.700.000 Jiwa.
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga
(P2K2) dengan target 3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun
2018, meliputi kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD)
dengan target 28.383 Orang. Literasi khusus bagi PD Netra dengan target 35 jenis.
Pemberian alat bantu bagi PD dengan target 3.000 unit. Pemberian rehabilitasi/pelayanan
sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 Orang. Pemberian layanan home care bagi
lanjut usia dengan target 14.910 Orang. Bantuan darurat korban bencana alam dengan
target 92.000 Jiwa. Penyediaan taruna siaga bencana dengan target 34.628 Orang.
Program prioritas pemenuhan kebutuhan dasar tahun 2018, meliputi kegiatan
korban bencana sosial yang mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
137.000 Jiwa. Pembangunan rumah bagi warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan
target 2.099 Keluarga. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan target
10.775 Keluarga. Pengembangan Sistem dan Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan
target 130 Kab/Kota. Sistem Pelayanan Sosial Terpadu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial
(Puskesos) dengan target 260 desa. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/Pekerja Sosial
yang telah mendapatkan sertifikasi dengan target 3.000 Orang. Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS) yang mendapatkan akreditasi dengan target 2.000 LKS.
Program prioritas perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi tahun 2018
dengan kegiatan Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (KUBe)
dengan target 119.020 Orang. Program prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit
tahun 2018 dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS dan target 821
Orang. Program prioritas kepastian hukum dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban
Tindak Kekerasan dan target 750 orang.
Alokasi APBN 2018 Nasional adalah 2.220,7 T dengan rincian belanja Pemerintah
Pusat : 1.454,5 T meliputi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebanyak 847,4 T, belanja
Non K/L sebanyak 607,1 T. Dana transfer ke daerah dan dana desa sebanyak 766,2 T.
Postur anggaran Kementerian Sosial Tahun 2018, meliputi :
 Sekretariat Jenderal dengan jumlah anggaran 332.315.654.000 (0,80%)
 Inspektorat Jenderal dengan jumlah anggaran 44.088.417.000 (0,11%).
 Ditjen Pemberdayaan Sosial dengan jumlah anggaran 433.823.251.000 (1,05%).
 Ditjen Rehabilitasi Sosial dengan jumlah anggaran 1.006.519.857.000 (2,44%).
 Ditjen Perlindungan dan Jamnan Sosial dengan jumlah anggaran 17.671.377.420.000
(42,79).

[314]
 Ditjen Penanganan Fakir Miskin dengan jumlah anggaran 21.455.112.967.000
(51,95%).
 Badiklitpensos dengan jumlah anggaran 352.504.520.000 (0,85%).
Jumlah total anggaran Kementerian Sosial adalah 41.295.742.086.000.

Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program


Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman, peningkatan nilai
tambah ekonomi melalui pertanian, industri, dan jasa produktif, pemantapan ketahanan
energi, pangan dan sumber daya air dan stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan
Pemilu.
Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
Kegiatan prioritas peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat dengan
penguatan germas pengendalian penyakit. Kegiatan prioritas Program prioritas
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Perumahan & Permukiman Layak dengan
penyediaan akses hunian layak dan terjangkau.
Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca
bancana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha. Kegiatan prioritas kamtibmas dan keamanan siber
dengan penanganan konflik sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan
penanggulangan terorisme.
Kebijakan penganggaran dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya, melalui perencanaan, evaluasi dan analisa program prioritas nasional dalam
rangka penyesuaian antara Renstra, Krisna dan RKA-KL, Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial, kajian pengalokasian anggaran melalui Dana Alokasi Khusus
(DAK), penguatan layanan informasi kepada publik, penguatan SDM pengelola
keuangan, pendampingan pengelolaan dan pelaporan keuangan, penyesuaian SOTK,

[315]
penatausahaan aset Kementerian Sosial seluruh Indonesia, dukungan regulasi dalam
pelaksanaan program prioritas nasional di Kementerian Sosial.
Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Sosial dengan
memperkuat pengawasan pelaksanaan program-program prioritas nasional Kemensos,
penguatan kapasitas SDM Auditor, optimalisasi Sistem Manajemen Operasional (SIMOP)
Program Pengawasan.
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan
pada setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan
fungsi Makam Pahlawanan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi
tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah
Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

Analisis Masalah
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh K/L dan perencanaan pembangunan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan menghasilkan: rencana
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pembangunan tahunan.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri
negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam
pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri
tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.

[316]
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:
Pendekatan penganggaran terpadu
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja. Kriteria
jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak ada
keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang merupakan
unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

Rekomendasi
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional:
 RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
 RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra
SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun
dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun
dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD
yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar
pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran
serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).

Sinergi Perencanaan Pusat Dengan Daerah


UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal
353 dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dalam rangka memberi kepastian

[317]
hukum tentang tata cara pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan Pasal 298 Belanja Daerah diprioritaskan untuk membiayai
urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi sosial
dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan
setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan di kab/kota.
 Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah satu
penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
 Beberapa perubahan penting RPP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
meliputi Kriteria dan Urusan Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan. Tugas Pembantuan
(TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan hanya untuk
urusan pemerintahan konkuren selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta
sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya).
 Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
 Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU 23/2014 dan perubahan dari PP
7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan berdasarkan urusan,
konsekuensinya anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari Pusat
ke Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke
Gubernur.
 Kejelasan urusan wajib terkait pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Urusan Konkuren (bersama) bidang sosial.
 Urusan konkuren bidang sosial pada Sub-bidang rehabilitasi sosial dalam panti dan
lembaga untuk provinsi dan luar panti dan lembaga untuk kabupaten/kota belum ada
payung hukumnya berupa NSPK.
 Setelah Standar Pelayanan Minimal (SPM) ditetapkan dalam PP No. 2/2018 dan
ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri (Menteri Sosial), kemudian penerapan
dilaksanakan, maka pada tahun berikutnya dilakukan evaluasi bagi provinsi dan
kab/kota yang kurang dukungan pendanaan APBD-nya dan SDM-nya, maka
diperlukan dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial fisik untuk

[318]
penyiapan sarana panti dan non fisik berupa rehabilitasi sosial dasar kepada anak
telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan
pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban bencana, dalam rangka
pemberian pelayanan dasar kepada setiap setiap warga negara dengan berpedoman
pada penerapan pencapaian Standar Pelayanan Minimal sesuai peraturan Perundang-
undangan.

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, Mei 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[319]
POLICY BRIEF
APAKAH NEGARA HADIR DALAM MEMBERI PERLINDUNGAN
DAN JAMINAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS BERAT

Abstrak
Menurut UU Kesejahteraan Sosial No. 11 Tahun 2009, Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial adalah “upaya yang terarah, terpadu, berkesinambungan yang
dilakukan pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial”
Salah satu amanat dari Undang-Undang Kesejahteraan Sosial tersebut adalah
Rehabilitasi. Pada saat ini, Kementerian Sosial memberikan Perlindungan Sosial terhadap
ODKB melalui Program Rehabilitasi Sosial dibawah Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang
Dengan Kecacatan (ODK). Bentuk Program Perlindungan tersebut adalah Asistensi
Sosial bagi ODKB, yang kemudian dikenal dengan nama ASODKB. Bantuan ini diberikan
sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak ODKB yang sudah
tidak bisa direhabilitasi dan diberdayakan.
Perlindungan Sosial bagi ODKB adalah amanat dari Undang-Undang RI No. 8
Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk Penyandang Disabilitas, meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi Penyandang Disabilitas
untuk mendapatkan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial.
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia 2015-2019 (Perpres 75/2015) ditetapkan pada 22 Juni 2015 dan Instruksi
Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun 2015 ditetapkan
pada 2 Oktober 2015 diantaranya memuat hak-hak penyandang disabilitas.

Pendahuluan
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan
bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual,
mental, sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda,
atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Kesamaan kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang dan/atau
menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam
segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi merupakan setiap
pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas
yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.

[321]
Rehabilitasi sosial diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bentuk
motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan
pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan
sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial,
bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan rujukan. Perlindungan sosial dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui bantuan sosial, advokasi sosial, bantuan
hukum.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan publik dari
Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan konkuren
(bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Urusan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dalam panti
dan lembaga menjadi kewenangan provinsi, luar panti dan lembaga menjadi kewenangan
kabupaten/kota.
Paradigma pendekatan penanganan Orang Dengan Kecacatan Berat/ODKB
(Penyandang Disabilitas) masih kental di charity based dan medical treatment. Paradigma ini
berakibat kepada aktivitas karena belas kasihan, dan biasanya tidak memiliki kelanjutan.
Medical treatment sebagai pendekatan penanganan ODKB menjadikan kondisi fisik ODKB
saja yang diperhatikan, padahal ODKB memerlukan pemenuhan kebutuhan sosial,
kepercayaan diri dan keceriaan dalam menjalani perawatan kesehariannya. Perubahan
paradigma terjadi dalam pendekatan penanganan disabilitas.
Perlunya Data penyandang disabilitas berat (orang dengan kecacatan berat)
terintegrasi dalam data fakir miskin dan termasuk dalam Basis Data Terpadu (BDT).
Dengan jumlah 34 (tiga puluh empat) provinsi dan 514 (lima ratus empat belas)
kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sesuai Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun
2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin,
diatur mekanisme pendataan dan pengelolaan data fakir miskin di Indonesia.
Kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
daerah pada Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004, bahwa anggaran dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang dikerjakan pemerintah pusat dan menjadi kewenangan pemerintah
daerah secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK).

Deskripsi Masalah
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based atau pendekatan
hak
Kendala-kendala terkait Pendataan ODKB/Penyandang Disabilitas (PD), antara lain:
 Belum ada dana untuk pendataan secara khusus
 Lokasi wilayah tidak mudah dijangkau, bergunung-gunung, dengan aksesibilitas yang
buruk, juga jarak antar rumah ODKB satu dengan ODKB lain berjauhan, sehingga
antar tetangga seringkali tidak mengetahui ada yang ODKB, khususnya di Papua dan
Papua Barat.

[322]
Penyaluran
Keterlambatan Kantor Pos Kecamatan dalam menyalurkan bantuan, disebabkan
kurangnya tenaga petugas pos dan lokasi ODKB yang berjauhan antara satu dengan yang
lainnya. Rasio pendamping di kabupaten kota tidak sesuai dengan kuantitas target ODKB

Pendampingan
Dalam melaksanakan tugasnya pendamping masih merasakan berbagai hambatan
yang terkait dengan kapasitasnya Jauhnya lokasi penerima ASODKB, kurangnya sarana
dan prasarana bagi pendamping dalam melaksanakan pendampingan, seperti
pendamping tidak didukung dengan sarana transportasi dan sarana untuk penyusunan
pelaporan.

Rekomendasi
1. Pembenahan dan Penguatan Data sebagai Gambaran “input” dari Program Asistensi
Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB);
2. Internalisasi Program ASODKB dalam merupakan bentuk negara hadir untuk
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas berat (orang dengan
kecacatan berat);
3. Kemitraan Strategis dalam bentuk komplimentaritas, sebagai wujud
pertanggungjawaban terhadap kualitas dan perluasan jangkauan program, serta
sustainibilitas program.
4. Pembenahan dan penguatan data sebagai gambaran “input” dari program ASODKB.
Verifikasi Data terpadu terkait ASODKB bekerjasama dengan BPS dan Pusdatin
menjadi sangat penting.
5. Program ASODKB merupakan bagian dari Program layanan penyandang disabilitas
berbasis keluarga dan masyarakat.
6. Lampiran Bidang Sosial UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Sub-
Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kewenangan Provinsi adalah Pendataan dan
Pengelolaan data Fakir Miskin cakupan provinsi. Kewenangan Kabupaten/Kota
adalah pendataan fakir miskin cakupan kabupaten/kota.
7. Pengintegrasian data penyandang disabilitas berat (orang dengan kecacatan berat)
masuk dalam data fakir miskin dan termasuk dalam Basis Data Terpadu (BDT) di 34
(tiga puluh empat) provinsi dan 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota di
seluruh Indonesia.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan.

[323]
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019;
 Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun 2015.

Jakarta, Mei 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[324]
LAMPIRAN

Tabel 1.
Perubahan Paradigma Penanganan ODK

Sebelumnya Saat Ini

Model pendekatan medis Model pendekatan sosial

Charity Right Based

Berbasis institusi Keluarga & masyarakat

Single issue Crosscutting issue

Sektoral issue Integral issue

Reaktif & kuratif Antisipatif & Partisipatif

Residual care Holistik care

Pendekatan case Pendekatan Inklusi

[325]
Tabel 3.
Populasi ODK dan ODKB

PROVINSI/ POPULASI JUMLAH


NO. JUMLAH ODKB
KABUPATEN/ KOTA ODK ANGGARAN
1 SUMATERA BARAT 89.789 1102 3.967.200.000
2 SUMATERA SELATAN 56.806 871 3.135.600.000
3 JAWA BARAT 413.701 2016 7.257.600.000
4 JAWA TENGAH 495.028 2519 9.068.400.000
5 D.I. YOGYAKARTA 57.242 939 3.380.400.000
6 SULAWESI SELATAN 106.984 1128 4.060.800.000
7 KALIMANTAN SELATAN 53.570 682 2.455.200.000
8 BALI 55.081 1081 3.891.600.000
9 JAWA TIMUR 541.548 1761 6.339.600.000
10 NUSA TENGGARA BARAT 59.591 973 3.502.800.000
11 NUSA TENGGARA TIMUR 86.229 1032 3.715.200.000
12 SUMATERA UTARA 118.648 933 3.358.800.000
13 JAMBI 33.986 729 2.624.400.000
14 LAMPUNG 89.293 918 3.304.800.000
15 KALIMANTAN BARAT 71.850 626 2.253.600.000
16 SULAWESI TENGAH 90.822 488 1.756.800.000
17 MALUKU 81.481 303 1.090.800.000
18 BANTEN 90.358 507 1.825.200.000
19 DKI JAKARTA 78.356 748 2.692.800.000
20 BENGKULU 103.343 517 1.861.200.000
21 KALIMANTAN TENGAH 90.236 94 338.400.000
22 SULAWESI UTARA 74.005 248 892.800.000
23 GORONTALO 120.224 115 414.000.000
24 KEP. BANGKA BELITUNG 107.709 147 529.200.000
25 SULAWESI TENGGARA 116.129 249 896.400.000
26 KEPULAUAN RIAU 126.142 110 396.000.000
27 RIAU 47.692 96 345.600.000
28 KALIMANTAN TIMUR 89.412 253 910.800.000
29 PAPUA 145.212 109 392.400.000
30 MALUKU UTARA 100.117 81 291.600.000
31 NAD 104.625 367 1.321.200.000
32 SULAWESI BARAT 12.533 137 493.200.000
33 PAPUA BARAT 2.762 121 435.600.000
JUMLAH 3.910.502 22.000 79.200.000.000
Anggaran:
Kebutuhan belum tersentuh program: 3.888.502
13.998.607.200.000
Sumber: Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan, 2013

Dari hasil review lapangan oleh Biro Perencanaan Kementerian Sosial Tahun 2013,
terkait penganggaran, diketahui bahwa ada tiga wilayah yang sudah mulai
mengucurkan APBD untuk memperluas jangkauan pelayanan, sebagai berikut:

[326]
a. Sumatera Barat
Sumatera Barat adalah salah satu provinsi penerima sejak awal yaitu tahun 2006.
Pada tahun 2013, Sumatera Barat, khususnya Kota Bukit Tinggi telah sharing APBD
untuk 50 orang dan dana pendamping, Kabupaten Batu Sangkar 20 orang,
Kabupaten Agam 8 orang, Padang Panjang 19 orang, dan Kabupaten Pasaman
menyediakan pendamping 2 orang.
b. Sumatera Selatan
Jumlah penerima 322 orang yang dibiayai APBN dari jumlah keseluruhan 740
orang dengan daftar tunggu 18 orang. ASODKB yang masuk dalam daftar tunggu
mendapat program ASODKB dari APBD dari Kota Palembang Rp.200.000,-/orang/
bulan. Sisanya 400 orang mendapat ASODK dari APBD dengan kriteria disabilitas
ringan.

c. DI Yogyakarta (DIY)
Di DIY sudah ada penyediaan APBD untuk program ASODKB di Kab. Sleman,
Angggaran APBN Rp. 300.000,- Per ODKB/bulan dengan 2 orang pendamping
memperoleh Rp. 500.000,-/bulan. Anggaran APBD untuk 97 ODK Berat Rp.
300.000,- per ODKB/bulan dan 20 orang pendamping Rp. 300.000,-/bulan karena
keterbatasan anggaran. Untuk Provinsi NTB dan Jawa Barat belum ada sharing
anggaran.

Kesesuaian Kriteria Sasaran


Hasil review lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya penerima/sasaran
kegiatan ASODKB sudah tepat karena kriteria yang ditetapkan sangat ketat. Diskusi
Kelompok di 5 Provinsi yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, DIY dan NTB sudah sesuai
dengan kriteria, kecuali Sumatera Barat menyatakan bahwa penerima masih ada yang
kurang sesuai khususnya di Kabupaten Agam dan Kota Padang. Hal yang sama juga
terungkap dari hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Direktorat Rehabilitasi Sosial
Orang Dengan Kecacatan yaitu “Penerima ASODKB pada umumnya telah sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan, hanya beberapa saja yang tidak sesuai” (Hasil Monev
Direktorat Rehabilitas Sosial ODK 2012).
Penerima umumnya berasal dari keluarga miskin, yang diperkuat dengan data
pekerjaan dan penghasilan dari wali/orangtua atau kepala keluarga dari ODKB, yang juga
diperkuat dengan hasil monitoring dan evaluasi Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang
dengan Kecacatan pada tahun 2012 yaitu:
a. Pekerjaan
Pekerjaan wali atau orangtua pada umumnya sangat beragam, namun masih
tergolong kelas menengah ke bawah. Dari hasil wawancara dengan penerima
pelayanan dan orang tua/wali, diketahui pekerjaan wali/orangtua sebagaian besar
adalah petani (36,2%) dan buruh (20 %) termasuk buruh (buruh tani, buruh cuci,
buruh bangunan) ibu rumah tangga (10,1%), nelayan, pedagang kecil-kecilan,
tukang ojek, tukang urut dan bahkan ada yang tidak bekerja.
Pekerjaan kepala keluarga penerima ASODKB sangat bervariasi dan sangat
berpengaruh pada tingkat penghasilan, yang juga akan mempengaruhi tingkat
kesejahteraan, terkait pemenuhan kebutuhan dasar.
b. Penghasilan

[327]
Berbanding lurus dengan pekerjanya, penghasilan wali/orangtua juga tergolong
rendah yaitu 35 % di bawah Rp.750.000,-, 33 % antara Rp. 750.000,- sampai dengan
Rp.1.500.000,-. Hanya 6 % di atas Rp.1.500.000, dan bahkan ada yang tidak punya
penghasilan. Informasi tentang penghasilan memang agak sulit didapat, berhubung
penghasilan yang diperoleh tidak tetap, seperti buruh harian, tidak setiap hari
mereka bisa mendapatkan pekerjaan, dan petani tergantung musim. Sehubungan
dengan itu ada 19% dari responden wali tidak menjawab pertanyaan tentang
penghasilan.
c. Sumber Daya Manusia (SDM)
Hasil monitoring dan evaluasi tentang pendidikan pendamping (86 responden)
dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 4.
Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Pendamping
Tingkat Pendidikkan Jumlah Persentase
SLTA 57 66,3
Akademi 5 5,8
S1 22 25,6
Tidak terjawab 2 2,3
Total 86 100,0
Sumber: Hasil Monev Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK, 2012

Data pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa pada umumnya pendidikan


pendamping telah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan yaitu minimal SLTA,
bahkan yang sarjana 25,8%.
Tabel 5.
Asal Pendamping

Asal Pendamping Jumlah Persentase


PSM 30 34,9
Karang Taruna 12 14,0
Orsos ODK 9 10,5
TKSK 20 23,3
Tagana 2 2,3
Tidak Menjawab 13 15,1
Total 86 100,0
Sumber: Hasil Monev Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK, 2012

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada umumnya (84.9 %) pendamping berasal dari


berbagai organisasi mitra Kementerian Sosial di tingkat lokal seperti pekerja sosial
masyarakat, karang taruna, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK), organisasi
sosial kecacatan dan tagana, dan 15.1 % bukan berasal dari organisasi.
Jumlah pendamping di setiap wilayah tidak sama, tergantung jumlah sasaran
ODKB di masing-masing wilayah. Demikian pula rasio pendamping dengan ODKB yang
didampinginya juga sangat bervariasi yaitu antara satu sampai dengan 66 orang. Bila
dikelompokkan rasionya dapat dilihat pada diagram 4 berikut ini :

[328]
Diagram 5.
Rasio Pendamping & ODK Berat

Sumber: Hasil Monev Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK, 2012

Data pada diagram di atas menunjukkan jumlah pendamping di masing-masing


provinsi sangat bervariasi. Setelah dilakukan pengelompokan jumlah terbanyak (37,2%)
mendampingi antara 1–10 orang, mendampingi antara 11–20 orang (34,9%), mendampingi
21–30 orang (10,5%), mendampingi 31-40 orang (2,3%) dan mendampingi 41-50 orang
(1,2%).

[329]
POLICY BRIEF
KOMPETENSI PEKERJA SOSIAL PROFESIONAL
PEMENUHAN HAK & PELAYANAN PUBLIK UNTUK PEMENUHAN
KEBUTUHAN DASAR SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA

Abstrak
Mutu dan jenis layanan dasar yang diberikan oleh Sumber Daya Manusia
Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan pelayanan publik untuk pemenuhan
kebutuhan dasar terhadap anak berdasarkan amanah peraturan Perundang-undangan
yaitu pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial.
Satuan Bakti Pekerja Sosial atau yang disingkat Sakti Peksos merupakan pekerja
sosial profesional berdasarkan kompetensi untuk pemenuhan hak dan kebutuhan dasar
anak. Untuk itu perlu dilakukan seleksi penerimaan Sakti peksos untuk kebutuhan di
seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dan pemerintahan desa di sarana
bidang sosial Pusat Kesejahteraan Sosial yang berada di desa/kelurahan bekerjasama
dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak atau panti milik masyarakat.
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA), bahwa untuk
menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus,
terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan dan Indonesia sebagai Negara
Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang
mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Pada Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA disebutkan dalam menangani
perkara anak, anak korban, dan anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik
bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pada Pasal 66 disebutkan Syarat untuk dapat
diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau
diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial.
UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib
dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia.

Pendahuluan
Pada Pasal 21 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, dalam hal anak belum berumur
12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan
untuk menyerahkannya kembali kepada orangtua/Wali atau mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau

[331]
LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat
maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Anak Telantar merupakan Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Anak Penyandang Disabilitas merupakan
Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif
berdasarkan kesamaan hak Pendamping merupakan pekerja sosial yang mempunyai
kompetensi profesional dalam bidangnya.
Perlindungan khusus merupakan suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh
Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman
terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) bertujuan agar pemenuhan hak dasar
anak dan perlindungan sosial terhadap anak dari ketelantaran, kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat
terwujud.
Panti Sosial Masyarakat atau juga disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak
(LKSA), merupakan suatu perkumpulkan sosial yang dibentuk oleh masyarakat baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang bentuk pelayanan
dengan menggunakan panti/asrama, institusi atau lembaga dalam memberikan
pelayanan kesejahteraan sosial kepada klien/pelayannya.
Tujuan dari Sakti Peksos untuk peningkatan kuantitas dan kompetensi Pekerja
Sosial Profesional sebagai pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan peningkatan
kualitas pelayanaan kesejahteraan sosial dan manajemen pelayanan kesejahteraan sosial
pada panti sosial masyarakat berbasiskan profesi pekerjaan sosial.
PKSA meliputi program kesejahteraan sosial anak balita, anak telantar, anak
jalanan, anak berhadapan hukum, anak disabilitas (kecacatan), anak membutuhkan
perlindungan khusus.
Program kesejahteraan sosial anak (PKSA) diprioritaskan kepada anak-anak yang
memiliki kehidupan kurang layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah
sosial sperti kemiskinan, ketelantaran, disabilitas (kecacatan), keterpencilan, ketunaan
sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi, meliputi:
 Anak balita telantar (usia 5 tahun kebawah),
 Anak Telantar/tanpa asuhan orangtua (usia 6-18 tahun) yaitu anak yang
mengalami perlakuan salah, ditelantarkan orangtua/keluarga, anak kehilangan hak
asuh dari orangtua/keluarga;
 Anak Jalanan (usia 6-18 tahun) yaitu anak yang rentan bekerja di jalanan, anak
yang bekerja di jalanan, anak yang bekerja dan hidup di jalanan;
 Anak Berhadapan Hukum (usia 6-18 tahun) yaitu anak diindikasikan melanggar
hukum, anak yang mengikuti proses peradilan, anak yang berstatus diversi, anak
yang telah menjalani hukuman pidana, anak yang menjadi korban pelanggaran
hukum;
 Anak dengan disabilitas/kecacatan (usia 0-18 tahun), berdasarkan Undang-
Undang RI No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa
ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual,
mental, sensorik;

[332]
 Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus, yaitu anak yang dalam situasi
darurat, anak korban perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik maupun
mental, anak korban eksploitasi, anak dari kelompok minoritas, terisolasi dan
komunitas adat terpencil, anak korban penyalahgunaan narkotika, penyalahgunaan
zat adiktif, anak korban HIV/AIDS.

Assesmen Pekerjaan Sosial


Assesmen secara sederhana dirtikan sebagai pengungkapan dan pemahaman
masalah. Menurut Ivry dalam Compton (1999) pengertian asesmen adalah :”the collection
and processing of data to provide information for use in making decision about the nature of the
problem and what is to be done about it” (pengumpulan dan proses data untuk menyediakan
informasi yang digunakan dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
keadaan masalah dan apa yang dilakukan terhadapnya). Assesmen ini merupakan
penilaian tentang klien/penerima manfaat dan lingkungan mereka dalam rangka
memutuskan kebutuhan mereka.
Menurut Meyer (1993 : 27-42) dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene
(penyunting) yang diterjemahkan oleh Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (2008:98)
Proses asesmen terdiri dari lima langkah yakni: (1) exploration (menggali informasi); (2)
Inferential thinking (review data); (3) evaluation (evaluasi); (4) problem definition (perumusan
masalah); dan (5) intervention planning (perencanaan intervensi).
Mengacu pada pendapat Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (ibid: 103) secara
sederhana kebutuhan asesmen meliputi: (1) data-data demografi; (2) kontak dengan
lembaga; (3) sejarah singkat klien; (4) ringkasan situasi klien saat ini; (5) permintaan yang
disampaikan; (6) masalah yang disampaikan (presenting problem) sebagaimana dilihat
oleh klien dan pekerja sosial; (7) kontrak yang disepakati klien dan pekerja sosial; (8)
rencana intervensi; dan (9) sasaran intervensi. Mengutip pendapat Dwi Heru Sukoco
(1998:157) asesmen yang dilaksanakan terhadap klien mempunyai 2 (dua) tujuan, yakni
(1) membantu mendefinisikan masalah klien; dan (2) menunjukkan sumber-sumber yang
berhubungan dengan kesemuanya itu.

SDM Penyelenggara Kesos


Sesuai Peraturan Menteri Sosial No. 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional
Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) bahwa SDM
Kesos terdiri atas: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial, Relawan Sosial dan
Penyuluh Sosial.
Sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial mempunyai tugas untuk
melakukan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dilaksanakan dengan
mengorganisasikan dan memberikan pelayanan sosial baik langsung maupun tidak
langsung yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial serta penangganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Pekerja Sosial Profesional atau yang disebut Pekerja Sosial merupakan seseorang
yang bekerja, baik di lembaga Pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
Sedangkan relawan sosial merupakan seseorang dan/atau kelompok masyarakat,
baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatarbelakang pekerjaan

[333]
sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial Pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
Sertifikat Kompetensi merupakan sertifikat yang diperoleh dari lembaga
pendidikan atau lembaga sertifikasi profesi Pekerja Sosial, lembaga sertifikasi profesi
Penyuluh Sosial, dan/atau lembaga sertifikasi Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan
Sosial.
Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial merupakan suatu lembaga yang berwenang
menguji, menilai, dan menentukan kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial, Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial. Pekerja Sosial meliputi: asisten Pekerja Sosial,
Pekerja Sosial generalis dan Pekerja Sosial spesialis.

Mutu dan Jenis Layanan Dasar SPM Bidang Sosial


Jenis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial terdiri
atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan daerah
provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota, dengan rehabsos
dasar bagi Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, tuna
sosial khususnya Gelandangan dan Pengemis, dan perlindungan dan jaminan sosial pada
saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi Korban Bencana di daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota.
Mutu layanan dasar untuk jenis pelayanan dasar rehabilitasi sosial dasar
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, dan Anak Telantar di dalam panti,
dengan kriteria tidak ada lagi perseorangan, keluarga, masyarakat yang mengurus,
rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya, masih memiliki keluarga, tetapi
berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima di dalam
panti merupakan kebutuhan dasar, terdiri atas pengasuhan; permakanan; sandang;
asrama yang mudah diakses; perbekalan kesehatan; bimbingan fisik, mental spiritual, dan
sosial; bimbingan keterampilan hidup sehari-hari; pembuatan akta kelahiran, nomor
induk kependudukan, dan kartu identitas anak; akses ke layanan pendidikan dan
kesehatan dasar; pelayanan penelusuran keluarga; pelayanan reunifikasi keluarga; dan
akses layanan pengasuhan kepada keluarga pengganti.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah provinsi dan kab/kota dilakukan pada saat tanggap darurat bencana
merupakan kebutuhan dasar yang terdiri atas permakanan; sandang; tempat
penampungan pengungsi; penanganan khusus bagi kelompok rentan; dan dukungan
psikososial.
Penyediaan permakanan diberikan paling sedikit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak terjadinya bencana dan penyediaan tempat penampungan pengungsi, meliputi
pembuatan barak; fasilitas sosial; dan fasilitas umum lainnya.
Penanganan khusus bagi kelompok rentan merupakan penanganan korban bencana
bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, dan Anak. Pelayanan dukungan
psikososial dilakukan melalui bimbingan dan konsultasi; konseling; pendampingan; dan
rujukan. Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas Tenaga Kesejahteraan
Sosial (TKS), pekerja sosial profesional, penyuluh sosial; dan relawan sosial.

[334]
Deskripsi Masalah
 Perlunya sinergi dan harmonisasi peraturan Perundang-undangan yang meliputi UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim
Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
 Amanah Pasal 68 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA bahwa Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pada dalam melaksanakan tugas
mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan dan mempunyai tugas
membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi anak dengan melakukan
konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri anak, memberikan
pendampingan dan advokasi sosial, menjadi sahabat anak dengan mendengarkan
pendapat anak dan menciptakan suasana kondusif, membantu proses pemulihan dan
perubahan perilaku anak, membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak
yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan, memberikan
pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial
anak, mendampingi penyerahan anak kepada orangtua, lembaga pemerintah, atau
lembaga masyarakat, melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia
menerima kembali anak di lingkungan sosialnya.
 Pada Pasal 21 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, dalam hal anak belum berumur 12
(dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan
untuk menyerahkannya kembali kepada orangtua/Wali atau mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah
atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat
pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
 Anak Telantar merupakan Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Anak Penyandang Disabilitas merupakan
Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya
dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif
berdasarkan kesamaan hak Pendamping merupakan pekerja sosial yang mempunyai
kompetensi profesional dalam bidangnya.
 Belum terintegrasinya SPM dalam dokuemen perencanaan pembangunan daerah
RPJMD, RKPD dan APBD yang ditetapkan dalam bentuk Perda mengenai pelayanan
dasar bidang sosial dengan ditetapkannya Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota,
sehingga perlu adanya pembinaan dari Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Sosial
bekerjasama dengan Itjen Kemendagri sehingga amanah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda pada Pasal 298 bahwa prioritas belanja daerah untuk membiayai
pelayanan dasar dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal.

Analisis
 Pada Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA disebutkan dalam menangani
perkara anak, anak korban, dan anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, Pekerja
Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, penyidik, penuntut umum,
hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan

[335]
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap
terpelihara. Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pada Pasal 66
disebutkan Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional berijazah
paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial
atau kesejahteraan sosial.
 UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus
sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
 Surat Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPP-PA) Nomor: B-54/Set/KPP-PA/Roren/01/2015 tanggal 22 Januari 2015, hal:
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Layanan Terpadu Perempuan dan Anak, bahwa
Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemda pasal 12 ayat (2) termasuk dalam urusan wajib tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar, sehingga SPM yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 Tahun 2010 tentang
“Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan” yang sudah ditetapkan
sebagai SPM sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda setelah ditetapkan
UU No. 23 Tahun 2015 tentang Pemda, tidak termasuk dalam SPM karena tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar.
 SPM PPPA tersebut diatas, meliputi 5 (lima) pelayanan yaitu: 1) penanganan
pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak; 2) pelayanan
kesehatan bagi perempuan dan korban kekerasan; 3) rehabilitasi sosial bagi
perempuan dan anak korban kekerasan; 4) penegakan hukum kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak serta bantuan hukum bagi perempuan dan anak
korban kekerasan; 5) pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak
korban kekerasan.
 Pelayanan rehabilitasi sosial dasar yang menjadi kewenangan provinsi tetapi tidak
semua provinsi mempunyai Unit Pelaksana Teknis (UPT) berupa Panti, maka untuk
penerapan SPM Bidang Sosial di provinsi dilaksanakan melalui panti-panti milik
masyarakat.
 Terjadi kerancuan penggunaan istilah Panti, Apakah Panti milik masyarakat itu
disebut Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)? Sehingga bagi provinsi yang
tidak mempunyai UPTD Panti melaksanakan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah
provinsi melalui panti milik masyarakat atau yang disebut LKSA tersebut?
 Sedangkan penerapan SPM Bidang Sosial di Kabupaten/Kota dilaksanakan layanan
dasar rehabilitasi sosial dasar di luar panti dilaksanakan melalui sarana bidang sosial
di tingkat desa/kelurahan dengan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS)?
 Perlu dilakukan sinergi pelayanan di tingkat Kabupaten/Kota, yang dilakukan oleh
LKSA dengan Puskesos di tingkat desa/kelurahan.
 Kedaruratan merupakan salah satu dari mutu dan jenis layanan dasar pada SPM
Bidang Sosial di daerah Kabupaten/Kota dan pembenahan serta penguatan data anak
sebagai Gambaran “input” dari Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA);

Rekomendasi

[336]
 Melaksanakan dan memperhatijkan mutu dan jenis layanan dasar yang diberikan oleh
Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan pelayanan publik
untuk pemenuhan kebutuhan dasar terhadap anak berdasarkan amanah peraturan
Perundang-undangan yaitu pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial.
 Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menerapkan SPM Bidang
Sosial perlu mempertimbangkan perekrutan seleksi pekerja sosial profesional yaitu
Satuan Bakti Pekerja Sosial atau yang disingkat Sakti Peksos dengan berdasarkan
kompetensi untuk pemenuhan hak dan kebutuhan dasar anak oleh daerah provinsi
dan kabupaten/kota dengan sertifikasi oleh Kementerian Sosial berdasarkan
Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar SPM Bidang
Sosial di Daerah Provinsi dan di Daerah Kabupaten/Kota. Untuk itu perlu dilakukan
seleksi penerimaan Sakti peksos untuk kebutuhan di seluruh provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia dan pemerintahan desa di sarana bidang sosial Pusat
Kesejahteraan Sosial yang berada di desa/kelurahan bekerjasama dengan Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak atau panti milik masyarakat.
 Memperhatikan layanan kedaruratan yang merupakan tindakan penanganan segera
yang dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan/atau Pusat
Kesejahteraan Sosial kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut
Usia Telantar, Gelandangan, dan Pengemis yang membutuhkan pertolongan karena
terancam kehidupannya dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
 Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) dan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Keluarga (RBK) merupakan salah satu pelayanan publik bidang sosial di Kabupaten/
Kota dan desa, perlu disusun Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) setelah
ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Urusan Konkuren.

Referensi
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak;
 Undang-Undang No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Anak;
 Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak;

[337]
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 William M. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.
 Studi Kebijakan Pengembangan Kegiatan Satuan Bakti Pekerja Sosial di Panti Sosial
Masyarakat Kementerian Sosial; Puslitbang Kementerian Sosial Tahun 2010.
 Kajian kebijakan Program Kesejahteraan Sosial Anak; Bagian Analisis Kebijakan Biro
Perencanaan Kementerian Sosial Tahun 2011.

Jakarta, Agustus 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[338]
POLICY BRIEF
PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR APAKAH MERUPAKAN
PELAYANAN PUBLIK

Abstrak
Pasal 34 UUD 45 menyebutkan fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh
Negara dan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kebutuhan dasar berdasarkan
UU No. 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin, adalah kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan (Binwas) Penyelenggaraan Pemda dan dengan
ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada
Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) mencakup SPM
sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi
sosial dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Pelayanan Dasar berdasarkan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal, adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar Warga Negara.
Jenis Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan/atau
jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap Warga Negara secara minimal.
Mutu Pelayanan Dasar adalah ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar serta pemenuhannya secara minimal dalam Pelayanan Dasar sesuai
standar teknis agar hidup secara layak. Standar Pelayanan Minimal merupakan ketentuan
mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib
yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal.
Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.02/2017 tentang Standar Biaya Masukan
Tahun 2018, pada pengadaan bahan makanan untuk pasien rumah sakit dan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di wilayah seluruh provinsi di Indonesia, meliputi:
1. Aceh, Rp. 27.000/OH; 2. Sumatera Utara, Rp. 27.000/OH; 3. Riau, Rp. 27.000/OH; 4.
Kepulauan Riau, Rp. 27.000/OH; 5. Jambi, Rp. 27.000/OH; 6. Sumatera Barat, Rp. 27.000/
OH; 7. Sumatera Selatan, Rp. 27.000/OH; 8. Lampung, Rp. 27.000/OH; 9. Bengkulu, Rp.
27.000/OH; 10. Bangka Belitung, Rp. 27.000/OH; 11. Banten, Rp. 25.000/OH; 12. Jawa
Barat, Rp. 25.000/OH; 13. DKI Jakarta, Rp. 25.000/OH; 14. Jawa Tengah, Rp. 25.000/OH;
15. DI Yogyakarta, Rp. 25.000/OH; 16. Jawa Timur, Rp. 25.000/OH; 17. Bali, Rp. 32.000/
OH; 18. Nusa Tenggara Barat, Rp. 32.000/OH; 19. Nusa Tenggara Timur, Rp. 32.000/OH;
20. Kalimantan Barat, Rp. 30.000/OH; 21. Kalimantan Tengah, Rp. 30.000/OH; 22.
Kalimantan Selatan, Rp. 30.000/OH; 23. Kalimantan Timur, Rp. 30.000/OH; 24.
Kalimantan Utara, Rp. 30.000/OH; 25. Sulawesi Utara, Rp. 30.000/OH; 26. Gorontalao,
Rp. 30.000/OH; 27. Sulawesi Barat, Rp. 30.000/OH; 28. Sulawesi Selatan, Rp. 30.000/OH;
29. Sulawesi Tengah, Rp. 30.000/OH; 30. Sulawesi Tenggara, Rp. 30.000/OH; 31. Maluku,
Rp. 32.000/OH; 32. Maluku Utara, Rp. 32.000/OH; 33. Papua, Rp. 37.000/OH; 34. Papua
Barat, Rp. 37.000/OH.

[339]
Pendahuluan
UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari tujuh belas ribuan pulau,
beraneka suku bangsa dan adat istiadat namun satu tujuan dan satu cita-cita bernegara
sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, diperlukan suatu rencana yang dapat merumuskan secara lebih
konkret mengenai pencapaian dari tujuan bernegara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Definisi kesejahteraan sosial berdasarkan UU No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
Kebutuhan dasar berdasarkan UU No. 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir
miskin, adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 UU
No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa penanganan fakir miskin
dilakukan dengan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan
pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap
warga negara. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam empat tahap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat rencana dan strategi
pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan

[340]
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

Deskripsi Masalah
Ketidakmampuan dalam pemenuhan hak dasar atau karena adanya perbedaan
perlakuan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat juga berdampak pada pelambatan penurunan kemiskinan.
Persoalan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat ini dapat
dipandang dari tiga sisi yakni ketersediaan layanan dasar (supply side), penjangkauan oleh
masyarakat miskin (demand side), serta kelembagaan dan efisiensi sektor publik.
Ketersediaan layanan dasar (supply side), baik dari sisi kuantitas maupun kualitas belum
memadai dan menjangkau seluruh masyarakat kurang mampu.
Penyelenggaraan perlindungan sosial dengan asistensi sosial berbasis keluarga dan
siklus hidup yang komprehensif dalam mewujudkan kemandirian yang mensejahterakan.
Program asistensi sosial temporer berbasis individu, kelompok ataupun institusi yang
tertata bagi kelompok masyarakat marjinal, korban bencana alam, bencana sosial, dan
guncangan ekonomi yang mendukung produktivitas.
Belum sepenuhnya terimplementasikan Pelaksanaan sistem pengelolaan data terpadu
dengan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi
dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin serta Pasal 11A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan
Iuran Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Pedoman
Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak
Mampu
Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation adalah suatu sistem informasi
yang terdiri dari beberapa komponen berupa pengumpulan dan pengolahan data
kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang
dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
dan Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran, dan

[341]
tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan dan
penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilaksanakan dengan
tahapan: penyusunan daftar awal sasaran, bimbingan teknis, Musyawarah Desa/
Kelurahan/Nama Lain, kunjungan ke Rumah Tangga, pengolahan data, pengawasan dan
pemeriksaan dan pelaporan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pengolahan dan penyajian data merupakan kegiatan pemeriksaan data dan
dokumen, pembersihan data, pemeringkatan data, pembuatan daftar dan tabulasi data,
serta penyajian data. Pengolahan dan penyajian data dilaksanakan oleh Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial.
Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengamati/mengetahui perkembangan
dan kemajuan pelaksanaan tahapan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu di daerah dan mengidentifikasi permasalahan
serta upaya pemecahannya.
Monitoring dan evaluasi terdiri atas monitoring bimbingan teknis petugas
pelaksanaan, monitoring Musyawarah Desa/Kelurahan/Nama Lain; dan monitoring
pelaksanaan kunjungan ke Rumah Tangga.

Rekomendasi
Perlindungan Sosial yang Terintegrasi (Terpadu)
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diantaranya diarahkan untuk
mengembangkan Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) di Pusat Kesejahteraan
Sosial (Puskesos) di Tingkat Desa dan Kecamatan agar data fakir miskin/penduduk
miskin, rentan dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan
mendapatkan layanan program-program penanganan kemiskinan dan mengembangkan
jaringan hingga unit pelayanan di tingkat kecamatan dan desa.

Untuk mendorong pelaksanaan penanganan kemiskinan di desa dan kelurahan, yang


perlu dilakukan antara lain :
Penguatan peran kelembagaan sosial
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk mengembangkan
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga desa/
kelurahan.
Pusat rujukan dan pelayanan ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan,
penjangkauan, serta pelaporan dan penanganan keluhan. Pembentukan lembaga ini
diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan akuntabilitas untuk
meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan. Sistem pelayanan
perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama pemerintah dengan
berbagai unsur masyarakat.

[342]
Referensi
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Jakarta, Juni 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[343]
POLICY BRIEF
PILKADA DAN PELAYANAN PUBLIK

Abstrak
Demokrasi dirayakan dengan banyak bentuk. Tak ubahnya sebuah pertunjukan,
panggung yang diklaim sebagai etalase kedaulatan rakyat ini menampilkan banyak
adegan dalam waktu yang berdekatan, bahkan bersamaan. Tak pelak, penonton acap sulit
untuk dapat membedakan siapa bermain apa, dengan siapa, dan dalam lakon apa.
Bagaimana seharusnya publik melihat janji-janji kampanye para calon dalam perspektif
hak dasar mereka yang harus dilayani oleh Bupati, Walikota, dan Gubernur. Mari
bergerak ke arah yang lebih konkret yaitu mempersoalkan program-program seperti apa
yang akan mereka berikan kepada publik sebelum mereka benar-benar menjabat.
Para kandidat akan selalu sepakat dengan tujuan demokrasi dan berbagai agenda
tugas pemerintahan yang tidak pernah selesai yaitu hak dasar setiap warganya dengan
memberikan pelayanan dasar yang merupakan pelayanan publik untuk pemenuhan
kebutuhan dasar setiap warganya, diantaranya dengan keseimbangan antara kebijakan
ekonomi dengan kebijakan sosial.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat di daerah bersangkutan. Pelayanan dasar yang merupakan pelayanan publik
untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap warganya. Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang merupakan mutu dan jenis layanan dasar yang merupakan hak setiap warga
negara Indonesia sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik sesuai dengan PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pemda dan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
Kebijakan sosial mempunyai tujuan lebih dari sekedar penanggulangan
kemiskinan. Di samping bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial (social welfare),
kebijakan pada umumnya juga diterapkan untuk meminimalkan kesenjangan sosial.
Kebijakan sosial mencakup pendekatan standar kehidupan, peningkatan jaminan sosial
serta akses terhadap kehidupan layak.
Hilangnya titik temu antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sebagaimana
diketahui, ada semacam paradox dalam kinerja perekonomian. Kinerja ekonomi yang
tinggi tidak disertai dengan meningkatnya kualitas hidup manusia secara memadai.
Fakta tentang hilangnya koneksitas antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak
hanya menjadi perhatian para ahli ekonomi dan politik saja, tetapi juga para pengambil
kebijakan. Diskoneksitas tersebut merupakan persoalan teoritis sekaligus pragmatis.
Kemajuan ekonomi sangat diperlukan bagi kemajuan sosial. Pembangunan
ekonomi baru bermakna jika dapat dialokasikan dengan baik bagi kepentingan
pembangunan sosial. Berbagai studi telah cukup membuktikan bahwa secara teoritis
maupun empiris, keberhasilan negara dalam mencapai tingkat kesejahteraan sangat
ditentukan oleh strategi pembangunan di negara tersebut yang memadukan
pembangunan ekonomi dan sosial.

Pendahuluan
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada
pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah.

[345]
Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab
akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi
berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur
dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk
kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk
kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional.
Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang
sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi
logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai
pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional
tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan Perundang-
undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan
Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam
lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Deskripsi Masalah
Orang awam sering melontarkan keluhan yang barangkali terdengar klise, katanya
kinerja ekonomi sangat menggembirakan, tetapi kenapa hidup rakyat masih saja susah?
sebenarnya siapa yang menikmati buah kemakmuran, sejak Indonesia merdeka dari
penjajahan? walaupun beberapa tahun terakhir perekonomian Indonesia terus-menerus
menunjukkan kinerja cukup bagus, tetapi berbagai persoalan sosial-utamanya
kemiskinan.
Tampaknya ada masalah dengan soal distribusi kesejahteraan, sehingga
menghadirkan kaitan yang hilang antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Pertanyaannya, apakah hubungan antara pertumbuhan (kinerja) ekonomi dan
kesejahteraan sosial merupakan hubungan sebab-akibat? Jika ya, apakah pertumbuhan
ekonomi otomatis mendorong kesejahteraan sosial?
Walaupun saling mempengaruhi secara dinamis, hubungan diantara keduanya
terlalu kompleks dan tampak tidak linear. Hubugan diantara perekonomian dan
kesejahteraan sosial, bagaimana memperbesar kue pembangunan dan sama sekali tidak
terkait dengan bagaimana kue ini harus dibagi.

[346]
Dalam konteks Indonesia, keterbatasan anggaran sering dijadikan alasan untuk
mencounter setiap tuntutan yang hendak mengembangkan kebijakan sosial. Corak
berfikir yang selama ini dipakai adalah setiap pengeluaran pemerintah pasti akan
menimbulkan efek crowding-out.
Padahal, dalam kebijakan sosial dan negara kesejahteraan, pengeluaran pemerintah
seharusnya dianggap sebagai investasi yang dapat mendorong tingkat daya beli
masyarakat. Karena itu, supaya kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih besar, hal
pertama yang harus diubah adalah cara pandang yang terlalu bias pada prinsip dan
kepentingan mekanisme pasar.
Setelah memiliki konsensus bersama bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan
ruang lebih besar dalam dinamika ekonomi dan politik, persoalan berikut yang perlu
dibenahi adalah bagaimana membiayai dan mekanisme pembiayaan kebijakan sosial.

Analisis
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat
Daerah.
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah
tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional
maka Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai pembantu
Presiden adalah kewajiban menteri atas nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan agar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Rekomendasi
 Tujuan demokrasi pada dasarnya adalah terwujudnya kesejahteraan bagi rakyatnya
dengan meningkatnya pelayanan dasar yang merupakan pelayanan publik untuk
pemenuhan kebutuhan dasar setiap warganya, diantaranya dengan keseimbangan
antara kebijakan ekonomi dengan kebijakan sosial.
 Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat di daerah bersangkutan. Pelayanan dasar yang merupakan pelayanan
publik untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap warganya. Standar Pelayanan
Minimal (SPM) yang merupakan mutu dan jenis layanan dasar yang merupakan hak
setiap warga negara Indonesia sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah
daerah dalam pelayanan publik sesuai dengan PP No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Pemda dan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal.

[347]
 Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan
kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi pedoman bagi
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan.
 Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian Dalam Negeri
melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut
diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
 Peran serta pemerintah dalam ekonomi merupakan salah satu elemen penting dalam sistem
negara kesejahteraan. Dalam bahasa teknis, intervensi pemerintah hanyalah sebuah
perangkat untuk mencapai kesejahteraan sosial. karena sistem yang berbasis pada
kekuatan pasar tidak bisa melakukan fungsi redistribusi, maka negara harus berperan
aktif menjalankan fungsi tersebut melalui seperangkat kebijakan sosial yang ditujukan
kepada kelompok masyarakat kurang beruntung (underprivileged people) yaitu fakir miskin
(perorangan dan keluarga) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Referensi
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;
 William M. Dunn,Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999,Gajah Mada
University.

Jakarta, Juni 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[348]
POLICY BRIEF
URGENSI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN
BERDASARKAN PENELITIAN DAN KAJIAN

Abstrak
Amanah dari Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku II Agenda Bidang,
dalam Rangka Menyiapkan Masyarakat Indonesia Menuju Kehidupan Global, arah
kebijakannya LIPI bekerjasama dengan beberapa lembaga litbang nasional memperkuat
kapasitas dan jejaring penelitian sosial.
Penjanjian Kerja Bersama (Memorandum of Understanding) antara LIPI dengan
Kementerian Sosial RI merupakan suatu momentum melaksanakan amanah RPJMN
dengan pengembangan dan pelaksanaan program berbasiskan penelitian dan kajian,
yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial RI No. 04 Tahun 2012 tentang Prosedur
Penyusunan Naskah Hukum di Lingkungan Kementerian Sosial RI, Perjanjian Kerjasama
dengan prakarsa penyusunannya dapat diajukan oleh unit kerja yang menangani bidang
hukum di lingkungan Sekretariat Eselon I, Pusat Kajian Hukum (Biro Hukum). Bagian
Penyusunan Naskah Hukum di Biro Hukum, menyelenggarakan fungsi penyiapan bahan
koordinasi dan penelaahan naskah hukum bidang kesejahteraan sosial.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial dalam Permensos No. 20
Tahun 2015, Pasal 578 melaksanakan fungsi penyiapan pelaksanaan penetapan
kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang penelitian dan pengembangan
penanganan fakir miskin, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial,
jaminan sosial, dan penunjang.
Berdasarkan Nota Dinas Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI, No.
554/SJ/07/2017 tanggal 27 Juli 2017, Hal: Focus Group Discussion (FGD) ke LIPI.
Pertemuan dilaksanakan tanggal 2 Agustus 2017 di Ruang Rapat Widya Graha lantai 10
LIP, dimulai jam 08.00 WIB, dengan pointers diantaranya:
 Menyusun Perjanjian Kerja Bersama (Memorandum of Understanding) antara LIPI
dengan Kementerian Sosial RI dengan menyusun program dan kegiatan berbasis
penelitian dan kajian untuk jangka panjang dan jangka pendek serta inisiatif baru
(new inisiatif);
 Peran Corporate Sosial Responsibility (CSR) dalam pembangunan infrastrustur sosial
atau yang disebut pembangunan sosial;
 Sinergi penelitian antara LIPI dengan Kementerian Sosial RI untuk program dan
kegiatan berbasiskan penelitian dan kajian, melalui rapid assesment, quick research
untuk program terkait prioritas nasional pada new inisiatif;
 Mapping kebutuhan diagnosis penelitian/kajian, apa yang akan dikerjakan dengan
target bulan September;
 Perimbangan keuangan antara APBN dan APBD dalam penangan kemiskinan
dengan Basis Data Terpadu (BDT) dan permasalahan sosial seperti penanganan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) diantaranya penyandang
disabilitas, anak telantar, lanjut usia telantar, gelandangan dan pengemis, dan
lainnya.
 Gini ratio atau kesenjangan, support dana dan public partnership.

[349]
Pendahuluan
Arah kebijakan dalam penurunan angka kemiskinan dalam RPJMN 2015-2019,
diantaranya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicapai dengan
memberikan akses bagi penduduk berpenghasilan 40 persen terendah kedalam kegiatan
ekonomi produktif dan secara selektif pemberian Kartu Keluarga Sejahtera.
Kesempatan yang luas bagi masyarakat kurang mampu untuk berkiprah dalam
pembangunan, akan mempercepat penurunan kemiskinan sehingga meningkatkan taraf
kehidupan ekonomi keluarga yang berkelanjutan. Berbagai potensi akan dikembangkan
sesuai kondisi ekonomi dan wilayah. Peningkatan kapasitas, keterampilan, akses kepada
sumber pembiayaan dan pasar, diversifikasi keterampilan, serta perlindungan usaha
dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat kepada sumberdaya
produktif, yaitu:
 Meningkatkan keterampilan masyarakat miskin dalam kesempatan kerja serta
pengembangan wirausaha, terbentuknya kelembagaan keuangan yang membuka
peluang akses masyarakat miskin terhadap modal dan peningkatan aset
kepemilikan dan terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat produktif di
kantong-kantong kemiskinan tingkat kecamatan sebagai media untuk
pengembangan masyarakat kurang mampu.
 Meningkatkan perlindungan, produktivitas dan pemenuhan hak dasar bagi
penduduk kurang mampu, melalui (i) penataan asistensi sosial terpadu berbasis
keluarga dan siklus hidup melalui Program Keluarga Produktif dan Sejahtera yang
mencakup antara lain bantuan tunai bersyarat dan/atau sementara, pangan
bernutrisi, peningkatan kapasitas pengasuhan dan usaha keluarga, pengembangan
penyaluran bantuan melalui keuangan digital, serta pemberdayaan dan rehabilitasi
sosial; (ii) peningkatan inklusivitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia
pada setiap aspek penghidupan, dan (iii) penguatan kelembagaan dan koordinasi
melalui peningkatan kualitas dan ketersediaan tenaga kesejahteraan sosial,
standarisasi lembaga kesejahteraan sosial, serta pengembangan sistem rujukan dan
layanan terpadu.
 Memperluas dan meningkatkan pelayanan dasar untuk masyarakat kurang mampu
melalui: (i) peningkatkan ketersediaan infrastruktur dan sarana pelayanan dasar
bagi masyarakat kurang mampu dan rentan; (ii) meningkatkan penjangkauan
pelayanan dasar bagi penduduk kurang mampu dan rentan; (iii) penyempurnaan
pengukuran kemiskinan yang menyangkut kriteria, standarisasi, dan sistem
pengelolaan data terpadu.
 Meningkatkan penghidupan masyarakat kurang mampu melalui: (i) pemberdayaan
ekonomi berbasis pengembangan ekonomi lokal, (ii) perluasan akses permodalan
dan layanan keuangan melalui penguatan layanan keuangan mikro, (iii)
peningkatan pelatihan dan pendampingan dalam rangka meningkatkan kapasitas
dan keterampilan, (iv) peningkatan kapasitas pemanfaatan sumber daya lokal
sebagai sumber penghidupan yang berkelanjutan, (v) peningkatan akses pasar yang
didukung penyediaan kepastian lokasi usaha

Deskripsi Masalah
 Salah satu misi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2015-2019 adalah mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan
dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara
menyeluruh.

[350]
 Meningkatkan dan memperluas pelayanan dasar bagi masyarakat kurang
mampu. Perluasan pemenuhan hak dan kebutuhan dasar perlu menjadi perhatian
untuk peningkatan kualitas hidup terutama bagi masyarakat kurang mampu.
 Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pengangguran, dengan berbagai
kebijakan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat tajam sejak tahun 2016,
menjadi 7,1 persen pada tahun 2017, dan terus meningkat pada tahun 2018 dan 2019
masing-masing sebesar 7,5 persen dan 8,0 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ini,
pendapatan perkapita naik dari Rp. 47,8 Juta (USD3.918,3) pada tahun 2015 hingga
mencapai Rp. 72,2 Juta (USD 6.018,1) pada tahun 2019. Kebijakan pada bidang
moneter dalam RPJMN 2015-2019 diarahkan untuk tetap fokus pada upaya menjaga
stabilitas ekonomi dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan yang
tetap kondusif bagi pengembangan sektor riil. Pemerintah dan Bank Indonesia juga
akan terus berkoordinasi untuk meningkatkan akses masyarakat pada perbankan
(financial inclusion).
Bantuan Sosial di Kementerian Sosial RI, bertujuan mengurangi beban
pengeluaran keluarga dan meningkatkan pendapatan. Sementara jangka panjang
diharapkan bisa memutus lingkaran kemiskinan yang turun-temurun melalui
peningkatan kualitas hidup, diantaranya:
 Program Keluarga Harapan (PKH) yang diperuntukan bagi ibu-ibu rumah tangga
miskin.
 Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB)/Orang dengan kecacatan
berat untuk setiap penyandang disabilitas berat miskin
 Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT) bagi lanjut usia telantar miskin.
 Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) berupa tabungan untuk anak telantar
miskin.
 E-Waroeng dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), penyaluran bantuan pangan
non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung perilaku
produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.
 Bantuan Pangan Non Tunai diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang
lebih luas terhadap layanan keuangan.

Rekomendasi
 Penjanjian Kerja Bersama (Memorandum of Understanding) antara LIPI dengan
Kementerian Sosial RI merupakan suatu momentum melaksanakan amanah RPJMN
dengan pengembangan dan pelaksanaan program berbasiskan penelitian dan
kajian, yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial RI No. 04 Tahun 2012 tentang
Prosedur Penyusunan Naskah Hukum di Lingkungan Kementerian Sosial RI,
Perjanjian Kerja sama dengan prakarsa penyusunannya dapat diajukan oleh unit
kerja yang menangani bidang hukum di lingkungan Sekretariat Eselon I, Pusat
Kajian Hukum (Biro Hukum). Bagian Penyusunan Naskah Hukum di Biro Hukum,
menyelenggarakan fungsi penyiapan bahan koordinasi dan penelaahan naskah
hukum bidang kesejahteraan sosial.
 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial dalam Permensos No. 20
Tahun 2015, Pasal 578 melaksanakan fungsi penyiapan pelaksanaan penetapan
kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang penelitian dan pengembangan
penanganan fakir miskin, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan
sosial, jaminan sosial, dan penunjang.

[351]
 Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin (PFM) bekerjasama dengan Pusat
Data dan Informasi (PUSDATIN) Kesejahteraan Sosial memberikan data
kemiskinan kepada Puslibang Kesos dan LIPI, untuk kebutuhan penelitian dengan
metode rapid assesment, quick research untuk program terkait prioritas nasional
pada new inisiatif dalam penanganan kemiskinan, sesuai dengan Peraturan Menteri
Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data Terpadu
Program Penanganan Fakir Miskin.
 Bantuan Pangan Non Tunai merupakan bantuan sosial pangan yang disalurkan
secara non tunai dari pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap
bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk
membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan
bank penyalur.
 Bahwa tujuan dari Bantuan Pangan Non Tunai untuk mengurang beban
pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan, memberikan
nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan ketepatan sasaran dan
ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan bagi KPM, memberikan lebih banyak
pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan, mendorong
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/
SDG’s).

Kebijakan Otonomi Daerah


1. Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (RBK) dan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Masyarakat (RBM) sebagai salah satu jawaban atas pembagian kewenangan urusan
pemerintah di kabupaten/kota pada lampiran bidang sosial dari UU 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan sebagai salah satu alternatif dalam penjangkauan pelayanan
kepada penyandang disabilitas, lanjut usia, anak, telantar dan penerima manfaat/
layanan pada urusan wajib bidang sosial di kabupaten/kota dan perlu terus
dikembangkan dan diimplementasikan di daerah kabupaten/kota sesuai dengan
Pendekatan Profesi Pekerjaan Sosial di luar Panti dengan berbasis keluarga dan
masyarakat.
2. Fungsional Perencana bersama Pejabat di lingkup Ditjen Rehabilitasi Sosial,
menghitung Kebutuhan Biaya Per Jenis Pelayanan Dasar Bidang Sosial dengan
pembanding Satuan Biaya Keluaran (SBK);
3. Penerima Pelayanan Dasar yaitu Warga Negara adalah orang penyandang disabilitas
telantar untuk Jenis Pelayanan Dasar rehabilitasi sosial penyandang disabilitas
telantar di luar panti untuk kab/kota;

Aspek Kelembagaan:
 Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan
meningkatkan sosialisasi program tidak terlepas dari belum adanya petunjuk yang
mengatur kegiatan tersebut.
 Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan
dan perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping
PKH atau hasil perekrutan baru.

[352]
 Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program. Misalkan memaksimalkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT) di kabupaten/kota dan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskessos) di lingkup desa
dalam menjawab permasalahan program di lapangan.
 Peran Perencana (JFP) dalam Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), turut
dilibatkan dalam penelitian dan kajian yang dilakukan antara LIPI dengan
Kementerian Sosial RI berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama/MOU.

Referensi
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 04 Tahun 2012 tentang Prosedur Penyusunan Naskah
Hukum di Lingkungan Kementerian Sosial RI;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata kerja di
Kementerian Sosial RI.
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 5 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan PP No. 76 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas PP No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin.

Jakarta, 3 Agustus 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[353]
POLICY BRIEF
PSKS SEBAGAI PENDAMPING SOSIAL DALAM PROGRAM
PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Abstrak
Memulihkan fungsi sosial yang memerlukan pendampingan sosial dalam rangka
mencapai kemandirian, meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas dan kelangsungan
hidup, meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan, merupakan
salah satu tujuan dari penyelenggaraan kesejahteraan yang disebutkan pada Pasal 3 UU
No. 11 Tahun 2009. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial pada Pasal 5, ditujukan kepada
perseorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan kriteria masalah sosial yang
meliputi: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi.
Pemberdayaan sosial pada Pasal 12, adalah memberdayakan seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu
memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan meningkatkan peran serta lembaga atau
perseorangan sebagai Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).
Penanggulangan kemiskinan pada Bab IV Pasal 19 UU No. 11 Tahun 2009,
merupakan kebijakan, program dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga,
kelompok, atau masyarakat yang tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan dan pada Pasal 20 ditujukan untuk
meningkatkan kapasitas dan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat
miskin, mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam
pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya.
Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan dan
kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang lebih luas terhadap layanan
keuangan.
Pendampingan sosial pada program penanggulangan kemiskinan dalam PKH dan
BPNT berdasarkan UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU 13/2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin, menggunakan sumder daya manusia kesejahteraan sosial yang
disebut Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) yang definisinya merupakan seseorang yang
dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga
pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang Kesejahteraan
Sosial.

[355]
Pendahuluan
Kebijakan Sosial (social policy) mempunyai tujuan lebih dari sekedar
penanggulangan kemiskinan. Di samping bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial
(social welfare), kebijakan pada umumnya juga diterapkan untuk meminimalkan
kesenjangan sosial. Kebijakan sosial mencakup pendekatan standar kehidupan,
peningkatan jaminan sosial serta akses terhadap kehidupan layak.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Selain untuk memberikan pilihan pangan yang lebih luas, penyaluran bantuan
pangan non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung
perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.
Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial yang ditetapkan dalam
Permensos No. 16 Tahun 2017, merupakan satuan standar yang meliputi standar
kualifikasi dan standar pembinaan. Standar Kualifikasi merupakan kriteria minimal
tentang kualifikasi sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial. Standar
Pembinaan merupan kriteria minimal tentang pembinaan sumber daya manusia
penyelenggara kesejahteraan sosial. Tenaga Kesejahteraan Sosial merupakan seseorang
yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan
dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga
Pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan
sosial.

Deskripsi Masalah
Permasalahan pelaksanaan upaya pemerataan antarkelompok pendapatan dan
penanggulangan kemiskinan Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019 Tahun 2017 oleh
Bappenas, diantaranya:
 Ketersediaan data penduduk miskin yang akurat untuk proses penargetan
termasuk data registrasi dan administrasi penduduk masih kurang,
 Kualitas dan akses layanan pelayanan dasar yang masih sangat beragam dan belum
terstandar, keterbatasan pranata sosial dan infrastruktur yang sangat dibutuhkan
dalam meningkatkan efektivitas pelaksanaan upaya-upaya penguatan usaha-usaha
masyarakat dalam meningkatkan usaha mikro dan kecil,
 Belum optimalnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, baik dari
aspek kesempatan berusaha maupun kemampuan untuk mengembangkan usaha
secara berkelanjutan.
 Belum terjalinnya hubungan kemitraan yang kuat antara lembaga pelatihan dengan
dunia industri dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan dan sertifikasi, sehingga
alumni peserta pelatihan masih belum memiliki kompetensi kerja yang memenuhi
kualifikasi di bidang industri.
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) pada definisi di Permensos No. 16
Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya Manusia (SDM) Penyelenggara
kesejahteraan Sosial, merupakan perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat yang dapat berperan serta untuk menjaga, menciptakan, mendukung, dan
memperkuat penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
dapat merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau masyarakat yang meliputi Pekerja
Sosial, Relawan Sosial dan Penyuluh Sosial.

[356]
Solidaritas sosial dapat dikembangkan untuk pendampingan sosial untuk
meningkatkan fungsi sosial untuk meningkatkan kemandirian pada program
penanggulangan kemiskinan/penanganan fakir miskin pada perorangan, keluarga dan
kelompok) yang seperti PKH dan BPNT, yang berkaitan dengan integrasi yang
diperlihatkan oleh anggota masyarakat, ikatan di dalam suatu masyarakat dalam bentuk
relasi sosial yang mengikat satu sama lain. Hal itu didasarkan atas rasa kekeluargaan dan
berbagi nilai-nilai yang mana anggota-anggota masyarakat bekerja sama atau bergotong-
royong (cooperate) diantara mereka dalam suatu cara yang efektif, apakah secara sendiri-
sendiri atau kelompok melakukan sesuatu hal yang positif seperti bantuan sosial, yang
pada Pasal 14 UU No. 11 Tahun 2009, merupakan bentuk perlindungan sosial untuk
mencegah dan menangani resiko sosial dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang,
keluarga, kelompok dan masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai
kebutuhan dasar minimal.

Analisis
Rekomendasi dari Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019 Tahun 2017 oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, diantaranya:
 Merevisi target koefisien Gini pada akhir 2019 dari 0,36 menjadi 0,37
 Melakukan sinkronisasi hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) dengan
data sektoral penerima bantuan, khususnya data penduduk dalam institusi, seperti
panti dan lembaga kesejahteraan sosial lainnya.
 Memperbaiki Standar Pelyanan Minimal (SPM) di berbagai bidang yang dilengkapi
dengan strategi implementasi pelayanan dasar yang diperuntukkan bagi
masyarakat miskin dan rentan.
 Meningkatkan edukasi dan advokasi kepada masyarakat miskin dan rentan
mengenai perilaku hidup sehat dan kesadaran akan akses keuangan.
 Meningkatkan dan memperbaiki desain program penanggulangan kemiskinan
dengan memperhatikan sisi permintaan dan penawaran antara penerima manfaat
dan pelaksana program.
 Mengembangan kolaborasi dan kerjasama yang melibatkan pemangku
kepentingan, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat termasuk
perguruan tinggi.
 Memberikan fasilitas bagi pengembangan ide-ide wirausaha sosial untuk
menggerakkan usaha bersama dengan memanfaatkan modal sosial dan budaya.

Analisis lainnya
 Upaya meningkatkan kualitas hidup manusia pada hakekatnya merupakan
pembangunan manusia sebagai insan dan sumber daya pembangunan, baik laki-laki
maupun perempuan, mulai dari dalam kandungan ibu sampai usia lanjut.
Peningkatan kualitas hidup manusia tidak hanya tercermin pada penyediaan lapangan
pekerjaan dan jaminan pendapatan semata, tetapi juga pemenuhan hak-hak dasar
warga negara untuk memperoleh layanan publik. Dalam perspektif demikian,
pembangunan manusia dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sehat, berpendidikan, berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab,
serta berdaya saing untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh
bangsa Indonesia.

[357]
 Penanganan fakir miskin merupakan salah satu prioritas nasional dan diperlukan
upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan
dasar setiap warga negara yang meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Pasal 18 UU 13/2011
disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
menyelenggarakan pelayanan sosial, yang meliputi peningkatan fungsi sosial,
aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas hidup, meningkatkan
kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial
secara melembaga dan berkelanjutan.
 Perlu ada Indikator Partisipasi Masyarakat. Oakley (1991: 9) memberi pemahaman
tentang konsep partisipasi, dengan mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok,
yaitu Partisipasi sebagai kontribusi; Partisipasi sebagai organisasi; dan Partisipasi
sebagai pemberdayaan. Dimensi Kontribusi Masyarakat, Dimensi Pengorganisasian
Masyarakat, dan Dimensi Pemberdayaan Masyarakat.

Rekomendasi
Rekomendasi dari Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019 Tahun 2017 oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, diantaranya:
 Merevisi target koefisien Gini pada akhir 2019 dari 0,36 menjadi 0,37
 Melakukan sinkronisasi hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) dengan data
sektoral penerima bantuan, khususnya data penduduk dalam institusi, seperti panti
dan lembaga kesejahteraan sosial lainnya.
 Memperbaiki Standar Pelayanan Minimal (SPM) di berbagai bidang yang dilengkapi
dengan strategi implementasi pelayanan dasar yang diperuntukkan bagi masyarakat
miskin dan rentan.
 Meningkatkan edukasi dan advokasi kepada masyarakat miskin dan rentan mengenai
perilaku hidup sehat dan kesadaran akan akses keuangan.
 Meningkatkan dan memperbaiki desain program penanggulangan kemiskinan dengan
memperhatikan sisi permintaan dan penawaran antara penerima manfaat dan
pelaksana program.
 Mengembangan kolaborasi dan kerjasama yang melibatkan pemangku kepentingan,
baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat termasuk perguruan tinggi.
 Memberikan fasilitas bagi pengembangan ide-ide wirausaha sosial untuk
menggerakkan usaha bersama dengan memanfaatkan modal sosial dan budaya.

Rekomendasi lainnya
 Restorasi sosial merupakan sebuah semangat kepedulian sosial terhadap masyarakat
marginal seperti fakir miskin (keluarga dan perorangan) serta Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti Penyandang Disabilitas (PD), lanjut usia telantar,
anak telantar, gelandangan dan pengemis di lingkungan sekitarnya.
 Restorasi Sosial dalam implementasi kegiatan yang nyata misalkan ada sebuah materi
semangat kepedulian sosial yang diwujudkan dalam restorasi sosial yang baku untuk

[358]
semua Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) yaitu: Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan, pekerja sosial masyarakat (PSM), Karang Taruna, Taruna Siaga Bencana
(Tagana). pendamping program Keluarga Harapan (PKH) yang juga pendamping
program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
 Restorasi Sosial untuk perubahan sikap dalam peningkatan kapasitas, keterampilan,
akses kepada sumber pembiayaan dan pasar, diversifikasi keterampilan, serta
perlindungan usaha dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan penduduk miskin
(perorangan dan keluarga) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
kepada sumberdaya produktif.
 Restorasi Sosial untuk perubahan sikap dalam peningkatan untuk membiayai
kebijakan sosial yang tidak akan pernah menimbulkan kejenuhan pasar. Dengan
menggunakan perspektif pasca-Keynesian, pengeluaran pemerintah tersebut akan
membawa efek crowding-in.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 William M. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.

Jakarta, 26 September 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[359]
POLICY BRIEF
PUSKESOS DAN RUMAH SINGGAH DALAM PENERAPAN
SPM BIDANG SOSIAL DI KAB/KOTA

Abstrak
Peningkatan Pelayanan Publik diperlukan guna perbaikan kualitas pelayanan
publik yang semakin merata agar mampu mendukung percepatan kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan daya saing daerah melalui strategi terkait inovasi dan
pelayanan publik, yaitu penyusunan revisi panduan dan regulasi terkait SPM (Standar
Pelayanan Minimal), PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), dan Inovasi Daerah untuk
percepatan implementasi di daerah, peningkatan jumlah daerah yang
mengimplementasikan SPM, PTSP, dan inovasi daerah dengan baik, penyusunan dan
sosialisasi instruksi presiden mengenai penerapan sikap-sikap pelayanan aparat dan
sosialiasi nilai-nilai pelayanan, penerapan Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
(PATEN); dan penyusunan kebijakan terkait peningkatan kualitas tata kelola dan daya
saing perekonomian daerah.
Buku III Agenda Pembangunan Wilayah pada lampiran Peraturan Presiden No. 2
Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2015-2019 bahwa tata kelola pemerintahan dan otonomi daerah memiliki arah kebijakan
dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan Pemda dan restrukturisasi organisasi
perangkat daerah (OPD)
Arah kebijakannya adalah restrukturisasi OPD yang efektif dan efisien dalam
menjalankan pelayanan publik di daerah. Strategi yang dilakukan dengan penguatan
regulasi dan kebijakan restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah; dan peningkatan
kapasitas dan fasilitasi pemerintah daerah dalam rangka restrukturisasi OPD.
Pembinaan terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi pada Pasal
374 UU 23/2014 tentang Pemda, pembinaan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
daerah provinsi dilaksanakan oleh Menteri, menteri teknis, dan kepala lembaga
pemerintah nonkementerian. Menteri (Mendagri) melakukan pembinaan yang bersifat
umum meliputi: pembagian Urusan Pemerintahan; kelembagaan Daerah, kepegawaian
pada perangkat daerah, keuangan daerah, pembangunan daerah, pelayanan publik di
daerah, kerjasama daerah, kebijakan daerah, kepala Daerah dan DPRD; dan bentuk
pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Upaya percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan rakyat
tersebut menggunakan prinsip pemerataan dan keadilan salah satunya diwujudkan
melalui penetapan dan penerapan SPM. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka SPM tidak lagi dimaknai dalam
kontekstual sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria. Batasan pengertian SPM
secara tekstual memang tidak berubah, yaitu bahwa SPM merupakan ketentuan
mengenai Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu Pelayanan Dasar yang berhak diperoleh setiap
Warga Negara secara minimal, namun terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan
mengenai Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu Pelayanan Dasar, kriteria penetapan SPM, dan
mekanisme penerapan SPM.
Menteri teknis dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melakukan
pembinaan yang bersifat teknis terhadap teknis penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan ke Daerah provinsi. Pembinaan yang bersifat umum dan teknis

[361]
dilakukan dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian
dan pengembangan.
Menteri Sosial sebagai pembina teknis urusan wajib terkait pelayanan dasar bidang
sosial melaksanakan pembinaan dan pengawasan urusan bidang sosial sesuai dengan
kewenangan berdasarkan peraturan Perundang-undangan.
Penataan kewenangan untuk meningkatkan kualitas dan sinkronisasi penataan
kewenangan antar level pemerintahan. Strategi yang dilakukan adalah: penguatan
regulasi dan kebijakan penataan kewenangan; dan penguatan peran gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
Meningkatkan Penjangkauan Pelayanan Dasar bagi Penduduk Miskin dan Rentan,
melalui: peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak dasar dan layanan dasar yang
disediakan untuk masyarakat miskin dan rentan, peningkatan partisipasi penduduk
miskin dalam pengambilan keputusan, termasuk perencanaan, penganggaran, dan
pelaksanaan pelayanan dasar, perluasan dan penguatan sistem pemantauan berbasis
masyarakat sebagai salah satu bagian utama dari sistem pemantauan dan penjangkauan
di tingkat penyedia layanan dan pengembangan dan penguatan mekanisme evaluasi dari
masyarakat yaitu mekanisme pelaporan, pengaduan, dan pencarian informasi terhadap
ketersediaan dan kualitas layanan dasar yang difasilitasi oleh sistem pusat rujukan dan
pelayanan terpadu.
Sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui rehabilitasi
aosial kepada setiap penyandang disabilitas (rungu wicara, mental eks psikotik, mental
eks penyakit kronis, netra, grahita, penyandang disabilitas tubuh, dan penyandang
disabilitas ganda) yang sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang
layak, pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan
lembaga kesejahteraan sosial) dan di luar lembaga dengan berbasis keluarga dan
masyarakat.
Meningkatnya belanja pembangunan untuk menjamin ketersediaan kuantitas dan
kualitas pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM), melalui
cara peningkatan proporsi belanja modal, pengurangan rasio belanja pegawai terhadap
total belanja.
Perubahan paradigma penting lainnya mengenai SPM yaitu dalam konteks belanja
Daerah. Terhadap belanja Daerah maka ditentukan secara tegas dan jelas bahwa belanja
Daerah diprioritaskan untuk mendanai pelaksanaan SPM. Atas prioritas tersebut dan
terlaksananya
SPM maka SPM telah menjamin hak konstitusional masyarakat, sehingga bukan
kinerja Pemerintah Daerah yang menjadi prioritas utama apalagi kinerja kementerian
tetapi prioritas utamanya yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar Warga Negara.

Pendahuluan
Pengaturan mengenai Jenis Pelayanan Dasar ditentukan dengan tegas dan jelas
dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM ini dan tidak didelegasikan lebih lanjut kedalam
peraturan Perundang-undangan lainnya. Terkait dengan Mutu Pelayanan Dasar maka
pengaturan lebih rincinya ditetapkan oleh masing-masing menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sesuai dengan jenis SPM.
Pengaturan oleh menteri terkait merupakan pengaturan mengenai standar teknis
SPM. Penetapan SPM dilakukan berdasarkan kriteria barang dan/atau jasa kebutuhan
dasar yang bersifat mutlak dan mudah distandarkan yang berhak diperoleh oleh setiap

[362]
Warga Negara secara minimal sesuai dengan Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu Pelayanan
Dasar.
Untuk mekanisme penerapan SPM maka tidak lagi ditentukan berdasarkan
indikator SPM dan batas waktu pencapaian tetapi mengutamakan penerapan SPM
dengan berdasarkan:
 pengumpulan data secara empiris dengan tetap mengacu secara normatif sesuai
standar teknis;
 penghitungan kebutuhan pemenuhan Pelayanan Dasar;
 penyusunan rencana pemenuhan Pelayanan Dasar; dan
 pelaksanaan pemenuhan Pelayanan Dasar, yang kesemuanya itu dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan bukan oleh kementerian terkait.
Selanjutnya, mengingat makna Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak hanya pada Daerah kabupaten
dan kota namun juga pada Daerah provinsi maka SPM tentu juga harus dimaknai tidak
hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah kabupaten/kota saja tetapi juga
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah provinsi.
Hal ini juga mengingat bahwa di daerah provinsi juga tersedia anggaran
pendapatan dan belanja daerah provinsi untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan
Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman,
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat serta sosial.
Selain itu, penetapan dan penerapan SPM Daerah provinsi menjadi penting
mengingat terdapatnya Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar yang tidak lagi menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. Secara umum
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai prinsip penetapan dan penerapan SPM,
jenis SPM termasuk materi muatannya yang terdiri atas Jenis Pelayanan Dasar, Mutu
Pelayanan Dasar, dan penerima Pelayanan Dasar, penerapan dan pelaporan SPM,
pembinaan dan pengawasan SPM.
Prinsip kesesuaian kewenangan merupakan SPM yang diterapkan sesuai dengan
kewenangan Daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota menurut pembagian Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Prinsip ketersediaan merupakan SPM yang ditetapkan dan diterapkan dalam
rangka menjamin tersedianya barang dan/atau jasa kebutuhan dasar yang berhak
diperoleh oleh setiap Warga Negara secara minimal. Prinsip keterjangkauan merupakan
SPM yang ditetapkan dan diterapkan dalam rangka menjamin barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar yang mudah diperoleh oleh setiap Warga Negara.
Prinsip kesinambungan merupakan SPM yang ditetapkan dan diterapkan untuk
memberikan jaminan tersedianya barang dan/atau jasa kebutuhan dasar Warga Negara
secara terus-menerus.
Prinsip keterukuran merupakan SPM yang ditetapkan dan diterapkan dengan
barang dan/atau jasa yang terukur untuk memenuhi kebutuhan dasar Warga Negara.
Prinsip ketepatan sasaran merupakan SPM yang ditetapkan dan diterapkan untuk
pemenuhan barang dan/atau jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh setiap Warga
Negara secara minimal dan pemenuhan oleh Pemda ditujukan kepada Warga Negara
dengan memprioritaskan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu untuk mendorong
keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan, penataan
kelembagaan diantaranya diarahkan untuk mengembangkan Sistim Layanan dan
Rujukan Terpadu (SLRT) di Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) di Tingkat Desa dan

[363]
Kecamatan agar data fakir miskin/penduduk miskin, rentan dan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan mendapatkan layanan program-program
penanganan kemiskinan dan mengembangkan jaringan hingga unit pelayanan di tingkat
kecamatan dan desa.

Untuk mendorong pelaksanaan penangan kemiskinan di desa dan kelurahan,


yang perlu dilakukan antara lain :
1. Penguatan peran kelembagaan sosial
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk
mengembangkan sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota
hingga desa/kelurahan.
Pusat rujukan dan pelayanan ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan,
penjangkauan, serta pelaporan dan penanganan keluhan. Pembentukan lembaga ini
diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan akuntabilitas untuk
meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan. Sistem pelayanan
perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama pemerintah dengan
berbagai unsur masyarakat.
2. Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) sebagai sarana sosial di
desa/Kelurahan
UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,menyebutkan bahwa sarana
dan prasarana meliputi: panti sosial, pusat rehabilitasi sosial, pusat pendidikan dan
pelatihan, pusat kesejahteraan sosial, rumah singgah, rumah perlindungan sosial.
Pusat kesejahteraan sosial sebagai tempat yang berfungsi untuk melakukan
kegiatan pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara kelompok
masyarakat dalam komunitas yang ada di desa atau kelurahan dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
3. Mekanisme Layanan dan Rujukan Terpadu
Akses Layanan dan Rujukan Terpadu ada 2 jenis, yang pertama penerima
manfaat (PM) datang ke Pusat kesejahteraan Sosial (Puskesos) diterima oleh front office
dilakukan pengecekan data.
Jika belum masuk dalam data, maka dilakukan verifikasi validasi data oleh
petugas Puskesos diantaranya pekerja sosial masyarakat (PSM). Kedua, apabila
penerima manfaat sudah terdata, dicatat pengaduannya terhadap program apa,
misalkan bidang pendidikan, bidang kesehatan dan bidang pemerintah lainnya, maka
diakomodir di back office pada desk masing-masing bidang pemerintah, akan
ditindaklanjuti ditempat misalkan belum memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu
Indonesia Sehat (KKS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Kalau diadakan veri-vali agar masuk dalam daftar kemiskinan Basis Data
Terpadu (BDT).
TKSK mengkoordinasikan Puskesos di kecamatan di wilayah kerjanya untuk
rujukan dan layanan terpadu di tingkat Kab/Kota dan dilaporkan kepada Manager
lembaga SLRT di Tingkat Kab/Kota.

[364]
4. Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu.
Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi
dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin serta Pasal 11A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu
Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation merupakan suatu sistem
informasi yang terdiri dari beberapa komponen berupa pengumpulan dan pengolahan
data kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
dan Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran,
dan tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan
dan penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.

Deskripsi Masalah
Penurunan Kemiskinan Namun Jumlah Penduduk Rentan Bertambah
Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, namun sebagian besar
penduduk lainnya masih menghadapi kerentanan terhadap berbagai risiko sepanjang
siklus hidup seperti sakit, krisis ekonomi dan bencana alam. Diperkirakan 4,5 juta dari 6
juta rumah tangga berpendapatan terendah tetap dalam kemiskinan selama 3 tahun lebih,
sedangkan 1,5 juta terancam selalu dalam kondisi miskin (Susenas, BPS).

Ketimpangan akses dan penjangkauan pelayanan dasar


Ketidakmampuan dalam pemenuhan hak dasar atau karena adanya perbedaan
perlakuan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat juga berdampak pada pelambatan penurunan kemiskinan.
Persoalan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat ini dapat
dipandang dari tiga sisi yakni ketersediaan layanan dasar (supply side), penjangkauan oleh
masyarakat miskin (demand side), serta kelembagaan dan efisiensi sektor publik.
Ketersediaan layanan dasar (supply side), baik dari sisi kuantitas maupun kualitas belum
memadai dan menjangkau seluruh masyarakat kurang mampu.

Kurangmya Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin dan Rentan Serta


PMKS
Penyelenggaraan perlindungan sosial dengan asistensi sosial berbasis keluarga dan
siklus hidup yang komprehensif dalam mewujudkan kemandirian yang mensejahterakan.
Program asistensi sosial temporer berbasis individu, kelompok ataupun institusi yang
tertata bagi kelompok masyarakat marjinal, korban bencana alam, bencana sosial, dan
guncangan ekonomi yang mendukung produktivitas.

[365]
Rekomendasi
1. Sebagai Pelayanan Perlindungan Sosial Terpadu
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian
pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan
dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan
sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan
pemutakhiran data secara berkala.
2. Implementasi Pelaksanaan sistem pengelolaan data terpadu dengan Sistem
Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation.
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
dan Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran,
dan tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan
dan penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilaksanakan
dengan tahapan: penyusunan daftar awal sasaran, bimbingan teknis, Musyawarah
Desa/Kelurahan/Nama Lain, kunjungan ke Rumah Tangga, pengolahan data,
pengawasan dan pemeriksaan dan pelaporan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pengolahan dan penyajian data merupakan kegiatan pemeriksaan data dan
dokumen, pembersihan data, pemeringkatan data, pembuatan daftar dan tabulasi
data, serta penyajian data.
Pengolahan dan penyajian data dilaksanakan oleh Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial.
Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengamati/mengetahui
perkembangan dan kemajuan pelaksanaan tahapan Verifikasi dan Validasi Data
Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu di daerah dan
mengidentifikasi permasalahan serta upaya pemecahannya.
Monitoring dan evaluasi terdiri atas monitoring bimbingan teknis petugas
pelaksanaan, monitoring Musyawarah Desa/Kelurahan/Nama Lain; dan monitoring
pelaksanaan kunjungan ke Rumah Tangga.

Referensi
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan
Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah;
 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

[366]
 Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Jakarta, 20 Februari 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[367]
POLICY BRIEF
KETERKAITAN RAN-HAM, SDG’s, LAYANAN & RUJUKAN
TERPADU

Abstrak
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu
Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018 dan
tahun-tahun mendatang.
Pada tujuan-1 Mengakhiri kimiskinan dalam segala bentuk dimanapun, dengan
indikator 1.3. Menerapkan secara nasional sistem dan upaya perlindungan sosial yang
tepat bagi semua, termasuk kelompok yang paling miskin mencapai cakupan substansial
bagi kelompok miskin dan rentan, dengan indikator proporsi penduduk diantaranya
penyandang disabilitas.
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan
Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat
meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information),
hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk
mendapatkan keadilan (public right to justice).
Model sosial penyandang disabilitas merupakan salah satu alternatif mutu dan
jenis rehabilitasi sosial lanjutan yang menjadi kewenangan Pusat (Kementerian Sosial)
diperlukan untuk penyadaran masyarakat atas perubahan sikap terhadap disabled people.
Ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan
ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis
Pelaksanaan Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah
kabupaten/kota, salah satu indikatornya adalah rehabilitasi sosial (rehabsos) dasar bagi
penyandang disabilitas (PD) dengan kewenangan provinsi adalah rehabsos di dalam
panti dan kewenangan Kabupaten/Kota adalah rehabsos di luar panti.
Jenis pelayanan dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial terdiri
atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan daerah
provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota.
Standar pelayanan pada SPM Bidang Sosial di daerah Kabupaten/Kota yaitu
pelayanan rehabilitasi sosial dasar di luar Panti Sosial dilakukan dalam bentuk layanan
rehabilitasi sosial dalam keluarga dan masyarakat dilakukan melalui layanan dan rujukan
terpadu dengan dukungan pelayanan/pendampingan kepada Penyandang Disabilitas
telantar, anak telantar, lanjut usia telantar, serta gelandangan dan pengemis dalam
keluarga dan masyarakat dilaksanakan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota, dan
Pusat Kesejahteraan Sosial yang berada di desa/kelurahan.
Pusat Kesejahteraan Sosial dalam PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial, merupakan tempat yang berfungsi untuk melakukan kegiatan
pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara kelompok masyarakat
dalam komunitas yang ada di desa/kelurahan/nama lain dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.

[369]
Pendahuluan
Upaya mewujudkan tujuan negara dilaksanakan melalui proses yang bertahap,
terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menetapkan bahwa visi
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil
dan makmur, salah satu visinya yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan
sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat,
kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat miskin dan
rentan termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan
bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual,
mental, sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda,
atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Kesamaan Kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang dan/atau
menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam
segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi merupakan setiap
pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas
yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Percepatan juga diperlukan untuk pengumpulan data. BPS telah mengumpulkan
data untuk indikator SDG’s, yang sekarang perlu dilengkapi dengan data dari
kementerian dan lembaga sesegera mungkin. Hal ini diperlukan untuk menetapkan data
acuan dasar yang kuat yang akan mengukur kemajuan pencapaian SDG’s secara kredibel.
Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai tahap kegiatan RANHAM,
diharapkan masyarakat dapat berperan secara aktif dalam melakukan pengawasan
terhadap kebijakan Pemerintah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan mandiri.
Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun
2015, adapun tujuannya agar aparat pemerintah dan masyarakat memahami dan
menerapkan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bermasyarakat dengan indikator
keberhasilan diantaranya pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak
penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Tanggung jawab Kementerian Sosial dalam Perpres No. 75 Tahun 2015 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 dengan meningkatnya
pemahaman masyarakat tentang HAM termasuk hak penyandang disabilitas dan
kelompok rentan lainnya diantaranya melalui cara Social Model of Disability (SMD), cara
masyarakat menghilangkan hambatan yang membatasi pilihan hidup disabled people
dalam menghadapi hambatan dihilangkan, disabled people bisa mandiri dan setara dalam
masyarakat, dengan pilihan dan kendali atas kehidupan mereka.

[370]
Deskripsi Masalah
 Belum terintegrasi Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
 Belum sepenuhnya Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based
atau pendekatan hak dilaksanakan
 Belum sepenuhnya tersedia layanan publik serta lingkungan dan sistem sosial yang
inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
 Belum signifikan jumlah kabupaten/kota yang memiliki regulasi untuk
pengembangan akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia
 Belum sepenuhnya terbangunnya sistem dan tata kelola layanan dan rehabilitasi sosial
yang terintegrasi dan partisipatif melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan
swasta.
 Standar Pelayanan Minimal menjadi dasar dalam belanja daerah yang diprioritaskan
untuk membiayai urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada
standar pelayanan minimal sesuai pasal 298 UU No. 23 Tahun 2014 yang terintegrasi
ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk 5 (lima) tahun yaitu
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) setiap tahun yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri dan berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.

Analisis Masalah
 Percepatan SDG’s diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk
mengintegrasikan SDG’s ke dalam rencana pembangunan daerah. Pada bulan Juli
2018, pemerintah daerah harus menyusun Rencana Aksi Daerah untuk SDG’s
sebagaimana dimandatkan oleh perpres. Mereka juga harus siap untuk
mengintegrasikan sasaran, target dan indikator SDG’s ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
 Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator Kinerja
Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci
(outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator
output. Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan
dapat dari beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah
provinsi dan kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.

Rekomendasi
 Terintegrasi Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
 Terlaksananya pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based atau
pendekatan hak dilaksanakan
 Tersedianya layanan publik serta lingkungan dan sistem sosial yang inklusif bagi
penyandang disabilitas dan lanjut usia.

[371]
 Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang memiliki regulasi untuk pengembangan
akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia; dan
 Terbangunnya sistem dan tata kelola layanan dan rehabilitasi sosial yang terintegrasi
dan partisipatif melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta.
 IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
 Perlu perhatian stakeholder di level pusat baik pembina umum daerah yaitu
Kemendagri maupun pembina teknis daerah untuk bidang sosial yaitu Kemensos,
bahwa pada setiap panti sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja
Sosial Profesional. Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja
Sosial Profesional yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi pekerjaan sosial.
Untuk perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota harus menyiapkan Sumber Daya
Manusia Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) diantaranya Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
 Memperhatikan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Kab/Kota pada sarananya
yang menggunakan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan memiliki paling
sedikit 1 (satu) orang relawan sosial, terdiri atas pekerja sosial masyarakat; karang
taruna.

Referensi
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019;
 Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia.
 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.

Jakarta, Juli 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[372]
POLICY BRIEF
PENYUSUNAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG
DISABILITAS MELALUI UPT DAN DEKONSENTRASI TAHUN 2019

Abstrak
Penyusunan program rehabilitasi sosial penyandang disabilitas (PD) melalui Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dan berdasarkan anggaran dekonsentrasi tahun 2019 melalui
Surat Sekretaris Ditjen Rehabilitasi Sosial No. 127/RS.Set-RS/KS.02/10/2018 tanggal 19
Oktober 2018 kepada Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial dengan pelaksanaan
pada tanggal 24-26 Oktober 2018 di Hotel Santika Mega City Giant Hypermart Bekasi
sangat bermanfaat untuk menyusun implementasi dari mutu dan jenis layanan
rehabilitasi sosial Penyandang Disabilitas (PD) berdasarkan kewenangan dan tanggung
jawab antara Pemerintah Pusat yang mempunyai tanggung jawab rehabilitasi sosial
lanjutan dengan sarana dan fungsi Balai dan Loka dengan Pemerintah Daerah Provinsi
yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di dalam Panti
serta Pemda Kab/Kota kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi sosial di luar Panti.
Kegiatan ini juga dapat sebagai contoh bagi pengampu 5 (lima) indikator Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial lainnya yaitu rehabilitasi sosial di dalam dan di
luar panti bagi lanjut usia telantar, anak telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan
pengemis serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban bencana di provinsi dan
kab/kota.
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu
Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018 dan
tahun-tahun mendatang dengan sasaran kelompok yang paling miskin mencapai
cakupan substansial bagi kelompok miskin dan rentan diantaranya penyandang
disabilitas.
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan
Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat
meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information),
hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk
mendapatkan keadilan (public right to justice).
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (PD),
disebutkan bahwa PD merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi.
Kebutuhan akan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial yang belum ada untuk
mendukung pelayanan publik melalui pemenuhan kebutuhan dasar dengan berpedoman
kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan pasal 298 UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemda. Pembahasan DAK Bidang Sosial perlu dibahas di internal Ditjen
Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial khususnya di Direktorat Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas. Usulan DAK untuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan
dilakukan pada bulan Januari-Maret pada tahun berjalan untuk RKP tahun berikutnya.

[373]
Pendahuluan
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan melalui pelayanan publik yang efisien dan efektif
menjadi perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik
yang prima bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu
cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik
yang tepat bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah
dalam pelayanan publik.
Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri RI kepada Para Sekretaris
Jenderal dan Sekretaris Utama Kementerian/Lembaga, No. 188.2/2028/SJ, tanggal 28
April 2017, Perihal Permintaan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai pelaksanaan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belum ada Kementerian/lembaga
yang menyampaikan usulan IKK masing-masing bidang pemerintah untuk masukan
dalam Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Laporan dan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyusunan IKK disesuaikan dengan
kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan konkuren dari masing-
masing bidang pemerintah.
Tercapainya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah
Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri berbasis
kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran perumus Standar
Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan
Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan Kementerian
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah sehingga dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri tentang Standar Kompetensi.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat
berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).
Berdasarkan Permensos No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial yang sudah diubah dengan Permensos No.16 Tahun
2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan
Sosial, rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan tahapan: pendekatan awal, pengungkapan
dan pemahaman masalah, penyusunan rencana pemecahan masalah, pemecahan
masalah, resosialisasi, terminasi, bimbingan lanjut.

URUSAN KONKUREN BIDANG SOSIAL


Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemda, pembagian urusan
pemerintahan konkuren antara daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota
walaupun urusan pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang
lingkup urusan pemerintahan tersebut.
Walaupun daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota mempunyai urusan
pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

[374]
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi,
dan eksternalitas, serta Kepentingan Strategis Nasional.
Urusan konkuren di provinsi dan kabupaten/kota, meliputi: Rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas di dalam dan di luar panti/lembaga. Rehabilitasi sosial dan
pelayanan sosial anak, yaitu anak balita telantar, anak telantar, anak berhadapan hukum,
anak penyandang disabilitas, anak membutuhkan perlindungan khusus di dalam dan di
luar panti/lembaga. Pelayanan lanjut usia telantar, rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan/pengemis di dalam dan di luar panti/lembaga.
Pada saat ini Kementerian Sosial masih melaksanakan rehabilitasi sosial berbasis
panti sosial melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial baik melalui Panti
Sosial (Eselon 3) dan Balai Besar (Eselon 2) didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta Kepentingan Strategis Nasional, maka tidak ada
peralihan kewenangan diikuti dengan peralihan personil, prasarana dan pembiayaan
serta dokumen (P3D) karena Pemerintah Pusat melakukan layanan yang tugas dan
fungsinya bersifat lanjutan (advanced).
UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai tindaklanjut dari
amanah konvensi internasional mengenai disability people diantaranya mengenai hak
penyandang disabilitas, tidak hanya yang tidak potensial (telantar) saja yang
mendapatkan hak pemenuhan kebutuhan dasar, penyandang disabilitas yang potensial
memiliki hak untuk hidup, menikah, kesempatan untuk bekerja dan berekspresi dan hak-
hak lainnya.
Amanah dari Kesepakatan Dunia mengenai Sustainable Development Goals/SDG’s
yang disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait dengan “Hak semua
masyarakat dunia” yaitu Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sangat bergantung pada tiga faktor
utama, yaitu Percepatan, Pembiayaan dan Inklusi yang harus menjadi Prioritas
Nasional pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan.
SDG’s pada tujuan-1 yaitu Mengakhiri kimiskinan dalam segala bentuk dimanapun,
dengan indikator 1.3. Menerapkan secara nasional sistem dan upaya perlindungan sosial
yang tepat bagi semua, termasuk kelompok yang paling miskin mencapai cakupan
substansial bagi kelompok miskin dan rentan, dengan indikator proporsi penduduk
diantaranya penyandang disabilitas.
Amanat Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 pada Strategi 4: Pendidikan dan Peningkatan
Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia memuat Hak dasar masyarakat
meliputi: hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information),
hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk
mendapatkan keadilan (public right to justice).
Pemahaman nilai-nilai HAM pembentuk peraturan Perundang-undangan dalam
proses penyusunan peraturan Perundang-undangan masih terbatas belum
mengakomodasi penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya yaitu hak anak,
lajut usia dan tuna sosial terutama gelandangan dan pengemis oleh pemerintah. Pada
Strategi 4, yaitu Pendidikan dan Peningkatan Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi
Manusia, Amanah Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2015 tentang Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia, pada point. 10 Penyusunan Dokumen Strategi Nasional Kelanjutusiaan/lanjut
usia.

[375]
FUNGSI PELAYANAN PANTI
Fungsi pelayanan dalam panti suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN dan BUMD dalam bentuk
barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan
per Undang-Undangan yang berlaku.
Pelayanan publik merupakan segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Tujuan Rehabilitasi Sosial


 Tujuan rehabilitasi sosial adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri, harga
diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial baik terhadap dirinya, keluarga dan
masyarakat lingkungannya.
 Berdasarkan konsep dan regulasi untuk pemenuhan kebutuhan penerima manfaat
atau penyandang disabilitas agar mereka dapat memulihkan kembali kepercayaan diri,
harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat
lingkungannya.
 Panti sosial merupakan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas
dan fungsi untuk meningkatkan kualitas SDM dan memberdayakan para penyandang
masalah kesejahteraan sosial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental, maupun
sosial,

Standar Panti
 Ada 2 (dua) macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus.
Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu
dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun.
 Mencakup aspek kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pelayanan sosial dasar, dan monitoring-evaluasi.
 Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu
dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial
lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial.

Deskripsi Masalah
 Terjadi perubahan Paradigma Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dari sifatnya
pelayanan dan charity berubah menjadi perlindungan sosial dan jaminan sosial.
Perubahan paradigma diikuti dengan perubahan kebijakan tentang penanganan
penyandang disabilitas/cacat.
 Beberapa Kebijakan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, diantaranya optimalisasi
fungsi Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dengan
mengoptimalkan fungsi UPT sebagai fungsi pelaksana pelayanan (service), pengajaran
(teaching) dan kajian (research).
 Belum terwujudnya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur
Pemerintah Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri
berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran
perumus Standar Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis

[376]
Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
sehingga dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Standar Kompetensi.
 Kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan
kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan
pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Kriteria Fisik merupakan kegiatan yang bersifat fisik, seperti : pengadaan peralatan
dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, dan kegiatan fisik lain yang menghasilkan
keluaran (output) dan menambah nilai aset pemerintah.
 Kriteria Non Fisik merupakan kegiatan yang bersifat non fisik, seperti : koordinasi,
perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
 Urusan pemerintahan yang diselenggarakan melalui asas dekonsentrasi dan tugas
pembantuan pusat harus merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat. (sebagaimana diatur dalam lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014).
 Perbedaan peruntukan Dana Alokasi Khusus antara UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daera,
peruntukan DAK untuk fisik, disebutkan besaran DAK ditetapkan dalam APBN
ditetapkan dalam RKP tahunan, sedangkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, belanja DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan
dapat digunakan untuk kegiatan nonfisik.

Analisis
Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program
Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas Nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.
Prioritas Nasional (PN) pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui
Pengurangan Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program
percepatan pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi
masyarakat, peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak
dan peningkatan tata kelola layanan dasar.

PENERAPAN SPM BIDANG SOSIAL


PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, merupakan alat kontrol
terhadap kinerja aparat penyelenggara Pemda dalam memberikan pelayanan publik
kepada setiap warga negara yang berada dalam lingkup provinsi dan kabupaten/kota
yang merupakan pelayanan dasar dan mengatur urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh semua daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar sesuai ketentuan
mengenai jenis dan mutu yang merupakan hak setiap warga negara secara minimal serta
pengaturan mengenai jenis pelayanan dasar dalam penyediaan barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara secara minimal dengan
ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa kebutuhan dasar untuk
pemenuhannya secara minimal sesuai standar teknis agar hidup secara layak.

[377]
Jenis pelayanan dasar pada SPM Sosial yang menjadi tanggung jawab Pemda
Provinsi yaitu rehabilitasi sosial dasar di dalam panti dan menjadi tanggung jawab
Pemda Kab/Kota yaitu rehabilitasi sosial di luar panti. Warga negara Penerima Manfaat
yaitu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang semuanya “Telantar”,
meliputi: Penyandang Disabilitas telantar, anak telantar, lanjut usia telantar, tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat
dan setelah tanggap darurat bencana bagi korban bencana provinsi dan Kabupaten/Kota.
Mutu dan jenis layanan dasar pada SPM Bidang Sosial di provinsi dan kab/kota
diantaranya mengatur standar jumlah dan kualitas Sumber Daya Manusia Kesejahteraan
Sosial. Pemerintah Daerah menerapkan SPM untuk pemenuhan jenis pelayanan dasar dan
mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal
dilakukan dengan tahapan: a. pengumpulan data, b. penghitungan kebutuhan pemenuhan
pelayanan dasar, c. penyusunan rencana pemenuhan pelayanan dasar, d. pelaksanaan
pemenuhan pelayanan dasar.
Pengumpulan data dilakukan oleh Pemda secara berkala untuk memperoleh data
tentang jumlah dan kualitas barang dan jasa kebutuhan dasar dengan jumlah dan
identitas lengkap Warga Negara yang berhak sesuai dengan jenis dan mutu
diintegrasikan dengan sistem informasi pembangunan Daerah.
Penghitungan kebutuhan pemenuhan dengan menghitung selisih antara jumlah
sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pemenuhan pelayanan dasar dengan jumlah
sarana dan prasarana yang tersedia. Hasil penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan
dasar menjadi dasar dalam penyusunan rencana pemenuhan pelayanan dasar dilakukan
oleh Pemda agar pelayanan dasar tersedia secara cukup berkesinambungan dan ditetapkan
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan Daerah sebagai prioritas
belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yaitu UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemda.
Dokumen evaluasi sebagai acuan dari implementasi keterkaitan urusan bidang
sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk peningkatan akses dan kualitas
pelayanan dasar bagi setiap warga/penduduk miskin dan rentan dan kaitannya dengan
penurunan kemiskinan.
Penerapan Mutu dan Jenis Layanan Dasar Dalam Permensos No. 9 Tahun 2018
tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar Pelaksanaan SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi
dan Kab/Kota yang mengatur Standar Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur dari Unsur Masyarakat

Rekomendasi
 Peningkatan koordinasi, kemitraan serta perluasan jaringan kerja, pelayanan dan
rehabilitasi sosial dengan melaksanakan rapat koordinasi antar instansi atau lembaga
terkait, pelibatan dan kerjasama dengan instansi atau lembaga terkait dan dunia usaha
dalam proses pelaksanaan kegiatan, pengembangan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Masyarakat (RSBM), penguatan institusi lokal, peningkatan fungsi.
 Rehabilitasi Sosial Lanjutan, dilakukan dengan pemantapan keterpaduan dengan
instansi terkait yang dimaksudkan untuk menyerasikan program pelayanan
penyandang disabilitas dengan program terkait lainnya.
 Pelayanan rehabilitasi sosial lanjutan dengan vokasional penerima layanan
menggunakan berbagai teknik penyembuhan dan terapi psikososial seperti: terapi
berpusat pada penerima manfaat (client-centered therapy), terapi perilaku (behavior
therapy), terapi keluarga (family therapy), dan terapi kelompok (group therapy).

[378]
 Dalam penerapannya, penerima layanan diajak untuk mengetahui dan menyadari
masalahnya (problem aware ness), membangun relasi, pemberian motivasi, memahami
masalah, penggalian strategi pemecahan masalah, pemilihan strategi hingga
implementasi strategi dimaksud, melalui: menciptakan iklim komunikasi yang
menyenangkan, memulai berbicara tentang permasalahan penyandang disabilitas,
mengakomodasi keluhan yang disampaikan penerima layanan, mengungkap perasaan
dan sikap penerima layanan yang dapat mengganggu keberfungsian sosialnya,
memberikan dukungan dan motivasi sosial kepada penerima layanan, menggunakan
pengalaman-pengalaman hidup yang positif dalam pelayanan rehabilitasi sosial dan
vokasional, menciptakan kegiatan yang kreatif, memanfaatkan sumber-sumber yang
ada.
 Kerjasama dan koordinasi antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)
Inspektorat Jenderal Kcmenterian, unit pengawasan lembaga pemerintah
nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.
 Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
 Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
 Kebijakan penganggaran dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya,
melalui perencanaan, evaluasi dan analisa program prioritas nasional dalam rangka
penyesuaian antara Renstra, Krisna dan RKA-KL, Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial, kajian pengalokasian anggaran melalui Dana Alokasi Khusus (DAK),
penguatan layanan informasi kepada publik, penguatan SDM pengelola keuangan,
pendampingan pengelolaan dan pelaporan keuangan, penyesuaian SOTK,
penatausahaan aset Kementerian Sosial seluruh Indonesia, dukungan regulasi dalam
pelaksanaan program prioritas nasional di Kementerian Sosial.

Referensi
 Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan.Tata cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.86 Tahun 2017 tentang Tata cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata cara Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan

[379]
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019;
 Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Lembaga
Kesejahteraan Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 5 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi
Sosial dengan Pendekatan Kesejahteraan Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja
Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No.16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya
Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.

Jakarta, Oktober 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[380]
POLICY BRIEF
KESESUAIAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN 2017 DENGAN
IKU KEMENTERIAN SOSIAL

Abstrak
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah pada Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 53 tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu
atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian kinerja,
pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah diatur
mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja yang merupakan lembar/dokumen yang
berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi
yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja.
Melalui perjanjian kinerja, terwujudlah komitmen penerima amanah dan
kesepakatan antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur tertentu
berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia. Kinerja yang
disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun bersangkutan,
tetapi termasuk kinerja (outcome) yang seharusnya terwujud akibat kegiatan tahun-tahun
sebelumnya.
Dengan demikian target kinerja yang diperjanjikan juga mencakup outcome yang
dihasilkan dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya, sehingga terwujud kesinambungan
kinerja setiap tahunnya. Pihak yang menyusun Perjanjian kinerja pada Kementerian/
Lembaga yaitu Pimpinan tertinggi (Menteri dan Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit kerja (eselon I). Perjanjian Kinerja di
tingkat unit kerja (Eselon I) ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan dan disetujui
oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan Satuan Kerja.
Waktu penyusunan perjanjian kinerja disusun setelah suatu instansi pemerintah
telah menerima dokumen pelaksanaan anggaran, paling lambat satu bulan setelah
dokumen anggaran disahkan. Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja
menyajikan Indikator Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-hasil yang utama dan
kondisi yang seharusnya,tanpa mengesampingkan indikator lain yang relevan. Perjanjian
kinerja di tingkat satuan kerja ditandatangani oleh pimpinan satuan kerja dan pimpinan
unit kerja.
Untuk tingkat K/L, Pemda sasaran yang digunakan menggambarkan dampak dan
outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja Utama K/L/Pemda dan
indikator kinerja lain yang relevan. Untuk tingkat Eselon I, sasaran yang digunakan
menggambarkan dampak pada bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta
menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.
Untuk tingkat Eselon II, sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II dan
indikator kinerja lain yang relevan.

[381]
Pendahuluan
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan
perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dengan menghasilkan: rencana pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan
jangka menengah; dan rencana pembangunan tahunan.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, sampai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Sosial,
perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya:
1. Pendekatan penganggaran terpadu
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak
ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang
merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
2. Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari APBN
(belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji,
uang makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar Rp. 3.596,2T yang
digunakan untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas termasuk Quickwins/
Program lanjutan serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga 3 Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L dituangkan dalam Matriks Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan dipertajam besaran
pendanaan dan distribusi tahunannya dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan
mempertimbangkan Kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi, struktur dan
kewenangan Kementerian/Lembaga, satuan harga, belanja Non K/L dan Transfer
Daerah sebagai kelengkapan, pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi,
sasaran yang direncanakan dapat bersifat kumulatif atau tahunan.
3. Matriks RPJMN Pada Kementerian Sosial Tahun 2015-2019
Menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Sosial Tahun 2015-2019, meliputi belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang
melekat pada gaji, uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan
dalam perencanaan tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.

[382]
4. Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
5. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun
dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif yang mengacu pada
prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta memuat kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
6. Tahapan dan Mekanisme Perencanaan
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, evaluasi pelaksanaan rencana.
Tahapan penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD meliputi penyiapan
rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana kerja,
musyawarah perencanaan pembangunan, penyusunan rancangan akhir rencana
pembangunan.
7. Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan
Menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional dan
menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP menjadi pedoman penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Deskripsi Masalah
1. Apakah Pendekatan penganggaran terpadu Telah Dilaksanakan dan
Disesuaikan
Apakah dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja
yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan. Pertanyaan berikutnya adalah:
 Apakah kegiatan sudah identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus
dilaksanakan untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker
sedikitnya mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada
kegiatan yang sama yang dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda
lokasi.
 Apakah jenis belanja telah merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang
tidak menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis
belanja. Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
 Apakah keluaran/output telah merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh
satker. Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak
ada tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-
KL) yang merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

[383]
Rekomendasi
1. Menyusun Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata
Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
Merupakan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada
pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang
disertai dengan indikator kinerja sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 tahun
2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
2. Menyusun Perjanjian Kinerja
Komitmen penerima amanah dan kesepakatan antara penerima dan pemberi
amanah atas kinerja terukur tertentu berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta
sumber daya yang tersedia.Kinerja yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang
dihasilkan atas kegiatan tahun bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang
seharusnya terwujud akibat kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
3. Menetapkan Target Kinerja
Mencakup outcome yang dihasilkan dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya,
sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap tahunnya. Pihak yang menyusun
Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga yaitu Pimpinan tertinggi (Menteri dan
Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan
unit kerja (eselon I). Perjanjian Kinerja di tingkat unit kerja (Eselon I) ditandatangani
oleh pejabat yang bersangkutan dan disetujui oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan
Pimpinan Satuan Kerja.
4. Penetapan waktu penyusunan perjanjian kinerja
Disusun setelah suatu instansi pemerintah telah menerima dokumen
pelaksanaan anggaran, paling lambat satu bulan setelah dokumen anggaran disahkan.
5. Menetapkan Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja
Menyajikan Indikator Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-hasil yang
utama dan kondisi yang seharusnya, tanpa mengesampingkan indikator lain yang
relevan. Perjanjian kinerja di tingkat satuan kerja ditandatangani oleh pimpinan satuan
kerjadan pimpinan unit kerja.
6. Menetapkan Indikator Kinerja Utama Kementerian Sosial
Untuk tingkat Kementerian/Lembaga, pemda sasaran yang digunakan
menggambarkan dampak dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator
Kinerja Utama K/L/Pemda dan indikator kinerja lain yang relevan.
7. Menetapkan Indikator Kinerja Utama Tingkat Eselon I
Untuk tingkat Eselon I sasaran yang digunakan menggambarkan dampak pada
bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja Utama
Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.
8. Menetapkan Indikator Kinerja Utama Tingkat Eselon II
Untuk tingkat Eselon II sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II dan
indikator kinerja lain yang relevan.

[384]
9. Mempertimbangkan perubahan nomenklatur pada Organisasi Tata kerja
Kementerian Sosial RI berdasarkan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20
Tahun 2015
Perubahan nomenklatur pada Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI
sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015, menyesuaikan Indikator
Kinerja Utama Eselon I dan II di Kementerian Sosial RI, yang meliputi pemisahan Unit
Kerja Eselon I, yang sebelumnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan, dipisah menjadi 2 (dua) menjadi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
Perubahan tempat Unit Kerja Eselon II, Direktorat PSDS yang sebelumnya di
Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen pemberdayaan Sosial.
Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTK-PM) yang sebelumnya
di Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen Rehabilitasi Sosial
pada Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional;
 Peraturan Pemerintah RI No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial.

Jakarta, April 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[385]
LAMPIRAN

Program dan Kegiatan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Dalam RPJMN 2015-2019


1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
Kementerian Sosial.
Program Pengawasan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Sasaran:
Meningkatnya kualitas pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Indikator:
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Pemberdayaan Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Rehabilitasi Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Perlindungan dan jaminan
Sosial
 Jumlah audit pengawasan/quality assurance bidang Penunjang
 Jumlah pelaksanaan advisory managemen (PMPRB)
 Jumlah audit pemeriksaan dengan tujuan terntentu

2. Program Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1
Meningkatnya kualitas penyelenggara kesejahteraan sosial melalui pendidikan,
pelatihan dan penelitian
Indikator:
 Persentase (%) SDM penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meningkat
kapasitasnya sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan kompetensinya
 Persentase (%) hasil penelitian kesejahteraan sosial yang dimanfaatkan dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
 Persentase (%) lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki akreditasi dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Sasaran
Termanfaatkannya Basis Data Terpadu (BDT) dalam penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
Indikator:
 Persentase (%) Kabupaten/Kota yang menggunakan Basis Data Terpadu (BDT)
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial

3. Program Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Regional (I-VI)


Sasaran:
Terlaksananya pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM
Indikator:
 Persentase (%) Pengembangan Kapasitas Diklat yang sesuai standar
 Persentase (%) infrastruktur/Sarana Prasarana pengembangan Kapasitas SDM
Jumlah TKSM yang mengikuti diklat yang terstandar

[386]
 Jumlah TKSP yang mengikuti diklat yang terstandar
 Jumlah Rekomendasi Kajian Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan yang
ditindaklanjuti

4. Pembinaan Jabatan Fungsional


Pekerja Sosial (Peksos) dan Penyuluh Sosial (Pensos)
Sasaran 1:
Terlaksananya peningkatan kualitas dan kuantitas pejabat fungsional pekerja sosial
dan penyuluh sosial
Indikator:
 Jumlah Pekerja sosial, Penyuluh sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) yang
telah mendapatkan sertifikasi.
 Jumlah Pekerja Sosial, penyuluh Sosial dan TKS yang mendapatkan pembinaan.
 Jumlah Peksos, Pensos dan TKS yang mendapatkan penetapan angka kredit
Rekomendasi Kebijakan Bidang Pembinaan, Sertifikai dan Akreditasi.
Sasaran 2:
Terlaksananya akreditasi LKS
Indikator:
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi
Pengembangan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial

5. Quick Wins
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem data terpadu sebagai basis dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dan pengembangan sistem layanan dan rujukan terpadu bagi
penduduk miskin dan rentan
Indikator:
 Jumlah rekomendasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang dihasilkan.

6. Pendidikan Tinggi Kesejahteraan Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya pendidikan, pengembangan kapasitas, kualitas dan kompetensi SDM
Indikator:
 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial (kesos) yang terdidik
melalui pendidikan tinggi kesejahteraan sosial (program D IV, dan pasca sarjana
pekerjaan sosial)
 Rekomendasi Hasil Penelitian dan Kerjasama Bidang Pendidikan Tinggi
Kesejahteraan Sosial

7. Program Rehabilitasi Sosial


Sasaran 1:

[387]
Meningkatnya akses kelurga miskin dan rentan termasuk anak, penyandang
disabilitas dan lanjut usia serta kelompok marjinal lainnya dalam pemenuhan
kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) penyandang disabilitas miskin dan rentan yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) lanjut usia miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) anak miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
Sasaran 2:
Meningkatnya akses Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dan SDM Penyelenggara
pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang sesuai dengan standar pelayanan
 Persentase (%) LKS dan SDM yang menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
sosial yang meningkat kapasitasnya

Sasaran 1:
Tersedianya regulasi terkait pengembangan akses lingkungan inklusif bagi
penyandang disabilitas, lanjut usia dan kelompok masyarakat marjinal
Indikator:
 Draft regulasi akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas, lanjut usia
dan kelompok masyarakat marjinal

8. Program Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA


Sasaran :
Meningkatnya penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan
NAPZA
Indikator:
 Jumlah Korban Penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
dalam panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah Korban Penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan rehabilitasi sosial di
luar panti sesuai standar pelayanan
 Jumlah korban penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan bantuan sosial Jumlah
SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan NAPZA (orang) Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan NAPZA yang telah dikembangkan/dibantu

9. Program Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Disabilitas (Kecacatan)


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi peyandang disabilitas
Indikator:

[388]
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial didalam panti
sesuai standar pelayanan
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar panti
(Berbasis Komunitas/Keluarga dan Masyarakat) sesuai standar pelayanan
 Jumlah Penyandang Disabilitas yang mendapat Asistensi Sosial Orang Dengan
Kecacatan Berat
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang meningkat kapasitasnya dalam memberikan Rehabilitasi Sosial
penyandang disabilitas
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi penyandang disabilitas yang telah
dikembangkan/dibantu
Sasaran 2:
Meningkatnya akses pemenuhan hak dasar bagi penyandang disabilitas
Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak
dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Indikator:
 Jumlah penyandang disabilitas yang mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak
dasar (KTP, Paspor, KK, pendidikan, kesehatan)
Sasaran 3:
Tersedianya literasi khusus bagi penyandang disabilitas netra (braile)
Indikator:
 Jumlah literatur khusus bagi penyandang disabilitas netra baik cetak maupun
elektronik (kitab suci, buku pelajaran, modul pelatihan, buku cerita)

10. Program Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial


Sasaran 1:
Terlaksananya rehabilitasi sosial bagi Tuna Sosial
Indikator:
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan Rehabilitasi Sosial di dalam panti
 Jumlah Tuna Sosial yang mendapatkan rehabilitasi sosial diluar Panti
 Jumlah tuna sosial yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Rehabilitasi Sosial tuna
sosial (orang)
 Jumlah Lembaga Rehabilitasi tuna sosial yang telah dikembangkan/dibantu

11. Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak


Sasaran 1:
Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak balita, anak telantar/
jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak dengan disabilitas, anak yang
membutuhkan perlindungan khusus
Indikator
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam panti

[389]
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah anak balita, anak telantar/jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak
dengan disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA)
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang telah dikembangkan/dibantu

12. Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia


Sasaran 1:
Terlaksananya Pelayanan Sosial Bagi Lanjut Usia
Indikator:
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan Pelayanan Sosial di dalam panti
 Jumlah Lanjut Usia yang mendapatkan pelayanan sosial diluar Panti
 Jumlah Lanjut Usia Telantar yang mendapat Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar
 Jumlah lanjut usia telantar yang mendapat bantuan sosial
 Jumlah SDM yang mendapatkan bimbingan teknis bidang Pelayanan Lanjut Usia
 Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial lanjut usia yang telah dikembangkan/
dibantu

13. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial


Sasaran 1:
Meningkatnya akses keluarga miskin dan rentan serta pekerja sektor informal
dalam pemenuhan kebutuhan dasar
Indikator:
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar
 Persentase (%) korban bencana alam dan bencana sosial yang menerima bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar

14. Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi korban bencana alam, termasuk
bagi anak, penyandang disabilitas dan lanjut usia
Indikator:
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi Kampung Siaga Bencana yang terbentuk
 Jumlah SDM yang memiliki keterampilan khusus bidang penanggulangan
bencana

15. Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial


Terselenggaranya Pemberian bantuan kebutuhan dasar bagi korban bencana sosial

[390]
Indikator:
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
 Jumlah korban bencana sosial yang mendapatkan pendampingan psikososial
 Jumlah lokasi keserasian sosial
 Jumlah sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan khusus bidang
penanggulangan bencana sosial

16. Quick Wins


Sasaran 1:
Terlaksananya bantuan simpanan tunai bagi keluarga miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah masyarakat yang mendapatkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera

17. Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran


Sasaran 1:
Terselenggaranya pemberian asistensi sosial bagi pekerja migran telantar dan
Korban Tindak Kekerasan
Indikator:
 Jumlah pekerja migran telantar yang dipulangkan ke daerah asal
 Jumlah korban tindak kekerasan yang mendapat rehabilitasi psikososial di RPTC
dan LKS
 Jumlah pekerja migran telantar yang mendapatkan asistensi sosial dalam bentuk
UEP
 Jumlah pendamping (masyarakat) yang meningkat kemampuannya dalam
penanganan KTK dan PMB

18. Jaminan Kesejahteraan Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat)


Sasaran 1:
Tersalurkannya bantuan tunai bersyarat bagi masyarakat miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang mendapatkan bantuan tunai bersyarat
PKH

19. Quick Wins


Sasaran:
Terlaksananya penyaluran bantuan melalui mekanisme E-payment bagi penduduk
miskin dan rentan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) yang memperoleh bantuan melalui
mekanisme E-payment

20. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos)


Sasaran:

[391]
Terselenggaranya Pemberian bantuan iuran asuransi kesejahteraan sosial bagi
pekerja sektor informal miskin dan rentan

[392]
Indikator:
Jumlah pekerja sektor informal miskin dan rentan yang mendapatkan Askesos
Jumlah LPA (Masyarakat) yang meningkat kapasitasnya dalam penyelenggaraan
Askesos

21. Pengumpulan dan Pengelolaan Sumber Dana Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya dana hibah dalam negeri oleh masyarakat/lembaga yang
beresiko sosial (mendukung program kementerian terutama swadaya)
Indikator:
 Jumlah SK perizinan yang diterbitkan
 Jumlah hibah dalam negeri yang disalurkan
 Jumlah SDM daerah penyelenggara undian gratis berhadiah yang meningkat
kapasitasnya

22. Program Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan


Sasaran:
Meningkatnya akses keluarga fakir miskin dan rentan terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar dan pemberdayaan ekonomi produktif
Indikator:
 Persentase (%) warga KAT yang menerima bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
 Persentase (%) keluarga miskin dan rentan perdesaan dan perkotaan yang
menerima pemberdayaan usaha ekonomi produktif
Sasaran 2:
Meningkatnya kualitas penyelenggaraan sosial melalui kelembagaan.
Indikator:
 Persentase (%) kab/kota yang menyelenggarakan Sistem Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT).
 Persentase (%) kab/kota yang memiliki pelayanan sosial yang efektif dalam
Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu.
Sasaran:
Persentase (%) PSKS yang menyelenggarakan pelayanan sosial sesuai Norma,
Standar Prosedur Kriteria (NSPK).

23. Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial


Sasaran:
Terselenggaranya penanaman dan pelestarian nilai-nilai kepahlawanan,
keperintisan dan kesetiakawanan sosial oleh masyarakat
Indikator:
 Jumlah Calon Penerima Gelar Tanda Jasa dan Tanda kehormatan yang diproses
untuk mendapatkan penghargaan

[393]
 Jumlah Warakawuri, Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan dan Janda
Perintis Kemerdekaan yang mendapatkan bantuan kesejahteraan.
 Jumlah Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Utama, TMPN, dan Makam
Pahlawan Nasional (MPN) yang Terpelihara
 Jumlah pendamping dan relawan sosial yang mengikuti kegiatan Pengenalan,
Penanaman dan Penghayatan Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan
Kesetiakawanan Sosial
 Jumlah para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan KSN

24. Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perdesaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah Pendamping Yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di pedesaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perdesaan yang Mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah sarana prasarana lingkungan keluarga miskin di perdesaan yang
dibangun/diperbaki

25. Quick Wins-Pendampingan Desa


Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi
penerima Program Keluarga Produktif dan Sejahtera di wilayah perdesaan
Indikator:
Jumlah keluarga sangat miskin (KSM) di perdesaan yang menerima kegiatan
penghidupan berkelanjutan kelompok usaha bersama (KUBe-PKH)

26. Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat


Sasaran 1:
Terlaksananya pemberdayaan keluarga dan Masyarakat melalui Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Indikator:
 Jumlah lembaga pelayanan keluarga (FCU dan LK3) yang dikembangkan
 Jumlah lembaga pendukung penyelenggara kesejahteraan sosial (Karang taruna,
WKSBM, Forum CSR, dan LKS/Orsos lain) yang dikembangkan
 Jumlah individu pendukung penyelenggaraan kesejahteraan sosial (PSM, TKSK)
yang dikembangkan

[394]
27. Quick Wins-Pendampingan Desa
Sasaran 1:
Terbangunnya sistem pelayanan sosial terpadu di desa melalui Pusat
Kesejahteraan Sosial (Puskesos).
Indikator:
Jumlah desa yang telah membangun sistem pelayanan sosial terpadu (PUSKESOS)

28. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Sasaran:
Terbangunnya sistem layanan dan rujukan terpadu bagi penduduk miskin dan
rentan
Indikator:
Jumlah Kab/kota yang memiliki sistem layanan dan rujukan terpadu

29. Quick Wins-Koordinasi Kemiskinan


Terlaksananya penyelarasan dan penguatan koordinasi program kemiskinan di
tingkat pusat dan daerah
Sasaran:
 Jumlah Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang memperoleh
pelatihan.
Indikator:
 Jumlah Organisasi Sosial/Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terakreditasi.
 Jumlah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang memperoleh pelatihan.
 Jumlah Karang Taruna yang memperoleh pelatihan.

30. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)


Sasaran 1:
Terpenuhinya Kebutuhan Dasar, Aksesibilitas dan Pelayanan Sosial Dasar Bagi
Warga KAT
Indikator:
 Jumlah warga KAT yang diberdayakan
 Jumlah warga KAT yang mendapakan bantuan jaminan hidup
 Jumlah Pendamping KAT yang mendapatkan Peningkatan Kapasitas
Pemberdayaan KAT
 Jumlah Laporan Keuangan/Kinerja/Monitoring/Evaluasi/Publikasi/ Sosialisasi
Serta Kegiatan Pendukung Pelaksanaan Pemberdayaan KAT
 Jumlah Dokumen Perencanaan/Program/Anggaran/Data/Informasi/Kebijakan
Bidang Pemberdayaan KAT
Sasaran 2:
Terselenggaranya Layanan Perkantoran Bidang Pemberdayaan KAT

[395]
Indikator:
 Jumlah Rekomendasi Hasil Analisis, Kajian, Kebijakan Bidang Pemberdayaan
KAT
 Jumlah Buku Pedoman Bidang Pemberdayaan KAT
 Jumlah Sarana Pendukung Bidang Pemberdayaan KAT

31. Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan

Sasaran 1:
Terlaksananya asistensi sosial dan stimulan usaha ekonomi produktif bagi keluarga
fakir miskin dan rentan di wilayah perkotaan
Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan di perkotaan yang menerima bantuan
stimulan Usaha Ekonomi Produktif melalui KUBe
 Jumlah pendamping yang ditingkatkan kapasitasnya
Sasaran 2:
Tersalurkannya bantuan stimulan untuk Rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni
dan perbaikan sarana prasarana lingkungan bagi Fakir miskin di perkotaan

Indikator:
 Jumlah Keluarga fakir miskin dan rentan perkotaan yang mendapat Bantuan
Stimulan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni
 Jumlah kelompok masyarakat di perkotaan yang diberdayakan melalui
pembangunan/perbaikan sarana prasarana lingkungan

Catatan:
 Adanya perubahan nomenklatur pada Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial
RI sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015, meliputi pemisahan
Unit Kerja Eselon I, yang sebelumnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan, dipisah menjadi 2 (dua) menjadi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
 Perubahan tempat Unit Kerja Eselon II, Direktorat PSDS yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen pemberdayaan Sosial. Direktorat
Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTK-PM) yang sebelumnya di Ditjen
Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen Rehabilitasi Sosial pada
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

[396]
POLICY BRIEF
SDG’s DALAM PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUSAT & DAERAH

Abstrak
Pemerintah telah menunjukkan komitmen yang kuat dan mengambil tindakan awal
sejak SDG’s diadopsi di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan
September 2015 dan Indonesia telah mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDG’s). termasuk menghubungkan sebagian besar target
dan indikator SDG’s ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional
(RJPMN), menindaklanjuti konvergensi yang kuat antara SDG’s, sembilan agenda
prioritas presiden “Nawa Cita” dan RJPMN.
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan yang menetapkan struktur dan mekanisme tata kelola
SDG’s nasional untuk perencanaan, penganggaran, pembiayaan, pemantauan dan
pelaporan. Dengan adanya struktur nasional, keberhasilan Indonesia dalam mencapai
SDG’s sangat bergantung pada tiga faktor utama, yaitu Percepatan, Pembiayaan dan
Inklusi yang harus menjadi prioritas untuk tahun 2018 dan tahun-tahun mendatang.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memimpin upaya
pemerintah untuk membawa agenda baru itu ke tingkat nasional dan daerah, perpres
tersebut juga memberi peran yang jelas bagi aktor non-pemerintah. Hal ini sangat penting
karena Indonesia adalah salah satu contoh terbaik dunia tentang masyarakat madani,
sektor swasta, filantropi dan akademisi yang secara aktif mendukung SDG’s.
Percepatan SDG’s yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan
dimandatkan dalam Perpres, diintegrasikan kedalam dokumen perencanaan tahun 2018
dan tahun berikutnya yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam arah kebijakan
nasional dengan prioritas nasional (PN), prioritas program (PP) dan kegiatan prioritas
(KP) dalam RKP 2018, 2019 dan tahun-tahun berikutnya, diperlukan untuk
mengintegrasikan sasaran, target dan indikator SDG’s ke dalam RKP.

Pendahuluan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke
dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap
memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui

[397]
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

Analisis Masalah
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s) yang
sebagian besar target dan indikator SDG’s sudah terintegrasi ke dalam rencana
pembangunan jangka menengah nasional (RJPMN), menindaklanjuti konvergensi yang
kuat antara SDG’s, sembilan agenda prioritas presiden “Nawa Cita” dan RJPMN.
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menetapkan
struktur dan mekanisme tata kelola SDG’s nasional juga akan termasuk bagian dari
laporan kinerja (LAKIN) di Kementerian Sosial terutama terkait dengan target dan
sasaran SDG’s yang telah masuk dalam dokumen perencanaan yaitu RKP tahun 2018,
2019 dan tahun berikutnya.
Percepatan SDG’s diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk
mengintegrasikan SDG’s ke dalam rencana pembangunan daerah. Pada bulan Juli 2018,
pemerintah daerah harus menyusun Rencana Aksi Daerah untuk SDG’s sebagaimana
dimandatkan oleh perpres. Mereka juga harus siap untuk mengintegrasikan sasaran,
target dan indikator SDG’s ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Percepatan juga diperlukan untuk pengumpulan data. BPS telah mengumpulkan
data untuk indikator SDG’s, yang sekarang perlu dilengkapi dengan data dari
kementerian dan lembaga sesegera mungkin. Hal ini diperlukan untuk menetapkan data
acuan dasar yang kuat yang akan mengukur kemajuan pencapaian SDG’s secara kredibel.
Upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut akan diimplementasikan melalui
pencapaian sasaran pembangunan di tiap tahun dengan fokus yang berbeda, sesuai
dengan tantangan dan kondisi yang ada. Fokus kegiatan tersebut diterjemahkan dalam
Rencana Kerja Pemerintah di tiap-tiap tahun.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memimpin upaya
pemerintah untuk percepatan SDG’s dan yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dan dimandatkan dalam Perpres, diintegrasikan kedalam dokumen perencanaan
tahun 2018 dan tahun berikutnya yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam arah
kebijakan nasional dengan prioritas nasional (PN), prioritas program (PP) dan kegiatan
prioritas (KP) dalam RKP 2018, 2019 dan tahun-tahun berikutnya, diperlukan untuk
mengintegrasikan sasaran, target dan indikator SDG’s ke dalam RKP.
Prioritas nasional yang juga terintegrasi kedalam dokumen perencanaan daerah
agar sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

[398]
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara
dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN. Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia
melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan
kesenjangan antar wilayah.

Rekomendasi
 Memperkuat koordinasi antar instansi dan antar pusat daerah dengan memfokuskan
pembahasan pada prioritas pembangunan agar kesiapan pelaksanaan program
dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan antar pelaku pembangunan serta
mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen anggaran serta penilaian kinerja
dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
 Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
 Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
 Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
 Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca
bancana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha. Kegiatan prioritas kamtibmas dan keamanan
siber dengan penanganan konflik sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan
penanggulangan terorisme.
 Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan
program, peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis,
pengembangan e-learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas
penelitian.

[399]
 Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan pada
setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan
fungsi Makam Pahlawanan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian,
sosialisasi tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income
Dana Hibah Dalam Negeri.
 Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
 Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta menjadi
12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas
pelopor perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
 Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.

Jakarta, Juni 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[400]
POLICY BRIEF
APAKAH KEBIJAKAN DAN REGULASI SUDAH BERSINERGI
DALAM RKP 2018 DAN RENJA K/L 2018

Abstrak
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2015-2019 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 akan menjadi
lebih efektif dan efisien bila berpedoman pada rumusan kaidah pelaksanaan, yang
meliputi: (1) kerangka pendanaan, (2) kerangka regulasi, (3) kerangka kelembagaan, dan
(4) kerangka evaluasi
Urgensi integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan sangat
dibutuhkan karena kerangka regulasi bertujuan untuk:
1. Mengarahkan proses perencanaan pembentukan peraturan Perundang-undangan
sesuai kebutuhan pembangunan;
2. Meningkatkan kualitas peraturan Perundang-undangan dalam rangka mendukung
pencapaian prioritas pembangunan; dan
3. Meningkatkan efisiensi pengalokasian anggaran untuk keperluan pembentukan
peraturan Perundang-undangan.
Petunjuk pelaksanaan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) No. 2/JUKLAK/SESMEN/03/
2014 tentang Pedoman Pengintegrasian Kerangka Regulasi Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN), identifikasi kerangka regulasi RPJMN 2015-2019.
Dalam rangka mewujudkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga (RENJA-K/L) Tahun 2018 dengan pendekatan money follows
program yang tematik, holistik, terintegrasi dan spasial, berdasarkan Surat BAPPENAS,
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan No. 4753/SA.04/08/2017 tanggal
12 Juni 2017 dilakukan pertemuan Trilateral Meeting Kerangka Regulasi dalam RKP dan
RENJA K/L Tahun 2018 di Hotel Bidakara pada Kamis 15 Juni 2017, dengan acuan
kerangka regulasi yang telah ditetapkan sebagai salah satu delivery mechanism yang
memastikan agar perencanaan pembangunan yang ditetapkan dalam RKP dan RENJA
K/L dapat terlaksana.
Pada RKP dan RENJA K/L tahun 2018, proses perencanaan dan penganggaran
telah terintegrasi dalam sistem Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA). Selain itu, telah dibangun sistem Kerangka Regulasi Nasional (KARINA) yang
telah terintegrasi dan merupakan bagian dari sistem KRISNA. Berdasarkan rangkaian
pertemuan multilateral, bilateral dan trilateral yang telah dilaksanakan, telah
teridentifikasi kebutuhan regulasi untuk mendukung prioritas nasional dalam RKP 2018.
Agenda pembahasan meliputi:
1. Kerangka regulasi dalam dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)
2. Pelaksanaan sistem KARINA sebagai bagian yang terintegrasi dengan KRISNA
3. Tata cara pengisian KARINA
4. Rencana tindak lanjut pelaksanaan trilateral meeting kerangka regulasi

[401]
Pendahuluan
UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU
SPPN) telah mengamanatkan penanganan kerangka regulasi yang sejalan dengan
kerangka pendanaan sejak proses perencanaan. Oleh karena itu pengelolaan kerangka
regulasi sejak proses perencanaan kebijakan dan juga perencanaan regulasinya akan
meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi yang tertib sehingga memungkinkan setiap
tindakan dapat memberikan manfaat yang lebih optimal.
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
pada Pasal 18 merupakan langkah terobosan untuk mensinergikan antara kebijakan dan
regulasi, yaitu mengatur bahwa Prolegnas disusun berdasarkan perintah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perintah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; perintah Undang-Undang lainnya; sistem perencanaan
pembangunan nasional; rencana pembangunan jangka panjang nasional; rencana
pembangunan jangka menengah; rencana kerja pemerintah dan rencana strategis Dewan
Perwakilan Rakyat; dan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat”.
Keterkaitannya dengan kerangka pendanaan merupakan bagian dari rencana
tindak pencapaian sasaran pembangunan jangka menengah. Kerangka pendanaan
meliputi kebijakan pada belanja pemerintah pusat, transfer daerah serta kebijakan
pembiayaan pembangunan. Pencapaian sasaran tersebut dilakukan melalui skala
prioritas yang berdasarkan strategi pembangunan nasional.
Meskipun investasi pemerintah relatif kecil namun sangat penting dalam
penyediaan infrastruktur dasar dan pelayanan dasar lainnya. Peran investasi masyarakat
merupakan sumber utama dalam pendanaan pembangunan. Untuk itu sangat diperlukan
sinergi antara kerangka pendanaan dan kerangka regulasi.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal,
serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk
mengetahui kondisi hukum atau peraturan Perundang-undangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi
dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat
menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang
ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi
bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan
dibentuk.
Landasan Filosofis, Sosiolaogis dan Yuridis Sebagai Dasar Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan.
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,

[402]
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.

Deskripsi Masalah
1. Kebijakan salah satu outputnya adalah regulasi dan kebijakan ini berdampak kepada
alokasi anggaran Negara dan menjadi dasar dalam penyusunan anggaran, sehingga
regulasi yang sesuai dengan pakem-pakem atau kaidah penyusunan peraturan
Perundang-undangan yang mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011.
2. Aplikasi KARINA tujuannya agar lebih akuntabel, efisien, menghindari tumpang
tindih regulasi
3. Many follow program, seperti rancangan PP yang merupakan amanat dari UU No. 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kemudian Rancangan PERPRES tentang
Persyaratan dan Tata Cara Serta Jumlah Pembelian Uang Tunai Sebagai Bantuan
Langsung Berkelanjutan, yang mengatur bantuan sosial bagi Penyandang Disabilitas
Telantar, Lanjut Usia Telantar, Eks Penyakit Kronis, yang sebelumnya menerima
bansos per-bulan Rp. 200.000,- menjadi per-bulan Rp. 500.000,- yang dibayarkan per-
tiga bulan.
4. Harus ada evaluasi terhadap kebijakan, Cost Benefit Analysis (CBA) untuk menghitung
manfaat dan penghitungan kebutuhan anggaran dalam pembiayaannya.
5. Biro Hukum di setiap Kementerian/Lembaga sebagai penanggung jawab dari
Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran (KRISNA). Selain itu, telah
dibangun sistem Kerangka Regulasi Nasional (KARINA) yang telah terintegrasi dan
merupakan bagian dari sistem KRISNA. Berdasarkan rangkaian pertemuan
multilateral, bilateral dan trilateral yang telah dilaksanakan, telah teridentifikasi
kebutuhan regulasi untuk mendukung prioritas nasional dalam RKP 2018. Biro
Perencana mengintegrasikan aplikasi KARINA dengan Aplikasi KRISNA, dan Unit
Teknis sebagai pengampu substansi pelayanan publiknya.
6. Biro hukum menampung semua usulan regulasi dari Unit Kerja Eselon I di
Kementerian/Lembaga dan mengirimkan aplikasi KARINA yang terintegrasi dengan
KRISNA bekerjasama dengan Biro Perencanaan masing-masing K/L mengusulkan
melalui aplikasi ke Bappenas dan KemenHumHam
7. Krisna (Bappenas, Kemenkeu, Menpan) ; Menpan melihat kinerja yang tidak efektif
secara kelembagaan.
8. Karina bertujuan untuk mendukung KRISNA dalam konteks regulasi

[403]
9. Belum terintegrasi secara manual maupun aplikasi dalam rangka penyusunan
Kerangka Regulasi dalam penyusunan RPJMN dan RKP.

Rekomendasi
1. Siklus perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi. Langkah perumusan
kebijakan diawali dengan kegiatan pengkajian dan penelitian. Pengkajian meliputi
kegiatan perumusan masalah (problem definition) atau penetapan tujuan (objective
setting) dan evaluasi terhadap regulasi yang berkaitan dengan substansi kebijakan.
2. Dilakukan penelitian secara mendalam (indepth analysis) terhadap substansi kajian
yang telah ditetapkan. Proses penelitian harus dilakukan dengan memperhitungkan
konsep analisis dampak biaya dan manfaat (Cost and Benefit Analysis dan Cost
Effectiveness Analysis) untuk menjamin dukungan anggaran operasionalnya. Hasil akhir
dari pengkajian dan penelitian adalah rekomendasi yang meliputi 2 (dua) yaitu, (1)
merevisi/membentuk/mencabut Undang-Undang; (2) merevisi/membentuk/
mencabut peraturan pemerintah dan dibawahnya; dan menetapkan kebijakan dalam
rangka melaksanakan Undang-Undang.
3. Penyusunan Kerangka Regulasi dalam penyusunan RPJMN dan RKP dimaksudkan
untuk memfasilitasi, mendorong dan mengatur perilaku masyarakat, termasuk swasta
dan penyelenggara negara dalam rangka mewujudkan Tujuan Bernegara sebagaimana
tercantum pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Penyusunan Kerangka Regulasi dilakukan dengan mempertimbangkan dampak,
biaya, manfaat dan kerugiannya untuk masyarakat;

Referensi
 Undang-Undang RI No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang RI No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019

Jakarta, 16 Juni 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[404]
POLICY BRIEF
PELAYANAN DASAR MELALUI STANDAR PELAYANAN MINIMAL

Abstrak
Proses penyusunan rancangan Peraturan Menteri Sosial mengenai Standar
Pelayanan Minimal yang dimulai dengan penyusunan draft awal tentang petunjuk teknis
penerapan SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota, ketika masa
waktu Peraturan Menteri Sosial No. 129/HUK/2008 yang berakhir tahun 2015 dan UU
Pemda terjadi perubahan dari UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 23 Tahun 2014.
Proses penyusunan draft awal SPM Bidang Sosial yang mulai disusun pada tahun
2015, sebagai pengganti Permensos yang masih mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004,
dan UU Pemda yang baru yaitu UU No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 18 mengamanatkan
perlunya menetapkan PP tentang SPM serta penerapan 6 (enam) SPM dengan Peraturan
Menteri.
Kemudian pada bulan awal tahun 2018 ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang
SPM yang ditetapkan dengan PP No. 2 Tahun 2018. Kementerian Sosial telah menyusun
draft rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Teknis SPM Bidang Sosial di
daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota dan berdasarkan Permensos No. 17 Tahun
2017 tentang Perencanaan Penyusunan Peraturan Per-UU-an Bidang Kesejahteraan Sosial
Tahun 2017-2019.
Ditetapaknnya Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis
SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota ini menjadi dasar
dalam penerapan SPM sosial di daerah dan sesuai siklus perencanaan daerah yang pada
bulan Maret-April dilakukan pembahasan Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD)
berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan
Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Unit pengampu SPM di Kementerian Sosial RI yaitu Ditjen Rehabilitasi Sosial
sebagai pengampu 4 (empat) indikator dan Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial
pengampu 1 (satu) indikator SPM Bidang Sosial perlu mempertimbangan kebijakan
perencanaan dan penganggaran pusat dengan daerah dengan perubahan kebijakan
regulasi terkait anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan perubahan PP No.
7 Tahun 2008 yang sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik yang berubah menjadi
urusan pemerintah.

Pendahuluan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebut dengan urusan
pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan bersama
(konkuren) wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dan urusan pemerintahan wajib dibagi atas
pelayanan Dasar dan tidak pelayanan dasar. Urusan wajib pelayanan dasar terdiri dari 6
(enam) urusan bidang yang meliputi: 1) pendidikan; 2) kesehatan; 3) pekerjaan umum
dan penataan ruang; 4) perumahan rakyat dan kawasan permukiman; 5) ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan 6) Sosial.
Jenis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial terdiri
atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan daerah

[405]
provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota, dengan rehabsos
dasar bagi Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, tuna
sosial khususnya Gelandangan dan Pengemis, dan perlindungan dan jaminan sosial pada
saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi Korban Bencana di daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota.
Mutu layanan dasar untuk jenis pelayanan dasar rehabilitasi sosial dasar
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, dan Anak Telantar di dalam panti,
dengan kriteria tidak ada lagi perseorangan, keluarga, masyarakat yang mengurus,
rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya, masih memiliki keluarga, tetapi
berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima di dalam
panti merupakan kebutuhan dasar, terdiri atas pengasuhan; permakanan; sandang;
asrama yang mudah diakses; perbekalan kesehatan; bimbingan fisik, mental spiritual, dan
sosial; bimbingan keterampilan hidup sehari-hari; pembuatan akta kelahiran, nomor
induk kependudukan, dan kartu identitas anak; akses ke layanan pendidikan dan
kesehatan dasar; pelayanan penelusuran keluarga; pelayanan reunifikasi keluarga; dan
akses layanan pengasuhan kepada keluarga pengganti.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah provinsi dan kab/kota dilakukan pada saat tanggap darurat bencana
merupakan kebutuhan dasar yang terdiri atas permakanan; sandang; tempat
penampungan pengungsi; penanganan khusus bagi kelompok rentan; dan dukungan
psikososial.
Penyediaan permakanan diberikan paling sedikit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak terjadinya bencana dan penyediaan tempat penampungan pengungsi, meliputi
pembuatan barak; fasilitas sosial; dan fasilitas umum lainnya.
Penanganan khusus bagi kelompok rentan merupakan penanganan korban bencana
bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, dan Anak. Pelayanan dukungan
psikososial dilakukan melalui bimbingan dan konsultasi; konseling; pendampingan; dan
rujukan. Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas Tenaga Kesejahteraan
Sosial (TKS), pekerja sosial profesional, penyuluh sosial; dan relawan sosial.

Deskripsi Masalah
 Belum terintegrasinya SPM dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah
RPJMD, RKPD dan APBD yang ditetapkan dalam bentuk Perda mengenai pelayanan
dasar bidang sosial dengan ditetapkannya Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota,
sehingga perlu adanya pembinaan dari Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Sosial
bekerjasama dengan Itjen Kemendagri sehingga amanah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda pada Pasal 298 bahwa prioritas belanja daerah untuk membiayai
pelayanan dasar dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal.
 Amanah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda belum mengintegrasikan SPM dalam
siklus perencanaan daerah yang pada bulan Maret-April dilakukan pembahasan
Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD) berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun
2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan
RKPD.Rancangan PP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagai pengganti
dari PP No. 7 Tahun 2008 dengan substansi perubahan yaitu urusan pemerintahan
yang ditugas pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren, dengan

[406]
berdasarkan RPP Urusan Konkuren sebagai turunan dari lampiran UU Nomor 23
Tahun 2014.
 Bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta sesuai dengan
ketentuan penugasan. Kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada
pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator Kinerja
Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci
(outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output.
Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari
beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan
kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.
 IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
 Perlu perhatian stakeholder di level pusat baik pembina umum daerah yaitu
Kemendagri maupun pembina teknis daerah untuk bidang sosial yaitu Kemensos,
bahwa pada setiap panti sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja
Sosial Profesional. Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja
Sosial Professional yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi pekerjaan sosial.
Untuk perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota harus menyiapkan Sumber Daya
Manusia Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) diantaranya Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
 Perlu para stakeholder di pusat dan daerah memperhatikan mutu dan jenis layanan
dasar untuk standar teknis SPM Bidang Sosial di daerah Kabupaten/Kota, rehabilitasi
sosial di luar panti bagi anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia
telantar, gelandangan dan pengemis, serta perlindungan dan jaminan sosial bagi
korban bencana lingkup Kabupaten/Kota, bahwa pelayanan rehabilitasi sosial dasar di
luar panti dilakukan dalam bentuk layanan rehabilitasi sosial dalam keluarga dan
masyarakat, dilakukan dengan memberikan dukungan pelayanan/pendampingan
kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, Anak Telantar, serta
Gelandangan dan Pengemis dalam keluarga dan masyarakat; dan memberikan
bimbingan kepada keluarga dan masyarakat.
 Memperhatikan layanan kedaruratan yang merupakan tindakan penanganan segera
yang dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan/atau Pusat
Kesejahteraan Sosial kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut
Usia Telantar, Gelandangan, dan Pengemis yang membutuhkan pertolongan karena
terancam kehidupannya dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
 Memperhatikan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Kab/Kota pada sarananya
yang menggunakan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan memiliki paling
sedikit 1 (satu) orang Relawan Sosial, terdiri atas pekerja sosial masyarakat; karang
taruna; tenaga pelopor perdamaian; taruna siaga bencana; tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan; kader rehabilitasi berbasis masyarakat dan berbasis keluarga, dan
penyuluh sosial masyarakat. Relawan Sosial harus tersertifikasi yang dilakukan oleh
lembaga sertifikasi tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial.

[407]
Rekomendasi
 Perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang
sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik menjadi berdasarkan urusan
(kewenangan) pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sehingga
berdampak kepada pembahasan anggaran Kemensos dengan Ditjen Anggaran
Kementerian Keuangan, bahwa anggaran untuk kegiatan dengan menggunakan
nomenklatur panti sudah tidak dapat dialokasikan di pusat karena sudah menjadi
kewenangan daerah provinsi, sedangkan urusan pemerintah pusat pada rehabilitasi
sosial lanjutan dengan nomenklatur “Balai” sehingga perlu ada alih fungsi dari
nomenklatur panti menjadi Balai berdasarkan Keputusan Menteri PAN dan RB yang
ditetapkan dan perlu anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial pada
usulan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di awal tahun untuk tahun berikutnya dalam
mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah yang belum
mampu APBD-nya.

Referensi
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Jakarta, Juli 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[408]
POLICY BRIEF
APAKAH URUSAN KONKUREN BIDANG SOSIAL
MERUPAKAN PELAYANAN PUBLIK ?

Abstrak
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat
bagi masyarakat, dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam
pelayanan publik.
Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren
berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, berwenang untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam
rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan, melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
Norma, standar, prosedur, dan kriteria berupa ketentuan peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah. Kewenangan Pemerintah Pusat
dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian. Pelaksanaan
kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian harus
dikoordinasikan dengan kementerian terkait. Penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah
mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah pada Pasal 275 UU No. 23 Tahun
2014, meliputi pengendalian terhadap perumusan kebijakan perencanaan pembangunan
Daerah, pelaksanaan rencana pembangunan Daerah, evaluasi terhadap hasil rencana
pembangunan Daerah.

Pendahuluan
Menteri (Menteri Dalam Negeri sebagai pembina umum daerah) melakukan
pengendalian dan evaluasi terhadap pembangunan Daerah provinsi. Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap pembangunan
Daera kabupaten/kota. Gubernur melakukan pengendalian dan evaluasi pembangunan
Daerah provinsi. Bupati/walikota melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap
pembangunan Daerah kabupaten/kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan Daerah, tata cara evaluasi
rancangan Perda tentang RPJPD dan RPJMD, serta tata cara perubahan RPJPD, RPJMD,
dan RKPD diatur dengan peraturan Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri RI kepada Para Sekretaris
Jenderal dan Sekretaris Utama Kementerian/Lembaga, No. 188.2/2028/SJ, tanggal 28
April 2017, Perihal Permintaan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai pelaksanaan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, belum ada Kementerian/lembaga

[409]
yang menyampaikan usulan IKK masing-masing bidang pemerintah untuk masukan
dalam Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Laporan dan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyusunan IKK disesuaikan dengan
kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan konkuren dari masing-
masing bidang pemerintah.
Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa
Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir
miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi, meliputi:
- Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Sosial di daerah
- Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi
di lingkungan Kementerian Sosial.
Adapun tugas tambahan lain yang diamanatkan dalam peraturan Perundang-
undangan diantaranya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/2014
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) terutama pada penerapan
urusan bidang sosial di daerah dan sinergi perencanaan pusat dengan daerah.
Pemberdayaan Sosial dengan layanan pemberdayaan potensi sumber kesejahteraan
sosial perorangan, meliputi pekerja sosial (peksos), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM),
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), meliputi: penyediaan data Potensi
Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) perorangan.
Berdasarkan Permensos No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial, rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan tahapan:
pendekatan awal, pengungkapan dan pemahaman masalah, penyusunan rencana
pemecahan masalah, pemecahan masalah, resosialisasi, terminasi, bimbingan lanjut.
Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan, dengan layanan utama:
layanan rehabilitasi sosial di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), data Korban
Perdagangan orang (KPO) dan Korban Tindak Kekerasan yang akan diserahkan,
petunjuk teknis pemulangan Korban Perdagangan Orang dan Korban Tindak Kekerasan,
koordinasi lintas instansi.
Rehabilitasi sosial, dengan pengadaan gedung beserta sarana dan prasarana,
pelatihan dan Sumber Daya Manusia (SDM), sosialisasi kepada pemangku kepentingan,
penyusunan Standar Operasional dan Prosedur bagi layanan, membangun sistem
informasi, penyusunan Pedoman Layanan Rehabilitasi Sosial Dasar, penyediaan
Anggaran Layanan Rehabilitasi.
Urusan konkuren di provinsi dan kabupaten/kota, meliputi: Rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas di dalam dan di luar panti/lembaga. Rehabilitasi sosial dan
pelayanan sosial anak, yaitu anak balita telantar, anak telantar, anak berhadapan hukum,
anak penyandang disabilitas, anak membutuhkan perlindungan khusus di dalam dan di
luar panti/lembaga. Pelayanan lanjut usia telantar, rehabilitasi sosial tuna sosial
gelandangan/pengemis di dalam dan di luar panti/lembaga.

[410]
Deskripsi Masalah
Pembagian kewenangan Sub Bidang Rehabilitasi Sosial antara pusat, provinsi dan
kabupaten kota masih tumpang-tindih Pelaksanaan urusan
Masih belum sepenuhnya pembagian kewenangan diantaranya perbedaan antara
fungsi panti milik pusat, provinsi. Apakah kewenangan panti milik pusat menangani
lintas provinsi atau dari aspek tahapan pelayanan sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial
RI No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial dengan Pendekatan Pekerjaan
Sosial.
Rehabilitasi Sosial di luar Panti pada kewenangan Kabupaten/Kota, belum ada
Peraturannya dan Implementasi di daerah belum sepenuhnya berjalan
Rehabilitasi sosial di luar panti yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota belum
ada regulasi dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK). Jenis pelayanan
apa saja? Apakah Rehabilitasi sosial berbasis keluarga (RBK) dan Rehabilitasi sosial
berbasis masyarakat (RBM) sudah berjalan? Apakah tenaga pemberi layanan dari unsur
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) atau dari unsur relawan yang masuk dalam
unsur Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) non aparatur seperti Pekerja Sosial Masyarakat
(PSM) atau tenaga pendamping program terkait anak, lanjut usia, penyandang disabilitas,
tuna sosial, atau dari unsur Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) atau tenaga
kesejahteraan sosial lainnya.
Belum adanya regulasi yang mengatur Standar Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur dari Unsur Masyarakat
Belum adanya Peraturan Menteri Sosial yang mengatur Sumber Daya Manusia
dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Non Aparatur/Non Pegawai Negeri Sipil
dan di dalamnya juga mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat,
Provinsi dan Kabupaten dan kaitannya dengan penanggung jawab dalam hal ini
Organisasi Perangkat Daerah (Dinas Sosial) provinsi dan Kabupaten/Kota dan kaitannya
dengan beban kerja yang tentunya terkait dengan jabatan Kepala Bidang, Kasie, Staf dan
Pekerja Sosial Profesional Aparatur/Pegawai negeri Sipil.
Perlu tersedianya dokumen evaluasi dan implementasi Pelaksanaan Urusan Bidang
Sosial Untuk Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar Bagi
Penduduk/Masyarakat Miskin dan Rentan sebagai acuan dasar Penanganan Fakir
Miskin Di Indonesia
Belum adanya evaluasi dan implementasi keterkaitan urusan bidang sosial di
daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan
dasar bagi setiap warga/penduduk miskin dan rentan dan kaitannya dengan penurunan
kemiskinan.
Belum Tersedianya Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial Mendukung Setiap
Urusan Konkuren Bidang Sosial di Provinsi dan Kabupaten/Kota
DAK diprioritaskan untuk mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal di
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, terutama daerah yang sumber pendanaan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masih belum mampu melaksanakan
Standar Pelayanan Minimal. Sampai tahun 2017 belum ada DAK Bidang Sosial.
Dana Alokasi Khusus (DAK) diamanatkan pada Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
disebutkan bahwa anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan

[411]
oleh Kementerian/Lembaga yang merupakan urusan daerah secara bertahap dialihkan
menjadi dana alokasi khusus.
Rekomendasi
1. Menyusun dan membahas Urusan Konkuren Bidang Sosial di Provinsi dan
Kabupaten/Kota
Menyusun dan menetapkan urusan konkuren bidang sosial yang menjadi kewenangan
provinsi dan kabupaten/kota yang masuk dalam Peraturan Pemerintah tentang
Urusan Konkuren.
2. Menyusun dan membahas Indikator Kinerja Kunsi (IKK) Bidang Sosial
Berdasarkan Urusan Konkuren dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
3. Pengintegrasian Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai dasar dari Penyusunan
Anggaran di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sebagai dasar sinergi
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dengan Perencanaan Pembangunan
Daerah (PPD).
4. Perlu Komitmen Agar Tersedia DAK Bidang Sosial Untuk Mendukung Penerapan
Urusan Konkuren dan SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pokok hasil pertemuan Rapat Koordinasi di Hotel Grand Sahid Jakarta tanggal 8
Februari 2017 bertujuan untuk sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan
daerah serta pembangunan antar daerah tahun 2018 dan penerapan SPM Bidang Sosial
dengan menyiapkan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial.
5. Pendataan dan Pengeloaan Data Fakir Miskin Cakupan Provinsi dan Pendataan
Fakir Miskin Cakupan Kabupaten/Kota dibuatkan NSPK dan didukung oleh Dana
Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial Sebagai Upaya Strategi Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan

Referensi
 Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin

[412]
POLICY BRIEF
URGENSI PAYUNG HUKUM WARGA NEGARA INDONESIA
MIGRAN DAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

Abstrak
Review Peraturan Menteri Sosial (Permensos) RI No. 22 Tahun 2013 tentang
Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah ke
Daerah Asal dengan rancangan Permensos tentang pemulangan Warga Negara Indonesia
Migran (WNIM) dan Korban Perdagangan Orang (KPO), berdasarkan Surat Plh. Direktur
Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang, Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI No. 553/RSTS.SKPO/KS02/6/2017
tanggal 7 Juni 2017, salah satu yang diperlukan adalah payung hukum yang akan menjadi
acuan pelaksanaan pemulangan pekerja migran bermasalah dan tenaga kerja Indonesia
bermasalah ke daerah asal. Penugasan Syauqi dan Lucy Sandra Butar-Butar, Analis
Kebijakan Madya, Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI untuk menjadi peserta aktif
dalam penyusunan rancangan Peraturan Menteri Sosial RI tersebut.
Berdasarkan data BNP2TKI (2014) mencatat penempatan pekerja migran ke
berbagai negara di dunia sebanyak 429.872 orang. Jumlah itu meliputi 219.610 orang (58
persen) pekerja migran formal dan 182.262 orang (42 persen) pekerja migran informal.
Dari jumlah tersebut, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (2015) sebanyak 14.675
orang adalah pekerja luar negeri yang bermasalah (WNIM & KPO). Berdasarkan kasus-
kasus yang ada, pengiriman tenaga kerja Indonesia biasanya kurang dibekali dengan
pengetahuan dan keterampilan bahkan sebagian besar tidak memiliki dokumen yang sah
untuk bekerja di luar negeri.
UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada lampiran bidang
sosial Sub-Bidang Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan,
kewenangan Pemerintah Pusat (Menteri Sosial) adalah: a) Penanganan warga negara
migran korban tindak kekerasan dari titik debarkasi sampai ke Daerah provinsi asal, b)
Pemulihan trauma korban tindak kekerasan (traficking) dalam dan luar negeri.
Perlindungan kepada pekerja migran di Indonesia diwujudkan dalam UU No 39
tahun 2004, namun UU tersebut, tidak cukup memadai dalam memberi perlindungan dan
akses keadilan. Subtansi hukumnya tidak jelas dalam banyak hal yang menimbulkan
kebingungan dalam implementasinya diantara ketidakjelasaan sanksi bagi pihak yang
melanggar dan menempatkan pekerja migran sebagai komoditas murah dengan berbagai
syarat yang membebani pekerja migran. Dampaknya, pekerja migran hanya menjadi
obyek semata dan perlindungan merupakan suatu keniscayaan yang sangat sulit
diperoleh, terlebih di luar negeri tempat pekerja migran yang tidak memiliki ratifikasi
perlindungan tenaga kerja.

Pendahuluan
Hubungan yang terjalin antar negara dalam berbagai dimensi. Indonesia sebagai
bagian integral dari ekonomi global tidak dapat melepaskan diri dari dinamika tersebut,
terlebih dengan jumlah penduduk yang besar dan tingginya dorongan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
Peran pemerintah daerah selama ini dalam penanganan WNIM & KPO masih
belum maksimal dan terkendala keterbatasan anggaran dan regulasi di daerah serta

[413]
lemahnya komitmen daerah dalam memberikan perlindungan bagi WNIM & KPO.
Sehingga penanganan di daerah masih mengandalkan dana dekonsentrasi dari pusat
(APBN). Sedangkan banyak daerah kantong WNIM & KPO, pemerintah daerahnya tidak
mempunyai ketersediaan dana yang cukup. Dari aspek pelayanan hanya bersifat
penanganan setelah terjadi masalah (curatif) dan upaya ke arah pencegahan (preventif).
Lemahnya sosialisasi serta pemberdayaan eks dan keluarga WNIM & KPO yang belum
mendapat perhatian yang serius yang sebenarnya sangat penting, hal ini menjadi salah
satu faktor penyebab semakin meningkatnya arus migrasi ke luar negeri yang tidak
didukung dokumen resmi.
UU No. 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa kewenangan Pemerintah daerah
Provinsi adalah pemulangan warga negara migran korban tindak kekerasan dari titik
debarkasi di Daerah provinsi untuk dipulangkan ke Daerah kabupaten/kota asal.
Kewenangan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota adalah pemulangan warga
negara migran korban tindak kekerasan dari titik debarkasi di Daerah kabupaten/kota
untuk dipulangkan ke Desa/kelurahan asal.
Rancangan Peraturan Pemerintah Urusan Konkuren (RPP-UK) pada pembahasan
draft tanggal 22 Mei 2017 di Acacia Hotel Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat berdasarkan
Surat Plt. Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam negeri RI No.
005/2003/BANGDA tanggal 8 Mei 2017, Perihal: Pertemuan Pusat dan Daerah dalam
rangka sosialisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Dasar Urusan Sosial
untuk masyarakat kurang mampu.
Matrik layanan utama urusan pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan
daerah provinsi dalam Sub-Urusan penanganan warga negara migran korban tindak
kekerasan, kewenangan daerah provinsi adalah pemulangan warga negara migran
korban tindak kekerasan dari titik debarkasi di daerah provinsi untuk dipulangkan ke
daerah kabupaten/kota asal. Layanan utamanya adalah layanan penerimaan dan
pemulangan warga negara migran korban tindak kekerasan dan/atau korban
perdagangan orang dari titik debarkasi di daerah provinsi untuk dipulangkan ke daerah
kabupaten/kota asal.
Matrik layanan utama urusan pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan
daerah Kabupaten/Kota dalam Sub-Urusan penanganan warga negara migran korban
tindak kekerasan, kewenangan daerah provinsi adalah pemulangan warga negara migran
korban tindak kekerasan dari titik debarkasi di di Daerah kabupaten/kota untuk
dipulangkan ke Desa/kelurahan asal. Layanan utamanya adalah Layanan Penerimaan
dan pemulangan warga negara migran korban tindak kekerasan dan/atau korban
perdagangan orang dari titik debarkasi di daerah kabupaten/kota untuk dipulangkan ke
desa/kelurahan asal.
WNIM & KPO merupakan seseorang yang bekerja di luar tempat asalahnya dan
menetap sementara ditempat tersebut dan mengalami premasalahan sosial sehingga
menjadi telantar. Menurut Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2013 tentang
Pemulangan WNIM & KPO dan TKIB Ke Daerah Asal, disebutkan bahwa WNIM & KPO
adalah seseorang yang bekerja di dalam maupun di luar negeri yang mengalami masalah,
baik dalam bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, pengusiran, ketelantaran, disharmoni
sosial, ketidakmampuan menyesuaikan diri sehingga fungsi sosialnya terganggu.
Kementerian Sosial, perlindungan sosial bagi WNIM & KPO masuk dalam UU No.
11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya dijelaskan dalam PP No. 39
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial pada Bab V Pasal 28 angka (1)
sebagai berikut: “Perlindungan Sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani
risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau

[414]
masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar
minimal”.
Ditetapkannya Peraturan Presiden No. 45 tahun 2013 tentang Koordinasi
Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia mengganti Kepres No.106 Tahun 2004. Peran
Kementerian Sosial dan kementerian/lembaga lain menjadi tidak jelas, karena Perpres
No. 45 lebih memuat tentang BNP2TKI dimana sampai saat ini belum mempunyai
Petunjuk Pelaksanaan. Pandangan publik dan stakeholder serta K/L terkait bahwa terjadi
tumpang tindih (overlapping) dan tidak optimal dalam penanganan TKI antara
Kementerian Sosial, BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja, serta kementerian/
lembaga lain yang terkait.

Deskripsi Masalah
1. Kurangnya peran Pemerintah Daerah dalam perlindungan sosial WNIM dan KPO.
2. Kurangnya peran pemerintah daerah dalam perlindungan sosial pekerja migran
bermasalah.
3. Perlunya perubahan nomenklatur WNIM & KPO menjadi warga negara migran
korban tindak kekerasan.
4. Kurangnya aksesibilitas bagi WNIM & KPO untuk mendapatkan layanan kesehatan,
adminduk, dan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai warga negera.
5. Kurangnya aksesibilitas Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) bagi pekerja
migran bermasalah di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC).
6. Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat sebagai pengawasan dan pengendalian
berbasis masyarakat dalam pencegahan meningkatnya WNIM & KPO

Rekomendasi
1. Penguatan peran pemerintah daerah dalam perlindungan sosial WNIM dan KPO
2. Perubahan nomenklatur Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran
(KTK-PM) menjadi Warga Negara Indonesia Migran dan Korban Perdagangan Orang
(WNIM-KPO)
3. Aksesibilitas bagi WNIM & KPO untuk mendapatkan layanan kesehatan,
adminduk, dan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai warga negera
4. Aksesibilitas Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) bagi pekerja
migran bermasalah di RPTC.
5. Peningkatan peran dan partisipasi masyarakat sebagai pengawasan dan
pengendalian berbasis masyarakat dalam pencegahan meningkatnya WNIM & KPO

Referensi
 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri
 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
 Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

[415]
 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri
 Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga
Kerja Indonesia
 Petunjuk Pelaksanaan Penanganan dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia dan
Keluarganya (TKIB) Dari Malaysia Sesuai Dengan Keputusan Presiden No. 106 Tahun
2004 Tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan
Keluarganya Dari Malaysia
 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 22 tahun 2013 tentang Pemulangan Pekerja Migran
Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah Ke Daerah Asal

Jakarta, Juni 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[416]
LAMPIRAN
Berikut ini adalah kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam perlindungan
sosial bagi WNIM & KPO berdasarkan analisis SWOPA.

Kekuatan: Rekomendasi
Kelemahan:
aksi bagi
 Tersedianya regulasi perlindungan penanganan  Regulasi yang ada belum otimal
dan penempatan serta penanganan masalah WNIM memberikan perlindungan bagi
bagi WNIM & KPO & KPO: WNIM & KPO, khususnya terkait
 Urusan sosial termasuk masalah  Penguatan dengan kesehatan, pemenuhan
WNIM & KPO menjadi urusan wajib Peran hak akan gaji dari majikan,
di daerah Pemerintah penyediaan dokumen resmi, dan
 Tersedianya jaringan kerja nasional Daerah Dalam keterampilan.
dan internasional Perlindungan  Terkendala pendanaan
 Tersedianya SDM yang Sosial WNIM APBN/APBD
menyelenggarakan perlindungan & KPO  Tidak memberikan sanksi yang
bagi WNIM & KPO baik sektoral  Perubahan tegas ke pada P2TKIS
maupun Tim koordinasi tingkat K/L nomenklatur  Jaringan yang ada belum
dan Satgas WNIM & KPO terintegrasi dengan baik dalam
 Kesadaran WNIM & KPO untuk menjadi pencegahan dan perlindungan
mendapatkan perlindungan bekerja warga negara bagi WNIM & KPO
di luar negeri migran korban  Banyaknya nomenklatur yang
tindak digunakan pada masing-masing
kekerasan sektor dalam penanganan WNIM
 Aksesibilitas & KPO
bagi WNIM &
KPO untuk
mendapatkan
layanan
Tantangan: kesehatan, Peluang:
adminduk,
 Meningkatkan komitmen dan kemauan dan  Masalah WNIM & KPO akan
daerah dan pihak terkait dalam pemenuhan semakin kompleks dengan adanya
perlindungan WNIM & KPO kebutuhan kesepahaman internasional
 Menjadikan masalah WNIM & KPO dasar sebagai tentang tenaga kerja asing
sebagai salah satu strategi warga negera sehingga diperlukan SDM yang
pengurangan kemiskinan di kantong-
handal dan memahami substansi
kantong kemiskinan di daerah
 Semakin kuatnya peran daerah
 Menjadikan jaringan kerja yang ada
dalam mengatur dan mengurus
sebagai infrastruktur pencegahan dan
yang menjadi tanggung jawabnya
perlindungan WNIM & KPO
 Isu pekerja migran merupakan isu
 Meningkatkan kapasitas SDM pusat
yang berkaitan dengan lintas
dan daerah serta partisipasi
negara baik pengirim maupun
masyarakat dalam perlindungan WNIM
penerima
& KPO, khususnya mengurangi calo
 Kebijakan RPJMN dalam
pencari kerja.
memberikan perlindungan bagi
WNIM & KPO dan kehadiran
negara bagi warga negera

[417]
Analisa Kinerja Rekomendasi terhadap Pelaksanaannya:

No Prioritas Peran Peran K/L Lain Peran


Rekomendasi Kementerian Pemerintah
Sosial Daerah

Penguatan Peran
1 UU No 11/2009 - UU No. 23 Tahun
Pemerintah Daerah
dan UU No. 23 2014 terkait
Dalam
Tahun 2014 terkait dengan urusan
Perlindungan Sosial
dengan urusan wajib Bidang
WNIM & KPO
wajib Bidang Sosial
Sosial

Perubahan
2 Bukan Kewenangan Mengikuti
nomenklatur
kewenangan Kementerian kebijakan
WNIM & KPO
Kementerian Pembangunan Kemendagri dan
menjadi warga
Sosial Manusia dan pemerintah
negara migran
Kebudayaan daerah
korban tindak
kekerasan

Aksesibilitas bagi
3 Tugas Tugas K/L lain Tugas
WNIM & KPO
Kementerian pemerintah
untuk
Sosial daerah dalam
mendapatkan
pemberian
layanan kesehatan,
aksesibilitas
adminduk, dan
pemenuhan
kebutuhan dasar
sebagai warga
negera

Gambaran Permasalahan WNIM & KPO di Prov. Kalimantan Barat


Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu pintu keluar (entry point) calon
pekerja migran illegal yang akan bekerja dari Indonesia ke negara tetangga Malaysia.
Pintu keluar menuju perbatasan Negara Malaysia dapat dilalui dengan perjalanan darat
seperti melalui daerah Entikong yang berjarak +3 jam perjalanan dari Kab. Sanggau.
Daerah Entikong termasuk dalam wilayah Kabupaten Sanggau. Permasalahan WNIM &
KPO di Provinsi Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
 Sebagian besar WNIM dan KPO adalah berasal dari luar daerah Kalimantan Barat.
Pada umumnya mereka berasal dari Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa

[418]
Tenggara Timur dan daerah lainnya. WNIM dan KPO yang pulang melalui pintu
masuk Entikong yang berasal dari Provinsi Kalimantan Barat berasal dari
Kabupaten Sambas.
 Calon pekerja migran masuk ke wilayah Negara Malaysia dengan menggunakan
passport pelancong maupun tanpa dokumen dengan melalui “jalan tikus” (jalan
alternatif menuju Negara Malaysia).
 Pada umumnya mereka adalah korban bujuk rayu dari tekong/calo yang
menjanjikan (iming-iming) gaji yang besar dan pekerjaan yang menjanjikan di
Malaysia. Hasil testimoni dan wawancara dengan WNIM & KPO yang baru
dipulangkan dari Malaysia, bahwa mereka sebenarnya sudah bekerja di
perkebunan kelapa sawit di Kalbar, namun mereka akhirnya mereka memutuskan
untuk masuk ke Malaysia dengan cara illegal dan bekerja di perkebunan Malaysia
sampai akhirnya tertangkap oleh aparat kepolisian Kerajaan Malaysia tanpa
dibayarkan gajinya. WNIM dan KPO ini sebelum dideportasi sudah menjalani
hukuman di penjara.
 WNIM & KPO juga mengungkapkan bahwa di Malaysia lapangan pekerjaan cukup
banyak dan tidak menggunakan persyaratan-persyaratan yang rumit untuk bekerja
di perusahaan, toko/kedai, perkebunan dan lapangan pekerjaan lainnya. Daya tarik
ini menjadi salah satu faktor yang membuat mereka ingin berangkat dan bekerja di
Malaysia. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka
bekerja di sektor informal seperti sebagai pembantu rumah tangga, buruh
bangunan, buruh di perkebunan dan buruh pabrik dengan penghasilan yang
kurang memadai sehingga tingkat kesejahteraan mereka juga rendah.
 Penanganan dalam bentuk Perlindungan sosial kepada kelompok rentan
(vulnerable) seperti kelompok WNIM & KPO yang pulang dan dipulangkan
(deportasi) melalui entry point Entikong Kabupaten Sanggau dilaksanakan oleh Tim
Satgas Pemulangan TKIB Provinsi Kalimantan Barat. Tim Satgas terdiri dari
beberapa instansi terkait dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
 Pada kasus-kasus yang ditangani selama ini, WNIM & KPO pulang dalam keadaan
sudah menderita sakit ringan sampai berat bahkan ketika sudah sampai di
Pontianak meninggal dunia atau sudah meninggal dunia di Negara Malaysia.
WNIM & KPO yang pulang dalam keadaan sakit khusus misalnya sakit gangguan
jiwa dan sakit berat lainnya seperti HIV/AIDS. Sehingga WNIM & KPO yang sakit
membutuhkan pelayanan untuk pengobatan penyakitnya. Namun terdapat kendala
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tersebut karena terbentur aturan BPJS.
 Untuk pemulangan WNIM & KPO ke debarkasi Tanjung Priok masih menunggu
jadwal kapal laut yang tidak pasti, sehingga waktu tunggu WNIM & KPO di
Pontianak menjadi lebih lama dan tidak pasti. Hal ini menyebabkan meningkatnya
biaya permakanan WNIM & KPO dan shelter di Pontianak menjadi padat karena
WNIM & KPO yang baru datang dari Entikong juga menunggu pemulangan di
shelter.
 Ketika WNIM & KPO harus dipulangkan ke daerah asalnya, sebagian besar WNIM
& KPO tersebut tidak ingin pulang. Mereka lebih membutuhkan pekerjaan baru
daripada harus pulang ke kampung halamannya. Hal ini dilatarbelakangi persoalan
hutang dan kebutuhan keluarga yang mendesak, sedangkan pulang ke daerah asal
tidak ada lapangan kerja yang dapat menopang kehidupan mereka.
 WNIM & KPO yang dideportasi dan dipulangkan melalui debarkasi Entikong
cenderung sering memutuskan untuk berangkat kembali dan bekerja di Malaysia

[419]
secara illegal tanpa mempertimbangkan bahaya dan resiko yang harus dihadapi.
Mereka lebih membutuhkan pekerjaan dan mendapatkan penghasilan.
 WNIM & KPO dipulangkan oleh Konjen RI (KJRI)/KBRI maupun WNIM & KPO
yang pulang sendiri sudah mengalami berbagai permasalahan seperti gaji tidak
dibayarkan, mendapatkan kekerasan dari majikan/bos, menderita sakit, eksploitasi,
diperdagangkan (trafiking), pelecehan seksual dan permasalahan lainnya.
 Penanganan perlindungan sosial pekerja migran bermasalah di Kalimantan Barat
meliputi pelayanan pemberian permakanan dan penampungan, pendampingan,
bimbingan dan penyuluhan sosial, penanganan WNIM & KPO yang sakit dan
meninggal dunia serta pemulangan ke debarkasi Tanjung Priok. Dinas Sosial
Provinsi Kalimantan Barat bekerjasama dengan Satgas Pemulangan TKIB
Kalimantan Barat di Pontianak serta instansi terkait seperti BP3TKI, Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Dinas Kesehatan dan RSUD, dan instansi terkait lainnya
seperti Imigrasi dan P4TKI di Entikong dan Kepolisian.

 Belum tersedianya penampungan (shelter) yang memadai karena kondisi shelter


yang ada sekarang di Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat masih belum
memadai dan tidak dilengkapi dengan pagar dan penjaga keamanan. Sehingga dari
aspek keamanan belum maksimal masih ada TKIB yang melarikan diri atau keluar
dari shelter tanpa sepengetahuan petugas. Selain itu pada saat pemulangan dalam
jumlah besar kondisi penampungan menjadi kurang nyaman karena keterbatasan
kapasitas ruangan penampungan/shelter.
 Dana pemulangan yang masih berada di pusat (Kementerian Sosial) dengan sistem
reimbuse hal ini mempersulit untuk mendanai operasional pemulangan pekerja
migran bermasalah ke debarkasi Tanjung Priuk dan biaya permakanan. Selama ini
Dinas Sosial menggunakan dana talangan dari pihak ketiga yang sangat terbatas
besarannya. Hal ini dirasa cukup menghambat dalam proses perlindungan sosial
kepada pekerja migran bermasalah di provinsi Kalimantan Barat. Permasalahan
yang dihadapi pengeluaran pemulangan dan permakanan WNIM & KPO dari
bulan November 2014 sd bulan Mei 2015 belum dibayarkan.
 Keterbatasan dan ketersediaan dana perlindungan sosial pekerja migran
bermasalah berimplikasi dalam pembelian dan pemesanan tiket kapal laut dan
transportasi darat sehingga sering terjadi penundaan pemulangan yang akan
menyebabkan meningkatnya biaya permakanan karena WNIM & KPO akan berada
di shelter lebih lama dari yang seharusnya (  3 hari).
 Ketika WNIM & KPO dipulangkan atau dideportasi dari Negara Malaysia dalam
keadaan sakit jiwa, Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat mengalami kesulitan/
hambatan dalam merujuk ke Rumah Sakit Jiwa di Pontianak. Pihak RSJ masih
belum mau menerima WNIM & KPO yang menderita sakit jiwa.
 Pendamping WNIM & KPO Kalimantan Barat yang direkrut oleh Kementerian
Sosial memberikan pendampingan WNIM & KPO selama WNIM & KPO berada di
shelter hingga pulang. Kegiatan pendampingan masih sangat terbatas diantaranya
melakukan pendataan dan assesmen serta ceramah tentang bagaimana bermigrasi
dengan aman.
 Bantuan UEP yang diberikan kepada mantan pekerja migran bermasalah di
Provinsi Kalimantan Barat yang bertujuan untuk membuka peluang usaha dan
mencegah mantan WNIM & KPO berangkat kembali ke luar negeri masih sangat
terbatas.

[420]
POLICY BRIEF
PELAYANAN DASAR DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
DALAM PENANGANAN STUNTING

Abstrak
Permasalahan gizi buruk dijelaskan berdasarkan catatan Bappenas, menyebar di
seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan. Artinya, permasalahan stunting dan
gizi buruk tidak hanya dialami masyarakat ekonomi lemah, namun juga masyarakat
menengah ke atas. Penyebabnya adalah pemahaman masyarakat yang salah terkait
kebutuhan nutrisi anak. Republika.co.id, Selasa (23/1).
Siti Masrifah Chifa, anggota komisi IX DPR RI, menilai penanganan gizi buruk yang
dialami anak-anak saat ini harus segera menjadi prioritas pemerintah. Kesalahan dalam
memberikan asupan makanan pada anak dapat beresiko bagi masa depan bangsa. Seperti
halnya awal 2018 ini, di Kendari ditemukan balita menderita gizi buruk akibat diberi susu
kental manis akibat ketidaktahuan orangtua. Selain itu di Wamena baru-baru ini juga
ditetapkan Kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk yang sudah memakan korban jiwa terjadi
karena kebutuhan dasar diantaranya pangan tidak perpenuhi dan merupakan kondisi
kejadian luar biasa provinsi karena disebabkan bencana kekeringan. Penanganan gizi
buruk terkait dengan kebutuhan pangan dan asupan gizi pada ibu hamil dan anak balita
yang merupakan kebutuhan dasar dan merupakan pelayanan dasar,
Kebutuhan dasar berdasarkan UU No. 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir
miskin, adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 UU
No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa penanganan fakir miskin
dilakukan dengan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan
pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap
warga negara. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Pelayanan Dasar berdasarkan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal, adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar Warga Negara.
Jenis Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan/atau
jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap Warga Negara secara minimal.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM kesehatan Daerah provinsi terdiri atas pelayanan
kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau
berpotensi bencana provinsi; dan pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi
kejadian luar biasa provinsi. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM kesehatan Daerah
kabupaten/kota, diantaranya pelayanan kesehatan ibu hamil dan pelayanan kesehatan
balita.
Mutu Pelayanan Dasar adalah ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar serta pemenuhannya secara minimal dalam Pelayanan Dasar sesuai
standar teknis agar hidup secara layak. Standar Pelayanan Minimal merupakan ketentuan
mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib
yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal.

[421]
Pendahuluan
UUD 45 Amandemen pada Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian
pada Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33, Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari tujuh belas ribuan pulau,
beraneka suku bangsa dan adat istiadat namun satu tujuan dan satu cita-cita bernegara
sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, diperlukan suatu rencana yang dapat merumuskan secara lebih
konkret mengenai pencapaian dari tujuan bernegara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Definisi kesejahteraan sosial berdasarkan UU No. 11 Tahun 2009 tentang
kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
Keadilan sosial dalam penanganan kasus stunting menjadi prioritas pemerintah
Indonesia. Kemudian WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek)
maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di
Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6
persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini
juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status
gizi buruk. (sumber; internet harian Republika;Rabu 24 Januari 2018).
Dalam RPJMN, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status
awal 32,9 persen turun menjadi 28 persen pada tahun 2019. Untuk pengurangan angka
stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani
di tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.
Dr Damayanti Rusli S SpAK Phd anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP
IDAI mengatakan, faktor utama tingginya masalah stunting di Indonesia salah satunya
adalah buruknya asupan gizi sejak janin masih dalam kandungan (masa hamil), baru
lahir, sampai anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada dua tahun pertama
kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi diperbaiki.
Investasi gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan merupakan kewajiban yang tak bisa
ditawar.

Upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
Kebutuhan dasar berdasarkan UU No. 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir
miskin, adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,

[422]
pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 UU
No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa penanganan fakir miskin
dilakukan dengan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan
pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap
warga negara. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Pelayanan Dasar berdasarkan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal, adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar Warga Negara.
Jenis Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan/atau
jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap Warga Negara secara minimal.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM kesehatan Daerah provinsi terdiri atas pelayanan
kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau
berpotensi bencana provinsi; dan pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi
kejadian luar biasa provinsi. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM kesehatan Daerah
kabupaten/kota, diantaranya pelayanan kesehatan ibu hamil dan pelayanan kesehatan
balita.
Mutu Pelayanan Dasar adalah ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar serta pemenuhannya secara minimal dalam Pelayanan Dasar sesuai
standar teknis agar hidup secara layak. Standar Pelayanan Minimal merupakan ketentuan
mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib
yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal.

PERAN KEMENTERIAN SOSIAL


Implementasi Bantuan Sosial Pangan
 Ketepatan sasaran penerima bantuan sosial ditingkatkan melalui perbaikan Basis Data
Terpadu (BDT).
 BDT Mencakup 40% Penduduk terbawah
 Implementasi Komplementaritas Program Bantuan Sosial Menuju Graduasi Keluarga
Penerima Manfaat (KPM)
 Pendampingan Sosial
 Pemberdayaan UEP/KUBe
 Bantuan Langsung/Jaminan Sosial (KKS/KIP/KIS-PBI)

Upaya yang perlu dilakukan:


1. Semua KPM_PKH menerima Semua Bansos; Semua anggota KPM-BPNT menerima
KIS-PBI; Anak dari KPM-BPNT harus menerima KIP; Semua KPM termasuk dalam
BDT.
2. Penetapan hasil Verifikasi dan validasi data BDT diputuskan di bulan Mei dan
November setiap tahunnya
3. Pengelolaan dan pelayanan data Kesos yang terpadu di Pusdatin;
4. Komplementaritas PKH yang meliputi BDT (96,8 Juta), PBI (92,4 Juta), PKH (10 juta)

Transformasi Rastra Menjadi BPNT


Beras Sejahtera (Rastra)
 Terdapat sejumlah tantangan Program Rastra yang sulit diselesaikan, khususnya
pada ‘’ketidaktepatan’’ mulai dari sasaran atau penerima manfaat, jumlah yang

[423]
seharusnya diterima, harga tebus, keterlambatan waktu, kualitas beras, dan
persoalan administratif lainnya
 KPM tidak dapat memilih bahan pangan lain kecuali beras
 Pendanaan dari Subsidi Pangan

Bantuan Pangan Non Tunai


 Penyaluran melalui bank memberi kemudahan mengontrol, memantau
penyalurannya, dan mengurangi penyimpangan (Presiden Jokowi)
 KPM memiliki kebebasan membeli bahan pangan yang dibutuhkan, selain beras
 Mendorong perluasan inklusi keuangan
 Pendanaan dari APBN

Bantuan Sosial Pangan Tahun 2018 dengan Bantuan Sosial Pangan untuk 15.501.175
KPM, Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Bansos Rastra) dengan total KPM: 5.417.265, Lokasi:
297 Kabupaten/Kota, jumlah Beras 10 kg/kpm/bulan, tidak ada biaya tebus, skema
transformasi bertahap.
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dengan total KPM: 10.083.910, lokasi 217
Kabupaten/Kota, jumlah Bantuan sebesar Rp.110.000/kpm/bulan dan skema
pelaksanaan bertahap

PEMBAGIAN WILAYAH KERJA BANTUAN SOSIAL PANGAN 2018


Pelaksanaan Bantuan Sosial Pangan dibagi dalam 3 wilayah:
 Wilayah I meliputi Sumatera dan Jawa Barat sebanyak 182 Kota/Kab ditangani oleh
Dit. Penanganan Fakir Miskin Perdesaan (BPNT di 79 Kab/Kota & Bansos Rastra di
102 Kabupaten).
 Wilayah II meliputi DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan, Bali, NTB
dan NTT sebanyak 151 Kota/Kab ditangani oleh Dit. Penanganan Fakir Miskin
Perkotaan (BPNT di 75 Kab/Kota & Bansos Rastra di 76 Kabupaten).
 Wilayah III meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan
Papua sebanyak 182 Kota/Kab ditangani oleh Dit. Penanganan Fakir Miskin Pesisir,
Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan Antar Negara (BPNT di 62 Kab/Kota & Bansos
Rastra di 120 Kabupaten).
Dit. PFM Pedesaan Tahun 2018 dengan sasaran BPNT dan Bansos Rastra 5.586.749
KPM dengan nominal: 7.374.508.680.000. Tahun 2019 sasaran BPNT 5.586.749 KPM
dengan nominal: 7.374.508.680.000. Dit. PFM Perkotaan Tahun 2018 dengan sasaran BPNT
dan Bansos Rastra : 5.257.002 KPM dengan nominal: 6.939.242.640.000 dan pada tahun
2019 sasaran BPNT: 5.257.002 KPM dengan nominal: 6.939.242.640.000. Dit PFM Pesisir,
PPK, PAN Tahun 2018 dengan sasaran BPNT dan Bansos Rastra : 4.756.249 KPM dengan
nominal: 6.278.248.680.000 dan pada tahun 2019, sasaran BPNT: 4.756.249 KPM dengan
nominal: 6.278.248.680.000.

[424]
Perluasan Program BPNT 2018
No Periode Jan-Mar Perluasan Perluasan Perluasan Perluasan
2018 Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
April 2018 Mei 2018 Oktober November
2018 2018
1 Total KPM 15.500.122 15.500.122 15.500.122 15.500.122 15.500.122
2 Jumlah KPM 1.286.194 3.317.265 5.612.072 7.756.149 10.083.192
BPNT
3 Jumlah KPM 14.213.928 12.182.857 9.888.050 7.743.973 5.416.930
Bansos
Rastra
4 Penambahan - 2.031.071 2.294.807 2.144.077 2.327.043
KPM BPNT
5 Total 514 514 514 514 514
kab/kota
6 Jumlah 44 68 102 153 217
kab/kota
BPNT
7 Jumlah 470 446 412 361 297
kab/kota
Bansos
Rastra
8 Penambahan - 24 34 51 64
kab/kota
9 Kebutuhan 7.540 19.646 38.932 56.790 75.529
total e-
warong
10 Target - 12.106 19.286 17.858 18.739
penambahan
e-warong
(1:250)

REALISASI BANTUAN SOSIAL BERAS SEJAHTERA (BANSOS RASTRA)


DAN BANTUAN PANGAN NON TUNAI
Perbandingan Realisasi Rastra TA 2017 dan TA 2018 di Triwulan I
Realisasi Rastra Triwulan I Tahun Anggaran 2017 pada Triwulan I Tahun anggaran
2017 realisasi subsidi rastra tercapai 35.271.405 Kg dari pagu beras 639.573.390 Kg atau
5,51%. Pada Triwulan I Tahun Anggaran 2018 realisasi bansos rastra tercapai 422.910.570
kg dari pagu beras 424.789.890 Kg atau 99,56%.

[425]
Deskripsi Masalah
Permasalahan gizi tidak hanya akan mengganggu perkembangan fisik dan
mengancam kesehatan anak, namun juga dapat menyebabkan kemiskinan. Pertumbuhan
otak anak yang kurang gizi tidak akan optimal sehingga akan berpengaruh pada
kecerdasannya di masa depan. "Dengan demikian, peluang kerja dan mendapatkan
penghasilan lebih bakal lebih kecil pada anak stunting," kata Damayanti dalam siaran
pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (23/1).
Prof Dr Dodik Briawan MCN, pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat,
FEMA IPB menambahkan, intervensi gizi perlu dilakukan dalam bentuk edukasi secara
berkesinambungan kepada masyarakat, terutama orang tua. Orangtua harus paham betul
kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, tidak terpengaruh gaya
hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak yang kadang
menjanjikan hal yang berlebihan, ujar Dodik Briawan.

Penurunan Kemiskinan Namun Jumlah Penduduk Rentan Bertambah


Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, namun sebagian besar
penduduk lainnya masih menghadapi kerentanan terhadap berbagai risiko sepanjang
siklus hidup seperti sakit, krisis ekonomi dan bencana alam. Diperkirakan 4,5 juta dari 6
juta rumah tangga berpendapatan terendah tetap dalam kemiskinan selama 3 tahun lebih,
sedangkan 1,5 juta terancam selalu dalam kondisi miskin (Susenas, BPS).

Ketimpangan Akses dan Penjangkauan Pelayanan Dasar


Ketidakmampuan dalam pemenuhan hak dasar atau karena adanya perbedaan
perlakuan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat juga berdampak pada pelambatan penurunan kemiskinan.
Persoalan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat ini dapat
dipandang dari tiga sisi yakni ketersediaan layanan dasar (supply side), penjangkauan oleh
masyarakat miskin (demand side), serta kelembagaan dan efisiensi sektor publik.
Ketersediaan layanan dasar (supply side), baik dari sisi kuantitas maupun kualitas belum
memadai dan menjangkau seluruh masyarakat kurang mampu.

Kurangnya Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin dan Rentan Serta


PMKS
Penyelenggaraan perlindungan sosial dengan asistensi sosial berbasis keluarga dan
siklus hidup yang komprehensif dalam mewujudkan kemandirian yang mensejahterakan.
Program asistensi sosial temporer berbasis individu, kelompok ataupun institusi yang
tertata bagi kelompok masyarakat marjinal, korban bencana alam, bencana sosial, dan
guncangan ekonomi yang mendukung produktivitas.

Rekomendasi
Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Pelayanan Kesehatan Balita.
Pelayanan Dasar berdasarkan PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal, adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar Warga Negara.
Jenis Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan/atau
jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap Warga Negara secara minimal.

[426]
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM kesehatan Daerah provinsi terdiri atas pelayanan
kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau
berpotensi bencana provinsi; dan pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi
kejadian luar biasa provinsi. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM kesehatan Daerah
kabupaten/kota, diantaranya pelayanan kesehatan ibu hamil dan pelayanan kesehatan
balita.
Mutu Pelayanan Dasar adalah ukuran kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa
kebutuhan dasar serta pemenuhannya secara minimal dalam Pelayanan Dasar sesuai
standar teknis agar hidup secara layak. Standar Pelayanan Minimal merupakan ketentuan
mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib
yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal.

Perlindungan Sosial yang Terintegrasi (Terpadu)


Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diantaranya diarahkan untuk
mengembangkan Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) di Pusat Kesejahteraan
Sosial (Puskesos) di Tingkat Desa dan Kecamatan agar data fakir miskin/penduduk
miskin, rentan dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan
mendapatkan layanan program-program penanganan kemiskinan dan mengembangkan
jaringan hingga unit pelayanan di tingkat kecamatan dan desa.

Untuk mendorong pelaksanaan penanganan kemiskinan di desa dan


kelurahan, yang perlu dilakukan antara lain:
Penguatan peran kelembagaan sosial
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk mengembangkan
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga desa/
kelurahan.
Pusat rujukan dan pelayanan ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan,
penjangkauan, serta pelaporan dan penanganan keluhan. Pembentukan lembaga ini
diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan akuntabilitas untuk
meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan. Sistem pelayanan
perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama pemerintah dengan
berbagai unsur masyarakat.

Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS) sebagai sarana sosial di desa/


Kelurahan
UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,menyebutkan bahwa sarana
dan prasarana meliputi: Panti Sosial, Pusat Rehabilitasi Sosial, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan, Pusat Kesejahteraan Sosial, Rumah Singgah, Rumah Perlindungan Sosial.
Pusat kesejahteraan sosial sebagai tempat yang berfungsi untuk melakukan
kegiatan pelayanan sosial bersama secara sinergis dan terpadu antara kelompok
masyarakat dalam komunitas yang ada di desa atau kelurahan dalam Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial.

[427]
Layanan dan Rujukan Terpadu Terintegrasi Dengan Pelayanan Dasar Sesuai
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam empat tahap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat rencana dan strategi
pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

Layanan Sosial Satu Pintu Sebagai Wujud Tata Kelola Pelayanan Dasar Melalui
Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM, Layanan Rujukan Terpadu dan
Pusat Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral

[428]
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

Implementasi Pelaksanaan sistem pengelolaan data terpadu dengan Sistem


Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation.
Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi
dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin serta Pasal 11A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan
Iuran Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Pedoman
Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak
Mampu.
Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation adalah suatu sistem informasi
yang terdiri dari beberapa komponen berupa pengumpulan dan pengolahan data
kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang
dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
dan Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran, dan
tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan dan
penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilaksanakan dengan
tahapan: penyusunan daftar awal sasaran, bimbingan teknis, Musyawarah Desa/
Kelurahan/Nama Lain, kunjungan ke Rumah Tangga, pengolahan data, pengawasan dan
pemeriksaan dan pelaporan.
Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pengolahan dan penyajian data merupakan kegiatan pemeriksaan data dan
dokumen, pembersihan data, pemeringkatan data, pembuatan daftar dan tabulasi data,
serta penyajian data.
Pengolahan dan penyajian data dilaksanakan oleh Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial.
Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengamati/mengetahui perkembangan
dan kemajuan pelaksanaan tahapan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan

[429]
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu di daerah dan mengidentifikasi permasalahan
serta upaya pemecahannya.
Monitoring dan evaluasi terdiri atas monitoring bimbingan teknis petugas
pelaksanaan, monitoring Musyawarah Desa/Kelurahan/Nama Lain; dan monitoring
pelaksanaan kunjungan ke Rumah Tangga.

Referensi
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2018;
 Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Pemerintah Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
 Peraturan Presiden No. 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD 2019.
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Jakarta, Mei 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[430]
TELAAH
PENGUMPULAN DATA & INFORMASI
BACKGROUND STUDY RENSTRA KEMENTERIAN SOSIAL 2020-2024
DI PROVINSI JAMBI
Tanggal 16-19 Oktober 2018
Abstrak
Upaya mewujudkan tujuan negara dilaksanakan melalui proses yang bertahap,
terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menetapkan bahwa visi
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil
dan makmur, salah satu visinya yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan
sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat,
kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat miskin dan
rentan termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Background Study Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-2024 bertujuan
untuk mengetahui apakah kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang selama
ini dilaksanakan telah sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development goals) yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan ditetapkannya
Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
Pengumpulan data dan informasi di Provinsi Jambi dengan alat instrumen, fokus
diskusi terbatas (Focuss group discussion)/FGD) dan indeph interview. Instrumen terkait
dengan sasaran strategis/kebijakan/program/kegiatan Kementerian Sosial meliputi
peningkatan keberfungsian sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS),
Rehabilitasi sosial Penyandang Disabilitas, Anak, Lanjut Usia, Korban penyalahgunaan
NAPZA dan Tuna Sosial.
Meningkatnya kemandirian keluarga miskin dan kelompok rentan dalam
mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya melalui perlindungan sosial yang
komprehensif yaitu Program Keluarga Harapan, Perlindungan Sosial Korban Bencana
Alam dan Sosial, Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, meningkatnya
kemampuan keluarga miskin dan kelompok rentan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kelompok Usaha Bersama dan Usaha Ekonomi
Produktif (KUBe/UEP).
Bantuan Pengembangan Sarana Usaha (BPSU), RSRTLH dan Sarling,
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang partisipatif, peran aktif Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) perorangan, peran aktif Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial kelembagaan, peran aktif berbagai pihak dalam pelestarian nilai-nilai
kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan sosial dan restorasi sosial, meningkatnya
kualitas SDM dan lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial, sertifikasi SDM
penyelenggara Kesejahteraan Ssoial, akreditasi lembaga penyelenggara kesejahteraan
sosial.
Secara garis besar pertanyaan instrumen mengarah kepada manfaat/dampak
kebijakan/program/kegiatan terhadap penurunan angka kemsikinan dan peningkatan
kesejahteraan PMKS, serta penggalian aspirasi masyarakat.

[431]
Pendahuluan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke dalam
empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap memuat
rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah
dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai dengan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah
yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL yang memuat visi,
misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas
dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif.
Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu pada Renja
K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.

RENSTRA KEMENSOS 2015-2019


Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.

[432]
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang profesional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 terkait dengan
penanggulangan kemiskinan, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat sasaran;
pemenuhan kebutuhan dasar; perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi. Kegiatan
prioritas pada Kementerian Sosial Tahun 2018, berupa jaminan dan bantuan sosial tepat
sasaran meliputi kegiatan penyaluran bantuan tunai bersyarat bagi keluarga miskin
secara non tunai dengan target 10.000.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan
pangan melalui voucher/layanan keuangan digital dengan target 15.600.000 KPM.
Kesejahteraan Sosial Anak Integratif dengan target 101.362 Anak. Verifikasi dan Validasi
Data dengan target 96.700.000 Jiwa.
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga
(P2K2) dengan target 3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun
2018, meliputi kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD)
dengan target 28.383 Orang. Literasi khusus bagi PD Netra dengan target 35 jenis.
Pemberian alat bantu bagi PD dengan target 3.000 unit. Pemberian rehabilitasi/pelayanan
sosial bagi lanjut usia dengan target 25.430 Orang. Pemberian layanan home care bagi
lanjut usia dengan target 14.910 Orang. Bantuan darurat korban bencana alam dengan
target 92.000 Jiwa. Penyediaan taruna siaga bencana dengan target 34.628 Orang.
Program prioritas pemenuhan kebutuhan dasar tahun 2018, meliputi kegiatan
korban bencana sosial yang mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
137.000 Jiwa. Pembangunan rumah bagi warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan
target 2.099 Keluarga. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan target
10.775 Keluarga. Pengembangan Sistem dan Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan
target 130 Kab/Kota. Sistem Pelayanan Sosial Terpadu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial
(Puskesos) dengan target 260 desa. Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/Pekerja Sosial
yang telah mendapatkan sertifikasi dengan target 3.000 Orang. Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS) yang mendapatkan akreditasi dengan target 2.000 LKS.
Program prioritas perluasan akses usaha mikro, kecil dan koperasi tahun 2018
dengan kegiatan Penyediaan Bantuan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (KUBe)
dengan target 119.020 Orang. Program prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit
tahun 2018 dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Orang dengan HIV/AIDS dan target 821
Orang. Program prioritas kepastian hukum dengan kegiatan Rehabilitasi Sosial Korban
Tindak Kekerasan dan target 750 orang.
Alokasi APBN 2018 Nasional adalah 2.220,7 T dengan rincian belanja Pemerintah
Pusat : 1.454,5 T meliputi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebanyak 847,4 T, belanja
Non K/L sebanyak 607,1 T. Dana transfer ke daerah dan dana desa sebanyak 766,2 T.
Postur anggaran Kementerian Sosial Tahun 2018, meliputi :
 Sekretariat Jenderal dengan jumlah anggaran 332.315.654.000 (0,80%)
 Inspektorat Jenderal dengan jumlah anggaran 44.088.417.000 (0,11%).
 Ditjen Pemberdayaan Sosial dengan jumlah anggaran 433.823.251.000 (1,05%).
 Ditjen Rehabilitasi Sosial dengan jumlah anggaran 1.006.519.857.000 (2,44%).
 Ditjen Perlindungan dan Jamnan Sosial dengan jumlah anggaran 17.671.377.420.000
(42,79).
 Ditjen Penanganan Fakir Miskin dengan jumlah anggaran 21.455.112.967.000 (51,95%).
 Badiklitpensos dengan jumlah anggaran 352.504.520.000 (0,85%).
Jumlah total anggaran Kementerian Sosial adalah 41.295.742.086.000.

[433]
Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program
Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman, peningkatan nilai
tambah ekonomi melalui pertanian, industri, dan jasa produktif, pemantapan ketahanan
energi, pangan dan sumber daya air dan stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan
Pemilu.
Prioritas nasional pada RKP 2019, Pembangunan Manusia melalui Pengurangan
Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, meliputi program percepatan
pengurangan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat,
peningkatan akses masyarakat terhadap perumahan dan permukiman layak dan
peningkatan tata kelola layanan dasar.
Kegiatan prioritas percepatan pengurangan kemiskinan yang meliputi penguatan
pelaksanaan bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran dan penguatan literasi untuk
Kesejahteraan.
Kegiatan prioritas peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat dengan
penguatan germas pengendalian penyakit. Kegiatan prioritas Program prioritas
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Perumahan dan Permukiman Layak dengan
penyediaan akses hunian layak dan terjangkau.
Kegiatan prioritas program prioritas peningkatan tata kelola layanan dasar dengan
yang meliputi penguatan layanan dan rujukan terpadu, penguatan integrasi sistem
administrasi kependudukan dan catatan sipil dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kegiatan prioritas program prioritas penanggulangan bencana melalui penguatan
kapasitas penanggulangan bencana dan penanganan darurat dan pemulihan pasca
bancana. Kegiatan prioritas percepatan peningkatan keahlian tenaga kerja melalui
peningkatan keterampilan wirausaha. Kegiatan prioritas kamtibmas dan keamanan siber
dengan penanganan konflik sosial, penanganan penyalahgunaan Narkoba dan
penanggulangan terorisme.
Kebijakan penganggaran dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya, melalui perencanaan, evaluasi dan analisa program prioritas nasional dalam
rangka penyesuaian antara Renstra, Krisna dan RKA-KL, Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Sosial, kajian pengalokasian anggaran melalui Dana Alokasi Khusus
(DAK), penguatan layanan informasi kepada publik, penguatan SDM pengelola
keuangan, pendampingan pengelolaan dan pelaporan keuangan, penyesuaian SOTK,
penatausahaan aset Kementerian Sosial seluruh Indonesia, dukungan regulasi dalam
pelaksanaan program prioritas nasional di Kementerian Sosial.
Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Sosial dengan
memperkuat pengawasan pelaksanaan program-program prioritas nasional Kemensos,
penguatan kapasitas SDM Auditor, optimalisasi Sistem Manajemen Operasional (SIMOP)
Program Pengawasan.

[434]
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan
Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan
pada setiap tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan
fungsi Makam Pahlawan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan,
peningkatan kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi
tentang PUB dan UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah
Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

PENYUSUNAN BACKGROUND STUDY RENSTRA KEMENSOS 2020-2024


Penyusunan dokumen Background Study yang merupakan studi pendahuluan
dalam persiapan penyusunan rancangan teknokratik Rencana Strategis Kementerian
Sosial 2020-2024, Biro Perencanaan Kementerian Sosial melakukan pengumpulan data
dan informasi di 25 provinsi dan terkait permasalahan, peluang, tantangan dan potensi
daerah dalam pelaksanaan Rencana Strategis Kementerian Sosial pada tahun 2015-2019
yang sedang berjalan.
Pengumpulan data dan informasi dilaksanakan pada bulan September-November
2018 melalui wawancara dengan pelaksana dan penerima manfaat program serta
informasi yang digali dari pertemuan Focuss Group Discussion (FGD) di Dinas Sosial
Provinsi atau Dinas Sosial Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Surat Kepala Biro Perencanaan No. 1805/1.1/PR.01.04/09/2018
tanggal 21 September 2018, Hal: Pelaksanaan Field Review dan FGD, pengumpulan dan
dan informasi penyusunan background study Rencana Strategis Kementerian Sosial 2020-
2024, diantaranya di provinsi Jambi pada tanggal 16-19 Oktober 2018 dengan
menugaskan Syauqi dan Lucy Sandra Butar-Butar, JFT Analis Kebijakan Madya Biro
Perencanaan, Kementerian Sosial dan dibantu oleh Irianto dari GIZ.
GIZ bekerja di Indonesia sejak tahun 1975 dan sejak saat itu mempunyai kantor di
Jakarta. Pemberi tugas lainnya antara lain adalah Kementerian Federal Lingkungan
Hidup Jerman, Kementerian Luar Negeri Jerman dan Uni Eropa. Indonesia adalah negara
mitra prioritas dari kerjasama internasional Jerman. Kerjasama teknis dengan Indonesia
dimulai pada tahun 1958. Berdasarkan penugasan oleh Kementerian Federal Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (BMZ),

[435]
Indonesia adalah satu negara transisi. Walaupun sejak tahun 2007 Indonesia
termasuk negara berpenghasilan menengah (middle income country), namun ada
ketimpangan antar wilayah yang sangat besar: Gambaran kota-kota besar dengan pusat
perbelanjaan yang modern sangatlah berkontras dengan daerah-daerah pedesaan yang
masih tertinggal. Indonesia merupakan anggota dari Kelompok 20 Ekonomi Utama (G20)
dari negara-negara maju dan berkembang yang memainkan peran yang terus bertambah
besar. Jakarta sebagai ibukota Indonesia merupakan tempat kedudukan dari Sekretariat
dari Persatuan Negara-Negara Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations,
ASEAN). Berdasarkan bobot regionalnya negara ini merupakan mitra pembangunan
global dari BMZ.
Pada negosiasi antar pemerintah bulan November 2013 dengan pemerintah
Indonesia disetujui untuk mengkonsentrasikan kerjasama pembangunan pada tiga titik
berat:
1. Energi dan perubahan iklim
2. Pertumbuhan inklusif yang dapat menjangkau masyarakat luas
3. Pemerintahan yang baik dan jejaring global
Mitra Indonesia yang resmi adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS). Kantor GIZ di
Jakarta selain itu juga bertugas untuk proyek-proyek regional yang diwujudkan bersama
dengan ASEAN Secretariat.
GIZ membantu Kementerian Sosial diantaranya penyusunan background study
Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2020-2024.
Pertanyaan instrumen terkait dengan kerangka kebijakan dan regulasi pusat dan
daerah, koordinasi dalam penyusunan regulasi bidang kesejahteraan sosial di daerah,
pemahaman Daerah terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial,
kebutuhan regulasi di daerah dalam mendukung penyelenggaraan kesejahteraan sosial,
proses pembuatan kebijakan, kesesuaian Renstra Pusat dan Daerah, visi, misi, tujuan dan
arah kebijakan, mendorong pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) ke dalam kehidupan yang layak (mandiri), meningkatkan kualitas pemberdayaan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), tersedianya data PMKS secara terpadi
(By Name By Adress).
Meningkatnya jangkauan dan mutu pemberdayaan PMKS dengan memperkuat
sinergi provinsi dan kab/kota sesuai dengan PP No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan
Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, dengan fungsi Gubernur
meliputi:
 Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat mempunyai tugas mengoordinasikan pembinaan dan
pengawasan, tugas pembantuan di daerah kab/kota, melakukan monitoring, luasi,
dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kab/kota yang ada
di wilayahnya, membina dan memfasilitasi daerah kab/kota di wilayah
provinsinya.
 Melakukan peraturan evaluasi terhadap rancangan daerah kab/kota tentang
rencana jangka panjang daerah, rencana pembangunan jangka menengah daerah,
anggaran dan belanja daerah, perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah,
anggaran pendapatan belanja daerah, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi
daerah;
 Melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota; dan tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. alam melaksanakan
tugas gubernur sebagai wakil mempunyai wewenang: membatalkan peraturan

[436]
bupati/wali kota; memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota
terkait dengan penyelenggaraan daerah, dalam fungsi pemerintahan antar daerah
kab/kota daerah provinsi;
Kesesuaian Renstra Dinas Sosial Provinsi dan Kab/Kota dengan dokumen RPJMD
masing-masing, implementasi program di daerah terkait dengan data terpadu, penentuan
kriteria penerima manfaat program PKH, Rastra, BPNT adalah data dari Basis Data
Terpadu (BDT). Jika masuk dalam data BDT maka berhak untuk mendapatkan semua
program tersebut. Sedangkan untuk program rehabilitasi sosial lebih kepada data hasil
penjangkauan yang dilakukan di kab/kota. Mekanisme verivali dalam rangka updating
data penerima manfaat yang dilakukan Dinas Sosial. Musyawarah Kelurahan dan
Musyawarah Desa sudah dilaksanakan sebagai langkah awal veri-vali data penerima
manfaat. Hak ini wajib dilakukan agar semua masyarakat yang berhak mendapatkan
bantuan bisa terdata. Mekanisme pendaftaran mandiri bagi calon penerima manfaat
melalui layanan terpadu. Mekanisme pendaftaran mandiri bagi calon penerima manfaat
melalui layanan kesejahteraan sosial terpadu satu pintu. Mekanisme pendaftaran
dilakukan oleh Dinas Sosial.

Analisis
Kebijakan dana transfer ke daerah berdasarkan prioritas nasional pada Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun bahwa pengalokasian DAK Fisik bertujuan untuk
membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas
nasional.
DAK Reguler dialokasikan kepada daerah provinsi/kabupaten/kota berdasarkan
usulan daerah kepada kementerian negara/lembaga yang menjadi prioritas nasional.
Besaran alokasi DAK Reguler dihitung berdasarkan usulan daerah dan data teknis,
dengan memperhatikan prioritas nasional, dan kemampuan keuangan negara.
DAK Penugasan dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus dalam rangka
pencapaian sasaran prioritas nasional dengan menu terbatas dan lokus yang ditentukan.
Besaran alokasi DAK Penugasan untuk masing-masing daerah dihitung berdasarkan
usulan daerah dan data teknis, dengan memperhatikan prioritas nasional dan
kemampuan keuangan negara.
DAK Afirmasi dialokasikan untuk daerah kabupaten/kota yang termasuk kategori
daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal, daerah kepulauan, dan/atau
daerah transmigrasi. Kabupaten/kota daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah
kepulauan, dan daerah transmigrasi ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Besaran alokasi DAK Afirmasi masing-masing daerah dihitung berdasarkan usulan
daerah dan data teknis dengan memperhatikan karakteristik daerah dan kemampuan
keuangan negara. Penetapan pagu DAK Reguler per bidang didasarkan pada kebutuhan
daerah dan pencapaian prioritas nasional.

PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL


Kondisi yang diharapkan berdasarkan dampak dan manfaat program kesejahteraan
social. Diharapkan setelah PMKS tersebut direhabilitasi maka fungsi sosial mereka dapat
kembali lagi melalui peran serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Program Perlindungan
Jaminan Sosial yang telah dilaksanakan diharapkan adanya peningkatan terhadap akses

[437]
layanan dasar kesehatan dan pendidikan yang mampu bersinergi dengan program-
program kesejahteraan sosial lainnya. Kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi
melalui Rastra/BPNT/PKH dan pengembangan usaha ekonomi produktif, sehingga
diharapkan terjadi graduasi dan jumlah penerima manfaat menurun. Keterlibatan PSKS
(TKSK,PSM, KT, LKS) diprogram kesos dapat meningkatkan partisipasi sosial dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Program Rehabilitasi Sosial Anak, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, Napza,
Tuna Sosial dan lainnya. Program Perlindungan dan Jaminan Sosial yang meliputi
bantuan sosial, penanganan bencana, dan program daerah. Program Penanganan Fakir
Miskin yang meliputi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Beras Sejahtera (Rastra),
Kelompok Usaha Bersama (KUBe)/Usaha Ekonomi Perorangan (UEP), Rehabilitasi Sosial
Tidak Layak Huni (RSTLH)/Sarana Lingkungan (Sarling), Bantuan Pengembangan
Sarana Usaha (BPSU) dan program lainnya.
Penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sudah tergraduasi. Penerima
bantuan KUBe dan UEP yang sudah mampu untuk berwirausaha dan bisa merevitalisasi
usaha tersebut. Manfaat program diantaranya program Penangan Fakir Miskin (PFM)
diantaranya kondisi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di daerah dalam
kurun waktu 2015-2018.
Faktor penyebab utama kemiskinan di Provinsi Jambi dilihat dari dimensi ekonomi,
kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya
keterampilan dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan.
Potensi daerah yang bisa didorong dalam pengentasan kemiskinan di Provinsi
Jambi dengan sumber daya alam yang dapat dikembangkan dan dimaksimalkan
pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat banyak
Program Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT), penguatan
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), perorangan, kelembagaan, penataan dan
pembinaan SDM dan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) serta program di daerah yang
terkait.
Kontribusi program kesejahteraan sosial terhadap penurunan kemiskinan di daerah
cukup terasa melalui program PKH dan Bantuan Pangan Non Tunai yang memberikan
kontribusi signifikan. Ketahanan ekonomi warga miskin menjadi kuat, dan warga miskin
mampu memenuhi dan mengelola kebutuhannya. Selain itu juga program padat karya,
jaminan kesehatan semesta sekaligus mendorong pembangunan SDM sehingga mampu
menurunkan tingkat pengangguran dan peningkatan pendapatan.
Monitoring hanya pada proses pemberian bantuan, apakah sudah sampai pada
penerima manfaat dan sesuai dengan kualitas dan jumlah yang telah ditentukan. Hasil
monitoring ditindaklanjuti langsung di lapangan melalui pendamping dan Dinas Sosial
Kab/Kota.
Mekanisme penanganan pengaduan layanan kesos melalui SLRT dan SP4N.
Pengaduan dari Puskesos yang berada di desa/kelurahan, dilanjutkan ke kecamatan
melalui tim koordinasi kecamatan. Dari tim koordinasi kecamatan kemudian ke
supervisor kabupaten untuk memeriksa pengaduan tersebut. Apabila Pengaduan tidak
bisa diselesaikan tingkat kabupaten maka dibawa ke tim teknis provinsi. Apabila tidak
bisa diselesaikan di tim teknis provinsi maka diselesaikan oleh tim pusat Kementerian.

[438]
PEMAHAMAN REGULASI
Beberapa regulasi yang menjadi dasar perencanaan pembangunan daerah, diantaranya:
 Permendagri Nomor 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah Tahun 2019.
 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata cara Perencanaan, Pengendalian dan
Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
 PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
 PP Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
 PP Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah.
 PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata cara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Perkembangan PSKS Lembaga (LKS) dan PSKS Perorangan (SDM Kesejahteraan


Sosial)
Pemahaman mengenai Permensos Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional
Lembaga Kesejahteraan Sosial, dalam Permensos tersebut dijelaskan standar LKS
mencangkup Standar kelembagaan, Standar Organisasi dan Manajemen, Standar
Program, Standar Sumber Daya, Standar Kemitraan dan Standar Pelayanan.
Permensos 09/2018 tentang standar teknis pelayanan dasar pada standar pelayanan
minimal bidang sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah Daerah
mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional. Setiap Panti Sosial
harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja Sosial Profesional. Setiap Pusat
Kesejahteraan Sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Relawan Sosial
Relawan Sosial terdiri dari Pekerja Sosial Masyarakat; Karang Taruna; Tenaga
pelopor perdamaian; Taruna Siaga Bencana (TAGANA); Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK); Wanita pemimpin kesejahteraan sosial; Kader rehabilitasi berbasis
masyarakat; Kader rehabilitasi berbasis keluarga; dan/atau Penyuluh sosial masyarakat
Tantangan kedepan dan rekomendasi di daerah terkait dengan kebutuhan SDM dan
LKS Kesejahteraan Sosial dalam mendukung penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Peningkatan dan pengembangan kapasitas SDM dan LKS yang memenuhi
kriteria/standar pelayanan sosial. Monitoring dan evaluasi pelayanan sosial yang
dilakukan LKS di daerah. Peningkatan dan pengembangan kapasitas SDM dan LKS yang
memenuhi kriteria/standar pelayanan sosial. Monitoring dan evaluasi pelayanan sosial
yang dilakukan LKS di daerah.

PERUBAHAN KEBIJAKAN
Transformasi bantuan sosial (Bansos) dari beras miskin (Raskin) menjadi beras
sejahtera (Rastra) dan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dengan sasaran
Keluarga Penerima Manfaat (KPM) atau yang sebelumnya disebut Keluarga Sangat
Miskin (KSM).
Perubahan Organisasi Tata Kerja (OTK) Kementerian Sosial pada Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) yang ditetapkan dengan Permensos

[439]
13/2017 untuk memperkuat verifikasi dan validasi (Verval) data kemiskinan dalam Basis
Data Terpadu (BDT) berdasarkan amanah UU No. 13 Tahun 2011 tentang
Penanggulangan Kemiskinan.
Bantuan sosial yang termasuk bentuk perlindungan sosial pada Pasal 19 UU No.11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan amanah peraturan Presiden No. 2 tahun
2015 tentang RPJMN 2015/2019 untuk penanggulangan kemiskinan diantaranya adalah
akses penduduk miskin kepada perbankan pada keuangan inklusif yaitu bantuan sosial
non tunai dengan menggunakan kartu elektronik untuk membeli kebutuhan pokok
seperti beras, gula, tepung melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBe) elektronik warung
gotong royong (E-Warong).

KESESUAIAN IKU DENGAN IKK PENANGANAN FAKIR MISKIN


Penyusunan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Penanganan Fakir Miskin dibutuhkan
karena amanah dari UUD 1945 Amandemen, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-
2025 dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa ada peran
Pemerintah Daerah dalam penanganan fakir miskin dengan adanya desentralisasi.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan turunannya berupa
Peraturan Pemerintan (PP) mengenai Urusan Konkuren dan Evaluasi Kinerja Pemerintah
Daerah, menyebutkan bahwa adanya pembagian peran dan kewenangan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah,
Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;

Bantuan Sosial (Bansos) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT dalam Cost Benefit
Analysis (CBA) dan Regulatory Impact Assesment (RIA)

Cost Benefit Analisis (CBA)


Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan
dicapai ?
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap, efektifitas tetap
diinginkann memecahkan masaah
Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan Kriteria miskin
dengan merata kepada kelompok2
yang berbeda
Responsifitas Apakah kebijakan memuaskan Konsistensi dengan verifikasi
kebutuhan, preferensi, atau nilai dan validasi data terpadu
kelompok-kelompok tertentu Penanganan Fakir Miskin (DT-
PFM).
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan Program public harus merata

[440]
benar-benar berguna atau bernilai dan efisien
Inventarisir permasalahan dan rekomendasi dalam program Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT) :
1. Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan kemiskinan, dan untuk
memastikan seluruh penduduk memperoleh akses terhadap sumber penghidupan
yang produktif diantaranya dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan pemerataan
pembangunan dan penurunan kemiskinan dengan mempertajam program-program
khusus untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), melalui
ketepatan sasaran penerima, fokus, dan lokus kegiatan dukungan data terkini melalui
pemutakhiran dan validasi secara berkala.
2. Penguatan peran kelembagaan sosial dengan mengintegrasikan program-program
penanggulangan kemiskinan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke dalam
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga
desa/kelurahan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksana asistensi sosial,
melalui penguatan fungsi pendampingan dan penjangkauan oleh SDM kesejahteraan
sosial serta pengembangan kapasitas pengelolaan data. Pusat rujukan dan pelayanan
ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan, penjangkauan, serta pelaporan dan
penanganan keluhan.
3. Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan
akuntabilitas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan.
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian
pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan
dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan
sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan
pemutakhiran data secara berkala.

ASSESMENT
 Pemberian layanan kepada KPM dengan memperhatikan kearifan lokal dan
berdasarkan Assesment (Pengungkapan dan Pemahaman masalah).
 Pengungkapan dan pemahaman masalah merupakan kegiatan mengumpulkan,
menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi, dan sumber yang
dapat dimanfaatkan dalam pemberian pelayanan..
 Kegiatan pengungkapan dan pemahaman masalah terdiri atas: persiapan;
pengumpulan data dan informasi; analisis; dan temu bahas permasalahan.
 Kegiatan persiapan merupakan upaya membangun hubungan antara pemberi
pelayanan dan penerima pelayanan.
 Kegiatan pengumpulan data dan informasi merupakan upaya untuk mendapatkan
data dan informasi penerima pelayanan.
 Kegiatan analisis merupakan kegiatan interpretasi data dan informasi guna
menemukan masalah dan kebutuhan penerima pelayanan.
 Kegiatan temu bahas kasus merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi masalah dan
mengetahui kebutuhan penerima pelayanan.

[441]
Indikator Partisipasi Masyarakat
Oakley (1991: 9) memberi pemahaman tentang konsep partisipasi, dengan
mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok, yaitu Partisipasi sebagai kontribusi;
Partisipasi sebagai organisasi; dan Partisipasi sebagai pemberdayaan. Dimensi Kontribusi
Masyarakat, Dimensi Pengorganisasian Masyarakat, dan Dimensi Pemberdayaan
Masyarakat.

Cost Benefit Analysis (CBA):


Tipe Pertanyaan Ilustrasi
Kriteria
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai ? Unit pelayanan
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap, efektifitas tetap
diinginkan memecahkan masalah
Pemerataan Apakah biaya manfaat didistribusikan Kriteria peningkatan kualitas
dengan merata kepada masyarakat lokal hidup; kriteria kemiskinan;
ikut berperan sesuai dengan kemampuan, kriteria lain untuk pengukuran.
misalkan membantu mencetak batako,
membangun akses jalan, dst.
Responsifitas Apakah kebijakan pembangunan yang Konsistensi dengan survei
dilakukan memberikan peningkatan warga masyarakat lokal untuk
kualitas hidup masyarakat lokal, misalkan Need Assesment; tehnik
adanya bantuan untuk akses permodalan penelitian Partisipatory Rural
usaha rumah makan, akses kebutuhan dasar Appraisal (PRA).
masyarakat di sekitar proyek
pembangunan.
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan Program publik harus merata
benar-benar berguna atau bernilai dan efisien. Peran dan
tanggung jawab dari
masyarakat lokal sekitar proyek
pembangunan

Pertimbangan Rekomendasi
1. Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan,
mengarahkan pengarusutamaan pengurangan kemiskinan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Institusi koordinasi penanggulangan kemiskinan tersebut dipimpin
langsung oleh kepala pemerintahan (presiden, gubernur, bupati/walikota) dengan
anggota unsur pemerintahan dan perwakilan lembaga non-pemerintah;
2. Meningkatkan sosialisasi program tidak terlepas dari belum adanya petunjuk yang
mengatur kegiatan tersebut. Kegiatan sosialisasi dijalankan secara tidak terstruktur,
tanpa ada rancangan yang jelas apa saja aspek yang perlu disampaikan, kapan
sosialisasi perlu dilakukan, pada tingkatan mana saja sosialisasi perlu dilakukan,
bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, dan target
kegiatan sosialisasi. Sosialiasi program dilakukan sebagai bagian dari peluncuran
program semata dan belum ditujukan sebagai sarana edukasi intensif bagi pemangku
kepentingan program. Kegiatan sosialisasi program tersebut diharapkan mampu

[442]
memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini
kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat.
3. Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan.
4. Perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping PKH
atau hasil perekrutan baru.
5. Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program.
Masukan Kepala Dinas sosial Provinsi pada pelaksanaan BPNT, diantaranya:
 Kewenangan provinsi mesti jelas karena sesuai peraturan perundangan, fungsi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, perluasan jangkauan dari kota ke
kabupaten diperlukan peran provinsi.
 Masalah mesin EDC, agar diganti yang lebih kuat
 Ada pendamping e-warong, perlu dilatih tentang bisnis dan perlu analisa kebutuhan
masyarakat
 Perlu ada sarana komputer dan ada kemauan/kesadaran dari KPM untuk belajar
bisnis, misalkan ada 1300 jenis barang dan ada pangsa pasar perlu adanya sistim
barkot.
 E-Warong di Kota, diberi 10 juta untuk e-warong dan isinya 20 juta. Di Pesisir, 35 juta
dan perlu ada pelatihan dan punya jiwa visioner/kemajuan. Pendamping dikuatkan.

Regulatory Impact Analysis (RIA)


 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan
Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas.
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang
lebih luas terhadap layanan keuangan.
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin, banyak wilayah desa yang masuk topologi pesisir menjadi
wilayah pesisir.
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan Jumlah Keluarga
Penerima Manfaat (KPM),
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin;

[443]
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT BANTUAN SOSIAL
UU 11/2009 Pasal 14 Bantuan sosial (Bansos) sebagai bagian dari perlindungan sosial.
UU 13 / 2011 Penanganan Fakir Miskin pada ketentuan umum, definisi Fakir
Definisi Umum Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber
mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
PP 63/2013 Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin melalui
Pendekatan Wilayah;
Perpres 2/2015 Tingginya tingkat ketimpangan dan pola penurunan tingkat
tentang RPJMN 2015- kemiskinan selama ini. Program Bantuan Pangan Non Tunai
2019, pada Arah (BPNT), Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan
Kebijakan berusaha bagi penduduk kurang mampu, akses usaha mikro dan
Penanggulangan kecil terhadap kesempatan pengembangan keterampilan,
Kemiskinan, pendampingan, modal usaha, dan memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemampuan mencukupi
kebutuhan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui akses
yang lebih luas terhadap layanan keuangan melalui mekanisme
akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan
pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama
dengan bank penyalur.
PP 76/2015 pada Perubahan atas PP 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
Pasal 11A ayat (3) Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial
tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu
Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
Pertimbangan lainnya bahwa, terjadi perluasan ruang lingkup definisi Bansos yang
diantaranya hasil mencakup rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial
Kajian Komisi dan penanganan kemiskinan dalam Bultek 10 Tahun 2010 yang
Pemberantasan berbeda dengan definisi bansos dalam pasal 14 pada UU No. 11
Korupsi (KPK) Tahun Tahun 2009 yang menggolongkan bantuan sosial (Bansos)
2014 tentang sebagai bagian dari perlindungan sosial
Pengelolaan Dana
Bantuan Sosial Tahun
2013 .
Surat Pimpinan Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial memiliki kelemahan
Komisi dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan,
Pemberantasan termasuk pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) untuk
Korupsi (KPK) “Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan keluarga).
nomor B-748/01- Rekomendasi KPK agar Bansos hanya dikelola oleh
10/03/2014 tanggal Kementerian Sosial. Pengeluaran berupa transfer uang, barang
20 maret 2014 atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat
miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan
ekonomi dan/atau kesejahteraaan masyarakat. Risiko sosial
adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi
terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis
sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana
alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan

[444]
semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Deskripsi Masalah
 Dampak dari lampiran bidang sosial pada UU 23/2014 bahwa selain Sub-Urusan
Rehabilitasi Sosial dengan pelayanan utama rehabilitasi sosial korban Narkotika dan
Penggunaan Zat Adiktif lainnya (Napza) dan orang dengan HIV-AIDS, menjadi
urusan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Alih fungsi panti sebagai dampak UU 23/2014 tentang pemda pada lampiran bidang
sosial bahwa selain sub urusan HIV/AIDS dan korban NAPZA menjadi urusan
bersama dengan kata lain ada urusan provinsi untuk rehabilitasi sosial dalam panti
dan Kab/Kota rehabilitasi sosial diluar panti. Ada 5 (lima) panti yang dialihfungsikan
menjadi panti korban NAPZA dan panti HIV/AIDS. Alih Fungsi Panti melaksanakan
rehabilitasi sosial kepada orang dengan HIV, meliputi: Panti Kahuripan di Sukabumi
(Permensos 15/2016), Panti Margo Laras di Pati (Permensos 16/2016), Panti Bahagia di
Medan (Permensos 17/2016), Panti Satria di Baturaden (permensos 18/2016), Panti
Wasana Bahagia di Ternate (Permensos 19/2016). Berdasarkan Surat A.n Sekretaris
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 115/RS-Set.RS/KS.02/02/2017 tanggal
22 Februari 2017, hal: rapat koordinasi bidang organisasi dan ketatalaksanaan internal
terkait penyusunan draf uraian tugas 4 (empat) UPT Alih Fungsi dan 1 (satu) UPT
baru dibentuk.
 Bansos untuk perluasan jangkauan perlindungan sosial yang komprehensif dan
pelayanan dasar kepada penduduk miskin 40%kebawah dan 10% sangat miskin dari
penduduk Indonesia melalui pengintegrasian Program keluarga Harapan (PKH)
dengan Bansos pada penyandang disabilitas yaitu Asistensi Sosial Penyandang
Disabilitas Berat (ASPDB) dan lanjut usia telantar yaitu Asistensi Lanjut Usia Telantar
(ASLUT).
 Bansos non tunai dengan target tahun 2018 pada 10 juta Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) pada program BPNT dan PKH melalui KUBe PKH dan non PKH.
 Dampak dari UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda, anggaran pusat (Kemensos) ke
daerah provinsi melalui dekonsentrasi yang sebelumnya ditetapkan berdasarkan PP
No.7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (TP) akan direfisi PP-
nya berdasarkan Urusan Konkuren (Bersama) antara Pusat,Provinsi,Kab/Kota dan
berdasarkan urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM).
 Kebijakan otonomi daerah dengan perubahan regulasi dan ditetapkannya UU 23/204
dengan regulasi PP turunannya berdampak pada penyesuaian Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) dan Beban Kerja Urusan Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan
Kab/Kota yang ditindaklanjuti oleh Kementrian Teknis (Kementrian Sosial) dengan
menetapkan Permensos No.13 tahun 2016 tentang beban kerja di Dinas Sosial Provinsi
dan Kab/Kota dan Permensos No.14 Tahun 2016 tentang pedoman nomenkratur
Dinas Sosial Provinsi Kab/Kota.
 Dampak lain dari UU 23/2014 turunannya yaitu Rancangan PP tentang urusan
konkuren dan ditetapkannya PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang menyebabkan anggaran tidak boleh lagi dianggarkan oleh pusat juga
dianggarkan oleh provinsi Kab/Kota tetapi anggaran terhadap suatu urusan hanya
dilakukan oleh APBN yang urusannya menjadi kewenangan pusat dan APBD Provinsi
yang menjadi kewenangan Provinsi serta APBD Kab/Kota yang menjadi kewenangan
Kab/Kota, sehingga alternatif Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang sosial pada setiap
Sub-Urusan yang akan dilimpahkan ke daerah Provinsi dan Kab/Kota misalkan Sub-
Urusan Rehabilitasi Sosial di dalam panti yang menjadi urusan provinsi dan diluar
panti yang menjadi kewenangan Kab/Kota untuk Rehabilitasi Sosial Anak Telantar,
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, gelandangan dan pengemis.

[445]
Rekomendasi
Umum (bersifat Administrasi), meliputi :
1. Penyelarasan Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah di Kementerian Sosial.
Perlu penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi
yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
2. Menyusun Perjanjian Kinerja
3. Mempertimbangkan perubahan nomenklatur pada Organisasi Tata kerja
Kementerian Sosial RI berdasarkan Permensos 20/2015 dan Perubahan Nomenklatur
di Pusdatin Kesos dengan direvisi menjadi Permensos 14/2017.
Pada RKP dan RENJA K/L tahun 2018, proses perencanaan dan penganggaran telah
terintegrasi dalam Sistem Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(KRISNA). Selain itu, telah dibangun sistem Kerangka Regulasi Nasional (KARINA)
yang telah terintegrasi dan merupakan bagian dari sistem KRISNA. Berdasarkan
rangkaian pertemuan multilateral, bilateral dan trilateral yang telah dilaksanakan,
telah teridentifikasi kebutuhan regulasi untuk mendukung prioritas nasional dalam
RKP 2018.

Pelayanan Publik (bersifat substansi), meliputi:


 Untuk penerapan SPM dan urusan Konkuren di Provinsi, perlu dipertimbangkan dan
dirumuskan bagi Provinsi yang tidak mempunyai panti untuk bekerjasama dengan
daerah lain yang juga tidak mempunyai panti dengan dasar PP tentang kerjasama
daerah .
 Dampak lain dari UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda, pada turunannya yaitu PP
No.12 tahun 2017 tentang pembinaan dan pengawasan (Binwas) terhadap Pemda,
mengamanatkan Menteri Teknis (diantaranya Menteri Sosial) sebagai Pembina teknis
daerah melakukan Binwas kepada urusan sosial di daerah provinsi dan Kab/Kota
dengan melakukan audit kinerja terhadap penerapan SPM dan konkuren.
 Dampak lain dari UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda, pada turunannya yaitu RPP
tentang pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda mengamanatkan menteri teknis sebagai
Pembina teknis daerah melakukan audit kinerja pada urusan bidang sosial dengan
melihat kesesuaian indikator kinerja daerah (IKD)/Indokator kinerja kunci (IKK) dalam
dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) yaitu RPJMD (lima tahunan), RKPD
(satu tahunan) dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (RPPD) dengan target
yang dicapai.
 Penyusunan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial dilakukan untuk setiap
indikator SPM Bidang Sosial oleh Unit Teknis di Kementerian Sosial yang tugas pokok
dan fungsinya bagian program (Perencanaan) dengan meng-exercise setiap indikator
SPM bidang sosial didalam dan diluar panti yang akan menjadi DAK dan dibahas
dengan Bappenas, Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan dan Dewan
pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD).
 Kementerian Sosial menyusun Standar Teknis dari setiap Urusan Konkuren dan SPM
Bidang Sosial yang dilakukan oleh Unit Teknis Di Kementerian Sosial yang tugas
pokoknya dibidang hukum bersama Biro Hukum Kementerian Sosial dengan

[446]
menyusun Norma, Standar, prosedur, kriteria (NSPK) dari setiap indikator urusan
konkuren dan SPM bidang sosial
 Amanah dari peraturan Perundang-undangan diantaranya UU No. 8 tahun 2016
tentang penyandang disabilitas, UU tentang sistem peradilan pidana anak (SPPA)
untuk segera disusun turunannya berupa peraturan pemerintah.
 Amanah dari Perpres 75/2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RAN-HAM) untuk penerapannya sampai dengan tahun 2019.
 Pelaksanaan Sustainable Defelopment (SDG’s) yang ditindaklanjuti oleh pemerintah
dalam bentuk Perpres 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan, bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development
Goals, yang merupakan tujuan dan sasaran global tahun 2016 sampai tahun 2030
tujuannya diantaranya mengakhiri segala bentuk kemiskinan dimanapun, sasaran
globalnya masyarakat miskin dan rentan memiliki hak yang sama terhadap sumber
daya ekonomi, serta akses terhadap pelayanan dasar.
 Pelaksanaan dan implementasi dari Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2017 tentang
Bantuan Sosial Non Tunai.
 Sumber Daya Manusia (SDM) penyelenggara Kesejahteraan Sosial, yang perlu
dilakukan penelitian oleh Puslitbangkesos Kementerian Sosial mengenai kebutuhan
akan Pekerja Sosial ASN PNS di daerah provinsi dan Kab/Kota dalam melaksanakan
urusan bidang sosial, dilakukan juga penelitian akan sertifikasi pekerja sosial ASN
PNS di Pemda Provinsi dan Kab/Kota serta akreditasi lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS).
 Perlu segera dilakukan penelitian terhadap kompetensi ASN PNS bidang sosial di
daerah provinsi dan kab/Kota untuk jabatan Kepala Bidang rehabilitasi Sosial,
Pemberdayaan Sosial, Penanganan Fakir Miskin, Perlindungan dan jaminan sosial
serta kepala seksi rehabilitasi sosial anak telantar, lanjut usia, penyandang disabilitas,
gelandangan dan pengemis dan kasih bencana alam dan sosial, sebagai penanggung
jawab dari pelaksanaan penerapan urusan konkuren dan SPM Bidang Sosial.
 Hal lain sebagai pertimbangan dari analisis adalah beberapa perubahan penting RPP
tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan
Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada
pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
 Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas-
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP
kepada daerah harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan
oleh Mendagri (Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang
ditugaspembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk
pelaksanaannya).

[447]
 Usulan untuk Indikator Kinerja Kunci (IKK) Bidang Sosial pada Sub Bidang
Penanganan Fakir Miskin (PFM), dengan adanya pembagian kewenangan adanya
peran Pemerintah Daerah dalam peanganan fakir miskin melalui bantuan sosial
(Bansos).

INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK) PENANGANAN FAKIR MISKIN


Usulan Cara Perhitungan IKK PFM, yaitu:
N= Konstanta Persentase (%) dari Jumlah Pembilang dibagi Jumlah Penyebut.
Pembilang adalah: Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) yang diverifikasi dan validasi (Verval) dalam Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin (DT-PFM) yang telah mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos) dengan Sumber Dana
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Pusat atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).
Penyebut adalah: Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) yang telah diverifikasi dan validasi dalam Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
(DT-PFM) yang Seharusnya mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos) dengan Sumber Dana
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Pusat atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).

PUSAT
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang telah mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN Pusat
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN
Pusat/APBD Provinsi/APBD Kab/Kota.

PROVINSI
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang belum terfasilitasi APBN Pusat sehingga difasilitasi mendapatkan
Bansos dengan Sumber Dana APBD Provinsi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APB
Pusat atau APBD Provinsi.

KABUPATEN/KOTA
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang belum terfasilitasi APBN Pusat/APBD Provinsi sehingga difasilitasi
mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBD Kab/Kota
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN
Pusat/APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota.

[448]
Rekomendasi
1. Sesuai dengan amanat RPJMN 2015-2019 dan mempertimbangkan tingginya tingkat
ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama ini. Program Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT), Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan
berusaha bagi penduduk kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap
kesempatan pengembangan keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan
memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kemampuan mencukupi
kebutuhan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui akses yang lebih luas
terhadap layanan keuangan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan
hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerja
sama dengan bank penyalur.
2. Mempertimbangkan Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial
Non Tunai, bahwa bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi,
efektifitas, transparansi dan akuntabilitas.
3. Menyusun dan membahas Indikator Kinerja Kunsi (IKK) Bidang Sosial
Berdasarkan Urusan Konkuren dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
4. Pengintegrasian Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai dasar dari Penyusunan
Anggaran di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sebagai dasar sinergi
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dengan Perencanaan Pembangunan
Daerah (PPD).
5. Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka penyusunan
sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar Pelayanan Minimal
(SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di daerah sesuai
dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah.
7. Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci (outcome)
dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output. Indikator
outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari beberapa
kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan kab/kota,
memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa dibandingkan antar
provinsi dan kabupaten/kota;
8. Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;
9. Merumuskan dan menyusun satuan nilai perubahan indikator outcome dapat berupa
nilai absolut atau persentase perubahan outcome setiap tahun;
10. Mempertimbangkan Peraturan yang mengatur Bansos APBN

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional;
 Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

[449]
 Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2018 tentang Kerjasama Daerah;
 Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan;
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata cara Perencanaan,
Pengendalian dan Evaluasi Pembagunan Daerah, Tata cara Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar
Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019;

Jakarta, 22 Oktober 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[450]
POLICY BRIEF
PENERAPAN SPM BIDANG SOSIAL DI PROVINSI SEBAGAI
SOLUSI ALTERNATIF KEBUTUHAN 6 JENIS PANTI DI DAERAH PROVINSI

Abstrak
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, urusan pemerintahan wajib
yang terkait pelayanan dasar ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun
2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) mencakup SPM sosial Daerah provinsi
dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas rehabilitasi
sosial dasar di dalam panti bagi penyandang disabilitas telantar, anak telantar lanjut usia
telantar, tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam panti, sedangkan
kab/kota untuk di luar panti dan perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah
tanggap darurat bencana bagi korban bencana di provinsi dan kab/kota.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) daerah Provinsi dan Kab/Kota merupakan salah
satu penilaian dan pengukuran kinerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)
terhadap urusan wajib pelayanan dasar berpedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dan Urusan Konkuren berdasarkan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK).
Permendagri No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi
Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah, melaksanakan Urusan Pemerintahan
yang hanya diotonomikan kepada daerah provinsi. Adapun kriteria pembentukan UPTD
Provinsi diantaranya :
 Melaksanakan kegiatan teknis operasional kegiatan teknis penunjang tertentu dari
Urusan Pemerintahan yang bersifat pelaksanaan dan menjadi tanggung jawab dari
dinas instansi induknya;
 Memberikan kontribusi dan manfaat langsung dan nyata kepada masyarakat;
 memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melaksanakan Tugas Teknis
Operasional tertentu dan/atau Tugas Teknis Penunjang tertentu.
Usulan 6 (enam) Panti di daerah Provinsi yang keberadaan berdampak pada penilaian
dalam Laporan Pertanggung-jawaban Pemerintah Daerah sebagai wujud penerapan
SPM Bidang Sosial di daerah provinsi yang meliputi:
1. UPTD Panti Anak Telantar
2. UPTD Panti Bina Remaja
3. UPTD Panti Lanjut Usia Telantar
4. UPTD Panti Penyandang Disabilitas (PD) berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas Pasal 4 Ragam PD yaitu; Penyandang disabilitas Fisik,
Intelektual, Mental, Sensosrik. Alternatifnya menjadi 2 (dua) jenis Panti, yaitu Panti
yang merupakan gabungan PD fisik, intelektual, sensosrik. Jenis Panti lain yaitu Panti
PD untuk mental, karena penanganannya membutuhkan suatu keahlian/kekhususan
tersendiri.
5. UPTD Panti Gelandangan dan Pengemis (GEPENG);
6. UPTD Panti Wanita Tuna Susila (WTS).

[451]
Pendahuluan
Mutu Pelayanan Dasar untuk setiap Jenis Pelayanan Dasar ditetapkan dalam
standar teknis, yang sekurang-kurangnya memuat standar jumlah dan kualitas barang
dan/atau jasa, standar jumlah dan kualitas sarana dan prasarana, standar jumlah dan
kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial; dan petunjuk teknis atau tata cara
pemenuhan standar.
Kementerian Sosial RI berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 merupakan “Pembina
Teknis Daerah” perlu “Merumuskan, menyusun dan melaksanakan” kebijakan
penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dengan adanya perbedaan Panti di
Pusat sebagai percontohan dan rujukan nasional misalkan adanya perbedaan layanan
yang sifatnya lanjutan. Sedangkan Panti di daerah Provinsi menyediakan layanan
dasar/pertama. Kab/Kota menyediakan layanan rehabilitasi sosial di luar Panti.
RPP tentang Pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda dan Permendagri No. 86
Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan
Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan pada Pasal 175, disusun
berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta
perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu indikatif; dan
urusan wajib pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dan wajib bukan pelayanan
dasar yang berpedoman pada NSPK sesuai dengan kondisi nyata Daerah dan kebutuhan
masyarakat, atau urusan pilihan yang menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah. Target
kinerja disesuaikan dengan standar biaya kebutuhan pelayanan dan kemampuan
Perangkat Daerah.
NSPK Permensos RI No. 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas (PD) oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial, Pasal 5
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dimaksudkan untuk memulihkan dan
mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
dilaksanakan dalam bentuk: bimbingan motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan
pengasuhan, bimbingan sosial dan konseling psikososial, bimbingan mental dan spiritual,
bimbingan fisik, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, pelayanan
aksesibilitas, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, rujukan.
Tahapan pelaksanaan pada Pasal 8 disebutkan rehabilitasi sosial PD oleh Lembaga,
meliputi pendekatan awal, penerimaan, pengungkapan dan pemahaman masalah,
penyusunan rencana pemecahan masalah, pemecahan masalah, bimbingan sosial, mental,
fisik, vokasional, dan kewirausahaan, resosialisasi, terminasi, dan bimbingan lanjut.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM, meliputi: (1) SPM
sosial mencakup SPM sosial Daerah provinsi dan SPM sosial Daerah kabupaten/kota.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri atas :
a. Rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas telantar di dalam panti;
Dasar NSPK Permensos yang masih mengacu pada UU Pemda yang lama, yaitu:
 Permensos 25/2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial;
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial;

[452]
Rincian Anggaran Biaya (RAB) Standar Biaya Keluaran (SBK) Rehabilitasi
Sosial Penyandang Disabilitas, sebagai Indeks Biaya Keluaran Tahun
Anggaran (TA) 2018
• Belanja pengadaan bahan makanan (1 paket x 1 Thn)
• Honor output kegiatan: biaya juru masak (3 org x 12 bln x 1 Thn)
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi: bahan permakanan kering
Penerima Manfaat (PM) (1 paket x 1 Thn); obat-obatan umum PM (110 org x 12 bln x
1 Thn); obat-obatan psikiatrik PM (110 org x 365 hr x 1 Thn); perlengkapan
kebersihan asrama (6 asram x 12 bln x 1 Thn); sprei, selimut asrama (110 org x 3
buah x 1 Thn); pakaian seragam PM (110 org x 2 keg x 1 Thn); pakaian olahraga PM
(110 org x 1 stel x 1 Thn); sepatu PM (110 org x 1 Thn); perlengkapan ibadah PM
(110 org x 1 Thn).
• Belanja jasa profesi: biaya dokter umum (1 org x 12 bln x 1 Thn).
• Belanja bahan: snack petugas (5 org x 4 keg x 1 Thn); Snack PM (10 org x 4 keg x 1
Thn); Penggandaan dan dokumentasi (4 keg x 1 Thn); ATK Kegiatan (4 keg x 1 Thn).
• Belanja bahan: konsumsi petugas (14 org x 10 keg x 1 Thn);snack PM (14 org x 10
keg x 1 Thn); Penggandaan dan dokumentasi (10 keg x 1 Thn);ATK kegiatan (10 keg
x 1 Thn).
• Belanja bahan: konsumsi petugas (20 x 1 keg x 1 Thn); penggandaan dan
dokumentasi (1 keg x 1 Thn);ATK kegiatan (1 keg x 1 Thn).
• Honor output kegiatan: biaya pembimbing fisik (1 org x 12 bln x 1 Thn).
• Belanja bahan: bimbingan mental dan spiritual: (110 org x 1 Thn).
• Belanja bahan Psikososial: Penggandaan form PRS (12 bln x 1 Thn); bahan
bimbingan psikososial (110 org x 1 Thn).
• Belanja bahan: bimbingan keterampilan (6 keg x 12 bln x 1 Thn).
• Honor output kegiatan: biaya pembimbing keterampilan (6 org x 8 jam x 21 hari x
12 bln).
• Belanja bahan pembahasan kasus: konsumsi petugas (15 org x 24 keg x 1 Thn);
penggandan dan dokumentasi (24 keg x 1 Thn); ATK kegiatan (24 keg x 1 Thn).
• Belanja bahan resosialisasi: penggandaan dan dokumentasi (3 keg x 1 Thn); ATK
kegiatan (3 keg x 1 Thn).

b. Rehabilitasi sosial dasar anak telantar di dalam panti;


Dasar Hukum NSPK Permensos masih mengacu pada UU Pemda
 Permensos 30/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak;
 Permensos 21/2013 tentang Pengasuhan Anak;
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial.
Contoh Satuan Biaya Keluaran (SBK) Tahun 2016 Dit. Kesejahteraan Sosial Anak,
yaitu:
• Belanja bahan akses: dokumentasi dan pelaporan; snack (10 org x 6 hr x 2 keg).
• Belanja bahan registrsi: snack pembukaan (110 org x 2 keg); snack pembukaan
panitia dan undangan (50 org x 2 keg).
• Belanja bahan kelayakan penerima pelayanan: snack pertemuan orangtua asuh (20
Org x 10 kali x 1 Thn); instrumen PM (2 keg x 1 Thn).
• Belanja bahan orientasi: spanduk (2 keg x 1 Thn); dokumentasi dan pelaporan.
• Honor output kegiatan: honor petugas orientasi pihak luar (2 org x 2 keg x 1 Thn).

[453]
• Belanja bahan asesment sosial penelusuran minat dan bakat: penggandaan; buku
saku penerima manfaat (220 expl x 1 keg x 1 Thn).
• Belanja bahan asesment vocasional: penggandaan.
• Belanja bahan case conference: snack (10 org x 24 kali x 1 Thn); dokumentasi dan
pelaporan.
• Belanja bahan penetapan rencana pelayanan: penggandaan.
• Belanja pengadaan bahan makanan bimbingan fisik: bahan permakanan basah
penerima manfaat (110 org x 350 hr).
• Belanja bahan: kartu kesehatan (2 keg x 1 Thn); rujukan rumah sakit (1 Thn).
• Honor output kegiatan: pengajar senam (1 org x 10 bln x 1 Thn); petugas kesehatan
(1 org x 10 bln); instruktur marcing band (1 org x 10 bln); instruktur seni lukis,
tradisional dan band (3 org x 10 bln); instruktur MFD (1 org x 10 bln); juru masak (2
org x 11 bln).
• Belanja barang non operasional lainnya: uang makan PM (110 org x 30 hr x 2 kali).
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi: obat-obatan (1 keg x 1 Thn);
kebutuhan cuci dan mandi (110 org x 2 keg); pakaian olahraga dan praktek (110 org
x 2 keg); pakaian seragam PM 1 ikat pinggang stel dan batik (110 org x 2 keg);
sepatu dan perlengkapan ibadah (110 x 2 keg);pakaian dalam dan sendal jepit (110
org x 2 keg); handuk dan sprei (110 org x 2 keg); bahan permakanan penerima
manfaat (110 org x 350 hr).
• Belanja bahan bimbingan mental dan spiritual: snach ceramah umum (120 org x 4
keg); dokumentasi dan pelaporan (2 keg x 1 Thn); Spanduk.
• Honor output kegiatan: bimbingan rohani-rohani (1 org x 2 keg); honor ceramah
umum (6 org x 1 Thn).
• Belanja perjalanan dinas dalam kota: transpor narasumber ceramah umum (6 org x
1 Thn).
• Belanja bahan bimbingan sosial: snack out bond (130 org x 2 keg); konsumsi panitia
dan tim out bond (20 org x 2 kali x 2 keg); snack widyaiswara (125 org x 2 keg);
dokumentasi dan pelaporan out bond PM (1 kali x 2 keg); penggandaan modul (110
org x 2 keg); ATK bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan (110 org x 2 keg);
dokumentasi dan pelaporan widyaiswara PM (1 kali x 2 keg).
• Belanja barang non operasional lainnya: paket out bond (125 org x 2 keg);
widyaiswara PM (125 org x 2 keg).
• Belanja sewa: sewa kendaraan (2 unit x 1 hr x 2 keg).
• Honor output kegiatan: instruktur vocasional (6061 jam x 1 Thn).
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi bahan Vocasional: las (1 pkt x 2
keg x 1 Thn); menjahit (1 pkt x 2 keg x 1 Thn); elektronik (1 pkt x 2 keg x 1 Thn);
salon (1 pkt x 2 keg x 1 Thn); mobil (1 pkt x 2 keg x 1 Thn); motor (1 pkt x 2 keg x 1
Thn); desain grafis PM (1 pkt x 2 keg x 1 Thn); handycraft (2 keg x 1 Thn).
• Belanja bahan resosialisasi Praktek Belajar Kerja (PBK): kenangan PBK (10 bh x 2
keg); dokumentasi dan pelaporan.
• Belanja perjalanan dinas dalam kota: tranport supervisor magang (25 org x 2 kali x 2
keg); transport penerima manfaat (110 org x 2 keg x 25 hr).
• Belanja barang home visit: instrumen dan ATK (2 keg x 1 Thn).
• Belanja perjalanan dinas dalam kota:transport petugas (10 org x 2 keg); uang harian
petugas (10 org x 1 hr x 2 keg).
• Belanja bahan terminasi: snack PM dan undangan (135 org x 2 keg); dokumen dan
pelaporan (2 keg x 1 Thn); pembuatan foto dan sertifikat (110 org x 2 keg); buku
kenangan penerima manfaat (110 org x 2 keg); spanduk (2 keg x 1 Thn).

c. Rehabilitasi sosial dasar lanjut usia telantar di dalam panti;


 Permensos 19/2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia;

[454]
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial
Contoh kegiatan dalam SBK Dit. Lanjut Usia Tahun 2016, yaitu:
• Belanja pengadaan bahan:ATK,dokumentasi dan pelaporan (1 paket x 1 Thn).
• Belanja pengadaan bahan makanan: permakanan basah (110 org x 365 hr).
• Honor output kegiatan: honor juru masak (3 org x 13 bln).
• Belanja barang non operasional lainnya: pakaian (110 org x 1 Thn).
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi: permakanan kering (110 org x
365 hr).
• Belanja bahan pemeliharaan kesehatan: konsumsi peugas pendampingan rawat
inap (2 org x 3 fr x 30 keg).
• Honor output kegiatan: honor tenaga medis (2 org x 13 bln).
• Belanja barang non operasional lainnya: rujukan.
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi: perlengkapan keperawatan.
• Belanja barang persediaan lainnya: pembelian obat-obatan.
• Belanja perjalanan dinas dalam kota: pendampingan/rujukan ke rumah sakit (2 org
x 3 fr x 30 keg).
• Belanja pengadaan bahan: ATK,dokumentasi dan pelaporan (1 paket x 1 Thn).
• Belanja pengadaan bahan makanan:permakanan basah (110 org x 365 hr).
• Honor output kegiatan: honor juru masak (3 org x 13 bln).
• Belanja barang non operasional lainnya: pakaian (110 org x 1 Thn).
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi: permakanan kering (110 org x
365 hr).
• Belanja bahan pemeliharaan kesehatan: konsumsi petugas pendampingan rawat
inap (2 org x 3 fr x 30 keg).
• Honor output kegiatan: honor tenaga medis (2 org x 13 bln).
• Belanja barang non operasional lainnya: rujukan.
• Belanja barang untuk persediaan barang konsumsi: perlengkapan keperawatan.
• Belanja barang persediaan lainnya: pembelian obat-obatan.
• Belanja perjalanan dinas dalam kota: pendampingan/rujukan ke rumah sakit (2 org
x 3 fr x 30 keg).
• Belanja bahan asesment: doklap; snack (20 org x 20 keg).
• Belanja bahan rencana intervensi: snack (20 org x 20 keg); doklap.
• Belanja bahan bimbingan sosial dan psikososial: doklap; bahan kegiatan.
• Belanja bahan bimbingan fisik dan kesehatan: bahan kegiatan.
• Honor output kegiatan: honor pembimbing senam (2 org x 12 bln).
• Belanja bahan bimbingan mental, spiritual dan kerohanian: doklap; bahan kegiatan.
• Honor output kegiatan: honor pembimbing agama (1 org x 12 bln); honor
pembimbing agama mingguan (2 org x 12 bln).
• Bimbingan keterampilan/pengisian waktu luang.
• Belanja bahan pemakaman: bahan perlengkapan jenazah.
• Rujukan belanja perjalanan dinas dalam kota: transport petugas rujukan (2 org x 10
keg).

d. Rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis


di dalam panti;
 Permensos 22/2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan
Pekerjaan Sosial;
 Permensos 01/2015 tentang Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial.

[455]
Contoh pembiayaan dalam SBK Dit. Tuna Sosial pada kegiatan Gelandangan dan
Pengemis.
• Belanja rehabilitasi sosial dalam bentuk uang di kode 571111
• Pemberian bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP); 100 org x 2 prov @ 5.000.000,-.
• Operasional lembaga @ 15.000.000,-.
• Bimbingan keterampilan; 100 org x 2 prov @ 500.000,-.

e. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana bagi korban bencana provinsi.
 Permensos 01/2013 tentang Bantuan Sosial Korban Bencana (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 102) sebagaimana telah diubah dengan
Permensos 07/2013;
Contoh RAB SBK DIPA Dijen Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian
Sosial RI, No. 027.04.1.440250/2017, Tanggal 7 Desember 2016.
Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam (PSKBA)
• Pembentukan Kampung Siaga Bencana
• Pemantapan Penjenjangan Taruna Siaga Bencana (TAGANA)
Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS)
• Penguatan akses keuangan lokal
• Serasehan penguatan akses kearifan lokal dan keserasian sosial.
Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah kabupaten/kota terdiri atas:
a. Rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas telantar di luar panti;
b. Rehabilitasi sosial dasar anak telantar di luar panti;
c. Rehabilitasi sosial dasar lanjut usia telantar di luar panti;

Dasar Hukum:
Permensos No. 12 Tahun 2013 tentang Program Asistensis Sosial Lanjut Usia
Telantar.
 Program Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar yang selanjutnya disebut Program
ASLUT adalah serangkaian kegiatan Pemerintah untuk memberikan jaminan sosial
guna membantu lanjut usia telantar dalam bentuk pemberian uang tunai melalui
pendampingan sosial guna memenuhi sebagian kebutuhan dasar hidupnya.
 Program ASLUT bertujuan membantu pemenuhan sebagian kebutuhan dasar hidup
lanjut usia telantar, sehingga diharapkan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
sosialnya.
 Diutamakan bagi lanjut usia telantar berusia 60 (enam puluh) tahun keatas, sakit
menahun dan hidupnya sangat tergantung pada bantuan orang lain, atau hanya bisa
berbaring di tempat tidur, sehingga tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari,
tidak memiliki sumber penghasilan tetap, atau miskin; atau Lanjut usia yang telah
berusia 70 (tujuh puluh) tahun keatas yang tidak potensial, tidak memiliki penghasilan
tetap, miskin, atau telantar.
 Program Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT) dilaksanakan dengan
tahapan sebagai berikut :
a. sosialisasi;
b. pendataan, seleksi,verifikasi, dan validasi calon penerima;

[456]
c. penetapan dan penggantian penerima;
d. pembinaan dan pemantapan pendamping;
e. penerimaan dana;
f. penyaluran dana;
g. pendampingan; dan
h. monitoring, evaluasi, dan pelaporan.
d. Rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di luar
panti;
e. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana kabupaten/kota.

Deskripsi Masalah
 Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi kriteria dan urusan pemerintahan, yaitu kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan
lampiran UU 23 Tahun 2014.
 Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, Sebagai bahan exercise
menghitung komponen kebutuhan dasar seperti makan dan pakaian dan kebutuhan
lain yang termasuk kebutuhan dasar, bersumber dari APBN sebagai dasar
pertimbangan “Perhitungan biaya Per-Jenis maklumat/indikator dari SPM Bidang
Sosial di Provinsi untuk dalam panti dan di kab/kota untuk luar Panti”, berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang ditetapkan setiap tahunnya dengan
disesuaikan harga kebutuhan pokok seperti permakanan, kebutuhan sandang
(pakaian). Rincian Anggaran Biaya (RAB) Standar Biaya Keluarga (SBK) sebagai
indeks biaya keluaran TA 2016.
 Pembagian kewenangan Sub Bidang Rehabilitasi Sosial antara pusat, provinsi dan
kabupaten kota masih tumpang-tindih Pelaksanaan urusan
Masih belum sepenuhnya pembagian kewenangan diantaranya perbedaan
antara fungsi panti milik pusat, provinsi. Apakah kewenangan panti milik pusat
menangani lintas provinsi atau dari aspek tahapan pelayanan sesuai dengan Peraturan
Menteri Sosial RI No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial dengan
Pendekatan Pekerjaan Sosial.
 Rehabilitasi Sosial di luar Panti pada kewenangan Kabupaten/Kota, belum ada
Peraturannya dan Implementasi di daerah belum sepenuhnya berjalan
Rehabilitasi sosial di luar panti yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota
belum ada regulasi dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK). Jenis
pelayanan apa saja? Apakah Rehabilitasi sosial berbasis keluarga (RBK) dan
Rehabilitasi sosial berbasis masyarakat (RBM) sudah berjalan? Apakah tenaga pemberi
layanan dari unsur Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) atau dari unsur
relawan yang masuk dalam unsur Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) non aparatur
seperti Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) atau tenaga pendamping program terkait
anak, lanjut usia, penyandang disabilitas, tuna sosial, atau dari unsur Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) atau tenaga kesejahteraan sosial lainnya.

[457]
 Belum Tersedianya Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang sosial Mendukung
Indikator SPM Bidang Sosial di Provinsi dan Kabupaten/Kota
DAK di prioritaskan untuk mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal
di daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, terutama daerah yang sumber
pendanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masih belum mampu
melaksanakan Standar Pelayanan Minimal. Sampai tahun 2017 belum ada DAK
Bidang Sosial.
Dana Alokasi Khusus (DAK) diamanatkan pada Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
disebutkan bahwa anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan
oleh Kementerian/Lembaga yang merupakan urusan daerah secara bertahap
dialihkan menjadi dana alokasi khusus.

Rekomendasi
1. Merumuskan dan menyusunan perencanaan penghitungan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial dalam bentuk Standar Teknis SPM.
2. Merumuskan, menyusun dan melaksanakan kebijakan penerapan SPM dengan
menetapkan mutu pelayanan dasar untuk setiap jenis pelayanan dasar ditetapkan
dalam Standar Teknis, yang sekurang-kurangnya memuat:
 Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa;
 Standar jumlah dan kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial; dan
 Petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan standar.
SPM Sosial pada Pasal 10 PP No. 2 Tahun 2018 tentang SPM, meliputi daerah provinsi
dan daerah kab/kota. Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah provinsi terdiri
atas:
 Rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas telantar di dalam panti;
 Rehabilitasi sosial dasar anak telantar di dalam panti;
 Rehabilitasi sosial dasar lanjut usia telantar di dalam panti;
 Rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di dalam
panti;
 Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana
bagi korban bencana provinsi.

Jenis Pelayanan Dasar pada SPM sosial Daerah kabupaten/kota terdiri atas:
1. Rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas telantar di luar panti;
2. Rehabilitasi sosial dasar anak telantar di luar panti;
3. Rehabilitasi sosial dasar lanjut usia telantar di luar panti;
4. Rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis di luar
panti;
5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana kabupaten/kota.
6. Menyusun dan membahas urusan konkuren bidang sosial di provinsi dan kabupaten/
kota
7. Menyusun dan membahas indikator kinerja kunsi (IKK) bidang sosial berdasarkan
urusan konkuren dan standar pelayanan minimal (SPM)
8. Pengintegrasian indikator kinerja kunci (IKK) sebagai dasar dari penyusunan
anggaran di daerah provinsi dan kabupaten/kota dan sebagai dasar sinergi

[458]
perencanaan pembangunan nasional (PPN) dengan perencanaan pembangunan
daerah (PPD).
9. Perlu komitmen agar tersedia dak bidang sosial untuk mendukung penerapan urusan
konkuren dan SPM bidang sosial di daerah provinsi dan kabupaten/kota

Referensi
 Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 12 Tahun 2013 tentang Program Asistensi Sosial Lanjut
Usia Telantar (ASLUT);
 Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin
 William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.

Jakarta, 19 Januari 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[459]
POLICY BRIEF
INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK) PENANGANAN FAKIR MISKIN

Abstrak
Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator
Kinerja Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja
kunci (outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator
output. Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat
dari beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi
dan kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.
IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebijakan desentralisasi berdampak pada pembagian kewenangan pusat dengan
daerah. Peran pemerintah daerah diamanatkan dalan UUD 1945 Amandemen, UU No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun
2005-2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, termasuk diantaranya urusan
penanganan fakir miskin (PFM) yang diamanatkan melalui UU No. 13 Tahun 2011
tentang PFM.
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi
masyarakat daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi
perhatian utama pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima
bagi masyarakat.
Rancangan PP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagai pengganti
dari PP No. 7 Tahun 2008 dengan substansi perubahan yaitu urusan pemerintahan yang
ditugas pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren, dengan
berdasarkan RPP Urusan Konkuren sebagai turunan dari lampiran UU Nomor 23 Tahun
2014.
Bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta sesuai
dengan ketentuan penugasan. kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan
kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
Merumuskan dan menyusun skala perubahan kinerja dengan interval perubahan
capaian kinerja outcome yang disusun kedalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala
kinerja untuk masing-masing interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan
nilai tertinggi yang dicapai oleh seluruh Pemda provinsi atau Kab/Kota dengan
menggunakan perubahan selama 5 tahun terakhir.
Merpertimbangakan Pengelolaan Bantuan Sosial dengan membaca istilah bantuan
sosial asosiasi yang umum terbesit bagi pembaca adalah “bagi-bagi” atau “bancakan”
uang negara (APBN/APBD) oleh pejabat kepada masyarakat. Pernyataan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memberikan warning kepada Pemerintah untuk
berhati-hati dalam pencairan anggaran belanja bantuan sosial yang rawan menjadi
“bancakan” korupsi pada saat Pilkada.

[461]
Pendahuluan
Pembahasan usulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk penyusunan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan Laporan dan Pelaksanaan Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Surat a.n Dirjen Otoda Sesditjen No.
005/11014/OTDA tanggal 22 Desember 2017.
Tindak lanjut pembahasan IKK dilanjutkan pada bulan Januari 2018 dengan Surat
Sekretaris Ditjen Otoda Kemendagri No. 005/11014/OTDA tanggal 22 Desember 2017,
hal; Pembahasan Indikator Kinerja Kunci (IKK) serta untuk mempercepat proses
penyusunan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan Laporan dan Pelaksanaan
Evaluasi Penyelenggaraan Pemda, pada tanggal 9-11 Januari 2018 di ruang rapat Direktur
EKPKD Ditjen Otoda Kemdagri, Jl. Medan Merdeka Utara No. 7-8 Jakarta Pusat dan
sesuai dengan Surat Tugas Kepala Biro Perencanaan Kemensos No. 13/SJ-
PER/Evalap/01/2018, tanggal 5 Januari 2018 kepada Syauqi, Analis Kebijakan Madya
dan Sri Waluyo, Kasubag Pemantauan dan Evaluasi Biro Perencanaan, Kementerian
Sosial. IKK yang dibahas berdasarkan Unit Kerja Eselon (UKE) I di setiap Kementerian/
Lembaga termasuk Kementerian Sosial. Kontributor dalam pembahasan IKK Sub-Bidang
Penanganan Fakir Miskin (PFM) oleh Nursyamsu, Kasubag Pelaporan, Sekretariat Ditjen
PFM.
RPP tentang Pelaporan dan Evaluasi Kinerja Pemda dan Permendagri No. 86 Tahun
2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Program, kegiatan, alokasi dana indikatif dan sumber pendanaan pada Pasal 175, disusun
berdasarkan: pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta
perencanaan dan penganggaran terpadu, kerangka pendanaan dan pagu indikatif.
Merumuskan dan menyusun satuan nilai perubahan indikator outcome dapat
berupa nilai absolut atau persentase perubahan outcome setiap tahun, skala perubahan
kinerja dengan interval perubahan capaian kinerja outcome yang disusun kedalam 5 klas
interval dengan menggunakan perubahan selama 5 tahun terakhir.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan di Daerah, berdasarkan Pasal 8 UU 23/2014 tentang Pemda dan PP 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahwa setiap Kementerian/Lembaga
(K/L) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sebagian urusan pemerintahan
yang dilimpahkan melalui program/kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Pengelolaan Dana Bantuan Sosial berdasarkan hasil Kajian Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Tahun 2014 Tahun 2013 bahwa, terjadi perluasan ruang lingkup definisi
bansos yang mencakup rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial dan
penanganan kemiskinan dalam Bultek 10 Tahun 2010 yang berbeda dengan definisi
Bansos dalam pasal 14 pada UU No. 11 Tahun 2009 yang menggolongkan bantuan sosial
(Bansos) sebagai bagian dari perlindungan sosial
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial
memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan,
termasuk pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin
(perorangan dan keluarga). Rekomendasi KPK agar bansos hanya dikelola oleh
Kementerian Sosial.
Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau

[462]
kesejahteraan masyarakat. Risiko sosial merupakan kejadian atau peristiwa yang dapat
menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi,
krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja
bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Pengalihan anggaran dari Kementerian Keuangan RI kepada Kementerian Sosial RI
yang sebelumnya anggaran RASTRA ada di kewenangan Bendahara Umum Negara
(BUN) Menteri Keuangan RI kepada Pengguna Anggaran (PA) dalam hal ini Menteri
Sosial RI sebagai wujud transformasi anggaran RASTRA menjadi Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) di Kementerian Sosial.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Selain untuk memberikan pilihan pangan yang lebih luas, penyaluran bantuan
pangan non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung
perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.
BPNT disalurkan secara non tunai melalui sistem perbankan untuk kemudahan
mengontrol, memantau, dan mengurangi penyimpangan, bantuan ditransfer pada
electronic wallet Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan KPM memiliki kebebasan membeli
bahan pangan yang dibutuhkan, bukan hanya mendorong perluasan inklusi keuangan.
Rencana Penambahan Target BPNT Menjadi 10 Juta KPM di tahun 2018 dan pergeseran
alokasi subsidi beras sejahtera menjadi BPNT di 98 Kota dengan target 1.716.042 KPM
pada 140 Kabupaten dengan target 8.283.958 KPM.
Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan
dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang lebih luas terhadap
layanan keuangan.
Subsidi Beras Sejahtera (RASTRA) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
terdapat sejumlah tantangan diantaranya program RASTRA yang sulit diselesaikan,
khususnya pada persoalan ketepatan dari sasaran atau penerima manfaat, jumlah yang
seharusnya diterima, keterlambatan waktu, kualitas beras dan persoalan administrastif
lainnya serta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak dapat memilih bahan pangan lain
kecuali beras.

Deskripsi Masalah
 Beberapa perubahan penting RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
meliputi kriteria dan urusan pemerintahan, yaitu kriteria penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non
fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan
lampiran UU 23 Tahun 2014.
Karena Pusat diantaranya urusan sosial tidak dapat lagi dilakukan pelayanan
langsung (direct services) ke masyarakat, maka urusan sosial yang termasuk urusan
konkuren dan termasuk urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM), perlu dipastikan pelayanan publik bidang sosial
kepada masyarakat dapat terus berjalan sesuai peraturan perundangan. Jangan
sampai “Pelayanan Publik Bidang Sosial di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota,
tidak berjalan karena tidak dianggarkan oleh Pusat (APBN) dan tidak juga dapat

[463]
dianggarkan melalui APBD karena perubahan dari kebijakan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang sebelumnya ditetapkan dengan PP No. 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas.
 Peran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Penanganan
Fakir Miskin sesuai dengan UUD 1945, UU No, 17 Tahun 2007 tentan RPJPN
200502025, UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan
RPJMN 2015-2019.
Amanah UUD 1945 Amandemen, tujuan bernegara adalah “Masyarakat adil,
makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kebijakan ekonomi Indonesia
adalah ekonomi Pancasila dimana ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada Bab XIV Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Pasal 34 Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara
oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Penanganan fakir miskin pada Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011 diselenggarakan
secara terencana, terarah, terukur, terpadu, dan Penanganan fakir miskin yang
diselenggarakan oleh Menteri dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan
pengembangan potensi diri, sandang, pangan, perumahan, pelayanan sosial, selain hal
tersebut yang diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan
tugas dan fungsinya dalam koordinasi Menteri.
PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial pada Pasal
2 Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ditujukan kepada perseorangan, keluarga,
kelompok, masyarakat. diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yang meliputi
kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan,
eksploitasi, dan diskriminasi.
Bantuan sosial yang termasuk bentuk perlindungan sosial pada Pasal 19 UU
No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan amanah peraturan Presiden No.2
tahun 2015 tentang RPJMN 2015/2019 untuk penanggulangan kemiskinan diantaranya
adalah akses penduduk miskin kepada perbankan pada keuangan inklusif yaitu
bantuan sosial non tunai dengan menggunakan kartu elektronik untuk membeli
kebutuhan pokok seperti beras, gula,tepung melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBe)
elektronik warung gotong royong (E-Warong).
 Pembangunan Ekonomi Seiring Dengan Pembangunan Sosial (Ekonomic
Development is Sosial Development)
Orang awam sering melontarkan keluhan yang barangkali terdengar klise,
katanya kinerja ekonomi sangat menggembirakan, tetapi kenapa hidup rakyat masih saja
susah? sebenarnya siapa yang menikmati buah kemakmuran, sejak Indonesia merdeka dari
penjajahan? walaupun beberapa tahun terakhir perekonomian Indonesia terus-

[464]
menerus menunjukkan kinerja cukup bagus, tetapi berbagai persoalan sosial-
utamanya kemiskinan.
Hilangnya titik temu antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana diketahui, ada semacam paradox dalam kinerja perekonomian. Kinerja
ekonomi yang tinggi tidak disertai dengan meningkatnya kualitas hidup manusia
secara memadai. Fakta tentang hilangnya koneksitas antara kinerja ekonomi dan
kesejahteraan sosial tidak hanya menjadi perhatian para ahli ekonomi dan politik saja,
tetapi juga para pengambil kebijakan. Diskoneksitas tersebut merupakan persoalan
teoritis sekaligus pragmatis.
Kemajuan ekonomi sangat diperlukan bagi kemajuan sosial. Namun demikian
pembangunan ekonomi dan sosial tidak selalu berjalan otomatis. Pembangunan
ekonomi baru bermakna jika dapat dialokasikan dengan baik bagi kepentingan
pembangunan sosial. Berbagai studi telah cukup membuktikan bahwa secara teoritis
maupun empiris, keberhasilan negara dalam mencapai tingkat kesejahteraan sangat
ditentukan oleh strategi pembangunan di negara tersebut yang memadukan
pembangunan ekonomi dan sosial.
 Peran Kementerian Sosial Dalam Bansos Pangan Non Tunai.
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai yang disusun Desember 2016,
oleh lintas Kementerian dan lembaga, yaitu Kemenko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan,
Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan Kantor Staf Presiden,
memuat program bantuan pangan non tunai merupakan upaya mereformasi program
subsidi Rastra tahun 2016, yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden RI untuk
meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran program serta untuk mendorong
inklusi keuangan
Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin, banyak wilayah desa yang masuk topolagi pesisir menjadi
wilayah pesisir. Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM), data utama yang menjadi
dasar adalah dari Musyawarah Desa/Kelurahan (Musdes/Muskel). Pedoman
Pelaksanaan (Pedlak), Pemenuhan Kebutuhan dasar yaitu beras dan telur.
Kemudian Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan
Jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Kota Denpasar sebanyak 3.114 KPM.
Pelaksanaan BPNT pada 23 Februari 2017 dari Himpunan Bank Negara (HIMBARA), BNI
di Kecamatan Denpasar Selatan dengan data sebanyak 643 KPM. BNI di Kecamatan
Denpasar Timur dengan data sebanyak 846 KPM. Bank Mandiri di Kecamatan Denpasar
Barat dengan data sebanyak 701 KPM. Bank Tabungan Negara (BTN) di Kecamatan
Denpasar Utara dengan data sebanyak 924 KPM.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Tujuan Program Bantuan Pangan Non Tunai untuk:
- Mengurang beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan,
memberikan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan ketepatan
sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan bagi KPM, memberikan
lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan,
mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDG’s).

[465]
- Penyaluran bantuan sosial dengan skema uang elektronik dan memanfaatkan agen
layanan keuangan digital sebagai tempat pencairan bantuan dan meningkatkan
integrasi program pemberdayaan bagi penduduk miskin dan rentan, melalui
peningkatan kemampuan keluarga dan inklusi keuangan, serta peningkatan akses
layanan keuangan sehingga membuka kesempatan bagi peningkatan kemampuan
pemenuhan kebutuhan.

ANALISIS
Penyusunan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Penanganan Fakir Miskin dibutuhkan
karena amanah dari UUD 1945 Amandemen, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-
2025 dan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, bahwa ada peran
Pemerintah Daerah dalam penanganan fakir miskin dengan adanya desentralisasi.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan turunannya berupa
Peraturan Pemerintan (PP) mengenai Urusan Konkuren dan Evaluasi Kinerja Pemerintah
Daerah, menyebutkan bahwa adanya pembagian peran dan kewenangan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah,
Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;

Bantuan Sosial (Bansos) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT dalam Cost
Benefit Analysis (CBA) dan Regulatory Impact Assesment (RIA)

Cost Benefit Analisis (CBA)


Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan
dicapai ?
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap, efektifitas tetap
diinginkan memecahkan masaah
Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan
dengan merata kepada kelompok-
Kriteria miskin
kelompok yang berbeda
Responsifitas Apakah kebijakan memuaskan Konsistensi dengan verifikasi
kebutuhan, preferensi, atau nilai dan validasi data terpadu
kelompok-kelompok tertentu Penanganan Fakir Miskin (DT-
PFM).
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang Program public harus merata
diinginkan benar2 berguna atau dan efisien
bernilai

[466]
Analisis Regresi dan Korelasi
 Dilakukan Analisis Regresi untuk mencari koefisien masing-masing variabel
independen dengan memprediksi nilai (aktual dan estimasi) melalui suatu persamaan
berdasarkan data yang ada (evident based).
 Perlu juga Analisis Korelasi untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear
antara 2 (dua) variabel. Variabel dependent (terikat) diasumsikan randam yang
mempunyai distribusi probabilistik. Variabel independent (bebas) diasumsikan
memiliki nilai tetap (dalam pengambilan sampel berulang). Teknik estimasi variabel
dependent yang melandasi Analisis Regresi yang disebut Ordinary Leat Square (OLS)
dengan pangkat kuadran terkecil biasa. Model regresi linear dengan parameter
Yi=b1+b2.xxi+vi.

Pertimbangan Dependent Variabel dan Independent Variabel dalam Analisis:


 Beban biaya yang dikeluarkan
 Sasaran (output) dengan meningkatnya peluang kerja dan berusaha bagi penduduk
kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap kesempatan pengembangan
keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan pengembangan teknologi, sarana
dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi yang berkualitas;
 Penyaluran bantuan pangan non tunai diharapkan memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui
akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan.
 Bantuan Pangan Non Tunai merupakan bantuan sosial pangan yang disalurkan secara
non tunai dari pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya
melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan
pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan bank penyalur.
 Bahwa tujuan dari Bantuan Pangan Non Tunai untuk mengurang beban pengeluaran
KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan, memberikan nutrisi yang lebih
seimbang kepada KPM, meningkatkan ketepatan sasaran dan ketepatan waktu
penerimaan bantuan pangan bagi KPM, memberikan lebih banyak pilihan dan kendali
kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan, mendorong pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin;
 Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation merupakan suatu sistem
informasi yang terdiri dari beberapa komponen berupa pengumpulan dan pengolahan
data kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan.
 Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan
Orang Tidak Mampu merupakan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu agar data penerima program valid, tepat sasaran,
dan tepat waktu, meliputi: struktur organisasi, mekanisme pelaksanaan, pengolahan
dan penyajian data, monitoring dan evaluasi; dan pendanaan.
 Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang
Tidak Mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilaksanakan dengan

[467]
tahapan: penyusunan daftar awal sasaran, bimbingan teknis, Musyawarah
Desa/Kelurahan/Nama Lain, kunjungan ke Rumah Tangga, pengolahan data,
pengawasan dan pemeriksaan dan pelaporan.
 Mekanisme Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang
Tidak Mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
 Pengolahan dan penyajian data merupakan kegiatan pemeriksaan data dan dokumen,
pembersihan data, pemeringkatan data, pembuatan daftar dan tabulasi data, serta
penyajian data.
 Pengolahan dan penyajian data dilaksanakan oleh Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial.
 Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengamati/mengetahui perkembangan dan
kemajuan pelaksanaan tahapan Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu di daerah dan mengidentifikasi permasalahan
serta upaya pemecahannya.
 Monitoring dan evaluasi terdiri atas monitoring bimbingan teknis petugas
pelaksanaan, monitoring Musyawarah Desa/Kelurahan/Nama Lain; dan monitoring
pelaksanaan kunjungan ke Rumah Tangga.

DATA REQUIRMENTS
- Data time series jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang dilayani
- Data jumlah pendamping Bansos BPNT
- Data jumlah agen penyalur
- Data regulasi yang terkait (UU, PP, PERPRES, Permensos).

Inventarisir permasalahan dan rekomendasi dalam program Bantuan Pangan Non Tunai
(BPNT) :
 Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan kemiskinan, dan untuk
memastikan seluruh penduduk memperoleh akses terhadap sumber penghidupan
yang produktif diantaranya dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan pemerataan
pembangunan dan penurunan kemiskinan dengan mempertajam program-program
khusus untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), melalui
ketepatan sasaran penerima, fokus, dan lokus kegiatan dukungan data terkini melalui
pemutakhiran dan validasi secara berkala.
 Penguatan peran kelembagaan sosial dengan mengintegrasikan program-program
penanggulangan kemiskinan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke dalam
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga
desa/kelurahan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksana asistensi sosial,
melalui penguatan fungsi pendampingan dan penjangkauan oleh SDM kesejahteraan
sosial serta pengembangan kapasitas pengelolaan data. Pusat rujukan dan pelayanan
ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan, penjangkauan, serta pelaporan dan
penanganan keluhan.
 Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan
akuntabilitas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan.
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian
pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan

[468]
dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan
sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan
pemutakhiran data secara berkala.

ASSESMENT
 Pemberian layanan kepada KPM dengan memperhatikan kearifan lokal dan
berdasarkan Assesment (Pengungkapan dan Pemahaman masalah).
 Pengungkapan dan pemahaman masalah merupakan kegiatan mengumpulkan,
menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi, dan sumber yang
dapat dimanfaatkan dalam pemberian pelayanan..
 Kegiatan pengungkapan dan pemahaman masalah terdiri atas: persiapan;
pengumpulan data dan informasi; analisis; dan temu bahas permasalahan.
 Kegiatan persiapan merupakan upaya membangun hubungan antara pemberi
pelayanan dan penerima pelayanan.
 Kegiatan pengumpulan data dan informasi merupakan upaya untuk mendapatkan
data dan informasi penerima pelayanan.
 Kegiatan analisis merupakan kegiatan interpretasi data dan informasi guna
menemukan masalah dan kebutuhan penerima pelayanan.
 Kegiatan temu bahas kasus merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi masalah dan
mengetahui kebutuhan penerima pelayanan.

Indikator Partisipasi Masyarakat


Oakley (1991 : 9) memberi pemahaman tentang konsep partisipasi, dengan
mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok, yaitu Partisipasi sebagai kontribusi;
Partisipasi sebagai organisasi; dan Partisipasi sebagai pemberdayaan. Dimensi Kontribusi
Masyarakat, Dimensi Pengorganisasian Masyarakat, dan Dimensi Pemberdayaan Masyarakat.

Cost Benefit Analysis (CBA):


Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang di inginkan telah dicapai ? Unit pelayanan
Kccukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap, efektifitas tetap
diinginkan memecahkan masalah
Pemerataan Apakah biaya manfaat didistribusikan Kriteria peningkatan kualitas
dengan merata kepada masyarakat lokal hidup; kriteria kemiskinan;
ikut berperan sesuai dengan kemampuan, kriteria lain untuk
misalkan membantu mencetak batako, pengukuran.
membangun akses jalan, dst.
Responsifitas Apakah kebijakan pembangunan yang Konsistensi dengan survei
dilakukan memberikan peningkatan warga masyarakat lokal
kualitas hidup masyarakat lokal, misalkan untuk Need Assesment;
adanya bantuan untuk akses permodalan tehnik penelitian Partisipatory
usaha rumah makan, akses kebutuhan Rural Appraisal (PRA).
dasar masyarakat di sekitar proyek
pembangunan.
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan Program publik harus merata
benar-benar berguna atau bernilai dan efisien. Peran dan
tanggung jawab dari
masyarakat lokal sekitar
proyek pembangunan

[469]
Pertimbangan Rekomendasi
 Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan,
mengarahkan pengarusutamaan pengurangan kemiskinan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Institusi koordinasi penanggulangan kemiskinan tersebut dipimpin
langsung oleh kepala pemerintahan (presiden, gubernur, bupati/walikota) dengan
anggota unsur pemerintahan dan perwakilan lembaga non-pemerintah;
 Meningkatkan sosialisasi program tidak terlepas dari belum adanya petunjuk yang
mengatur kegiatan tersebut. Kegiatan sosialisasi dijalankan secara tidak terstruktur,
tanpa ada rancangan yang jelas apa saja aspek yang perlu disampaikan, kapan
sosialisasi perlu dilakukan, pada tingkatan mana saja sosialisasi perlu dilakukan,
bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, dan target
kegiatan sosialisasi. Sosialiasi program dilakukan sebagai bagian dari peluncuran
program semata dan belum ditujukan sebagai sarana edukasi intensif bagi pemangku
kepentingan program. Kegiatan sosialisasi program tersebut diharapkan mampu
memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini
kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat.
 Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan.
 Perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping PKH
atau hasil perekrutan baru.
 Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program.

Masukan Kepala Dinas Sosial Provinsi pada pelaksanaan BPNT, diantaranya:


 Kewenangan provinsi mesti jelas karena sesuai peraturan perundangan, fungsi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, perluasan jangkauan dari kota ke
kabupaten diperlukan peran provinsi.
 Masalah mesin EDC, agar diganti yang lebih kuat
 Ada pendamping e-warong, perlu dilatih tentang bisnis dan perlu analisa kebutuhan
masyarakat
 Perlu ada sarana komputer dan ada kemauan/kesadaran dari KPM untuk belajar
bisnis, misalkan ada 1300 jenis barang dan ada pangsa pasar perlu adanya sistim
barkot.
 E-Warong di Kota, diberi 10 juta untuk e-warong dan isi-nya 20 juta. Di Pesisir, 35 juta
dan perlu ada pelatihan dan punya jiwa visioner/kemajuan. Pendamping dikuatkan.

Regulatory Impact Analysis (RIA)


 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan
Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah;
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;

[470]
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai,
bahwa bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas,
transparansi dan akuntabilitas.
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang
lebih luas terhadap layanan keuangan.
 Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin, banyak wilayah desa yang masuk topologi pesisir menjadi
wilayah pesisir.
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan Jumlah Keluarga
Penerima Manfaat (KPM),
 Peraturan Menteri Sosial No. 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan
Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin;

[471]
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT BANTUAN SOSIAL

UU 11/2009 Pasal 14 Bantuan Sosial (Bansos) sebagai bagian dari perlindungan sosial.
UU 13 / 2011 Penanganan Fakir Miskin pada ketentuan umum, definisi Fakir
Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber
Definisi Umum
mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian
tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
PP 63/2013 Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah;
Perpres 2/2015 tentang tingginya tingkat ketimpangan dan pola penurunan tingkat
RPJMN 2015-2019, pada kemiskinan selama ini. Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT),
Arah Kebijakan Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan berusaha
Penanggulangan bagi penduduk kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil
Kemiskinan, terhadap kesempatan pengembangan keterampilan, pendampingan,
modal usaha, dan memberikan dampak bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemampuan mencukupi kebutuhan Keluarga
Penerima Manfaat (KPM) melalui akses yang lebih luas terhadap
layanan keuangan melalui mekanisme akun elektronik yang
digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan
pangan yang telah bekerjasama dengan bank penyalur.
PP 76/2015 pada Pasal Perubahan atas PP 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
11A ayat (3) Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial
tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu
Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
Pertimbangan lainnya bahwa, terjadi perluasan ruang lingkup definisi Bansos yang
diantaranya hasil Kajian mencakup rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial dan
Komisi Pemberantasan penanganan kemiskinan dalam Bultek 10 Tahun 2010 yang berbeda
Korupsi (KPK) Tahun dengan definisi Bansos dalam pasal 14 pada UU No. 11 Tahun 2009
2014 tentang Pengelolaan yang menggolongkan bantuan sosial (Bansos) sebagai bagian dari
Dana Bantuan Sosial perlindungan sosial
Tahun 2013
Surat Pimpinan Komisi Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial memiliki kelemahan
Pemberantasan Korupsi dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan,
(KPK) nomor B-748/01- termasuk pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) untuk
10/03/2014 tanggal 20 “Penanganan Fakir Miskin (perorangan dan keluarga). Rekomendasi
Maret 2014 KPK agar Bansos hanya dikelola oleh Kementerian Sosial.
Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan
oleh Pemerintah kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna
melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial,
meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraaan
masyarakat. Risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat
menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung
oleh individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai
dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam,
dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial
akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.

Hal lain sebagai pertimbangan dari analisis adalah beberapa perubahan penting
RPP tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan, meliputi Kriteria dan Urusan
Pemerintahan dengan kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan

[472]
tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada pembagian
urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.
Dekonsentrasi kepada Gubernur Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) dilakukan hanya
untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam rangka pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah
Kab./Kota dan TP yang dilaksanakan oleh Kab./Kota serta pelaksanaan tugas lainnya
sesuai ketentuan UU tentang Pemda. (Rincian tugas dan kewenangan GWPP sesuai
dengan Pasal 91 UU 23/2014).
Tugas Pembantuan (TP) merupakan Urusan pemerintahan yang ditugas
pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren sesuai lampiran UU
Nomor 23 Tahun 2014, bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan
serta sesuai dengan ketentuan penugasan dan K/L yang memberikan TP kepada daerah
harus membentuk Peraturan Menteri/Lembaga yang dikoordinasikan oleh Mendagri
(Peraturan Menteri/Lembaga tentang Urusan Pemerintahan yang ditugas-
pembantuankan kepada daerah Provinsi atau Kab./Kota dan Petunjuk pelaksanaannya).
Usulan untuk Indikator Kinerja Kunci (IKK) Bidang Sosial pada Sub Bidang
Penanganan Fakir Miskin (PFM), dengan adanya pembagian kewenangan adanya peran
Pemerintah Daerah dalam penanganan fakir miskin melalui Bantuan Sosial (Bansos).

INDIKATOR KINERJA KUNCI (IKK) PENANGANAN FAKIR MISKIN


Usulan Cara Perhitungan IKK PFM, yaitu:
N= Konstanta Persentase (%) dari Jumlah Pembilang dibagi Jumlah Penyebut.
Pembilang adalah: Jumlah Setaiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) yang diverifikasi dan validasi (Verval) dalam Data Terpadu Penanganan Fakir
Miskin (DT-PFM) yang telah mendapatkan bantuan sosial (Bansos) dengan Sumber Dana
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Pusat atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).
Penyebut adalah: Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) yang telah diverifikasi dan validasi dalam Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin
(DT-PFM) yang Seharusnya mendapatkan bantuan sosial (Bansos) dengan Sumber Dana
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Pusat atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).

PUSAT
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang telah mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN Pusat
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN
Pusat/APBD Provinsi/APBD Kab/Kota.

PROVINSI
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang belum terfasilitasi APBN Pusat sehingga difasilitasi mendapatkan
Bansos dengan Sumber Dana APBD Provinsi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %

[473]
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APB
Pusat atau APBD Provinsi.
KABUPATEN/KOTA
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang belum terfasilitasi APBN Pusat/APBD Provinsi sehingga difasilitasi
mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBD Kab/Kota
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100 %
Jumlah Setiap Orang Miskin dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang di Verval
dalam DT-PFM yang SEHARUSNYA mendapatkan Bansos dengan Sumber Dana APBN
Pusat/APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota.

REKOMENDASI
1. Sesuai dengan amanat RPJMN 2015-2019 dan mempertimbangkan tingginya tingkat
ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama ini. Program Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT), Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan
berusaha bagi penduduk kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap
kesempatan pengembangan keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan
memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kemampuan mencukupi
kebutuhan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui akses yang lebih luas
terhadap layanan keuangan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan
hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerja
sama dengan bank penyalur.
2. Mempertimbangkan Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial
Non Tunai, bahwa bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi,
efektifitas, transparansi dan akuntabilitas.
3. Menyusun dan membahas Indikator Kinerja Kunsi (IKK) Bidang Sosial Berdasarkan
Urusan Konkuren dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
4. Pengintegrasian Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai dasar dari Penyusunan
Anggaran di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sebagai dasar sinergi
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dengan Perencanaan Pembangunan
Daerah (PPD).
5. Indikator Kinerja Kunci (IKK) ini dirumuskan dan dibahas dalam rangka penyusunan
sebagai pedoman dalam pembinaan dan pengawasan atas Standar Pelayanan Minimal
(SPM) atau kegiatan yang diberikan wewenang pelaksanaannya di daerah sesuai
dengan UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
6. Penyusunan Indikator dengan: kewenangan daerah berdasarkan lampiran UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemda, indikator kinerja output, yaitu hasil dari proses
pengelolaan input pada masing-masing kewenangan daerah.
7. Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci (outcome)
dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output. Indikator
outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari beberapa
kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan kab/kota,
memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa dibandingkan antar
provinsi dan kabupaten/kota;
8. Menghitung indikator outcome dengan skala kinerja yaitu interval capaian kinerja
outcome ke dalam 5 klas interval. Penentuan nilai skala kinerja untuk masing-masing
interval dilakukan dengan menghitung nilai terendah dan nilai tertinggi yang dicapai

[474]
oleh seluruh Pemda Provinsi atau Kab/Kota. Skala tertinggi dapat juga menggunakan
target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam dokumen perencanaan;
9. Merumuskan dan menyusun satuan nilai perubahan indikator outcome dapat berupa
nilai absolut atau persentase perubahan outcome setiap tahun;
10. Mempertimbangkan Peraturan yang mengatur Bansos APBN
Referensi
 Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025;
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Menteri Sosial No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin;
 William M. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University;
 Buletin Teknis Kementerian Keuangan No.10 Tahun 2010 Penggolongan Bantuan
Sosial (BANSOS) sebagai Bagian dari Perlindungan Sosial;
 Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), No. B-748/01-10/03/2014
Tanggal 20 Maret 2014, Hal: Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial.

Jakarta, 8 Maret 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

Kontibutor:
Nursyamsu, Kasubag Pelaporan, Sekretariat Ditjen PFM.

[475]
POLICY BRIEF
APAKAH MENGURANGI BEBAN PENGELUARAN FAKIR MISKIN
DIANTARANYA MELALUI BANTUAN PANGAN NON TUNAI (BPNT) ?

Abstrak
Laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi per kapita penduduk secara nasional
tumbuh sekitar 4,87 persen antara tahun 2008-2012. Hanya 20,0 persen penduduk teratas
yang pertumbuhannya di atas rata-rata nasional, yang diperkirakan jumlahnya sekitar 50
juta jiwa. Sementara itu, sekitar 80,0 persen penduduk lainnya mempunyai tingkat
pengeluaran konsumsi dibawah rata-rata nasional. Gambaran ini mencerminkan bahwa
Indonesia masih mengalami ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Tidak meratanya distribusi pendapatan menyebabkan terjadinya ketimpangan
pendapatan antar kelompok masyarakat. Ini berarti, pendapatan nasional belum dapat
dinikmati oleh seluruh penduduk, sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan
antar kelompok masyarakat, yang dicerminkan oleh meningkatnya gini rasio dari 0,37
tahun 2007 menjadi 0,41 tahun 2012.
Ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menggambarkan
masih besarnya angka kemiskinan dan kerentanan, yang dicerminkan oleh angka
kemiskinan turun melambat dan angka penyerapan tenaga kerja yang belum dapat
mengurangi pekerja rentan secara berarti, meskipun tingkat pengangguran menurun.
Sesuai dengan amanat RPJP 2005-2025 dan mempertimbangkan tingginya tingkat
ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama ini, permasalahannya, serta
tantangan yang akan dihadapi dalam lima tahun mendatang, maka sasaran utama
(impact) yang ditetapkan dengan menurunnya tingkat kemiskinan pada kisaran 7-8
persen pada akhir 2019 dan penurunan tingkat ketimpangan pada akhir tahun 2019
sekitar 0,36, agar pendapatan penduduk 40,0 persen terbawah meningkat, dan beban
penduduk miskin berkurang diantaranya dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT),
sehingga penghasilan yang diperoleh tidak habis untuk memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari fakir miskin perorangan dan keluarga dengan karbohidrat dan protein yang
sesuai standar kesehatan bagi fakir miskin perorangan dan keluarga sangat miskin
yang disebut saat ini Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Sasaran (output) dengan meningkatnya peluang kerja dan berusaha bagi penduduk
kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap kesempatan pengembangan
keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan pengembangan teknologi, sarana dan
prasarana pendukung kegiatan ekonomi yang berkualitas;
Penyaluran bantuan pangan non tunai diharapkan memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses
yang lebih luas terhadap layanan keuangan.
Bantuan Pangan Non Tunai merupakan bantuan sosial pangan yang disalurkan
secara non tunai dari pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap
bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli
bahan pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan bank penyalur.

[477]
Tujuan Program Bantuan Pangan Non Tunai untuk:
 Mengurang beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagaian kebutuhan
pangan.
 Memberikan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM.
 Meningkatkan ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan
bagi KPM.
 Memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi
kebutuhan pangan.
 Mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDG’s).
Strategi penyelenggaraan sosial yang komprehensif termasuk didalamnya adalah :
 Mengintegrasikan berbagai asistensi sosial bagi keluarga miskin dan rentan dalam
bentuk bantuan pangan bernutrisi. Untuk penyaluran asistensi sosial dalam bentuk
bantuan tunai, dikembangkan dalam penyaluran dengan skema uang elektronik
dan memanfaatkan agen layanan keuangan digital sebagai tempat pencairan
bantuan,
 Meningkatkan integrasi program pemberdayaan bagi penduduk miskin dan rentan,
melalui peningkatan kemampuan keluarga dan inklusi keuangan, serta
peningkatan akses layanan keuangan sehingga membuka kesempatan bagi
pengembangan ekonomi.
Transformasi subsidi beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah secara bertahap
menjadi bantuan pangan bernutrisi (tidak hanya beras, namun juga bahan makanan
lainnya, seperti telur, kacang-kacangan, dan susu). Perbaikan proses bisnis mencakup
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengembalian melalui mekanisme
penyaluran bantuan menggunakan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS), terutama
di daerah yang memiliki jaringan ritel memadai.

Pendahuluan
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai yang disusun Desember 2016,
oleh lintas Kementerian dan lembaga, yaitu Kemenko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan Kantor Staf Presiden, memuat program
bantuan pangan non tunai merupakan upaya mereformasi program subsidi Rastra tahun
2016, yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden RI Joko Widodo untuk
meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran program serta untuk mendorong inklusi
keuangan
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Selain untuk memberikan pilihan pangan yang lebih luas, penyaluran bantuan
pangan non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung
perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk memperkuat
upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dengan cara memadukan sistem perencanaan
dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin, baik secara vertikal (antar

[478]
kementerian lembaga), horisontal (pemerintah pusat dan daerah), maupun dengan
stakeholder lain di luar pemerintah.

Deskripsi Masalah
Inventarisir permasalahan dan rekomendasi dalam program Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) :
 Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan kemiskinan, dan untuk
memastikan seluruh penduduk memperoleh akses terhadap sumber penghidupan
yang produktif diantaranya dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif
dan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan pemerataan
pembangunan dan penurunan kemiskinan dengan mempertajam program-
program khusus untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Pangan Non Tunai
(BPNT), melalui ketepatan sasaran penerima, fokus, dan lokus kegiatan dukungan
data terkini melalui pemutakhiran dan validasi secara berkala.
 Penguatan peran kelembagaan sosial dengan mengintegrasikan program-program
penanggulangan kemiskinan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke dalam
sistem rujukan dan layanan terpadu, pada tingkat kabupaten/kota hingga
desa/kelurahan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksana asistensi
sosial, melalui penguatan fungsi pendampingan dan penjangkauan oleh SDM
kesejahteraan sosial serta pengembangan kapasitas pengelolaan data. Pusat rujukan
dan pelayanan ini berfungsi untuk pengelolaan data, pelayanan, penjangkauan,
serta pelaporan dan penanganan keluhan.
 Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat diikuti dengan perbaikan layanan dan
akuntabilitas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga rujukan.
Sistem pelayanan perlindungan sosial terpadu dikembangkan melalui kerjasama
pemerintah dengan berbagai unsur masyarakat. Sistem ini terdiri dari bagian
pelayanan, bagian penjangkauan, serta bagian keluhan dan pelaporan. Diharapkan
dengan adanya sistem ini program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan
sosial dapat terkoordinasi dengan baik, serta pemerintah daerah dapat melakukan
pemutakhiran data secara berkala.

Rekomendasi
 Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan,
mengarahkan pengarusutamaan pengurangan kemiskinan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Institusi koordinasi penanggulangan kemiskinan tersebut dipimpin
langsung oleh kepala pemerintahan (presiden, gubernur, bupati/walikota) dengan
anggota unsur pemerintahan dan perwakilan lembaga non-pemerintah;
 Meningkatkan sosialisasi program tidak terlepas dari belum adanya petunjuk yang
mengatur kegiatan tersebut. Kegiatan sosialisasi dijalankan secara tidak terstruktur,
tanpa ada rancangan yang jelas apa saja aspek yang perlu disampaikan, kapan
sosialisasi perlu dilakukan, pada tingkatan mana saja sosialisasi perlu dilakukan,
bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, dan target
kegiatan sosialisasi. Sosialiasi program dilakukan sebagai bagian dari peluncuran
program semata dan belum ditujukan sebagai sarana edukasi intensif bagi pemangku
kepentingan program. Kegiatan sosialisasi program tersebut diharapkan mampu

[479]
memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini
kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat.
 Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan.
 Perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping PKH
atau hasil perekrutan baru.
 Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program. Misalkan memaksimalkan Layanan dan Rujukan Terpadu di
kabupaten/kota dan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) di lingkup desa dalam
menjawab permasalahan program di lapangan.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
 Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan.
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019

Jakarta, 22 Juni 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[480]
POLICY BRIEF
EFEKTIFITAS UJI COBA TAHAP-1 BANTUAN PANGAN NON TUNAI

Abstrak
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan
pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan
sosial. Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada: perseorangan, keluarga atau
yang disebut Keluarga Penerima Manfaat (KPM), kelompok, dan masyarakat.
Surat Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas,
No. 5136/Dt.4.3/07/2017 tanggal 3 Juli 2017, Hal: rapat persiapan penyaluran ujicoba
Bantuan Pangan Non Tunai, pada rabu, 5 Juli 2017 di ruang rapat SG3 Bappenas.
Laporan uji coba daerah perluasan BPNT 2018, pelaksanaan sosialisasi, registrasi,
dan pemanfaatan bantuan tanggal 7-19 Juni 2017 di 10 provinsi dan 10 kab/kota, yaitu di
provinsi: Sumatera Utara di Deli Serdang, Jawa Timur di Kediri, Jawa Tengah di Boyolali,
Nusa Tenggara Barat di Lombok Timur, Papua Barat di Kota Sorong, DI Yogyakarta di
Kulon Progo, Bali di Tabanan, Kalimantan Timur di Kota Balikpapan, Sulawesi Selatan di
Goa, Maluku di Kota Tual.
Tujuan pemantauan uji coba :
 Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan uji coba daerah perluasan BPNT
2018
 Mengidentifikasi tantangan yang muncul selama pelaksanaan uji coba daerah
perluasan BPNT 2018
 Memberi masukan terhadap upaya penyempurnaan rancangan dan mekanisme
BPNT di daerah Kabupaten/Kota.

Pendahuluan
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai yang disusun Desember 2016,
oleh lintas Kementerian dan lembaga, yaitu Kemenko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan Kantor Staf Presiden, memuat program
bantuan pangan non tunai merupakan upaya mereformasi program subsidi Rastra tahun
2016, yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden RI Joko Widodo untuk
meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran program serta untuk mendorong inklusi
keuangan
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Selain untuk memberikan pilihan pangan yang lebih luas, penyaluran bantuan

[481]
pangan non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung
perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.
Untuk mendorong keberhasilan dalam peningkatan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, penataan kelembagaan diarahkan untuk memperkuat
upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dengan cara memadukan sistem perencanaan
dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin, baik secara vertikal (antar
kementerian lembaga), horisontal (pemerintah pusat dan daerah), maupun dengan
stakeholder lain di luar pemerintah.
Hasil pemantauan uji coba 2017 di wilayah perluasan BPNT 2018: Penyaluran
Tahap 1, Juni 2017, meliputi :
Sosialisasi:
 Keterlibatan Pemda terbatas pada sosialisasi ke tingkat kelurahan/desa
 Pemerintahan kelurahan/desa memfasilitasi kegiatan sosialisasi, registrasi dan
musyawarah penggantian KPM
 Pemerintah kelurahan/desa membantu memberikan surat keterangan bagi KPM yang
mengalami masalah saat registrasi
 Pemberitahuan jadwal registrasi dan pencairan serta pembagian surat undangan
melibatkan pendamping PKH, TKSK dan/atau aparat setempat
 Jumlah personil Bank terbatas sehingga perlu diperhitungkan saat scale-up.
 KPM umumnya memahami mengnai kebebasan menentukan kuantitas dan kualitas
bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan
 KPM belum memahami mekanisme transaksi dan menjaga kerahasiaan PIN. KPM
masih mengandalkan bantuan agen/bank dalam melakukan proses transaksi
 Di wilayah intervensi, poster terpasang di setiap agen namun masih jarang KPM yang
membacanya. Informasi kebanyakan diperoleh secara verbal dari pendamping PKH,
TKSK, dan/atau aparat lokal.
Registrasi:
 Sorong dan Boyolali, registrasi masih berlangsung hingga penyaluran tahap 1 uji coba
 Pemberitahuan jadwal registrasi dilakukan oleh pendamping PKH/TKSK dan/atau
aparat lokal.
 Masalah saat registrasi: kartu tidak ada, kartu ganda, kartu tidak dibagikan karena
beberapa kasus seperti KPM kabur dan pasangannya telah meninggal, sedangkan
anaknya tidak dianggap berhak menerima karena masih SD (belum memiliki KTP),
KPM menolak, data KPM dan dokumen berbeda sama sekali. NIK, nama dan alamat
sedikit berbeda dengan daftar KPM sehingga harus dilengkapi dengan surat
keterangan dari kelurahan setempat. KPM diwakilkan seperti di Sorong 30% KPM
diwakilkan oleh pihak lain dengan alasan lansia, sakit, dan sedang tidak ada di tempat.
Untuk Lansia dan KPM yang sakit, pihak bank tidak memberikan layanan khusus
dengan mendatangi KPM.
Lini waktu pelaksanaan uji coba BPNT, yaitu:
 Koordinasi dan sosialisasi kepada Pemda, Bank, dan fasilitator dan penyiapan Daftar
Penerima Manfaat (DPM) 1 uji coba dan penyerahan DPM akhir kepada Bank
 Pemetaan dan perekrutan e-warong dan penyiapan jawal registrasi, penyiapan surat
kepada KPM, Poster. Wilayah intervensi dan pelatihan pengaduan dengan mekanisme
lapor
 Sosialisasi kepada Point of Information (POI) di masing-masing wilayah oleh Pemda
 Edukasi kepada e-warong oleh Bank

[482]
 Koordinasi pelaksanaan registrasi/distribusi KKS dan koordinasi pemberitahuan
kepada KPM (melalui surat undangan atau metode lain)
 Pelaksanaan registrasi dan distribusi rekening KPM dan penyaluran dan pemanfaatan
bantuan.
Penetapan Bank Mitra pelaksana Uji Coba mengikuti penetapan bank mitra dalam
PKH berdasarkan SK Dirjen Linjamsos, Nomor 02/LJS/01/2017. Pelaksanaan uji coba
BPNT, beberapa temuan dan isu, diantaranya :
 Persiapan dan dukungan pelaksanaan dan koordinasi penyiapan registrasi.

Deskripsi Masalah
Permasalahan Umum, meliputi :
 Kesenjangan antara wilayah di Indonesia. Laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi
per kapita penduduk secara nasional tumbuh sekitar 4,87 persen antara tahun 2008-
2012. Hanya 20,0 persen penduduk teratas yang pertumbuhannya di atas ratarata
nasional, yang diperkirakan jumlahnya sekitar 50 juta jiwa. Sementara itu, sekitar 80,0
persen penduduk lainnya mempunyai tingkat pengeluaran konsumsi dibawah rata-
rata nasional. Gambaran ini mencerminkan bahwa Indonesia masih mengalami
ketidakmerataan distribusi pendapatan.
 Ketimpangan pendapatan.
 Ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.
 Beban pengeluaran Fakir Miskin (perorangan dan Keluarga), bahkan mengutang
kepada tetangga atau rentenir untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya.

Rekomendasi
Umum:
 Sasaran (output) dengan meningkatnya peluang kerja dan berusaha bagi penduduk
kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap kesempatan pengembangan
keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan pengembangan teknologi, sarana dan
prasarana pendukung kegiatan ekonomi yang berkualitas;
 Penyaluran bantuan pangan non tunai diharapkan memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui
akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan.
 Bantuan Pangan Non Tunai merupakan bantuan sosial pangan yang disalurkan secara
non tunai dari pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya
melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan
pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan bank penyalur.
 Bahwa tujuan dari Bantuan Pangan Non Tunai untuk mengurang beban pengeluaran
KPM melalui pemenuhan sebagaian kebutuhan pangan, memberikan nutrisi yang
lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan ketepatan sasaran dan ketepatan waktu
penerimaan bantuan pangan bagi KPM, memberikan lebih banyak pilihan dan kendali
kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan, mendorong pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDG’s).

[483]
Aspek Kelembagaan:
 Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan
meningkatkan sosialisasi program tidak terlepas dari belum adanya petunjuk yang
mengatur kegiatan tersebut.
 Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan sarana perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan
dan perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping
PKH atau hasil perekrutan baru.
 Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program. Misalkan memaksimalkan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT) di kabupaten/kota dan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskessos) di lingkup desa
dalam menjawab permasalahan program di lapangan.

Aspek Teknis dalam uji coba BPNT


 Bank atau yang disebut Himpunan Bank Negara (Himbara) akan mengkonfirmasikan
ke Bank Cabang mengenai jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang belum
registrasi. Data tersebut perlu dikoordinasikan ke Kementerian Sosial RI pada tanggal
9 Juli 2017.
 Penyerahan data ke Bank merupakan data hasil yang telah dipadankan antara Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) agar tidak terjadi
Kartu Ganda. Data diserahkan satu pintu melalui Kelompok Kerja (POKJA) Data.

 Format Pemantauan dan Pelaporan antara Kemensos dan Bank (Himbara).

Analisis
 Dilakukan Analisis Regresi untuk mencari koefisien masing-masing variabel
independen dengan memprediksi nilai (aktual dan estimasi) melalui suatu persamaan
berdasarkan data yang ada (evident based).
 Perlu juga Analisis Korelasi untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) linear
antara 2 (dua) variabel. Variabel dependent (terikat) diasumsikan random yang
mempunyai distribusi probabilistik. Variabel independent (bebas) diasumsikan
memiliki nilai tetap (dalam pengambilan sampel berulang). Teknik estimasi variabel
dependent yang melandasi Analisis Regresi yang disebut Ordinary Leat Square (OLS)
dengan pangkat kuadran terkecil biasa. Model regresi linear dengan parameter
Yi=b1+b2.xxi+vi.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019

Jakarta, 7 Juli 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,

[484]
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[485]
POLICY BRIEF
PELAKSANAAN BANTUAN PANGAN NON TUNAI
DI PROVINSI LAMPUNG

Abstrak
Hasil Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Dana Bantuan Sosial Tahun 2013 bahwa, terjadi perluasan ruang lingkup definisi Bansos
yang mencakup rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial dan penanganan
kemiskinan dalam Bultek 10 Tahun 2010 yang berbeda dengan definisi Bansos dalam
pasal 14 pada UU No. 11 Tahun 2009 yang menggolongkan bantuan sosial (Bansos)
sebagai bagian dari perlindungan sosial
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-748/01-
10/03/2014 tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial
memiliki kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan,
termasuk pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin
(perorangan dan keluarga). Rekomendasi KPK agar Bansos hanya dikelola oleh
Kementerian Sosial.
Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau
kesejahteraaan masyarakat. Risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat
menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi,
krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja
bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Sesuai dengan amanat RPJMN 2015-2019 dan mempertimbangkan tingginya tingkat
ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama ini. Program Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT), Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan
berusaha bagi penduduk kurang mampu, akses usaha mikro dan kecil terhadap
kesempatan pengembangan keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan
memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kemampuan mencukupi
kebutuhan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui akses yang lebih luas terhadap
layanan keuangan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk
membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan yang telah bekerjasama dengan bank
penyalur.
Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas.
Surat Kepala Biro Perencanaan Kementerian sosial RI kepada Kepala Dinas Sosial
Provinsi Lampung, No. 300/SJ-PER/ARS/07/2017 tanggal 28 Juli 2017 dan Surat
Keputusan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI No. 487/SJ-PER/04/2017
tanggal 18 April 2017 perihal Tim penyusun Analisis Renstra Kementerian Sosial,
menugaskan Syauqi Analis Kebijakan Madya melaksanakan Field Review dan FGD
Analisis Rencana Strategis Bidang Penanganan Fakir Miskin dengan tema penguatan
kelembagaan dan pendampingan di tingkat desa/kelurahan dalam pelaksanaan program
Bantuan Pangan Non Tunai tanggal 12 s.d 15 Agustus 2017 di provinsi Lampung bersama

[486]
Nursyamsu Kasubag Program Sekretariat Ditjen Penanganan Fakir Miskin, Kementerian
Sosial RI.

Pendahuluan
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai yang disusun Desember 2016,
oleh lintas Kementerian dan lembaga, yaitu Kemenko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan Kantor Staf Presiden, memuat program
bantuan pangan non tunai merupakan upaya mereformasi program subsidi Rastra tahun
2016, yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden RI Joko Widodo untuk
meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran program serta untuk mendorong inklusi
keuangan
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Tujuan Program Bantuan Pangan Non Tunai untuk:
 Mengurang beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagaian kebutuhan
pangan, memberikan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan
ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan bagi KPM,
memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi
kebutuhan pangan, mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDG’s).
 Penyaluran bantuan sosial dengan skema uang elektronik dan memanfaatkan agen
layanan keuangan digital sebagai tempat pencairan bantuan dan meningkatkan
integrasi program pemberdayaan bagi penduduk miskin dan rentan, melalui
peningkatan kemampuan keluarga dan inklusi keuangan, serta peningkatan akses
layanan keuangan sehingga membuka kesempatan bagi peningkatan kemampuan
pemenuhan kebutuhan.

Deskripsi Masalah
Inventarisir permasalahan dan rekomendasi dalam program Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT) secara umum:
 Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan kemiskinan, dan untuk
memastikan seluruh penduduk memperoleh akses terhadap sumber penghidupan
yang produktif diantaranya dengan mewujudkan pemenuhan kebutuhan Keluarga
Penerima Manfaat (KPM) melalui ketepatan sasaran penerima, fokus, dan lokus
kegiatan dukungan data terkini melalui pemutakhiran dan validasi secara berkala.
 Penguatan peran kelembagaan sosial sebagai wadah kerjasama Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan (TKSK), pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan
pendamping lain yang merupakan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dengan
Himpunan Bank Negara (Himbara) yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara
Indonesia (BNI), Bank Mandiri serta pihak terkait lain seperti Bulog dan perangkat
daerah terkait.

[487]
Hasil Field Review dan FGD pelaksanaan BPNT di Provinsi Lampung di Kota
Bandar Lampung, diantaranya :
 Berdasarkan informasi dari Ketua e-warong Sumber Raya Agung, Jl. Sumber Agung,
Kelurahan Sumber Agung setelah dilakukan pengecekan isi kartu e-wallet ada
beberapa yang kosong. Pendamping/Penyelia, belum pernah mendapatkan pelatihan
terkait pengembangan kapasitas pendamping.
 Untuk mengisi kosong barang di warung agar dicarikan solusi distribusi barang di
warung tidak selalu dilihat dari non tunai, menggunakan sistem penitipan dari
distributor sehingga ada keuntungan dari penjualan barang yang dititipkan di warung
(masukan Ketua e-warong diberi akses untuk stock barang di e warong)
 Kesulitan untuk pemindahan tempat karena lokasi yang jauh, terkait tanah yang
digunakan berstatus tanah hibah, sehingga keberadaan e-warong terikat dengan
kriteria hibah tanah, sehingga berdampak lokasi e-warong terlalu jauh dijangkau oleh
KPM (masukan dari ketua KUBe adanya keringanan untuk pemindahan lokasi yang
lebih mudah dijangkau).
 Di kota Bandar Lampung yang berjalan baru di 14 e-warong, sedang dalam proses
menuju 55 e warong. KPM yang dilayani banyak seharusnya ada penyelesaian atau
solusi lain, seperti mesin EDC yang cepat rusak karna digunakan untuk ribuan KPM
seharusnya ada mesin EDC cadangan.
 Adanya kelambatan pengiriman dari BRI ke ATM KPM, akhirnya penyaluran
tersendat karna uang belum masuk, belum bisa mendebit untuk ditukar dengan BPNT.
Barang masuk ke warung menumpuk karena KPM belum mengambil beras, padahal
ATM sudah di debit,
 Warung akan order barang apabila uang sudah masuk ke ATM dan siap didebit,
namun sering terjadi keterlambatan pengiriman, datangnya barang sedikit demi
sedikit sehingga terjadi keterlambatan penerimaan bantuan kepada KPM.

Rencana Kesiapan e-waroeng yang baru di Kabupaten Pesawaran


 Hasil field review, info dari Kabid Penanganan Fakir Miskin Dinsosnakertrans Kab.
Pesawaran, Koordinator Kabupaten PKH dan Koordinator Kecamatan, Gedung
Kataan, dari semula jumlah KPM 13.346 dengan perluasan penjangkauan menjadi
23.813 KPM.
 Pengajuan 21 lokasi di sebelas kecamatan. Semua lokasi anggota KPM PKH. Posisi
letak dicari yang strategis di tengah-tengah. Agen Bank Mandiri ada 56 usulan. KPM
sudah mempersiapkan persyaratan membuat e-waroeng. Terdapat 11 kecamatan 144
desa ada 21 lokasi agen bank yang direncanakan.
 Informasi dari wakil ketua KPM dari desa gedung tataan lokasi dari rumah KPM jarak
tempuh ke Bank Mandiri tidak jauh setiap bulan satu kali diadakan pertemuan rapat
antar anggota KPM selama ini sudah 5 kali diadakan rapat.
 Di kabupaten Pesawaran ada daerah yang menjadi wilayah pesisir ada 4 Desa yaitu
Punduh Pidada, marga punduh telukpandan dan padang cermin. Jumlah KPM di
Pesawaran 40.710, Penerima PKH 13.346, selisihnya 27.364 sehingga perlu ada
verivikasi ulang untuk kelayakan penetapan penerima bantuan.

[488]
Focuss Group Discussion (FGD) pada Senin, 14 Agustus 2017, beberapa pointers
diantaranya:
 E-Warong menangani lebih dari 1000 KPM seperti e-warong Makmur Jaya menangani
1700 KPM.
 Kepmensos 160/2016 tentang Pembagian Wilayah Penanganan Fakir Miskin, banyak
wilayah desa yang masuk topolagi pesisir menjadi wilayah pesisir. Mekanisme
Pemutakhiran Mandiri (MPM), data utama dari Musyawarah Desa/Kelurahan (Musdes/
Muskel). Pedoman Pelaksanaan (Pedlak), Pemenuhan Kebutuhan dasar, beras dan telur.

Berdasarkan paparan Narsum Daerah, Sekretaris Dinsos Kota Bandar Lampung,


permasalahan pelaksanaan BPNT diantaranya:
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan Jumlah Keluarga
Penerima Manfaat (KPM) Kota Bandar lampung sebanyak 49.711 KPM. PKH sebanyak
19.364 KPM dengan komponen bantuan meliputi: ibu hamil, balita, anak sekolah Rp.
1.890,-/tahun. Lansia dan disabilitas berat Rp. 2 juta/tahun dan komponen Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT). Non PKH sebanyak 30.347 KPM, komponen bantuan
BPNT.
 Hasil verifikasi data dari 49.711 terdapat 4.747 yang kartunya tidak valid dikarenakan
ada yang meninggal, pindah tidak diketemukan. Sebelumnya 186 KPM belum
menerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dengan upaya Dinas Sosial Kota Bandar
Lampung dan peran pendamping TKSK dan PKH bekerja dengan pihak Bank,
pemenuhan KKS bagi 186 KPM telah terpenuhi.
 BRI Cabang Tanjung Karang, permasalahan awalnya terkendala oleh data, tetapi selalu
dikoordinasikan dengan pihak TKSK dan Dinas. Keterbatasan petugas Bank, sehingga
menjadi kendala.
 Ada 186 KPM yang sudah ada kartunya tetapi belum ada uangnya. Proses mekanisme
melibatkan banyak stakeholder di daerah provinsi dan kab/kota. Rencana lonching
Januari 2017, tetapi tidak semudah itu, terutama masalah data yang By Name By Adress
(BNBA), ternyata tidak dapat dibuka.
 Pihak kelurahan belum memahami BPNT. Tidak ada lurah yang menjelaskan ke
jajaran dibawahnya mengenai BPNT sehingga koordinasi TKSK dengan pihak
kelurahan tidak ada komunikasi. KPM yang akan menerima, bila ada Nama yang
kurang huruf saja maka perlu ada format/surat dari Kelurahan dan TKSK. Ada data
yang ganda (double) misalkan atas nama udin, sebenarnya dapat dari PKH dan BPNT.
 Kesulitan dalam mengganti nama, karena sudah mampu tetapi masih mendapatkan
nama, sehingga TKSK mengambil inisiatif ke Bappeda agar mengganti Nama ybs agar
diganti yang lebih berhak dan sesuai kriteria yang ditetapkan.

Masukan Kepala Dinas sosial Provinsi pada pelaksanaan BPNT, diantaranya:


 Kewenangan provinsi mesti jelas karena sesuai peraturan perundangan, fungsi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, perluasan jangkauan dari kota ke
kabupaten diperlukan peran provinsi.
 Masalah mesin EDC, agar diganti yang lebih kuat
 Ada pendamping e-warong, perlu dilatih tentang bisnis dan perlu analisa kebutuhan
masyarakat

[489]
 Perlu ada sarana komputer dan ada kemauan/kesadaran dari KPM untuk belajar
bisnis, misalkan ada 1300 jenis barang dan ada pangsa pasar perlu adanya sistim
barkot.
 E-Warong di Kota, diberi 10 juta untuk e-warong dan isi-nya 20 juta. Di Pesisir, 35 juta
dan perlu ada pelatihan dan punya jiwa visioner/kemajuan. Pendamping dikuatkan.

Rekomendasi
 Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan;
 Perlu peran Dinas sosial Provinsi untuk perluasan jangkauan BPNT berdasarkan UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintah Pusat menyerahkan sebagaian urusan
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU
23/2014 dan perubahan dari Revisi PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari
Pusat ke Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Perangkat Daerah di Dinsos Kab/Kota
atau langsung ke pengelola e-warong, tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke
Gubernur.
 Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan.
 Perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping PKH
atau hasil perekrutan baru.
 Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program untuk menjawab permasalahan program di lapangan.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda;
 Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah RI No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai.

Jakarta, 15 Agustus 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[490]
POLICY BRIEF
ANALISIS RENSTRA
BANTUAN PANGAN NON TUNAI DI KOTA DENPASAR BALI

Abstrak
Pengalihan anggaran dari Kementerian Keuangan RI kepada Kementerian Sosial RI
yang sebelumnya anggaran RASTRA ada di kewenangan Bendahara Umum Negara
(BUN) Menteri Keuangan RI kepada Pengguna Anggaran (PA) dalam hal ini Menteri
Sosial RI sebagai wujud transformasi anggaran RASTRA menjadi Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) di Kementerian Sosial.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Selain untuk memberikan pilihan pangan yang lebih luas, penyaluran bantuan
pangan non tunai melalui sistim perbankan juga dimaksudkan untuk mendukung
perilaku produktif masyarakat melalui fleksibilitas waktu penarikan bantuan dan
akumulasi aset melalui kesempatan menabung.
BPNT disalurkan secara non tunai melalui sistem perbankan untuk kemudahan
mengontrol, memantau, dan mengurangi penyimpangan, bantuan ditransfer pada
electronic wallet Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan KPM memiliki kebebasan membeli
bahan pangan yang dibutuhkan, bukan hanya mendorong perluasan inklusi keuangan.
Rencana Penambahan Target BPNT Menjadi 10 Juta KPM di tahun 2018 dan pergeseran
alokasi subsidi beras sejahtera menjadi BPNT di 98 Kota dengan target 1.716.042 KPM
pada 140 Kabupaten dengan target 8.283.958 KPM.
Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai, bahwa
bantuan tunai menjadi non tunai untuk menjaga efisiensi, efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas. BPNT diharapkan memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan
dan kemampuan ekonomi penerima manfaat melalui akses yang lebih luas terhadap
layanan keuangan.
Subsidi Beras Sejahtera (RASTRA) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
terdapat sejumlah tantangan diantaranya program RASTRA yang sulit diselesaikan,
khususnya pada persoalan ketepatan dari sasaran atau penerima manfaat, jumlah yang
seharusnya diterima, keterlambatan waktu, kualitas beras dan persoalan administratif
lainnya serta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak dapat memilih bahan pangan lain
kecuali beras.
Surat Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI kepada Kepala Dinas Sosial
Provinsi Bali, No. 300/SJ-PER/ARS/07/2017 tanggal 28 Juli 2017 dan Surat Keputusan
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI No. 487/SJ-PER/04/2017 tanggal 18
April 2017 perihal Tim penyusun Analisis Renstra Kementerian Sosial, menugaskan
Tommy C. Utomo, Kasubag Analisis Renstra Bidang Pemberdayaan Sosial dan
Penanganan Fakir Miskin, serta Syauqi Analis Kebijakan Madya, di Biro Perencanaan
Kementerian Sosial RI untuk melaksanakan Field Review dan FGD Analisis Rencana
Strategis dengan tema: “Penguatan Kelembagaan dan Pendampingan di Tingkat Desa/
Kelurahan Dalam Pelaksanaan Program Bantuan Pangan Non Tunai tanggal 28 s.d 31
Agustus 2017 di Kota Denpasar Bali.

[491]
Pendahuluan
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai yang disusun Desember 2016,
oleh lintas Kementerian dan lembaga, yaitu Kemenko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan Kantor Staf Presiden, memuat program
bantuan pangan non tunai merupakan upaya mereformasi program subsidi Rastra tahun
2016, yang dilaksanakan berdasarkan arahan Presiden RI untuk meningkatkan efektifitas
dan ketepatan sasaran program serta untuk mendorong inklusi keuangan
Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin, banyak wilayah desa yang masuk topolagi pesisir menjadi
wilayah pesisir. Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM), data utama yang menjadi
dasar adalah dari Musyawarah Desa/Kelurahan (Musdes/Muskel). Pedoman
Pelaksanaan (Pedlak), Pemenuhan Kebutuhan dasar yaitu beras dan telur.
Kemudian Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan
Jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Kota Denpasar sebanyak 3.114 KPM.
Pelaksanaan BPNT pada 23 Februari 2017 dari Himpunan Bank Negara (HIMBARA), BNI
di Kecamatan Denpasar Selatan dengan data sebanyak 643 KPM. BNI di Kecamatan
Denpasar Timur dengan data sebanyak 846 KPM. Bank Mandiri di Kecamatan Denpasar
Barat dengan data sebanyak 701 KPM. Bank Tabungan Negara (BTN) di Kecamatan
Denpasar Utara dengan data sebanyak 924 KPM.
Penyaluran bantuan pangan secara non tunai dilaksanakan secara bertahap mulai
tahun 2017 pada beberapa daerah terpilih di Indonesia dengan akses dan fasilitas
memadai. Tujuan Program Bantuan Pangan Non Tunai untuk :
 Mengurang beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan
pangan, memberikan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM, meningkatkan
ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan bagi KPM,
memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi
kebutuhan pangan, mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDG’s).
 Penyaluran bantuan sosial dengan skema uang elektronik dan memanfaatkan agen
layanan keuangan digital sebagai tempat pencairan bantuan dan meningkatkan
integrasi program pemberdayaan bagi penduduk miskin dan rentan, melalui
peningkatan kemampuan keluarga dan inklusi keuangan, serta peningkatan akses
layanan keuangan sehingga membuka kesempatan bagi peningkatan kemampuan
pemenuhan kebutuhan.

Pelaksanaan Pencairan BPNT di Kota Denpasar Tahun 2017


Penyaluran BPNT merupakan upaya reformasi program subsidi Beras Miskin
(RASKIN) atau Beras Sejahtera (RASTRA). Skema ini diharapkan menjadi efektif dan
berkualitas dalam memenuhi target 6T yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga,
tepat waktu, tepat kualitas dan tepat administrasi.
Data penerima BPNT Tahap-I diterima Bulan November-Desember 2016 dan
pencairan Tahap-I telah dilaksanakan serentak saat launching oleh Presiden RI pada Bulan
Februari 2017 yang penerimanya merupakan Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
sebanyak 3.114 KPM yang tercatat dalam data verifikasi dan validasi (verval) melalui
Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM) dari Basis Data Terpadu (BDT) berdasarkan
data utama dari Musyawarah Desa/Kelurahan (Musdes/Muskel).

[492]
Pada data BPNT CD BDT 2015 sebanyak 3.851 KK/Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) diterima bulan Mei 2017 dari Kelompok Kerja (POKJA) Data Kemiskinan
mengeluarkan data fakir miskin melalui Sistim Informasi dan Konfirmasi Data Sosial
Terpadu (SISKADA SATU), yang seharusnya digunakan oleh Kementerian/Lembaga/
Daerah dalam implementasi program-program penanggulangan kemiskinan.
Data resmi Kemiskinan hanya dikeluarkan oleh POKJA Data Kemiskinan
berdasarkan peraturan perundangan. Hasil verifikasi dan validasi data penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan secara berjenjang dari tingkat paling rendah di kab/kota
dikirim ke tingkat provinsi sebagai fungsi koordinasi verifikasi dan validasi data dari
kab/kota di wilayah provinsi tersebut untuk dikirimkan ke tingkat Pusat, tetapi juga
untuk Tim Kelompok Kerja (POKJA) data di Kementerian Sosial di Ditjen Penanganan
Fakir Miskin (PFM), yang anggotanya terdiri dari Lintas Kementerian/Lembaga Basis
Data Terpadu (BDT) Fakir Miskin. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) tidak mengeluarkan data fakir miskin lagi tetapi hanya pada perangkingan saja.
Data SISKADA diteruskan ke desa/kelurahan untuk divalidasi melalui
Musyawarah Desa/Kelurahan (MUSDES/MUSKEL) yang memperoleh hasil 2.244 KPM.
Progres pencairan BPNT Tahap-II agak lambat karena sebelumnya masih menunggu
penetapan penerima BPNT (Non-PKH) oleh Walikota dan terkendala teknis kesalahan
dalam input data di beberapa desa dan kelurahan.
Data hasil validasi MUSDES/MUSKEL untuk penerima BPNT telah ditetapkan
dengan Surat Keputusan (SK) Walikota dan telah disampaikan ke Pusat Data dan
Informasi (PUSDATIN) Kementerian Sosial RI pada tanggal 16 Agustus 2017. Hasil rapat
evaluasi pelaksanaan BPNT di Kota Denpasar tertanggal 10 Agustus 2017 terlampir, salah
satu poin harus segera melaksanakan pencairan BPNT untuk bulan Maret-April-Mei-Juni-
Juli dan Agustus berdasarkan data CD BDT Tahun 2015 sebanyak 3.114 KPM.
Pelaksanaan percepatan pencairan BPNT dilaksanakan serentak di Kota Denpasar Bali di
4 Kecamatan dari tanggal 21 s.d 30 Agustus 2017 hingga mencapai target Agustus Tuntas
khusus untuk KPM.

Deskripsi Masalah
Hasil FGD Selasa 29 Agustus 2017 di Kantor Desa Ubung Kaja Kecamatan Denpasar
Utara Untuk Evaluasi Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bulan Agustus
Tahun 2017 di Kota Denpasar Bali, meliputi :
 Belum sepenuhnya berjalan BPNT sesuai dengan ketentuan dan arahan serta Pedoman
Umum BPNT dikarenakan tidak satu pemahaman/persepsi antara pihak Kementerian
Sosial, Himpunan Bank Negara (HIMBARA) yaitu BNI, Mandiri, BTN di Kota
Denpasar, diantaranya: penyaluran BPNT harus diambil habis, tidak diperbolehkan
menggunakan distributor selain BULOG dan komoditi pangan hanya beras dan gula.
 Pada BULOG, kenaikan harga pada tanggal 19 Agustus 2017 pihak BULOG
menginfokan kenaikan harga dari awalnya Rp. 8.300,- perKg menjadi Rp. 9.000,- per
Kg dan pada tanggal 22 Agustus 2017 kembali ada kenaikan harga kembali menjadi
Rp. 9.500,- perKg. Ketidaksiapan pihak BULOG sehingga terjadi keterlambatan dalam
pengiriman barang ke lokasi penyaluran (agen/e-warong) yang mengakibatkan
mundurnya jadwal penyaluran di agen dan pihak KPM terpaksa harus dipulangkan.
 Pada Bank, Pihak HIMBARA hanya memperbolehkan penyaluran BPNT di agen
menggunakan dua komoditi saja (beras dan gula) dengan alasan tidak terinfo dari
HIMBARA Pusat terkait komoditi apasaja yang boleh dibeli. Sesuai dengan vidcom
BNI yang mengharuskan KPM mengambil habis kuota 6 (enam) bulan Maret s.d

[493]
Agustus. Dana BPNT Tahap 4 Kecamatan Denpasar Utara belum masuk ke rekening
KPM. Hasil koordinasi dengan Pihak BTN Pusat diinfokan dana Tahap 4 belum di
transfer oleh BNI. Beberapa KPM masih ada yang saldo BPNT-nya Rp.0 (rata-rata
saldo Tahap II hilang, tidak ada saat pengecekan saldo). Untuk saldo KPM Tahap 2
pada BTN saldonya masih ter-block oleh pihak Bank sehingga bantuan KPM Tahap II
untuk Kecamatan Denpasar Utara belum terlaksana. Pihak HIMBARA hanya
mengizinkan PO ke Pihak BULOG saja sebagai distributor BPNT.

Rekomendasi
 Pada Stakeholder (pengambil kebijakan), perlu dukungan dan kerjasama serta
kepedulian dari Kecamatan, Desa dan Kelurahan agar BPNT berjalan lancar.
 Memperkuat kedudukan serta kapasitas kelembagaan yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan;
 Penguatan peran kelembagaan sosial sebagai wadah kerjasama Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan (TKSK), pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan
pendamping lain yang merupakan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) dengan
Himpunan Bank Negara (Himbara) di Kota Denpasar, yaitu Bank Negara Indonesia
(BNI), Bank Mandiri serta pihak terkait lain seperti Bulog dan perangkat daerah
terkait.
 Perlu peran Dinas sosial Provinsi untuk perluasan jangkauan BPNT berdasarkan UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintah Pusat menyerahkan sebagaian urusan
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berikut anggaran berdasarkan UU
23/2014 dan perubahan dari Revisi PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan anggaran yang bersumber dari APBN tidak dapat langsung dari
Pusat ke Kabupaten/Kota atau dari K/L ke Perangkat Daerah di Dinsos Kab/Kota
atau langsung ke pengelola e-warong, tetapi berdasarkan regulasi harus diserahkan ke
Gubernur.
 Perlu adanya sistem pengaduan dan penanganannya. Saat ini belum adanya
mekanisme pengaduan (dalam bentuk keluhan, kritik, dan saran perbaikan terhadap
pelaksanaan program) dan kemana atau kepada siapa harus menyampaikan aduan.
 Perlu model pendampingan program BPNT, apakah berasal dari pendamping PKH
atau hasil perekrutan baru.
 Optimalisasi peran kelembagaan yang sudah ada, dengan mensinergikan kelembagaan
dengan program untuk menjawab permasalahan program di lapangan.

Referensi
 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda;
 Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah RI No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

[494]
 Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non Tunai.
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 160 Tahun 2016 tentang Pembagian Wilayah
Penanganan Fakir Miskin;
 Keputusan Menteri Sosial RI No. 21/HUK/2017 tentang Penetapan Jumlah Keluarga
Penerima Manfaat (KPM).

Jakarta, 31 Agustus 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[495]
POLICY BRIEF
PERJANJIAN KINERJA, RENSTRA DAN INDIKATOR KINERJA UTAMA

Abstrak
Petunjuk Teknis Penyusunan Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dengan petunjuk teknis perjanjian
kinerja, pelaporan kinerja dan tata cara reviu atas laporan kinerja instansi pemerintah
diatur mengenai petunjuk teknis perjanjian kinerja diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada
Pasal 14, pasal 27 dan Pasal 30.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
Pasal 4, RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan
Negara Indonesia.
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan
nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga kerangka ekonomi makro
yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
nomor 53 tahun 2014 tentang yang merupakan lembar/dokumen yang berisikan
penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih
rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.
Perjanjian kinerja merupakan komitmen penerima amanah dan kesepakatan
antara penerima dan pemberi amanah atas kinerja terukur tertentu berdasarkan tugas,
fungsi dan wewenang serta sumber daya yang tersedia. Kinerja yang disepakati tidak
dibatasi pada kinerja yang dihasilkan atas kegiatan tahun bersangkutan, tetapi kinerja
(outcome) yang seharusnya terwujud akibat kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
Perjanjian Kinerja di tingkat unit kerja (Eselon-I) ditandatangani oleh pejabat yang
bersangkutan dan disetujui oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan Satuan Kerja.
Perjanjian kinerja di tingkat satuan kerja (Eselon-II) ditandatangani oleh pimpinan satuan
kerja dan pimpinan unit kerja.

Pendahuluan
Target kinerja yang diperjanjikan juga mencakup outcome yang dihasilkan dari
kegiatan tahun-tahun sebelumnya, sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap
tahunnya. Pihak yang menyusun Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga yaitu
Pimpinan tertinggi (Menteri dan Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit kerja (Eselon I).

[497]
Waktu penyusunan perjanjian kinerja disusun setelah suatu instansi pemerintah
telah menerima dokumen pelaksanaan anggaran, paling lambat satu bulan setelah
dokumen anggaran disahkan.
Penggunaan Sasaran dan Indikator pada Perjanjian Kinerja menyajikan Indikator
Kinerja Utama yang menggambarkan hasil-hasil yang utama dan kondisi yang
seharusnya, tanpa mengesampingkan indikator lain yang relevan.
Untuk tingkat K/L, menggambarkan dampak dan outcome yang dihasilkan serta
menggunakan Indikator Kinerja Utama K/L/Pemda dan indikator kinerja lain yang
relevan. Untuk tingkat Eselon I, sasaran yang digunakan menggambarkan dampak pada
bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja Utama
Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.
Untuk tingkat Eselon II, sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II.
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan
perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
dengan menghasilkan: rencana pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan
jangka menengah; dan rencana pembangunan tahunan.
Agar target dan sasaran pada Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dicapai
oleh Kementerian Sosial, sampai dengan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Sosial,
perlu dilakukan aturan yang telah ditetapkan, diantaranya :
1) Pendekatan Penganggaran Terpadu
Dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima) komponen
pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja yaitu
pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan.
Kegiatan identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk
mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker sedikitnya mempunyai satu
kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada kegiatan yang sama yang
dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda lokasi.
Jenis belanja merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang tidak
menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis belanja.
Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
Keluaran/output merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh satker. Tidak
ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak ada tumpang
tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-KL) yang
merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.
2) Pendanaan Sasaran Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
Pendanaan pencapaian sasaran pembangunan nasional dapat berasal dari APBN
(belanja K/L dan non K/L), APBD, BUMN dan Masyarakat. Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L 2015-2019 (diluar belanja gaji, tunjangan yang melekat pada gaji,
uang makan, dan operasional perkantoran) direncanakan sebesar Rp. 3.596,2T yang
digunakan untuk mendanai Program dan Kegiatan Prioritas termasuk Quickwins/
Program lanjutan serta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga 3 Indikasi pendanaan
belanja prioritas K/L dituangkan dalam Matriks Rencana Pembangunan Jangka

[498]
Menengah Kementerian/Lembaga Tahun 2015-2019 yang akan dipertajam besaran
pendanaan dan distribusi tahunannya dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan
mempertimbangkan Kerangka ekonomi makro, tugas, fungsi, struktur dan
kewenangan Kementerian/Lembaga, satuan harga, belanja Non K/L dan Transfer
Daerah sebagai kelengkapan, pencapaian prioritas pembangunan dan hasil evaluasi,
sasaran yang direncanakan dapat bersifat kumulatif atau tahunan.
3) Matriks RPJMN Pada Kementerian Sosial Tahun 2015-2019
Menjadi bagian pedoman penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Sosial Tahun 2015-2019, meliputi belanja aparatur (belanja gaji, tunjangan yang
melekat pada gaji, uang makan dan operasional perkantoran) akan ditambahkan
dalam perencanaan tahunan sesuai dengan kebijakan belanja aparatur.
4) Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
5) Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun
dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif yang mengacu pada
prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta memuat kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
6) Tahapan dan Mekanisme Perencanaan
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, evaluasi pelaksanaan rencana.
Tahapan penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD meliputi penyiapan
rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan rencana kerja,
musyawarah perencanaan pembangunan, penyusunan rancangan akhir rencana
pembangunan.
7) Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan
Menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional dan
menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP menjadi pedoman penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Deskripsi Masalah
1. Apakah Pendekatan Penganggaran Terpadu Telah Dilaksanakan dan Disesuaikan
Apakah dalam melaksanakan penganggaran terpadu sedikitnya ada 5 (lima)
komponen pokok penganggaran yang harus bekerja dengan baik dengan Satuan Kerja
yaitu pelaksanaan kegiatan yang tidak membedakan antara kegiatan rutin dan
pembangunan. Pertanyaan berikutnya adalah :

[499]
 Apakah kegiatan sudah identik dengan tugas pokok dan fungsi yang harus
dilaksanakan untuk mencapai keluaran/output yang diharapkan. Setiap satker
sedikitnya mempunyai satu kegiatan dari unsur dinamis dari satker dan tidak ada
kegiatan yang sama yang dilaksanakan oleh satker yang berbeda, kecuali berbeda
lokasi.
 Apakah jenis belanja telah merupakan cerminan dari pembagian anggaran yang
tidak menunjukkan duplikasi. Semua pengeluaran harus dirinci kedalam jenis
belanja. Kriteria jenis belanja berlaku untuk semua kegiatan.
 Apakah keluaran/output telah merupakan hasil dari pelaksanaan kegiatan oleh
satker. Tidak ada keluaran yang sama dihasilkan oleh kegiatan yang berbeda (tidak
ada tumpang tindih/duplikasi keluaran) menjadi dokumen penganggaran (RKA-
KL) yang merupakan unified document yang memuat keempat hal tersebut diatas.

Rekomendasi
1. Menyusun Petunjuk Teknis Penetapan Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara
Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
Merupakan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada
pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang
disertai dengan indikator kinerja sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 tahun
2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
2. Menyusun Perjanjian Kinerja
Komitmen penerima amanah dan kesepakatan antara penerima dan pemberi
amanah atas kinerja terukur tertentu berdasarkan tugas, fungsi dan wewenang serta
sumber daya yang tersedia. Kinerja yang disepakati tidak dibatasi pada kinerja yang
dihasilkan atas kegiatan tahun bersangkutan, tetapi termasuk kinerja (outcome) yang
seharusnya terwujud akibat kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
3. Menetapkan Target Kinerja
Mencakup outcome yang dihasilkan dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya,
sehingga terwujud kesinambungan kinerja setiap tahunnya. Pihak yang menyusun
Perjanjian kinerja pada Kementerian/Lembaga yaitu Pimpinan tertinggi (Menteri dan
Pimpinan Lembaga) ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan unit
kerja (Eselon I). Perjanjian Kinerja di tingkat unit kerja (Eselon I) ditandatangani oleh
pejabat yang bersangkutan dan disetujui oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Pimpinan
Satuan Kerja.
4. Menetapkan Indikator Kinerja Utama Kementerian Sosial
Untuk tingkat Kementerian/Lembaga, pemdasasaran yang digunakan
menggambarkan dampak dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator
Kinerja Utama K/L/Pemda dan indikator kinerja lain yang relevan.
5. Menetapkan Indikator Kinerja Utama Tingkat Eselon I
Untuk tingkat Eselon I sasaran yang digunakan menggambarkan dampak pada
bidangnya dan outcome yang dihasilkan serta menggunakan Indikator Kinerja Utama
Eselon I dan indikator kinerja lain yang relevan.

[500]
6. Menetapkan Indikator Kinerja Utama Tingkat Eselon II
Untuk tingkat Eselon II sasaran yang digunakan menggambarkan outcome dan
output pada bidangnya serta menggunakan Indikator Kinerja Utama Eselon II dan
indikator kinerja lain yang relevan.
7. Mempertimbangkan perubahan nomenklatur pada Organisasi Tata kerja
Kementerian Sosial RI berdasarkan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015
Perubahan nomenklatur pada Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI
sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015, menyesuaikan Indikator
Kinerja Utama Eselon I dan II di Kementerian Sosial RI, yang meliputi pemisahan Unit
Kerja Eselon I, yang sebelumnya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan, dipisah menjadi 2 (dua) menjadi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
Perubahan tempat Unit Kerja Eselon II, Direktorat PSDS yang sebelumnya di
Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen pemberdayaan Sosial.
Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTK-PM) yang sebelumnya
di Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial berpindah ke Ditjen Rehabilitasi Sosial
pada Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

Referensi
 Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan
Nasional;
 Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional;
 Peraturan Pemerintah RI No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
 Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah
 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
 Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial
 Peraturan Menteri Sosial No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial.
 Paparan Agenda Strategis Tahun 2017 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2018
Kementerian Sosial

Jakarta, 11 September 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[501]
POLICY BRIEF
PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK DAN
SATUAN BAKTI PEKERJA SOSIAL

Abstrak
Amanah dari Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, fakir
miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Bab XIV Perekonomian dan
Kesejahteraan Sosial pada Pasal 33 disebutkan perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
Anak merupakan aset masa depan dari suatu negara dan menentukan maju atau
tidaknya suatu negara diantaranya dengan sumber daya manusia unggul yang memiliki
daya saing dengan negara-negara lain di dunia. Pemerintah (Pusat, Provinsi, kabupaten/
kota dan desa) dalam mengelola peningkatan kesejahteraan sosial anak perlu ada standar
pelayanan. Agenda pembangunan nasional disusun sebagai penjabaran operasional dari
Nawa Cita, diantaranya menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara dan meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) bertujuan agar pemenuhan hak dasar
anak dan perlindungan sosial terhadap anak dari ketelantaran, kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat
terwujud.
PKSA meliputi program kesejahteraan sosial anak balita, anak telantar, anak
jalanan, anak berhadapan hukum, anak disabilitas (kecacatan), anak membutuhkan
perlindungan khusus.

Pendahuluan
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) merupakan salah satu prorgam
nasional yang bertujuan untuk anak telantar dalam memenuhi kebutuhan dasar dan
pemeliharaan kesehatan serta menikmati taraf hidup yang wajar.
Satuan Bakti Pekerja Sosial (SAKTI PEKSOS) Angkatan I, 2009-2011 adalah alumni
jurusan Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial yang terseleksi, dididik dan diangkat
sebagai Pekerja Sosial Profesional dengan status kontrak kerja pengabdian selama 26 (dua
puluh enam) bulan secara full time pada panti sosial masyarakat yang telah ditentukan
(Panduan Kerja Sakti Peksos Angkatan I, 2009-2011, Biro Organisasi dan Kepegawaian
Depsos RI, 2009).
Panti Sosial Masyarakat merupakan suatu perkumpulkan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang

[503]
bentuk pelayanan dengan menggunakan panti/asrama, institusi atau lembaga dalam
memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada klien/kelayannya.
Tujuan dari Sakti Peksos untuk peningkatan kuantitas dan kompetensi Pekerja
Sosial Profesional sebagai pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan peningkatan
kualitas pelayanaan kesejahteraan sosial dan manajemen pelayanan kesejahteraan sosial
pada panti sosial masyarakat berbasiskan profesi pekerjaan sosial.
Tugas Sakti Peksos Sesuai dengan Panduan Kerja Sakti Peksos Angkatan I, 2009-
2011, Biro Organisasi dan Kepegawaian Depsos RI, 2009, secara umum tugas Sakti Peksos
adalah mempelajari dan membantu penerapan metode, teknik dan keterampilan
pekerjaan sosial di dalam pelaksanaan pelayanan sosial di panti sosial. Tugas tersebut
meliputi dua hal, yaitu (1) Administrasi dan penguatan lembaga; dan (2) Pelayanan
lembaga.
Uraian tugas selama di panti sosial dengan orientasi tugas (1 bulan), pengenalan
pengelola panti sosial, pengenalan ruang lingkup tugas pelayanan sosial yang
dilaksanakan oleh panti sosial dan karakteristik penerima pelayanan. Assesmen (2 bulan),
dengan aspek manajemen SDM Pengelola Pelayanan, organisasi, pelayanan, penunjang.
Penyusunan dan Pembahasan Rencana Kegiatan yakni menyusun rencana kerja
yang meliputi aspek organisasi, pelayanan dan penunjang (2 bulan), penerapan rencana
kegiatan, yakni melaksanakan rencana kegiatan yang telah disusun dan dibahas dengan
pihak panti sosial sesuai tahapan dan target waktu yang telah disepakati (20 bulan).
Pengakhiran masa bakti (1 bulan) dengan menyelesaikan atau menuntaskan seluruh
tugas-tugas administrasi yang belum selesai, mempersiapkan terminasi, penyusunan
laporan, menyampaikan laporan kepada pihak panti sosial, melaksanakan perpisahan
dengan panti sosial.

Assesmen Pekerjaan Sosial


Asesmen secara sederhana dirtikan sebagai pengungkapan dan pemahaman
masalah. Menurut Ivry dalam Compton (1999) pengertian asesmen adalah :”the collection
and processing of data to provide information for use in making decision about the nature of the
problem and what is to be done about it” (pengumpulan dan proses data untuk menyediakan
informasi yang digunakan dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
keadaan masalah dan apa yang dilakukan terhadapnya). Asesmen ini merupakan
penilaian tentang klien dan lingkungan mereka dalam rangka memutuskan kebutuhan
mereka.
Menurut Meyer (1993: 27-42) dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene
(penyunting) yang diterjemahkan oleh Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (2008: 98)
Proses asesmen terdiri dari lima langkah yakni: (1) exploration (menggali informasi); (2)
Inferential thinking (review data); (3) evaluation (evaluasi); (4) problem definition (perumusan
masalah); dan (5) intervention planning (perencanaan intervensi).
Mengacu pada pendapat Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (ibid: 103) secara
sederhana kebutuhan asesmen meliputi: (1) datadata demografi; (2) kontak dengan
lembaga; (3) sejarah singkat klien; (4) ringkasan situasi klien saat ini; (5) permintaan yang
disampaikan; (6) masalah yang disampaikan (presenting problem) sebagaimana dilihat
oleh klien dan pekerja sosial; (7) kontrak yang disepakati klien dan pekerja sosial; (8)
rencana intervensi; dan (9) sasaran intervensi. Mengutip pendapat Dwi Heru Sukoco
(1998: 157) asesmen yang dilaksanakan terhadap klien mempunyai 2 (dua) tujuan, yakni
(1) membantu mendefinisikan masalah klien; dan (2) menunjukkan sumber-sumber yang
berhubungan dengan kesemuanya itu.

[504]
Hasil Kajian Sakti Peksos oleh Pulitbang Kemensos
Penempatan Sakti Peksos di panti-panti sosial milik masyarakat menurut kepala-
kepala panti/yayasan, diawali dengan pemanggilan langsung terhadap kepala-kepala
panti sosial swasta di Hotel Grand Pasundan Bandung pada tanggal 6 Juli 2009. Acara ini
bersamaan dengan pengukuhan 100 orang peserta Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti
Peksos) oleh Seketaris Jenderal Depsos RI. Pada kesempatan tersebut diberitahukan
bahwa di panti mereka ditempatkan satu atau dua orang peserta Sakti Peksos.
Sesuai data yang ada, Jawa Barat merupakan wilayah terbanyak jumlah sakti
peksosnya. Hal ini cukup beralasan, karena pelamar terbanyak adalah lulusan STKS
Bandung yang tinggal di Jawa Barat.
Penjelasan tentang tugas-tugas Sakti Peksos selama di panti diberikan secara lisan,
tidak ada penjelasan tertulis tentang tugas dan kewenangan kepala panti terhadap sakti
Peksos. Departemen Sosial menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan panti untuk
memberikan tugas-tugas Sakti Peksos selama di panti asuhan alam melaksanakan
tugasnya Sakti Peksos diberikan panduan sebagai pedoman dalam melaksanakan
tugasnya. Namun buku panduan ini menurut sebagian besar Sakti peksos sulit
diimplemantasikan di lapangan.
Kurangnya pembinaan dan kondisi sebagian besar panti yang masih sulit menerima
perubahan merupakan hambatan dalam penerapkan metode dan teknik pekerjaan sosial.
Perlu proses panjang dan komitmen para pengelola panti dalam meningkatkan
profesionalisasi pelayanan kepada klien. Berkaitan dengan penempatan tenaga Sakti
Peksos ini, beberapa pertanyaan dan pernyataan yang terungkap dalam Forum
Pembahasan Hasil Sementara Penelitian di daerah yang dihadiri oleh Instansi Sosial
provinsi dan kota/kabupaten serta pengurus Forum Panti-Panti Asuhan antara lain :
 Mengapa tidak ada studi kelayakan tentang kebutuhan Panti Sosial terhadap tenaga
Sakti Peksos, sebetulnya bukan hanya panti sosial swasta yang membutuhkannya,
tetapi organisasi sosial termasuk Dinas Sosial juga membutuhkan Sakti Peksos.
 Ada anggapan kepala-kepala panti bahwa program Sakti Peksos merupakan proyek
nasional, yang seharusnya ada seleksi terhadap panti-panti sosial. Ada seorang
kepala Panti pada awalnya sempat menolak kehadiran Sakti Peksos, karena
diperkirakan akan merusak “tatanan panti” namun akhirnya mau menerima karena
takut subsidi panti akan dihentikan.
 Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/kota tidak mengetahui Penempatan Sakti
Peksos di daerah. Instansi ini juga tidak mempunyai kewenangan untuk membina
mereka bila ada kesulitan di lapangan. Mereka manganggap bahwa atasan Sakti
Peksos adalah Biro Organisasi dan Kepegawaian Kementerian Sosial. Mereka
mempertanyakan siapa yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk
pembinaan Sakti peksos bila mereka mengalami kesulitan di lapangan.
 Laporan kegiatan Sakti Peksos langsung ditujukan ke Kementerian Sosial, mengapa
tidak ada tembusan ke Dinas Sosial provinsi dan kota/kabupaten? Mengenai
penempatan Sakti Peksos ini, sebagian kepala panti menyatakan kurang sesuai
dengan kebutuhan panti, misalnya yang dibutuhkan Sakti Peksos pria namun yang
ditempatkan adalah wanita.
 Mengapa ada panti yang mengusulkan Tenaga Sakti Peksos tidak diberikan,
sementara yang tidak mengusulkan malah diberikan. Atas dasar apa penempatan
Sakti Peksos di panti-panti sosial. Menurut Biro Orpeg dan Ditjen Yanrehsos,
penempatan Sakti peksos memang banyak yang tidak sesuai dengan harapan panti.

[505]
 Hal ini dilakukan karena jumlah dan kualifikasi Sakti Peksos yang terseleksi tidak
sesuai dengan harapan panti. Idealnya para sakti peksos ini bisa tinggal di dalam
panti sehingga bisa bekerja dengan maksimal.
 Namun tidak semua panti dapat menyediakan tempat tinggal, sebaliknya tidak
semua sakti peksos bersedia tinggal di dalam panti karena berbagai alasan. Sebelum
penempatan, para Sakti Peksos ini mendapat pengarahan-pengarahan dan
menandatangani kontrak tertulis dengan Biro Organisasi dan Kepegawaian.
 Kontrak ini berisi tentang hak dan kewajiban yang diterima dan diperpanjang
setiap tahun. Mereka diberikan SK penempatan oleh Biro Organisasi dan
Kepegawaian dan telah melaksanakan tugas sejak Juli 2009.
Program kesejahteraan sosial anak (PKSA) diprioritaskan kepada anak-anak yang
memiliki kehidupan kurang layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah
sosial sperti kemiskinan, ketelantaran, disabilitas (kecacatan), keterpencilan, ketunaan
sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi, meliputi :
a. Anak balita telantar (usia 5 tahun kebawah),
b. Anak Telantar/tanpa asuhan orang tua (usia 6-18 tahun) yaitu anak yang
mengalami perlakuan salah, ditelantarkan orangtua/keluarga, anak kehilangan hak
asuh dari orangtua/keluarga;
c. Anak Jalanan (usia 6-18 tahun) yaitu anak yang rentan bekerja di jalanan, anak
yang bekerja di jalanan, anak yang bekerja dan hidup di jalanan;
d. Anak Berhadapan Hukum (usia 6-18 tahun) yaitu anak diindikasikan melanggar
hukum, anak yang mengikuti proses peradilan, anak yang berstatus diversi, anak
yang telah menjalani hukuman pidana, anak yang menjadi korban pelanggaran
hukum;
e. Anak dengan disabilitas/kecacatan (usia 0-18 tahun), berdasarkan Undang-
Undang RI No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa
ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual,
mental, sensorik;
f. Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus, yaitu anak yang dalam situasi
darurat, anak korban perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik maupun
mental, anak korban eksploitasi, anak dari kelompok minoritas, terisolasi dan
komunitas adat terpencil, anak korban penyalahgunaan narkotika, penyalahgunaan
zat adiktif, anak korban HIV/AIDS.

SDM Penyelenggara Kesos


Peraturan Menteri Sosial No. 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya
Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos).
SDM Kesos terdiri atas: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial, Relawan Sosial
dan Penyuluh Sosial.
Sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial mempunyai tugas untuk
melakukan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dilaksanakan dengan mengorganisasikan
dan memberikan pelayanan sosial baik langsung maupun tidak langsung yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial serta
penangganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

[506]
Pekerja Sosial Profesional atau yang disebut disebut Pekerja Sosial merupakan
seseorang yang bekerja, baik di lembaga Pemerintah maupun swasta yang memiliki
kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial
untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
Sedangkan relawan sosial merupakan seseorang dan/atau kelompok masyarakat,
baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan
sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial Pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
Sertifikat Kompetensi merupakan sertifikat yang diperoleh dari lembaga
pendidikan atau lembaga sertifikasi profesi Pekerja Sosial, lembaga sertifikasi profesi
Penyuluh Sosial, dan/atau lembaga sertifikasi Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan
Sosial.
Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial merupakan suatu lembaga yang berwenang
menguji, menilai, dan menentukan kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial, Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
Pekerja Sosial meliputi: asisten Pekerja Sosial, Pekerja Sosial generalis dan Pekerja
Sosial spesialis.
Pekerja Sosial spesialis dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial mempunyai
spesialisasi meliputi: kebencanaan, disabilitas, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya, lanjut usia, orang dengan human immunodeficiency virus/acquired immuno deficiency
syndrome, anak, kemiskinan, korban perdagangan orang, korban tindak kekerasan, tuna
sosial dan medis.
Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh asisten Pekerja Sosial
yang mempunyai tugas memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada PMKS.
Pekerja Sosial memiliki tugas memecahkan masalah, memberdayakan dan sebagai
agen perubahan dan melakukan analisis kebijakan sosial.
Memecahkan masalah untuk membantu orang memecahkan masalahnya,
memberikan pelayanan provisi sosial, mengembangkan rencana penanganan kasus,
melaksanakan penanganan kasus individu dan keluarga, kelompok, serta komunitas dan
melakukan pengembangan kompetensi profesional pekerjaan sosial.
Memberdayakan dan sebagai agen perubahan untuk mengembangkan sistem
jaringan pemberian pelayanan, mengembangkan program, mengembangkan pendidikan
dan pelatihan, melakukan pemeliharaan dan pengembangan organisasi; dan memberikan
pelayanan perlindungan dan melakukan analisis kebijakan sosial berupa penelitian
dan/atau analisis kebijakan sosial.
Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugasnya bekerja di Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, atau masyarakat.
Pekerja Sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial wajib lulus sertifikasi
yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial yang telah ditetapkan oleh
Menteri Sosial.

Mutu dan Jenis Layanan Dasar SPM Bidang Sosial


Jenis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial terdiri
atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan daerah
provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota, dengan rehabsos

[507]
dasar bagi Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, tuna
sosial khususnya Gelandangan dan Pengemis, dan perlindungan dan jaminan sosial pada
saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi Korban Bencana di daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota.
Mutu layanan dasar untuk jenis pelayanan dasar rehabilitasi sosial dasar
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, dan Anak Telantar di dalam panti,
dengan kriteria tidak ada lagi perseorangan, keluarga, masyarakat yang mengurus,
rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya, masih memiliki keluarga, tetapi
berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima di dalam
panti merupakan kebutuhan dasar, terdiri atas pengasuhan; permakanan; sandang;
asrama yang mudah diakses; perbekalan kesehatan; bimbingan fisik, mental spiritual, dan
sosial; bimbingan keterampilan hidup sehari-hari; pembuatan akta kelahiran, nomor
induk kependudukan, dan kartu identitas anak; akses ke layanan pendidikan dan
kesehatan dasar; pelayanan penelusuran keluarga; pelayanan reunifikasi keluarga; dan
akses layanan pengasuhan kepada keluarga pengganti.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah provinsi dan kab/kota dilakukan pada saat tanggap darurat bencana
merupakan kebutuhan dasar yang terdiri atas permakanan; sandang; tempat
penampungan pengungsi; penanganan khusus bagi kelompok rentan; dan dukungan
psikososial.
Penyediaan permakanan diberikan paling sedikit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak terjadinya bencana dan penyediaan tempat penampungan pengungsi, meliputi
pembuatan barak; fasilitas sosial; dan fasilitas umum lainnya.
Penanganan khusus bagi kelompok rentan merupakan penanganan korban bencana
bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, dan Anak. Pelayanan dukungan
psikososial dilakukan melalui bimbingan dan konsultasi; konseling; pendampingan; dan
rujukan. Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas Tenaga Kesejahteraan
Sosial (TKS), pekerja sosial profesional, penyuluh sosial; dan relawan sosial.

Deskripsi Masalah
 Belum terintegrasinya SPM dalam dokuemen perencanaan pembangunan daerah
RPJMD, RKPD dan APBD yang ditetapkan dalam bentuk Perda mengenai pelayanan
dasar bidang sosial dengan ditetapkannya Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota,
sehingga perlu adanya pembinaan dari Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Sosial
bekerjasama dengan Itjen Kemendagri sehingga amanah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda pada Pasal 298 bahwa prioritas belanja daerah untuk membiayai
pelayanan dasar dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal.
 Para stakeholder di pusat dan daerah memperhatikan mutu dan jenis layanan dasar
untuk standar teknis SPM Bidang Sosial di daerah Kabupaten/Kota, rehabilitasi sosial
di luar panti bagi anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia telantar,
gelandangan dan pengemis, serta perlindungan dan jaminan sosial bagi korban
bencana lingkup Kabupaten/Kota, bahwa pelayanan rehabilitasi sosial dasar di luar
panti dilakukan dalam bentuk layanan rehabilitasi sosial dalam keluarga dan
masyarakat, dilakukan dengan memberikan dukungan pelayanan/pendampingan
kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, Anak Telantar, serta

[508]
Gelandangan dan Pengemis dalam keluarga dan masyarakat; dan memberikan
bimbingan kepada keluarga dan masyarakat.
 Memperhatikan layanan kedaruratan yang merupakan tindakan penanganan segera
yang dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan/atau Pusat
Kesejahteraan Sosial kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut
Usia Telantar, Gelandangan, dan Pengemis yang membutuhkan pertolongan karena
terancam kehidupannya dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
 Memperhatikan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Kab/Kota pada sarananya
yang menggunakan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan memiliki paling
sedikit 1 (satu) orang Relawan Sosial, terdiri atas pekerja sosial masyarakat; karang
taruna; tenaga pelopor perdamaian; taruna siaga bencana; tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan; kader rehabilitasi berbasis masyarakat dan berbasis keluarga, dan
penyuluh sosial masyarakat. Relawan Sosial harus tersertifikasi yang dilakukan oleh
lembaga sertifikasi tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial.

Analisis
 Permasalahan anak secara umum disebabkan karena kemiskinan, orangtua bekerja
mencari nafkah, orangtua bercerai. Permasalahan khusus seperti kurangnya
koordinasi pelayanan kesejahteraan sosial anak antar kementerian/lembaga/daerah.
Keterpaduan pelayanan kebutuhan dasar anak dari berbagai aspek diantaranya
pendidikan, kesehatan. Karena bila keluarga anak tidak meningkat kesejahteraannya
maka anak akan terus mengalami permasalahan sosial sehingga diperlukan
keberlanjutan pelayanan terhadap kesejahteraan sosial anak.
 Surat Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPP-PA) Nomor: B-54/Set/KPP-PA/Roren/01/2015 tanggal 22 Januari 2015, hal:
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Layanan Terpadu Perempuan dan Anak, bahwa
Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemda pasal 12 ayat (2) termasuk dalam urusan wajib tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar, sehingga SPM yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 Tahun 2010 tentang
“Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan” yang sudah ditetapkan
sebagai SPM sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda setelah ditetapkan
UU No. 23 Tahun 2015 tentang Pemda, tidak termasuk dalam SPM karena tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar.
 SPM PPPA tersebut diatas, meliputi 5 (lima) pelayanan yaitu : 1) penanganan
pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak; 2) pelayanan
kesehatan bagi perempuan dan korban kekerasan; 3) rehabilitasi sosial bagi
perempuan dan anak korban kekerasan; 4) penegakan hukum kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak serta bantuan hukum bagi perempuan dan anak
korban kekerasan; 5) pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak
korban kekerasan.
 Dengan ditetapkannya PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemda, PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) dan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis SPM
Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota ini menjadi dasar
dalam penerapan SPM sosial di daerah dan sesuai siklus perencanaan daerah yang
pada bulan Maret-April dilakukan pembahasan Rencana Kerja Pemerintahan Daerah
(RKPD) berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan,

[509]
Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan
Perda tentang RPJPD, RPJMD dan RKPD.

Rekomendasi
 Pembenahan dan Penguatan Data anak sebagai Gambaran “input” dari Program
Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA);
 Pelayanan rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan, penegakan
dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan pemulangan
dan reintegrasi sosial sosial bagi perempuan, anak korban kekerasan, yang juga dalam
RPJMN 2015-2019 termasuk dalam “Perlindungan Sosial yang komprehensif dan
Pemenuhan Hak Dasar bagi masyarakat miskin dan rentan” salah satu pelayanan
publik bidang sosial untuk menjadi pertimbangan termasuk salah satu dari urusan
konkuren dan SPM Bidang Sosial.
 Melaksanakan sistem peradilan anak, dengan menyusun Rancangan Peraturan
Menteri tentang Standar Rehabilitasi Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak
Berhadapan Hukum (LPKS-ABH);
 Pengintegrasian PKSA dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (PPD)
provinsi dan kabupaten/kota; Penjangkauan (outreach) terhadap anak yang tidak
mempunyai tempat tinggal yang disebut RT 0/RW 0, dalam implementasinya sulit
dilaksanakan bila dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan dan mobilitas penduduk.
Hal ini disebabkan karena anak cenderung mengikuti lingkungan terdekatnya yaitu
orangtua atau teman sebaya (peer group), menyebabkan anak sering berpindah-pindah
dan tidak menetap di satu tempat sehingga menyulitkan bantuan dalam bentuk
tabungan anak. Diperlukan kerjasama di pusat dan daerah dalam Tim Terpadu
penanganan anak telantar.
 Perlu perhatian stakeholder di level pusat baik pembina umum daerah yaitu
Kemendagri maupun pembina teknis daerah untuk bidang sosial yaitu Kemensos,
bahwa pada setiap panti sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja
Sosial Profesional. Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja
Sosial Professional yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi pekerjaan sosial.
Untuk perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota harus menyiapkan Suber Daya
Manusia Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) diantaranya Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
 Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) dan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Keluarga (RBK) merupakan salah satu pelayanan publik bidang sosial di Kabupaten/
Kota dan desa, perlu disusun Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) setelah
ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Urusan Konkuren.

Referensi
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
 Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;

[510]
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Anak;
 Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
 William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.
 Studi Kebijakan Pengembangan Kegiatan Satuan Bakti Pekerja Sosial di Panti Sosial
Masyarakat Kementerian Sosial; Puslitbang Kementerian Sosial Tahun 2010.

Jakarta, Juli 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[511]
POLICY BRIEF
PENYUSUNAN RENSTRA STKS
KOMPETENSI SDM PENYELENGGARA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Abstrak
Mutu dan jenis layanan dasar yang diberikan oleh Sumber Daya Manusia
Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan pelayanan publik untuk pemenuhan
kebutuhan dasar terhadap anak berdasarkan amanah peraturan Perundang-undangan
yaitu pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial.
Surat Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung No. 3047/BKS-
STKS/RKS.00.01/11/2018 tanggal 1 November 2018, akan melaksanakan penyusunan
draft Rencana Strategis Politeknik Kesejahteraan Sosial Tahun 2020-2024 pada pertemuan
di Prima Plaza Hotel Purwakarta, Jl. Kota Bukit Indah Raya Blok L Cinangka Bungursan
Kabupaten Purwakarta pada tanggal 3 November 2018.
Upaya mewujudkan tujuan negara dilaksanakan melalui proses yang bertahap,
terencana, terpadu dan berkesinambungan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menetapkan bahwa visi
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil
dan makmur, dan arah kebijakan pendidikan tinggi dalam Peraturan Presiden No. 2
Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019 diantaranya peningkatan akses, kualitas, dan relevansi Pendidikan/Sekolah Tinggi
agar dapat berperan penting dalam upaya mencapai kemajuan, meningkatkan daya
saing, dan membangun keunggulan bangsa.
Mutu dan jenis layanan dasar pemberi layanan kepada penerima layanan dalam
Permensos No. 9, bahwa jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima
oleh Anak Telantar, Lanjut Usia telantar, Penyandang Disabilitas telantar, Gelandangan
dan Pengemis serta Korban Bencana (Alam dan Sosial) diberikan sesuai dengan
kebutuhan penerima pelayanan dan ragam disabilitas berdasarkan hasil asesmen dari
Pekerja Sosial Profesional.
Regulasi yang mengatur keterkaitan kompetensi Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
diantaranya :
1. Peraturan Menteri Sosial No. 13 Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan dan Beban
Kerja Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota;
2. Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas
Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota;
3. Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Lembaga
Kesejahteraan Sosial;
4. Peraturan Menteri Sosial No. 5 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi
Sosial Dengan Pendekatan Profesi Pekerja Sosial;
5. Peraturan Menteri Sosial No. 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja
Sosial.
6. Peraturan Menteri Sosial No. 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya
Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.

[513]
Pendahuluan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang ditetapkan dengan
UU No. 17 Tahun 2007, bahwa strategi pelaksanaan pembangunan Indonesia didasarkan
pada. Pelaksanaan strategi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibagi ke
dalam empat tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tiap tahap
memuat rencana dan strategi pembangunan lima tahun yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
Tahun 2018 merupakan tahun keempat dalam agenda Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahap ke-3. Berdasarkan pelaksanaan, pencapaian, dan
sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap ke-1
(2005-2009) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (2010-2014),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-3 (2015-2019) yang ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam
yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari penyusunannya berpedoman pada RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat program kewilayahan disertai
dengan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari
RPJM Daerah yang mengacu pada RKP dan Renstra SKPD/OPD mengacu Renstra-KL
yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional
dan bersifat indikatif. Renja- SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD
dan mengacu pada Renja K/L dan RKPD yang memuat kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5/2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan dalam rangka menyusun perencanaan
yang holistik, integratif, tematif dan spasial, melalui forum para pihak (Multilateral
meeting) pada RKP 2019, dengan berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas No.
4792/D.4/05/2018 tanggal 4 Mei 2018, Hal: undangan pertemuan para pihak untuk
pembahasan pada Prioritas Nasional (PN-1) Pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan peningkatan tata
kelola layanan dasar.
Permendagri No. 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan RKPD Tahun 2019, bahwa
sasaran dan prioritas penyusunan RKPD Tahun 2019 agar diselaraskan untuk
mendukung pencapaian 5 (lima) Prioritas Nasional (PN), diantaranya Pembangunan
manusia melalui pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, dengan
Program Prioritas (PP) Peningkatan Tata Kelola Layanan Dasar, serta Kegiatan Prioritas
(KP) yaitu Penguatan Layanan dan Rujukan Terpadu dan percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) di daerah.
Kebijakan Penyusunan Penganggaran dalam RKP 2019 pada PP No. 17 Tahun 2017
tentang Sinkronisasi Proses Perencanan dan Penganggaran Pembangunan Nasional,
untuk penguatan kendali program, perencanaan pendanaan dilakukan pada prioritas
pembangunan hingga tingkat pelaksanaan (keluaran dan lokus yang jelas),
pengintegrasian sumber-sumber pendanaan baik belanja pusat (K/L dan Non K/L),
transfer ke daerah maupun non APBN, memperkuat koordinasi antar instansi dan antar
pusat daerah dengan memfokuskan pembahasan pada prioritas pembangunan agar

[514]
kesiapan pelaksanaan program dibahas sejak awal dan integrasi antar program dan
antar pelaku pembangunan serta mengintegrasikan dokumen perencanaan, dokumen
anggaran serta penilaian kinerja dalam sebuah rangkaian sistem yang terpadu (KRISNA).
Rencana Strategi Kementerian Sosial Tahun 2015-2019 dengan visi terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan nilai dan semangat
gotong royong. Misi untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi,
maju dan sejahtera dan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial penduduk
miskin dan rentan. Kementerian Sosial melaksanakan Nawa Cita ke 3, 5, 8 dan 9. Sasaran
Strategisnya berkontribusi menurunkan jumlah penduduk miskin dan rentan.
Sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang professional dengan arah
kebijakan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan
penghidupan berkelanjutan, perluasan dan peningkatan akses pelayanan dasar,
penguatan kelembagaan dan SDM penyelenggara kesejahteraan sosial.
Prioritas Nasional pada Kementerian Sosial pada RKP Tahun 2018 diantaranya
SDM yang mengikuti pelatihan pertemuan peningkatan kemampuan keluarga (P2K2)
dengan target
3.392 Orang. Program Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar tahun 2018, meliputi
kegiatan pemberian rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas (PD) dengan target
28.383 Orang. Literasi khusus bagi PD Netra dengan target 35 jenis. Pemberian alat bantu
bagi PD dengan target 3.000 unit. Pemberian rehabilitasi/pelayanan sosial bagi lanjut
usia dengan target.
25.430 Orang. Pemberian layanan home care bagi lanjut usia dengan target 14.910
Orang. Bantuan darurat korban bencana alam dengan target 92.000 Jiwa. Penyediaan
taruna siaga bencana dengan target 34.628 Orang.
Program prioritas pemenuhan kebutuhan dasar tahun 2018, meliputi kegiatan
korban bencana sosial yang mendapat pemenuhan kebutuhan dasar dengan target
137.000 Jiwa. Pembangunan rumah bagi warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) dengan
target 2.099 Keluarga. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dengan target 10.775
Keluarga. Pengembangan Sistem dan Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan target
130 Kab/Kota. Sistem Pelayanan Sosial Terpadu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial
(Puskesos) dengan target 260 desa.
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/Pekerja Sosial yang telah mendapatkan
sertifikasi dengan target 3.000 Orang. Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang
mendapatkan akreditasi dengan target 2.000 LKS.

Prioritas Nasional dan Pelaksanaan Program


Prioritas nasional (PN) pada RKP 2018 dengan 10 PN dan 30 Pelaksanaan Program
(PP). Prioritas nasional (PN) pada RKP 2019 dengan 5 PN dan 25 Pelaksanaan Program
(PP). Pada tahun 2019 adalah tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2015-2019. RKP 2019
fokus pada optimalisasi pemanfaatan seluruh sumber daya (pemerintah, swasta,
perbankan) untuk mengejar pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional
dalam RPJMN.
Prioritas nasional pada RKP 2019, meliputi pembangunan manusia melalui
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar, pengurangan kesenjangan
antar wilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman, peningkatan nilai
tambah ekonomi melalui pertanian, industri, dan jasa produktif, pemantapan ketahanan

[515]
energi, pangan dan sumber daya air dan stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan
Pemilu.
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian, Pengembangan dan Penyuluhan Sosial dengan
peningkatan peran Penyuluh Sosial dalam melakukan pra kondisi pelaksanaan program,
peningkatan koordinasi dan sinergitas dengan kegiatan unit teknis, pengembangan e-
learning dalam rangka pelatihan SDM Kesos, peningkatan kualitas penelitian.
Pemberdayaan Sosial, dengan penataan kembali Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (PUSKESOS), penguatan pembinaan pada setiap
tahapan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pengembangan fungsi Makam
Pahlawanan Nasional (MPN) sebagai destinasi wisata kepahlawanan, peningkatan
kompetensi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Undian, sosialisasi tentang PUB dan
UGB untuk mencegah penipuan dan peningkatan income Dana Hibah Dalam Negeri.
Rehabilitasi Sosial, dengan memperluas program dan target penjangkauan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), penyusunan Indeks Keberfungsian
Sosial, sosialisasi/Rakorda Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada Dinsos
Kab/Kota dan Masyarakat di 34 Provinsi.
Perlindungan dan Jaminan Sosial, dengan perluasan target PKH dari 10 Juta
menjadi 12 Juta KPM, meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan
bencana, peningkatan kualitas bantuan bencana, penguatan peran dan kapasitas pelopor
perdamaian, program reintegrasi dan pemulihan korban bencana sosial.
Penanganan Fakir Miskin, dengan penguatan dalam penyaluran Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT), perluasan target Kelompok Usaha Bersama (KUBe) terutama untuk
KUBe Program Keluarga Harapan (PKH), perluasan target Rehabilitasi Sosial Rumah
Tidak Layak Huni (RSRTLH) terutama penyiapan peserta PKH sebelum graduasi.

Kesejahteraan Sosial
Penyandang Disabilitas (PD) memiliki hak dan potensi untuk berkontribusi dalam
pembangunan. Penyandang disabilitas dengan dukungan alat bantu misalnya, sejatinya
memiliki peluang yang sama besar untuk bekerja dan berperan aktif dalam kegiatan
ekonomi. Status kesehatan yang senantiasa baik juga akan menyebabkan masa produktif
seseorang lebih panjang, bahkan saat mereka memasuki usia lanjut.
Jika akses dan berbagai kesempatan ini diciptakan, maka penyandang disabilitas dan
lanjut usia dapat hidup mandiri. Amanat konstitusi mendorong Pemerintah untuk
memenuhi hak-hak setiap penduduk, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
melalui UU No. 19/2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (CRPD) yang telah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disablitas.
Tugas dan Fungsi lainnya dari Pemerintah Pusat dalam Rehabilitasi Sosial lanjutan
dilaksanakan melalui :
1. Pengembangan sarana dan prasarana layanan publik yang inklusif antara lain
melalui: penyediaan fasilitas pendukung yang ramah bagi penyandang disabilitas,
penyediaan tenaga layanan publik diantaranya Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
diantaranya Pekerja Sosial Profesional oleh Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
(STKS) Bandung yang memiliki tugas dan fungsi “Pendidikan untuk ilmu
Kesejahteraan Sosial” dan memiliki pengetahuan dalam penanganan penyandang
disabilitas; (iii) penyediaan sarana pelatihan dan keterampilan kerja bagi

[516]
penyandang disabilitas; serta (iv) pemanfaatan dan pengembangan teknologi dalam
pelayanan bagi penyandang disabilitas;
2. Pengembangan modul oleh STKS dan Litbang Kesos untuk sistem pendidikan
inklusi khususnya bagi penyandang disabilitas, disertai dengan peningkatan
kesadaran para pendidik dan orangtua dari anak-anak dengan dan tanpa disabilitas
melalui: (i) peningkatan kapasitas guru dan tenaga pendidikan lain agar memiliki

Penanganan Fakir Miskin


Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan
pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan
sosial. Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada: perseorangan, keluarga atau
yang disebut Keluarga Penerima Manfaat (KPM), kelompok, dan masyarakat.
Untuk mendorong keberhasilan dan ketepatan target dan sasaran serta outcome
tujuan dari penanganan fakir miskin perlu ada penguatan kapasitas SDM penyelenggara
Kesejahteraan Sosial dengan ilmu kesejahteraan sosial dan perlu dipertimbangkan
keberadaan “Pekerja Sosial Profesional” yang menangani program dan kegiatan dalam
penanganan kemiskinan melalui program dan kegiatan diantaranya Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) dan program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan
(PKH), diperlukan peningkatan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan, penataan
kelembagaan diarahkan untuk memperkuat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan
dengan cara memadukan sistem perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada
masyarakat miskin, baik secara vertikal (antar kementerian lembaga), horisontal
(pemerintah pusat dan daerah), maupun dengan stakeholder lain di luar pemerintah.
Hasil pemantauan uji coba 2017 di wilayah perluasan BPNT 2018: Penyaluran
Tahap 1, Juni 2017, diantaranya keterlibatan Pemda terbatas pada SDM Penyelenggara
Kesos yang melaksanakan sosialisasi ke tingkat kelurahan/desa dan SDM Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial perlu membantu Pemerintahan kelurahan/desa dan Pemda Kab/
Kota memfasilitasi kegiatan sosialisasi, registrasi dan musyawarah penggantian KPM.
Hasil Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Dana Bantuan Sosial Tahun 2013 bahwa, terjadi perluasan ruang lingkup definisi bansos
yang mencakup rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial dan penanganan
kemiskinan dalam Bultek 10 Tahun 2010 yang berbeda dengan definisi Bansos dalam
pasal 14 pada UU No. 11 Tahun 2009 yang menggolongkan bantuan sosial (Bansos)
sebagai bagian dari perlindungan sosial
Surat Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor B-748/01-10/03/2014
tanggal 20 Maret 2014 perihal Upaya Perbaikan Kebijakan Bantuan Sosial memiliki
kelemahan dalam kebijakan terkait aspek regulasi dan aspek kelembagaan, termasuk
pembangunan Basis Data Terpadu (BDT) untuk “Penanganan Fakir Miskin (perorangan
dan keluarga). Rekomendasi KPK agar bansos hanya dikelola oleh Kementerian Sosial.

[517]
Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau
kesejahteraaan masyarakat. Risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat
menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi,
krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan
sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Sesuai dengan amanat RPJMN 2015-2019 dan mempertimbangkan tingginya tingkat
ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama ini. Program Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT), Sasaran (output) adalah meningkatnya peluang kerja dan
berusaha bagi penduduk kurang mampu,

Assesmen Pekerjaan Sosial


Assesmen secara sederhana dirtikan sebagai pengungkapan dan pemahaman
masalah. Menurut Ivry dalam Compton (1999) pengertian asesmen adalah :”the collection and
processing of data to provide information for use in making decision about the nature of the
problem and what is to be done about it” (pengumpulan dan proses data untuk menyediakan
informasi yang digunakan dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
keadaan masalah dan apa yang dilakukan terhadapnya). Assesmen ini merupakan
penilaian tentang klien/penerima manfaat dan lingkungan mereka dalam rangka
memutuskan kebutuhan mereka.
Menurut Meyer (1993:27-42) dalam Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene
(penyunting) yang diterjemahkan oleh Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (2008:98)
Proses asesmen terdiri dari lima langkah yakni: (1) exploration (menggali informasi); (2)
Inferential thinking (review data); (3) evaluation (evaluasi); (4) problem definition (perumusan
masalah); dan (5) intervention planning (perencanaan intervensi).
Mengacu pada pendapat Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene (ibid: 103) secara
sederhana kebutuhan asesmen meliputi : (1) data-data demografi; (2) kontak dengan
lembaga; (3) sejarah singkat klien; (4) ringkasan situasi klien saat ini; (5) permintaan yang
disampaikan; (6) masalah yang disampaikan (presenting problem) sebagaimana dilihat oleh
klien dan pekerja sosial; (7) kontrak yang disepakati klien dan pekerja sosial; (8) rencana
intervensi; dan (9) sasaran intervensi. Mengutip pendapat Dwi Heru Sukoco (1998:157)
asesmen yang dilaksanakan terhadap klien mempunyai 2 (dua) tujuan, yakni (1)
membantu mendefinisikan masalah klien; dan (2) menunjukkan sumber-sumber yang
berhubungan dengan kesemuanya itu.

SDM Penyelenggara Kesos


Sesuai Peraturan Menteri Sosial No. 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional
Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) bahwa SDM
Kesos terdiri atas: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial, Relawan Sosial dan
Penyuluh Sosial.
Sumber daya manusia penyelenggara kesejahteraan sosial mempunyai tugas untuk
melakukan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang dilaksanakan dengan
mengorganisasikan dan memberikan pelayanan sosial baik langsung maupun tidak
langsung yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan

[518]
perlindungan sosial serta penangganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.
Pekerja Sosial Profesional atau yang disebut disebut Pekerja Sosial merupakan
seseorang yang bekerja, baik di lembaga Pemerintah maupun swasta yang memiliki
kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial
untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
Sedangkan relawan sosial merupakan seseorang dan/atau kelompok masyarakat,
baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan
sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial Pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
Sertifikat Kompetensi merupakan sertifikat yang diperoleh dari lembaga
pendidikan atau lembaga sertifikasi profesi Pekerja Sosial, lembaga sertifikasi profesi
Penyuluh Sosial, dan/atau lembaga sertifikasi Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan
Sosial.

Deskripsi Masalah
 Pengangguran terdidik memberi indikasi bahwa program-program studi yang
dikembangkan di perguruan tinggi mengalami kejenuhan, karena peningkatan jumlah
lulusan tidak sebanding dengan pertumbuhan pasar kerja. Gejala ini memberi
gambaran bahwa kurikulum yang dikembangkan di perguruan/Sekolah tinggi kurang
relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan di masyarkat dikarenakan tiga hal, yaitu
academic skills yang berhubungan langsung dengan bidang ilmu yang ditekuni di
perguruan/Sekolah tinggi, generic/life skills yang merujuk pada serangkaian dan jenis-
jenis keterampilan yang diperoleh selama menempuh pendidikan yang dapat
diaplikasikan di masyarakat dan technical skills yang berkaitan dengan profesi spesifik
seperti diantaranya ilmu kesejahteraan sosial yang mensyaratkan pengetahuan dan
keahlian.
 Pelayanan publik dan lingkungan masyarakat yang tidak inklusif juga sering
menghambatnya untuk mandiri dan keterbatasan data terkait keberadaan, kondisi
penyandang disabilitas, lansia, anak telantar, gelandangan dan pengemis serta korban
bencana alam dan sosial merupakan salah satu penyebab sering terabaikannya
pemenuhan hak mereka yang seringkali menghambat penyediaan layanan dan akses
bagi penyandang disabilitas yang akhirnya berdampak pada risiko ketelantaran dan
kemiskinan.
 Tantangan penyediaan tenaga pemberi layanan diantaranya Pekerja Sosial Profesional
dan penyediaan akses dan layanan bagi penyandang disabilitas adalah pada
terbatasnya kapasitas dan pemahaman Pemerintah dan masyarakat umum akan
keberagaman kondisi dan keberadaan penyandang disabilitas. Situasi pasar kerja dan
masyarakat juga masih belum sepenuhnya memperhatikan kebutuhan penyandang
disabilitas pada posisi yang setara dan sama haknya untuk hidup dan berusaha.
Akibatnya kelompok penduduk ini sering mengalami stigmatisasi dan harus
berusaha lebih keras untuk mendapatkan layanan dasar dan hidup layak.
 Rendahnya relevansi dan daya saing antara pendidikan tinggi dan pengguna keahlian
terjadi diskoneski horizontal dan vertikal di seluruh penyedia keahlian diantaranya
karena belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan regulasi dan kebutuhan
masyarakat.

[519]
 Pada Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA disebutkan dalam menangani
perkara anak, anak korban, dan anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, Pekerja
Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, penyidik, penuntut umum,
hakim, dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap
terpelihara. Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial pada Pasal 66
disebutkan Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional berijazah
paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial
atau kesejahteraan social.
 UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus
sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

ANALISIS
 Dengan mempertimbangan keseluruhan permasalahan, tantangan utama pendidikan
tinggi terkait ilmu kesejahteraan sosial dengan meningkatkan kualitas, relevansi, dan
daya saing pendidikan tinggi, yang didukung oleh upaya meningkatkan tata kelola
kelembagaan perguruan tinggi dengan memperhatikan regulasi, tantangan dan
hambatan efektivitas desentralisasi urusan bidang sosial untuk pemberi layanan dan
memperbaiki kinerja pemerintah daerah peningkatan kapasitas pemberi layanan
urusan bidang sosial di daerah terutama dalam menyusun rencana strategis
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional yang komprehensif, sebagai
acuan instansi penyelenggara fungsi pelayanan pada urusan wajib dan konkuren
bidang sosial di daerah.
 Menggunakan anggaran dana transfer ke daerah melalui mekanisme Dana Alokasi
Khusus (DAK) secara lebih optimal dan bekualitas untuk membiayai kegiatan-kegiatan
prioritas nasional baik fisik maupun non-fisik, Pertanyaannya Apakah secara regulasi
dapat dianggarkan untuk Pekerja Sosial Profesional Non PNS sebagai “Tambahan
Penghasilan (Tamsil)” seperti DAK Bantuan Sosial Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
untuk 3 (tiga) komponen yaitu infrastruktur perbaikan Sekolah, Tenaga Pendididk
Guru yang Non PNS, Buku-buku dan peralatan Sekolah untuk Siswa Miskin. Begitu
pula pada Bantuan Sosial Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang
peruntukkannya untuk 3 (tiga Komponen kegiatan yaitu untuk Puskesmas, untuk
Tambahan Penghasilan (Tamsil) Tenaga Layanan Kesehatan (Yankes) dan obat-obatan
dan peralatan kesehatan bagi penduduk miskin dan rentan.
 Memperbaiki mekanisme dan cakupan penggunaan dana Bantuan Sosial (Bansos)
untuk Sarana dan Prasarana Bidang Sosial di desa dan kelurahan dalam pelayanan
publik pada bidang sosial melalui urusan pemerintah bidang sosial yang sifatnya
wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di daerah
kabupaten/kota pada penerapannya di desa/kelurahan melalui Pusat Kesejahteraan
Sosial (PUSKESOS) dengan usulan kepada Kementerian Desa, Bappenas dan
Kementerian Dalam Negeri untuk sumber pembiayaan dana transfer ke daerah
Alokasi Dana Desa (ADD) dan Anggaran Desa juga dialokasikan untuk sarana dan
prasaran bidang sosial Pusat kesejahteraan Sosial (PUSKESOS).

[520]
 Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan sekolah tinggi ilmu kesejahteraan sosial
dengan memperkenalkan model pendanaan dan penganggaran berbasis kinerja untuk
bidang sosial di daerah melalui pelaksanaan desentralisasi urusan bidang sosial secara
asismetris atau pendelegasian kewenangan kepada kabupaten/kota dengan
mempertimbangkan kapasitasnya dalam mengelola mutu dan jenis layanan dasar
urusan pemerintah bidang sosial dan dalam pembiayaannya dan penyelarasan
peraturan yang memungkinkan pemanfaatan sumberdaya keuangan untuk
pembiayaan semua jenis satuan layanan urusan pemerintah bidang sosial oleh
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

REKOMENDASI
 Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) bandung juga diharapkan juga dapat
memperkuat pelaksanaan Manajemen Berbasis Lembaga Kesejahteraan Sosial (MB-
LKS) Milik Pemerintah yaitu Panti dan LKS Milik Masyarkat untuk meningkatkan tata
kelola urusan bidang sosial di satuan rehabilitasi sosial dasar di dalam dan di luar
panti dengan peningkatan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan Non PNS untuk mengimplementasikan MB-LKS, penguatan kapasitas
staf administrasi LKS untuk dapat berperan secara maksimal dalam pengelolaan LKS
secara transparan dan akuntabel, peningkatan partisipasi seluruh pemangku
kepentingan urusan pemerintah bidang sosial untuk memperbaiki efektivitas dan
akuntabilitas penyelenggaraan kesejahteraan sosial di tingkat daerah provinsi,
kabupaten/kota dan desa/kelurahan.
 Perlunya sinergi dan harmonisasi peraturan Perundang-undangan yang meliputi UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim
Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
 Politeknik Kesejahteraan Sosial pada Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2020-2024
Kementerian Sosial, Renstra Badan Pendidikan dan Latihan Kesejahteraan Sosial dan
Penyuluhan Sosial (Badiklit Kesos dan Pensos), Renstra Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial (STKS) dapat melaksanakan amanah peraturan perundangan yang berlaku
diantaranya Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal (SPM) yang didalamnya memuat mutu dan jenis layanan dasar bidang sosial
pada Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.
 Politeknik Kesejahteraan Sosial diharapkan dapat memberikan penguatan lembaga
ilmu pendidikan kesejahteraan sosial yang mencetak tenaga kesejahteraan sosial (TKS)
yaitu Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial untuk mendidik menjadi Pekerja Sosial
Profesional dan Penyuluh Sosial sesuai dengan amanah PP No. 2 Tahun 2018 tentang
Standar
 Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar
Teknis Pelayanan Dasar Pelaksanaan SPM Bidang Sosial di daerah Provinsi dan di
daerah Kabupaten/Kota.
 Kerangka pendanaan untuk membagi beban dan tanggung jawab pembiayaan urusan
pemerintah bidang sosial dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah
pusat, provinsi, kab/kota, desa/kelurahan dan masyarakat;

REFERENSI
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak;

[521]
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
 Peraturan Menteri Sosial No. 13 Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan dan Beban Kerja
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas
Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota;
 Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Lembaga
Kesejahteraan Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 5 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi
Sosial Dengan Pendekatan Profesi Pekerja Sosial;
 Peraturan Menteri Sosial No. 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja
Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya
Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Jakarta, November 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial.

[522]
POLICY BRIEF
PERANGKAT DAERAH DINAS SOSIAL PROVINSI/KAB/KOTA
BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

Abstrak
Urusan pemerintahan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah diantaranya membagi urusan dalam tanggung jawab dan
kewenangan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang
pada lampiran sub bidang urusan sosial berbunyi pendataan dan pengelolaan data fakir
miskin cakupan daerah provinsi dan cakupan daerah kabupaten/kota.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
mengamanatkan bahwa Dinas Daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan unsur
pelaksana Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dengan kriteria
variabel teknis ditetapkan berdasarkan beban tugas setiap Urusan Pemerintahan.
Tipologi dan beban kerja urusan pemerintahan bidang sosial yang diatur dalam
Permensos No. 13 Tahun 2016 dan Permensos No. 14 Tahun 2016 dengan kriteria variabel
teknis jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang direhabilitasi
dalam panti baik milik pemerintah daerah maupun milik masyarakat berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum dalam jiwa dan jumlah potensi sumber kesejahteraan
sosial (PSKS) dan pengelompokan fungsi dan uraian tugas ke dalam unit kerja pada
Dinas Sosial Daerah provinsi dan kab/kota dengan jenis tipologi A beban kerja besar, tipe
B dengan beban kerja sedang dan tipe C dengan beban kerja ringan. Pengelompokan
bidang yang terdiri dari Bidang I Perlindungan dan Jaminan Sosial, Bidang II Rehabilitasi
Sosial, Bidang III Pemberdayaan Sosial, Bidang IV Penanganan Fakir Miskin.
PP No. 2 Tahun 2018 dan Permendagri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan
Standar Pelayanan Minimal, bahwa Kementerian pengampu SPM menetapkan Peraturan
Menteri tentang Standar Teknis mengatur standar jumlah dan kualitas barang dan jasa,
sumber daya manusia dan petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan standar dilakukan
dengan tahapan pengumpulan data, penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan
dasar kedalam dokumen RPJMD, RKPD dan memprioritaskan penyusunan rencana
pemenuhan pelayanan dasar berdasarkan penghitungan kebutuhan ke dalam Renstra PD
dan Renja PD sesuai dengan tugas dan fungsi.
PP No. 12 Tahun 2017 dan Permendagri No. 110 Tahun 2017 mengatur tanggung
jawab/kewenangan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum daerah terkait aspek
keuangan daerah, SDM dan Menteri Teknis sebagai Pembina Teknis daerah mempunyai
tanggung jawab/kewenangan atas capaian Standar Pelayanan Minimal dan NSPK yang
merupakan salah satu tolok ukur kinerja pemda.
PP No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat mengatur substansi diantaranya mengoordinasikan pembinaan dan
pengawasan, tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota.

PENDAHULUAN
Perangkat Daerah merupakan unsur pembantu kepala daerah dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan
prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional

[523]
dengan kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
merupakan urusan pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas
negara, penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas negara, manfaat atau dampak
negatifnya lintas daerah provinsi atau lintas negara, penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
Desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi dengan prinsip dasar penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah yang menjadi hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Sedangkan Tugas Pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada
daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah provinsi.
Klasifikasi Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud pada merupakan urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan urusan pemerintahan konkuren
merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota dan urusan yang diserahkan ke daerah menjadi
dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan umum merupakan urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan wajib pelayanan dasar terdiri dari 6 (enam) urusan bidang yang meliputi: 1)
pendidikan; 2) kesehatan; 3) pekerjaan umum dan penataan ruang; 4) perumahan rakyat
dan kawasan permukiman; 5) ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan 6) Sosial.
Ditetapkannya Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelaksanaan
Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
sebagai pengganti Permensos No. 129/HUK/2008 yang berakhir tahun 2015 dan UU
Pemda terjadi perubahan dari UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 23 Tahun 2014.
Jenis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial terdiri
atas rehabilitasi Sosial (rehabsos) dasar di dalam panti untuk kewenangan daerah
provinsi dan di luar panti untuk kewenangan daerah kabupaten/kota, dengan rehabsos
dasar bagi Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut Usia Telantar, tuna
sosial khususnya Gelandangan dan Pengemis, dan perlindungan dan jaminan sosial pada
saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi Korban Bencana di daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota.
Mutu layanan dasar untuk jenis pelayanan dasar rehabilitasi sosial dasar
Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, dan Anak Telantar di dalam panti,
dengan kriteria tidak ada lagi perseorangan, keluarga, masyarakat yang mengurus,

[524]
rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya, masih memiliki keluarga, tetapi
berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima di dalam
panti merupakan kebutuhan dasar, terdiri atas pengasuhan; permakanan; sandang;
asrama yang mudah diakses; perbekalan kesehatan; bimbingan fisik, mental spiritual, dan
sosial; bimbingan keterampilan hidup sehari-hari; pembuatan akta kelahiran, nomor
induk kependudukan, dan kartu identitas anak; akses ke layanan pendidikan dan
kesehatan dasar; pelayanan penelusuran keluarga; pelayanan reunifikasi keluarga; dan
akses layanan pengasuhan kepada keluarga pengganti.
Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diterima oleh Korban
Bencana daerah provinsi dan kab/kota dilakukan pada saat tanggap darurat bencana
merupakan kebutuhan dasar yang terdiri atas permakanan; sandang; tempat
penampungan pengungsi; penanganan khusus bagi kelompok rentan; dan dukungan
psikososial.
Penyediaan permakanan diberikan paling sedikit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak terjadinya bencana dan penyediaan tempat penampungan pengungsi, meliputi
pembuatan barak; fasilitas sosial; dan fasilitas umum lainnya.
Penanganan khusus bagi kelompok rentan merupakan penanganan korban bencana
bagi ibu hamil, Penyandang Disabilitas, Lanjut Usia, dan Anak. Pelayanan dukungan
psikososial dilakukan melalui bimbingan dan konsultasi; konseling; pendampingan; dan
rujukan. Sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri atas Tenaga Kesejahteraan
Sosial (TKS), pekerja sosial profesional, penyuluh sosial; dan relawan sosial.

DESKRIPSI MASALAH
 Belum terintegrasinya SPM dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah
RPJMD, RKPD dan APBD yang ditetapkan dalam bentuk Perda mengenai pelayanan
dasar bidang sosial dengan ditetapkannya Permensos No. 9 Tahun 2018 tentang
Standar Teknis SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota,
sehingga perlu adanya pembinaan dari Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Sosial
bekerjasama dengan Itjen Kemendagri sehingga amanah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda pada Pasal 298 bahwa prioritas belanja daerah untuk membiayai
pelayanan dasar dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal.
 Amanah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda belum mengintegrasikan SPM dalam
siklus perencanaan daerah yang pada bulan Maret-April dilakukan pembahasan
Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD) berdasarkan Permendagri No. 86 Tahun
2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Rancangan Perda
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD, RPJMD dan
RKPD.Rancangan PP tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagai pengganti
dari PP No. 7 Tahun 2008 dengan substansi perubahan yaitu urusan pemerintahan
yang ditugas pembantuankan hanya untuk urusan pemerintahan konkuren, dengan
berdasarkan RPP Urusan Konkuren sebagai turunan dari lampiran UU Nomor 23
Tahun 2014.
 Bentuk kegiatan TP selain kegiatan pembinaan dan pengawasan serta sesuai dengan
ketentuan penugasan. kriteria penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak lagi berdasarkan kriteria fisik dan non fisik, tetapi berdasarkan kepada
pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan lampiran UU 23 Tahun 2014.

[525]
 Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah diantaranya dengan instrumen Indikator Kinerja
Kunci (IKK). Perlu menghitung capaian indikator output dan indikator kinerja kunci
(outcome) dengan hasil yang diperoleh dari bekerjanya/berfungsinya indikator output.
Indikator outcome dapat dihasilkan dari beberapa indikator output bahkan dapat dari
beberapa kewenangan. Adapun kriteria IKK adalah: kewenangan daerah provinsi dan
kab/kota, memberikan kontribusi pada target program nasional dan bisa
dibandingkan antar provinsi dan kabupaten/kota.
 IKK dirumuskan, disusun dan dilaksanakan berdasarkan urusan konkuren (urusan
bersama) antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dari masing-masing
bidang pemerintah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
 Perlu perhatian stakeholder di level pusat baik pembina umum daerah yaitu
Kemendagri maupun pembina teknis daerah untuk bidang sosial yaitu Kemensos,
bahwa pada setiap panti sosial harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Pekerja
Sosial Profesional. Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi sertifikasi Pekerja
Sosial Professional yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi pekerjaan sosial.
Untuk perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat
bencana Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota harus menyiapkan Sumber Daya
Manusia Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) diantaranya Pekerja Sosial Profesional,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan Relawan Sosial.
 Perlu para stakeholder di pusat dan daerah memperhatikan mutu dan jenis layanan
dasar untuk standar teknis SPM Bidang Sosial di daerah Kabupaten/Kota, rehabilitasi
sosial di luar panti bagi anak telantar, penyandang disabilitas telantar, lanjut usia
telantar, gelandangan dan pengemis, serta perlindungan dan jaminan sosial bagi
korban bencana lingkup Kabupaten/Kota, bahwa pelayanan rehabilitasi sosial dasar di
luar panti dilakukan dalam bentuk layanan rehabilitasi sosial dalam keluarga dan
masyarakat, dilakukan dengan memberikan dukungan pelayanan/pendampingan
kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Lanjut Usia Telantar, Anak Telantar, serta
Gelandangan dan Pengemis dalam keluarga dan masyarakat; dan memberikan
bimbingan kepada keluarga dan masyarakat.
 Memperhatikan layanan kedaruratan yang merupakan tindakan penanganan segera
yang dilakukan oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota dan/atau Pusat
Kesejahteraan Sosial kepada Penyandang Disabilitas Telantar, Anak Telantar, Lanjut
Usia Telantar, Gelandangan, dan Pengemis yang membutuhkan pertolongan karena
terancam kehidupannya dan tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
 Memperhatikan penerapan SPM Bidang Sosial di daerah Kab/Kota pada sarananya
yang menggunakan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dengan memiliki paling
sedikit 1 (satu) orang Relawan Sosial, terdiri atas pekerja sosial masyarakat; karang
taruna; tenaga pelopor perdamaian; taruna siaga bencana; tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan; kader rehabilitasi berbasis masyarakat dan berbasis keluarga, dan
penyuluh sosial masyarakat. Relawan Sosial harus tersertifikasi yang dilakukan oleh
lembaga sertifikasi tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial.

REKOMENDASI
 Perubahan PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang
sebelumnya berdasarkan fisik dan non fisik menjadi berdasarkan urusan
(kewenangan) pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sehingga
berdampak kepada pembahasan anggaran Kemensos dengan Ditjen Anggaran
Kementerian Keuangan, bahwa anggaran untuk kegiatan dengan menggunakan

[526]
nomenklatur panti sudah tidak dapat dialokasikan di pusat karena sudah menjadi
kewenangan daerah provinsi, sedangkan urusan pemerintah pusat pada rehabilitasi
sosial lanjutan dengan nomenklatur “Balai” sehingga perlu ada alih fungsi dari
nomenklatur panti menjadi Balai berdasarkan Keputusan Menteri PAN dan RB yang
ditetapkan dan perlu anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Sosial pada
usulan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di awal tahun untuk tahun berikutnya dalam
mendukung penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah yang belum
mampu APBD-nya.

REFERENSI
 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal;
 Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2018 tentang Peran dan Kewenangan Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 110 Tahun 2017 tentang Kegiatan Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar
Pelayanan Minimal;
 Peraturan Menteri Sosial No. 9 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Jakarta, November 2018


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

[527]
ARTIKEL KEBIJAKAN
PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DILEMA DALAM
MELAKSANAKAN AMANAT KONSTITUSI NEGARA DAN
MENINGKATKAN DAYA SAING MENGHADAPI
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

PELUANG, TANTANGAN, DAN RISIKO BAGI INDONESIA DENGAN ADANYA


MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Pada seminar yang diinisiasi Lembaga Administrasi Negara dalam meningkatkan
kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintah Daerah dan para Fungsional Analis
Kebijakan di berbagai Kementerian/Lembaga terhadap kebijakan pengawasan
persaingan usaha dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Lembaga
Administrasi Negara bekerjasama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Persaingan Usaha dalam Menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Kamis 7 April 2016 di Aula LAN Jl. Veteran
No. 10 Jakarta Pusat.
Menghadapi persaingan di tahun 2016 sudah bersiap menghadapi ketatnya
persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia
Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir
integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat
dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia. Pertama, negara-negara di
kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis
produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat
arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi
tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi
yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer
protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian,
dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan
dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta;
menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan
sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik
berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan
ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM).
Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi
akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya
manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global.
Dengan dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap
negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di
kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket
bantuan teknis kepada negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal
tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas

[529]
sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun
juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk
memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan
perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya.
MEA dapat mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan
menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan
eksportir dan importir non-ASEAN.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan
perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan
berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP
Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan
homogenitas komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian,
karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini
competition risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir
dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing
dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada akhirnya akan
meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia sendiri.
Pada sisi investasi, kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung
masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi
melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber
daya manusia (human capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun
begitu, kondisi tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Indonesia masih memiliki
tingkat regulasi yang kurang mengikat sehingga dapat menimbulkan tindakan eksploitasi
dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam oleh perusahaan asing yang
masuk ke Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah sumber daya alam melimpah
dibandingkan negara-negara lainnya. Tidak tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang
dilakukan perusahaan asing dapat merusak ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi
investasi yang ada di Indonesia belum cukup kuat untuk menjaga kondisi alam termasuk
ketersediaan sumber daya alam yang terkandung.
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para
pencari kerja karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan
akan keahlian yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam
rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan
tertentu. MEA juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk
mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini dapat
memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan
produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari
Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia sendiri
membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN.
Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan
keunggulan skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun
demikian, Indonesia masih memiliki banyak tantangan dan risiko-risiko yang akan
muncul bila MEA telah diimplementasikan. Oleh karena itu, para risk professional
diharapkan dapat lebih peka terhadap fluktuasi yang akan terjadi agar dapat
mengantisipasi risiko-risiko yang muncul dengan tepat. Selain itu, kolaborasi yang apik
antara otoritas negara dan para pelaku usaha diperlukan, infrastrukur baik secara fisik
dan sosial (hukum dan kebijakan) perlu dibenahi, serta perlu adanya peningkatan
kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di Indonesia. Jangan sampai
Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri di tahun 2015 mendatang.

[530]
Persaingan di bursa tenaga kerja akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan
pasar bebas Asean pada akhir 2015 mendatang. Ini akan mempengaruhi banyak orang,
terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus. Berikut lima hal yang
perlu Anda ketahui dan antisipasi dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara yang
dikenal dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Masyarakat Ekonomi Asean


Lebih dari satu dekade lalu, para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah
pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Ini dilakukan agar
daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik
investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.
Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah
ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Berbagai profesi seperti tenaga medis dan pekerja sosial asing profesional bersertifikat,
boleh diisi oleh tenaga kerja asing pada 2016. Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya
membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional,
seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya
menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. “Pembatasan, terutama dalam sektor tenaga
kerja profesional, didorong untuk dihapuskan,” katanya. Sehingga pada intinya, MEA
akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta
profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya. Sejumlah pimpinan
asosiasi profesi mengaku cukup optimistis bahwa tenaga kerja ahli di Indonesia cukup
mampu bersaing. Ketua Persatuan Advokat Indonesia, Otto Hasibuan, misalnya
mengatakan bahwa tren penggunaan pengacara asing di Indonesia malah semakin
menurun.
Pengacara-pengacara kita, apalagi yang muda-muda, sudah cukup unggul. Selama
ini kendala kita kan cuma bahasa. Tetapi sekarang banyak anggota-anggota kita yang
sekolah di luar negeri. Di sektor akuntansi, Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia,
Tarko Sunaryo, mengakui ada kekhawatiran karena banyak pekerja muda yang belum
menyadari adanya kompetisi yang semakin ketat.

Indonesia mengantisipasi arus tenaga kerja asing


Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyatakan tidak ingin
“kecolongan” dan mengaku telah menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas
tenaga kerja. Sektor diperluas, tetapi syarat diperketat. Jadi buka tidak asal buka, bebas
tidak asal bebas. Tenaga kerja lokal yang sebetulnya berkualitas dan mampu, tetapi
karena ada tenaga kerja asing jadi tergeser. Sejumlah syarat yang ditentukan antara lain
kewajiban berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga profesi terkait di dalam negeri.
Image caption Permintaan tenaga kerja jelang MEA akan semakin tinggi, kata ILO.

Keuntungan MEA bagi negara-negara Asia Tenggara


Riset terbaru dari Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO menyebutkan pembukaan
pasar tenaga kerja mendatangkan manfaat yang besar. Selain dapat menciptakan jutaan

[531]
lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta orang
yang hidup di Asia Tenggara. Pada 2015 mendatang, ILO merinci bahwa permintaan
tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta. Sementara permintaan akan
tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sementara tenaga kerja level
rendah meningkat 24% atau 12 juta. Namun laporan ini memprediksi bahwa banyak
perusahaan yang akan menemukan pegawainya kurang terampil atau bahkan salah
penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan profesi.

Permasalahan Mendasar
Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pasal 34 UUD 1945 Amandemen, bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara. Rencana pembangunan jangka panjang nasional diwujudkan
dalam visi, misi dan arah pembangunan nasional yang mencerminkan cita-cita kolektif
yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi untuk mencapainya. Visi
merupakan penjabaran cita-cita berbangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu terciptanya
masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas serta berkeadilan.
Perlindungan sosial bagi penduduk miskin, rentan dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui
rehabilitasi aosial kepada setiap penyandang disabilitas (rungu wicara, mental eks psikotik,
mental eks penyakit kronis, netra, grahita, penyandang disabilitas tubuh, dan
penyandang disabilitas ganda) yang sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan kebutuhan
dasar yang layak, pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga
(panti dan lembaga kesejahteraan sosial) dan di luar lembaga dengan berbasis keluarga
dan masyarakat.
Rehabilitasi sosial juga dilakukan kepada setiap anak (balita terlantar, anak
terlantar, anak berhadapan dengan hukum, anak dengan kebutuhan khusus, anak yang
tidak memiliki keluarga, anak putus sekolah, anak yang terpisah dari keluarga karena
bencana, dan anak korban tindak kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah) yang sesuai
kriteria mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak, pengasuhan, pelayanan,
dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan
sosial).
Setiap lanjut usia terlantar mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak
dan pelayanan sosial seuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan
sosial) dan korban tindak kekerasan mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang
layak dan mendapatkan rehabilitasi psikososial sesuai standar.
Permasalahan sosial lainnya seperti tuna susila, gelandangan dan pengemis
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak, pelayanan dan rehabilitasi sosial
sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan sosial), kemudian
korban penyalahgunaan NAPZA dan HIV/AIDS sesuai kriteria mendapatkan
penanganan awal dan rujukan sesuai standar berdasarkan pelimpahan kewenangan dan
pelaksanaan tugas dari pemerintah pusat.
Upaya lainnya dalam perlindungan sosial yang komprehensif dengan tersedianya
akses layanan dan rujukan dalam Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) bagi

[532]
fakir miskin termasuk keluarga sangat miskin sesuai standar dan setiap warga Komunitas
Adat Terpencil (KAT) mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dan tempat tinggal
yang layak.
Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan merupakan salah
satu perlindungan sosial dengan upaya pemulangan ke daerah asal dengan mendapatkan
tempat tinggal sementara, pangan dan sandang yang layak di dalam tempat
penampungan sementara/shelter sesuai standar
Perlindungan sosial lainnya dilakukan kepada korban bencana dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan hunian sementara, makanan bergizi, dan pakaian yang layak
pada saat tanggap darurat, pada pasca bencana, pada saat bencana dan pada pasca
bencana.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan : untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup, memulihkan fungsi sosial dalam rangka
mencapai kemandirian, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan
menangani masalah kesejahteraan sosial, meningkatkan kemampuan, kepedulian dan
tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan
meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
BAB II Hak dan Tanggung Jawab Pasal 3 UU 13/2011 disebutkan bahwa Fakir
miskin berhak memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya, mendapatkan
perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan
keluarganya sesuai dengan karakter budayanya, mendapatkan pelayanan sosial melalui
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun,
mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya, memperoleh derajat
kehidupan yang layak, memperoleh lingkungan hidup yang sehat, meningkatkan kondisi
kesejahteraan yang berkesinambungan; dan memperoleh pekerjaan dan kesempatan
berusaha.
Pasal 5 UU 13/2011 disebutkan bahwa penanganan fakir miskin dilaksanakan
secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan

[533]
masyarakat dan pada Pasal 6 Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat.
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk pengembangan potensi diri,
bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, penyediaan pelayanan
kesehatan, penyediaan pelayanan pendidikan, penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha, bantuan hukum, pelayanan sosial, dilakukan melalui: pemberdayaan
kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan
kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, jaminan dan perlindungan sosial untuk
memberikan rasa aman bagi fakir miskin, kemitraan dan kerjasama antarpemangku
kepentingan, koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan
penanganan fakir miskin dan dalam menetapkan kriteria, Menteri berkoordinasi dengan
kementerian dan lembaga terkait. Kriteria menjadi dasar bagi lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan
pendataan. Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan yang
dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik, Verifikasi dan validasi dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun sekali, verifikasi dan validasi dikecualikan apabila terjadi situasi dan kondisi
tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang
menjadi fakir miskin, Verifikasi dan validasi dilaksanakan oleh potensi dan sumber
kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa, hasil verifikasi dan
validasi dilaporkan kepada bupati/walikota, Bupati/walikota menyampaikan hasil
verifikasi dan validasi kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Pasal 18 UU 13/2011 disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial, yang meliputi peningkatan
fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas hidup,
meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam mencegah dan menangani masalah kemiskinan; dan meningkatkan kualitas
manajemen pelayanan kesejahteraan sosial.
Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011, penanganan fakir miskin diselenggarakan secara
terencana, terarah, terukur, terpadu, dan Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan
oleh Menteri dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri,
sandang, pangan, perumahan, pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan
oleh Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi
Menteri.
PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial pada Pasal 2
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ditujukan kepada perseorangan, keluarga,
kelompok, masyarakat. diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yang meliputi
kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan
perilaku, korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan
diskriminasi.
Penanganan Fakir Miskin pada lampiran bidang sosial UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daeran ditetapkan pada Sub-Bidang Perlindungan dan Jaminan
Sosial. Kewenangan dan pembagian urusan, Pusat melakukan “Pengelolaan data fakir
miskin nasional”, Provinsi melakukan Pengelolaan data fakir miskin cakupan Daerah
provinsi, Kabupaten/Kota melakukan pendataan dan pengelolaan data fakir miskin
cakupan daerah kabupaten/kota.

[534]
Tidak terakomodirnya amanah dari Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin yang menyebutkan bahwa penanganan fakir miskin
diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, terpadu, dan
Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri dalam rangka pemenuhan
kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan, perumahan, dan
pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga
terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi Menteri.

Desentralisasi, Pelayanan Publik dan Kemisknan


Dalam struktur sosial ekonomi serba timpang, gagasan pembangunan inklusif,
pertama-tama berarti membuka akses keadilan seluas mungkin bagi segenap warga
negara yang selama ini berada di garis tepi pembangunan. Lewat instrumen kebijakan
sosial dan pelayanan publik, negara tidak saja berperan sebagai institusi alternatif tatkala
warga negara belum mampu menyatukan diri atau hanya menjadi substitusi ketika pasar
terbukti gagal bekerja (market failure), tetapi negara menjadi pihak yang sejatinya
bertanggung jawab mengurai segala belitan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar
warga sebagai esensi dari makna keadilan.
Dalam konteks kontemporer, ada momen strategis bagi peran negara di Indonesia
untuk membuktikan fungsi dan manfaat keberadaannya: desentralisasi. Keyakinan atas
desentralisasi memang memiliki dasar pikir dan bukti komparatif cukup kuat. Namun,
dalam kasus Indonesia, pilihan desentralisasi sebagai rute alternatif perbaikan pelayanan
publik masih menunjukkan wajah mendua: sementara di sebagian daerah jalan itu mulai
terasa lapang, di sebagian besar kota dan kabupaten justru tampak berhenti atau jalan di
tempat.
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Purbalingga, dan beberapa daerah lain
merupakan contoh daerah-daerah yang mampu melakukan inovasi kebijakan pelayanan
publik (public service), terutama di sektor kesehatan, yang sangat bermanfaat bagi
masyarakat dan bersifat universal. Masih begitu banyak daerah yang melakukan
pelayanan publik sekadarnya dan justru terjebak pada pemenuhan Standar Pelayanan
Minimum (SPM). Pelayanan publik masih dilakukan dengan paradigma supply driven dan
seolah merupakan “kebajikan” pemerintah, sementara warga diperlakukan tak lebih
sebagai klien atau konsumen yang sedang membutuhkan layanan dan mesti tunduk pada
ketuhanan yang ditetapkan oleh birokrasi.
Celakanya, dalam hal kapasitas dan kualitas birokrasi serta politi lokal, kultur
kekuasaan (power culture) dan bagaimana menjalankan kepentingan kekuasaan
(bureaucratic polity) juga masih sangat mendominasi birokrasi pemerintah. Birokrasi
paternalistik warisan kolonial seakan memiliki beribu nyawa dan kebal terhadap
pergantian zaman dan perubahan ekonomi.
Desain birokrasi pada zaman kolonial memang tidak dibuat sebagai instrumen
untuk memberdayakannya dan memfasilitasi kesejahteraan rakyat, tetapi untuk
mengontrol perilaku warga dan mencegah segala aksi yang berpotensi membahayakan
kekuasaan. Sayangnya, kultur tersebut tidak serta-merta berubah menjadi kultur
pelayanan (service culture). Para birokrat seharusnya bekerja memenuhi hak-hak warga
dalam mendapatkan berbagai layanan dasar serta berfungsi sebagai “pelayan rakyat”.
Mereka menerima gaji yang berasal dari pajak negara.
Konteks desentralisasi dalam rangka penanggulangan kemiskinan juga belum
sepenuhnya sesuai dengan harapan. Penelitian yang dilakukan di enam daerah
(Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Gunung

[535]
Kidul, Kabupaten Jembrana, dan Kota Makassar) terkait penanggulangan kemiskinan
setidaknya menunjukkan hal tersebut. Tidak ada tipologi yang utuh dan sempurna dalam
penanggulanangan kemiskinan, karena masing-masing memiliki kekurangan dan
kelebihan.
Walaupun demikian, ada beberapa benang merah yang dapat ditarik dari kebijakan
penanggulanan kemiskinan dari daerah-daerah tersebut. Keenam daerah yang diteliti
bertumpu pada tiga hal penting, yakni pengurangan beban pengeluaran keluarga miskin,
perlindungan sosial berorientasi pada pengurangan kerentanan dengan memperkuat
daya tahan warga, serta peningkatan pendapatan (penghasilan) keluarga miskin.
Ada beberapa catatan kritis yang dipaparkan dalam studi tersebut, yakni kapasitas
fiskal dan diskresi keuangan daerah yang sangat tebatas. Namun, pada saat yang sama
sebagian besar anggaran daerah menjadi bahan konsumsi internal pemerintah daerah dan
birokrasi. Pemerintah daerah kemudian mengalokasi dan mendistribusikan anggaran
daerah untuk mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin, tetapi investasi dana
pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan keluarga miskin menghadapi
kendala serius. Inventasi yang dilakukan pihak swasta di sektor sekunder dan tersier
mampu mendatangkan lapangan pekerjaan (pro-jobs) dan pertumbuhan ekonomi (pro-
growth). Namun, pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi ini diikuti dengan
membengkakkan kemiskinan. Kaum buruh menjadi pemasok kemiskinan paling besar.
Studi tersebut member catatan bahwa penanggulangan kemiskinan di enam yang
diteliti lebih banyak digerakkan oleh negara (state driven) dengan alokasi-distribusi dana
(money driven). Pemerintah daerah memanfaatkan dana tersebut untuk melayani warga,
membantu keuangan kelompok kemiskinan, serta memobilisasi masyarakat dengan
jargon pemberdayaan. Pemerintah daerah selama ini tampaknya mengabaikan kekuatan
emansipasi lokal berbaris masyarakat desa yang banyak digerakkan oleh insiatif,
kepemimpinan, dan gerakan lokal, serta mampu menyemai potensi lokal menjadi sumber
kemakmuran kolektif.

Kebijakan-Sosial-Baru-Basic-Income
Kebijakan Sosial (social policy) mempunyai tujuan lebih dari sekedar
penanggulangan kemiskinan. Di samping bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial
(social welfare), kebijakan pada umumnya juga diterapkan untuk meminimalkan
kesenjangan sosial. Kebijakan sosial mencakup pendekatan standar kehidupan,
peningkatan jaminan sosial serta akses terhadap kehidupan layak.
Brazil, misalnya menyusunan beberapa program terfokus dan terintegrasi melalui
Bolsa Familia yang dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta
mengembangkan sumberdaya manusia di tingkat keluarga. Di samping memenuhi tujuan
yang ingin dicapai, dampak program itu terwujud dalam bentuk pertumbuhan pro-poor
di tataran empiris. Bahkan UNDP mencatat Kostarika sebagai negara dengan peringkat
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi, jauh di atas IPM negara lain dengan tingkat
pendapatan yang sama.
Pada dasarnya Kostarika menerapkan model pembangunan heteredoks dengan
melakukan redistribusi investasi publik dan berupaya mengkombinasikan pertumbuhan
ekonomi dengan pembangunan sosial dan kesejahteraan. Sementara Bangladesh
berinovasi dengan sistem keuangan yang melayani sektor informal dan dikenal sebagai
kredit mikro. Sistem keuangan ini berhasil membantu jutaan keluarga miskin. Model
pelayanan keuangan bagi rakyat miskin ini mulai ditiru banyak negara.

[536]
Keberhasilan kredit keuangan mikro Bangladesh merupakan inisiatif civil society
yang kemudian ditumbuhkembangkan negara dengan berbagai kebijakan dan dukungan.
Hampir semua penduduk di beberapa negara maju telah mengenal dan memiliki asuransi
kesehatan. Tidak demikian halnya dengan Amerika Serikat. Warga yang tidak memiliki
asuransi kesehatan berjumlah 43 juta orang atau 17 persen dari total penduduk Amerika
Serikat. Pada tahun 2010, Presiden Barack Obama mengesahkan sebuah Undang-Undang
universal, UU Pelayanan Kesehatan.
Perjuangan tersebut, merupakan babak baru dalam sejarah kebijakan sosial
(kesehatan) Amerika Serikat yang memenangkan” kepentingan publik dan
“mengalahkan” kepentingan kaum modal yang bergerak di bidang asuransi.
Korea Selatan juga pernah melakukan terobosan di bidang kebijakan kesejahteraan
sosial (social welfare) setelah diterpa krisis moneter tahun 1998. Kebijakan aktif seperti itu
dilakukan untuk meningkatkan inventasi negara dalam pembangunan sumber daya
manusia dan tidak lagi dengan cara memilih secara selektif sektor-sektor tertentu dalam
pasar tenaga kerja.
Laporan dari kongres “basic income: an instrument for justice and peace”, brasil, yang
diikuti 33 negara juga memunculkan temuan berharga. Basic income (BI) merupakan
upaya untuk memperbaiki sistem kesejahteraan sosial, dan dilakukan untuk memenuhi
prinsip kesetaraan warga negara. Seperti halnya jaminan kesehatan di negara maju,
semua orang berhak memperoleh tunjangan BI, baik dia menjalani hidup sehat atau tidak.
Jadi, tujuannya bukan hanya untuk “mengobati” kemiskinan dan ketimpangan
sosial, tetapi juga untuk mencegah pemiskinan dan ketimpangan. Penerapan kebijakan
sosial ala BI bukan hanya merupakan transformasi pada aras gagasan saja, tetapi juga
tataran kelembagaan.
Perubahan gagasan berarti perubahan cara pandang. Jika zaman sebelumnya
jaminan sosial selalu dianggap beban, sudah saatnya ia berubah menjadi alokasi untuk
investasi masa kini dan masa depan. Kebijakan sosial yang semula dianggap sekadar
pendukung dan penyokong pertumbuhan ekonomi, kita perlu diteropong sebagai
penggerak ekonomi dan investasi sosial itu sendiri.

Paradoks Ekonomi dan Agenda Kesejahteraan Sosial


Hilangnya titik temu antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sebagaimana
diketahui, ada semacam paradox dalam kinerja perekonomian Indonesia. Kinerja
ekonomi yang tinggi tidak disertai dengan meningkatnya kualitas hidup manusia secara
memadai.
Dengan demikian, prospek perekonomian Indonesia harus memasukkan sebuah
agenda penting, yakni upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Fakta tentang hilangnya
koneksitas antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak hanya menjadi
perhatian para ahli ekonomi dan politik saja, tetapi juga para pengambil kebijakan.
Diskoneksitas tersebut merupakan persoalan teoritis sekaligus pragmatis.
Tulisan ini melihat dan membedah paradoks perekonomian Indonesia dari sisi
sektor keuangan yang terkait dengan kebijakan moneter dan perbankan serta sisi sektor
riil (ekonomi industri). Pada bagian akhir tulisan digagas sebuah terobosan kebijakan
yang berupaya mengaitkan kekayaan alam dengan program kesejahteraan sosial.
Konkretnya, hasil pendapatan yang selama ini diperoleh dari eksploitasi dan dan
ekstraksi sumber daya alam serta ekspor komoditas primer harus disisihkan untuk

[537]
pengembangan kualitas sumber daya manusia serta ketahanan alam dan sosial
masyarakat Indonesia.
Orang awam sering melontarkan keluhan yang barangkali terdengar klise, katanya
kinerja ekonomi sangat menggembirakan, tetapi kenapa hidup rakyat masih saja susah?
sebenarnya siapa yang menikmati buah kemakmuran yang selama ini terkumpul?
walaupun beberapa tahun terakhir perekonomian Indonesia terus-menerus menunjukkan
kinerja cukup bagus, tetapi berbagai persoalan sosial-utamanya kemiskinan dan
pengangguran-tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan.
Tampaknya ada masalah dengan soal distribusi kesejahteraan, sehingga
menghadirkan “kaitan yang hilang” antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Pertanyaannya, apakah hubungan antara pertumbuhan (kinerja) ekonomi dan
keejahteraan sosial merupakan hubungan sebab-akibat? Jika “ya”, apakah pertumbuhan
ekonomi otomatis mendorong kesejahteraan sosial? walaupun saling mempengaruhi
secara dinamis, hubungan diantara keduanya terlalu kompleks dan tampak tidak linear.
Hubugan diantara mereka juga tidak terlalu jelas: apakah kinerja ekonomi akan
menuntun kesejahteraan sosial atau sebaliknya kesejahteraan sosial yang lebih tinggi
akan mengatur dan membuat kinerja ekonoi menjadi lebih baik. Pertanyaan ini memang
sarat dengan dimensi ideologis, teoritis, empiris, dan metodologis.
Persoalan tersebut bisa bersifat ideologis mengingat cara berpikir ekonomi yang
tidak memberi ruang lebih lapang bagi isu kesejahteraan sosial. corak utama berpikir
semacam itu adalah pertumbuhan ekonomi. Hal yang lebih diutamakan adalah
bagaimana memperbesar “kue pembangunan” dan sama sekali tidak terkait dengan
bagaimana kue ini harus dibagi.
Pada dasarnya, cara pandang neoliberal yang mengandalkan kekuatan pasar dalam
mendistribusikan kekayaan sangat tipikal mendorong pertumbuhan dan kinerja itu
dibagi dan di kota. Semua urusan diserahkan di pasar.
Sementara itu, beberapa negara yang menerapkan sistem kesejahteraan sosial
(welfare state) sebagai kerangka dasar kebijakan kerap didera oleh tidak kompetitifnya
sektor industri mereka, apalagi jika tolok ukur yang dipakai adalah kinerja sektor
keuangan.
Sistem yang lebih fleksibel dan berbaris kekuatan pasar (market-based system) ala
anglo-saxon diyakini lebih menjamin dinamika dan kinerja ekonomi, khususnya di sektor
keuangan. Amerika Serikat pernah menjadi negara-bangsa yang sangat produktif di
sektor riil sekaligus paling dinamis di sektor financial.
Walaupun pendekatan berbasis pasar sedang mencapai titik nadir, ini bukan berarti
pola kebijakan negara akan lebih berorientasi pada kesejahteraan sosial. Intervensi yang
dijalankan oleh hampir semua negara didunia saat ini bukan jaminan bagi bangkitnya
paradigma kesejahteraan.
Peran serta pemerintah dalam ekonomi merupakan salah satu elemen penting
dalam sistem negara kesejahteraan. Dalam bahasa teknis, intervensi pemerintah hanyalah
sebuah “perangkat” untuk mencapai kesejahteraan sosial. karena sistem yang berbaris
pada kekuatan pasar tidak bisa melakukan fungsi redistribusi, maka negara harus
berperan aktif menjalankan fungsi tersebut melalui seperangkat kebijakan sosial yang
ditujukan kepada kelompok-kelompok masyarakat kurang beruntung (underprivileged
people).
Namun, pola intervensi tersebut tidak selalu ditujukan untuk meningkatkan
redistribusi kesejahteraan. Dalam menyikapi siklus kritis, misalnya, kehadiran negara

[538]
(baca; pemerintah) sangat diperlukan karena pasar dinilai telah gagal (market failure).
Untuk mengoreksi kegagalan pasar, pemerintah harus segera diakhiri.
Karena itu, ada semacam siklus yang bertolak belakang antara pola intervensi dan
dinamika ekonomi. Jika dinamika ekonomi sangat menanjak (booming), negara itu tidak
boleh campur tangan.
Jika ekonomi sedang lesu (bursting), negara harus turun tangan. Ketika siklus sudah
kembali naik dan pulih (recovered), campur tangan negara juga harus dikurangi. Pola
tipikal kebijakan ekonomi berbaris kekuatan pasar itu dalam bahasa popular disebut
“kebijakan neoriberal” (neolib).
Apakah kebijakan neolip mampu menyelesaikan masalah sosial? persoalan itu,
menurut neolib, akan diselesaikan oleh mekanisme pasar. Kemiskinan akan berkurang
dengan sendirinya jika terjadi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, diperlukan pola
kebijakan yang memberi kebebasan sebesar-besarnya kepada pemilik dalam
mengembangkan kewirausahaan mereka guna memacu dan memompa pertumbuhan
ekonomi.
Para penganut dan pendukung pasar bebas menganggap bahwa menjalankan
“kebijakan sosial” adalah sebuah pemborosan yang tak dapat dibenarkan. Sebaliknya,
negara justru harus memberi insentif kapada dunia industri agar pertumbuhan ekonomi
dapat terus berjalan.

Dilema Kebijakan Sosial


Dalam pandangan ekonomi mainstream, kebijakan sosial yang secara formal muncul
dalam konsepsi negara kesejahteraan dianggap sebauah anomaly. Inti persoalan
sebenarnya adalah kerancuan antara “barang publik” (public goods) dan barang pribadi
(private goods) (Rothstein, 1998).
Menurut para ekonomi neoklasik, segala sesuatu hanya akan efisien jika
diperlakukan sebagai barang pribadi yang dapat diperdagangkan dengan menggunakan
mekanisme pasar, termasuk hal-hal terkait dengan jaminan kesehatan (health care),
asuransi sosial (social insurance) dan pendidikan. Karena itu, penyelenggara layanan di
segala bidang bisa dan harus diserahkan kepada sektor swasta.
Namun, pandangan lain mengatakan bahwa hal-hal terkait dengan kesejahteraan
sosial sebaiknya dikelola sebagai barang publik dan tidak diserahkan begitu saja pada
mekanisme pasar. Dengan demikian, sebagai barang publik, beberapa hal terkait dengan
kesejahteraan sosial tidak termasuk dalam kategori dilema sosial (Ostrom, 1998).
Bahkan Nicholas Barr (1992) secara rinci menunjukkan dan menyebut tiga alasan
utama mengapa soal asuransi pengangguran, pendidikan dasar dan jaminan kesehatan
serta pension tidak bisa diselesaikan oleh mekanisme pasar.
Pertama, adanya adverse selection yang membuat perusahaan swasta enggan
menekuni bidang bisnis berisiko tinggi. Kedua, akan terjadi moral hazard yakni terjadinya
penyelewengan oleh berbagai pihak yang sulit diantisipasi perusahaan swasta. Ketiga,
terjadinya independent risk, yakni satu resiko mengait dengan resiko lain sehingga sulit
dimitigasi melalui mekanisme pasar.
Masalah tersebut akan muncul secara alamiah mengingat pasar selalu mengandung
informasi tak seimbang (asymmetric information). Karena itu, mengandalkan niat baik
pihak swasta untuk memecahkan berbagai masalah sosial sebagaimana digagas Milton
Friedman (1962) adalah hal yang muskil. Pendek kata, peran pemerintah senantiasa

[539]
dibutuhkan dalam mengatasi berbagai masalah sosial, mengingat secara alamiah
kekuatan pasar memiliki sejumlah keterbatasan.
Di sisi lain, persoalan pragmatis seperti defisit anggaran atau kebijakan fiskal dalam
kerangka kebijakan sosial sering ditentang bukan karena alasan teknis semata, melainkan
juga karena alasan ideologis.
Bagi paham ekonomi yang mempercayai intervensi pemerintah, setiap rupiah yang
digelontorkan pasti akan menggerakkan daya beli masyarakat, sehingga akhirnya
berbalik menjadi peningkatan pembayaran pajak.
Mereka meyakini dana-dana yang dikucurkan pemerintah untuk membiayai
kebijakan sosial tidak akan pernah menimbulkan kejenuhan pasar. Dengan menggunakan
perspektif pasca-Keynesian, pengeluaran pemerintah tersebut akan membawa efek
crowding-in.
Sementara bagi penganut ekonomi neoklasik, intervensi pemerintah hanya akan
boleh dilakukan bila pasar gagal menyelesaikan persoalan. Karena itu, intervensi
pemerintah dalam kebijakan sosial hanya akan dapat dibenarkan jika hanya bekerja
memperbaiki mekanisme pasar serta berfungsi “mengoreksi” kegagalan pasar.
Bila pasar sudah bisa menggeliat lagi, pemerintah harus menarik diri. Jika campur
tangan pemerintah tidak ditarik kembali, setiap rupiah yang digelontorkan ke pasar akan
menimbulkan efek crowding-out, pengeluaran yang akan menjadi beban tambahan
pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, ketersediaan anggaran sering dijadikan alasan untuk
meng-counter setiap tuntutan yang hendak mengembangkan kebijakan sosial. Corak
berfikir yang selama ini dipakai adalah setiap pengeluaran pemerintah pasti akan
menimbulkan efek crowding-out.
Padahal, dalam kebijakan sosial dan negara kesejahteraan, pengeluaran pemerintah
seharusnya dianggap sebagai investasi yang dapat mendorong tingkat daya beli
masyarakat. Karena itu, supaya kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih besar, hal
pertama yang harus diubah adalah cara pandang yang terlalu biasa pada prinsip dan
kepentingan mekanisme pasar.
Setelah memiliki konsensus bersama bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan
ruang lebih besar dalam dinamika ekonomi dan politik, persoalan berikut yang perlu
dibenahi adalah bagaimana membiayai dan mekanisme pembiayaan kebijakan sosial.
Satu prasyarat utama yang tidak bisa ditawar, intervensi negara mengandalkan lembaga
ini memiliki kapasitas untuk melaksanakannya, yakni instrument birokrasi yang harus
benar-benar bersih dari korupsi.

Pembangunan Inklusif
Kerisauan terhadap arah pembangunan di Indonesia selama ini terlalu
memfokuskan perhatian pada pertumbuhan yang mengandalkan investasi besar, namun
kurang mengikutsertakan rakyat kecil sebagai subjek dan bagian utama dari
pembangunan.
Indonesia diberitakan memiliki sejumlah indikator makro yang menggembirakan,
misalnya laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren positif, inflasi rendah, investasi
asing menumpuk, dan cadangan devisa meningkat. Namun berita tentang kehidupan
masyarakat bawah tidak terlalu menggembirakan. Kemiskinan yang masih tinggi,
malnutrisi, kelaparan, kematian ibu melahirkan dan balita, pengangguran dan

[540]
meledaknya sektor informal adalah berbagai persoalan yang terus menghiasi kolom-
kolom berita di media massa negeri ini.
Pembangunan sosial atau investasi manusia masih dipandang sebelah mata dan
hanya dianggap sebagai sesuatu yang bersifat residual. Padahal di Negara-negara maju
Asia Timur, pembangunan sosial sudah menjadi bagian integral dari pembangunan
ekonomi dan kedua elemen ini saling mendukung.
Presiden Center for Global Development (CGI) Nancy Birdsall mengungkapkan bahwa
tujuan mendasar pembangunan ekonomi bukanlah pertumbuhan ekonomi semata, tetapi
peningkatan kesejahteraan manusia. Bahkan petinggi lembaga riset pembangunan
terkemuka dunia itu, dalam sebuah tulisan bertajuk Social Development is Economic
Development menyatakan dengan tegas “Social development is good economics”.
Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan, namun tidak cukup karena pada
akhirnya sumber daya manusia unggul dan produktif adalah kunci kemajuan serta
keberlanjutan pembangunan.
Sebaliknya di Indonesia, akibat mengabaikan pembangunan sosial dan terjadi
eksklusi pembangunan pada masyarakat bawah, rakyat miskin dan kurang mampu
mengalami ketertutupan akses serta tertinggal dalam setiap proses pembangunan.
Tidaklah mengherankan jika ini membuat indeks pembangunan manusia (IPM)
Indonesia terus merosot, bahkan dalam beberapa kasus tampak lebih buruk ketimbang
Negara yang tingkat ekonominya jauh di bawah Indonesia.
Dengan kesadaran inilah dirasakan bahwa “Pembangunan Inklusif” atau
“Pembangunan untuk Semua” dianggap sangat penting dan mendesak. Semangat dari
makna pembangunan itu adalah semua warga Negara, entah strata ekonominya, tempat
tinggalnya (desa, kota, pulau terpencil, perbatasan, dan lain-lain), agamanya, sukunya,
golongannya, jenis kelaminnya mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan fasilitas
dari negara untuk berkembang dan mengembangkan diri. Di sinilah hakikat
pembangunan yang tidak boleh bersifat eksklusif ataupun diskriminatif.

Menuju Jalan Baru Pembangunan Melalui Pemerataan


Sejak pembangunan dimulai pada masa Orde Baru hingga sekarang, belum terjadi
transformasi ekonomi yang sebenarnya. Indikator ini terlihat jelas dalam kehidupan
sehari-hari, meski pertumbuhan ekonomi relative tinggi, namun kehidupan mayoritas
rakyat tetap tak beranjak jauh. Dari media kita melihat di media televisi atau suratkabar
tentang orang-orang Indonesia superkaya dengan jumlah harta meningkat secara
fantastis, namun di sisi lain kita juga menyaksikan realitas pahit kemiskinan terus
menjadi “pemandangan” sehari-hari di depan mata.
Transformasi struktural, yaitu pergeseran bobot ekonomi dari pertanian-
pertambangan ke manufaktur dan sektor jasa bernilai tinggi, selama ini merupakan hal
semu (ersatz structural transformation) karena para petani bukannya naik kelas, justru
digusur untuk meninggalkan kampung halaman menjadi TKI/TKW atau berjejalan di
sektor informal yang meruyak di perkampungan kumuh perkotaan. Kualitas
pembangunan seperti itu cenderung akan memunculkan ketimpangan dan kesenjangan
semakin tinggi dan lebar.
Pertumbuhan, inflasi, kenaikan indeks harga saham, cadangan devisa, dan lain-lain
adalah deretan angka menghibur yang menghiasi media massa, tetapi sangat kasat mata
kemiskinan masih terus saja melekat dalam kehidupan anak bangsa seperti petani gurem,
buruh tani, pedagang kaki lima, buruh pabrik, buruh nelayan, pengangguran dan kaum

[541]
terpinggirkan lainnya. Belum lagi banyaknya tersiar kisah nestapa seperti seorang ayah
menggendong bayinya kian kemari, tiada kuasa menyewa sejengkal tanah untuk
mengembalikan jasad bayi suci ke pangkuan pertiwi.
Di sisi lain, gemerlap kehidupan sekelompok warga bangsa yang dirasuki nafsu
akumulasi dan konsumsi berlomba-lomba menyaingi rekan sejawatnya di mancanegara.
Adegan seperti ini bukan hanya menyilau kota-kota besar tetapi juga disajikan ke pelosok
nusantara oleh media massa seperti acara ulang tahun anak artis terkenal yang
menghabiskan biaya sampai dengan milyar dengan membelikan sebuah mobil sport
mewah yang bernilai sampai 4 (empat) milyar lebih berikut rumah sampai milyaran
rupiah, belum lagi disiarkan media televisi dan surat kabat mengenai pernikahan artis
terkenal di sebuah hotel bintang lima plus diamond dengan undangan sampai 5.000 (lima
ribu) lebih undangan dengan biaya perkepala/perpiring sampai Rp. 300.000 (tiga ratus
ribu) rupiah.
Dalam perbedaan ekstrem ini, sulit menampik tudingan bahwa perbuatan dan
pembiaran kita semua turut melanggengkan ketidakadilan dan kemiskian serta menjadi
isu yang paling popular apabila suatu partai politik baru yang ingin mendapatkan simpati
dengan isu “Perubahan”. Perubahan yang selalu disampaikan adalah adanya keadilan
dan pemerataan, yang sebelumnya juga diusung oleh partai-partai politik yang sekarang
sudah di papan atas atau menengah yang dulunya baru menjadi partai yang tumbuh.
Pengalaman demokrasi di Indonesia membuktikan bahwa, ketika kader-kader partai
sudah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat atau DPR daerah dan di pemerintahan,
mereka juga yang terus secara sistematis menaikkan anggaran untuk kesejahteraan
anggota dewan yang mengusik rasa keadilan bagi masyarakat miskin, bahkan diberitakan
di media televisi atau suratkabar mengenai anggota dewan dari partai-partai politik yang
dahulu mengusung isu perubahan, tersangkut kasus hukum seperti korupsi dan lainnya,
bahkan pada rapat Bamus DPR Tahun 2012 berencana akan merevisi Undang-Undang
tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pembangunan merupakan anugerah bagi rakyat apbila berhasil meningkatkan
kualitas kehidupan mereka. Namun pembangunan bisa menjadi bencana bila tidak
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat secara berimbang. Rasa keadilan sosial
yang terkoyak akibat kesenjangan yang tinggi merupakan bom waktu yang sewaktu-
waktu dapat mengoyak stabilitas sosial. Pengertian pembangunan tidaklah sebatas
pertumbuhan ekonomi saja, namun mencakup hal-hal lebih luas seperti kemajuan
pranata sosial, demokrasi, kemanusiaan, lingkungan hidup, serta nilai-nilai budaya dan
peradaban.
Pembangunan juga bukan sekedar modernisasi, karena modernisasi bisa saja terjadi
tanpa adanya pembangunan (modernization without development) sesuai dengan Sajogyo
beberapa waktu silam. Modernisasi salah arah tersebut hanya akan melejitkan para elit
dan meninggalkan rakyat kecil serta berakibat pada melebarnya ketimpangan. Karena itu,
pembangunan mempunyai dimensi sangat luas bukan sekedar mengejar pertumbuhan
ataupun modernisasi.

Dinamika Wacana Pembangunan


Rasanya seperti hari kemarin, jargon pembangunan sewaktu Orde Baru dianggap
begitu suci sehingga atas nama pembangunan menjadi sangat sahih untuk merampas hak
asazi manusia. Belum kering dari ingatan kita, berbagai kasus yang menyobek rasa
keadilan seperti kasus Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran
yang mengatasnamakan “Pembangunan”. Menghambat atau menentang pembangunan
dianggap dan bahkan bisa dituding komunis serta dilenyapkan. Muncul pertanyaan,

[542]
apakah setiap langkah untuk mencapai kesejahteraan rakyat harus selalu ada “tumbal”
atau dalam istilah Jawa, jer basuki mawa bea ?
Amartya Sen, peraih nobel Ekonomi tahun 1998 pernah menyatakan sesuatu yang
sangat berbeda tentang pembangunan. Menurut Sen, pembangunan bukan sebuah proses
yang dingin, menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat, air mata.
Pembangunan menurut Sen, adalah sesuatu yang sebenarnya “bersahabat”.
Pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia untuk
mengembangkan sesuatu yang sesuai dengan pilihannya (development as a process of
expanding the real freedoms that people enjoyed).
Asumsi pemikiran Amartya Sen, bila setiap manusia mampu mengoptimalkan
potensinya maka kontribusinya untuk kesejahteraan bersama juga akan maksimal.
Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat
yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab langgengnya kemiskinan,
ketidakberdayaan dan keterbelakangan adalah karena ketiadaan akses. Akibat
keterbatasan akses, pilihan manusia menjadi terbatas, bahkan tidak ada untuk
mengembangkan kehidupannya. Manusia hanya menjalankan, apa yang terpaksa” dapat
dilakukan, bukan apa yang “seharusnya” bisa dilakukan. Dengan demikian, potensi dan
kontribusi manusia dalam mengembangkan kesejahteraan hidup bersama menjadi
terhambat dan lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya
kebebasan politik, kesempatan ekonomi dan sosial (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
sosial dan lainnya), dan transparansi serta adanya jaring pengaman sosial.
Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapai kesejahteraan adalah melalui kebebasan
sebagai cara dan tujuan (development as freedom). Hal ini tidak jauh beda dengan apa yang
pernah dikemukakan Soedjatmoko (development and freedom). Freedom menurut
Soedjatmoko, merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa
cemas, rasa keharusan, untuk mempertanyakan apakah tindakan mereka diizinkan atau
tidak oleh mereka yang lebih tinggi ataupun adap kebiasaan seperti patriarki, sikap
nrimo, dan lain-lain.
Untuk memecahkan hal tersebut diperlukan elemen emansipatoris, yakni aspek
pembebasan masyarakat dari pelbagai struktur yang menghambat sehingga
memungkinkan masyarakat mengembangkan kemampuan berdasarkan kekuatan sendiri
(self reliance). Dengan demikian, pembangunan berarti merangsang kelompok-kelompok
masyarakat untuk bergerak maju menjadi otonom, berakar dari dinamikanya sendiri dan
dapat bergerak dengan kekuatan sendiri. Tidak ada sebuah model pembangunan yang
berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tidak akan mungkin
berhasil dan bertahan lama jika berjalan bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang
dianut masyarakat.

Mazhab Baru dan Komitmen Perubahan


Selama ini kita terlena dengan janji bahwa paradigma pro-growth kelak akan
memakmurkan semua anggota masyarakat melalui proses trickle-down. Namun kini,
tokon arus utama, Prof. Emil Salim mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi tidak serta
merta menciptakan lapangan kerja dan menambah lapangan usaha, apalagi
menanggulangi kemiskinan.
Prof. Budiono, yang sekarang menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia pun
mengakui bahwa pertumbuhan tidak otomatis dapat mengurangi kemiskinan,
Pelajaran yang sepantasnya dipetik dari kenyataan getir “Kemiskinan dalam
Kemerdekaan” ini adalah kita perlu meninggalkan paradigma pembangunan trickle-down

[543]
yang memang tidak manusiawi. Paradigma ini menghalalkan penyitaan sebagian besar
hasil pembangunan “diteteskan” kepada mayoritas masyarakat. Paradigma lama hanya
mungkin dilakukan dalam keadaan rakyat tidak berdaya. Dengan kata lain, kemiskinan
rakyat Indonesia bersifat struktural dan ini ditandai oleh penyebaran kekayaan dan
kekuasaan yang tidak merata.
Pembangunan seharusnya menjunjung tinggi dimensi-dimensi keadilan,
pemerataan, kemanusiaan, kemandirian, harkat, martabat dan kesejahteraan rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembangunan adalah sebuah sarana
untuk melakukan transformasi struktural dan memajukan kualitas kehidupan
masyarakat. Karena tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama,
maka untuk mencapai tujuan itu juga seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian
kesejahteraan bersama. Seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai, bukan
sekedar menciptakan gunung-gunung untuk mengisi jurang-jurang atau membangun
gedung-gedung menjulang tinggi di kota-kota metropolitan dengan harapan kemiskinan
di desa-desa dapat berkurang.
Kenyataan ini mendesak kita untuk mengubah paradigma pembangunan agar
benar-benar pro-poor. Rakyat miskin adalahpihak yang paling memahami keadaan
mereka sendiri dan karenanya lebih tepat memposisikan rakyat sebagai pelaku utama
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di bawah naungan pemerintah
kabupaten/kota. Langkah paling efektif dalam membangun landasan bagi manusia
Indonesia yang mandiri adalah dengan mendahulukan keadilan atau growth through
equity melalui pembagian lahan negara untuk rakyat, pengucuran kredit untuk
pengusaha kecil, dan pengalihan sebagian saham korporasi untuk karyawan.
Mazhab yang mengutamakan kemanusiaan adalah paradigma people-driven yang
menganjurkan agar semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang dibangun,
teknologi yang dirakit dan diambilalih, ditentukan oleh komposisi kebutuhan dan
kemampuan rakyat. Semua bermuara pada pemulihan harkat dan martabat seluruh
rakyat. Berlandasan paradigma ini, kita mencoba mengenali sejumlah kendala yang
menghadang melalui diskursus setara dengan warga miskin dan bersama-sama merakit
tangga yang dapat digunakan untuk melepaskan diri dari kendala tersebut. Anak
tangganya berdasarkan urutan pembangunan bangsa yang benar, yaitu KB, mencukupi
kebutuhan pangan dan gizi, pelayanan kesehatan yang menjangkau semua anggota
masyarakat, pendidikan yang menjawab tantangan lokal, serta infrastruktur dan
kelembagaan yang mensenyawakan perekonomian rakyat dengan perekonomian
korporasi.
Memang, tidak mudah mendapatkan komitmen yang sungguh-sungguh untuk
mencapai sasaran pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Komitmen seperti itu
hanya dapat dibangun berlandaskan solidaritas terhadap sesama dan keberpihakan
kepada yang terpinggirkan. Ia tidak hadir dengan sendirinya, tetapi biasanya akan
muncul diinspirasikan oleh lingkungan sekitar mulai dari orangtua, guru, pemimpin
formal, sampai tokoh masyarakat. Solidaritas dan keberpihakan akan tumbuh-subur bila
dibina dan dipupuk sejak awal melalui keteladanan dalam kebijakan yang didorong oleh
kemampuan melintasi kepentingan diri sendiri yang lahir dari hati nurani.

Pembangunan Melalui Pemerataan


Sudah saatnya kini kita menggunakan paradigma pembangunan yang lebih
mengutamakan pemerataan dan keadilan sosial, yaitu paradigma people-driven
development atau pembangunan yang Diarahkan Rakyat. Strategi pembangunan seperti itu
dengan sendirinya akan menjadi pertumbuhan-melalui pemerataan atau growth through

[544]
equity. Untuk mengoperasionalkan strategi ini dalam menanggulangi semua matra
kemiskinan dibutuhkan pendayagunaan secara sinergis empat perangkat kebijakan, yaitu
modal, jangkauan, penghasilan, dan suara (assets, access, income, and voice).
Dalam kaitan ini, Reforma Agraria,terutama redistribusi tanah bagi rakyat dan
memperluas jangkauan terhadap kredit, merupakan salah satu landasan kokoh sebagai
upaya untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat suara rakyat yang selama ini
dibungkam.
Terbentuknya keseimbangan baru pemilikan kekayaan dan kekuasaan politik
dalam masyarakat sekaligus akan memperkokoh kewarganegaraan. Dengan memperkuat
peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang bertalian dengan
masa depan bersama, diharapkan warga negara akan mampu membangun kohesi sosial
dan meraih legitimasi politis guna mengimbangi serta menandingi kelompok-kelompok
kepentingan. Warga negara yang semakin berdaya akan menjadi kekuatan utama
mendorong transformasi yang dibutuhkan untuk memotong pewarisan kemiskinan,
sebagai prasyarat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pilihannya amat sangat jelas dan tidak ada jalan tengah! Apakah melanjutkan
budaya membohongi diri dengan terus-menerus menafikan “kenyataan” yang dihadapi
rakyat yang miskin turun-menurun baru kemudian “pribumisasi penjajahan”, atau
mengetuk nurani bertekad sungguh-sungguh memenuhi janji bagimu negeri jiwa raga
kami? mendengarkan nurani akan menuntun kita menaklukan nafsu akumulasi dan
konsumsi, melintsi segala perbedaan guna bersama-sama mengerahkan seluruh daya dan
dana untuk membantu upaya saudara-saudara kita merebut kemerdekaan seutuhnya dari
belenggu kemiskinan.
Sejumlah program pemerintah pusat dan daerah serta program antar instansi di
pemerintah pusat tidak sinkron. Akibatnya alokasi anggaran tidak optimal dalam
menggerakkan perekonomian rakyat.
Demikian salah satu persoalan yang disampaikan panelis dalam seminar nasional
bertajuk “memperkuat perekonomian domestik melalui sinkronisasi perencanaan
pembangunan pusat dan daerah“ yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) di Jakarta, senin (24/9)
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
Robert Endi Jawing menyatakan, pusat dalam konteks sinkronisasi tidak selalu menjadi
acuan karena ada kalanya pusat sendiri bermasalah. Bahkan, sering terjadi antara
kementerian dan lembaga tidak sinkron. “sinkronisasi harus selesai dulu di pusat,”
katanya.
Sinkronisasi perencanaan melalui musyawarah rencana pembangunan
(Musrenbang) mulai desa atau kelurahan sampai pusat, menurut Robert, acapkali
didominasi oleh proses politik dan bersifat teknokratis. Akibatnya, apa yang menjadi
aspirasi Musrenbang hilang sampai di atas.
Ketua Asosiasi Bappeda provinsi se-Indonesia Deny Juanda Puradimaja
menyatakan, Musrenbang semestinya diikuti rencana aksi yang sifatnya lebih konkret
dalam pembagian tanggung jawab berkut anggarannya. Hal yang terjadi adalah
sebaliknya sehingga implementasinya tak jelas dan cenderung memboroskan anggaran
karena bisa terjadi tumpang tindih program.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Arif Budimanta Sebayang,
menyatakan, pemerintah pusat memiliki sejumlah dokumen rencana kerja. Di tengah
jalan muncul Rencana Induk percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi

[545]
Indonesia yang kemudian disusul Rencana Induk Penanggulangan Kemiskinan
Indonesia. “Ini memaksa daerah terus membuat penyesuaian-penyesuaian,” ungkap Arif.
Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana dalam pidato kunci menegaskan akan
pentingnya sinergi kebijakan. Ini tidak saja melalui forum koordinasi, tetapi juga
konsultasi yang lebih ketat lagi. Pemanfaatan APBN-APBD harus benar benar efektif
mencapai sasaran pembangunan.

Inovasi Kebijakan Sosial


Jika ada konsensus kuat membawa arah perekonomian Indonesia menuju model
negara kesejahteraan, lantas harus dimulai dari mana? Pertama konsep negara
kesejahteraan harus dipahami melalui mekanisme tertentu. Kebijakan sosial dalam tata
pemerintahan menjadi jantung utama (core) yang harus senantiasa diaktualisasikan.
Kebijakan sosial (social policy) itu sendiri memiliki beragam definisi.
Dari sekian banyak definisi, esensinya terkait dengan peran negara dalam
meningkatkan kapasitas warganya. Dengan demikian, “tugas” dari kebijakan sosial
adalah membantu warga negara mengatasi persoalan genting yang “membahayakan”
kehidupan mereka. Karena sumber kerawanan berada pada berbagai level, maka
kebijakan sosial harus komprehensif dan mencakup semuanya serta bukan kebijakan
bersifat parsial.
Mengingat kompleksitas persoalan sosial yang dihadapi, maka respons pemerintah
bisa menjadi tolok ukur apakah karakter dasar ini berwatak sosial atau tidak. Karena itu,
dikenal istilah “rezim negara kesejahteraan” yang menandakan bahwa negara sangat
peduli pada kehidupan masyarakat terkait dengan berbagai dimensi sosial yang
melingkupinya.
Negara kesejahteraan harus didukung oleh model ekonomi makro cenderung
bersifat eksklusif. Unuk membangun ekonomi dengan model inklusif, kita berfokus pada
dua arena utama, yaitu bagaimana mendorong sektor riil.
Dilihat dari jumlah unit usaha yang ada, sangat terasa proses dan dinamika
perekonomian secara umum telah mengeksklusi sebagian besar perilaku bisnis di
Indonesia.
Eksintensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia secara kualitas
sangat besar, tetapi kontribusinya pada perekonomian kecil.
Data menunjukkan bahwa unit UMKM di Indonesia berjumlah sekitar 99,99 dari
total unit usaha yang ada,dan menyerap tenaga kerja sekitar 97,4 persen. Namun,
kontribusinya terhadap perekonomian (PDB) hanya sekitar 55 persen saja. Jika dikaitkan
dengan ekspor, kontribusinya hanya 20 persen saja.
Fakta ini jelas menunjukkan bahwa ada yang salah dengan stuktur industri dan
stuktur ekonomi Indonesia; sebagian besar unit usaha adalah UMKM, tetapi perhatian
pemerintah sektor ini sangat sedikit. Akibatnya, tingkat produktivitas unit-unit usaha itu
juga kecil.
Jika memang pemerintah Indonesia telah memiliki kerangka dasar tentang negara
kesejahteraan, maka persoalan stuktur industri juga perlu mendapatkan perhatian serius.
Dengan terbukanya akses yang lebih luas lagi UMKM, maka semakin banyak warga yang
memperoleh peningkatan kualitas hidup. Untuk menyelesaikan persoalan itu,
pemerintah harus mulai dengan design kebijakan industri yang juga mencakup kebijakan
sektor lain, seperti pengembangan infrastruktur yang memadai, dukungan birokrasi yang

[546]
maksimal, kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi industri dalam negeri, serta
pengembangan industri turunan (derivative products) bersumber pada kekayaan sumber
daya alam Indonesia.
Minyak bumi, gas bumi, batubara, dan hasil tambang lain serta hasil-hasil
perkebunan seperti minyak sawit, coklat, dan sebagainya tidak diekspor dalam bentuk
mentah (primary products) melainkan diolah di dalam negeri agar memiliki nilai tambah
yang besar bagi perekonomian nasional.
Dengan demikian, akan semakin banyak rakyat yang turut menerima manfaat dari
perkembangan ekonomi dan industri dalam negeri.

Pembiayaan Kebijakan Sosial


Kebijakan sosial sebuah negara yang berlimpah sumber daya alam seperti Indonesia
cenderung tidak “jalan”. Bahkan, negara kaya sumber daya alam seperti itu cenderung
tidak memiliki industri yang kuat.
Pertama, pengembangan sektor industri menjadi mahal dan tidak efisien-seperti
dalam hal upah pekerja-karena harus bersaing dengan sektor ekstraktif yang tampak
lebih menjanjikan.
Kedua, fenomena yang sering terjadi, negara yang gemar mengeksploitasi sumber
daya alam umumnya korup dan banyak memberi konsesi berdasarkan kolusi.
Karena itu, harus dilakukan terobosan dengan mengaitkan secara langsung potensi
sumber daya alam dengan pembiayaan kebijakan sosial. Sebagaimana tergambar dalam
Grafik 13, nilai subsidi cukup dominan dalam struktur anggaran Pemerintah Indonesia.
Bahkan ada satu fase nilai subsidi sangat tinggi akibat kenaikan harga minyak di pasar
dunia yang melebihi 100 dolar AS per barel menyusul krisis keuangan di AS.
Sebagian besar subsidi dikucurkan untuk bahan bakar minyak dan listrik. Karena
energi listrik sangat dipengaruhi oleh harga minyak, maka pengeluaran untuk subsidi
listrik juga tergantung pada naik turunnya harga minyak di pasar dunia. Sungguh ironis
negeri dengan sumber daya alam sangat kaya, termasuk minyak dan gas bumi, subsidi
terbesar justru dikeluarkan untuk mencukupi kebutuhan energi.
Ada masalah serius dengan kedaulatan energi di negeri ini. Seandainya pemerintah
memiliki political will, hal yang harusnya dilakukan memikirkan skenario yang menuju
kearah kemandirian energi sehingga subsidi tidak tersedot hanya untuk
mengantisipasikan fluktuasi harga minyak. Sebetulnya, menilik kekayaan sumber daya
alam Indonesia, kita memiliki potensi untuk mandiri dalam hal sumber daya alam energi.
Selanjutnya, kekayaan alam yang dimiliki bisa secara spesifik diorientasikan untuk
menopang pengeluaran sosial. Salah satu cara yang lazim dilakukan untuk menggenjot
pajam ekspor minyak sawit mentah dan batu bara sehingga kapasitas anggaran
pemerintah untuk mendanai program sosial, seperti peningkatan kualitas hidup,
pendidikan dan kesehatan masyarakat semakin besar.
Pembiayaan program-program sosial tentu tidak akan menghasilkan pendapatan
dalam waktu cepat, namun jika dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan
dengan tata kelola yang baik tentu akan mendorong daya saing perekonomian dalam
jangka panjang.
Jika dilakukan dengan cara benar, akan terjadi crowding in effeck, yakni pengeluaran
pemerintah yang akan memompa dinamika perekonomian sehingga menimbulkan “efek
balik” positif dalam jangka panjang.

[547]
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa survei World Economic Forum (WEF) yang
menghasilkan Global Competitiveness Index, tampak bahwa komponen penting yang absen
dari perekonomian Indonesia adalah masalah sosial, kesehatan masyarakat dan
infrastuktur.
Salah satu pertanyaan penting mengenai negara kesejahteraan adalah bagaimana
rezim ini membiayai kebijakan sosial tersebut. Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan
dan ketimpangan tidak bisa begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar.
Pasar akan mengalokasi sumber daya dengan kriteria cukup ketat yakni
menghasilkan pendapatan di masa depan (expexteed return) disertai tingkat keuntungan
(profit) yang bisa dinikmati saat ini.
Sementara untuk membiayai program-program sosial seperti setimpangan sosial
yakni penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan penanganan
kemiskinan, selain tidak menghasilkan keuntungan financial juga dibutuhkan
pengeluaran dengan tingkat perolehan pendapatan yang kerap tidak bisa dikalkulasi
secara ekonomis.
Secara sederhana dan sangat karikatural, dapat disimulasikan bahwa negara yang
kaya sumber daya alam seperti Indonesia semestinya bisa membiayai kebijakan sosial
lewat pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki.
Hal tersebut terkait dengan pengembangan produk yang memperkuat struktur-
struktur serta pengelolaan yang lebih bertanggung jawab atas pendapatan yang diperoleh
dari “eksploitasi” sumber daya alam.

Kesimpulan
Kebijakan sosial dalam format negara kesejahteraan bukan kebijakan yang bersifat
parsial dan temporer, melainkan kerangka besar yang membatasi pola kebijakan negara.
Arah dan orientasi kebijakan yang berpusat pada peningkatan kualitas hidup menjadi
kerangka yang membatasi ruang gerak kebijakan itu.
Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa secara bebas membuat design kebijakan di luar
pedoman tersebut. Kerangka itu harus dibangun bersama oleh beberapa elemen bangsa,
khususnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Kondisi ini memang tidak pernah bisa diperoleh begitu saja. Tanpa dukungan dan
dorongan kuat elemen lain, kebijakan pemerintah tidak akan pernah terarah. Karena itu,
hal yang perlu dilakukan adalah menjalin aliansi dengan sebanyak mungkin elemen
bangsa untuk membangun kerangka bersama itu (common patform).
Ada beberapa pedoman struktural yang mendesak untuk dibangun saat ini.
Pertama, kebijakan industrial harus lebih terarah dan member kesempatan luas kepada
“kelompok menengah”. Ada indikasi perekonomian Indonesia keropos di tengah, karena
sebagian besar unit usaha berbentuk usaha mikro dan kecil. Posisi unit usaha skala besar
masih sangat dominan. Jumlahnya memang di bawah 0,5 persen dari total unit usaha
yang ada, namun kontribusinya pada perekonomian nasional sekitar 50 persen.
Kedua, sektor keuangan harus diperdalam dengan menyertakan sebanyak mungkin
anggota masyarakat untuk terlibat dalam sektor perbankan, baik pada sisi deposito
maupun kredit. Data menunjukkan sekitar 50 persen penduduk Indonesia yang
berjumlah 230 juta jiwa tidak memiliki akses perbankan.

[548]
Dengan demikian, perlu ada usaha lebih sistematis untuk melibatkan dan
mendekatkan sebagian besar anggota masyarakat pada dunia keuangan, khususnya
sektor perbankan (financial inclusion).
Dengan dua upaya struktural tersebut, arah besar kebijakan ekonomi akan lebih
terfokus pada upaya pengentasan kemiskinan dan menuntaskan ketimpangan
(penganganan PMKS). Selanjutnya harus ada upaya yang lebih spesifik mendorong agar
kebijakan pemerintah lebih terfokus pada kebijakan sosial dalam kerangka negara
kesejahteraan.
Perlu diingat bahwa konstitusi negara ini telah menegaskan bahwa tujuan utama
pembangunan ekonomi adalah demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan
rumusan ini tampak jelas berorientasi pada negara kesejahteraan.
Namun demikian dibutuhkan upaya lebih tekun dalam mendefinisikan model
negara kesejahteraan yang kontekstual dengan kondisi Indonesia.

[549]
Rekomendasi Kebijakan
1. Bagi paham ekonomi yang mempercayai intervensi pemerintah, setiap rupiah yang
digelontorkan pasti akan menggerakkan daya beli masyarakat, sehingga akhirnya berbalik
menjadi peningkatan pembayaran pajak. Mereka meyakini dana-dana yang dikucurkan
pemerintah untuk membiayai kebijakan sosial tidak akan pernah menimbulkan kejenuhan
pasar. Dengan menggunakan perspektif pasca-Keynesian, pengeluaran pemerintah tersebut
akan membawa efek crowding-in.
2. Sementara bagi penganut ekonomi neoklasik, intervensi pemerintah hanya akan boleh
dilakukan bila pasar gagal menyelesaikan persoalan. Karena itu, intervensi pemerintah dalam
kebijakan sosial hanya akan dapat dibenarkan jika hanya bekerja memperbaiki mekanisme
pasar serta berfungsi “mengoreksi” kegagalan pasar. Bila pasar sudah bisa menggeliat lagi,
pemerintah harus menarik diri. Jika campur tangan pemerintah tidak ditarik kembali, setiap
rupiah yang digelontorkan ke pasar akan menimbulkan efek crowding-out, pengeluaran yang
akan menjadi beban tambahan pemerintah.
3. Dalam konteks Indonesia, ketersediaan anggaran sering dijadikan alas an untuk mencounter
setiap tuntutan yang hendak mengembangkan kebijakan sosial. Corak berfikir yang selama
ini dipakai adalah setiap pengeluaran pemerintah pasti akan menimbulkan efek crowding-out.
4. Kebijakan sosial dan negara kesejahteraan, pengeluaran pemerintah seharusnya dianggap
sebagai investasi yang dapat mendorong tingkat daya beli masyarakat. Karena itu, supaya
kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih besar, hal pertama yang harus diubah adalah cara
pandang yang terlalu bias pada prinsip dan kepentingan mekanisme pasar. Setelah memiliki
konsensus bersama bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan ruang lebih besar dalam
dinamika ekonomi dan politik, persoalan berikut yang perlu dibenahi adalah bagaimana
membiayai dan mekanisme pembiayaan kebijakan sosial. Satu prasyarat utama yang tidak
bisa ditawar, intervensi negara mengandalkan lembaga ini memiliki kapasitas untuk
melaksanakannya, yakni instrument birokrasi yang harus benar-benar bersih dari korupsi.
5. Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
6. Penanganan fakir miskin merupakan salah satu prioritas nasional dan diperlukan upaya yang
terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan,
pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang
meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
dan/atau pelayanan sosial berhak mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta
memberdayakan diri dan keluarganya, memperoleh derajat kehidupan yang layak,
memperoleh lingkungan hidup yang sehat, meningkatkan kondisi kesejahteraan yang
berkesinambungan; dan memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
7. Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada: perseorangan, keluarga, kelompok,
masyarakat dan penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri secara terencana,
terarah, terukur, dan terpadu dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan
potensi diri, sandang, pangan, perumahan, dan pelayanan sosial serta pemenuhan kebutuhan
selain diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan
fungsinya dalam koordinasi Menteri.
8. Kebijakan sosial dan negara kesejahteraan, pengeluaran pemerintah seharusnya dianggap
sebagai investasi yang dapat mendorong tingkat daya beli masyarakat. Karena itu, supaya
kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih besar, hal pertama yang harus diubah adalah
cara pandang yang terlalu biasa pada prinsip dan kepentingan mekanisme pasar. Setelah
memiliki konsensus bersama bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan ruang lebih
besar dalam dinamika ekonomi dan politik, persoalan berikut yang perlu dibenahi adalah
bagaimana membiayai dan mekanisme pembiayaan kebijakan sosial. Satu prasyarat utama

[550]
yang tidak bisa ditawar, intervensi negara mengandalkan lembaga ini memiliki kapasitas
untuk melaksanakan.
POLICY PAPER
PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
DILEMA DALAM MELAKSANAKAN AMANAT KONSTITUSI NEGARA DAN
MENINGKATKAN DAYA SAING MENGHADAPI
MASYARAKAT EKONOMI ASIA (MEA)

Syauqi, Fungsional Analis Kebijakan Madya Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
Jakarta, 24 Maret 2016

Abstract
Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pasal 34 UUD 1945 Amandemen, bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara. Rencana pembangunan jangka panjang nasional diwujudkan
dalam visi, misi dan arah pembangunan nasional yang mencerminkan cita-cita kolektif
yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi untuk mencapainya. Visi
merupakan penjabaran cita-cita berbangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu terciptanya
masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas serta berkeadilan.
Perlindungan sosial bagi penduduk miskin, rentan dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui
rehabilitasi aosial kepada setiap penyandang disabilitas (rungu wicara, mental eks psikotik,
mental eks penyakit kronis, netra, grahita, penyandang disabilitas tubuh, dan
penyandang disabilitas ganda) yang sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan kebutuhan
dasar yang layak, pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga
(panti dan lembaga kesejahteraan sosial) dan di luar lembaga dengan berbasis keluarga
dan masyarakat.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
BAB II Hak dan Tanggung Jawab Pasal 3 UU 13/2011 disebutkan bahwa Fakir
miskin berhak memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya, mendapatkan
perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan

[551]
keluarganya sesuai dengan karakter budayanya, mendapatkan pelayanan sosial melalui
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun,
mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya, memperoleh derajat
kehidupan yang layak, memperoleh lingkungan hidup yang sehat, meningkatkan kondisi
kesejahteraan yang berkesinambungan; dan memperoleh pekerjaan dan kesempatan
berusaha.
Pasal 5 UU 13/2011 disebutkan bahwa penanganan fakir miskin dilaksanakan
secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dan pada Pasal 6 Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat.
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk pengembangan potensi diri,
bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, penyediaan pelayanan
kesehatan, penyediaan pelayanan pendidikan, penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha, bantuan hukum, pelayanan sosial, dilakukan melalui: pemberdayaan
kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan
kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, jaminan dan perlindungan sosial untuk
memberikan rasa aman bagi fakir miskin, kemitraan dan kerjasama antarpemangku
kepentingan, koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan
penanganan fakir miskin dan dalam menetapkan kriteria, Menteri berkoordinasi dengan
kementerian dan lembaga terkait. Kriteria menjadi dasar bagi lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan
pendataan. Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan yang
dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik. Verifikasi dan validasi dilakukan secara berkala sekurangkurangnya 2
(dua) tahun sekali, verifikasi dan validasi dikecualikan apabila terjadi situasi dan kondisi
tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang
menjadi fakir miskin, Verifikasi dan validasi dilaksanakan oleh potensi dan sumber
kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa, hasil verifikasi dan
validasi dilaporkan kepada bupati/walikota, Bupati/walikota menyampaikan hasil
verifikasi dan validasi kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Pasal 18 UU 13/2011 disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial, yang meliputi peningkatan
fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas hidup,
meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam mencegah dan menangani masalah kemiskinan; dan meningkatkan kualitas
manajemen pelayanan kesejahteraan sosial.
Bagian Kelima Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 bahwa Penanganan
fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, terpadu,
dan Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri dalam rangka
pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan,
perumahan, dan pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan oleh
Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi
Menteri.

Keywords: Tujuan bernegara, perlindungan sosial, penduduk miskin, rentan dan


penyandang masalah kesejahteraan sosial. penanganan fakir miskin secara terencana,
terarah, terukur, terpadu, pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri,

[552]
sandang, pangan, perumahan, dan pelayanan sosial,

[553]
PELUANG, TANTANGAN, DAN ditingkatkan dengan memfasilitasi akses
RISIKO BAGI INDONESIA DENGAN mereka terhadap informasi terkini, kondisi
ADANYA MASYARAKAT EKONOMI pasar, pengembangan sumber daya
ASEAN manusia dalam hal peningkatan
Menghadapi persaingan di tahun 2016 kemampuan, keuangan, serta teknologi.
sudah bersiap menghadapi ketatnya Keempat, MEA akan diintegrasikan
persaingan di tahun 2015 mendatang. secara penuh terhadap perekonomian
Indonesia dan negara-negara di wilayah global. Dengan dengan membangun
Asia Tenggara akan membentuk sebuah sebuah sistem untuk meningkatkan
kawasan yang terintegrasi yang dikenal koordinasi terhadap negara-negara
sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN anggota. Selain itu, akan ditingkatkan
(MEA). MEA merupakan bentuk realisasi partisipasi negara-negara di kawasan Asia
dari tujuan akhir integrasi ekonomi di Tenggara pada jaringan pasokan global
kawasan Asia Tenggara. melalui pengembangkan paket bantuan
Terdapat empat hal yang akan menjadi teknis kepada negara-negara Anggota
fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat ASEAN yang kurang berkembang. Hal
dijadikan suatu momentum yang baik tersebut dilakukan untuk meningkatkan
untuk Indonesia. Pertama, negara-negara kemampuan industri dan produktivitas
di kawasan Asia Tenggara ini akan sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan
dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar partisipasi mereka pada skala regional
dan basis produksi. Dengan terciptanya namun juga memunculkan inisiatif untuk
kesatuan pasar dan basis produksi maka terintegrasi secara global.
akan membuat arus barang, jasa, investasi, Berdasarkan ASEAN Economic
modal dalam jumlah yang besar, dan skilled Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan
labour menjadi tidak ada hambatan dari untuk memperkecil kesenjangan antara
satu negara ke negara lainnya di kawasan negara-negara ASEAN dalam hal
Asia Tenggara. pertumbuhan perekonomian dengan
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai meningkatkan ketergantungan anggota-
kawasan ekonomi dengan tingkat anggota didalamnya. MEA dapat
kompetisi yang tinggi, yang memerlukan mengembangkan konsep meta-nasional
suatu kebijakan yang meliputi competition dalam rantai suplai makanan, dan
policy, consumer protection, Intellectual menghasilkan blok perdagangan tunggal
Property Rights (IPR), taxation, dan E- yang dapat menangani dan bernegosiasi
Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta dengan eksportir dan importir non-
iklim persaingan yang adil; terdapat ASEAN.
perlindungan berupa sistem jaringan dari Bagi Indonesia sendiri, MEA akan
agen-agen perlindungan konsumen; menjadi kesempatan yang baik karena
mencegah terjadinya pelanggaran hak hambatan perdagangan akan cenderung
cipta; menciptakan jaringan transportasi berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal
yang efisien, aman, dan terintegrasi; tersebut akan berdampak pada
menghilangkan sistem Double Taxation, peningkatan eskpor yang pada akhirnya
dan; meningkatkan perdagangan dengan akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi
media elektronik berbasis online. lain, muncul tantangan baru bagi
Ketiga, MEA pun akan dijadikan Indonesia berupa permasalahan
sebagai kawasan yang memiliki homogenitas komoditas yang
perkembangan ekonomi yang merata, diperjualbelikan, contohnya untuk
dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil komoditas pertanian, karet, produk kayu,
Menengah (UKM). Kemampuan daya tekstil, dan barang elektronik (Santoso,
saing dan dinamisme UKM akan 2008). Dalam hal ini competition risk akan

[554]
muncul dengan banyaknya barang impor dari Malaysia, Singapura, dan Thailand
yang akan mengalir dalam jumlah banyak serta fondasi industri yang bagi Indonesia
ke Indonesia yang akan mengancam sendiri membuat Indonesia berada pada
industri lokal dalam bersaing dengan peringkat keempat di ASEAN.
produk-produk luar negri yang jauh lebih
Dengan hadirnya ajang MEA ini,
berkualitas. Hal ini pada akhirnya akan
Indonesia memiliki peluang untuk
meningkatkan defisit neraca perdagangan
memanfaatkan keunggulan skala ekonomi
bagi Negara Indonesia sendiri.
dalam negeri sebagai basis memperoleh
Pada sisi investasi, kondisi ini dapat keuntungan. Namun demikian, Indonesia
menciptakan iklim yang mendukung masih memiliki banyak tantangan dan
masuknya Foreign Direct Investment (FDI) risiko-risiko yang akan muncul bila MEA
yang dapat menstimulus pertumbuhan telah diimplementasikan. Oleh karena itu,
ekonomi melalui perkembangan teknologi, para risk professional diharapkan dapat
penciptaan lapangan kerja, pengembangan lebih peka terhadap fluktuasi yang akan
sumber daya manusia (human capital) dan terjadi agar dapat mengantisipasi risiko-
akses yang lebih mudah kepada pasar risiko yang muncul dengan tepat. Selain
dunia. Meskipun begitu, kondisi tersebut itu, kolaborasi yang apik antara otoritas
dapat memunculkan exploitation risk. negara dan para pelaku usaha diperlukan,
Indonesia masih memiliki tingkat regulasi infrastrukur baik secara fisik dan sosial
yang kurang mengikat sehingga dapat (hukum dan kebijakan) perlu dibenahi,
menimbulkan tindakan eksploitasi dalam serta perlu adanya peningkatan
skala besar terhadap ketersediaan sumber kemampuan serta daya saing tenaga kerja
daya alam oleh perusahaan asing yang dan perusahaan di Indonesia. Jangan
masuk ke Indonesia sebagai negara yang sampai Indonesia hanya menjadi penonton
memiliki jumlah sumber daya alam di negara sendiri di tahun 2015 mendatang.
melimpah dibandingkan negara-negara
Persaingan di bursa tenaga kerja akan
lainnya. Tidak tertutup kemungkinan juga
semakin meningkat menjelang
eksploitasi yang dilakukan perusahaan
pemberlakuan pasar bebas Asean pada
asing dapat merusak ekosistem di
akhir 2015 mendatang. Ini akan
Indonesia, sedangkan regulasi investasi
mempengaruhi banyak orang, terutama
yang ada di Indonesia belum cukup kuat
pekerja yang berkecimpung pada sektor
untuk menjaga kondisi alam termasuk
keahlian khusus. Berikut lima hal yang
ketersediaan sumber daya alam yang
perlu Anda ketahui dan antisipasi dalam
terkandung.
menghadapi pasar bebas Asia Tenggara
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat yang dikenal dengan sebutan Masyarakat
kesempatan yang sangat besar bagi para Ekonomi Asean (MEA).
pencari kerja karena dapat banyak tersedia
lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan
akan keahlian yang beraneka ragam. Selain Masyarakat Ekonomi Asean
itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam Lebih dari satu dekade lalu, para
rangka mencari pekerjaan menjadi lebih pemimpin Asean sepakat membentuk
mudah bahkan bisa jadi tanpa ada sebuah pasar tunggal di kawasan Asia
hambatan tertentu. MEA juga menjadi Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Ini
kesempatan yang bagus bagi para dilakukan agar daya saing Asean
wirausahawan untuk mencari pekerja meningkat serta bisa menyaingi Cina dan
terbaik sesuai dengan kriteria yang India untuk menarik investasi asing.
diinginkan. Dalam hal ini dapat Penanaman modal asing di wilayah ini
memunculkan risiko ketenagakarjaan bagi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan lapangan pekerjaan dan meningkatkan
produktivitas Indonesia masih kalah kesejahteraan.
bersaing dengan tenaga kerja yang berasal

[555]
Pembentukan pasar tunggal yang pasar bebas tenaga kerja. Sektor diperluas,
diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi tetapi syarat diperketat. Jadi buka tidak
Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan asal buka, bebas tidak asal bebas. Tenaga
satu negara menjual barang dan jasa kerja lokal yang sebetulnya berkualitas dan
dengan mudah ke negara-negara lain di mampu, tetapi karena ada tenaga kerja
seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi asing jadi tergeser. Sejumlah syarat yang
akan semakin ketat. Berbagai profesi ditentukan antara lain kewajiban
seperti tenaga medis dan pekerja sosial berbahasa Indonesia dan sertifikasi
asing profesional bersertifikat, boleh diisi lembaga profesi terkait di dalam negeri.
oleh tenaga kerja asing pada 2016.
Image caption Permintaan tenaga kerja
Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya
jelang MEA akan semakin tinggi, kata ILO.
membuka arus perdagangan barang atau
jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja
profesional, seperti dokter, pengacara, Keuntungan MEA bagi negara-negara
akuntan, dan lainnya. Asia Tenggara
MEA mensyaratkan adanya Riset terbaru dari Organisasi Perburuhan
penghapusan aturan-aturan yang Dunia atau ILO menyebutkan pembukaan
sebelumnya menghalangi perekrutan pasar tenaga kerja mendatangkan manfaat
tenaga kerja asing. "Pembatasan, terutama yang besar. Selain dapat menciptakan
dalam sektor tenaga kerja profesional, jutaan lapangan kerja baru, skema ini juga
didorong untuk dihapuskan," katanya. dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta
Sehingga pada intinya, MEA akan lebih orang yang hidup di Asia Tenggara. Pada
membuka peluang tenaga kerja asing 2015 mendatang, ILO merinci bahwa
untuk mengisi berbagai jabatan serta permintaan tenaga kerja profesional akan
profesi di Indonesia yang tertutup atau naik 41% atau sekitar 14 juta. Sementara
minim tenaga asingnya. Sejumlah permintaan akan tenaga kerja kelas
pimpinan asosiasi profesi mengaku cukup menengah akan naik 22% atau 38 juta,
optimistis bahwa tenaga kerja ahli di sementara tenaga kerja level rendah
Indonesia cukup mampu bersaing. Ketua meningkat 24% atau 12 juta. Namun
Persatuan Advokat Indonesia, Otto laporan ini memprediksi bahwa banyak
Hasibuan, misalnya mengatakan bahwa perusahaan yang akan menemukan
tren penggunaan pengacara asing di pegawainya kurang terampil atau bahkan
Indonesia malah semakin menurun. salah penempatan kerja karena kurangnya
Pengacara-pengacara kita, apalagi yang pelatihan dan pendidikan profesi.
muda-muda, sudah cukup unggul. Selama
ini kendala kita kan cuma bahasa. Tetapi
sekarang banyak anggota-anggota kita Permasalahan Mendasar
yang sekolah di luar negeri. Di sektor Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur
akuntansi, Ketua Institut Akuntan Publik dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Indonesia, Tarko Sunaryo, mengakui ada Negara Republik Indonesia Tahun 1945
kekhawatiran karena banyak pekerja muda adalah melindungi segenap bangsa
yang belum menyadari adanya kompetisi Indonesia dan seluruh tumpah darah
yang semakin ketat. Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
Indonesia mengantisipasi arus tenaga berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
kerja asing dan keadilan sosial.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Pasal 34 UUD 1945 Amandemen, bahwa
Transmigrasi, menyatakan tidak ingin Fakir miskin dan anak-anak terlantar
"kecolongan" dan mengaku telah dipelihara oleh Negara. Rencana
menyiapkan strategi dalam menghadapi

[556]
pembangunan jangka panjang nasional Permasalahan sosial lainnya seperti tuna
diwujudkan dalam visi, misi dan arah susila, gelandangan dan pengemis
pembangunan nasional yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan
mencerminkan cita-cita kolektif yang akan dasar yang layak, pelayanan dan
dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam
untuk mencapainya. Visi merupakan lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan
penjabaran cita-cita berbangsa sosial), kemudian korban penyalahgunaan
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan NAPZA dan HIV/AIDS sesuai kriteria
Undang-Undang Dasar Negara Republik mendapatkan penanganan awal dan
Indonesia Tahun 1945, yaitu terciptanya rujukan sesuai standar berdasarkan
masyarakat yang terlindungi, sejahtera pelimpahan kewenangan dan pelaksnaan
dan cerdas serta berkeadilan. tugas dari pemerintah pusat.
Perlindungan sosial bagi penduduk Upaya lainnya dalam perlindungan
miskin, rentan dan penyandang masalah sosial yang komprehensif dengan
kesejahteraan sosial sebagai salah satu tersedianya akses layanan dan rujukan
upaya dalam penanggulangan kemiskinan dalam Sistem Layanan dan Rujukan
melalui rehabilitasi aosial kepada setiap Terpadu (SLRT) bagi fakir miskin termasuk
penyandang disabilitas (rungu wicara, keluarga sangat miskin sesuai standar dan
mental eks psikotik, mental eks penyakit setiap warga Komunitas Adat Terpencil
kronis, netra, grahita, penyandang (KAT) mendapatkan pemenuhan
disabilitas tubuh, dan penyandang kebutuhan dasar dan tempat tinggal yang
disabilitas ganda) yang sesuai kriteria layak.
mendapatkan pemenuhan kebutuhan
Penanganan Warga Negara Migran
dasar yang layak, pelayanan, dan
Korban Tindak Kekerasan merupakan
rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam
salah satu perlindungan sosial dengan
lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan
upaya pemulangan ke daerah asal dengan
sosial) dan di luar lembaga dengan
mendapatkan tempat tinggal sementara,
berbasis keluarga dan masyarakat.
pangan dan sandang yang layak di dalam
Rehabilitasi sosial juga dilakukan tempat penampungan sementara/shelter
kepada setiap anak (balita terlantar, anak sesuai standar
terlantar, anak berhadapan dengan hukum,
Perlindungan sosial lainnya dilakukan
anak dengan kebutuhan khusus, anak yang
kepada korban bencana dalam bentuk
tidak memiliki keluarga, anak putus
pemenuhan kebutuhan hunian sementara,
sekolah, anak yang terpisah dari keluarga
makanan bergizi, dan pakaian yang layak
karena bencana, dan anak korban tindak
pada saat tanggap darurat, pada pasca
kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah)
bencana, pada saat bencana dan pada pasca
yang sesuai kriteria mendapatkan
bencana.
pemenuhan kebutuhan dasar yang layak,
pengasuhan, pelayanan, dan rehabilitasi Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor
sosial sesuai standar di dalam lembaga 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(panti dan lembaga kesejahteraan sosial). Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
Setiap lanjut usia terlantar mendapatkan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,
pemenuhan kebutuhan dasar yang layak
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
dan pelayanan sosial seuai standar di
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi
dalam lembaga (panti dan lembaga
kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
kesejahteraan sosial) dan korban tindak
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
kekerasan mendapatkan pemenuhan
pemberdayaan sosial, dan perlindungan
kebutuhan dasar yang layak dan
sosial.
mendapatkan rehabilitasi psikososial
sesuai standar. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
bertujuan: untuk meningkatkan taraf

[557]
kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup, mengembangkan, serta memberdayakan
memulihkan fungsi sosial dalam rangka diri dan keluarganya, memperoleh derajat
mencapai kemandirian, meningkatkan kehidupan yang layak, memperoleh
ketahanan sosial masyarakat dalam lingkungan hidup yang sehat,
mencegah dan menangani masalah meningkatkan kondisi kesejahteraan yang
kesejahteraan sosial, meningkatkan berkesinambungan; dan memperoleh
kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab pekerjaan dan kesempatan berusaha.
sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan
Pasal 5 UU 13/2011 disebutkan bahwa
kesejahteraan sosial secara melembaga dan
penanganan fakir miskin dilaksanakan
berkelanjutan, meningkatkan kemampuan
secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan
dan kepedulian masyarakat dalam
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
masyarakat dan pada Pasal 6 Sasaran
melembaga dan berkelanjutan; dan
penanganan fakir miskin ditujukan
meningkatkan kualitas manajemen
kepada: perseorangan, keluarga,
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
kelompok, masyarakat.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011
Penanganan fakir miskin dilaksanakan
tentang Penanganan Fakir Miskin pada
dalam bentuk pengembangan potensi diri,
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin
bantuan pangan dan sandang, penyediaan
adalah orang yang sama sekali tidak
pelayanan perumahan, penyediaan
mempunyai sumber mata pencaharian
pelayanan kesehatan, penyediaan pelayanan
dan/atau mempunyai sumber mata
pendidikan, penyediaan akses kesempatan
pencaharian tetapi tidak mempunyai
kerja dan berusaha, bantuan hukum,
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
pelayanan sosial, dilakukan melalui:
yang layak bagi kehidupan dirinya dan/
pemberdayaan kelembagaan masyarakat,
atau keluarganya.
peningkatan kapasitas fakir miskin untuk
Penanganan fakir miskin adalah upaya mengembangkan kemampuan dasar dan
yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan kemampuan berusaha, jaminan dan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah perlindungan sosial untuk memberikan rasa
daerah, dan/atau masyarakat dalam aman bagi fakir miskin, kemitraan dan
bentuk kebijakan, program dan kegiatan kerjasama antarpemangku kepentingan,
pemberdayaan, pendampingan, serta koordinasi antara kementerian/lembaga dan
fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan pemerintah daerah.
dasar setiap warga negara.
Menteri menetapkan kriteria fakir
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan miskin sebagai dasar untuk melaksanakan
pangan, sandang, perumahan, kesehatan, penanganan fakir miskin dan dalam
pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan menetapkan kriteria, Menteri
sosial. berkoordinasi dengan kementerian dan
lembaga terkait. Kriteria menjadi dasar
BAB II Hak dan Tanggung Jawab Pasal
bagi lembaga yang menyelenggarakan
3 UU 13/2011 disebutkan bahwa Fakir
urusan pemerintahan di bidang kegiatan
miskin berhak memperoleh kecukupan
statistik untuk melakukan pendataan.
pangan, sandang, dan perumahan,
Menteri melakukan verifikasi dan
pelayanan kesehatan, pendidikan yang
validasi terhadap hasil pendataan yang
dapat meningkatkan martabatnya,
dilakukan oleh lembaga yang
mendapatkan perlindungan sosial dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan
membangun, mengembangkan, dan
di bidang kegiatan statistik, Verifikasi dan
memberdayakan diri dan keluarganya
validasi dilakukan secara berkala
sesuai dengan karakter budayanya,
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali,
mendapatkan pelayanan sosial melalui
verifikasi dan validasi dikecualikan apabila
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
terjadi situasi dan kondisi tertentu yang
rehabilitasi sosial dalam membangun,
baik secara langsung maupun tidak

[558]
langsung mempengaruhi seseorang bencana; dan/atau korban tindak
menjadi fakir miskin, Verifikasi dan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
validasi dilaksanakan oleh potensi dan
Penanganan Fakir Miskin pada
sumber kesejahteraan sosial yang ada di
lampiran bidang sosial UU No. 23 Tahun
kecamatan, kelurahan atau desa, hasil
2014 tentang Pemerintahan Daeran
verifikasi dan validasi dilaporkan kepada
ditetapkan pada Sub-Bidang Perlindungan
bupati/walikota, Bupati/walikota
dan Jaminan Sosial. Kewenangan dan
menyampaikan hasil verifikasi dan validasi
pembagian urusan, Pusat melakukan
kepada gubernur untuk diteruskan kepada
“Pengelolaan data fakir miskin nasional”,
Menteri.
Provinsi melakukan Pengelolaan data fakir
Pasal 18 UU 13/2011 disebutkan bahwa miskin cakupan Daerah provinsi,
Pemerintah dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota melakukan pendataan
bertanggung jawab menyelenggarakan dan pengelolaan data fakir miskin cakupan
pelayanan sosial, yang meliputi daerah kabupaten/kota.
peningkatan fungsi sosial, aksesibilitas
Tidak terakomodirnya amanah dari
terhadap pelayanan sosial dasar, dan
Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011 tentang
kualitas hidup, meningkatkan kemampuan
Penanganan Fakir Miskin yang
dan kepedulian masyarakat dalam
menyebutkan bahwa penanganan fakir
pelayanan kesejahteraan sosial secara
miskin diselenggarakan oleh Menteri
melembaga dan berkelanjutan,
secara terencana, terarah, terukur,
meningkatkan ketahanan sosial
terpadu, dan Penanganan fakir miskin
masyarakat dalam mencegah dan
yang diselenggarakan oleh Menteri dalam
menangani masalah kemiskinan; dan
rangka pemenuhan kebutuhan akan
meningkatkan kualitas manajemen
pengembangan potensi diri, sandang,
pelayanan kesejahteraan sosial. pangan, perumahan, dan pelayanan
Bagian Kelima Pelaksanaan Penanganan sosial, selain hal tersebut yang
Fakir Miskin Pasal 19 bahwa Penanganan diselenggarakan oleh Kementerian/
fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan
secara terencana, terarah, terukur, fungsinya dalam koordinasi Menteri.
terpadu, dan Penanganan fakir miskin
Desentralisasi, Pelayanan Publik dan
yang diselenggarakan oleh Menteri dalam Kemisknan
rangka pemenuhan kebutuhan akan
pengembangan potensi diri, sandang, Dalam struktur sosial ekonomi serba
pangan, perumahan, dan pelayanan timpang, gagasan pembangunan inklusif,
sosial, selain hal tersebut yang pertama-tama berarti membuka akses
diselenggarakan oleh Kementerian/ keadilan seluas mungkin bagi segenap
Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan warga negara yang selama ini berada di
fungsinya dalam koordinasi Menteri. garis tepi pembangunan. Lewat instrumen
kebijakan sosial dan pelayanan publik,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 negara tidak saja berperan sebagai institusi
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan alternatif tatkala warga negara belum
Kesejahteraan Sosial pada Pasal 2 mampu menyatukan diri atau hanya
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial menjadi substitusi ketika pasar terbukti
ditujukan kepada perseorangan, keluarga, gagal bekerja (market failure), tetapi negara
kelompok, masyarakat. diprioritaskan menjadi pihak yang sejatinya bertanggung
kepada mereka yang memiliki kehidupan jawab mengurai segala belitan dan
yang tidak layak secara kemanusiaan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar
memiliki kriteria masalah sosial yang warga sebagai esensi dari makna keadilan.
meliputi kemiskinan, ketelantaran,
kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial Dalam konteks kontemporer, ada
dan penyimpangan perilaku, korban momen strategis bagi peran negara di
Indonesia untuk membuktikan fungsi dan

[559]
manfaat keberadaannya: desentralisasi. mendapatkan berbagai layanan dasar serta
Keyakinan atas desentralisasi memang berfungsi sebagai “pelayan rakyat”.
memiliki dasar pikir dan bukti komparatif Mereka menerima gaji yang berasal dari
cukup kuat. Namun, dalam kasus pajak negara.
Indonesia, pilihan desentralisasi sebagai
Konteks desentralisasi dalam rangka
rute alternatif perbaikan pelayanan publik
penanggulangan kemiskinan juga belum
masih menunjukkan wajah mendua:
sepenuhnya sesuai dengan harapan.
sementara di sebagian daerah jalan itu
Penelitian yang dilakukan di enam daerah
mulai terasa lapang, di sebagian besar kota
(Kabupaten Sukabumi, Kabupaten
dan kabupaten justru tampak berhenti atau
Bandung, Kabupaten Kebumen,
jalan di tempat.
Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Jembrana, dan Kota Makassar) terkait
Purbalingga, dan beberapa daerah lain penanggulangan kemiskinan setidaknya
merupakan contoh daerah-daerah yang menunjukkan hal tersebut. Tidak ada
mampu melakukan inovasi kebijakan tipologi yang utuh dan sempurna dalam
pelayanan publik (public service), terutama di penanggulanangan kemiskinan, karena
sektor kesehatan, yang sangat bermanfaat masing-masing memiliki kekurangan dan
bagi masyarakat dan bersifat universal. kelebihan.
Masih begitu banyak daerah yang
Walaupun demikian, ada beberapa
melakukan pelayanan publik sekadarnya
benang merah yang dapat ditarik dari
dan justru terjebak pada pemenuhan Standar
kebijakan penanggulanan kemiskinan dari
Pelayanan Minimum (SPM). Pelayanan
daerah-daerah tersebut. Keenam daerah
publik masih dilakukan dengan paradigma
yang diteliti bertumpu pada tiga hal
supply driven dan seolah merupakan
penting, yakni pengurangan beban
“kebajikan” pemerintah, sementara warga
pengeluaran keluarga miskin,
diperlakukan tak lebih sebagai klien atau
perlindungan sosial berorientasi pada
konsumen yang sedang membutuhkan
pengurangan kerentanan dengan
layanan dan mesti tunduk pada ketuhanan
memperkuat daya tahan warga, serta
yang ditetapkan oleh birokrasi.
peningkatan pendapatan (penghasilan)
Celakanya, dalam hal kapasitas dan keluarga miskin
kualitas birokrasi serta politi lokal, kultur
Ada beberapa catatan kritis yang
kekuasaan (power culture) dan bagaimana
dipaparkan dalam studi tersebut, yakni
menjalankan kepentingan kekuasaan
kapasitas fiskal dan diskresi keuangan
(bureaucratic polity) juga masih sangat
daerah yang sangat terbatas. Namun, pada
mendominasi birokrasi pemerintah.
saat yang sama sebagian besar anggaran
Birokrasi paternalistik warisan kolonial
daerah menjadi bahan konsumsi internal
seakan memiliki beribu nyawa dan kebal
pemerintah daerah dan birokrasi.
terhadap pergantian zaman dan perubahan
Pemerintah daerah kemudian mengalokasi
ekonomi.
dan mendistribusikan anggaran daerah
Desain birokrasi pada zaman kolonial untuk mengurangi beban pengeluaran
memang tidak dibuat sebagai instrumen keluarga miskin, tetapi investasi dana
untuk memberdayakannya dan pemerintah daerah untuk meningkatkan
memfasilitasi kesejahteraan rakyat, tetapi pendapatan keluarga miskin menghadapi
untuk mengontrol perilaku warga dan kendala serius. Inventasi yang dilakukan
mencegah segala aksi yang berpotensi pihak swasta di sektor sekunder dan tersier
membahayakan kekuasaan. Sayangnya, mampu mendatangkan lapangan pekerjaan
kultur tersebut tidak serta-merta berubah (pro-jobs) dan pertumbuhan ekonomi (pro-
menjadi kultur pelayanan (service culture). growth). Namun, pada saat yang sama,
Para birokrat seharusnya bekerja pertumbuhan ekonomi ini diikuti dengan
memenuhi hak-hak warga dalam

[560]
membengkakkan kemiskinan. Kaum buruh melakukan redistribusi investasi publik
menjadi pemasok kemiskinan paling besar. dan berupaya mengkombinasikan
pertumbuhan ekonomi dengan
Studi tersebut member catatan bahwa
pembangunan sosial dan kesejahteraan.
penanggulangan kemiskinan di enam yang
Sementara Bangladesh berinovasi dengan
diteliti lebih banyak digerakkan oleh
system keuangan yang melayani sektor
negara (state driven) dengan alokasi-
informal dan dikenal sebagai kredit mikro.
distribusi dana (money driven). Pemerintah
Sistem keuangan ini berhasil membantu
daerah memanfaatkan dana tersebut untuk
jutaan keluarga miskin. Model pelayanan
melayani warga, membantu keuangan
keuangan bagi rakyat miskin ini mulai
kelompok kemiskinan, serta memobilisasi
ditiru banyak negara.
mastarakat dengan jargon pemberdayaan.
Pemerintah daerah selama ini tampaknya Keberhasilan kredit keuangan mikro
mengabaikan kekuatan emansipasi lokal Bangladesh merupakan inisiatif civil
berbaris masyarakat desa yang banyak society yang kemudian ditumbuh-
digerakan oleh insiatif,kepemimpinan, dan kembangkan negara dengan berbagai
gerakan lokal, serta mampu menyemai kebijakan dan dukungan. Hampir semua
potensi lokal menjadi sumber kemakmuran penduduk di beberapa negara maju telah
kolektif. mengenal dan memiliki asuransi
kesehatan. Tidak demikian halnya dengan
Kebijakan-Sosial-Baru-Basic-Income
Amerika Serikat. Warga yang tidak
Kebijakan Sosial (social policy) memiliki asuransi kesehatan berjumlah 43
mempunyai tujuan lebih dari sekedar juta orang atau 17 persen dari total
penanggulangan kemiskinan. Di samping penduduk Amerika Serikat. Pada tahun
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan 2010, Presiden Barack Obama
sosial (social welfare), kebijakan pada mengesahkan sebuah Undang-Undang
umumnya juga diterapkan untuk universal, UU Pelayanan Kesehatan.
meminimalkan kesenjangan sosial.
Perjuangan tersebut, merupakan babak
Kebijakan sosial mencakup pendekatan
baru dalam sejarah kebijakan sosial
standar kehidupan, peningkatan jaminan
(kesehatan) Amerika Serikat yang
sosial serta akses terhadap kehidupan
memenangkan” kepentingan publik dan
layak. Pembelajaran kebijakan sosial dari
“mengalahkan” kepentingan kaum modal
lima negara yaitu Brazil, Kostarika, Korea
yang bergerak di bidang asuransi.
Selatan, Amerika Serikat,dan Banglades,
menunjukkan adanya berbagai temuan Korea Selatan juga pernah melakukan
berharga. terobosan di bidang kebijakan
kesejahteraan sosial (social welfare) setelah
Brazil, misalnya menyusunan beberapa
diterpa krisis moneter tahun 1998.
program terfokus dan terintegrasi melalui
Kebijakan aktif seperti itu dilakukan untuk
Bolsa Familia yang dapat mengurangi
meningkatkan inventasi negara dalam
kemiskinan dan kesenjangan serta
pembangunan sumber daya manusia dan
mengembangkan sumberdaya manusia di
tidak lagi dengan cara memilih secara
tingkat keluarga. Di samping memenuhi
selektif sektor-sektor tertentu dalam pasar
tujuan yang ingin dicapai, dampak
tenaga kerja.
program itu terwujud dalam bentuk
pertumbuhan pro-poor di tataran empiris. Laporan dari kongres “basic income: an
Bahkan UNDP mencatat Kostarika sebagai instrument for justice and peace”, brasil, yang
negara dengan peringkat Indeks diikuti 33 negara juga memunculkan
Pembangunan Manusia (IPM) tinggi, jauh temuan berharga. Basic income (BI)
di atas IPM negara lain dengan tingkat merupakan upaya untuk memperbaiki
pendapatan yang sama. sistem kesejahteraan sosial, dan dilakukan
untuk memenuhi prinsip kesetaraan warga
Pada dasarnya Kostarika menerapkan
negara. Seperti halnya jaminan kesehatan
model pembangunan heteredoks dengan

[561]
di negara maju, semua orang berhak Konkretnya, hasil pendapatan yang
memperoleh tunjangan BI, baik dia selama ini diperoleh dari eksploitasi dan
menjalani hidup sehat atau tidak. dan ekstraksi sumber daya alam serta
ekspor komoditas primer harus disisihkan
Jadi, tujuannya bukan hanya untuk
untuk pengembangan kualitas sumber
“mengobati” kemiskinan dan ketimpangan
daya manusia serta ketahanan alam dan
sosial, tetapi juga untuk mencegah
sosial masyarakat Indonesia.
pemiskinan dan ketimpangan. Penerapan
kebijakan sosial ala BI bukan hanya Orang awam sering melontarkan
merupakan transformasi pada aras gagasan keluhan yang barangkali terdengar klise,
saja, tetapi juga tataran kelembagaan. “katanya kinerja ekonomi sangat
menggembirakan, tetapi kenapa hidup
Perubahan gagasan berarti perubahan
rakyat masih saja susah?” “sebenarnya
cara pandang. Jika zaman sebelumnya
siapa yang menikmati buah kemakmuran
jaminan sosial selalu dianggap beban,
yang selama ini terkumpul?” walaupun
sudah saatnya ia berubah menjadi alokasi
beberapa tahun terakhir perekonomian
untuk investasi masa kini dan masa depan.
Indonesia terus-menerus menunjukkan
Kebijakan sosial yang semula dianggap
kinerja cukup bagus, tetapi berbagai
sekadar pendukung dan penyokong
persoalan sosial-utamanya kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi, kita perlu di
pengangguran-tidak memperlihatkan
teropong sebagai penggerak ekonomi dan
perubahan yang signifikan.
investasi sosial itu sendiri.
Tampaknya ada masalah dengan soal
Paradoks Ekonomi dan Agenda
distribusi kesejahteraan, sehingga
Kesejahteraan Sosial
menghadirkan “kaitan yang hilang” antara
Hilangnya titik temu antara kinerja kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial.
ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana diketahui, ada semacam Pertanyaannya, apakah hubungan
paradox dalam kinerja perekonomian antara pertumbuhan (kinerja) ekonomi dan
Indonesia. Kinerja ekonomi yang tinggi keejahteraan sosial merupakan hubungan
tidak disertai dengan meningkatnya sebab-akibat? Jika “ya”, apakah
kualitas hidup manusia secara memadai. pertumbuhan ekonomi otomatis
mendorong kesejahteraan sosial?
Dengan demikian, prospek walaupun saling mempengaruhi secara
perekonomian Indonesia harus dinamis, hubungan diantara keduanya
memasukkan sebuah agenda penting, terlalu kompleks dan tampak tidak linear.
yakni upaya peningkatan kesejahteraan Hubugan diantara mereka juga tidak
sosial. Fakta tentang hilangnya koneksitas terlalu jelas: apakah kinerja ekonomi akan
antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan menuntun kesejahteraan sosial atau
sosial tidak hanya menjadi perhatian para sebaliknya kesejahteraan sosial yang lebih
ahli ekonomi dan politik saja, tetapi juga tinggi akan mengatur dan membuat kinerja
para pengambil kebijakan dan penggiata ekonomi menjadi lebih baik. Pertanyaan ini
sosial. Diskoneksitas tersebut merupakan memang sarat dengan dimensi ideologis,
persoalan teoritis sekaligus pragmatis. teoreris, empiris, dan metodologis.
Tulisan ini melihat dan membedah Persoalan tersebut bisa bersifat ideologis
paradoks perekonomian Indonesia dari sisi mengingat cara berpikir ekonomi yang
sektor keuangan yang terkait dengan tidak member ruang lebih lapang bagi isu
kebijakan moneter dan perbankan serta sisi kesejahteraan sosial. corak utama berpikir
sektor riil (ekonomi industri). Pada bagian semacam itu adalah pertumbuhan
akhir tulisan digagas sebuah terobosan ekonomi. Hal yang lebih diutamakan
kebijakan yang berupaya mengaitkan adalah bagaimana memperbesar “kue
kekayaan alam dengan program pembangunan” dan sama sekali tidak
kesejahteraan sosial.

[562]
terkait dengan bagaimana kue ini hars kehadiran negara (baca; pemerintah)
dibagi. sangat diperlukan karena pasar dinilai
telah gagal (market failure). Untuk
Pada dasarnya, cara pandang neoliberal
mengoreksi kegagalan pasar, pemerintah
yang mengandalkan kekuatan pasar dalam
harus segera diakhiri.
mendistribusikan kekayaan sangat tipikal
mendorong pertumbuhan dan kinerja itu Karena itu, ada semacam siklus yang
dibagi dan dikola. Semua urusan bertolak belakang antara pola intervensi
diserahkan dipasar! dan dinamika ekonomi. Jika dinamika
ekonomi sangat menanjak (booming),
Sementara itu, beberapa negara yang
negara itu tidak boleh campur tangan.
menerapkan system kesejahteraan sosial
(welfare state) sebagai kerangka dasar Jika ekonomi sedang lesu (bursting),
kebijakan kerap didera oleh tidak negara harus turun tangan. Ketika siklus
kompetitifnya sektor industri mereka, sudah kembali naik dan pulih (recovered),
apalagi jika tolok ukur yang dipakai adalah campur tangan negara juga harus
kinerja sektor keuangan. dikurangi. Pola tipikal kebijakan ekonomi
berbaris kekuatan pasar itu dalam bahaa
Sistem yang lebih fleksibel dan berbaris
popular disebut “kebijakan neoriberal”
kekuatan pasar (market-based system) ala
(neolib).
anglo-saxon diyakini lebih menjamin
dinamika dan kinerja ekonomi, khususnya Apakah kebijakan neolip mampu
di sektor keuangan. Amerika Serikat menyelesaikan masalah sosial? persoalan
pernah menjadi negara-bangsa yang sangat itu, menurut neolib, akan diselesaikan oleh
produktif di sektor riil sekaligus paling mekanisme pasar. Kemiskinan akan
dinamis di sektor financial. berkurang dengan sendirinya jika terjadi
pertumbuhan ekonomi. Karena itu,
Walaupun pendekatan berbasis pasar
diperlukan pola kebijakan yang memberi
sedang mencapai titik nadir, ini bukan
kebebasan sebesar-besarnya kepada
berarti pola kebijakan negara akan lebih
pemilik dalam mengembangkan
berorientasi pada kesejahteraan sosial.
kewirausahaan mereka guna memacu dan
Intervensi yang dijalankan oleh hampir
memompa pertumbuhan ekonomi.
semua negara didunia saat ini bukan
jaminan bagi bangkitnya paradigma Para penganut dan pendukung pasar
kesejahteraan. bebas menganggap bahwa menjalankan
“kebijakan sosial” adalah sebuah
Peran serta pemerintah dalam ekonomi
pemborosan yang tak dapat dibenarkan.
merupakan salah satu elemen penting
Sebaliknya, negara justru harus memberi
dalam sistem negara kesejahteraan. Dalam
insentif kapada dunia industri agar
bahasa teknis, intervensi pemerintah
pertumbuhan ekonomi dapat terus
hanyalah sebuah “perangkat” untuk
berjalan.
mencapai kesejahteraan sosial. karena
sistem yang berbaris pada kekuatan pasar
tidak bisa melakukan fungsi redistribusi,
Dilema Kebijakan Sosial
maka negara harus berperan aktif
menjalankan fungsi tersebut malalui Dalam pandangan ekonomi mainstream,
seperangkat kebijakan sosial yang kebijakan sosial yang secara formal muncul
ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam konsepsi negara kesejahteraan di
masyarakat kurang beruntung anggap sebuah anomaly. Inti persoalan
(underprivileged people). sebenarnya adlah kerancuan antara
“barang publik” (public goods) dan barang
Namun, pola intervensi tersubut tdak
pribadi (private goods) (Rothstein, 1998).
selalu ditujukan untuk meningkatkan
redistribusi kesejahteraan. Dalam Menurut para ekonomi neklasik, segala
menyikapi siklus kritis, misalnya, sesuatu hanya akan efisien jika

[563]
diperlakukan sebagai barang pribadi yang semata, melainkan juga karena alasan
dapat diperdagangkan dengan ideologis.
menggunakan mekanisme pasar, termasuk
Bagi paham ekonomi yang
hal-hal terkait dengan jaminan kesehatan
mempercayai intervensi pemerintah, setiap
(health care), asuransi sosial (social insurance)
rupiah yang digelontorkan pasti akan
dan pendidikan. Karena itu, penyelenggara
menggerakkan daya beli masyarakat,
layanan di segala bidang bisa dan harus
sehingga akhirnya berbalik menjadi
diserahkan kepada sektor swasta.
peningkatan pembayaran pajak.
Namun, pandangan lain mengatakan
Mereka meyakini dana-dana yang
bahwa hal-hal terkait dengan kesejahteraan
dikucurkan pemerintah untuk membiayai
sosial sebaiknya dikelola sebagai barang
kebijakan sosial tidak akan pernah
public dan tidak diserahkan begitu saja
menimbulkan kejenuhan pasar. Dengan
pada mekanisme pasar. Dengan demikian,
menggunakan perspektif pasca-Keynesian,
sebagai barang publik, beberapa hal terkait
pengeluaran pemerintah tersebut akan
dengan kesejahteraan sosial tidak termasuk
membawa efek crowding-in.
dalam kategori dilema sosial (Ostrom,
1998). Sementara bagi penganut ekonomi
neoklasik, intervensi pemerintah hanya
Bahkan Nicholas Barr (1992) secara rinci
akan boleh dilakukan bila pasar gagal
menunjukkan dan menyebut tiga alasan
menyelesaikan persoalan. Karena itu,
utama mengapa soal asuransi
intervensi pemerintah dalam kebijakan
pengangguran, pendidikan dasar dan
sosial hanya akan dapat dibenarkan jika
jaminan kesehatan serta pension tidak bisa
hanya bekerja memperbaiki mekanisme
diselesaikan oleh mekanisme pasar.
pasar serta berfungsi “mengoreksi”
Pertama, adanya adverse selection yang kegagalan pasar.
membuat perusahaan swasta enggan
Bila pasar sudah bisa menggeliat lagi,
menekuni bidang bisnis berisiko tinggi.
pemerintah harus menarik diri. Jika
Kedua, akan terjadi moral hazard yakni
campur tangan pemerintah tidak ditarik
terjadinya penyelewengan oleh berbagai
kembali, setiap rupiah yang digelontorkan
pihak yang sulit diantisipasi perusahaan
ke pasar akan menimbulkan efek crowding-
swasta. Ketiga, terjadinya independent
out, pengeluaran yang akan menjadi beban
risk, yakni satu resiko mengait dengan
tambahan pemerintah.
resiko lain sehingga sulit dimitigasi melalui
mekanisme pasar. Dalam konteks Indonesia, ketersediaan
anggaran sering dijadikan alasan untuk
Masalah tersebut akan muncul secara
mencounter setiap tuntutan yang hendak
alamiah mengingat pasar selalu
mengembangkan kebijakan sosial. Corak
mengandung informasi tak seimbang
berfikir yang selama ini dipakai adalah
(asymmetric information). Karena itu,
setiap pengeluaran pemerintah pasti akan
mengandalkan niat baik pihak swasta
menimbulkan efek crowding-out.
untuk memecahkan berbagai masalah
sosial sebagaimana digagas Milton Padahal, dalam kebijakan sosial dan
Friedman (1962) adalah hal yang muskil. negara kesejahteraan, pengeluaran
Pendek kata, peran pemerintah senantiasa pemerintah seharusnya dianggap sebagai
dibutuhkan dalam mengatasi berbagai investasi yang dapat mendorong tingkat
masalah sosial, mengingat secara alamiah daya beli masyarakat. Karena itu, supaya
kekuatan pasar memiliki sejumlah kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih
keterbatasan. besar, hal pertama yang harus diubah
adalah cara pandang yang terlalu biasa
Di sisi lain, persoalan pragmatis seperti
pada prinsip dan kepentingan mekanisme
deficit anggaran atau kebijakan fiskal
pasar.
dalam kerangka kebijakan sosial sering
ditentang bukan karena alasan teknis

[564]
Setelah memiliki consensus bersama manusia. Bahkan petinggi lembaga riset
bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan pembangunan terkemuka dunia itu, dalam
ruang lebih besar dalam dinamika ekonomi sebuah tulisan bertajuk Social
dan politik, persoalan berikut yang perlu Development is Economic Development
dibenahi adalah bagaimana membiayai menyatakan dengan tegas “Social
dan mekanisme pembiayaan kebijakan development is good economics”.
sosial. Satu prasyarat utama yang tidak
Pertumbuhan ekonomi memang
bisa ditawar, intervensi negara
diperlukan, namun tidak cukup karena pada
mengandalkan lembaga ini memiliki
akhirnya sumber daya manusia unggul dan
kapasitas untuk melaksanakannya, yakni
produktif adalah kunci kemajuan serta
instrument birokrasi yang harus benar-
keberlanjutan pembangunan.
benar bersih dari korupsi.
Sebaliknya di Indonesia, akibat
mengabaikan pembangunan sosial dan
Pembangunan Inklusif terjadi eksklusi pembangunan pada
masyarakat bawah, rakyat miskin dan
Kerisauan terhadap arah pembangunan
kurang mampu mengalami ketertutupan
di Indonesia selama ini terlalu memfokuskan
akses serta tertinggal dalam setiap proses
perhatian pada pertumbuhan yang
pembangunan.
mengandalkan investasi besar, namun
kurang mengikutsertakan rakyat kecil Tidaklah mengherankan jika ini
sebagai subjek dan bagian utama dari membuat indeks pembangunan manusia
pembangunan. (IPM) Indonesia terus merosot, bahkan
dalam beberapa kasus tampak lebih buruk
Indonesia diberitakan memilliki
ketimbang Negara yang tingkat
sejumlah indikator makro yang
ekonominya jauh di bawah Indonesia.
menggembirakan, misalnya laju
pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren Dengan kesadaran inilah dirasakan
positif, inflasi rendah, investasi asing bahwa “Pembangunan Inklusif” atau
menumpuk, dan cadangan devisa “Pembangunan untuk Semua” dianggap
meningkat. Namun berita tentang sangat penting dan mendesak. Semangat
kehidupan masyarakat bawah tidak terlalu dari makna pembangunan itu adalah
menggembirakan. Kemiskinan yang masih semua warga Negara, entah strata
tinggi, malnutrisi, kelaparan, kematian ibu ekonominya, tempat tinggalnya (desa,
melahirkan dan balita, pengangguran dan kota, pulau terpencil, perbatasan, dan lain-
meledaknya sektor informal adalah lain), agamanya, sukunya, golongannya,
berbagai persoalan yang terus menghiasi jenis kelaminnya mempunyai hak yang
kolom-kolom berita di media massa negeri sama untuk mendapatkan fasilitas dari
ini. Negara untuk berkembang dan
mengembangkan diri. Di sinilah hakikat
Pembangunan sosial atau investasi
pembangunan yang tidak boleh bersifat
manusia masih dipandang sebelah mata
eksklusif ataupun diskriminatif.
dan hanya dianggap sebagai sesuatu yang
bersifat residual. Padahal di Negara-negara
maju Asia Timur, pembangunan sosial
Menuju Jalan Baru Pembangunan
sudah menjadi bagian integral dari Melalui Pemerataan
pembangunan ekonomi dan kedua elemen
ini saling mendukung. Sejak pembangunan dimulai pada masa
Orde Baru hingga sekarang, belum terjadi
Presiden Center for Global Development
transformasi ekonomi yang sebenarnya.
(CGI) Nancy Birdsall mengungkapkan
Indikator ini terlihat jelas dalam kehidupan
bahwa tujuan mendasar pembangunan
sehari-hari, meski pertumbuhan ekonomi
ekonomi bukanlah pertumbuhan ekonomi relative tinggi, namun kehidupan
semata, tetapi peningkatan kesejahteraan mayoritas rakyat tetap tak beranjak jauh.

[565]
Dari media kita melihat di media televisi pernikahan artis terkenal di sebuah hotel
atau suratkabar tentang orang-orang bintang lima plus diamond dengan
Indonesia superkaya dengan jumlah harta undangan sampai 5.000 (lima ribu) lebih
meningkat secara fantastis, namun di sisi undangan dengan biaya perkepala/
lain kita juga menyaksikan realitas pahit perpiring sampai Rp. 300.000 (tiga ratus
kemiskinan terus menjadi “pemandangan” ribu) rupiah.
sehari-hari di depan mata.
Dalam perbedaan ekstrem ini, sulit
Transformasi struktural, yaitu menampik tudingan bahwa perbuatan dan
pergeseran bobot ekonomi dari pertanian- pembiaran kita semua turut
pertambangan ke manufaktur dan sektor melanggengkan ketidakadilan dan
jasa bernilai tinggi, selama ini merupakan kemiskian serta menjadi isu yang paling
hal semu (ersatz structural transformation) popular apabila suatu partai politik baru yang
karena para petani bukannya naik kelas, ingin mendapatkan simpati dengan isu
justru digusur untuk meninggalkan “Perubahan”. Perubahan yang selalu
kampong halaman menjadi TKI/TKW atau disampaikan adalah adanya keadilan dan
berjejalan di sektor informal yang meruyak pemerataan, yang sebelumnya juga
di perkampungan kumuh perkotaan. diusung oleh partai-partai politik yang
Kualitas pembangunan seperti itu sekarang sudah di papan atas atau
cenderung akan memunculkan menengah yang dulunya baru menjadi
ketimpangan dan kesenjangan semakin partai yang tumbuh. Pengalaman
tinggi dan lebar. demokrasi di Indonesia membuktikan
bahwa, ketika kader-kader partai sudah di
Pertumbuhan, inflasi, kenaikan indeks
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat
harga saham, cadangan devisa, dan lain-
atau DPR daerah dan di pemerintahan,
lain adalah deretan angka menghibur yang
mereka juga yang terus secara sistematis
menghiasi media massa, tetapi sangat kasat
menaikkan anggaran untuk kesejahteraan
mata kemiskinan masih terus saja melekat
anggota dewan yang mengusik rasa
dalam kehidupan anak bangsa seperti
keadilan bagi masyarakat miskin, bahkan
petani gurem, buruh tani, pedagang kaki
diberitakan di media televisi atau
lima, buruh pabrik, buruh nelayan,
suratkabar mengenai anggota dewan dari
pengangguran dan kaum terpinggirkan
partai-partai politik yang dahulu
lainnya. Belum lagi banyaknya tersiar
mengusung isu perubahan, tersangkut
kisah nestapa seperti seorang ayah
kasus hukum seperti korupsi dan lainnya,
menggendong bayinya kian kemari, tiada
bahkan pada rapat Bamus DPR Tahun 2012
kuasa menyewa sejengkal tanah untuk
berencana akan merevisi Undang-Undang
mengembalikan jasad bayi suci ke
tentang kewenangan Komisi
pangkuan pertiwi.
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di sisi lain, gemerlap kehidupan
Pembangunan merupakan anugerah
sekelompok warga bangsa yang dirasuki
bagi rakyat apabila berhasil meningkatkan
nafsu akumulasi dan konsumsi berlomba-
kualitas kehidupan mereka. Namun
lomba menyaingi rekan sejawatnya di
pembangunan bisa menjadi bencana bila
manca Negara. Adegan seperti ini bukan
tidak mencakup seluruh aspek kehidupan
hanya menyilau kota-kota besar tetapi juga
masyarakat secara berimbang. Rasa
disajikan ke pelosok nusantara oleh media
keadilan sosial yang terkoyak akibat
massa seperti acara ulang tahun anak artis
kesenjangan yang tinggi merupakan bom
terkenal yang menghabiskan biaya sampai
waktu yang sewaktu-waktu dapat
dengan milyar dengan membelikan sebuah
mengoyak stabilitas sosial. Pengertian
mobil sport mewah yang bernilai sampai 4
pembangunan tidaklah sebatas
(empat) milyar lebih berikut rumah sampai
pertumbuhan ekonomi saja, namun
milyaran rupiah, belum lagi disiarkan
mencakup hal-hal lebih luas seperti
media televisi dan surat kabat mengenai
kemajuan pranata sosial, demokrasi,

[566]
kemanusiaan, lingkungan hidup, serta potensinya maka kontribusinya untuk
nilai-nilai budaya dan peradaban. kesejahteraan bersama juga akan maksimal.
Dengan demikian, kemakmuran sebuah
Pembangunan juga bukan sekedar
bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat
modernisasi, karena modernisasi bisa saja
yang berdaya dan menghidupinya.
terjadi tanpa adanya pembangunan
Menurut Sen, penyebab langgengnya
(modernization without development) sesuai
kemiskinan, ketidakberdayaan dan
dengan Sajogyo beberapa waktu silam.
keterbelakangan adalah karena ketiadaan
Modernisasi salah arah tersebut hanya
akses. Akibat keterbatasan akses, pilihan
akan melejitkan para elit dan
manusia menjadi terbatas, bahkan tidak ada
meninggalkan rakyat kecil serta berakibat
untuk mengembangkan kehidupannya.
pada melebarnya ketimpangan. Karena itu,
Manusia hanya menjalankan, apa yang
pembangunan mempunyai dimensi sangat
terpaksa” dapat dilakukan, bukan apa yang
luas bukan sekedar mengejar pertumbuhan
“seharusnya” bisa dilakukan. Dengan
ataupun modernisasi.
demikian, potensi dan kontribusi manusia
dalam mengembangkan kesejahteraan
Dinamika Wacana Pembangunan hidup bersama menjadi terhambat dan lebih
kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen
Rasanya seperti hari kemarin, jargon adalah terfasilitasinya kebebasan politik,
pembangunan sewaktu Orde Baru kesempatan ekonomi dan sosial
dianggap begitu suci sehingga atas nama (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial
pembangunan menjadi sangat sahih untuk dan lainnya), dan transparansi serta adanya
merampas hak asazi manusia. Belum jarring pengaman sosial.
kering dari ingatan kita, berbagai kasus
yang menyobek rasa keadilan seperti kasus Tesis yang dikemukakan Sen agar
Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan tercapai kesejahteraan adalah melalui
berbagai penggusuran yang kebebasan sebagai cara dan tujuan
mengatasnamakan “Pembangunan”. (development as freedom). Hal ini tidak jauh
Menghambat atau menentang beda dengan apa yang pernah
pembangunan dianggap dan bahkan bisa dikemukakan Soedjatmoko (development
dtuding komunis serta dilenyapkan. and freedom). Freedom menurut
Muncul pertanyaan, apakah setiap langkah Soedjatmoko, merupakan kebebasan dari
untuk mencapai kesejahteraan rakyat harus rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa
selalu ada “tumbal” atau dalam istilah cemas, rasa keharusan, untuk
Jawa, jer basuki mawa bea ? mempertanyakan apakah tindakan mereka
diizinkan atau tidak oleh mereka yang
Amartya Sen, peraih nobel Ekonomi lebih tinggi ataupun adap kebiasaan
tahun 1998 pernah menyatakan sesuatu seperti patriarki, sikap nrimo, dan lain-lain.
yang sangat berbeda tentang pembangunan.
Menurut Sen, pembangunan bukan sebuah Untuk memecahkan hal tersebut
proses yang dingin, menakutkan dengan diperlukan elemen emansipatoris, yakni
mengorbankan darah, keringat, air mata. aspek pembebasan masyarakat dari pelbagai
Pembangunan menurut Sen, adalah sesuatu struktur yang menghambat sehingga
yang sebenarnya “bersahabat”. memungkinkan masyarakat
Pembangunan seharusnya merupakan mengembangkan kemampuan berdasarkan
proses yang memfasilitasi manusia untuk kekuatan sendiri (self reliance). Dengan
mengembangkan sesuatu yang sesuai demikian, pembangunan berarti merangsang
dengan pilihannya (development as a process kelompok-kelompok masyarakat untuk
of expanding the real freedoms that people bergerak maju menjadi otonom, berakar dari
enjoyed). dinamikanya sendiri dan dapat bergerak
dengan kekuatan sendiri. Tidak ada sebuah
Asumsi pemikiran Amartya Sen, bila model pembangunan yang berlaku
setiap manusia mampu mengoptimalkan universal. Dalam jangka panjang, suatu

[567]
pembangunan tidak akan mungkin berhasil gunung-gunung untuk mengisi jurang-
dan bertahan lama jika berjalan bertentangan jurang atau membangun gedung-gedung
dengan nilai-nilai dasar yang dianut menjulang tinggi di kota-kota metropolitan
masyarakat. dengan harapan kemiskinan di desa-desa
dapat berkurang.
Kenyataan ini mendesak kita untuk
Mazhab Baru dan Komitmen Perubahan
mengubah paradigma pembangunan agar
Selama ini kita terlena dengan janji benar-benar pro-poor. Rakyat miskin
bahwa paradigma pro-growth kelak akan adalah pihak yang paling memahami
memakmurkan semua anggota masyarakat keadaan mereka sendiri dan karenanya
melalui proses trickle-down. Namun kini, lebih tepat memosisikan rakyat sebagai
tokon arus utama, Prof. Emil Salim pelaku utama pembangunan dan
mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi penanggulangan kemiskinan di bawah
tidak serta merta menciptakan lapangan naungan pemerintah kabupaten/kota.
kerja dan menambah lapangan usaha, Langkah paling efektif dalam membangun
apalagi menanggulangi kemiskinan. landasan bagi manusia Indonesia yang
Prof. Budiono, yang sekarang menjabat mandiri adalah dengan mendahulukan
Wakil Presiden Republik Indonesia pun keadilan atau growth through equity melalui
mengakui bahwa pertumbuhan tidak pembagian lahan Negara untuk rakyat,
otomatis dapat mengurangi kemiskinan, pengucuran kredit untuk pengusaha kecil,
dan pengalihan sebagian saham korporasi
Pelajaran yang sepantasnya dipetik dari untuk karyawan
kenyataan getir “Kemiskinan dalam
Kemerdekaan” ini adalah kita perlu Mazhab yang mengutamakan
meninggalkan paradigma pembangunan kemanusiaan adalah paradigma people-
trickle-down yang memang tidak driven yang menganjurkan agar semua
manusiawi. Paradigma ini menghalalkan kebijakan yang disusun, kelembagaan yang
penyitaan sebagian besar hasil dibangun, teknologi yang dirakit dan
pembangunan “diteteskan” kepada diambil alih, ditentukan oleh komposisi
mayoritas masyarakat. Paradigma lama kebutuhan dan kemampuan rakyat. Semua
hanya mungkin dilakukan dalam keadaan bermuara pada pemulihan harkat dan
rakyat tidak berdaya. Dengan kata lain, martabat seluruh rakyat. Berlandasan
kemiskinan rakyat Indonesia bersifat paradigma ini, kita mencoba mengenali
struktural dan ini ditandai oleh sejumlah kendala yang menghadang
penyebaran kekayaan dan kekuasaan yang melalui diskursus setara dengan warga
tidak merata. miskin dan bersama sama merakit tangga
yang dapat digunakan untuk melepaskan
Pembangunan seharusnya menjunjung diri dari kendala tersebut. Anak tangganya
tinggi dimensi-dimensi keadilan, berdasarkan urutan pembangunan bangsa
pemerataan, kemanusiaan, kemandirian, yang benar, yaitu KB, mencukupi
harkat, martabat dan kesejahteraan rakyat kebutuhan pangan dan gizi, pelayanan
Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata kesehatan yang menjangkau semua
lain, pembangunan adalah sebuah sarana anggota masyarakat, pendidikan yang
untuk melakukan transformasi struktural menjawab tantangan lokal, serta
dan memajukan kualitas kehidupan infrastruktur dan kelembagaan yang
masyarakat. Karena tujuan pembangunan mensenyawakan perekonomian rakyat
adalah tercapainya kesejahteraan bersama, dengan perekonomian korporasi.
maka untuk mencapai tujuan itu juga
seharusnya melalui upaya-upaya Memang, tidak mudah mendapatkan
pencapaian kesejahteraan bersama. komitmen yang sungguh-sungguh untuk
Seharusnya konsisten dengan tujuan yang mencapai sasaran pembangunan dan
ingin dicapai, bukan sekedar menciptakan penanggulangan kemiskinan. Komitmen

[568]
seperti itu hanya dapat dibangun berdaya akan menjadi kekuatan utama
berlandasan solidaritas terhadap sesama mendorong transformasi yang dibutuhkan
dan keberpihakan kepada yang untuk memotong pewarisan kemiskinan,
terpinggirkan. Ia tidak hadir dengan sebagai prasyarat terwujudnya keadilan
sendirinya, tetapi biasanya akan muncul sosial bagi seluruh rakyat.
diinspirasikan oleh lingkugan sekitar mulai
Pilihannya amat sangat jelas dan tidak
dari orang tua, guru, pemimpin formal,
ada jalan tengah! Apakah melanjutkan
sampai tokoh masyarakat. Solidaritas dan
budaya membohongi diri dengan terus-
keberpihakan akan tumbuh-subur bila
menerus menafikan “kenyataan” yang
dibina dan dipupuk sejak awal melalui
dihadapi rakyat yang miskin turun-
keteladanan dalam kebijakan yang
menurun baru kemudiaan “pribumisasi
didorong oleh kemampuan melintasi
penjajahan”, atau mengetuk nurani
kepentingan diri sendiri yang lahir dari
bertekad sungguh-sungguh memenuhi
hati nurani.
janji bagimu negeri jiwa raga kami?
mendengarkan nurani akan menuntun kita
menaklukan nafsu akumulasi dan
Pembangunan Melalui Pemerataan
konsumsi, melintasi segala perbedaan guna
Sudah saatnya kini kita menggunakan bersama-sama mengerahkan seluruh daya
paradigma pembangunan yang lebih dan dana untuk membantu upaya saudara-
mengutamakan pemerataan dan keadilan saudara kita merebut kemerdekaan
sosial, yaitu paradigma people-driven seutuhnya dari belenggu kemiskinan.
development atau pembangunan yang
Sejumlah program pemerintah pusat
Diarahkan Rakyat. Strategi pembangunan
seperti itu dengan sendirinya akan menjadi dan daerah serta program antar instansi di
pertumbuhan-melalui pemerataan atau pemerintah pusat tidak sinkron. Akibatnya
growth through equity. Untuk alokasi anggaran tidak optimal dalam
menggerakkan perekonomian rakyat.
mengoperasionalkan strategi ini dalam
menanggulangi semua matra kemiskinan Demikian salah satu persoalan yang
dibutuhkan pendayagunaan secara sinergis disampaikan panelis dalam seminar
empat perangkat kebijakan, yaitu modal, nasional bertajuk “memprkuat
jangkauan, penghasilan, dan suara (assets, perekonomian domestik melalui
access, income, and voice). sinkronisasi perencanaan pembangunan
pusat dan daerah“ yang digelar Badan
Dalam kaitan ini, Reforma Agraria,
Perencanaan Pembangunan Nasional
terutama redistribusi tanah bagi rakyat dan
(Bappenas) di Jakarta, senin (24/9)
memperluas jangkauan terhadap kredit,
merupakan salah satu landasan kokoh Direktur Eksekutif Komite Pementauan
sebagai upaya untuk meningkatkan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
pendapatan dan memperkuat suara rakyat Robert Endi jawing menyatakan, pusat
yang selama ini dibungkam. dalam konteks sinkronisasi tidak selalu
menjadi acuan karena ada kalanya pusat
Terbentuknya keseimbangan baru
sendiri bermasalah. Bahkan, sering terjadi
pemilikan kekayaan dan kekuasaan politik
antara kementerian dan lembaga tidak
dalam masyarakat sekaligus akan
sinkron. “sinkronisasi harus selesai dulu di
memperkokoh kewarganegaraan. Dengan
pusat,” katanya
memperkuat peran serta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan yang Sinkronisasi perencanaan melalui
bertalian dengan masa depan bersama, musyawarah rencana pembangunan
diharapkan warga negara akan mampu (Musrenbang) mulai desa atau kelurahan
membangun kohesi sosial dan meraih sampai pusat, menurut Robert, acapkali
legitimasi politis guna mengimbangi serta didominasi oleh proses politik dan bersifat
menandingi kelompok-kelompok teknokratis. Akibatnya, apa yang menjadi
kepentingan. Warga negara yang semakin aspirasi Musrenbang hilang sampai di atas.

[569]
Ketua Asosiasi Bappeda provinsi se- Karena sumber kerawanan berada pada
indonesia Deny Juanda Puradimaja berbagai level, maka kebijakan sosial harus
menyatakan, Musrenbang semestinya komprehensif dan mencakup semuanya
diikuti rencana aksi yang sifatnya lebih serta bukan kebijakan bersifat parsial.
konkret dalam pembagian tanggung jawab
Mengingat kompleksitas persoalan
berkut anggarannya. Hal yang terjadi
sosial yang dihadapi, maka respons
adalah sebaliknya sehingga
pemerintah bisa menjadi tolok ukur
implementasinya tak jelas dan cenderung
apakah karakter dasar ini berwatak sosial
memboroskan anggaran karena bisa terjadi
atau tidak. Karena itu, dikenal istilah
tumpang tindih program
“rezim negara kesejahteraan” yang
Anggota komisi XI Dewan Perwakilan menandakan bahwa negara sangat peduli
Rakyat, Arif Budimanta Sebayang, pada kehidupan masyarakat terkait
menyatakan, pemerintah pusat memiliki dengan berbagai dimensi sosial yang
sejumlah dokumen rencana kerja. Di melingkupinya.
tengah jalan muncul Rencana Induk
Negara kesejahteraan harus didukung
percepatan dan perluasan Pembangunan
oleh model ekonomi makro cenderung
Ekonomi Indonesia yang kemudian disusul
bersifat eksklusif. Untuk membangun
Rencana Induk Penanggulangan
ekonomi dengan model inklusif, kita
Kemiskinan Indonesia. “ini memaksa
berfokus pada dua arena utama, yaitu
daerah terus membuat penyesuaian-
bagaimana mendorong sektor riil.
penyesuaian,” ungkap Arif
Dilihat dari jumlah unit usaha yang ada,
Kepala Bappenas Armida Salsiah
sangat terasa proses dan dinamika
Alisjahbana dalam pidato kunci
perekonomian secara umum telah
menegaskan akan pentingya sinergi
mengeksklusi sebagian besar perilaku
kebijakan. Ini tidak saja melalui forum
bisnis di Indonesia.
koordinasi, tetapi juga konsultasi yang
lebih ketat lagi. Pemanfaatan APBN-APBD Eksintensi Usaha Mikro, Kecil dan
harus benar benar efektif mencapai sasaran Menengah (UMKM) di Indonesia secara
pembangunan. kualitas sangat besar, tetapi kontribusinya
pada perekonomian kecil.
Data menunjukkan bahwa unit UMKM
Inovasi Kebijakan Sosial
di Indonesia berjumlah sekitar 99,99 dari
Jika ada konsensus kuat membawa arah total unit usaha yang ada, dan menyerap
perekonomian Indonesia menuju model tenaga kerja sekitar 97,4 persen. Namun,
negara kesejahteraan, lantas harus dimulai kontribusinya terhadap perekonomian
dari mana? Pertama<konsep negara (PDB) hanya sekitar 55 persen saja. Jika
kesejahteraan harus dipahami melalui dikaitkan dengan ekspor, kontribusinya
mekanisme tertentu. Kebijakan sosial hanya 20 persen saja.
dalam tata pemerintahan menjadi jantung
Fakta ini jelas menunjukkan bahwa ada
utama (core) yang harus senantiasa
yang salah dengan stuktur industri dan
diaktuslisasikan. Kebijakan sosial (social
stuktur ekonomi Indonesia; sebagian besar
policy) itu sendiri memiliki beragam
unit usaha adalah UMKM, tetapi perhatian
definisi.
pemerintah sektor ini sangat sedikit.
Dari sekian banyak definisi, esensinya Akibatnya, tingkat produktivitas unit-unit
terkait dengan peran negara dalam usaha itu juga kecil.
meningkatkan kapasitan warganya.
Jika memang pemerintah Indonesia
Dengan demikian, “tugas” dari kebijakan
telah memiliki kerangka dasar tentang
sosial adalah membantu warga negara
negara kesejahteraan, maka persoalan
mengatasi persoalan genting yang
stuktur industri juga perlu mendapatkan
“membahayakan” kehidupan mereka.
perhatian serius. Dengan terbukanya akses

[570]
yang lebih luas lagi UMKM, maka semakin tergambar dalam Grafik 13, nilai subsidi
banyak warga yang memperoleh cukup dominan dalam struktur anggaran
peningkatan kualitas hidup. Untuk Pemerintah Indonesia. Bahkan ada satu
menyelesaikan persoalan itu, pemerintah fase nilai subsidi sangat tinggi akibat
harus mulai dengan design kebijakan kenaikan harga minyak di pasar dunia
industri yang juga mencakup kebijakan yang melebihi 100 dolar AS per barel
sektor lain, seperti pengembangan menyusul krisis keuangan di AS.
infrastruktur yang memadai, dukungan
Sebagian besar subsidi dikucurkan
birokrasi yang maksimal, kebijakan untuk
untuk bahan bakar minyak dan listrik.
memenuhi kebutuhan energy industri
Karena energy listrik sangat dipengaruhi
dalam negeri, serta pengembangan industri
oleh harga minyak, maka pengeluaran
turunan (derivative products) bersumber
untuk subsidi listrik juga tergantung pada
pada kekayaan sumber daya alam
naik turunnya harga minyak di pasar
Indonesia.
dunia. Sungguh ironis negeri dengan
Minyak bumi, gas bumi, batubara, dan sumber daya alam sangat kaya, termasuk
hasil tambang lain serta hasil-hasil minyak dan gas bumi, subsidi terbesar
perkebunan seperti minyak sawit, coklat, justru dikeluarkan untuk mencukupi
dan sebagainya tidak diekspor dalam kebutuhan energi.
bentuk mentah (primary products)
Ada masalah serius dengan kedaulatan
melainkan diolah di dalam negeri agar
energi di negeri ini. Seandainya
memilii nilai tambah yang besar bagi
pemerintah memiliki political will, hal yang
perekonomian nasional.
harusnya dilakukan memikirkan skenario
Dengan demikian, akan semakin banyak yang menuju kearah kemandirian energi
rakyat yang turut menerima manfaat dari sehingga subsidi tidak tersedot hanya
perkembangan ekonomi dan industri untuk mengantisipasikan fluktuasi harga
dalam negeri. minyak. Sebetulnya, menilik kekayaan
sumber daya alam Indonesia, kita memiliki
potensi untuk mandiri dalam hal sumber
Pembiayaan Kebijakan Sosial daya alam energi.
Kebijakan sosial sebuah negara yang Selanjutnya, kekayaan alam yang
berlimpah sumber daya alam seperti dimiliki bisa secara spesifik diorientasikan
Indonesia cenderung tidak “jalan”. Bahkan, untuk menopang pengeluaran sosial. Salah
negara kaya sumber daya alam seperti itu satu cara yang lazim dilakukan untuk
cenderung tidak memiliki industri yang menggenjot pajam ekspor minyak sawit
kuat. mentah dan batu bara sehingga kapasitas
Pertama, pengembangan sektor industri anggaran pemerintah untuk mendanai
menjadi mahal dan tidak efisien-seperti program sosial, seperti peningkatan
dalam hal upah pekerja-karena harus kualitas hidup, pendidikan dan kesehatan
bersaing dengan sektor ekstraktif yag masyarakat semakin besar.
tampak lebih menjanjikan. Pembiayaan program-program sosial
Kedua, fenomena yang sering terjadi, tentu tidak akan menghasilkan pendapatan
negara yang gemar mengeksploitasi dalam waktu cepat, namun jika dilakukan
sumber daya alam umumnya korup dan secara konsisten dan berkesinambungan
banyak member konsesi berdasarkan dengan tata kelola yang baik tentu akan
kolusi. mendorong daya saing perekonomian
dalam jangka panjang.
Karena itu, harus dilakukan terobosan
dengan mengaitkan secara langsung Jika dilakukan dengan cara benar, akan
potensi sumber daya alam dengan terjadi crowding in effect, yakni pengeluaran
pembiayaan kebijakan sosial. sebagaimana pemerintah yang akan memompa
dinamika perekonomian sehingga

[571]
menimbulkan “efek balik” positif dalam bersifat parsial dan temporer, melainkan
jangka panjang. kerangka besar yang membatasi pola
kebijakan negara. Arah dan orientasi
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa
kebijakan yang berpusat pada peningkatan
survei World Economic Forum (WEF) yang
kualitas hidup menjadi kerangka yang
menghasilkan Global Competitiveness Index,
membatasi ruang gerak kebijakan itu.
tampak bahwa komponen penting yang
absen dari perekonomian Indonesia adalah Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa
masalah sosial, kesehatan masyarakat dan secara bebas membuat design kebijakan di
infrastuktur. luar pedoman tersebut. Kerangka itu harus
dibangun bersama oleh beberapa elemen
Salah satu pertanyaan penting
bangsa, khususnya pemerintah, dunia
mengenai negara kesejahteraan adalah
usaha, dan masyarakat.
bagaimana rezim ini membiayai kebijakan
sosial tersebut. Untuk menyelesaikan Kondisi ini memang tidak pernah bisa
masalah kemiskinan dan ketimpangan diperoleh begitu saja. Tanpa dukungan dan
tidak bisa begitu saja diserahkan kepada dorongan kuat elemen lain, kebijakan
mekanisme pasar. pemerintah tidak akan pernah terarah.
Karena itu, hal yang perlu dilakukan
Pasar akan mengalokasi sumber daya
adalah menjalin aliansi dengan sebanyak
dengan kriteria cukup ketat yakni
mungkin elemen bangsa untuk
menghasilkan pendapatan di masa depan
membangun kerangka bersama itu
(expexteed return) disertai tingkat
(common patform).
keuntungan (profit) yang bisa dinikmati
saat ini. Ada beberapa pedoman structural yang
mendesak untuk dibangun saat ini.
Sementara untuk membiayai program-
Pertama, kebijakan industrial harus lebih
program sosial seperti setimpangan sosial
terarah dan member kesempatan luas
ykni penanganan Penyandang Masalah
kepada “kelompok menengah”. Ada
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan
indikasi perekonomian Indonesia keropos
penanganan kemiskinan, selain tidak
di tengah, karena sebagian besar unit
menghasilkan keuntungan financial juga
usaha berbentuk usaha mikro dan kecil.
dibutuhkan pengeluaran dengan tingkat
Posisi unit usaha skala besar masih sangat
perolehan pendapatan yang kerap tidak
dominan. Jumlahnya memang di bawah
bisa dikalkulasi secara ekonomis.
0,5 persen dari total unit usaha yang ada,
Secara sederhana dan sangat namun kontribusinya pada perekonomian
karikatural, dapat disimulasikan bahwa nasional sekitar 50 persen.
negara yang kaya sumber daya alam
Kedua, sektor keuangan harus
seperti Indonesia semestinya bisa
diperdalam dengan menyertakan sebanyak
membiayai kebijakan sosial lewat
mungkin anggota masyarakat untuk
pengelolaan sumber daya alam yang
terlibat dalam sektor perbankan, baik pada
dimiliki.
sisi deposito maupun kredit. Data
Hal tersebut terkait dengan menunjukkan sekitar 50 persen
pengembangan produk yang memperkuat pendududk Indonesia yang berjumlah 230
struktur-struktur serta pengelolaan yang juta jiwa tidak memiliki akses perbankan.
lebih bertanggung jawab atas pendapatan
Dengan demikian, perlu ada usaha lebih
yang diperoleh dari “eksploitasi” sumber
sistematis untuk melibatkan dan
daya alam.
mendekatkan sebagian besar anggota
masyarakat pada dunia keuangan,
Kesimpulan khususnya sektor perbankan (financial
inclusion).
Kebijakan sosial dalam format negara
kesejahteraan bukan kebijakan yang

[572]
Dengan dua upaya struktural tersebut, Humphreys, Macartan, Jeffrey. D. Sachs and
arah besar kebijakan ekonomi akan lebih Joseph E. Stiglitz (eds). 2007. Escaping
terfokus pada upaya pengentasan the Resource Course. New York,
kemiskinan dan menuntaskan Columbia University Press.
ketimpanganan (penganganan PMKS). James Midgley, Social Welfare in Global
Selanjutnya harus ada upaya yang lebih Context, Second Edition 1999, Sage
spesifik mendorong agar kebijakan Publications International
pemerintah lebih terfokus pada kebijakan Educational & Professional Publisher
sosial dalam kerangka negara Thousand Oaks, London.
kesejahteraan.
Lyon, Gerard, Fauzi Ichsan, Eric Sugandi, Lee
Perlu di ingat bahwa konstitusi negara Wee Kok and Thomas Harr, 2009,
ini telah menegaskan bahwa tujuan utama Indonesia Asias Emerging Powerhouse
pembangunan ekonomi adalah demi Standard Chartered Bank.
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan
rumusan ini tampak jelas berorientasi pada Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor
Publik, Edisi Kedua 2013, Penerbit &
negara kesejahteraan.
Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu
Namun demikian dibutuhkan upaya Manajemen Yogyakarta.
lebih tekun dalam mendefinisikan model
Memis, Emil and Manuel F. Montes, 2008.
negara kesejahteraan yang kontekstual
“Whos Afraid of Industrial Policy?,
dengan kondisi Indonesia.
Discussion Paper, Asia Pasific Trade and
Investment Initiative, Colombo UNDP
Regional Centre in Colombo.
Daftar Pustaka
Molnar, Margit and Molly Lesher, 2008.
Ahya Chetan, Deyi Tan dan Shweta Singh,
“Recovery and Beyond; Enhancing
2009. Indonesia Economics Adding
Competitiveness to Realise Indonesias
Anather “I” to the B-R-I-C Story?
Trade Potencial”, OECD Trade Policy
Morgan Stanley Research.
Working Paper, No. 82.
Anthony Giddens, The Consultations of
Palley, Thomas I, 2003. “Lifting the Natural
Society, Teori Strukturasi untuk
Resource Curse”, in Foreign Service
Analisis Sosial, Penerbit Pedati.
Journal, No. 80, December, page 54-61.
Asia Fondation Team, 2008. “The Cost of
Partha Dasgupta & Ismail Serageldin,
Moving Goods Roads Transportation,
Social Capital a multificated
Regulation and Charges in Indonesia”,
Perspective. First Printing 1999,
Research Report, The Asia Foundation.
World bank Washington DC.
DR. Riant Nugroho, Kebijakan Publik di
Prof. DR. Sofjan Assauri MBA, Strategic
Negara-Negara Berkembang. Edisi
ManagementSustainable
Pertama 2014, Pustaka Pelajar.
Competitive Advantages, Lembaga
DR. Riant Nugroho, Metode Penelitian Managemen FE UI.
Kebijakan, Edisi Ketiga 2012, Pustaka
Prof. Jogiyanto HM, Pedoman Survey
Pelajar.
Kuesioner, Edisi Kedua 2013, BPFE
DR. Riant Nugroho, Public Policy-Teori, YK.
manajemen, Dinamika, Analisis,
Konvergensi, dan Kimia Kebijakan. W. Lawrence-Neuman, Metode Penelitian
Edisi Keempat 2012, PT Elex Media Sosial Pendekatan Kualitatif &
Komputindo Gramedia Jakarta. Kuantitatif, Edisi Ketujuh 2013, PT.
Index Jakarta.
Hall, Anthony and James Midgley, 2004. Social
Policy for Development. London Sage. Wayne Parsons, Public Policy Pengantar
Teori & Praktik Analisis Kebijakan,

[573]
Edisi Pertama 2012, Kencana Prenada Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang
Media Group. Kesejahteraan Sosial
William M. Dunn, Pengantar Analisi Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang
Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Penanganan Fakir Miskin
Gajah Mada University Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang
Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 Pembentukan Peraturan Perundang-
tentang RPJMN 2015-2019 undangan;
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara; Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sosial;
Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional; Peraturan Menteri Sosial No.08 Tahun 2012
tentang Pendataan dan Pengelolaan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang
Data Penyandang Masalah
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber
Nasional;
Kesejahteraan Sosial.

[574]
ARTIKEL KEBIJAKAN
HIGHLIGHT KEBUTUHAN DASAR MELAKSANAKAN AMANAT
PENANGANAN FAKIR MISKIN DALAM UU 13/2011 DAN UU 23/2014
TENTANG PEMDA

Permasalahan Mendasar
Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pasal 34 UUD 1945 Amandemen, bahwa Fakir miskin dan anak-anak telantar
dipelihara oleh Negara. Rencana pembangunan jangka panjang nasional diwujudkan
dalam visi, misi dan arah pembangunan nasional yang mencerminkan cita-cita kolektif
yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia serta strategi untuk mencapainya. Visi
merupakan penjabaran cita-cita berbangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu terciptanya
masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas serta berkeadilan.
Perlindungan sosial bagi penduduk miskin, rentan dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui
rehabilitasi aosial kepada setiap penyandang disabilitas (rungu wicara, mental eks psikotik,
mental eks penyakit kronis, netra, grahita, penyandang disabilitas tubuh, dan
penyandang disabilitas ganda) yang sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan kebutuhan
dasar yang layak, pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga
(panti dan lembaga kesejahteraan sosial) dan di luar lembaga dengan berbasis keluarga
dan masyarakat.
Rehabilitasi sosial juga dilakukan kepada setiap anak (balita telantar, anak telantar,
anak berhadapan dengan hukum, anak dengan kebutuhan khusus, anak yang tidak
memiliki keluarga, anak putus sekolah, anak yang terpisah dari keluarga karena bencana,
dan anak korban tindak kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah) yang sesuai kriteria
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak, pengasuhan, pelayanan, dan
rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan
sosial).
Setiap lanjut usia telantar mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak
dan pelayanan sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan
sosial) dan korban tindak kekerasan mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang
layak dan mendapatkan rehabilitasi psikososial sesuai standar.
Permasalahan sosial lainnya seperti tuna susila, gelandangan dan pengemis
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak, pelayanan dan rehabilitasi sosial
sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan sosial), kemudian
korban penyalahgunaan NAPZA dan HIV/AIDS sesuai kriteria mendapatkan
penanganan awal dan rujukan sesuai standar berdasarkan pelimpahan kewenangan dan
pelaksnaan tugas dari pemerintah pusat
Upaya lainnya dalam perlindungan sosial yang komprehensif dengan tersedianya
akses layanan dan rujukan dalam Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) bagi fakir
miskin termasuk keluarga sangat miskin sesuai standar dan setiap warga Komunitas

[575]
Adat Terpencil (KAT) mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dan tempat tinggal
yang layak.
Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan merupakan salah
satu perlindungan sosial dengan upaya pemulangan ke daerah asal dengan mendapatkan
tempat tinggal sementara, pangan dan sandang yang layak di dalam tempat
penampungan sementara/shelter sesuai standar
Perlindungan sosial lainnya dilakukan kepada korban bencana dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan hunian sementara, makanan bergizi, dan pakaian yang layak
pada saat tanggap darurat, pada pasca bencana, pada saat bencana dan pada pasca
bencana.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan: untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup, memulihkan fungsi sosial dalam rangka
mencapai kemandirian, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan
menangani masalah kesejahteraan sosial, meningkatkan kemampuan, kepedulian dan
tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan
meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
BAB II Hak dan Tanggung Jawab Pasal 3 UU 13/2011 disebutkan bahwa Fakir
miskin berhak memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya, mendapatkan
perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan
keluarganya sesuai dengan karakter budayanya, mendapatkan pelayanan sosial melalui
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun,
mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya, memperoleh derajat
kehidupan yang layak, memperoleh lingkungan hidup yang sehat, meningkatkan kondisi
kesejahteraan yang berkesinambungan; dan memperoleh pekerjaan dan kesempatan
berusaha.
Pasal 5 UU 13/2011 disebutkan bahwa penanganan fakir miskin dilaksanakan
secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dan pada Pasal 6 Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat.

[576]
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk pengembangan potensi diri,
bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, penyediaan pelayanan
kesehatan, penyediaan pelayanan pendidikan, penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha, bantuan hukum, pelayanan sosial, dilakukan melalui: pemberdayaan
kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan
kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, jaminan dan perlindungan sosial untuk
memberikan rasa aman bagi fakir miskin, kemitraan dan kerjasama antarpemangku
kepentingan, koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan
penanganan fakir miskin dan dalam menetapkan kriteria, Menteri berkoordinasi dengan
kementerian dan lembaga terkait. Kriteria menjadi dasar bagi lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan
pendataan. Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan yang
dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik. Verifikasi dan validasi dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun sekali, verifikasi dan validasi dikecualikan apabila terjadi situasi dan kondisi
tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang
menjadi fakir miskin, Verifikasi dan validasi dilaksanakan oleh potensi dan sumber
kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa, hasil verifikasi dan
validasi dilaporkan kepada bupati/walikota, Bupati/walikota menyampaikan hasil
verifikasi dan validasi kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Pasal 18 UU 13/2011 disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial, yang meliputi peningkatan
fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas hidup,
meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam mencegah dan menangani masalah kemiskinan; dan meningkatkan kualitas
manajemen pelayanan kesejahteraan sosial.
Bagian Kelima Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 bahwa Penanganan
fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, terpadu,
dan Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri dalam rangka
pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan,
perumahan, dan pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan oleh
Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi
Menteri.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial pada Pasal 2 Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ditujukan
kepada perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat diprioritaskan kepada mereka
yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria
masalah sosial yang meliputi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan,
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana; dan/atau korban tindak
kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Penanganan Fakir Miskin pada lampiran bidang sosial UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daeran ditetapkan pada Sub-Bidang Perlindungan dan Jaminan
Sosial. Kewenangan dan pembagian urusan, Pusat melakukan “Pengelolaan data fakir
miskin nasional”, Provinsi melakukan Pengelolaan data fakir miskin cakupan Daerah
provinsi, Kabupaten/Kota melakukan pendataan dan pengelolaan data fakir miskin
cakupan daerah kabupaten/kota.

[577]
Tidak terakomodirnya amanah dari Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin yang menyebutkan bahwa penanganan fakir miskin
diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, terpadu, dan
Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri dalam rangka pemenuhan
kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan, perumahan, dan
pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga
terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi Menteri.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada
urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan Wajib dibagi
dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Di samping urusan pemerintahan absolut dan
urusan pemerintahan konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan
pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden
sebagai kepala pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden
dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada
gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai
kepala pemerintahan kabupaten/kota.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal,
serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
Perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur.
Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang
baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau
uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari
pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

[578]
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut
fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara.

C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan-Perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang
sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama
sekali belum ada.

[579]
Daftar Pustaka

Anthony Giddens, The Consultations of Society, Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
Penerbit Pedati.
DR. Riant Nugroho, Kebijakan Publik di Negara-Negara Berkembang. Edisi Pertama
2014, Pustaka Pelajar.
DR. Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan, Edisi Ketiga 2012, Pustaka Pelajar.
DR. Riant Nugroho, Public Policy-Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi,
dan Kimia Kebijakan. Edisi Keempat 2012, PT Elex Media Komputindo – Gramedia
Jakarta.
James Midgley, Social Welfare in Global Context, Second Edition 1999, Sage Publications
International Educational & Professional Publisher Thousand Oaks, London.
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Edisi Kedua 2013, Penerbit & Percetakan
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Yogyakarta.
Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, Social Capital a multificated Perspective. First
Printing 1999, World bank Washington DC.
Prof. DR. Sofjan Assauri MBA, Strategic Management–Sustainable Competitive
Advantages, Lembaga Managemen FE UI.
Prof. Jogiyanto HM, Pedoman Survey Kuesioner, Edisi Kedua 2013, BPFE YK.
W. Lawrence-Neuman, Metode Penelitian Sosial Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif,
Edisi Ketujuh 2013, PT. Index Jakarta.
Wayne Parsons, Public Policy – Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan, Edisi
Pertama 2012, Kencana Prenada Media Group.
William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University
Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional;
Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial;
Peraturan Menteri Sosial No.08 Tahun 2012 tentang Pendataan dan Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial.

[580]
IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH PELUANG TERHADAP
PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

IMPLICATIONS OF LAW NUMBER 23 YEAR 2014 ABOUT LOCAL


GOVERNMENT ON THE IMPLEMENTATION OF THE SOCIAL
WELFARE

Syauqi
sokiren4@gmail.com
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI
Jl. Salemba Raya No. 28 Jakarta Pusat

Habibullah
habibullah@kemsos.go.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
Kementerian Sosial Republik Indonesia
Jl. Dewi Sartika No. 200, Cawang III Jakarta Timur

[581]
Abstrak
Fokus dari kajian ini adalah implikasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan software
pengolah data N-Vivo versi 10. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tersebut
urusan sosial merupakan urusan wajib dan pelayanan dasar yang diselenggarakan
pemerintah daerah. Pada urusan konkuren yaitu yang dibagi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah untuk urusan sosial dibagi menjadi 7 sub bidang yaitu:
pemberdayaan sosial, penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan,
rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial, penanganan bencana, taman makam
pahlawan, sertifikasi dan akreditasi. Pada sub bidang rehabilitasi sosial penyelenggaraan
berbasis panti selain Rehabilitasi bekas korban penyalahgunaan NAPZA dan orang
dengan HIV/AIDS dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi. Dinas sosial diklasifikasikan
menjadi tipe A, B dan C berdasarkan pemetaan urusan sosial yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri dari 34 Provinsi sebanyak 26 Provinsi (76,47 persen) sudah
dilakukan pemetaan urusan sosial. Hasilnya sebanyak 69,23 persen termasuk Tipe dinas
A, 11,54 persen masuk tipe Dinas B dan 19,23 persen termasuk tipe dinas C. Sedangkan
untuk kabupaten/kota dari 511 kabupaten/kota, sebanyak 366 (71,62 persen) sudah
dilakukan pemetaan urusan sosial dengan hasil sebanyak 42,08 persen termasuk dinas
tipe A, sedangkan 34,43 persen termasuk dinas tipe B dan sebanyak 23,5 persen termasuk
dinas tipe C. Kajian ini merekomendasikan Kementerian Sosial menyusun SPM dan
NSPK sesuai dengan kewenangannya dan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/
kota menyesuaikan dengan amanah Undang-Undang tersebut khususnya untuk
peralihan panti sosial UPT Kementerian Sosial.
Kata kunci: Pemerintah daerah, urusan sosial, tipe dinas sosial

Abstract
The focus of this study is the implications of the Law Number 23 Year 2014 About Local
Government for the implementation of social welfare by using qualitative descriptive analysis
technique using data processing software N-Vivo version 10. Based on Law Number 23 Year 2014
The social affairs is obligatory and basic services organized by the local government. In matters of
concurrent that is shared between the central government and local governments for social affairs
is divided into seven sub-areas, namely: social empowerment, handling citizen migrant victims of
violence, social rehabilitation, protection and social security, disaster management, cemetery
heroes, certification and accreditation. In the sub-field-based implementation of social rehabilitation
institutions other than the rehabilitation of former drug abusers and people with HIV/Aids
implemented by the Provincial Government. The social services into types A, B and C based on the
mapping of social affairs conducted by the Ministry of the Home Affair of the province as much as
26 Province 34 (76.47 per cent) has been mapping social affairs. The result is as much as 69.23 per
cent social services Type A, 11.54 percent were type B and 19.23 percent type C. 511 regency/
cities, as many as 366 (71.62 per cent) had done social affairs mapping with the results as much as
42.08 percent including the social services of type A, while 34.43 percent type B and as much as
23.5 per type C. this study recommends the Ministry of social arrange SPM and NSPK accordance
with the authority and the central government , provincial and regency/ city to adjust the mandate
of the Act, especially for the transition of social institutions UPT Ministry of social Affairs.
Keywords: The local government, social affairs, the type of social services

[583]
PENDAHULUAN
Otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan ditetapkannya UU No.
23 tahun 2014 menggantikan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Penetapan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
berdampak terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dengan demikian
tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial juga dilaksanakan pemerintah
daerah dan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbagai ketentuan dalam UU No 23 tahun 2014 tersebut merubah berbagai
kebijakan mengenai penyelenggaraan kesejahteraan sosial khususnya yang dilaksanakan
di pemerintah daerah. Salah satu hal yang menarik adalah urusan sosial merupakan salah
satu urusan wajib yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan merupakan
pelayanan dasar. Selama ini terkesan bahwa urusan sosial merupakan beban bagi
pemerintah daerah dan pemerintah daerah hanya mengutamakan pembiayaan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja
Negara (APBN) dari pemerintah pusat sehingga ada beberapa daerah mengembalikan
Panti Sosial ke Kementerian Sosial ataupun menggabungkan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan berbagai urusan lain.
Penelitian yang dilaksanakan oleh B2P3KS Yogyakarta menyimpulkan bahwa
masih lemahnya wawasan aparat daerah pada aspek visi, misi dan strategi pembangunan
kesejahteraan sosial, rendahnya wawasan penguasaan teknik dan metode pekerjaan sosial
maupun profesionalitas aparat sosial di daerah dalam antisipasi permasalahan sosial di
daerah (Cahyono, 2003). Aparat sosial di daerah relatif sedikit jika dibandingkan jumlah
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan belum mampu memanfaatkan
potensi dan sumber kesejahteraan sosial.
Adanya pembatasan jumlah dinas, berimplikasi terhadap penggabungan berbagai
instansi di tingkat kabupaten/kota, misalnya terdapat beberapa daerah instansi sosial
digabung dengan instansi lain menjadi Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial
(Disnakertransos) kondisi tersebut mempengaruhi skala prioritas pembangunan bidang
kesejahteraan sosial, karena masing-masing instansi yang telah digabung tersebut
memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda sehingga pemahaman aparat daerah akan
misi dan visi pembangunan kesejahteraan sosial pun berbeda pula. (Situmorang, 2012)
Oleh karena itu sangat menarik untuk mengkaji implikasi Undang-Undang Nomor
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap penyelenggaraan kesejahteraan
sosial. Dengan adanya analisa ini diharapakan dapat memberikan referensi tentang
peluang dan tantangan penyelenggaraan kesejahteraan sosial khususnya bagi
Kementerian Sosial maupun Pemerintah Daerah sehingga efektivitas penyelenggaraan
kesejahteraan sosial. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif
dengan menggunakan software pengolah data N-Vivo versi 10. Data yang diperoleh
untuk penelitian ini berupa data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka dan teknik
dokumentasi.

[584]
PEMBAHASAN
Otonomi Daerah dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Menurut UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, penyelenggaraan
pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan republik
Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah
pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta
peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Secara teoritis, desentralisasi mendekatkan jarak sosial antara pengambil kebijakan
dan publik yang merasakan dampak kebijakan itu. Pengambil kebijakan itu akan
merasakan dampak langsung kebijakan yang diambilnya. Karena itu, diharapkan
kebijakan yang diambil lebih sesuai dengan realitas yang sebenarnya dan ruang lebih
besar untuk partisipasi masyarakat (Satria, 2016).
Pada hakikatnya otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh perangkat
daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah
tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka
presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ada perbedaan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah pada UU No. 32
tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014 yaitu pada UU No. 32 tahun 2004, urusan
pemerintahan hanya terbagi dua yaitu urusan absolut dan urusan konkuren, sedangkan
pada UU No. 23 tahun 2014 urusan pemerintahan terbagi menjadi urusan absolut, urusan
pemerintahan umum dan urusan konkuren.
Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan absolut meliputi: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Pada
penyelenggaraan urusan pemerintahan absolut pemerintah pusat: melaksanakan sendiri
atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

[585]
Gambar 1. Pembagian Urusan Pemerintahan

Urusan pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala


pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan
yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan umum di daerah melimpahkan kepada gubernur
sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai kepala
pemerintahan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan umum meliputi :
a. Pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka
memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta
pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa
c. Pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan
lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional
d. Penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan.
e. Koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada di wilayah
provinsi dan kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan;
f. Pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan
g. Pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan
daerah dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal.

[586]
Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/walikota di
wilayah kerja masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum
gubernur dan bupati/walikota dibantu oleh Instansi Vertikal. Dalam melaksanakan
urusan pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri dan bupati/walikota bertanggung jawab kepada Menteri melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi
daerah. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan
daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan pemerintahan
wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait
pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat.

Gambar 2 Urusan Pemerintahan Konkuren Kewenangan Daerah

Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:


pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan
kawasan permukiman; ketenteraman; ketertiban umum; dan perlindungan masyarakat dan
sosial.
Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:
tenaga kerja; pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; pangan; pertanahan;
lingkungan hidup; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; pemberdayaan

[587]
masyarakat dan desa; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; perhubungan;
komunikasi dan informatika; koperasi, usaha kecil, dan menengah; penanaman modal;
kepemudaan dan olahraga; statistik; persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan
kearsipan. Urusan pemerintahan pilihan meliputi: kelautan dan perikanan; pariwisata;
pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian;
dan transmigrasi.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara daerah provinsi dengan daerah
kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota mempunyai urusan pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara pemerintah pusat, daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi,
dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Kriteria urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas negara;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas negara;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah provinsi
atau lintas negara;
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien pemerintah
pusat; dan/atau apabila dilakukan oleh
e. Urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Sedangkan kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi
adalah :
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah kabupaten/
kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah provinsi.
Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah
kabupaten/kota dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum pada lampiran UU No. 23 tahun 2014
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang tersebut. Urusan
pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang tersebut
menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren. Urusan
pemerintahan konkuren ditetapkan dengan peraturan presiden. Perubahan terhadap
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan

[588]
pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/
kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat, diatur pada pasal 16
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria
(NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan dan Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kab/Kota dalam melaksanakan urusan pemerintah (misalkan bidang sosial)
berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).

Perangkat Daerah
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 perangkat daerah provinsi adalah unsur
pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Perangkat
daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Sedangkan berdasarkan UU
No. 23 tahun 2014, perangkat daerah provinsi terdiri atas: Sekretariat Daerah, Sekretariat
DPRD, Inspektorat, Dinas, dan Badan sedangkan perangkat daerah Kabupaten/Kota,
terdiri atas: Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan, dan
Kecamatan. Selain perangkat daerah pada daerah provinsi dan kabupaten/kota terdapat
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Gambar 3. Perangkat Daerah Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014

Kriteria tipelogi perangkat daerah digunakan untuk menentukan tipe perangkat


daerah berdasarkan variabel faktor umum dan faktor teknis. Kriteria variabel faktor
umum ditetapkan berdasarkan karakteristik daerah yang terdiri dari variabel: jumlah
penduduk, luas wilayah, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kriteria variabel faktor teknis meliputi beban tugas utama pada masing-masing urusan

[589]
pemerintahan yang menjadi kewenangan pada setiap susunan pemerintahan dan unsur
penunjang urusan pemerintahan. Bobot variabel umum adalah 20 persen dan bobot
varabel teknis adalah 80 persen. Sedangkan berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, besaran
organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: jumlah penduduk; luas
wilayah; dan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada UU
No. 23 tahun 2014 merupakan variabel faktor umum dan hanya mempunyai bobot 20
persen.
Pada UU No. 32 tahun 2014, jumlah perangkat daerah menggunakan besaran nilai
yang didapat daerah tersebut. Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang
dari 40 terdiri dari: sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 asisten; sekretariat
DPRD; dinas paling banyak 12; dan lembaga teknis daerah paling banyak 8. Besaran
organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 sampai dengan 70 terdiri dari:
sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 asisten; sekretariat DPRD; dinas paling
banyak 15; dan lembaga teknis daerah paling banyak 10. Besaran organisasi perangkat
daerah dengan nilai lebih dari 70 terdiri dari: sekretariat daerah, terdiri dari paling
banyak 4 asisten; sekretariat DPRD; dinas paling banyak 18; dan lembaga teknis daerah
paling banyak 12.
Dinas merupakan unsur pelaksana urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah. Dinas dipimpin oleh kepala dinas yang berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah. Dinas mempunyai
tugas membantu gubernur melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada provinsi. Dinas
dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi: perumusan kebijakan sesuai
dengan lingkup tugasnya; pelaksanaan kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya;
pelaksanaan evaluasi dan pelaporan sesuai dengan lingkup tugasnya; pelaksanaan
administrasi dinas sesuai dengan lingkup tugasnya; pelaksanaan fungsi lain yang
diberikan oleh gubernur yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.
Dinas dapat diklasifikasikan dalam 3 Tipe. Tipe ditetapkan dengan klasifikasi :
a. Dinas Tipe A dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dengan beban kerja yang besar
b. Dinas Tipe B dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dengan beban kerja yang sedang.
c. Dinas Tipe C dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dengan beban kerja yang kecil.
Berdasarkan pemetaan urusan sosial yang dilakukan oleh Kementerian Dalam
Negeri per tanggal 22 Februari 2016 dari 34 Provinsi sebanyak 26 Provinsi (76,47 persen)
sudah dilakukan pemetaan urusan sosial. Hasilnya sebanyak 69,23 persen termasuk Tipe
dinas A, 11,54 persen masuk tipe Dinas B dan 19,23 persen termasuk tipe dinas C.
Sedangkan untuk kabupaten/kota dari 511 kabupaten/kota, sebanyak 366 (71,62 persen)
sudah dilakukan pemetaan urusan sosial dengan hasil sebanyak 42,08 persen termasuk
dinas tipe A, sedangkan 34,43 persen termasuk dinas tipe B dan sebanyak 23,5 persen
termasuk dinas tipe C (Kemendagri, 2016)
Tabel 1. Tipologi Dinas Urusan Sosial Berdasarkan Pemetaan Kemendagri
Dinas Dinas
Tipe
Provinsi Kabupaten/Kota
Tipe A 69,23 42,08
Tipe B 11,54 34,43
Tipe C 19,23 23,5

[590]
Jika merujuk data hasil pemetaan urusan sosial tersebut, Dinas urusan Sosial pada
pemerintah provinsi lebih banyak masuk tipe A jika dibandingkan dengan Dinas urusan
sosial kabupaten/kota. Hal tersebut disebabkan pada saat ini kebanyakan Dinas sosial
provinsi berdiri sendiri tidak digabung dengan urusan lain. Sedangkan dinas urusan
sosial kabupaten/kota kebanyakan digabung dengan urusan lain seperti transmigrasi,
tenaga kerja atau kependudukan.
Penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya
urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan urusan tidak harus dibentuk ke
dalam organisasi tersendiri. Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu
perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan
pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah.

UU No. 32 tahun 2004 UU No. 23 tahun 2014


Perangkat Sekretariat daerah, sekretariat Sekretariat Daerah, Sekretariat
Daerah DPRD, dinas daerah dan DPRD, Inspektorat, Dinas, dan
lembaga teknis daerah Badan
Perumpunan 1. Bidang pendidikan, 1. Pendidikan, kebudayaan,
urusan yang pemuda dan olahraga; kepemudaan dan olahraga;
diwadahi 2. Bidang kesehatan; 2. Kesehatan, sosial, pemberdayaan
dalam bentuk 3. Bidang sosial, tenaga kerja perempuan dan perlindungan
dinas dan transmigrasi; anak, pengendalian penduduk
4. Bidang perhubungan, dan keluarga berencana,
komunikasi dan administrasi kependudukan dan
informatika; pencatatan sipil serta
5. Bidang kependudukan dan pemberdayaan masyarakat dan
catatan sipil; desa;
6. Bidang kebudayaan dan 3. Ketentraman, ketertiban umum
pariwisata; dan perlindungan masyarakat
7. Bidang pekerjaan umum sub urusan bencana dan
yang meliputi bina marga, kebakaran serta sub urusan
pengairan, cipta karya dan ketentraman dan ketertiban
tata ruang; umum.
8. Bidang perekonomian yang 4. Penanaman modal, koperasi,
meliputi koperasi dan usaha kecil dan menengah,
usaha mikro, kecil dan perindustrian, perdagangan,
menengah, industri dan energi dan sumber daya mineral,
perdagangan; transmigrasi, tenaga kerja dan
9. Bidang pelayanan pariwisata.
pertanahan; 5. Komunikasi dan informatika,
10. Bidang pertanian yang statistik, dan persandian;
meliputi tanaman pangan, 6. Perumahan dan kawasan
peternakan, perikanan permukiman, pekerjaan umum
darat, kelautan dan dan penataan ruang, pertanahan,
perikanan, perkebunan dan dan perhubungan;
kehutanan; 7. Pangan, pertanian, serta kelautan
11. Bidang pertambangan dan dan perikanan,
energi; dan 8. Lingkungan hidup dan
12. Bidang pendapatan, kehutanan;
pengelolaan keuangan dan 9. Perpustakaan dan kearsipan.
aset.

[591]
Pelaksanaan tugas dan fungsi staf, pelayanan administratif serta urusan
pemerintahan umum lainnya yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi dinas maupun
lembaga teknis daerah dilaksanakan oleh sekretariat daerah.
Jika berdasarkan perhitungan nilai variabel, suatu urusan pemerintahan tidak
memenuhi syarat untuk dibentuk dinas sendiri, urusan pemerintahan tersebut digabung
dengan dinas lain. Penggabungan dilakukan dengan dinas yang memiliki kedekatan
karakteristik urusan pemerintahan atau memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan tersebut. Kedekatan karakteristik urusan pemerintahan atau
memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan terdiri dari :
Penggabungan urusan pemerintahan dilakukan paling banyak 3 urusan
pemerintahan. Tipelogi dinas hasil penggabungan urusan pemerintahan sesuai dengan
tipe dinas sebelum penggabungan dengan tambahan bidang atau sub bidang dari urusan
pemerintahan yang digabungkan. Dalam hal dinas tipe C mendapatkan tambahan bidang
urusan pemerintahan maka dinas hasil penggabungan tersebut dapat ditingkatkan
menjadi tipe B. Nomenklatur dinas yang mendapatkan tambahan bidang urusan
pemerintahan merupakan nomenklatur dinas utama, ditambah dengan urusan
pemerintahan yang digabungkan.
Pada dinas dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinas untuk melaksanakan
kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu. UPT dinas
diklasifikasikan dalam 2 tipe. Tipe UPT dinas terdiri atas: UPT dinas tipe A untuk
mewadahi beban kerja yang besar; dan UPT dinas tipe B untuk mewadahi beban kerja
yang kecil.

URUSAN SOSIAL
Urusan sosial merupakan urusan pemerintahan konkuren bersifat wajib pelayanan
dasar, Pelaksanaan pelayanan dasar urusan sosial berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Norma, Standar, Prosedur dan Kreteria (NSPK). Pemerintah pusat
dalam hal urusan sosial, Kementerian Sosial RI menetapkan SPM dan NSPK bidang sosial
dan Pemerintah daerah melaksanakan SPM dan NSPK urusan sosial. Dalam menetapkan
NSPK urusan sosial memperhatikan urusan kewenangan masing-masing pemerintahan
berdasarkan lampiran UU No. 23 tahun 2014. Dalam menetapkan SPM bidang sosial
memperhatikan kewenangan pemerintah daerah dikarenakan kewenangan itu akan
terkait dengan pendanaan, personil dan kelembagaan di daerah. NSPK bidang sosial
yang telah ditetapkan sampai dengan bulan Maret tahun 2015, meliputi 21 NSPK yaitu:
1. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak
2. Peraturan Menteri Sosial Nomor 128 Tahun 2011 tentang Kampung Siaga Bencana
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 693)
3. Peraturan Menteri Sosial Nomor 184 Tahun 2011 tentang Lembaga Kesejahteraan
Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 913)
4. Peraturan Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2012 tentang Taman Anak Sejahtera
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 102)
5. Peraturan Menteri Sosial Nomor 03 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif Lainnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 103)
6. Peraturan Menteri Sosial Nomor 06 Tahun 2012 tentang Penghargaan Kesejahteraan
Sosial Lanjut Usia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 496)
7. Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan

[592]
Sumber Kesejahteraan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
567)
8. Peraturan Menteri Sosial Nomor 09 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komunitas
Adat Terpencil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 579)
9. Peraturan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan
Sosial Lanjut Usia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 862)
10. Peraturan Menteri Sosial Nomor 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
11. Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1217)
12. Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1218)
13. Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1240)
14. Peraturan Menteri Sosial Nomor 01 Tahun 2013 tentang Bantuan Sosial Korban
Bencana (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 102) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 07 Tahun 2013.
15. Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2013 tentang Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
1509)
16. Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak.
17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pemulangan Migran
Bermasalah (PMB).
18. Peraturan Menteri Sosial Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Karang
Taruna.
19. Peraturan Menteri Sosial Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan (TKSK).
20. Peraturan Menteri Sosial Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial.
21. Peraturan Menteri Sosial Nomor 01 Tahun 2015 tentang Standar Lembaga
Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial

Berdasarkan lampiran UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,


pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota untuk urusan pemerintahan bidang sosial 7 sub bidang menjadi urusan
konkuren yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan warga negara migran korban tindak
kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial, penanganan bencana,
taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi.

[593]
Tabel 2. Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat, Provinsi
dan Kabupaten/Kota Pada Bidang Sosial
No Sub Bidang Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah
Kabupaten/Kota
1 Pemberdayaan a. Penetapan lokasi a. Penerbitan izin a. Pemberdayaan
Sosial dan pengumpulan sosial KAT
pemberdayaan sumbangan lintas b. Penerbitan izin
sosial Komunitas daerah kabupaten/ pengumpulan
Adat Terpencil kota dalam 1 (satu) sumbangan dalam
b. Penerbitan izin daerah provinsi daerah kabupaten/
pengumpulan b. Pemberdayan kota
sumbangan lintas potensi sumber c. Pengembangan
daerah provinsi. kesejahteraan sosial potensi sumber
c. Pembinaan provinsi kesejahteraan
potensi sumber sosial daerah
kesejahteraan kabupaten/kota
sosial. d. Pembinaan
lembaga konsultasi
kesejahteraan
keluarga (LK3)
yang wilayah
kegiatannya di
daerah kabupaten/
kota
2 Penanganan a. Penanganan Pemulangan warga Pemulangan warga
warga negara warga negara negara migran korban negara migran korban
migran korban migran korban tindak kekerasaan dari tindak kekerasaan dari
tindak kekerasan tindak titik debarkasi di daerah titik debarkasi di
kekerasan dari provinsi untuk daerah kabupaten/
titik debarkasi dipulangkan ke daerah kota untuk
sampai ke provnsi untuk dipulangkan ke
daerah provinsi dipulangkan ke daerah daerah provnsi untuk
asal kabupaten/kota asal dipulangkan ke desa/
b. Pemulihan kelurahan asal
trauma korban
tindak
kekerasaan
(traficking)
dalam dan luar
negeri
3 Rehabilitasi Rehabilitasi bekas Rehabilitasi sosial Rehabilitasi sosial
sosial korban bukan/tidak termasuk bukan/tidak termasuk
penyalahgunaan bekas korban bekas korban
Napza, orang penyalahgunaan Napza, penyalahgunaan
dengan HIV/AIDS orang dengan HIV/AIDS Napza, orang dengan
yang memerlukan HIV/AIDS yang tidak
rehabilitasi pada panti memerlukan
rehabilitasi pada panti
dan rehabilitasi anak
yang berhadapan
dengan hukum.

[594]
4 Perlindungan a. Penerbitan izin a. Penerbitan izin a. Pemeliharaan
dan jaminan orang tua orang tua angkat anak-anak
sosial angkat untuk untuk pengangkatan telantar
pengangkatan anak antar WNI dan b. Pendataan dan
anak antara pengangkatan anak pengelolaan data
WNI dengan oleh orang tua fakir miskin
WNA tunggal cakupan daerah
b. Penghargaan b. Pengelolaan data kabupaten/kota
dan fakir miskin
kesejahteraan cakupan daerah
keluarga provinsi
pahlawan dan
perintis
kemerdekaan
c. Pengelolaan
data fakir
miskin
nasional
5 Penanganan a. Penyediaan Penyediaan kebutuhan a. Penyediaan
bencana kebutuhan dan dasar dan pemulihan kebutuhan dasar
pemulihan trauma bagi korban dan pemulihan
trauma bagi bencana provinsi trauma bagi
korban bencana korban bencana
nasional kabupaten/kota
b. Pembuatan b. Penyelenggaraan
model pemberdayaan
pemberdayaan masyarakat
masyarakat terhadap
terhadap kesiapsiagaan
kesiapsiagaan bencana
bencana kabupaten/kota
6 Taman makam Pemeliharaan Pemeliharaan taman Pemeliharaan taman
pahlawan taman makam makam pahlawan makam pahlawan
pahlawan nasional nasional provinsi nasional
utama dan makam kabupaten/kota
pahlawan nasional
di dalam dan luar
negeri

7 Sertifikasi dan a. Pemberian


akreditasi sertifikasi
kepada pekerja
sosial
profesional dan
tenaga
kesejahteraan
sosial
b. Pemberian
akreditasi
kepada lembaga
kesejahteraan
sosial

[595]
1. Pemberdayaan Sosial
Jika dilihat urusan sosial sub bidang pemberdayaan sosial ada 4 urusan yang
merupakan urusan konkuren antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
yaitu: pemberdayaan sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT), penerbitan izin
pengumpulan sumbangan, potensi sumber kesejahteraan sosial dan Lembaga
Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3). Pada pemberdayaan sosial KAT, pemerintah
pusat bertanggung jawab terhadap penetapan lokasi dan pemberdayaan sosial KAT,
Provinsi tidak ada tanggung jawab terhadap KAT dan Kabupaten melaksanakan
pemberdayaan sosial KAT. Pada penerbitan izin pengumpulan sumbangan dibagi
berjenjang antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pada potensi
sumber kesejahteraan sosial, pemerintah pusat bertugas melakukan pembinaan,
provinsi bertugas melakukan pemberdayaan sedangkan kabupaten/kota
pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial. Sedangkan untuk LK3 hanya
kabupaten/kota melakukan pembinaan LK3.

2. Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan


Terjadi perubahan nomenklatur untuk (korban tindak kekerasan dan pekerja
migran bermasalah KTK-PM) berubah menjadi warga negara migran korban tindak
kekerasan. Perubahan nomenklatur tersebut mengisyaratkan bahwa terjadi perluasan
sasaran yaitu semua warga negara migran tidak hanya yang berstatus pekerja migran
bermasalah akan tetapi meskipun diperluas namun lebih terfokus pada warga negara
migran korban tindak kekerasan yang menjadi sasaran program. Berbeda dengan
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang hanya bertanggung jawab terhadap
pemulangan warga negara migran korban tindak kekerasan dari titik debarkasi ke
daerah asal. Pemerintah pusat bertanggung jawab dalam penanganan titik debarkasi
ke daerah provinsi asal sekaligus bertanggung jawab terhadap pemulihan trauma
korban tindak kekerasan (traficking) dalam dan luar negeri.

3. Rehabilitasi Sosial
Ada perubahan yang cukup mencolok pada urusan sosial sub bidang rehabilitasi
sosial yaitu perubahan tanggung jawab dalam melaksanakan rehabilitasi sosial. Selama
ini pemerintah pusat melalui panti sosial yang dimiliki dapat melakukan secara
langsung proses rehabilitasi sosial dengan sistem panti, namun berdasarkan
pembagian urusan konkuren ini yang melaksanakan rehabilitasi sosial adalah
pemerintah provinsi.
Pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan rehabilitasi bekas korban
Nafza dan orang dengan HIV/AIDS dengan sistem panti maupun non panti.
Pelayanan rehabilitasi sosial sistem panti menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap rehabiltasi sosial
berbasis masyarakat dan rehabilitasi anak berhadapan dengan hukum. Pada saat ini
Kementerian Sosial masih melaksanakan rehabilitasi sosial berbasis panti sosial
melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial baik melalui Panti Sosial
(Eselon 3) dan Balai Besar ( Eselon 2). Ada sebanyak 34 UPT Panti Sosial/Balai Besar
yang menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial. Panti Sosial Kementerian Sosial RI
tersebar dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai Provinsi Maluku Utara.

[596]
Tabel 3. Jumlah UPT Panti Sosial Kementerian Sosial RI
No Nama Panti Sosial/Balai Besar Jumlah
1 Panti Sosial Asuhan Anak 2
2 Panti Sosial Pamardi Putra 2
3 Panti Sosial Marsudi Putra 4
4 Panti Sosial Petirahan Anak 1
5 Panti Sosial Bina Remaja 3
6 Panti Sosial Bina Daksa 5
7 Panti Sosial Bina Laras 3
8 Panti Sosial Bina Rungu Wicara 2
9 Panti Sosial Bina Grahita 3
10 Panti Sosial Bina Netra 4
11 Panti Sosial Lara Kronis 1
12 Panti Sosial Karya Wanita 1
13 Panti Sosial Bina Karya 1
14 Panti Sosial Tresna Werdha 2

Pelayanan rehabilitasi sosial ditujukan kepada anak, korban Nafza, penyandang


disabilitas, tuna sosial dan lanjut usia telantar. Dengan demikian jika berdasarkan UU
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka hanya Panti Sosial Pamardi
Putra yang berjumlah 2 panti sosial saja masih menjadi tanggung jawab Kementerian
Sosial RI sedangkan 32 Panti Sosial/Balai Besar harus diserahkan ke Pemerintah
Daerah. Sedangkan jika merujuk pada data pegawai UPT Rehsos Kemensos terdapat
1982 pegawai, dengan rincian sebanyak 191 pegawai struktural, 737 fungsional
tertentu dan 984 fungsional umum. Terhadap peralihan kewenangan diikuti dengan
peralihan personil, prasarana dan pembiayaan serta dokumen (P3D). Penyerahan P3D
dilaksanakan paling lambat 2 tahun sejak UU 23/2014 atau Oktober 2016.

4. Perlindungan dan Jaminan Sosial


Pada sub bidang perlindungan dan jaminan sosial, pengelolaan data fakir miskin
dilakukan secara berjenjang baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Sedangkan untuk penerbitan izin orangtua angkat, pemerintah pusat mempunyai
wewenang untuk pemberian izin pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia
(WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA), sedangkan izin orangtua angkat untuk
pengangkatan anak antar WNI dan pengangkatan anak oleh orangtua tunggal.
Sedangkan untuk penghargaan dan kesejahteraan keluarga pahlawan dan perintis
kemerdekaan menjadi wewenang pemerintah pusat.

[597]
5. Penanganan Bencana
Pada sub bidang penanganan bencana untuk penyediaan kebutuhan dan
pemulihan trauma bagi korban bencana dilakukan berjenjang sesuai dengan skala
bencana. Pada bencana skala nasional maka yang bertanggung jawab pemerintah
pusat melalui Kementerian Sosial, bencana skala provinsi menjadi tanggung jawab
dinas sosial provinsi dan bencana skala kabupaten/kota menjadi tanggung jawab
dinas kabupaten/kota.
Pada pemberdayaan masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana pemerintah
pusat, pemerintah pusat berwewenang untuk pembuatan model pemberdayaan
masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana sedangkan pemerintah kabupaten/kota
menyelenggarakan pemberdayaaan masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana
kabupaten/kota sedangkan pemerintah pusat melaksanakan pembuatan model
pemberdayaan masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana.
Pada saat ini Kementerian Sosial hanya baru memiliki 1 model pemberdayaan
masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana melalui kampung siaga bencana yang
diatur melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 128 tahun 2011.

6. Taman Makam Pahlawan


Pada sub bidang taman makam pahlawan pembagian kewenagan dilakukan
secara berjenjang yaitu taman makam pahlawan nasional utama didalam maupun luar
negeri menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, taman makam pahlawan nasional
provinsi menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi sedangkan taman makan
pahlawan nasional kabupaten/kota menjadi tanggung pemerintah kabupaten/kota.

7. Sertifikasi dan Akreditasi


Pada sub bidang sertifikasi dan akreditasi untuk pemberian sertifikasi kepada
pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial serta pemberian akreditasi
kepada lembaga kesejahteraan sosial sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Jika hal ini sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat menjadi suatu hal yang
tidak bermanfaat dicantumkan pada pembagian urusan konkuren antara pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

KESIMPULAN
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tersebut urusan sosial merupakan
urusan wajib dan pelayanan dasar yang diselenggarakan pemerintah daerah. Pada
urusan konkuren yaitu yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
untuk urusan sosial dibagi menjadi 7 sub bidang yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan
warga negara migran korban tindak kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan
jaminan sosial, penanganan bencana, taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi.
Pada sub bidang rehabilitasi sosial penyelenggaraan berbasis panti selain Rehabilitasi
bekas korban penyalahgunaan NAPZA dan orang dengan HIV/AIDS dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu diperlukan penyiapan pengalihan panti sosial UPT
Kementerian Sosial RI ke Pemerintah Provinsi.
Dinas sosial diklasifikan menjadi tipe A, B dan C berdasarkan pemetaan urusan
sosial yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dari 34 Provinsi sebanyak 26

[598]
Provinsi (76,47 persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial. Hasilnya sebanyak 69,23
persen termasuk Tipe dinas A, 11,54 persen masuk tipe Dinas B dan 19,23 persen
termasuk tipe dinas C. Sedangkan untuk kabupaten/kota dari 511 kabupaten/kota,
sebanyak 366 (71,62 persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial dengan hasil
sebanyak 42,08 persen termasuk dinas tipe A, sedangkan 34,43 persen termasuk dinas tipe
B dan sebanyak 23,5 persen termasuk dinas tipe C. Dengan demikian Dinas Sosial
Provinsi saat lebih banyak berdiri sendiri dan tidak digabung dengan urusan lain jika
dibandingkan dengan Dinas sosial kabupaten/kota.
Kajian ini merekomendasikan Kementerian Sosial menyusun SPM dan NSPK sesuai
dengan kewenangannya dan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
menyesuaikan dengan amanah Undang-Undang tersebut khususnya untuk peralihan
panti sosial UPT Kementerian Sosial.

[599]
Daftar Pustaka

Astuti, M. (2014). Reformasi Pelayanan Panti Sosial. Informasi, 135-149.


Azof, E. (2010, 11 20). SDM Terbatas, Panti Sosial Minim Kualitas. Dipetik 3 21, 2013, dari
Acakadul: http://acakadul.wordpress.com/2010/11/20/sdm-terbatas-panti-
sosial-minim-kualitas/
Biro Organisasi dan Kepegawaian. (2016, Februari 1). Diambil kembali dari Sistem
Informasi Kepegawaian Kementerian Sosial RI:
http://simpeg.kemsos.go.id/index.php?act=login1
Cahyono, S. A. (2003). Pengkajian Standarisasi Profesionalitas Aparat Sosial Daerah di Era
Otonomi dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: B2P3KS .
Cheema, R. a. (1983). Decentralization in Developing Countries A Review of Recent Experience.
Washington DC: World Bank.
Desy Ayu Krisna Murti, d. (t.thn.). Pengantar Kajian Perkotaan dan Permukiman. Dipetik 4
19, 2013, dari https://wiki.uii.ac.id:
https://wiki.uii.ac.id/images/5/58/Tugas_diskusi.pdf
Handayani, R. (2011). Analisis Partisipasi Masyarakat dan Peran Pemerintah Daerah
Dalam Pelaksanaan Manajemen Bencana di Kabupaten Serang Provinsi Banten.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 (pp. 204-214). Serang: LAB-
ANE FISIP Untirta.
Hikmat, H. (2012, 11 12). Analisa Kebijakan Pengembangan Panti Sosial. Jakarta.
J Piliang, d. (2003). Otonomi daerah: Evaluasi Proyeksi. Jakarta: Divisi kajian demokrasi
lokal, Yayasan Harkat Bangsa.
Kaho, J. R. (1988). Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara.
Kemendagri. (2016, Februari 22). Kemendagri. Retrieved from
http://fasilitasi.otda.kemendagri.go.id/
Purwanto. (2005). Peran Panti Sosial Dalam Penanganan Penyandang Masalah Sosial
Perkotaan. Program Magister (S2) Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Satria, A. (2016). Kelautan Setelah Ada UU Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kompas.
Situmorang, C. H. (2012). Penerapan Standar Pelayanan Minimum Bidang sosial di
daerah. jurnal penelitian kesejahteraan sosial, 150.
Sutaat. (2012). Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Daerah di Era Otonomi
(Studi di Tiga Provinsi). Jakarta: P3KS Prss.
UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Widjaja. (1998). Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: Rinneka Cipta.

[600]
ALIH FUNGSI PANTI SEBAGAI IMPLIKASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
PELUANG TERHADAP PENYELENGGARAAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL

Abstrak
Analisis ini adalah alih fungsi panti sebagai implikasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014
tentang pemerintahan daerah terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan Undang-Undang No. 23
tahun 2014 tersebut urusan sosial merupakan urusan wajib dan pelayanan dasar yang
diselenggarakan pemerintah daerah. Pada urusan konkuren yaitu yang dibagi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk urusan sosial dibagi menjadi 7 sub
bidang yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan warga negara migran korban tindak
kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial, penanganan bencana,
taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi. Pada sub bidang rehabilitasi sosial
penyelenggaraan berbasis panti selain Rehabilitasi bekas korban penyalahgunaan
NAPZA dan orang dengan HIV/AIDS dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi. Dinas
sosial diklasifikasikan menjadi tipe A, B dan C berdasarkan pemetaan urusan sosial yang
dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dari 34 Provinsi sebanyak 26 Provinsi (76,47
persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial. Hasilnya sebanyak 69,23 persen
termasuk Tipe dinas A, 11,54 persen masuk tipe Dinas B dan 19,23 persen termasuk tipe
dinas C. Sedangkan untuk kabupaten/kota dari 511 kabupaten/kota, sebanyak 366 (71,62
persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial dengan hasil sebanyak 42,08 persen
termasuk dinas tipe A, sedangkan 34,43 persen termasuk dinas tipe B dan sebanyak 23,5
persen termasuk dinas tipe C. Kajian ini merekomendasikan Kementerian Sosial
menyusun SPM dan NSPK sesuai dengan kewenangannya dan pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota menyesuaikan dengan amanah Undang-Undang tersebut
khususnya untuk peralihan panti sosial UPT Kementerian Sosial.
Kata kunci: Alih Fungsi Panti Pemerintah daerah, urusan sosial, tipe dinas sosial

[601]
FUNCTIONAL SHIFTING OF SOCIAL REHABILITATION INSTITUTE AS
THE IMPLICATIONS OF LAW NUMBER 23 YEAR 2014 ABOUT LOCAL
GOVERNMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF SOCIAL WELFARE

Abstract

The focus of this study is functional shifting of social rehabilitation institute as the implications of
the Law Number 23 Year 2014 About Local Government for the implementation of social welfare
by using qualitative descriptive analysis technique. Based on Law Number 23 Year 2014 The social
affairs is obligatory and basic services organized by the local government. In matters of concurrent
that is shared between the central government and local governments for social affairs is divided
into seven sub-areas, namely: social empowerment, handling citizen migrant victims of violence,
social rehabilitation, protection and social security, disaster management, cemetery heroes,
certification and accreditation. In the sub-field-based implementation of social rehabilitation
institutions other than the rehabilitation of former drug abusers and people with HIV/Aids
implemented by the Provincial Government. The social services into types A, B and C based on the
mapping of social affairs conducted by the Ministry of the Home Affair of the province as much as
26 Province 34 (76.47 per cent) has been mapping social affairs. The result is as much as 69.23 per
cent social services Type A, 11.54 percent were type B and 19.23 percent type C. 511
regency/cities, as many as 366 (71.62 per cent) had done social affairs mapping with the results as
much as 42.08 percent including the social services of type A, while 34.43 percent type B and as
much as 23.5 per type C. this study recommends the Ministry of social arrange SPM and NSPK
accordance with the authority and the central government , provincial and regency/ city to adjust
the mandate of the Act, especially for the transition of social institutions UPT Ministry of social
Affairs.
Keywords: functional shifting of social rehabilitation institute, The local government,
social affairs, the type of social services

[602]
PENDAHULUAN
Otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan ditetapkannya UU No.
23 tahun 2014 menggantikan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Penetapan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
berdampak terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dengan demikian
tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial juga dilaksanakan pemerintah
daerah dan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

PEMBAHASAN
Berbagai ketentuan dalam UU No 23 tahun 2014 tersebut merubah berbagai
kebijakan mengenai penyelenggaraan kesejahteraan sosial khususnya yang dilaksanakan
di pemerintah daerah. Salah satu hal yang menarik adalah urusan sosial merupakan salah
satu urusan wajib yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan merupakan
pelayanan dasar. Selama ini terkesan bahwa urusan sosial merupakan beban bagi
pemerintah daerah dan pemerintah daerah hanya mengutamakan pembiayaan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja
Negara (APBN) dari pemerintah pusat sehingga ada beberapa daerah mengembalikan
Panti Sosial ke Kementerian Sosial ataupun menggabungkan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan berbagai urusan lain.
Penelitian yang dilaksanakan oleh B2P3KS Yogyakarta menyimpulkan bahwa
masih lemahnya wawasan aparat daerah pada aspek visi, misi dan strategi pembangunan
kesejahteraan sosial, rendahnya wawasan penguasaan teknik dan metode pekerjaan sosial
maupun profesionalitas aparat sosial di daerah dalam antisipasi permasalahan sosial di
daerah (Cahyono, 2003). Aparat sosial di daerah relatif sedikit jika dibandingkan jumlah
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan belum mampu memanfaatkan
potensi dan sumber kesejahteraan sosial.
Adanya pembatasan jumlah dinas, berimplikasi terhadap penggabungan berbagai
instansi di tingkat kabupaten/kota, misalnya terdapat beberapa daerah instansi sosial
digabung dengan instansi lain menjadi Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial
(Disnakertransos) kondisi tersebut mempengaruhi skala prioritas pembangunan bidang
kesejahteraan sosial, karena masing-masing instansi yang telah digabung tersebut
memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda sehingga pemahaman aparat daerah akan
misi dan visi pembangunan kesejahteraan sosial pun berbeda pula. (Situmorang, 2012).

Otonomi Daerah dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah


Menurut UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, penyelenggaraan
pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan
Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah
pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta

[603]
peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Secara teoritis, desentralisasi mendekatkan jarak sosial antara pengambil kebijakan
dan publik yang merasakan dampak kebijakan itu. Pengambil kebijakan itu akan
merasakan dampak langsung kebijakan yang diambilnya. Karena itu, diharapkan
kebijakan yang diambil lebih sesuai dengan realitas yang sebenarnya dan ruang lebih
besar untuk partisipasi masyarakat (Satria, 2016).
Pada hakikatnya otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh perangkat
daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah
tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka
presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ada perbedaan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah pada UU No. 32
tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014 yaitu pada UU No. 32 tahun 2004, urusan
pemerintahan hanya terbagi dua yaitu urusan absolut dan urusan konkuren, sedangkan
pada UU No. 23 tahun 2014 urusan pemerintahan terbagi menjadi urusan absolut, urusan
pemerintahan umum dan urusan konkuren.
Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan absolut meliputi: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Pada
penyelenggaraan urusan pemerintahan absolut pemerintah pusat: melaksanakan sendiri
atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Gambar 1. Pembagian Urusan Pemerintahan

[604]
Urusan pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan
yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan umum di daerah melimpahkan kepada gubernur
sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai kepala
pemerintahan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan umum meliputi :
a. Pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka
memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta
pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa
c. Pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan
lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional
d. Penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan.
e. Koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada di wilayah
provinsi dan kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan;
f. Pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan
g. Pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan
daerah dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal.
Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/walikota di
wilayah kerja masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum
gubernur dan bupati/walikota dibantu oleh Instansi Vertikal. Dalam melaksanakan
urusan pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri dan bupati/walikota bertanggung jawab kepada Menteri melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi
daerah. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan
daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan pemerintahan
wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait
pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat.

[605]
Gambar 2 Urusan Pemerintahan Konkuren Kewenangan Daerah

Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi :


pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan
kawasan permukiman; ketenteraman; ketertiban umum; dan perlindungan masyarakat dan
sosial.
Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:
tenaga kerja; pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; pangan; pertanahan;
lingkungan hidup; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; pemberdayaan
masyarakat dan desa; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; perhubungan;
komunikasi dan informatika; koperasi, usaha kecil, dan menengah; penanaman modal;
kepemudaan dan olahraga; statistik; persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan
kearsipan. Urusan pemerintahan pilihan meliputi: kelautan dan perikanan; pariwisata;
pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian;
dan transmigrasi.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara daerah provinsi dengan daerah
kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota mempunyai urusan pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara pemerintah pusat, daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi,
dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Kriteria urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah :

[606]
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas negara;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas negara;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah provinsi
atau lintas negara;
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien pemerintah
pusat; dan/atau apabila dilakukan oleh
e. Urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Sedangkan kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
provinsi adalah :
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah provinsi.
Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah
kabupaten/kota dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum pada lampiran UU No. 23 tahun 2014
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang tersebut. Urusan
pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang tersebut
menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren. Urusan
pemerintahan konkuren ditetapkan dengan peraturan presiden. Perubahan terhadap
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan
pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/
kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat, diatur pada pasal 16
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria
(NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan dan Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kab/Kota dalam melaksanakan urusan pemerintah (misalkan bidang sosial)
berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).

Urusan Bidang Sosial


Urusan bidang sosial merupakan urusan pemerintahan konkuren bersifat wajib
pelayanan dasar. Pelaksanaan pelayanan dasar urusan sosial berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
Pemerintah pusat dalam hal urusan sosial, Kementerian Sosial RI menetapkan SPM dan
NSPK bidang sosial dan Pemerintah daerah melaksanakan SPM dan NSPK urusan sosial.
Dalam menetapkan NSPK urusan sosial memperhatikan urusan kewenangan masing-

[607]
masing pemerintahan berdasarkan lampiran UU No. 23 tahun 2014. Dalam menetapkan
SPM bidang sosial memperhatikan kewenangan pemerintah daerah dikarenakan
kewenangan itu akan terkait dengan pendanaan, personil dan kelembagaan di daerah.
Berdasarkan lampiran UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota untuk urusan pemerintahan bidang sosial 7 sub bidang menjadi urusan
konkuren yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan warga negara migran korban tindak
kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial, penanganan bencana,
taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi.

Urusan Bidang Sosial pada Sub-Urusan Rehabilitasi Sosial


Ada perubahan yang cukup mencolok pada urusan sosial sub bidang rehabilitasi
sosial yaitu perubahan tanggung jawab dalam melaksanakan rehabilitasi sosial. Selama
ini pemerintah pusat melalui panti sosial yang dimiliki dapat melakukan secara langsung
proses rehabilitasi sosial dengan sistem panti, namun berdasarkan pembagian urusan
konkuren ini yang melaksanakan rehabilitasi sosial adalah pemerintah provinsi.

Perlindungan dan Jaminan Sosial


Pada sub bidang perlindungan dan jaminan sosial, pengelolaan data fakir miskin
dilakukan secara berjenjang baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan
untuk penerbitan izin orangtua angkat, pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
pemberian izin pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga
Negara Asing (WNA), sedangkan izin orangtua angkat untuk pengangkatan anak antar
WNI dan pengangkatan anak oleh orangtua tunggal. Sedangkan untuk penghargaan dan
kesejahteraan keluarga pahlawan dan perintis kemerdekaan menjadi wewenang
pemerintah pusat.

Sertifikasi dan Akreditasi


Pada sub bidang sertifikasi dan akreditasi untuk pemberian sertifikasi kepada
pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial serta pemberian akreditasi
kepada lembaga kesejahteraan sosial sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Jika hal ini sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat menjadi suatu hal yang
tidak bermanfaat dicantumkan pada pembagian urusan konkuren antara pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Fungsi Pelayanan Panti


Fungsi pelayanan dalam panti suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN dan BUMD dalam bentuk
barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Pelayanan publik merupakan segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.

Tujuan Rehabilitasi Sosial


Tujuan rehabilitasi sosial adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri,
harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial baik terhadap dirinya, keluarga dan
masyarakat lingkungannya.

[608]
Berdasarkan konsep dan regulasi untuk pemenuhan kebutuhan penerima manfaat
atau penyandang disabilitas agar mereka dapat memulihkan kembali kepercayaan diri, harga
diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat
lingkungannya.
Panti sosial meruapakan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki
tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas SDM dan memberdayakan para
penyandang masalah kesejahteraan sosial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental,
maupun sosial, standar panti sosial sebagaimana tercantum di dalam Permensos Nomor:
50/HUK/2005 tentang Standarisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial.
Ketentuan tersebut memuat kondisi dan kinerja tertentu bagi penyelenggaraan sebuah
Panti Sosial dan atau lembaga pelayanan sosial.

Standar Panti
Ada 2 (dua) macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus.
Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu
dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Mencakup aspek
kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pembiayaan, pelayanan sosial
dasar, dan monitoring-evaluasi. Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang
memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial
dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti
sosial.
Sejak keluar Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 50/HUK/2004 tentang
Standardisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial, masih banyak ditemui
kendala dalam penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi Sosial bagi penyandang cacat
melalui sistem panti. Kondisi umum pelayanan dan rehabilitasi sosial masih menghadapi
kompleksitas masalah berdasarkan ragam permasalahan, sebaran dan penanganannya.
Selain itu masih terbatasnya sumber daya manusia, kualitas belum sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, kualitas pelayanan belum ada standar minimal, jangkauan
Pelayanan masih belum menyeluruh dan masih adanya stigmasi dalam masyarakat
terhadap penyandang cacat).

Perubahan Paradigma Rehabilitasi Sosial


Terjadi perubahan Paradigma Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dari sifatnya
pelayananan dan charity berubah menjadi perlindungan sosial dan jaminan sosial.
Perubahan paradigma diikuti dengan perubahan kebijakan tentang penanganan
penyandang disabilitas /cacat. Beberapa Kebijakan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial
sebagai berikut :
Optimalisasi fungsi Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial dengan mengoptimalkan fungsi UPT sebagai fungsi pelaksana pelayanan (service),
pengajaran (teaching) dan kajian (research). Perluasan jangkauan serta pemerataan
pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan optimalisasi UPT dan Unit Pelayanan Sosial
Keliling (UPSK).
Peningkatan koordinasi, kemitraan serta perluasan jaringan kerja, pelayanan dan
rehabilitasi sosial dengan melaksanakan rapat koordinasi antar instansi atau lembaga
terkait, pelibatan dan kerjasama dengan instansi atau lembaga terkait dan dunia usaha
dalam proses pelaksanaan kegiatan, pengembangan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Masyarakat (RSBM), penguatan institusi lokal, peningkatan fungsi. Kebijaksanaan di atas,
dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Nomor: 113/PRS/III/2005 tanggal 30 Maret 2005 tentang : “Peningkatan Kinerja Unit

[609]
Pelaksana Teknis (UPT) melalui Penyelenggaraan Multi layanan pada Lembaga Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial. Untuk memperkuat dan menunjang implementasi Surat Edaran
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Nomor: 113/PRS/III/2005 tanggal 30
Maret 2005 tentang : “Peningkatan Kinerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) melalui
Penyelenggaraan Multi Layanan pada Lembaga Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, maka
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 85/HUK/2007 tentang Pedoman
Pelaksanaan Ujicoba Multi Layanan pada Panti Sosial Penyandang Cacat (disabilitas).

Multi Layanan Panti


Multi layanan merupakan suatu proses pelayanan rehabilitasi sosial atau vokasional
penyandang disabilitas pada balai besar atau panti sosial yang diselenggarakan secara
profesional berdasarkan profesi pekerja sosial dan bidang profesi lainnya dimana penerima
manfaat berasal dari berbagai jenis kecacatan (Permensos Nomor: 85/HUK/2007). Kebijakan
multi layanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat (disabilitas) diarahkan pada
peningkatan, perluasan dan pemerataan usaha kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas.
Pemantapan administrasi data tentang penyandang disabilitas, yang meliputi
jumlah klien yang ditangani, jenis dan derajat kecacatan, penggalian sumber-sumber
potensi penyandang cacat, jenis pelayanan yang akan diberikan dan penyalurannya.
Penerapan metode dan teknik pekerjaan sosial dalam melaksanakan bimbingan sosial
bagi penyandang disabilitas dengan dukungan keluarga dan masyarakat demi
keberhasilan pelayanan serta integrasi penyandang disabilitas/cacat dalam lingkungan
sosialnya.
Pemantapan keterpaduan dengan instansi terkait yang dimaksudkan untuk
menyerasikan program pelayanan penyandang disabilitas dengan program terkait
lainnya. Pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional penerima layanan menggunakan
berbagai teknik penyembuhan dan terapi psikososial seperti: terapi berpusat pada
penerima manfaat (client-centered therapy), terapi perilaku (behavior therapy), terapi
keluarga (family therapy), dan terapi kelompok (group therapy).
Dalam penerapannya, penerima layanan diajak untuk mengetahui dan menyadari
masalahnya (problem awareness), membangun relasi, pemberian motivasi, memahami
masalah, penggalian strategi pemecahan masalah, pemilihan strategi hingga
implementasi strategi dimaksud, melalui: menciptakan iklim komunikasi yang
menyenangkan, memulai berbicara tentang permasalahan penyandang disabilitas,
mengakomodasi keluhan yang disampaikan penerima layanan, mengungkap perasaan
dan sikap penerima layanan yang dapat mengganggu keberfungsian sosialnya,
memberikan dukungan dan motivasi sosial kepada penerima layanan, menggunakan
pengalaman-pengalaman hidup yang positif dalam pelayanan rehabilitasi sosial dan
vokasional, menciptakan kegiatan yang kreatif, memanfaatkan sumber-sumber yang ada.
Komponen multi layanan sesuai Keputusan Menteri Sosial RI Nomor :
85/HUK/2007 adalah kriteria penerima manfaat, karakteristik penyelenggaraan multi
layanan, ruang lingkup, tugas dan tanggung jawab, kebijakan, prinsip, metode dan teknik
pelayanan. Pelaksanaan multi layanan (persiapan, pengembangan pelayanan, supervisi,
monitoring dan pelaporan).
Dasar yang digunakan dalam menganalisis penyelenggaraan pelayanan sesuai
dengan Kepmen Nomor: 50/HUK/2004 adalah enam komponen yang harus dimiliki
panti sosial terdiri: kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pelayanan dasar sosial, monitoring dan evaluasi

[610]
Sehubungan dengan Surat Surat Ditjen Bina Bangda Kemendagri No.
005/3377/V/Bangda tgl 12 Nov 2015h Hal: Inventarisasi Kewenangan Berdasarkan UU
No. 23 Tahun 2014 yang memerlukan pengalihan Personil, Sarana Prasarana dan
Pembiayaan, perlu dilakukan pembahasan mengenai status “Panti Sosial yang
memberikan pelayanan lintas provinsi kepada penerima layanan”.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan daerah
provinsi serta daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi
dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional.
Berdasarkan prinsip, kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat adalah Urusan Pemerintahan yang lokasinya, penggunanya,
manfaatnya lintas daerah provinsi atau lintas negara serta penggunaan sumber dayanya
lebih efisien bila dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
Perlu dibahas bersama mengenai status dari 38 Panti di internal Kementerian Sosial
RI dengan melibatkan unsur-unsur Ditjen Rehabilitasi Sosial (Bagian OHH, Bagian PP,
Direktorat-Direktorat di lingkup Ditjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI) dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kajian Hukum, Biro Organisasi dan
Kepegawaian, Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
Kementerian atau lembaga pemerintah non Kementerian bersama Pemerintah
Daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang diprioritaskan oleh setiap daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota, Kementerian Sosial berdasarkan peraturan
Perundang-undangan, urusan bidang sosial adalah urusan wajib berkaitan dengan
pelayanan dasar maka berdasarkan hal tersebut, seharusnya Bidang Sosial tidak
dilakukan pemetaan urusan. Hal tersebut perlu dibahas dengan Ditjen Bina Bangda
Kementerian Dalam Negeri RI.
Pembahasan mengenai klarifikasi dari surat pengalihan P3D dan pemetaan urusan
terkait dengan tipologi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Bidang Sosial di provinsi
dan Kabupaten/Kota, berdasarkan hasil dari uji-coba pada bulan Oktober 2015 di
beberapa daerah provinsi dan kab/kota.

Teknik
Pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional penyandang disabilitas menggunakan
berbagai teknik penyembuhan dan terapi psikososial seperti: terapi berpusat pada
penerima manfaat (client-centered therapy), terapi perilaku (behavior therapy), terapi
keluarga (family therapy), dan terapi kelompok (group therapy).
Dalam penerapannya, penyandang disabilitas diajak untuk mengetahui dan
menyadari masalahnya (problem aware ness), membangun relasi, pemberian motivasi,
memahami masalah, penggalian strategi pemecahan masalah, pemilihan strategi hingga
implementasi strategi dimaksud. Untuk itu, secara sederhana dapat dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Menciptakan iklim komunikasi yang menyenangkan.
2. Memulai berbicara tentang permasalahan penyandang disabilitas.
3. Mengakomodasi keluhan yang disampaikan penyandang disabilitas.
4. Mengungkap perasaan dan sikap penyandang disabilitas yang dapat mengganggu
keberfungsian sosialnya.
5. Memberikan dukungan dan motivasi sosial kepada penyandang disabilitas.

[611]
6. Menggunakan pengalaman-pengalaman hidup yang positif dalam pelayanan
rehabilitasi sosial dan vokasional.
7. Menciptakan kegiatan yang kreatif.
8. Memanfaatkan sumber-sumber yang ada.
Komponen multi layanan sesuai Keputusan Menteri Sosial RI Nomor:
85/HUK/2007 adalah kriteria penerima manfaat, karakteristik penyelenggaraan multi
layanan, ruang lingkup, tugas dan tanggung jawab, kebijakan, prinsip, metode dan teknik
pelayanan. Pelaksanaan multi layanan (persiapan, pengembangan pelayanan, supervisi,
monitoring dan pelaporan).
Dasar yang digunakan dalam menganalisis penyelenggaraan pelayanan sesuai
dengan Kepmen Nomor: 50/HUK/2004 adalah enam komponen yang harus dimiliki
panti sosial terdiri: kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pelayanan dasar sosial, monitoring dan evaluasi seperti digambarkan pada
bagan di berikut ini :
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Kesejahteraan Sosial (Puslitbang
Kesos) Tahun 2010 yang menggunakan pendekatan quasi kualitatif dengan maksud
untuk mengidentifikasi pelaksanaan multi layanan di enam panti yang menjadi lokus
penelitian. Penentuan informan secara purposive berdasarkan Panti Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial atau Vokasional Penyandang Disabilitas yang diberi kesempatan
melaksanakan ujicoba Pelayanan Pola Multi layanan Peraturan Menteri Sosial nomor
85/HUK/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan ujicoba Pola Multi Layanan pada Panti
Sosial Penyandang Disabilitas dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Nomor 113/III/PRS/2005 Berdasarkan locus penelitian di Balai Besar
Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong Jawa Barat, Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Bina Grahita “Kartini” Temanggung Jawa Tengah, Panti Sosial Bina Netra “Mahatmiya”
Bali, Panti Sosial Bina Netra “Wirajaya” Sulawesi Selatan, Panti Sosial Bina Netra “To
Mou Tou” Manado Sulawesi Utara, dan Panti Sosial Bina Laras “Suka Waras” Lombok
Tengah Nusa Tenggara Barat. Penentuan informan secara purposive berdasarkan
pengetahuan tentang penyelenggaraan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas, sesuai rekomendasi Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial No. 113/PRS/III/2005 tanggal 30 Maret 2005 tentang: “Peningkatan
Kinerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) melalui Penyelenggaraan Multi Layanan pada Lembaga
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
Berdasarkan temuan di lapangan dan hasil wawancara secara garis besar dapat
disimpulkan beberapa item antara lain :
1. Kesiapan kelembagaan dari Panti Sosial Penyandang Disabilitas memiliki struktur
organisasi berbeda sesuai eselonisasi dan mekanisme berbeda. Struktur organisasi
sesuai tipe panti sosial atau balai. Mekanisme kerja tidak berbeda jauh karena
menggunakan panduan tentang pelaksanaan panti sosial. Hanya ada beberapa
panti sosial dalam kondisi tertentu kepala panti dapat mengeluarkan kebijakan agar
program tetap berjalan.
2. Kesiapan sumber daya manusia dari lembaga pelayanan dan rehabilitasi sosial
untuk melaksanakan Program Multi Layanan. Bagi program multi layanan berbeda
sasaran penerima manfaat namun masih sama PMKS (tuna netra dan tuna rungu
wicara, tuna netra dan disabilitas tubuh, tuna netra tuna daksa) membutuhkan
kesiapan sumber daya manusia khususnya dalam memahami dan mengenal
katakteristik masing-masing jenis kedisabilitasan. Sumber daya manusia yang harus
memiliki pengetahuan tentang karakteristik penyandang disabilitas sesuai jenis
kedisabilitasan. Kesiapan lainnya adalah keterampilan berkomunikasi dan interaksi

[612]
dengan para penerima manfaat khususnya harus memiliki keterampilan bahasa
isyarat.

Alih Fungsi Panti


Alih Fungsi Panti melaksanakan rehabilitasi sosial kepada orang dengan HIV, meliputi:
1. Peraturan Menteri Sosial RI No. 15 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Panti
Sosial Rehabilitasi Sosial “Kahuripan” di Sukabumi.
2. Peraturan Menteri Sosial RI No. 16 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Panti
Sosial Rehabilitasi Sosial “Margo Laras” di Pati
3. Peraturan Menteri Sosial RI No. 17 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Panti
Sosial Rehabilitasi Sosial “Bahagia” di Medan
4. Peraturan Menteri Sosial RI No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Panti
Sosial Rehabilitasi Sosial “Satria” di Baturaden
5. Peraturan Menteri Sosial RI No. 19 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Panti
Sosial Rehabilitasi Sosial “Wasana Bahagia” di Ternate
Berdasarkan Surat A.n Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor:
115/RS-Set.RS/KS.02/02/2017 tanggal 22 Februari 2017, hal: rapat koordinasi bidang
organisasi dan ketatalaksanaan internal terkait penyusunan draf uraian tugas 4 (empat)
UPT Alih Fungsi dan 1 (satu) UPT baru dibentuk.
Sangat menarik untuk mengkaji implikasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial terkait
dengan sub-bidang rehabilitasi sosial. Dengan adanya analisa ini diharapkan dapat
memberikan referensi tentang peluang dan tantangan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial khususnya bagi Kementerian Sosial maupun Pemerintah Daerah sehingga
efektivitas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Data yang diperoleh untuk penelitian
ini berupa data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka dan teknik dokumentasi.

Kesimpulan
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tersebut urusan sosial merupakan
urusan wajib dan pelayanan dasar yang diselenggarakan pemerintah daerah. Pada
urusan konkuren yaitu yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
untuk urusan sosial dibagi menjadi 7 sub bidang yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan
warga negara migran korban tindak kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan
jaminan sosial, penanganan bencana, taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi.
Pada sub bidang rehabilitasi sosial penyelenggaraan berbasis panti selain Rehabilitasi
bekas korban penyalahgunaan NAPZA dan orang dengan HIV/AIDS dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu diperlukan penyiapan pengalihan panti sosial UPT
Kementerian Sosial RI ke Pemerintah Provinsi.
Dinas sosial diklasifikasikan menjadi tipe A, B dan C berdasarkan pemetaan urusan
sosial yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dari 34 Provinsi sebanyak 26
Provinsi (76,47 persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial. Hasilnya sebanyak 69,23
persen termasuk Tipe dinas A, 11,54 persen masuk tipe Dinas B dan 19,23 persen
termasuk tipe dinas C. Sedangkan untuk kabupaten/kota dari 511 kabupaten/kota,
sebanyak 366 (71,62 persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial dengan hasil
sebanyak 42,08 persen termasuk dinas tipe A, sedangkan 34,43 persen termasuk dinas tipe
B dan sebanyak 23,5 persen termasuk dinas tipe C. Dengan demikian Dinas Sosial
Provinsi saat lebih banyak berdiri sendiri dan tidak digabung dengan urusan lain jika
dibandingkan dengan Dinas sosial kabupaten/kota.

[613]
Kajian ini merekomendasikan Kementerian Sosial menyusun SPM dan NSPK sesuai
dengan kewenangannya dan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
menyesuaikan dengan amanah Undang-Undang tersebut khususnya untuk peralihan
panti sosial UPT Kementerian Sosial.

Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas maka diusulkan beberapa rekomendasi :
1. Bagi pembuat regulasi di Kementerian Sosial Republik Indonesia, dalam menentukan
dan menyusun kebijakan Kementerian Sosial RI harus diawali dengan pengkajian
publik dan analisis publik atas kebijakan tersebut sehingga kebijakan Kementerian
Sosial tersebut mudah implementasinya.
2. Upaya peningkatan kualitas panti sosial dan peningkatan profesionalisasi harus
mengacu pada Kepmen No. 50/HUK/2004 tentang standarisasi Panti dan Pedoman
akreditasi panti sosial, dengan catatan Kepmen tersebut harus direvisi beberapa item
untuk uji kinerja Multi Layanan PACA 153
3. Perlu dilaksanakan analisis kebijakan Kepmen No. 85/HUK/2007 tentang Pedoman
ujicoba Pelaksanaan Multi layanan pada Panti Sosial Penyandang Disabilitas dan
selanjutkan diikuti dengan penetapan regulasi dari Kementerian Sosial c.q. Dirjen PRS
untuk menetapkan Kepmensos No. 85/HUK/2007 sebagai Pedoman Pelaksanaan
Multi Layanan.
4. Sesuai tugas Undang-Undang Nomor 11 tentang Kesejahteraan Sosial, maka Tugas
Pokok Kementerian Sosial RI adalah menetapkan kebijakan program kesejahteraan
sosial dan penyusunan standarisasi pelayanan kesejahteraan sosial.
5. Apabila Pola Multi Layanan akan dijadikan Model Pelayanan Kesejahteraan Sosial
dengan sistem multi layanan maka diperlukan peningkatan sumber daya manusia
sesuai dengan pola pelayanan, peningkatan sarana dan prasarana (khususnya
aksesibilitas), dan alokasi dana.
6. Rekomendasi kepada Kepala PUSDIKLAT, melaksanakan Peningkatan sumber daya
manusia (capacity building) khusus untuk profesionalisme pelayanan kesejahteraan
sosial dan penyusunan modul pelatihan bagi tenaga tehnis sesuai dengan jenis
kedisabilitasan atau jenis PMKS.
7. Kepada Ditjen PRS, apabila Multi Layanan akan dijadikan model untuk peningkatan
kualitas dan jangkauan pelayanan kesejahteraan sosial maka hendaknya dilakukan
sosialisasi Surat Edaran Ditjen Nomor 113.III/PRS/2004 dan PerMensos nomor
85/HUK/2007 terhadap seluruh panti sosial milik Kementerian Sosial RI, sosialisasi
kepada Kantor Dinas Provinsi dan Kabupaten atau Kota tentang persamaan persepsi
konsep Multi layanan
8. Perlu adanya MOU dengan instansi lain ataupun wiraswasta untuk meningkatkan
kualitas pelayanan dan pemberdayaan penerima manfaat setelah diberi pelatihan.
9. Perlunya penataan regulasi, sesuai dengan agenda Pembangunan Kesejahteraan
Rakyat, Percepatan Pengurangan Kemiskinan dengan arah kebijakan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 perlindungan sosial yang
komprehensif.
10. Strategi yang dilakukan meningkatkan penataan asistensi sosial melalui penataan dan
komplementaritas berbagai skema asistensi sosial berbasis siklus hidup yang
mendukung peningkatan kapasitas keluarga miskin, terutama yang memiliki anak,

[614]
penyandang disabilitas, dan/atau lansia, penguatan rehabilitasi sosial berbasis
komunitas dan menjadikan rehabilitasi melalui panti/institusi menjadi alternatif
terakhir, penataan bantuan sosial sementara yang mendukung pengelolaan dampak
bencana sosial, alam, dan guncangan ekonomi secara terintegratif.
11. Penataan bantuan beras untuk rumah tangga berpenghasilan rendah (Raskin), yang
akan difokuskan untuk keluarga miskin dan penguatan peran Pemerintah Daerah;
pengembangan sistem rujukan terpadu di tingkat daerah, meliputi pemutakhiran basis
data terpadu yang lebih reguler dan partisipatif, pengembangan rujukan layanan dan
pengaduan, serta peningkatan kapasitas pekerja sosial/pendamping daerah; dan
standardisasi pelayanan minimum dan pengembangan inovasi layanan lembaga
kesejahteraan sosial (LKS) dan pekerja sosial.
12. Ratifikasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
yang merupakan komitmen dengan dunia internasional terhadap perlindungan sosial
lanjut usia. Direktorat penanggung jawab adalah Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut
Usia, Ditjen Rehabilitasi Sosial.
13. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1986 tentang Gelandangan dan
Pengemis yang merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Direktorat penanggung jawab adalah
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Ditjen Rehabilitasi Sosial.
14. Rancangan Peraturan Presiden tentang Persyaratan dan Tata Cara serta Jumlah
Pemberian Uang Tunai Bantuan Langsung Berkelanjutan yang merupakan amanat
dari Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial. Direktorat penanggung jawab adalah Direktorat Pelayanan Sosial
Lanjut Usia, Ditjen Rehabilitasi Sosial.
15. Rancangan Peraturan Presiden tentang Persyaratan dan Tata Cara serta Besaran
Tunjangan Berkelanjutan bagi Perintis Kemerdekaan dan Keluarga Pahlawan yang
merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Direktorat penanggung jawab adalah
Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan
Kedisabilitasan, Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Ditjen Rehabilitasi Sosial.
16. Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penanganan Fakir
Miskin yang melibatkan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah Provinsi serta
Kabupaten/Kota yang merupakan amanat dari yang merupakan amanat dari
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial. Direktorat penanggung jawab adalah Direktorat Pemberdayaan Kemiskinan
Perkotaan dan Direktorat Pemberdayaan Kemiskinan Pedesaan, Ditjen Dayasos dan
Gulkin.
17. Pengembangan sistem rujukan terpadu di tingkat daerah yang secara tersirat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin, data terpadu bagi fakir miskin menjadi tanggung jawab Menteri Sosial.
18. Rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang Pelayanan Rehabilitasi Sosial terhadap
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di luar panti atau lembaga dengan
urgensi peraturan untuk perluasan jangkauan terhadap pelayanan rehabilitasi sosial di
luar panti atau lembaga. Unit Kerja yang bertanggung jawab adalah Sekretariat
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial bagian hukum dengan seluruh Direktorat di
Lingkungan Ditjen Rehabilitasi Sosial

[615]
19. Revisi Peraturan Menteri Sosial Nomor 129/HUK/2008 tentang Standar pelayanan
Minimal bidang sosial di daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dengan urgensi:
a) adanya Rencana Aksi Nasional Standar Pelayanan Minimal Tahun 2018-2004.

[616]
Daftar Pustaka

Astuti, M. (2014). Reformasi Pelayanan Panti Sosial. Informasi, 135-149.


Azof, E. (2010, 11 20). SDM Terbatas, Panti Sosial Minim Kualitas. Dipetik 3 21, 2013, dari
Acakadul: http://acakadul.wordpress.com/2010/11/20/sdm-terbatas-panti-
sosial-minim-kualitas/
Biro Organisasi dan Kepegawaian. (2016, Februari 1). Diambil kembali dari Sistem
Informasi Kepegawaian Kementerian Sosial RI:
http://simpeg.kemsos.go.id/index.php?act=login1
Cahyono, S. A. (2003). Pengkajian Standarisasi Profesionalitas Aparat Sosial Daerah di Era
Otonomi dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: B2P3KS .
Cheema, R. a. (1983). Decentralization in Developing Countries A Review of Recent Experience.
Washington DC: World Bank.
Desy Ayu Krisna Murti, d. (t.thn.). Pengantar Kajian Perkotaan dan Permukiman. Dipetik 4
19, 2013, dari https://wiki.uii.ac.id:
https://wiki.uii.ac.id/images/5/58/Tugas_diskusi.pdf
Handayani, R. (2011). Analisis Partisipasi Masyarakat dan Peran Pemerintah Daerah
Dalam Pelaksanaan Manajemen Bencana di Kabupaten Serang Provinsi Banten.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 (pp. 204-214). Serang: LAB-
ANE FISIP Untirta.
Hikmat, H. (2012, 11 12). Analisa Kebijakan Pengembangan Panti Sosial. Jakarta.
J Piliang, d. (2003). Otonomi daerah: Evaluasi Proyeksi. Jakarta: Divisi kajian demokrasi
lokal, Yayasan Harkat Bangsa.
Kaho, J. R. (1988). Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara.
Kemendagri. (2016, Februari 22). Kemendagri. Retrieved from
http://fasilitasi.otda.kemendagri.go.id/
Purwanto. (2005). Peran Panti Sosial Dalam Penanganan Penyandang Masalah Sosial
Perkotaan. Program Magister (S2) Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia .
Satria, A. (2016). Kelautan Setelah Ada UU Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kompas.
Situmorang, C. H. (2012). Penerapan Standar Pelayanan Minimum Bidang sosial di daerah.
jurnal penelitian kesejahteraan sosial, 150.
Sutaat. (2012). Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Daerah di Era Otonomi
(Studi di Tiga Provinsi). Jakarta: P3KS Prss.
UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Widjaja. (1998). Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: Rinneka Cipta.
Syauqi
Analis Kebijakan Madya
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI

[617]
TELAAHAN

Ditujukan kepada: Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial


Disampaikan oleh: Syauqi (Fungsional Analis Kebijakan Madya)
Hal : Telaahan Naskah Akademik Draft Awal Petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Sosial
Tanggal : 8 Desember 2015

Pertemuan Focuss Group Discussion (FGD) Koordinasi Strategis Penerapan Standar


Pelayanan Minimal (SPM), pada tanggal 18 Agustus 2015 pukul 08.30 WIB di Ruang
Rapat Proklamasi 1-2 Gedung Pusdiklatren Bappenas, Jl. Proklamasi No. 70 Jakarta Pusat,
berdasarkan Surat Tugas Kepala Biro Perencanaan No. 1185/PER-Evalap/08/2015
tanggal 14 Agustus 2015 dan berdasarkan Surat Tugas Kepala Biro Perencanaan No.
1185/PER-Evalap/08/2015 tanggal 14 Agustus 2015.
Tindaklanjut dari Surat Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian
Dalam Negeri No. 005/2424/11/Bangda tanggal 8 Oktober 2015, Perihal: Penyusunan
Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dengan Kementerian/Lembaga pada tanggal 15-17 Oktober
2015 di Golden Boutique Hotel yang dilanjutkan dengan pertemuan lanjutan dengan
dasar Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda No. 005/2560/11/Bangda tanggal 15 Oktober
2015 dengan pertemuan di Hotel Acacia Jakarta Pusat tanggal 19-21 Oktober 2015.
Kemudian pembahasan draft Rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang Petunjuk
Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial berdasarkan
 Surat Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial, No. 1974/PER-AK/X/2015,
tanggal 7 Oktober 2015, Hal: Pembahasan Rancangan Revisi SPM Bidang Sosial
Antar K/L Dengan Daerah;
 Advokasi dan Asistensi Teknis Renstra serta draft Revisi SPM Bidang Sosial Tahun
2015;
 Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian PPN/
Bappenas, No. 7458/Dt.3.4/11/2015, tanggal 5 November 2015 Hal: Penyampaian
dokumen rekomendasi revisi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial.
Draft Awal Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial bekerjasama dengan Bapak
Harmada yang mewakili Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan kawan-
kawan serta dibantu oleh Mahasiswa Universitas Brawijaya yang sedang magang. Draft
awal Petunjuk Teknis Rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang SPM Bidang Sosial
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, mulai disusun pada 8 Desember Tahun
2015.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar, pada Pasal meliputi:
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan
kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
dan sosial.
Kemudian pada Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ketentuan

[619]
lebih lanjut mengenai Standar Pelayanan Minimal diatur dengan peraturan pemerintah.
Belanja Daerah pada Pasal 298, diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal.

LAMPIRAN
• Naskah Akademik; dan
• Draft Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial di daerah
Provinsi dan di daerah Kabupaten/Kota.
Dasar Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Sosial
tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial:
Pertemuan Focuss Group Discussion (FGD) Koordinasi Strategis Penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM), pada tanggal 18 Agustus 2015 pukul 08.30 WIB di Ruang
Rapat Proklamasi 1-2 Gedung Pusdiklatren Bappenas, Jl. Proklamasi No. 70 Jakarta Pusat,
berdasarkan Surat Tugas Kepala Biro Perencanaan No. 1185/PER-Evalap/08/2015
tanggal 14 Agustus 2015.
Tindaklanjut dari Surat Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian
Dalam Negeri No. 005/2424/11/Bangda tanggal 8 Oktober 2015, Perihal: Penyusunan
Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dengan Kementerian/Lembaga pada tanggal 15-17 Oktober
2015 di Golden Boutique Hotel yang dilanjutkan dengan pertemuan lanjutan dengan
dasar Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda No. 005/2560/11/Bangda tanggal 15 Oktober
2015 dengan pertemuan di Hotel Acacia Jakarta Pusat tanggal 19-21 Oktober 2015.
Kemudian pembahasan draft Rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang Petunjuk
Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial berdasarkan :
• Surat Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Sosial, No. 1974/PER-AK/X/2015,
tanggal 7 Oktober 2015, Hal: Pembahasan Rancangan Revisi SPM Bidang Sosial
Antar K/L Dengan Daerah;
• Advokasi dan Asistensi Teknis Renstra serta draft Revisi SPM Bidang Sosial Tahun
2015;
• Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian
PPN/Bappenas, No. 7458/Dt.3.4/11/2015, tanggal 5 November 2015 Hal:
Penyampaian dokumen rekomendasi revisi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Sosial;
• Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa
Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan
penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.
• Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Sosial
di daerah dan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Sosial.

[620]
NASKAH AKADEMIK / NASKAH URGENSI

RANCANGAN PERATURAN MENTERI SOSIAL TENTANG

PEDOMAN INTENSITAS DAN BEBAN KERJA


PADA UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PANTI SOSIAL
PEMERINTAHAN URUSAN BIDANG SOSIAL

SYAUQI
ANALIS KEBIJAKAN MADYA

BIRO PERENCANAAN
KEMENTERIAN SOSIAL RI
APRIL 2017

[621]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk tercapainya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur
Pemerintah Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri
berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran
perumus Standar Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
sehingga dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Standar Kompetensi.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 24
bahwa Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama Pemerintah
Daerah melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh
setiap Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan ditetapkan dengan peraturan
menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pemetaan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dilakukan untuk
menentukan intensitas Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat,
diatur pada pasal 16 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan norma, standar,
prosedur, kriteria (NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan dan
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota dalam melaksanakan urusan pemerintah
(misalkan bidang sosial) berpedoman pada NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK
Bidang Sosial).
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya
dukungan personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi
yang diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai
birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
pada Pasal 14 ayat (1) dari PP 18/2016 disebutkan bahwa dinas daerah provinsi
dibedakan dalam 3 (tiga) tipe. Tipe dinas Daerah provinsi terdiri atas: a. dinas Daerah
provinsi tipe A untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah provinsi dengan
beban kerja yang besar; b. dinas Daerah provinsi tipe B untuk mewadahi pelaksanaan
fungsi dinas Daerah provinsi dengan beban kerja yang sedang; dan c. dinas Daerah

[623]
provinsi tipe C untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah provinsi dengan
beban kerja yang kecil.
Pada Pasal 15 PP 18/2016 disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan terdiri dari
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan
Wajib terdiri atas: a. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar; dan b. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar terdiri
atas: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d.
perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman dan ketertiban umum
serta perlindungan masyarakat; dan f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
terdiri atas: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c.
pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk
dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi,
usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olahraga; n.
statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan terdiri atas: a. kelautan dan perikanan; b.
pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f.
perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. Masing-masing Urusan
Pemerintahan diwadahi dalam bentuk dinas Daerah provinsi.
PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 18 disebutkan bahwa dalam
hal berdasarkan perhitungan nilai variabel bahwa suatu Urusan Pemerintahan tidak
memenuhi syarat untuk dibentuk dinas Daerah provinsi sendiri, Urusan Pemerintahan
tersebut digabung dengan dinas lain. Dalam hal berdasarkan hasil perhitungan nilai
variabel teknis Urusan Pemerintahan memperoleh nilai 0 (nol),
Urusan Pemerintahan tersebut tidak diwadahi dalam unit organisasi Perangkat
Daerah. Penggabungan Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) dinas Daerah provinsi
didasarkan pada perumpunan Urusan Pemerintahan dengan kriteria: a. kedekatan
karakteristik Urusan Pemerintahan; dan/atau b. keterkaitan antar penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan.
Perumpunan Urusan Pemerintahan meliputi: a. pendidikan, kebudayaan,
kepemudaan dan olahraga, serta pariwisata; b. kesehatan, sosial, pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, pengendalian penduduk dan keluarga
berencana, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil serta pemberdayaan
masyarakat dan Desa; c. ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan
masyarakat, sub urusan ketenteraman dan ketertiban umum dan sub urusan
kebakaran; d. penanaman modal, koperasi, usaha kecil dan menengah, perindustrian,
perdagangan, energi dan sumber daya mineral, transmigrasi, dan tenaga kerja; e.
komunikasi dan informatika, statistik, dan persandian; f. perumahan dan kawasan
permukiman, pekerjaan umum dan penataan ruang, pertanahan, perhubungan,
lingkungan hidup, kehutanan, pangan, pertanian, serta kelautan dan perikanan; dan g.
perpustakaan dan kearsipan.
Penggabungan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) Urusan Pemerintahan. Tipelogi dinas hasil
penggabungan Urusan Pemerintahan dapat dinaikkan 1 (satu) tingkat lebih tinggi atau
mendapat tambahan 1 (satu) bidang apabila mendapatkan tambahan bidang baru dari

[624]
Urusan Pemerintahan yang digabungkan. Nomenklatur dinas yang mendapatkan
tambahan bidang Urusan Pemerintahan merupakan nomenklatur dinas dari Urusan
Pemerintahan yang berdiri sendiri sebelum penggabungan.
Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel tidak terdapat Urusan
Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas, Urusan Pemerintahan tersebut dapat
digabung menjadi 1 (satu) dinas tipe C sepanjang paling sedikit memperoleh 2 (dua)
bidang. Nomenklatur dinas mencerminkan Urusan Pemerintahan yang digabung.
Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel tidak terdapat Urusan
Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun yang memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas
atau bidang, fungsi tersebut dilaksanakan oleh sekretariat Daerah dengan menambah 1
(satu) subbagian pada unit kerja yang mengoordinasikan Urusan Pemerintahan yang
terkait dengan fungsi tersebut.
Pengisian Jabatan Perangkat Daerah Pasal 98 bahwa Perangkat Daerah diisi oleh
pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
undangan. Pegawai aparatur sipil negara yang menduduki jabatan pimpinan tinggi,
jabatan administrator, dan jabatan pengawas pada Perangkat Daerah wajib
memenuhi persyaratan kompetensi: a. teknis; b. manajerial; dan c. sosial kultural.
Selain memenuhi kompetensi, pegawai aparatur sipil negara yang menduduki
jabatan Perangkat Daerah harus memenuhi kompetensi pemerintahan. Kompetensi
teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional,
dan pengalaman bekerja secara teknis yang dibuktikan dengan sertifikasi. Kompetensi
manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan
pengalaman kepemimpinan.
Kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki
wawasan kebangsaan.
Kompetensi teknis ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga pemerintah
nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan ditetapkan oleh Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikasi. Sertifikasi dilaksanakan oleh
suatu lembaga sertifikasi yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi
penyelenggara pemerintahan dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi pemerintahan
diatur dengan Peraturan Menteri.
PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 110 disebutkan bahwa
pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah provinsi dilakukan oleh
Menteri (Menteri Dalam Negeri). Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat
Daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pada Pasal 111 pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah
dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
simplifikasi dalam penataan Perangkat Daerah.
Kompetensi pemerintahan pada Pasal 98 Ayat (3) antara lain kompetensi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terkait dengan kebijakan Desentralisasi,
hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, pemerintahan umum, pengelolaan
keuangan Daerah, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,
hubungan Pemerintah Daerah dengan DPRD, serta etika pemerintahan. Pada Pasal 99
yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan Perundang-undangan” adalah Undang-

[625]
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan
Perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Pada Pasal 105 Ayat (5) yang
dimaksud dengan ”Menteri menyampaikan rencana pemetaan kepada kementerian/
lembaga pemerintah nonkementerian untuk melaksanakan pemetaan Urusan
Pemerintahan” adalah Menteri memfasilitasi dan mengoordinasikan pertemuan
Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian untuk melaksanakan verifikasi data dari kabupaten/kota
masing-masing dengan menggunakan sistem informasi pemetaan Urusan
Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat Daerah.
Pemetaan Urusan Pemerintahan dan nomenklatur dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang intensitas Urusan Pemerintahan Wajib dan potensi Urusan
Pemerintahan Pilihan serta beban kerja penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.
Pemetaan Urusan Pemerintahan digunakan untuk menentukan susunan dan tipe
Perangkat Daerah.
Kriteria variabel dalam tata cara pemetaan pada Pasal 105 Pemerintah Daerah
menyusun rencana pemetaan Urusan Pemerintahan dengan berkonsultasi kepada
Menteri dan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Gubernur
selaku wakil Pemerintah Pusat mengoordinasikan penyusunan rencana pemetaan
Urusan Pemerintahan bagi kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsinya.
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengintegrasikan rencana pemetaan Urusan
Pemeritahan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsinya dengan rencana pemetaan
Urusan Pemerintahan Daerah provinsi.
Gubernur menyampaikan rencana pemetaan Urusan Pemerintahan yang
terintegrasi kepada Menteri. Menteri menyampaikan rencana pemetaan kepada
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melaksanakan pemetaan
Urusan Pemerintahan. Menteri dan kementerian/lembaga pemerintah non
kementerian melakukan pendampingan dan konsultasi kepada Pemerintah Daerah
dalam melakukan pemetaan berdasarkan rencana.
Untuk membantu kelancaran pemetaan Urusan Pemerintahan di Pasal 106 PP
18/2016, bahwa Menteri mengembangkan sistem informasi pemetaan Urusan
Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat Daerah. Sistem informasi
pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat Daerah
digunakan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan Pemerintah
Daerah untuk pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat
Daerah.
Pemetaan Urusan Pemerintahan pada PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah di
bagian ketiga hasil Pemetaan Pasal 107 bahwa hasil ditentukan berdasarkan hasil
perhitungan nilai variabel Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota setelah dikalikan dengan faktor kesulitan geografis. Kesulitan
geografis ditentukan dengan klasifikasi sebagai berikut: a. provinsi dan kabupaten di
Jawa dan Bali dikalikan 1 (satu); b. provinsi dan kabupaten di Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi serta kota di seluruh wilayah dikalikan 1,1 (satu koma satu); c. provinsi
dan kabupaten di Nusa Tenggara dan Maluku dikalikan 1,2 (satu koma dua); d.
provinsi dan kabupaten di Papua dikalikan 1,4 (satu koma empat); e. Daerah provinsi
dan kabupaten/kota berciri kepulauan dikalikan 1,4 (satu koma empat); f.
kabupaten/kota di Daerah perbatasan darat Negara dikalikan 1,4 (satu koma empat);
dan g. kabupaten/kota di pulau-pulau terluar di Daerah perbatasan dikalikan 1,5 (satu
koma lima).

[626]
Dalam hal suatu Daerah masuk dalam 2 (dua) klasifikasi atau lebih, Daerah
dimaksud dapat memilih faktor kesulitan geografis terbesar. Perkalian hasil
perhitungan nilai variabel Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dengan faktor kesulitan geografis tidak berlaku bagi sekretariat
DPRD, Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota bidang kearsipan
dan persandian, Urusan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota bidang kehutanan,
serta bidang energi dan sumber daya mineral.
Hasil pemetaan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah
nonkementerian setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pada Pasal 108
Penyelenggara Pemerintahan Daerah menggunakan hasil pemetaan Urusan
Pemerintahan dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Penggunaan hasil pemetaan untuk perencanaan dan penganggaran dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian menggunakan hasil pemetaan untuk pembinaan teknis kepada
Daerah secara nasional.
Bagian Keempat Nomenklatur Perangkat Daerah pada Pasal 109 disebutkan
bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah menetapkan nomenklatur Perangkat
Daerah dan unit kerja pada Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pedoman dari kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang membidangi Urusan Pemerintahan tersebut.
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian menetapkan pedoman
nomenklatur Perangkat Daerah dan unit kerja pada Perangkat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan pendekatan fungsi pada setiap sub urusan dan
kewenangan dari Urusan Pemerintahan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Menteri menetapkan pedoman nomenklatur dan unit kerja sekretariat Daerah,
sekretariat DPRD, inspektorat, unit pelayanan terpadu satu pintu, badan, serta
nomenklatur dan unit kerja dinas yang melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diselenggarakan oleh lebih dari 1 (satu) kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian.
Pembinaan dan Pengendalian Perangkat Daerah dalam PP 18/2016 tentang
Perangkat Daerah diatur pada Bab X pada Pasal 110 bahwa Pembinaan dan
pengendalian penataan Perangkat Daerah provinsi dilakukan oleh Menteri.
Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah kabupaten/kota dilakukan
oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah dilaksanakan dengan
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam
penataan Perangkat Daerah. Pembinaan penataan Perangkat Daerah, meliputi: a.
struktur organisasi; b. budaya organisasi; dan c. inovasi organisasi.
Menteri melakukan penilaian kepada Perangkat Daerah provinsi dan gubernur
melakukan penilaian kepada Perangkat Daerah kabupaten/kota pada Pasal 112
disebutkan, yang memiliki inovasi dalam penataan dan pengelolaan organisasi.
Penghargaan terhadap hasil penilaian kepada Perangkat Daerah diberikan oleh
Menteri pada Hari Otonomi Daerah.
Pada Pasal 113 bahwa dalam hal perangkat gubernur selaku wakil Pemerintah
Pusat belum terbentuk, pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah
kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dibantu

[627]
oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi pembinaan kelembagaan Perangkat
Daerah.
Kemudian pada Pasal 114 bahwa Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi
penataan Perangkat Daerah. Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi, Menteri
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di
bidang aparatur negara. Perlu dicermati dengan Pasal 115 mengatur ketentuan lebih
lanjut mengenai pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah diatur
dalam Peraturan Menteri dan ditetapkan setelah dikoordinasikan dengan menteri
yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang aparatur negara.
Hubungan antara Perangkat Daerah dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota
disebutkan pada PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah disebutkan dalam Pasal 116
bahwa Perangkat Daerah provinsi melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah provinsi dan melaksanakan Tugas Pembantuan yang
diberikan kepada Daerah provinsi. Perangkat Daerah kabupaten/kota melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah kabupaten/kota dan
melaksanakan Tugas Pembantuan yang diberikan kepada Daerah kabupaten/kota.
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan dan Tugas Pembantuan, hubungan
Perangkat Daerah provinsi dan Perangkat Daerah kabupaten/kota bersifat koordinatif
dan fungsional untuk menyinkronkan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing
Perangkat Daerah. Sinkronisasi meliputi: a. sinkronisasi data; b. sinkronisasi sasaran
dan program; dan c. sinkronisasi waktu dan tempat kegiatan.
Sistem informasi pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja
Perangkat Daerah pada Pasal 106 Ayat (1) PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah, yang
dimaksud dengan “adalah sistem informasi yang digunakan secara bersama-sama oleh
pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan Pemerintah Pusat untuk
mengintegrasikan pemetaan Urusan Pemerintahan dengan kelembagaan dan
kepegawaian Perangkat Daerah, yang antara lain meliputi peta Urusan Pemerintahan,
indikator, bobot, interval, tata cara perhitungan skor intensitas urusan dan besaran
kelembagaan Perangkat Daerah, peta jabatan, jumlah pemangku jabatan dan
persyaratan kompetensi yang diperlukan, serta data lain yang diperlukan dalam
pembinaan dan pengendalian kelembagaan dan kepegawaian Perangkat Daerah.

B. Identifikasi Masalah
Urusan Bidang Sosial yang telah ditetapkan menjadi Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK) yang akan disesuaikan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah
Urusan Konkuren, adalah: Persyaratan Pengangkatan Anak, Kampung Siaga Bencana,
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Taman Anak Sejahtera, Standar Lembaga
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya, Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial, Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Pedoman Pelayanan
Sosial Lanjut Usia, Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di
Bidang Kesejahteraan Sosial, Taruna Siaga Bencana, Bantuan Sosial Korban Bencana,
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga, Pengasuhan Anak, Pemulangan Migran
Bermasalah (PMB), Pemberdayaan Karang Taruna, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK), Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial,
Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

[628]
Untuk Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya (NAPZA) menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga NSPK Permensos
Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif Lainnya perlu segera direvisi.
Berdasarkan Surat Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI A.n
Menteri Dalam Negeri, Nomor 061/S137/83 tanggal 3 September 2015, Hal:
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah
(OPD), dengan substansi sebagai berikut :
1. Berdasarkan Pasal 410 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa diperlukan peraturan untuk mengatur
Organisasi Perangkat Daerah pengganti dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang merupakan pelaksanaan
dari Undang-Undang Pemda sebelumnya yaitu Undang-Undang RI Nomor 32
Tahun 2004.
2. Menyusun Tim Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah dengan tugas Pemetaan
Urusan termasuk harmonisasi perencanaan dan penganggaran dengan ketua Dirjen
Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI.
3. Menyusun Tim Perumus Standar Kompetensi, dengan tugas merumuskan standar
kompetensi teknis urusan pemerintahan yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Dalam Negeri RI.
4. Proses perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah akan dilaksanakan secara
intensif dengan agenda utama, meliputi:
a.Penyusunan indikator pengukuran dan pemetaan urusan pemerintahan.
b. Penentuan beban kerja dan tipologi perangkat daerah setiap urusan
pemerintahan.
c. Perumusan standar kompetensi teknis masing-masing urusan pemerintahan.
d. Simulasi tipologi perangkat daerah berdasarkan indikator pada daerah model
Organisasi Perangkat Daerah.
e. Pembahasan dan harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Organisasi Perangkat Daerah.
Sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang selama ini
mudah diucapkan tetapi pada kenyataannya selama ini sampai akhir tahun 2015 sulit
dilaksanakan yang pokok permasalahan utama tidak sinkron dalam dokumen
perencanaan daerah provinsi dan kabupaten/kota disebabkan karena tidak selaras
dengan perencanaan pembangunan nasional terutama pada perencanaan jangka
menengah 5 (lima) tahunan yaitu :
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang merupakan
visi dan misi Presiden terpilih 5 (lima) tahunan yang berdasarkan Undang-Undang RI
No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan
Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN).
Pada dasarnya adalah hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat
dirunut dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah
menyatakan Kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara
Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab mengatur dan
mengurus bangsa Indonesia.

[629]
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas
Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut
yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai pembantu
Presiden adalah kewajiban menteri atas nama Presiden untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan agar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/
lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi
pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan.
Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian Dalam Negeri
melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut
diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

Uraian Unit Kompetensi


KODE UNIT :
JUDUL UNIT : Memberikan layanan rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas berbasis keluarga dan masyarakat

DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan,


keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam
memberikan layanan rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas berbasis keluarga dan masyarakat

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

1. Melakukan Pendekatan awal 1.1 Program rehabilitasi sosial diinformasikan kepada


dengan masyarakat masyarakat
1.2 Potensi sumber dana, personil, fasilitas, keadaan
geografis sosial budaya, sosial ekonomi, dan
keamanan yang dapat digerakkan untuk

[630]
ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

mendukung upaya rehabilitasi sosial di data


1.3 Data potensi sumber dana, personil, fasilitas,
keadaan geografis sosial budaya, sosial ekonomi,
dan keamanan yang dapat digerakkan untuk
mendukung upaya rehabilitasi sosial diolah dan
diidentifikasi
2. Melakukan Penggalian dan 2.1 Informasi permasalahan sosial setempat (populasi
pemahaman masalah penyandang disabilitas, jenis penyandang
disabilitas, penyandang disabilitas yang sudah
ditangani, keberhasilan penanganan disabilitas
sebelumnya jika ada) didata
2.2 Data permasalahan sosial diolah dan diidentifikasi
untuk menentukan calon penerima layanan
rehabilitasi sosial berbasi masyarakat
3. Melaksanakan kegiatan motivasi, 3.1 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan,
bimbingan, dan penyuluhan awal dan penyuluhan dibuat
dengan masyarakat
3.2 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan,
dan penyuluhan disosialisasikan kepada
masyarakat
3.3 Penyuluhan lisan secara langsung (tatap muka)
maupun secara kelompok/dalam kelas diberikan
kepada masyarakat
3.4 Ceramah tentang masalah penyandang disabilitas
khususnya yang menyangkut tentang rehabilitasi
berbasis masyarakat (RBM), dan peran keluarga
serta masyarakat dalam kegiatan RBM diberikan
kepada kelompok-kelompok organisasi sosial,
kelompok remaja, kelompok ibu-ibu, tokoh-tokoh
masyarakat, tokoh-tokoh agama, kelompok yang
tergabung pada PKK atau LKMD, agar mereka
ikut berpartisipasi, bahkan mampu mengambil
peran utama dalam pelayanan rehabilitasi bagi
penyandang masalah disabilitas yang ada di
lingkungannya.
3.5 Kelompok-kelompok kecil pelaksana Rehabilitasi
Sosial Berbasis Masyarakat (7-10 orang), yang juga
merupakan kader Rehabilitasi Sosial Berbasiskan
Masyarakat dibentuk
4. Melaksanakan kegiatan mobilisasi 4.1 Data/informasi potensi masyarakat (dana, tenaga,
potensi masyarakat fasilitas/perlatan) yang dapat mendukung
kegiatan rehabilitasi sosial dipelajari
4.2 Sumber daya potensi masyarakat dikumpulkan
dan dikelompokkan
5. Melaksanakan kegiatan deteksi dan 5.1 Koordinasi dengan pihak terkait (institusi agama,
stimulasi dini pendidikan, kesehatan, tenaga kerja) dilakukan
5.2 Bimbingan dan penyuluhan mengenai
permasalahan sosial (disabilitas) diberikan kepada
masyarakat

[631]
ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

5.3 Pemeriksaan secara awal atau dini kepada


keluarga, para penyandang disabilitas bagi anak-
anak balita atau seseorang yang memiliki
kecenderungan untuk mengalami permasalahan
sosial dilakukan
5.4 Langkah-langkah upaya penanganan masalah
terhadap masalah disabilitas (termasuk tindakan
rujukannya ke fasilitas kesehatan) disusun
5.5 Upaya memperbaiki atau meningkatkan fungsi
sosial serta memberikan bantuan sosial dilakukan
5.6 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan,
dan penyuluhan dibuat
5.7 Jadwal pelaksanaan kegiatan motivasi, bimbingan,
dan penyuluhan disosialisasikan kepada
penyandang disabilitas
5.8 Penyuluhan lisan secara langsung (tatap muka)
maupun secara kelompok/dalam kelas diberikan
kepada penyandang disabilitas
5.9 Ceramah tentang masalah penyandang disabilitas
khususnya yang menyangkut tentang rehabilitasi
berbasis masyarakat (RBM), dan peran keluarga
serta masyarakat dalam kegiatan RBM diberikan
kepada penyandang disabilitas
5.10 Jadwal pelaksanaan kegiatan dibuat
5.11 Dana, peralatan, dan fasilitas pendukung
(gedung/ruang kelas) disiapkan untuk
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial
5.12 Tenaga rehabilitasi sosial (instruktur pelatihan,
kelompok kecil masyarakat yang memiliki potensi,
tenaga administrasi, tenaga sukarela) disiapkan
5.13 Koordinasi dengan pihak terkait (organisasi desa,
institusi pendidikan, kesehatan) dilakukan
5.14 Dilakukan registrasi penyandang masalah tuna
sosial yang akan ditangani
5.15 Dilakukan pemeriksaan dan konsultasi kesehatan
umum dalam rangka menentukan keadaan
kesehatan penyandang disabilitas secara umum
5.16 Dilakukan konsultasi psikologis untuk memeriksa
kemungkinan adanya gangguan psikologis
5.17 Dilakukan konsultasi sosial untuk meneliti
keadaan sosial masyarakat penyandang disabilitas
beserta keluarganya
5.18 Dilakukan pemeriksaan lebih rinci mengenai
kualitas atau berat-ringan permasalahan sosial,
misalnya berat-ringannya disabilitas seseorang
dalam rangka penentuan langkah pelayanan
rehabilitasinya.

[632]
ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

5.19 Rujukan ditentukan apabila penanganan


rehabilitasi tidak dapat dilakukan di tempat
5.20 Dilakukan pelatihan singkat keterampilan kerja
tertentu yang memungkinkan dan akan segera
bermanfaat bagi penyandang disabilitasl, agar
yang bersangkutan dapat menjadi warga yang
produktif dan dapat hidup normatif.
5.21 Alat bantu disabilitas yang akan dapat digunakan
di lingkungan kehidupannya, baik di lingkungan
keluarga maupun masyarakat sekitarnya
diberikan
5.22 Bantuan sosial, yang dapat berupa bantuan uang
maupun peralatan kerja, untuk memulai bekerja
dan berproduksi diberikan
5.23 Penyaluran dan pembinaan lanjut dilakukan agar
penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan
dan atau peningkatan kemampuan kerjanya.
5.24 Dilakukan saresehan dengan kelompok-kelompok
masyarakat terutama para pramuka masyarakat,
dan petugas terkait, dalam rangka meningkatkan
kesadaran masyarakat mengenai permasalahan
sosial penyandang masalah tuna sosial, dan
meningkatkan peran sertanya untuk ikut
menangani permasalahan sosial tersebut.
5.25 Dilakukan monitoring dan evaluasi keseluruhan
kegiatan Rehabilitasi Sosial Berbasiskan
Masyarakat dan atau, sebagai tolak ukur
keberhasilan serta sebagai bahan peningkatan
pengoperasian Rehabilitasi Sosial Berbasiskan
Masyarakat selanjutnya.

BATASAN VARIABEL

1. Konteks variabel
1.1. Unit ini berlaku untuk melakukan pendekatan awal dengan masyarakat,
penggalian dan pemahaman masalah, melaksanakan kegiatan motivasi,
bimbingan, dan penyuluhan awal dengan masyarakat, melaksanakan kegiatan
mobilisasi potensi masyarakat, melaksanakan kegiatan deteksi dan stimulasi dini,
melaksanakan kegiatan motivasi, bimbingan, dan penyuluhan dengan
penyandang disabilitas, persiapan kegiatan rehabilitasi sosial terhadap
penyandang disabilitas, yang digunakan untuk layanan rehabilitasi sosial
penyandang disabilitas berbasis keluarga dan masyarakat
1.2. Pendekatan awal yang dimaksud adalah kegiatan yang mengawali proses layanan
rehabilitasi sosial
1.3. Penggalian dan pemahaman masalah yang dimaksud adalah upaya untuk
menelaah atau mengungkap masalah yang dialami penyandang disabilitas.
1.4. Mobilisasi potensi masyarakat yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk
mengumpulkan potensi yang dimiliki masyarakat

[633]
1.5. Deteksi dan stimulasi dini yang dimaksud adalah upaya menemukan
permasalahan yang dimiliki penyandang disabilitas anak-anak balita dan
seseorang yang memiliki kecenderungan potensi disabilitas serta upaya
penanganan masalah tersebut beserta dengan rujukannya
1.6. Lingkungan kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dilakukan dalam
lingkungan masyarakat dan ruang kelas
1.7. Program rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam KUK 1.1. adalah program
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
1.9. Penyandang disabilitas yang dimaksud dalam KUK 2.1. adalah orang yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif
berdasarkan kesamaan hak.

[634]
2. Peralatan dan perlengkapan
2.1 Peralatan
2.1.1 Alat pengolah data (komputer dan/atau peralatan sejenisnya)
2.1.2 Perangkat lunak terkait
2.1.3 Printer
2.1.4 Scanner
2.1.5 Jaringan Internet
2.1.6 Peralatan dokumentasi
2.1.7 Alat bantu disabilitas
2.1.8 Peralatan komunikasi

2.2 Perlengkapan
2.2.1 Alat tulis kantor
2.2.2 Buku catatan

3. Peraturan yang diperlukan


3.1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
3.2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
3.3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
3.4. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
3.5. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan
Fakir Miskin Dengan Pendekatan Wilayah

4. Norma dan standar


(belum ada)

PANDUAN PENILAIAN
1. Konteks penilaian
1.1. Kondisi penilaian merupakan aspek dalam penilaian yang sangat berpengaruh
atas tercapainya kompetensi ini terkait dengan memberikan layanan rehabilitasi
sosial penyandang disabilitas berbasis keluarga dan masyarakat
1.2. Penilaian dapat dilakukan dengan cara ujian lisan, ujian tertulis, praktek di tempat
kerja dan atau di tempat uji kompetensi (TUK).

2. Persyaratan kompetensi
(Tidak ada.)

3. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan


3.1. Pengetahuan
3.1.1. Konsep penyandang disabilitas
3.1.2. Konsep penyelenggaraan kesejahteraan sosial
3.1.3. Konsep penanganan fakir miskin
3.1.4. Konsep kelembagaan sosial
3.1.5. Teknik pekerjaan sosial
3.1.6. Teknik komunikasi efektif

3.2. Keterampilan
3.2.1. Analisis dan pemecahan masalah disabilitas
3.2.1. Berkomunikasi secara efektif dan empati
3.2.3. Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait

[635]
3.2.4. Teknik wawancara, questionnaire, observasi
4. Sikap kerja yang diperlukan
4.1. Peka terhadap lingkungan sekitar
4.2. Cepat dalam mempelajari dan memahami suatu hal yang baru
4.3. Mampu menghubungkan berbagai sudut pandang atau informasi
4.4. Proaktif dalam melakukan komunikasi dengan pihak terkait

5. Aspek kritis (bukti keberhasilan seseorang petugas dlm memberikan pelayanan bagi
penyandang disabilitas)
5.1 Penyampaian/komunikasi yang efektif dan efisien dengan masyarakat dan
penyandang disabilitas
5.2 Interpretasi suatu masalah dan analisis pemecahan masalah yang tepat
5.3 Koordinasi dengan berbagai pihak dengan baik

Uraian Unit Kompetensi


KODE UNIT :
JUDUL UNIT : Memberikan Layanan Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Berbasis Lembaga (Panti
Pemda dan Lembaga Kesejahteraan Sosial)

DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan,


keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam
memberikan layanan rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas berbasis lembaga (Panti Pemda dan
Lembaga Kesejahteraan Sosial)

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

1. Melakukan Pendekatan awal 1.1 Program rehabilitasi sosial diinformasikan kepada


dengan calon penerima layanan calon penerima layanan
1.2 Masalah calon penerima layanan diidentifikasi
1.3 Minat calon penerima layanan serta dukungan
orangtua untuk mengikuti rehabilitasi sosial
dimotivasi
1.4 Calon penerima layanan rehabilitasi sosial dipilih dan
ditetapkan
1.5 Calon penerima layanan rehabilitasi ditempatkan
dalam layanan rehabilitasi sosial
2. Melakukan Penggalian dan 2.1 Hubungan antara pekerja sosial dan penerima
pemahaman masalah layanan dibangun
2.2 Data dan informasi penerima pelayanan dikumpulkan
2.3 Data dan informasi penerima layanan dianalisis dan
diinterpretasikan guna menemukan masalah dan
kebutuhan penerima pelayanan
3. pemecahan masalah/ memberikan 3.1 Kebutuhan penerima pelayanan dibuat skala prioritas
intervensi pelayanan
3.2 Jenis layanan dan rujukan ditentukan sesuai dengan

[636]
ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

kebutuhan penerima pelayanan


3.3 Jadwal pelaksanaan pemecahan masalah dibuat dan
disepakati
3.4 Permasalahan penerima layanan ditangani
3.5 Pemenuhan kebutuhan penerima layanan
dikoordinasikan dengan pihak terkait
4. Melakukan Resosialisasi dengan 4.1 Penerima pelayanan dikembalikan kepada keluarga
keluarga dan masyarakat agar dapat berintegrasi dalam
kehidupan bermasyarakat
4.2 Pihak keluarga diberikan sosialisasi.
5. Terminasi/melakukan pemutusan 5.1 Keberhasilan yang telah dicapai penerima layanan
kegiatan pelayanan dari aspek bio psikososial dan spiritual diidentifikasi
5.2 Keluarga dan pihak terkait dengan kehidupan
penerima dikunjungi
6. Bimbingan lanjut 6.1 Mengidentifikasi minat dan ketrampilan
6.2 Penerima layanan diberikan keterampilan lanjutan
untuk mengembangkan kewirausahaan

BATASAN VARIABEL
1. Konteks variabel
1.1. Unit ini berlaku untuk pendekatan awal, pengungkapan dan pemahaman
masalah, pemecahan masalah, resosialisasi, terminasi, dan bimbingan lanjut yang
digunakan untuk layanan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas berbasis
lembaga
1.2. Pendekatan awal yang dimaksud adalah kegiatan yang mengawali proses layanan
rehabilitasi sosial
1.3. Pengungkapan dan pemahaman masalah yang dimaksud adalah kegiatan untuk
menelaah atau mengungkap masalah yang dialami penyandang disabilitas
1.4. Resosialisasi yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk mempersiapkan
Penyandang Disabilitas dan masyarakat agar dapat berintegrasi dalam kehidupan
bermasyarakat
1.5. Terminasi yang dimaksud adalah kegiatan berakhirnya pemberian rehabilitasi
sosial penyandang disabilitas
1.6. Bimbingan lanjut yang dimaksud adalah kegiatan pemantauan dan upaya
peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas
1.7. Lingkungan kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini dilakukan dalam
lingkungan masyarakat dan ruang kelas
1.8. Program rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam KUK 1.1. adalah program
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
1.9. Pekerja sosial yang dimaksud dalam KUK 2.1. adalah seseorang yang bekerja, baik
di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi
pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

[637]
2. Peralatan dan perlengkapan
1.1. Peralatan
2.1.1. Instrumen teknik intervensi
2.1.2. Alat bantu disabilitas
2.1.3. Peralatan dokumentasi
2.1.4. Peralatan komunikasi

[638]
1.2. Perlengkapan
1.2.1. Alat tulis kantor
1.2.2. Buku catatan

3. Peraturan yang diperlukan


3.1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
3.2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
3.3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
3.4. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial
3.5. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2014 tentang Penanganan Fakir Miskin
Berbasis Wilayah

4. Norma dan standar


4.1. Peraturan Menteri Sosial No. 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial
4.2. Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
dengan Pendekatan Profesi Pekerjaan Sosial

PANDUAN PENILAIAN

1. Konteks penilaian
1.1. Kondisi penilaian merupakan aspek dalam penilaian yang sangat berpengaruh
atas tercapainya kompetensi ini terkait dengan memberikan layanan rehabilitasi
sosial penyandang disabilitas berbasis lembaga
1.2. Penilaian dapat dilakukan dengan cara ujian lisan, ujian tertulis, praktek di tempat
kerja dan atau di tempat uji kompetensi (TUK).
2. Persyaratan kompetensi
(Tidak ada.)

3. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan


3.1. Pengetahuan
3.1.1. Konsep penyandang disabilitas
3.1.2. Konsep penyelenggaraan kesejahteraan sosial
3.1.3. Konsep penanganan fakir miskin
3.1.4. Konsep kelembagaan sosial
3.1.5. Teknik pekerjaan sosial
3.1.6. Teknik komunikasi efektif

3.2. Keterampilan
3.2.1. Analisis dan pemecahan masalah disabilitas
3.2.1. Berkomunikasi secara efektif dan empati
3.2.3. Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait

4. Sikap kerja yang diperlukan


4.1. Peka terhadap lingkungan sekitar
4.2. Cepat dalam mempelajari dan memahami suatu hal yang baru
4.3. Mampu menghubungkan berbagai sudut pandang atau informasi
4.4. Proaktif dalam melakukan komunikasi dengan pihak terkait

[639]
5. Aspek kritis (bukti keberhasilan seseorang petugas dalam memberikan pelayanan bagi
penyandang disabilitas)
5.4 Ketepatan dalam identifikasi permasalahan penyandang disabilitas
Uraian Unit Kompetensi

C. Tujuan dan Kegunaan


Peraturan Menteri Sosial tentang ...... bertujuan untuk :
1. Menjadi acuan bagi penyelenggaraan ......
2. Memberikan ......
3. Memberikan arah dan pedoman kinerja pelaksanaan .....
4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan .......

[640]
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
PERATURAN MENTERI SOSIAL

Permensos tersebut perlu disusun dan ditetapkan dengan memperhatikan landasan


filosofis, yuridis, dan Sosiologis, sebagai berikut :

A. Landasan Filosofis
Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa
Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan
fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi,
diantaranya koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Sosial,
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Sosial di daerah, pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.
Susunan Organisasi Kementerian Sosial terdiri atas :
1. Sekretariat Jenderal;
2. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial;
3. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial;
4. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial;
5. Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin;
6. Inspektorat Jenderal;
7. Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial;
8. Staf Ahli Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial;
9. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesejahteraan Sosial; dan
10. Staf Ahli Bidang Aksesibilitas Sosial.
Pada Pasal 5 disebutkan bahwa Sekretariat Jenderal berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal dan pada Pasal 6, Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan
koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.
Dalam melaksanakan tugas, Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi
koordinasi kegiatan Kementerian Sosial, koordinasi dan penyusunan rencana,
program, dan anggaran Kementerian Sosial, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan,
kerumahtanggaan, kerja sama, hubungan masyarakat, arsip, dan dokumentasi
Kementerian Sosial, pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana, koordinasi
dan penyusunan peraturan perundangundangan serta pelaksanaan advokasi hukum,
penyelenggaraan pengelolaan barang milik/kekayaan negara dan pelayanan
pengadaan barang/jasa; dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Sosial pada Pasal 431, Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428 terdiri atas:

[641]
1. Sekretariat Direktorat Jenderal;
2. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Perdesaan;
3. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Perkotaan; dan
4. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan
Antar Negara.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta
Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan
dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau
peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang
akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau
Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-
Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan
landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah
Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut
fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan-Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum
itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis
atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

[642]
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara daerah provinsi dengan
daerah kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahan sama, perbedaannya akan
nampak dari skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota mempunyai urusan pemerintahan
masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan
antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan
daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas
negara;
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas
negara;
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
provinsi atau lintas negara;
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien
pemerintah pusat; dan/atau apabila dilakukan oleh
e. Urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Sedangkan kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
provinsi adalah :
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah provinsi.
Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/
kota adalah :
a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota
b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota
c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
daerah kabupaten/kota dan/atau
d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan
daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum pada lampiran UU No. 23
tahun 2014 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang
tersebut. Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran
Undang-Undang tersebut menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan
pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian
urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren ditetapkan
dengan peraturan presiden. Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan
konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.

[643]
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren
dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu
masyarakat, diatur pada pasal 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang
menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) dan melaksanakan
pembinaan dan pengawasan dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota dalam
melaksanakan urusan pemerintah (misalkan bidang sosial) berpedoman pada
NSPK yang ditetapkan (misalkan NSPK Bidang Sosial).

[644]
BAB III
TUGAS DAN FUNGSI ORGANISASI TATA KERJA BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Perlindungan Sosial
Perlindungan sosial bagi penduduk miskin, rentan dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan
melalui rehabilitasi aosial kepada setiap penyandang disabilitas (rungu wicara, mental
eks psikotik, mental eks penyakit kronis, netra, grahita, penyandang disabilitas tubuh,
dan penyandang disabilitas ganda) yang sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan
kebutuhan dasar yang layak, pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam
lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan sosial) dan di luar lembaga dengan berbasis
keluarga dan masyarakat.

B. Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi sosial juga dilakukan kepada setiap anak (balita telantar, anak
telantar, anak berhadapan dengan hukum, anak dengan kebutuhan khusus, anak yang
tidak memiliki keluarga, anak putus sekolah, anak yang terpisah dari keluarga karena
bencana, dan anak korban tindak kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah) yang
sesuai kriteria mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak, pengasuhan,
pelayanan, dan rehabilitasi sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga
kesejahteraan sosial).
Setiap lanjut usia telantar mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak
dan pelayanan sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga
kesejahteraan sosial) dan korban tindak kekerasan mendapatkan pemenuhan
kebutuhan dasar yang layak dan mendapatkan rehabilitasi psikososial sesuai standar.
Permasalahan sosial lainnya seperti tuna susila, gelandangan dan pengemis
mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak, pelayanan dan rehabilitasi
sosial sesuai standar di dalam lembaga (panti dan lembaga kesejahteraan sosial),
kemudian korban penyalahgunaan NAPZA dan HIV/AIDS sesuai kriteria
mendapatkan penanganan awal dan rujukan sesuai standar berdasarkan pelimpahan
kewenangan dan pelaksanaan tugas dari pemerintah pusat
Berdasarkan lampiran bidang sosial pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Sub-Bidang Rehabilitasi Sosial, Pemerintah Pusat
melaksanakan Rehabilitasi bekas korban penyalahgunaan NAPZA, orang dengan
Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Daerah Provinsi melaksanakan rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk bekas
korban penyalahgunaan NAPZA, orang dengan Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang memerlukan rehabilitasi pada panti.
Daerah Kabupaten/Kota melaksanakan rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk
bekas korban penyalahgunaan NAPZA dan orang dengan Human Immunodeficiency
Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang tidak memerlukan rehabilitasi pada
panti, dan rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum.
Mengingat bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial sub bidang rehabilitasi
sosial yang diamanatkan dalan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

[645]
(RPJMN) Tahun 2015-2019, melaksanakan rehabilitasi sosial kepada orang dengan
HIV, maka alih fungsi panti milik Kementerian Sosial RI adalah sebuah keniscayaan
C. Pemberdayaan Sosial
Upaya lainnya dalam perlindungan sosial yang komprehensif dengan
tersedianya akses layanan dan rujukan dalam Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu
(SLRT) bagi fakir miskin termasuk keluarga sangat miskin sesuai standar dan setiap
warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar
dan tempat tinggal yang layak.
Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan merupakan salah
satu perlindungan sosial dengan upaya pemulangan ke daerah asal dengan
mendapatkan tempat tinggal sementara, pangan dan sandang yang layak di dalam
tempat penampungan sementara/shelter sesuai standar
Perlindungan sosial lainnya dilakukan kepada korban bencana dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan hunian sementara, makanan bergizi, dan pakaian yang layak
pada saat tanggap darurat, pada pasca bencana, pada saat bencana dan pada pasca
bencana. (jurnal penelitian kesejahteraan sosial vol.2 tahun 2016; Implikasi UU No.23 Tahun
2014 tentang Pemda Terhadap Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di daerah)

[646]
BAB IV
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
PENGATURAN PERATURAN

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan: untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup, memulihkan fungsi sosial dalam rangka
mencapai kemandirian, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani masalah kesejahteraan sosial, meningkatkan kemampuan, kepedulian
dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
secara melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan kemampuan dan kepedulian
masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan; dan meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada
ketentauan umum, definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang
layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
BAB II Hak dan Tanggung Jawab Pasal 3 UU 13/2011 disebutkan bahwa Fakir
miskin berhak memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya, mendapatkan
perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri
dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya, mendapatkan pelayanan sosial
melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam
membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya,
memperoleh derajat kehidupan yang layak, memperoleh lingkungan hidup yang
sehat, meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan memperoleh
pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Pasal 5 UU 13/2011 disebutkan bahwa penanganan fakir miskin dilaksanakan
secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dan pada Pasal 6 Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat.

[647]
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk pengembangan potensi
diri, bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, penyediaan
pelayanan kesehatan, penyediaan pelayanan pendidikan, penyediaan akses
kesempatan kerja dan berusaha, bantuan hukum, pelayanan sosial, dilakukan melalui:
pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas fakir miskin untuk
mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, jaminan dan
perlindungan sosial untuk memberikan rasa aman bagi fakir miskin, kemitraan dan
kerjasama antarpemangku kepentingan, koordinasi antara kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah.
Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan
penanganan fakir miskin dan dalam menetapkan kriteria, Menteri berkoordinasi
dengan kementerian dan lembaga terkait. Kriteria menjadi dasar bagi lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan
pendataan. Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan
yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik, Verifikasi dan validasi dilakukan secara berkala sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun sekali, verifikasi dan validasi dikecualikan apabila terjadi
situasi dan kondisi tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi seseorang menjadi fakir miskin, Verifikasi dan validasi dilaksanakan
oleh potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau
desa, hasil verifikasi dan validasi dilaporkan kepada bupati/walikota,
Bupati/walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi kepada gubernur untuk
diteruskan kepada Menteri.
Pasal 18 UU 13/2011 disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial, yang meliputi peningkatan
fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas hidup,
meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan
kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan ketahanan
sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kemiskinan; dan
meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial.
Bagian Kelima Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Pasal 19 bahwa
Penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah,
terukur, terpadu, dan Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri
dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang,
pangan, perumahan, dan pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan
oleh Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam
koordinasi Menteri.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial pada Pasal 2 Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ditujukan
kepada perseorangan, keluarga, kelompok, masyarakat. diprioritaskan kepada mereka
yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria
masalah sosial yang meliputi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan,
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana; dan/atau korban tindak
kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Penanganan Fakir Miskin pada lampiran bidang sosial UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daeran ditetapkan pada Sub-Bidang Perlindungan dan Jaminan
Sosial. Kewenangan dan pembagian urusan, Pusat melakukan “Pengelolaan data fakir
miskin nasional”, Provinsi melakukan Pengelolaan data fakir miskin cakupan Daerah
provinsi, Kabupaten/Kota melakukan pendataan dan pengelolaan data fakir miskin
cakupan daerah kabupaten/kota.

[648]
Tidak terakomodirnya amanah dari Pasal 19 UU No. 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin yang menyebutkan bahwa penanganan fakir miskin
diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, terpadu, dan
Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri dalam rangka
pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan,
perumahan, dan pelayanan sosial, selain hal tersebut yang diselenggarakan oleh
Kementerian/Lembaga terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi
Menteri.
Kriteria tipelogi perangkat daerah digunakan untuk menentukan tipe perangkat
daerah berdasarkan variabel faktor umum dan faktor teknis. Kriteria variabel faktor
umum ditetapkan berdasarkan karakteristik daerah yang terdiri dari variabel: jumlah
penduduk, luas wilayah, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kriteria variabel faktor teknis meliputi beban tugas utama pada masing-masing urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pada setiap susunan pemerintahan dan
unsur penunjang urusan pemerintahan. Bobot variabel umum adalah 20 persen dan
bobot varabel teknis adalah 80 persen. Sedangkan berdasarkan UU No. 32 tahun 2004,
besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: jumlah
penduduk; luas wilayah; dan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang pada UU No. 23 tahun 2014 merupakan variabel faktor umum dan hanya
mempunyai bobot 20 persen.
Pada UU No. 32 tahun 2014, jumlah perangkat daerah menggunakan besaran
nilai yang didapat daerah tersebut. Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai
kurang dari 40 terdiri dari: sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 asisten;
sekretariat DPRD; dinas paling banyak 12; dan lembaga teknis daerah paling banyak 8.
Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 sampai dengan 70 terdiri
dari: sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 asisten; sekretariat DPRD; dinas
paling banyak 15; dan lembaga teknis daerah paling banyak 10. Besaran organisasi
perangkat daerah dengan nilai lebih dari 70 terdiri dari: sekretariat daerah, terdiri dari
paling banyak 4 asisten; sekretariat DPRD; dinas paling banyak 18; dan lembaga teknis
daerah paling banyak 12.
Dinas merupakan unsur pelaksana urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah. Dinas dipimpin oleh kepala dinas yang berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah. Dinas mempunyai
tugas membantu gubernur melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada provinsi. Dinas
dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi:perumusan kebijakan sesuai
dengan lingkup tugasnya; pelaksanaan kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya;
pelaksanaan evaluasi dan pelaporan sesuai dengan lingkup tugasnya; pelaksanaan
administrasi dinas sesuai dengan lingkup tugasnya; pelaksanaan fungsi lain yang
diberikan oleh gubernur yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.
Dinas dapat diklasifikasikan dalam 3 Tipe. Tipe ditetapkan dengan klasifikasi :
a. Dinas Tipe A dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dengan beban kerja yang besar
b. Dinas Tipe B dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dengan beban kerja yang sedang.
c. Dinas Tipe C dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dengan beban kerja yang kecil.
Berdasarkan pemetaan urusan sosial yang dilakukan oleh Kementerian Dalam
Negeri per tanggal 22 Februari 2016 dari 34 Provinsi sebanyak 26 Provinsi (76,47

[649]
persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial. Hasilnya sebanyak 69,23 persen
termasuk Tipe dinas A, 11,54 persen masuk tipe Dinas B dan 19,23 persen termasuk
tipe dinas C. Sedangkan untuk kabupaten/kota dari 511 kabupaten/kota, sebanyak
366 (71,62 persen) sudah dilakukan pemetaan urusan sosial dengan hasil sebanyak
42,08 persen termasuk dinas tipe A, sedangkan 34,43 persen termasuk dinas tipe B dan
sebanyak 23,5 persen termasuk dinas tipe C (Kemendagri, 2016)
Tabel 1. Tipologi Dinas Urusan Sosial Berdasarkan Pemetaan Kemendagri
Dinas Dinas
Tipe
Provinsi Kabupaten/Kota
Tipe A 69,23 42,08
Tipe B 11,54 34,43
Tipe C 19,23 23,5

Jika merujuk data hasil pemetaan urusan sosial tersebut, Dinas urusan Sosial
pada pemerintah provinsi lebih banyak masuk tipe A jika dibandingkan dengan Dinas
urusan sosial kabupaten/kota. Hal tersebut disebabkan pada saat ini kebanyakan
Dinas sosial provinsi berdiri sendiri tidak digabung dengan urusan lain. Sedangkan
dinas urusan sosial kabupaten/kota kebanyakan digabung dengan urusan lain seperti
transmigrasi, tenaga kerja atau kependudukan.
Penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya
urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan urusan tidak harus dibentuk
ke dalam organisasi tersendiri. Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu
perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan
pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah.

UU No. 32 tahun 2004 UU No. 23 tahun 2014


Perangkat Sekretariat daerah, sekretariat Sekretariat Daerah, Sekretariat
Daerah DPRD, dinas daerah dan lembaga DPRD, Inspektorat, Dinas, dan
teknis daerah Badan
Perumpunan 1. bidang pendidikan, pemuda 1. pendidikan, kebudayaan,
urusan yang dan olahraga; kepemudaan dan olahraga;
diwadahi
2. bidang kesehatan; 2. kesehatan, sosial,
dalam
pemberdayaan perempuan dan
bentuk dinas 3. bidang sosial, tenaga kerja
perlindungan anak,
dan transmigrasi;
pengendalian penduduk dan
4. bidang perhubungan, keluarga berencana,
komunikasi dan informatika; administrasi kependudukan
5. bidang kependudukan dan dan pencatatan sipil serta
catatan sipil; pemberdayaan masyarakat dan
desa;
6. bidang kebudayaan dan
pariwisata; 3. ketentraman, ketertiban umum
dan perlindungan masyarakat
7. bidang pekerjaan umum yang sub urusan bencana dan
meliputi bina marga, kebakaran serta sub urusan
pengairan, cipta karya dan ketentraman dan ketertiban
tata ruang; umum.
8. bidang perekonomian yang 4. penanaman modal, koperasi,
meliputi koperasi dan usaha

[650]
mikro, kecil dan menengah, usaha kecil dan menengah,
industri dan perdagangan; perindustrian, perdagangan,
energi dan sumber daya
9. bidang pelayanan pertanahan;
mineral, transmigrasi, tenaga
10. bidang pertanian yang kerja dan pariwisata.
meliputi tanaman pangan,
5. komunikasi dan informatika,
peternakan, perikanan darat,
statistik, dan persandian;
kelautan dan perikanan,
perkebunan dan kehutanan; 6. perumahan dan kawasan
permukiman, pekerjaan umum
11. bidang pertambangan dan
dan penataan ruang,
energi; dan
pertanahan, dan
12. bidang pendapatan, perhubungan;
pengelolaan keuangan dan
7. pangan, pertanian, serta
aset.
kelautan dan perikanan,
8. lingkungan hidup dan
kehutanan;
9. perpustakaan dan kearsipan.

Pelaksanaan tugas dan fungsi staf, pelayanan administratif serta urusan


pemerintahan umum lainnya yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi dinas
maupun lembaga teknis daerah dilaksanakan oleh sekretariat daerah.
Jika berdasarkan perhitungan nilai variabel, suatu urusan pemerintahan tidak
memenuhi syarat untuk dibentuk dinas sendiri, urusan pemerintahan tersebut
digabung dengan dinas lain. Penggabungan dilakukan dengan dinas yang memiliki
kedekatan karakteristik urusan pemerintahan atau memiliki keterkaitan dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Kedekatan karakteristik urusan
pemerintahan atau memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan urusan
pemerintahan terdiri dari :
Penggabungan urusan pemerintahan dilakukan paling banyak 3 urusan
pemerintahan. Tipelogi dinas hasil penggabungan urusan pemerintahan sesuai dengan
tipe dinas sebelum penggabungan dengan tambahan bidang atau sub bidang dari
urusan pemerintahan yang digabungkan. Dalam hal dinas tipe C mendapatkan
tambahan bidang urusan pemerintahan maka dinas hasil penggabungan tersebut
dapat ditingkatkan menjadi tipe B. Nomenklatur dinas yang mendapatkan tambahan
bidang urusan pemerintahan merupakan nomenklatur dinas utama, ditambah dengan
urusan pemerintahan yang digabungkan.
Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang
merupakan turunan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah. Perangkat Daerah Provinsi merupakan unsur pembantu
gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Sedangkan
Perangkat Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pembantu bupati/walikota dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.

[651]
Amanah tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Sosial RI dengan
ditetapkannya Peraturan Menteri Sosial RI No. 13 Tahun 2016 tentang Hasil Pemetaan
Intensitas dan Beban Kerja Urusan Pemerintahan Bidang Sosial Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia dan Peraturan Menteri Sosial RI No. 14
Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Sosial Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pada dinas dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinas untuk
melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang
tertentu. UPT dinas diklasifikasikan dalam 2 tipe. Tipe UPT dinas terdiri atas: UPT
dinas tipe A untuk mewadahi beban kerja yang besar; dan UPT dinas tipe B untuk
mewadahi beban kerja yang kecil.

URUSAN SOSIAL
Urusan sosial merupakan urusan pemerintahan konkuren bersifat wajib pelayanan
dasar, Pelaksanaan pelayanan dasar urusan sosial berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Norma, Standar, Prosedur dan Kreteria (NSPK). Pemerintah pusat
dalam hal urusan sosial, Kementerian Sosial RI menetapkan SPM dan NSPK bidang sosial
dan Pemerintah daerah melaksanakan SPM dan NSPK urusan sosial. Dalam menetapkan
NSPK urusan sosial memperhatikan urusan kewenangan masing-masing pemerintahan
berdasarkan lampiran UU No. 23 tahun 2014. Dalam menetapkan SPM bidang sosial
memperhatikan kewenangan pemerintah daerah dikarenakan kewenangan itu akan
terkait dengan pendanaan, personil dan kelembagaan di daerah. NSPK bidang sosial
yang telah ditetapkan sampai dengan bulan Maret tahun 2015, meliputi 21 NSPK yaitu:
1. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan
Anak
2. Peraturan Menteri Sosial Nomor 128 Tahun 2011 tentang Kampung Siaga Bencana
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 693)
3. Peraturan Menteri Sosial Nomor 184 Tahun 2011 tentang Lembaga Kesejahteraan
Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 913)
4. Peraturan Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2012 tentang Taman Anak Sejahtera (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 102)
5. Peraturan Menteri Sosial Nomor 03 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 103)
6. Peraturan Menteri Sosial Nomor 06 Tahun 2012 tentang Penghargaan Kesejahteraan
Sosial Lanjut Usia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 496)
7. Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 567)
8. Peraturan Menteri Sosial Nomor 09 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komunitas
Adat Terpencil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 579)
9. Peraturan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial
Lanjut Usia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 862)
10. Peraturan Menteri Sosial Nomor 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
11. Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1217)

[652]
12. Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1218)
13. Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1240)
14. Peraturan Menteri Sosial Nomor 01 Tahun 2013 tentang Bantuan Sosial Korban
Bencana (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 102) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 07 Tahun 2013.
15. Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2013 tentang Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1509)
16. Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak.
17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pemulangan Migran
Bermasalah (PMB).
18. Peraturan Menteri Sosial Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Karang
Taruna.
19. Peraturan Menteri Sosial Nomor 24 Tahun 2013 tentang Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK).
20. Peraturan Menteri Sosial Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial.
21. Peraturan Menteri Sosial Nomor 01 Tahun 2015 tentang Standar Lembaga
Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
Berdasarkan lampiran UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota untuk urusan pemerintahan bidang sosial 7 sub bidang menjadi urusan
konkuren yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan warga negara migran korban tindak
kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial, penanganan bencana,
taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi.
Surat Surat Ditjen Bina Bangda Kemendagri No. 005/3377/V/Bangda tanggal 12
November 2015 perihal inventarisasi Kewenangan Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014
yang memerlukan pengalihan Personil, Sarana Prasarana dan Pembiayaan. Perlu
diklarifikasi didasarkan prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas serta
kepentingan strategis nasional dari “Pembagian urusan Pemerintahan Konkuren antara
Pemerintah Pusat dan daerah provinsi serta daerah Kab/kota sesuai dengan UU No. 23
Tahun 2014.
Pada Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan pada ayat (1) bahwa pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan daerah provinsi serta daerah Kabupaten/Kota didasarkan
pada prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional.
Berdasarkan prinsip, kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat adalah Urusan Pemerintahan yang lokasinya, penggunanya,
manfaatnya lintas daerah provinsi atau lintas negara serta penggunaan sumber dayanya
lebih efisien bila dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
Kementerian atau lembaga pemerintah non Kementerian bersama Pemerintah
Daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan

[653]
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang diprioritaskan oleh setiap daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar dilakukan untuk menentukan intensitas urusan pemerintahan wajib yang tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan
luas wilayah digunakan daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan dan
penganggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
dan digunakan oleh Kementerian atau lembaga pemerintah non Kementerian sebagai dasar
untuk pembinaan kepada daerah dalam pelaksanaan urusan pemerintahan wajib yang
tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan secara nasional.
FUNGSI PELAYANAN PANTI
Fungsi pelayanan dalam panti suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN dan BUMD dalam bentuk
barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Pelayanan publik merupakan segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
Perundang-undangan.

TUJUAN
Tujuan pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah untuk memulihkan kembali
kepercayaan diri, harga diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial baik terhadap dirinya,
keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Berdasarkan konsep dan regulasi untuk pemenuhan kebutuhan penerima manfaat
atau penyandang disabilitas agar mereka dapat memulihkan kembali kepercayaan diri, harga
diri, kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat
lingkungannya.
Panti sosial meruapakan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki
tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas SDM dan memberdayakan para
penyandang masalah kesejahteraan sosial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental,
maupun sosial, standar panti sosial sebagaimana tercantum di dalam Permensos Nomor:
50/HUK/2005 tentang Standarisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial.
Ketentuan tersebut memuat kondisi dan kinerja tertentu bagi penyelenggaraan sebuah
Panti Sosial dan atau lembaga pelayanan sosial.

STANDAR PANTI
Ada 2 (dua) macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus.
Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu
dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Mencakup aspek
kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pembiayaan, pelayanan sosial
dasar, dan monitoring-evaluasi. Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang
memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial
dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti
sosial.
Sejak keluar Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 50/HUK/2004 tentang
Standardisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial, masih banyak ditemui

[654]
kendala dalam penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi Sosial bagi penyandang cacat
melalui sistem panti. Kondisi umum pelayanan dan rehabilitasi sosial masih menghadapi
kompleksitas masalah berdasarkan ragam permasalahan, sebaran dan penanganannya.
Selain itu masih terbatasnya sumber daya manusia, kualitas belum sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, kualitas pelayanan belum ada standar minimal, jangkauan
Pelayanan masih belum menyeluruh dan masih adanya stigmasi dalam masyarakat
terhadap penyandang cacat).

PERUBAHAN PARADIGMA REHABILITASI SOSIAL


Terjadi perubahan Paradigma Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dari sifatnya
pelayananan dan charity berubah menjadi perlindungan sosial dan jaminan sosial. Perubahan
paradigma diikuti dengan perubahan kebijakan tentang penanganan penyandang cacat.
Beberapa Kebijakan Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sebagai berikut :
Optimalisasi fungsi Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial dengan mengoptimalkan fungsi UPT sebagai fungsi pelaksana pelayanan (service),
pengajaran (teaching) dan kajian (research). Perluasan jangkauan serta pemerataan
pelayanan dan rehabilitasi sosial dengan optimalisasi UPT dan Unit Pelaksana Sosial
Kecamatan (UPSK).
Peningkatan koordinasi, kemitraan serta perluasan jaringan kerja, pelayanan dan
rehabilitasi sosial dengan melaksanakan rapat koordinasi antar instansi atau lembaga
terkait, pelibatan dan kerjasama dengan instansi atau lembaga terkait dan dunia usaha
dalam proses pelaksanaan kegiatan, pengembangan Rehabilitasi Sosial Berbasis
Masyarakat (RSBM), penguatan institusi lokal, peningkatan fungsi. Kebijaksanaan di atas,
dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Nomor: 113/PRS/III/2005 tanggal 30 Maret 2005 tentang: “Peningkatan Kinerja Unit
Pelaksana Teknis (UPT) melalui Penyelenggaraan Multi layanan pada Lembaga Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial. Untuk memperkuat dan menunjang implementasi Surat Edaran
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Nomor: 113/PRS/III/2005 tanggal 30
Maret 2005 tentang: “Peningkatan Kinerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) melalui
Penyelenggaraan Multi Layanan pada Lembaga Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, maka
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 85/HUK/2007 tentang Pedoman
Pelaksanaan Ujicoba Multi Layanan pada Panti Sosial Penyandang Cacat (disabilitas).

MULTI LAYANAN PANTI


Multi layanan merupakan suatu proses pelayanan rehabilitasi sosial atau vokasional
penyandang disabilitas pada balai besar atau panti sosial yang diselenggarakan secara
profesional berdasarkan profesi pekerja sosial dan bidang profesi lainnya dimana penerima manfaat
berasal dari berbagai jenis kecacatan (Permensos Nomor: 85/HUK/2007). Kebijakan multi
layanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat (disabilitas) diarahkan pada peningkatan,
perluasan dan pemerataan usaha kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas.
Pemantapan administrasi data tentang penyandang disabilitas, yang meliputi
jumlah klien yang ditangani, jenis dan derajat kecacatan, penggalian sumber-sumber
potensi penyandang cacat, jenis pelayanan yang akan diberikan dan penyalurannya.
Penerapan metode dan teknik pekerjaan sosial dalam melaksanakan bimbingan sosial
bagi penyandang disabilitas dengan dukungan keluarga dan masyarakat demi
keberhasilan pelayanan serta integrasi penyandang cacat dalam lingkungan sosialnya.

[655]
Pemantapan keterpaduan dengan instansi terkait yang dimaksudkan untuk
menyerasikan program pelayanan penyandang disabilitas dengan program terkait
lainnya. Pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional penerima layanan menggunakan
berbagai teknik penyembuhan dan terapi psikososial seperti: terapi berpusat pada
penerima manfaat (client-centered therapy), terapi perilaku (behavior therapy), terapi
keluarga (family therapy), dan terapi kelompok (group therapy).
Dalam penerapannya, penerima layanan diajak untuk mengetahui dan menyadari
masalahnya (problem aware ness), membangun relasi, pemberian motivasi, memahami
masalah, penggalian strategi pemecahan masalah, pemilihan strategi hingga
implementasi strategi dimaksud, melalui: menciptakan iklim komunikasi yang
menyenangkan, memulai berbicara tentang permasalahan penyandang disabilitas,
mengakomodasi keluhan yang disampaikan penerima layanan, mengungkap perasaan
dan sikap penerima layanan yang dapat mengganggu keberfungsian sosialnya,
memberikan dukungan dan motivasi sosial kepada penerima layanan, menggunakan
pengalaman-pengalaman hidup yang positif dalam pelayanan rehabilitasi sosial dan
vokasional, menciptakan kegiatan yang kreatif, memanfaatkan sumber-sumber yang ada.
Komponen multi layanan sesuai Keputusan Menteri Sosial RI Nomor:
85/HUK/2007 adalah kriteria penerima manfaat, karakteristik penyelenggaraan multi
layanan, ruang lingkup, tugas dan tanggung jawab, kebijakan, prinsip, metode dan teknik
pelayanan. Pelaksanaan multi layanan (persiapan, pengembangan pelayanan, supervisi,
monitoring dan pelaporan).
Dasar yang digunakan dalam menganalisis penyelenggaraan pelayanan sesuai
dengan Kepmen Nomor: 50/HUK/2004 adalah enam komponen yang harus dimiliki
panti sosial terdiri: kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pelayanan dasar sosial, monitoring dan evaluasi
Sehubungan dengan Surat Surat Ditjen Bina Bangda Kemendagri No.
005/3377/V/Bangda tanggal 12 Nov 2015h Hal: Inventarisasi Kewenangan Berdasarkan
UU No. 23 Tahun 2014 yang memerlukan pengalihan Personil, Sarana Prasarana dan
Pembiayaan, perlu dilakukan pembahasan mengenai status “Panti Sosial yang
memberikan pelayanan lintas provinsi kepada penerima layanan”.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan daerah
provinsi serta daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi
dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional.
Berdasarkan prinsip, kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat adalah Urusan Pemerintahan yang lokasinya, penggunanya, manfaatnya
lintas daerah provinsi atau lintas negara serta penggunaan sumber dayanya lebih efisien bila
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Perlu dibahas bersama mengenai status dari 38 Panti di internal Kementerian Sosial
RI dengan melibatkan unsur-unsur Ditjen Rehabilitasi Sosial (Bagian OHH, Bagian PP,
Direktorat-Direktorat di lingkup Ditjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI) dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kajian Hukum, Biro Organisasi dan
Kepegawaian, Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI.
Kementerian atau lembaga pemerintah non Kementerian bersama Pemerintah
Daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang diprioritaskan oleh setiap daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota, Kementerian Sosial berdasarkan peraturan
Perundang-undangan, urusan bidang sosial adalah urusan wajib berkaitan dengan
pelayanan dasar maka berdasarkan hal tersebut, seharusnya Bidang Sosial tidak

[656]
dilakukan pemetaan urusan. Hal tersebut perlu dibahas dengan Ditjen Bina Bangda
Kementerian Dalam Negeri RI.
Pembahasan mengenai klarifikasi dari surat pengalihan P3D dan pemetaan urusan
terkait dengan tipologi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Bidang Sosial di provinsi
dan Kabupaten/Kota, berdasarkan hasil dari uji-coba pada bulan oktober 2015 di
beberapa daerah provinsi dan kab/kota.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada
urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan Wajib dibagi
dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Di samping urusan pemerintahan absolut dan
urusan pemerintahan konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan
pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden
sebagai kepala pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden
dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada
gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai
kepala pemerintahan kabupaten/kota.

[657]
NASKAH AKADEMIK / NASKAH URGENSI

RANCANGAN PERMENSOS
TENTANG
RESTORASI SOSIAL DALAM
PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

SYAUQI
ANALIS KEBIJAKAN MADYA
KEMENTERIAN SOSIAL RI
2017

[659]
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
KESETIAKAWANAN SOSIAL DAN SOLIDARITAS SOSIAL
Jargon tiada hari tanpa kesetiakawanan sosial menunjukan bahwa hal tersebut
merupakan sesuatu yang panting dalam kehidupan masyarakat, karena didalamnya
mengandung makna altruistik yang dalam pekerjaan sosial kadang diartikan sebagai
rasa kepedulian pada orang lain yang mengalami masalah dalam kehidupannya.
Kesetiakawanan sosial menurut UU No. 11 Tahun 2009 adalah Nilai-nilai dan
semangat kepedulian sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan atas
dasar empati dan kasih sayang.
Pada saat sekarang dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang demikian pesat yang berdampak pada perubahan pola hidup masyarakat,
kesetiakawanan sosial sebagai suatu nilai sekaligus mekanisme yang masih sangat
relevan untuk diperkuat dan dikembangkan. Kesetiakawanan sosial sebagai suatu nilai
masyarakat yang bersifat dinamis tidak terlepas dari beberapa isu yang berkembang
mengikuti dinamika masyarakat itu sendiri. Isu-isu tersebut diantaranya yaitu
globalisasi, otonomi daerah, konflik, dan kemiskinan-pengangguran.
Konsep tentang kesetiakawanan sosial merujuk pada konsep solidaritas sosial.
Solidaritas sosial menurut Emile Durkheim (1858-1917) terbagi dua yaitu solidaritas
mekanik dan solidaritas organik. Tipe solidaritas pertama ada pada masyarakat yang
masih bersifat sederhana atau tradisionil, sedangkan tipe kedua menunjuk pada
masyarakat moderan. Oleh karena itu kesetiakawanan sosial tetap masih tetap berlaku
hingga saat ini baik masyarakat tradisional yang biasanya mewakili desa-desa maupun
masyarakat moderan yang dapat direfresentasikan oleh perkotaan.
Solidaritas sosial berkaitan dengan integrasi yang diperlihatkan oleh anggota
masyarakat, ikatan di dalam suatu masyarakat dalam bentuk relasi sosial yang
mengikat satu sama lain. Hal itu didasarkan atas rasa kekeluargaan dan berbagi nilai-
nilai yang mana anggota-anggota masyarakat bekerjasama atau bergotong-royong
(cooperate) diantara mereka dalam suatu cara yang efektif, apakah secara sendiri-
sendiri atau kelompok melakukan sesuatu hal yang positif seperti membantu anak
yatim, orang sakit, janda, dan lainnya, yang didorong oleh perasaan mendalam yang
berasal dari nilai-nilai budaya atau agama.
Solidaritas sosial menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan
kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung
nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari
hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat
hubungan antar mereka. Menurut Durkheim, berdasarkan hasilnya, solidaritas dapat
dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak
menghasilkan integrasi apapun, atau dengan kata bukan dalam konteks masyarakat
yang memiliki integrasi sosial. Sedangkan solidaritas positif adalah sebaliknya, dimana
mengikat individu pada masyarakat secara langsung.
Solidaritas sosial tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan masyarakat di
suatu lokasi. Masyarakat yang sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang
berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat
sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial yang bersifat mekanik,

[661]
sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial yang
bersifat organik.
Kedua Solidaritas Sosial tersebut oleh Durkheim (Robert M.Z. Lawang, 1986:183)
dijelaskan sebagai berikut :
1. Solidaritas Mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama (collective
consciousness/conscience), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-
kepercayaan yang sama yang terdapat dalam masyarakat”. Solidaritas ini
tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat sama dan menganut
kepercayaan yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang
sama pula. Dalam pandangan ini masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang
hidup, berpikir dan bertingkah laku yang dihadapkan kepada gejala-gejala sosial
atau fakta-fakta sosial yang seolah-olah berada di luar individu.
Fakta sosial yang berada di luar individu memiliki kekuatan untuk memaksa.
Pada awalnya, fakta sosial berasal dari pikiran atau tingkah laku individu,
namun terdapat pula pikiran dan tingkah laku yang sama dari individu-individu
yang lain, sehingga menjadi tingkah laku dan pikiran masyarakat, yang pada
akhirnya menjadi fakta sosial. Fakta sosial yang merupakan gejala umum ini
sifatnya kolektif, disebabkan oleh sesuatu yang dipaksakan pada tiap-tiap
individu. Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah
adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian
kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain.
2. Solidaritas Organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas
itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling
ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan
bertambahnya perbedaan di kalangan individu, sehingga merombak kesadaran
kolektif. Pada solidaritas organik, ditandai oleh heterogenitas dan individualitas
yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain. Masing-masing
pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk dirinya, dimana solidaritas
organik mengakui adanya kepribadian masing-masing orang. Solidaritas organik
berasal dari semakin terdiferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja
yang menyertai perkembangan sosial.
Selian itu terkait dengan solidaritas sosial, Ferdinand Tonnies, mengelompokkan
masyarakat menjadi dua macam yaitu : 1) Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft) dan
2) Masyarakat Patembayan (Gesselschaft). Masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft)
merupakan masyarakat yang ditandai dengan hubungan antara anggota-anggota
warga berdasarkan ikatan kekeluargaan yang sangat mendalam (batiniah) dengan
perwujudan rasa cinta, rasa solidaritas yang tinggi, dan pengorbanan tanpa pamrih; 2)
Masyarakat Patembayan (Gesselschaft) merupakan masyarakat yang ditandai dengan
hubungan antara anggota-anggota warga yang lebih mengutamakan pamrih, ikatan
yang lemah, dan bersifat materi/kebendaan.
Dalam realita sosial yang lebih konkrit dalam hidup bermasyarakat, maka
manusia senantiasa dibumbui dengan berbagai benturan kepentingan yang berbeda
sebagai cermin manusia sebagai makhluk individu: manusia memiliki karakteristik
tertentu yang membedakannya dengan manusia yang lain, yakni cenderung ingin
menang sendiri dan mementingkan kepentingan pribadi walaupun di satu sisi tidak
bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Di sini jelas hakikatnya bahwa manusia bersifat
monodualis, artinya manusia selain sebagai makhluk individu sekaligus sebagai
makhluk sosial.

[662]
Modal Sosial
Modal sosial digunakan untuk mewujudkan kepedulian sosial, gotong-royong,
kepercayaan antarwarga, dan perlindungan lembaga adat, serta kehidupan
bermasyarakat tanpa diskriminasi dan penguatan nilai kesetiakawanan sosial;
Kesadaran kolektif untuk menjunjung tertib sosial diperlukan untuk meningkatnya
peran pranata sosial-budaya untuk memperkuat kohesi, harmoni dan solidaritas sosial
berbasis nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keragaman ras, suku bangsa dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia
merupakan potensi bangsa, sehingga perlu dikelola dengan baik guna memperkuat jati
diri bangsa, serta modal untuk menjadi negara yang maju dan modern. Keragaman ini
juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal seperti nilai-nilai kesetiakawanan sosial
yang dapat dimanfaatkan untuk merespon modernisasi agar sejalan dengan nilai-nilai
kebangsaan.
Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial memiliki arti
penting dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang hidup rukun, damai,
bermoral dan berbudaya, sehingga bangsa Indonesia mampu menjaga perbedaan
dalam persatuan dan kesatuan.
Restorasi sosial dimaksudkan untuk meletakkan Pancasila pada fungsi dan
peranannya sebagai dasar filsafat negara, membebaskannya dari stigma, serta diberi
ruang pemaknaan yang cukup, dalam rangka merespon tantangan perubahan jaman.
Dalam rangka memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia
dengan nilai-nilai gotong-royong, kesetiakawanan sosial, toleransi saling menghargai
kepercayaan dan budaya orang lain.
Modal sosial digunakan untuk mewujudkan kepedulian sosial, gotong-royong,
kepercayaan antarwarga, dan perlindungan lembaga adat, serta kehidupan
bermasyarakat tanpa diskriminasi dan penguatan nilai kesetiakawanan sosial;
Kesadaran kolektif untuk menjunjung tertib sosial diperlukan untuk meningkatnya
peran pranata sosial-budaya untuk memperkuat kohesi, harmoni dan solidaritas sosial
berbasis nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama dengan meningkatnya
jumlah dan kualitas penyuluh agama yang tersebar merata di seluruh wilayah;
fasilitasi pembinaan dan pemberdayaan umat beragama, intensitas dialog antara guru
agama dan pendakwah dengan cendekiawan. Harmoni sosial dan kerukunan umat
beragama dengan meningkatnya fasilitasi penyelenggaraan dialog antarumat
beragama di kalangan tokoh agama, pemuda, dan lembaga sosial keagamaan,
pembinaan dan pengembangan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Pembangunan karakter, tumbuhnya jiwa patriotisme, budaya prestasi, dan
profesionalitas pemuda dengan partisipasi kader pemuda dalam pendidikan
kepramukaan, partisipasi kader pemuda dalam pengembangan wawasan kebangsaan,
bela negara dan ketahanan nasional.
Partisipasi pemuda di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang sosial,
politik, ekonomi, budaya dan agama yang ditandai dengan partisipasi kader pemuda
kepeloporan, kepemimpinan, dan kewirausahaan; dan partisipasi kader pemuda
dalam kegiatan organisasi kepemudaan.
Kebhinekaan merupakan interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa
saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Menguatnya nilai-nilai
primordialisme dan fundamentalisme dapat mengancam kelangsungan hidup
bersama dalam kemajemukan Indonesia. Pemahaman konservatisme keagamaan

[663]
khususnya di kalangan muda dan masyarakat, serta merebaknya kekerasan
berbasiskan keagamaan. Untuk itu arah kebijakan dan strategi yang dilakukan dalam
rangka meningkatkan modal sosial dan nilai-nilai sosial budaya.
Memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog
antar warga, melalui Pendidikan karakter dan pekerti bangsa yang dilandasi oleh
nilai-nilai kearifan lokal dengan peningkatan pemahaman tentang nilai-nilai
kesejarahan dan wawasan kebangsaan; dan pelindungan, pengembangan dan
aktualisasi nilai dan tradisi dalam rangka memperkaya dan memperkukuh khasanah
budaya bangsa.
Membangun kembali modal sosial dalam rangka memperkukuh karakter dan
jati diri bangsa, melalui pengembangan kepedulian sosial, pranata gotong-royong,
penggalangan inisiatif komunitas untuk merencanakan dan ikut menyediakan
kebutuhan komunitas mereka sendiri, pengembangan karakter dan jati diri bangsa;
dan kepercayaan antarwarga dan pencegahan diskriminasi, peran Kelembagaan
Sosial, melalui pengembangan sistem rujukan dan layanan terpadu di tingkat
kabupaten/kota, untuk memperkuat layanan sosial berbasis komunitas dan
dukungan CSR, kompentensi dan ketersediaan tenaga kesejahteraan sosial, sebagai
bentuk kepedulian sosial generasi muda dalam melayani masyarakat.
Perlunya peningkatan kualitas dan standarisasi lembaga kesejahteraan sosial
sebagai agen kesetiakawanan sosial, kepatuhan terhadap hukum dan penghormatan
terhadap lembaga penegakan hukum melalui pengembangan rumah budaya
nusantara di dalam negeri, meningkatkan pemahaman, penghayatan, pengamalan dan
pengembangan nilai-nilai keagamaan, sehingga agama berfungsi dan berperan sebagai
landasan moral dan etika dalam pembangunan, melalui peningkatan kapasitas dan
kualitas penyuluh agama, peran tokoh agama, lembaga sosial keagamaan dan media
massa dalam melakukan bimbingan keagamaan masyarakat, kegiatan pembinaan dan
pemberdayaan umat beragama, kerukunan umat beragama, melalui dialog antarumat
beragama untuk memperoleh pemahaman agama berwawasan multikultur.
Peningkatan pembudayaan kesetiakawanan sosial dalam penyelenggaraan
perlindungan sosial, melalui penyuluhan sosial untuk pendidikan dan kesadaran
masyarakat melalui: pemanfaatan data dan teknologi informasi; promosi/kampanye
sosial melalui multimedia dan media sosial; sosialisasi dan diseminasi; pelatihan; serta
aksi sosial, penguatan peran pemerintah pusat, pemerintah daerah dan berbagai unsur
masyarakat dalam penyelenggaraan kesetiakawanan sosial; dan peningkatan jejaring
kerja kesetiakawanan sosial melalui media, dunia usaha, dan masyarakat, termasuk
diantaranya forum kepemudaan, pekerja sosial, dan CSR.
Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pandangan ekonomi mainstream, kebijakan sosial yang secara formal
muncul dalam konsep negara kesejahteraan dianggap sebuah anomaly. Inti persoalan
sebenarnya adlah kerancuan antara “barang publik” (public goods) dan barang pribadi
(private goods) (Rothstein,1998).
Menurut para ekonomi neo-klasik, segala sesuatu hanya akan efisien jika
diperlakukan sebagai barang pribadi yang dapat diperdagangkan dengan
menggunakan mekanisme pasar, termasuk hal-hal terkait dengan jaminan kesehatan
(health care), asuransi sosial (social insurance) dan pendidikan. Karena itu,

[664]
penyelenggara layanan di segala bidang bisa dan harus diserahkan kepada sektor
swasta.
Namun, pandangan lain mengatakan bahwa hal-hal terkait dengan kesejahteraan
sosial sebaiknya dikelola sebagai barang publik dan tidak diserahkan begitu saja pada
mekanisme pasar. Dengan demikian, sebagai barang publik, beberapa hal terkait
dengan kesejahteraan sosial tidak termasuk dalam kategori dilema sosial (ostrom,
1998).
Persoalan pragmatis seperti defisit anggaran atau kebijakan fiskal dalam
kerangka kebijakan sosial sering ditentang bukan karena alasan teknis semata. Dalam
konteks Indonesia, ketersediaan anggaran sering dijadikan alasan untuk mencounter
setiap tuntutan yang hendak mengembangkan kebijakan sosial. Corak berfikir yang
selama ini dipakai adalah setiap pengeluaran pemerintah pasti akan menimbulkan
efek crowding-out.
Padahal, dalam kebijakan sosial dan negara kesejahteraan, pengeluaran
pemerintah seharusnya dianggap sebagai investasi yang dapat mendorong tingkat
daya beli masyarakat. Karena itu, supaya kebijakan sosial mendapatkan ruang lebih
besar, hal pertama yang harus diubah adalah cara pandang yang terlalu biasa pada
prinsip dan kepentingan mekanisme pasar.
Setelah memiliki konsensus bersama bahwa kebijakan sosial perlu mendapatkan
ruang lebih besar dalam dinamika ekonomi dan politik, persoalan berikut yang perlu
dibenahi adalah bagaimana membiayai dan mekanisme pembiayaan kebijakan sosial.
Kerisauan terhadap arah pembangunan di Indonesia selama ini terlalu
memfokuskan perhatian pada pertumbuhan yang mengandalkan investasi besar,
namun kurang mengikutsertakan rakyat kecil sebagai subjek dan bagian utama dari
pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan, namun tidak cukup karena pada
akhirnya sumber daya manusia unggul dan produktif adalah kunci kemajuan serta
keberlanjutan pembangunan. Akibat mengabaikan pembangunan sosial dan terjadi
eksklusi pembangunan pada masyarakat bawah, penduduk miskin, kurang mampu
dan rentan mengalami ketertutupan akses serta tertinggal dalam setiap proses
pembangunan.
Tidaklah mengherankan jika ini membuat indeks pembangunan manusia (IPM)
Indonesia terus merosot, bahkan dalam beberapa kasus tampak lebih buruk ketimbang
Negara yang tingkat ekonominya jauh di bawah Indonesia.

Permasalahan Sosial
Arah Kebijakan Percepatan Pengurangan Kemiskinan (RPJMN III) terkait
perlindungan sosial dengan meningkatkan pelaksanaan Sistim Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), meningkatkan penataan asistensi sosial. Pengembangan lingkungan
yang inklusif bagi penyandang disabilitas dan lansia melalui Peraturan presiden RI
Nomor 75 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dan
Instruksi Presiden RI Nomor 10 tahun 2015 tentang Aksi hak Asasi Manusia tahun
2015.
Percepatan penanggulangan kemiskinan melalui Peraturan Presiden RI Nomor
166 Tahun 2014 dan Instruksi Presiden RI Nomor 7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar dan Program
Indonesia Sehat untuk membangun keluarga produktif dipertegas dengan Peraturan

[665]
Presiden RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
2015-2019.
Isu pengurangan ketimpangan antar kelompok dan pertumbuhan ekonomi yang
inklusif terutama bagi masyarakat miskin dan rentan; penyempurnaan pelaksanaan
perlindungan sosial yang komprehensif; perluasan dan peningkatan pelayanan dasar
untuk masyarakat miskin dan rentan, dan pengembangan penghidupan berkelanjutan.
Untuk tercapainya sinergitas pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur
Pemerintah Pusat dan daerah dalam pelaksanaan Urusan pemerintahan Dalam Negeri
berbasis kompetensi perlu dilakukan bimbingan teknis fasilitator pembelajaran
perumus Standar Kompetensi di tempat kerja sesuai dengan Undang-Undang No. 2
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang No.23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendekatan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
sehingga dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Standar Kompetensi.
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 24
bahwa Kementerian atau lembaga pemerintah non kementeria bersama pemerintah
daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang diprioritaskan oleh setiap
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Hasil pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan ditetapkan dengan peraturan
menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pemetaan urusan
pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dilakukan untuk
menentukan intensitas urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan konkuren dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan kepada penerima layanan yaitu masyarakat,
diatur pada pasal 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan norma,
standar, prosedur, kriteria (NSPK) dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan
dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota dalam melaksanakan urusan
pemerintah (misalkan bidang sosial) berpedoman pada NSPK yang ditetapkan
(misalkan NSPK Bidang Sosial).
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya
dukungan personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi
yang diperlukan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai
birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
pada Pasal 14 ayat (1) dari PP 18/2016 disebutkan bahwa dinas daerah provinsi
dibedakan dalam 3 (tiga) tipe. Tipe dinas Daerah provinsi terdiri atas: a. dinas Daerah
provinsi tipe A untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah provinsi dengan
beban kerja yang besar; b. dinas Daerah provinsi tipe B untuk mewadahi pelaksanaan

[666]
fungsi dinas Daerah provinsi dengan beban kerja yang sedang; dan c. dinas Daerah
provinsi tipe C untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah provinsi dengan
beban kerja yang kecil.
Pada Pasal 15 PP 18/2016 disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan terdiri dari
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan
Wajib terdiri atas: a. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar; dan b. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar terdiri
atas: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d.
perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman dan ketertiban umum
serta perlindungan masyarakat; dan f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
terdiri atas: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c.
pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk
dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi,
usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olahraga; n.
statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan terdiri atas: a. kelautan dan perikanan; b.
pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f.
perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. Masing-masing Urusan
Pemerintahan diwadahi dalam bentuk dinas Daerah provinsi.
PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 18 disebutkan bahwa dalam
hal berdasarkan perhitungan nilai variabel bahwa suatu Urusan Pemerintahan tidak
memenuhi syarat untuk dibentuk dinas Daerah provinsi sendiri, Urusan Pemerintahan
tersebut digabung dengan dinas lain. Dalam hal berdasarkan hasil perhitungan nilai
variabel teknis Urusan Pemerintahan memperoleh nilai 0 (nol),
Urusan Pemerintahan tersebut tidak diwadahi dalam unit organisasi Perangkat
Daerah. Penggabungan Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) dinas Daerah provinsi
didasarkan pada perumpunan Urusan Pemerintahan dengan kriteria: a. kedekatan
karakteristik Urusan Pemerintahan; dan/atau b. keterkaitan antar penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan.
Perumpunan Urusan Pemerintahan meliputi: a. pendidikan, kebudayaan,
kepemudaan dan olahraga, serta pariwisata; b. kesehatan, sosial, pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, pengendalian penduduk dan keluarga
berencana, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil serta pemberdayaan
masyarakat dan Desa; c. ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan
masyarakat, sub urusan ketenteraman dan ketertiban umum dan sub urusan
kebakaran; d. penanaman modal, koperasi, usaha kecil dan menengah, perindustrian,
perdagangan, energi dan sumber daya mineral, transmigrasi, dan tenaga kerja; e.
komunikasi dan informatika, statistik, dan persandian; f. perumahan dan kawasan
permukiman, pekerjaan umum dan penataan ruang, pertanahan, perhubungan,
lingkungan hidup, kehutanan, pangan, pertanian, serta kelautan dan perikanan; dan g.
perpustakaan dan kearsipan.
Penggabungan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling banyak 3 (tiga) Urusan Pemerintahan. Tipelogi dinas hasil
penggabungan Urusan Pemerintahan dapat dinaikkan 1 (satu) tingkat lebih tinggi atau

[667]
mendapat tambahan 1 (satu) bidang apabila mendapatkan tambahan bidang baru dari
Urusan Pemerintahan yang digabungkan. Nomenklatur dinas yang mendapatkan
tambahan bidang Urusan Pemerintahan merupakan nomenklatur dinas dari Urusan
Pemerintahan yang berdiri sendiri sebelum penggabungan.
Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel tidak terdapat Urusan
Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas, Urusan Pemerintahan tersebut dapat
digabung menjadi 1 (satu) dinas tipe C sepanjang paling sedikit memperoleh 2 (dua)
bidang. Nomenklatur dinas mencerminkan Urusan Pemerintahan yang digabung.
Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel tidak terdapat Urusan
Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun yang memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas
atau bidang, fungsi tersebut dilaksanakan oleh sekretariat Daerah dengan menambah 1
(satu) subbagian pada unit kerja yang mengoordinasikan Urusan Pemerintahan yang
terkait dengan fungsi tersebut.
Pengisian Jabatan Perangkat Daerah Pasal 98 bahwa Perangkat Daerah diisi oleh
pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
undangan. Pegawai aparatur sipil negara yang menduduki jabatan pimpinan tinggi,
jabatan administrator, dan jabatan pengawas pada Perangkat Daerah wajib
memenuhi persyaratan kompetensi: a. teknis; b. manajerial; dan c. sosial kultural.
Selain memenuhi kompetensi, pegawai aparatur sipil negara yang menduduki
jabatan Perangkat Daerah harus memenuhi kompetensi pemerintahan. Kompetensi
teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional,
dan pengalaman bekerja secara teknis yang dibuktikan dengan sertifikasi. Kompetensi
manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan
pengalaman kepemimpinan.
Kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan
kebangsaan.
Kompetensi teknis ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga pemerintah
nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan ditetapkan oleh Menteri (Menteri Dalam Negeri).
Kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikasi. Sertifikasi dilaksanakan oleh
suatu lembaga sertifikasi yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi
penyelenggara pemerintahan dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi pemerintahan
diatur dengan Peraturan Menteri.
PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 110 disebutkan bahwa
pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah provinsi dilakukan oleh
Menteri (Menteri Dalam Negeri). Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat
Daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pada Pasal 111 pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah
dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
simplifikasi dalam penataan Perangkat Daerah.
Kompetensi pemerintahan pada Pasal 98 Ayat (3) antara lain kompetensi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terkait dengan kebijakan Desentralisasi,
hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, pemerintahan umum, pengelolaan
keuangan Daerah, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, hubungan
Pemerintah Daerah dengan DPRD, serta etika pemerintahan. Pada Pasal 99 yang

[668]
dimaksud dengan “ketentuan peraturan Perundang-undangan” adalah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan Perundang-
undangan mengenai aparatur sipil negara. Pada Pasal 105 Ayat (5) yang dimaksud
dengan ”Menteri menyampaikan rencana pemetaan kepada kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian untuk melaksanakan pemetaan Urusan Pemerintahan”
adalah Menteri memfasilitasi dan mengoordinasikan pertemuan Pemerintah Daerah
provinsi dan kabupaten/kota dengan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian untuk melaksanakan verifikasi data dari kabupaten/kota masing-
masing dengan menggunakan sistem informasi pemetaan Urusan Pemerintahan dan
penentuan beban kerja Perangkat Daerah.
Pemetaan Urusan Pemerintahan dan nomenklatur dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang intensitas Urusan Pemerintahan Wajib dan potensi Urusan
Pemerintahan Pilihan serta beban kerja penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.
Pemetaan Urusan Pemerintahan digunakan untuk menentukan susunan dan tipe
Perangkat Daerah.
Kriteria variabel dalam tata cara pemetaan pada Pasal 105 Pemerintah Daerah
menyusun rencana pemetaan Urusan Pemerintahan dengan berkonsultasi kepada
Menteri dan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Gubernur
selaku wakil Pemerintah Pusat mengoordinasikan penyusunan rencana pemetaan
Urusan Pemerintahan bagi kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsinya.
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengintegrasikan rencana pemetaan Urusan
Pemeritahan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsinya dengan rencana pemetaan
Urusan Pemerintahan Daerah provinsi.
Gubernur menyampaikan rencana pemetaan Urusan Pemerintahan yang
terintegrasi kepada Menteri. Menteri menyampaikan rencana pemetaan kepada
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melaksanakan pemetaan
Urusan Pemerintahan. Menteri dan kementerian/lembaga pemerintah non
kementerian melakukan pendampingan dan konsultasi kepada Pemerintah Daerah
dalam melakukan pemetaan berdasarkan rencana.
Untuk membantu kelancaran pemetaan Urusan Pemerintahan di Pasal 106 PP
18/2016, bahwa Menteri mengembangkan sistem informasi pemetaan Urusan
Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat Daerah. Sistem informasi
pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat Daerah
digunakan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan Pemerintah
Daerah untuk pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat
Daerah.
Pemetaan Urusan Pemerintahan pada PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah di
bagian ketiga hasil Pemetaan Pasal 107 bahwa hasil ditentukan berdasarkan hasil
perhitungan nilai variabel Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota setelah dikalikan dengan faktor kesulitan geografis. Kesulitan
geografis ditentukan dengan klasifikasi sebagai berikut: a. provinsi dan kabupaten di
Jawa dan Bali dikalikan 1 (satu); b. provinsi dan kabupaten di Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi serta kota di seluruh wilayah dikalikan 1,1 (satu koma satu); c. provinsi
dan kabupaten di Nusa Tenggara dan Maluku dikalikan 1,2 (satu koma dua); d.
provinsi dan kabupaten di Papua dikalikan 1,4 (satu koma empat); e. Daerah provinsi
dan kabupaten/kota berciri kepulauan dikalikan 1,4 (satu koma empat); f.
kabupaten/kota di Daerah perbatasan darat Negara dikalikan 1,4 (satu koma empat);
dan g. kabupaten/kota di pulau-pulau terluar di Daerah perbatasan dikalikan 1,5 (satu
koma lima).

[669]
Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 5 Tahun 2017 tentang Pedoman
Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
Perangkat Daerah Provinsi adalah unsur pembantu gubernur dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi.
Perangkat Daerah Kabupaten/Kota adalah unsur pembantu bupati/walikota
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja
pada instansi pemerintah.
Unsur penunjang Pemerintahan terdiri atas: a. unsur penunjang Pemerintahan
Provinsi; dan b. unsur penunjang Pemerintahan Kabupaten/Kota. Unsur penunjang
Urusan Pemerintahan Provinsi meliputi: a.perencanaan; b.keuangan; c.kepegawaian;
d.pendidikan dan pelatihan; e.penelitian dan pengembangan; dan f.fungsi penunjang
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Unsur penunjang Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota meliputi: a.
perencanaan; b. keuangan; c. kepegawaian, pendidikan dan pelatihan; d. penelitian
dan pengembangan; dan e. fungsi penunjang lainnya sesuai dengan peraturan
Perundang-undangan. Masing-masing fungsi penunjang urusan pemerintahan
diwadahi dalam Perangkat Daerah berbentuk Badan.
Peraturan Menteri Dalam negeri RI No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah.
Dalam hal suatu Daerah masuk dalam 2 (dua) klasifikasi atau lebih, Daerah
dimaksud dapat memilih faktor kesulitan geografis terbesar. Perkalian hasil
perhitungan nilai variabel Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dengan faktor kesulitan geografis tidak berlaku bagi sekretariat
DPRD, Urusan Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota bidang kearsipan
dan persandian. Urusan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota bidang kehutanan,
serta bidang energi dan sumber daya mineral.
Hasil pemetaan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah
nonkementerian setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pada Pasal 108
Penyelenggara Pemerintahan Daerah menggunakan hasil pemetaan Urusan
Pemerintahan dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Penggunaan hasil pemetaan untuk perencanaan dan penganggaran dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian menggunakan hasil pemetaan untuk pembinaan teknis kepada
Daerah secara nasional.
Bagian Keempat Nomenklatur Perangkat Daerah pada Pasal 109 disebutkan
bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah menetapkan nomenklatur Perangkat
Daerah dan unit kerja pada Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pedoman dari kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang membidangi Urusan Pemerintahan tersebut.

[670]
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian menetapkan pedoman
nomenklatur Perangkat Daerah dan unit kerja pada Perangkat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan pendekatan fungsi pada setiap sub urusan dan
kewenangan dari Urusan Pemerintahan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Menteri menetapkan pedoman nomenklatur dan unit kerja sekretariat Daerah,
sekretariat DPRD, inspektorat, unit pelayanan terpadu satu pintu, badan, serta
nomenklatur dan unit kerja dinas yang melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diselenggarakan oleh lebih dari 1 (satu) kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian.
Pembinaan dan Pengendalian Perangkat Daerah dalam PP 18/2016 tentang
Perangkat Daerah diatur pada Bab X pada Pasal 110 bahwa Pembinaan dan
pengendalian penataan Perangkat Daerah provinsi dilakukan oleh Menteri.
Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah kabupaten/kota dilakukan
oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah dilaksanakan dengan
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam
penataan Perangkat Daerah. Pembinaan penataan Perangkat Daerah, meliputi: a.
struktur organisasi; b. budaya organisasi; dan c. inovasi organisasi.
Menteri melakukan penilaian kepada Perangkat Daerah provinsi dan gubernur
melakukan penilaian kepada Perangkat Daerah kabupaten/kota pada Pasal 112
disebutkan, yang memiliki inovasi dalam penataan dan pengelolaan organisasi.
Penghargaan terhadap hasil penilaian kepada Perangkat Daerah diberikan oleh
Menteri pada Hari Otonomi Daerah.
Pada Pasal 113 bahwa dalam hal perangkat gubernur selaku wakil Pemerintah
Pusat belum terbentuk, pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah
kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dibantu
oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi pembinaan kelembagaan Perangkat
Daerah.
Kemudian pada Pasal 114 bahwa Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi
penataan Perangkat Daerah. Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi, Menteri
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di
bidang aparatur negara. Perlu dicermati dengan Pasal 115 mengatur ketentuan lebih
lanjut mengenai pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah diatur
dalam Peraturan Menteri dan ditetapkan setelah dikoordinasikan dengan menteri
yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang aparatur negara.
Hubungan antara Perangkat Daerah dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota
disebutkan pada PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah disebutkan dalam Pasal 116
bahwa Perangkat Daerah provinsi melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah provinsi dan melaksanakan Tugas Pembantuan yang
diberikan kepada Daerah provinsi. Perangkat Daerah kabupaten/kota melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah kabupaten/kota dan
melaksanakan Tugas Pembantuan yang diberikan kepada Daerah kabupaten/kota.
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan dan Tugas Pembantuan, hubungan
Perangkat Daerah provinsi dan Perangkat Daerah kabupaten/kota bersifat koordinatif
dan fungsional untuk menyinkronkan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing
Perangkat Daerah. Sinkronisasi meliputi: a. sinkronisasi data; b. sinkronisasi sasaran
dan program; dan c. sinkronisasi waktu dan tempat kegiatan.

[671]
Sistem informasi pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja
Perangkat Daerah pada Pasal 106 Ayat (1) PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah, yang
dimaksud dengan “adalah sistem informasi yang digunakan secara bersama-sama oleh
pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan Pemerintah Pusat untuk
mengintegrasikan pemetaan Urusan Pemerintahan dengan kelembagaan dan
kepegawaian Perangkat Daerah, yang antara lain meliputi peta Urusan Pemerintahan,
indikator, bobot, interval, tata cara perhitungan skor intensitas urusan dan besaran
kelembagaan Perangkat Daerah, peta jabatan, jumlah pemangku jabatan dan
persyaratan kompetensi yang diperlukan, serta data lain yang diperlukan dalam
pembinaan dan pengendalian kelembagaan dan kepegawaian Perangkat Daerah.

B. Identifikasi Masalah
Upaya untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia perlu dilengkapi
dengan gerakan Revolusi Mental untuk mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan
perilaku semua orang, yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan, sehingga
Indonesia menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.
Revolusi Mental sebagai gerakan kolektif yang melibatkan seluruh bangsa
dengan memperkuat peran semua institusi pemerintahan dan pranata sosial-budaya
yang ada di masyarakat dilaksanakan melalui internalisasi nilai-nilai esensial pada
individu, keluarga, insititusi sosial, masyarakat sampai dengan lembaga-lembaga
negara. Nilai-nilai esensial tersebut meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi
berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif-
inovatif adaptif, kerjasama dan gotong royong, dan berorientasi pada kebajikan publik
dan kemaslahatan umum. Indonesia merupakan negara majemuk yang ditandai
dengan khazanah kebudayaan Nusantara yang sangat kaya dan beragam baik budaya,
suku, agama, bahasa, maupun adat istiadat. Dalam kemajemukan tersebut, masyarakat
hidup rukun dalam suatu interaksi sosial antarwarga yang harmonis, sehingga bangsa
Indonesia mampu menjaga keutuhan nasional dalam bingkai kebhinnekaan yang
tunggal ika. Limpahan kekayaan alam dan aneka rupa khazanah kebudayaan
Nusantara tersebut apabila dikelola dengan baik, dapat mengantarkan Indonesia
menjadi negara-bangsa yang maju, makmur, dan sejahtera serta mandiri. Untuk
mencapai Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera serta mandiri diperlukan
manusia-manusia unggul dengan pendidikan yang baik, memiliki keahlian dan
keterampilan, menguasai teknologi, pekerja keras, mempunyai etos kemajuan; selalu
bersikap optimistik dalam menatap masa depan; dan memiliki nilai-nilai luhur yaitu
gotong royong, toleransi, solidaritas, rukun dan saling menghargai dan menghormati.
Disamping itu manusia unggul harus memiliki kesadaran bahwa sumber daya alam
dan lingkungan hidup adalah aset yang harus digunakan secara efisien dan tetap
dijaga kualitasnya, tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk
melakukan eksplorasi kekayaan alam tersebut bagi kesejahteraan mereka.

[672]
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
RANCANGAN PERMENSOS TENTANG RESTORASI SOSIAL
DALAM PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Permensos tersebut perlu disusun dan ditetapkan dengan memperhatikan landasan


filosofis, yuridis, dan Sosiologis, sebagai berikut :

A. Landasan Filosofis
Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa
Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan
fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi,
diantaranya koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Sosial,
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Sosial di daerah, pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.
Susunan Organisasi Kementerian Sosial terdiri atas :
1. Sekretariat Jenderal;
2. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial;
3. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial;
4. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial;
5. Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin;
6. Inspektorat Jenderal;
7. Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial;
8. Staf Ahli Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial;
9. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesejahteraan Sosial; dan
10. Staf Ahli Bidang Aksesibilitas Sosial.
Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Sosial pada Pasal 431, Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428 terdiri atas :
1. Sekretariat Direktorat Jenderal;
2. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Perdesaan;
3. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Perkotaan; dan
4. Direktorat Penanganan Fakir Miskin Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Perbatasan
Antar Negara.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta
Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan

[673]
dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau
peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang
akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau
Peraturan Daerah yang baru.
Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan
Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari
penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan
yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut
fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan-Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum
itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis
atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

B. Konsep Modal Sosial


Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur
kualitas hubungan dalam komunitas, organisasi, dan masyarakat. Menurut Putnam
modal sosial adalah “complexly conceptualized as the network of associations, activities, or
relations that bind people together as a community via certain norms and psychological
capacities, notably trust, which are essential for civil society and productive of future collective
action or goods, in the manner of other forms of capital”23. Putnam (1993, 1996, 2000)
menyatakan bahwa modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial, seperti
trust, norma dan jaringan sosial yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih

[674]
terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara
efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas
secara individual maupun berkelompok.
1. Unsur Modal Sosial
Di dalam suatu masyarakat, ternyata mempunyai unsur-unsur pokok modal
sosial yang kemudian akan menghasilkan seberapa besar kemampuan masyarakat
atau asosiasi itu untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai
tujuan bersama. Dijelaskan dalam Hasbullah (2006) unsur-unsur pokok itu terdiri
dari :
a. Partisipasi dalam Suatu Jaringan
Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan
terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk
bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial
akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat
untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Salah
satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pula pada
kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam
melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.
b. Resiprocity
Modal sosial selalu diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan
antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola
pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika
seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan
jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan
mementingkan kepentingan orang lain). Seseorang atau banyak orang dari suatu
kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan
imbalan seketika. Dalam konsep Islam, semangat seperti ini disebut keikhlasan.
Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya tidak
diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat dan pada
kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot
resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat
modal sosial yang tinggi. Ini juga akan terefleksikan dengan tingkat keperdulian
sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Pada
masyarakat yang demikian, kemiskinan akan lebih memungkinkan, dan
kemungkinan lebih mudah diatasi. Begitu juga dengan problema sosial lainnya
akan dapat diminimalkan. Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih
mudah membangun diri, kelompok dan lingkungan sosial dan fisik mereka
secara mengagumkan.
c. Trust
Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan
untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari
oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan senantiasa bertindak dalam suatu
pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak akan
bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam. 1993, 1995, 2002). Dalam
pandangan Fukuyama (1995, 2002), trust adalah sikap saling mempercayai di
masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut bersatu dengan yang lain
dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.

[675]
d. Norma Sosial
Norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk
perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah
sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota
masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya
terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu
berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di
masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi
dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku
yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.
e. Nilai-nilai
Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan
penting oleh anggota kelompok masyarakat. Misalnya, nilai harmoni, prestasi,
kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan contoh-contoh nilai yang sangat
umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Nilai senantiasa memiliki
kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmoni misalnya, yang oleh
banyak pihak dianggap sebagai pemicu banyak keindahan dan kerukunan
hubungan sosial yang tercipta, tetapi di sisi lain dipercaya pula untuk senantiasa
menghasilkan suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktifitas.
Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni biasanya
akan senantiasa ditandai oleh suatu suasana yang rukun, indah, namun terutama
dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan masalah misalnya, tidak produktif.
Modal sosial yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi nilai yang
tercipta pada suatu kelompok masyarakat. Jika suatu kelompok memberi bobot
tinggi pada nilai-nilai kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran
maka kelompok masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang
dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat yang senantiasa
menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian.
f. Tindakan yang Proaktif
Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari
para anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari
jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Ide dasar dari
premise ini bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. Mereka
melibatkan diri dan mencari kesempatan-kesempatan yang dapat memperkaya,
tidak saja dari sisi material tetapi juga kekayaan hubungan-hubungan sosial dan
menguntungkan kelompok, tanpa merugikan orang lain, secara bersama-sama.
Mereka cenderung tidak menyukai bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani,
melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif.

C. Nilai Kesetiakawanan Sosial


Untuk mengetahui Nilai Kesetiakawanan Sosial yang masih ada ataupun sudah
memudar di masyarakat, diperlukan Restorasi Sosial sebagai wujud pemulihan
kembali. Untuk melihat dan mengukur Nilai Kesetiakawanan Sosial dalam
masyarakat, sekarang ini masih dapat dilihat dari kegiatan yang ada dalam
masyarakat kita. Kegiatan ini biasanya masih sepenuhnya ada atau terkadang sudah
memudar dalam kehidupan bermasyarakat perdesaan dan perkotaan yang mana

[676]
mereka masih mempunyai hubungan erat dan rasa kepedulian antar sesama yang
masih kental.
D. Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan sosial adalah terjalinnya semangat kebersamaan, kegotong-
royongan antar berbagai golongan dan tingkat masyarakat dalam upaya peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Adapun makna dan tujuan dari kesetiakawanan sosial
adalah untuk melestarikan nilai-nilai sosial budaya yang berupa tindakan nyata seperti
kegiatan sosial yang tidak luntur oleh perkembangan masyarakat, modernisasi
ataupun globalisasi. Untuk meningkatkan swadaya masyarakat, maka kesetiakawanan
sosial sangat dibutuhkan sebagai wujud tanggung jawab sosial masyarakat.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai sosial dan merupakan sumber dinamika
masyarakat, karena setiap masyarakat mempunyai seperangkat nilai sosial dan nilai
itu dianggap sebagai suatu kekayaan dan kebanggaan masyarakat yang memilikinya.
Nilai sosial merupakan suatu penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala
sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup
bersama. Kesetiakawanan sosial merupakan nilai kerjasama ialah suatu bentuk proses
sosial dimana dua atau lebih atau kelompok mengadakan kegiatan bersama guna
mencapai tujuan yang sama (Kuntjorowati, Elly, 2003).
1. Unsur Kesetiakawanan Sosial
Berikut beberapa kegiatan terkait Nilai Kesetiakawanan Sosial dalam wujud
lima (ponco) nilai budaya adiluhung (nook) yang terdapat di masyarakat Indonesia.
Dijelaskan dalam Bambang Rustanto (2016) unsur-unsur tersebut terdiri dari :
a. Nilai Budaya Peduli
Sikap peduli merupakan salah satu bentuk dari pengamalan sila ke-5 (lima)
Pancasila yaitu Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan adalah kata
sifat yang berarti perbuatan atau perlakuan adil. Kata sosial berarti yang
berkenaan dengan masyarakat atau kemasyarakatan. Jadi Keadilan Sosial dapat
diartikan bahwa adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam
masyarakat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti adanya
keseimbangan/keselarasan antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat
Indonesia.
b. Nilai Budaya Santun
Sikap santun ini merupakan salah satu bentuk pengamalan Sila-3 Pancasila
yaitu Persatuan Indonesia, dimana pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang
mengalami masa penjajahan selama kurang lebih 3,5 (tiga setengah) abad
memberikan pelajaran bagi tumbuhnya kesadaran nasional. Persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia dapat mendirikan negara merdeka dan berdaulat.
Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa, agama dan ras yang beragam.
c.Nilai Budaya Malu
Sikap malu ini merupakan salah satu bentuk pengamalan Sila-1 Pancasila
yaitu Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dimana Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya. Agama mengajarkan bahwa dunia seisinya adalah ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa dan kehidupan dunia akan dilanjutkan dengan
kehidupan di alam akhirat. Agama memberikan bimbingan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang kekal di dalam akhirat nanti dengan menjauhi segala
larangan-Nya.

[677]
d. Nilai Budaya Karya
Sikap Karya ini merupakan salah satu bentuk pengamalan Sila-2 Pancasila
yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dimana susunan kodrat manusia
bahwa manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia
merupakan makhluk individu, sebagai individu yang berupaya meralisasikan
potensi pribadinya, pada sisi lain sebagai makhluk sosial adalah manusia yang
hidup bermasyarakat yang diwujudkan sebagai manuasia karya atau manusia
kerja.
e. Nilai Budaya Tertib
Sikap Tertib ini merupakan salah satu bentuk pengamalan Sila-4 Pancasila
yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Dalam Permusyawaratan/
Perwakilan. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia sekarang ini adalah
demokrasi yang berdasarkan Pancasila, yaitu paham demokrasi yang bersumber
pada kepribadian dan filsafat bangsa Indonesia yang perwujudan seperti
tertuang dalam UUD 1945. Dalam demokrasi, rakyat adalah subjek demokrasi
itu secara positif ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.

E. Konsep Kemiskinan
Menurut Kartasasmita (1996:240) mengutarakan bahwa kemiskinan dapat
disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya :
1. Rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan
kemampuan pengembangan diri yang terbatas dan menyebabkan sempitnya
lapangan kerja yang dapat dimasuki. Dalam bersaing untuk mendapatkan lapangan
kerja yang ada, taraf pendidikan menentukan. Taraf pendidikan yang rendah juga
membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan
rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa.
3. Terbatasnya lapangan pekerjaan. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan
dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada
lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk
memutuskan lingkaran kemiskinan itu.
4. Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya
karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak
dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang
dinikmati masyarakat lainnya.

F. Peran Modal Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan dengan melihat


Nilai Kesetiakawanan Sosial
Eksistensi modal sosial memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi,
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan.
Manfaat dalam kinerja ekonomi, Sebagai contoh ketika orang-orang mempercayai dan
dapat dipercaya, dan memelihara hubungan secara terus menerus, kegiatan bisnis harian
menjadi lebih mudah dan bebas tekanan. Lebih lanjut, Putnam (2000) menambahkan
bahwa jaringan sosial juga sebagai penyalur informasi yang berguna bagi pencapaian

[678]
tujuan individual maupun kelompok. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki
jaringan sosial yang bagus, akan memperoleh informasi lebih dahulu, dibandingkan
dengan orang-orang yang tidak memiliki jaringan sosial. Berkaitan dengan kesehatan dan
kesejahteraan, modal sosial memiliki dampak positif terhadap kesehatan, dan terutama
kesehatan mental, jaringan sosial yang dimiliki oleh individu adalah sebagai pelindung
dari masalah-masalah kehidupan. Penelitian ini telah dilakukan oleh Durkheim berkaitan
dengan studi bunuh diri, dimana ditemukan korelasi antara modal sosial dan kesehatan.
Di kehidupan bermasyarakat, modal sosial dapat memelihara norma-norma sosial dalam
suatu komunitas dan mengurangi kecenderungan perilaku egois diantara anggota
kelompok. Orang-orang yang memiliki hubungan yang baik dengan komunitasnya dan
memiliki hubungan saling mempercayai, pada umumnya memiliki perilaku yang dapat
diterima oleh kelompoknya.
Berkaitan dengan pemerintah dan pemerintahan, hasil penelitian Putnam (1993)
di Italia menyimpulkan bahwa perbedaan efektifitas pemerintahan muncul dari
hubungan karakter kehidupan daerah dan pola kepercayaan. Arah hubungan sebab
akibat menjelaskan bahwa kehidupan asosiasi yang kuat dan tingginya tingkat
kepercayaan masyarakat menyebabkan pemerintahan yang lebih efektif. Selain
manfaat yang diperoleh dari modal sosial, modal sosial juga bisa memberikan dampak
negatif. Sebagai contoh, dalam masyarakat yang multikultur dimana anggota
masyarakat sangat terikat dengan kelompoknya dan memiliki komitmen yang kuat
berdasarkan kesamaan suku, budaya, atau kesamaan kepentingan bagi kelompoknya
saja, bukan demi kepentingan nasional, pada saat itu maka terjadi degradasi budaya
politik nasional (Fukuyama, 1995; Daniel et al, 2003). Komunitas seperti ini tidak akan
memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Komunitas-komunitas seperti ini biasanya
mendorong bertumbuh kembangnya trust secara internal, dan menyebarluaskan
kebencian kepada komunitas-komunitas selain mereka. Sebagai contoh adalah
organisasi-organisasi teroris, kelompok kejahatan yang terorganisasi.
Seringkali dampak negatif dari modal sosial diperlihatkan dalam wujud
kekerasan, hubungan yang sangat kuat dalam internal kelompok, yang tidak berlaku
bagi masyarakat luas di luar kelompoknya, dan menjalankan nilai-nilai korupsi dan
kroni (Evans, 1989; Mauro, 1995; World Bank, 1997), serta nepotisme (Fukuyama,
1995). Jika konsep modal sosial digunakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan,
keterbatasan kapasitas dari efektivitas jaringan kerja (networks) yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat miskin harus menjadi perhatian. Network yang dimiliki
masyarakat miskin tentu saja berbeda dengan networks yang dimiliki oleh masyarakat
mampu, dan seringkali masyarakat miskin tidak diijinkan untuk bergabung dan
terlibat dalam networks masyarakat mampu. Sebagai catatan, stratifikasi dalam kelas-
kelas sosial terdapat pada seluruh kelompok masyarakat dimana masyarakat miskin
berada pada level terbawah dari hirarki sosial, dan mengalami social exclusion.
Lembaga-lembaga sosial—sistem kekeluargaan, organisasi-organisasi masyarakat, dan
jaringan-jaringan informal – sangat mempengaruhi terhadap outcomes kemiskinan.
Lembaga-lembaga sosial tersebut memiliki pengaruh terhadap aset-aset ekonomi,
strategi dalam menyelesaikan masalah, memiliki kapasitas dalam meraih keuntungan,
dan memiliki pengaruh dalam pembuatan keputusan. Disatu sisi lembaga-lembaga
sosial ini bisa menolong orang miskin, namun mereka juga bisa menjadi penghalang
bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
masyarakat miskin memiliki modal sosial dalam level bonding melibatkan keluarga,
kekerabatan, jaringan komunitas yang membantu dalam upaya strategi manajemen
resiko yang cukup penting. Namun, mereka tidak memiliki modal sosial dalam level
bridging, apalagi linking. Membentuk format bridging dan linking bagi masyarakat

[679]
miskin dan terpinggirkan membutuhkan keterlibatan pemerintah untuk melibatkan
mereka dalam struktur kekuasaan.

[680]
BAB III
TUGAS DAN FUNGSI ORGANISASI TATA KERJA BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pemberdayaan Sosial
Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa
Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang
pemberdayaan sosial untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara.
Pada Pasal 16 dalam melaksanakan tugas Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Sosial menyelenggarakan fungsi :
1. Perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan sosial seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, dan
lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya kesejahteraan
sosial, serta komunitas adat terpencil;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan sosial seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial,
dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya
kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan
sosial seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil;
4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pemberdayaan sosial
seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil;
5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pemberdayaan sosial seseorang,
keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan
sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya
kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil; f. Pelaksanaan administrasi
direktorat jenderal pemberdayaan sosial; dan
6. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh menteri.
Peraturan Menteri Sosial RI No. 20 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Sosial RI, pada Ditjen Pemberdayaan Sosial mengenai kedudukan, tugas
dan fungsi, bahwa Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri, mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan sosial sesuai dengan ketentuan
Perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan di bidang pemberdayaan sosial seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, dan
lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya kesejahteraan
sosial, serta komunitas adat terpencil;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan sosial seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial, dan
lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya kesejahteraan
sosial, serta komunitas adat terpencil;

[681]
3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan
sosial seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil;
4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pemberdayaan sosial
seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil;
5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pemberdayaan sosial seseorang,
keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan
sosial, dan lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya
kesejahteraan sosial, serta komunitas adat terpencil;
6. Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal pemberdayaan sosial; dan
7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh menteri.

B. Selain menyelenggarakan fungsi berdasarkan kesesuaian fungsi, Direktorat


Jenderal Pemberdayaan Sosial juga menyelenggarakan fungsi di bidang
kepahlawanan, keperintisan, kesetiakawanan, dan restorasi sosial.
Restorasi sosial berasal dari kata restorasi, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesi (KBBI) memiliki arti pengembalian atau pemulihan. Restorasi sosial memiliki
makna mengembalikan suatu kondisi sosial masyarakat yang sangat positif tetapi
dipandang serta dirasakan sedang mengalami gangguan atau sudah mengalami
kerusakan sehingga diperlukan upaya pemulihan pada kondisi semula atau kondisi
idealnya. Situasi memudarnya suatu tatanan sosial dalam masyarakat yang
berimplikasi terhadap melemahnya nilai kesetiakawanan sosial tidak bisa dipungkiri
lagi sudah terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia. Peralihan dari kehidupan
sosial tradisional yang terus mengalami rekayasa untuk maju pada kehidupan sosial
yang lebih mengikuti trend kekinian atau modern serta paham globalisme yang sangat
kencang berjalan tanpa adanya sosial kontrol ini menjadi simalakama.
Pada satu sisi masyarakat dituntut mengikuti perkembangan jaman namun pada
sisi lain bahwa kesetiakawanan dan gotong royong sejati pelestarianya ada pada
masyarakat yang menganut sistem kehidupan tradisional.
Dari uraian permasalahan diatas, maka untuk mengembalikan nilai-nilai
kesetiakawanan sosial didekati dengan model pemetakan modal sosial yang ada di
masyarakat. Pendekatan tersebut berfokus pada identifikasi modal sosial yang dimiliki
masyarakat serta model-model pemanfaatan modal sosial dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat agar dapat mengatasi masalah kemiskinan, terutama yang
terkait dengan keterbatasan akses terhadap ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan
aktualisasi diri.
Dalam analisis rencana strategis Restorasi Sosial, mengukur nilai-nilai
kesetiakawanan sosial melalui 5 (lima) nilai budaya yaitu nilai budaya peduli, nilai
budaya santun, nilai budaya malu, nilai budaya karya dan nilai budaya tertib.
Mengingat dengan adanya hubungan sebab akibat antara unsur budaya dengan
tingkat kemiskinan/kesejahteraan cukup komplek, maka analisis ini hanya akan
mengungkap unsur budaya yang diduga memiliki hubungan yang cukup kuat
(berdasarkan hasil kajian dokumentasi) yaitu unsur social capital (meliputi partisipasi
dalam suatu jaringan, resiprocity, trust, norma sosial, nilai-nilai serta adanya tindakan
yang proaktif).

[682]
BAB IV
ANALISIS RENCANA STRATEGIS RESTORASI SOSIAL

Analisis Kebijakan Restorasi Sosial


Analisis rencana strategis Biro Perencanaan Kementerian Sosial, melihat kesesuaian
antara kebijakan restorasi sosial dalam mendukung ketahanan sosial masyarakat yang
kuat, stabil dan beradab dikaitkan dengan sasaran Kementerian Sosial sesuai Rencana
Strategis Kementerian Sosial Tahun 2015-2019. Sedangkan tujuan khususnya adalah :
1. Ukuran karakteristik nilai-nilai kesetiakawanan sosial sebagai modal sosial di
kehidupan masyarakat. Indikator nilai-nilai kesetiakawanan sosial dapat diukur
melalui 5 (lima) nilai budaya, yaitu nilai budaya peduli, nilai budaya santun, nilai
budaya malu, nilai budaya karya dan nilai budaya tertib.
2. Potret karakteristik kesejahteraan masyarakat serta hubungan (korelasi) antar variabel-
variabel modal sosial yang ada di kehidupan bermasyarakat dengan karakteristik
tingkat kemiskinan/kesejahteraan masyarakat. Hubungan dari variabel bebas dengan
variabel terikat, dapat dilihat melalui hubungan :
a) Hubungan antara partisipasi sosial masyarakat di dalam komunitas terhadap
kemiskinan.
b) Hubungan antara tingkat resiprositas dan proaktiviti di dalam kegiatan sosial
terhadap kemiskinan.
c) Hubungan antara perasaan saling mempercayai dan rasa aman terhadap
kemiskinan.
d) Hubungan antara jaringan dan koneksi dalam komunitas terhadap kemiskinan.
e) Hubungan antara jaringan dan koneksi antar teman dan keluarga terhadap
kemiskinan.
f) Hubungan antara toleransi dan kebhinekaan terhadap kemiskinan.
g) Hubungan antara nilai hidup dan kehidupan terhadap kemiskinan.
h) Hubungan antara koneksi/jaringan kerja di luar komunitas terhadap kemiskinan.
i) Hubungan antara partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas
terhadap kemiskinan.
3. Mengetahui pelaksanaan restorasi sosial dalam mewujudkan kebijakan nasional untuk
mencapai kemandirian dengan mensinergikan seluruh komponen (program dan
sasaran) dalam pengembangan Restorasi Sosial dan memberikan peran yang lebih luas
pada para stakeholder dan mengembalikan peran masyarakat sebagai agen pemampu
untuk masyarakat sendiri dan untuk lingkungannya.

A. Metodologi Analisis
1. Kerangka Pikir
Hipotesis dalam analisis ini adalah bahwa penyebab terjadinya kemiskinan
(kesenjangan) pada masyarakat di lokasi kajian analisis bersumber pada dua hal
pokok yaitu faktor struktural dan kultural. Faktor struktural merupakan kesalahan
dari lemahnya fenomena kerja pemerintah terhadap pembangunan di daerah.
Sedangkan faktor kultural menekankan pada posisi budaya atau aspek kebiasaan,
kemauan dan semangat yang lemah dari masyarakat yang perlu ditingkatkan

[683]
khususnya aspek-aspek modal sosial masyarakat, hal inilah yang menjadi fokus
kajian analisis.
Kegiatan-kegiatan masyarakat didesa maupun dikota tentunya tidak lepas
dari bersosialisasi. Oleh karena itu, dapat diamati mengenai kondisi modal sosial
masyarakat didesa maupun kota seperti bagaimana tingkat partisipasi partisipasi
sosial masyarakat di dalam komunitas, tingkat resiprositas dan proaktiviti di dalam
kegiatan sosial, perasaan saling mempercayai dan rasa aman, jaringan dan koneksi
dalam komunitas, jaringan dan koneksi antar teman dan keluarga, nilai hidup dan
kehidupan, koneksi/jaringan kerja di luar komunitas serta partisipasi dan
keanggotaan kelompok di luar komunitas.
Dengan demikian kita dapat memperkirakan seberapa besar tingkat/level
modal sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Hasilnya cenderung lebih baik
atau kurang baik. Hal itulah yang kemudian akan dibandingkan dengan indikator-
indikator kemiskinan, sehingga diperoleh data yang menjelaskan apakah terdapat
hubungan antara variabel-variabel modal sosial terhadap variabel kemiskinan.
Setelah didapat variabel yang berpengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan
di daerah tersebut, diperlukan leveling nilai-nilai kesetiakawanan dalam bentuk
nilai budaya, nilai budaya yang memiliki nilai lemah itulah yang akan direstorasi.
Sehingga menghasilkan bentuk model implementasi restorasi sosial di daerah
tersebut.

[684]
Kehidupan bermasyarakat Kementerian Sosial

Modal Sosial Pemerintah Daerah Provinsi

A. Partisipasi Sosial Masyarakat


Pemerintah Daerah Kab/Kota
B. Tingkat Resiprositas

C. Perasaan Saling Mempercayai


Implementasi program pengentasan
D. Pluralisme
kemiskinan

Penanganan Kemiskinan

Nilai korelasi Modal Sosial dengan


tingkat kemiskinan

Leveling nilai-nilai kesetiakawanan


sosial yang ada di masyarakat

Model Implementasi Restorasi


Restorasi Sosial pada nilai-nilai Sosial
kesetiakawanan yang memiliki nilai
lemah

[685]
2. Variabel dalam Analisis
Variabel Modal Sosial
Berikut ini adalah variabel modal sosial dan nilai-nilai kesetiakawanan sosial
beserta indikatornya :

Variabel Modal Sosial


No Variabel Indikator
1 Partisipasi - Hadir di pertemuan lokal
- Terlibat kepengurusan lokal
- Keaktifan dalam kepengurusan
- Kepanitiaan suatu kegiatan
- Partisipasi Gotong royong
- Biasa meminta bantuan tetangga
- Mengunjungi/silaturahmi dengan
teman dalam komunitas
- Berusaha mendapatkan teman
- Melakukan pekerjaan menyenangkan
bagi tetangga
- Saling berbagi makanan
- Menjenguk tetangga yang sakit
- Banyak orang yang diajak bicara
- Makan bersama keluarga/teman
- Mengunjungi keluarga/saudara
- Kedatangan tamu dari keluarga/teman
dekat
- Memberi bantuan kepada teman dekat
atau keluarga
- Merasa bagian komunitas
- Merasa sebagai tim saat bekerja
- Memiliki teman atas jaringan kerja
- Teman di luar daerah yang
berhubungan dengan pekerjaan
- Pengurus organisasi keagamaan
- Pengurus organisasi partai politik
- Pengurus perkumpulan olahraga
- Kehadiran rapat pengurus/anggota
(kelompok/perkumpulan)

2 Tingkat Resiprositas - Prinsip menolong orang lain


- Menyumbang dana/tenaga untuk
kegiatan sosial di lingkungan
- Menyumbang dana/tenaga untuk
komunitas lain karena musibah
- Inisiatif tukar fikiran atau ide dengan
suku berbeda
- Berinisiatif mengadakan kegiatan sosial

[686]
3 Kepercayaan - Perasaan aman pada malam hari
- Percaya pada kebanyakan orang
- Percaya kepada orang luar/asing
- Percaya semua tetangga baik
- Percaya kepada Pemerintah
- Percaya kepada LSM
- Percaya kepada pemimpin lokal
- Percaya kepada semua tokoh agama

4 Pluralisme (Kebhinekaan) - Prinsip hidup dengan gaya hidup


berbeda-beda
- Dipimpin oleh suku berbeda
- Berteman dengan lain agama/keyakinan
- Kepuasan dalam hidup
- Masyarakat seperti rumah
- Bahagia secara materi
- Kedudukan dalam masyarakat
- Kebebasan berbicara
- Kemauan menyelesaikan perselisihan

Variabel Kesejahteraan Masyarakat

Variabel Kesejahteraan Masyarakat


No Variabel Indikator
1 Perluasan Akses Ekonomi - Terpenuhinya pelayanan ekonomi di
dalam kelompok masyarakat
2 Perluasan Akses Pendidikan - Terpenuhinya pelayanan ekonomi di
dalam kelompok masyarakat
3 Perluasan Akses Kesehatan - Terpenuhinya pelayanan kesehatan di
dalam kelompok masyarakat

Analisis rencana strategis ini bermaksud untuk melihat hubungan nilai-nilai


kesetiakawanan sosial dengan tingkat kemiskinan/kesejahteraan masyarakat.
Dengan mengetahui ukuran indikator nilai kesetiakawanan tersebut maka
diharapkan mampu memperoleh model implementatif restorasi sosial di daerah
tersebut. Pendekatan pemikiran dalam analisis ini bersifat deduktif, maka sifat
pendekatan penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif namun metode
analisis yang digunakan adalah campuran antara kualitatif dan kuantitatif.
Metode analisis kualitatif digunakan karena analisis ini bermaksud untuk
mendapatkan gambaran/potret atau deskripsi mengenai implementasi restorasi
sosial dalam masyarakat, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk
mengukur nilai budaya yang terkandung dalam nilai-nilai kesetiakawanan sosial
dan mengetahui seberapa besar nilai hubungan (korelasi) dengan tingkat
kemiskinan/kesejahteraan.
Keluaran dari analisis ini adalah berupa kajian tentang bentuk implementasi
restorasi sosial dengan melihat variabel-variabel modal sosial yang mempengaruhi
tingkat kemiskinan/kesejahteraan masyarakat. Dalam sebuah kajian analisis,

[687]
diperlukan sebuah kerangka analisis agar dalam analisis yang dilakukan bisa
terarah dan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Kerangka analisis
adalah dasar analisis atau konsep dari langkah-langkah kajian analisis yang terdiri
dari input analisis, proses analisis yang digunakan dan harapan berupa output dari
analisis yang akan dilakukan. Kerangka analisis dapat disusun sebagai berikut :

INPUT PROSES OUTPUT

Hasil kuesioner: Analisis korelasi untuk 1. Nilai korelasi dari hasil


Nilai-nilai kesetiakawanan sosial melihat hubungan antara pengolahan data statistic
sebagai modal sosial di variabel modal sosial 2. Nilai bobot tertimbang
masyarakat serta hubungan dengan variabel tingkat nilai-nilai kesetiakawanan
variabel modal sosial dengan kemiskinan/kesejahteraan sosial
variabel tingkat kemiskinan/ (Analisis Kuantitatif)
kesejahteraan

Data Observasi : Analisis implementasi Gambaran/ potret/ kondisi


Data dukung hasil focus group restorasi sosial di sosial masyarakat dalam
discussion dan indepth masyarakat dengan pelaksanaan restorasi sosial
interview dimaksudkan untuk melhat nilai-nilai budaya dalam penyelenggaraan
mendapatkan informasi secara yang terkandung dalam kesejahteraan sosial
cepat, lengkap dan mendalam nilai-nilai kesetiakawanan
tentang pelaksanaan restorasi sosial
sosial dalam penyelenggaraan (Analisis Kualitatif)
kesejahteraan sosial Studi
dokumentasi diarahkan untuk
melihat keterkaitan
pelaksanaan restorasi sosial
dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan
renstra Kemensos, dengan
memperhatikan regulasi,
program sejenis lain, laporan
hasil penelitian, dan referensi
terkait lainnya

[688]
BAB IV
PENUTUP

Konsep tentang kesetiakawanan sosial merujuk pada konsep solidaritas sosial.


Solidaritas sosial menurut Emile Durkheim (1858-1917) terbagi dua yaitu solidaritas
mekanik dan solidaritas organik. Tipe solidaritas pertama ada pada masyarakat yang
masih bersifat sederhana atau tradisionil, sedangkan tipe kedua menunjuk pada
masyarakat moderan. Oleh karena itu kesetiakawanan sosial tetap masih tetap berlaku
hingga saat ini baik masyarakat tradisional yang biasanya mewakili desa-desa maupun
masyarakat moderan yang dapat direfresentasikan oleh perkotaan.
Solidaritas sosial berkaitan dengan integrasi yang diperlihatkan oleh anggota
masyarakat, ikatan di dalam suatu masyarakat dalam bentuk relasi sosial yang mengikat
satu sama lain. Hal itu didasarkan atas rasa kekeluargaan dan berbagi nilai-nilai yang
mana anggota-anggota masyarakat bekerjasama atau bergotong-royong (cooperate)
diantara mereka dalam suatu cara yang efektif, apakah secara sendiri-sendiri atau
kelompok melakukan sesuatu hal yang positif seperti membantu anak yatim, orang sakit,
janda, dan lainnya, yang didorong oleh perasaan mendalam yang berasal dari nilai-nilai
budaya atau agama.

Kesimpulan
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada
urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan Wajib dibagi
dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan
Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari
skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada
NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren,
dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan pemerintahan umum. Urusan
pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang
terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi
berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala
pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota sebagai kepala pemerintahan
kabupaten/kota.

[689]
NASKAH AKADEMIK

PETUNJUK TEKNIS
STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL
DI DAERAH PROVINSI DAN DI DAERAH KABUPATEN/KOTA

A. Pengantar
Pertemuan Focuss Group Discussion (FGD) Koordinasi Strategis Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM), pada tanggal 18 Agustus 2015 pukul 08.30 WIB di
Ruang Rapat Proklamasi 1-2 Gedung Pusdiklatren Bappenas, Jl. Proklamasi No. 70
Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Tugas Kepala Biro Perencanaan No. 1185/PER-
Evalap/08/2015 tanggal 14 Agustus 2015.
Tindaklanjut dari Surat Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri No. 005/2424/11/Bangda tanggal 8 Oktober 2015, Perihal:
Penyusunan Rancangan Revisi PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan Kementerian/Lembaga pada tanggal 15-17
Oktober 2015 di Golden Boutique Hotel yang dilanjutkan dengan pertemuan lanjutan
dengan dasar Surat Sekretaris Ditjen Bina Bangda No. 005/2560/11/Bangda tanggal 15
Oktober 2015 dengan pertemuan di Hotel Acacia Jakarta Pusat tanggal 19-21 Oktober
2015.
Surat Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian
PPN/Bappenas, No. 7458/Dt.3.4/11/2015, tanggal 5 November 2015 Hal:
Penyampaian dokumen rekomendasi revisi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Sosial.
Advokasi dan asistensi teknis Rencana Strategis serta draft Revisi SPM Bidang
Sosial Tahun 2015 ke beberapa provinsi yang pada pertemuan advokasi SPM tersebut
mengundang kabupaten dan kota di wilayah provinsi tersebut.
Peraturan Presiden RI Nomor 46 tahun 2015 tentang Kementerian Sosial bahwa
Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan
fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi,
bahwa pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Sosial di daerah dan pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Sosial.
Draft Awal Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial bekerjasama dengan GIZ Bapak
Harmada dan kawan-kawan serta dibantu oleh Mahasiswa Universitas Brawijaya yang
sedang magang. Draft awal Petunjuk Teknis Rancangan Peraturan Menteri Sosial
tentang SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, mulai
disusun pada 8 Desember Tahun 2015.
Penyusunan Draft Awal SPM Bidang Sosial Bekerjasama Dengan Gesellschaft für
Internationale Zusammenarbeit (GIZ).
Penyusunan draft awal Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial bekerjasama dengan
Bapak Harmada yang mewakili Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan
kawan-kawan serta dibantu oleh Mahasiswa Universitas Brawijaya yang sedang

[691]
magang. Draft awal Petunjuk Teknis Rancangan Peraturan Menteri Sosial tentang SPM
Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, mulai disusun pada 8
Desember Tahun 2015.
Konteks terkait kerjasama dengan GIZ untuk penyusunan draft awal Rancangan
Permensos tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial karena Standar Pelayanan
Minimal (SPM) merupakan Urusan Wajib terkait pelayanan dasar, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan inklusif yang dapat menjangkau masyarakat luas dan
kepada Pemerintah Daerah untuk menerapkan Pemerintahan yang baik (Good
Governance)
GIZ bekerja di Indonesia sejak tahun 1975 dan sejak saat itu mempunyai kantor
di Jakarta. Pemberi tugas lainnya antara lain adalah Kementerian Federal Lingkungan
Hidup Jerman, Kementerian Luar Negeri Jerman dan Uni Eropa. Indonesia adalah
negara mitra prioritas dari kerjasama internasional Jerman. Kerjasama teknis dengan
Indonesia dimulai pada tahun 1958. Berdasarkan penugasan oleh Kementerian Federal
Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ),
Indonesia adalah satu negara transisi. Walaupun sejak tahun 2007 Indonesia
termasuk negara berpenghasilan menengah (middle income country), namun ada
ketimpangan antar wilayah yang sangat besar: Gambaran kota-kota besar dengan
pusat perbelanjaan yang modern sangatlah berkontras dengan daerah-daerah
pedesaan yang masih tertinggal. Indonesia merupakan anggota dari Kelompok 20
Ekonomi Utama (G20) dari negara-negara maju dan berkembang yang memainkan
peran yang terus bertambah besar. Jakarta sebagai ibukota Indonesia merupakan
tempat kedudukan dari Sekretariat dari Persatuan Negara-Negara Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nations, ASEAN). Berdasarkan bobot regionalnya
negara ini merupakan mitra pembangunan global dari BMZ.
Pada negosiasi antar pemerintah bulan November 2013 dengan pemerintah
Indonesia disetujui untuk mengkonsentrasikan kerjasama pembangunan pada tiga
titik berat :
1. Energi dan perubahan iklim
2. Pertumbuhan inklusif yang dapat menjangkau masyarakat luas
3. Pemerintahan yang baik dan jejaring global
Mitra Indonesia yang resmi adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS). Kantor GIZ di
Jakarta selain itu juga bertugas untuk proyek-proyek regional yang diwujudkan
bersama dengan ASEAN Secretariat.
GIZ membantu Kementerian Sosial kaitannya dengan penyusunan draft
petunjuk teknis SPM Bidang Sosial di daerah provinsi dan di daerah Kabupaten/Kota,
karena SPM itu merupakan amanah dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan merupakan pelayanan dasar kepada setiap individu warga negara
Indonesia. SPM adalah mutu dan jenis layanan dasar yang merupakan hak setiap
warga negara di Indonesia.

Tugas Pemerintahan
Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan
alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang
pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional
yang bertanggung jawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia.

[692]
Tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menyebutkan bahwa Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat
kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta
Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan
dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan
Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau
peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang
akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau
Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-
Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan
landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah
Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya
pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya
dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah
sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan
ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas
Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Urusan Pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah
urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar.

[693]
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib Pelayanan Dasar ditentukan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan Daerah
kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan
nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan
masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan
antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam
pelaksanaannya dengan mengacu pada Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK)
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut
fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui
otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan
kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan
tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi
berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada
Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah
Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda
maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional.
Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang
sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan
DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah.
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan
adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar
pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai

[694]
dengan kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan-Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum
itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis
atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan
absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan
konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan pemerintahan umum.
Urusan pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan
demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah
melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada
bupati/walikota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Mengingat
kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk efektifitas dan efisiensi pembinaan
dan pengawasan atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung jawab akhir
pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan kewenangannya kepada gubernur
untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan kepada Daerah kabupaten/kota agar melaksanakan otonominya
dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk efektifitas
pelaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, gubernur dibantu oleh
perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena perannya sebagai
Wakil Pemerintah Pusat maka hubungan gubernur dengan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bersifat hierarkis.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri
negara dan setiap menteri bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam
pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Konsekuensi menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban menteri
atas nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma,

[695]
standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah
dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan
menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan kewenangan
kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan yang dilakukan
oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan
dan pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan
mampu menciptakan harmonisasi antar kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

B. Identifikasi Masalah
Urusan Bidang Sosial yang telah ditetapkan menjadi Norma, Standar, Prosedur,
Kriteria (NSPK) yang akan disesuaikan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah
Urusan Konkuren, adalah: Persyaratan Pengangkatan Anak, Kampung Siaga Bencana,
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Taman Anak Sejahtera, Standar Lembaga
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya, Penghargaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial, Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Pedoman Pelayanan
Sosial Lanjut Usia, Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di
Bidang Kesejahteraan Sosial, Taruna Siaga Bencana, Bantuan Sosial Korban Bencana,
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga, Pengasuhan Anak, Pemulangan Migran
Bermasalah (PMB), Pemberdayaan Karang Taruna, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK), Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Pekerjaan Sosial,
Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.
Untuk Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya (NAPZA) menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga NSPK Permensos
Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya perlu segera direvisi.
Berdasarkan Surat Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI A.n
Menteri Dalam Negeri, Nomor 061/S137/83 tanggal 3 September 2015, Hal:
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah
(OPD), dengan substansi sebagai berikut :
Berdasarkan Pasal 410 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjelasakan bahwa diperlukan peraturan untuk mengatur
Organisasi Perangkat Daerah pengganti dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-Undang Pemda sebelumnya yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004.

Urusan Pemerintahan
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan
absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.

[696]
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi,
dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib
yang tidak terkait Pelayanan Dasar.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya
akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat.

C. Permasalahan
Penyerahan sumber keuangan Daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi
daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan konsekuensi dari adanya
penyerahan Urusan Pemerintahan kepada Daerah yang diselenggarakan berdasarkan
Asas Otonomi. Untuk menjalankan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, Daerah harus mempunyai sumber keuangan agar Daerah tersebut
mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya.
Pemberian sumber keuangan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Keseimbangan sumber
keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Ketika Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang
kurang mencukupi untuk membiayai Urusan Pemerintahan dan khususnya Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar, Pemerintah Pusat dapat
menggunakan instrumen DAK untuk membantu Daerah sesuai dengan prioritas
nasional yang ingin dicapai.
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,
kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah membuat Perda
sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai
dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari Daerah tersebut. Perda
yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang
bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi
tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan Perundang-undangan.
Perda sebagai bagian dari sistem peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah
penyusunan Perda. Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari
kewenangan Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan.
Tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden,
maka konsekuensi logisnya kewenangan untuk membatalkan Perda ada ditangan
Presiden. Adalah tidak efisien apabila Presiden yang langsung membatalkan Perda.
Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan Perda Provinsi kepada Menteri
sebagai pembantu Presiden yang bertanggungjawab atas Otonomi Daerah.

[697]
Pembatalan Perda Kabupaten/Kota, Presiden melimpahkan kewenangannya
kepada gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Untuk menghindari
terjadinya kesewenang-wenangan dalam pembatalan Perda, maka Pemerintah Daerah
provinsi dapat mengajukan keberatan pembatalan Perda Provinsi yang dilakukan oleh
Menteri kepada Presiden. Sedangkan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat
mengajukan keberatan pembatalan Perda Kabupaten/Kota yang dilakukan
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
ditujukan untuk mendorong lebih terciptanya daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam mensejahterakan masyarakat, baik
melalui peningkatan pelayanan publik maupun melalui peningkatan daya saing
Daerah. Perubahan ini bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Pusat.
Pengaturan yang bersifat afirmatif yang dimulai dari pemetaan Urusan
Pemerintahan yang akan menjadi prioritas Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang
seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut akan tercipta sinergi kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang Urusan Pemerintahannya didesentralisasaikan ke
Daerah.
Sinergi Urusan Pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah karena setiap kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian akan tahu siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian tersebut di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota secara nasional. Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan
tersebut akan menciptakan sinergi dalam perencanaan pembangunan antara
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dengan Daerah untuk mencapai
target nasional.
Manfaat lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang
menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target nasional tersebut. Sinergi
Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan personel
yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang diperlukan
untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir yang kuat dan memadai
dalam aspek jumlah dan kompetensinya. Langkah berikutnya adalah adanya jaminan
pelayanan publik yang disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu
setiap Pemerintah Daerah wajib membuat maklumat pelayanan publik sehingga
masyarakat di Daerah tersebut tahu jenis pelayanan publik yang disediakan,
bagaimana mendapatkan aksesnya serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk
memperoleh pelayanan publik tersebut serta adanya saluran keluhan manakala
pelayanan publik yang didapat tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Posisi desa menjadi strategis bahkan sebagai ujung tombak pelayanan terhadap
masyarakat, maka penting kiranya melakukan identifikasi fungsi-fungsi pemerintahan
yang sebaiknya dilaksanakan di Kelurahan. Berkaitan dengan pelaksanaan SPM,
alangkah baiknya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (dalam hal ini Bupati/
Walikota) juga melakukan identifikasi kewenangan/fungsi yang sebaiknya diserahkan
pada Camat dan Lurah untuk melaksanakan sebagian kewenangan/fungsi yang ada
di SPM. Pada dasarnya kecamatan maupun kelurahan merupakan tingkatan wilayah
yang memiliki posisi yang sangat dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu bentuk
maupun macam kewenangan/fungsi yang diserahkan pada camat dan lurah
seyogyanya bersifat praktis, sederhana, dan menyentuh kehidupan riil masyarakat.

[698]
Pembangunan Desa secara sistimatis dan berkelanjutan dalam upaya
peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat Desa. Kawasan Perdesaan perlu didorong sesuai fungsinya menjadi
kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber
daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Keuangan Desa
diperlukan agar semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta
segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban Desa. Aset Desa menjadi hal yang dibutuhkan warga desa sebagai
barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
Pemberdayaan Masyarakat Desa terus dilakukan sebagai upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,
sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber
daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai
dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
Dengan desain yang pas, bisa dioptimalkan peran Kecamatan dan desa/
Kelurahan di masa-masa mendatang, khususnya di dalam penyelenggaraan fungsi
penyediaan pelayanan. Karena dengan dilimpahkannya sebagian fungsi-fungsi
penyediaan pelayanan dari pemerintah daerah ke Kecamatan dan Kelurahan akan
memiliki manfaat yang besar, sehingga penyelenggaraan pelayanan terhadap
masyarakat semakin dekat dengan sasaran, dengan pelayanan yang langsung kepada
masyarakat, maka semakin kecil rantai birokrasi yang harus ditempuh oleh
masyarakat dalam rangka memperoleh pelayanan dari Pemerintah Daerah, dengan
rantai birokrasi yang semakin pendek, juga memungkinkan Pemerintah Daerah untuk
melakukan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya.

D. Rekomendasi Kebijakan
Ada beberapa hal dalam pembangunan daerah dengan pelayanan publik dan
sinergi antara “Pembangunan Ekonomi dengan Pembangunan Sosial” ada keterkaitan
dengan Perangkat Daerah, Urusan Konkuren dan Standar Pelayanan Minimal (SPM),
yaitu :
Pertama, SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus
disediaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan adanya SPM maka
akan terjamin kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh
masyarakat, dan sekaligus akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari
kesenjangan pelayanan antar daerah.
Kedua, SPM diperlukan sebagai alat kontrol dalam suatu pelayanan publik,
khususnya bagi kabupaten/kota yang memang secara langsung merupakan penyedia
pelayanan publik.
Ketiga, posisi propinsi yang dalam pelaksanaan kewenangan daerah lebih
banyak bertindak sebagai “pendukung, fasilitator, ataupun koordinator” bagi
pelaksanaan kewenangan lintas kabupaten/kota, maka sebaiknya dalam penyusunan
SPM juga tidak melepaskan diri dari posisi dan peran tersebut, sehingga lebih
mendorong daerah kabupaten/kota untuk lebih berinisiatif melaksanakan
kewenangan daerah.
Keempat kemampuan seorang pemimpin daerah dalam mendelegasikan
wewenang ke unit-unit organisasi juga menentukan keberhasilan daerah dalam

[699]
melaksanakan SPM. Dengan adanya turunan dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Standar Pelayanan Minimal, Perangkat Daerah dan Urusan Konkuren ditetapkan
menjadi Peraturan Pemerintah, penerapan SPM akan lebih meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, sehingga pemerintah daerah akan lebih akuntabel di mata
masyarakat daerahnya masing-masing.

Rekomendasi secara umum:


Gubernur sebagi wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah, wajib
melaksanakan prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN ke dalam dokumen
perencanaan daerah dari mulai RPJMD, RKPD, Renja SKPD, disesuaikan dengan
kapasitas serta inovasi daerah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan
sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat,
kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap
berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi.
Dalam struktur sosial ekonomi serba timpang, Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dan kepala daerah, perlu membuat gagasan pembangunan inklusif,
pertama-tama berarti membuka akses keadilan seluas mungkin bagi segenap warga
negara yang selama ini berada di garis tepi pembangunan. Lewat instrumen kebijakan
sosial dan pelayanan publik, negara tidak saja berperan sebagai institusi alternatif
tatkala warga negara belum mampu menyatukan diri atau hanya menjadi substitusi
ketika pasar terbukti gagal bekerja (market failure), tetapi negara menjadi pihak yang
sejatinya bertanggung jawab mengurai segala belitan dan menjamin terpenuhinya hak-
hak dasar warga sebagai esensi dari makna keadilan.
Peran lain Gubernur untuk membuktikan fungsi dan manfaat keberadaannya:
desentralisasi. Keyakinan atas desentralisasi memang memiliki dasar pikir dan bukti
komparatif cukup kuat. Namun, dalam kasus Indonesia, pilihan desentralisasi sebagai
rute alternatif perbaikan pelayanan publik masih menunjukkan wajah mendua:
sementara di sebagian daerah jalan itu mulai terasa lapang, di sebagian besar kota dan
kabupaten justru tampak berhenti atau jalan di tempat.

Analisis
1. Alih fungsi sebagian panti milik Kementerian Sosial sesuai peranannya strategis bagi
kepentingan nasional dan untuk tujuan peningkatan layanan rehabilitasi sosial di
dalam panti bagi bekas korban Napza dan orang dengan HIV di Indonesia;
2. Untuk menjamin mutu dan juga sebagai peranannya strategis bagi kepentingan
nasional pada setiap rumpun jenis layanan rehabilitasi sosial anak, penyandang
disabilitas, lanjut usia, gelandangan dan pengemis dibutuhkan panti sebagai rujukan
nasional;
3. Stakeholder di Ditjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya dalam Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang
Kementerian Sosial, perlu merumuskan, menyusun dan melaksanakan kebijakan
rehabilitasi sosial, diantaranya menjaga mutu dan kualitas pelayanan publik dalam
rehabilitasi sosial sesuai peranannya strategis bagi kepentingan nasional pada setiap
rumpun jenis layanan rehabilitasi sosial anak, penyandang disabilitas, lanjut usia,
gelandangan dan pengemis dibutuhkan panti sebagai rujukan nasional;

[700]
4. Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah berdasarkan SPM dan Urusan Konkuren
tersebut menyampaikan surat Rancangan Peraturan Pemerintah Urusan Konkuren dan
Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial
5. Menyusun kajian akademis argumentatif ke Kemendagri tentang posisi Panti di bawah
Kemensos, yang setidaknya berisi argumentasi tentang panti dibawah kemensos
memberikan layanan bagi PM yang berasal dari lintas provinsi.
a. Amanat beberapa regulasi yang mengedepankan peran Kemensos (pemerintah pusat)
yang menjadi tanggung jawabnya sesuai, antara lain UU 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, UU 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan UU terkait
lainnya. dengan membedah aspek: SDM pelaksana (kuantitas dan kualitas) ,
Klien/penerima manfaat (terutama asal daerah yang bersangkutan), Sarana Prasarana
dan sumber pendanaan.

E. Penutup
Dampak dari Undang-Undang No. 23 tahun 2014, pada urusan konkuren yaitu
yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk urusan sosial
dibagi menjadi 7 sub bidang yaitu: pemberdayaan sosial, penanganan warga negara
migran korban tindak kekerasan, rehabilitasi sosial, perlindungan dan jaminan sosial,
penanganan bencana, taman makam pahlawan, sertifikasi dan akreditasi.
Pada sub bidang rehabilitasi sosial penyelenggaraan berbasis panti selain
rehabilitasi bekas korban penyalahgunaan NAPZA dan orang dengan HIV/AIDS
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu diperlukan alternatif yang
merupakan kepentingan nasional
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota pada Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2014
disebutkan didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta
kepentingan strategis nasional.
Berdasarkan prinsip kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat merupakan urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah
provinsi atau lintas negara, urusan pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara, urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas daerah provinsi atau lintas negara, urusan pemerintahan yang
penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dan/atau urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Alternatif dengan alih fungsi sebagian panti milik Kementerian Sosial sesuai
peranannya strategis bagi kepentingan nasional dan untuk tujuan peningkatan
layanan rehabilitasi sosial di dalam panti bagi bekas korban Napza dan orang dengan
HIV di Indonesia.
Kemudian ada panti sebagai rujukan nasional untuk menjamin mutu dan juga
sebagai peranannya strategis bagi kepentingan nasional pada setiap rumpun jenis
layanan rehabilitasi sosial anak, penyandang disabilitas, lanjut usia, gelandangan dan
pengemis.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan standar minimal pelayanan
publik yang harus disediaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan
adanya SPM maka akan terjamin kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang
dapat dinikmati oleh masyarakat, dan sekaligus akan terjadi pemerataan pelayanan
publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.

[701]
Kemudian, SPM diperlukan sebagai alat kontrol dalam suatu pelayanan publik,
khususnya bagi kabupaten/kota yang memang secara langsung merupakan penyedia
pelayanan publik.

Draft Awal Petunjuk Teknis SPM Bidang Sosial bekerjasama dengan GIZ
Harmada dan kawan-kawan serta dibantu oleh Mahasiswa Universitas
Brawijaya yang sedang magang. Draft awal disusun pada 8 September Tahun
2015
Definisi:
 Peningkatan Pelayanan Publik merupakan kewajiban pemerintah (Pusat, Provinsi,
Kab/Kota) dalam pemenuhan kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap
warga negara dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM).
 Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan
mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan
Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
 Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga
negara.
 Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh semua Daerah.
 Jenis Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang
dan/atau jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara.
 Mutu Pelayanan Dasar adalah kualitas barang dan/atau jasa kebutuhan dasar sesuai
standar teknis yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara agar hidup secara
layak.

Petunjuk teknis pemenuhan jenis dan pencapaian mutu Pelayanan Dasar,


memuat:
 Teknis penghitungan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi;
 Teknis penghitungan ketersediaan barang/jasa kebutuhan dasar;
 Teknis penghitungan kesenjangan pemenuhan kebutuhan dasar kelompok sasaran;
 Teknis penghitungan pencapaian SPM saat ini; dan
 Teknis penghitungan pembiayaan pencapaian target SPM.

Rancangan PP tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) turunan dari UU RI


No. 23 Tahun 2014, SPM bidang sosial di Provinsi terdiri atas:
Jenis Pelayanan Dasar:
1. Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas telantar dalam panti dan/atau lembaga;
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan bagi penyandang
disabilitas dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu disabilitas dan terapi minimal dalam panti dan/atau
lembaga;
 Standar penyediaan pengetahuan dasar dan pelatihan keterampilan dasar bagi
penyandang disabilitas dalam panti dan/atau lembaga;

[702]
2. Rehabilitasi sosial anak telantar dalam panti dan/atau lembaga;
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pengasuhan bagi anak dalam
panti dan/atau lembaga; dan
 Standar reunifikasi keluarga dan/atau keluarga pengganti bagi anak dalam panti
dan/atau lembaga.
 Standar fasilitasi akses terhadap pemenuhan identitas, pendidikan, dan kesehatan
bagi anak dalam panti dan/atau lembaga.

3. Rehabilitasi sosial lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;


Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, perawatan dan pengisian waktu luang
bagi lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;

4. Rehabilitasi sosial tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis dalam panti
dan/atau dalam lembaga; dan
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan papan bagi tuna sosial khususnya
gelandangan dan pengemis dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar penyediaan pelatihan keterampilan dan bimbingan sosial bagi tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis dalam panti dan/atau lembaga;

5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana alam provinsi dan/atau bencana sosial provinsi;
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal sementara;
 Standar dukungan psikososial, baik fisik, mental, dan spiritual dengan mutu
Pelayanan Dasar:
Penerima Pelayanan Dasar:
 Penyandang disabilitas telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Anak telantar untuk jenis Pelayanan Dasar,
 Lanjut usia telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Gelandangan dan pengemis untuk jenis Pelayanan Dasar korban bencana alam
provinsi dan/atau bencana sosial provinsi untuk jenis Pelayanan Dasar.

SPM bidang sosial di kabupaten/kota terdiri atas:


Jenis Pelayanan Dasar:
1. Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas telantar di luar panti dan/atau lembaga;
Mutu:
 Standar pemenuhan alat bantu disabilitas dan terapi minimal di luar panti
dan/atau lembaga;

[703]
 Standar penyediaan pengetahuan dasar, pelatihan keterampilan dasar, dan
bimbingan sosial bagi penyandang disabilitas diluar panti dan/atau lembaga;
 Standar rujukan bagi penyandang disabilitas diluar panti dan/atau lembaga;

2. Rehabilitasi sosial anak telantar di luar panti dan/atau lembaga;


Mutu:
 Standar pengasuhan bagi anak oleh keluarga dan/atau keluarga pengganti diluar
panti dan/atau lembaga; dan
 Standar fasilitasi akses terhadap pemenuhan identitas, pendidikan, dan kesehatan
bagi anak diluar panti dan/atau lembaga.
Pengertian Anak Telantar adalah seorang anak berusia enam tahun sampai dengan 18
(delapan belas tahun), meliputi anak yang mengalami perlakuan salah, dan
ditelantarkan oleh orangtua/keluarga atau anak kehilangan hak asuh dari orangtua/
keluarga.

3. Rehabilitasi sosial lanjut usia telantar di luar panti dan/atau lembaga;


Mutu:
 Standar pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia telantar diluar panti
dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu lanjut usia telantar diluar panti dan/atau lembaga;
 Standar rujukan bagi lanjut usia telantar diluar panti dan/atau lembaga;
Pengertian Lanjut Usia telantar adalah seseorang yang berusia enam puluh tahun atau
lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
4. Rehabilitasi sosial tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis diluar panti
dan/atau lembaga; dan
Mutu:
 Standar penyediaan pelatihan keterampilan dan bimbingan sosial bagi tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis diluar panti dan/atau lembaga;

5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana alam kabupaten/kota dan/atau bencana sosial kabupaten/kota:
Mutu :
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal sementara;
 Standar dukungan psikososial, baik fisik, mental, dan spiritual;

Mutu Pelayanan Dasar:


Penerima Pelayanan Dasar:
 Penyandang disabilitas telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Anak telantar, untuk jenis Pelayanan Dasar,
 Lanjut usia telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Gelandangan dan pengemis untuk jenis Pelayanan Dasar
 Korban bencana alam kabupaten/kota dan/atau bencana sosial kab/kota untuk
jenis Pelayanan Dasar.

[704]
Draft 8 Desember 2015
PETUNJUK TEKNIS PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG SOSIAL
PROVINSI
NO JENIS PELAYANAN LANGKAH VARIABEL KOMPONEN RUMUS
DASAR DAN KEGIATAN KEGIATAN
A Rehabilitasi Sosial
1. rehabilitasi sosial 1. Verifikasi/seleksi Melakukan a. Transport A+b+
penyandang disabilitas perjalanan b.Akomodasi c+d+
telantar dalam panti dinas c. Uang Saku e
dan/atau lembaga d. Biaya
mutu: penggandaa
a. standar pemenuhan n formulir
sandang, pangan, e. Dokumentasi
papan, dan obat- 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku A+b+
obatan bagi assesmen petugas c
penyandang disabilitas kebutuhan b. Biaya
dalam panti dan/atau klien penggandaa
lembaga; n formulir
b. standar pemenuhan assesmen
alat bantu disabilitas c. Penyusunan
dan terapi minimal pelaporan
dalam panti dan/atau 3. Bimbingan Sosial Pelaksanaan a. Honor A+b+
lembaga; dan Ketrampilan Bimbingan Narasumber c+d+
c. standar penyediaan b. Akomodasi e
pengetahuan dasar peserta
dan pelatihan c. ATK
keterampilan dasar d. Bahan
bagi penyandang Praktek
disabilitas dalam panti e. Dokumentasi
dan/atau lembaga 4. Bantuan Penerimaan a. Alat bantu A+b+
Bantuan b. Bantuan c+d+
Stimulan e
c. Pemenuhan
Kebutuhan
hak dasar
d. Transport
petugas
penyaluran
bantuan
e. Dokumentasi
5. Bantuan Penerimaan f. Alat bantu
Bantuan g. Bantuan
Stimulan
h. Pemenuhan
Kebutuhan
hak dasar
i. Transport
petugas
penyaluran
bantuan
j. Dokumentasi

[705]
6. Monev Melakukan a. Transport
perjalanan b. Akomodasi
dinas c. Uang Saku
d. Biaya
penggandaan
formulir
e. Dokumentasi
2. rehabilitasi sosial anak telantar 1. Verifikasi Melakukan a. Transport
dalam panti dan/atau lembaga /seleksi perjalanan b. Akomodasi
mutu: dinas c. Uang Saku
 standar pemenuhan sandang, d. Biaya
pangan, papan, dan penggandaan
pengasuhan bagi anak dalam formulir
panti dan/atau lembaga; dan e. Dokumentasi
 standar reunifikasi keluarga 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku
dan/atau keluarga pengganti assesmen petugas
bagi anak dalam panti kebutuhan b. Biaya
dan/atau lembaga. klien penggandaan
 Standar fasilitasi akses formulir
terhadap pemenuhan assesmen
identitas, pendidikan, dan c. Penyusunan
kesehatan bagi anak dalam pelaporan
panti dan/atau lembaga. 3. Bimbingan Pelaksanaa a. Honor
Sosial dan n Narasumber
Ketrampil Bimbingan b. Akomodasi
an peserta
c. ATK
d. Bahan Praktek
e. Dokumentasi
4. Bantuan Penerimaan a. Alat bantu
Bantuan b. Bantuan
Stimulan
c. Pemenuhan
Kebutuhan
hak dasar
d. Transport
petugas
penyaluran
bantuan
e. Dokumentasi
5. Monev Melakukan a. Transport
perjalanan b. Akomodasi
dinas c. Uang Saku
d. Biaya
penggandaan
formulir
e. Dokumentasi
3. rehabilitasi sosial lanjut usia 1. Verifikasi Melakukan a. Transport
telantar dalam panti dan/atau /seleksi perjalanan b. Akomodasi
lembaga dinas c. Uang Saku
mutu: d. Biaya
 standar pemenuhan penggandaan
sandang, pangan, papan, formulir
perawatan dan pengisian e. Dokumentasi
waktu luang bagi lanjut usia 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku

[706]
telantar dalam panti assesmen petugas
dan/atau lembaga; kebutuhan b. Biaya
 standar pemenuhan alat klien penggandaan
bantu lanjut usia telantar formulir
dalam panti dan/atau assesmen
lembaga c. Penyusunan
pelaporan
3. Bimbingan Pelaksanaa a. Honor
Sosial dan n Narasumber
Ketrampil Bimbingan b. Akomodasi
an peserta
c. ATK
d. Bahan Praktek
e. Dokumentasi
4. rehabilitasi sosial tuna sosial a. Verifikasi/ Melakukan a. Transport A+b+c
khususnya gelandangan dan seleksi perjalanan b. Akomodasi +d+e
pengemis dalam panti dan/atau dinas c. Uang Saku
dalam lembaga; dan d. Biaya
mutu penggandaan
a. standar pemenuhan formulir
sandang, pangan, dan papan e. Dokumentasi
bagi tuna sosial khususnya b. Assesmen Melakukan a. Uang Saku A+b+c
gelandangan dan pengemis assesmen petugas
dalam panti dan/atau kebutuhan b. Biaya
penggandaan
lembaga; klien
formulir assesmen
b. standar penyediaan
c. Penyusunan
pelatihan keterampilan dan
pelaporan
bimbingan sosial bagi tuna
c. Bimbingan Pelaksanaa a. Honor A+b+c
sosial khususnya
Sosial dan n Narasumber +d+e
gelandangan dan pengemis
Ketrampil Bimbingan b. Akomodasi
dalam panti dan/atau
an peserta
lembaga;
c. ATK
d. Bahan Praktek
e. Dokumentasi
B Perlindungan dan Jaminan Sosial
5. Perlindungan dan jaminan a. Veri Melakukan a. Transport
sosial pada saat dan setelah fikasi perjalanan petugas
tanggap darurat bencana bagi /seleksi dinas b. Akomodasi
korban bencana alam provinsi c. Uang Saku
dan/atau bencana sosial d. Biaya
provinsi penggandaan
Mutu: formulir
a. standar pemenuhan e. Dokumentasi
sandang, pangan, dan b. Bantuan Penyaluran a. Bantuan
tempat tinggal sementara; Bantuan Kebutuhan
b. standar dukungan dasar
psikososial, baik fisik, b. Transport petugas
mental, dan spiritual; penyaluran
bantuan
c. Akomodasi
d. Uang Saku
petugas
e. Dokumentasi

[707]
KABUPATEN/KOTA
NO JENIS PELAYANAN DASAR LANGKAH VARIABEL KOMPONEN RUMUS
DAN KEGIATAN KEGIATAN
A Rehabilitasi Sosial
1. rehabilitasi sosial penyandang 1. Verifikasi Melakukan a. Transport A+b+c
disabilitas telantar di luar panti /seleksi perjalanan b. Akomodasi +d+e
dan/atau lembaga dinas c. Uang Saku
mutu: d. Biaya
a. standar pemenuhan alat pengganda
bantu disabilitas dan terapi an
minimal di luar panti formulir
dan/atau lembaga; e. Dokument
b. standar penyediaan asi
pengetahuan dasar, 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku A+b+c
pelatihan keterampilan assesmen petugas
dasar, dan bimbingan sosial kebutuhan b. Biaya
bagi penyandang disabilitas klien pengganda
diluar panti dan/atau an
lembaga; formulir
c. standar rujukan bagi assesmen
penyandang disabilitas c. Penyusuna
diluar panti dan/atau n
lembaga pelaporan
3. Bimbingan Pelaksanaan a. Honor A+b+c
Sosial dan Bimbingan Narasumb +d+e
Ketrampila er
n b. Akomodasi
peserta
c. ATK
d. Bahan
Praktek
e. Dokument
asi
4. Bantuan Penerimaan a. Alat bantu A+b+c
Bantuan b. Bantuan +d+e
Stimulan
c. Pemenuhan
Kebutuhan
hak dasar
d. Transport
petugas
penyalura
n bantuan
e. Dokument
asi
5. Monev Melakukan a. Transport A+b+c
perjalanan b. Akomodasi +d+e
dinas c. Uang Saku
d. Biaya
pengganda
an
formulir
e. Dokument
asi

[708]
2. rehabilitasi sosial anak telantar 1. Verifikasi Melakukan a. Transport A+b+c
di luar panti dan/atau lembaga /seleksi perjalanan b. Akomodasi +d+e
mutu: dinas c. Uang Saku
a. standar pengasuhan bagi d. Biaya
anak oleh keluarga pengganda
dan/atau keluarga an formulir
pengganti diluar panti e. Dokument
dan/atau lembaga; dan asi
b. standar fasilitasi akses 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku A+b+c
terhadap pemenuhan assesmen petugas
identitas, pendidikan, dan kebutuhan b. Biaya
kesehatan bagi anak diluar klien pengganda
panti dan/atau lembaga an
formulir
assesmen
c. Penyusuna
n
pelaporan
3. Bimbingan Pelaksanaan a. Honor A+b+c
Sosial dan Bimbingan Narasumb +d+e
Ketrampila er
n b. Akomodas
i peserta
c. ATK
d. Bahan
Praktek
e. Dokument
asi
3. rehabilitasi sosial lanjut usia 1. Verifikasi Melakukan a. Transport
telantar di luar panti dan/atau /seleksi perjalanan b. Akomodasi
lembaga dinas c. Uang Saku
mutu: d. Biaya
a. standar pendampingan dan pengganda
perawatan bagi lanjut usia an
telantar diluar panti formulir
dan/atau lembaga; e. Dokument
b. standar pemenuhan alat asi
bantu lanjut usia telantar 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku
diluar panti dan/atau assesmen petugas
lembaga; kebutuhan b. Biaya
 standar rujukan bagi lanjut klien pengganda
usia telantar diluar panti an
dan/atau lembaga formulir
assesmen
c. Penyusuna
n
pelaporan
3. Bimbingan Pelaksanaan a. Honor
Sosial dan Bimbingan Narasumb
Ketrampila er
n b. Akomodas
i peserta
c. ATK
d. Bahan
Praktek

[709]
e. Dokument
asi
4. Bantuan Penerimaan a. Alat bantu
Bantuan b. Bantuan
Stimulan
c. Pemenuha
n
Kebutuhan
hak dasar
d. Transport
petugas
penyalura
n bantuan
e. Dokument
asi
4. rehabilitasi sosial tuna sosial 1. Verifikasi/ Melakukan a. Transport
khususnya gelandangan dan seleksi perjalanan b. Akomodas
pengemis diluar panti dan/atau dinas i
lembaga; c. Uang Saku
mutu d. Biaya
standar penyediaan pelatihan pengganda
keterampilan dan bimbingan an
sosial bagi tuna sosial formulir
khususnya gelandangan dan e. Dokument
pengemis diluar panti dan/atau asi
lembaga 2. Assesmen Melakukan a. Uang Saku
assesmen petugas
kebutuhan b. Biaya
klien pengganda
an
formulir
assesmen
c. Penyusuna
n
pelaporan
3. Bimbingan Pelaksanaan a. Honor
Sosial dan Bimbingan Narasumb
Ketrampila er
n b. Akomodas
i peserta
c. ATK
d. Bahan
Praktek
e. Dokument
asi
4. Bantuan Penerimaan a. Alat bantu
Bantuan b. Bantuan
Stimulan
c. Pemenuha
n
Kebutuhan
hak dasar
d. Transport
petugas
penyalura
n bantuan
e. Dokument

[710]
asi

[711]
5. Monev Melakukan a. Transport
perjalanan b. Akomodasi
dinas c. Uang Saku
d. Biaya
pengganda
an
formulir
e. Dokument
asi
Perlindungan dan Jaminan
B
Sosial
5. Perlindungan dan jaminan sosial 1. Verifikasi Melakukan a. Transport A+b+c
pada saat dan setelah tanggap /seleksi perjalanan petugas +d+e
darurat bencana bagi korban dinas b. Akomodasi
bencana alam kabupaten/kota c. Uang Saku
dan/atau bencana sosial d. Biaya
kabupaten/kota pengganda
Mutu: an
a. standar pemenuhan formulir
sandang, pangan, dan e. Dokument
tempat tinggal sementara; asi
b. standar dukungan 2. Bant Penyaluran a. Bantuan A+b+c
psikososial, baik fisik, uan Bantuan Kebutuhan +d+e
mental, dan spiritual dasar
b. Transport
petugas
penyalura
n bantuan
c. Akomodasi
d. Uang Saku
petugas
e. Dokument
asi
3. Bim Melakukan a. Transport A+b+c
bingan Perjalanan petugas +d+e
psikososial Dinas b. Akomodasi
c. Uang Saku
d. Biaya
pengganda
an
formulir
e. Dokument
asi
4. Mon Melakukan a. Transport A+b+c
ev perjalanan petugas +d+e
dinas b. Akomodasi
c. Uang Saku
d. Biaya
pengganda
an
formulir
e. Dokument
asi

[712]
MASUKAN TERHADAP SPM BIDANG SOSIAL
• Salah satu masukan daerah untuk perbaikan SPM Bidang Sosial  penerapan
mekanisme reward & punishment.
• Tidak adanya reward & punishment menyebabkan disinsentif daerah untuk memenuhi
indikator dan melaksanakan SPM Bidang Sosial.
• Penambahan anggaran spesifik untuk pencapaian indikator SPM Bidang Sosial.

DAK SEBAGAI MEKANISME INSENTIF PENYEDIAAN PELAYANAN


DASAR
 Selama periode 2002-2013 ketimpangan pendapatan di Indonesia semakin melebar.
Diskusi mengenai ketimpangan tidak cukup hanya membahas ketimpangan
pendapatan dan wilayah, tetapi juga ketimpangan kesempatan (inequality of
opportunity).
 DAK Bidang Sosial sebagai alternatif kebijakan untuk mengatasi ketimpangan:
 Keberpihakan pada kelompok miskin dan rentan, daerah terpencil, tertinggal, dan
wilayah Timur  penyesuaian kriteria dan parameter alokasi DAK.
 Keleluasaan bagi daerah menyesuaikan kebutuhannya (tidak hanya fisik, tetapi juga
peningkatan kapasitas dan pengembangan sistem).
 Saat ini: TMP, KAT, KUBe (dekon)  Ke depan, regulasi DAK perlu disesuaikan
dengan SPM Bidang Sosial.

Petunjuk teknis pemenuhan jenis dan pencapaian mutu Pelayanan Dasar,


memuat:
 Teknis penghitungan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi;
 Teknis penghitungan ketersediaan barang/jasa kebutuhan dasar;
 Teknis penghitungan kesenjangan pemenuhan kebutuhan dasar kelompok sasaran;
 Teknis penghitungan pencapaian SPM saat ini; dan
 Teknis penghitungan pembiayaan pencapaian target SPM.

Rancangan PP tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) turunan daru UU RI No. 23


Tahun 2014, SPM bidang sosial di Provinsi terdiri atas:
Jenis Pelayanan Dasar:
1. Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas telantar dalam panti dan/atau lembaga;
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan bagi penyandang
disabilitas dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu disabilitas dan terapi minimal dalam panti dan/atau
lembaga;
 Standar penyediaan pengetahuan dasar dan pelatihan keterampilan dasar bagi
penyandang disabilitas dalam panti dan/atau lembaga;

2. Rehabilitasi sosial anak telantar dalam panti dan/atau lembaga;


Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pengasuhan bagi anak dalam
panti dan/atau lembaga; dan

[713]
 Standar reunifikasi keluarga dan/atau keluarga pengganti bagi anak dalam panti
dan/atau lembaga.
 Standar fasilitasi akses terhadap pemenuhan identitas, pendidikan, dan kesehatan
bagi anak dalam panti dan/atau lembaga.

3. Rehabilitasi sosial lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;


Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, perawatan dan pengisian waktu
luang bagi lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;

4. Rehabilitasi sosial tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis dalam panti
dan/atau dalam lembaga; dan
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan papan bagi tuna sosial khususnya
gelandangan dan pengemis dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar penyediaan pelatihan keterampilan dan bimbingan sosial bagi tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis dalam panti dan/atau lembaga;

5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana alam provinsi dan/atau bencana sosial provinsi;
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal sementara;
 Standar dukungan psikososial, baik fisik, mental, dan spiritual dengan mutu
Pelayanan Dasar:
Penerima Pelayanan Dasar:
 Penyandang disabilitas telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Anak telantar untuk jenis Pelayanan Dasar,
 Lanjut usia telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Gelandangan dan pengemis untuk jenis Pelayanan Dasar korban bencana alam
provinsi dan/atau bencana sosial provinsi untuk jenis Pelayanan Dasar.

SPM bidang sosial di kabupaten/kota terdiri atas:


Jenis Pelayanan Dasar:
1. Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas telantar di luar panti dan/atau lembaga;
Mutu:
 Standar pemenuhan alat bantu disabilitas dan terapi minimal di luar panti
dan/atau lembaga;
 Standar penyediaan pengetahuan dasar, pelatihan keterampilan dasar, dan
bimbingan sosial bagi penyandang disabilitas diluar panti dan/atau lembaga;
 Standar rujukan bagi penyandang disabilitas diluar panti dan/atau lembaga;

[714]
2. Rehabilitasi sosial anak telantar di luar panti dan/atau lembaga;
Mutu:
 Standar pengasuhan bagi anak oleh keluarga dan/atau keluarga pengganti diluar
panti dan/atau lembaga; dan
 Standar fasilitasi akses terhadap pemenuhan identitas, pendidikan, dan kesehatan
bagi anak diluar panti dan/atau lembaga.
Pengertian Anak Telantar adalah seorang anak berusia enam tahun sampai dengan 18
(delapan belas tahun), meliputi anak yang mengalami perlakuan salah, dan
ditelantarkan oleh orangtua/keluarga atau anak kehilangan hak asuh dari
orangtua/keluarga.

3. Rehabilitasi sosial lanjut usia telantar di luar panti dan/atau lembaga;


Mutu:
 Standar pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia telantar diluar panti
dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu lanjut usia telantar diluar panti dan/atau lembaga;
 Standar rujukan bagi lanjut usia telantar diluar panti dan/atau lembaga;
Pengertian Lanjut Usia telantar adalah seseorang yang berusia enam puluh tahun atau
lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

4. Rehabilitasi sosial tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis diluar panti
dan/atau lembaga; dan
Mutu:
Standar penyediaan pelatihan keterampilan dan bimbingan sosial bagi tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis diluar panti dan/atau lembaga;

5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana alam kabupaten/kota dan/atau bencana sosial kabupaten/kota:
Mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal sementara;
 Standar dukungan psikososial, baik fisik, mental, dan spiritual;
Mutu Pelayanan Dasar:
Penerima Pelayanan Dasar:
 Penyandang disabilitas telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Anak telantar, untuk jenis Pelayanan Dasar,
 Lanjut usia telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Gelandangan dan pengemis untuk jenis Pelayanan Dasar
 Korban bencana alam kabupaten/kota dan/atau bencana sosial kab/kota untuk
jenis Pelayanan Dasar.

Petunjuk teknis pemenuhan jenis dan pencapaian mutu Pelayanan Dasar, memuat:
 Teknis penghitungan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi;
 Teknis penghitungan ketersediaan barang/jasa kebutuhan dasar;

[715]
 Teknis penghitungan kesenjangan pemenuhan kebutuhan dasar kelompok sasaran;
 Teknis penghitungan pencapaian SPM saat ini; dan
 Teknis penghitungan pembiayaan pencapaian target SPM.
Rancangan PP tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) turunan daru UU RI No. 23
Tahun 2014, SPM bidang sosial di Provinsi terdiri atas:
Jenis Pelayanan Dasar:
1. Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas telantar dalam panti dan/atau lembaga;
dengan mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan bagi penyandang
disabilitas dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu disabilitas dan terapi minimal dalam panti dan/atau
lembaga;
 Standar penyediaan pengetahuan dasar dan pelatihan keterampilan dasar bagi
penyandang disabilitas dalam panti dan/atau lembaga;

2. Rehabilitasi sosial anak telantar dalam panti dan/atau lembaga; dengan mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pengasuhan bagi anak dalam
panti dan/atau lembaga; dan
 Standar reunifikasi keluarga dan/atau keluarga pengganti bagi anak dalam panti
dan/atau lembaga.
 Standar fasilitasi akses terhadap pemenuhan identitas, pendidikan, dan kesehatan
bagi anak dalam panti dan/atau lembaga.

3. Rehabilitasi sosial lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga; dengan mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, papan, perawatan dan pengisian waktu
luang bagi lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu lanjut usia telantar dalam panti dan/atau lembaga;

4. Rehabilitasi sosial tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis dalam panti
dan/atau dalam lembaga; dengan mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan papan bagi tuna sosial khususnya
gelandangan dan pengemis dalam panti dan/atau lembaga;
 Standar penyediaan pelatihan keterampilan dan bimbingan sosial bagi tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis dalam panti dan/atau lembaga;

5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana bagi
korban bencana alam provinsi dan/atau bencana sosial provinsi; dengan mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal sementara;
 Standar dukungan psikososial, baik fisik, mental, dan spiritual dengan mutu
Pelayanan Dasar:
Penerima Pelayanan Dasar:
 Penyandang disabilitas telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Anak telantar untuk jenis Pelayanan Dasar,
 Lanjut usia telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Gelandangan dan pengemis untuk jenis Pelayanan Dasar korban bencana alam
provinsi dan/atau bencana sosial provinsi untuk jenis Pelayanan Dasar.

[716]
SPM bidang sosial di kabupaten/kota terdiri atas:
Jenis Pelayanan Dasar:
1. Rehabilitasi sosial penyandang disabilitas telantar di luar panti dan/atau lembaga;
dengan mutu:
 Standar pemenuhan alat bantu disabilitas dan terapi minimal di luar panti
dan/atau lembaga;
 Standar penyediaan pengetahuan dasar, pelatihan keterampilan dasar, dan
bimbingan sosial bagi penyandang disabilitas diluar panti dan/atau lembaga;
 Standar rujukan bagi penyandang disabilitas diluar panti dan/atau lembaga;

2. Rehabilitasi sosial anak telantar di luar panti dan/atau lembaga dengan mutu:
 Standar pengasuhan bagi anak oleh keluarga dan/atau keluarga pengganti diluar
panti dan/atau lembaga; dan
 Standar fasilitasi akses terhadap pemenuhan identitas, pendidikan, dan kesehatan
bagi anak diluar panti dan/atau lembaga.
Pengertian Anak Telantar adalah seorang anak berusia enam tahun sampai dengan 18
(delapan belas tahun), meliputi anak yang mengalami perlakuan salah, dan
ditelantarkan oleh orangtua/keluarga atau anak kehilangan hak asuh dari orangtua/
keluarga.

3. Rehabilitasi sosial lanjut usia telantar di luar panti dan/atau lembaga; dengan mutu:
 Standar pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia telantar diluar panti
dan/atau lembaga;
 Standar pemenuhan alat bantu lanjut usia telantar diluar panti dan/atau lembaga;
 Standar rujukan bagi lanjut usia telantar diluar panti dan/atau lembaga;

Pengertian Lanjut Usia telantar adalah seseorang yang berusia enam puluh tahun atau
lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

4. Rehabilitasi sosial tuna sosial khususnya gelandangan dan pengemis diluar panti
dan/atau lembaga; dan, mutu:
 Standar penyediaan pelatihan keterampilan dan bimbingan sosial bagi tuna sosial
khususnya gelandangan dan pengemis diluar panti dan/atau lembaga;
 Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap darurat bencana
bagi korban bencana alam kabupaten/kota dan/atau bencana sosial kabupaten/
kota: dengan mutu:
 Standar pemenuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal sementara;
 Standar dukungan psikososial, baik fisik, mental, dan spiritual;
Mutu Pelayanan Dasar:
Penerima Pelayanan Dasar:
 Penyandang disabilitas telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Anak telantar, untuk jenis Pelayanan Dasar,
 Lanjut usia telantar untuk jenis Pelayanan Dasar;
 Gelandangan dan pengemis untuk jenis Pelayanan Dasar

[717]
 Korban bencana alam kabupaten/kota dan/atau bencana sosial kab/kota untuk
jenis Pelayanan Dasar.
Daftar Pustaka

Dasar Hukum yang digunakan:


 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 12 menyebutkan
ada 6 (enam) urusan wajib terkait pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM), yaitu: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang; 4) Perumahan Rakyat dan Pemukiman; 5) Ketentraman,
Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat; 6) Sosial.
 SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan
Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara
minimal
 Sejalan dengan berakhirnya periode pencapaian indikator SPM tahun 2015, SPM
Bidang Sosial perlu direvisi

Jakarta, 8 Desember 2015


Syauqi, JFT Ahli Madya Analis Kebijakan
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial

[718]
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode Pengumpulan Data dengan metode observasi, dokumentasi, wawancara
dan kuesioner memerlukan instrument yang berbeda-beda. Alat-alat ini umumnya
merupakan alat untuk mengukur data kualitatif yang dikuantitatifkan. Mengingat bahwa
alat ukur yang baik, mutlak diperlukan bagi keberhasilan suatu penelitian, maka
keseriusan dan ke hati-hatian dalam merancangnya mutlak pula diperhatikan.

OBSERVASI
Notoatmojo mendefinisikan observasi sebagai perbuatan jiwa secara aktif dan penuh
perhatian untuk menyadari adanya rangsangan. Rangsangan tadi setelah mengenai indra
menimbulkan kesadaran untuk melakukan pengamatan. Dalam penelitian yang
dimaksud, pengamatan tidak hanya sekedar melihat saja melainkan juga perlu keaktifan
untuk meresapi, mencermati, memaknai dan akhirnya mencatat. Tindakan terakhir ini
penting dilaksanakan, karena daya ingat manusia sangat terbatas untuk menyimpan
semua informasi tentang apa yang akan diobservasi dan hasil pengamatannya.
Catatan yang berisi hal-hal yang harus diobservasi dinamakan panduan observasi.
Sedangkan catatan yang merekam hasil observasi dapat berupa gambar dan catatan
panjang sebagai potret saat observasi dilakukan atau berupa sebuah check-list yang
merupakan suatu daftar yang berisi subyek dan gejala-gejala yang harus diamati berikut
penilaiannya dinamakan alat bantu observasi. Pada jaman ini beberapa alat bantu lain
sering dipergunakan misalnya, kamera, tape recorder dan alat-alat perekam elektronik
lainnya.
Jadi, dalam metode observasi alat yang dipergunakan dapat berupa pedoman
observasi, catatan, check-list maupun alat-alat perekam lain (kamera, tape recorder, video
recorder dan sebagainya).
Menurut pelaksanaannya observasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu
observasi non sistematis dan observasi sistimatis. Pada observasi non sistimatis, pengamat
tidak mempergunakan panduan observasi dan alat perekam lainnya. Semua hasil
observasinya dicatat setelah selesai pelaksanaan observasi. Sedangkan pada observasi
sistematis, pengamat mempergunakan pedoman observasi dan atau alat perekam lainnya.
Sudah barang tentu hasil observasi dengan cara kedua jauh lebih baik dari pada cara
pertama.
Seperti telah diuraikan, pedoman observasi merupakan catatan yang berisi hal-hal
yang akan diobservasi agar peneliti tidak lupa mengobservasinya. Misalnya, seorang
peneliti ingin mengetahui asupan gizi pada balita. Salah satu cara pengumpulan data
untuk penelitiannya dilakukan dengan metode observasi. Hal-hal yang akan diobservasi
dicatat dalam pedoman observasi.
Pada observasi sistimatis, adakalanya dipergunakan suatu format yang dinamakan
rating skale sebagai alat bantu observasi. Format ini mengandung topik yang diamati
berikut skalanya. Skala ini harus diisi nilainya menurut persepsi pengamat. Agar
pengamatan dapat dapat dikuantitatifkan, orang mempergunakan skala yang dinamakan
skala likert sehingga data kualitatif yang ada diubah menjadi data interval.
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan observasi adalah sikap
peneliti yang tidak memata-matai dan tidak menimbulkan kecurigaan responden. Sikap
wajar dan tidak nampak sebagai penyelidik sangat membantu dalam mengobservasi
perilaku responden. Kalau responden tahu sedang diamati, maka dapat saja timbul
perilaku-perilaku yang tidak wajar yang bukan menjadi kebiasaannya, sehingga

[720]
menimbulkan biasa. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu pendekatan pendahuluan
yang menciptakan suasana repport (suasana yang merupakan hubungan erat dan
bersahabat) antara pengamat dan responden sebelum melakukan observasi. Repport dapat
diciptakan dengan cara; a) ikut serta dalam semua kegiatan yang dilakukan responden, b)
menjadikan diri sendiri sebagai orang dalam, kawan dari responden, c) sopan, ramah,
menerangkan maksud kedatangannya dan menyatakan betapa pentingnya informasi
yang bakal diperoleh, d) perlu ada tokoh pengantar yang dikenal baik oleh responden
sebagai penghubung.
Sesuai dengan etika penelitian, diharuskan terlebih dahulu meminta persetujuan
responden bahwa akan dilaksanakan menjelaskan maksud pertanyaan tadi. Sudah tentu
hasil wawancara ini lebih cermat dari pada wawancara bebas, tetapi hubungan antara
tipe wawancara dan responden Nampak kaku dan formil serta tidak seerat hubungan
pada wawancara bebas. Pada pelaksanaan wawancara terpimpin, tipe wawancara dapat
pula mempergunakan kuisioner sebagai pedoman wawancara.

WAWANCARA BEBAS TERPIMPIN


Jenis wawancara ini merupakan gabungan antar wawancara bebas dan wawancara
terpimpin. Kebaikan dari wawancara bebas dan kebaikan dari wawancara terpimpin
terdapat pada wawancara jenis ini sehingga wawancara ini dapat digunakan untuk
mengeksplorasi informasi secara mendalam. Wawancara ini menjadi penting artinya
dalam pelaksanaan wawancara mendalam (dept interview). Yang sering digunakan pada
peneliti kualitatif untuk menggali informasi sedalam mungkin (dig deeper analysis).

Menurut Cara Pelaksanaannya Wawancara dapat dibedakan menjadi :


 Wawancara mendalam (dept interview). Metode ini sering digunakan untuk menggali
semua atribut responden atau informan sedalam mungkin seperti dilaksanakan pada
penelitian kualitatif.
 Focuss Group Discussion (FGD) adalah suatu teknis pengumpulan data kualitatif yang
melibatkan sekelompok orang yang berdiskusi mengenai suatu topik dengan
pengarahan seorang moderator atau fasilitator.

Teknik ini mempunyai karakteristik khusus yaitu :


 Pesertanya antara 6-12 orang, agar setiap peserta mendapat kesempatan
mengemukakan pendapat dan memberikan ide-ide yang cukup banyak.
 Peserta diskusi tidak saling mengenal demikian juga moderator tidak mengenal
peserta.
 Teknik ini sekedar untuk mengumpulkan data mengenai persepsi peserta terhadap
suatu topik dan bukan untuk pengambilan kesepakatan atau pengambilan keputusan.
 Focuss Group Discussion (FGD) hanya mengumpulkan data kualitatif, oleh karenanya
dilakukan dengan pertanyaan terbuka yang memungkinkan peserta memberikan
jawaban dan penjelasan. Moderator hanya sebagai pengarah, pendengar, pengamat
dan penganalisa melalui proses induktif.
 Teknik ini menggunakan diskusi terfokus, artinya topik diskusi telah ditentukan dan
diatur secara berurutan.

[721]
Teknik Pelaksanaanya adalah sebagai berikut :
Pertama-tama fasilitator memilih peserta diskusi yang tidak mengenal satu sama
lain dan diusahakan sehomogen mungkin, misalnya tidak mencampurkan laki-laki dan
perempuan, tidak mencampur responden dengan berbagai jenis pekerjaan, responden
harus seusia (namun ini tergantung pada topik diskusi). Semua peserta diberi undangan
untuk menghadiri diskusi di suatu tempat khusus yang telah dipilih sebelumnya. Dalam
undangan disebutkan juga bahwa namanya diskusi antara 60-90 menit. Penyelenggara
harus menyiapkan secara matang moderator yang biasanya dibantu oleh seorang
pencatat yang pernah mendapat pelatihan sebagai moderator dan pencatat.
Pada saat pertemuan, moderator menyampaikan topik diskusi dengan cara
mengajukan pertanyaan yang netral dan menjelaskan pada para peserta bahwa tidak ada
jawaban yang benar dan salah dalam diskusi ini. Perlu pula menekankan pada peserta
bahwa setiap peserta tidak boleh memberikan persetujuan atau pernyataan tidak setuju
terhadap jawaban atau pernyataan peserta lain. Tugas moderator adalah mengarahkan
diskusi tadi dan mengamati reaksi peserta serta mendorong semua peserta berpartisipasi.
Moderator sendiri tidak ikut serta dalam diskusi. Oleh karena itu moderator harus
mampu menciptakan hubungan baik dengan semua peserta, fleksibel dan terbuka bagi
saran-saran mereka. Semua hasil diskusi harus dicatat secara lengkap oleh pencatat dan
bilaman perlu dapat mempergunakan kamera dan alat perekam. Pada akhir diskusi
jangan lupa menyampaikan terima kasih atas partisipasi peserta.
Apapun cara yang dipakai untuk wawancara, keberhasilannya tergantung pada
cara si pewawancara menciptakan repport dengan responden dan pelaksana pencatat hasil
wawancara.

Ada beberapa tip untuk melakukan wawancara, yaitu :


 Siapkan diri dengan pakaian yang sopan dan peralatan yang lengkap.
 Perkenalkan diri pada responden.
 Sampaikan tujuan wawancara dan tekankan kerahasiaan wawancara tersebut.
 Lakukan pembicaraan pendahuluan untuk menciptakan repport.
 Gunakan bahasa yang santun dan sederhana.
 Hindari kesan terburu-buru.
 Jangan membicarakan hal yang sangat pribadi, sensitif, rahasia dan melanggar adab,
budaya dan yang bersifat tabu (misalnya, hubungan seksual). Kalau hal ini diperlukan
dalam penelitian, ajukan pertanyaan tersebut pada akhir wawancara.
 Rangsang pembicaraan agar tidak terhenti dan semua informasi dapat tergali.
 Akhiri wawancara dengan ucapan terima kasih dan penghargaan bahwa informasinya
sangat berharga.

ANGKET
Angket adalah cara pengumpulan data dengan mempergunakan pertanyaan-pertanyaan
tertulis untuk memperoleh informasi dari responden. Pertanyaan tertulis dinamakan
kuesioner. Biasanya yang mengisi kuesioner adalah responden sendiri, tetapi adakalanya
si peneliti yang membacakan kuesioner pada responden kemudian menulis jawaban

[722]
responden pada formulir kuesioner. Dalam hal ini metode angket tidak berbeda dengan
wawancara terpimpin.
Menurut Strukturnya, angket dibedakan menjadi :
1. Angket tidak terstruktur
Angket ini merupakan pertanyaan yang memerlukan jawaban berisi suatu uraian.
Misalnya, “Menurut anda bagaimana melakukan kampanye iklan yang inivatif?”
Responden dalam menjawab pertanyaan ini akan menjelaskan dan menguraikan cara
melakukan kampanye iklan menurut pendapatnya. Dengan angket tidak terstruktur
responden diberi kebebasan untuk menjawab dengan mempergunakan kalimat-
kalimatnya sendiri. Oleh karena itu, angket ini tergolong pada angket terbuka.
Sebaiknya angket ini dilaksanakan melalui wawancara seperti yang telah dibahas di
atas.
2. Angket terstruktur
Pada angket ini, semua pertanyaan telah ditentukan jawabannya dan responden
memilihnya dari jawaban yang tersedia. Angket ini sering sekali digunakan untuk
penelitian kuantitatif yang luas dan melibatkan banyak sampel. Karena responden
menjawab kuesioner dari jawaban yang telah tersedia dan tidak mempergunakan kata-
katanya sendiri, maka menurut pengisiannya, angket ini digolongkan pada angket
tertutup.
3. Angket semi terstruktur
Angket ini merupakan gabungan dari angket tidak terstruktur dan angket terstruktur.
Penggunaan angket ini lebih fleksibel.

Menurut Jawabannya, angket dibedakan menjadi :


1. Angket langsung
Angket langsung adalah angket yang jawabannya diberikan sendiri oleh responden
tentang dirinya sendiri.
2. Angket tidak langsung
Angket ini jawabannya diberikan oleh orang lain yang mewakili responden. Misalnya,
angket yang ditujukan pada orang sakit yang tidak dapat menjawab sendiri angket
tersebut.

Menurut bentuk pertanyaannya, angket dibedakan menjadi beberapa jenis


yaitu :
1. Angket berbentuk isian
Angket ini biasanya digunakan dalam angket terbuka pada angket tidak terstruktur.
2. Angket berbentuk pilihan
Angket ini merupakan angket tertutup pada angket terstruktur. Responden diminta
menjawab pertanyaan angket dengan memilih jawaban dari jawaban yang telah
tersedia.
3. Angket berbentuk check list
Pada angket seperti ini, pertanyaan-pertanyaan harus dijawab responden dengan cara
memberikan tanda check pada jawaban yang dipilihnya.

[723]
4. Angket yang mempergunakan skala
Angket jenis ini dibedakan lagi menjadi beberapa jenis seperti misalnya, Rating Scale
(Likert Scale), Sum of Scale, Verbal Frequency Scale, Forced Ranking Scale, Semantic
Differential Scale, dan Adjective Check List Scale.

Beberapa jenis angket skala, terdiri dari :


1. Rating Scale (Likert Scale)
Pertanyaan pada angket ini menuntut jawaban responden dalam bentuk skala
bertingkat. Jawaban pada rating scale merupakan skala interval.
2. Sum of Scale
Untuk membuat jawaban pada skala rasio, maka dibuat sustu kuesioner yang
mempergunakan sum of scale. Kuesioner ini hanya dapat dijawab oleh orang yang
berpendidikan agak tinggi, sebab menuntut penilaian dan perhitungan. Responden
diminta untuk memberikan nilai-nilai pada pilihan-pilihan yang telah disediakan,
namun jumlah dari seluruh pilihannya harus 100.
3. Verbal Frequency Scale
Rating scale memberikan skala interval dan sum of scale memberikan skala rasio, dikenal
pula pertanyaan yang memberikan skala ordinal. Pertanyaan ini dinamakan Verbal
Frequency Scale.
4. Forced Ranking Scale
Pertanyaan pada kuesioner ini menuntut responden untuk memilih dan mengurutkan
pilihan yang telah disediakan.
5. Semantic Differential Scale
Pada kuesioner ini, responden diminta untuk meletakkan penilaiannya pada suatu
skala yang telah disediakan. Kuesioner ini dirancang seperti sebuah speedometer.
6. Adjective Check List Scale
Pada kuesioner ini, responden diminta menjawab pertanyaan yang diajukan dengan
memberi tanda X di depan kata-kata sifat yang disediakan.

ANALISA DATA
Analisa data dapat dikatakan sebagai tahap akhir dari mata rantai penelitian.
Langkah pertama dalam melakukan analisa data adalah memproses data yang dimulai
dengan memilah-milah data dalam kategori tertentu dan diakhiri dengan
menganalisanya, baik secara umum maupun statistik. Dalam analisa data akan dibahas
langkah-langkah awal memproses data (data processing), kemudian penggunaan statistik
inferensial untuk pengambilan kesimpulan penelitian melalui parametrik dan
nonparametrik.
Hasil analisa data tidak jarang divisualisasikan secara grafis untuk memperjelas
narasi yang dikemukakan. Visualisasi tersebut berbentuk tabel, grafik atau bagan (chart).

[724]
DATA PROCESSING
Langkah-langkah dalam penelitian dalam kegiatan data processing, terdiri dari :
1. Memilah data
Langkah ini merupakan data yang penting agar pelaksanaan langkah selanjutnya
dapat berjalan lancar. Oleh karena itu, biasanya para peneliti segera melakukan
langkah ini setelah data dikumpulkan.
Nomor kuesioner harus diurutkan disamping itu bilamana pengumpulan data
mencakup banyak tempat, pemilahan data dilakukan sesuai dengan lokasi data yang
dikumpulkan. Pada penelitian case control misalnya, data dari case harus dipisah dari
data mengenai kontrol. Sedangkan pada penelitian cross sectional, data sebaiknya
dipilah menjadi beberapa kelompok sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Kontrol kualitas data
Kontrol kualitas data biasanya sudah dilakukan pada saat pengumpulan data untuk
memastikan bahwa semua pertanyaan dalam kuesioner telah dijawab, walaupun tidak
ada salahnya sekali lagi memeriksa kelengkapan dan konsistensi data.
Kuesioner yang diisi secara lengkap dalam proses analisa akan dianggap sebagai data
yang hilang. Oleh karena itu bila ditemukan banyak pertanyaan yang tidak terjawab,
ada baiknya tidak memproses data tadi. Memang seyogyanya responden didatangi
lagi untuk melengkapi data, namun biasanya hal ini sulit dilaksanakan apalagi bila
alamat responden sulit dicapai.
Data yang tidak konsisten biasanya disebabkan karena kesalahan peneliti atau
pewawancara.
3. Mengikhtisarkan data (Data summarizing)
Mengikhtisarkan data dapat dilakukan secara manual atau dengan mempergunakan
komputer. Dalam mengikhtisarkan data dengan komputer harus diingat bahwa
software yang akan dipakai harus sudah tersedia.

Beberapa langkah mengikhtisarkan data, terdiri dari :


1. Mengkategorikan data
Mengkategorikan data merupakan langkah yang sulit dilaksanakan, terutama pada
penelitian kualitatif. Pada jenis penelitian ini, peneliti harus dapat membedakan
apakah data tadi termasuk jawaban dari kuesioner terbuka atau tertutup.
Pengkategorian bagi kuesioner tertutup lebih mudah daripada kuesioner terbuka.
Pada kuesioner terbuka, peneliti harus dapat menyimpulkan apa yang menjadi lata
belakang jawaban responden. Adakalanya sulit bagi peneliti untuk memasukkan
jawaban responden pada satu kategori tertentu. Pada keadaan ini jawaban tersebut
sebaiknya dimasukkan dalam kategori tersendiri. Data yang tergolong pada data
numeric lebih mudah dikategorikan daripada data kualitatif. Peneliti harus
mengetahui mana data yang berskala nominal, interval, dan rasio karena dalam
analisanya ada perbedaan.
2. Membuat kode (coding)
Coding adalah suatu upaya untuk mengkonversikan data yang dikumpulkan kedalam
kode-kode atau simbol-simbol tertentu, sehingga mudah untuk dianalisa. Pada data
processing dengan komputer dalam hal ini mudah sekali dilaksanakan asal saja pada

[725]
perencanaan dan penyusunan kuesioner penentuan variabelnya sudah jelas dibuat
hingga peneliti tinggal meng-entry data di komputer dan selebihnya komputer sendiri
yang mengerjakannya. Pada proses coding setiap variabel dibuat kodenya, disamping
itu ditentukan juga yang termasuk variabel kuantitatif dan variabel kualitatif.
Umumnya peneliti juga telah terlebih dahulu membuat kode saat membuat kuesioner,
sehingga pada saat memasukkan data ke komputer tidak perlu membuat kode dahulu.
Kode adalah penting, namun kalau terlalu banyak akan menimbulkan kebingungan
dan mungkin dapat menjadi tidak berarti saat dianalisa.
3. Pengikhtisaran data
Pengikhtisaran data pada data processing secara manual dilakukan pada selembar
kertas yang mengandung kolom-kolom dan dinamakan Master Sheet. Pada master sheet
inilah peneliti memasukkan data yang telah dikode. Pengikhtisaran data melalui
komputer jauh lebih mudah dan cepat dilaksanakan asalkan telah disiapkan software
yang akan dilaksanakan. Banyak macam software pada saat ini misalnya, Statistical
Product and Service Solution (SPSS), Statistical Analysis System (SAS), The System for
Statistic (Sytat), Microsoft Excel, Lotus 1-2-3, FoxBase, Epi-Info dan lain sebagainya.
Statistical Product and Service Solutions merupakan program yang canggih, mudah, dan
sering digunakan dalam berbagai penelitian. Apabila menggunakan software tadi
sebaiknya minta nasihat kepada mereka yang sudah berpengalaman.
Pada waktu data entry, kesalahan memasukkan data dapat saja terjadi. Untuk
menghindari hal ini sebaiknya data di-entry oleh dua orang atau lebih, kemudian
hasilnya di cross check. Pada software efi info tersedia menu untuk melakukan verifikasi
data, sehingga bila ada kesalahan data entry dapat segera diketahui.

ANALISA DATA
Semua data disiapkan melalui proses yang disebutkan di atas, maka analisanya
segera dimulai. Analisa data ini dibedakan berdasarkan desain penelitiannya (penelitian
deskriptif atau analisis) dan jenis data yang dikumpulkan. Pada tahap awal yang
dilakukan adalah secara umum, kemudian diikuti secara analisa sesuai dengan jenis skala
pengukuran data.

Analisa data penelitian dilakukan dengan cara :


1. Analisa Statistik deskriptif
Analisa ini dipaparkan dalam bentuk data dan angka-angka yang diperoleh dari
pengamatan di lapangan, kemudian bila perlu disajikan dalam bentuk grafik. Jumlah
sampel yang dirinci menurut atribut variabel, kemudian dipaparkan mean, mode atau
median data yang diperoleh, serta standar deviasi dan kisaran (range) datanya.
2. Analisa Statistik inferensial
Analisa seperti ini terlebih dahulu dipilih uji statistik yang cocok untuk pengujian,
kemudian ditentukan tingkat kemaknaan uji yang dipakai sebelum dilakukan uji
untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian. Pada uji statistik tersebut, data yang
mempunyai skala pengukuran interval dan rasio dianalisa secara statistik parametrik,
sedangkan data yang berskala nominal dan ordinal biasanya dianalisa secara statistik
nonparametrik. Hasil analisa statistik disimpulkan secara statistik dan diberi batasan
pengertiannya atau dikemukakan penafsirannya.

[726]
Untuk melakukan analisa statistik diperlukan pengetahuan mengenai uji statistik apa
yang cocok dipergunakan, kelebihan, dan kekurangan uji statistik yang dipakai dan
cara-cara menafsirkan hasil uji statistik.

ANALISA STATISTIK UMUM


Seorang pemikir, bernama Disraeli mengatakan bahwa ada tiga jenis kebohongan di
dunia yaitu bohong, dusta, dan statistik.
Statistik dapat membuat suatu data Nampak berbeda dari keadaan yang
sebenarnya jika disarikan dari jumlah sampel yang tidak tepat, disusun dengan cara yang
keliru, dan dari pengambil keputusan yang salah atau ketiga-tiganya. Oleh karena itu,
hasil suatu statistik akan sangat berarti bila dibaca secara kritis.
Beberapa ukuran dalam bidang statistik dasar yang paling sering dipakai peneliti
adalah mean, mode, median, dan standar deviasi. Disamping itu juga ada beberapa
pengukuran lain yang juga sering dipakai secara khusus di beberapa bidang keilmuan.

FREKUENSI DAN DISRIBUSI


Suatu data dapat dibedakan menjadi data individu dan data kelompok. Data
individu merupakan data yang berdiri sendiri dan setiap individu yang ada dalam data
set tersebut memiliki nilai sendiri-sendiri sebagai single unit. Sedangkan yang dimaksud
dengan data kelompok adalah data yang telah dikelompokkan dari data individu
berdasarkan interval tertentu. Pada data set terakhir ini dimiliki apa yang dinamakan
class interval.

MEAN
Mean merupakan pengukuran yang paling sering digunakan untuk
menggambarkan tendensi penyebaran sentral dari suatu data di samping pengukuran-
pengukuran lain.
Mean adalah nilai rata-rata dari satu set data. Nilai ini merupakan hasil pembagian
jumlah nilai setiap individu dalam data set.

MODE
Mode adalah nilai dari data set yang paling sering muncul atau frekuensinya
terbesar. Mode jarang sekali digunakan untuk analisa data dan perhitungan statistik,
orang lebih suka memakai mean daripada mode. Untuk menentukan mode dapat
dilakukan mean daripada mode. Untuk menentukan mode dapat dilakukan dengan
menghitung beberapa kali kemunculan satu nilai dari data set. Memang dapat terjadi
bahwa satu data set memiliki lebih dari satu mode.

MEDIAN
Median dari satu data set adalah nilai yang terdapat di tengah dari urutan nilai data
set tadi. Nilai yang di tengah ini membagi data set menjadi dua. Median sebenarnya lebih
menggambarkan keadaan tendensi sentral daripada mean, terutama pada suatu data
yang penyebarannya tidak rata.

[727]
Untuk mendapatkan nilai median, pertama-tama harus diurutkan nilai setiap
individu mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Jika data set terdiri dari jumlah
individu yang ganjil, maka letak median merupakan nilai yang terdapat di tengah-tengah
urutan data set. Sedangkan bila jumlah individu dalam data set adalah genap, maka letak
median merupakan nilai yang terletak diantara dua data yang di tengah.

KISARAN DAN STANDAR DEVIASI


Selain mengukur tendensi sentral suatu data, maka sangat penting juga mengukur variasi
data suatu penelitian.

Ukuran variasi data, terdiri dari :


1. Kisaran (range)
Kisaran (range) adalah perbedaan antara ukuran yang terendah dengan yang tertinggi
dari suatu data.
2. Standar deviasi
Standar deviasi adalah penyebaran nilai suatu data terhadap mean-nya. Dapat
dikatakan juga bahwa standar deviasi menggambarkan variabilitas suatu data. Makin
besar standar deviasi suatu data, maka makin bervariasi nilai-nilai data tadi.

Angka (Rate), Rasio, Proporsi dan Indeks


Pengukuran lain yang sering dipakai dalam penelitian, terdiri dari :
1. Angka (rate)
Dengan rate dapat diukur probabilitas (kemungkinan terjadinya) suatu kejadian di
dalam satu kelompok yang diamati. Angka (rate) dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, misalnya sebagai Angka Kelahiran (Birt Rate), Angka Kematian (Death Rate
= Mortality Rate), Angka Kesuburan (Fertility Rate), dan lain sebagainya.
2. Rasio
Rasio merupakan perbandingan jumlah suatu kejadian dengan jumlah kejadian lain
yang dapat dinyatakan dalam per-seratus, per-seribu dan seterusnya.
3. Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan jumlah suatu kejadian dengan jumlah seluruh
kejadian yang ada. Proporsi mirip dengan rasio, hanya saja pembilangnya merupakan
jumlah dari seluruh kejadian yang ada.
4. Indeks
Indeks adalah perkiraan yang paling memdekati suatu rate. Biasanya indeks dipakai
bilamana pada perhitungan rate tidak diketahui secara pasti jumlah kelompok yang
diamati (y) atau penyebutnya.

Sandjaja, Dr., MSPH; Panduan Penelitian

[728]
KUNJU HAR
NGAN MON
LEGISLA ISASI TIM
TIF KEBIJ PEMBI
NA
DPRD AKA TEKNI
PROVIN N S
SI & REGU URUSA
DPRD LASI N
PEMER
KAB/KO &
TA FUN
INTAH
AN
KEME
KEPADA GSI BIDAN NT
PEMBIN BINW G ERI
SOSIA
A AS L AN
TEKNIS URUS BIRO
DAERA AN HUMA SO
H PEME S- SI
BIRO
BERDAS RINT PEREN AL
ARKAN AHA CANA TAHU
UU NO. N AN -
23 BIDA BIRO N
TAHUN NG HUKU
M–
20
2014 SOSI INSPE 19
TENTAN AL DI KTOR
G DAER AT
JENDE
PEMDA AH RAL
PRO
VINSI
& DI
DAER
AH
KAB/
KOTA
MELI
N
D KE
U M
N EN
GI TE
, RI
M A
EL N
1. URUSAN A NE
PEMERINTAH
AN
Y G
2. KELEMBAGAA A AR
N
NI A
3. PERSONIL
4. KEUANGAN
5. SISTEM
(REGULASI) M
, &
PENY
6. PELAYANAN E ELEN
PUBLIK GGA
7. BINWAS M
RA
B PEM
E ERIN
R TAHA
D N
A DAER
Y AH
A
K
A
N
D
A
N
M
Prin

U
sip

R
1. D
U
4. Pe 3. Di 2. Ti
m da a S
bi p
be ay k a A
nt da t N
ai
uk pa d
an
da t i P
ins ri dit d E
an e
ta ug k M
nsi gg as o
ve ar pe n E
rti an m s R
kal ba e
pe n I
di nd nt
da ua
tr
a
N
ap
er nk si T
ah
at an k
an a A
tid ke
ak da pa
n H
k
me n da e A
me be da p N
rlu la er a
ka ah d A
nj a
n a ot g B
pe on u S
ne
rse o b
tuj
ga m, e O
ua ra. ka n L
u
n re r, U
gu na b
be tid u T
rn ak p
U
R
U
S PRINS KRITERIA KETENT
PEMBAGIAN UAN
A IP URUSAN: PEMBAGI
N PEMB 1. Lokasi AN:
P AGIAN pelaksa 1. Diatur
naan
: dalam
E akuntab
urusan
lampir
pemerin
M ilitas, tahan; an UU
No 23
E efisiensi
2. Penggu
na/kons Tahun
R , dan umen 2014.
atas 2. Urus
I ekstern pelaksa an
N alitas, naan ekol
urusan
T serta
pemerin
ogis
kepenti (ESD
A tahan; M,
ngan 3. Manfaat
H atau
Keh
strategis utan
A Nasiona
dampak
pelaksa an,
N l. naan dan
urusan Kela
K pemerin utan
O tahan; hany
4. Kedudu a
N kan diser
K strategi ahka
s bagi n
U kepenti kepa
R ngan da
Nasiona daer
E l. ah
SI
N

N
D
A

A
R

R
K
P

E
T
I

N Prov
insi.
U

BA
SU

NS
BS

PE
TA

GI
M

N
A
I
R
U
KRITERIA POLA S
PEMBAGI PEMBAGIAN:
AN A
Yang dibagi antar
URUSAN: tingkatan/susunan N
Urusan
pemerintahan P
pemerinta
han yang hanya substansi E
menjadi urusan saja, M
kewenanga
n setiap
sedangkan unsur E
tingkatan/ manajemen dan R
susunan fungsi manajemen I
pemerinta melekat pada setiap
han N
substansi tersebut
dilakukan T
secara kecuali ada fungsi
jelas (clear
A
manajemen
cut),
tertentu atau unsur H
sehingga A
tidak ada manajemen
lagi urusan tertentu yang N
pemerinta secara eksplisit K
han yang
tumpang dinyatakan sebagai O
tindih kewenangan N
antar
tingkatan/
susunan K
pemerintahan yang U
susunan
lain
pemerinta R
han.
E
N
U 2. Mem 3. Me
1. Men
R gand erluk nja
U ung an di
S Pela SPM Prio
yana : rita
A n Ketent s
N Dasa uan Nas
W r menge ion
Pelay al:
A nai
anan jenis Dilaks
J publi anaka
dan
I k mutu n
B untuk Pelayan mend
P mem an ahului
/men
E enuhi Dasar
yang gatasi
L kebut
merupa seluru
A uhan kan h
Y dasar Urusan kebut
A warg Pemeri uhan
a pembi
N ntahan
ayaan
negar Wajib
A yang yang
a.
N berhak lain.
D diperol
A eh
SI
N
R
P

P
I

setiap
S
warga
A negara
R secara
minima
l.
SI
N

N
A
A

A
R

K
P

P
P
E

S
L
I
U
PP No. 12 Tahun PERT PELA AZAS R
2017 tentang
ANGG
UNGJ
KSAN
A:
PELA
KSAN
U
Pembinaan dan
Pengawasan
AWAB Di AAN : S
AN: Dilaksa
Penyelenggaraan Gubern
daerah
dilaksan
nakan A
Pemda
• Aparat Pengawas
ur
bertang akan
berdasa
rkan
N
Internal gung oleh
gubern
azas P
Pemerintah (APIP) jawab dekons
yaitu Inspektorat kepada ur, entrasi E
jenderal preside
n
bupati
dan
karena
merupa
M
kcmenterian, unit
pengawasan melalui walikot kan E
lembaga Menda
gri dan
a
sebagai
kewena
ngan R
pemerintah
nonkementerian,
bupati/ wakil Preside I
walikot n yang
inspektorat a
pemeri
ntah tidak N
provinsi, dan
inspektorat
betangg
ung
pusat
diotono
mikan.
T
kabupaten/ kota. jawab dibantu
oleh
A
• Pembinaan umum kepada
diantaranya: Menda instansi H
kelembagaan gri
melalui
vertikal.
Camat
A
daerah,
kepegawaian Gubern melaksa N
Perangkat Daerah,
keuangan daerah,
ur
Wakil
nakan
kewena
U
Pembinaan dan
Pemeri
ntah
ngan M
Pengawasan Teknis:
• Capaian Standar
Pusat
bupati/
walikot U
Pelayanan Minimal
(GWPP)
.
a di M
atas pelayanan tingkat
dasar; kecama
• Ketaatan terhadap tan
Peraturan per-UU-
an Pelaksanaan
norna, standar,
prosedur, dan
kriteria, (NSPK)
Urusan Konkuren
yg ditetapkan
Pusat.
7 6 5 4 3 1
2

SE TA PE PE R PENA
NGAN
PE
RT M N RL E
AN M
A A IN H WAR
IFI N D A B
N GA
KA G U BI NEGA E
M
SI A N LI RA
R
A MIGR
& N G TA AN D
K A A SI
AK A
KORB
AY
N N S AN
RE M TINDA A
B S O
Berd DI PA E O SI
K
A
asark KEKER
TA H N SI AL ASAN N
an SI LA C AL
Lamp A
S
W
iran
A N O
UU A SI
N
No. AL
23
P P
Tahu
K R U
n SA
A O
2014 B/ VI T
tenta K N
ng O SI
Peme TA
rinta
han
Daer

Anda mungkin juga menyukai