Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern ini, film merupakan salah satu hiburan yang saat ini

masih ditunggu dan dikagumi oleh masyarakat. Tayangan yang pertama kali di

tayangkan di tempat tertentu seperti bioskop, sangat dinanti masyarakat yang

memang mencintai film. Lain halnya dengan tayangan televisi, masyarakat tidak

perlu pergi ke bioskop untuk menonton sinema atau hiburan yang mereka inginkan,

hanya dengan memiliki televisi mereka telah ditunjukan dengan tontonan yang

banyak.

Sebelum membuat film langkah awal yang harus ditentukan adalah

membuat cerita dan menentukan tujuan pembuatan film itu sendiri. Sebagai hiburan,

untuk mengangkat fenomena pembelajaran dan pendidikan, atau hanya untuk

menyampaikan moral tertentu agar nantinya pembuatan film terfokus sesuai dan

terarah. Dibalik kemegahan dan keseruan film terdapat orang-orang dibelakang dan

didepan layar yang terus bekerja untuk membuat film menjadi layak untuk ditonton

dan dipasarkan ke masyarakat. Orang-orang tersebut adalah para crew di lapangan

maupun di luar lapangan, yakni produser, sutradara, penulis naskah, pemegang

kamera, tata artistik, pengarah lampu, make up artist hingga pembantu umum.

Sejak tahun 1950 hingga tahun 2000, pertumbuhan perfilman di Indonesia

mengalami pasang surut tiada henti (Imanjaya & Ekky, 2011). Adapun genre-genre
tersebut diantaranya yaitu thriller, comedy, action, adventure, animation, biography,

crime, documentary, drama, family, history, musical, mystery, romance, dan horror.

Banyaknya peristiwa yang mempengaruhi sehingga perfilman Indonesia mengalami

perubahan setiap tahunnya. Kebangkitan film nasional diikuti dengan kebangkitan

film bergenre horor. Munculnya film bergenre horor salah satunya dilatarbelakangi

oleh kuatnya budaya mistik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Sekian banyak genre yang diproduksi, genre horor yang paling banyak

digemari oleh masyarakat Indonesia. Genre ini juga sudah banyak dinikmati sejak

tahun 1970-an dengan jumlah produksi film mencapai 22 judul, bahkan pada tahun

1980-an merupakan masa emas film horor Indonesia dengan jumlah produksi film

mencapai 78 judul, kemudian pada tahun-tahun berikutnya, film horor yang

didproduksi hanya mencapai 35 judul. Sementara dari tahun 1998 – 2008, film horor

yang diproduksi berjumlah 74 judul, dari total produksi 281 film. (wordpress.com)

Menurut Koentjaraningrat, masyarakat Indonesia menyakini makhluk halus,


roh penjaga (tempat angker), setan, hantu dan kekuatan ghoib. Pada tahun 1971
muncul dua judul film bergenre horor, yaitu film “Beranak Dalam Kubur” yang
disutradarai oleh Awaludin dan Ali Shahab dengan dibintangi oleh Suzzanna dan film
“Lisa”. Menurut JB Kristanto, film berjudul Lisa lah yang disutradarai oleh M.
Sharieffudin disebut-sebut sebagai film horor pertama di Indonesia (JB & Kristanto,
2007)
Menginjak tahun 2000, menjadi puncak bermulanya acara-acara horor

bermunculan di televisi dan menjadi booming, seperti pemburu hantu, uka-uka dan

dunia lain. Saat pertelevisian mulai menguasai dunia horror, Jose Poernomo dan Rizal

Mantovani mengambil sudut yang berbeda. Mereka justru memproduksi film horror

yang berjudul Jelangkung (2001). Film ini sukses meraih 1,5 juta penonton di seluruh
Indonesia. Film horor ini berhasil menyaingi kesuksesan film Petualangan Sherina

pada tahun 2000 karya Riri Riza pada masa itu (IDN News, 2018).

Film horor dapat memacu adrenalin seseorang. Kekuatan karakter film horor

tentulah tidak terlepas dari banyak faktor-faktor yang mendukung untuk memperkuat

karakter tokoh antagonis, psikopat dan karakter mengerikan yang lainnya. Kemudian

dari nuansa yang menyeramkan, mulai dari setting tempat yang umumnya identik

dengan tempat-tempat sepi dan gelap, lalu sound effect yang menegangkan dan

mengejutkan, serta make up para pemainnya yang dibuat semirip mungkin dengan

tokoh yang diinginkan.

Make up sendiri menjadi sesuatu yang penting dan tak terpisahkan dalam

pembuatan film horor. Sehingga, para penata rias harus membuat efek yang sesuai

dengan karakter horor yang diinginkan dibagian wajah atau ditubuh sang pemain

menjadi seperti bentuk yang ingin ditampilkan, dengan demikian penonton dapat

merasakan dan menikmati film tersebut seperti nyata. Make up karakter

membutuhkan skill khusus. Kendati demikian, pembuatan tata rias atau make up

horror tersebut tidaklah mudah dan sesederhana seperti yang dilihat di layar. Hal

tersebut memerlukan keterampilan dan keahlian yang tinggi pada para perias make up

horor di balik layar. Para perias harus memahami dan mendalami cara membuat dan

membentuk make up karakter pada perfilman horror, mulai dari yang sederhana

hingga yang rumit.

Menurut Halim (2013 :11) Character make up atau make up karakter adalah
suatu tata rias yang diterapkan untuk mengubah penampilan seseorang dalam hal
umur, sifat, wajah, suku, dan bangsa sehingga sesuai dengan tokoh yang
dipernakannya. Make up karakter merupakan jenis make up yang biasa digunakan
untuk televisi dan film. Tidak bisa dipungkiri bahwa berkembangpesatnya dunia
pertelevisian Indoesia membuat dunia make up televisi dan film ikut mengalami
perkembangan yang signifikan.

Adapun jenis make up yang biasa digunakan untuk televisi dan perfilman

dapat digolongkan menjadi 3 golongan yaitu, corrective make up adalah suatu tata

rias yang diterapkan untuk menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan demi

mendapatkan kesempurnaan wajah. Lalu ada style make up adalah suatu tata rias yang

dibuat dengan daya khayal atau imajinasi seseorang untuk menciptakan suatu tokoh

sehingga menghasilkan suatu karya dalam bentuk rias wajah,. Dan yang terakhir

adalah character make up yaitu suatu tata rias yang diterapkan untuk mengubah

penampilan seseorang dalam hal umur, sifat, wajah, suku, dan bangsa sehingga sesuai

dengan keinginan tokoh yang diperankan. (Halim Paningkiran, 2013 : 10) Ketiganya

golongan tersebut saling berkaitan dan berperan penting dalam terbentuknya film

khusus character make up pada genre film horor.

Make up televisi dan perfilman pada dasarnya terdiri atas dua jenis, yaitu

make up karakter dua dimensi dan make up karakter tiga dimensi. Make up karakter

dua dimensi adalah make up yang mengubah bentuk wajah penampilan seseorang dari

hal umur, suku, bangsa dengan cara dioleskan atau disapukan baik secara keseluruhan

maupun hanya sebagian sehingga hanya bisa dilihat dari bagian depan saja. Make up

dua dimensi ini mengandalkan kekuatan pegecatan (painting) dari gelap terangnya

warna (blending). Make up karakter tiga dimensi adalah make up yang mengubah

wajah atau bentuk seseorang sacara keseluruhan atau sebagian dengan menggunakan

bahan tambahan seperti anti-shine gel, latex glue for skin, fake blood, adhesive gum

for make up, dan face paint (haho.co.id).


Teknik riasan yang digunakan dalam film-film horor disebut Special Make up

Effect (SFX). Teknik tersebut bisa membuat efek yang dimunculkan tubuh karena

suatu kejadian, menggunakan metode seni tata rias. Misalnya luka lebam, luka tusuk,

luka tembak, darah menggumpal dan kerutan diwajah (kumparan.com). Kemudian

ada Prosthetic Make up yaitu seni tata rias yang menggunakan atau menambahkan

prosthetic (bagian tubuh palsu) untuk memodifikasi bagian tubuh. Keberadaan SFX

Make up dan FX Make up saling berhubungan erat di industry perfilman, karena

keduanya merupakan satu kesatuan. FX Prosthesic berkaitan dengan make up

karakter, sebab make up karakter kadang membutuhkan tambahan prosthetic demi

menampilkan karakter yang kuat. (kumparan.com)

Seorang make up artist harus dapat menyesuaikan riasan sesuai kebutuhan

sehingga tidak asal meletakkan atau menempelkan kosmetik ke wajah seseorang. Ia

harus tahu kapan seseorang perlu di make up dan kapan ia harus menerapkan

corrective make up, character make up, atau style make up.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

perkembangan make up karakter pada perfilman horor Indonesia antara tahun 2000-

2019, serta mengenalisa perkembangan alat, bahan, dan kosmetik yang digunakan

untuk make up karakter pada perfilman horor secara lebih mendalam dan terperinci.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti mengidentifikasikan

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan ala, bahan, dan kosmetik pada

make up karakter pada perfilman horor Indonesia.


2. Perkembangan make up karakter pada perfilman horor Indonesia antara tahun

2000-2019

3. Perlunya seorang penata rias dalam mendalami cara membuat dan membentuk

make up karakter pada perfilman horor.

1.3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada studi

mengenai perkembangan make up karakter pada perfilman horor yang meliputi

alat pendukung dalam pembuatan make up karakter serta bahan dan kosmetik.

Perkembangan tersebut antara tahun 2000-2019.

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang dirumuskan

adalah “Bagaimanakah perkembangan alat, bahan, dan kosmetik pada make up

karakter pada perfilman horor Indonesia antara tahun 2000-2019”.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana perkembangan alat, bahan,

dan kosmetik make up karakter pada perfilman horor Indonesia antara tahun

2000-2019.

1.6. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini menjadi bahan studi dan pengembangan konsep

keilmuan Tata Rias Fantas Universitas Negri Jakarta serta mengumpulkan secara

menyeluruh pengetahuan tentang perkembangan make up karakter pada

perfilman horor yang tersimpan dalam ingatan pakar untuk di dokumentasikan.

Secara praktis, penelitian ini memberikan informasi dan masukan kepada


mahasiswa Program Studi Pendidikan Tata Rias, Fakultas Teknik, Universitas

Negeri Jakarta mengembangkan mata kuliah Tata Rias Fantasi khususnya pada

perkembangan alat, bahan, dan kosmetik, serta menjadi masukan para perias

make up film mengenai perkembangan make up karakter pada perfilman horor.

Kegunaan untuk peneliti selanjutnya, yaitu menambah pengetahuan mengenai

perkembangan make up karakter pada perfilman horor di Indonesia yang dapat

diaplikasikan untuk pekerjaan peneliti nantinya.


2
BAB II

KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA BERFIKIR

2.1 Deskripsi Teoritik

2.1.1 Hakikat Analisis Perkembangan Make up Karakter Pada Perfilman Horor

Indonesia

2.1.1.1 Analisis

Analisis dalam linguistic adalah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah

pembahasan guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam. Menurut

beberapa pakar, diantaranya Wiradi mengatakan analisis adalah aktivitas yang

memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilih sesuatu untuk

digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dari

kaitannya dan ditafsirkan maknanya. Sedangkan menurut Dwi Prastowo Darminto

dan Rifka Julianti, analisis adalah pengurai suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan antara bagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti yang keseluruhan (Sugiyono: 1997: 56).

Dalam sebuah proses penelitian, antara kegiatan analisa memiliki keterkaitan

yang erat dengan proses pengolahan data. Dalam proses penelitian, analisa

merupakan tahap akhir sebelum penarikan kesimpulan dilakukan. Pada awal tahapan,

dilakukan proses pencarian dan pembatasan masalah. Selanjutnya dilakukanlah

proses penarikan hipotesa awal yang nantinya berfungsi sebagai praduga awal

sebelum proses penelitian.

8
9

Fungsi dari analisa adalah :

1. Analisa diperlakukan sebagai upaya untuk mengenali dan proses identifikasi


dari permasalahan yang ada pada penelitian yang dilakukan. Dengan
demikian, pada nantinya dari permasalahan yang muncul bisa diurai satu
persatu mengenai apa saja yang memiliki hubungan atas munculnya sebuah
masalah pada objek penelitian.
2. Analisa diperlakukan untuk bisa memberikan keterangan secara spesifik dan
terperinci mengenai hal-hal apa saja yang dicapai dalam upaya memenuhi
kebutuhan dari objek penelitian.
3. Analisa yang tepat akan mempengaruhi kesimpulan dari sebuah penelitian.
Untuk itu, dalam melakukan analisa atas hasil penelitian, seorang peneliti
harus melakukan dengan hati-hati serta memperhitungkan berbagai macam
faktor dan data yang didapat dalam penelitian tersebut.
4. Hasil analisa dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan sebuah tindakan
yang memiliki nilai lebih pada objek penelitian. Dengan kata lain, hasil
analisa akan mempengaruhi pembuatan kebijakam atau strategi.
5. Analisa akan dibutuhkan sebagai media untuk mencari jalan alternative atas
permasalahan yang ditemukan dalam penelitian tersebut. Hal ini bisa
dimungkinkan karena dalam proses analisa akan dilakukan tahapan
penguraian masalah secara detail.
6. Analisa merupakan tahapan awal dalam proses perencanaan serta penerapan
rancangan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dari objek penelitian.
(Arikunto: 1998: 43)

2.1.12 Perkembangan Make Up Karakter

Jika berbicara tentang make up, tidak akan pernah ada habisnya. Make up

sudah menjadi “baju” sehari – hari bagi kaum hawa, bahkan belakangan kaum adam

pun mulai memoleskan make up untuk menutupi kekurangannya. Bila ditelusuri

dalam keyword Google search, kata make up yang banyak bermunculan mewakili

tampilan rias jaman modern seperti sekarang. Banyak yang lebih penasaran dengan

make up tutorial, make up ala Korea, make up natural hingga produk make up. Ini

menandakan, perkembangan tren make up dari tahun ke tahun sangatlah pesat seakan

menjadi rival tren fashion. Menurut harfiah make up berarti tata rias atau tata cara

menggunakan kosmetik. Tata rias wajah atau make up sebenarnya memiliki banyak
10

cabang. Tidak selalu identik dengan tampilan riasan wajah sehari – hari. Ilmu make

up terbagi dalam make up korektif, make up seni dan make up karakter.

Tata rias wajah adalah suatu kegiatan yang menggabungkan unsur-unsur seni

dalam mewujudkan keindahan pada penampilan seseorang dalam mempergunakan

bahan-bahan kosmetik tertentu. Secara umum make up berfungsi untuk menonjolkan

kelebihan dan menutupi kekurangan yang terdapat pada wajah seseorang. Semakin

berkembangnya zaman, saat ini rias wajah bukan hanya digunakan untuk kebutuhan

mempercantik diri namun dapat juga digunakan untuk memperburuk atau menuakan

wajah seseorang dan kerap digunakan dalam suatu pertunjukan baik diatas panggung,

televisi, ataupun film.

Menurut Halim Paningkiran (20013:10), jenis-jenis rias wajah yang biasa

digunakan untuk make up panggung, televisi dan film dapat digolongkan menjadi 3,

yaitu:

1) Corrective make up atau rias wajah korektif adalah suatu riasan yang

diterapkan untuk menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan demi

mendapatkan kesempurnaan wajah.

2) Style make up atau rias wajah fantasi, adalah suatu tata rias yang dibuat

dengan daya khayal atau imajinasi seseorang untuk menciptakan suatu tokoh

sehingga menghasilkan suatu karya dalam bentuk rias wajah.

3) Character make up atau rias wajah karakter, adalah suatu tata rias yang

diterapkan untuk mengubah penampilan seseorang dalam hal umur, sifat,

wajah, suku, dan bangsa sehingga sesuai dengan tokoh yang diterapkan.
11

Di dalam pertunjukan drama, make up yang sering digunakan adalah make up

karakter. Make up karakter membantu para pemeran berakting dengan membuat

wajahnya menerupai peran yang akan ditampilkan. Seorang penata rias harus dapat

menyesuaikan make up dengan kebutuhan peran yang akan ditampilkan.

Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam merias wajah karakter yaitu,

menganalisis gambaran watak yang diinginkan serta mewujudkan gambaran watak

tersebut, (Nini Thowok, 2015:15). Seorang penata rias harus memiliki desain

mengenaik tokoh yang akan diperankan oleh pemain sehingga panduan tata rias

wajah karakter dibedakan menjadi dua, yaitu rias wajah karakter dua dimensi dan rias

karakter wajah tiga dimensi.

Tata rias wajah karakter dua dimensi adalah rias wajah yang mengubah bentuk

wajah seseorang dalam hal umut, suku, dan bangsa dengan cara dioleskan atau

disapukan baik secara menyeluruh maupun hanya sebagian sehingga hanya bisa

dilihat dari bagian depan saja, (Halim Paningkiran, 2013:52).

Make up karakter dua dimensi hanya mengandalkan kekuatan painting dalam

pengaplikasiannya. Seperti yang diungkapkan oleh Richaerd Corson diacu dalam

Halim Paningkiran, (2013:59), mengatakan bahwa, make up karakter dua dimensi

adalah make up yang dilaukan dengan teknik pengecatan yang meliputi lima bagian

pokok pada wajah yaitu, dahi, mata, hidung, pipi, dan rahang wajah. Kekurangan dari

make up karakter dua dimensi adalah make up ini tidak dapat memberi perubahan

secara jelas.

Perubahan yang dihasilkan hanya berupa garis bayangan pada bagian wajah

tertentu, baik bayangan yang memberi kesan menonjol ataupun membenamkan.


12

Namun, kelebihan dari make up karakter dua dimensi ini adalah kosmetik yang

digunakan mudah didapat dan harganya pun cenderung lebih murah. Karakter yang

bisa dibuat dengan menggunakan make up karakter dua dimensi adalah tokoh

wayang, hewan, efek kumis, efek jenggot, hantu, tokoh usia tua, dan efek lebam.

Dibawah ini terdapat contoh make up karakter dua dimensi karakter tua dan make up

karakter dua dimensi karakter hewan

Gambar 2.1. Make up karakter dua dimensi karakter tua


Sumber: Koleksi pribadi.

Gambar 2.2. Make up karakter dua dimensi karakter hewan


Sumber: Koleksi pribadi.
13

Make up karakter tiga dimensi adalah make up yang dapat mengubah bentuk

wajah seseorang secara menyeluruh atau sebagian dengan menggunakan bahan

tambahan yang langsung dioleskan atau ditempelkan pada bagian wajah, sehingga

dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, (Halim Paningkiran, 2013:94). Make up

karakter tiga dimensi merupakan make up yang memiliki gradasi berupa lekukan-

lekukan yang dapat diraba. Make up yang dihasilkan pada make up karakter dua

dimensi. Terdapat bahan-bahan yang biasa digunakan pada make up karakter tiga

dimensi adalah latex, gelatin, fake boold, dan wax.

Penata rias harus lebih mengenal dan mengetahui berebagai fungsi dari bahan

yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kesalahan yang terjadi

pada hasil make up atau untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada kulit

seperti iritasi. Pada dasarnya, make up karakter dua dimensi dan make up karakter

tiga dimensi memiliki sejumlah perbedaan, yaitu:

Tabel 2.1. Perbedaan Make Up Karakter Dua Dimensi dan Tiga Dimensi

No. Make up karakter dua dimensi Make up karakter tiga dimensi


1. Hanya menggunakan teknik Langsung diletakkan ke wajah.
painting.
2. Bahan mudah didapatkan. Bahan sulit didapatkan.
3. Mudah dalam pemakaiannya. Lebih sulit dalam pemakaian.
4. Kemungkinan terjadi kesalahan Kemungkinan terjadi kesalahan
lebih kecil. lebih besar.
5. Biaya lebih murah. Biaya lebih mahal.
6. Waktu pengerjaan lebih cepat. Waktu pengerjaan lebih lama.
7. Tidak membutuhkan peralatan Membutuhkan peralatan khusus.
khusus.
8. Lebih mudah dibersihkan. Lebih sulit dibersihkan.
9. Hanya dapat dilihat dari satu arah. Bisa dilihat dari segala arah.
14

10. Gradasi tidak terlalu terlihat. Gradasi terlihat.


11. Hanya bisa dilihat. Bisa dilihat dan dirasakan.
12. Hasil kurang terlihat. Hasil lebih jelas.
Sumber: Halim Paningkiran, (2013:96)

Terdapat dua cara untuk pengaplikasian bahan-bahan pada make up karakter

tiga dimensi. Pengaplikasian bahan tersebut dapat dilakukan secara langsung atau

tidak langsung. Pengaplikasian secara langsung yaitu dengan mengoleskan bahan

secara langsung pada bagian tubuh tertentu yang akan diberikan efek tiga dimensi,

sedangkan pengaplikasian secara tidak langsung yaitu melalui proses percetakan

terlebih dahulu kemudian ditempelkan pada bagian tubuh yang akan diberikan efek

tiga dimensi. Berikut adalah contoh make up karakter horor 3 dimensi yang

menggunakan bahan dan kosmetik tambahan

Gambar 2.3. Make up karakter tiga dimensi


Sumber: Koleksi pribadi.
15

Gambar 2.4. Make up karakter tiga dimensi


Sumber: unjtatariasfantasi.wordpress.com

Pada make up karakter dalam perfilman horor di Indonesia mengalami

perubahan yang cukup terlihat dalam bentuk hasil make up maupun alat, bahan, dan

kosmetik yang digunakan. Dibawah ini adalah perbandingan make up karakter horor

Suzzana jaman dulu dan sekarang. Terlihat bahwa terdapat perbedaan antara hasil

make up jaman dulu dan jaman sekarang.

Gambar 2.5. Make up jaman dulu dan sekarang


Sumber: beranak dalam kubur.jpg
16

Gambar 2.6. Perbandingan make up karakter Suzzana


Sumber: suzzana.jpg

Gambar 2.7. Suzzana beranak dalam kubur


Sumber: suzzana beranak dalam kubur. Jpg

2.1.1.3 Alat dan Bahan Pada Make up Karakter

Alat adalah benda yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan sehari-

hari. Sama hal nya dengan alat yang digunakan pada make up karakter, alat berfungsi

sebagai benda untuk membantu mengaplikasikan kosmetik atau bahan yang akan

dilakukan pada suatu objek. Sedangkan bahan adalah zat atau benda yang dari mana

sesuatu dapat dibuat darinya, untuk menunjuk ke pakaian atau kain.

Alat dan bahan pada make up karakter merupakan hal yang tidak bisa

dipisahkan karna saling berkaitan. Alat dan bahan yang biasa digunakan dalam make

up karakter yaitu:
17

Tabel 2.2 Alat dan Bahan Pada Make up karakter

No. Alat dan Kegunaan Gambar


Bahan
1. Brush make Untuk
up mengaplikasikan
kosmetik.

2. Beauty Untuk
blender mengaplikasikan
foundation.

3. Head band Untuk menahan


rambut agar tidak
mengganggu pada
saat proses merias.

4. Cape make Untuk melindungi


up pakaian client pada
saat dirias agar
terhindar dari kotoran
yang muncul dari
kosmetik yang
digunakan.
5. Tissue Untuk membentuk
tekstur, dan
digunakan setelah
mengaplikasikan
latex

6. Kapas Untuk membentuk


tekstur, dan
digunakan setelah
mengaplikasikan
latex
18

7. Stainless Untuk membentuk


stell atau tekstur-tekstur yang
spatula diinginkan.

8. Sarung Untuk menghindari


tangan tangan dari noda
kotoran

9. Celemek Untuk menghindari


make up pakaian make up
artis dari noda
kotoran.

Maka dari itu, sangat penting seorang make up artist memiliki alat dan bahan

yang lengkap untuk melakukan proses make up karakter yang akan dibuat agar

mempermudah pekerjaan.

2.1.1.4 Perkembangan Kosmetika Pada Make up Karakter

Kosmetik berasal dari kata kosmetikos (Yunani) yang artinya keterampilan

menghias, mengatur. Kosmetik pada dasarnya adalah campuran bahan yang

diaplikasikan pada anggota tubuh bagian luar seperti epidermis kulit, kuku, rambut,

bibir, gigi, dan sebagainya dengan tujuan untuk menambah daya tarik, melindungi,

memperbaiki, sehingga penampilannya lebih cantik dari semula.


19

Dalam peraturan Mnetri Kesehatan RI No. 445/Menkes/Permenkes/1998/

didefinisikan sebagai berikut : “Kosmetik adalah sediaam atau paduan bahan yang

siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan

organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah

daya Tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik,

memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau

menyembuhkan suatu penyakit” (Dewi Muliyawan & Neti Suriana 2013 : XIV)

Kosmetik mulai dikenal manusia sejak berabad-abad silam. Manusia

mengenal kosmetik berdasarkan naluri alaminya yang senantiasa ingin tampil cantik,

sehingga mereka senantiasa bereksperimen menemukan cara yang tepat untuk

menonjolkan kecantikan tubuhnya. Warna-warna alami yang terdapat pada hewan

dan tumbuhan pada awalnya menjadi pilihan kaum wanita untuk mempercantik

penampilannya.

Ada banyak cerita seputar sejarah kosmetik dan wanita. Konon, manusia

mulai mengenal manfaat, warna-warni pada hewan dan tumbuhan bisa memberikan

efek positif bagi kecantikan, berawal dari coba-coba dan karena ketidaksengajaan.

Misalnya, perona pipi (pemerah pipi) pertama kali ditemukan karena kebetulan.

Konon ceritanya, seorang wanita tanpa sengaja menumpahkan minuman anggurnya

sehingga mengenai daerah pipi. Tumbuhan anggur yang mengenai pipi tersebut

menyebabkan pipinya berwarna kemerah-merahan. Ternyata efek semu merah

tersebut justru membuat si wanita terlihat cantik. Sejak saat itu, orang-orang mulai

berusaha untuk membuat kedua pipi kanan kiri tersapu warna lembut dari bahan-

bahan alam yang mereka ketahui.


20

Sementara itu, Cleopatra yang terkenal dengan pesona kecantikannya ternyata

juga memiliki kebiasaan khusus untuk merawat keindahan kulitnya. Dikisahkan,

Cleopatra secara rutin berendam dalam bak berisi cairan susu. Rutinitas itu

dimaksudkan untuk menjaga kulit tubuhnya agar tetap halus, mulus, dan berkilau.

Sementara itu, di China para selir kaisar memerahi bibirnya dengan cara menekan

bibir mereka dengan kelopak bunga berwarna merah, agar bibir tetap terlihat merah

dan menarik.

Demikianlah, hingga berbagai upaya dilakukan manusia khususnya wanita

untuk merawat dan mempercantik diri. Upaya meramu berbagai bahan alam untuk

merawat dan mempercantik diri tersebut merupakan salah satu cikal bakal

berkembangnya ilmu kosmetik di dunia.

Perkembangan kosmetik dan kosmetologi moderm pertama kali

dikembangkan oleh Hipocrates dan kawan-kawannya. (460-370 SM). Hipocrates

menetapkan dasar-dasar dermatologi, diet, dan olahraga sebagai strategi terbaik untuk

menjaga kesehatan dan kecantikan. Pada masa yang sama, tercatat nama-nama ahli

ilmu pengetahuan yang memajukan ilmu kesehatan gigi, bedah plastic, dermalogi,

kimia, dan farmasi, seperti Cornelius Celsus, Dioscorides, dan Galen.

Seiring dengan bermunculnya Universiras di Eropa Utara, Barat, dan Timur

pada zaman Renaisans, perkembangan ilmu pengetahuan semakin luas. Kosmetologi

mulai dipelajari secara khusus dan terpisah dari ilmu kedokteran, sehingga kemudian

dikenal berbagai berbagai cabang ilmu kosmetik, diantaranya yaitu:

← - Kosmetik untuk merias (decoration)

← - Kosmetik untuk pengobatan kelainan patologi kulit


21

← - Cosmetic treatment yaitu kosmetik yang berhubungan dengan ilmu

kedokteran dan ilmu pengetahuan yang lainnya.

Dalam skala industry, kosmetik mulai mendapat perhatian penuh dan digarap

secara besar-besaran pada abad ke-20. Teknologi kosmetik yang semakin maju,

melahirkan berbagai varian produk kosmetik baru dengan manfaat dan fungsi yang

beragam. Terakhir, kita mengenal teknologi kosmetik yang merupakan perpaduan

antara kosmetik dan obat yang kemudian dikenal dengan nama kosmetik medic

(cosmeceuticals).

Selain itu, sekarang juga mengenal berbagai profesi dari beberapa disiplin

ilmu yang berkaitan dengan kosmetik, di antaranya yaitu :

 Ahli bedah plastic, dokter gigi, dan ahli kulit dari disiplin ilmu jedokteran.

 Ahli biologi dan fisiologi kulit dari disiplin ilmu biologi. Mempelajari

struktur kulit, gigi, rambut, serta proses-proses biologi yang terjadi

didalamnya.

 Ahli mikrobiologi, mempelajari dan meneliti segala sesuatu yang

berkaitan dengan pengawetan kosmetik.

 Ahli kimia organic, berperan dalam mengembangkan dan menemukan

bahan dasar baru untuk industry kosmetik.

 Ahli penata rambut dan kecantikan. Berperan penting membantu

konsumen untuk mengaplikasikan produk kosmetik dan rambut secara

tepat kepada pelanggannya.


22

Tanpa disadari, kosmetik telah memberikan warna berbeda bagi kehidupan

manusia. Membuka beragam peluang usaha dan peluang untuk mengaktualisasikan

ilmu dan keterampilan manusia. Ke depan, fungsi kosmetik akan terus berkembang.

Tidak hanya untuk merias diri, akan tetapi juga sebagai produk perawatan tubuh.

Kosmetik tidak hanya dibutuhkan pada sehari-hari saja, tapi digunakan juga

untuk kegiatan lainnya seperti proses shooting, acara tertentu, dll. Kosmetik yang

digunakan pada setiap kebutuhan terkadang berbeda-beda. Kosmetik dasar yang

digunakan pada make up adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3. Kosmetik Dasar Yang Digunakan Pada Make up Karakter Horor

No. Kosmetik Kegunaan Gambar

1. Base make up Di gunakan sebagai dasar make up

yang berfungsi untuk menjaga

agar kulit “siap” make up,

membuat tahan lama, dan

mencegah kosmetik masuk ke

pori-pori.

2. Foundation Untuk menyeragamkan dan

meratakan warna kulit serta

menyamarkan kekurangan.
23

3. Bedak tabor Untuk memperlambat munculnya

minyak pada wajah, agar make up

lebih tahan lama, dan terlihat lebih

natural.

5. Eyeshadow Untuk memberikan warna pada

bagian mata.

6. Pensil alis Untuk membentuk alis dan

membuat aksen garis.

Selain kosmetik yang biasa digunakan pada make up karakter horor, terdapat

pula beberapa kosmetik tambahan yang biasa digunakan dalam proses make up

karakter horor, yaitu :

Tabel 2.4 Kosmetik tambahan yang digunakan Pada Make up Karakter Horor

No. Alat dan Kegunaan Gambar


Bahan
1. Fake blood Untuk memberi aksen
darah pada karakter
yang diingin dibuat
24

2. Latex Untuk menempelkan


kapas atau tissue pada
bagian yang ingin dibuat

3. Body painting Untuk melukis wajah


dan memberikan aksen
warna yang menonjol.

Terdapat dua jenis body painting yang biasa digunakan dalam make up karakter

yaitu, water based dan oil based. Body painting water based merupakan jenis body

painting yang berbahan dasar air. Cara penggunaannya adalah dengan menggunakan

air yang disemprotkan dengan menggunakan water sprayer atau dengan cara

membasahi kuas yang akan digunakan dengan air. Bentuk dari bodypainting ini

biasanya berbentuk padat, dan apabila diaplikasikan akan sedikit terasa basah namun

lambat laun akan mengering. Karena berbahan dasar air, body painting ini mudah

sekali luntur jika terkena air atau keringat, sehingga bodypainting ini lebih baik

digunakan untuk keperluan di dalam ruangan (indoor).

Sedangkan body painting oil based merupakan jenis body painting yang

memiliki banyak kadar minyak. Bentuk dari body painting ini biasanya sejenis krim

seperti foundation. Body painting ini memiliki warna yang lebih terang dan

mengkilat. Namun, body painting ini mudah sekali bergeser apabila terkena gesekan.

Oleh karena itu harus dibantu dengan menggunakan bedak tabur berwarna putih,
25

sehingga tidak mudah bergeser atau hilang. Karena sifatnya lebih lebih tahan

dibandingkan dengan jenis water based, body painting ini cocok digunakan pada

acara diluar.

2.1.1.5 Perkembangan Perfilman Horor di Indonesia

Film horor adalah film yang berusaha untuk memancing emosi berupa

ketakutan dan rasa ngeri dari penontonnya. Alur ceritanya sering melibatkan tema-

tema kematian, supranatural, atau penyakit mental. Banyak cerita film horor yang

berpusat pada sebuah tokoh antagonis yang jahat.

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja

di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop

lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan

masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain

Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady,

Desy Ratnasari.

Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun

untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi

karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin menurun pada tahun 90-an yang

membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang

dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara

sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.

Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film

Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh
26

bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada

anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil

membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian

panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara

komersil.

Setelah itu mu ncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-

beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan

tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk

waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang

mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman

yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema

serupa yang dengan film Petualangan Sherina (diperankan oleh Derbi Romero,

Sherina Munaf), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk

Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in

Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh

Nia Dinata.

Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film non-komersil yang

berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik

yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet.

Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di

Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-

film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga

ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain
27

itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta

meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga

kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.

Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun.

Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di

samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas,

tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.

Genre film horor telah hadir sejak masa film awal diakhir abad ke-19. Tercatat

Georges Melies, seorang pelopor film fiksi ilmiah pertama di dunia membuat sebuah

film yang berjudul “Le Manoir Du Diable” pada akhir tahun 1896. Kemudian ada

F.W. Murnau dari Jerman dengan film yang berjudul “Nosferatu” di film ini terdapat

sosok vampire pertama yang muncul di film pada tahun 1922. Selanjutnya, tokoh-

tokoh seperti mumi, drakula, monster, manusia srigala dan sebagainya mulai menjadi

figure abadi yang menghiasi perfilman horor seoanjang zaman (Rusdiarti, S. R:

2010).

Di Indonesia, genre horor telah hadir sejak dulu. Berbeda dengan masyarakat

Eropa dan Amerika yang cenderung lebih rasional. Masyarakat Indonesia sangat

dekat dengan dunia supranatural. Latar belakang kemunculan genre ini di Indonesia

memang masih memerlukan kajian yang mendalam, namun mengingat dunia

supranatural, tahayul, dan cerita-cerita hantu menjadi bagian yang tak terpisahkan

dalam kehidupan masyarakatnya, maka sangatlah masuk akal apabila genre ini sukses

dan disukai. Ada dua film yang sering disebut sebagai film horor Indonesia pertama

yaitu tercatat film yang berjudul “Tengkorak Hidoep” (1941) karya Tan Tjoei Hock
28

dan film “Lisa” karya M. Shariefuddin yang diproduksi tahun 1971 yang menjadi

peletak genre horor di Indonesia. Menurut Adi Wicaksono dan Nurruddin Asyhadie

(2006:2) adanya perbedaan penentuan film horor pertama Indonesia itu tampaknya

terjadi karena definisi horor yang dipakai berbeda. Film “Tengkorak Hidoep”

menampilkan sebuah horror of the demonic, monster yang bangkit dari kubur dan

ingin membalas dendam. Film “Lisa” merupakan sebuah horror of the personality,

yang menampilkan seorang ibu tiri yang meminta seseorang untuk membunuh anak

tirinya. Apabila kita mengambil film Lisa sebagai film horor pertama, maka sejarah

film horor Indonesia dimulai oleh horror of personality. Sedangkan apabila kita

nenerima film Tengkorak Hidoep sebagai film horor pertama, maka sejarah film

horor Indonesia dipelopori oleh film yang berjenis horror of the demonic atau horor

hantu (Wicaksono dan Nurrddin Asyhadie: 2006: 2).

Sebagai sebuah genre, film horor memiliki beberapa konvensi atau formula

yang mencakup seting ruang dan waktu, tokoh, dan aluryang harus dipenuhi. Will

Wright, seorang sineas Amerika independen, dalam tulisannya yang berjudul

Understanding Genres: The Horror Filmsmemerinci beberapa konvensi genre film

horor, sebagai berikut

a. Tokoh utama biasanya adalah korban yang mengalami terror atau tokoh

pembawa bencana.

b. Tokoh Antagonis atau tokoh pembawa kejahatan biasanya terasing atau

tersingkir secara sosial atau bukan bagian dari dunia nyata

c. Dekor ruang relatif monoton. Misalnya sebuah rumah, kota terpencil,

rumah sakit. Dekor waktu didominasi malam hari atau suasana gelap.
29

d. Tokoh agama sering dilibatkan untuk menyelesaikan masalah

e. Hal-hal supranatural atau tahayul dipakai untuk menjelaskan peristiwa-

peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara rasional.

f. Tokoh anak biasanya memiliki kekuatan berkat kemurnian jiwa mereka.

g. Adegan kekerasan fisiksering menjadi warna utamanya, misalnya

pembunuhan, teror, mutilasi, dan darah.

h. Teknologi sering menjadi salah satu pemicu masalah. Kearifan lokal dan

kedekatan manusia dengan alam justru yang menjadi pemenangnya

Memasuki tahun 2000an, film horor Indonesia memasuki era baru. Generasi

sineas baru yang muncul sebagian besar tidak memiliki ikatan langsung dengan

sejarah film horor Indonesia yang sebelumnya. Beberapa diantaranya merupakan

lulusan sekolah film luar negri yang sebelumnya lebih banyak kerja dibidang

periklanan dan pembuatan video clip atau film documenter. Film Jelangkung (2001)

karya Rizal Mantovani dan Jose Purnomo langsung mencuat memberi sentuhan yang

berbeda dengan mengandalkan kekuatannya dalam fotografi, editing, dan suara. Film

ini menandai kembalinya penonton ke bioskop-bioskop. Dari Oktober 2001 sampai

Januari 2002 film Jelangkung ditonton lebih dari 748.003 orang di wilayah

JABODETABEK. Pada Festival Film Bandung pada tahun 2002, ia mendapatkan

penghargaan terpuji untuk efek khusus. Edna C. Pattisina dari harian Kompas bahkan

mencatat dalam artikel “Selamat Datang di Republik Hantu” (Kompas, 25 Maret

2007), bahwa film ini mencapai rekor 1,5 juta penonton. Masih di jurnal yang sama

kita dapat melihat data film-film horor yang diproduksi dan diedarkan tahun 2006-

2007 yang mampu mendapatkan penonton lebih dari 500 ribu orang. Maka tidak
30

heran jika dari sisi komersial film-film horor ini menjadi andalan bagi para produser

yang ingin segera mendapatkan kembali modalnya dan mendapatkan keuntungan

dengan cepat. Film Jelangkung (2001), Kafir (2002), Titik Hitam (2002), The Soul

(2003), Ada Hantu di Sekolah (2004), Bangsal 13 (2004), Missing (2005), Rumah

Pondok Indah (2006), Mirror (2006), Kuntilanak (2006), Pocong 2 (2006), Hantu

Jeruk Purut (2006), Bangku Kosong (2006), Terowongan Casablanca (2007), dan

Tali Pocong Perawan (2008) adalah film-film horor Indonesia yang termasuk dalam

barisan film terlaris pada tahun 2001 sampai tahun 2008. Seperti halnya film

Jelangkung, film-film horor era baru yang “memikat” penonton Indonesia ini tidak

lagi tergantung pada legenda-legenda tradisional, seperti Nyi Roro Kidul atau Nyi

Blorong.

Sebagian bessar film menghadirkan karakter-karakter remaja dan lingkungan

perkotaan yang sebelumnya tak pernah disentuh oleh film horor Indonesia.

Gelombang film horor internasional tampaknya sangat mempengaruhi film horor

Indonesia. Film Jelangkung ini juga dipengaruhi film-film J-Horror (Horor Jepang)

yang mencuat ke kancah internasional semenjak keberhasilan Ringukarya Hideo

Nakata di tahun 1997. Melalui film Jelangkung ini pula istilah legenda urban mulai

memasuki wacana perfilman Indonesia, khususnya film bergenre horor. Legenda

urban yang diangkat dalam film Jelangkung adalah legenda kota berhantu yaitu

angker batu, sebuah rumah sakit tua di Jakarta yang memiliki sosok berhantu yang

kemudian menjadi salah satu sosok yang paling diminati dalam perfilman horor

Indonesia yaitu, suster ngesot. Setelah itu kata urban lagend langsung ditangkap oleh

para produser film Indonesia dan “naluri bisnis” mereka ternyata tidak salah. Pada
31

tahun 2006, 4 dari 6 film yang sukses menarik penonton lebih dari 700 ribu penonton

adalah film horor hantu dan semuanya mengangkat tema legenda urban: Rumah

Pondok Indah (2006), Kuntilanak (2006), Hantu Jeruk Purut (2006), dan Hantu

Bangku Kosong (2006).

Selain tema urban lagend, film-film horor Indonesia banyak didominasi oleh

dua sosok hantu yang menarik minat penonton Indonesia. Hal itu terlihat dari judul-

judul film yang sebagian besar mengeksploitasi dua hantu tersebut yaitu, hantu

pocong dan kuntilanak. Di antara dua jenis hantu tersebut, kuntilanak telah dikenal

lebih luas dan menjadi sosok hantu yang paling sering muncul di film-film horor

Indonesia. Penggambarannya pun relative sama yaitu dalam sosok perempuan

berambut panjang, berbaju putih panjang dan raut muka putih pucat dengan mata

merah. Sosok kuntilanak ini bahkan sudah tercatat sebagai salah satu hantu khas

melayu yang menghantui penduduk Indonesia dan Malaysia dengan nama yang

sedikit berbeda yaitu Pontianak. Di Thailand ada beberapa film horor yang juga

mengangkat sosok hantu perempuan dengan nama Nak-nak. Sedangkan hantu

pocong adalah hantu orang mati yang hidup kembali dengan masih mengenakan kain

kafan yang membungkus mayatnya. Jenis hantu ini sebelumnya telah dapat dilihat

dalam beberapa adegan film horor era Suzzana, tetapi masih sebagai hantu “pemeran

pembantu” dan biasanya tidak lepas dari dekor tanah kuburan yang menjadi “tempat

tinggalnya”. Sejak Rudi Soedjarwo membuat film berjudul Pocong (2006), yang

diikuti dengan munculnya film Pocong 2 (2006), dan Pocong 3 (2007), maka dengan

itu sosok pocong menjadi salah satu hantu yang paling banyak muncul dalam film-

film horor Indonesia. Sebut saja, Pocong vs Kuntilanak (2009), Tali Pocong Perawan
32

(2008), 40 Hari Pembalasan Hantu Pocong (2008), The Real Pocong (2009), Sumpah

Pocong di Sekolah (2008), Susuk Pocong (2009) dan Pocong Kamar sebelah (2009).

Hingga tahun 2009, film-film yang menampilkan hantu jenis ini masih terus

diproduksi. Genre film memiliki dinamika yang terus menerus berkembang sesuai

dengan kreatifitas sineas dan keragaman penonton. Sebuah genre terkadang

bercampur dengan genre lain untuk memenuhi hal tersebut. Karl Heider dalam

bukunya Indonesian Cinema National Culture On Screen (1991: 44) menyatakan

bahwa film horor Indonesia pada masa orde baru tidak bisa dilepaskan dari tiga hal,

yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya menjadi formula ampuh yang membuat

film-film horor Indonesia disukai banyak penonton. Tampaknya formula itu masih

digunakan dibeberapa film horor yang sekarang, hanya saja untuk tema religi sedikit

berkurang. Berbeda dengan dilayar televisi, film-film yang mengangkat tema

“mistik” atau “klenik” memang masih banyak dijumpai. Biasanya film-film tersebut

untuk menegaskan pada penonton bahwa manusia yang menentang Tuhan akan

bernasib buruk dan mendapatkan siksa, baik saat masih hidup maupun saat mereka

sudah mati. Misalnya, kisah “mayat berbelatung” dan “tangisan arwah”. Biasanya

masalah yang terjadi akan selesai ketika seorang tokoh agama, kyai atau ustad sudah

datang bersama rangkaian doa dan tasbih dalam genggamannya. Sosok kyai ini masih

bisa dijumpai dalam beberapa film horor Indonesia di awal tahun 2000, yaitu Kafir

dan Peti Mati. Hanya saja setelah itu, nuansa religi tidak lagi dieksploitasi dalam

film-film horor Indonesia yang sekarang. Berbeda dengan nuansa religi, komodi dan

seks ternyata masih menjadi andala film horor Indonesia saat ini. Sejalan dengan

munculnya film-film Indonesia bertema komedi, maka ada pula film-film komedi
33

yang mengangkat cerita hantu: Ada Hantu di Sekolah (2005), Film Horor (2006), dan

Hantunya Kok Beneran! (2008). Sedangkan film-film hantu yang cenderung

mengeksploitasi tubuh perempuan dan seks dapat ditemukan dalam film Tiren (2008),

dan Tali Pocong Perawan (2008).

Fenomena semacam ini banyak disayangkan oleh para pengamat film

Indonesia. Film horor hantu Indonesia seharusnya bisa menjadi kekuatan dalam dunia

perfilman, tetapi pertimbangan-pertimbangan komersial sering menenggelamkan

potensi kuat film Indonesia. Kritikus film Eric Sasono dalam artikelnya yang berjudul

“Krisis Perfilman Indonesia?” (Layarperak.com) menyoroti kemalasan berfikir

produser dan sineas Indonesia dalam proses kreatifnya. Melihat film horor diminati

penonton, maka produser dan sineas Indonesia saling latah membuat film horor juga.

Menurut Sasono film horor adalah film yang bergenre paing kuat yang dapat

melahirkan film-film yang berkelas. Hanya saja di Indonesia karena pertimbangan

ekonomi yang dominan, film-film horor di Indonesia tidak dibuat dengan sungguh-

sungguh. Biaya yang sedikit, estetika yang kacau, jalan cerita yang tidak masuk akal

menjadi buah dari rangkaian kemalasan tersebut. Pada akhirnya menurut Sasono, hal

itu akan menjatuhkan film Indonesia khususnya genre horor kedalam jurang

pelecehan (Rusdiarti, S.R: 2010).

2.2 Penelitian Yang Relevan

Karis Singgih Angga Permana (2015) dengan judul penelitian “Analisis Genre

Film Horor Indonesia Dalam Film Jelangkung (2001)”. Penelitian ini merupakan

analisis genre film horor Indonesia da lam film Jelangkung (2001). Dalam penelitian
34

ini, peneliti mengidentifikasi karakteristik genre film Jelangkung (2001) sebagai film

horor Indonesia. Peneliti mengidentifikasi karakteristik film menggunakan skema

dasar genre atau repertoire of elements, untuk melihat bagaimana karakteristik film

Jelangkung (2001) sebagai film ber-genre horor. Repertoire of elements yang akan

dianalisis oleh peneliti antara lain narrative, character, dan style.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Lutfi dan Agus Trilaksana

(2013) Universitas Negeri Surabaya, dengan judul penelitian “Perkembangan Film

Horor Indonesia Tahun 1981-1991”. Dalam penelitian ini terdapat dua rumusan

masalah; pertama, bagaimanakah latar belakang munculnya film horor Indonesia

pada tahun 1971, dan kedua, bagaimanakah perkembangan film horor Indonesia

tahun 1981-1991. Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah

metode sejarah. Langkah pertama adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber

primer dan sekunder. Selanjutnya melakukan uji validitas sumber dengan kritik intern

dan ekstern yang berguna untuk menyeleksi sumber menjadi fakta. Tujuan penelitian

ini yaitu menjelaskan latarbelakang munculnya film horor Indonesia pada 1971 dan

mendiskripsikan perkembangan film horor Indonesia tahun 1981-1991. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan penulis, dapat simpulan sebagai berikut: Pertama,

film horor Indonesia muncul pada tahun 1971 yang dilatarbelakangi oleh beberapa

faktor, yakni budaya mistik yang kental dalam masyarakat, kebebasan berkarya,

keterpengaruhan baik film horor dunia maupun dalam negeri pada masa

pemerintahan Hindia-Belanda. Kedua, film horor Indonesia mengalami puncak

keemasan pada tahun 1981-1991 dengan hadirnya 84 judul film horor, namun hanya

film-film horor Suzzanna yang mendapatkan apresiasi baik dari penonton. Masa
35

keemasan ini dipengaruhi beberapa faktor, yakni kuatnya kepercayaan mistik

masyarakat Indonesia, figur artis Suzzanna dan alur cerita. Pada tahun 1991 film

horor mengalami kemunduran karena cerita film horor Indonesia bersifat statis,

mundurnya Suzzanna dari perfilman, dan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap

mistik.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ahadyah Septianingtyas dan Dra. Siti

Sulandjari, M.Si. (2015) Universitas Negeri Surabaya, dengan judul penelitian

“Perbandingan Pembuatan Efek Luka Bakar Dengan Menggunakan Bahan Dasar

Gelatin Crystal Gel Dan Wax Pada Rias Karakter”. Penelitian ini merupakan

penelitian eksperimen dengan Variable bebas, yaitu penggunaan bahan kosmetik

gelatin crystal gel dan wax . Variable terikat, yaitu 1) hasil penerapan pembuatan

efek luka bakar antara bahan kosmetik gelatin crystal gel dengan wak-lilin dilihat

dari proses pengaplikasian, kesesuaian dengan objek, efek penggunaan, efisiensi

waktu pengerjaan, tingkat ketertarikan observer, dan 2). Respon terhadap hasil efek

luka bakar yang meliputi warna, elastisitas, tekstur, daya tahan, daya lekat,

kesesuaian dengan desain luka bakar, dan kilau hasil riasan. Variabel kontrol yaitu

model, perias, waktu pengerjaan dan teknik pengerjaan. Uji perbandingan hasil

penerapan antara gelatin crystal gel dan wax pada pembuatan efek luka bakar, dan

respon terhadap hasil efek luka bakar dianalisis dengan menggunakan T-test

independent dengan program SPSS. Hasil uji statistik T-test menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan hasil pembuatan efek luka bakar antara menggunakan gelatin

crystal gel dan wax. Derajat kebebasan sebesar 0,05dan signifikannya sebesar 0,000

taraf nyata yang digunakan adalah 0,05 (5%), maka HO ditolak.


36

Berdasarkan penelitian relevan di atas terdapat persamaan dengan penelitian

yang dilakukan penulis dengan penelitian 1, 2, dan 3 yaitu adanya perkembangan

pada perfilman yang menimbulkan perkembangan pula make up karakter horor yang

meliputi alat, bahan, dan kosmetik yang digunakan. Selain itu ada pula perbedaan

hasil akhir make up karakter pembuatan efek luka bakar menggunakan bahan crystal

gel dan wax sebagai bahan tambahan pada make up karakter horor.

2.3 Kerangka Berpikir

Film horor merupakan film yang berusaha memancing emosi berupa

ketakutan dan rasa ngeri dari penontonnya. Alur ceritaya sering melibatkan tema-

tema kematian, supranatural, atau penyakit mental. Banyak cerita film horor yang

berpusat pada sebuah tokoh antagonis yang jahat.

Tak lepas dari itu, film horor sangat didukung dengan beberapa aspek

tambahan agar filmnya lebih terasa menegangkan seperti lighting, sound, tempat,

kostum dan yang tak kalah penting yaitu make up karakter yang digunakan pada

pemain film horor tersebut. Make up karakter pada perfilman horor digunakan untuk

mengubah bentuk wajah atau menambahkan riasan pada seorang pemain agar sesuai

dengan tokoh yang ingin dimainkan. Make up karakter dibuat untuk menimbulkan

ketakutan atau kengerian kepada penonton.

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengemukakan perkembangan alat, bahan,

dan kosmetik yang digunakan dalam merias wajah tokoh pemain dalam perfilman

horor yang memerlukan make up karakter horor sebagai tambahan untuk

memunculkan kengerian dalam perfilman horor Indonesia. Tujuan penelitian ini


37

adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan alat, bahan, dan kosmetik yang

digunakan pada make up karakter horor Indonesia antara tahun 2000-2019.


Analisis Perkembangan 38
Make-Up Karakter Pada
Perfilman Horor Indonesia
Antara Tahun 2000 – 2019

Perkembangan Perfilman Horor


Perkembangan Make Up
Indonesia Antara Tahun
Karakter 2000 – 2019

Perkembangan Make Up Alat Dan Bahan Make Up


Karakter Horor Serta Kosmetika Pada
Karakter Horor

Hasil Analisa Perkembangan


Make-Up Karakter Pada
Perfilman Horor Indonesia
Antara Tahun 2000 – 2019

Bagan 2.2.1 Bagan Kerangka Berpikir


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan dan mendatangi beberapa

informan yaitu, make up artist, artist, sutradara, dan crew yang terlibat dalam

pembuatan film horor Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan di sekitar wilayah

Jakarta. Waktu penelitian dilakukan selama 1 bulan terhitung dari bulan September

2019 hingga Januari 2020.

3.2 Metode dan Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini adalah suatu cara yang ditempuh untuk menemukan,

menggali, dan melahirkan ilmu pengetahun yang memiliki kebenaran ilmiah

(Mukhtar: 2013:15). Metode penelitian memberikan gambaran rancangan penelitian

yang meliputi antara lain: prosedur dan langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu

penelitian, sumber data, dan dengan langkah apa data-data yang diperoleh dan

selanjutnya diolah dan dianalisis.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu tidak bermaksud

untuk menguji hipotesis tertentu tapi hanya menggambarkan apa adanya suatu gejala,

variable, atau keadaan. Menurut Bogdan dan Biklen (1992:21-22) dalam Rahmat

(2009:2-3) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan, dan atau

perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau

organisasi

37
38

tertentu dalam suatu settings konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang

utuh, komprehensif, dan holistic. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa

penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian. Salah satu alasan

peneliti menggunakan pendekatan kualitatif adalah untuk dapat memahami dan

mengetahui perkembangan make up karakter pada perfilman horor di Indonesia,

kemudian peneliti akan membuat kesimpulan dari berbagai hasil wawancara dan data

yang diperoleh.

3.3 Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi focus dalam penelitian ini

adalah analisis perkembangan make up karakter pada perfilman horor Indonesia

anatara tahun 2000 – 2019. Sub fokus penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Alat yang digunakan pada make up karakter pada perfilaman horor.

2. Bahan dan Kosmetik yang digunakan pada make up karakter pada perfilman

horor.

3.4 Data dan Sumber Data

Menurut Sutopo (2006:56-57), sumber data adalah tempat data yang diperoleh

dengan menggunakan metode tertentu baik berupa manusia, artefak, ataupun

dokumen-dokumen. Pada penelitian kualitatif, kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara

sadar, terarah, dan senantiasa bertujuan untuk memperoleh suatu informasi yang

diperlukan. Berbagai sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:


39

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Sumber

data primer yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari:

1. 5 orang make up artis

2. 1 orang sutradara

3. 1 orang pemain film

Sumber data utama dari penelitian ini yaitu informan dalam pengumpulan

data, wawancara, dan observasi.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh bukan

secara langsung dari sumbernya. Sumber data sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini berupa dokumentasi yang diambil pada saat

berlangsungnya proses wawancara pada narasumber.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument atau alat penelitian

adalah peneliti itu sendiri, atau orang lain yang membantu peneliti meliputi

pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawancara terhadap bidang

yang diteliti, kesiapan peneliti terhadap yang diteliti, kesiapan peneliti terhadap

bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian.

Menurut Sugiyono (2015:102) instrument penelitian adalah suatu alat yang

digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun social yang diamati dengan

menyimpulkan, mengolah, menganalisis, dan menyajikan data-data secara sistematis.


40

Instrumen penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang berisi

pertanyaan untuk make up artist, sutradara, dan crew film. Agar penelitian ini terarah,

peneliti terlebih dahulu menyusun pertanyaan yang selanjutnya dijadikan acuan untuk

pedoman wawancara dan observasi, adapun pertanyaan untuk wawancara dan

observasi adalah sebagai berikut

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian

No. Indikator Daftar Pertanyaan Informan


1. Definisi make 1. Menurut anda, apa itu make up Sutradara,
up karakter karakter pada perfilman horor di Make up
Indonesia? Artist,
2. Menurut anda, apakah make up Pemain
karakter berperan penting dalam Film
perfilaman horor?
3. Menurut anda, adakah standar
khusus dalam pembentukan make
up karakter horor?
4. Menurut anda, faktor apa saja
yang mempengaruhi
perkembangan make up karakter
pada perfilman horor di
Indonesia?
2. Make up 5. Menurut anda, apakah cahaya Sutradara,
karakter pada (lighting), kostum (wadrobe), Make up
perfilman lokasi a tau tempat mempengaruhi Artist,
horor di hasil akhir pada make up karakter Pemain
Indonesia pada perfilman horor di Film
Indonesia?
6. Menurut anda, apakah sebelum
proses shooting harus melakukan
test make up sebelumnya? Jika
iya, mengapa?
7. Menurut anda, siapakah yang
menentukan hasil akhir make up
atau bentuk make up yang akan
digunakan kepada tokoh?
8. Menurut anda, faktor-faktor apa
saja yang dapat menimbulkan
ketakutan pada film horor?
41

9. Menurut anda, pentingkah pemain


film horor mengetahui apa saja
alat, bahan, dan kosmetik yang
akan digunakan seorang make up
artist kepada dirinya? Jika iya,
mengapa?
3. Perkembangan 10. Menurut anda, bagaimanakah Sutradara,
alat, bahan, perkembanga alat yang digunakan Make up
dan kosmetik pada make up karakter horor? Artist,
pada make up Apakah mengalami perkembangan Pemain
karaker di disetiap tahunnya dari tahun 2000- Film
perfilman 2019? Jika iya apa saja
horor perkembangannya?
11. Menurut anda, bagaimanakah
perkembangan bahan kosmetik
yang digunakan pada make up
karakter horor? Apakah
mengalami perkembangan disetiap
tahunnya dari tahun 2000-2019?
Jika iya, apa saja perkembanganya

3.6 Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah-langkah yang paling penting

dalam penelitian ini, karena tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan data.

Dalam penelitian kualitatif, metode yang bisa digunakan adalah wawancara,

pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2012). Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan 3 teknik untuk pengumpulan data, yaitu:

a) Wawancara

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkontruksi

mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan

sebagainya yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara dan informan atau

orang yang diwawancarai (Burhan Bungin: 2012: 155). Wawancara merupakan


42

suatu komunikasi verbal yang bertujuan untuk mendapatkan informasi.

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan

oleh dua pihak yaitu pihak pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan pihak

yang diwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan (Lexy Moleong:

2010: 186). Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi secara

mendalam dan dilakukan dengan informan. Untuk wawancara, dibutuhkan

instrument penelitian yaitu pedoman wawancara.

Penelitian ini menggunakan wawancara berstruktur, terbuka dan

menggunakan pedoman wawancara. Wawancara terbuka (open interview)

adalah wawancara yang jawabannya dikehendaki atau tidak terbatas (Burhan

Bungin: 2012: 100). Pertanyaan yang diajukan kepada informan pada

pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang berpusat pada focus

penelitian.

b) Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan langsung secara sistematis

terhadap gejala dan fenomena yang diselidiki (Mukhtar: 2013: 100). Pengamatan

meliputi kegiatan pemusatan terhadap objek dengan menggunakan seluruh alat

indra. Jadi pengamatan dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman,

pendengaran, perabaan, dan pengecapan. Dalam penelitian ini fokusnya adalah

perkembangan make up karakter pada perfilman horor Indonesia antara tahun

2000-2019.
43

c) Dokumentasi

Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk

dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang berarti barang

tertulis, metode dokumentasi berarti tata cara pengumpulan data dengan mencatat

data-data yang sudah ada.

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk

menelusuri data historis. Dokumen tentang orang atau sekelompok orang,

peristiwa, atau kejadian dalam situasi social yang sangat berguna dalam penelitian

kualitatif (Yusuf: 2014).

Sambil melakukan observasi, peneliti juga mengumpulkan dokumentasi

berupa gambar maupun video yang dapat mendukung penelitian ini.

3.7 Prosedur Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisis data ini adalah menggunakan metode

analisis deskriptif analisis, yaitu data-data yang didapatkan kemudian dituangkan

kedalam bentuk kata-kata maupun skema, kemudian dideskripsikan sehingga dapat

memberikan kejelasan yang realistis dalam perkembangan make up karakter horor.

Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alus kegiatan

yang terjadi secara bersamaan yaitu, reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi sebagai sesuatu yang saling jalin

menjalin merupakan proses siklus dan interaksi pada saat sebelum dan sesudah
44

pengumpulan data dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang

disebut “analisis” (Silalahi: 2009)

Pengumpulan Penyajian Data


Data

Verifikasi/ Penarikan
Kesimpulan
Reduksi Data

Gambar 3.1 Analisis data model Miles dan Huberman


Sumber : Miles dan Huberman (1972:20)

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan proses yang berlangsung sepanjang penelitian,

dengan menggunakan seperangkat instrument yang telah disiapkan untuk

memperoleh informasi data melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan

studi pustaka.

2. Reduksi data

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan

akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi. Reduksi data atau proses transformasi

ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap

tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif dapat disederhanakan dan


45

ditransformasikan dalam berbagai macam cara yaitu melalui seleksi ketat,

melalui ringkasan, dan menggolongkan kedalam suatu pola yang lebih luas.

3. Penyajian data

Penyajian data bertujuan untuk melihat gambaran keseluruhan dan bagian-

bagian tertentu dari penelitian. Pada tahap ini, peneliti menyajikan data dalam

bentuk narasi deskriptif, tabel, dan gambar. Hal ini dilakukan agar lebih

memudahkan seseorang dalam membaca data dan informasi yang diperoleh

dari penelitian ini.

4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Data

Tahap penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah suatu tahap lanjutan

dimana pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan dari temuan data. Ini

adalah pendapat atau pandangan peneliti atas temuan dari suatu wawancara

atau sebuah dokumen. Setelah kesimpulan diambil, peneliti kemudian

mengecek lagi kebenaran pendapat atau pandangan dengan cara mengecek

ulang proses reduksi data dan penyajian data untuk memastikan tidak ada

kesalahan yang telah dilakukan. Setelah tahap ini dilakukan, maka peneliti

telah memiliki temuan penelitian berdasarkan analisis data yang telah

dilakukan terhadap suatu hasil wawancara atau sebuah dokumen.

3.8 Uji Keabsahan Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap hal tersebut (Sutopo: 2006: 92).


46

Menurut William Wiersma dalam Sugiyono (2005: 372) Traigulasi dalam

pengujian kreadibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber

dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Sehingga triangulasi dapat dikelompokan

kedalam tiga jenis yakni, triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data,

dan waktu. Peneliti menggunakan triangulasi sumber untuk penelitian ini.

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

dalam metode kualitatif (Mukhtar: 2013: 138). Data yang diperoleh dari

narasumber pertama dicek kembali apakah ada perbedaan dalam penulisan yang

didapat dengan data yang ditulis. Kemudian dari narasumber pertama

dibandingkan dengan narasumber kedua dan ketiga.

2. Triangulasi Teori

Triangulasi dengan teori didasarkan pada asumsi bahwa fakta tertentu tidak

dapat diperiksa kepercayaannya hanya dengan satu teori. Artinya, fakta yang

diperoleh dalam penelitian ini harus dapat di konfirmasi dengan dua teori atau

lebih.(Mukhtar:2013:1)
47

Anda mungkin juga menyukai