Anda di halaman 1dari 131

IMPLEMENTASI KAFᾹ ’AH DALAM PERSPEKTIF

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)


(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera
di DPW PKS Sulawesi Selatan)

TESIS

OLEH:

AHMAD NUH TAMANG


NIM 11780011

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014

i
IMPLEMENTASI KAFᾹ ’AH DALAM PERSPEKTIF
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera
di DPW PKS Sulawesi Selatan)

Diajukan untuk mengikuti Ujian Tesis pada


Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhsiyah
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pada Semester Genap tahun Akademik 2013/2014

OLEH:
AHMAD NUH TAMANG
NIM 11780011

Pembimbing:

Dr. H. Fadil Sj. M.Ag. Dr. Hj. Umi Sumbulah, M. Ag


NIP.19651231 199203 1046 NIP. 19710826 199803 2 002

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Tesis dengan judul ”Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan


Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahterah di DPW
PKS Sulawesi Selatan)”. telah diperiksa dan disetujui untuk diuji,

Batu, 20 April 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Fadil Sj,M. Ag Dr. Hj. Umi Sumbulah, M. Ag


NIP. 19651231 199203 1 046 NIP. 19710826 199803 2 002

Mengetahui

Ketua Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah

Dr. H. Fadil Sj, M. Ag


NIP. 19651231 199203 1 046

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Tesis dengan judul “Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai


Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera
di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, telah diuji dan dipertahankan didepan sidang
dewan penguji pada tanggal 24 April 2014.

Susunan Dewan Penguji Tanda Tangan

1. Dr. Zaenul Mahmudi, MA ( )


NIP. 19730603 199903 1 001 (Ketua)

2. Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, MA ( )


NIP. 0702085701 (Penguji Utama)

3. Dr. H. Fadil Sj, M.Ag ( )


NIP. 19651231 199203 1 046 (Penguji)

4. Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag ( )


NIP. 19710826 199803 2 002 (Sekretaris)

Mengetahui
Direktur PPs,

Prof. Dr. H. Muhaimin, MA


NIP. 19561211 198303 1 005

iv
LEMBAR PERNYATAAN
ORIGINALITAS PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Ahmad.Nuh tamang
Nim : 11780011
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Alamat : Jl.Batara Bira, Kelurahan Pai, Baddoka Mas Blok C No 6
Makassar, Sulawesi Selatan
Judul Penelitian : Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahterah di DPW PKS
Sulawesi Selatan)”
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam hasil penelitian saya ini
tidak terdapat unsur-unsur penjiplakan karya penelitian atau karya ilmiah yang
pernah dilakukan atau dibuat oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip
dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat
unsur-unsur penjiplakan dan ada klaim dari pihak lain, maka saya bersedia untuk
diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa
paksaan dari siapapun.

Batu, 20 April 2014


Hormat saya,

Ahmad.Nuh Tamang
NIM: 11780011

v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrohim
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. dimana
atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang dilimpahkan serta dengan
dibekali kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyusun sebuah tesis
dengan judul: “Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan Sejahtera
(PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi
Selatan)”, yang masih jauh dari kesempurnaan dan akan dijadikan persyaratan
untuk memperoleh gelar M.Hi (Magister Hukum Islam).
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, shahabat dan para pengikutnya,
yang telah membawa petunjuk kebenaran bagi seluruh umat manusia yaitu Ad-
Dinul Islam dan yang kita harapkan safa‟atnya di dunia dan di akhirat.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
membantu dalam pelaksanaan tugas akhir ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, dan para Pembantu Rektor.

2. Bapak Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A selaku Direktur Program Pascasarjana

UIN Maliki Malang, dan para Asisten Direktur atas segala layanan dan

fasilitas yang telah diberikan selama penulis menempuh studi.

3. Bapak Dr. H. Fadil, M.Ag selaku Ketua Program Studi al-Ahwal al-

Syakhsiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

4. Bapak Dr. H. Fadil, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing I, atas bimbingan,

saran, kritik, dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing II,. atas

bimbingan, saran, kritik, dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.

vi
6. Dosen penguji, baik penguji proposal maupun tesis yang telah memberikan

saran, kritik, masukan serta koreksi.

7. Semua Dosen dan staf TU program PascasarjanaUIN Maliki Malang yang

tidak mungkin disebutkan satu persatuyang telah banyak memberikan

wawasan keilmuan dan kemudahan-kemudahan selama menyelesaikan

program studi. Semoga Allah SWT melipat gandakan amal kebaikan kepada

beliau, Amin.

8. Kepada kedua Orang tuaku tercinta H. Muhammad Tamang dan Hj. Asni

Mappeare serta Kakak-kakakku yang senantiasa memberikan lautan kasih

sayang, motifasi dan do‟a dalam proses perjalanan studi ini. Semoga eksistensi

penulis sebagai anak shaleh dan Qurrata A‟yun dapat menjadi investasi amal

jariyah buat beliau didunia dan diakhirat. Aamiin Ya Rabbal „alamiin.

9. Istri tercinta Asmah Yetie.S.Kp Ns, yang senantiasa selalu memberi motivasi

dan doa‟nya dalam proses perjalanan studi ini.

10. Para elit Partai Keadilan Sejahtera DPW Sulawesi Selatan seperti : Bapak

Muh. Taslim,Amd, Bapak R. Irwan Waji, Bapak Jumadil Muhammad,.Ss, Ibu

Susy Smita.P, ST, Ibu Dwi Susilarsih, S.S, Ibu Ir. Ida Royani Rahim, S.Pdi

dan Ibu Linda, SPt yang telah bersedia diwawancarai oleh penulis, semoga

Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang lebih besar,

amin.

11. Para dewan asatidzah Ponpes Daruttauhid Malang, khususnya kepada guru

kami al-ustadz Toha Abdullah Abdun, al-ustadz Husein Abdullah Abdun dan

al-ustadz Sholeh Abdullah Abdun, , yang senantiasa selalu memberi motivasi

vii
dan doa‟nya dalam proses perjalanan studi ini.

12. Seluruh kawan seperjuanganku di Sekolah Pascasarjana Program al-Akhwal

al-Syakhsiyah UIN Maliki Malang angkatan 2011, terikasih atas kebersamaan

dan motivasi kalian semua.

13. Kepada semuanya yang telah membantu penulisan tesis ini yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan bantuan yang telah

mereka berikan selama penulisan ini berlangsung. Apabila terdapat

kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan tesis ini mohon dimaafkan.

Semoga tesis ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca

serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua.

Aamiin.

Penulis menyadari sepenuh dan seteguh hati bahwa penyelesaian tugas


akhir ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan kemampuan,
pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat
mengharap kritik dan saran rekonstruksi dari semua kalangan dan pihak untuk
kematangan dimasa yang akan datang.

Batu, 20 April 2014


Hormat saya,

Ahmad Nuh Tamang,Lc

viii
ABSTRAK
Tamang, Ahmad, Nuh,. 2014.“Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai
Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan
Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, Tesis. Prodi Studi Al-Ahwal
Al-Syakhsyiyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang. Dosen pembimbing: (1) Dr. H.Fadil Sj. (II) Dr.Hj. Umi Sumbulah
M. Ag.

Kata Kunci : Kafā‟ah, PKS, Implementasi


Kafā`ah merupakan Salah satu pertimbangan yang dianjurkan agama
Islam ketika hendak melangsungkan perkawinan. Kafā`ah sendiri dalam
perkawinan, merupakan “faktor lain” yang tidak digolongkan sebagai rukun
perkawinan, yang turut menunjang terciptanya kebahagiaan pasangan suami istri
dan menjamin perempuan dari kegagalan dalam berumah tangga. Pada praktiknya,
dalam suatu komunitas tertentu, kafā`ah sering kali diidentikkan dengan
penggolongan atau pengelompokan atas suatu komunitas esklusif. Dalam pra-riset
penelitian ini, peneliti mendapati sebuah fenomena bahwa para elit Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan perhatian secara penuh
terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh dengan sesama kader partai
mereka. Terkait perkawinan di kalangan kader PKS di Sulawesi selatan yang
memiliki kecenderungan menikah sesama kader.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan elit PKS di DPW


Sulsel tentang makna kafa‟ah dan bagaimana penerapannya di kalangan kader inti
partai tersebut. Jenis Penelitian ini adalah field research dengan pendekatan
kualitatif. pengumpulan data memakai metode wawancara dan dokumentasi.
Analisis dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pandangan sekufu tidaknya


seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada aspek ekonomi
serta latar belakang keluarga dan pemahamannya terhadap tarbiyah. Penerapan
kafa‟ah pada awal berdirinya partai ditandai dengan kecenderungan pernikahan
sesama kader. Pernikahan sesama kader ini tujuannya demi keberlangsungan misi
dakwah, pengokohan organisasi dan langkah awal untuk mencapai masyarakat
islami. Namun, ditemukan pula kader yang menikah dengan non kader PKS.
Tidak masalah jika ada kader menikah dengan non kader, asal tidak menghalangi
pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Kedua, Pernikahan sesama
kader membawa dampak positif berupa kesolidan khususnya di level kekuatan
mesin politik PKS sehingga membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada,
sedangkan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada
pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS.

ix
‫مستخلص البحث‬
‫ِ‬
‫وجهات نَظ ِر ِكبَا ِر‬ ‫حزب العدالَِة والر ِ‬
‫فاى ِية ‪ ,‬دراسات‬ ‫ِ‬
‫الكفاءة يف منظوِر ِ‬
‫َ َّ‬ ‫َ‬ ‫متانج ‪ ,‬أمحد‪ ,‬نوح‪ ,2014 ,‬تَطبيقُ‬
‫البخخيَّ ِة‪,‬‬
‫ِ‬ ‫ااحو ِال‬ ‫ِ‬ ‫رللس إدارِة احملليَِّة بسلويسي جنوبية ‪ِ ٌ .‬‬
‫فاىية يف ِ‬‫العدالة و الر ِ‬
‫زب ِ‬ ‫مسؤويل ِح ِ‬
‫للي ببعبة ْ‬
‫ث ٌّي‬ ‫َ‬ ‫ّ‬ ‫َْ‬
‫ااو ُل ‪ :‬الدكتور احلاج‬
‫ادلبرف َّ‬ ‫جبامع ِة موالنا مالك إبراىيم اإلسالمية احل ِ‬
‫كومية مبالنج ‪,‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫كلية الدراسات العليا َ َ‬
‫فاضل‪,‬ادلاجستري‪.‬و ادلبرفة الثانية ‪ :‬الدكتورة احلاجة أمي ُسنبلة‪ ,‬ادلاجسترية‪.‬‬

‫الكلمات الرئيسية ‪ :‬الكفاءة‪ ,‬حزب العدالة و الرفاىية‪ ,‬التطبيق‬


‫تأسيس الزو ِاج اإلسالمي‪ ,‬و من ِ‬
‫ادلعلوم أهنا تُعترب " امال آخرا" وليست‬ ‫ِ‬ ‫الكفاءة من النظريات ِ‬
‫ادلهلة يف‬
‫الفبل يف احلياةِ‬
‫من ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ني يف احلياةِ‬
‫لد ًة أو رْكنا يف قد الزواج ‪ .‬وجتلب سعاد َة الزوج ِ‬
‫ض َل ُن لللرأة َ‬
‫الزوجية وتَ ْ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الزوجية ‪.‬ويف الواا ِق اليومي أن الكفاء َة يف ُْرلتَل ٍق ُم َع َّ ٍ‬
‫ث ابل‬
‫خ َل الباح ُ‬‫ادلنحخ ِر‪َ .‬ح َ‬
‫ني تدخل اد ًة يف ضل ِن ااتل ِق َ‬ ‫َ‬
‫جنوبية أ طوا إىتلاما كامال ا ضائهم يف‬‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الرفاىية يف سلويسي‬ ‫ِ‬
‫العدالة و‬ ‫البحث الظواىر بأن كبار مسؤويل ِ‬
‫حزب‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫اختيا ِر ِ‬
‫تفضيل الزو ِاج بعضهم‬ ‫اإلجتاىات يف‬
‫ُ‬ ‫ت بينهم‬ ‫الزوج أو الزوجة من ض ْل ِن أ ضائهم‪ .‬يف ىذه القضية حخلَ ْ‬
‫بعضا‪.‬‬
‫ِ‬
‫الرفاىية يف سالويسي جنوبية‬ ‫ِ‬
‫العدالة و‬ ‫حزب‬ ‫ِ‬
‫وجهات نظ ِر كبا ِر مسؤويل ِ‬ ‫ِ‬
‫البحث معرفةُ‬ ‫اذلدف يف ىذا‬
‫ُ‬
‫ِ‬
‫البحث ُىو دراسة ميدانية مق‬ ‫ادلستخدم يف ىذا‬ ‫ادلنهج‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫بني أ ضاء احلزب‪ .‬إن َ‬ ‫َ ْن معع الكفاءة وكيفية تَطبيقها َ‬
‫التحاليل‬ ‫ِ‬
‫البحث والوثائق‪ .‬واد متت‬ ‫هنج نو ي‪ .‬كان أسلوب مجق البيانات يف ىذا البحث ادلقابالت اغر ِ‬
‫اض‬
‫ُ‬
‫باستخدام التخويري النو ية‪.‬‬
‫النتائج من ىذا البحث ىي‪ :‬ااوىل‪ ,‬وجهات النظر ن كفءىم يف الزواج ينظر اليها من جانب الديين‬
‫وكذالك من اجلوانب االاتخادية و ظروف ائلية وفهلهم ن الرتبية‪ .‬تطبيق الكفاءة يف بداية تأسيس احلزب‬
‫يفضلون الزواج فيلا بينهم حىت إ تاد بينهم ىذا التطبيق‪.‬ىدف الزواج فيلا بني أ ضاء احلزب ىى استدامة مهلة‬
‫مق غ ِري‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ض أ ضائهم متزوج َ‬
‫ااتل ِق اإلسالمي‪ .‬ولكن ُوجد ْبع ُ‬
‫الد وي وتقوية ادلنظلة و اخلطوة ااوىل لتحقيق َ‬
‫إشكال فيو ِ‬
‫ببرط دم منق زوجتو مباركة أنبطة‬ ‫َ‬ ‫ضاء ِ‬
‫احلزب مق غري أ ضائهم فالَ‬ ‫أ ضائهم‪ .‬أما اضية زو ِاج أ ِ‬
‫ُ‬
‫الد وية يف حزب العدالة و الرفاىية ‪ .‬الثانية ‪ :‬زواج أ ضاء احلزب بعضهم بعضا يؤثر تأثري اإلجيايب يف صالبة‬
‫ادلنظلة احلزبية وخخوصا لى مستوى اوة احملرك السياسية احلزبية مما يسا د لى الفوز يف االنتخابات احمللية‪,‬‬
‫الرفاىية إىل أزو ِاج ِهم الذين ليسوا‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫العدالة و‬ ‫ِ‬
‫ادلتعلقة ِ‬
‫زب‬ ‫ِ‬
‫اخلاطئة‬ ‫بينلا الزواج بغري ضو يسا د يف بيان ادلعلومات‬
‫من ِض ْل ِن أ ضائهم‪.‬‬

‫‪x‬‬
ABSTRACT
Tamang, Ahmad, Nuh. 2014. Implementation of Kafā'ah in Perspective
Prosperous Justice Party (PKS) (Study of Views of the Prosperous Justice
Party (PKS) Elites in DPW of PKS at South Sulawesi) Thesis. Prodi Study
of Al-Al-Syakhsyiyah ahwal State Islamic University Graduate School
(UIN) Malang. Supervisor: Dr.. H.Fadil Sj and Dr.Hj. Umi Sumbulah
M.Ag
Keywords: Kafaah, PKS, Implementation

Kafā`ah is one of consideration that Islam encouraged when they wanted


to establish a marriage. Kafa `ah in a marriage, is the "other factors" that are not
part of an essential principle of marriage, which contributed to the creation of
happiness of the couple and ensure women of failure in marriage. In practice, in
the community, Kafa `ah is often identified by the classification or grouping of the
exclusive community. In the pre-research of this study, researcher has founded a
phenomenon that elites Prosperous Justice Party (PKS) South Sulawesi gives
attention to their cadres to choose a mate in the fellow party cadres. Related the
marriage among PKS cadres in South Sulawesi who have a tendency to marry
fellow cadres.

The object of this study is determine the views of the elite of PKS in South
Sulawesi about the meaning pf kafa‟ah and how it is applied in the core of the
party cadres. This study is a type of field research with qualitative approach. The
collection of dates is interviews method and documentation method. The analysis
was done by using descriptive qualitative.

The results show that first, the equivalent view of whether someone other
than the views of the religious aspect also refers to family background and his
understanding tarbiyah. Application of kafa'ah at the beginning of the wedding
party is characterized by a tendency among cadres. Gay marriage is the goal cadre
proselytizing mission for the continuation, strengthening the organization and the
first step to achieving an Islamic society. However, it was also found that cadres
who married non PKS cadres. It does not matter if there are married to non-cadre
cadre, the condition does not preclude their partners participate in the
proselytizing activities of PKS. Second, cadres Gay marriage a positive impact on
the level of force solidity particular political machine that helped PKS award-
winning in the elections, while the non-cadre explains to his partner make their
surrogate information that is not true concerning about PKS.

xi
MOTTO

         

         

 

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21)

xii
PERSEMBAHAN
Tesis ini khusus penulis dedikasikan kepada:
Ayahanda:
H.Muhammad Tamang
&
Ibunda:
Hj. Asni Mappeare

Semoga Allah SWT menjadikan penulisan tesis ini menjadi amal jariyah bagi
Penulis dan semua kebaikannya penulis persembahkan untuk mereka berdua.

Guru Kami :

Al-Magfūr lahu Murabbi Rūhina al-Mukarram

al-Ustadz Abdullah Awad Abdun

xiii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................ i
Halaman Judul .................................................................................................... ii
Lembar Persetujuan ........................................................................................... iii
Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv
Lembar Pernyataan ........................................................................................... v
Kata Pengantar .................................................................................................. vi
Abstrak ............................................................................................................... ix
Motto .................................................................................................................... xii
Persembahan ...................................................................................................... xii
Daftar Isi .............................................................................................................. xiv
Transliterasi ......................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Konteks Penelitian .............................................................................. 1


B. Fokus Penelitian ................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
E. Originalitas Penelitian........................................................................... 5
F. Definisi Istilah ...................................................................................... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 12
A. Kafā`ah dalam Hukum Islam .............................................................. 12
1. Makna Kafā’ah dalam Perkawinan Islam ........................................ 12
2. Kedudukan Kafā`ah dalam Perkawinan ........................................... 18
3. Kriteria Kafā`ah perspektif Fuqaha .................................................. 22
4. Orang yang Berhak Menentukan Kafā’ah ....................................... 30
5. Waktu berlakunya Kafā’ah ............................................................... 31
B. Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Terhadap
Konsep Al-Kafā’ah .................................................................................... 33
1. Tinjauan Normatif ........................................................................... 33
2. Tinjauan Historis Kontekstual Al-Kafā’ah ...................................... 36
C. Kontekstualisasi Ajaran Islam PKS : Fiqhul wahyi dan Fiqhul waqi‟ . 41

xiv
D. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera ........................................ 45
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 57
A. Lokasi Penelitian ................................................................................. 57
B. Kehadiran Peneliti ............................................................................... 57
C. Jenis Penelitian .................................................................................... 58
D. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 58
E. Data dan Sumber Data ......................................................................... 59
F. Pengumpulan Data ............................................................................... 61
G. Analisis Data ....................................................................................... 62
H. Penegecekan Keabsahan Data .............................................................. 65

BAB IV PAPARAN DATA ............................................................................... 67


A. Setting Penelitian: PKS Sulawesi Selatan ........................................... 67
B. Paparan Data Tentang Makna dan Penerapan Kafā’ah Bagi Kader
PKS ....................................................................................................... 69
1. Makna Kafā`ah Menurut kader Inti PKS Sulsel .............................. 69
2. Penerapan Kafā`ah Bagi Kader PKS Sulsel ................................... 74

BAB V ANALISIS: MEMAHAMI MAKNA DAN PENERAPAN KAFA‟AH


DALAM PERSPEKTIF KADER PKS ................................................................. 89
A. Makna Kafā`ah Menurut Kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Sulsel ................................................................................................... 90
B. Penerapan Kafā`ah Perspektif Kader Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Sulsel ......................................................................................... 97
1. Pernikahan Dengan Kader (se-fikrah) ............................................ 97
2. Pernikahan Dengan Non Kader ...................................................... 101
3. Implikasi Pernikahan Dengan Sesama Kader dan Non Kader ....... 102
BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 105
A. Kesimpulan ............................................................................................ 105
B. RefleksiTeoritis ...................................................................................... 106
C. Rekomendasi Penelitian ......................................................................... 107

xv
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 109
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Transliterasi
Translit yang digunakan dalam penulisan tesis ini berdasarkan pedoman

sebagai berikut:

Latin Arab Latin Arab

Tidak
Dl ‫ض‬ ‫ا‬
ditambahkan

Th ‫ط‬ B ‫ب‬

Dh ‫ظ‬ T ‫ت‬

Koma menghadap ke
‫ع‬ Ts ‫ث‬
atas

Gh ‫غ‬ J ‫ج‬

F ‫ف‬ H ‫ح‬

Q ‫ق‬ Kh ‫خ‬

K ‫ك‬ D ‫د‬

L ‫ل‬ Dz ‫ذ‬

M ‫م‬ R ‫ر‬

xvii
N ‫ن‬ Z ‫ز‬

W ‫و‬ S ‫س‬

H ‫ه‬ Sy ‫ش‬

Y
‫ي‬ Sh
‫ص‬

B. Vokal, Panjang, dan Diftong


Pada dasarnya, dalam setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan

latin vocal fathah ditulis dengan “a” kasrah dengan “i”, dhammah dengan “u”

sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut:

Vokal (a) panjang = â misal: ‫ قال‬menjadi : qâla

Vokal (i) panjang = î misal: ‫ قيل‬menjadi : qîla

Vokal (u) panjang = û misal: ‫ دون‬menjadi : dûna

Khusus bacaan ya’nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “I”,

melainkan tetap ditulis dengan “iy” supaya mampu menggambarkan ya’ nisbat

diakhirnya. Sama halnya dengan suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah

ditulis dengan “aw” dan “ay, sebagaimana contoh berikut:

Diftong (aw) = ‫و‬ misal = ‫ قول‬menjadi= qawlun

Diftong (ay) = ‫ي‬ misal = ‫ خير‬menjadi = khayrun

xviii
C. Ta’Marbuthah

Ta‟ marbuthah ditransliterasikan dengan “t”, jika berada ditengah-tengah

kalimat, namun jika seandainya Ta‟ Marbuthah tersebut berada diakhir kalimat,

maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h”, misalnya ‫الرسالة لللدرسة‬

menjadi alrisalat li al-mudarrisah.

xix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Perkawinan merupakan langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang

membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam

merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka.

Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang tidak setara,

dikhwatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang

harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan.

Kafā‟ah merupakan salah satu pertimbangan yang dianjurkan agama Islam

ketika hendak melangsungkan perkawinan. Kafā`ah sendiri dalam

perkawinan, merupakan “faktor lain” yang tidak digolongkan sebagai rukun

perkawinan, yang turut menunjang terciptanya kebahagiaan pasangan suami

istri dan menjamin perempuan dari kegagalan dalam berumah tangga.1

Secara konvensional, tidak ada kewajiban secara tekstual pelaksanaan

kafā`ah dalam perkawinan Islam. Kafā‟ah dianjurkan menjelang pelaksanaan

perkawinan, namun tidak menentukan sah dan tidaknya perkawinan. maka

hendaknya pihak suami se-kufu‟ dengan istrinya pada saat dilangsungkannya

akad nikah, selama pihak istri dan walinya tidak bersepakat dalam keharusan

adanya kesetaraan.2

1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 97
2
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Akhwal al-Syaksiyah Fi al-Syariah al-Islamiyah, Ma
a‟ al-Isyarah Ila Muqabiliha Fi al-Syara‟I al-Ukhra, (Bairut : al-Maktabah al-Ilmiyah, 2003),
hlm.106

1
Kesetaraan yang dikandung dalam beberapa literatur diasumsikan

sebagai pertimbangan ideal dalam kelangsungan perkawinan. Hal ini, karena

ketimpangan yang terjadi dalam perkawinan, akan menimbulkan masalah

yang berkelanjutan dan besar kemungkinan menjadi sebuah awal sebuah

perceraian.

Literatur fiqih klasik menentukan standarisasi kafā`ah pada pihak

perempuan. Hal ini berangkat dari pemahaman konvensional yang

mengatakan bahwa status sosial pihak perempuan menjadi standarisasi

kafā`ah disebabkan posisinya sebagai obyek peminangan. Sehingga

memunculkan istilah dalam perkawinan “laki-laki yang tidak sekufu”, (jika

kurang status sosialnya) karena standarisasi kafā`ah terdapat pada

perempuan.3

Pada praktiknya, dalam suatu komunitas tertentu, kafā`ah sering kali

diidentikkan dengan penggolongan atau pengelompokan atas suatu komunitas

esklusif. Dalam pra-riset tesis ini, peneliti mendapati sebuah fenomena bahwa

para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan

perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh

dengan sesama kader partai mereka, sehingga bagi kader Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan hampir dipastikan tidak melakukan

perkawinan dengan laki-laki maupun perempuan di luar anggotanya. Bahkan

dalam mencari pasangan bagi kader-kadernya, Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) mempunyai biro jodoh yang terstruktur dengan rapi, dimana biro ini

3
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 141.

2
berfungsi menjodohkan antara ikhwān dan akhwāt PKS. Lembaga ini

bernama BKKBS atau Biro Kordinasi Keluarga Bahagia Sejahtera.4

Keterangan di atas, merupakan keterangan secara global. Terdapat fakta

bahwa para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan

memberikan perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam

memilih jodoh dengan sesama kader partai mereka, sehingga bagi kader

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan hampir dipastikan tidak

melakukan perkawinan kecuali diantara mereka ada kesatuan fikrah

(ideologi). Perkawinan se-fikrah ini pada praktiknya, dalam suatu pandangan

sering kali bertentangan dengan konsep egalitarianisme yang mengusung

kesetaraan dalam perkawinan. Prinsip egalitarian merupakan konsep

kesetaraan dalam Islam yang mempunyai landasan dalil yang kuat. Hal ini

dapat dilihat dalam firman-Nya yaitu:

           

5
          
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Berbicara mengenai perkawinan di kalangan kader PKS di Sulawesi

Selatan yang memiliki kecenderungan menikah sesama kader, memunculkan

4
Habib Nanang, Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul (UIN Jogjakarta, 2007)
5
QS. Al-Ḥujurāt: 13.

3
beberapa pertanyaan, apakah ikhwān atau akhwāt yang menikah sesama kader

merata dilakukan oleh semua jenjang keanggotaan PKS atau tidak, karena di

satu sisi, di internal kader PKS terdapat jenjang keanggotaan, seperti kader

pendukung, kader inti, ahli, purna dan seterusnya.6 Pertanyaan yang muncul

kemudian bagaimana peran murabbi/ah(Pembina) dalam proses mencarikan

pasangan bagi kader PKS di Sulawesi Selatan. Apakah sebatas

merekomendasikan atau ikut campur seperti halnya orang tua dari kader PKS

yang akan menikah. Dan jika kemudian seorang kader memilih menikah

dengan orang non kader PKS, apakah kader tersebut mendapat semacam

sanksi organisasi atau justru dibiarkan begitu saja.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menentukan

fokus penelitian sebagai berikut:

1. Apa makna kafā`ah bagi kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Sulawesi Selatan ?

2. Bagaimana penerapan kafā`ah bagi kader Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) Sulawesi Selatan ?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana lazimnya sebuah karya tulis yang berorientasi terhadap

pengembangan keilmuan maka penelitian ini mempunyai tujuan penelitian,

adapaun penelitian ini adalah sebagai berikut:

6
Djony Edward, Efek Bola Salju PKS, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 19

4
1. Untuk mengetahui makna kafā`ah bagi kader inti Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan .

2. Untuk mengetahui penerapan kafā`ah bagi kader Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah

keilmuan serta mampu memberikan pemahaman hal yang baru pada

kader PKS seperti apa implementasi konsep kafā`ah di Dewan

Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Sulawesi Selatan.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refrensi bagi

peneliti-peneliti selanjutnya khusunya tentang konsep kafā`ah.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tersendiri

khususnya pada kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW

Sulawesi Selatan dan simpatisan PKS.

b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kajian

keilmuan bagi akademisi, khusunya bagi mahasiswa Universitas

Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

E. Originalitas Penelitian

Topik penelitian kafā`ah dalam suatu komunitas keagamaan sudah

banyak yang mengkaji baik dalam bentuk tesis, skripsi maupun yang telah

5
dipublikasi ke dalam jurnal ilmiah, seperti yang peneliti jabarkan di bawah

ini:

1. Faisol Rizal.7 Penelitian yang dilakukan lebih difokuskan terhadap

pandangan kiai pesantren Kab. Jombang terhadap konsep kafā`ah dalam

Islam, serta penerapannya dalam keluarga pesantren Kab. Jombang. Dari

penelitian tersebut disimpulkan adanya dua varian dalam teori kafā`ah

yaitu teori berlandaskan teori pemilihan pasangan dan teori kafā`ah

berlandaskan fikih klasik. Adapun praksis kafā`ah di pesantren terdapat

tiga corak, yaitu kafā`ah berdasar ilmu pengetahuan, kafā`ah berdasar

nasab dan kafā`ah berdasar agama.

2. Putri Paramadina.8 Peneliti menyimpulkan bahwa kafā`ah yang terjadi

pada masyarakat Arab Al-Habsyi adalah suatu prinsip yang sudah

dipegang sejak leluhur mereka. Tinjaun hukum Islam terhadap hal ini

diperbolehkan asalkan merupakan adat („urf) yang tidak bertentangan

dengan kaidah Islam, implikasi yang terjadi dilapangan bahwa apabila

ada yang melanggar prinsip kafā`ah tersebut maka tidak secara langsung

akan mendapatkan sanksi moral dari keluarga sendiri.

3. Zulhamdani.9 Hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan

bahwa Ahmadiyah Qodian memandang kesamaan, kesederjatan tersebut

dalam hal kesamaan aqidah atau kerohanian yaitu kesamaan dalam satu

7
Faisol Rizal. Tesis. 2012. Dengan judul Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga Pesantren (Studi
Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang). Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyah
Progam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
8
Putri Paramadina, Kafa'ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab Al-Habsyi Di Kabupaten
Pemalang (IAIN Walisongo, 2010)
9
Zulhamdani, Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Ahmadiyah Qodian dan Lahore Perspektif
Ulama Syafi‟iyyah. (UIN Jogjakarta, 2010)

6
agama dan golongan (jama'ah). Dasar Hukum kafā`ah dalam hal sama-

sama satu jama'ah Ahmadiyah yaitu persyaratan secara organisatoris

dalam SK No. 009/SK/87, Tanggal 20 Februari 1898. Hak dan

wewenang dalam menentukan kafā`ah dalam perkawinan Ahmadiyah

Qodian adalah wali, perempuan calon pengantin, dan ada wewenang dari

Amir (pemimpin kerohanian) secara organisatoris. Sedangkan Kafā`ah

dalam pandangan Ahmadiyah Lahore hanya agama saja, sedangkan

nasab, pekerjaan dan status sosial hanyalah pelengkap yang sifatnya

kondisional. Hak dan wewenang dalam menentukan kafā`ah bagi

Ahmadiyah lahore adalah hak perempuan dan walinya. Tak lupa Zul

menyarankan, bahwa dalam mencari jodoh itu hendaknya jangan terjebak

oleh fanatisme terhadap suatu golongan saja. Sehingga hal itu akan

menimbulkan kekurangharmonisan ketika berinteraksi sosial di

masyarakat.

4. Sulhani Hermawan.10 Kesimpulan dari kajiannya adalah; prinsip

maslahat dan egalitarian haruslah ada dalam perkawinan. Dalam konteks

kafā`ah, nilai normatif mendukung kafā`ah. Sebaliknya, prinsip

egalitarian justu menolaknya. Simpulan lain berupa persepsi bahwa

kafā`ah merupakan formulasi ulama berdasar waktu dan lokus yang

spesifik. Hal ini menisyaratkan bahwa perubahan sosial juga berpengaruh

terhadap konsepsi kafā`ah. kesimpulan lain mengatakan bahwa kafā`ah

10
Sulhani Hermawan. Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan Prinsip
Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif Dan Historis Kontekstual
Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah (Surakarta; STAIN Surakarta) jurnal ilmiah.

7
dan egalitarianisme merupakan dua hal yang berbeda dalam

penerapannya.

Dilihat dari beberapa penelitian terdahulu, terdapat persamaan antara

penelitian yang dilakukan oleh Faisol Rizal, Putri Paramadina, Zulhamdani

dan Sulhaini Hermawan yaitu fokus penelitian pada hal kafā`ah, dan

mengenai perbedaannya penelitian yang akan peneliti tindak lanjuti yaitu

seputar Implementasi kafā`ah di Kalangan Kader Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) di DPW Sulawesi Selatan.

Dari beberapa penelitian terdahulu penulis sistematisasikan dalam

bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 1.1 : Originalitas Penelitian

No Nama dan Judul Penelitian Fokus Hasil Penelitian


Penelitian
1 Faishol Rizal - Pandangan Kiai
Ada dua varian
Implementasi Kafā`ah dalam teori kafā`ah
pesantren Kab.
Dalam Keluarga Pesantren Jombang yaitu teori
(Studi Penerapan Kafā`ah Terhadap berlandaskan teori
Kiai Pesantren Kab. Konsep Kafa‟ah
pemilihan pasangan
Jombang) dan teori kafā`ah
berlandaskan fikih
klasik.
2 Putri Paramadina - Kafa'ah Kafa‟ah pada Prinsip Kafa‟ah
Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat merupakan suatu
Masyarakat Arab Al-Habsyi Arab al-Habsyi prinsip yang sudah
Di Kabupaten Pemalang. di Pemalang dipegang sejak
turun temurun. Jika
ada yang
melanggar prinsip
kafā`ah tersebut
maka tidak secara
langsung akan
mendapatkan
sanksi moral dari
keluarga sendiri.
3 Zulhamdi - Konsep Kafā`ah Kafa‟ah Ahmadiyah Qodian

8
dalam Perkawinan Ahmadiyah memandang
Ahmadiyah Qodian dan perspektif kesetaraan dalam
Lahore Perspektif Ulama Ulama hal kesamaan
Syafi‟iyyah. aqidah atau
kerohanian yaitu
kesamaan dalam
satu agama dan
golongan (jama'ah).
Sedangkan Kafā`ah
dalam pandangan
Ahmadiyah Lahore
hanya agama saja,
sedangkan nasab,
pekerjaan dan
status sosial
hanyalah pelengkap
yang sifatnya
kondisional.
4 Sulhani Hermawan - Kajian Dalam konteks
Pertentangan Prinsip Normatif Dan kafā`ah, nilai
Kemaslahatan Perkawinan Historis normatif
Dengan Prinsip Egalitarian Kontekstual mendukung
Dalam Hukum Perkawinan Tentang kafā`ah.
Islam; Kajian Normatif Dan Konsep Fiqh Sebaliknya, prinsip
Historis Kontekstual Al-Kafā`ah egalitarian justu
Tentang Konsep Fiqh Al- menolaknya.
Kafā`ah Simpulan lain
berupa persepsi
bahwa kafā`ah
merupakan
formulasi ulama
berdasar waktu dan
lokus yang spesifik.
Hal ini
menisyaratkan
bahwa perubahan
sosial juga
berpengaruh
terhadap konsepsi
kafā`ah.
5 Ahmad Nuh - Implementasi Konsep Kafaah Pertama,pandangan
Kafa‟ah di Kalangan Kader di Kalangan sekufu tidaknya
Inti di DPW PKS Sulawesi Kader Inti PKS seseorang selain
selatan dilihat dari aspek
agamanya juga
mengacu pada latar

9
belakang keluarga
dan pemahamannya
terhadap tarbiyah.
Tidak masalah jika
ada kader menikah
dengan non kader,
asal tidak
menghalangi
pasangannya ikut
kegiatan-kegiatan
dakwah di PKS.
Kedua, Pernikahan
sesama kader
membawa dampak
positif berupa
kesolidan
khususnya di level
kekuatan mesin
politik PKS
sehingga membantu
pemenangan-
pemenangan dalam
pilkada, sedangkan
dengan non kader
membuat
binaannya
menjelaskan
kepada
pasangannya
informasi-informasi
yang tidak benar
yang menyangkut
PKS.

10
F. Definisi Istilah

1.Kafā‟ah : Kesamaan derajat (martabat); dapat diartikan dengan setaraf.11

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kata kafā`ah dengan

definisi kesetaraan dalam perkawinan.

2. Kader : Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seseorang bisa disebut kader

apabila rutin mengikuti pengajian pekanan dan aktif dalam

kegiatan-kegiatan PKS, dan terikat oleh sistem kaderisasi.12

3. Murabbi/ah : Pembina atau guru dakwah pada kelompok kecil. Murabbi/ah

melakukan tarbiyah melalui halaqah. Lawan kata murrabi adalah

muttarabbi, yakni anggota halaqah yang dibina oleh para

pembina/murabbi.13

11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka.
2005) hlm. 608.Dalam perihal perkawinan , kafā‟ah diartikan dengan keseimbangan dan
kesetaraan. Lihat Ibnu Mandzūr, Lisānul „arab, Jilid V (Dār al-ma‟ārif : Tt) hlm 3892
‫حسبها و دينها و‬
َ ‫ ومنه الكفاءة يف النكاح وهو أن يكون الزوج مساويا للمرأة يف‬,‫ النظري واملساوي‬: ‫الكفؤ‬
.‫نسبها وبيتها وغري ذالك‬
12
Ernanto Joko, wawancara, Malang, 25 Maret 2013
13
Tim Departemen Kaderisasi PKS, Manejemen Tarbiyah bagi Anggota Pemula (Bandung:
Syamil, 2003).

11
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kafā’ah Dalam Hukum Islam


1. Makna Kafā`ah dalam perkawinan Islam

Makna kafā`ah menurut etimologi adalah sama (al-mumāṡalah) dan setara

(al-musāwa), dikatakan, si fulan setara dengan si fulan, maksudnya sebanding.

Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw :

‫و َ َا َور ُ ُاو الَّل ِيو َ لَّل و الَّليُو َلَْن ِيو َ َ لَّل َوو‬:‫َ ْن و َ ْن ِ و ْن ِ و ُ َْن ٍ و َ ْن وَِ ِيو َ ْن و َ ِّد ِو َ َوا‬
1
)‫ملسل نوتتكفأودم ئه و(ر و مح و ود د‬
“Dari „Amru bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya berkata;
berkata Rasulullah SAW: Darah orang-orang Islam itu setara”(HR.
Aḥmad dan Abū Dāwud)

Maksud hadis ini adalah sebanding, maka darah orang yang rendah

derajatnya sama dengan darah orang yang tinggi derajatnya. Begitupun dalam

firman Allah SWT,

2
‫ملويَ ُك ْن واَيو ُكف و ح‬
“Tidak suatu pun yang sama dengan-Nya”

ً ‫ ُك ْف‬diatas adalah, tidak ada bandingannya. Secara


Maksud dari potongan ayat ‫وا‬

etimologi kafā`ah adalah sama, sesuai dan setara. Sehingga yang dimaksud

dengan kafā‟ah„ dalam perkawinan adalah kesamaan antara calon suami dan

1
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 7, hlm. 388, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
2
QS. Al-IKhlaṣ : 4

1
calon isteri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama

dalam akhlak dan kekayaan.3

Kafā`ah merupakan salah satu kajian yang disyariatkan atau diatur dalam

perkawinan Islam, akan tetapi tidak ditemukan dalil yang jelas dan spesifik

tentang kafā`ah. Oleh karena itu, kafā`ah menjadi perbincangan mengenai

posisi kafā`ah dan kriterianya dalam perkawinan. Para ulama Imam Madzhab

berbeda pendapat dalam memberikan pengertian kafā‟ah„ dalam perkawinan.

Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafā‟ah„ yang mereka gunakan.

Menurut ulama Hanafiyah, kafā‟ah„ adalah persamaan laki-laki dengan

perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan

harta.4 Dan menurut ulama Mālikiyyah, kafā‟ah„ adalah persamaan laki-laki

dengan perempuan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh

seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.5

Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah, kafā‟ah„ adalah persamaan suami


dengan isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama,
nasab, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan
seorang perempuan untuk melakukan khiyār terhadap suami. Dan menurut
ulama Hanābilah, kafā‟ah„ adalah persamaan suami dengan isteri dalam nilai
ketakwaan,pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.6 Dalam istilah fuqaha,
kafā`ah dapat diartikan :

‫ص َ ٍةو‬ َ ‫ْيودفْن ً واِل َ ِرويفو ُُم ْن ٍر‬


ُ ‫وَمْن‬ ِ ‫ْيو َازْن َ ْن‬
َ ‫مل َ ثَلَةُو ْن‬

3
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, (kairo: dār al-Fath, 2000 M), hlm.93-94.
4
Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‟Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah, Juz 4(Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1999), hlm. 53.
5
Al-Jazīri, Kitab Al-Fiqh, hlm 56-57.
6
Wahbah, Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9, h. 6747

2
“Kesetaraan diantara suami- istri yang dapat menghilangkan rasa malu
dalam perkara-perkara yang khusus”.

Maksud dari perkara-perkara yang khusus dalam pengertian diatas

menurut mazhab Maliki, kesetaraan dalam agama dan haal yaitu keselamatan

dari cacat/aib yang membuatnya memiliki pilihan. Menurut mayoritas fuqaha

kesetaraan dalam agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Dan ditambahkan

oleh mazhab hanafiy dan mazhab hambaliy kesetaraan dalam kemakmuran dari

segi harta.7

Kata kufu` atau derivasinya yaitu kafā`ah dalam perkawinan mencakup

pengertian bahwa perempuan mempunyai sifat atau naluri yang sama dengan

laki-laki dalam banyak aspek. Kafā`ah mengandung arti sifat yang ditemui

dalam perempuan, yang sifat tersebut ikut diperhitungkan dalam perkawinan,

haruslah ada pada laki-laki yang mengawininya, karena wanita akan dirugikan

jika menikah dengan laki-laki yang tidak setara dengannya. Berbeda jika laki-

laki yang menikah dengan wanita yang statusnya berada dibawahnya.8

Meskipun masalah keseimbangan itu tidak diatur dalam Undang-Undang

Perkawinan atau dalam Al-Qur‟an, akan tetapi masalah tersebut sangat penting

untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai

dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu ingin mewujudkan suatu keluarga

yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih sayang sehingga masalah

7
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid VII(Damaskus : Dār al-fikr, 1985), hlm
229.
8
Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi‟i, Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li Al-Muslimin Fi Al-Gharbi.
Beirut; Dar Ibn Hazm. hlm 330

3
keseimbangan dalam perkawinan ini perlu diperhatikan demi mewujudkan

tujuan perkawinan.9

Menurut Wahbah al-Zuhailiy Kafā`ah dianggap penting dalam perkawinan

karena ini menyangkut kelangsungan hidup antara pasangan suami istri. Yaitu

terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan dalam

kehidupan suami-istri sehingga dalam kacamata „urf pihak perempuan dan

walinya tidak dipermalukan dengan pernikahan tersebut.10

Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para fuqaha mengenai hal

kafā`ah, baik dalam bentuk buku, kitab, artikel, dan skripsi. Dalam Fiqh al-

Sunnah al-Sayyid Sābiq, dijelaskan bahwa kufu` dalam pernikahan memang

diperlukan, yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isteri, sama dalam

kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat

kekayaan. Dia berpendapat bahwasannya antara laki-laki dan perempuan

sebanding.11

Dari definisi yang telah diterangkan di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa kafā‟ah„ merupakan keseimbangan atau kesepadanan antara calon

suami dan isteri dalam hal-hal tertentu, yaitu agama, nasab, pekerjaan, merdeka

dan harta.

Dalam hadis juga disebutkan dalil kafā`ah dalam beberapa kriteria, yang

hendaknya diperhatikan menjelang perkawinan. Hadis tersebut berbunyi:

9
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, Soemiyati dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta:
Liberty, 1982) hlm 4.
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 229-230.
11
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 94.

4
‫انِّدس ءُ ِوِل ْنَرَ ٍعواِ َ ِِلَ و َ ِِلَ َسبِ َه و‬ ‫َّل َّل ِ َّل‬
َ ‫َ ل و اليُو َلَْنيو َ َ ل َ و َ َاوتُْنن َك ُحو‬ ‫وهَيْن ََةو َ ْن و ِ ِّد‬
‫انَّلِبو‬ ُ ‫َ ْن و َِِب‬
‫و‬12)‫تويَ َ كو(ر و ود د‬ ِ
‫ِ َذ تو ا ِّدي ِ وتَ َِ ْن‬ ‫َ َِ َ ِِلَ و َ اِ ِينِ َه وفَ اْن َف ْنو‬
Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: wanita dinikahi karena empat,
yaitu harta,nasab, kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat
kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia. (HR. Abu Dāwud)

Hadis Nabi di atas menjelaskan bahwa terdapat hierarki pemilihan calon

pasangan perempuan ditinjau dari sisi tujuan pokok perkawinan yaitu:

a. Pemilihan istri dari segi kepemilikan harta. Tipikal ini berfungsi

pemenuhan kebutuhan material, yang membantu memecahkan kesulitan

hidup yang bersifat material.

b. Pemilihan istri berdasar pada nasabnya. Nasab merupakan pemilihan

kedua setelah kekayaan dalam hal memilih pasangan. Tipikal ini berguna

bagi seseorang yang mementingkan nasab, juga untuk meraih posisi, baik

untuk kemulyaan atau derajad tertentu.

c. Pemilihan istri berdasarkan kecantikan. Tipikal ini berdasar pada sifat

biologis kecantikan. Hal ini bertujuan untuk menjaga dari penyimpangan

dalam berumah tangga. Kecantikan diasumsikan sebagai faktor yang

memenuhi kebutuhan bersenang-senang, sehingga akan menjaga dari

penyimpangan. Akan tetapi, faktor kecantikan ini bukanlah faktor utama.

Hal ini berdasar hadis Nabi yang berbunyi:

‫َ ْن و َْنب ِو الَّل ِيو ْن ِ و َ ْن ٍ و َ َاو َ َا َور ُ ُاو الَّل ِيو َ لَّل و الَّليُو َلَْن ِيو َ َ لَّل َ َوَلوتَ َزَّل ُ و‬
‫وح ْنسنُ ُه َّل و ْنَنويُْن ِديَ ُه َّل و َََلوتَ َزَّل ُ ُه َّل ِوِل ْنَم َ ِلِِ َّل وفَ َ َس و ْنَم َ ُِلُ َّل و‬ ِ ِ
ُ ‫انِّدس ءَوِلُ ْنسن ِه َّل وفَ َ َس‬
َ

12
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 5, hlm. 426, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28

5
ِ ‫ْنَنوتُطْنغِ ه َّل و اَ ِك وتَزَّل ه َّل و لَ و ا ِّدي ِ و َِلَمةٌوخ م ءو د ءو َذ ت‬
‫ودي ٍ و‬ ُ ُ َ ‫َ َ َ ْن َ ُ َ ْن‬ َ ُ ُ َ ‫َ ُ َ ْن‬
13
)‫(ر و وم ي‬.‫َفْن َ ُو‬
“Dari Adullah bin Umar berkata: Berkata Rasulullah SAW Janganlah
engkau menikahi perempuan karena kecantikannya, barangkali
kecantikannya menjadi menolak, dan janganlah engkau menikahi
karena hartanya, barangkali hartanya menjadikan ia berlaku curang,
tetapi nikahilah karena agamanya, dan sungguh seorang budak
perempuan yang hitam legam yang beragama baik itu lebih
utama.(HR. Ibnu Mājah)

Pemilihan istri berdasar agamanya. Rasulullah memposisikan tipikal ini

sebagai tipikal utama dalam pemilihan pasangan. Hal ini karena faktor agama

merupakan faktor yang urgen. Faktor keagamaan merupakan faktor yang

unggul dalam pemilihan pasangan, melibihi faktor lainnya. Karena perempuan

yang berkualitas secara keagamaan, meski kurang cantik secara fisik, agama

merupakan hal yang patut dan perlu untuk dipertimbangkan.14

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan

menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara

yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun

Nabi Muhammad SAW sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan

pertimbangan dalam memilih pasangan.

Segolongan ulama ada yang memahami faktor agamalah yang dijadikan

pertimbangan karena didasarkan pada penekanan sabdanya : ”fadzfar bidzāti

13
Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mājah, juz 5, hlm. 457, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
14
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, judul asli Nidzam Al-
Usrah Fi Al-Islam, alih bahasa Nur Khozin (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 41-48.

6
al-dīn”, segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama

kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan.15

2. Kedudukan Kafā`ah Dalam Perkawinan

Tidak disebutkan secara jelas tentang konsep kafā‟ah„ perkawinan dalam

al-Qur‟an membuat para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu

apakah kafā‟ah„ penting dalam sebuah perkawinan atau tidak.. Dalam

persyaratan kafā`ah dalam perkawinan, fuqaha terbagai dalam dua pendapat :

Pendapat pertama: Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafā‟ah„ tidak penting

dalam sebuah perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan

orang Islam yang lainnya adalah sama (sekufu‟). Semua orang Islam asalkan

dia tidak pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita

muslimah yang tidak pernah berzina.16 Berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-

Hujurat ayat 10 :

‫و‬17‫و‬‫و‬‫و‬

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara”.

Begitu juga dengan ats-Tsauri, Hasan al-Bashri, dan al-Khurkhi dari

mazhab Hanafi berpendapat bahwa sesungguhnya kafā`ah bukan suatu syarat.

Bukan syarat sahnya perkawinan serta bukan pula syarat kelaziman. Sehingga

perkawinan sah dan lazim tampa mempedulikan apakah si suami setara dengan

si istri maupun tidak.18 Adapun alasan mereka berdasarkan firman Allah Swt :

15
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid ,Jilid II
(Bairūt: Dār al-Jail, 1989) hlm. 34
16
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 94.
17
Al-hujarat :10
18
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 230.

7
19
 ‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu”

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam

hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya

kecuali dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan

penghargaan terhadap darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja.

Jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah

orang jelata, maka hukuman qishash tetap dijalankan. Jika kekufu‟an

diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam

perkawinan seharusnya tidak diterapkan.20

Dalil –dalil diatas terbantahkan, dengan argumen, bahwasanya manusia

sama dalam hak-hak dan kewajiban dan mereka tidak saling lebih utama

kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang berdasarkan nilai

keperibadian yang berlandaskan tradisi dan adat manusia, maka pasti manusia

saling memiliki perbedaan. Ada perbedaan dalam sisi rezeki dan kekayaan.

Sebagaimana firman Allah SWT :

 ‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬
21

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam
hal rezki”

Adapun alasan mereka bahwa Jika kekufu‟an diterapkan dalam hukum

pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak

19
QS. Al-hujarat: 13
20
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 231.
21
QS an-Nahl: 71.

8
diterapkan, terbantahkan dengan alasan bahwa ini merupakan qias ma‟al faariq

karena kesetaraan dalam qishash dalam persoalan pidana untuk kemaslahatan

manusia dan untuk menghalangi orang yang mempunyai kehormatan berani

membunuh orang yang tidak setara dengannya. Sedangkan kesetaraan dalam

perkawinan untuk mewujudkan kebahagiaan suami istri, dan kemaslahatan

tersebut hanya bisa terwujud dengan disyariatkannya kesetaraan dalam

perkawinan.22

Pendapat kedua23, yaitu pendapat mayoritas para Fuqaha, termasuk

diantara mereka adalah empat Imam mazhab, bahwa kafā`ah merupakan syarat

keladziman dalam sebuah perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan,24

Adapun dalil yang mereka pakai sebagai pijakan argument adalah :

1. Hadis rasulullah saw :

‫َن َور ُ َاو الَّل ِيو َ لَّل و الَّليُو َلَْن ِيو َ َ لَّل َ و َ َاواَيُويَ و َلِ ُّيو‬
‫َ ْن و َلِ ِّديو ْن ِ و َِِبوطَ اِ ٍ و َّل‬
‫تو‬
‫تو ِلميُو ذ و َ ْن‬ ‫وح َ َ ْن‬ َ ‫ت و ن زوةُ ذ‬ ‫و اصالةو ذ و تَ ْن‬: ‫ثالثوَلوتؤخ وه‬
25
)‫ُكفؤ (ر و ارتمذي‬
Dari „Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Rasulullah berkata kepadanya
:“wahai „Ali tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan; shalat jika
telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang, dan perempuan yang
belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya.”(riwayat
Tirmīdzi)

22
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 231-232.
23
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 232-233.
24
Maksud dari “syarat keladziman dalam sebuah perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan”
adalah nikah sah apabila tidak terdapat kafa‟ ah diantara keduanya, akan tetapi pihak yang
mempunyai wewenang dalam penentuan kafa‟ah mempunyai hak untuk menolak akad dan
meminta faskh, lihat Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi‟i, lihat Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li
Al-Muslimin Fi Al-Gharbi. hlm 332
25
Muhammad Bin „īsa, Sunan Tirmidzi, juz 4, hlm. 244, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28

9
2. Pijakan argumen yang lain adalah dalil ma‟qul atau rasio. mereka

berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga sepasang suami isteri akan

bahagia dan harmonis jika ada kekufu‟an antara keduanya. kafā‟ah

diukur dari pihak perempuan bukan dari pihak laki-laki, karena biasanya

pihak perempuan yang mempunyai derajat tinggi akan merasa terhina

bila menikah dengan laki-laki yang berderajat rendah. Berbeda dengan

laki-laki, ia tidak akan merasa hina bila ia menikah dengan perempuan

yan berderajat rendah darinya.26

Apabila seorang perempuan yang berderajat tinggi menikah

dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya, berdasarkan adat

kebiasaan, si isteri akan merasa malu dan hina dan si suami seharusnya

menjadi kepala rumah tangga yang dihormati akan menjadi rendah dan

merasa kurang pantas berdiri sejajar dengan si isteri, dan pada akhirnya,

keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga yang merupakan tujuan

utama perkawinan tidak akan tercapai.27

Dikalangan ulama Hanafiyah terdapat perbedaan pendapat tentang

kedudukan kafā‟ah dalam perkawinan. Mereka mengatakan bahwa

kafā‟ah merupakan syarat lazim (kelangsungan) sebuah perkawinan.

Tetapi menurut ulama Hanafiyah muta‟akhirin, kafā‟ah menjadi syarat

sah perkawinan dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu :

a. Apabila seorang perempuan baligh berakal menikahkan dirinya sendiri

dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu‟ atau dalam perkawinan itu

26
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 233.
27
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 233.

10
terdapat unsur penipuan, maka dalam hal ini wali dari kelompok

ashabah seperti ayah dan kakek berhak untuk tidak menyetujui

perkawinan sebelum terjadinya akad.

b. Apabila seorang wanita yang tidak cakap bertindak hukum, seperti

anak kecil atau orang gila, dinikahkan oleh walinya selain ayah atau

kakek dengan orang yang tidak sekufu‟, maka aperkawinan itu fasiq

karena tugas wali terkait dengan kemaslahatan anak perempuan

tersebut, menikahkan anak perempuan itu dengan orang yang tidak

sekufu‟ dipandang tidak mengundang kemaslahatan sama sekali.

c. Apabila seorang ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu

buruk, menikahkan anak perempuan yang belum atau tidak cakap

bertindak hukum dengan seorang yang tidak sekufu‟ maka

pernikahannya menjadi batal.28

3. Kriteria Kafā`ah Perspektif Fuqaha’

1. Agama

Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama mempunyai perspektif

tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang dari perbuatan

keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-hukum agama. Agama

dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketidakfasikan. Dalam hal ini ulama

sepakat bahwa seorang laki-laki yang fasiq tidak sekufu‟ dengan perempuan

yang shalihah. Rasulullah SAW. bersabda :

28
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 235.

11
ِ ِ ِ ِ ‫و َِِب‬
َ ‫ َ َا َور ُ ُاو الَّليو َ لَّل و الَّليُو َلَْنيو َ َ لَّل َو و َذ و َ ءَ ُك ْن‬:‫وح ٍِتو اْن ُ َزِِنِّدو َ َاو‬
‫وم ْن و‬ َ ‫َ ْن‬
‫ضو َ فَ َس ٌدو َ اُ ويَ َور ُ َاو‬ ِ ‫ودينَيُو َ ُخلَُقيُوفَأَنْن ِك ُح ُوَِّلَلوتَ ْنف َلُ وتَ ُك ْن وفِْنت نَةٌ ِويفو ْنِل ْنَر‬
ِ ‫تَ ض َن‬
‫ْن َ ْن‬
‫ومَّل ٍو‬ ِ ‫الَّل ِيو ِ ْننو َك َنوفِ ِيو َ َاوِذَ و ء ُك وم وتَ ض َن‬
‫و‬.‫ت‬ َ‫ث‬ َ ‫ودينَيُو َ ُخلَُقيُوفَأَنْن ِك ُح ُوثََال‬ ‫َ َ ْن َ ْن ْن َ ْن‬ َ
‫و‬29)‫(ر و ارتم ذي‬

”Dari Abu Hātim al-Muzani berkata; berkata Rasulullah SAW:Jika


datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka
kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian aka terjadi fitnah dan
kerusakan di atas bumi”, sahabatnya bertanya, ”ya Rasulullah, apabila di
atas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan ?” jawab beliau, ”Jika dating
kepada kamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, hendaknya
kawinkan ia” (Jawaban Rasulullah ini diulang sebanyak 3 kali)”.(HR.
Tirmīdzi)

Hadits di atas ditujukan kepada para wali agar mengawinkan perempuan-

perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak.

Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur,

tetapi memilih laki-laki yang berkedudukan tinggi atau keturunan mulia atau

yang berharta, maka dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan bagi

perempuan tersebut dan walinya. Dalam Al-Qur‟an surat As-Sajdah ayat 18,

Allah swt berfirman :

 ‫و‬‫وو‬ ‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬

“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik?


mereka tidak sama”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang shaleh sama

(sekufu‟) dengan muslimah shalihah. Dan seorang muslim yang shaleh tidak

29
Tirmidzi, Al-Jami‟ As-Sahih Juz 3, h. 395

12
sama (sekufu‟) dengan seorang yang fasiq. Selanjutnya dalam Al-Qur‟an surat

al-Hujurat ayat 13 :

‫……و‬.‫وو‬ ‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫…و‬..
“…..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.

Dari ayat al-Qur‟an di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan

manusia itu sama di hadapan Allah, yang satu dengan yang lain tidak ada

bedanya, sama-sama terbuat dari air mani. Kemudian Rasulullah susul ajaran

persamaan manusia itu dengan perintahnya kepada Abu Huzaifah untuk

menikahkan Salim dengan anak perempuan saudaranya yang bernama

Hindun binti Al-Walīd bin Utbah bin Rabi‟ah (bangsawan). Padahal Sālim itu

adalah hamba sahaya. Sudah dikemukakan lebih dahulu sebuah hadis : yang

artinya ”(wajiblah kamu memilih perempuan yang beragama).

2. Nasab

Jumhur ulama (Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Hanābilah) selain Mālikiyyah

berpendapat bahwa nasab merupakan salah satu hal yang paling penting dan

masuk dalam kafā‟ah, karena ada beberapa alasan mendasar yang

mengilhami mereka, seperti banyaknya orang Islam, khususnya orang muslim

arab yang sangat fanatik dalam menjaga keturunan dan golongan mereka.

Alasan mereka memasukkan nasab dalam kafā‟ah„ berdasarkan hadits Nabi

SAW. :

13
‫بو‬ُ َ‫و ا‬ ‫و َ َا َور ُ ُاو هللو ل و هللو ل يو لَّل‬:‫و و ُ َ ورضيو هللو نه و ا‬
‫ْنك ِف ءو ه و ً و ب و قب ٍ و ر و ٍ و مل يلو كف ءو ه و ً و ب و قبِْن ٍ و‬
ِ
‫و‬30)‫(ر و اب هقي‬.‫ج م‬ ‫وح َّل‬ َ ‫ر و ٍو‬
َ ‫َلوح ئكو‬
”Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma berkata; berkata Rasulullah
Orang arab satu dengan lainnya sekufu‟. Satu kabilah sekufu‟ dengan
kabilah yang sama, satu kelompok sekufu‟ dengan kampung yag sama,
antara sesama laki-laki diantara sekufu‟ kecuali tukang jahit atau
bekam”. (HR. Al-Baihaqi).

Maksud dari hadits di atas adalah bahwa orang arab sepadan dengan orang

arab, orang arab tidak sekufu‟ dengan selain orang arab, kabilah yang satu

sekufu‟ dengan kabilahnya, bekas budak sekufu‟ dengan bekas budak. Jadi

seseorang yang dianggap sekufu‟ jika ia dari golongan yang sama.

Menurut ulama Hanafiyah, nasab (keturunan) dalam kafā‟ah hanya

dikhususkan pada orang-orang arab. Dengan demikian suami dengan isteri

harus sama kabilahnya. Jika seorang suami dari bangsa Quraisy, maka

nasabnya sebanding dengan perempuan yang berasal dari bangsa Quraisy.

Dari sini diketahui bahwa laki-laki selain bangsa arab tidak sebanding

dengan perempuan Quraisy dan perempuan arab. Orang arab yang bukan dari

kabilah Quraisy tidak sebanding dengan perempuan Quraisy. Adapun

menurut ulama Syafi‟iyah, orang arab sebanding dengan Quraisy lainnya

kecuali dari Bani Hasyim dan Muthalib karena tidak ada orang Quraisy yang

sebanding dengan mereka (Bani Hasyim dan Bani Muthalib). Dan yang

menjadi pertimbangan dalam hal nasab adalah bapak. Sedangkan ulama

30
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, juz 7, hlm. 134, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28

14
Hanafiyah berpendapat bahwa golongan Quraisy sebanding dengan Bani

Hasyim. Golongan Mālikiyyah berpendapat seperti yang dijelaskan dalam

kitab ”Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu” bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan

antara satu golongan dengan dengan golongan yang lain, bagi orang arab

maupun non-arab yang terpenting bagi golongan Mālikiyyah adalah

keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap Allah SWT.31

3. Merdeka

Yang dimaksud merdeka di sini adalah bukan budak (hamba sahaya).

Jumhur ulama selain Mālikiyyah memasukkan merdeka dalam kafā‟ah

berdasarkan Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 75 :

‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬

‫و‬32‫و‬‫و‬‫وو‬ ‫و‬‫و‬‫و‬‫و‬
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang
yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan
sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
Adakah mereka itu sama?”

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh tuannya dan

dia tidak dapat melakukan sesuatu pun termasuk menafkahkan hartanya

sesuai dengan keinginannya kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang

merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa

menunggu perintah dari siapapun. Jadi, budak laki-laki tidak sekufu‟ dengan

31
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 243.; M. Baqir al-Hasbi, Fiqih Praktis,(Bandung: Mizan, 2005)
hlm. 49-50
32
QS:an-Nahl ayat 75

15
perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu‟

dengan perempuan yang merdeka sejak asalnya.33

Menurut mayoritas fuqaha yang terdiri dari Mazhab Hanafi, syafi‟i dan

Hambali, seorang budak walaupun status kemerdekaannya setengah tidak

sebanding dengan perempuan yang merdeka, meskipun dia adalah bekas

budak yang telah dimerdekakan, karena dia memiliki kekurangan akibat

perbudakan. Adapun mazhab Maliki tidak mensyaratkan kemerdekaan dalam

kafā‟ah.34

4. Harta

Yang dimaksud dengan harta adalah kemampuan seseorang (calon suami)

untuk memberikan mahar dan nafkah kepada isterinya. Menurut ulama

Hanafiyah dan Hanābilah, harta merupakan hal yang penting dalam

kehidupan rumah tangga sehingga harta dianggap penting untuk dimasukkan

dalam kriteria kafā‟ah„. Berdasarkan hadits Nabi SAW. :

ِ ِ ِ
‫بو ْنَه ِ و ا ُّنْن َ و‬ ‫و و َُيْن َ َةو َ ْن وَِ يو َ َاو َ َا َور ُ ُاو الَّليو َ لَّل و الَّليُو َلَْنيو َ َ لَّل َوو َّلنو ْن‬
َ ‫َح َس‬
ِ ِ
‫و‬35) ‫(ر و مج‬. ‫ا‬ َ ‫اَّلذيويَ ْنذ َهبُ َنوِاَْني‬
‫وه َذ و اْن َ ُو‬
”Dari Buraīdah dari ayahnya berkata: berkata Rasulullah SAW
Sesungguhnya kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang
mempunyai harta”. (HR. Ahmad).

Ulama Hanafiyah dan Hanābilah mengatakan bahwa yang dianggap

sekufu‟ adalah apabila seorang laki-laki sanggup membayar mahar dan nafkah

33
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 97.
34
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 242-243.
35
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, h. 423

16
kepada isterinya. Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau

salah satu diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu‟.36

Menurut Abu Yusuf (salah satu sahabat Abu Hanīfah) yang dianggap

sekufu‟ dalam harta adalah kesanggupan memberi nafkah bukan membayar

mahar. Sebab ukuran yang mudah dilakukan dan kemampuan seseorang

untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat dari keadaan bapaknya.37

Adapun ulama Mālikiyyah dan sebagian ulama Syafi‟iyah menentang

penggolongan harta dalam kriteria kafā‟ah„. Menurut mereka harta

merupakan sesuatu yang bisa hilang. Menurut Wahbah al-Zuhailiy pendapat

inilah yang paling benar dengan alasan bahwa, memasukkan harta dalam

ukuran kafā‟ah„ sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam untuk

tidak berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi SAW.38

5. Pekerjaan

Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah adanya mata pencaharian yang

dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga.39 Jumhur ulama

selain Mālikiyyah sepakat memasukkan pekerjaan dalam perangkat kafā‟ah

berdasarkan hadits Nabi SAW :

‫بو‬ُ َ‫و ا‬ ‫و َ َا َور ُ ُاو هللو ل و هللو ل يو لَّل‬:‫و و ُ َ ورضيو هللو نه و ا‬


‫ْنك ِف ءو ه و ً و ب و قب ٍ و ر و ٍ و مل يلو كف ءو ه و ً و ب و قبِْن ٍ و‬
ِ
‫و‬40)‫(ر و اب هقي‬.‫ج م‬ ‫وح َّل‬ َ ‫ر و ٍو‬
َ ‫َلوح ئكو‬
36
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246.
37
H. M. Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, h. 79
38
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246.
39
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. 846
40
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, juz 7, hlm. 134, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28

17
”Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma berkata; berkata Rasulullah
Orang arab satu dengan lainnya sekufu‟. Satu kabilah sekufu‟ dengan
kabilah yang sama, satu kelompok sekufu‟ dengan kampung yag sama,
antara sesama laki-laki diantara sekufu‟ kecuali tukang jahit atau
bekam””. (HR. Al-Baihaqiy).

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai pekerjaan

terhormat sekufu‟ dengan orang yang mempunyai pekerjaan terhormat juga.

Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat tidak

sekufu‟ dengan seseorang yang pekerjaannya tukang bekam.

Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati

pekerjaan keluarga keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah,

penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga

perempuan sesuai dengan adat yang berlaku. Apabila menjahit menurut adat

lebih tinggi derajatnya dibanding menenun, maka penjahit itu tidak sebanding

dengan anak penenun, maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak

penenun. Menanggapi permasalahan ini golongan Mālikiyyah berpendapat

tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai

dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Mālikiyyah tidak

dimasukkan dalam kriteria kafā‟ah.41

Menurut Wahbah al-Zuhaily yang dijadikan landasan untuk

mengklasifikasikan yang dimaksud pekerjaan dalam hal ini adalah tradisi.

Nilai sebuah pekerjaan akan berbeda dengan berbeda tempat dan waktu. Bisa

jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu waktu akan tetapi bisa menjadi

41
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246-247.

18
mulia di waktu yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi dipandang

hina disebuah negeri dan dipandang tinggi dinegeri yang lain.42

6. Seimbang dari segi fisik atau tidak cacat

Murid-murid Syafi‟i dari riwayatnya Ibnu Nasir dari Mālik bahkan salah

satu syarat kufu‟ ini adalah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai

cacat jasmani yang menyolok itu tidak sekufu‟ dengan perempuan sehat dan

normal. Jika cacatnya pandangan lahiriyah, seperti buta, laki-laki yang seperti

ini tidak sekufu‟ dengan perempuan sehat, tetapi kurang disukai menurut

pandangan lahiriah, seperti buta, tangan buntung atau perawakannya jelek.

Dalam hal ini ada dua pendapat. Rauyāni berpendapat bahwa lelaki seperti ini

tidak kufu‟ dengan perempuan sehat, tetapi golongan Hanafi dan Hanbali

tidak menerima pendapat ini. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-mugnhi

berpendapat bahwa terhindar dari cacat tidak termasuk dalam syarat kufu‟,

tidak seorangpun menyalahi pendapat ini, yaitu kawinnya orang yang cacat

itu tidak batal. Akan tetapi hak pilihan (khiyār) terdapat pada istri bukan pada

walinya, yaitu hak untuk tidak membatalkan pernikahannya, karena kerugian

menyangkut akan dirinya. Wali boleh mencegah perkawinan apabila anak

gadisnya kawin dengan laki-laki yang berpenyakit kusta, gila, selain cacat-

cacat tersebut tidak dianggap sebagai ukuran kafā‟ah .43

4. Orang Yang Berhak Menentukan Kafā’ah

Para fuqaha sepakat bahwa yang berhak menentukan kafā‟ah adalah

seorang perempuan dan walinya, karena menurut mereka seorang perempuan

42
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.
43
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99.; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.

19
dan walinya biasanya akan merasa terhina bila menikah dengan laki-laki yang

tidak sekufu‟. Sedangkan laki-laki yang terpandang tidak akan merasa terhina

bila menikah dengan perempuan yang status sosialnya lebih rendah darinya.

Dalam menentukan kafā‟ah„, antara wali dengan anak perempuan yang

akan menikah mempunyai hak yang sama. Apabila seorang wali mengawinkan

anaknya anak perempuan tersebut menganggap calon suaminya tidak sekufu‟

dengannya. Maka ia boleh mengajukan fasakh nikah. Begitu juga sebaliknya,

jika seorang anak perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu‟ dan

walinya tidak merestui, maka wali boleh mengajukan fasakh nikah.

Golongan Mālikiyyah berpendapat bahwa wali dapat merusak perkawinan

anak perempuannya selama belum didukhul(digauli) oleh suaminya. Jika antara

keduanya telah melakukan hubungan badan. Maka pernikahan tersebut tidak

dapat fasahk. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah, pernikahan

itu dapat difasahk sebelum anak perempuan itu hamil atau melahirkan.44

5. Waktu Berlakunya Kafā’ah

Waktu yang ditetapkan untuk menentukan apakah calon-calon mempelai

telah sekufu‟ atau belum, itu letaknya pada waktu akan dilaksanakan akad

nikah. Berlakunya kafā‟ah yaitu dinilai pada waktu terjadinya akad. Apabila

keduanya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad

karena syarat akan diteliti pada waktu akad. Sehingga tidak disyariatkan

keberlangsungan kesetaraan setalah akad, karena mempertahankan krateria-

krateria kafā‟ah dalam diri suami setelah akad sesuatu yang susah diwujudkan.

44
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99

20
Oleh karena itu ketika terwujud kesetaraan dalam perkawinan pada saat akad,

kemudian kreteria-kreteria kafā‟ah tidak terdapat dalam diri suami kecuali

Islam maka prkawinan keduanya tidak di fasakh.45

Oleh sebab itu apabila seseorang pada waktu akad mempunyai

pencaharian yang terhormat, mampu memberi nafkah atau orangnya sholeh,

kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasiq

terhadap perintah Allah SWT dan semuanya itu terjadi setelah dilangsungkan

perkawinan, maka akadnya tetap berlaku.

Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah

dilangsungkan pernikahan, maka hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam

menentukan kafā‟ah„ menyatakan pendapatnya tentang kedua mempelai pada

saat akad nikah. Dan sebaliknya persetujuan tentang kafā‟ah ini dicatat oleh

pihak-pihak yang berhak sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti

seandainya ada pihak yang akan menggugat di kemudian hari. Hal semacam ini

mengandung hikmah supaya perkawinan yang dilangsungkan itu betul-betul

diteliti terlebih dahulu dan seorang yang akan mau menikah harus mempunyai

niat yang sungguh-sungguh agar tidak ada penyesalan dalam pernikahan.

Dalam Fiqh al-Sunnah Sayyid Sābiq menjelaskan bahwa kufu‟ diukur

ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-

kekurangan, hal itu tidaklah mengganggu dan tidak dapat membatalkan

sedikitpun apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad

nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan

45
Muhammad Muhyiddin abdul Hamid, al-Akhwal al-Syaksiyah Fi al-Syariah al-Islamiyah, Ma
a‟ al-Isyarah Ila Muqabiliha Fi al-Syara‟I al-Ukhra, al-Maktabah al-Ilmiyah, Bairut, tt. hlm 106.

21
terhormat dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia seorang yang salah,

tetapi di kemudian hari ada perubahan, misalnya pekerjaannya kasar, atau tidak

mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada

Allah, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya. Memang masa itu

berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaannya dalam satu

sifat saja. Karena itulah istri harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan

bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertakwa kepada Allah merupakan

watak orang-orang yang besar.46

B. Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Terhadap


Konsep al-Kafā’ah
1. Tinjauan Normatif

Berdasarkan kategorisasi kemaslahatan yang bersifat ashliyyah dan

tabi‟ah, pensyariatan kafā‟ah digunakan untuk mewujudkan adanya

maqashid tabi‟ah. Hal ini karena tujuan kafā‟ah adalah untuk menciptakan

rumah tangga yang dipenuhi dengan sakinah, mawaddah wa rahmah,

menghilangkan adanya cela atau aib sosial, dan menghindarkan bahaya fisik

dan sosial yang mungkin timbul. Menurut para pendukungnya, baik dari

madzhab Hanafiyah,Mālikiyyah, Syafi‟iyah, maupun Hanābilah, kesepadanan

antara calon suami dengan calon istri dan keluarga calon istri secara sosial

dan keagamaan merupakan sebuah jalan yang harus ditempuh untuk

mewujudkan maqāshid yang dimaksudkan di atas. Sedangkan apabila ditinjau

dari pengaruh kekuatan mashlahah terhadap kepentingan umum, maka

konsep kafā‟ah dapat dikategorikan sebagai salah satu mukmilat al-hajiyah,

46
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99

22
karena bertujuan untuk mewujudkan mashlahah hajiyah yang berupa

menciptakan kelanggengan perkawinan, keharmonisan rumah tangga,

pembagian cinta, kasih sayang dan ketenangan. 47

Dari sudut pandang sandaran dalil secara langsung, konsep kafā‟ah

dibangun di atas dalil-dalil hadits. Maka, kemaslahatan yang ingin dicapai

melalui konsep ini adalah mashlahah mu‟tabarah dan bukan mashlahah

mulghah. Namun, hadits-hadits pendukung kafā‟ah, terutama yang bersifat

sosial adalah hadits-hadits yang berada dalam tingkatan dhanni al-wurud dan

dhanni al-dilalah, karena dinilai sebagai hadits dla‟if atau hasan li ghairih.48

Oleh karena itu, mashlahah dari pensyariatan kafā‟ah yang bersifat social

adalah mashlahah dhanniyyah. Sementara itu, konsep yang bersifat religious

didukung oleh hadits hasan dan hadits shahih, namun bukan hadits

mutawatir, sehingga dinilai memiliki kekuatan yang dhanni, dan kekuatan

mashlahah-nya bersifat dhanniyyah. Dengan demikian, kemaslahatan yang

ada di dalam konsep kafā‟ah dinilai sebagai mashlahah dhanniyyah.

Konsep al-kafā‟ah yang bersifat sosial mendapatkan pertentangan dari

beberapa ahli fiqh berdasarkan argumentasi kesetaraan hak asasi manusia,

terutama hak untuk mengikatkan diri di dalam ikatan perkawinan. Aturan ini

dinilai telah menegasikan prinsip egalitarian yang telah dibangun oleh Islam,

47
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dengan Prinsip Egalitarian
Dalam Hukum Perkawinan Islam”, http://sulhanihermawan.files.wordpress.com/2010/01/al
kafaah.pdf, diakses tanggal 10 september 2013.
48
Para ulama menilai hadits-hadits tentang al-kafa‟ah umumnya dla‟if. Ibn Humam, seorang
tokoh penting Hanafiyah, misalnya mengakui tentang hal itu. Namun, dia buru -buru
menambahkan bahwa meskipun dla‟if, karena ada berbagai jalur riwayat yang saling menguatkan,
maka tingkatannya naik menjadi hasan. Dan oleh karena itu, maka hadits tersebut bisa di jadikan
sebagai hujjah. Lihat, Ibn Humam al-Hanafi, Syarh Fath al- Qadir, jilid III, hlm. 292.

23
padahal prinsip egalitarian benar –benar didasarkan pada dalil yang kuat.

Oleh karenanya, konsep kafā‟ah terutama yang bersifat sosial, tidak bisa

menjadi sebuah aturan hukum. Hak untuk menilai status dan kesebandingan

seseorang adalah hak Allah semata dan bukan hak manusia.49

Selain argumentasi egalitarian secara umum, konsep kafā‟ah yang bersifat

sosial juga mendapatkan penolakan dari dalil khusus egalita rian tentang

perkawinan. Ada beberapa dalil hadits yang menceritakan tentang

penentangan Nabi Muhammad terhadap pertimbangan “status sosial”

seseorang untuk masuk ke dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalil-dalil

tersebut antara lain adalah hadits tentang per kawinan Fatimah Binti Qays,

Seorang perempuan dari bangsawan Quraisy yang cantik, dengan Zaid bin

Usāmah, seorang bekas budak, atas nasehat Nabi Muhammad SAW. Selain

itu, hadits tentang lamaran Bilal, seorang bekas budak non-Arab yang berkulit

hitam, pada seorang perempuan anshar yang cukup terpandang dan adanya

perintah Nabi Muhammad SAW untuk menerimanya, serta perkawinan Abu

Hindun, seorang tukang bekam, dengan perempuan Bani Bayadlah, yang

merupakan bangsawan Arab yang kaya atas perintah Nabi Muhammad

SAW.50

Berdasarkan prinsip egalitarian secara umum dan secara khusus di bidang

perkawinan, jelas bahwa ketidaksekufuan dalam hal keturunan, kekayaan, ras,

fisik, profesi, status kemerdekaan dari perbudakan dan hal -hal yang bersifat

sosial lainnya menurut Islam tidak bisa menjadi pertimbangan yang berarti

49
al-Dzahabi, al-Syari‟ah al-Islamiyyah…, hlm. 130-131.
50
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm.95.

24
dan bisa diabaikan. Lebih jauh lagi, tentu konsep kafā‟ah tidak bisa (tidak

perlu) menjadi sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.

Namun, konsep kafā‟ah yang bersifat moral keagamaan, agaknya tidak

mendapatkan pertentangan yang berarti dari para ulama fiqh, bahkan

didukung, berdasarkan argumentasi prinsip kemaslahatan perkawinan yang

dinilai tidak bertentangan dengan prinsip egalitarian dalam Islam.51

Meski demikian, semua konsep kafā‟ah, baik yang bersifat sosial maupun

moral keagamaan, dan baik yang sudah diatur di dalam fiqh maupun di dalam

aturan perundangan di beberapa negara Muslim, masih menyisakan

pertanyaan. Hal ini terjadi apabila dikaitkan dengan rumusan Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948. Konsep dan aturan

kafā‟ah dapat dinilai bertentangan dengan kesetaraan hak untuk menikah

yang ditetapkan sebagai hak absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Secara

jelas, pasal 16 ayat (1) UDHR menyatakan, “ Men and women of full age

without any limitation due to race, nationality, or religion, have the right to

marry and to find a family. They are entitled to equal rights as to marriage,

during marriage and its dissolution.”52

2. Tinjauan Historis Kontekstual al-Kafā’ah

Al-kafā‟ah memiliki kesejarahan panjang di dalam hukum perkawinan,

terutama apabila dikaitkan dengan operasional prinsip kemaslahatan

perkawinan dan prinsip egalitarian. Pembahasan kali ini akan dimulai dari

51
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 6
52
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 6

25
masa arab pra-Islam sampai pada masa berkembangnya madzhab-madzhab

fiqh Islam.

Pada masa arab pra-Islam, sebagaimana di tempat lain dan di masa yang

lain, terdapat gambaran ideal tentang calon pasangan hidup. Gambaran ideal

calon istri adalah perempuan terhormat dari keturunan yang baik (meski tidak

selalu harus kaya), baik budi, muda, perawan, subur (tidak mandul), cantik,

sopan, pintar, penuh kasih sayang, jujur, cakap, enerjik, produktif, lemah

lembut dan periang. Sedangkan gambaran ideal calon suami adalah laki-laki

muda dari keturunan luhur bangsa Arab, penyanyang, jujur, pandai bergaul,

menyenangkan, murah hati, berani, terhormat dan sosial. Calon suami yang

ideal harus memiliki status sosial yang sepadan dalam hal keturunan, kemul

iaan, dan kemasyhuran.53

Al-kafā‟ah kemudian menjadi tuntutan keharusan dan pertimbangan utama

dalam perkawinan, dan bahkan menjadi tradisi asli orang Arab. Poin yang

sering dipersyaratkan adalah keturunan, harta kekayaan, mahar dan hal -hal

sosial lainnya. Sistem aristokrasi, kebangsawanan, stratifikasi sosial dan

sebagainya merupakan pupuk bagi tumbuhnya sistem al-kafā‟ah, dengan

didasarkan pada kemaslahatan perkawinan, individual dan kolektif.54

Pada awal Islam, ternyata konsep al-kafā‟ah masih berlaku, meski

kemudian, menurut Ziadeh, ditentang secara kuat oleh al -Qur‟an dan Nabi

Muhammad. Islam berusaha menghapuskan konsep kafā‟ah yang bersifat

sosial dan menggantinya dengan konsep kafā‟ah yang bersifat moral

53
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 7
54
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 7

26
keagamaan, yaitu dalam bentuk kesalehan dalam keberagamaan dan

ketaqwaan. Hambatan sosial dibuka dan masyarakat dibiasakan untuk

memahami kesekufuan dalam keberagamaan, sehingga menjadi watak

masyarakat Islam. Sikap egalitarian Islam ini kemudian tumbuh di kalangan

masyarakat Madinah dan bahkan menjadi sebuah sunnah. Inilah agaknya

yang menyebabkan penduduk Madinah tidak terlalu mempersoalkan kafā‟ah

di dalam perkawinan. Seiring dengan itu menjadi bisa dipahami mengapa

Imam Malik tidak menyebut -nyebut kafā‟ah yang bersifat sosial di dalam al-

Muwaththa‟.55

Pada masa kemunculan madzhab fiqh, kafā‟ah menjadi sebuah ketentuan

yang khas di dalam madzhab fiqh lama yang ada di Kufah. Kafā‟ah menjadi

usaha untuk melindungi kepentingan wali di dalam perkawinan demi menjaga

nama baik keluarga. Hal ini karena perempuan dewasa yang berada di bawah

perwalian memiliki hak dan kebebasan mandiri untuk menikahkan dirinya

sendiri. Tokoh utama di balik hal ini adalah Nu‟man bin Tsabit Abu Hanifah

(wafat 150 H) yang merupakan pendiri madzhab Hanafiyah yang muncul di

Kufah.56

Meskipun Abu Hanifah memberikan hak dan kebebasan menikah bagi

perempuan yang dewasa, namun beliau juga memberikan keleluasaan kepada

wali nikah untuk mempertimbangkan dan menilai kesekufuan di dalam diri

calon suami. Selain itu Abu Hanifah juga memberikan penekanan untuk

55
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 7
56
Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidlah, al-Imam Abu Hanifah Nu‟man bin Tsabit al Tamimi
al-Kufi Faqih Ahl al-„Iraq wa Imam Ashhab al-Ra‟y, cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1992), hlm. 12.

27
menjadikan kafā‟ah sebagai salah satu syarat nikah, agar perempuan yang

akan diperistri dan walinya tidak jelek reputasinya gara-gara perkawinan

tersebut.57

Di Kūfah, Abu Hanīfah menemukan masyarakat yang sangat beragam dan

kompleks dengan kesadaran kelas yang tinggi, yang tidak dirasakan oleh

masyarakat Madinah. Di Kufah, kelompok-kelompok etnis bercampur-baur,

tradisi urbanisasi telah lama ada, Arab dan non-Arab berhadap-hadapan,

diferensiasi sosial benar -benar memiliki hasil. Menurut Ziadeh, ini

merupakan faktor penting dikembangkannya konsep kafā‟ah oleh madzhab

Hanafiyyah dan kemudian menyebar ke daerah lain serta diadopsi oleh

madzhab-madzhab lain dan ketentuan perundangan di beberapa negara

Islam.58

Tetapi, faktor Kufah dan Iraq yang kompleks bukan satu -satunya faktor

penting dikembangkannya kafā‟ah oleh Hanafiyah. Di Maroko, sebagaimana

di Kufah, masalah - masalah sosial, kesebandingan keluarga dan ekonomi

tetap bertahan dan dilestarikan, namun kesekufuan status sosial tidak menjadi

aturan hukum. Fakta lain, lingkungan Kufah agaknya tidak mempengaruhi

Sufyan al -Tsauri (wafat 161 H), seorang faqih Arab yang hidup di Kufah

semasa Abu Hanifah, beliau menolak konsep kafā‟ah yang bersifat sosial,

dengan argumentasi prinsip egalitarian. Mensikapi hal ini, Al-Sarakhsyi

menyatakan bahwa al-Tsauri menunjukkan kerendahan hatinya dan

menyamakan dirinya seperti orang non-Arab, sebaliknya Abu Hanifah, yang

57
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8
58
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8

28
asli Persia, mendudukkan orang Arab di atas non-Arab karena juga

menunjukkan kerendahan hatinya.59

Faktor penting lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah sistem

perkawinan Hanafiyah yang liberal (meski juga pengaruh dari lingkungan

yang liberal), yang berupa kebebasan menikah seorang perempuan dewasa

tanpa campur tangan wali. Al-kafā‟ah dimaksudkan untuk melindungi

kepentingan keluarga perempuan secara sosial. Apabila calon suami tidak

sekufu, maka persetujuan wali menjadi mutlak adanya. Berbeda dengan

Mālikiyyah, yang menjadikan wali menjadi unsur penting di dalam sebuah

perkawinan, sehingga secara otomatis tidak memerlukan konsep al-kafā‟ah

yang bersifat sosial sebagai aturan hukum.60

Analisis ini bisa membantu menjelaskan juga mengapa al-Syāfi‟i hanya

membicarakan al-kafā‟ah dengan aturan umum dan para pengikut

madzhabnya melanjutkan pembicaraan secara lebih luas dan detail. Al-Syafi‟i

berargumen bahwa al-kafā‟ah lebih bertujuan untuk melindungi calon istri

dari akad nikah yang tidak “benar” daripada melindungi kepentingan wali

dari rasa malu akibat perkawinan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Dan kedua tujuan tersebut (bukan salah satu saja) merupakan basis utama

argumentasi kemaslahatan perkawinan dari konsep kafā‟ah.61

Kalau demikian, maka secara historis kontekstual, kafā‟ah muncul sebagai

tuntutan yang wajar, sebagai respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan

yang berkembang dan kemudian muncul sebagai aturan hukum, sebagai


59
Syamsuddin al-Sarakhsyi, Kitāb al-Mabsut (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, 1989), jilid , hlm. 22-23.
60
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8
61
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 9

29
akibat logis dari aturan hukum perkawinan lain yang sudah ditetapkan.

Pendek kata, argumentasi kemaslahatan perkawinan dan argumentasi

egalitarian diterapkan secara berbeda, karena perbedaan respon terhadap

situasi sosial kemasyarakatan dan logika hukum yang sudah ada.62

C. Kontekstualisasi Ajaran Islam PKS : Fiqhul Wahyi dan Fiqhul Waqi’


Sebagai rangkaian dari kemoderatan berfiqih dalam menghadapi tantangan

perubahan yang terjadi terus-menerus, PKS mengakui pentingnya kontekstualisasi

hukum Islam. Akan tetapi kontekstualisasi disini difahami dengan makna yang

khas. Kontekstualisasi tidak dimaknai sebagai perubahan atas hukum agama

karena kondisi dan tempat, tetapi kontekstualisasi diterapkan dalam rangka

implementasi hukum-hukum tersebut ditengah masyarakat. Yang berubah karena

konteks bukanlah hukumnya, melainkan cara menerapkannya.63

Menurut Anis Matta, PKS menyadari bahwa tantangan dakwah akan terus

berkembang, demikian juga situasi masyarakat serta masalah-masalah yang

mereka hadapi juga mengalami perkembangan. Oleh karena itu, PKS

berpandangan bahwa untuk tetap mempertahankan kemurnian islam serta

relevansinya pada segala zaman maka ijtihad yang berkesinambungan tidak bisa

ditawar-tawar lagi.64

Bagi PKS, Islam memberi ruangan yang luas bagi akal setiap muslim

untuk berijtihad. Ajaran Islam yang tidak terpengaruh dengan perubahan ruang

dan waktu, khususnya dengan masalah-masalah aqidah, dan masalah-masalah

62
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 10
63
M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS (Yogyakarta:LKiS,2009), hlm 175.
64
Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006), hlm.59.

30
ibadah dan hukum perdata (seperti hukum waris) pada umumnya telah dijelaskan

dengan sangat rinci dalam Al-Qur‟an dan as-Sunah. Sementara bagian bagian dari

ajaran islam yang terpengaruh oleh perubahan ruang dan waktu, khususnya dalam

bidang mu‟amalat, pada umumya dibahas dengan cara menetapkan beberapa

kaidah dasar tentang masalah tersebut, untuk kemudian diikuti proses ijtihad

dalam kerangka kaidah dasar itu, dengan memproses penetapan hukumnya lewat

persatuan ruang dan waktu.65

Hukum-hukum islam yang sangat terpengaruh dengan ruang dan waktu,

biasanya selalu dijelaskan dengan menyertakan alasan(illat), yang melandasi

pemberlakuan hukum tersebut. Oleh karena itu perubahan dapat terjadi karena

perubahan waktu dan ruang, namun tetap mengacu pada illat tersebut.66

Dalam konteks ijtihad ini, para mujtahid ini diharuskan memiliki dua

pengetahuan sekaligus : pertama Pengetahuan akan kehendak kehendak Allah

yang tercantum dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Kedua Pengetahuan tentang

realitas-realitas kehidupan masyarakat menusia. Jika yang pertama disebut fiqhul

wahyi(fiqh wahyu) maka yang kedua disebut dengan fiqhul waqi‟(fiqh realitas).

Fiqh wahyu adalah syarat pencapaian kebenaran, sedangkan fiqh realitas adalah

syarat pencapaian ketepatan. Oleh karena itu, pemahaman dan penguasan haruslah

dengan kadar kedalaman dan keluasan yang sama. Kedua fiqh ini masing-masing

memiliki strukturnya sendiri-sendiri. Untuk mempermudah mengetahui sturktur

fiqh wahyu, ilmu ini merujuk pad al-Quran dan as-Sunnah serta sirah

65
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.176.
66
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.60.

31
Nabawiyyah(sejarah Nabi) sebagai sumber utamanya, ilmu alatnya adalah bahasa

Arab, ilmu metodologinya adalah ushul fiqh dan qowaid al-fiqh, Ilmu bantu

tambahannya adalah tarikh(Sejarah), sedangkan out put-nya adalah fiqh.67

Disisi lain, fiqh realitas mempunyai wilayah yang sangat luas dan dinamis.

Ilmu induk dari fiqh realitas adalah semua ilmu yang membicarakan manusia atau

yang biasa kita sebut ilmu-ilmu humaniora, mulai dari ilmu sosiologi, politik,

ekonomi bisnis, antropoilogi, kedokteran dan seterusnya. Ilmu alatanya tentu saja

adalah bahasa-bahasa yang berlaku. Akan tetapi yang paling dinamis adalah

wilayah peristiwa-peristiwa kehidupan yang mengisi ruang dan waktu kehidupan

ummat manusia. Itulah beberapa fakta yang harus dipahami untuk mendapatkan

pemahaman yang utuh dan akurat tentang konteks penerapan wahyu. Selain

keseluruhan ilmu itu, seorang mujtahid dakwah harus terlibat secara langsung

dalam kencah pergaulatan kehidupan.68

Tabiat ijtihad dakwah, seperti “mengharamkan” pemisahan antara kedua

fiqh itu (Fiqhul wahyu dan fiqhul waqi‟), sekarang ini biasa dikenal dengan

pendekatan tekstual dan kontekstual. Alasannya, hubungan antara keduanya

adalah hubungan saling tergantung, bukan hubungan saling melengkapi. Jika

seorang mujtahud dakwah hanya menguasai salah satunya, misalnya hanya fiqh

wahyu, maka kesalahan terbesar yang mungkin dia lakukan adalah mengeluarkan

fatwa yang benar pada muatanya namun tidak tepat pada konteksnya.

Demikian juga sebaliknya jika seorang mujtahid hanya menguasai fiqh realitas

67
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.60-61.
68
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.177.

32
saja maka kesalahan terbesar yang dialakukan adalah bahwa fatwa-fatwanya

cenderung tunduk dibawah tekanan realitas, tuntutan kepentingan sesaaat, terlalu

longgar atau terlalu keras, terlalu cair atau terlalu reaktif. Pemisahan antara kedua

fiqh ini adalah kelemahan ilmiah yang berakibat fatal bagi kelangsungan dakwah.

Institusi adalah simbol ketangguhan ilmiah dalam dakwah, sekaligus merupakan

mata air yang selalu memberikan energi yang mendinamisasi dakwah serta

memberinya ruang gerak yang luas.69

Terkait dengan kontekstualisasi islam, Abu Ridho mengatakan bahwa

kontekstualisasi tersebut terbatas pada aplikasi ajaran dan hukum-hukum Islam,

bukan sebagai pertimbangan dalam memproduk pemahaman ajaran islam atau

istimbath (Penggalian) hukum islam. Memahami konteks itu penting bagi PKS

agar pemikiran-pemikiran atau pemahaman-pemahaman Islam diaplikasi secara

konstekstual. Aplikasi yang konstekstual dalam perspektif PKS adalah memahami

ayat –ayat Al-quran kemudian diaplikasikan sesuai dengan konteks dan persoalan

kekinian, bukan dalam pengertian menjadikan konteks kekinian sebagai acuan

atau dalil melegitimasi dalil sesuatu yang telah ada.70

Oleh karena itu kaidah ushul fiqh yang berbunyi Al-hukmu yaduuru ma‟a

„Illatihi wujudan wa „Adaman (ketentuan hukum berubah bersama ada atau

tidaknya illat(sebab), dipahami oleh kalangan PKS-menurut Persepsi Abu Ridho-

hanya berlaku dari sisi Aplikasi bukan ketentuan hukum sendiri. Sebagai contoh

ketentuan bahwa yang mencuri dipotong tangan. Ketentuan ini tidak bisa berubah,

69
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.178.
70
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.179.

33
ada atau tidaknya illatnya. Akan tetapi apakah dalam rangka penerapan potong

tangan itu berlaku pada semua konteks dan keadaan, ini yang bisa berubah. Dalam

hal ini, Umar bin Khattab pernah tidak menerapkan potong tangan pada kasus-

kasus tertentu. Demikian yang dimaksud dengan kontektualisasi oleh PKS, yaitu

kontekstual dalam penerapan dari hukum-hukum itu sendiri.71

Dalam penerapan ajaran dan hukum Islam dikalangan PKS terdapat dua

macam ketentuan : Fiqh al-ahkam dan Fiqh ad-da‟wah. Fiqh al-ahkam berkaitan

dengan pemahaman atau hukum hukum tentang sesuatu yang harus dilakukan atau

harus ditinggalkan. Sedangkan Fiqh ad-da‟wah berkaitan dengan sesuatu yang

bisa dilakukan atau yang tidak dilakukan. Jika yang pertama berkaitan dengan

sesuatau yang tidak bisa ditawar maka yang kedua terkait dengan sesuatu yang

mungkin (atau tidak mungkin) untuk dilakukan atau diterapkan. Sebagai contoh :

Hukum potong tangan. ketentuan Potong tangan bagi PKS tidak bisa diubah, dan

itu merupakan wilayah fiqh al-ahkam. Akan tetapi dalam kehidupan sekarang

dimana yang berlaku bukan hukum Islam maka ketentuan itu belum bisa

diterapkan. Terkait dengan hal tersebut, PKS bisa menerima keadaan itu. Itulah

peran Fiqh ad-da‟wah.72

D. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera


Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai di Indonesia yang

berbasis kader. Oleh karena itu orang menyebutnya partai kader. Sebuah partai

dinamakan partai kader bila di dalamnya ada proses kaderisasi yang meliputi;

recruiting (perekrutan), maintenance (pemeliharaan dan pembinaan), developing


71
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.179-180.
72
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.63-64.

34
(pengembangan) bakat dan potensi kader. Proses kaderisasi di tubuh PKS terlihat

berjalan dengan baik semenjak didirikannya pada tahun 1998 pasca tumbangnya

rezim orde baru hingga sekarang. Maka tidaklah heran bila dari waktu ke waktu,

jumlah kadernya bertambah banyak seiring dengan meningkatnya popularitas

partai ini.

PKS menggunakan modus operandi Jamaah Tarbiyah untuk memperbesar

peluang mendapatkan kader baru.73 PKS memakai dua strategi dalam merekrut

kader. Yang pertama adalah pola rekrutmen individual (al-da'wah al-fardhiyyah),

atau bentuk pendekatan orang per orang, meliputi komunikasi personal secara

langsung. Calon kader yang akan direkrut diajak berpartisipasi dalam forum-

forum pembinaan rohani yang diorganisir PKS seperti usrah (keluarga), halaqah

(kelompok studi), liqa‟ (pertemuan mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam

(perkemahan), daurah (pelatihan intelektual) dan nadwah (seminar). Yang kedua

adalah pola rekrutmen institusional (al-da'wah al'amma). PKS berafiliasi dengan

berbagai organisasi sayap yang berstatus formal atau tidak formal, sehingga partai

dapat memanfaatkan institusi-institusi ini untuk meraup kader potensial.74

Tarbiyah merupakan Proses Membangun Habitus kader Partai Keadilan

Sejahtera (PKS). Proses tarbiyah bukan hanya tulang punggung proses kaderisasi

di PKS, namun lebih dari itu, ia adalah proses inti dalam pembentukan habitus

dakwah yang dimulai sejak awal Jemaah Tarbiyah berkiprah sebagai gerakan

73
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia. Jakarta: Teraju. http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera diakses tanggal
12 januari 2013.
74
Muhtadi, Burhanuddin (2012). Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta, Indonesia: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG)

35
keagamaan (religious movement). Walaupun kemudian Jemaah Tarbiyah memilih

mentransformasi dirinya menjadi PKS, konstruksi ”Partai Dakwah” yang sampai

saat ini belum dilepaskan menunjukkan bahwa habitus dakwah tersebut tetap

penting dan tidak dapat dikesampingkan, walaupun habitus politik kekuasaan pun

semakin menguat.75

Bagaimana Jemaah Tarbiyah/PKS memahami dakwah dalam konteks sebuah

gerakan keagamaan? Platform PKS memberikan rumusan sebagai berikut:

”Dakwah Islam pada hakekatnya merupakan aktifitas terencana untuk


mentransformasi individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyah ke arah
kehidupan yang mencerminkan semangat dan ajaran Islam. Proses
transformasi individu yakni pembentukan pribadi-pribadi muslim sejati
(shakhsiyyah islamiyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial.
Oleh karena itu pribadi-pribadi itu mesti memperkaya kualitas dirinya
untuk mengemban amanah dakwah (syakhsiyyah da‟iyyah), sehingga
mampu berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial” 76
Uraian di atas menunjukkan bahwa Jemaah Tarbiyah/PKS memahami dakwah

dalam dimensi perubahan mendasar, bukan saja di tataran individu, namun juga di

tingkat masyarakat, bahkan Negara.

Sebagai ”Partai Dakwah”, kekuatan kader adalah kekuatan utama,

sehingga dapat dipahami jika kaderisasi dengan tarbiyah sebagai

tulangpunggungnya dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Platform

PKS menegaskan sebagai berikut:

”Kekuatan utama Partai Dakwah adalah para kader dakwah itu sendiri.
Dakwah membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan,
kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi

75
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, desertasi, Depok Universitas
Indonesia 2011, hlm. 174
76
Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan Masyarakat Madani:
Edisi Gabungan Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK
Sejahtera. (2007) hlm.36

36
yang diembannya melalui suatu orkestra kepemimpinan yang cerdas,
tangguh dan amanah” 77

Tarbiyah nukhbawiyah (pendidikan dan pembinaan kader, selanjutnya

disebut tarbiyah) merupakan tulang punggung proses kaderisasi di Jemaah

Tarbiyah/PKS, di mana ia dipahami sebagai upaya untuk membangun sosok

syakhshiyyah islamiyyah (pribadi muslim yang memahami dan menjalankan

ajaran Islam secara kāffah, menyeluruh, integral), syakhshiyyah da‟iyah (pribadi

yang bekerja mendakwahkan Islam), syakhshiyyah ijtima‟iyyah (pribadi yang

memiliki kiprah nyata dalam bermasyarakat), dan syakshiyyah dauliyah (pribadi

yang mampu turut berperan dalam mengelola negara). Secara lebih spesifik,

dalam konteks persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi oleh Jemaah

Tarbiyah setelah menjadi partai, seorang informan memandang tarbiyah sebagai

sebuah mekanisme pendewasaan, di mana para kader diajak untuk membangun

cita-cita besar yang terkait dengan bangsa dan umat Islam secara keseluruhan,

sekaligus berlatih mengelola perasaan mereka ketika berhadapan dengan hal-hal

yang tidak disukai, perbedaan pendapat, ketidaksepahaman, dan ketidakpuasan,

sehingga berbagai gejolak yang timbul relatif lebih mudah untuk diatasi.78

Tarbiyah terdiri dari tarbiyah dzatiyah dan tarbiyah jama‟iyyah. Tarbiyah

dzatiyyah adalah proses pembinaan diri yang dilakukan oleh masing-masing

pribadi kader, misalnya dengan melakukan ibadah-ibadah ritual yang sunnah

(dianjurkan), seperti qiyamu lail (shalat malam), puasa sunnah, zikir, membaca Al

Qur-an, dan lain-lain. Tarbiyah jama‟iyyah adalah proses pembinaan yang

77
Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan , hlm.36.
78
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 174.

37
dilakukan oleh jemaah. Tarbiyah jama‟iyyah dilakukan bertingkat-tingkat

berdasarkan jenjang keanggotaan masing-masing kader.79

Menurut Bab III Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga PKS, partai ini

memiliki enam jenjang keanggotaan, yang terbagi ke dalam dua jenis

keanggotaan, yaitu Anggota Pendukung dan Anggota Inti. Anggota Pendukung

terdiri dari Anggota Pemula (Tamhidi) dan Anggota Muda (Muayyid). Sedangkan

Anggota Inti terdiri dari Anggota Madya (Muntasib), Anggota Dewasa

(Muntazhim), Anggota Ahli (‟Amil), dan Anggota Purna (Mutakhasis). Pertemuan

pekanan dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan maksimum 12 orang

adalah sarana tarbiyah yang utama. Untuk Anggota Pendukung kelompok tersebut

dinamakan halaqah yang dikelola oleh murabbi/ah, dan untuk Anggota Inti

dinamakan usrah yang dipimpin oleh naqib. Pengelola tarbiyah (murabbi/ah,

naqib) setidaknya berada satu tingkat di atas para peserta tarbiyah yang

dikelolanya. 80

Ketua Dewan Syariah PKS Surahman Hidayat mengungkapkan bahwa,

untuk menjamin kadernya militan, pengurus PKS mengharuskan setiap kader

intinya memiliki halaqoh atau pengajian beranggotakan 18-20 orang. Selain itu,

pengajian rutin juga harus dihadiri oleh para kader.81

Jika dicermati, terlihat salah satu karakter utama tarbiyah, yaitu tadarruj,

di mana pembebanan kepada para kader PKS dan pembangunan komitmen

dilakukan secara bertahap, mulai dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus,

79
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176.
80
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176
81
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/078460485/Hanya-PKS-dan-PDIP-yang-Murni-
Partai-Kader diakses tanggal 12 januari 2013.

38
dari yang mudah ke yang sulit, dari yang lebih penting ke yang penting, dan dari

hal-hal yang sudah disepakati ke hal-hal yang masih diperselisihkan di kalangan

kaum muslimin. Di jenjang-jenjang yang lebih awal para peserta diajak dan

diminta berkomitmen kepada ajaran Islam secara umum. Semakin tinggi

marhalah anggota yang bersangkutan komitmen tersebut dibuat semakin spesifik

kepada Jemaah Tarbiyah/PKS. Di samping itu, semakin tinggi jenjang

keanggotaan, semakin terintegrasi pula kehidupan kader ke dalam jemaah/partai.82

Definisi tiap jenjang keanggotaan, serta karakter dan tujuan tarbiyah pada

masing-masing jenjang terdapat pada tabel dibawah ini83 :

Tabel 2.1 : Jenjang Keanggotaan dan Tujuannya

Definisi Tujuan
Pemula (Tamhidi)
Seseorang yang 1.Memperkenalkan prinsip-prinsip umum Islam, baik
memiliki sifatsifat aqidah, syariah, maupun akhlaq.
terpuji,perangai 2.Memunculkan lingkungan yang sesuai untuk
Islam asasi, tidak berkomitmen kepada prinsip-prinsip Islam.
terkotori oleh syirik 3.Memperkokoh kecenderungan peserta untuk
dan tidak memiliki berkomitmen kepada prinsip-prinsip Islam.
hubungan dengan 4.Mengembangkan sifat-sifat terpuji dan perangai Islam
institusi yang asasi yang ada
memusuhi Islam. pada peserta melalui kajian terhadap ilmu-ilmu marhalah
(bidang studi).
5.Membentuk berbagai kecenderungan dan orientasi-
orientasi positif menuju penyebarluasan fikrah (pola pikir)
Islam, dan memberikan perhatian kepada berbagai

82
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176-177.
83
Diolah dari buku Manhaj Tarbiyah (Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah, 2007), hlm 63-70.

39
problematika dunia Islam
6.Meneliti tingkat kredibilitas berbagai kecenderungan
dan orientasiorientasi positif yang dimiliki oleh peserta
tersebut.
Muda (Muayyid)
Seorang tamhidi 1.Menguasai ilmu-ilmu dan nilai-nilai yang diambil dari
yang mendukung Qur-an, sunnah, dan sirah salafush shalih sesuai dengan
fikrah, memiliki marhalah-nya.
perhatian untuk 2.Mengenal sejumlah besar tokoh-tokoh Islam, ulama, dan
menyebarluaskannya, mujahid yang berkhidmat untuk Islam.
memiliki perhatian 3.Mengetahui urgensi dan keharusan beramal jama‟i
terhadap untuk berkhidmat demi Islam dan kaum muslimin.
problematika 4.Memiliki kemampuan untuk memilih jemaah yang dapat
kaum muslimin mewujudkan pemahaman Islam yang benar.
secara umum, dan 5.Menghiasi diri dengan akhlaq Islam dan bertata krama
mempelajari dengan adab-adabnya,baik lahir maupun batin.
sebagian daripada 6.Menanamkan perhatian untuk menyebarluaskan fikrah
konsep-konsep Islam dan perhatian kepada berbagai problematika kaum
asasi dakwah. muslimin.
7. Menanamkan kebiasaan untuk indibath (disiplin) dan
tidak menyianyiakan waktu.
Madya (Mumtashib)
Seseorang yang 1.Memperkokoh pengetahuan peserta mengenai urgensi
memenuhi segala dan kemestian komitmen ilmiah dan manajerial.
persyaratan muayyid 2.Memperhatikan berbagai hakikat dan nilai-nilai yang
dan berada di dalam ada dalam manhaj pada aspek pemahaman dan
barisan pada tangga penguasaan.
pertama keterikatan 3.Membekali peserta dengan berbagai kemahiran yang
di mana ia menjadi sasaran pada ilmu-ilmu marhalah, kegiatan-
melaksanakan kegiatannya, serta pelatihanpelatihannya.

40
berbagai tugas 4.Mengembangkan berbagai orientasi dan kecenderungan
dakwah yang positif berupa perhatian, obsesi, semangat, dan
dibebankan pengorbanan untuk dakwah.
kepadanya dan 5. Memikul tanggung jawab dan tugas kerja-kerja dakwah
membela dakwah. yang dibebankan kepada peserta dengan memperhatikan
aspek ketelitian dan itqan (profesionalisme).
6. Berperan serta aktif dalam membentuk rumah tangga
dan masyarakat yang Islami.
7. Merealisasikan rukun-rukun dan adab-adab usrah.

Dewasa (Muntazhim)
Muntashib yang 1.Memperkokoh berbagai kemahiran yang diperoleh pada
melaksanakan marhalah muntasib dan meningkatkan
semua tugas dan fprofesionalismenya.
beban yang 2.Memberikan perhatian terhadap berbagai hakikat, nilai,
diminta disertai dan kemahiran yang menjadi target pada ilmu-ilmu
pengenalan marhalah serta pelatihanpelatihannya.
terhadap berbagai 3.Memberikan berbagai kemahiran yang ditargetkan pada
keadaan gerakan marhalah ini dengan cara melaksanakan berbagai
dakwah dan kegiatan, dan ikut serta secara aktif dalam berbagai
sejarahnya, dan ia pelatihan.
merupakan batu 4.Berkorban secara maksimal dalam melaksanakan
bata asasi di berbagai tugas dan beban yang diminta darinya.
dalamnya. 5.Istifadah (mengambil manfaat) berdasarkan
pemahaman, isti‟ab (penguasaan), analisis, dan
penggalian dari sejarah gerakan dakwah dan berbagai
kondisi yang dilaluinya.
6.Berkomitmen terhadap berbagai pedoman dan
keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai institusi
gerakan dakwah.

41
7.Bekerja dengan bersungguh-sungguh untuk
menyempurnakan berbagai unsur keteladanan pada diri
dan rumah tangganya.
Ahli (’Amil)
Seorang 1.Memperkokoh segala hal yang telah dipelajari pada
muntazhimin yang marhalah muntazim.
telah memiliki 2.Memberikan perhatian terhadap berbagai hakikat, nilai,
keahlian dan dan kemahiran, berikut dalil-dalil syar‟i-nya.
berjanji setia 3.Memberikan berbagai kemahiran yang ditargetkan pada
untuk bekerja ilmu-ilmu dan kegiatan-kegiatan marhalah ini dengan
sesuai dengan berbagai pelatihannya.
nizham asasi 4.Berkomitmen dengan sempurna kepada sasaran nilai-
(pedoman nilai marhalah yang berupa mazahir sulukiyah (tampilan
pokok) gerakan perilaku).
dakwah, serta 5.Mengembangkan berbagai kecenderungan dan orientasi
mengerahkan positif untuk hal-hal yang menjadi konsekuensi marhalah,
secara efektif baik berupa beban, tanggung jawab, maupun
diri dan pengorbanan.
hartanya. 6.Menyiapkan dan memberikan keahlian untuk menjadi
da‟i yang teladan yang mencerminkan dakwah, baik pada
aspek pemikiran maupun pengamalan, baik pada dirinya
sendiri, maupun dalam rumah tangganya, dengan cara
merealisasikan rukun-rukun baiat dan segala hal yang
terkandung di dalamnya, yang berupa pokok-pokok,
maupun kewajiban-kewajiban.
7.Membantu peserta dengan segala hal yang memberinya
ruang penuh untuk berkontribusi, efektifitas pelaksanaan,
dan produktifitas.
8.Melatih dan memberikan keahlian kepada peserta, serta
membekalinya dengan berbagai kemahiran leadership dan

42
manajemen rabbani (yang berorientasi ketuhanan).
Purna (Mutakhasis/Mas’ulin)
Seorang ‟amil 1.Menghiasi peserta dengan sifat-sifat pemimpin yang
yang memiliki menjadi teladan, dan berbagai seni kepemimpinan yang
keahlian ilmiah termaktub dalam risalah-risalah yang khusus untuk itu.
dan syar‟iyah 2.Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai tinggi dan
(syariat Islam), berpengaruh besar untuk berkhidmat kepada gerakan
dan kesiapan dakwah dengan penuh keikhlasan dan totalitas.
untuk memimpin 3.Membekali diri dengan berbagai ilmu yang bermanfaat
serta melaksanakan dalam rangka menunaikan amal-amal yang dituntut oleh
beban-beban syarikat untuk merealisasikan tujuan-tujuan gerakan
kepemimpinan itu. dakwah.
4.Membekali diri dengan berbagai hakikat, nilai, dan
kemahiran yang termaktub dalam manhaj marhalah
mutakhasis.
5.Mewakafkan kehidupan umum dan khususnya untuk
dakwah, dan menyiapkan rumah tangganya untuk itu
secara kontinyu dan berkesinambungan.

Halaqah merupakan sarana tarbiyah yang sangat penting, karena melalui

sarana inilah pembinaan para anggota pendukung dilakukan secara intensif untuk

mempersiapkan mereka menjadi Anggota Inti. Pertemuan halaqah biasanya

dilakukan satu pekan sekali, selama 2-4 jam, bertempat di rumah murabbi/ah atau

anggota halaqah, atau tempat-tempat lain, seperti mesjid/mushalla. Setiap

pertemuan halaqah dibuka oleh seorang anggota yang berperan sebagai mas‟ul

jalsah (pembawa acara) dengan menyebut nama Allah, bismillahirahmanirrahiim,

dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmatNya, khususnya

nikmat iman, Islam, dan ukhuwwah (persaudaraan). Setelah itu, para anggota

43
halaqah akan membaca Al Qur-an secara bergiliran, biasanya masing-masing satu

halaman, dilanjutkan dengan tadabbur (pembahasan) beberapa ayat Al Qur-an

yang sebelumnya dibaca, oleh murabbi/ah atau salah satu anggota halaqah yang

ditunjuk. Kemudian murabbi/ah akan menyampaikan kalimat-kalimat pembukaan

yang berisi motivasi, menggaris bawahi hal-hal penting dari pertemuan

sebelumnya, atau memberikan apresiasi atas prestasi kolektif maupun

individual.84

Murabbi/ah lalu melanjutkan dengan talaqqi madah (penyampaian

materi). Untuk jenjang tamhidi dan muayyid, salah satu materi pokok halaqah

adalah rasmul bayan (panah penjelasan), materi dasar-dasar keislaman yang

disajikan dalam bentuk bagan/skema. Rasmul bayan disusun oleh Ustadz Hilmi

Aminuddin sebagai ijtihad untuk mempermudah proses penyampaian materi,

sekaligus mempercepat perluasan dakwah. Materi-materi rasmul bayan terdiri

dari 99 bagan/skema yang dikelompokkan menjadi beberapa judul, yaitu ma‟na

asy syahadatain (makna dua kalimat syahadat), ma‟rifatullah (mengenal Allah),

ma‟rifaturrasul (mengenal rasul), ma‟rifatul Islam (mengenal Islam), ma‟rifatul

insan (mengenal manusia), mariatul Qur-an (mengenal Al Qur-an), al ghazwul

fikr (perang pemikiran), golongan syaitan (hizb asy syaithan), qadhiyyatud

da‟wah (problematika dakwah), al haqqu wal bathil (kebenaran dan kebatilan),

takwinul ummah (pembentukan umat), at tarbiyyatul Islamiyyah

(pendidikan/pembinaan Islam), dan fiqh ad da‟wah (pemahaman dakwah).

Materi-materi tarbiyah tersebut sebenarnya dapat disampaikan dengan berbagai

84
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 179.

44
cara dan sarana yang sesuai, namun skema/bagan materi dalam Bahasa Arab yang

dituliskan di whiteboard merupakan sarana yang lazim digunakan di banyak

halaqah. Berdasarkan skema/bagan tersebut murabbi/ah akan menyampaikan

materi dengan merujuk kepada ayat-ayat Al Qur-an, hadits Nabi, dan bahan-bahan

lain yang relevan, dan kemudian mutarrabbi akan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan.85

Dalam halaqah juga dialokasikan waktu untuk mutaba‟ah (evaluasi)

terhadap realisasi berbagai program dan tugas para anggota halaqah, termasuk

pelaksanaan ibadah harian mereka. Dengan demikian, mutaba‟ah ini merupakan

penghubung antara tarbiyah dzatiyah dengan tarbiyah jama‟iyyah. Di bagian

akhir, kadang-kadang ada peserta yang menyampaikan qadhayya yang kemudian

didiskusikan bersama. Sejauh mana kedekatan yang sudah terbangun dalam

sebuah halaqah akan menentukan sejauh mana para anggotanya terbuka untuk

menyampaikan persoalan-persoalan mereka dalam kelompok. Halaqah ditutup

dengan membaca hamdalah (pujian pada Allah, alhamdulillahi rabbil ‟alamin),

istighfar (permohonan ampun pada Allah), dan doa penutup majelis.86

Tarbiyah memiliki arti pembinaan atau pendidikan berbasis kelompok

kecil di bawah bimbingan seorang murabbi/ah yang dilakukan sebagai kegiatan

non formal yang merupakan posisi kunci bagi pengkaderan pks, tarbiyah

merupakan kegiatan inti dalam proses kaderisasi pks, keberhasilan tarbiyah

dilakukan oleh murabbi/ah akan menghasilkan kader yang sangat solid terhadap

partai.

85
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 179-180.
86
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 181.

45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilakukan di Dewan

Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan.

Alasan mengapa memilih Sulawesi selatan karena peneliti dalam pra-riset

mendapati di sini ada kecenderungan kader PKS menikah sesama kader, akan

tetapi ada temuan dilapangan bahwa meski menikah sesama kader, jumlah

pertumbuhan kader PKS di provinsi ini bukannya stagnan, melainkan makin

pesat. Ditambah lagi saat ini Presiden PKS, Anis matta berasal dari Sulawesi

Selatan.

B. Kehadiran Peneliti

Untuk mendapatkan data-data yang valid dan obyektif tehadap apa yang

diteliti maka kehadiran peneliti dilapangan dalam penelitian kualitatif mutlak

diperlukan. Kehadiran peneliti sebagai pengamat langsung terhadap kegiatan-

kegiatan yang akan diteliti sangat menentukan hasil penelitian, maka dengan cara

penelitian lapangan sebagai pengamat penuh secara langsung pada lokasi

penelitian peneliti dapat menemukan dan mengumpulkan data secara langsung.

Jadi dalam penelitian ini, insrtumen penelitian adalah peneliti sendiri yang

sekaligus sebagai pengumpul data. Sedangkan instrument-instrumen yang lain

merupakan instrument pendukung atau instrumen pelengkap oleh karena itu

kehadiran peneliti dilapangan sangatlah diperlukan.

Adapun tujuan kehadiran peneliti dilapangan adalah untuk mengamati

secara langsung keadaan-keadaan atau kegiatan-kegiatan yang berlangsung,

1
fenomena-fenomena sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengamati langsung

apakah kejadian-kejadian tersebut akan berbeda jauh atau relevan dengan hasil-

hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara.

Dari jenisnya penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan),

dimana dalam penelitian ini nantinya akan menitikberatkan pada hasil

pengumpulan data yang peneliti peroleh dari lapangan atau subjek penelitian yang

peneliti tentukan.1

Penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan

secara langsung di mana objek yang diteliti yaitu kader Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh pandangan elit Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang implementasi konsep

kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah

dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader

lebih memilih mencari jodoh di luar PKS.

C. Pendekatan Penelitian

Jenis pendekatan penelitian ini adalah jenis pendekatan kualitatif.2 data

yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.3 Jadi

dalam penelitian ini penulis berusaha semaksimal mungkin mendeskripsikan suatu

gejala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa sekarang atau mengambil

masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada penelitian. Dilaksanakan

1
Ibid. Hlm. 26
2
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati, Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,1999), hlm. 3
3
Ibid, 6

2
dengan pendekatan konseptual dan analisis terhadap permasalahan yang diambil

dengan membandingkan data-data di lapangan dengan konsep-konsep baik dari

buku-buku, majalah-majalah, makalah, maupun dari sumber lain dengan kalimat

yang tersusun secara sistematis. Dengan metode tersebut akan diperoleh gambaran

secara mendalam mengenai peristiwa dan fakta yang ada.

D. Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh.

Peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data, yaitu mewawancarai

informan untuk merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik

pertanyaan tertulis maupun lisan, selanjutnya peneliti menggunakan teknik

observasi, sumber datanya bisa berupa benda, gerak, atau proses sesuatu. Peneliti

juga menggunakan dokumentasi, yaitu dokumen-dokumen yang menjadi sumber

data, sedang isi catatan adalah objek penelitian atau variabel penelitian.4

Untuk mendukung kegiatan penelitian ini, dilakukan pengumpulan data

yang bersumber dari :

1. Data Primer

Data primer adalah data empirik diperoleh secara langsung informan kunci

dengan menggunakan wawancara langsung untuk mendapatkan data dari

kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk

memperoleh pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW

Sulawesi Selatan tentang implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran

serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan

4
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisis Revisi V.
Jakarta : Rineka Cipta. Hlm, 102.

3
pasangan kadernya dan implikasinya jika seorang kader lebih memilih

mencari jodoh di luar PKS. Peneliti akan terjun secara langsung melakukan

kunjungan dari rumah ke-rumah dari setiap subjek penelitian terpilih dengan

teknik observasi dan wawancara. Sumber data primer, yang terdiri dari

subyek penelitian yang terdiri dari beberapa elit Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) di DPW Sulawesi Selatan. Berikut ini informan yang akan peneliti

wawancarai:

Tabel 3.1 : Informan dan Jabatannya

No Informan Jabatan

Sekertaris Majelis Pertimbangan Wilayah


Muhammad.Taslim,Amd
1 Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan
Sejahterah Sul-sel
2 Jumadil Muhammad,Ss Deputi thullabi DPW PKS Sulawesi selatan

Ketua Bidang Kaderisasi DPD PKS


3 Irwan Waji
Makasar

Susy Smita.P, ST Ketua Bidang Perempuan DPW PKS


4
Sulawesi selatan

Dwi Susilarsih, S.Si Ketua Bidang Perempuan DPD PKS


5
Makasar

Ir. Ida Royani Rahim, Angt. Bidang Kaderisasi DPD PKS


6
S.Pdi Makassar
7 Linda taslim,Spt Kader inti PKS

4
2. Data sekunder
Data sekunder ialah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya

oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan atau

publikasi lainnya.5 Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan

seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri.

Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini berupa jurnal-jurnal ilmiah atau buku-buku yang ditulis orang

non kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terkaitan dengan fokus

penelitian.

E. Pengumpulan Data

Untuk menentukan data yang diperlukan, maka perlu adanya prosedur atau

teknik pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai

data-data objektif, valid serta tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari

keadaan yang sebenarnya. Dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis

menggunakan teknik atau metode sebgai berikut:

1. Wawancara (interview)

Dalam penelitian ini Wawancara (interview) adalah percakapan dengan

maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

5
Marzuki, Metodologi Riset (Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama, 2002), hlm. 56.

5
Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam

wawancara tersebut dapat dilakukan secara individu maupun dalam bentuk

kelompok, sehingga peneliti mendapatkan data informasi yang otentik.

Dalam penelitian ini nantinya peneliti akan mewawancarai elit Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh data

seputar masalah pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW

Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah,

dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah

dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader

lebih memilih mencari jodoh di luar kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

2. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah pengumpulan data melalui peninggalan

tertulis seperti arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan

masalah penelitian. Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan

untuk membaca atau mempelajari arsip, catatan atau dokumen yang berkaitan

dengan fokus penelitian. Seperti database kader Partai Keadilan Sejahtera

PKS Sulawesi Selatan.

F. Analisis Data

Dalam penelitian ini, data-data yang telah diperoleh di lapangan, akan

diolah berdasarkan langkah-langkah sebagaimana berikut:

1. Editing

Peneliti melakukan penelitian kembali atas data-data yang telah diperoleh

dari lapangan, baik data primer maupun data sekunder yang berkaitan

6
pandangan elit atau pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW

Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah,

dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah

dalam memilihkan pasangan kadernya, terutama pada aspek kelengkapan

data, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data

yang lain, dengan tujuan apakah data-data pandangan elit Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan

implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan

murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan

apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar kader

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut sudah mencukupi untuk

memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum, dan untuk

mengurangi kesalahan serta kekurangan data dalam penelitian, dan berusaha

meningkatkan kualitas data penelitian.

2. Classifying

Peneliti melakukan pengelompokan seluruh data-data penelitian, baik data

yang diperoleh dari hasil observasi maupun data hasil wawancara (interview)

yang berkaitan dengan pandangan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di

DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep

kafā`ah, dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau

murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika

seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS, agar lebih mudah

dalam melakukan pembacaan dan penelaahan data sesuai dengan kebutuhan

7
yang diperlukan. Hal ini dilakukan karena para subjek penelitian penelitian

tentunya sangat berbeda-beda dalam memberikan informasi. Oleh karena itu,

peneliti mengumpulkan data-data yang telah diperoleh tersebut dan

selanjutnya memilih mana data yang akan dipakai sesuai dengan kebutuhan.

3. Verifying

Peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap data-data yang telah

diperoleh dan diklasifikasikan tersebut mengenai pandangan elit Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah

dan implementasi konsep kafā`ah dan bagaimana peran serta dan kewenangan

murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan

apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS,

agar akurasi data yang telah terkumpul itu dapat diterima dan diakui

kebenarannya oleh segenap pembaca. Dalam hal ini, peneliti menemui

kembali para subjek penelitian yang telah diwawancarai pada waktu pertama

kalinya, kemudian peneliti memberikan hasil wawancara untuk diperiksa dan

ditanggapi, apakah data-data tersebut sudah sesuai dengan apa yang telah

diinformasikan oleh mereka atau tidak.

4. Analysing

Peneliti melakukan analisis data-data penelitian dengan tujuan agar data

mentah yang telah diperoleh tersebut bisa lebih mudah untuk dipahami.

Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status

fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisah-pisahkan menurut

8
kategori untuk memperoleh kesimpulan, sehingga pada akhirnya dapat

diperoleh gambaran yang jelas mengenai implementasi kafā`ah di kalangan

kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Sulawesi Selatan.

5. Concluding

Langkah terakhir adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang

telah diolah untuk mendapatkan suatu jawaban.6 dimana peneliti sudah

menemukan jawaban-jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan. Peneliti

pada tahap ini membuat kesimpulan-kesimpulan penting yang kemudian

menghasilkan gambaran secara ringkas dan jelas.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam proses pengecekan keabsahan data7 dalam penelitian ini

menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data tersebut bagi keperluan pengecekan atau sebagian

data pembandingan terhadap data dari sumber lainnya8.Jadi triangulasi dilakukan

dengan cara membandingkan dan mengecek suatu informasi yang diperoleh dari

informan yang satu ke informan lainnya.

Dalam memperoleh kevaliditasan data dengan teknik tringulasi dapat

dicapai dengan jalan:9

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara


6
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar
Baru Algasindo, 2000), hlm. 89.
7
Pengecekan keabsahan data sangat perlu dilakukan agar data yang dihasilkan dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pengecekan keabsahan data merupakan cara untuk
mengurangi kesalahan dalam proses perolehan data penelitian yang tentunya akan berpengaruh
terhadap hasil akhir suatu penelitian. Lihat: M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source
Book: Qualitative Data Analysis, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi,Jakarta: UI-
Press, 1992, hal. 330.
8
M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, hal. 330.
9
M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, hal. 330.

9
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakan secara pribadi

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu

d. Membandingkan keadaan-keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendatang dan pandangan masyarakat

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen

Pada intinya terkait dengan hal ini peneliti berusaha me-rechek hasil

penelitian dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode,

atau teori.Adapun yang peniliti lakukan adalah:10

a. Mengajukan berbagai macam pertanyaan

b. Mengeceknya dengan berbagai sumber data

10
Lexy.J.Moelong, Metodologi……., hal. 326

10
BAB IV

PAPARAN DATA TENTANG MAKNA DAN IMPLEMAENTASI


KAFA’AH KADER PKS SULAWESI SELATAN

A. Setting Penelitian: PKS Sulawesi Selatan

PKS Sulawesi Selatan di dunia maya bisa jadi kurang populer jika

dibandingkan dengan PKS Jawa Barat, PKS di Piyungan, Jogjakarta maupun PKS

Surabaya. Namun, pasca peristiwa dugaan menerima dana dari Fathonah,

tersangka kasus suap kuota impor daging dan isu Ketua KPK Abraham Samad

pernah menjadi caleg di PKS.1, nama DPW PKS Sulsel ramai jadi bahan

pembicaraan baik di media cetak maupun dunia maya.

Ilham Arief Sirajuddin yang merupakan Calon Gubernur Sulsel yang

diusung beberapa partai, termasuk PKS; mengaku ketika dipanggil KPK, ada

aliran uang dari Fathanah ke Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Sulsel.

Menurutnya, Fathanah merupakan salah satu tokoh besar di Sulsel. Ia kenal

dengan Fathanah juga sudah lama. Fathanah juga kerap berhubungan dengan

tokoh-tokoh PKS di Sulsel. Ia juga meminta Fathanah untuk menjembataninya

dengan tokoh-tokoh PKS tersebut. Namun ia membantah jika ada aliran uang

antara Fathanah ke rekening miliknya.2 Kasus Fathonah hingga kini masih

berjalan di pengadilan tipikor, Jakarta. Sedangkan isu Abraham, kata Ketua DPW

PKS Sulsel Akmal Pashluddin hanya tercatat masuk daftar calon sementara

(DCS). Pada Pemilu Legislatif 2009, nama Abraham sempat masuk dalam deretan

calon sementara, namun tidak lama kemudian dia mengundurkan diri. Masih

1
“Hidayat: Abraham Samad Pernah Jadi Caleg PKS 2004” detik.com, edisi 4 Februari 2013
2
“Wali Kota Makasar: Ahmad Fathanah Kirim Uang ke DPW PKS Sulsel” republika.co.id edisi
Senin 6 Mei 2013

1
menurut Akmal, Samad mengundurkan diri dari pencalonan legislative karena

tidak setuju dengan sistem suara terbanyak untuk penetapan calon.3

Keberadaan PKS di provinsi ini sudah ada sejak partai ini bernama Partai

Keadilan (PK). Ketua DPW yang pertama adalah Surya Darma yang menjabat

hanya setahun. Dilanjutkan Qayyim Munarka untuk periode 1999-2004 dan

Najamuddin Marahamid untuk periode 2004-2010. Sekarang ini PKS Sulsel

dipimpin oleh Akmal Pashluddin yang dipercaya pada periode 2010-2015.4

Dengan sistem kaderisasi yang bagus, PKS Sulsel mampu mengantarkan

kader terbaiknya seperti Tamsil Linrung, Andi Rakhmat dan Anis Matta

melenggang ke Jakarta. Andi Rakhmat saat ini menjadi anggota DPR di komisi

hukum sedangkan Anis Matta menduduki posisi puncak dalam PKS sebagai

Presiden partai. Anis menggantikan Luthfi Hasan yang terseret kasus kuota impor

daging.

Perkembangan PKS di Sulsel khususnya di kota Makasar cukup pesat.

Ditandai dengan dua hal: Pertama, menjamurnya institusi pendidikan Islam

seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Ma’had, Lembaga zakat dan

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Misalnya STAI al-Azhar yang dikelola oleh

salah seorang kader inti PKS di Makasar. Menurut Sekretaris Majlis

Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Sulsel, Muhammad Taslim, Meskipun

dikelola kader sendiri, tetapi STAI al-Azhar sifatnya independen dan tidak

dibawah naungan PKS.5 Kedua, Masifnya aksi kolektif yang dilakukan kader-

kader PKS di sana. Misalnya bakti sosial yang digelar tiap milad PKS, bulan
3
“Abraham Samad tak Pernah Jadi Caleg PKS” republika.co.id edisi 4 Februari 2013.
4
Lihat video “PKS sulsel dari masa ke masa” diunduh dari you tube tgl 25 Juli 2013.
5
Wawancara via telpon dengan Muhammad Taslim tgl 10 September 2013.

2
romadhan dan awal tahun baru hijriah. Bakti sosial ini didukung oleh banyaknya

kader wanita PKS yang berprofesi sebagai dokter dan perawat.

B. Paparan Data Tentang Makna dan Penerapan Kafā’ah Bagi Kader PKS
Tesis ini fokus utamanya pada dua rumusan masalah yaitu makna kafā`ah

bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan. Kemudian

Bagaimana penerapan kafā`ah bagi kader inti PKS Sulsel. Sekaligus akan

disertakan seperti apa dampak dari penerapan kafā`ah bagi kader maupun partai

sebagai institusi politik. Setelah berhasil mewawancarai sekitar tujuh informan

yang keseluruhannya kader inti di DPW PKS Sulsel, peneliti menjabarkan hasil

wawancara sesuai dengan rumusan masalah:

1. Makna Kafā`ah Menurut kader Inti PKS Sulsel

Secara umum, sebagaimana pengamatan penulis, terkait dengan hasil

wawancara yang penulis temukan di lapangan dengan beberapa kader inti

PKS Sulsel, bahwa dari ketujuh informan yang penulis wawancarai hanya

empat kader inti yang mengutarakan pemahaman mereka tentang makna

kafā’ah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa asumsi mereka tentang

makna kafā’ah terdapat empat macam, yaitu pertama; menjadikan Agama

sebagai kriteria dalam penenntuan kafā’ah, Kedua; Menjadikan ekonomi dan

background keluarga sebagai kriteria dalam penentuan kafā’ah, Ketiga;

menjadikan pendidikan sebagai kriteria kafā’ah dan yang keempat adalah

menjadikan tarbiyah sebagai kriteria dalam penentuan kafā’ah. Yang lebih

detailnya akan penulis deskripsikan sebagai berikut;

3
a. Menjadikan Agama Sebagai Kriteria Sekaligus Tolak Ukur Kafā’ah

Sebagaimana fakta yang penulis temukan di lapangan, bahwa

diantara para informan yang menyampaikan gagasan argumentasinya

tentang agama sebagai tolak ukur utama adalah Muhamad Taslim. Dalam

perspektif Taslim yang merupakan Sekertaris Majelis Pertimbangan

Wilayah (MPP) DPW PKS Sulsel tersebut memandang bahwa agama

merupakan titik tolak utama yang dipertimbangkan dalam sebuah

perkawian. Seperti yang dijelaskan Taslim dalam wawancaranya pada

tanggal 9 September 2013 di kediamanya:

“Kafā’ah dalam pemilihan pasangan merupakan sesuatu yang sangat


penting untuk pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga,
kalau kafā’ah cuma ada dalam suami saja atau sebaliknya bisa saja
kehidupan rumah tangga bisa pincang. Kriteria yang pertama adalah
agama, secara prinsip pernikahan merupakan tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya, meskipun anaknya juga mempunyai hak untuk
memilih, serta memberikan masukan kepada orang tuanya dalam
memilih pasangan.”6

Apa yang disampaikan oleh Taslim dalam wawancaranya dengan


penulis di atas tentu sangat selaras dengan ketentuan yang telah
disebutkan oleh Hadits dan pendapat fiqih klasik.

b. Menjadikan Ekonomi dan Background Keluarga Sebagai Kriteria

Kafā’ah

Argumentasi yang coba dibangun oleh Muhammad Taslim nampak

sangat berbeda dengan Kader inti lainnya yaitu Linda. Menurut Linda

sebagai kader inti PKS memandang bahwa kafā’ah yang terkait dengan

proses pemilihan pasangan perlu dilihat dari keadaaan ekonominya dan

aspek background keluarganya. Sebab ekonomi merupakan salah satu pilar

6
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).

4
dalam keluarga yang harus dipenuhi. Sebagaimana hasil wawancara kami

dengan Linda di kediamanya pada tanggal 12 september 2013. menurutnya

“Kafā’ah dalam proses pemilihan pasangan dilihat dari beberapa


aspek, yang pertama adalah latar belakang keluarga yang kedua
keadaan sosial ekonomi dan yang ketiga dari segi fikroh, yang
ketiga ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan
sesama kader.”7

Hal tersebut senada juga dengan apa yang diutarakan oleh Ida

Royani tentang argumentasi yang coba dibangun bahwa aspek background

keluarga (nashab) dalam perkawinan merupakan kriteria penting yang

tidak boleh diabaikan. Berikut wawancara yang telah penulis lakukan

dikediamanya;

“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini


sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut
nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya,
pendidikannya dan latarbelakang keluarganya8

Dari kedua argumentasi tersebut nampaknya Linda dan Ida Royani

lebih realistis dalam menyampaikan alasanya. Hal itu dikarenakan tadisi

masyarakat Bugis Makasar yang sampai hari ini masih berpegang teguh

tentang ekonomi dan nasab merupakan kriteria yang harus

dipertimbangkan dalam memilih pasangan.

c. Pendidikan Sebagai Kriteria Kafā’ah

Masih menurut Ida Royani bahwa selain alasan ekonomi yang

dijadikan sebagai tolak ukur dalam perkawinan, ternyata Pendidikan juga

menjadi tolak ukur ketidak kafā’ahan seseorang. Sebab Pendidikan di era

7
Linda, wawancara (Makassar ,12 September 2013)
8
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)

5
modern ini merupakan suatu tolak ukur dalam perkawinan yang tidak bisa

dihindari di tengah kebutuhan akan pendidikan yang begitu tinggi. Hal

tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh kader inti Ida Royani, bahwa

pemilihan kriteria pendidikan oleh Ida Royani dikarenakan binaannya

yang di dalam liqa sebagian besar berasal dari kader yang berpendidikan.

Sebagaimana hasil wawancara penelti;

“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini


sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut
nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya,
pendidikannya dan latarbelakang keluarganya. Jadi yang maju dulu
adalah pembinanya, makanya ikhwah dulu itu, ketika prosesnya
sudah sampai kesepakatan dengan orang tua akhwāt, baru
ikhwahnya memberitahu orang tuanya. Tapi si akhwātnya juga akan
mensosialisasikan kepada keluarganya, bahwa kondisi calon
suaminya seperti ini, jadi ketika murabbi datang meminta, tidak
akan terjadi debat yang panjang,”9

Alasan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kafā’ah merupakan

sebuah kewajaran kultural. Karena kultur masyarkat makassar merupakan

kultur pendidikan.

d. Tarbiyah Sebagai Kriteria Kafā’ah

Selain dua kriteria antara ekonomi dan pendidikan Ida royani juga

mengatakan, bahwa sekufu’ atau tidaknya seseorang dilihat dari

tarbiyahnya, dan latar belakang keluarga. Tarbiyah yang dimaksud disini

bukan “pendidikan” seperti yang dipahami orang diluar PKS, tetapi berapa

lama yang bersangkutan ikut tarbiyah sebagai wadah kaderisasi PKS;

dimana salah satu aktivitasnya pengajian pekanan (liqa’).

9
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)

6
“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini
sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut
nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya,
pendidikannya dan latarbelakang keluarganya. Jadi yang maju dulu
adalah pembinanya, makanya ikhwah dulu itu, ketika prosesnya
sudah sampai kesepakatan dengan orang tua akhwāt, baru
ikhwahnya memberitahu orang tuanya. Tapi si akhwātnya juga akan
mensosialisasikan kepada keluarganya, bahwa kondisi calon
suaminya seperti ini, jadi ketika murabbi datang meminta, tidak
akan terjadi debat yang panjang,”10

Dwi Susilarsih juga mengamini dengan apa yang disampaikan oleh

Ibu Ida Royani bahwa aspek tarbiyah sebagai kriteria utama dalam

memilih pasangan. Ini disebabkan misi dakwah sebagai prioritasnya.

“Dalam memilih pasangan dulu itu karena kita yakin ketsiqohan


dakwah kita bahwa pasangan kita mendukung juga kegiatan kita,
karena proritas utama kami adalah dakwah. Kriteria utama kami
adalah pemahamannya dalam tarbiyah (berada dalam lingkup kita),
bukan masalah pekerjaan.”11

Proses pemilihan pasangan dengan kriteria tarbiyah atau se-fikrah

juga diamini oleh kader inti yang lain seperti Linda. Sebagaimana hasil

wawacara yang penulis lakukan, sebagai berikut;

“Kafā’ah dalam proses pemilihan pasangan dilihat dari beberapa


aspek, yang pertama adalah latar belakang keluarga yang kedua
keadaan sosial ekonomi dan yang ketiga dari segi fikroh, yang
ketiga ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan
sesama kader.”12

Dari paparan data tentang makna kafaah para kader PKS Sulsel

yang sudah penulis sajikan dan deskripsikan di atas, dapat ditarik beberapa

kesimpulan yang telah penulis sistematisasian dalam bentuk tabel sebagai

berikut;

10
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
11
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
12
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013)

7
Tabel 4.1: Makna Kafā’ah bagi Kader Inti PKS Sulsel:

No Nama Informan Kriteria Kafā’ah

1 Taslim Agama sebagai kriteria utama

Background keluarga, keadaaan


2 Linda
ekonomi dan se-fikrah

Tarbiyahnya, aspek pendidikan dan


3 Ida Royani
latar belakang keluarga

Pemahamannya dalam tarbiyah,


4 Dwi Susilarsih
bukan masalah pekerjaan

2. Penerapan Kafā`ah Bagi Kader PKS Sulsel

Berdasar pengamatan peneliti terkait dengan Penerapan kafā`ah menurut

kader PKS Sulsel, dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan kafā`ah

tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Penerapan Pernikahan dengan

sesama kader (se-fikrah), pernikahan dengan non kader dan implikasi

pernikahan dengan kader dan non kader. Dapat penulis deskripsikan sebagai

beriikut;

a. Pernikahan Dengan Sesama Kader (se-fikrah)

Salah satu Asumsi yang beredar di luar PKS adalah terdapat

kecenderungan kader PKS menikah dengan sesama kader PKS. Peneliti

menanyakan fenomena tersebut kepada para informan. Sebagian informan

sepakat menilai dan punya pemahaman bahwa pernikahan sesama kader

itu bagian dari keberlangsungan misi dakwah, pengokohan organisasi,

8
supaya saling memahami peran masing-masing serta langkah awal untuk

mencapai masyarakat Islami. Seperti yang diutarakan pak Irwan. Beliau

menilai pernikahan sesama kader selain misi dakwah juga untuk strategi

pengokohan organisasi.

“Pernikahan sesama kader adalah bagian dari kelangsungan


dakwah dan bisa dipandang sebagai strategi dalam pengokohan,
karena organisasi ini harus ditunjang oleh keluarga yang kokoh
demi kelanjutannya.”13

Pandangan serupa dijelaskan dengan oleh pak Jumadil bahwa membangun

rumah tangga yang bermuatan misi dakwah salah satu jalan pintasnya

yaitu menikah sesama kader, meskipun kata beliau ada pilihan untuk

menikah dengan non kader. Hal tersebut sebagaimana hasil wawancara

yang telah penulis lakukan;

“Pemilihan pasangan dengan kriteria sesama kader (dalam artian


kafā’ah sesama kader) bisa dibilang sesuatu yang Awla atau
merupakan proritas, lebih kepada doktrin di awal, bahwa ada
baiknya membangun rumah tangga itu adalah membangun rumah
tangga dakwah. Sehingga jalan pintasnya adalah menikah dengan
kader yang sama-sama kader dakwah, meskipun pada faktanya
bukan menjadi pakem, karena disana ada ruang untuk menikah
diluar kader.”14

Jawaban yang cukup menarik juga diuraikan oleh ibu Susy Smita yang

kini menjabat Ketua bidang Perempuan (Bidpuan) di DPW PKS Sulsel.

Menurutnya menikah sesama kader merupakan langkah awal menuju

masyarakat Islam yang PKS idamkan. Sebagaimana hasil wawancara yang

telah penulis lakukan di lapngan;

13
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013).
14
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)

9
“Yang perlu digaris bawahi bahwa kenapa didalam PKS tetap
mengatur dalam artian mengarahkan kader menikah dengan kader
karena bagi kami itu merupakan langkah awal untuk mencapai
masyarakat islami. Adapun tahapan-tahapan untuk menciptakan
masyarakat islami dimulai dari, individu islami, membentuk
keluarga islami sehingga bisa berdampak terciptanya masyarakat
yang islami.”15

Dari beberapa jawaban yang diisampaikan oleh para Informan di

atas dapat penulis sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berikut;

Tabel 4.2: Pernikahan Sesama kader PKS di Sulsel:

No. Nama Informan Argumentasi

Misi dakwah juga untuk strategi


1 Irwan
pengokohan organisasi
Sebagai jalan pintas membangun
2 Jumadil
rumah tangga dakwah
Langkah awal menuju masyarakat
3 Susy Smita
Islam

Namun dalam proses pencarian data ini, peneliti menemukan kader

inti yang lain ingin kader binaannya menikah dengan sesama kader.

Seperti Linda yang mendorong kadernya menikah dengan sesama kader

demi kepentingan dakwah. Sebagaimana hasil wawancara yangg penulis

lakukan di lapangan;

“Sebagai seorang murabbi/ah yang mempunyai binaan, pasti dia


akan mencarikan binaannya yang terbaik, dan diusahakan sefikrah
artinya sama dalam memandang dakwah itu pada visi dan misinya.
Saya mendorong sekali binaan-binaan saya menikah sesama kader,
alasannya untuk kepentingan dakwah, karena dalam dakwah itu

15
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)

10
pasangan harus saling mendukung karena basic dalam dakwah itu
adalah keluarga.”16
Pandangan yang kurang lebih sama diutarakan juga oleh bapak

Irwan dan bapak Jumadil. Dalam perspektif Irwan menikah sesama kader

berfungsi untuk pengokohan dalam struktur oragnisasi PKS. Sebagaimana

hasil wawancara yang penulis lakukan di lapngan;

“Kami sebagai murabbi/ah sangat menganjurkan menikah sesama


kader, karena ada jaminan dalam pengokohan dalam struktur
organisasi ini”17

Jumadil pun juga berargumen kalau di internal PKS masih banyak kader

yang lebih baik buat apa mencari non kader. Di internal, tidak ada istilah

pacaran, jadi menurut bapak Jumadil, beliau menyerahkan sepenuhnya

kepada murabbinya ketika dulu menikah dengan istrinya. Sebagaimana

hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Jumadil;

“Kalau memang di internal kami ada yang lebih baik, ngapain


juga memilih diluar kader. Kita diinternal kader tidak ada pacaran
sehingga untuk memudahkan menuju akses tersebut dengan
menghubungi Pembina(murabbi), dan kami bisa merasa tenang dan
menjamin kalau dipilihkan oleh Pembina, dibandingkan pilihan
orang tua, karena mereka satu sisi yang kebetulan tidak sepaham
dengan kita.”18

b. Pernikahan Dengan Non Kader

Pernikahan sesama kader atau dengan non kader tentunya ada

peran seorang murabbi/ah. Namun sejauh mana peran para murabbi/ah

juga peneliti telusuri. Terkait hal ini para informan memberi dua model

jawaban. Pertama, dulu ketika era Partai keadilan, peran murabbi/ah

16
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013)
17
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013).
18
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)

11
dominan, tetapi sekarang tidak begitu dominan khususnya ketika ada kader

yang ingin menikah dengan non kader. Kedua, peran murabbi/ah yang

sifatnya kondisional. Seperti yang nanti diutarakan Taslim. Tidak masalah

seorang kader PKS khususnya para akhwatnya menikah dengan non kader

asal yang hanif. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Ida Royani dalam

wawancaranya.

“Dulu murabbi/ah yang dominan, orangtua memasrahkan kepada


murabbi/ah, tapi sekarang mungkin ada pergeseran nilai,
diantaranya ada beberapa akhwāt kemungkinan rasa malunya
sudah berkurang, dulu pada masa kami, rasa malu akhwāt-akhwāt
sangat tinggi, Jadi untuk saat ini kita sebagai Pembina, yang kita
pikirkan bagaimana akhwāt ini menikah, walaupun itu bukan
kader yang penting dia laki-laki yang hanif. Dan yang lebih
penting, dari awal harus ada perjanjian, bahwa suaminya ini
mengetahui kalau calon istrinya adalah kader PKS, sehingga tidak
ada pelarangan untuk mengikuti tarbiyah atau kegiatan-kegiatan
PKS setelah menikah,”19

Kader inti PKS lainnya seperti Susi Smita juga menegaskan bahwa peran

murabbi/ah hanya mengarahkan dan tidak memaksa. Sebagaimana yang

disampaikan oleh Susi Smita dalam wawancara yang penulis lakukan di

kediamannya;

“murabbi/ah akan tetap berusaha untuk mengarahkan serta


membantu kader untuk menikah sesama kader sehingga ada
kesamaan fikroh, tetapi ini bukan merupakan paksaan atau harga
mati”20

Pada aras yang sama peran murabbi/ah dalam proses pernikahan seorang

kader menjadi kriteria yang harus dipertimbangkan, dalam kaitan ini Dwi

Susilarsih mengutarakan hal serupa, bahwa seorang murabbi/ah hanya

19
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
20
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)

12
mengarahkan dan tidak ada paksaan harus menikah sesama kader karena

tergantung tingkat pemahaman kader dan juga faktor jodoh di tangan

Allah SWT. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan di

lapangan;

“Murabbi/ah sangat mendorong kadernya untuk menikah


sesama kader, tapi tidak serta merta ini berjalan mulus, kembali
kepada tingkat pemahaman kader tersebut. Ketika ada kader
menikah diluar kader bagi kami tidak menjadi masalah, karena
murabbi/ah cuma mengarahkan saja, dan yang kita pahami bahwa
jodoh itu Allah yang tentukan. Mungkin ini yang terbaik bagi
dia.”21

Kader inti PKS, Muhammad Taslim punya pandangan kondisional

alias moderat dibanding istrinya, Linda yang ingin binaannya menikah

sesama kader saja. Muhammad Taslim memiliki dua sudut pandang terkait

pernikahan sesama kader yang konteksnya memperkuat misi dakwah dan

menikah dengan non kader dengan misi ekspansi dakwah. Menikah

dengan sesama kader mengharuskan se-fikrah, sedangkan dengan non

kader asal punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam. Hal tersebut

sebagaimana Muhammad Taslim sampaikan dalam wawancaranya;

“Memperkuat dakwah dalam naungan sefikrah itu memang cara


yang baik tapi tergantung konteksnya, kalau memang konteksnya
ekspansi maka ini bukan menguatkan tapi memperluas dakwah.
Bagi saya kalau konteksnya perluasan, maka menikahkan dengan
non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada
resikonya, tapi orang yang berdakwah dengan resiko tinggi
pahalanya juga besar, dan di lapangan kita melihat banyak tokoh-
tokoh masyarakat yang mempunyai potensi dan dipandang justru
simpati dengan pks karena anaknya menikah dengan kader PKS.
Kalau saya yang pertama sebagai satu kategori sangat
menganjurkan, tentu pertama mencarikan pasangan diinternal yang
sefikrah yang sudah siap menikah, karena bagaimanapun juga

21
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)

13
ketika saya mempunyai binaan laki-laki tentu saya carikan binaan
yang sudah terbina, karena banyak memang akhwāt yang belum
menikah, dan yang kedua jika tidak ada yang cocok bagi dia, maka
tidak masalah menikah dengan non kader, tapi dengan catatan
punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam”22

Para informan yang rata-rata sebagai murabbi/ah dan mempunyai

binaan mengatakan tidak masalah jika ada kader menikah dengan orang di

luar jamaah, asal tidak menghalangi pasangannya ikut kegiatan-kegiatan

dakwah di PKS. Seperti yang diutarakan oleh Linda , Dwi susilarsih dan

Susi Smita di lapangan;

Menurut Linda “Ada akhwāt menerima pinangan laki-laki yang


bukan kader itu dengan satu syarat tidak menghalanginya nanti
dalam kegiatan-kegiatan dakwah di tarbiyah PKS, walaupun nanti
dalam pelaksanaannya merupakan tanggungjawab istri untk
mentarbiyahkan suaminya, tapi kita juga memahami bahwa
hidayah itu dari Allah, jadi ini cuma upaya saja.”23

Menurut Dwi Sularsih “Binaan yang Menikah diluar kader


tidak jadi masalah yang penting dia hanif dan tidak
menghalanginya mengikuti kegiatan-kegiatan kepartaian misalnya,
bahkan lebih bagus lagi kalau dia bisa merekrut orang lain masuk
PKS.”24

Menurut Susi Smita “Ketika ada kader menikah dengan non


kader tidak menjadi masalah, dengan syarat pasangannya yang
bukan kader tidak menghalangi pasangannya dalam kegiatan-
kegiatan dakwah PKS. Kita menghindari hal-hal mendoktrin, dan
kader yang akan menikah dengan non kader tetap konsultasi
dengan murabbi/ahnya. Apalagi sekarang banyak akhwat yang
belum menikah.”25

Dari paparan data yang disampaikan oleh para informan di atas

dapat penuliis simpulkan dalam bentuk tabel sebagai berikut;

22
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
23
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013)
24
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
25
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)

14
Tabel 4.3: jika ada kader menikah dengan orang di luar PKS:

No Nama Informan Argumentasi

Asal tidak melarang pasangannya aktif di


1 Linda
kegiatan tarbiyah/PKS

Yang penting Hanif dan tidak melarang


2 Dwi susilarsis
pasangan ikut kegiatan kepartaian

Kader yang menikah dengan orang diluar PKS,

tetap berkonsultasi dengan muroobi. Meminta


3 Susi asmiwati
pasangan yang bukan kader tidak melarang

untuk aktif di kegiatan partai

Apakah jika seorang kader PKS menikah dengan non kader akan

mendapatkan perlakuan khusus bahkan bisa juga kena sanksi oleh

murabbi/ahnya? Para informan dengan tegas tidak ada sanksi karena

menikah itu hak pribadi. Muhammad Taslim menjelaskan sebagai berikut:

“Sanksi tidak ada, karena kita memahami bahwa pada


prinsipnya itu kewajiban orang tua, kami cuma mengarahkan,
sehingga jika ada kader ingin menikah pasti kami kordinasikan
dulu dengan orang tuanya. Ketika orang tua menyerahkan kepada
anaknya, baru kami sebagai murabbi/ah mencarikan pasangan
untuk dia. Menikah itu hak pribadi dan kewajiban struktur cuma
mengarahkan.”26

Darimana anjuran menikahkan sesama kader ini, Apakah tertera di

AD/ART ataukah muncul dari murabbi/ah? Seorang informan menjawab

26
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).

15
hal ini tidak ada di dalam AD/ART, melainkan inisiatif para murabbi/ah.

Seperti yang dikatakan oleh Dwi Susilarsih:

“Ini tidak ada dalam AD/ART, kemungkinan ini inisiatif-inisiatif


murabbi/ah untuk mencarikan yang terbaik buat binaannya karena
pengaruhnya nanti ke dakwah.”27

Hal senada jga diiungkapkan Irwan Waji dalam wawancaranya

dengan penulis di lapangan;

“Tidak ada AD/ART yang mengatur ini. Kita sebagai murabbi/ah


menganggap bahwa itu merupakan cara berpikir kita dalam melihat
perjuangan serta keterlibatan kita dalam organisasi ini”28

Bahkan Muhammad Taslim juga menyampaikan jawaban yang

sama dengan Dwi Sularsih dan Irwan Waji. Sebagaimana dalam

wawancaranya;

“Ini tidak ada di AD/ART, cuma pertimbangan kemaslahatan


saja.”29

Dari beberapa inisiatif para murabbi/ah sempat dulunya

memunculkan sebuah lajnah bernama tim munākahat. Namun keberadaan

lajnah tersebut sekarang sudah tidak ada lagi. Sebagaimana hasil

wawancara yang penulis lakukan di lapangan;

“Dulu memang ada lajnah munākahat di internal, tapi sekarang


sudah tidak ada, apalagi menikah itu urusan luas, apalagi saya kira
ini merupakan kebijakan global dalam jamā’ah yang adakalanya
meluas tapi bukan berubah ya, dan dituntut untuk berintraksi
dengan dunia luar secara terbuka, meskipun ajaran terbuka itu
sudah ada”30

27
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
28
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013).
29
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
30
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)

16
Dari beberapa uraian data yang disampaikan oleh para informan di

atas dapat peneliti sistematisasikan dalam benntuk tabel sebagai berikut;

Tabel 4.4: Anjuran menikah sesama kader, Aturan AD/ART atau Inisiatif
Murabbi/ah?
No Nama Informan Argumentasi

Tidak ada aturan khusus di


1 Dwi susilarsis AD/ART, melainkan inisitif
murabbi/ah
Tidak ada aturan di AD/ART yang
2 Irwan
mengatur ini
Tidak ada di AD/ART, Cuma
3 Muhammad. Taslim
pertimbangan kemaslahatan saja

c. Implikasi Pernikahan Dengan Sesama Kader dan Non Kader

Sejatinya apa yang kita lakukan termasuk buah dari sebuah tradisi

akan membawa dampak bagi pelakunya. Dalam hal ini penerapan kafā’ah

di kalangan PKS Sulsel sedikit banyak ada dampaknya terutama bagi

kader dan organisasi. Diantaranya seperti yang dijelaskan oleh Linda;

“Dampaknya sangat berpengaruh signifikan, ketika ada masalah


politik dia bisa mengkomunikasikan dengan keluarga masing-
masing, sehingga bisa kerja sama yang baik karena sama-sama
memahami tugas sebagai kader. Suara PKS memang ada
pengaruhnya cuma tidak signifikan, tapi kita harus memahami
bahwa dakwah bukan hanya sampai dalam urusan politik saja, jadi
ketika dia bisa mengkomunikasikannya dengan yang bukan kader
atau eksternal berarti dia sudah menjalankan tugasnya sebagai
kader. Dukungan suami istri sangat mempengaruhi kerja-kerjanya
di masyarakat.”31

31
Linda, wawancara (Makassar ,12 September 2013)

17
Informan seperti Dwi Sularsih yang merupakan ketua Bidang Perempuan

Dewan Pengurus Daerah (DPD) kota Makassar mengatakan kepada

peneliti bahwa pernikahan sesama kader membawa efek kesolidan. Beliau

menuturkan:

“Dampak politik bisa lebih solid, dan kita bisa kuat di keluarga
masing-masing, sehingga ketika sama-sama kader ketika ada
masalah dikepartaian tidak membutuhkan waktu untuk menjelaskan
lagi..”32

Penerapan kafā’ah di kalangan kader inti membawa dampak bagi

kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS sehingga

membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada. Seperti yang

dijelaskan oleh Muhammad Taslim:

“Dampak politiknya solid, dari segi mobilisasi itu mudah, dalam


pemenangan-pemenangan pilkada atau legislatif mereka solid,
karena satu suara. Sedangkan dalam politik kan kita butuh suara.
Yang kedua mereka solid dalam bekerja, meskipun mereka bukan
caleg misalnya tapi dia rela bekerja untuk memenangkan kader
PKS. Dan yang bisa melakukan kerja-kerja yang tampa biaya
hanya kader-kader militan seperti ini.”33

Selain membawa dampak bagi kesolidan khususnya di level


kekuatan mesin politik PKS sehingga membantu pemenangan-
pemenangan dalam pilkada, juga bisa menjadi penyemangat bagi kader,
sehingga menjadi kader yang kuat dan tangguh karena dukungan dari
pasangannya, sebagaimana yang diutarakan Ida Royani:
“semangat dakwahnya menjadi kuat karena pasangannya
mendukung aktivitasnya di PKS. Itulah mengapa kami menikahkan
kader dengan kader”34

32
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
33
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
34
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)

18
Kader inti Jumadil ketika peneliti wawancarai memberi jawaban bahwa
dampak pernikahan sesama kader atau nikah dengan di luar kader punya
efek kepada raihan suara dan produktifitas dakwah di PKS. Bagi beliau itu
sesuatu hal yang relatif.
“Kalau dikaitkan dengan suara, ini relatif ya, tidak bisa juga
dibilang kalau menikah di luar kader bisa berdampak positif,
begitupun sebaliknya menikah dengan sesama kader juga bisa
terkesan ekslusif, karena pada faktanya ada yang sesama kader jadi
produktif dakwahnya, tapi ada juga yang tidak berbuat apa-apa.”35

Dari beberapa uraian yang disampaikan oleh para informan di atas,

penulis telah berhasil sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berkut;

Tabel 4.5: Implikasi Pernikahan Dengan Kader :

No Nama Informan Implikasi

Dampak ke perolehan suara PKS


1 Linda memang ada pengaruhnya cuma
tidak signifikan
Pernikahan sesama kader membawa
2 Dwi Suliarsis
efek kesolidan,

Timbul kesolidan khususnya di


level kekuatan mesin politik PKS
3 Taslim
sehingga membantu pemenangan-
pemenangan dalam pilkada
Menikah di luar kader bisa
berdampak positif, begitupun
4 Jumadil
sebaliknya menikah dengan sesama
kader juga bisa terkesan ekslusif.
semangat dakwahnya menjadi kuat
5 Ida rohyani
karena pasangannya mendukung

35
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)

19
aktivitasnya di PKS. Itulah
mengapa kami menikahkan kader
dengan kader.

Informan seperti Dwi Sularsih mengatakan kepada peneliti bahwa

pernikahan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada

pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS.

“Seperti saya yang mempunyai binaan yang nikah bukan kader,


tentu dia harus menjelaskan lagi kepada pasangannya ketika ada
informasi yang kurang jelas karena kita juga tidak perlu menelan
mentah-mentah informasi-informasi tersebut. akan tetapi berbeda
ketika pasangan sesama kader.”36

Menurut Ida rohyani yang merupakan mantan tim munākahat kader PKS

Sulsel mempunyai jawaban sedikit berbeda dalam hal dampak pernikahan

dengan non kader. Dampak lebih dirasakan pada kalangan akhwat PKS

yang mana semangat dakwahnya berguguran karena pasangannya tidak

mendukung aktivitasnya di PKS.

“Pengalaman dilapangan ketika akhwāt menikah diluar kader,


semangatnya berguguran, alasan utamanya karena suami yang tidak
mendukung. Tapi kalau kader dengan kader itu akan saling
mendukung, itu memang tujuan awal kami kenapa menikahkan
kader dengan kader.”37

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Muhammad Taslim

yang merupakan kader inti PKS, punya pandangan kondisional tentang

pernikahan kader dengan non kader, yaitu jika konteksnya misi ekspansi

dakwah maka menikah dengan non kader merupakan salahsatu solusinya,

36
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
37
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)

20
dengan syarat non kader tersebut mempunyai suatu kreteria-kreteria dasar

dalam Islam.

“Memperkuat dakwah dalam naungan sefikrah itu memang cara


yang baik tapi tergantung konteksnya, kalau memang konteksnya
ekspansi maka ini bukan menguatkan tapi memperluas dakwah.
Bagi saya kalau konteksnya perluasan, maka menikahkan dengan
non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada
resikonya, tapi orang yang berdakwah dengan resiko tinggi
pahalanya juga besar”38

Dari beberapa uraian yang disampaikan oleh para informan di atas,

penulis telah berhasil mensistematisasikan dalam bentk tabel sebagai

berikut;

Tabel 4.6: Dampak Pernikahan Dengan Non Kader :

No Nama Informan Implikasi

Menikah dengan non kader


membuat binaannyamenjelaskan
1 Dwi Suliarsis kepada pasangannya informasi-
informasi yang tidak benar yang
menyangkut PKS
Dampak lebih dirasakan pada
kalangan akhwat PKS, jika
menikah dengan non kader,
semangat dakwahnya
berguguran karena pasangannya
2 Ida rohyani
tidak mendukung aktivitasnya di
PKS. Itulah mengapa kami
menikahkan kader dengan
kaderkader membuat binaannya
menjelaskan kepada

38
Muhammad Taslim, Wawancara ( Bone, 09 september 2013).

21
pasangannya informasi-
informasi yang tidak benar yang
menyangkut PKS
kalau memang konteksnya
ekspansi maka ini bukan
menguatkan tapi memperluas
dakwah. Bagi saya kalau
konteksnya perluasan, maka
3 Muhammad Taslim menikahkan dengan non kader
merupakan salah satu cara yang
baik, meskipun ada resikonya,
tapi orang yang berdakwah
dengan resiko tinggi pahalanya
juga besar

22
BAB V

ANALISIS DATA

MEMAHAMI MAKNA DAN PENERAPAN KAFA’AH DALAM


PERSPEKTIF KADER PKS

A. Makna Kafā`ah Menurut Kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel

Berdasar hasil penelitian dari bab sebelumnya, Makna kafā`ah bagi kader

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa

asumsi mereka tentang makna kafā’ah terdapat empat macam, yaitu Agama

sebagai kriteria kafā’ah, Ekonomi dan background keluarga sebagai kriteria

kafā’ah, Pendidikan sebagai kriteria kafā’ah dan Tarbiyah sebagai kriteria

kafā’ah.

1. Agama Sebagai Kriteria Kafā’ah

Sebagaimana yang penulis ungkapkan di muka, bahwa makna kafā’ah

menurut Wahbah al-Zuhailiy merupakan kesetaraan dalam perkawinan di

antara suami- istri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara-

perkara yang khusus. Adapun maksud dari perkara-perkara yang khusus

dalam perspektif Mazhab Maliki dalam pengertian yang diungkapkan oleh

Wahbah al-Zuhaily tersebut merupakan kesetaraan dalam agama dan haal

yaitu keselamatan dari cacat/aib yang membuatnya memiliki pilihan.

Sementara menurut mayoritas Fuqaha kafaah dimaknai sebagai kesetaraan

agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Selain ketentuan di atas, mazhab

1
Hanafi dan mazhab Hambali menambahkan makna kesetaraan sebagai

kemakmuran dari segi harta.1

Pada aras yang sama, Muhammad Taslim sebagai sekertaris Majelis

pertimbangan wilayah DPW PKS Sulsel memaknai kafā’ah pada pengertian

kesetaraan agama. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang menganjurkan

untuk memprioritaskan agama sebagai titik tolak dalam memilih pasangan.

Rasulullah memposisikan tipikal ini sebagai tipikal utama dalam pemilihan

pasangan. Hal ini karena faktor agama merupakan faktor yang penting.

Dalam hadis juga disebutkan dalil kafā`ah dalam beberapa kriteria, yang

hendaknya diperhatikan menjelang perkawinan. Hadis tersebut berbunyi:

‫ِّساءُ ِِل َْربَ ٍع لِ َم ِاِلَا َو ِِلَ َسبِ َها‬ َّ ِ َّ َّ َ ‫َِّب‬


َ ‫صلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم قَ َال تُْن َك ُح الن‬ ِّ ِ‫َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َع ْن الن‬
ِ ِ ِِ ِ
)‫ت يَ َ اك (رواه أبو داود‬ ْ َ‫َو َِ َماِلَا َول ين َها َااْ َ ْر بِ َذات ال ِّي ِن تَ ِرب‬
2

Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: wanita dinikahi karena empat,
yaitu harta,nasab, kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat
kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia. (HR. Abu Dāwud)

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan

menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara

yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun

Nabi Muhammad SAW, sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan

pertimbangan dalam memilih pasangan. didasarkan pada penekanan sabdanya

1
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus : Dār al-fikr, 1985), hlm 229.
2
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 5, hlm. 426, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28

2
: ”fadzfar bidzāti al-dīn”( Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka

kamu akan berbahagia).

Faktor kesetaraan agama merupakan faktor yang unggul dan utama dalam

pemilihan pasangan, melebihi faktor lainnya. Karena perempuan yang

berkualitas secara keagamaan, meski kurang cantik secara fisik, agama

merupakan hal yang patut dan perlu untuk dipertimbangkan.3

Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama fiqih mempunyai perspektif

tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang dari perbuatan

keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-hukum agama. Agama

dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketidak fasikan. Dalam hal ini ulama

sepakat bahwa seorang laki-laki yang fasiq tidak sekufu’ dengan perempuan

yang shalihah. Rasulullah Muhammad SAW. bersabda :

‫إِذَا َجاءَ ُك ْم َم ْن‬ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫قَ َال رس‬: ‫اِت الْمزِِنِّ قَ َال‬ ِ
َ ‫ول اللَّو‬ َُ َ ُ ٍ ‫َع ْن أَِِب َح‬
‫ول‬َ ‫اد قَالُوا يَا َر ُس‬
ٌ ‫ض َوَ َس‬ ِ ‫ض ْو َن ِدينَوُ َو ُخلَُقوُ َأَنْ ِك ُحوهُ إََِّّل تَ ْ َعلُوا تَ ُك ْن ِْت نَةٌ ِِف ْاِل َْر‬
َ ‫تَ ْر‬
ٍ ‫ث مَّر‬ ِ ِ ِِ ِ
.‫ات‬ َ َ ََ ُ‫ض ْو َن دينَوُ َو ُخلَُقوُ َأَنْك ُحوه‬ َ ‫اللَّو َوإِ ْن َكا َن يو قَ َال إِ َذا َجاءَ ُك ْم َم ْن تَ ْر‬
4
)‫(رواه الرتميذي‬
”Dari Abu Hātim al-Muzani berkata; berkata Rasulullah SAW:Jika
datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka
kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian aka terjadi fitnah dan
kerusakan di atas bumi”, sahabatnya bertanya, ”ya Rasulullah, apabila di
atas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan ?” jawab beliau, ”Jika dating
kepada kamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, hendaknya
kawinkan ia” (Jawaban Rasulullah ini diulang sebanyak 3
kali)”.(HR.Tirmīdzi)

3
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga.., hlm. 41-48.
4
Tirmidzi, Al-Jami’ As-Sahih Juz 3, h. 395

3
Hadits di atas memberikan signal kuat kepada para wali agar

mengawinkan perempuan-perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang

beragama dan berakhlak. Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan laki-

laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang berkedudukan tinggi

atau keturunan mulia atau yang berharta, maka dapat menimbulkan fitnah dan

kerusakan bagi perempuan tersebut dan walinya.

Masih menurut Muhammad Taslim Ayah dari keempat anak ini, bahwa

kriteria agama dalam kafā’ah bukan untuk mencari seorang istri saja tapi

berlaku juga pada seorang wanita yang akan mencari calon suami. Apa yang

dikonstruksikan oleh Taslim merupakan model dari pola kafā’ah yang ideal

yang penulis wawancarai.

2. Ekonomi dan Background Keluarga Sebagai Kriteria kafā’ah

Dalam persoalan kafā’ah, Linda memberi kriteria terkait dengan aspek

ekonomi. Boleh jadi aspek kesetaraan ekonomi dalam perspektif Linda

bertujuan untuk kebaikan si calon istri dan anaknya di masa depan. Hal

tersebut tentunya dilatar belakangi oleh biaya pernikahan yang cukup tinggi di

Sulsel. Seperti untuk melangsungkan lamaran, upacara pernikahan dan resepsi

sedikitnya diperlukan biaya 50 juta hingga 100 juta. Hal ini sudah menjadi

standarisasi yang sudah mentradisi yang memang sudah mengakar kuat dalam

sistem prilaku masyarakat Sulsel, sehingga PKS sendiri sebagai pengamat

gerakan islam sekaligus sebagai gerakan revival tidak berdaya untuk merubah

tradisi tersebut. Karena dalam konsepsi kader PKS Al ‘ādatu Muhakkamatun

4
merupakan sebuah kewajaran dalam hukum Islam dan sangat ditoleran dalam

pelaksanaanya .

Konsepsi kafa’ah ekonomi yang diutarakan oleh Linda menurut penulis

mempunyai bentuk kesamaan perspektif dengan mazhab Hanafiyah dan

Hanabilah yang mengharuskan keberadaan harta sebagai tolak ukur kafa’ah

dalam sebuah perkawinan. Dalam perspektif ke dua mazhab tersebut harta

merupakan kemampuan seseorang (calon suami) untuk memberikan mahar dan

nafkah kepada isterinya. Sehingga dalam perspektif mereka harta merupakan

hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga dan eksistensinya menjadi

sebuah condititio sinequonon untuk dimasukkan dalam kriteria kafā’ah‘. Hal

tersebut Berdasarkan hadits Nabi SAW. :

‫اب أ َْى ِل ال ُّنْيَا‬


َ ‫َح َس‬ َّ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬
ْ ‫إن أ‬
ِ ُ ‫عن ب ري َ ةَ عن أَبِ ِيو قَ َال قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ ْ َ ْ َُ
5
) ‫(رواه أمج‬. ‫ال‬ ُ ‫الَّ ِذي يَ ْذ َىبُو َن إِلَْي ِو َى َذا الْ َم‬
”Dari Buraīdah dari ayahnya berkata: berkata Rasulullah SAW
Sesungguhnya kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang
mempunyai harta”. (HR. Ahmad).

Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd yang mengutip pendapat Ulama

Hanafiyah dan Hanābilah mengatakan bahwa yang dianggap sekufu’ adalah

apabila seorang laki-laki sanggup membayar mahar dan nafkah kepada

isterinya. Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau salah satu

diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu’.6 Sehingga perkawinanya

5
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, h. 423
6
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid , hlm. 34

5
harus direeksaminasi dengan tujuan supaya ada kesakinahan antara mereka

berdua dalam rumah tanggahnya.

Pada aras yang lain, ulama Mālikiyah dan sebagian ulama Syāfi’iyyah

menentang penggolongan harta dalam kriteria kafā’ah. Menurut mereka harta

merupakan sesuatu yang bisa hilang. Menurut Wahbah al-Zuhaily pendapat

inilah yang paling benar dengan alasan bahwa, memasukkan harta dalam

ukuran kafā’ah sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam untuk tidak

berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.7

Atau dalam perspektif mikro, Aspek kafa’ah ekonomi sebagaimana yang

diutarakan oleh Linda merupakan salahsatu kriteria kafā’ah seperti yang

diperspektifkan oleh para Fuqaha yaitu adanya pekerjaan bagi suami, Yang

mana maksud dari term pekerjaan tersebut merupakan adanya mata

pencaharian yang dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga.8

Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati

pekerjaan keluarga keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah,

penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga

perempuan sesuai dengan adat yang berlaku. Menanggapi permasalahan ini

golongan Mālikiyyah berpendapat tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan,

semua itu dapat berubah sesuai dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi

ulama Mālikiyyah tidak dimasukkan dalam kriteria kafā’ah.9

Menurut Wahbah al-Zuhaily, kafā’ah juga bisa dipahami dengan kafā’ah

seacara basic-background profesinya. latar belakang profesinya dijadikan


7
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246.
8
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. 846
9
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246-247.

6
landasan kafā’ah. Untuk mengklasifikasikan yang dimaksud pekerjaan dalam

hal ini adalah tradisi. Nilai sebuah pekerjaan akan berbeda dengan berbeda

tempat dan waktu. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu waktu akan

tetapi bisa menjadi mulia di waktu yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah

profesi dipandang hina disebuah negeri dan dipandang tinggi di negeri yang

lain.10

Apa yang menjadi perspektif ulama fiqih di atas sangat selaras dengan

pendapat kader PKS di Sulsel. Hal itu sebagaimana yang peneliti amati di

lapangan bahwa seorang murabbi/ah/ (Pembina) akan mempertimbangkan

pekerjaan atau profesi binaannya dalam memilihkan pasangan, dari daftar

riwayat hidup yang berisi kreteria pasangan yang diidamkan. Sebagai contoh

ketika binaan yang akan dipilihkan pasangan profesinya adalah dokter, maka

tugas murabbi/ahnya memilihkan yang yang tidak jauh dari profesi tersebut.

Sehingga apa yang diinginkan untuk membentuk keluarga dakwah yang

sakinah bisa terwujud. akan tetapi perlu diketahui bahwa pemilihan pasangan

yang seprofesi oleh kader PKS sesuatu yang sifatnya pengarahan saja, sehingga

memungkinkan kader PKS yang tidak seprofesi bisa saja dipasangkan, jika

tujuan perkawinan itu bisa terwujud.

3. Pendidikan Sebagai Kriteria Kafā’ah

Ida Royani yang merupakan anggota kaderisasi Dewan Pengurus Daerah

PKS kota Makassar menyertakan aspek pendidikan dalam kriteria kafā’ah.

Peneliti menduga, kriteria dari ibu Ida royani dikarenakan binaannya yang di

10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.

7
dalam liqo yang sebagian besar berasal dari kalangan berpendidikan.

Pendidikan di era modern ini merupakan suatu tolak ukur dalam perkawinan

yang tidak bisa dihindari di tengah kebutuhan akan pendidikan yang begitu

tinggi. Sehingga alasan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kafā’ah

merupakan sebuah kewajaran kultural. Karena kultur masyarakat makassar

merupakan kultur pendidikan.

4. Tarbiyah Sebagai kriteria Kafā’ah

Ibu Dwi Susilarsi sebagai kader PKS militan, memberikan pemakanaanya

tentang konsepsi kafā’ah dengan kesetaraan secara ideologis-manhajiyah.

Dalam perspektifnya kafā’ah ideologis-manhajiyyah merupakan adanya

kesefahaman dalam manhaj Tarbiyah. Adapun yang dimaksud manhaj

tarbiyah yang dimaksud oleh Dwi Susilarsi sebagaimana terimplementasikan

dalam bentuk pengajian pekanan atau liqo yang dilakukan oleh PKS. Masih

dalam perspektifnya bahwa apabila orang tua pada masa kini umumnya

memandang status pekerjaan dalam memilih calon pendamping bagi anak

perempuannya, maka ibu Dwi memberi semacam kemudahan dengan tidak

mengacu pada status kemapanan dalam profesi si calon suami. Akan tetapi bila

melihat jawabannya ini, peneliti menyimpulkan jika tarbiyah dipakai sebagai

kriteria, maka Dwi memiliki kecenderungan untuk memilihkan kader

binaannya dalam liqo untuk menikah dengan kader..

Dari ketiga kader inti PKS yang peneliti wawancarai tersebut, menurut

pengamatan peneliti mereka mempunyai kesamaan cara pandang bahwa aspek

kafa’ah tarbiyah maupun se-fikrah merupakan prioritas utama. Dan tak

8
ketinggalan juga latar belakang keluarga menjadi kriteria selanjutnya dalam

tolak ukur kafa’ah.

B. Penerapan Kafā`ah Perspektif Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel

1. Pernikahan Dengan Kader (se-fikrah)

Dari berbagai konsepsi yang dikemukakan oleh para informan di atas,


pada aras yang lain peneliti menemukan sebagian informan seperti R. Irwan
Waji yang merupakan Ketua Kaderisasi DPD PKS kota Makasar, begitupun
dengan Jumadil dan Susy Smita memandang kader yang menikah dengan
sesama kader punya tujuan penting bagi PKS yakni misi dakwah. Dakwah
yang dimaksud PKS adalah dakwah rabbaniyah yang rahmatan lil’alamin,
yaitu dakwah yang membimbing manusia mengenal tuhannya dan dakwah
yang ditujukan kepada seluruh umat manusia dengan landasan-landasan
ideologis seperti as-syumuliyah, reformatif (al-islah), konsisten hingga
berorientasi masa depan.11

Dari sini peneliti pahami bahwa dalam membentuk bangunan keluarga


yang tentunya sakinah mawaddah wa rahmah, PKS inginnya membentuk
keluarga sebagai tim dakwah. Selain itu bermanfaat juga untuk pengokohan
organisasi. Seorang kader yang aktif di agenda-agenda atau kegiatan partai
butuh dukungan dan pengertian dari pasangannya. Pasangan yang tepat dalam
hal ini adalah kader PKS juga.

Pernikahan sesama kader ini tujuan lainnya adalah terbentuknya

Masyarakat Islami. Masyarakat islami ini dibutuhkan untuk menggapai misi

mihwar dauly yang merupakan bagian dari 4 orbit dakwah yang kini dijalankan

11
Lihat buku Manhaj tarbiyah 1433 H hal 37

9
PKS di Indonesia.12 Peneliti belum mengetahui apakah masyarakat Islami ini

ujung-unjungnya mengarah ke pembentukan negara islam atau tidak.

Pernikahan sesama kader tidak lepas dari peran para murabbi/ah. Peran

murabbi/ah dominan ketika awal pembentukan Partai keadilan (PK). Berarti

pada masa-masa tersebut kondisinya masih eksklusif. Bagi partai, di masa PK

terbentuk butuh pengokohan internal partai dimana jalan pintasnya dengan

pernikahan sesama kader. Informan seperti Jumadil pun berargumen kalau di

internal PKS masih banyak kader yang lebih baik buat apa mencari non kader.

Peneliti cukup paham atas jawaban Jumadil karena pengalaman beliau yang

menyerahkan sepenuhnya kepada Murabbinya ketika dulu menikah dengan

istrinya. Jadi adakalanya seorang murabbi/ah mengarahkan seorang binaannya

supaya menikah dengan sesama kader juga dipengaruhi oleh pengalaman

pribadinya.

Pernikahan se-fikrah dalam internal kader PKS menurut Muhammad

Taslim bisa dikondisikan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihanya.

Muhammad Taslim memiliki dua sudut pandang terkait pernikahan sesama

kader Pertama: memperkuat misi dakwah atau pengokohan, jadi ketika ada

binaan laki-laki yang siap menikah akan dicarikan akhwat yang sudah terbina,

seperti halnya batu bata yang sudah disiapkan dan hanya tinggal menata saja.

Yaitu kader-kader yang sudah dibekali ilmu keagamaan dalam bingkai

tarbiyahnya sudah ada, hanya tinggal menata untuk membangun mahligai

rumah tangga. Jadi konsep ajarannya adalah ketika berumahtangga dibangun


12
Tentang orbit dakwah PKS. Lihat MPP PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah
dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, (Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat Partai
Keadilan Sejahtera, 2008), hal 35

10
dengan visi dan misi yang sama maka keluarga yang diidam-idamkan yaitu

sakinah, mawaddah, warahmah akan lebih cepat terwujud. Lebih khusus lagi

adalah semangat dakwah yang tidak luntur karena motivasi dari pasangan

hidup yang sama. Kedua: misi ekspansi dakwah. Menikah dengan non kader

dengan syarat punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam.

Kembali kepada pernikahan sesama kader, kebiasaan seperti ini bukanlah

dari AD/ART partai, melainkan inisiatif dari para murabbi/ah dengan

pertimbangan maslahat. Maslahat-nya peneliti tafsirkan lebih kepada kader

dan struktur partai. Bagi kader maslahat-nya pada kelancaran dalam mengikuti

agenda-agenda partai, sedangkan untuk partai sendiri sisi maslahat-nya pada

kesolidan. Inisiatif dari para murabbi/ah di PKS Sulsel sempat memunculkan

sebuah lajnah bernama tim munākahat. Namun keberadaan lajnah tersebut

sekarang sudah tidak ada lagi. menurut Ida Royani untuk saat ini diserahkan

kepada murabbi/ah masing-masing kader.

Keberadaan lajnah atau semacam lembaga yang fungsinya sebagai wadah

bagi para murabbi/ah untuk menikahkan dengan sesama kader disetiap daerah

punya aneka macam nama. Seperti di PKS piyungan, Jogjakarta yang terdapat

Badan kordinasi keluarga Bahagia Sejahtera (BKKBS)13 dan di Malang

bernama unit keluarga sejahtera (UKS).

Dari penelusuran dilapangan peneliti temukan proses model perjodohan

sesama kader ini dimulai dengan memasukkan daftar riwayat hidup ke lembaga

tersebut. Selanjutnya akan dicarikan yang cocok dengan kriteria yang

13
Habib Nanang, Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul (UIN Jogjakarta, 2007)

11
diidamkan. Proses berikutnya adalah mempertemukan kedua belah pihak untuk

ta’aruf. Ta’aruf yang dimaksud adalah mempertemukan dua kader tersebut

dengan ditemani oleh murabbi atau orang yang dipercaya. Setelah ta’aruf yang

memakan waktu paling lama sebulan, dilangsungkan pernikahan.

Dalam internal kader PKS diketahui bahwa mereka memiliki jenjang

keanggotaan yang berbeda, yang perlu dicermati adalah pertimbangan

murabbi/ah dalam pemilihan pasangan untuk binaannya, selain pertimbangan

se-fikrah ada juga pertimbangan jenjang keanggotaan. Menurut Bab III Pasal 5

Anggaran Rumah Tangga PKS, partai ini memiliki enam jenjang keanggotaan,

yang terbagi ke dalam dua jenis keanggotaan, yaitu Anggota Pendukung dan

Anggota Inti. Anggota Pendukung terdiri dari Anggota Pemula (Tamhidi) dan

Anggota Muda (Muayyid). Sedangkan Anggota Inti terdiri dari Anggota Madya

(Muntasib), Anggota Dewasa (Muntazhim), Anggota Ahli (’Amil), dan

Anggota Purna (Mutakhasis).

Menurut Linda ketika ada akhwāt atau kader wanita yang sudah siap untuk

dilamar maka seorang murabbi/ah akan memberikan pertimbangan dengan

mengusahakan akhwāt tersebut menikah dengan ikhwan yang selevel

dengannya dalam perkaderan atau di atas jenjang akhwāt tersebut. Jika tidak

ada, maka murabbiah akan mengarahkan kepada ikhwan yang selevel

keanggotaannya pada jenjang anggota Muda (Muayyid).14

14
Linda, wawancara (via telepon 19 Maret 2014)

12
2. Pernikahan Dengan Non Kader

Dalam tahap ekspansi dakwah, peran murabbi/ah tidak lagi dominan.

Kader tidak harus menikah dengan sesama kader. Berarti para murabbi/ah ini

dalam perjalanan waktu telah mengalami sebuah “pergeseran” yang

dipengaruhi faktor eksternal seperti era keterbukaan dan semakin banyaknya

orang yang bergabung dengan PKS.

Di tahap ekspansi dakwah, menikah dengan non kader tidak masalah

dengan syarat dia hanif15dan tidak melarang pasangannya untuk mengikuti

kegiatan-kegiatan kepartaian seperti yang dijelaskan Ida royani sebagai mantan

devisi munakahat kader PKS Sulsel.

Dalam sudut pandang yang lain, Aco yang merupakan salah satu kader

ormas Islam yang bukan dari internal partai PKS yang menikah dengan akhwāt

kader PKS, bahwa walaupun secara pemahaman agama dia dan istrinya ada

sedikit benturan, akan tetapi dia selalu memahami bahwa inilah konskuensi

yang harus dihadapinya ketika menikah dengan kader PKS, yaitu tidak

menghambat atau melarang istrinya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan

kepartaian.16

Menikah dengan non kader jika konteksnya untuk ekspansi dakwah;

peneliti anggap ini merupakan pilihan rasional. Khususnya untuk menambah

perolehan suara maupun mengenalkan profil partai kepada keluarga dari

pasangan yang non kader PKS. Jika menikah dengan kader saja, maka partai

ini akan stagnan perkembangannya.

15
Maksud dari hanif menurut kader PKS adalah adanya kecendrungan pada kebaikan.
16
Aco , wawancara (Makassar, mesjid bait al-afiat, 12 desember 2013)

13
Aspek interest lain yang peneliti temukan dari konstruksi kafā’ah di kader

inti PKS Sulsel ini apabila ada binaannya yang menikah dengan non kader,

tetap harus dikonsultasikan dengan para murabbi/ah. Murabbi/ah fungsinya di

partai sebagai guru sekaligus orang tua. Boleh jadi murabbi/ah memberikan

pandangan-pandangan maupun motivasi untuk binaannya yang sudah mantap

memilih pasangan yang non kader. Selain itu, kader yang menikah dengan non

kader tidak ada sanksi maupun perlakuan khusus dari partai karena itu hak

pribadi.

3. Implikasi Pernikahan Dengan Kader dan Non Kader

Penerapan kafā’ah di kalangan PKS Sulsel sedikit banyak ada dampaknya

terutama bagi kader dan organisasi. Khusus kader terdapat dua dampak baik

positif maupun negatif. Positifnya jika menikah dengan sesama kader, tidak

akan terjadi salah paham maupun kendala ketika pasangannya aktif di kegiatan

PKS. Sisi negatifnya itu, pernikahan sesama kader kesannya bagi orang luar

PKS adalah ekslusif dan itu bertentangan dengan slogan keterbukaan partai

yang lama dideklarasikan sejak Mukernas Bali pada tahun 2008.

Pernikahan dengan non kader juga punya sisi positifnya yaitu pertambahan

raihan suara dan sekaligus untuk menjelaskan kepada pasangannya informasi-

informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS. Informasi yang dipandang

kurang akurat sering kali datang dari media mainstream yang kebanyakan

dimiliki petinggi Parpol. Sehingga konten beritanya menyudutkan dan tidak

berimbang. Sisi negatifnya menikah dengan non kader lebih dirasakan pada

kader perempuan. Resikonya setelah berumah tangga dengan non kader ada

14
dua: tidak boleh aktif di dalam kegiatan partai dan yang paling parah adalah

berpindah ke lain organisasi. Ini biasanya terjadi pada kader perempuan yang

menikah dengan kader organisasi Islam lain, seperti organisasi HTI.

Sebagaimana diketahui publik, di kehidupan sehari-hari, dua organisasi ini

bersaing keras dalam melebarkan pengaruhnya khususnya di kampus.

Bagi organisasi, penerapan kafā’ah di kalangan kader inti membawa

dampak bagi kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS

sehingga membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada. Dalam

mengarungi kancah perpolitikan nasonal, PKS sangat mengandalkan kekuatan

kadernya. Sebagai contoh sewaktu peneliti menyaksikan pilwali di Makassar,

kader-kader sangat militan dalam mempromosikan kandidat dari PKS baik

door to door maupun melalui bakti sosial berupa pengobatan gratis.

Sebelum pemilu 2014 para kader PKS gencar melakukan sosialisasi caleg

yang diusung oleh partai, seperti yang peneliti temukan di lapangan yaitu

adanya kegiatan yang biasa mereka sebut Direct Selling, silaturahmi ke rumah-

rumah warga untuk mengenalkan caleg PKS. Dalam aplikasinya kegiatan ini

juga melibatkan akhwāt- akhwāt atau kader wanita yang sudah menikah,

dengan tantangan yang begitu besar untuk merealisasikan kegiatan ini, yang

kadang menyita waktu. Tentu ketika akhwāt yang sudah menikah tersebut,

mendapatkan persetujuan, bahkan motivasi dari suami. Ini menjadi mudah

karena suami pun mempunyai visi dan misi yang sama atau se-fikrah.

Selain itu ketika kampanye terbuka di Stadion Gelora Bung Karno pada

16 Maret 2014, PKS mampu memadati stadion tersebut dengan bermodalkan

15
militansi para kadernya. Berbeda dengan partai lain yang tidak sanggup

mendatangkan ratusan ribuan kadernya untuk memadati stadion tersebut

16
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang peneliti lakukan tentang

implementasi konsep kafā’ah di kalangan kader inti PKS Sulsel. Maka peneliti

menyajikan dua kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Yang akan

penulis uraikan sebagai berikut:

1. Makna kafā’ah dalam perspektif Kader inti PKS dapat dilihat dari sekufu’

tidaknya seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada

kondisi ekonomi serta latar belakang keluarga, aspek pendidikan dan

pemahamannya terhadap tarbiyah. Tarbiyah yang dimaksud adalah manhaj

tarbiyah yang dimiliki PKS. Manhaj tarbiyah ini terimplementasikan dalam

bentuk pengajian pekanan/liqa’ beserta kurikulumnya.

2. Adapun Penerapan kafā’ah dalam perspektif kader PKS Sulsel pada awal

sejarah berdirinya memang ditandai dengan kafā’ah sesama kader tarbiyah.

Pernikahan sesama kader ini tujuannya demi keberlangsungan misi

dakwah, pengokohan organisasi dan langkah awal untuk mencapai

masyarakat islami. Akan tetapi ditemukan pula kader yang menikah dengan

non kader PKS. Hal tersebut tidak menjadi masalah jika ada kader yang

menikah dengan non kader. Dengan ketentuan tidak menghalangi

pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Pernikahan sesama

kader membawa dampak positif berupa soliditas partai, khususnya di level

1
kekuatan mesin politik PKS sehingga dapat membantu pemenangan-

pemenangan dalam pilkada, sedangkan dengan non kader membuat

binaannya menjelaskan kepada pasangannya informasi-informasi yang

tidak benar yang menyangkut PKS. Sisi negatifnya menikah dengan non

kader lebih dirasakan pada kader perempuan. Resikonya setelah berumah

tangga dengan non kader ada dua: pertama: tidak boleh aktif di dalam

kegiatan partai dan yang kedua berpindah ke organisasi Islam yang lain.

B. Refleksi Teoritis

Dalam sebuah kajian akademis, dinamika tesis anti tesis merupakan sebuah

kewajaran akademis yang tidak bisa dihindari. Sehingga dalam penelitian ini

perlu penulis sampaikan terkait refleksi teoritis konsepsi kafā’ah kader PKS

Sulsel dalam memaknai dan penerapanya. Hal ini penulis lakukan dalam

rangka memperkuat tesis kader inti PKS tentang kafā’ah bahkan meng-anti

tesis konsepsi tersebut

Adapun implikasi teoritis dari beberapa temuan penelitian yang penulis

uraikan di Bab lima, adalah sebagai berikut:

Pertama: temuan dalam penelitian ini memperkuat anggapan tentang konsepsi

kafā’ah kader PKS yang mengharuskan satu fikrah-tarbiyah. Sebab

sebagaimana yang penulis paparkan dalam analisis penelitian tesis ini, bahwa

hampir semua informan sepakat tentang konsepsi kafaah se-fikrah seperti yang

sudah banyak terjadi pada kader partai mereka. Adapun argumentasi yang

mereka bangun dalam mentradisikan kafā’ah se-fikrah-tarbiyah adalah untuk

2
masifitas dakwah mereka dalam rekruitmen kader dan soliditas kelompok

mereka.

Kedua: Pada aras yang lain, temuan dalam tesis ini juga berimplikasi teoritis

untuk mendekonstruksi ketentuan kafā’ah yang selama ini seolah-olah

diskaralkan dalam partai PKS. Akan tetapi setelah terjadi transformasi ideologi

partai PKS menjadi partai terbuka, maka kafā’ah yang menjadi konsepsi

pakem para elit kader PKS, sekarang konsepsi tersebut menjadi sesuatu yang

profan untuk dilakukan oleh para kader PKS. Hal ini sebagaimana temuan

penulis di lapangan bahwa dari beberapa informan banyak informan yang

berargumentasi bahwa kafā’ah se-fikrah menjadi alasan nomer dua setelah

adanya kafā’ah dalam persoalan agama, ekonomi, pendidikan dan backround

keluarga.

Ketiga: Dari segi implementasinya, konsepsi kafā’ah di PKS tidak diatur

secara organisatoris sebagaimana di kalangan Ahmadiyah. Bahkan seorang

kader yang menikah dengan non kader pun tidak akan mendapat sanksi sosial

seperti pada komunitas Arab. Akan tetapi ketika kader menikah dengan non

kader PKS, diberlakukan syarat asalkan tidak melarang pasangannya ikut

kegiatan-kegiatannya PKS. Dari sini bisa dikatakan kader PKS Sulsel

menerapkan “kafā’ah bersyarat”. Kafā’ah bersyarat ini membawa dampak

terhadap kesolidan dan raihan suara partai.

C. Rekomendasi Penelitian

1. Dari hasil penelitian ini diharapkan para Pembina di DPW PKS Sulsel

untuk mendorong binaannya khususnya (kader laki-laki) untuk menikah

3
dengan non kader. Karena dalam penelitian ini terbukti pernikahan dengan

non kader punya sisi positif untuk raihan suara partai dan pemenuhan

ambisi partai untuk menggapai posisi 3 besar di pemilu legislatif 2014.

2. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan bahwa Pengurus DPW PKS

seyogyanya berani mendekonstruksi tradisi kafā’ah secara ekonomi di

Makassar yang menelan biaya tinggi. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh

Nabi Muhammad SAW.

4
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān al-Karīm

Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, 2003. al-Ahwal al-Syakhshiyah fi al-


Syariat al-Islamiyah, Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyah

AD/ART PKS yang direvisi pasca Munas II di Jakarta pada Mei 2011

AD/ART PKS yang disahkan Musyawarah Majelis Syura III pada 26 November
2005

Al-Hasbi, M. Baqir,. 2005.Fiqih Praktis, Bandung: Mizan

Al-Jaziri, Abdur Rahman, 1999. Kitab Al-Fiqh ’Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah,


Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Al-Sarakhsyi, Syamsuddin, 1989. Kitab al-Mabsut Lebanon: Dar al-Ma’rifah

Al-Sarkhasyi, Syamsuddin, 1989. Kitab al-Mabsut. Lebanon: Dar al-Ma’rifah

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisi


Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta

As-Subki, Ali yusuf, 2010. Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,
judul asli Nidzam Al-Usrah Fi Al-Islam, alih bahasa Nur Khozin Jakarta:
Amzah

David Pearl, 1987. A Text Book on Muslim Personal Law, edisi II London: Croom
Helm

Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta; Balai Pustaka.

Edward, Djoni, 2007 Efek Bola Salju PKS, Bandung: Harakatuna,

Ghazaly, Abd. Rahman, 2006. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana

1
Hermawan. Sulhani, Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan
Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif
Dan Historis Kontekstual Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah, Surakarta;
STAIN Surakarta

M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data
Analysis, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi,Jakarta: UI-
Press, 1992

Malik, Abi, 1996. Bada’i’ al-Shana’i’ fi Tartib al-Syara’i’, Beirut: Dar al-Fikr

Mandzūr, Ibnu,Tt. Lisānul ‘arab, Dār al-ma’ārif

Manhaj Tarbiyah 1433 H (Jakarta: Lembaga kajian manhaj tarbiyah)

Marzuki, 2002, Metodologi Riset Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama

Matta, Anis, 2007. Integrasi Politik dan Dakwah, Jakarta: Arah Press

Matta, Anis. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Jakarta: Fitrah Rabbani

Moleong, Lexy, 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

MPP PKS, 2008. Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah dasar dan


Platform Kebijakan Pembangunan PKS, Jakarta: Majelis Pertimbangan
Pusat Partai Keadilan Sejahtera

Muhammad ‘Uwaidlah, Kamil Muhammad, 1992. al-Imam Abu Hanifah Nu’man


bin Tsabit al Tamimi al-Kufi Faqih Ahl al-‘Iraq wa Imam Ashhab al-
Ra’y, cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah

Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihāyah al-
Muqtashid ,Jilid II (Bairūt: Dār al-Jail, 1989)

Muhtadi, Burhanuddin.2012. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta, Indonesia:


Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Munandar, Arief, 2011. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus
Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia
Pasca Pemilu 2004, desertasi, Depok Universitas Indonesia

2
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, 2002, Proposal Penelitian di Perguruan
Tinggi Bandung: Sinar Baru Algasindo

Nanang, Habib, 2007. Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di


Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, UIN Jogjakarta

Paramadina, Putri, 2010. Kafa'ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab Al-
Habsyi Di Kabupaten Pemalang, Semarang: IAIN Walisongo

Rahmat, M. Imdadun, 2009. Ideologi Politik PKS. Yogyakarta:LKiS

Rizal, Faisol, 2012. Dengan judul Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga


Pesantren: Studi Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang.
Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyah Progam Pascasarjana UIN
Malang

Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi’i, Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li Al-


Muslimin Fi Al-Gharbi. Beirut; Dar Ibn Hazm.

Sapto Waluyo, 2005. Kebangkitan politik Dakwah, Bandung: Syamil

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2000, kairo: dār al-Fath

Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Liberty

Syarifudin, Amir, 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqh


Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana

Tim Departemen Kaderisasi PKS, 2003. Manejemen tarbiyah bagi Anggota


Pemula, Bandung: Syaamil

Wahbah al-Zuhaili, 1985, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus : Dār al-fikr

Zaidi, Nur Hasan (ed), 2007. Mereka Bicara PKS, Bandung: Fitrah Rabanni

Zulhamdani, 2010. Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Ahmadiyah Qodian dan


Lahore Perspektif Ulama Syafi’iyyah. UIN Jogjakarta

Elektronik

Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud,, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28

3
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28

Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 7, hlm. 388, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28

Internet
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/078460485/.

republika.co.id edisi 4 Februari 2013.

detik.com, edisi 4 Februari 2013

republika.co.id edisi Senin 6 Mei 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera

Anda mungkin juga menyukai