Anda di halaman 1dari 12

KEARIFAN LOKAL

ROTI BUAYA

Nama Kelompok

1.Fauzan Ferdiansyah (10672)

2.Khoerul Fikri (10679)

3.Muhammad Rizal Maulana (10682)

SMKN 36 JAKARTA

Jl.Kali Baru Timur.III,Kali Baru,Kec Cilincing.Kota Jakarta Utara.Daerah Khusus

Ibukota Jakarta 14110

TAHUN AJARAN 2022/2023

Kata Pengantar
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang
Maha PemurahAllah SWT, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat
saya selesaikan sesuai yangdiharapkan. Dalam makalah ini saya membahas
“Roti Buaya Sebagai Simbol PernikahanAdat Betawi”, suatu kebudayaan
yang selalu dialami bagi setiap masyarakat Betawi padasaat melangsungkan
resepsi pernikahaan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman kebudayaan
yang ada di indonesia khususnya kebudayaan Betawi terutama keberadaan
r o t i   b u a y a   s e b a g a i s i m b o l   a d a t   p e r ni k a h a n   k e b u d a y a a n   B e t a w i .  
R a s a   t er i m a   k a s i h   s a y a   p e r s e m b a h k a n kepada kedua orang tua saya
yang senanitasa memberikan dukungan dan doanya untuk saya yang
tidak pernah putus, keluarga yang memberikan motivasi, dosen dan guru-
guruyang memberikan ilmu dan pengetahuannya serta teman-teman yang telah
membantu.Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat

Jakarta,24 Oktober 2022

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................ i 


Kata Pengantar ........................................................................................................ ii
Daftar Isi.................................................................................................................... iii 
BAB PENDAHULUAN........................................................................................... 4 
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….. 4
B. Tujuan Penulisan………………………………………………………... 5
C. Perumusan Masalah……………………………………………………... 5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 6
A. Sekilas Tentang Betawi ………………………………………………… 6
1.1 Bahasa Betawi ………………………………………………… 7
1.2 Seni dan Kebudayaan Betawi ………………………………… 7
1.3 Profesi dan Perilaku serta Sifat Masyarakat Betawi ………….. 8
B. Roti Buaya Sebagai Simbol Pernikahan Adat Betawi…………………... 9
C. Asal mulanya roti buaya menjadi simbol pernikahan adat Betawi……… 9
D. Sekilas Tentang Sejarah Buaya………………………………………….. 10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………… 12
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………. 12
4.2 Saran……………………………………………………………………… 13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...........14

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Disetiap daerah mempunyai simbol pernikahan yang beranekaragam jenis dan bentuknya
dan pastinya memiliki arti tersendiri serta kepercayaan dari masing-masing adat dan
kebudayaan. Kita pasti tahu apa arti dari simbol pernikahan, yang dimaksud dengan simbol
pernikahan adalah sesuatu hal atau barang yang menjadi ciri khas atau identik dari setiap
perayaan atau resepsi pernikahan dan selalu ada dalam acara pernikahan tersebut. Banyak
yang berangapan bahwa dari suatu jenis atau macam dari simbol pernikahan itu pasti
berbeda-beda dari kebudayaan ke budaya lainnya. Dalam hal ini yang menjadi simbol
pernikahaan adat betawi yaitu menggunakan roti buaya. Alasan masyarakat Betawi
menggunakan simbol buaya adalah kalau dilihat dari sejarahnya bahwa buaya laki itu hanya
setia pada satu pasangan buaya perempuan sampai mereka mati itulah yang menjadi dasar
dari simbol roti buaya tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau kita sering mendengar
atau melihat buaya itu identik dengan hal yang negative contohnya buaya darat istilah ini di
identikan dengan orang yang suka mempermainkan orang lain tapi masyarakat Betawi
menganggap roti buaya itu sebagai lambang kesetiaan. Biasanya roti buaya yang dibawa pada
saat pernikahaan masyarakat Betawi umumnya adalah tiga roti, yang pertama itu roti buaya
jantan, yang kedua roti buaya perempuan dan ditambah dengan roti buaya anakan. Sehingga
simbol inilah yang menjadi ciri khas sebagai symbol pernikahaan masyarakat betawi saat
melakukan resepsi pernikahan.

Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti
buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter atau tergantung yang
memesan ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti
buaya, mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju
kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang
yang diserahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang
hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai
ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.

Menurut Haji Ilyas, salah satu tokoh Betawi di Tanahtinggi, Jakarta Pusat, meski saat ini
banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara modern, tapi mereka masih
memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan. Karena roti buaya sudah membudaya bagi
warga Betawi. “Adat kite ntu kagak ilang. Masih banyak nyang pake. Kite ambil contoh di
kawasan Condet, Palmerah sampe ke Bekasi, malahan sampe Tangerang,”lanjut pria yang
sering disapa Haji ini. Sayangnya, saat ini roti buaya tidak mudah dijumpai di toko-toko roti.
Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya
juga bervariasi tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu
rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya. “Roti buaya
adalah kue perayaan, jadi nggak setiap hari ada. Kalau mau beli harus pesan dulu,” kata
Ari, salah satu pedagang kue di Pasar Senen. Sejatinya, bagi warga yang sudah terbisa
membuat roti, tidak terlalu sulit membuat roti buaya ini. Sebab, bahan dasarnya sangat
sederhana, yakni terigu, gula pasir, margarine, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan
pewarna. Keseluruhan bahan tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian
dibentuk menyerupai buaya. Setelah bentuk kemudian dioven/panggang hingga matang.

Roti buaya, katanya roti khas Betawi yang selalu ada di setiap perhelatan orang Betawi,
yang makanan pokoknya rasanya beras. Karena dari ujung Sabang sampai sekarang Merauke,
orang yang menamakan dirinya orang Indonesia sudah makan nasi. Jadi, boleh diambil
kesimpulan roti buaya ini pasti peninggalan sang penjajah yang memang makanannya roti.
Kalau begini, mengakui peninggalan atau mengakui sesuatu yang bukan berasal dari
kebiasaan penduduk setempat tetapi mempunyai kaitan historis sah-sah sajakan? Kalau
memperhatikan cara berpakaian, makanan, tarian, way of life berbagai suku bangsa di
Indonesia, yang mana bisa kita katakan ‘ASLI’ Indonesia? Menilik sejarah Indonesia,
Indonesia sudah menjadi ‘melting pot’ berbagai ragam budaya manusia sejak ribuan tahun
yang lalu. Asli Indonesia kah Ramayana dan Bharatayuda? huruf-huruf  yang digunakan
mencatat oleh nenek moyang kita? ASLI Indonesia kah nenek moyang kita? Mudah-
mudahan, doa ini terutama buat yang masih muda-muda, bangsa Indonesia tidak
terperangkap pada elemen-elemen primordialisme. Memang menjaga milik itu wajib
hukumnya, tetapi kita tidak pernah hidup terisolasi dan terpisah dari manusia-manusia lain di
muka bumi ini. Jadi, untuk bangga menjadi orang  Indonesia,  perlukah kita  memusuhi 
tetangga kita  sendiri?

Asal muasal adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin
sekali sepanjang hidupnya. Masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun. Selain
terinspirasi perilaku buaya, simbol kesetiaan yang diwujudkan dalam sebuah makanan
berbentuk roti itu juga memiliki makna khusus. Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti
juga menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling setia,
pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan.
Karenanya, tak heran jika setiap kali prosesi pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa
sepasang roti buaya berukuran besar, dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di
atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini mencerminkan kesetian
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih
berlangsung sampai sekarang.

Yang menjadi motivasi penulis dalam membuat makalah ini adalah untuk memberikan
informasi kepada orang lain mengenai ragam kebudayaan di Indonesia khususnya mengenai
kebudayaan roti buaya menjadi simbol dari pernikahaan masyarakat Betawi. Selain itu juga
untuk mengetahui kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol adat
pernikahan dan untuk memahami makna dari roti buaya pada pernikahan adat Betawi yang
menjadi simbol masyarakat Betawi serta kebiasaan masyarakat Betawi menjadikan roti buaya
sebagai simbol pernikahan.
B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam makalah ini adalah :


1)      Mengetahui kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol adat
pernikahan.
2)      Untuk memahami makna dari roti buaya pada pernikahan adat Betawi yang menjadi
simbol masyarakat Betawi.

B. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penjelasan
dalam makalah ini, dalam hal ini manfaat penelitian dari penulisan makalah ini terbagi dua
yaitu: Manfaat untuk penulis itu sendiri, manfaat dari yang mambaca. Manfaat untuk penulis
adalah untuk mengetahui dan mendalami sejauh mana roti buaya menjadi simbol pernikahaan
adat Betawi. Sedangkan manfaat dari pembaca adalah untuk mendapatkan informasi, berbagi
pengetahuan dan juga mengetahui alasan kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya
sebagai simbol dari pernikahan adat Betawi.

C.  Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka dapat penulis rumuskan
permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu “Mengapa Roti buaya menjadi simbol
pernikahan adat Betawi”.

D.  Pembatasan Masalah


Karena keterbatasan waktu maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas antara lain:
1)      Bagaimana masyarakat Betawi menjadikan roti buaya sebagai simbol pernikahan.
2)      Bagaimana asal mula roti buaya bisa dijadikan sebagai simbol pada pernikahan adat
Betawi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Betawi

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul
sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak
778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas
Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi
pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-
hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti
orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang
Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup
yang lebih luas, yakniHindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin,
tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu
pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang
Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk
di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar
benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad
ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian
utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini. Selain itu, perjanjian
antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang
membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan
perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan
darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara
biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah
campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang
disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta.
Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu
hidup di Jakarta, seperti orang Sunda,  Jawa, Arab,  Bali,  Sumbawa,  Ambon, 
Melayu dan Tionghoa.

1.1. Bahasa Betawi

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara


umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah
sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut
sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran
kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah
menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan
sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awalabad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan
etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau
demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan
dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal
dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan
lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah
kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa
informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

1.2.   Seni dan kebudayaan Betawi

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang


berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebanayang berakar pada tradisi
musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan
seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara


umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian,
misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni
musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong
Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-
an. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan
bangsa di masa lalu.

Kercayaan orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut
agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku
Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal
abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang
membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda
Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini
sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

1.3.   Profesi dan Perilaku serta Sifat Masyarakat Betawi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa
profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung
Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek,
kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan
pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak
dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga
Kemanggisan. Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para
peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan.
Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji’ih teman seperjuangan Pitung
dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak
zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru,
pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu
Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk
“terpaksa” memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal
sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara,
Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum
disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil.
Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo
yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini . Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara
lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu
berlebih dan cenderung tendensius. Orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang
tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang
baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi, terbukti dari perilaku
kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa
ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan
oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari
masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

B. Roti Buaya Sebagai Simbol Pernikahan Adat Betawi

Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti
buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter ini dibawa oleh mempelai
pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti buaya, mempelai pengantin laki-laki
juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta
beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya
menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki
makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang
menikah untuk sehidup-semati.
Selain itu masyarakat Betawi telah turun temurun menggunakan roti buaya sebagai
simbolisasi disetiap pernikahan adat Betawi. Kenapa bentuknya  buaya? tapi kita sering
mendengar bahwa ada istilah Buaya Darat alias mata keranjang? Persepsi ini yang perlu
dijelaskan. Buaya adalah hewan yang panjang umur dan paling setia kepada pasangannya,
buaya itu hanya kawin sekali seumur hidup, sehingga orang Betawi menjadikannya
sebagai Lambang Kesetiaan dalam rumah tangga. Selain itu buaya termasuk hewan perkasa
& hidup di dua alam, ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga
menjadi tangguh & mampu bertahan hidup di mana aja. Roti Buaya ini dibuat sepasang, yang
betina ditandai dengan roti buaya kecil yg diletakan di atas punggungnya atau di samping.
Maknanya adalah kesetiaan berumah tangga sampai beranak cucu. Peningset ini harus dijaga
sepanjang jalan, supaya tetap mulus hingga sampai ke tangan penganten perempuan. Selain
itu, roti memiliki makna sebagai lambang kemapanan, karna ada anggapan bahwa roti
merupakan makanan orang golongan atas. Pada saat selesai akad nikah, biasanya roti buaya
ini diberikan pada saudara yang belum nikah, hal ini juga memiliki harapan agar mereka yang
belum menikah bisa ketularan dan segera mendapatkan jodoh.

C.   Asal mulanya roti buaya menjadi simbol pernikahan adat Betawi

Asal mula adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin
sekali sepanjang hidupnya. Dan masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun.
Selain terinspirasi perilaku buaya, simbol kesetiaan yang diwujudkan dalam sebuah makanan
berbentuk roti itu juga memiliki makna khusus. Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti
juga menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling setia,
pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan. 
Karenanya, tak heran jika setiap kali prosesi pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa
sepasang roti buaya berukuran besar, dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di
atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini mencerminkan kesetian
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih
berlangsung sampai sekarang.

Menurut Haji Ilyas, salah satu tokoh Betawi di Tanahtinggi, Jakarta Pusat, meski saat ini
banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara modern, tapi mereka masih
memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan. Karena roti buaya sudah membudaya bagi
warga Betawi. “Adat kite ntu kagak ilang. Masih banyak nyang pake. Kite ambil contoh di
kawasan Condet, Palmerah sampe ke Bekasi, malahan sampeTangerang,” lanjut pria yang
sering disapa Haji ini. Sayangnya, saat ini roti buaya tidak mudah dijumpai di toko-toko roti.
Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya
juga bervariasi tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu
rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya. “Roti buaya
adalah kue perayaan, jadi nggak setiap hari ada. Kalau mau beli harus pesan dulu,” kata Ari,
salah satu pedagang kue di Pasar Senen.

Sejatinya, bagi warga yang sudah terbisa membuat roti, tidak terlalu sulit membuat roti
buaya ini. Sebab, bahan dasarnya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir, margarine,
garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan bahan tersebut dicampur dan
diaduk hingga rata dan halus, kemudian dibentuk menyerupai buaya. Setelah bentuk
kemudian dioven/panggang hingga matang.

D.   Sekilas Tentang Sejarah Buaya

Kata buaya berasal dari bahasa Yunani yang umum digunakan untuk mengacu kepada
kadal. Souchian adalah istilah ilmiah untuk buaya yang berasal dari kata Archosuchian, di
mana awalan Arho berarti Tua/Kunodan Souchian sebagai bentuk distorsi bahasa Yunani
Untuk “Sobek” yaitu sosok Dewa buaya Mesir. Sobek di sembah sebagai manifestasi dewa
matahari atau Ra; dan kota yang merupakan sentra penyembahan dewa tersebat
adalah Crocodilopolis. Buaya memiliki makna yang berbeda-beda dari setiap tempat dan
menurut lambang buaya juga memiliku arti tersendiri yaitu:

1)      Pada zaman Mesir Kuno buaya sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan
2)      Di Eropa buaya diasosiasikan dengan kekayaan.
3)      Di China buaya ditulis dalam suatu karakter(tulisan kanji kuno) pada satu milenium
sebelum Kristus lahir. Saat itu dianggap sebagai suatu massa penuh dosa dan
kejahatan. Buaya juga dipercayai sebagai sebuah simbol ketidakberuntungan
4)      Di Afrika, buaya disembah karena dianggap sebagai sebagai penerima spirit dari
leluhurnya
5)      Di Asia Tenggara buaya dianggap sebagai reinkarnasi. Ada sebuah versi dongeng
mengisahkan Seorang Putri dari Kupang (Timur Barat) mempersembahkan  seorang
pelayan perempuan yang cantik sebagai istri untuk nenek moyang mereka.
6)      Di Kalimantan, buaya dianggap sebagai saudara  yang memiliki hubungan darah
yang erat dan dapat mengusir setan.
7)      Orang Aborigin tempo dulu membuat ukir-ukiran dibatu dengan pesan bahwa buaya
akan kembali dalam 30 ribu tahun, termasuk ukiran yang menunjukkan seekor buaya
yang melahirkan manusia.
8)      Di Peninsula, hanya beberapa orang yang diijinkan makan telur buaya dan ini adalah
bentuk kuno konservasi.
9)      Di daratan Papua, buaya muncul pada ukir-ukiran Suku Asmat dan Kamoro di
daerah pantai selatan Papua.
10)  Di Teluk Etna Papua, pernah terlihat kerangka buaya yang diletakkan di atas batu
beberapa meter di atas air dan diberikan sesajenberupa kacang betel dan makanan
dalam piring porselin.

BAB III
SARAN DAN KESIMPULAN

A.   Kesimpulan
Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti
buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter atau tergantung yang
memesan ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Buaya
adalah hewan yang panjang umur dan paling setia kepada pasangannya, buaya itu hanya
kawin sekali seumur hidup, sehingga orang Betawi menjadikannya sebagai Lambang
Kesetiaan dalam rumah tangga. Selain itu buaya termasuk hewan perkasa & hidup di dua
alam, ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga menjadi tangguh &
mampu bertahan hidup di mana aja.
Roti Buaya ini dibuat sepasang, yang betina ditandai dengan roti buaya kecil yg diletakan
di atas punggungnya atau di samping. Maknanya adalah kesetiaan berumah tangga sampai
beranak cucu. Peningset ini harus dijaga sepanjang jalan, supaya tetap mulus hingga sampai
ke tangan penganten perempuan. Selain itu, roti memiliki makna sebagai lambang
kemapanan, karna ada anggapan bahwa roti merupakan makanan orang golongan atas. Pada
saat selesai akad nikah, biasanya roti buaya ini diberikan pada saudara yang belum nikah, hal
ini juga memiliki harapan agar mereka yang belum menikah bisa ketularan dan segera
mendapatkan jodoh.
Hal inilah yang membudaya sehingga keberadaan roti buaya sebagai simbol pernikahan
ada Betawi tidak bisa lepas dan hal ini sudah turun temurun dilakukan olah masyarakat
Betawi. Selain roti buaya yang menjadi symbol dari pernikahan ada Betawi pasti masih
banyak lagi symbol-simbol pernikahan ada lainnya. Oleh karena itu kita harus bisa
melestarikan dan menjaga kebudayaan yang kita miliki sehingga kebudayaan kita bisa
dipertahankan dan dikenal oleh bangsa lain, nilai-nilai itulah yang perlu ditanamkan oleh
generasi muda sekarang.

B.   Saran
Kebudayaan Indonesia itu banyak sekali sudah seharusnyalah kita berbangga dan
menghargai kebudayaan kita ini. Dari Sabang sampai Merauke puluhan budaya Indonesia
tidak bisa terkira dan ternilai harganya. Kita sebagai generasi muda sudah seharusnya bisa
membudayakan dan melestarikan kebudayaan asli Indonesia dan jangan hanya atau bisa
mencontoh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma atau nilai adat ke-timur-timuran.
Umumnya masyarakat Indonesia lebih bangga terhadap budaya asing yang lebih
mengedepankan budaya yang bermewah-mewah dan lebih gaya tapi melupakan budaya asli.
Setelah diklaim oleh bangsa lain barulah kita rebut dan ingin mempertahankannya. Hal inilah
yang membuktikan bahwa masih kurangnya penghargaan dan juga penghormatan kepada
budaya asli Indonesia sehingga setelah hak kekayaan intelektualnya diakui oleh orang atau
bangsa lain kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sudah saatnya kita bangkit dan melestarikan budaya kita, walaupun Negara kita ini
menggunakan asas demokrasi akan tetapi ada nilai-nilai yang perlu kita hormati dan junjung
tinggi yaitu nilai budaya yang tidak ternilai harganya. Bangsa lain saja bisa menghargai
keberanekaragaman budaya kita bahkan mereka mengakui itu tapi kenapa kita tidak bisa
menghargai dan juga mempertahankanya. Jangan sampai budaya asli kita kalah atau luntur
karena budaya asing yang masuk tapi juga harus bisa mempertahankan dan menjaga serta
mempromosikan budaya kita agar dikenal oleh bangsa lain. Oleh karena itu nilai kebanggaan
perlu kita tanamkan dan juga kita tegakkan agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya dan
bisa menghargai budayanya.

Daftar Pustaka

Ardan, S. M., Sjafi’ie, Irwan. H., Saputra, Andi, Yahya (2000). Siklus Betawi:


Upacara dan Adat Istiadat, Lembaga Kebudayaan Betawi bekerjasama dengan
Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta.
Liliweri, Alo, Dr, M, S. (2002). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya,
Jakarta: LKiS Yogyakarta.
Roti Buaya Simbol Kesetiaan, From: Kompas2009
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/06/19/09403272/Roti.Buaya.
Simbol.Kesetiaan
Simbolisasi Roti Buaya di Pernikahan Betawi, From:
http://kosmo.vivanews.com/news/read/70568simbolisasi_roti_buaya_di_pernika
han_betawi.

Anda mungkin juga menyukai