Makalah
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Alquran dan Sosial Politik
Dosen Pengampu :
Dr. Sudarno Shobron
Disusun Oleh :
Meika Asri Mandiri (G100180013)
Aldila Luthfiana R (G100180028)
Kuswardani Dyah AK (G100180036)
Marito Juli Yanti (G100180045)
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari kata Miskin.
2. Mengetahui contoh ayat tentang kemiskinan dalam Alquran.
3. Mengetahui analisis tentang contoh ayat yang telah disebutkan.
PEMBAHASAN
Sehingga bisa diartikan orang miskin adalah orang yang ditenangkan oleh
kefakiran dan ia adalah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa, atau orang
yang memiliki sesuatu yang tidak mencukupi kebutuhannya. Seorang dikatakan
miskin, dikarenakan kondisi dan situasinya benar-benar telah membuat geraknya
menjadi sedikit lalu mencegahnya untuk bergerak, atau bisa juga berarti orang yang
berdiam diri di rumah saja dan enggan pergi meminta-minta kepada manusia. (Cahya,
2015)
Dalam al-Quran sendiri terdapat 33 ayat yang mengandung kata miskin (baik
dalam bentuk tunggal maupun jamak), dimana sebagian besar berasal dari kata dasar
as-sakan sebanyak 27 ayat, yaitu sebagai berikut;
1 Al-Baqarah 83 miskin
miskin
15 Al-Isra’ 26 miskin
miskin
miskin
Sedangkan sisanya, kata yang berarti miskin yang tidak berasal dari as-sakan terdapat
dalam 5 ayat, yaitu sebagai berikut:
1. Al Isra’ ayat 26
﴾٢٦﴿ سبِي ِل َواَل تُبَ ِّذ ْر تَ ْب ِذي ًرا ْ ت َذا ٱ ْلقُ ْربَ ٰى َحقَّهۥُ َوٱ ْل ِم
َّ س ِكينَ َوٱبْنَ ٱل ِ َو َءا
Artinya: “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra'[17]: 26)
- Tafsir Jalalayn
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad
Ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya At-Taimi, telah
menceritakan kepada kami Fudail Ibnu Marzuq, dari Atiyyah, dari Ibnu Sa'id yang
mengatakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan (yaitu firman-Nya): “Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya.”
Dan hadits ini mengandung musykil sekiranya sanadnya berpredikat sahih, karena
ayat ini Makiyyah, sedangkan Fadak baru dimenangkan bersamaan dengan
kemenangan atas tanah Khaibar, yaitu pada tahun ketujuh hijrah. Maka mana
mungkin pendapat tersebut sealur dengan kenyataan sejarah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hadits ini berpredikat munkar, dan yang lebih tepat ialah bila
dikatakan bahwa hadits ini merupakan buatan golongan kaum Rafidah (salah satu
sekte dari kaum Syi'ah).
Pembahasan mengenai orang-orang miskin dan Ibnu sabil telah kami sebutkan secara
panjang lebar di dalam tafsir surat Bara-ah (At-Taubah), sehingga tidak perlu diulangi
lagi dalam tafsir surat ini.
2. Al-Baqarah ayat 83
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, "Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada
manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat." Tetapi kemudian kamu
berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih
menjadi) pembangkang.” (Ismail, 2004) (QS. Al-Baqarah[2]: 83)
- Tafsir Jalalayn
(Dan) ingatlah (ketika Kami mengambil ikrar dari Bani Israel) maksudnya dalam
Taurat, dan Kami katakan, ("Janganlah kamu menyembah) ada yang membaca
dengan 'ta' dan ada pula dengan 'ya', yaitu 'laa ya'buduuna', artinya mereka tidak akan
menyembah (kecuali kepada Allah). Kalimat ini merupakan kalimat berita tetapi
berarti larangan. Ada pula yang membaca 'laa ta'buduu', artinya 'janganlah kamu
sembah!'
(Dan dirikanlah shalat serta bayarkan zakat!) Sesungguhnya kamu telah memberikan
ikrar tersebut. (Kemudian kamu tidak memenuhi) janji itu. Di sini tidak disebut-sebut
orang ketiga, yaitu nenek moyang mereka(kecuali sebagian kecil dari kamu, dan
kamu juga berpaling.") seperti halnya nenek moyangmu.
- Tafsir Ibnu Katsir
Melalui ayat ini Allah mengingatkan kaum Bani Israil terhadap apa yang telah Dia
perintahkan kepada mereka dan pengambilan janji oleh-Nya atas hal tersebut dari
mereka, tetapi mereka berpaling dari semuanya itu dan menentang secara disengaja
dan direncanakan, sedangkan mereka mengetahui dan mengingat hal tersebut. Maka
Allah swt memerintahkan mereka agar menyembah-Nya dan jangan menyekutukan-
Nya dengan sesuatu pun. Hal yang sama diperintahkan pula kepada semua makhluk-
Nya, dan untuk tujuan tersebutlah Allah menciptakan mereka. Sebagaimana yang
disebutkan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul pun sebelum kalian, melainkan Kami wahyukan kepadanya,
"Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kamu
sekalian." (Al Anbiyaa:25|/QS_21_25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu” (An Nahl:36
|/QS_16_36)
Hal ini merupakan hak yang paling tinggi dan paling besar, yaitu hak Allah swt yang
mengharuskan agar Dia semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya, setelah itu
baru hak makhluk, dan yang paling dikuatkan untuk ditunaikan ialah hak kedua orang
tua. Karena itu, Allah swt selalu membarengi hak kedua orang tua dengan hak-Nya,
seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, dan hanya kepada-Kulah kembali kalian.” (Luqman:14
|/QS_31_14)
Allah swt telah berfirman pula dalam ayat lainnya: “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al Israa':23 |/QS_17_23)
sampai dengan firman-Nya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.” (Al Israa':26
|/QS_17_26)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud ra seperti berikut:
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling utama? Beliau
menjawab, "Shalat pada waktunya"
Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi!"
Karena itulah maka di dalam sebuah hadits sahih disebutkan seperti berikut:
Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang harus didahulukan aku
berbakti kepadanya? Beliau menjawab, "Ibumu."
Menurut Imam Zamakhsyari kalimat ayat ini berbentuk khabar, tetapi bermakna
talab, ungkapan seperti ini lebih kuat. Menurut pendapat yang lain, bentuk asalnya
adalah an la ta'budu illallah, seperti bacaan yang dilakukan oleh ulama Salaf, lalu
huruf an dibuang hingga tidak kelihatan. Menurut suatu riwayat dari Ubay dan Ibnu
Mas'ud, keduanya membaca ayat ini la ta'budu illallah (janganlah kalian menyembah
selain Allah). Pengarahan ini dinukil oleh Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya, dari
Imam Sibawaih. Imam Sibawaih mengatakan bahwa bacaan inilah yang dipilih oleh
Imam Kisai dan Imam Farra.
Al-yatama artinya anak-anak kecil yang tidak mempunyai orang tua yang menjarnin
penghidupan mereka. Al-masakin ialah orang-orang yang tidak menjumpai apa yang
mereka belanjakan buat diri mereka sendiri dan keluarganya. Dalam surat An-Nisa
akan dibahas secara rinci mengenai golongan-golongan tersebut yang diperintahkan
Allah dengan tegas agar kita menunaikannya, yaitu di dalam firman-Nya:
Sangat sesuai sekali bila Allah memerintahkan kepada mereka untuk berkata baik
kepada manusia setelah Dia memerintahkan mereka untuk berbuat baik kepada
mereka melalui perbuatan. Dengan demikian, berarti dalam ayat ini tergabung dua
sisi kebajikan, yaitu kebajikan perbuatan dan ucapan. Kemudian perintah untuk
menyembah Allah dan berbuat baik kepada manusia ini dikuatkan lagi dengan
perintah yang tertentu secara detail dari hal tersebut, yaitu perintah mendirikan shalat
dan menunaikan zakat. Untuk itu Allah swt berfirman: “dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat.” (Al Baqarah:83)
Diceritakan pula bahwa ternyata mereka (Bani Israil) berpaling dari semua perintah
itu, yakni mereka meninggalkan hal tersebut, membelakanginya, dan berpaling
dengan sengaja sesudah mereka mengetahuinya, kecuali sedikit dari kalangan mereka
yang mengerjakannya.
Allah swt telah memerintahkan pula umat ini dengan hal yang serupa di dalam surat
An-Nisa, yaitu melalui firman-Nya: “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu sabil, dan hamba sahaya kalian.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri.” (An Nisaa:36|/QS_4_36)
Dengan demikian, berarti umat ini diberi kepercayaan oleh Allah swt untuk
mengerjakan perintah-perintah Allah yang tidak pernah dikerjakan oleh umat-umat
sebelumnya. Segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah belaka.
Di antara nukilan yang gharib (aneh) sehubungan dengan hal ini ialah sebuah riwayat
yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya, telah
menceritakan kepada kami Abi (ayah Ibnu Abu Hatim), telah menceritakan kepada
kami Muhammad Ibnu Khalaf Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami
Abdullah Ibnu Yusuf (yakni At-Tanisi), telah menceritakan kepada kami Khalid Ibnu
Sabih, dari Humaid Ibnu Uqbah, dari Asad Ibnu Wada'ah. Disebutkan bahwa Asad
Ibnu Wada'ah bila keluar dari rumahnya tidak pernah bersua dengan seorang Yahudi
atau Nasrani melainkan ia mengucapkan salam kepadanya. Ketika ditanyakan
kepadanya, "Apakah gerangan yang mendorongmu hingga kamu mengucapkan salam
kepada orang Yahudi dan orang Nasrani?"
Perkataan yang baik itu menurutnya adalah ucapan salam. Ibnu Abu Hatim
mengatakan pula, hal yang sama telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani.
Menurut kami, telah ditetapkan di dalam sunnah bahwa kita tidak boleh memulai
mengucapkan salam penghormatan kepada mereka (orang-orang Yahudi dan orang-
orang Nasrani). (Al-hafidz, 1994)
3. Al Baqarah 184
ْ ا ُم ِمZZةٌ طَ َعZَونَهۥُ فِ ْديZZُ ۚ َر َو َعلَى ٱلَّ ِذينَ يُ ِطيقZ َّدةٌ ِّمنْ َأيَّ ٍام ُأ َخZسفَ ٍر فَ ِع
ٍ ۖ ِكZس
ين َ ضا َأ ْو َعلَ ٰى
ً ت َف َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِري ٍ ۚ َأيَّا ًما َّم ْعدُو ٰ َد
﴾١٨٤﴿ َوا َخ ْي ٌر لَّ ُك ۖ ْم ِإن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون ۟ صو ُم ُ َفَ َمن تَطَ َّو َع َخ ْي ًرا فَ ُه َو َخ ْي ٌر لَّ ۚۥهُ َوَأن ت
Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau
dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang
dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik
baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-
Baqarah[2]: 184)
- Tafsir Jalalayn
(Beberapa hari) manshub atau baris di atas sebagai maf'ul dari fi'il amar yang
bunyinya diperkirakan 'shiyam' atau 'shaum' (berbilang) artinya yang sedikit atau
ditentukan waktunya dengan bilangan yang telah diketahui, yakni selama bulan
Ramadan sebagaimana yang akan datang nanti. Dikatakannya 'yang sedikit' untuk
memudahkan bagi mualaf.
(Maka barangsiapa di antara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari berpuasa itu
(sakit atau dalam perjalanan) maksudnya perjalanan untuk mengerjakan puasa dalam
kedua situasi tersebut, lalu ia berbuka, (maka hendaklah dihitungnya) berapa hari ia
berbuka, lalu berpuasalah sebagai gantinya (pada hari-hari yang lain.) (Dan bagi
orang-orang yang) (tidak sanggup melakukannya) disebabkan usia lanjut atau
penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh (maka hendaklah membayar fidyah)
yaitu (memberi makan seorang miskin) artinya sebanyak makanan seorang miskin
setiap hari, yaitu satu gantang/mud dari makanan pokok penduduk negeri. Menurut
satu qiraat, dengan mengidhafatkan 'fidyah' dengan tujuan untuk penjelasan. Ada pula
yang mengatakan tidak, bahkan tidak ditentukan takarannya. Di masa permulaan
Islam, mereka diberi kesempatan memilih, apakah akan berpuasa atau membayar
fidyah. Kemudian hukum ini dihapus (mansukh) dengan ditetapkannya berpuasa
dengan firman-Nya. "Maka barangsiapa di antara kamu yang menyaksikan bulan,
hendaklah ia berpuasa." Kata Ibnu Abbas, "Kecuali wanita hamil dan yang sedang
menyusui, jika berbukanya itu disebabkan kekhawatiran terhadap bayi, maka
membayar fidyah itu tetap menjadi hak mereka tanpa nasakh."
(Dan barangsiapa yang secara sukarela melakukan kebaikan) dengan menambah batas
minimal yang disebutkan dalam fidyah tadi (maka itu) maksudnya berbuat tathawwu'
atau kebaikan (lebih baik baginya. Dan berpuasa) menjadi mubtada', sedangkan
khabarnya ialah, (lebih baik bagi kamu) daripada berbuka dan membayar fidyah (jika
kamu mengetahui) bahwa berpuasa lebih baik bagimu, maka lakukanlah.
Ayat Asbabun Nuzul ini adalah: “Mengenai maula atau budak yang telah dibebaskan
bernama Qais bin As-Said yang memaksakan diri untuk berpuasa, padahal usianya
sudah sangat tua. Dengan wahyu ayat ini, dia membatalkan puasanya dan membayar
fidyah dengan memberi makan orang miskin selama dia tidak berpuasa. (HR. Ibn Sa'd
dalam Kitab Ath-Thabaqat yang Berasal dari Mujahid) Ayat ini Allah Ta ala
menjelaskan tentang hukum puasa sebagaimana yang terjadi pada awal Islam.
Kata-katanya ( )فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخرartinya, orang yang sakit dan
orang yang sedang dalam perjalanan diijinkan untuk tidak berpuasa, karena itu
menyulitkan mereka. Mereka mungkin tidak berpuasa tetapi harus menggantinya di
hari-hari lain.
Kata-katanya ( إن كنتم تعلمون... )وعلى الذين يطيقونه فديةadapun orang yang sehat dan tidak
bepergian tetapi merasa puasa berat, baginya ada dua pilihan; puasa atau makan. Jika
dia mau, dia bisa berpuasa, atau dia bisa membatalkan puasanya, tetapi dia harus
memberi makan orang miskin setiap hari. Dan jika dia memberi makan lebih dari satu
orang dalam sehari, itu lebih baik. Dan puasa lebih baik dari pada memberi
makan. Demikian menurut pendapat Ibn Masud, Ibn Abbas, Mujahid, Thawus,
Muqatil ibn Hayyan, dan ulama salaf lainnya. Demikian diriwayatkan oleh Imam Al-
Bukhari, dari Salamah bin Akwa beliau mengatakan, apabila ayat ini diturunkan bagi
yang ingin berbuka puasa (tidak puasa), maka membayar fidyah, hingga ayat
berikutnya diturunkan dan menghapusnya. Dan diriwayatkan dari Ubaidillah, dari
Nafi ',
Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha ', bahwa dia mendengar Ibn Abbas membacakan
ayat ini. Ibnu Abbas bersabda, "Ayat tersebut tidak ada konfirmasi, karena yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak
dapat menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberi makan orang miskin setiap
hari." Demikian diriwayatkan oleh beberapa perawi dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu
Abbas. Kesimpulannya, naskah tersebut tetap berlaku bagi orang sehat yang hidup
(tidak berpergian) dengan kewajiban berpuasa. Adapun bagi orang tua sewaan yang
tidak mampu menjalankan ibadah puasa maka diperbolehkan berbuka puasa (tidak
puasa) dan tidak perlu menggantinya, karena tidak lagi mengalami kondisi yang
memungkinkan untuk mengganti puasanya. dia pergi.
Tetapi, bagaimana jika dia berbuka puasa (bukan puasa) juga wajib setiap hari
memberi makan orang miskin, jika dia kaya? Di atas ada dua pendapat. Pendapat
pertama menyatakan bahwa tidak ada kewajiban baginya untuk memberi makan
orang miskin, karena usianya yang tidak mampu mencukupi, sehingga tidak wajib
membayar fidyah seperti bayi, karena Allah Ta'ala tidak akan membebani seorang
orang kecuali menurut kemampuannya. Ini adalah salah satu pendapat Imam
Syafi'i. Sedangkan pendapat kedua dan merupakan pendapat yang sahih dan dianut
oleh mayoritas ulama, bahwa wajib baginya untuk membayar fidyah setiap hari puasa
yang ditinggalkannya. Seperti yang ditafsirkan oleh Ibn Abbas dan beberapa ulama
Salaf lainnya. Pendapat ini menjadi pilihan Imam Al-Bukhari, katanya, Adapun yang
lanjut usia jika tidak mampu berpuasa maka wajib membayar fidyah. Karena Anas
ketika berumur satu atau dua tahun dia tidak berpuasa dan memberi makan roti dan
daging kepada orang miskin setiap hari. Atsar mu'allaq diriwayatkan oleh Al-Bukhari
disebutkan dalam rantainya oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mushili di musnadnya, dari
Ayub bin Abu Tamimah, dia berkata: “Anas tidak bisa menjalankan ibadah puasa,
jadi dia membuat semangkuk besar bubur roti, lalu mengundang tiga puluh orang
miskin dan memberi mereka makan. " Ini diriwayatkan oleh Abd bin Humaid, dari
Ayub. Hal senada diriwayatkan oleh Abd, dari enam sahabat Anas, dari
Anas. Termasuk dalam pengertian ini adalah ibu hamil dan mereka yang sedang
menyusui jika sama-sama mementingkan keselamatan diri dan anaknya. Dalam hal
ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara mereka ada
yang berpendapat bahwa baik (ibu hamil dan menyusui) tidak boleh berpuasa,
melainkan membayar fidyah dan mengqadha dengan puasa. Dan ada juga yang
mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha. Ada juga yang
berpendapat bahwa ibu hamil dan ibu menyusui wajib berbuka puasa yang
ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Namun ada juga yang beranggapan bahwa
kedua wanita tersebut dapat berbuka puasa tanpa membayar fidyah dan bahkan tidak
mengqadhanya. Dan ada juga yang mengatakan wajib membayar fidyah saja dan
tidak perlu mengqadha. Ada juga yang berpendapat bahwa ibu hamil dan ibu
menyusui wajib berbuka puasa yang ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Namun
ada juga yang beranggapan bahwa kedua wanita tersebut dapat berbuka puasa tanpa
membayar fidyah dan bahkan tidak mengqadhanya. Dan ada juga yang mengatakan
wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha. Ada juga yang berpendapat
bahwa ibu hamil dan ibu menyusui wajib berbuka puasa yang ditinggalkannya tanpa
membayar fidyah. Namun ada juga yang beranggapan bahwa kedua wanita tersebut
dapat berbuka puasa tanpa membayar fidyah dan bahkan tidak mengqadhanya. (As-
Suyuthi, 1990)
2. Al Baqarah (83) : dalam ayat ini ada beberapa poin penting yakni allah
mengambil Janji Bani Israel, bertauhid kepada Allah, berbuat ihsan kepada
manusia dimulai dari orang tua. Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan
kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang- orang miskin.
Selanjutnya adalah berbicara yang baik yakni dalam hal amar ma’ruf nahi
munkar. Kemudian melaksanakan sholat dan menunaikan zakat. Shalat dan zakat
adalah ibadah yang sejak awal diperintahkan Allah kepada manusia termasuk
kepada Bani Israil. Dan yang terakhir adalah Bani Israil melanggar perjanjian.
Mereka diperintah untuk menyembah Allah tetapi mereka malah menyembah
patung sapi emas, diperintahkan untuk berbuat ihsan mereka justru mendzalimi
orang lemah. Hubungan ayat ini dengan kemiskinan adalah memberi pertolongan
kepada orang miskin dengan berbuat baik.
3. Al Baqarah (184) : dalam ayat ini menjelaskan beberapa orang tertentu yang
diberi keringan dalam menjalankan puasa di bulan Radahan. Pertama, apabila
sakit atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk berbuka tetapi wajib baginya
puasa untuk berpuasa hari lain sesuai jumlah yang ditinggalkan. Kemudian orang
yang berat menjalankannya seperti lanjut usia, penyakit yang menahun maka
wajib bagi mereka membayar fidyah yakni memberi makan orang miskin. Para
Fuqaha kebanyakan menetapkan bahwa pemberian makanan itu satu mud sehari.
Satu mud sama dengan enam ons lebih. Al-maraghi menjelaskan bahwa makanan
yang diberikan adalah sudah mengenyangkan buat satu orang untuk sekali
makan. Termasuk dalam pengertian ini adalah ibu hamil dan mereka yang sedang
menyusui jika sama-sama mementingkan keselamatan diri dan anaknya. Dalam
hal ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara mereka
ada yang berpendapat bahwa baik (ibu hamil dan menyusui) tidak boleh
berpuasa, melainkan membayar fidyah dan mengqadha dengan puasa. Dan ada
juga yang mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu
mengqadha. Ada juga yang berpendapat bahwa ibu hamil dan ibu menyusui
wajib berbuka puasa yang ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Namun ada
juga yang beranggapan bahwa kedua wanita tersebut dapat berbuka puasa tanpa
membayar fidyah dan bahkan tidak mengqadhanya. Dan ada juga yang
mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha. Ada juga
yang berpendapat bahwa ibu hamil dan ibu menyusui wajib berbuka puasa yang
ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Namun ada juga yang beranggapan
bahwa kedua wanita tersebut dapat berbuka puasa tanpa membayar fidyah dan
bahkan tidak mengqadhanya. Dan ada juga yang mengatakan wajib membayar
fidyah saja dan tidak perlu mengqadha. Ada juga yang berpendapat bahwa ibu
hamil dan ibu menyusui wajib berbuka puasa yang ditinggalkannya tanpa
membayar fidyah. Namun ada juga yang beranggapan bahwa kedua wanita
tersebut dapat berbuka puasa tanpa membayar fidyah dan bahkan tidak
mengqadhanya.
KESIMPULAN
Ketiga ayat ini memiliki tema yang berbeda yakni Al- Isra tentang dilarang dalam
pemborosan harta, Al-baqarah ayat 83 tentang membantu orang miskin dengan
berbuat baik. Kemudian Al-baqarah ayat 184 tentang Fidyah yakni memberi makan
orang miskin. Dapat disimpulkan bahwa ketiga ayat ini merupakan pembagian dari
konsep kemiskinan dengan cara yg berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, J. (1990). Tafsir Jalalain. Bandung.
Faris, I. (1420 H/1999 M). Mu’jam Maqayis al- Lughah. Beirut: Dar al-Jail, Juz 4,
Cet. Ke-1.