Skripsi
Oleh :
8
Riki Dendi Saputra, Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Bersertifikat Ganda
Menurut Aturan Badan Pertanahan Nasional Di Wilayah Tangerang Selatan, (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta,2017).
9
Risye Julianti, Peran Kantor Badan Pertanahan Nasional Mengenai Tumpang Tindih
Hak Kepemilikan Atas Tanah Di Kota Jakarta Utara, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,2021).
10
Dewi Zulkharnain,Bentuk Penyelesaian Terhadap Sertipikat Ganda (Overlapping)
Antara Sertipikat Hak Guna Bangunan dengan Sertipikat Hak Milik Oleh Badan Pertanahan
Nasional Kota Surabaya II, ( Jawa Timur : UPN Veteran Jawa Timur,2013).
11
Darwis Anatami, Tanggung Jawab Siapa, Bila Terjadi Sertipikat Ganda Atas
Sebidang Tanah, (Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol.12 No.1, Januari-Juli 2017).
12
Malini Sari, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Timbulnya Tumpang
Tindih Sertipikat Hak Milik (SHM) Atas Tanah (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan/Agraria Dan
Tata Ruang Kota Pontianak), (Jurnal Akta Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung,
Vol.4 No.1, Maret 2017)
Kerangka Teori
b. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
keinginan- keinginan hukum yang menjadi kenyataan. Keinginan-
keinginan hukum tersebut tidak lain adalah pikiran-pikiran Badan-
Badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan itu.13
Untuk mewujudkan suatu keinginan hukum dibidang
pertanahan, diperlukan adanya perangkat hukum tertulis dan
penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif untuk memudahkan
golongan apapun yang berkepentingan untuk mengetahui apa yang
tersedia dalam menguasai dan menggunakan tanah, bagaimana cara
memperolehnya,hak- hak.kewajiban serta hal apa saja yang dilarang
dalam menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang
dihadapinya jika mengabaikan ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan
penguasaan dan penggunaan tanah yang dimiliki. Dengan adanya
pendaftaran tanah dan penerbitan sertipikat maka akan tercapailah
kepastian hukum atas hak-hak tanah, karena data yuridis dan data
fisik yang tercantum dalam sertipikat tanag tersebut diterima sebagai
data yang benar.
c. Teori Keadilan
Keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang14 Keadilan akan terjadi apabila
kepada seseorang diberikan apa yang menjadi miliknya, keadilan
merupakan penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai
dengan apa yang menjadi haknya, dengan bertindak proporsional
dan tidak
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
D. Metode Penelitian
E. Sistematika Pembahasan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIPIKAT
TANAH YANG TUMPANG TINDIH DAN
PENJELASAN ANTARA HAK MILIK DENGAN
HAK GUNA BANGUNAN
A. Kerangka Teori
1. Teori Penegakan Hukum
2. Teori Keadilan
B. Kerangka Konseptual
C. Tinjauan ( Review) Kajian Terdahulu
D. Tinjauan Umum Sertipikat Tanah Tumpang Tindih
dan Penjelasan Antara Hak Milik Dengan Hak Guna
Bangunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(“UUPA”).
BAB III PENYELESAIAN SERTIPIKAT TANAH
TUMPANG TINDIH ANTARA HAK MILIK
DENGAN HAK HUNA BANGUNAN
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI
AGRARIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG
PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN
Pada bab ini disajikan tentang proses penyelesaian
sengeketa sertipikat tumpang tindih antara hak milik
dengan HGB berdasarkan Peraturan Menteri Agraria
nomor 11 tahun 2016 tentang penyelesaian kasus
pertanahan dengan Studi Kasus di Kantor Pertanahan
Kota Administrasi Jakarta Selatan
BAB IV ANALISA PENYELESAIAN SENGKETA
SERTIPIKAT TANAH TUMPANG TINDIH
ANTARA HAK MILIK DENGAN HAK GUNA
BANGUNAN BERDASARKAN PERATURAN
MENTERI NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG
PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN
bab ini akan disajikan terkait analisis pokok
permasalahan penelitian yang menjadi jawaban dalam
pertanyaan peneltian ini,dimana pada bab ini ditelaah
dan dianalisa mengenai penyelesaian sengeketa
sertipikat tumpang tindih antara hak milik dengan HGB
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria nomor 11 tahun
2016 tentang penyelesaian kasus pertanahan. Kemudian
membahas kedudukan hukum terhadap sertipikat tanah
yang tumpah tindih dan apa implikasi hukum terhadap
sertipikat tumpang tindih antara hak milik dengan HGB
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria nomor 11 tahun
2016 tentang penyelesaian kasus pertanahan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
melanggar hukum. Pengadilan merupakan jalan terakhir untuk
menyelesaikan sengketa sertipikat tanah. Pengadilan memiliki
peranan untuk mewujudkan keadilan. Oleh karena itu hakim juga
harus mendeterminasikan dengan baik berdasarkan gugatan dan
jawaban para pihak yang berpekara. Untuk mencipttakan keadilan
dalam penegakan hukum, maka perlu dibuat peraturan hukum
sehingga kepastian hukum dapat berlaku secara pasti dan tetap dalam
masyarakat.
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual mengenai Penyelesaian Sengketa sertipikat
tanah tumpang tindih antara hak milik dan hak guna bangunan
berdasarkan Peraturan Menteri nomor 11 tahun 2016 tentang
penyelesaian kasus pertanahan Studi kasus Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Selatan, antara lain:
a. Penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan menggunakan
dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui Lembaga
litigasi (melaluin pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui
non-litigasi (diluar pengadilan)
b. Sertipikat tanah tumpang tindih merupakan surat bukti
kepemilikan hak atas tanah yang tindih menindih atau tumpuk-
bertumpuk dengan lokasi hak atas tanah milik orang lain dengan
bukti seertifikat. Hal ini mengakibatkan terjadinya sengketa
tanah antara kedua belah pihak.
c. Kedudukan hukum merupakan keadaan Ketika suatu pihak
dianggap memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa di suatu pengadilan.
d. Hak milik merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria).
e. Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan- bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri selama jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu
tersebut atas permintaan pemegang hak dapat diperpanjang paling
lama 20 tahun dan kemudian dapat diperbaharui untuk jangka waktu
paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria)