Anda di halaman 1dari 19

Kajian Lesson learn terhadap sejarah pelayanan kebidanan dan

situasi perempuan pada multi periode di Indonesia dan


rekontruksi dan penguatan budaya
Pengampu : Masruroh,S.Si.T.,M.Kes

Sejarah Perkembangan Pelayanan Dan Pendidikan Kebidanan Di Indonesia

Perkembangan pendidikan dan pelayanan kebidanan di Indonesia tidak terbatas dari


masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan, politik/kebijakan pemerintah dalam
pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan masyarakat serta kemajuan
ilmu dan teknologi.

Perkembangan Pelayanan Kebidanan

Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktik
profesi bidan dalam system pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak. Layanan kebidanan yang tepat
akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan
kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan meliputi :

a. Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung
jawab bidan.

b. Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim
secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan
kesehatan.

c. Layanan kebidanan rujukan yaitu merupakan pengalihan tanggung jawab layanan


oleh bidan kepada system layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun
pengambil alihan tanggung jawab layanan/menerima rujukan dari penolong persalinan
lainnya seperti rujukan.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.
Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (zaman Gubernur
Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.

Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang


ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah
Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Saat itu ilmu kebidanan belum
merupakan pelajaran, baru tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland,
Ilmu kebidanan diberikan sukarela. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter
tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh
seorang dokter militer Belanda (dr. W. Bosch). Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu
dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.

Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan
keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di
masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus
Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula
dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).

Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada
masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun
1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan
anak termasuk pelayanan keluarga berencana.

Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan
masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet
Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa.

Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA,
khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan
kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan
tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang
memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta
mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan
yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan
yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada
individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan
kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan
perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.

Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang
menekankan pada reproduktive health (kesehatan reproduksi), memperluas area
garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi :

1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus

2. Family Planning.

3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi

4. Kesehatan reproduksi remaja

5. Kesehatan reproduksi pada orang tua.

Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan
dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Permenkes tersebut dimulai dari :

a. Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan


persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.

b. Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989


wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus ditetapkan bila
bidan meklaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Pelaksanaan dari
Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan
dokter.

c. Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek
bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri.
Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan.
Dalam wewenang tersebut mencakup :

- Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.

- Pelayanan Keluarga Berencana

- Pelayanan Kesehatan Masyarakat.


d. Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan revisi
dari Permenkes No. 572/VI/1996

Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk


sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Dalam keadaan
darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk
penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam
menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan,
pengalaman serta berdasarkan standar profesi.

Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No. 900/2002 tidaklah


mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini
mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.

Perkembangan Pendidikan Kebidanan

Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan


kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat
akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan
formal dan non formal.

Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851
seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita
pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta
didik yang disebabkan karena adaanya larangan atatupun pembatasan bagi wanita
untuk keluaran rumah.

Pada tahunan 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit
militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di
Makasar. Luluasan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja
tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu
secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-
25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).

Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ


(RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan
pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria.
Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat
wanita yang luluas dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun.
Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua
tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo
(Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa
kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB
Mardi Waluyo di Semarang. DI tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang
membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan
dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan selama tiga tahun tersebut Bidan
Kelas Satu (Vreodrouweerste Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut
Bidan Kelas Dua (Vreodrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji
pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah
mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda,
namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta
didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena
terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.

Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk
menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang
disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan
sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP
ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan
pendidikan bidan selama dua tahun.

Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus
antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta.
Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai
perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan
memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967
KTB ditutup (discountinued).

Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat
dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini
berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang
menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi
Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah
perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari
Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut
Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak
dilaksanakan secara merata diseluruh propinsi. Pada tahun 1974 mengingat jenis
tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen
Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana.
Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan
adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah
menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum
terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah
agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.

Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10
tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan
hidup secara wajar.

Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam


pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan Diploma I
Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak
dilakukan oleh semua institusi.

Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang
menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya
dikembalikan kepada institusi yang mengirim.

Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang
memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.
Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan
satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah
menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan
II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT)
dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat
diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.

Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD
harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai
bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk
menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak.
Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar.
Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang
bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama
pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun
waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik
kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang
bidan juga kurang.

Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya
dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan
program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan
Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari
lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan
yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua
angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.

Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima
masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh,
Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur,
Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat
diselesaikan dalam waktu enam semester.

Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga
propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan
untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan
penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994

Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan
tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Pendidikan ini
dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Propinsi. DJJ
Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II (1996-1997)
dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi.
Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah
3.439 (55%) dinyatakan lulus.

Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah tiap


propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah
masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum
diketahui berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk. Selain pelatihan DJJ
tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan
maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk
10 modul. Koordinatornya adalah Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas.

Sedang pelaksanaannya adalah Rumah sakit propinsi/kabupaten. Penyelenggaraan ini


dinilai tidak efektif ditinjau dari proses. Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan
Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ACNM) dan rumah
sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang
untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS ini
mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek
swasta. Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih bidan
praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru/dosen dari D3 Kebidanan. 1995-
1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer
review bagi bidan rumah sakit, bidan Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi
Kalimantan Selatan.

Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang
dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini telah
melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya
untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan.
Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, utnuk meningkatkan kualitas pelayanan
juga diadakan seminar dan Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi
pengembangan organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap
tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEP.

Tahun 2000, berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan


dibuka program pendidikan diploma empat bidan pendidik di Fakultas Kedokteran
UGM, UNPAD (2002), USU (2004), STIKES Ngudi Waluyo Semarang dan STIKIM
Jakarta (2003) dengan lama penidikan 1 tahun setelah pendidikan diploma tiga.
Adanya diploma empat bidan pendidik yang setara dengan sarjana ini pada mulanya
sebagai masa transisi dalam upaya pemenuhan kebutuhan dosen dimana yang
berhak menjadi dosen diploma tiga adalah minimal harus satu tingkat di atas
program diploma tiga. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen Pasal 46 ayat (2) mensyaratkan dosen memiliki kualifikasi
akadamik minimum lulusan program magister untuk program diploma atau sarjana
dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Untuk menyesuaikan
dengan kebijakan tersebut, pada tahun 2005 dibuka program magister di Universitas
Padjadjaran Bandung, tahun 2011 di Universitas Brawijaya malang dan Universitas
Andalas Padang dan tahun 2012 dibuka magister kebidanan di Universitas
Hasanudin Makassar dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Tahun 2007 dibuka
program sarjana kebidanan di Universitas Airlangga Surabaya.

Sebagai sebuah profesi kebidanan, kompetensi bidan yang terdiri dari serangkaian
pengetahuan, keterampilan dan perilaku didapat melalui pendidikan tinggi dan
pendidikan berkelanjutan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program
magister, program doktor, dan program profesi serta program spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Terdapat tiga jenis pendidikan tinggi yaitu akademik, vokasi dan profesi. Berikut ini
merupakan penjelasan jenis pendidikan tinggi:a.Pendidikan akademik merupakan
pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan
pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan
teknologi.b.Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang
menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai
program sarjana terapan. Dapat pula dikembangkan oleh pemerintah sampai
dengan program magister terapan atau program doktor terapan.c.Pendidikan profesi
merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa
dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan
profesi dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan bekerja sama dengan
kementerian pendidikan, kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang
bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.Saat ini pendidikan tinggi kebidanan
telah tersedia di perguruan tinggi dengan jenis program pendidikan berupa akademik,
vokasi dan profesi. Program pendidikan akademik kebidanan yang sudah tersedia
adalah sarjana dan magister. Program pendidikan vokasi yang tersedia adalah
program diploma satu, diploma dua, diploma tiga dan diploma empat atau biasa
disebut dengan program sarjana terapan. Sedangkan program pendidikan profesi
baru tersedia program profesi kebidanan yang berasal dari lulusan pendidikan
sarjana kebidanan. Adapun program spesialis kebidanan belum tersedia. Di negara
lain pun belum ada program spesialisasi kebidanan dan bahkan acuan ICM belum
menyebutkan spesialisasi kebidanan sebagaimana profesi dokter dan perawat
yang sudah ada spesialisasinya. Ke depannya, program pendidikan doktoral,
spesialis maupun subspesialis akan dibuka jika ada kebutuhan masyarakat dan
kesiapan dari organisasi profesi bidan (Wawancara dengan Pengurus Pusat IBI,
2016).Peserta didik lulusan SMU atau sederajat dapat melanjutkan pendidikan
tinggi kebidanan melalui jenis pendidikan vokasi dan akademik. Pendidikan vokasi
yang dimaksud adalah minimal pendidikan diploma tiga. Hal ini dikarenakan syarat
tenaga kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan adalah minimal lulusan pendidikan diploma
tiga. Lulusan diploma tiga berhak mendapat gelar ahli madya kebidanan dan
termasuk dalam jenis bidan vokasi atau bidan pelaksana. Bidan vokasi dapat
melakukan praktik kebidanan dalam batasan wewenang tertentu dengan pengawasan
bidan profesional. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi
lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan
dan penalaran dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Program diploma
menyiapkan mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja
sesuai dengan bidang keahliannya. Program diploma terdiri atas program diploma
satu, diploma dua, diploma tiga dan diploma empat atau sarjana terapan. Program
diploma wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program
magister atau sederajat dan dapat menggunakan instruktur diploma tiga atau
sederajat yang memiliki pengalaman. Lulusan program diploma berhak
menggunakan gelar ahli atau sarjana terapan. Selain diploma tiga, lulusan SMU atau
sederajat dapat melanjutkan pendidikan akademik yaitu program sarjana kebidanan.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi
lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Program sarjana menyiapkan
mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu
memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan
diri menjadi profesional. Program sarjana wajib memiliki dosen yang berkualifikasi
akademik minimum lulusan program magister atau sederajat. Lulusan program sarjana
berhak menggunakan gelar sarjana. Oleh karenanya, lulusan sarjana kebidanan
berhak mendapat gelar sarjana kebidanan. Namun sarjana kebidanan belum bisa
melakukan praktik kebidanan.Untuk dapat melakukan praktik kebidanan, lulusan
sarjana kebidanan diwajibkan melanjutkan ke jenis pendidikan profesi kebidanan.
Lulusan pendidikan profesi bidan berhak mendapat gelar bidan. Dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program profesi
merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program
sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh
kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja. Program profesi diselenggarakan
oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian pendidikan,
kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi. Program profesi wajib memiliki dosen yang berkualifikasi
akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program magister atau
yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat dua tahun. Lulusan program
profesi berhak menggunakan gelar profesi.Selanjutnya, bidan profesi yang ingin
mengembangkan keilmuan kebidanan, dapat melanjutkan pendidikan akademik
ke tingkat magister. Lulusan magister kebidanan berhak mendapat gelar magister
kebidanan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, program magister merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu
mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui
penalaran dan penelitian ilmiah. Program magister mengembangkan mahasiswa
menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau
menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional. Program
magister wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program
doktor atau yang sederajat. Lulusan program magister berhak menggunakan gelar
magister.Lulusan magister kebidanan dapat melanjutkan pendidikan pendidikan
spesialisasi kebidanan, berhak mendapat gelar bidan spesialis dan dapat
melakukan praktik kebidanan spesialis tersebut. Dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program spesialis merupakan
pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi lulusan
program profesi yang telah berpengalaman sebagai profesional untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis. Program spesialis
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian
pendidikan, kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi. Program spesialis meningkatkan kemampuan
spesialisasi dalam cabang ilmu tertentu. Program spesialis wajib memiliki dosen
yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program spesialis dan/atau
lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling
singkat dua tahun. Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar spesialis.
Adapun spesialisasi yang dimaksud mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
kebidanan, isu global kebidanan, kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kebidanan, perkembangan peraturan dan lainnya. Perkembangan spesialisasi
kebidanan terbatas pada kewenangan persalinan normal dan tidak dalam
menangani kondisi patologis kehamilan atau kehamilan dengan risiko.Lulusan
magister kebidanan juga dapat melanjutkan pendidikan doktor guna
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lulusan doktor kebidanan berhak
mendapat gelar doktor. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, program doktor merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu
menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan,
serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran penelitian
ilmiah. Program doktor mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi
lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof
dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau
mengembangkan teori melalui penelitian yang komprehensif dan akurat untuk
memajukan peradaban manusia. Program doktor wajib memiliki dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat. Lulusan program
Doktor berhak mendapatkan gelar doctor.

SITUASI PEREMPUAN PADA MULTI PERIODE

Sebelum era penjajahan kolonial Belanda, posisi dan peranan wanita di Indonesia
adalah sama dengan posisi dan peranan pria. Hal ini terlihat jelas, karena saat
itu terdapat beberapa wanita yang memimpin suatu wilayah seperti menurut
Valentijn yang menulis sejarah kepulauan Indonesia antara tahun 1641 dan 1699 lebih
dari 50 tahun kerajaan Aceh diperintah oleh seorang Ratu. Demikian pula pada
permulaan abad ke-20 muncul panglima perang wanita seperti Raden Ayu Ageng
Serang (1752-1828), Cut Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Meutia (1870-1910) yang
menentang penjajahan kolonial Belanda. Di Minangkabau Sumatera Barat ada
Ratu Bundo Kanduang; Di Sulawesi Selatan diketahui ada beberapa Ratu pada abad
ke-19 di Bontorihu, daerah kekuasaan Bone; Di Kalimantan terdapat pemisahan
ratu dengan sultan Kutai, Adji Siti memerintah distrik Kotabangun daerah aliran sungai
di Kutai selama pertengahan tahun abad ke 19 (Ministry of Information,
1968:7).Penjajahan Belanda di Indonesia memberi pengaruh terhadap penurunan
posisi dan peranan wanita di Indonesia. Kebangkitan pergerakan wanita di Indonesia
muncul kembali diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan (1872-1946) di
Yogyakarta yang giat dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan selain merintis
perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren untuk
puteri sebagai pusat latihan kader santri dan ulama wanita, bahkan beliau mendirikan
pula sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan
dengan lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan pada tahun 1917
dirubah menjadi Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa
semakin terdidik seorang wanita, semakin mudah ia diajak untuk maju (Burhanudin,
2002)

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)di Jawa Tengah berjuang untuk persamaan hak
wanita (emansipasi) melalui pendidikan. Beliau bersama beberapa tokoh wanita
lainnya, seperti Dewi Sartika di Jawa Barat, dan Rasuna Said di Sumatera Barat berasa
bahwa wanita-wanita Indonesia tertekan dan terisolasi dengan keadaan yang saat
itu terjadi. Oleh karena itu mereka berusaha untuk memajukan dan
mensejahterakan wanita-wanita Indonesia dengan cara mengadakan pendidikan-
pendidikan dan sekolah-sekolah khusus bagi kaum wanita (Wieringa, 1999:99).Ide
Kartini (1879-1904) tentang emansipasi pendidikan dilanjutkan oleh Dewi Sartika (1884-
1947) yang merupakan pelopor pergerakan kaum wanita di Jawa Barat, terutama
dalam bidang pendidikan. Dewi Sartika yang dikenal sebagai juragan Dewi lahir
pada 4 Desember 1884 dari kalangan menakSunda, sebagai puteri kedua dari
lima bersaudara. Ayahnya adalah Raden Rangga Soemanagara, Patih Bandung,
dan ibundanya Raden Ayu Rajapermas, puteri Bupati Bandung, Raden
Adipati Wiranatakusumah IV (1846-1876) (Lubis, 2000: 189)Ketika Raden Dewi Sartika
berusia sembilan tahun dan masih duduk di kelas 3 ELS (Europesche Lagere
School), ayahnya dibuang ke Ternate karena dituduh terlibat dalam percobaan
pembunuhan terhadap Bupati Bandung, R.A.A. Martanagara (yang keturunan
menakSumedang) dan para pejabat Belanda di kota Bandung pada 1893.
Akibatnya Raden Dewi sartika harus berhenti dari sekolah dan menanggung
penderitaan karena teman dan kerabatnya menjauhi keluarganya. Mereka takut
dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Untunglah Raden Dewidibawa pindah oleh
pamannya, Patih Cicalengka. Di sana ia bersama puteri pamannya, diantaranya
dari isteri Asisten Residen Cicalengka, mendapat pendidikan keterampilan
wanita. Pada masa lapang Raden Dewi bermain sekolah-sekolahan dengan anak
pegawai kepatihan, dan ia menjadi guru. Kebiasaan bergaul dengan anaksomahini,
ternyata membina dasar pandangan hidupnya dikemudian hari. Beliau mempunyai
cita-cita untuk memajukan kanak-kanak perempuan, baik anak menak(bangsawan)
maupun anak somah(rakyat jelata). Ketika menginjak usia remaja, Dewi Sartika
kembali ke rumah ibundanya di Bandung. Cita-cita mendirikan sekolah bagi
kanak-kanak perempuan semakin ingin diwujudkannya di kota Bandung. Sebagai
anak mantan patih, ia menyimpan keberanian untuk menghubungi kalangan
menakdalam pemerintahan kabupaten yang mungkin bisa membantunya
dalam melaksanakan cita-citanya. Hanya dengan berbekalkan pendidikan sekolah
rakyat biasa selama tiga tahun serta semangat yang berkobar-kobar, dan
ditambah dengan sokongan Bupati Bandung R.A.A. Martanagara dan
dukungan seorang warga Belanda, C. den Hamer (Inspektur Kantor
Pengajaran), maka pada tanggal 16 Januari 1904 terlaksana sebagian kecil cita-
citanya yaitu dibukanya sekolah bagi kanak-kanak perempuan yang diberi nama
Sakola Isteri. Di sekolah ini, kanak-kanak perempuan selain mendapat
pelajaran umum, juga mendapatkan pelajaran keterampilan wanita, seperti
memasak, membatik, menjahit, merenda, dan menyulam. Selain itu diajarkan
pelajaran agama Islam, yang di sekolah-sekolah Barat dilarang diajarkan.Pada
tahun 1910 Sekolah Isteri dirubah namanya menjadi SakolaKautamaan Isteri,yang
diharapkan menghasilkan murid-murid yang kelak merupakan orang yang siap
menghadapi problematika rumah tangga selepas menikah. Usaha Dewi Sartika
dengan sekolahnya itu menarik perhatian wanita lain di beberapa Kabupaten,
antara lain Garut, Tasikmalaya, dan Purwakarta. Di Kabupaten-kabupaten lain
serta merta bermunculan sekolah KautamaanIsteri. Pengaruh ini bahkan
menjalar sampai Sumatera. Pada tahun 1914 atas usul Dewi Sartika kepada
Pemerintah, didirikan sebuah gedung baru yang diberi nama Sakola Raden Dewi. Atas
jasanya, Pemerintah Hindia Belanda memberi tanda penghargaan Bintang Mas
(Gouden Ster). Sampai akhir hayatnya Dewi Sartika masih terus berjuang dalam
pendidikan, terutama memajukan sekolah-sekolah yang didirikannya.Selain itu, ada
pula Rahmah El Yunusiyah (1901-1969) pelopor pendidikan wanita Islam dan
pejuang kemerdekaan. Dengan berbekal pendidikan hanya 3 tahun sekolah dasar dan
berguru pada beberapa ulama, pada tanggal 1 Nopember 1923 Rahmah berhasil
mendirikan perguruan khas untuk wanita yaitu Diniyyah Puteri School Padang
Panjang. Tujuan perguruan tersebut adalah membentukputeri yang berjiwa Islam
dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
keluarga, masyarakat, dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah SWT.
Diniyyah Puteri kemudian berkembang dan muridnya berdatangan dari seluruh
Indonesia, Malaysia, dan Pilipina.Selama penjajahan Belanda, Rahmah menganut
politik non-kooperasi dalam pendidikan. Dengan tegas Rahmah menolak tawaran
subsidi yang berulangkali ditawarkan pemerintah Hindia Belanda, yang sangat
khawatir perguruan tersebut akan melahirkan tokoh-tokoh perjuangan. Beliau juga
menolak sekolahnya dari terlibat terhadap partai politik manapun.Ketika pendudukan
Jepang, Rahmah dapat melindungi beratus gadis remaja yang telah dititipkan
padanya dan putus hubungan dengan orang tuanya. Kemudian, dengan keras dan
berani, beliau menentang maksud Jepang untuk mempergunakan wanita Indonesia
sebagai penghibur tentara Jepang. Rahmah menjadi ketua Haha No Kai yang
membantu pemuda-pemuda dalam Gyugun (Laskar Rakyat) agar dapat dijadikan
alat perjuangan bangsa. Di samping itu Rahmah menjadi anggota peninjau
Sumatra Cuo Sangi In, anggota mahkamah Syari’ah di Bukittinggi dan Majelis Islam
Tinggi Sumatera.Rahmah adalah orang pertama yang mengibarkan bendera merah
putih di Padang Panjang, setelah Proklamasi Kemerdekaan. Tanggal 2 Oktober
1945, beliau mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
yang kemudian menjadi inti dari Batalion Merapi serta menjamin seluruh
perbekalan batalion tersebut. Karenanya ia disebut Ibu Batalion Merapi. Tahun
1947, beliau membina Pasukan ekstremis untuk melakukan pengacauan dan
penyusupan ke kota Padang yang diduduki Belanda. Tahun 1946-1948 Rahmah
menggerakkan dapur umum, tugas-tugas Palang Merah dan membuat pakaian
tentara. Rahmah membantu pendirian pasukan sabilillah dan Hizbullah, sehingga
disebut Bunda Kanduangnya. Tahun 1948, beliau bergerilya ke luar kota dan
tahun 1949 ditawan Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Selama agresi
Belanda ke-II (1949-1950) Diniyyah Puteri dijadikan rumah sakit sementara, antara
lain agar tidak diduduki Belanda.Kejayaan Diniyyah Puteri telah banyak menarik
perhatian pihak Negara-negara luar. Sebagai hasil kunjungan Rektor Al-Azhar
tahun 1955, maka Al Azhar kemudian meniru Diniyyah Puteri, membuka Fakultas
yang dikhususkan untuk wanita. Tahun 1966, Rahmah diundang ke Al-Azhar
dan mendapat gelar penghormatan tertinggi yaitu Syaichah yang pertama kali
diberikan kepada wanita.Rahmah pernah menjabat anggota Komite Nasional
Indonesia Sumatera Tengah, Ketua BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban
Perang) Sumatera Tengah, anggota DPRD Bukittinggi dan pada tahun 1955
terpilih sebagai anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Cora Vreede dan De
Stuers (dalam Burhanudin, 2002: 2) adalah pengamat Belanda mengatakan
bahwa Rahmah El-Yunusiyah adalah salah seorang ulama perempuan yang dapat
disejajarkan dengan Ki Hajar Dewantara dan R.A. Kartini. Oleh karena itu beliau
menjadi contoh kepada beberapa tokoh yang memperjuangkan pendidikan. Cita-cita
dan kiprah Rahmah dalam pendidikan munculdari kesadaran akan adanya
ketidakadilan yang dialami kaumnya, di samping ketimpangan sosial dalam
masyarakat. Dia melihat kaumnya tertinggal dari lelaki, mereka berada dalam
kejahilan dam pasrah kepada keadaan, sehingga masyarakat pada umumnya,
termasuk perempuan, menganggap diri mereka makhluk yang lemah dan terbatas.
Rahmah juga melihat bahwa ketidaksetaraan perempuan dengan lelaki disebabkan
karena mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar sama. Pada tahun (1910-
1965) Rangkayo Rasuna Said berjuang melawan kolonial Belanda. Beliau seorang
ulama perempuan yang lebih memilih kiprahnya di bidang politik praktis. Rasuna
merupakan tokoh pergerakan politik rakyat Minangkabau, pejuang perempuan yang
menentang penjajahan dan sekaligus anti kemapanan kaum adat yang berpihak
kepada Belanda. Yang menarik dari ulama politik ini, ia menganggap bahwa
kemajuan perempuan tidak hanya dilihat dari aspek pendidikan dan sosial saja,
tetapi juga masalah politik. Kemerdekaan perempuan tidak hanya diterjemahkan
sebagai pembebasan perempuan dari masa pingitan seperti yang dicita-citakan Kartini,
tetapi harus dilanjutkan dengan keikutsertaan dalam perjuangan kemerdekaan
yang berarti ikut serta dalam bidang politik. (Burhanudin, 2002). Rohana Djamil
dan Rahma El-Yunusiah mendirikan sekolah khusus wanita di Bukittinggi dan
Padang Panjang, Sumatera Barat. Pada tahun 1926 Rasuna Said menjadi
anggota pengurus Sarekat Rakyat yang kemudian berganti nama menjadi PSSI.

Pergerakan wanita di Indonesia berbeda dengan feminisme di dunia Barat.


Feminisme di dunia Barat bertujuan untuk melawan usaha para pria, dan agar
kepentingan-kepentingan yang berhubung kait dengan wanita seperti adanya hak pilih
wanita dalam politik, dan hak-hak lainnya yang dahulu tidak dimiliki sama sekali oleh
wanita boleh dimiliki. Sedangkan pergerakan wanita di Indonesia pada tahap
awal lebih mengarah kepada usaha-usaha memajukan pendidikan wanita,
pembabitan wanita dalam kegiatan-kegiatan politik, dan sebagai upaya melawan
penjajahan Belanda dan Jepang dengan kesadaran nasional untuk bersatu
serta meraih kemerdekaan yang hakiki. Gerakan wanita di Indonesia lebih
bersifat kultural dari struktural. Mereka memulai dari emansipasi untuk
mendapatkan kesempatan dalam pendidikan.Wanita Indonesia, tidak selamanya
harus sepenuhnya mengadopsi konsep-konsep Barat, khususnya yang berkenaan
dengan emansipasi. Ajaran Islam baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun
hadis, mengatur hubungan manusia dengan Khalik (hablumminallah) dan
mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas), sangat
kaya akan prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, kesetaraan manusia, serta pesan-
pesan moral mengenai pentingnya pemuliaan terhadap martabat dan harkat manusia.
Kesemuanya itu pada esensinya sangat akomodatif terhadap gagasan
emansipasi. Karena itu, yang diperlukan sekarang adalah, cara
mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam yang menempatkan lelaki dan wanita
sebagai manusia yang setara di hadapan Tuhannya, yang memiliki tugas kemanusiaan
dan hak yang sama tanpa harus menimbulkan kekhawatiran akan adanya
ancaman terhadap dominasi lelaki dan timbulnya dekadensi moral seperti terjadi
di dunia Barat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah melakukan dekonstruksi
teol ogi terhadap ajaran agama yang berbicara soal relasi lelaki dan perempuan.
REKONTRUKSI DAN PENGUATAN BUDAYA DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.

Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya,


berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi baru lahir, anak
remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup
berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.

Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan


pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan
khususnya calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya
untuk meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya
kesehatan.

Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai
berikut:

1.Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai


persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.

2.Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan,


dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan
kesehatan setempat.

3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.

4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.

5.Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya
masyarakat.

6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.

7.Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta
adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh
bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya,
telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu:
Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem
pemerintahan desa dengan cara:

1.Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada
pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari
keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.

2.Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh
masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.

3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:

· Jenis kelamin

· Umur

· Mata pencaharian

· Pendidikan

· Agama

4. Mempelajari peta desa

5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.

Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci
keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama
kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang
digunakan oleh masyarakat setempat.

Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang


meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan
kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-
hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan


social dan budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di
anugerahi pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara
budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif,
maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif. Dalam kegiatan apresiatif, yaitu
mengadakan pendekatan terhadap kesenian atau kebudayaan seolah kita memasuki
suatu alam rasa yang kasat mata. Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap
kesenian kita tidak cukup hanya bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu
yaitu secara empati. Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan
dapat berperan aktif untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan
melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan
tradisional tersebut. Misalnya: Dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini
diselipkan pesan-pesan kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan pada akhir
pertunjukan.

Daftar pustaka

Ahmed, Leila. 2000. Wanita dan Gender Dalam Islam. Jakarta: Lentera

Burhanuddin, J., 2002.Ulama Perempuan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

Chafetz, J.S. and Dworkin, A.G., 1989. Action and reaction: An integrated,
comparative perspective on feminist and antifeminist movements.Cross-national
research in sociology,4, p.329

Chrisman, L. and Williams, P., 2015.Colonial discourse and post-colonial theory:


A reader. Routledge.

Dynes, W.R., 2017.Routledge Revivals: Homosexuality: A Research Guide


(1987). Routledge.

Hendropuspito, D. 1989. Sosiologi Sistimatik. Yogyakarta: Kanisius.Horton, Paul B. &


Hunt, Chester L.

Asrinah, dkk. 2010. Konsep Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ayuningtyas, Dumilah. 2014. Kebijakan Kesehatan: Prinsip dan Praktik. Jakarta:


Rajawali Pers.

Heryani, Reni. 2011. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: TIM.

International Confederation of Midwives. 2014. Core Document ICM. Jakarta: IBI.

Kementerian Kesehatan. 2015. Kesehatan dalam Kerangka Sustainable


Development Goals (SDGs).Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta:


Kementerian Kesehatan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2015. Laporan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium Di Indonesia 2014. Jakarta: KPPN.

Lisnawati, Lilis. 2012. Panduan Praktis Menjadi Bidan Komunitas (Learn to be Great
Midwife in Community). Jakarta: TIM.

Anda mungkin juga menyukai