Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktik
profesi bidan dalam system pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak. Layanan kebidanan yang tepat
akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan
kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan meliputi :
a. Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung
jawab bidan.
b. Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim
secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan
kesehatan.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan
keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di
masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus
Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula
dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada
masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun
1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan
anak termasuk pelayanan keluarga berencana.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan
masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet
Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa.
Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA,
khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan
kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan
tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang
memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta
mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan
yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan
yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada
individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan
kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan
perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang
menekankan pada reproduktive health (kesehatan reproduksi), memperluas area
garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi :
2. Family Planning.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan
dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
c. Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek
bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri.
Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan.
Dalam wewenang tersebut mencakup :
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851
seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita
pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta
didik yang disebabkan karena adaanya larangan atatupun pembatasan bagi wanita
untuk keluaran rumah.
Pada tahunan 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit
militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di
Makasar. Luluasan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja
tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu
secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-
25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk
menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang
disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan
sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP
ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan
pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus
antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta.
Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai
perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan
memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967
KTB ditutup (discountinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat
dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini
berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang
menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi
Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah
perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari
Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut
Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak
dilaksanakan secara merata diseluruh propinsi. Pada tahun 1974 mengingat jenis
tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen
Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana.
Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan
adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah
menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum
terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah
agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10
tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan
hidup secara wajar.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang
menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya
dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang
memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.
Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan
satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah
menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan
II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT)
dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat
diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD
harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai
bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk
menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak.
Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar.
Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang
bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama
pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun
waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik
kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang
bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya
dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan
program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan
Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari
lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan
yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua
angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima
masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh,
Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur,
Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat
diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga
propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan
untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan
penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994
Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan
tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Pendidikan ini
dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Propinsi. DJJ
Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II (1996-1997)
dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi.
Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah
3.439 (55%) dinyatakan lulus.
Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang
dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini telah
melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya
untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan.
Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, utnuk meningkatkan kualitas pelayanan
juga diadakan seminar dan Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi
pengembangan organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap
tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEP.
Sebagai sebuah profesi kebidanan, kompetensi bidan yang terdiri dari serangkaian
pengetahuan, keterampilan dan perilaku didapat melalui pendidikan tinggi dan
pendidikan berkelanjutan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program
magister, program doktor, dan program profesi serta program spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Terdapat tiga jenis pendidikan tinggi yaitu akademik, vokasi dan profesi. Berikut ini
merupakan penjelasan jenis pendidikan tinggi:a.Pendidikan akademik merupakan
pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan
pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan
teknologi.b.Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang
menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai
program sarjana terapan. Dapat pula dikembangkan oleh pemerintah sampai
dengan program magister terapan atau program doktor terapan.c.Pendidikan profesi
merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa
dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan
profesi dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan bekerja sama dengan
kementerian pendidikan, kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang
bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.Saat ini pendidikan tinggi kebidanan
telah tersedia di perguruan tinggi dengan jenis program pendidikan berupa akademik,
vokasi dan profesi. Program pendidikan akademik kebidanan yang sudah tersedia
adalah sarjana dan magister. Program pendidikan vokasi yang tersedia adalah
program diploma satu, diploma dua, diploma tiga dan diploma empat atau biasa
disebut dengan program sarjana terapan. Sedangkan program pendidikan profesi
baru tersedia program profesi kebidanan yang berasal dari lulusan pendidikan
sarjana kebidanan. Adapun program spesialis kebidanan belum tersedia. Di negara
lain pun belum ada program spesialisasi kebidanan dan bahkan acuan ICM belum
menyebutkan spesialisasi kebidanan sebagaimana profesi dokter dan perawat
yang sudah ada spesialisasinya. Ke depannya, program pendidikan doktoral,
spesialis maupun subspesialis akan dibuka jika ada kebutuhan masyarakat dan
kesiapan dari organisasi profesi bidan (Wawancara dengan Pengurus Pusat IBI,
2016).Peserta didik lulusan SMU atau sederajat dapat melanjutkan pendidikan
tinggi kebidanan melalui jenis pendidikan vokasi dan akademik. Pendidikan vokasi
yang dimaksud adalah minimal pendidikan diploma tiga. Hal ini dikarenakan syarat
tenaga kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan adalah minimal lulusan pendidikan diploma
tiga. Lulusan diploma tiga berhak mendapat gelar ahli madya kebidanan dan
termasuk dalam jenis bidan vokasi atau bidan pelaksana. Bidan vokasi dapat
melakukan praktik kebidanan dalam batasan wewenang tertentu dengan pengawasan
bidan profesional. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi
lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan
dan penalaran dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Program diploma
menyiapkan mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja
sesuai dengan bidang keahliannya. Program diploma terdiri atas program diploma
satu, diploma dua, diploma tiga dan diploma empat atau sarjana terapan. Program
diploma wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program
magister atau sederajat dan dapat menggunakan instruktur diploma tiga atau
sederajat yang memiliki pengalaman. Lulusan program diploma berhak
menggunakan gelar ahli atau sarjana terapan. Selain diploma tiga, lulusan SMU atau
sederajat dapat melanjutkan pendidikan akademik yaitu program sarjana kebidanan.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi
lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Program sarjana menyiapkan
mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu
memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan
diri menjadi profesional. Program sarjana wajib memiliki dosen yang berkualifikasi
akademik minimum lulusan program magister atau sederajat. Lulusan program sarjana
berhak menggunakan gelar sarjana. Oleh karenanya, lulusan sarjana kebidanan
berhak mendapat gelar sarjana kebidanan. Namun sarjana kebidanan belum bisa
melakukan praktik kebidanan.Untuk dapat melakukan praktik kebidanan, lulusan
sarjana kebidanan diwajibkan melanjutkan ke jenis pendidikan profesi kebidanan.
Lulusan pendidikan profesi bidan berhak mendapat gelar bidan. Dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program profesi
merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program
sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh
kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja. Program profesi diselenggarakan
oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian pendidikan,
kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi. Program profesi wajib memiliki dosen yang berkualifikasi
akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program magister atau
yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat dua tahun. Lulusan program
profesi berhak menggunakan gelar profesi.Selanjutnya, bidan profesi yang ingin
mengembangkan keilmuan kebidanan, dapat melanjutkan pendidikan akademik
ke tingkat magister. Lulusan magister kebidanan berhak mendapat gelar magister
kebidanan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, program magister merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu
mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui
penalaran dan penelitian ilmiah. Program magister mengembangkan mahasiswa
menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau
menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional. Program
magister wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program
doktor atau yang sederajat. Lulusan program magister berhak menggunakan gelar
magister.Lulusan magister kebidanan dapat melanjutkan pendidikan pendidikan
spesialisasi kebidanan, berhak mendapat gelar bidan spesialis dan dapat
melakukan praktik kebidanan spesialis tersebut. Dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program spesialis merupakan
pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi lulusan
program profesi yang telah berpengalaman sebagai profesional untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis. Program spesialis
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian
pendidikan, kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung
jawab atas mutu layanan profesi. Program spesialis meningkatkan kemampuan
spesialisasi dalam cabang ilmu tertentu. Program spesialis wajib memiliki dosen
yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program spesialis dan/atau
lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling
singkat dua tahun. Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar spesialis.
Adapun spesialisasi yang dimaksud mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
kebidanan, isu global kebidanan, kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kebidanan, perkembangan peraturan dan lainnya. Perkembangan spesialisasi
kebidanan terbatas pada kewenangan persalinan normal dan tidak dalam
menangani kondisi patologis kehamilan atau kehamilan dengan risiko.Lulusan
magister kebidanan juga dapat melanjutkan pendidikan doktor guna
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lulusan doktor kebidanan berhak
mendapat gelar doktor. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, program doktor merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu
menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan,
serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran penelitian
ilmiah. Program doktor mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi
lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof
dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau
mengembangkan teori melalui penelitian yang komprehensif dan akurat untuk
memajukan peradaban manusia. Program doktor wajib memiliki dosen yang
berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat. Lulusan program
Doktor berhak mendapatkan gelar doctor.
Sebelum era penjajahan kolonial Belanda, posisi dan peranan wanita di Indonesia
adalah sama dengan posisi dan peranan pria. Hal ini terlihat jelas, karena saat
itu terdapat beberapa wanita yang memimpin suatu wilayah seperti menurut
Valentijn yang menulis sejarah kepulauan Indonesia antara tahun 1641 dan 1699 lebih
dari 50 tahun kerajaan Aceh diperintah oleh seorang Ratu. Demikian pula pada
permulaan abad ke-20 muncul panglima perang wanita seperti Raden Ayu Ageng
Serang (1752-1828), Cut Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Meutia (1870-1910) yang
menentang penjajahan kolonial Belanda. Di Minangkabau Sumatera Barat ada
Ratu Bundo Kanduang; Di Sulawesi Selatan diketahui ada beberapa Ratu pada abad
ke-19 di Bontorihu, daerah kekuasaan Bone; Di Kalimantan terdapat pemisahan
ratu dengan sultan Kutai, Adji Siti memerintah distrik Kotabangun daerah aliran sungai
di Kutai selama pertengahan tahun abad ke 19 (Ministry of Information,
1968:7).Penjajahan Belanda di Indonesia memberi pengaruh terhadap penurunan
posisi dan peranan wanita di Indonesia. Kebangkitan pergerakan wanita di Indonesia
muncul kembali diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan (1872-1946) di
Yogyakarta yang giat dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan selain merintis
perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren untuk
puteri sebagai pusat latihan kader santri dan ulama wanita, bahkan beliau mendirikan
pula sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan
dengan lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan pada tahun 1917
dirubah menjadi Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa
semakin terdidik seorang wanita, semakin mudah ia diajak untuk maju (Burhanudin,
2002)
Raden Ajeng Kartini (1879-1904)di Jawa Tengah berjuang untuk persamaan hak
wanita (emansipasi) melalui pendidikan. Beliau bersama beberapa tokoh wanita
lainnya, seperti Dewi Sartika di Jawa Barat, dan Rasuna Said di Sumatera Barat berasa
bahwa wanita-wanita Indonesia tertekan dan terisolasi dengan keadaan yang saat
itu terjadi. Oleh karena itu mereka berusaha untuk memajukan dan
mensejahterakan wanita-wanita Indonesia dengan cara mengadakan pendidikan-
pendidikan dan sekolah-sekolah khusus bagi kaum wanita (Wieringa, 1999:99).Ide
Kartini (1879-1904) tentang emansipasi pendidikan dilanjutkan oleh Dewi Sartika (1884-
1947) yang merupakan pelopor pergerakan kaum wanita di Jawa Barat, terutama
dalam bidang pendidikan. Dewi Sartika yang dikenal sebagai juragan Dewi lahir
pada 4 Desember 1884 dari kalangan menakSunda, sebagai puteri kedua dari
lima bersaudara. Ayahnya adalah Raden Rangga Soemanagara, Patih Bandung,
dan ibundanya Raden Ayu Rajapermas, puteri Bupati Bandung, Raden
Adipati Wiranatakusumah IV (1846-1876) (Lubis, 2000: 189)Ketika Raden Dewi Sartika
berusia sembilan tahun dan masih duduk di kelas 3 ELS (Europesche Lagere
School), ayahnya dibuang ke Ternate karena dituduh terlibat dalam percobaan
pembunuhan terhadap Bupati Bandung, R.A.A. Martanagara (yang keturunan
menakSumedang) dan para pejabat Belanda di kota Bandung pada 1893.
Akibatnya Raden Dewi sartika harus berhenti dari sekolah dan menanggung
penderitaan karena teman dan kerabatnya menjauhi keluarganya. Mereka takut
dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Untunglah Raden Dewidibawa pindah oleh
pamannya, Patih Cicalengka. Di sana ia bersama puteri pamannya, diantaranya
dari isteri Asisten Residen Cicalengka, mendapat pendidikan keterampilan
wanita. Pada masa lapang Raden Dewi bermain sekolah-sekolahan dengan anak
pegawai kepatihan, dan ia menjadi guru. Kebiasaan bergaul dengan anaksomahini,
ternyata membina dasar pandangan hidupnya dikemudian hari. Beliau mempunyai
cita-cita untuk memajukan kanak-kanak perempuan, baik anak menak(bangsawan)
maupun anak somah(rakyat jelata). Ketika menginjak usia remaja, Dewi Sartika
kembali ke rumah ibundanya di Bandung. Cita-cita mendirikan sekolah bagi
kanak-kanak perempuan semakin ingin diwujudkannya di kota Bandung. Sebagai
anak mantan patih, ia menyimpan keberanian untuk menghubungi kalangan
menakdalam pemerintahan kabupaten yang mungkin bisa membantunya
dalam melaksanakan cita-citanya. Hanya dengan berbekalkan pendidikan sekolah
rakyat biasa selama tiga tahun serta semangat yang berkobar-kobar, dan
ditambah dengan sokongan Bupati Bandung R.A.A. Martanagara dan
dukungan seorang warga Belanda, C. den Hamer (Inspektur Kantor
Pengajaran), maka pada tanggal 16 Januari 1904 terlaksana sebagian kecil cita-
citanya yaitu dibukanya sekolah bagi kanak-kanak perempuan yang diberi nama
Sakola Isteri. Di sekolah ini, kanak-kanak perempuan selain mendapat
pelajaran umum, juga mendapatkan pelajaran keterampilan wanita, seperti
memasak, membatik, menjahit, merenda, dan menyulam. Selain itu diajarkan
pelajaran agama Islam, yang di sekolah-sekolah Barat dilarang diajarkan.Pada
tahun 1910 Sekolah Isteri dirubah namanya menjadi SakolaKautamaan Isteri,yang
diharapkan menghasilkan murid-murid yang kelak merupakan orang yang siap
menghadapi problematika rumah tangga selepas menikah. Usaha Dewi Sartika
dengan sekolahnya itu menarik perhatian wanita lain di beberapa Kabupaten,
antara lain Garut, Tasikmalaya, dan Purwakarta. Di Kabupaten-kabupaten lain
serta merta bermunculan sekolah KautamaanIsteri. Pengaruh ini bahkan
menjalar sampai Sumatera. Pada tahun 1914 atas usul Dewi Sartika kepada
Pemerintah, didirikan sebuah gedung baru yang diberi nama Sakola Raden Dewi. Atas
jasanya, Pemerintah Hindia Belanda memberi tanda penghargaan Bintang Mas
(Gouden Ster). Sampai akhir hayatnya Dewi Sartika masih terus berjuang dalam
pendidikan, terutama memajukan sekolah-sekolah yang didirikannya.Selain itu, ada
pula Rahmah El Yunusiyah (1901-1969) pelopor pendidikan wanita Islam dan
pejuang kemerdekaan. Dengan berbekal pendidikan hanya 3 tahun sekolah dasar dan
berguru pada beberapa ulama, pada tanggal 1 Nopember 1923 Rahmah berhasil
mendirikan perguruan khas untuk wanita yaitu Diniyyah Puteri School Padang
Panjang. Tujuan perguruan tersebut adalah membentukputeri yang berjiwa Islam
dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
keluarga, masyarakat, dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah SWT.
Diniyyah Puteri kemudian berkembang dan muridnya berdatangan dari seluruh
Indonesia, Malaysia, dan Pilipina.Selama penjajahan Belanda, Rahmah menganut
politik non-kooperasi dalam pendidikan. Dengan tegas Rahmah menolak tawaran
subsidi yang berulangkali ditawarkan pemerintah Hindia Belanda, yang sangat
khawatir perguruan tersebut akan melahirkan tokoh-tokoh perjuangan. Beliau juga
menolak sekolahnya dari terlibat terhadap partai politik manapun.Ketika pendudukan
Jepang, Rahmah dapat melindungi beratus gadis remaja yang telah dititipkan
padanya dan putus hubungan dengan orang tuanya. Kemudian, dengan keras dan
berani, beliau menentang maksud Jepang untuk mempergunakan wanita Indonesia
sebagai penghibur tentara Jepang. Rahmah menjadi ketua Haha No Kai yang
membantu pemuda-pemuda dalam Gyugun (Laskar Rakyat) agar dapat dijadikan
alat perjuangan bangsa. Di samping itu Rahmah menjadi anggota peninjau
Sumatra Cuo Sangi In, anggota mahkamah Syari’ah di Bukittinggi dan Majelis Islam
Tinggi Sumatera.Rahmah adalah orang pertama yang mengibarkan bendera merah
putih di Padang Panjang, setelah Proklamasi Kemerdekaan. Tanggal 2 Oktober
1945, beliau mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
yang kemudian menjadi inti dari Batalion Merapi serta menjamin seluruh
perbekalan batalion tersebut. Karenanya ia disebut Ibu Batalion Merapi. Tahun
1947, beliau membina Pasukan ekstremis untuk melakukan pengacauan dan
penyusupan ke kota Padang yang diduduki Belanda. Tahun 1946-1948 Rahmah
menggerakkan dapur umum, tugas-tugas Palang Merah dan membuat pakaian
tentara. Rahmah membantu pendirian pasukan sabilillah dan Hizbullah, sehingga
disebut Bunda Kanduangnya. Tahun 1948, beliau bergerilya ke luar kota dan
tahun 1949 ditawan Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Selama agresi
Belanda ke-II (1949-1950) Diniyyah Puteri dijadikan rumah sakit sementara, antara
lain agar tidak diduduki Belanda.Kejayaan Diniyyah Puteri telah banyak menarik
perhatian pihak Negara-negara luar. Sebagai hasil kunjungan Rektor Al-Azhar
tahun 1955, maka Al Azhar kemudian meniru Diniyyah Puteri, membuka Fakultas
yang dikhususkan untuk wanita. Tahun 1966, Rahmah diundang ke Al-Azhar
dan mendapat gelar penghormatan tertinggi yaitu Syaichah yang pertama kali
diberikan kepada wanita.Rahmah pernah menjabat anggota Komite Nasional
Indonesia Sumatera Tengah, Ketua BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban
Perang) Sumatera Tengah, anggota DPRD Bukittinggi dan pada tahun 1955
terpilih sebagai anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Cora Vreede dan De
Stuers (dalam Burhanudin, 2002: 2) adalah pengamat Belanda mengatakan
bahwa Rahmah El-Yunusiyah adalah salah seorang ulama perempuan yang dapat
disejajarkan dengan Ki Hajar Dewantara dan R.A. Kartini. Oleh karena itu beliau
menjadi contoh kepada beberapa tokoh yang memperjuangkan pendidikan. Cita-cita
dan kiprah Rahmah dalam pendidikan munculdari kesadaran akan adanya
ketidakadilan yang dialami kaumnya, di samping ketimpangan sosial dalam
masyarakat. Dia melihat kaumnya tertinggal dari lelaki, mereka berada dalam
kejahilan dam pasrah kepada keadaan, sehingga masyarakat pada umumnya,
termasuk perempuan, menganggap diri mereka makhluk yang lemah dan terbatas.
Rahmah juga melihat bahwa ketidaksetaraan perempuan dengan lelaki disebabkan
karena mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar sama. Pada tahun (1910-
1965) Rangkayo Rasuna Said berjuang melawan kolonial Belanda. Beliau seorang
ulama perempuan yang lebih memilih kiprahnya di bidang politik praktis. Rasuna
merupakan tokoh pergerakan politik rakyat Minangkabau, pejuang perempuan yang
menentang penjajahan dan sekaligus anti kemapanan kaum adat yang berpihak
kepada Belanda. Yang menarik dari ulama politik ini, ia menganggap bahwa
kemajuan perempuan tidak hanya dilihat dari aspek pendidikan dan sosial saja,
tetapi juga masalah politik. Kemerdekaan perempuan tidak hanya diterjemahkan
sebagai pembebasan perempuan dari masa pingitan seperti yang dicita-citakan Kartini,
tetapi harus dilanjutkan dengan keikutsertaan dalam perjuangan kemerdekaan
yang berarti ikut serta dalam bidang politik. (Burhanudin, 2002). Rohana Djamil
dan Rahma El-Yunusiah mendirikan sekolah khusus wanita di Bukittinggi dan
Padang Panjang, Sumatera Barat. Pada tahun 1926 Rasuna Said menjadi
anggota pengurus Sarekat Rakyat yang kemudian berganti nama menjadi PSSI.
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai
berikut:
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
5.Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya
masyarakat.
7.Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta
adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh
bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya,
telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu:
Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem
pemerintahan desa dengan cara:
1.Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada
pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari
keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
2.Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh
masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
· Jenis kelamin
· Umur
· Mata pencaharian
· Pendidikan
· Agama
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci
keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama
kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang
digunakan oleh masyarakat setempat.
Daftar pustaka
Ahmed, Leila. 2000. Wanita dan Gender Dalam Islam. Jakarta: Lentera
Chafetz, J.S. and Dworkin, A.G., 1989. Action and reaction: An integrated,
comparative perspective on feminist and antifeminist movements.Cross-national
research in sociology,4, p.329
Lisnawati, Lilis. 2012. Panduan Praktis Menjadi Bidan Komunitas (Learn to be Great
Midwife in Community). Jakarta: TIM.