Anda di halaman 1dari 22

Salah satu ciri pemerintahan yang baik adalah terwujudnya pelayanan publik yang

berkualitas. Pelayanan publik merupakan kewajiban yang diamanatkan oleh


undang-undang terhadap pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga negaranya.
Pelayanan kesehatan adalah salah satu pelayanan publik yang seharusnya
diberikan oleh pemerintah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang
bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Pelayanan kesehatan tersebut semestinya
diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkualitas termasuk di dalamnya tenaga
bidan. Praktek pelayanan bidan merupakan layanan kesehatan yang memiliki
kontribusi cukup besar dalam peningkatan kesehatan khususnya kesehatan ibu dan
anak. Untuk itu seorang bidan harus dapat menjaga kualitas dan keamanannya
dengan memberikan layanan sesuai dengan kewenangannya, dilandasi dengan
regulasi pelayanan praktek yang jelas. Regulasi praktek bidan dari waktu ke
waktu selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Regulasi praktek bidan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2019 tentang Kebidanan yang dikeluarkan dengan pertimbangan antara lain
pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya perempuan, bayi, dan anak
yang dilaksanakan oleh bidan secara bertanggung jawab, akuntabel. bermutu,
aman, dan berkesinambungan. Namun ada beberapa kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan pelayanan yang berkualitas tersebut diantaranya kendala
profesionalitas, kompetensi, dan kewenangan.Perbedaan tingkat pendidikan,
kompetensi yang berbeda pada tingkatan tersebut dan kewenangan yang masih
tumpang tindih kiranya masih perlu diperbaiki menyesuaikan dengan regulasi
yang berkembang saat ini.
Menurut Amalia, Nur 2017 dilema hukum yang dihadapi bidan yaitu
kurangnya pengetahuan bidan tentang peraturanperaturan kebidanan sehingga
menimbulkan ketakutan bidan dalam mengambil keputusan dan hal ini dapat
menimbulkan kelalaian dalam memberikan tindakan medis. Pengetahuan tentang
peraturan perundang-undangan adalah hal yang bersifat mutlak. Semua orang
dianggap tahu jika sebuah undang-undang sudah resmi diundangkan. Pengetahuan
tentang peraturan tersebut dapat diperoleh bidan melalui pendidikan, seminar,
sosialisasi, media social dan lain-lain. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2019 dituliskan bahwa praktik bidan mandiri dapat dilakukan oleh bidan dengan
latar belakang pendidikan profesi. Namun belum semua bidan di Kabupaten
Banyumas memiliki pendidikan profesi. Untuk itu peneliti ingin melakukan kajian
tentang pendidikan yang dimiliki oleh bidan
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEBIDANAN DI INDONESIA

Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan


pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk
menjawabkebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang
dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda sampai
saat sekarang ini.

A.           PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEBIDANAN PADA


FASE PENJAJAHAN

  Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka
pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak
berlangsung lama karena kurangnyah peserta didik yang disebabkan karena
adaanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
  Pada tahun 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi dirumah
sakit militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita
indonesia dibuka di Makasar. Luluasan dari pendidikan ini harus bersedia untuk
ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat
yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan
dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan
menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
  Tahun 1911 - 1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di
(RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari HS (SD 7 tahun) dengan
pendidikan keperawatan 4 tahun dilanjutkan pendidikan bidan 2tahun.
  Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat
wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama 2 tahun.
  Tahun 1918 Budi Kemuliaan membuka RS Bersalin dan pendidikan bidan. Murid-
murid dari juru rawat wanita, pendidikan 2 tahun.
  Pada tahun 1935-1938 pemerintah Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan
MULO (Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan
di beberapa kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang
Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. Di tahunyang sama dikeluarkan
sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang
pendidikan Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan
selama tiga tahun tersebut Bidan Kelas Satu(Vreodrouweerste Klas) dan bidan
dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas 2 (Vreodrouw tweede klas).
Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada
zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah
bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang
sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki
sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada
pendidikan lain.

B.     PENDIDIKAN KEBIDANAN PADA ZAMAN KEMERDEKAAN SAMPAI


SEKARANG

  Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun. Mengingat kebutuhan tenaga
untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu
bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan.Pendidikan ini
dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah
lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusandari PK/E sebagian besar
melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun. 8 Tahun 1953 dibuka Kursus
Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan
12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini
adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan
program KIA dalam pelayanan kesehatanmasyarakat, sebelum lulusan memulai
tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB
ditutup (discountinued).
  Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru
perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan
ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang
menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi
Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan inimenerima calon dari lulusan sekolah
perawat dan sekolah bidan.
  Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari
Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang
disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK).Pendidikan ini
tidak dilaksanakan secara merata diseluruh provinsi.
  Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat
banyak, Departemen Kesehatan (Depkes) melakukan penyederhanaan pendidikan
tenaga kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi purpose di lapangan di mana
salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena adanya
perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan
seorang bidan, maka tujuan pemerintahagar SPK dapat menolong persalinan tidak
tercapai atau terbukti tidak berhasil.
  Pada tahun 1975 - 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama10
tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada
dan hidup secara wajar.
  Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam
pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan
Diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung 1tahun dan
tidak dilakukan oleh semua institusi.
  Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang
menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan 1 tahun dan lulusannya
dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
  Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional
yangmemperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan
bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A).Lama
pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu
pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil
(PNS Golongan II).
  Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (BidanPTT)
dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat
diperpanjang 2x3 tahun lagi.Penempatan bidan ini menyebabkan orientasi sebagai
tenaga kesehatan berubah. Bidan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak
hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk
berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa
dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A)
diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar.
  Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki kemampuan dan
keterampilan yang diharapkan seorang bidan professional, karena pendidikan
terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu 1 tahun
akademik, sehingga kesempatan tingkat kemampuan yang dimiliki seorang bidan
juga kurang.
  Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta
didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu
tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada
Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan
klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan
karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini
hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan1996) kemudian ditutup.
  Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yangmenerima
lulusan dari SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu :Aceh, Bengkulu,
Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat,Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan) , Nusa Tenggara Timur, Maluku dan
Irian Jaya. Pendidikan inimemerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan
dalam waktu 6 semester.
  Pada tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan
Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga propinsi yaitu JawaBarat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan
upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam
pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.Pengaturan penyelenggaraan
ini telah diatur dalam SK Menkes No.1247/Menkes/SK/XII/1994Diklat Jarak
Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampumelaksanakan tugasnya
dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB.
  Tahun 1996 dibuka Pendidikan Diploma III Kebidanan dengan raw input dari
SMA. Diterapkan melalui surat keputusa menteri pendidikan dan kebudayaan RI
No 009/U/1996 di 6 propinsi dengan menerima calon peserta didik dariSMA. Saat
ini kurikulum DIII kebidanan telah direvisi mengacu pada Kep.Mendiknas 32
tahun 2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi dan hasil
revisi tersebut telah diserahkan dengan keputusanmenteri kesehatan
RI.No.HK.00.06.2.4.1583.Tahun 2001 tercatat ada 65 institusi yang
menyelenggarakan pendidikan diploma III kebidanan diseluruhIndonesia, sampai
dengan tahun ini tercatat jumlah institusi DIII kebidanan 310.
  Pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan
maternal dan neonatal.
  Pada tahun 1995-1998 (IBI) bekerjasama langsung dengan mother care melakukan
pelatihan bidan Rumah Sakit dan bidan puskesmas serta bidan didesa di Provinsi
Kalimantan Selatan.
  Pada tahun 2000 telah ada pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) yangdi
koordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat initelah
melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan life skill S (LSS) dan
APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru,dosen-dosen dari
Akademi Kebidanan.
  Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kebidanan juga diadakan seminar dan Lokakarya
organisasidilaksanakan setiap tahun sebanyak 2 kali mulai tahun 1996 - 2000
dengan biaya dari UNICEP.
  Tahun 2000 dibuka program D-IV bidan pendidik di FK UGM Yogyakarta, dengan
lama pendidikan 2 semester. Saat ini terdapat juga di UNPAD (2002) di USU
(2004), STIKES Ngudi Waluyo Semarang, STIKIM Jakarta (2003).Akhir-akhir
ini minat masyarakat untuk membuka program D.IV bidan pendidik juga sudah
mulai banyak seperti adanya beberapa usulan yang sudah masuk Pusdiknakes dari
pemrakarsa program D.IV bidan pendidik pada awalnya dilaksanakan pada masa
transisi dalam upaya kebutuhan dosen. Sebagaimana kita ketahui bahwa D.IV
bidan pendidik dengan masa studi 1tahun terdiri dari beban materi profesi kurang
lebih dari 60% dan 40% beban materi kependidikan. Hal ini sebelumnya belum
memenuhi ketentuan yang ditetapka Depdiknas bahwa kualifikasi dosen minimal
D.IV kebidanan atau S1 kebidanan.Dengan memperhatikan permasalahan tersebut
mungkin sudah waktunya untuk mulai memikirkan dan membuat rancangan D.IV
kebidanan klinik dan S1 kebidanan.. Tidak kemungkinan pula untuk
mengembangkan jenjang S2 maupun SP1 dan SP2.Penyusunan kompetensi ini
dilakukan oleh IBI bersama-sama dengan unsur terkait lainnya seperti
Departemen Kesehatan, organisasi profesi.Adapun pembinaan dan pengawasan
yang telah diupayakan oleh Pusdiknaskesantara lain mulai dari penyusunan dan
penetapan standar kompetensi bidan, penilaian ijin institusi baru, seleksi
mahasiswa baru, penyusunan kurikulum,akreditasi pendidikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, kedepan kita sudahwaktunya untuk meninjau ulang dan
menata kembali pola pendidikan berjenjang dan berkelanjutan bagi bidan.
  Tahun 2006 dibuka S2 Kebidanan di UNPAD Bandung.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Perkembangan pendidikan kebidanan di Indonesia sudah mulai pada zaman
penjajahan belanda pada tahun pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda
(Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia.
Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta didik yang
disebabkan karena adaanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk
keluar rumah.
Dari tahun-ketahun perkembangan pendidikan kebidanan di Indonesia terus
meningkat. Mulai tahun Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan
SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun. Tahun
1996 dibuka Pendidikan Diploma III Kebidanan dengan raw input dari SMA.
Adapun pembinaan dan pengawasan yang telah diupayakan oleh
Pusdiknaskesantara lain mulai dari penyusunan dan penetapan standar kompetensi
bidan, penilaian ijin institusi baru,   seleksi  mahasiswa baru, penyusunan
kurikulum,akreditasi pendidikan.

Salah satu program yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu dan
anak adalah penempatan bidan di wilayah terpencil. Program tersebut bertujuan
mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi ke masyarakat. Bidan merupakan
tenaga kesehatan yang paling banyak tersebar di wilayah terpencil sebagai Pegawai
Tidak Tetap (PTT). Tahun 2014 Kementerian Kesehatan mencatat terdapat sebanyak
42.033 bidan PTT. Adapun tenaga PTT lainnya yaitu tenaga medis PTT hanya berjumlah
4.435 orang. Bidan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak di
wilayah terpencil. Bidan di wilayah terpencil mendapat gaji dan insentif sebesar
Rp.1.500.000 untuk daerah biasa, Rp.1.700.000 untuk daerah terpencil dan
Rp.2.000.000 untuk daerah yang sangat terpencil.1 Selain itu, kebijakan pemerintah
belum mendukung kontinuitas bidan PTT dalam memberikan pelayanan di daerah
tersebut. Hingga tahun 2014, Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) mencatat
terdapat sebanyak 280.263 bidan yang mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR). Jumlah
tersebut terbanyak kedua setelah tenaga keperawatan yang sejumlah 281.111 orang
(Kementerian Kesehatan, 2015). Data terbaru MTKI per November 2015, ada sebanyak
353.003 bidan yang telah diregistrasi. Bahkan jumlah tersebut merupakan jumlah
terbanyak jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kesehatan lainnya (666.069)
(Wawancara dengan Pengurus Pusat IBI, 2016). Dalam kenyataannya, terdapat berbagai
masalah kesehatan terkait dengan profesi bidan. Seperti pelayanan kebidanan belum
dirasakan oleh semua penduduk Indonesia. Hal ini dikarenakan profesi bidan yang
belum berkembang dari segi kompetensi dan pendidikan, akses yang menyulitkan untuk
mendapatkan pelayanan kebidanan, masih adanya budaya pertolongan persalinan oleh
paraji, dan kebijakan pemerintah yang tidak mendorong semangat penempatan bidan di
desa (Wawancara dengan Pengurus Pusat IBI, 2016). Di era Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) saat ini, bidan terutama bidan praktik mandiri belum sepenuhnya tergabung
sebagai pemberi pelayanan kesehatan yang tergabung sebagai mitra BPJS. Hanya dua
ribuan bidan yang berjejaring dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan semestinya bisa
memperluas jaringannya dengan bidan praktik mandiri. Mekanisme pembiayaan JKN
dinilai lebih 1 “Gaji Bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap) Daerah,” tetap.html, diakses 20
Maret 2016. Rahmi Yuningsih,
Pengembangan Kebijakan Profesi Bidan | 65 rumit dari Jampersal.2 Padahal
bidan memiliki peran yang strategis dalam memberikan pelayanan kesehatan primer
kepada ibu dan anak. Selain masalah pelayanan, dari sisi pengembangan pendidikan
profesi kebidanan dapat dikatakan belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2015 tentang
Rumah Sakit Pendidikan, Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi dan Permenristekdikti Nomor 26 Tahun 2016 tentang
Rekognisi Pembelajaran Lampau, dan Permendikbud Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Akreditasi Perguruan Tinggi dan Program Studi. Pendidikan kebidanan belum
berkembang seperti pendidikan kedokteran dan pendidikan keperawatan yang sudah
jelas jenis pendidikan profesinya mulai dari program pendidikan spesialis hingga
subspesialis. Tentunya Pengembangan pendidikan kebidanan berbeda dengan
kedokteran kebidanan dan kandungan. Pengembangan pendidikan kebidanan bertujuan
untuk menyelenggarakan asuhan kebidanan dalam keadaan normal dengan
pengembangan metode-metode yang didukung oleh penelitian dan penerapan
teknologi.
Perkembangan pendidikan kebidanan menyesuaikan dengan perkembangan
global yaitu yang ada pada setiap pertemuan International Confederation of Midwives
(ICM). Sampai tahun 2015, pendidikan kebidanan tersebar di 728 program studi
kebidanan yang terdiri dari pendidikan vokasi, pendidikan akademik yang terbatas
sampai magister dan pendidikan profesi setelah pendidikan sarjana kebidanan. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 454 yang akreditasinya masih berlaku, 15 program studi
kebidanan yang memiliki akreditasi yang sudah kadaluarsa dan 259 program studi
kebidanan yang belum terakreditasi. Akreditasi program studi kebidanan menjadi sangat
penting dilakukan karena dapat dijadikan jaminan kualitas kepada calon mahasiswa dan
masyarakat bahwa program studi yang telah diakreditasi telah mencukupi standar mutu
yang ditetapkan oleh BAN-PT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Salah satu dampak dari belum terakreditasinya program studi kebidanan adalah
hasil uji kompetensi masih bervariasi. Hasil uji kompetensi pada lulusan kebidanan sejak
juni 2014 hingga april 2016 menghasilkan nilai yang menyebar antara 36,03

engembangan Profesionalisme Tenaga


Kebidanan
Pengaturan mengenai profesi bidan terdapat di
beberapa peraturan yang terpisah diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan
c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/
Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7
Tahun 2013 tentang Pedoman Pengangkatan
dan Penempatan Dokter dan Bidan Sebagai
Pegawai Tidak Tetap
e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/
Menkes/SKIII/2007 tentang Standar Profesi
Bidan.
f. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 938/
Menkes/SK/VIII/2007 tentang Standar Asuhan
Kebidanan.
Pengembangan kebijakan kesehatan tidak
terlepas dari masalah atau isu yang berkembang di
tengah masyarakat. Keinginan merespon berbagai
permasalahan yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas dan tujuan penyelesaian masalah
menjadi dasar dilakukannya formulasi atau pembuatan
kebijakan yang kemudian dilanjutkan ke tahap
impelementasi, monitoring dan evaluasi (Ayuningtyas,
2014). Begitupun dengan kebijakan kesehatan
mengenai profesi kebidanan. Pengembangan kebijakan
mengenai profesi kebidanan menjadi prioritas untuk
segera disahnya menjadi UU Kebidanan. RUU
Kebidanan masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) periode 2009-2014 dan diteruskan dalam
Prolegnas 2014-2019. Pada Prolegnas Tahun 2016,
RUU Kebidanan menjadi prioritas untuk dibahas pada
tahun 2016 dengan pengusul dari DPR dan DPD.
Pendidikan Kebidanan
Sejarah pendidikan kebidanan merupakan
tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kebidanan yang berkualitas dan perkembangan
kebijakan pemerintah. Tahun 1974 pendidikan
kebidanan berupa Sekolah Perawat Kesehatan
atau setara sekolah menengah atas. Namun
menggabungkan pendidikan keperawatan dan
kebidanan tidak dapat menjawab kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kebidanan yang
komprehensif dan mendalam. Tahun 1996, dibuka
pendidikan diploma tiga kebidanan dengan
peserta didik dari lulusan sekolah menengah atas.
Tahun 2000, berdasarkan surat keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dibuka program
pendidikan diploma empat bidan pendidik di
Fakultas Kedokteran UGM, UNPAD (2002), USU
(2004), STIKES Ngudi Waluyo Semarang dan
STIKIM Jakarta (2003) dengan lama penidikan 1
tahun setelah pendidikan diploma tiga. Adanya
diploma empat bidan pendidik yang setara dengan
sarjana ini pada mulanya sebagai masa transisi
dalam upaya pemenuhan kebutuhan dosen dimana
yang berhak menjadi dosen diploma tiga adalah
minimal harus satu tingkat di atas program diploma
tiga. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 46 ayat (2)
mensyaratkan dosen memiliki kualifkasi akadamik
minimum lulusan program magister untuk program
diploma atau sarjana dan lulusan program doktor
untuk program pascasarjana. Untuk menyesuaikan
dengan kebijakan tersebut, pada tahun 2005 dibuka
program magister di Universitas Padjadjaran
Bandung, tahun 2011 di Universitas Brawijaya
malang dan Universitas Andalas Padang dan tahun
2012 dibuka magister kebidanan di Universitas
Hasanudin Makassar dan Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Tahun 2007 dibuka program sarjana
kebidanan di Universitas Airlangga Surabaya
(Heryani, 2011) (Sari, 2012).
70 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016
Di masa yang akan datang, dibutuhkan
tenaga kebidanan yang memiliki pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang unggul serta yang
menjunjung tinggi etika dan hukum kesehatan.
Pengembangan profesi bidan dibutuhkan untuk
mengantisipasi perubahan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perkembangan tuntutan kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kebidanan yang
berkualitas, peningkatan kesadaran masyarakat
akan hukum kesehatan, permintaan pengguna jasa
pelayanan kebidanan, perubahan yang cepat dalam
kebijakan pemerintah, dan persaingan global yang
semakin ketat.
Sebagai sebuah profesi kebidanan, kompetensi
bidan yang terdiri dari serangkaian pengetahuan,
keterampilan dan perilaku didapat melalui
pendidikan tinggi dan pendidikan berkelanjutan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi
adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program diploma,
program sarjana, program magister, program doktor,
dan program profesi serta program spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia. Terdapat tiga jenis
pendidikan tinggi yaitu akademik, vokasi dan
profesi. Berikut ini merupakan penjelasan jenis
pendidikan tinggi:
a. Pendidikan akademik merupakan pendidikan
tinggi program sarjana dan/atau program
pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan
dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan
dan teknologi.
b. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan
tinggi program diploma yang menyiapkan
mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian
terapan tertentu sampai program sarjana
terapan. Dapat pula dikembangkan oleh
pemerintah sampai dengan program magister
terapan atau program doktor terapan.
c. Pendidikan profesi merupakan pendidikan
tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan
mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan
persyaratan keahlian khusus. Pendidikan
profesi dapat diselenggarakan oleh perguruan
tinggi dan bekerja sama dengan kementerian
pendidikan, kementerian lain, LPNK dan/atau
organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi.
Saat ini pendidikan tinggi kebidanan telah
tersedia di perguruan tinggi dengan jenis program
pendidikan berupa akademik, vokasi dan profesi.
Program pendidikan akademik kebidanan yang
sudah tersedia adalah sarjana dan magister. Program
pendidikan vokasi yang tersedia adalah program
diploma satu, diploma dua, diploma tiga dan
diploma empat atau biasa disebut dengan program
sarjana terapan. Sedangkan program pendidikan
profesi baru tersedia program profesi kebidanan
yang berasal dari lulusan pendidikan sarjana
kebidanan. Adapun program spesialis kebidanan
belum tersedia. Di negara lain pun belum ada
program spesialisasi kebidanan dan bahkan acuan
ICM belum menyebutkan spesialisasi kebidanan
sebagaimana profesi dokter dan perawat yang
sudah ada spesialisasinya. Ke depannya, program
pendidikan doktoral, spesialis maupun subspesialis
akan dibuka jika ada kebutuhan masyarakat dan
kesiapan dari organisasi profesi bidan (Wawancara
dengan Pengurus Pusat IBI, 2016).
Peserta didik lulusan SMU atau sederajat
dapat melanjutkan pendidikan tinggi kebidanan
melalui jenis pendidikan vokasi dan akademik.
Pendidikan vokasi yang dimaksud adalah minimal
pendidikan diploma tiga. Hal ini dikarenakan syarat
tenaga kesehatan sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan adalah minimal lulusan
pendidikan diploma tiga. Lulusan diploma tiga
berhak mendapat gelar ahli madya kebidanan dan
termasuk dalam jenis bidan vokasi atau bidan
pelaksana. Bidan vokasi dapat melakukan praktik
kebidanan dalam batasan wewenang tertentu dengan
pengawasan bidan profesional. Dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan
Tinggi, program diploma merupakan pendidikan
vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan
menengah atau sederajat untuk mengembangkan
keterampilan dan penalaran dalam penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Program diploma
menyiapkan mahasiswa menjadi praktisi yang
terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan
bidang keahliannya. Program diploma terdiri atas
program diploma satu, diploma dua, diploma tiga
dan diploma empat atau sarjana terapan. Program
diploma wajib memiliki dosen yang berkualifkasi
akademik minimum lulusan program magister atau
sederajat dan dapat menggunakan instruktur diploma
tiga atau sederajat yang memiliki pengalaman.
Lulusan program diploma berhak menggunakan
gelar ahli atau sarjana terapan.
Selain diploma tiga, lulusan SMU atau
sederajat dapat melanjutkan pendidikan akademik
yaitu program sarjana kebidanan. Dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, program sarjana merupakan
pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi
lulusan pendidikan menengah atau sederajat
sehingga mampu mengamalkan ilmu pengetahuan
Rahmi Yuningsih, Pengembangan Kebijakan Profesi Bidan | 71
dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Program
sarjana menyiapkan mahasiswa menjadi intelektual
dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu
memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja,
serta mampu mengembangkan diri menjadi
profesional. Program sarjana wajib memiliki dosen
yang berkualifkasi akademik minimum lulusan
program magister atau sederajat. Lulusan program
sarjana berhak menggunakan gelar sarjana. Oleh
karenanya, lulusan sarjana kebidanan berhak
mendapat gelar sarjana kebidanan. Namun sarjana
kebidanan belum bisa melakukan praktik kebidanan.
Untuk dapat melakukan praktik kebidanan,
lulusan sarjana kebidanan diwajibkan melanjutkan
ke jenis pendidikan profesi kebidanan. Lulusan
pendidikan profesi bidan berhak mendapat gelar
bidan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
program profesi merupakan pendidikan keahlian
khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program
sarjana atau sederajat untuk mengembangkan
bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan
yang diperlukan dalam dunia kerja. Program
profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang
bekerja sama dengan kementerian pendidikan,
kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi
profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan
profesi. Program profesi wajib memiliki dosen yang
berkualifkasi akademik minimum lulusan program
profesi dan/atau lulusan program magister atau
yang sederajat dengan pengalaman kerja paling
singkat dua tahun. Lulusan program profesi berhak
menggunakan gelar profesi.
Selanjutnya, bidan profesi yang ingin
mengembangkan keilmuan kebidanan, dapat
melanjutkan pendidikan akademik ke tingkat
magister. Lulusan magister kebidanan berhak
mendapat gelar magister kebidanan. Dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, program
magister merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau
sederajat sehingga mampu mengamalkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau
teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
Program magister mengembangkan mahasiswa
menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya,
mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan
kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional.
Program magister wajib memiliki dosen yang
berkualifkasi akademik lulusan program doktor
atau yang sederajat. Lulusan program magister
berhak menggunakan gelar magister.
Lulusan magister kebidanan dapat melanjutkan
pendidikan pendidikan spesialisasi kebidanan,
berhak mendapat gelar bidan spesialis dan dapat
melakukan praktik kebidanan spesialis tersebut.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program
spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan
yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi
lulusan program profesi yang telah berpengalaman
sebagai profesional untuk mengembangkan bakat
dan kemampuannya menjadi spesialis. Program
spesialis diselenggarakan oleh perguruan tinggi
yang bekerja sama dengan kementerian pendidikan,
kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi
profesi yang bertanggung jawab atas mutu
layanan profesi. Program spesialis meningkatkan
kemampuan spesialisasi dalam cabang ilmu
tertentu. Program spesialis wajib memiliki dosen
yang berkualifkasi akademik minimum lulusan
program spesialis dan/atau lulusan program
doktor atau yang sederajat dengan pengalaman
kerja paling singkat dua tahun. Lulusan program
profesi berhak menggunakan gelar spesialis.
Adapun spesialisasi yang dimaksud mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan kebidanan, isu
global kebidanan, kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kebidanan, perkembangan peraturan
dan lainnya. Perkembangan spesialisasi kebidanan
terbatas pada kewenangan persalinan normal dan
tidak dalam menangani kondisi patologis kehamilan
atau kehamilan dengan risiko.
Lulusan magister kebidanan juga
dapat melanjutkan pendidikan doktor guna
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lulusan doktor kebidanan berhak mendapat gelar
doktor. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, program
doktor merupakan pendidikan akademik yang
diperuntukkan bagi lulusan program magister
atau sederajat sehingga mampu menemukan,
menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi
kepada pengembangan, serta pengamalan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penalaran
penelitian ilmiah. Program doktor mengembangkan
dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi lebih
bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan
kemandirian sebagai flosof dan/atau intelektual,
ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/
atau mengembangkan teori melalui penelitian
yang komprehensif dan akurat untuk memajukan
peradaban manusia. Program doktor wajib memiliki
dosen yang berkualifkasi akademik lulusan program
doktor atau yang sederajat. Lulusan program doktor
berhak menggunakan gelar doktor.
Selain pengembangan pendidikan formal,
juga dikembangkan pendidikan nonformal
atau pendidikan berkelanjutan. Pengembangan
72 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016
pendidikan berkelanjutan kebidanan mengacu pada
peningkatan kualitas bidan sesuai dengan kebutuhan
pelayanan. Materi pendidikan berkelanjutan
meliputi aspek klinis dan non klinis. Pendidikan
tersebut dilakukan melalui program pelatihan,
magang, seminar atau lokakarya yang diadakan
dengan kerja sama organisasi profesi, kementerian
kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, lembaga
internasional dan lainnya. Selain itu, organisasi
profesi telah mengembangkan suatu program
mentorship dimana bidan senior membimbing bidan
junior dalam konteks profesionalisme kebidanan
(Sofyan, 2008). Selain itu, guna memfasilitasi
kebutuhan penyetaraan bidan-bidan lulusan di
bawah program pendidikan diploma tiga, dilakukan
Pengakuan Pembelajaran Lampau (PPL) yang
mengacu pada peraturan terkait yaitu Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73
Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifkasi
Nasional Indonesia (KKNI) Bidang Pendidikan
Tinggi. Dengan adanya PPL, pengakuan terhadap
pendidikan nonformal, pendidikan informal dan
pengalaman praktik bidan diharapkan akan lebih
mempercepat upaya peningkatan kualitas bidan
melalui pendidikan formal tanpa mengabaikan
kemampuan yang telah dimiliki bidan yang lebih
banyak berdasarkan pengalaman bertahun-tahun
dalam menjalankan praktik kebidanan. Berdasarkan
kebijakan KKNI tersebut juga, diperbolehkan jenis
pendidikan vokasi untuk meneruskan pendidikan ke
jenis profesi dengan syarat adanya penyetaraan atau
matrikulasi. Dengan demikian, lulusan program
pendidikan diploma tiga atau diploma empat
dapat melanjutkan pendidikan ke program profesi
kebidanan dengan melalui tahapan matrikulasi.
Lamanya matrikulasi sekitar satu tahun dan lamanya
pendidikan profesi sekitar satu hingga dua tahun.
Pengembangan jenjang pendidikan bidan
bertujuan untuk memberikan pelayanan kebidanan
yang komprehensif kepada ibu dan anak dalam
tatanan praktik bidan mandiri. Pemerintah daerah
dapat mengarahkan bidan vokasi atau bidan
profesional yang baru lulus untuk membuka praktik
secara mandiri di bawah pengawasan dari bidan
profesional yang berpraktik di sekitarnya. Sehingga
tercipta jejaring praktik bidan dalam suatu wilayah.
Kasus-kasus rujukan dengan mudah dilakukan
sehingga dapat meminimalkan masalah kesehatan
ibu dan anak. Bidan vokasi juga diarahkan untuk
memantau perkembangan ibu hamil di wilayahnya
dan segera merujuk jika ditemukan kehamilan
dengan penyulit dan komplikasi penyakit.
Selain itu, kaitannya di dalam praktik
bersama dengan tenaga kesehatan lain di fasilitas
pelayanan kesehatan, pelayanan yang diberikan
kepada ibu dan anak menjadi tertata sesuai
dengan jenjang pendidikan. Misalnya, pemberian
pelayanan pada ibu hamil yang hendak melakukan
persalinan, tenaga medis dapat memberikan
pelimpahan wewenang kepada bidan profesional.
Jika kompetensi dan keterampilan memenuhi
persyaratan, bidan profesional tersebut dapat
memerintahkan bidan vokasi untuk memberikan
asuhan dengan pengawasan dari bidan profesional.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal
65 yang menyatakan bahwa dalam melakukan
pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dapat
menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga
medis. Dengan demikian pelayanan menjadi tertata
dan mengurangi beban tindakan yang semestinya
dapat dilakukan dan tidak dirujuk.
Permasalahan kekurangan kebutuhan tenaga
kesehatan dan tidak samanya kualitas tenaga
kesehatan merupakan tantangan yang signifkan.
Pengalihan tugas atau pendelegasian tugas kepada
tenaga kesehatan merupakan strategi potensial
untuk mengatasi tantangan tersebut. Dari sudut
pandang ekonomi, pendelegasian tugas merupakan
pilihan kebijakan yang tepat untuk membantu
meringankan kekurangan tenaga kesehatan dan
kualitas yang tidak merata antar sesama tenaga
kesehatan. Pengalihan tugas merupakan pilihan
kebijakan yang menjanjikan unruk meningkatkan
efsiensi produktif pemberian pelayanan kesehatan,
meningkatkan jumlah dan kualitas layanan yang
diberikan dan biaya yang efektif. Misalnya
di Mozambik, dokter yang dilatih melakukan
pembedahan yang merupakan penyedia pelayanan
kesehatan utama di suatu rumah sakit kabupaten,
melayani pasien dengan biaya yang jauh lebih
rendah dari pada mendatangkan dokter kandungan
dan kebidanan (Fulton, 2011).
Akreditasi, Registrasi dan Lisensi Profesi Bidan
Selain pendidikan, pengembangan profesi
bidan juga dilakukan dengan kegiatan sertifkasi,
registrasi dan lisensi. Tidak dapat dipungkiri
bahwa banyaknya institusi pendidikan kebidanan
berpengaruh terhadap kualitas lulusan sehingga
diperlukan suatu uji kompetensi yang dilakukan
di seluruh wilayah Indonesia guna menyamakan
standar pengetahuan, keterampilan dan perilaku
lulusan pendidikan kebidanan. Kegiatan registrasi
dan lisensi merupakan wujud peran negara dalam
mengawasi pelaksanaan pelayanan kebidanan di
Indonesia, meyakinkan kompetensi bidan guna
melindungi masyarakat pengguna jasa bidan,
meningkatkan mutu pelayanan dan memeratakan
jangkauan pelayanan. Sertifkasi merupakan
Rahmi Yuningsih, Pengembangan Kebijakan Profesi Bidan | 73
kegiatan yang menunjukkan penguasaan kompetensi
tertentu. Registrasi adalah sebuah proses dimana
seseorang tenaga profesi harus mendaftarkan
dirinya pada suatu badan tertentu secara periodik
guna mendapatkan kewenangan dan hak untuk
melakukan tindakan profesionalnya setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan
oleh badan tersebut. Registasi bidan artinya proses
pendaftaran pendokumentasian dan pengakuan
terhadap bidan setelah dinyatakan memenuhi
minimal kompetensi inti atau standar penampilan
minimal yang ditetapkan sehingga secara fsik dan
mental mampu melaksanakan praktik profesinya.
Dengan teregistasinya seorang tenaga profesi maka
akan mendapatkan haknya untuk minta izin praktik
(lisensi) setelah memenuhi beberapa persyaratan
administrasi untuk lisensi. Tujuan umum registrasi
adalah untuk melindungi masyarakat dari mutu
pelayanan profesi. Sedangkan tujuan khususnya
adalah meningkatkan kemampuan tenaga profesi
dalam mengadopsi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang pesat; meningkatkan
mekanisme yang objektif dan komprehensif dalam
penyelesaian kasus malapraktik; dan mendata
jumlah dan kategori melakukan praktik (Sari,
2012). Pelayanan kebidanan yang diberikan oleh
bidan yang sudah diregistrasi dan mendapat izin
untuk melakukan pelayanan kepada klien yang
membutuhkan.
Uji kompetensi kebidanan dilakukan oleh
perguruan tinggi peserta didik dengan bekerja sama
organisasi profesi kebidanan setempat. Kegiatan
uji kompetensi kebidanan untuk mendapatkan
sertifkat kompetensi atau sertifkat profesi saat ini
dilakukan secara manual tertulis, serentak di seluruh
Indonesia dan dilakukan setelah peserta didik lulus
pendidikan. Tentunya, hal ini cenderung membuat
peserta didik yang telah lulus menunggu lama untuk
mendapat giliran uji kompetensi dan peserta didik
yang tidak lulus kompetensi akan menunggu lama
untuk melakukan ujian lagi. Untuk meningkatkan
keefektifan pendayagunaan lulusan, uji kompetensi
dilakukan dengan bersamaan dengan ujian
kelulusan (exit exam) sehingga penjadwalan uji
kompetensi sesuai dengan jadwal akademik masingmasing perguruan tinggi. Uji
kompetensi juga
tidak dilakukan secara serentak di seluruh wilayah
Indonesia, namun dilakukan pada masing-masing
perguruan tinggi secara berkala. Uji kompetensi
dapat dilakukan secara online terintegrasi dengan
pusat sehingga hasil dapat diketahui secara langsung
setelah kegiatan uji kompetensi dilakukan.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan disebutkan bahwa setiap
tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib
memiliki STR yang diberikan oleh konsil masingmasing tenaga kesehatan dengan
syarat memiliki
ijazah pendidikan di bidang kesehatan, memiliki
sertifkat kompetensi atau sertifkat profesi, memiliki
surat keterangan sehat fsik dan mental, memiliki
surat pernyataan telah mengucapkan sumpah
atau janji profesi dan membuat surat pernyataan
mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi. STR berlaku selama lima tahun dan dapat
diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan
tambahan seperti telah mengabdikan diri sebagai
tenaga profesi atau vokasi di bidangnya dan
memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan,
pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah
lainnya.
Saat ini, kegiatan registrasi bidan dilakukan
secara manual oleh petugas dan dibuktikan dengan
keluarnya STR oleh MTKI selama Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia belum dibentuk. Perguruan
tinggi kebidanan mengajukan nama peserta didik
yang telah mendapatkan sertifkat kompetensi
dan sertifkat profesi untuk dilakukan pendataan
(registrasi) ke MTKP. selanjutnya MTKP akan
mengirim ke MTKI untuk selanjutnya dikeluarkan
STR. Namun hal ini membutuhkan waktu lama,
berisiko salah input data, kehilangan data dan
memungkinkan terjadi perubahan data yang tidak
sama di MTKP, MTKI dan organisasi profesi.
Guna mendapatkan data STR yang terintegrasi
dari daerah hingga ke pusat dan untuk menyingkat
waktu penerbitan STR, maka registrasi dilakukan
secara online dengan user MTKP dan MTKI.
Lisensi (perizinan praktik) adalah proses
administrasi yang dilakukan oleh pemerintah
atau yang berwenang berupa surat izin praktik
yang diberikan kepada tenaga profesi yang telah
teregistrasi untuk pelayanan mandiri. Tujuan lisensi
secara umum adalah untuk melindungi masyarakat
dan melindungi pelayanan profesi. Sedangkan tujuan
khususnya adalah memberikan kejelasan batas
wewenang dan menetapkan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan praktik
(Sari, 2012). Dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan disebutkan
bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan
praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib
memiliki izin. Izin diberikan dalam bentuk Surat
Izin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat tenaga kesehatan menjalankan praktiknya.
Syarat mendapatkan SIP antara lain STR yang
masih berlaku, rekomendasi dari organisasi profesi
dan tempat praktik. SIP berlaku hanya untuk satu
tempat. SIP berlaku sepanjang STR masih berlaku
74 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016
dan tempat praktik masih sesuai dengan yang
tercantum dalam SIP.
B.     SARAN

Dalam penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan baik itu dari
segi peulisan maupun dari isi. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan
masukan dan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah yang
akan datang, agar lebih relevan serta dapat membantu kita dalam referensi
pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai