Anda di halaman 1dari 50

Sejarah Perkembangan Pendidikan dan Pelayanan

Kebidanan di Dalam Negeri

Jitasari Tarigan Sibero


Sarjana Kebidanan
Institut Kesehatan Helvetia
Zaman Penjajahan Belanda

Tahun 1851/1852
• Dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch)  membuka pendidikan bidan
untuk wanita pribumi, pendidikan ini tidak berlangsung lama karena
kurangnya peserta didik dan adanya larangan/pembatasan wanita
untuk keluar rumah.
• Sekolah bidan ini ditutup pada tahun 1875 karena rendahnya apresiasi
wanita bersalin.
Tahun 1889
Ahli obstetrik dari Austria (Straat)  memberi ilmu kebidanan secara
sukarela.

Tahun 1850
Kursus bidan dibuka dengan pengawasan bidan dari Belanda
Tahun 1873
Tiga puluh tujuh bidan yang berdomisili di kota hanya mau menolong
persalinan untuk orang Belanda dan Cina

Tahun 1890
Pihak swasta Misi Khatolik di Tjideres Jawa Barat dan Sumatera Utara
membuka sekolah bidan.
Tahun 1897

• Pendidikan bidan dibuka kembali oleh Prof. Boerma.


• Pada era ini, Prof. Remmeltz melaporkan bahwa angka kematian ibu
(AKI) sebesar 1600 per 100.000 persalinan hidup, angka kematian
bayi (AKB) 30% dari kelahiran sebelum mencapai usia satu tahun.
• Pendidikan ini dibuka karena keprihatinan terhadap persalinan
Tahun 1902
Pendidikan bidan dibuka kembali untuk wanita pribumi pada rumah sakit
militer di Batavia.

Tahun 1904
• Pendidikan bidan untuk wanita Indo dibuka di Makasar.
• Lulusannya harus bersedia ditempatkan di mana saja dan menolong
masyarakat yang kurang mampu dengan cuma-cuma.
• Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah 15-25 Gulden per
bulan (tahun 1922 ada kenaikan menjadi 40 Gulden/bulan).
Tahun 1911/1912
• Dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ
(Rumah Sakit Umum Pusat) di Semarang dan Batavia.
• Calon yang diterima adalah lulusan dari HIS (SD 7 tahun) dengan
lama pendidikan 4 tahun.
• Awalnya hanya menerima pria, tahun 1914 telah diterima peserta
didik wanita yang pertama.
• Lulusan juru rawat perempuan dapat melanjutkan Pendidikan Bidan
selama dua tahun, sedangkan lulusan juru rawat pria melanjutkan
Pendidikan Keperawatan selama dua tahun.
Tahun 1918

• Dibuka Sekolah Swasta Pendidikan Bidan dan rumah bersalin Budi


Kemuliaan.
• Murid-murid diambil dari juru rawat wanita dan lamanya pendidikan
dua tahun
Tahun 1920
• Dr. Piverrli mendirikan Biro Konsultasi Ibu dan Anak di
Jakarta dengan nama Consultatie Bureu Vorr Moeder en
Kind.
• Di Jawa Barat, biro konsultasi dipelopori oleh dr.
Poerwosoewarjo dan dr. Soemaroe mengikutsertakan dukun
bayi yang menjadi cikal bakal pendidikan dukun.
Tahun 1935-1938

• Pemerintah kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (setingkat


SLTP bagian B).
• Hampir bersamaan, dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar, antara lain
RSB Budi Kemuliaan di Jakarta, RSB Palang Dua dan Mardi Waluyo di Semarang.
• Di tahun yang sama, dikeluarkan peraturan yang membedakan lulusan bidan
berdasarkan latar belakang pendidikan.
• Bidan dengan latar belakang pendidikan Mulo dan Pendidikan kebidanan
selama 3 tahun disebut ‘bidan kelas satu’ (Vroedvrouw eestte klas) dan bidan
dari lulusan perawat disebut ‘bidan kelas dua’ (Vroedvrouw tweede klas).
• Hal ini untuk membedakan gaji pokok dan tunjangan bidan.
Setelah Kemerdekaan

Tahun 1948
• dr. H. Sinaga mengeluarkan stensilan untuk pendidikan
bidan
• dr. S. A. Goelam mengeluarkan buku ilmu kebidanan II
(Bagian Patologi).
Tahun 1950

• dr. Mochtar dan dr. Soeliyanti membentuk bagian


Kesehatan ibu dan Anak (KIA) di Depkes Yogya yang
di dalamnya terdapat 475 dokter dan 4000 perawat
termasuk bidan.
• Setelah tahun 1950  pendidikan bidan maju pesat.
Tahun 1950-1953
• Di buka sekolah bidan dari lulsan SMP dengan batasan usia minimal
17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun.
• Karena kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup
banyak, dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut
‘Penjenang Kesehatan E atau Pembantu Bidan’  pendidikan ini
berlanjut sampai tahun 1976, setelah itu ditutup.
• Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP di tambah 2 tahun kebidanan
dasar.
• Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan
selama 2 tahun
Tahun 1952-1975

• Dibuka pendidikan bidan dengan calon lulusan dari


SMP, lama pendidikan 3 tahun.
• Program ini merupakan penataan kembali program
pendidikan bidan sebelumnya (PP tahun 1950).
Tahun 1953
• Dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta yang
lamanya 7-12 minggu.
• Tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta, untuk
memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai
perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan
masyarakat sebelum mereka memulai tugasnya sebagai
bidan, terutama menjadi bidan BKIA.
• Tahun 1867 Kurusus ini ditutup.
Tahun 1954

• Dibuka pendidikan guru bersama-sama dengan guru perawat dan


perawat kesehatan masyarakat di Bandung.
• Awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi
dua tahun dan berkembang menjadi tiga tahun.
• Pada awal tahun 1972, sekolah tersebut dilebur menjadi SGP
(Sekolah Guru Perawat).
• Pendidikan ini menerima calon dari Sekolah Perawat dan Sekolah
Bidan
Tahun 1960

• KTB dipindahkan ke Jakarta yang tujuannya adalah


memperkenalkan perkembangan program KIA kepada lulusan bidan
dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
• Sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi
bidan BKIA.
• Kemudian, pada tahun 1967 KTB ditutup.
Tahun 1964
Rumah Sakit Sint Carolus memulai pendidikan bidan Direct Entry dari
SMA dengan lama pendidikan empat tahun.

Tahun 1968
Pemerintah mengeluarkan Kepmenkes No. 49/1968 tentang Peraturan
Penyelenggaraan Sekolah Bidan.
Tahun 1970

• Dibuka Program Pendidikan Bidan yang menerima lulusan dari


Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah 2 tahun pendidikan bidan
yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan
(SPKLJ).
• Pendidikan ini tidak dilakukan secara merata di seluruh Indonesia.
• Pada Kongres Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(POGI) pertama kali yang dilaksanakan tanggal 26-31 Juli 1970,
tercatat 115 spesialis untuk kebidanan dan penyakit kandungan di
Indonesia.
Tahun 1972
Dibuka Sekolah Guru Perawat/Bidan/Perawat Kesehatan Masyarakat,
lama pendidikan satu tahun yang akhirnya ditutup pada tahun 1987.

Tahun 1974
• Depkes melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan
non sarjana, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah
sangat banyak.
• Sekolah Bidan ditutup dengan bukanya SPK dengan tujuan tenaga
multi-purpose, di lapangan yang salah satu tugasnya adalah
menolong persalinan normal.
Tahun 1974-1984

Institusi pendidikan bidan ditutup sehingga selama sepuluh


tahun tidak menghasilkan bidan, namun Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) tetap ada.
Tahun 1978

• Tercatat 90-92% persalinan ditolong oleh dukun, 6% oleh


bidan dan hanya 1% oleh dokter.
• Pada masa ini, diadakan pelatihan Dukun Beranak sebanyak
110.000 orang (80-85%) akan tetapi tidak lagi melakukan
konsultasi, baik ke Puskesmas maupun ke bidan yang
pernah melatihnya.
Tahun 1979
Tercatat 8000 dokter umum, 286 spesialis Obstetrik dan Ginekologi, dan
16.888 bidan.

Tahun 1981
Dibuka Pendidikan Diploma I KIA (hanya berlangsung 1 tahun).
Tahun 1985
• Sehubungan dengan AKI dan AKB di Indonesia sangat tinggi,
kebijakan pemerintah membuka program pendidikan mahir KIA dari
SPK plus satu tahun.
• IBI menolak nama ‘mahir KIA’ tetapi menerima ‘bidan’.
• Program penyelenggaraan pendidikan bidan pada tahun 1985 diatur
dalam Permenkes No. 386/Menkes/SK/VII/1985 tanggal 12 Juli 1985.
• Pedoman umum penyelenggaraan bidan diatur dalam Kepmenkes No.
2221/Kep/Diknakes/XII/1987, sedangkan untuk berlakunya
kurikulum pendidikan bidan diatur dalam Kepmenkes No.
1527/Kep/Diknakes/VII/1985.
Tahun 1989

• Dibuka Crash Programme Pendidikan Bidan (lulusan SPK =


PPB A/Program Pendidikan Bidan A) dengan pendidikan
selama satu tahun, setelah itu diangkat sebagai pegawai
negeri sipil (PNS) Gol. II.
• Tahun 1996 statusnya menjadi pegawai tidak tetap (PTT)
dengan kinerja selama tiga tahun dan dapat diperpanjang
dua sampai tiga tahun.
Tahun 1993
• Dibuka Program Pendidikan Bidan B (AKPER dengan lama pendidikan
satu tahun).
• Tujuannya mempersiapkan tenaga pengajar pada PPB A.
• Pendidikan hanya berlangsung dua angkatan (1995 dan 1996) dan
kemudian ditutup.
• Dibuka pula Program Pendidikan Bidan C (PBB C) dari lulusan SMP
yang dilakukan di 11 Provinsi (Aceh, Bengkulu, Lampung, Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, NTT, Maluku, dan Irian Jaya).
• Kurikulumnya 3700 jam, diselesaikan dalam waktu enam semester.
Tahun 1994-1995

Uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance Learning) di tiga


provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang
tujuannya untuk memperluas cakupan upaya peningkatan
mutu tenaga kesehatan dan diatur oleh SK Menkes No.
1247/Menkes/SK/XII/1994.
Tahun 1995-1998

IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care melaksanakan


pelatihan peer review untuk bidan di rumah sakit, bidan
puskesmas, dan bidan di desa di Kalimantan Selatan.
Tahun 1996

• IBI bekerja sama dengan Depkes dan American College of


Nurse Midwive (ACNM) dan rumah sakit swasta
mengadakan Training of Trainer (TOT).
• Dalam tahun yang sama, pemerintah membuka Akademi
Kebidanan jalur khusus dengan latar belakang bidan dan
1998 dari SLTA.
Tahun 1999

Dibuka Strata I Kesehatan Masyarakat yang semua


mahasiswanya adalah bidan dari seluruh Jakarta, Tangerang,
Bekasi, dan Bogor.
Tahun 2000

• Dilaksanakan Pelatihan Persalinan Normal (APN) yang


dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health (MNH)
dengan pesertanya adalah tenaga pelayanan, guru, dan
dosen dari akademi.
• Diadakan pula seminar dan lokakarya organisasi yang
dilaksanakan setiap tahun sebanyak 2 kali mulai tahun 1996
sampai tahun 2000 dengan biaya dari UNICEF.
Tahun 2000-2002

• Dibuka Program D-IV Bidan Pendidik untuk memenuhi


kebutuhan tenanga pendidik di akademi kebidanan.
• Program ini bekerjasama dengan IBI dan UGM Yogyakarta.
• Pada April 2002, dibuka Program D-IV Bidan Pendidik di
Bandung di Universitas Padjadjaran dan berlangsung hingga
saat ini.
Permenkes No. 5380/IX/1963

Permenkes No. 363/IX/1980

Permenkes No. 572/VI/1996,

Kepemenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002

Permenkes No 1464/MENKES/PER/X/2010

UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

UU No 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan.


Tahun 2003

Pelatihan Bidan Delima


Pelayanan Kebidanan di Indonesia

Masa Lalu
Tahun 1807

• Ketika angka kematian ibu dan bayi tinggi sehingga dilatih


dukun untuk pertolongan persalinan.
• Akan tetapi, hal ini tidak berlangsung lama karena tidak
adanya pelatihan kebidanan (pada zaman Gubernur
Daendles).
Tahun 1952
• Bersamaan dengan berkembangnya pelayanan kesehatan ibu
dan anak secara menyeluruh, bidan mengambil peranan
penting.
• Pada awalnya, bidan tidak diperbolehkan memberi
pertolongan klinis.
• Dengan dikembangkannya konsep paripurna kesehatan ibu
dan anak, bidan diperbolehkan secara luas memberi
pelayanan dalam masa kehamilan, persalinan, masa nifas
dan bayi baru lahir serta tindakan medis sederhana.
Tahun 1952
• Melalui permenkes No. 363/IX/1980, wewenang bidan dibagi
menjadi wewenang umum dan khusus, untuk melaksanakan tindakan
tertentu bidan harus di bawah pengawasan dokter.
• Hal ini tidak selalu dapat dilaksanakan.
• Oleh karena itu, dikeluarkan Permenkes 572/VI/1996 yang semua
tindakan bidan sesuai dengan kewenangannya menjadi tanggung
jawab bidan sendiri.
• Kepmenkes No. 900/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan,
merupakan penyempurnaan Permenkes 572/VI/1996 sehubungan
dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah.
• Bidan jiga disebut midwife (pendamping istri).
• Kata bidan berasal dari bahasa Sanksekerta ‘Wirdhan’
(wanita bijaksana)  ada pula yang mengatakan bahwa
bidan adalah ‘dukun yang terdidik’.
• Pelayanan kebidanan zaman dahulu dilakukan secara
natural oleh seorang wanita dewasa/setengah baya dan
telah menikah serta pernah melahirkan anak, yang biasa
disebut dengan ‘dukun bayi’.
• Pelayanan kehamilan dahulu dilakukan oleh dukun bayi
(DB).
• DB menetapkan apakah seorang wanita hamil/tidak,
mengetahui letak/posisi janin, dan menafsirkan bayi yang
akan dilahirkan.
• DB juga memberi nasehat agar bumil merawat dirinya yang
saat ini kita sebut higine sanitasi.
• DB akan menganjurkan ibu untuk:
 Melakukan pantangan terhadap makan
 Melakukan pantangan terhadap pakaian
 Pantangan terhadap tindakan
 Melaksanakan kenduri
• Pelayanan persalinan pada zaman dulu dilakukan di tempat
yang sederhana (di atas tikar yang dibentangkan di lantai).
• DB sabar menunggu proses persalinan.
• Proses ini ditunggu oleh banyak orang seperti ditonton baik
oleh keluarga/tetangga.
• Tersedia beberapa benda yang dapat mempercepat proses
persalinan.
• Wanita yang akan bersalin dilarang makan dan minum.
• DB akan membuka semua yang tertutup, baik pintu, jendela,
maupun ikatan-ikatan yang ada.
• DB mengurut perut ibu dengan membaca suatu mantra.
• Bila bayi lahir, akan segera diciprati air atau memukul benda
dengan keras agar bayi menangis.
• Tali pusat tidak langsung dipotong menunggu ari-ari/plasenta
lahir.
• Tali pusat dipotong dengan hinis/bamboo tipis.
• Perawatan tali pusat menggunakan ramuan seperti kunyit,
abu tempurung, dan dibungkus dengan daun sirih.
• Setelah tali pusat dipotong, langsung dipakaikan gurita,
badan bayi diberi ramuan dan diselimuti dengan kain yang
sudah tua kemudian dibedong.
• Minuman pertama yang diberikan adalah air kelapa muda
atau madu.
• Bayi diberi makan pisang atau nasi yang sudah dihaluskan
kemudian disusukan pada ibunya.
• Bayi tidak dimandikan sampai tali pusat lepas.
• Setelah tali pusat lepas DB memandikan bayi selama 40 hari.
• Cara memandikannya dengan menggunakan air hangat, bayi
dipangku, diurut, disabuni, lalu dimasukkan ke dalam air.
• Perawatan tali pusat dengan mengganti ramuan tiap hari.
• Pemeliharaan bayi sehari-hari adalah dengan ditidurkan
bersama di samping ibunya.
• Sebelum bayi berusia 35 hari tidak boleh keluar rumah.
• Ubun-ubun besar selalu ditutupi ‘tapel’ agar nyawa/jiwa
anak tidak keluar dari badannya.
• Pelayanan nifas meliputi ibu dimandikan di sumur oleh
dukun dengan air dingin dari atas kepala karena ibu dianggap
kotor.
• Bila ibu pingsan karena kelelahan, kekurang darah atau
kedinginan  dianggap diganggu oleh setan.
• Bila ibu keluar rumah, harus membawa benda tajam (paku,
gunting), daan di tempat tidur ibu selalu diletakkan senjata
tajam (keris, tombak atau pedang) dan cermin.
• Ibu tidur dengan setengah duduk selama 40 hari, agar darah
kotor dapat keluar.
• Ibu harus selalu minum jamu yang merupakan ramuan dari
dukun pada pagi dan sore untuk melancarkan peredaran
darah dan laktasi.
Pelayanan Kebidanan di Indonesia

Masa Kini
• Pelayanan kehamilan dilakukan oleh nakes (bidan/dokter),
baik ANC maupun pertolongan persalinan, serta
menggunakan alat-alat medis yang canggih.
• Pelayanan ANC mencakup pemberian imunisasi TT,
penyuluhan, pemilihan jenis tindakan, dan inform consent.
• Ibu hamil bebas mengonsumsi makanan selam masih
dianjurkan untuk kesehatan ibu dan janin.
• Tidak ada pantangan bila tidak ada kelaian pada janin dan
ibu.
• Pertolongan persalinan ditolong oleh nakes (bidan/dokter).
• Tempat pertolongan biasanya rumah sakit, rumah bersalin
atau praktik swasta yang dilengkapi alat-alat persalinan
steril. 1. Pengukuran LK, LD, BB, dan PB

• Dapat dilakukan seksio sesarea bila terdapay penyulit pada


proses persalinan.
• Ibu mungkin dirujuk ke tempat yang lebih mampu dalam hal
penanganan tindakan.
1. Pemotongan tali pusat dengan menggunakan gunting tali
pusat steril sebelum plasenta keluar.
2. Pengukuran LK, LD, BB, dan PB
3. Perawatan tali pusat
4. Bayi tidak dimandikan sebelum 6 jam untuk menghindari
hipotermi
5. Minuman bayi yang pertama kolostrum
6. Bayi rawat gabung dengan ibunya dan minum ASI on
demand.
7. Bayi mendapat imunisasi.
8. Tidak merangsang bayi dengan air dingin atau mengagetkan
bayi dengan keras bila bayi tidak segera menangis.
• Pelayanan nifas meliputi ibu pengawasan ibu selama dua jam
pertama pasca partum, ibu diberi makanan dan minuman
yang disukai untuk memulihkan tenaga yang terpakai.
• Observasi keadaan umum, tekanan darah, frekuensi nadi,
dan jumlah darah yang keluar, terutama bila ibu pasca seksio
sesarea.
• Ibu dianjurkan melakukan senam nifas dan menggunakan
pelayanan keluarga berencana (KB).
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai