NIM: 18621636
PRODI: D3 KEBIDANAN
RESUME
1. SEJARAH MUTU PELAYANAN KEBIDANAN
2. EVALUASI MUTU PELAYANAN KEBIDANAN
3. PILAR STRATEGI MUTU PELAYANAN KEBIDANAN
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.
Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807, di masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Hendrik William Daendles, para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang
ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia,
tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan RSPAD Gatot Subroto.
Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan
bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda bernama dr. W. Bosch.
Lulusan sekolah ini kemudian bekerja di rumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu
pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan
kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih berlangsung sampai sekarang.
Pelatihan ini diberikan oleh bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan
yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta,
yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan
pelatihan tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai
penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup
pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk imunisasi serta penyuluhan
gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberi pertolongan persalinan di rumah keluarga dan
melakukan kunjungan rumah sebgai upaya tindak lanjut pascapersalinan.
Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat
yang dinamakan Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas
memberi pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja.
Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan
anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung.
Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan
pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan
yaitu pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan
lingkungan.
Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang
disampaikan secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai
perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah
sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil,
bersalin, dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun
bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa juga menjadi pelaksana pelayanan
kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan sejalan dengan tugas utamanya
sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, bidan
desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya,
mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya, serta mengembangkan Pondok
Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa.
Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan yang bekerja
di rumah sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup pelayanan di
poliklinik antenatal, poliklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar bersalin, kamar
operasi kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi pelayanan bagi klien
yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi
pendidikan perinatal.
Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan
pada kesehatan reproduksi (reproductive health), memperluas area garapan pelayanan bidan, area
tersebut meliputi :
1. Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.
2. Keluarga berencana
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan reproduksi remaja
5. Kesehatan reproduksi orang tua
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan serta
kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta kebijakan pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut terdiri atas :
1. Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
3. Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan
dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai
kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :
b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat kontrasepsi melalui
oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR dan AKBK tanpa penyulit.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan sesuai
dengan kondisi pasien, kewenangan, serta kemampuannya. Wewenang bidan dalam pelayanan
kebidanan di bidang keluarga berencana mencakup penyediaan alat kontrasepsi : oral (pil KB),
suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), alat kontrasepsi bawah kulit
(AKBK), baik pemasangan maupun pencabutan. Pada keadaan darurat, bidan juga diberi
wewenang untuk memberikan pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan jiwa
(misalnya: kuretasi digital untuk mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang mengalami
asfiksia dan hipotermia).
Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktiknya harus sesuai
dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman, serta berdasarkan standar profesi. Di
samping itu, bidan diwajibkan merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan
rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan dilaksanakan, memberi informasi, serta
membuat rekam medis dengan baik. Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai
kewenangan bidan terdapat pada petunjuk pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam Lampiran
Keputusan Dirjen Binkesmas No. 1506/tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah, karena
kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan mengandung tuntutan bahwa bidan
sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang mandiri. Pencapaian
kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang meningkatkan kemampuan
bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang handal dan profesional serta
upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh karena itu, adanya Konsil Kebidanan adalah
suatu keharusan. Pendidikan bidan yang berorientasi pada profesioanl dan akademik serta
memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan dan syarat utama untuk
percepatan penigkatan kualitas pelayanan kebidanan
Sejarah perkembangan tentang upaya perbaikan mutu yang dikutip dari Tjahyono
Koentjoro, 2004 menerangkan bahwa upaya perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan di
Indonesia telah mulai di lakukan sejak tahun 1986 dengan diterapkannya gugus kendali mutu di
rumah sakit dan di puskesmas serta pada pelayanan kesehatan yang lain. Perbaikan ini
dilanjutkan dengan dikenalkannya total quality management pada tahun 1994 dan performance
management pada tahun 1996
. Untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, diperkenalkan program jaminan mutu (quality
assurance) pada tahun 1995 di Provinsi Jawa Barat, Jawa timur, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat melalui Proyek Kesehatan IV
(Health Project IV). Di Jawa Tengah, pelayanan kesehatan tersebut diperkenalkan
melalui Proyek Community Health and Nutrition III, sedangkan di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, pengenalan dilakukan melalui Provincial Health Project I dengan
tiga tahapan, yakni analisis sistem, supervisi dan pembinaan, dan pendekatan tim. Empat
standar pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut, yaitu standar
penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar penanganan infeksi saluran nafas
atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk lembar periksa yang harus diikuti
oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas
.( Atik Purwandari, A.Md.Keb., SKM. 2008. Konsep Kebidanan Sejarah & Profesionalisme.
Jakarta : EGC
Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di Rumah Sakit Militer di Batavia
pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia juga dibuka di
Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan di mana pun tenaga mereka
dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma.
Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan.
Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Pada tahun 1935-1938, pemerintah colonial Belanda mulai membuka pendidkan bidan
lulusan Mulo (Setingkat SMP) dan pada waktu yang hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di
beberapa kota besar antara lain di Jakarta (RSB Budi Kemuliaan) serta di Semarang (RSB Palang
Dua dan RSB Mardi Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang
mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar
pendidikan Mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu
(Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi
bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah
bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan
zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan
mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP dengan batasan usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong
persalinan cukup banyak maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang
Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan
setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar.
Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7
sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini
adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA
dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan,
terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967, KTB ditutup.
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan
perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya, pendidikan ini berlangsung satu tahun
kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun
1972, institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini
menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah
Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan
Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di
seluruh provinsi.
Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24
kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan
nonsarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan
menciptakan tenaga multitujuan di lapangan yang salah satu tugasnya adalah menolong
persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang
berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong
persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil. Pada tahun 1975 sampai 1984, institusi
pendidikan bidan ditutup sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi
profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup dengan wajar.
Tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan
kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk
kebidanan. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua
institusi. Pada tahun 1985, dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang menerima lulusan
dari PR dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak setta keluarga berencana di masyarakat. Lama
pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang membolehkan lulusan SPK
untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program
Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan lama pendidkan satu tahun. Lulusannya ditempatkan di
desa-desa dengan tujuan memberi pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap
ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu, pemerintah menempatkan seorang bidan di
tiap desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT)-kontrak dengan pemerintah selama tiga tahun
yang kemudian dapat diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.
Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan
berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinis sebagai
bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling, dan kemapuan untuk
mengerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program
Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan peserta didik yang cukup banyak. Diharapkan pada
tahu 1996, sebagian besar desa sudah memiliki inimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini
kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagi
seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu tahun) dan
jumlah peserta didik yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik untuk praktik di klinik
kebidanan sangat kurang sehingga tingkat kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang
bidan profesional tidak dapat tercapai.
Pada tahun 1993, dibuka Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan
akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah
menyiapkan tenaga pengajar Pendidikan Program Bidan A. hasil penelitian terhadap kemampuan
klinis kebidanan lulusan ini menunjukkan bahwa kompetensi bidan yang diharapkan tidak
tercapai karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya satu tahun. Pendidikan ini
hanya berlangsung selama dua angkatan (1995-1996) kemudian ditutup. Pada tahun 1993, juga
dibuka Pendidikan Bidan Program C yang menerima murid dari lulusan SMP. Pendidikan ini
dilakukan di 11 provinsi yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung, dan Riau (wilayah Sumatera);
Kalimanta Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (wilayah Kalimantan); Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan ini memiliki kurikulum 3700
jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di tiga provinsi
yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas
cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur
dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/VII/1994. Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan
tugasnya serta diharapkan dapat memebri dampak pada penurunan Angka Kematian Ibu dan
Angka Kematian Bayi. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di
Provinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 provinsi. Pada Tahap II (1996-1997), DJJ
dilaksanakan di 16 provinsi dan pada tahap III (1997-1998), DJJ dilaksanakan di 26 provinsi.
Secara kumulatif pada tahap I-III, DJJ telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439
(55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999), DJJ dilaksanakan fi 26 provinsi dengan
jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang, kecuali Provinsi Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi
Tengah masing-masing hany 40 orang, dan Provinsi Jambi 50 orang.
Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan
maternal dan neonatal (Life Saving Skill, LSS) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul.
Pelatihan ini dikoordinasikan oleh Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas., sedangkan
pelaksananya dilakukan di rumah sakit provinsi/kabupaten.Ditinjau dari prosesnya,
penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif. Pada tahun 1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja
sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwife (ACNM) serta
rumah sakit swasta mengadakan training of trainer (TOT) LSS yang pesertanya adalah anggota
IBI berjumlah 8 orang, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI. Tim
pelatih LSS ini mengadakan acara TOT dan pelatihan untuk para bidan desa. (yang dilaksanakan
di 14 provinsi) dan bidan praktik swasta (yang dilaksanakan secara swadaya) serta kepada
guru/dosen dari diploma kebidanan.
Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer
review bagi bidan rumah sakit., bidan puskesmas, serta bidan desa di Provinsi Kalimantan
Selatan. Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang
dikoordinasikan oleh Materna Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini telah memberi
pelatihan APN di beberapa provinsi/ kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya dijukan
untuk bidan di pelayanan tetapi juga bidan yang menjadi guru atau dosen di sekolah/akademi
kebidanan. Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas
pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi dengan materi pengembangan
organisasi (Organization Development, OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali mulai
tahun 1996 sampai tahun 2000 dengan biaya dari UNICEF.
Falsafah Mutu
Mutu (quality) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik kebutuhan yang
dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat. Perbaikan mutu merupakan upaya transformasi
budaya kerja organisasi melalui pengalaman belajar sehingga merubah cara berpikir setiap orang
yang terlibat dalam organisasi dan cara organisasi dikelola, sehingga berubah ke arah yang lebih
baik.
Jaminan Mutu (QA) adalah suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan,
sistematis, obyektif dan terpadu untuk; Menetapkan masalah dan penyebabnya berdasarkan
standar yang telah ditetapkan, menetapkan upaya penyelesaian masalah dan melaksanakan sesuai
kemampuan menilai pencapaian hasil dengan menggunakan indikator yang ditetapkan,
menetapkan dan menyusun tindak lanjut untuk meningkatkan mutu pelayanan. Walaupun mutu
tidak selalu dapat dijamin tetapi dapat diukur. Jika bisa diukur, berarti bisa ditingkatkan dan
dapat disempurnakan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi indikator kunci mutu
dalam pelayanan, memonitor indikator tersebut dan mengukur mutu hasilnya. Salah satu faktor
yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasi proses – proses kunci yang mengarah pada hasil
tersebut (outcome). Dengan berfokus pada upaya peningkatan proses, tingkat mutu dari hasil
yang dicapai akan meningkat. Jadi, upaya pendekatan yang dilakukan diawali dari jaminan mutu
(QA), mengarah pada peningkatan mutu yang proaktif (QI).
Standarisasi
Standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang dipergunakan
sebagai batas penerimaan minimal, atau disebut pula sebagai kisaran variasi yang masih dapat
diterima (Clinical Practice Guideline, 1990).
Lisensi (Perizinan)
Standarisasi perlu diikuti dengan perizinan untuk mencegah pelayanan yang tidak
bermutu
Izin menyelenggarakan pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada institusi kesehatan
yang telah memenuhi standar yang telah ditetapkan
Sertifikasi
o Sertifikasi adalah tindak lanjut dari perizinan, yakni memberikan sertifikat
(pengakuan) kepada institusi kesehatan yang benar-benar telah dan atau tetap
memenuhi persyaratan
o Ditinjau serta diberikan secara berkala
Akreditasi
o Akreditasi adalah bentuk lain dari sertifikasi yang nilainya dipandang lebih tinggi
o Dilakukan secara bertingkat, yakni sesuai dengan kemampuan institusi kesehatan.
o Ditinjau serta diberikan secara berkala.
Kesimpulan
Mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan
dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Berkaitan dengan kualitas pelayanan jasa,
metode peningkatan mutu pelayanan jasa kebidanan dan organisasi kesehatan dapat dilakukan
dengan pendekatan total Quality Management (TQM). Total Quality Manegemen (TQM)
merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan
daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungannya.
Penilaian
Penilaian adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari
pelaksanaan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada waktu
melakukan penilaian haruslah diingat bahwa penilaian dilakukan pada tahap akhir (summative
evaluation) sehingga perhatian hendaknya lebih ditujukan pada unsur keluaran (output) dari
program menjaga mutu. Dalam hal ini merujuk pada mutu pelayanan kesehatan yang
disenggarakan. Untuk dapat melakukan penilaian sumatif ini perlu memahami standar serta
indikator yang digunakan, yakni standar dan indikator yang merujuk pada mutu pelayanan
kesehatan.
Penilaian dapat ditemukan pada setiap tahap pelaksanaan program dan secara umum
a. Penilaian pada tahap awal program, yaitu penilaian yang dilakukan pada saat
merencanakan suatu program (formative evaluation). Tujuan utamanya adalah untuk
meyakinkan bahwa rencana yang disusun benar-benar telah sesuai dengan masalah yang
ditemukan (dapat menyelesaikan masalah tersebut). Penilaian yang dimaksudkan untuk
mengukur kesesuaian program dengan masalah dan/atau kebutuhan masyarakat dan
disebut dengan studi penjajakan kebutuhan (need assessment study).
b. Penilaian pada tahap pelaksanaan program, yaitu penilaian pada saat program sedang
dilaksanakan (promotive evaluation). Tujuan utamanya adalah untuk mengukur apakah
program yang sedang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana atau tidak, atau
apakah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan pencapaian
tujuan dari program tersebut. Pada umumnya ada dua bentuk penilaian pada tahap
pelaksanaan program yaitu pemantauan (monitoring) dan penilaian berkala (periodical
evaluation).
c. Penilaian pada tahap akhir program, yaitu penilaian yang dilakukan pada saat program
telah selesai dilaksanakan (summative evaluation). Tujuan utamanya secara umum
dapat dibedakan atas dua macam yakni untuk mengukur keluaran (output) serta untuk
mengukur dampak (impact) yang dihasilkan. Dari kedua macam penilaian akhir ini,
diketahui bahwa penilaian keluaran lebih mudah daripada penilaian dampak karena pada
penilaian dampak diperlukan waktu yang lama.
Ruang lingkup penilaian secara sederhana dapat dibedakan atas empat kelompok sebagai
berikut.
Tabel
Contoh Antenatal Care
(ANC)
1. Teknik Observasi
a. Pengertian observasi
1) Tidak selalu memungkinkan untuk mengamati suatu kejadian yang spontan, harus
ada persiapan
2) Tidak bisa menentukan ukuran kuantitas terhadap variabel yang ada karena
hanya dapat menghitung variabel yang kelihatan.
3) Sulit mendapatkan data terutama yang sifatnya rahasia dan memerlukan waktu
yang lama.
4) Apabila sasaran penilaian mengetahui bahwa mereka sedang diamati, mereka
akan dengan sengaja menimbulkan kesan-kesan yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan, jadi sifatnya dibuat-buat.
5) Subyektifitas dari observer tidak dapat dihindari
(a) Daftar alat berisi nama subyek dan beberapa hal/ciri yang akan diamati dari
sasaran pengamatan. Pengamat dapat memberi tanda cek (√) pada daftar tersebut
yang menunjukkan adanya ciri dari sasaran pengamatan.
(b) Daftar tilik terdiri dari 4 bagian,yaitu: daftar tilik pengamatan pelayanan, daftar
tilik pengetahuan pasien, daftar tilik pengetahuan petugas,dan daftar tilik sarana
esensial.
(c) Daftar tilik hanya dapat menyajikan data kasar saja, hanya mencatat ada
tidaknya suatu gejala. Contoh daftar tilik yang digunakan dalam menilai misalnya
pelayanan antenatal yang meliputi instrumen penilaian pengetahuan pasien tentang
ANC, pengetahuan petugas tentang ANC, dan pengetahuan petugas tentang sarana
untuk pelayanan ANC.
Skala ini berupa daftar yang berisi ciri-ciri tingkah laku yang dicatat secara bertingkat.
Rating scale ini dapat merupakan satu alat pengumpulan data untuk menerangkan,
menggolongkan, dan menilai seseorang atau suatu gejala.
3) Alat-alat mekanik
Alat-alat ini antara lain: alat perekam, alat fotografis, film, tape recorder, kamera
televisi, dan sebagainya. Alat-alat tersebut setiap saat dapat diputar kembali untuk
memungkinkan mengadakan penilaian secara teliti. Contoh: penilaian terhadap
kompetensi ANC bidan dapat dilakukan dengan merekam menggunakan video
rekaman sehingga jika diperlukan penilaian ulang maka dapat diputar ulang.
2. Teknik Wawancara
a. Pengertian wawancara
Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dimana
penilai mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang sasaran penilaian. Data diperoleh
langsung dari orang yang dinilai melalui suatu pertemuan/percakapan. Wawancara sebagai
pembantu utama dari metode observasi. Gejala-gejala sosial yang tidak dapat terlihat atau
diperoleh melalui observasi dapat digali dari wawancara. Jenis wawancara yang sering
digunakan dalam penilaian mutu adalah wawancara terpimpin yaitu wawancara yang
dilaksanakan berdasarkan pedoman-pedoman berupa panduan penilaian yang telah
disiapkan secara matang sebelumnya.
b. Kelebihan wawancara
c. Kelemahan wawancara.
d. Penilaian mutu dengan wawancara secara spesifik digunakan pada hal-hal berikut.
o Saat tim penjaga mutu melakukan validasi terhadap interpretasi data yang
bertujuan untuk mengatasi masalah mutu pelayanan kesehatan
o Menilai alasan yang digunakan untuk melakukan tindakan
o Menilai kemampuan terhadap perkembangan kasus pada mutu pelayanan
kesehatan.
e. Instrumen penilaian mutu dengan wawancara dapat berupa kuesioner yaitu daftar
pertanyaan yang sudah disusun dengan baik sehingga pewawancara selama
melakukan wawancara dapat menuliskan jawaban atau tanda pada lembaran tersebut.
3. Teknik Dokumentasi
o Pengertian dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu sistem pencatatan dan pelaporan informasi tentang kondisi
dan perkembangan kesehatan pasien dan semua kegiatan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan.
o Pembagian dokumen
Dokumen terbagi dua kategori yaitu: 1) dokumen sumber resmi, merupakan dokumen
yang dibuat/dikeluarkan oleh lembaga atau perorangan atas nama lembaga. Ada dua
bentuk yaitu sumber resmi normal dan sumber resmi informal; 2) dokumen sumber
tidak resmi, merupakan dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh individu tidak atas nama
lembaga. Ada dua bentuk yaitu sumber tak resmi formal dan sumber tak resmi informal.
Ada empat hal yang diperhatikan dalam pendekatan untuk mencapai pelayanan prima melalui
peningkatan mutu pelayanan, (Prof. dr. A.A. Gde Muniojaya, MPH. 2012. Manajemen
Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : EGC)yaitu sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Atik Purwandari, A.Md.Keb., SKM. 2008. Konsep Kebidanan Sejarah & Profesionalisme.
Jakarta : EGC
Th. Endang Purwoastuti, S.pd, APP. Elisabeth Siwi Walyani, Amd, Keb. 2008. Mutu Pelayanan
Ksehatan & Kebidanan. Jakarta Pusat : PB
Jenny J.S Sondakh, Marjati, Tatarini Ika Pipitcahyani. 2013. Mutu Pelayanan Kesehatan dan
Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Naomy Marie Taudo. 2013. Jakarta : In Media
Prof. dr. A.A. Gde Muniojaya, MPH. 2012. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta :
EGC
Sallis E. 2008. Total Quality Management, Jakarta: Gramedia. Cheap Offers:
Syafrudin, SKM, M.Kep. Siti Masitoh, SKp, M.Kes. Taty Rosyanawaty, App. 2003. Manajemen
Mutu Pelayanan Kesehatan Untuk Bidan. Jakarta Timur : TIM
Tjiptono, F. dan Diana,A. 1998. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset.
Vincent G. 2005. Total Quality Management, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Wijono Djoko. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya : Airlangga University
Press