Anda di halaman 1dari 100

Pelaksanaan Rekomendasi Komisi Kebenaran

Dan Persahabatan (KKP) Tentang Reparasi


Kepada Korban Dan Keluarga Korban,
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasca Referendum
DI Timor-Leste

Tesis
Diajukan Kepada
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Oleh :
Faustino dos Santos Pires
NPM : 322009901

Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum


Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, 2011
Pelaksanaan Rekomendasi Komisi Kebenaran
Dan Persahabatan (KKP) Tentang Reparasi
Kepada Korban Dan Keluarga Korban,
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasca Referendum
Di Timor-Leste

Tesis
Diajukan Kepada
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Tesis

Oleh

Faustino dos Santos Pires

NPM: 322009901

Telah disetujui untuk diuji :

Tanggal,............Juni, 2011

Pembimbing, Pembimbing,

Ari Siswanto, SH. M.HUM Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH. M.Si
ABSTRAK

Revolusi Bunga yang terjadi di Portugal pada


tanggal 25 april 1974 situasi politik di Negara itu
berubah, rezim otoriter yang berkuasa tumbang dan
kemudian terbentuk suatu rejim baru yang demokratik
sehingga saat itu pula Portugal memberikan angin segar
bagi semua negara – negara jajahannya untuk
menentukan nasipnya sendiri (Provincia Ultramarino).
Salah satu negara jajahan (Ultramarino) yang
diumumkan adalah Provincia Ulramarino Timor Leste,
dan dekolonisasi bagi semua wilayah jajahan di sebran
lautan (Povincia Ultramarino) di Afrika dan Asia.
Lalu muncul berbagai partai politik yang terbentuk
di Timor Leste, dan awal jatuh korban serta situasi
politik Timor Leste dalam kondisi yang tidak stabil akibat
perbedaan pandangan politik di antara pimpinan partai
politik di sana (Timor Leste).
Persoalan tersebut tidak hanya perang urat syaraf,
namun menjadi perang fisik yang menelan banyak
korban jiwa; Saat itu Indonesia mulai masuk dengan
operasi intelijennya sebelum secara resmi invasi atas
Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975. Akibat dari
penyerbuan itu lalu korban nyawa dan kehilangan harta
benda semaking bertambah karena Indonesia
mengerakan militernya serta alat perang yang mederng
dalam jumlah besar.
Pendudukan Indonesia atas Timor Leste melalui
penyerbuan menjadi masalah hangat Internasional
karena pada waktu itu secara de juri,Timor Leste masih
wilayah kekuasaan Portugal sehingga berbagai tekanan
datang dari Negara- negara dan organisasi Internasional,
seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan Amnesty
internasional.
Penelitian ini dilakukan di kantor Komisi Penerimaan
dan Rekonsiliasi (CAVR) dan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) di Timor Leste. Sedangkan tujuan
ii
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Implikasi
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), Hak Asasi
Manusia (HAM) dan presepsi msyarakat tentang
pelanggarang HAM berat yang terjadi di Timor Leste pada
tahun 1999.
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah hukum deskriptif, yaitu dinana
penulis ingin mengetahui, mengambarkan masalah-
masalah atau fenomena –fenomena yang ada di
lapangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum
yang sosiologis berdasarkan madzhab sociological
jurisprudence. Disebut yuridis sosiologi karena
penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif tetapi
bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan
perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan
interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu pekerja di
dalam masyarakat.
Data primer yang dikumpulkan melalui studi
kepustakaan, baik terhadap kaidah hukum yang ada,
hasil penelitian, dan karangan ilmiah yang berkaitan
dengan penulisan tesis ini. juga melakukan wawancara
dengan 3 (tiga) orang anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) serta 2 (dua) orang korban dan
keluarga korban asal Timor Leste.
Dari hasil penelitian ini tidak ada langkah –
langkah atau mekanisme (prosedur baku) tentang tata
cara untuk pelaksanaan reparasi kepada korban dan
keluarga korban pada pelanggaran HAM pada tahun
1975- 1999 di Timor Leste. Dari hasil penelitian, bahwa
kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) ini
hanya sekedar menjawab apa yang menjadi harapan
para petinggi negara dan mengabaikan harapan para
korban yang mengimpikan adanya pengadilan bagi
pelaku pelanggaran HAM hal ini menunjukan bahwa
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) hanya
sebagai panggung sandiwara bagi para elit politik untuk

iii
mencari sensasi, tetapi bukan untuk menjawab tuntutan
rakyat mereka yang menjadi korban.
Sebagai saran di dalam penelitian ini diusulkan
agar hasil kerja keras Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) dalam mengungkapkan pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor Leste merupakan
hasil positif yang perlu dihargai, karena dengan hasil
kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tersebut
masyarakat Timor Leste dapat mengetahui tentang
pelanggaran HAM Timor Leste termasuk angka korban
tentu saja itu sebagai bukti yang menunjukan bahwa
memang ada pelanggaran HAM di masa lalu.

iv
MOTTO

Dengan kepercayaan dirimu yang besar,


engkau bisa melompat setinggi yang
tidak pernah engkau bayangkan.
Tapi, tanpa kepercayaan diri,
lompatan kecilpun tidak
bisa engkau lakukan

Penulis

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis mengucapkan kepada Tuhan


Yang Maha Esa di dalam nama Yesus Kristus dan Santa
Perawan Maria yang telah memberikan berkat dan
pimbingan Roh Kudusnyalah sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis yang berjudul “Pelaksanaan
Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) Tentang Reparasi Kepada Korban dan Keluarga
Korban, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Pasca
Referendum di Timor Leste”. Penyusunan Tesis ini
bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan
guna mencapai Gelar Magister Ilmu Hukum pada
Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Proses penulisan dan penelitian ini tentunya tidak
berlangsung secara sendirian, akan tetapi merupakan
suatu rangkaian proses yang melibatkan waktu, tempat
dan pemikiran yang dimulai dari awal hingga selesainya
penulisan ini.
Penulis melalui tahapan-tahapan yang berarti
memulai dari permohonan usulan penelitian, surat
pengantar penelitian dari Program Pasca Sarjan Magister
Ilmu Hukum (MIH) selanjutnya mengusulkan surat
permohonan kepada kantor Komisi Penerimaan dan
Rekonsiliasi (CAVR) dan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) di Timor Leste kemudian baru
melakukan pengambilan data fisik di kantor
CAVR(Comicao Akholiamento Verdade e Rekonsiliacao)di
Balide Dili Timor Leste dan setelah terkumpul, data- data
itu dipelajari barulah penulis menentukan informan
sebagai kunci untuk melakukan wawancara dengan
ketua KKP Timor Leste dan anggotanya serta para
korban dan keluarga korban.
Proses pengolahan data yang terkumpul
membutuhkan konsentrasi, kesadaran yang tinggi dan
penulis dapat melakukannya dengan baik masukan,
dorongan dan bimbingan serta bantuan dari beberapa
vi
pihak sampai selesainya penulisan tesis ini menjadi
suatu karya ilmiah.
Untuk mengakhiri kata pengantar ini tanpa
mengurangi arti dari kata bantuan pihak- pihak
dimaksud dengan rendah hati pada kesempatan ini
perkenanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terimaasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Pdt. Prof. John A. Titaley, Th. D. selaku
Rektor Universitas Kristen Satya Wacan Salatiga
yang telah memberikan persetujuan dalam hal
pengangkatan dosen pembimbing melalui SK
pembimbingan.
2. Bapak Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum, selaku Ketua
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, yang telah
memberikan pelayanan kepada penulis dalam hal
penyelenggaraan akademik sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis ini dengan tidak hambatan
apapun dan dari siapapun.
3. Bapak Ari Siswanto, SH. M. Hum, selaku
Pembimbing Pertama yang telah penuh kesabaran
dan ketulusan hati telah mencurahkan serta
memberikan arahan, petunjuk, dan saran-saran
kepada penulis sehingga dapat terwujud Tesis ini
sesuai yang diharapkan.
4. Bapak Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH. Msi. Selaku
pembimbing ke Dua yang penuh kesabaran dan
ketulusan hati telah mencurahkan dan memberikan
arahan, petunjuk serta saran-saran kepada penulis
sehingga dapat terwujud Thesis ini sesuai yang
diharapkan.
5. Bapak Titon Slamet Kurnia, SH. MH. Selaku penguji
dalam pelaksanaan seminar proposal, yang telah
memberikan banyak masukan guna sempurnanya
penulisan tesis ini.
6. Seluruh staf pengajar Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Hukum UKSW Salatiga yang telah

vii
menyediakan segala fasilitas yang tidak disebutkan
satu persatu.
7. Isteri dan anak Tercinta Rosita da Costa dan
Geraldino da Costa Pires, Bapakku serta Almh,
Ibuku dan saudara- saudaraku dan kedua Mertua
tersayang yang telah memberikan dugungan Moril
maupun Spirituil dalam menyelesaikan pendidikan
di Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga.
8. Bapak Ir. Mariano Sabino Lopes yang telah
membantu dukungan dorongan Moril maupun
Spirituil dalam menyelesaikan pendidikan Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga.
9. Bapak Ir. Manuel Sabino Correia Yang telah
membantu dukungan Moril dan Spirituil dalam
menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
10. Bapak Alfredo dos Santos, SE. MPA. Yang telah
membantu arahan, dorongan dan dukungan
sehingga penulis dapat dengan cepat menyelesaikan
Tesis ini
11. Bapak Jaime dos Santos, S.T. yang ikut membantu
menfasilitasi sara prasarana hingga kelancaran
dapat dengan cepat menyelesaikan Tesis ini.
12. Kedua rekan sealmameterku Bapak Bernardo
Amaral, SH. MH. Dan Bapak Jaime Xavier, Lic-Dir.
MH. Yang telah membantu baik moral maupun
masukan – masukan dalam penyempurnaan tesis
ini
13. Bapak Agustinho de Vasconselos selaku Ketua
CAVR beserta Stafnya yang telah menfasilitasi dan
membantu kelancaran penulis untuk melakukan
penelitian di kantornya hingga selesai.
14. Bapak Dr. Deonisio Babo Soares selaku Ketua KKP
Timor Leste beserta Stafnya yang telah banyak
memberikan Informasi dan wawancara untuk
kelancara penelitian hingga selesainya tesis ini.

viii
15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam
penulisan Tesis ini baik secara materiil, finasial
maupun Spirituil yang tidak dapat penulis sebutkan
satu ber satu.

Akhir kata, penulis sadar bahwa tesis ini masih


jauh dari sempurna seturut ukuran keilmuan.
Karenanya kritik dan saran perbaikan dari para pembaca
sangat diharapkan.
Oleh karena itu kepada seluruh pembaca mohon
memaklumi, agar bisa memberikan sumbangsih pada
bidang Ilmu Hukum Khususnya Hukum Tata Negara.

Salatiga, 30 Mei 2011

Penulis

ix
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan .................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................. 1


B. Rumusan Masalah .......................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................ 10
D. Manfaat Penelitian .......................................... 11

Bab II. Tinjauan Pustaka ......................................... 12

A. Pengertian Koflik ........................................ 12


B. Penyelesaian Konflik .................................. 14
C. Hak Asasi Manusia .................................... 17
D. Pelanggaran Hak Asasi Manusia ................ 20
E. Reparasi dalam Pelanggaran HAM .............. 22
F. Kerangka Pemikiran ................................... 25

Bab III. Metode Penelitian ......................................... 27

A. Jenis Penelitian .......................................... 27


B. Pendekatan Penelitian ................................ 28
C. Definisi Operasional ................................... 29
D. Jenis dan Sumber data .............................. 29
E. Jenis dan Teknik Pengumpulan data .......... 30
F. Teknik Pengambilan Sampel ....................... 31
G. Analisa data ............................................... 32

Bab IV. Hasil Penelitian dan Analisis......................... 34

A. Gambaran Umum Tentang Wilayah


Timor Leste ................................................34

x
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Timor Leste ....................................... 36
2. Komisi Kebenaran dan
Persahabatan KKP di Bentuk............. 39
3. Tugas dan Tanggung Jawab KKP ....... 44
4. Jumlah Anggota Komisi Kebenaran
dan Persahabatan(KKP). ..................... 47
5. Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Terbentuknya
Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) .......................... 51
6. Implikasi Pembentukan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) .. 57
B. Analisis ...................................................... 66
1. Rekomendasi Komisi Kebenaran
dan Persahabatan(KKP) ..................... 66
2. Pelaksanaan Rekomendasi Komisi
Kebenaran dan Persahabatan(KKP) .. 68
3. Dampak Hasil Kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan(KKP) ... 75

Bab V. Penutup ........................................................ 81

A. Kesimpulan ................................................. 81
B. Saran .......................................................... 83

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasca Revolusi Bunga pada tanggal 25 April 1974
di Portugal situasi Politik di negara itu berubah, Rejim
otoriter yang berkuasa tambang dan kemudian terbentuk
suatu Rejim baru yang lebih demokratik sehingga
memberikan angin segar bagi wilayah jajahan Portugal di
sebrang lautan ( Provincia Ultramarino ). Pemerintah
Portugal yang berkuasa lalu mengumumkan suatu
dekolonisasi bagi wilayah jajahan Portugal di sebrang
lautan termasuk Provincia Ultra Marino Timor Leste.
Pada saat yang sama berbagai partai Politik
muncul di Timur Leste. Awal kembali jatuhnya Timor
Leste kedalam kondisi politik yang tidak stabil akibat
perbedaan pandangan politik di antara pimpinan partai
politik.
Persoalan tersebut tidak hanya perang urat saraf,
namun menjadi perang fisik yang menelan banyak
korban jiwa1. Saat itu Indonesia mulai masuk dengan,
operasi intelijennya sebelum akhirnya secara resmi
menginvasi Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975.
Akibat dari penyerbuan itu korban nyawa dan
kehilangan harta benda semakin bertambah karena
Indonesia mengerakan militernya dalam jumlah yang
besar.

1)Masalah korban jiwa antara 1000 sampai 1100, lihat laporan KKP
CAVR, Dili Tahun (2003 – 2005 hlm. 50 – 51)

1
Dalam laporan disebutkan bahwa jumlah korban
nyawa dari tahun 1975-1999 adalah sekitar 18.600
orang yang dibunuh atau dihilangkan, Sementara 84.200
mati disebabkan oleh karena sakit atau kelaparan akibat
diisolasikan dalam kamp-kamp pengungsian di wilayah
Timor Leste.
Pendudukan Indonesia atas Timor Leste menjadi
masalah hangat Internasional karena pada waktu itu
secara de jure Timor Leste masih wilayah kekuasaan
Portugal sehingga berbagai tekanan datang dari
berbagai Negara dan orgonisasi Internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amnesti
Internasional. Selain itu masyarakat Timor Leste pun
aktif melakukan aksi perlawanan di tingkat nasional,
regional, dan Internasional lewat berbagai media;
yaitu:Front gerakan bahwa tanah (Klandestin),Front
Diplomasi dan Front Gerilia. Titik terang perjuangan
mulai terlihat sering dengan tumbangnya rezim Soeharto
pada tahun 1998. Proses reformasi di Indonesia
menjadi titik awal untuk memaksa agar pemerintah
Indonesia benar-benar menjadikan persoalan Timor
Leste menjadi masalah mendesak yang harus
diselesaikan sesegera mungkin. Oleh karena itu, BJ
Habibie yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil
Presiden untuk mengisi posisi Presiden yang lowong
akibat mundurnya Presiden Soeharto yang dipaksa oleh
para mahasiswa melalui aksi reformasi karena rezim
orde baru di anggap gagal dalam mengatasi krisis
moneter yang melanda Indonesia pada waktu itu.
Akhirnya B.J. Habibie menyelesaikan persoalan Timor
2
Leste dengan menawarkan pilihan kepada Timor-Timur
saat itu untuk memilih otonomi khusus dan atau
memilih merdeka. Penggumuman ini di keluarkan pada
pidato kenegaraan Januari 1999.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang tetap
menangani masalah ini selama pendudukan,
meningkatkan kegiatannya dan akhirnya memperantarai
dicapainya Kesepakatan tanggal 5 Mei tahun 1999
antara Indonesia, Portugal dan PBB, yang menghasilkan
Konsultasi Rakyat pada 30 Agustus 1999. Isi dari
kesepakatan tersebut adalah menyelenggarakan
referendum yang diorganisir langsung oleh Misi
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor-Timur (Timor
Leste), misi waktu itu di namai United Nations Mission in
East Timor (UNAMET).
Sementara tanggung jawab keamanan tetap
menjadi tanggung jawab Indonesia. Jajak pendapat
tersebut akhirnya dapat terselenggara pada tanggal 30
Agustus 1999 dan hasilnya diumumkan pada tanggal 4
September 1999 yang pada ahirnya mayoritas memilih
merdeka, akan tetapi berbagai tindakan teror dan
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pro otonomi
terhadap Kelompk pro kemerdekaan yang menginginkan
untuk merdeka. Sekitar 50% Penduduk yang mengungsi,
sementara sekitar 78 bangunan fisik dihancurkan dan
diperkirakan 1.200 sampai 1.500 dibunuh (laporan
komisi KPP HAM tahun 2000).
Setelah lepas dari Indonesia, pemerintah
sementara di Timor Leste diambil alih oleh Periserikatan
Bangsa- Bangsa (PBB). Badan-badan kemudian dibentuk
3
di Negara tersebut untuk merespon tuntutan keadilan
dari korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Badan tersebut salah satunya adalah Komisi ,
Penyidik Internasional tentang Timor Leste International
Commission of Inguiry (ICI) yang memperoleh
kewenangan untuk menginvestigasi kejahatan yang
dilakukan sebelum, selama dan setelah “jajak pendapat”.
Badan tersebut kemudian mengunjungi wilayah
Timor Leste pada Tahun 1999 dan Tahun 2000.
Berdasarkan Investigasinya, badan tersebut
merekomendasikan agar di bentuk Mahkamah
Internasional. Namun, dari pihak Republik Indonesia (RI)
tidak menerima rekomendasi tersebut dan mengusulkan
di bentuknya pengadilan Ad hoc.
Dengan dibentuknya pengadilan Ad hoc
rekomendasi dari International Commission of Inquiry (ICI)
mengenai persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) tidak di laksanakan. Sebaliknya, pengadilan Ad
hoc yang akan mengadili para pelanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Terbentuknya pengadilan Ad hoc
disambut baik oleh pemerintah sementara Timor Leste,
United Nation Transitional Administration in East Timor
(UNTAET) sehingga United Nations Transitional
Administration in East Timor mengeluarkan regulasi No.
26/2000 yang memberikan mandat kepada Negara
Republik Indonesia (RI) untuk mengadili beberapa
tersangka melalui pengadilan nasional Ad hoc yang
disidangkan di Jakarta, yang mana pengadilan Ad hoc
memiliki jurisdiksi khusus dalam sistem hukum
domestik.
4
Meskipun pengadilan tersebut berhasil mengadili
18 tersangka, namun hasil tersebut tetap dikecam oleh
masyarakat Internasional dan pembela hak asasi
manusia karena dianggap tidak adil (laporan Human
Rights Court in Jakarta).2 Pembentukan Panel Khusus
Kejahatan Berat pun ahirnya mengakhiri mandatnya
pada Tahun 2005 dengan hasil yang tidak begitu
memuaskan karena tidak satupun pelaku utama yang
dipidana dari 1400 kasus pembunuhan hanya 572
pelaku kasus yang didakwa3.
Kedua proses itu dinilai gagal karena tidak
satupun pelaku utama yang dihukum, sementara orang-
orang kecil yang waktu itu hanya melaksanakan perintah
yang dihukum, dan diadili.
Sementara itu, pengadilan Ad hoc di Jakarta juga
mengadakan beberapa persidangan namun tidak menuai
hasil yang baik karena tidak satupun pelaku kejahatan
yang dihukum atas keterlibatannya mereka dalam kasus
tersebut. Di tengah ketidakpuasan muncul banyak
tuntutan yang datang, baik dari korban maupun
keluarga korban untuk menyelesaikan persoalan ini
lewat pengadilan Ad hoc yang disponsori PBB yang mana
basisnya di Jakarta.
Setelah itu pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Timor Leste, melalui kedua kepala
Negara yaitu DR. Susilo Bambang Yudoyono dan Kay
Rala Xanana Gusmao menyepakati untuk mendirikan

2) Sumber Laporan KPP Ham Tahun 2000


3)Pelaksanaan CAVR ( Comição acolhimento verdade reconcilliação
(komisi penerimaan kebenaran dan rekonsiliasi).
5
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Keputusan
untuk mendirikan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
dilakukan pada tanggal 24 Desember 2004 ketika
pimpinan Indonesia dan Timor Leste bertemu di Bali
dengan didasarkan pada satu kerangka acuan yang
disepakati bersama.
Pembentukan KKP tersebut merupakan suatu
pengalaman baru dan unik di mana kedua Negara,
dengan pengalaman sejarah bersama bersepakat dengan
visi untuk memandang masa lalu sebagai pelajaran dan
merangkul masa depan dengan optimis4. Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) di bentuk setelah
beberapa makanisme peradilan transisi (Transitional
Justice) yang diupayakan oleh kedua Negara untuk
memproses pelanggaran HAM pada saat itu di Timor
Leste tidak menuai hasil yang begitu baik.
Laporan hasil kerja dari Komisi tersebut baru
selesai dan diserahkan pada Parlemen Nasional Timor
Leste pada bulan Mei 2008, dalam laporan akhir tersebut
dimuat beberapa rekomendasi-rekomendasi, Komisi
Kebenaran dan Persahabatan KKP. Karena Komisi
Kebenaran dan Persahabatan KKP tidak
merekomendasikan proses yudisial terhadap mereka
yang bertangung jawab atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan pada saat jajak pendapat di Timor Leste,
sementara dalam laporan akhir Komisi Penerimaan dan
Rekonsiliasi atau Comicao Acholiamentu Verdade e,
Rekonsiliacao (CAVR) merekomendasikan untuk

4) Laporan KPP HAM hal. 217


6
melekukan sebuah proses yudisial agar dapat
memberikan keadilan bagi korban.5
Namun ada sedikit kesamaan rekomendasi yang
baik dalam laporan CAVR dan KKP dalam hal keduanya
merekomendasikan reparasi bagi para korban dan
keluarganya.
Diakui bahwa reparasi merupakan salah satu hak
dari para korban dan keluarganya untuk
memperolehnya. Salah satu tonggak pertama dari hak
atas Reparasi tertuang dalam Konvensi Hak-hak sipil
dan politik pada pasal 2 dan 3 di mana Negara menjamin
bahwa “barang siapa yang hak atau kebebasannya
dilanggar akan mendapatkan penyelesaian yang efektif
(efective remedy), walaupun pelanggaran telah dilakukan
oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.”
Sehingga pelanggaran hak-hak dasar yang dilindungi
dalam International Covenant Civil Of Political Rights
(ICCPR), seperti hak hidup (pasal 6) hak bebas atas
penyiksaan (pasal 7) mengakibatkan kewajiban negara
untuk memperbaiki kehidupan korban, karena Negara
telah gagal menjalankan kewajibannya.
Dalam penjabaran hak untuk bebas dari penahanan
sewenang-wenang, dan hak untuk mendapatkan proses
pengadilan yang adil, tertera secara khusus bahwa
Negara memberikan kompensasi bagi mereka yang
mengalami pelanggaran kedua hak ini (pasal 9, ayat (5)
dan pasal 14 ayat (6).

5)Laporan ComiÇaÕ Acholiamento verdade e, reconciliaÇaÕ (CAVR)


/ Komisi Penerimaan dan Rekonsiliasi
7
Hak reparasi juga tertuang dalam prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu : dalam perinsip
perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia lewat
tindakan Melawan Imunitas yang (di kenal dengan
perinsip-prinsip imunitas) yang telah di adopsi oleh
komisi HAM PBB, kewajiban Negara untuk melawan
imunitas perkaitan dengan kejahatan dalam hukum
Internasional kembali di tegaskan6.
Prinsip 1 menyatakan bahwa imunitas muncul
dari kegagalan Negara untuk menjalankan kewajibannya
untuk menginvestigasi pelanggaran; untuk mengambil
tindakan yang layak berkaitan dengan pelaku,
khususnya dari segi keadilan.
Dengan jaminan bahwa mereka yang dicurigai
mempunyai tanggung jawab pidana dituntut, diadili dan
dihukum; memberikan penyelesaian yang layak pada
korban dan menjamin pada mereka untuk menerima
reparasi atas kerugian yang di alami, menjamin hak atas
kebenaran tentang pelanggaran; dan untuk mengambil
tindakan-tindakan yang diperlukan dan untuk
menjamin tidak terulangnya pelanggaran.
Memang benar bahwa keadilan yang sebenar-
benarnya dapat juga diraih lewat pengukapan
kebenaran, namun semua itu tentu bertujuan untuk
menghukum pelanggaran yang pada gilirannya dapat
menjamin adanya rekonsiliasi dan memperkokoh
penegakan hukum serta menghindari terjadinya
pelanggaran serupa yang terjadi dimasa depan.

6 ) Laporan KPP HAM Oktober 1999 sampai Juli 2001 hlm. 9-10

8
Berdasarkan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor
Leste dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tidak
tepat secara konseptual. Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomer 39 Tahun 1999 menyatakan : Bahwa
upaya hukum dalam rangka reparasi terhadap korban
pelangaran HAM melalui Komnas HAM dapat
dilaksanakan oleh fungsi mediasi.
Maka dari itu, penulis melalui tesis ini berusaha
untuk mengambil dan menganalisis hasil usaha dari
pemerintah salama ini, terlebih dahulu penulis ingin
melihat sejauh mana hasil laporan tentang reparasi itu
di lakukan, dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) terhadap para korban dan keluarganya pada
pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Leste pada tahun
1999 dalm memberikan keadilan bagi korban yang
kemudian akan memberikan kontribusi terhadap
penegakkan Hukum di Timor Leste.
Agar dapat mengetahui lebih mendalam mengenai
dampak dari Pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan terhadap Rakyat di Timor Leste, terlebih
dahulu keadilan bagi korban kejahatan yang di lakukan
selama perang terjadi di Timor Leste, terlebih untuk
mengetahui dampak terhadap penegakan HAM pada saat
itu. Maka penulis mencoba mengkaji lewat Tesis ini yang
berjudul : “Pelaksanaan Rekomendasi Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Tentang Reparasi
Kepada Korban dan Keluarga Korban Pelangaran Hak
Asasi Manusia (HAM) Pasca-Referendum di Timor
Leste ”

9
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan rekomendasi Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tentang
reparasi kepada korban dan keluarga korban?
2. Bagaimana hasil dan isi rekomendasi Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang berkaitan
dengan reparasi?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), Hak Asasi
Manusia (HAM) dan presepsi masyarakat tentang
pelanggaran-pelanggaran berat pada tahun 1999 di
Timor Leste. Oleh Karena itu, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hasil dan isi rekomendasi pelanggaran
HAM pasca referendum di Timor Leste
berdasarkan hasil laporan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP)
2. Mengetahui pelaksanaan rekomendasi Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tentang
reparasi kepada korban dan keluarganya.

10
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, untuk memperkaya wacana ilmiah
tentang HAM.
Secara praktis, untuk memberikan solusi
penegakkan HAM yang berorientasi pada pemenuhan
hak-hak korban serta sekaligus mengevaluasi aturan
hukum positif dalam rangka memberikan masukan
untuk penyempurnaan terhadap kekurangan-
kekurangan yang ada.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Konflik
Konflik diartikan sebagai pengejaran tujuan yang
saling bertentangan dari kelompok yang berbeda-beda7.
lebih lanjut Hugh M. Oliver Ramsbostam Tom Woodhouse,
(2000:28-30) “Mengatakan konflik merupakan aspek
intrinsic dan tidak mungkin dihindari dalam perubahan
sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas
kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai
formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial
yang muncul bertentangan dengan hambatan yang
diwariskan. Namun cara kita menangani suatu konflik
adalah persolaan kebiasaan dan pilihan”.
Konflik berasumsi masyarakat mencakup berbagai
bagian yang memiliki kepentingan yang saling
bertentangan8. Kecuali itu, masyarakat terintekrasi
dengan suatu paksaan dari kelompok yang dominan
sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik.
Masing-masing berupaya keras untuk mendapatkan dan
atau mempertahankan sumber yang sama. Namun, guna
mendapatkan dan atau mempertahankan sumber yang
sama itu, kekerasan bukan satu-satunya cara. Pada
umumnya, kekerasan cenderung digunakan sebagai
alternatif yang terakhir. Dengan demikian konflik

7 ) Hugh Mia O. dan Tom Woodhouse (2000; 7)


8 ) Ralf Darendof, (1959;34)
12
dibedakan menjadi dua, yaitu konflik yang berujung
kekerasan dan konflik yang tidak berujung kekerasan.
Konflik yang mengandung kekerasan, pada
umumnya terjadi dalam masyarakat, Negara yang belum
memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan tujuan
Negara. Mengenai mekanisme pengaturan dan
penyelesaian konflik yang melembagakan9. Kudeta,
pembunuhan atau sabotase yang berdemensi politik
(terorisme), pemberontakan dan separatisme serta
revolusi yang merupakan sejumlah contoh konflik yang
mengandung kekerasan.
10Dalam masyarakat majemuk sering terjadi
pertentangan antara kelas karena struktur masyarakat
yang terpolarisasikan menurut kepemilikan kekayaan.
Hal ini dapat menimbulkan konflik antara kelas sebab
sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki atau
hanya memiliki sedikit kekayaan, akan memiliki
kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil
masyarakat yang mendominasi sumber kekayaan
tersebut. Jadi menurut Marx distribusi kekayaan, yang
pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik
dan proses penyelesaiannya harus melalui revolusi.
Konflik masa silam antara Indonesia dengan bekas
Propinsi yang ke-27 (Propinsi Timor-Timur) yang
sekarang Timor Leste, bila dikaitkan dengan teori konflik
di atas maka konflik masa silam antara Indonesia dan
Timor Leste dapat dikategorikan sebagai Konflik
Struktural sebagaimana dikemukakan oleh Hugh Maill,
9 ) Ramlan Surbekti ( 1999: 149-150)
10) Marx (dalam Lenin 2001 : 101)
13
Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse karena
didalamnya terjadi kekerasan terhadap masyarakat sipil
yang tidak bersenjata, yang dirasakan langsung, serta
terjadi kekerasan fisik.
Sementara pada waktu itu pula konflik bersenjata
antara Indonesia dalam hal ini TNI (Tentara Nasional
Indonesia) dan pasukan FALINTIL (Forcas Armadas da
Libertação de Timor Leste atau Pasukan Pembebasan
Timor Leste). Menurut Hugh Maill Oliver Ramsbotham
dan Tom Woodhouse konflik kini disebut konflik
komtemporer bersenjata.

B. Penyelesaian Konflik
“Penyelesaian konflik bermakna tercapainya
kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai yang
memungkinkan mereka mengakhiri tahapan penuh
kekerasan dalam pelaku konflik.11 Hal ini juga
menunjukkan finalitas, tetapi dalam prakteknya, konflik
yang mencapai tahapan ini seringkali dibuka kembali di
kemudian hari. Sikap konflik dan kontradisi struktural
dapat saja belum ditangani dengan baik”.
Resolusi konflik merupakan istilah komprehensif
yang mengimplikasikan bahwa sumber konflik yang
dalam berakar diperhatikan dan diselesaikan.12 Ini
mengimplikasikan bahwa perilaku pihak-pihak yang
terlibat tidak lagi penuh dengan kekerasan, sikap mereka

Hugh Maill, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse (2000)


Menurut Hugh Maill Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse
(2000)
14
tidak lagi membahayakan, dan struktur konfliknya telah
diubah.
”Mencegah masalah adalah sebuah usaha yang
lebih ambisius dimana pihak-pihak yang bertikai
diundang untuk mengkonseptualisasikan ulang konflik
dengan sebuah pandangan untuk menemukan hasil
yang kreatif, hasil menang-menang.13 Rekonsiliasi
merupakan proses jangka panjang untuk mengatasi
permusuhan dan rasa saling percaya di antara dua
bangsa terpisah”.
Penyelesaian konflik pada dasarnya dibedakan
menjadi konflik menang kalah (zero-sum conflict) dan
konflik menang-menang (non zero-sum conflict).14
Konflik menang-kalah ialah situasi konflik yang
bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan
tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik. Cari struktur penyelesaian konflik
ini yakni, tak mungkin mengadakan kerja sama hasil
kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja.
Konflik menang ialah suatu situasi penyelesaian,
konflik dimana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
masih memungkinkan untuk mengadakan kompromi
dan bekerja sama sehingga semua pihak akan
mendapatkan bagian dari konflik tersebut.15 Ciri
struktur penyelesaian konflik ini adalah kompromi dan

Menurut Hugh M. O. Rambostham dan Tom Woodhouse 2000 ; 31-


32
Menurut Paul Conn
Ramlan Surbakti, 1999, hlm 154.

15
kerja sama, hasil kompetisi akan dinikmati kedua pihak
tetapi tidak secara maksimal.
Ada tiga bentuk penyelesaian konflik16; Pertama,
bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasai parlemen
dalam mana semua pihak berdiskusi dan berdebat
secara terbuka dan mendalam untuk mencapai
kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli
pembicaraan atau memaksakan kehendak. Kebanyakan
konflik politik disalurkan dan diatur dengan bentuk
konsiliasi.
Kedua, bentuk mediasi dimana kedua pihak
sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga (seorang
mediator berupa tokoh, ahli atau lembaga tertentu yang
dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian mengenai
hal yang dipertentangkan), tetapi nasehat yang diberikan
oleh mediator ini tidak mengikat mereka. Ketiga, bentuk
arbitrase, artinya kedua pihak sepakat untuk
mendapatkan keputusan akhir (yang bersifat legal)
sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai
arbitor. Pengadilan atau lembaga-lembaga arbitrase
lainnya dapat dipilih sebagai arbitor.
Dalam menyelesaikan persoalan masa lalu antara
pemerintah Indonesia dan Timor Leste yang terkait
dengan dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pasca
jajak pendapat Tahun 1999 di Timor Leste pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Timor Leste telah menempuh
jalan penyelesaiannya melalui jalan Rekonsiliasi yakni
melalui, pembentukan suatu komisi yang oleh kedua

Menurut Dahrendof Ralf (dalam Surbakti 1999:160)

16
Negara diberi nama Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP). Jadi jalan penyelesaian persoalan masa lalu
antara kedua Negara melalui jalan Rekonsiliasi yang
sesuai, bila dikaitkan dengan teori penyelesaian konflik
yang dikemukakan oleh Hugh Maill, Oliver Ramsbotham
dan Tom Woodhouse. Disamping itu bisa pula dikaitkan
dengan teorinya Ralf Dahrendor di mana Ia melihat
adanya tiga cara dalam menyelesaikan konflik antara
lain, mediasi, rekonsiliasi dan arbitrase.

C. Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia biasanya dianggap sebagai hak
yang dimiliki setiap manusia yang melekat atau inheren
padanya karena ia adalah manusia.17 Dalam perjanjian
Internasional hak-hak sipil dan politik dari PBB
dirumuskan “These Rights From Derive the Inheren
Dygnity of Human Person” (hak-hak yang berasal dari
yang inheren dalam manusia). Hak-hak ini sifatnya
sangat mendasar atau asasi (fundamental) dalam arti
bahwa pelaksanaanya mutlak diperlukan manusia agar
dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita serta
martabatnya. Hak ini juga dianggap “Universal” artinya
dimiliki manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa,
ras, agama, atau jenis kelamin. Dewasa ini, sebagai
akibat dari globalisasi yang sedang terjadi di hampir
semua bidang, dikenal adanya tiga generasi hak asasi
manusia.

Masyhur Efendi SH. MS ( 1994: 18) dalam Ghalia Indonesia

17
Generasi pertama adalah politik dan sipil, yang
sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan
pemikirna-pemikiran di negara barat. Generasi kedua
adalah hak-hak ekonomi dan sosial yang gigih
diperjuangkan oleh negara-negara komisi di PBB, dengan
dukungan Negara-negara Dunia ketiga. Generasi ketiga
adalah hak atas perdamaian dan pembangunan
(development), yang terutama dipengaruhi oleh
kepentingan Negara-negara Dunia ketiga. Selain itu juga
dikemukakan konsep mengenai realitivisme cultural,
yaitu pemikiran bahwa Hak-hak Asasi Manusia harus
juga dilihat dalam konteks kebudayaan masing-masing
Negara, karena hal ini dapat menyebabkan perbedaan
dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia itu.
Cikal bakal perumusan konsep Hak Asasi Manusia
di dunia barat dapat ditelusuri mulai dari filsuf Inggris
abad ke-17, John Locke (1632-1740) yang merumuskan
beberapa hak alam (nature right) yang inhern pada
manusia. Konsep ini bangkit kembali sesuai perang
dunia II pada tahun 1946 dengan dicanamkannya
deklarasi universal hak-hak asasi manusia (Universal
Declaration of Human Rights) oleh Negara-negara yang
tergabung dalam anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
(Henkin) menyatakan bahwa ketentuan
konstitusional bagi HAM akan tetap menjadi huruf mati
apabila undang-undang dasar tidak mengandung
ketentuan untuk menjamin pelaksanaan hak-hak ini,
mencegah pelanggaran, serta memberikan ganti rugi

18
karena pelanggaran, jika perbaiki menyeluruh tidak
dimungkinkan18.
HAM adalah bahwa komitmen untuk saling
menghormati menjunjung tinggi harkat martabat
kemanusiaan antar Negara-negara agar terhindar dan
tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang
dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.19
Deklarasi hak asasi manusia itu harus senantiasa
menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing
Negara dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahnya.20
Hak asasi manusia (HAM) dipercayai sebagai
memiliki nilai universal; nilai universal berarti tidak
mengenal batasan ruang dan waktu, nilai universal ini
yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk
hukum nasional diberbagai Negara untuk dapat
melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.21
Agar perundang-undangan hak asasi manusia
dapat efektif maka perbuatannya, pelaksanaannya, dan
pemegang peranannya harus dalam system kerja dan
perlu adanya peraturan normative yang berupa
ketentuan-ketentuan yang memuat komitmen moral dari
pelaksanaannya yang baik pula.
Bahwa kondisi yang memprihatinkan mengenai
hak asasi manusia di Negara Dunia ketiga, khususnya di
Asia bukanlah semata-mata merupakan refleksi dari

18 ) Adnan Buyung Nasution, 2001: 238.


Menurut B. Hestu Handoyo, 2000:44
Menurut Adnan Buyung Nasution, 2001: 238.
Hikmanhanto Juwana,(200:70)
19
faktor sosial yang diwarisi dalam Negara Dunia ketiga,
akan tetapi lebih merupakan produk dari relasi-relasi
historis yang disebut sebagai world system, terutama
yang berkaitan dengan divisi internasional atas tenaga
kerja.22

D. Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat
Negara baik sengaja maupun tidak sengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau, mencabut hak asasi
seseorang atau kelompok orang yang di jamin oleh
undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Adapun jenis-jenis kejahatan yang dilakukan
sebagai berikut antara lain kejahatan ringan dan
kejahatan berat:
a. Kejahatan ringan, yaitu intimidasi dan terror sebelum
dan sesudah jajak pendapat
b. Kejahatan berat, yaitu pembunuhan masal yang
menimbulkan banyak korban penduduk sipil
dilakukan dengan sistematik dan kejam yang terjadi
diberbagai tempat. Penyiksaan dan penganiayaan
dilakukan dalam skala besar, luas dan sistematik
terhadap penduduk sipil yang prokemerdekaan.

22 Sadrack B.O. Gutto, (1993:95). Dinamika HAM. Ghalia Indonesia

20
Penghilangan paksa yang dilakukan oleh Milisi, TNI
dan POLRI. Pemerkosaan yang terjadi di berbagai
tempat pengungsian sebelum dan sesudah jajak
pendapat.
Pelaku-pelaku pelanggaran HAM terdiri dari
individu, kelompok dan Negara:
c. Pelaku pelanggaran individu, dilakukan seseorang
yang melakukan aktivitas kekerasan di lapangan
secara langsung oleh Milisi, aparat TNI dan POLRI.
d. Pelaku pelanggaran kelompok, para pelaku yang
melakukan aktivitas kekerasan di lapangan secara
langsung oleh para milisi, TNI dan POLRI
e. Pelaku pelanggaran Negara, yaitu berdasarkan
kesepakatan trilateral antara Indonesia, Portugal dan
PBB pada tanggal 5 Mei 1999 di New York, bahwa
dalam pelaksanaan jajak pendapat di Timor Leste,
keamanan dipercayakan kepada Indonesia. Akan
tetapi setelah pengumuman hasil jajak pendapat
pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan
termasuk didalamnya para pejabat tinggi militer dan
sipil yang secara aktif maupun pasif telah terlibat
ataupun membiarkan rangkaian tindakan kekerasan
itu.
“Mengatakan bahwa Pelanggaran Hak Asasi
Manusia merupakan setiap perbuatan seseorang atau
sekelompok orang dan atau bahkan aparat Negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau

21
sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang23,
dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
manipulasi politik terjadi bilamana ada.24

E. Reparasi dalam Pelanggaran HAM


Reparasi adalah upaya hukum yang dilakukan
terhadap korban pelanggaran HAM yang dilakukan
sebelum dan sesudah pada pelaksanaan jajak pendapat.
Mengapa reparasi perlu, karena mendefinisikan reparasi
rugi sebagai langkah-langkah untuk memperbaiki
kerugian yang diderita oleh korban pelanggaran HAM,
termasuk rehabilitasi, restitusi, kompensasi tentang apa
yang terjadi dan jaminan tidak terulangnya pelanggaran-
pelanggaran HAM ini.
Instrumen reparasi, terdiri dari kompensasi,
restitusi, rehabilitasi, restorasi martabat dan jaminan
tidak terulangnya pelanggaran.
Hambatan-hambatan dalam reparasi, antara lain
belum adanya hukum nasional yang mengatur tentang
reparasi yang akan diberikan oleh pemerintah dan dalam
bentuk apa reparasi itu yang disepakati oleh Pemerintah
Timor Leste dan Indonesia kepada korban pelanggaran
HAM.
Secara historis, kewajiban reparasi oleh Negara
terhadap korban pelanggaran HAM telah menjadi salah

Masyur E. (1994:108). Ghalia Indonesia


24 ) Alfian, 1976:96
22
satu topik bahasan, kendati kurang komprehensif, dalam
penyusunan undang-undang dasar. Bahwa ketentuan
konstitusional bagi HAM akan tetap menjadi huruf mati
apabila undang-undang dasar tidak mengandung
ketentuan untuk menjamin pelaksanaan hak-hak ini,
mencegah pelanggaran hak-hak ini, dan menertibkan
pelanggaran, serta memberikan ganti rugi karena
pelanggaran jika perbaikan menyeluruh tidak
dimungkinkan.25
Bentuk-bentuk reparasi kepada korban pelanggaran
HAM meliputi:26
1. Restitusi yaitu upaya mengembalikan situasi yang
ada sebelum terjadinya pelanggaran Ham, misalnya:
pengembalian kebebasan, kehidupan keluarga,
kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan atau hak
milik.
2. Kompensasi, yaitu: ganti rugi terhadap setiap
kerugian ekonomis yang dapat dinilai akibat
pelanggaran HAM, misalnya: kerugian fisik atau
mental termasuk rasa sakit, penderitaan, dan
tekanan emosional, kehilangan kesempatan
termasuk pendidikan, kerugian material dan
hilangnya pendapatan termasuk pendapatan
potensial, rusaknya reputasi atau martabat, serta
biaya yang diperlukan untuk memperoleh bantuan
dari ahli hukum, pelayanan medis, dan obat-obatan.

25 ) Yap Thiam (2001:47)


26 ) Menurut Boven (2001:3-4)
23
3. Rehabilitasi, yang meliputi perawatan media dan
psikologis
4. Satifikasi dan jaminan nonreputasi yang meliputi:
a. Penghentian pelanggaran
b. Verifikasi fakta, pengungkapan kebenaran secara
terbuka dan sepenuhnya
c. Pernyataan resmi atau putusan pengadilan yang
memulihkan martabat, reputasi, dan hak-hak
hukum korban atau pihak lain terkait erat dengan
korban.
d. Permintaan maaf termasuk pengakuan fakta dan
penerimaan tanggung jawab secara publik
e. Sanksi yudisial atau administratif terhadap orang-
orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran-
pelanggaran tersebut.
f. Peringatan dan penghormatan terhadap korban
g. Memasukkan dalam pelatihan HAM, buku-buku
teks sekolah atau sejarah pelanggaran-pelanggaran
HAM yang dilakukan secara akurat.
h. Pencegahan pengulangan pelanggaran dengan
jalan.
Memastikan kendali sipil yang efektif atas militer
dan pasukan keamanan. Pembatasan yurisdiksi
peradilan militer hanya untuk pelanggrana-pelanggaran
kemiliteran yang sifatnya khusus yang dilakukan oleh
anggota angkatan bersenjata. Memperkuat peradilan
yang bebas. Perlindungan terhadap orang-orang yang
berprofesi hukum dan para pembela HAM.
Melaksanakan dan memperkuat, atas dasar
prioritas dan berkelanjutan, pelatihan HAM untuk
24
semua sektor masyarakat, khususnya untuk militer dan
petugas penegak hukum. Konsep reparasi dalam sistem
tanggung gugat internasional mengacu pada semua
tindakan yang penggugat harapkan supaya dilakukan
oleh negara tergugat dalam bentuk antara lain:
kompensasi, restitusi, permintaan maaf, hukuman
terhadap individu yang bertanggung jawab, pengambilan
langkah-langkah untuk mencegah terulangnya
pelanggaran, dan berbagai bentuk, satifikasi lainnya.

F. Kerangka Pemikiran :
Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) berkenan dengan sejumlah pokok untuk
ditindaklanjuti. Rekomendasi juga mencoba untuk
belajar dari tantangan yang dihadapi di Timor Leste,
setelah penyelesaian laporan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) dengan mengusulkan mekanisme
untuk memastikan penyebarluasan dan penerapan.
Dalam banyak hal, rekomendasi tersebut sangat
mirip dengan rekomendasi-rekomendasi dari ComiÇaÕ
Acholiamento verdade e, reconciliaÇaÕ (CAVR). Namun
dalam pembuatan rekomendasinya Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) tidak sekalipun merujuk ke
rekomendasi ComiÇaÕ Acholiamento verdade e,
reconciliaÇaÕ (CAVR), atau bagaimana kedua
rekomendasi tersebut harus diutamakan atau
digabungkan sebagai berikut, antara lain:
1. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) tentang keadilan untuk kejahatan masa lalu

25
2. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) tentang reformasi kelembagaan
3. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) tentang kekerasan berbasis gender
4. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) tentang reparasi untuk korban dan
keluarganya.

Kerangka pemikiran yang digunakan oleh penulis untuk


melakukan penelitian adalah sebagai berikut:

!"!
#

!
# !# !

!$ !
!# ! % &

'$

26
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
a. Jenis penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam
penulisan ini adalah:
Jenis penelitian hukum deskriptif, dimana
penulis ingin mengetahui, menggambarkan
masalah - masalah atau fenomena - fenomena
yang ada di lapangan.
Bahwa fokus penelitian adalah penetapan
masalah yang menjadi pusat perhatian penelitian.
Masalah adalah keadaan yang
membingungkan akibat adanya kaitan dua atau
lebih.
Faktor - faktor dalam hal ini dapat berupa
konsep, data empiris, pengalaman atau unsur
lainnya yang apa bila di tempatkan secara
berkaitan akan menimbulkan persoalan atau
kesukaran.
Penelitian berfokus secara mendasar memiliki
dua tujuan yaitu:
Pertama, penetapan fokus dapat membatasi
studi yang berarti bahwa dengan adanya fokus
maka penentuan tempat penelitian menjadi lebih
layak.
Kedua, penelitian secara efektif dapat
menetapkan kriteria inklusi-inklusi untuk
menyaring informasi yang mengalir masuk.
27
Dengan demikian yang menjadi fokus
penelitian ini adalah:
1. Faktor - faktor yang mempengaruhi
terbentuknya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Timor Leste dan Indonesia.
2. Implikasi pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) terhadap penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM) di Timor Leste.
3. Pelaksanaan Rekomendasi Komisi Kebenaran
dan Persahabatn (KKP) tentang reparasi kepada
korban dan keluarga korban, pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) Pasca referendum di
Timor Leste.
4. Dampak hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) terhadap proses yudisial
kepada pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) di Timor Leste.
b. Pendekatan Penelitian
Sifat Penelitian yang digunakan adalah yuridis
sosiologis atau sering disebut penelitian hukum
yang sosiologis berdasarkan madzhab sociological
jurisprudence.27 Penelitian ini berbasis pada ilmu
hukum normatif tetapi bukan mengkaji mengenai
sistem norma dalam aturan perundangan, namun
mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang
terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam
masyarakat.

27Penelitian Dualisme Dictionary of Law, Drs. M. Marwan SH. dan


Jimmy P. SH.
28
c. Definisi Operasional
Dalam mempermudah arah penelitian ini,
berikut disajikan beberapa definisi.
a. Pelaksanaan.
b. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP).
c. Reparasi korban dan keluarga korban.
d. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
referendum di Timor Leste.
d. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, jenis dan sumber data
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Data Primer
Data primer, yaitu data yang diperoleh
secara langsung dari objek penelitian setelah
informan memberikan jawaban yang sesuai
dengan fokus penelitian yaitu: Pelanggaran
HAM Pasca Referendum tahun 1999 dan hasil
Rekomendasi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tentang reformasi institusi
kelembagaan dan Reparasi kepada korban dan
keluarganya.
2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari berbagai literature yang ada
seperti, perpustakaan, arsip, dokumen-
dokumen serta data dan informasi lain yang
ada hubungannya dengan penelitian yaitu
mengenai Pelanggaran HAM Pasca Referendum
tahun 1999 dan hasil Rekomendasi Komisi
29
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tentang
reformasi institusi kelembagaan dan Reparasi
kepada korban dan keluarganya yang telah
dipublikasikan melalui seminar-seminar
maupun arsip-arsip.
e. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Guna memperoleh data yang dibutuhkan
sesuai dengan permasalahan yang diteliti, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data dengan
berbagai cara berikut ini:
a. Observasi, kegiatan yang dilaksanakan oleh
peneliti dengan cara melakukan pengamatan
langsung terhadap objek penelitian, dengan
maksud untuk memberoleh gambaran empirik
pada hasil temuan. Hasil dari pada observasi ini
dapat mempermudah dan menjelaskan
keterkaitan dari fenomena- fenomena yang ada
di lapangan.
b. Wawancara langsung secara mendalam (indepth
interview), dimana ada pertemuan secara
langsung antara peneliti dengan informan
dalam satu dialog / tanya jawab yang penulis
lakukan terhadap narasumber yaitu : Ketua
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Timor Leste, dua orang dari anggota Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP), serta dua
orang dari anggota masyarakat yang menjadi
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
di Timor Leste. Secara mendalam guna

30
memperoleh data primer yang objektif, valid dan
faktual tentang permasalahan yang diteliti.
f. Teknik Pengambilan Sampel
Mengatakan bahwa dalam melakukan
penelitian kualitatif yang menjadi informan adalah
orang-orang yang dianggap memiliki informasi (key
informan) yang dibutuhkan di wilayah penelitian
dari masing-masing level diambil key
informannya.28 Jadi dalam hal yang menjadi
informan adalah sampel itu sekaligus menjadi
informannya. Yaitu sebagai berikut:
1. Ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) Timor Leste
2. Dua orang dari anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP)
3. Dua orang dari masyarakat yang menjadi korban
pelanggaran HAM
Keseluruhan informan yang akan diwawancara
sebanyak 5 orang. dengan demikian, jumlah
sampel dalam penelitian ini telah memenuhi
kriteria dan cukup realistis sebab dalam penelitian
yang dilakukan secara individu / satu orang
dengan waktu yang terbatas, selain itu penelitian
kualitatif juga tidak ada ketentuan khusus
mengenai jumlah subjek yang harus diteliti, yang

Menurut Rusmin (2008:47) dalam Mintzberg, 1979. Hukum


Nasional dan Internasional. Ghalia Indonesia

31
lebih ditekankan justru kedalaman informasi yang
berkaitan dengan konteks dan tema penelitian29.
g. Analisa Data
Analisis data merupakan proses pengurutan
data dan mengorganisasikan data tersebut ke
dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga
dapat dipastikan tema dan dapat pula dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
(Maleong,1994). Lebih lanjut menegaskan karena
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
kualitatif30, maka logika analisis dalam penelitian
ini bersifat induktif,31 karena data dalam penelitian
kualitatif banyak menggunakan kata-kata, maka
analisis data dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Reduksi data dan pengelompokan data
Data yang diperoleh dari hasil studi
dokumentasi, wawancara dan observasi ditulis
dan direduksi bagian-bagian yang tidak
diperlukan, kemudian dirangkum diambil hal-
hal yang inti, dikategorisasikan dan difokuskan
pada hal-hal pokok. Pokok-pokok disusun
dengan memperhatikan pada perumusan
masalah dan fokus penelitian.
b. Display data
Uraian deskriptif yang panjang akan sulit
untuk dimengerti. Karena itu idealnya

29 ) Nuraidin, 2008:47. Dimensi Dinamika HAM, Refika Aditama


30 ) Ibid, hal 12-13
31 ) Nasution (2008). HAM dan Mutu Manusia Indonesia
32
diusahakan data disajikan secara mudah
namun keutuhannya tetap terjamin yang
disajikan dalam bentuk tabel, skema dan
uraian desktiptif lainnya.
c. Mengambil kesimpulan dan diversifikasi
Pengungkapan makna data yang
dikumpulkan, kemudian ditarik kesimpulan.
Pada awalnya kesimpulan sifatnya sementara,
kabur, meragukan. Maka kesimpulan tersebut
semestinya diverifikasi pada saat proses
penelitian berlangsung.

33
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL

A. Gambaran Umum tentang Timor Leste


Secara geografis Timor Leste perada di tengah-
tengah dua negara besar yakni Indonesia di sebelah
barat dan Australia di sebelah Timur.
Negara baru Timor Leste memiliki luas wilayah
14.609 km persegi dengan jumlah penduduk
berdasarkan sensus 2010 sebanyak 1,066,582 (satu juta
enam puluh enam ribu Lima ratus delapan puluh dua
jiwa).
Dengan luas wilayah yang terbilang kecil dan
jumlah penduduk yang relatif kecil pula, dan memiliki 4
Region, 13 distrik. Dalam ketiga belas distrik itu masing-
masing antara lain: sektor Timur yang terdiri dari
Lospalos, Baucau,Viqueque dan Manatuto, sektor tengah
adalah Dili, Aileu,Liquica dan Ermera, sektor Barat yaitu
Ainaro, Same, Suai, dan Maliana, serta sektor yang di
berikan Otonomi Khusus adalah Oekosi. Juga memiliki
dua pulau antara lain: Pulau Atauro dan Pulau Jaco.
Hal ini dapat terlihat dengan jelas pada Struktur
pemerintah Timor leste yang saat ini hanya memiliki 12
Menteri senior salah satunya Menteri Luar Negeri,
adalah Menteri yang dipercayakan untuk mengurus
masalah- masalah urusan politik luar negeri termasuk
masalah pelanggaran HAM dan pertangung jawab Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) ini.

34
Terbentuknya pemerintahan baru di bawah
pimpinan Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao.
Letak kementerian Luar Negeri berada dipingir pantai
yang disamping kiri dan kanannya adalah Kantor- kantor
ke Dutaan besar dari berbagai negara yang ada disana,
antara lain: ke Dutaan besar Brasil dan Amerika Serikat
di sebelah kiri serta ke Dutaan besar Korea Selatan dan
China di sebelah kanan.
Jarak antara kementerian urusan Luar Negeri
sekitar 200 meter dari Istana Perdana menteri, di sebelah
barat dekat dengan jalan Protokol dari arah bandara
Internasional Nicolau Lobato dan dari arah Istanah
Perdana menteri atau Palacio do Governo keberadaannya
itu mudah dijangkau dengan kendaraan umum dari
berbagai jalur.
Serta di sinilah sekarang kantor Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) berada dibawah pengawasan
oleh kementerian Luar Negeri. Perjuangan panjang
rakyat Timor Leste untuk merebut kebebasan dan masa
depannya sebagai bangsa mencapai titik yang
menentukan pada tahun 1999.
Setelah ratusan tahun Kolonialisme Portugis dan 24
tahun pendudukan Militer Indonesia, Rakyat Timor Leste
akhirnya bisa mengunkapkan keinginan mereka, untuk
hidup sebagai bangsa yang bebas dan merdeka di Negara
yang bebas dan merdeka, ketika masyarakat
Internasional pada akhirnya mendukung hak dasar
mereka atas penentuan nasib sendiri.
Penindasan dalam masa kolonialisme yang panjang
dan kekerasan menggemparkan sepanjang masa
35
pendudukan militeris asing berpuncak pada satu
kampanye akhir kekerasan terhadap rakyat Timor Leste
pada bulan September dan Oktober 1999, yang
meninggalkan negeri Timor Leste dalam keadaan porak –
poranda setelah kepergian militer itu. Tanda-tanda
kehancuran tampak jelas bagi semua pihak. Kota- kota
dan desa-desa yang hangus terbakar, gedung- gedung
dengan bercak-bercak darah yang menjadi tempat
pembantaian, seluruh wilayah hampir kosong dari
penduduknya yang melarikan diri atau dipaksa
meninggalkan rumah mereka.
Ketika rakyat perlahan-lahan kembali ke rumah
untuk mencari yang hidup dan berusaha
menyelamatkan yang bisa di selamatkan, dan ketika
masyarakat Internasional datang membantu dengan
bantuan darurat, perlahan-lahan luka lama dari konflik-
konflik politik yang berlangsung lama menjadi semakin
tampak nyata. karena sekiar 300.000 (tiga ratus ribu
jiwa) menjadi korban pembantaian militer Indonesia
mulai pada tahun 1975-1999.
Oleh sebab itu berdirinya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) bertujuan untuk membuka tabir
atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat
tersebut dengan tujuan untuk mencari solusi terbaik.

1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Leste


Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
mengacu pada definisi Hak Asasi Manusia (HAM) yang
telah diterima secara umum dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
36
Rights; UDHR). Menurut Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) (Pasal1), Hak Asasi Manusia merupakan
sesuatu yang telah melekat pada setiap orang.
“ semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak- hak yang sama. Mereka dikaruniai akal sehat dan hati nurani
dan kehendak bergaul satu sama lain dalam semangat
persaudaraan.”

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia


merupakan hal mendasar bagi terwujudnya masyarakat
yang lebih bermartabat dan sejahtera, berdasarkan
perdamaian dan keamanan. Semua orang memiliki hak
atas pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi
Manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa
atau, agama.
Oleh karena itu Komisi Kebenaran dan
Persahabatan berpandangan bahwa pelanggaran HAM
merupakan hal yang tidak dapat ditoleransi. Pada
pelanggaran HAM tersebut dapat dilakukan oleh pihak
pemerintah (state actor) maupun pihak non–pemerintah
(non-state actor). Hal ini sesuai dengan Pasal 1 (6)
Undang-Undang RI No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan juga dengan Regulasi United Nation
Transitional Administration in East Timor (UNTAET)
2001/10 tentang Pembentukan Komisi Penerimaan dan
Rekonsiliasi (CAVR).
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) telah
mempelajari berbagai tindakan yang ada tentang
pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Leste pada tahun
1999. Semua kejadian tersebut menetapkan bahwa
peristiwa kekerasan tahun 1999 paling tepat

37
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana didefinisikan Pasal 5 dan 7 Statuta Roma.
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) juga
telah mengkaji putusan dan kesimpulan dari dokumen-
dokumen Pengadilan HAM Ad-hoc Jakarta, laporan akhir
CAVR dan dokumen-dokumen Serious Crim Unit (SCU)
serta Defence Lawyers Unit (DLU). Dokumen-dokumen
lainnya dalam rangka memahami keseluruhan peristiwa
kekerasan tahun 1999, antara lain: (1) Pembunuhan, (2)
Pemusnahan, (3) Deportasi atau pemindahan paksa
penduduk; (4) Pemenjaraan atau pencabutan
kemerdekaan fisik berat dengan melanggar aturan-
aturan hukum Internasional; (5) Penyiksaan; (6)
Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa,
penghamilan paksa, sterilisasi paksa; (7) Penghilangan
paksa dan (8) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat
sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan
berat, atau luka serius terhadap badan atau mental
kesehatan fisik. Guna menetapkan unsur pelanggaran
terdapat serangan terhadap penduduk sipil, ada tiga hal
yang penting yang harus diperhatikan yaitu: (1)
serangan, (2) terhadap, dan (3) penduduk sipil.
Maka pelanggaran yang terjadi di Timor Leste pada
tahun 1999 adalah dikategorikan pelanggaran HAM
berat, karena yang menjadi sasaran pembunuhan adalah
penduduk sipil saat itu.

38
2. Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
dibentuk
a. Dasar pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP)
Diilhami oleh solidaritas kemanusiaan dan aspirasi
rakyat Timor Leste untuk kebebasan dan martabat,
Republik Indonesia dan Republik demokratik Timor
Leste, keduanya sebagai negara berkembang, yang satu
dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan yang
lainnya dengan penduduk mayoritas Katolik, telah
memulai langkah pada jalan menuju demokrasi penuh.
Jalan dimaksud penuh dengan tantangan dan
bahaya; dan secara hati-hati perlu dipupuk dan
dikuatkan. Rakyat Indonesia dan Timor Leste telah
melalui perjalanan panjang di dalam mengatasi bagian
masa lalu mereka yang kadang-kadang menyakitkan.
Sebagai tetangga terdekat, Timor Leste bertekad untuk
bekerja bersama-sama guna memajukan perdamaian
dan persahabatan.
Dalam era globalisasi saat ini, dengan mengambil
manfaat penuh atas kebebasan yang telah Timor Leste
peroleh, rakyat Timor Leste berupaya untuk membangun
suatu landasan yang kokoh guna mewujudkan masa
depan yang damai; masa depan dimana martabat
manusia dan keadilan sosial merupakan kekuatan
utama untuk transformasi. Namun demikian,
perdamaian adalah suatu proses dan harus dibangun.
Pilar-pilar perdamaian adalah demokrasi,
pembangunan berkelanjutan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
39
Transisi demokrasi di Indonesia sejak 1998 dan
pengakuan Internasional terhadap kemerdekaan Timor
Leste tahun 2002 telah memberikan momentum bagi
kedua negara untuk mengupayakan tujuan tersebut
diatas.
Pangakuan langsung terhadap Republik Demokratik
Timor Leste, partisipasi Indonesia pada tingkat tertinggi
dalam perayaan 20 Mei 2002 dan dibukanya hubungan
diplomatik menandai semangat rekonsiliasi dan
kebesaran hati rakyat Timor Leste. Namun penting
untuk tidak dilupakan kenyataan bahwa proses
reformasi politik di Indonesia baru dimulai pada akhir
tahun 1998.
Dalam sejarah negara-negara dan masyarakat,
berbagai dan seluruh perubahan dari suatu sistem
politik lama memerlukan trasformasi radikal,
menimbulkan akibat dan tantangan multidemensi yang
hampir tidak dapat dihindarkan.
Kenyataan bahwa Indonesia, Negara kepulauan
dengan keanekaragaman yang besar, proses transformasi
politik jauh lebih rumit daripada di negara-negara lain.
Transformasi politik mengharuskan Indonesia
melakukan upaya yang sangat besar untuk menjaga
kesatuan negaranya, tanpa menerangi tujuan reformasi
dan demokratisasi. Meskipun Timor Leste menghadapi
urusan-urusan dan prioritas dalam negeri masing-
masing.
Republik Demokratik Timor Leste dan Republik
Indonesia tidak pernah mengurangi, upaya dalam
mengembangkan hubungan bertetangga yang stabil,
40
bersahabat dan saling menguntungkan antara kedua
negara dan rakyatnya.
Berdasarkan dan menarik keuntungan dari
pengalaman bersama kita, dan didorong oleh keinginan
kuat untuk bergerak maju, rakyat Timor Leste untuk
menutup masa silam melalui upaya bersama. Suatu
penuntasan terhadap permasalahan masa lalu akan
lebih memajukan hubungan bilateral. Seiring dengan
semangat yang digambarkan diatas, para Pemimpin
Timor Leste dan Indonesia bertemu di Bali pada tanggal
14 Desember 2004 telah memutuskan untuk
membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP),
yang dimiliki dan dijalankan oleh kedua negara dengan
suatu kerangka acuan yang disepakati bersama.
Berbagai negara dengan pengalamannya masing-
masing telah memilih perbagai jalan dalam menghadapi
permasalahan masa lalunya. Para pemimpin dan rakyat
Afrika Selatan, dimana apertheid merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan, telah memilih untuk
mengungkapkan kebenaran dan rekonsiliasi.
Timor Leste dan Indonesia telah memilih untuk
mengungkapkan kebenaran dan meningkatkan
persahabatan sebagai suatu pendekatan baru dan unik
dari pada proses penuntutan. Keadilan yang sebenar-
benarnya dapat diraih melalui kebenaran dan pengakuan
akan tanggung-jawab. Sistem penuntutan keadilan
tentunya dapat mencapai suatu tujuan, yaitu untuk
menghukum pelanggar; namun tidak selalu dapat
mengungkap kebenaran dan mendukung rekonsiliasi.

41
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
merupakan suatu pengalaman baru dan unik dimana
dua negara, dengan pengalaman sejarah bersama,
sepakat dengan keberanian dan visi untuk memandang
masa lalu sebagai pelajaran dan merangkul masa depan
dengan optimis.

b. Tujuan Pembentukan Komisi Kebenaran dan


Persahabatan (KKP)
Untuk menetapkan kebenaran akhir terkait dengan
kejadian sebelum dan segera setelah jajak pendapat
tahun 1999, dengan maksud untuk lebih meningkatkan
rekonsiliasi dan persahabatan, serta menjamin tidak
terulangnya kejadian serupa dimasa yang akan datang.
Yang pada prinsipnya relevan yang tertuan dalam
Undang-Undang Timor Leste No. 10/ 2001 mengenai
Commission of Reception, Truth and Reconciliation (CAVR),
dan Undang – Undang Republik Indonesia No. 27/ 2004
mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesuai
dengan mandat Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP).

42
c. Struktur organisasi
Bagan/Struktur Organisasi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan Republik Demokratik Timor Leste :

PEMBERI MANDAT

RAPAT PLENO KOMISIONERS

Co-Chairperson : Dionisio Babo Soares

Commissioners : Cirilio J. Cristovao

Aniceto Guterres

Felicidade Guterres

Jacinto Alves

Maria Olandina Cairo

Isabel Ferreira

Rui dos Santos

' (

Temporay Public Substantive Protocol Trust Fund Archieve Administration


Supporting Relaction Section Section Management Docoment Section
Personil Section Section Translator
Section Section

43
3. Tugas dan Tanggung Jawab
Ketua
Tugas
3.1. Mengontrol anggota masing-masing dalam
menjalankan fungsinya sebagai anggota komisi
3.2. Membuat laporan-laporan resmi yang kemudian
di sampaikan kepada presiden Republik
maupun perdana menteri sebagai pemipin
negara dan pemerintah
3.3. Mempublikasikan hasil temuan-temuan kepada
publik
3.4. Menghadirkan para korban perang sebagai
bukti adanya pelanggaran HAM
Tanggung jawab
3.5. Sebagai penanggung jawab atas kegiatan para
anggata dalam menjalankan fungsinya sebagai
anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP)
3.6. Membuat laporan-laporan resmi yang kemudian
di sampaikan kepada presiden Republik
maupun perdana menteri sebagai pimpinan
negara dan pemerintah

Wakil Ketua
Tugas
1.1. Membantu ketua dalam mengontrol kegiatan
komisi yang dijalankan oleh anggota
1.2. Menggantikan tugas ketua jika ketua
berhalangan hadir

44
Tanggung jawab
1.3. Bersama-sama atau menggantikan ketua dalam
menyampaikan laporan-laporan hasil temuan
kepada Presiden dan Perdana Menteri sebagai
pimpinan negara dan pemerintah.

Sub Komisi Pelanggaran HAM


Tugas
1.1. Mengumpulkan data tentang pelnggaran HAM
di Timor Leste pasca referendum
1.2. Menghadirkan korban pelanggaran HAM serta
mendata mereka guna memberikan bantuan
dan sebagainya
Tanggung jawab
1.3. Bertanggung jawab pada sub komisi dalam
menjalankan tugas mereka sebagai
penanggung jawab.
1.4. Pertanggung jawab penuh terhadap saksi-
saksi yang mereka hadirkan yang berkaitan
dengan pelanggaran HAM

Sub Komisi Reparasi dan Rehabilitasi


Tugas
1.1. Mendata sejumlah korban yang selanjutnya
untuk diberi kompensasi
1.2. Melakukan kategorisasi untuk memberikan
prioritas kepada para korban mana yang
seharusnya lebih dahulu mendapatkan
reparasi

45
Tanggung Jawab
1.3. Bertanggung jawab penuh atas data jumlah
korban yang akan mendapatkan reparasi
1.4. Bertanggung jawab penuh atas data
kategorisasi para korban yang menjadi prioritas

Penganti Komisioner
Tugas
1.1. Menganti tugas komisi dalam menjalankan
fungsinya jika komisi berhalangan hadir
1.2. Tetap bersama-sama dengan komisi dalam
menjalankan pekerjaan guna mengetahui
perkembangan dalam organisasi Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Tanggung Jawab
1.3. Mengganti komisi dalam mengontrol kegiatan
fungsi komisi
1.4. Mengganti komisi dalam membuat laporan
yang disampaikan kepada Presiden dan
Perdana Menteri sebagai kepala negara dan
kepala pemerintah

46
4. Jumlah Anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP)

Tabel I
Jumlah Anggota KKP dari Timor Lestemenurut Jabatan yang
Diemban
No Nama Jabatan
1. Deonisio Da costa Babo soares Ketua Komisioner
2 Cirilio Jose Jacob Valadares Wakil ketua Komisioner
Cristovao
3 Aniceto Longuinhos Guteres Sub komisi pelanggaran
Lopes HAM
4 Felicidade De sousa Guteres Sub komisi reparasi dan
rehabilitasi
5 Jacito das Neves Raimundo Sub komisi pelanggaran
Alves HAM
6 Maria Olandina Isabel Caeiro Pengganti Komisioner
Alves
7 Isabel Ferreira Idem
8 Rui Pereira dos Santos idem
Sumber: KKP 2010

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa


dari 8 orang anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) asal Timor Leste terbagi dalam 2
komisi yaitu komisioner yang terdiri dari 5 orang dan
pengganti komisioner sebanyak 3 orang.

Tabel II
Jumlah Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dari
Timor Leste Menurut Jenis Kelamin
No Jenis kelamin jumlah
1. Laki-laki 5
2 Perempuan 3
Total 8
Sumber : KKP 2010

47
Berdasarkan tabel tersebut diatas dapat diketahui
bahwa dari 8 anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) asal Timor Leste terdiri dari 5 orang
laki- laki dan 3 orang perempuan, dengan demikian
jumlah laki-laki menjadi mayoritas dalam keanggotaan
KKP asal Timor Leste dengan presentase 60 %.

Tabel III
Jumlah Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP )
Asal Timor Leste Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah


1 SD -
2 SMP -
3 SMA 3
4 S1 4
5 S2 -
6 S3 1
Total 8
Sumber : KKP 2010

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa


dari 8 Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) asal Timor Leste dengan tingkat pendidikan SLTA
sebanyak 3 orang, Strata satu (S1) sebanyak 4 orang dan
Strata tiga (S3) 1 orang. Dengan demikian lulusan S1
menjadi mayoritas dalam keanggotaan komisi kebenaran
dan persahabatan (KKP) Timor Leste dengan presentase
50 % .

48
a. Mandat Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP)
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
mempunyai mandat untuk
1.1. Mengungkapkan fakta kebenaran tentang hakekat,
penyebab, dan cakupan pelanggaran HAM yang
dilaporkan, yang terjadi dalam periode menjelang
dan segera setelah jajak pendapat di Timor Leste
bulan Agustus 1999:
a. Memeriksa semua bahan yang ada yang
didokumentasikan oleh Komisi Penyelidik
Pelanggaran HAM di Timor-Timur tahun 1999
(KPP HAM) dan Pengadilan Ad Hoc HAM di
Timor–Timur; juga Panel Khusus untuk
Kejahatan Berat (Special Panels for Serious
Crimes), dan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan
Rekonsiliasi Timor Leste (Commission of
Reception, Truth and Reconcilation in Timor Leste).
b. Memeriksa dan mewujudkan kebenaran
mengenai pelanggaran HAM yang dilaporkan
termasuk pola-pola perilaku, yang
didokumentasikan oleh lembaga-lembaga
Indonesia terkait dan Panel Khusus untuk
kejahatan Berat (sebagaimana tercantum dalam
surat–surat dakwaan) dengan pandangan untuk
merekomendasikan langkah-langkah tindak
lanjut dalam konteks pemajuan persahabatan
dan rekonsiliasi antara rakyat kedua negara.

49
1.2. Mengeluarkan laporan, yang terbuka untuk umum,
dalam Bahasa Indonesia, Tetum dan Inggris, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, yang
membentuk catatan sejarah bersama dari
pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan
terjadi pada periode menjelang dan setelah
konsultasi popular di Timor Leste pada bulan
Agustus 1999.
1.3. Merumuskan cara-cara maupun me-
rekomendasikan langkah-langkah yang tepat untuk
menyembuhkan luka lama, untuk merehabilitasi
dan memulihkan martabat manusia antara lain:
a. Merekomendasikan pengampunan bagi mereka
yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang bekerjasama secara penuh dalam
mengungkapkan kebenaran;
b. Merekomendasikan langkah-langkah rehabi-litasi
bagi mereka yang dituduh melanggar hak asasi
manusia, namun tuduhan tersebut salah.
c. Merekomendasikan cara-cara untuk memajukan
rekonsiliasi antara rakyat yang didasarkan pada
nilai- nilai adat dan agama.
d. Merekomendasikan kontak antara orang dan
orang yang inovatif dan kerjasama untuk
meningkatkan perdamaian dan stabilitas.

50
b. Jangka Waktu Komisi Kebenaran dan
Persahabatan( KKP) antara lain:
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) melalui
kerjanya sesegera mungkin, namun selambat- lambatnya
bulan Agustus 2005, untuk periode selama satu tahun,
dengan kemungkinan perpanjangan maksimum selama
satu tahun.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya


Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
1. Adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
yang terjadi di Timor Leste
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
Timor Leste baik dari tahun 1975-1999 maupun
pelanggaran HAM pasca Referendum yang
memerlukan sebuah solusi baik untuk pelaku
kejahatan maupun korban kejahatan itu sendiri,
jadi dengan terbentuknya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) ini diharapkan dapat
memberikan respon positif terutama bagi korban
dan keluarga korban.
Dengan maksud tersebut diatas maka komisi
kebenaran dan persahabatan (KKP) ini dibentuk,
dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
telah bekerja dengan beberapa hasil kerja yang
salah satunya adalah memberi rekomendasi
kepada pimpinan kedua negara baik Timor Leste
sebagai korban maupun Indonesia sebagai pelaku
kejahatan.

51
Hal ini penulis ketahui setelah melakukan
wawancara terhadap para informan yang
memberikan pernyataannya yaitu : dengan ketua
Komisi Kebenaran dan Persabatan (KKP) asal
Timor Leste yang memberikan pernyataannya
berikut ini :

“Hasil Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan


(KKP) Sudah diterima pimpinan kedua negara dan disetujui,
dan dalam rekomendasi tersebut ditemukan bahwa ada
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Timor Leste
dan berkaitan dengan banyak hal termasuk aset, ekonomi
dan lain- lain .terjadi pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM)
karena Para pelanggar dalam hal ini TNI dan POLRI kurang
paham tentang masalah Hak Asasi Manusia (HAM) waktu itu,
sehingga rekomendasi ini bermaksud untuk menghindari
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serupa dimasa
mendatang “Sumber: hasil wawancara dengan ketua Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) asal Timor leste Dr.
Deonisio Babo Soares pada tanggal 22 Januari 2011 di
palacio do Governo Dili Timor Leste)

Pernyataan diatas ditentang oleh salah


seorang keluarga yang memberikan pernyataannya
berikut ini :

“ kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tidak


menjawab tuntutan korban maupun keluarga korban yang
menuntut didirikannya Pengadilan, malah KKP
merekomendasikan reparasi dan mengabaikan tuntutan
korban yaitu menyeret pelaku ke pengadilan baik pengadilan
nasional maupun Internasional, karena korban menuntut satu
kebenaran melalui satu yudisial, jadi hasil rekomendasi justru
memperlemah sistem yudisial dalam negeri yang mengatakan
bahwa kejadian 1975-1999 harus diproses melalui satu
proses yudisial “Sumber : hasil wawancara dengan salah satu
keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu
: (Bapak Casimiro Dos Santos tanggal 13-februari- 2011 di
Comoro Dili Timor Leste)

52
Dari hasil wawancara dengan dua informan
tersebut diatas menunjukkan bahwa ada
perbedaan pandangan antara para anggota KKP
dengan korban maupun keluarga korban dimana
para anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) maupun pemerintah lebih memilih
penyelesaian secara politik dengan maksud saling
menghargai diantara kedua negara sementara para
korban lebih memilih penyelesaian secara hukum.
Dengan demikian hasil kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) ini hanya
sekedar menjawab apa yang menjadi harapan para
petinggi negara dan mengabaikan harapan para
korban yang mengimpikan adanya pengadilan bagi
pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hal
ini menunjukkan bahwa keberadaan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) hanya sebagai
panggung sandiwara bagi para elit politik untuk
mencari sensasi, tapi bukan untuk menjawab
tuntutan rakyat mereka yang menjadi korban,
sebagai penulis yang juga tentunya adalah korban
tidak langsung dari pencaplokan Indonesia atas
Timor Leste tentu saja ikut prihatin dan kecewa
atas hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) tersebut karena memang tidak memberikan
dampak apa- apa bagi korban dan keluarga korban

53
2. Melupakan Masa Lalu dan Melihat Kedepan

Dapat disadari bahwa selama dalam kurun


waktu 24 Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) menduduki
wilayah Timor Leste tentu saja telah menciptakan
duka nestapa yang sangat mendalam bagi
masyarakat Timor Leste terutama yang menjadi
korban dan keluarga korban, akan tetapi saat ini
Timor Leste berdiri sebagai negara baru maka
penderitaan masyarakat Timor Leste di masa lalu
itu lebih sebagai sebuah kemenangan karena
perjuangan untuk sebuah kebebasan secara
menyeluruh yaitu kemerdekaan, karena tidak ada
kemerdekaan tanpa sebuah pengorbanan.
Saat ini masyarakat Timor Leste harus melihat
kedepan dalam arti pengorbanan masa lalu adalah
sebuah catatan yang menjadi memori atas
kebebasan yang telah diraih. Hal ini diungkapkan
oleh Ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) asal Timor leste yang memberikan
pernyataannya berikut ini :
“ Hasil kerja komisi kebenaran dan persahabatan (KKP)
menemukan bahwa ada pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat di Timor Leste, dan masyarakat yang menjadi
korban atas pelanggaran tersebut merasa bahwa mereka
bukan korban tapi mereka berjuang demi meraih sebuah
kemerdekaan jadi itu bisa dikatakan penyerahan diri
seseorang yang berjuang demi memerdekakan negaranya dari
pendudukan, akan tetapi memang ada yang benar-benar
korban dan merasa korban sehingga saat ini kita berusaha
unutk mencari solusi bagi mereka “Sumber: hasil wawancara
dengan ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) asal

54
Timor leste Dr. Deonisio Babo Soares pada tanggal 22 –
Januari-2011 di palacio do Governo Dili Timor Leste)

Pendapat tersebut diatas dibantah keras oleh


salah seorang korban yang memberikan
pernyataan berikut ini:

“Memang benar bahwa perjuangan yang kita lakukan itu


merupakan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan dari
orang lain jadi kita melakukan hal itu untuk sebuah
kemerdekaan tetapi apabila kami sebagai korban menuntut
didirikannya pengadilan tentu saja itu adalah hak kami yang
telah menjadi korban atas perbuatan seseorang secara
individu maupun sebuah institusi seperti TNI dan POLRI
Indonesia yang para anggotanya melakukan pelanggaran di
tanah air kami, jadi kami tidak menerima pernyataan dari
ketua komisi kebenaran dan persahabatan (KKP) asal Timor
Leste yang mengatakan bahwa kami bukan korban karena
berjuang untuk sebuah kemerdekaan, kami tegaskan bahwa
kami adalah korban dari sebuah rezim militer yang telah
menduduki tanah air kami selama 24 tahun dan kami tuntut
mereka untuk seret mereka ke pengadilan, jadi reparasi bukan
harapan utama kami tapi keadilan yang menjadi perioritas
kami “Sumber hasil wawancara dengan salah satu korban
yaitu Bapak Jose Fernandes pada tanggal 7-Maret-2011 di
Bidau toko baru Dili Timor Leste

Berdasarkan pernyataan dari dua informan


tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada
perbedaan pandangan yang mendalam tentang
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat
beberapa waktu silam, dimana para anggota
Komisi Kebenaran dan Persahabatan lebih melihat
para korban dan keluarga korban sebagai orang-
orang yang telah merelakan dirinya demi
memperoleh sebuah kemerdekaan tanpa menutut
apapun dari siapapun, sementara para korban
lebih melihat bahwa pengorbanan mereka tentu
55
saja murni untuk meraih suatu kemerdekaan
total, dan apa bila itu tercapai maka tidak salah
jika mereka menuntut didirikannya pengadilan
untuk menyeret para pelaku ke meja hijau untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dari dua pandangan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa belum ada kata sepakat yang
diperoleh dari hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) mengenai kekejaman rezim
Militer Indonesia di Tanah Timor Loro Sae, dan
hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) hanya memenuhi apa yang menjadi harapan
Para leader negeri ini (Timor Leste) bukan
menjawab duka nestapa air mata rakyat yang
menjadi korban kekejaman para militer Indonesia.
Walaupun ada reparasi kompensasi untuk mereka
(para korban dan keluarga korban) tapi bukan itu
yang menjadi tuntutan mereka, jadi bisa dikatakan
bahwa hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tidak menjawab Tuntutan
pokok masyarakat Timor Leste terutama para
korban dan keluarga korban tapi lebih sebuah
sandiwara belaka untuk mencari sensasi para
leader yang mengharapkan simpati masyarakat
Internasional guna popularitas pribadi maupun
kelompok mereka.

56
6. Impliksai Pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Terhadap Penegakan Hak
Asasi Manusia di Timor Leste
1. Dapat menjawab tuntutan masyarakat tentang
pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste

Terbentuknya Komisi Kebenaran dan


Persahabatan (KKP) tentu saja melahirkan
perbagai pandangan dari masyarakat tentang
komisi ini dan juga ada pro kontra dari
masyarakat tentang mengenai komisi ini, akan
tetapi paling tidak lahirnya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) sedikit memberi harapan
atau angin segar bagi masyarakat Timor Leste
terutama para korban dan keluarga tentang
tuntutan mereka atas para pelaku kejahatan,
karena dengan terbentuknya Komisi Kebenaran
dan Persahabatan ini tentu akan mengungkapkan
tindakan-tindakan para pelaku kejahatan yang
hingga detik ini masih bebas menghirup udara
segar, hal ini dapat diketahui setelah penulis
melakukan wawancara dengan para informan
salah satunya adalah Ketua Komisi Kebenaran
dan Persahabatan Timor leste (KKP) yang
memberikan pernyataannya berikut ini :

“ banyak masyarakat Timor Leste yang tidak menerima


karena ingin penyelesaian secara hukum dan laporan KKP
tidak memustahilkan hal itu dan kita hanya ,menjalankan
mandat kita yaitu mengungkapkan ada tidaknya
pelanggaran ham dan memang ada pelanggaran Ham berat
di masa lalu tetapi KKP bukan mengurus masalah yang
berkaitan dengan masalah Yudisial tapi lebih pada
57
mengungapkan fakta tentang adanya pelanggaran, jadi tentu
saja ada banyak pihak yang tidak menerima itu dan kita
tidak menutup jalan jika ada pihak-pihak yang menutut
keadilan mengenai pelanggaran HAM itu dan jika ingin
menempuh jalur hukum kita persilakan, tetapi kita Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) lebih melihat kedepan
bukan bertugas unutk menylenggarakan pengadilan. Karena
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ) masa lalu adalah
sebuah pengorban untuk meraih kemerdekaan”. Sumber:
hasil wawancara dengan ketua komisi kebenaran dan
persahabatan (KKP) asal Timor leste Dr. Deonisio Babo
Soares pada tanggal 22 Januari 2011 di palacio do Governo
Dili Timor Leste)

Pernyataan di atas dibantah oleh salah


seorang korban yang berhasil penulis
wawancarai, berikut adalah pernyataannya :

“Lahirnya komisi kebenaran dan persahabatan (KKP) sama


sekali tidak menjawab tuntutan dasar masyarakat Timor
Leste karena hanya mengungkapkan adanya pelanggaran
Hak Aasi Manusia (HAM) bukan penyelesaian akhir jadi
kalau hanya menemukan adanya pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) tanpa ditindak lanjuti itu sama dengan
membuka kembali luka lama mengingatkan kita tentang
derita yang kita alami tapi sama sekali tidak mencari solusi
jadi menurut saya pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) itu tidak ada artinya bagi masyarakat
Timor Leste umumnya dan para korban dan keluarga
korban pada khususnya, sekali lagi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tidak lebih dari sebuah Panggung
sandiwara untuk penyelesaian masalah pelanggaran secara
politik bukan secara hukum dan kita kecewa dengan
adanya Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) ini
“Sumber : hasil wawancara dengan salah satu korban yaitu
Bapak Jose Fernandes pada tanggal 7-Maret-2011 di Bidau
toko baru Dili Timor Leste

Berdasarkan wawancara dengan dua


informan tersebut diatas dapat diketahui bahwa
pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) menciptakan penafsiran yang

58
berbeda antara masyarakat dan para anggota
komisi itu sendiri, karena para anggota lebih
melihat bahwa terbentuknya Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) hanya mencari bukti
apakah ada pelanggaran HAM berat di Timor
Leste di masa silam dan memang ada pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) berat tapi mereka
hanya mengungkapkan dan tanpa ada tindak
lanjut.
Sementara masyarakat Timor Leste sangat
berharap bahwa pada Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) akan mengungkapkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan
selanjutnya didirikan pengadilan untuk mengadili
para pelaku, tapi itu tidak terjadi malah anggota
Komisi Kebenaran dan Persahabatan
mempersilakan masyarakat untuk mencari jalan
sendiri dalam menegakkan keadilan, itu
merupakan pernyataan yang menghina negeri
dan masyarakat Timor Leste sendiri, toh negara
sudah mengeluarkan dana yang cukup besar
untuk membiaya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) untuk mengungkapkan serta
mengadili tetapi nyatanya justru harapan itu
tidak menjadi nyata.
Jadi sebagai penulis saya juga kecewa
dengan hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) karena keberadaan mereka
sama sekali tidak menjawab tuntutan masyarakat

59
dan justru keberadaan mereka berimplikasi
buruk terhadap keadilan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tidak memberikan implikasi
terhadap penegakan Hak Asasi Manusia di Timor
Leste karena sesuai dengan pernyataan ketua
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) asal
Timor Leste yang mengatakan bahwa mereka
bukan mengurus masalah yudisial tapi lebih
hanya mencari fakta apakah ada pelanggaran
HAM atau tidak.
Jadi itu terbukti bahwa Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) tidak memberikan
implikasi apa-apa atas penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Timor Leste karena hak
masyarakat sama sekali tidak di gubris.
2. Mengungkapkan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat di Timor Leste ke ranah publik

Hasil kerja Komisi Kebenaran dan


Persahabatan (KKP) selama kurang lebih satu
tahun telah menggungkapkan banyak fakta
tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
berat di Timor Leste seperti :

1. pembunuhan
2. penghilangan paksa
3. deportasi atau pemindahan paksa
4. kekerasan seksual

60
5. penyiksaan dan perlakuaan tidak
manusiawi
6. penahanan ilegal
7. penindasan
8. perbuatan tidak manusiawi lainya

Tabel : Data Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia


(HAM) dari tahun 1975- 1999

Korban Korban mati kelaparan


No Jumlah total
dibunuh dan sakit

1 18. 600 84. 200 102.800

Sumber: Comicao Acholiamento Verdade e, Reconsiliacao


(CAVR ) 2011

Dari sejumlah penemuan yang telah


dikemukan oleh Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) telah di buka kepada publik
seperti saat menghadirkan korban di Denpasar
untuk memberikan kesaksian mereka terhadap
penderitaan yang didapatkan dari para pelaku
yaitu : Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi
Republik Indonesia (POLRI) yang disiarkan
langsung ataupun tidak langsung melalui siaran
Televisi Timor Leste (TVTL).
Itu sebagai bukti bahwa hasil temuan dari
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) telah
dipublikasikan kemasyarakat Timor Leste
termasuk korban dan keluarga korban.

61
3. Memicu adanya silang pendapat tentang
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor
Leste di kalangan masyarakat Timor Leste sendiri

Pembentukan Komisi Kebenaran dan


Persabatan diawal pembentukan mendapat
respon positif dari masyarakat, dan masyarakat
Timor Leste menaruh harapan mereka diatas
pundak Komisi Kebenaran dan Persahabatan
untuk mengadili para pelaku kejahatan yang
telah menyiksa mereka dimasa silam, karena itu
selama Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) menjalankan tugasnya di Denpasar Bali.
Bagi masyarakat Timor Leste selalu
memantau kerja mereka melalui Televisi Timor
Leste (TVTL) maupun koran-koran lokal yang
menulis berkaitan dengan kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP).
Namun diakhir masa tugas Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang hanya
mengungkapkan bukti-bukti pelanggaran tanpa
menindaklanjuti, menciptakan silang pendapat
antara masyarakat dengan para anggota Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) hal ini
penulis ketahui dari hasil wawancara dengan
salah satu informan, berikut pernyataan dari
ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan asal
Timor Leste yang memberikan pernyataannya
berikut ini:

62
“ komisi ini bertugas untuk mencari data apakah ada
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau tidak dan
memang ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat,
hasil dari penmuan kita ini sudah kita berikan kepada
presiden dan perdana Menteri Timor Leste dan mereka
menerima temuan kita itu dengan baik, jadi kalau ada pihak-
pihak yang tidak puas dengan hasil kerja kita itu hak
mereka tapi kita Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
hanya menjalankan apa yang menjadi mandat kita, dan kita
persilakan kepada masyarakat yang tidak puas dengan
hasil kerja kita silakan mencari jalur hukum sendiri karena
kita tidak menutup jalan untuk itu” Sumber: hasil
wawancara dengan ketua Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) asal Timor leste Dr. Deonisio Babo
Soares pada tanggal 22 –Januari- 2011 di palacio do
Governo Dili Timor Leste)

Pernyataan diatas ditentang oleh salah satu


keluarga korban yang memberikan
pernyataannya berikut ini :

“ Hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)


sama sekali tidak menjawab apa yang menjadi harapan
masyarakat Timor Leste terutama kami sebagai keluarga
korban yang menuntut didirikannya pengadilan bagi pelaku
kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di
Timor Leste justru di abaikan” Sumber : hasil wawancara
dengan salah satu keluarga korban pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) yaitu : (Bapak Casimiro Dos Santos tanggal
13-februari- 2011 di Comoro Dili Timor Leste)

Dari petikan wawancara dengan dua


informan tersebut diatas baik dari ketua Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) asal Timor
Leste maupun keluarga korban di ketahui bahwa
pembentukan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) melihat ada perbedaan
pandangan yang mendalam tentang pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) berat beberapa waktu
silam di Timor Leste, dimana para anggota Komisi
63
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) lebih melihat
sebagai sensasi politik saja tetapi bukan melihat
dari penderitaan yang di alami oleh masyarakat
kecil terutama para korban dan keluarga korban
sebagai orang-orang yang telah merelakan dirinya
demi memperoleh sebuah kemerdekaan tanpa
menutut apapun dari siapapun.
Sementara para korban lebih melihat bahwa
pengorbanan mereka tentu saja murni untuk
meraih suatu kemerdekaan total, dan apa bila itu
tercapai maka tidak salah jika mereka menutut
didirikannya suatu keadilan bagi mereka yang
tidak tahu menahu apa itu HAM dan tuntutan itu
adalah pengadilan untuk menyeret para pelaku
ke ranah hukum atau orang awam biasanya di
sebut ke meja hijau untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
Dari dua pandangan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan pandangan
antara Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) dan masyarakat Timor Leste terutama
korban dan keluarga korban mengenai kekejaman
rezim militer Indonesia
Di Negara baru yang mana mendapat
pengakuan secara resmi menjadi negara baru
pada 20 Mei 2002 silam, dan hasil kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) hanya
memenuhi apa yang menjadi harapan para leader
politik negeri ini (Timor Leste) bukan menjawab

64
duka nestapa air mata rakyat yang menjadi
korban kekejaman para militer Indonesia.
Walaupun ada reparasi kompensasi untuk
mereka (para korban dan keluarga korban) tetapi
bukan itu bukan menjadi tuntutan mereka,
namun apa yang terjadi di akhir laporan KKP itu
adalah melupakan masa lalu untuk melihat
kedepan sebagai sejarah.
Bisa dikatakan bahwa hasil kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tidak
menjawab Tuntutan pokok masyarakat Timor
Leste yang memperjuangan keadilan lebih–lebih
untuk menyeret para pelaku pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) berat ke muka hukum, dan
menurut Masyarakat di Timor Leste terutama
para korban dan keluarga korban menganggap
bahwa hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan tidak lebih hanya sebuah
sandiwara belaka untuk mencari sensasi para
leader yang mengharapkan simpati masyarakat
Internasional guna popularitas pribadi maupun
kelompok mereka saja.
Dan seperti yang dikatakan oleh ketua
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Dr. Deonisio Babo Soares bahwa Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) menjadi salah
satu barometer di dunia ini karena belum pernah
ada organisasi seperti ini sebelumnya. Sementara
para korban dan keluarga korban menilai bahwa
keberadaan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
65
(KKP) hanya sebagai lembaga yang menghibur
sesaat masyarakat Timor Leste yang menjadi
korban kekejaman rezim militer Indonesia karena
tidak menghasilkan apa-apa sementara
pemerintahnya telah mengeluarkan dana yang
tidak sedikit untuk membiaya kegiatan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP).
Dan rakyat Timor Leste sudah menanti
dengan penuh harapan bahwa hasil kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) akan
memenuhi harapan mereka dengan menyeret
para pelaku kejahatan kemeja Hijau atau ke
ranah hukum.

B. Analisis
1. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP)
Agar dapat efektif, rekomendasi–
rekomendasi yang dibuat harus realistis dan
dapat dilaksanakan. Untuk itu, KKP telah
membagi rekomendasinya menjadi dua kategori:
1) Jangka Pendek dan Urgen, dan 2) Jangka
Panjang dan Aspiratif. Beberapa jenis
rekomendasi, seperti yang ditujukan bagi
reformasi kelembagaan, program resolusi konflik
dan penyembuhan korban, akan memerlukan
tindakan yang bersifat urgen maupun jangka
panjang.

66
Komisi telah mengkelompokan tujuan –
tujuan yang konkrit dan urgen dalam kategori-
kategori sesuai tujuan utama yang berpandangan
ke depan yang hendak dicapai oleh rekomendasi–
rekomendasi ini, yakni meningkatkan
persahabatan dan rekonsiliasi antara rakyat
kedua negara, memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka yang paling terkena dampak kekerasan,
menyembuhkan luka-luka masa lalu, dan
mencegah terulangnya konflik di masa
mendatang.
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
telah merumuskan sebagian besar
rekomendasinya dalam cara yang tidak
mengkhususkan satu rekomendasi untuk satu
negara atau negara lainnya. Dengan dibentuknya
Komisi Kebenaran dan Persahabatan ini, kedua
negara telah memilih untuk memperbaiki
hubungan bilateral, dan bekerja bersama untuk
mencapai suatu perdamaian lingkungan yang
stabil dan sejahtera bagi rakyatnya. Untuk itu,
kedua negara akan belajar dari masalalu, dan
mengambil tindakan prefentif.
Serta poin-poin dalam rekomendasi tersebut
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara
lain:
a. Akuntabilitas dan Reformasi Kelembagaan
b. Patroli Perbatasan dan Kebijakan Keamanan
Bersama
c. Pusat Dokumentasi dan Resolusi Konflik
67
d. Persoalan Ekonomi dan Aset
e. Komisi untuk orang–orang hilang dan di
dalamnya ada Reparasi atau Remidi
Pelaksanaan rekomendasi Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) tentang reparasi kepada
korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
pasca referendum.

2. Pelaksanaan Rekomendasi Komisi Kebenaran


dan Persahabatan (KKP)
Berdasarkan pertemuan tanggal 9 Maret
2005 di Jakarta dimana Presiden Republik
Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudoyono dan
Presiden Republik Demokratik Timor Leste (RDTL)
Kay Rala Xanana Gusmao serta Perdana Menteri
Mari Bin Amude Alkateri menyepakati kerangka
acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
yang menjadi landasan kerja Komisi. Kerangka
acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
diantaranya mengatur tujuan, prinsip-prinsip
mandat dan periode pelaksanaan mandat komisi.
Tujuan komisi kebenaran dan persahabatan
(KKP) sebagaimana tercantum dalam kerangka
acuan butir 12 adalah untuk menetapkan
kebenaran konklusif terkait kejadian sebelum dan
segera setelah jajak pendapat 1999, dengan
maksud untuk lebih meningkatkan rekonsiliasi
dan bersahabatan, serta menjamin tidak
terulangnya kejadian serupa dimasa mendatang.

68
Prinsip-prinsip yang melandasi kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) asal Timor
Leste tertuang dalam regulasi UNTAET No:
2001/10 mengenai pembentukan Comisaun
Acolihamento Verdade e,Rekonsiliasaun (CAVR),
sesuai dengan mandat Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP).
Berikut ini adalah data tentang jumlah
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
dari tahun 1975-1999 di Timor -Timur sebagai
berikit:

Tabel
Data korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
dari tahun 1975- 1999

Korban Korban mati kelaparan


No Jumlah total
dibunuh dan sakit

1 18. 600 84. 200 102.800


Sumber: Comic,ao Acholiamento Verdade e, Reconsiliacao (CAVR)
2011

Berdasarkan pada tabel diatas menunjukan


bahwa jumlah korban yang dibunuh dalam
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor –
Timur dari tahun 1975 – 1999 sebanyak 18.600
orang, sedangkan korban yang mati karena
kelaparan dan sakit sebanyak 84.200 orang, jadi
total korban yang meninggal dari tahun 1975 –
1999 adalah 102. 800 orang.
Dari uraian tersebut diatas dapat di
simpulkan bahwa korban pelanggaran Hak
69
Asasi Manusia (HAM) di Timor – Timur termasuk
kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
berat, karena dalam kurun waktu 24 tahun
korban yang jatuh lebih dari seratus ribu orang,
angka ini belum termasuk mereka yang luka-
luka maupun yang cacat yang juga jumlahnya
puluhan ribu orang. Hal ini sebagai bukti
kebiadapan militer Indonesia di tanah Timor Loro
Sae.
Selain dari korban diatas masih ada korban
yang tentunya belum terdata hingga hari ini
karena penulis tidak dapat mengumpulkan
seluruh data yang diinginkan karena
keterbatasan-keterbatasan baik waktu, biaya
maupun hal- hal non teknik lainnya.
Akibat dari pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat diatas pemerintah Timor Leste
bersama dengan pemerintah Republik Indonesia
membentuk sebuah komisi bersama guna
mencari solusi terbaik yang menjadi jalan tengah
dalam penyelesaian pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) tersebut diatas, dimana dalam
komisi tersebut sepakat untuk memberikan
semacam kompensasi atau reparasi bagi para
korban baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal.
Dalam kesepakatan tersebut memutuskan
bahwa pemberian kompensasi tersebut akan
ditanggung oleh masing-masing negara tetapi
dilakukan secara kolektif.
70
Hal ini dapat diketahui setelah penulis
melakukan wawancara dengan para informan
yang memberikan informasi, salah satunya
adalah pernyataan dari ketua Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) asal Timor Leste berikut
ini
“dalam hal ini ingin kita tegaskan bahwa tidak memberikan
reparasi secara luas tapi secara kolektif bahwa pemberian
reparasi itu diberikan oleh masing-masing negara namun
bentuknya terbatas, sementara reparasi luas itu misalkan
masalah aset yang ditinggal warga indonesia itu sudah
dianggap final maksudnya supaya tidak ada klaim di
waktu- waktu mendatang” (Sumber hasil wawancara dengan
ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP ) asal
timor Leste Dr. Deonisio Babo Soares pada tanggal 22 –
Januari- 2011 di palacio do Governo Dili Timor Leste)

Pernyataan diatas mendapat reaksi keras dari


salah seorang korban yang memberikan
pernyataan berikut ini :

“menurut saya hasil akhir kerja Komisi Kebenaran dan


Persahabatan (KKP) adalah wujud dari kedua negara,
harapan dari korban adalah pengadilan itu didirikan untuk
mewujudkan harapan bagi korban tapi kenyataannya justru
keinginan korban diabaikan karena tidak menyelenggarakan
pengadilan bagi pelaku “Sumber : hasil wawancara dengan
salah satu keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) yaitu : (Bapak Casimiro Dos Santos tanggal 13
Februari 2011 di Comoro Dili Timor Leste)

Dari hasil wawancara dengan dua informan


tersebut diatas menunjukkan bahwa terdapat
pandangan yang kontras antara tim kerja Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dengan
korban maupun keluarga korban atas pemberian
reparasi kepada para korban maupun keluarga
korban, dalam wawancara tersebut dapat
71
terungkap bahwa para angota Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) lebih menekankan pada
aspek hubungan diplomatik dimasa-masa
mendatang diantara kedua negara, sementara
para korban dan keluarga korban lebih
mengharapkan pada penyelenggaraan pengadilan
untuk menyeret para pelaku / pelanggar HAM ke
ranah hukum. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keberadaan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) atau hasil
kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
sama sekali tidak menjawab keinginan korban
maupun keluarga korban.

Tabel
Data korban pelanggaran HAM 1975- 1999 yang sudah
menerima reparasi kompensasi

Korban Korban masih Yang masih dalam


No
meninggal hidup tahap proses

1 5000 orang 197 orang 7000 orang

12.197 orang
Jumlah
total
Sumber : kementerian muda urusan veteran perang 2011

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui


bahwa dari 102.800 orang yang meninggal dalam
pelanggaran HAM berat di Timor Leste yang
terdiri dari 18. 600 orang yang terbunuh dan 84.
200 yang mati kelaparan dan masih ada puluhan
ribu korban hidup yang saat ini sedang dalam
proses untuk menerima reparasi kompensasi.

72
Dari ratusan ribu korban pelanggaran HAM
berat tersebut yang sudah menerima reparasi
kompensasi adalah sebagai berikut: korban
meninggal yang sudah menerima reparasi
kompensasi adalah berjumlah 5.000 orang dan
korban masih hidup yang sudah menerima
reparasi kompensasi adalah 197 orang,
sedangkan sekitar 7000 orang korban hidup saat
ini masih dalam tahap proses untuk menerima
reparasi kompensasi dalam waktu dekat.
Berpatokan pada jumlah korban yang diatas
seratus ribu namun yang menerima reparasi
kompensasi hanya 12.197 orang menunjukkan
bahwa dalam hal ini pemerintah sangat teliti
dalam memberikan kategorisasi kepada para
korban berdasarkan jabatan maupun lamanya
seorang dalam perjuangan.
Dari perhatian pemerintah yang memberikan
reparasi kompensasi menunjukkan bahwa
memang pemerintah Timor Leste sangat serius
dalam merealisasikan janji mereka untuk
memberikan reparasi kompensasi kepada para
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),
dan para korban maupun keluarga korbanpun
menyambut baik ketulusan pemerintah dalam
memberikan reparasi kompensasi tersebut
walaupun harapan mereka sepenuhnya bukan
reparasi kompensasi tapi lebih dari itu adalah
proses hukum bagi para pelaku pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) melalui pengadilan Nasional
73
maupun Internasional. Hal ini dapat diketahui
oleh penulis setelah salah satu keluarga korban
memberikan pernyataannya berikut adalah hasil
wawancaranya :

“ tentu saja sebagai anak korban kami senang paling tidak


ada pengakuan dari pemerintah untuk menghargai orangtua
saya yang menjadi korban dalam pelanggran Hak Asasi
Manusia (HAM) di Timor Leste akan tetapi sebenarnya
tuntutan kami yang paling utama adalah adanya
penyelenggaran pengadilan yang menyeret para pelaku ke
meja hijau, dan itu sampai hari ini kami masih menunggu
dan kami akan selalu menunggu sampai
terselenggarakannya proses penggadilan tersebut “ Sumber
“hasil wawancara dengan salah satu keluarga korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu : (Bapak
Casimiro Dos Santos tanggal 13 Februari 2011 di Comoro Dili
Timor Leste)

Hal senada disampaikan oleh korban yang lain


yang memberikan pernyataannya berikut ini:

“ kami sebagai korban tentu senang mendapatkan reparasi


kompensasi dari pemerintah kita, karena dengan adanya
kompensasi ini berarti pemerintah menghargai kami sebagai
masyarakat yang telah memberikan kontribusi nyata atas
merdekanya negeri ini dari pendudukan Rezim militer
Indonesia, akan tetapi terus terang kami belum puas dan
akan terus menutut agar para pelaku kejahatan
kemanusiaan di Timor Leste di diproses melalui pengadilan,
dan itu yang sampai saat ini masih kami tunggu dan akan
terus tunggu sampai ada penyelenggaran pengadilan”
Sumber hasil wawancara dengan salah satu korban yaitu
Bapak Jose Fernandes pada tanggal 7-Maret-2011 di Bidau
toko baru Dili Timor Leste

Berdasarkan tabel diatas maupun


pernyataan para korban dan keluarga korban
dapat diketahui bahwa mengenai pemberian
reparasi kompensasi pemerintah telah sungguh-
sungguh menempati janjinya untuk memberikan
74
reparasi kepada masyarakat atau rakyatnya yang
menjadi korban dalam peperangan melawan rezim
militer Indonesia, tentu saja reparasi ini bukan
ganti rugi karena seorang pejuang kemerdekaan
sejati tentu tidak mengharapkan imbalan atas
apa yang telah di lakukan untuk negaranya
karena itu tulus dilakukan oleh seorang yang
menyerahkan dirinya dan berkorban demi nusa
dan bangsa bukan mencari keuntungan atas
perjuangan itu, Oleh karena itu reparasi
kompensasi yang mereka terima dianggap sebagai
penghargaan atas perjuangannya bukan ganti
rugi. Hal ini menunjukkan bahwa harapan
mereka bulat yaitu menuntut di
selenggarakannya pengadilan untuk menyeret
para pelaku ke meja hijau.

3. Dampak Hasil Kerja Komisi Kebenaran Dan


Persahabatan (KKP) Terhadap Proses Yudisial
Kepada Para Pelaku Pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) Berat Di Timor Leste
1. Menghambat proses yudisial terhadap para
pelaku kejahatan

Hasil kerja Komisi Kebenaran dan


Persahabatan (KKP) yang kurang lebih
dijalankan selama satu tahun dengan
harapan dapat mengobati luka para
masyarakat Timor Leste yang menjadi korban
dalam kekejaman rezim militer Indonesia
75
justru menjadi sirna karena dalam
kesepakatan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) sepakat untuk melupakan
masa lalu termasuk perbuatan para pelaku
kejahatan yang membunuh ratusan ribu
orang karena hasil kesepakatan itu untuk
melupakan masa lalu dan melalui kerja untuk
menata masa depan yang baru antara kedua
negara, dan menggangap bahwa kejadian
masa lalu hanya sebagai sejarah yang tidak
boleh diulangi lagi dimasa mendatang.
Hal ini penulis ketahui setelah
melakukan wawancara dengan salah satu
anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) yang memberikan pernyataannya
berikut ini
“ rekomendasi dari komisi kebenaran dan persahabatan
( KKP ) yang diberikan kepada pimpinan negara dalam
hal ini Presiden dan Perdana menteri Timor Leste hanya
sebagai bukti bahwa kita telah mencari tahu apakah
ada pelanggaran HAM berat di Timor Leste atau Tidak
dan kita temukan bahwa memang ada pelanggaran
HAM. Pelanggaran HAM itu terjadi karena kurang
adanya pemahaman tentang prinsip HAM yang
diketahui oleh pelaku kejahatan (Militer) dan itu kedua
negara sepakat untuk penyelesaiannya dilaksanakan
oleh masing-masing negara “sumber hasil wawancara
anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
asal Timor Leste Ibu Maria Olandina Isabel Cairo Alves
di kementerian luar Negeri Timor Leste,pada tanggal 15-
Maret 2011

Pendapat tersebut diatas ditentang oleh


salah seorang korban yang memberikan
pernyataannya berikut ini:

76
“ sudah berulang kali kami katakan bahwa tuntutan
kami jelas dan pasti yaitu kami sebagai korban
menuntut agar para pelaku kejahatan diadili setimpal
dengan perbuatan yang mereka lakukan, namun yang
terjadi justru mereka Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) membuat kesepakatan untuk
melupakan kejahatan dimasa lalu, dan kami sebagai
korban terus terang tidak terima dan menuntut supaya
Komisi Kebenaran dan Persahabatan melihat kembali
kebijakan yang telah mereka ambil” Sumber hasil
wawancara dengan salah satu korban yaitu Bapak Jose
Fernandes pada tanggal 7-Maret-2011 di Bidau toko
baru Dili Timor Leste

Berdasarkan hasil wawancara dengan


dua infoman tersebut diatas dapat diketahui
bahwa Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) merasa berhasil karena hasil kerja keras
mereka telah diterima oleh pimpinan kedua
negara dan terutama oleh pimpinan dari
Timor Leste sendiri, jadi buat yang terpenting
dan mereka mengabaikan tuntutan
masyarakat terutama korban dan keluarga
korban, malah mempersilakan masyarakat
untuk mencari jalan sendiri dalam menyeret
para pelaku kejahatan, berarti kerja mereka
selama ini hanya untuk memenuhi keinginan
para pejabat yang mencari popularitas, bukan
mencari keadilan bagi masyarakat yang
menjadi korban, tentu saja hal tersebut
membuat masyarakat kecewa termasuk
sebagai penulis saya turut kecewa dengan
pernyataan tersebut diatas yang ternyata
hanya memenuhi keinginan para leader dan

77
mengabaikan tuntutan masyarakat yang
korban.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tidak memberikan
dampak apa-apa terhadap proses yudisial
terhadap pelaku pelanggaran hak asasi
manusia di Timor Leste.
2. Hanya mengungkapkan fakta-fakta
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa
memproses melalui jalur hukum

Dalam laporan Komisi Kebenaran dan


Persahabatan (KKP) dapat terungkap bahwa
memang ada pelanggaran HAM berat di Timor
Leste beberapa tahun yang lalu, dan hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Ketua
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
asal Timor Leste yang memberikan
pernyataannya berikut ini :
“ sesuai dengan mandat yang diberikan kepada kita
(Komisi Kebenaran dan Persahabatan) yang tugas kita
adalah mengungkapkan apakah ada pelanggaran atau
tidak? Dan memang ada pelanggaran. tujuan dari pada
penggungkapan ini adalah mencari solusi agar kejadian
serupa tidak terulang dimasa-masa mendatang,
sementara untuk masalah yudisial bukan tugas kita
jadi apabila ada pihak-pihak yang kurang puas dengan
hasil kerja kita itu normal dan jika mereka ingin
mencari jalan sendiri untuk menyeret para pelaku ke
jalur hukum kita tidak menutup jalan untuk itu, tapi
yang penting bagi kita Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) adalah kita dapat menyelesaikan
mandat telah dipercayakan pada kita, kalau masalah
yudisial itu masalah lain “Sumber: hasil wawancara
dengan ketua Komisi Kebenaran dan Persahabatan
78
(KKP) asal Timor leste Dr. Deonisio Babo Soares pada
tanggal 22–Januari- 2011 di palacio do Governo Dili
Timor Leste)

Pandangan yang kontras justru dikemukakan


oleh salah satu korban yang memberikan
pernyataannya berikut ini:

“ Tentu saja kita kecewa pada hasil kerja Komisi


Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang mereka cuma
mengungkapkan tanpa ada tindak lanjut, itu sama saja
tidak melakukan apa-apa, dan malah hal seperti ini
dapat membuka kembali luka yang telah sembuh jadi
menurut saya sebaiknya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tidak perlu ada karena sama sekali
tidak memberikan dampak apa-apa terhadap proses
yudisial atas pelanggaran hak asasi manusia di Timor
Leste” Sumber hasil wawancara dengan salah satu
korban yaitu Bapak Jose Fernandes pada tanggal 7-
Maret-2011 di Bidau toko baru Dili Timor Leste

Berdasarkan hasil wawancara dengan


dua informan tersebut di atas dapat diketahui
bahwa hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) hanya menjalankan apa
yang menjadi mandat buat mereka mandat
tersebut tentu adalah apa yang menjadi
kepentingan para leader dan sama sekali tidak
mengubris tuntutan masyarakat terutama
korban dan keluarga korban.
Alasan para anggota Komisi Kebenaran
dan Persahabatan (KKP) berdalih bahwa kita
harus melihat kedepan dan melupakan masa
lalu, ungkapan itu sungguh sakit bagi
masyarakat terutama korban dan keluarga
korban, karena keadilan itu hanya tercapai

79
apabila keadilan itu ditegakan melalui jalur
hukum yang ada. Jadi masyarakat sangat
kecewa dengan hasil kerja para anggota
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan hanya menunjukkan bukti
pelanggaran tanpa melakukan suatu jalur
hukum yang resmi jadi tidak memberikan
dampak yang positif atas proses yudisial
terhadap para pelaku kejahatan kemanusian
di Timor Leste beberapa waktu yang lalu.

80
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hasil dari isi rekomendasi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) yang berkaitan dengan
reparasi yang telah diserahkan oleh Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) kepada
pimpinan Negara (Presiden dan Perdana Menteri)
Timor Leste dimana dalam isi rekomendasi
tersebut Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) menemukan bahwa ada pelanggaran HAM
yang terjadi beberapa waktu lalu di Timor Leste hal
ini didukung oleh data dimana jumlah korban
yang terbunuh 18.600 orang dan korban yang mati
karena kelaparan dan sakit 84.200 orang total
keseluruhan korban dalam pelanggaran HAM di
Timor Leste adalah 102.800 orang. Dengan angka
tersebut diatas menunjukan bahwa telah terjadi
pelanggaran HAM besar besaran di Timor Leste
yang dilakukan oleh Rezim militer Indonesia
terhadap masyarakat Timor Leste yang berjuang
demi meraih suatu kemerdekaan. Dalam isi
rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa
terjadinya pelanggaran HAM tersebut dikarena
para pelaku pelanggaran HAM tidak mengerti arti
HAM atau kurangnya sosialisasi tentang HAM
kepada para militer sehingga terjadi pelanggaran
HAM .
81
2. Pelaksanaan rekomendasi Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tentang reparasi kepada
korban dan keluarganya diatur oleh masing-
masing negara, namun dalam laporan tersebut
menyebutkan bahwa banyak dari masyarakat yang
merasa bukan menjadi korban tapi merupakan
penyerahan diri seorang pejuang untuk meraih
suatu kemerdekaan akan tetapi pemerintah telah
mendata masyarakat menjadi korban dalam
kekejaman militer Indonesia untuk memberikan
semacam penghargaan dalam beberapa bentuk
kepada para korban dan keluarga korban antara
lain : berupa medali sebagai penghargaan dan juga
reparasi kompensasi, dimana sebagian dari mereka
sudah ada yang menerima yaitu sekitar 5.000
orang korban meninggal yang telah menerima
reparasi kompensasi, sekitar 197 orang korban
hidup yang telah menerima kompensasi dan
sekitar 7.000 orang yang saat ini sedang dalam
proses untuk menerima kompensasi.
Hasil dari pemberian reparasi kompensasi
tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam ini
pemerintah sangat serius dalam memberikan
reparasi kepada rakyat mereka yang telah rela
memberikan nyawa mereka demi membela tanah
air mereka Timor Leste tercinta. Namun yang
menjadi masalah disini adalah tidak
diselenggarakannya pengadilan untuk menyeret
para pelaku ke meja hijau (proses yudisial)
sehingga rakyat tidak puas dengan hasil
82
rekomendasi dari Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP)
Sementara rakyat menyambut gembira atas
pemberian reparasi kompensasi dari pemerintah
karena hal itu sebagai bukti pengakuan
pemerintah atas perjuangan mereka. Walaupun
reparasi kompensasi telah diterima namun
tuntutan untuk meyeret para pelaku kemeja hijau
tetap menjadi tuntutan korban dan keluarga
korban hingga saat ini.

B. Saran
1. Hasil kerja keras Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) dalam mengungkap
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor
Leste merupakan hasil positif yang Perlu dihargai,
karena dengan hasil kerja Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) tersebut masyarakat Timor
Leste dapat mengetahui tentang pelanggaran hak
asasi manusia di Timor Leste termasuk angka
korban dan tentu saja itu sebagai bukti yang
menunjukkan bahwa memang ada pelanggaran
hak asasi manusia di masa lalu, akan tetapi
sebagai penulis saya sarankan agar Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tidak hanya
membuka luka lama tapi harus mengobatinya
hingga sembuh yaitu: menyelenggarakan
pengadilan yang adil bagi para pelaku pelanggaran
hak asasi manusia (HAM)

83
2. Tuntutan masyarakat terutama korban dan
keluarga korban seharusnya menjadi bagian
penting yang harus di pertimbangkan jangan
hanya sekedar menjalankan mandat yaitu sekedar
memperoleh data pelanggaran hak asasi manusia
kemudian menganggap semua selesai hal ini tentu
saja hanya sebagai sebuah rekonsilasi semu,
karena menurut penulis sebuah rekonsilasi akan
dicapai ketika keadilan ditegakkan sehingga
masalah ini dapat terlupakan, tetapi kalau model
rekonsilasi yang dijalankan oleh komisi kebenaran
dan persahabatan ini lebih sebagai sebuah
rekonsiliasi paksa karena disaat persamaan rakyat
belum siap untuk menerima rekonsiliasi tersebut
jadi itu hanya rekayasa politik dari para leader.
Oleh karena itu penulis sarankan kepada
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) untuk
tidak hanya menjalankan mandat yang hanya
sekedar memuaskan para leader sementara
masyarakat yang menjadi korban tentu hak
diabaikan.

84
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Ali 2001. A. Voice for a just Peace: A Collection of


Speeches, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama dan
ISEAS,2001.

Buyung Adnan Nasution, Hak Asasi Manusia dan Mutu


Manusia Indonesia, 2002.

Chherif, M. Bassioni , 1999, Right Report of the


Independent Expert on the right to Restitution
Compensation, and Rehabilitation for Victims of
Grave Violation of Human Right and Fundamental
Feedoms, E/CN.4/1999/65,Geneva: office of the
United Nation High Commissioner for Human.

Donelly, Jack, 1998. Apakah Hak Asasi Manusia itu?


Dalam George Clack dan Kathen Hug, eds, HAM ;
Suatu Pengantar, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.

Effendi, Masyuhur H.A., HAM Dalam Hukum Nasional


Indonesia dan Internasional, GHALIA
INDONESIA,1993.

Huala, Adolf, 1996. Aspek- aspek Negara dalam Hukum


Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hartono Sunaryati, peranan dan kedudukan Asas- Asas


Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional,FH-
UNPAR, Bandung,1987.

Istanto Sugeng, Peta Perkembangan dan Paradigma Bru


Hukum Internasional,FH, UGM, 1992.

Jean, Pectet, International Human Rights, I.C.R.C,


genewa-Swiss (Tanpa Tahun)
85
Kurnia Slamet Titon, Reparasi Terhadap Korban
Pelanggaran HAM di Indonesia; CITRA ADITIA
BAKTI BANDUNG 2005.

Muladi H. Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam


Prespektif Hukum dan Masyarakat; refika
ADITAMA, 2007.

Notohamidjodjo, Demi Keadilan dan kemanusiaan, PBK,


Gunung Mulia, 1970.

Nickel, James W..,1996. Hak Asasi Manusia Refleksi


Filosofi atas Deklarasi Universal HAM, Jakarta
Gramedia Pustaka Utama.

Oran R. Young ( Ahli bahasa ; Sahat Simamora), Sistem


politik, Bina Aksara,1984.

O ,Connor, Michael, Australian And Its Strategic Position


In The Asia Pasific Region, Dalam The Indonesia
Quarterly, 1989.

Patton G. W., A Tex Book of Jurisprudence, Oxford,1969.

Rubin ,Z. Jeffri ,Pruitt G. Dean. 2004; Teori Konflik


Sosial.

Rimlinger, V. Gaston, Capitalism And Human


Raghts,Deadalus, 1983.

Robertson, The Europaean Court of Human Righst, The


American Journal of Comperative Law, vol. IX. No.
Winter.

Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian hukum.

Seno Indriyanto adji, 1998. Penyiksaan dan HAM dalam


Perspektif KUHP, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

86
Soares de Jesus Aderito dan Amiruddin, 2003.
Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer,
Jakarta: ELSAM.

Soekowati Soenawar,1977. Pancasila dan Hak- Hak Asasi


Manusia, CV. Adanal Jakarta.

Subekti, 1994. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam


KUHAP, Jakarta; Pradnya Paramita.

Taylor G. John, sejarah Timor Leste Yang Terlupakan,


(terjemahan Junus Aditjondro), London, 1991.

Wignjosoebroto, Soetanyo, Paradigma dan Dinamika


Masalah, November, 2002.

Wyasa Putra, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap


Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Bandung
Refika.

KAMUS/ ENSKLOPEDIA

Kamus hukum Dictionary of Law Complete Edition,


Penerbit Reality Publisher
Cetakan I 2009

BAHAN INTERNET

www.cavr-timorleste.org
info@cavr-timorleste.org

87
BUKU-BUKU DARI LAPORAN AKHIR CAVR DAN
KKP TIMOR LESTE INDONESIA SERTA LAPORAN KPP
HAM DARI INDONESIA

Checa! Laporan Komisi Penerimaan dan Rekonsiliasi


(CAVR) di Timor Leste, Ringkasan Eksekutip 2002

Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan


(KKP) Timor Leste- Indonesia,2005

Laporan Akhir KPP HAM Indonesia / Komisi


Penyelidikan Pelanggaran Berat Hak Asasi
Manusia di Timor- Timur 1999

88

Anda mungkin juga menyukai