Anda di halaman 1dari 8

Paku Terakhir Peti Mati VOC: Perang Inggris-Belanda Keempat dan

Dampaknya Terhadap Kejatuhan VOC


Rama Narendra

Kejatuhan kekuasaan VOC di Indonesia merupakan salah satu momen bersejarah yang
paling penting di sejarah Indonesia, yang menandakan transisi dari pemerintahan
Company-State VOC menjadi pemerintahan kolonial Belanda.

Jatuhnya VOC dibelakangi oleh krisis dan masalah yang dialami VOC sejak abad ke-
17. Hilangnya suplai mata uang, menurunnya volume perdagangan, korupsi, dan
persaingan dari kongsi dagang Inggris EIC merupakan berbagai masalah yang dihadapi
VOC pada era yang pelik tersebut. Akan tetapi, VOC, berkat bantuan pemerintah dan
program reformasi, berhasil bertahan dan menstabilkan keuntungan mereka. VOC
memasuki abad ke-18 dengan kondisi kritis, tetapi tetap bertahan. Pada pertengahan
abad ke-18, VOC bahkan mengalami pertumbuhan dalam pendapatan, walaupun kongsi
tersebut masih dilanda berbagai masalah dan meningkatnya hutang

Walaupun begitu, keadaan ini tidak berlangsung lama. Pada akhir abad ke-18, dukungan
Belanda atas Revolusi Amerika pada abad ke-18 menyebabkan pecahnya Perang
Inggris-Belanda Keempat. Peristiwa inilah yang berakhir menjatuhkan VOC dan
menghilangkan segala kemungkinan untuk menyelamatkan kongsi dagang Belanda
tersebut.

Ada berbagai narasi mengenai jatuhnya VOC. Historiografi tradisional dan yang paling
banyak diadopsi adalah narasi decline (kemunduran) yang menganggap kejatuhan VOC
dimulai dengan masalah yang dialami VOC pada abad ke-17, terutama korupsi.
Masalah-masalah ini tidak diatasi VOC, sehingga mereka mengalami kemunduran
sampai akhirnya berakhir pada tahun 1799.
Akan tetapi, akhir-akhir ini pandangan ini mulai direvisi oleh sejarawan modern.
Sejarawan Pieter C. Emmer dan Jos J.L Gommans contohnya mendeskripsikan krisis
yang dialami VOC pada abad ke-17 bukan sebagai suatu decline (kemunduran), tetapi
sebagai relative contraction (kontraksi relatif). Mereka berargumen bahwa VOC
memang dilanda berbagai krisis dan masalah, tetapi pada akhirnya mereka berhasil
mengatasi atau setidaknya beradaptasi terhadap masalah yang menimpa mereka.
Contohnya, menurunnya harga rempah di abad ke-18 menyebabkan menurunnya
pendapatan VOC. Hal ini mendorong VOC untuk beralih dari berdagang dan
mengangkut produk mahal dengan volume kecil dan margin keuntungan tinggi, ke
pengiriman dan perdagangan produk yang lebih murah dengan volume lebih tinggi dan
margin keuntungan lebih rendah. Daripada mengekspor rempah dengan jumlah kecil,
VOC mengekspor tekstil dengan jumlah besar.
Hal ini juga didukung oleh statistik. Menurut Global Financial Data, pendapatan VOC
merupakan sekitar 7,5 Juta Gulden antara tahun 1650 dan 1680. Hal ini kemudian
meningkat menjadi sekitar 20 juta Gulden pada tahun 1720 dan tetap pada level tersebut
hingga tahun 1780. Hal ini menandakan bahwa bukannya mengalami kemunduran,
pendapatan VOC malah mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Gambar 1.1 Pendapatan VOC dari tahun 1650-1790; Diunduh dari Global Financial
Data
Akan tetapi, terlihat pada grafik bahwa keuntungan VOC mengalami kejatuhan parah
pada tahun 1780, dan walaupun keuntungan menaik untuk sementara, kembali
mengalami kejatuhan pada tahun 1790. Keterpurukan ini kemudian disusul dengan
jatuhnya VOC pada tahun 1799. Apakah gerangan yang terjadi kepada pendapatan VOC
pada tahun 1780?
Pada tahun 1775, revolusioner Amerika memberontak dan mendeklarasikan perang
terhadap negara induk mereka, Britania Raya. Pada periode awal Perang Revolusi
Amerika, para revolusioner mendapati mereka seing dikalahkan oleh pasukan Inggris
yang lebih terlatih dan dipersenjatai dengan baik. Oleh karena itu, sejak musim dingin
1775-1776, pejuang revolusi Amerika mulai mencari sekutu Eropa yang mau
mendukung pemberontakan mereka. Pada tahun 1778, Prancis, rival tradisional Britania
Raya akhirnya berintervensi di Perang Revolusi Amerika untuk membantu para pejuang
revolusioner Amerika. Hal ini membuat politikus di Britania Raya bergidik dan
mewaspadai negara-negara yang berkemungkinan membantu perjuang revolusi
Amerika. Salah satu negara ini adalah Belanda, sekutu tradisional Inggris.

Karena sejumlah alasan, Belanda mencoba untuk tetap netral dalam konflik antara
koloni Amerika yang memberontak dan Britania Raya. Perang dengan Britania Raya
harus dihindari terutama karena armada Inggris lebih kuat daripada armada Belanda.
Selain itu, William V, stadholder Belanda merupakan seorang pemimpin yang sangat
pro-Inggris karena ikatannya dengan keluarga kerajaan Inggris.
Walaupun begitu, Belanda masih berusaha untuk mencari keuntungan dari perang ini,
dalam bentuk perdagangan senjata. Selama Belanda tetap netral, pedagang Belanda
dapat mengirimkan barang kepada pejuang Amerika dan sekutu Prancis mereka dalam
skala besar. Bubuk mesiu Belanda, senapan, dan barang-barang lainnya dikirim ke
provinsi-provinsi yang memberontak, sebagian besar melalui pulau St. Eustatius.

Hal ini tentu saja memperburuk relasi antara Britania Raya. Dalam pandangan Inggris,
Belanda tidak hanya gagal memenuhi kondisi persekutuan mereka dalam bentuk
bantuan militer kepada Inggris, para pedagang Amsterdam bahkan menggunakan
kesempatan ini untuk memasok Prancis dan pemberontak amerika dengan matériel de
guerre (barang perang).
Tanggapan pemerintah Britania Raya adalah memerintahkan Angkatan Laut mereka
untuk mencari barang selundupan dan menyita mereka dari kapal dagang Belanda. Pada
bulan Desember 1779, Skuadron Letnan-Laksamana Lodewijk hanya bisa menyerah
saat armada Inggris menyita barang yang ia bawa di Portsmouth. Insiden ini
menyebabkan protes besar di Belanda terhadap Britania Raya dan pemerintahan
Belanda.
Pada bulan April 1780, Britania Raya secara resmi mencabut prinsip perdagangan bebas
antara Inggris dan Belanda. Hal ini menimbulkan protes di Belanda yang menyerukan
pemerintahan Belanda untuk bergabung dengan Liga Netralitas Bersenjata yang baru
diluncurkan oleh Ratu Rusia Catherine II. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memulai
negosiasi langsung untuk bergabung dengan Russia. Pada bulan Oktober, Belanda
hampir menandatangani perjanjian dengan Russia.
Ancaman nyata bagi Inggris adalah jika Belanda memasuki Liga Netralitas Bersenjata,
Belanda dapat melawan balik operasi penyitaan Inggris terhadap kapal dagang mereka
berkat bantuan Russia. Hal ini juga dapat mendorong Belanda dan Russia untuk
berperang dengan Britania Raya. Untuk mengantisipasi perkembangan ini, Britania
Raya bertindak dengan menyatakan perang untuk mencegah Belanda untuk bergabung
dengan Liga Netralitas Bersenjata. Logikanya, deklarasi perang sebelum Belanda
bergabung ke Liga Netralitas akan mencegah pemerintah Belanda untuk mengklaim
dukungan Rusia dalam Perang Inggris-Belanda dan akan menghentikan suplai barang
perang ke Prancis dan Amerika. Casus Belli perang ini disediakan oleh perjanjian
perdagangan antara kota Amsterdam dan kongres Amerika yang ditemukan di antara
surat-surat duta besar Amerika Henry Laurens, yang kapalnya telah disita dalam
perjalanan oleh armada Inggris.

Walaupun Perang Inggris-Belanda Keempat dimulai di tempat jauh dari basis VOC di
Indonesia, VOC sebagai bagian dari Belanda langsung merasakan dampaknya. Sebagai
koloni terbesar Belanda dan saingan utama kongsi dagang Inggris EIC, VOC ditugaskan
untuk mempertahankan kejayaan belanda di Asia Tenggara. Akan tetapi, dibandingkan
dengan EIC, VOC memiliki armada yang lebih kecil, dan perang telah menghambat
perdagangan intra-Asia, basis utama ekonomi VOC.
Pada awal 1781 Laksamana Inggris Sir Edward Hughes merebut Trincomalee dan
Nagapatnam di pantai timur Ceylon, yang dianggap sebagai pelabuhan VOC terbaik di
Teluk Bengal. Kemudian pada bulan Maret 1781, Laksamana Inggris George Johnstone
dikirim untuk merebut Koloni Belanda di Afrika Selatan. Armada VOC tidak mampu
untuk melawan Johnstone, tetapi nasib koloni Afrika Selatan berhasil diselamatkan
ketika armada Prancis dibawah Laksamana Pierre André Le Bailli de Suffren berhasil
menghalau serangan Inggris. Indonesia bahkan menjadi medan perang, ketika Henry
Botham, salah satu direktur EIC memimpin armada dengan 100 tentara sepoy untuk
menyerang Padang pada Agustus 1781. Pada tanggal 18 Agustus, Jacob van
Heemskerk, kepala residen VOC di Padang, menyerahkan semua pos pantai barat VOC
tanpa perlawanan termasuk Semangka, salah satu daerah pemroduksi rempah. Benteng
di Padang kemudian dihancurkan sebelum kota itu dikembalikan ke kendali VOC pada
tahun 1784. Perang Inggris-Belanda Keempat membuktikan bahwa VOC tidak lagi
merupakan kekuatan laut yang harus diperhitungkan dan bahwa EIC telah melampaui
mereka.

Perang Inggris-Belanda Keempat berakhir pada tahun 1784 dengan perjanjian Paris.
Perang ini, beserta dengan Perjanjian Paris merupakan pukulan terbesar terhadap
kejayaan VOC yang secara telak mengakhiri kesempatan VOC untuk tetap bertahan.
Terhambatnya perdagangan oleh perang telah menghancurkan ekonomi VOC, ditambah
dengan banyaknya kapal VOC yang dihancurkan atau disita oleh Inggris. Negapatnam
diserahkan ke tangan Inggris, dan EIC mendapatkan hak perdagangan bebas dengan
VOC.
Setelah perang, VOC mengalami kesulitan keuangan dan para direkturnya sekarang
membutuhkan dukungan keuangan sendiri. Sebelum perang VOC telah terbelit oleh
hutang, tetapi mereka berhasil menutupi hutang itu dengan perdagangan intra-Asia.
Pecahnya Perang Inggris-Belanda kembali membuat kondisi hutang VOC tidak dapat
dipertahankan. Kondisi hutang dan terpuruknya VOC membuat pendapatan VOC terjun
bebas, seperti yang dapat terlihat di grafis.
Kondisi ini akhirnya memaksa VOC untuk meminjam kas dari Pemerintah Belanda.
Secara total, Estates-General Belanda menginvestasikan lebih dari 100 juta Gulden di
VOC dengan harapan sia-sia untuk memulihkan keuntungan VOC. Hal ini bisa dilihat
dengan pemulihan dan kenaikan di grafis pendapatan setelah 1780. Akan tetapi,
keuntungan ini hanyalah sementara dan VOC telah pada di ambang kehancuran. Pada
akhir 1795, dengan pendudukan Belanda oleh Prancis, VOC dinasionalisasi, tanpa ada
kompensasi yang dibayarkan kepada pemegang saham. Republik Batavia, pemerintahan
baru di Belanda mewarisi hutang VOC yang berjumlah lebih dari 120 juta gulden.
Seluruh aset VOC dan hampir semua koloni VOC kemudian direbut oleh Inggris.
Perang Inggris-Belanda Keempat, secara kiasan, merupakan paku terakhir di peti mati
VOC. Sebelum perang ini, VOC telah berada di peti mati, tetapi ia masih dapat keluar
dengan meronta-ronta. Pecahnya Perang Inggris-Belanda Keempat menutup segala
kemungkinan VOC untuk tetap eksis sebagai entitas politik, dan berakhir dengan
kehancuran kongsi dagang tersebut, bagaikan paku yang akhirnya menutup peti mati
VOC untuk selamanya.
Perang Inggris-Belanda Keempat dan dampak besarnya terhadap VOC juga merupakan
bentuk sejarah global; Peristiwa yang terjadi jauh di Amerika dapat mempengaruhi
keadaan dan persitiwa di belah dunia lain secara signifikan.
Pengaruh dan signifikansi Perang Inggris-Belanda Keempat dan jatuhnya VOC tentu
saja tidak dapat diabaikan, dengan jejak yang dapat terlihat sampai sekarang. Jatuhnya
VOC tentu saja berujung kepada transisi terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Selain itu, perang ini menetapkan suatu trend dimana koloni-koloni Belanda satu per
satu diduduki oleh Inggris. Pertama Nagapatnam, kemudian Afrika Selatan.

Di Indonesia sendiri, perang ini mengakhiri daerah Tulang Bawang sebagai pusat
perdagangan di Sumatra. Sebelum perang ini, Tulang Bawang, yang melingkup
Semangka merupakan daerah kaya yang menjadi pusat perkebunan lada dan
perdagangan rempah. Akan tetapi, serangan Inggris merubah semua ini. Serangan
Inggris membuat para petani perkebunan lada di sepanjang Sungai Tulang Bawang
khawatir. Para petani dipaksa untuk meninggalkan wilayah sekitar sungai, termasuk
perkebunan lada dan sawah-sawah mereka untuk menghindari serangan Inggris.
Wilayah Tulang Bawang beserta seluruh perdagangan lada di wilayah ini kemudian
mengalami kehancuran seiring dengan hilangnya dominasi VOC di luar Jawa. Bubarnya
VOC dan ketidakstabilan politik di Hindia Belanda sejak awal abad ke-19. Sekarang,
Tulang Bawang merupakan sebuah kota yang relatif kecil, tak seperti dahulu dan
Semangka saat ini sulit dicari di peta karena betapa drastisnya kehancuran pada awal
abad ke-19.
Ariwibowo, G. A. (2017). “Sungai Tulang Bawang Dalam Perdagangan Lada Di
Lampung Pada Periode 1684 Hingga 1914”. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 19(2), 253-
268.

Emmer, P. C., & Gommans, J. J. (2020). The Dutch Overseas Empire, 1600–1800.
Cambridge University Press.

Meinsma, J. J. (1872). Geschiedenis van de Nederlandsche Oost-Indische Bezittingen. J.


IJkema.

Nierstrasz, C. (2012). In the Shadow of the Company: the Dutch East India Company
and its Servants in the Period of its Decline (1740-1796) (Vol. 15). Brill.

Onnekink, D., & Rommelse, G. (2019). The Dutch in the Early Modern World: A
History of a Global Power. Cambridge University Press.

Ōta, A. (2006). Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State
and The Outer World of Banten, 1750-1830. Brill.

Rodger, N. A. M. (2006), The Command of the Ocean: A Naval History of Britain


1649–1815, London: Penguin Books

Scott, H. M. (1988). Sir Joseph Yorke, ”Dutch Politics and the Origins of the Fourth
Anglo-Dutch War”. The Historical Journal, 31(3), 571-589.

Taylor, Bryan. (2018) “The First and the Greatest: The Rise and Fall of the United East
India Company.” Global Financial Data, globalfinancialdata.com/the-first-and-the-
greatest-the-rise-and-fall-of-the-united-east-india-company.

Kathirithamby-Wells, J. (2013). “Report from the Minister of Banten Tsiely Godong


and former translator of the English Harkis Baly concerning the English Presence in
Silebar and Bengkulu, West-Sumatra, 1696”. In: Harta Karun. Hidden Treasures on
Indonesian and Asian-European History from the VOC Archives in Jakarta, Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai